presentasi kasus anastesi
Post on 31-Jul-2015
321 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Presentasi KasusPENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA
PERITONITIS GENERALISATA ET CAUSA
SUSPECT PERFORASI GASTER
Disusun oleh :
Retno Esti Respati Wirandari
G 0002128
Pembimbing :
dr. MH. Sudjito, Sp.An.KNA
KEPANITERAAN KLINIK
LAB / SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAK. KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2008
KATA PENGANTARPuji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga presentasi kasus
dengan judul “PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM PADA
PERITONITIS GENERALISATA ET CAUSA SUSPECT PERFORASI
GASTER” dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di SMF Anestesiologi dan Reanimasi di FK UNS / RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. St. Mulyata, SpAnKIC, selaku kepala bagian Anestesi dan
Reanimasi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
2. dr. MH. Sudjito, SpAn,KNA selaku pembimbing.
3. dr. Soemartanto, SpAn.KIC, selaku staf ahli anestesi.
4. dr. Purwoko, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
5. dr. Sugeng Budi Santosa, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
6. dr. Benny Suryo Sudibyo, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
7. dr. H. Marthunus Judin, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
8. dr. R. TH. Supraptomo, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
9. dr. Eko S, SpAn, selaku staf ahli anestesi.
10. Seluruh staf dan paramedis yang bertugas di bagian anestesi RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
11. Semua pihak yang telah membantu selama penulisan laporan ini.
Saran dan kritikan kami harapkan demi perbaikan laporan ini. Akhirnya
penyusun berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan
semua pihak yang berkepentingan.
Surakarta, Agustus 2008
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………i
KATA PENGANTAR…………………………………………………… ii
iiDAFTAR ISI……………………………………………………………… iii
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………… 3
BAB III. LAPORAN KASUS………………………………………… 18
BAB IV. PEMBAHASAN……………………………………………… 26
BAB V. KESIMPULAN……………………………………………… 28
DAFTAR PUSTAKA
iiiBAB I
PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu kedokteran dewasa ini khususnya bidang pembedahan tidak
terlepas dari peran dan dukungan kemajuan bidang anestesiologi. Dokter spesialis
bedah sehari – hari sekarang dapat melakukan pembedahan yang luas dan rumit
pada bayi baru lahir sampai orang tua dengan kelainan yang berat, melakukan
pembedahan jantung, transplantasi berbagai organ tubuh, yang berlangsung
berjam-jam dengan aman tanpa rasa sakit sedikitpun adalah akibat dukungan
tindakan anestesi yang canggih.
Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu
tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2)
anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversible yang disebabkan
oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian
besar operasi ( 70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan
anestesi lokal / regional.
Dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap
yang harus dilaksanakan yaitu tahap pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi
dan pemeliharaan, serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan
keberhasilan suatu anestesi. Hal yang penting dalam tahap ini adalah : (1)
menyiapkan pasien, yang meliputi riwayat penyakit pasien, keadaan umum
pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan teknik, obat-obat, dan macam anestesi
yang digunakan, (3) memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang timbul
pada waktu pelaksanaan anestesi dan komplikasi yang timbul pasca anestesi.
1Tahap pelaksanaan anestesi meliputi premedikasi, induksi, dan
pemeliharaan. Obat-obat yang diberikan dapat berupa obat inhalasi atau intravena,
sampai stadium anestesi dikehendaki. Perlunya pemantauan pada tahap ini yaitu
pernafasan, sirkulasi, dan kedalaman anestesi, dilakukan secara berkala dan terus-
menerus untuk menghindari penyulit atau komplikasi yang dapat terjadi.
Pada tahap pemulihan, pengawasan ketat masih harus dilakukan, sampai
penderita benar-benar pulih dan cukup stabil untuk dipindah ke bangsal.
