f07mnh cookies
Post on 30-Jul-2015
88 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SKRIPSI
KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT
DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU
DI PT ARNOTT’S INDONESIA BEKASI
Oleh :
MOLID NURMAN HADI
F24102076
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT
DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU
DI PT ARNOTT’S INDONESIA BEKASI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
MOLID NURMAN HADI
F24102076
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN FORMULASI LIGHTER BISCUIT
DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PRODUK BARU
DI PT ARNOTT’S INDONESIA BEKASI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
MOLID NURMAN HADI
F24102076
Dilahirkan pada tanggal 2 Desember 1984
Di Banyumas, Jawa Tengah
Tanggal Lulus : 12 Januari 2007
Menyetujui,
Bogor, Januari 2007
Mengetahui,
Ir. Budi Nurtama, MAgr Pembimbing I
Riris Triwati, STP. Pembimbing II
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Molid Nurman Hadi. F24102076. Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnott’s Indonesia Bekasi. Di bawah bimbingan : Budi Nurtama dan Riris Triwati. 2007.
RINGKASAN
Pengembangan produk baru adalah suatu usaha ekstensifikasi dari suatu perusahaan pangan yang merupakan hasil kerja sama antara bagian pengembangan produk, pemasaran, produksi, pengawasan mutu, dan bagian persediaan bahan. Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan perusahaan dalam rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar.
Formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa alternatif formulasi bahan baku produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh konsumen.
Penelitian ini difokuskan untuk memperoleh rancangan formula pembuatan biskuit lebih khususnya yaitu lighter biscuit yang optimum. Tahap awal dari penelitian ini adalah melakukan uji variasi beberapa bahan baku yaitu bahan pengembang, tepung, pati, shortening, serta uji variasi proses mixing (pencampuran). Kemudian dilanjutkan dengan perancangan formula pembuatan lighter biscuit yang optimum menggunakan program Design Expert version 7 dan secara organoleptik diterima. Jumlah formulasi yang dilakukan sebanyak 12 formula biskuit dengan respon produk yang diukur yaitu % weight loss, % L increase, dan tebal.
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lighter biscuit terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama meliputi : soft flour, pati modifikasi, shortening, gula dan skim. Bahan tambahan meliputi : bahan pengembang, lesitin, garam, air dan flavor susu. Proses pembuatan biskuit terdiri atas penyiapan bahan, menimbang, mixing (pencampuran), proofing (pengistirahatan), laminasi, pencetakan dan baking (pemanggangan).
Analisis respon formula menunjukkan hasil bahwa nilai % WT loss paling tinggi yaitu 19.67% terdapat pada formula 3 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan yang terendah sebesar 14.43% terdapat pada formula 5 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.0%. Model persamaan polinomial dari respon % weight loss adalah linear. Model ini memiliki nilai p ”prob>F” lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar <0.0001. Hal ini berarti bahwa respon % WT loss sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan.
Untuk respon % L increase, nilai tertinggi sebesar 7.45 % terdapat pada formula 7 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan yang terendah sebesar 2.69% terdapat pada formula 1 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.25%. Model persamaan polinomial dari respon % L increase adalah linear. Model ini memiliki nilai p ”prob>F” lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar <0.0001.
Hal ini berarti bahwa respon % L increase sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan.
Analisis respon tebal menunjukkan bahwa nilai tebal tertinggi terdapat pada formula 6 dan 1 yaitu sebesar 0.828 cm. Formula 6 menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan pada formula 10 digunakan soft flour sebesar 39.5%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Nilai tebal terendah sebesar 0.7120 cm terdapat pada formula 5 yang menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.0%. Model persamaan polinomial memiliki nilai p ”prob>F” lebih besar dari 0,05. Nilai ini menunjukkan bahwa model linear yang direkomendasikan tidak bersifat signifikan dan respon tebal tidak dipengaruhi oleh komponen-komponen formula yang dilakukan.
Formula yang terpilih dari proses optimasi yaitu formula ke-1 (F new 1), dengan komposisi soft flour 39.62%, pati modifikasi A 4.318%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Formula ini diprediksi akan menghasilkan biskuit dengan tebal 0.823901 cm, nilai % WT loss 17.84%, nilai % L increase 5.65% dengan nilai desirability sebesar 0.964662 artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 96.47%. Setelah divalidasi diperoleh biskuit dengan nilai tebal 0.95 cm, % WT loss 18.03% dan % L increase 4.53%.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Molid Nurman Hadi, dilahirkan pada
tanggal 2 Desember 1984 di Banyumas dan merupakan putra
kelima dari pasangan Djadi Hadi dan (almh) Kuswati. Penulis
menempuh pendidikan dasar di SDN Wangon III (1990-1996),
pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Wangon (1996-
1999), dan pendidikan menengah umum di SMUN 1 Jatilawang (1999-2002).
Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI. Selama menempuh
pendidikan di IPB penulis aktif sebagai pengurus BKIM (Badan Kerohanian
Mahasiswa Islam) IPB periode 2004-2005 sebagai staf BKIMedia dan periode
2005-2006 sebagai kepala Badan Otonom BKIMedia, serta anggota HIMITEPA.
Penulis pernah terlibat dalam kepanitian Seminar Nasional Pangan Halal, BAUR
2004 dan Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus. Penulis juga pernah
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Cinangka Bogor pada tahun 2005.
Terakhir penulis menyelesaikan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan dalam bentuk magang-penelitian di PT Arnott’s Indonesia
Bekasi dengan judul “Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka
Pengembangan Produk Baru di PT Arnott’s Indonesia Bekasi” di bawah
bimbingan Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Riris Triwati, STP.
i
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT atas
rahmat, karunia, serta berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Formulasi Lighter
Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru di PT Arnott’s Indonesia
Bekasi”. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan kaum muslimin yang senantiasa
memegang teguh ajaran-Nya.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis
baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis,
terutama kepada :
1. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku Dosen Pembimbing I yang senantiasa
sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis.
2. Riris Triwati, S.TP. atas kesediaan untuk menjadi pembimbing magang
sekaligus Pembimbing II yang senantiasa membantu dan membimbing
serta banyak memberikan masukan-masukan kepada penulis.
3. Nur Wulandari, S.TP., MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan
banyak masukan kepada penulis.
4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.
5. Keluarga tercinta Bapak, Ibu dan Kakak atas doa, kasih sayang, nasihat,
dorongan dan motivasi yang diberikan.
6. Teman sebimbinganku Ruri, atas bantuan dan dukungannya terhadap
penulis.
7. Saudara-saudaraku tercinta dan seperjuangan di Wisma Jundullah: Rikza,
Hafid, Renato, Fanani, Slamet dan semuanya atas kebersamaan, bantuan,
dukungan serta kasih sayangnya.
8. Sahabat-sahabat golongan C khususnya C3: Hana, Bobby dan Yudhan atas
kebersamaan, bantuan dan dorongannya kepada penulis
ii
9. Sahabat-sahabat TPG 39 lainnya atas dukungan, kebersamaan, dan
persahabatan yang penuh warna.
10. Mba Lia, Bu Darwati, Mba Erni, Bu Yani, Mas Setyo, Mba Indah dan
teman-teman magang di lab R&D PT Arnott’s Indonesia Bekasi atas
bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab
itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2007
Penulis
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ………………………………………………………….. iii
DAFTAR TABEL …………………………………………………….. v
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………. vi
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………. vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG …………………………………...
B. TUJUAN MAGANG-PENELITIAN ……………………
C. KEGUNAAN MAGANG-PENELITIAN ……………….
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ..
B. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN ..............
C. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN ..................
D. KETENAGAKERJAAN ....................................................
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGEMBANGAN PRODUK ………………………….
B. BISKUIT
1. Definisi ...........................................................................
2. Jenis Biskuit ...................................................................
3. Karakteristik Biskuit ......................................................
C. BAHAN BAKU BISKUIT
1. Tepung ..........................................................................
2. Gula ..............................................................................
3. Lemak dan Minyak .......................................................
4. Emulsifier ......................................................................
5. Bahan Pengembang ......................................................
6. Pati Jagung ....................................................................
7. Garam ............................................................................
1
3
3
4
5
6
8
10
12
12
13
13
14
14
16
18
19
21
24
28
iv
D. PEMBUATAN BISKUIT ...................................................
E. MIXTURE DESIGN……………………………………….
IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT …………………………………....
1. Bahan ..............................................................................
2. Alat .................................................................................
B. METODOLOGI PENELITIAN ........................................
1. Persiapan .......................................................................
2. Penelitian Pendahuluan ..................................................
3. Penelitian Utama ............................................................
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PROSES PEMBUATAN LIGHTER BISCUIT .................
B. PENELITIAN PENDAHULUAN.....................................
C. PENELITIAN UTAMA ...................................................
1. Rancangan Percobaan ....................................................
2. Analisis Respon .............................................................
3. Optimasi Formula ..........................................................
4. Validasi ..........................................................................
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN ..................................................................
B. SARAN ..............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
29
31
33
33
33
33
33
34
37
38
40
43
43
45
53
56
57
57
58
61
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Tingkat kemanisan produk hidrolisis pati dibandingkan dengan sukrosa .................................................................
17
Tabel 2. Karakteristik beberapa CO2 carrier……………………….
23
Tabel 3. Kadar bahan pengembang (% terhadap tepung) dalam uji variasi bahan pengembang ……………………….……….
34
Tabel 4. Jenis dan kadar tepung (% terhadap tepung) dalam uji variasi tepung ……………………………………………..
35
Tabel 5. Kadar pati jagung (% terhadap tepung) dalam uji variasi pati ………………………………………………………...
35
Tabel 6. Kadar shortening (% terhadap tepung) dalam uji variasi shortening………………………………………………….
36
Tabel 7. Metode dan waktu pencampuran (mixing) dalam uji variasi pencampuran (mixing) …………………………….
36
Tabel 8. Formulasi lighter biscuit …………………………………. 37
Tabel 9. Rancangan formula mixture design ..................................... 44
Tabel 10. Hasil analisis %WT loss ...................................................... 45
Tabel 11. Hasil analisis % L increase ………………………………. 48
Tabel 12. Hasil analisis respon tebal (cm) …………………………... 51
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Rumus struktur lemak ...................................................... 18
Gambar 2. Proses pembuatan biskuit skala laboratorium ………...... 30
Gambar 3. Grafik contour plot hasil uji % WT loss ………………. 47
Gambar 4. Grafik tiga dimensi hasil respon % WT loss ………….... 47
Gambar 5. Grafik contour plot hasil uji % L increase...................... 49
Gambar 6. Grafik tiga dimensi hasil respon % L increase ………… 50
Gambar 7. Grafik contour plot hasil respon tebal ............................. 52
Gambar 8. Grafik tiga dimensi hasil respon tebal .............................. 53
Gambar 9. Contour plot desirability produk terhadap formulasi ....... 54
Gambar 10. Grafik tiga dimensi hasil nilai desirability ....................... 55
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil uji variasi bahan baku .......................................... 61
Lampiran 2. Hasil anova respon % WT loss ………………………. 62
Lampiran 3. Persamaan polinomial respon % WT loss ……………. 63
Lampiran 4. Hasil anova respon % L increase ……………………. 64
Lampiran 5. Persamaan polinomial respon % L increase …………. 65
Lampiran 6. Hasil anova respon tebal ……………………………… 66
Lampiran 7. Persamaan polinomial respon tebal ………………….. 67
Lampiran 8. Hasil optimasi formula ……………………………….. 68
Lampiran 9. Hasil uji rating dan deskripsi formula terpilih lighter biscuit …………………………………………………
69
Lampiran 10. Descriptive Statistics ..................................................... 70
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem perdagangan semakin ketat dan kompetitif pada era globalisasi
ini. Banyak sekali industri baru yang muncul dan menjual produknya ke pasar
khususnya industri yang bergerak di bidang pangan. Produsen berlomba-
lomba untuk menarik perhatian masyarakat dengan menghasilkan produk yang
memberikan kepuasan kepada konsumen. Oleh karena itu, peran mutu produk
yang dihasilkan menjadi sangat nyata dalam rangka persaingan antar
produsen. Hal ini dipertegas oleh meningkatnya pandangan dan kesadaran
konsumen terhadap mutu sehingga terjadi suatu kecenderungan dimana hanya
produk yang memenuhi tuntutan konsumen yang diterima oleh konsumen,
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan tren orientasi produsen dari
profit oriented menjadi consumer satisfaction oriented (Soekarto, 1990).
Selain mengendalikan dan menjamin mutu produk, usaha lain yang
dapat dilakukan industri pangan agar tetap eksis dan memenangkan persaingan
dalam dunia bisnis pada era globalisasi ini antara lain dengan melakukan
terobosan-terobosan baru yang kreatif dan inovatif. Terobosan-terobosan
tersebut dapat diwujudkan, salah satunya melalui pengembangan produk baru
dan memanfaatkan semaksimal mungkin peluang bisnis yang ada.
Pengembangan produk baru adalah suatu usaha ekstensifikasi dari
suatu perusahaan pangan hasil kerja sama antara bagian pengembangan
produk, pemasaran, produksi, pengawasan mutu, dan bagian persediaan bahan.
Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan perusahaan dalam rangka
mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar. Usaha-
usaha pengembangan produk baru ini bertujuan untuk menciptakan produk-
produk unggulan yang sering disebut sebagai food trend leader, bermutu
tinggi, aman dan sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan
produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan
produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa alternatif formulasi bahan baku
2
produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk
bermutu yang secara ekonomis menguntungkan dan secara organoleptik dapat
diterima dan disukai oleh konsumen.
Salah satu produk makanan yang sudah banyak di pasaran dan banyak
dikonsumsi sejak dulu adalah biskuit. Persaingan industri pangan khususnya
biskuit, akhir-akhir ini menjadi semakin ketat. Banyak sekali produk-produk
baru bermunculan, mulai mengganti produk lama yang mulai ditinggalkan.
Namun, tidak sedikit pula produk lama yang masih bertahan hingga sekarang.
Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan
memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan
bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang
diizinkan. Secara umum biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu
biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer (SII No. 0177, 1990). Riset
berskala laboratorium mengenai biskuit telah banyak dilakukan, baik dalam
rangka reformulasi maupun formulasi produk baru.
Biskuit banyak disukai konsumen karena beberapa hal, antara lain
rasanya yang enak dan bervariasi, harga relatif murah, cukup mengenyangkan,
hingga kandungan gizi yang lengkap. Jenis dan bentuk biskuit yang beredar di
pasaran pun beragam. Mulai dari yang sederhana, seperti berbentuk kotak,
bulat sampai berbentuk binatang. Penyajiannya pun beragam, ada yang
langsung dimakan hingga dikombinasikan dengan coklat atau lainnya. Hal
yang paling dianggap sebagai keuntungan menjual biskuit adalah harganya
yang murah dengan jumlah per kemasan cukup banyak.
Berdasarkan hal itu, Departemen Penelitian dan Pengembangan
Produk (Research and Development Product Department atau R&D) PT
Arnott’s Indonesia mempunyai ide untuk membuat lighter biscuit. Lighter
biscuit merupakan salah satu jenis biskuit yang memiliki bobot ringan namun
bervolume besar (less weight high volume) sehingga diharapkan
meminimalisasi biaya jika diaplikasikan dalam skala produksi. Di samping itu
terkait juga dengan pengemasan. Biskuit dengan jenis yang sama, namun jika
volumenya lebih besar akan tampak lebih banyak per kemasan dengan bobot
yang lebih ringan.
3
B. TUJUAN MAGANG-PENELITIAN
Secara umum tujuan kegiatan magang-penelitian di Departemen
Penelitian dan Pengembangan Produk (Research and Development Product
Department atau R&D) PT Arnott’s Indonesia adalah untuk melatih
keterampilan lapangan dan pengembangan wawasan berpikir mahasiswa yang
berkaitan dengan penguasaan konseptual dalam usaha pemahaman dan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara integral dan profesional.
Selain itu kegiatan ini juga memiliki tujuan khusus yaitu mendapatkan
formula terbaik dan terpilih lighter biscuit yaitu biskuit dengan bobot yang
ringan namun memiliki volume yang besar (less weight high volume) dalam
rangka pengembangan produk baru biskuit skala laboratorium.
C. KEGUNAAN MAGANG-PENELITIAN
Penelitian ini mendukung pengembangan produk baru biskuit di PT
Arnott’s Indonesia. Formulasi hasil penelitian ini dapat digunakan oleh
perusahaan sebagai formula produk baru setelah dilakukan riset pasar yang
lebih mendalam dan diaplikasikan dalam skala produksi.
4
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN
Sejarah PT. Arnott’s Indonesia dimulai dengan berdirinya perusahaan
yang bergerak di bidang makanan kering dengan nama PT. Tatas Mulya pada
tahun 1977. Sejalan dengan perkembangan pasar yang kurang menyukai
produk ini, maka perusahaan mulai membuat makanan kecil dalam bentuk
chips. Pada tahun 1982 secara resmi dibuat akte pendirian perusahaan yang
menjadi cikal bakal PT. Arnott’s Indonesia.
Pada tahun 1984, perusahaan ini berkembang menjadi dua, yaitu PT.
Tatas Mulya yang berlokasi di Pulo Mas dan PT. Cipta Rasa Primatama yang
pindah ke Pulo Gadung, Jakarta Timur. Pada Januari 1985, PT. Tatas Mulya
berganti nama menjadi PT. Bukit Manikam Sakti (PT. BMS). Selanjutnya
pada tahun 1986, PT. BMS berpindah lokasi ke Bekasi.
Pada tahun 1985, PT. BMS bekerja sama dengan Arnott’s Biscuit
Limited Australia yang merupakan perusahaan biskuit terbesar di Australia.
Perusahaan tersebut berdiri sejak tahun 1865 dan hingga kini telah menguasai
hampir 60% pangsa pasar dunia. Berbekal pengalaman lebih dari 134 tahun,
menjadikan Arnott’s sebagai market leader dalam industri dan distribusi
biskuit yang memiliki kualitas dan bahan baku terbaik. Dengan adanya
kerjasama antara PT. Bukit Manikam Sakti dengan. Arnott’s Biscuit Limited
Australia maka nama PT. BMS berubah menjadi PT. Helios Arnott’s
Indonesia (PT. HAI) dan menjadi salah satu perusahaan makanan ringan
terkenal di Indonesia.
Pada awalnya, PT. HAI memiliki dua lokasi yang terpisah, yaitu di
Pulo Gadung untuk bagian pemasaran, sedangkan pabrik dan departemen
lainnya berlokasi di Bekasi Barat. Namun, terhitung sejak 1 April 1998,
keseluruhan fungsi organisasi dan pabrik berlokasi di Bekasi Barat, tepatnya
di Jl. H. Wahab Affan No 8 (Jalan Raya Bekasi km. 28) Medan Satria, Bekasi
Barat.
