disertasi wakit abd, bab i-viii, revisi ujian tertutup, 15 maret 2013, 08.00-11.00 _repaired

Upload: datablog77

Post on 31-Oct-2015

1.380 views

Category:

Documents


20 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Bab satu berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

    dan manfaat penelitian meliputi manfaat teoretis dan manfaat praktis. Masing-masing

    bagian tersebut deskripsi lengkapnya seperti berikut.

    A. Latar Belakang Masalah

    Penelitian yang dilakukan untuk penulisan disertasi ini tentang kearifan lokal

    dalam bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen.

    Menurut pandangan para ahli, bahasa dan budaya1 Jawa Kebumen (termasuk

    masyarakat nelayan) merupakan bagian integral dari ranah bahasa dan budaya Jawa

    Banyumas yang bersifat konservatif yang mengandung unsur relik2 (Nothofer, 1981).

    Adapun bahasa dan budaya Jawa menurut karakteristiknya dibedakan menjadi empat

    kelompok besar, yaitu bahasa dan budaya Jawa Surakarta, Banyumas, Jawa Timur

    dan Pesisir (Uhlenbeck, 1972: 75), dalam hal ini bahasa dan budaya Jawa Kebumen

    termasuk sub-Banyumas. Bahasa dan budaya Jawa dalam konteks penelitian ini

    dipahami menurut tradisi yang berlaku pada masyarakat nelayan di pesisir selatan

    Kebumen, dan secara etnolinguistis dimungkinkan mengandung kearifan lokal.

    Pengertian kearifan lokal didefinisikan sebagai perangkat3 pengetahuan dan

    praktik-praktik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi

    dengan cara yang baik dan benar (Ahimsa, 2007). Demikian pula perangkat

    pengetahuan dan praktik-praktik yang dimiliki masyarakat nelayan tersebut secara

    1 Budaya yaitu pikiran, akal-budi (Poerwadarminta, 1982: 157). Dalam hal ini adat-istiadat yang menyangkut pola-pikir,

    pandangan dunia, pandangan hidup nelayan di pesisir selatan Kebumen dipahami termasuk budaya Jawa. 2 Relic barang peninggalan, peninggalan, barang milik orang keramat(Echols dan Shadily, 1996: 476). 3 Kata perangkat dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan tersebut terdiri dari berbagai unsur dan membentuk

    suatu kesatuan yang mengandung pengertian. Kearifan itu berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas di suatu tempat yang digunakan secara baik dan benar terhadap berbagai persoalan yang dihadapi. Wujud kearifan lokal dalam kenyataan hidup sehari-hari adalah berupa pengetahuan dan pola-pola interaksi dan pola-pola tindakan dalam praktiknya (Ahimsa-Putra, 2007).

  • 2

    potensial dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan kehidupan mereka sehari-

    hari.

    Selanjutnya diasumsikan bahwa hubungan bahasa dan budaya Jawa

    masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen secara praktis banyak menyimpan

    permasalahan yang terkait dengan kearifan lokal yang perlu dibahas secara ilmiah,

    terutama dari perspektif kajian etnolinguistik. Secara konseptual etnolinguistik

    (anthropological linguistics)4 memiliki pengertian jenis linguistik yang menaruh

    perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial-budaya yang lebih luas untuk

    memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial (Foley,

    1997: 3). Adapun maksud kajian etnolinguistik tentang kearifan lokal dalam bahasa

    dan budaya Jawa masyarakat nelayan tersebut untuk mencermati fenomena ekologis,

    astronomis dan faktor demografis yang berakibat pada perubahan kategori dan

    ekspresi bahasa dan budaya Jawa yang mencerminkan kearifan lokal mereka beserta

    tuntutan kehidupannya. Di samping itu, pendekatan etnolinguistik dalam penelitian

    ini dimaksudkan untuk menemukan sistem5 pengetahuan (cognition system) lokal

    yang menyangkut pola-pikir, pandangan hidup (way of life) dan pandangan terhadap

    dunianya (world view) yang tercermin dalam kategori dan ekspresi bahasa dan

    budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen. Adapun penelitian

    tentang kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir

    selatan Kebumen itu secara etnolinguistik memiliki argumen penting sebagai berikut.

    Pertama, masyarakat Kebumen sebagai subetnik Jawa Banyumas masih

    mempertahankan sifat konservatif seperti yang ditemukan dalam bahasa dan

    budayanya. Secara geografis bagian timur wilayah ini berbatasan dengan daerah

    4 Cabang linguistik lain yang sama ranahnya dengan etnolinguistik adalah sosiolinguistik yang memandang bahasa sebagai

    lembaga sosial, salah satu lembaga yang di dalamnya individu atau kelompok mengadakan interaksi sosial. Sasarannya untuk menemukan bagaimana pola-pola perilaku linguistik yang berkaitan dengan kelompok sosial dan berkorelasi dengan perilaku linguistik dengan variabel-variabel kelompok sosial seperti usia, gender, jenis kelamin, kelas sosial/ mata pencaharian dan ras (Foley, 1997).

    5 Sistem: 1. Sekelompok bagian-bagian (alat, dsb.) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud; misalnya sistem urat syaraf, sistem pemerintahan; 2. Sekelompok dari pendapat, peristiwa, kepercayaan, dsb. yang disusun dan diatur baik-baik; misalnya falsafah; 3. Cara (metode) yang teratur untuk melakukan sesuatu; misalnya pengajaran bahasa (Poerwadarminta, 1982: 955).

  • 3

    Purworejo yang mendapat pengaruh bahasa dan budaya Jawa yang bersifat inovasi

    dari pusat budaya Jawa Surakarta-Yogyakarta. Secara diakronis wilayah Banyumas

    yang berada di bagian barat Kebumen sebagai daerah konservatif ikut mempengaruhi

    bahasa dan budaya Jawa Kenbumen sebagai daerah transisi, sehingga diasumsikan

    masih menyimpan unsur relik, di samping unsur inovasi yang berasal dari pusat

    budaya Surakarta-Yogyakarta tersebut. Bukti-bukti daerah konservatif ditemukan di

    daerah pedesaan dataran tinggi seperti di Desa Watuagung Kecamatan Tambak

    Kabupaten Banyumas, karena setelah dilakukan pencermatan yang lebih mendalam

    masih menyimpan evidensi bahasa dan budaya Jawa berciri konservatif. Secara

    empiris antara lain ditandai warga masyarakat kurang mengenal tingkat tutur bahasa

    Jawa secara memadai dan masih menunjukkan budaya petani tradisional Jawa yang

    masih memanfaatkan lingkungan alam sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidup

    sehari-hari (Fernandez, dkk., 2010). Secara empiris hal sejenis ditemukan di pesisir

    selatan Kebumen seperti di Kecamatan Petanahan, Kecamatan Ayah, dan Kecamatan

    Puring, karena di sana juga menunjukkan ciri-ciri petani asli Jawa seperti ditemukan

    di Banyumas (Wakit dan Hartini, 2009). Perbedaan kedua tempat tersebut, yaitu Desa

    Watuagung Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas berada di pedalaman dataran

    Tinggi Pegunungan Mahmeru, sementara Kecamatan Petanahan, Kecamatan Ayah,

    dan Kecamatan Puring berada di dataran rendah pesisir selatan Kebumen. Namun

    demikian, secara empiris masih ditemukan ciri-ciri bahasa dan budaya Jawa berciri

    konservatif di kedua wilayah tersebut, dan masyarakat di masing-masing wilayah

    tersebut memiliki berbagai pilihan mata pencaharian sesuai dengan potensi alam

    sekitar. Misalnya di pesisir selatan Kebumen yang berdekatan dengan laut

    memanfaatkan ekologi laut sebagai sumber nafkah selain bertani, sedangkan di

    dataran tinggi Mahmeru mereka tetap menderes pohon karet dan pinus sebagai

    alternatif selain bertani.

    Dalam perkembangannya mereka mengalami proses tranformasi mata

    pencaharian dari petani ke nelayan, di samping alternatif lainnya tetap menekuni

    aktivitas beternak (open-open) dan menderes (bedhel-wala). Maksudnya dalam posisi

  • 4

    seperti itu mereka sebagai petani bercocok-tanam (cakar-bumi), sebagai nelayan

    karena mereka melaut (mlebu), sebagai penderes (bedhel-wala) karena memiliki dan

    mengambil sajeng/badheg nira dari manggar bunga kelapa untuk bahan gula

    kelapa6, dan sebagai peternak (open-open) karena memelihara sapi, kambing, endhel

    mentok, ayam dan kuda. Maka dari itu, diasumsikan masyarakat nelayan yang

    hidup di pesisir selatan Kebumen tersebut berasal dari leluhur yang bermigrasi dari

    daerah pedesaan dataran tinggi kemudian menyebar ke berbagai tempat pemukiman

    di pesisir selatan Kebumen dengan tetap melanjutkan mata pencaharian awal sebagai

    petani, penderes, peternak dan selanjutnya sebagai nelayan. Ketika mereka melihat

    peluang di lingkungan ekologis pesisir selatan Kebumen, selanjutnya mereka mencari

    nafkah sebagai nelayan kemudian jumlahnya sebakin bertambah. Bukti-bukti empiris

    mereka beraktivitas sebagai nelayan7 yaitu ditemukan kelompok nelayan di sepanjang

    pesisir selatan Kebumen, terminal perahu (seperti di pantai Ayah, Puring, Petanahan),

    tradisi nelayan (sedekah laut/ larung sesaji/ larung samudra/ mbethek sesaji-laut),

    sosok pelabuh juru-kunci di setiap kelompok, TPI (Tempat Pelelangan Ikan) untuk

    mempermudah kelompok nelayan dan masyarakat melakukan transaksi. Hal tersebut

    semakin memperjelas aktualitas mereka dengan kelengkapan tradisi yang dimiliki

    komunitas nelayan yang anggotanya mencapai ratusan orang8.

    Masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen hidup di wilayah pengaruh

    bahasa dan budaya Jawa konservatif Banyumas (Nothofer, 1981), di samping

    menunjukkan ciri-ciri ada pengaruh dari pusat bahasa dan budaya Jawa Surakarta-

    Yogyakarta yang telah mengalami inovasi internal maupun eksternal (Subroto, dkk.,

    2007, 2008, 2009). Oleh karena itu, secara empiris menunjukkan karakteristik bahasa

    dan budaya Jawa di daerah transisi9, seperti tercemin dalam kategori dan ekspresinya.

    6 Rata-rata memiliki 30 pohon kelapa setiap KK yang dideres diwaktu pagi dan sore bahkan sampai malam (Informan: Pak

    Barjo, 46 tahun, Karanggadung, Petanahan; Pak Ahmad fajrin, 45 tahun, Tegalretno, Petanahan, Kebumen). 7 Namun, sesewaktu mereka kembali menggarap sawah-ladang (cakar-bumi) apabila peluang di laut terkendala oleh cuaca yang

    tidak bersahabat. Adapun bagi yang tidak memiliki lahan memberikan sumbangan tenaga di sawah-ladang menjual tenaga (adol-riwe).

    8 Di Kecamatan Ayah 400 orang aktif dan 300 orang pasif dan di Kecamatan Petanahan 120 orang aktif dan 30 orang pasif, tempat lainnya masih rintisan (Informan: Ahmad Bahrun,52 tahun, Ayah; Suprapti, 52 tahun, Petanahan, Kebumen).

    9 Ditandai adanya bahasa Jawa bandek dan bahasa Jawa ngapak (Sudiro, 1986; Pujiyatno, 2007).

  • 5

    Kategori dan ekspresi tersebut tercermin dalam mata pencaharian mereka, yaitu

    bertani (cakar-bumi), menderes (bedhel-wala), beternak (open-open) dan mulai

    mengalihkan perhatian pada potensi ekologis yang berdekatan dengan laut selatan

    Kebumen untuk melaut (mlebu) sebagai nelayan. Akibatnya secara sosial-ekonomi

    terjadilah transformasi mata pencaharian dari petani ke nelayan dengan tetap

    menekuni peluang lain sebagai peternak (open-open) dan menderes (bedhel-wala)

    dengan segala kelengkapan kategori dan ekspresi, variasi kategori dan ekspresi, serta

    kearifan lokal yang dimiliki dalam bahasa dan budaya Jawa mereka, termasuk

    aktualitas folklor di lingkungannya.

