237668040-anestesi-fam
DESCRIPTION
asdasdasdasdasdasdasdasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Ruang lingkup pelayanan medis yang dicakup oleh cabang ilmu anatesi
meliputi: 1. Usaha-usaha penanggulangan nyeri dan stress emosional, 2. Usaha-
usaha kedokteran gawat darurat (bantuan resusitasi, kedaruratan medik dan terapi
intensif), 3. Usaha-usaha kedokteran perioperatif yang meliputi evaluasi persiapan
pra opertaif, tindakan anestesi dan reanimasi tindakan operatif serta tindakan
anestesi dan reaminasi pasca operatif.
Anestesi umum adalah tindakan untuk meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat pulih kembali, dengan kata lain pasien
yang diberikan anestesia umum akan mengalami “Trias Anestesia” yaitu :
Hipnotik (mati ingatan), analgesia (mati rasa) dan relaksasi otot rangka atau
penurunan tonus (mati gerak). Tindakan anestesi-analgesia berlandaskan kepada
farmakologi dan fisiologi. Teknik anestesia umum yaitu anestesia umum
intravena, anestesia umum inhalasi, dan anestesia imbang.
Fibroadenoma (FAM) merupakan neoplasma jinak yang utama terdapat
pada wanita muda, biasanya pada usia 20 tahun atau setelah pubertas. Penegakkan
diagnosa FAM adalah dilakukan pemeriksaan fisik, kemudian akan dilakukan
mammogram (x-ray pada mammae) atau ultrasound pada mammae apabila
diperlukan. Yang palinhg pasti dan tepat dalam diagnosa terhadap FAM ini adalah
penggunaan sample biopsi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anastesi Umum
Anestesi umum (general anesthesia) disebut pula dengan nama narkose
umum (NU), adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias)
anestesia, yaitu : hipnosis (tidur), analgesia (bebas dari nyeri), Relaksasi otot.
Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot
sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan. Hanya eter yang memiliki
trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain
eter, maka trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan pelbagai macam obat.
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID
tertentu. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle
relaxant).
2.2 Induksi Anestesi Umum
Induksi adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari sadar ke
stadium pembedahan (stadium III Skala Guedel).
Ko-induksi adalah setiap tindakan untuk mempermudah kegiatan induksi
anestesi. Pemberian obat premedikasi di kamar bedah, beberapa menit sebelum
induksi anestesi dapat dikategorikan sebagai ko-induksi.
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute :
- intravena (paling sering)
- inhalasi
- intramuskular
2
- per rektal.
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose.
Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis
tertentu sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah
dari full dose ataupun maximal dose. Induksi sleeping dose dilakukan terhadap
pasien yang kondisi fisiknya lemah (geriatri, pasien presyok).
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin.
Induksi inhalasi dapat dikerjakan dengan teknik :
- steal induction
- gradual induction
- single breath induction.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-
sifat :
- tidak berbau menyengat / merangsang
- baunya enak
- cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata
disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
2.3 Teknik Anestesi Umum
1. INHALASI dengan Respirasi Spontan
a. Sungkup wajah
b. Intubasi endotrakeal
3
c. Laryngeal mask airway (LMA)
2. INHALASI dengan Respirasi kendali
a. Intubasi endotrakeal
b. Laryngeal mask airway
3. ANESTESI INTRAVENA TOTAL (TIVA)
a. Tanpa intubasi endotrakeal
b. Dengan intubasi endotrakeal
Anestesi dengan menggunakan sungkup wajah dianjurkan apabila :
- pembedahan singkat ½ - 1 jam tanpa membuka peritoneum
- bukan operasi daerah kepala atau leher
- lambung kosong
- ASA 1 – 2.
Jika di luar dari kriteria di atas, sebaiknya digunakan intubasi endotrakeal.
Anestesi umum dengan menggunakan intubasi endotrakeal diindikasikan untuk :
- pembedahan lama (> 1 jam)
- pembedahan daerah kepala dan leher
- jika kesulitan mempertahankan jalan napas karena berbagai sebab.
Laryngeal Mask Airway hanya dianjurkan pada pasien yang puasanya cukup
(lambung kosong).
Operasi sangat singkat
4
Teknik induksi anestesi umum respirasi spontan dengan menggunakan sungkup
wajah dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut :
1. Berikan O2 100% 5 L/menit selama 3-5 menit
2. Induksi dengan tiopental (4-6 mg/kg berat badan) atau propofol (2 mg/kg
berat badan)
3. Pasien geriatri dosisnya dikurangi, sedang alkoholis dinaikkan dosisnya.
4. Setelah pasien tertidur (refleks bulu mata menghilang), sungkup wajah
ditempelkan rapat-rapat menutupi mulut dan hidung pasien.
5. Buka jalan napas pasien – ekstensikan leher.
6. Buka / putar dial agent inhalasi dan N2O.
7. N20 diberikan 50%-70% dari volum semenit. Oksigen diberikan 30%-
50% dari volum semenit.
