all data kti final

43
i STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DI SALAH SATU APOTEK SWASTA KOTA BANDUNG ABSTRAK Hipertensi adalah faktor resiko utama penyakit kardiovaskuler yang merupakan penyakit kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 25,8% dari populasi pada usia 18 tahun ke atas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tentang pengobatan penyakit hipertensi, mengetahui jumlah dan jenis obat yang sering diresepkan dan mengetahui terapi pengobatan antihipertensi yang paling banyak digunakan. Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis penggunaan obat antihipertensi dengan sumber data dari resep dokter yang diambil secara retrospektif (pengambilan data yang sudah ada) selama bulan februari sampai juli 2015. Dari hasil penelitian didapat bahwa yang banyak mendapatkan obat antihipertensi berjenis kelamin wanita (60%), penggunaan obat antihipertensi berdasarkan usia paling banyak >65 tahun (12,31%), berdasarkan golongan obat dan nama obat yang paling banyak di resep yaitu antihipertensi golongan diuretik (26,59%) dengan obatnya furosemide (14,89%);golongan ARB (21,28%) dengan obat candesartan (7,45%);golongan CCB atau antagonis kalsium (39,36%) dengan obatnya amlodipine (38,29%), monoterapi atau terapi tunggal lebih dominan (60%) dibanding terapi kombinasi (40%), terapi kombinasi yang banyak diresepkan antara antagonis kalsium dengan antagonis angiotensin II receptor blocker sebanyak 10,79% juga terapi kombinasi antagonis kalsium dengan diuretik sebanyak 9,23%. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penderita hipertensi terbanyak terdapat pada lansia dengan prevalensi wanita tertinggi, penggunaan terapi tunggal paling dominan dibanding terapi kombinasi. Penggunaan obat antihipertensi yang sering diresepkan dari golongan antagonis kalsium yaitu amlodipin. Terapi kombinasi yang sering ditemukan yaitu antagonis kalsium dengan antagonis angiotensin II receptor blocker yang menghasilkan efek sinergis. Kata Kunci : Hipertensi, Obat, Antihipertensi

Upload: nitamardiana

Post on 18-Feb-2016

57 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

KTI Hipertensi

TRANSCRIPT

i

STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DI SALAH SATU

APOTEK SWASTA KOTA BANDUNG

ABSTRAK

Hipertensi adalah faktor resiko utama penyakit kardiovaskuler yang merupakan penyakit

kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 25,8% dari

populasi pada usia 18 tahun ke atas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

tentang pengobatan penyakit hipertensi, mengetahui jumlah dan jenis obat yang sering

diresepkan dan mengetahui terapi pengobatan antihipertensi yang paling banyak digunakan.

Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis penggunaan obat antihipertensi dengan

sumber data dari resep dokter yang diambil secara retrospektif (pengambilan data yang sudah

ada) selama bulan februari sampai juli 2015. Dari hasil penelitian didapat bahwa yang banyak

mendapatkan obat antihipertensi berjenis kelamin wanita (60%), penggunaan obat

antihipertensi berdasarkan usia paling banyak >65 tahun (12,31%), berdasarkan golongan

obat dan nama obat yang paling banyak di resep yaitu antihipertensi golongan diuretik

(26,59%) dengan obatnya furosemide (14,89%);golongan ARB (21,28%) dengan obat

candesartan (7,45%);golongan CCB atau antagonis kalsium (39,36%) dengan obatnya

amlodipine (38,29%), monoterapi atau terapi tunggal lebih dominan (60%) dibanding terapi

kombinasi (40%), terapi kombinasi yang banyak diresepkan antara antagonis kalsium dengan

antagonis angiotensin II receptor blocker sebanyak 10,79% juga terapi kombinasi antagonis

kalsium dengan diuretik sebanyak 9,23%. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penderita

hipertensi terbanyak terdapat pada lansia dengan prevalensi wanita tertinggi, penggunaan

terapi tunggal paling dominan dibanding terapi kombinasi. Penggunaan obat antihipertensi

yang sering diresepkan dari golongan antagonis kalsium yaitu amlodipin. Terapi kombinasi

yang sering ditemukan yaitu antagonis kalsium dengan antagonis angiotensin II receptor

blocker yang menghasilkan efek sinergis.

Kata Kunci : Hipertensi, Obat, Antihipertensi

ii

STUDY OF ANTIHYPERTESION USAGE ON PRIVATE DRUGSTORE

IN BANDUNG

ABSTRACT

Hypertension is the main risk factor of cardiovascular disease which is the highest death in

Indonesia. The prevalence of hypertension in Indonesia about 25,8% of the population at the

age of 18 or above. This study aimed to find an overview of the treatment of hypertension,

knowing amount and types of medicine commonly prescribed antihypertensive medication

therapy and determine the most widely used. The method used to analyze the utilizing of

antihypertensive medicine the data sources from a prescription taken retrospectively (retrieval

of data that already exists) during February to July 2015. The research found that group who

get more anti hypertension prescription is female (60%), use of antihypertensive of medicine

most widely by age> 65 years (12.31%), based on classes of medicine and names that are the

most widely prescribed antihypertensive diuretics (26.59%) of the medicine furosemide

(56%); group ARB (21.28%) with the medicine candesartan (35%); group CCB or calcium

antagonists (39.36%) with the medicine amlodipine (97,29%), monotherapy or single therapy

is dominant (60%) than the therapy combination (40%), which is widely prescribed

combination therapy between calcium antagonists with antagonists angiotensin II receptor

blocker as well as 10.79% as long as calcium antagonist combination therapy with a diuretic

as much as 9.23%. It can be concluded that the majority of hypertensive patients are the

elderly with the highest prevalence of women, single therapy most dominant compared to

combination therapy. The use of commonly prescribed antihypertensive drugs from the class

of calcium antagonists, namely amlodipine. Combination therapy is often found that calcium

antagonists with antagonists angiotensin II receptor blocker which produce a synergistic

effect.

Keyword : Hypertension, medicine, antihypertension

iii

Dipersembahkan kepada Ayah tercinta Alm Budi Mulyono, Ibuku tersayang Nani Rohani,

Kekasih Mochamad Slamet Adi Putra dan sahabat-sahabatku Perra Yulyani, Merriza Firly,

Dini Arianty, Anis Siti Nurjanah...

iv

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

Karya Tulis Ilmiah (KTI) , sebagai salah satu syarat kelulusan dari program D3 Farmasi di

Sekolah Tinggi Farmasi Bandung. Adapun judul dari Karya Tulis Ilmiah ini adalah “Studi

Penggunaan Obat Antihipertensi di Salah Satu Apotek Swasta Kota Bandung”.

Karya Tulis ilmiah ini selesai tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada

kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati ingin menyampaikan penghargaan dan

terimakasih kepada :

1. Ibu Dr.Patonah,M,Si.,Apt selaku Pembimbing I yang memberikan pengarahan dan

bimbingannya dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah.

2. Ibu Ani.Anggriani,M,Si.,Apt selaku Pembimbing II yang memberikan dukungan dan

motivasi dalam membimbing penulis selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah.

3. Orang tua yang selalu memberikan semangat serta do’a nya.

4. Seluruh Staf Dosen Studi Program D3 Farmasi atas perkuliahan yang telah

diselenggarakan.

5. Semua pihak yang terkait dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih sangat jauh dari

sempurna. Karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang membangun

sangatlah penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Akhirnya, semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan

untuk pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Bandung, Agustus 2015

Penulis

v

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .................................................................................... i

HALAMAN PERUNTUKAN ..................................................................... iii

KATA PENGANTAR ................................................................................. iv

DAFTAR ISI .................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vii

DAFTAR TABEL .................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang .................................................................. 1

I.2 Perumusan Masalah .......................................................... 2

I.3 Tujuan Penelitian .............................................................. 2

I.3.1 Tujuan Umum .......................................................... 2

I.3.2 Tujuan Khusus ......................................................... 2

I.4 Waktu dan Tempat Pnelitian ............................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pelayanan Kefarmasian .................................................... 4

II.1.1 Apotek ..................................................................... 4

II.1.2 Pelayanan Kefarmasian di Apotek .......................... 5

II.1.3 Penggunaan Obat yang Rasional ............................ 5

II.2 Deskripsi Hipertensi ......................................................... 6

II.2.1 Definisi Hipertensi .................................................. 6

II.2.2 Patofisiologi ............................................................ 7

II.2.3 Manifestasi Klinik ................................................... 7

II.2.4 Etiologi .................................................................... 7

II.2.5 Gejala Hipertensi .................................................... 8

II.2.6 Faktor Penyebab Hipertensi .................................... 8

II.2.7 Komplikasi Hipertensi ............................................ 9

II.2.8 Tujuan Terapi .......................................................... 9

II.3 Terapi Hipertensi .............................................................. 9

II.3.1 Terapi Farmakologi ................................................. 10

II.3.2 Kombinasi antara Berbagai Obat Antihipertensi .... 16

II.3.3 Pemilihan Obat Antihipertensi ................................ 17

vi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 21

BAB IV DESAIN PENELITIAN .............................................................. 22

IV.1 Penetapan Kriteria Pasien ................................................. 22

IV.2 Penetapan Kriteria Obat.................................................... 22

IV.3 Sumber Data ..................................................................... 22

IV.4 Analisa Data ..................................................................... 22

