konsep penuaan
Post on 01-Jan-2016
134 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Konsep Penuaan
Menua adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki
atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya. Proses ini
berlangsung terus-menerus sepanjang hidup seseorang. Tidak seperti kondisi patologis, setiap
manusia pasti akan mengalami proses menua. Penuaan merupakan sebuah proses alami dalam
kehidupan manusia yang bersifat kompleks dan multidimensional. Proses ini akan dialami
oleh manusia, namun penuaan pada setiap individu tentunya akan berbeda, tergantung dengan
faktor herediter, lingkungan, dan faktor-faktor lainya sehingga mempengaruhi aspek biologi,
psikologi, sosial dan juga spiritual seseorang. Penuaan disebut sebagai proses yang kompleks
dan multidimensional, karena tidak ada satu teori yang dapat menjelaskan peristiwa fisik,
psikologi maupun peristiwa sosial yang terjadi dari waktu ke waktu. Peningkatan usia
menyebabkan terjadinya perubahan baik anatomis maupun fisiologis pada semua sistem
dalam tubuh. Adapun beberapa sistem tubuh yang mengalami perubahan akibat proses
penuaan meliputi sistem sensoris, integumen, muskuloskeletal, neurologis, kardiovaskular,
pulmonal, renal dan urinaria, dan sistem pencernaan.
1. Penuaan pada sistem sensoris
Proses penuaan menyebabkan perubahan pada sistem sensoris. Lansia mengalami
penurunan akomodasi mata dan pupil senilis mengalami konstriksi. Selain itu juga terjadi
peningkatan kekeruhan lensa dengan perubahan warna menjadi kuning. Perubahan
tersebut menyebabkan lansia mengalami kesukaran dalam membaca huruf-huruf kecil.
Lansia juga mengalami penyempitan lapang pandang, penglihatan menjadi kabur, lebih
sensitif terhadap cahaya, penurunan penglihatan pada malam hari, serta kesukaran dalam
persepsi kedalaman. Adapun perubahan pada sistem pendengaran yaitu lansia mengalami
penurunan fungsi sensorineural yang menyebabkan kehilangan pendengaran secara
bertahap (Stanley & Beare, 2007).
2. Penuaan pada sistem integumen
Kulit merupakan organ tubuh terluar dan merupakan organ tubuh paling luas yaitu
mewakili sekitar 16% dari berat badan orang dewasa (Stanley & Beare, 2007). Kulit
mempunyai peran dalam proses fisiologi, yaitu berperan dalam proses termoregulasi,
ekskresi sisa metabolisme, melindungi struktur dibawahnya, sintesis vitamin D, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrilit, serta sensasi nyeri, sentuhan, tekanan, suhu, dan
getaran. Selain itu, kulit juga mempunyai fungsi sosial yaitu sebagai indikator suatu ras,
gender, status pekerjaan, dan karakter personal (Miller, 2004). Kulit merupakan organ
kompleks yang terdiri dari epidermis, dermis, dan subkutan serta bagian tambahan, yaitu
rambut, kuku, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea. Bagian-bagian kulit akan
mengalami perubahan seiring dengan pertambahan usia seseorang.
Epidermis mengalami perlambatan dalam proses perbaikan sel, penurunan jumlah sel
basal, penurunan jumlah dan kedalaman rete ridge, serta perubahan sedikit ketebalan
akibat penuaan (Stanley & Beare, 2007). Pengiriman makanan antara dermis dan
epidermis menjadi lambat, proses penggantian sel melambat, proses penyembuhan kulit
yang rusak menjadi lambat, dan merupakan faktor predisposisi infeksi bagi lansia. Di
epidermis, juga terjadi penurunan jumlah melanosit dan sel Langerhans seiring penuaan.
Melanosit terdapat di lapisan basal epidermis yang berfungsi memberikan warna kulit
dan menyediakan perlindungan terhadap radiasi ultraviolet (Miller, 2004). Akibat dari
berkurangnya melanosit pada kulit lansia, lansia mungkin akan mengalami pigmentasi
yang tidak merata dan perlindungan dari sinar UV akan menurun (Stanley & Beare,
2007). Penurunan sel Langerhans mengakibatkan penurunan kompetensi imun. Akibat
penurunan respon imun, respon lansia terhadap pemeriksaan kulit dengan alergen
kemungkinan akan dikurangi. Lansia akan lambat dalam bereaksi dalam pemeriksaan
alergen tersebut.