BAB II
2TINJAUAN PUSTAKA
A. PERITONITIS GENERALISATA
Hampir semua kelainan abdomen yang bersifat akut memerlukan
pembedahan sebagai upaya untuk diagnosis dan terapi. Pada kasus ini diperlukan
tindakan laparatomi explorasi mengingat dari temuan pemeriksaan fisik
didapatkan defans muskuler, nyeri tekan yang meluas, distensi perut, lekositosis
yang mendukung ke arah peritonitis generalisata. Pada setiap upaya pembedahan
diperlukan anestesi sebagai upaya untuk menghilangkan nyeri. Untuk melakukan
anestesi dengan aman salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah
mengetahui kasiat, efek samping dan cara kerja obat anestesi.
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu
hilangnya rasa sakit di seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat
sementara dan reversible yang diakibatkan oleh obat anestesi. Dalam memberikan
obat – obat pada penderita yang akan menjalani operasi maka perlu diperhatikan
tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance dan lain – lain.
B. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali ( reversible ). Komponen anestesi
yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Pada kasus ini
anestesi yang digunakan adalah anestesi umum.
Tanda-tanda klinis anesthesia umum (menggunakan zat anestesi yang
mudah menguap, terutama diethyleter) menurut Guedel, dengan teknik open drop:
- Stadium I : analgesia dari mulanya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran. Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya
pembedahan kecil yang dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini
berakhir ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata.
- Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
- Stadium III : stadium pembedahan, dari mulai respirasi teratur hingga
berhentinya respirasi. Dibagi 4 plane yaitu :
3Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur
thoracoabdominal, anak mata terfiksasi kadang – kadang
eksentrik, pupil miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi
meningkat, reflek faring dan muntah negative, tonus otot mulai
menurun.
Plane 2 : ventilasi teratur. Abdominothoracal, volume tidal
menurun, frekuensi nafas meningkat, anakmata terfiksasi di
tengah, pupil mulai midriasis, reflek cahaya mulai menurun
dan reflek kornea negative.
Plane 3 : ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena
terjadi kelumpuhan saraf interkostal, lakrimasi tidak ada, pupil
melebar dan sentral, reflek laring dan peritoneum negative,
tonus otot makin menurun.
Plane 4 : ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena
otot diafragma lumpuh yang makin nyata pada akhir plana,
tonus otot sangat menurun, pupil midriasis dan reflek sfingter
ani dan kelenjsar air mata negative.
- Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralisis diafragma hingga
cardiac arrest.
1. PERSIAPAN PRA ANESTESI
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut.
Adapun tujuan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan
pemeriksaan lain..
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi
yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American
Society Anesthesiology)
4ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris.
Angka mortalitas 2%
ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%
ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian / live style terbatas. Angka
mortalitas 38%
ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan
operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%
ASA V pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi.
Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E.
1. PREMEDIKASI ANESTESI
Dewasa ini dengan kemajuan teknik anestesi, tujuan premedikasi
bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-
obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien
sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah pemberian obat
sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. memberikan analgesia, misal pethidin
5. mencegah muntah, misal : droperidol
6. memperlancar induksi, misal : pethidin
57. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas
atropin.
9. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas
atropin dan hiosin
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,
derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan
sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
1. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
2. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal
diazepam dan midazolam.
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
5. Antihistamin, misal prometazine.
6. Antasida, misal gelusil.
7. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine.
Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam
pemakaian sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan, misalnya kombinasi narkotik,
benzodiazepin, dan antikolinergik.
Obat premedikasi yang digunakan dalam kasus ini adalah:
a. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik.
Terhadap SSP, atropin merangsang medulla oblongata dan
pusat lain di otak. Dalam dosis 0,5 mg atropin merangsang N vagus
6dan menurunkan frekuensi jantung. Pada dosis yang besar sekali
atropin menyebabkan depresi nafas, eksitasi, disorientasi, delirium,
halusinasi, dan perangsangan lebih jelas di pusat yang lebih tinggi.
Lebih lanjut dapat terjadi depresi dan paralisis medulla oblongata.
Terhadap saluran nafas. Atropin mengurangi sekresi hidung,
mulut, faring, dan bronkus.
Terhadap system kardiovaskuler. Pengaruh atropin terhadap
jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang sering
digunakan, frekuensi jantung menurun, mungkin disebabkan karena
perangsangan nukleus nervus vagus. Bradikardi biasanya tidak nyata
dan tidak disertai perubahan tekanan darah atau curah jantung.