IV.5 Pengambilan Kesimpulan ................................................. 23

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 24

BAB VI KESIMPULAN

VI.1 Kesimpulan ....................................................................... 32

V1.2 Saran ................................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 34

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.3 Algoritma Penanganan Hipertesi Secara Farmakologi ....... 17

Gambar V.2 Penggunaan Obat berdasarkan Jenis Kelamin .................... 25

Gambar V.6 Terapi Kombinasi menurut ESH

(European Society of Hypertension)................................... 30

viii

DAFTAR TABEL

Tabel II.1. Penggunaan Obat yang Rasional .............................................. 6

Tabel II.2 Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa (JNC 7) ................. 6

Tabel II.3 Penanganan Tekanan Darah Tinggi .......................................... 10

Tabel II.4 Kombinasi Antar Berbagai Antihipertensi ............................... 16

Tabel II.5 Penyakit Penyerta dalam Hipertensi ......................................... 18

Tabel II.6 Antihipertensi Lini Pertama ...................................................... 19

Tabel II.7 Anti Hipertensi Lini Kedua....................................................... 20

Tabel II.8 Sebab Sebab Kegagalan Terapi Antihipertensi ........................ 20

Tabel V.1 Distribusi Resep Obat Antihipertensi selama 6 bulan .............. 24

Tabel V.2 Penggunaan Obat berdasarkan jenis kelamin ........................... 24

Tabel V.3 Penggunaan Obat berdasarkan usia .......................................... 26

Tabel V.4 Penggunaan Obat berdasarkan golongan obat dan nama obat

Antihipertensi ........................................................................... 26

Tabel V.5 Penggunaan Obat berdasarkan terapi obat antihipertensi ......... 28

Tabel V.6 Penggunaan Obat berdasarkan terapi kombinasi antihipertensi 29

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Gaya hidup serba instan dan serba cepat ternyata menyimpan risiko bahaya yang tidak

terduga dan siap mengancam siapa saja. Kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji

misalnya, terbukti tidak baik bagi kesehatan karena mengandung kalori, lemak, protein, dan

garam tinggi, tetapi rendah serat pangan dan vitamin yang bisa mengakibatkan obesitas. Bila

dibiarkan, obesitas ini bisa memicu munculnya berbagai penyakit metabolik dan degeneratif

mulai dari penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, kanker hingga hipertensi (Sudarmoko,

2015).

Hipertensi menyebabkan 62% penyakit kardiovaskular dan 49% penyakit jantung.

Penyakit ini telah membunuh 9,4 juta warga dunia setiap tahunnya. Badan Kesehatan Dunia

(WHO) memperkirakan jumlah hipertensi akan terus meningkat seiring dengan jumlah

penduduk yang membesar. Pada 2025 mendatang, diproyeksikan sekitar 29% atau sekitar 1,6

miliar orang di seluruh dunia mengalami hipertensi (Tedjasukmana, 2012).

Hipertensi adalah faktor resiko utama penyakit kardiovaskuler yang merupakan

penyakit kematian tertinggi di Indonesia. Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya

peningkatan tekanan darah yang memberi gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh,

antara lain otak dapat menyebabkan stroke, mata dapat menyebabkan retinopati hipertensi

atau kebutaan, jantung dapat menyebabkan penyakit jantung koroner termasuk infark jantung

dan gagal jantung, ginjal dapat menyebabkan penyakit gagal ginjal kronik dan gagal ginjal

terminal (Novyanti, 2015).

Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 25,8% dari pupulasi pada usia 18 tahun

keatas. Dari jumlah itu 60% penderita hipertensi berakhir pada stroke, sedangkan sisanya

pada jantung, gagal ginjal, dan kebutaan. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran

darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah diatas normal yaitu melebihi 140/90

mmHg. Hipertensi sebagai penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis,

jumlahnya mencapai 6,8% dari proporsi penyebab kematian pada semua umur di Indonesia

(Riskesdas, 2013).

Obat-obat anti hipertensi pada saat ini dikenal 5 kelompok lini pertama yang lazim

digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, antara lain dalam beberapa golongan : Diuretik,

penyekat reseptor beta adrenergik (ß-Blocker), penghambat Angiotensin converting enzyme

(ACE-Inhibitor), penghambat reseptor angiotensin II (Angiotensin II receptor blocker),

2

antagonis kalsium (Calcium chanel blocker). Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang

dianggap sebagai lini kedua yaitu : penghambat saraf adrenergik, agonis α-2 sentral, dan

vasodilator (Syarief, 2012).

Studi penggunaan obat atau drug utilization study (DUS) menurut World Health

Organization (WHO) adalah peresepan dan penggunaan obat yang mencakup pemasaran dan

distribusi pada masyarakat yang dititikberatkan khususnya pada konsekuensi ekonomis,

sosial, dan kesehatan. Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa fokus dari studi penggunaan

obat adalah untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dan terlibat dalam peresepan,

peracikan, pemberian, dan penggunaan obat. Tujuan umum dari studi penggunaan obat adalah

mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang berkaitan dengan pengambilan keputusan

dalam pengobatan. Pendekatan ini sebaiknya didasarkan pada tujuan dan kebutuhan penderita.

Studi penggunaan obat dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Studi kualitatif

digunakan untuk mengevaluasikan ketepatan penggunaan obat dengan cara mencari hubungan

antara data peresepan dan alasan pemberian terapi. Sedangkan secara kuantitatif, dilakukan

dengan cara mengumpulkan secara rutin data statistik dari penggunaan obat yang dapat

digunakan untuk memperkirakan penggunaan obat pada suatu populasi berdasarkan usia,

kelas sosial, morbiditas, dan karakteristik lainnya serta untuk mengidentifikasi adanya

kemungkinan overutilization atau underutilization.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis pada penelitian ini

mengambil judul “Studi Penggunaan Obat Antihipertensi di Salah Satu Apotek Swasta

di Kota Bandung”.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasi masalah

mengenai penggunaan obat antihipertensi pada pasien di salah satu apotek swasta kota

Bandung periode Februari-Juli 2015.

I.3 Tujuan Penelitian

I.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui peresepan obat antihipertensi pada pasien di salah satu apotek swasta kota

Bandung pada periode Februari-Juli 2015.

I.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui jumlah presentase obat antihipertensi berdasarkan :

1. Distribusi Obat antihipertensi terbanyak

2. Jenis kelamin

3

3. Usia

4. Golongan obat dan nama obat antihipertensi yang paling banyak diresepkan

5. Terapi obat antihipertensi

6. Kombinasi obat antihipertensi yang paling banyak diresepkan

I.4 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 3 Juli sampai dengan 12 Juli 2015 di salah

satu apotek swasta kota Bandung.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pelayanan Kefarmasian

Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi

apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI,

2004). Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung

dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud

mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu meliputi

pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,

penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi

obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan

kefarmasian berupa:

a. Apotek

b. Instalasi farmasi rumah sakit

c. Puskesmas

d. Klinik

e. Toko obat

f. Praktek bersama

II.1.1 Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktik

kefarmasian oleh apoteker (Permenkes RI No 35, 2014).

Apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan

farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Keputusan Menteri

Kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/X/2002 tentang perubahan atas Peraturan Menteri

Kesehatan RI No.922/Menkes/Per/1993 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek

yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan

kefarmasian, penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat.

5

II.1.2 Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Pelayanan Kefarmasian di apotek sesuai dengan Permenkes RI No.35 Tahun 2014

tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, terdiri dari pelayanan farmasi klinik dan

non-klinik. Pelayanan farmasi klinik meliputi :

1. Pengkajian Resep

2. Dispensing

3. Pelayanan Informasi Obat

4. Konseling

5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah

6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Pelayanan farmasi non-klinik meliputi :

1. Perencanaan

2. Pengadaan

3. Penerimaan

4. Penyimpanan

5. Pemusnahan

6. Pengendalian

7. Pencatatan dan Pelaporan

II.1.3 Penggunaan Obat yang Rasional

Penggunaan obat rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan

kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang

sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan

empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai, POR

merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif.

Kriteria terapi obat yang rasional menurut WHO adalah sesuai indikasi, tepat dosis,

tepat cara dan interval waktu pemberian, tepat lama pemberian, obat efektif, mutu terjamin

dan aman serta tersedia dan harganya terjangkau.

Penggunaan obat yang rasional (POR) adalah jika pasien menerima obat yang sesuai

dengan kebutuhannya, untuk periode yang adekuat dengan harga yang terjangkau untuk

pasien dan masyarakat (WHO, 1985).

6

Tabel II.1

Pengunaan Obat yang Rasional

No Implementasi

1 Tepat diagnosis

2 Tepat indikasi

3 Tepat pemilihan obat

4 Tepat dosis

5 Tepat cara pemberian

6 Tepat pasien

7 Tepat informasi

8 Waspada terhadap efek samping

9 Cost effectiveness

II.2 Deskripsi Hipertensi

II.2.1 Definisi Hipertensi

Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis ketika seseorang

mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yang lama).

Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah

sistolik/diastoliknya melebihi 140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg) (Sudarmoko, 2015).