Lansia juga mengalami perubahan pada dermis akibat proses penuaan. Dermis
merupakan jaringan di bawah epidermis yang berfungsi sebagai jaringan pendukung
jaringan yang ada di bawahnya dan sebagai pemberi nutrisi bagi epidermis. Dermis juga
berperan dalam pewarnaan kulit, persepsi sensori, dan pengaturan suhu. Seiring
bertambahnya usia, elastin dan kolagen secara bertahap akan berkurang. Hal ini
menyebabkan terjadinya pengeriputan serta penurunan kemampuan peregangan ketika
mengalami penekanan (Miller, 2004; Stanley & Beare, 2007). Di dermis, juga terjadi
penurunan vaskularisasi seiring bertambahnya usia. Hal ini mengakibatkan atrofi dan
fibrosis pada folikel rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea. Selain itu, dermis
akan berisi lebih sedikit fibroblast, makrofag, dan sel batang. Akibat dari perubahan-
perubahan yang ada di atas, kulit lansia akan tampak pucat dan kurang mampu
melakukan termoregulasi. Hal tersebut menyebabkan lansia beresiko tinggi mengalami
hipertermia atau hipotermia.
Subkutan pada lansia juga mengalami perubahan akibat penuaan. Subkutan
merupakan lapisan dalam dari jaringan lemak yang melindungi jaringan dibawahnya dari
trauma. Secara umum, lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan seiring dengan
peningkatan usia (Stanley & Beare, 2007). Penurunan lapisan lemak dapat dilihat dengan
jelas di daerah wajah, tangan, kaki, dan betis. Pembuluh darah akan menjadi lebih
terlihat dan lebih jelas. Selain itu, dengan menurunnya lapisan subkutan, jaringan akan
lebih mudah mengalami trauma. Pertambahan usia juga mempengaruhi bagian tambahan
pada kulit seperti kelenjar keringat. Kelenjar keringat ekrin dan apokrin pada awalnya
berada pada lapisan dermal. Kelenjar ekrin secara langsung terbuka kemudian naik ke
permukaan kulit dan kebanyakan berada di daerah telapak tangan, telapak kaki, dan dahi.
Kelenjar apokrin membuka menjadi folikel rambut, terutama di bagian aksila dan area
genitalia. Ekrin penting untuk termoregulasi, sedangkan apokrin berperan dalam
produksi sekresi yang dibusukkan oleh bakteri kulit sehingga membuat bau badan.
Jumlah dan fungsi kelenjar ekrin dan apokrin akan menurun dengan meningkatnya usia
sehingga lansia lebih mudah mengalami masalah termoregulasi dan penurunan bau
badan.
Kelenjar sebasea yang berada di lapisan dermal kulit seluruh tubuh kecuali di daerah
telapak tangan dan telapak kaki pada lansia juga mengalami perubahan. Kelenjar ini
secara terus menerus memproduksi sebum, substansi yang dikombinasikan dengan
keringat untuk membentuk emulsi. Sebum berfungsi mencegah hilangnya air dan
mengurangi pertumbuhan bakteri dan jamur. Sejalan dengan bertambahnya usia, sekresi
sebum menurun sekitar 40-50 % dengan lansia wanita menurun lebih banyak
dibandingkan lansia pria (Stanley and Beare, 2007; Miller, 2004). Akibatnya kulit
menjadi kering. Kuku juga mengalami perubahan akibat penuaan. Perubahan akibat
proses penuaan juga terjadi pada perkembangan striasi longitudinal, penurunan ukuran
lunula, dan ketebalan lapisan kuku. Akibat perubahan ini, kuku menjadi lunak, rapuh dan
mudah robek. Pada penampilannya, kuku pada lansia terlihat buram, tidak berkilau, dan
berwarna abu-abu atau kuning (Miller, 2004).
Perubahan pada rambut akibat proses penuaan terlihat dari warna dan distribusinya.
Perubahan yang paling terlihat adalah kebotakan dan warna rambut menjadi abu-abu.
