a. identitas pasien - sarafambarawa.files.wordpress.com · diperoleh secara autoanamnesis di ruang...

36
1 A. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. S Umur : 42 tahun Jenis kelamin : Perempuan Status perkawinan : Menikah Pendidikan : SD Pekerjaan : SWASTA Alamat : Tlompakan 3/3 Tuntang No CM : 155xxx-xxx Tanggal masuk RS : 25 September 2018 SUBJEKTIF/ANAMESA Diperoleh secara autoanamnesis di ruang Poliklinik Saraf pada tanggal 25 September 2018 jam 11.00. a) KELUHAN UTAMA Pasien merasakan kesemutan disepanjang kedua lengan atas dan bawah hingga tangan dan kebas dari perut bawah hingga kaki sejak 1 minggu SMRS RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien mengatakan timbul kesemutan pada kedua lengan atas, bawah, tangan dan rasa baal yang menjalar dan diawali dari ujung kaki yang disertai kelemahan pada kedua kaki sejak 1 minggu SMRS. Rasa kesemutan diawali dengan nyeri punggung kemeng khususnya bagian kanan kemudian perlahan – lahan timbul rasa baal menjalar dari ujung kaki ke pangkal paha dan kesemutan di kedua ektremitas atas. Rasa Kesemutan seperti ditusuk jarum. Kesemutan dan baal tersebut dirasakan terus – menerus oleh pasien, tidak membaik dengan istirahat dan saat dipijat dengan balsam. Pasien juga merasa sesak bersamaan dengan adanya kesemutan dan baal, sesak dirasakan terus- menerus terutama saat pasien beraktivitas dan tidak membaik dengan istirahat. Dikarenakan

Upload: truongkhanh

Post on 02-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Umur : 42 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status perkawinan : Menikah

Pendidikan : SD

Pekerjaan : SWASTA

Alamat : Tlompakan 3/3 Tuntang

No CM : 155xxx-xxx

Tanggal masuk RS : 25 September 2018

SUBJEKTIF/ANAMESA

Diperoleh secara autoanamnesis di ruang Poliklinik Saraf pada tanggal 25

September 2018 jam 11.00.

a) KELUHAN UTAMA

Pasien merasakan kesemutan disepanjang kedua lengan atas dan bawah hingga

tangan dan kebas dari perut bawah hingga kaki sejak 1 minggu SMRS

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien mengatakan timbul kesemutan pada kedua lengan atas, bawah, tangan

dan rasa baal yang menjalar dan diawali dari ujung kaki yang disertai kelemahan

pada kedua kaki sejak 1 minggu SMRS. Rasa kesemutan diawali dengan nyeri

punggung kemeng khususnya bagian kanan kemudian perlahan – lahan timbul rasa

baal menjalar dari ujung kaki ke pangkal paha dan kesemutan di kedua ektremitas

atas. Rasa Kesemutan seperti ditusuk jarum.

Kesemutan dan baal tersebut dirasakan terus – menerus oleh pasien, tidak

membaik dengan istirahat dan saat dipijat dengan balsam. Pasien juga merasa sesak

bersamaan dengan adanya kesemutan dan baal, sesak dirasakan terus- menerus

terutama saat pasien beraktivitas dan tidak membaik dengan istirahat. Dikarenakan

2

keluhan sesak tersebut semakin memberat, pasien dibawa ke IGD RSUD

Ambarawa, namun kemudian merasa baikan dan dipulangkan.

Pasien tidak merasakan nyeri kepala, pusing berputar ataupun kejang. Nyeri

dan kekakuan pada leher disangkal pasien. Bengkak dan kemerahan pada anggota

tubuh dan wajah disangakal pasien. Wajah perot (-), Lateralisasi (-), penurunan

kesadaran (-). Gangguan bicara atau rasa bingung disangkal oleh pasien. Mual dan

muntah disangkal oleh pasien. Demam disangkal, keringat berlebihan disangkal,

BAB (-) selama 2 hari dan BAK normal tidak sakit dan tidak berdarah. Riwayat

menstruasi normal tidak ada keluhan. Pasien belum mengkonsumsi obat -obatan

untuk gejala yang diderita namun pasien mengaku memakaikan balsam dan minyak

urut pada tubuhnya, namun gejala tidak berkurang.

b) RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Sekitar 3 minggu sebelum kelemahan, kesemutan dan baal timbul pasien

mengaku batuk dan tenggorokan gatal serta perut selalu terasa penuh dan nyeri di

bagian kanan, pasien belum mengkonsumsi obat untuk batuk.

1. Riwayat keluhan serupa : disangkal

2. Riwayat DM : disangkal

3. Riwayat stroke : disangkal

4. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

5. Riwayat batuk lama : disangkal

6. Riwayat trauma : fraktur klavikula 19 tahun lalu

7. Riwayat operasi : diakui, operasi orif

8. Riwayat alergi : disangkal

9. Riwayat Asma : disangkal

10. Riwayat penyakit jantung : disangkal

11. Riwayat penyakit Ginjal : disangkal

12. Riwayat penyakit Hormonal : disangkal

3

c) RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

1. Riwayat keluhan serupa : disangkal

2. Riwayat stroke : disangkal

3. Riwayat DM : disangkal

4. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

5. Riwayat tumor pada keluarga : disangkal

6. Riwayat alergi : disangkal

7. Riwayat batuk lama : disangkal

d) RIWAYAT SOSIAL EKONOMI

• Pasien merupakan seorang karyawan

• Datang dengan status pasien BPJS non PBI, kesan ekonomi baik

• Pasien menyangkal pernah minum minuman keras atau merokok

• Pasien menyangkal memakai obat-obatan terlarang dan jamu jamuan rutin.

e) RIWAYAT PENGOBATAN

• Pasien belum minum obat untuk keluhannya

B. ANAMNESIS SISTEM

1. Sistem cerebrospinal : kelemahan anggota gerak (+),

kesemutan dan baal (+/+), nyeri kepala (-), muntah menyembur (-), pingsan (-),

perubahan tingkah laku (-), wajah merot(-), bicara pelo (-).