Menurut WHO, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari

140/90 mmHg, sedangkan bila lebih dari 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi, dan

diantara nilai tersebut dikatakan sebagai normal-tinggi (batasan tersebut diperuntukan bagi

individu dewasa diatas 18 tahun). The Seventh Joint National Committee (JNC7)

mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa seperti tertera pada tabel berikut :

Tabel II.2

Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa (JNC 7)

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 Dan <80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-89

Tahap 1 Hipertensi 140-159 Atau 90-99

Tahap 2 Hipertensi ≥160 Atau ≥100

7

Penderita dengan Tekanan Darah Diastolik (TDD) kurang dari 90 mmHg dan Tekanan

Darah Sistolik (TDS) lebih besar sama dengan 140 mmHg mengalami hipertensi sistolik

terisolasi (Sukandar dkk, 2013).

II.2.2 Patofisiologi

Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh penyebab yang

spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya

(hipertensi primer/essensial). Hipertensi sekunder bernilai kurang dari 10 % kasus hipertensi,

pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal kronik atau renovaskular.

Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder antara lain pheochromocytoma,

sindrom cushing, hipertiroid, hiperparatiroid, aldosterone primer, kehamilan, obstruktif sleep,

apnea, dan kerusakan aorta. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah adalah

kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi Non Steroid), amphetamine, sibutramin,

siklosporin, tacrolimus, erythropoietin, dan venlafaxine (Sukandar dkk, 2013)

II.2.3 Manifestasi Klinik

Penderita hipertensi primer sederhana yang umumnya tidak disertai gejala. Penderita

feokromositoma dapat mengalami sakit kepala paroksimal,berkeringat,takikardia,palpitasi,

dan hipotensi ortostatik. Pada aldosteronemia primer yang mungkin terjadi adalah

hypokalemia, keram otot dan kelelahan. Penderita hipertesi sekunder pada sindrom cushing

dapat terjadi peningkatan berat badan, polyuria, edema, irregular, menstruasi, jerawat, atau

kelelahan otot (Sukandar dkk, 2013).

II.2.4 Etiologi

Hipertensi dibagi menjadi dua macam :

1. Hipertensi Essensial

Hipertensi essensial atau hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan

dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab

multifaktorial meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi

kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah

terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor

lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress, emosi, obesitas, dan lain-lain

(Syarief, 2012).

8

2. Hipertensi Sekunder

Meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi

akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, oba-

obatan dan lain-lain (Syarief, 2012).

II.2.5 Gejala Hipertensi

Penyakit hipertensi datangnya secara diam-diam dan tidak menunjukan adanya gejala-

gejala tertentu yang bisa dilihat dari luar sehingga disebut sebagai the silent disease. Ketika

tekanan darah naik dengan sangat cepat sehingga tekanan sistolnya lebih besar dari 140

mmHg, biasanya baru muncul tanda-tanda tertentu yang bisa dilihat dari luar. Diantaranya

adalah sakit kepala atau pusing, muka merah, serasa mau pingsan, tinnitus (terdengar suara

mendenging dalam telinga), keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal,

dan penglihatan menjadi kabur. Maka apabila tanda-tanda tersebut mulai terlihat, penderita

harus segera dibawa ke dokter untuk mendapatkan perawatan medis. Jika dibiarkan maka

akan berakibat fatal (Sudarmoko, 2015).

II.2.6 Faktor Penyebab Hipertensi

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan hipertensi yang berperan dalam

menimbulkan komplikasi kardiovaskular, berbagai faktor resiko ini dapat dibagi atas

(Sudarmoko, 2015) :

1. Faktor yang tidak dapat diubah yaitu riwayat keluarga, jenis kelamin, usia, pekerjaan

pendidikan sosio ekonomi, lingkungan.

2. Faktor yang bisa diubah yaitu lipid darah (terutama kolesterol) yang tinggi, kebiasaan

merokok, diabetes mellitus, obesitas, inaktivitas fisik, asam urat darah yang tinggi dan

penggunaan estrogen sintetik.

Dengan melihat faktor-faktor pemicu dari hipertensi di atas, maka orang yang

mempunyai risiko menderita hipertensi adalah :

1. Pria dengan usia di atas 35 tahun dan wanita di atas usia 45 tahun atau setelah masa

menopause.

2. Orang yang riwayat keluarganya ada yang menderita hipertensi.

3. Orang dengan kebiasaan merokok dan pecandu minuman keras.

4. Penderita obesitas atau kegemukan.

5. Penderita diabetes mellitus.

6. Orang dewasa yang jarang berolahraga.

9

II.2.7 Komplikasi Hipertensi

Hipertensi lama dan atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan

organ (target organ damage) pada jantung, otak, ginjal, mata dan pembuluh darah perifer

(Syarief, 2012).

1. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri sampai gagal jantung.

2. Pada otak dapat terjadi stroke karena pecahnya pembuluh darah serebral.

3. Pada ginjal dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal.

4. Pada mata dapat terjadi retinopati hipertensif berupa bercak-bercak pendarahan pada

retina dan edema papil nervus optikus.

Selain itu hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya arteriosclerosis dengan akibat

penyakit jantung koroner (angina pectoris sampai infark miokard ) dan stroke iskemik.

II.2.8 Tujuan Terapi

Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas

kardiovaskuler. Target tekanan darah bila tanpa kelainan penyerta adalah <140/90 mmHg,

sedangkan pada pasien dengan diabetes mellitus atau kelainan ginjal, tekanan darah harus

diturunkan dibawah 130/80 mmHg (Syarief, 2012).

Untuk hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko dan tanpa target organ damage (TOD)

perubahan pola hidup dapat dicoba sampai 12 bulan. Sedangkan bila disertai kelainan

penyerta (compelling indication), seperti gagal jantung, pasca infark miokard, penyakit

jantung koroner, diabetes mellitus dan riwayat stroke, maka terapi farmakologi harus dimulai

lebih dini mulai dari hipertensi tingkat 1. Untuk pasien dengan kelainan ginjal atau diabetes,

pengobatan dimulai pada tahap prehipertensi dengan target TD <130/80 mmHg (Syarief,

2012).

II.3 Terapi Hipertensi

Pencegahan hipertensi dapat dilakukan dengan terapi non-farmakologi dan dengan

terapi farmakologi (Novyanti, 2015). Terapi non farmakologi yaitu dengan mengubah life

style atau modifikasi gaya hidup agar tidak menimbulkan penyakit penyerta lain yang lebih

berbahaya. Sedangkan terapi farmakologi dengan menggunakan obat-obat antihipertensi.

10

Tabel II.3

Penanganan Tekanan Darah Tinggi

Penanganan Tekanan Darah Tinggi

Non Obat (Non Farmakologi) Terapi Obat (Farmakologis)

Diet Sehat :

1. Diet rendah garam (Mengurangi

asupan natrium hingga lebih kecil

sama dengan 2,4 g/hari (6g/hari

NaCl).

2. Diet Kegemukan (Melakukan diet

makanan yang diambil dari DASH

(Dietary Approaches to Stop

Hypertension).

3. Diet rendah kolesterol dan lemak

terbatas

4. Diet Tinggi Serat

Mengonsumsi obat antihipertensi

Gaya Hidup yang baik :

1. Olahraga secara teratur

2. Menghindari rokok dan alkohol

3. Hidup santai dan tidak emosional

Penderita yang didiagnosis hipertensi tahap 1 atau 2 sebaiknya ditempatkan pada terapi

modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan.

II.3.1 Terapi Farmakologi

Dikenal 5 kelompok lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk

pengobatan hipertensi, yaitu : diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (ß-blocker),

penghambat angiotensin converting enzyme (ACE-Inhibitor), penghambat reseptor

angiotensin (Angiotensin-receptor blocker), antagonis kalsium. Selain itu dikenal juga tiga

kelompok obat yang dianggap lini kedua yaitu : penghambat saraf adrenergik, agonis α-2

sentral, dan vasodilator (Syarief, 2012).

1. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan eksresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan

volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan

tekanan darah. Penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik

11

belum terkalahkan dengan obat lain sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian besar

kasus hipertensi ringan dan sedang.

Macam-macam diuretik :

a. Golongan tiazid

Yang paling sering digunakan ialah HCT dikarenakan tiazid ditoleransi dengan baik,

harganya murah, dapat diberikan satu kali sehari sehingga dapat menimbulkan

kepatuhan pasien saat meminum obat, dan efek antihipertensinya bertahan pada

pemakaian jangka panjang (Syarief, 2012).

Tiazid efektif untuk hipertensi dengan kadar renin rendah misalnya pada orang tua.

Efek samping : dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat

berbahaya bagi pasien digitalis, namun efek ini dapat dihindari bila tiazid diberikan

dalam dosis rendah atau dikombinasikan dengan diuretik hemat kalium atau ACE-

Inhibitor.

Informasi Obat : Pada penderita diabetes melitus, thiazide dapat menimbulkan

hiperglikemia karena mengurangi resistensi insulin, sedangkan pada pasien pria

gangguan fungsi seksual cukup mengganggu dengan penurunan libido atau impoten.

b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)

Mula kerjanya lebih kuat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid,

contoh diuretik kuat (furosemide, torasemide,bumetanide). Waktu paruhnya pendek

sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari, penggunaannya jarang untuk

hipertensi kecuali pada pasien gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung (Syarief,

2012).

Efek samping : menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah.

c. Diuretik Hemat Kalium

Merupakan antihipertensi yang lemah jika digunakan tunggal. Efek hipotensi akan

terjadi apabila diuretik dikombinasikan dengan diuretik tiazid atau diuretik kuat.

Diuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan kalium dan natrium yang

disebabkan oleh diuretik lainnya, contoh obat spironolactone (Sukandar dkk, 2013).

Efek samping : dapat menyebabkan hyperkalemia terutama pada penyakit ginjal

kronik atau diabetes dan penderita yang diberikan inhibitor ACE,ARB,AINS atau

suplemen kalium secara bersamaan.

2. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)

Mekanisme ACE Inhibitor menghambat perubahan AI menjadi AII sehingga terjadi

vasodillatasi dan penurunan sekresi aldosterone. Vasodilatasi secara langsung akan

menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosterone akan menyebabkan

12

eksresi air dan natrium juga retensi kalium. ACE-Inhibitor diduga berperan menghambat

pembentukan angiotensin II secara lokal di endotel pembuluh darah. Pemberian diuretik

dan pembatasan asupan garam akan memperkuat efek antihipertensinya.

ACE-Inhibitor terpilih untuk hipertensi dengan gagal jantung kongestif. Obat ini juga

menunjukan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin sehingga

sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dyslipidemia dan obesitas. Efek samping yang

mungkin ditimbulkan hipotensi, batuk kering merupakan efek yang paling sering terjadi

(malam hari) diduga efek samping ini ada hubungannya dengan peningkatan kadar

bradikinin, hiperkalemia, kerusakan ginjal. Contoh obat yang bekerja langsung misalnya

kaptopril dan lisinopril sedangkan prodrug contohnya enalapril, kuinapril, perindopril,

ramipril, silazapril, benazepril, fosinopril.

Perhatian dan Kontraindikasi :

ACE-Inhibitor dikontraindikasikan pada wanita hamil dikarenakan bersifat teratogenik.

Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi karena ACE-Inhibitor dieksresi melalui

ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal bayi. Pemberian bersama diuretik hemat

kalium akan menimbulkan hiperkalemia.

3. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Reseptor Blocker, ARB)

Golongan ini sering disebut penyekat reseptor angiotensin, menghambat kerja hormon

yang bertanggung jawab atas penyempitan arteri dan membuat ginjal menahan lebih

banyak natrium dan air. Aksi kerja ini sama dengan ACE-Inhibitor. ARB menimbulkan

efek yang mirip dengan pemberian ACE-Inhibitor. Tapi karena tidak mempengaruhi

metabolisme bradikinin, maka obat ini dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk

kering dan angioedema seperti yang sering terjadi dengan ACE-Inhibitor. ARB sangat

efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi

seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tetapi kurang efektif pada hipertensi

dengan aktivitas renin yang rendah. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa

mempengaruhi frekuensi denyut jantung, penghentian mendadak tidak menimbulkan

hipertensi rebound, pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa

darah (Syarief, 2012).

Efek samping : hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin tinggi seperti

hipovolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskular dan sirosis hepatitis. Hiperkalemia

bisa terjadi dalam keadaan tertentu terutama bila dikombinasikan dengan obat-obat yang

cenderung meretensi kalium seperti diuretik hemat kalium dan AINS juga bila asupan

kalium berlebihan.

Kontraindikasi :

13

Seperti ACE-Inhibitor, ARB dikontraindikasikan pada kehamilan trimester 2 dan trimester

3 dan harus segera dihentikan bila pemakaiannya ternyata hamil, juga tidak dianjurkan

untuk ibu menyusui karena eksresinya kedalam air susu ibu belum diketahui.

Contoh Obat : kandesartan, eprosartan, irbesartan, losartan, telmisartan, valsartan.

4. Antagonis Kalsium (Calcium Chanel blocker)

CCB mengganggu jalan masuk kalsium menuju sel otot jantung dan arteri,

memungkinkan aliran darah yang lebih lancar untuk menurunkan tekanan darah.

Golongan obat ini diresepkan untuk mengatasi gangguan irama jantung disertai nyeri dada

yang disebut sebagai angina pectoris. Penggolongan Antagonis-Ca secara kimiawi dapat

dibagi dalam 2 kelompok yaitu :

a. Derivat dihidropiridin : Efek vasodilatasinya amat kuat, maka terutama digunakan

sebagai obat hipertensi.

b. Derivat non dihidropiridin : Verapamil, diltiazem, dan bepridil (cordium)

CCB mempunyai indikasi khusus yang beresiko tinggi penyakit koroner dan diabetes,

tetapi sebagai obat tambahan atau pengganti. Data menunjukan dihidropiridin tidak

memberikan perlindungan terhadap kejadian jantung dibandingkan dengan terapi

konvensional (diuretik dan penyekat beta) atau ACEI pada pasien tanpa komplikasi.

Dihidropiridin sangat efektif pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi.

Dihidropiridin long-acting dapat digunakan sebagai terapi tambahan bila diuretik tiazid

tidak dapat mengontrol tekanan darah, terutama pada pasien lansia dengan tekanan darah

sistolik meningkat.

Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem) dapat menurunkan denyut jantung.

Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung jawab

terhadap kecendrungannya untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung pada

pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil.

Diltiazem dan verapamil dapat menyebabkan anorexia, dan hipotensi. Verapamil

menyebabkan konstipasi pada 7% pasien. Efek samping ini terjadi juga dengan diltiazem

harus diberikan secara hati-hati dengan penyekat beta untuk mengobati hipertensi karena

meningkatkan resiko heart block dengan kombinasi ini. Bila CCB perlu dikombinasi

dengan penyekat beta, dihidropiridine harus dipilih karena tidak akan meningkatkan

resiko heart block (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

Antagonis kalsium tidak mempunyai efek samping metabolik, baik terhadap lipid, gula

darah, maupun asam urat.

Efek samping : sakit kepala, muka merah terjadi karena vasodilatasi arteri, edema perifer

terutama terjadi oleh dihidropiridin, bradiaritmia dan gangguan konduksi oleh verapamil

14

(verapamil dan diltiazem tidak boleh diberikan pada pasien dengan bradikardia),

konstipasi dan retensi urin akibat relaksasi otot polos saluran cerna dan kandung kemih

terutama terjadi dengan verapamil, kadang juga terjadi refluks esophagus, hyperplasia

gusi dapat terjadi pada semua antagonis kalsium.

Contoh Obat : Amlodipin, bepridil, diltiazem, felodipin, nifedipin, nimodipin, nisoldipin,

verapamil.

5. ß-Blocker

Obat golongan penyekat beta, bertugas untuk melambatkan detak jantung dan pompa

darah, sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Berbagai mekanisme penurunan

tekanan darah akibat pemberian ß-blocker, dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor ß1,

antara lain (Syarief, 2012) :

a. Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan

curah jantung.

b. Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomerular ginjal dengan akibat penurunan

produksi angiotensin II.

Penurunan TD oleh ß-blocker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini mulai

terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh

penurunan TD lebih lanjut selama 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat golongan ini tidak

menimbulkan retensi air dan garam.

Penggunaan golongan ini digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan

sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (khususnya sesudah

infark miokard akut), ß-blocker lebih efektif pada pasien usia muda dibanding dengan usia

lanjut.

Penggunaan : Semua ß-blocker diintroduksi sebagai obat angina pectoris dan anti aritmia.

Indikasi pada penyakit kardiovaskular dan penggunaan lain :

Dari berbagai ß-blocker, atenolol merupakan obat yang sering dipilih dikarenakan obat ini

bersifat kardioselektif dan penetrasinya ke SSP minimal, sehingga kurang menimbulkan

efek samping sentral dan cukup diberikan sehari sehingga diharapkan akan meningkatkan

kepatuhan pasien. Labetolol dan karvedilol memiliki efek vasodilatasi karena selain

menghambat resptor ß, obat ini juga menghambat reseptor α. Secara teoritis sifat ini akan

memperkuat efek antihipertensi.

Efek samping : efek sentral berupa depresi, mimpi buruk, halusinasi dapat terjadi pada

propranolol dan oksprenolol, gangguan fungsi seksual sering terjadi terutama yang

nonselektif.

15

Semua ß-blocker dikontraindikasikan pada asma bronkial. Bila harus diberikan untuk

pasien diabetes maka penghambat selektif ß1 lebih baik dengan ß-blocker non selektif,

karena efek hipoglikemia relatif ringan serta tidak menghambat reseptor ß2 yang

memperantarai di otot rangka.

6. α-blocker

Kelompok obat ini secara selektif menghambat senyawa darah khusus yang menyebabkan

arteri mengalami penyempitan. Penghambatan tersebut memungkinkan peningkatan aliran

darah dan penurunan tekanan darah dengan merelaksasi arteri. Alfa bocker memiliki

beberapa keunggulan antara lain efek positif terhadap lipid darah (menurunkan LDL dan

trigliserida, juga meningkatkan HDL) mengurangi resistensi insulin sehingga cocok untuk

pasien hipertensi dengan dyslipidemia dan atau diabetes mellitus. Efek Samping yang

mungkin ditimbulkan ialah hipotensi ortostatik pada pemberian dosis awal atau pada

peningkatan dosis terutama obat yang kerjanya singkat seperti prazosin. Pasien dengan

deplesi cairan (dehidrasi dan puasa) dan usia lanjut lebih mudah mengalami fenomena

dosis pertama ini. Sebaiknya pengobatan dimulai dengan dosis kecil dan diberikan

sebelum tidur. Efek samping lain sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung tersumbat,

mual dan lain-lain. Contoh Obat : prazosin, terazosin, bunazosin, doksazosin (Syarief,

2012).