    Pujo Semedi (2003) menjelaskan bahwa nelayan di pesisir laut utara Jawa

    mata pencaharian awalnya juga sebagai petani, kemudian mengalami transformasi

    dari petani menjadi nelayan. Akan tetapi tantangan yang dihadapi masyarakat nelayan

    di pesisir selatan Kebumen jauh berbeda, karena laut di pesisir selatan Kebumen yang

    dikenal luas sebagai Samudera Indonesia itu kurang bersahabat. Sementara itu, secara

    historis, spiritual dan kultural masyarakat Kebumen tidak terlepas dari pengaruh

    sosok yang pernah hidup di sana, seperti Syeh Abdurrahman (Asmoroqondi, di

    Kecamatan Kebumen)10, Ngabdullah Taqwim (di Gunung Sumbing), Pangeran

    Buminata11 (di Kota Kebumen), Syeh Sidakarsa (di Desa Grogol Beningsari

    Klirong), Petilasan Pandankuning (di Desa Karanggadung Petanahan), Syeh

    Ngabdullawal (di Desa Kebunsari, Klirong), personifikasi gaib Santajaya (di Desa

    Tegalretna Petanahan), dan Ratu Kidul (di sepanjang pesisir selatan Kebumen)12.

    Pengaruh sosok tersebut hampir merata sampai kepada seluruh masyarakat, baik

    masyarakat Kebumen di daratan sebagai petani, penderes, peternak, dan di pesisir

    sebagai nelayan.

    10 Saudara Raden Patah Sultan Demak dari Palembang (Rahmawati, 2009) 11 Seorang Pangeran dari Mataram Islam yang bertentangan dengan Pangeran Mangkurat mengasingkan diri ke barat (Tim

    Peneliti Kabupaten Kebumen, 1982) 12 Dalam tradisinya di pesisir selatan Kebumen terdapat nama lain Ratu Kidul, yaitu meliputi personifikasi wanita dan laki-laki.

    Personifikasi wanita seperti ekspresi Ibu Ratu, mBok Ratu, Ratu Kuning, Dewi Sulastri, Santajaya, Nyi Ronggeng, Ratu Suidha, Retna Pembayun; dan personifikasi laki-laki seperti Ki Agung Nagarangsang, Ki Bagussetu, Ki Singayuda, Ki Bandayuda, Ki Bajulputih. (Informan: Pak Sarpin Muhtadi (58 tahun), Pak Barja (46 tahun), Pak Darmaji (76 tahun), Kyai Sajadi (64 tahun), Nasimun (45 tahun)).

  • 6

    Kedua, ditemukan kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa Banyumas

    di Kebumen seperti tercermin pada istilah-istilah di ranah petani, penderes, peternak

    dan ada yang terbawa di ranah nelayan. Maka dari itu, untuk memahami makna

    kultural kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa nelayan tidak terlepas dari

    aktivitas mereka sebagai petani, penderes, dan peternak, terutama dalam proses

    transformasi mata pencaharian dari petani ke nelayan. Hal itu dipandang sebagai

    salah satu strategi untuk menghadapi perubahan musim yang ekstrim dan

    pertumbuhan demografi yang tak terkendali. Misalnya musim katiga atau tiga

    kemarau dipahami sebagai musim panen di laut13, maka mereka menyesuaikan diri

    menjadi nelayan dan secara spontan terbawa pula kategori dan ekspesi bahasa dan

    budaya Jawa mereka. Sementara ketika musim paceklik di laut tiba14, maka mereka

    kembali menyesuaikan diri menjadi petani dengan kategori dan ekspresi bahasa dan

    budaya Jawa mereka. Berkaitan dengan mangsa tersebut, pelaksanaan upacara ritual

    larung sesaji/ sedekah laut/ larung samudra dalam tradisi nelayan di laut, meskipun

    berada dalam satu deret pesisir selatan Kebumen terdapat perbedaan waktu

    pelaksanaan. Misalnya larung sesaji sesaji laut di pesisir selatan Kecamatan

    Petanahan Kabupaten Kebumen setiap tahun dilaksanakan pada bulan Sura15 dipilih

    pada hari Selasa Kliwon, dan tanggal tidak terikat. Sementara larung sesaji sesaji

    laut di pesisir selatan Kecamatan Ayah dilaksanakan pada mangsa kapat16 (mangsa

    musim keempat, sekitar bulan September) pilihan hari sama, yaitu Selasa Kliwon.

    Secara praktis pada awalnya mengikuti mangsa yang berlaku dalam tradisi agraris,

    namun dalam perkembangannya diadopsi menjadi bagian dari tradisi nelayan.

    Selanjutnya, dalam pandangan sebagian mereka sebagai nelayan merupakan

    mata pencaharian utama. Hal itu secara tidak langsung menginformasikan telah

    terjadi transformasi yang berkaitan dengan peralihan mata pencaharian dari petani

    13 Lazimnya bulan 4, 5, 6, 7, 8 dalam penanggalan Masehi, atau mangsa 10, 11, 12, 1, 2, 3 dalam penanggalan Jawa

    (Informan: Pak Barjo, 46 tahun, Karanggadung, Petanahan; Pak Ahmad fajrin, 45 tahun, Tegalretno, Petanahan, Kebumen) 14 Lazimnya bulan 9, 10, 11, 12, 1, 2, 3 dalam penanggalan Masehi atau mangsa 4, 5, 6, 7, 8, 9 dalam penanggalan Jawa

    (Informan: Pak Barjo, 46 tahun, Karanggadung, Petanahan; Pak Ahmad fajrin, 45 tahun, Tegalretno, Petanahan, Kebumen) 15 Akulturasi astronomi Hijriyah berdasarkan penanggalan Qomariyah (bulan) sejak zaman Sultan agung (Berbagai Sumber) 16 Akulturasi astronomi Saka berdasarkan penanggalan Samsiyah (matahari) sejak zaman Raja Ajisaka (Berbagai Sumber)

  • 7

    menjadi nelayan. Suasana komunitas menjadi beridentitas tani-nelayan dan atau

    nelayan-tani dalam menjalani mata pencaharian yang berkonteks ganda di lingkungan

    yang berbeda, yaitu di lautan sebagai nelayan dan di daratan sebagai petani dengan

    berbagai alternatifnya diasumsikan banyak menyimpan kearifan lokal dalam kategori

    dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa mereka.

    Ketiga, kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa terkait (a) Pandangan

    kolektif nelayan tentang mata pencaharian diungkapkan seperti berikut:

    Saben nelayan mesthi tani, ning saben wong tani durung mesthi nelayan, saben panderes mesthi wong tani, ning saben wong tani durung mesthi panderes, saben peternak mesthi tani, ning saben tani durung mesthi peternak (setiap nelayan tentu petani, tetapi belum tentu setiap petani sebagai nelayan, setiap penderes tentu petani, tetapi setiap petani belum tentu penderes, setiap peternak mesti petani, tetapi setiap petani belum tentu peternak)17.

    Ekspresi verbal tersebut memiliki makna kultural yang dapat diinterpretasikan bahwa

    mata pencaharian awal mereka sebagai petani, sementara mata pencaharian lainnya

    berkembang kemudian. Oleh karena kearifan lokal mereka muncullah kecerdasan

    kolektif untuk mengatasi masalah mata pencaharian dengan menyesuaikan ruang

    ekologisnya. Permasalahan yang dimaksud ketika sawah-ladang tidak bisa memenuhi

    hasil sesuai harapan serta adanya peluang dan potensi laut di sekitarnya. Sensitivitas

    persoalan mereka terkait sawah ladang seperti adanya perubahan musim yang

    ekstrim, faktor demografis yang bermuara pada lahan semakin sempit, serta adanya

    diversifikasi dan transformasi matapencaharian dari petani menjadi nelayan.

    Ekspresi (b) Mantra ketika mau berangkat melaut yang memiliki kekuatan

    kata (word power), agar ikan yang ditangkap dapat tunduk seperti yang diungkapkan

    berikut:

    Dewaning bumi dewaning samudra, nunut mangan sapalilahe, nyong mung aweh bebana gula-klapa emoh jiwa-raga, slameta mangkat lan mulihe nyong rina lan wengine, slamet-slamet kersaning Allah (Dewanya bumi dan

    17 Informan: Pak Ahmad Fajrin; Bu Suprapti; Pak Faizin: Tegalretno, Petanahan; Pak Misdam, Pak Barjo, Pak Dirun, Pak

    Nasikun, Pak Nasimin Karanggadung, Petanahan, 12 januari 2011; Pak Sarpin Muhtadi, Ayah Kebumen, 15 Januari 2011.

  • 8

    Dewanya laut, numpang mencari nafkah seikhlasnya, saya hanya mau memberi ganti gula-klapa, tetapi tidak mau kehilangan jiwa-raga, semoga selamat seberangkat dan sepulang saya, baik malam dan siangnya, semoga selamat karena Allah)18.

    Makna kultural mantra tersebut menunjukkan pola-pikir dan pandangan

    terhadap dunianya bahwa daratan dan lautan itu ada yang menunggu, yaitu

    Dewaning Bumi dan Dewaning Samudra, tetapi semua itu berada dalam kekuasaan

    Allah, maka mereka berharap slamet-slamet kersaning Allah. Secara filosofis

    mereka berusaha menjaga keseimbangan alam dan kekuatan spiritual untuk tetap

    ngrumangsani tahu diri tercermin dalam aweh bebana gula-klapa artinya

    memberi ganti gula-kelapa, tetapi tidak mau aweh jiwa-raga memberikan jiwa-

    raga. Maksudnya ketika melaut mereka merasa mengambil ikan milik Dewa

    Samudra, maka nelayan meminta dukungan spiritual Dewa Bumi, terekspresikan

    secara nonverbal dalam perangkat sesaji gula-klapa, dengan harapan jiwa-raganya

    selamat.

    Di samping itu, mantra yang diucapkan nelayan ketika akan melaut seperti

    berikut ini:

    Semilah irohman irohim, niat nyong ambyur samudra amet urip saanane sing bisa ditrima saka samudra ya digawa, rina wengi nyong miwiti, pasrah mring Hyang Widhi, slamet samangkat lan samulihe nyong (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, niatku melaut mencari kehidupan seadanya yang bisa diterima dari samudra ya dibawa, siang dan malam saya mulai, berserah diri kepada Tuhan, selamat seberangkat dan sepulang saya)19.

    Makna kultural mantra tersebut yaitu mereka mencari ikan di laut dengan

    pasrah kepada yang kuasa, berapapun yang diberikan diterima. Substansinya bahwa

    mereka melaut itu seolah-olah meminta kepada yang kuasa melalui perantara

    penunggu ikan di laut, berapapun yang diberikan akan diterima dengan senang hati,

    18 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun,

    Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011. 19 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun,

    Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011

  • 9

    tidak meminta yang lebih dari apa yang diberikan ketika melaut, baik pada waktu

    siang maupun malam, pada saat panen maupun pada saat paceklik.

    (c) Mantra yang memiliki kekuatan kata (word power) ketika mau menjala

    ikan, seperti diucapkan nelayan seperti berikut ini:

    Nyong jala sira ora lunga, nyong (a)doh sangka darat, mara sapalilah sira, nyong butuhaken sapira kancanira kabeh gak ana sing kari, dadi-dadi kabeh wis ngerti arep dadi siji kersaning Hyang Widhi20 (akan saya jaring kamu (ikan) jangan pergi, saya jauh dari darat, mendekatlah dengan suka rela, saya butuhkan berapa temanmu semua jangan ada yang tertinggal, jadi-jadi semua sudah tahu akan berkumpul jadi satu atas ijin Tuhan)21.

