agama hindu

7
A. PENDAHULUAN Iklim kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia dewasa ini sedang menghadapi pembangunan terhadap dan berencana atau dikenal dengan sebutan Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Dalam Peliva VI, kita sudah (seharusnya) meninggalkan suatu tahap apa yang dikenal sebagai tahap preconditions for take tahap saat masyarakat tradisional yang berlatar belakang agraris mempersiapakn dirinya untuk “lepas landas”. Dengan demikian, pada Pelita VI kita sudah memasuki tahap take off (lihat Koencaraningrat, 1988). Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang sedang membangun hanya dapat mencapai tujuannya dengan baik jika perubahan-perubahan dimaksud dilandaskan pada peraturan perundangan. Hal ini oleh Mochtar Kusumatmadja (1986) ditegaskan kembali dengan menyatakan bahwa “perubahan yang teratur melalui prosedur hukum…. Lebih baik daripada perubahan yang tak teratur dengan menggunakan kekerasan semata -mata. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku atau masyarakat adat, dari masyarakat (adat) Aceh sampai dengan masyarakat (adat) Irian Jaya. Bangsa Indonesia merupakan masyarakat multietnik dengan berbagai kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku secara turun-temurun. Khususnya dalam bidang aturan pergaulan dalam kehi bermasyarakat, mereka sudah memiliki apa yang dikenal sebagai hukum adat. B. KARAKTERISTIK MASYARAKAT TRADISIONAL Menyebut suatu masyarakat sebagai masyarakat tradisional tidak lain hendak memberikan arti tentang masyarakat yang kuat memegang tradisi atau yang dikenal dengan adat (adat kebiasaan) yang diwariskan dari leluhurnya. Dibawah ini diungkapkan karakteristik masyarakat tradisional sebagai berikut : 1. Pada masyarakat tradisional, setiap individu percaya bahwa mereka tidak mampu mengubah lingkunga (kehidupan) mereka secara mendasar. 2. Masyarakat tradisional memandang segala gagasan baru dengan penuh curiga karena dianggap membahayakan tertib sosial yang telah ada. 3. Status dan pekerjaan pada masa masyarakat tradisional ditentukan oleh pewarisan, bukan oleh kemamp dan prestasi. 4. Masyarakat tradisional sebagian terbesar merupakan extended dan dapat dibedakan dengan apa yang disebut dengan nuclear family. 5. Sikap masyarakat tradisional terhadap individu yang memperoleh kemajuan-kemajuan sering dianggap sebagai kerugian bagi masyarakat secara keseluruhan. Melihat karakteristik masyarakat tradisional di atas, tampak bahwa masyarakat tradisional selalu (cenderung) un mempertahankan keadaan yang sudah ada (status quo) dan menolak setiap gagasan untuk memperbaharui keadaan dimaksud. Masyarakat tradisional dengan segala atributnya bukanlah masyarakat yang menghambat pembangunan pembaharuan, melainkan karena perbedaan pespesi tentang nilai-nilai (values) dari pembahasan itu sendiri yang mengakibatkan munculnya sikap penolakan sebagai mana telah diuraikan diatas.

Upload: indira-devika

Post on 21-Jul-2015

33 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

A.

PENDAHULUAN

Iklim kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia dewasa ini sedang menghadapi pembangunan terhadap dan berencana atau dikenal dengan sebutan Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Dalam Peliva VI, kita sudah (seharusnya) meninggalkan suatu tahap apa yang dikenal sebagai tahap preconditions for take off, yaitu tahap saat masyarakat tradisional yang berlatar belakang agraris mempersiapakn dirinya untuk lepas landas. Dengan demikian, pada Pelita VI kita sudah memasuki tahap take off (lihat Koencaraningrat, 1988). Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang sedang membangun hanya dapat mencapai tujuannya dengan baik jika perubahan-perubahan dimaksud dilandaskan pada peraturan perundangan. Hal ini oleh Mochtar Kusumatmadja (1986) ditegaskan kembali dengan menyatakan bahwa perubahan yang teratur melalui prosedur hukum. Lebih baik daripada perubahan yang tak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku atau masyarakat adat, dari masyarakat (adat) Aceh sampai dengan masyarakat (adat) Irian Jaya. Bangsa Indonesia merupakan masyarakat multietnik dengan berbagai kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku secara turun-temurun. Khususnya dalam bidang aturan pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat, mereka sudah memiliki apa yang dikenal sebagai hukum adat.

