aik

20
FIQIH MUAMALAH DAN RUANG LINGKUPNYA 1. A. Pengertian Fiqih Muamalah Fiqih Muamalah terdiri atas dua kata, yaitu fiqih dan muamalah. Berikut penjelasan dari Fiqih, Muamalah, dan Fiqih Muamalah.[1] 1. Fiqih Menurut etimologi, fiqih adalah م ه ف لا)) [paham], seperti pernyataan : الدرس ت ه ف ف(saya paham pelajaran itu). Arti ini sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari berikut: ن ي الد ي فه ه ف ف ي را ي خ ه له برد ا ل ي ن مArtinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya, niscaya diberikan kepadaNya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.” Menurut terminologi, fiqih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah, akhlak, maupun ibadah sama dengan arti syari’ah islamiyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci. Menurut Imam Haramain, fiqih merupakan pengetahuan hukum syara’ dengan jalan ijtihad. Demikian pula menurut Al-Amidi, pengetahuan hukum dalam fiqih adalah melalui kajian dari penalaran (nadzar dan istidhah). Pengetahuan yang tidak melalui jalur ijtihad(kajian), tetapi bersifat dharuri, seperti shalat lima waktu wajib, zina haram, dan masalah- masalah qath’i lainnya tidak bermasuk fiqih. Hal tersebut menunjukkan bahwa fiqih bersifat ijtihadi dan zhanni. Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering dirangkaikan dengan kata al-Islami sehingga terangkai al-Fiqih Al-Islami, yang sering diterjemahkan dengan hukum Islam yang memiliki cakupan sangat luas. Pada perkembanagn selanjutnya, ulama fiqih membagi menjadi beberapa bidang, diantaranya Fiqih Muamalah.[2] 1. Muamalah Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata’amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengenal.[3] Muamalah ialah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya. Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama manusia, dapat kita temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan. Aturan agama yang mengatur hubunagn antara manusia dengan alam sekitarnya dapat kita jumpai seperti larangan mengganggu, merusak dan membinasakan hewan, tumbuhan atau yang lainnya tanpa adanya suatu alasan yang dibenarkan oleh agama, perintah kepada manusia agar mengadakan penelitian dan pemikiran tentang keadaan alam semesta.

Upload: feronicha-maharani

Post on 25-Oct-2015

42 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aik

FIQIH MUAMALAH DAN RUANG LINGKUPNYA

1. A.    Pengertian Fiqih Muamalah

Fiqih Muamalah terdiri atas dua kata, yaitu fiqih dan muamalah. Berikut penjelasan dari Fiqih, Muamalah, dan Fiqih

Muamalah.[1]

1. Fiqih

Menurut etimologi, fiqih adalah الفهم)) [paham], seperti pernyataan : فقهت الدرس  (saya paham pelajaran itu). Arti ini

sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari berikut:

من يرد ا لله به خيرا يفقهه في الد ينArtinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya, niscaya diberikan kepadaNya

pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”

Menurut terminologi, fiqih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama,

baik berupa aqidah, akhlak, maupun  ibadah sama dengan arti syari’ah islamiyah. Namun, pada perkembangan

selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah

Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-

dalil yang terinci.

Menurut Imam Haramain, fiqih merupakan pengetahuan hukum syara’ dengan jalan ijtihad. Demikian pula menurut

Al-Amidi, pengetahuan hukum dalam fiqih adalah melalui kajian dari penalaran (nadzar dan istidhah). Pengetahuan

yang tidak melalui jalur ijtihad(kajian), tetapi bersifat dharuri, seperti shalat lima waktu wajib, zina haram, dan

masalah-masalah qath’i lainnya tidak bermasuk fiqih.

Hal tersebut menunjukkan bahwa fiqih bersifat ijtihadi dan zhanni. Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih

sering dirangkaikan dengan kata al-Islami sehingga terangkai al-Fiqih Al-Islami, yang sering diterjemahkan dengan

hukum Islam yang memiliki cakupan sangat luas. Pada perkembanagn selanjutnya, ulama fiqih membagi menjadi

beberapa bidang, diantaranya Fiqih Muamalah.[2]

1. Muamalah

Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata’amala yang artinya saling bertindak, saling

berbuat, dan saling mengenal.[3]

Muamalah ialah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan

alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya. Aturan agama yang mengatur hubungan

antar sesama manusia,  dapat kita temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat,

hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan

lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian,

dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan.

Aturan agama yang mengatur hubunagn antara manusia dengan alam sekitarnya dapat kita jumpai seperti larangan

mengganggu, merusak dan membinasakan hewan, tumbuhan atau yang lainnya tanpa adanya suatu alasan yang

dibenarkan oleh agama, perintah kepada manusia agar mengadakan penelitian dan pemikiran tentang keadaan alam

semesta.

Dari uraian diatas telah kita ketahui bahwa muamalah mempunyai ruang lingkup yang luas, yang meliputi segala

aspek, baik dari bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan serta sosial-budaya.[4]  Firman Allah dalam surat an

Nahl ayat 89:

ل�ِم�ين� ) ى ل�ل�ِم�ْس� ر� ب�ْش� ًة� َو� ِم� ْح� ٍء# َو�ُه�دى� َو�َر� ي� � ل�ُك�ِّل& َش� ل�َن�ًا َع�ل�ي�َك� ال�ُك�َت�ًاَب� ِت�ْب�ي�ًانًا ن�َّز2 (89َو� …

Artinya: “ Kami turunkan kepadamu al Qur’an untuk menerangkan segala sesuatu, untuk petunjuk dan rahmat serta

berita gembira bagi orang-orang islam.”(QS.An-Nahl: 89)

1. Fiqih Muamalah

Pengertian fiqih muamalah menurut terminologi dapat dibagi menjadi dua:

Page 2: Aik

1. Fiqih muamalah dalam arti luas

-          Menurut Ad-Dimyati, fiqih muamalah adalah aktifitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan

masalah ukhrawi.[5]

-          Menurut pendapat Muhammad Yusuf Musa yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai kegiatan

perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan pinjaman, ikatan kekeluargaan, proses penyelesaian perkara lewat

pengadilan, bahkan soal distribusi harta waris.

