sindroma nefrotik 1

25
SINDROMA NEFROTIK 1. Definisi Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit / sindrom yang mengenai glomerulus dan ditandai oleh adanya masif proteinuri, hipoalbuminemi dan oedem serta hiperlipidemi / hiperkolesterolemi. Sindrom nefrotik sering terjadi pada anak- anak, dengan perbandingan 15:1 terhadap orang dewasa. Insidensi 2-3/ 100.000 anak per tahun, dan mayoritas adalah bentuk kelainan minimal yang responsif terhadap terapi steroid. Gambaran karakteristik dari sindrom nefrotik meliputi proteinuria berat (>3,5 g/ 24 jam pada dewasa atau 40 mg/m 2 /jam pada anak-anak), hipoalbuminemia (<2,5 g/dL), edema dan hiperlipidemia. 2. Insidensi Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur < 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Umumnya sindrom nefrotik dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin. Insiden tertinggi terjadi pada umur 2-6 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan rasio (1.5-2):1.

Upload: deasy-triviany

Post on 27-Dec-2015

50 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SINDROMA NEFROTIK 1

SINDROMA NEFROTIK

1. Definisi

Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit / sindrom yang mengenai glomerulus dan

ditandai oleh adanya masif proteinuri, hipoalbuminemi dan oedem serta hiperlipidemi /

hiperkolesterolemi. Sindrom nefrotik sering terjadi pada anak-anak, dengan perbandingan

15:1 terhadap orang dewasa. Insidensi 2-3/ 100.000 anak per tahun, dan mayoritas adalah

bentuk kelainan minimal yang responsif terhadap terapi steroid. Gambaran karakteristik dari

sindrom nefrotik meliputi proteinuria berat (>3,5 g/ 24 jam pada dewasa atau 40 mg/m2/jam

pada anak-anak), hipoalbuminemia (<2,5 g/dL), edema dan hiperlipidemia.

2. Insidensi

Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik

primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul sebagai

bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut

sindrom nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per tahun

tiap 100.000 anak berumur < 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000

anak. Umumnya sindrom nefrotik dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis

kelamin. Insiden tertinggi terjadi pada umur 2-6 tahun dan laki-laki lebih banyak dari

perempuan dengan rasio (1.5-2):1.

Pasien sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga kelompok:

a. Kongenital

b. Responsif steroid, dan

c. Resisten steroid

3. Etiologi

Berdasarkan etiologi, sindrom nefrotik pada anak dibagi dalam :

Sindrom nefrotik primer : menunjukkan dimana penyakit terbatas hanya di dalam

ginjal / glomerulus dan etiologinya tidak diketahui (idiopatik) diduga ada

hubungannya dengan genetik, imunologi dan alergi

Page 2: SINDROMA NEFROTIK 1

Sindrom nefrotik sekunder : Menunjukkan di man apenyakit tidak terbatas hanya di

dalam ginjal / glomerulus akan tetapi penyakit berasal dari ekstrarenal atau dengan

perkataan lain mempunyai etiologi khusus, merupakan bentuk yang jarang dijumpai.

Berdasarkan keadaan histopatologi sindrom nefrotik primer dibagi menjadi tipe :

Sindrom nefrotik perubahan minimal

Sindrom nefrotik perubahan nonminimal :

Fokal dan segmental glomeruloskerosis

Membranoproliferatif glomerulonefritis

Proliferasi mesangial difusa

Membranus glomerulonefritis (nefropati)

Sebagian besar anak (90%) dengan sindrom nefrotik memiliki bentuk sindrom nefrotik

idiopatik. Penyebab dari sindrom nefrotik idiopatik meliputi penyakit kelainan minimal

(85%), proliferasi mesangial (5%), dan fokal segmental glomerulosclerosis (10%). Sebagian

kecilnya (10%) anak mengalami sindrom nefrotik sekunder yang berhubungan dengan

penyakit glomerulus seperti nefropati membranosa atau glomerulonefritis

membranoproliferatif. (Vogt & Avner, 2004)

