bab i & ii
Post on 24-Jul-2015
81 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Kreativitas menjadi topik yang kurang mendapatkan perhatian pada
zaman dahulu. Beberapa alasan yang menjadikan kreativitas sebagai topik
yang kurang mendapatkan perhatian adalah karena adanya pandangan
tradisional bahwa kreativitas merupakan faktor turunan (Hawadi, 2001),
sehingga kreativitas merupakan bawaan yang tidak dapat berkembang karena
faktor lain selain keturunan. Rendahnya rasa percaya diri pada kebanyakan
orang bahwa dirinya memiliki kreativitas yang baik, akan dapat menjadi
faktor penghambat bagi berkembangnya kreativitas. Pandangan bahwa
inteligensi lebih penting daripada kreativitas, orang-orang beranggapan bahwa
orang yang memiliki inteligensi tinggi akan lebih sukses daripada orang-orang
yang kreatif, dan menurut kebanyakan orang bahwa kreativitas tidak dapat
diukur (Hawadi, 2001)
Kreativitas mulai menjadi topik perhatian ketika memasuki
pertengahan abad ke-20, tepatnya pada tahun 1950. Pada tahun 1950 mulai
banyak penelitian yang menggunakan topik kreativitas, kemudian penelitian
yang menggunakan topik kreativitas semakin bertambah banyak pada tahun
1975 sampai dengan 1994. Sternberg dan Lubart melakukan pencarian artikel
jurnal pada database dengan menggunakan kata kunci creativity, divergent
thinking, dan creativity measurement, hasilnya artikel jurnal yang menjadikan
kreativitas sebagai topik penelitian semakin meningkat (Sternberg, 2004: 3).
Penelitian yang menjadikan kreativitas sebagai topik saat ini semakin
berkembang karena menyesuaikan dengan perkembangan zaman, maka
pendapat orang-orang terdahulu tentang kreativitas yang dianggap kurang
perlu untuk diberikan perhatian dan untuk dikembangkan, terhapus sudah.
Perkembangan zaman yang menuntut agar individu menjadi pribadi
yang memiliki inteligensi baik dan kreatif semakin hangat dirasakan. Individu
yang memiliki inteligensi baik dapat terus bertahan dan semakin maju karena
ilmu pengetahuan dan teknologi akan semakin berkembang dengan seiring
bergantinya zaman. Individu yang memiliki inteligensi baik juga dapat
disejajarkan dengan individu yang memiliki kreativitas tinggi. Ketika zaman
terus berganti, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, semakin
banyak orang-orang yang memiliki inteligensi baik, maka orang-orang yang
dapat bertahan adalah orang-orang yang memiliki keunikan dan ciri khas yang
membedakannya dari orang lain. Orang-orang tersebut adalah orang-orang
yang memiliki kreativitas yang tinggi. Seperti yang disebutkan dalam
(Hawadi, 2001) seorang pakar pendidikan Amerika, Renzulli (1981) bersama
dengan dua orang temannya Sally dan Reis yang dikenal dengan konsep
mereka “Three Rings Conception” mengatakan bahwa mereka yang memiliki
keunggulan dan mampu untuk berprestasi tinggi adalah mereka yang memiliki
ciri-ciri yaitu kemampuan diatas rata-rata, kreativitas, serta pengikatan diri
terhadap tugas.
Tiga ciri yang disebutkan dalam “Three Rings Conception” saling
memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Dalam arti bahwa orang-orang
yang memiliki inteligensi baik juga dituntut untuk memiliki kreativitas
sebagai kemampuan untuk bersikap luwes (flexibility), lancar dalam
memberikan pendapatnya (fluency), mampu menciptakan sesuatu yang baru
(originality) serta kemampuannya memperkaya suatu ide (elaboration),
namun di satu pihak juga dituntut memiliki tanggung jawab terhadap tugas
yang diberikan pada dirinya (Hawadi, 2001)
Tiga ciri dalam “Three Rings Conception” hendaknya terkandung di
dalam pendidikan, karena pendidikan sebagai tempat untuk menghasilkan
calon-calon penerus bangsa yang dibutuhkan untuk kemajuan negara.
Kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini menggunakan kurikulum tahun
2006 yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
KTSP memiliki ciri-ciri (http://blog.tp.ac.id/pelaksanaan-kurikulum-
pendidikan-di-indonesia, diakses pada 23 September 2011) sebagai berikut:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara
individual maupun secara klasikal
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan
keberagaman, penyampaian dalam pembelajaran menggunakan
pendekatan dan metode yang bervariasi
3. Sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber belajar
lainnya yang memenuhi unsur edukatif
4. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya
penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi
5. Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum
berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa
sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana
pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah
ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan muatan
kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga
pengembangan silabusnya.
Kenyataan yang harus disadari adalah praktek dari KTSP masih
kurang mencakup tiga ciri dalam “Three Rings Conception”. Guru sebagai
pengajar dalam dunia pendidikan dinilai kurang berkompeten dan kurang
kreatif seperti yang diungkapkan oleh empat pakar pendidikan asal Jepang
(http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/25/17192010/Guru.Dituntut.Kreatif
.dan.Inovatif, diakses pada 25 April 2012). Pendidikan di Indonesia
memberikan porsi yang lebih untuk peningkatan inteligensi dan tanggung
jawab terhadap tugas saja, sedangkan untuk perkembangan kreativitas masih
kurang diberikan porsi yang cukup.
Pendidikan di Indonesia lebih banyak menuntut siswa untuk berfikir
konvergen, yaitu berfikir pada satu hasil tertentu saja. Pertanyaan yang dibuat
untuk siswa berupa pertanyaan tertutup yang memerlukan satu jawaban saja,
dengan mengandalkan pada ingatan atau hafalan. Cara berfikir konvergen
dapat meningkatkan inteligensi, namun kreativitas siswa tidak dapat
berkembang. Sebaliknya, melalui cara berfikir divergen, siswa dapat
memberikan serangkaian alternatif jawaban dan mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah (Hawadi, 2001). Maka melalui cara berfikir divergen,
kreativitas siswa dapat berkembang.
Cara berfikir divergen untuk menunjang perkembangan kreativitas
dapat melalui kegiatan-kegiatan yang menyenangkan sehingga anak
melakukannya dengan senang hati dan tanpa paksaan, kegiatan-kegiatan yang
menyenangkan dapat berupa kegiatan bermain. Kegiatan bermain memiliki
fungsi untuk mengembangkan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif, daya
cipta (kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman pengindraan, melepaskan
ketegangan, dan terapi bagi fisik, mental ataupun gangguan perkembangan
lainnya (dalam penelitian yang berjudul Model Permainan di Sekolah Dasar
Berdasarkan Pendekatan DAP (Developmentally Appropriate Practice) oleh
Rochdi Simon, Tatat Hartati, Arsilah, & Imas Faridah).
Ketika anak memasuki masa SD (Sekolah Dasar), sebagian besar
waktu anak digunakan untuk belajar dan mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah),
sehingga anak menjadi jarang melakukan permainan seperti ketika masih usia
prasekolah (Hurlock, 2004: 159). Permainan yang populer pada usia SD
adalah bermain konstruktif. Bermain konstruktif merupakan permainan yang
membuat sesuatu hanya untuk bersenang-senang saja, tanpa memikirkan
manfaatnya (Hurlock, 2004: 160). Permainan konstruktif berupa permainan
membentuk, membangun, menyusun, memperbaiki potongan-potongan benda
menjadi sebuah bentuk yang sesuai dengan yang telah ada di kehidupan.