5
Sejalan dengan perkembangan industri, pada bulan Desember 1998,
PT. Helios Arnott’s Indonesia berganti nama menjadi PT. Arnott’s Indonesia
dan berafiliasi langsung ke Campbell Soup Company yang merupakan salah
satu perusahaan Amerika berskala dunia yang memproduksi makanan dan
dikelola dengan baik. Dengan berjalannya waktu, beberapa produk andalan
PT. Arnott’s Indonesia yang ada di pasaran saat ini adalah :
1. Milk Plus 9. Good Time Teddy dan Good Time Smiley
2. Nyam-Nyam 10. Tri and Two
3. Stikko 11. Golden ’n Cheese
4. Joddy 12. Mic Mac Sanwidch Crackers
5. Prestige 13. Tim Tam Wafer dan Tim Tam Biscuit
6. Piroutte
7. Corinthians
8. Rondoletti
Selain produk-produk di atas, PT. Arnott’s Indonesia juga
memproduksi biskuit bayi untuk perusahaan lain. Biskuit bayi yang diproduksi
adalah :
1. Milna Baby Biscuit
2. Farley’s Baby Biscuit
3. Nestle Baby Biscuit
4. SGM Baby Biscuit
5. Promina Baby Biscuit
B. LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN
PT. Arnott’s Indonesia terletak di Jl. H. Wahab Affan No. 8 (Jalan
Raya Bekasi km. 28) Medan Satria, Bekasi Barat. Luas keseluruhan areal
pabrik adalah sekitar 6,7 Ha. Lokasi perusahaan ini cukup baik untuk
keperluan industri karena berada dekat dengan bahan baku produk, sumber
tenaga kerja, dan daerah pemasaran untuk distribusi produk. Lokasi
perusahaan juga didukung dengan adanya jalan tol Cikampek yang dekat
6
dengan perusahaan sebagai salah satu sarana yang juga memudahkan
distribusi produk, terutama untuk distribusi ke daerah luar Jakarta.
Terdapat beberapa pabrik di sekitar perusahaan, antara lain pabrik
pakan ternak, pabrik baja dan pabrik otomotif. Akan tetapi, keberadaan
pabrik-pabrik di sekitar PT. Arnott’s Indonesia ini tidak mengganggu kegiatan
produksi di perusahaan.
C. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN
Bentuk struktur organisasi pada PT. Arnott’s Indonesia adalah struktur
organisasi proyek dengan hubungan organisasi terutama pada orang-orang
yang bekerja pada proyek yang sama. Struktur organisasi perusahaan terdiri
dari beberapa kelompok dari fungsi yang berbeda dengan setiap kelompok
yang menitikberatkan pada pengembangan produk tertentu atau lini produksi.
Kendali perusahaan berada pada Presiden Direktur sebagai pucuk
pimpinan. Pelimpahan tugas kepada bawahan melalui masing-masing manajer
departemen, kemudian dilanjutkan pada staf serta karyawan. Berikut akan
dibahas lebih lanjut mengenai tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-
masing bagian.
1. Presiden Direktur
Presiden Direktur merupakan pucuk pimpinan tertinggi di dalam
perusahaan yang mempunyai kekuasaan penuh dan bertanggung jawab
atas maju atau mundurnya perusahaan. Tugas, wewenang dan tanggung
jawab Presiden Direktur antara lain :
• Menentukan kebijaksanaan perusahaan secara menyeluruh.
• Mengarahkan kegiatan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk
mencapai tujuan.
• Mengadakan koordinasi yang tepat dari semua direktur untuk
menjamin kelancaran organisasi melalui pertanggungjawaban masing-
masing direktur.
7
2. Direktur Finance dan Accounting
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bagian ini adalah :
• Menyelenggarakan perencanaan, pembinaan dan pengawasan sistem
keuangan, akuntansi dan administrasi.
• Melakukan administrasi yang tertib.
• Menjamin terciptanya pengawasan internal perusahaan.
3. Direktur Marketing
Tugas, tanggung jawab dan wewenang Direktur Marketing antara lain :
• Merumuskan strategi dan program pemasaran
• Mengawasi pelaksanaan dan pencapaian target yang telah ditentukan
• Memantau dan menganalisa keadaan ekonomi dan pasar, baik dalam
maupun luar negeri, agar dapat mempertimbangkan pengembangan pasar
atau produk yang dihasilkan.
• Melakukan negosiasi dengan pembeli dalam membuat kontrak penjualan
ekspor.
4. Direktur Sales (Penjualan)
Tugas, wewenang dan tanggung jawab Direktur Sales (Penjualan) meliputi :
• Mengamati dan mengikuti perkembangan pasar, harga dan promosi, baik
untuk produk sendiri maupun produk saingan
• Memeriksa kredit langganan dan pengiriman barang ke para pelanggan
• Bekerja sama dengan bagian pemasaran dalam menyusun target penjualan
• Mengadakan kunjungan secara periodik ke pelanggan dan wilayahnya
untuk mengetahui langsung kegiatan pesaing dan menjalin hubungan baik
dengan pelanggan.
• Menerima inormasi dari pengiriman mengenai kebutuhan kuota yang
dimiliki perusahaan
5. General Manager (Manajer Utama)
Manajer Utama harus mengawasi kegiatan operasional yang terjadi
di lapangan, mengawasi fungsi pendukung seperti warehouse dan
purchasing.
8
6. Plant Manager (Manajer Pabrik)
Tugas, wewenang dan tanggung jawab manajer pabrik meliputi :
• Mengawasi kerja manajer produksi
• Memberi laporan kepada presiden Direktur mengenai aktivitas perusahaan
dalam hal pengoperasian
• Mengadakan pengawasan dan pengecekan kualitas produk
• Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dalam lingkungan perusahaan.
D. KETENAGAKERJAAN
Segala hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan peraturannya
telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja bersama antara PT. Arnott’s
Indonesia dengan Serikat Kerja Tingkat Perusahaan. Karyawan di PT. Arnott’s
Indonesia bekerja dengan jangka waktu kerja yang dibedakan menjadi dua
status, yaitu :
1. Pekerja Kontrak
Pekerja kontrak adalah pekerja yang memiliki hubungan kerja untuk
jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak kerja dengan menerima gaji
berdasarkan jumlah hari hadir.
2. Pekerja Tetap
Pekerja tetap adalah pekerja yang memiliki hubungan kerja untuk
jangka waktu yang tidak ditentukan berdasarkan hari kerja yang melebihi
dua puluh hari dalam satu bulan dan tidak melebihi tiga bulan secara terus-
menerus dengan menerima gaji baik bulanan maupun borongan. Dalam
rangka memperlancar jalannya kerja dalam proses produksi maka
perusahaan membagi waktu kerja sebagai berikut :
a. Karyawan kantor
Kegiatan kerja dimulai dari pukul 08.00 sampai dengan 16.30
dengan waktu istirahat selama 30 menit.
b. Karyawan bagian produksi
Kegiatan kerja dibagi menjadi tiga kelompok jam kerja (shift)
yang secara bergantian setiap minggunya, yaitu :
9
• Shift I : Pukul 06.30 sampai dengan 15.00, dengan waktu istirahat
30 menit
• Shift II : Pukul 15.00 sampai dengan 22.30, dengan waktu istirahat
30 menit
• Shift III : Pukul 22.30 sampai dengan 06.30, dengan waktu
istirahat 30 menit
Selama satu minggu terdapat lima hari kerja, yaitu Senin sampai
Jumat kecuali hari libur nasional dan hari libur perusahaan yang sudah
ditetapkan. Jumlah jam kerja dalam satu minggu adalah 40 jam.
PT. Arnott’s Indonesia sebagai perusahaan yang berkredibilitas
tinggi juga memberikan fasilitas kepada karyawannya. Beberapa
fasilitas yang diberikan perusahaan antara lain berupa jaminan sosial
dan kesejahteraan karyawan dalam bentuk sistem pemberian upah
yang diatur menurut status pekerja. Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga
Kerja) berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan
hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan yang meliputi
pemeriksaan kesehatan pada dokter, perawatan di rumah sakit, biaya
persalinan istri pekerja dan keluarga berencana.
Fasilitas penunjang kerja juga diberikan kepada karyawan
dalam bentuk alat kerja yang berupa pakaian kerja yang diberikan oleh
perusahaan. Peralatan keselamatan kerja seperti kaca mata las, sarung
tangan dan topi selalu tersedia bagi karyawan yang memerlukan.
Sedangkan fasilitas lainnya adalah koperasi karyawan, klinik dan jasa
dokter yang terbuka setiap hari kerja, tempat peribadatan (musholla)
dan sarana olah raga.
10
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGEMBANGAN PRODUK
Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan industri dalam
rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar.
Pengembangan produk adalah suatu kegiatan menghasilkan produk yang baru
atau produk lama yang dimodifikasi dengan tambahan rasa baru atau
pencampuran rasa yang sudah ada. Secara umum, produk baru (new product)
adalah produk yang belum pernah ada sebelumnya atau produk hasil
modifikasi dan inovasi dari produk yang sudah ada sebelumnya dari aspek
produksi seperti bahan baku, proses, karakteristik produk maupun kemasan.
Pada dunia industri, produk baru mengandung pengertian yaitu produk yang
sebelumnya belum pernah diproduksi oleh suatu perusahaan meskipun produk
tersebut telah atau pernah diproduksi oleh perusahaan lain. Beberapa
modifikasi dan inovasi yang dapat dilakukan terkait pengembangan produk
baru antara lain modifikasi flavor, warna, bentuk, substitusi bahan baku
utama dengan bahan baku lainnya dengan tujuan menurunkan biaya produksi
atau meningkatan nilai gizi produk tersebut tanpa mengurangi dan
menurunkan mutunya (Soekarto, 1990).
Produk baru dapat digolongkan menjadi tiga jenis. Pertama, fresh new
product atau produk yang benar-benar baru, yaitu produk tersebut belum
pernah diproduksi dan dikomersialkan oleh suatu perusahaan. Kedua, produk
modifikasi atau modified product yaitu produk baru hasil modifikasi produk
yang sudah ada di suatu perusahaan. Modifikasi dapat dilakukan pada jenis
kemasan, formula bahan, jenis bahan baku atau penggunaan flavor yang
berbeda. Ketiga, “me too”, yaitu produk baru hasil tiruan produk perusahaan
lain yang sebelumnya produk tersebut belum diproduksi oleh perusahaan.
Produk “me too” ini biasanya dibuat oleh perusahaan ’follower’ atau
perusahaan ‘challenger’ dengan maksud untuk merebut daerah pemasaran
perusahaan ‘leader’. Salah satu ciri produk jenis ini antara lain harganya yang
11
lebih murah dibandingkan harga produk sejenis dari perusahaan ‘leader’
(Feigenbaum, 1989).
Terdapat beberapa alasan yang menjadi faktor pendorong perlunya
pengembangan produk baru. Alasan-alasan tersebut antara lain yaitu untuk
meningkatkan mutu produk yang sudah ada baik dari segi kandungan gizi
maupun penampakannya. Adanya produk baru diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi proses produksi serta meminimalkan biaya produksi.
Di samping itu, pengembangan produk diperlukan untuk memenuhi keinginan
dan tuntutan konsumen yang selalu berubah seiring dengan perkembangan
zaman dan teknologi. Tidak kalah pentingnya, pengembangan produk perlu
dilakukan untuk meningkatkan daya saing guna menghadapi persaingan
industri yang semakin ketat khususnya industri pangan (Feigenbaum, 1989).
Tahap-tahap yang perlu dilalui dalam kegiatan pengembangan produk
pangan baru yaitu pencarian dan pemilihan ide, pengembangan formula dan
proses, panel test, consumer sampling, pendugaan umur simpan (shelf life),
pengemasan, tahap produksi, market testing, dan tahap komersialisasi. Dalam
setiap tahapan tersebut perlu dilakukan evaluasi dengan berbagai
pertimbangan sehingga produk tersebut layak untuk dilanjutkan ke tahap
berikutnya (Feigenbaum, 1989).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan produk
baru adalah optimasi formulasi bahan baku serta daya terima konsumen. Di
samping itu, produk baru tersebut harus memenuhi beberapa kriteria antara
lain dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan dengan biaya produksi
yang minimal, dapat bersaing dengan produk pesaing yang sejenis, sesuai
dengan kebutuhan dan prioritas konsumen serta mengikuti trend yang sedang
berkembang seperti pangan fungsional, health food, makanan bernutrisi tinggi.
Menurut Feigenbaum (1989) formulasi produk merupakan bagian
dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat
penting dalam penciptaan produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa
alternatif formulasi bahan baku produk sampai dihasilkan formulasi yang
optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis
12
menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh
konsumen.
Kegiatan formulasi untuk produk yang akan dikembangkan meliputi
bahan dan komposisi bahan. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah
mencari alternatif bahan-bahan yang digunakan mencakup bahan utama dan
bahan tambahan, mempertimbangkan masalah ketersediaan bahan, fungsi serta
harga bahan yang akan digunakan. Ketersediaan bahan berkaitan dengan
kelangsungan produksi, harga bahan baku akan menyangkut biaya produksi
yang berpengaruh terhadap harga produk akhir. Di samping itu, pengetahuan
tentang fungsi dan manfaat bahan baku juga merupakan hal yang penting agar
tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan bahan baku yang akan digunakan
dalam kegiatan pengembangan produk (Feigenbaum, 1989).
Kegiatan pengembangan produk yang berhubungan dengan formulasi
ini meliputi optimasi biaya produksi, peningkatan mutu atribut organoleptik
produk yang meliputi warna, rasa, tekstur serta penampakannya. Usaha yang
dapat dilakukan untuk mencapai optimal biaya diantaranya menggunakan
bahan baku yang lebih murah tanpa menurunkan mutu akhir produk,
penyederhanaan formula misalnya perubahan formula dari yang awalnya
menggunakan 3 jenis bahan diganti menjadi 2 jenis bahan dengan tanpa
mengurangi mutu dan daya terima konsumen terhadap produk yang
dihasilkan.
B. BISKUIT
1. Definisi Biskuit
Biskuit merupakan makanan kering hasil pemanggangan yang dibuat
dengan bahan dasar tepung terigu dan bahan tambahan lain membentuk suatu
formula adonan sehingga menghasilkan suatu produk dengan sifat dan struktur
tertentu (Matz, 1978). Menurut Whiteley yang dikutip oleh Sunaryo (1985),
biskuit atau produk sejenisnya harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu
dibuat dari bahan-bahan serealia seperti gandum, jagung, oat, barley dan
sebagainya dengan kadar air kurang lebih 5%. Apabila diisi dengan bahan-
13
bahan pembentuk (krim, jam, jelli dan sebagainya) kadar airnya dapat
melebihi 5% dan apabila bahan utamanya lebih dari 60% bukan serealia maka
tidak dapat disebut sebagai biskuit.
Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan
memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan
bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang
diizinkan. Biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu biskuit keras,
crackers, cookies, dan wafer (SII No. 0177, 1990).
2. Jenis Biskuit
Biskuit dapat dikategorikan menjadi 4 jenis, yaitu biskuit keras,
crackers, cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang
dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang
potongannya bertekstur padat dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah.
Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses
fermentasi, berbentuk pipih, biasanya berasa asin, relatif renyah dan jika
dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis. Cookies adalah jenis
biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, cukup renyah
dan bila dipatahkan penampang potongannya mempunyai tekstur berongga-
rongga. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, mempunyai
pori-pori kasar, relatif rendah dan bila dipatahkan penampang potongannya
membentuk rongga-rongga (SII No. 0177, 1990).
3. Karakteristik Biskuit
Biskuit pada umumnya berwarna coklat keemasan, permukaan agak
licin, bentuk dan ukuran seragam, crumb berwarna putih kekuningan, kering,
renyah dan ringan serta aroma yang menyenangkan (Vail et al., 1978). Bahan
pembentuk biskuit dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu bahan
pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, padatan
dari susu dan putih telur. Bahan pengikat berfungsi untuk membentuk adonan
14
yang kompak. Bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan pengembang
dan kuning telur (Matz, 1978).
C. BAHAN BAKU BISKUIT
1. Tepung
Tepung merupakan komponen penting dan merupakan bahan dasar
pada pembuatan biskuit dan produk bakery lainnya. Terdapat bermacam-
macam jenis tepung, tergantung pada sumber bahan baku, tujuan
penggunaanya, kandungan protein dan lain-lain. Contoh tepung yang
sudah banyak beredar di pasaran antara lain tepung terigu (gandum),
tepung beras, tepung jagung, tepung kacang hijau. Namun, jenis tepung
yang paling terkenal dan paling banyak digunakan adalah tepung terigu.
Tepung ini dibuat dari biji gandum.
1.1. Jenis Tepung Terigu
Menurut Sutomo (2006), di pasaran banyak beredar jenis tepung
terigu yang masing-masing memiliki karakteristik dan fungsi berlainan.
Beberapa jenis tepung terigu yang dikenal di masyarakat :
a. Hard Wheat ( Terigu Protein Tinggi)
Tepung ini diperoleh dari gandum keras (hard wheat)
dengan kandungan proteinnya 11-13%. Tingginya protein
terkandung menjadikan sifatnya mudah dicampur, difermentasikan,
daya serap airnya tinggi, elastis dan mudah digiling. Karakteristik
ini menjadikan tepung terigu hard wheat sangat cocok untuk bahan
baku roti, mie dan pasta karena sifatnya elastis dan mudah
difermentasikan.
15
b. Medium Wheat (Terigu Protein Sedang)
Jenis terigu medium wheat mengandung protein 10%-11%.
Sebagian orang mengenalnya dengan sebutan all-purpose flour
atau tepung serba guna. Tepung ini dibuat dari campuran tepung
terigu hard wheat dan soft wheat sehingga karakteristiknya
diantara kedua jenis tepung tersebut. Tepung ini cocok untuk
membuat adonan fermentasi dengan tingkat pengembangan sedang,
seperti donat, bakpau, bapel, panada atau aneka cake dan muffin.
c. Soft Wheat (Terigu Protein Rendah)
Tepung ini dibuat dari gandum lunak dengan kandungan
protein gluten 8%-9%. Sifatnya, memiliki daya serap air yang
rendah sehingga akan menghasilkan adonan yang sukar diuleni,
tidak elastis, lengket dan daya pengembangannya rendah. Tepung
jenis ini cocok untuk membuat kue kering, biskuit, pastel dan kue-
kue yang tidak memerlukan proses fermentasi.
d. Self Raising Flour
Jenis tepung terigu ini sudah ditambahkan bahan
pengembang dan garam. Penambahan ini menjadikan sifat tepung
lebih stabil dan tidak perlu menambahkan pengembang lagi ke
dalam adonan. Jika sukar didapat, tambahkan satu sendok teh
baking powder ke dalam sekilo tepung sebagai gantinya. Self
raising flour sangat cocok untuk membuat cake, muffin, dan kue
kering.
e. Enriched Flour
Jenis tepung terigu ini sudah disubstitusi dengan beragam
vitamin atau mineral dengan tujuan memperbaiki nilai gizi
terkandung. Biasanya harganya relatif lebih mahal. Cocok untuk
kue kering dan bolu.
