28 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja

97
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 97

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

116 views

Category:

Art & Photos


29 download

TRANSCRIPT

Page 1: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 97

Page 2: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 97

I

ebenarnyalah Karebet pada saat itu telah benar-benar

kehilangan pengamatan diri. Karena goncangan pada Aji

Lembu Sekilan akibat serangan-serangan kedua lawannya

bersama-sama, maka hatinya pun serasa diguncang-guncang.

Karena itu, maka pada saat terakhir ia tidak mampu menahan

kemarahannya. Sehingga bulatlah tekadnya untuk membunuh saja

kedua lawannya dengan aji Rog-rog Asem.

Sembada dan Sambirata yang melihat sikap Karebet segera

menyadari keadaan mereka. Selagi Karebet belum menggunakan

Aji lain daripada Lembu Sekilan, mereka telah menemui banyak

kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Apalagi kalau

anak muda itu kemudian mempergunakan kekuatan terakhirnya.

Karena itu, tanpa saling berjanji mereka meloncat saling

mendekat, dan tanpa berjanji mereka menyiapkan kekuatan Aji

mereka bersama-sama untuk melawan aji yang akan dilontarkan

oleh Karebet itu.

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang samasekali tidak

mereka sangka-sangka. Tidak oleh Karebet, maupun Sembada dan

Sambirata. Ketika mereka telah hampir sampai pada puncak

ketegangan karena pengerahan Aji masing-masing, maka tiba-tiba

mereka dikejutkan oleh suara. Suara itu tidak demikian kerasnya,

namun benar-benar langsung mempengaruhi isi dada mereka.

Belum lagi mereka menyadari keadaan mereka masing-

masing, tiba-tiba dari balik gerumbulan yang lebat sebuah

bayangan meloncat dekat di antara mereka dan dengan sengaja

seakan-akan melerai pertempuran.

Yang menjadi sangat terkejut di antara mereka adalah

Karebet. Sesaat ia terpaku ditempatnya. Namun kemudian bahkan

ia memperkuat getaran yang bergerak didalam tubuhnya. Kembali

ia memusatkan segenap kekuatan lahir batin untuk mengetrapkan

aji Rog-rog Asem. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram

S

Page 3: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 97

pandangan matanya erat melekat pada orang yang baru datang

itu.

Orang itu masih berdiri diam. Tertawanya menjadi lirih. Dan

sesaat kemudian terdengar terdengar ia berkata, “Sudahlah

Karebet. Lepaskan dulu pemusatan tenaga itu.”

Tetapi Karebet masih tetap dalam sikapnya. Setiap saat ia

dapat meloncat sambil melepaskan Aji Rog-Rog Asem. Ia tidak

mau menjadi korban dari persoalan yang berbelit-belit itu. Karena

itu kembali ia menggeram dan berkata. “Pasingsingan, apakah kau

menjadi sraya Tumenggung?”

Orang yang datang itu terkejut. Namun kembali ia tertawa

lirih, sambil memandangi jubahnya ia berkata, “Yah aku memang

mirip dengan Pasingsingan. Aku juga mempunyai ciri-ciri yang

serupa.”

Mendengar jawaban itu Karebet menjadi bimbang sesaat.

Namun ia tidak mau terpengaruh karenanya. Dengan demikian ia

masih tetap dalam sikapnya.

Sedang dua orang yang lain, terkejut pula mendengar Karebet

menyebut orang itu Pasingsingan. Nama itu juga pernah mereka

dengar, namun seperti sebuah dongengan yang tak mereka

pahami. Tetapi yang mereka dengarpun mengatakan bahwa

Pasingsingan memang mengenakan jubah berwarna abu-abu dan

menggunakan topeng. Kini orang yang berdiri dihadapan mereka

mengenakan jubah serta topeng untuk menutupi wajahnya.

Sesaat kemudian kembali terdengar orang itu berkata,

“Karebet, jangan segera berprasangka. Aku datang untuk melerai

perkelahian yang tak ada gunanya ini.”

Karebet memandang orang ini dengan seksama. Dengan

penuh kewaspadaan ia bertanya, “Apa sebabnya kau melerai

perkelahian ini?”

Page 4: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 97

Kembali orang itu tertawa, kemudian kepada Sembada ia

berkata, “Ki Sanak lepaskan maksudmu untuk membunuh anak

muda ini. Sebab dengan demikian, kalian telah melakukan

kesalahan yang sangat besar.”

Sesaat Sembada dan sambirata saling berpandangan. Namun

kemudian terdengar Sembada berkata, “Siapakah kau

sebenarnya?”

“Namaku dan diriku samasekali tidak penting bagimu. Namun

kau minta, pikirkan sekali lagi. Apakah keuntunganmu dengan

membunuh Karebet?”

Kembali Sembada dan Sambirata terdiam. Namun seperti

Karebet merekapun memandang orang yang tegak dihadapan

mereka, dengan jubah yang keabu-abuan itu dengan tidak

berkedip. Sehingga, sesaat kemudian, terdengar orang itu berkata

“Sekarang pulanglah kalian kerumah masing-masing. Karebet ke

Tingkir, dan kalian berdua serta kawan-kawan kalian kembali ke

Demak.”

Sembada mengerutkan keningnya. Sekilas terbayang sebuah

timang emas bertretes berlian. Kalau ia pulang sebelum berhasil

membunuh Karebet, maka timang itu akan lepas dari tangannya.

Dan yang dilakukannya bersusah payah ini, tak akan ada artinya

samasekali. Berlari menerobos hutan dan ladang untuk segera

dapat mendahului perjalanan Karebet.

Tiba-tiba ketika mereka sudah hampir pada saat yang

menentukan seseorang minta kepada mereka untuk pulang saja

dengan tangan hampa. Tetapi betapapun juga kehadiran orang itu

benar-benar mempengaruhi perasaannya.

Meskipun demikian Sembada berkata pula, “Aku telah

menempuh suatu perjalanan yang jauh. Telah kulakukan pula

berbagai usaha untuk menyelesaikan pekerjaanku. Kini sesaat

sebelum pekerjaanku selesai kau datang mengganggu kami.”

Page 5: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 97

“Jangan marah Ki Sanak,” sahut orang bertopeng itu. “Aku

hanya mencegah, janganlah terjadi permusuhan di antara

sesama.”

Sambirata mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia pun berkata

“Apakah hubunganmu dengan Karebet itu?”

Orang itu menggeleng, “Tidak ada,” katanya.

Oleh jawaban itu, maka Sambirata berkata pula, “Katamu

demikian, biarlah kami menyelesaikan urusan kami masing-

masing. Sebaiknya kau jangan mencampuri urusan orang lain yang

tak kau ketahui ujung pangkalnya.”

Orang bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya.

Kemudian terdengarlah suaranya parau dari belakang topengnya.

“Kenapa kalian berdua berusaha membunuh Karebet?”

Sambirata diam sejenak, kemudian jawabnya, “Itu adalah

urusan kami.”

Kembali orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan

kepalanya. Kemudian gumamnya, “Aku yakin bahwa kalian

mempunyai cukup alasan untuk melakukannya. Kalau tidak, maka

perbuatan itu pasti tidak akan kalian lakukan. Tetapi apakah alasan

itu dapat dimengerti oleh orang lain, itulah yang kadang-kadang

menjadi persoalan.”

“Hem,” Sembada yang keras hati itu menggeram. Katanya,

“Kalau kau sudah tahu alasan kami, apakah kau tidak akan

mengganggu kami?”

“Tergantung pada alasan itu” sahut orang berjubah itu. “Kalau

aku cukup mengerti, maka aku tidak akan mengganggu kalian.”

“Jangan terlalu sombong,” bentak Sembada yang kasar itu.

“Apakah dengan demikian kami akan terpengaruh karenanya?

Apakah apabila kau mencoba mengganggu sekalipun, maka kami

tidak akan menyelesaikan pekerjaan kami?”

Page 6: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 97

Orang berjubah itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Jawabnya, “Ki Sanak benar. Meskipun aku mencoba mengganggu

sekalipun, namun aku tidak akan dapat berbuat banyak. Tetapi

bukankah setidak-tidaknya dengan demikian aku akan

memperlambat pekerjaan kalian.”

“Bagus. Bagus,” teriak Sembada yang tidak sabar. “Kami

adalah keluarga Dadungawuk. Anak muda yang terbunuh oleh

Karebet itu?”

“He?” Bukan main terkejut hati Karebet. Ia samasekali tidak

mengenal nama Dadungawuk. Dan ia samasekali tidak melakukan

pembunuhan. Karena itu maka segera ia memotong. “Bohong. Aku

tidak pernah mengenal seseorang yang bernama Dadungawuk.”

“Aku sudah menyangka bahwa kau akan ingkar,” sahut

Sembada. “Watakmu yang licik dan sifat-sifatmu yang sombong

itu adalah gabungan dari ujud seorang pengecut yang

sebenarnya.”

“Jangan membual,” teriak Karebet yang menjadi semakin

marah. “Katakan yang sebenarnya. Bukankah kau seraya

Tumenggung Prabasemi?”

Sambirata tertawa. Katanya, “Sudah aku katakan. Tak ada

gunanya untuk mempersoalkan, apakah sebabnya kami akan

membunuh anak muda yang malang itu. Mau tidak mau, salah atau

benar. Keputusan kami, akan kami lakukan.”

Kata-kata itu benar-benar membakar hati Karebet. Dengan

serta merta ia berteriak, “Minggirlah. Kalau kau bukan

Pasingsingan, aku tidak tahu, bagaimana aku akan menyebutmu.

Tetapi jangan mengganggu perkelahian ini. Aku pun sudah

memutuskan pula untuk mengakhiri perkelahian yang memuakkan

ini.”

Kata-kata itu benar-benar berkesan di hati Sembada dan

Sambirata. Mau tidak mau mereka pun harus berpikir tentang

Page 7: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 97

kata-kata itu. Meskipun demikian, mereka telah terlanjur terlibat

dalam persoalan itu. Dengan demikian maka mereka tidak akan

dapat berhenti ditengah jalan, meskipun lawan mereka benar-

benar mempunyai kekuatan yang tak mereka sangka-sangka.

Tetapi orang berjubah itu masih berdiri saja ditempatnya.

Bahkan ia masih berkata, “Jangan berusaha saling membunuh.

Apakah tidak ada cara-cara lain yang lebih baik daripada saling

membunuh?”

“Tidak ada,” sahut Sembada. “Kecuali kalau Karebet mau

membunuh dirinya.”

Ucapan itu seolah-olah sebuah bara api yang menyentuh

telinga mas Karebet. Karena itu, hampir saja ia meloncat,

menyerang Sembada, namun tiba-tiba dengan penuh perbawa

orang berjubah itu berkata “Karebet, jangan lakukan. Seharusnya

kau mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang masak

sebelum kau berbuat sesuatu.”

Karebet tertegun mendengar peringatan itu. Namun

kemarahannya yang telah membakar seluruh isi dadanya itu,

alangkah sukarnya untuk dikendalikan.

Tetapi dalam pada itu orang berjubah itu berkata seterusnya.

“Karebet, kau sekarang adalah orang buangan. Aku mendengar hal

itu sebelum kau bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi.

Karena itu keadaanmu samasekali tidak menguntungkan setiap

perbuatanmu. Kalau sampai terjadi kau membunuh seseorang,

dan berita itu terdengar oleh Sultan, maka hukumanmu akan

menjadi berlipat ganda, sebab Sultan akan menjadi semakin

murka kepadamu. Pada saat kau bertempur melawan Prabasemi

pun, hampir-hampir aku mencegahmu. Namun ketika aku tahu

bahwa kau sadari keadaanmu, maka niatku itu pun aku urungkan.”

Karebet terkejut mendengar kata-kata itu. Kalau demikian,

maka orang berjubah itu telah mengikutinya sejak ia

meninggalkan Demak. Orang itu ternyata melihat, bahwa ia telah

Page 8: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 97

bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi, sehingga daripadanya

ia mengetahui bahwa kini ia adalah orang buangan. Namun dalam

pada itu, peringatan yang diberikan kepadanya benar-benar telah

menyentuh hatinya. Peringatan yang sebenarnya sejak semula

telah dipikirkannya. Tetapi ketika kemarahannya telah memuncak,

serta hidupnya sendiri telah terancam, maka pertimbangan-

pertimbangan itu lenyap dari kepalanya. Dan kini, ia

mendengarkan dari orang lain. Orang lain yang tidak dikenalnya.

Tetapi peringatan yang diucapkan oleh orang berjubah itu

telah menyalakan kemarahan Sembada dan Sambirata. Orang

berjubah itu seakan-akan mengatakan, bahwa Karebet itu pasti

akan berhasil membunuh mereka berdua. Meskipun mereka

datang hanya sekedar untuk mendapatkan timang emas, dan

meskipun harga nyawanya jauh lebih mahal dari harga timang

emas itu, namun mereka tidak mau pula bahwa harga diri terlalu

direndahkan. Karena itu, maka terdengar Sembada menjawab.

“He, orang bertopeng. Pergilah. Jangan ribut tentang nyawa kami.

Apakah kau sangka bahwa Karebet itu dapat membunuh kami

berdua? Kalau kau sudah melihat sejak permulaan dari perkelahian

ini, maka kau akan tahu, bahwa umur Karebet sudah melekat

diujung rambutnya. Namun sesaat sebelum ia mati, maka kau

datang mengganggu kami.”

“Omong Kosong,” potong Karebet yang hatinya telah menjadi

panas kembali.

Orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kepada Karebet ia berkata, “Ingat-ingatlah pesanku. Jangan

terpancing kedalam keadaan yang akan menyulitkan

kedudukanmu. Kau sekarang masih dapat mengharapkan

ampunan dari Baginda, namun kalau kau telah melakukan

kesalahan lagi, maka ampunan itu jangan kau harapkan

samasekali. Sebab pembunuhan ini akan dapat disebut dalam

berbagai macam keadaan. Prabasemi dapat mengatakan apa saja

yang dapat menambah kemarahan Baginda. Di antaranya, orang

Page 9: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 97

yang terbunuh itu adalah keluarga Dadungawuk seperti yang baru

saja dikatakannya.”

“Aku tidak mengenal Dadungawuk,” potong Karebet.

“Itu adalah suatu contoh yang baik dari bentuk-bentuk fitnah

yang dapat dilakukan oleh Tumenggung Prabasemi.”

Karebet itu pun terdiam, namun segera ia teringat kata-kata

Prabasemi dihadapan Baginda Sultan Trenggana, tentang seorang

calon Wira Tamtama. Tetapi Sembadalah yang berteriak, “He

orang bertopeng. Apakah sebenarnya maksudmu, dan siapakah

sebenarnya kau ini?”

Orang bertopeng itu menggeleng. Katanya, “Sudah aku

katakan bahwa tak ada gunanya kau mengerti siapa aku.”

“Bagus,” sahut Sembada. “Tetapi jangan ganggu kami.”

Orang bertopeng itu seakan-akan tidak memperhatikan kata-

kata itu, bahkan kepada Karebet ia berkata, “Karebet, pikirkan

baik-baik.”

“Tetapi apakah aku harus berdiam diri saja, seandainya

mereka akan membunuhku.”

“Pergilah,” jawab orang bertopeng itu.

“Pergi?” Karebet itu menjadi heran. Kemudian jawabnya,

“Apakah kalau aku pergi orang-orang itu tidak akan menyusulku?”

“Biarkanlah mereka. Menyingkirlah supaya kau terhindar dari

bencana yang lebih besar lagi.”

Karebet menjadi bingung. Ia telah mengenal orang itu. Semula

ia menyangka bahwa orang bertopeng itu Pasingsingan. Bahkan ia

menyangka bahwa Pasingsingan itu pun telah mendapat tugas pula

dari Tumenggung Prabasemi. Namun ternyata orang itu

memberinya beberapa petunjuk yang dapat dimengertinya.

Namun bagaimana ia harus melaksanakannya? Apakah ia harus

Page 10: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 97

pergi dan membiarkan orang itu mengejar dan membunuhnya?

Atau bagaimana?

Dalam pada itu Sambirata berkata, “Hem. Ki Sanak yang

bertopeng. Agaknya kau telah terlalu jauh mencampuri urusan

kami. Karebet kau suruh menyingkir dari arena ini. Kalau

demikian, maka kau telah bertekad untuk menggantikannya.

Begitu?”

Orang bertopeng itu berhenti sesaat. Kemudian jawabnya,

“Aku tidak mempunyai cara lain. Aku hanya sekedar bermaksud

menyelamatkan kalian dari perbuatan terkutuk. Karebet dan kalian

berdua.”

“Jangan banyak bicara,” teriak Sembada. Apalagi ketika ia

mengetahui bahwa orang itu bukan Pasingsingan yang

menakutkan yang pernah didengarnya dari dongeng-dongeng.

“Sekarang kau pergi dan membiarkan kami membunuh Karebet.

Atau kami harus membunuhmu dulu, baru membunuh Karebet.”

Orang bertopeng itu seakan-akan samasekali tidak mendengar

teriakan itu. Katanya, “Menyingkirlah Karebet. Kalau mungkin,

pertumpahan darah harus dihindari.”

Sembada itu kini sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia

menggeram. Selangkah maju sambil berkata, “Kalau kau mati

disini pula, jangan menyalahkan aku. Kau terlalu tamak dan

sombong.”

Melihat Sembada melangkah maju, Karebet hampir melangkah

maju pula. Namun terdengar orang itu berkata, “Ingat, Sultan

sedang murka kepadamu. Jangan kau tambah kesalahanmu

dengan perbuatan-perbuatan yang tak berarti. Serahkan orang-

orang ini kepadaku.” Kata-kata itu benar-benar berpengaruh dihati

Karebet. Terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Dan terasa

bahwa ia tidak akan dapat menolak permintaan itu.

Page 11: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 97

Tetapi Sembada dan Sambirata telah benar-benar sampai

kepuncak kemarahan mereka. Karena itu, maka Sembada

berteriak, “Bagus. Ternyata aku harus membunuhmu dahulu. Baru

anak yang bernama Karebet itu.”

Orang berjubah itu tidak sampai menjawab. Ketika ia hampir

mengucapkan beberapa patah kata, maka Sembada yang kasar itu

telah menyerangnya langsung dalam kekuatan Ajinya Sapu Angin.

Orang bertopeng itupun melihat betapa kekuatan ajinya itu

meluncur lewat tangan-tangan Sembara kearahnya. Namun ia

samasekali tidak beranjak dari tempatnya.

Karebet yang melihat serangan itu terkejut. Tetapi ia berdiri

berseberangan dengan Sembada, sehingga ia tidak dapat berbuat

apa-apa kecuali berteriak, “Hei, Ki Sanak. Menghindarlah.”

Tetapi orang berjubah itu samasekali tidak bergerak.

Dibiarkannya Sembada menghantamnya dengan Aji Sapu Angin.

Namun sesaat sebelum tangan sembada menyentuh jubahnya,

tampak orang itu menjadi tegang. Dan pada saat itulah Aji Sapu

Angin membentur tubuhnya.

Namun yang terjadi benar-benar mengejutkan. Orang yang

berjubah itu masih tegak ditempatnya. Ia hanya bergetar sedikit.

Namun kemudian ia berdiri tegak kembali, seolah-olah tidak

pernah terjadi sesuatu. Tetapi Sembada yang menghantam orang

itu dengan kekuatannya, tiba-tiba terpelanting beberapa langkah

dan jatuh terguling karena benturan kekuatannya sendiri.

Tangannya yang melontarkan Aji Sapu Angin itu terasa membentur

benteng baja. Karena itulah maka ia sendirilah yang terlempar

mundur.

Sambirata heran melihat peristiwa itu. Tidak saja Sambirata,

namun Karebetpun berdiri dengan mulut ternganga. Seakan-akan

ia melihat suatu peristiwa dahsyat didalam mimpi. Aji Sapu Angin

mampu menggetarkan Aji Lembu Sekilan, meskipun tidak sampai

keintinya. Kini ia melihat orang berjubah itu samasekali tidak

Page 12: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 97

bergerak, namun Sembada sendirilah yang terdorong surut,

bahkan jatuh bergulingan beberapa kali.

Tetapi lebih dari itu. Ketika

Sembada tidak terguling lagi,

maka terdengar ia mengeluh

pendek. Dengan susah payah

ia berusaha bangkit. Namun

tiba-tiba ia terduduk kembali

dengan lemahnya. Nafasnya

serasa sesak, dan seakan-akan

bagian dalam dadanya pecah

berkeping-keping.

Sambirata menjadi ragu

sesaat. Ia melihat kawannya

telah jatuh karena pukulannya

sendiri. Karena itu apakah ia

akan mengulangi kesalahan

Sembada. Kini Sambirata

memperhitungkan setiap

kemungkinan. Seandainya ia mampu mengalahkan orang berjubah

dan bertopeng itu, namun dibelakangnya masih berdiri anak yang

bernama Karebet. Anak yang belum dapat dikalahkannya

meskipun ia berdua dengan Sembada. Apalagi kini Sembada sudah

tidak mampu untuk berdiri.

Sesaat Sambirata tegak saja seperti tonggak. Pikirannya

berjalan hilir mudik tak menentu. Ketika sekali lagi ia memandang

kawannya yang terduduk lemah itu, maka iapun mengeluh didalam

hatinya. “Apakah yang datang berjubah ini sebangsa demit atau

Hantu Alasan?”

Sambirata kemudian terperanjat ketika ia mendengar suara

orang bertopeng menggeram dari balik topengnya, “Hem, apakah

kau juga akan coba memukul aku?”

Page 13: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 97

Kembali Sambirata menjadi bimbang. Namun akhirnya ia

menggeleng. Kini telah ditemukannya jawaban. Ia tidak

memperdulikan lagi kawannya yang terluka itu. Juga timang emas

yang dijanjikan. Nyawanya lebih berharga dari segala-galanya.

Bahkan sampai pada harga dirinya sekalipun. Karena itu, maka

tanpa malu-malu Sambirata menjawab, “Tidak Kiai. Aku tidak akan

melawan kehendak Kiai.”

Karebet mengerutkan keningnya ketika mendengar jawaban

itu. Bahkan ia mengumpat-umpat didalam hatinya. Alangkah

liciknya hati orang itu. Meskipun demikian, ia samasekali tidak

berkata apapun.

Yang menjawab adalah orang bertopeng, “Apakah kau benar-

benar tidak akan berbuat sesuatu?”

“Tentu Kiai,” sambut Sambirata. “Aku pun sebenarnya tidak

mempunyai persoalan dengan angger Karebet. Tetapi terbawa oleh

kesetiakawanan aku terpaksa membantu orang itu.”

Sembada berdesah mendengar kata Sambirata. Tetapi ia tidak

berani berbuat apapun. Kalau ia membantah, maka Sambirata

akan dapat berbuat apa saja atasnya. Selagi keadaan wajar, ia

tidak akan mampu melawan Sambirata, apalagi kini, tulang-

tulangnya seakan remuk.

Orang bertopeng itu memandangi Sambirata dan Sembada

berganti-ganti lewat lubang topengnya. Sesaat kemudian ia

menarik nafas panjang. Dan kemudian ia berkata, “Kembalilah

kalian ke Demak. Katakan bahwa Karebet telah mati. Ia tidak akan

kembali ke Demak dalam waktu yang singkat, sebelum Baginda

mengampuni kesalahannya.”

Sambirata mengangguk. Kemudian katanya,” Tentu Kiai kami

akan kembali ke Demak.”

Page 14: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 97

Tetapi Sembada yang menyeringai kesakitan itu berkata,

“Alangkah mudahnya. Tetapi kalau kelak anak itu kembali ke

Demak, maka kepalaku akan dipenggal oleh Prabasemi.”

Sambirata tiba-tiba tertawa. Katanya, “Sudahlah adi Sembada.

Kalau kau tidak berani menanggung akibat dari perbuatan ini,

biarlah timang-timang ini dikembalikan saja.”

“Timang?” tiba-tiba Karebet memotong.

“Ya,” jawab Sambirata. “Kami harus membunuh angger. Dan

kami akan mendapat timang emas.”

Tangan Karebet menjadi gemetar mendengar pengakuan itu.