-          Menurut pendapat Mahmud Syaltout yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai hubungan perekonomian

yang dilakukan anggota masyarakat, dan bertendensikan kepentingan material yang saling menguntungkan satu

sama lain.[6]

Berdasarkan pemikiran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh muamalah adalah mengetahui ketentuan-

ketentuan hukum tentang usaha-usaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang dan jasa

penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil

syara’ yang terinci.[7]

Aturan-aturan Allah ini ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan yang berkaitan dengan urusan

duniawi dan sosial kemayarakatan. Manusia kapanpun dan dimanapun harus senantiasa mengikuti aturan yang telah

ditetapkan Allah sekalipun dalam perkara yang bersifat duniawi sebab segala aktifitas manusia akan dimintai

pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Dalam Islam tidak ada pemishan antara amal perbuatan dan amal akhirat,

sebab sekecil apapun aktifitas manusia di dunia harus didasarkan pada ketetapan Allah SWT agar kelak selamat di

akhirat.[8]

1. Fiqih muamalah dalam arti sempit:

Menurut Hudhari Beik, muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.

Menurut Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam

usahanya mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.

Jadi pengertian Fiqih muamalah dalam arti sempit lebih menekankan pada keharusan untuk menaati aturan-aturan

Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur,

mengelola, dan mengembangkan mal (harta benda).[9]

Ciri utama fiqih muamalah adalah adanya kepentingan keuntungan material dalam proses akad dan

kesepakatannya. Berbeda dengan fiqh ibadah yang dilakukan semata-mata dalam rangka mewujudkan ketaatan

kepada Allah tanpa ada tendensi kepentingan material.

Tujuannya adalah dalam rangka menjaga kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta mereka, sehingga tidak

dirugikan oleh tindakan orang lain dan dapat memanfaatkan harta miliknya itu untuk memenuhi kepentingan hidup

mereka.[10]

1. B.     Pembagian Fiqih Muamalah

Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian:

1. Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)

2. Munakahat (Hukum Perkawinan)

3. Muhasanat (Hukum Acara)

4. Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)

5. Tirkah (Hukum Peninggalan)

Dari pembagian diatas, yang merupakan disiplin ilmu tersendiri adalah munakahat dan tirkah. Sedangkan menurut

Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian:

1. Al-Muamalah Al-Madiyah

Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengakaji segi objeknya, yakni benda. Sebagian ulama

berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk

dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan

Page 3: Aik

kemaslahatan bagi manusia, dll. Semua aktivitas yang berkaitan dengan benda, seperti al- bai’ (jual beli) tidak hanya

ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi jauh lebih dari itu, yakni untuk memperoloh ridha Allah SWT.

Jadi kita harus menuruti tata cara jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.

1. Al-Muamalah Al-Adabiyah

Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari

pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasut, iri,

dendam, dll. Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya)

yang berkisar pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, dusta, dll.

Pada prakteknya, Al-Muamalah Al-Madiyah  dan Al-Muamalah Al-Adabiyah tidak dapat dipisahkan.[11]

1. C.    Ruang Lingkup Fiqih Muamalah

Ruang lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua:

1. Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling

meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan,

pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran

harta.

1. Al-Muamalah Al-Madiyah

A. Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)

B. Gadai (rahn)

C. Jaminan/ tanggungan (kafalah)

D. Pemindahan utang (hiwalah)

E. Jatuh bangkit (tafjis)

F. Batas bertindak (al-hajru)

G. Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)

H. Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)

I. Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)

J. Upah (ujral al-amah)

K. Gugatan (asy-syuf’ah)

L. Sayembara (al-ji’alah)

M. Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)

N. Pemberian (al-hibbah)

O. Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)

P. beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan

masalah lainnnya.[12]

Q. Pembagian hasil pertanian (musaqah)

R. Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)

S. pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)

T. Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)

U. Pinjaman barang (‘ariyah)

V. Sewa menyewa (al-ijarah)

W. Penitipan barang (wadi’ah)

Peluang ijtihad dalam aspek tersebut diatas harus tetap terbuka, agar hukum Islam senantiasa dapat memberi

kejelasan normatif kepada masyarakat sebagai pelaku-pelaku ekonomi.[13]

1. D.    Hubungan Hukum Islam dengan Hukum Romawi

Ada 3 perbedaan pendapat tentang hukum Islam dengan hukum Romawi :

1. Golongan orientalis, Von Kremaer, Ignaz Golziher dan Amon, berpendapat bahwa hukum Islam benar-benar

dipengaruhi oleh hukum Romawi. Amon menyatakan bahwa syari’at Islam adalah hukum Romawi Timur yang

Page 4: Aik

sudah mengalami perubahan-perubahan dalam penyesuaiannya dengan masalah-masalah politik negara-

negara Arab yang menjadi jajahannya.

2. Golongan sarjana Muslim, Faiz al-Kuhri, Arif al-Naqdi, dan Syaikh Muhammad Sulaiman, berpendapat bahwa

hukum Islam sama sekali tidak dipengaruhi oleh hukum Romawi, sebab hukum Islam

dipraktikkan/diundangkan lebih dahulu daripada hukum Romawi, yakni hukum Romawi timbul setelah sarjana

Barat mempelajari hukum Islam.