16
f. Whole Meal Flour
Tepung ini biasanya dibuat dari biji gandum utuh termasuk
dedak dan lembaganya sehingga warna tepung lebih gelap/krem.
Terigu whole meal sangat cocok untuk makanan kesehatan dan
menu diet karena kandungan serat (fiber) dan proteinnya sangat
tinggi.
2. Gula
Secara kimia gula lebih dikenal dengan nama sukrosa. Jenis gula
yang beredar di pasaran pun beragam. Gula dapat dibedakan berdasarkan
bentuk, jenis dan sifat bahan baku, dan proses pembuatan serta tingkat
kemanisan. Berdasarkan bentunya gula dapat dibedakan menjadi gula
kristal, gula halus dan sirup. Berdasarkan bahan bakunya gula dapat
dibedakan menjadi gula tebu, gula bit, gula aren dan lain-lain. Sedangkan
berdasarkan tingkat kemanisan gula sintetik umumnya lebih manis
dibandingkan gula non sintetik (Manley, 1983).
Sukrosa atau yang lebih dikenal dengan gula pasir merupakan jenis
gula yang paling banyak ditemukan. Sifat fisik dari gula pasir sendiri
adalah berbentuk kristal putih dengan ukuran yang bervariasi tergantung
ukuran granulanya. Semakin kecil ukuran granula berarti semakin halus
dan lembut atau yang lebih dikenal dengan nama gula halus. Menurut
Manley (1983) jenis gula inilah yang semakin banyak digunakan oleh
industri bakery maupun biskuit karena tidak akan menyebabkan tekstur
dan rasa ‘berpasir’ pada produk yang dihasilkan.
Di samping itu, terdapat juga gula kristal berwarna coklat atau
dikenal dengan brown sugar. Jenis gula ini dibedakan berdasarkan warna
dan ukuran partikel. Warna coklat yang dihasilkan tergantung dari jumlah
sirup yang ditambahkan dan menyelimuti kristal melalui reaksi
pencoklatan atau reaksi Maillard. Penggunaan gula coklat pada produk
bakery maupun biskuit akan berpengaruh pada warna dan flavor produk
yang dihasilkan. Biasanya akan dihasilkan warna yang lebih gelap dan
17
flavor agak gosong dibandingkan penggunaan gula kristal putih maupun
gula halus (Manley, 1983).
Jenis gula yang lain adalah gula cair. Jenis gula ini sangat sering
digunakan oleh industri yaitu sukrosa dalam bentuk cair (larutan).
Beberapa keuntungan dari penggunaan gula cair ini antara lain lebih
akurat dalam pengukuran, lebih murah dibandingkan gula kristal karena
dalam proses produksinya merupakan hasil sebelum tahap pengkristalan,
mudah larut dan menyatu dengan bahan lain selama pencampuran. Dalam
penyimpanannya, gula cair umumnya terdiri dari 67% padatan dan
mengandung tidak lebih dari 5% gula invert untuk mencegah kristalisasi
(Manley, 1983).
Di samping itu juga dikenal gula dalam bentuk sirup. Jenis gula ini
dapat dibedakan menjadi dua kelas, yaitu turunan dari sukrosa baik
sebagian maupun total dan turunan dari material pati khususnya pati
jagung melalui proses hidrolisis. Pada kedua jenis ini kuantitas dan
kualitas molekul rantai gula yang lebih pendek sangat penting (Manley,
1983).
Pati yang banyak digunakan untuk membuat gula adalah pati
jagung. Namun tidak jarang pula digunakan pati kentang, tapioka sebagai
bahan bakunya. Dalam proses pembuatannya, pati akan dipecah melalui
hidrolisis oleh asam atau menggunakan enzim khusus ataupun kombinasi
keduanya. Setelah pati dihidrolisis, akan terbentuk senyawa yang larut dan
manis. Perbandingan tingkat kemanisan produk hidrolisis pati dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Tingkat kemanisan produk hidrolisis pati dibandingkan dengan sukrosa*
Jenis gula Tingkat kemanisan (1 unit = 100)
Fruktosa 173
Sukrosa 100
Dextrose 74
Saccharin 300
* Manley (1983)
18
3. Lemak dan Minyak
Lemak merupakan bahan baku yang penting dalam pembuatan
biskuit dan merupakan satu dari tiga komponen terbesar dalam pembuatan
biskuit selain tepung dan gula, namun harganya relatif mahal. Sifat fisik
dan kimia lemak cukup kompleks. Nilai kalori dari lemak paling tinggi
dibandingkan karbohidrat dan protein yaitu 9 kkal (Winarno, 1997).
Secara kimia lemak merupakan campuran trigliserida yang terdiri
dari asam lemak yang berbeda jenis maupun sama. Rumus kimia dari
lemak dapat dilihat pada Gambar 1.
OH R1
OH R2
OH R3
Gliserol Trigliserida
Gambar 1. Rumus struktur lemak
Jenis asam lemak bervariasi berdasarkan panjang rantai karbonnya
dan dapat bersifat jenuh maupun tidak jenuh. Semakin panjang rantai
karbonnya semakin tinggi titik lelehnya. Asam lemak jenuh tidak
memiliki rantai karbon dengan ikatan rangkap sehingga senyawa ini lebih
stabil dari rekasi oksidasi. Sedangkan pada asam lemak tidak jenuh
terdapat satu atau lebih ikatan rangkap pada rantai karbonnya dengan
bentuk konfigurasi cis maupun trans (Winarno, 1997). Berdasarkan
bentuknya lemak dapat dibedakan menjadi lemak padat dan lemak cair.
Dalam pembuatan biskuit, lemak dapat digunakan langsung
sebagai bahan baku dalam adonan, pengisi, penyemprot maupun pelapis.
Dalam adonan, lemak berperan dalam pembentukan tekstur biskuit.
Penggunaan lemak akan menghasilkan biskuit yang lebih lembut (tidak
terlalu keras) dibandingkan tanpa lemak. Penggunaan lemak sebagai krim
pengisi maupun pelapis, berfungsi sebagai pembawa dan melepaskan
flavor yang enak ketika biskuit dimakan (Manley, 1983).
19
Selama pencampuran adonan, terdapat persaingan antara fase cair
dan lemak pada permukaan tepung. Air atau larutan gula berinteraksi
dengan protein yang terkandung dalam tepung menghasilkan gluten yang
membentuk jaringan yang ekstensibel dan kohesif (Manley, 1983). Ketika
beberapa lemak melapisi tepung, jaringan yang terbentuk terganggu
sehingga akan berpengaruh pada tekstur biskuit yang dihasilkan yaitu
setelah dipanggang akan menjadi lebih lembut, lunak dan lebih mudah
larut dalam mulut. Jika kandungan lemak tinggi, fungsi lubrikasi dalam
adonan menjadi lebih nyata, sehingga sedikit air dibutuhkan untuk
mencapai konsistensi yang diinginkan. Di samping itu akan semakin
sedikit gluten yang terbentuk, pembengkakan dan gelatinisasi pati
berkurang sehingga menghasilkan tekstur yang lebih lembut. Pada
pembuatan cake, lemak berfungsi menyediakan udara untuk proses
ekspansi (pengembangan) dan berperan dalam pembentukan tekstur
selama pemanggangan. Menurut Joyner (1953), lemak menghambat difusi
gas menuju dinding sel selama tahap kritis antara suhu 38-58 0C ketika
adonan menjadi lebih lembut dan sebelum pati pecah yang memberikan
kekuatan dan elastisitas yang lebih.
4. Emulsifier
Proses pengolahan, distribusi dan penyimpanan produk
panggangan (bakery) membutuhkan bahan tambahan pangan yang dapat
mempertahankan kualitas dan kesegaran yaitu emulsifier. Produk
panggangan (bakery) tanpa emulsifier dideskripsikan menjadi keras,
kering, apek, berkerak atau tidak memiliki rasa (Brandt, 1996). Emulsifier
adalah senyawa yang berfungsi sebagai penstabil campuran dua cairan
immiscible. Dalam hal pangan, dua cairan immiscible ini menunjukkan air
dan minyak/lemak.
Menurut Manley (1991), emulsifier atau zat pengemulsi
didefinisikan sebagai senyawa yang mempunyai aktivitas permukaan
(surface-active agents) sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan
(surface tension) antara udara-cairan dan cairan-cairan yang terdapat
20
dalam suatu sistem makanan. Kemampuannya menurunkan tegangan
permukaan menjadi hal menarik karena emulsifier memiliki keajaiban
struktur kimia yang mampu menyatukan dua senyawa berbeda
polaritasnya.
Sifat fisik dan kimia emulsifier cukup kompleks, namun prinsip
kerjanya sederhana yaitu berperan pada molekul polar dan non polar.
Molekul polar bersifat mengikat air (mempunyai afinitas terhadap air)
disebut hidrofilik sedangkan bagian non polar bersifat mengikat lemak
(mempunyai afinitas terhadap lemak) disebut lipofilik. Fungsi emulsifier
pada kondisi banyak mengandung lemak atau banyak mengandung air
berbeda-beda tergantung pada ukuran dan kondisi fraksi polar dan non
polar dari komponen molekul emulsifier. Oleh karena itu, penting untuk
menentukan jumlah emulsifier yang paling efektif untuk tiap aplikasi
(Manley, 1991).
Interaksi antara emulsifier dan komponen tepung sangat beragam
dan dapat memperbaiki fungsi dan penampakan produk panggangan
(bakery). Emulsifier akan membentuk kompleks dengan fraksi amilosa
dari pati. Komponen emulsifier yang mengandung asam lemak jenuh
tunggal juga akan membentuk struktur helikal dengan amilosa yang
mempengaruhi reaksi gelatinisasi pati dan mengurangi kecenderungan
amilosa berdifusi keluar dari granula pati dengan adanya air hangat.
Kemampuan mengkompleks amilosa dari pati ini mempengaruhi sifat
menahan atau menyimpan gas dalam adonan. Interaksi emulsifier dengan
protein tepung ditandai dengan adanya perubahan sifat viskoelastis gluten
yang akan memperbaiki toleransi adonan terhadap mixing dan machining.
Mekanisme interaksi tersebut cukup sulit dimengerti, namun keterlibatan
ikatan ionic dengan protein tepung sangat penting. Sifat emulsifier yang
dapat mengkompleks pati dan protein juga berperan untuk memperbaiki
sheetability atau pembuatan lembaran dari adonan dengan kadar lemak
rendah (Manley, 1991).
Menurut Timmermann (2000), daya kerja emulsifier menurunkan
tegangan permukaan dicirikan bagian lipofilik (non-polar) dan hidrofilik
21
(polar) yang terdapat pada struktur kimianya. Ukuran relatif bagian
hidrofilik dan lipofilik zat pengemulsi menjadi faktor utama yang
menentukan perilakunya dalam pengemulsian. Untuk memilih pengemulsi
yang cocok untuk pemakaian pada produk pangan olahan tertentu, telah
dikembangkan apa yang disebut sistem HLB (Hidrophilic/Lipophilic
Balance atau perimbangan hidrofilik/lipofilik). Bila emulsifier tersebut
memiliki kecenderungan terikat lebih kuat pada air atau nilai HLBnya
tinggi, dapat membantu terbentuknya emulsi minyak dalam air (M/A).
Contohnya, antara lain susu, es krim, dan mayonnaise. Sebaliknya bila
emulsifier memiliki kecenderungan terikat lebih kuat terhadap minyak atau
nilai HLB rendah, akan terbentuk emulsi air dalam minyak (A/M).
Contohnya, antara lain adalah mentega dan margarin.
Menurut Manley (1991), emulsifier alami masih sedikit jumlahnya
dan hanya lesitin yang cukup dikenal. Lesitin dari kedelai merupakan
lesitin alami yang banyak digunakan. Fungsi emulsifier dalam bahan
pangan antara lain :
1. Penstabil emulsi minyak dalam air
2. Penstabil emulsi air dalam minyak
3. Memodifikasi kristalisasi lemak
4. Mengubah konsistensi, ketebalan dan pembentukan gel pati melalui
pembentukan kompleks antara pati, protein dan gula
5. Memberikan efek lubrikasi pada adonan dengan kandungan lemak
rendah
5. Bahan Pengembang
Menurut Bode (1987) di dalam Ernst Brose, et al. (1996), bahan
pengembang merupakan sistem komponen satu atau lebih senyawa kimia.
Jika terdapat panas, senyawa kimia yang berperan sebagai bahan
pengembang akan terdekomposisi menjadi gas dan senyawa kimia lain.
Bahan pengembang merupakan sumber karbondioksida yang akan
membentuk volume adonan. Bahan pengembang yang digunakan adalah
natrium bikarbonat, baking powder dan ammonium bikarbonat.
22
Natrium bikarbonat atau lebih dikenal dengan nama baking soda
merupakan sumber gas yang memiliki harga murah, tingkat toksisitas
rendah, mudah digunakan, relatif tidak meninggalkan rasa pada produk
akhir. Menurut Bretschneider (1969) di dalam Ernst Brose, et al. (1996),
pada suhu 60 0C, natrium bikarbonat akan melepaskan karbondioksida
pada adonan. Jika tanpa leavening acid juga akan terbentuk natrium
karbonat dan memberikan efek lebih alkali serta bau seperti sabun (soapy
off-flavor) pada adonan. Reaksi natrium bikarbonat dalam menghasilkan
gas CO2 adalah sebagai berikut :
2 NaHCO3 Na2CO3 + H2O + CO2 Natrium Natrium Air Karbon bikarbonat Karbonat dioksida
Menurut Brose, et al.(1996), baking powder merupakan campuran
yang terdiri dari CO2 carrier, satu atau lebih leavening acid dan
separation agent. CO2 carrier berfungsi sebagai sumber CO2, leavening
acid berperan dalam pelepasan CO2 dan separating agent berperan dalam
mencegah preeeliminary CO2 yang disebabkan oleh reaksi asam dengan
alkali. Di samping itu, separating agent dapat meningkatkan umur simpan
baking powder dan menstandarisasi baking powder dalam hal kuantitas
dan ukuran kemasan.
Senyawa yang termasuk CO2 carrier antara lain natrium
bikarbonat, ammonium bikarbonat, ammonium karbonat dan potassium
karbonat. Pada umumnya, industri banyak menggunakan natrium
bikarbonat atau lebih dikenal dengan baking soda. Karakteristik beberapa
CO2 carrier dapat dilihat pada tabel 2. Senyawa yang tergolong leavening
acid antara lain asam tartarat, asam sitrat, natrium acid pirophospat,
kalsium laktat dan kalsium sulfat. Senyawa atau bahan yang banyak
digunakan sebagai separating agent antara lain pati, tepung, kalsium
karbonat maupun campuran ketiganya. Pati jagung paling banyak
digunakan sebagai separating agent. (Brose et al., 1996). Baking powder
yang digunakan dalam formulasi ini dibuat dari 36% natrium bikarbonat,
23
49% SAPP (Sodium Acid Pyro Phosphat) dan 10% maizena serta 5%
kalsium karbonat (CaCO3). Penggunaan kedua bahan pengembang ini
berpengaruh terhadap diameter, panjang atau lebar adonan. Reaksi yang
terjadi selama pencampuran dan pemangganngan adalah sebagai berikut :
Na2H2P2O7 + 2NaHCO3 Na4P2O7 + 2CO2 + 2H2O
Sodium Acyd Tetra Sodium Pyrophosphat Pyrophosphat
Menurut Brose, et al. (1996), natrium bikarbonat akan
menghasilkan CO2 jika terdapat leavening acid seperti SAPP. Kalsium
karbonat (CaCO3) dan maizena berfungsi sebagai separating agent yang
akan mengikat dan mempertahankan CO2 yang dihasilkan dalam adonan.
CaCO3 merupakan garam yang bersifat basa kuat dan merupakan senyawa
yang bersifat stabil. Senyawa ini akan terurai jika diberi perlakuan panas
yang sangat tinggi.
Tabel 2. Karakteristik beberapa CO2 carrier
Karakteristik Natrium bikarbonat
Kalium bikarbonat
Ammonium Bikarbonat
Kalium karbonat
Rumus kimia
NaHCO3 KHCO3 NH4HCO3 K2CO3
Berat Molekul
84.01 100.11 79.05 138.21
Penampakan Putih, kristal Putih, kristal Putih, kristal Putih, kristal
Bau Tidak berbau Tidak berbau Ammonia Tidak berbau
Ammonium bikarbonat juga digunakan pada pembuatan biskuit
kali ini. Bahan pengembang jenis ini biasanya digunakan pada produk
dengan kadar air rendah dan benar-benar kering karena dapat
meninggalkan rasa pada produk akhir. Bahan pengembang jenis ini
berpengaruh pada tebal adonan. Reaksi ammonium bikarbonat dalam
menghasilkan gas CO2 adalah sebagai berikut :
24
NH4HCO3 NH3 + H2O + CO2
Ammonium ammonia Bikarbonat
6. Pati Jagung
Polisakarida penyimpan yang paling penting di alam adalah pati
yang khas bagi sel tanaman. Pati terdapat dalam sel bentuk gumpalan
besar atau granula. Molekul pati terhidrasi pada tingkat yang cukup tinggi
karena mempunyai gugus hidroksil yang terbuka (Thenawijaya, 1997).
Pati merupakan polisakarida yang tersusun oleh unit-unit glukosa dengan
ikatan alfa glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya,
tergantung dari panjang rantai karbonnya serta lurus atau bercabang rantai
molekulnya (Winarno, 1997).
Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan
terutama karena mensuplai kebutuhan energi manusia di dunia dengan
porsi yang tinggi. Lebih dari 80 persen tanaman pangan terdiri dari biji-
bijian atau umbi-umbian dan tanaman sumber pati lainnya (Greenwood
dan Munro, 1979)
Pati banyak terdapat pada tanaman sebagai cadangan karbohidrat,
dan merupakan sumber karbohidrat utama bagi manusia. Pati memiliki
karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran,
komposisi, dan kekristalan granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999). Dalam
bentuk aslinya secara alami, pati merupakan butiran-butiran kecil yang
disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap
jenis pati, karena itu dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran
granula, karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi
hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976).