8. Halotan/enfluran/Isofluran/Sevofluran diberikan dengan konsentrasi 2%,
kemudian tiap lima kali inspirasi, kosentrasinya tingkatkan secara bertahap
sampai diperoleh kedalaman anestesi yang diinginkan.
9. Konsentrasi diturunkan jika anestesi terlalu dalam.
10. Lakukan rumatan anestesi.
11. Halotan/enfluran/isofluran/sevofluran dihentikan beberapa menit sebelum
operasi.
12. N2O dihentikan ketika akhir penjahitan kulit.
13. Berikan O2 saja sampai pasien terbangun.
Teknik anestesi umum, respirasi spontan dengan intubasi endotrakeal dapat
dikerjakan langkah sebagai berikut :
1. Lakukan langkah 1 – 7.
2. Buka Halotan/enfluran/Isofluran/Sevofluran diberikan dengan konsentrasi
2%
3. Berikan pelemas otot sesuai dosis.
4. Lakukan laringoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal (intubasi
endotrakeal).
5. Lakukan rumatan anestesi.
5
6. Halotan/enfluran/isofluran/sevofluran dihentikan beberapa menit sebelum
operasi.
7. N2O dihentikan ketika akhir penjahitan kulit.
8. Berikan O2 saja sampai pasien terbangun.
Intubasi endotrakeal dapat dilakukan dengan bantuan pelemas otot ataupun tanpa
pelemas otot.
Pelemas otot yang dapat digunakan antara lain suksinil kolin, atrakurium,
vekuronium, pankuronium, mivakurium, dan rokuronium. Tiap-tiap obat pelemas
otot memiliki kelebihan dan kekurangan serta memiliki mula kerja (onset of
action) dan durasi kerja (duration of action) yang berbeda. Sehingga
penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan.
Atrakurium, misalnya, onset kerja setelah dua menit dan durasi kerja di
atas 25 menit. Oleh karena itu intubasi endotrakeal dilakukan setelah dua menit
pemberian atrakurium. Untuk menghemat waktu, atrakurium dapat diberikan 1
menit sebelum induksi. Jadi, setelah pasien tertidur, intubasi endotrakeal sudah
dapat dilakukan 1 menit sesudah induksi. Karena durasi kerja atrakurium terbilang
panjang, maka dilakukan pengendalian respirasi pasien oleh anestetis.
Suksinilkolin sering dipilih untuk teknik anestesi umum dengan respirasi
spontan karena mula kerja yang sangat cepat (sekitar 40 detik) dan durasi kerja
suksinil yang singkat (sekitar 5 menit) sehingga respirasi pasien yang semula
dilumpuhkan dapat segera pulih. Hanya saja, suksinilkolin menimbulkan
fasikulasi ketika diberikan. Fasikulasi ini menyebabkan mialgia pasca anestesi.
Selain fasikulasi, suksinilkolin juga memiliki kelemahan lain. Untuk mengurangi
fasikulasi, dua menit sebelum pemberian suksinil kolin, terlebih dahulu diberikan
pelemas otot nondepolarisasi dengan dosis ¼ dari dosis intubasi.
Agar dapat melakukan intubasi tanpa pelemas otot, diperlukan waktu yang
lebih lama sejak induksi hingga tercapai kondisi ideal untuk dilakukan intubasi
endotrakeal. Kondisi ideal adalah apabila sudah terdapat relaksasi optimal pada
otot-otot rahang (masseter), leher, dan abdomen.
6
Setelah terpasang pipa endotrakeal, apabila pasien masih bergerak-gerak,
dapat diberikan 50-100 mg tiopental (pasien dewasa) atau 30-40 mg propofol
(pasien dewasa) atau dengan suksinilkolin ½ dosis intubasi. Apabila diinginkan
teknik respirasi kendali, berikan pelemas otot sesuai dosis dan kondisi pasien.
Pilihan pelemas otot misalnya atrakurium, pankuronium, vekuronium dan
rokuronium.
2.4 Teknik Intubasi Endotrakheal.
Pengertian
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa
melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau
trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa
endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas
mudah dibantu dan dikendalikan.
Tujuan Intubasi Endotrakhea.
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan
saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah
aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien
operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal:
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
7
Indikasi dan Kontraindikasi.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002
antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Dalam sumber lain disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara lain:
a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan,
karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan
face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang
dan tidak ada ketegangan.
d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan
dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah
pengontrolan tekanan intra pulmonal
e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
g. Tracheostomni.
h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Indikasi intubasi nasal (Anonim, 1986) antara lain :
8
a. Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya tonsilektomi,
pencabutan gigi, operasi pada lidah.
b. Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi pasien.
c. Bila direct vision pada intubasi gagal.
d. Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.
Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada
beberapa indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara
lain:
a. Asfiksia neonatorum yang berat.
b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya,
depresi atau abcent dan sering menimbulkan aspirasi.
c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih
lama dari 24 jam seharusnya diintubasi.
f. Pada post operative respiratory insufficiency.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan
kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air possition.
Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.
Teknik Pemasangan.
9
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif
et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar
memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.
Alat-alat.
Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakheal
(Anonim, 1989) antara lain :
a. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua
jenis laringoskop yaitu :
i. Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop
dewasa.
ii. Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade
Magill) mempunyai teknik yang berbeda. Biasanya digunakan pada
pasien bayi dan anak-anak, karena mempunyai epiglotis yang
relatif lebih panjang dan kaku. Trauma pada epiglotis dengan blade
lurus lebih sering terjadi.
b. Pipa endotrakheal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik
yang sekali pakai dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk
operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang
10
tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi. Untuk
mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal
mempunyai balon (cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon
yaitu balon dengan volume besar dan kecil. Balon volume kecil cenderung
bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi aliran darah
kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume besar
melingkupi daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih
rendah dibandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa balon biasanya
digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah
daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon
karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa
digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm
dan perempuan 7,5 – 8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang
masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :
Panjang pipa yang masuk (mm) = Rumus tersebut merupakan perkiraan
dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak
yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari
kelingkingnya.
c. Pipa orofaring atau nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah
obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang
tidak diintubasi.
d. Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
e. Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan
pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi
(McGill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa
nasogastrik melalui orofaring.
f. Alat pengisap atau suction.
11
Tindakan Intubasi.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang
telah ditetapkan antara lain :
a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang,
oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan
bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam
keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis
lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot,
lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan
selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon
dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan
dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop
didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan
akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan
dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan
pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan
melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara.
Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan
laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas.
Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan
dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon
pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa
difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan
ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop,
diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada
aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan
12
terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas
kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan
tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti
ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila
terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster
akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan
nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi
dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan.
Obat-Obatan yang Dipakai.
Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi
endotrakheal, antara lain:
a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant
merupakan obat yang paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah
dan otomatis bila dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –
100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi, bekerja kurang dari 1 menit
dan efek berlangsung dalam beberapa menit. Barbiturat Suxamethonium
baik juga untuk blind nasal intubation, Suxamethonium bisa diberikan I.M.
bila I.V. sukar misalnya pada bayi.
b. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct
vision intubation. Setelah pemberian nondepolarizing / thiophentone,
kemudian pemberian O2 dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini
laringoskopi dapat dilakukan. Metode ini tidak cocok bagi mereka yang
belajar intubasi, dimana mungkin dihadapkan dengan pasien yang apneu
dengan vocal cord yang tidak tampak.
c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision
intubation sukar.
13
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam
intubasi. Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak
ada dan dalam dosis besar dapat mendepresi pernafasan.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan
zat-zat lain. penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation,
tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.
f. Sevofluran atau isofluran, agent dapat melemaskan otot-otot faring dan
laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut :
i. Menghisap lozenges anagesik
ii. Spray mulut, faring, cord.
iii. Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.
iv. Suntikan trans tracheal.
h. Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya
pasien dapat lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan
emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada necnatus
dapat diintubai tanpa anestesi.
Komplikasi Intubasi Endotrakheal.
1. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta
malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau
mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi
retrofaringeal.
c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
2. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
14
a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke
endobronkial dan malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta
ekskoriasi kulit hidung.
c. Malfungsi tuba berupa obstruksi.
3. Komplikasi setelah ekstubasi.
a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau
trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara),
malfungsi dan aspirasi laring.
b. Gangguan refleks berupa spasme laring
2.5 Rumatan Anestesia
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara
mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat
tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat
rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah
anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap
indikator-indikator kedalaman anestesi.
Pada penggunaan eter sebagai anestetik tunggal, indikator kedalaman
anestesi sangat gampang dilihat. Anestetis tinggal mencocokkan dengan Skala
Guedel.
Namun ketika eter tidak lagi digunakan, maka cara menilai kedalaman
anestesi perlu modifikasi. Indikator klinis yang sering dipakai untuk menilai
kedalaman anestesi adalah respon terhadap rangsang bedah yaitu ;
1. Respon otonomik berupa tekanan darah, nadi, respirasi, air mata, dan
keringat (PRST).
2. Respon somatik (gerakan, batuk, menahan napas).
15
Hitungan secara kasar, kebutuhan rumatan anestesi pasien dewasa adalah :
- N2O 3-4 liter per menit
- O2 3 liter permenit
- Halotan 1-2 volume %
- Isofluran 2- 3 volume %
- Enfluran 2 – 3 volume %
- Sevofluran 2- 3 volume %
Angka-angka tadi disesuaikan dengan kondisi pasien, jenis pembedahan, dan
teknik anestesi. Pasien lemah, bedah obstetri (peripartum), dan respirasi kendali
membutuhkan konsentrasi obat yang lebih sedikit. Pasien berotot kekar, atlet, dan
respirasi spontan membutuhkan konsentrasi obat yang lebih tinggi. Jika anestesi
tanpa menggunakan N2O, maka kebutuhan konsentrasi halotan/enfluran
/isofluran/sevofluran menjadi lebih tinggi.
Dalam melakukan rumatan anestesi, jika anestesi dangkal, maka lakukan
penambahan konsentrasi obat. Namun jika anestesi dalam lakukan pengurangan
konsentrasi obat.