Terhadap saluran cerna. Atropin bersifat menghambat
peristaltik lambung dan usus serta mengurangi sekresi liur dan
lambung.
Saluran kemih. Saluran kemih ini dipengaruhi oleh atropin
dalam dosis yang agak besar (kira-kira 1 mg), yang akan menyebabkan
retensi urin yang disebabkan oleh relaksasi muskulus detrusor dan
konstriksi sfingter uretra.
Efek samping atau toksik pada orang muda adalah mulut kering,
gangguan miksi, dan meteorismus. Pada orang tua terjadi efek sentral
terutama sindrom demensia. Efek samping lain bisa juga timbul muka
merah yang disebabkan efeknya terhadap vasodilatasi pembuluh darah.
Sediaan : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.
Dosis : 0,01-0,02 mg/ kgBB.
Pemberian : SC, IM, IV
b. Pethidin
Merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya, depresi
nafas dan efek sentral lain. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah
pemberian SC atau IM, tapi masa kerja lebih pendek. Dosis toksik
menimbulkan perangsangan SSP misal tremor, kedutan otot dan
konvulsi. Pada saluran nafas, akan menurunkan tidal volume sedang
7frekuensi nafas kurang dipengaruhi sehingga efek depresi nafas tidak
disadari. Secara sistemik menimbulkan anestesi kornea dengan akibat
hilangnya refleks kornea. Obat ini juga meningkatkan kepekaan alat
keseimbangan sehingga menimbulkan mual, muntah dan pusing pada
penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat baring, obat ini
tidak mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tapi penderita berobat
jalan dapat timbul sinkop orthostotik karena hipotensi akibat
vasodilatasi perifer karena pelepasan histamin.
Absorbsi pethidin berlangsung baik pada semua cara pemberian.
Pada pemberian IV kadarnya dalam darah akan turun cepat 1-2 jam
pertama. Pethidin dimetabolisme di hati dan dikeluarkan lewat ginjal
sekitar 1/3 dosis yang diberikan.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi,
mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan
pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan ,
dan dapat diantagonis dengan naloxon.
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc
Dosis : 1-2 mg/ kgBB
Pemberian : IV, IM,SC
1. INDUKSI
DI-ISOPROPYL PHENOL ( PROPOFOL, DIPRIVAN )
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi
10% minyak kedelai, 2,25% gliserol, dan 1,2 % phosphatide telur.
Pemberian intravena propofol (2 mg/kg BB) menginduksi
anestesi secara cepat seperti tiopental. Rasa nyeri kadang-kadang
terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai dengan phlebitis atau
trombosis.
Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemik otot jantung.
Sesudah pemberian Propofol IV terjadi depresi pernapaasan sampai
apnea selama 30 detik. Hal ini diperkuat dengan premedikasi dengan
opiat.
8Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke
otak, metabolisme otak dan tekanan intrakanial akan menurun. Tak
jelas adanya interaksi dengan obat pelemas otot. Keuntungan Propofol
karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi
yang minimal. Terjadi mual, muntah dan sakit kepala mirip dengan
thiopental.
Cepatnya induksi dan pemulihan dari anestesi berguna dalam
pasien rawat jalan yang memerlukan prosedur yang cepat dan singkat.
Sediaan : dalam ampul, 200mg/20cc
Dosis : 1,5-2,5 mg/kg BB
Pemberian : IV
2. PEMELIHARAAN
Obat anestesi maintenance yang digunakan dalam kasus ini adalah:
a. Halothane
Merupakan cairan yang tidak berwarna, berbau enak serta tidak
merangsang / iritasi, mudah menguap (volatile), tidak mudah
meledak atau terbakar, tidak bereaksi dengan soda lime absorber,
mudah diuraikan oleh cahaya karena itu harus disimpan dalam botol
berwarna gelap (ambard). Merupakan obat anestesia yang potent,
kekuatan 4-5 kali eter atau 2 kali kloroform. Overdosis relatif
mudah terjadi dengan gejala kegagalan pernafasan dan sirkulasi
yang dapat menyebabkan kematian. Efek terhadap SSP sama
dengan obat anestesia lain pada umumnya yaitu mendepresi kortek
serebral dan medulla. Pengaruhnya terhadap kardiovaskular adalah
vasodilatasi yang menimbulkan hipotensi dan bradikardi. Uap
halothane tidak menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan
karenanya induksi mudah dicapai tanpa batuk-batuk atau eksitasi.
