101338 rina kusumawati-fkik
Post on 06-Jul-2015
888 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HUBUNGAN TINGKAT KEPARAHAN KARIES GIGI DENGAN STATUS
GIZI SISWA KELAS DUA SDN 01 CIANGSANA
DESA CIANGSANA KABUPATEN BOGOR TAHUN 2010
Skripsi
Oleh :
RINA KUSUMAWATI
NIM : 106101003296
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010/ 1431 H
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Desember 2010
Rina Kusumawati
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Desember 2010 Rina Kusumawati, NIM : 106101003296 Hubungan Tingkat Keparahan Karies Gigi Dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010 xvi + 104 halaman, 16 tabel, 2 bagan, 1 gambar, 5 lampiran
ABSTRAK Status gizi merupakan faktor yang dapat menentukan kualitas sumber daya
manusia. Faktor yang berhubungan dengan status gizi antara lain status kesehatan dan tingkat konsumsi zat gizi. Karies gigi merupakan penyakit yang dapat menggangu kondisi gizi anak sehingga dapat menimbulkan masalah gizi. Tingkat konsumsi zat gizi seperti karbohidrat, protein dan lemak tidak hanya berhubungan dengan status gizi tetapi juga dapat berhubungan dengan tingkat keparahan karies gigi. Penelitian dilakukan untuk membuktikan hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua serta faktor pengganggu di antara kedua variabel tersebut di SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 50 orang.
Hasil penelitian ini menunjukkan 66% siswa kelas dua di SDN 01 Ciangsana memiliki status gizi kategori kurus dan 74% siswa kelas dua di SDN 01 Ciangsana memiliki tingkat keparahan karies gigi yang tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh bahwa tingkat keparahan karies gigi dan tingkat konsumsi karbohidrat berhubungan dengan status gizi siswa kelas dua (Pvalue < 0,05). Sedangkan tingkat konsumsi protein dan lemak tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan status gizi siswa kelas dua.
Berdasarkan hasil uji multivariat diperoleh bahwa tingkat konsumsi karbohidrat merupakan faktor confounding antara hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua. Dengan demikian dapat disarankan kepada pemerintah agar lebih meningkatkan efektivitas program Usaha Kesehatan Gigi Anak Sekolah (UKGS). Kepada pihak sekolah diharapkan dapat meningkatkan peran serta kantin sekolah dalam penyediaan makanan yang bergizi serta meningkatkan keterlibatan para guru dalam memberikan informasi mengenai perilaku hidup bersih dan sehat. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan meneliti variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Daftar bacaan: 58 (1989-2009)
iii
SYARIEF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH Undergraduated Thesis, December 2010 Rina Kusumawati, NIM 106101003296 The Relationships Between Dental Caries Severity With Nutritional Status of Students in Grades Two SDN 01 Ciangsana, Ciangsana Village, Bogor Regency Year 2010 xvi + 104 pages, 16 tables, 2 charts, 1 picture, 5 attachment
ABSTRACT
Nutritional status is a factor that can determine the quality of human resources. Factors associated with nutritional status among other health status and level of consumption of nutrients. Dental caries is a disease that may affect the nutritional condition of the child so that it can cause nutritional problems. Consumption levels of nutrients such as carbohydrates, proteins and fats are not only related to nutritional status but also may be associated with the severity of dental caries. The study was conducted to prove the severity of dental caries relationship with nutritional status of second-class students as well as confounding factors between the two variables on the SDN 01 Ciangsana, Ciangsana Village, Bogor Regency Year 2010. The sample used in this study amounted to 50 people.
The results of this study showed 66% students at SDN 01 Ciangsana have the nutritional status of underweight category and 74% students at SDN 01 Ciangsana have the severity of dental caries is high. Based on the results of statistical tests found that the severity of dental caries and level of carbohydrate intake associated with nutritional status of students in grade two (Pvalue <0.05). While the level of consumption of protein and fat do not have a meaningful relationship with nutritional status of students in grade two.
Based on the multivariate test results obtained that the level of carbohydrate consumption is a factor confounding the relationship between the severity of dental caries with the nutritional status of students in grade two. Thus it can be recommended to the government to further improve the effectiveness of programs Business Schools Children's Dental Health (UKGS). The school is expected to increase participation in the school canteen provision of nutritious foods and to increase the involvement of teachers in providing information about the behavior of clean and healthy. For further research is expected to examine the variables that are not examined in this study. References : 58 (1989-2009)
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul
HUBUNGAN TINGKAT KEPARAHAN KARIES GIGI DENGAN STATUS
GIZI SISWA KELAS DUA SDN 01 CIANGSANA DESA CIANGSANA
KABUPATEN BOGOR TAHUN 2010
Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Desember 2010
Mengetahui
Raihana Nadra Alkaff, MMA Catur Rosidati, SKM, MKM
Pembimbing I Pembimbing II
v
vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Identitas Diri
Nama
Tempat/ Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Agama
Status Marital
Alamat
Telepon / HP
: Rina Kusumawati
: Jakarta, 21 Desember 1988
: Perempuan
: Islam
: Belum Menikah
: Komp. TNI-AL TWP I Blok F IV/3 Rt. 002/19
Ciangsana Bogor 16968
: 94905592 / 085691014565
: rina.unique21@gmail.com
Pendidikan Formal
Tahun 1993 – 1994
Tahun 1994 - 2000
Tahun 2000 - 2003
Tahun 2003 – 2006
Tahun 2006 – sekarang
: TK. Islam Kaca Puri II
: SDN. Kranggan Permai Jatisampurna
: SLTPN 15 Bekasi
: SMAN 7 Bekasi
: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, pencipta dan pemelihara alam semesta yang
kekal dan abadi. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, dan hamba Allah yang suci.
Alhamdulillah pada akhirnya skripsi dengan judul “Hubungan Tingkat
Keparahan Karies Gigi Dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana
Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran status gizi, hubungan tingkat keparahan karies
gigi dengan status gizi dan faktor confounding yang berisiko mengganggu hubungan
antara kedua variabel tersebut di SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten
Bogor Tahun 2010.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan motivasi, bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat, yaitu Bapak Dr. Yuli Prapanca
Satar, MARS.
2. Bapak kepala sekolah SDN 01 Ciangsana yang telah bersedia memberi izin
agar institusinya dijadikan tempat penelitian.
3. Pembimbing I fakultas, yaitu Ibu Raihana Nadra Alkaff, MMA yang telah
memberikan bimbingan dan masukan selama proses pembuatan skripsi.
4. Pembimbing II fakultas, yaitu Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM.
5. Para Guru di SDN 01 Ciangsana yang banyak membantu mempermudah
penelitian skripsi ini.
viii
6. Ibuku tercinta atas segala doa, perjuangan, pengorbanan serta dukungan moril
dan materil yang tiada henti.
7. Ayahku tersayang yang selalu memberikan dukungan dan nasihat dalam
setiap langkah kehidupanku.
8. Adik-adikku tersayang, yaitu Hardiyanto dan Arif yang telah membantu
kelancaran dan selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh dosen dan civitas akademik FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya Pak Gozali yang membantu dalam pembuatan surat izin.
10. Sahabat-sahabatku yang tergabung dalam kejora yaitu Puput, Nita, Emi,
Budes, Neisya, Papau, Lesy, Eka, dan Ana yang selalu memberikan semangat
dalam menyelesaikan perkuliahan, memberikan masukan dalam proses
pengerjaan skripsi serta membantu dalam penelitian skripsi ini.
Pada akhirnya penyusun bersyukur kepada Allah SWT semoga skripsi ini
dapat bemanfaat kepada banyak pihak dan tidak lupa penyusun mengharapkam kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak.
Jakarta, Desember 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………... i
ABSTRAK………………………………………………………………….......... ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN………………………………………………
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………...
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP………………………………………………….. vi
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI………………………………………………………………........... ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………….......... xiii
DAFTAR BAGAN……………………………………………………………….. xiv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….. xv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….............. xvi
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………........... 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………….......... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian…………………………………………………………. 7
1.4 Tujuan Penelitian……………………………………………………………... 8
1.4.1 Tujuan Umum…………………………………………………………... 8
1.4.2Tujuan Khusus…………………………………………………………... 8
1.5 Manfaat Penelitian……………………………………………………………. 10
1.5.1 Bagi Sekolah……………………………………………………………. 10
1.5.2 Bagi Pemerintah………………………………………………………… 10
1.5.3 Bagi Institusi Pendidikan………………………………………….......... 11
1.5.4 Bagi Peneliti…………………………………………………………….. 11
1.6 Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………………….. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………........... 13
2.1 Status Gizi………………………………………………………….................. 13
x
2.1.1 Pengertian Status Gizi………………………………………………….. 13
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi ………………..
2.1.3 Penilaian Status Gizi……………………………………………………
2.1.4 Status Gizi Anak………………………………………………………..
14
27
31
2.2 Karies Gigi…………………………………………………………................. 33
2.2.1 Definisi Karies Gigi………………………………………...................... 33
2.2.2 Faktor Karies Gigi……………………………………………………… 34
2.2.3 Proses Terjadinya Karies Gigi………………………………………….. 41
2.2.4 Pengaruh Karies Terhadap Status Gizi…………………………………. 42
2.2.5 Pengukuran Karies Gigi Susu…………………………………………... 46
2.3 Anak Sekolah Dasar…………………………………………………………... 48
2.3.1 Pengertian dan Karakterisitik…………………………………………… 48
2.3.2 Keadaan Gizi Anak Sekolah……………………………………………. 48
2.4 Kerangka Teori……………………………………………………………….. 51
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS………………………………………………………………………
52
3.1 Kerangka Konsep………………………………………………………........... 52
3.2 DefinisiOperasional…………………………………………………………... 53
3.3 Hipotesis………………………………………………………………………. 55
BAB IV METODELOGI PENELITIAN………………………………………. 56
4.1 Jenis Penelitian…………………………………………………………........... 56
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………………………. 56
4.3 Populasi dan Sampel…………………………………………………….......... 56
4.3.1 Populasi…………………………………………………………………. 56
4.3.2 Sampel……………………………………………………………........... 57
4.4 Metode Pengumpulan Data…………………………………………………... 58
4.4.1 Data Primer……………………………………………………………... 58
4.4.2 Data Sekunder………………………………………………………….. 60
4.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data……………………………………….. 60
4.5.1 Teknik Pengolahan Data……………………………………………….. 60
xi
4.5.2 Analisis Data………………………………………………………….... 62
BAB V HASIL…………………………………………………………………… 65
5.1 Gambaran Umum………………………………………………………........... 65
5.1.1 Visi dan Misi……………………………………………………............. 65
5.1.2 Tujuan Umum Pendidikan…………………………………………….... 66
5.1.3 Jumlah Siswa……………………………………………………............. 66
5.1.4 Karakteristik Responden………………………………………………... 67
5.2 Analisi Univariat………………………………………………….................... 68
5.2.1 Gambaran Status Gizi Siswa Kelas Dua………………………………... 68
5.2.2 Gambaran Tingkat Keparahan Karies Gigi…………………………….. 69
5.2.3 Gambaran Tingkat Konsumsi Karbohidrat, Protein dan Lemak………... 70
5.3 Analisis Bivariat………………………………………………………………. 71
5.3.1 Analisis Hubungan Tingkat Keparahan Karies Gigi Dengan Status
Gizi………………………………………………………………………
71
5.3.2 Analisis Hubungan Tingkat Konsumsi Karbohidrat Dengan Status
Gizi………………………………………………………………………
73
5.3.3 Analisis Hubungan Tingkat Konsumsi Protein Dengan Status
Gizi………………………………………………………………………
74
5.3.4 Analisis Hubungan Tingkat Konsumsi Lemak Dengan Status
Gizi………………………………………………………………………
75
5.4 Analisis Multivariat…………………………………………………………… 76
5.4.1 Tahap Pemilihan Variabel Kandidat Model……………………………. 76
5.4.2 Tahap Pembuatan Model Faktor Risiko………………………………… 77
5.4.3 Tahap Uji Interaksi……………………………………………………… 78
5.4.4 Tahap Uji Confounding………………………………………………… 79
BAB VI PEMBAHASAN…………………………………………………........... 82
6.1 Keterbatasan Penelitian……………………………………………………….. 82
6.1.1 Desain Studi……………………………………………………….......... 82
6.1.2 Metode Pengumpulan Data…………………………………………….. 82
6.2 Gambaran Status Gizi Siswa Kelas Dua……………………………………… 83
xii
6.3 Tingkat Keparahan Karies Gigi dan Hubungan Dengan Status Gizi…………. 87
6.4 Tingkat Konsumsi Karbohidrat dan Hubungan Dengan Status Gizi…………. 90
6.5 Tingkat Konsumsi Protein dan Hubungan Dengan Status Gizi………………. 94
6.6 Tingkat Konsumsi Lemak dan Hubungan Dengan Status Gizi………………. 97
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………… 101
7.1 Simpulan……………………………………………………………………… 101
7.2 Saran……………………………………………………………………........... 102
7.2.1 Bagi Pemerintah…………………………………………………............ 102
7.2.2 Bagi Sekolah……………………………………………………………. 103
7.2.3 Bagi Siswa dan Ibu……………………………………………………... 104
7.2.4 Bagi Peneliti Lainnya…………………………………………………… 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
2.1 Klasifikasi Tingkat Konsumsi Zat Gizi………………………………........ 15
2.2 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standar
Baku Antropometri WHO-NCHS………………………………………....
2.3 Klasifikasi Intensitas Karies Gigi Menurut WHO…………………….......
32
47
3.1 Definisi Operasional………………………………………………………. 53
5.1 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2010…..
66
5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin, Pendidikan Ibu dan Status Bekerja Ibu Tahun 2010……………
67
5.3 Distribusi Frekuensi Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana
Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010 …………………………..
69
5.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Keparahan Karies Gigi Siswa Kelas Dua SDN
01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010....................
70
5.5 Gambaran Tingkat Keparahan Karies Gigi dengan Status Gizi Siswa Kelas
Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010...
72
5.6 Gambaran Tingkat Konsumsi Karbohidrat dengan Status Gizi Siswa Kelas
Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010...
73
5.7 Gambaran Tingkat Konsumsi Protein dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua
SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010……...
74
5.8 Gambaran Tingkat Konsumsi Lemak dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua
SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010……...
75
5.9 Pemilihan Kandidat Variabel Untuk Tahap Pemodelan Multivariat……… 77
5.10 Hasil Pembuatan Model Faktor Risiko………………………………….. 78
5.11 Hasil Uji Interaksi……………………………………………………….. 79
5.12 Hasil Uji Confounding…………………………………………………... 80
xiv
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan Halaman
2.1 Kerangka Teori……………………………………………………………. 51
3.1 Kerangka Konsep…………………………………………………………. 52
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
5.1 Gambaran Konsumsi Kurang Zat Gizi Karbohidrat, Protein dan
Lemak Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten
Bogor Tahun 2010........................................................................................
71
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuisioner Penelitian, Formulir Karies Gigi dan Recall 24 Jam
Lampiran 2 Rata-Rata Asupan Zat Gizi Responden
Lampiran 3 Analisis Univariat
Lampiran 4 Analisis Bivariat
Lampiran 5 Analisis Multivariat
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor
utama yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Status
gizi masyarakat yang digambarkan dengan status gizi anak balita, anak
sekolah, ibu hamil dan kelompok rawan gizi lainnya merupakan salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas sumber daya manusia
(Soetjiningsih, 1998). Kebutuhan akan zat gizi berubah sepanjang daur
kehidupan dan terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan dari masing-
masing tahap kehidupan tersebut (Deri, 2009).
Anak usia sekolah dasar disebut juga sebagai masa sekolah. Anak
yang berada pada masa ini berkisar antara usia 6 sampai 12 tahun yang
mempunyai sifat lebih kuat, sifat individual, aktif dan tidak bergantung
dengan orang tua (Moehji, 2003). Kebutuhan gizi anak sekolah dasar dapat
mempengaruhi status gizi. Oleh karena itu, makanan yang dikonsumsi harus
memenuhi gizi yang baik agar mencapai status gizi yang optimal (Almatsier,
2002). Menurut Suhardjo (1989), status gizi dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, yaitu konsumsi makanan, penyakit infeksi, pendidikan ibu dan status
pekerjaan ibu.
2
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2007), prevalensi
anak usia sekolah kategori kurus tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur
sebesar 23,1% pada anak laki-laki dan 19,1% pada anak perempuan.
Selanjutnya, prevalensi kategori kurus terendah berada di Bali, yaitu 8,3%
pada anak laki-laki dan 6,9% pada anak perempuan. Sedangkan, prevalensi
anak usia sekolah kategori kurus pada anak laki-laki di provinsi Jawa Barat
sebesar 10,9% dan pada anak perempuan sebesar 8,3%. Angka prevalensi
kategori kurus di Jawa Barat lebih rendah dari angka nasional yaitu 13,3%
pada anak laki-laki dan 10,9% pada anak perempuan.
Status gizi anak akan mempengaruhi proses tumbuh kembangnya.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor internal berupa
struktur fisik dan tingkat pertumbuhan sel otak semasa dalam kandungan.
Sedangkan, faktor eksternal antara lain kualitas gizi yang diterima anak dan
status kesehatan yaitu ada tidaknya penyakit yang diderita seperti karies gigi,
sistem budaya yang digunakan dalam proses merawat serta tingkat ekonomi
dan sosial (Nurdadi, 2000 dalam Junaidi, 2004).
Karies gigi merupakan salah satu penyakit yang diderita sekitar 90%
oleh anak-anak (Damanik, 2009). Karies gigi menjadi masalah kesehatan yang
penting karena kelainan pada gigi ini dapat menyerang siapa saja tanpa
memandang usia dan jika dibiarkan berlanjut akan merupakan sumber fokal
infeksi dalam mulut sehingga menyebabkan keluhan rasa sakit. Kondisi ini
tentu saja akan mengurangi frekuensi kehadiran anak ke sekolah, mengganggu
konsentrasi belajar, mempengaruhi asupan gizi sehingga dapat mengakibatkan
3
gangguan pertumbuhan yang akan mempengaruhi status gizi anak dan dapat
berimplikasi pada kualitas sumber daya (Siagian, 2008). Hal serupa
dikemukakan pula oleh Hidayanti (2005) dalam penelitiannya bahwa karies
gigi yang terjadi pada anak akan mengakibatkan munculnya rasa sakit
sehingga anak menjadi malas makan dan juga dapat menyebabkan tulang di
sekitar gigi menjadi terinfeksi. Apabila terjadi kerusakan pada tahap yang
berat atau sudah terjadi abses, maka gigi dapat tanggal. Anak yang kehilangan
beberapa giginya tidak dapat makan dengan baik kecuali makanan yang lunak.
Seseorang dengan alat pengunyahan yang tidak baik akan memilih
makanan sesuai dengan kekuatan kunyahnya sehingga pada akhirnya dapat
mengakibatkan malnutrisi (Setiawan, 2003). Selain itu, menurut Depkes
(2002), karies gigi merupakan penyakit yang dapat menimbulkan gangguan
fungsi kunyah sehingga dapat menyebabkan terganggunya penyerapan dan
pencernaan makanan. Oleh karena itu, karies gigi pada akhirnya dapat
menggangu kondisi gizi anak sehingga terjadi keadaan kurang gizi.
Pada anak-anak terutama pada usia sekolah dasar, struktur giginya
termasuk jenis gigi bercampur antara gigi susu dan gigi permanen, sehingga
rentan mengalami karies gigi. Anak kelas dua sekolah dasar yang mempunyai
usia rata-rata 8 tahun merupakan salah satu kelompok usia yang kritis untuk
terkena karies gigi karena mengalami transisi pergantian gigi susu ke gigi
permanen (Romadhona, 2009). Gigi susu berguna untuk memotong makanan,
berbicara dan pertumbuhan rahang yang baik. Morfologi gigi susu lebih
memungkinkan retensi sisa makanan yang dapat menyebabkan kondisi
4
kebersihan mulut anak menjadi tidak baik dibandingkan dengan orang
dewasa. Gigi susu yang mengalami karies akan menyebabkan gangguan
dalam pertumbuhan rahang maupun posisi gigi tetap (Haryani, et al, 2002).