Tetapi sebelum ia menjawab, orang berjubah itu berkata,

“Lupakan semuanya. Beruntunglah kalian, bahwa kalian belum

menjual diri kalian dengan harga yang sangat murah itu. Apakah

artinya timang emas itu? Seandainya kalian mampu membunuh

Karebet sekalipun, namun apakah yang dapat kau miliki itu cukup

bernilai untuk menebus tanggung jawab yang harus kau berikan

pada masa-masa langgeng? Pada masa kau berhadapan dengan

Kekuasaan tertinggi. Jauh lebih tinggi dari kekuasaan Prabasemi,

bahkan kekuasaan Sultan Trenggana sekali pun?”

Orang berjubah itu diam sesaat. Sembada yang masih

menahan sakit itupun terdiam, dan Sambirata menundukkan

wajahnya. Semula ia mengurungkan niatnya hanya sekedar untuk

menyelamatkan hidupnya, maka tiba-tiba tersentuhlah perasaan

Sambirata oleh kata-kata orang bertopeng itu. “Ya,” katanya di

dalam hati, “Alangkah murahnya harga diriku. Sebuah timang

emas. Hem.” Tetapi Sambirata itu tidak berkata sepatah kata pun.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata orang berjubah itu.

“Seandainya kau berhasil membunuh Karebet, dan mendapatkan

timang-timang emas itu, maka apakah kalian dapat memakainya

dengan tenang? Setiap kali timang itu melekat di lambung kalian,

maka setiap kali kalian akan teringat, bahwa timang itu

Page 15: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 97

sebenarnya berlumuran dengan darah seseorang yang tidak

bersalah kepada kalian.”

Sambirata semakin menundukkan wajahnya. Sentuhan-

sentuhan pada parasaannya semakin terasa. Dan karena itulah

tiba-tiba ia merasa menyesal atas perbuatannya itu. Namun justru

karena itulah maka ia berdiam diri.

“Nah. Pikirkanlah kata-kataku,” berkata orang berjubah itu

pula. Tiba-tiba Sambirata itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dengan hormat ia menjawab, “Baik Kiai. Akan aku pikirkan baik-

baik kata Kiai.”

Orang bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya.

Kemudian katanya, “Sekarang kembalilah ke Demak. Kau dapat

menempuh jalan yang wajar. Bukankah kau menempuh jalan yang

sulit, jalan yang bukan sewajarnya dilalui orang pada saat kau

berangkat kemari? Lewat gerumbul-gerumbul dan memotong di

antara hutan-hutan belukar. Itu adalah gambaran dari

pengakuanmu atas perbuatan-perbuatan yang tidak wajar pula

yang akan kau lakukan. Sebab kalau kau berlaku wajar, maka kau

tidak perlu melalui jalan-jalan yang tersembunyi.”

Sekali lagi Sambirata mengangguk. Dan kemudian jawabnya,

“Ya Kiai. Aku menyadarinya”

Tetapi ketika Sambirata itu berpaling kearah Sembada, maka

katanya “Apakah kau sudah mampu berjalan Adi?”

Sembada mengerang perlahan-lahan. Sekali lagi ia berusaha

bangkit. Namun punggungnya masih terasa sakit. Tetapi ia tidak

mau menunjukkan kelemahan dirinya. Maka katanya “Bertanyalah

kepada murid-muridmu. Apakah mereka sudah mampu berjalan?”

Sambirata itupun kemudian menebarkan pandangan matanya

kearah murid-muridnya yang masih berserakan disekitarnya. Ada

yang sudah mampu duduk dan mencoba berdiri, namun ada juga

yang masih terbaring sambil menyeringai. Melihat mereka itu,

Page 16: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 97

tergetarlah hati Sambirata. Hampir saja ia mengorbankan orang-

orang itu hanya untuk sebuah timang. Dan karena itu, maka

timbullah iba didalam hatinya. Iba kepada murid-muridnya yang

tidak tahu menahu ujung pangkal dari perbuatannya.

Perlahan-lahan Sambirata itu menghampiri muridnya yang

paling parah di antara mereka. Perlahan-lahan ia berbisik.

“Maafkan aku.”

Muridnya itu menjadi heran. Apakah yang harus

dimaafkannya?

Meskipun demikian muridnya itu tidak bertanya apapun

kepada gurunya. Mereka hanya menyeringai menahan sakit dan

berkata jujur. “Aku belum dapat berjalan Kiai”

Sambirata menarik nafas. Agaknya keadaan muridnya itu

benar-benar sulit. Karena itu maka katanya, “Aku tidak tergesa-

gesa. Biarlah kalian menjadi baik dahulu. Aku akan menunggu

kalian disini.”

Orang bertopeng itu mengawasi hampir setiap orang ditempat

itu. Sesaat kemudian terdengar ia berkata, “Baiklah kalau kalian

masih akan menunggu kawan-kawan kalian sehingga mungkin

untuk berjalan kembali. Kini biarlah anak muda ini pergi bersama

aku.”

Sambirata mengangguk sambil menjawab, “Silakan Kiai. Aku

mengucapkan terima kasih kepada Kiai.”

Orang bertopeng itu mengangguk, kemudian katanya kepada

Mas Karebet, “Ikuti aku.”

Karebet ragu-ragu sejenak. Ia belum mengenal orang itu. Ia

pernah mendengar bahwa orang yang berjubah abu-abu adalah

Pasingsingan. Kini ia berhadapan dengan orang yang berjubah

abu-abu itu. Apakah orang itu bukan Pasingsingan? Sesaat

timbullah beberapa prasangka didalam hatinya. Mula-mula ia

menyangka bahwa orang itu hanya sekedar merebut korbannya

Page 17: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 97

dari Sambirata dan Sembada, supaya Pasingsinganlah yang

berhasil membunuhnya untuk mendapat hadiah dari Prabasemi.

Tetapi menilik suara dan tingkah lakunya, maka orang bertopeng

itu bukanlah seorang yang bernama Pasingsingan.

Akhirnya Karebet tidak mempunyai pilihan lain. Kalau orang itu

Pasingsingan, maka dimanapun, orang itu pasti akan dapat

membunuhnya. Diketahui atau tidak diketahui oleh orang lain.

Karena itu maka ia tidak menolak, dan diikutinya orang berjubah

abu-abu itu. Namun selama itu, anak muda yang masih

mengetrapkan ilmunya, Aji Lembu Sekilan dan sekaligus

ditangannya masih menjing Aji Rog-rog Asem.

Beberapa langkah kemudian, ketika orang-orang yang

terbaring dipinggir jalan hutan itu telah tidak nampak lagi, maka

orang berjubah abu-abu itu berhenti. Ditatapnya mata Karebet

dengan tajamnya. Kemudian dengan sebuah anggukan kepada ia

berkata, “Duduklah Karebet.”

Orang itu tidak menunggu jawaban Karebet. Namun segera ia

berjalan kebalik gerumbul dan duduk diatas rumput-rumput

kering. Karebet kembali menjadi ragu- ragu. Tetapi seolah-olah

sebuah pesona telah menariknya untuk kemudian duduk

dihadapan orang berjubah abu-abu itu, dibalik gerumbul pula.

“Karebet,” berkata orang itu. “Hampir kau melakukan sebuah

kesalahan lagi. Bukankah kau kini sedang menjalani hukuman?”

Kelunakan dan kesungguhan kata-kata orang itu memberi

keyakinan kepada Karebet, bahwa orang itu sebenarnya bukan

Pasingsingan. Karena itu maka jawabnya “Ya, Kiai. Aku sedang

menjalani sebuah hukuman.”

“Apakah sebabnya?” bertanya orang itu.

Karebet sesaat menjadi ragu-ragu. Namun kemudian terluncur

pula dari mulutnya, persoalan-persoalan yang menyebabkannya

diusir dari istana. “Tetapi Kiai,” berkata kemudian, “Janganlah hal

Page 18: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 97

ini didengar orang lain, supaya Sultan tidak semakin marah

kepadaku.”

Orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kemudian katanya, “Karebet. Aku mengikutimu sejak kau

meninggalkan istana, berrjalan bersama-sama dengan

Tumenggung Prabasemi. Aku melihat sesuatu yang tidak wajar

pada kalian berdua. Karena itu aku mencoba melihat apa saja yang

akan terjadi. Ternyata dihutan Santi kalian berdua terlibat dalam

suatu perkelahian. Ketika aku melihat Prabasemi jatuh, aku hampir

saja mencegahmu. Namun ternyata kau pada waktu itu masih

dapat menguasai dirimu. Tetapi yang baru saja terjadi disini,

agaknya kau telah benar-benar menjadi mata gelap.”

Karebet mengangguk, “Ya Kiai,” jawabnya. “Aku tidak ingin

mati di tangan kedua orang itu.”

“Aku tidak menyalahkanmu” sahut orang bertopeng itu. “Aku

hanya ingin mencegah kesalahan yang mungkin kau lakukan, yang

akan dapat mendorongmu semakin jauh dari istana.”

Karebet menundukkan kepalanya. Kini ia pasti, bahwa orang

itu samasekali bukan Pasingsingan. Tetapi siapa?

Dan tiba-tiba saja ia bertanya. “Tetapi apakah aku boleh

mengetahui, siapakah Kiai ini?”

Orang itu menggeleng. “Tidak ada gunanya,” jawabnya.

Karebet menarik nafas. Ia tidak bertanya lagi kepada orang itu

Sebab sekali ia merahasiakan dirinya, maka betapapun ia mencoba

bertanya, namun pasti ia tidak akan mendapat jawaban.

Karebet itu kemudian mengangkat wajahnya ketika orang itu

bertanya. “Sekarang, ke manakah kau akan pergi?”

Karebet menarik nafas dalam-dalam. Ya, kemana ia akan

pergi? Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya, “Aku

akan ke Tingkir.”

Page 19: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 97

“Tidak” jawab karebet, “aku tidak yakin bahwa Prabasemi akan

melepaskan maksudnya membunuhku. Mungkin ia akan meminta

orang lain lagi untuk melakukan pembunuhan itu. Dalam keadaan

yang demikian, mungkin sekali aku kehilangan kesabaran, dan

membunuh orang itu sehingga dengan demikian Sultan Trenggana

akan semakin murka kepadaku.”

“Kau benar,” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi kemana?”

Karebet menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”

“Apakah kau tidak mempunyai sahabat, kawan atau saudara

ditempat lain?” bertanya orang bertopeng itu.

Karebet diam sejenak. Tiba-tiba terbayanglah di rongga

matanya, sebuah lembah yang luas dengan padi yang hijau subur

dikaki pegunungan Telamaya. Suatu daerah yang sangat menarik

yang pernah dikunjunginya. Tetapi daerah itu belum menemukan

ketentraman karena persoalan antar keluarga sendiri.

“Bagaimana?” bertanya orang itu pula.

Karebet menggeleng. Jawabnya, “Aku mempunyai sahabat,

saudara dan kawan-kawan. Tetapi mereka sedang sibuk dengan

persoalan mereka sendiri. Apakah aku tidak akan menambah

keributan mereka, apabila aku datang kepada mereka itu?”

Terdengar orang bertopeng itu tertawa pendek. Katanya

seolah-olah bergumam saja didalam mulutnya. “Hem. Kau

memandang dari sudut yang buram. Cobalah, katakan kepadaku

bahwa kau akan datang untuk membantu memecahkan persoalan

mereka itu.”

Karebet menengadahkan wajahnya. Sesaat terpancarlah

sesuatu dari wajahnya. Katanya didalam hati, “Ya, aku adalah

seorang laki-laki. Kenapa aku tidak dapat memperingan pekerjaan

mereka itu?”

Page 20: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 97

Tiba-tiba Karebet itu berkata, “Pendapat Kiai baik sekali. Aku

dapat datang kepada mereka untuk membantu mereka. Mungkin

tenagaku akan berguna.”

“Bagus”, orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Topengnya bergerak-gerak seperti kepala hantu-hantuan di sawah

untuk menakut-nakuti burung.

“Baiklah Kiai,” berkata Karebet pula, “Aku akan pergi kesana.”

“Kemana?”

Karebet berdiam diri sejenak. Namun sesaat kemudian ia

berkata lantang. “Banyubiru.”

“Banyubiru,” orang bertopeng itu mengulang. Kemudian

katanya, “Pergilah ke Tingkir. Kemudian pergilah ke Banyubiru.”

“Baik Kiai,” sahut Karebet.

Orang bertopeng itupun kemudian berdiri. Dipandanginya

Karebet dengan seksama. Kemudian katanya, “Kita berpisah disini

setelah aku mengikutimu sejak dari Demak. Mudah-mudahan aku

terhindar dari segala malapetaka. Dan mudah-mudahan kau selalu

dapat mengekang dirimu sendiri. Pergilah. Aku akan pergi ke

Bergota.”

Karebet mengerutkan keningnya, dan dengan serta merta ia

bertanya.

“Kenapa ke Bergota?”

“Tidak ada hubungannya dengan kau. Aku akan menemui Arya

Palindih,” jawab orang itu.

Kembali Karebet menjadi sangat tertarik kepada jawaban itu.

Tetapi orang itu berkata, bahwa kepergiannya itu tak ada

hubungannya dengan dirinya. Meskipun demikian, ia bertanya-

tanya juga didalam hatinya. Bukankah Sultan Trenggana pernah

mengatakan kepadanya bahwa ia akan dikirim ke Bergota

Page 21: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 97

seandainya Prabasemi tidak mencegahnya? Meskipun demikian

Karebet itu tidak bertanya lagi.

Orang bertopeng itupun kemudian minta diri dan perlahan-

lahan ia berjalan meninggalkan Karebet. Tetapi, ia tidak berjalan

lewat jalan yang terbentang di tengah-tengah hutan itu, namun

berjalan menyusup lewat gerumbul-gerumbul di hutan itu.

Sebelum orang itu hilang dari pandangan mata Karebet, terdengar

ia berkata, “Karebet, aku tadi berkata kepada Sambirata, bahwa

ia menempuh jalan yang tidak wajar karena tuduhan yang tidak

wajar. Kini akupun menempuh jalan yang tidak wajar karena

keadaanku pun tidak wajar dan tujuanku pun tidak wajar. Namun

percayalah bahwa aku mempunyai itikad yang baik bagimu dan

bagi Demak.”

Karebet mengerutkan keningnya. Timbullah pertanyaan bahwa

didalam hatinya. “Kenapa bagiku dan bagi Demak? Apakah ada

hubungan yang erat antara aku dan Demak? Ah” desahnya. “Aku

hanya seorang lurah Wira Tamtama.”

Tetapi tiba-tiba ia berdesis. “Bukan, Lurah Wira Tamtama pun

bukan. Aku adalah orang buangan.”

Ketika orang bertopeng itu lenyap dibalik rimbunnya daun-

daun rimba yang hijau, maka Karebet itu menjadi bersedih.

Dikenangnya dirinya dan disesalinya segenap perbuatannya.

Namun semuanya telah berlalu. Dan kini ia tinggal menjalani

akibat dari perbuatan-perbuatannya yang salah itu.

Sesaat Karebet itu masih tegak ditempatnya. Sekali-kali

diawasinya daun-daun yang hijau tempat orang bertopeng itu

melenyapkan dirinya.

”Orang Aneh,” gumam Karebet. “Memang di dunia ini selalu

ada keanehan-keanehan yang kadang-kadang lucu. Apakah

gunanya orang itu menutupi wajahnya dan berjubah. Apakah

wajahnya itu terlalu jelek dan kasar, atau seorang buruan yang

sedang menyembunyikan diri? Tetapi tidak pantas kalau orang itu

Page 22: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 97

menyembunyikan dirinya karena persoalan-persoalan lahiriah. Ia

adalah seorang yang sakti, ternyata Aji Sembada samasekali tidak

mampu mendorongnya selangkah pun.”

Karebet itupun kemudian dengan segan melangkah pergi. Kini

ia berjalan dengan tujuan yang pasti. Ke Tingkir kemudian ke

Banyubiru.

Ketika ia muncul dari balik-balik gerumbul, tiba-tiba timbullah

keinginannya untuk menengok kembali Sembada dan Sambirata.

Karena itu ia berjalan menuju ke arah mereka. Dari kejauhan

dibalik tikungan Karebet telah melihat mereka masih berada

ditempatnya.

Sembada kini sudah duduk menepi, dan beberapa murid

Sambirata pun semuanya telah berbaring dan duduk-duduk di

rerumputan. Bahkan dilihatnya Sembada dengan lahapnya sedang

makan bekal yang dibawanya.

Ketika mereka melihat Karebet datang kepada mereka, maka

Sembada dan Sambirata itupun berdesir hatinya. Apakah maksud

kedatangan Karebet itu kembali kepada mereka? Apakah setelah

orang bertopeng itu pergi, Karebet akan meneruskan maksudnya,

bertempur sampai saat-saat terakhir? Tetapi kini Sambirata telah

tidak bernafsu lagi untuk bertempur. Di dalam dadanya telah

terdengar suara-suara yang belum pernah didengarnya. Dan

suara-suara itu telah mendorongnya untuk menghindari bentrokan

langsung dengan Karebet itu.

Tetapi wajah Karebet samasekali tidak menunjukkan

ketegangan. Bahkan ketika ia melihat Sembada yang masih saja

menyuapi mulutnya itu, ia tersenyum sambil berkata, “Alangkah

nikmatnya, makan setelah bekerja keras.”

“Makanlah kalau kau mau” berkata Sembada itu tanpa

berpaling. Meskipun demikian denyut jantungnya menjadi semakin

cepat. Ia masih belum yakin kalau dalam waktu yang sesingkat itu

Karebet telah dapat melupakan apa-apa yang baru saja terjadi.

Page 23: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 97

Tetapi Karebet benar-benar anak yang aneh, yang berbuat apa

saja menurut keinginannya sesaat-sesaat. Tiba-tiba saja ia duduk

di samping Sembada dan berkata, “Aku juga lapar, kakang

Sembada.”

Sambirata menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kejujuran

yang memancar dalam diri Karebet. Kejujuran yang tidak dibuat-

buat. Karena itu ia menjadi semakin kecewa atas perbuatannya.

Untunglah semuanya belum terlanjur terjadi. Kalau ia berhasil

membunuh Karebet, maka dosanya akan selalu mengejarnya

apabila ia kelak mengetahui sifat-sifat anak itu. Sedang apabila

Karebet yang membunuhnya, maka kasihanlah anak itu. Sebab

dengan demikian ia akan mendapat hukuman yang lebih berat dari

Baginda.

Dengan penuh penyesalan ia melihat Karebet itu meraih

sepotong makanan bekal yang mereka bawa dari Demak. Dan

tanpa ragu-ragu disuapkannya makanan itu kedalam mulutnya.

“Enak” gumam Karebet itu.

“Sifat itu sangat menyenangkan” berkata Sambirata di dalam

hatinya. Dan dibiarkannya Karebet itu kemudian makan sepuas-

puasnya.

Sembada yang sedang makan itupun menjadi heran pula

melihat Karebet benar-benar mau makan bersamanya. Karena itu

ia menjadi tenang sedikit. Mungkin Karebet itu benar-benar tidak

akan meneruskan perkelahian yang pasti tidak akan

menguntungkannya.

Hanya beberapa murid Sambirata yang mengumpat-umpat di

dalam hatinya. Punggung-punggung mereka masih terasa sakit

karena anak muda yang bernama Karebet itu. Dan kini Karebet itu

makan bekalnya seenaknya. Bahkan tidak henti-hentinya.

“Makanlah angger.” Sambirata itu mempersilakan dengan

ramahnya.

Page 24: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 97

“Aku akan kenyang, paman,” sahut Karebet. Dan tiba-tiba pula

Karebet itu berdiri.

Sembada lah yang paling terkejut. Ia masih belum dapat

menghilangkah kecemasannya apabila Karebet itu tiba-tiba

membunuhnya. Tetapi Sembada itu menarik nafas dalam-dalam,

ketika dilihatnya Karebet itu menekan punggungnya sambil

menggeliat. “Aku sudah terlalu kenyang paman”, katanya kepada

Sambirata. “Sekarang biarlah aku meneruskan perjalananku ke

Tingkir. Apakah paman masih akan mencegah aku?”

“Tidak, tidak ngger. Silakan berjalan terus. Aku tidak akan

mengganggu angger lagi,” sahut Sambirata.

Tetapi Sembada yang kasar itu menjawab, “Pergilah. Tapi

jangan mencoba mengganggu kami.”

Karebet itu berpaling. Tetapi kemudian ia tersenyum,

jawabnya “Baiklah. Aku tidak sengaja mengganggumu, kakang.

Aku lapar, dan dihadapanmu ada makanan.”

“Bukan soal makanan,” bentak Sembada. “Tetapi jangan

halangi kami kembali ke Demak, kalau kau ingin selamat.”

Sekali lagi Karebet tersenyum. Katanya, “Apakah kakang

sudah dapat berjalan dengan baik.”

Sembada tidak menjawab. Namun ia mengumpat perlahan-

lahan, “Persetan.”

Karebet itupun kemudian berjalan meninggalkan mereka.

Ditelusurinya jalan sempit ditengah-tengah hutan yang semakin

lama semakin tipis. Sehingga sesaat kemudian ia akan sampai ke

mulut lorong itu dan meninggalkan daerah hutan yang

memberinya kesan tersendiri. Di hutan inilah Prabasemi berusaha

merampas nyawanya untuk yang kesekian kalinya. “Hem,”

gumamnya, “Orang itu benar-benar berusaha menghilangkan aku

karena otaknya yang gila seperti aku. Tetapi aku tidak

mengganggu orang lain. Aku mendapatkan kesempatan tanpa aku

Page 25: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 97

sangka-sangka. Sedangkan Prabasemi mencari kesempatan

dengan segala cara. Bahkan mengorbankan orang lain sekalipun.

Sekali lagi Karebet menarik napas. Kemudian ditatapnya jalan

yang terbentang dihadapannya. Kini ia meninggalkan hutanitu.

Ketika ia menengadahkan wajahnya dilihatnya langit yang cerah.

Awan yang tipis selembar demi selembar mengalir ke Utara, dan

burung berterbangan di angkasa seakan menari dengan riangnya.

Karebet mengusap dahinya yang basah. Angin yang lembut

perlahan-lahan menyentuh tubuhnya yang kotor.

Ketika Karebet mengangkat wajahnya, hatinya menjadi

berdebar-debar. Dihadapannya terbaring seonggok warna hijau ke

hitam-hitaman. Padukuhan Tingkir, tempat ia dibesarkan oleh ibu

angkatnya Nyi Tingkir.

Langkah Karebetpun tertegun sesaat. Kembali ia berbimbang

hati. Tetapi kemudian ia melangkah kembali dengan langkah yang

tetap. Pulang ke Tingkir dan kelak terus ke Banyu Biru.

Angin yang lembut sekali lagi mengusap wajah Karebet yang

basah oleh keringat. Dan kembali persoalan itu hanyut satu

persatu di kepalanya, berlari berurutan seperti kuda yang sedang

berpacu. Dan akhirnya sampailah ia ke ujung kenangannya.

II

Malam itu langit cerah yang ditandai oleh sepotong bulan

muda. Ketika Karebet mengangkat wajahnya, yang tampak

dihadapannya bukan pedukuhan Tingkir yang hijau kehitam-

hitaman, tetapi sebuah dataran yang luas dengan daun-daun padi

yang menghijau melapisinya. Warna-warna semburat kuning yang

dilemparkan oleh bulan sepotong di langit tampak berkilat-kilat

memantul dipermukaan air Rawa Pening.

Page 26: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 97

Karebet kembali kepada keadaanya kini. Dihadapannya duduk

pamannya yang disegani. Kebo Kanigara yang mendengarkan

ceritanya dengan asyik.

Ketika Karebet itu berhenti berbicara, maka Kebo Kanigara itu

menarik napas panjang. Panjang sekali. Dan terdengarlah ia

bergumam, “Bukan main. Itulah sebabnya maka sepeninggalmu,

timbulah berbagai cerita mengenai dirimu.”

Karebet tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-

dalam. Dan malam menjadi semakin dingin, karena arus angin

pegunungan.

“Darimana kau tahu sedemikian banyak cerita tentang dirimu,

yang kau alami dan tidak kau alami?”

