hukum islam aik iv

27
AIK IV HUKUM ISLAM Kelompok 8 M Faizal Akbar 201210160311067 Teguh Rahardja 201210160311101 M Yusvan R Sangaji 201210160311104

Upload: m-faizal-akbar

Post on 30-Sep-2015

26 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Berdasarkan pemaparan diata, maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:1. Apa pengertian dan tujuan hukum islam?2. Apa macam dan karakteristik hukum islam?3. Bagaimana peran hukum islam dalam mengatasi kejahatan?

TRANSCRIPT

AIK IVHUKUM ISLAM

Kelompok 8

M Faizal Akbar201210160311067Teguh Rahardja201210160311101M Yusvan R Sangaji201210160311104

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH MALANGFAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS2015BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangKehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1).Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam. Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syariah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ain , yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat. Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Ketetapan Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59 yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah (kehendak) Allah, taatilah (kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil amri di antara kamu .... Menurut ayat tersebut setiap mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak penguasa atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak Allah kini terekam dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam al Hadis, kehendak penguasa (ulil amri) termaktum dalam kitab-kitab hasil karya orang yang memenuhi syarat karena mempunyai kekuasaan berupa ilmu pengetahuan. Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku. Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist. Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuk ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.

1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan pemaparan diata, maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:1. Apa pengertian dan tujuan hukum islam?2. Apa macam dan karakteristik hukum islam?3. Bagaimana peran hukum islam dalam mengatasi kejahatan?

1.3. Tujuan PenulisanBerkaitan dengan pembuatan makalah yang berjudul Hukum Islam, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah tidak lain untuk memberikan pemahaman kepada para pembaca khususnya mahasiswa agar mengetahui secara lebih rinci mengenai hukum islam. Selain itu tujuan pembuatan makalah ini antara lain:1. Mengetahui pengertian dan tujuan hukum islam.2. Mengetahui macam dan karakteristik hukum islam.3. Mengetahui peran hukum islam dalam mengatasi kejahatan.