Tanda-tanda anestesi dangkal (kurang dalam) di antaranya :
- takikardi
- hipertensi
- keluar air mata
- berkeringat (kening menjadi basah)
- pasien bergerak-gerak (kecuali pasien mendapat pelemas otot)
- napas lebih cepat (jika respirasi spontan)
16
Untuk mengembalikan ke anestesi yang adekuat, dapat dilakukan cara-cara
berikut :
- hiperventilasi
- penambahan narkotika
- penambahan sedatif
- penambahan pelemas otot
- atau kombinasi semua di atas.
Jika pembedahan masih berlangsung lama, sementara durasi pelemas otot
hampir berakhir dan teknik respirasi kendali tetap ingin dipertahankan, maka
dapat diberikan tambahan pelemas otot dengan dosis ½ dari dosis intubasi. Jika
durasi obat pelemas otot adalah 30 menit, maka di menit 25 sudah harus diberikan
tambahan obat.
2.6 Fibroadenoma Mammae
Definisi
Fibroadenoma adalah tumor jinak payudara dengan konsistensi padat yang
terdiri dari stroma dan epitel. Fibroadenoma merupakan tumor jinak payudara
yang umum terjadi pada wanita muda dan biasanya ditandai dengan adanya massa
tunggal di payudara Hal ini dapat dianggap sebagai proses hiperplastik daripada
neoplasma yang sesungguhnya.
Insidensi
Belum ada data pasti mengenai insiden fibroadenoma pada populasi
umum. Dalam suatu studi disebutkan bahwa angka kejadian fibroadenoma pada
wanita yang menjalani pemeriksaan di klinik payudara sekitar 7%-13% sementara
itu pada studi yang lain didapatkan 9% dari otopsi. Fibroadenoma didapatkan dari
50% semua biopsi payudara dan hal ini meningkat mencapai 75% pada biopsi
payudara wanita yang berumur < 20 tahun. Namun, dapat dikatakan bahwa
17
fibroadenoma merupakan tumor jinak yang paling sering ditemukan pada wanita
berusia < 30 tahun dengan puncak insiden pada usia 21-25 tahun (Norton, 2003).
Faktor Risiko
Fibroadenoma sering ditemukan pada wanita dengan sosioekonomi yang
tinggi dan pada wanita kulit hitam. Umur ketika menarche, umur ketika
menopause, dan terapi hormonal termasuk kontrasepsi oral tidak mengubah resiko
untuk terjadinya penyakit ini. Sebaliknya, indeks massa tubuh dan jumlah
kehamilan memiliki korelasi negatif dengan kejadian fibroadenoma. Konsumsi
vitamin C dalam jumlah besar dan merokok dihubungkan dapat mengurangi
resiko terjadinya fibroadenoma. Faktor genetik tidak memiliki pengaruh terhadap
kejadian fibroadenoma. Namun, riwayat kanker payudara dalam keluarga dapat
meningkatkan resiko berkembangnya tumor ini (Greenberg, et all, 1998).
Patologi
Fibroadenoma biasanya terjadi pada umur 15-25 tahun yaitu pada saat
terjadinya penambahan struktur lobular pada sistem duktus payudara. Lobulus
yang mengalami hiperplasia pada saat tersebut dapat juga merupakan fase normal
dalam perkembangan payudara. Lobulus yang mengalami hiperplasia merupakan
ciri histologis dari fibroadenoma. Analisis komponen selular dari fibroadenoma
dengan polymerase chain reaction (PCR) menunjukkan adanya stroma dan sel
epitel poliklonal, hal ini mendukung teori yang menyatakan bahwa fibroadenoma
merupakan lesi hiperplastik yang dihubungkan dengan adanya kelainan dalam
maturasi normal payudara dibandingkan dengan neoplasma yang sesungguhnya.
Pola dari pertumbuhan stroma pada fibroadenoma tergantung dari
komponen epitelialnya, aktivitas mitosis stroma lebih tinggi. Fibroadenoma
distimulasi oleh estrogen dan progesteron, dan laktasi serta mengalami perubahan
atrofi pada saat menopause. Beberapa fibroadenoma memiliki reseptor dan respon
terhadap hormon pertumbuhan dan epidermal growth factors (EGF) (Greenberg,
et all, 1998).
Gambaran Klinis
18
Fibroadenoma sering ditemukan secara kebetulan ketika dilakukan
pemeriksaan medis atau ketika pemeriksaan yang dilakukan sendiri.
Fibroadenoma biasanya berupa massa berukuran 1-5 cm yang berbentuk bulat
atau oval, elastis, diskret, relatif mudah digerakkan dan tidak nyeri. Diagnosis
klinis pada pasien muda umumnya tidak sulit. Pada wanita berusia > 30 tahun,
fibrokistik maupun karsinoma pada payudara harus dipertimbangkan (Doherty,
2009).