Dengan kepala masih tertunduk Karebet menjawab, “Sebagian

aku alami langsung, sedangkan sebagian aku dengar dari seorang

sahabat yang dapat dipercaya.”

“Siapakah orang itu?”

“Sambirata!”

“He, Sambirata yang kau katakan mencegatmu di hutan dekat

Tingkir itu?”

“Ya, ternyata ia telah menyesali perbuatannya. Karena itu ia

berusaha mencari kebenaran tentang diriku. Aku tidak tahu, apa

saja yang sudah dilakukannya, namun ia berhasil mengetahui

sebagian besar keadaanku, dan ia pun berhasil mencari aku, ketika

aku masih berada di Tingkir.”

“Hanya orang itu?” bertanya Kebo Kanigara.

“Ya, tetapi paman Sambirata aku minta menghubungi

sahabatku yang lain di dalam lingkungan Wira Tamtama.

Daripadanya paman Sambirata dapat melengkapi ceritanya.”

“Siapakah orang itu?”

Page 27: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 97

“Santapati. Kakang Santapati, seorang lurah Wira Tamtama

juga.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia

berdiam diri, dan Karebet tidak berkata apapun. Karena itu maka

keadaan di lereng menjadis epi kembali. Di kejauhan terdengar

suara cengkerik sahut menyahut dengan derik belalang. Sesekali

terdengar aum harimau di kejauhan, di hutan Gunung Telamaya.

Sesekali Kebo Kanigara memandang wajah kemenakannya

yang suram. Dilihatnya penyesalan yang dalam menggores

didadanya. Karena itu maka perasaan Kebo Kanigara itupun

menjadi iba juga kepadanya. Kepada satu-satunya

kemenakannya. Karebet adalah penyambung keturunan Pengging

disamping Widura. Karena itulah maka adalah menjadi

keinginanya bahwa Karebet kelak mendapat tempat yang baik,

sebagai seorang cucu Handayaningrat, maka adalah wajar apabila

Karebet apabila Karebet itu tidak saja menjadi seorang buangan

dan sekedar Lurah Wira Tamtama.

“Hem,” geram Kebo Kanigara didalam hatinya. “Trenggana

ternyata dapat dipengaruhi oleh orang-orang seperti Prabasemi.”

Tiba-tiba terbersitlah sesuatu di kepala Kebo Kanigara. Karebet

adalah kemanakannya. Nasib Karebet dihari kemudian akan

menentukan darah keturunan Pengging. Kalau Karebet itu akan

hancur menjadi debu di pembuangan, maka darah Pengging akan

kering seperti lautan yang kering. Betapapun agungnya lautan itu

dihari-hari lampau, namun apabila kemudian telah kering dibakar

terik matahari, maka keagungan airnya pasti akan dilupakan

orang. Demikianlah kalau Karebet itu benar-benar akan lenyap dari

percaturan pemerintah Demak, maka darah Pangeran

Handayaningrat untuk selamanya tidak akan dapat mengharapkan

Widuri untuk merebut tempat itu, sebab mau tidak mau ia melihat

hubungan yang akrab antara putrinya itu dengan Arya Salaka.

Meskipun Arya Salaka bukan darah yang tetes dari istana, namun

ia bangga atas anak muda itu. Anak muda yang menyadari

Page 28: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 97

keadaannya, menyadari tanggung jawabnya. Dan ia puas dengan

keadaan putrinya, asalkan kelak ia merasa bahagia. Apalagi

putrinya itu sejak kecilnya samasekali tidak pernah mengenyam

kehidupan istana. Karena itu, maka apa yang dicapainya itu benar-

benar telah memberinya kebahagiaan.

Baru beberapa waktu

kemudian Kebo Kanigara itu

berkata, “Karebet. Jangan

tinggalkan Banyubiru tanpa

ijinku. Mungkin ada beberapa

cara yang dapat ditempuh,

supaya Sultan Trenggana itu

memaafkan kesalahanmu.”

Karebet menganggukkan

kepalanya sambil menjawab,

“Baik paman. Aku akan tinggal

di Banyubiru sampai paman

memerintahkan aku berbuat

lain.”

Kembali mereka terlempar

dalam kesenyapan. Dan

kembali suara jengkerik bersahut-sahutan dengan desir angin di

dedaunan. Awan yang putih segumpal hanyut di wajah bulan

kuning pucat.

Sesaat kemudian barulah Kebo Kanigara berkata, “Karebet.

Alangkah bodohnya kau. Kenapa kau sampai terpancing dalam

pertempuran melawan Sultan Trenggana?”

“Aku tidak mengenal paman. Sultan menggunakan tutup

wajah dari ikat kepalanya. Dan Sultan samasekali tidak

mempergunakan tanda-tanda kebesarannya.”

“Apakah kau tidak mampu melihat ciri-ciri gerak Baginda?”

Page 29: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 97

“Tidak paman. Aku lebih baik tidak menyangka bahwa aku

berhadapan dengan Baginda, karena Baginda mempergunakan Aji

Welut Putih.”

“Kenapa dengan Aji Welut Putih.”

“Bukankah Aji itu biasa dipergunakan oleh orang-orang jahat

yang berusaha melepaskan diri dari kejaran?”

Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Baginda

mengenal seribu macam ilmu. Dari yang paling jahat sampai yang

paling baik.”

“Aku kurang menyadari itu paman. Mungkin Baginda sengaja

mempergunakan Aji Welut Putih untuk lebih mengaburkan

anggapanku terhadap orang yang tertutup wajah itu.”

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia

berkata, “Jangan kambuh lagi Karebet. Kalau kau meninggalkan

Banyubiru tanpa setahuku, aku tidak akan mencampuri lagi

segenap persoalanmu.”

“Baik paman,” jawab Karebet.

Kebo Kanigara itupun kemudian bangkit sambil berkata.

“Kembalilah kerumah Ki Lemah Telasih. Mudah-mudahan Buyut

Banyubiru itu akan memberimu banyak tuntunan yang akan

bermanfaat bagi hidupmu.”

Karebet itupun kemudian berdiri pula. Sambil mengangguk-

anggukkan kepalanya ia berkata, “Baik paman.”

Ketika pamannya itu kemudian berjalan meninggalkannya,

maka Karebet itu pun segera kembali kerumah Ki Buyut Banyubiru.

Sebenarnyalah Karebet, sejak dari Tingkir segera ia pergi ke

Banyubiru. Semula ia mengharap bahwa Arya Salaka Telah

berhasil kembali ke tanah perdikannya. Namun ternyata

ditemuinya tanah itu sedang dicengkram oleh ketegangan. Karena

Page 30: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 97

itu, maka untuk sementara ia mencari tempat yang dapat

dipakainya untuk menyembunyikan dirinya. Sehingga akhirnya

ditemukannya tempat itu. Rumah Ki Buyut Banyubiru, yang baik

hati. Ia tinggal di rumah itu bersama-sama dengan beberapa orang

murid Ki Lemah Telasih yang lain. Mereka termasuk orang-orang

yang lebih mementingkan persoalan-persoalan pengobatan dan

ketekunan dalam mencari dan menemukan jenis dedaunan untuk

pengobatan daripada olah kanuragan. Disamping itu, Ki Lemah

Telasih adalah seorang yang tekun beribadah. Itulah sebabnya

Karebet betah tinggal dirumahnya. Ditemuinya persoalan-

persoalan dalam hidupnya. Cara-cara pengobatan itu sangat

menarik hati anak muda yang aneh itu.

Diperjalanan kembali ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, Kebo

Kanigarapun selalu diganggu oleh berbagai pesoalan. Apakah ia

akan membiarkan Karebet terbuang dari pergaulan yang telah

pernah dicapainya? Kebo Kanigara itupun dapat ikut merasakan

kepahitan yang dialami oleh Karebet itu. Kepahitan yang dialami

oleh setiap prajurit yang terpaksa disingkirkan dari kedudukannya.

Tetapi Kebo Kanigara pun tahu pula, bahwa Baginda masih

memiliki kesayangan yang besar kepada anak yang aneh itu.

Meskipun demikian Kebo Kanigara itu pun berkata didalam

hatinya, “Biarlah orang-orang tua mencoba membantu

menyelesaikan masalah ini.”

Malam itu Kebo Kanigara hampir tak dapat tidur nyenyak. Ia

bangun pagi-pagi benar dan tampaklah bahwa perasaannya

sedang dibebani oleh persoalan-persoalan yang berat.

Mahesa Jenar yang mengetahui serba sedikit tentang Karebet,

segera dapat menduga, bahwa Kebo Kanigara benar-benar sedang

dirisaukan oleh kemenakannya yang nakal. Karena itu sebagai

seorang sahabat yang dekat, maka Mahesa Jenar menyatakan

dirinya untuk membantu memecahkan kesulitan-kesulitan yang

sedang dihadapi oleh Kebo Kanigara itu.

Page 31: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 97

Kebo Kanigara yang masih belum tahu apa yang akan

dilakukan itu berkata, “Bukan main. Anak itu telah jauh tenggelam

kedalam gelora darah mudanya.”

“Apakah kesalahan yang telah dilakukannya itu terlampau

besar, sehingga tidak akan mungkin mendapat pengampunan

kakang,” bertanya Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara merenung sejenak. Kemudian desahnya,

“Mudah-mudahan. Tetapi waktu yang diperlukan cukup panjang.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Serba

sedikit Kebo Kanigara mengatakan juga apa yang pernah

didengarnya dari Karebet. Namun tidak seluruhnya. Ada

persoalan-persoalan yang tidak dapat di ketahui oleh orang lain.

Meskipun orang lain itu adalah Mahesa Jenar sendiri, yang selama

ini selalu berbuat bersama-sama, berjuang bersama-sama dan

bahkan hidup mati mereka berdua seakan-akan telah

dipertaruhkan bersama. Tetapi masalah yang dihadapi oleh Kebo

Kanigara sebagian adalah masalah yang berhubungan dengan

keluarganya. Berhubungan dengan saluran darah Majapahit yang

mengalir ditubuhnya dan ditubuh Karebet, namun juga ditubuh

Sultan Tranggana.

Karena ada beberapa persoalan yang tidak dapat dikatakannya

kepada Mahesa Jenar, maka Mahesa Jenar pun tidak segera dapat

melihat, apa yang dapat dilakukannya untuk membantu

memecahkan persoalan itu.

“Mahesa Jenar” berkata Kebo Kanigara kemudian, “Jangan kau

ikut serta dirisaukan oleh persoalan-persoalan yang dibuat oleh

Karebet. Lupakanlah persoalan itu. Selesaikan persoalanmu yang

telah lama kau tunda-tunda. Bukankah waktu itu kini telah

datang?”

Mahesa Jenar tersenyum. Segera ia tahu maksud Kebo

Kanigara. Karena itu Mahesa Jenar menjawab, “Baiklah kakang.

Page 32: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 97

Meskipun demikian apabila pada suatu saat kakang memerlukan

aku, maka aku selalu menyiapkan diri untuk itu.”

“Terima kasih, Mahesa Jenar. Pada saatnya aku akan

memberitahukannya kepadamu.” Namun dalam pada itu, sesuatu

tersimpan didalam hati Kebo Kanigara. Sesuatu yang tidak dapat

segera dikatakan kepada Mahesa Jenar, meskipun pada suatu saat

pasti akan menyangkut perasaannya. “Hem” gumam Kebo

Kanigara didalam hatinya, “Biarlah Mahesa Jenar menikmati masa-

masa yang paling baik dalam hidupnya.”

Sejak itu Kebo Kanigara berusaha untuk menghilangkan

kesan-kesannya yang menggelisahkan karena pokal keme-

nakannya. Meskipun beberapa kali ia masih menemui Karebet,

tetapi ia tidak pernah menyebut-nyebutnya lagi kepada Mahesa

Jenar. Dibiarkannya Mahesa Jenar sibuk dengan persoalan sendiri.

Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak mendengar dari Kebo

Kanigara bahwa Karebet telah pergi ke Karang Tumaritis dan telah

kembali ke Banyubiru.

Dalam pada itu, maka Ki Ageng Pandan Alas merasa bahwa ia

telah cukup lama berada di Banyubiru. Karena itu maka ia pun

minta diri kepada Ki Ageng Gajah Sora, kepada Kebo Kanigara,

kepada Mahesa Jenar dan kepada cucunya Rara Wilis.

“Kenapa Ki Ageng tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru?”

bertanya Gajah Sora.

“Aku sudah cukup lama tinggal di sini angger. Karena itu aku

ingin sekali-kali melihat tanah kelahiranku. Aku ingin pulang ke

Gunungkidul, menyampaikan kabar yang sebaik-baiknya bagi

sanak kadang dan handai taulan di sana. Sudah tentu kami akan

mengharap Wilis sekali-kali juga mengunjungi kampung halaman.

Dan sudah tentu kami akan mengharap bahwa kami dapat

menyaksikan hari yang paling baik bagi hidupnya di kampung

halaman sendiri. Apapun yang kemudian akan dilakukan, dan

kemana pun kemudian Wilis akan pergi, bukanlah soal bagi kami.”

Page 33: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 97

Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.

Jawabnya, “Sebenarnya Banyubiru akan sangat berterima kasih

kalau kesempatan itu tidak kami terima di sini, sebagai tanah yang

telah menerima limpahan pengabdiannya yang tanpa pamrih itu.”

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Terima kasih. Terima kasih.”

sahutnya, “Tetapi biarlah kami pada suatu ketika membawanya

dahulu kembali. Kami ingin memperkenalkan angger Mahesa Jenar

kepada sanak kadang serta sahabat-sahabat kami.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,

“Ki Ageng, kami akan datang setiap saat. Aku akan bergembira

untuk melihat tanah tempat kelahiran Wilis. Dan aku akan

bergembira untuk dapat mengenal sanak kadang di tanah itu.”

“Bagus. Biarlah kelak seseorang datang menjemput kalian di

sini. Begitu aku sampai di Gunung Kidul, begitu aku minta

seseorang menjemput kalian supaya kalian tidak usah mencari-

cari jalan. Meskipun seandainya kalian tidak melewati hutan

Mentaok, kalian sudah tidak akan bertemu lagi dengan Lawa Ijo,

ataupun Pasingsingan yang satu itu. Seandainya demikian pun

maka angger Mahesa Jenar sudah pasti tidak akan takut. Dan aku

tidak perlu menebang pohon di hutan itu dan kemudian

berdendang Dandang Gula.”

Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepalanya. Suatu

kenangan yang mengesankan. Dihutan itu pula ia pertama-tama

bertemu dengan seorang gadis yang bernama Rara Wilis. Di hutan

itu pula ia hampir binasa karena Pasingsingan. Namun didesa itu

pula ia diselamatkan oleh Ki Ageng Pandan Alas dengan suara

kapaknya dan kemudian disusul dengan tembang Dandang Gula

yang melontarkan ciri kehadirannya.

Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Ageng Pandan Alas

itu pula. “Sungguh tidak sedap berlagu di tengah-tengah hutan

yang lebat. Setiap kali aku membuka mulut, setiap kali beberapa

ekor nyamuk masuk bersama-sama. Tetapi aku tidak dapat

Page 34: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 97

berhenti sebab dengan demikian aku tidak akan berhasil mencegah

Pasingsingan berbuat menurut caranya.”

Kembali Mahesa Jenar mengenangkan peristiwa-peristiwa

yang pernah terjadi. Betapa ia hampir menjadi gila karena tiba-

tiba Rara Wilis hilang. “Hem” desahnya di dalam hati. Sebuah

tarikan nafas yang panjang telah menggerakkan dadanya.

Ki Ageng Pandan Alas melihat perasaan yang melintas di hati

Mahesa Jenar. Karena itu ia tersenyum. Namun ketika ia menatap

wajah Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas itu mengerutkan

keningnya. Tampaklah mata gadis itu berkilat-kilat. Selapis air

telah membasahi pelupuk matanya. Karena itu maka orang tua

yang jenaka itu tidak lagi berkata tentang masa-masa lampau.

Katanya kemudian, “Kalau aku akan mengirim orang untuk

menjemput kalian, maka aku hanya ingin supaya kalian tidak usah

mencari jalan. Aku tidak yakin apakah Rara Wilis masih dapat

mengingat jalan itu dengan baik, atau apakah kalian akan dapat

mencari jalan dalam waktu singkat. Perjalanan kalian kali ini

adalah perjalanan yang jauh berbeda dengan setiap perjalanan

yang pernah kalian tempuh. Kalian dapat berjalan menyusup hutan

belantara mencari sesuatu yang belum pasti tempat dan

keadaannya. Sedang Gunungkidul adalah suatu daerah yang tidak

akan dapat berpindah-pindah. Namun akan lebih baik bagi kalian,

apabila kalian tidak usah bersusah payah untuk mencari jalan itu

sendiri.”

“Terima kasih, Ki Ageng” jawab Mahesa Jenar, “Kami akan

menunggu dengan senang hati.”

Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Tersenyum karena ia melihat

masa depan satu-satunya cucunya menjadi cerah, secerah

matahari pagi.

Demikianlah, akhirnya Ki Ageng Pandan Alas meninggalkan

Banyu Biru. Meninggalkan cucunya dan meninggalkan kesan yang

Page 35: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 97

membekas di hati yang ditinggalkannya. Namun, orang tua itu pun

membawa kesan yang cerah pula di dalam hatinya.

Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang pejalan. Ia dapat

berjalan ke mana saja ia kehendaki. Namun perjalanannya ini

terasa sangat lambatnya. Ia ingin segera ke Gunungkidul dan

menyuruh beberapa orang untuk menjemput cucunya. Sengaja ia

tidak membawa cucunya itu berjalan bersama-sama, karena ia

ingin menghormati cucunya serta bakal suaminya dengan suatu

jemputan yang cukup baik. Ia sendiri tidak memiliki apapun di

Gunungkidul. Namun muridnya yang sekarang sudah menjadi

Demang, pasti akan mau membantunya.

Sepeninggalan Ki Ageng Pandan Alas, maka timbullah

beberapa keragu-raguan dihati Mahesa Jenar. Kalau ia harus

menetap di Gunungkidul, maka persoalannya menjadi agak sulit

baginya. Selama ini Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten belum

kembali ke Demak. Meskipun ia percaya sepenuhnya kepada

Panembahan Ismaya, namun tanpa diketahui sebabnya ia selalu

ingin tinggal didekatnya untuk sementara sebelum keris-keris itu

kembali. Tetapi ia sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat menolak

permintaan Ki Ageng Pandan Alas. Ia tahu bahwa Rara Wilis

menjadi bergembira karenanya. Gembira bahwa ia akan segera

melihat kampung halaman, dan bergembira bahwa ia akan dapat

berada didalam lingkungannya semasa kanak-kanak.

Tetapi Rara Wilis pun pernah berkata kepadanya, bahwa ia

mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan ialah yang

menentukan.

Tetapi Mahesa Jenar tidak mau mengecewakan Rara Wilis.

Nanti apabila sampai saatnya persoalan itu dapat dibicarakannya

dengan baik. Dan ia yakin bahwa Wilispun pasti akan dapat

mengertinya.

Demikianlah maka mereka menunggu di Banyubiru.

Page 36: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 97

Selama itu banyaklah yang sudah mereka kerjakan di antara

rakyat Banyubiru, membangun tanah perdikan itu. Memperbaiki

tanggul yang telah dijebol oleh Arya Salaka dan memperbaiki jalur-

jalur saluran air dan menanami kembali lereng bukit yang gundul

karena api yang dinyalakan oleh Jaka Soka.

Tak ada seorang pun yang sempat duduk bertopang dagu.

Arya Salaka telah bekerja mati-matian untuk tanah yang dibelanja

selama ini. Bahkan Endang Widuri pun dengan gembiranya ikut

membantunya. Ia telah hampir lupa kepada padepokan Karang

Tumaritis, dan ia kerasan tinggal di Banyubiru.

Kebo Kanigara yang semula sudah siap kembali ke Karang

Tumaritis, tiba-tiba terhambat juga oleh kemenakannya. Ada

sesuatu yang masih harus diselesaikan di Banyubiru karena

kehadiran Karebet. Sehingga karena itu, maka ia pun menunda

keberangkatannya. Tentu saja Widuri menjadi sangat bergembira

karenanya. Ia lebih senang tinggal di Banyubiru. Tetapi ia

samasekali tidak menyangka bahwa ayahnya selama ini telah

disibukkan oleh saudara sepupunya, Karebet. Bahkan ia tidak

menyadari pula, bahwa keadaan itu bukan sekedar kesibukan-

kesibukan pikiran dan perasaan. Namun karena Kebo Kanigara

sudah bertekad untuk membantu kemenakannya itu kembali ke

Istana, maka akan banyaklah persoalan-persoalan yang

dihadapinya.

Tetapi Kebo Kanigara tidak mau menyulitkan orang lain.

Karena itu semuanya disimpan didalam dadanya. Hanya sekali-kali

ia menyuruh Karebet pergi ke Karang Tumaritis, minta nasehat dan

pertimbangan Panembahan Ismaya dan memberitahukan kepada

Panembahan itu bahwa Kebo Kanigara menjadi agak lambat lagi.

Dengan demikian, meskipun mereka bersama-sama masih

tetap tinggal di Banyubiru, dan meskipun mereka tampaknya

dalam kesibukan yang sama sehari-harinya, namun didalam hati

mereka, mereka mempunyai alasan yang berbeda-beda.

Page 37: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 97

Mahesa Jenar dan Rara Wilis sekedar menunggu jemputan dari

Gunungkidul, Endang Widuri karena sesuatu telah mengikatnya di

Banyubiru, sesuatu yang tidak dapat dikatakan, sedang Kebo

Kanigara terikat oleh kemenakannya dengan segenap

persoalannya.

III

Demikianlah pada suatu hari, Banyubiru diributkan oleh

kedatangan sebuah rombongan orang-orang berkuda. Rombongan

itu berpacu dari arah Barat. Bukan hanya sekedar sepuluh orang,

namun lebih banyak lagi. Suara derap kakinya menggeletar,

memecah kesepian tanah yang damai itu.

Seseorang yang sedang bekerja disawah melihat rombongan

itu merayap-rayap menyelusur jalan-jalan dilembah, mendaki

Bukit Telamaya. Terasa sesuatu berdesir didalam dadanya.

Rombongan itu samasekali bukan rombongan dari Pamingit.

Dipaling depan tampaklah seorang dalam pakaian yang mewah,

beludru berkilat-kilat. Sebuah pedang panjang tersangkut

dilambungnya. Pedang dengan sebuah wrangka yang putih

berkilau. Pedang yang jarang-jarang dimiliki oleh orang biasa.

Orang itu samasekali bukan Ki Ageng Lembu Sora. Dan para

pengiringnya samasekali bukan orang Pamingit.

Petani itu berpikir didalam hatinya. Masih terbayang apa saja

yang telah terjadi beberapa waktu yang lampau. Terbayangllah

laskar-laskar dari golongan hitam yang bersama-sama menyerang

Banyubiru, kemudian terbayang pula kekacauan yang timbul

didaerah perdikan itu setelah laskar Pamingit mendudukinya.

Tetapi petani itu tidak tahu, apa yang akan dilakukan untuk

mengetahui siapakah para pendatang itu. Karena itu maka segera

ia berlari pulang, dan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada

anaknya.

“Bapak melihat rombongan itu sebenarnya?”

Page 38: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 97

“Ya, aku melihat dan mataku masih cukup baik.”

Anaknya yang sudah cukup dewasa berpikir sejenak.

Kemudian katanya kepada ayahnya, “Biarlah aku sampaikan

kepada kakang Bantaran.”

Anaknya tidak menunggu jawaban ayahnya. Cepat-cepat ia

berlari kekandang, melepaskan kudanya dan dipacunya kerumah

Bantaran.

Mendengar laporan itu, Bantaran mengerutkan keningnya.

Kemudian katanya, “Apakah tidak ada tanda-tanda pada mereka

itu?”

“Aku tidak tahu,” jawab anak muda itu.

“Marilah ikut aku,” sahut Bantaran.

Keduanya kemudian memacu kuda mereka, mendaki tebing

yang menghadap ke Barat. Sebenarnyalah, mereka melihat

serombongan orang-orang berkuda sudah semakin dekat.