4. Patofisiologi

Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein sehingga terjadi proteinuri adalah

patofisiologi pasti dari sindrom nefrotik. Penyebab peningkatan permeabilitas masih belum

jelas dipahami. Pada penyakit kelainan minimal, hal tersebut dimungkinkan karena terjadinya

disfungsi sel T yang mengakibatkan perubahan pada sitokin sehingga dinding kapiler

glomerulus kehilangan glikoprotein. Pada kelainan fokal segmental glomerulosklerosis yang

berperan adalah faktor plasma yang dihasilkan oleh limfosit. (Vogt & Avner, 2004)

Mekanisme terjadinya edema pada sindrom nefrotik masih belum seluruhnya dimengerti,

namun sebagian besar kelompok berpendapat bahwa kehilangan protein lewat urin

menyebabkan hipoalbuminemia dan lebih lanjut mengakibatkan menurunnya tekanan

onkotik plasma sehingga terjadi transudasi cairan dari intravaskular ke ruang interstitial.

Pengurangan volume intravaskular akan menyebabkan menurunnya tekanan perfusi renal,

teraktivasinya sistem renin-angiotensin-aldosteron yang akan merangsang reabsorpsi sodium.

Penurunan volume intravaskular juga akan merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang

Page 3: SINDROMA NEFROTIK 1

akan memperkuat reabsorpsi air pada tubulus kolektus. Tekanan onkotik plasma yang rendah

mengakibatkan terjadinya pergeseran cairan ke dalam ruang interstitial dan menyebabkan

edema.

Pada tingkat nefrotik, kadar lipid serum (kolesterol, trigliserida) akan meningkat. Hal ini

disebabkan karena hipoalbuminemia menstimulasi sintesa protein di hepar secara umum,

termasuk sintesa lipoprotein. Pada keadaan ini juga terjadi penurunan katabolisme lipid

sebagai akibat dari rendahnya kadar lipoprotein lipase dalam plasma yang berhubungan

dengan hilangnya enzim tersebut melalui urin.

4.1 Proteinuria

Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan permeabilitas membran basalis kapiler-

kapiler glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria

(albuminuria). Mekanisme peningkatan permeabilitas kapiler-kalpiler glomeruli tidak

diketahui jelas. Beberapa faktor yang turut menentukan derajat proteinuria (albuminuria)

sangat komplek. (Sukandar, 1997)

Terdapat 3 macam mekanisme yang menjadi dasar proteinuri :

Hilangnya muatan poliamnion pada dinding kapiler glomerulus.

Adanya perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus.

Adanya perubahan hemodinamik yang mengatur aliran kapiler.

4.1.1 Selektivitas Protein

Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan

dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin

dan disebut sebagai protenuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus yang lain,

keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul besar, dan

jenis proteinuria ini disebut proteinuria non selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat

ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio lgG urin terhadap plasma (BM 150.000)

dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan

adanya proteinuri yang selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umunya berkaitan dengan

KM dan responsif terhadap steroid.

4.1.2 Perubahan pada Filter Kapiler Glomerulus

Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul,

namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini

Page 4: SINDROMA NEFROTIK 1

menunjukkan bahwa kelainan utama pada SNKM ini adalah hilangnya sawar muatan negatif

selektif. Namun pada SN dengan glomerulonefritis proliferatif klirens molekul kecil menurun

dan yang bermolekul besar meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping

hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau

kelainan pada kedua-duanya. (Wirya, 2002)

4.2 Hipoalbuminemia

Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan

pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan

seimbang, laju sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari badan adalah seimbang. Hepar

memegang peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein

baik renal maupun non-renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan

sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra

vaskuler dan intra vaskuler.

Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat hipoalbuminemia

pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini mungkin disebakan beberapa

faktor :

Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (proteinuria) dan usus (protein

losing enteropathy).

Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan

mual-mual.

Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal.