    Makna kulturalnya memberikan ilustrasi bahwa permintaan nelayan kepada para

    ikan agar mau ditangkap semua dan menurut atas kesadarannya sendiri. Di samping

    itu, hal tersebut menggambarkan bahwa ikan diperlakukan dengan hormat,

    sebagai individu yaitu terekspresikan dalam kata sira kamu. Pemakaian unsur

    leksikal sira untuk ikan secara kultural bersifat ideosinkresi (ideosyncresy)22, karena

    kenyataan menyimpang dari sesubgguhnya bahwa ikan diperlakukan layaknya

    manusia. Oleh karena nelayan menyadari sebagian nafkahnya tergantung dari hasil

    tangkapan ikan di laut, maka mereka mengharapkan perlindungan Dewa Samudra

    dari kekhawatiran ancaman Santajaya di pesisir selatan Kebumen di waktu siang

    maupun malam.

    Makna kultural dalam ekspresi bahasa dan budaya Jawa mantra nelayan

    tersebut menunjukkan cara yang dipilih nelayan sebagai wujud kearifan lokal yang

    dimiliki untuk mencapai keselamatan di laut. Cara yang dimaksud seperti

    terekspresikan dalam perilaku verbal dan nonverbal, baik menyangkut pola-pikir,

    pandangan hidup (way of life) dan pandangan terhadap dunia (world view) sebagai

    bagian dari ekspresi sistem pengetahuan (cognition system) masyarakat nelayan di 20 Widhi dari bahasa Sansekerta widhi (per)aturan, perintah, hukum, adat, tata cara, upacara, petunjuk (P3), perbuatan,

    pekerjaan, tugas, terjadi, takdir, Sang Takdir, Pencipta, Tuhan, Ketuhanan (Mardiwarsito, 1981: 680). 21 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun,

    Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011; Pak Misdam, 43 tahun, Karanggadung, Petanahan, Kebumen.

    22 Ideosinkresi (ideosyncresy) yaitu makna yang diberikan secara istimewa dan mengandung keanehan (Echols dan Shadily, 1996: 310).

  • 10

    pesisir selatan Kebumen. Ekspresi verbal maupun nonverbal tersebut dimaksudkan

    untuk berlaku sopan-santun, bahkan bekti menghargai terhadap yang dianggap

    tinggi di lautan, karena menyadari ketergantungan nafkahnya dari hasil laut.

    Sementara itu, laut dengan segala ikannya menurut persepsi mereka ada yang

    menguasai, maka munculah kecerdasan kolektif untuk meminta izin. Mereka

    menempuh cara diekspresikan dalam patrap (perilaku) turun dari perahu sebagai

    bentuk sopan-santun ketika melarung sesaji di tengah laut dalam setiap upacara

    ritualnya. Di samping itu, mantra mereka itu mengandung nilai-nilai hidup yang

    masih menyimpan pengaruh Hindu, meskipun identitasnya sebagai muslim. Misalnya

    mantra yang diucapkan untuk keselamatan di laut masih menyebut nama dewa-dewi,

    sekaligus mencerminkan adanya akulturasi budaya di sana.

    Keempat, potensi pesisir laut selatan Kebumen dari barat ke timur, secara

    geografis meliputi pantai Argopeni, pantai Logending, pantai Pedalen, pantai

    Menganti, pantai Pecaron (berada di Kecamatan Ayah), pantai Karangbolong (berada

    di Kecamatan Buayan), pantai Suwuk, pantai Bopong (berada di Kecamatan Puring),

    pantai Tegalretna dan Pandankuning (berada di Kecamatan Petanahan), pantai

    Klirong (berada di Kecamatan Klirong), pantai Bocor (berada di Kecamatan Ambal),

    pantai Bulupesantren (berada di Kecamatan Bulupesantren), dan Pantai Mirit (berada

    di Kecamatan Mirit). Aktualitas kehidupan mereka di pesisir selatan Kebumen seperti

    itu dapat berpengaruh pada munculnya berbagai kategori dan ekspresi bahasa dan

    budaya Jawa nelayan yang mengandung unsur-unsur kearifan lokal.

    Kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa nelayan yang mengandung

    kearifan lokal tercermin dalam ekspresi verbal seperti berikut:

    (a) Personifikasi Santajaya penguasa di laut, Legok Santajaya ekspresi gaib

    air laut yang terbelah memanjang ke selatan dan curam sampai dasar laut sebagai

    tempat Santajaya, Nyi Ronggeng ekspresi wanita cantik berpakaian penari penguasa

    pantai, Ki Bagussetu ekspresi laki-laki yang sangat tampan sebagai penguasa

    daratan. Ekspresi gaib personifikasi sosok penguasa laut bervariasi di sepanjang

    pesisir selatan Kebumen, demikian pula jika dibandingkan dengan wilayah pengaruh

  • 11

    Surakarta-Yogyakarta. Variasi ekspresi gaib nama sosok penguasa laut di pesisir

    selatan Kebumen tersebut meliputi ekspresi personifikasi wanita dan laki-laki.

    Ekspresi personifikasi wanita Ratu Selatan seperti Nyi Rara Kidul, mBok Ratu Kidul,

    Ibu Ratu, Dewi Sulastri, Ratu Suidha, Ratu Kuning, Nyi Ronggeng, Santajaya, Ratu

    Pembayun; sedangkan ekspresi personifikasi laki-laki Ratu Selatan seperti Ki

    Bagussetu, Ki Agung Naga Rangsang, Ki Bandayuda, Ki Singayuda, Ki Bajulputih23.

    (b) Nama tempat seperti Kandhang Ronggeng merupakan tempat Nyi

    Ronggeng, punthuk/ gumuk bukit di pesisir tempat munculnya Nyi Ronggeng, alas

    Tegalretna tempat bersemayamnya Ki Bagussetu, boleran daerah lain24.

    (c) Istilah terkait sesaji seperti mbagei kana sing kidul memberi sedekah laut

    di tengah laut selatan tepatnya pada bulan Sura (di Kecamatan Petanahan) atau

    mangsa kapat (di Kecamatan Ayah), nglarong (dari kata larong udang kecil)

    mengambil bahan trasi, larungan menaruh sesaji di tengah laut, sedekah-

    laut/larung-samudra/larung-sesaji sesaji-laut, gnduren selamatan, tahlilan

    membaca tahlil, tampah tempat sesaji, kaum pelantun doa, nunut mangan

    menumpang mencari nafkah, mlebu melaut, mencari ikan, menuju laut, masuk

    kerajaan Ratu Kidul.

    (d) Larangan melaut pada hari Jemah Kliwon, hari Selasa Kliwon dan ketika

    ombak laut besar, tidak boleh melewati umbal/ pangumar pembatas berupa kain

    seperti bendera, tidak boleh memakai baju hijau karena menjadi pitukon sesaji yang

    diberikan atau lebon korban untuk Ki Bajulputih buaya putih.

    (e) Ekspresi suara gaib di tengah laut seperti nggarong gema suara harimau,

    ngukuk suara ayam berkokok, dhekr suara kereta, njagong seperti suara orang di

    pasar tengah laut.

    (f) Nama binatang di pantai seperti yutuk/ wrutuk binatang yang berjalan

    seperti undur-undur besar bentuknya seperti kepiting. 23 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun,

    Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011; Pak Misdam, 43 tahun, Karanggadung, Petanahan, Kebumen.

    24 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010.

  • 12

    (g) Nama nelayan dipilah berdasar alatnya, yaitu nelayan tradisional (alatnya

    jaring, mengambil ikan dari tepi pantai) dan nelayan modern (alatnya perahu dan

    jaring macan (jaring macan meliputi: sirang jaring ikan bawal, ikan monthok, cikr

    jaring ikan layur dan sejenisnya, pecek/ kanyut/ kanthong jaring untuk udang,

    kdhur jaring untuk ikan tuna/ besar).

    (h) Aktivitas melaut seperti smoran berangkat sore pulang malam,

    malman berangkat sore pulang pagi, ndina/dinan berangkat pagi pulang sore.

    (i) Proses transformasi mata pencaharian dari petani menjadi nelayan

    memunculkan istilah pertanian untuk istilah nelayan seperti pranatamangsa

    astronomi, dina hari dan pasaran pasaran, tanda-tanda astronomis (lintang-luku,

    lintang-panjerrina), doa, mantra, musim, sesaji di laut, nama ikan, nama alat

    tangkapan ikan, nama bagian perahu, tanda burung dan sebagainya.

    (j) Alternatif mata pencaharian selain nelayan mereka sebagai petani (cakar-

    bumi), peternak (open-open) dan penderes (bedhel-wala) ketika laut sedang paceklik,

    maka muncul ekspresi sebagai nelayan-tani di samping sebagai tani-nelayan.

    (k) Kecerdasan kolektif untuk menjaga harmoni alam sekitar dengan

    masyarakat nelayan, seperti upaya melestarikan tradisi leluhur, menanam tumbuh-

    tumbuhan di lingkungan pesisir, pemahaman konsep laut dan penguasa laut selatan,

    dan otoritas ekspresi bahasa dan budaya nelayan di masing-masing komunitas di

    pesisir selatan Kebumen.

    (l) Ekspresi verbal terkait nama populer nelayan karena spesialisasi/

    kecakapan di bidangnya, kebiasaan tugasnya, ekspresi pribadi secara spontan yang

    mereka miliki. Misalnya (Su)parmin Solar, (Su)kidi Bandeng, (Par)mi besek,

    (Par)man bajul, Nur(rahman) tambang, Bejo Gendhing, Kadar(yadi) Berkat, Pakdhe

    (Rohmat) Mandhor, Buritan (Kapal), (Ar)jo Kalong, (Ba)mbang Rese, (Su)parto

    Ubleg, (Mari)din Hulug, (Su)tris Layur, Pon(imin) Urang, (Par)di Jaring, (Su)par

  • 13

    Gregel, (Ka)mal Mantra, dan sebagainya25. Secara etnolinguistik dalam perspektif

    budaya setempat, nama-nama tersebut dapat menguak kekayaan kategori dan ekspresi

    bahasa dan budaya Jawa yang mencerminkan pola-pikir sederhana mereka. Oleh

    karena bahasa merupakan rekaman kekayaan pengalaman empiris, seperti tercermin

    dalam tradisi pilihan nama-nama tersebut. Hal itu berhubungan dengan masalah

    ikonik (iconic)26 bahasa Jawa dalam masyarakat tradisional serta pola-pikir yang

    dimiliki bersifat sederhana, dan secara umum menunjukkan karakteristik masyarakat

    agraris. Misalnya nelayan yang bernama Bambang, karena cara berpikirnya lambat

    dan ruwet maka diberikan sebutan rese/ resek (selalu) bertanya-tanya27. Analogi

    lainnya pada waktu dahulu ketika sepeda motor masih jarang yang memiliki, apapun

    mereknya (Honda, Yamaha, Suzuki) oleh masyarakat agraris semuanya disebut

    udhuk, nama itu diambil dari suaranya dhuk-dhuk-dhuk.

    Demikian pula, dalam proses transformasi masyarakat petani menjadi nelayan,

    kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa masyarakat petani terbawa ke ranah

    masyarakat nelayan. Dengan demikian, akibatnya kategori dan ekspresi bahasa dan

    budaya Jawa dalam ekspresi verbal nama panggilan itu menyatu dengan mata

    pencaharian mereka sebagai nelayan. Secara emotif panggilan itu mengokohkan sifat

    familier sebagai bagian kearifan sosial (social wisdom) mereka, meskipun jarak umur

    dan tingkat ekonominya tidak sama. Bahkan familieritas itu dapat membangun

    semangat dalam satu tekad seperti terekspresikan dalam guyub-rukun kompak dan

    kerigan gotong-rotong. Mereka semua menyadari mengadu nasib di laut selatan

    Kebumen harus saling memperkuat semangat bekerja sama. Kondisi seperti itu selalu

    dibangun oleh pelabuh juru kunci dan tekong ketua nelayan untuk anggotanya,

    bahwa mengadu nasib di laut selatan Kebumen tantangannya sangatlah berat.

    25 (Huruf c sampai l) disampaikan oleh informan: Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22

    Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun, Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011; Pak Misdam, 43 tahun, Karanggadung, Petanahan, Kebumen.

    26 Ikonik (iconic) yaitu berkaitan dengan gambaran; langsung menimbulkan pertalian dengan sesuatu yang digambarkan (Kridalaksana, 1993: 80).