Serombongan orang-orang berkuda yang lengkap dengan senjata-

senjata mereka.

“Dua puluh orang kira-kira,” gumam Bantaran.

“Apakah maksud mereka?” bertanya anak petani itu.

Bantaran menggelang. Jawabnya, “Apapun maksud mereka,

tetapi mereka aku kira tidak akan berbuat kerusuhan disini.

Mereka datang disiang hari, lewat jalan yang sewajarnya dan

hanya dua puluh orang. Meskipun demikian, datanglah ke gardu

penjagaan pertama. Beritahukan bahwa ada serombongan orang

berkuda akan lewat. Sebentar lagi aku akan datang ke gardu itu.”

Anak petani itu tidak menjawab. Segera ia melarikan kudanya

ke gardu pertama memberitahukan apa yang telah dilihatnya.

Pemimpin gardu itu menghela nafasnya. Kemudian kata-

katanya, “Kedatangan kakang Bantaran kami tunggu.”

Page 39: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 97

Anak petani itupun kemudian kembali ke tempat Bantaran

mengawasi orang-orang berkuda itu. Mereka sudah tampak lebih

jelas lagi. Tetapi karena jalan melingkar-lingkar, maka jarak yang

harus dilaluinya masih cukup panjang.

Kemudian Bantaran itupun berkata kepada anak petani itu.

“Kembalilah, sampaikan pesan ini kepada kakang Penjawi, bahwa

berita tentang kedatangan orang-orang berkuda itu supaya

dilaporkan kepada paman Wanamerta.”

Sepeninggalan anak petani itu, segera Bantaran pergi ke gardu

pertama. Gardu yang masih ditempati oleh beberapa orang

penjaga. Meskipun Banyubiru seakan-akan sudah tenang, namun

peperangan yang baru saja terjadi masih mengharuskan mereka

berhati-hati.

Di gardu penjagaan itu, Bantaran melihat beberapa orang telah

bersiaga. Namun kemudian Bantaran berkata “Jangan terlalu

berprasangka. Orang-orang itu pasti tidak akan berbuat jahat.”

Meskipun demikian, beberapa orang di gardu itu telah

menggantungkan pedang-pedang mereka dilambung, dan yang

lain menyandarkan tombak-tombak mereka disamping mereka

berdiri.

Sesaat kemudian gemeretak kaki kuda itu telah terdengar.

“Ha, itulah mereka,” gumam Bantaran.

Tetapi mereka masih menunggu cukup lama. Jalan yang

melingkar dan berbelit-belit itu agaknya telah memperpanjang

jarak perjalanan orang-orang berkuda itu.

Meskipun demikian, akhirnya muncullah dari tikungan

beberapa orang berkuda. Sebenarnyalah bahwa yang paling depan

dari mereka adalah seorang yang berpakaian sangat bagus. Baju

beludru, kain lurik yang berwarna kemerah-merahan. Sebuah

pedang yang bagus berjuntai disisi kudanya.

Page 40: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 97

Orang itu terkejut ketika dilihatnya beberapa orang yang

berdiri dipinggir jalan berseberangan. Segera orang itu menyadari,

bahwa kedatangannya telah mengejutkan beberapa orang

penjaga. Karena itu maka segera orang-orang berkuda itu

memperlambat kuda-kuda mereka, dan berhenti beberapa langkah

dari Bantaran.

Wanamerta yang telah mendengar laporan Penjawi, menjadi

gelisah juga. Segera ia pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, dan

memberitahukan tentang apa yang didengarnya dari Penjawi.

Namun seperti apa yang didengarnya, maka katanya, “Tetapi

menurut Bantaran, orang-orang itu pasti tidak akan berbuat huru-

hara disini, sebab mereka hanya kira-kira duapuluh orang.”

Meskipun demikian berita itu telah menimbulkan berbagai

pertanyaan di hati mereka yang sedang duduk dipendapa itu. Ki

Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,

Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri. Mereka mencoba

menerka, siapakah kira-kira yang datang dalam rombongan itu.

Namun mereka tidak dapat menemukan jawaban.

Kemudian terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya,

“Dimanakah Penjawi sekarang?”

“Penjawi sedang pergi menyusul Bantaran. Anak itu tidak

dapat membiarkan seandainya orang-orang itu berbuat sesuatu.

Namun mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa di antara mereka.”

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dan sebelum mereka

dapat berbuat apapun, maka terdengarlah seseorang penjaga

berkata, “Sebuah rombongan berkuda.”

Salah seorang dari mereka segera memberitahukannya

kepada Ki Ageng Gajah Sora, dan sambil mengangguk-angguk Ki

Ageng berkata, “Baik. Kembalilah ketempatmu.”

Orang itu pun segera berjalan ke gardunya, sedang beberapa

orang yang lain, segera berdiri pula sambil berjaga-jaga.

Page 41: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 97

Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wilis, Arya Salaka

dan Endang Widuri segera turun ke halaman. Mereka berusaha

menjemput orang-orang berkuda itu sebelum mereka memasuki

regol halaman.

Tetapi langkah mereka segera tertegun. Yang mula-mula

masuk ke halaman justru adalah Bantaran dan Penjawi. Karena itu

maka Ki Ageng Gajah Sora itu segera bertanya. “Siapakah

mereka?”

Sebelum Bantaran menja-

wab, maka muncullah orang

yang pertama. Seorang yang

gagah tampan dengan baju

beludru dan sebuah pedang

yang indah di lambungnya.

Demikian orang itu melihat

Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara segera ia berseru,

“Mahesa Jenar, aku datang

menjemputmu.”

Mahesa Jenar, Kebo Kani-

gara, Arya Salaka dan Endang

Widuri terkejut melihat orang

itu. Lebih-lebih adalah Rara

Wilis. Karena itu sesaat mere-

ka diam mematung. Sehingga

terdengar kembali orang itu berkata, “Apakah kau lupa kepadaku?”

Mahesa Jenar seakan-akan tersadar dari mimpinya yang aneh.

Karena cepat-cepat ia menjawab, “Tidak. Aku tidak melupakan

kau, Sarayuda.”

Sarayuda, orang yang baru datang itu tertawa, wajahnya cerah

secerah warna pakaiannya. Sambil meloncat turun dari kudanya ia

Page 42: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 97

berkata, “Aku datang atas perintah Ki Ageng Pandan Alas untuk

menjemput kalian berdua.”

Wajah Rara Wilis segera menjadi kemerah-merahan. Ia tidak

dapat melupakan, apakah yang telah terjadi antara mereka

bertiga, Mahesa Jenar, Sarayuda dan dirinya. Karena itu, maka

segera ditundukkannya wajahnya dalam-dalam.

Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar, “Terima kasih

Sarayuda. Tetapi marilah, perkenalkanlah dahulu dengan Kepala

Daerah Tanah Perdikan Banyubiru, Ki Ageng Gajah Sora.”

Sarayuda tersadar akan kehadirannya di Banyubiru. Karena itu

maka segera ia berkata. “O, maafkan. Aku terlalu bernafsu untuk

menyampaikan maksud kedatanganku, sehingga aku lupa suba-

sita.”

“Marilah Ki Sanak,” Ki Ageng Gajah Sora mempersilakan,

“Marilah, aku mempersilakan kalian untuk naik kependapa.”

Maka seluruh rombongan itu pun kemudian memperkenalkan

diri. Sarayuda adalah Demang yang kaya raya, yang menguasai

suatu daerah yang luas di daerah Pegunungan Kidul. Sedang Ki

Ageng Gajah Sora adalah seorang Kepala Daerah Tanah Perdikan

yang kuat dan subur dilereng bukit Telamaya. Keduanya adalah

orang-orang yang bertanggungjawab atas wilayahnya dan akan

rakyatnya. Karena itu, maka segera mereka dapat menyesuaikan

dirinya dalam perkenalan yang akrab, meskipun ada beberapa

perbedaan sifat di antara mereka. Sarayuda adalah seorang yang

menyadari kekayaannya, meskipun tidak berlebih-lebihan,

sehingga caranya berpakaian pun telah menunjukkan keadaannya,

sedang Ki Ageng Gajah Sora adalah seorang yang sederhana.

Segera pembicaraan mereka berkisar kepada maksud

kedatangan Sarayuda. Berkata Demang itu kemudian, “Kakang

Gajah Sora, kedatanganku kemari adalah karena perintah guruku,

Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput Mahesa Jenar dan Rara

Wilis. Setiap orang di Gunungkidul telah mendengar berita itu.

Page 43: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 97

Berita tentang akan kehadiran Rangga Tohjaya didaerah mereka.

Karena itu, maka Gunungkidul sedang dihinggapi oleh perasaan

yang melonjak-lonjak, mengharap agar orang yang ditunggu-

tunggu itu segera datang. Rara Wilis adalah seorang gadis yang

cukup mereka kenal, karena daerah itu adalah daerah masa

kanak-kanaknya. Banyak kawan-kawannya bermain ingin melihat

mereka, seorang anak gadis dari daerah mereka yang pernah

memakai nama Pudak Wangi dan telah berhasil membinasakan

seorang perempuan yang dahulu pernah menggemparkan daerah

itu, yang kemudian bernama Nyai Sima Rodra.

Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu, sedang Rara

Wilis semakin menundukkan wajahnya. Pipinya menjadi kemerah-

merahan dan karena itulah maka sepatah kata pun dapat

diucapkan. Widuri yang mendengar kata-kata itu dengan seksama,

tersenyum-senyum kecil. Dengan nakalnya ia berkata. “Ah.

Apakah paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu

paman Demang Sarayuda?”

“Ya tentu,” jawab Sarayuda, “Aku dan rakyatku akan

menyambutnya.”

“Bukan main. Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi

tamu Agung,” sahut Widuri. “Apakah aku boleh ikut serta?”

“Tentu,” jawab Sarayuda. “Aku dan setiap orang yang hadir di

dalam pendapa ini untuk pergi ke Gunungkidul. Menyaksikan bukit-

bukit gundul dan bukit-bukit kapur di antara lembah-lembah hijau.

Sangat berbeda dengan pemandangan di Bukit Telamaya ini.”

Wajah Endang Widuri itu pun kemudian menjadi cerah. Dengan

serta merta ia berkata, “Bagus sekali. Aku akan ikut dengan Bibi

Wilis. Boleh bukan bibi?”

Rara Wilis tidak segera dapat menjawab. Sekali dipandangnya

wajah Kebo Kanigara. Ia tidak dapat berkata apapun tentang gadis

itu sebelum ayahnya memberikan persetujuan.

Page 44: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 97

Widuri melihat keragu-raguan Rara Wilis. Karena itu segera ia

berkata kepada ayahnya. “Ayah, bukankah kita akan ikut ke

Gunungkidul.”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian

terdengar ia berkata perlahan-lahan. “Sayang Widuri kita tidak

dapat ikut serta.”

Kecerahan wajah Widuri segera larut, seperti bulan disaput

awan yang sedemikian kelam. “Kenapa?”

“Ada sesuatu yang harus kita kerjakan di sini.”

“Apakah yang harus dikerjakan?”

“Aku Widuri. Aku mempunyai banyak pekerjaan di sini. Dan

agaknya kita telah terlalu lama tidak kembali ke Karang Tumaritis.”

“Aku tidak mau. Aku tidak mau,” berkata Widuri itu.

Kebo Kanigara tersenyum. Kemudian kepada Sarayuda itu

berkata. “Sayang adi. Sungguh sayang. Sebenarnya aku juga ingin

mengantarkan Widuri ikut serta mengunjungi daerah adi. Namun

ternyata ada persoalan-persoalan yang harus aku selesaikan. Dan

aku harus segera kembali ke Karang Tumaritis.”

Sarayuda menarik nafas, “Ya sayang.”

Yang menyahut kemudian adalah Endang Widuri, “Kalau ayah

mempunyai pekerjaan di sini atau di Karang Tumaritis, biarlah aku

ikut bersama Bibi Wilis. Nanti kalau ayah sudah selesai, biarlah

ayah menjemput aku.”

Kebo Kanigara itu tersenyum pula. Namun senyumnya

membayangkan sesuatu yang tak dapat diraba. Katanya, “Tidak

Widuri. Jangan pergi sekarang. Besok apabila sampai waktunya,

biarlah kau aku antarkan kesana. Kalau sampai saatnya Paman

Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan mengarungi hidup baru mereka.”

“Emoh,” seru gadis itu. “Aku akan pergi bersama bibi Wilis.”

Page 45: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 97

“Bukankah sama saja bagimu Widuri,” berkata ayahnya.

“Besok atau sekarang.”

“Tidak,” sahut Widuri. “Aku ingin melihat, bagaimana rakyat

Gunungkidul menyambut paman Mahesa Jenar.”

“Tetapi kau tidak akan melihat, bagaimana pamanmu dan bibi

Wilis dipersandingan.”

“Biar. Aku akan ikut bersama bibi Wilis.”

Rara Wilis menjadi iba melihat Endang Widuri. Tetapi ia tidak

berani berkata apapun. Itu sepenuhnya adalah wewenang

ayahnya. Karena itu, Rara Wilis hanya dapat memandangnya

dengan senyum yang hambar.

Sarayuda agaknya dapat menempatkan dirinya. Ia tidak mau

mengecewakan Kebo Kanigara. Maka katanya, “Begitulah angger

Widuri. Seperti kata ayah angger itu. Biarlah besok aku menyuruh

beberapa orang menjemput ke mari apabila sudah tiba waktunya.

Kalau angger sudah kembali ke Karang Tumaritis, biarlah kelak di

jemput pula ke sana. Bukankah begitu? Kelak angger bisa pergi

bersama ayah.”

Widuri kemudian menjadi bersungut-sungut. Bahkan

tampaklah matanya menjadi basah. Ia menjadi sangat kecewa.

Katanya kemudian, “Aku tidak mau dijemput oleh sembarang

orang.”

Demang Sarayuda tersenyum. Jawabnya, “Baiklah, besok aku

sendiri akan menjemput angger. Begitu?”

Widuri tidak menjawab. Namun tiba-tiba ia berdiri dan berlari

masuk ke dalam biliknya. Alangkah kecewa hatinya, bahwa ia tidak

dapat turut serta dengan Rara Wilis. Meskipun mereka berdua

bukan sanak bukan kadang, namun perpisahan di antara mereka

benar-benar tidak menyenangkan. Pergaulan mereka yang

ditandai dengan berbagai kesulitan, benar-benar telah mengikat

mereka dalam suatu ikatan yang sangat erat. Tidak saja Widuri

Page 46: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 97

yang menjadi sedih akan perpisahan itu, tetapi Rara Wilis pun

merasakan, bahwa ia akan menjadi kesepian tanpa gadis yang

nakal itu.

Tetapi Kebo Kanigara benar-benar berhalangan untuk turut

serta pergi ke Gunungkidul. Masih ada suatu pekerjaan yang

mengikatnya di Banyubiru. Pekerjaan yang ditimbulkan oleh

kemenakannya yang nakal.

Mahesa Jenar pun menjadi kecewa. Tetapi ia dapat mengerti

keberatan Kebo Kanigara. Meskipun demikian Mahesa Jenar itu

berkata, “Kakang. Sebenarnya aku sangat mengharap kakang

untuk ikut serta bersama kami.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya katanya,

“Aku juga menyesal sekali Mahesa Jenar. Tetapi barangkali kau

dapat mengerti apa yang akan aku lakukan. Karena itu biarlah lain

kali aku menyusul ke Gunungkidul bersama Widuri.”

Sesaat mereka pun berdiam diri. Arya Salaka menundukkan

kepalanya. Semula ia ingin juga turut pergi ke Gunungkidul

mengantarkan gurunya. Tetapi ketika ia mengetahui, bahwa

Endang Widuri tidak diperbolehkan oleh ayahnya ikut dalam

rombongan itu, maka ia menjadi bimbang. Keinginannya untuk

turut pun terlalu besar, namun terasa sesuatu yang menahannya

untuk tinggal di rumah. Karena itu, anak muda itu bahkan menjadi

bingung. Sehingga akhirnya Arya pun hanya berdiam diri saja.

“Ah, terserah apa yang akan aku lakukan nanti,” desisnya di

dalam hati. “Kalau tiba-tiba aku ingin berangkat biarlah aku

berangkat. Kalau aku ingin tinggal, biarlah aku tinggal.”

“Tetapi,” berkata pula hatinya. “Bagaimana kalau guru

mengajakku?”

“Entahlah,” jawabnya sendiri di dalam hati.

Malam itu Sarayuda dan para pengiringnya bermalam di rumah

itu pula. Karena tempatnya yang terbatas, maka para tamu itu

Page 47: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 97

dipersilakan tidur di pendapa, di atas tikar pandan yang dirangkap

supaya tidak terlalu dingin.

Dalam pada itu Mahesa Jenar dan Rara Wilis pun segera

mempersiapkan dirinya. Tetapi tidak banyaklah yang mereka

punyai. Mereka tidak sempat berbuat untuk diri mereka sendiri

selama ini. Karena itu, apa yang dimilikinya pun hampir tidak ada.

Hanya beberapa lembar pakaian yang sudah lungset tanpa

perhiasan apapun bagi Mahesa Jenar hal itu hampir tak

berpengaruh pada perasaannya.Tetapi bagi Rara Wilis, terasa

sekali alangkah miskinnya. Ia samasekali tidak memiliki perhiasan

apapun sebagai seorang gadis. Bahkan yang dimilikinya adalah

sebilah pedang. Pedang tipis yang telah dikotori dengan darah.

Mahesa Jenar terkejut ketika tiba-tiba dilihatnya wajah Rara

Wilis menjadi suram. Karena itu dengan dada yang berdebar-debar

mencoba bertanya. “Wilis. Adakah sesuatu yang mengganggu

perasaanmu?”

Rara Wilis terkejut mendengar pertanyaan itu. Segera

dicobanya untuk menguasai perasaannya. Dengan sebuah

senyuman yang dipaksakan ia menjawab, “Kenapa? Aku tidak apa-

apa kakang. Aku sedang berpikir tentang hari-hari yang akan

datang.”

“Oh” Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia

tidak membantah. Namun ketika dilihatnya sekali lagi Rara Wilis

merenungi kainnya yang hampir-hampir sudah kehilangan

warnanya, maka hatinya pun berdesir.

“Hem,” desahnya di dalam hati. “Ternyata aku tidak

menyadari, bahwa tekanan perasaan Wilis sudah terlampau padat.

Agaknya dalam ketegangan kewajiban yang aku hadari, gadis itu

tidak sempat memperhatikan keadaan dirinya sendiri. Namun

dalam kesempatan seperti ini, barulah disadarinya perasaan itu.

Perasaan seorang gadis.”

Page 48: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 97

Tetapi Mahesa Jenar tidak berkata apapun. Ia masih belum

tahu, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan kebutuhan-

kebutuhan yang wajar bagi sebuah keluarga. Apapun yang

dilakukannya, maka apabila sampai saatnya, maka hal itu tidak

akan mungkin dapat diabaikan.Ia tidak dapat membutakan

matanya, seandainya pada suatu saat ia dikejar-kejar oleh

keperluan-keperluan tetek bengek itu. “Itu merupakan suatu

kewajiban”, desahnya.

Mahesa Jenar itu pun kemudian berjalan keluar bilik Rara Wilis,

dan ke halaman. Dilihatnya beberapa orang sudah berbaring-

baring di pendapa, sedang beberapa orang lagi masih duduk-

duduk di antara mereka. Bahkan ada juga yang masih berjalan-

jalan di luar regol halaman.

Ketika Mahesa Jenar pergi keluar regol pula, maka orang-

orang dari Gunungkidul itu bertanya-tanya tentang beberapa hal

kepadanya.

“Tanah ini cukup subur,” berkata salah seorang dari mereka,

“Tanah yang akan memberikan apa saja yang diharapkan oleh

penggarapnya.”

“Demikianlah,” sahut Mahesa Jenar, “Tanah yang telah

dipertahankan dengan banyak pengorbanan.”

Tamu dari Gunungkidul itu mengangguk-anggukkan

kepalanya. Kemudian katanya, “Tanah kami adalah tanah yang

bercampur-baur. Ada yang subur sesubur tanah ini. Ada yang

menggantungkan airnya dari air hujan melulu. Bahkan ada yang

hanya dapat dijadikan padang-padang rumput untuk peternakan.

Bahkan ada yang batu melulu.”

Mahesa Jenar mengangguk lemah. Tanah ini adalah tanah

yang subur, yang telah dipertahankan dengan darah dan air mata.

Dirinya sendiri pun telah ikut serta memeras keringat untuk

kepentingan tanah ini. Tanah yang subur, yang akan dapat

memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat dan

Page 49: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 97

penduduknya. Bahkan siapa yang bekerja keras, pasti akan dapat

segera menikmati hasil dari jerih payahnya itu.

“Tetapi aku tidak dapat ikut serta,” desis Mahesa Jenar didalam

hati.

Timbullah didalam hatinya sesuatu yang tak pernah

dipikirkannya. Kalau ia nanti akan membangun rumah tangga yang

kuat, maka ia harus membuat tiang-tiangnya kuat pula. Di

antaranya, bagaimana ia harus hidup sekeluarganya. Karena itu,

maka sampailah Mahesa Jenar pada suatu kesimpulan. “Bekerja”.

“Ah,” kembali ia berdesah di dalam hati, “Akhirnya aku sampai

pada persoalan itu. Persoalan yang sangat pribadi. Persoalan yang

hampir tak ada sangkut pautnya dengan pengabdian yang selama

ini dilakukannya. Tetapi apakah dengan demikian maka segenap

pengabdian harus terhenti?”

“Tidak,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri. “Aku akan dapat

dan harus dapat melakukan kedua-duanya sekaligus. Mudah-

mudahan Wilis akan dapat mengerti pula.”

Tiba-tiba teringatlah Mahesa Jenar itu kepada masa-masa

lampaunya, masa-masa ia tinggal di istana Demak sebagai

seorang prajurit. Dikenangnya pula beberapa orang kawan-

kawannya yang pada saat itu telah berkeluarga pula. Katanya

didalam hati, “Mereka dapat melakukan kedua-duanya.

Pengabdian dan keluarga.”

“Tetapi tidak hanya didalam istana, atau didalam bidang-

bidang itu kedua-duanya dapat dilakukannya sekaligus,” katanya

pula. “Di sini, aku lihat rakyat Banyubiru melakukannya pula.

Bekerja untuk keluarganya, namun mereka melakukan

pengabdiannya untuk tanahnya. Membangun tanah ini. Tempat-

tempat ibadah, banjar-banjar desa dan surau-surau tempat

pendidikan lahir dan batin. Bekerja keras untuk kesejahteraan

keluarganya dan kesejahteraan bersama.”

Page 50: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 97

Tiba-tiba Mahesa Jenar itu teringat pada ceritera Wanamerta

tentang seorang bahu yang pernah mencoba menyuapnya dengan

timang emas bertretes berlian. “Bukan itu,” desah Mahesa Jenar di

dalam hatinya. “Bukan seperti bahu itu. Ia bekerja untuk diri

sendiri, tetapi bukan untuk sebuah pengabdian. Justru ia

menghisap hidup disekitarnya untuk kepentingannya.

Dibiarkannya orang-orang disekitarnya kering, namun dirinya

sendiri menimbun kekayaan tanpa batas.”

Namun bagaimana pun juga, Mahesa Jenar dihadapkan pada

suatu kewajiban yang baru. Kuwajiban atas sebuah keluarga yang

bakal disusunnya. Kuwajiban yang tidak kalah sucinya dari

kuwajiban yang telah dilakukannya selama ini. Sebab dengan

keluarga yang baik Yang Maha Esa telah mempergunakan untuk

menangkar-lipatkan jumlah manusia di dunia untuk memelihara

dan memanfaatkan ciptaan-Nya dengan baik.

Demikianlah, rombongan Sarayuda itu tinggal di Banyubiru

untuk dua hari lamanya. Selama itu mereka telah melihat-lihat

Banyubiru dengan baik. Apa yang dapat dilakukan di daerah

Demang yang kaya raya itu, telah mereka pelajari, sedang apa

yang baik bagi Banyubiru telah disarankannya pula.