Yang dimaksud dengan hipoalbuminemi pada sindrom mefrotik pada anak adalah bila

kadar albumin plasma kurang dari 30 gr%. Edema pada kebanyakan sindrom nefrotik baru

timbul apabila kadar albumin plasma kurang dari 2.7 gr%. Bila kadar albumin sangat rendah

(<1.2 gr%) akan terjadi hipovolemi berat dengan gejala ”hipotensi ortostatik” berupa sakit

perut, muntah,diare.

4.3 Edema

Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah menurunnya

tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial.

Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan

albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan

Page 5: SINDROMA NEFROTIK 1

onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan

transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial yang

menyebabkan terbentuknya edema.

Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri dalam

peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma

atau sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi

natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan

intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder.

Retensi cairan yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan

mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan

akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini jelas

memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil. Dengan teori

underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap

adanya hipovolemia.

Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya

aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled.

Menurut teori ini retensi nartium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer

dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer

mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi

sebagai akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstisial. Teori overfilled ini dapat

menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron

menurun sekunder terhadap hipervolemia.

4.4 Hiperlipidemia

Pada sindrom nefrotik terdapat peninggian konsentrasi total kolesterol, ”low density” dan

”very low density” lipoprotein sedangkan ”high density” lipoprotein biasanya normal.

Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan kenaikan ini

tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara

konsentrasi albumin serum dan kolesterol.

Hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi

yang menurun. Bukti menunujukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi

lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap

Page 6: SINDROMA NEFROTIK 1

lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kada lipid dapat pula

terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini rupanya

berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas lipase lipoprotein. Apabila

albumin serum kembali normal baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus

albumin, maka umunya kelainan lipid ini menjadi normal kembali.

5. Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang utama dan sering adalah timbulnya oedem yang mendadak, bersifat

umum dan distribusinya berdasarkan daya gravitasi. Oedem periorbital pada saat bangun

tidur biasanya merupakan gejala awal yang hilang setelah siang dan sore hari diagantikan

oleh oedem ekstremitas bawah.

Timbulnya efusi serosa berupa asites atau hidrotoraks. Asites bisa terjadi tanpa adanya

oedem hebat terutama pada anak kecil dan bayi, dimana jaringan interstisial lebih resisten

terhadap pembentukan oedem daripada anak yang lebih besar. Oedem yang hebat di seluruh

tubuh disebut oedem anasarka, dapat disertai oedem skrotal dan oedem vulva. Suatu trauma

kecil pada kulit yang mengalami perenggangan karena oedem, mudah menimbulkan

pecahnya bagian kulit tersebut dan tampak cairan keluar.

Timbulnya oedem mendadak dan pada 30% diawali dengan adanya infeksi virus atau

bakteri, umumnya infeksi saluran nafas. Pada penderita sindrom nefrotik yang mengalami

relaps sebanyak 70% diawali dengan infeksi virus.

Dengan timbulnya oedem, diuresis menjadi berkurang dan tampak kental dan keruh.

Tekanan darah umumnya normal, akan tetapi hipertensi ringan dapat menyertai sebanyak

15%. Kenaikan tekanan darah ini disebabkan adanya pelepasan renin yang tinggi sebagai

respon terhadap hipovolemi.

Sakit perut terjadi pada keadaan hipovolemi hebat dan mendadak, tapi juga bisa

disebabkan oleh adanya peritonitis. Hematuri mikroskopik ”transient” kadang-kadang

ditemukan pada 15% penderita sindrom nefrotik tipe perubahan minimal.

Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya

tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema di mulkosa usus.

Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin

yang meningkat, atau edema atau keduanya.

Page 7: SINDROMA NEFROTIK 1

6. Komplikasi

6.1 Infeksi :

Beberapa sebab yang meningkatkan kerentanan individu terhadap infeksi adalah:

a. Kadar imunoglobulin yang rendah

b. Defisiensi protein secara umum

c. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri

d. Hipofungsi limpa

e. Akibat pengobatan imunosupresif

6.2 Trombosis

Trombosis bisa terjadi pada vena dan arteri, terutama yang mengenai vena besar di hati,

pelvis, ginjal, mesenterika dan pulmonal. Trombose vena renalis merupakan komplikasi

yang relatif sering terjadi pada sindrom nefrotik tipe membranus nefropati. Faktor

penyebab terjadi trombosis adalah :

Hipovolemi : hemokonsentrasi dan hiperviskositas.

