16 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja

95
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 95

Upload: sariyanti-palembang

Post on 14-Aug-2015

204 views

Category:

Art & Photos


36 download

TRANSCRIPT

Page 1: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 95

Page 2: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 95

I

etelah berhenti sejenak, Panembahan Ismaya meneruskan,

“Karena itulah Mahesa Jenar, aku tidak dapat mencegah Arya

Salaka untuk mengambil haknya kembali. Untuk mengambil

kekuasaan yang ada di Banyubiru dari tangan adik atau pamannya.

Sedang kekuasaan itu sendiri bukanlah hal yang selalu baik atau

tidak baik. Hampir semua orang di dunia ini menginginkan

kekuasaan. Dalam bentuk yang besar atau dalam ujud yang lebih

kecil serta dalam lingkungan yang kecil pula. Namun yang harus

dinilai kemudian adalah bagaimana kekuasaan itu dipergunakan.

Akhirnya, bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan itulah,

yang menentukan bentuk dari kekuasaan yang berada di dalam

tangannya. Apakah ia mengabdikan kekuasaan itu untuk nilai-nilai

kemanusiaan ataukah dengan kekuasaannya ia justru

menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu.”

“Mahesa Jenar, aku harap kau dapat memahaminya.

Selanjutnya aku mengharap, bahwa Arya Salaka akan dapat

mendengarnya pula darimu. Karena kau adalah gurunya, maka

aku kira kaulah orang paling dekat di hatinya. Kaulah yang akan

dapat memberitahukan kepadanya, bahwa kekuasaan yang berada

kembali di tangannya nanti harus menemukan titik sasaran yang

benar. Seperti tombak lambang kebesaran Banyubiru yang

dibawanya itu. Tombak itu dapat dipergunakannya untuk

melindungi diri serta orang lain. Namun tombak itu di tangan orang

yang tidak bertanggungjawab dapat dipergunakan untuk

membunuh kawan seiring. Nah Mahesa Jenar, pergilah. Ingat,

pengabdianmu harus kau tujukan kepada manusia. Tidak kepada

kedudukan, harta benda dan nafsu. Dan pengabdianmu itu

merupakan unsure terpenting dari kebaktianmu yang tertinggi.

Bakti dengan tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya

semakin dalam. Tak ada satu patah kata pun yang sisip dari

hatinya, dari pendiriannya. Memang demikianlah tujuan

S

Page 3: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 95

pengabdian yang selama ditempuhnya. Karena itu, setiap kata

yang diucapkan oleh Panembahan Ismaya itu telah mempertebal

keyakinannya. Di dalam hati ia berjanji untuk menuangkan

pengertiannya itu sejauh-jauhnya kepada Arya Salaka. Sebab di

tangan Arya Salaka lah letak kekuasaan Banyubiru di masa datang.

Rombongan itu mula-mula singgah di Gedangan untuk

mendapat pinjaman kuda, disamping mereka memenuhi undangan

Wiradapa untuk mengunjungi upacara bersih desa. Upacara yang

diselenggarakan setiap para penduduk Gedangan selesai dengan

musim menuai padi. Demikian pula kali ini. Mereka bersuka ria

karena panenan mereka berhasil. Pada malam itu, ketika

rombongan Mahesa Jenar bermalam di Gedangan, suasana desa

itu benar-benar meriah. Mereka menyelenggarakan peralatan

bersama di sebuah tanah lapang kecil di tengah-tengah desa

mereka. Setiap keluarga datang dengan membawa ancak berisi

berbagai macam makanan. Nasi beserta lauk-pauknya dan

bermacam-macam jenis masakan yang lain. Bahkan ada yang

membawa jodhang penuh dengan masakan yang enak. Makanan

jadah, jenang alot, tasikan, sagon, lapis dan sebagainya. Maka

apabila upacara-upacara adat telah selesai, maka segera makanan

mereka itu dibagi bersama-sama dan dimakan bersama-sama

pula. Demikianlah, peralatan itu benar-benar merupakan peralatan

yang meriah.

Sedangkan hampir seluruh desa mereka dihiasi dengan janur-

janur kuning yang mereka sangkutkan di setiap regol halaman.

Dan di hadapan regol desa mereka letakkan hiasan yang

termeriah, dengan janur-janur kuning, daun topengan dan daun-

daun yang berwarna-warni. Merah, kuning, hijau dan berbelang-

belang. Demikian pula dinding yang melingkari desa mereka serta

sepanjang dinding halaman rumah-rumah, terpancang berpuluh-

puluh bahkan beratus-ratus oncor yang menjadikan desa mereka

terang-benderang seolah-olah siang.

Anak-anak Gedangan pun mendapat bagian pula. Semalam

suntuk mereka tidak tidur. Setelah mereka lelah berlari-larian

Page 4: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 95

kesana kemari, mereka dapat menikmati pertunjukan wayang

beber. Pertunjukan yang mengisahkan kepahlawanan, yang

dipetik dari cerita Mahabarata.

Demikianlah rombongan kecil Mahesa Jenar dapat ikut pula

menikmati kemeriahan malam bersih desa di Gedangan itu.

Mereka ikut serta bergembira bersama-sama penduduk Gedangan

dan kemudian ikut serta dengan mereka mengunjungi pertemuan

di pendapa Kelurahan serta menikmati upacara tari-tarian sebagai

pernyataan terima kasih pula atas panenan mereka yang berhasil.

Tetapi dalam pada itu, Arya Salaka menjadi semakin trenyuh

di dalam hati. Teringatlah segala kemeriahan upacara di Tanah

Perdikan Banyubiru pada masa kecilnya. Pada masa ayahnya

masih memimpin tanah itu. Dan karena itulah tekadnya menjadi

semakin bulat. Ia harus mendapatkan kembali tanah itu. Ia

berjanji di dalam hatinya, apabila ia harus mewakili ayahnya dalam

pemerintahan tanah perdikan itu, yang dilakukannya harus

menguntungkan rakyatnya. Membina kembali Banyubiru dalam

segala seginya. Dan ia harus dapat menjadikan Banyubiru sebagai

idaman ayahnya. Menjadikan Banyubiru gemah ripah lohjinawi

kertaraharja. Dimana setiap orang dapat menikmati kesuburan

tanah kampung halamannya, dimana setiap orang dapat

menikmati cerahnya matahari dan bulatnya bulan di malam hari.

Menikmati ketenteraman hidup dan tanpa kegelisahan menjelang

hari tuanya. Cukup sandang, cukup pangan. Sejahtera lahir dan

batin.

Maka, setelah mereka bermalam dua malam di Gedangan,

rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan. Mereka diantar oleh

hampir segenap penduduk Gedangan sampai ke regol desa

mereka. Dengan penuh kebanggaan mereka memandang debu

yang mengepul dilemparkan oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari

seenaknya. Seolah-olah mereka melihat rombongan pasukan

berkuda yang tak terkalahkan menuju ke medan pertempuran.

Page 5: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 95

Tak ada yang penting yang terjadi di dalam perjalanan itu.

Setelah mereka bermalam satu malam, maka pada hari berikutnya

ketika matahari telah condong ke barat, sampailah mereka di

daerah pegunungan Sumawana. Suatu daerah pegunungan yang

menurut dongeng rakyat, adalah pegunungan dimana Prabu

Dasamuka ditimbun dengan tanah oleh Pahlawan Kera yang

berbulu putih, Hanoman. Karena kepercayaan itulah maka di

daerah pegunungan itu, tidak diperkenankan membawa tuak atau

semacam minuman keras yang lain. Sebab apabila ada orang yang

melanggar pantangan itu, Prabu Dasamuka, yang tidak dapat mati,

akan menggeram dan mengguncang-guncang gunung yang

menimbuninya, sebab tuak adalah jenis minuman yang sangat

digemarinya. Rakyat yang hidup di daerah itu, meskipun sangat

jarang, tidak pernah takut seandainya Prabu Dasamuka itu dapat

menjebol tanah yang menimbuninya. Sebab di dekatnya adalah

bukit yang terkenal bernama Kendalisada. Di bukit itulah Hanoman

bertapa dan sekaligus menunggui gunung yang dipakainya untuk

menimbun tubuh Prabu Dasamuka.

Ketika rombongan kecil itu sampai di sekitar bukit Sumawana,

mereka menghentikan perjalanan mereka. Daerah ini sudah dekat

benar dengan daerah Candi Gedong Sanga. Karena itu mereka

harus berhati-hati. Sebab apabila ada salah paham, mungkin akan

menimbulkan hal-hal yang tidak mereka kehendaki. Karena itu

mereka tidak maju lagi, tetapi mereka bermaksud bermalam di

daerah itu.

Pada malam itulah Mahesa Jenar berhasrat memancing orang-

orang Banyubiru yang bersembunyi di sekitar daerah itu dibawah

pimpinan Bantaran dan Penjawi. Karena itu, maka ketika malam

telah turun dengan kelamnya, segera Mahesa Jenar menyalakan

api sebesar-besarnya. Ia yakin bahwa laskar Pamingit tidak akan

sampai berkeliaran sedemikian jauhnya, apalagi mereka mengerti

bahwa sebagian laskar Bantaran dan Penjawi ada di sekitar daerah

Banyubiru.

Dan apa yang diharapkan terjadilah.

Page 6: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 95

Ketika mereka sedang menikmati jadah sisa bekal mereka dari

Gedangan yang mereka panggang di atas api, tiba-tiba

terdengarlah gemersik daun-daun di sekitarnya. Mahesa Jenar,

Kebo Kanigara dan hampir semua orang dalam rombongan itu

mengetahuinya, namun mereka masih berpura-pura tidak

mendengarnya.

Sebentar kemudian terdengarlah beberapa orang berloncatan

dengan senjata di tangan. Dengan lantangnya seorang yang

memimpin laskar itu berkata, “Ki Sanak, aku harap Ki Sanak tidak

melawan. Kami tidak ingin berbuat jahat, tetapi kami ingin

mengetahui siapakah kalian.”

Mahesa Jenar mengangkat mukanya. Ia samasekali tidak

berkata apa-apa. Sambil tersenyum ia mengangkat tangannya

menunjuk Wanamerta yang duduk di sudut perapian sambil

membenamkan dirinya di dalam kainnya.

Ketika orang itu melihat Wanamerta, tiba-tiba wajahnya jadi

tegang. Untuk beberapa saat ia bahkan berdiam diri seperti

patung, tetapi tiba-tiba ia meloncat dan berjongkok di hadapannya

sambil berteriak, “Kiai, adakah benar ini Kiai Wanamerta.”

Orang tua itu tersenyum. Tersenyum lucu sekali.

Tetapi semua orang yang menyaksikannya menjadi ikut

terharu ketika di sela-sela senyumnya tampak di antara pelupuk

mata orang tua itu membayang butiran-butiran air mata. Serta

dengan suara parau ia menjawab, “Ya, inilah Wanamerta yang tua.

Bukankah kau Jaladri?”

“Ya,” sahut pemimpin laskar itu. “Bagaimanakah Kiai dapat

sampai di tempat ini?”

“Hemm….” desis Wanamerta, lalu katanya, “Kenalkah kau

dengan Anakmas Mahesa Jenar?”

Page 7: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 95

“Mahesa Jenar…?” ulang Jaladri, “Ya tentu aku mengenalnya.

Lima tahun yang lalu, ia pernah tinggal di Banyubiru untuk

beberapa lama.”

“Itulah dia,” potong Wanamerta sambil menunjuk Mahesa

Jenar.

Jaladri menoleh kepada Mahesa Jenar. Memang ia pernah

mengenalnya. Lima tahun yang lalu. Karena itu ia agak pangling.

Baru ketika ia telah memperhatikan beberapa lama, ia menjadi

jelas, bahwa memang orang itulah yang pernah dikenalnya

bernama Mahesa Jenar. Karena itu segera ia menggeser diri duduk

sambil membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar, sambil

berkata, “Maafkan kami, Tuan. Kami hampir tidak dapat mengenal

Tuan setelah sekian lama berpisah. Apalagi sebelumnyapun aku

tidak begitu dekat dengan Tuan.”

Mahesa Jenar menjawab dengan hormatnya pula. “Adalah hal

yang wajar kalau kau tidak mengenal aku lagi. Waktu itu aku tidak

mempunyai waktu banyak untuk tinggal lebih lama lagi di

Banyubiru. Apalagi kita sudah terlalu lama tidak bertemu. Tetapi

untunglah bahwa kau mengenal Paman Wanamerta.”

“Kepada Kiai Wanamerta, berapa puluh tahun aku terpisah,

namun aku masih akan dapat mengenalnya. Dan bahkan semua

orang Banyubirupun akan tetap mengenalnya,” jawab Jaladri.

“Bagus,” sahut Mahesa Jenar. “Sebab ia adalah tetua

Banyubiru. Kalau kau lupa kepadanya, berarti kau telah lupa

kepada kampung halaman itu”.

“Benar Tuan,” jawab Jaladri, kemudian dengan agak ragu-ragu

ia bertanya, “Tetapi, menurut Kakang Bantaran, bukankah Tuan

berjanji untuk membawa Arya Salaka kepada kami?”

Mahesa Jenar tersenyum. Agaknya Bantaran telah

mengumumkan kesanggupannya itu kepada anak buahnya.

Page 8: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 95

Kemudian dengan tertawa lirih ia berkata. “Cobalah Jaladri, carilah

di antara kami, adakah Arya Salaka serta?”

Jaladri menjadi ragu. Ia memandang satu persatu kawan-

kawan seperjalanan Mahesa jenar. Mahesa Jenar sendiri, lalu

seorang yang berumur agak lebih tua sedikit dari Mahesa Jenar,

disampingnya duduk bersimpuh seorang gadis kecil. Di dekatnya

duduk bersila seorang gadis yang berpakaian laki-laki, dan di ujung

duduk bersilah pula seorang pemuda yang gagah, kuat sentosa. Di

pinggangnya terselip sehelai tombak yang bertangkai pendek.

Jaladri masih tetap ragu-ragu. Ia tidak berani menebak satu di

antaranya. Meskipun apabila Arya Salaka ada di antaranya, yang

paling mungkin adalah pemuda yang gagah itu. Setelah beberapa

lama ia menimbang-nimbang, akhirnya ia menjawab, “Aku tidak

tahu Tuan Arya Salaka. Pada saat meninggalkan Banyubiru masih

terlalu kecil bagi yang ada sekarang.”

Meskipun demikian mata Jaladri tidak lepas dari pemuda tegap

yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya.

Mahesa Jenar tertawa pendek, demikian pula Kebo Kanigara.

Tetapi dengan demikian, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, dan

bahkan Arya Salaka sendiri. Jaladri mempunyai dugaan yang

benar. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera

membenarkan dugaan itu. Dengan tegak berdiri ia berkata,

“Jaladri… antarkanlah kami sekarang kepada Bantaran.”

“Baik Tuan,” jawab Jaladri cepat, seperti demikian saja

meloncat dari mulutnya.

Kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Wanamerta, Kebo

Kanigara dan kawan-kawan seperjalanannya. “Marilah, kita

selesaikan perjalanan kita yang tinggal beberapa langkah saja.”

Semuanya segera mempersiapkan diri mereka pula. Dan

sesaat kemudian mereka meneruskan perjalanan yang sudah tidak

jauh lagi.

Page 9: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 95

Jaladri lebih dahulu telah mengirimkan dua orangnya untuk

mendahului dan memberitahukan kedatangan Mahesa Jenar, agar

Bantaran dapat mempersiapkan sambutan sekadarnya.

Demikianlah, tidak terlalu lama, mereka telah sampai ke

daerah Candi Gedong Sanga, di lereng Gunung Ungaran. Oleh

Jaladri, mereka dibawa menyusup ke sebuah hutan yang tidak

terlalu lebat. Di dalam hutan yang tipis itu terdapatlah sebuah

barak besar dikelilingi beberapa barak kecil. Itulah perkemahan

laskar Banyubiru yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi.

Ketika Mahesa Jenar sampai ke tempat itu, sibuklah mereka

mengadakan penyambutan. Berdesak-desakan mereka berebut

muka, sehingga Mahesa Jenar dan kawan-kawan tidak dapat

bergerak maju lagi. Sampai Bantaran berdiri dan berteriak,

“Berilah jalan supaya mereka dapat masuk ke dalam pondok ini.”

Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-kawannya

dipersilakan masuk ke dalam pondok yang terbesar itu. Di

dalamnya terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Dan di

sanalah pemimpin-pemimpin laskar itu telah siap menanti. Mahesa

jenar dan kawan-kawannya dipersilakan duduk di ujung

pertemuan itu. Tetapi demikian ia mulai memperhatikan satu demi

satu dari setiap wajah di dalam ruangan itu, tiba-tiba ia terkejut

ketika melihat yang duduk berjajar di samping Penjawi. Karena itu

segera Bantaran memperkenalkan kedua orang itu kepada Mahesa

Jenar. “Tuan, barangkali Tuan belum mengenalnya. Mereka adalah

orang baru di sini. Tetapi mereka melihat kebenaran perjuangan

kami. Karena itu mereka di pihak kami.”

Tiba-tiba meloncatlah dari mulut Mahesa Jenar sapaan yang

akrab, “Kakang Mantingan dan Wirasaba, adakah kalian telah lama

berada di tempat ini?”

Dalang Mantingan dan Wirasaba menganggukkan kepalanya.

Terdengarlah Mantingan menjawab, “Sudah… Adi. Aku sudah

beberapa bulan bergaul dengan anak-anak Banyubiru, meskipun

Page 10: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 95

kadang-kadang aku juga memerlukan kembali ke Wanakerta atau

Prambanan bersama-sama dengan Adi Wirasaba.”

Teringatlah Mahesa Jenar pada saat mereka baru saja

menyaksikan bahkan terlibat dalam suatu bentrokan melawan

golongan hitam yang sedang mempersiapkan sebuah pertemuan

di daerah Rawa Pening. Pada saat itu Mahesa Jenar dengan empat

orang teman, yaitu Mantingan, Wirasaba, Gajah Alit dan

Paningron, harus bertempur melawan seluruh kalangan hitam dari

angkatan sebayanya, yang kemudian mendapat bantuan dari Sima

Rodra tua dan Pasingsingan. Untunglah pada saat itu muncul

Radite dan Anggara yang menyelamatkan mereka berlima. Pada

saat itu ia memang berpesan kepada Mantingan untuk berusaha

melihat-lihat keadaan Banyubiru. Agaknya Mantingan benar-benar

melaksanakan pesan Radite dan Anggara, bahkan akhirnya

mengambil keputusan untuk tinggal bersama-sama dengan

mereka.

Kemudian sibuklah pertemuan itu dengan pernyataan

keselamatan masing-masing. Wanamerta yang menjadi semakin

terharu melihat anak-anak Banyubiru yang masih setia kepada

pimpinannya itu, malahan menjadi seperti patung. Ia hanya dapat

mendengarkan percakapan-percakapan yang semakin ramai dan

gembira, dan sesekali menoleh kesana kemari, tanpa tujuan.

Tiba-tiba dari sela-sela keriuhan percakapan itu terdengarlah

Bantaran bertanya, “Tuan, bukankah Tuan telah menyanggupkan

kepada kami untuk membawa Arya Salaka…?”

Mahesa Jenar tertawa. Memang, ia menanti pertanyaan itu,

sehingga dengan sengaja tidak memperkenalkan kawan-kawan

seperjalanannya. Karena itu baru kemudian ia menjawab untuk

memperkenalkan mereka. “Saudara-saudaraku dari Banyubiru…

Baiklah aku memperkenalkan kawan seperjalananku satu

persatu.” Kemudian sambil menunjuk, Mahesa Jenar meneruskan,

“Ini, yang duduk di sebelahku adalah Rara Wilis, seorang gadis

yang lebih senang menamakan dirinya Pudak Wangi, cucu seorang

Page 11: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 95

sakti bernama Pandan Alas. Di sampingnya adalah Endang Widuri,

putri Kakang Kebo Kanigara yang duduk di sebelahnya. Dan yang

seorang lagi adalah Bagus Handaka.”

Semua mata mengikuti jari Mahesa Jenar. Namun ketika

sampai orang yang terakhir, ia tidak menyebut nama Arya Salaka,

anak-anak Banyubiru menjadi bertanya-tanya dalam hati. Bahkan

kemudian terdengar suara Penjawi, “Lalu bagaimanakah dengan

Arya Salaka…?” Tetapi seperti juga Jaladri, Penjawi memandang

Arya Salaka yang disebut bernama Bagus Handaka itu tanpa

berkedip. Sebab pada masa kanak-kanaknya, dengan Penjawi-lah

Arya Salaka paling banyak bergaul. Karena itu sedikit banyak ia

masih dapat mengenal wajah itu, meskipun sudah jauh berbeda.

Mahesa Jenar tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil. Dan

karena itulah maka Penjawi tidak menunggu lebih lama lagi.

Dengan cepatnya ia berjalan jongkok ke arah Arya Salaka dan

dengan suara parau ia berkata hampir berteriak sambil memukul-

mukul lengan Arya yang sudah menjadi sekeras baja itu. “Arya,

alangkah mengagumkan kau. Benar-benar kau telah menjadi

seekor banteng muda yang luar biasa kuatnya. Ah, alangkah

malunya aku, yang semakin lama menjadi semakin kering.”

Bersamaan dengan itu tiba-tiba, hampir meledaklah suara

membahana, “Arya Salaka telah datang, Arya Salaka telah

datang.”

Kemudian tampaklah laskar Banyubiru itu berdesak-desakan

di pintu pondok sehingga pintu itu seolah-olah akan mereka

tumbangkan karena menghalang-halangi mereka yang ingin

melihat kehadiran Arya Salaka di antara mereka.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu menjadi sangat

terharu. Bahkan Rara Wilis sampai menekan dadanya karena tiba-

tiba terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya. Sedang Endang

Widuri tiba-tiba menjadi sangat bangga. Ia tidak tahu kenapa

perasaan itu begitu saja tumbuh di dalam dadanya, seolah-olah

Page 12: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 95

dirinyalah yang mendapat sambutan sedemikian hangatnya.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun tidak kalah terharu,

namun mereka berdua telah dapat mengendalikan perasaan

mereka, sehingga mereka tetap duduk dengan tenang. Yang paling

tidak dapat mengendalikan perasaannya adalah Wanamerta.

Dalam kesempatan itu, ia merasa bahwa seolah-olah ia telah

sampai pada puncak kebahagiaan. Bahkan dengan serta merta

terlontar kata-kata dari mulutnya, “Aku tidak keberatan

seandainya sekarang juga aku mati, sebab aku telah menyaksikan

angger Arya Salaka kembali kepada anak-anak Banyubiru yang

setia kepada kebenaran atas hak pada tanah mereka.”

Sedang Arya Salaka sendiri malah menjadi bingung. Ia biasa

hidup seperti seekor burung yang bebas lepas di udara, yang

seolah-olah tidak mempunyai suatu ikatan apapun. Ia tidak biasa

menerima pujian dan sanjungan. Apalagi sikap memanjakan diri.

Dan sekarang tiba-tiba terdengarlah teriakan-teriakan nyaring di

dalam maupun di luar ruangan itu menyebut namanya. Memuji-

mujinya dan bahkan ada di antaranya yang mengaguminya,

seolah-olah dirinya menjadi seorang pahlawan yang baru

memenangkan perang. Karena itulah maka tubuhnya menjadi

gemetar. Wajahnya bertambah lama bertambah pucat, dan

keringat dingin telah memenuhi seluruh tubuhnya. Mahesa Jenar

yang bijaksana dapat merasakan keadaan itu. Karena itu segera ia

berkata keras-keras, untuk mengatasi segenap keriuhan itu.

“Saudara-saudara rakyat Banyubiru yang setia…. Atas nama Arya

Salaka, aku ucapkan terima kasih atas sambutan kalian. Tetapi aku

minta janganlah kalian menyambut kedatangannya dengan

berlebih-lebihan. Sebab sikap yang demikian akan besar

pengaruhnya, meskipun aku yakin akan keteguhan hati Arya

Salaka, namun bersikaplah sewajarnya. Dengan demikian, segala

sesuatu akan berlangsung dengan wajar pula. Tanpa berlebih-

lebihan, tanpa pengaburan atas nilai yang sebenarnya. Dengan

demikian saudara-saudara tidak akan mudah menjadi kecewa

apabila ada hal-hal yang tidak seperti saudara harapkan.”

Page 13: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 95

Suara Mahesa Jenar itu ternyata dapat menenangkan suasana

di dalam ruangan itu, namun di luar ruangan masih saja terjadi

keributan dan teriakan-teriakan. Mereka agaknya tidak puas

sebelum dapat memandang wajah anak kepala daerah mereka

yang telah mereka anggap hilang itu. Karena itu mereka masih

saja berusaha untuk dapat berdiri di pintu. Dengan demikian

akhirnya Mahesa Jenar merasa perlu untuk menenangkan mereka

dengan membawa Arya Salaka keluar. Maka berkatalah ia kepada

Bantaran dan Penjawi, “Biarlah Arya Salaka berdiri di depan pintu

sebentar, agar mereka menjadi puas.”

