antioksidan a'yunil
Post on 22-Oct-2015
37 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 1
ANTIOKSIDAN
1. Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu atom, molekul, fragmen molekul atau senyawa yang
mengandung satu atau lebih elektron tak berpasangan dalam orbital atom atau
molekulnya, serta dapat terbentuk ketika oksigen berinteraksi dengan molekul tertentu.
Senyawa radikal bebas sangat reaktif. Elektron yang tidak
berpasangan dalam radikal bebas akan selalu berusaha berikatan
dengan molekul, atom hidrogen dari molekul lain, atau dengan
elektron tidak berpasangan lainnya sehingga menghasilkan senyawa
yang stabil. Beberapa tipe radikal dapat berperan penting dan juga
bisa berbahaya bagi tubuh. Dalam konsentrasi yang tepat radikal bebas berperan
penting dalam tubuh (Devasagayam et al., 2004), yaitu :
1. Pembentukan ATP dari ADP dalam mitokondria, pada proses fosforilasi oksidatif
2. Detoksifikasi xenobiotik oleh sitokrom P450 (enzim pengoksidasi)
3. Apoptosis sel
4. Membunuh mikroorganisme dan sel-sel kanker dengan makrofag dan limfosit
sitotoksik
5. Oksigenase (misalnya COX: cyclo-oxygenases, LOX: lipoxygenase) untuk
pembentukan prostaglandin dan leukotriene yang memiliki banyak fungsi regulasi.
6. Radikal hidroksil, •OH menstimulus aktivasi adenilat guanilate dan pembentukan
"second messenger" guanosin monofosfat siklik (cGMP) (Mittal & Murad, 1977).
Namun dalam kadar yang berlebihan, radikal bebas dapat merusak seluruh tipe
makromolekul seluler, termasuk karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat karena
kereaktifitasnya yang tinggi.
Radikal bebas dalam tubuh dapat berasal dari faktor luar (eksogen) atau dalam
(endogen). Terdapat dua kelompok besar radikal bebas yang dihasilkan oleh tubuh,
yiatu reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS). Sebagian
besar sel dapat menghasilkan superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2) dan oksida
nitrat (NO). ROS dan RNS diproduksi untuk membantu mempertahankan homeostasis
pada tingkat sel dalam jaringan sehat dan memainkan peran penting sebagai molekul
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 2
sinyal. Secara keseluruhan, mekanisme terbentuknya ROS dan RNS dalam tubuh
ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Produksi ROS dan RNS dalam sel (Fang et al., 2002)
Sedangkan radikal bebas yang berasal dari luar yaitu, sejumlah logam transisi (Fe, Cu,
Zn, dan Mn), klorin, obat-obatan, radiasi ionisasi, buangan dari lingkungan (CO,
asbestos, ozon, pelarut, dan lain-lain). Berikut ini adalah reaksi-reaksi pembentukan
radikal bebas secara umum.
1.1 Reactive oxygen species (ROS)
Radikal bebas kelompok oksigen merupakan kelompok radikal bebas yang
paling penting dihasilkan oleh tubuh. Molekul oksigen (dioksigen) memiliki konfigurasi
elektronik yang unik dan itu sendiri merupakan radikal. Penambahan satu elektron
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 3
untuk membentuk dioksigen anion superoksida radikal (O2•-). Superoksida anion, yang
terbentuk baik melalui proses metabolisme atau aktivasi oksigen oleh radiasi fisik,
dianggap sebagai ROS primer yang selanjutnya dapat berinteraksi dengan molekul lain
untuk menghasilkan ROS sekunder, baik secara langsung maupun melalui proses
enzimatis atau yang dikatalisis logam (Valko et al., 2007).
ROS dihasilkan dari reaksi oksidasi enzimatik, fagositosis dalam respirasi,
autoksidasi, transpor elektron di mitokondria, oksidasi ion-ion logam transisi, dan
melalui ischemic. Oksidasi enzimatik menghasilkan oksidan asam hipoklorit. Di mana
sekitar 70-90 % konsumsi O2 oleh sel fagosit diubah menjadi superoksida dan bersama
dengan `OH serta HOCl membentuk H2O2 dengan bantuan bakteri. Autoksidasi adalah
senyawa yang mengandung ikatan rangkap, hidrogen alilik, benzilik atau tersier yang
rentan terhadap oksidasi oleh udara. Dalam sistem transpor electron, oksigen menerima
1 elektron membentuk superoksida. Adanya ion logam transisi dalam tubuh seperti Co
dan Fe memfasilitasi produksi singlet oksigen dan pembentukan radikal `OH melalui
reaksi Haber-Weiss: H2O2 + Fe2+ —> `OH + OH- + Fe3+. Secara singkat, xantin oksida
selama ischemic menghasilkan superoksida dan xantin. Xantin yang mengalami
produksi lebih lanjut menyebabkan asam urat.