2. Sistem kardiovascular : riwayat hipertensi (-), riwayat sakit

jantung (-), nyeri dada (-)

3. Sistem respiratorius : sesak napas (+), batuk (-), riwayat batuk

lama (-), asma (-)

4. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah(-), BAB (-) sejak 2 hari

5. Sistem neuromuskuler : kesemutan dan baal, nyeri punggung (+)

6. Sistem urogenital : BAK (+) normal, tidak nyeri, tidak

4

berdarah

7. Sistem integumen : ruam merah (-)

C. RESUME PASIEN

Pasien atas nama Ny. S, 42 tahun, datang ke poli saraf RSUD Ambarawa pada

tanggal 25 September 2018 dengan riwayat batuk dan gatal tenggorokan serta perut

selalu terasa penuh dan nyeri di bagian lapang perut bagian kanan sekitar 5 minggu

SMRS. 3 minggu setelah itu, Pasien mengatakan keluhan utama yang dirasakan

sekarang yaitu timbul kelemahan pada kedua kaki disertai kesemutan pada kedua

lengan atas, lengan bawah, tangan dan rasa baal yang menjalar diawali dari ujung

kaki sejak 1 minggu SMRS. Rasa kesemutan diawali dengan nyeri punggung

khususnya bagian kanan kemudian perlahan – lahan timbul rasa baal yang menjalar

dari ujung kaki ke pangkal paha sampai perut bawah dan kesemutan di kedua

ektremitas atas. Pasien juga merasa sesak bersamaan dengan adanya kesemutan dan

baal. Dikarenakan keluhan sesak tersebut semakin memberat, pasien dibawa ke

IGD RSUD Ambarawa, namun kemudian merasa baikan dan dipulangkan.

Kelemahan anggota gerak disangkal. Mual dan muntah disangkal oleh pasien.

Demam disangkal, BAB (-) selama 2 hari dan BAK normal. Riwayat menstruasi

normal tidak ada keluhan. Pasien mengatakan hal ini belum pernah terjadi

sebelumnya. Pasien mengaku tidak ada keluarga yang pernah mengalami hal

seperti ini. Pasien tidak memiliki penyakit kronik seperti DM dan hipertensi.

Sepengetahuan pasien di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan tidak ada yang

mengalami hal seperti ini dan tidak ada riwayat batuk lama. Pasien pernah

mengalami kecelakaan 19 tahun yang lalu, didapatkan fraktur pada bagian clavicula

dan dilakukan pemasangan orif dengan anestesi umum.

Pasien sehari-hari bekerja sebagai karyawan, tidak merokok, minum alcohol

atau menggunakan obat terlarang.

5

D. DISKUSI PERTAMA

Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan pasien mengatakan timbul

kelemahan pada kedua kaki disertai kesemutan pada kedua lengan atas,

lengan bawah, tangan dan rasa baal yang menjalar diawali dari ujung kaki

sejak 1 minggu SMRS

Hal diatas dapat menjadi tanda adanya gangguan yang dominan pada area

motorik diikuti dengan ciri gangguan area sensorik yang merupakan karakteristik

klinis dari gangguan LMN (lower motor neuron) dengan onset < 3 minggu

sehingga dapat kita golongkan sebagai onset akut. Hal ini diperkuat dengan diikuti

gejala kelainan flaccid dan tidak ditemukannya penurunan kesadaran, kejang dan

penurunan fungsi kognitif. Berdasarkan pemeriksaan klinis dan studi fisiologi,

dikenal 2 tipe paresis yaitu kelainan UMN (upper motor neuron) dan LMN (lower

motor neuron).

Lower motor neuron (LMN), merupakan neuron eferen dari system saraf perifer

yang mengubungkan system saraf pusat yaitu medulla spinalis (kornu anterior)

dengan otot. Ciri-ciri klinik pada lesi LMN, yaitu :

1. Kelumpuhan / kelemahan bersifat flaccid

2. Penurunan tonus otot

3. Paralisis flaccid otot

4. Atrofi otot

5. Atoni

6. Hiporefleks / arefleks

7. reflex patologis negatif

Pasien juga merasa sesak bersamaan dengan adanya kesemutan dan baal.

Kelemahan progresif pada kelainan LMN dapat mengenai otot inspirasi dan

ekspirasi pernafasan sehingga menyebabkan rasa sesak dan gangguan pernafasan.

Sekitar 3 minggu sebelum kesemutan dan baal timbul pasien mengaku

batuk dan tenggorokan gatal serta perut selalu terasa penuh dan nyeri di

bagian kanan.

6

Infeksi saluran napas atas dan atau infeksi pada pencernaan dapat menjadi

faktor risiko dari gejala kelemahan, kesemutan dan baal yang dirasakan pasien.

Salah satu dari kumpulan kelainan lesi LMN yang dapat menyebabkan gejala diatas

yaitu :

Guillain – Barré Syndrome

Definisi

Guillain-Barré syndrome (GBS) atau acute demyelinating polyneuropathy

merupakan penyakit akut yang dikarakteristikan dengan kelemahan otot

simetris, hilangnya sensasi dan hilangnya atau menurunnya refleks fisiologis.

GBS merupakan sekumpulan gejala poliradikuloneuropati autoimun yang terjadi

pasca- infeksi yang menyerang salah satu komponen saraf perifer yaitu selubung

myelin dan axon, dikategorikan dalam kelainan LMN pada kerusakan neurologi.