1.4. Metode PenulisanPenelitian ini dilakukan selama dua minggu. Data yang ada di dalam makalah ini diperoleh dari berbagai sumber tidak langsung yaitu melalui buku dan artikel-artikel di internet. Selanjutnya teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data ini melalui metode deskriptif. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tetapi hanya untuk menggambarkan tentang keadaan.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum IslamMakna syariah adalah jalan ke sumber (mata) air, dahulu (di Arab) orang mempergunakan kata syariah untuk sebutan jalan setapak menuju ke sumber (mata) air yang diperlukan manusia untuk minum dan membersihkan diri. Kata syariah ini juga berarti jalan yang lurus, jalan yang lempang tidak berkelok-kelok, juga berarti jalan raya. Kemudian penggunaan kata syariah ini bermakna peraturan, adapt kebiasaan, undang-undang dan hukum.Syariah islam berarti segala peraturan agama yang di tetapkan Allah untuk ummat islam, baik dari Al-Quran maupun dari sunnah Rasulullah saw. yang berupa perkataan, perbuatan, ataupun takrir (penetapan atau pengakuan). Pengertian tersebut meliputi ushuluddin (pokok-pokok agama), yang menerangkan tentang keyakinan kepada allah berserta sifat-sifatnya, hari akhirat dan sebagainya, yang semuanya dalam pembahasan ilmu tauhid atau ilmu kalam, Hal ini juga mencakup kegiatan-kegiatan manusia yang mengarah kepada pendidikan jiwa dan keluarga serta masyarakat. Demikian pula tentang jalan yang akan membawanya kepada kehidupan yang sejahtera dan bahagia, Ini semuanya termasuk dalam pembahasan ilmu akhlak.Menurut pengertian-pengertian tersebut, syariah itu meliputi hukum-hukum Allah bagi seluruh perbuatan manusia, tentang halal, haram, makruh, sunnah, dan mubah pengertian inilah yang kita kenal ilmu fiqih, yang sinonim dengan istilah undang-undang. Para pakar hukum islam selalu berusaha memberikan batasan pengertian Syariah yang lebih tegas, untuk memudahkan kita mebedakan dengan fiqih,yang dia antaranya sebagai berikut:1. Imam Abu Ishak As-syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqat ushulil ahkam mengatakan:Artinya bahwasannya arti syariat itu sesungguhnya menetapkan batas tegas bagi orang-orang mukallaf dalam segala perbuatan,perkataan dan akidah mereka.2. Syikh Muhammad Ali ath-thawi dalam bukunya kassyful istilahil funun mengatakan:Artinya Syariah yang telah diisyaratkan Allah untuk para hambanya, dari hukum-hukum yang telah dibawa oleh seseorang nabi dan para nabi Allah as. Baik yang berkaitan dengan cara pelaksanaanya, dan disebut dengan fariyah amaliyah, lalu dihimpun oleh ilmu kalam dan syariah ini dapat disebut juga pokok akidah dan dapat disebut juga dengan diin (agama) dan millah. Definisi tersebut menegaskan bahwa syariah itu muradif (sinonim) dengan diin dan milah (agama). Berbeda dengan ilmu fiqih, karena ia hanya membahas tentang amaliyah hokum (ibadah), sedangkan bidang akidah dan hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib dibahas oleh ilmu kalam atau ilmu tauhid.3. Prof.DR. Mahmud Salthut mengatakan bahwa:Syariah ialah segala peraturan yang telah diisyaratkan allah,atau ia telah mensyariatkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya, untuk dirinya sendiri dalam berkomunikasi dengan tuhannya dengan sesama muslim dengan sesama manusia denga alam semesta dan berkomunikasi dengan kehidupan.2.2. Tujuan Hukum IslamSebagaimana kita ketahui bahwa tujuan hukum Islam adalam memberikan pedoman hidup kepada manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Maka muncul pertanyaan Dari mana kita mengetahui tujuan tersebut?. Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah taala dengan bekal untuk hidup yaitu fitrah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam:Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi (HR Bukhari).Fitrah dalam hal ini adalah Islam, yaitu fitrah yang telah Allah tetapkan kepada setiap manusia. Agar fitrah ini selalu terjaga maka manusia diberikan daya dan potensi yaitu berupa: Aql, Syahwah dan Ghadlab. Daya Aql berfungsi mengetahui (marifat) Allah dan mengesakannya. Daya syahwat berfungsi untuk menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan member manfaat bagi manusia. Daya ghadlab berfungsi untuk mempertahankan diri dan memelihara kelanggengan hidup yang menyenangkan.Tujuan hukum Islam dilihat dari segi Pembuat Hukum dapat diketahui melalui penalaran induktif atas sumber-sumber naqli yaitu wahyu baik dari Al-Quran maupun Sunnah. Dalam hal ini ada tiga tujuan hukum Islam yaitu primer, sekunder dan tertier. Berikut penjelasannya: 2.2.1. Tujuan PrimerTujuan primer hukum Islam adalah tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan itu tidak tercapai maka akan menimbulkan ketidak ajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat, bahkan merusak kehidupan itu sendiri. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dlaruriyyat al-khams atau al-kulliyaat al-khams atau sering juga disebut maqasid al-syariah yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang disepakati bukan saja oleh ulama Islam melainkan oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama ialah : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan dan harta. Tujuan hukum ibadah merujuk kepada pemeliharaan agama, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan hukum muamalat merujuk kepada pemeliharaan jiwa dan akal serta keturunan hata. Tjan hukum pidana (jinayah) yang meliputi amar maruf nahi mungkar merujuk kembali kepada pemeliharaan keseluruhan tujuan hukum yang bersifat primer.2.2.2. Tujuan SekunderTujuan hukum Islam sekunder adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia itu. Kebutuhan hidup sekunder itu bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Namun demikian kesempitan hidup tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan hidup manusia secara umum. Kebutuhan hidup yang bersifat sekunder itu terdapat dalam ibadat, adat, muamalat dan jinnayat. Terpeliharanya tujuan sekunder hukum Islam dalam ibadat umpamanya dapat tercapai dengan adanya hukum rukhsah yang berbentuk dispensasi untuk menjamak dan mangqashar shalat bagi mereka yang sedang dalam perjalanan / safar atau mereka yang tengah mengalami kesulitan baik karena sakit atau karena sebab lainnya. Contoh tujuan hukum sekunder dalam adat, seperti adanya kebolehan berburu dan menikmati segala hal yang baik-baik selama hal itu dihalalkanm baik berupa makanan, minuman, sandang, papan dan lain sebagainya. Tujuan hukum sekunder dalam bidang muamalat dapat tercapai antara lain, dengan adanya hukum musaqah dan salam. Musaqah merupakan system kerja sama dalam pertanian, yakni system bagi hasil yang dikenal dengan sebutan paroan sawah. Jual beli salam yaitu system jual beli melalui pesanan dan pembayaran di muka atau di kemudian hari setelah penyerahan barang yang diperjualbelikan. Contoh hukum sekunder dalam bidang hukum pidana atau jinayat seperti adanya system sumpah (al-yamin) dan denda (diyat) dalam proses pembuktian dan pemberian sanksi hukum atas pelaku tindak pidana.2.2.3. Tujuan TertierTujuan tertier hukum islam ialah tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Pencapaia tujuan tertier hukum islam ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang mulia atau al-akhlaq al-karimah. Budi pekerti atau akhlak mulia ini mencakup etika hukum, baik etika hukum ibadah, muamalah, adat, pidana atau jinayah dan muamalat keperdataan. Etika hukum ibadah umpamanya dicerminkan dengan adanya ketetapan hukum bersuci atau thaharah, menutup aurat, mensucikan dan membersihkan najis dari tempat ibdah berhias, melaksanakan kebaikan dalam bentuk shadaqah dan lain sebagainya. Etika hukum dalam hukum adat umpamanya tercermin dengan adanya hukum dan etika tentang bagaimana seharusnya makan-minum, isyraf atau berlebihan dan sebagainya. Etika hukum dalam pidana atau fiqh jinayah umpamanya tercermin dengan adanya ketentuan yang melarang membunuh wanita dalam keadaan perang. Etika hukum tersebut di atas merujuk kepada kebaikan dan keutamaan demi tercapainya tujuan-tujuan hukum yang bersifat primer dan sekunder. Apabila tidak tercapai tujuan hukum tertier tersebut tidak akan mengakibatkan hilangnya esensi tujuan hukum primer dan sekunder.Tujuan hukum diliat dari segi Pembuat Hukum yakni hukum yan ditujukan agar pembuatan hukum dapat dipahami oleh mukallaf. Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu untuk dipahami. Oleh akrena itu untuk mendalami hukum islam diperlukan kecakapan dan kemampuan nmemahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya. Para filolog telah berhasil merumuskan kaidah-kaidah kebahasaan yang digunakan untk memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran. Terkenallah dalam ushul fiqh ada yang disebut al-qawaid al-lughawiyyah yaitu kaidah-kaidah hukum yang didasarkan aras produk para filolog bahasa Arab yang kemudian menjadi bagian penting dari epistemology hukum Islam. Berdasarkan atas kaidah-kaidah kebahassaan inilah hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan sunah dapat dipahami dan digali.2.3. Macam-Macam Hukum IslamHukum itu ada 5 macam, yaitu: Wajib, Haram, Sunnat, Makruh, dan Mubah. Inilah yang dimaksud dengan Al Ahkam Al Khomsah (Hukum Lima).1) WajibWajib adalah sesuatu yang apabila menjalankan mendapat pahala dan apabila meninggalkannya mendapat siksa.Contoh: Sholat 5 waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan dan sebagainya.Jadi wajib itu suatu keharusan yang ada hubungannya dengan siksa dan pahala.2) HaramHaram adalah sesuatu apabila menjalankannya mendapat siksa, dan apabila meninggalkan sesuatu tadi mendapat pahala. Jadi haram itu kebalikan dari wajib.Contoh: Makan bangkai dan juga diharamkan makan darah, begitu juga di haramkan benda-benda najis.3) SunnatSunnat adalah sesuatu apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak disiksa.Contoh: Sholat dhuha dan sholat tahajud.4) MakruhMakruh adalah sesuatu apabila meninggalkannya mendapat pahala dan apabila menjalankannya tidak disiksa.Contoh: Makan dengan bersandaran, menghembus minuman ketika hendah minum karena minuman tadi masih panas misalnya.5) MubahMubah adalah sesuatu apabila menjalankannya tidak mendapat pahala dan apabila meninggalkannya tidak disiksa. Jadi mubah tidak ada sangkut pautnya dengan pahala dan siksa, berarti dijalankan boleh, tidak dijalankan juga boleh. Dan boleh juga sesuatu yang mubah itu disebut HALAL dan sering juga disebut dengan JAIZ. Jadi halah, mubah, dan jaiz mempunyai arti satu (Irsyadul Fuhul).Contoh: Makan dan minum hukumnya mubah.2.4. Karakteristik Hukum IslamMemfokuskan perhatian terhadap suatu karakter hukum islam tidaklah mudah bila kesan pertama yang harus ditunjukkan adalah berpikir objektif. Walaupun harus diakui, realitas subyektifitas pemahaman terhadap karakter bergantung dari sudut mana orang menilainya. Seperti hal seseorang memperhatikan karakter manusia, ia akan menilai karakter-karakter umum pada manusia dan yang khusus pada masing-masing. Demikian juga akan terjadi pada penilaian orang terhadap karakter hukum apapun juga termasuk menyangkut karakter hukum Islam.Karakter untuk suatu pengertian yang umum dan bebas adalah ciri khas tertentu yang memungkinkan perbedaan dengan yang lainnya. Oleh karena ciri khas dapat dipastikan beberapa yang menyifatinya menunjuk karakter yangs esungguhnya dari hukum Islam. Landasan picu untuk menyatakan suatu karakter hukum adalah data faktual menyangkut hukum Islam, di samping keterikatan bahasan-bahasan dimaksud banyak bersifat abstrak sesuai dengan model filsafat hukum IslamKarakteristik hukum islam dapat di jabarkan sebagai berikut:a. Ijmali (Universalitas)jaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).[footnoteRef:1][1] Misalnya pada zaman modern ini kita tidak menemukan secara tersurat dalam sumber hukum Islam (Al-Quran dan Hadits) mengenai masalah yang sedang berkembang pada abad 20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, baik itu qiyas dan sebagainya kita bisa mengleuarkan istinbath hukum dari hukum yang telah ada dengan mengambil persamaan illatnya. Ini berarti hukum Islam itu dapat menjawab segala tantangan zaman. Sebenarnya hukum pada setiap perkembangan zaman itu sudah tersirat dalam Al-Quran dan hanya kita sebagai manusia apakah bisa menggunakan akal kita untuk berijtihad dalam mengambul suatu putusan hukum tersebut. Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik tersebut terdapat dalam Al-Quran yang merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia. Dan Kami (Allah) tidak mengutsu kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya untuk membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Saba: 28). [1: ]