    27 Rese dipadankan dengan resek (selalu) mencari keterangan/ bertanya (Poerwadarminta, 1982: 821)

  • 14

    Ibaratnya hidup atau mati di lautan mereka tanggung bersama di waktu siang maupun

    malam demi kesejahteraan hidup mereka.

    Kelima, secara etnolinguistik kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa

    nelayan di pesisir selatan Kebumen itu perlu dikaji secara ilmiah untuk mengetahui

    aktualitas kebahasaan dalam peristiwa budaya sebagai konteksnya. Kajian yang

    dilakukan itu diharapkan dapat mengungkap pola pikir, pandangan hidup (way of life)

    dan pandangan terhadap dunianya (world view) yang bersifat macro-cosmos dan

    micro-cosmos, taxit dan explisit dalam proses transformasi mata pencaharian sebagai

    sistem pengetahuan (cognition system) ketika sebagai petani (nelayan-tani) menjadi

    nelayan (tani-nelayan) dan sebaliknya. Hal itu selaras dengan tradisi dan pandangan

    hidup, pribadi dan lingkungan ekologis mereka di pesisir selatan Kebumen, sebagai

    bagian dari orang Jawa yang pandangan hidupnya bersifat kosmo-mitis dan kosmo-

    magis, yaitu menganggap bahwa alam sekitar mempunyai kekuatan dan berpengaruh

    terhadap kehidupan material maupun spiritual masyarakatnya serta tergantung pula

    pada watak pribadi individual dan kolektifnya28. Maka dari itu ekspresi verbal dan

    nonverbal masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen tersebut diidentifikasi

    mengandung unsur-unsur kearifan lokal yang perlu dikaji secara komprehensif dan

    mendalam.

    Keenam, dalam proses transformasi mata pencaharian, nelayan di pesisir

    selatan Kebumen memandang laut sebagai lahan untuk mencari nafkah yang

    menjanjikan, meskipun secara psikologis selalu dibayang-bayangi oleh personifikasi

    sosok gaib Santajaya29, personifikasi sosok gaib Nyi Ronggeng30, dan personifikasi

    28 Mulder, l975. 29 Nama Santajaya dari kata anta (bahasa Sansekerta) yang berarti diam, tenang, lemah-lembut, sabar, tenteram, sentosa,

    damai, suci, keramat (Mardiwarsito, 1981: 561); sedangkan jaya berarti menang, kemenangan, pemenang, sangat unggul, pandai (Mardiwarsito, 1981: 251), menjadi bukti nama dalam bahasa Jawa Kebumen warisan/ tinggalan/ bentuk relik dari bahasa Jawa kuna/ bahasa Sansekerta. Secara metafisik dia dipersonifikasikan sebagai sosok gaib penguasa laut yang diyakini berbahaya untuk aktivitas mereka di laut selatan Kebumen.

    30 Menurut sesepuh nelayan setempat Nyi Ronggeng merupakan nama dari penampakan sosok wanita cantik yang berpakaian sebagai penari Jawa. Dia diyakini menguasai pesisir selatan Kebumen (Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen).

  • 15

    sosok gaib Ki Bagussetu31. Spiritualitas pandangan nelayan terhadap laut dan

    penguasa laut di selatan Kebumen tersebut dapat menunjukkan ciri-ciri variatif

    persepsi mereka terhadap sosok gaib Ratu Selatan, jika dibandingkan dengan

    pengaruh dari pusat bahasa dan budaya Jawa Surakarta-Yogyakarta. Hal itu

    disebabkan oleh persepsi otoritas spiritual pusat bahasa dan budaya Jawa tersebut

    memandang laut selatan Jawa sebagai benteng keraton Jawa trah Mataram Islam32

    di bagian selatan, penguasa laut selatan Jawa diekspresikan Ratu Kencanasari33 dan

    prajuritnya bernama Nyai Rarakidul34. Di samping itu, masyarakat nelayan di sana

    tidak terlepas dari pengaruh mata pencaharian sebagai petani, dari mana mereka

    berasal, sehingga kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa petani seperti istilah

    pranatamangsa35, perangkat sesaji, personifikasi energi alam (mitos Dewi Sri, mitos

    penguasa laut selatan), folklor, doa, dan mantra yang dimiliki nelayan, di samping

    istilah-istilah yang digunakan nelayan terkesan secara modifikatif mengambil apa

    yang telah berlaku dalam tradisi agraris.

    Ketujuh, seiring terjadinya berbagai macam bencana alam36 yang melanda

    wilayah Indonesia, khusunya di Bantul DIY, Pangandaran Jawa Barat dan letusan

    Gunung Merapi di Jawa Tengah, menurut pengalaman empiris mereka berpengaruh

    pada jumlah komunitas ikan di laut selatan Kebumen, sehingga hasil tangkapan

    mereka menurun. Komunitas nelayan berbekal arahan tradisi dan nilai-nilai leluhur

    tlaten rajin, narima menerima nasib, takut kasedhak halangan, karma, hukuman

    dapat menguatkan semangat untuk tetap mlebu melaut dengan memilih waktu yang

    31 Nama Bagusetu merupakan penampakan sosok laki-laki tampan. Nama Bagusetu tersebut dari kata Bagus tampan dan estu

    benar, sungguh kemudian dimaknai benar-benar tampan, kata estu mengalami metatesis menjadi setu. Dia menguasai daratan (alas hutan) di bagian selatan Kebumen (Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen).

    32 Karena adanya sebutan Mataram Kuna pada Abad 8-10 M., yang dilatarbelkakangi Agama Hindu-Buddha (Munandar, 2004 dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 161).

    33 Ratu Kencanasari merupakan ratu laut selatan menurut versi Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta. Mitosnya sebagai istri raja-raja keraton Surakarta Hadiningrat dan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (KRMH. Riyo Yosodipura, 1982).

    34 Nyai Rarakidul merupakan prajurit wanita dari kerajaan laut selatan Jawa versi Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta(K.R.M.H. Riyo Yosodipura, 1982).

    35 Kalender Jawa yang disebut pranatamangsa merupakan kalender surya yang mulai dikaitkan dengan kalender Gregorian dan dipergunakan sejak ditetapkan oleh Paku Buwana VII dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan penetapan tersebut dimulai pada tanggal 1 Mangsa Kasa, yaitu tanggal 22 juni 1855 dan berlaku hingga saat ini (Sukardi, 1999: 16).

    36 Seperti gelombang tsunami di Pangandaran Jawa Barat, Bantul DIY, Aceh, Nias dan Mentawai, tanah longsor di Wasior Papua, letusan Gunung Merapi, Gunung Bromo, Gunung Krakatau (Catatan Penulis).

  • 16

    memungkinkan untuk mencari nafkah keluarga. Maka dari itu, sangat pantaslah jika

    kearifan lokal sebagai bagian dari sistem pengetahuan (cognition system) nelayan

    dipandang penting untuk diidentifikasi dan diaktualisasikan. Di samping itu, mereka

    berpartisipasi dalam memanfaatkan dan melestarikan lingkungan hidup, karena

    nelayan mencari nafkah di laut selatan dengan berpedoman pada tradisi leluhur dan

    kepercayaan adanya mitos kekuatan laut selatan yang dapat mengendalikan mereka

    dari tindakan merusak alam, seperti rasa takut kepada Ratu Selatan. Demikian

    pula, generasi penerus mereka dapat mengenal nilai kearifan lokal yang dimiliki dan

    tetap memegang norma-norma kehidupan manusia Jawa. Ekspresi kecerdasan

    kolektif nelayan di pesisir selatan Kebumen seperti diungkapkan dalam ekspresi

    nyong bisa urip lumrah dadi wong, ora kaya wong apa maning dudu wong (agar

    saya bisa hidup layaknya orang, bukan seperti orang apalagi bukan orang), dan

    ekspresi nyong kudu setiar, arek tani, arek nglaut, arek nderes, ndi sing ana, nyong

    urip iku mamah, yen mamah kudu ubah, apa baek bisane dilakoni, aja nganti

    kasedhak (saya harus ihtiar, mau bertani, bernelayan, menders, mana yang ada,

    saya hidup itu makan, jika mau makan harus berusaha, apa saja yang mampu

    dijalani, jangan sampai mendapatkan karma/hukuman)37. Maksudnya mereka

    menghadapi tantangan hidup semakin berat akibat bencana alam, musim yang

    ekstrim, pertumbuhan demografis, terbatasnya kualitas ketrampilan mereka, lahan

    semakin menyempit, dan diversifikasi mata pencaharian untuk memanfaatkan

    potensi laut, agar tidak terjebak berbuat buruk. Pada awalnya mereka merasa

    terpaksa memilih mata pencaharian sebagai nelayan tersebut, karena memahami

    pilihan itu sangat berat, aktivitasnya berhadapan dengan laut selatan yang ganas.

    Oleh karena dorongan untuk meningkatkan taraf hidup yang layak, maka mereka

    memberanikan diri menghadapi tantangan itu, agar terbebas dari kemiskinan dan

    kebodohan. Akibat dari pilihan itu, maka muncul ekspresi sebagai tani-nelayan atau

    37 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun,

    Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011; Pak Misdam, 43 tahun, Karanggadung, Petanahan, Kebumen.

  • 17

    nelayan-tani, si samping ada yang menjalani keempatnya sekaligus sebagai mata

    pencaharian, meskipun tetap ada dominasi pilihan di antara mata pencaharian itu.

    Seperti ekspresi verbal mereka kabeh nyong lakoni dhimen cukup (semua saya

    jalani supaya cukup) merupakan bagian dari kearifan nelayan, meskipun sangat

    tergantung pada faktor musim, kekuatan fisik dan modal kerja. Bagi mereka yang

    terpenting secara lahir batin bersikap hati-hati, agar nasibnya aja nganti

    kasedhak38 (jangan sampai mendapatkan balasan buruk, karma) ketika

    beraktivitas di darat maupun di laut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data

    penelitian yang memadai, maka sasaran penelitian yang dituju difokuskan pada desa-

    desa komunitas nelayan-tani dan atau tani-nelayan yang memungkinkan terjadinya

    kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa yang mengandung kearifan lokal, dan

    sedang mengalami proses transformasi mata pencaharian di pesisir selatan Kebumen.

    Sesuai dengan paparan di atas, maka judul penelitian untuk disertasi ini

    dirumuskan Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa Masyarakat Nelayan di

    Pesisir Selatan Kebumen (Sebuah Kajian Etnolinguistik).

    B. Rumusan Masalah

    Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini secara spesifik dapat

    dirumuskan sebagai berikut, yaitu:

    1. Bagaimanakah sistem pengetahuan (cognition system) dalam bahasa dan

    budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen yang

    mengandung kearifan lokal dari perspektif etnolinguistik?

    38 Unsur leksikal kasedhak secara kultural bermakna mendapat halangan karena hukum karma akibat mengambil atau merebut

    hak orang lain karena ingin mendapat banyak dengan cara yang tidak benar (Informan; Pak Darmuji, 76 tahun, Petanahan, Kebumen).

  • 18

    2. Mengapakah kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa masyarakat

    nelayan di pesisir selatan Kebumen merupakan bagian integral dari bahasa

    dan budaya Jawa Banyumas?

    3. Mengapakah faktor sosial-budaya berdampak pada resistensi bahasa dan

    budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen?

    4. Bagaimanakah kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa yang tercermin

    dalam ekspresi verbal (kosa-kata, frasa, klausa, wacana) dan ekspresi

    nonverbal masyarakat nelayan dari sisi folklor di pesisir selatan Kebumen?

    C. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini

    secara deskriptif dapat dirinci sebagai berikut, yaitu untuk:

    1. Menginventarisasi, mengidentifikasi, mendeskripsikan, menginterpretasikan

    sistem pengetahuan (cognition system) dalam bahasa dan budaya Jawa

    masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen yang mengandung kearifan

    lokal.

    2. Menginventarisasi, mengidentifikasi, mendeskripsikan, menjelaskan

    menginterpretasikan kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa

    masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen sebagai bagian integral dari

    bahasa dan budaya Jawa Banyumas.