Kebiasaan makan anak sekolah dasar yang sering dijumpai pada
umumnya yaitu mengkonsumsi makanan jajanan di sekolah sehingga anak
menjadi tidak sarapan, makan siang di luar rumah, tidak teratur dan tidak
memenuhi kebutuhan zat gizi. Hal ini akan mempengaruhi nafsu makan anak
di rumah dan dapat menyebabkan anak kekurangan gizi (Wahyuti, 1991).
Asupan zat gizi dalam makanan tidak hanya berhubungan dengan
pertumbuhan dan perkembangan tubuh pada anak-anak tetapi juga
berhubungan dengan penyakit karies gigi. Menurut Nizel (1981), dalam
penelitiannya menguraikan bahwa adanya hubungan antara zat gizi seperti
protein dan karbohidrat yang terkandung dalam makanan sehari-hari dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit karies gigi. Konsumsi makanan yang
berbentuk lunak dan lengket juga dapat berpengaruh langsung terhadap
terjadinya penyakit karies gigi (Nurlaila, 2005). Selanjutnya menurut Kabara
(1986), ada hubungan antara lemak dengan terjadinya karies gigi.
Karies gigi di Indonesia merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut
yang masih perlu mendapat perhatian. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT, 2004), prevalensi karies gigi di Indonesia mencapai 90,05%
(Depkes RI, 2000). Prevalensi karies gigi di perkotaan cenderung meningkat
dari Pelita III ke Pelita IV yaitu dari 73% menjadi 73,20%, hal yang sama
terjadi di pedesaan yaitu dari 67,23% menjadi 71% dengan indeks angka rata-
5
rata gigi yang terkena karies per anak dari 2,06 gigi menjadi 2,50 gigi (Ilyas,
2000). Karies gigi juga merupakan penyakit yang banyak diderita oleh anak-
anak. Hasil survei provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat pada tahun 1994/1995
menunjukkan bahwa hanya 14% anak usia di bawah 10 tahun yang bebas
karies gigi (Depkes RI, 2001). Data tersebut diperkuat pula oleh data dari
Dinas Kesehatan Kota (DKK) Tasikmalaya yang menunjukkan bahwa pada
tahun 2004, prevalensi karies gigi pada anak sekolah dasar sebesar 56,2%.
Prevalensi karies gigi ini jauh di atas standar yang ditetapkan Depkes RI yaitu
sebesar 10 % (Hidayanti, 2005). Selanjutnya menurut penelitian Ririn pada
tahun 2009, dari 265 siswa SD kelas dua di Kota Bandung didapatkan
prevalensi karies gigi sebanyak 94,71% (Luchan, 2009).
Desa Ciangsana adalah desa yang terletak di kabupaten Bogor yang
memiliki berbagai program kesehatan untuk masyarakatnya. Program tersebut
dilaksanakan oleh puskesmas setempat. Namun, sebagian besar masyarakat
desa ciangsana tidak menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia. Hal ini
kemungkinan besar sangat erat kaitannya dengan keadaan ekonomi, jarak
tempat tinggal ke puskesmas, pengetahuan tentang kesehatan dan kepercayaan
terhadap hal-hal non medis. Anak-anak sekolah di desa ciangsana cenderung
lebih banyak mengkonsumsi makanan jajanan antara lain ice cream, es sirup,
kue-kue, coklat, permen, somay dan bakso yang berada di sekitar lingkungan
sekolah. Di dalam makanan tersebut terdapat beberapa zat gizi yang dapat
mempengaruhi kesehatan gigi. Berdasarkan data hasil penjaringan yang
dilakukan oleh Puskesmas Ciangsana setiap tahun, karies gigi merupakan
6
masalah kesehatan yang banyak dialami oleh anak-anak yaitu sekitar 71,64%
kategori tinggi dan 28,36% kategori rendah.
SDN 01 Ciangsana merupakan salah satu sekolah yang berada di
wilayah Desa Ciangsana Kabupaten Bogor yang mempunyai siswa kelas dua
sebanyak 89 orang. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh
peneliti, didapatkan bahwa 80% siswa kelas dua di sekolah tersebut menderita
karies gigi susu. Sedangkan untuk pengukuran status gizi didapatkan hasil
bahwa 80% siswa kategori kurus dan 20% siswa kategori normal.
Berdasarkan latar belakang, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun
2010.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2007), provinsi
Jawa Barat mempunyai prevalensi anak usia sekolah kategori kurus pada anak
laki-laki sebesar 10,9% dan pada anak perempuan sebesar 8,3%. Prevalensi
kategori kurus tersebut lebih rendah dari angka nasional yaitu 13,3% pada
anak laki-laki dan 10,9% pada anak perempuan. Status gizi dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain penyakit yang diderita. Karies gigi merupakan
salah satu penyakit yang sekitar 90% diderita oleh anak-anak. Karies gigi
dapat menimbulkan gangguan fungsi kunyah yang dapat menyebabkan
7
terganggunya penyerapan dan pencernaan makanan. Kondisi tersebut dapat
menggangu kondisi gizi anak sehingga terjadi keadaan kurang gizi.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti,
didapatkan bahwa 80% siswa kelas dua di sekolah tersebut menderita karies
gigi susu. Sedangkan untuk pengukuran status gizi didapatkan hasil bahwa
80% siswa kategori kurus dan 20% siswa kategori normal. Berdasarkan uraian
di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan
tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01
Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Bagaimana gambaran karakteristik responden SDN 01 Ciangsana
Desa Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010 ?
1.3.2 Bagaimana gambaran status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana
Desa Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010 ?
1.3.3 Bagaimana gambaran tingkat keparahan karies gigi siswa kelas dua
SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010 ?
1.3.4 Bagaimana gambaran tingkat konsumsi karbohidrat, protein dan lemak
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 ?
1.3.5 Apakah ada hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 ?
8
1.3.6 Apakah ada hubungan tingkat konsumsi karbohidrat dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 ?
1.3.7 Apakah ada hubungan tingkat konsumsi protein dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 ?
1.3.8 Apakah ada hubungan tingkat konsumsi lemak dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 ?
1.3.9 Apakah ada hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 setelah dikontrol dengan tingkat konsumsi karbohidrat,
protein dan lemak ?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan
status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Diketahuinya gambaran karakteristik responden SDN 01
Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
9
1.4.2.2 Diketahuinya gambaran status gizi siswa kelas dua SDN 01
Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2.3 Diketahuinya gambaran tingkat keparahan karies gigi siswa
kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten
Bogor tahun 2010.
1.4.2.4 Diketahuinya gambaran tingkat konsumsi karbohidrat,
protein dan lemak siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2.5 Diketahuinya hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan
status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2.6 Diketahuinya hubungan tingkat konsumsi karbohidrat dengan
status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2.7 Diketahuinya hubungan tingkat konsumsi protein dengan
status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2.8 Diketahuinya hubungan tingkat konsumsi lemak dengan
status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
10
1.4.2.9 Diketahuinya hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan
status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010 setelah dikontrol
dengan tingkat konsumsi karbohidrat, protein dan lemak.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah meliputi manfaat
bagi pihak sekolah, manfaat bagi pemerintah, manfaat bagi institusi
pendidikan serta manfaat bagi peneliti.
1.5.1 Manfaat Bagi Pihak Sekolah
Pihak sekolah dapat mengetahui tingkat keparahan karies gigi,
proporsi status gizi, hubungan antara tingkat keparahan karies gigi
dengan status gizi dan dapat melakukan upaya preventif terhadap
penyakit karies gigi dan status gizi siswa kelas dua.
1.5.2 Manfaat Bagi Pemerintah
Bagi pemerintah khususnya Dinas Kesehatan, laporan hasil
penelitian ini memiliki manfaat yaitu dapat dijadikan sebagai bahan
kajian dalam rangka menentukan kebijakan dan langkah-langkah yang
berkaitan dengan upaya penanggulangan masalah gizi dan upaya
perbaikan gizi di kelompok anak usia sekolah.
11
1.5.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat bagi institusi pendidikan adalah dapat memberikan
masukan ilmu yang berguna serta keadaan gizi di masyarakat sebagai
bahan pembelajaran agar dapat mempersiapkan peneliti yang mampu
menyeimbangkan antara aspek kognitif, afektif maupun psikomotor.
1.5.4 Manfaat Bagi Peneliti
Manfaat yang ingin dicapai oleh peneliti adalah peneliti dapat
mengetahui hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian mengenai hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan
status gizi dilakukan di SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor.
Penelitian ini dilakukan pada bulan mei sampai desember tahun 2010. Objek
dalam penelitian tersebut adalah ibu dan siswa kelas dua sekolah dasar.
Subjek pada penelitan tersebut adalah mahasiswa peminatan gizi program
studi kesehatan masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini
dilakukan karena peneliti ingin mengetahui hubungan antara tingkat
keparahan karies gigi dengan status gizi pada siswa kelas dua sekolah dasar.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross
12
sectional. Pengambilan data menggunakan penilaian antropometri,
pemeriksaan karies gigi, formulir recall 2x24 jam dan data sekunder.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Status Gizi
2.1.1 Pengertian
Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok
orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-
zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Makanan yang
memenuhi kebutuhan zat gizi tubuh umumnya membawa ke arah
status gizi yang baik (Suhardjo, 1985).
Menurut Supariasa (2001), status gizi adalah ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, merupakan
indeks yang statis dan agregatif sifatnya kurang peka untuk melihat
terjadinya perubahan dalam waktu pendek misalnya bulanan.
Sedangkan menurut Almatsier (2002), status gizi adalah keadaan
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
Status gizi seseorang dipengaruhi oleh tingkat konsumsi atau asupan
makanan dan status kesehatan.
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh
memproleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, pertumbuhan otak, kemampuan
14
kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin
(Almatsier, 2002).
Pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor
internal berupa struktur fisik, tingkat pertumbuhan sel otak semasa
dalam kandungan. Sedangkan, faktor eksternal antara lain kualitas gizi
yang diterima anak, status kesehatan yaitu ada tidaknya penyakit yang
diderita anak seperti karies gigi, pola asuh, sistem budaya yang
digunakan dalam proses merawat serta tingkat ekonomi dan sosial
(Junaidi, 2004).
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi
a. Konsumsi Makanan
Kebutuhan untuk makan bukanlah satu-satunya dorongan
untuk mengatasi rasa lapar, akan tetapi ada kebutuhan fisiologis
dan psikologis yang ikut mempengaruhi. Konsumsi makanan
adalah jenis dan banyaknya makanan yang dapat diukur dengan
jumlah bahan makanan atau jumlah kalori dan zat gizi.
Konsumsi makanan merupakan faktor yang secara langsung
berpengaruh terhadap status gizi (Suhardjo, 1989).
Semua manusia di negara manapun memerlukan
makanan untuk dikonsumsi. Tubuh manusia harus memperoleh
cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari
termasuk energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral
15
dan air guna mempertahankan kelangsungan hidup. Selain itu,
khusus mengenai protein harus memiliki kualitas yang baik yaitu
mengandung asam-asam amino yang sangat diperlukan tubuh
(Suhardjo, 1989). Penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati
(2000) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi
zat gizi dengan status gizi. Namun demikian, ada kecenderungan
semakin baik konsumsi zat gizi maka status gizinya pun semakin
baik.
Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Puskesmas, Depkes
RI (1990), klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi dibagi menjadi
empat dengan cut of point masing-masing sebagaimana
tercantum dalam tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Sumber : Buku Pedoman Petugas Puskesmas, Depkes 1990 Dalam I Dewa Nyoman S (2001)
Prosentase Pencapaian Konsumsi
Zat Gizi Kategori
100 % AKG
80-90 % AKG
70-80 % AKG
< 70 % AKG
Baik
Sedang
Kurang
Defisit
16
1) Tingkat Konsumsi Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi
manusia. Kegunaaan karbohidrat dalam tubuh adalah untuk
mendapatkan energi, membuat cadangan tenaga dalam tubuh
dan memberikan rasa kenyang. Semua karbohidrat berasal dari
tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat diklasifikasikan menjadi dua
golongan yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat
kompleks. Karbohidrat sederhana terdiri dari monosakarida,
disakarida, gula alkohol, dan oligosakarida. Karbohidrat
kompleks memiliki lebih dari dua unit gula sederhana.
Karbohidrat kompleks terdiri dari polisakarida dan serat
(Almatsier, 2002).
Fungsi utama karbohidrat adalah menyediakan energi
bagi tubuh. Karbohidrat memberi rasa manis pada makanan,
dan dapat menghemat protein agar tidak digunakan sebagai
energi melainkan untuk membangun sel-sel tubuh, pengatur
metabolisme lemak, dan pengeluaran feces. Bila tidak ada
karbohidrat, asam amino dan gliserol yang berasal dari lemak
dapat menjadi glukosa untuk keperluan energi otak dan saraf
pusat (Almatsier, 2002).
Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serealia,
umbi-umbian, kacang-kacangan kering, dan gula serta hasil
olahannya seperti bihun, mie, roti, tepung-tepungan, selai,
17
sirup, dan sebagainya (Almatsier, 2002). Tiap gram
karbohidrat memberikan energi sebanyak 4 (empat) kilo kalori
dan dianjurkan supaya jumlah energi yang diperlukan tubuh
didapat dari 50%-60% karbohidrat. Anjuran proporsi energi
yang berasal dari kelompok padi-padian 50%, umbi-umbian
6%, serta karbohidrat kompleks 5% (PUGS, 2003 dalam
Mudanijah, 2004).
Kelebihan glukosa akan disimpan di dalam hati dalam
bentuk glikogen. Bila persediaan glukosa darah menurun, hati
akan mengubah sebagian dari glikogen menjadi glukosa dan
mengeluarkannya ke dalam aliran darah untuk dibawa ke
seluruh tubuh yang memerlukan, seperti otak, jantung, sistem
syaraf, dan organ tubuh lain. Selain itu juga kelebihan
karbohidrat di dalam tubuh akan diubah menjadi lemak oleh
hati. Lemak ini akan dibawa ke sel-sel lemak yang dapat
menyimpan lemak dalam jumlah yang tidak terbatas
(Almatsier, 2002).
Karbohidrat juga dapat mempengaruhi kesehatan gigi.
Jenis karbohidrat yang menyebabkan karies gigi adalah
sukrosa. Hasil pengamatan epidemiologi membuktikan adanya
hubungan antara angka konsumsi gula yang tinggi dan insiden
karies yang meningkat pada banyak negara. Selain itu, bentuk
fisik makanan juga perlu diperhatikan. Makanan yang lengket
18
akan melekat pada permukaan gigi dan terselip di dalam celah-
celah gigi sehingga merupakan makanan yang paling
merugikan kesehatan gigi. Kerugian ini terjadi akibat proses
metabolisme oleh bakteri yang berlangsung lama sehingga
menurunkan pH mulut untuk waktu lama (Mustafa, 1993).
Selain itu, menurut Bastian (1975) dalam Junaidi
(2004) meyatakan bahwa makanan yang keras membutuhkan
pengunyahan lebih lama dan tekanan yang kuat, sebaliknya
makanan yang lunak sangat mudah untuk dikunyah.
Menurut Korneliani (2004), terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan
terjadinya karies gigi. Sedangkan, menurut Junaidi (2004),
tidak ada hubungan yang bermakna antara karies dengan
tingkat konsumsi karbohidrat.
2) Tingkat Konsumsi Protein
Protein adalah bagian dari semua sel-sel hidup yang
merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air (Yuniastuti,
2008). Protein dalam tubuh berfungsi sebagai penyedia
energi apabila kebutuhan energi tidak tercukupi dari
konsumsi karbohidrat dan lemak (Kartasapoetra dan
Marsetyo, 2003). Selanjutnya, menurut Almatsier (2002)
protein berfungsi sebagai pertumbuhan dan pemeliharaan sel
19
dan jaringan tubuh, pembentukan ikatan-ikatan esensial
tubuh, mengangkut zat-zat gizi, pembentukan antibodi, dan
sumber energi setelah karbohidrat dan lemak. Jika kebutuhan
energi tubuh tercukupi maka protein akan digunakan sebagai
zat pembangun.
Protein dibutuhkan untuk membangun dan memelihara
otot, darah, kulit, tulang dan jaringan serta organ-organ tubuh
lain. Protein juga dapat digunakan untuk menyediakan
energi. Kecukupan protein penting untuk membangun daya
tahan tubuh agar dapat terlindung dari penyakit infeksi
(Suryani, 2002).
Selain itu, menurut Junaidi (2004) protein merupakan
zat gizi dalam molekul-molekul yang sangat komplek yang
mengandung asam-asam amino esensial dan non esensial
serta memiliki fungsi sebagai zat pembangun yang terdapat
pada makanan hewani dan nabati.
Berat badan sangat menentukan banyak sedikitnya
protein yang diperlukan. Oleh sebab itu, seseorang yang
memiliki berat badan lebih tinggi memerlukan protein lebih
banyak daripada seseorang yang memiliki berat badan lebih
ringan (Suhardjo, 1989).
Dalam keadaan berlebihan, protein akan mengalami
deaminase, yaitu suatu proses melepaskan gugus amino
20
(NH2) dari asam amino. Nitrogen dikeluarkan dari tubuh dan
sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak dan
disimpan dalam tubuh. Dengan demikian, makan protein
secara berlebihan dapat menyebabkan kegemukan
(Almatsier, 2002).
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein
yang baik, dalam jumlah maupun mutu, seperti telur, susu,
daging, unggas, ikan, dan kerang. Sumber nabati adalah
kacang kedelai dan hasilnya seperti tempe, tahu, serta
kacang-kacangan lain. Energi yang diperolah tubuh berasal
dari protein hendaknya didapat sebanyak 10%-15% protein
(Almatsier, 2002). Nurfatimah (2007) mengemukakan bahwa
konsumsi protein memiliki hubungan bermakna dengan
status gizi seseorang. Namun, Fidiani (2007) menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antara protein dengan status gizi.
Menurut Kwon et al (1997), protein merupakan zat
yang diperlukan dalam pembentukan formasi enamel gigi
yang baik. Kekurangan protein dapat menurunkan ukuran
gigi dan meningkatkan kerusakan enamel. Protein sangat
berperan dalam komposisi dan volume air ludah atau saliva,
yang merupakan faktor penting dalam kesehatan mulut.
Selanjutnya menurut Budiningsari (2006), protein secara
sistemik berpengaruh terhadap saliva sehingga pH saliva ke
21
arah basa. Efek lokal protein terutama sumber nabati
sehingga menaikkan pH saliva sehingga dapat mencegah dari
karies gigi atau menekan tingkat keparahan karies gigi.
Daya cerna beberapa protein terutama yang berasal dari
hewani dapat dipengaruhi oleh zat-zat lain yang terdapat
dalam makanan, proses pengolahan makanan, sumber protein
serta kemampuan pencernaan (Junaidi, 2004). Penelitian
Junaidi (2004), menunjukkan bahwa adanya hubungan antara
karies gigi dengan tingkat konsumsi protein pada anak
sekolah dasar. Sedangkan, Nizel (1981) dalam Nurlaila
(2005) menunjukkan bahwa adanya hubungan antara zat gizi
protein hewani dan nabati dengan terjadinya karies gigi.
3) Tingkat Konsumsi Lemak
Lemak merupakan zat gizi padat energi, dalam bentuk
lemak dapat disimpan energi dalam jumlah yang besar di
dalam massa yang kecil. Lemak juga merupakan sumber
energi selain karbohidrat dan protein. Kekurangan konsumsi
lemak akan mengurangi konsumsi kalori dalam tubuh. Selain
itu, kekurangan lemak dapat memberikan gejala-gejala
defisiensi vitamin yang larut lemak, seperti vitamin A dan
vitamin K (Sediaoetama, 2000).
22
Lemak dapat diperoleh dari daging berlemak, jerohan
dan sebagainya. Kelebihan lemak akan disimpan oleh tubuh
sebagai lemak tubuh yang sewaktu- waktu diperlukan.
Lemak berfungsi sebagai sumber energi, alat angkut vitamin
larut lemak, menghemat protein, memberi rasa kenyang dan
kelezatan, sebagai pelumas, memelihara suhu tubuh, dan
pelindung organ tubuh (Almatsier, 2002).
Dalam satu gram lemak menghasilkan 9 kalori energi.
Lemak akan disimpan di dalam tubuh dalam bentuk jaringan
adipose. Jaringan ini tidak aktif karena tidak ikut dalam
proses metabolisme sehari-hari akan tetapi jaringan ini sangat
penting sebagai cadangan energi (Sediaoetama, 2000).
