30 bab iii akibat hukum terhadap …repository.unair.ac.id/13766/10/10. bab 3.pdf31 bawaan. pada...
TRANSCRIPT
30
BAB III
AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN
DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL
DI DALAM NEGERI
1. Pembangunan Unit Pengolahan dan Pemurnian Guna Melaksanakan Kegiatan
Pengolahan dan Pemurnian
Semenjak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, menjadi sebuah
keharusan yang baru bagi pengusaha komoditas tambang untuk melaksanakan
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum melakukan penjualan ke luar negeri
(ekspor). Khususnya bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK). Kegiatan pengolahan dan pemurnian tersebut sebagai
salah satu upaya yang digalakkan oleh pemerintah agar hasil tambang yang diperoleh dari
penambangan di dalam negeri mendapatkan nilai tambah.
Untuk mendapatkan nilai tambah dari hasil tambang dengan pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri dilakukan dengan menggunakan unit pengolahan dan
pemurnian yang dikenal dengan “smelter”. Unit pengolahan dan pemurnian yang disebut
“smelter” sebagai fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi untuk meningkatkan
kandungan logam, hingga logam tersebut mencapai tingkat yang diinginkan atau yang
memenuhi standar sebagai bahan baku akhir.
Dalam industri pertambangan mineral logam, smelter merupakan bagian dari
sebuah proses produksi. Dimana mineral yang diperoeh dari hasil penambangan alam
yang dilakukan di dalam negeri biasanya masih tercampur dengan kotoran atau mineral
30
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
31
bawaan. Pada umumnya hasil tambang jarang yang ditemukan dalam keadaan
mempunyai kadar mineral atau logam berharga yang tinggi dan siap untuk dijual atau
cocok untuk diproses lebih lanjut. Maka dari itu perlu dilakukan pengolahan dan
pemurnian untuk memisahkan komoditas tambang mineral yang diinginkan atau yang
berharga dan kemudian ditingkatkan kadarnya sesuai batasan yang ditentukan.
Pembangunan unit pengolahan dan pemurnian “smelter” menjadi sebuah
kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK. Dengan membangun unit pengolahan dan
pemurnian “smelter” ini, tidak hanya dapat menambah nilai jual dari komoditas tambang
mineral tetapi juga dapat membuka lapangan kerja baru. Dimana tentunya akan
dibutuhkan tenaga-tenaga kerja atau bahkan ahli-ahli untuk mengoperasikan unit
pengolahan dan pemurnian “smelter” tersebut.
Pembangunan unit pengolahan dan pemurnian “smelter” di dalam negeri harus
dilakukan selambat-lambatnya lima tahun sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009,67
yang berarti bahwa pada tahun 2014 seluruh perusahaan tambang yang
telah berproduksi harus sudah membangun unit pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri.
1.1. Kerja Sama Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri
Untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, maka pengusaha
tambang dapat membangun unit pengolahan dan pemurnian “smelter” sendiri atau
melakukan kerjasama dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah
67
Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
32
mendapatkan IUP atau IUPK.68
Selain itu, dapat pula melalui kerja sama dengan
pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi lainnya, Izin Usaha Pertambangan
Khusus Operasi Produksi lainnya, dan/atau pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian.69
Bentuk kerja sama untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan
dengan:70
1. Jual beli bijih (raw material atau ore) atau konsentrat; atau
2. Kegiatan untuk melakukan proses pengolahan dan/ atau pemurnian.
Rencana untuk melakukan kerja sama pengolahan dan pemurnian tersebut dapat
dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari menteri, gubernur, dan bupati /
walikota. Dibutuhkan persetujuan dari menteri apabila:71
1. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Operasi Produksi atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi
Produksi yang diterbitkan oleh menteri dengan:
a). Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi lainnya atau Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi lainnya yang diterbitkan oleh
Menteri;
b). Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi lainnya yang diterbitkan
oleh gubernur atau bupati/walikota;
c). Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi khusus untuk pengolahan
dan/atau pemurnian yang diterbitkan oleh Menteri;
2. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Operasi Produksi yang diterbitkan oleh 2 (dua) gubernur yang berbeda;
3. Rencana kerja sama dilakukan antara oemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Operasi Produksi yang diterbitkan oleh 2 (dua) bupati/walikota yang berbeda
provinsi;
4. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Operasi Produksi yang diterbitkan oleh bupati/walikota atau izin Usaha
68
Pasal 104 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 69
Pasal 5 Peraturan Menteri Energi, dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. 70
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam
Negeri. 71
Pasal 6 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun
2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di
Dalam Negeri.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
33
Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang diterbitkan oleh gubernur dengan Izin
Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau
pemurnian yang diterbitkan oleh Menteri.