Epidemiologi

GBS merupakan neuropati paralitik akut berat yang paling sering terjadi dengan

100.000 orang diseluruh dunia. Walau begitu GBS adalah kelainan yang termasuk

jarang terjadi dengan persentase 0.9-1.9/100000/tahun. Rasio laki- laki dibanding

perempuan 1.5 : 1. Usia insidensi GBS dapat berkisar dari bayi sampai dewasa tua

sedangkan puncak terjadinya GBS terbagi menjadi dua yaitu pada usia 15-35 tahun

dan 50-75 tahun.

Etiologi

Mikroorganisme penyebabnya belum pernah ditemukan pada penderita dan

bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter.

Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus

terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :

1. Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),

enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).

2. Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.

7

3. Trauma Pascah pembedahan dan Vaksinasi.

4. 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit

Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.

Klasifikasi GBS

GBS dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu tipe axonal dan tipe demyelinasi

yang kemudian memiliki subtype dan beberapa varian, yaitu :

1. Acute inflamatorry demyelinating polyneurophaty (AIDP)

AIDP merupakan tipe SGB yang paling sering ditemui. AIDP terutama

mengenai neuron motorik, namun dapat mengenai neuron sensorik dan

otonom. Serologi C.jejuni di temukan positif pada sekitar 40% kasus

subtype ini, sebagian kecil ditemukan antibody GM1.

2. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan

yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan

infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi

akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit

demielinisasi.

3. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody

gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini

memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe

demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan

dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati

motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa

inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita

selama lebih kurang 1 tahun.

4. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.

Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia

8

terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi

ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi

dalam hitungan minggu atau bulan

5. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala

neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih

dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.

6. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.

Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan

terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,

anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

Pathogenesis

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui

dengan pasti. Sehingga etiologi dari GBS tergolong idiopatik. Banyak ahli

membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah

melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan

mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell

mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran

pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi

saraf tepi

Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas

seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.

Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem

imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa

9

komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum

diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya

respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan

lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter

jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein

membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh

Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson.

Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk

gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya

sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan

adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah

kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan

penghantaran impuls saraf.

Gejala klinis

Secara umum, gejala pertama dari GBS adalah nyeri, kelemahan, kebas dan

paraesthesia pada kedua ekstremitas (simetris). GBS merupakan penyebab

paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal, dengan ciri khas parestesia pada

bagian distal dan diikuti secara cepat oleh parese atau paralisis ke empat ekstremitas

yang bersifat asenden. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral simetris. Refleks

fisiologis akan menurun dan kemudian dapat menghilang sama sekali.

Hipoventilasi akibat kelemahan otot respirasi dan diafragma, retensi sekret

akibat hilangnya refleks batuk , hilangnya mekanisme protektif jalan napas dan

disfungsi autonomy (takikardia/bradikardia, aritmia, hiper/hipotensi) dapat

timbul seiring berjalannya penyakit.

Jika dijabarkan secara sistematis gejala klinis yang dapat timbul pada GBS

adalah :

1. Kelemahan Motorik

Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini

10

bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial diplegia. Pasien mengalami paralisis yang khas dapat disebut juga Landry’s ascending paralysis. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. Pada anak-anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia.

2. Perubahan Sensorik

Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi. Pada anak anak rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.

3. Perubahan otonom

Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan

4. Keterlibatan saraf kranial

Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial.

5. Lain-lain

Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga

11

sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka dan dapat ditemui penglihatan kabur (blurred visions).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat membantu menegakan diagnosis pada GBS antaralain:

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin dan metabolik biasanya diperiksa untuk mencari penyebab dari penyakit ini, yang sering meninbulkan GBS ialah adanya infeksi sebelumnnya, elektrolit dan fungsi liver diperiksa bila diperlukan. Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk menyingkirkan penyebab lain paralisis.

2. Pemeriksaan LCS /CSS

Kebanyakan pasien dengan GBS mempunyai kenaikan level protein LCS (>0,55g/L). Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel monosit < 10/mm3 (albuminocytologic dissociation).

3. Pemeriksaan EMG

Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.

Pada beberapa keadaan, gambaran EMG dapat normal karena demielinisasi terjadi pada otot paling proksimal sehingga tidak dapat dinilai oleh EMG.

4. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.

5. Pemeriksaan Antibodi

12

Pemeriksaan antibody antigangliosida dilakukan bila diagnose SGB sulit ditegakan. Antibodi GM1 dan GD1 meningkat terutama pada varian AMAN dan AMSAN.

Diagnosis

Penegakan diagnosis pada GBS dilakukan dengan mengenali tanda dan gejala

serta mengekslusikan penyebab lainnya. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan

bila keadaan dan fasilitas menunjang.

Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)

Gejala utama :

1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas

dengan atau tanpa disertai ataxia.

2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

Gejala tambahan :

1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu

2. Biasanya simetris

3. Adanya gejala sensoris yang ringan

4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral

5. Disfungsi saraf otonom

6. Tidak disertai demam

7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke-2 sampai ke-4

Pemeriksaan LCS :

1. Peningkatan protein (>0,55g/L).

2. Sel MN < 10 /ul

Pemeriksaan elektrodiagnostik :

Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

Gejala yang menyingkirkan diagnosis :

13

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri

2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten

3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul

4. Gejala sensoris yang nyata

Diagnosis Differensial

Diagnosis banding yang memiliki gejala serupa GBS antaralain:

• Myelopathy Akut (cth, akibat kompresi, myelitis transversa, vascular injury)

• Conversion disorder/hysterical paralysis • Porphyria polyneuropathy • Poliomyelitis • Sensory diabetic neuropathy • Arsenic poisoning related neuropathy

Penatalaksanaan Penanganan GBS terdiri dari 2 komponen : penanganan suportif dan

terapi spesifik. Penanganan suportif menjadi hal yang utama dari terapi. Jika pasien

melewati masa akut dari penyakit dengan cepat, kebanyakan akan mengalami

pemulihan fungsi. Namun, neuropati dapat dengan cepat berkembang sehingga

intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik sangat penting dipersiapkan dalam 24

jam setelah onset.