Sebagai simpanan lemak, lemak merupakan cadangan
energi tubuh yang paling besar. Simpanan ini berasal dari
konsumsi berlebihan salah satu atau kombinasi zat-zat
energi: karbohidrat, protein, dan lemak. Lemak tubuh
umumnya disimpan sebagai berikut: 50% di jaringan bawah
kulit (subkutan), 45% di sekeliling organ dalam rongga perut,
dan 5% di jaringan intramuskuler. Tubuh mempunyai
kapasitas yang tak terhingga untuk menyimpan lemak
(Almatsier, 2002).
Menurut Balzos (1997) dalam Sebastian (2008) lemak
di dalam tubuh lebih mudah disimpan sebagai cadangan
23
energi dalam jaringan adipose. Jika dibandingkan dengan
karbohidrat yang menggunakan 23% energi untuk diubah
menjadi cadangan lemak dalam jarinagan adipose, lemak
hanya membutuhkan 3% energi.
Dengan pertimbangan berbagai peran lemak maupun
penyerapan zat gizi larut lemak dan mencegah tingginya
kadar kolesterol darah, kecukupan asam lemak esensial
dianjurkan 10 % dari total konsumsi energi. Sementara itu,
anjuran konsumsi lemak total berkisar antara 10-25 % dari
total energi (PUGS, 2003 dalam Mudanijah, 2004).
Sumber utama lemak adalah minyak, tumbuh-
tumbuhan (minyak kelapa, kelapa sawit, kacang tanah,
kacang kedelai, jagung, dan sebagainya), mentega, margarin,
dan lemak hewan (lemak daging dan ayam), kacang-
kacangan, biji-bijian, daging, ayam, gemuk, krim, susu, keju,
kuning telur, serta makanan yang dimasak dengan lemak atau
minyak (Almatsier, 2002).
Menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip oleh
Sayogo (2006) mengajurkan konsumsi lemak dalam sehari
tidak melebihi 25% dari total energi per hari. Konsumsi
lemak yang berlebih, kurang menguntungkan karena dapat
mengakibatkan timbunan lemak dan orang tersebut menjadi
gemuk ataupun dapat terjadi sumbatan pada saluran
24
pembuluh darah jantung. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Dewi (2000) dan Handayani (2002),
menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara
tingkat konsumsi lemak dengan status gizi.
Lemak juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan gigi.
Makanan yang mengandung lemak, pada umumnya sedikit
mengandung substrat kariogenik selain sebagai makanan
pengganti karbohidrat yang kariogenik, lemak juga
mempengaruhi kelarutan karbohidrat di dalam rongga mulut.
Lemak berfungsi ke arah efek lokal, sehingga sisa makanan
tidak mudah menempel pada permukaan gigi, bakteri tidak
memfermentasi sisa makanan dan bersifat hidrofob sehingga
bersifat anti bakteri (Budiningsari, 2006). Penelitian yang
dilakukan Kabara (1986), menunjukkan adanya hubungan
antara lemak dengan terjadinya karies gigi.
b. Penyakit Infeksi
Antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi
bolak balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui
berbagai mekanisme. Yang paling penting adalah efek langsung
dari infkesi sistematik pada katabolisme jaringan. Walaupun
hanya terjadi infeksi ringan sudah akan menimbulkan kehilangan
nitrogen (Suhardjo, 1989).
25
Infeksi dan demam dapat menyebabkan penurunan nafsu
makan atau menimbulkan kesulitan manelan dan mencerna
makanan. Keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang
gizi. Anak yang mengalami gizi kurang akan mengalami daya
tahan tubuh yang rendah sehingga lebih mudah terkena infeksi
(Suhardjo, 1989).
c. Pendidikan Ibu
Pendidikan merupakan dasar atau landasan bagi segala
ilmu pengetahuan, serta merupakan dasar yang penting untuk
dimiliki semua orang. Karena pendidikan pada hakekatnya
adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah serta berlangsung
seumur hidup (Suhardjo, 1989).
Ibu merupakan pendidik pertama dalam keluarga, maka
ibu perlu menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan.
Selain merupakan modal utama untuk menunjang perekonomian
keluarga, pendidikan ibu juga dapat mempengaruhi derajat
kesehatan karena dapat berpengaruh pada kualitas pengasuhan
anak (Suhardjo, 1989).
Menurut Suhardjo (1989), pendidikan merupakan salah
satu hal yang harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi
status gizi penduduk. Hal serupa dijelaskan Devi (2004), bahwa
26
pendidikan orang tua akan mempengaruhi status gizi anaknya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka semakin baik
pula status gizi anaknya.
d. Status Pekerjaan Ibu
Pekerjaan orang tua yang diperkirakan berperan dalam
kaitannya pada pola pemberian dan pengurusan makanan dalam
keluarga adalah seorang ibu. Ada pendapat yang mengatakan
status pekerjaan ibu dapat mempengaruhi perilaku anak dalam
makan. Selain itu, ada perbedaan dalam pembentukan kebiasaan
makan pada anak-anak yang mempunyai ibu yang bekerja dan
tidak bekerja. Ibu yang bekerja akan tersita waktunya dalam
menyiapkan dan memberikan makanan kepada anak sehingga
diserahkan kepada orang lain (Suhardjo, 1989).
Batasan ibu yang bekerja adalah ibu-ibu yang melakukan
aktivitas ekonomi mencari penghasilan baik di sektor formal
maupun informal yang dilakukan secara reguler di luar rumah.
Anak yang mendapatkan perhatian lebih, baik secara fisik
maupun emosional, selalu mendapat senyuman, mendapat
makanan yang seimbang maka keadaan gizinya lebih baik
dibandingkan dengan teman sebayanya yang kurang mendapat
perhatian orang tua (Depkes RI, 2002).
27
Penelitian yang dilakukan oleh Lee (1987) dalam
Hardinsyah (2007), menyimpulkan bahwa status dan jenis
pekerjaan ibu merupakan determinan keragaman konsumsi
pangan rumah tangga. Jenis pangan yang dikonsumsi pada
rumah tangga dengan ibu yang bekerja di luar lebih sedikit
dibandingkan dengan rumah tangga dengan ibu yang tidak
bekerja. Namun, hasil penelitian lain menyimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan bermakna antara status pekerjaan ibu dengan
status gizi siswa (Sulastri, et al, 2006).
2.1.3 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi adalah pembandingan keadaan gizi
menurut hasil pengukuran terhadap standar yang sesuai dari individu
atau kelompok tertentu. Ada beberapa cara dalam menilai status gizi
seseorang yaitu: 1) secara langsung, dengan pemeriksaan
antropometri, klinis, biokimia dan biofisik dan; 2) secara tidak
langsung dapat dilaksanakan dengan survei konsumsi makanan,
statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2001).
Di masyarakat, cara penilaian status gizi secara langsung yang
paling sering digunakan adalah antropometri karena pengukuran
tersebut mudah, sederhana, peralatannya murah, dapat dilakukan siapa
saja dan cukup teliti. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak
langsung adalah survei konsumsi makanan. Survei konsumsi makanan
28
yang sering dipakai adalah “recall” 24 jam. Dalam metode ini,
responden disuruh untuk mengingat dan menceritakan semua yang
dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu atau kemarin
(Supariasa, 2001).
a. Pengukuran Antropometri
Menurut Supariasa (2001), antropometri artinya ukuran
tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka
antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sangat umum
digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidak
seimbangan antara asupan energi dan protein. Gangguan ini
biasanya dapat terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi
jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
Penilaian status gizi dengan menggunakan pengukuran
antropometri mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya antara lain alatnya mudah dibawa dan murah,
prosedurnya sederhana, relatif tidak membutuhkan tenaga ahli,
dapat digunakan untuk jumlah sampel yang besar, metode akurat
serta dapat mengidentifikasi status gizi sedang, gizi kurang dan
gizi buruk. Sedangkan, kelemahan pengukuran antropometri
antara lain tidak sensitif, faktor di luar gizi dapat menurunkan
29
spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri serta
kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat
mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran
antropometri gizi (Supariasa, 2001).
Indeks antropometri yang digunakan untuk menentukan
status gizi anak-anak usia sekolah adalah BB/TB. Berat badan
memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang
baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks BB/TB memiliki
keuntungan dan kelemahan. Keuntungannya adalah tidak
memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan
(gemuk, normal dan kurus). Sedangkan kelemahannya adalah
tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek,
cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut
umurnya karena faktor umur tidak dipertimbangkan,
membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif lebih
lama, membutuhkan dua orang untuk melakukan pengukuran
dan sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran
(Supariasa, 2001).
30
b. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah salah satu metode yang
digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau
kelompok. Berdasarkan jenis data yang diperoleh maka
pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data
konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif (Supariasa,
2001).
Metode survei konsumsi makanan secara kuantitatif
dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang
dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau
daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga
(URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan daftar
penyerapan minyak. Metode tersebut antara lain metode recall
24 jam, perkiraan makanan (estimated food recall), penimbangan
makanan (food weighing), metode food account, metode
inventaris (inventory method) serta pencatatan (household food
record) (Supariasa, 2001).
Metode food recall 24 jam dilakukan dengan mencatat
jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode
24 jam yang lalu. Dalam metode ini, responden diminta untuk
menceritakan semua yang dimakan dan diminum sejak bangun
pagi kemarin sampai istirahat tidur malam harinya, atau dapat
31
juga dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke
belakang sampai 24 jam penuh (Supariasa, 2001).
Data kuantitatif dapat diperoleh dengan cara menanyakan
secara teliti mengenai jumlah konsumsi makanan individu
disertai dengan penggunaan alat URT (sendok, gelas, piring dan
lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-
hari. Apabila pengukuran hanya dilakukan satu kali (1 x 24 jam)
maka data yang diperoleh kurang representatif untuk
menggambarkan kebiasaan makanan individu. Oleh karena itu,
metode ini sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak
berturut-turut. Recall yang dilakukan minimal 2 x 24 jam tanpa
berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi
lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang
intake harian individu (Sanjur, 1997 dalam Supariasa, 2001).
2.1.4 Status Gizi Anak
Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak yang
ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain
yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur
secara antropometri (Suhardjo, 2003), dan dikategorikan berdasarkan
standar baku WHO-NCHS dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB
(Depkes, 2004).
32
Kriteria objektifnya dinyatakan dalam rata-rata dan jumlah Z
score simpang baku (SSB) individu dan kelompok sebagai persen
terhadap median baku rujukan (Waterlow, et el dalam Djumadias,
1990). Untuk menghitung SSB dapat dipakai rumus :
NSBRNMBRNISRujukanBakuSkor
Dimana : NIS : Nilai Induvidual Subjek
NMBR : Nilai Median Baku Rujukan
NSBR : Nilai Simpang Baku Rujukan
Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB
dengan standar baku antropometri WHO-NCHS dapat dilihat pada
tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standar
Baku Antropometri WHO-NCHS
No Indeks Simpangan Baku Status Gizi
1 BB/U < -3 SD Gizi buruk
-3 SD s/d <-2 SD Gizi kurang
- 2 s/d +2 SD Gizi baik
> +2 SD Gizi lebih
2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek
-3 SD s/d <-2 SD Pendek
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Tinggi
33
Tabel 2.2 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standar
Baku Antropometri WHO-NCHS
Sumber : Depkes (2004)
2.2 Karies Gigi
2.2.1 Definisi Karies Gigi
Karies gigi berasal dari bahasa latin yang artinya lubang gigi
dan ditandai oleh rusaknya email dan dentin secara progresif yang
disebabkan oleh aktivitas metabolisme plak bakteri. Karies gigi timbul
karena empat faktor yaitu host yang meliputi gigi dan saliva,
mikroorganisme, substrat serta waktu atau lamanya proses interaksi
antar faktor tersebut (Junaidi, 2004).
Selanjutnya, menurut Suwargiani (2008), karies gigi adalah
suatu proses kronis regresif, dimana prosesnya terjadi terus berjalan ke
bagian yang lebih dalam dari gigi sehingga membentuk lubang yang
tidak dapat diperbaiki kembali oleh tubuh melalui proses
penyembuhan, pada proses ini terjadi demineralisasi yang disebabkan
oleh adanya interaksi kuman, karbohidrat yang sesuai pada permukaan
gigi dan waktu.
No Indeks Simpangan Baku Status Gizi
3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus
-3 SD s/d <-2 SD Kurus
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Gemuk
34
Karies gigi merupakan penyakit yang banyak menyerang anak-
anak maupun dewasa baik pada gigi susu maupun gigi permanen.
Anak usia 6 sampai 14 tahun merupakan kelompok usia yang kritis
dan mempunyai sifat khusus yaitu transisi pergantian gigi susu ke gigi
permanen. Suatu hasil survei status karies gigi Pelita III dan IV di
Indonesia, menyatakan bahwa kelompok usia 6 sampai 14 tahun
mempunyai prevalensi karies gigi yang cukup tinggi yaitu 60 sampai
80% (Ilyas, 2000).
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Karies Gigi
Terjadinya karies gigi memerlukan host yang rentan untuk
berkembangnya lesi karies, mikroorganisme kariogenik yang terdapat
dalam rongga mulut dan lingkungan substrat makanan serta jangka
waktu yang pendek. Sedangkan, faktor individu manusia (umur, jenis
kelamin, ras dan keturunan) dan faktor di luar lingkungan mulut (fisik,
sosial dan biologis) merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya
karies gigi dalam mulut (Ilyas, 2000).
a. Faktor Di Dalam Mulut
1) Struktur gigi dan saliva
Gigi adalah alat yang digunakan untuk mengunyah
makanan didalam mulut. Struktur gigi merupakan salah satu
faktor yang bisa melindungi atau memudahkan terjadinya
35
karies. Aneka makanan dan minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Makanan perlu dilumatkan dengan cara
dikunyah di dalam mulut. Proses pelumatan oleh gigi dibantu
saliva. Saliva merupakan pertahanan pertama terhadap karies.
Saliva berfungsi sebagai pelicin, pelindung, penyangga,
pembersih, anti pelarut dan anti bakteri (Suwelo, 1992).
2) Mikroorganisme
Bakteri Streptococcus mutans mengeluarkan racun
yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Bakteri tersebut
berperan dalam proses awal karies yaitu lebih dulu masuk
lapisan luar email. Selanjutnya Laktobasilus acidophilus
mengambil alih peranan pada karies yang lebih merusak gigi.
Mikroorganisme menempel di gigi bersama plak. Plak terdiri
dari mikroorganisme (70 %) dan bahan antar sel (30 %). Plak
akan tumbuh bila ada karbohidrat, sedang karies akan terjadi
bila ada plak dan karbohidrat (Suwelo, 1992).
3) Substrat atau karbohidrat
Subtrat adalah campuran makanan halus dan minuman
yang dimakan sehari-hari yang menempel di permukaan gigi.
Substrat ini berpengaruh terhadap karies secara lokal di
dalam mulut. Substrat yang menempel di permukaaan gigi
36
berbeda dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh yang
diperlukan untuk mendapatkan energi dan membangun
tubuh. Pada dasarnya nutrisi sangat diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan gigi saat pembentukan
matriks, email dan kalsifikasi. Nutrisi tersebut adalah
karbohidrat, lemak dan protein. Konsumsi karbohidrat
sederhana dalam waktu lama akan mempengarui
pembentukan matriks email yang nantinya akan menjadi
karies. Frekuensi konsumsi gula sederhana yang tinggi
menentukan waktu terjadinya karies (Suwelo, 1992).
4) Waktu
Waktu adalah kecepatan terbentuknya karies serta lama
dan frekuensi substrat menempel di permukaan gigi.
Kecepatan kerusakan gigi akan jelas terlihat dengan
timbulnya karies menyeluruh dalam waktu yang singkat.
Selain itu penyebab karies adalah lamanya substrat yang
berada dalam rongga mulut, yang tidak langsung ditelan.
Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada
manusia yang berkembang dalam waktu beberapa bulan atau
tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk
berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi,
diperkirakan 6 sampai 48 bulan (Suwelo, 1992).
37
b. Faktor Di Luar Mulut
Faktor yang berhubungan tidak langsung dalam proses
karies gigi yang berada di dalam mulut sebagai faktor
predisposisi dan penghambat, antara lain :
1) Umur
Sejalan dengan pertambahan usia seseorang, jumlah
kariespun akan bertambah. Hal ini jelas, karena faktor risiko
terjadinya karies akan lebih lama berpengaruh terhadap gigi.
Anak yang pengaruh faktor risiko terjadinya karies kecil
akan menunjukkan jumlah karies lebih besar dibanding yang
kuat pengaruhnya (Suwelo, 1992).
2) Jenis kelamin
Prevalensi karies gigi tetap wanita lebih tinggi
dibandingkan dengan pria. Demikian pula pada anak-anak,
prevalensi karies gigi susu anak perempuan sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki, karena gigi anak
perempuan berada lebih lama dalam mulut. Akibatnya gigi
anak perempuan akan lebih lama berhubungan dengan faktor
resiko terjadinya karies (Suwelo, 1992).
38
3) Ras
Pengaruh ras terhadap terjadinya karies gigi amat sulit
ditentukan. Tetapi keadan tulang rahang suatu ras mungkin
berhubungan dengan prosentase karies yang semakin
meningkat atau menurun. Misalnya pada ras tertentu dengan
rahang yang sempit, sehingga gigi-gigi pada rahang sering
tumbuh tidak teratur. Keadaan gigi yang tidak teratur akan
mempersulit pembersihan gigi dan akan mempertinggi
prosentase karies pada ras tertentu (Kidd & Bechal, 1992).
4) Keturunan
Dari suatu penelitian terdapat 12 pasang orang tua
dengan keadaan gigi yang baik, terlihat bahwa anak-anak
dari 11 pasang orang tua memiliki keadaan gigi yang cukup
baik. Di samping itu, dari 46 pasang orang tua, hanya 1
pasang yang memiliki anak dengan gigi yang baik, 5 pasang
dengan prosentase karies sedang dan 40 pasang dengan
prosentase keries yang tinggi. Tapi dengan tehnik
pencegahan karies yang demikian maju pada akhir-akhir ini,
sebetulnya faktor keturunan dalam prosentase terjadinya
karies tersebut telah dapat dikurangi (Kidd & Bechal, 1992).
39
5) Kultur sosial penduduk
Perilaku sosial dan kebiasaan akan menyebabkan
perbedaan jumlah karies. Di Selandia baru, prevalensi karies
anak dengan sosial ekonomi rendah di daerah yang air
minumnya difluoridasi lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah yang air minumnya tidak difluoridasi. Selain itu,
perbedaan suku, budaya, lingkungan dan agama akan
menyebabkan keadaan karies yang berbeda pula (Suwelo,
1992).
6) Tingkat sosial ekonomi
Latar belakang sosial ekonomi yaitu masalah budaya
dan pendapatan yang rendah dapat memungkinkan tingginya
angka kejadian karies gigi pada kelompok masyarakat
tertentu. Hal ini disebabkan karena masyarakat tersebut
masih menggunakan cara tradisional dalam membersihkan
gigi yaitu dengan menggunakan tanah liat. Selain itu,
masyarakat tersebut tidak dapat melakukan pemeriksaan ke
dokter gigi karena memiliki pendapatan yang rendah
(Suwelo, 1992). Penelitian pada SKRT (2001) menyebutkan
bahwa 75% masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah
pernah mengalami karies gigi. Angka tersebut lebih tinggi
40
jika dibandingkan dengan masyarakat yang berstatus sosial
ekonomi tinggi.
7) Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi status
kesehatan seseorang, karena semakin tinggi pendidikan
seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat
pengetahuan dan kesadaran untuk menjaga kesehatan
(Suwelo, 1992). Hasil penelitian Lukito (2003),
menunjukkan bahwa angka karies tertinggi diderita pada
anak yang tingkat pendidikan orang tuanya rendah yaitu
sebesar 63,25%. Selanjutnya, pada penelitian lain juga
disebutkan bahwa angka prevalensi karies pada penduduk
yang tidak tamat sekolah dasar sebesar 78% dan pada
penduduk yang tamat sekolah dasar sebesar 67%.