Untuk rencana kerja sama pengolahan dan pemurnian yang dapat dilaksanakan
setelah mendapatkan persetujua dari gubernur, apabila:72
1. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang IUP Operasi Produksi yang
diterbitkan oleh gubernur dengan:
a). IUP Operasi Produksi lainnya yang diterbitkan oleh gubernur dalam 1 (satu)
provinsi;
b). IUP Operasi Produksi lainnya yang diterbitkan oleh bupati/walikota dalam 1
(satu) provinsi;
c). IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang
diterbitkan oleh gubernur dalam 1 (satu) provinsi;
2. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang IUP Operasi Produksi yang
diterbitkan oleh bupati/walikota dengan IUP Operasi Produksi yang diterbitkan
oleh bupati/walikota lainnya dalam 1 (satu) provinsi;
3. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang IUP Operasi produksi yang
diterbitan oleh bupati/walikota dengan IUP Operasi Produksi Khusus untuk
pengolahan dan/atau pemurnian yang diterbitkan oleh gubernur.
Sedangkan rencana kerja sama yang membutuhkan persetujuan dari
bupati/walikota apabila rencana kerja sama dilakukan antara pemegang IUP Operasi
Produksi yang diterbitkan oleh bupati/walikota dengan:73
1. IUP Operasi Produksi lainnya yang diterbitkan oleh bupati/walikota dalam 1
(satu) kabupaten/kota;
2. IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang
diterbitkan oleh bupati/walikota dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
Sedangkan bagi pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan
IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian melakukan
pengolahan dan/atau pemurnian bijih (raw material atau ore), konsentrat, atau produk
72
Pasal 6 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun
2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di
Dalam Negeri. 73
Pasal 6 ayat (2) huruf c Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun
2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di
Dalam Negeri.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
34
antara mineral yang bersala dari luar negeri, untuk rencana kerja samanya dengan
pemasok wajib mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari menteri.74
1.2. Larangan Kerja Sama Bagi Penambang Yang Tidak Memiliki Izin Usaha
Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus
Pada dasarnya yang dapat melakukan pengolahan dan pemurnian komoditas
tambang mineral adalah orang atau pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau
pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan kata lain, berati yang boleh
melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan adalah pemegang Izin
Usaha Pertambangan (IUP) atau pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Berlaku pula dalam hal dilakukannya kerja sama untuk melakukan pengolahan
dan pemurnian di dalam negeri. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian
dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, dan IUPK.75
Menurut Pasal 104
ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang mengatur larangan melakukan
pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau
IUPK. Berarti bahwa yang dapat melakukan pengolahan dan pemurnian adalah
pemegang IUP dan IUPK.
Pelanggar ketentuan Pasal 104 ayat (3) tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang
menyatakan bahwa setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi
Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian,
74
Pasal 6 ayat (4) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam
Negeri. 75
Pasal 104 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
35
pengangkutan, penjualan mineral batubara yang bukan dari pemegang IUP dan IUPK,
atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2),
Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal
104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1).
Sanksi hukum bagi pelanggar ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009, yaitu:
a. Sanksi pidana; dan
b. Sanksi denda.
Sanksi pidana bagi pelanggar ketentuan tersebut, yaitu pidana penjara 10 tahun,
sedangkan sanksi dendanya paling banyak sejumlah Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah). Sanksi yang diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 bersifat kumulatif, yang berarti bahwa kedua sanksi tersebut, yaitu sanksi pidana
penjara dan denda dapat dijatuhkan secara bersamaan kepada pelaku perbuatan pidana,
bukan bersifat alternatif (pilihan antara pidana penjara atau denda).76
2. Sanksi Atas Pelanggaran Ketentuan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri
Hukum pertambangan mineral dan batubara merupakan kaidah hukum yang
bersifat khusus. Sifatnya yang khusus ini juga nampak dari sifat hubungan para pihak
yang bersifat administratif. Hukum pertambangan mineral dan batubara semenjak
terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menjadi bersifat administrative, dimana
pemerintah maupun pemerintah daerah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam
proses pemberian izin kepada pemegang IPR, IUP, dan IUPK.