Pati tidak larut pada air dingin dan akan membentuk massa pasta
yang padat dan keras apabila dicampur dengan air dingin. Oleh karena
itulah pati sangat sulit dijadikan massa adonan yang nantinya mengalami
pencetakan. Sifat pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang
25
komposisinya masih lengkap. Pati jagung atau yang dikenal dengan nama
dagang maizena merupakan produk utama dari industri penggilingan
jagung dengan teknik basah (wet mill) (Greenwood, 1975).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik,
yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, dan umbi-
umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang
rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang. Dalam bentuk aslinya
secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut
granula. Bentuk ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati,
karena itu digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula
karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta
permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976).
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu
amilosa, amilopektin, dan material antara seperti protein dan lemak (Banks
dan Greenwood, 1975). Umumnya pati mengandung 12 – 30% amilosa, 75
– 80% amilopektin dan 5 – 10% material antara. Struktur dan jenis
material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani
sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian
mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan
pati umbi (Greenwood, 1979).
Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi
sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih. Sifat ini disebut
sifat birefringence. Pada waktu granula mulai pecah sifat birefrengence ini
akan hilang. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati dalam air
panas membengkak sedemikian rupa sehingga tidak kembali ke bentuk
normalnya disebut birefrengence end point temperature atau disingkat
BEPT (Winarno, 1997).
Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat,
tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula
pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang
tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan
demikian juga umurnya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron
26
ini tergantung sumber patinya. Untuk pati jagung memiliki diameter
berkisar antara 21 – 96 μm, kentang 15 – 10 μm, ubi jalar 15 – 55 μm,
tapioka 6 – 36 μm, gandum 3 – 38 μm, dan beras 3 – 9 μm (Fennema,
1976).
6.1. Granula Pati
Granula pati mempunyai ukuran diameter 3-26 μm, namun rata-
rata ukuran granula pati jagung adalah 15 μm. Pati dengan ukuran granula
besar mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pati dengan granula yang berukuran kecil.
Pengamatan dengan DSC (Differential Scanning Calorimetry)
menunjukkan bahwa pati dengan ukuran kecil mempunyai suhu awal
gelatinisasi lebih rendah dibandingkan dengan pati yang berukuran granula
lebih besar (Wirakartakusumah, 1981).
Secara mikroskopik, dalam granula pati campuran molekul
berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis
yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun
terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum.
Penampakan cincin atau lamela pada granula pati adalah akibat dari
pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada waktu yang berlainan
dan tidak sama kadarnya. Selanjutnya Hodge et al., (1976) menjelaskan
bahwa ikatan paralel terbentuk antara molekul linier yang berdekatan atau
dengan cabang yang terluar dari molekul bercabang. Ikatan ini
dihubungkan dengan ikatan hidrogen, menghasilkan daerah kristalisasi
atau misela. Daerah yang kurang padat yang disebut daerah amorf mudah
dimasuki air. Misela menyebabkan granula pati memiliki sifat
birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan
cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal hitam
putih di bawah mikroskop (Whistler et al., 1996).
Letak hilum dalam granula pati ada yang ditengah dan ada yang
ditepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan
27
gandum) mempunyai hilum yang terletak ditengah, sedangkan pada
granula pati kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Bentuk butir
pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit
amorf (Greenwood, 1975). Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan
asam kuat dan enzim sedangkan amorf sifatnya labil terhadap asam kuat
dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa
merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976).
Sampai saat ini diduga bahwa amilopektin merupakan komponen yang
bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati.
6.2. Amilosa
Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4)
dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus umumnya
dikatakan sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnya jika amilosa
dihidrolisa dengan β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil
hidrolisis yang sempurna (Greenwood, 1975). β-amilase menghidrolisa
amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan α-
(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa.
Banyaknya satuan glukosa dalam setiap rantai tergantung pada
sumbernya. Biasanya setiap rantai mengandung 850 atau lebih unit gluosa
dan dari setiap rantai lurus tersebut terdapat satu titik cabang ikatan α-(1,6)
glikosida. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan
metoda ekstraksi yang dipergunakan.
Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah
kecenderungan membentuk struktuk koil yang sangat panjang dan
fleksibel yang selalu bergerak melingkar. Struktur ini yang mendasari
terjadinya interaksi iod-amilosa membentuk warna biru, dan ini dapat
ditentukan kadarnya dengan mengunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 625 – 660 nm (Greenwood, 1975).
28
6.3. Amilopektin
Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada
rantai lurusnya, serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan
percabangan tersebut berjumlah sekitar 4 – 5% dari seluruh ikatan yang
ada pada amilopektin (Hodge dan Osman, 1976 ; Fennema, 1976).
Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul
glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul bervariasi tergantung
sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung sejumlah
kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon yang ke 6 dari cincin
glukosa (Greenwood dan Munro, 1979).
Dalam produk makanan amilopektin bersifat merangsang
terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makanan yang berasal
dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan,
porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati yang mengandung amilosa
yang tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal karena
proses mekarnya terjadi secara terbatas.
7. Garam
Garam dapur adalah sejenis mineral yang lazim dimakan manusia.
Bentuknya kristal putih, dihasilkan dari air laut. Biasanya garam dapur
yang tersedia secara umum adalah natrium klorida (NaCl). Garam sangat
diperlukan tubuh, namun bila dikonsumsi secara berlebihan dapat
menyebabkan berbagai penyakit, termasuk tekanan darah tinggi. Selain itu
garam juga digunakan untuk mengawetkan makanan dan sebagai bumbu.
Untuk mencegah penyakit gondok, garam dapur juga sering ditambahi
iodium (Anonimc, 2006)
Natrium klorida, juga dikenal dengan garam dapur, atau halit,
adalah senyawa kimia dengan rumus kimia NaCl. Senyawa ini adalah
garam yang paling mempengaruhi salinitas laut dan cairan ekstraselular
pada banyak organisme multiselular. Sebagai komponen utama pada
29
garam dapur, natrium klorida sering digunakan sebagai bumbu dan
pengawet makanan.
Penggunaan garam bervariasi dalam produk bakery tergantung
kebutuhan fungsi. Pada umumnya, tingkat atau kandungan garam akan
menurun secara gradual dalam makanan karena melebihi tingkat atau
kandungan natrium dalam banyak makanan. Beberapa fungsi garam dalam
pembuatan produk bakery antara lain :
1. Berkontribusi dalam flavor produk
2. Menurunkan aw (water activity) produk (Cauvan & Young, 2000)
3. Menghambat aktivitas kamir dan dapat digunakan untuk mengontrol
fermentasi dalam pembuatan roti (Williams & Pullen, 1998)
4. Memodifikasi reologi adonan
5. Berkontribusi dalam pembentukan warna coklat pada roti
D. PEMBUATAN BISKUIT
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lighter biscuit
terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama meliputi : soft
flour, pati modifikasi, shortening, gula dan skim. Bahan tambahan
meliputi : bahan pengembang, lesitin, garam, air dan flavor susu.
Proses pembuatan biskuit yang dilakukan pada penelitian ini secara
umum meliputi tahap penimbangan, mixing (pencampuran), proofing
(pengistirahatan), laminasi, pencetakan, dan baking (pemanggangan).
Diagram alir proses pembuatan biskuit secara lengkap dapat dilihat pada
Gambar 2..
30
Dilarutkan dalam air hangat
Creaming (5-8 menit)
Dicampur (mixing) selama 10-15 menit dengan kecepatan tinggi
Proofing ± 5-10 menit
Laminasi (dipipihkan) tebal ± 0.25 cm
Pencetakan
Pemanggangan dengan oven suhu 180-210 0C ± 5 menit
Pemanasan dengan microwave suhu 130 0C ± 8-10 menit Biskuit
Gambar 2. Proses pembuatan biskuit skala laboratorium
Gula + Shortening +
Lesitin
Ammonium bikarbonat
Flavor
Tepung, pati modifikasi, skim,
air
Na-bikarbonat, baking powder,
garam + air
31
E. MIXTURE DESIGN
Program Design Expert version 7 ini adalah suatu program yang
mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data
statistik. Metode rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial,
Response Surface Methods (RSM), Mixture Design techniques, dan
Combined Designs. Desain faktorial merupakan suatu rancangan
percobaan untuk mengidentifikasi faktor perlakuan yang penting sekali
dan berpengaruh pada suatu penelitian. Response Surface Methods (RSM)
yaitu suatu metode rancangan percobaan untuk menemukan rancangan
proses yang ideal. Mixture Design techniques yaitu untuk mencari
formulasi yang optimal pada berbagai formula yang dibuat, Combine
Design yaitu untuk menggabungkan (combine) variabel-variabel proses,
campuran komponen dan faktor yang berpengaruh dalam satu desain,
sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan formula yang
optimal (Anonim b, 2005).
Optimasi pada salah satu atau seluruh aspek produk adalah tujuan
dalam pengembangan produk. Hasil evaluasi sensori seringkali digunakan
untuk menentukan apakah produk yang optimum telah dikembangkan
dengan benar. Metode Mixture Design (MD) seringkali diterapkan dalam
mengoptimasi formula suatu produk. MD merupakan kumpulan dari
teknik matematika dan statistika yang berguna untuk permodelan dan
analisa masalah sebuah respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel
dan tujuannya adalah mengoptimalkan respon tersebut (Montgomery,
2002). Respon yang digunakan dalam MD adalah fungsi dari proporsi
perbedaan komponen atau bahan dalam suatu formula (Cornell,1990).
Menurut Cornell (1990), MD terdiri dari enam tahap yaitu
menentukan tujuan percobaan, memilih komponen-komponen dari
campuran, mengidentifikasi batasan-batasan pada komponen campuran,
mengidentifikasi variabel respon yang akan dihitung, membuat model
yang sesuai untuk mengolah data dari respon, dan memilih disain
percobaan yang sesuai. MD digunakan untuk menentukan dan secara
simultan menyelesaikan persamaan multivariasi. Persamaan tersebut dapat
32
ditampilkan secara grafik sebagai respon yang dapat digunakan dalam
menggambarkan bagaimana variabel uji mempengaruhi respon,
menentukan hubungan antar variabel uji, dan menentukan bagaimana
kombinasi seluruh variabel uji mempengaruhi respon.
Menurut Cornell (1990), metode MD tidak hanya terdiri dari dua
orde. Namun yang sering digunakan adalah orde pertama dan kedua. Orde
pertama dari MD dengan dua variabel uji digambarkan pada persamaan
(1), sedangkan orde kedua digambarkan pada persamaan (2).
Y = b0 + b1X1 + b2X2 (1)
Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X2
2 + b12X1X2 (2)
Orde pertama seringkali memberikan deskripsi bentuk geometri
permukaan respon yang kurang memadai. Oleh karena itu penggunaan
orde kedua lebih dianjurkan.
Rancangan mixture design ini berfungsi untuk menemukan
formula yang optimal yang sesuai yang kita inginkan. Untuk mencapai
kondisi tersebut harus memperkirakan respon produk atau parameter
produk yang menjadi ciri yang penting serta dapat meningkatkan mutu
produk. Respon yang dipilih tersebut akan dijadikan input data yang
selanjutnya diproses oleh program rancangan RSM mixture design,
sehingga membentuk gambaran dan kondisi proses yang optimal (Anonim b, 2005).
33
IV. METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan - bahan yang digunakan dalam magang-penelitian ini adalah
tepung terigu kadar protein rendah, tepung terigu kadar protein sedang,
tepung terigu kadar protein tinggi, maizena, pati modifikasi, shortening,
margarin, butter, minyak (oil), gula, susu skim, natrium bikarbonat,
ammonium bikarbonat, baking powder, sodium acyd pyrophosphat,
kalsium karbonat, garam, lesitin, flavor dan air yang diperoleh di PT
Arnott’s Indonesia Bekasi.
2. Alat
Alat - alat yang digunakan dalam magang-penelitian ini adalah
timbangan, gelas ukur, sendok, mixer, oven, microwave, loyang,
laminator, cetakan, stop watch dan sigmat yang terdapat di PT Arnott’s
Indonesia Bekasi.
B. METODE PENELITIAN
Kegiatan magang penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu
penelitian pendahuluan, tahap persiapan dan penelitian utama. Tahap
persiapan meliputi penyiapan bahan baku dan bahan tambahan untuk
pembuatan lighter biscuit. Penelitian pendahuluan meliputi uji variasi bahan
pengembang, variasi pati, variasi tepung, variasi shortening, dan variasi
pencampuran (mixing). Penelitian utama meliputi formulasi lighter biscuit
menggunakan rancangan percobaan mixture design dan uji organoleptik.
1. Persiapan
Tahap persiapan pada kegiatan magang penelitian ini meliputi
penyiapan bahan baku dan bahan tambahan. Bahan-bahan yang harus
dipersiapkan adalah soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B,
34
shortening, gula, susu skim, sodium bikarbonat, ammonium bikarbonat,
baking powder, garam, lesitin, flavor dan air.
2. Penelitian Pendahuluan
Tahap penelitian pendahuluan meliputi uji variasi bahan
pengembang, variasi pati, variasi tepung, variasi shortening, dan variasi
pencampuran (mixing). Uji variasi bahan pengembang dilakukan sebanyak
8 formula, uji variasi pati dilakukan sebanyak 7 formula, uji variasi tepung
dilakukan sebanyak 3 formula, uji variasi shortening dilakukan sebanyak 6
formula dan uji variasi pencampuran (mixing) dilakukan sebanyak 4
formula. Setelah itu dilanjutkan dengan optimasi formula dari masing-
masing uji variasi.
Uji variasi bahan pengembang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh bahan pengembang terhadap sifat dan karakteristik biskuit yang
dihasilkan. Bahan pengembang yang digunakan dalam uji ini adalah
sodium bikarbonat, baking powder dan ammonium bikarbonat. Uji variasi
bahan pengembang dilakukan sebanyak 8 formula dengan kadar bahan
pengembang yang berbeda-beda. Kadar bahan pengembang yang
digunakan untuk masing-masing formula dapat dilihat pada Tabel 3.:
Tabel 3. Kadar bahan pengembang (% terhadap tepung) dalam uji variasi
bahan pengembang
Formula
Bahan pengembang F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
Sodium bikarbonat 0.8% - 1.6% 0.8% 0.8% - 0.8% 0.8%
Baking powder 1.0% 1.0% 1.0% - 2.0% - 1.0% 1.0%
Ammonium bikarbonat - - - - - - 0.5% 1.5%
35
Uji variasi tepung bertujuan untuk mengetahui jenis tepung yang
cocok dan baik untuk digunakan dalam pembuatan biskuit. Jenis tepung
yang digunakan dalam uji ini adalah soft flour, medium flour dan bread
flour. Uji variasi tepung dilakukan sebanyak 3 formula dengan kadar
tertentu. Jenis dan kadar tepung yang digunakan dalam uji variasi tepung
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jenis dan kadar tepung (% terhadap tepung) dalam uji variasi
tepung
Formula
Jenis tepung F1 F2 F3
Soft flour 100% - -
Bread flour - 100% -
Medium flour - - 100%
Uji variasi pati bertujuan untuk mengetahui jenis pati yang cocok
dalam pembuatan biskuit dan pengaruh pati jika dikombinasikan dengan
tepung terhadap karakteristik biskuit yang dihasilkan. Jenis pati yang
digunakan dalam uji ini adalah pati jagung atau yang lebih dikenal dengan
nama maizena. Uji variasi pati dilakukan sebanyak 7 formula dengan
kadar yang berbeda-beda. Kadar pati jagung yang digunakan dalam uji
variasi pati dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kadar pati jagung (% terhadap tepung) dalam uji variasi pati
Formula
Jenis pati dan tepung F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
Soft flour 100% - 80% - 50% - -
Bread flour - 100% - 80% - 50% -
Maizena - - 20% 20% 50% 50% 100%
Uji variasi shortening bertujuan untuk mengetahui jenis shortening
yang cocok dalam pembuatan biskuit dan pengaruhnya terhadap
karakteristik biskuit yang dihasilkan. Jenis shortening yang digunakan
36
dalam uji ini adalah fat shortening yellow, butter, margarin dan liquid oil.
Uji variasi shortening dilakukan sebanyak 6 formula dengan kadar yang
berbeda-beda. Kadar shortening yang digunakan dalam uji variasi
shortening dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kadar shortening (% terhadap tepung) dalam uji variasi
shortening
Formula
Jenis shortening F1 F2 F3 F4 F5 F6
Fat Shortening Yellow 35% 45% 55% - - -
Butter - - - 45% - -
Margarin - - - - 45% -
Liquid Oil - - - - - 45%
Uji variasi pencampuran (mixing) bertujuan untuk mengetahui
metode pencampuran dan waktu yang tepat dalam pembuatan biskuit.
Metode pencampuran (mixing) yang digunakan adalah metode all in dan
metode creaming. Uji variasi pencampuran (mixing) dilakukan sebanyak 4
formula dengan waktu yang berbeda-beda. Metode dan waktu
pencampuran (mixing) dalam uji variasi pencampuran dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Metode dan waktu pencampuran (mixing) dalam uji variasi
pencampuran (mixing)
Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4
Metode All in All in Creaming Creaming
Waktu 2 menit 15 menit 2 menit 15 menit
Optimasi formulasi dilakukan terhadap formula-formula terbaik
dan terpilih dari uji variasi yang dilakukan sebelumnya. Optimasi
difokuskan pada kadar gula, shortening dan bahan pengembang serta
penambahan beberapa bahan baku. Bahan baku yang ditambahkan adalah
pati modifkasi, lesitin dan flavor.
37
3. Penelitian Utama
Tahap penelitian utama meliputi formulasi lighter biscuit
menggunakan rancangan percobaan program Design Expert version 7.