Karena alasan ini, semua pasien dengan GBS harus dirujuk ke rumah

sakit untuk diobservasi pernapasannya, disfungsi saraf cranial, dan instabilitas

otonom. Disfungsi sistem saraf otonom dapat termanifestasikan pada fluktuasi

tekanan darah, disaritmia jantung, pseudo-obstruksi gastrointestinal, dan retensi

urin. Profilaksis untuk deep vein thrombosis juga dibutuhkan karena pasien biasanya

immobile dalam beberapa minggu.

14

Terapi spesifik GBS meliputi:

Kortikosteroid

o Kortikosteroid dalam penanganan GBS sudah diperdebatkan selama

puluhan tahun. Namun, dua penelitian, satu dengan dosis konvensional prednisolone

dan yang lain dengan dosis tinggi methylprednisolone, telah gagal menunjukkan

efek manfaatnya. Meskipun kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan sebagai

penanganan rutin untuk GBS akut, kami telah mengamati beberapa kasus dimana

pemberian intravena dosis tinggi dari kortikosteroid tampaknya dapat menghentikan

perkembangan penyakit.

o Pemberian kortikosteroid tidak efektif dalam menangani GBS. Pada

sitematik review Cochrane dari enam percobaan dengan 587 pasien, rata-rata

menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara pasien yang ditangani

dengan kortikosteroid dan non-kortikosteroid. Pada empat percobaan dari

kortikosteroid oral dengan 120 pasien, ada sedikit kemajuan klinis setelah 4 minggu

pemberian kortikosteroid dibanding tanpa pemberian kortikosteroid, yang

menunjukkan bahwa kortikosteroid oral dapat memberikan pemulihan secara

lambat. Methylprednisolone intravena sendiri tidak menghasilkan manfaat atau

kerusakan yang signifikan. Kombinasi methylprednisolone intravena (500mg per

hari dalam 5 hari) dengan IVIG, dapat mempercepat pemulihan tapi tampak tidak

memberikan efek signifikan untuk hasil jangka panjang.

Plasmapharesis (PE)

o Metode ini digunakan untuk menghilangkan antibody dari darah. Prosesnya

meliputi pengambilan darah dari tubuh, biasanya dari tangan, darah dipompa ke

mesin yang memisahkan antibody, kemudian mengembalikannya lagi ke tubuh

pasien.

o Rejimen yang kami gunakan menghilangkan 200 sampai 250 ml/kg plasma

dalam 4 sampai 6 penanganan pada selang beberapa hari atau dalam jangka waktu

yang lebih pendek jika tidak ada koagulopati. Cairan pengganti yang digunakan

15

yaitu larutan saline dikombinasikan dengan 5% albumin. Akses vena yang besar

biasanya membutuhkan insersi dari subclavia atau kateter internal jugular, dan ini

dapat menjadi sumber utama komplikasi (pneumothorax, infeksi, hemoragik). Pada

kebanyakan pasien, penatalaksanaan ini dapat dilakukan melalui vena antekubiti.

Saat prosedur, hipotensi, hipoprotrombinemia dengan perdarahan (biasanya

epitaksis) dan aritmia jantung dapat terjadi. Beberapa grup memilih untuk

menggunakan kadar fibrinogen, yang saat menurun saat dilakukannya

plasmapharesis, sebagai meteran untuk risiko dari potensi hemoragik sebelum

memulai pemeriksaan dan penggantian berikutnya. Hepatitis dan AIDS tidak

berisiko jika plasma diganti dengan albumin dan saline dibanding dengan pooled

plasma.

Immunoglobulin Intravena (IVIG)

o Metode ini digunakan untuk memblok antibody dengan menggunakan dosis

tinggi dari immunoglobulin (IVIG). Pada kasus ini, immunoglobulin dimasukkan ke

dalam darah dalam jumlah besar, yang mengakibatkan terhambatnya antibody yang

menyebabkan inflamasi.

o The Dutch Study Group telah menemukan bahwa intravenous

administration of immune globulin (0,4g/kg per hari untuk 5 hari berturut-turut)

sama efektifnya dengan penggantian plasma dan lebih mudah serta mungkin lebih

aman karena tidak dibutuhkannya akses intravena yang besar. Hasil dari penelitian

yang dilakukan dengan membandingkan dua model penatalaksanaan dan dievaluasi

secara berkala. Pada percobaan akhir ada tren dimana hasil lebih baik ada pada

pasien yang menerima pertukaran plasma, dan hasilnya lebih bagus lagi pada grup

yang memberikan pergantian plasma diikuti dengan 5 hari pemberian immuno

globulin. Kebanyakan pasien mentoleransi penatalaksanaan IVIG dengan baik.

Gagal ginjal, proteinuria, dan meningitis asepsis, yang berbentuk sakit kepala hebat,

dan komplikasi langka. Satu-satunya reaksi serius yang ditemukan pada beberapa

pasien yang secara kongenital kekurangan IgA dan yang mendapatkan pooled

gamma globulin mengakibatkan anafilaksis dan inflamasi lokal vena thrombosis.

16

Prognosis

• 3-5% pasien tidak bertahan hidup, walaupun ditangani di rumah sakit dengan

peralatan tercanggih.

• Pada stadium awal, kematian banyak disebabkan oleh gagal jantung, yang

mungkin berhubungan dengan dysautonomia, adult respiratory syndrome,

atau beberapa kegagalan mesin yang tidak disengaja.

• Pada stadium akhir, emboli paru dan komplikasi lainnya (biasanya karena

bakteri) karena imobilisasi yang lama dan gagal napas menjadi penyebab

utama kematian.

• Mayoritas pasien sembuh total atau mendekati total (dengan defisit

motorik ringan pada kaki atau tangan).