Warna rambut abu-abu disebabkan karena terjadi penurunan pada produksi melanin dan
penggantian secara bertahap rambut yang berpigmen dengan yang tidak berpigmen
(Miller, 2004). Perubahan distribusi rambut terlihat dari meningkatnya rambut di bagian
bibir atas dan dagu pada lansia wanita dan peningkatan rambut telinga, hidung dan alis
pada lansia pria. Kebanyakan lansia mengalami perubahan distribusi rambut tubuh yang
diawali dari bagian batang tubuh, kemudian bagian pubis dan aksila. Terlebih lagi, bagi
lansia pria berpotensi untuk mengalami kebotakan yang disebabkan berkurangnya folikel
rambut sehingga terjadi penipisan rambut pada bagian kepala (Stanley & Beare, 2007).
3. Penuaan pada sistem muskuloskeletal
Lansia mengalami perubahan fisiologis otot akibat proses penuaan. Secara alamiah
aliran darah ke otot berkurang sebanding dengan bertambahnya umur seseorang. Hal ini
menyebabkan jumlah oksigen, nutrisi, dan energi yang tersedia untuk otot ikut menurun,
sehingga menurunkan kekuatan otot manusia. Penurunan pencapaian suplai tersebut juga
dipengaruhi oleh serat otot rangka yang berdegenerasi, sehingga terjadinya fibrosis
ketika kolagen menggantikan otot. Perubahan struktur otot pada penuaan sangat
bervariasi, yaitu: terjadinya atrofi dan menurunnya jumlah beberapa serabut otot dan
fibril, meningkatnya jaringan lemak, degenerasi miofibril, dan sklerosis pada otot.
Perubahan-perubahan tersebut juga dapat menjadi dampak negatif, yaitu: menurunnya
kekuatan otot, menurunnya fleksibilitas, meningkatkan waktu reaksi dan menurunkan
kemampuan fungsional otot yang dapat mengakibatkan perlambatan respon selama tes
refleks tendon.
Tulang juga mengalami perubahan fisiologis akibat proses penuaan. Tulang
menyediakan kerangka kerja untuk seluruh sistem muskuloskeletal dan bekerja dalam
hubungannya dengan sistem otot untuk memfasilitasi suatu gerakan. Fungsi lain tulang
dalam tubuh manusia mencakup sebagai tempat penyimpanan kalsium, memproduksi sel
darah, juga sebagai pendukung dan pelindung organ tubuh dan lingkungan (Miller,
2004). Tulang tersusun oleh lapisan luar yang keras yang disebut kortikal dan lapisan
dalam berbentuk sponge yang disebut trabekular. Daerahyang memiliki dampak besar
akibat tekanan terjadi pada bagian trabekular (Stanley & Beare, 2007). Pertumbuhan
tulang mencapai kematangan pada masa dewasa awal. Tetapi remodeling tulang
berlanjut sepanjang rentang kehidupan. Remodeling berkaitan dengan penyimpananan
kembali kalsium yang telah diserap dari tulang untuk membentuk tulang baru.
Perubahan berkaitan dengan usia yang mempengaruhi proses remodeling meliputi
peningkatan resorpsi tulang, penurunan absorpsi kalsium, peningkatan serum hormon
paratiroid, gangguan regulasi aktivitas osteoblas, gangguan pembentukan tulang
sekunder untuk mengurangi produksi osteoblas tulang matriks, dan penurunan sejumlah
sel sumsum fungsional sebagai hasil dari penggantian sumsum dengan sel lemak (Miller,
2004). Sejalan dengan pertambahan usia, kecepatan formasi tulang baru mengalami
perlambatan sedangkan kecepatan absorbsi kalsium tidak mengalami perubahan.
Keadaan tersebut menyebabkan hilangnya massa total tulang pada lansia.
Adanya perubahan fisiologis pada tulang lansia menyebabkan kondisi seperti postur
tubuh menjadi bungkuk dengan penampilan barrel-chest sehingga terlihat lansia
mengalami penurunan tinggi badan secara progresif, keadaan ini disebabkan karena
terjadi penyempitan diskus invertebra (Stanley & Beare, 2007). Selain terjadiperubahan
postur tubuh menjadi bungkung atau kifosis, juga terdapat sebagian lansia yang
mengalami postur lordosis yang umumnya berkaitan dengan kebiasaan duduk sewaktu
muda. Kondisi lain yang terlihat pada tulang berhubungan dengan penuaan adalah
terlihat tonjolan tulang yang jelas di sekitar vertebra, krista iliaka, tulang rusuk, skapula.
Keadaan tersebut berhubungan dengan jumlah massa otot yang mengalami penurunan
dan hilangnya lemak subkutan perifer di area tersebut.