B.

KARAKTERISTIK MASYARAKAT TRADISIONAL

Menyebut suatu masyarakat sebagai masyarakat tradisional tidak lain hendak memberikan arti tentang masyarakat yang kuat memegang tradisi atau yang dikenal dengan adat (adat kebiasaan) yang diwariskan dari leluhurnya. Dibawah ini diungkapkan karakteristik masyarakat tradisional sebagai berikut : 1. Pada masyarakat tradisional, setiap individu percaya bahwa mereka tidak mampu mengubah lingkungan

(kehidupan) mereka secara mendasar. 2. Masyarakat tradisional memandang segala gagasan baru dengan penuh curiga karena dianggap

membahayakan tertib sosial yang telah ada. 3. Status dan pekerjaan pada masa masyarakat tradisional ditentukan oleh pewarisan, bukan oleh kemampuan

dan prestasi. 4. Masyarakat tradisional sebagian terbesar merupakan extended dan dapat dibedakan dengan apa yang disebut

dengan nuclear family. 5. Sikap masyarakat tradisional terhadap individu yang memperoleh kemajuan-kemajuan sering dianggap sebagai

kerugian bagi masyarakat secara keseluruhan. Melihat karakteristik masyarakat tradisional di atas, tampak bahwa masyarakat tradisional selalu (cenderung) untuk mempertahankan keadaan yang sudah ada (status quo) dan menolak setiap gagasan untuk memperbaharui keadaan dimaksud. Masyarakat tradisional dengan segala atributnya bukanlah masyarakat yang menghambat pembangunan pembaharuan, melainkan karena perbedaan pespesi tentang nilai-nilai (values) dari pembahasan itu sendiri yang mengakibatkan munculnya sikap penolakan sebagai mana telah diuraikan diatas.

Pembangunan di Indonesia yang sedang memasuki era industrialisasi sering memiliki implikasi pertumbuhan dan perkembangan menjadi masyarakat modern tidak sedikit mengakibatkan timbulnya masa peralihan (in transition) dari suatu masyarakat yang tertutup, statisi, dan terbelakang ke suatu masyarakat yang terbuka, dinamis, maju atau modern C. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KETETIBAN SOSIAL

Perkembangan persepsi masyarakat tentang ketertiban sosial sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Persepsi masyarakat tradisional yang ada umumnya merupakan masyarakat agraris, berbeda dengan masyarakat modern atau masyarakat industri. Persepsi tentang ketertiban sosial dari masyarakat tradisional diungkapkan melalui pandangannya tentang pelanggaran terhadap hukum adat. Pelanggaran adat atau delik adat itu menunjukkan adanya perbuatan sepihak yang oleh pihak lain dengan tegas atau secara diam-diam dinyatakan sebagai perbuatan yang mengganggu keseimbangan (TerHaar dikutip dari Hilman Hadikusuma, 1979). Pada masyarakat modern, persepsi tentang ketertiban sosial selalu dikaitkan dengan peraturan perundang. Ukuran untuk menentukan ada tidaknya gangguan terhadap ketertiban sosial adalah seberapa banyak pelanggaran yang terjadi atas peraturan perundangan. Perbedaan yang mendasar dari kedua Perspektif ketertiban sosial di atas adalah bahwa pada masyarakat tradisional, reaksi masyarakat terhadap gangguan atas keseimbangan dalam masyarakat bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan itu sendiri. Pada masyarakat modern, reaksi negara terhadap pelanggaran hukum yang telah dilakukan seseorang bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih besar dan sekaligus mencegah orang lain melakukan pelanggaran hukum yang sama.

D.

PEMBANGUNAN HUKUM DAN KETERTIBAN SOSIAL

Sesungguhnya ketertiban itu merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan akan kertertiban ini, syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Era pembangunan pada hakikatnya adalah era perubahan tidak hanya semata-mata perubahan fisik, tetapi (seharusnya) juga perubahan sikap (attitudes) manusia dalam masyarakat. Sesuai dengan era pembangunan hukum, kiranya Perspektif yang tepat menurut hemat penulis adalah perspektif sarana pembaharuan. Perspektif ini juga telah merupakan tekad politik (political will) Pemerintah Orde Baru. Kita melihat bahwa kesadaran hukum masyarakat termasuk sebagian besar anggota pembentuk undang-undang di Indonesia masih belum menghayati fungsi dan peranan hukum sebagaimana ditegaskan dalam GBHN. Hukum pidana sebenarnya merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut; menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan; dan menentukan

dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan akan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1987:1). Dengan berlakunya KUHAP (Kita Undang-undang Hukum Acara Pidana) melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981- meskipun merupakan produk nasional-beberapa ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP secara psikologis telah mengakibatkan ketidaktertiban sosial. Kaidah-kaidah hukum itu tidak hanya merupakan kaidah yang adil (harus mempunyai value). Selain itu, penegakan dalam pelaksanaan hukum tidak boleh dilakukan sedemikian rupa sehingga sama sekali menghilangkan nilai etika pada umumnya dan martabat kemanusiaan khususnya (Sunaryati Hartono, 1976:114-115). Bagian lain dari hukum pidana, selain mengenai substansinya yang memerlukan peninjauan kembali karena persoalan sebagaimana telah diuraikan penulis diatas, yang sangat penting bahkan sangat menusuk perasaan kemanusaiaan sejak berabad-abad yang lampau hingga dewasa ini adalah masalah pidana. Secara filosofis, masalah pidana menyangkut pertanyaan: sejauh manakah hak negara untuk menjatuhkan pidana pada seseorang ? secara yuridis, masalah pidana menyangkut tujuan, bentuk pidana, dan cara pelaksanaan dari (bentuk) pidana itu terhadap seseorang yang telah dinyatakan bersalah menurut undang-undang pidana. Sementara itu, secara sosiologis, masalah menyangkut sejauh mana pidana memiliki efektivitas pencegahan dan perlindungan masyarakat terhadap kejahatan di masa yang akan datang. Masalah mendasar dalam hubungan antara hukum pidana yang memiliki alat pemaksa agar anggota masyarakat menaati aturan pergaulan dalam kehidupan (pidana) dengan masalah ketertiban sosial terletak pada seberapa jauh hukum pidana (melalui pidana) dapat menciptakan ketertiban sosial dan masalah mendasar kedua, adalah model ketertiban yang bagaimanakah yang hendak diciptakan oleh hukum pidana dimaksud !. Apabila hukum pidana ditempatkan sebagai fungsinya untuk hanya memelihara ketertiban dapat diperkirakan bahwa model ketertiban sosial yang akan muncul adalah ketertiban sosial yang hanya akan menumbuhkan jarak antara aparat penegak hukum sebagai wakil pemerintah dengan individu sebagai anggota masyarakat. Sebagai konsekuensi logis daripada kondisi penegakan hukum pidana demikian, maka ketertiban sosial yang dicapai adalah ketertiban (sosial) semu, suatu keadaan yang menunjukkan kepatuhan masyarakat tanpa mengetahui atau menyadari keperluan akan adanya kepatuhan dimaksud. Jika hukum pidana ditempatkan tidak hanya memiliki fungsi memelihara ketertiban semata-mata, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pembaharuan-dimana kesadaran hukum masyarakat merupakan modal utama-maka diperkirakan akan dicapai ketertiban sosial yang ajeg (mapan), satu keadaan di mana masyarakat mengetahui dan menyadari sepenuhnya keperluan akan kepatuhannya terhadap hukum.

Atas karunia Hyang Sarasvat umat manusia mempelajari kitab suci Veda dan sastra, syair, tata-bahasa, logika, berbagai Sarasvatpj, 5. Hari Sarasswati Puja Hari Raya Saraswati adalah Hari Raya untuk memuja Sarasswati yang dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari Sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati. Perayaan Saraswati berarti mangambil dua wuku yaitu wuku Watugunung (wuku terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan arti Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu pengetahuan pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi saraswati. Pada hari sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah tertata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi, dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi kembang dan wangi-wangian). Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan mebulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambaing Samadhi. Larangan Membaca dan menulis Ditinjau Dari Hukum Hindu Banyak orang dikalangan masyarakat Hindu menganggap bahwa larangan membaca buku kususnya kitab suci dianggap mitos, dikatakan bahwa kalau tidak belajar bagaimana bisa pandai? Begitulah sebagian orang berfilsafat , mungkin tepatnya berlogika, jika dikatakan berfilsafat mereka pasti memiliki dasar pemikiran yang kuat dan ada sumber sumber sastra yang tersirat meskipun tidak tersurat. Sebaliknya akan muncul pertanyaan sudahkah setiap hari mempelajari kitab suci atau pustaka-pustaka lainnya sampai tidak ada waktu untuk meluangkan waktu untuk berhenti sehari saja dalam 6 bulan untuk memuja tuhan sebagai penguasa dan penganugrah Ilmu Pengetahuan ? jawabannya sudah dapat dipastikan pasti mereka tidak setiap hari mempelajari buku-buku apalagi kitab suci. Didalam Parasara dharmasastra disebutkan bahwa ayat-ayat suci atau petunjuk-petunjuk suci tidak boleh ditafsir dengan logika, harus ada penjelasan dari sang Sadhu (orang suci) atau dalam ilmu modern oleh ahlinya, Yang terpenting adalah dijelaskan oleh orang suci, kenapa orang suci? Didalam weda disebutkan bahwa weda itu ada didalam pikiran , didalam pikiran orang Sadhu (orang suci lahir dan batin). Dalam hukum progresif juga tidak dibenarkan menafsirkan hukum dengan logika sebab bisa berakibat fatal. disiplin dan sejarah).