Halothane mendepresi pernafasan yang pada tingkat permulaan
menyebabkan pernafasan lebih cepat (takipnu) dan dangkal, dan
pada stadium lebih dalam dapat timbul gagal nafas (henti nafas).
9Halothane juga mempunyai efek relaksasi yang moderat terhadap
sistem otot.
Dosis : dosis induksi 2-4%, dosis pemeliharaan 0,5-2%
Pemberian : inhalasi
b. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
1. OBAT PELUMPUH OTOT
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat
ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi ,
misal kurarin.
Dalam anestesi umum , obat ini memudahkan dan menguragi cedera
tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang
dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.
2 golongan obat pelumpuh otot yaitu :
10a. Depolarisasi.
- Ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan antikolinesterase
- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan
tunggal atau tetanik
- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh
otot non depolarisasi dan asidosis
- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)
b. Non depolarisasi
- Tidak ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik
inhalasi, eter, halothane, enfluran, isoflurane
- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan
tunggal atau tetanik
- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium
bromida), norkuron (pankuronium bromida), esmeron
(rokuronium bromida).
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atrakurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat
terdahulu antara lain adalah :
• Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu
reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
• Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.
• Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna
11Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada
suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada odsis yang dipakai. Pada
umumnya mula kerja atrakurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedangkan
lama kerja atrakurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.
Pemulihan fungsi syaraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama
kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.
Atrakurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan
penyakit jantung, hati, dan ginjal yang berat.
6. ANTAGONIS PELUMPUH OTOT
Neostigmin Metil Sulfat ( Prostigmin )
Merupakan antikolinesterase yang mencegah hidrolisis dan menimbulkan
akumulasi asetilkholin. Obat ini mengalami metabolisme oleh kolinesterase serum
dan bentuk utuh obat sebagian diekskresi melalui ginjal. Mempunyai efek
nikotinik, muskarinik dan stimulan otot langsung. Efek muskarinik antara lain
bradikardi, hiperperistaltik, dan spasme saluran cerna, pembentukan sekret jalan
nafas dan kelenjar liur, bronkospasme, berkeringat, miosis dan kontraksi vesika
urinaria. Dosis 0,5 mg bertahap hingga 5 mg. Biasanya diberikan bersama – sama
dengan atropin dosis 1 – 1,5 mg.
7. INTUBASI TRAKEA
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan
nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.sedangkan
ekstubasi trakea adalah tindakan pengeluaran pipa endotrakeal. Intubasi trakea
bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
122. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi intubasi trakea adalah: tindakan resusitasi, tindakan anestesi,
pemeliharaan jalan nafas, dan pemberian ventilasi mekanis jangka panjang.
Komplikasi tindakan intubasi trakea dapat terjadi saat dilakukannya
tindakan laringoskopi dan intubasi, selama pipa endotrakeal dimasukkan, dan
setelah ekstubasi.
C. TERAPI CAIRAN
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk :
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang
hilang selama operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena
terapi yang diberikan, misalnya terapi dengan menggunakan diuretic.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena pemasukan kurang, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, adanya fistula enterokutan, penumpukan
cairan pada ruang ketiga (ruang ekstra sel yang tidak berfungsi), seperti
pada ileus obstriktif, peritonitis.
Defisit cairan ekstra sel yang terjadi dapat diduga dengan berat
ringannya dehidrasi yang terjadi. Dehidrasi ringan ( defisit cairan ekstrasel
sesuai dengan 4% dari berat badan ), dehidrasi sedang ( defisit cairan
ekstrasel sesuai dengan 6% dari berat badan ), dan dehidrasi berat ( defisit
cairan ekstrasel sesuai dengan 8% dari berat badan ).
13Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 1
0
Celcius kebutuhan cairan bertambah
10-15%.
Cairan yang diberikan bisa berupa cairan elektrolit (ringer laktat,
NaCl 0,9%), kalau perlu diberikan cairan koloid.
Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler,
tanda rehidrasi telah tercapai ialah dengan adanya produksi urin 0,5-1 ml/
kg BB/ jam
2. Selama operasi
Pada pemberian cairan selama pembedahan, harus diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Kekurangan cairan pra bedah
b. Kebutuhan untuk pemeliharaan
c. Bertambahnya “insensible loss karena suhu kamar bedah yang
tinggi, dan hiperventilasi.
d. Terjadinya translokasi cairan pada daerah operasi ke dalam ruang
ketiga.
e. Terjadinya perdarahan.
Defisit cairan karena puasa, 50% nya diberikan pada jam I, 25%
nya pada jam kedua, dan 25% nya lagi pada jam ketiga.
Cairan yang diberikan ringer laktat dalam dekstrose 5%, atau
ringer laktat.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
f. Ringan= 4 ml/kgBB/jam.
g. Sedang= 6 ml / kgBB/jam
h. Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali
volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran / darah dengan
dosis 1-2 kali darah yang hilang.
1. Setelah operasi
14Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
D. PEMULIHAN
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Pasien yang dikelola adalah
pasien pasca anestasi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar
dimonitor jalan nafasnya apakah bebas ataukah tidak, ventilasinya cukup atau
tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain obstruksi jalan nafas
karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme laring, pasca bedah dini
juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan aspirasi. Monitor kesadaran
merupakan hal yang penting karena selama pasien belum sadar dapat terjadi
gangguan jalan nafas. Sadar yang berkepanjangan adalah akibat dari pengaruh
sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan hiperkarbi. Hipoksia dan
hiperkarbi terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi.
Menggigil yang terjadi pasca bedah adalah akibat efek vasodilatasi obat anestesi.
Menggigil akan menambah beban jantung dan sangat berbahaya pada pasien
dangan penyakit jantung.
Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan
ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang
disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
15BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PENDERITA
1. No. CM : 910322
2. Nama : Tn. J
3. Umur : 65 tahun
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Alamat : Masaran, Sragen
6. Diagnosa Preoperatif : Peritonitis Generalisata et causa suspect
Perforasi Gaster
7. Diagnosa Postoperatif : Peritonitis Generalisata et causa Perforasi
Hollow viscus
8. Macam Operasi : Laparatomi eksplorasi
9. Macam Anestesi : General anestesi (Anestesi umum)
10. Tanggal Masuk : 11 Agustus 2008
11. Tanggal Operasi : 11 Agustus 2008
A. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI
1. Anamnesa
a. Keluhan utama : Nyeri di seluruh lapang perut
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 16 jam sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluhkan
nyeri di seluruh lapang perut yang terus-menerus, awalnya nyeri
dirasakan di ulu hati, lama-kelamaan meyebar ke seluruh lapang perut.
Nyeri tidak menjalar, nyeri bertambah bila penderita berjalan dan
makan makanan. Nyeri disertai mual, namun tidak muntah, demam (-).
Buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan. Karena nyeri
yang semakin bertambah penderita langsung dibawa ke RSUD Dr
Moewardi Solo.