    3. Menemukan faktor sosial-budaya yang berdampak pada resistensi bahasa dan

    budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen.

    4. Menjelaskan kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa yang tercermin

    dalam ekspresi verbal (kosa-kata, frasa, klausa, wacana) dan ekspresi

  • 19

    nonverbal masyarakat nelayan dari sisi folklor di pesisir selatan Kebumen,

    karena folklor dapat merepresentasikan dan mencerminkan pikiran kognitif

    individual yang dapat mempresentasikan pemikiran kolektif mereka.

    D. Manfaat Penelitian

    Manfaat penelitian tentang kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa

    masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen ini meliputi manfaat teoretis dan

    manfaat praktis.

    1. Manfaat Teoretis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis, antara lain

    seperti berikut.

    a. Dilakukan inventarisasi, identifikasi, deskripsi, dan interpretasi kategori dan

    ekspresi bahasa dan budaya Jawa dalam sistem pengetahuan lokal (cognition

    system) melalui ranah bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir

    selatan Kebumen yang mengandung kearifan lokal dan bercirikan tipikal daerah

    terpencil Jawa yang jauh dari pusat bahasa dan budaya Jawa (Surakarta-

    Yogyakarta). Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengungkap hal-hal

    yang tersembunyi dalam bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan, seperti

    sistem pengetahuan (cognition system), pola pikir, pandangan hidup (way of life),

    pandangan dunia (world view) masyarakat Jawa asli di daerah relik (tinggalan

    kuna) bahasa dan budaya Jawa.

    b. Terwujudnya inventarisasi, identifikasi, deskripsi, dan interpretasi konseptual dan

    dokumentasi bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan

    Kebumen, untuk mendapatkan rumusan tentang kearifan lokal, baik dalam

    ekspresi verbal maupun nonverbal yang menunjukkan ciri-ciri kearifan lokal

  • 20

    nelayan di pesisir selatan Kebumen. Di samping itu hasil penelitian ini secara

    ilmiah dapat menjawab berbagai persoalan kearifan lokal dalam bahasa dan

    budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen dalam upaya mereka

    beradaptasi dengan lingkungan ekologis, akibat dari transformasi mata

    pencaharian dari petani menjadi nelayan di pesisir selatan Kebumen.

    c. Ketika inventarisasi, identifikasi, deskripsi, dan interpretasi tentang persepsi

    masyarakat nelayan dari sisi folklor yang mengandung kearifan lokal telah

    dilakukan, maka secara teoretis dapat dirumuskan wujud kearifan lokal dalam

    bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen secara

    komprehensif. Mengingat folklor sebagai produk budaya setempat dapat

    merepresentasikan pengetahuan tentang bahasa dan budaya Jawa masyarakat

    nelayan di pesisir selatan Kebumen, karena folklor sebagai milik kolektif dapat

    mencerminkan dunia pikiran kognitif individual yang dapat mempresentasikan

    pemikiran kolektif masyarakat nelayan.

    2. Manfaat Praktis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis, antara lain

    seperti berikut.

    a. Dapat diperoleh inventarisasi, identifikasi, deskripsi, dan interpretasi faktor sosial-

    budaya yang berdampak pada resistensi bahasa dan budaya Jawa masyarakat

    nelayan di pesisir selatan Kebumen, dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk

    mengambil keputusan yang bijaksana guna mencapai sasaran yang tepat dalam

    pengembangan aktivitas nelayan di pesisir selatan Kebumen.

    b. Demikian pula hasil inventarisasi, identifikasi, deskripsi, dan interpretasi data

    penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui karakteristik bahasa dan budaya Jawa

    masyarakat nelayan, baik ekspresi verbal (kosa-kata, frasa, klausa, wacana)

  • 21

    maupun nonverbal (baik berupa folklor, mitos, mantra39, doa, perlambang,

    upacara ritual) dan berbagai unit lingual lainnya (seperti bebasan, paribasan,

    sanepa, istilah tradisi, motto, pamali, nama penguasa laut selatan, ekspresi energi

    alam) yang bermanfaat untuk mengidentifikasi jati-diri individual dan kolektif

    mereka, sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk mengambil langkah-langkah

    penting dalam pengembangan wilayah tersebut. Misalnya bermanfaat untuk

    menyusun rencana membudidayakan komoditas strategis dan pengembangan

    wilayah Kebumen, meliputi potensi seni, objek wisata, kelautan, spesifikasi

    budaya nelayan guna mendukung peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan

    bermanfaat untuk pertimbangsn pengembangan komunitas sejenis.

    c. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah hasil penelitian dari

    perspektif etnolinguistik tentang hubungan bahasa dan budaya, khususnya upaya

    memformulasikan (merekonstruksi) kategori dan ekspresi bahasa dan budaya

    Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen yang mengandung kearifan

    lokal. Selanjutnya bermanfaat untuk menyampaikan pesan sosio-kultural, agar

    menjadi sarana strategis dalam rangka memahami faktor ekologis dan demografis

    guna pengembangan potensi kelautan di pesisir selatan Kebumen.

    d. Dari perspektif kajian ilmiah hasil penelitian ini dapat mewujudkan karya ilmiah

    berupa disertasi, artikel ilmiah untuk jurnal nasional terakreditasi/internasional,

    dan dimungkinkan buku teks muatan lokal, poster publikasi ilmiah tentang

    nelayan di pesisir selatan Kebumen.

    e. Dari perspektif sosial-budaya hasil penelitian ini dapat menjelaskan bahwa laut

    dan penguasa laut selatan Jawa yang berada di wilayah pengaruh otoritas pusat

    bahasa dan budaya Jawa Surakarta-Yogyakarta ternyata bervariasi, bahkan ada

    yang berbeda persepsinya ketika berada di wilayah pengaruh bahasa dan budaya

    Jawa Banyumas, khususnya pemahaman masyarakat nelayan tentang sosok yang

    dianggap tinggi di sepanjang pesisir selatan Kebumen. 39 Mantra adalah doa yang merupakan rumus-rumus, yang terdiri atas suatu rangkaian kata-kata gaib yang dianggap

    mengandung kekuatan dan kesaktian untuk mencapai secara otomatis apa yang dikehendaki oleh manusia (Koentjaraningrat, 1989: 252-253).

  • 22

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PIKIR

    Bab dua berisi deskripsi kajian pustaka, landasan teori, dan kerangka pikir.

    Secara lengkap kajian pustaka meliputi pustaka yang menyangkut deskripsi bahasa

    dan budaya Jawa Kebumen, kajian yang menyangkut nelayan secara umum, kajian

    pustaka menyangkut kearifan lokal, dan kajian yang berkaitan dengan etnolinguistik.

    Landasan teori meliputi tentang kearifan lokal (local genius), etnolinguistik dan

    etnosains, dimensi makrolinguistik dan mikrolinguistik dalam kajian etnolinguistik,

    bahasa-budaya-folklor dalam kajian etnolinguistik, konsep pola-pikir, semantik

    leksikal - semantik gramatikal - semantik kultural, semiotika dan semiotik. Kerangka

    pikir penelitian ini mengenai hubungan variabel penelitian beserta konsep teoretis dan

    metode penelitian yang melandasinya.

    A. Kajian Pustaka

    Penelusuran terhadap pustaka-pustaka yang berkaitan dengan judul penelitian

    ini belum menemukan pustaka yang membahas tentang Kearifan Lokal dalam

    Bahasa dan Budaya Jawa Masyarakat Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen (Sebuah

    Kajian Etnolinguistik). Hal itu dapat dibuktikan bahwa (1) hasil penelitian atau karya

    ilmiah yang telah dikaji itu berkaitan dengan bahasa dan budaya Jawa masyarakat

    Kebumen dengan berbagai perspektifnya (misalnya kajian linguistik struktural, kajian

    interdisipliner seperti jenis linguistik dialektologi, interdisipliner antara jenis linguistik

    dialektologi dengan sosiolinguistik (sosiodialektologi), interdisipliner antara bahasa

    dan budaya Jawa (etnolinguistik), dan kajian budaya Jawa di Kebumen); (2) hasil

    penelitian dan karya ilmiah yang telah dilakukan itu berkaitan dengan kajian tentang

    nelayan di tempat lain (secara umum); (3) kajian yang telah dilakukan berkaitan

    dengan kearifan lokal; dan (4) kajian yang telah dilakukan dengan perspektif

  • 23

    etnolinguistik terhadap masalah yang berhubungan dengan bahasa dan budaya Jawa,

    selain di Kebumen. Pustaka-pustaka yang berupa hasil penelitian, jurnal dan kajian

    lainnya yang dimaksud dalam kelompok (1), (2), (3) dan (4) itu, secara rinci dapat

    disimak pada uraian berikut ini.

    1. Karya Ilmiah Terkait Bahasa dan Budaya Jawa Kebumen

    dengan Berbagai Perspektifnya

    Kajian ilmiah terkait bahasa dan budaya Jawa Kebumen yang dapat dilacak

    meliputi kajian linguistik struktural, dialektologi, sosiodialektologi, etnolinguistik,

    dan kajian budaya Jawa Kebumen, meliputi:

    (a) Kajian tentang Dialektologi Van Zentral Java (Nothofer, 1981)

    menjelaskan aktualisasi bahasa Jawa di Jawa Tengah dari perpektif kajian

    dialektologi. Substansi kajiannya memaparkan identifikasi dialek bahasa Jawa di

    Jawa Tengah bahwa kosa-kata ngoko dan krama pada bahasa Jawa yang terletak di

    sebelah barat dialek bahasa Jawa Yogyakarta ternyata memiliki jumlah kosa-kata

    krama agak terbatas. Adapun dialek bahasa Jawa di sebelah barat Yogyakarta

    termasuk dialek bahasa Jawa pengaruh Banyumas diidentifikasi mempunyai leksikon

    pasangan ngoko-krama, sedangkan dalam dialek bahasa Jawa Yogyakarta hanya

    menggunakan kosa-kata netral. Karya ilmiah tersebut seperti karya ilmiah yang lain

    dalam paparannya belum mengarah pada kajian yang bersifat etnolinguistik bahasa

    Jawa Kebumen.

    (b) Artikel tentang Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen (Sudiro, 1986),

    menjelaskan adanya dua kelompok karakteristik bahasa Jawa Kebumen, yaitu bahasa

    Jawa Kebumen kelompok I yang merupakan bahasa Jawa yang memiliki karakteristik

    ngapak, dan bahasa Jawa Kebumen kelompok II yang merupakan bahasa Jawa yang

    memiliki karakteristik bandek. Karya ilmiah itu secara khusus belum menyinggung

    tentang hubungan bahasa dengan budaya Jawa di Kebumen dalam perspektif kajian

    etnolinguistik.

  • 24

    (c) Makalah yang berjudul Tinjauan Sinkronis dan Diakronis Dialek-dialek

    Bahasa Jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah Bagian Barat (Nothofer, 1990),

    mengulas data bahasa di Jawa Barat dan bahasa di Jawa Tengah bagian barat,

    terutama bahasa Jawa di wilayah pengaruh bahasa dan budaya Jawa Banyumas

    (termasuk Kebumen). Secara deskriptif data yang diuraikan berdasarkan karakteristik

    masing-masing untuk mengidentifikasi bahasa Jawa di Jawa Barat maupun Jawa

    Tengah bagian barat dari perspektif kajian dialektologi yang bersifat sinkronis

    maupun diakronis. Deskripsi makalah tersebut juga belum memasalahkan bahasa dan

    budaya Jawa Kebumen dari kaca mata etnolinguistik.

    (d) Praktek Studi Lapangan (PSL) tentang Dialektologi Bahasa Jawa di

    Kabupaten Purworejo dan Kebumen Karesidenan Kedu, Propinsi Jawa Tengah

    (Fernandez (Koordinator), 1990), telah mendeskripsikan data-data bahasa Jawa di

    perbatasan Kabupaten Purworejo dengan Kabupaten Kebumen dari perspektif studi

    komparatif. Studi komparatif yang dilakukan mahasiswa S2 Lingusitik Deskripstif

    PPS UNS Surakarta tentang dialek bahasa Jawa di perbatasan Kabupaten Purworejo

    dan Kabupaten Kebumen tersebut memilih Sungai Gebang sebagai pembatas lokasi

    geografisnya. Namun, karya ilmiah tersebut belum menyinggung kajian

    etnolinguistik bahasa Jawa Kebumen.