Bantaran dan Penjawi menyetujui, serta mempersilakan Arya

Salaka untuk berdiri sebentar, menerima sambutan dari rakyat.

Maka berkatalah Mahesa Jenar kepada Arya Salaka, “Marilah

kita berdiri di muka pintu itu sebentar Arya Salaka, dan berkatalah

sepatah dua patah kata kepada rakyatmu.”

Arya Salaka menjadi semakin gelisah. Ia lebih tenang pada

saat ia berhadapan dengan Uling Kuning dan Uling Putih daripada

waktu itu. Dengan tergagap ia menjawab, “Paman sajalah yang

berbicara kepada mereka atau Kakang Penjawi.”

Mahesa Jenar tersenyum, katanya, “Mereka tidak akan mau

mendengarkan siapa saja yang akan berbicara selain kau.”

Keringat Arya Salaka semakin banyak mengalir. Tetapi ia tidak

dapat membantah lagi ketika Mahesa Jenar kemudian berdiri dan

menarik tangannya. Dengan jantung yang berdegupan Arya Salaka

digandeng oleh Mahesa Jenar berjalan ke arah pintu diikuti oleh

Penjawi, Bantaran, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Widuri.

Ketika Arya muncul di muka pintu, meledaklah tepuk tangan

riuh, dibarengi dengan teriakan-teriakan yang menyebut-nyebut

nama anak kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Sedang Arya

Salaka sendiri berdiri terpaku tanpa bergerak. Terdengarlah

kemudian Mahesa Jenar berbisik di telinganya, “Berbicaralah,

Arya….”

Page 14: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 95

Arya menjadi semakin bingung. Maka bisiknya pula, “Apakah

yang harus aku bicarakan?”

“Ucapkanlah pernyataan terima kasih kepada mereka dan

katakan bahwa kau masih lelah sehingga kau perlu segera

beristirahat. Karenanya pembicaraan yang agak panjang kau

tunda sampai besok,” jawab Mahesa Jenar berbisik-bisik.

Mula-mula Arya Salaka

masih tetap gelisah mengha-

dapi keadaan yang tidak

disangka-sangkanya itu. Teta-

pi tiba-tiba dari jantungnya

meledaklah perasaan tang-

gungjawabnya, didorong pula

oleh darah kepemimpinan

yang mengalir dalam tubuh-

nya. Arya Salaka kemudian

berhasil menguasai dirinya dan

memperoleh keseimbangan.

Sehingga dengan demikian ia

menjadi agak tenang. Maka

dicobanya untuk menyam-

paikan pernyataan terima

kasih kepada rakyat yang

menyambutnya itu. Namun

bagaimanapun juga, suaranya masih terdengar gemetar.

“Saudara-saudaraku dari Banyubiru. Yang pertama-tama akan aku

sampaikan kepada kalian, adalah pernyataan terima kasih yang

sebesar-besarnya atas sambutan kalian yang samasekali tidak aku

duga. Seterusnya, karena aku masih sangat lelah perkenankanlah

aku beristirahat dahulu. Besok pembicaraanku akan aku

perpanjang lagi.”

Mahesa jenar tersenyum mendengar uraian Arya Salaka yang

masih terasa bongkah-bongkah itu. Meskipun demikian kata-kata

itu cukup untuk dapat menenangkan rakyatnya. Namun masih

Page 15: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 95

juga terdengar teriakan-teriakan yang meminta Arya untuk

berbicara lebih banyak lagi. Kemudian tampillah Bantaran, yang

meminta kepada rakyat Banyubiru yang tetap teguh pada

pendiriannya itu, untuk memberi kesempatan kepada Arya Salaka

beristirahat.

“Nah saudara-saudaraku….” katanya, “Sekarang berilah

kesempatan tamu-tamu kita beristirahat. Juga kalian dapat

beristirahat sekarang, kecuali mereka yang bertugas. Sebab di

hadapan kalian terbentanglah lautan yang penuh dengan badai dan

taufan yang harus kalian renangi. Siapa tahu, besok atau bahkan

nanti, kalian harus sudah menerjuninya.”

Dengan demikian maka anak-anak Banyubiru itu kemudian

perlahan-lahan meninggalkan pintu barak dimana Arya Salaka

masih berdiri bersama dengan kawan-kawan seperjalanannya.

Namun kemudian Bantaran tidak mempersilakannya masuk

kembali, tetapi mereka dipersilakan untuk pergi ke pondok yang

lebih kecil, yang telah dipersiapkan untuk mereka. Meskipun

demikian, karena mereka samasekali tidak menduga bahwa di

dalam rombongan itu akan terdapat dua orang gadis, maka dengan

tergesa-gesa mereka terpaksa menyiapkan tempat lain untuk

keperluan itu.

Demikianlah mereka kemudian dipersilakan beristirahat di

tempat masing-masing. Mantingan dan Wirasaba memerlukan

mengunjungi Mahesa Jenar, meskipun hanya sebentar, untuk

berkenalan lebih dekat lagi dengan Arya Salaka dan Kebo

Kanigara. Setelah itu maka ditinggalkannya mereka bertiga,

setelah dipersilakan mereka makan sekadarnya.

Sedang Wanamerta segera terjun ke dalam lingkungan anak-

anak Banyubiru yang sudah lama terpisah dengannya, dan

kemudian tidur bersama mereka.

Malam itu rasanya berjalan demikian cepat. Mahesa Jenar,

Kebo Kanigara dan Arya Salaka segera tenggelam ke dalam mimpi.

Page 16: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 95

Demikian juga di dalam pondok yang lain. Rara Wilis dan Endang

Widuri yang dikawani oleh Nyi Penjawi, segera tertidur pula. Di luar

pondok itu, tampaklah beberapa orang berjaga-jaga dengan

cermatnya. Sebab dalam tanggapan mereka, keselamatan gadis-

gadis itu sangat tergantung kepada penjagaan yang mereka

lakukan.

Ketika mereka terbangun pada pagi harinya, dan kemudian

keluar dari pondok masing-masing, tampaklah betapa cerahnya

matahari pagi. Sinar-sinarnya yang menembus daun-daun

pepohonan terpercik di atas tanah lembab, membuat gambaran-

gambaran yang menyenangkan. Seolah-olah gambaran anak-anak

yang dengan lincahnya berloncat-loncatan dengan penuh

kegembiraan menyambut hari yang bakal datang. Sedang angin

pagi mengalir lambat membawa udara sejuk segar.

Pada hari itu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka

diantar oleh Bantaran, Penjawi, Mantingan, Wirasaba dan

Wanamerta melihat-lihat keadaan di sekitar barak-barak itu.

Melihat persiapan-persiapan yang mereka lakukan. Dari mereka

itulah Mahesa Jenar mengetahui bahwa sebagian besar rakyat

Banyubiru tetap menanti kedatangan kepala daerah perdikan

mereka. ternyata dengan bantuan yang mengalir tak henti-

hentinya. Meskipun dengan bersembunyi-sembunyi mereka dapat

mengirimkan makanan, pakaian dan senjata. Bahkan anak-anak

Banyubiru telah mendapat perkakas yang cukup untuk membuka

hutan. Karena itulah rombongan itu bukan saja rombongan orang-

orang yang menyingkirkan diri, namun mereka termasuk perintis-

perintis pula dalam perluasan daerah pertanian Banyubiru. Sebab

disamping mempersiapkan diri mereka untuk datang kembali ke

Banyubiru, mereka ternyata telah membuka hutan dan membuat

tanah pertanian.

Pada hari-hari berikutnya, Mahesa Jenar, Arya Salaka dan

kawan-kawannya sempat melihat kesiapsiagaan anak-anak

Banyubiru itu. Mereka mendapat kesempatan untuk melihat anak-

anak Banyubiru itu berlatih. Mula-mula Mahesa Jenar menjadi

Page 17: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 95

heran melihat kemajuan yang pesat dibandingkan masa-masa

Banyubiru beberapa tahun yang lalu. Justru setelah mereka

didorong ke tengah-tengah hutan. Tetapi keheranan itu kemudian

lenyap ketika ia melihat Mantingan dan Wirasaba berada di antara

mereka. Agaknya kedua orang itu, disamping Penjawi dan

Bantaran, yang telah bekerja mati-matian untuk melatih anak-

anak Banyubiru itu.

Melihat tingkat pengetahuan laskar Banyubiru itu, Arya Salaka

pun berbangga pula. Ternyata bahwa mereka lebih maju daripada

laskar Gedangan. Sebaliknya, apa yang diduga Bantaran

sebelumnya ternyata benar-benar terjadi. Dengan kehadiran Arya

Salaka, laskar Banyubiru merasa mendapat suatu karunia yang

tiada taranya. Mereka menjadi semakin teguh pada tekadnya.

Kembali ke Banyubiru.

Tetapi meskipun demikian Bantaran, Penjawi dan beberapa

orang pemimpin laskar Banyubiru itu masih tetap bimbang. Bukan

karena meragukan kesetiaan laskarnya, yang menurut

penilaiannya telah menyerahkan diri mereka bulat-bulat sampai

tetes darah terakhir. Tetapi sebagai seorang pemimpin, mereka

berkewajiban menilai kekuatan mereka sendiri untuk

diperbandingkan dengan kekuatan lawan mereka. Mereka harus

tidak menutup mata terhadap kenyataan yang ada. Mereka harus

memperhitungkan bahwa laskar Pamingit yang bergabung dengan

sebagian orang-orang Banyubiru yang tidak setia terdapatlah

nama-nama besar seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti.

Disamping itu Bantaran dan kawan-kawannya selalu meragukan

apakah kira-kira yang akan dilakukan Ki Ageng Sora Dipayana

apabila benar-benar terjadi bentrokan antara dua kekuatan itu. Di

pihaknya, ia yakin bahwa Kebo Kanigara dapat diketengahkan.

Bantaran pernah melihat sendiri, paman guru Mahesa Jenar itu

berhasil menyelamatkan diri setelah bertempur melawan sepuluh

orang pengawal Lembu Sora. Tetapi bila Ki Ageng Sora Dipayana

melibatkan diri dalam perselisihan itu, apakah Kebo Kanigara

dapat mengimbanginya? Kemudian Bantaran harus menilai

Page 18: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 95

Mahesa Jenar pula. Dahulu, sepengetahuannya, Mahesa Jenar

memiliki ilmu setingkat dengan Gajah Sora. Ki Ageng Gajah Sora

sendiri pernah mengatakan. Tetapi sekarang Ki Ageng lembu Sora

pesat sekali maju. Ia mendapat tuntunan yang tiada henti-

hentinya dari Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga Lembu Sora

sekarang telah melampaui kakaknya, Gajah Sora. Sedang Mahesa

Jenar, apakah yang diperolehnya selama ini, meskipun berada di

lingkungan paman gurunya? Apalagi kemudian pimpinan laskar

Banyubiru harus memperhitungkan pula Arya Salaka, yang mau

tidak mau akan berhadapan kepentingan dengan Sawung Sariti.

Apa yang mereka lihat sekarang, Sawung Sariti benar-benar telah

menjadi seorang pemuda yang luar biasa. Ia dengan beraninya

menghadapi lawan-lawannya sebagai seekor ayam jantan di arena

pertarungan. Selain itu ia dapat bergerak dengan sangat lincahnya

seperti seekor burung sariti di udara. Apalagi ia pun telah

mendapat tempaan dari kakeknya. sehingga anak muda itu benar-

benar memiliki ilmu yang menakutkan. Meskipun dari Wanamerta,

Bantaran telah mendengar apa yang pernah terjadi antara Arya

Salaka dan Sawung Sariti, namun ia menganggap bahwa Sawung

Sariti kemudian telah lebih maju lagi dengan pesatnya, disamping

dugaan-dugaan bahwa Wanamerta agak terlalu bangga terhadap

Arya Salaka. Dalam pada itu pimpinan laskar Banyubiru itu tidak

mengada-ada. Namun sebagai pemimpin ia harus bertindak hati-

hati. Meskipun demikian ia tidak sampai hati untuk

mengatakannya kepada Mahesa Jenar yang kemudian diharap

akan dapat memimpin laskar Banyubiru itu.

Yang dapat mereka lakukan kemudian hanyalah sebuah

pernyataan untuk meminta Mahesa Jenar memimpin laskar

Banyubiru. Sebab mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa

Mahesa Jenar kecuali memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada

setiap orang yang ada, mereka juga mengetahui bahwa Mahesa

Jenar adalah bekas seorang perwira prajurit Demak.

Tentu saja Mahesa Jenar tidak menolak. Bahkan ia merasa

mendapat jalan untuk menentukan cara laskar Banyubiru berbuat.

Page 19: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 95

Ia ingin membuat laskar Banyubiru laskar yang kecuali baik dalam

tata cara bertempur, juga harus merupakan laskar yang baik

dalam bertindak. Di dalam atau di luar lingkaran pertempuran.

Maka sejak saat itulah Mahesa Jenar mengambil pimpinan dari

tangan Bantaran dan Penjawi. Dan sejak itu pula Mahesa Jenar

menyelenggarakan latihan yang lebih teratur untuk menghadapi

kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

II

Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar sampai pada suatu saat

dimana ia menganggap bahwa waktunya telah tiba untuk berbuat

sesuatu ke arah penyelesaian masalah Banyubiru. Karena itulah

maka segera mengadakan persiapan-persiapan terakhir.

Dalam pada itu adalah diluar dugaan samasekali, ketika tiba-

tiba datanglah seorang yang ditugaskan untuk tinggal di

Banyubiru, yang mengabarkan bahwa Banyubiru, sebuah desas-

desus yang tersebar luas mengatakan bahwa keris-keris Kyai

Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten kini berada di Banyubiru.

Mahesa Jenar terkejut mendengar khabar itu. Kyai Nagasasra

dan Kyai Sabuk Inten jelas berada di tangan Panembahan Ismaya.

Tetapi kenapa tiba-tiba orang mendesas-desuskan bahwa keris itu

berada di Banyubiru…? Mula-mula kepada orang yang membawa

khabar itu Mahesa Jenar menanyakan, kira-kira dari manakah

sumber berita itu. Tetapi orang itu pun samasekali tidak

mengetahui. Namun ia dapat mengatakan bahwa karena itulah

maka di Banyubiru timbul kegelisahan. Sebab adanya desas-desus

itu akan banyak akibat yang dapat terjadi.

Karena itulah Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah didesak

oleh keadaan untuk bertindak lebih cepat. Ia masih teringat jelas

bahwa golongan hitam pun sangat memerlukan keris-keris itu.

Sebenarnya ia samasekali tidak percaya, bahwa kedua keris itu

dengan tiba-tiba saja berada di Banyubiru, sebab ia yakin bahwa

Page 20: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 95

tak seorang pun yang dikenalnya, dapat melampaui segala macam

ilmu yang dimiliki Panembahan Ismaya. Seandainya dua-tiga

orang sakti sekalipun yang datang ke Bukit Karang Tumaritis, pasti

orang-orang itu tidak akan berhasil mendapatkan Kyai Nagasasra

dan Kyai sabuk Inten, apalagi orang-orang Banyubiru. Biarpun

mereka datang bersama-sama. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng

lembu Sora dan Sawung Sariti beserta seluruh laskarnya. Karena

itu ia akhirnya sampai suatu kesimpulan bahwa di belakang desas-

desus itu pasti tersembunyi suatu maksud.

Maka, setelah Mahesa Jenar berunding dengan Kebo Kanigara,

ia memutuskan untuk segera membawa Arya Salaka ke Banyubiru.

Sudah barang tentu Mahesa Jenar bertindak menurut caranya,

yang merupakan pancaran dari wataknya. Ia tidak segera

membawa pasukannya ke Banyubiru sekaligus dalam persiapan

tempur dengan mempergunakan gelar perang, tetapi ia

mengharap bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan menurut cara

yang baik. Mula-mula Bantaran, Penjawi, bahkan Wanamerta

heran melihat kelunakan sikap Mahesa Jenar itu. Bahkan mereka

menduga bahwa di dalam hati Mahesa Jenar meragukan kekuatan

laskarnya. Karena itulah maka mereka mengajukan pertimbangan

lain. Mereka mendesak agar Mahesa Jenar memaksa dengan

kekuatan untuk mengusir Lembu Sora dari Banyubiru. Sebab

mereka tidak melihat cara lain yang dapat dipergunakan selain

cara itu.

Mahesa Jenar memahami sepenuhnya perasaan yang bergolak

di dalam dada Bantaran, Penjawi dan anak-anak Banyubiru, yang

terpaksa menyingkir dari kampung halaman mereka sendiri.

Mereka telah mengalami tekanan lahir batin. Kepahitan yang

selama ini harus mereka telan, telah menyebabkan mereka

menjadi dendam. Apalagi mereka merasa bahwa mereka telah

melakukan tindakan kebenaran. Mempertahankan hak atas tanah

mereka. Mereka dikejar-kejar, dimusuhi, ditangkap dan segala

macam usaha yang lain untuk menakut-nakuti agar mereka

melepaskan kesetiaan mereka kepada tanah mereka. Tetapi

Page 21: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 95

ternyata lebih baik bagi mereka menyingkirkan diri, meninggalkan

kampung halaman, untuk tetap mempertahankan pendirian

mereka. Mempertahankan kesetiaan mereka terhadap tanah

pusaka mereka, terhadap tanah tercinta.

Karena itu Mahesa Jenar harus bersikap hati-hati terhadap

mereka. Ia tidak dapat demikian saja memaksa mereka untuk

melepaskan dendam mereka. Tetapi ia harus berusaha

menumbuhkan dari dalam diri mereka masing-masing, pengertian

tentang apa yang akan mereka lakukan.

Dengan penuh kebijaksanaan berkatalah Mahesa Jenar kepada

Bantaran, Penjawi beserta para pemimpin laskar Banyubiru,

“Saudara-saudaraku… kalau kalian gagal untuk menginjakkan kaki

kalian beserta Arya Salaka kembali ke Banyubiru, akulah orang

yang pertama-tama akan menyatakan penyesalan yang sedalam-

dalamnya. Dan akulah orangnya yang akan menerjunkan diri,

mengorbankan segala yang ada padaku untuk kepentingan kalian.

Sebab aku telah menerima penyerahan dari kakang Gajah Sora

atas putranya, Arya Salaka, beserta segala kelengkapan atas

dirinya. Diantaranya kedudukan kepala daerah perdikan

Banyubiru. Karena itu percayalah bahwa aku akan bekerja keras

untuk melaksanakan pekerjaan itu. Tetapi berilah aku kesempatan

menyelesaikan menurut cara yang akan aku tempuh. Pertama-

tama aku akan berusaha untuk menempuh jalan yang sebaik-

baiknya. Lembu Sora adalah adik Gajah Sora. Aku masih ingin

melihat bahwa masih ada hubungan dari mereka berdua.

Hubungan yang sangat dekat. Mereka dialiri darah dari sumber

yang sama. Apabila cara ini tidak berhasil, barulah aku akan

mempergunakan cara lain. Membawa kalian serta. Tetapi ingat,

bahwa apa yang kalian lakukan bukanlah pembalasan dendam.

Yang akan kalian lakukan adalah mengambil hak kalian kembali.

Hak atas tanah kalian dan hak atas pimpinan daerah kalian. Karena

itu maka yang harus kalian lakukan adalah sesuai dengan tujuan

itu. Jangan ada di antara kalian yang mempergunakan kesempatan

ini untuk kepentingan diri sendiri. Melepaskan dendam pribadi

Page 22: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 95

kepada orang-orang yang samasekali tidak ada sangkut-pautnya

dengan perjuangan kalian mengambil kembali kampung halaman

kalian. Kesetiaan kalian.

Aku percaya bahwa kalian akan dapat menunjukkan kebesaran

jiwa kalian, yang dengan demikian akan menunjukkan pula

perbedaan antara kalian dengan orang-orang yang berjiwa kerdil,

yang hanya mengenal kepentingan diri daripada kepentingan

bersama.”

Dengan demikian pekerjaan kalian hanya terbatas sampai hak

atas tanah perdikan itu kembali. Seterusnya kalian tidak perlu

berbuat apa-apa lagi, yang barangkali malah akan menyuramkan

nama kalian. Yang harus kalian ingat pula, bahwa kecuali kalian

dan orang-orang Pamingit itu masih ada orang-orang yang

termasuk di dalam barisan golongan hitam.

Tidak mustahil kalau mereka akan mengambil setiap

kesempatan, mengail di air keruh. Kalau kalian kemudian terlibat

dalam permusuhan yang berlarut-larut, maka dengan senangnya

mereka akan datang dan membangun istana kemenangan dia atas

bangkai-bangkai kalian tanpa bersusah-payah lagi.”

Bantaran, Penjawi, Wanamerta beserta para pemimpin laskar

Banyubiru menundukkan kepala mereka. Mereka mengerti

sepenuhnya apa yang baru saja didengarnya. Di dalam hati

mereka terbersitlah pengakuan atas kebenaran kata-kata itu. Tiba-

tiba mereka menjadi sadar bahwa orang-orang Pamingit, lebih-

lebih orang Banyubiru itu sendiri, adalah saudara-saudara mereka.

Ada di antara mereka yang berkakak, beradik, berkemenakan dan

bersepupu dengan orang-orang Pamingit.

Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Saudara-

saudaraku… kalian harus dapat menempatkan diri kalian dalam

tindakan kalian kali ini. Sekali lagi aku ingatkan, marilah kita ambil

hak kita, milik kita sendiri. Selebihnya tidak. Apalagi apa yang

dinamakan pembalasan dendam.”

Page 23: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 95

Pemimpin-pemimpin Banyubiru itu masih tetap berdiam diri,

namun tanpa mereka sadari, mereka telah mengangguk-

anggukkan kepala mereka sebagai suatu pernyataan setuju atas

segala uraian Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Mahesa Jenar

megakhiri pertemuan itu. Dengan minta doa restu kepada segenap

laskar Banyubiru, ia minta diri untuk pergi ke Banyubiru. Beberapa

orang dimintanya ikut serta untuk menyaksikan apa yang akan

mereka bicarakan. Diantaranya adalah Wanamerta, Bantaran,

Penjawi, dan Kebo Kanigara. Kali ini Mahesa Jenar menganggap

belum waktunya membawa serta Arya Salaka. Rombongan ini

tidak lebih daripada sebuah rombongan utusan dari Arya Salaka

selaku orang yang berhak atas daerah perdikan Banyubiru,

mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai hari kemudian

Banyubiru. Mahesa Jenar masih menyangsikan apakah

keselamatan Arya Salaka tidak terancam bila ia dibawanya serta

bersama-sama dengan rombongan itu. Sebab ia masih belum

dapat menggambarkan bagaimanakah tanggapan Lembu Sora,

terutama Ki Ageng Sora Dipayana atas kehadiran Arya Salaka.

Demikianlah rombongan utusan itu dilepas dengan debaran

hati segenap laskar Banyubiru yang terpaksa menyingkir ke daerah

Candi Gedong Sanga. Meskipun ada di antara mereka yang

meragukan keberhasilan pembicaraan mereka, namun cara itu

merupakan cara yang terhormat sebelum cara-cara yang lain

harus ditempuh. Arya Salaka sendiri sangat kecewa ketika Mahesa

Jenar memintanya untuk tinggal di Candi Gedong Sanga.

Sebenarnya ia ingin sekali untuk segera dapat melihat Banyubiru.

Tanah tempat ia dilahirkan, tempat ia menerima kasih sayang ayah

bunda. Ketika rombongan Mahesa Jenar lenyap di balik batang-

batang liar di daerah hutan itu, tiba-tiba terasalah hatinya seperti

tergores oleh sembilu. Tiba-tiba ia teringat kepada ayah dan

bundanya. Kepada ayahnya yang terpaksa terpisah darinya karena

pokal pamannya. Demikian juga ibunya. Terbayanglah di dalam

otaknya, apakah yang kira-kira terjadi atas ibunya selama ini.

Selama ia tidak pernah mencium pipinya seperti pada masa kanak-

Page 24: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 95

kanaknya. Karena itulah tiba-tiba hatinya meronta. Kenapa ia tidak

berlari menyusul rombongan itu.

Tetapi dalam pada itu terasalah tangan halus menyentuh

pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Rara Wilis berdiri di

belakangnya. Arya Salaka mengetahui hubungan apakah yang

terjalin antara gadis itu dengan gurunya. Karena itu ia

menghormati Rara Wilis seperti ia menghormati gurunya.

Dengan demikian ia tidak membantah ketika Rara Wilis

mengajaknya dengan penuh pengertian untuk kembali ke dalam

pondoknya.