• Masa penyembuhan bervariasi. Kadang terjadi dalam beberapa minggu

atau bulan, namun, jika terdapat degenerasi akson, regenerasinya mungkin

membutuhkan waktu 6 sampai 18 bulan atau bahkan lebih.

• Tidak adanya perubahan atau sedikit perubahan dapat diperkirakan apabila

terdapat disabilitas yang berlangsung selama 2 sampai 3 tahun.

• 5-10% pasien mendapatkan rekurensi dari polineuropati akut.

E. DIAGNOSIS SEMENTARA

Diagnosis klinis : tetraparese layu , Tetrahipestesia pada ujung – ujung

ekstremitas

Diagnosis topis : Radiks neuron

Diagnosis etiologi : - Autoimun susp. Guillain Barre Syndrome

- Infeksi : myositis

- Neoplasma : paraneoplastic syndrome

- Trauma

17

F. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Selasa, 25 Sepmtember 2018 pukul 11.20

Status Generalis

KU : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis (GCS E4-V5-M6)

Tanda Vital

Tekanan Darah : 170/100 mmHg

Nadi : 108 kali/ menit

Respirasi : 22 kali/ menit

Suhu : 36,7oC

Status Gizi : Kesan baik

Kepala : normocephal, rambut hitam, distribusi merata

Mata : edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera

ikterik (-/-), pupil bulat isokor ø 3 mm/3 mm,

RCL+/+, RCTL+/+, refleks kornea+/+

Telinga : bentuk normal, lubang lapang, membran timpani

intak, discharge (-)

Hidung : deformitas (-), deviasi septum (-), sekret (-)

Tenggorokan : mukosa tidak hiperemis, uvula ditengah

Leher : simetris, tidak ada pembesaran KGB

Thoraks : simetris, normochest, VBS +/+, rhonki -/-,

wheezing -/-, BJ I dan II regular, murmur (-),

gallop (-)

Abdomen : datar, supel, bising usus (+), hepar dan lien tidak

teraba

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-)

18

Status Psikiatri

Tingkah laku : Normoaktif

Perasaan hati : Normoritmik

Orientasi : Orientasi orang, waktu, dan tempat baik

Kecerdasan : Dalam batas normal

Daya ingat : Dalam batas normal

Status Neurologis

Sikap : Simetris dan lurus

Gerakan abnormal : tetraparese ekstremitas

Kognitif : Tidak ada gangguan komunikasi

Anggota gerak atas Kanan Kiri

Gerakan Bebas Bebas

Kekuatan 5 5

Tonus N N

Trofi E E

Refleks fisiologis + +

Refleks patologis - -

Sensibilitas kesemutan kesemutan

Anggota gerak bawah Kanan Kiri

Gerakan Bebas Bebas

Kekuatan 4 4

Tonus N N

Trofi E E

Refleks fisiologis + +

Refleks patologis - -

Sensibilitas baal baal

19

a) Nervus cranialis :

N. I (OLFAKTORIUS) Lubang hidung

Kanan

Lubang hidung

Kiri

Daya Penghidu Normal Normal

N. II (OPTIKUS) Mata Kanan Mata Kiri

Daya Penglihatan Normal Normal

Pengenalan Warna Normal Normal

Lapang pandang Normal Normal

N.III (OKULOMOTORIS) Mata Kanan Mata Kiri

Ptosis - -

Gerak Mata Ke Atas Normal Normal

Gerak Mata Ke Bawah Normal Normal

Gerak Mata Ke Media Normal Normal

Ukuran Pupil 3 mm 3 mm

Bentuk Pupil Isokor Isokor

Reflek Cahaya Langsung + +

Reflek Cahaya Konsesuil + +

Strabismus Divergen - -

Diplopia - -

20

N.IV (TROKHLEARIS) Mata Kanan Mata Kiri

Gerak Mata Lateral Bawah Normal Normal

Strabismus Konvergen Normal Normal

Diplopia - -

N. V (TRIGEMINUS) Kanan Kiri

Mengigit Normal Normal

Membuka Mulut Normal Normal

Sensibilitas Muka Atas Normal Normal

Sensibilitas Muka Tengah Normal Normal

Sensibilitas Muka Bawah Normal Normal

Reflek Kornea + +

N. VI (ABDUSEN) Mata Kanan Mata Kiri

Gerak Mata Lateral Normal Normal

Starbismus Konvergen - -

N. VII (FASIALIS) Kanan Kiri

Kerutan Kulit Dahi Normal Normal

Kedipan Mata Normal Normal

Lipatan Nasolabial Normal Normal

21

Sudut Mulut Normal Normal

Mengerutkan Dahi Normal Normal

Mengangkat Alis Normal Normal

Menutup Mata Normal Normal

Meringis Normal Normal

Tik Fasial - -

Daya Kecap 2/3 Depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. VIII (AKUSTIKUS) Kanan Kiri

Mendengar Suara Berbisik Normal Turun

Mendengar Detik Arloji Normal Turun

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.IX (GLOSSOFARINGEUS) Keterangan

Arkus Faring Simetris

Daya Kecap 1/3 Belakang Tidak dilikakukan

Reflek Muntah Tidak dilakukan

Tersedak Tidak dilakukan

22

N. X (VAGUS) Keterangan

Arkus faring Simetris

Bersuara Normal

Menelan Normal

N. XI (AKSESORIUS) Keterangan

Memalingkan Kepala Normal

Sikap Bahu Normal

Mengangkat Bahu Normal

Trofi Otot Bahu Eutrofi

N. XII (HIPOGLOSUS) Keterangan

Sikap lidah Normal

Tremor lidah (-)

Menjulurkan lidah Normal

Trofi otot lidah (-)

Fasikulasi lidah (-)

Pemeriksaan Khusus

- Pemeriksaan Fungsi Motorik

a. Badan Respirasi

Duduk

Teratur

Normal

b. Berdiri dan berjalan Gerakan abnormal

23

Tremor

Atetosis

Mioklonik

Khorea

(-)

