makalah bk kelompok 2
Post on 02-Aug-2015
337 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Landasan filosofis & perkmbngan so-bud djlaskan, priview dr kel 1
Landasan psikologis
BAB II
PEMBAHASAN
RASIONAL BK DITINJAU DARI TINJAUAN KONSEPTUAL PSIKOLOGIS
DAN PENDIDIKAN SECARA UMUM
a. Landasan Filosofis
Kata filosofis atau filsafat berasal dari bahasa Yunani. Philos berarti cinta dan shopos
berarti bijaksana. Jadi filosofi berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan atau ilmu yang
mempelajari kekuatan yang didasari proses berfikir dan bertingkah laku, teori tentang prinsip-
prinsip atau hukum-hukum alam semesta serta mendasari semua pengetahuan dan kenyataan,
termasuk kedalamnya studi tentang estetika, etika, logika, metafisika, dan lain sebagainya.
Pemikiran dan pemahaman filosofi menjadi alat yang bermanfaat bagi pelayanan
bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada khususnya yaitu membantu
konselor dalam memahami situasi konseling dan membuat kputusan yang tepat.
b. Landasan perkembangan social budaya
Kebutuhan akan konseling antarbudaya di Indonesia makin terasa mengingat penduduk
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki beraneka corak sub-kultur yang
berbeda-beda. Para konselor di Indonesia dihadapkan pada kenyataan adanya keanekaragaman
budaya yang menguasai kehidupan para penduduknya. Karakteristik social budaya masyarakat
yang majemuk itu tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan
konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan kemampuan dan
meningkatan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya
bangsa Indonesia sendiri.
Klien-klien dari latar belakang social budaya yang berbineka tidak dapat disamaratakan
penanganannya. Meskipun bangsa Indonesia sedang menuju pada satu budaya kesatuan
Indonesia, namun akar budaya asli yang sekarang masih hidup dan besar pengaruhnya terhadap
masyarakat budaya asli itu patut dikenali, dihargai, dan dijadikan pertimbangan utama dalam
pelayanan bimbingan dan konseling.
c. Landasan Psikologis
Landasan psikologis dalam bimbingan dan konseling berarti memberi pemahaman
tentang tingkahlaku individu yang menjadi sasaran layanan. Karena bidang garapan bimbingan
dan konseling adalah tingkahlaku klien, yaitu tingkahlaku klien yang perlu diubah dan
dikembangkan apabila ia hendak mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.
Untuk keperluan bimbingan dan konseling sejumlah daerah kajian bidang psikologis
perlu dikuasai yaitu tentang :
1. motiv dan motivasi
2. pembawaan dasar dan lingkungan
3. perkembangan individu
4. belajar
5. kepribadian
1. Motif dan motivasi
Motif adalah dorongan yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Motif dibedakan
menjadi dua yaitu motif yang bersifat primer dan yang bersifat skunder. Motif primer didasari
oleh kebutuhan asli yang sejak semula telah ada pada diri setiap individu sejak ia terlahir dan
pemenuhannya tidak dapat ditunda-tunda, seperti kebutuhan menghilangkan rasa haus dan lapar.
Sedangkan motiv skunder tidak dibawa sejak lahir melainkan terbentuk bersamaan dengan
proses perkembangan individu yang bersangkutan. Motiv skunder berkembang berkat adanya
usaha belajar.
Motif yang telah berkembang pada individu merupakan sesuatu yang laten pd diri
individu itu, yang sewaktu-waktu dapat diaktifkan mendorong terwujudnya suatu tingkah laku.
Motif yang sedang aktif biasnya disebut motivasi, kekuatannya dapat meningkat sampai pada
taraf yang tinggi. Oleh karena itu sering kita jumpai ada orang yang motivasinya rendah atau
tinggi. Semua itu menggambarkan kuat lemahnya motiv yang sedang aktif mendorong tingkah
laku yang dimaksutkan.
2. Pembawaan dan lingkungan
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa kondisi mental fisik tertentu. Apa
yang dibawa sejak lahir itu sering disebut pembawaan. Dalam arti luas pembawaan meliputi
berbagai hal, seperti warna kulit, bentuk dan warna rambut,golongan darah, kecenderungan
pertumbuhan fisik, minat, bakat khusus, kecerdasan, kecenderungan cirri-ciri kepribadian
tertentu. Kondisi yang menjadi pembawaan itu selanjutnya akan terus tumbuh dan berkembang.