    (e) Laporan praktek studi lapangan dialektologi Geografi Dialek Bahasa

    Jawa Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Fernandez (Koordinator), 2001), berisi

    deskripsi data dari lokasi dan informan terpilih, serta analisisnya berdasarkan kajian

    geografi dialek untuk mengidentifikasi karakteristik fonologi, morfologi dan unsur

    leksikal bahasa Jawa Kebumen dari perspektif kajian dialektologi. Penelitian tersebut

    dilakukan untuk melaksanakan praktek studi lapangan (PSL) mata kuliah dilektologi

    di S2 Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hasil penelitian

    tersebut juga belum membahas bahasa Jawa Kebumen dari sudut pandang

    etnolinguistik.

    (f) Hasil penelitian Variasi Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen (Kajian

    Sosiodialektologi) (Pujiyatno, 2007), telah mengidentifikasi (i) bahasa Jawa

  • 25

    Kebumen yang mendapat pengaruh dari bahasa Jawa Banyumas yang diidentifikasi

    sebagai bahasa Jawa ngapak, (ii) bahasa Jawa Kebumen yang mendapat pengaruh

    dari bahasa Jawa Yogyakarta yang diidentifikasi sebagai bahasa Jawa bandek, di

    samping (iii) ada bahasa Jawa Kebumen yang diidentifikasi sebagai bahasa Jawa

    ceblek. Pengaruh dari bahasa Jawa Banyumas maupun dari bahasa Jawa Yogyakarta

    pada bahasa Jawa Kebumen itu, pada awalnya berupa pengaruh leksikon baru

    kemudian tingkat tutur krama melalui otoritas jabatan guru dan pamong-desa di sana.

    Hasil penelitian tersebut belum mengarah pada deskripsi data dari perspektif

    etnolinguistik.

    (g) Hasil penelitian tentang Tradisi Bersih Desa di Kecamatan Mirit

    Kabupaten Kebumen (Windhiyasmoro, 2009), telah mendeskripsikan pelaksanaan

    tradisi bersih desa masyarakat yang ada di Kecamatan Mirit Kabupaten Kebumen.

    Fokus kajiannya adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan ekspresi rasa syukur

    kepada Tuhan, terima kasih kepada leluhur yang telah merintis desanya, gotong-

    royong sebagai ekspresi kerukunan dan kebersamaan serta pentingnya menjaga nilai

    sosial religius. Hasil penelitian tersebut belum melibatkan analisis data yang

    mengarah pada kajian etnolinguistik bahasa Jawa Kebumen.

    (h) Hasil penelitian Tradisi Jalenan di Kecamatan Kebumen Kabupaten

    Kebumen (Khotimah, 2010), telah membahas pelaksanaan tradisi jalenan setiap

    selesai panen dan bersamaan dengan upacara ritual bersih desa. Hasilnya

    menyebutkan bahwa upacara ritual tradisi jalenan itu intinya untuk menyampaikan

    pesan leluhur kepada seluruh warga, agar tidak lengah mengikuti perkembangan

    jaman yang cenderung mengabaikan nilai tradisi leluhur dan pesan agama. Inti dari

    pelaksanaan tradisi jalenan itu seperti terekspresikan dalam pesan singkatnya aja-

    lena jangan lengah, terus terekspresikan secara verbal jalena-an atau jalenan

    tradisi yang membawa pesan kepada anak-cucu jangan gampang lengah untuk

    menyikapi keadaan, harus selalu hati-hati. Adapun kajiannya belum memfokuskan

    pada analisis data yang mengarah pada kajian etnolinguistik terhadap bahasa dan

    budaya Jawa Kebumen.

  • 26

    (i) Penelitian tentang Ritual Haul Syeh Abdurrahman di Kecamatan

    Kebumen Kabupaten Kebumen (Rahmawati, 2010), telah menjelaskan bahwa sosok

    Syeh Abdurrahman merupakan cikal-bakal leluhur mereka, sejaman dan ada

    hubungan dengan kerajaan Demak. Dia mewariskan nilai-nilai Islam sebagai hasil

    dakwahnya di Kebumen, akibatnya mentradisi sampai sekarang dan dihormati oleh

    pengikut dan keturunannya dengan upacara ritual Haul Syeh Abdurrahman itu, dan

    merupakan kesempatan yang digunakan untuk menyampaikan dakwah Islam.

    Penelitian tersebut belum mengarah pada fokus kajian tentang etnolinguistik bahasa

    dan budaya Jawa Kebumen.

    (j) Hasil survey tentang Bahasa dan Budaya Jawa Nelayan di Pesisir Selatan

    Kabupaten Kebumen Ditinjau dari Perpektif Etnolinguistik (Wakit dan Hartini,

    2009), telah mendeskripsikan bahasa dan budaya Jawa nelayan, kearifan lokal di

    balik bahasa dan budaya Jawa mereka terkait mata pencaharian, mantra pengobatan,

    perangkat sesaji, musim yang berlaku, nama ikan, nama perahu, nama organisasi

    nelayan, lokasi penting tempat ritual, nama-nama gaib penguasa lautan, pembagian

    wilayah pesisir selatan Kebumen dan gaib penunggunanya. Sekalipun belum

    mendalam arahan data dan ulasannya, namun hasil survey tersebut sudah mengarah

    pada kajian etnolinguistik, meskipun belum mendalam.

    (k) Hasil survey tentang Bahasa dan Budaya Jawa Banyumas di Pedesaan

    Dataran Tinggi Pegunungan Mahmeru Banyumas dan Hubungannya dengan Bahasa

    Jawa Berciri Banyumas di Pesisir Selatan Kebumen (Fernandez, Wakit, Hartini,

    2010). Mengutarakan bahwa data-data bahasa dan budaya Jawa di Watuagung

    Tambak Banyumas ada yang terkait dengan bahasa dan budaya Jawa dalam mata

    pencaharian petani dan penderes di pesisir selatan Kebumen, kecuali nelayan di

    daerah Banyumas tidak dikenal, karena mata pencaharian nelayan termasuk mata

    pencaharian yang baru dan adanya di pesisir seperti di selatan Kebumen. Telah

    ditemukan berbagai ekspresi tradisi seperti pilihan hari untuk upacara ritual,

    menanam, menikah, potong bambu, pranatamangsa, istilah ritual, dan perangkat

    sesaji. Data yang ditemukan telah mengarah pada kajian etnolinguistik bahasa dan

  • 27

    budaya Jawa Banyumas dalam rangka untuk fokus kajian bahasa dan budaya Jawa di

    pesisir selatan Kebumen, meskipun analisis data yang telah dilakukan belum secara

    mendalam.

    (l) Artikel tentang Kearifan Lokal Komunitas Petani di Pesisir Selatan

    Kebumen di Balik Bahasa Jawa dan Adat-istiadatnya (Kajian Etnolinguistik) (Wakit

    Abdullah, 2010), memfokuskan kajiannya pada kategori dan ekspresi verbal maupun

    nonverbal dalam bahasa dan budaya Jawa nelayan, serta kearifan lokal di balik

    bahasa dan budaya Jawa nelayan di pesisir selatan Kebumen. Data penelitian dan

    analisisnya telah mengarah pada kajian etnolinguistik, tetapi belum memadai karena

    terbatasnya volume tulisan.

    (m) Artikel tentang Kearifan Lokal tentang Pusaka yang Tercermin dalam

    Kategori dan Ekspresi Bahasa Jawa Masyarakat Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen

    (Kajian Etnolinguistik) (Wakit Abdullah, 2011), mengemukakan data dalam rangka

    fokus kajian pada nama-nama pusaka, daya magis dan pemiliknya serta manfaatnya

    sebagai sarana untuk mengatasi berbagai persoalan hidup mereka. Ekspresi verbal

    dan nonverbal terkait pusaka itu mencerminkan kecerdasan kolektif nelayan dalam

    upaya mencari solusi terkait persoalan hidup dengan gaib dan persoalan lain yang

    kasat mata. Kajian tersebut telah menuju pada pembahasan kearifan lokal dari

    perspekstif etnolinguistik.

    (n) Artikel tentang Kategori dan Ekspresi Bahasa Jawa Komunitas Nelayan

    di Pesisir Selatan Kebumen (Kajian Etnolinguistik) (Wakit Abdullah, 2011), telah

    mengidentifikasi, mendeskripsikan, menginterpretasikan kategori dan ekspresi dalam

    bahasa dan budaya Jawa nelayan dalam masa transformasi mata pencaharian dari

    petani ke nelayan dari perspektif kajian etnolinguistik beserta aspek sosial, kultural

    dan spiritualnya. Data penelitian yang telah ditemukan kemudian dianalisis dan lebih

    mengarah pada perspektif kajian etnolinguistik, meskipun masih sangat terbatas

    pembahasannya.

  • 28

    2. Karya Ilmiah yang Terkait Nelayan

    dan Objek Kajiannya di Luar Kebumen dengan Segala Perspektifnya

    Karya ilmiah yang telah membahas nelayan dan objek kajiannya di luar

    Kebumen yang dapat dilacak meliputi berikut ini.

    (a) Hasil penelitian tentang Sistem Pengetahuan Teknologi Kenelayanan

    Masyarakat Nelayan Puger yang tercermin dalam Satuan Lingual Bahasa Jawa Alat

    Transportasi Melaut dan Alat Tangkap: Sebuah kajian Etnolinguistik (Madjid,

    2010). Hasil penelitian tersebut telah mendeskripsikan (i) bahasa yang digunakan

    untuk mengkomunikasikan realitas, untuk menyusun realitas, untuk mengungkapkan

    pola pikir masyarakat (meliputi prinsip-prinsip, klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan

    yang kesemuanya melalui bahasa), untuk menguak kebudayaan pemiliknya, (ii)

    satuan lingual bahasa Jawa alat transportasi melaut dan alat tangkap ada yang berupa

    bentuk dasar dan frase, (iii) referensi satuan lingual bahasa Jawa alat transportasi

    melaut dan alat tangkap menyangkut perahu, aktivitas, bentuk, lokasi, binatang, alat,

    dan bagian tubuh, prinsip-prinsip hirarkhi klasifikasi mengacu pada bentuk, (iv)

    sistem pengetahuan teknologi kenelayanan yang dimiliki masyarakat nelayan Puger

    dipengaruhi dunia makrokosmosnya, tercermin dalam penghormatan, penghidupan

    roh, penyatuan alat melaut dan alat tangkap, baik nama-nama yang diberikan pada

    setiap bagian alat, hirarkhi klasifikasi, maupun acara ritualnya, di samping (v) alat

    melaut dan alat tangkap ikan masih menjaga hubungan serasi dengan alam sekitar.

    Data-data penelitian tersebut dianalisis berdasarkan perspektif kajian etnolinguistik.

    (b) Hasil penelitian tentang Persepsi Nelayan Cilacap terhadap Mitos

    Kanjeng Ratu Kidul (Tim, 1995), mendeskripsikan masyarakat yang tinggal di

    Kampung Bakung Sidakaya Cilacap umumnya memiliki pola pikir sederhana, yaitu

    masyarakat nelayan kehidupannya dengan menangkap ikan sebagai mata pencaharian

    utamanya. Mereka menjaga harmoni hubungan dengan alam laut, bahkan tunduk dan

    pasrah kepada alam laut yang dahsyat itu. Mereka memahami lautan yang dahsyat itu

    secara adikodrati ada yang menguasai yaitu Kanjeng Ratu Kidul dengan para

  • 29

    prajuritnya. Mereka memberikan berbagai perangkat sesaji guna mendapatkan

    keselamatan secara mistis terkait aktivitas hidup mereka di tepi laut dan mencari

    nafkah di lautan.