Trombositosis.

Peninggian konsentrasi faktor koagulasi plasma : faktor V,VII,VIII,X dan

fibrinogen.

Penurunan konsentrasi antitrombin III plasma.

Peninggian platelet agregasi.

Secara singkat kelainan hemostatik pada SN dapat timbul dari 2 mekanisme yang

berbeda, yaitu:

1. Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan :

a. Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin seperti

antitrombin III, protein S bebas, plasminogen dan -antiplasmin

b. Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,

meningkatnya sintesis prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya

fibrinolisis.

2. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan

monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang

selanjutnya mengakibatkan pembentukkan fibrin dan agregasi trombosit.

Page 8: SINDROMA NEFROTIK 1

6.3 Gagal ginjal akut :

Uremi prerenal ringan sering didapatkan pada sindrom nefrotik dan keadaan ini

berhubungan dengan adanya hipovolemi. Paling sering didapatkan pada sindrom nefrotik

kelainan minimal dan fokal segmental glomerulosklerosis, ditandai dengan adanya oliguri

hebat yang resisten terhadap pemberian diuretik dan pemberian terapi cairan. Penyebab

terjadinya GGA ini belum diketahui pasti, namun ada bukti yang melibatkan hipovolemi

dan iskemi ginjal sehingga terjadi tubulus nekrosis akut dan selanjutnya terjadi oedem

interstisial dan terjadi penginggian tekanan tubulus proksimal dengan akibat penurunan

laju filtrasi glomerulus. Kebanyakan terjadi penyembuhan spontan bila terjadi induksi

diuresis, namun kadang-kadang memerlukan tindakan dialisa.

Terjadinya gagal ginjal sering ditemukan pada pasien SN. Penyebab primer gagal ginjal

akut adalah edema interstitial dengan akibat meningkatnya tekanan tubulus proksimal

yang menyebabkan turunnya LFG.

6.4 Perubahan Hormon dan Mineral

Pada pasien SN berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat hormon

hilang dalam urin. Hilangnya thyroid binding globulin (TBG) dalam urin pada beberapa

pasien SN dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.

Hipokalsemia pada SN disebabkan oleh albumin serum yang rendah sehingga jumlah

kalsium yang terikat menurun, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap.

6.5 Anemia

Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien SN. Anemia hipokrom

mikrositer karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap pemberian

preparat besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah, keadaan anemia

dapat terjadi karena faktor pengenceran. Pada beberapa pasien dijumpai transferin serum

yang sangat menurun karena kehilangan protein tersebut dalam jumlah besar melalui

urin.

Terjadinya gagal ginjal sering ditemukan pada pasien SN. Penyebab primer gagal ginjal

akut adalah edema interstitial dengan akibat meningkatnya tekanan tubulus proksimal

yang menyebabkan turunnya LFG.

7. Laboratorium

Page 9: SINDROMA NEFROTIK 1

7.1 Urine

7.1.1 Proteinuri :

Proteinuri bisa diperiksa secara kualitatif dengan pemeriksaan BANG atau DIPSTIX atau

secara kuantitatif dengan pemeriksaan ESBACH. Kendala pemeriksaan tersebut adalah :

Pada keadaan suhu tubuh meningkat dan setelah olah raga berat dapat dijumpai

proteinuri 30-100 mg% (1+ atau 2+) dan akan kembali normal bila panas turun atau

setelah istirahat.

Pada pemeriksaan DIPSTIX bisa didapatkan hasil positif palsu bila urin dalam

keadaan alkali.

Pada pemeriksaan ESBACH dibutuhkan cara pengumpulan urin 24 jam.