Sebagai seorang gadis, hati Rara Wilis mulai tersentuh.

Demikian juga ketika ia melihat betapa kecewa hati Arya Salaka,

karena ia tidak diperkenankan ikut serta bersama gurunya.

Hatinya menjadi iba.

“Jangan berduka, Arya….” nasihat Rara Wilis, “Besok atau lusa

kau akan pergi juga ke sana. Kalau saat ini pamanmu tidak

membawamu adalah semata-mata karena pertimbangan

keselamatanmu.”

Arya menundukkan mukanya. Ia tahu benar alasan itu, tetapi

perasaannya amatlah susah dikendalikan. Karena Rara Wilis bagi

Arya tidak ubahnya dengan gurunya, dan orang tuanya sendiri.

Maka kepadanya Arya Salaka pun berkata terus terang, “Bibi, aku

dapat mengerti sepenuhnya kenapa Paman tidak membawa aku

serta. Tetapi tiba-tiba saja perasaan rinduku kepada tanah

kelahiran itu tak dapat aku kendalikan lagi. Lebih dari itu, betapa

rinduku kepada Bunda, yang sejak lima tahun lalu tak pernah aku

dengar khabar beritanya.” Dalam pada itu, betapa Arya Salaka

berusaha sekeras-kerasnya, namun di kedua belah matanya

mengembanglah air matanya yang bening, sebening hatinya.

Mendengar pernyataan Arya Salaka, Rara Wilis terdiam.

Bahkan tiba-tiba iapun teringat kepada ibunya. Ibunya yang sudah

tidak akan dapat dijumpainya lagi. Maka iapun menjadi berduka

Page 25: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 95

pula. Namun demikian ia masih mencoba untuk menghibur hati

Arya, katanya, “Arya… meskipun tertunda beberapa waktu namun

kau akhirnya akan dapat bertemu dengan bunda tersayang. Tetapi

tidaklah demikian dengan aku, Arya. Kau masih harus

mengucapkan terimakasih, bahwa kau masih menyimpan harapan

di dalam dadamu. Sedang aku, samasekali harapan itu telah

padam sejak lama. Aku tidak akan bertemu lagi, sekarang, besok,

lusa atau kapanpun dengan ayah bundaku.”

Kemudian keduanya terdiam. Masing-masing hanyut ke dalam

dunia angan-angan. Kepada kerinduan yang menyentuh-nyentuh

perasaan masing-masing. Sehingga ruangan itu kemudian menjadi

hening sepi.

Tetapi keheningan itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara Endang

Widuri yang berlari-lari masuk. Katanya berderai dengan penuh

kegembiraan. “Bibi… alangkah banyaknya bunga anggrek di hutan

ini.”

Wilis tersadar dari angan-angannya. Dengan tersenyum kecil

yang dipaksakan ia menjawab, “Adakah kau mendapatkannya,

Widuri…?”

“Inilah, Bibi….” sahut Widuri sambil menyerahkan setangkai

bunga anggrek yang berbentuk seekor kala.

“Dari manakah kau dapatkan bunga ini?” tanya Wilis.

“Di lembah sebelah itu, Bibi….” jawab Widuri.

Rara Wilis menarik nafas. Lembah di sebelah adalah lembah

yang terjal dan berbahaya. Agaknya Widuri memang anak yang

benar-benar nakal. Katanya kemudian, “Jangan bermain-main di

tempat yang berbahaya, Widuri. Di sana banyak ular-ular berbisa.

Mungkin juga ada harimau yang buas.”

“Tidak Bibi,” sahut Widuri dengan nakalnya. “Tidak ada ular

dan tidak ada harimau yang mengganggu. Tetapi tadi memang ada

orang yang mencoba menangkap aku.”

Page 26: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 95

Rara Wilis dan Arya Salaka terkejut seperti disengat kala.

Dengan penuh perhatian Rara Wilis bertanya, “Ada orang yang

akan menangkap kau…?”

Widuri mengangguk seenaknya, seolah-olah peristiwa itu

samasekali tidak penting baginya.

“Tahukah kau sebabnya…?” tanya Rara Wilis.

“Entah,” jawab Widuri. “Mungkin orang itulah yang menanam

anggrek ini.”

“Mustahil,” sahut Arya Salaka. “Anggrek yang tumbuh di

lembah itu tak seorangpun yang menanamnya.”

Widuri kemudian menjadi heran. Katanya, “Lalu kenapa ia

akan menangkap aku?”

“Itulah yang ingin kami ketahui,” sela Rara Wilis. “Apakah

katanya padamu mula-mula…?”

Widuri mengingat-ingat sebentar, lalu jawabnya, “Ia bertanya,

kenapa aku berada di lembah itu.”

“Bagaimana kau menjawab?” selidik Arya.

Endang Widuri menjadi jengkel pada pertanyaan-pertanyaan

itu. Tetapi ia menjawab pula, “Aku katakan kepadanya, bahwa aku

ingin bunga anggrek ini.”

“Tidakkah ia bertanya tentang kau…?” tanya Wilis pula.

Karena pertanyaan-pertanyaan itu agaknya masih panjang,

Widuri kemudian menjatuhkan dirinya di samping Rara Wilis. Dan

dengan malasnya ia menjawab panjang, sebab ia tahu bahwa

kemudian pertanyaan-pertanyaan masih akan mengalir seperti

banjir. Katanya, “Ya, ia bertanya tentang aku. Ia bertanya

siapakah namaku dan dari manakah aku datang. Aku datang

bersama siapa dan untuk apa.”

Page 27: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 95

Ketika Arya akan mengajukan pertanyaan lagi, Widuri sudah

mendahului, “Aku jawab semuanya. Aku bernama Endang Widuri.

Aku datang dari Karang Tumaritis. Aku datang bersama sahabatku

yang bernama Arya Salaka putra kepala daerah perdikan

Banyubiru, yang datang untuk mengambil haknya kembali dari

tangan pamannya yang jahat.”

“Kau katakan itu semua?” sela Wilis dengan cemas.

“Ya, aku katakan semua itu. Aku katakan bahwa bersama-

sama dengan kami datang pula ayah, Kebo Kanigara, Mahesa

Jenar yang perkasa bersama Bibi Rara Wilis yang cantik.”

“Ssst….” potong Rara Wilis. “Jangan nakal,” bisiknya. Mau tidak

mau ia harus tersenyum. Namun berita itu bagi Arya Salaka dan

Rara Wilis merupakan berita yang cukup penting. Karena itu ia

ingin kelanjutan cerita Widuri, meskipun ia tidak sabar mendengar

cara Widuri berkisah. “Lalu, apakah yang dilakukannya?” tanya

Arya Salaka.

“Orang itu tiba-tiba menjadi sangat menakutkan. Matanya

terbelalak dan dengan marah ia memaksa aku untuk ikut serta

bersamanya,” jawab Widuri.

Wilis menarik nafas sekali lagi. Pasti ada hal-hal yang

samasekali tidak pada tempatnya.

“Apakah orang itu bukan orang di antara kita di sini?” tanya

Wilis.

Mendengar pertanyaan Rara Wilis, Endang Widuri tertawa, lalu

jawabnya, “Pasti bukan, Bibi. Kalau orang itu salah seorang di

antara kita pasti ia tidak akan bertanya tentang aku.”

Sekali lagi Rara Wilis terpaksa tersenyum. Katanya, “Maksudku

adalah untuk menguatkan dugaanku bahwa orang itu pasti

mempunyai kepentingan yang rahasia terhadap kita di sini.

Terhadap seluruh kekuatan anak-anak Banyubiru.”

Page 28: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 95

Endang Widuri mengerutkan keningnya. Agaknya baru

sekarang ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh orang itu adalah

jauh lebih berbahaya daripada seorang pemilik anggrek yang

kehilangan bunganya. Karena itu tiba-tiba ia bercerita dengan

penuh minat. “Bibi, memang agaknya orang itu sangat aneh.

Ketika ia marah kepadaku, aku minta maaf bahwa aku memetik

bunganya sebelum aku minta izin kepadanya. tetapi agaknya ia

samasekali tidak memperhatikan.” Endang Widuri berhenti sejenak

untuk mengingat apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia

meneruskan, “Bahkan kemudian ia berusaha untuk menangkap

aku. Tentu saja aku tidak mau. Maka ketika ia memaksa, aku

terpaksa melawannya.” Kemudian tiba-tiba Endang Widuri tegak

berdiri. Sambil menirukan beberapa gerak yang lincah, ia bercerita

tentang perkelahiannya. Widuri sebenarnya seorang gadis yang

memiliki ilmu tata beladiri jauh lebih dewasa dari sifat-sifatnya

yang kekanak-kanakan. Dalam persoalan tata beladiri, Widuri

telah dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang cukup

mempunyai nama cemerlang. Tetapi karena ia tidak pernah

meninggalkan padepokan, maka hampir tak seorang pun yang

mengenalnya. Ditambah lagi dengan sifatnya sebagai gadis

tanggung yang selalu dimanja oleh ayahnya. Dengan demikian

perkelahian yang baru saja terjadi itu pun baginya seolah-olah

hanya permainan yang tidak menyenangkan. Maka, katanya

mengakhiri ceritanya, “Tetapi ternyata orang itu hanya besar

kepala saja. Tenaganya tidak lebih dari seekor kelinci. Meskipun

demikian, karena aku tidak bersedia untuk berkelahi, maka aku

mengenakan kain panjang ini. Dan ketika aku lupa, dan

menyerangnya dengan kaki, kainku jadi sobek karenanya,” kata

Endang Widuri mengakhiri ceritanya. Lalu dengan bersungut-

sungut ia menunjukkan kain panjangnya yang sobek lebih dari dua

cengkang di bagian belakang.

Endang Widuri kemudian duduk kembali di samping Rara Wilis.

sedang Arya Salaka dan Rara Wilis terpaksa menggelengkan

kepala. Kemudian bertanyalah Arya Salaka, “Kau apakan

kemudian orang itu…?”

Page 29: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 95

“Ia kemudian melarikan diri, dan lenyap di dalam gerumbul-

gerumbul liar di lembah itu,” jawab Endang Widuri.

Berita itu bagi Rara Wilis dan Arya Salaka sangat penting

artinya. Karena itu kemudian Arya minta diri untuk menemui

Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang selama Mahesa Jenar

bersama-sama beberapa orang pergi ke Banyubiru, merekalah

yang diserahi pimpinan atas anak-anak Banyubiru.

“Berita itu sangat penting, Angger,” kata Mantingan setelah

dengan seksama mendengarkan cerita Arya Salaka tentang

Endang Widuri. “Bagaimana mungkin penjagaan kita yang kuat

dapat diterobos, kalau bukan oleh orang yang cukup tangguh.

Meskipun demikian aku heran juga, bahwa Endang Widuri dapat

mengalahkannya.”

Tiba-tiba Arya Salaka menjadi bangga atas pujian itu. Pujian

untuk Endang Widuri. Karena itu tanpa dikehendakinya sendiri ia

telah ikut serta memuji gadis tanggung itu.

Mantingan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantaslah

kalau ia putri Kakang Kebo Kanigara. Apalagi selama ini Endang

Widuri berada dalam lingkungan yang menguntungkan. Bersama-

sama dengan Angger, gadis itu merupakan pasangan berlatih yang

mengagumkan,” gumamnya kepada Arya Salaka.

Terasa wajah Arya Salaka menjadi panas. Maka berusahalah ia

menjawab, “Apakah Paman pernah melihat aku atau Widuri

berlatih?”

Mantingan tertawa lirih. Umurnya yang telah menjangkau lebih

dari setengah abad itu telah menjadikannya orang yang cukup

mengenal perasaan seseorang. Apalagi berhubungan dengan

pekerjaannya sebagai seorang dalang. Karena itu ia tidak

melanjutkan gurauannya. Apalagi persoalan yang dihadapinya

cukup penting. Sehingga segera ia kembali pada persoalan berita

yang dibawa oleh Endang Widuri.

Page 30: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 95

“Apakah yang sebaiknya kami lakukan?” Mantingan mencoba

untuk mendapat pertimbangan dari Wirasaba, Arya Salaka dan

Jaladri. Sesudah berpikir sejenak, berkatalah Wirasaba, “Satu hal

yang patut menjadi pertimbangan adalah, orang itu telah

mengetahui bahwa di sini ada Adi Mahesa Jenar, Kakang Kebo

Kanigara, Angger Arya Salaka, dan yang dikenalnya langsung

adalah Angger Widuri sendiri. Orang itu pasti akan mengatakan

bahwa di sini ada seorang gadis kecil yang sangat berbahaya.

Kalau gadis itu telah dapat mengalahkannya, apalagi orang-orang

yang bernama Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka.”

Mantingan mengangguk membenarkan. Padahal Kebo

Kanigara, Mahesa Jenar dan beberapa orang lain sedang berada di

perjalanan ke Banyubiru.

“Kalau demikian….” sambung Jaladri, “Tempat kita ini berada

dalam bahaya. Kalau mereka mengetahui bahwa orang-orang

yang bernama Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sedang berada di

perjalanan, mungkin sekali mereka akan mempergunakan

kesempatan itu. Mencegat mereka atau menyerang tempat ini.”

“Baiklah adi Jaladri,” sahut Mantingan. “Apakah jeleknya kalau

kita berhati-hati. Siapkan orang-orangmu dan perkuatlah

penjagaan di sekitar tempat ini. Mungkin ada sesuatu yang tidak

kita harapkan bisa terjadi.”

Jaladri segera melaksanakan tugas itu. Dipanggilnya beberapa

orang pemimpin laskar Banyubiru dan diberinya mereka petunjuk-

petunjuk. Mereka sejak saat itu harus sudah siaga tempur. Setiap

saat bahaya dapat datang.

Maka sibuklah daerah perkemahan itu dengan berbagai

persiapan. Beberapa orang menyiapkan perlengkapan-

perlengkapan, beberapa orang lagi mengasah senjata-senjata

mereka. Dengan demikian maka perkemahan itu diliputi oleh

suasana yang tegang.

Page 31: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 95

Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan, seolah-olah

tersembul dari hutan di sekitar perkemahan itu, anak-anak

Banyubiru menjadi semakin siaga. Penjagaan mereka menjadi

semakin rapat. Apalagi penjagaan atas pondok Rara Wilis dan

Widuri. Sebab mereka mengira bahwa kedua gadis itu sangat

memerlukan penjagaan. Kecuali Mantingan, Wirasaba dan Jaladri,

yang kecuali sudah mendengar berita perkelahian antara Widuri

dan orang yang mengandung rahasia itu, sebenarnya dari gerak-

gerik kedua gadis itu mereka sudah menduga bahwa mereka

bukanlah gadis seperti kebanyakan gadis-gadis yang lain.

Sementara itu orang-orang Banyubiru telah dikejutkan oleh

kedatangan sebuah rombongan kecil orang-orang berkuda. Dua

orang yang di depan mempunyai perawakan yang sedang, tegap

dan kuat. Seorang memakai baju hijau gadung, kain lurik hijau

gadung pula. Di atas kuping kanannya terselip sekuntum bunga

melati hutan. Sedang di sebelahnya, yang seorang lagi berbaju

lurik bergaris-garis tebal berwarna coklat dan berkain lurik merah

soga berikat kepala biru gelap.

Dengan wajah tengadah mereka memegangi kendali kuda-

kuda mereka, yang dengan tegap berjalan ke arah pusat kota.

Beberapa orang yang menyaksikan mereka berdua terpaksa

menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka belum pernah

mengenalnya, namun mereka seolah-olah melihat dua ekor burung

rajawali yang dengan megahnya terbang di udara. Sedang bagi

mereka yang pernah mengenalnya lima tahun yang lalu, segera

bergumam di dalam mulutnya, dengan mata terbelalak penuh

keheranan. “Bukankah yang menyelipkan bunga di telinga

kanannya itu pernah tinggal di Banyubiru beberapa tahun yang

lalu, dan bernama Mahesa Jenar…?” Tetapi segera mereka

menjadi semakin heran, ketika mereka kemudian memandang tiga

orang berkuda di belakang sepasang rajawali itu. Dan mereka

segera meneruskan gumam mereka, “Dan bukankah mereka itu Ki

Wanamerta, Penjawi dan Bantaran…?”

Page 32: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 95

Mula-mula orang-orang Banyubiru itu hanya saling

memandang di antara mereka. Tetapi ketika seorang di antara

mereka tanpa disengaja menyebut nama Mahesa Jenar agak

keras, terdengarlah mereka menjawab bersahutan, “Ya, orang

itulah Mahesa Jenar.”

“Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia datang bersama Bantaran dan

Penjawi, bahkan dengan Ki Wanamerta?” terdengar suara yang

lain.

Tak seorangpun yang menyahut. Malahan mereka tiba-tiba

menjadi bingung. Sebab Bantaran dan Penjawi bagi penduduk

Banyubiru yang tetap tinggal di kampung halaman mereka serta

tidak terlalu banyak mengerti tentang seluk-beluk tanah mereka

sendiri, merupakan tokoh-tokoh yang membingungkan. Kadang-

kadang penduduk Banyubiru itu mengharap-harap kedatangan

mereka, namun kadang-kadang mereka tiba-tiba membencinya

sebagai orang-orang yang selalu membawa bencana. Daerah-

daerah, desa-desa dan pedukuhan-pedukuhan yang disinggahi

oleh Bantaran dan Penjawi dalam saat-saat terakhir ini,

merupakan tanda tidak baik bagi penduduknya. Sebab sesaat

kemudian akan datanglah pasukan-pasukan dari Pamingit dan

Banyubiru sendiri untuk mengadu dan menangkapi beberapa

orang untuk diperiksa.

Sekarang penduduk Banyubiru itu melihat Bantaran dan

Penjawi datang bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Seorang

yang dapat disejajarkan dengan pepunden mereka, Ki Ageng

Gajah Sora. Malahan bagi orang-orang Banyubiru itu tampaklah

Mahesa Jenar seperti Ki Ageng Gajah Sora itu sendiri, yang datang

kembali ke kampung halamannya.

Tetapi sedemikian jauh, mereka hanya dapat saling berbisik di

antara mereka sendiri. Tak seorangpun di antara mereka yang

berani maju ke depan dan bertanya tentang teka-teki yang

berputar-putar didalam benaknya.

Page 33: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 95

Rombongan Mahesa Jenar itu pun merasakan, bahwa setiap

orang yang melihat kedatangan mereka menjadi heran dan

bertanya-tanya di antara mereka. Tetapi rombongan itu pun tetap

berdiam diri seperti samasekali tak ada orang yang melihat

mereka.

Demikianlah rombongan itu dengan tenangnya terus berjalan,

lewat jalan-jalan sempit di antara daerah-daerah persawahan,

menembus jalan-jalan desa dan melintasi jembatan-jembatan

bambu di atas parit-parit yang mengalirkan airnya yang jernih.

“Kakang Kanigara….” tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar

berbisik. “Adakah Kakang melihat sesuatu yang tidak sewajarnya?”

“Ya” jawab Kanigara. “Tetapi itu sudah agak jauh lewat.”

Mahesa Jenar mengangguk. Katanya, “Kalau demikian apa

yang Kakang lihat, aku lihat pula.”

Kemudian kembali mereka berdiam diri. Mahesa Jenar dan

Kebo Kanigara masih sibuk menduga-duga orang aneh yang

dijumpainya sesaat sebelum mereka memasuki tlatah Banyubiru.

Seorang berkuda, yang seolah-olah membayangi perjalanan

mereka dari punggung-punggung perbukitan. Tetapi ketika

rombongan itu memasuki daerah Banyubiru, segera orang itu

lenyap di seberang bukit.

Tiba-tiba Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta segenap orang

dalam rombongan itu terkejut, ketika mereka mendengar derap

beberapa ekor kuda yang berlari kencang ke arah mereka. Dan

belum lagi mereka mengucapkan kata-kata, dari balik tikungan di

depan mereka muncullah sebuah rombongan orang berkuda pula.

Lebih dari limabelas orang.

Mahesa Jenar mengendorkan lari kudanya, diikuti oleh kawan-

kawannya. Mereka masih belum mengetahui, apakah tujuan

orang-orang berkuda itu. Maka ketika rombongan itu menjadi

semakin dekat, dan tidak mengurangi kecepatan mereka, Mahesa

Page 34: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 95

Jenar beserta keempat kawannya segera menepi. Agaknya orang-

orang berkuda itu tergesa-gesa. Demikianlah rombongan itu

dengan cepatnya berlari melintas. Beberapa orang menoleh

kepada Mahesa Jenar, tetapi beberapa orang yang lain agaknya

tidak peduli. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara segera menutup hidung

mereka, supaya tidak dimasuki debu yang berhambur-hamburan

di belakang rombongan itu.

Tetapi ketika rombongan

itu telah melampauinya, tiba-

tiba terdengarlah sebuah aba-

aba dari antara mereka. Dan

dengan tiba-tiba pula rom-

bongan itu berhenti bersama-

sama, sehingga kuda-kuda

mereka meringkik dan berpu-

tar-putar. Kemudian beberapa

orang di antara mereka tiba-

tiba memutar kuda mereka,

dan berlari ke arah rombongan

Mahesa Jenar.

Ketika Mahesa Jenar me-

mandang Kanigara, Kanigara

pun sedang memandangnya.

Dengan kedipan mata, Kani-

gara memberi isyarat kepada Mahesa Jenar dan ketiga kawannya

yang lain. Sebab bagaimanapun juga, sesuatu yang tak diharapkan

dapat terjadi karena orang-orang itu masih belum mereka kenal

samasekali.

Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera mempersiapkan diri.

Sebagi utusan yang bermaksud menempuh penyelesaian yang

baik, mereka tak bersenjata, kecuali di punggung mereka terselip

sebilah keris sebagai suatu kelengkapan yang lazim. Karena itu,

ketika mereka melihat keadaan yang tidak menentu, segera

mereka memutar keris mereka di lambung kiri.

Page 35: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 95

Beberapa orang itu menjadi semakin dekat, dan ternyata yang

lainpun mengikuti mereka pula. Dan semakin dekat mereka itu,

Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiap pula

untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.

Seorang yang bertubuh besar berkulit hitam mengkilap dan

bermata tajam seperti mata serigala mengendarai kudanya paling

depan dan langsung mengarah kepada Kebo Kanigara. Melihat

orang itu datang kepadanya, Kanigara pun segera menyambutnya.

Mula-mula orang itu menghentikan kudanya beberapa langkah dari

Kebo Kanigara, kemudian memandangnya dengan tajam. Baru

beberapa saat kemudian ia bertanya, “Ki Sanak, siapakah kalian

ini, dan apakah keperluan kalian?”

Kanigara tidak segera menjawab. Tetapi dengan matanya ia

minta pertimbangan kepada Mahesa Jenar yang sedikit banyak

sudah mengenal daerah Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar

menggeleng kecil, tahulah Kebo kanigara, bahwa orang-orang itu

bukanlah orang-orang Banyubiru. Karena itu segera ia menjawab,

“Apakah Ki Sanak bukan orang Banyubiru?”

Orang itu mengerenyitkan keningnya. Ia tidak senang

pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. Karena itu

dengan kasar ia mengulangi pertanyaannya, “Aku bertanya

kepadamu, siapakah kalian ini?”

Kebo Kanigara tidak ingin bertengkar. Karena itu ia menjawab,

“Kalau kalian belum mengenal kami, pastilah kalian bukan orang

Banyubiru, sebab kami adalah penduduk daerah ini.”

Orang itu memandang Kebo Kanigara dengan penuh

kecurigaan. Kemudian dipandanginya Mahesa Jenar, Wanamerta,

Bantaran dan Penjawi berganti-ganti. “Benarkah kalian penduduk

Banyubiru…?” desaknya.

Wanamerta mendesak maju. Kemudian ia menyahut, “Sejak

lahir aku tinggal di daerah ini. Kau curiga…?”

Page 36: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 95

Tiba-tiba orang itu tertawa. Jawabnya, “Tidak kakek tua. Aku

percaya kalau kau orang Banyubiru. Sebab bentuk kalian

mengingatkan aku kepada bentuk-bentuk batu padas yang

berbongkah-bongkah keras dan kasar.”

Wanamerta tersinggung oleh jawaban itu. Tetapi ia didahului

oleh Kebo Kanigara yang mengenal gelagat. Katanya, “Sesudah

kalian tahu bahwa kami adalah orang-orang Banyubiru, maka kami

pun ingin mengetahui, siapakah kalian dan dari manakah kalian?”

Sekali lagi orang itu tertawa. Jawabnya, “Aku baru saja

menemui kepala daerah perdikan kalian. Tetapi orang itu ternyata

keras kepala.”

“Kau benar,” sahut Mahesa Jenar. “Orang itu memang keras

kepala. Tetapi apakah keperluan kalian?”