3. Golongan moderat, Sayyid Muhammad Hafidz Shabri, Ahmad Amin, dan Syafiq Syahanah, berpendapat

bahwa kedua pendapat diatas memiliki nilai kebenaran dan juga memiliki nilai kesalahan.[14]

Menurut Abdul Madjid hukum Islam dan hukum Romawi terdapat perbedaan-perbedaan yang menonjol, antara lain :

Kedudukan wanita Romawi di bawah perintah kekuasaan kaum laki-laki selama hidupnya, wanita sama sekali tidak

mempunyai hak untuk melakukan transaksi-transaksi harta kekayaan tanpa izin suami, sedangkan dalam hukum

Islam tidak seketat itu walaupun harus diakui ada batasan-batasannya.

Pemindahan hutang (hiwalah) dalam hukum Romawi dilarang, sedangkan dalam hukum Islam dibolehkan menurut

semua madzhab.[15]

Urgensi keluarga

Ketika Rasulullah saw. bersabda,“Rumahku adalah surgaku,” beliau telah mengisyaratkan betapa penting dan strategisnya keluarga dalam kehidupan masyarakat manusia. Keluarga, dalam pandangan Islam, adalah “labinatul-ulaa” (batu pertama) dalam bangunan masyarakat muslim, dan merupakan surga kecil yang mendatangkan kasing sayang, ketenangan, kedamaian, dan keharmonisan. Inilah surga kecil yang diharapkan semua orang dan yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam firman-Nya,“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ruum: 21)Surga kecil yang dilengkapi dengan taman keharmonisan dan yang bertaburkan bunga mawaddah-rahmah ini, tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya visi dan misi yang sama dari suami istri dalam merealisasikannya. Kesamaan visi dan misi inilah yang mengarahkan sepasang suami istri untuk mewujudkan impian keluarga harmonis dan surga kecil kehidupan. Dengan kata lain, bahtera keluarga yang berlayar ini tidak mungkin singgah di pulau ketentraman dan keharmonisan tanpa membawa visi dan misi yang sama: visi meraih ridha Allah dan misi mewujudkan keluarga sakinah yang berlandaskan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan Islam.Oleh karena itu, Islam selalu menganjurkan untuk memilih pendamping yang memahami visi dan misi ini, yaitu dzatuddin (perempuan yang beragama) atau sang shalihat-qanitatyang mampu memadukan antara dua garis: garis vertikal dan garis horisontal. Perhatikan hadits-hadits berikut ini.“Perempuan itu dinikahi kerena salah satu dari empat faktor ini: kecantikannya, hartanya, akhlaknya, dan agamanya. Maka, pilihlah yang

Page 5: Aik

memiliki agama dan akhlak, karena semua urusan menjadi beres.” (HR Ahmad dengan sanad sahih; al-Bazzar, Abu Ya’la, dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya)“Perempuan dinikahi karena empat perkara: harta, nasab, kecantikan, dan agamanya. Maka, pilihlah yang memiliki agama, niscaya Allah akan memperbanyak hartamu.” (HR Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasaa`i, dan Ibnu Majah)Rasulullah juga menyebutkan bahwa sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan shalihat, yang selalu istiqamah pada nilai-nilai ilahiah, yang membantu suami meningkatkan nilai keimanan dan ketakwaan. Bahkan, dia merupakan “simpanan” dan “perhiasan” yang dicari dan yang diharapkan oleh seorang mukmin setelah ketakwaan itu sendiri, sebagaimana yang telah digambarkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya,“Dunia ini ibarat perhiasan, dan sebaik-baik perhiasannya adalah perempuan shalihat.” (HR Muslim, an-Nasaa`i, dan Ibnu Majah)“Tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada perempuan shalihat, yang dibutuhkan seorang mukmin sesudah takwanya….” (HR Ibnu Majah)Oleh karena itu, Islam melarang mencari pendamping dalam membangun mahligai rumah tangga yang harmonis, dengan hanya mementingkan kecantikannya saja, tanpa mempertimbangkan dimensi spiritual yang dimilikinya, atau karena hartanya saja. Alasannya, tidak mungkin mewujudkan surga kecil atau keluarga sakinah hanya dengan dilandasi kecantikan dan harta saja. Memang, apabila seseorang mendapatkan keempat-empatnya: kecantikan, harta, nasab, dan agama, maka ia akan berbahagia. Ia akan merasakan ketentraman dan kedamaian karena semua ini merupakan sumber-sumber kebahagiaan seseorang. Perhatikan hadits-hadits Rasulullah berikut ini.“Barangsiapa yang menikahi perempuan karena kedudukannya, maka Allah tidak akan menambahkannya kecuali kehinaan, dan barangsiapa yang menikahi perempuan karena hartanya, maka Allah tidak akan menambahkannya kecuali kemiskinan.” (HR ath-Thabrani)  “Jangan menikahi perempuan karena kecantikannya oleh sebab bisa jadi kecantikannya itu mencelakakannya, dan jangan menikahi perempuan karena hartanya oleh sebab bisa jadi hartanya akan menjadikannya sombong. Akan tetapi, nikahilah perempuan yang mempunyai agama, dan sesungguhnya, budak yang jelek lagi hitam itu lebih baik.” (HR Ibnu Majah) Fungsi KeluargaSebuah keluarga akan menjadi “surga kecil” apabila memenuhi empat fungsi berikut ini.A. Fungsi FisiologisMaksudnya adalah bahwa keluarga secara fisik harus menjadi:

1. Tempat berteduh yang baik dan nyaman bagi seluruh anggotanya;“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ruum: 21)

Page 6: Aik

2. Tempat untuk mendapatkan makanan, minuman, serta pakaian yang cukup bagi seluruh anggotanya;“…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf….” (al-Baqarah: 233)

3. Tempat suami dan istri memenuhi kebutuhan biologisnya.“Nikahilah perempuan yang penuh kasih sayang dan yang banyak anak karena aku ingin memperbanyak dengan kalian atas umat yang lain pada hari kiamat.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Memang, tempat berteduh yang bersih lagi luas, kebutuhan sandang pangan yang cukup, keberadaan istri maupun suami yang ideal, kendaraan yang siap pakai, serta tetangga yang ramah dan bersahabat merupakan faktor-faktor yang membahagiakan, menentramkan, dan menyenangkan dalam kehidupan berumah tangga. Dengan catatan, faktor-faktor di atas senantiasa diwarnai dengan nilai-nilai keagamaan. Inilah perpaduan antara dua kebaikan: kebaikan dunia dan kebaikan akhirat, yang menyatu dalam sebuah rumah tangga. Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya sebagai berikut.“Empat faktor kebahagiaan adalah: perempuan shalihat, tempat tinggal yang luas, tetangga yang soleh, dan kendaraan yang enak. Adapun empat faktor keburukan (celaka) adalah: tetangga yang tidak baik, perempuan yang tidak shalihat, kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sangat sempit.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahih-nya)B. Fungsi PsikologisKeluarga juga memiliki peran psikologis terhadap setiap anggotanya. Oleh karena itu, keluarga sangat diharapkan sebagai:

1. Tempat seluruh anggotanya diterima secara wajar dan apa adanya;2. Tempat seluruh anggotanya mendapatkan rasa aman dan nyaman;3. Tempat seluruh anggotanya mendapatkan dukungan psikologis bagi perkembangannya;4. Basis pembentukan identitas, citra, dan konsep diri segenap anggotanya.

Inilah makna khusus dari suasana surgawi keluarga karena anak dan istri menjadi penyejuk mata (qurratu a’yun), dan semua anggota keluarga saling memahami kewajiban dan hak masing-masing. Yang kecil menghormati yang lebih besar dan lebih tua, sementara yang besar menyayangi dan mengasihi yang lebih kecil. Perhatikan beberapa ayat qur`aniah dan hadits Rasulullah saw. yang menceritakan suasana psikologis dalam keluarga sebagai berikut.“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya, Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqaan: 74)“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia

Page 7: Aik

dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 14-15)“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai, Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (al-Israa`: 23-24)“Bukanlah golongan kami, orang yang tidak mengasihi anak-anak kecil dan yang tidak menghormati orang-orang tua.” (HR Ahmad dan ath-Thabrani)C. Fungsi SosiologisDalam memerankan fungsi sosiologis, keluarga harus menjadi lingkungan yang terbaik bagi seluruh anggotanya; harus menjadi jembatan interaksi sosial antara anggota keluarga dan anggota masyarakat lainnya. Di sini, keluarga harus menjadi antibodi bagi segenap anggotanya dari semua bentuk dan jenis kejahatan yang berkembang di masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam fungsi sosiologis, keluarga menjadi:

1. Lingkungan pendidikan pertama dan terbaik bagi segenap anggotanya;2. Unit sosial yang menjembatani interaksi positif antara individu-individu yang menjadi

anggotanya dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.

D. Fungsi DakwahRumah tangga muslim tidak mungkin bisa dipisahkan dari dakwah Islam. Setiap anggotanya menjadi pilar-pilar dakwah Islam yang senantiasa mengibarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahannya, baik untuk keluarga sendiri sebagai lingkungan terkecil maupun untuk masyarakatnya. Islam sendiri telah menjadikan tanggung jawab dakwah ini kepada suami dalam membangun keluarga islami oleh karena salah satu kewajiban yang harus diembannya adalah membangun basis dakwah dalam keluarganya, dengan membimbing, mengarahkan, dan mentarbiah setiap anggota yang ada dalam keluarganya. Perhatikan nash-nash berikut ini.“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahriim: 6)“Setiap kalian adalah pemimpin yang akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya….” (al-Hadits)Dalam fungsi dakwah ini, keluarga harus menjadi:

1. Obyek pertama yang harus didakwahi;2. Model keluarga muslim ideal bagi masyarakat muslim maupun nonmuslim sehingga ia

menjadi bagian menyeluruh dari pesona Islam;