b. Tafshili (Partikularitas)Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Quran senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman: makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan.Dari ayat tersebut dipahami bahwa Islam tidak mengajarkan spiritual yang mandul. Dalam hukum Islam manusia dieprintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam melarang sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.c. Harakat (Elastisitas)Hukum Islam bersifat elastis (lentur, luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik serta tuntutan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Hukum Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik di bidang ibadah, muamalah, jinayah dan lain-lain. Ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa, ia hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh umat manusia. Hak ijtihad diberikan kepada setiap muslim yang mampu berijtihad dan berpedoman kepada dasar-dasar kaidah byang telah ditetapkan.d. Akhlak (Etistik)Dimensi akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:1) Hukum Islam dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Quran) yang dikembangkan melalui kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah.2) Segala peraturan hukum Islam memproyeksikan pada 2 bagian peraturan yakni pengaturan tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir hukum-hukum ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau dengan makhluk lain lingkungannya).e. Tahsini (Estetik)Pengertian yang lazim untuk estetik adalah keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah adalh puncak kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral. Dalam hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik hukum Islam. Secara umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum memberikan pula pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek hukum melaksanakan ibadah-ibadah anjuran seperti shalat sunnat yang beragam macam, Itikaf di mesjid, puasa sunnat dan sadaqah. Karakter hukum Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam berbagai lapangan hukum Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat di antara panca ajaran hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan tahsiniyah (estetik) maslahat hukum.2.5. Perah Hukum Islam Dalam Mengatasi KejahatanPraktik peradilan hukum positif mengalami banyak penyelewengan dan pelanggaran hukum. Penyelewengan itu justru dilakukan aparat penegak hukum (Jaksa dan Hakim) yang bermain mata dengan pihak-pihak tertentu yang menginginkan kasusnya dimenangkan atau diringankan. Praktik jual beli putusan pengadilan berjangkit di mana-mana, sehingga kerapkali kita dengar sindiran sinis mafia peradilan. Tentu berbeda halnya dengan hukum Islam. Hukum Islam ditegakkan kepada siapa saja tanpa pandang bulu, pejabat, politikus, pengusaha, aparat penegak hukum, dan sebagainya. Dalam Islam, rasa taqwa kepada Allah melahirkan penegak hukum yang jujur dan adil. Allah Swt berfirman (yang artinya):Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa : 135).Menurut Bismar Siregar, prinsip hukum Islam tersebut tidak dikenal dalam sistem hukum sekuler (Barat). Peradilan hukum Islam yang berlaku secara adil dan memuaskan para pihak. Suatu saat diajukan seorang pencuri wanita kepada Rasulullah untuk diadili dan dijatuhi hukuman/had potong tangan. Usamah ibn Zaid memohon keringan hukuman kepada Rasulullah, namun sikapnya ini ditanggapi Rasul seraya bersabda, Apakah kamu mengajukan keringanan terhadap salah satu hukuman dari Allah? Demi Allah, kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan ku potong tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim). Perkara lain, Khalifah Usman ibn Affan memerintahkan eksekusi hukuman qishash terhadap Ubaidillah ibn Umar (anak kandung mantan Khalifah Umar ibn Khattab) karena terbukti bersalah membunuh. Hanya saja, eksekusi gagal dilaksanakan karena pihak korban memaafkannya, sebagai gantinya ia dikenakan pembayaran diyat (denda). Juga perkara, Khalifah (Kepala Negara Negara Khilafah Islam) Ali bin Abi Thalib r.a yang berselisih dengan seorang Yahudi soal baju besi. Dalam proses persidangan Kholifah Ali r.a tidak bisa meyakinkan hakim karena saksi yang diajukan Ali adalah anak dan pembantunya. Akhirnya hakim memutuskan Yahudi tidak bersalah.Islam sebagai agama dan ideologi, dilaksanakan secara utuh dengan tigas asas penerapan hukum Islam, pertama ketaqwaan individu yang mendorongnya untuk terikat kepada syariat Islam, kedua pengawasan masyarakat, dan ketiga Negara Islam yang menerapkan syariat Islam secara utuh. Apabila salah satu asas ini telah runtuh, maka penerapan syariat Islam dan hukum-hukumnya akan mengalami penyimpangan, dan akibatnya Islam sebagai agama dan ideologi (mabda) akan hilang dari bumi Allah ini.2.5.1. Allah Memerintahkan Manusia Agar Melaksanakan Hukum IslamHukum positif yang merupakan hasil rekayasa pikiran manusia sangat paradoksal dengan hukum Islam. DR. Taher Azhari mengemukakan bahwa substansi hukum positif (barat) berbeda dengan hukum islam. Hukum Islam dilandasi oleh aqidah dan akhlak. Sedangkan hukum barat mengabaikan keduanya. Norma agama dan susila dimata mereka di luar norma hukum. Pada masa penjajahan belanda, Van Vollenhoven (sarjana belanda) mengeliminasi hukum Islam dan mengkedepankan hukum adat. Ia sengaja menerima dan mengenalkan pemberlakuan hukum adat dengan tujuan mencampakkan hukum Islam.Dengan kemampuan rekayasa berpikir piciknya, ia membuat rumusan bahwa hukum adat lebih tinggi dari pada hukum