Untuk dapat berkembang apa-apa yang telah dibawa sejak lahir itu diperlukan sarana dan
prasarana yang semuanya berada dalam lingkungan individu yang bersangkutan.
Penelitian Jensen misalnya (dalam Sulton-Smith 1973) menegaskan bahwa faktor yang
menentukan tinggi rendahnya inteligensi seseorang adalah interaksi antara pembawaan dan
lingkungan. Pembawaan dan lingkungan masing-masing individu tidaklah sama. Ada
pembawaan yang tinggi, sedang, kurang dan bahkan kurang sekali. Keadaan pembawaan dan
lingkungan seorang individu dapat diketahui melalui penerapan instrumentasi konseling yang
dipergunakan oleh konselor. Pemahaman tentang faktor-faktor pembawaan itu perlu mendapat
perhatian utama. Lebih dari itu konselor perlu menyikapi kondisi pembawaan dan lingkungan
sasaran layanan secara dinamis. Artinya konselor memandang apa-apa yang terdapat dalam
pembawaan sebagai modal atau asset yang harus ditumbuh kembangkan secara optimal.
3. Perkembangan individu
Sejak masa konsepsi dalam rahim ibu bakal individu berkembang dari janin dan bertahap
hingga menjadi manusia lanjut usia. Dengan demikian bahwa perkembangan individu itu tidak
sekali jadi, melainkan bertahap dan berkesinambungan. Masing-masing aspek perkembangan,
seperti perkembangan kognitif atau kecerdasan, bahasa, moral, hubungan sosial, fisik,
kemampuan motorik memiliki tahap-tahap perkembangan sendiri. Meskipun masing-masing
aspek perkembangan cenderung memperlihatkan caranya sendiri, namun aspek-aspek itu saling
terkait. Oleh karena itu, selain konselor harus memahami secara terpadu kondisi berbagai aspek
perkembangan individu pada saat pelayanan bimbingan dan konseling diberikan, juga harus
dapat melihat arah perkembangan individu dimasa depan.
4. Belejar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar
untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan
dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat
kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan
memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar
dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif,
afektif maupun psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat
belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar
sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori
belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah :
a) Teori Belajar Behaviorisme;
b) Teori Belajar Kognitif
c) Teori Pemrosesan Informasi
d) Teori Belajar Gestalt.
e) Teori Belajar Alternatif Konstruktivisme.
A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Thorndike melakukan eksperimen terhadap kucing, dari hasil eksperimennya dihasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka
hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan
efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus-
Respons.
2) Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme
itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini
menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
3) Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin
bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak
dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :
1) Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam
stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka
refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2) Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang
sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant
conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh
reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori
belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata
refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar
menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih
memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang
individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar
behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan,
Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang
(the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak
serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan
dorongan.
B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan
untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan
individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1)
sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan
akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which
a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the
evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind
or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya
dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan
kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1) Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar
dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2) Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3) Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4) Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5) Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temanya.
C. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang
sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi,
untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam
pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-
kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan
untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses
pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2)
pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7)
perlakuan dan (8) umpan balik.
D. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau
konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan
dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada
tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa
setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan
suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar
belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran
antara latar dan figure.
1) Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun
ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
2) Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang
sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
3) Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada
dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
4) Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk
yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik
berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
5) Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek
atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1) Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”.
Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar,
sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar.
Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”.
Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2) Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan
geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang
sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak.
Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan
behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan
yang lebat (lingkungan geografis).
3) Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa,
akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan
kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh
dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4) Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang
dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu
proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1) Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku.
Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu
kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2) Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait
akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna
hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting
dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan
pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya
memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3) Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan
hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan
tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik
mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan
sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4) Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan
lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki
keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5) Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan
melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian
menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd
menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran
dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan
terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan
menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam
situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai
prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
E. Teori Belajar Alternatif Konstruktivisme
Teori belajar konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap
manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan menemukan
keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.Sehingga teori ini
memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan, atau teknologi dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Hasil belajar bergantung pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam interpretasi
pribadi. Sebaliknya, fungsi pikiran menginterpretasi peristiwa, obyek, perspektif yang dipakai,
sehingga makna hasil belajar bersifat individualistik. Suatu kegagalan dan kesuksesan dilihat
sebagai beda interpretasi yang patut dihargai dan sukses belajar sangat ditentukan oleh
kebebasan siswa melakukan pengaturan dari dalam diri siswa. Tujuan pembelajaran adalah
belajar how to learn. Penyajian isi KBM fakta diinterpretasi untuk mengkonstruksikan
pemahaman individu melalui interaksi sosial.
Untuk mendukung kualitas pembelajaran maka sumber belajar membutuhkan data
primer, bahan manipulatif dengan penekanan pada proses penalaran dalam pengambilan
kesimpulan. Sistematika evaluasi lebih menekankan pada penyusunan makna secara aktif,
keterampilan intergratif dalam masalah nyata, menggali munculnya jawaban divergen dan
pemecahan ganda. Evaluasi dilihat sebagai suatu bagian kegiatan belajar mengajar dengan
penugasan untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata sekaligus sebagai evaluasi
proses untuk memecahkan masalah.
Selama ini masyarakat kita berada dalam suatu budaya dimana belajar dipandang sebagai
suatu proses mengkonsumsi pengetahuan. Guru bukan sekadar fasilitator, melainkan sebagai
sumber tunggal pengetahuan di depan kelas. Pembelajaran yang sedang dikampanyekan,
disosialisasikan justru berbeda dengan pandangan tersebut. Belajar adalah suatu proses dimana
siswa memproduki pengetahuan. Siswa menyusun pengetahuan, membangun makna (meaning
making), serta mengkonstruksi gagasan. Pada dasarnya teori kontruktivisme menekankan bahwa
belajar adalah meaning making atau membangun makna, sedang mengajar adalah schaffolding
atau memfasilitasi. Oleh karena itu skenario suatu pembelajaran maupun kegiatan belajar
mengajar yang hanya terhenti pada tahapan dimana siswa mengumpulkan data dan memperoleh
informasi dari luar yakni guru, narasumber, buku, laboratorium dan lingkungan ke dalam ingatan
siswa saja, belumlah cukup, karena siswa masih berada pada tingkatan mengkonsumsi
pengetahuan. Karena itu perlu langkah-langkah yang menunjukkan tindakan siswa
mengkonstruksi gagasan untuk memproduksi pengetahuan. Langkah-langkah inilah yang sedang
disosialisasikan dua tahun terakhir
Dalam keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar merupakan perbuatan inti. Dalam
perbuatan belajar dapat timbul berbagai masalah baik bagi diri pelajar maupun pengajar. Sekolah
mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu siswa agar mereka berhasil dalam
belajar. Berbagai model belajar telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain model belajar
yang didasarkan pada teori pembiasaan dan keterpaduan, teori gestalt, teori perkembangan
kognisi, teori proses informasi, proses peniruan. Teori-teori itu perlu dikenal oleh konselor dan
dipahami berbagai kemungkinan penerapannya bagi perkembangan kegiatan belajar klien.
5. Kepribadian
Sering dikatakan bahwa ciri seseorang adalah kepribadiannya. Mengenai pengertian ini
para ahli psikologi umumnya memusatkan pada faktor-faktor fisik dan genetic, berfikir dan
pengamatan, serta dinamika dan perasaan (Mussen & Rosenzweiq)
Meskipun Hotersall (1985) mencoba merumuskan kepribadian sebagai “predisposisi cara
mereaksi yang secara relatif stabil pada diri individu” Namun dapat dipahami bahwa kepribadian
individu itu amat kompleks. Konselor perlu memahami kompleksifitas kepribadian klien,
disamping mampu memilah-milah cirri-ciri tertentu yang dapat diukur. Dalam kaitannya itu,
konselor mungkin cenderung tertarik pada tipologi kepribadian yang memberikan memberikan
arah pada pemahaman terhadap cirri-ciri kepribadian tertentu. Pemahaman tipologis yang sempit
justru akan mengebiri hakikat bimbingan dan konseling yang bersifat dinamis dan terbuka.