Sehingga sampailah pada saatnya mereka meninggalkan

Banyubiru. Dua hari kemudian, maka bersiaplah rombongan itu

meninggalkan Banyubiru beserta Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Ki

Ageng Gajah Sora dengan menyesal tak dapat ikut serta bersama

mereka pergi ke Gunungkidul karena keadaan daerahnya yang

masih harus mendapat pengawasannya. Kebo Kanigara terikat

pada suatu kuwajiban yang tak dapat ditinggalkannya pula.

Sedang Endang Widuri dengan penuh penyesalan terpaksa tidak

dapat mengikuti Rara Wilis ke Gunungkidul. Pada saat-saat

terakhir itu pun kemudian Arya Salaka memutuskan untuk tidak

turut bersama gurunya, meskipun ada juga keinginan yang

melonjak-lonjak.

Page 51: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 97

Dalam kesempatan itu Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng

Lembu Sora pun telah memerlukan datang ke Banyubiru untuk

menyampaikan ucapan selamat jalan kepada Mahesa Jenar. Orang

yang aneh didalam tanggapannya. Orang yang hampir tak dapat

dimengertinya, apakah yang telah menjadikannya seorang yang

memiliki jiwa pengabdian yang sedemikian besarnya.

Sebelum matahari sepenggalah, maka rombongan itu telah

bersiap untuk berangkat. Ternyata Mahesa Jenar dan Rara Wilis

tidak hanya memerlukan dua ekor kuda untuk mereka. Seekor

kuda yang lain, tanpa sepengetahuan mereka telah dipisahkan

oleh Ki Ageng Gajah Sora. Dipunggung kuda itu terdapat sebuah

beban yang tak diketahui isinya. Beban yang telah diatur oleh Nyi

Ageng Gajah Sora bersama Nyi Ageng Lembu Sora.

Terharu juga Mahesa Jenar melihat kuda yang seekor itu tentu

saja ia tidak dapat menolak untuk tidak menyakiti hati Ki Ageng

Gajah Sora kakak beradik.

Perpisahan itu merupakan perpisahan yang mengharukan.

Meskipun mereka tahu, bahwa suatu ketika Mahesa Jenar akan

kembali pula, namun seakan-akan mereka bertemu pada saat itu

untuk terakhir kalinya. Apalagi Endang Widuri. Ketika kemudian

Sarayuda minta diri dengan serta merta gadis itu berlari

menghambur memeluk Rara Wilis. Sambil menangis Widuri

berkata, “Bibi, jangan pergi terlalu lama.”

Rara Wilis pun seorang gadis pula. Karena itu maka ia pun

tidak dapat menahan air matanya. Apalagi ketika dilihatnya Nyai

Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi

berlinang-linang. Teringat pula oleh mereka berdua, pada saat-

saat mereka berhadapan dengan Galunggung yang sedang

dihinggapi oleh kegilaannya tentang pangkat dan kekayaan,

sehingga hampir saja mereka berdua dibunuhnya. Untunglah pada

saat itu Rara Wilis hadir di antara mereka, sehingga sebenarnyalah

gadis itulah yang telah menyambung umurnya.

Page 52: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 97

“Widuri,” berkata Rara Wilis itu kemudian. “Perpisahan ini tidak

akan terlalu lama. Bukankah kau segera akan menyusul kami ke

Gunungkidul?”

Endang Widuri mengangguk perlahan. Dipalingkannya

wajahnya kepada ayahnya seakan-akan ia minta ketegasan

daripadanya.

Sebenarnya Kebo Kanigara merasa kasihan juga kepada

putrinya itu. Tetapi terpaksa ia tidak dapat mengijinkannya,

karena ia sendiri tidak dapat pergi. Anak itu adalah anak yang

sangat nakal, sehingga betapapun juga, maka Kebo Kanigara itu

tidak sampai hati melepaskannya tanpa pengawasannya. Apalagi

nanti Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang disibukkan oleh

persoalan mereka sendiri, maka Widuri akan sangat mengganggu

mereka, dan kadang-kadang pasti akan lepas dari pengawasan.

Karena itu, betapa pun juga, maka Kebo Kanigara berusaha

untuk tetap melarang anaknya ikut serta.

Ketika anaknya itu berpaling kepadanya, maka katanya, “Ya

Widuri. Segera kita akan menyusul ke Gunungkidul. Kemarin aku

sudah mendapat ancar-ancar, kemana kita nanti harus pergi. Jalan

mana yang harus kita tempuh, dari pamanmu Sarayuda. Kalau kau

bersabar sedikit bukankah pamanmu Sarayuda bersedia untuk

menjemputmu?”

Akhirnya Rara Wilis itupun dilepaskannya juga, meskipun

tangisnya mash saja menyesakkan dadanya, sementara Mahesa

Jenar menepuk punggung muridnya. “Kau sudah menjelang

dewasa penuh Arya. Sudah seharusnya kau menyadari keadaanmu

itu. Bekerja keras membantu ayahmu. Tak ada orang lain yang

diharapkannya selain daripadamu.”

Arya mengangguk sambil menjawab, “Ya paman”.

Maka kemudian sampailah saatnya rombongan itu berangkat.

Perpisahan yang mengesankan. Rara Wilis masih melihat Endang

Page 53: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 97

Widuri berlari masuk ke gandok kulon, sedang kemudian Nyai

Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menyusulnya.

Sebuah salam yang erat sebagai tanda terima kasih yang tak ada

batasnya, telah diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana. Orang tua

itu justru hampir tak mampu lagi mengucapkan kata-kata terima

aksihnya. Terima kasih atas segenap bantuan yang telah diberikan

oleh Mahesa Jenar langsung, namun lebih daripada itu, Mahesa

Jenar telah membentuk Arya Salaka menjadi harapan bagi masa

datang.

Satu demi satu, maka kemudian keluarlah mereka dari

halaman di atas punggung kuda masing-masing. Bagi Mahesa

Jenar dan Rara Wilis perjalanan yang akan ditempuh itu terasa

aneh. Perjalanan yang jauh berbeda dengan semua perjalanan

yang pernah mereka lakukan. Kalau pada masa lampau mereka

berjalan dengan penuh keprihatinan, maka perjalanan kali ini

adalah perjalanan menunju ke hari-hari yang cerah. Namun karena

itulah maka dada mereka menjadi berdebar-debar.

Setelah mereka meninggalkan halaman itu maka mulailah

kuda mereka berjalan agak cepat. Beberapa orang melihat

rombongan itu menganggukkan kepala mereka. Mereka

memberikan hormat setulus-tulusnya kepada Mahesa Jenar dan

Rara Wilis. Bahkan Ki Wanamerta, Jaladri, Bantaran dan Penjawi

telah ikut serta dengan rombongan itu, mengantarkan sampai ke

perbatasan kota. Bukan hanya mereka. Beberapa orang lain pun

telah ikut pula, sehingga rombongan itu menjadi semakin panjang.

Di perbatasan kota mereka berhenti sesaat. Wanamerta yang

tua itu memerlukan mengucapkan selamat jalan, mengucapkan

terima kasih atas nama segenap rakyat Banyubiru dan ternyata

orang tua yang telah menjadi hampir bulat kembali itu meneteskan

air mata.

“Selamat tinggal paman,” berkata Mahesa Jenar kemudian.

Page 54: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 97

Wanamerta mengangguk. Ingin ia menjawab, namun suaranya

tersangkut dikerongkongan.

Yang terdengar kemudian hanyalah sebuah jawaban pendek,

“Ya, ya angger.”

Mahesa Jenar itu pun kemudian meneruskan perjalanannya.

Dimuka sendiri Demang Sarayuda mulai mempercepat jalan

kudanya. Perjalanan mereka adalah perjalanan yang panjang.

Namun mereka tidak usah takut terhadap siapa pun sehingga

mereka tidak perlu memilih jalan-jalan yang tersembunyi. Atau

mereka pun samasekali tidak berkepentingan dengan apapun

selama perjalanan mereka. Karena itulah maka perjalanan itu akan

tidak terganggu.

Di sepanjang jalan itu Rara Wilis telah mulai menganyam

angan-angannya menjelang masa-masa yang akan datang. Hal

yang lumrah bagi gadis-gadis yang akan menginjak masa-masa

yang telah lama mereka tunggu-tunggu. Rara Wilis pun adalah

seorang gadis biasa. Meskipun kadang-kadang dilambungnya

tersangkut sebilah pedang, dan bahkan pedang yang telah

berbekas darah, namun dalam saat-saat yang demikian ia adalah

seorang gadis. Tidak lebih daripada itu. Karena itulah maka ia

mendambakan masa yang berbahagia, masa yang bagi Rara Wilis

sebenarnya telah terlalu lambat.

Sepeninggal Mahesa Jenar dan Rara Wilis terasa rumah Ki

Ageng Gajah Sora menjadi sepi. Apalagi ketika Ki Ageng Lembu

Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana telah kembali ke Pamingit.

Namun meskipun demikian, kehadiran Endang Widuri di

Banyubiru, masih dapat menyejukkan suasana rumah Ki Ageng

Gajah Sora itu.

Untuk menghilangkan kejemuannya Endang Widuri bekerja

apa saja yang dapat dilakukannya. Menanami halaman, yang

seakan-akan halamannya sendiri. Ikut menanam padi disawah.

Menyiangi dan pekerjaan-pekerjaan lain. Sebagai seorang gadis

Page 55: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 97

Widuri senang juga membantu Nyai Ageng Gajah Sora didapur.

Menyiapkan makan dan minuman.

Ki Ageng Gajah Sora pun masih mempunyai kawan bercakap-

cakap. Kebo Kanigara, meskipun pada saat-saat terakhir Kebo

Kanigara sering meninggalkan rumah, dan tak pernah ia berkata

tentang apapun juga kepada putrinya. Widuri pun menyadari

keadaanya. Ia merasa masih terlalu kecil untuk berbicara tentang

masalah-masalah yang berat dengan ayahnya. Karena itu, maka

jarang sekali Widuri bertanya-tanya tentang pekerjaan ayahnya.

Gadis itu lebih senang bercakap-cakap dengan Arya Salaka di

pendapa atau dengan Nyai Ageng Lembu Sora di belakang.

Meskipun demikian gadis itu tidak melupakan ilmu yang

pernah dipelajarinya. Di saat-saat tertentu ia berlatih bersama

Arya Salaka. Mereka berdua memiliki sumber ilmu yang sama.

Ilmu yang dipancarkan dari perguruan Pengging.

Namun sekali-kali gadis itu teringat pula kepada Rara Wilis.

Karena itu, maka sekali-kali ia bertanya pula kepada ayahnya.

“Ayah, apakah pekerjaan ayah masih belum selesai?”

Kebo Kanigara menggeleng, “Belum Widuri.”

“Kapan kita menyusul bibi Wilis?”

“Sebentar lagi,” sahut ayahnya. “Sebentar lagi aku akan pergi

ke Karang Tumaritis. Pamanmu Mahesa Jenar berpesan kepadaku,

untuk atas namanya, mohon diri kepada Panembahan. Bukankah

Panembahan telah berjanji untuk pergi ke Gunungkidul? Kau

dengar juga bukan? Nah. Kalau demikian, sebaiknya kita pergi

bersama dengan Panembahan kelak.”

Dengan kesanggupan itu hati Widuri terhibur pula sedikit.

Tetapi dalam pada itu, ia heran juga, apa sajakah yang dilakukan

oleh ayahnya di Banyubiru?

Namun Kebo Kanigara tak pernah menyebut-nyebutnya. Dan

Widuripun tidak bertanya-tanya pula.

Page 56: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 97

IV WIDURI HILANG

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang

menggemparkan Banyubiru yang belum beberapa lama mengalami

ketenangan kini telah diguncangkan kembali dengan suatu

peristiwa yang tak disangka-sangka samasekali.

Pada hari itu, segenap kentongan tanda bahaya menggema di

lerang bukit Telamaya. Tanda bahaya yang benar-benar

mengejutkan setiap orang. Mereka tidak melihat tanda-tanda

apapun yang terjadi, namun tiba-tiba mereka mendengar tanda

bahaya itu.

Sesaat kemudian mereka melihat, beberapa orang

penunggang kuda berlari-lari memacu kudanya kesegenap

penjuru. Bahkan Arya Salaka sendiri seperti orang yang menjadi

gila. Gajah Sora, Kebo Kani gara, Wanamerta, Bantaran, Penjawi,

Jaladri dan semua laskar di Banyubiru memencar di atas kuda

masing-masing.

“Apakah yang terjadi?” bertanya seseorang.

Orang yang ditanyanya menggelengkan kepalanya. Meskipun

demikian wajahnya menjadi pucat pula. “Entahlah.”

Baru sesaat kemudian, ketika mereka melihat seorang berkuda

berlari dihadapan mereka, maka berteriaklah mereka itu, “Ada

apa?”

“Endang Widuri hilang.”

“He,” tetapi orang berkuda itu telah jauh. Dua orang yang lain

menyusul pula dibelakang orang berkuda yang pertama. Tetapi

kepada orang itu pun mereka tidak sempat bertanya apa-apa.

Nyai Ageng Gajah Sora pada saat itu menangis di dalam

biliknya. Gadis itu bukan anaknya, tetapi benar-benar seperti anak

gadis yang telah dilahirkannya sendiri. Gadis itu memang nakal,

tetapi menyenangkan. Banyak hal-hal yang menarik dilakukan

Page 57: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 97

oleh gadis itu. Apabila tak seorang pun yang ada, pada saat Nyai

Ageng membutuhkan beberapa butir kelapa, maka dengan

tangkasnya gadis itu memanjatnya. Bahkan sampai batang yang

paling tinggi sekalipun. Namun gadis itu pandai juga memasak dan

bercerita. Pandai menjahit dan pandai juga berdendang.

Namun tiba-tiba gadis itu hilang.

Di hadapan Nyai Ageng Gajah Sora itu duduk bersimpuh

seorang gadis pula. Gadis itu juga menangis seperti Nyai Ageng.

Dan dari gadis itulah Banyubiru mendengar berita tentang

hilangnya Widuri.

Nyai Ageng Gajah Sora, sambil mengusap air matanya

berkata, “Apakah tak ada orang lain di belumbang itu?”

Gadis itu menggeleng, “Tidak Nyai Ageng. Waktu aku datang,

aku sempat mendengar ceritanya. Ketika aku berlari-lari

menengoknya, aku hanya melihat bayangan seorang anak muda

memapahnya berlari masuk ke dalam semak-semak.”

Nyai Ageng Gajah Sora termenung sejenak. Adalah aneh

sekali, bahwa hal itu dapat terjadi. Widuri bukanlah gadis biasa

seperti gadis yang bersimpuh di hadapannya itu. Widuri adalah

seorang gadis yang memiliki beberapa macam keanehan. Gadis itu

mampu berkelahi seperti laki-laki. Bahkan melampaui kemampuan

seorang laskar Pamingit yang dapat dianggap kuat, Galunggung.

Kenapa ia tidak memukul saja anak muda yang menculiknya itu?

Berbagai persoalan melingkar-lingkar didalam dadanya.

Heran, kecewa menyesal dan berpuluh-puluh persoalan yang lain.

“Apakah kau dapat mengira-irakan, kemana Endang Widuri itu

dibawa?” bertanya Nyai Ageng itu pula.

Gadis itu menggeleng, “Aku tidak tahu Nyai. Namun aku

melihat mereka menyusup ke arah Timur. Tetapi untuk seterusnya

aku tidak tahu, sebab aku langsung berlari memberitahukannya

kemari.”

Page 58: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 97

Nyai Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dalam kegelapan

nalar Nyai Ageng hanya dapat menangis.

Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi marah bukan buatan. Gadis

itu hilang di dalam wilayahnya. Endang Widuri baginya adalah

seorang tamu. Karena itu, maka ia merasa bertanggungjawab pula

atas kehilangan itu. Dengan menggeratakkan giginya, Ki Ageng

Gajah Sora memacu kudanya pergi ke belumbang yang

sebenarnya tidak begitu jauh. Demikian ia sampai di belumbang,

demikian ia meloncat turun, di ikuti oleh Arya Salaka dan Kebo

Kanigara sendiri, disamping beberapa orang lain. Tanpa mendapat

perintah segera mereka memencar diri, mengamat-amati setiap

pertanda yang mungkin dapat dijadikan alasan untuk mengetahui,

siapakah yang telah melakukan perbuatan itu.

Di belumbang itu masih tinggal beberapa potong pakaian

Endang Widuri yang belum sempat dicucinya. Beberapa helai telah

dicelupkannya ke dalam air, sedang beberapa helai yang lain masih

kering terletak di tepian.

“Anak itu tidak banyak mendapat kesempatan,” desis Gajah

Sora.

Kebo Kanigara memandangi pakaian anaknya dengan mata

yang suram. Namun mulutnya terkatub rapat-rapat. Tak sepatah

kata pun yang diucapkannya. Dengan tangan yang gemetar ia

berjongkok, meraih pakaian-pakaian anaknya itu, dan kemudian

dimasukkannya kedalam bakul. Perlahan-lahan kemudian

terdengar ia bergumam, “Biarlah pakaian Widuri ini aku simpan

baik-baik. Aku yakin, pada suatu saat ia akan kembali lagi

kepadaku.”

Mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu Gajah Sora hanya

dapat menarik nafas. Namun terucapkan janji didalam hatinya,

bahwa kekuatan yang ada di Banyubiru harus mampu

menyerahkan anak itu kembali kepada ayahnya.

Page 59: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 97

Arya Salaka kemudian tidak mau merenung-renung lebih lama

di tepi belumbang itu. Ia telah mendengar pula, bahwa Widuri di

bawa menyusup ke arah timur. Karena itu, maka ia pun mencoba

melihat arah yang dikatakan itu. Di amat-amatinya setiap jengkal

tanah, mungkin ia akan dapat menemukan jejak.

Hati Arya Salaka terlonjak ketika benar-benar ditemukannya

jejak itu. Jejak yang benar-benar masuk ke dalam gerumbul ke

arah Timur. Karena itu dengan hati-hati ia mengikuti jejak itu.

Namun alangkah kecewanya anak muda putera Kepala Daerah

Tanah Perdikan Banyubiru itu. Jejak itu hanya dapat di ikuti

beberapa langkah. Kemudian hilang di atas rerumputan yang liar.

Betapa pun Arya Salaka mencoba mencarinya, namun sia-sia saja.

Arya Salaka itu pun kemudian menyusup lebih dalam lagi. Ia

kini mencari jejak pada ranting-ranting di sekitarnya. Sekali ia

melihat sebuah ranting yang patah. Namun kembali ia kehilangan

kesempatan untuk mengikutinya.

“Setan,” desis Arya Salaka yang benar-benar menjadi gemetar

karena marah. Namun ia tidak tahu, bagaimana ia akan

menumpahkan kemarahannya. Karena itu, direnggutnya setiap

dahan, ranting dan apa saja yang teraba oleh tangannya.

Ketika Arya Salaka itu sudah yakin, bahwa tidak akan

diketemukan tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan kemana

mereka harus mencari, maka segera Arya meninggalkan

belumbang itu langsung meloncat di atas kudanya.

Dengan kecepatan penuh, Arya berpacu ke arah timur. Tetapi

ia tidak tahu pasti, kemana ia harus pergi. Ia pergi demikian saja

karena gelora di dalam dadanya, tanpa diketahuinya arah yang

pasti.

Demikian juga para pemimpin dan laskar Banyubiru yang lain.

Mereka berpacu ke segenap arah. Namun mereka pun hanya

sekadar mencoba mencari kemungkinan untuk melihat atau

menemukan gadis yang hilang tanpa pegangan yang pasti. Mereka

Page 60: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 97

itu sedang berusaha mencari yang hilang tanpa petunjuk-petunjuk

samasekali.

Karena itu alangkah sulitnya. Sehari itu, seluruh daerah

Banyubiru telah di aduk oleh laskar Banyubiru. Hampir setiap

orang turut serta dalam pencaharian itu. Namun Endang Widuri

tidak dapat diketemukan. Gadis itu seakan-akan hilang di telan

oleh retak tanah perdikan Banyubiru.

Bahkan tidak saja kota Banyubiru, namun para penunggang

kuda telah jauh menjorok ke segenap arah. Namun usaha mereka

sia-sia belaka. Arya Salaka sendiri bersama beberapa orang telah

sampai ke daerah Rawa Pening. Di obrak-abriknya daerah bekas

sarang Uling Putih dan Uling Kuning, seandainya ada sisa-sisa

gerombolan itu yang sengaja membuat Banyubiru kacau. Namun

Endang Widuri tidak ada di sana, dan tak diketemukannya

pertanda, bahwa tempat itu masih didiami orang.

Malam itu, para pemimpin Banyubiru berkumpul di pendapa

rumah Ki Ageng Gajah Sora. Peristiwa hilangnya Widuri bagi

Banyubiru tidak dapat di anggap sebagai suatu persoalan yang

kecil. Pesoalan itu sama besarnya dengan hadirnya golongan hitam

di tanah mereka. Karena itu maka setiap kekuatan yang ada harus

dikerahkan untuk memecahkan peristiwa itu.

Namun tak seorang pun yang dapat mengemukakan pendapat

mereka tentang hilangnya Endang Widuri. Mereka diliputi oleh

suasana yang gelap pekat. Tak ada setitik api pun yang dapat

memberi petunjuk kepada mereka, tentang persoalan yang

menggemparkan itu.

Dalam ketegangan itu terdengar Arya Salaka berdesis,

“Peristiwa ini benar-benar memalukan tanah perdikan ini ayah.

Karena itu, maka Endang Widuri harus diketemukan segera.”

Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gajah Sora dan

bahkan beberapa orang lain mengetahui bahwa Arya Salaka tidak

saja tersinggung kehormatan atas hilangnya tamunya itu, namun

Page 61: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 97

jauh lebih daripada itu. Hampir setiap orang di pendapa itu

mengetahuinya, bahwa Arya Salaka dan Endang Widuri agaknya

telah masuk ke dalam suatu ikatan tanpa ssadar mereka itu.

Ikatan yang tidak dapat dikatakan dan tidak dapat dirumuskan

oleh mereka yang mengalaminya. Karena itu, maka adalah wajar

sekali kalau Arya Salaka benar-benar menjadi sangat marah dan

bingung.

“Aku sependapat dengan kau Arya,” jawab ayahnya. “Kini kita

sedang mencari setiap kemungkinan untuk itu.”

“Apa pun yang akan terjadi, kita harus menemukannya

kembali,” sahut Arya pula.

“Ya. Tentu,” berkata ayahnya pula. Namun terbayang di

wajahnya Ki Ageng Gajah Sora keragu-raguan yang

menggelisahkan. Kemana harus dicari anak itu? Sejak pagi, Ki

Ageng Gajah Sora telah memerintahkan beberapa orang yang

pergi ke Pamingit. Memberitahukan kehilangan itu kepada Ki

Ageng Lembu Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana. Dan ternyata,

Pamingit pun telah menjadi gelisah pula. Senja itu telah datang

utusan Ki Ageng Lembu Sora untuk menanyakan apakah Endang

Widuri sudah diketemukan.

Dan utusan itu pun kembali dengan membawa berita, bahwa

persoalan Widuri masih gelap.

Dalam kegelapan pikiran, tiba-tiba Arya Salaka teringat

kepada gurunya, Mahesa Jenar. Meskipun ia kini telah berhadapan

dengan berpuluh-puluh orang, dan bahkan ada di antara mereka,

ayahnya dan Kebo Kanigara, ayah gadis itu, namun ada sesuatu

yang menyentuh perasaannya, bahwa gurunya akan dapat

membantunya. Mahesa Jenar bagi Arya Salaka merupakan tempat

untuk berlindung hampir enam tahun lamanya. Tempat Arya

Salaka menggantungkan hidup matinya dalam masa-masa yang

berbahaya. Karena itu, hampir dalam semua kesulitan, Arya selalu

teringat kepada gurunya itu. Demikian juga kali ini. Maka tiba-tiba

Page 62: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 97

saja ia berkata, “Ayah, aku akan berusaha memberitahukan

kehilangan ini kepada paman Mahesa Jenar.”