Pembuatan rancangan percobaan hanya difokuskan pada bahan baku
tepung terigu (soft flour), pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan
pengembang (leavening agent) karena keempat bahan inilah yang paling
berpengaruh dalam pembuatan lighter biscuit. Hasil rancangan percobaan
menghasilkan 12 formula lighter biscuit yang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Formulasi lighter biscuit (% terhadap total bahan)
Formula SF (%) Pati
modifikasi A (%)
Pati modifikasi B
(%) LA (%)
F1 39.75 4.50 4.50 3.25 F2 40.00 4.50 4.00 3.50 F3 40.00 4.25 4.25 3.50 F4 40.00 4.00 4.50 3.50 F5 40.00 4.50 4.50 3.00 F6 39.75 4.25 4.50 3.50 F7 39.75 4.50 4.25 3.50 F8 40.00 4.25 4.50 3.25 F9 40.00 4.50 4.25 3.25 F10 39.50 4.50 4.50 3.50 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 F12 39.50 4.50 4.50 3.50
Terdapat beberapa kendala atau persyaratan bahan dalam
rancangan percobaan lighter biscuit yaitu penentuan jumlah bahan yang
digunakan dalam persentase tertentu. Untuk soft flour digunakan selang
antara 39.5 - 40 % terhadap total bahan, pati modifikasi A dan pati
modifikasi B masing-masing digunakan antara 4.0 - 4.5 % terhadap total
bahan serta bahan pengembang digunakan antara 3.0 – 3.5 % terhadap
total bahan. Adapun respon produk akhir yang diukur adalah % weight
loss, % L increase dan tebal.
38
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PROSES PEMBUATAN LIGHTER BISCUIT
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lighter biscuit terdiri
atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama meliputi : soft flour, pati
modifikasi, shortening, gula dan skim. Bahan tambahan meliputi : bahan
pengembang, lesitin, garam, air dan flavor susu.
Proses pembuatan biskuit terdiri atas penyiapan bahan, menimbang,
mixing (pencampuran), laminasi, proofing (pengistirahatan), pencetakan dan
baking (pemanggangan). Tahap pertama bahan baku dipersiapkan lalu
ditimbang sesuai dengan formula. Setelah itu dilanjutkan dengan proses
mixing (pencampuran) menggunakan varimixer Teddy berukuran sedang dan
mampu menampung adonan sebanyak 500 gram.
Tahap mixing (pencampuran) dapat dilakukan menggunakan dua
metode yaitu all in method dan creaming method. Metode yang pertama yaitu
all in method, seluruh bahan baku dimasukkan ke dalam wadah mixer hampir
secara bersamaan selama waktu tertentu yaitu sekitar 10-15 menit. Pada
umumnya proses mixing dengan metode ini kurang menghasilkan adonan
yang baik karena bahan tidak tercampur rata. Metode yang kedua yaitu
creaming method, dimana pada awal mixing dicampurkan gula, shortening dan
lesitin secara bersamaan hingga terbentuk krim. Waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan krim sekitar 8-10 menit dengan kecepatan mixing rendah.
Lesitin pada proses ini berperan sebagai emulsifier. Setelah terbentuk krim,
bahan baku yang lain dimasukkan ke dalam wadah mixer dan dilanjutkan
proses mixing dengan kecepatan tinggi selama 5-8 menit. Perlu diperhatikan
dalam memasukkan bahan pengembang. Ammonium bikarbonat terlebih
dahulu dilarutkan dalam air hangat hingga terlarut semua. Hal ini terkait
dengan after taste getir pada produk yang sering ditimbulkan sebagai akibat
ammonium bikarbonat yang kurang larut. Bahan pengembang jenis ini
dimasukkan di awal bersamaan dengan proses creaming. Bahan lain yang
perlu dilarutkan terlebih dahulu dengan air adalah garam. Hal ini bertujuan
39
supaya garam menyebar rata dalam adonan. Penambahan air ke dalam adonan
dilakukan secara bertahap agar fungsi air sebagai pelarut bahan baku optimal
sehingga terbentuk adonan yang benar-benar menyatu atau tercampur rata
membentuk massa yang cukup elastis. Penambahan air juga perlu diperhatikan
terkait dengan kadar air produk yang akan berpengaruh pada tekstur dan umur
simpan produk. Pembentukan massa yang elastis terjadi karena pada tepung
terigu terdapat protein yang terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin dan
glutenin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat dapat membentuk
massa yang elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni.
Tahap selanjutnya yaitu proses laminasi. Sebelum melalui tahap ini,
adonan dibiarkan terlebih dahulu dalam kondisi tertutup (proofing) kurang
lebih selama 5-10 menit. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan gas yang
dihasilkan oleh bahan pengembang yang digunakan. Setelah adonan
didiamkan lalu dilanjutkan ke tahap laminasi menggunakan alat laminator.
Tujuan proses ini adalah memipihkan adonan dengan tebal tertentu sehingga
mudah dicetak dan membentuk layer (lapisan) pada produk akhir.
Tahap selanjutnya adalah pencetakan adonan yang telah dipipihkan.
Dalam pembuatan biskuit kali ini digunakan cetakan berbetuk segi empat
(persegi panjang) atau rektangular. Tebal awal adonan adalah 2.50-2.55 cm
dengan panjang antara 6.2-6.5 cm dan lebar antara 2.9-3.2 cm.
Setelah dicetak, lalu adonan dipanggang pada suhu 180-210 0C
menggunakan oven selama ± 5 menit. Dalam proses pemanggangan, panas
disuplai kepada produk dari dinding oven melalui proses radiasi. Perpindahan
panas juga terjadi secara konveksi dari sirkulasi udara dan secara konduksi
dari tray tempat meletakkan adonan biskuit (Cauvain & Young, 2001). Ketika
biskuit dimasukkan ke dalam oven, kadar air pada permukaan biskuit akan
menurun dan menjadi kering. Setelah dipanggang, biskuit dipanaskan dalam
microwave pada suhu 130 0C selama ± 8-10 menit. Hal ini bertujuan untuk
meratakan proses pematangan biskuit. Setelah biskuit matang, dilajutkan
dengan proses pengukuran variabel atau respon produk yang diinginkan yaitu
% weight loss (% WT loss), % L increase dan tebal. Tujuan dari tahap
pemanggangan adalah untuk meningkatkan sifat sensori produk dan memberi
40
selang rasa, aroma dan tekstur. Perubahan tekstur ditentukan oleh sifat alami
produk seperti kadar air dan komposisi lemak, protein dan struktur karbohidrat
serta suhu dan lama pemanggangan. Pada umumnya karakteristik dari produk
panggang adalah pembentukan crust pada permukaan biskuit (Cauvain &
Young, 2001).
Selama pemanggangan, terjadi beberapa reaksi dari bahan
pengembang yang digunakan. Bahan pengembang inilah yang menyebabkan
biskuit memiliki volume yang lebih besar dibandingkan dengan sebelum
pemanggangan. Kondisi ini disebabkan pelepasan gas CO2 dari hasil reaksi
bahan pengembang. Di samping itu, juga dihasilkan garam terlarut dan uap
air. Pada tahap ini juga terjadi proses gelatinisasi yang diawali dengan
pengembangan granula pati karena molekul-molekul air berpenetrasi ke dalam
granula dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin.
Pengembangan granula pati berpengaruh terhadap massa adonan. Gelatinisasi
lebih lanjut akan menyebabkan amilosa berdifusi ke luar dari granula pati, dan
setelah dingin amilosa akan membentuk matriks yang seragam sehingga
kekuatan ikatan antar granula meningkat (Fennema, 1976). Lighter biscuit
yang dihasilkan setelah pemanggangan memiliki tebal 0.7-0.9 cm dengan
bobot rata-rata 5.3-5.6 gram per satu biskuit. Nilai ini nantinya dibandingkan
dengan produk sejenis dari kompetitor yang memiliki tebal 0.69-0.71 cm
dengan bobot 5.0-5.5 gram.
B. PENELITIAN PENDAHULUAN
Lighter biscuit merupakan biskuit dengan bobot ringan (less weight)
namun memiliki volume yang besar (high volume). Parameter atau respon
produk yang digunakan untuk menunjukkan keduanya adalah % weight loss
dan % L increase. Nilai % weight loss menunjukkan persen kehilangan bobot
biskuit yang diperoleh dari pengurangan bobot sebelum pemanggangan
dengan bobot setelah pemanggangan dibagi dengan bobot sebelum
pemanggangan dikalikan 100%. Sedangkan % L increase menunjukkan daya
pengembangan (spread) biskuit. Nilai ini diperoleh dari pengurangan luas
41
biskuit setelah pemanggangan dengan sebelum pemanggangan dibagi dengan
luas biskuit sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Semakin besar nilai % L
increase dan nilai % weight loss berarti semakin mendekati lighter biscuit
yang diinginkan.
Penelitian pendahuluan meliputi beberapa uji variasi bahan baku yaitu
uji variasi bahan pengembang, uji variasi tepung, uji variasi pati, uji variasi
shortening dan uji variasi mixing. Hasil selengkapnya untuk masing-masing
uji variasi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Formula yang terpilih pada uji variasi bahan pengembang adalah F7
yaitu menggunakan 0.8% sodium bikarbonat, 1 % baking powder dan 0.5%
ammonium bikarbonat. Biskuit yang dihasilkan menunjukkan pengembangan
yang besar yang ditunjukkan dengan nilai % L increase paling besar yaitu
28.07%. Di samping itu, nilai kehilangan bobot (% weight loss) dari biskuit
yang dihasilkan cukup besar yaitu 10.32%.
Penggunaan bahan pengembang akan berpengaruh pada sifat adonan
dan biskuit yang dihasilkan. Bahan pengembang yang digunakan pada
pembuatan lighter biscuit ini meliputi sodium bikarbonat, baking powder dan
ammonium bikarbonat. Penggunaan baking powder dan sodium bikarbonat
saja akan menghasilkan biskuit yang kurang maksimal. Penggunaan sodium
bikarbonat saja akan menghasilkan biskuit dengan nilai % kehilangan bobot
tinggi dan daya pengembangan cukup besar. Sebaliknya, penggunaan baking
powder saja akan menghasilkan biskuit dengan nilai % kehilangan bobot
rendah namun tidak terlalu mengembang. Penggunaan sodium bikarbonat dan
baking powder secara bersama-sama dengan kombinasi dan kadar tertentu
menghasilkan biskuit dengan sifat dan karakteristik yang lebih baik.
Kombinasi kedua bahan pengembang dengan kadar baking powder lebih besar
dibandingkan sodium bikarbonat menghasilkan biskuit dengan karakteristik
lebih maksimal yaitu daya pengembangan paling besar dan % kehilangan
bobot yang cukup besar.
Penambahan ammonium bikarbonat sebagai bahan pengembang sangat
berpengaruh terhadap daya pengembangan (spread) biskuit yang dihasilkan.
Namun, penggunaan ammonium bikarbonat tidak boleh terlalu banyak sampai
42
kadar tertentu agar dihasilkan daya pengembangan yang maksimal dan tidak
menghasilkan after taste yang terlalu kuat
Pada uji variasi tepung digunakan tiga jenis tepung yaitu soft flour
tepung medium, dan tepung roti. Ketiga jenis tepung tersebut berbeda pada
kadar proteinnya. Penggunaan soft flour menghasilkan biskuit dengan nilai %
weight loss paling kecil dengan daya spread yang cukup besar. Sedangkan
penggunaan tepung medium menghasilkan biskuit dengan nilai % L increase
paling besar dan % kehilangan bobot lebih tinggi dibandingkan menggunakan
soft flour. Penggunaan tepung roti menghasilkan biskuit dengan % kehilangan
bobot tinggi dan daya spread paling kecil.
Uji variasi pati terdiri dari 7 formula. Pati yang digunakan adalah pati
jagung (maizena) dengan jumlah tertentu. Penggunaan maizena
dikombinasikan dengan tepung dengan perbandingan tertentu. Berdasarkan
hasil penelitian diperoleh bahwa formula terpilih adalah kombinasi antara 80%
soft flour dan 20% maizena dimana menghasilkan biskuit dengan % L
increase terbesar yaitu 23.71% dan nilai % WT loss cukup besar yaitu 9.97%.
Penggunaan 100% maizena menghasilkan biskuit yang kurang maksimal
dimana % L increase lebih kecil yaitu 21.09% dan nilai % WT loss yang
tinggi yaitu 11.13%. Di samping itu penggunaan 100% maizena menghasilkan
biskuit yang keras dan kering.
Uji variasi shortening terdiri dari 6 formula. Jenis shortening yang
digunakan adalah fat shortening yellow, butter, margarin dan minyak nabati
(oil). Pada formula yang menggunakan fat shortening yellow, secara umum
biskuit yang dihasilkan memiliki tekstur yang lebih baik dibandingkan yang
lain. Formula yang terpilih menggunakan 55% fat shortening yellow dengan
nilai % L increase paling tinggi yaitu 29.64% dan % WT loss cukup tinggi
yaitu 9.74%.
Jumlah variasi yang dilakukan pada uji variasi mixing (pencampuran)
sebanyak 8 jenis metode. Secara umum proses pencampuran terbagi menjadi 2
metode yaitu all in method dan creaming method. Variasi yang dilakukan
adalah jumlah waktu pencampuran (mixing) yaitu selama 2 menit dan 15
menit untuk kedua metode pencampuran. Berdasarkan hasil penelitian, metode
43
yang menghasilkan biscuit yang maksimal adalah all in method selama 15
menit dimana nilai % L increase paling tinggi yaitu 29.75% dan nilai % WT
loss cukup tinggi yaitu 9.05%.
C. PENELITIAN UTAMA
1. Rancangan Percobaan
Rancangan metode penelitian yang dipakai pada program Design
Expert version 7 adalah rancangan Response Surface Methodology (RSM)
mixture design. Penggunaan RSM mixture design karena metode rancangan
tersebut sesuai dengan faktor perlakuan yang ada pada penelitian ini.
Faktor perlakuan yang digunakan pada penelitian ini adalah formulasi
bahan yang paling berpengaruh yang terdiri dari soft flour, pati modifikasi A,
pati modifikasi B dan bahan pengembang.. Out put dari proses analisis mutu
awal produk yang diolah oleh rancangan statistik RSM mixture design adalah
suatu model polinomial yang menunjukkan hasil analisis mutu awal atau
respon produk. Persamaan polinomial yang didapatkan setiap respon
ditunjukkan dengan variabel tertentu, yang terdiri dari Mean (M) = pangkat 0,
Linear (L) = pangkat 1, Quadratic (Q) = pangkat 2, dan Cubic (C) = pangkat 3.
Variabel tersebut menjadi penentu suatu rancangan model polinomial untuk
faktor perlakuan pada penelitian. Sehingga didapatkan respon yang
mendukung terciptanya produk yang optimal (Anonimb, 2005)
Pada tahap perancangan formula, jumlah soft flour yang digunakan
berkisar antara 39.5 – 40% terhadap total bahan, pati modifikasi A dan pati
modifikasi B antara 4.0 – 4.5% serta bahan pengembang antara 3.0 – 3.5%.
Hal-hal tersebut merupakan kendala bahan dalam membuat rancangan
percobaan. Dalam hal ini ada beberapa persyaratan khusus yang harus
dipenuhi oleh program Design Expert version 7 untuk menentukan formula
yang disarankan nantinya.
Pada tahap perancangan formula ditentukan juga respon yang akan
diukur dan dioptimasi. Variabel atau respon yang akan dioptimasi adalah %
44
weight loss (% WT loss), % L increase dan tebal. Hal ini sesuai dengan tujuan
utama penelitian ini yaitu menghasilkan lighter biscuit dimana biskuit dengan
bobot rendah (ringan) tetapi bervolume besar (mengembang).
Nilai % weight loss menunjukkan persen kehilangan bobot biskuit
yang diperoleh dari pengurangan bobot sebelum pemanggangan dengan
setelah pemanggangan dibagi dengan bobot sebelum pemanggangan dikalikan
100%. Nilai % L increase menunjukkan daya pengembangan (spread) biskuit.
Nilai ini diperoleh dari pengurangan luas biskuit setelah pemanggangan
dengan sebelum pemanggangan dibagi dengan luas biskuit sebelum
pemanggangan dikalikan 100%. Nilai tebal biskuit menunjukkan tebal biskuit
setelah pemanggangan.
Formula yang disarankan oleh program Design Expert version 7 adalah
12 formula yang dihasilkan pada tahap rancangan percobaan, seperti pada
Tabel 9. Pada pembuatan produk, bahan yang paling berpengaruh adalah soft
flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan pengembang. Biskuit
yang dihasilkan diukur % weight loss (%WT loss), % L increase dan tebal.
Tabel 9. Rancangan Formulasi Mixture Design
Formula SF (%) Pati
modifikasi A(%)
Pati modifikasi B
(%)
% WT loss
% L increase
Tebal (cm)
F1 39.75 4.50 4.50 F2 40.00 4.50 4.00 F3 40.00 4.25 4.25 F4 40.00 4.00 4.50 F5 40.00 4.50 4.50 F6 39.75 4.25 4.50 F7 39.75 4.50 4.25 F8 40.00 4.25 4.50 F9 40.00 4.50 4.25 F10 39.50 4.50 4.50 F11 39.75 4.25 4.50 F12 39.50 4.50 4.50
45
2. Analisis Respon
Program Design Expert version 7 akan merekomendasikan satu model
(dari 5 model polinomial) yang digunakan untuk setiap respon. Diantara
kelima model yang tersedia dalam program Design Expert version 7 antara
lain mean, linear, quadratic, special cubic dan cubic.
a. Analisis Respon % Weight Loss (% WT loss)
Nilai % weight loss menunjukkan persen kehilangan bobot biskuit
yang diperoleh dari pengurangan bobot sebelum pemanggangan dengan bobot
setelah pemanggangan dibagi dengan bobot sebelum pemanggangan dikalikan
100%. Bobot biskuit yang ditimbang merupakan rata-rata dari beberapa
sampel. Semakin besar nilai % WT loss maka bobot akhir produk semakin
kecil (ringan). Hasil analisis uji respon % WT loss dapat dilihat pada Tabel 10.
Hasil uji dari respon % WT loss pada produk dengan nilai % WT loss
berkisar antara 14.43% sampai 19.67% dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai rata-
rata (mean) dari hasil uji respon % WT loss adalah 17.0075%. Nilai % WT
loss yang paling tinggi adalah 19.67% yang terdapat pada formula 3 yaitu
menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.25%, pati
modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%.