8) Kebiasaan sikat gigi
Penyakit karies gigi dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah mikroorganisme yang ada dalam
plak gigi. Cara yang dapat digunakan untuk mengontrol plak
tersebut adalah dengan menyikat gigi (Suwelo, 1992). Hasil
penelitian menurut Evron (2003) dalam Romadhona (2009),
menyatakan bahwa prevalensi karies gigi pada anak yang
41
memiliki sikap dan perilaku positif terhadap kebiasaan yang
baik untuk menyikat gigi sebesar 9%. Sedangkan pada SKRT
(1995), menyatakan bahwa proporsi penduduk yang tidak
menyikat gigi sebesar 31,7% dan yang menderita karies gigi
sebesar 63%.
9) Kesadaran sikap dan perilaku individu terhadap
kesehatan gigi
Fase perkembangan anak umur di bawah 5 tahun masih
sangat tergantung pada pemeliharaan, bantuan dan pengaruh
dari ibu. Peranan ibu sangat menentukan dalam pertumbuhan
dan perkembangan anak. Dalam bidang kesehatan, peranan
seorang ibu sangat menentukan. Jadi kesadaran, sikap, dan
perilaku serta pendidikan ibu sangat mempengaruhi
kesehatan gigi dan mulut anak (Suwelo, 1992).
2.2.3 Proses Terjadinya Karies Gigi
Proses terjadinya karies gigi dimulai dengan adanya plak di
permukaan gigi, sukrosa (gula) dari sisa makanan dan bakteri
berproses menempel pada waktu tertentu yang berubah menjadi asam
laktat yang akan menurunkan pH mulut menjadi kritis (5,5) yang akan
menyebabkan demineralisasi email berlanjut menjadi karies gigi
(Schuurs, 1993).
42
Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah
dentin melalui lubang fokus tetapi belum sampai kavitasi
(pembentukan lubang). Kavitasi baru timbul bila dentin terlibat dalam
proses tersebut. Namun kadang-kadang begitu banyak mineral hilang
dari inti lesi sehingga permukaan mudah rusak secara mekanis, yang
menghasilkan kavitasi yang makroskopis dapat dilihat. Pada karies
dentin yang baru mulai yang terlihat hanya lapisan keempat (lapisan
transparan, terdiri atas tulang dentin sklerotik, kemungkinan
membentuk rintangan terhadap mikroorganisme dan enzimnya) dan
lapisan kelima (lapisan opak/ tidak tembus penglihatan, di dalam
tubuli terdapat lemak yang mungkin merupakan gejala degenerasi
cabang-cabang odontoblas). Baru setelah terjadi kavitasi, bakteri akan
menembus tulang gigi. Pada proses karies yang amat dalam, tidak
terdapat lapisan-lapisan tiga (lapisan demineralisasi, suatu daerah
sempit, dimana dentin partibular diserang), lapisan empat dan lapisan
lima (Schuurs, 1993).
2.2.4 Pengaruh Karies Gigi Terhadap Status Gizi Anak
Gigi dan mulut memegang peranan penting pada masa anak-
anak yang sedang mengalami proses tumbuh kembang, karena
merupakan ujung sefalik dari saluran pencernaan yang menjadi pintu
masuk makanan yang dibutuhkan tubuh untuk menghasilkan energi
maupun untuk perbaikan jaringan dan pertumbuhan anak (Hayati,
43
1994). Selanjutnya menurut Setiawan (2003), salah satu alat cerna
yang dimiliki manusia adalah mulut beserta organ pelengkap, yaitu
gigi, lidah dan saliva. Gigi berperan untuk mencerna makanan seperti
memotong, menggigit dan mengunyah sehingga bentuk makanan
menjadi lebih kecil dan halus.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor
internal berupa struktur fisik dan tingkat pertumbuhan sel otak semasa
dalam kandungan. Sedangkan, faktor eksternal antara lain kualitas gizi
yang diterima anak dan status kesehatan yaitu ada tidaknya penyakit
yang diderita seperti karies gigi, sistem budaya yang digunakan dalam
proses merawat serta tingkat ekonomi dan sosial (Nurdadi, 2000 dalam
Junaidi, 2004).
Karies gigi menjadi masalah kesehatan yang penting karena
kelainan pada gigi ini dapat menyerang siapa saja tanpa memandang
usia dan jika dibiarkan berlanjut akan merupakan sumber fokal infeksi
dalam mulut sehingga menyebabkan keluhan rasa sakit. Kondisi ini
tentu saja akan mengurangi frekuensi kehadiran anak ke sekolah,
mengganggu konsentrasi belajar, mempengaruhi asupan gizi sehingga
dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan yang akan
mempengaruhi status gizi anak dan dapat berimplikasi pada kualitas
sumber daya (Siagian, 2008).
Pada anak-anak, terutama pada usia sekolah dasar, struktur
giginya termasuk jenis gigi bercampur antara gigi susu dan gigi
44
permanen, sehingga rentan mengalami karies gigi. Anak kelas dua
sekolah dasar yang mempunyai usia rata-rata 8 tahun merupakan salah
satu kelompok usia yang kritis untuk terkena karies gigi karena
mengalami transisi pergantian gigi susu ke gigi permanen
(Romadhona, 2009). Gigi susu berguna untuk memotong makanan,
berbicara dan pertumbuhan rahang yang baik. Morfologi gigi susu
lebih memungkinkan retensi sisa makanan yang dapat menyebabkan
kondisi kebersihan mulut anak menjadi tidak baik dibandingkan
dengan orang dewasa. Gigi susu yang mengalami karies akan
menyebabkan gangguan dalam pertumbuhan rahang maupun posisi
gigi tetap (Haryani, et al, 2002).
Kesulitan makan pada anak disebabkan oleh berbagai faktor
yaitu nutrisi, penyakit dan psikologis. Faktor penyakit antara lain
adanya kelainan pada gigi geligi dan rongga mulut seperti karies gigi,
stomatitis dan gingivitis. Penyakit karies gigi dapat menyebabkan
kehilangan gigi sehingga terjadi gangguan dalam proses pengunyahan
makanan, estetika dan pergerakan gigi yang dapat menimbulkan
penumpukan sisa makanan (Junaidi, 2004). Hal tersebut dikemukakan
pula oleh Hidayanti (2005), karies gigi yang terjadi pada anak akan
mengakibatkan munculnya rasa sakit sehingga anak menjadi malas
makan dan juga dapat menyebabkan tulang di sekitar gigi menjadi
terinfeksi. Apabila terjadi kerusakan pada tahap yang berat atau sudah
45
terjadi abses, maka gigi dapat tanggal. Anak yang kehilangan beberapa
giginya tidak dapat makan dengan baik kecuali makanan yang lunak.
Selain itu, menurut Depkes (2002), karies gigi merupakan
penyakit yang dapat menimbulkan gangguan fungsi kunyah sehingga
dapat menyebabkan terganggunya penyerapan dan pencernaan
makanan. Oleh karena itu, karies gigi pada akhirnya dapat menggangu
kondisi gizi anak sehingga terjadi keadaan kurang gizi. Selanjutnya
menurut Setiawan (2003), karies gigi dapat menimbulkan gangguan
fisiologis pada gigi seperti penghancuran makanan yang tidak
sempurna, menurunkan produksi saliva sehingga makanan tidak larut
dengan baik serta otot-otot pengunyahan yang terganggu fungsinya.
Seseorang dengan alat pengunyahan yang tidak baik akan memilih
makanan sesuai dengan kekuatan kunyahnya sehingga pada akhirnya
dapat mengakibatkan malnutrisi.
Karies sangat sering terjadi pada gigi geraham, terutama pada
permukaan kunyah karena pada permukaan tersebut terdapat parit-
parit kecil yang cukup dalam sehingga permukaan sikat gigi tidak
dapat menjangkaunya. Jika karies sudah meluas ke lapisan dentin
maka akan timbul rasa nyeri terutama jika terkena rangsangan dingin
dan makan makanan manis. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
pemilihan jenis dan bentuk makanan yang akan dikonsumsi agar tidak
menimbulkan rasa nyeri ketika makan (Junaidi, 2004). Menurut
Budiharto (1990), anak yang menderita sakit gigi akan menghindari
46
makanan sehingga asupan makanan akan berkurang dan menyebabkan
anak lebih peka terhadap malnutrisi.
Nutrisi dan mastikasi (pengunyahan) mempunyai hubungan
timbal balik. Nutrisi yang baik diperlukan untuk pertumbuhan yang
normal termasuk pertumbuhan aparatus mastikasi. Sebaliknya,
mastikasi yang baik merupakan hal penting dalam penggunaan
makanan dan pencernaan (Hayati, 1994).
Kehilangan gigi akan menurunkan efisiensi pengunyahan yang
berakibat pada terganggunya sistem pencernaan makanan sehingga
dapat menganggu kesehatan tubuh karena zat-zat gizi makanan tidak
dapat diserap dengan sempurna oleh usus halus (Junaidi, 2004).
Alvarez (1995) menyatakan bahwa status gizi anak akan
mempengaruhi pertumbuhan gigi, baik gigi susu maupun gigi
permanen. Anak yang berstatus gizi kurang akan mengalami tingkat
keparahan karies yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang
berstatus gizi normal. Status gizi pada awal kehidupan berpengaruh
terhadap pembentukan dan pertumbuhan gigi. Jika terdapat gangguan
gizi maka akan mempengaruhi pembentukan gigi dan mengakibatkan
kerentanan terhadap karies menjadi meningkat.
2.2.5 Pengukuran Karies Gigi Susu
Derajat keparahan karies gigi mulai dari yang ringan sampai
berat dapat ditentukan melalui pengukuran dengan menggunakan
47
indeks karies gigi. Indeks karies gigi adalah angka yang menunjukkan
jumlah gigi karies anak atau sekelompok anak. Indeks def-t adalah
indeks yang digunakan untuk menentukan pengalaman karies gigi
yang terlihat pada gigi susu dalam rongga mulut dengan menghitung
jumlah gigi karies yang masih dapat ditambal (d), ditambah jumlah
gigi karies yang tidak dapat ditambal atau dicabut (e) dan jumlah gigi
karies yang sudah ditambal (f) (Suwelo, 1992).
WHO memberikan kategori dalam perhitungan def-t berupa
derajat interval yang dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3 Klasifikasi Intensitas Karies Gigi Menurut WHO
Tingkat Keparahan Indeks def-t
Sangat rendah 0,0 – 1,1
Rendah 1,2 – 2,6
Moderat 2,7 – 4,4
Tinggi 4,5 – 6,5
Sangat Tinggi > 6,6
Sumber : Pine. 1997. Community Oral Health
48
2.3 Anak Sekolah Dasar
2.3.1 Pengertian Dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Anak sekolah dasar adalah anak yang berusia 6 sampai 12
tahun, memiliki fisik lebih kuat, mempunyai sifat individual serta aktif
dan tidak bergantung pada orang tua. Kebutuhan gizi anak sebagian
besar digunakan untuk aktivitas pembentukan dan pemeliharaan
jaringan (Moehji, 2003).
Karakteristik anak sekolah meliputi, pertumbuhan tidak
secepat bayi, gigi merupakan gigi susu yang tidak permanen atau
tanggal, lebih aktif memilih makanan yang disukai, kebutuhan energi
tinggi karena aktivitas yang meningkat, pertumbuhan lambat dan
meningkat lagi pada masa pra remaja. Anak sekolah biasanya
memiliki aktivitas bermain yang memerlukan banyak tenaga.
Ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan keluar akan
mengakibatkan tubuh anak menjadi kurus. Oleh karena itu, diperlukan
tindakan dalam mengatur waktu bermain anak. Tindakan tersebut
dapat membantu anak untuk memperoleh waktu istirahat yang cukup
(Moehji, 2003).
2.3.2 Keadaan Gizi Anak Sekolah
Berbagai penelitian yang pernah dilakukan terhadap anak-anak
sekolah, baik di perkotaan maupun di pedesaan di Indonesia,
didapatkan kenyataan bahwa pada umumnya berat dan tinggi badan
49
rata-rata anak-anak sekolah dasar berada di bawah ukuran normal.
Tidak jarang pula pada anak-anak ini ditemukan tanda-tanda penyakit
gangguan kurang gizi baik dalam bentuk ringan maupun dalam bentuk
agak berat (Moehji, 2003). Anak sekolah dasar merupakan salah satu
kelompok rentan gizi selain bayi (0-1 tahun), balita (1-5 tahun), remaja
(14-20 tahun), dan kelompok ibu hamil dan menyusui (Sediaoetama,
2000).
Masalah gizi terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan akan
zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi berkaitan erat
dengan masalah pangan. Pada kasus tertentu, masalah pangan terjadi
di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan rumah tangga memperoleh
makanan untuk semua anggotanya yang dapat dipengaruhi oleh
kemiskinan, rendahnya pendidikan dan kepercayaan yang terkait
dengan tabu makanan (Supariasa, 2001).
Sedangkan menurut Arisman (2009), masalah gizi anak secara
garis besar merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara asupan
dan keluaran zat gizi (nutritional imbalance), yaitu asupan yang
melebihi keluaran atau sebaliknya, di samping kesalahan dalam
memilih bahan makanan untuk disantap. Begitu pula dengan Suhardjo
(1996), yang menjelaskan bahwa keadaan kurang gizi dapat
disebabkan oleh masukan energi dan protein yang sangat kurang
dalam waktu lama. Keadaan ini akan lebih cepat terjadi jika anak
mengalami diare atau infeksi penyakit lainnya.
50
Masalah gizi anak tidak hanya kekurangan gizi tetapi juga
kelebihan gizi. Seorang anak dikatakan mempunyai gizi lebih jika
mereka mempunyai berat badan relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan standar anak yang sebaya (Khomsan, 2003). Selain masalah
gizi tersebut, terdapat pula masalah gizi lain yang terjadi pada anak,
yaitu anemia defisiensi besi, karies gigi, pica, alergi dan penyakit
kronis (Arisman, 2009).
51
2.4 Kerangka Teori
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan kerangka teori
sebagai berikut :
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Setiawan (2003), Hayati (1994) dan Suhardjo (1989)
STATUS GIZI
ASUPAN ZAT GIZI : Tingkat konsumsi KH Tingkat konsumsi protein Tingkat konsumsi lemak
POLA KONSUMSI
PENYAKIT INFEKSI
KARAKTERISTIK MULUT : Host (gigi) Mikroorganisme Substrat makanan Waktu
KARIES GIGI
KARAKTERISTIK KELUARGA Pendidikan ibu Status pekerjaan ibu
STATUS KESEHATAN DAN FISIOLOGI : Penyakit diderita Fungsi gigi
52
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori di atas, maka peneliti bermaksud melakukan
penelitian terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya masalah gizi
terutama untuk mengetahui hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan
status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten
Bogor tahun 2010.
Variabel penelitian ini terdiri atas variabel dependen yaitu status gizi,
variabel independen yaitu tingkat keparahan karies gigi dan variabel
confounding yaitu tingkat konsumsi karbohidrat, tingkat konsumsi protein dan
tingkat konsumsi lemak. Variabel pendidikan ibu dan pekerjaan ibu tidak diteliti
karena bersifat homogen. Berdasarkan kerangka teori yang ada maka kerangka
konsep yang digunakan untuk penelitian ini seperti pada bagan 3.1.
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Tingkat Keparahan Karies Gigi
Tingkat Konsumsi Karbohidrat
Tingkat Konsumsi Protein
Tingkat Konsumsi Lemak
Status Gizi
53
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat ukur Hasil Ukur
Skala Ukur
Status Gizi Keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat-zat gizi
yang diukur dengan indeks
antropometri BB/TB dan
disesuaikan pada metode z-
score
(WHO-NCHS, 1983)
Pengukuran
Antropometri
Timbangan
berat badan
dan
microtoice
0. Kurus =
< -2 SD
1. Normal =
> - 2 SD
(Depkes RI,
2004)
Ordinal
Tingkat
Keparahan
Karies Gigi
Batas ukur nilai def-t (indeks
pengukuran karies gigi susu)
dengan melihat gigi susu
yang mengalami kerusakan
(d), gigi yang terdapat
indikasi pencabutan (e) dan
gigi tambal (f).
Menghitung
jumlah gigi
susu yang
pernah
mengalami
karies,
indikasi
pencabutan
dan
penambalan
Kaca mulut,
sonde dan
dicatat di
formulir
pemeriksaan
karies gigi
0. Tinggi =
def-t > 2,6
1. Rendah =
def-t < 2,6
(Pine, 1997)
Ordinal
Tingkat
Konsumsi
Karbohidrat
Prosentase dari jumlah
karbohidrat yang
dikonsumsi oleh responden
setiap harinya dibandingkan
Penimbangan
dan
Wawancara
Timbangan
makanan
dan formulir
0. Kurang =
< 80% AKG
Ordinal
54
Tabel 3.1
Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat ukur Hasil Ukur Skala Ukur
dengan angka kecukupan
karbohidrat yang
dianjurkan (Supariasa,
2002).
Recall 2x24
jam
1. Baik =
> 80% AKG
(Depkes RI,
1990)
Tingkat
Konsumsi
Protein
Prosentase dari jumlah
protein total yang
dikonsumsi oleh
responden setiap harinya
dibandingkan dengan
angka kecukupan
protein yang dianjurkan
(Supariasa, 2002).
Penimbangan
dan
Wawancara
Timbangan
makanan
dan formulir
Recall 2x24
jam
0. Kurang =
< 80% AKG
1. Baik =
> 80% AKG
(Depkes RI,
1990)
Ordinal
Tingkat
Konsumsi
Lemak
Prosentase dari jumlah
lemak total yang
dikonsumsi oleh
responden setiap harinya
dibandingkan dengan
angka kecukupan
lemak yang dianjurkan
(Supariasa, 2002).
Penimbangan
dan
Wawancara
Timbangan
makanan
dan formulir
Recall 2x24
jam
0. Kurang =
< 80% AKG
1. Baik =
> 80% AKG
(Depkes RI,
1990)
Ordinal
55
3.3 Hipotesis
3.3.1 Ada hubungan antara tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
Tahun 2010.
3.3.2 Ada hubungan antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
Tahun 2010.
3.3.3 Ada hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan status gizi anak
siswa dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
Tahun 2010.
3.3.4 Ada hubungan antara tingkat konsumsi lemak dengan status gizi siswa
kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
Tahun 2010.
3.3.5 Ada hubungan antara tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
Tahun 2010 setelah dikontrol dengan tingkat konsumsi karbohidrat,
protein dan lemak.
56
BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross
sectional dimana pengukuran variabel independen dan dependen diambil pada
waktu yang sama untuk mengetahui hubungan antara tingkat keparahan karies
gigi dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor dan waktu pelaksanaan penelitian ini pada bulan Mei
sampai Desember tahun 2010.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas dua
di SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor yang
berjumlah 89 orang.
57
4.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah anak yang terdaftar sebagai
siswa kelas dua di SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten
Bogor tahun 2010 serta ibu dari siswa yang menjadi sampel penelitian.
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara simple
random sampling. Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan
rumus besar sampel uji beda dua proporsi dengan perhitungan sebagai
berikut :
n
Keterangan :
n : besar sampel
: derajat kemaknaan (95%) = 1,96
: kekuatan uji 90% = 1,28
: rata- rata proporsi pada populasi = (0,907 + 0,0926)/2 = 0,5
: proporsi karies gigi pada anak gizi kurang = 90,7% = 0,907
(Junaidi, 2004)
: proporsi tidak karies gigi pada anak gizi kurang = 9,26%
= 0,0926 (Junaidi, 2004)
58
Maka besar sampel yang dihasilkan adalah :
n =
=
= 6 x 2 = 12 siswa kelas dua
Dari perhitungan tersebut didapatkan sampel minimal
sebanyak 12 siswa maka besar sampel secara keseluruhan yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah sebanyak 50 siswa kelas dua.
4.4 Metode Pengumpulan Data
4.4.1 Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Data status gizi diperoleh dengan melakukan pengukuran
antropometri yang meliputi berat badan dan tinggi badan anak.
Pengukuran berat badan dilakukan menggunakan timbangan
injak (bathroom scale) dengan tingkat ketelitian 0,5 kg dan
tinggi badan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm.