Pengertian proteinuri masif yaitu bila terdapat protein dalam urin : (Singadipoera, 1993)

> 40 mgr/jam/m2, atau

> 50 mgr/24jam/kgBB, atau

Rasio protein kreatinin urin > 2.5

Rasio protein kreatinin urin didapatkan dengan memeriksa utin sewaktu (urin pagi) :

kadar protein urin dan kreatinin urin dalam mgr% dan kemudian dikalkulasikan :

Rasio :

protein urin/mgr %¿kreatinin urin/mgr % ¿

¿¿

Hasil : < 0.15 : normal

>0.2 : abnmormal

>1 : suspek sindrom nefrotik

>2.5 : Diagnostik sindrom nefrotik.

Rasio protein kreatinin ini dapat dipakai sebagai pengganti pemeriksaan kuantitatif

proteinuri (ESBACH).

7.1.2 Protein selektifitas :

Pada sindrom nefrotik perubahan minimal biasanya bersifat selektif yaitu proteinuri

kebanyakan terdiri dari albumin yang mempunyai berat molekul rendah. Bila proteinuri

terdiri dari protein berat molekul tinggi disebut tidak selektif. Selektifitas proteinuri ini

dapat diukur dengan pemeriksaan kadar transferin (berat molekul rendah) dan kadar lgG

(berat molekul tinggi) di dalam urin dan plasma.(Singadipoera, 1993)

Page 10: SINDROMA NEFROTIK 1

Rasio :

( u transferin ) : ( P lg G )( u lgG ) : ( P transferin )

< 0.1 : selektif >0.2 : tidak selektif

Selektif berarti kemungkinan ke arah sindrom nefrotik perubahan minimal, dan bersifat

steroid sensitif : sedang tidak selektif berarti kemungkinan ke arah sindrom perubahan

non-minimal dan bersifat tidak steroid sensitif.

7.1.3 Kelainan sedimen urin

Urin mengandung benda-benda lemak dan kolesterol ester, terlihat sebagai meltese-cross

dengan sinar polarisasi. Pengecetan dengan Sudan III memperlihatkan red droplet.

Hematuria mikroskopis disetai silinder eritrosit sering ditemukan pada semua bentuk

glomerulonefritis yang menyebabkan sindrom befrotik. Kelainan-kelainan sedimen urin

lebih sering ditemukan pada glomerulonefritis proliferatif (GP) dari pada lesi minimal.

Silinder titik kasar lebih sering ditemukan pada glomerulonefritis proliferatif daripada

glomerulonefritis membranos atau minimal.

7.1.4 Hematuri

Biasanya hematuri tidak ditemukan namun pada 15% penderita sindrom nefrotik

perubahan minimal bisa terdapat hematuri mikroskopik sementara. Adanya hematuri

mikroskopik yang terus-menerus disertai dengan adanya eritrosit cast dan granuler cast

merupakan petunjuk penyebab kronik glomerulonefritis atau adanya trombossis vena

renalis.

7.2 Darah

7.2.1 Protein plasma (hipoalbuminemi)

7.2.2 Hiperlipoproteinemi

Kenaikan lipid serum sudah lama diketahui pada pasien sindrom nefrotik. Kenaikan

kolesterol total serum dapat mencapi 400-600 mg% dan lipid 2-3 gram%. Pada

umumnya terdapat hubungan terbalik antara konsentrasi albumin serum dengan

konsentrasi kolesterol total serum. Penurunan konsentrasi albumin serum disertai

kenaikan konsentrasi kolesterol total serum. Kenaikan konsentrasi kolesterol total

serum biasanya telah menunjukkan kenaikan konsentrasi lipoproptein,

hiperlipoproteinemi.

Page 11: SINDROMA NEFROTIK 1

Konsentrasi HDL menunjukkan kenaikan sedang pada pasien sindrom nefrotik

ringan, tetapi cenderung menurun dan tidak jarang konsentrasinya dibawah normal

bila sudah terdapat hipoalbuminemi berat. Konsentrasi LDL dan VLDL meninggi

pada permukaan penyakit. Bila sudah terdapat hipoalbuminemi berat, konsentrasi

LDL akan menurun lagi sampai batas normal atau lebih rendah dari normal.