1.2 Reactive Nitrogen Species (RNS)
NO• merupakan molekul yang mengandung electron tidak berpasangan, NO
termasuk RNS primer. NO diproduksi dalam jaringan biologi melalui jalur sintesis nitrit
oksida spesifik (NOSs), yaitu metabolisme arginine menjadi citrulline dengan
pembentukan NO melalui reaksi oksidatif lima elektron. Dalam tubuh, NO berperan
sebagai molekul sinyal biologi oksidatif dalam berbagai proses fisiologi, seperti
neurotransmisi, engaturan tekanan darah, mekanisme pertahanan, relaksasi otot polos
dan regulasi kekebalan tubuh.
Meskipun RNS berperan penting dalam tubuh, namun kelebihan produksi RNS
dalam tubuh juga berbahaya. Kondisi RNS berlebih ini disebut stress nitrosatif. Stress
Nitrosatif dapat menyebabkan reaksi nitrosilasi yang dapat mengubah struktur protein
sehingga menghambat fungsi normal protein. Stress Nitrosatif ini dapat terjadi ketika
pembentukaan RNS dalam sistem melebihi kemampuan sistem untuk menetralkan dan
menghilangkan RNS.
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 4
Sel-sel dari sistem kekebalan tubuh menghasilkan anion superoksida dan oksida
nitrat selama oksidatif yang dipicu oleh proses inflamasi. Dengan kondisi tersebut,
oksida nitrat dan anion superoksida dapat bereaksi menghasilkan molekul yang lebih
aktif dan oksidatif, yaitu anion peroksinitrit (ONOO-), merupakan agen pengoksidasi
kuat yang dapat menyebabkan fragmentasi DNA dan oksidasi lipid (Carr, McCall, &
Frei, 2000 in Valko et al., 2007):
2. Kerusakan Molekular Oleh Radikal Bebas
Pada prinsipnya tubuh memiliki sistem pertahanan untuk melawan radikal bebas
oksigen (ROS), yaitu melalui enzim superoxide dismutase (SOD), glutathione (GSH),
GSH peroksidase, glutathione reduktase, enzim heme (Fang et al., 2002). Meskipun
demikian, kadar radikal bebas dalam tubuh dapat berlebihan saat sistem kekebalan
tubuh tidak dapat menetralisir kelebihan radikal bebas, keadaan ini disebut stress
oksidatif. Keadaan ini menyebabkan ROS yang bebas tersebut akan bereaksi dengan
molekul di dalam tubuh seperti protein, lipid, dan gula, serta DNA.
2.1 Peroksidasi Lipid
Tahap pertama kerusakan oleh ROS yaitu terjadinya peroksidasi lipid membran
dan sitosol yang mengakibatkan terjadinya serangkaian reduksi asam lemak sehingga
terjadi kerusakan membran dan organel sel. Peroksidasi lipid tidak hanya merusak
membrane dan organel sel, tapi juga menyebabkan kerusakan jaringan in vivo karena
dapat menyebabkan kanker, penyakit inflamasi, aterosklerosis, dan penuaan. Efek
merusak tersebut akibat produksi radikal bebas (ROO•, RO•, OH•) pada proses
pembentukan peroksida dari asam lemak. Peroksidasi lipid merupakan reaksi berantai
yang mampu menghasilkan produk yang reaktif yang dapat bereaksi dengan protein dan
DNA. Secara keseluruhan, proses berantai dari peroksidasi lipid adalah sebagai berikut
a. Inisiasi
ROOH + logam ROO• + Logam + H+
X• + RH R• + XH
b. Propagasi
R• + O2 ROO•
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 5
ROO• + RH ROOH + R•
c. Terminasi
ROO• + ROO• ROOR + O2
ROO• + R• ROOR
R• + R• RR
Peroksidasi lipid menghasilkan berbagai senyawa toksik seperti malondialdehid
(MDA), 4-hydroxynonenal (4-HNE) dan berbagai senyawa 2-alkenal.