16c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat nyeri perut kanan bawah : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat asma dan penyakit paru : (-)
Riwayat sakit jantung : (-)
Riwayat alergi obat dan makanan : (-)
1. Pemeriksaan fisik:
Keadaan Umum : lemah, compos mentis, gizi kesan kurang
Tensi : 110 / 70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Suhu Axiler : 37,2 °C
Respirasi : 28 x/menit
Berat badan : 55 kg
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-), gigi goyah / palsu (-)
Telinga : sekret (-), pendengaran baik
Leher : glandula thyroid di tengah, pembesaran limfonodi
(-), JVP tidak meningkat, deviasi trakea (-)
Thorax : retraksi (-)
Pulmo I : Pengembangan paru kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor - Sonor
A: Suara dasar : vesikuler (+/+)
Suara tambahan : wheezing (-)
Jantung I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak
melebar
17A : Bunyi jantung I-II intensitas
normal, reguler, bising (-)
Abdomen : I : Dinding perut > dinding dada, distended (+), darm
contour (-), darm steifung (-)
P : Nyeri tekan (+) seluruh lapang perut, defans muskuler
(+), hepar dan lien tak teraba
P : Hipertimpani (+)
A : peristaltik (+) ↓ , metalik sound (-), borborigmi (-)
Ekstremitas : oedem (-), akral dingin (-)
Rectal Toucher : TMSA dbn, mukosa licin, ampula tidak kolaps,
massa (-), nyeri tekan (+) di seluruh lapangan
pemeriksaan, prostat tidak membesar, STLD (-),
feses (-).
2. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium Darah :
Hb : 11,5 g/dl
Hct : 34,4 %
AE : 3,79.106
/uL
AL : 4.700 /uL
AT : 323.000 /uL
Gol.darah : B
PT : 14,3 detik
APTT : 25,1 detik
GDS : 78 mg/dl
Ureum : 51 mg/dl
Kreatinine : 1,1 mg/dl
Protein total : 6,4 mg/dl
Albumin : 3,5 g/dl
Natrium : 146 mmol/L
Kalium : 3,7 mmol/L
Clorida : 112 mmol/L
3. Kesimpulan
Pasien seorang laki-laki, usia 65 tahun, dengan keluhan utama
nyeri di seluruh lapang perut, dan didiagnosa : Peritonitis generalisata et
causa suspect perforasi gaster. Dari pemeriksaan fisik didapatkan : Vital
Sign : tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi rate
28x/menit, suhu axiller 37,2o
C, BB 55 kg. Cor dan pulmo dalam batas
18normal, abdomen: didapatkan nyeri tekan di seluruh lapang perut, defans
muskuler (+), peristaltik menurun.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb 11,5 g/dl,
Hct 34,4 %, AL 4.700 uL, AT 323.000 uL, GDS 78 mg/dl, Ureum 51
mg/dl, Kreatinine 1,1 mg/dl, Natrium 146 mmol/L, Kalium 3,7 mmol/L,
ion Clorida 112 mmol/L. Akan dilakukan Laparatomi eksplorasi dengan
General Anestesi.
Kelainan sistemik : (-), Kegawatan bedah : (+), Status fisik : ASA
II E.
B. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Suhu tubuh pasien di bawah 38
0
C
c. Puasa > 6 jam atau pasang NGT
d. Pasang I.V. line
e. Oksigenasi 3 L / menit
f. Infus RL , NaCl
g. Koreksi cairan hingga produksi urine 0,5-1 cc/kgBB/jam
h. Whole Blood 2 kolf
i. Konsul ICU untuk pengelolaan post op
2. Jenis anestesi : General Anestesi
3. Teknik anestesi : Semi closed inhalasi dengan Endotracheal Tube no
7,5 respirasi terkontrol
4. Premedikasi : Sulfas Atropin 0,25 mg iv, Pethidin 50 mg iv,
Metoclopramid 10 mg iv, Miloz 3 mg iv,
Ketorolac 30 mg iv
5. Induksi : Propofol 100 mg I.V, Succinyl choline 60
mg I.V
6. Maintenance : N20 : 02 = 2 L : 3 L
Sevoflurane 2 - 4 vol %
7. Pelumpuh otot : Atracurium 30 mg I.V
19 Maintenance 10 mg I.V
8. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman anestesi, cairan, dan perdarahan
9. Pengawasan pasca anestesi di ruang pulih sadar.
D. TATA LAKSANA ANESTESI
1. Di ruang persiapan
a. Jam 11.00 dilakukan pemeriksaan kembali identitas penderita,
persetujuan operasi, lama puasa 6 jam, lembar konsul anestesi, obat-
obatan dan perlengkapan yang diperlukan.
b. Jam 11.25 pemeriksaan tanda-tanda vital
T : 110/70 mmHg Rr : 24 x/menit
N : 84 x/menit S : 36,8
o
C
b. Infus NaCl 40 tetes/menit terpasang pada tangan kanan.
c. Mengganti pakaian penderita dengan pakaian operasi.