Konsentrasi VLDL akan meninggi dan normal.

7.2.3 Perubahan protein serum

Hipoproteinemia terutama disebabkan penurunan konsentrasi albumin tidak jarang

kurang dari 1 gram%. Globulin serum cenderung normal atau sedikit meninggi. Bila

sudah terdapat kerusakan berat dari glomerulus, biasanya proteinuria non selektif dan

gamma globulin dapat lolos melalui urin. Gamma globulin seringkali meninggi, beta

globulin dan fibrinogen cenderung meninggi juga. Semua fraksi ini akan kembali

normal setelah mendapat pengobatan yang adekuat.

7.2.4 Ureum, kreatinin dan elektrolit :

Konsentrasi ureum dan kreatinin plasma biasanya normal, kadang-kadang sedikit

meninggi akibat hipovolemi dan gangguan perfusi ginjal (prerenal azotemi). Pada

kronik glomerulonefritis dapat menimbulkan penurunan fungsi ginjal / gagal ginjal.

Elektrolit umumnya normal, kadang-kadang dijumpai hiponatremi akibat hemodilusi

atau gangguan diuretik hebat pada keadaan hipovolemi.

7.4 Sinopsis gambaran laboratorium sindrom nefrotik (Sukandar, 1997)

7.4.1 Darah

Albumin : kurang dari 2.5 gram%

2 globulin : meninggi

Fibrinogen : meninggi

Globulin : bervariasi

Komplemen : bervariasi tergantung etiologi

Kolesterol & lipid : meninggi bila hipoalbuminemia berat

Normal pada glomerulopati diaberik dan glomerulopati

lupus

Natrium & Kalium : umumnya normal, hipoakalemia disebabkan

aldosteronisme sekunder, diuretika, hiponatremia umumnya sekunder dari diuretika.

Page 12: SINDROMA NEFROTIK 1

Kalsium : hipokalsmia ringan

Ureum & kreatinin : tergantung dari lesi histopatologis

Volume darah : menurun 10-20%

Faktor pembekuan : beberapa faktor pembekuan naik

Hemoglobin : biasanya normal kecuali telah terjadi penurunan faal

ginjal berat.

Jumlah lekosit : normal

Jumlah trombosit : mungkin meninggi

LED : meninggi

7.4.2 Urin

Volume : cenderung oliguri

Proteinuria : 5-30 gram / hari

Sedimen : sel-sel, silinder, benda lemak

Elektrolit : Natrium menurun sampai 0

Kalium meninggi

Kalsium menurun

7.4.3 Faal ginjal LFG : biasanya normal atau turun ringan

7.4.4 Radiologi : kedua ginjal membesar, mungkin disertai

kompresi kalises akibat dari sembab

intrarenal.

8. Terapi

Pengobatan sindrom nefrotik idiopati semata-mata simptomatis untuk mengurangi /

menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia dan mengatasi maupun

mencegah macam-macam penyulit. Pengobatan simtomatis baru berhasil bila memahami

dasar-dasar patofisiologi sindrom nefrotik.

Tabel . Prinsip pengobatan sindrom nefrotik

Patofisiologi Pengobatan

1. Kerusakan glomerulus Imunosupresif, antikoagulan, anti agregasi

trombosit

2. Kehilangan protein Diit kaya protein hewan

Page 13: SINDROMA NEFROTIK 1

3. Hipoalbuminemia dan

penurunan tekanan

onkotik

Infus salt poor human albumin

3. Sekresi aldosteron Diuretik spironolakton

5. Retensi natrium dan

air

Diuretik furosemid, diit miskin garam

6. Sembab yang resisten Drainage, ultrafiltrasi

8.1 Dietetik :

Secara tradisional sejak dahulu pada penderita sindrom nefrotik diberikan diet protein

tinggi dan rendah garam, dengan harapan dapat meningkatkan sintesa albumin. Pada anak

normal protein diberikan sebanyak 3-3,5 gr/kgBB/hari. Pada sindrom nefrotik tidak

direkomendasikan pemberian protein di atas jumlah tersebut, karena ada bukti-bukti bahwa

pemberian protein tinggi malah dapat mempercepat terjadi gagal ginjal pada penyakit yang

kronis.