Di dalam pemberian izin tersebut didasarkan kepada syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-perundangan. Apabila syarat-syarat tersebut
76
Salim HS, Op.cit, Hlm. 307
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
36
dipenuhi oleh calon pemegang izin, maka pemerintah dapat menetapkan izin secara
sepihak kepada pemegang IPR, IUP, dan IUPK. Namun, apabila syarat-syarat itu tidak
dipenuhi, maka pemerintah dapat menolak izin yang diajukan oleh calon pemegang izin.
Pemerintah juga dapat membatalkan segala bentuk izin, baik berupa IPR, IUP, maupun
IUPK secara sepihak, apabila pemegang IPR, IUP, dan IUPK tidak mematuhi dan
menaati segala ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam substansi izin dan ketentuan
perundang-undangan.
Lain halnya dengan sistem yang berlaku sebelum terbitnya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 ini diterbitkan, yaitu sistem kontrak. Dimana pemerintah tidak
dapat membatalkan secara sepihak segala kontrak yang dibuat oleh dan antara pemerintah
dengan kontraktor atau pihak lainnya. Untuk membatalkan setiap kontrak yang dibuat
oleh para pihak, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan ke pengadilan atau
ke lembaga arbitrase internasional. Lembaga inilah nantinya yang akan membatalkan
kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Mengingat sistem yang kini diberlakukan adalah sistem perizinan yang bersifat
administrative, maka bagi pemegang IPR, IUP, dan juga IUPK yang melakukan
pelanggaran dapat dijatuhi sanksi yang berupa sanksi administrasi. Penjatuhan sanksi
administrasi ini juga diterapkan apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Ketentuan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri ini merupakan kewajiban
yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 kepada pemegang Izin
Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kewajiban
tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 102, yang berbunyi “Pemegang IUP dan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
37
IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam
pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan
batubara.” Pasal 103 pada ayat (1) yang berbunyi, “Pemegang IUP dan IUPK Operasi
Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam
negeri.”
2.1. Sanksi Administrasi Sebagai Instrumen Penegakan hukum
Sebagaimana pendapat yang ditulis oleh J.B.J.M ten Berge yang menguraikan
intrumen penegakan hukum administrasi, meliputi:77
a. Pengawasan;
b. Penegakan sanksi.
Sanksi administrasi adalah penerapan sanksi oleh pemerintah terhadap pelanggaran
norma hukum administrasi.78
Sanksi administrasi merupakan bagian dari penegakan
hukum administrasi yang bersifat represif, karena penerapan sanksi administrasi selalu di
dahului oleh adanya pelanggaran norma hukum administrasi yang dalam hal ini adalah
pelanggaran terhadap kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak ditemukan rumusan tentang
sanksi administrasi. Esensi sanksi administrasi dalam bidang pertambangan merupakan
sanksi yang dijatuhkan oleh pemberi izin, apakah itu IPR, IUP, maupun IUPK terhadap
pemegang IPR, IUP, maupun IUPK, yang disebabkan karena melakukan pelanggaran
terhadap substansi izin dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
77
Tatik Sri Djatmiati, Urip Santoso, dan Lilik Pudjiastuti, Buku ajar hukum perizinan, Fakultas
hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, 2005. Hlm, 35, dikutip dari Philipus M Hadjon, Penegakan
Hukum Administrasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dalam Butir-Butir Gagasan tentang
Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintah Yang Layak, Citra Aditya Abadi, Bandung, 1996. 78
Tatik Sri Djatmiati, Urip Santoso, dan Lilik Pudjiastuti, Op.cit, Hlm. 39
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
38
Sasaran sanksi administrasi adalah kegiatan pelanggaran terhadap norma hukum
sanksi administrasi bukan kepada pelaku, sehingga tujuan sanksi administrasi adalah
untuk menghentikan pelangaran atau memulihkan pada keadaan semula.79
Maka terhadap
tujuan tersebut, penerapan sanksi administrasi dapat dilakukan meskipun tanpa didahului
oleh prosedur peradilan, mengingat prosedur peradilan membutuhkan waktu yang cukup
lama.