Subjek diukur tanpa alas kaki. Topi, baju hangat dan tas sekolah
juga harus ditinggalkan. Anak berdiri dengan posisi
membelakangi dinding, pita ukur tinggi badan berada tepat di
tengah kepala serta arah pandang tepat lurus ke depan. Posisi
59
kepala, tulang belikat, pinggul dan tumit menempel pada
dinding. Status gizi ditentukan dengan menghitung nilai z-score
berdasarkan indeks berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB)
memakai baku rujukan WHO-NCHS 1983.
b. Data tingkat keparahan karies gigi diperoleh dengan melakukan
pemeriksaan kesehatan gigi menggunakan sonde dan kaca mulut
yang dilakukan oleh dua orang perawat gigi. Perawat gigi
memeriksa karies dengan melihat gigi karies yang masih dapat
ditambal (d), dicabut (e) dan sudah ditambal (f), selanjutnya
dijumlahkan (d + e + f= indeks def-t) dan dicatat di formulir
yang telah disediakan. Penentuan tingkat keparahan karies gigi
dengan membandingkan hasil penjumlahan dengan klasifikasi
indeks def-t menurut WHO.
c. Data tingkat konsumsi karbohidrat, protein dan lemak diperoleh
dengan formulir recall dan wawancara recall 24 jam yang
ditujukan kepada ibu dan siswa kelas dua yang menjadi
responden. Metode ini dilakukan oleh mahasiswi kesehatan
masyarakat peminatan gizi selama 2 hari. Hasil yang diperoleh,
selanjutnya akan dibandingkan dengan kebutuhan zat gizi
masing-masing subjek.
60
4.4.2 Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa gambaran
karakteristik siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor Tahun 2010.
4.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
4.5.1 Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian akan
diolah dengan menggunakan program komputer meliputi:
a. Editing
Pengecekan data terhadap lembaran kuisioner dan lembar
pemeriksaan karies gigi dilakukan selama proses pengumpulan
data yang bertujuan untuk memastikan semua variabel terisi.
Selama proses tersebut dilakukan penyuntingan data oleh peneliti
agar data yang salah atau meragukan dapat langsung ditelusuri
kembali kepada responden yang bersangkutan.
b. Coding
Proses pengkodean dilakukan terhadap beberapa variabel
yang ada dalam penelitian ini yaitu status gizi, tingkat keparahan
karies gigi, tingkat konsumsi karbohidrat, tingkat konsumsi
protein dan tingkat konsumsi lemak. Data awal variabel tersebut
61
merupakan data numerik, untuk kepentingan analisis dan
memudahkan dalam penafsiran, maka dilakukan
pengelompokkan, dimana masing-masing variabel dibagi
menjadi dua kelompok. Untuk variabel status gizi, kurus jika < -
2 SD dan diberi kode 0, sedangkan normal jika > - 2 SD dan
diberi kode 1. Variabel tingkat keparahan karies gigi, tinggi jika
def-t > 2,6 dan diberi kode 0, sedangkan rendah jika def-t < 2,6
dan diberi kode 1. Variabel tingkat konsumsi karbohidrat,
protein dan lemak, kurang jika < 80% AKG dan diberi kode 0,
sedangkan baik jika > 80% AKG dan diberi kode 1.
c. Entry
Data yang sudah dikode kemudian dimasukkan dalam
program software statistik untuk dilakukan analisis data.
d. Cleaning
Selanjutnya dilakukan pembersihan data atau pengecekan
kembali untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam
melakukan entry.
62
4.5.2 Analisis Data
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari
hasil penelitian ini berupa distribusi dan persentase pada setiap
variabel yaitu status gizi, tingkat keparahan karies gigi, tingkat
konsumsi karbohidrat, tingkat konsumsi protein dan tingkat
konsumsi lemak.
b. Analisis Bivariat
Analisis dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan antara variabel independen dan juga variabel yang
diduga sebagai confounders dengan variabel dependen. Analisis
bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik
Chi-Square. Uji Chi-square merupakan analisis hubungan
variabel kategorik dengan batas kemaknaan α = 0,05. Persamaan
chi-square adalah sebagai berikut :
Keterangan:
= Chi-square
O = Efek yang diamati
E = Efek yang diharapkan
63
Jika Pvalue > 0,05, maka tidak ada hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Sebaliknya jika
Pvalue < 0,05, maka ada hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen.
c. Analisis Multivariat
Tujuan analisis multivariat adalah untuk melihat
kemungkinan terjadinya pengaruh variabel lain, selain variabel
independen terhadap variabel dependen, sehingga untuk tujuan
tersebut digunakan analisis regresi logistik berganda model
faktor resiko. Analisis ini digunakan karena variabel dependen
dalam penelitian ini berbentuk kategorik. Langkah pertama
dalam analisis ini adalah pembuatan pemodelan dengan
memasukkan semua variabel yang ada serta variabel interaksi
yang mungkin terjadi antara confounder dengan variabel
independen yaitu tingkat keparahan karies gigi sehingga
menghasilkan suatu pemodelan yang maksimum. Langkah ini
dapat mengontrol variabel interaksi dan confounder.
Penilaian interaksi dilakukan dengan cara mengeluarkan
variabel interaksi yang mempunyai nilai p > 0,05 dari model
secara bertahap dimulai dengan interaksi yang mempunyai nilai
p tertinggi. Selanjutnya menyederhanakan model yaitu dengan
64
mengurangi confounder yang pengaruhnya tidak terlalu besar
pada odds ratio antara variabel independen dengan variabel
dependen. Besar kecilnya pengaruh confounder dinilai
berdasarkan perubahan relatif odds ratio terhadap odds ratio gold
standard dengan rumus :
ΔOR = OR crude – OR gold standard X 100% OR gold standard
Confounder dikeluarkan dari model jika ΔOR kurang dari
10%, dengan asumsi dikeluarkannya confounder tidak
memberikan pengaruh berarti terhadap hubungan variabel
independen dan dependen. Pengeluaran confounder satu per satu
dimulai dengan nilai p paling tinggi dan dinilai perubahan
ORnya. Eliminasi tetap dilakukan meskipun nilai p sudah
signifikan (p < 0,05).
65
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum SDN 01 Ciangsana
Pendidikan merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Pemerintah kabupaten bogor menyediakan sekolah
dalam jumlah yang cukup banyak baik negeri maupun swasta. Sekolah Dasar
Negeri 01 Ciangsana terletak di Desa Ciangsana Kecamatan Gunung Putri
Kabupaten Bogor. Sekolah ini berdiri pada tahun 1969 dan sampai saat ini
sekolah tersebut mengalami berbagai perbaikan pembangunan sehingga dapat
meningkatkan efektifitas kegiatan belajar mengajar yang pada akhirnya dapat
mencapai tujuan dari sekolah tersebut. Adapun jumlah pengajar di sekolah
tersebut sebanyak 12 orang yang terdiri dari 10 orang sebagai wali kelas dan 2
orang sebagai guru bidang studi.
5.1.1 Visi dan Misi
Visi dari SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
yaitu terwujudnya sekolah yang menjadi pusat pembinaan akhlak serta
penguasaan ilmu dan keterampilan. Adapun misi dari SDN 01
Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor yaitu membentuk akhlak
yang mulia, meningkatkan prestasi dan mutu pendidikan, serta
meningkatkan kecerdasan dan keterampilan.
66
5.1.2 Tujuan Umum Pendidikan SDN 01
SDN 01 Ciangsana mempunyai beberapa tujuan umum yaitu
siswa beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia serta dapat mengamalkannya dalam kegiatan
pembiasaan, dapat menjadi sekolah yang mampu berprestasi dalam
meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan masyarakat sekitar,
siswa menjadi sehat jasmani dan rohani, mampu menilai dasar-dasar
pengetahuan, kemampuan dan keterampilan untuk meningkatkan
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi, siswa menjadi kreatif,
terampil dan bekerja untuk dapat mengembangkan diri secara terus
menerus.
5.1.3 Jumlah Siswa
Jumlah siswa di SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor saat ini berjumlah 416 orang yang terdiri dari 213
laki-laki dan 203 perempuan yang tersebar pada kelas satu sampai
dengan kelas enam.
Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Siswa SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor Tahun 2010
Kelas Jenis Kelamin
Total Laki-laki Perempuan
I 37 35 72
67
Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Siswa SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor Tahun 2010 II 40 49 89 III 29 24 53 IV 30 25 55 V 45 40 85 VI 32 30 62
Total 213 203 416
5.1.4 Karakteristik Responden
Siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor merupakan responden dalam penelitian ini. Jumlah
siswa yang diperlukan sebesar 50 orang. Distribusi frekuensi
karakterisitk responden berdasarkan jenis kelamin, pendidikan ibu dan
status bekerja ibu dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini.
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan Ibu dan Status Bekerja Ibu Tahun 2010
Variabel n %
Jenis Kelamin Laki-laki 24 48
Perempuan 26 52 Pendidikan Ibu
SD 15 30 SLTP 12 24 SLTA 19 38
PT 4 8 Status Bekerja Ibu
Tidak Bekerja 44 88 Bekerja 6 12
68
Berdasarkan tabel 5.2, dari 50 siswa yang menjadi responden
diketahui jumlah siswa laki-laki sebesar 24 orang atau 48% dan siswa
perempuan sebesar 26 orang atau 52%. Jumlah siswa yang mempunyai
ibu dengan pendidikan SD sebesar 15 orang atau 30%, SLTP sebesar
12 orang atau 24%, SLTA sebesar 19 orang atau 38% dan Perguruan
Tinggi sebesar 4 orang atau 8%, serta jumlah siswa yang mempunyai
ibu dengan status tidak bekerja sebesar 44 orang atau 88 % dan siswa
yang mempunyai ibu dengan status bekerja sebesar 6 orang atau 12 %.
5.2 Analisis Univariat
5.2.1 Gambaran Status Gizi
Status gizi anak dapat diukur secara antropometri dan
dikategorikan dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Dalam
penelitian ini hasil antropometri berupa pengukuran berat badan dan
tinggi badan dikategorikan menggunakan indeks BB/TB dengan
melihat nilai z-score. Klasifikasi yang digunakan berdasarkan Depkes
2004 yaitu status gizi siswa kelas dua kategori kurus jika nilai z-score
< -2 SD. Sedangkan status gizi siswa kelas dua kategori normal jika
nilai z-score > -2 SD. Distribusi frekuensi status gizi siswa kelas dua
SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor dapat dilihat
pada tabel 5.3 berikut ini.
69
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010
Status Gizi n %
Kurus ( z-score < -2 SD ) 33 66 Normal ( z-score > -2 SD ) 17 34
Total 50 100
Berdasarkan tabel 5.3, dari 50 responden dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden memiliki status gizi kategori kurus
yaitu sebesar 33 orang atau 66%.
5.2.2 Gambaran Tingkat Keparahan Karies Gigi
Tingkat keparahan karies gigi ditentukan menggunakan indeks
def-t yang merupakan indeks pengukuran karies pada gigi susu yang
direkomendasikan oleh Pine (1997). Pada penelitian ini, klasifikasi
tingkat keparahan karies gigi kategori tinggi jika nilai indeks def-t >
2,6. Sedangkan, kategori rendah jika nilai indeks def-t < 2,6. Distribusi
frekuensi tingkat keparahan karies gigi siswa kelas dua SDN 01
Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel
5.4 berikut ini.
70
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Keparahan Karies Gigi Siswa Kelas
Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010
Tingkat Keparahan Karies
Gigi n %
Tinggi (def-t > 2,6) 37 74 Rendah (def-t < 2,6) 13 26
Total 50 100
Berdasarkan tabel 5.4, dari 50 responden dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat keparahan karies
gigi kategori tinggi yaitu sebesar 37 orang atau 74%.
5.2.3 Gambaran Tingkat Konsumsi Karbohidrat, Protein dan Lemak
Karbohidrat, protein dan lemak merupakan zat gizi makro yang
diperlukan oleh tubuh. Dalam penelitian ini klasifikasi yang digunakan
berdasarkan Depkes RI (1990) yaitu tingkat konsumsi karbohidrat,
protein dan lemak kurang jika persentase pencapaian konsumsi
masing-masing zat gizi tersebut < 80% AKG. Sedangkan, tingkat
konsumsi karbohidrat, protein dan lemak baik jika persentase
pencapaian konsumsi masing-masing zat gizi tersebut > 80% AKG.
Gambaran konsumsi kurang zat gizi karbohidrat, protein dan lemak
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor,
dapat dilihat pada gambar 5.1 berikut ini.
71
Gambar 5.1 Gambaran Konsumsi Kurang Zat Gizi Karbohidrat, Protein dan
Lemak Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010
9066
88
0
50
100
pers
enta
se
resp
onde
n
karbohidrat protein lemak
Berdasarkan gambar 5.1, dari 50 responden dapat diketahui
bahwa sebagian besar responden memilki tingkat konsumsi
karbohidrat, protein dan lemak kurang atau persentase pencapaian zat
gizi kurang dari 80% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang
dianjurkan. Tingkat konsumsi karbohidrat kurang, dimiliki sebanyak
90% responden. Selanjutnya, tingkat konsumsi protein kurang,
dimiliki sebanyak 66% responden dan untuk tingkat konsumsi lemak
kurang, dimiliki sebanyak 88% responden.
5.3 Analisis Bivariat
5.3.1 Hubungan Tingkat Keparahan Karies Gigi dengan Status Gizi
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat keparahan karies
gigi dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
72
Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010 menggunakan uji chi-square
yang disajikan pada tabel 5.5 berikut ini.
Tabel 5.5 Gambaran Tingkat Keparahan Karies Gigi dengan Status Gizi
Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 hasil analisis hubungan antara tingkat
keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua diketahui
bahwa dari 37 responden yang menderita karies dengan tingkat
keparahan yang tinggi, terdapat 31 (83,8%) responden yang memiliki
status gizi kategori kurus. Sedangkan dari 13 responden yang
menderita karies dengan tingkat keparahan yang rendah, terdapat 2
(15,4%) responden yang memiliki status gizi kategori kurus.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue 0,000. Hal ini
menunjukkan Pvalue < 0,05 maka dapat dijelaskan bahwa ada
hubungan antara tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa
kelas dua SDN 01 Ciangsana.
Tingkat Keparahan Karies
Status Gizi Total P-value
Kurus Normal n % N % n %
Tinggi 31 83,8 6 16,2 37 100 0,000
Rendah 2 15,4 11 84,6 13 100
73
5.3.2 Hubungan Tingkat Konsumsi Karbohidrat dengan Status Gizi
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat konsumsi
karbohidrat dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana
Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010 menggunakan uji chi-
square yang disajikan pada tabel 5.6 berikut ini.
Tabel 5.6
Gambaran Tingkat Konsumsi Karbohidrat dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten
Bogor Tahun 2010
Tingkat Konsumsi Karbohidrat
Status Gizi Total
P-value Kurus Normal n % n % n %
Kurang 32 71,1 13 28,9 45 100 0,040
Baik 1 20 4 80 5 100
Berdasarkan tabel 5.6 hasil analisis hubungan antara tingkat
konsumsi karbohidrat dengan status gizi siswa kelas dua diketahui
bahwa dari 45 responden yang memiliki tingkat konsumsi karbohidrat
kurang, terdapat 32 (71,1%) responden yang memiliki status gizi
kategori kurus. Sedangkan dari 5 responden yang memiliki tingkat
konsumsi karbohidrat baik, terdapat 1 (20%) responden yang memiliki
status gizi kategori kurus. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai
Pvalue 0,040. Hal ini menunjukkan Pvalue < 0,05 maka dapat
74
dijelaskan bahwa ada hubungan antara tingkat konsumsi karbohidrat
dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana.
5.3.3 Hubungan Tingkat Konsumsi Protein dengan Status Gizi
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat konsumsi protein
dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor Tahun 2010 menggunakan uji chi-square yang
disajikan pada tabel 5.7 berikut ini.
Tabel 5.7 Gambaran Tingkat Konsumsi Protein dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
Tahun 2010
Tingkat Konsumsi Protein
Status Gizi Total
P-value Kurus Normal n % n % n %
Kurang 22 66,7 11 33,3 33 100 1,000
Baik 11 64,7 6 35,3 17 100
Berdasarkan tabel 5.7 hasil analisis hubungan antara tingkat
konsumsi protein dengan status gizi siswa kelas dua diketahui bahwa
dari 33 responden yang memiliki tingkat konsumsi protein kurang,
terdapat 22 (66,7%) responden yang memiliki status gizi kategori
kurus. Sedangkan dari 17 responden yang memiliki tingkat konsumsi
protein baik, terdapat 11 (64,7%) responden yang memiliki status gizi
kategori kurus. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue
75
1,000. Hal ini menunjukkan Pvalue > 0,05 maka dapat dijelaskan
bahwa tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan
status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana.
5.3.4 Hubungan Tingkat Konsumsi Lemak dengan Status Gizi
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat konsumsi lemak
dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor Tahun 2010 menggunakan uji chi-square yang
disajikan pada tabel 5.8 berikut ini.
Tabel 5.8 Gambaran Tingkat Konsumsi Lemak dengan Status Gizi Siswa
Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010
Tingkat Konsumsi Lemak
Status Gizi Total
P-value Kurus Normal n % n % n %
Kurang 30 68,2 14 31,8 44 100 0,396
Baik 3 50 3 50 6 100
Berdasarkan tabel 5.8 hasil analisis hubungan antara tingkat
konsumsi lemak dengan status gizi siswa kelas dua diketahui bahwa
dari 44 responden yang memiliki tingkat konsumsi lemak kurang,
terdapat 30 (68,2%) responden yang memiliki status gizi kategori
kurus. Sedangkan dari 6 responden yang memiliki tingkat konsumsi
lemak baik, terdapat 3 (50%) responden yang memiliki status gizi
76
kategori kurus. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue
0,396. Hal ini menunjukkan Pvalue > 0,05 maka dapat dijelaskan
bahwa tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi lemak dengan
status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana.
5.4 Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk melihat kemungkinan terjadinya
pengaruh tingkat konsumsi karbohidrat, protein dan lemak, selain tingkat
keparahan karies gigi terhadap status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana
Desa Ciangsana Kabupaten Bogor menggunakan analisis regresi logistik
berganda dengan model faktor risiko. Tahapan dalam melakukan analisis
tersebut adalah sebagai berikut :
5.4.1 Tahap Pemilihan Variabel Kandidat Model
Sebelum melakukan analisis multivariat, terlebih dahulu
dilakukan analisis bivariat antara tingkat keparahan karies gigi, tingkat
konsumsi karbohidrat, tingkat konsumsi protein dan tingkat konsumsi
lemak dengan variabel status gizi. Setelah dilakukan analisis bivariat
maka selanjutnya dilakukan analisis multivariat. Tahapan analisis ini
adalah dengan terlebih dahulu melakukan pemilihan kandidat yang
akan masuk model. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang
akan diuji sebagai kandidat yang akan masuk model yaitu tingkat
77
keparahan karies gigi dan tingkat konsumsi karbohidrat. Untuk
memilih kandidat model, hanya variabel yang memiliki Pvalue < 0,25
yang akan dimasukkan dalam model multivariat. Hasil pemilihan
kandidat model dapat dilihat pada tabel 5.9 berikut ini.
Tabel 5.9
Pemilihan Kandidat Variabel Untuk Tahap Pemodelan Multivariat
No Variabel Pvalue
1 Tingkat Keparahan Karies Gigi 0,000*
2 Tingkat Konsumsi Karbohidrat 0,040*
3 Tingkat Konsumsi Protein 1,000
4 Tingkat Konsumsi Lemak 0,396
* : variabel yang masuk model
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa dari empat variabel,
terdapat dua variabel yang memiliki Pvalue < 0,25. Dengan demikian
variabel yang akan masuk ke dalam model adalah variabel tingkat
keparahan karies gigi dan tingkat konsumsi karbohidrat.
5.4.2 Tahap Pembuatan Model Faktor Risiko
Pada tahapan ini, dilakukan dengan cara memasukkan semua
variabel yang ada yaitu status gizi, tingkat keparahan karies gigi,
tingkat konsumsi karbohidrat, serta variabel interaksi antara tingkat
78
konsumsi karbohidrat dengan tingkat keparahan karies gigi. Hasil dari
tahap ini dapat dilihat pada tabel 5.10 berikut ini.
Tabel 5.10
Hasil Pembuatan Model Faktor Risiko
Berdasarkan tabel 5.10, didapatkan hasil bahwa pada penelitian
ini mempunyai satu model yang terdiri dari variabel independen yaitu
tingkat keparahan karies gigi dengan Pvalue < 0,05. Sedangkan
variabel confounding yaitu tingkat konsumsi karbohidrat serta variabel
interaksi mempunyai nilai Pvalue > 0,05. Selanjutnya, model tersebut
akan dilakukan uji interaksi.