(-)

(-)

(-)

c. ekstremitas Superior Inferior

Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan aktif aktif menurun menurun

Kekuatan 4444 4444 4444 4444

Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi

Tonus Eutonus Eutonus Eotonus Eotonus

- Pemeriksaan Refleks

Kanan Kiri Keterangan

Fisiologis

Biceps

Triceps

KPR

APR

Hiporefleks

Patologis

Babinski

Chaddock

Hoffman tromer

Reflek primitif

Palmomental

Snout

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

- Pemeriksaan Sensibilitas

kanan kiri keterangan

24

Raba Tetrahiperparestesi

Tangan dan kaki

(Glove – Stocking)

Nyeri

Suhu

proprioseptif N N

- Pemeriksaan fungsi vegetative/otonom :

• Miksi : BAK normal, inkontinensia urin (-),retensio (-),anuria(-)

• Defekasi : BAB (-) 2 hari, inkontinensia (-),retensio(-)

• Sekresi keringat : baik

- Pemeriksaan Rangsang Meningeal :

Kaku kuduk (-)

Kernig (-)

Brudzinsky I (-)

Brudzinsky II (-)

Brudzinsky III (-)

Brudzinsky IV (-)

25

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium, tanggal 26 September 2018

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

DARAH LENGKAP

Hemoglobin 14,7 11,7 – 15.5 g/dl

Leukosit

• Limfosit

• Monosit

• Eosinofil

• Basofil

• Neutrofil

• Limfosit %

• Monosit %

• Eosinofil %

• Basofil %

• Neutrofil %

14,4 H

1,48

0,682

0,010

0,055

12.2 H

10 L

4,74

0,070 L

0,382

84,5 H

3,6 – 11,0 ribu

1,0 – 4,5 x 103/mikro

0,2 – 1,0 x 103/mikro

0,04 – 0,8 x 103/mikro

0 – 0,2 x 103/mikro

1,8 – 7,5 x 103/mikro

25 – 40%

2 – 8%

2 – 4%

0 – 1%

50 – 70%

Eritrosit 4,76 4,4 – 5,9 juta

Hematokrit 39,2 40 – 52 %

Trombosit 347 150 – 400 ribu

MCV 82,3 82 – 98 fL

MCH 30,8 27 – 32 pg

MCHC 37,4 H 32 – 37g/dl

KIMIA KLINIK

Glukosa puasa 112 H 74 – 108 mg/dl

Glukosa 2 jam PP 175 H <120

SGOT 28 0 – 50 U/L

SGPT 63 H 0 – 50 U/L

Ureum 28,8 10 – 50 mg/dl

26

Kreatinin 0,65 0,62 – 1,1 mg/dl

HDL

• HDL Direct

• LDL Cholesterol

35

190,2 H

>40 mg/dl

<150 mg/dl

Asam urat 3,65 2 – 7 mg/dl

Cholesterol 252 H <245 mg/dl

Trigliserida 134 70 – 140 mg/dl

Na + K + Cl

Natrium 135 L 136-145 mmol/L

Kalium 4.0 3.5-5.1 mmol/L

Chlorida 104 98-106 mmol/L

Pemeriksaan Rontgen Thorax PA,

• Cor : bentuk dan letak jantung normal

• Pulmo : Corakan meningkat

Tak tampak bercak

27

• Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip

• Kesan :

- Cor tak membesar

- Pulmo tak tampak infiltrate

H. DISKUSI KEDUA

Dari hasil pemeriksaan diatas, ditemukan bahwa tekanan darah dan nadi pasien

meningkat yang dapat merupakan tanda dari disfungsi autonomy. Pada pemeriksaan

neurologis ditemukan adanya kelemahan motorik dan gangguan sensoris pada pasien

berupa tetraparese flaccid dan tetrahiperparestesi tipe glove-stocking. Reflex fisiologis

pasien menurun dan reflex patologis negatif. Hal ini menunjukan adanya gangguan

pada Lower Motor Neuron tepatnya pada neuron motorik dan sensorik yang mengarah

pada gejala polyradiculoneuropathy dimana radiks neuron motorik dan sensorik pada

saraf perifer terganggu.

Pemeriksaan penunjang darah rutin, leukosit pasien meningkat, dimana dapat

menunjukan adanya infeksi pada tubuh. Pada kimia klinik, glukosa puasa dan glukosa

2 jam PP pasien meningkat, SGPT, LDL cholesterol serta Cholesterol meningkat. Pada

pemeriksaan elektrolit ditemukan penurunan natrium atau hyponatremia yang

merupakan salah satu tanda disfungsi otonomi yaitu akibat adanya gangguan serat saraf

otonom karena kerusakan struktural oleh autoimun pada GBS sehingga regulasi sekresi

Antidiuretic Hormone (ADH) terganggu dan menyebabkan syndrome of inappropriate

secretion of antidiuretic hormone (SIADH). The syndrome of inappropriate secretion

of antidiuretic hormone (SIADH) merupakan keadaan dimana terdapat gangguan

eksresi air yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh untuk menekan ADH, jika

intake air melebihi air yang di eksresi, retensi air dalam tubuh akan menyebabkan

hyponatremia.

Dari hasil pemeriksaan rontgen thorax PA didapatkan kesan: cor tidak membesar

dan tidak tampak inflitrat pada pulmo yang menunjukan tidak adanya infeksi pada paru

yang dapat menjadi penyebab sesak nafas dari system respiratorius dan faktor risiko

28

kelemahan yang terjadi pada pasien. Pemeriksaan thorax PA dilakukan untuk

memeriksa hyperplasia pada thymus untuk menunjang diagnosis berupa kelainan

autoimun.