Tiba-tiba orang itu terdiam. Lalu ia mendorong kudanya

beberapa tapak maju mendekati Kebo Kanigara. Dengan perlahan-

lahan hampir berbisik ia bertanya, “Ki Sanak, aku lihat kalian

bukanlah orang kebanyakan. Karena itu kalian pasti sudah tahu

bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di Banyubiru.

Nah katakan kepadaku, siapakah yang menyimpan kedua keris

itu.”

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta ketiga kawannya

terkejut mendengar pertanyaan itu. Untunglah bahwa mereka

segera dapat menguasai diri, sehingga perasaan itu tidak terlalu

membekas di wajah mereka. Tetapi pertanyaan itu merupakan

penegasan dari berita-berita yang mengatakan bahwa di

Banyubiru tersebar desas-desus, yang menyatakan Kyai

Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di tempat itu.

Karena itu tiba-tiba Kanigara ingin mengetahui dengan pasti,

siapakah orang-orang itu. Demikian juga agaknya Mahesa Jenar

dan bahkan ketiga kawan-kawannya. Maka bertanyalah kemudian

Kebo Kanigara, “Dari manakah kalian mendengar berita tentang

kedua keris itu?”

Page 37: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 95

Orang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa.

“Apakah untungmu mengetahui dari mana aku mendengarnya?”

Kanigara menyahut, “Sayang, kau mimpi di siang hari. Tak ada

keris di tanah perdikan Banyubiru, kecuali kerisku sendiri serta

keris kawan-kawanku ini.”

“Jangan begitu, Ki Sanak,” potong orang itu. “Kalau kau mau

menunjukkan kepadaku, kau akan menerima hadiah cukup.”

“Apakah hadiah itu?” sela Mahesa Jenar.

“Apa saja yang kau kehendaki. Uang? Emas atau permata?”

jawab orang itu.

“Sayang kami tidak mengetahuinya,” desis Mahesa Jenar.

Pandangan orang bermata serigala itu menjadi semakin tajam.

Sekali dua kali ia menengok kepada kawan-kawannya yang berada

di belakangnya, seolah-olah ia ingin mengetahui kesiapsiagaan

mereka.

“Memang orang-orang Banyubiru keras kepala,” gumam orang

itu. “Seperti kepala daerah perdikannya.”

“Ki Sanak….” kata Kebo Kanigara kemudian, “Yang paling

mengetahui segala sesuatu di Banyubiru ini adalah Ki Ageng

Lembu Sora. Kalau kau tadi telah menemuinya, maka kenapa tidak

kau tanyakan kepadanya? Atau barangkali kalau kau sudah

menanyakannya dan dijawabnya kedua keris itu tidak berada di

Banyubiru, maka jawaban itu pastilah benar.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya semakin

menunjukkan ketidakpuasannya. Meskipun demikian ia masih

mencoba untuk menyabarkan diri dan berkata ditahan-tahan.

“Kalian tinggal memilih. Menunjukkan di mana keris itu berada dan

menerima hadiah atau tidak mau menjawab, tetapi kalian binasa.

Page 38: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 95

Kanigara masih tetap berkata dengan sabarnya, “Ki Sanak.

Apakah yang akan kami katakan tentang kedua keris itu, kalau

kami benar-benar tidak mengetahuinya?”

Orang berkulit hitam itu sekali lagi menengok kepada kawan-

kawannya dan seperti orang minta pertimbangan ia berkata,

“Apakah yang sebaiknya kami lakukan atas orang-orang ini?”

“Terserah Ki Lurah,” jawab salah seorang di antara mereka.

“Hem….” ia menarik nafas. “Ki sanak, kami merasa perlu untuk

memberi pelajaran kepada kalian, sekaligus memberi peringatan

kepada Ki Ageng Lembu Sora. Kalau ia akan tetap berkeras kepala,

nasib rakyatnya akan tidak menyenangkan. Sekali lagi aku

memberi kesempatan kepada kalian untuk menunjukkan kepada

kami di mana kedua keris itu disimpan. Menilik sikap, pakaian dan

keadaan kalian, kalian adalah orang-orang penting di Banyubiru

ini. Tetapi kalau kalian tetap tidak mau bicara, maka kalian akan

menjadi orang pertama yang akan kami jadikan korban. Kalian

akan kami bunuh dengan cara yang mengerikan. Mata kalian akan

kami copot dari batok kepala kalian. Dada kalian akan kami silang

dengan pisau dan isi perut kalian akan kami tumpahkan keluar.

Nah, bukankah itu mengerikan? Setiap hari akan kami lakukan hal

yang serupa sampai kepala daerahmu atau seseorang mau

mengatakan kepada kami, baik karena ketakutan maupun karena

ia ingin hadiah, di mana kedua keris itu berada.”

Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Apalagi

Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sebagai orang-orang Banyubiru

yang sebenarnya.

Penjawi, yang paling muda di antara mereka, adalah orang

yang berdarah paling panas. Ia segera mendesak maju.

Sebenarnya ia dapat membiarkan saja hal itu berlaku di Banyubiru.

Sebab itu adalah tanggungjawab Lembu Sora pada saat ini.

Sedang mereka sendiri pada saat itu agaknya mungkin sekali

untuk menyelamatkan diri. Tetapi sebagai seorang yang berangan-

Page 39: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 95

angan masa depan yang gemilang bagi rakyat Banyubiru, ia tidak

dapat berpangku tangan. Terbayanglah di dalam otak Penjawi,

masa yang mengerikan akan berlangsung di Banyubiru. Masa duka

yang bersusun-susun. Beban yang berat, serta usaha-usaha

penyingkiran yang dilakukan oleh Lembu Sora atas orang-orang

yang setia kepada tanah tercinta, dengan berbagai macam cara.

Bahkan kalau perlu dengan mengadakan pembunuhan. Akan

ditambah lagi dengan pameran pembunuhan oleh pihak lain. Yang

dapat dipastikan, orang-orang itu datang dari golongan hitam.

Maka berkatalah Penjawi dengan lantangnya, “Ki Sanak.

Dengan semua keteranganmu dan caramu menakut-nakuti kami,

kami dapat memastikan bahwa kalian datang dari daerah yang

kelam. Dari dunia yang penuh dengan noda-noda dan dosa-dosa.

Kalian adalah orang-orang yang kami namakan golongan hitam.

Sebab hati kalian adalah hati yang berwarna hitam. Sekarang

kalian mencoba menakut-nakuti kami, dan rakyat kami. Tetapi

kami samasekali tidak takut. Sebab kami berdiri diatas kebenaran.

Meskipun demikian kami ingin menjelaskan kepadamu sekali lagi,

bahwa sebenarnyalah keris-keris itu tidak ada pada kami. Tidak

ada di Banyubiru. Karena itulah, baik kami maupun Lembu Sora

tak akan dapat mengatakan di mana keris itu disimpan.”

Kata-kata Penjawi terpotong oleh suara tertawa yang

mengerikan. Orang yang bermata serigala itu tiba-tiba menjadi

buas. Matanya semakin lama semakin liar dan berwarna merah.

Dengan marahnya ia berteriak, “Jangan mengigau. Aku tidak

peduli apakah kau menganggap aku orang-orang hitam, merah,

hijau atau apa saja. Tetapi kalau kau tetap berkeras kepala, kami

akan melakukan rencana kami, dan mayat kalian akan kami

sebarkan ke segenap sudut Banyubiru.”

Juga Penjawi menjadi marah. Wajahnya menjadi tegang dan

berwarna darah. Bantaran dan Wanamerta kemudian segera

mempersiapkan diri. Namun dalam ketegangan itu masih

terdengar suara Kanigara tenang, “Ki Sanak. Apa yang akan kalian

lakukan kepada kami, adalah tanggungjawab kami dan kewajiban

Page 40: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 95

kami untuk melindungi diri. Tetapi agaknya kalian samasekali

belum mengenal kami. Orang-orang Banyubiru yang berjiwa

jantan. Nyawa kami telah lama kami letakkan di ujung pengabdian

kami. Karena itu sebaiknya kalian mempertimbangkannya sekali

lagi.”

Kembali terdengar orang yang berkulit hitam dan bermata

serigala itu tertawa keras-keras seperti hampir gila. Dengan

buasnya ia menjawab, “Apakah arti kejantanan orang Banyubiru

bagi kami. Selama darah kalian masih merah, serta kalian masih

belum dapat melenyapkan diri dalam satu kerdipan mata, maka

kalian adalah korban-korban kami yang menyenangkan.

Ketahuilah, bahwa kami datang dari Nusa Kambangan mengemban

tugas dengan kekuasaan penuh.”

Meskipun orang-orang Banyubiru itu sudah menduga

sebelumnya, bahwa gerombolan itu adalah gerombolan hitam,

namun hati mereka tergetar pula. Bahkan kemudian terdengar

Mahesa Jenar menyahut, “Apakah kalian anak buah Ular Laut?”

“Nah….” sahut orang itu. “Kau pasti pernah mendengar

kebesaran namanya. Dengan tangannya ia akan dapat menyapu

bersih segenap isi Banyubiru.

“Hem,” gumam Mahesa Jenar. “Agaknya pengetahuanmu

terlalu sempit. Kau belum tahu betapa dahsyatnya tangan Ki

Ageng Lembu Sora. Apakah artinya Jaka Soka baginya. Barangkali

kau juga belum mendengar tentang putranya yang bernama

Sawung Sariti.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia

menjawab dengan kasarnya, “Omong kosong semuanya.

Andaikata kau berkata benar, maka Kyai Nagapasa akan dapat

menyelesaikan dengan sangat mudahnya.”

“Kyai Nagapasa…?” ulang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

hampir bersamaan.

Page 41: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 95

Orang itu tertawa kembali. Katanya, “Kau menjadi pucat

seperti mayat mendengar nama itu.”

“Bagaimana aku menjadi pucat mendengar nama yang tidak

berarti itu. Bahkan mendengar pun aku belum pernah,” jawab

Mahesa Jenar.

“Itu pertanda kepicikan pendengaranmu.” Orang itu

menjelaskan dengan bangga. “Kyai Nagapasa adalah nama ilmu

pamungkas perguruan Nusa Kambangan. Dengan nama itu pula

kami sebut orang yang memiliki dan mengembangkan. Ia adalah

guru Jaka Soka.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya benar-

benar akan terjadi peristiwa-peristiwa yang menggemparkan. Kini

yang berhadapan bukan saja tokoh-tokoh muda dari kalangan

hitam, namun agaknya tokoh-tokoh tua, guru-guru merekalah

yang mengambil alih persoalan. Dalam sepintas, membayanglah di

dalam angan-angan Mahesa Jenar akan nama-nama Pasingsingan,

Umbaran, Sima Rodra dari Lodaya, Bugel Kaliki dari Lembah

Gunung Cerme, Sura Sarunggi yang telah kehilangan kedua

muridnya dari Rawa Pening, dan sekarang terdengar lagi sebuah

nama Kyai Nagapasa. Namun disamping itu ia menjadi puas karena

pancingannya berhasil untuk mengetahui asal orang-orang itu.

Melihat Mahesa Jenar terdiam, orang itu mengangkat dadanya.

Ia merasa bahwa orang-orang Banyubiru itu menjadi ketakutan.

Karena itu sekali lagi ia menggertak, “Nah, adakah kalian mau

berkata tentang kedua keris itu, setelah kalian mendengar nama-

nama yang berdiri di belakang kami?”

Orang yang berwajah buas, bermata serigala itu menjadi

terkejut sekali ketika ia mendengar Mahesa Jenar menjawab,

“Sampaikan salamku kepada Jaka Soka, apabila kau sempat

pulang kembali.”

Dengan mata terbelalak orang itu memandang Mahesa Jenar

seperti ingin menelannya bulat-bulat. Sikapnya yang seolah-olah

Page 42: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 95

menganggap Jaka Soka tidak lebih dari dirinya, menyebabkan

orang bermata serigala itu marah bukan kepalang. Ia menganggap

Mahesa Jenar orang yang tak tahu diri. Dengan membentak-

bentak ia berkata, “Ayo, mintalah maaf atas kelancangan mulutmu

itu. Kalau tidak, kau akan mati dengan menderita.”

“Penderitaan bagi laki-laki bukanlah hal yang sangat

menakutkan,” jawab Mahesa Jenar. Jawaban itu kembali sangat

mengagetkan anak buah Jaka Soka, sehingga dengan demikian ia

sudah tidak merasa perlu untuk berbicara lebih banyak. Dengan

lantangnya ia berkata kepada anak buahnya, “Kepung kelinci-

kelinci yang tak tahu diri ini.”

Agaknya orang-orang Nusa Kambangan itu telah benar-benar

terlatih dan berpengalaman. Sebab demikian mereka mendengar

aba itu, dalam waktu sekejap mereka telah bergerak dengan

cepatnya membentuk sebuah gelang yang melingkari Mahesa

Jenar beserta ke tempat kawan-kawannya.

Bersamaan dengan itu, ternyata Wanamerta, Bantaran dan

Penjawipun telah siap pula dengan keris ditangan kanan dan

kendali kuda ditangan kiri. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

tampak masih tenang-tenang saja. Untuk beberapa saat mereka

saling berpandangan seolah-olah mereka sedang

mempertimbangan bersama apakah yang akan mereka lakukan.

Tiba-tiba tampaklah Mahesa Jenar tersenyum. Dengan sangat

tenangnya, seolah-olah tidak terjadi apapun pada saat itu ia

berkata kepada orang yang berkulit hitam dan bermata serigala

itu. “Ki Sanak, apakah yang akan kalian lakukan?”

Melihat ketenangan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang

itu menjadi heran. Malahan kemudian ia merasakan betapa

besarnya perbawa kedua orang itu. Namun demikian, untuk

menutupi kekerdilan diri, ia berteriak lantang, :Aku akan

melaksanakan kata-kataku. Mencincang kalian dan melemparkan

ke segenap sudut Banyu Biru.”

Page 43: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 95

Mahesa Jenar tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, ”Kau salah

hitung. Kau akan melakukan pekerjaan itu di atas kampung

halamanku. Di sekitar sanak kadangku. Betapa tangguhnya kalian

semuanya ini. Namun apabila seorang di antara para petani di

sawah atau anak-anak yang sedang bermain melihat perkelahian

ini, maka dengan memukul kentongan mereka akan mengerahkan

segenap penduduk Banyubiru yang berjumlah ribuan orang, untuk

mengepung kalian, dan justru kalianlah yang akan ditangkap oleh

mereka. Meskipun demikian kalian tak usah cemas, bahwa kalian

akan mengalami siksaan, apalagi dicincang. Sebab kami,

penduduk Banyubiru mendasarkan watak kami kepada ketaatan.

Kami mengagungkan nama Tuhan Yang Maha Esa, yang akan kami

ujudkan dalam pengalaman kami dalam hidup sehari-hari.”

Perkataan Mahesa Jenar itu ternyata berkesan di hati orang

bermata serigala itu. Tampaklah wajahnya yang buas itu menjadi

tegang. Alisnya seolah-olah bertemu satu sama lain di atas

hidungnya yang besar. Dengan liarnya ia memandang jauh-jauh

ke sawah di sekitarnya, ke desa yang terdekat, dan ke segenap

sudut dan persimpangan jalan.

Pematang-pematang di sawah, pagar-pagar batu yang

mengelilingi desa-desa terdekat, gunduk-gunduk padas di tepi

jalan, tiba-tiba di mata orang itu berubah menjadi orang-orang

yang dengan cermatnya mengawasi segala gerak-geriknya.

Apalagi ketika jauh-jauh dilihatnya beberapa orang, ya… orang

yang sebenarnya sedang menggarap sawahnya. Hati orang itu

tiba-tiba menjadi kecut. Apalagi kemudian Mahesa Jenar berkata,

“Ki Sanak… jangan ganggu kami di tanah sendiri. Kalian hanya

dapat datang kemari dalam saat-saat tertentu dan dalam jumlah

tertentu. Tetapi kami berada di tempat ini di segala waktu, dan

jumlah kami tak akan terhitung olehmuu.”

Ternyata perkataan Mahesa Jenar itu merupakan sebuah

pukulan terakhir yang benar-benar tak terlawan oleh orang

bermata serigala itu. Apalagi ketika ia melihat kawan-kawannya

menjadi gelisah. Gelisah oleh kata-kata Mahesa Jenar itu. Maka

Page 44: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 95

tiba-tiba terdengarlah ia berteriak nyaring dan bersamaan dengan

itu, ia menarik kendali kudanya untuk kemudian lari secepat-

cepatnya meninggalkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta

Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang menjadi terheran-heran

melihat peristiwa itu. Melihat orang berwajah serigala itu dengan

pucat berlari sejadi-jadinya diikuti oleh seluruh anak buahnya.

Meskipun demikian, untuk kepuasan perasaan mereka, orang-

orang Nusa Kambangan itu masih menggemakan ancaman,

“Awaslah kalian orang-orang Banyubiru. Aku akan datang pada

waktunya dengan seluruh orang-orang kami.” Gema ancaman itu

memukul lereng-lereng bukit kecil yang banyak berserakan di

sekitar daerah itu dan bergulung-gulung berulang beberapa kali.

Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya tersenyum saja.

Beberapa saat kemudian terdengar suara Wanamerta

bergumam, “Angger, kenapa orang-orang itu dibiarkan saja

pergi?”.

Mahesa Jenar menoleh. Dengan tenang ia menjawab, “Kami

berada di daerah yang tak kami kenal. Kami tidak yakin bahwa

apabila kami bertempur melawan orang-orang itu, Lembu Sora

akan membenarkan sikap kami. Kalau kejadian ini dianggapnya

akan dapat membahayakan ketenteraman Banyubiru, maka ia

dapat mempergunakan persoalan ini sebagai alasan untuk

melakukan hal-hal yang tidak kami inginkan. Karena itu sebaiknya

kami menghindarkan diri dari segala peristiwa yang dapat

merugikan perjalanan kami, meskipun kami nyata-nyata tidak

memulainya.”

Wanamerta mengangguk-anggukkan kepala penuh

pengertian. Demikian juga Bantaran dan Penjawi. Perlahan-lahan

mereka menyarungkan keris-keris mereka kembali.

Kemudian rombongan itu meneruskan perjalanannya

perlahan-lahan. Tetapi dengan demikian mereka jadi tertunda

untuk beberapa waktu. Namun demikian sesuatu yang penting

telah mereka alami. Yaitu, mereka tidak lagi dapat mengabaikan

Page 45: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 95

desas-desus tentang beradanya kedua pusaka Demak di Tanah

Perdikan Banyubiru.

Semakin dekat dengan pusat kota, semakin rapatlah penduduk

tanah perdikan itu. Dan dengan demikian semakin banyak pulalah

orang-orang yang melihat kedatangan Mahesa Jenar, didampingi

oleh seorang yang belum mereka kenal, dan di belakang mereka

berdua, tampaklah Bantaran, Penjawi dan tetua tanah perdikan

itu, Wanamerta.

Beberapa orang menjadi terharu karenanya. Dengan dada

sesak, mereka melambaikan tangan mereka. Namun di antara

mereka ada pula yang mengumpat di dalam hati, dan yang

kemudian membenahi pakaian dan kekayaan mereka sambil

menggerutu, “Kalau setan-setan itu lewat, akan celakalah daerah

kami ini. Kenapa perampok-perampok itu tidak mati disambar petir

atau tertangkap pada saat mereka merampok…?”

Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada seorangpun.

Meskipun kepada anak atau adiknya. Sebab ia tahu benar, bahwa

pemuda-pemuda Banyubiru memiliki kesetiaan yang tinggi

terhadap tanah mereka, serta sedang berjuang memulihkan hak

tanah itu kepada tempat yang sewajarnya. Laki-laki maupun

wanita.

Demikianlah ketika mereka muncul di alun-alun Banyubiru,

tampaklah dari rumah kepala daerah perdikan itu, beberapa orang

berdiri berjajar di depan regol halaman. Mahesa Jenar tersenyum

melihat sambutan itu. Agaknya seseorang telah melaporkan

kedatangannya, sehingga Ki Ageng Lembu Sora dapat menyiapkan

diri, menyambut kedatangan mereka, meskipun ujud sambutan itu

sendiri masih belum diketahuinya. Karena itulah, meskipun wajah-

wajah mereka mengulum senyum segar, namun mereka tidak

meninggalkan kewaspadaan sepenuh-penuhnya.

Page 46: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 95

III

Semakin dekat mereka dengan rumah kepala daerah itu,

senyum Mahesa Jenar menjadi semakin suram. Sebab ia menjadi

semakin jelas bahwa di belakang orang-orang yang berdiri di regol

halaman, tampaklah ujung-ujung tombak yang berjajar-jajar

rapat. Dan ketika Mahesa Jenar melayangkan pandangannya ke

sudut-sudut pagar halaman di ujung alun-alun sebelah-

menyebelah, tahulah ia bahwa halaman rumah kepala daerah

perdikan Banyubiru itu dijaga rapat sekali. Beberapa orang siap

dengan senjata di tangan mereka.

Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara. Agaknya orang

itupun sedang memperhatikan keadaan dengan seksama. Lebih

seksama lagi daripada Mahesa Jenar. Sebab kecuali ia melihat

ujung-ujung senjata yang gemerlapan karena cahaya matahari,

juga karena ia samasekali belum pernah datang ke tempat itu

sebelumnya. Karena itu sebagai seorang yang sudah cukup makan

garam, maka untuk menghadapi setiap kemungkinan, ia perlu

mengetahui keadaan di mana ia sedang berada.

Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun melihat suasana itu.

Hati mereka menjadi berdebar-debar. Mereka adalah orang-orang

yang termasuk dalam catatan Lembu Sora untuk dilenyapkan.

Bahkan mereka adalah orang-orang yang pertama-tama. Dalam

pada itu, mereka menjadi ragu. Apakah kedatangan mereka itu

tidak hanya sekadar mengantarkan nyawa mereka. Dan bukankah

mereka sudah mengusulkan kepada Mahesa Jenar, bahwa cara

yang demikian itu sangatlah berbahaya.

Tetapi mereka sudah berada di depan hidung Lembu Sora.

Apapun yang akan terjadi harus mereka hadapi sebagai seorang

jantan. Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara yang masih tetap tenang, meskipun wajah-wajah mereka

menjadi bersungguh-sungguh pula.

Page 47: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 95

Rombongan itu semakin lama menjadi semakin dekat.

Beberapa orang yang berdiri di regol halaman itupun telah mulai

bergerak maju untuk menyambutnya. Dan yang paling depan dari

mereka adalah Lembu Sora sendiri dan Sawung Sariti.

Ketika mereka sudah lebih dekat lagi, segera Mahesa Jenar

menghentikan kudanya dan langsung meloncat turun diikuti oleh

kawan-kawannya. Beberapa orang anak buah Lembu Sora segera

berlari-larian menerima kuda-kuda mereka.

Berbeda dengan pada saat Mahesa Jenar berjumpa untuk

pertama kalinya dengan Lembu Sora, kali ini kepala daerah

perdikan Pamingit itu menyambutnya dengan tertawa-tawa,

meskipun sikapnya yang sombong itu masih saja memancar dari

wajahnya yang tengadah.

“Marilah, Adi Mahesa Jenar….” sambutnya. “Aku merasa

bergembira sekali mendapat kunjunganmu.”

Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab,

“Sebagai seorang yang pernah menerima kebaikan hati dari

penduduk Banyubiru, sekali-kali aku ingin menengoknya kembali.”

“Bagus-bagus….” sahut Lembu Sora. “Marilah kami persilahkan

kalian masuk dan naik ke pendapa yang memang telah kami

persiapkan untuk menyambut kedatangan kalian.”

Maka berjalanlah mereka beriring-iring naik ke pendapa yang

sudah direntangi tikar pandan yang putih bersih. Pendapa yang

lima tahun lalu pernah dikenal pula oleh Mahesa Jenar sebagai

tempat untuk duduk-duduk menghirup hawa sejuk yang mengalir

di sepanjang lereng-lereng pegunungan Telamaya. Sebagai

tempat untuk bermain-main Arya Salaka bersama-sama dengan

ayahnya, Ki Ageng Gajah Sora. Juga sebagai tempat untuk

memulai memberikan dasar-dasar ilmu tata berkelahi dan dasar-

dasar tempaan jiwa oleh Gajah Sora kepada putra tunggalnya,

Arya Salaka.

Page 48: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 95

Sekarang ia kembali berada di pendapa itu sebagai tamu.

Tamu yang membawa tugas berat dari anak Ki Ageng Gajah Sora

untuk menyampaikan permintaan yang amat penting. Yaitu

haknya kembali atas tanah perdikan ini.