Pelaksanaan suatu sanksi administrasi berlaku sebagai suatu keputusan
(ketetapan) yang memberi beban (belastende beschikking).80
Hal itu membawa serta
hakekat (sifat) dari sanksi.81
Bagi jenis tindakan-tindakan penguasa terkandung secara
khusus adanya azaz kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel) dalam makna azaz umum
pemerintahan yang layak.82
Dengan cermat harus ditetapkan pada titik-titik mana seorang
warga dipandang telah lalai.83
Hampir selalu, seorang warga harus terlebih dahulu diberi
kesempatan memberikan pandangannya dan jika perlu menjelaskan mengapa ia lalai
(azaz pembelaan).84
Hanya dalam hal-hal tidak ada penangguhan tindakan tata usaha
negara yang dapat dipertanggung-jawabkan, tata usaha negara dapat dan harus segera
bertindak (tanpa terlebih dahulu memberitahu pada warga dan memberi kesempatan
padanya untuk mengajukan pembelaan).85
Mengingat prosedur penerapan sanksi administrasi dapat dilakukan tanpa
membutuhkan prosedur peradilan, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan pemerintah
79
Ibid. 80
Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Gajah Mada University Press,
(Yogyakarta, 2008), Hlm. 247. 81
Ibid. 82
Ibid. 83
Ibid. 84
Ibid. 85 Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
39
dalam menjatuhkan sanksi administrasi, maka diperlukan beberapa elemen dalam
penerapan sanksi administrasi yang harus dipenuhi, yaitu:86
1. Legitimasi;
2. Instrumen Yuridis;
3. Norma hukum administrasi;
4. Kumulasi sanksi.
2.2. Pejabat Yang Berwenang Menjatuhkan Sanksi
Pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku
pelanggaran, yaitu:87
1. Menteri;
2. Gubernur; dan
3. Bupati atau Walikota.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menjatuhkan sanksi administrasi
terhadap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK). Penjatuhan sanksi administrasi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral hanya terhadap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang Wilayah Izin
Usaha Pertambangan (WIUP) nya berada pada lintas wilayah provinsi dan pejabat yang
menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut adalah Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral sendiri. Sedangkan pejabat yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi
administrasi terhadap pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hanya
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang berwenang menerbitkan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) nya.
Gubernur hanya berwenang menjatuhkan sanksi adminstrasi terhadap pemegang
Izin Usaha Pertambangan (IUP), dimana Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)
86
Tatik Sri Djatmiati, Urip Santoso, dan Lilik Pudjiastuti, Op, cit. Hlm. 41-40. 87
Pasal 151 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
40
berada pada lintas wilayah kabupaten atau kota dalam 1 (satu) provinsi. Sedangkan
Bupati atau Walikota berwenang menjatuhkan sanksi administrasi terhadap pemegang
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Bupati atau
Walikota hanya berwenang menjatuhkan sanksi administrasi apabila Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP) nya berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten atau kota.
2.3. Jenis-Jenis Sanksi Administrasi Bagi Pelanggar Ketetntuan Pengolahan dan
Pemurnian di Dalam Negeri
Dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah ditentukan jenis
pelanggaran yang dapat dijatuhkan sanksi administrasi kepada pemegang Izin
Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK). Yang dapat dijatuhi sanksi administrasi adalah pelanggar
ketentuan Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat
(1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95,
Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3),
Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112
ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1),
Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009.88
Ada 3 (tiga) jenis sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan kepada pemegang
Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) yang telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-
88
Pasal 151 undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
41
Undang Nomor 4 Tahun 2009 khususnya pelanggar ketentuan sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 151. Jenis-jenis sanksi administrasi tersebut, yaitu:89