Adapun predisposisi yang ada pada individu adalah sesuatu yang terbuka, dinamis dan dapat
dikembangkan. Tugas konselor justru mengoptimalkan perkembangan dan pendayagunaan
predisposisi ataupun cirri kepribadian individu kea rah hal-hal positif sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan individu yang bersangkutan.
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang
kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan
oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50
definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya,
akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap.
Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai
sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider
dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons
individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-
kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat
dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan
struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif
dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas
tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian
yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik
dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori
Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual dari Allport,
Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan
sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek
kepribadian, yang mencakup :
Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya
dalam memegang pendirian atau pendapat.
Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau
perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau
melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal.
Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain.
d. Landasan pedagogis
Setaip masyarakat, tanpa kecuali, senantiasa menyelenggarakan pendidikan dengan
berbagai cara dan sarana untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Pendidikan merupakan
salah satu lembaga social yang universal dan berfungsi sebagai sarana reproduksi sosial (Budi
Santoso, 1992). Inti dari pendidikan adalah perkembangan kepribadian secara optimal dari setiap
anak didik sebagai pribadi. Untuk menuju tercapainya pribadi yang berkembang, maka kegiatan
pendidikan hendaknya bersifat menyeluruh yang tidak hanya berupa kegiatan instruksional
(pengajaran), akan tetapi meliputi kegiatan yang menjamin bahwa setiap anak didik secara
pribadi mendapat layanan sehingga dapat berkembang secara optimal. Dalam hubungan inilah
bimbingan mempunyai peranan yang amat penting dalam pendidikan, yaitu membantu setiap
pribadi anak didik agar berkembang secara optimal.
Landasan ini mengemukakan bahwa antara pendidikan dan bimbingan memang dapat
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Secara mendasar bimbingan dan konseling merupakan
salah satu bentuk pendidikan. Proses bimbingan dan konseling adalah proses pendidikan yang
menekankan pada kegiatan belajar dan sifat normative. Tujuan-tujuan bimbingan dan konseling
memperkuat tujuan-tujuan pendidikan dan menunjang program-program pendidikan secara
menyeluruh. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah, pendidikan diartikan sebagai suatu usaha
sadar untuk mengembangkan kepribadian yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah
dan berlangsung seumur hidup. Sedangkan tujuan pendidikan sebagaimana dikemukakan dalam
GBHN adalah: “Untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,
keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat
kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang
dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan
bangsa Dan pengertian dan tujuan di atas, jelas bahwa yang menjadi tujuan inti dari pendidikan
adalah perkembangan kepribadian secara optimal dan setiap anak didik sebagai pribadi.
Dengan demikian setiap kegiatan proses pendidikan diarahkan kepada tercapainya pribadi-
pribadi yang berkembang optimal sesuai dengan potensi masing-masing.
Untuk menuju tercapainya pribadi yang berkembang, maka kegiatan pendidikan hendaknya
bersifat menyeluruh yang tidak hanya berupa kegiatan instruksional (pengajaran), akan tetapi
meliputi kegiatan yang menjamin bahwa setiap anak didik secara pribadi mendapat layanan
sehingga akhirnya dapat berkembang secara optimal. Kegiatan pendidikan yang diinginkan
seperti tersebut di atas, adalah kegiatan pendidikan yang ditandai dengan pengadministrasian
yang baik, kurikulum beserta proses belajar mengajar yang memadai, dan layanan pribadi kepada
anak didik melalui bimbingan.
Dalam hubungan inilah bimbingan mempunyai peranan yang amat penting dalam
pendidikan, yaitu membantu setiap pribadi anak didik agar berkembang secara optimal. Dengan
demikian maka hasil pendidikan sesungguhnya akan tercermin pada pribadi anak didik yang
berkembang baik secara akademik, psikologis, maupun social.
http://yanermawan.blogspot.com/2011/07/alasan-rasional-perlunya-bimbingan-dan.html
http://animenekoi.blogspot.com/2011/06/rasional-pentingnya-bimbingan-dan.html
top related