Jenis permainan yang kami pilih dalam penelitian ini adalah jenis
permainan konstruktif berupa permainan jigsaw puzzle. Permainan jigsaw
puzzle merupakan suatu permainan menyusun dan memperbaiki potongan-
potongan gambar yang telah ada menjadi suatu gambar yang utuh. Untuk
menyelesaikan permainan jigsaw puzzle, maka yang diperlukan adalah
memilih dan menentukan beberapa alternatif cara untuk menyusun potongan-
potongan gambar agar dapat disusun sehingga membentuk suatu gambar yang
utuh kembali. Cara menyusunnya bebas sesuai dengan kehendak para
pemainnya, karena cara yang dapat digunakan untuk menyusun adalah
beragam cara, sehingga para pemain dapat bebas menentukan beberapa
alternatif cara untuk memecahkan permainan tersebut.
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang akan
diperhatikan dalam eksperimen ini adalah pembuktian adanya peningkatan
kreativitas pada anak usia 8 tahun setelah bermain jigsaw puzzle.
1.3 PEMBATASAN MASALAH
Pembatasan masalah dalam eksperimen ini adalah:
1. Permainan
Permainan terdiri dari berbagai macam model dan cara memainkannya.
Media yang digunakan juga bervariasi. Permainan dilakukan untuk mengisi
waktu luang sekaligus dapat menghibur bagi para pemainnya. Beberapa
permainan memerlukan imajinasi bagi para pemainnya. Permainan yang
memerlukan imajinasi para pemainnya adalah model permainan yang kami
maksudkan dalam eksperimen ini.
Permainan konstruktif adalah permainan yang kami piliih, karena
permainan tersebut merupakan permainan yang bersifat aktif dengan
memproduksi obyek yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari atau media
massa dalam bentuk konstruknya, misalnya seperti permainan jigsaw puzzle
ini. Anak melihat berbagai jenis, bentuk macam-macam benda ataupun
makhluk hidup didalam kehidupan sehari-hari ataupun media massa, melalui
alat bermain jigsaw puzzle ini anak dapat mengkonstruk berbagai macam jenis
serta bentuk dari berbagai macam hewan dll kedalam imajinasinya dalam
permainan ini, yaitu dengan memasang-masangkan bentuk yang sesuai dengan
benda yang di konstruk. Permainan ini membutuhkan imajinasi untuk dapat
mengkonstruk suatu jenis atau bentuk dari benda atau yang lainnya, maka jenis
permainan ini juga dapat merangsang kreativitas anak.
2. Kreativitas
Kreativitas merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh sesorang
untuk menciptakan hal yang baru. Namun tidak selalu benar-benar dari hal
yang baru atau belum pernah ada sebelumnya. Tetapi bisa juga dengan
menggunakan hal yang sudah ada lalu dikombinasikan atau diberi tambahan
sehingga menciptakan hal yang baru yang berbeda dengan yang sudah pernah
ada sebelumnya.
Kreativitas dapat muncul dengan sering berlatih, adanya keinginan, situasi
yang mendukung, dan permainan yang merangsang kreativitas.
3. Siswa SD
Siswa SD berusia kurang lebih 7 sampai 12 tahun. Pada usia ini merupakan
tahapan awal dari kreativitas. Siswa SD merupakan suatu tahap peralihan awal
yang harus dipersiapkan dibidang pemenuhan tugas akademik. Anak harus
mulai dipersiapkan untuk berfikir kreatif, bukan hanya untuk belajar.
1.4 PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengaruh yang ditimbulkan dari permainan konstruktif jigsaw
puzzle terhadap tingkat kreativitas siswa sekolah dasar
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan kreativitas melalui
model permainan konstruktif jigsaw puzzle bagi siswa sekolah dasar
3.
1.5 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
dari permainan Jigsaw Puzzle terhadap kreativitas anak Sekolah Dasar (SD).
Manfaat dari penelitian ini adalah:
A. Manfaat Teoritis
1. Melalui penelitian ini diharapkan akan nampak sejauhmana manfaat
penggunaan permainan konstruktif Jigsaw Puzzle terhadap munculnya
kreativitas dari anak-anak SMA
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan wawasan agar
untuk dilakukan penelitian berkelanjutan semacam ini dikemudian hari. Hasil
penelitian dapat mendorong untuk akan dilakukannya penelitian lanjutan
tentang peranan permainan konstruktif Jigsaw Puzzle untuk anak-anak bahkan
dewasa dengan variabel lain diluar faktor kreativitas.
B. Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini dapat menjadikan referensi bagi mahasiswa psikologi,
sarjana psikologi profesi atau dosen, dll untuk memberikan terobosan baru
bagaimana salah satu cara untuk mengembangkan kreativitas pada individu.
2. Dengan begitu, siapapun yang membaca susunan eksperimen kami dapat lebih
bisa mengembangkan kreativitasnya salah satunya melalui permainan
konstruktif Jigsaw Puzzle atau yang merasa belum mempunyai kreativitas bisa
menemukan cara memunculkan kreativitas dalam diri sendiri karena
kreativitas sebenarnya merupakan hal yang bisa dipelajari dan diasah bukan
semata hanya bersifat bawaan.
DAFTAR PUSTAKA
Hawadi, Akbar & Reni. 2001. Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal sifat, bakat, dan kemampuan anak. Jakarta: Gramedia
Hurlock, Elizabeth B. 2004. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga
Sternberg, Robert J. 2004. Handbook of Creativity. Cambridge: Cambridge University Press
Yatimul Ainun & Lusia Kus Anna. 2012. Guru Dituntut Kreatif dan Inovatif. Diakses pada tanggal 25 April 2012 pada http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/25/17192010/Guru.Dituntut.Kreatif.dan.Inovatif
Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan di Indonesia. Diakses pada tanggal 23 September 2001 pada http://blog.tp.ac.id/pelaksanaan-kurikulum-pendidikan-di-indonesia
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kreativitas
2.1.1 Pengertian Kreativitas
Menurut Munandar (dalam Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, 1999)
menyatakan bahwa kreativitas adalah hasil dari interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Kreativitas menunjukkan ada tiga tekanan kemampuan yaitu yang
berkaitan dengan kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan/ menjawab
masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif (Munandar. 1992).
Kreativitas juga dapat diartikan sebagai pengalaman mengekspresikan dan
mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan diri
sendiri, dengan alam, dan dengan orang lain. (Clark Moustakis dalam Munandar,
1999:18). Sedangkan Renzulli (dalam Munandar,1999) mengungkapkan bahwa
kreativitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memperoleh
gagasan-gagasan baru yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah atau untuk
melihat hubungan baru antar unsur-unsur yang telah ada sebelumnya.
(Carl Rogers dalam Alwisol, 2009 Psikologi Kepribadian) Rogers merupakan
salah satu tokoh Psikologi Humanistik. Rogers beranggapan bahwa manusia itu
bebas, rasional, utuh, berfikir secara subyektif, proaktif, mudah berubah, heterostatis,
dan sukar dipahami. Didalam teorinya rogers menuliskan tentang 5 sifat khas orang
yang berfungsi sepenuhnya (fully human being), salah satunya yaitu tentang
kreativitas.
Kreativitas (Creativity) adalah Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan
kepercayaan kepada organisme mereka sendiri akan mendorong seseorang untuk
memiliki kreativitas dengan ciri – ciri bertingkah laku spontan, tidak defensif,
berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus
kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.
(John. W. Santrock : 2003 dalam adolescence Perkembangan Remaja hal 162-
163) Beberapa pakar kreativitas yaitu Disney, Edison, Caruso, dan Churchill yakin
bahwa intelegensi tidaklah sama dengan kreativitas. Satu hal yang membedakan
adalah antara cara berfikir konvergen (convergent thingking) yang menghasilkan satu
jawaban yang benar dan merupakan ciri khas cara berfikir pada tes intelegensi, dan
cara berfikir divergen (divergent thingking), yang menghasilkan banyak jawaban atau
jalan keluar bagi pertanyaan yang sama dan lebih merupakan tanda dari kreativitas
(Guilford, 1967 dalam John W. Santrock, 2003)
Dalam Santrock. 2003, Kreativitas adalah kemampuan untuk memikirkan
sesuatu dengan cara yang baru dan tidak lazim dan kemampuan untuk menemukan
cara pemecahan unik dalam menghadapi masalah.