4. Penuaan pada sistem neurologis
Sistem neurologis pada lansia juga mengalami penurunan akibat proses penuaan.
Konduksi saraf perifer pada lansia melambat dan menyebabkan refleks tendon dalam
yang lebih lambat dan meningkatkan waktu reaksi. Selain itu, terjadi peningkatan
lipofusin sepanjang neuron-neuron yang menyebabkan vasokonstriksi dan vasodilatasi
tidak sempurna (Stanley & Beare, 2007). Pada lansia, termoregulasi oleh
hipotalamusmenjadi kurang efektif. Impuls saraf dihantarkan lebih lambat sehingga
lansia memerlukan waktu yang lebih lama untuk merespon dan bereaksi, termasuk
respon terhadap suhu lingkungan (Smeltzer & Bare, 2002). Hal ini mengakibatkan
termoregulasi pada hipotalamus menjadi kurang efektif. Implikasi klinis dari
ketidakefektifan termoregulasi pada lansia yaitu lansia lebih rentan mengalami
kehilangan panas tubuh.
5. Penuaan pada sistem kardiovaskular
Perubahan pada sistem kardiovaskular lansia berlangsung lambat dan terjadi peurunan
yang berangsur-angsur ditandai dengan penurunan aktivitas dan penurunan kebutuhan
darah yang teroksigenasi. Perubahan yang terjadi meliputi perubahan struktural dan
perubahan fisiologis seperti yang akan dijelaskan di bawah ini:
a. Perubahan Struktural
Perubahan struktural sistem kardiovaskular adalah perubahan yang terjadi
dalam struktur anatomis sistem kardivaskular. Ukuran jantung setiap orang tetap
proporsional dengan berat badan dan ukuran ruang jantung tidak berubah dengan
terjadinya penuaan. Jantung kiri mengalami pengecilan sebagai respon terhadap
rendahnya beban kerja yang dibutuhkan pada lansia yang kurang aktif (Smeltzer &
Bare, 2002). Ketebalan dinding ventrikel kiri meningkat karena adanya peningkatan
densitas kolagen dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Hal ini menyebabkan
kemampuan jantung untuk distensi berkurang dengan kekuatan kontraktil yang
kurang efektif (Stanley& Beare, 2007).
Area permukaan di dalam jantung yang telah dilewati aliran darah dengan
tekanan tinggi (katup aorta dan katup mitral) mengalami penebalan dan terbentuk
penonjolan sepanjang garis katup. Bagian dasar pangkal aorta yang kaku
menghalangi pembukaan katup secara lengkap sehingga menyebabkan obstruksi
parsial aliran darah selama denyut sistole. Pengosongan ventrikel yang tidak
sempurna dapat terjadi selama waktu peningkatan denyut jantung dan gangguan
pada arteri koroner dan sirkulasi sistemik (Stanley& Beare, 2007).
Jumlah jaringan fibrosa dan jaringan ikat meningkat yang mempengaruhi
konduksi sistem jantung. Jumlah total sel-sel pacemaker mengalami penurunan dan
hanya sekitar 10% dari jumlah saat usia dewasa muda. Peningkatan jaringan ikat
pada nodus SA, AV, dan cabang-cabang berkas (Smeltzer & Bare, 2002). Berkas His
kehilangan serat konduksi yang membawa impuls ke ventrikel. Penebalan pada jaring
elastis dan retikuler dengan infiltrasi lemak terjadi pada daerah nodus sinoatrial (SA)
(Stanley& Beare, 2007, Roach, 2006).
Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus akibat
peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri.
Lapisan intima arteri menebal dengan peningkatan deposit kalsium. Aorta dan arteri
besar lain mengalami dilatasi secara progresif untuk menerima lebih banyak volume
darah. Vena menjadi meregang dan katup-katup vena mengalami penurunan atau
tidak mampu menutup sempurna (Stanley& Beare, 2007).
b. Perubahan Fisiologis
Perubahan fisiologis sistem kardiovaskular pada lansia sangat berkaitan
perubahan struktural sistem kardiovaskular itu sendiri. Curah jantung dan denyut
jantung pada saat beristirahat tetap stabil atau sedikit menurun seiring bertambahnya
usia. Penurunan kontraktil miokardium menyebabkan penurunan curah jantung.