Setelah mereka melingkar di atas tikar pandan itu, mulailah

Lembu Sora mengucapkan selamat atas kedatangan tamu-

tamunya itu. “Adi Mahesa Jenar, kami keluarga Banyubiru dan

Pamingit mengucapkan selamat datang kepada Adi bersama-sama

dengan rombongan, kepada kawan Adi yang belum aku kenal, dan

kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi.”

Mahesa Jenar mengangguk. Jawabnya, “Terimakasih Kakang.

Mudah-mudahan segenap keluarga Pamingit dan keluarga

Banyubiru selamat dan sejahtera. Kecuali itu perkenankanlah aku

memperkenalkan kawanku ini. Ia adalah seorang Putut dari Karang

Tumaritis, bernama Karang Jati.”

Lembu Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pernah

mendengar nama tempat itu. Karang Tumaritis.

Sebelum Lembu Sora ingat nama Karang Tumaritis, tiba-tiba

terdengar Sawung Sariti menyela, “Aku sudah pernah datang ke

tempat itu. Karang Tumaritis tempat tinggal Panembahan Ismaya.

Orang yang mengaku dirinya waskita tetapi tak sesuatu pun yang

diketahuinya.”

“Ya, kepada Panembahan itulah aku menghambakan diri,” sela

Kebo Kanigara.

Sawung Sariti memandang Kebo Kanigara dengan sikapnya

yang khusus. Seperti juga ayahnya, ia mewarisi sikap sombong.

Tetapi tiba-tiba sikapnya segera berubah. Ia melihat Kebo

Kanigara justru tidak di Karang Tumaritis, tetapi di Gedangan

ketika ia pada saat itu membawa laskarnya bersama-sama dengan

Sima Rodra, Bugel Kaliki dan laskar sepasang Uling dari Rawa

Pening. Tetapi untuk sementara ia tidak berkata apa-apa dan

berusaha untuk menghilangkan kesan perasaannya itu dari

Page 49: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 95

wajahnya. Sebab mau tidak mau, dan meskipun ia tidak sempat

menyaksikan Kebo Kanigara bertempur pada saat itu, karena ia

sendiri segera terlibat dalam perkelahian dengan Arya Salaka,

namun bahwa Bugel Kaliki, Sima Rodra tua, dan Jaka Soka dapat

diusir dan malahan Janda Sima Rodra terbunuh pula, maka mau

tidak mau kekuatan orang itu harus diperhitungkan, disamping

kesaktian Mahesa Jenar yang mengagumkan. Disusul kemudian

berita kematian sepasang Uling dari Rawa Pening.

Kemudian, setelah mereka tenang sejenak, kembali terdengar

Lembu Sora berkata kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi,

“Paman Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, sudah lama rakyat

Banyubiru merindukan kalian. Kemanakah kalian? Kemanakah

kalian pergi selama ini? Dan apakah keperluan kalian? Sebenarnya

tenaga kalian sangat kami perlukan di sini untuk membantuku

selama ini.”

Sambil mengangguk-angguk Wanamerta menjawab,

“Anakmas Lembu Sora, aku semakin lama semakin menjadi tua.

Dan apakah arti hidupku ini bagi Banyubiru, kalau tidak dapat

berbuat sesuatu untuknya. Karena itu aku mencoba untuk

menemukan putra Anakmas Gajah Sora, Arya Salaka.”

Warna merah membersit di wajah Ki Ageng Lembu Sora.

Namun segera ia berusaha untuk menenteramkan hatinya. Bahkan

kemudian ia bertanya seolah-olah ia sendiri mengharap kehadiran

anak itu. “Lalu, adakah usaha Paman Wanamerta berhasil…?”

“Pangestu Angger, aku berhasil,” jawabnya.

Lembu Sora menarik nafas panjang untuk meredakan debar

jantungnya. Kemudian ia berkata pula, “Aku tidak dapat mengerti,

bagaimana Paman Wanamerta dapat bertemu dengan anak itu.”

“Mudah saja, Anakmas,” jawab Wanamerta, “Aku pergi ke

tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh Cucu Sawung Sariti.”

Page 50: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 95

Sawung Sariti menjadi gelisah. Namun ia adalah anak yang

cerdik. Secerdik ayahnya. Maka dengan berpura-pura terkejut ia

menjawab, “Adakah Eyang Wanamerta pernah pergi ke tempat-

tempat yang pernah aku kunjungi?”

“Benar Cucu Sawung Sariti,” jawab Wanamerta.

“Dan menemukan Kakang Arya Salaka…?”

Sambil mengangguk puas, Wanamerta menjawab, “Benar

Cucu.”

Tiba-tiba Sawung Sariti menjawab sambil tertawa keras-keras.

Katanya di sela-sela derai tawanya, “Sayang, Eyang…. Seperti aku

juga mula-mula terjebak oleh suatu kecurangan yang hampir

sempurna. Seorang anak muda yang sebaya dengan aku mengaku

bernama Arya Salaka.”

Darah Wanamerta tersirat mendengar jawaban itu. Juga

Bantaran dan Penjawi. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Wajah mereka segera berubah merah dan jantung mereka

berdentam seperti guruh yang menggelegak di dalam dada

mereka. Bagaimanapun mereka mencoba menahan diri, namun

terasa juga tangan-tangan mereka menjadi gemetar karenanya.

Tetapi sebelum mereka dapat mengatur perasaan mereka,

terdengarlah suara Lembu Sora, “Adi Mahesa Jenar, aku memang

pernah mendengar tentang seorang anak muda menamakan

dirinya Arya Salaka. Tetapi aku belum pernah melihatnya. Sebagai

seorang paman, aku pasti akan mengenalnya kembali meskipun

sudah sejak kurang lebih lima tahun yang lalu tak melihatnya. Aku

sejak kanak-kanak tidak akan melupakannya. Namun perlu Adi

ketahui bahwa seorang anak muda yang bernama Arya Salaka itu

pernah diketemukan mati terbunuh. Ia kehilangan pusakanya Kyai

Bancak dan sebuah peniti yang barangkali dari emas, serta

timangnya bertetes intan.”

Page 51: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 95

Sekali lagi sebuah petir seolah-olah meledak di dalam pendapa

itu. Bahkan jauh lebih dahsyat dari cerita Sawung Sariti. Penjawi

yang paling tidak dapat menahan diri, dengan tergagap berteriak,

“Bohong, semuanya bohong…!” Lalu suara Penjawi hilang

tersumbat di kerongkongan. Seolah-olah berjejal-jejal berebut

dahulu, sehingga dengan demikian malah tak sekata pun yang

muncul seterusnya.

Mendengar kata-kata Penjawi yang terbata-bata itu, Lembu

Sora tersenyum. Senyum yang sangat menyakitkan hati. Tetapi

kemudian ia berkata dengan ramahnya, “Jangan berprasangka

yang bukan-bukan, Penjawi. Aku samasekali tak bermaksud

membohongi kalian. Tetapi sebaiknya kalian dapat

mempertimbangkan kejadian-kejadian yang pernah berlaku.

Kalian jangan membabi buta atas kesetiaan kalian kepada Arya

Salaka, sebagai ungkapan kesetiaan atas tanah yang sama-sama

kita cintai.”

Penjawi bukanlah orang yang dapat banyak bicara. Karena itu

semakin banyak yang akan diucapkan, semakin sulit kata-kata itu

keluar dari mulutnya. Demikian juga Bantaran yang hanya dapat

mengingsar-ingsar duduknya dan meraba-raba hulu kerisnya.

Wanamerta sendiri menjadi bingung. Ia samasekali tidak menduga

bahwa ia akan mendapat jawaban yang demikian. Sedangkan

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun menjadi gelisah,

mereka masih tetap pada kesadaran yang penuh. Karena itu

Mahesa Jenar masih dapat berkata las-lasan, “Kakang Lembu Sora,

apakah yang Kakang katakan itu merupakan pendapat Kakang

Lembu Sora?”

Lembu Sora mengernyitkan keningnya. Terhadap Mahesa

Jenar ia harus berhati-hati. Karena itu ia mempertimbangkan

setiap kata-katanya dengan baik. Maka setelah berfikir sejenak ia

menjawab. “Adi, aku tidak mengatakan demikian. Tetapi aku wajib

mempertimbangkan setiap keadaan, supaya aku tidak meletakkan

keputusan yang salah”.

Page 52: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 95

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa

kali. Lalu katanya meneruskan, “Baik. Kalau demikian

bagaimanakah kalau berita tentang kematian yang Kakang dengar

itu salah…?”

Lembu Sora berpikir sekali lagi. Baru ia menjawab, “Mudah-

mudahan berita yang aku dengar itu salah. Tetapi bagaimana aku

tahu kalau berita itu tidak benar?”

“Kakang akan tahu bahwa berita itu tidak benar setelah

Kakang nanti dapat bertemu dengan Arya Salaka,” sahut Mahesa

Jenar.

Lembu Sora tersenyum. Katanya, “Bagaimanakah aku dapat

percaya bahwa yang datang kemudian itu Arya Salaka?”

“Ia harus membawa tanda kebesaran Banyubiru,” jawab

Mahesa Jenar. “Dan bukankah Kakang akan dapat mengenal

kembali kemenakan Kakang itu?”

“Permainan yang bagus,” potong Sawung Sariti. “Aku pernah

bertemu dengan Paman Mahesa Jenar di Gedangan bersama-sama

dengan anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, yang

membawa tombak yang dinamainya Kyai Bancak.”

“Diam!” Tiba-tiba terdengar Bantaran membentak. Semua

orang terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan Bantaran sendiri

terkejut. Sawung Sariti samasekali tidak senang mendengar

Bantaran membentaknya. Karena itu ia menjawab tajam,

“Bantaran… kalau kau membentak aku sekali lagi, aku sobek

mulutmu.”

Tetapi kata-kata bentakan itu sudah terucapkan. Sebagai laki-

laki, Bantaran tidak mau dihinakan, meskipun ia tahu bahwa

Sawung Sariti bukanlah lawannya. Tetapi mati atas landasan

kesetiaan kepada Banyubiru adalah pengabdian yang didambanya

selama ini. Dengan demikian tiba-tiba menengadahkan dadanya

Page 53: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 95

sambil berkata, “Aku akan berbuat sekali, dua kali, sepuluh kali

lagi, sesuka hatiku.”

Hampir saja Sawung Sariti meloncat, kalau ia tidak ditahan

Lembu Sora, yang agaknya kepalanya masih cukup dingin. Namun

kata-katanya sangat menyakitkan hati. “Sawung Sariti, adakah

cukup berharga bagimu untuk menyentuh tubuhnya?”

Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin

memadamkan api yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Namun

dari matanya terpancarlah bara kemarahan yang tak terhingga.

Mahesa Jenar melihat keadaan berkembang ke arah yang tidak

diharapkan, meskipun ia tidak dapat menyalahkan Bantaran,

Wanamerta maupun Penjawi. Ia sebenarnya samasekali tidak

menduga bahwa sampai sedemikian jauh keingkaran Lembu Sora

dan Sawung Sariti terhadap kemenakannya serta sepupunya

sendiri. Terhadap kadang tuwa yang selalu bersikap baik kepada

mereka, Gajah Sora. Mahesa Jenar pernah mendengar cerita

tentang hubungan mereka. Lembu Sura dengan Gajah Sora

sebagai kakak-beradik. Ia pernah mendengar bagaimana Gajah

Sora sebagai saudara tua selalu melindungi dan membimbing

adiknya dalam berbagai soal, dan banyak mengalah dalam

berbagai hal. Namun akibatnya, kemanjaan Lembu Sora itu

menjadi berlebih-lebihan dan menelan Gajah Sora sendiri. Kalau

sekali dua kali, Gajah Sora pernah marah kepadanya, adalah

wajar. Sebagai seorang kakak yang ingin melihat adiknya tidak

berbuat kesalahan-kesalahan.

Mahesa Jenar berusaha untuk tetap memelihara suasana

pertemuan itu agar tidak bertambah kusut, meskipun dadanya

sendiri seperti hendak meledak. Maka berkatalah ia dengan

setenang-tenangnya, seolah-olah tidak terjadi ketegangan

samasekali di dalam pertemuan itu. “Kakang Lembu Sora, baiklah

kita berbicara mengenai beberapa soal yang penting. Biarlah kita

singkirkan masalah-masalah kecil yang tidak berarti.”

Page 54: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 95

Lembu Sora menelan ludahnya serta menggigit bibirnya. Ia

kagum juga kepada Mahesa Jenar yang dapat menguasai

perasaannya dengan baik. Tetapi ia sudah bertekad untuk

menganggap bahwa Arya Salaka sudah tidak ada lagi di muka bumi

ini.

Karena itu Lembu Sora menjawab, “Baiklah Adi, aku tidak

pernah menolak berbicara dengan siapa saja, selama pembicaraan

itu akan berguna. Berguna bagi Pamingit, bagi Banyubiru, dan

berguna bagi kita semua.”

“Demikianlah harapan kami,” sahut Mahesa Jenar.

“Kedatangan kami ini pun pada kepentingan Banyubiru. Bukan

kepentingan kami sendiri.”

Lembu Sora tersenyum. Dengan penuh kesadaran akan

kebesaran dirinya, ia menjawab, “Nah, katakanlah apa yang

berguna bagi Banyubiru itu?”

“Aku membawa tugas dari Angger Arya Salaka, untuk

menyampaikan baktinya kepada Kakang Lembu Sora,” sahut

Mahesa Jenar.

Lembu Sora menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan

mengerutkan keningnya ia menjawab, “Adi Mahesa Jenar, jangan

mengada-ada. Kau bagiku adalah seorang yang pantas dihormati

seperti Kakang Gajah Sora dahulu menghormatimu. Namun

demikian hormat kami pun mengenal batas. Sebagai kepala

daerah perdikan yang besar, yang terbentang dari Pamingit sampai

Banyubiru, aku harus bersikap baik, namun tegas dalam garis

kepemimpinan. Karena itu aku minta kepada Adi untuk tidak

menyebut-nyebut nama Arya Salaka, seorang yang telah tidak ada

lagi.”

Mahesa Jenar mengangkat dadanya seolah-olah ada sesuatu

yang menyilang di dalamnya. Dengan sudut matanya ia melihat

betapa wajah Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sudah menjadi

merah padam. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih berkata,

Page 55: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 95

“Bukankah Kakang Lembu Sora tidak melihat sendiri, seorang anak

muda yang disebut bernama Arya Salaka itu terbujur di tanah tak

bernafas lagi?”

Perasaan tidak senang

yang tajam terpercik di wajah

Lembu Sora. Kemudian

terdengarlah ia menjawab,

“Aku tidak sempat untuk

mengurusi masalah-masalah

tetek bengek yang tidak

berarti. Bukankah aku

mempunyai petugas-petugas

untuk keperluan itu…?”

“Kalau benar Kakang

berbuat demikian, maka

agaknya Kakang Lembu Sora

telah berbuat suatu kesalahan.

Persoalan Arya Salaka

bukanlah persoalan tetek

bengek yang tak berarti. Arya

Salaka adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang

berhak untuk menggantikan kedudukan itu apabila ayahnya

berhalangan melakukan tugasnya,” sahut Mahesa Jenar yang

sudah mulai kehilangan kesabarannya.

“Hemmm….” dengus Lembu Sora. Wajahnya pun telah mulai

semburat merah. “Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan kepada

Adi, bahwa aku tidak dapat mempercayaimu sejak perjumpaan

kita yang pertama-tama. Sejak hilangnya pusaka Kyai Nagasasra

dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.”

Dada Mahesa Jenar benar-benar seperti dihantam linggis,

mendengar kata-kata itu. Sehingga tidak sesadarnya ia

menggeretakkan giginya. Namun bagaimanapun juga dengan

susah payah ia masih menahan diri, dan berkata, “Kakang, aku

Page 56: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 95

tidak keberatan terhadap sikapmu kepadaku. Tetapi

bagaimanakah seandainya anak muda yang aku namakan Arya

Salaka itu mendapat kesaksian dari segenap penduduk daerah

perdikan ini, dan mereka menerimanya sebagai Arya Salaka yang

sebenarnya?”

Pertanyaan ini sekali lagi menggelisahkan Lembu Sora.

Sawung Sariti pun tidak tahan lagi untuk membiarkan pembicaraan

yang tak disukainya itu berlarut-larut. Maka ia pun kemudian

menyela, “Ayah, apakah gunanya pembicaraan ini kita layani?

Sebaiknya biarlah tamu-tamu kita ini kita persilakan berdiam diri.

Dengan rendah hati atau kalau perlu kita terpaksa memaksa

mereka dengan cara kita.”

Mahesa Jenar memandang Sawung Sariti dengan sudut

matanya. Sekali lagi ia merasa muak melihat wajah itu. Wajah

yang tampan dan bersih namun di belakang wajah itu tersirat

kelicikan hatinya. Tiba-tiba ia teringat kepada Jaka Soka dari Nusa

Kambangan.

“Angger….” kata Mahesa Jenar kemudian, “Biarlah kami

berbicara secara orang tua. Sebaiknya Angger bermain-main saja

di halaman, daripada mencampuri urusan ini.”

Bara yang mula-mula berkobar di dada Sawung Sariti masih

belum padam, ditambah dengan kata-kata Mahesa Jenar yang

cukup tajam itu. Maka semakin menyalalah hatinya. Tetapi

sebelum ia menjawab, Lembu Sora telah mendahuluinya, “Adi

Mahesa Jenar, aku tidak mau membicarakannya lagi. Aku sudah

memutuskan untuk menganggap Arya Salaka telah mati, dan

Kakang Gajah Sora pun telah dihukum mati di Demak, sebagai

akibat dari pengkhianatannya, meskipun aku telah berusaha untuk

mencegahnya.”

“Maaf Kakang,” potong Mahesa Jenar, “Aku datang untuk

membicarakannya. Bukan untuk sekadar menghadap yang

dipertuan di Banyubiru sekarang.”

Page 57: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 95

“Cukup…!” potong Lembu Sora, “Tidak ada yang aku

bicarakan.”

Mahesa Jenar benar-benar tersinggung karenanya, ditambah

dengan perasaan muaknya sejak bertemu dengan orang itu untuk

pertama kalinya. Karena itu ia menjawab lantang, “Kalau kau tidak

mau berbicara, aku akan berbicara dengan rakyat Banyubiru, dan

membuktikan kepada mereka bahwa Arya Salaka akan berada di

tengah-tengah mereka.”

Mendengar ancaman Mahesa Jenar itu, Lembu Sora

terperanjat. Tetapi kemudian ia pun menjadi marah dan

menjawab, “Adi Mahesa Jenar, akulah kepala daerah perdikan ini.

Akulah yang berwenang atas rakyat dan daerah ini. Tak seorang

pun aku perkenankan melanggar wewenangku. Apalagi kau. Ayah

Sora Dipayana pun tidak.”

Wanamerta mendengar kata-kata itu dengan dada yang

berdentam-dentam. Telinganya serasa tersentuh api. Maka

katanya lantang, meskipun ia langsung berhadapan dengan

bahaya yang dapat saja merenggut jiwanya, “Anakmas Lembu

Sora, akulah yang mula-mula minta kepada Anakmas untuk

mengawasi daerah perdikan ini sepeninggal Anakmas Gajah Sora.

Tetapi cerita tentang Anakmas Lembu Sora tak dapat ditutup-

tutupi lagi. Cerita tentang hilangnya Anakmas Arya Salaka, yang

untung dapat diselamatkan oleh Anakmas Mahesa Jenar. Cerita

tentang laskar yang Anakmas namakan Laskar Pamingit dan

Banyubiru yang ingin membebaskan Anakmas Gajah Sora dengan

menyerang pasukan dari Demak. Seterusnya cerita tentang

hilangnya Pandan Kuning dan Sawung Rana.”

“Cukup!” teriak Lembu Sora. “Ternyata rambutmu yang telah

memutih itu samasekali tidak mencerminkan hatimu yang putih.

Kau ingin melihat darah mengalir di Banyubiru. Kalau dengan

demikian kau akan dapat mengambil keuntungan, maka kaulah

orang yang pertama-tama aku lenyapkan sekarang ini.”

Page 58: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 95

“Tak seorang pun yang dapat melenyapkan kenyataan yang

telah terjadi. Betapapun orang berusaha menutupi kebenaran dan

menghapuskan. Namun kebenaran itu tak akan lenyap,” sanggah

Wanamerta dengan berani.

“Jangan menggurui aku,” bentak Lembu Sora. “Aku tahu, kau

sudah berusia lanjut. Tetapi jangan berlagak lebih pandai daripada

orang-orang muda. Bagiku tidak ada tempat bagi kalian di

Banyubiru.”

Dalam pada itu, Mahesa Jenar sekali lagi mencoba untuk yang

terakhir kalinya menempuh cara yang sebaik-baiknya bagi

penyelesaian Banyubiru. Katanya, “Ki Ageng Lembu Sora,

mumpung segala sesuatu belum telanjur, marilah kita tenangkan

hati kita. Berilah aku kesempatan untuk menunjukkan kemauan

kami yang sebenarnya. Bahwa tak ada artinya pertentangan

antara kita sama kita. Biarlah kita cari jalan yang sebaik-baiknya

untuk menyelesaikan masalah kita.”

“Hemm....” dengus Lembu Sora, namun matanya benar-benar

telah memancar merah bara. “Agaknya kaulah sumber dari

keributan ini. Kau telah membuat seorang anak muda

menggantikan kesempatan Arya Salaka untuk kepentinganmu.

Kau cari seorang anak muda yang mirip dengan anak itu. Kau ajari

dia menyebut aku paman dan menyebut nama ayahnya Gajah

Sora. Kau ajari dia menuntut hak atas Banyubiru.”

“Ki Ageng Lembu Sora….” potong Mahesa Jenar, “Demi

kehormatan kita masing-masing, jangan katakan yang bukan-

bukan.”

“Nah….” jawab Lembu Sora berapi-api, “Bukankah kau takut

melihat kenyataan itu? Kenyataan bahwa permainan kotormu telah

aku ketahui.”

“Kau telah benar-benar tersesat. Kalau tanggapanmu itu jujur,

maka kau benar-benar telah berdiri di atas alas yang gelap, yang

samasekali tak dipancari oleh kebijaksanaan.”

Page 59: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 95

“Cukup!” teriak Lembu Sora dengan gemetar. “Jangan

membuat aku kehilangan kesabaran.”

Mahesa Jenar adalah seorang jantan. Seorang perwira yang

tak mengenal surut. Ketika ia mendengar teriakan-teriakan dan

bentakan-bentakan itu, bagaimanapun sabarnya ia menjadi marah

pula. Karena itu ia pun kemudian menjawab lantang, “Kakang

Lembu Sora, kalau kau berbicara atas hak maka akulah yang

memegang hak sekarang ini atas Banyubiru. Aku telah menerima

wewenang langsung dari Kakang Gajah Sora sejak Kakang Gajah

Sora meninggalkan daerah ini. Akulah yang mendapat tugas

darinya untuk mengamankan Banyubiru dan putranya, Arya

Salaka. Akulah sekarang yang mempunyai kewajiban untuk

mengatur Banyubiru berdasarkan dan bersumberkan wewenang

yang diberikan oleh Kakang Gajah Sora. Karena itu jangan

mencoba membatasi usahaku memulihkan pemerintahan di

Banyubiru.”

Lembu Sora telah benar-benar kehilangan pengamatan diri.

Tiba-tiba ia berkisar maju dekat-dekat di muka Mahesa Jenar.

Sambil menuding wajahnya, Lembu Sora berkata, “Kau adalah

orang yang paling berbahaya bagi Banyubiru. Kau adalah sumber

bencana sejak hilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Aku telah menasihatkan kepada kakang Gajah Sora untuk

menangkapmu. Tetapi ia tidak mau. Dan sekarang ketika kau hadir

kembali ke daerah ini, tersebarlah desas-desus bahwa keris itu

berada di Banyubiru. Bukankah itu jelas? Jelas bahwa kau yang

telah mencuri kedua pusaka itu.”

Juga Mahesa Jenar tiba-tiba juga kehilangan pengamatan diri.

Ketika tangan Lembu Sora masih berada di depan wajahnya, tiba-

tiba dengan kerasnya ia memukulnya ke samping. Dan kemudian

dengan cepatnya, secepat getaran cahaya, ia meloncat turun dari

pendapa, dan berkata kepada Lembu Sora dengan marahnya,

“Lembu Sora… aku adalah laki-laki seperti kau.”

Page 60: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 95

Lembu Sora pun kemudian meloncat tak kalah cepatnya.

Dengan wajah yang bengis ia berdiri berhadapan dengan Mahesa

Jenar. Sementara itu Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun

segera berloncatan, dan tiba-tiba mereka sudah bersiap untuk

bertempur.