Walaupun fibroadenoma dapat ditemukan pada seluruh kuadran payudara,
namun lebih sering ditemukan pada kuadran atas lateral. Beberapa lesi di
payudara memiliki karakteristik yang sama dan pemeriksaan fisik dapat dilakukan
untuk diagnosis yang akurat pada setengah sampai dua per tiga kasus. Walaupun
demikian, hasil pemeriksaan palpasi dari massa tersebut dapat juga merupakan
tumor jinak payudara yang lainnya seperti fibrosis kistik (Greenberg, et all, 1998).
Fibroadenoma Multipel
Dari 10-16% pasien dengan fibroadenoma multipel didapatkan 2-4 massa
pada satu payudara yang dapat diketahui sejak dini ataupun setelah beberapa
tahun kemudian. Berbeda dengan wanita yang memiliki fibroadenoma tunggal,
sebagian besar pasien dengan fibroadenoma multipel memiliki riwayat keluarga
yang memiliki tumor jenis ini. Telah dikemukan bahwa terdapat hubungan antara
fibroadenoma multipel dan kontrasepsi oral tetapi sampai sekarang pernyataan
tersebut belum disertai dengan bukti yang kuat (Greenberg, et all, 1998).
Giant Fibroadenoma dan Juvenile Fibroadenoma
Fibroadenoma yang berukuran lebih besar yaitu lebih dari 5 cm (sekitar 4%
dari keseluruhan) lazim disebut giant fibroadenoma tetapi istilah ini belum
diterima secara universal. Giant fibroadenoma biasanya ditemukan pada wanita
hamil maupun wanita yang sedang menyusui. Jika ditemukan pada perempuan
remaja disebut sebagai fibroadenoma juvenil. Lesi ini pada wanita muda terjadi
pada 0,5-2% dari semua fibroadenoma dan massanya tumbuh dengan cepat yang
menyebabkan payudara menjadi tidak simetris, distorsi kulit, dan peregangan
puting susu. Secara histologis, fibroadenoma ini terdiri dari banyak sel dan
memiliki komponen lobulus yang lebih sedikit dibandingkan fibroadenoma
19
tunggal. Giant fibroadenoma merupakan tumor jinak yang tidak menjadi ganas
(Greenberg, et all, 1998).
Pemeriksaan Penunjang
Sonografi
Sonografi payudara sering digunakan untuk mendiagnosis fibroadenoma.
Kriteria sonografi yang mendukung diagnosis fibroadenoma adalah adanya
massa berbentuk bulat atau oval dengan permukaan yang lunak dan echo
internal yang lemah dengan distribusi yang uniform dan atenuasi akustik
sedang. Teknik ini berguna untuk membedakan lesi solid dan kistik. Kadang-
kadang hasil sonografi fibroadenoma dan kanker payudara hampir sama,
sekitar 25% fibroadenoma memiliki tepi yang iregular yang mirip dengan lesi
yang bersifat ganas.
Mammografi
Penggunaan pada wanita muda jarang digunakan dan terbatas digunakan
sebagai pemeriksaan penunjang untuk diagnosis fibroadenoma. Walaupun
demikian, mamografi dapat memperlihatkan gambaran lesi infiltratif pada
wanita usia tua. Pada gambaran mamografi, fibroadenoma tampak lembut,
homogen, dan berupa nodul dengan batas tegas serta adanya kalsifikasi
dengan permukaan kasar di lapisan lebih dalam.
Sitologi aspirasi
Fine needle aspiration (FNA) menjadi metode popular untuk evaluasi massa
di payudara. Gambaran sitologik fibroadenoma adalah kumpulan dari sel
spindel tanpa sel radang dan sel lemak. Gambaran ini ditemukan pada 93%
dari semua kasus; bentuk sel yang uniform dan sitoplasma yang tersusun
seperti honey comb sheets ditemukan pada 95% dari seluruh kasus
fibroadenoma. FNA dapat digunakan sebagai penunjang dari diagnosis secara
klinis. FNA memiliki sensitivitas 86% dan spesifitas 76% dan pada kanker
payudara, sensitivitas FNA 96% dan spesifitas 98%.
Gambaran histologis:
Secara histologis, fibroadenoma terdiri dari sel epitel dan sel troma. Pada
bentuk perikanalikulus sel epitel dan mioepitel membentuk duktus bundar sampai
20
memanjang yang dikelilingi oleh stroma fibroblastik longgar. Fibroadenoma
intrakanalikulus terdiri dari duktus-duktus memanjang yang juga dilapisi oleh sel
epitel kuboid dan mioepitel. Duktus tampak mengalami distorsi dan tertekan oleh
stroma sehingga bentuknya menjadi aneh (misalnya mirip leher jerapah) (Sander,
2007).
Penatalaksanaan
Pada fibroadenoma dilakukan ekstirpasi di bawah pengaruh anestesi lokal
atau general. Fibroadenoma residif setelah pengangkatan jarang terjadi. Sekiranya
berlaku rekurensi, terdapat beberapa faktor yang diduga berpengaruh. Pertama,
pembentukan dari trulymetachronous fibroadenoma. Kedua, asal dari tumor tidak
diangkat secara menyeluruh sewaktu operasi dan mungkin karena presentasi dari
tumor phyllodes yang tidak terdiagnosa.