2.2 DNA
Radikal bebas hasil peroksidasi lipid dapat menyerang DNA, baik pada basa
nukleotida maupun jembatan fosfodiester dari DNA. Selain itu, Radikal bebas seperti •
OH dan H • dapat bereaksi dengan DNA melalui penambahan dasar dari atom hidrogen
dari gugus gula. ikatan rangkap C4-C5 dari pirimidin sangat sensitif terhadap serangan
•OH, reasi ini menghasilkan kerusakan oksidatif pada produk pirimidin, termasuk timin
glikol, glikol urasil, residu urea, 5-hydroxydeoxyuridine, 5-hydroxydeoxycytidine,
hydantoin. Demikian pula, interaksi •OH dengan purin akan menghasilkan 8-
hydroxydeoxyguanosine (8-OHdG), 8-hydroxydeoxyadenosine, formamidopyrimidines
dan produk purin lainnya yang kurang ditandai oksidatif. 8-OHdG terlibat dalam
karsinogenesis dan dianggap sebagai penanda adanya kerusakan oksidatif DNA. DNA
yang rusak menyebabkan mutasi pada urutan basa nukleotida sehingga terjadi kesalahan
dalam pengkodingan protein sehingga menghasilkan malfungsi atau disfungsi protein.
kerusakan pada DNA bersifat permanen.
Kerusakan oksidatif DNA menyebabkan banyak sekali penyakit, antara lain
alzheimer, amyotrophic lateral sclerosis(ALS), parkinson, atherosclerosis, ischemia /
reperfusion neuronal injuries,penyakit menurun pada manusia temporomandibular-
joint, katarak pada mata, macular degeneration, kerusakan retina yang menurun,
rematik arthritis, sklerosis multipel, distrophi otot, diabetes melitus, kanker, penuaan
dini, dan lain-lain.
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 6
Gambar 2. Proses kerusakan DNA oleh ROS yang menyebabkan kanker, BER = Base
excision repair, NER = Nucleotide excision repair (Kryston et al., 2011)
3. Senyawa Antioksidan
Menurut Kumalaningsih (2007), antioksidan adalah senyawa yang mempunyai
struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya dengan cumacuma kepada molekul
radikal bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai
dari radikal bebas. Menurut Hillbom dalam Sulistyowati (2006), antioksidan adalah
senyawa dalam kadar rendah mampu menghambat oksidasi molekul target sehingga dapat
melawan atau menetralisir radikal bebas. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan
melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya
reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stress oksidatif.
Terdapat dua jenis antioksidan, yaitu antioksidan primer dan sekunder.
Antioksidan primer merupakan antioksidan yang berasal dari dalam tubuh (endogen)
atau enzimatis, meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), glutation (GSH)
peroksidase, dan katalase. Fungsi utama antioksidan primer sebagai pemberi atom
hidrogen. Enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 7
memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang
lebih stabil. Enzim ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipid
(R•, ROO•) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal
antioksidan (A•) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipid.
Antioksidan sekunder disebut juga sebagai antioksidan eksogeneus atau non-
enzimatis. Antioksidan kelompok ini memiliki sistem pertahanan preventif, yaitu
terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal atau
dirusak pembentukannya. Antioksidan sekunder bekerja dengan dua macam cara. Cara
pertama yaitu dengan memotong reaksi berantai dari radikal bebas, sedangkan cara
kedua yaitu dengan mencegah radikal alkoksi atau hidroksi yang berasal dari
dekomposisi peroksidase. Antioksidan sekunder meliputi vitamin E, vitamin C, β-
karoten, flavonoid, asam urat, bilirubin dan albumin.
3.1 Antioksidan Endogen
a. Superoxide dismutase (SOD)
Superoxide dismutase (SOD) adalah enzim yang mengkatalisis dismutasi O2.-
menjadi O2 dan spesies yang kurang reaktif. SOD berada dalam beberapa isoform,
berbeda dalam pusat logam aktif dan konstituen asam amino, jumlah subunit,
kofaktor dan lainnya. Pada manusia terdapat tida bentuk SOD: sitosol Cu, Zn-SOD,
mitokondrial Mn-SOD, dan SOD ekstraseluler (EC-SOD). Berikut ini adalah
mekanisme SOD sebagai antioksidan:
b. Glutathione
Glutathione adalah antioksidan sulfhydryl (-SH), antitoksin, dan enzyme cofactor.
Glutathione merupakan antioksidan intraselular dengan konsentrasi paling tinggi.