Ki Ageng Gajah Sora mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo

Kanigara pun terkejut mendengar kata-kata Arya itu, sehingga

kemudian katanya, “Jangan Arya. Jangan mengganggu pamanmu

itu.”

Ki Ageng Gajah Sora ternyata sependapat pula dengan Kebo

Kanigara. Karena itu maka ia berkata pula, “Ya, Arya. Biarlah

pamanmu Mahesa Jenar beristirahat. Selama ini hampir-hampir

seluruh hidupnya telah dicurahkan untuk kepentingan orang lain.

Kepentingan kita. Karena itu, maka biarlah kali ini pamanmu

Mahesa Jenar tidak terganggu. Biarlah kita yang berada di

Banyubiru ini berusaha sekuat-kuat tenaga kita. Tetapi kita sudah

berjanji kepada diri sendiri bahwa Endang Widuri harus

diketemukan.”

Arya Salaka menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak puas

dengan jawaban-jawaban itu. Betapa pun juga, maka dalam

kesulitan ini, ia akan merasa lebih tenang apabila gurunya ada

disampingnya.

Kebo Kanigara melihat perasaan yang tergores di hati Arya

Salaka. Maka katanya, “Arya. Marilah kita mencoba menyelesaikan

masalah ini. Sebenarnya aku sendiri sangat gelisah atas hilangnya

Endang Widuri. Tetapi kita bukanlah orang-orang yang hanya

dapat meratap. Aku sendiri sudah tentu akan berusaha untuk

menemukan anak itu. Dan aku akan berterima kasih seandainya

Ki Ageng Gajah Sora, beserta kekuatan-kekuatan yang ada di

Banyubiru untuk membantunya. Namun dengan sepenuh hati aku

tidak pernah meletakkan kesalahan ini kepada orang lain. Apalagi

kepada Banyubiru sebab hal yang demikian itu akan dapat terjadi,

kapan saja dan dimana saja. Karena itu, jangan terlalu

menyalahkan diri sendiri dan Banyubiru.”

Page 63: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 97

Arya Salaka masih belum menjawab. Dicobanya untuk mencari

alasan yang sebaik-baiknya, agar orang-orang lain tidak mau

mengerti, kenapa ia berkepentingan akan hadirnya Mahesa Jenar.

Sebenarnya Arya Salaka pun menyadari, apa yang dapat dilakukan

oleh gurunya itu. Gurunya tidak melihat pada saat Endang Widuri

itu hilang. Kalau Kebo Kanigara, ayah gadis itu sendiri yang sedang

berada di Banyubiru, tidak segera dapat menemukannya, apalagi

Mahesa Jenar. Arya Salaka itu tahu pasti, bahwa tingkat kesaktian

gurunya tidak akan dapat melampaui Kebo Kanigara itu. Meskipun

demikian, perasaannya selalu mendesaknya supaya

memberitahukan peristiwa itu kepada gurunya.

Pendapa Banyubiru itu sesaat menjadi hening sepi. Angin

malam yang lembut menggerakkan daun-daun sawo di halaman.

Dikejauhan terdengar lamat-lamat suara anjing liar di lereng-

lereng bukit sedang berjuang berebut makanan.

Melihat daun-daun sawo itu yang bergerak-gerak itu, tiba-tiba

bulu kuduk Wanamerta berdiri. Meskipun ia tidak takut, namun

apabila teringat bahwa ia pernah melihat daun-daun itu bergetar,

dan kemudian terjunlah seseorang yang menamakan dirinya

Wadas Gunung, hatinya masih saja berdesir. Untunglah bahwa

kekuasaan Yang Maha Kuasa ternyata telah menyelamatkan

Banyubiru.

Dalam keheningan itulah kemudian terdengar Arya Salaka

berkata perlahan-lahan, namun jelas terdengar kata demi kata,

“Ayah. Aku tidak ingin mengganggu paman Mahesa Jenar. Aku

sudah cukup menerima perlindungan dan bahkan apa saja yang

ada pada paman Mahesa Jenar itu. Ilmunya dan ajaran-ajaran

yang sangat berguna. Tetapi karena itulah barangkali yang telah

mengikat aku dalam satu sikap, seakan-akan semuanya

tergantung kepada paman Mahesa Jenar. Kalau kali ini aku masih

akan memberitahukan hilangnya Endang Widuri kepada paman

Mahesa Jenar, maka hal itu pasti juga karena terpengaruh oleh

perasaanku itu. Tetapi seandainya demikian, seandainya aku

masih harus mengganggu guru, mudah-mudahan kali ini untuk

Page 64: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 97

yang terakhir kalinya. Dan biarlah aku hanya sekadar

memberitahukan akan kehilangan itu. Kalau paman Mahesa Jenar

masih belum sempat berbuat sesuatu, biarlah guru tidak usah

datang ke Banyubiru.”

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat

merasakan apa yang sedang bergolak didalam dada anak itu. Anak

itu pasti akan merasa bersalah kelak, apabila gurunya bertanya

kepadanya, kenapa hal itu tidak diberitahukannya. Karena itu,

maka akhirnya Ki Ageng Gajah Sora itu berkata. “Arya. Kalau kau

akan memberitahukan kepada pamanmu, baiklah. Tetapi ingat,

hanya sekadar memberitahukan. Jangan sekali-kali kau

mengharap pamanmu itu datang kemari apabila tidak atas

kehendaknya sendiri.”

Arya kemudian mengangkat wajahnya. Ia menjadi

bergembira mendengar jawaban ayahnya. Dengan gurunya

setidak-tidaknya nasehatnya, Arya merasa, bahwa kekuatannya

akan bertambah. Namun di samping itu timbul pula perasaan

malunya, bagaimana nanti kalau gurunya itu menganggap bahwa

ia masih saja tidak mampu berbuat sendiri.

Tetapi kali ini ia memandang kejadian itu sangat pentingnya.

Endang Widuri telah melakukan banyak hal dalam lingkungan

bersama dengan gurunya dan Rara Wilis. Maka mau tidak mau,

pasti ada sesuatu ikatan yang menghubungkan mereka. Sehingga

tidaklah akan berlebihan apabila hal itu diberitahukannya kepada

gurunya.

Namun Kebo Kanigara agaknya menjadi kecewa atas

keputusan Ki Ageng Sora Dipayana. Dengan nada yang rendah ia

berkata, “Ki Ageng, aku akan sangat berterima kasih atas segala

susah payah yang telah Ki Ageng lakukan. Tidak saja pada saat-

saat anakku satu-satunya itu hilang. Tetapi selama ini, aku telah

mendapat tempat yang sangat baik di Banyubiru. Karena itu tidak

sewajarnya kalau aku akan selalu terus menerus membebani Ki

Ageng dengan persoalan-persoalanku. Kini persoalan hilangnya

Page 65: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 97

Widuri. Juga terhadap Mahesa Jenar yang selama ini hampir tidak

pernah dapat menikmati hari-hari yang tenang. Karena itu, biarlah

aku mencoba untuk mencarinya. Tanpa mengurangi penghargaan

atas segala bantuan Ki Ageng, namun adalah menjadi bubuhanku

bahwa Endang Widuri harus diketemukan.”

“Tidak paman,” tiba-tiba Arya menyahut. “Tidak saja paman,

tetapi kami, kita semua kebubuhan mencarinya. Juga paman

Mahesa Jenar, wajib diberitahu atas peristiwa ini.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan

terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora menyambung, “Arya benar,

kakang Kebo Kanigara. Apa yang kami lakukan adalah kewajiban,

disamping sebagai pernyataan terima kasih atas apa saja yang

pernah kakang lakukan di Banyubiru dan Pamingit. Dan apa yang

pernah dilakukan oleh Endang Widuri sendiri.”

Kebo Kanigara sudah barang tentu tidak dapat menolak uluran

tangan itu. Maka jawabnya, “Terima kasih Ki Ageng.”

Sekali lagi pendapa itu diterkam oleh kesepian. Sekali-kali

Wanamerta melihat daun-daun sawo bergoyang-goyang. Dan

sekali lagi dadanya berdesir karenanya. Tetapi ketika ia melihat

daun-daun yang lain pun bergoyang pula, maka katanya di dalam

hati, “Hem. Angin yang nakal telah menggodaku.”

Dalam keheningan itu tiba-tiba mereka mendengar derap kuda

di antara desir angin malam. Beberapa orang yang mendengar

suara itu segera mengangkat wajah mereka. Dan mereka

sependapat bahwa suara itu adalah suara serombongan orang-

orang berkuda yang telah memasuki alun-alun. Namun karena

mereka tidak mendengar suara kentongan dan tanda-tanda yang

lain, maka suasana di pendapa itu masih tetap dalam ketenangan.

Beberapa saat kemudian, para penjaga regol telah

menghentikan beberapa ekor kuda yang akan memasuki halaman.

Namun ketika mereka melihat para penumpangnya, maka mereka

Page 66: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 97

segera menganggukkan kepalanya sambil mempersilakan para

penunggang kuda itu untuk masuk.

“Siapa?” terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya.

“Ki Ageng Lembu Sora beserta beberapa orang pengiringnya,”

sahut orang yang berdiri di dalam gardu.

“Oh,” desis Ki Ageng. Dan orang-orang yang berada di

pendapa itu pun segera berdiri menyambut kedatangan tamu-

tamu mereka.

Sebelum duduk, Ki Ageng Lembu Sora sudah bertanya,

“Bagaimana dengan Endang Widuri?”

Ki Ageng Gajah Sora menggeleng, “Belum kami ketemukan.”

“Hem” terdengar seseorang menggeram. Ketika Ki Ageng

Gajah Sora berpaling kepada orang itu, maka dilihatnya Wulungan

menggigit bibirnya. Bahkan kemudian ia berguman, “Angger

Widuri telah menyelamatkan aku. Ketika Adi Galunggung menjadi

gila dan menaburkan pasir kemataku pada saat kami berkelahi,

maka nyawaku telah berada di ujung pedangnya. Namun

untunglah, angger Widuri berhasil mencegahnya, sehingga

akhirnya aku pun selamat.”

Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan

dipersilakan tamunya duduk di pendapa itu pula.

Pembicaraan tentang Widuri menjadi semakin riuh. Semua

orang di pendapa bertekad untuk menemukannya. Bahkan Ki

Ageng Lembu Sora berkata, “Aku dapat mengerahkan setiap orang

di Pamingit untuk ikut serta mencarinya, kakang.”

“Terima kasih,” jawab Ki Ageng Gajah Sora.

Tetapi Kebo Kanigara masih saja menundukkan kepalanya.

Pembicaraan yang didengarnya tentang anaknya benar-benar

Page 67: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 97

telah mengharukannya, sehingga malahan ia tidak dapat berkata

apa-apa tentang itu.

Beberapa orang yang sempat menatap wajahnya menjadi

terharu pula. Widuri adalah satu-satunya kawan hidupnya. Bahkan

hidupnya sendiri agaknya tidak sedemikian menarik dibanding

dengan hidup anaknya itu. Anak satu-satunya yang akan dapat

menjadi penyambung masa depannya. Namun tiba-tiba anak itu

hilang. Hilang seperti tenggelam dalam kekelaman malam.

Malam itu orang-orang yang berkumpul di pendapa Banyubiru,

samasekali tidak dapat menarik kesimpulan apa pun tentang

hilangnya Endang Widuri. Namun mereka tidak dapat menolak,

bahwa besok Arya Salaka akan mengirim utusan ke Gunungkidul

untuk memberitahukan hilangnya Endang Widuri dari Banyubiru.

Malam itu pun berjalan menurut ketentuannya sendiri,

samasekali tidak menghiraukan kerisauan hati Arya Salaka yang

berputar-putar di dalam biliknya. Betapa hatinya menjadi gelisah,

marah dan bermacam perasaan lagi bercampur baur di dalam

dadanya. Karena itu, maka ia samasekali tidak dapat memejamkan

matanya. Angan-angannya hilir mudik tidak tentu arah. Siapakah

yang akan dipersalahkan atas hilangnya Widuri. “Seandainya aku

tahu siapa yang mengambilnya, maka baginya tak ada ampun lagi.

Aku bunuh dengan tanganku.” Anak muda itu menjerit di dalam

hatinya. Tapi tak seorang pun yang dapat memberitahukan

kepadanya, siapakah yang telah mengambil Endang Widuri.

Akhirnya Arya Salaka itu tidak betah lagi tersekap di dalam

biliknya. Perlahan-lahan ia berjalan keluar. Lewat longkangan

gandok kulon Arya muncul di pintu butulan.

Tiba-tiba Arya Salaka itu berdesir. Dilihatnya sesosok

bayangan bergerak di halaman belakang rumahnya. Cepat seperti

kilat anak muda itu meloncat memburu ke arah bayangan itu.

Namun sesaat ia kehilangan jejaknya. Tetapi Arya Salaka adalah

seorang anak muda yang terlatih dalam menghadapi segala

Page 68: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 97

macam persoalan. Cepat ia berjongkok dan memasang telinganya

baik-baik. Namun ia masih belum mendengar sesuatu.

Alangkah terkejutnya hati anak muda itu, ketika tiba-tiba ia

melihat bayangan yang dikejarnya, telah meloncat pagar

halamannya yang cukup tinggi itu.

“Gila,” desisnya. Terdengarlah giginya gemeretak karena

marah. Tetapi ia tidak mau kehilangan bayangan itu, meskipun

disadarinya, bahwa tidak semua orang dapat berbuat serupa itu.

Meloncat pagar yang sedemikian tingginya hampir tanpa bersuara

adalah suatu pekerjaan yang sulit. Karena itu, maka segera ia pun

berlari ke arah bayangan itu dan meloncat pula ke atas dinding. Ia

masih melihat bayangan itu berlari sepanjang dinding halaman dan

kemudian masuk menyuruk ke dalam rimbunnya semak-semak.

Meskipun demikian Arya pun berlari menyusulnya. Sesaat ia

masih dapat mengikutinya dituntun oleh suara desah langkah

bayangan itu serta batang-batang yang terdengar. Bahkan

akhirnya Arya sempat melihat orang itu meloncati parit dan berlari

ke tengah-tengah rumpun bambu.

Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, maka Arya

mempercepat larinya. Diterobosnya rimbunnya rumpun-rumpun

bambu itu tanpa menghiraukan apa saja yang dapat terjadi

atasnya. Tetapi kali ini ia gagal. Bayangan itu seakan-akan lenyap

begitu saja di tengah-tengah rumpun bambu itu. Dengan penuh

kemarahan Arya mencarinya, menghentak-hentakkan setiap

batangnya, bahkan beberapa batang telah dipatahkannya dengan

suara yang berderak-derak. Namun bayangan itu benar-benar

telah hilang.

Suara berderak bambu-bambu patah itu, telah mengejutkan

beberapa orang disekitarnya. Bahkan ada pula di antara mereka

yang keluar rumah dengan obor-obor di tangan.

Ketika Arya Salaka melihat obor-obor itu, maka terdengarlah

ia berteriak. “Bawa obor itu kemari.”

Page 69: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 97

“Siapa kau?” orang yang membawa obor itu bertanya.

“Arya Salaka,” sahut Arya.

“Oh, kaukah itu ngger”

Orang yang membawa obor itu kemudian berlari-lari ke arah

suara Arya Salaka. Orang itu terkejut melihat Arya berada di

tengah-tengah rumpun bambu-bambu di malam yang gelap.

Karena itu maka dengan serta merta orang itu bertanya. “Hem

ngger. Kenapa angger berada di dalam rumpun bambu di malam

buta? Apakah angger tadi di gondol wewe?”

Arya menggeram, “Omong kosong. Aku tidak dicuri oleh

kunthilanak itu. Aku sedang mencari seseorang. Berikan obormu

itu.”

Orang itu ragu-ragu sejenak. Apakah betul Arya Salaka yang

berdiri di tengah-tengah rumpun bambu itu?

Karena orang itu tidak mau mendekat, maka dengan

jengkelnya Arya Salaka meloncat dari rumpun itu dan merampas

obor yang masih menyala-nyala sambil berkata, “Aku bukan anak

gendruwo. Aku Arya Salaka.”

Kemudian tidak hanya orang itu saja yang keluar dari

rumahnya. Suara Arya Salaka mengumandang dari rumah yang

satu menyusup ke dinding rumah yang lain. Karena itulah maka di

bawah rumpun bambu itu kemudian menjadi ribut. Beberapa orang

bertanya-tanya, apakah yang sedang dicarinya.

“Orang,” jawab Arya. “Aku mengejar seseorang yang

memasuki halaman rumahku. Ia bersembunyi di dalam rumpun

bambu ini. Tetapi tiba-tiba orang itu hilang.”

Beberapa orang kemudian mengucapkan kata-kata yang tidak

jelas di dalam mulutnya sambil gemetar. Bahkan salah seorang

berbisik, “Itu adalah Kiai Jenggot ngger. Jangan dicari lagi.”

Page 70: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 97

“Bohong. Aku melihatnya di halaman rumahku. Bukan Kiai

Jenggot. Tetapi seseorang.”

Berita itu pun kemudian menjalar sampai ke gardu penjagaan

regol rumah Arya Salaka, dan penjaga gardu itu melaporkannya

ke Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi yang terbangun kemudian tidak

saja Ki Ageng Gajah Sora, namun juga Ki Ageng Lembu Sora,

beberapa orang pengiringnya dan Kebo Kanigara. Mereka

bersama-sama pergi, ke rumpun bambu di mana orang yang

dikejar oleh Arya Salaka itu melenyapkan dirinya.

Sesaat kemudian di bawah rumpun bambu itu telah menyala

lebih dari sepuluh buah obor. Semua orang berusaha untuk ikut

mencari orang yang telah bersembunyi di bawah rumpun bambu

itu. Tetapi orang itu tidak dapat diketemukan.

“Aneh,” desis Arya Salaka. “Aku telah mengejarnya, sedang

jarak kita menjadi semakin dekat. Aku pasti, bahwa orang itu

menyusup ke dalam rumpun ini, namun tiba-tiba ia telah hilang.”

Semua orang menjadi tegang. Apakah perisitwa ini ada

hubungannya dengan hilangnya Widuri? Tetapi kalau demikian,

maka apalagi yang akan dicarinya di rumah Ki Ageng Gajah Sora?

Tanpa mereka sengaja maka sebagian dari mereka segera

menghubungkan peristiwa itu dengan hal-hal yang gaib, yang tidak

dapat dikupas dengan nalar. Tetapi Ki Ageng Gajah Sora, Lembu

Sora, Wanamerta segera menghubungkannya dengan keris-keris

Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten.

“Apakah masih ada yang menyangka bahwa keris-keris itu

berada di Banyubiru?” berkata mereka di dalam hati mereka.

“Seandainya demikian, siapakah yang masih akan mencoba

mencurinya?”

Yang paling mungkin adalah mereka, sisa-sisa dari gerombolan

hitam yang masih belum punah benar. Tetapi di antara mereka,

sudah tidak ada seorang pun yang akan mampu mengganti

Page 71: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 97

kedudukan pemimpin-pemimpin mereka. Kecuali apabila ada

pendatang-pendatang baru yang akan merebut kedudukan

golongan itu.

Setelah puas mereka mencari, dan ternyata mereka tidak

menemukan apa-apa, maka segera mereka kembali ke rumah Ki

Ageng Gajah Sora. Sedang beberapa orang di sekitarnya kembali

pula ke rumah-rumah masing-masing sambil bergumam. “Hem,

Kiai Jenggot itu kini mengganggu lagi.”

Kembali di pendapa Banyubiru, beberapa orang berkumpul

membicarakan keanehan yang baru saja di lihat oleh Arya Salaka.

Dalam kesibukan pembicaraan itu, maka berkatalah Ki Ageng

Gajah Sora. “Arya, apakah kau benar-benar melihat seseorang,

atau hanya karena hatimu yang sedang gelap itu saja, maka kau

seolah-olah melihat seseorang di halaman ini?”

“Aku melihat sebenarnya ayah,” jawab Arya. Namun tiba-tiba

ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ia merasa bahwa ia melihat

seseorang.

Melihat keragu-raguan itu, maka berkatalah Ki Ageng Gajah

Sora, “Atau sebuah mimpi yang buruk?”

Arya menggigit bibirnya. Namun kemudian ia berkata. “Marilah

kita lihat.”

Arya tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia turun

ke halaman dan menyuruh beberapa orang penjaga menyalakan

obornya. Ayahnya, pamannya, Kebo Kanigara dan orang-orang

lain segera mengikutinya. Mereka pergi ke halaman belakang

dengan obor di tangan.

Beberapa saat kemudian terdengar Arya itu berteriak. “Inilah

ayah. Lihatlah bekas-bekasnya. Apakah hanya bekas kakiku

sendiri?”

Semua orang kemudian mendekatinya. Di bawah dinding

mereka melihat beberapa berkas bekas kaki. Seberkas adalah kaki

Page 72: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 97

Arya Salaka, sedang beberapa langkah di sampingnya

diketemukan pula seberkas telapak kaki. Salah satu dari berkas-

berkas itu adalah kaki orang yang dikejarnya.

Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini

percaya bahwa seseorang telah memasuki halaman ini tanpa

diketahui, meskipun Gajah Sora untuk sementara masih perlu

menempatkan beberapa orang penjaga di sekitar rumahnya.

”Aneh,” gumam mereka. Dan sebenarnyalah bahwa hal itu

sangat mengherankan beberapa orang penjaga di sekitar

rumahnya.

Malam itu, kemudian hampir tak seorang pun dari mereka yang

berada di pendapa, sempat untuk pergi tidur. Mereka mondar-

mandir saja kesana kemari. Meskipun kemudian Lembu Sora

masuk juga ke gandok wetan, namu orang itu tidak juga dapat

tidur. Sedang Kebo Kanigara masih belum beranjak dari tempatnya

di pendapa Banyubiru. Hanya kini ia duduk bersandar tiang.

Pandangan matanya jauh menyusup ke dalam gelapnya malam,

menyentuh ujung pepohonan di kejauhan. Gelap. Malam itu

semakin gelapnya.

Ketika ia melihat Arya Salaka naik ke pendapa dan duduk di

sampingnya, maka terdengar Kebo Kanigara itu bertanya lirih,

“Kenapa kau tidak membangunkan seorang pun Arya.”

Arya duduk dengan gelisahnya. Kemudian jawabnya, “Aku

tergesa-gesa paman. Aku lupa segala-galanya. Aku hanya

mengharap untuk dapat menangkapnya.”

“Orang itu bukan orang kebanyakan. Sangat berbahaya

bagimu Arya. Siapa tahu ia memiliki sesuatu yang lebih berbahaya

dari Sasra Birawa.”

Arya menundukkan kepalanya. Kata-kata Kebo Kanigara ittu

dapat dimengertinya. Namun ia benar-benar tidak mendapat

kesempatan untuk berbuat banyak.

Page 73: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 97

Demikianlah malam itu Banyubiru diliputi oleh suasana yang

aneh. Mirip dengan suasana yang pernah mereka alami sebelum

Arya Salaka hilang dari lingkungan rakyat Banyubiru. Demikian

pula suasana di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Dahulu mereka juga

berjaga di pendapa itu. Dahulu mereka duduk dengan kesiagaan

penuh di pendapa, di luar pendapa bahkan beberapa orang

berjaga-jaga di halaman belakang. Namun keris-keris yang

mereka simpan ternyata lenyap pula.

Gajah Sora menarik nafas. “Hem,” desahnya “Waktu itu

ternyata Panembahan Ismaya berusaha menyelamatkan pusaka-

pusaka itu. Tetapi sekarang siapa? Apakah Panembahan itu pula?”

Gajah Sora itu menggeleng dengan sendirinya Panembahan

Ismaya tidak akan membuat mereka menjadi bingung lagi tanpa

maksud-maksud tertentu yang tidak mereka mengerti

sebelumnya. “Apakah kali ini juga terkandung maksud seperti itu?”

Namun tak seorang pun yang dapat duduk dengan tenang.

Wanamerta pun menjadi gelisah. Bantaran, Penjawi, Jaladri

berjalan hilir mudik di halaman dengan pedang di pinggang

masing-masing. Bahkan Jaladri tidak lupa pula membawa

senjatanya yang aneh, canggah, tombakbermata dua.

Halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora benar-benar di kuasai

oleh ketegangan. Suasananya mirip benar dengan suasana

peperangan. Tetapi mereka tidak tahu pasti siapakah musuh yang

harus mereka hadapi.

Malam itu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Ketika di

timur telah membayang warna merah, maka terdengarlah ayam

jantan berkokok bersahut-sahutan untuk yang terakhir kalinya.

Kabut yang tebal turun membawakan udara yang sangat dingin.

Sehingga kepekatan malam itu pun kemudian disusul dengan

kabut yang keputih-putihan memagari pandangan. Meskipun

malam telah hampir lenyap, namun lereng Telamaya itu kini

Page 74: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 97

seakan-akan berselimut dengan kabut yang tebal, seperti seorang

raksasa yang berbaring kedinginan.

Tetapi malam itu telah dilampauinya tanpa terjadi sesuatu

yang menggoncangkan suasana. Mereka memasuki hari

mendatang dengan nafas lega. Meskipun demikian, apa yang

terjadi pada malam itu sangat mempengaruhi ketentraman hati

para pemimpin Banyubiru.

Pagi itu Arya Salaka telah mengutus tiga orang untuk

menyampaikan kabar tentang hilangnya Endang Widuri ke

Gunungkidul. Arya telah berpesan dengan sungguh-sungguh,

bahwa mereka hanya menyampaikan pemberitahuan saja. Segala

sesuatunya kemudian terserah kepada Mahesa Jenar sendiri,

meskipun di dalam hati Arya mengharap agar gurunya itu

mengambil keputusan untuk datang ke Banyubiru. Arya yang

masih muda itu samasekali tidak dapat mempertimbangkan

persoalan-persoalan lain yang menyangkut kehidupan gurunya.

Demikianlah maka ketiga orang itu, yang dipimpin oleh

Bantaran berpacu menunju ke Gunungkidul. Suara kaki-kaki kuda

berderak-derak memecah kesunyian pagi. Beberapa orang melihat

Bantaran memacu kudanya secepat angin. Maka timbullah

beberapa pertanyaan di hati mereka. Ke manakah Bantaran sepagi

ini?

Sepeninggalan Bantaran orang-orang di Banyubiru masih

meneruskan usaha mereka mencari Endang Widuri. Arya Salaka

sendiri menjelajahi segenap sudut Banyubiru. Namun Endang

Widuri benar-benar lenyap. Karena itu, maka Arya Salaka menjadi

gelisah, cemas dan marah yang meluap-luap.

Ia tidak akan menjadi sedemikian gelisah, seandainya ia harus

mencari apa-apa yang hilang, bahkan pusaka Banyubiru sekalipun.

Sebab ia akan dapat mempergunakan waktu yang panjang.

Seminggu, sebulan bahkan setahun dua tahun sebelum benda itu

diketemukan. Namun tidak akan dapat terjadi demikian dengan

Page 75: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 97

Endang Widuri. Ia tidak dapat menunggu sebulan, dua bulan atau

lebih. Sebab dengan demikian banyak hal yang akan dapat terjadi

dengan gadis itu. Hal-hal yang tidak akan dapat terjadi dengan

pusaka-pusaka atau benda-benda lain. Sebenarnyalah bahwa

Endang Widuri bukanlah benda-benda itu.

Dalam keadaan yang demikian itulah, maka terasa sekali pada

Arya Salaka, bahwa ia tidak sekadar kehilangan tamu atau kawan

bermain baginya. Tetapi, bahwa dengan hilangnya Endang Widuri,

terasa ada sesuatu yang hilang pula dari hatinya. Sesuatu yang

tidak jelas dapat dikatakannya. Namun dapat dirasakannya.

Ibunya, Nyai Ageng Gajah Sora menjadi sangat bersedih pula.

Bukan saja karena Widuri sudah menjadi sangat cumbu padanya.

Namun sebagai seorang ibu, segera ia dapat melihat, luka yang

tergores di hati anaknya. Nyai Ageng sangat iba melihat Arya

Salaka kadang-kadang merenungi titik-titik di kejauhan, namun

kadang-kadang ia menjadi sangat gelisah. Bahkan anak muda itu

sering sekali dengan serta merta meloncat di atas punggung

kudanya dan berlari menghambur ke tempat yang tak

diketahuinya, apabila perasaannya mendesaknya untuk segera

menemukan Endang Widuri. Namun kemudian Arya Salaka

kembali pulang dengan wajah yang pedih.Widuri belum

diketemukan.

Tidak saja Arya Salaka yang mencarinya hampir sepanjang

hari di setiap hari. Namun Kebo Kanigara pun kemudian jarang-

jarang tampak di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Hampir setiap hari

apabila matahari telah terbit ke Timur, Kebo Kanigara segera minta

diri untuk mencari anaknya. Dengan seekor kuda yang

dipinjamnya dari Banyubiru, Kebo Kanigara berputar ke segenap

penjuru. Tetapi seperti Arya Salaka, maka Kebo Kanigara itu pun

kemudian pulang seorang diri.

Sehingga akhirnya, Kebo Kanigara itu berkata kepada Ki Ageng

Gajah Sora, “Ki Ageng. Apabila Endang Widuri tidak segera dapat

aku ketemukan, maka aku akan mohon diri untuk mencarinya. Aku

Page 76: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 97

tidak akan dapat mengatakan, berapa lama waktu yang akan aku

pergunakan untuk itu.”

Ki Ageng Gajah Sora menjadi gelisah pula. Namun jawabnya,

“Jangan tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru kakang. Kita disini

masih berharap untuk menemukannya.”

“Tetapi bagaimanakah kalau Widuri telah di bawa orang

meninggalkan Banyubiru.”

Ki Ageng Gajah Sora tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

Sebenarnya akan sangat menggelisahkan apabila diketahui bahwa

Endang Widuri sudah tidak berada di Banyubiru lagi. Tetapi

bagaimana?

Bahkan kemudian Ki Ageng Gajah Sora itu telah sampai pada

suatu keputusan, untuk menyebar orang-orangnya jauh ke luar

Banyubiru, di samping para pengawas yang telah di tempatkan di

setiap pintu kota, dan di garis batas. Mungkin Endang Widuri

berada di Demak, di Pajang, Jipang atau Bergota. Namun ia masih

menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Bantaran setelah ia

kembali dari Gunungkidul.

“Biarlah aku menunggu Bantaran itu pulang Ki Ageng,” berkata

Kebo Kanigara. “Mudah-mudahan tidak terlalu lama, sehingga aku

tidak akan terlambat.”

Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia

mencoba ikut merasakan apa yang menyebabkan Kebo Kanigara

menjadi sangat murung dan pendiam. Apalagi kalau Ki Ageng itu

melihat Arya Salaka menjadi seperti anak yang kehilangan sikap.

Sekali-kali ia berbaring dibiliknya, namun tiba-tiba ia berlari keluar

untuk hanya sekedar duduk di bawah pohon sawo sambil

bertopang dagu.

Bantaran yang mendapat tugas untuk pergi ke Gunungkidul,

berusaha melakukan pekerjaannya sebaik-baiknya. Dengan

kecepatan yang sebesar-besarnya ia memacu kudanya di atas

Page 77: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 97

jalan berbatu-batu. Di turuninya lereng bukit Telamaya, dan

kemudian di atas jalan-jalan ngarai ia menerobos hutan-hutan

rindang menempuh jalan yang telah di ancar-ancarkan. Namun

Bantaran itu menyadari, bahwa perjalanannya bukan perjalanan

yang ringan. Sekali-kali ia harus menempuh belukar yang pepat

dan jarang-jarang dilewati orang. Karena itulah maka di sisi

kudanya tersangkut pula sebuah busur dan endong yang penuh

dengan anak panah. Apabila keadaan memaksa, maka dengan

senjata itu ia dapat mempertahankan dirinya dalam jarak yang

jauh sambil berkuda. Namun yang penting baginya apabila mereka

harus bermalam di perjalanan senjata itu akan dapat dipakainya

untuk berburu binatang.

Selain panah-panah itu, dilambungnya tersangkut pula sebilah

pedang panjang. Senjatanya itu hampir tak pernah berpisah dari

tubuhnya sejak ia menyingkir ke Gedong Sanga.

V

Sementara itu, Mahesa Jenar dan Rara Wilis telah sampai ke

Gunungkidul.

Perjalanan yang mereka tempuh adalah benar-benar

perjalanan yang mengasyikkan. Apabila sebelumnya mereka selalu

berada dalam perjalanan yang diliputi oleh ketegangan-

ketegangan yang mendebarkan, maka perjalanan kali ini selalu

diliputi oleh sendau gurau yang riang.

Meskipun dapat di tempuh jalan lain yang lebih baik, seperti

yang telah diberitahukan oleh Sarayuda kepada Kebo Kanigara

apabila ia akan menyusul kelak, namun kali ini Sarayuda sengaja

menempuh jalan yang lain. Jalan yang sangat sulit. Tetapi

kesulitan itu benar-benar tidak terasa oleh Rara Wilis. Karena itu,

maka perjalanan mereka kali ini melewati daerah-daerah yang

sukar. Mereka ternyata memasuki hutan-hutan yang pepat.

Bahkan kemudian mereka melewati daerah Gelangan dan

menjelujur di kaki bukit Tidar.

Page 78: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 97

Mahesa Jenar yang pernah bertempur di atas bukit itu

melawan Ki Ageng Gajah Sora memandangi bukit kecil itu dengan

kesan yang aneh. Sebuah kenangan telah menggores di dadanya.

Seandainya pada saat itu, Aji Sasra Birawa yang ada padanya tidak

seimbang dengan Aji Lebur Saketi yang dimiliki oleh Ki Ageng

Gajah Sora, maka entahlah apa yang terjadi. Namun agaknya Ki

Ageng Sora Dipayana benar-benar telah mengukur kekuatan yang

tersimpan di dalam dirinya waktu itu, dan kekuatan-kekuatan yang

tersimpan di dalam diri anaknya.

Tetapi saat ini Sarayuda tidak mengambil jalan ke arah

Pangrantunan, namun perjalanan itu mengarah terus ke selatan.

Setelah bermalam diperjalanan, sampailah mereka ke hutan

yang cukup lebat. Mentaok.

“Apakah kita akan ke hutan ini Sarayuda?” bertanya Mahesa

Jenar.

“Ya,” sahut Sarayuda “Jalan yang paling dekat”.

Mahesa Jenar meragukan jawaban itu. Tetapi ia tidak

menjawab. Diikutinya saja Sarayuda yang berkuda lewat jalur

jalan yang dahulu pernah dilalui. Mereka akhirnya sampai juga di

Pliridan dan tanpa setahu Mahesa Jenar, tiba-tiba mereka sudah

berada di depan sebuah goa. Mahesa Jenar terkejut melihat goa

itu. Goa yang pernah ditinggal oleh Ki Ageng Pandan Alas.

“Apakah kau pernah melihat goa itu Mahesa Jenar?”

Mahesa Jenar tersenyum. Kemudian katanya, “Entahlah,

bertanyalah kepada Wilis.”

Rara Wilis hanya dapat menundukkan wajahnya. Kenangan itu

tiba-tiba telah menerkam hatinya. Tetapi ia adalah seorang gadis.

Tanggapannya atas kenangan itu tidak seperti Mahesa Jenar.

Karenanya tiba-tiba matanya terasa sangat panas. Dan setetes air

mata jatuh dipangkuannya.

Page 79: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 97

Sarayuda dan Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Tetapi

mereka tidak menjadi cemas, meskipun mereka melihat Rara Wilis

itu menangis. Sebab mereka tahu, bahwa gadis itu sedang di

ganggu oleh sebuah kenangan. Kenangan yang menakutkan

seperti terjadi saja di dalam mimpi.

Sebenarnya memang Rara Wilis sedang mengenangkan masa-

masa lampaunya. Di hutan inilah ia dahulu hampir saja membunuh

dirinya, seandainya tidak ada seorang yang bernama Mahesa Jenar

itu, yang sekarang ini berada di dekatnya sebagai seorang yang

telah merampas segenap hatinya. Di hutan ini pula ia bertemu

dengan kakeknya, Ki Ageng Pandan Alas. Dan di hutan ini pula ia

hampir di terkam Ular Laut yang mengerikan. Tetapi semuanya itu

sudah lampau. Semua pahit getir penghidupan telah dialami.

Bahaya yang dilampauinya tidak saja di hutan Mentaok ini, namun

kemudian nyawanya pun telah diserahkannya untuk merebut

kembali ayahnya dari tangan Harimau betina di Gunung Tidar.

Namun ayahnya itu telah mati pula. Kini ia tinggallah seorang gadis

yatim piatu.

Di hutan itu, di daerah Pliridan yang sepi itulah mereka

bermalam kembali. Daerah yang pernah memberi mereka suatu

kenangan yang pahit.

Tetapi pada malam itu, mereka dikejutkan oleh kehadiran

beberapa orang yang bertubuh besar dan bengis. Mereka dengan

serta merta mengancungkan senjata- senjata mereka kepada

rombongan itu.

“Apakah kehendakmu?” bertanya Sarayuda kepada pemimpin

mereka.

“Harta atau nyawa?” gertak mereka.

Sarayuda tertawa. Jawabnya, “Kenallah kalian kepada kami?”

Orang itu menarik alisnya. Kemudian geramnya, “Persetan

dengan kalian. Aku tidak pernah bertanya, siapakah korbanku kali

Page 80: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 97

ini. Semua pedagang yang lewat di daerah ini adalah hidangan

buat kami.”

“Kami telah membawa beberapa orang pengantar yang akan

dapat melawan kalian.”

“Hem, aku sudah tahu. Kalian pasti membawa beberapa orang

pengantar. Nah sekarang biarlah kami bertempur. Pekerjaan ini

sudah kami lakukan bertahun- tahun.”

Sekali lagi Sarayuda tertawa. Karena itulah maka pemimpin

mereka membentak. “Jangan tertawa. Ayo, apakah kau pemimpin

dari para pengawal.”

Sarayuda maju selangkah. Kemudian katanya, “Berapa

orangkah jumlah kalian?”

”Lima belas orang,” sahut

orang itu. “Kalau kami

memberi tanda, maka akan

datang lagi lima belas orang

pula.”

Tiba-tiba sebelum Sarayu-

da menjawab, maka Mahesa

Jenar telah melangkah maju

pula. Dengan tenangnya ia

berkata. “Jangan membual.

Apakah kau sekarang ber-

gabung dengan sisa anak buah

Lawa Ijo?”

Pemimpin rombongan itu

terkejut. Diamat-amatinya Ma-

hesa Jenar dengan seksama.

Kemudian katanya, “Siapakah kau?”

“Sakayon,” jawab Mahesa Jenar.

Page 81: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 97

“He?” mata orang itu terbelalak. “Darimana kau tahu

namaku?”

“Aku Sakayon dari Gunung Tidar. Dahulu aku adalah anak buah

Sima Rodra.”

Orang itu menjadi semakin heran. Namun ketika terpandang

olehnya wajah Mahesa Jenar yang semakin lama menjadi semakin

jelas, maka terdengar suaranya parau, “Apakah kau Mahesa

Jenar?”

Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, “Kau masih mengenal

aku? Kapankah kau melihat wajahku?”

Sakayon pernah melihat Mahesa Jenar beberapa kali. Ia ikut

dengan Sima Rodra ke Gedangan, ia turut pula mencegat laskar

Demak di Gunung Telamaya, dan ia melihat Mahesa Jenar

bertempur melawan beberapa orang tokoh hitam.

Karena itu, setelah Sakayon itu yakin, bahawa yang berdiri

dihadapannya itu Mahesa Jenar, maka katanya terbata-bata.

“Mahesa Jenar, kami tidak tahu, bahwa rombongan ini adalah

rombonganmu. Karena itu, maka aku mencegatnya. Aku sangka

bahwa rombongan ini adalah rombongan para pedagang yang akan

menyeberangi hutan ini.”

“Hem. Jadi perbuatan-perbuatan yang demikian itu masih saja

kalian lakukan setelah lurahmu mati?”

Sakayon tidak menjawab, tetapi kepalanya ditundukkannya.

“Sakayon, apakah kau percaya, bahwa rombonganku akan

dapat menumpas rombonganmu sekarang ini?”

Wajah Sakayon menjadi pucat. Sekali ia berpaling. Dilihatnya

beberapa anak buahnya menjadi heran. Tetapi ada di antaranya

yang pernah melihat Mahesa Jenar. Bekas anak buah Sima Rodra

dan bekas anak buah Lawa Ijo yang bergabung itu, kini diliputi oleh

ketegangan. Namun mereka yang baru dalam pekerjaannya,

Page 82: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 97

mencoba untuk masih menunjukkan kegarangannya. “Siapakah

orang itu kakang Sakayon?”

“Mahesa Jenar,” jawab Sakayon gemetar.

“Apakah orang itu anak gendruwo, sehingga kita takut

kepadanya.”

“Bukan saja anak gendruwo,” jawab salah seorang di antara

mereka bekas anak buah Lawa Ijo. “Tetapi anak malaikat.”

Orang baru itu menjadi heran. Apalagi ketika ia mendengar

Sakayon menjawab, “Aku percaya Mahesa Jenar. Aku minta maaf.”

“Lihatlah, di antara orang-orang ini adalah prajurit-prajurit

pilihan.” berkata Mahesa Jenar menakut-nakuti. “Kami mendapat

tugas untuk memusnahkan gerombolan-gerombolan yang masih

saja mengacau di hutan Mentaok ini. Kami harus membersihkan

hutan Mentaok, Tambak Baya dan daerah-daerah Beringan dan

Pacetokan, seluruhnya.”

“Ampun. Kami minta ampun,” tiba-tiba suara Sakayon menjadi

semakin gemetar dan cemas.

“Kami akan mengampuni kalian, tetapi ada syarat-syaratnya!”

Sakayon terdiam. Ia tidak tahu, syarat apakah yang akan

dituntut oleh Mahesa Jenar itu. Karena itu, maka ia menunggu

Mahesa Jenar berkata, “Sakayon. Kami mendapat tugas untuk

memberantas kejahatan di hutan ini. Kalau kalian berjanji untuk

menghentikan kejahatan ini, maka kalian akan aku ampuni.

Namun kalau tidak, maka jangan mengharap kalian hidup lebih

lama lagi. Kemana saja kalian bersembunyi, maka kami pasti akan

dapat menemukan. Kami bawa kalian ke Demak dan kalian akan

kami adu melawan harimau di alun-alun sebagai tontonan.”

Sakayon dan beberapa orang di dalam gerombolan itu tahu

benar siapa Mahesa Jenar itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah

Mahesa Jenar. Aku terima syarat itu.”

Page 83: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 97

Mahesa Jenar tertawa. Katanya, “Aku sudah mengenal watak

kalian. Kalian berjanji hanya apabila kalian menghadapi bahaya.

Meskipun demikian aku percaya padamu kali ini. Kembalilah

kerumahmu masing-masing, dan cobalah hidup seperti orang-

orang lain. Mereka tidak perlu mengalami kegelisahan seperti yang

selalu kau alami. Dengan demikian maka kau akan dapat hidup

tenteram.”

Sakayon menggeleng. Jawabnya, “Aku sudah tidak

mempunyai rumah dan tempat tinggal. Aku adalah seorang layang

kabur kanginan.”

Mahesa Jenar menarik nafas. Namun kemudian ia berkata,

“Sakayon. Daerah ini adalah daerah yang subur. Dahulu Pliridan

adalah daerah yang ditinggali oleh beberapa orang petani. Kau

dapat mengusahakan tanah ini. Dengan tekad yang baik, kau akan

dapat berhubungan dengan orang-orang lain untuk mengadakan

tukar menukar hasil tanah ini dan mungkin hasil hutan yang dapat

kau usahakan.”

Sakayon mengangguk-anggukkan kepalanya. Terjadilah suatu

pergolakan di dalam hatinya. Kata-kata Mahesa Jenar itu tanpa

sesadarnya telah direnungkannya, dan dicernakannya di dalam

hatinya, sehingga akhirnya terdengar kata-kata di dalam hatinya,

“Mahesa Jenar berkata sebenarnya.” Ditambah lagi dengan rasa

takutnya atas ancaman Mahesa Jenar untuk membawanya ke

Demak dan mengadunya dengan harimau di alun-alun. Sedang ia

percaya sepenuhnya, bahwa Mahesa Jenar itu pasti akan dapat

berbuat demikian. Menangkapnya kemana saja ia bersembunyi.

Karena itu maka katanya, “Mahesa Jenar. Aku berterima kasih

atas segala nasehatmu. Akan aku coba untuk mengusahakan

tanah ini. Dan aku coba untuk menghubungi keluarga kami dengan

tekad yang baik. Mudah-mudahan aku berhasil.”

Page 84: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 97

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil

tersenyum. Kemudian ia maju selangkah menepuk bahu Sakayon

sambil berkata. “Sarungkan senjatamu.”

Sakayon tidak dapat berbuat lain daripada menyarungkan

goloknya sambil menundukkan kepalanya.

Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika di dengarnya seorang

daripada anak buahnya, seorang anak muda yang bertubuh tinggi

tegap, setegap raksasa kerdil, berkata dengan lantang. “He,

kakang Sakayon. Sejak kapan kau menjadi seorang perempuan

cengeng.”

Sakayon mengangkat wajahnya. Jawabnya. “Jangan melawan

Gendon. Tak ada gunanya. Lebih baik kau dengarkan nasihatnya.”

Anak muda yang bernama Gendon itu samasekali tidak puas.

Di samping Sakayon ia merasa orang yang paling penting di dalam

gerombolan itu. Karena itu, maka ia melangkah maju sambil

menunjuk wajah Mahesa Jenar. “He apakah kau memiliki guna-

guna dan menenung kakang Sakayon sehingga ia menjadi tunduk

kepada kemauanmu?”

Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak. Aku tidak dapat

merenungnya. Tetapi ia dalah sahabat lamaku.”

Gendon menjadi heran. Sekali ia memandang wajah Sakayon,

namun betapa pun juga ia tidak yakin akan kata Mahesa Jenar.

Maka dengan lantangnya ia berkata, “Kalau kau tidak ikut

kakang Sakayon. Maka biarlah aku selesaikan pekerjaan ini

sendiri. Ayo, siapa ikut aku?”

Beberapa orang di antara mereka melangkah maju. Namun

mereka menjadi heran, justru orang-orang lama, anak buah

Sakayon sendiri dan bekas anak buah Lawa Ijo yang mereka

bangga-banggakan samasekali tidak bergerak. Bahkan di

antaranya berkata, “Jangan”.

Page 85: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 97

Tetapi Gendon yang merasa usahanya selama ini selalu

berhasil tidak memperdulikannya. Dengan goloknya ia menunjuk

wajah Mahesa Jenar. “Ayo, berikan semua harta bendamu.”

Mahesa Jenar memandang anak muda itu dengan sedih. Anak

itu memiliki tubuh yang kokoh kuat dan memiliki sikap yang

meyakinkan. Namun sayang. Ia terperosok dalam lingkungan yang

kelam.

Karena Mahesa Jenar tidak segera menjawab, maka terdengar

anak itu membentak kembali, “Ayo. Cepat”.

Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Sambil menunjuk

Sarayuda ia berkata. “Lihatlah. Kawanku itu berpedang pula di

lambungnya. Kau tahu gunanya pedang?”

Gendon ragu-ragu sejenak. Kemudian teriaknya, “Tidak peduli.

Serahkan harta benda yang kau bawa.”

Mahesa Jenar menggigit bibirnya. Ketika ia berpaling, masih

dilihatnya beberapa orang kawan-kawan Sarayuda duduk dengan

tenangnya. Mereka samasekali hampir tidak tertarik pada

gerombolan itu. Sebab mereka yakin benar, apa yang akan dapat

dilakukan oleh Sarayuda dan Mahesa Jenar, meskipun ia tidak

kehilangan kewaspadaan. Bahkan beberapa di antara mereka telah

meraba hulu pedang mereka. Hanya Rara Wilis lah yang kemudian

bangkit berdiri sambil berkata, “Sakayon. Apakah kau tidak mau

membawa orang-orangmu pergi.”

