referat sindroma nefrotik
Post on 13-Apr-2016
40 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
REFRAT
Sindrom Nefrotik
Pembimbing
dr. Afaf Susilawati Sp.A.
Disusun oleh
Adil Sultani
030.08.005
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
4 NOVEMBER 2013-11 JANUARI 2014
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
Sindroma nefrotik ini dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat menyelesaikan
kepanitraan klinik ilmu penyakit anak RSUD Koja Jakarta.
Banyak terima kasih penulis sampaikan kepada pembimbing penulis, dr. Afaf,
Sp.A., atas segenap waktu, tenaga, dan pikiran telah diberikan selama proses
pembuatan referat ini atas bimbingan yang telah diberikan selama kepaniteraan klinik
ini berlangsung.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan
kepaniteraan klinik ilmu penyakit anak RSUD Koja atas kebersamaan dan kerja sama
yang telah terjalin selama ini.
Seiring dengan perkembangan jaman, banyak sekali perubahan di bidang
pengetahuan medis yang mengarah kepada kemajuan dan perbaikan kualitas
kesehatan, banyak data, dan fakta yang signifikan perlu diketahui oleh tenaga medis
untuk menegakkan diagnosa dengan baik. Sebagai tenaga medis yang berkualitas,
diperlukan pengetahuan yang cukup agar dapat memberikan penanganan yang tepat.
Untuk itu melalui referat ini penulis mencoba untuk sedikit menjabarkan mengenai
sindroma nefrotik. Akhir kata, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun akan sangat
diharapkan demi penyempurnaannya.
Semoga referat ini dapat memberi informasi yang berguna bagi para pembaca
Jakarta, Desember 2013
Adil Sultani
2
DAFTAR ISI
Kata pengantar .....………………………………………………………...............2
Daftar isi ... ……………………………………………………...………..............3
BAB I PENDAHULUAN ....…………………………….……………….............4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi ..................................................................................................5
2.2 Epidemiologi ........................................................................................5
2.3 Etiologi ..................................................................................................5
2.4 Anatomi …………………………………………………………………...6
2.4 Patofisiologi ..........................................................................................9
2.5 Manifestasi Klinik ..............................................................................11
2.6 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................14
2.7 Diagnosis ............................................................................................15
2.8 Penatalaksanaan ...................................................................................18
2.9 Komplikasi ...........................................................................................19
2.10 Prognosis ...........................................................................................19
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................20
BAB IV DAFTAR PUSTAKA .............................................................................21
3
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai
oleh proteinuria masif, hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia,
lipiduria, hiperkoagulabilitas.7
Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang
berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan
SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Kelainan histopatologi pada SN
primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis
fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif. 7
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-
anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan
umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali
lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati
membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan
wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada
dewasa 3/1000.000/tahun. 7
Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan
biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu
terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang
bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan
dibahas patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan SN. 7
4
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta edema. Yang dimaksud
proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar >40 mg/kg berat
badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5
gram/dl. 6,9
EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal
(75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan
laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak
nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-
laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan
pada dewasa 3/1000.000/tahun. 6,9
ANATOMI
Ginjal merupakan organ yang berbentukseperti kacang, terdapat sepasang (masing-
masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal
kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini
disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri
adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi
bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus
transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah
ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat
bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
5
Korteks : yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal dan tubulus kontortus distalis.
Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus
rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).
Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah
korteks.
Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf
atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul
dan calix minor.
Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.
Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinari
Gambar 1. Anatomi ginjal
6
ETIOLOGI
Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap penyakit
autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. 6 Umumnya para ahli
membagi etiologinya menjadi:
I. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah
edema semasa neonates. Pencangkokan pada masa neonatus telah
dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupanya. 6
II. Sindroma nefrotik primer/ idiopatik
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsy ginjal
dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskopik elektron,
terbagi dalam empat golongan yaitu: 5
1. Kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal,
sedangkan dengan mikroskop elektron tampak foot processus sel
epitel berpadu. Dengan cara imunofluorosensi ternyata tidak
terdapat IgG atau immunoglobulin beta-1C pada dinding
glomerulus.
Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang
dewasa. Prognosisnya juga lebih baik dibandingkan dengan
golongan lain.
2. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler
yang tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada
anak. Prognosis kurang baik.
3. Glomerulonefritis proliferative
a. Glomerulonefritis proliferative eksudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering
7
ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan
streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom
nefrotik. Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang
terdapat penyembuhan setelah pengobatan lama.
b. Dengan penebalan batang lobular
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan
penebalan batang lobular.
c. Dengan bulan sabit
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel
epitel simpai ( kapsular ) dan visceral. Prognosis buruk.
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang
menyerupai membrana basalis di mesangium. Titer globulin
beta-1C atau beta-1A rendah
4. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus.
Sering disertai dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk. 6
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik.Buku Ajar Nefrologi Anak.
III. Sindrom nefrotik sekunder
8
Disebabkan oleh: 6
Malaria kuartana atau parasit lain
Penyakit kolagen seperti lupus erimatosus diseminata, purpura
anafilaktoid.
Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis,
thrombosis vena renalis.
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam
emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementik
PATOFISIOLOGI
Ada empat gejala utama pada sindrom nefrotik. Yaitu: proteinuria,
hipoproteinemia, edema, dan hiperlipidemia. 3,4
Proteinuria dan hipoproteinemia
Proteinuria terjadi akibat adanya perubahan pada kapiler gomerulus
dan pada umumnya tergantung pada jenis lesinya. Dalam keadaan normal
membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan
ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik
(charge barrier). Pada sindroma nefrotik, kedua mekanisme penghalang
tersebut ikut terganggu. Selain itu, konfigurasi molekul protein juga
menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Akibat proteinuria yang
masif, maka bisa menyebabkan terjadi hipoproteinuria dalam intravaskuler. 3,4
Pada SNKM didapatkan penurunan klirens protein bermuatan netral
tapi peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. sehingga
dianggap bahwa proses ini adalah akibat hilangnya barier muatan negatif.
Heparan sulfat proteoglikan yang terdapat pada lamina rara eksterna dan
interna menyebabkan timbulnya muatan negatif dan merupakan penghalang
utama terhadap keluarnya molekul bermuatan negatif seperti albumin.
Penurunan heparan sulfat proteoglikan dengan heparitinase menyebabkan
terjadinya albuminuria. Pada sel epitel terdapat terdapat sialoprotein
9
glomerulus, suatu polianion yang memberikan muatan negatif pada sel epitel.
Pada SNKM jumlah sialoprotein kembali normal setelah pemberian steroid,
sedangkan pada SN akibat proliferatif glomerulonefritis atau diabetes melitus,
klirens molekul kecil menurun dan klirens molekul besar meningkat, hal ini
menunjukan adanya perubahan pada pori baik ukuran, jumlah ataupun
keduanya.
Edema
Edema merupakan gejala kardinal pada SN. Mekanisme terjadinya
edema dapat dijelaskan melalui dua teori, yaitu Teori Underfill dan
Overfill/overflow. Teori Underfill adalah teori klasik mengenai pembentukan
edema, yakni menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan
cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas
glomerulus, albumin akan keluar dan kemudian menimbulkan albuminuria dan
hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan
onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya
cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang
interstisial yang menyebabkan edema. Sebagai akibat dari pergeseran cairan
ini, volume plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran menurun
dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan
natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha tubuh untuk
menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat
dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan yang secara
terus menerus menjaga volume plasma selanjutnya akan mengencerkan
protein plasma dan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan
akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini
akan terus memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema
stabil.
Teori overflow/overfill menunjukkan meningkatnya volume plasma
dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron. Retensi
natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer
mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular.
10
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat dari perpindahan cairan ke dalam
ruang interstisial. Teori ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang
tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang menurun sekunder
terhadap hipervolemia.1,3,4
Hiperlipidemia
Sekurang-kurangnya ada dua factor yang memberikan sebagian
penjelasan: 3,4
1. hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati,
termasuk lipoprotein
2. katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoproetein lipase
plasma, system enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
MANIFESTASI KLINIK Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang
tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul
secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal
edema sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau
labia). Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif (anasarka). 3,6,7
Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai edema
muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada
ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas
bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih
tipis dan mengalami oozing. Edema biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM
dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM. 9
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab
mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema
11
atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat
terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau
pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan
terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom
nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan
prolaps ani.,9
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan
ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. 3,6,9
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien
SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak
dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik. 3,6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain: 2
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau ratio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
Kadar albumin dan kolestrol plasma.
Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin.
Kadar complemen C3
DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
12
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan.9
2. Pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-
kadang ditemukan hipertensi. 9
3. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai
hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio
albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal
kecuali ada penurunan fungsi ginjal. 9
PENATALAKSANAAN
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-
gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10%
kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut: 2
Table 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak
dengan sindrom nefrotik 2
Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam
selama 3 hari berturut-turut
13
Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi
Kambuh
tidak
sering
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode
12 bulan
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal,
atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan
Responsif-
steroid
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
Dependen-
steroid
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi
steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison
60 mg/m2/hari selama 4 minggu
Responder
lambat
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari
tanpa tambahan terapi lain
Nonresponder
awal
Resisten-steroid sejak terapi awal
Nonresponder
lambat
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-
steroid
PROTOKOL PENGOBATAN 9,10.
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan
untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari
(2mg/kgBB/hari) dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian
dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari (2/3 dosis penuh) secara
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu
pengobatan dihentikan.
Sebelum pengobatan steroid di mulai, dilakukan pemeriksaan uji mantoux.
Bila hasilnya negatif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila hasilnya
positif diberikan obat anti tuberkulosis (OAT).
I. Sindrom nefrotik serangan pertama 8,9
14
1. Perbaiki keadaan umum penderita
a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke
bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal. Batasi asupan natrium sampai ± 1 gram/hari,
secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan
yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat
c. Berantas infeksi
d. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema
anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu
aktivitas. biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya
edema dan respons pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretic perlu
dipantau kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolic, atau kehilangan
cairan intravascular berat Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
Dengan demikian edukasi terhadap penderita dan orang tuanya menjadi
sangat penting. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE-i
(Angiotensin Converting Enzyme inhibitors), ARB (Angiotensin Receptor
Blocker), CCB (Calcium Channel Blockers), atau antagonis β adrenergik,
hingga tekanan darah anak di bawah persentil 90. Pada semua pasien rawat
jalan SN dengan pengobatan steroid, maka harus dilakukan pemantauan
tekanan darah setiap 6 bulan sekali.
Terapi ACE-i dan ARB telah banyak digunakan untuk mengurangi
proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein
di urin melalui penurunan tekanan hidrostatis untuk mengubah
permeabilitas glomerulus. ACE-i juga memiliki efek renoprotektor melalui
penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen
activator inhibitor (PAI)-1 yang keduanya merupakan sitokin penting yang
berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Golongan ACE-i yang
dapat digunakan antara lain captopril 0,3 mg/kgBB diberikan 3xsehari,
enalapril 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgBB
15
dosis tunggal. Golongan ARB yang dapat digunakan hanya losartan 0,75
mg/kgBB dosis tunggal.
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi
spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau
kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa
menunggu waktu 14 hari.
II. Sindrom nefrotik kambuh (relapse) 9
Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan
Perbaiki keadaan umum penderita
1. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan
atau < 4 kali dalam masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari)
maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari
selama 3 minggu
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam,
diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.
2. Sindrom nefrotik kambuh sering
adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan
atau > 4 kali dalam masa 12 bulan
Induksi
16
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari)
maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari
selama 3 minggu
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam,
diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40
mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48
jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1
minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian
prednison dihentikan.
III. Sindrom nefrotik resisten steroid 2
Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten
terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau
klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada
kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari selama 8
minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi,
alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg bb./hari selama 8 minggu.
Efek samping klorambusil adalah azoospermia dan agranulositosis.
Indikasi pemulangan pasien dirawat: 2
Edema anasarka menghilang
Nafsu makan baik.
Proteinuria negatif pada 3 kali pemeriksaan selama 1 minggu
Indikasi klinis untuk pemberian albumin adalah :
Klinis hipovolemia
Gejala edema
Sebuah albumin serum yang rendah saja tidak indikasi untuk albumin intravena.