7. Antihipertensi Tambahan

a. Zat-zat dengan kerja pusat

Agonis α2-adrenergik menstimulasi reseptor α2 adrenergik yang banyak sekali

terdapat di susunan saraf (otak dan medulla). Akibat perangsangan ini melalui suatu

mekanisme feedback negatif, antara lain aktivitas saraf adrenergik perifer dikurangi.

Pelepasan Na menurun dengan efek menurunnya daya tahan pembuluh perifer dan

tekanan darah. Efek ini sebetulnya adalah paradoksal, karena banyak pembuluh

memiliki reseptor α2 tersebut yang justru menimbulkan vasokontriksi. Mekanisme

efek hipotensifnya yang belum tepat belum dipahami secara menyeluruh, hanya

diketahui bahwa aktifitas SSP ditekan oleh aktivasi reseptor tersebut (Sukandar,

2013).

Penggunaanya khusus pada semua bentuk hipertensi, biasanya dikombinasi dengan

diuretikum. Berhubungan banyak efek sampingnya, maka zat ini bukan merupakan

pilihan pertama, melainkan hanya sebagai obat cadangan bila obat-obat hipertensi

lainnya kurang efektif. Klonidin juga digunakan pada migraine dan pada climacterium

untuk melawan gejalanya. Efek sampingnya yang sering terjadi berupa efek sentral,

antara lain sedasi, mulut kering, sukar tidur, hidung mampet, pusing, penglihatan

16

buram, bradycardia, impotensi, depresi dan gelisah. Pada umumnya efek ini sering dan

hebat pada klonidin dan jarang pada moxonidin, metildopa dan guanfasin. Hipertensi

rebound pada penghentian mendadak dapat terjadi, terutama pada klonidin dan

reserpin serta lebih jarang pada obat-obat lainnya. Metildopa dapat digunakan oleh

wanita hamil dengan hipertensi, sedangkan obat-obat lainnya belum memiliki cukup

data (Syarief, 2012).

b. Vasodilator langsung

Vasodilator adalah zat-zat yang berkhasiat vasodilasi langsung terhadap arteriole dan

dengan demikian menurunkan tensi darah tinggi. Penggunaannya khusus sebagai obat-

obat pilihan ketiga, terutama dengan ß-blocker dan diuretikum. Bila kombinasi kedua

obat terakhir ini kurang memberikan hasil. Kombinasi tersebut menguntungkan karena

efek samping vasodilator berupa tachycardia dan retensi garam juga air ditiadakan

oleh masing-masing ß-blocker dan diuretika. Kini “triple theraphy” tersebut sudah

banyak diganti dengan obat-obat hipertensi baru (Antagonis Ca, penghambat ACE,

AT II blockers). Senyawa yang termasuk kelompok vasodilator yaitu : hidralazin,

minoksidil, natrium nitropusid , diazoksida (Syarief, 2012).

II.3.2 Kombinasi Antara Berbagai Obat Antihipertensi

Hasil Kombinasi antara obat antihipertensi lainnya dapat dilihat pada tabel ini :

Tabel II.4

Tabel Kombinasi Antara Berbagai Antihipertensi

Diuretika ß-blocker Penghambat

ACE

Antagonis

Kalsium

α-blocker

Diuretika *** + + - +

ß-blocker + *** + + +

Penghambat

ACE

+ + *** + +

Antagonis

Kalsium

- + + *** +

α-blocker + + + + ***

Sumber Tabel : (Farmakologi dan Terapi, 2010)

Keterangan : + Hasil baik (sinergis)

*** Hati-hati pada gangguan fungsi jantung atau gangguan

konduksi, terutama dengan verapamil atau diltiazem

17

- Tidak dianjurkan , karena penambahan efek hanya sedikit atau

tidak ada

Rasional kombinasi obat antihipertensi (Direktorat Bina farmasi Klinik, 2006)

Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan :

1. Mempunyai efek aditif

2. Mempunyai efek sinergisme

3. Mempunyai sifat saling mengisi

4. Penurunan efek samping masing-masing obat

5. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu

6. Adanya “fixed-dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien

Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut :

1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACE-Inhibitor) dengan diuretik

2. Penyekat reseptor angiotensin II dengan diuretik

3. Penyekat beta dengan diuretik

4. Diuretik dengan agen penahan kalium

5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis kalsium

6. Agonis α-2 dengan diuretik

7. Penyekat α-1 dengan diuretik

II.3.3 Pemilihan Obat Antihipertensi

Gambar II.3

Algoritma Penanganan Hipertensi Secara Farmakologi

Sumber : ISO Farmakoterapi Buku I, Cetakan ketiga 2013

Obat Pilihan

Pertama

Tanpa Penyakit Penyerta

Dengan Penyakit Penyerta

Hipertensi tahap I

(TDS 140-159 atau

TDD 90-99 mmHg)

Hipertensi tahap II

(TDS ≥160 atau TDD

≥100 mmHg)

Obat yang spesifik

untuk penyakit

penyerta

Obat antihipertensi

(diuretik, Inhibitor

ACE, ARB, ß-blocker)

Diuretik tiazida umumnya.

Dapat dipertimbangkan ACE

Inhibitor,ARB,ß-blocker,

CCB/Kombinasi

Kombinasi 2 obat pada

umumnya. Biasanya

Diuretik tiazida dengan

ACE Inhibitor atau

ARB atau ß-blocker

18

Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah dan keberadaan

penyakit penyerta. Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan

diuretik thiazide, penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikan terapi kombinasi yang

salah satunya diuretik thiazide kecuali terdapat kontraindikasi. Terdapat enam penyakit

penyerta yang spesifik dengan obat antihipertensi serta memberikan keuntungan yang unik.

Tabel II.5

Penyakit Penyerta dalam Hipertensi

No. Nama Penyakit Obat Antihipertensi

1. Gagal jantung 1. Diuretik dan ACE Inhibitor (tahap

pertama)

2. ß-Blocker (tahap kedua)

3. ARB (Antagonis Angiotensin II

Receptor Blocker), diuretik hemat

kalium (terapi alternatif tahap ketiga)

2. Paska Infark Miokardial 1. ß-Blocker dan ACE Inhibitor (tahap

pertama)

2. Diuretik Hemat kalium (tahap kedua)

3. Resiko Tinggi Penyakit Koroner 1. ß-Bloker (tahap pertama)

2. ACE Inhibitor, ARB, dan diuretik

(tahap kedua)

4. Diabetes Mellitus 1. ACE Inhibitor atau ARB (tahap

pertama)

2. Diuretik (tahap kedua)

3. ß-Bloker, CCB (Calcium Chanel

Bloker). (Tahap ketiga)

5. Gagal Ginjal Kronik ACE Inhibitor atau ARB

6. Pencegahan Stroke berulang Diuretik dan ACE Inhibitor

Diuretik, ß-bloker, ACE Inhibitor, Angiotensin II Receptor Blocker, dan Calcium

Chanel Blocker (CCB) merupakan agen primer berdasarkan pada data kerusakan organ target

atau morbiditas dan kematian kardiovaskular. α-blocker, α2-antagonis sentral, inhibitor

adrenergik, dan vasodilator merupakan alternatif yang dapat digunakan penderita setelah

mendapatkan obat pilihan pertama (Sukandar dkk, 2013).

19

Tabel II.6

Anti Hipertensi Lini Pertama

No. Jenis Obat

Dosis Hipertensi (mg/hari)awal

Sediaan

Awal Maksimal Frekuensi

pemberian

1. Diuretik

a. Diuretik Tiazid

Hidroklortiazid

Klortalidon

Indapamid

Bendroflumetiazid

Metolazon

Metolazon rapid acting

Xipamid

b. Diuretik Kuat

Furosemid

Torsemid

Bumetanid

Asam etakrinat

c. Diuretik Hemat Kalium

Amilorid

Spironolakton

Triamteren

12,5

12,5

1,25

2,5

2,5

0,5

10

20

2,5

0,5

25

5

25

25

25

25

2,5

5

5

1

20

80

10

4

100

10

100

300

1x

1x

1x

1x

1x

1x

1x

2-3x

1-2x

2-3x

2-3x

1-2x

1x

1x

Tab 25 dan 50 mg

Tab 50 mg

Tab 2,5 mg

Tab 5 mg

Tab 2,5;5 dan 10 mg

Tab 2,5 mg

Tab 2,5 mg

Tab 40 mg,amp 20 mg

Tab 5,10,20,100mg

Ampul 10 mg/ml

(2 dan 5 ml)