2.1.2 Pengembangan Kreativitas
(Utami Munandar: 2001 dalam Mengembangkan Kreativitas, Mulyadi, et al hal:205-
208) Upaya untuk pengembangan kreativitas dalam makna dari srategi 4-P yaitu:
1. Pribadi
Kreativitas disini dikaitkan dengan adanya ciri-ciri kreativitas yang terdapat pada diri
individu, yaitu ciri-ciri yang bersifat:
aptitude atau kognitif (berkaitan dengan kemampuan berfikir) seperti:
kelancaran, keluwesan, keunikan dan kemampuan elaborasi.
non-aptitude atau afektif (berkaitan dengan sikap dan perasaan)
seperti: rasa ingin tahu, ingin mencoba hal-hal baru, berani menghadapi resiko, tidak
takut salah, keras kepala dan sebagainya.
Selain itu Hulbeck dalam Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat (Munandar,
1999) mengungkapkan bahwa tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan
kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan Stenberg (dalam
Munandar, 1999) mengungkapkan bahwa kreativitas merupakan titik temu antara tiga
atribut psikologis yakni intelegensi, kognitif, dan kepribadian atau motivasi
2. Pendorong
Pendorong dibagi atas dua faktor yaitu:
Pendorong yang bersifat internal adalah pendorong dari dalam diri
individu, yaitu hasrat dan motivasi yang kuat pada diri kita sendiri.
Pendorong yang bersifat eksternal adalah pendorong dari luar diri
individu, seperti diperolehnya aneka macam pengalaman yang kaya, lingkungan yang
cenderung menghargai berbagai gagasan unik dari sang anak, tersedianya sarana dan
prasarana yang menunjang sikap kreatif, dan sebagainya.
3. Proses
Disini lebih ditekankan pada kegiatan bersibuk diri secara kreatif. Artinya
kreativitas lebih ditinjau dari aspek kegiatan “bermain” dengan gagasan-gagasan
dalam pikiran tanpa terlalu menekankan pada apa yang dihasilkan oleh proses
tersebut.
4. Produk
Disisni kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencipta dan
menghasilkan produk-produk baru. Pengertian baru disini tidak berarti harus selalu
baru sama sekali, namun bisa pula merupakan suatu kombinasi atau gabungan dari
beberapa hal yang sebelumnya sudah ada.
2.2 Bermain
2.2.1 Pengertian Bermain
Bermain merupakan salah satu ciri dari usia anak sekolah (Hurlock, 1999
dalam Khotimah, 2010). Bermain dapat memicu kreativitas seperti yang disebutkan
Buhler dalam Ayah Bunda, 2000 dalam Khotimah,2010. Menurut Buhler kegiatan
bermain memberikan anak pengalaman berhadapan dengan masalah-masalah dan dan
menganggapnya sebagai tantangan-tantangan yang menggairahkan dimana kelas jika
dewasa, anak akan diharapkan menjadi orang dewasa yang kreatif dan optimis dalam
menghadapi masalah-masalah kehidupannya. Melalui eksperimentasi dalam bermain
anak-anak akan menemukan bahwa merancang sesuatu yang baru dan berbeda yang
dapat menimbulkan kepuasan dan kemudian mereka akan mengalihkan minat
kreatifnya ke situasi di luar bermain (Hurlock, 1997). Hurlock menyatakan bahwa
pengaruh bermain bagi perkembangan anak salah satunya adalah merangsang
kreativitas anak (Hurlock. 1978)
Bermain secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu aktif dan
pasif (“hiburan”). Dalam bermain aktif kesenangan timbul dari apa yang dilakukan
individu, apakah dalam bentuk kesenangan berlari atau membuat sesuatu dengan lilin
atau cat. Anak-anak kurang melakukan kegiatan bermain aktif ketika mendekati masa
remaja dan mempunyai tanggungjawab lebih besar dirumah dan di sekolah serta
kurang bertenaga karena pertumbuhan pesat dan perubahan tubuh. Dalam bermain