Tabel 10. Hasil analisis %WT loss
Formula SF (%) Pati
modifikasi A(%)
Pati modifikasi B
(%) LA (%) %WT Loss
F1 39.75 4.50 4.50 3.25 17.56 F2 40.00 4.50 4.00 3.50 17.54 F3 40.00 4.25 4.25 3.50 19.67 F4 40.00 4.00 4.50 3.50 16.12 F5 40.00 4.50 4.50 3.00 14.43 F6 39.75 4.25 4.50 3.50 17.67 F7 39.75 4.50 4.25 3.50 15.46 F8 40.00 4.25 4.50 3.25 16.34 F9 40.00 4.50 4.25 3.25 16.09 F10 39.50 4.50 4.50 3.50 17.77 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 17.67 F12 39.50 4.50 4.50 3.50 17.77
46
Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model
polinomial dari % WT loss adalah linear. Hasil uji sidik ragam (ANOVA)
menunjukkan bahwa interaksi antara komponen A (soft flour) dan B (pati
modifikasi A) berpengaruh nyata terhadap respon % WT loss, begitu juga
komponen A (soft flour) dan komponen C (pati modifikasi B), interaksi
komponen A (soft flour) dan D (bahan pengembang), interaksi komponen B
(pati modifikasi A) dan C (pati modifikasi B), interaksi komponen B (pati
modifikasi A) dan komponen D (bahan pengembang), serta interaksi
komponen C (pati modifikasi B) dan komponen D (bahan pengembang)
berpengaruh nyata. Hal ini ditunjukkan dengan analisis sidik ragam yang
dilakukan oleh program Design Expert version 7 dengan nilai p ”prob>F”
lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar <0.0001. Hal ini juga menunjukkan bahwa
model yang direkomendasikan yaitu linear adalah signifikan. Hasil analisis
ANOVA dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 2.
Persamaan polinomial untuk respon skor % WT loss adalah sebagai
berikut :
% WT loss = (1481.43 A) + (-37461.4 B) + (62364.07 C) + (-52392.6 D)+ (31366.4 AB) + (-94964.5 AC) + (63165.44 AD) + (122869.8 BC) + (46076.16 BD) + (4542.72 CD)
Ket : A = soft flour
B = pati modifikasi A
C = pati modifikasi B
D = bahan pengembang
Persamaan polinomial selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 3. menunjukkan hasil nilai % WT loss terhadap komponen bahan
baku yang mempengaruhinya yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati
modifikasi B dengan bahan pengembang sebesar 3.375%.
47
Gambar 3. Grafik contour plot hasil uji % WT loss
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang
menunjukkan nilai respon % WT loss dalam beberapa kombinasi bahan baku
berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh. Di samping itu juga dapat
dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon % WT loss seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik tiga dimensi hasil respon % WT loss
Design-Expert® Software
%WT loss 19.67 14.43
X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi A X3 = C: Pati modifikasi B Actual ComponentD: LA = 3.375
A: SF39.625
B: Pati modifikasi A4.125
C: Pati modifikasi B4.125
4.500 4.500
40.000
%WT loss
16.488 16.8446
17.2012
17.2012
17.5577
17.5577
17.9143
17.9143
48
b. Analisis Respon % L increase
Nilai % L increase menunjukkan daya pengembangan (spread) biskuit.
Nilai ini diperoleh dari pengurangan luas biskuit setelah pemanggangan
dengan sebelum pemanggangan dibagi dengan luas biskuit sebelum
pemanggangan dikalikan dengan 100%. Biskuit diukur panjang dan lebarnya
menggunakan alat pengukur sigmat. Nilai luas biskuit diperoleh dari
pengambilan beberapa sampel biskuit kemudian dirata-ratakan. Parameter
yang diinginkan untuk membuat lighter biscuit adalah nilai % L increase yang
besar yang menunjukkan volume biskuit yang besar pula.
Hasil nilai dari respon % L increase pada produk dengan nilai % L
increase berkisar antara 2.69% sampai 7.45% dapat dilihat pada Tabel 11.
Nilai % L increase paling tinggi yaitu 7.45% terdapat pada formula 7 yang
menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati
modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%.
Tabel 11. Hasil analisis % L increase
Formula SF (%) Pati
modifikasi A(%)
Pati modifikasi B
(%) LA (%) % L increase
F1 39.75 4.50 4.50 3.25 2.69 F2 40.00 4.50 4.00 3.50 4.98 F3 40.00 4.25 4.25 3.50 3.76 F4 40.00 4.00 4.50 3.50 5.66 F5 40.00 4.50 4.50 3.00 6.81 F6 39.75 4.25 4.50 3.50 5.73 F7 39.75 4.50 4.25 3.50 7.45 F8 40.00 4.25 4.50 3.25 5.33 F9 40.00 4.50 4.25 3.25 4.48 F10 39.50 4.50 4.50 3.50 5.22 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 5.73 F12 39.50 4.50 4.50 3.50 5.22
Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model
polinomial dari % L increase adalah linear. Hal ini ditunjukan dengan analisis
sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert version 7 dengan
nilai ”prob>F” lebih kecil dari 0,05. Berdasarkan hasil uji sidik ragam
(ANOVA) juga menunjukkan bahwa interaksi antara komponen A (soft flour)
49
dan B (pati modifikasi A), interaksi komponen A (soft flour) dan komponen C
(pati modifikasi B), interaksi komponen A (soft four) dan D (bahan
pengembang), interaksi komponen B (pati modifikasi A) dan C (pati
modifikasi B), interaksi komponen B (pati modifikasi A) dan komponen D
(bahan pengembang), serta interaksi komponen C (pati modifikasi B) dan
komponen D (bahan pengembang) berpengaruh nyata terhadap respon % L
increase. Hasil respon ini dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 4.
Persamaan polinomial untuk respon skor % L increase adalah sebagai
berikut :
% L increase = (-1118.49 A) + (-2137.69 B) + (-69138.6 C) + (118260 D) + (12546.56 AB) + (101670.4 AC) + (-143853 AD) + (-67491.8 BC) + (-39153.9 BD) + (-61218.6 CD)
Ket : A = soft flour
B = pati modifikasi A
C = pati modifikasi B
D = bahan pengembang
Persamaan polinomialnya dapat dilihat di Lampiran 5.
Gambar 5. Contour Plot Hasil Uji Skor % L increase
Design-Expert® Software
%L increase7.45 2.69
X1 = A: SFX2 = B: Pati modifikasi AX3 = C: Patii modifikasi B
Actual ComponentD: LA = 3.375
A: SF39.625
B: Pati modifikasi A4.125
C: Pati modifikasi B4.125
4.5 4.5
40
%L increase
3.48125
3.83875
4.19625
4.19625
4.55375
4.55375
4.91125
4.91125
50
Gambar 6. Grafik tiga dimensi hasil respon % L increase
Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang
menunjukkan nilai respon % L increase dalam beberapa kombinasi bahan
baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh dengan bahan
pengembang sebesar 3.375%. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga
dimensi dari hasil respon % WT loss seperti pada Gambar 6.
c. Analisis Respon tebal
Hasil uji dari respon tebal (cm) pada produk dengan nilai tebal berkisar
antara 0.712 cm sampai 0.828 cm menggunakan alat ukur sigmat dapat dilihat
pada Tabel 12. Nilai tebal yang paling tinggi adalah 0.828 cm terdapat pada
formula 6 dan 10. Formula 6 menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati
modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%.
Sedangkan pada formula 10 digunakan soft flour sebesar 39.5%, pati
modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3%.
51
Tabel 12. Hasil analisis respon tebal (cm)
Formula SF (%) Pati
modifikasi A(%)
Pati modifikasi B
(%) LA (%) tebal(cm)
F1 39.75 4.50 4.50 3.25 0.8020 F2 40.00 4.50 4.00 3.50 0.7470 F3 40.00 4.25 4.25 3.50 0.7195 F4 40.00 4.00 4.50 3.50 0.7935 F5 40.00 4.50 4.50 3.00 0.7120 F6 39.75 4.25 4.50 3.50 0.8280 F7 39.75 4.50 4.25 3.50 0.7250 F8 40.00 4.25 4.50 3.25 0.7375 F9 40.00 4.50 4.25 3.25 0.7758 F10 39.50 4.50 4.50 3.50 0.8280 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 0.8170 F12 39.50 4.50 4.50 3.50 0.8000
Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert
version 7 pada respon tebal terhadap formula yang dibuat, menunjukkan
bahwa persamaan linear formula yang dibuat tidak signifikan (tidak
berpengaruh nyata) terhadap respon tebal dimana nilai “Prob > F” lebih besar
dari 0.05 pada selang kepercayaan 95%. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 6.
Berdasarkan hasil uji ANOVA pada skor tebal menunjukkan bahwa
interaksi antara komponen A (soft flour) dan B (pati modifikasi A), interaksi
komponen A (soft flour) dan komponen C (pati modifikasi B), interaksi
komponen A (soft four) dan D (bahan pengembang), interaksi komponen B
(pati modifikasi A) dan C (pati modifikasi B), interaksi komponen B (pati
modifikasi A) dan komponen D (bahan pengembang), serta interaksi
komponen C (pati modifikasi B) dan komponen D (bahan pengembang) tidak
berpengaruh nyata terhadap respon skor tebal. Hal ini ditunjukkan dengan.
nilai ”prob>F” lebih besar dari 0,05 untuk masing-masing interaksi.
Persamaan polinomial untuk optimasi produk pada respon tebal adalah
sebagai berikut.
Tebal = (-3.7619 A) + (-415.238 B) + (1881.404 C) + (-1431.35 D) + (811.2 AB) + (-2401.15 AC) + (1687.296 AD) + (-2195.65 BC) + (-659.776 BD) + (2003.123 CD)
52
Ket : A = soft flour
B = pati modifikasi A
C = pati modifikasi B
D = bahan pengembang
Persamaan polinomial selengkapnya nya dapat dilihat pada Lampiran 7.
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang
menunjukkan nilai respon tebal dalam beberapa kombinasi bahan baku
berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh. Di samping itu juga dapat
dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon tebal seperti pada Gambar 8.
Gambar 7. Contour plot Hasil Respon Tebal
Design-Expert® Software
tebal0.828 0.712
X1 = A: SFX2 = B: Pati modifikasi AX3 = C: Pati modifikasi B
Actual ComponentD: LA = 3.375
A: SF39.625
B: Pati modifikasi A4.125
C: Pati modifikasi B4.125
4.5 4.5
40
tebal
0.751713
0.76492
0.76492
0.778128
0.791335
0.804543
53
Gambar 8. Grafik tiga dimensi hasil respon tebal
3. Optimasi Formula
Setelah mendapatkan data Anova dari ketiga respon, maka dilanjutkan
pada optimasi produk. Pada penelitian ini proses optimasi dilakukan untuk
mencapai komposisi atau formula yang paling optimal yaitu dengan
desirability mendekati 1. Parameter yang dioptimasi pada penelitian ini adalah
bahan baku utama yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dan
bahan pengembang. Program Design Expert version 7 telah menyediakan
pembobotan ini dengan nama importance. Pada kolom importance terdapat
pilihan tanda positif (+), mulai dari positif 1(+) hingga positf 5(+++++).
Semakin tinggi tingkat kepentingan dari atribut/respon yang diukur terhadap
produk, maka semakin banyak tanda positif (+) diberikan.
Optimasi yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan jumlah soft
flour yaitu antara 39 - 40% dan target komponen adalah in range. Jumlah pati
modifikasi A dioptimalkan antara 4-4.5% dan target komponen adalah in
range. Jumlah pati modifikasi B dioptimalkan antara 4-4.5% dan target
komponen adalah in range. Untuk jumlah bahan pengembang dioptimalkan
antara 3-3.5% dan target komponen adalah in range. Skor respon tebal
54
dioptimalkan antara 0.712-0.828 cm dengan target maximize. Skor respon %
WT loss dioptimalkan antara 14.43% - 19.67% dengan target in range. Skor
respon % L increase dioptimalkan antara 2.69% - 7.45% dengan target in
range. Semuanya memiliki tingkat rangking 3 (+++).
Formula dari proses optimasi yang disarankan oleh program Design
Expert version 7 adalah formula ke-1 (F new 1) dengan komposisi soft flour
39.62%, pati modifikasi A 4.318%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan
pengembang 3.5%. Formula ini diprediksi akan menghasilkan biskuit dengan
tebal 0.823901 cm, nilai % WT loss 17.84%, nilai % L increase 5.65% dan
nilai desirability sebesar 0.964662 artinya formula tersebut akan menghasilkan
produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan
keinginan kita sebesar 96.47%. Selanjutnya formula yang disarankan
divalidasi untuk dibuktikan kebenarannya. Hasil proses optimasi dapat dilihat
pada Lampiran 8.
Gambar 9. Contour plot Desirability Produk Terhadap Formulasi
Design-Expert® Software
DesirabilityDesign Points1
0
X1 = A: SFX2 = B: pati modifikasi AX3 = C:Pati modifikasi B
Actual ComponentD: LA = 3.500
A: SF39.5
B: Pati modifikasi A4
C: Pati modifikasi B 4.000
4.500 4.5
40
Desirability
0.196
0.196
0.349
0.5030.657
0.811
22
22
Prediction 0.965
55
Gambar 10. Grafik tiga dimensi hasil nilai desirability
Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang
menunjukkan nilai desirability dalam beberapa kombinasi bahan baku. Nilai
desirability sebesar 0.965 berarti kemampuan formula dalam menghasilkan
produk yang optimum sesuai dengan keinginan kita. Di samping itu juga dapat
dilihat grafik tiga dimensi dari hasil nilai desirability seperti pada Gambar 10.
Faktor-faktor yang mempengaruhi desirability antara lain kompleksitas
jumlah komponen, beberapa kendala dalam formulasi dan target.
Kompleksitas jumlah komponen dapat terlihat pada persyaratan jumlah bahan
baku yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap produk untuk
menentukan formulasi. Jumlah masing-masing bahan baku ditentukan dalam
selang yang berbeda-beda yang akan berpengaruh pada nilai desirability.
Beberapa kendala dalam formulasi antara lain jumlah bahan baku yang
ditentukan oleh formulator yang akan mempengaruhi formula yang disarankan
oleh progran Design Expert version 7. Semakin lebar selang jumlah bahan
baku, formula yang disarankan akan semakin banyak sehingga penentuan
formula yang optimum dengan nilai desirability yang tinggi oleh program
akan semakin sulit. Dalam hal ini berarti nilai desirability yang dihasilkan
56
kemungkinan rendah. Faktor yang ketiga yaitu target untuk masing-masing
respon. Nilai masing-masing respon berbeda targetnya satu sama lain sesuai
dengan keinginan formulator, sehingga akan berpengaruh terhadap nilai
desirability.
4. Validasi
Setelah program Design Expert version 7 merekomendasikan 1
formula terpilih dengan nilai desirability tertentu lalu dilakukan pembuktian
terhadap dugaan nilai tebal produk berdasarkan formula terpilih. Hal ini
digunakan untuk validasi formula yang direkomendasikan oleh program
Design Expert version 7 yang dianggap akan menghasilkan produk yang
optimum dengan nilai desirability tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan dan
pengukuran diperoleh bahwa validasi formula F ke-1 (F new 1) menghasilkan
biskuit dengan tebal 0.95 cm, % WT loss 18.03% dan % L increase 4.53%.
Nilai respon tebal jauh di atas nilai dugaan yaitu 0.823901 cm. Nilai % WT
loss yang diperoleh juga lebih besar dari nilai dugaan. Hal ini berarti bahwa
formula yang direkomendasikan oleh program Design Expert version 7 yang
dianggap sebagai formula yang optimum terbukti untuk respon tebal dan %
WT loss. Sedangkan nilai % L increase yang diperoleh pada tahap validasi
lebih kecil dari nilai dugaan, namun tidak terlalu berbeda.
Di samping itu juga dilakukan uji rating dan deskripsi terhadap F new
1 (Lampiran 9). Uji rating dilakukan pengukuran terhadap atribut produk yaitu
intensitas rasa, kebulatan/balance rasa, tekstur dan intensitas after taste. Hasil
perhitungan statistika diperoleh nilai standard error mean untuk atribut
intensitas rasa sebesar 0.579, atribut kebulatan/balance rasa sebesar 0.626,
atribut tekstur sebesar 0.485 dan atribut intensitas after taste sebesar 0.629.
Sedangkan nilai koefisien ragam untuk atribut intensitas rasa sebesar 29.71,
atribut kebulatan/balance rasa sebesar 37.15, atribut tekstur sebesar 22.38 dan
atribut intensitas after taste sebesar 30.94. Nilai koefisien ragam menunjukkan
keragaman data masing-masing atribut dibandingkan nilai tengah. Semakin
kecil nilai koefisien ragam berarti semakin kecil tingkat keragaman data.
Secara organoleptik F new 1 memiliki tekstur keras, volume besar, renyah,
rasa susu, kurang lembut dan after taste.
57
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Bahan baku yang paling berpengaruh dalam pembuatan (formulasi)
biskuit yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan
pengembang dengan variabel (respon) yang penting yaitu % weight loss,
% L increase dan tebal.
2. Bahan pengembang yang digunakan yaitu natrium bikarbonat, baking
powder dan ammonium bikarbonat memiliki pengaruh pada biskuit yang
dihasilkan dalam hal pengembangan (spread) dan after taste yang
kurang disukai.
3. Formula terpilih yang direkomendasikan oleh program Design Expert
version 7 menunjukkan bahwa untuk menghasilkan lighter biscuit yang
optimum digunakan soft flour 39.62 %, pati modifikasi A 4.318 %, pati
modifikasi B 4.5 % dan bahan pengembang 3.5 % dengan nilai
desirability 0.964662. Hal ini berarti bahwa kemampuan formula untuk
menghasilkan lighter biscuit yang sesuai dengan keinginan kita
(optimum) sebesar 96.47 %.
B. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh berbagai
jenis bahan pengembang dalam pembuatan biskuit terutama pengaruhnya
dalam menimbulkan rasa getir produk.
58
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2005.http://www.mnsu.edu/Flint_dent_flour_ears.html Anonimb. 2005. What’s new in version 7 (the highlights).
http://www.statease.com (05-2006)
Anonimc. http://id.wikipedia.org/wiki/Garam_dapur" Anonimd. http://www.statease.com/soft_ftp.html Belitz, H. D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin. Bender, A.E. 1978. Food Processing and Nutrition. Academic Press, London. Brandt, L. 1996. Emulsifiers in Baked Goods. Food Product Design, Feb., pp.64-
76. Di dalam Hasenhuettl, G.L. and R.W Hartel. 1997. Food Emulsifiers and Their Application. Chapman & hall. International Thomson Publishing, New York.
Brose, E., Gunter Becker & Wolfgang Bouchain. 1996. Chemical Leavening
Agents. Universitatsdruckerei Und Verlag H. Schmidt Mainz.
Buhler.,A.G.2006.ExtruderSystem.http://www.buhlergroup.com/Docs/25320EN.pdf Uzwil, Switzerland. (26-05 2006).
Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet and M.Wooton. 1987. Ilmu Pangan.
Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Cauvain, S.P and Young, L.S. 2000. Bakery Food Manufacture and Quality :
Water Control and Effects. Blackwell Scince. Oxford, UK. Cauvain, S.P and Young, L.S. 2001. Baking Problems Solved. Woodhead
Publishing Limited and CPC Press. LLC, UK. Dziedzic, S.Z. dan M.W. Kearsley. 1998. The Technology of Starch Production.
Di dalam. Hoseney, R.C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology (2nd ed.). American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul. Minnesota, USA.
Feigenbaum, A.V. 1989. Kendali Mutu Terpadu. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Fennema, O.R. 1976. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. Basel.
Greenwood, C.T. 1975. Observation on The Structure of The Starch Granule. Di dalam T. R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
59
Greenwood, C.T. and D. N. Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam T.R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Hodge, J.E. and Osman, E.M. 1976. Carbohydrates. Di dalam T. R. Muchtadi, P.
Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Hoseney, R.C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition.
American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Ketaren, S. 1986, Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Ed.1. UI
Press, Jakarta. Manley, DE.J.R. 1983. Technology of Biscuit, Crackers and Cookies. Ellis
Horwood Limited, London. Manley, DE.J.R. 1991. Technology of Biscuit, Crackers and Cookies. 2nd ed. Ellis
Horwood Limited, London. Matz, S.A. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing
Company Inc. Westport, Connecticut. Montgomery, D.C. 1991. Design and Analysis of Experiments. Montgomery, D.C. 1996. Introduction to Statistical Quality Control. 3rd ed. The
AVI Publishing Company, Inc., New York. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekarto, S.T. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soenaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi. Fateta. IPB. Bogor. Standar Industri Indonesia (SII). 1990. Standar Mutu dan Cara Uji Biskuit. No.
0177-1990. Sutomo, B.2006.http://budiboga.blogspot.com/memilih-tepung-terigu-yang-benar-
untuk.html Swinkles, J. J. M. 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam
Starch Conversion Technology, V. Beynum dan J. A. Roels (eds). Marcel Dekker, Inc. New York, Basel.
60
Timmermann, F. 2000. Food Emulsifier, Basic Theory to Practical Realities. Jurnal Asia Fasifik Food Industry.
Vail, G.E., J.A. Philips, L.D. Rust, R.M.Griswold & M. Justin. 1978. Foods.
Houston Mifflin Company. Boston. Walpole, R. E. 1982. Introduction to Statistic 3rd. Ed. PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. Whistler dan Daniel. 1996. Carbohydrates. Di dalam Food Cemistry, Fennema,
O. R. (ed). Marcell Dekker Inc, Basel. Whiteley, P.R. 1971. Biscuits Manufacture. Applied Science Publishing. Jakarta. Williams, A and Pullen, G. 1998. Functional Ingredients. Di dalam S.P Cauvain
and L.S. Young. 1998. Technology of Breadmaking. Blackie Academic & Professional. London, UK.
Winarno, F. G. dan Rahayu, T. S. 1994. Bahan Tambahan untuk Pangan dan
Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water
Absorption in Rice. PhD Disertation, University of Wisconsin, Madison.
LAMPIRAN
61
Lampiran 1 Hasil uji variasi bahan baku 1. Uji variasi bahan pengembang
Respon Formula F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
% WT loss 10.2% 9.64% 10.76% 11.13% 10.43% 9.56% 10.32% 11.59%
% L increase 15.24% 16.05% 20.76% 19.35% 22.87% 13.83% 28.07% 25.34%
2. Uji variasi tepung
Respon Formula F1 F2 F3
% WT loss 10.20 % 11.22 % 11.00 % % L increase 15.24 % 12.31 % 23.26 % 3. Uji variasi pati
Respon Formula F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
% WT loss 10.96% 9.18% 9.97% 9.98% 11.18% 10.07% 11.13%
% L increase 14.40% 9.70% 23.71% 8.88% 21.76% 16.36% 21.09%
4. Uji variasi shortening
Respon Formula F1 F2 F3 F4 F5 F6
% WT loss 9.79% 10.92% 9.74% 11.29% 13.66% 11.89%
% L increase 10.72% 26.35% 29.64% 18.51% 28.77% 21.50%
5. Uji variasi mixing
Respon Formula F1 F2 F3 F4
% WT loss 10.20 % 9.05 % 11.45 % 11.08 % % L increase 15.24 % 29.75 % 12.14 % 21.06 %
62
Lampiran 2 Respon 1 %WT LOSS
ANOVA for Mixture Quadratic Model
*** Mixture Component Coding is U_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of Mean F p-value Source Squares df Square Value Prob > F
Model 20.83163 9 2.314625 63660000 < 0.0001 significant
Linear Mixture 7.827159 3 2.609053 63660000 < 0.0001
AB 0.600714 1 0.600714 63660000 < 0.0001
AC 3.504018 1 3.504018 63660000 < 0.0001
AD 1.550255 1 1.550255 63660000 < 0.0001
BC 5.377067 1 5.377067 63660000 < 0.0001
BD 0.756150 1 0.756150 63660000 < 0.0001
CD 0.007350 1 0.007350 63660000 < 0.0001
Pure Error 0 2 0
Cor Total 20.83163 11
The Model F-value of 63660000.00 implies the model is significant. There is only
a 0.01% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise.
Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant.
In this case Linear Mixture Components, AB, AC, AD, BC, BD, CD are significant model terms.
Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant.
If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy),
model reduction may improve your model.
63
Lampiran 3.
Keterangan : A = soft flour C = pati modifikasi B B = pati modifikasi A D = bahan pengembang
Final Equation in Terms of U_Pseudo Components: % WT LOSS = 17.77 * A 16.12 * B 17.54 * C 14.43 * D 2.9 * A * B -8.78 * A * C 5.84 * A * D 11.36 * B * C 4.26 * B * D 0.42 * C * D Final Equation in Terms of Real Components: (terhadap 100% total bahan) % WT LOSS = 1481.43 * A -37461.4 * B 62364.07 * C -52392.6 * D 31366.4 * A * B -94964.5 * A * C 63165.44 * A * D 122869.8 * B * C 46076.16 * B * D 4542.72 * C * D Final Equation in Terms of Actual Components: (terhadap 52% total bahan) % WT LOSS = 28.48904 * A -720.411 * B 1199.309 * C -1007.55 * D 11.6 * A * B -35.12 * A * C 23.36 * A * D 45.44 * B * C 17.04 * B * D 1.68 * C * D
64
Lampiran 4. Respon 2 %L increase ANOVA for Mixture Quadratic Model *** Mixture Component Coding is U_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of Mean F p-value Source Squares df Square Value Prob > F
Model 17.34990 9 1.927767 63660000< 0.0001 significant Linear Mixture 0.098081 3 0.032694 63660000< 0.0001 AB 0.096114 1 0.096114 63660000< 0.0001 AC 4.016364 1 4.016364 63660000< 0.0001 AD 8.040455 1 8.040455 63660000< 0.0001 BC 1.622400 1 1.622400 63660000< 0.0001 BD 0.546017 1 0.546017 63660000< 0.0001 CD 1.334817 1 1.334817 63660000< 0.0001 Pure Error 0 2 0 Cor Total 17.3499 11 The Model F-value of 63660000.00 implies the model is significant. There is only a 0.01% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise. Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant. In this case Linear Mixture Components, AB, AC, AD, BC, BD, CD are significant model terms. Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant. If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy), model reduction may improve your model.
65
Lampiran 5. Final Equation in Terms of U_Pseud Components: %L increase = 5.22 * A 5.66 * B 4.98 * C 6.81 * D 1.16 * A * B 9.4 * A * C -13.3 * A * D -6.24 * B * C -3.62 * B * D -5.66 * C * D Final Equation in Terms of Real Components: %L increase = -1118.49 * A -2137.69 * B -69138.6 * C 118260 * D 12546.56 * A * B 101670.4 * A * C -143853 * A * D -67491.8 * B * C -39153.9 * B * D -61218.6 * C * D Final Equation in Terms of Actual Components: %L increase = -21.5094 * A -41.1094 * B -1329.59 * C 2274.231 * D 4.64 * A * B 37.6 * A * C -53.2 * A * D -24.96 * B * C -14.48 * B * D -22.64 * C * D Keterangan : A = soft flour C = pati modifikasi B B = pati modifikasi A D = bahan pengembang
66
Lampiran 6. Respon 3 Tebal ANOVA for Mixture Quadratic Model *** Mixture Component Coding is U_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F p-value Source Squares df Square Value Prob > F Model 0.020348 9 0.002261 9.992821 0.0942 not significant Linear Mixture 0.011682 3 0.003894 17.21156 0.0554 AB 0.000402 1 0.000402 1.775848 0.3142 AC 0.002240 1 0.002240 9.901356 0.0879 AD 0.001106 1 0.001106 4.889201 0.1576 BC 0.001717 1 0.001717 7.589134 0.1104 BD 0.000155 1 0.000155 0.685267 0.4948 CD 0.001429 1 0.001429 6.316582 0.1285 Pure Error 0.000453 2 0.000226 Cor Total 0.020800 11 The Model F-value of 9.99 implies there is a 9.42% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise. Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant. In this case there are no significant model terms. Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant. If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy), model reduction may improve your model.
67
Lampiran 7. Final Equation in Terms of U_Pseudo Components: Tebal = 0.814 * A 0.7935 * B 0.747 * C 0.712 * D 0.075 * A * B -0.222 * A * C 0.156 * A * D -0.203 * B * C -0.061 * B * D 0.1852 * C * D Final Equation in Terms of Real Components: Tebal = -3.7619 * A -415.238 * B 1881.404 * C -1431.35 * D 811.2 * A * B -2401.15 * A * C 1687.296 * A * D -2195.65 * B * C -659.776 * B * D 2003.123 * C * D Final Equation in Terms of Actual Components: Tebal = -0.07234 * A -7.98534 * B 36.18086 * C -27.5259 * D 0.3 * A * B -0.888 * A * C 0.624 * A * D -0.812 * B * C -0.244 * B * D 0.7408 * C * D Keterangan : A = soft flour C = pati modifikasi B B = pati modifikasi A D = bahan pengembang
Lampiran 8. Optimasi Constraints Lower Upper Lower Upper Name Goal Limit Limit Weight Weight Importance SF is in range 39.5 40 1 1 3 Pati modifikasi A is in range 4 4.5 1 1 3 Pati modifikasi B is in range 4 4.5 1 1 3 LA is in range 3 3.5 1 1 3 tebal maximize 0.712 0.828 1 1 3 % WT loss is in range 14.43 19.67 1 1 3 % L increase is in range 2.69 7.45 1 1 3 Solutions
Number SF Pati
modifikasi APati
modifikasi B LA tebal % WT loss % L increase Desirability 1 39.682 4.318 4.5 3.5 0.823901 17.84 5.65 0.964662 Selected
Component Name Level Low Level High Level Std. Dev. Coding A SF 39.75 39.5 40 0 Actual B Pati modif. A 4.5 4 4.5 0 Actual C Pati modif. B 4.25 4 4.5 0 Actual D LA 3.5 3 3.5 0 Actual Total = 52
69
Lampiran 9. HASIL UJI RATING DAN DESKRIPSI FORMULA TERPILIH LIGHTER BISCUIT
Nama Kode Rasa/flavor Tekstur Intensitas aftertaste Intensitas Kebulatan/balance
Mba Somy 217 8 5 7 8 Mba Lia 217 8 8 6 8
Pipit 217 4 5 7 6 Pak
Widodo 217 9 9 7 5
Linda 217 3 5 5 2 Bu Yani 217 8 3 8 8
Mba Chusnul 217 9 5 10 9
Mba Meri 217 5 4 9 9 Mba Erni 217 8 7 5 6
Cici 217 7 4 8 6 Iqbal 217 7 5 8 7.5
Mba Wulan 217 5 10 10 10 Keterangan : a. Intensitas rasa 0-10 : semakin sangat kuat b. Kebulatan/balance rasa 0-10 : semakin sangat bulat c. Tekstur 0-10 : semakin sangat keras d. Intensitas after taste 0-10 ; semakin sangat kuat
Lampiran 10. Descriptive Statistics : INTENSITAS, BALANCE, TEKSTUR, AFTERTASTE
Variable Mean SE Mean StDev Variance CoefVar Minimum Maximum RangeINTENSITAS 6.750 0.579 2.006 4.023 29.71 3.000 9.000 6.000BALANCE 5.833 0.626 2.167 4.697 37.15 3.000 10.000 7.000TEKSTUR 7.500 0.485 1.679 2.818 22.38 5.000 10.000 5.000AFTERTASTE 7.042 0.629 2.179 4.748 30.94 2.000 10.000 8.000
Jurnal Skripsi
Kajian Formulasi Lighter Biscuit Dalam Rangka Pengembangan Produk Baru
di PT Arnott’s Indonesia Bekasi Oleh :
Molid Nurman Hadi F24102076
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Abstract
This research was focused to get formula of biscuit specially the optimum lighter biscuit. First step from the research is test of variation from raw materials there are leavening agent, flour, starch, shortening, and also test of mixing process. Then continued with make planning of the optimum lighter biscuit formula use Design Expert version 7 as the software. There is 12 formula as the result from this software, which is % weight loss % L Increase, and thick as variable of product respond. The choosen formula from optimation process of making lighter biscuit is F New 1, which is soft flour 39.62%, modification starch A 4.318%, modification starch B 4.5% and leavening agent 3.5% as the composition. This Formula will yield biscuit thickly 0.823901 cm, % WT Loss 17.84%, % L Increase 5.65% from the prediction, and give desirability value about 0.964662. it means the formula will yield product with most optimal characteristic and it is about 96.47% which is most desireable . After validation, we obtained biscuit with thick value 0.95 cm, % WT Loss 18.03% and % L Increase 4.53%. I. Pendahuluan
Pengembangan produk baru adalah suatu usaha ekstensifikasi dari suatu perusahaan pangan hasil kerja sama antara bagian pengembangan produk, pemasaran, produksi, pengawasan mutu, dan bagian persediaan bahan. Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan perusahaan dalam rangka mengembangkan produk baru dan mengantisipasi perubahan pasar. Pada dunia industri, produk baru mengandung pengertian yaitu produk yang sebelumnya belum pernah diproduksi oleh suatu perusahaan meskipun produk tersebut telah atau pernah diproduksi oleh perusahaan lain. Beberapa modifikasi dan inovasi yang dapat dilakukan terkait pengembangan produk baru antara lain modifikasi flavor, warna, bentuk, substitusi bahan baku utama dengan bahan baku lainnya dengan tujuan menurunkan biaya produksi atau meningkatan nilai gizi produk tersebut tanpa mengurangi dan menurunkan mutunya (Soekarto, 1990).
Formulasi produk merupakan bagian dalam tahap pengembangan produk. Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting dalam penciptaan produk baru. Pada tahap ini dicari beberapa alternatif formulasi bahan baku produk sampai dihasilkan formulasi yang optimum hingga dihasilkan produk bermutu yang secara ekonomis menguntungkan dan secara organoleptik dapat diterima dan disukai oleh konsumen.
Salah satu produk makanan yang sudah banyak di pasaran dan banyak dikonsumsi sejak dulu adalah biskuit. Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Secara umum biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer (SII No. 0177, 1990). Riset berskala laboratorium mengenai biskuit telah banyak dilakukan, baik dalam rangka reformulasi maupun formulasi produk baru.
Berdasarkan hal itu, Departemen Penelitian dan Pengembangan Produk (Research and Development Product Department atau R&D) PT Arnott’s Indonesia mempunyai ide untuk membuat lighter biscuit. Lighter biscuit merupakan salah satu jenis biskuit yang memiliki bobot ringan namun bervolume besar (less weight high volume) sehingga diharapkan meminimalisasi biaya jika diaplikasikan dalam skala produksi.
II. Tujuan
Kegiatan magang-penelitian ini memiliki tujuan khusus yaitu mendapatkan formula terbaik dan terpilih lighter biscuit yaitu biskuit dengan bobot yang ringan namun memiliki volume yang besar (less weight high volume) dalam rangka pengembangan produk baru biskuit skala laboratorium.
III. Metodologi Penelitian
1. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan
dalam magang-penelitian ini adalah tepung terigu kadar protein rendah, tepung terigu kadar protein sedang, tepung terigu kadar protein tinggi, maizena, pati modifikasi, shortening, margarin, butter, minyak (oil), gula, susu skim, natrium bikarbonat, ammonium bikarbonat, baking powder, sodium acyd pyrophosphat, kalsium karbonat, garam, lesitin, flavor dan air yang diperoleh di PT Arnott’s Indonesia Bekasi.
Alat - alat yang digunakan dalam magang-penelitian ini adalah timbangan, gelas ukur, sendok, mixer, oven, microwave, loyang, laminator, cetakan, stop watch dan sigmat yang terdapat di PT Arnott’s Indonesia Bekasi.
2. Metode Penelitian
Kegiatan magang penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu penelitian pendahuluan, tahap persiapan dan penelitian utama. Tahap persiapan meliputi penyiapan bahan baku dan bahan tambahan untuk pembuatan lighter biscuit. Penelitian pendahuluan meliputi uji variasi bahan pengembang,
variasi pati, variasi tepung, variasi shortening, dan variasi pencampuran (mixing). Penelitian utama meliputi formulasi lighter biscuit menggunakan rancangan percobaan mixture design dan uji organoleptik.
IV. Pembahasan
Biskuit merupakan makanan kering
hasil pemanggangan yang dibuat dengan bahan dasar tepung terigu dan bahan tambahan lain membentuk suatu formula adonan sehingga menghasilkan suatu produk dengan sifat dan struktur tertentu (Matz, 1978). Menurut Whiteley yang dikutip oleh Sunaryo (1985), biskuit atau produk sejenisnya harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu dibuat dari bahan-bahan serealia seperti gandum, jagung, oat, barley dan sebagainya dengan kadar air kurang lebih 5%. Apabila diisi dengan bahan-bahan pembentuk (krim, jam, jelli dan sebagainya) kadar airnya dapat melebihi 5% dan apabila bahan utamanya lebih dari 60% bukan serealia maka tidak dapat disebut sebagai biskuit.
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan lighter biscuit terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama meliputi : soft flour, pati modifikasi, shortening, gula dan skim. Bahan tambahan meliputi : bahan pengembang, lesitin, garam, air dan flavor susu.
Proses pembuatan biskuit terdiri atas penyiapan bahan, menimbang, mixing (pencampuran), laminasi, proofing (pengistirahatan), pencetakan dan baking (pemanggangan). Tahap pertama bahan baku dipersiapkan lalu ditimbang sesuai dengan formula. Setelah itu dilanjutkan dengan proses mixing (pencampuran) menggunakan varimixer Teddy berukuran sedang dan mampu menampung adonan sebanyak 500 gram. Metode mixing yang digunakan adalah creaming method yaitu dimana pada awal mixing dicampurkan gula, shortening dan lesitin secara bersamaan hingga terbentuk krim. Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan krim sekitar 8-10 menit dengan kecepatan mixing rendah.