Page 8: Aik

3. Tempat bagi setiap anggotanya untuk terlibat aktif dalam dakwah dan menjadi muara kontribusi positif dakwah; dan

4. Antibodi bagi setiap anggotanya dari virus kejahatan.

Pernikahan sebagai sarana membangun keluarga

I. Arti Pernikahan dalam IslamDalam menganjurkan ummatnya untuk melakukan pernikahan, Islam tidak semata-mata beranggapan bahwa pernikahan merupakan sarana yang sah dalam pembentukan keluarga, bahwa pernikahan bukanlah semata sarana terhormat untuk mendapatkan anak yang sholeh, bukan semata cara untuk mengekang penglihatan, memelihara fajar atau hendak menyalurkan biologis, atau semata menyalurkan naluri saja. Sekali lagi bukan alasan tersebut di atas. Akan tetapi lebih dari itu Islam memandang bahwa pernikahan sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemayarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam.II. Fungsi Keluarga dalam IslamKeluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, perlu diberdayakan fungsinya agar dapat mensejahterakan ummat secara keseluruhan. Dalam Islam fungsi keluarga meliputi :A. Penerus Misi Ummat IslamDalam sejarah dapat kita lihat, bagaimana Islam sanggup berdiri tegap dan tegar dalam menghadapi berbagai ancaman dan bahaya, bahkan Islam dapat menyapu bersih kekuatan musryik dan sesat yang ada, terlebih kekuatan Romawi dan Persia yang pada waktu itu merupakan Negara adikuasa di dunia.Menurut riwayat Abu Zar’ah Arrozi bahwa jumlah kaum muslimin ketika Rasulullah Saw wafat sebanyak 120.000 orang pria dan wanita [1]. Para sahabat sebanyak itu kemudian berguguran dalam berbagai peperangan, ada yang syahid dalam perang jamal atau perang Shiffin. Namun sebagian besar dari para syuhada itu telah meninggalkan keturunan yang berkah sehingga muncullah berpuluh “singa” yang semuanya serupa dengan sang ayah dalam hal kepahlawanan dan keimanan. Kaum muslimin yang jujur tersebut telah menyambut pengarahan Nabi-nya: “Nikah-lah kalian, sesungguhnya aku bangga dengan jumlah kalian dari ummat lainnya, dan janganlah kalian berfaham seperti rahib nashrani” [2].Demikianlah, berlomba-lomba untuk mendapatkan keturunan yang bermutu merupakan faktor penting yang telah memelihara keberadaan ummat Islam yang sedikit. Pada waktu itu menjadi pendukung Islam dalam mempertahankan kehidupannya.B. Perlindungan Terhadap AkhlaqIslam memandang pembentukan keluarga sebagai sarana efektif memelihara pemuda dari kerusakan dan melidungi masyarakat dari kekacauan. Karena itulah bagi pemuda yang mampu dianjurkan untuk menyambut seruan Rosul.“Wahai pemuda! Siapa di antara kalian berkemampuan maka menikahlah. Karena nikah lebih melindungi mata dan farji, dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah shoum, karena shoum itu baginya adalah penenang” ( HR.AL-Khosah dari Abdullah bin Mas’ud ).C. Wahana Pembentukan Generasi Islam

Page 9: Aik

Pembentukan generasi yang handal, utamanya dilakukan oleh keluarga, karena keluargalah sekolah kepribadian pertama dan utama bagi seorang anak. Penyair kondang Hafidz Ibrohim mengatakan: “Ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya. Bila engaku mendidiknya berarti engkau telah menyiapkan bangsa yang baik perangainya“. Ibu sangat berperan dalam pendidikan keluarga, sementara ayah mempunyai tugas yang penting yaitu menyediakan sarana bagi berlangsungnya pendidikan tersebut. Keluarga-lah yang menerapkan sunnah Rosul sejak bangun tidur, sampai akan tidur lagi, sehingga bimbingan keluarga dalam melahirkan generasi Islam yang berkualitas sangat dominan.D. Memelihara Status Sosial dan EkonomiDalam pembentukan keluarga, Islam mempunyai tujuan untuk mewujudkan ikatan dan persatuan. Dengan adanya ikatan keturunan maka diharapkan akan mempererat tali persaudaraan anggota masyarakat dan antar bangsa.Islam memperbolehkan pernikahan antar bangsa Arab dan Ajam (non Arab), antara kulit hitam dan kulit putih, antara orang Timur dan orang Barat. Berdasarkan fakta ini menunjukkan bahwa Islam sudah mendahului semua “sistem Demokrasi ” dalam mewujudkan persatuan Ummat manusia. Bernard Shaw mengatakan:“Islam adalah agama kebebasan bukan agama perbudakan, ia telah merintis dan mengupayakan terbentuknya persaudaraan Islam sejak Seribu Tiga Ratus Lima Puluh tahun yang lalu, suatu prinsip yang tidak pernah dikenal oleh bangsa Romawi, tidak pernah ditemukan oleh bangsa Eropa dan bahkan Amerika Modern sekalipun “.Selanjutnya mengatakan:“Apabila Anda bertanya kepada seorang Arab atau India atau Persia atau Afganistan, siapa anda? Mereka akan menjawab “Saya Muslim (orang Islam)”. Akan tetapi apabila anda bertanya pada orang Barat maka ia akan menjawab “Saya orang Inggris, saya orang Itali, saya orang Perancis”. Orang Barat telah melepaskan ikatan agama, dan mereka berpegang teguh pada ikatan darah dan tanah air” [3].Untuk menjamin hubungan persudaraan yang akrab antara anak-anak satu agama, maka Islam menganjurkan dilangsungkannya pernikahan dengan orang-orang asing (jauh), karena dengan tujuan ini akan terwujud apa-apa yang tidak pernah direalisasikan melalui pernikahan keluarga dekat.Selain fungsi sosial, fungsi ekonomi dalam berkeluarga juga akan nampak. Mari kita simak hadist Rosul “Nikahilah wanita, karena ia akan mendatangkan Maal” (HR. Abu Dawud, dari Urwah RA). Maksud dari hadist tersebut adalah bahwa perkawinan merupakan sarana untuk mendapatkan keberkahan, karena apabila kita bandingkan antara kehidupan bujangan dengan yang telah berkeluarga, maka akan kita dapatkan bahwa yang telah berkeluarga lebih hemat dan ekonomis dibandingkan dengan yang bujangan. Selain itu orang yang telah berkeluarga lebih giat dalam mencari nafkah karena perasaan bertanggung jawab pada keluarga daripada para bujangan.E. Menjaga KesehatanDitinjau dari segi kesehatan, pernikahan berguna untuk memelihara para pemuda dari kebiasaan onani yang banyak menguras tenaga, dan juga dapat mencegah timbulnya penyakit kelamin.F. Memantapkan Spiritual (Ruhiyyah)