    (c) Artikel tentang Mitologi Rakyat Sepanjang Pantai Selatan (Wibowo,

    2005), menjelaskan mitos di pantai selatan Yogyakarta, seperti aktivitas upacara

    ritual grebeg maulud, labuhan bekti pertiwi, dan pisungsung jaladri. Upacara ritual

    itu menurut mereka bermanfaat untuk menambah kekayaan rohani, dan diakui

    masyarakat pendukungnya serta para turis domestik maupun mancanegara. Di

    samping itu secara sosial-religius kegiatan itu bermanfaat untuk pengembangan

    wisata ritual, karena upacara itu bukan sekedar rutinitas tahunan, namun lebih dari itu

    memiliki hubungan langsung dengan karakteristik kehidupan spiritual maupun sosial-

    ekonomi masyarakat sebagai pendukungnya. Khusus untuk masyarakat Desa

    Pamancingan, melakukan upacara ritual itu disebabkan oleh ketergantungan jiwa

    mereka. Jika tidak melakukan upacara ritual seperti itu hidup mereka tidak tenang,

    akibat dari rasa mengagumi alam sekitar, namun suasananya menakutkan jiwa

    mereka. Mereka mempercayai adanya hubungan alam, spiritualitas, sakralitas dan

    moralitas.

    (d) Laporan penelitian tentang Masyarakat Nelayan Desa Wonokerto,

    Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah (Tim Mahasiswa

    Fakultas Sastra UGM, 1982). Berisi tentang deskripsi mata pencaharian mereka,

    nama-nama ikan, nama-nama perahu, nama-nama musim, nama organesasi,

    kesepakatan mengatasi persoalan di antara mereka, sistem kerja mereka, struktur

    organisasi nelayan dan tradisi setempat terkait pelaksanaan pekerjaan di lautan dan di

    daratan. Kajiannya memang belum mengarah pada kajian etnolinguistik, tetapi

    ulasannya bermanfaat untuk penelitian ini.

    (e) Laporan penelitian tentang Nelayan Rawa Pening: Studi Kasus Pencari

    Ikan (Herawati, 1997). Berisi deskripsi tentang tradisi sebagian besar penduduk di

    sekitar Rawa Pening sebagai pencari ikan secara turun-temurun. Alatnya

    menggunakan jala ketika pada musin angok (air surut) mencari ikan, di samping

  • 30

    alternatifnya nyambi menanam padi di lahan yang tidak tergenang. Apabila air

    meluap pada musim agung air hujan menggenang di Rawa Pening, mereka

    menggunakan wuwu atau icir. Pada saat itulah mereka menghabiskan waktu untuk

    mencari ikan dan tidak menanam padi pada musim agung air hujan menggenang di

    Rawa Pening.

    (f) Artikel tentang Nelayan Desa Karimunjawa Pulau Karimunjawa

    Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah (Mudjijono, 2008). Berisi deskripsi tentang

    di Desa Karimunjawa Pulau Karimunjawa Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah

    masyarakatnya mayoritas aktivitasnya mencari ikan, maka nelayan merupakan

    sebutan dari mayoritas penduduk di Desa Karimunjawa. Sistem kerjanya dengan

    kelompok (i) Perahu branjang (operatornya dua/tiga orang) bagi kalangan bawah,

    hasilnya dibagi dengan sistem kemisan. (ii) Kapal jonson sistem kerjanya dengan cara

    bagi hasil secara adil, yaitu pemilik kapal mendapatkan bagian sesuai dengan

    kelengkapan yang digunakan, meliputi jaring satu bagian, kompresor satu bagian,

    pemilik kapal satu bagian, dan nelayan mendapat satu bagian. Pembagian seperti itu

    menurut mereka mencirikan kalangan atas (pemilik kapal) hasil yang diterima lebih

    banyak. Pertimbangan lainnya seperti menggunakan jaring nuroami dan pembagian

    kerja yang lebih tegas mulai dari nahkoda, pelari darat, dan kepala penyelam.

    Pandega dan nahkoda sangat tergantung pada juragan perahu. Selain itu ikan hasil

    melaut berupa ikan blunder dan teri harganya ditentukan pemilik perahu dan berlaku

    sama ketika pindah juragan perahu karena modelnya sama. Jika menjual ikan ke

    pemilik perahu tidak ada kesempatan menawar, meskipun dapat dijual ke mana saja

    sesuai kesepakatan ABK dan pemilik kapal. Akibatnya ada yang mencoba menjadi

    pengepul/tengkulak yang menjual ikan hingga luar Karimunjawa. Seperti ikan jenis

    kerapu merupakan ikan yang banyak dijual dalam keadaan hidup, karena jenis ikan

    teri, kerapu itu yang bernilai tinggi. Bahkan penjualan ikan sampai diekspor ke luar

    negeri. Menurut mereka wilayah laut tersebut untuk nelayan tiada duanya untuk

    melaut.

  • 31

    (g) Artikel tentang Wanita Nelayan di Kecamatan Kedung Jepara

    (Munawaroh, 2006). Berisi deskripsi tentang keterangan aktualitas wanita nelayan di

    Kecamatan Kedung Jepara. Sebagai wanita nelayan menyadari pekerjaan suaminya

    yang penuh resiko, sementara hasilnya kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari.

    Untuk mengatasi masalah itu para wanita nelayan menyempatkan diri membantu

    suami mencari nafkah di samping mengurusi rumah tangga, dengan menjadi buruh

    membuat ikan asin (menggesek ikan), menjual ikan tangkapan suami, berdagang apa

    yang bisa dijual, buruh di pabrik krupuk ikan, menyulam alat penangkap ikan, dan

    untuk mengatasi kekurangan ekonomi jika terpaksa mereka ngebon ambil barang

    dulu dibayar akhir bulan.

    (h) Artikel tentang Aktivitas Kerja Nelayan Bonang-Demak: Pendekatan

    Etnosains (Sumintarsih, 2003). Berisi deskripsi tentang pengungkapan sistem

    pengetahaun nelayan, dunia dan lingkungannya. Dalam peta kognitif nelayan

    mengenal laut, ikan, perahu, alat-alat tangkap ikan. Aktivitas mereka tercermin dalam

    sistem klasifikasi yang mereka kuasai dari keempat hal tersebut. Di samping

    mencerminkan pola aktivitas ekonomi rumah tangga nelayan di laut dan di darat.

    Menurut mereka aktivitas di laut milik para laki-laki dan di darat milik para

    perempuan. Penelitian ini difokuskan di desa Purworejo, Kecamatan Bonang,

    Kabupaten Demak. Hasilnya menunjukkan aktivitas mereka terkait dengan fungsi

    peralatan, kedalaman laut, jenis ikan, gejala alam sebagai keterkaitan fungsional.

    (i) Artikel tentang Pendayagunaan Sumber Daya Alam di Kampung Nelayan

    di Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah

    (Emiliana Sadilah, 2003). Berisi deskripsi tentang desa tersebut sebagai desa yang

    paling banyak komunitas nelayan, nampak pada aktivitas melaut atau miang dan

    tradisi melaut dilakukan sejak nenek moyang mereka, maka bagi mereka sejak kecil

    telah mengenal budaya neayan secara turun temurun. Letak desa yang dekat dengan

    laut dan muara sungai sebagai fasilitas alami mereka, sehingga hampir seluruhnya

    menggantungkan hidup dari melaut, baik yang menggunakan perahu sendiri maupun

    yang menjadi buruh perahu juragan. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka melaut

  • 32

    dengan perahu sendiri yang beranggotakan 3 sampai 4 orang. Sementara mereka yang

    menjadi buruh juragan menggunakan perahu besar (porse seine) yang beranggotakan

    sekitar 20 orang. Fasilitas yang berbeda tersebut berpengaruh pada hasil tangkapan

    mereka, sehingga diversitas perolehan tangkapan juga membedakan hasil yang

    diperoleh, seperti ada yang mendapatkan ikan teri, tongkol, kembung, banjar, cumi,

    manyung dan pethek dengan harga rata-rata 10.000,-/kg dipandang berpenghasilan

    kecil dibandingkan dengan fasilitas mereka.

    (j) Laporan penelitian tentang Strategi Masyarakat Nelayan dalam

    Kehidupan Ekonomi Desa Pantai Wonokerto Kabupaten Pekalongan (Sumintarsih,

    1996). Berisi deskripsi modal kerja masyarakat nelayan berupa alam laut dan

    kekuatan tenaga. Di tempat itu mereka bekeja bersifat monokultur karena tidak ada

    alternatif lain dan ketrampilan mereka hanya terkait di alam laut sejak kecil secara

    turun-temurun. Populasi mereka bertambah tetapi hanya sebagai buruh nelayan di

    kapal purse-seine milik juragan cina. Akibatnya perahu sopek milik nelayan kecil

    terdesak, karena sulit mencari tenaga akibatnya perahu menjadi mangkrak, kreditnya

    macet, tujuan awal untuk memberikan lahan nafkah pada nelayan menjadi gagal.

    Kebijakan pemerintah terkait hal itu perlu dilakukan untuk membuka pekerjaan lain

    seperti subsector nelayan berupa bertani tambak, penggehan, bertani bunga melati di

    samping buruh batik pekalongan.

    (k) Artikel tentang Gubug Penceng Penanda Arah Selatan (Kompas, 15

    Agustus 2011, halaman 13). Berisi deskripsi tentang salah satu rasi bintang yang

    memiliki arti penting bagi bangsa-bangsa di belahan bumi selatan adalah Crux yang

    dikenal di Indonesia dengan rasi layang-layang (nama layang-layang dikenal

    sejumlah etnis nusantara dengan Lintang Gubug Penceng dan Iwak Pe Ikan Pari40)

    40 Yaitu lima bintang yang dimiliki dengan bentuknya yang sederhana mudah diamati dan diidentifikasi. Selama bulan Agustus

    ketika matahari telah tenggelam rasi bintang ini nampak rendah di selatan, yakni antara 10-30 derajat di atas horizon. Waktu terbaik untuk melihatnya mulai bulan Mei dan Juni. Nama Gubug Penceng berasal dari kisah sejumlah pemuda yang membangun rumah. Di depan rumahnya setiap hari lewat wanita cantik yang akan mengantar makanan ke sawah. Kecantikan wanita itu mengganggu konsentrasi para pemuda, alhasil rumah yang dibangun bentuknya menjadi miring alias penceng (Jawa). Gambaran itu diabadikan dalam rasi bintang yang bernama Gubug Penceng. Wanita cantiknya diabadikan dalam Lintang Wulanjar Ngirim yang dalam astronomi modern dinamai bintang Alpha Centauri dan Beta Centauri. Kedua bintang ini merupakan rasi bintang Centaurus yang dalam mitologi yunani dilambangkan dengan Kuda Berkepala Manuisa. Sang perempuan diabadikan sebagai Alpha Centauri yang merupakan bintang terdekat di Bumi setelah Matahari. Adapun

  • 33

    mulai terlihat pada bulan Mei dan Juni. Rasi ini bermakna sebagai penanda arah

    selatan, di samping sebagai penanda datangnya musim kemarau, namun yang utama

    adalah sebagai penunjuk arah selatan. Saat rasi bintang ini menghilang dari langit

    malam bulan September, kemudian muncul rasi Orion atau Lintang Waluku. Rasi

    Orion bagi orang Jawa menjadi penanda dimulainya musim bercocok tanam.