5.4.3 Tahap Uji Interaksi
Penilaian interaksi dilakukan dengan cara mengeluarkan
variabel interaksi yang mempunyai nilai Pvalue > 0,05 dari model
secara bertahap dimulai dengan interaksi yang mempunyai nilai
Pvalue tertinggi. Variabel interaksi yang berada di dalam model hanya
satu yaitu interaksi antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan tingkat
keparahan karies gigi yang mempunyai nilai Pvalue 0,999. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa Pvalue > 0,05. Dengan demikian
Variabel Pvalue Tingkat Keparahan Karies Gigi 0,002 Tingkat Konsumsi Karbohidrat 1,000
Tingkat Konsumsi Karbohidrat*Tingkat Keparahan Karies Gigi 0,999
79
variabel interaksi tersebut harus keluar dari model. Pada tabel 5.11
berikut ini, dapat dilihat hasil dari uji interaksi.
Tabel 5.11
Hasil Uji Interaksi
Berdasarkan tabel 5.11, didapatkan hasil bahwa pada analisis
ini sudah tidak ada variabel interaksi karena di dalam model hanya
terdapat satu interaksi yaitu interaksi antara tingkat konsumsi
karbohidrat dengan tingkat keparahan karies gigi. Selanjutnya, analisis
dilakukan dengan menyederhanakan model yaitu dengan mengurangi
confounder yang dilakukan dengan uji confounding.
5.4.4 Tahap Uji Confounding
Uji confounding dilakukan untuk melihat pengaruh yang
ditimbulkan terhadap hubungan variabel independen dan variabel
dependen. Uji confounding dilakukan dengan cara mengeluarkan
variabel confounding yang mempunyai nilai Pvalue > 0,05 dari model
secara bertahap dimulai dengan interaksi yang mempunyai nilai
Pvalue tertinggi. Besar kecilnya pengaruh confounder dinilai
berdasarkan perubahan nilai OR setelah variabel kandidat confounding
Variabel Pvalue
Tingkat Keparahan Karies Gigi 0,001
Tingkat Konsumsi Karbohidrat 0,523
80
dikeluarkan. Confounder dikeluarkan dari model jika perubahan nilai
OR kurang dari 10%, dengan asumsi dikeluarkannya confounder tidak
memberikan pengaruh berarti terhadap hubungan variabel independen
dan dependen. Pengeluaran confounder satu per satu dimulai dengan
nilai Pvalue paling tinggi dan dinilai perubahan ORnya. Eliminasi
tetap dilakukan meskipun nilai Pvalue sudah signifikan (p < 0,05).
Hasil dari uji confounding dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut ini.
Tabel 5.12
Hasil Uji Confounding
a. Sebelum Variabel Confounding Dikeluarkan
Variabel Sig. Exp (B) 95% CI Lower Upper
Tingkat Keparahan karies Gigi 0,001 23,381 3,869 141,284 Tingkat Konsumsi Karbohidrat 0,523 2,580 0,141 47,124
b. Sesudah Variabel Confounding Dikeluarkan
Variabel Sig. Exp (B) 95% CI Lower Upper
Tingkat Keparahan karies Gigi 0,000 28,417 4,978 162,203
Berdasarkan tabel 5.12, setelah variabel tingkat konsumsi
karbohidrat dikeluarkan terlihat perubahan OR pada variabel tingkat
keparahan karies gigi yaitu (28,417 – 23,381) / 23,381 = 21,54%.
Dengan demikian variabel tingkat konsumsi karbohidrat merupakan
confounding maka variabel tersebut harus tetap masuk ke dalam
model. Dari hasil analisis multivariat dapat diketahui bahwa tingkat
81
konsumsi karbohidrat merupakan variabel confounding atau variabel
pengganggu antara hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan
status gizi siswa kelas dua.
82
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
6.1.1 Desain Studi
Desain studi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah cross-sectional, faktor risiko dan efek diteliti dalam waktu yang
bersamaan. Selain itu faktor risiko dan efek diukur hanya dilakukan
satu kali saja yaitu menurut keadaan waktu diobservasi. Dengan
demikian, desain studi ini tidak dapat menggambarkan perkembangan
masalah dan faktor risiko secara lebih akurat. Disamping itu, desain
studi ini juga tidak dapat menjelaskan secara pasti faktor risiko
mendahului efek karena hal tersebut menuntut sekuensi waktu yang
jelas antara faktor risiko dan efek. Sehingga penggunaan desain studi
ini untuk menganalisis hubungan faktor risiko dan efek terbatas.
6.1.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data mengenai tingkat konsumsi karbohidrat,
protein dan lemak dilakukan dengan menggunakan recall 24 jam yang
memerlukan daya ingat yang baik dan kejujuran dari responden.
Sehingga kecenderungan responden memberikan informasi yang
kurang tepat dapat terjadi dan dapat mempengaruhi hasil penelitian.
83
6.2 Gambaran Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor
Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang sebagai akibat dari
konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan dalam
jangka waktu yang lama (Suhardjo, 1985). Status gizi baik atau status gizi
optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan
secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, pertumbuhan
otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi
mungkin. (Almatsier, 2002).
Anak-anak usia sekolah dasar merupakan salah satu tahapan usia yang
rentan terhadap terjadinya masalah gizi. Tumbuh kembangnya anak usia
sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan
kuantitas yang baik serta benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut
pemberian nutrisi atau asupan makanan pada anak tidak selalu dapat
dilaksanakan dengan sempurna. Sering timbul masalah terutama dalam
pemberian makanan yang tidak benar dan menyimpang. Penyimpangan ini
mengakibatkan gangguan pada banyak organ-organ dan sistem tubuh anak
(Judarwanto, 2008). Berbagai penelitian yang pernah dilakukan terhadap
anak-anak sekolah, didapatkan hasil bahwa pada umumnya berat dan tinggi
badan rata-rata anak-anak sekolah dasar berada di bawah ukuran normal
(Moehji, 2003).
84
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki status gizi kategori kurus. Hasil tersebut dapat menunjukkan bahwa
adanya ketidakseimbangan antara asupan zat gizi yang masuk ke dalam tubuh
dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi. Status gizi kategori kurus yang terjadi
pada anak usia sekolah dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif bagi
kualitas sumber daya manusia, mengingat mereka adalah generasi penerus
bangsa.
Anak yang kekurangan zat gizi akan mengalami kegagalan
pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan daya tahan
tubuh, meningkatkan kesakitan dan kematian (Sediaoetama, 2000).
Selanjutnya dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2000), disebutkan
bahwa pada anak usia sekolah yang kekurangan zat gizi akan mengakibatkan
anak menjadi lemah, cepat lelah dan sakit-sakitan sehingga anak sering absen
serta mengalami kesulitan mengikuti dan memahami pelajaran.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kekurangan zat gizi yang
berlangsung lama pada usia muda, akan menyebabkan perubahan
metabolisme dalam otak sehingga mengakibatkan ketidakmampuan otak
berfungsi dengan normal. Ukuran otak yang kecil mengakibatkan jumlah sel
dalam otak berkurang lalu akan terjadi ketidakmatangan dan
ketidaksempurnaan organisasi biokimia dalam otak. Keadaan tersebut akan
dapat berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak (Anwar, 2008
dalam Pamularsih, 2009).
85
Keadaan kesehatan gizi salah satunya dapat ditentukan oleh tingkat
konsumsi makanan. Dari hasil wawancara recall 2 x 24 jam diperoleh
informasi bahwa siswa yang berstatus gizi kategori kurus memilki nafsu
makan yang rendah. Nafsu makan siswa yang rendah dapat disebabkan oleh
beberapa hal seperti status gizi pada masa lampau, jumlah makanan jajanan
yang dikonsumsi dan kualitas menu yang disajikan oleh ibu di rumah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sediaoetama (1996), yang menyatakan bahwa tingkat
konsumsi dapat ditentukan oleh kualitas hidangan. Kualitas hidangan
menunjukkan semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan
hidangan. Jika susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari
kualitas maupun kuantitas, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan
gizi yang sebaik-baiknya.
Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari
ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional
imbalance), di samping kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk
disantap (Arisman, 2009). Begitu pula dengan Suhardjo (1996), yang
menjelaskan anak yang memilki status gizi kategori kurus dapat disebabkan
oleh masukan energi dan protein yang sangat kurang dalam waktu lama.
Keadaan gizi anak selain disebabkan oleh asupan zat gizi yang tidak
seimbang, dapat pula disebabkan oleh faktor lain seperti pendidikan ibu dan
status bekerja ibu. Dari hasil penelitian didapatkan sebesar 44 orang (88%)
ibu yang tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan untuk
86
pendidikan ibu, sebagian besar berpendidikan SLTA (38%). Menurut
Suhardjo (1989), terdapat perbedaan dalam pembentukan kebiasaan makan
pada anak-anak yang mempunyai ibu yang bekerja dan tidak bekerja. Ibu
yang bekerja akan tersita waktunya dalam menyiapkan dan memberikan
makanan kepada anak sehingga diserahkan kepada orang lain. Namun, dalam
penelitian ini status gizi kategori kurus banyak terjadi pada anak dengan ibu
yang tidak bekerja. Hasil tersebut dapat dikarenakan karena kurangnya
pengetahuan ibu tentang gizi. Suhardjo (2000) berpendapat bahwa setiap
orang akan mempunyai status gizi yang baik jika makanan yang dikonsumsi
mampu menyediakan zat gizi dalam jumlah yang cukup bagi tubuh.
Pengetahuan gizi memegang peranan yang sangat penting dalam penggunaan
dan pemilihan bahan makanan dengan baik, sehingga dapat mencapai keadaan
gizi seimbang. Selain itu, dapat pula dikarenakan sifat anak yang mulai dapat
memilih makanannya sendiri dan tidak adanya pengawasan terhadap
konsumsi makanan di luar rumah. Hal ini didukung oleh pendapat Moehji
(2003) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik anak usia sekolah
adalah lebih aktif memilih makanan yang disukai.
Mengingat pentingnya peran status gizi dalam menentukan kualitas
sumber daya manusia maka perlu dilakukannya pemantauan terhadap status
gizi anak agar mencapai status gizi yang baik, sehingga dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal menjadi anak yang berprestasi baik di dalam
sekolah maupun di luar sekolah.
87
6.3 Tingkat Keparahan Karies Gigi dan Hubungannya dengan Status Gizi
Siswa kelas dua sekolah dasar yang mempunyai usia rata-rata 8 tahun
merupakan salah satu kelompok usia yang kritis untuk terkena karies gigi
karena mengalami transisi pergantian gigi susu ke gigi permanen
(Romadhona, 2009). Menurut Hutabarat (2009), tingginya prevalensi dan
derajat keparahan karies disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
pengetahuan, sikap dan perilaku dalam memelihara kesehatan gigi yang masih
rendah.
Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden
menderita karies gigi dengan tingkat keparahan kategori tinggi. Hal ini serupa
dengan penelitian Ririn (2009) yang menunjukkan bahwa karies gigi dengan
tingkat keparahan kategori tinggi pada anak kelas dua lebih banyak terjadi,
dibandingkan dengan karies gigi dengan tingkat keparahan kategori rendah.
Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) dengan sasaran siswa sekolah
adalah pelaksanaan upaya pelayanan kesehatan gigi dari tingkat pelayanan
promotif, preventif seperti kunjungan rutin ke dokter gigi, perilaku merawat
gigi, mengkonsumsi makanan yang baik dan bergizi, serta kuratif yang
berdasarkan atas permintaan dan kebutuhan. Pelaksanaan upaya ini secara
langsung menggabungkan potensi orang tua murid, guru dan tenaga kesehatan
gigi puskesmas maupun dari dinas kesehatan setempat (Direktorat Kesehatan
Gigi Depkes RI, 2000).
88
Berdasarkan wawancara recall 24 jam, diketahui bahwa tingginya
siswa yang menderita karies gigi dengan tingkat keparahan yang tinggi dalam
penelitian ini dikarenakan kurangnya pemeliharaan terhadap kesehatan gigi
antara lain mengkonsumsi makanan yang dapat menjaga kesehatan gigi.
Sebesar 74% siswa kelas dua yang memiliki tingkat keparahan karies gigi
kategori tinggi, diketahui bahwa mereka tidak mengkonsumsi buah dan sayur
secara rutin. Sedangkan, 26% responden lainnya yang memiliki tingkat
keparahan karies gigi kategori rendah, diketahui bahwa mereka banyak
mengkonsumsi sayur dan buah secara rutin. Menurut Ahira (2010) sayur dan
buah merupakan jenis makanan yang mengandung gula buah (fruktosa) yang
sangat baik untuk kesehatan, baik kesehatan tubuh maupun kesehatan gigi.
Hal ini dikarenakan buah dan sayur mempunyai peran dalam membersihkan
sisa makanan yang menempel pada gigi. Selanjutnya, menurut Suwelo (1992),
seringnya mengkonsumsi gula sederhana yaitu sukrosa, dapat menentukan
waktu terjadinya karies. Dengan demikian, diperlukan kesadaran untuk
menjaga kesehatan gigi anak sekolah.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar
responden yang berstatus gizi kategori kurus adalah responden yang memiliki
tingkat keparahan karies gigi kategori tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik
menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara tingkat keparahan karies
gigi dengan status gizi siswa kelas dua. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Junaidi (2004), yang menyatakan bahwa anak yang berstatus gizi
89
kategori kurus lebih banyak menderita tingkat keparahan karies dengan
kategori tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki tingkat keparahan
karies dengan kategori rendah.
Rendahnya status gizi pada anak yang mengalami karies gigi pada
penelitian ini disebabkan oleh ketidakmampuan anak dalam mengkonsumsi
aneka ragam makanan karena adanya gangguan fungsi gigi sebagai alat
pencernaan. Hal ini serupa dengan pendapat Junaidi (2004), bahwa karies gigi
dapat menyebabkan terjadinya kehilangan gigi yang akan menurunkan
efisiensi pengunyahan yang berakibat pada terganggunya sistem pencernaan
makanan sehingga dapat menganggu kesehatan tubuh karena zat-zat gizi
makanan tidak dapat diserap dengan sempurna oleh usus halus.
Sebagian besar responden menjelaskan bahwa ketika mengalami rasa
sakit pada gigi maka mereka akan memilih makanan dalam bentuk lunak
bahkan beberapa anak ada yang mengalami penurunan nafsu makan. Menurut
Junaidi (2004), jika karies sudah meluas ke lapisan dentin maka akan timbul
rasa nyeri terutama jika terkena rangsangan dingin dan makan makanan
manis. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pemilihan jenis dan bentuk
makanan yang akan dikonsumsi agar tidak menimbulkan rasa nyeri ketika
makan. Hal ini diperkuat pula oleh Budiharto (1990), yang menjelaskan
bahwa anak yang menderita sakit gigi akan menghindari makanan sehingga
asupan makanan akan berkurang dan menyebabkan anak lebih peka terhadap
malnutrisi. Menurut Hayati (1994), nutrisi dan mastikasi (pengunyahan)
90
mempunyai hubungan timbal balik. Nutrisi yang baik diperlukan untuk
pertumbuhan yang normal termasuk pertumbuhan aparatus mastikasi.
Sebaliknya, mastikasi yang baik merupakan hal penting dalam penggunaan
makanan dan pencernaan.
Mengingat rentannya siswa kelas dua sekolah dasar terhadap status
gizi yang tidak optimal dan salah satunya dapat disebabkan oleh kesehatan
gigi, maka perlu lebih mengaktifkan program usaha kesehatan gigi anak
sekolah. kegiatan ini tidak hanya melakukan pemeriksaan gigi tetapi juga
memberikan penyuluhan kepada anak-anak tentang makanan yang sehat dan
bergizi, karena makanan tersebut baik untuk gigi maupun untuk gizi mereka.
6.4 Tingkat Konsumsi Karbohidrat dan Hubungannya dengan Status Gizi
Siswa kelas dua sekolah dasar termasuk dalam anak usia sekolah yang
memiliki karakteristik yaitu meningkatnya kebutuhan energi seiring dengan
meningkatnya aktivitas. Siswa kelas dua sekolah dasar biasanya memiliki
aktivitas bermain yang memerlukan banyak tenaga. Ketidakseimbangan
antara energi yang masuk dan keluar akan mengakibatkan tubuh anak menjadi
kurus (Moehji, 2003). Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi makro yang
diperlukan oleh tubuh karena dapat menghasilkan energi yang dapat
digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa sebagian besar responden mengkonsumsi karbohidrat dalam
91
jumlah yang kurang dari 80% Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang
dianjurkan.
Menurut Almatsier (2002), jika jumlah energi yang dihasilkan oleh
karbohidrat tidak mencukupi dalam proses metabolisme tubuh maka tubuh
akan mengambil energi dari protein. Asam amino dan gliserol yang berasal
dari lemak dapat menjadi glukosa untuk keperluan energi otak dan saraf pusat,
sehingga akan menganggu keadaan status gizi anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara tingkat konsumsi karbohidrat terhadap status gizi siswa kelas dua
sekolah dasar. Status gizi kategori kurus lebih banyak dimiliki oleh siswa
dengan tingkat konsumsi karbohidrat kurang dibandingkan dengan anak
dengan tingkat konsumsi karbohidrat baik. Hal ini diperkuat dengan penelitian
Junaidi (2004), yang menunjukkan bahwa anak berstatus gizi kategori kurus
cenderung memiliki tingkat konsumsi karbohidrat kurang atau lebih rendah
dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Oleh karena itu,
diperlukan tindakan dalam mengatur aktivitas anak seperti waktu bermain.
Tindakan tersebut dapat membantu anak untuk memperoleh waktu istirahat
yang cukup.
Kebiasaan sarapan pagi merupakan faktor yang dapat berpengaruh
terhadap status gizi. Mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat
di pagi hari akan dapat mencegah anak sekolah dasar untuk mengkonsumsi
makanan jajanan. Hal ini diperkuat oleh Wahyuti (1991) yang menyatakan
92
bahwa kebiasaan makan anak sekolah dasar yang sering dijumpai pada
umumnya yaitu mengkonsumsi makanan jajanan di sekolah sehingga anak
menjadi tidak sarapan pagi. Hal ini akan mempengaruhi nafsu makan anak di
rumah dan dapat menyebabkan anak kekurangan asupan zat gizi.
Karbohidrat selain dapat mempengaruhi status gizi, juga dapat
mempengaruhi tingkat keparahan karies gigi. Dari hasil recall 2 x 24 jam,
dapat diketahui makanan pokok yang sering dikonsumsi oleh responden
adalah nasi dengan frekuensi tiga kali sehari. Selain itu, responden juga
mengkonsumsi roti dan mie yang juga merupakan sumber karbohidrat.
Gunanti (2000) dalam Adipurna, et al (2002), menjelaskan bahwa makanan
pokok yang sering dikonsumsi anak-anak sekolah dasar adalah beras (nasi)
dengan frekuensi 2-3 kali sehari.
Jenis makanan tersebut dapat dikatakan memilki konsistensi atau
tekstur yang lunak jika mengalami proses pengolahan seperti direbus dan
dikukus, sehingga dalam proses pencernaannya tidak memerlukan
kemampuan alat pengunyahan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Bastian (1975) dalam Junaidi (2004) yang menyatakan bahwa makanan yang
keras membutuhkan pengunyahan lebih lama dan tekanan yang kuat,
sebaliknya makanan yang lunak sangat mudah untuk dikunyah. Dengan
demikian, kebutuhan akan zat gizi karbohidrat dapat terpenuhi jika diimbangi
dengan jumlah yang cukup dan pengaturan aktivitas anak.
93
Selain mengkonsumsi makanan tersebut, responden juga sering
mengkonsumsi permen, coklat, es krim serta makanan manis lainnya.
Menurut Mustafa (1993), jenis karbohidrat yang menyebabkan karies gigi
adalah sukrosa. Hal ini diperkuat dengan penjelasan Ahira (2010) bahwa
makanan yang mengandung sukrosa atau gula tebu adalah berbagai makanan
ringan dan cemilan seperti biskuit, coklat, permen, dan kue. Hasil pengamatan
epidemiologi membuktikan adanya hubungan antara angka konsumsi gula
yang tinggi dan insiden karies yang meningkat pada banyak negara. Selain itu,
bentuk fisik makanan juga perlu diperhatikan. Makanan yang lengket akan
melekat pada permukaan gigi dan terselip di dalam celah-celah gigi sehingga
merupakan makanan yang paling merugikan kesehatan gigi. Kerugian ini
terjadi akibat proses metabolisme oleh bakteri yang berlangsung lama
sehingga menurunkan pH mulut untuk waktu lama. Hal ini didukung oleh
penelitian Korneliani (2004), yang menunjukkan terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan terjadinya karies gigi.