Ditinjau dari Hukum Hindu larangan terhadap membaca kitab suci atau belajar di hari suci Saraswati sejauh ini didalam weda belum diketemukan, namun dalam tradisi sudah jelas dilarang. Merujuk pada sumber hukum dapat digali dari penjelasan kitab suci Manawa Dharmasastra sebagai berikut: idanim dharma pramanananya ha, vedo khilo dharmamulam smrtisile cas tadvidam, acaras caiva sadhunam atma tustireva ca. (Manavadharmasastra II.6). (Seluruh pustaka suci Veda (Sruti) adalah sumber pertama dari pada Dharma, kemudian kitab-kitab hukum/UndangUndang (Smrti), lalu tingkah laku yang terpuji dari orang orang budiman yang mendalami Veda, adat istiadat (Sadacara), juga kebiasaan suci dan akhirnya kepuasan diri sendiri). Berdasarkan sloka Manawa Dharmasastra tersebut Hukum Adat atau tradisi suci diakui sebagai sumber hukum yang sah. Salah satu sumber hukum larangan membaca bersumberkan pada lontar Sundarigama:

sang hyang pustakam lingganing aksara, pinihayu, puja walian haturaken puspa wangi, kalingania amuja Sang Hyang Bayu, ika samana ika, sira tan wenang angreka aksara, tan wenang angucara weda, puja, mwang kidung kekawin, kawanangan laksanania ayoga ameneng. Berdasarkan ucap lontar tersebut dapat ditafsirkan bahwa dilarang Menulis aksara (sira tan wenang angreka aksara) dilarang mengucapkan mantra weda (tan wenang angucara weda). ada yang menafsirkan sira tan wenang angreka aksara diartikan dilarang Nenten dados ngamatiang aksara tidak boleh membunuh/mematikan aksara. Contoh: Mematikan aksara secara harfiah dalam tradisi Bali berarti menempatkan ulu / hulu (= agar suatu aksara bersuara vokal i) dan suku sekaligus pada suatu aksara (= agar suatu aksara bersuara vokal u). Sebagai contoh: Tha Tha + + suku ulu = = akan akan terbaca terbaca Thu; Tapi Thi; jika

Tha + ulu + suku = akan menjadi aksara mati (tidak terbaca). Menurut penulis hal tersebut hanya untuk mendukung argumen bahwa bagaimana bisa pintar kalau tidak belajar atau membaca . hanya sebuah pembenaran bukan kebenaran.Didalam weda disebutkan bahwa tradisi luhur yang dilembagakan oleh leluhur harus dijaga dan apabila tradisi itu dirusak akan merusak tatanan masyarakat. Pustaka Suci Yang Dilarang Dibaca dan Ditulis Dari uraian diatas timbul pertanyaan pustaka suci yang dimaksud apakah termasuk buku-buku? untuk menjawab pertanyaan yang sederhana tersebut bukanlah hal yang mudah dijawab, perlu pemaparan lebih jauh, namun sekiranya dapat dijabarkan Pustaka suci yang benar-benar dilarang adalah Veda dalam arti luas yaitu kitab Catur Veda , Kitab-kitab Brahmana, Upanishad-Upanishad, Weda Smerti; kitab-kitab Dharmasastra,Itihasa, Purana, Lontar-Lontar dan lain yang sejenisnya yang berkaitan dengan Ajaran Agama atau Ajaran Ketuhanan. Menulis yang dilarang yaitu Menulis Devanagari, Menulis Akasara Bali, Aksara Jawa yang berhubungan Tuhan atau aksara-aksara Suci. untuk buku buku pelajaran atau buku-buku biasa dikembalikan kepada masing-masing individu. Hari Sarasswati Waktunya Pemujaan Tuhan Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan.