Tahap selanjutnya yaitu proses laminasi. Sebelum melalui tahap ini, adonan dibiarkan terlebih dahulu dalam kondisi tertutup (proofing) kurang lebih selama 5-10 menit. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan gas yang dihasilkan oleh bahan pengembang yang digunakan. Setelah adonan didiamkan
lalu dilanjutkan ke tahap laminasi menggunakan alat laminator. Tujuan proses ini adalah memipihkan adonan dengan tebal tertentu sehingga mudah dicetak dan membentuk layer (lapisan) pada produk akhir.
Tahap selanjutnya adalah pencetakan adonan yang telah dipipihkan. Dalam pembuatan biskuit kali ini digunakan cetakan berbetuk segi empat (persegi panjang) atau rektangular. Tebal awal adonan adalah 2.50-2.55 cm dengan panjang antara 6.2-6.5 cm dan lebar antara 2.9-3.2 cm. Setelah dicetak, lalu adonan dipanggang pada suhu 180-210 0C menggunakan oven selama ± 5 menit. Kemudian biskuit dipanaskan dalam microwave pada suhu 130 0C selama ± 8-10 menit. 1. Penelitian Pendahuluan
Formula yang terpilih pada uji variasi bahan pengembang adalah F7 yaitu menggunakan 0.8% sodium bikarbonat, 1 % baking powder dan 0.5% ammonium bikarbonat. Biskuit yang dihasilkan menunjukkan pengembangan yang besar yang ditunjukkan dengan nilai % L increase paling besar yaitu 28.07%. Di samping itu, nilai kehilangan bobot (% weight loss) dari biskuit yang dihasilkan cukup besar yaitu 10.32%.
Pada uji variasi tepung digunakan tiga jenis tepung yaitu soft flour tepung medium, dan tepung roti. Ketiga jenis tepung tersebut berbeda pada kadar proteinnya. Penggunaan soft flour menghasilkan biskuit dengan nilai % weight loss paling kecil dengan daya spread yang cukup besar. Sedangkan penggunaan tepung medium menghasilkan biskuit dengan nilai % L increase paling besar dan % kehilangan bobot lebih tinggi dibandingkan menggunakan soft flour. Penggunaan tepung roti menghasilkan biskuit dengan % kehilangan bobot tinggi dan daya spread paling kecil.
Uji variasi pati terdiri dari 7 formula. Pati yang digunakan adalah pati jagung (maizena) dengan jumlah tertentu. Penggunaan maizena dikombinasikan dengan tepung dengan perbandingan tertentu. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa formula terpilih adalah kombinasi antara 80% soft flour dan 20% maizena dimana menghasilkan biskuit dengan % L increase terbesar yaitu 23.71% dan nilai % WT loss cukup besar yaitu
9.97%. Penggunaan 100% maizena menghasilkan biskuit yang kurang maksimal dimana % L increase lebih kecil yaitu 21.09% dan nilai % WT loss yang tinggi yaitu 11.13%. Di samping itu penggunaan 100% maizena menghasilkan biskuit yang keras dan kering.
Uji variasi shortening terdiri dari 6 formula. Jenis shortening yang digunakan adalah fat shortening yellow, butter, margarin dan minyak nabati (oil). Pada formula yang menggunakan fat shortening yellow, secara umum biskuit yang dihasilkan memiliki tekstur yang lebih baik dibandingkan yang lain. Formula yang terpilih menggunakan 55% fat shortening yellow dengan nilai % L increase paling tinggi yaitu 29.64% dan % WT loss cukup tinggi yaitu 9.74%.
Jumlah variasi yang dilakukan pada uji variasi mixing (pencampuran) sebanyak 8 jenis metode. Secara umum proses pencampuran terbagi menjadi 2 metode yaitu all in method dan creaming method. Variasi yang dilakukan adalah jumlah waktu pencampuran (mixing) yaitu selama 2 menit dan 15 menit untuk kedua metode pencampuran. Berdasarkan hasil penelitian, metode yang menghasilkan biscuit yang maksimal adalah all in method selama 15 menit dimana nilai % L increase paling tinggi yaitu 29.75% dan nilai % WT loss cukup tinggi yaitu 9.05%.
2. Penelitian Utama
Rancangan metode penelitian yang dipakai pada program Design Expert version 7 adalah rancangan Response Surface Methodology (RSM) mixture design. Penggunaan RSM mixture design karena metode rancangan tersebut sesuai dengan faktor perlakuan yang ada pada penelitian ini.
Pada tahap perancangan formula, jumlah soft flour yang digunakan berkisar antara 39.5 – 40% terhadap total bahan, pati modifikasi A dan pati modifikasi B antara 4.0 – 4.5% serta bahan pengembang antara 3.0 – 3.5%. Pada tahap ini ditentukan juga respon yang akan diukur dan dioptimasi. Variabel atau respon yang akan dioptimasi adalah % weight loss (% WT loss), % L increase dan tebal.
Nilai % weight loss menunjukkan persen kehilangan bobot biskuit yang diperoleh dari pengurangan bobot sebelum pemanggangan dengan setelah
pemanggangan dibagi dengan bobot sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Nilai % L increase menunjukkan daya pengembangan (spread) biskuit. Nilai ini diperoleh dari pengurangan luas biskuit setelah pemanggangan dengan sebelum pemanggangan dibagi dengan luas biskuit sebelum pemanggangan dikalikan 100%. Nilai tebal biskuit menunjukkan tebal biskuit setelah pemanggangan.
Formula yang disarankan oleh program Design Expert version 7 adalah 12 formula yang dihasilkan pada tahap rancangan percobaan, seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Rancangan Formulasi Mixture
Design
Formula SF (%) Pati
modifikasi A (%)
Pati modifikasi
B (%) F1 39.75 4.50 4.50 F2 40.00 4.50 4.00 F3 40.00 4.25 4.25 F4 40.00 4.00 4.50 F5 40.00 4.50 4.50 F6 39.75 4.25 4.50 F7 39.75 4.50 4.25 F8 40.00 4.25 4.50 F9 40.00 4.50 4.25
F10 39.50 4.50 4.50 F11 39.75 4.25 4.50 F12 39.50 4.50 4.50
Hasil uji dari respon % WT loss
pada produk dengan nilai % WT loss berkisar antara 14.43% sampai 19.67% dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai rata-rata (mean) dari hasil uji respon % WT loss adalah 17.0075%. Nilai % WT loss yang paling tinggi adalah 19.67% yang terdapat pada formula 3 yaitu menggunakan soft flour sebesar 40%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%.
Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari % WT loss adalah linear. Persamaan polinomial untuk respon skor % WT loss adalah sebagai berikut :
% WT loss = (1481.43 A) + (-37461.4 B) + (62364.07 C) + (-52392.6 D)+ (31366.4 AB) + (-94964.5 AC) + (63165.44 AD) + (122869.8 BC) + (46076.16 BD) + (4542.72 CD)
Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang
Tabel 2. Hasil analisis %WT loss
Formula SF (%)
Pati modifikasi
A (%)
Pati modifikasi
B (%)
LA (%)
%WT Loss
F1 39.75 4.50 4.50 3.25 17.56F2 40.00 4.50 4.00 3.50 17.54F3 40.00 4.25 4.25 3.50 19.67F4 40.00 4.00 4.50 3.50 16.12F5 40.00 4.50 4.50 3.00 14.43F6 39.75 4.25 4.50 3.50 17.67F7 39.75 4.50 4.25 3.50 15.46F8 40.00 4.25 4.50 3.25 16.34F9 40.00 4.50 4.25 3.25 16.09
F10 39.50 4.50 4.50 3.50 17.77F11 39.75 4.25 4.50 3.50 17.67F12 39.50 4.50 4.50 3.50 17.77
Gambar 1. menunjukkan hasil nilai
% WT loss terhadap komponen bahan baku yang mempengaruhinya yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dengan bahan pengembang sebesar 3.375%.
Gambar 1. Contour plot hasil uji skor % WT loss
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa
terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon % WT loss dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon % WT loss seperti pada Gambar 2.
Design-Expert® Software
%WT loss19.67
14.43
X1 = A: SFX2 = B: Pati modifikasi AX3 = C: Pati modifikasi B
Actual ComponentD: LA = 3.375
A: SF 39.625
B: Pati modifikasi A4.125
C: Pati modifikasi B4.125
4.500 4.500
40.000
%WT loss
16.48816.8446
17.2012
17.2012 17.5577
17.5577
17.9143
17.9143
Gambar 2. Grafik tiga dimensi hasil respon
% WT loss
Hasil nilai dari respon % L increase pada produk dengan nilai % L increase berkisar antara 2.69% sampai 7.45% dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai % L increase paling tinggi yaitu 7.45% terdapat pada formula 7 yang menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.25% dan bahan pengembang 3.5%.
Tabel 3. Hasil analisis % L increase
Formula SF (%) Pati
modifikasi A (%)
Pati modifikasi
B (%)
LA (%)
% L increase
F1 39.75 4.50 4.50 3.25 2.69 F2 40.00 4.50 4.00 3.50 4.98 F3 40.00 4.25 4.25 3.50 3.76 F4 40.00 4.00 4.50 3.50 5.66 F5 40.00 4.50 4.50 3.00 6.81 F6 39.75 4.25 4.50 3.50 5.73 F7 39.75 4.50 4.25 3.50 7.45 F8 40.00 4.25 4.50 3.25 5.33 F9 40.00 4.50 4.25 3.25 4.48 F10 39.50 4.50 4.50 3.50 5.22 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 5.73 F12 39.50 4.50 4.50 3.50 5.22
Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari % L increase adalah linear.
Persamaan polinomial untuk respon skor % L increase adalah sebagai berikut :
% L increase = (-1118.49 A) + (-2137.69 B) + (-69138.6 C) + (118260 D) + (12546.56 AB) + (101670.4 AC) + (-143853 AD) + (-67491.8 BC) + (-39153.9 BD) + (-61218.6 CD)
Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa
terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon % L increase dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh dengan bahan pengembang sebesar 3.375%. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon % WT loss seperti pada Gambar 4.
Gambar 3. Contour Plot Hasil Uji Skor % L
increase
Gambar 4. Grafik tiga dimensi hasil respon
% L increase
Hasil uji dari respon tebal (cm) pada produk dengan nilai tebal berkisar antara 0.712 cm sampai 0.828 cm menggunakan alat ukur sigmat dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai tebal yang paling tinggi adalah 0.828 cm terdapat pada formula 6 dan 10. Formula 6 menggunakan soft flour sebesar 39.75%, pati modifikasi A 4.25%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Sedangkan pada formula 10 digunakan soft flour sebesar 39.5%, pati
Design-Expert® Software
%L increase7.45
2.69
X1 = A: SFX2 = B: Pati modifikasi AX3 = C: Patii modifikasi B
Actual ComponentD: LA = 3.375
A: SF 39.625
B: Pati modifikasi A
4.125C: Pati modifikasi B
4.125
4.5 4.5
40
%L increase
3.48125 3.83875
4.19625
4.19625
4.55375 4.55375
4.91125
4.91125
modifikasi A 4.5%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3%.
Tabel 4. Hasil analisis respon tebal (cm)
Formula SF (%) Pati
modifikasi A (%)
Pati modifikasi
B (%)
LA (%) tebal(cm)
F1 39.75 4.50 4.50 3.25 0.8020 F2 40.00 4.50 4.00 3.50 0.7470 F3 40.00 4.25 4.25 3.50 0.7195 F4 40.00 4.00 4.50 3.50 0.7935 F5 40.00 4.50 4.50 3.00 0.7120 F6 39.75 4.25 4.50 3.50 0.8280 F7 39.75 4.50 4.25 3.50 0.7250 F8 40.00 4.25 4.50 3.25 0.7375 F9 40.00 4.50 4.25 3.25 0.7758
F10 39.50 4.50 4.50 3.50 0.8280 F11 39.75 4.25 4.50 3.50 0.8170 F12 39.50 4.50 4.50 3.50 0.8000
Persamaan polinomial untuk optimasi produk pada respon tebal adalah sebagai berikut. Tebal = (-3.7619 A) + (-415.238 B) + (1881.404 C) + (-1431.35 D) + (811.2 AB) + (-2401.15 AC) + (1687.296 AD) + (-2195.65 BC) + (-659.776 BD) + (2003.123 CD) Ket : A = soft flour B = pati modifikasi A C = pati modifikasi B D = bahan pengembang
Gambar 5. Contour plot Hasil Respon Tebal
Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai respon tebal dalam beberapa kombinasi bahan baku berdasarkan persamaan polinomial yang diperoleh. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil respon tebal seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik tiga dimensi hasil respon
tebal 3. Optimasi Formula
Setelah mendapatkan data Anova dari ketiga respon, maka dilanjutkan pada optimasi produk. Pada penelitian ini proses optimasi dilakukan untuk mencapai komposisi atau formula yang paling optimal yaitu dengan desirability mendekati 1. Parameter yang dioptimasi pada penelitian ini adalah bahan baku utama yaitu soft flour, pati modifikasi A, pati modifikasi B dan bahan pengembang.
Optimasi yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan jumlah soft flour yaitu antara 39 - 40% dan target komponen adalah in range. Jumlah pati modifikasi A dioptimalkan antara 4-4.5% dan target komponen adalah in range. Jumlah pati modifikasi B dioptimalkan antara 4-4.5% dan target komponen adalah in range. Untuk jumlah bahan pengembang dioptimalkan antara 3-3.5% dan target komponen adalah in range. Skor respon tebal dioptimalkan antara 0.712-0.828 cm dengan target maximize. Skor respon % WT loss dioptimalkan antara 14.43% - 19.67% dengan target in range. Skor respon % L increase dioptimalkan antara 2.69% - 7.45% dengan target in range. Semuanya memiliki tingkat rangking 3 (+++). Formula dari proses optimasi yang disarankan oleh program Design Expert
Design-Expert® Software tebal
0.828
0.712
X1 = A: SF X2 = B: Pati modifikasi AX3 = C: Pati modifikasi B Actual ComponentD: LA = 3.375
A: SF 39.625
B: Pati modifikasi A4.125
C: Pati modifikasi B4.125
4.5 4.5
40
tebal
0.751713
0.76492
0.76492
0.778128
0.791335
0.804543
version 7 adalah formula ke-1 (F new 1) dengan komposisi soft flour 39.62%, pati modifikasi A 4.318%, pati modifikasi B 4.5% dan bahan pengembang 3.5%. Formula ini diprediksi akan menghasilkan biskuit dengan tebal 0.823901 cm, nilai % WT loss 17.84%, nilai % L increase 5.65% dan nilai desirability sebesar 0.964662 artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 96.47%. Selanjutnya formula yang disarankan divalidasi untuk dibuktikan kebenarannya.
Gambar 7. Contour plot desirability produk
terhadap formulasi
Gambar 8. Grafik tiga dimensi desirability
produk terhadap formulasi
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa garis yang menunjukkan nilai desirability dalam beberapa kombinasi bahan baku. Nilai desirability sebesar 0.965 berarti kemampuan formula dalam menghasilkan produk yang optimum sesuai dengan keinginan kita. Di samping itu juga dapat dilihat grafik tiga dimensi dari hasil nilai desirability seperti pada Gambar 8.
Faktor-faktor yang mempengaruhi desirability antara lain kompleksitas jumlah komponen, beberapa kendala dalam formulasi dan target. Kompleksitas jumlah komponen dapat terlihat pada persyaratan jumlah bahan baku yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap produk untuk menentukan formulasi. Jumlah masing-masing bahan baku ditentukan dalam selang yang berbeda-beda yang akan berpengaruh pada nilai desirability. Beberapa kendala dalam formulasi antara lain jumlah bahan baku yang ditentukan oleh formulator yang akan mempengaruhi formula yang disarankan oleh progran Design Expert version 7. Semakin lebar selang jumlah bahan baku, formula yang disarankan akan semakin banyak sehingga penentuan formula yang optimum dengan nilai desirability yang tinggi oleh program akan semakin sulit. Dalam hal ini berarti nilai desirability yang dihasilkan kemungkinan rendah. Faktor yang ketiga yaitu target untuk masing-masing respon. Nilai masing-masing respon berbeda targetnya satu sama lain sesuai dengan keinginan formulator, sehingga akan berpengaruh terhadap nilai desirability. 4. Validasi
Setelah program Design Expert version 7 merekomendasikan 1 formula terpilih dengan nilai desirability tertentu lalu dilakukan pembuktian terhadap dugaan nilai tebal produk berdasarkan formula terpilih. Hal ini digunakan untuk validasi formula yang direkomendasikan oleh program Design Expert version 7 yang dianggap akan menghasilkan produk yang optimum dengan nilai desirability tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran diperoleh bahwa validasi formula F ke-1 (F new 1) menghasilkan biskuit dengan tebal 0.95 cm, % WT loss 18.03% dan % L increase 4.53%. Nilai respon tebal jauh di atas nilai dugaan yaitu 0.823901 cm. Nilai % WT loss yang diperoleh juga lebih besar dari nilai dugaan. Hal ini berarti bahwa formula yang direkomendasikan oleh program Design Expert version 7 yang dianggap sebagai formula yang optimum terbukti untuk respon tebal dan % WT loss. Sedangkan nilai % L increase yang diperoleh pada tahap validasi lebih kecil dari nilai dugaan, namun tidak terlalu berbeda.
Design-Expert® Software Desirability
Design Points1
0
X1 = A: SF X2 = B: pati modifikasi AX3 = C:Pati modifikasi B Actual ComponentD: LA = 3.500
A: SF39.5
B: Pati modifikasi A 4
C: Pati modifikasi B4.000
4.500 4.5
40
Desirability
0.196
0.196
0.349 0.503
0.657 0.811
22
22
Prediction 0.965
DAFTAR PUSTAKA Anonim.http://www.statease.com/soft_ftp.ht
ml Brose, E., Gunter Becker & Wolfgang
Bouchain. 1996. Chemical Leavening Agents. Universitatsdruckerei Und Verlag H. Schmidt Mainz.
Matz, S.A. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut.
Soekarto, S.T. 1990. Dasar-Dasar
Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Standar Industri Indonesia (SII). 1990.
Standar Mutu dan Cara Uji Biskuit. No. 0177-1990.
Whiteley, P.R. 1971. Biscuits Manufacture.
Applied Science Publishing. Jakarta.
top related