Berdasarkan hasil multivariat, diketahui bahwa tingkat konsumsi
karbohidrat merupakan faktor confounding antara hubungan tingkat
keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua sekolah dasar.
Menurut Ahira (2010), karbohidrat jenis sukrosa mengandung banyak gula
dan sedikit energi, sehingga anak yang banyak mengkonsumsi makanan
jajanan yang mengandung sukrosa seperti permen, kue dan es krim akan
meningkatkan insiden karies gigi dan konsumsi energi dari karbohidrat dalam
94
jumlah yang kurang. Hal tersebut akan dapat berpengaruh terhadap keadaan
stabilitas status gizi anak.
6.5 Tingkat Konsumsi Protein dan Hubungannya dengan Status Gizi
Protein adalah bagian dari semua sel hidup yang merupakan bagian
terbesar tubuh sesudah air (Yuniastuti, 2008). Anak-anak usia sekolah
membutuhkan asupan protein yang baik agar mampu tumbuh dan berkembang
dengan baik pula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 66%
responden memiliki tingkat konsumsi protein yang kurang dari Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Menurut Suryani (2002), protein
merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat hubungannya
dengan proses-proses kehidupan. Protein dapat digunakan untuk menyediakan
energi. Kecukupan protein penting untuk membangun daya tahan tubuh agar
dapat terlindung dari penyakit infeksi.
Protein merupakan salah satu zat gizi yang dapat mempengaruhi
keadaan status gizi seseorang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,
didapatkan hasil bahwa tingkat konsumsi protein kurang cenderung lebih
banyak terjadi pada anak dengan status gizi kategori kurus. Hal ini serupa
dengan penelitian Junaidi (2004), yang menunjukkan bahwa tingkat konsumsi
protein pada anak dengan status gizi kategori kurus lebih rendah dibandingkan
dengan anak dengan status gizi normal. Namun, berdasarkan hasil uji analisis
bivariat, dijelaskan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tingkat
95
konsumsi protein dan status gizi anak kelas dua. Hal ini dimungkinkan bahwa
protein yang digunakan sebagai energi tidak banyak karena energi dapat
diperoleh dari makanan jajanan yang dikonsumsi responden. Menurut
Almatsier (2002), jika kebutuhan energi tubuh tercukupi, maka protein akan
digunakan sebagai zat pembangun oleh tubuh. Hasil tersebut diperkuat oleh
penelitian Fidiani (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
protein dengan status gizi. Namun, Isdaryanti (2007) menyatakan sebaliknya
yaitu terdapat hubungan antara asupan protein dengan status gizi.
Berdasarkan hasil recall 2 x 24 jam, didapatkan bahwa makanan
sumber protein yang lebih banyak dikonsumsi antara lain daging ayam, telur,
tempe, tahu, daging sapi, susu dan ikan segar. Seperti yang dikemukakan oleh
Almatsier (2002), bahwa bahan makanan hewani yang merupakan sumber
protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu, yaitu telur, susu, daging,
unggas, ikan, dan kerang. Sedangkan, bahan makanan sumber nabati adalah
kacang kedelai dan hasilnya seperti tempe, tahu, serta kacang-kacangan lain.
Namun, ada beberapa responden yang tidak suka mengkonsumsi makanan
tersebut seperti tahu, tempe, daging, susu dan ikan. Padahal menurut
Kartasapoetra dan Marsetyo, (2003), protein dalam tubuh berfungsi sebagai
penyedia energi apabila kebutuhan energi tidak tercukupi dari konsumsi
karbohidrat dan lemak. Oleh karena itu, sebaiknya para ibu lebih kreatif dalam
menyajikan makanan sumber protein, mengingat zat tersebut berperan dalam
terjadinya masalah gizi.
96
Selain itu, anak yang memiliki status gizi kategori kurus dan tingkat
konsumsi protein kurang tidak hanya mengganggu proses tumbuh dan
berkembang tubuh, tetapi juga dapat mengganggu kondisi kesehatan gigi.
Menurut Kwon et al (1997), protein merupakan zat yang diperlukan dalam
pembentukan formasi enamel gigi yang baik. Kekurangan protein dapat
menurunkan ukuran gigi dan meningkatkan kerusakan enamel. Protein sangat
berperan dalam komposisi dan volume air ludah atau saliva, yang merupakan
faktor penting dalam kesehatan mulut. Selanjutnya menurut Budiningsari
(2006), protein secara sistemik berpengaruh terhadap saliva sehingga pH
saliva ke arah basa. Efek lokal protein terutama sumber nabati sehingga
menaikkan pH saliva sehingga dapat mencegah dari karies gigi atau menekan
tingkat keparahan karies gigi.
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik,
dibandingkan dengan bahan makanan nabati yang kaya protein (Almatsier,
2002). Dari wawancara recall 2 x 24 jam diketahui bahwa sebagian responden
mengalami kesulitan dalam mengkonsumsi makanan sumber protein hewani
seperti daging. Anak-anak mengalami kesulitan dalam mengunyah makanan
tersebut, bahkan sampai merasakan sakit gigi ketika mengkonsumsi daging.
Oleh karena itu, proses pengolahan makanan tersebut harus sampai lunak. Jika
sakit gigi tersebut sudah dirasakan maka anak-anak menjadi malas untuk
mengkonsumsinya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Hidayanti (2005),
bahwa karies gigi yang terjadi pada anak akan mengakibatkan munculnya rasa
97
sakit sehingga anak menjadi malas makan. Selain itu, ada juga yang malas
mengkonsumsi daging karena sisa-sisa daging sering terselip di beberapa
bagian permukaan gigi mereka. Menurut Haryani, et al (2002), morfologi gigi
susu lebih memungkinkan retensi sisa makanan yang dapat menyebabkan
kondisi kebersihan mulut anak menjadi tidak baik dibandingkan dengan orang
dewasa.
Pada anak yang mengalami karies gigi memiliki kemampuan daya
kunyah yang menurun, karena gigi yang telah mengalami karies memiliki
penurunan fungsi. Dengan demikian, kemampuan dalam pencernaan makanan
di dalam mulut pun berkurang. Menurut Depkes (2002), jika terjadi gangguan
fungsi kunyah sehingga dapat menyebabkan terganggunya penyerapan dan
pencernaan makanan, dikhawatirkan pada akhirnya dapat menggangu kondisi
gizi anak sehingga terjadi keadaan kurang gizi.
Dengan berbagai dampak yang ditimbulkan dari konsumsi protein,
maka perlu penanganan terhadap berkurangnya asupan protein di dalam tubuh
anak. Pengolahan makanan sumber protein hewani seperti daging, sebaiknya
sampai lunak. Hal ini agar anak tidak perlu melakukan pengunyahan makanan
dengan kemampuan mengunyah yang tinggi.
6.6 Tingkat Konsumsi Lemak dan Hubungannya dengan Status Gizi
Lemak merupakan zat gizi padat energi, dalam bentuk lemak dapat
disimpan energi dalam jumlah besar di dalam massa yang kecil. Lemak juga
98
merupakan sumber energi selain karbohidrat dan protein. Kekurangan
konsumsi lemak akan mengurangi konsumsi kalori dalam tubuh. Selain itu,
kekurangan lemak dapat memberikan gejala-gejala defisiensi vitamin yang
larut lemak, seperti vitamin A dan vitamin K. Hal tersebut dapat memberikan
gangguan terhadap status gizi anak (Sediaoetama, 2000). Hasil penelitian
menggunakan recall 2 x 24 jam menunjukkan bahwa sebanyak 88%
responden memiliki tingkat konsumsi lemak yang kurang dari 80% Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Responden yang memiliki status
gizi kategori kurus maka tingkat konsumsi lemak dalam tubuh tergolong
kurang. Proporsi responden yang memilki status gizi kategori kurus lebih
besar pada anak yang tingkat konsumsi lemak kurang daripada anak yang
memiliki tingkat konsumsi lemak baik. Hasil ini diperkuat pula oleh
penelitian Junaidi (2004) yang menunjukkan bahwa anak yang memiliki
status gizi kategori kurus cenderung memiliki tingkat konsumsi lemak kurang
dibandingkan dengan tingkat konsumsi lemak baik.
Namun, berdasarkan hasil uji bivariat, menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi lemak dengan status gizi
siswa kelas dua. Hal ini serupa dengan penelitian Fidiani (2007), yang
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi lemak
dengan status gizi. Hasil tersebut dapat dimungkinkan bahwa penggunaan
lemak sebagai energi dalam jumlah yang kurang karena energi diperoleh dari
makanan jajanan yang dikonsumsi responden. Namun, hasil tersebut berbeda
99
dengan penelitian Dewi (2000) dan Handayani (2002), yang menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi lemak dengan
status gizi.
Status gizi kurus dan tingkat konsumsi lemak kurang akan dapat pula
mengakibatkan terganggunya kesehatan gigi anak. Status gizi kategori kurus
dan tingkat konsumsi lemak kurang dapat pula mengakibatkan terganggunya
kesehatan gigi anak. Penelitian yang dilakukan oleh Alvarez (1995),
menyatakan bahwa status gizi anak akan mempengaruhi pertumbuhan gigi,
baik gigi susu maupun gigi permanen. Anak yang berstatus gizi kurus akan
mengalami tingkat keparahan karies yang lebih tinggi dibandingkan dengan
anak yang berstatus gizi normal. Status gizi pada awal kehidupan berpengaruh
terhadap pembentukan dan pertumbuhan gigi. Jika terdapat gangguan gizi
maka akan mempengaruhi pembentukan gigi dan mengakibatkan kerentanan
terhadap karies menjadi meningkat.
Menurut Budiningsari (2006), makanan yang mengandung lemak,
pada umumnya sedikit mengandung substrat kariogenik selain sebagai
makanan pengganti karbohidrat yang kariogenik, lemak juga mempengaruhi
kelarutan karbohidrat di dalam rongga mulut. Lemak berfungsi ke arah efek
lokal, sehingga sisa makanan tidak mudah menempel pada permukaan gigi,
bakteri tidak memfermentasi sisa makanan dan bersifat hidrofob sehingga
bersifat anti bakteri. Selanjutnya menurut Almatsier (2003), lemak dapat
berfungsi sebagai pelumas agar bakteri di dalam mulut tidak mudah merusak
100
jaringan gigi, dengan kata lain dapat mencegah terjadinya karies gigi.
Penelitian yang dilakukan Kabara (1986), menunjukkan adanya hubungan
antara lemak dengan terjadinya karies gigi.
101
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor, maka dapat disimpulkan yaitu:
1. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa dari 50 siswa kelas dua yang
diperlukan sebagai responden, jumlah siswa perempuan lebih tinggi
dibandingkan siswa laki-laki yaitu sebesar 26 orang atau 52%. SLTA
merupakan jenjang pendidikan yang paling banyak diselesaikan oleh ibu
dari siswa kelas dua yaitu sebesar 19 orang atau 38%. Sebanyak 44
orang atau 88% siswa kelas dua mempunyai ibu yang tidak bekerja atau
sebagai ibu rumah tangga.
2. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa 66% siswa kelas dua di SDN 01
Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor memiliki status gizi
kurang dan 34% siswa kelas dua memiliki status gizi normal. asupan
makanan yang cukup. Dari proporsi tersebut terlihat bahwa siswa kelas
dua memiliki status gizi kurang yang cukup tinggi.
3. Tingkat keparahan karies dengan kategori tinggi diderita oleh 74% siswa
kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor.
Proporsi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang
menderita tingkat keparahan karies dengan kategori rendah yaitu sebesar
26%.
102
4. Siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
sebagian besar cenderung memilki tingkat konsumsi karbohidrat, protein
dan lemak dalam jumlah yang kurang yaitu masing-masing sebesar
90%, 66% dan 88%. Sedangkan tingkat konsumsi karbohidrat, protein
dan lemak dalam jumlah yang baik dimiliki oleh siswa kelas dua
masing-masing sebesar 10%, 34% dan 12%.
5. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tingkat keparahan karies
gigi dan tingkat konsumsi karbohidrat merupakan variabel yang
berhubungan dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana
Desa Ciangsana Kabupaten Bogor.
6. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tingkat konsumsi protein
dan tingkat konsumsi lemak merupakan variabel yang tidak
berhubungan dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana
Desa Ciangsana Kabupaten Bogor.
7. Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa tingkat konsumsi karbohidrat
merupakan faktor confounding hubungan antara tingkat keparahan
karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor.
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Pemerintah
1. Meningkatkan partisipasi seluruh siswa, orang tua serta guru
dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
103
membentuk perilaku hidup sehat serta ikut dalam upaya
pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan.
2. Meningkatkan efektivitas program Usaha Kesehatan Gigi Anak
Sekolah (UKGS) pada siswa kelas dua sekolah dasar untuk
mencegah terjadinya karies dan mengobati siswa yang sudah
menderita karies agar tingkat keparahannya tidak menjadi tinggi.
3. Memberikan pelatihan kepada guru dan orang tua murid
mengenai penyakit karies gigi dan zat-zat gizi yang harus
dikonsumsi agar dapat mencegah terjadinya karies gigi.
7.2.2 Bagi Pihak Sekolah
1. Membuat suatu kebijakan mengenai penyediaan makanan dan
minuman yang bergizi di kantin sekolah untuk mencegah
terjadinya kekurangan zat gizi.
2. Memberikan kesempatan bagi para guru untuk mendapatkan
pelatihan dan pendidikan mengenai kesehatan gigi dan keadaan
status gizi siswa, serta melakukan pengawasan terhadap
pemberian informasi tersebut kepada anak didik maupun orang
tua murid.
3. Meningkatkan peran program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
sebagai sarana dalam menunjang kesehatan siswa.
104
4. Menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam meningkatkan
kesehatan gigi dan mulut siswa seperti menyelenggarakan sikat
gigi massal dan pemeriksaan gigi secara berkala.
7.2.3 Bagi Siswa dan Ibu
1. Siswa menjaga kebersihan gigi sehingga tetap memiliki kondisi
gigi yang baik serta tidak mengkonsumsi makanan yang dapat
merusak gigi dan menganggu kesehatan.
2. Ibu mampu memberikan informasi mengenai kesehatan gigi dan
membatasi konsumsi makanan yang dapat merusak gigi serta
menyediakan makanan yang bergizi yang baik bagi pertumbuhan
dan perkembangan anak-anak.
7.2.4 Bagi Peneliti Lainnya
1. Melakukan penelitian dengan rancangan kohort prospektif agar
dapat terlihat jelas apakah karies gigi mempengaruhi status gizi
atau sebaliknya, status gizi mempengaruhi risiko terjadinya
karies gigi.
2. Pada penelitian selanjutnya diharapkan melakukan pemeriksaan
gigi lebih mendalam agar dapat mengetahui tingkat keparahan
karies gigi terhadap status gizi siswa kelas dua untuk
memperkuat hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Adipurna, et al. 2002. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Jalanan di Kota Manado. Majalah Kedokteran Universitas Indonesia. Volume 52: 18-24.
Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Alvarez, Jose and Navia, Juan. 1989. Nutritional Status, Tooth Eruption and Dental
Caries: A Review. American Journal Clinical Nutrition. 49. [Accesed 18th Juni 2010]. p 421. Available from world wide web: < http://www.ajcn.org/>
Alvarez, Jose. 1995. Nutrition, Tooth Development and Dental Caries. American
Journal Clinical Nutrition. 41. [Accesed 18th Juni 2010]. p 410. Available from world wide web: < http://www.ajcn.org/>
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan. FKM UI. Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. Budiningsari, R Dwi. 2006. Hubungan Asupan Protein dan Lemak Dengan Status
Kesehatan Mulut Anak Usia Prasekolah Di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul D.I. Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. Volume 2 : 117-122.
Closas, Reina Garcia, et al. 1997. A Cross-Sectional Study of Dental Caries, Intake of
Confectionery and Food Rich in Starch and Sugar, and Salivary Counts of Streptococcus mutans in Children in Spain. American Journal Clinical Nutrition. 66. [Accesed 18th Juni 2010]. p 1257. Available from world wide web: < http://www.ajcn.org/>
Damanik, Noverini. 2009. Gambaran Konsumsi Makanan Dan Status Gizi Pada Anak
Penderita Karies Gigi Di SDN 091285 Panei Tongah Kecamatan Panei Tahun 2009. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Darwita, Risqa Rina. 2000. Kecenderungan Prevalensi Karies Gigi Pada Anak Sekolah Dasar Di Serpong dan Jakarta Barat. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Volume 7: 299.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut
Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Direktorat Kesehatan Gigi. . 2001. Pedoman Penyuluhan Gizi Pada Anak Sekolah Bagi
Petugas Puskesmas. Jakarta: Ditjen Gizi Masyarakat. . 2002. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Direktorat Jenderal
Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta. . 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta. . 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS 2007). Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. Devi, Mazarina. 2004. Tingkat Pendidikan Ibu, Hubungannya Dengan Perilaku Makan
dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar. [Acceesed 24th July 2010]. Available from world wide web: < http://www.rudyct.com/>
Deri, Fatma. 2009. Kajian Konsumsi Makanan Tradisi Badapu dan Status Gizi Ibu Nifas
Di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Djumadias, Abunain. 1990. Aplikasi Antropometri Sebagai Alat Ukur Status Gizi.
Bogor: Puslitbang Gizi. Hardinsyah. 2007. Review Faktor Determinan Keragaman Konsumsi Pangan. Jurnal
Gizi dan Pangan. Volume 2 (2). [Accesed 29th Juni 2010]. p 62. Available from world wide web: < http://fema.ipb.ac.id/>.
Haryani, Wiworo, et al. 2002. Hubungan Antara Konsumsi Karbohidrat Dengan Tingkat Keparahan Karies Gigi Pada Anak Usia Prasekolah Di Kecamatan Depok, Sleman Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat. XVIII: 132-133.
Hayati, R. 1994. Fungsi Gigi Pada Tumbuh Kembang Anak. Kumpulan Makalah Ilmiah
KPPIKG ke X: 446-450. Hidayanti, Lilik. 2005. Hubungan Karakteristik Keluarga dan Kebiasaan Konsumsi
Makanan Kariogenik Dengan Keparahan Karies Gigi Anak Sekolah Dasar. Tesis. Program Pascasarjana Gizi Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Hutabarat, Natalina. 2009. Peran Petugas Kesehatan, Guru dan Orang Tua dalam
Pelaksanaan UKGS dengan Tindakan Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut Murid Sekolah Dasar di Kota Medan. Tesis. Program Pascasarjana Administrasi dan Kebijakan Kesehatan. Universitas Sumatera Utara.
Ilyas, Yaslis. 2000. Studi Status Karies Gigi Penduduk Indonesia. Makara. Nomor 4
Seri A: 1-10. Judarwanto. 2008. Perilaku Makan Anak Sekolah. [Accesed 5th July 2010]. Available
from world wide web: < http://www.gizi.net/> Junaidi. 2004. Hubungan Keparahan Karies Gigi Dengan Asupan Zat Gizi dan Status
Gizi Anak Sekolah Dasar Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Tesis. Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Gadjah Mada.
Kartasapoetra, G. Marsetyo, 2003, Ilmu Gizi, Korelasi Gizi, Kesehatan dan
Produktivitas Kerja, Rineka Cipta. Jakarta.
Kawuryan, Uji. 2008. Hubungan Pengetahuan Tentang Kesehatan Gigi dan Mulut
Dengan Kejadian Karies Gigi Anak SDN Kleco II Kelas V Dan VI Kecamatan Laweyan Surakarta. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah.
Khomsan, Ali. 2003. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Kidd, EAM, and Bechal, SJ. 1992. Dasar-Dasar Karies, Penyakit dan Penanggulangannya. Alih Bahasa Narlan Sumawinata & Safrida Faruk. Jakarta: EGC.