Page 10: Aik

Pernikahan berfungsi sebagai pelengkap, karena ia setengah dari keimanan dan pelapang jalan menuju sabilillah, hati menjadi bersih dari berbagai kecendrungan dan jiwa menjadi terlindung dari berbagai waswas.III. Menegakkan Keluarga Sakinah sebagai Salah SAtu Fungsi KeluargaSelain fungsi keluarga tersebut di atas, fungsi kesakinahan merupakan kebutuhan setiap manusia. Karena keluarga sakinah yang berarti: keluarga yang terbentuk dari pasangan suami istri yang diawali dengan memilih pasangan yang baik, kemudian menerapkan nilai-nilai Islam dalam melakukan hak dan kewajiban rumah tangga serta mendidik anak dalam suasana mawaddah warahmah. Sebagaimana dianjurkan Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang artinya:“Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ia ciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenang kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa cinta dan kasih saying. Sesungguhnya dalam hal ini terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang memikirkan”. (QS. Ar-Ruum:21)Faktor-Faktor Pembentukan Keluarga SakinahA. Faktor Utama:Untuk membentuk keluarga sakinah, dimulai dari pranikah, pernikahan, dan berkeluarga. Dalam berkeluarga ada beberapa hal yang perlu difahami, antara lain :1. Memahami hak suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suamia. Menjadikannya sebagai Qowwam (yang bertanggung jawab)

Suami merupakan pemimpin yang Allah pilihkan Suami wajib ditaati dan dipatuhi dalam setiap keadaan kecuali yang bertentangan

dengan syariat Islam.b. Menjaga kehormatan diri

Menjaga akhlak dalam pergaulan Menjaga izzah suami dalam segala hal Tidak memasukkan orang lain ke dalam rumah tanpa seizin suami

c. Berkhidmat kepada suami Menyiapkan dan melayani kebutuhan lahir batin suami Menyiapkan keberangkatan Mengantarkan kepergian Suara istri tidak melebihi suara suami Istri menghargai dan berterima kasih terhadap perlakuan dan pemberian suami

2. Memahami hak istri terhadap suami dan kewajiban suami terhadap istria. Istri berhak mendapat maharb. Mendapat perhatian dan pemenuhan kebutuhan lahir batin

Mendapat nafkah: sandang, pangan, papan Mendapat pengajaran Diinul Islam Suami memberikan waktu untuk memberikan pelajaran Memberi izin atau menyempatkan istrinya untuk belajar kepada seseorang atau

lembaga dan mengikuti perkembangan istrinya Suami memberi sarana untuk belajar Suami mengajak istri untuk menghadiri majlis ta’lim, seminar atau ceramah agama

c. Mendapat perlakuan baik, lembut dan penuh kasih saying Berbicara dan memperlakukan istri dengan penuh kelembutan lebih-lebih ketika haid,

hamil dan paska lahir

Page 11: Aik

Sekali-kali bercanda tanpa berlebihan Mendapat kabar perkiraan waktu kepulangan Memperhatikan adab kembali ke rumah

B. Faktor Penunjang1. Realistis dalam kehidupan berkeluarga

Realistis dalam memilih pasangan Realistis dalam menuntut mahar dan pelaksanaan walimahan Realistis dan ridho dengan karakter pasangan Realistis dalam pemenuhan hak dan kewajiban

2. Realistis dalam pendidikan anakPenanganan Tarbiyatul Awlad (pendidikan anak) memerlukan satu kata antara ayah dan ibu, sehingga tidak menimbulkan kebingungan pada anak. Dalam memberikan ridho’ah (menyusui) dan hadhonah (pengasuhan) hendaklah diperhatikan muatan:

Tarbiyyah Ruhiyyah (pendidikan mental) Tarbiyah Aqliyyah (pendidikan intelektual) Tarbiyah Jasadiyyah (pendidikan Jasmani)

3. Mengenal kondisi nafsiyyah suami istri4. Menjaga kebersihan dan kerapihan rumah5. Membina hubungan baik dengan orang-orang terdekata. Keluarga besar suami / istrib. Tetanggac. Tamud. Kerabat dan teman dekat6. Memiliki ketrampilan rumah tangga7. Memiliki kesadaran kesehatan keluargaC. Faktor Pemeliharaan1. Meningkatkan kebersamaan dalam berbagai aktifitas2. Menghidupkan suasana komunikatif dan dialogis3. Menghidupkan hal-hal yang dapat merusak kemesraan keluarga baik dalam sikap, penampilan maupun prilakuDemikianlah sekelumit tentang pernikahan dan pembentukan keluarga sakinah. Semoga Allah memberi kekuatan, kesabaran dan keberkahan kepada kita dalam membentuk keluarga sakinah yang mawaddah wa rahmah sehingga terealisir izzatul islam walmuslimin. Amin. [

Hukum Islam Tentang PacaranDalam al-Quran, surah Al Isra ayat 32, telah disebutkan bahwa yang artinya:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan

suatu jalan yang buruk.”

Pacaran adalah perbuatan yang mendekati zina. Insan yang sedang kasmaran akan cenderung untuk melakukan

perbuatan yang meendekati zina. Orang yang berpacaran tentu saja ingin selalu berduaan dan cenderung mencari

tempat yang sepi jauh dari keramaian agar dapat berdua saja menikmati suasana. Sehubungan dengan hal ini, maka

Nabi bersabda bahwa:

Page 12: Aik

“Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton

menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan

mahramnya.” (HR. Imam Bukhari Muslim).