    (l) Laporan penelitian tentang Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Nelayan

    Desa Wonokerto Kecamatan Wirodesa Kabupaten Pekalongan (Relasi Sosial

    Ekonomi Jurumudi) (Mudjijono, 1993/1994). Berisi deskripsi mata pencaharian

    masyarakat di Desa Wonokerto Kulon dan Wonokerto Wetan yang berhubungan

    dengan pernelayanan dan yang tidak. Mata pencaharian yang berhubungan dengan

    pernelayanan meliputi buruh membersihkan perahu, memperbaiki dan membuat

    perahu, memperbaiki dan membuat jala, pedagang ikan, tukang masak di perahu,

    jurumudi, jurumesin/motoris, jeraus, juru arus, juru gidhang dan pengolah hasil

    tangkapan. Terkait nelayan terbagi dalam kelompok juragan atau daoke (pemilik

    perahu) dan pandega (buruh kapal, termasuk jurumudi atau nahkoda). Jurumudi

    jabatan kunci dalam kapal yang harus memiliki SKK (Surat Kecakapan Kemudi) dari

    Syahbandar, dia bertugas membagi hasil dan mengganti kerugian pembekalan,

    menentukan berlayar atau tidak manakala kapal mengalami kerugian, memimpin

    pelayaran, setelah miang atau mbelah melaut menentukan pelayaran akan dilakukan

    atau tidak, menentukan saat yang tepat menabur jaring dan kapan harus

    mengangkatnya. Jika ada anak buah kapal tidak melaut karena suatu hal, maka

    selendangnya yang tertiup angin diabadikan sebagai Beta Centauri. Sejak kapan orang Jawa mengenal Lintang Gubug Penceng tidak dapat dipastikan, namun sejak jaman Panembahan Senopati Raja Mataram Islam (1575-1601) rasi bintang ini sudah disebut-sebut dalam beberapa tembang puisi tradisional Jawa, artinya sebelum itu sudah ada. Masyarakat pesisir menyebut Lintang Gubug Penceng dan Lintang Wulanjar Ngirim sebagai satu kesatuan dan menyebutnya sebagai bintang Iwak Pe Ikan Pari, sedangkan masyarakat Melayu dan semenanjung Malaka mengenalnya dengan nama Buruj Pari. Nama layang-layang dalam Crux baru muncul dalam Nusantara Modern, tidak ada literatur kuna yang menyebut Crux sebagai layang-layang. Masyarakat Eropa menamai dengan Southern Cross (Salib Selatan). Bangsa barat mengenal Crux pada abad XVI ketika mencari rempah-rempah. Bentuk bumi yang bulat menyebabkan bangsa barat tidak bisa melihat Crux posisinya di belahan langit selatan. Sistem penamaan rasi bintang berkaitan dengan budaya masing-masing. Negara bekas jajahan barat (Australia, New Zeland, Papua New Guiniu) memasukan Crux pada bendera mereka. Adapun pada bendera Brazil bekas jajahan Portugis Crux menunjukkan jumlah negara bagian. Crux merupakan rasi terkecil di antara 88 rasi bintang di langit yang ditentukan batas-batasnya oleh Persatuan Astronom Internasional (IAU) pada tahun 1930. Dalam astronomi rasi Crux tidak memiliki makna khusus, karena di samping menunjuk arah selatan, untuk menentukan medan langit dan nama benda langit. Di sekitar rasi Layang-layang yang banyak menarik astronomi adalah Kantung Arang nebula gelap bahan dasar pembentuk bintang serta Kotak Berlian gugus bintang terbuka berusia muda. (Kompas, 15 Agustus 2011, halaman 13).

  • 34

    jurumudi akan berelasi dengan Juragan, antar jurumudi, tokoh masyarakat, dan tokoh

    pemerintah desa. Adapun mata pencaharian yang tidak terkait dengan pernelayanan

    yaitu buruh bangunan, pegawai negeri, buruh dan transportasi, pembuat batik,

    menanam bunga melati.

    (m) Makalah tentang Bentuk Ungkapan Nelayan Makassar (Patorani) dalam

    Aktivitas Pencarian Telur Ikan Terbang: Salah Satu Bentuk Pemertahanan Bahasa

    dan Budaya Daerah (Iswary, t.t.). Berisi tentang upaya untuk mendokumentasikan

    ekspresi linguistik tertentu dalam bahasa Makassar. Ekspresi ini merupakan hal

    sangat unik yang digunakan oleh komunitas nelayan yang disebut Patorani. Di

    samping memaparkan simbol-simbol yang dihubungkan dengan ekspresi linguistik

    dan bagaimana hal itu dapat berhubungan erat dengan budaya masyarakat setempat

    dan kehidupan sehari-hari komunitas Patorani. Pada akhirnya menunjukkan bahwa

    ekspresi linguistik yang digunakan para nelayan dalam bentuk lagu serta

    menggunakan simbol-simbol untuk memikat ikan terbang supaya masuk ke dalam

    pukat mereka.

    (n) Buku tentang Nelayan dan Kemiskinan: Studi Antropologi Ekonomi

    Mubyarto (1984). Buku tersebut mendeskripsikan nelayan sebagai masyarakat yang

    hidup di pesisir laut, mereka belum bisa menikmati hasil laut yang melimpah, di

    samping karena realitas hidup dengan SDM yang serba terbatas, faktor sosial politik

    (perhatian pemerintah), sosial ekonomi (permodalan, tertekan tengkulak sebagai

    penentu harga ikan) dan sosial budaya (konsep hidup yang dipengaruhi tradisi lama

    yang kurang produktif) sangat mempengaruhi keberadaan mereka secara turun-

    temurun.

    (o) Hasil penelitian tentang Mantra Nelayan Bajo: Cermin Pikiran Kolektif

    Orang Bajo di Sumbawa (Syarifuddin, 2008). Berisi tentang kajian mantra nelayan

    Bajo di Sumbawa, klasifikasi mantra nelayan Bajo dengan ciri-ciri linguistiknya,

    menunjukkan pola-pikir berupa relasi-relasi orang Bajo dengan wujud tertinggi yang

    mereka ekspresikan dengan papu, relasi orang Bajo dengan sesamanya, orang Bajo

    dengan makhluk halus, orang Bajo dengan alam sekitar (folra-fauna), orang Bajo

  • 35

    dengan benda-benda, dan orang Bajo dengan gejala alam.

    (p) Hasil penelitian tentang Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat

    Nelayan Madura (Sumintarsih, dkk., 2005), mendeskripsikan kearifan lokal nelayan

    Madura dengan pendekatan etnosains, gejala-gejala sosial dari sudut pandang

    masyarakat nelayan dan pelibatnya, struktur komunitas nelayan, pola konsumsi,

    hubungan sosial, sistem teknologi dan alat tangkap ikan, kegiatan ritual dan sistem

    kepercayaan, hal-hal terkait nelayan. Kearifan nelayan Madura tercermin dalam

    persepsi nelayan terhadap teknologi tangkap ikan yang berdasarkan pada upaya

    pelestarian lingkungan alam laut, melarang menangkap ikan dengan bahan peledak

    dan jaring pukat, sangsi sosial merupakan hukuman berat yang dijatuhkan kepada

    setiap pelanggarnya.

    (q) Hasil penelitian tentang Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat

    Nelayan Jepara Jawa Tengah (Suyami, dkk., 2005), mendeskripsikan tentang

    struktur komunitas nelayan, hubungan sosial nelayan, persepsi dan sistem

    pengetahuan yang meliputi pengetahuan tanda-tanda alam, area perburuan ikan,

    teknologi alat tangkap ikan, sistem kepercayaan dan kegiatan ritual nelayan. Di

    samping itu juga mengidentifikasi berdasarkan keteraturan waktu melaut dan alat

    yang digunakan masyarakat nelayan Jepara termasuk nelayan tradisional. Keteraturan

    waktu melaut dan alat yang digunakan itu diidentifikasi sebagai kearifan lokal

    mereka, karena termasuk upaya agar tidak merusak lingkungan alam dan merupakan

    pertimbangan mereka untuk membangun harmoni alam. Hal itu dipahami bahwa alam

    sebagai milik bersama secara turun-temurun harus dilestarikan keberadaannya.

    (r) Buku tentang Close to The Stone, Far from The Throne (Semedi, 2003).

    Berisi komunitas nelayan di pulau Jawa tahun 1820-an hingga tahun 1990-an,

    khususnya di desa Wonokerto Pekalongan. Secara rinci membahas gambaran umum

    komunitas nelayan di desa Wonokerto Pekalongan, kondisi nelayan di Pekalongan

    pada abad le-19, perkembangan nelayan di desa Wonokerto Pekalongan dari

    pengaruh kolonial, situasi di desa Wonokerto Pekalongan sampai pertengahan tahun

    1960-an, perkembangan industri nelayan di pelabuhan Pekalongan dari tahun 1970-an

  • 36

    sampai tahun 1990-an, kondisi nelayan kecil dalam hubungannya dengan

    perkembangan nelayan dalam skala besar, perubahan sosial-ekonomi nelayan,

    kehidupan sosial penduduk desa Wonokerto Pekalongan dari tahun 1970-an sampai

    tahun 1990-an sebagai babak baru nelayan modern.

    (s) Hasil penelitian tentang Kemiskinan Nelayan dan Pembangunan Desa

    Pantai (Kusnadi, 1997); Kemiskinan dan Diversifikasi Pekerjaan di Kalangan

    Nelayan (Kusnadi, 1997); dan Nelayan Buruh: Lapisan Sosial yang Paling Miskin

    di Desa Pantai (Kusnadi, 1998) yang telah dipublikasikan dalam bentuk Seri Kertas

    Kerja hasil kerja sama dengan Pusat Studi Komunitas Pantai Jember Jawa Timur.

    Berisi tentang penjelasan bahwa penelitian yang dilakukan ini sebagai salah satu

    upaya untuk meningkatkan taraf hidup nelayan, kehidupan komunitas nelayan

    tradisional dan nelayan buruh yang berada di kelas sosial rendah, oleh karena itu

    berbagai upaya pemerintah segera dilakukan.

    (t) Artikel tentang Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa

    sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada Masyarakat

    Petani dan Nelayan (Fernandez, 2008). Berisi tentang kearifan lokal masyarakat di

    Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta tercermin dalam

    kategori dan ekspresi bahasa dengan berbagai keragaman bentuknya. Melalui ranah

    mata pencaharian petani dan nelayan itu, sampel penelitian diketahui banyak

    menyimpan sistem pengetahuan masyarakat yang mencerminkan relasi yang serasi

    antara manusia dengan ekologi alam sekitar, ekologi sosial, dan ekologi pikiran

    masyarakat. Dalam kekayaan mitosnya, tercermin relasi petani dan nelayan dengan

    ekologi alam mikro dan makrokosmosnya. Relasi yang terjalin secara vertikal dengan

    dunia supranatural dan secara horisontal sesama warga masyarakat. Dalam kategori

    dan ekspresi seperti tampak dalam kosa-kata dan paduan kata misalnya, tampak pola

    pikir dan pandangan hidup petani dan nelayan yang terekam dalam makna yang

    terjalin secara tersirat maupun tersurat mengklarifikasi kemampuan pemilik budaya

    dan sistem pengetahuan (kognisi) yang terekam dalam bahasa sebagai bagian integral

    dari kebudayaan.

  • 37

    (u) Artikel tentang Fungsi dan Makna Upacara Tradisional Labuhan Gunung

    Kombang di Pantai Ngliyep Malang (Sanjata, 2007). Berisi deskripsi upacara ritual

    Labuhan Gunung Kombang yang masih dilaksanakan, karena memiliki fungsi bagi

    masyarakat pendukungnya. Tradisi itu mengandung lambang-lambang, simbol-

    simbol warisan dari nenek moyang mereka. Perkembangan hanya terbatas pada teknis

    pelaksanaan mengenai substansi masih sama, yaitu untuk melakukan persembahan

    kepada mBok Nyai Ratu Mas penguasa laut selatan Malang. Masyarakat di pesisir

    selatan Malang melaksanakan tradisi labuhan Gunung Kombang itu berfungsi untuk

    pengendalian sosial, pengelompokan sosial, norma sosial, media sosial, menambah

    ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa dan etos kerja.

    (v) Karya ilmiah Upacara Sedekah Laut Dikaitkan Dengan Perkembangan

    Pariwisata di Kabupaten Cilacap (Moertjipto, 2001). Berisi deskripsi tradisi nelayan

    di Teluk Penyu sebagai warisan leluhur mereka terkait dengan kepercayaan terhadap

    leluhur, roh halus, dewa dan Tuhan. Kehidupan mereka menyatu dengan alam sekitar,

    baik secara mental spiritual maupun irama kehidupan mereka. Upacara sedekah laut

    tersebut telah dimanfaatkan untuk sarana pengembangan wisata pantai dan spiritual.

    Dalam perkembangannya terjadi perubahan perangkat sesaji, seperti jika dahulu ada