Islam. Pendapatnya segera mendapat kritikan dan protes dari para pemikir Islam yang concern dengan hukum Islam semisal Prof. Hazairin, SH. Dengan tajam, Hazairin menanggapi teori Van Vollenhoven sebagai teori iblis. Hazairin mengatakan bahwa pendapat Vollenhaven tanpa dasar dan tendensius. Taher Azhari menilai bahwa sarjana barat di masa lalu telah salah paham memahami hukum Islam. Alasannya, sarjana barat hanya mengkaji hukum Islam dengan parameter barat. Mereka tidak memberikan peran pada hukum yang bersumber dari agama.Islam adalah agama sempurna. Tidak ada sistem hukum di muka bumi ini sesempurna Islam. Allah Swt berfirman (yang artinya):Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS. Al-Maidah : 3).Hukum Islam sangat lengkap dan mampu menjawab persoalan hukum dan keadilan. Menurut Syeik Abdurrahman al-maliki dalam kitabnya Nidzam al-Uqubat bahwa sanksi didalam hukum Islam terdiri 4 macam, yakni : Had, Jinayat, Tazir dan Mukhalafah. Sanksi (uqubat) memiliki fungsi pencegah dan penebus. Syeik Muhammad Muhammad Ismail dalam kitabnya Fikr al-Islam menjelaskan bahwa sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Pencegah maksudnya dengan sanksi itu orang takut berbuat jahat, karena menyadari hukumannya berat. Penebus maksudnya orang berdosa di dunia harus mendapatkan hukuman agar ia terlepas siksa di akhirat.Didalam al-Quran, Allah memerintahkan kita untuk berhukum dengannya dan mencampakkan sistem hukum buatan manusia :Maka, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan (al-Quran) dan janganlah kamu mengikuti hawa hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang kepadamu (QS. Al-Maidah : 48).Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS. Al-Maidah : 50).2.5.2. Keampuhan Syariat Islam karena Dorongan Takwa Individu dan Ketegasan NegaraMembicarakan tentang syariat Islam tidak bisa dipisahkan dengan akidah Islam. Sebab, syariat Islam muncul dan berasal dari akidah Islam. Oleh karena itu syariat Islam tidak akan dapat tegak di tengah-tengah masyarakat, kecuali masyarakat tersebut telah menjadikan akidah Islam (tentu juga syariatnya) sebagai pandangan hidup, sebagai ideologi (mabda)-nya. Sehingga masyarakat tersebut memiliki ciri khas sebagai masyarakat Islam, yang menjalankan sistem hukum (peraturan) Islam secara total.Al-Quran telah menggandeng keimanan dengan kerelaan untuk menerima dan menjalankan sistem hukum Islam. Firman Allah Swt (yang artinya):Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa : 65)Ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara perkara akidah (yang menyangkut keimanan) dengan syariat (yang menyangkut sikap rela dengan pelaksanaan hukum Islam) tidak dapat dipisahkan. Dan menganggap bahwa Muslim mana saja yang mengaku-ngaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi tidak mau menjalankan hukum-hukum Islam, bahkan menolak penerapan hukum Islam atas dirinya, atas masyarakat dan atas negara, maka sama saja ia dengan orang yang tidak beriman. Seorang Muslim tidak patut melawan dan menolak penarapan sistem hukum Islam. Rasulullah saw bersabda yang artinya:Tidak beriman seseorang sehingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah didatangkan bersama aku (yaitu hukum-hukum Islam).Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa tatkala Khalifah Ali bin Abi Thalib ra mendakwa salah seorang Yahudi dengan tuduhan pencurian (atas baju zirahnya), dan bukti-bukti yang diminta oleh qadliy Syuraih kepada Khalifah Ali tidak mencukupi (tidak meyakinkan), maka qadliy memutuskan untuk membebaskan si Yahudi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun seorang kepala negara (Khalifah) yang mendakwa salah seorang rakyatnya dengan tindak kejahatan, maka tetap melalui prosedur persidangan.Jika tidak terbukti, maka dibebaskan. Artinya, seluruh warga negara siapapun orangnya sama kedudukannya di depan hukum.Hal yang sama ditunjukkan oleh sikap Rasulullah saw yang tetap menjatuhkan hukum potong tangan terhadap salah seorang wanita bangsawan yang kedapatan mencuri, meskipun Usamah bin Zaid (sahabat kesayangan beliau) meminta untuk tidak menjatuhkan sanksi tersebut. Lalu Rasulullah saw bersabda:Kehancuran orang-orang sebelum kalian (diakibatkan) karena jika pembesar-pembesar mereka mencuri, mereka biarkan. Namun jika orang yang lemah mencuri, mereka memotong (tangan)-nya.Sikap tegas negara (dalam hal ini diwakili oleh sikap Rasulullah saw selaku kepala negara) tampak di dalam sabdanya:Seandainya Fathimah binti Muhammad kedapatan mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya. (HR al-Bukhari).

BAB IIIPENUTUP

3.1. KesimpulanBerdasarkan paparan diatas, maka pelaksanaan sistem hukum Islam termasuk sanksi-sanksi, ditentukan oleh dorongan ketakwaan kaum Muslim dan ketegasan negara di dalam menjalankan sistem hukum Islam. Apabila hal ini terwujud, maka fungsi hukum Islam sebagai pencegah (zawajir) dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, semua itu memerlukan eksistensi masyarakat Islam yang memiliki ketakwaan tinggi-yang berada di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, yang menjalankan sistem hukum Islam secara total.

DAFTAR PUSTAKA

Nourzzaman Shiddiqi, Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1993.Ali, Mohammad Daud: hukum islam. Jakarta: rajawali press, 1998.http://majelispenulis.blogspot.com/2012/01/tujuan-hukum-islam.htmlhttp://poltek-muadz.blogspot.com/http://konsultasi-hukum-online.com/2013/06/karakteristik-hukum-islam/https://darmintombois.wordpress.com/2012/02/21/syariat-islam-dalam-mengatasi-kriminalitas/