Peningkatan waktu dan tekanan diastolik diperlukan untuk mempertahankan preload
yang adekuat karena miokardium mengalami penebalan sehingga sulit diregangkan,
kontraktilitas menurun, dan katup-katup lebih kaku. Jantung lebih bergantung pada
kontraksi atrium atau volume darah pada ventrikel (Stanley& Beare, 2007).
Kadar katekolamin yang berpengaruh terhadap denyut jantung pada lansia
tidak mengalami penurunan, namun respon terhadap mediator kimia ini menumpul.
Prinsip mekanisme yang digunakan jantung untuk meningkatkan curah jantung pada
lansia yaitu dengan meningkatkan volume akhir diastolik yang meningkatkan volume
sekuncup (Hukum Starling). Mekanisme ini dapat gagal jika waktu pengisian
diastolik atau ventrikel menjadi terlalu distensi (Stanley& Beare, 2007). Jantung
masih mampu ,mengeluarkan curah jantung pada suasana biasa, namun kemampuan
dalam merespon situasi yang menimbulkan stres fisik dan mental menjadi terbatas
(Smeltzer & Bare, 2002).
Irama jantung yang tidak sesuai dan koordinasi aktivitas listrik yang
mengendalikan siklus kardial menjadi disritmik dan tidak terkoordinasi. Kehilangan
pacemaker dan infiltrasi lemak ke dalam jaringan konduktif menghasilkan disritmia
atrial dan ventrikular. Tekanan sistolik pada lansia meningkat dan tekanan diastolik
tidak berubah atau menurun. AHA merekomendasikan bahwa nilai sistolik 160
mmHg merupakan batas normal tertinggi untuk lansia. Baroreseptor yang terlatak di
sinus aorta dan sinus karotis menjadi tumpul dan kurang sensitif yang dapat
menyebabkan masalah yang berhubungan dengan hipotensi ortostatik (Stanley&
Beare, 2007). Aliran darah pada lansia lambat, yang berpengaruh terhadap lama
penyembuhan luka dan berdampak pada metabolisme dan distribusi obat. Terjadi
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer, yang berarti bahwa darah pada bagian
perifer dari tubuh (jari tangan dan kaki) sulit kembali ke jantung dan paru-paru untuk
reoksigenasi dan resirkulasi. Katup vena dari ekstremitas bawah juga menjadi tidak
kompeten, sehingga terjadi akumulasi non-patologis cairan di ekstremitas bawah
(edema dependen).
6. Penuaan pada sistem pulmonal
Perubahan anatomi yang terjadi seiring penuaan turut berperan dalam perubahan
fungsi pulmonal. Perubahan seperti hilangnya silia dan menurunnya reflex batuk dan
muntah mengubah keterbatasan fisiologis dan kemampuan perlindungan sistem
pulmonal. Perubahan lain seperti penurunan komplians paru dan dinding dada turut
berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20% pada usia 60 tahun. Atrofi
otot-otot pernapasan dan penurunan kekuatan otot pernapasan dapat meningkatkan
keletihan otot pernapasan pada lansia. Perubahan-perubahan tersebut turut berperan
dalam penurunan konsumsi oksigen maksimum. Perubahan pada interstisium parenkim
dan penurunan pada daerah permukaan alveolar dapat menghasilkan penurunan difusi
oksigen. Lansia juga mengalami perubahan 50% pengurangan respons hipoksia dan
hiperkapnia pada usia 65 tahun sehingga dapat mengakibatkan penurunan efisiensi tidur
dan toleransi aktivitas.