sang hyang pustakam lingganing aksara, pinihayu, puja walian haturaken puspa wangi, kalingania amuja Sang Hyang Bayu, ika samana ika, sira tan wenang angreka aksara, tan wenang angucara weda, puja, mwang kidung kekawin, kawanangan laksanania ayoga ameneng Berdasarkan kutipan lontar sundarigama yang dianjurkan padasaat hari suci saraswati adalah melakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Tahu) yaitu dengan mempersenbahkan yadnya dan dengan Yoga semdahi (ayoga ameneng) , merenungkan anugrah Tuhan, berhenti sehari untuk membaca weda dan menulis aksara untuk memuja Tuhan atas kemulian dan keagunganNya. Kembali pada hakekat hari suci Sarasswati adalah waktunya pemujaan Tuhan sebagai sumber ilmu pengetahuan (Viddhi) baik apara vidya (pengetahuan rohani) maupun para vidya (pengetahuan material).

POLITIK MENURUT PERSPEKTIF HINDU Ajaran politik dalam Agama Hindu (Nitisastra) semuanya bersumber darikitab suci Veda. Aliran Veda ini mengalir dan dikembangkan dalam suatu kitab-kitab seperti: Smerti, Ithiasa, Purana, Tantra, Darsana, Upanishad, maupun lontar-lontar Tatwa yang ada sekarang ini. Menurut kitab suci Weda, Politik merupakanc ara untuk menc apai t uj u a n (m en egakkan dharm a). Dim ana dal am p e l aksa n a an u n t u k m e n c a p a i t u j u a n h a r u s t e t a p b e r l a n d a s k a n a k a n a g a m a s e r t a m o r a l d a n etika.K a r e n a i t u , t i d a k l a h d i b e n a r k a n j i k a m a s s a p a r p

o l m e l a k u k a n p e rs em b ah ya n gan di pura -pura dengan t uj uan polit is apal agi di lengk api d e n g an at ri but p a rp ol. Kec u al i jik a m ass a parpol ters ebut k e pura dengan busana yangt epat t a np a te n d ens i po li tis m e la in ka n s em at a -m at a hanya unt uk m em ohonk ank e r a h a y u a n d a n kerahajengan bersama. Terlebih lagi bila disertai dengandharmawacana yang menyuarakan pesanp e s a n m o r a l ( b u k a n p e s a n s p o n s o r parpol).Masyarakat Bali boleh disebut masyarakat yang mengambang, karena tak punya pemimpin yang mengayomi masalah moral, termasuk masalah agama dan politik. Kalaupun ada tokoh-tokoh agama di pedesaan, seperti pengurus Parisadaa t a u p e m i m p i n w a r g a a t a u p e m u k a a d a t t e r m a s u k p e m a n g k u d a n s u l i n g g i h . Namun, kebanyakan dari mereka tak bisa meredam hura-hura yang berbau politik,k arena para e l it e po lit ik s u da h m em b e rika n b a n yak hal yang m enggiurkan, uangunt uk m em bel i m inum an k e ras , posk o u nt uk be rk um pu l, b e nsi n, baj u k aos dan atribut partai untuk identitas kelompok.Adanya era multipartai seperti sekarang ini sungguh mencemaskan banyak orang. K ec em asan orang m em ang b e ra las a n, k a ren a m as ya raka t B al i yang but a pol itik ti dak paham bagaim ana m enyalurkan a sp i rasi n ya di e ra m ult i pa rta i i ni. Berbeda partai dianggap musuh. Padahal partai-partai yang beda itu sesungguhnya punya platform yang sama. Semestinya orang Bali yang mayoritas Hindu bersatu,m e s k i p u n p a r t a i n y a b e r b e d a n a m u n a s a s n y a s a m a . S e h i n g g a , o r a n g B a l i k hus us n ya um at Hi n d u pe rl u belaj ar polit ik agar ti dak di perm ai nk an ol eh el it e polit ik ya n g h a n ya m em ent i ngk a n ke ku as a an. Dan perl u di tek ankan agar um at Hindu tetap rukun, saling asah, saling asih dan saling asuh menghadapi perbedaan partai