Enzim ini terdapat dalam dua bentuk, yaitu selenium-independent (glutation-S-
transferase, GSH) yang merupakan antioksidan glutathione tereduksi, dan
Glutathione disulfide (GSSG) (Kidd, 1997), yaitu bentuk teroksidasi dari
glutathione. Rasio GSSG/GSH dapat menunjukkan tingkat stress oksidatif dalam
tubuh.
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 8
Gambar 3. Struktur kimia dan kemampuan reduksi Glutathione
c. Catalase
Katalase adalah enzim yang terdapat pada sel tumbuhan, hewan, dan
bakteri aerob. Katalase berada di dalam organel sel yang disebut peroksisom.
Enzim ini sangat efisien untuk mengkonversi hidrogen peroksida menjadi
molekul air dan oksigen.
Gambar 4. Mekanisme sistem pertahanan tubuh terhadap radikal bebas
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 9
3.2 Antioksidan Eksogen
Vitamin C, vitamin E, dan beta karoten adalah salah satu antioksidan eksogen
yang paling banyak dipelajari.
a. Vitamin E (α – tokoferol)
Vitamin E merupakan antioksidan utama yang larut dalam lipid (lipofilik).
Aktivitas antioksidan vitamin E disebabkan adanya gugus hidroksil (OH) pada atom C6
cincin kromanolnya. Berdasaran sifat kelarutannya, vitamin E adalah antioksidan rantai
pemecah paling efektif dalam membran sel yang akan melindungi membran asam lemak
dari peroksidasi lipid. Dengan kata lain, vitamin E menjaga integritas membran sel dari
peroksidasi lipid. Vitamin E berfungsi melindungi asam-asam lemak dari oksidasi
dengan cara menangkap radikal-radikal bebas. Dari penelitian yang dilakukan secara
in vitro diperoleh informasi bahwa antara vitamin E dan C terdapat interaksi yang
bersifat senergistik dalam fungsinya sebagai antioksidan. Berikut ini adalah strutur imia
dari Vitamen E (α – tokoferol)
Gambar 5. Struktur kimia Vitamin E
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 10
iliki 2 jenis isomer yaitu tokoferol dan tokotrienol. Masing-masing isomer memiliki 4
vitamer yaitu α, β, γ, δ. Isomer yang berperan sebagai antioksidan yaitu tokoferol dan
vitamer yang paling aktif dari tokoferol yaitu α.
Mekanisme reaksi vitamin E dengan radikal bebas yaitu dengan cara memotong
rangkaian reaksi peroksidasi lipid melalui kemampuannya memberikan hidrogen fenol
untuk mereduksi radikal peroksil lipid (LO2*). Satu molekul tokoferol dapat
mengakhiri kerja 2 rantai peroksida.
b. Vitamin C
Vitamin C adalah antioksidan larut dalam air (hidrofilik) yang paling penting
dalam cairan ekstraselular. Oleh karena itu, vitamin C mampu menetralkan ROS dalam
fase berair sebelum peroksidasi lipid dimulai. Vitamin C menghambat pembentukan
nitrosamin karsinogenik, menstimulus sistem imun, serta melindungi dari kerusakan
kromosom. Vitamin C memiliki efek sinergis (saling memperkuat) dengan Vitamin E
dan β-karotenoid. Vitamin C bersama vitamin E meregenerasi α-tokoferol dari radikal
α-tokoferol pada membran dan lipoprotein.
Gambar 6. Reaksi vitamin C (asam askorbat) dengan radikal bebas
Vitamin C mampu mereduksi radikal superoksida, hidroksil, asam hipoklorida,
dan oksigen reaktif yang berasal dari netrofil dan monosit yang teraktivasi. Antioksidan
vitamin C mampu bereaksi dengan radikal bebas, kemudian mengubahnya menjadi
radikal askorbil. Senyawa radikal terakhir ini akan segera berubah menjadi askorbat dan
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 11
dehidroaskorbat. Asam askorbat dapat bereaksi dengan oksigen teraktivasi, seperti
anion superoksida dan radikal hidroksil. Pada konsentrasi rendah, vitamin C bereaksi
dengan radikal hidroksil menjadi askorbil yang sedikit reaktif, sementara pada kadar
tinggi, asam ini tidak akan bereaksi.
c. β-Karotenoid
Karotenoid adalah kelompok senyawa yang tersusun dari unit isopren atau
turunannya. Jenis karotenoid yang paling banyak ditemukan adalah β-karoten, lutein,
likopen, α-karoten, β-kriptoxantin dan zeaxantin. Karotenoid memiliki banyak ikatan
rangkap sehingga mudah mengalami degradasi oksidasi.