Implikasi klinis dari perubahan sistem respirasi sangat banyak. Perubahan sktruktural,
perubahan fungsi pulmonal dan perubahan sistem imun mengakibatkan suatu kerentanan
untuk mengalami kegagalan respirasi akibat infeksi, kanker paru, emboli pulmonal, dan
penyakit kronis sepertu asma dan penyakit paru obstruktif kronis. Penyebab mayor dari
penyakit tersebut adalah perubahan struktur dan fungsi dari saluran napas akibat
penuaan. Selain itu, penuaan juga menyebabkan terjadinya penurunan daya tahan tubuh,
antara lain karena melemahnya fungsi limfosit B dan T, sehingga penderita rentan
terhadap kuman-kuman patogen, virus, protozoa, bakteri atau jamur. Gangguan paru juga
bisa disebabkan karena penyakit lain. Seperti perubahan metabolism yang normal pada
lansia menyebabkan penyakit-penyakit metabolik yang bersifat sistemik: diabetes
mellitus, uremia, artritis rematoid dan sebagainya. Akibatnya, jika lama menderita
gangguan ini juga akan menyebabkan penyakit paru. Penyebab lain adalah pada orang
usia lanjut, bisa terjadi bahwa penggunaan obat-obat tertentu akan memberikan respons
atau perubahan pada paru dan saluran nafas, yang mungkin perubahan-perubahan tadi
tidak terjadi pada usia muda. Contoh, yaitu penyakit paru akibat idiosinkrasi terhadap
obat yang sedang digunakan dalam pengobatan penyakit yang sedang dideritanya, yang
mana proses tadi jarang terjadi pada usia muda
7. Penuaan pada sistem renal
Perubahan pada nefron dan jaringan kerja vaskular terkait usia mempengaruhi funsi
ginjal. Nefron yang merupakan unit fungsional dari ginjal yang jumlahnya kurang lebih 2
juta nefron pada dewasa normal, berkurang setengahnya pada lansia. Selain itu, jumlah
nefron yang tidak normal lebih banyak daripada nefron yang normal. Nefron yang
merupakan tempat mekanisme penyaringan darah, perubahan pada aliran vaskuler yang
menyertai penuaan mempengaruhi kerja nefron. Penurunan jumlah nefron terutama di
korteks ginjal dimana terdapat glomerulus di dalamnya menyebabkan massa ginjal
menurun hingga 25% pada usia 80 tahun. Perubahan vaskular diebabkan oleh penurunan
curah jantung, penyempitan dan sklerosis pembuluh darah secara umum akibat penuaan
dan penurunan ukuran dasar renovaskular yang menyebabkan sampai 50% penurunan
dalam aliran renal (Stanley& Beare, 2007, Roach, 2006, & Wallace, 2008).
Perubahan terkait usia pada nefron mempengaruhi fungsi pengaturan, eksresi, dan
metabolik sistem renal. Dalam nefron, perubahan terjadi perubahan dalam glomerulus
dan sistem tubular. Dalam glomerulus, membran basalis mengalami penebalan,
ditemukan sklerosis pada area fokal, dan total permukaan glomerulus menurun,
mengakibatkan filtrasi darah kurang efisien dan GFR menurun. Panjang dan volume
tubulus proksimal menurun. Divertikula terlihat dalam tubulus kontortus distal yang
menyebabkan akumulasi debris. Perubahan tubular menurunkan daerah permukaan
membran yang tersedia untuk proses pertukaran zat/ substansi. Kemampuan ginjal untuk
bereaksi secara efektif terhadap perubahan fisiologiis yang drastis dan mendadak akan
menurun pada lansia (Smeltzer & Bare, 2002).
Dilusi dan konsentrasi urin dan pengeluaran cairan dari tubuh diatur oleh tubulus
ginjal dan memiliki irama diurnal. Proses fisiologis yang bertanggung jawab terhadap
konsentrasi urin dan ekskresi cairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jumlah
cairan dalam tubuh, penyerapan dan transfer substansi melalui membran tubular,
osmoreseptor di hipotalamus yang mengatur tingkat sirkulasi ADH sesuai konsentrasi
cairan plasma, substansi dan aktivitas yang mempengaruhi sekresi ADH, konsentrasi
sodium dalam filtrasi glomerulus. Nokturia merupakan hal yang normal terjadi pada
lansia (Miller, 2004).
Keseimbangan cairan menjadi lebih sulit pada lansia karena lansia mengalami
pengurangan massa otot dan suatu peningkatan yang berhubungan dengan lemak tubuh
dan karena otot lebih banyak mengandung air daripada lemak, terdapat pengurangan
berat bersih total cairan tubuh yang terkait usia. Selain itu, pengurangan cairan
intraselular terjadi seiring penuaan normal. Hal ini mengakibatkan mekanisme
kompensasi terhadap kehilangan cairan pada lansia menjadi tidak efisien atau efektif.
Kemampuan nefron untuk memekatkan urin pada lansia mengalami gangguan, respons
terhadap sekresi ADH tidak efisien, dan sensasi haus mungkin berkurang atau tidak ada
(Stanley& Beare, 2007 & Roach, 2006).
Penuaan juga mempengaruhi kemampuan ginjal untuk menahan natrium.