BAB III
21
LAPORAN KASUS & PEMBAHASAN
3.1 LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
1. Nama : Ny. A
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Umur : 29 tahun
4. Suku : Jawa
5. Agama : Islam
6. Status : Menikah
7. Pekerjaan : PNS
8. Alamat : Jl. Eka Utami, Medan
9. MRS : 18 Februari 2015
B. ANAMNESA
Keluhan Utama : Benjolan di payudara kanan dan kiri
Riwayat Penyakit :
Os datang ke RS Haji Medan dengan keluhan adanya benjolan di payudara
kanan dan kiri, benjolan dirasakan sebesar telur puyuh pada kedua payudara,
tetapi ukuran benjolan pada payudara sebelah kanan lebih kecil dibandingkan
benjolan pada payudara sebelah kiri. Hal tersebut dirasakan sejak ± 10 bulan
SMRS.
Pada awalnya benjolan tersebut berukuran kecil, tidak nyeri dan bergerak jika
diraba. Riwayat keluar cairan/darah dari puting susu (-), riwayat puting susu
tertarik kedalam (-). Pasien merasa benjolan tersebut semakin membesar sejak
± 2 bulan SMRS, sehingga pada tanggal 5 Februari pasien dibawa ke RSU
Haji Medan. Pasien di diagnosa dengan tumor jinak pada kedua payudaranya.
Dan pasien disarankan untuk operasi.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Os menyangkal ada anggota keluarga yang menderita kencing manis, darah
tinggi, asma, penyakit jantung, batuk-batuk lama dan alergi.
Riwayat Obat yang Digunakan :
22
Os menyangkal ada riwayat penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu
lama, obat penenang dan narkotika.
Riwayat Operasi dan Anestesi :
Os tidak pernah dioperasi dan dianestesi sebelumnya.
Riwayat Kebiasaan :
Os menyangkal mempunyai kebiasaan merokok dan tidak ada riwayat minum-
minuman beralkohol.
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
Keadaan Sakit : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Psikis : Tidak tampak gelisah, takut maupun kesakitan
Berat Badan : 50 Kg
b. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 kali/menit
Pernafasan : 20 kali/Menit
Suhu : 36,2 C
c. Kulit
Tidak kering, tidak anemis, tidak sianosis dan turgor kulit baik.
d. Kepala dan Leher
Kepala : Bentuk normal, tidak ada tanda trauma
Mata : Palpebrae tidak edema, alis dan bulu mata tidak mudah
dicabut, konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik,
diameter pupil 3 mm/3mm, isokor, refleks cahaya +/+
Telinga : Bentuk normal, serumen minimal, tidak ada
Gangguan pendengaran.
Hidung : Bentuk tidak ada kelainan, simetris, pernafasan cuping
hidung tidak ada, epistaksis tidak ada, kotoran
hidung minimal.
23
Mulut : Bentuk tidak ada kelainan, simetris, mukosa bibir tidak
kering, warna merah muda, gusi tidak mudah berdarah,
tonsil dan lidah tidak ada kelainan, tidak ada gigi palsu.
Leher : Tekanan vena jugularis tidak meningkat, pulsasi tidak
terlihat, pembesaran getah bening tidak ada, kaku kuduk
tidak ada, tortikolis tidak ada, massa tidak ada.
e. Thoraks
Inspeksi : terlihat adanya benjolan dengan diameter ± 3 cm.
Palpasi : Teraba benjolan konsistensi kenyal, mobile, nyeri tekan
(-),
panas (-).
Paru
Inspeksi : Gerak nafas simestris, ICS tidak melebar
Palpasi : Fremitus vokal simetris kanan kiri, tidak meningkat
Perkusi : Suara ketuk sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, wheezing dan ronkhi tidak ada
Jantung
Inspeksi : Iktus tak terlihat, pulsasi tak tampak.
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan ICS IV LPS Dekstra
Batas kiri ICS V LMK Sinistra
Batas atas ICS II LPS Sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, tidak ditemukan takikardi, bising (-)
f. Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar
Palpasi : Turgor baik, soepel, hepar-lien tidak teraba, defans
muscular (-)
Perkusi : Timpani, tidak ada shifting dullness
Auskultasi : Bising usus positif normal
g. Ekstremitas
Atas : Bentuk normal, tidak terdapat luka dan hematom, tidak
24
ada pitting oedem, tidak ada parese dan paralise.
Bawah : Bentuk normal, tidak terdapat luka dan hematom, tidak
ada pitting oedem, tidak ada parese dan paralise.
D. LABORATORIUM & RADIOLOGI
Haemoglobin : 14,6 g/dl
Leukosit : 6900/µl
Trombosit : 155.000/µl
Hematokrit : 40,9 %
GDS : 74 mg/dl
Ureum : 19 mg/dl
Kreatinin : 0,66 mg/dl
Foto Thoraks : Cor dan Pulmo dalam batas normal
E. DIAGNOSA
Fibroadenoma Mammae Billateral
F. PS ASA
ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi
G. KESIMPULAN
Nn.A, perempuan, umur 18 thn, didiagnosis dengan Fibro Adenoma Mammae
Billateral, status fisik ASA 1, yang akan direncanakan tindakan eksisi dengan
anestesi umum.