Dalam pada itu, setiap laskar Banyubiru dan Pamingit yang

berada di halaman itu segera mendesak maju. Dan dalam waktu

yang singkat mereka telah mengepung pendapa itu. Apalagi ketika

kemudian Lembu Sora berkata lantang kepada mereka, “Hai laskar

Banyubiru…. Selamatkan daerahmu dari orang-orang yang ingin

merampas milikmu. Sebab mereka masih belum melupakan,

beberapa tahun yang lalu, mereka hampir mencincang kau ketika

mereka menyadari bahwa kau telah mencuri pusaka-pusaka yang

dengan susah payah diusahakan oleh kakang Gajah Sora. Tetapi

Kakang Gajah Sora terlalu baik hati kepadamu.”

Laskar Banyubiru dan Pamingit itu pun kemudian semakin

mendesak maju. Dan tiba-tiba terdengar di antara mereka suatu

teriakan, “Bunuh…!”

Mahesa Jenar memutar tubuhnya seperempat lingkaran.

Dengan kaki renggang ia menghadapi setiap kemungkinan. Ketika

dilihatnya laskar di sekitarnya semakin mendesak maju, ia pun

berteriak kepada Lembu Sora, “Aku adalah orang terakhir yang

mendapat kepercayaan Kakang Gajah Sora.”

Lembu Sora menyahut keras, “Omong kosong!”

Tetapi Mahesa Jenar tidak memperhatikannya samasekali.

Dengan lantang ia meneruskan kata-katanya, “Kalau ada di antara

kalian laskar Banyubiru benar-benar laskar Banyubiru,

dengarkanlah kata-kataku. Kalau kalian menyerang aku, adalah

sama saja kalian menyerang Gajah Sora yang memberikan

kepercayaan kepadaku untuk mengasuh dan mengamankan

putranya, Arya Salaka. Dengan demikian kalian telah melupakan

diri kalian sendiri sebagai pengawal-pengawal setia Banyubiru.

Page 61: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 95

Siapakah yang telah bekerja sepenuh hati untuk Banyubiru…?

Siapakah yang telah membangun tempat-tempat ibadah yang

tersebar di empat penjuru Banyubiru…? Siapakah yang telah

menggali parit-parit untuk sawah-sawah kalian…? Dan siapakah

yang paling bersedih hati pada saat Banyubiru dilanda oleh arus

kejahatan dari gerombolan hitam dan menelan banyak korban,

beberapa tahun yang lalu? Dan siapakah yang telah

mempertaruhkan dirinya bagi ketenteraman rakyat Banyubiru

ketika pasukan dari demak datang ke tempat ini karena desas-

desus dan fitnah atas kebersihan hati rakyat Banyubiru, disamping

kesetiaannya kepada panji-panji Gula Kelapa yang pernah

dibelanya mati-matian. Siapa…? Dan siapakah di antara kalian

yang pada saat itu ikut serta dengan Gajah Sora, dan hampir saja

terjadi perlawanan tergadap Demak? Siapa? Dan apakah yang

kalian lakukan sekarang? Kalian telah mengingkari diri kalian dan

kesetiaan kalian atas tanah ini.”

Lembu Sora tidak mau mendengar Mahesa Jenar berkata

terus. Dengan penuh kemarahan ia berteriak, “Jangan dengarkan

orang ini mengigau di tengah hari. Dan jangan dibiarkan ia

mengelabuhi mata rakyat Banyubiru. Nah, karena orang itu tidak

mau menutup mulutnya, adalah tugas kalian untuk

menyumbatnya.”

Beberapa orang Pamingit semakin merapatkan kepungan

mereka. Tetapi beberapa laskar Banyubiru menjadi ragu-ragu.

Tiba-tiba mereka ingat jelas, seperti baru kemarin saja terjadi, Ki

Ageng Gajah Sora segelar sepapan dengan gelar perang Gajah

Meta menyongsong kedatangan pasukan Demak dalam gelar

Cakra Byuha. Jelas tergambar kembali dalam ingatan laskar

Banyubiru, ketika pasukan Demak mengubah gelarnya menjadi

gelar Garuda Nglayang. Diingat pula oleh mereka, bagaimana

Gajah Sora menjadi gemetar ketika dilihatnya panji-panji yang

berwarna gula kelapa melambai-lambai di atas ujung pasukan

Demak. Pada saat itulah mereka melihat Gajah Sora menyerahkan

Page 62: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 95

putranya, Arya Salaka, kepada orang itu. Orang yang bernama

Mahesa Jenar, yang sekarang berdiri di hadapan mereka.

Karena itulah, ketika orang-orang Pamingit bergerak maju,

mereka tetap berdiri di tempat, seolah-olah terpaku di atasnya.

Dengan demikian, tanpa dibuat terjadilah dua lingkaran pasukan

di halaman itu. Pasukan Pamingit yang semakin mendesak maju,

dan di luar lingkaran itu berdirilah dengan bimbang pasukan lembu

Sora yang semula berasal dari laskar Banyubiru, yang tidak banyak

mengerti tentang mereka

sendiri, dan tentang tanah

mereka.

Sedangkan orang-orang

Pamingit yang menjadi

semakin rapat itu pun

kemudian ragu, ketika mereka

melihat Mahesa Jenar siap

dalam siaga tempur. Di

sampingnya, berseberangan di

tiga penjuru, terlihat

Wanamerta yang tua,

Bantaran yang kokoh kuat,

dan Penjawi dengan wajah

yang tegang namun penuh

keikhlasan. Mereka memegang

keris masing-masing, siap

untuk menghadapi setiap

kemungkinan. Tetapi kemudian mereka menjadi sadar akan tugas

mereka, ketika mereka melihat Lembu Sora dengan wajah berapi-

api berdiri bertolak pinggang di dalam lingkaran itu. Apalagi ketika

kemudian Lembu Sora tidak sabar lagi, tiba-tiba dengan suara

berdesing menakutkan mencabut pedangnya. Pedang yang tidak

berukuran lumrah.

Melihat pedang itu, hati Mahesa Jenar benar-benar melonjak

didesak oleh kemarahannya. Agaknya Lembu Sora telah benar-

Page 63: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 95

benar ingin membunuhnya. Karena itu tiba-tiba ia bersiap dalam

sikap terakhir. Apabila pedang itu ternyata benar-benar terayun ke

arahnya, maka ia harus dalam waktu sesingkat-singkatnya

memukul kembali. Pukulan yang menentukan. Sebab kemudian ia

harus bertempur melawan jumlah yang besar.

Dan, apa yang ditunggunya benar-benar terjadi. Dengan suara

berdesing panjang, pedang itu terayun deras sekali menyambar

lehernya. Tetapi Mahesa Jenar telah benar-benar siap. Siap

menghadapi segala kemungkinan. Karena itu dengan lincahnya ia

merendahkan diri dan meloncat ke samping. Dalam pada itu

Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera berloncatan

merenggang untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.

Sedang ujung-ujung tombak yang rapat berjajar di sekitar mereka

telah menunduk mengarah ke dada mereka.

Mahesa Jenar pada saat itu telah benar-benar kehilangan

pengamatan diri. Ia merasa bahwa tidaklah mungkin baginya

bersama-sama dengan kawan-kawannya yang hanya berjumlah

lima orang itu bertempur melawan segenap laskar yang berada di

halaman itu, yang di antaranya ada orang-orang seperti Lembu

Sora, Sawung Sariti, bahkan mungkin akan ikut campur pula Ki

Ageng Sora Dipayana. Karena itu ketika pedang Lembu Sora

dengan derasnya menyambar di atas kepala Mahesa Jenar, segera

ia tegak di atas satu kakinya, dan hampir saja ia menyalurkan

segenap kekuatannya pada sisi telapak tangan kanannya dalam

ujud ilmunya yang luar biasa, Sasra Birawa. Beberapa orang

berloncatan mundur, sedangkan Lembu Sora sendiri menjadi

cemas. Ia tidak bisa berbuat lain daripada segera mempersiapkan

dirinya atas lambaran ilmu saktinya, Lebur Sakethi.

Tetapi tiba-tiba melontarlah sesosok tubuh memasuki

lingkaran itu. Dan dengan tenang berdiri di depan Mahesa Jenar,

menepuk kedua pundaknya dan berkata lirih, “Tenangkan hatimu,

Mahesa Jenar. Ilmumu sekarang adalah jauh lebih dahsyat

daripada lima tahun yang lalu.”

Page 64: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 95

Kata-kata itu bagi Mahesa Jenar seolah-olah setetes embun di

atas relung-relung hatinya yang membara. Apalagi ketika ia

melihat wajah orang itu, yang dengan senyum kecil

memandangnya seperti seorang kakak dengan penuh kasih

sayang. Maka tiba-tiba pandangan Mahesa Jenar jatuh di tanah di

depannya. Mahesa Jenar menjadi malu kepada diri sendiri, dan

kepada Kebo Kanigara. Orang yang telah membawanya kembali ke

alam kesadaran. Apalagi ketika Kebo Kanigara berbisik, “Bukan

demikian maksud kedatanganmu kali ini, Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar yang masih tertunduk itu berdesis perlahan-

lahan, “Maaf Kakang. Aku kehilangan kesadaranku ketika Lembu

Sora menyerangku.”

“Angkatlah wajahmu….” Kebo Kanigara meneruskan, “Dan

lihatlah siapa yang berdiri di depan Lembu Sora itu.”

Ketika Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, dan memandang

ke arah Lembu Sora, ia menjadi terkejut. Di depan orang itu telah

berdiri seorang tua, yang sudah berambut putih dan berjenggot

putih, memandangnya dengan mata sayu suram.

Tanpa disengaja Mahesa Jenar segera membungkuk hormat,

sambil berkata dengan takzimnya. “Baktiku untuk Paman Sora

Dipayana.”

Orang tua itu mengangguk pula. Jawabnya, “Salamku

untukmu, Mahesa Jenar, dan untuk kalian yang datang

bersamanya.”

Kebo Kanigara masih belum memutar tubuhnya. Ia masih

menghadap kepada Mahesa Jenar. Dengan berbisik ia bertanya,

“Nah, bukankah kau sudah mengenalnya? Apakah orang itu ayah

Lembu Sora?”

“Ya,” jawab Mahesa Jenar perlahan.

Page 65: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 95

“Aku mengaguminya. Ia pasti seorang yang sakti, menilik

geraknya yang luar biasa,” gumam Kebo Kanigara sambil

membalikkan diri, dan kemudian membungkuk hormat pula.

Dengan wajah yang masih sesuram semula, Sora Dipayana

berkata, “Aku menyesal bahwa sesuatu yang sama-sama tak kita

kehendaki telah terjadi.”

Dengan suara yang dalam, Kebo Kanigara menjawab,

“Demikian pula kami. Mudah-mudahan hal-hal yang tak

dikehendaki itu tidak terulang kembali.”

Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian

pandangan matanya berkisar kepada Penjawi, Bantaran, dan

kemudian Wanamerta. “Adi Wanamerta… apakah kau sehat-sehat

saja selama ini…?”

Wanamerta menjadi terharu mendengar sapaan Sora

Dipayana itu. Sora Dipayana baginya adalah seorang pemimpin

yang pada masa-masa menjalankan tugas menjadi

kebanggaannya. Kebanggaan seluruh daerah perdikan yang dulu

disebut Pangrantunan. Karena itu dengan hormat ia menjawab,

“Kakang, sebagaimana Kakang, agaknya aku pun selamat.

Demikian juga anak-anak Banyubiru yang pergi bersamaku.”

Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat

berkeliling, matanya menjadi bertambah suram. Ia melihat dua

lingkaran di halaman itu. Laskar Pamingit di lingkaran pertama,

dan laskar Banyubiru di lingkaran kedua. Masing-masing masih

erat memegang senjata mereka. Bagi Sora Dipayana, yang hampir

seluruh hidupnya diserahkan kepada tanah perdikan itu, melihat

peristiwa itu dengan sedih. Apa yang dilihatnya di halaman itu

adalah lambang perpecahan yang terjadi saat itu. Perpecahan

antara Pamingit dan Banyubiru. Dua daerah yang seharusnya

dapat saling mengisi dan saling memperkuat ketahanan diri dalam

segala bidang.

Page 66: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 95

Kemudian kepada lembu Sora ia berkata, “Lembu Sora,

bukankah lebih baik kalau kau persilahkan tamumu ini duduk

kembali? Dan bukankah lebih akrab kalau kau jamu tamu-tamumu

ini dengan sekadar pelepas haus, daripada kau suguhkan kepada

mereka pameran kekuatan yang tak berarti?”

Lembu Sora tidak begitu senang mendengar kata-kata

ayahnya. Tetapi ia tidak berani membantah. Karena itu ia hanya

dapat menggigit bibir, sehingga sekali lagi Sora Dipayana berkata,

“Lembu Sora, persilakan tamumu duduk kembali.”

“Baik ayah,” jawabnya singkat. Tetapi Lembu Sora masih

belum mempersilakan tamu-tamunya. Malah kemudian ada

sesuatu yang dicarinya. “Sariti… Sariti….” panggilnya.

“Ya, ayah….” jawab Sawung Sariti, masih duduk di tangga

pendapa.

“Kemarilah.”

Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi bibirnya masih

menyeringai kesakitan. Sehingga ketika Lembu Sora melihatnya,

ia menjadi terkejut. “Kenapa kau?”

Sawung Sariti tidak menjawab. Hanya matanya saja yang

membentur wajah kakeknya. Lembu Sora kemudian tergopoh-

gopoh datang kepadanya, dan sekali lagi ia bertanya, “Kenapa

kau…?”

“Kakek….” jawab Sariti singkat.

Lembu Sora menoleh kepada ayahnya. Kemudian ia bertanya,

“Kenapa dengan Sariti, ayah…?”

“Ah,” jawab Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya.

“Aku hanya mencegahnya bermain-main dengan tombak.”

Semua mata segera tertuju kepada Sawung Sariti. Ia menjadi

tidak senang, ketika seolah-olah dirinya menjadi tontonan. Tetapi

Page 67: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 95

ia tidak segera dapat berdiri dan pergi dari tempatnya. Kakinya

terasa sakit bukan main, bahkan seolah-olah tidak dapat

digerakkan samasekali. Sedang tangannya menjadi semutan dan

gemetar.

“Ayah….” kata lembu Sora dengan nada menyesal, “Apakah

Ayah akan membiarkannya demikian?”

Sora Dipayana perlahan-lahan berjalan mendekati cucunya.

dengan sareh ia berkata, “Sariti, lain kali janganlah kau berbuat

hal-hal yang berbahaya.”

Sawung Sariti hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala,

meskipun hatinya mengumpat tidak habis-habisnya. Ia hanya

dapat menyeringai dan berdesis-desis ketika kemudian Ki Ageng

Sora Dipayana mengurut punggungnya.

“Nah, masuklah,” perintahnya kemudian. “Jangan campuri

perkara orang tua-tua.”

Sawung Sariti kemudian berdiri dan terhuyung-huyung

berjalan masuk ke dalam pringgitan. Di depan pintu, sekali lagi ia

menoleh dan memandang Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,

Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, dengan penuh dendam.

Ketika anak itu sudah lenyap di balik pintu, terdengar Sora

Dipayana berkata, “Lembu Sora, apakah kau masih memerlukan

laskar sebanyak itu untuk menyambut tamumu?”

“Ayah….” jawab Lembu Sora, “Aku tidak menyiapkan laskar ini

untuk menyambut kedatangan Adi Mahesa Jenar. Tetapi semula

aku menyiapkan laskarku karena Banyubiru baru saja didatangi

oleh orang-orang dari Nusa Kambangan untuk mencari kedua

pusaka Demak yang hilang, yang katanya berada di Banyubiru ini.”

Sora Dipayana mengerutkan keningnya kembali. Jawabnya,

“Baiklah, kalau demikian kau dapat membubarkannya.”

Page 68: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 95

“Baiklah, Ayah,” jawab Lembu Sora singkat, dan kemudian

dengan tangannya ia memberi isyarat kepada pemimpin laskar

yang berada di halaman itu. Kemudian segera membubarkan

laskar Pamingit dan Banyubiru. Sebentar kemudian halaman itu

menjadi kosong, kecuali beberapa orang yang khusus bertugas

sebagai pengawal-pengawal pribadi Lembu Sora.

Sekali lagi Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta,

Bantaran dan Penjawi dipersilahkan naik ke pendapa. Tetapi kali

ini Lembu Sora sudah tidak tenang lagi duduk bersama. Karena itu

ia berkata, “Ayah, biarlah untuk sementara ayah menemani tamu-

tamu kita. Aku ingin menyelesaikan persoalan kecil dibelakang

sebentar.”

Ki Ageng Sora Dipayana menganggukkan kepalanya,

jawabnya, “Baiklah Lembu Sora, tetapi sesudah pekerjaanmu itu

selesai datanglah dan duduklah di sini bersama-sama.”

Lembu Sora tidak menjawab. Dengan langkah gontai ia

berjalan meninggalkan tamu-tamunya yang duduk bersama

dengan Ki Ageng Sora Dipayana.

Sepeninggal Lembu Sora, berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,

“Angger berdua. Sebenarnyalah kedatangan kalian sangat

mengejutkan kami dan rakyat Banyubiru. Sudah sejak bertahun-

tahun mereka melupakan nama Mahesa Jenar bersama dengan

lenyapnya nama Gajah Sora dan Arya Salaka.”

Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia

menyahut, “Adakah nama itu lenyap pula dari hati Tuan? Bukan

Mahesa Jenar, tetapi Gajah Sora dan Arya Salaka.”

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Dalam

sekali. Dan ketika Mahesa Jenar memandang wajahnya yang

suram, ia menjadi terkejut. Membayanglah di dalam sepasang

matanya yang sayu, seolah-olah mendung menyelimuti langit.

Dengan tertahan-tahan ia menjawab, “Gajah Sora adalah harapan

Page 69: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 95

bagi masa kini, sedang Arya Salaka adalah harapan masa depan.

Bagaimana aku dapat melupakan mereka?”

“Tetapi masa kini telah hilang dari tangannya,” sahut Mahesa

Jenar meneruskan. Perlahan-lahan namun jelas.

Sora Dipayana memandangi mata Mahesa Jenar dengan

cermat. Ia melihat pertanyaan yang bergulat di dalamnya. Karena

itu ia berkata, “Anakmas Mahesa Jenar, aku tidak pernah menolak

kalau ada orang meletakkan tanggungjawab di dalam tanganku.

Aku tidak pernah mengelakkan tuduhan bahwa aku seolah-olah

membiarkan keadaan berkembang seperti apa yang terjadi kini.

Tetapi aku ingin juga mengatakan, alasan-alasan apakah yang

telah menyudutkan aku ke dalam keadaan ini.”

Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak. Dengan seksama ia

mengawasi Kebo Kanigara. Dan tiba-tiba saja terlontar dari

mulutnya, “Siapakah Angger ini?”

“Aku adalah seorang Putut, Tuan. Yang menghambakan diri

pada Panembahan yang tinggal di bukit Karang Tumaritis dan

bernama Panembahan Ismaya,” jawab Kebo Kanigara.

“Sebagai seorang Putut, aku bernama Putut Karang Jati,”

lanjut Kanigara.

Sora Dipayana mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia bertanya

pula, “Adakah Anakmas bergelar lain selain nama Angger sebagai

seorang Putut?”

Kebo Kanigara ragu sejenak. Ketika ia menoleh kepada Mahesa

Jenar, Mahesa Jenar pun agaknya bimbang hati. Akhirnya kepada

orang tua itu Kebo Kanigara tidak merasa perlu untuk

menyembunyikan diri. Karena itu ia menjawab, “Tuan, aku

memang memiliki nama lain. Nama yang diberikan oleh ayah

bunda pada saat aku dilahirkan nama itu adalah Kebo Kanigara.”

Mendengar nama itu Ki Ageng Sora Dipayana menegakkan

kepalanya. Ia lupa-lupa ingat akan nama itu. Namun

Page 70: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 95

bagaimanapun juga orang yang bernama Kebo Kanigara itu sangat

menganggumkannya. Ia melihat ketika orang yang bernama Kebo

Kanigara itu menepuk pundak Mahesa Jenar untuk

menenangkannya. Ia melihat betapa Mahesa Jenar tidak berani

memandang wajah orang itu. Karena itu, orang yang bernama

Kebo Kanigara itu pasti mempunyai pengaruh yang kuat atas

Mahesa Jenar. Apalagi menilik sikapnya yang tenang penuh

kepercayaan kepada diri sendiri, telah menyatakan betapa ia

memiliki ilmu yang kuat dan meyakinkan pula. Kalau Kebo

Kanigara itu seorang Putut yang bernama Karang Jati, dan

memiliki ilmu yang cukup meyakinkan, bagaimanakah agaknya

Panembahan yang bernama Ismaya itu? Dan apakah hubungannya

dengan Mahesa Jenar, sehingga ia datang bersamanya? Tetapi

Sora Dipayana merasa kurang pada tempatnya untuk

menanyakannya.

Sementara itu Kebo Kanigara pun sedang memperhatikan Ki

Ageng Sora Dipayana dengan seksama. Ia pernah mendengar

nama itu dari ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan ia pernah

mendengar pula bahwa Ki Ageng Sora Dipayana itu adalah sahabat

ayahnya dan memiliki ilmu yang setingkat. Agaknya apa yang

dikatakan oleh ayahnya itu tidak berlebih-lebihan. Ia melihat

dengan mata kepala sendiri apa yang baru saja terjadi. Ketika

Sawung Sariti dengan diam-diam bersiap untuk melontarkan

tombak ke punggung Mahesa Jenar, Kebo Kanigara telah bersiap

untuk mencegahnya. Tetapi tiba-tiba ia melihat Sora Dipayana itu

seperti melayang terbang ke arah anak muda itu. Dengan satu

sentuhan di punggungnya, Sawung Sariti tiba-tiba gemetar dan

jatuh terduduk di tangga tanpa dapat berdiri lagi.

Kemudian seperti berjanji, mereka masing-masing meloncat

masuk kedalam lingkaran laskar Pamingit untuk mencegah

terjadinya pertumpahan darah. Kebo Kanigara berusaha untuk

menenangkan Mahesa Jenar, sedang Sora Dipayana mencegah

Lembu Sora untuk berbuat lebih banyak lagi.

Page 71: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 95

Setelah mereka berdiam diri sejenak, mulailah Sora Dipayana

melanjutkan kata-katanya, “Angger berdua, Wanamerta, Bantaran

dan Penjawi. Anggaplah bahwa sebuah dongeng yang akan saya

utarakan nanti sebagai suatu usaha untuk meringankan

perasaanku dari himpitan tanggungjawab yang hampir tak dapat

aku laksanakan. Atau barangkali dapat kalian artikan sebagai

suatu usaha untuk meringankan kesalahan-kesalahan yang pernah

aku lakukan.” Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak,

kemudian ia melanjutkan, “Pada saat itu, aku baru saja datang

kembali dari perjalananku mencari jejak kedua pusaka Demak

yang hilang kembali, setelah diketemukan oleh Gajah Sora dan

Mahesa Jenar bersama-sama. Aku datang kembali ke Banyubiru

tanpa membawa kedua keris itu. Apalagi membawanya kembali,

jejaknya pun tak dapat aku ketahui. Yang aku ketemukan di

Banyubiru pada saat itu, adalah pemerintahan tanah perdikan ini

telah beralih ke tangan Lembu Sora. Dari dia aku mendengar cerita

tentang apa saja yang telah terjadi di tanah perdikan ini.

Dari Lembu Sora aku mendengar bahwa Gajah Sora dihukum mati

oleh Sultan Demak karena pengkhianatannya. Dan darinya pula

aku mendengar bahwa Arya Salaka telah diketemukan terbunuh

dan kehilangan tombak pusakanya, Kyai Bancak.”

“Tidak benar,” potong Mahesa Jenar.

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk. Katanya,”Aku

tidak percaya cerita itu sejak aku mendengarnya. Tetapi apakah

yang aku hadapi seterusnya di sini ? Di tanah perdikan ini ? Lembu

Sora adalah anakku pula. Anak terkasih dari ibunya. Sedang

kepada ibunya aku tidak dapat melupakan duka derita yang

disandangnya pada saat itu. Duka derita sebagai ungkapan

kesetiaan seorang istri yang baik, pada saat aku sedang bekerja

mati-matian membangun tanah perdikan ini, yang semula

bernama Pangrantunan. Dan pada saat itulah Lembu Sora

dilahirkan. Dengan Lembu Sora didalam embanan, ibunya

membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan kami. Kadang-

kadang Lembu Sora itu dibawanya menuai padi diterik panas

Page 72: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 95

matahari, menumbuk dan kemudian menanaknya sekali. Sedang

Gajah Sora pada saat itu telah dapat berjalan mengikutinya

kemana ia pergi, menggandengnya disepanjang pematang dan di

jalan-jalan yang samasekali belum berujud jalan seperti sekarang

ini.”