Tab 0,5;1 dan 2 mg

Tab 25 dan 50 mg

Tab 5 mg

Tab 25 dan 100 mg

Tab 50 dan 100 mg

2. Beta-Bloker

a. Kardioselektif

Asebutolol

Atenolol

Bisoprolol

Metoprolol

- Biasa

- Lepas lambat

b. Nonselektif

Alprenolol

Karteolol

Nadolol

Oksprenolol

- Biasa

- Lepas lambat

Pindolol

Propranolol

Timolol

Karvedilol

Labetalol

200

25

2,5

50

100

100

2,5

20

80

80

5

40

20

12,5

100

800

100

10

200

200

200

10

160

320

320

40

160

40

50

300

1-2x

1x

1x

1-2x

1x

2x

2-3x

1x

2x

1x

2x

2-3x

2x

1x

2x

Cap 200 mg, tab 400 mg

Tab 50 mg,100 mg

Tab 5 mg

Tab 50mg, 100 mg

Tab 100 mg

Tab 50 mg

Tab 5 mg

Tab 40 mg,80 mg

Tab 40 mg, 80 mg

Tab 80 mg, 160 mg

Tab 5 mg, 10 mg

Tab 10 mg, 40 mg

Tab 10 mg, 20 mg

Tab 25 mg

Tab 100 mg

3. Alfa-Bloker

Prazosin

Tetrazosin

Bunazosin

Doksazosin

0,5

1-2

1,5

1-2

4

4

3

4

1-2x

1x

3x

1x

Tab 1 dan 2 mg

Tab 1 dan 2 mg

Tab 0,5 dan 1 mg

Tab 1 dan 2 mg

4. ACE-Inhibitor

Kaptopril

Benazepril

Enalapril

Fosinopril

Lisinopril

Perindopril

Quinapril

Ramipril

25

10

2,5

10

10

4

10

2,5

100

40

40

40

40

8

40

20

2-3x

1-2x

1-2x

1x

1x

1-2x

1x

1x

Tab 12,5 dan 25 mg

Tab 5 dan 10 mg

Tab 5 dan 10 mg

Tab 10 mg

Tab 5dan 10 mg

Tab 4 mg

Tab 5,10, dan 20 mg

Tab 10 mg

20

Trandolapril

Imidapril

1

2,5

4

10

1x

1x

Tab 5 dan 10 mg

5. ARB

Losartan

Valsartan

Irbesartan

Telmisartan

Candesartan

25

80

150

20

8

100

320

300

80

32

1-2x

1x

1x

1x

1x

Tab 50 mg

Tab 40 dan 80 mg

Tab 75 dan 150 mg

Tab 20,40 dan 80 mg

Tab 4,8 dan 16 mg

6. Antagonis Kalsium

Nifedipin

Nifedipin (long acting)

Amlodipin

Felodipin

Isradipin

Nisoldipin

Verapamil

Diltiazem

Diltiazem SR

Verapamil SR

30

2,5

2,5

2,5

10

80

90

120

240

60

10

20

10

40

320

180

540

480

3-4x

1x

1x

1x

2x

1x

2-3x

3x

1x

1-2x

Tab 10 mg

Tab 30,60 dan 90 mg

Tab 5 dan 10 mg

Tab 2,5;5 dan 10 mg

Tab 2,5 dan 5 mg

Tab 10,20,30, 40 mg

Tab 40,80,120 mg

Tab 30,60 mg, amp 50 mg

Tab 90 dan 180 mg

Tab 240 mg

Tabel II.7

Antihipertensi Lini Kedua

No. Nama Obat Dosis Hipertensi (mg/hari) awal

Sediaan Awal Maksimal Frekuensi

1. Adrenolitik sentral (α2 agonis)

Metildopa

Klonidin

Guanfesin

250

0,075

0,5

1000

0,6

2

2x

2x

1x

Tab 125,250 mg

Tab 0,075;0,15 mg

Tablet 1 mg

2. Penghambat saraf adrenergic

Reserpine

Rauwolfia

Guanetidin

Guanadrel

0,05

25

10

10

0,25

100

50

50

1x

1x

1x

2x

Tab 0,1;0,25 mg

Tab 50;100 mg

Tab 10;25 mg

Tab 10;25 mg

3. Vasodilator langsung

Hidralazin

Minoksidil

25

2,5

100

40

2-4x

1-2x

Tab 25,50 mg

Tab 2,5 mg;10 mg

Tabel II.8

Sebab Sebab Kegalan Terapi Antihipertensi

No. Sebab-Sebab

1. Ketidakpatuhan penderita : biaya pengobatan, instruksi tidak jelas,

efek samping obat, dan frekuensi pemberian yang tidak praktis

2. Obatnya sendiri : dosis terlalu rendah, kombinasi yang tidak

cocok, terjadi toleransi, interaksi dengan obat lain

3. Adanya kondisi lain : obesitas, diet tinggi natrium atau alkohol,

retensi cairan, kerusakan ginjal yang progresif, kurangnya

pemberian diuretik, hipertensi akselerasi/maligna

4. Hipertensi sekunder (renal,endokrin, obat-obat penyebab

hipertensi)

5. Pseudohipertensi

Sumber Tabel : Farmakologi dan Terapi edisi 4, 2010

21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian ini digunakan untuk menganalisis pengobatan hipertensi dengan resep

dokter, yang diambil secara retrospektif (pengambilan data yang sudah ada). Penelitian ini

dilakukan dalam beberapa tahap yaitu penetapan kriteria penderita, penetapan kriteria obat,

pengumpulan data, pengolahan data, analisis dan pembahasan, serta pengambilan kesimpulan

dan saran.

22

BAB IV

DESAIN PENELITIAN

IV.1 PENETAPAN KRITERIA PASIEN

a. Kriteria Inklusi

Kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian yang

memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmojo,2002)

Kriteria inklusi dalam penelitian adalah pasien berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan yang mendapatkan resep obat antihipertensi.

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakli dalam sampel penelitian

yang tidak memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmojo,2002)

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah pasien berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan yang tidak mendapatkan resep obat antihipertensi.

IV.2 PENETAPAN KRITERIA OBAT

Kriteria obat dalam penelitian ini adalah semua obat hipertensi yang terdapat di dalam

resep yang ada di salah satu apotek swasta di kota Bandung.

IV.3 SUMBER DATA

Sumber data diambil dari resep di apotek bulan februari sampai juli 2015, serta buku

rekap resep meliputi tanggal, nomor resep, nama pasien, nama obat serta jumlahnya,

nama dokter, serta dosis pemakaian obat tersebut.

IV.4 ANALISA DATA

Analisis data penelitian terdiri atas :

1. Analisa Kuantitatif

Analisa kuantitatif yaitu analisa data untuk mengetahui pola penggunaan obat

berdasarkan jenis kelamin, usia, nama obat dan jumlah obat. Semua data

kuantitatif yang terkumpul dijumlahkan dan dihitung presentasenya.

2. Analisa Kualitatif

Analisa kualitatif dalam penelitian ini melakukan analisis mengenai kombinasi

antar golongan obat antihipertensi.

23

IV.5 PENGAMBILAN KESIMPULAN

Dari hasil analisis kualitatif dan analisa kuantitatif dapat diambil kesimpulan

mengenai pola penggunaan obat antihipertensi di salah satu apotek swasta kota

Bandung.

24

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan terhadap lembar resep yang diterima di apotek pada bulan Februari-

Juli 2015 di salah satu apotek swasta di kota Bandung. Adapun sebanyak jumlah resep yang

mengandung obat antihipertensi dapat dilihat pada tabel berikut :

V.1 Distribusi Resep Antihipertensi selama 6 bulan

Berdasarkan tabel V.1 mengenai distribusi resep antihipertensi selama 6 bulan di

apotek swasta kota Bandung, resep hipertensi paling banyak ditemukan pada bulan februari

sebanyak 14 resep (21,53%) dari total 1823 lembar resep pada bulan februari sampai bulan

juli 2015.

Tabel V.1

Distribusi Resep Antihipertensi selama 6 bulan

Bulan Jumlah Lembar Resep Sampel Resep

AntiHipertensi

Presentase

(%)

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

315

296

317

318

272

305

14

8

12

13

8

10

21,53

12,31

18,46

20

12,31

15,39

Total 1823 65 100%

Ket : Perhitungan presentase = Jumlah Resep antihipertensi perbulan x 100 %

Total resep antihipertensi 6 bulan

V.2 Penggunaan obat berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan tabel V.2 mengenai penggunaan obat berdasarkan jenis kelamin di salah

satu apotek swasta di kota Bandung , bahwa penderita hipertensi dengan jenis kelamin

perempuan sebanyak 39 resep (60%), laki-laki sebanyak 26 resep (40%).

Tabel V.2

Penggunaan Obat berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Lembar Resep Presentase (%)

Perempuan

Laki-Laki

39

26

60

40

Total 65 100 %

25

Gambar V.2

Penggunaan obat berdasarkan jenis kelamin

Prevalensi hipertensi pada pria sama dengan wanita, namun wanita terlindung dari

penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause

dilindungi oleh hormon esterogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density

Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam

mencegah terjadinya aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan

adanya imunitas wanita pada usia premenopuse. Pada premenopuse wanita mulai kehilangan

sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari

kerusakan. Proses ini berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai

dengan umur wanita secara alami, yang umumnya terjadi pada umur wanita 45-55 tahun

(Anggraeni dkk, 2009).

V.3 Penggunaan obat berdasarkan usia

Berdasarkan tabel V.3 mengenai penggunaan obat berdasarkan usia di salah satu

apotek swasta kota Bandung didapatkan hasil dengan rentang umur 20-30 tahun sebanyak 2

resep (3,1%), 41- 50 tahun sebanyak 5 resep (7,6%), 51-60 tahun sebanyak 5 resep (7,6%),

61-70 tahun sebanyak 6 resep (9,2%), >70 tahun sebanyak 6 resep (9,2%), serta tanpa

keterangan atau tidak tercantum umur pasien sebanyak 41 resep (63,7%).