Pada saat terjadinya akumulasi oedem, ekskresi natrium kurang dari 5 mEq/hari, dan bila

penderita diberi natrium 50mEq/hari dapat menaikkan berat badan sebanyak ± 1 kg tiap hari.

Di lain pihak diet rendah garam dapat menimbulkan kehilangan nafsu makan dan hanya

mampu menurunkan oedem. Oleh karena itu bila dengan diet rendah garam anak kehilangan

nafsu makan, masih direkomendasikan diberikan makan dengan diet garam normal, akan

tetapi tanpa garam di atas meja atau makanan asin lainnya (telur asin, kecap asin, ikan asin,

dsb.). Sebaiknya sebanyak kurang dari 35% kalori berasal dari lemak untuk mencegah

obesitas selama terapi steroid, dan mengurangi hiperkolesterolemi.

8.2 Albumin dan Diuretik

Pada sindrom nefrotik responsif, cara yang cukup efektif untuk menghilangkan oedem

hebat yaitu dengan pemberian albumin (”salt poor human albumin”, suatu larutan 25%

dengan kadar natrium 130-160 mEq/L). Namun demikian, mengingat risiko pemberian

albumin ini sangat besar, yaitu bisa menimbulkan hipertensi, udem paru dan ”overload”,

maka pemberian albumin harus lebih selektif, yaitu hanya diberikan apabila :

1. Ada penurunan volume darah hebat (hipovolemi hebat) dengan gejala postural

hipotensi, sakit perut, muntah dan diare.

Page 14: SINDROMA NEFROTIK 1

2. Sesak dan oedem hebat disertai oedem pada skrotum/labia.

Dosis albumin adalah 0,5-1 gr/kgBB i.v., diberikan dalam beberapa jam (2-4 jam), diikuti

oleh pemberian furosemid 1-2 mg/kgBB/i.v.

Bisa diberikan sehari 2 kali dan bila diperlukan bisa diberikan dalam beberapa hari.

Pemberian diuretik pada sindrom nefrotik sering tidak efektif karena keadaan hipovolemi

akibat penurunan kadar albumin, kalaupun efektif sangat berbahaya bila diberikan secara

agresif, karena :

1. Sering terjadi pecahnya pembuluh darah serebral dan trombosis vena besar akibat

penurunan protein anti trombin.

2. Mempercepat terjadinya hiponatremi (bersama-sama dengan diet rendah garam),

hipokalemi dan gagal ginjal.

Oleh karena itu bila pada sindrom nefrotik diberikan diuretik, harus disertai restriksi cairan,

karena bila banyak cairan akan memperberat hiponatremi (dilusi hiponatremi), dan untuk

oedem ringan dan sedang sebaiknya digunakan klorotiazid dengan dosis 20 mg/kgBB/hari

atau hidroklorotiazid (HCT) dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.

8.3 Kortikosteroid

1. Sebelum pemberian kortikosteroid perlu dilakukan pemeriksaan skrining untuk

menentukan ada tidaknya TBC. Pengertiannya adalah bila untuk pemeriksaan tersebut

digunkan tes PPD, maka kortikosteroid baru diberikan bila pembacaan reaksi PPD

sudah selesai dan bila kemudian disimpulkan adanya TBC, maka pengobatan

antiberkulostatika diberikan bersama-sama kotikosteroid.