Kemampuan menyimpan natrium secara sihnifikan menurun karena lansia kehilangan
nefron atau gangguan sekresi aldosteron. Hiponatremia dapat menyebabkan
hiperkalemia. Hipernatremia dapat terjadi pada kelebihan diet natrium tanpa asupan air
yang cukup. Asupan natrium maupun air yang berlebihan dapat menyebabkan
hipervolemia. Eksresi asam dan sistem buffer pada lansia kurang efektif. Sekresi hormon
1,25-dihidroksivitamin D oleh ginjal menurun pada lansia. Hormon ini berperan dalam
absorpsi kalsium dalam saluran gastrointestinal dan dalam mencegah mobilisasi kalsium
tulang untuk mempertahankan kalsium serum. Kekurangan hormon ini mungkin salah
satu mekanisme dalam perkembangan osteoporosis tipe II pada lansia (Stanley& Beare,
2007).
8. Penuaan pada sistem urinaria
Sistem urinara lansia mengalami perubahan fisiologis terkait penuaan. Eliminasi
cairan yang mengandung zat sisa dipengaruhi oleh proses fisiologis yang kompleks yang
bergantung pada beberapa mekanisme, yaitu kemampuan kandung kemih untuk
meregang (menampung urin secara adekuat) dan untuk berkontraksi (mengeluarkan urin
seluruhnya); mekanisme pertahanan tekanan intrauretra yang lebih tinggi dari tekanan
intravesikal; regulasi saluran urinaria bawah oleh saraf otonom dan saraf somatik;
kontrol volunter urinasi oleh pusat otak. Pada lansia, perubahan terjadi pada mekanisme
tersebut yang berpengaruh terhadap perkemihan.
Penyimpanan dan pengeluaran urin dalam interval yang sesuai terkoordinasi secara
volunter dan involunter yang harus utuh secara fisik dan neurologis dan harus terdapat
kesadaran kognitif dari keinginan untuk berkemih dan tempat serta situasi yang tepat
untuk berkemih. Ketika berkemih terjadi, otot destrusor kontraksi dan sfingter internal
dan eksternal relaksasi, yang kemudian membuka uretra (Stanley& Beare, 2007).
Hipertrofi otot kandung kemih dan penipisan dinding kandung kemih secara normal
terjadi pada lansia yang akan mengganggu kemampuan kandung kemih untuk meregang
sehingga jumlah urin yang tertampung menurun, yaitu sekitar 250 sampai 200 mL. Pada
lansia, tidak semua urin dikeluarkan, tetapi residu urin 50 mL atau kurang dianggap
adekuat. Kapasitas kandung kemih menjadi lebih kecil, volume residu meningkat, dan
kontraksi kandung kemih tidak disadari pada lansia. Seiring bertambahnya usia, otot
halus di kandung kemih dan uretra berubah menjadi jaringan ikat yang dapat
mempengaruhi keseimbangan tekanan intravesikal dan intrauretra dan berkontribusi
terhadap inkontinensia.
Tekanan intravesikal dan intrauretra juga mempengaruhi pengeluaran urin. Kedua
tekanan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tekanan intra-abdomen, gaya
pada pelvis, destrusor, uretra, dan otot leher kandung kemih, serta mukosa uretra yang
dipengaruhi oleh level estrogen pada wanita. Pada wanita lansia, penurunan produksi
estrogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan
otot-otot dasar panggul melemah. Pada pria lansia, hipertrofi prostat menyebabkan
tekanan pada kandung kemih dan uretra. Atrofi otot-otot akibat penuaan secara umum
mempengaruhi otot-otot kandung kemih sehingga kontraksi tidak kuat. Pada lansia yang
sehat, penyakit degeneratif dapat mengganggu baik penyampaian sensasi berkemih
maupun pengosongan kandung kemih. Interval antara persepsi berkemih dan
pengosongan kandung kemih memendek sehingga dapat menyebabkan inkontinensia
pada lansia. Selain itu, perubahan pada lansia juga dapat menyebabkan kandung kemih
berkontraksi selama pengisisan (Stanley& Beare, 2007).
Sfingter internal dan eksternal mengatur pengisian dan pengosongan kandung kemih.