“Oh,” Sakayon tergagap.

Namun Gendon itu berteriak, “Ha. Ternyata ada seorang gadis

pula di antara mereka. Agaknya gadis itu tak kurang cantiknya.

Ayo, menyerahlah. Dan serahkan gadis itu kepadaku.”

Tiba-tiba Mahesa Jenar membungkukkan badannya. Katanya,

“Baiklah ambillah gadis itu kalau mau. Tetapi jangan ganggu

rombongan ini.”

Page 86: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 97

“Ah,” desah Rara Wilis. Ia tahu Mahesa Jenar akan

menunjukkan kepada anak muda itu, bahwa ia sedang berhadapan

dengan orang-orang yang tak akan mungkin dikalahkannya.

Gendon ragu-ragu sesaat. Namun kemudian ia berkata,

“Baiklah, ayo ikut aku. Aku tidak akan mengganggu kalian,

asalkan, kecuali gadis ini, semua harta bendamu aku bawa pula.”

Rara Wilis maju beberapa langkah. Tiba-tiba ditariknya pedang

dari lambung Sarayuda. Dengan lantang gadis itu berkata,

“Pergilah anak muda. Pergilah.”

Gendon terkejut. Tiba-tiba ia meloncat mundur. Dilihatnya

Rara Wilis itu maju lagi sambil mengacungkan pedangnya.

“Pergilah.”

Gendon diam sesaat. Namun yang terdengar suara Mahesa

Jenar, “Anak itu bukan Jaka Soka Wilis.”

“Ah,” kembali Rara Wilis mendesah.

Tetapi Gendon belum mengenal Rara Wilis. Ia menjadi rikuh

kepada kawan-kawannya. Ternyata gadis ini akan melawannya.

Sarayuda yang membiarkan pedangnya ditarik oleh Rara Wilis

tertawa saja sambil bertolak pinggang. Agaknya Rara Wilis yang

paling tidak senang melihat gerombolan itu, sebab ingatannya

tentang gerombolan semacam itu, benar-benar mendirikan bulu

romanya. Karena itu maka segera ia berusaha untuk mengusirnya.

Tetapi ketika Gendon menyadari keadaannya, ia menjadi

sangat marah. Karena itu dengan serta merta ia menyerang Rara

Wilis dengan garangnya, meskipun ia hanya bermaksud untuk

menakut-nakuti. Tetapi terjadilah hal yang tak di sangka-sangka.

Tiba-tiba Rara Wilis menggerakkan pedangnya dalam putaran

untuk melibat golok lawannya. Alangkah terkejutnya Gendon itu.

Pedang Rara Wilis itu seakan-akan melilit goloknya dan sebuah

tekanan yang kuat telah melemparkan goloknya beberapa

Page 87: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 97

langkah. Sebelum ia mampu berbuat sesuatu terasa ujung pedang

Rara Wilis melekat di dadanya.

Tubuh Gendon itu pun kemudian menjadi gemetar. Terasa

bahwa nyawanya tiba-tiba saja telah bergerak keubun-ubunnya.

Sebelum Rara Wilis berkata sepatah kata pun, maka terdengar

Mahesa Jenar mendahului, “Bagaimana? Apakah kau benar-benar

ingin membawa gadis itu?”

“Tidak-tidak,” suara Gendon menjadi gemetar seperti

tubuhnya. Sakayon hampir tak dapat menahan tawanya. Namun

kemudian ia berkata, “Aku minta ampun untuknya, Mahesa Jenar.”

“Pergi, pergi” berkata Rara Wilis lantang. Ia menjadi muak

melihat orang-orang yang kasar dan bengis itu berdiri saja di

mukanya.

“Baiklah” sahut Sakayon, “Kami akan pergi. Dan kami akan

mencoba melakukan nasihat-nasihatmu, Mahesa Jenar.”

“Cobalah,” sahut Mahesa Jenar. “Hari depanmu masih cukup

panjang untuk menghapus noda-noda yang melekat pada tubuh

dan jiwamu.”

Sakayon itu pun kemudian mengajak kawan-kawannya pergi.

Gendon berjalan paling belakang sambil menundukkan wajahnya.

Ia tidak dapat mengerti, kenapa ia berjumpa dengan seorang gadis

garang itu. Namun akhirnya ia mendengar seluruhnya dari

Sakayon. Siapa-siapa saja yang berada di dalam rombongan itu.

Terutama Mahesa Jenar dan Rara Wilis.

Ketika kemudian malam itu telah lampau, dan matahari pergi

dengan cerahnya menjengukkan dirinya dari balik kaki langit,

maka rombongan itu berangkat pula meneruskan perjalanan

mereka. Namun kini mereka tidak melintas hutan Tambak Baya,

tetapi mereka menempuh jalan lain, agak ke selatan terus ke

Gunungkidul.

Page 88: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 97

Di iringi oleh angin pagi, dan kicau burung-burung liar, mereka

berjalan dengan hati yang terang seperti terangnya matahari.

Langit yang biru bersih sekali membayang di sela-sela dedaunan

di hutan yang semakin lama menjadi semakin tipis. Sehingga

akhirnya, mereka menempuh jalan di antara padang-padang

rumput dan gerumbul-gerumbul rindang. Setelah mereka berjalan

sehari penuh, maka mulailah mereka sampai pada lembah-lembah

yang subur di daerah Gunungkidul.

“Kami tidak akan bermalam lagi,” berkata Sarayuda.

“Meskipun malam, kami harus memasuki induk Kademangan

malam ini juga.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Di

pandanginya lembah-lembah yang hijau di penuhi oleh tanaman-

tanaman padi yang subur. Di sana-sini, dalam jarak yang cukup

jauh, dilihatnya beberapa buah pedesaan seperti pulau yang

terapung di tengah-tengah lautan yang hijau.

“Daerah yang luas dan terpencar-pencar,” berkata Sarayuda

ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang bersungguh-sungguh.

“Ya,” sahut Mahesa Jenar. “Di manakah induk Kademang-

anmu.”

Sarayuda tertawa. “Masih jauh,” jawabnya. “Kami harus

mendaki bukit di hadapan kita itu. Nah, disanalah aku tinggal.”

“Kenapa tidak di lembah yang subur ini?”

“Dari bukit ini aku dapat melihat, hampir seluruh tanah-tanah

ngarang yang terbentang di bawah kaki bukit. Bukankah Ki Ageng

Gajah Sora membuat rumahnya di lereng Telamaya pula? Tidak di

ngarai?”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya kembali.

Dari segi-segi yang lain, agaknya rumah di atas bukit benar-benar

menguntungkan. Seandainya rumah di atas bukit benar-benar

menguntungkan. Seandainya harus dilakukan perlawanan atas

Page 89: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 97

penyerangan-penyerangan yang kuat, maka kedudukan mereka

yang berada di lereng menjadi lebih baik.

Sebenarnyalah malam itu mereka memasuki induk desa

Kademangan Gunungkidul. Demikian mereka mendekati pedesaan

itu, maka seorang dari para pengikut Sarayuda harus berpacu lebih

dahulu menyampaikan kabar kedatangan mereka kepada Ki Ageng

Pandan Alas.

Sungguh di luar dugaan. Tiba-tiba mereka mendengar

kentongan berbunyi bertalu-talu. Kentongan yang agaknya

memberi tanda kehadiran Mahesa Jenar dan Rara Wilis di

Kademangan Gunungkidul.

“Orang-orang di Gunungkidul telah berpesan kepadaku,

apabila kelak aku datang bersama Mahesa Jenar dan Rara Wilis,

maka mereka minta supaya mereka diberitahukan. Kentongan itu

adalah tanda untuk itu.”

“Hem. Terlalu berlebih-lebihan,” gumam Mahesa Jenar.

“Bukan maksudku. Mereka menganggap bahwa Mahesa Jenar

adalah seorang yang aneh. Lebih-lebih lagi adalah Rara Wilis.

Setiap orang di Gunungkidul telah mendengar, bahwa Rara Wilis

telah berhasil membinasakan Harimau Betina yang pernah

merobek-robek hati ibunya.”

Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun ia menjadi terharu

ketika tiba-tiba di dengarnya Rara Wilis mengeluh. Betapa pun

gadis itu berusaha menahan hatinya, namun sambutan yang

berlebih-lebihan itu benar-benar telah meneteskan air matanya.

Suara kentongan dan kata-kata Sarayuda telah membangkitkan

perasaan yang melonjak-lonjak di dalam hatinya. Tanah yang

terbentang di hadapannya benar telah menumbuhkan berbagai

kenangan. Kenangan tentang dirinya di masa-masa kanak-kanak,

tentang ibunya dan tentang ayahnya. Di kenangnya betapa

perempuan yang cantik namun berhati ganas telah merampas

ayahnya. Di kenangnya ketika ia mencoba memanggil ayahnya di

Page 90: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 97

rumah perempuan itu pada saat ibunya sakit. Namun bukan main

marah ayahnya kepadanya. Dan di usirnya seperti anjing di iringi

oleh derai tertawa perempuan iblis itu. Tetapi perempuan itu telah

mati. Mati karena ujung pedang yang diterimanya dari kakeknya,

Ki Pandan Alas, yang oleh penduduk sedesanya dikenal dengan

nama Ki Santanu.

Dan kini, setelah bertahun-tahun ia meninggalkan kampung

halaman yang penuh dengan kenangan pahit itu, ia akan kembali

pulang. Dikenangnya, bahwa pada saat ia meninggalkan tanah itu,

tak seorang pun yang dipamitinya. Tak seorang pun yang

melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat jalan. Ia pergi

saja seperti ia memang harus pergi.

Tetapi ketika kini ia kembali, maka hampir seluruh penduduk

induk Kademangan itu mengelu-elukannya. Menyambutnya

sebagai seorang yang sedemikian penting di Kademangan itu.

“Alangkah bahagianya seandainya ibuku menyaksikan

sambutan untukku ini,” desah di dalam hatinya. “Tetapi ibu itu

telah meninggal dalam keadaan yang pedih.”

Air mata Rara Wilis itu masih menetes terus. Dan karena itu

maka Mahesa Jenar dan Sarayuda samasekali tidak berkata

sepatah kata pun juga.

Akhirnya, mereka melihat berpuluh-puluh obor keluar dari

induk desa dihadapan mereka. Obor-obor itu berkumpul di sebuah

lapangan, seperti sebuah alun-alun kecil di muka rumah Sarayuda.

Rumah yang besar dan berhalaman luas. Rumah seorang Demang

yang kaya raya.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis itu menjadi berdebar-debar

karenanya. Mereka samasekali tidak dapat membayangkan bahwa

mereka akan mengalami sambutan yang demikian meriahnya.

Sambutan yang menurut mereka adalah berlebih-lebihan.

Page 91: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 97

Tetapi Sarayuda memang menyambut Rara Wilis dan Mahesa

Jenar itu dengan caranya. Ia ingin melenyapkan kesan tentang

luka yang pernah terpahat di hatinya. Luka yang sebenarnya tak

akan dapat disembuhkannya. Namun dengan jujur Sarayuda telah

berusaha. Ia benar-benar melepaskan Rara Wilis dengan hati yang

ikhlas. Dan gadis itu kini tidak lebih daripada adik seperguruannya.

Demikian mereka memasuki halaman rumah Sarayuda, maka

demikian hati Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir. Di pendapa

Kademangan itu telah dibentangkan tikar pandan. Beberapa orang

tua-tua telah menunggu mereka di pendapa. Karena itu, demikian

mereka melihat rombongan itu memasuki halaman, demikian

mereka serentak berdiri dan turun ke halaman.

Rara Wilis tertegun ketika ia melihat seorang perempuan muda

datang menyambutnya. Seorang yang pernah dikenalnya dimasa

kanak-kanaknya sebagai kawannya bermain. Kini perempuan itu

benar-benar menjadi seorang perempuan yang cantik, apalagi

dalam pakaian yang cukup baik.

“Kau Rati,” sapa Wilis.

Perempuan itu tersenyum sambil memegang kedua lengan

Rara Wilis dengan eratnya. “Kau tidak lupa kepadaku, Wilis.”

“Tentu tidak,” sahut Wilis. “Kita sama-sama mengalami masa-

masa yang pahit pada masa kanak-kanak kita. Kau tahu bahwa

hari ini aku akan datang?”

Perempuan yang bernama Rati itu berpaling ke arah Sarayuda.

Katanya, “Kakang Sarayuda memberitahukan kepadaku.”

“Wilis,” berkata Sarayuda. “Rati kini adalah istriku.”

“Oh,” suara Wilis terputus. Tiba-tiba terasa sesuatu yang tak

dimengertinya bergolak di dalam dadanya. Dengan cepatnya

melintas di dalam angan-angannya, betapa Sarayuda pernah

menjadi hampir gila karenanya. Hampir saja Sarayuda binasa

dalam perkelahian di Karang Tumaritis karenanya pula.

Page 92: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 97

Kini setelah Sarayuda itu melepaskan niatnya dengan ikhlas,

maka dihadapannya berdiri Rati, kawannya bermain di masa

kanak-kanaknya, sebagai istri Sarayuda itu. Karena itu maka tiba-

tiba ia menjadi terharu. Dan dengan serta merta dipeluknya

perempuan itu erat-erat.

“Rati. Aku mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan

kau akan menemukan kebahagiaan untuk seterusnya.”

Rati pernah mendengar, apa yang terjadi atas kawannya itu.

Ia pernah mendengar dari Sarayuda sendiri, yang berkata dengan

jujur tentang hari-hari lampaunya. Dan Rati samasekali tidak

berkeberatan atas masa lampau itu. Tetapi yang penting baginya,

masa lampau adalah sumber perhitungan buat masa depan.

Namun masa depan itu sendirilah yang terlebih penting baginya.

Dan ia percaya bahwa Sarayuda benar-benar telah melepaskan

semua hasratnya terhadap gadis cucu gurunya itu.

Rati itu pun menangis pula ketika Rara Wilis menangis sambil

memeluknya. Betapa pun garangnya gadis yang bernama Rara

Wilis itu, namun ia adalah seorang gadis. Gadis yang dipengaruhi

oleh segala macam keadaan di masa kanak-kanaknya, sehingga

Rara Wilis benar-benar menjadi seorang gadis perasa. Seorang

gadis yang mudah meruntuhkan keharuan.

Namun sejenak kemudian pendapa Kademangan Gunungkidul

itu menjadi sangat meriah. Hampir-hampir menyerupai sebuah

perhelatan. Meskipun segala macam persiapan dilakukan dengan

tergesa-gesa, namun bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis, sambutan

itu benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Sambutan

yang samasekali tak disangka-sangkanya.

Ki Santanu sendiri bahkan hampir tak dapat berkata apa pun

dalam penyambutan itu. Di lingkungan sanak kadang, maka

seakan-akan lenyaplah sifat anehnya, sifat-sifat Pandan Alasnya.

Ia tidak lebih dari orang-orang tua yang lain, yang duduk berjajar

sambil berkelakar. Namun Ki Santanu benar-benar menjadi

Page 93: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 97

terharu, ketika ia melihat, bahwa seorang keturunannya akan

mendapat tempat yang baik di dalam perjalanan hidupnya.

“Mudah-mudahan Wilis dapat menyambung darah keturunan

Pandan Alas” katanya di dalam hati.

Demikianlah maka sejak hari itu, Mahesa Jenar dan Rara Wilis

hidup dalam lingkungan keluarga Sarayuda. Mereka tidak boleh

meninggalkan rumah, meskipun rumah rumah Rara Wilis yang

dahulu masih juga ada, ditunggui oleh beberapa orang

keluarganya meskipun sudah jauh. Namun Sarayuda minta kepada

mereka untuk tinggal bersamanya.

“Rumahku cukup luas Mahesa Jenar,” berkata Sarayuda.

“Biarlah Wilis tinggal di dalam bersama Rati dan biarlah kau tinggal

digandok kulon.”

”Terima kasih Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar namun terasa

sesuatu berdesir di dadanya. Rumah itu bukan rumahnya sendiri.

Apakah kelak kalau ia telah berkeluarga, ia akan tinggal di

rumah orang lain pula? tidak dirumah sendiri? Suatu persoalan

yang selama ini belum pernah dipikirkannya.

Tetapi Mahesa Jenar tidak menyesal, bahwa selama ini ia telah

menyerahkan hampir segala-galanya kepada suatu pengabdian.

Pengabdian yang luhur dan ikhlas. Karena itu, maka Mahesa Jenar

pun dengan mantap memandang ke depan, ke hari yang akan

datang. Teringatlah ia akan kata-kata Rara Wilis, bahwa

perkawinan bukanlah pertanda bahwa segalanya telah selesai,

namun perkawinan juga merupakan pertanda akan mulainya

persoalan-persoalan baru yang tidak kurang rumitnya.

Dalam pada itu, Rara Wilis sebagai seorang gadis tidak dapat

melupakan sejenak pun akan hari-hari yang dijelangnya. Dari Rati

ia mendengar, betapa hari-hari permulaan benar-benar

memberinya kebahagiaan. Dan Rara Wilis pun merindukan hari-

hari itu. Karena itu, maka hampir setiap saat gadis itu telah

mereka-reka apa saja yang harus dilakukan sebagai seorang istri.

Page 94: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 97

Kewajiban-kewajiban rumah tangga yang pasti akan jauh berbeda

dari yang penah dilakukannya. Tangan yang kecil itu tidak harus

lagi bermain-main dengan pedang, namun harus digenggamnya

sebilah pisau dapur untuk menyiapkan masakannya.

Tetapi tiba-tiba angan-angan itu digetarkan oleh peristiwa

yang benar-benar mengejutkan. Dengan tergesa-gesa seseorang

memberitahu, bahwa ada tiga orang tamu yang ingin menemui

Mahesa Jenar dan Rara Wilis.

Ketika Mahesa Jenar mendengar berita itu, dadanya pun

tergetar pula. Karena itu maka segera ia ingin tahu, siapakah yang

datang itu.

“Tiga orang berkuda dari Banyubiru,” sahut orang itu.

Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar. Firasatnya

mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi. Tetapi sebagai seorang

tamu, ia tidak dapat menerima orang itu tanpa setahu Sarayuda.

Namun Sarayuda segera berkata, “Marilah. Persilahkan mereka

kemari. Dimanakah mereka sekarang?”

“Mereka masih di alun-alun,” jawab orang itu. “Seorang anak

muda yang sedang bekerja di sawah telah membawa mereka

sebagai penunjuk.”

Orang itu pun kemudian mempersilakan tamu-tamu itu masuk

ke halaman Kademangan. Demikian orang itu memasuki halaman,

desir dada Mahesa Jenar menjadi semakin keras. “Bantaran.”

desisnya.

Setelah mereka dipersilakan duduk di pendapa Kademangan,

maka dengan ramahnya Demang Sarayuda bertanya-tanya

tentang keselamatan mereka, perjalanan mereka dan yang

mereka tinggalkan.

“Semuanya baik Ki Demang,” sahut Bantaran. “Perjalananku

baik, dan yang berada di Banyubiru pun baik.”

Page 95: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 95 of 97

“Syukurlah,” sahut Demang itu. Namun Mahesa Jenar melihat

sesuatu yang menggelisahkan diwajah Bantaran. Sehingga setelah

mereka bercakap-cakap sejenak, maka Mahesa Jenar yang segera

ingin tahu persoalan yang dibawanya itu bertanya. “Apakah ada

sesuatu yang perlu kau sampaikan kepadaku Bantaran, atau kau

hanya sekadar melihat jalan yang harus ditempuh, apabila kelak

beberapa orang dari Banyubiru akan berkunjung kemari?”

Bantaran menarik nafas panjang. Kemudian setelah ia

bergeser sedikit, mulailah ia berbicara tentang keperluannya.

Katanya, “Kedatanganku yang pertama-tama memang hanya

sekadar melihat, bagaimanakah jalan yang kira-kira akan

ditempuh, apabila nanti beberapa orang dari Banyubiru akan

berkunjung kemari.” Bantaran itu berhenti sejenak. Namun

Mahesa Jenar menangkap sesuatu di balik kata-kata itu. Meskipun

demikian dibiarkannya Bantaran berkata terus. “Tetapi di samping

itu” berkata Bantaran itu. “Aku mendapat pesan dari angger Arya

Salaka yang harus aku sampaikan kepada kakang Mahesa Jenar di

sini.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,

“Apakah pesan itu?”

“Lupakanlah dahulu pesan itu, Adi Bantaran. Tinggallah di sini

dua atau tiga hari. Baru kau sampaikan pesan itu,” potong

Sarayuda.

Namun Bantaran itu tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku

ingin berbuat demikian. Tetapi biarlah aku menyampaikan pesan

itu. Kalau kemudian aku harus tinggal di sini untuk sementara, aku

akan sangat bersenang hati.”

“Baiklah,” sahut Mahesa Jenar, “Sarayuda pasti tidak akan

berkeberatan.”

Sarayuda itu pun tertawa, “Silakanlah. Mungkin Mahesa Jenar

segera ingin mendengarnya. Tetapi dengan syarat, bahwa pesan

itu tidak akan memberinya rangsang yang menggelisahkan.”

Page 96: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 96 of 97

“Entahlah,” jawab Bantaran, “Mudah-mudahan tidak.”

“Nah. Katakanlah,” Mahesa Jenar menjadi tidak sabar.

Bantaran berdiam diri sesaat. Di aturnya detak jantungnya

supaya ia dapat mengatakannya dengan baik dan jelas. ”Kakang

Mahesa Jenar,” berkata Bantaran itu. “Pesan itu sangat pendek.

Dan mudah-mudahan benar-benar tidak menggelisahkan kakang,”

kembali Bantaran berhenti, sedang Mahesa Jenar menjadi semakin

tidak sabar. Baru sesaat kemudian Bantaran itu meneruskan.

“Sepeninggal kakang dari Banyubiru, ternyata Endang Widuri telah

hilang.”

“He?” alangkah terkejutnya Mahesa Jenar mendengar berita

itu. Bukan saja Mahesa Jenar, tetapi juga Sarayuda dan Rara Wilis.

Berita itu benar-benar seperti bunyi guruh yang meledak di atas

kepala mereka. Sehingga dengan serta merta Rara Wilis bertanya,

“Endang Widuri puteri Kakang Kebo Kanigara maksudmu?”

“Ya,” sahut Bantaran.

Tiba-tiba semuanya jadi terbungkam. Berita itu benar-benar

merupakan hal yang tidak pernah mereka sangka akan dapat

terjadi.

Sesaat kemudian berkatalah Mahesa Jenar, “Apakah kakang

Kebo Kanigara sudah pulang ke Karang Tumaritis tanpa Widuri?”

“Belum,” jawab Bantaran.

“Belum?” ulang Mahesa Jenar seakan-akan tidak percaya.

“Ya belum.”

Hal ini pun merupakan suatu keanehan bagi Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara masih berada di Banyubiru. “Kenapa anak gadisnya

itu dapat hilang dan sampai beberapa waktu tidak segera dapat

diketemukan?”

Page 97: 28 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 97 of 97

Karena itu maka Mahesa Jenar itu bertanya, “Apakah yang

sudah dilakukan di Banyubiru?”

“Semua orang telah mencoba untuk mencarinya. Ki Ageng

Gajah Sora, Kakang Kebo Kanigara sendiri, Arya Salaka dan

bahkan Ki Ageng Lembu Sora datang juga ke Banyubiru. Semua

orang telah berusaha mencari hampir di setiap sudut Banyubiru.

Semua jalan keluar telah dijaga segera setelah diketahui Endang

Widuri hilang. Bahkan beberapa orang telah dikirim keluar

Banyubiru. Namun Endang Widuri belum diketemukan.”

“Apakah yang dilakukan oleh Kebo Kanigara?”

“Kami tidak tahu. Tetapi Kakang Kebo Kanigara itu mencarinya

hampir setiap saat. Hanya pada malam harinya saja kakang Kebo

Kanigara pulang ke rumah Ki Ageng. Bahkan malam hari pun

kadang-kadang kakang Kebo Kanigara tidak pulang.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Apalagi setelah ia

mendengar bahwa di halaman Banyubiru pun telah dikejutkan oleh

sebuah bayangan yang tak dapat ditangkap oleh Arya Salaka.