2. Obat golongan kortikosteroid yang dipakai adalah prednison dan prednisolon.

3. Rezim pengobatan dengan Prednison, secara luas dipakai standar ISKDC

(Internasional Study of Kidney Disease of Childern), yaitu :

a. 4 minggu pertama : Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (± 2 mg/kgBB) dibagi

dalam 3-4 dosis se-hari. Dosis ini diteruskan selama 4 minggu (28 hari) tanpa

memperhitungkan adanya remisi atau tidak (maksimum 80 mg/hari).

b. 4 minggu kedua : Prednison diteruskan dengan dosis 40 mg/m2/hari, diberikan

dengan cara :

`Interminent` : 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu dengan dosis tunggal

setelah makan pagi.

Page 15: SINDROMA NEFROTIK 1

`Alternate` : selang sehari dengan dosis tunggal setelah makan pagi.

c. ”Tapering-off” : Prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu : 30 mg, 20

mg, 10 mg/m2/hari, diberikan secara ”interminent” atau ”alternate”.

4. Bila terjadi ”relaps”, pengobatan diulangi dengan cara yang sama.

8.4 Pengobatan alternatif :

Pada sindrom netrofik `frequent relaps` atau `steroid dependent` mempunyai risiko

terjadinya toksisitas steroid karena seringnya mendapat dosis tinggi steroid (Prednison/

Prednisolon), yaitu berupa gangguan pertumbuhan, hipertensi, ”cushingoid” dan perubahan

sikap.(Singadipoera, 1993)

1) Siklofosfamid : dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal, diberikan selama 8-12

minggu. Diberikan bersama-sama dengan Prednison dengan dosis 40 mg/m2/hari

secara `alternate`. Hati-hati dengan efek samping siklofosfamid, periksa leukosit tiap

minggu, bila leukosit < 3000/mm3, siklofosfamid harus dihentikan sementara,

dilanjutkan lagi bila leukosit > 5000/mm3.

2) Klorambusil : 0,15-0,2 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.

3) Nitrogen mustard : 0,1 mg/kgBB/hari/i.v. selama 4 hari berturut-turut ditambah

Prednison 40 mg/kgBB/hari, dosis `alternate` untuk 5 dosis.

4) Siklosporin A : Dosis 4-5 mg/kgBB/hari, diberikan paling sedikit selama 1 tahun.

5) Levamisol : Suatu obat cacing (ascaridil) yang mempunyai efek imunologik stimulasi

T-sel. Dosis 2-3 mg/kgBB/hari diberikan selang sehari selama 6-18 bulan.

6) Obat-obatan lain yang masih dalam pengamatan :

ACE inhibitor, Azatioprin, Vinkristin, Dipiridamol

9. Prognosis

Prognosis sindrom nefrotik tergantung dari beberapa faktor : umur, jenis kelamin, penyulit-

penyulit, saat pengobatan, dan macam kelainan histopatologis ginjal.

Prognosis sindrom netrofik pada umur muda atau anak-anak dan wanita lebih baik dari

pada umur tua atau dewasa dan laki-laki.

Makin awal terdapat penyulit gagal ginjal dan hipertensi, prognosisnya makin buruk.

Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbul gambaran klinis mempunyai

prognosis buruk.

Page 16: SINDROMA NEFROTIK 1

Glomerulopati lesi minimal (GLM) mempunyai prognosis baik, lebih sering terjadi remisi

spontan terutama pada anak-anak. Hanya sebagian kecil pasien GLM memperlihatkan

progresivitas dan terjun menjadi glomerulosklerosis fokal yang mempunyai prognosis lebih

buruk terutama bila dijumpai sel-sel busa (foam cell). Glomerulopati membranos (GM)

memperlihatkan perjalanan penyakit progresif lambat dengan penurunan faal ginjal makin

lama makin berat. Penyembuhan dengan prednison lebih banyak dari pada tanpa prednison.

Glomerulosklerosis fokal (GF) mempunyai prognosis buruk dengan progresivitas yang

bervariasi, tidak memperlihatkan respon terhadap prednison. Prognosis paling buruk dan

diakhiri oleh gagal ginjal sering dijumpai pada glomerulonefritis proliferatif atau

mesangiokapiler.