Prevalensi orang lanjut usia lebih rentan terkena hipertensi dikarenakan orang lanjut

usia kerap mengalami kerusakan struktural dan fungsional pada aorta, yaitu arteri yang

membawa darah dari jantung yang menyebabkan semakin parahnya pengerasan pembuluh

darah dan semakin tingginya tekanan darah (Kowalski, 2010). Akibat dari berkurangnya

kelenturan dengan mengerasnya arteri-arteri ini menjadikannya semakin kaku. Arteri dan

aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Dinding yang kini tidak elastis, tidak dapat lagi

mengubah aliran yang keluar dari jantung menjadi aliran yang lancar (Wolff, 2008).

40%

60%

Jenis Kelamin

Laki-Laki Perempuan

26

Tabel V.3

Penggunaan obat berdasarkan usia

Usia (tahun) Jumlah Lembar Resep Presentase (%)

26-35 (dewasa awal)

36-45 (dewasa akhir)

46-55 (Lansia awal)

56-65 (Lansia akhir)

>65 (Manula)

Tanpa Keterangan (tidak

tercantum umur pasien)

2

2

6

6

8

41

3,08

3,08

9,23

9,23

12,31

63,07

Total 65 100%

Ket : Kategori umur berdasarkan Depkes RI,2009

V.4 Golongan obat dan nama obat antihipertensi

Berdasarkan tabel V.4 mengenai golongan obat dan nama obat antihipertensi di salah

satu apotek swasta kota Bandung, bahwa terapi yang banyak diresepkan oleh dokter ialah obat

antihipertensi golongan diuretik sebanyak 25 resep (26,59%) dengan obat diuretik yang paling

banyak diresepkan ialah furosemide sebanyak 14 resep (56%), Antagonis Reseptor

Angiotensin II (ARB) sebanyak 20 resep (21,28%) dengan obat yang banyak dipakai

candesartan sebanyak 7 resep (35%), dan golongan antagonis kalsium (CCB) sebanyak 37

resep (39,36%) dengan obat yang paling banyak diresepkan ialah amlodipine sebanyak 36

resep (97,29%).

Tabel V.4

Penggunaan Obat berdasarkan

golongan obat dan nama obat antihipertensi

Golongan Obat Jumlah R/ Presentase (%)

1. Diuretik

a. Furosemide

b. HCT

c. Spironolactone

25

14

6

5

26,59

56

24

20

2. ß- Blocker

a. Karvedilol

b. Bisoprolol

4

1

3

4,25

25

75

3. ACE-Inhibitor

a. Captopril

b. Lisinopril

8

6

2

8,51

75

25

4. Antagonis Reseptor 20 21,28

27

Angiotensin II (ARB)

a. Irbesartan

b. Candesartan

c. Valsartan

d. Losartan

e. Telmisartan

5

7

4

3

1

25

35

20

15

5

5. Antagonis Kalsium (CCB)

a. Amlodipine

b. Diltiazem

37

36

1

39,36

97,29

2,7

Total 94 100%

Golongan obat diuretik sering diresepkan oleh dokter dikarenakan golongan obat

diuretik meningkatkan eksresi natrium, air dan klorida sehingga dapat menurunkan volume

darah dan cairan ekstraseluller, akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah.

Golongan diuretik digunakan untuk hipertensi ringan dan sedang. Golongan diuretik sering

diresepkan sebagai pilihan pertama pada hipertensi tahap 1 dengan tekanan darah diastolik

140-159 atau tekanan darah sistolik 90-99 mmHg (Sukandar, 2013). Pada penelitian didapat

furosemide merupakan diuretik terbanyak yang diresepkan dokter, furosemide termasuk

diuretik kuat dengan mekanisme kerja menghambat kotransport Na+, K

+,Cl

- dan menghambat

resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dari diuretik thiazide. Furosemide

sebaiknya digunakan dalam hal-hal tertentu, biasanya pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal atau gagal jantung, waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga diperlukan

pemberian 2 sampai 3 kali sehari (Syarief, 2012).

Golongan Antagonis Reseptor Blocker juga sering diresepkan mengingat golongan ini

disebut sebagai penyekat reseptor angiotensin, mekanisme menghambat kerja hormon yang

bertanggung jawab atas penyempitan arteri dengan melebarnya pembuluh darah, darah bisa

mengalir lebih mudah sehingga tekanan darah pun menurun. Golongan ARB digunakan

sebagai first line pada hipertensi tahap 1 tanpa penyakit penyerta dengan TDS 140-159 atau

TDD 90-99 mmHg juga digunakan sebagai terapi tahap pertama pada hipertensi dengan

diabetes mellitus dan untuk penderita gagal jantung (Sukandar, 2013). Obat yang banyak

diresepkan adalah candesartan, candesartan selain digunakan untuk hipertensi juga digunakan

untuk menangani gagal jantung. Golongan ARB seperti candesartan ini hanya diberikan satu

kali sehari sehingga akan meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat, maka akan

tercapai juga penggunaan obat yang rasional (Kowalski, 2010).

Golongan antihipertensi Antagonis Kalsium paling banyak diresepkan oleh dokter

dikarenakan golongan antagonis kalsium digunakan sebagai pilihan pertama hipertensi tahap

1 dengan tekanan darah sistolik 140-159 atau tekanan darah diastolik 90-99 mHg, antagonis

28

kalsium lebih efektif digunakan pada lanjut usia (Sukandar, 2013). Golongan obat

antihipertensi antagonis kalsium bertujuan untuk mengganggu jalan masuk kalsium menuju

sel otot jantung dan arteri, sehingga memungkinkan aliran darah yang lebih lancar untuk

menurunkan tekanan darah (Kowalski, 2010). Obat golongan antagonis kalsium yang paling

banyak diresepkan adalah amlodipine dengan mekanisme kerjanya melemaskan dinding dan

melebarkan diameter pembuluh darah. Efeknya akan memperlancar aliran darah menuju

jantung dan mengurangi tekanan darah dalam pembuluh. Amlodipin memiliki waktu paruh

yang panjang sehingga cukup diberikan satu kali sehari, hal ini juga akan meningkatkan

kepatuhan pasien dalam meminum obat (Syarief, 2012).

V.5 Penggunaan Obat Berdasarkan Terapi Obat Antihipertensi

Berdasarkan tabel V.5 mengenai penggunaan obat berdasarkan terapi obat

antihipertensi di salah satu apotek swasta di kota Bandung , jumlah terapi obat kombinasi

antihipertensi sebanyak 26 resep (40%) dan terapi tunggal antihipertensi sebanyak 39 resep

(60%).

Tabel V.5

Penggunaan obat berdasarkan terapi obat antihipertensi

Terapi Obat Jumlah Lembar Resep Presentase (%)

Kombinasi

Tunggal

26

39

40

60

Total 65 100%

Penggunaan satu macam obat antihipertensi untuk pengobatan hipertensi dapat

direkomendasikan bila nilai tekanan darah awal mendekati nilai tekanan darah sasaran.

Setengah penderita tekanan darah tinggi tahap I dan II dapat mengendalikan tekanan darah

mereka dengan satu obat saja, jika satu obat tidak efektif maka dapat ditingkatkan dosisnya,

alternatif lainnya adalah mencoba obat yang berbeda dan menambahkan satu obat lagi pada

obat yang telah diminum (kombinasi). Terapi kombinasi biasanya dipilih obat-obat yang

dapat meningkatkan efektivitas masing-masing obat atau mengurangi efek samping masing-

masing obat. Terapi kombinasi ditujukan untuk pasien yang nilai tekanan darah sasaranya

sulit tercapai seperti penderita diabetes dan gagal ginjal kronik, monoterapi digunakan untuk

penderita hipertensi tahap 1 dan tekanan darah sasaran <140/90 mmHg (Gardner,2007).

Dalam ALLHAT (Antihipersensitive and Lipid-Lowering Treatment in Prevent Heart Attack

Trial) disebut bahwa 60% penderita hipertensi mencapai tekanan darah terkontrol pada

tekanan darah <140/90 mmHg dengan penggunaan lebih dari dua obat antihipertensi, hanya

29

30% yang tekanan darahnya terkontrol dengan monoterapi. Dalam JNC-8 direkomendasikan

terapi kombinasi awal pada pasien hipertensi stadium 2 dengan peningkatan tekanan darah

untuk sistolik lebih dari 20 mmHg dan untuk tekanan darah diastolik lebih dari 10 mmHg

diatas tekanan darah tujuan. Terapi kombinasi rasional dimulai dengan pemilihan kombinasi

dua obat yang mekanisme penurunan tekanan darahnya aditif, tolerabilitas yang sangat baik

dan mampu menurunkan kejadian kardiovaskular dalam uji klinik jangka panjang seperti

golongan ACE-Inhibitor, Antagonis angiotensin II receptor blocker Calcium chanel blocker

dan diuretik dosis rendah.

V.6 Penggunaan Obat Berdasarkan Terapi Kombinasi Antihipertensi

Berdasarkan tabel V.6 mengenai penggunaan obat berdasarkan terapi kombinasi

antihipertensi di salah satu apotek swasta kota Bandung, bahwa terapi kombinasi yang paling

banyak digunakan ialah terapi kombinasi antara antagonis kalsium dan antagonis reseptor

angiotensin II sebanyak 7 resep (10,79%) juga terapi kombinasi antara antagonis kalsium dan

diuretik sebanyak 6 resep (9,23%).