Dari hasil seluruh pemeriksaan, diagnosis berupa myositis disingkirkan karena

tidak adanya demam, bengkak pada otot dan daerah periorbital, ruam merah pada kulit

juga tidak ditemukan pada pasien. Sedangkan untuk paraneoplastic syndrome pun

disingkirkan karena tidak adanya kelemahan ekstremitas asimetris, demam, dysgeusia

dan cachexia.. Pada pasien ini didapatkan tanda dan gejala yang mengarah pada

gangguan saraf tepi yaitu polyradiculoneuropathy simetris yang bersifat akut dan

progresif dimana dapat disebut juga dengan Guillain- Barre Syndrome.

Diagnosis Akhir

Diagnosis klinis : Tertraparesis flaccid akut + Tetrahipestesia tipe glove &

stocking akut, electrolyte imbalance

Diagnosis topis : Radiks neuron

Diagnosis etiologi : Autoimun susp. Guillain Barre Syndrome

Infeksi

Dasar Diagnosis

Dasar diagnosis klinis : adanya kelemahan keempat anggota gerak dan terjadi

gangguan sensibilitas pada ekstremitas atas, bawah dan regio abdomen bawah secara

simetris dengan onset akut dan progresif, ditemukan hyponatremia pada pemeriksaan

penunjang.

Dasar diagnosis topis : adanya hipestesia dan parese pada bagian anggota gerak

(polyneuropathy)

Dasar diagnosis etiologik : sebelum kelemahan terjadi (sekitar 3 minggu) terdapat

gangguan traktus respiratorius bagian atas berupa batuk dan gatal pada tenggorokan

dan terdapat peningkatan pada leukosit.

29

PLANNING

• Terapi medikamentosa :

IVFD Asering 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

Inj. Metycobalamin 1 x 1 amp

Inj. Ketorolac 2 x 30 mg extra 1 hari

Po : Paracetamol 3 x 650 mg

Metylprednisolon 4 x 125 dosis tetap

PROGNOSIS

Death : Dubia ad bonam

Disease : Dubia ad bonam

Dissability : Dubia ad bonam

Discomfort : Dubia

Dissatisfaction : Dubia ad bonam

Distutition : Dubia ad bomam

Diskusi III

• IVFD Asering 20 tpm

Stabilisasi hemodinamik dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid secara

intravena.

• Injeksi ranitidine 2x1 amp

Ranitidine merupakan antagonis reseptor H2 (AH2) yang bekerja menghambat

sekresi asam lambung. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam

lambung, dengan pemberian ranitidine maka reseptor tersebut akan dihambat secara

selektif dan reversible sehingga sekresi asam lambung dihambat. Ranitidine

30

diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan interaksi obat

lain.

• Injeksi Methylcobalamin 1x1

Methylcobalamin atau mecobalamin adalah salah satu bentuk kimia dari vitamin

B12 (cobalamin), yaitu vitamin larut air yang memegang peranan penting dalam

pembentukan darah serta menjaga fungsi sistem saraf dan otak.

• Methylprednisolone 4x125 mg dosis tetap

Methylprednisolone digunakan pada indikasi alergi dan inflamasi, penyakit

reumatik yang memberi respon terhadap terapi kortikosteroid, penyakit kulit dan

saluran napas, penyakit endokrin, penyakit autoimun, gangguan hematologic,

syndrome nefrotik

• Paracetamol 2x650 mg

Parasetamol atau asetaminofen diindikasikan untuk mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang, seperti sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot, dan nyeri setelah pencabutan gigi serta menurunkan demam. Selain itu, parasetamol juga mempunyai efek anti-radang yang lemah.

• Inj. Cerftriaxone 2x1gr

Merupakan golongan sefalosporin yang mempunyai spektrum luas dengan waktu

paruh eliminasi 8 jam. Efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan negative.

Bekerja dengan menghambat pembentukan dinding kuman. Dosis IV pada dewasa

0.5-2g.

• Inj. Ketorolac 2x30mg

Ketorolac merupakan analgesik poten dengan anti-inflamasi sedang. Ketorolac

memperlihatkan efektivitas sebanding morfin, masa kerjanya lebih panjang dan efek

sampingnya lebih ringan. Karena ketorolac sangat selektif menghambat COX-1,

maka obat ini hanya dianjurkan dipakai tidak lebih dari 5 hari karena kemungkinan

tukak lambung dan iritasi lambung besar sekali.

• Renadinac 2 x 50 mg

Renadinac merupakan obat yang berisi Natrium Dikolfenak merupakan golongan

NSAID (non-steroid anti-inflamatory drug) dimana kandungan ini diindikasikan

31

untuk penyakit peradangan pada sendi dan tulang. Obat ini dapat mengurangi

peradangan dan mengurangi nyeri

FOLLOW UP

Tanggal S O A P

26/09/2018

Kelemahan dan kebal

pada ekstremitas

bawah (+),

kesemutan pada

ekstremitas atas (+)

ujung-ujung jari

tangan sulit

menggenggam, sesak

nafas (+), mual (-),

muntah (-) demam (-

), BAB (-) sejak 2

hari, BAK (+)

normal, nyeri

punggung bagian

kanan (+) , cephalgia

(-)

KU: sakit sedang

Kes: compos

mentis

GCS: E4 V5 M6

TD: 132/95mmHg

N: 84 x/mnt

RR: 21 x/mnt

S: 36,1ºC

SpO2:98%

Motorik :