Sora Dipayana berhenti sesaat. Pandangan matanya terlempar

jauh, seolah-olah menerawang kembali kepada masa-masa silam.

Masa-masa pahit yang pernah dialami. Setelah orang tua itu

menelan ludahnya, maka mulailah ia meneruskan ceritanya,

“Rupa-rupanya Tuhan berkenan kepada usahaku itu, sehingga

beberapa tahun kemudian terwujudlah padepokan yang kemudian

berkembang menjadi semakin ramai dan subur. Aku menjadi

bangga ketika kemudian tanah ini dikuatkan dengan suatu piagam

menjadi tanah perdikan. Tanah perdikan yang semakin lama

menjadi semakin berkembang. Bersamaan dengan itu semakin

berkembang pulalah perasaan iba dan kasih istriku kepada Lembu

Sora. Ia selalu ingat kepada saat-saat bayi itu mengalami masa-

masa pahit. Namun akibatnya adalah sifat-sifat manja pada anak

itu. Bahkan kemudian sifat itu semakin menjadi-jadi.. Dan

kesalahan itu barangkali yang telah menjerumuskannya kedalam

keadaannya sekarang ini. Keadaan yang samasekali tidak dapat

dibenarkan.” Sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana berhenti, seolah-

olah ia menjadi sangat lelah. Beberapa kaliia menarik napas

dalam-dalam. Kedua tangannya ditekankan ke lantai yang

dilambari tikar pandan,seolah-olah dengan demikian ia ingin

mencari kekuatan untuk menahan berat badannya yang

tidakseberapa besar itu. Beberapa saat kemudian ia mulai lagi

dengan ceritanya, “Meskipun kemudian aku sadar bahwa akuharus

berdiri diatas kebenaran dan keadilan, namun aku bermaksud

untuk berlaku bijaksana. Aku ingin menyelesaikan masalahnya

tanpa mengorbankan salah satu di antaranya. Karena itulah maka

diam-diam aku pergi ke Demak untuk membuktikan ketidak

benaran cerita Lembu Sora. Tetapi aku terbentur pada suatu

kenyataan, bahwa Gajah Sora ternyata terlibat dalam suatu

keadaan yang sulit. Ia dapat dilepaskan apabila kesalahannya

Page 73: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 95

nyata-nyata tidak terbukti, apabila Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk

Inten telah dapat diketemukan, dan ternyata benar-benar tidak

disembunyikannya.” Kemudian dengan nada yang rendah dan

sedih, Ki Ageng Sora Dipayana bergumam, “Lalu berapa tahunkah

kedua keris itu dapat ditemukan ?” Mata orang tua itu menjadi

sayu. Dan nada kata-katanya menjadi sangat rendah. “Apalagi

umurku menjadi semakin tua. Berapa tahun lagi aku masih

diperkenankan oleh Yang Maha Esa untuk dapat menikmati

segarnya angin pegunungan Telamaya ini ? Apakah yang terjadi

seandainya aku harus meninggalkan tanah ini menghadap Tuhan

Yang Maha Esa, sedang Gajah Sora masih belum kembali ? Sedang

Arya Salaka kemudian lenyap tanpa bekas, seolah-olah ia telah

benar-benar mati terbunuh ?

Itulah sebabnya kenapa aku tidak mempunyai pilihan lain

daripada untuk sementara mempergunakan tenaga yang ada

untuk kepentingan tanah ini. Aku sadar bahwa dari berbagai

penjuru dapat datang bahaya. Gerombolan kalangan hitam yang

liar dari Gunung Tidar, Rawa Pening dan Alas Mentaok. Bahkan

ternyata dari Nusa Kambangan pun bahaya itu dapat datang setiap

saat.” Ki Ageng Sora Dipayana mengakhiri ceritanya dengan suatu

tarikan napas kecewa. Ia melihat masa depan yang suram bagi

tanah perdikannya yang dibangunnya dengan cucuran keringat.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan

Penjawi pun merasakan apa yang bergetar di dalam orang tua itu.

Mereka ikut serta dihadapkan pada persimpangan jalan yang tidak

dikenalnya. Jalan manakah yang harus dipilihnya. Ki Ageng Sora

Dipayana tidak dapat membiarkan tanah perdikannya ditelan oleh

kekuatan hitam yang ada disekitarnya. Sedang yang ada padanya

pada saat itu tidak ada lain, kecuali Ki Ageng Lembu Sora dan

Sawung Sariti. Maka orang tua itu tidak dapat berbuat lain

daripada membentengi Pamingit dan Banyubiru dengan menempa

Lembu Sora dan Sawung Sariti.

Untuk sesaat pendapa Banyubiru itu menjadi sepi. Masing-

masing berdiam diri dan membiarkan angan angan mereka

Page 74: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 95

merayapi daerah yang tak mereka kenal. Ki Ageng Sora Dipayana

masih saja memandangi titik-titik di kejauhan. Menembus alam

kasat mata dan hinggap ke dalam alam yang hanya dapat

dicitakan. Banyubiru yang gemah ripah loh jinawi. Jauh dari sifat

cecengilan dan fitnah. Jauh dari keirihatian dan ketamakan.

“Adakah kita akan sampai ke sana…?” Tiba-tiba terdengar Sora

Dipayana bergumam.

Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan orang-orang lain yang

mendengarnya menjadi terkejut. Bahkan Sora Dipayana sendiri

seolah-olah menjadi tersadar oleh kata-katanya sendiri.

“Sampai ke mana Ki Ageng?” tanya Wanamerta.

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas panjang. Lalu ia melipat

tangannya di dadanya. Tetapi ia harus menjawab pertanyaan

Wanamerta itu. Maka katanya, “Wanamerta… kau adalah orang

tertua yang pernah ikut serta membanting tulang, membina tanah

ini. Bahkan sejak tanah ini masih bernama Pangrantunan. Seperti

aku, agaknya kau mencita-citakan tanah ini menjadi tanah yang

subur. Wadah dari masyarakat yang sejahtera lahir dan batin.

Tetapi kau agaknya lebih beruntung daripadaku. Pada saat saat

seperti sekarang ini kau berhasil menarik garis tegas.”

Wanamerta merasa, seolah-olah Ki Ageng Sora Dipayana

sedang menyesali dirinya. Menyesali keadaan yang

menghadapkannya kepada persoalan yang serba salah. Maju tatu,

mundur ajur. Karena itu maka ia berusaha untuk memperingan

beban orang tua itu. Katanya. “Ki Ageng, kalau dalam wawasan Ki

Ageng aku dapat menarik garis tegas pada keadaan seperti

sekarang ini, adalah karena aku mempunyai kesempatan yang

lebih banyak. Aku dapat menilai Anakmas Gajah Sora dan

Anakmas Lembu Sora dalam keadaan yang wajar, karena aku tidak

tersangkut pada persoalan-persoalan yang ali-temali seperti

Kakang Sora Dipayana.”

Page 75: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 95

“Kau benar Wanamerta,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Kau

lebih beruntung lagi, karena kau berhasil menemukan Arya

Salaka.”

“Itu adalah karena doa dan pangestu Kakang,” sahut

Wanamerta.

Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana menoleh kepada Mahesa

Jenar dan berkata

kepadanya, “Mahesa Jenar, adakah Arya Salaka itu sehat-sehat

saja?”

Mahesa Jenar mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baik Ki

Ageng. Arya Salaka sekarang dalam keadaan segar bugar. Ia

menyampaikan baktinya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”

“Hem….” Sora Dipayana bergumam. “Ia pasti segagah

ayahnya. Lima tahun yang lalu ia telah jauh lebih gagah dari

kawan-kawan sebayanya. Apalagi sekarang.”

“Ia mirip benar dengan ayahnya, Paman.” Mahesa Jenar

menyambung.

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum puas. Tetapi hanya sesaat,

sebab kemudian ia teringat kembali pada keadaan yang dihadapi

kini. Di dalam rumah itu ada Sawung Sariti yang mewarisi sifat-

sifat ayahnya. Meskipun demikian ia tidak mau membiarkan

keadaan berkembang berlarut-larut kearah yang tak dikehendaki.

Karena itu ia harus berbuat sesuatu. Menempatkan kembali segala

sesuatunya pada tempat masing-masing. Karena itu ia berkata,

“Mahesa Jenar, bawalah Arya Salaka kemari.”

Mendengar kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu, Mahesa

Jenar beserta segenap kawan-kawannya menjadi bergembira.

Wajah-wajah mereka menjadi cerah dan bercahaya. Tetapi ketika

mereka sadar bahwa kekuasaan Banyubiru pada saat itu seolah-

olah berada sepenuhnya di tangan Lembu Sora, mereka menjadi

Page 76: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 95

ragu. Dan tanpa mereka sadari mereka segera memandang kearah

pintu dimana Lembu Sora tadi masuk.

Sora Dipayana ternyata menangkap perasaan mereka.

Perasaan yang sebenarnya berkecamuk juga di dalam rongga

dadanya. Tetapi ia berpendapat bahwa keadaan di Banyubiru harus

segera mendapat bentuk yang tegas. Apabila keadaan dibiarkan

seperti saat itu maka kehidupan rakyatnya pun jadi mengambang

tanpa pegangan. Mereka menjadi ragu-ragu untuk berbuat

banyak, sebab mereka selalu dibebani oleh perasaan takut dan

was-was. Mereka selalu dihadapkan pada keadaan yang tidak

tetap, ang setiap waktu dapat berubah-ubah tanpa ketentuan.

Karena pendapat itulah maka kemudian Ki Ageng Sora

Dipayana berkata, “Mahesa Jenar, aku kira kau sedang

mempertimbangkan apakah yang akan terjadi apabila Arya Salaka

kau bawa kemari?”

Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab, “Benar Paman.

Memang aku menjadi bimbang akan nasib anak itu kelak.”

“Sebenarnya aku pun bimbang. Tetapi aku menghendaki agar

keadaan seperti sekarang ini segera berakhir. Karena itu aku akan

mencoba agar segala sesuatu akan menjadi jelas dalam waktu

yang dekat. Mudah-mudahan aku masih mempunyai pengaruh

yang cukup atas anakku sendiri.” Jelas terasa dalam nada kata-

katanya. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar sedang dihadapkan

pada suatu persoalan yang sulit.

Mahesa Jenar akhirnya merasa bahwa pertemuan itu sudah

cukup baginya. Ia sudah mendapat gambaran yang cukup jelas

tentang keadaan di Banyubiru, yang sudah cukup pula

dipergunakannya sebagai bekal untuk menentukan langkah-

langkah seterusnya. Karena itu segera ia mohon diri untuk kembali

ke daerah Candi Gedong Sanga. Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana

menahannya untuk beberapa saat karena ia masih ingin menjamu

tamu-tamunya dengan sekadar minuman dan makanan.

Page 77: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 95

“Sebentar lagi hari akan malam, Paman, sebaiknya kami

berangkat sekarang.” Mahesa Jenar mencoba untuk memaksa

kembali. Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana menjawab, “Apakah

bedanya siang dan malam bagimu Anakmas Mahesa Jenar? Apalagi

kau berjalan bersama dengan Angger Kebo Kanigara, selain masih

ada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi. Tak ada sesuatu yang

akan dapat menghalangi perjalananmu.”

Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu. Sambil

mengangguk ia menjawab, “Itu terlalu berlebihan, Paman. Kecuali

apabila Paman Sora Dipayana mengantarkan kami.”

“Tetapi kemudian kau harus mengantar aku kembali Mahesa

Jenar,” sahut Sora Dipayana, “Dengan demikian semalam suntuk

kita akan saling mengantar”. Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora

Dipayana tersenyum mendengar kelakar itu, bahkan juga orang-

orang lain yang mendengarnya, meskipun di dalam dada mereka

masih tersimpan beberapa soal yang sukar dipecahkan.

Demikianlah, akhirnya mereka terpaksa menunggu sampai

hidangan disajikan. Minum dan makan. Meskipun mereka duduk

bersama menikmati hidangan itu dengan Lembu Sora dan Sawung

Sariti, namun tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka

menjadi kaku dan tegang, sehingga tidak banyak makanan yang

dapat mereka makan, serta minuman yang dapat mereka minum.

Setelah selesai mereka menikmati jamuan itu, serta setelah

mereka beristirahat sejenak, maka sekali lagi Mahesa Jenar

memohon diri untuk kembali ke perkemahan anak-anak

Banyubiru. Kali ini Ki Ageng Sora Dipayana tidak menahannya lagi.

Dilepaskannya Mahesa Jenar beserta rombongannya sampai ke

halaman untuk seterusnya meninggalkan rumah kepala daerah

perdikan Banyubiru itu.

Ketika rombongan kecil itu telah lenyap dibalik regol, serta

derap langkah kudanya tidak terdengar lagi, berkatalah Lembu

Page 78: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 95

Sora menyesali ayahnya, “Ayah, kenapa ayah menyuruh orang itu

membawa anak yang menamakan diri Arya Salaka itu kemari?”

“Apakah keberatanmu Lembu Sora?” tanya ayahnya pula.

“Apakah ayah dapat menerimanya sebagai Arya Salaka yang

sebenarnya? Dan apakah ayah masih mau memberi kepercayaan

kepada orang yang bernama Mahesa Jenar itu?” desak Lembu Sora

beruntun.

“Lembu Sora,” jawab ayahnya. “Biarlah kita buktikan bersama.

Dengan demikian kita akan dapat mengetahui dan membuktikan

bahwa orang yang bernama Mahesa Jenar ini memiliki sifat-sifat

pengecut dan jahat, apabila anak muda yang dinamakan Arya

Salaka itu benar-benar bukan cucuku. Tetapi sebaliknya, apabila

anak muda itu benar-benar Arya Salaka, maka orang yang

mengabarkan kepadamu bahwa Arya Salaka telah terbunuh,

ternyata ia keliru, atau orang itu memang belum mengenal cucuku

dengan baik.”

Mendengar kata-kata ayahnya, yang kedengarannya tegak di

tengah-tengah itu, Lembu Sora mengatupkan giginya. Ia

samasekali tidak senang mendengar keputusan ayahnya

mengundang Arya Salaka datang ke Banyubiru. Karena itu, ia

harus berusaha untuk mencegahnya. Tetapi ia tidak berani

mengemukakan keberatannya itu kepada ayahnya.

Ketika Lembu Sora kemudian pergi meninggalkan ayahnya,

dan menengok ke alun-alun di hadapan rumah itu, ia masih

melihat debu berserakan yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda

Mahesa Jenar beserta rombongannya. Tetapi kuda-kuda itu sendiri

sudah tidak begitu jelas kelihatan. Dari kejauhan, bayangan yang

kelam seolah-olah datang menerkam daerah perdikan itu dengan

perlahan-lahan. Sedang di ufuk barat, matahari yang kelelahan

telah membenamkan dirinya dibalik punggung-punggung bukit.

Sinarnya yang lamat-lamat untuk sesaat masih tersangkut di

awan-awan yang mengalir lambat-lambat menyapu wajah langit

Page 79: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 95

yang berwarna biru tua. Tiba-tiba sesaat kemudian

bermunculanlah bintang-bintang yang gemerlapan menggantung

di awang-awang.

Sekali dua kali Mahesa Jenar memandang ke arah langit.

Bintang-bintang yang semakin padat sangat mengagumkannya. Ia

kagum kepada kebesaran alam, kepada benda-benda yang

bertebaran di angkasa, kepada tata alam yang sempurna. Tetapi

kekagumannya kepada alam, kepada benda-benda yang berkilat-

kilat di angkasa itu akhirnya terdampar pada sumbernya. Yaitu

kekagumannya kepada Yang Maha Sempurna, yang telah

menjadikan semuanya ini. Tuhan Yang Maha Esa.

Demikianlah setiap kali hatinya tergetar oleh kekagumannya

itu, setiap kali pula ia merasa semakin dekat pada-Nya. Dan setiap

kali ia merasa bahwa ia harus meningkatkan kebaktian kepada-

Nya, serta pengabdian kepada titah terkasihnya, yaitu manusia.

Pengabdian yang bukan sekadar damba kasih dalam kidung-

kidung atau kakawin-kakawin, tetapi pengabdian yang benar-

benar diamalkan, dicerminkan dalam tindak-tanduk dan cara hidup

sehari-hari.

IV

Demikianlah di dalam perjalanan itu hampir tak terdengar

mereka bercakap-cakap. Masing-masing berdiam diri, kecuali

memperhatikan jalan-jalan di hadapan mereka, agaknya mereka

masih juga sibuk menilai peristiwa yang baru saja terjadi dan yang

kira-kira akan terjadi.

Seperti juga ketika mereka datang di Banyubiru, pada saat itu yang

berjalan di depan adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, sedang

di belakangnya Wanamerta dan seterusnya Bantaran dan Penjawi.

Dalam keheningan malam yang menjadi semakin dalam,

hanya derak-derak batu-batu padas yang tersentuh kaki-kaki kuda

itu sajalah yang terdengar disamping suara-suara belalang di

kejauhan.

Page 80: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 95

Di langit, kelelawar menari-nari dengan lincahnya, seolah-olah tak

ada mahluk lain yang berani mengganggunya, sebab malam hari

itu adalah milik mereka.

Ketika Mahesa Jenar beserta rombongannya sedang

menempuh perjalanan itu di perkemahan anak-anak Banyubiru, di

sekitar Candi Gedong Sanga tampaklah persiapan-persiapan dan

penjagaan-penjagaan yang lebih ketat daripada biasanya. Apa

yang diceritakan Endang Widuri merupakan pertanda bahaya yang

mengancam. Meskipun mereka belum yakin dari manakah bahaya

itu datang.

Mantingan, Wirasaba dan Jaladri samasekali tidak berani

meninggalkan gardu pimpinan. Sebab mereka menduga bahwa

setiap saat mereka akan dikejutkan oleh peristiwa yang tak

mereka kehendaki. Ketika itu Arya Salaka pun merasa tidak tenang

berbaring di dalam pondoknya. Perasaannya selalu saja

mengganggu. Karena itu kemudian ia bangkit berdiri dan berjalan

keluar. Di luar, ia berpapasan dengan beberapa orang penjaga

yang menyapanya dengan hormat. “Angger, kemanakah Angger

akan pergi?”

“Aku hanya ingin berjalan-jalan saja, Paman. Udara terlalu

panas, dan aku masih belum berhasrat untuk tidur,” jawab Arya.

“Tetapi hati-hatilah Angger.” Orang itu melanjutkan, “Jangan

meninggalkan lingkaran perkemahan ini.”

“Baik Paman,” jawab Arya Salaka.

Setelah orang itu menjauhinya, terdengar ia bergumam,

“Agaknya orang itupun mendapat firasat yang kurang baik.”

Sejalan dengan itu, tiba-tiba ia teringat kepada Widuri yang

tinggal bersama Rara Wilis dan Nyi Penjawi. Mula-mula ia menjadi

cemas bahwa orang yang dikalahkan oleh gadis itu

mendendamnya dan berusaha untuk membalasnya. Namun

kemudian hatinya menjadi tenteram ketika ia sadar bahwa Widuri

Page 81: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 95

bukan anak-anak yang masih perlu mendapat perlindungan

khusus. Tingkat ilmunya adalah jauh lebih tinggi dari setiap orang

yang berada di luar pondok yang mencoba melindunginya. Apalagi

dalam pondok itu berada pula Rara Wilis. Meskipun demikian Arya

Salaka berhenti sejenak untuk mengawasi pondok itu. Pondok

dimana tinggal di dalamnya Endang Widuri. Tetapi pondok itu

nampaknya sepi saja, seolah-olah ikut tertidur dengan para

penghuninya. Sedang di sekitar pondok itu ia melihat tiga orang

berjaga-jaga. Ia menjadi lega. Kemudian Arya melangkah kembali

menikmati udara malam yang sejuk. Sekali dua kali ia memandang

ke arah langit. Bintang-bintang yang semakin padat sangat

mengagumkannya. Ia, seperti juga gurunya, pada saat yang

bersamaan itu, kagum kepada kebesaran alam, kepada benda-

benda yang bertebaran di angkasa, kepada tata alam yang

sempurna. Juga seperti gurunya yang sedang menuju ke

perkemahan itu, kekagumannya kepada alam, kepada benda-

benda yang berkilat-kilat di angkasa itu akhirnya terdampar

kepada sumbernya, yaitu kekagumannya kepada Yang Maha

Sempurna, yang telah menjadikan semuanya ini.

Dalam keadaan yang demikian, seolah-olah terngiang kembali

segala nasehat dan petuah-petuah dari gurunya. Seakan-akan

mendengung di dalam rongga telinganya kata-kata Mahesa Jenar.

“Arya, yang penting dari setiap usahamu, adalah usaha-usaha dan

perbuatan-perbuatan yang dapat banyak berarti bagi rakyatmu

kelak, untuk mendatangkan kebahagiaan lahir dan batin. Tetapi

yang lebih penting lagi adalah pertanggungjawabanmu sebagai

seorang pemimpin yang akan dituntut kelak, apabila kau

menghadap kembali kepada Yang Maha Esa. Karena itulah maka

perbuatan-perbuatanmu sekarang harus dapat dinilai dari dua

segi. Pengabdianmu pada sesama dan kebaktianmu kepada

Tuhan.”

Sambil berangan-angan, tanpa disadari Arya Salaka telah

berjalan sampai ke batas perkemahan. Ia masih melihat seorang

penjaga berdiri tegak di tengah jalan, sedang di pinggir jalan itu

Page 82: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 95

duduk tiga orang yang lain. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk

ikut serta duduk bersama mereka. Karenaitu perlahan-lahan ia

mendatanginya.

Ketiga orang-orang itu

melihat seseorang mengham-

pirinya, hampir serentak mere-

ka menyapa lirih, “Siapa?”

“Arya,” jawab Arya Salaka.

“O….” terdengar salah seo-

rang dari mereka itu. “Akan

kemanakah Angger?”

“Aku ingin duduk bersama-

sama dengan Paman di sini,”

jawab Arya.

“Ah,” sahut orang itu. “Di

sini banyak nyamuk. Tidakkah

Angger perlu beristirahat?”

“Aku belum ingin tidur,

Paman,” jawab Arya pula, dan yang kemudian duduk di samping

ketiga orang itu.

Ketika orang itu mengingsar duduknya, sedang orang yang

tegak di tengah jalan itu menoleh pula kepadanya.

“Tidakkah Angger lebih enak duduk di gardu pimpinan

bersama-sama Adi Mantingan?” tanya yang berdiri itu.

“Nanti aku akan ke sana juga,” jawab Arya.

Orang-orang itu tidak bertanya lagi. Tetapi mereka merasa

bertambah beban. Karena mereka belum kenal kepada anak itu

setelah beberapa tahun terpisah. Mereka merasa bahwa Arya

Salaka itu masih saja seperti dahulu. Masih harus mendapat

Page 83: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 95

perlindungan dan perawatan. Karena itu maka seorang dari ketiga

orang yang duduk itu kemudian tegak pula dan berjalan-jalan hilir-

mudik. Sedang kedua orang yang lain, meskipun tidak berkata

apa-apa, tetapi mereka mengingsar duduknya, sehingga seorang

di sebelah kiri dan seorang lagi di sebelah kanan Arya. Arya

tersenyum di dalam hati, tetapi ia juga bangga atas anak buahnya

yang sangat hati-hati itu. Disamping itu, ia merasa bahwa agaknya

Mantingan menganggap bahwa keadaan perkemahan itu benar-

benar dalam bahaya.

Ketika Arya telah duduk di antara kedua orang itu, mulailah ia

bertanya-tanya tentang beberapa hal. Tentang Banyubiru

sepeninggalnya. Tentang pamannya Lembu Sora. Bahkan tentang

pohon jambu di halaman yang dahulu ditanamnya.

“Pohon jambu itu luar biasa lebatnya,” jawab orang yang

duduk di sebelah kirinya.

Arya Salaka kemudian mencoba membayangkan pohon itu.

Alangkah rindangnya duduk di bawahnya apabila matahari yang

terik sedang membakar seluruh halaman rumanya. Tetapi yang

terakhir terbayang di dalam otaknya adalah orang yang paling

dikasihinya. Orang yang telah melahirkannya dan mengasuhnya

dengan penuh cinta kasih. Orang itu adalah ibunya. Nyai Ageng

Gajah Sora. Terbayanglah wajah ibunya yang sayu pucat berdiri di

regol halaman rumahnya. Dengan penuh harapan ia menanti

kedatangan ayahnya. Gajah Sora dari Demak. Dan dengan penuh

harapan pula ia menanti kedatangannya, satu-satunya anak yang

dimilikinya. Tetapi kemudian dibayangkannya, bahwa ibunya akan

menjadi putus asa kalau yang ditunggunya sekian lama tidak

kunjung tiba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah menangis

di ruang tidurnya dengan membenamkan wajahnya di bawah

bantalnya yang telah basah oleh air mata.