Perubahan pada lansia, seperti hilangnya otot halus di uretra dan penurunan relaksasi otot
dasar panggul, menurunkan resistensi uretal dan mengganggu fungsi sfngter. Pusat otak
berperan penting dalam mendeteksi sensasi kandung kemih yang penuh untuk memicu
pengosongan kandung kemih dan menstimulasi kontraksi kandung kemih untuk
pengosongan urin. Jalur untuk relaksasi dan kontraksi adalah dalam medula spinalis pada
pusat miksi saklral (S2-S4) dan dalam T11 sampai L2. Pengendalian yang terlokalisasi
digantikan oleh pusat kendali kandung kemih dalam korteks serebral dan oleh batang
otak. Gangguan pada titik apapun dalam sistem ini menyebabkan inkontinensia.
(Stanley& Beare, 2007).
9. Penuaan pada sistem pencernaan
Sistem pencernaan di mulai ketika makanan masuk ke dalam mulut dan di olah oleh
gigi, saliva, dan stuktur neuromuskular yang bertanggung jawab pada proses mengunyah.
Perubahan usia berdampak pada email gigi, yang menjadi lebih keras dan rapuh, dan
dentin menjadi lebih berserabut dan kurang melindungi dari nyeri seiring dengan
peningkatan usia. Pada lansia, kehilangan gigi menjadi penyebab utama adanya
periodontal desease (Miller, 2004). Kehilangan gigi pada usia lanjut merupakan masalah
yang terjadi sebagai dampak akumulatif sekian tahun lamanya (Miller, 2004). Selain itu,
mukosa mulut pada lansia mengalami beberapa perubahan seperti hilangnya elastisitas,
atrofi sel epitel, dan berkurangnya suplai darah ke jaringan. Mulut kering dan kurangnya
vitamin yang sering terjadi juga membuat mukosa mulut lebih rapuh dan lebih mudah
terkena infeksi dan ulserasi. Selain itu, sekresi air ludah berkurang sehingga
mengakibatkan rongga mulut menjadi kering dan bisa menurunkan cita rasa.
Esofagus lansia mengalami pelebaran. Penuaan esofagus berupa pengerasan sfringter
bagian bawah sehingga menjadi mengendur (relaksasi) dan mengakibatkan esofagus
melebar (presbyusofagus). Gangguan menelan biasanya berpangkal pada daerah
presofagus tepatnya di daerah osofaring penyebabnya tersembunyi dalam sistem saraf
sentral atau akibat gangguan neuromuskuler seperti jumlah ganglion yang menyusut
sementara lapisan otot menebal dengan manometer akan tampak tanda perlambatan
pengosongan esofagus. Pada lansia, sensitivitas terhadap rasa lapar menurun. Lapisan
lambung menipis diatas 60 tahun, sekresi HCL dan pepsin berkurang, asam lambung
menurun, waktu pengosongan lambung menurun, dampaknya terjadi malabsorbsi
vitamin B12, kalsium, folat, dan zat besi. Fiber otot dan permukaan mukosa usus
mengalami atrofi, jumlah folikel limpatik menurun, berkurangnya berat usus halus secara
berangsur-angsur, dan vili menjadi lebih pendek dan luas.
Hati juga mengalami penurunan fungsi seiring bertambahnya usia. Meskipun terdapat
perubahan karena usia maupun patologik, hati memiliki regenerasi yang sangat besar dan
kapasitas cadangan serta kompensasi terhadap perubahan yang terjadi tanpa
mempengaruhi sistem pencernaan. Begitu pula dengan pankreas. Pankreas juga
mengalami perubahan secara degeneratif. Bagaimanapun juga, dengan adanya
pengecualian kemungkinan terhadap penurunan aktifitas enzim pada pencernaan lemak,
perubahan ini memiliki sedikit bahkan tidak ada konsekuensi fungsional terhadap sistem
pencernaan. Selain itu, terjasi penurunan sekresi mukosa usus besar dan menurunnya
elastisitas dinding rektal. Walaupun umumnya konstipasi merupakan masalah yang
sering terjadi pada lansia, perubahan usia memiliki sedikit atau tidak ada dampak pada
motilitas feses yang melewati bowel.
Referensi:
Miller, C. A. (2004). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice. 4th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Roach, S. (2006). Introductory gerontological nursing. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Vol2. Alih bhs:
Kuncara, et.al. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Stanley, M. & Beare, P. G. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi 2. Alih bahasa:
Juniati, N. & Kurnianingsih, S. Jakarta: EGC
Wallace, M. (2008). Essensials of gerontological nursing. New York: Springer Publishing
Company
top related