Korneliani, Kiki. 2004. Hubungan Tingkat Konsumsi Karbohidrat dan Kesukaan
Makanan Kariogenik Anak Usia Pra Sekolah dengan Terjadinya Karies Gigi di Taman Kanak-Kanak Islam Hidayatullah Semarang. Tesis. Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Kwon, Ho-Kwen. 1997. Relationship Between Nutritional Intake and Dental Caries
Experience of Junior High Students. Yonsei Medical Journal. Volume 38 (2). [Accesed 13th August 2010]. p 102. Available from world wide web: < http://www.eymj.org/>
Li, Y and Wang, W. 2002. Predicting Caries in Permanent Teeth from Caries in
Primary Teeth: An Eight-year Cohort Study. Journal of Dental Research. 81. [Accesed 18th Juni 2010]. p 561. Available from world wide web: < http://jdr.sagepub.com/>
Luchan. 2009. Timbal Tingkatkan Resiko Karies Gigi. [Accesed 21th July 2010].
Available from world wide web: < http://koran.kompas.com/> Mardayanti, Purnama. 2008. Hubungan Antara Faktor-Faktor Risiko Dengan Status
Gizi Pada Siswa Kelas 8 Di SLTP N 7 Bogor Tahun 2008. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Moehji, Syahmien. 2003. Ilmu Gizi. Jakarta: PT Bhatara Karya Aksara. Mudanijah, Siti, 2004, Pengantar Pangan dan Gizi: Pola Konsumsi Pangan. Jakarta:
Penebar Swadaya. Nizel, AE. 1981. Nutrition In Preventive Dentistry 2nd Edition. Phadelphia: WB
Saunders Company. Nurfatimah, Hindiarti, 2007, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Persen Lemak Tubuh (PLT) pada
Prajurit Batalyon-33 Cijantung Jakarta Timur Tahun 2007, Skripsi. FKMUI, Depok.
Nurlaila. 2005. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Karies Gigi Pada Murid-Murid
Di Sekolah Dasar Kecamatan Karangantu. Indonesian Journal Of Dentistry. Volume 12 Nomor 1: 5-6.
Pine, Cynthia. 1997. Community Oral Health. Michigan: Quintessence Pub. Sasiwi , Noerwida Rahayu. 2004. Hubungan Tingkat Keparahan Karies Gigi Dengan
Status Gizi Anak (Studi Pada Anak Taman Kanak-Kanak Di Desa Pagersari Kecamatan Paten Kabupaten Kendal). Skripsi. Universitas Diponegoro.
Schuurs, A.H.B. 1993. Patologi Gigi Geligi. Yogyakarta: UGM Press. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi (Jilid 1).
Jakarta: Dian Rakyat. Setiawan, B. (2003). Pengaruh Sudut Tonjol Gigi Artifisial Posterior Terhadap
Perubahan Partikel Makanan. Skripsi. UGM Yogyakarta. Siagian, Albiner. 2008. Hubungan Kebiasaan Makan dan Pemeliharaan Kesehatan Gigi
dengan Karies Gigi Pada Anak SD 060935 di Jalan Pintu Air II Simpang Gudang Kota Medan. Info Kesehatan Masyarakat Volume XII Nomor 2: 109.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Surabaya: EGC. Suhardjo. 1985. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta: UI Press. . 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: IPB PAU Pangan dan Gizi. . 1996. Gizi dan Pangan. Yogyakarta: Kanisius.
. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara. Sulastri, Delmi, et al. 2006. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Anak
Baru Masuk Sekolah Dasar Di Kelurahan Bandar Buat Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. [Acceesed 22th September 2010]. Available from world wide web: < http://www.repository.unand.ac.id/>
Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. Suryani, A. 2002. Gizi Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional. Suwargiani, Anne Agustina. 2008. Indeks def-t dan DMF-T Masyarakat Desa Cipondoh
dan Desa Mekarsari Kecamatan Tirtamulya Kabupaten Karawang. Makalah. Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Padjadjaran.
Suwelo, Ismu Suharsono. 1992. Karies Gigi Pada Anak Dengan Berbagai Faktor.
Jakarta: EGC. Wahyuti, S. 1991. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Proyek Pengembangan Tenaga
Gizi Depkes RI. Yuniastuti, Ari. 2008. Gizi dan Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
HUBUNGAN TINGKAT KEPARAHAN KARIES GIGI DENGAN STATUS GIZI ANAK
KELAS DUA DI SDN CIANGSANA I DESA CIANGSANA KABUPATEN BOGOR
TAHUN 2010
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya adalah mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang
melakukan penelitian mengenai “Hubungan Tingkat Keparahan Karies Gigi Dengan Status
Gizi Anak Kelas Dua Di SDN Ciangsana I Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010”.
Penelitian ini saya lakukan sebagai syarat untuk menempuh ujian memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat.
Untuk itu, saya meminta kesediaan ibu dan adik untuk menjadi responden dalam
penelitian ini. Saya sangat mengharapkan ibu dan adik mengisi formulir penilaian asupan zat
gizi metode recall 24 jam ini dengan lengkap dan jujur. Identitas serta jawaban ibu dan adik
akan saya jaga kerahasiaannya.
Atas perhatian dan kerjasama ibu dan adik, saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Hormat Saya,
RINA KUSUMAWATI
FORM KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Nama Anak :
Alamat :
Menyatakan bersedia menjadi responden dan akan mengikuti penelitian ini sesuai
dengan metode yang akan dilakukan peneliti.
Responden
( )
CONTOH UKURAN BAHAN MAKANAN
Bahan Makanan Nama Makanan URT
Sumber Hidrat Arang Nasi Putih centong nasi
Roti tawar lembar
Sumber Protein Hewani Daging sapi / ayam potong sedang/besar
Ikan segar potong
Ikan teri sendok makan
Telur butir
Bakso daging biji
Usus sapi bulatan
Sumber Protein Nabati Tempe potong
Tahu biji kecil/besar
Sayuran Sayur bayem sendok sayur
Buah-buahan Pepaya potong
Apel buah sedang/besar
Susu gelas
Jajanan Macam-macam gorengan, kue, biskuit, es krim, buah
Bakso, somay, batagor porsi
Bubur sendok makan
Nasi uduk bungkus
Sate tusuk
FORMULIR PEMERIKSAAN
TINGKAT KEPARAHAN KARIES GIGI
Tanggal :
Pemeriksa :
A. Data Umum
Nama :
Jenis Kelamin :
Kelas :
B. Tingkat Keparahan Karies Gigi
55 54 53 52 51 61 62 63 64 65
85 84 83 82 81 71 72 73 74 75
Keterangan Status :
0 = sehat
1 = karies email d =
2 = karies dentin
3 = karies pulpa e =
4 = gangren pulpa
5 = tumpatan sementara f =
6 = tumpatan + karies +
7 = tumpatan + karies sekunder def-t =
8 = tumpatan baik
9 = cabut karena karies
10 = gangren radix
FORMULIR PENILAIAN ASUPAN ZAT GIZI
METODE RECALL 24 JAM
Tanggal :
Hari ke :
Waktu Makan Nama Makanan
Bahan Makanan
Bahan Makanan
Banyaknya
URT Gram
Pagi / jam
Siang / jam
Malam / jam
No. Responden
LEMBAR KUISIONER
A. IDENTITAS RESPONDEN
A1. Nama :
A2. Jenis Kelamin :
A3. Kelas :
B. STATUS GIZI
B1. Berat Badan :
B2. Tinggi Badan :
B3. Z-Score : ……… SD
z-score < -2 SD = kurus z-score > - 2 SD = normal
C. Tingkat Keparahan Karies Gigi
C1. Nilai def-t :
def-t > 2,6 = tinggi
def-t < 2,6 = rendah
D. Tingkat Konsumsi Makanan
D1. Karbohidrat : …………….. %
D2. Protein : …………….. %
D3. Lemak : …………….. %
Konsumsi < 80% AKG = kurang
Konsumsi > 80% AKG = baik
RATA-RATA ASUPAN ZAT GIZI RESPONDEN
METODE RECALL 2 X 24 JAM
No Responden Karbohidrat Protein Lemak
1 Rizky 38.04% 57.56% 79.80%
2 Tiara 34.33% 58.67% 64.60%
3 Ahmad 30.07% 51.33% 39.40%
4 Aini 29.15% 44.22% 45.80%
5 Amanda 32.04% 24.67% 15.40%
6 Bagus 158.93% 212% 137.20%
7 Cahya 35.41% 71.78% 67.80%
8 Dhymas 29.85% 50.22% 30.20%
9 Dodik 42.26% 86.44% 40.40%
10 Indri 26.11% 47.78% 55.00%
11 Janet 41.15% 61.11% 57.40%
12 Mahruf 72.85% 108.44% 94.80%
13 Mega 32.37% 81.78% 47.20%
14 Ichwan 34.33% 53.11% 70.40%
15 Nano 45.07% 80.20% 35.80%
16 Nur 33.00% 62.22% 91.80%
17 Nurdin 34.11% 54.89% 17.00%
18 Oji 84.41% 94.00% 83.60%
19 Rere 32.52% 50.22% 23.80%
20 Rumaysah 76.37% 93.78% 75.60%
21 Sandra 80.11% 108.89% 114.80%
22 Sevira 61.56% 88.44% 46.60%
23 Very 43.52% 62.00% 69.20%
24 Windhi 6.00% 26.00% 27.20%
25 Riko 37.48% 69.78% 31.40%
26 Anjar 38.59% 56.44% 39.40%
27 Algusti 27.74% 59.78% 32.00%
28 Anif 37.63% 43.78% 30.20%
29 Anwar 39.89% 44.00% 39.40%
30 Chantika 40.48% 65.78% 48.60%
31 Desvina 72.78% 86.22% 73.80%
32 Fahmi 40.33% 72.22% 30.40%
33 Fanya 49.70% 71.78% 72.60%
34 Gilang 69.63% 80.67% 65.80%
35 Liska 36.44% 74.89% 53.20%
36 Alan 80.00% 72.00% 46.80%
37 Yanuar 57.56% 84.40% 52.40%
38 Nindya 38.19% 72.22% 63.00%
39 Nopitasari 31.96% 69.56% 21.20%
40 Putri 80.00% 87.33% 80.40%
41 Rahmawati 38.04% 83.33% 69.40%
42 Rifky 59.11% 69.56% 52.20%
43 Silvia 38.70% 52.89% 66.00%
44 Tantri 54.85% 118.44% 57.00%
45 Tri 47.70% 92.67% 60.80%
46 Yusuf 38.93% 74.44% 49.40%
47 Anisa 26.78% 46.67% 14.40%
48 Khafid 61.52% 87.56% 72.80%
49 Indriyani 30.44% 43.11% 35.20%
50 Andi 55.00% 64.40% 45.00%
Analisis Univariat Frequencies Statistics gizi N Valid 50
Missing 0
gizi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid kurus 33 66.0 66.0 66.0
normal 17 34.0 34.0 100.0 Total 50 100.0 100.0
Frequencies Statistics karies N Valid 50
Missing 0
karies
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid tinggi 37 74.0 74.0 74.0
rendah 13 26.0 26.0 100.0 Total 50 100.0 100.0
Frequencies Statistics KH N Valid 50
Missing 0
Karbohidrat
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid kurang 45 90.0 90.0 90.0
baik 5 10.0 10.0 100.0 Total 50 100.0 100.0
Frequencies Statistics protein N Valid 50
Missing 0
protein
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid kurang 33 66.0 66.0 66.0
baik 17 34.0 34.0 100.0 Total 50 100.0 100.0
Frequencies Statistics lemak N Valid 50
Missing 0
lemak
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent Valid kurang 44 88.0 88.0 88.0
baik 6 12.0 12.0 100.0 Total 50 100.0 100.0
Analisis Bivariat
Crosstabs Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent karies * gizi 50 100.0% 0 .0% 50 100.0%
karies * gizi Crosstabulation
gizi
Total kurus normal karies tinggi Count 31 6 37
% within karies 83.8% 16.2% 100.0%
rendah Count 2 11 13 % within karies 15.4% 84.6% 100.0%
Total Count 33 17 50 % within karies 66.0% 34.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 20.056(b) 1 .000 Continuity Correction(a) 17.124 1 .000
Likelihood Ratio 20.142 1 .000 Fisher's Exact Test .000 .000 Linear-by-Linear Association 19.655 1 .000
N of Valid Cases 50 a Computed only for a 2x2 table b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.42. Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper Odds Ratio for karies (tinggi / rendah) 28.417 4.978 162.203
For cohort gizi = kurus 5.446 1.510 19.640 For cohort gizi = normal .192 .089 .413 N of Valid Cases 50
Crosstabs Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent KH * gizi 50 100.0% 0 .0% 50 100.0%
KH * gizi Crosstabulation
gizi
Total kurus normal KH kurang Count 32 13 45
% within KH 71.1% 28.9% 100.0%
baik Count 1 4 5 % within KH 20.0% 80.0% 100.0%
Total Count 33 17 50 % within KH 66.0% 34.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 5.239(b) 1 .022 Continuity Correction(a) 3.209 1 .073
Likelihood Ratio 4.996 1 .025 Fisher's Exact Test .040 .040 Linear-by-Linear Association 5.134 1 .023
N of Valid Cases 50 a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.70. Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper Odds Ratio for KH (kurang / baik) 9.846 1.003 96.664
For cohort gizi = kurus 3.556 .610 20.727 For cohort gizi = normal .361 .192 .681 N of Valid Cases 50
Crosstabs Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent protein * gizi 50 100.0% 0 .0% 50 100.0%
protein * gizi Crosstabulation
gizi
Total kurus normal protein kurang Count 22 11 33
% within protein 66.7% 33.3% 100.0%
baik Count 11 6 17 % within protein 64.7% 35.3% 100.0%
Total Count 33 17 50 % within protein 66.0% 34.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .019(b) 1 .890 Continuity Correction(a) .000 1 1.000
Likelihood Ratio .019 1 .890 Fisher's Exact Test 1.000 .566 Linear-by-Linear Association .019 1 .891
N of Valid Cases 50 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.78. Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper Odds Ratio for protein (kurang / baik) 1.091 .319 3.733
For cohort gizi = kurus 1.030 .673 1.577 For cohort gizi = normal .944 .422 2.111 N of Valid Cases 50
Crosstabs Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent lemak * gizi 50 100.0% 0 .0% 50 100.0%
lemak * gizi Crosstabulation
gizi
Total kurus normal lemak kurang Count 30 14 44
% within lemak 68.2% 31.8% 100.0%
baik Count 3 3 6 % within lemak 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 33 17 50 % within lemak 66.0% 34.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .778(b) 1 .378 Continuity Correction(a) .179 1 .673
Likelihood Ratio .743 1 .389 Fisher's Exact Test .396 .326 Linear-by-Linear Association .762 1 .383
N of Valid Cases 50 a Computed only for a 2x2 table b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.04. Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper Odds Ratio for lemak (kurang / baik) 2.143 .383 11.984
For cohort gizi = kurus 1.364 .597 3.112 For cohort gizi = normal .636 .256 1.580 N of Valid Cases 50
Analisis Multivariat
Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Cases(a) N Percent Selected Cases Included in Analysis 50 100.0
Missing Cases 0 .0 Total 50 100.0
Unslected Cases 0 .0 Total 50 100.0
a If weight is in effect ... Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value kurus 0 normal 1
Block 0: Beginning Block Classification Table(a,b)
Observed Predicted
GIZI Percentage
Correct kurus normal Step 0 GIZI kurus 33 0 100.0
normal 17 0 .0 Overall Percentage 66.0
a Constant in the model ... b The cut value is .500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 0 Constant -.663 .299 4.936 1 .026 .515
Variables not in the Equation Score df Sig. Step 0 Variables KARIES 20.056 1 .000
KH 5.239 1 .022 KARIES by KH 8.440 1 .004
Overall Statistics 20.786 3 .000
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig. Step 1 Step 22.128 3 .000
Block 22.128 3 .000 Model 22.128 3 .000
Model Summary
Step -2 Log
likelihood Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 41.975 .358 .495 Classification Table(a)
Observed Predicted
GIZI Percentage
Correct kurus normal Step 1 GIZI kurus 31 2 93.9
normal 6 11 64.7 Overall Percentage 84.0
a The cut value is .500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper Step 1(a) KARIES 2.862 .918 9.720 1 .002 17.500 2.894 105.804
KH -19.593 40192.970 .000 1 1.000 .000 .000 . KARIES by KH 39.544 44937.107 .000 1 .999
1491290858663239
00.000 .000 .
Constant -1.609 .447 12.951 1 .000 .200 a Variable(s) entered step 1 KARIES, KH, KARIES * KH Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Cases(a) N Percent Selected Cases Included in Analysis 50 100.0
Missing Cases 0 .0 Total 50 100.0
Unslected Cases 0 .0 Total 50 100.0
a If weight is in effect ...
Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value kurus 0 normal 1
Block 0: Beginning Block Classification Table(a,b)
Observed Predicted
GIZI Percentage
Correct kurus normal Step 0 GIZI kurus 33 0 100.0
normal 17 0 .0 Overall Percentage 66.0
a Constant in the model ... b The cut value is .500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 0 Constant -.663 .299 4.936 1 .026 .515
Variables not in the Equation Score df Sig. Step 0 Variables KARIES 20.056 1 .000
KH 5.239 1 .022 Overall Statistics 20.301 2 .000
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig. Step 1 Step 20.565 2 .000
Block 20.565 2 .000 Model 20.565 2 .000
Model Summary
Step -2 Log
likelihood Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 43.538 .337 .467
Classification Table(a)
Observed Predicted
GIZI Percentage
Correct kurus normal Step 1 GIZI kurus 31 2 93.9
normal 6 11 64.7 Overall Percentage 84.0
a The cut value is .500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
Step 1(a)
KARIES 3.152 .918 11.794 1 .001 23.381 3.869 141.284 KH .948 1.482 .409 1 .523 2.580 .141 47.124 Constant -1.676 .452 13.753 1 .000 .187
a Variable(s) entered step 1 KARIES, KH
Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Cases(a) N Percent Selected Cases Included in Analysis 50 100.0
Missing Cases 0 .0 Total 50 100.0
Unslected Cases 0 .0 Total 50 100.0
a If weight is in effect ... Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value kurus 0 normal 1
Block 0: Beginning Block Classification Table(a,b)
Observed Predicted
GIZI Percentage
Correct kurus normal Step 0 GIZI kurus 33 0 100.0
normal 17 0 .0 Overall Percentage 66.0
a Constant in the model ... b The cut value is .500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 0 Constant -.663 .299 4.936 1 .026 .515
Variables not in the Equation Score df Sig. Step 0 Variables KARIES 20.056 1 .000
Overall Statistics 20.056 1 .000 Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig. Step 1 Step 20.142 1 .000
Block 20.142 1 .000 Model 20.142 1 .000
Model Summary
Step -2 Log
likelihood Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 43.962 .332 .459 Classification Table(a)
Observed Predicted
GIZI Percentage
Correct kurus normal Step 1 GIZI kurus 31 2 93.9
normal 6 11 64.7 Overall Percentage 84.0
a The cut value is .500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
Step 1(a)
KARIES 3.347 .889 14.183 1 .000 28.417 4.978 162.203 Constant -1.642 .446 13.557 1 .000 .194
a Variable(s) entered step 1 KARIES
Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Cases(a) N Percent Selected Cases Included in Analysis 50 100.0
Missing Cases 0 .0 Total 50 100.0
Unslected Cases 0 .0 Total 50 100.0
a If weight is in effect ... Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value kurus 0 normal 1
Block 0: Beginning Block Classification Table(a,b)
Observed Predicted
GIZI Percentage
Correct kurus normal Step 0 GIZI kurus 33 0 100.0
normal 17 0 .0 Overall Percentage 66.0
a Constant in the model ... b The cut value is .500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 0 Constant -.663 .299 4.936 1 .026 .515
Variables not in the Equation Score df Sig. Step 0 Variables KARIES 20.056 1 .000
KH 5.239 1 .022 Overall Statistics 20.301 2 .000
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig. Step 1 Step 20.565 2 .000
Block 20.565 2 .000 Model 20.565 2 .000
Model Summary
Step -2 Log
likelihood Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 43.538 .337 .467 Classification Table(a)
Observed Predicted
GIZI Percentage
Correct kurus normal Step 1 GIZI kurus 31 2 93.9
normal 6 11 64.7 Overall Percentage 84.0
a The cut value is .500 Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95.0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper Step 1(a)
KARIES 3.152 .918 11.794 1 .001 23.381 3.869 141.284 KH .948 1.482 .409 1 .523 2.580 .141 47.124 Constant -1.676 .452 13.753 1 .000 .187
a Variable(s) entered step 1 KARIES, KH
top related