H. RENCANA TINDAKAN
Eksisi
I. LANGKAH DAN TINDAKAN ANESTESI
1. Persiapan anestesi
Persiapan penderita : penderita dipuasakan selama
6-8 jam sebelum operasi dilakukan.
25
Teknik anestesi yang digunakan :
Teknik anestesi yang digunakan adalah general anestesi endotrakheal
tube.
Anestesi dengan : O2 , N2O, Sevoflurane
2. Obat-obatan yang digunakan
1. Premedikasi : Midazolam 2,5 mg, Pethidin 60 mg
2. Medikasi : Propofol 100 mg, Prostigmin 1,5 mg, SA 0,75 mg.
3. Relaksasi : Rocuronium 40 mg
3. Langkah dan tindakan
1. Penderita dipuasakan sekitar 8 jam pre operasi
2. Persiapan alat-alat anestesi, obat-obat anestesi, dan obat-obat darurat
3. Identifikasi penderita sesuai status dan kemudian mengganti baju
penderita dengan baju kamar operasi.
4. Pemasangan infus dengan cairan ringer laktat dengan menggunakan
jarum infus no. 18 untuk pemberian kebutuhan cairan
5. Pemindahan penderita ke kamar operasi
6. Penderita masuk kamar operasi, dibaringkan di meja operasi,
memfiksasi penderita, memasang manset tensimeter dan stetoskop.
7. Pemeriksan tanda vital yang meliputi tekanan darah dan nadi sebagai
awal untuk monitoring selanjutnya.
8. Pemberian premedikasi
9. Oksigen dibuka kira-kira 6-7 lpm, kemudian mulai monitoring
keadaan pasien.
10. Setelah penderita tertidur dan refleks bulu mata hilang, sungkup
ditempatkan pada muka. Posisi kepala diekstensikan dan dagu ditarik
ke belakang dengan tangan kiri agar jalan nafas bebas dan tidak ada
kebocoran obat anestesi. Tangan kanan memegang balon pernafasan
dan alat anestesi untuk membantu pernafasan penderita (menekan
balon sedikit bila penderita melakukan inspirasi)
11. Sevoflurane dibuka 2-3 vol% dan sedikit demi sedikit (setelah 5-10
kali tarikan nafas) dinaikkan menjadi sampai 4 vol% tergantung dari
26
reaksi dan besar tubuh penderita.Kemudian dilanjutkan dengan
pembukaan N2O 5,5 lpm, turunkan O2 menjadi 2,5 lpm
12. Jika diperlukan, bila stadium anestesi sudah cukup dalam (otot relaks,
refleks bulu mata hilang, pupil terfiksir di tengah dan pernafasan
melambat), pipa orofaring (Guedel) dipasang.
13. Setelah operator menginsisi kulit, dosis isoflurane diturunkan sedikit
demi sedikit sampai dosis maintenance (1 – 2 vol%) selama operasi
berlangsung, tergantung dari rangsangan operasi.
14. Dilakukan monitoring sistem cardiovaskuler (tekanan darah, nadi),
sistem respirasi (gerakan dada dan balon pernafasan), cairan infus, obat
anestesi, serta perdarahan yang terjadi selama operasi berlangsung.
15. Beberapa menit sebelum operasi selesai sevofluran dikurangi dan
dihentikan. Cek tekanan darah, nadi dan pernapasan sebelum alat-alat
dilepas, dan diberikan oksigen murni sebelum sungkup muka dibuka
selama 5 – 10 menit.
16. Setelah operasi selesai, penderita dikirim ke recovery room (ruang
pulih sadar) dan diberikan terapi oksigen.
LAPORAN ANASTESI
Tanggal Operasi : 19 Februari 2015
Nama : Ny. A
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 29 tahun
Diagnose Prabedah : Fibro Adenoma Bilateral
Jenis Pembedahan : Eksisi
Diagnose Pasca Bedah : Fibro Adenoma Bilateral
Lama Anestesi : 09.35 - 10.10
Lama Operasi : 09.40 – 10.05
Jenis Anestesi : GA - ETT
27
Anestesi Dengan : O2, N2O, Sevofluran
Tehnik Anestesi : Posisi kepala: head up pre oksigenase 5’ – 10’ inj. Propofol 100 mg sleep non apnoe insersi ETT no. 7,5 cuff (+) SP ka = ki fiksasi
Respirasi : terkontrol dengan ventilator
Posisi : supine
Infuse : RL di regio dorsum manus sinistra
Premedikasi : Midazolam 2,5 mg, Pethidin 60 mg
Medikasi : Propofol 100 mg, Prostigmin 1,5 mg, SA 0,75 mg.