Tabel V.6

Penggunaan obat berdasarkan terapi kombinasi antihipertensi

No Terapi Kombinasi Antihipertensi

Jumlah

Lembar

Resep

%

Efek

1 Antagonis Kalsium + Antagonis Reseptor

Angiotensin II

7 10,79 sinergis

2 ACE Inhibitor + Diuretik 2 3,07 fix-dose combination

3 Antagonis Reseptor Angiotensin II + ß-

Blocker + Diuretik

1 1,54 -

4 Antagonis Reseptor Angiotensin II +

Diuretik

3 4,62 fix-dose combination

5 Diuretik + Diuretik 1 1,54 Sinergis

6 Antagonis Kalsium + Diuretik 6 9,23 fix-dose combination

7 Antagonis Reseptor Angiotensin II + ß-

Blocker

1 1,54 -

8 ß-Blocker + Diuretik 1 1,54 fix-dose combination

9 ACE Inhibitor + Antagonis Kalsium 2 3,07 fix- dose combination

10 Antagonis Kalsium + Diuretik + ß-Blocker 1 1,54 Sinergis

11 Antagonis Kalsium + Antagonis Reseptor

Angiotensin II + Diuretik

1 1,54 Sinergis

30

12 Tanpa Kombinasi 39 60

Total 65 100%

Gambar V.6

Terapi Kombinasi menurut ESH (European Society of Hypertension) 2003

Ket : kombinasi obat yang dihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang

paling efektif (sinergis), garis putus tidak dianjurkan

Kombinasi antara antagonis kalsium dan antagonis angiotensin II receptor blocker

menimbulkan efek yang sinergis dikarenakan mekanisme kerja yang berbeda. Kekurangan

antagonis kalsium seperti merangsang SRAA (Sistem Renin Angiotensin Aldosteron) dan

tidak bermanfaat pada kasus gagal jantung dapat ditutupi dengan kelebihan ARB ( Antagonis

Angiotensin II Receptor Blocker), yaitu menghambat SRAA dan bermanfaat pada gagal

jantung. ARB ( Antagonis Angiotensin II Receptor Blocker) kurang bermanfaat pada

penderita iskemia jantung, sebaliknya justru CCB (Calcium chanel blocker) mengurangi

resiko iskemia jantung. CCB menyebabkan arteriodilatasi tanpa disertai venodilatasi sehingga

memicu kebocoran plasma lalu edema perifer, dengan adanya ARB yang menyebabkan

venodilatasi maka tekanan vena dan arteri akan sama sehingga edema perifer tidak terjadi.

Selain menurunkan tekanan darah, kombinasi ARB dan CCB juga berhasil mengurangi efek

samping. Terapi kombinasi renin-angiotensin system blocker (ARB) dengan calcium channel

blocker (CCB) memberikan manfaat nyata dalam hal penurunan tekanan darah dan

tolera­bilitas. Penurunan tekanan darah yang dihasilkan terapi kombinasi ini lebih besar

dibandingkan monoterapi masing-masing obat dan ditoleransi dengan lebih baik. Terapi

kombinasi dengan mekanisme kerja yang saling melengkapi akan menambah manfaat

masing-masing obat sambil mengurangi efek samping dari monoterapi dosis tinggi (Basile

JN, 2008).

Sedangkan untuk kombinasi antara antagonis kalsium dan diuretik merupakan suatu

kombinasi yang sinergis dimana dengan mekanisme yang berbeda antagonis kalsium

mengganggu jalan masuk kalsium menuju sel otot jantung dan arteri, ini akan membatasi

31

penyempitan arteri sehingga aliran darah akan mengalir lebih lancar dan efektif menurunkan

tekanan darah (Kowalski, 2010). Selain itu mekanisme diuretik yang bekerja meningkatkan

eksresi natrium air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler

(Syarief, 2012). Efek kombinasi antara antagonis kalsium dan diuretik disebut sebagai fixed-

dose combination dikarenakan efeknya yang nyata, namun dalam terapi hipertensi bila obat

antihipertensi dikombinasikan dengan diuretik harus lebih hati-hati dikarenakan efek diuretik

yaitu sangat hipotensif atau cepat menurunkan volume darah oleh karenanya dalam

pemakaian harus tetap dipantau (Direktorat Bina Farmasi Komunitas&Klinik, 2006).

32

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan

Data yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai studi penggunaan obat

antihipertensi di salah satu apotek swasta di kota Bandung dapat diambil kesimpulan :

1. Berdasarkan resep yang masuk dari bulan februari sampai dengan juli 2015 terdapat

65 resep antihipertensi dari 1823 resep.

2. Presentase peresepan obat antihipertensi, 60% pasien perempuan lebih banyak

mendapat resep obat antihipertensi dibanding dengan pasien berjenis kelamin laki-laki

(40%).

3. Pasien dengan usia diatas 45 tahun paling banyak mendapatkan obat antihipertensi ,

dimana 12,31% pasien berumur >65 tahun lebih banyak mendapatkan obat

antihipertensi.

4. Penggunaan obat antihipertensi berdasarkan golongan obat dan nama obatnya didapat

bahwa golongan obat diuretik sebanyak (26,59%) dengan nama obat yang sering

diresepkan furosemide sebesar (56%), golongan antagonis angiotensin II receptor

blocker (21,28%) dengan nama obat yang paling banyak diresepkan adalah cadesartan

(35%) , golongan antagonis kalsium (39,36%) dengan obat yang sering diresepkan

amlodipine (97,29%).

5. Pada penelitian didapatkan terapi tunggal atau monoterapi masih banyak diresepkan

(60%), dengan terapi kombinasi yang paling banyak ditemukan antara antagonis

kalsium dengan antagonis receptor angiotensin II (10,79%) serta kombinasi antara

antagonis kalsium dengan diuretik (9,23%). Kombinasi antara ARB (Antagonis

Angiotensin II Receptor Blocker) dan CCB (Calcium Chanel Blocker) menghasilkan

efek yang sinergis, sedangkan kombinasi antara antagonis kalsium dan diuretik

menghasilkan fixed combination.

VI.2 Saran

Penyakit hipertensi yang merupakan salah satu faktor penyebab gangguan jantung,

gagal ginjal serta penyakit lainnya. Mengingat bahaya dari penyakit hipertensi yang bukan

hanya beresiko terhadap usia lanjut tetapi juga pada usia muda, untuk itu perlu disadari akan

pentingnya menjaga pola hidup dan menghindari faktor-faktor yang dapat memicu naiknya

tekanan darah.

33

Selain itu pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan apabila gejala hipertensi

dirasakan. Kontrol rutin bagi yang berusia diatas 40 tahun, atau usia 20-30 tahunan bagi

mereka yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi membantu mengetahui penyakit ini

lebih awal. Bagi tenaga kesehatan khususnya Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian perlu

meningkatkan Pharmaceutical Care untuk terapi hipertensi, memperhatikan peresepan,

pemberian informasi mengenai obat kepada pasien untuk memastikan kerasionalan

pengobatan dan menunjang keberhasilan terapi.

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Anggraeni,dkk.(2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi

Pada Pasien Yang Berobat di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode Januari

sampai Juni 2008. Diakses pada 11 Agustus 2015 lewat

https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/02/files-of-drsmed-faktor-yang-

berhubungan-dengan-kejadian-hipertensi.pdf

2. Basile.JN. 2008. Rationale for fixed dose combination therapy to reach lower blood

pressure goals. South Med J.2008;101(9) : 918-924. Diakses dari www.medscape.com

tanggal 29 Agustus 2015

3. Syarif,A., Estuningtyas, A., Setiawati, A., Muchtar, A., Arif, A., Bahry, B., dkk. (2012).

Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Hal 341-360

4. Direktorat Bina Farmasi dan Komunitas dan Klinik.(2006).Pharmaceutical Care untuk

Penyakit Hipertensi.Jakarta:2006

5. Sudarmoko, A. (2015). Sehat Tanpa Hipertensi.Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka Hal 3-

9

6. Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit J.I., Adnyana I.K., Setyadi A.P., Kusnandar.(2013).

ISO Farmakoterapi Buku I. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan Hal 119-133

7. Gardner, F. S. 2007. Smart Treatment for High Blood Pressure. Jakarta : Prestasi Pustaka

Publisher. Hal 53-60

8. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Himmelfarb CD, Handler J, et al. 2014.

Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report

From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).

Diakses dari http://csc.cma.org.cn/attachment/2014315/1394884955972.pdf pada tanggal

2 September 2015

9. Kowalski, R.E.(2010).Terapi Hipertensi.Bandung: PT.Mizan Pustaka Hal 69-73

10. National Institute of Health. The seventh report of The Joint National Commite on

prevention, detection, evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. NIH publication

2003.

11. Novyanti,S.KM. (2015). Hipertensi Kenali, Cegah&Obati.Yogyakarta:Notebook. Hal 51-

93

12. Riset Kesehatan Dasar (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian RI. Jakarta.

35

13. Tedjasukmana,P.2012. Tatalaksana Hipertensi Cermin Dunia Kedokteran. CDK-192/vol

39 no.4

14. Wolff.Hanns Petter. (2008). Hipertensi.Jakarta: PT.Buana Ilmu Populer