Gambar 7. Struktur kimia karotenoid
Karotenoid efisien sebagai antioksidan melalui quenching singlet oxygen dan scavenging
free radical. β-karoten merupakan quencher (peredam) singlet oksigen yang paling baik.
1 molekul β-karoten dapat meredam 250-1000 molekul singlet oksigen pada kecepatan
1.3x1010 M-1S-1. Efektivitas quenching semakin meningkat dengan semakin banyaknya
ikatan rangkap pada karotenoid dan jumlah karotenoid yang ditambahkan. karotenoid
dengan 7 atau lebih sedikit ikatan rangkap kurang efektif sebagai quencher karena tidak
dapat menerima energi dari singlet oksigen. Transfer energi dari singlet oksigen ke
peredamnya akan menghasilkan pembentukan triplet oksigen dan triplet-state quencher
dengan reaksi berikut :
Proses autooksidasi seperti peroksidasi lipid berhubungan dengan reaksi rantai
radikal yang melibatkan radikal peroksil (ROO ). Antioksidan pemutus rantai tersebut
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 12
seperti halnya karotenoid dapat menghambat kecepatan dan efisiensi pengikatan
(scavenging) radikal bebas dengan reaksi sebagai berikut:
Hasil radikal turunan antioksidan (CAR) tidak sesuai untuk propagasi reaksi. Hal ini
antara lain disebabkan oleh tidak terjadinya reaksi abstraksi atom H atau reaksi dengan
oksigen membentuk radikal peroksil lainnya.
d. Flavonoid
Gambar 8. Struktur dasar flavonoid
Flavonoid memiliki dua cara mekanisme antioksidan. Pertama yaitu dengan cara
menghambat kerja enzim yang terlibat dalam reaksi produksi anion superoksida,
misalnya xantin oksidase dan protein kinase. Flavonoid juga menghambat kerja
siklooksigenase, lipoksigenase, mikrosomal monoksigenase, glutation-S-transferase,
mitokondrial suksinoksidase, dan NADH oksidase. Cara kedua yaitu dengan cara
mengkhelat logam. Sisi pengikatan unsur kelumit pada flavonoid adalah pada gugus
katekol yang ada pada cincin B, gugus 3-OH-4-Okso- pada cincin heterosiklik, dan 4-
okso- dan 5-OH pada cincin heterosiklik dan cincin A.
Flavonoid (Fl-OH) mempunyai nilai potensial reduksi yang rendah (0.23 – 0.75
V) sehingga mudah mereduksi radikal superoksida, peroksil, alkoksil, dan hidroksil
(2.13– 1.0 V).
Radikal aroksil (Fl-O•) yang terbentuk dapat bereaksi dengan radikal kedua
menghasilkan struktur quinon yang stabil. Stabilnya aroksil ditentukan oleh adanya
delokalisasi elektron pada 2,3-ikatan rangkap terkonjugasi dengan 4-okso. Mekanisme
lain yang dijalankan flavonoid dalam memadamkan radikal adalah dengan cara
Antioksidan, A’yunil H., Bioorganik, 2012 13
menyediakan sisi pengikatan untuk radikal–radikal tersebut. Sisi ini adalah gugus
katekol pada cincin B yang merupakan donor elektron yang baik.
Daftar Pustaka
Devasagayam, TPA., Tilak, JC, Boloor, KK., Sane, K.S., Ghaskadbi, S.S., Lele, RD.,
2004, Review : Free Radicals and Antioxidants in Human Health:Current
Status and Future Prospects, JAPI 52: 752-804.
Fang, Y.Z., Yang, S., Wu, G., 2002, Free Radicals, Antioxidants, and Nutrition,
Journal of Nutrition, 18 : 872– 879.
Kidd, P.M., 1997, Glutathione :Systemic Protectant Again Oxidative and Free
Radical Damage, Alternative medicine review, 2 (3) : 166-176.
Kumar, S., 2011, Free Radicals and Antioxidants: Human and Food System,
Advances in Applied Science Research, 2 (1): 129-135.
Kryston, T.B., Georgiev, A.B, Pissis, P., Georgakilas A.G., 2011, Review : Role of
oxidative stress and DNA damage in human carcinogenesis, Mutation
Research, 711 : 193–20.
Valko, M., Leibfritz, D., Moncola, J., Cronin, M.T.D., Mazur, M., Telser, J., 2006,
Review: Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and
human disease, The International Journal of Biochemistry & Cell Biology, 39:
44–84.
top related