Relaksasi : Rocuronium 40 mg
Perdarahan:
Kassa basah : 0 x 10 cc = 0 cc
Kassa ½ basah : 3 x 5 = 15 cc
Handuk : -
Suction : -
Total : 15 cc
Jumlah Cairan Masuk
PO: 500 cc
DO : 500 cc
Jumlah Cairan Keluar
PO :kateter tidak terpasang
DO : kateter tidak terpasang
EBV : 65 x 50 = 3250 cc
EBL : 10 % = 325 cc
28
20 % = 650 cc
30 % = 975 cc
4. Perawatan Pasca bedah
1. Penderita dikirim ke ruang pulih sadar yang tersedia oksigen, alat
penghisap lendir, alat resusitasi, dan obat-obat darurat.
2. Oksigen diberikan 2-4 liter/menit
3. Terapi cairan RL 2 cc/kgBB/jam : 94 cc/jam
4. Memperhatikan dan memeriksa jalan nafas, perdarahn, perfusi darah,
tanda vital, kesadaran, warna kulit, kuku dan bibir.
5. Jika jumlah skor Alderette lebih dari 8, penderita dapat dipindahkan ke
ruangan.
Alderette Score :
a. Pergerakan : gerak bertujuan 2
gerak tak bertujuan 1
tidak bergerak 0
b. Pernafasan : teratur, batuk, menangis 2
depresi 1
perlu bantuan 0
c. Warna kulit : merah muda 2
pucat 1
sianosis 0
d. Tekanan darah : berubah sekitar 20% 2
berubah 20 – 30% 1
berubah > 30% 0
e. Kesadaran : sadar penuh 2
bereaksi terhadap rangsangan 1
tidak bereaksi 0
3.2 PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien menderita FAM bilateral dan akan dilakuan operasi
eksisi. Pada tindakan operasi ini akan dilakukan anestesi umum atau general
29
anesthesia (GA). Pemilihan GA dilakukan dengan mempertimbangkan aspek
4si (posisi, lokasi, manipulasi dan durasi) dimana pembedahan ini
dilakukandidaerah thoraks dan dari segi jenis kelamin pasien yang adalah
wanita maka adanya faktor emosional terutama rasa malu yang lebih dominan
mendukung untuk dilakukan GA.
Evaluasi Pra-Anestesi
Evaluasi pra-anestesi dilakukan beberapa hari sebelum operasi yang
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologi
dan yang lainnya, konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital,
dan menentukan prognosis pasien perioperatif. Tujuan dari dilakukannya
evaluasi adalah untuk menentukan klasifikasi ASA.
Pada kasus ini dari anamnesis didapatkan adanya benjolan pada kedua
payudara sebesar telur puyuh tidak disertai nyeri sejak kurang lebih 10 bulan
terakhir. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik, riwayat operasi,
maupu riwayat alergi. Pasien juga tidak menggunakan gigi palsu dan tidak ada
gigi yang goyang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keadaan umum
pasien baik. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorim, EKG dan foto thoraks dalam batas normal. Dari evaluasi maka
pasien ini diklasifikasikan sebagai ASA-I.
Premedikasi
Pada pasien ini diberikan midazolam 2,5 mg, pemberian obat ini untuk
menimbulkan sedasi pada pasien. Selain itu diberikan pula phetidin 60 mg
yang memilik efek analgesia.
Induksi Anestesia
Sebagai induksi anestesia digunakan propofol yang diberikan dalam dosis
2mg/kgbb. Pada kasus ini propofol yang diberikan adalah sebanyak 100 mg.
Untuk mempertahankan efek hipnotik pada pasien diberikan Sevofluran 2%
yang merupakan anestetik inhalasi 2% ditambah dengan N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:2 melalui sungkup muka. Sevofluran dipilih karena memiliki
efek terhadap kardiovaskular yang cukup stabil dan jarang menyebabkan
aritmia. Setelah pemberian sevofluran dihentikan, sevofluran akan cepat
dikeluarkan kembali oleh tubuh. Sebagai analgetik pasca-operasi diberikan
30
ketorolac 30mg dan ranitidin 50 mg yang diberikan secara IV. Ketorolac ini
merupakan obat anti inflamasi non-steroid yang diguanakan untuk inflamasi
akut dan juga memiliki feel analgesic yang bisa digunakan sebagai pengganti
morfin pada keadaan pasca-operasi ringan atau sedang.
Post Operasi
Setelah operasi pasien dibangunkan untuk melihat status kesadaran dan
skor Alderete, dimana hal-hal yang dinilai adalah warna kulit, pernafasan,
sirkulasi, kesadaran dan aktivitas. Pada kasus ini diperoleh skor Alderete 9
yang berarti pasien dapat dirawat diruangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhiman dkk. 1998 Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
31
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta.
2. Latief Said A dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia.
Jakarta.
3. Ganiswarna S dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
4. Mansjoer, Arief dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta
5. Doherty, Gerard M. 2009. Current Diagnosis & Treatment Surgery 13
Edition. USA: Mc Graw-Hill Companies.
6. Norton, J.A. 2003. Essential Practice of Surgery: Basic Science and
Clinical Evidence. New York: Springer.
7. Sander, M.A. 2007. Atlas Berwarna Patologi Anatomi Jilid 2. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
32