1. Peringatan tertulis;
2. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi
produksi; dan/atau
3. Pencabutan IPR, IUP, atau IUPK.
Berdasarkan Pasal 151 tersebut, bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP)
dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang melakukan pelanggaran terhadap
Pasal 102 dan Pasal 103 yang mengatur ketentuan pengolahan dan pemurnian atau
dengan kata lain bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) yang tidak melakukan pengolahan dan pemurnian di
dalam negeri sebelum melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) dapat dijatuhi sanksi
administrasi. Sanksi administrasi dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara
sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan/atau pencabutan Izin
Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Yang mana
sanksi administrasi tersebut dapat dijatuhkan oleh Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakan-tindakan
yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan dengan suatu izin.90
Sanksi-sanksi
administrasi yang khas, antara lain:91
1. Bestuurdwang (paksaan pemerintah);
2. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin,
pembayaran, subsidi);
89
Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 90
Philipus M Hadjon, Op,cit. Hlm. 245. 91
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
42
3. Pengenaan denda administrasi;
4. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
Dalam perkembangannya, sanksi administrasi mengalami perkembangan
sehingga muncul jenis-jenis sanksi administrasi baru yang dapat diterapkan oleh
pemerintah terhadap pelanggar, salah satu jenis sanksi administrasi tersebut adalah
penghentian sementara kegiatan yang berkaitan dengan keputusan atau izin yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
Pasal 151 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur tentang
pemberian sanksi administrasi hanya menerapkan 3 jenis sanksi administrasi, yaitu
peringatan tertulis, penghentian sementara, dan pencabutan izin. Peringatan tertulis
sebagai salah satu jenis sanksi administrasi yang mana peringatan tertulis ini dilakukan
terlebih dahulu sebelum menerapkan sanksi administrasi lainnya, sebagai pelaksanaan
asas perlindungan hukum dan asas kepastian hukum.92
Peringatan tertulis tersebut
memuat:93
1. Jenis atau peraturan yang dilanggar;
2. Perintah yang jelas;
3. Waktu pelaksanaan perintah;
4. Ditujukan kepada yang berkepentingan; dan
5. Pembiayaan pelaksanaan perintah tersebut.
Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi
produksi memiliki tujuan agar tidak terjadi pelanggaran secara terus-menerus sehingga
kegiatan yang berkaitan dengan izin yang diperoleh baik sebagian atau seluruhnya
dihentikan secara sementara terlebih dahulu. Pemerintah yang akan menentukan berapa
lama jangka waktu penghentian sementara tersebut, dan pemegang izin dapat melakukan
kegiatan eksplorasi atau operasi produksi kembali setelah habisnya jangka waktu
92
Tatik Sri Djatmiati, Urip Santoso, dan Lilik Pudjiastuti, Op, cit. Hlm. 44. 93
Tatik Sri Djatmiati, Urip Santoso, dan Lilik Pudjiastuti. Op.cit Hlm. 43.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY
43
penghentian sementara tersebut. Selama penghentian sementara tersebut pemegang izin
harus dapat memastikan dan meyakinkan pihak pemerintah bahwa tidak akan terjadi
pelanggaran kembali di kemudian hari baik dengan bentuk pelanggaran yang sama atau
berbeda.
Pencabutan izin atau penarikan kembali suatu keputusan tidak lain, adalah suatu
keputusan baru yang menarik kembali dan menyatakan tidak berlakunya lagi keputusan
yang terdahulu.94
Sebagai suatu keputusan, maka keputusan yang memuat penarikan
kembali atau pencabutan izin tersebut niscaya menimbulkan akibat hukum yang baru
bagi seorang warga atau badan hukum yang dikenakan keputusan tersebut.95
Dalam hal
ini adalah pencabutan izin terhadap perusahaan atau pengusaha tambang.
Pencabutan izin merupakan kewenangan instansi yang menetapkan izin tersebut,
dan kewenangan ini harus diatur dalam peraturan perundang-undangan.96
maka dalam hal
ini yang berwenang adalah menteri ESDM, Gubernur, dan Bupati/Walikota yang
menetapakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK). Terdapat dua hal terhadap suatu keputusan (ketetapan) dapat ditarik kembali:97
1. Yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi atau
pembayaran;
2. Yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapat izin,
subsidi, atau pembayaran telah memberikan data yang sedemikian tidak benar
atau tidak lengkap, hingga apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap
maka akan berlainan (misalnya: penolakan izin, dsb).
94
Philipus M Hadjon, Op.cit. Hlm. 259. 95
Ibid. 96
Tatik Sri Djatmiati, Urip Santoso, dan Lilik Pudjiastuti, Op.cit. Hlm. 42. 97
Philipus M Hadjon, Op.cit. Hlm. 258-259.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA
LIONITA DEBRINA SAFIETY