2. Di ruang operasi
a. Jam 11.40 penderita ditidurkan di ruang operasi telentang dilakukan
premedikasi pemberian SA 0,25 mg I.V serta pethidin 50 mg I.V,
Metoclopramid 10 mg iv, Miloz 3 mg iv, Ketorolac 30 mg iv
kemudian stetoskop dan manset dipasang pada tangan kanan.
b. Jam 11.45 dilakukan induksi dengan Propofol 100 mg I.V, lalu segera
kepala diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan O2 6
l/menit. Setelah reflek bulu mata menghilang, dimasukkan Succinyl
choline 60 mg I.V, tampak fasikulasi otot. Sesudah tenang dilakukan
intubasi dengan orotrachea no.7,5. Setelah terpasang baik dihubungkan
dengan mesin anestesi untuk mengalirkan O2 3 l/menit dan N2O 2
l/menit. Untuk maintenance digunakan Sevoflurane 2 - 4 vol %.
c. Jam 11.55 anestesi sudah cukup dalam (napas teratur, pupil terfiksasi
sentral dan midriasis), ahli bedah dipersilakan memulai operasi,
selama operasi tanda vital dan Sat O2 dimonitor tiap 5 menit.
20d. Jam 14.10 operasi selesai, alat anestesi dilepas, dan penderita
dipindahkan ke ICU.
Monitoring Selama Anestesi
16.35 140/66 70 99
16.40 120/52 68 99 Tracrium 10 mg I.V, Infus diganti NS
16.45 145/68 78 99
16.50 142/70 72 99
16.55 145/70 72 99
17.00 130/68 80 99
17.05 130/70 72 99 Tracrium 10 mg I.V
17.10 135/65 67 99
17.15 138/74 68 99 SA 1 ampul I.V, Prostigmin 1 ampul I.V
Jam 17.10 Operasi selesai
Jam 17.10 Anestesi selesai
Jam 17.50 Pasien dipindah ke bangsal
Monitoring Pasca Anestesi
Jam Tensi Nadi RR Keterangan
17.20 130/80 76 20 O2 3 L / menit, lendir dihisap dan monitoring tanda
– tanda vital.
17.30 120/70 80 20
17.40 120/80 80 20
17.50 120/70 84 20
1. Instruksi Pasca Anestesi
a. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign. Bila tensi turun di
bawah 90 mmHg, infus dipercepat. Bila muntah, berikan Primperan 1
ampul. Bila kesakitan, berikan Remopain 1 amp.
b. Lain-lain
Jam Tensi Nadi Sa02 Keterangan
15.40 118/60 72 99 Induksi Propofol 100 mg I.V, Succinyl choline 50
mg I.V, O2 6 L / menit dan intubasi. Terpasang
infus RL
15.45 160/98 80 99 N20 : 02 = 2,5 : 3,5 total flow 6 L / menit,
Halothane 1,5 vol % dan Tracrium 30 mg I.V.
Operasi dimulai dan monitoring tanda – tanda vital
tiap 5 menit.
15.50 130/60 70 99
15.55 112/60 78 99
16.00 105/60 72 99
16.05 123/65 58 99 Infus RL
16.10 130/58 65 99 Tracrium 10 mg I.V
16.15 127/59 64 99
16.20 127/60 70 99
16.25 130/58 72 99
16.30 130/74 74 99
21- Anti biotik dari bagian bedah.
- Analgetik dari bagian bedah
- Puasa sampai dengan flatus.
- Post operasi cek Hb, bila < 10 mg/dL, transfusi sampai dengan Hb
> 10 mg/dL.
- Kontrol balance cairan
- Monitor vital sign
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik
akan dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.
A. PERMASALAH DARI SEGI MEDIK
Meningkatnya laju metabolisme tubuh karena radang, dimana
kebutuhan cairan dapat meningkat, sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi.
operasi. Dapat terjadi sepsis.