5 5

4 4

Sensibilitas :

hiperparestesia

Guillain-Barre

syndrome Hp-

II/Ho IX

Terapi Saraf

IVFD Asering 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

Inj. Metycobalamin 1 x 1

amp

Inj. Ketorolac 2 x 30 mg

extra 1 hari

Po Paracetamol 3 x 650

mg

Metylprednisolon 4 x 125

dosis tetap

27/09/2018

Kelemahan dan kebal

pada ekstremitas

bawah (+) terasa

melayang saat

berjalan, kesemutan

pada ekstremitas atas

(+) jari tangan sulit

menggenggam, sesak

nafas (-), mual (-),

KU: sakit sedang

Kes: compos

mentis

GCS: E4 V5 M6

TD: 140/90 mmHg

N: 80 x/mnt

RR: 18 x/mnt

S: 36,5ºC

SpO2:98%

Guillain-Barre

syndrome Hp-

III/Ho X

Terapi Saraf

IVFD Asering 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

Inj. Metycobalamin 1 x 1

amp

Inj. Ketorolac 2 x 30 mg

extra 1 hari

32

muntah (-) demam (-

), BAB (-) sejak 3

hari, BAK (+)

normal, nyeri

punggung bagian

kanan (+) , cephalgia

(-)

5 5

Motorik : 4 4

Sensibilitas :

hiperparestesia

Po Paracetamol 3 x 650

mg

Metylprednisolon 4 x

125 dosis tetap

28/09/2018

Ekstremitas bawah

sudah ringan namun

masih kebal pada

kaki kiri, kesemutan

pada ujung- ujung

jari tangan (+), sesak

nafas (-), mual (-),

muntah (-) demam (-

), BAB (-) sejak 4

hari, BAK (+)

normal, nyeri

punggung bagian

kanan (+) , cephalgia

(-)

KU: sakit sedang

Kes: compos

mentis

GCS: E4 V5 M6

TD: 130/90 mmHg

N: 80 x/mnt

RR: 20 x/mnt

S: 36 ºC

SpO2:99%

5 5

Motorik : 5 5

Sensibilitas :

hiperparestesia

Guillain-Barre

syndrome Hp-

IV/Ho XI

IVFD Asering 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

Inj. Metycobalamin 1 x 1

amp

Inj. Ketorolac 2 x 30 mg

extra 1 hari

Po Paracetamol 3 x 650

mg

Metylprednisolon 4 x

125 dosis tetap

29/09/2018

Kelemahan dan

kebas pada

ekstremitas bawah (-)

pasien sudah dapat

berjalan, rasa kebas

hanya pada regio

inguinal dextra (+),

kesemutan pada

KU: sakit sedang

Kes: compos

mentis

GCS: E4 V5 M6

TD: 141/92 mmHg

N: 80 x/mnt

RR: 20 x/mnt

S: 36,6ºC

Guillain-Barre

syndrome Hp-

V/Ho XII

IVFD Asering 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

Inj. Metycobalamin 1 x 1

amp

Inj. Ketorolac 2 x 30 mg

extra 1 hari

33

ekstremitas atas (-),

sesak nafas (-), mual

(-), muntah (-)

demam (-), BAB (-)

sudah 6 hari , nyeri

punggung bagian

kanan (-) , cephalgia

(-)

SpO2:99%

5 5

Motorik : 5 5

Sensibilitas :

Hiperparestesia

Po Paracetamol 3 x 650

mg

Metylprednisolon 4 x

125 dosis tetap

30/09/2018

Kelemahan dan

kebas pada

ekstremitas bawah (-)

pasien sudah dapat

berjalan, rasa kebas

hanya pada regio

inguinal dextra (-),

kesemutan pada

ekstremitas atas (-),

sesak nafas (-), mual

(-), muntah (-)

demam (-), BAB (-)

sudah 6 hari , nyeri

punggung bagian

kanan (-) , cephalgia

(-)

KU: sakit sedang

Kes: compos

mentis

GCS: E4 V5 M6

TD: 140/90 mmHg

N: 68 x/mnt

RR: 20 x/mnt

S: 36,9 ºC

SpO2:98%

5 5

Motorik : 5 5

Sensibilitas :

Hiperparestesia (+)

Guillain-Barre

syndrome Hp-

VI/Ho XIII

IVFD Asering 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

Inj. Metycobalamin 1 x 1

amp

Po Paracetamol 3 x 650

mg

Program : bila stasioner,

senin BLPL.

34

01/10/18

Kelemahan dan

kebas pada

ekstremitas bawah (-)

pasien sudah dapat

berjalan, rasa kebas

hanya pada regio

inguinal dextra (-),

kesemutan pada

ekstremitas atas (-),

sesak nafas (-), mual

(-), muntah (-)

demam (-), BAB (+)

, nyeri punggung

bagian kanan (-) ,

cephalgia (-)

KU: sakit sedang

Kes: compos

mentis

GCS: E4 V5 M6

TD: 150/90 mmHg

N: 72 x/mnt

RR: 20 x/mnt

S: 36,5 ºC

SpO2:98%

5 5

Motorik : 5 5

Sensibilitas :

Hiperparestesia (+)

Guillain-Barre

syndrome Hp-

VII/Ho XIV

(BLPL)

Inf. Asering 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x1gr

(H.VI)

Inj.meticobalamin 1x1

Inj. Ranitidine 2x1

Po : paracetamol 3x650

BLPL

Obat pulang :

Ranitidin 2 x 1

Metycobalamin 3 x 500

Renadinac 2 x 50

Metylprednisolon 2 x 32

mg

Kontrol ke poli saraf 5

hari lagi ( 6/10/18)

35

36

DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, S. N. 2013. Sindroma Guillain-Barre dalam Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan

II Neurologi Malang 2013. PT Danar Wijaya, Malang. p27-42

Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com /health/ guillain-

barre- syndrome /DS00413/ DSECTION.

Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome,

http://www.americanfamilyphysician.com.

Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :

URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.

Hartung HP. Infections and the Guillain-Barré Syndrome. J Neurol Neurosurg Psychiatry.

1999; 66: p. 277. doi: 10.1136/jnnp.66.3.277

Ramachandran TS, Lorenzo N. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy.

In: Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. New York, NY:

WebMD. http://emedicine.medscape.com/article/1169959-overview. Updated June 8,

2017. Accessed June 13, 2017