Sehubungan dengan hukum islam tentang pacaran yang diharamkan, maka seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah

Bin Mas’ud, bahwa nabi memberikan resep bagi mereka yang ingin berpacaran dengan cara yang halal dan

menghindari zina. Nabi bersabda bahwa:

“Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan menikah.

Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara

kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa

itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu”. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan

Tirmidzi).

Tunangan

Sebenarnya dalam Islam pun istilah tersebut telah dikenal, namun dengan istilah lain, yaitu Khitbah. Hanya saja istilah Tunangan tersebut mempunyai qoyyid atau ketentuan yang menjadikan Khitbah yang dijelaskan oleh Syari’at dengan Tunangan seakan-akan berbeda. Pasalnya Tunangan itu sendiri mengharuskan kedua pasangan untuk saling memakaikan cincin tunangan  sebagai tanda ikatanTunangan yang disebut juga dengan istilah tukar cincin. Sedangkan menurut Syari’at, Khitbah tersebut tidak menuntut hal demikian, bahkan saling memakaikan cincin–yang tentunya di antara kedua pasangan tersebut memegang  tangan pasangannya–adalah sesuatu yang dilarang Syari’at; karena diantara keduanya belum sah dalam sebuah ikatan pernikahan. Dan laki-laki yang mengkhitbah seorang  perempuan hanya diperbolehkan melihat dua anggota dari seorang perempuan yang dikhitbahnya, yaitu muka dan kedua telapak tangan saja.

Nikah siri

Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan ulama. Hanya saja nikah siri di kenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri dapat saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimah al-‘Ursy.Menurut terminologi fikih Maliki, nikah siri ialah:“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.”Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah siri. Perkawinannya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dilakukan hukuman had (dera rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. Mazhab Syafi’i dan Hanafi juga tidak membolehkan nikah siri. Menurut Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya

Page 13: Aik

makruh. Menurut suatu riwayat, Khalifah Umar bin al-Khattab pernah mengancam pelaku nikah siri dengan hukuman had.Nikah siri menurut terminologi fikih tersebut adalah tidak sah, sebab selain bisa mengundang fitnah juga bertentangan dengan hadis nabi saw:Adakanlah walimah sekalipun dengan hidangan seekor kambing.Di kalangan ulama sendiri, nikah siri masih diperdebatkan, sehingga susah untuk menetapkan bahwa nikah siri itu sah atau tidak. Hal ini dikarenakan masih banyak ulama dan juga sebagian masyarakat yang menganggap bahwa nikah siri lebih baik dari perzinahan. Padahal kalau dilihat dari berbagai kasus yang ada, nikah siri tampak lebih banyak menimbulkan kemudharatan daripada manfaatnya.Dari nikah siri yang mereka lakukan, tidak sedikit yang akhirnya bermasalah terutama bagi pihak wanita.Ulama terkemuka yang membolehkan nikah dengan cara siri itu adalah Dr. Yusuf Qardawi salah seorang pakar muslim kontemporer terkemuka di Islam. Ia berpendapat bahwa nikah siri itu sah selama ada ijab kabuldan saksi.Dadang Hawari, mengharamkan nikah siri, KH. Tochri Tohir berpendapat lain. Ia menilai nikah siri sah dan halal, karena islam tidak pernah mewajibkan sebuah nikah harus dicatatkan secara negara. Menurut Tohir, nikah siri harus dilihat dari sisi positifnya, yaitu upaya untuk menghindari Zina. Namun ia juga setuju dengan pernyataan Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan nikah siri hanya demi memuaskan hawa nafsu. Menurutnya, nikah siri semacam itu, tetap sah secara agama, namun perkawinannya menjadi tidak berkah.Menurut Prof. Wasit Aulawi seorang pakar hukum Islam Indonesia menyatakan bahwa ajaran Islam, nikah tidak hanya merupakan hubungan perdata, tetapi lebih dari itu nikah harus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak menurutnya ada tiga aspek yang mendasari perkawinan, yaitu: agama, hukum dan sosial, nikah yang disyariatkan Islam mengandung ketiga aspek tersebut, sebab jika melihat dari satu aspek saja maka pincang.Quraish Shihab mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan nikah yang ditetapkan melalui undang-undang di sisi lain nikahyang tidak tercatat-selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh hukum agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah, namun nikah dibawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan setiap muslim untuk taat pada ulul amri selama tidak bertentangan dengan hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan,tetapi justru sangat sejalan dengan semangat al-Qur’an

kawin kontrak

Hukum Kawin Kontrak:

Para ulama Islam sejak dulu hingga sekarang sepakat atas haramnya kawin kontrak. Berikut ini

saya petik di antara perkataan ulama-ulama Islam tentang kawin kontrak:

Perkataan Imam Ibnu Al Mundzir: "Pada masa awal Islam ada keringanan (bolehnya) kawin kontrak,

Page 14: Aik

tapi saat ini setahu saya tidak seorang pun yang membolehkannya kecuali sebahagian dari orang

Syi'ah Rafidhah…."

Imam Al Khaththabi juga mengatakan: "Pengharaman nikah kontrak adalah sebuah ijma'

(kesepakatan) kecuali oleh sebahagian orang Syi'ah. Pendapat mereka yang melegalkan kawin

kontrak dengan alasan yang merujuk kepada Ali ra dan keluarganya tidak bisa diterima, sebab

riwayat shahih yang bersumber dari beliau sendiri menunjukkan bahwa nikah kontrak telah dihapus.

Dasar hukum ijma' diharamkannya kawin kontrak bersumber dari dalil Al-Qur'an dan Hadits:

A. Dalil Al-Qur'an:

1. QS. Al-Mu'minun: 5-7:

"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka, atau hamba-

hamba sahaya yang mereka miliki; maka mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik

itu (zina dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas."