Jika ada bukti hipovolemia, berikan 1 g / kg albumin 20% (5ml/kg) selama 4 - 6 jam.
Berikan 2mg/kg dari furosemid iv pada pertengahan infus. Jika klinis syok
memberikan 10ml/kg albumin 4,5%. Anak-anak harus dimonitor selama infus
albumin.
17
KOMPLIKASI 1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis.
Secara ringkas, kalaina hemostatik pada SN dapat timbul drai 2 mekanisme
yang berbeda:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan : meningkatnya
degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti antitrombin
III, plasminogen dan antiplasmin.
Aktivasi sitem emostatik didalam ginjal dirangsang oleh fator jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus
yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi
trombosit. 1
2. Hipertensi merupakan salah satu komplikasi dari SN yang dapat ditemukan
baik pada awitan penyakit ataupun dalam perjalanan penyakit akibat toksisitas
steroid. Pemberian steroid jangka panjang sendiri dapat menimbulkan efek
samping yang signifikan terhadap penderita. Dengan demikian edukasi
terhadap penderita dan orang tuanya menjadi sangat penting. Pengobatan
hipertensi diawali dengan inhibitor ACE-i (Angiotensin Converting Enzyme
inhibitors), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), CCB (Calcium Channel
Blockers), atau antagonis β adrenergik, hingga tekanan darah anak di bawah
persentil 90. Pada semua pasien rawat jalan SN dengan pengobatan steroid,
maka harus dilakukan pemantauan tekanan darah setiap 6 bulan sekali.
3. Pertumbuhan abnormal dan malnutrisi.
Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien SN yang tidak
diberikan kortikosteroid adalah malnutrisi protein,
kurang nafsu makan sekunder, hilangnya protein dalam urin, dan malabsorbsi
karena edema saluran gastrointestinal. Sekarang penyebab utamanya adalah
pengobatan kortikosteroid. Pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dan waktu
lama dapat memperlambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan
linier. 1
18
4. Infeksi
Beberapa penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah: 1
o Kadar imunoglobulin yang rendah
o Defisiensi protein secara umum.
o Hipofungsi limfa
o Akibat pengobatan imunosupresif
PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut : 9
Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun.
Disertai oleh hipertensi.
Disertai hematuria
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa
gambaran klinis
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan
pengobatan steroid.9
KESIMPULAN
Sindroma nefrotik adalah suatu penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia.
19
Menurut etiologinya sindrom nefrotik dibagi menjadi sindrom nefrotik
bawaan, sindrom nefrotik sekunder, sindrom nefrotik idiopatik, dan
glomerulosklerosis fokal segmental.
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda klinis, seperti edema, oliguria,
proteinuria, hiperkolesteronemia dan. hipoalbuminemia. Terapi yang digunakan untuk
sindrom nefrotik : bed rest, diet protein rendah garam, antibiotok bila ada indikasi,
diuretik, kortikosteroid, dan pungsi asites bila ada indikasi vital. Komplikasi dari
sindrom nefrotik adalah : infeksi, malnutrisi, thrombosis. Prognosisnya umum baik. 8
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein, Prof., dkk.. Buku Ajar Nefrologi Anak . Edisi 2. Jakarta. IDAI.
2002, hal 381-422
20
2. Alatas, Husein, Prof., dkk. Konsensus Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik
idiopatik pada anak . Jakarta :Badan Penerbit IDAI. 2005.
3. Behrman, Kliegemen, Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15.
EGC.Jakarta:1996
4. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI pp. 381-426.
5. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors.
Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. 137-
46.
6. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi- Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Ed. 6. EGC. Jakarta:2005
7. Noer MS. Sindroma Nefrotik Idiopatik. Dalam : Kompendium Nefrologi Anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2011
8. http://idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/TATA-LAKSANA-SINDROM-
NEFROTIK-IDIOPATIK-PADA-ANAK.pdf
9. Wuhl E, Trivelli A, Picca S et al. Strict blood-pressure control and progression of
renal failure in children. N Engl J Med 2009; 361: 1639–1650
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tatalaksana Sindroma Nefrotik
Idiopatik pada Anak. Edisi kedua. 2012.
21
top related