Arya menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia memejamkan

matanya sambil menggelengkan kepalanya untuk mengusir

bayang-bayang yang mengganggu otaknya. Tetapi bayangan-

Page 84: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 95

bayangan itu menjadi semakin jelas dan seolah-olah ibunya itu

melambai-lambai kepadanya dengan wajah sedih dan berkata,

“Arya, aku sudah sedemikian rindunya kepadamu.”

Arya terkejut ketika terasa tetesan cairan yang hangat di

pipinya. Cepat ia mengusapnya dengan lengan bajunya. Tetapi

mau tidak mau, dadanya menjadi sesak oleh sesuatu yang seakan-

akan menyumbat kerongkongannya.

“Hem….” Beberapa kali Arya menarik nafas dalam-dalam.

Dalam sekali, untuk mengurangi himpitan perasaan yang menekan

dadanya.

Semula ia ingin menanyakan kepada orang-orang Banyubiru

itu tentang keadaan ibunya. Tetapi kemudian ia menjadi

ketakutan. Ketakutan pada jawaban yang akan didengarnya.

Jangan-jangan jawaban mereka atas pertanyaan itu akan dapat

menambah sedih hatinya. Karena itu, maksudnya untuk bertanya

tentang ibunya dibatalkan.

Sementara itu malam menjadi semakin jauh. Bintang-bintang

telah berkisar dari tempatnya semula ke arah barat. Di ujung

selatan, bintang Gubug Penceng telah melampaui garis tegak

lurus.

Dalam pada itu tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh. Angin yang

silir bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya sehingga tiba-tiba

pula perasaan kantuk seolah-olah menyengat perasaannya. Dua

orang yang berada di kedua sisinya itu telah beberapa kali

menguap. Sedang orang yang berjalan hilir mudik itu pun

merasakan pula serangan kantuk yang dalam. Demikian pula

orang yang tegak berjaga-jaga di tengah jalan. Dengan tanpa

mereka sadari, mereka jatuh terduduk.

Arya Salaka pun merasakan juga serangan kantuk itu. Tetapi

karena pengalamannya selama ini, telah mempertajam nalurinya.

Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tiba-

tiba ia teringat cerita gurunya tentang semacam ilmu yang dapat

Page 85: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 95

mempengaruhi kesadaran seseorang. Yaitu ilmu sirep. Dengan

ilmu itu orang dapat memperlemah kesadaran orang lain yang

tampaknya menjadi kantuk dan tertidur. Karena itu, pada saat

itupun Arya segera memperkuat ketahanan diri. Dikerahkannya

segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh sirep yang

dalam itu.

Arya Salaka, meskipun masih sangat muda, tetapi karena

masa-masa pembajaan diri yang selama ini dialami, maka iapun

telah menjadi anak muda yang perkasa lahir dan batin.

Karena itulah maka ia berhasil menyelamatkan dirinya dari

pengaruh sirep yang tajam itu.

Beberapa kali ia mencoba membangunkan orang-orang jaga

yang kemudian jatuh tertidur. Tetapi demikian mereka terbangun,

menguap dan kembali jatuh tertidur. Arya Salaka menjadi heran.

Demikian kuatnya pengaruh sirep terhadap kesadaran seseorang.

Namun meskipun demikian, ia yakin, apabila ada sesuatu yang

mengejut dan cukup kuat memberi mereka rangsang, maka orang-

orang yang kena pengaruh sirep itupun akan dapat terlepas

dengan sendirinya. Sebab apabila ia memukul paha salah seorang

dari penjaga yang tertidur, orang itupun menjadi terkejut pula dan

terbangun untuk kemudian jatuh tertidur kembali.

Bagi Arya Salaka, pengaruh sirep itu merupakan tanda bahaya.

Ia tidak tahu siapakah yang menyebarkannya. Tetapi ia menjadi

cemas, kalau kemudian sepasukan laskar akan diam-diam

menyerbu perkemahan yang seolah-olah menjadi tertidur

seluruhnya. Ia tidak tahu apakah semua orang mengalami nasib

seperti kelima penjaga itu. Apakah orang yang berjaga-jaga di

sekitar pondok Endang Widuri pun menjadi tertidur. Dan apakah

Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan Jaladri tidak dapat

membebaskan diri dari pengaruhnya. Arya Salaka menjadi

kebingungan. Ia tidak sampai hati meninggalkan para penjaga

yang tertidur itu. Kalau penyebar sirep ini menghendaki, maka

dengan mudahnya mereka membunuh penjaga-penjaga itu.

Page 86: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 95

Tetapi belum lagi ia mendapat keputusan, telinganya yang

tajam mendengar kemersik daun tersentuh kaki. Cepat Arya

Salaka menyiagakan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi suara itu tidak berhenti ketika sudah menjadi semakin dekat

dari tempat duduknya. Bahkan kemudian terdengar suara berbisik

lirih, “Siapa yang bertugas di sini?”

Arya sudah mengenal suara itu. Suara Wirasaba. Karena itu ia

menjadi gembira karena setidak-tidaknya, ia sendiri dan Wirasaba

dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep ini. Maka dengan

perlahan-lahan pula ia menjawab, “Aku, Paman, Arya.”

“Arya Salaka?” ulang Wirasaba agak terkejut.

“Ya,” jawab Arya pula.

Wirasaba beringsut mendekati Arya Salaka. “Kenapa Angger

berada di sini?” tanya Wirasaba.

“Aku hanya berjalan-jalan saja ketika aku tidak dapat tidur.

Tetapi para penjaga inilah yang kemudian jatuh tertidur,” sahut

Arya.

“Mereka terkena pengaruh sirep,” jelas Wirasaba. “Untunglah

Angger terbebas dari pengaruhnya.”

“Akupun merasakan pengaruhnya, Paman. Lalu bagaimanakah

dengan yang lain-lain?” tanya Arya Salaka.

“Adi Mantingan sedang mengamati mereka,” jawab Wirasaba.

Hati Arya Salaka menjadi bertambah besar ketika ternyata

Mantingan pun terbebas dari pengaruh sirep itu. Bahkan kemudian

ia bertanya, “Siapa pulakah yang dapat menyelamatkan diri?”

“Adi Mantingan baru menyelidiki mereka. Tetapi Jaladri juga

terbebas dari pengaruh sirep ini atas bantuan Adi Mantingan,”

jawab Wirasaba.

Page 87: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 95

Kemudian Arya Salaka tidak cemas lagi. Ada empat orang yang

pasti terbebas dari pengaruh sirep itu. Namun ia bertanya pula,

“Jadi dapatkah Paman Mantingan menolong orang lain

membebaskan diri dari pengaruh sirep ini?”

“Demikianlah,” jawab Wirasaba. “Tetapi tidak kepada semua

orang. Ia hanya dapat membantu seperlunya apabila orang itu

sendiri cukup mempunyai daya tahan.”

“Syukurlah,” gumam Arya.

“Ia adalah seorang dalang. Sebagai seorang dalang ia perlu

memiliki berbagai macam ilmu. Sebab kadang-kadang ia memang

berhadapan dengan gangguan-gangguan dari para penontonnya

yang jahil.” Wirasaba menegaskan.

Tetapi kemudian Arya Salaka kembali membayangkan

bagaimanakah kalau sepasukan laskar menyerbu perkemahan ini.

Sedang sebagian besar dari laskar Banyubiru itu jatuh tertidur.

Karena itu ia bertanya kembali, “Paman Wirasaba, bagaimanakah

seandainya malam ini perkemahan kita ini diserbu oleh sepasukan

laskar?”

Meskipun Arya Salaka mempunyai daya tahan lahir batin yang

cukup kuat, namun ternyata pengetahuannya belumlah seluas

Wirasaba, yang menjawab pertanyaannya itu. “Tidak Angger,

pasukan penyerbu itupun akan terkena pengaruh sirep ini pula.

Sebab daya kekuatan sirep ini tidak dapat ditujukan kepada

seorang atau serombongan orang. Tetapi dayanya seolah-olah

memenuhi udara di sekitar penyebarnya. Sehingga apabila pada

malam ini ada orang yang ingin memasuki perkembahan ini, pasti

merekapun jumlahnya terbatas. Terbatas pada mereka yang atas

kemampuan sendiri, atau atas bantuan orang lain membebaskan

diri dari pengaruh sirep ini.”

Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia

samasekali tidak perlu khawatir. Di dalam perkemahan itu ia cukup

mempunyai kawan yang mempunyai ilmu cukup tinggi. Meskipun

Page 88: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 95

demikian ia masih ingin mengetahui bagaimanakah keadaan

Endang Widuri dan Rara Wilis. Sebab tanpa setahunya, ia merasa

bahwa nasib gadis kecil itu adalah sama dengan nasibnya sendiri.

Maka kemudian setelah Wirasaba berada di tempat itu, ia tidak

keberatan lagi meninggalkan para penjaga itu. Kepada Wirasaba

ia berkata, “Paman, apabila Paman bersedia untuk tinggal di sini,

aku minta ijin untuk menengok pondok Bibi Wilis dan Widuri.”

“Jangan Angger,” cegah Wirasaba. “Jangan pergi sendiri.

Marilah aku antar Angger ke sana.”

“Lalu bagaimana dengan para penjaga ini?” tanya Arya Salaka.

“Biarlah mereka kita sisihkan. Aku kira orang-orang yang

menyebar sirep itu tidak akan berkesempatan mengurusi para

penjaga itu. Mereka pasti berhasrat untuk langsung menemukan

kekuatan-kekuatan pokok dari perkemahan ini.”

Arya Salaka dapat mengerti keterangan Wirasaba itu. Karena

itu iapun segera membantunya, mengangkat para penjaga yang

tertidur itu ke tepi, ke atas rerumputan yang sudah mulai basah

karena embun malam yang perlahan-lahan turun ke bumi.

Dingin malam musim bediding rasa-rasanya sampai menggigit

tulang. Namun oleh ketegangan yang mengetuk-ngetuk dada, rasa

itu samasekali tak mempengaruhi mereka yang sedang berusaha

menyelamatkan perkemahan itu.

Dengan mengendap-endap penuh kewaspadaan, Arya Salaka

diantar oleh Wirasaba yang menggenggam sebuah kapak yang

besar sekali menuju ke barak kecil tempat Rara Wilis dan Endang

Widuri beristirahat selama mereka berada di perkemahan itu.

Meskipun sebenarnya Arya Salaka samasekali tidak merasa

perlu pengawalan, namun ia tidak mau menyakitkan hati orang

lain. Karena itu ia tidak menolak. Ketika mereka lewat dekat gardu

pimpinan, mereka melihat bahwa gardu itu kosong. Tetapi mata

Arya Salaka yang tajam dapat melihat sebuah bayangan yang

Page 89: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 95

berdiri di belakang gardu itu. Agaknya Jaladri merasa perlu

sekadar melindungkan dirinya untuk dapat mengadakan

pengawasan di sekitar tempat itu dengan lebih seksama. Di

tangannya tergenggam sebuat canggah, tombak bermata dua.

Arya dan Wirasaba berjalan terus. Dengan gerak tangan

Wirasaba memberi isyarat kepada Jaladri, yang membalas dengan

isyarat tangan pula. Beberapa langkah kemudian mereka sudah

melihat pondok tempat tinggal Rara Wilis dan Endang Widuri.

Ternyata para penjaga pondok itupun telah tertidur pula. Karena

itu Arya Salaka menjadi cemas, jangan-jangan telah terjadi

sesuatu atas penghuninya.

Perlahan-lahan ia menyusuri tempat-tempat yang gelap

mendekati pondok itu.

“Marilah, kita lihat apakah mereka tidak mengalami sesuatu

paman” ajak Arya Salaka berbisik perlahan sekali

“Marilah,” jawab Wirasaba.

Dengan sangat hati-hati mereka mendekati pintu pondok yang

memang tidak pernah terkancing. Perlahan-lahan Arya

menyingkapkan pintu itu. Meskipun demikian terdengar suatu gerit

perlahan. Hanya perlahan. Tiba-tiba ketika pintu itu terbuka,

terjulurlah ujung sehelai pedang yang tipis mengarah ke dada Arya

Salaka.

Arya Salaka terkejut. Untunglah ia memiliki ketangkasan yang

cukup. Meskipun pedang itu tidak membawa serangan maut,

namun agaknya perlu juga ia menjaga dirinya dan menghindari.

Melihat senjata itu Wirasaba pun terkejut. Ia segera meloncat maju

untuk menangkis serangan itu. Tetapi ujung pedang itu sangat

lincahnya di dalam kegelapan malam, bahkan dengan sekali putar

hampir saja lengan Wirasaba tergores. Karena itu Wirasaba

terkejut sekali dan meloncat mundur. Ketika ia kemudian

mengangkat kapaknya untuk menyerang kembali terdengarlah

Arya Salaka berdesis. “Paman, itu adalah pedang Bibi Wilis.”

Page 90: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 95

Wirasaba terhenti. Dan bersamaan dengan itu, tampaklah

sebuah bayangan meloncat keluar dengan lincahnya, bahkan

seperti terbang. Demikian bayangan itu menginjak tanah,

demikian ia telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi

juga bayangan itu terkejut ketika ia melihat Wirasaba dan Arya

Salaka berdiri di dalam gelap. Karena itu terlontarlah dari

mulutnya. “Kau, Arya…?”

“Ya, Bibi….” jawab Arya. “Kami minta maaf kalau kami

mengejutkan Bibi.”

Rara Wilis menarik nafas. Katanya, “Suasana malam ini

memaksa aku untuk sangat berhati-hati.”

“Aku sebenarnya ingin melihat keadaan Bibi dan Widuri tanpa

mengganggu,” sambung Arya.

“Tak apalah,” jawab Rara Wilis. “Dan syukurlah kalau kalian

juga berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam

ini.”

Wirasaba berdiri tegak dan bersandar pada tangkai kapaknya.

Meskipun ia telah menduga bahwa Rara Wilis tidaklah sama

dengan kebanyakan wanita, namun ia samasekali tidak menduga

bahwa sampai sekian gadis itu telah mencapai ilmunya. Sementara

itu tiba-tiba terdengar suara dari tlundak pintu. “Untunglah

dadamu tidak terlubang Kakang Arya.”

Arya menoleh. Dilihatnya Endang Widuri duduk dengan

enaknya di atas tlundak pintu itu. Arya Salaka dan Wirasaba lebih

terkejut melihat Endang Widuri duduk di situ daripada mendengar

suaranya. Mereka samasekali tidak mengira bahwa gadis itupun

berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep. Karena itu

terdengar Arya bertanya perlahan, “Kau tidak tertidur…?”

“Aku belum ngantuk.” jawab Widuri seenaknya.

“Aneh,” tiba-tiba terdengar Wirasaba bergumam.

Page 91: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 95

Rara Wilis mendengar gumam itu. Dengan tersenyum ia

menjawab, “Anak itu memang luar biasa.

Akupun harus berjuang untuk melawan pengaruh sirep ini sekuat

tenaga. Tetapi Widuri memang seakan-akan samasekali tidak

disentuh oleh kekuatan sirep ini.”

Widuri merasa bahwa dirinyalah yang sedang dipercakapkan

itu. Maka iapun segera menyahut, “Apakah kalian heran karena

aku belum ngantuk? Bukankah ini masih belum terlampau

malam?”

Tak seorangpun menjawab. Mereka tahu sifat gadis itu. Nakal

dan kadang-kadang suka menuruti perasaan sendiri.

Dalam pada itu, tiba-tiba di kejauhan terdengar suara siulan

nyaring. Suara itu menggetar di seluruh perkemahan anak-anak

Banyubiru itu, seolah-olah melingkar-lingkar menyusup ke setiap

pondok. Rara Wilis dan kawan-kawannya terkejut mendengar

suara itu. Suara yang belum pernah mereka dengar. Apalagi

kemudian suara itu disusul dengan bunyi yang sama di arah yang

berlawanan.

Tidak itu saja, suara siulan itu masih terdengar berturut-turut

dari dua arah yang berbeda. Dengan demikian maka dapat

diketahui bahwa orang yang bersiul, dan yang pasti, mereka

pulalah yang menyebarkan sirep ini, berada di empat arah mata

angin. Karena itulah, Rara Wilis dan kawan-kawannya itu

mengetahui bahwa orang-orang itu telah berusaha mengepung

perkembahan ini. Dengan demikian mereka harus enjadi lebih

berhati-hati lagi.

Sementara itu mereka melihat Ki Dalang Mantingan dan Jaladri

datang pula ke pondok itu. Dengan nafas yang terengah-engah ia

berkata perlahan, “Aku cari Angger Arya Salaka setengah mati.

Ketika aku menengok ke pondok Angger, aku menjadi gugup,

karena Angger tidak ada di tempat. Aku coba mencari berkeliling,

tetapi juga tidak aku jumpai. Akhirnya dari Jaladri aku mendengar

Page 92: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 95

bahwa Angger pergi kemari bersama-sama dengan Kakakng

Wirasaba”

“Angger Arya Salaka berada di mulut perkemahan ini, Adi,”

jawab Wirasaba.

“Syukurlah kalau tidak terjadi sesuatu. Dan bukankah di sini

juga tidak terjadi sesuatu?” tanya Mantingan pula.

“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis singkat.

“Kakang Wirasaba, menilik suara yang mereka perdengarkan,

mereka berada di empat arah mata angin di sekeliling perkemahan

ini. Juga menilik tanda-tanda suara yang mereka berikan, mereka

pasti mengira bahwa perkemahan ini telah terbenam seluruhnya

dalam pengaruh sirepnya. Karena itu mereka pasti akan memasuki

perkemahan ini dengan seenaknya.” Mantingan mulai memberi

penjelasan. “Karena itu, maka adalah menjadi kewajiban kami

untuk menyelamatkan perkemahan ini. Waktu kita agaknya tinggal

sedikit. Sebab apabila mereka merasa bahwa jarak waktu yang

mereka berikan untuk meresapkan sirepnya telah mereka anggap

cukup, mereka pasti akan segera bertindak”

Wirasaba sependapat dengan keterangan Mantingan. Maka ia

pun membenarkannya, “Lalu apakah yang harus kita lakukan Adi?”

tanya Wirasaba.

Mantingan berpikir sejenak. Kemudian ia menjawab, “Kita

yang telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh jahat ini,

harus memberikan perlindungan-perlindungan terhadap anak-

anak Banyubiru yang lain. Aku kira mereka akan mencari orang-

orang yang mereka anggap penting. Aku tidak tahu apakah

mereka telah mengetahui keadaan perkemahan ini dengan baik.

Tetapi disamping itu….” Mantingan berhenti sejenak. Matanya

berkisar kepada Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka.

Rara Wilis Segera menangkap perasaan Ki Dalang Mantingan.

Karena itu ia menjawab, “Kakang, biarlah kami coba untuk

Page 93: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 95

melindungi diri kami masing-masing. Adalah sudah menjadi

kewajiban Kakang Mantingan, Kakang Wirasaba dan Jaladri untuk

mencoba melindungi anak-anak Banyubiru yang merupakan

tenaga-tenaga inti dari laskar ini.”

Mantingan menjadi agak malu karena perasaannya dapat

ditebak dengan tepat. Tetapi ia tidak akan sampai hati untuk

membiarkan gadis-gadis itu dan anak semuda Arya Salaka untuk

menjaga diri mereka sendiri terhadap penyerang-penyerang yang

bersembunyi seperti ini. Apalagi jelas bahwa para penyerang itu

memiliki ilmu yang cukup tinggi. Terbukti dengan sirepnya yang

cukup tajam ini. Sedangkan Arya Salaka bagi laskar Banyubiru

ternyata telah menjadi penguat tekad perjuangan mereka.

Sehingga daripada yang lain-lain, Arya Salaka-lah yang pertama-

tama wajib diselamatkan.

“Maaf Adi Wilis….” kata Mantingan pula, “Aku wajib untuk

berusaha menyelamatkan kalian. Karena itu, aku harap Kakang

Wirasaba tetap berada di tempat ini, aku akan berada di pondok

sebelah untuk mencoba melindungi anak-anak yang tertidur

dengan nyenyaknya.”

“Baiklah Adi,” jawab Wirasaba.

“Kau ikut dengan aku Jaladri,” sambung Mantingan. “Kita

kosongkan gardu pimpinan.” Seterusnya kepada Rara Wilis ia

berkata, “Keadaan menjadi semakin gawat. Kami silahkan kalian

masuk. Sebaiknya Kakang Wirasaba pun berada di dalam pula.

Kami masing-masing akan memberi tanda apabila keadaan kami

sulit. Pukullah kentongan atau berteriaklah memanggil. Jarak kami

tidak terlalu jauh.”

Selesai dengan kata-katanya, Mantingan pun segera bergerak

meninggalkan tempat itu. Ia terpaksa membagi kekuatan mereka.

Wirasaba untuk melindungi pondok Wilis, sedang ia sendiri dan

Jaladri berusaha untuk melindungi kekuatan-kekuatan pokok

laskar Banyubiru. Tetapi meskipun demikian, namun otaknya

Page 94: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 95

diganggu juga oleh teka-teki, bagaimana mungkin Arya Salaka dan

Rara Wilis dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam

ini. Apalagi ia samasekali tidak tidak tampak kantuk. Sedangkan

orang seperti Jaladri itupun masih memerlukan bantuannya untuk

membebaskan diri dari pengaruh sirep ini. Meskipun ia telah

menduga bahwa kedua gadis itu pasti memiliki kelebihan dari

gadis-gadis lain, tetapi ia samasekali belum dapat membayangkan

sampai di mana ketinggian ilmu mereka itu. Dalam pada itu Rara

Wilis seperti juga Arya Salaka, tidak mau mengecewakan Dalang

Mantingan. Karena itu ia menerima Wirasaba untuk menjadi

pelindung pondok itu, meskipun ia sadar bahwa sebenarnya

tenaganya sangat diperlukan.

Sesaat kemudian, setelah mereka masuk kembali ke dalam

pondok masing-masing, suasana perkemahan itu diliputi oleh

kesunyian yang tegang.

Wirasaba duduk dengan gelisah di dalam pondok Rara Wilis.

Sedang Rara Wilis sendiri selalu siap untuk setiap saat bertindak.

Pedangnya yang tipis tersandang di pinggangnya. Ia duduk di bale-

bale bambu menghadap pintu. Disampingnya duduk Arya Salaka.

Kyai Banyak sudah tidak lagi bertangkai sependek tangkai belati.

Tetapi ia telah memberinya tangkai hampir sedepa. Sedangkan

Widuri dengan enaknya berbaring di bale-bale itu, seolah-olah

tidak menghiraukan samasekali kegelisahan orang-orang di

sekitarnya. Namun demikian ternyata gadis tanggung itupun telah

bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Ternyata bahwa

ia tidak mengenakan kain panjangnya, tetapi ia berpakaian seperti

seorang laki-laki. Pakaian yang selalu dipakainya apabila ia sedang

berlatih tata bela diri maupun latihan-latihan untuk ketahanan diri.

Pertanda yang lain dari kesiap-siagaannya adalah sebuah karset

perak berbentuk rantai sebesar itu jari yang melingkar di leher

Widuri, yang ujungnya terjuntai tersangkut di ikat pinggangnya.

Rantai perak itu tidak saja merupakan senjata yang berbahaya,

tetapi di leher gadis itu, rantai itu dapat menjadi perhiasan yang

menambah kecerahan wajahnya. Di pondok sebelah, Jaladri

Page 95: 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 95 of 95

menunggu setiap kemungkinan dengan cemas pula. Ia tidak duduk

atau berdiri bersiaga, tetapi ia berpura-pura tidur dalam jajaran

para laskar Banyubiru yang benar-benar sedang tertidur dengan

nyenyaknya. Seperti Arya Salaka, ia mencoba-coba untuk

membangunkan beberapa orang. Namun demikian ia menggeliat,

demikian ia kembali kehilangan kesadaran. Bahkan sesaat

kemudian terdengarlah dengkurnya mengusik sepi malam. Tetapi

meskipun ia berbaring, di sampignya terletak senjata andalannya.

Sebuah canggah bermata dua, yang tidak terlepas dari tangannya.

Mantingan, yang merasa bertanggungjawab atas keselu-

ruhannya, tidak ikut serta masuk ke dalam pondok-pondok itu.

Ketika semuanya telah menjadi sepi kembali, karena Wirasaba dan

Jaladri telah lenyap di balik pintu-pintu pondok. Mantingan segera

meloncat ke sebuah batang pohon yang daunnya cukup

memberinya perlindungan. Di lambungnya terselip sebilah keris,

sedang tangannya menggenggam senjatanya erat-erat. Trisula

yang bertangkai kayu berlian, sebagai lambang kekuatannya yang

dilambari ilmu gerak yang luar biasa lincahnya, Pacar Wutah.