pasif kesenangan diperoleh dari kegiatan orang lain. Pemain menghabiskan sedikit
energi. Anak yang menikmati temannya bermain, memandang orang atau hewan di
televisi, menonton adegan lucu atau membaca buku adalah bermain tanpa
mengeluarkan banyak tenaga. (Hurlock. 1978). (Hurlock. 1978) membagi bermain
aktif dalam berbagai bentuk, dan salah satu nya adalah bermain konstruktif
2.2.2 Bermain Konstruktif
Hurlock dalam Khotimah, 2010 menyatakan bahwa permainan konstruktif
merupakan salah satu permainan imajinasi yang disukai oleh anak usia sekolah. Pada
saat anak memasuki masa usia sekolah, anak mulai kehilangan minat dengan
permainan drama dan lebih memilih untuk bermain konstruktif karena mereka sudah
mampu membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Smilansky dalam
Hendrick, 1995 dalam Khotimah, 2010 mengatakan bahwa bermain konstruktif
merupakan kegiatan bermain dimana anak-anak melakukan permainan yang
bertujuan untuk satu tujuan jangka pendek seperti bermain puzzle atau menggambar,
mereka belajar menggunakan benda-benda, memanipulasi obyek-obyek untuk
membentuk sesuatu.
2.3 Tahapan usia anak
2.3.1 Perkembangan kognitif usia 9-11 tahun
Usia 9-11 tahun termasuk dalam kategori usia sekolah dimana usia sekolah
dimulai dari usia 6 sampai 13 atau 14 tahun (Hurlock, dalam Khotimah, 2010). Usia 9
sampai 11 tahun termasuk tahapan operasional konkret milik Piaget, pada tahapan ini,
anak sudah mampu melakukan konservasi yakni mengerti bahwa sifat-sifat suatu
obyek akan tetap sama meskipun terjadi perubahan bentuk pada obyek tersebut.
2.3.1 Kreativitas Anak pada Usia 9-11 tahun
2.5 Hubungan antara Bermain Konstruktif dengan Kreativitas anak
Bermain konstruktif menurut Smilansky merupakan kegiatan bermain dimana
anak-anak memanipulasi obyek untuk membentuknya menjadi sesuatu, dan
Smilansky memberi contoh salah satu permainannya yaitu puzzle. Bermain sendiri
merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kreativitas seperti yang
diungkapkan oleh Buhler dalam Ayah Bunda, 2000 dalam Khotimah 2010. Bermain
juga merupakan belajar yang paling efektif bagi anak-anak. Melalui kegiatan bermain
yang menyenangkan, anak akan melatih gerakan-gerakan motorik maupun
kemampuan otaknya untuk semakin memperdalam suatu kemampuan (Mulyadi,
1998). Anak dalam permainan konstruktif dapat menuangkan ide-ide dan juga
imajinasinya dan anak yang imajinatif termasuk ke dalam ciri anak yang kreatif
(Munandar, 1999)
2.5 Kerangka Konseptual
Berdasarkan teori-teori yang telah disajikan sebelumnya, maka kerangka konseptual
dari eksperimen ini adalah,
2.6 Hipotesis
Permainan Konstruktif
KREATIVITAS
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Ho = Tidak ada pengaruh kegiatan bermain konstruktif terhadap
peningkatan kreativitas anak
Ha = Ada pengaruh kegiatan bermain konstruktif terhadap peningkatan
kreativitas anak
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol, 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM PressHurlock, B. Elizabeth, 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Mulyadi, Seto. 1998. Memacu Bakat dan Kreativitas. Jakarta:GramediaMulyadi, Seto et al, 2001. Pengalaman Hidup 10 Tokoh Kreativitas Indonesia:
Mengembangkan Kreativitas. Jakarta: Pustaka PopulerMunandar, Utami. 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka
CiptaSantrock, John. W, 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga
ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/JPS/article/view/359/296
top related