B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH
1. Cito yang jika tidak segera dilakukan pembedahan, bisa mengancam jiwa
pasien
2. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
3. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan
teknik anestesi yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu
dipersiapkan darah untuk mengatasi perdarahan.
22C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
1. Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah :
c. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum
dilakukan anestesi dan operasi.
d. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.
Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada
penderita perlu dilakukan :
e. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.
f. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung,
sehingga bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.
g. Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada
operasi ini diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit dan amnesia dengan
menggunakan premedikasi sulfas atropin dan pethidin. Teknik anestesinya
semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal tube, dan
perencanaan ini sudah tepat karena bila dengan face mask bahaya aspirasi
dan terganggunya jalan napas lebih besar
h. Selama operasi dipasang ET teknik cepat.
1. Premedikasi
a. Untuk mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus serta mencegah
adanya vagal reflek yang ditimbulkan oleh tindakan bedah itu sendiri
maka diberikan Sulfas atropin 0,25 mg I.V
b. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah, mengurangi
kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi digunakan Pethidin
50 mg I.V
232. Induksi
a. Digunakan Propofol 100 mg I.V karena memiliki efek induksi yang cepat,
dengan distribusi dan eliminasi yang cepat.
b. Untuk mengurangi cedera karena pemasangan endotracheal tube,
merelaksasikan otot saluran napas, maka diberikan Succinyl choline 50
mg I.V dan dilanjutkan dengan pemberian Tracrium 30 mg I.V sebagai
pelemas otot.
1. Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2,5 L/3,5L.
Juga digunakan halothane 1,5 vol %, yang merupakan anestesi
inhalasi yang potent, di mana kekuatan anestesinya 4-5 kali eter atau 2 kali
kloroform. Halothane tidak merangsang / menimbulkan iritasi pada
saluran pernafasan sehingga induksi mudah dicapai tanpa batuk-batuk atau
eksitasi. Selain itu, masa pemulihan berjalan cepat. Terhadap sistem otot,
halothane mempunyai efek relaksasi yang moderat. Relaksasi otot
abdominal hanya dapat dicapai pada stadium dalam di mana telah terjadi
overdosis.
5. Terapi Cairan
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
35 cc x 55 kg x 6/24 jam = 481,25 cc
b. Kebutuhan cairan selama operasi besar dan karena trauma operasi
selama 1,5 jam
= (35 cc x 55 kg x 1,5/24 jam) + (8 cc x 55 kg x 1,5 jam)
= 120,3125 cc + 660 cc = 780,31 cc
c. Perdarahan yang terjadi = 450 cc
EBV = 70 cc x 55 kg = 3850 cc
Jadi kehilangan darah = 450/3850 x 100% = 11,68 %
Diganti dengan cairan kristaloid 3 x 450 = 1350 cc
24d. Kebutuhan cairan total = 481,25 + 680,31 + 1350 = 2511,56 cc
e. Cairan yang sudah diberikan :
1). Pra anestesi = 1000 cc
2). Saat operasi = 1500 cc
Total cairan yang masuk = 2500 cc
Jadi kurang cairan sebesar 11,56 cc, maka penambahan cairan masih
diperlukan saat pasien di bangsal ditambah kebutuhan cairan perhari
selama 24 jam.
25BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi
yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul
sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
operasi cito laparatomi pada penderita laki-laki, usia 19 tahun, status fisik ASA II
E. Dengan diagnosis Peritonitis Generalisata et causa Appendicitis Perforasi
dengan menggunakan teknik anestesi semi closed dengan ET no.7 respirasi
terkontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan
yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung
dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
26DAFTAR PUSTAKA
Dobson Michael B, Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1994.
Gan, Sulistia, Farmakologi dan terapi, edisi ke- 3 FKUI, Jakarta, 1986.
Muhardi, M, dkk. Anastesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI,
CV Infomedia, Jakarta, 1989.
Snow, J.C. Manual of Anasthaesiology, 2 nd edition, Little Brown and Company,
Boston, 1982.
Wirjoatmojo, K. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1
Kedokteran, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional, 2000
top related