Wanita yang dikawini dengan cara kontrak bukanlah isteri yang sah. Dalam hubungan suami isteri

yang sah ada hak saling mewarisi, berlaku ketentuan talak yang tiga jika dibutuhkan, demikian juga

'iddah ketika terjadi talak. Sementara dalam kawin kontrak itu tidak berlaku.

2. (QS. An-NIsa': 25)

"Dan barangsiapa di antara kamu yang tidak mempunyai biaya untuk mengawini wanita merdeka

yang beriman, maka (dihalalkan mengawini wanita) hamba sahaya yang beriman yang kamu

miliki… (hingga firman Allah:) Yang demikian itu (kebolehan mengawini budak) adalah bagi orang-

orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Dan jika kamu

bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Jika kawin kontrak boleh, tentu Allah SWT akan menjadikannya sebagai sebuah solusi bagi mereka

yang tidak mampu dan takut terhadap perbuatan zina.

B. Dalil Hadits:

1. Rasulullah Saw bersabda: "Wahai manusia, dulu aku mengizinkan kalian untuk kawin melakukan

kawin kontrak. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat… (HR.

Muslim).

2. Ali bin Abi Thalib berkata kepada Ibnu Abbas: " Pada saat perang Khaibar, Rasulullah Saw

melarang nikah kontrak (mut'ah) dan (juga melarang) memakan daging himar yang jinak." (HR.

Bukhari dan Muslim).

Page 15: Aik

Dampak Negatif Kawin Kontrak

Dilarangnya kawin kontrak tidak terlepas dari dampak buruknya yang jauh dari kemaslahatan ummat

manusia, di antaranya:

1. Penyia-nyiaaan anak. Anak hasil kawin kontrak sulit disentuh oleh kasih sayang orang tua (ayah).

Kehidupannya yang tidak mengenal ayah membuatnya jauh dari tanggung jawab pendidikan

orangtua, asing dalam pergaulan, sementara mentalnya terbelakang. Keadaannya akan lebih parah

jika anak tersebut perempuan. Kalau orang-orang menilainya sebagai perempuan murahan, bisakah

dia menemukan jodohnya dengan cara yang mudah? Kalau iman dan mentalnya lemah, tidak

menutup kemungkinan dia akan mengikuti jejak ibunya.

2. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya interaksi antara keluarga dalam kawin kontrak

apalagi setelah perceraian, membuka jalan terjadinya perkawinan antara sesama anak seayah yang

berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan ayahnya. Sebab tidak ada saling kenal di

antara mereka.

3. Menyulitkan proses pembagian harta warisan. Ayah anak hasil kawin kontrak – lebih-lebih yang

saling berjauhan – sudah biasanya sulit untuk saling mengenal. Penentuan dan pembagian harta

warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum jumlah ahli waris dapat dipastikan.

4. Pencampuradukan nasab lebih-lebih dalam kawin kontrak bergilir. Sebab disini sulit memastikan

siapa ayah dari anak yang akan lahir.

Setelah melihat sumber dari Al-Qur'an dan Hadits serta sudut pandang maslahat dan mudrat kawin

kontrak, dapat kita simpulkan bahwa kawin kontrak tidak diperbolehkan di dalam ajaran agama

Islam.

Wallahu a'lam…Hukum seorang laki-laki muslim menikahi perempuan non muslim )beda agama(

Pernikahan seorang lelaki muslim menikahi seorang yang non muslim dapat diperbolehkan, tapi di sisi lain juga dilarang dalam islam, untuk itu terlebih dahulu sebaiknya kita memahami terlebih dahulu sudut pandang dari non muslim itu sendiri.

1. laki-laki yang menikah dengan perempuan ahli kitab (Agama Samawi), yang dimaksud agama samawi atau ahli kitab disini yaitu orang-orang (non muslim) yang telah diturunkan padanya kitab sebelum al quran. Dalam hal ini para ulama sepakat dengan agama Injil dan Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang sumbernya sama. Untuk hal seperti ini pernikahannya diperbolehkan dalam islam. Adapun dasar dari penetapan hukum pernikahan ini, yaitu mengacu pada al quran,  Surat Al Maidah(5):5,

Page 16: Aik

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”

2. Lelaki muslim menikah dengan perempuan bukan ahli kitab. Yang dimaksud dengan non muslim yang bukan ahli kitab disini yaitu kebalikan dari agama samawi (langit), yaitu agama ardhiy (bumi). Agama Ardhiy (bumi), yaitu agama yang kitabnya bukan diturunkan dari Allah swt, melainkan dibuat di bumi oleh manusia itu sendiri. Untuk kasus yang seperti ini, maka diakatakan haram. Adapun dasar hukumnya yaitu al quran al Baqarah(2):222

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim.

Dari al quran al Baqarah(2):221 sudah jelas tertulis bahwa:

"...Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman..."

Pernikahan seorang muslim perempuan sudah menjadi hal mutlak diharamkan dalam islam, jika seorang perempuan tetap memaksakan diri untuk menikahi lelaki yang tidak segama dengannya, maka apapun yang mereka lakukan selama bersama sebagai suami istri dianggap sebagai perbuatan zina.

Kesimpulannya:Seorang laki-laki muslim boleh menikahi perempuan yang bukan non muslim selama perempuan itu menganut agama samawi, apabila lelaki muslim menikahi perempuan non muslim yang bukan agama samawi, maka hukumnya haram.Sedangkan bagi perempuan muslim diharamkan baginya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak seiman.