28 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 97
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 97
I
ebenarnyalah Karebet pada saat itu telah benar-benar
kehilangan pengamatan diri. Karena goncangan pada Aji
Lembu Sekilan akibat serangan-serangan kedua lawannya
bersama-sama, maka hatinya pun serasa diguncang-guncang.
Karena itu, maka pada saat terakhir ia tidak mampu menahan
kemarahannya. Sehingga bulatlah tekadnya untuk membunuh saja
kedua lawannya dengan aji Rog-rog Asem.
Sembada dan Sambirata yang melihat sikap Karebet segera
menyadari keadaan mereka. Selagi Karebet belum menggunakan
Aji lain daripada Lembu Sekilan, mereka telah menemui banyak
kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Apalagi kalau
anak muda itu kemudian mempergunakan kekuatan terakhirnya.
Karena itu, tanpa saling berjanji mereka meloncat saling
mendekat, dan tanpa berjanji mereka menyiapkan kekuatan Aji
mereka bersama-sama untuk melawan aji yang akan dilontarkan
oleh Karebet itu.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang samasekali tidak
mereka sangka-sangka. Tidak oleh Karebet, maupun Sembada dan
Sambirata. Ketika mereka telah hampir sampai pada puncak
ketegangan karena pengerahan Aji masing-masing, maka tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara. Suara itu tidak demikian kerasnya,
namun benar-benar langsung mempengaruhi isi dada mereka.
Belum lagi mereka menyadari keadaan mereka masing-
masing, tiba-tiba dari balik gerumbulan yang lebat sebuah
bayangan meloncat dekat di antara mereka dan dengan sengaja
seakan-akan melerai pertempuran.
Yang menjadi sangat terkejut di antara mereka adalah
Karebet. Sesaat ia terpaku ditempatnya. Namun kemudian bahkan
ia memperkuat getaran yang bergerak didalam tubuhnya. Kembali
ia memusatkan segenap kekuatan lahir batin untuk mengetrapkan
aji Rog-rog Asem. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram
S
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 97
pandangan matanya erat melekat pada orang yang baru datang
itu.
Orang itu masih berdiri diam. Tertawanya menjadi lirih. Dan
sesaat kemudian terdengar terdengar ia berkata, “Sudahlah
Karebet. Lepaskan dulu pemusatan tenaga itu.”
Tetapi Karebet masih tetap dalam sikapnya. Setiap saat ia
dapat meloncat sambil melepaskan Aji Rog-Rog Asem. Ia tidak
mau menjadi korban dari persoalan yang berbelit-belit itu. Karena
itu kembali ia menggeram dan berkata. “Pasingsingan, apakah kau
menjadi sraya Tumenggung?”
Orang yang datang itu terkejut. Namun kembali ia tertawa
lirih, sambil memandangi jubahnya ia berkata, “Yah aku memang
mirip dengan Pasingsingan. Aku juga mempunyai ciri-ciri yang
serupa.”
Mendengar jawaban itu Karebet menjadi bimbang sesaat.
Namun ia tidak mau terpengaruh karenanya. Dengan demikian ia
masih tetap dalam sikapnya.
Sedang dua orang yang lain, terkejut pula mendengar Karebet
menyebut orang itu Pasingsingan. Nama itu juga pernah mereka
dengar, namun seperti sebuah dongengan yang tak mereka
pahami. Tetapi yang mereka dengarpun mengatakan bahwa
Pasingsingan memang mengenakan jubah berwarna abu-abu dan
menggunakan topeng. Kini orang yang berdiri dihadapan mereka
mengenakan jubah serta topeng untuk menutupi wajahnya.
Sesaat kemudian kembali terdengar orang itu berkata,
“Karebet, jangan segera berprasangka. Aku datang untuk melerai
perkelahian yang tak ada gunanya ini.”
Karebet memandang orang ini dengan seksama. Dengan
penuh kewaspadaan ia bertanya, “Apa sebabnya kau melerai
perkelahian ini?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 97
Kembali orang itu tertawa, kemudian kepada Sembada ia
berkata, “Ki Sanak lepaskan maksudmu untuk membunuh anak
muda ini. Sebab dengan demikian, kalian telah melakukan
kesalahan yang sangat besar.”
Sesaat Sembada dan sambirata saling berpandangan. Namun
kemudian terdengar Sembada berkata, “Siapakah kau
sebenarnya?”
“Namaku dan diriku samasekali tidak penting bagimu. Namun
kau minta, pikirkan sekali lagi. Apakah keuntunganmu dengan
membunuh Karebet?”
Kembali Sembada dan Sambirata terdiam. Namun seperti
Karebet merekapun memandang orang yang tegak dihadapan
mereka, dengan jubah yang keabu-abuan itu dengan tidak
berkedip. Sehingga, sesaat kemudian, terdengar orang itu berkata
“Sekarang pulanglah kalian kerumah masing-masing. Karebet ke
Tingkir, dan kalian berdua serta kawan-kawan kalian kembali ke
Demak.”
Sembada mengerutkan keningnya. Sekilas terbayang sebuah
timang emas bertretes berlian. Kalau ia pulang sebelum berhasil
membunuh Karebet, maka timang itu akan lepas dari tangannya.
Dan yang dilakukannya bersusah payah ini, tak akan ada artinya
samasekali. Berlari menerobos hutan dan ladang untuk segera
dapat mendahului perjalanan Karebet.
Tiba-tiba ketika mereka sudah hampir pada saat yang
menentukan seseorang minta kepada mereka untuk pulang saja
dengan tangan hampa. Tetapi betapapun juga kehadiran orang itu
benar-benar mempengaruhi perasaannya.
Meskipun demikian Sembada berkata pula, “Aku telah
menempuh suatu perjalanan yang jauh. Telah kulakukan pula
berbagai usaha untuk menyelesaikan pekerjaanku. Kini sesaat
sebelum pekerjaanku selesai kau datang mengganggu kami.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 97
“Jangan marah Ki Sanak,” sahut orang bertopeng itu. “Aku
hanya mencegah, janganlah terjadi permusuhan di antara
sesama.”
Sambirata mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia pun berkata
“Apakah hubunganmu dengan Karebet itu?”
Orang itu menggeleng, “Tidak ada,” katanya.
Oleh jawaban itu, maka Sambirata berkata pula, “Katamu
demikian, biarlah kami menyelesaikan urusan kami masing-
masing. Sebaiknya kau jangan mencampuri urusan orang lain yang
tak kau ketahui ujung pangkalnya.”
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya.
Kemudian terdengarlah suaranya parau dari belakang topengnya.
“Kenapa kalian berdua berusaha membunuh Karebet?”
Sambirata diam sejenak, kemudian jawabnya, “Itu adalah
urusan kami.”
Kembali orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian gumamnya, “Aku yakin bahwa kalian
mempunyai cukup alasan untuk melakukannya. Kalau tidak, maka
perbuatan itu pasti tidak akan kalian lakukan. Tetapi apakah alasan
itu dapat dimengerti oleh orang lain, itulah yang kadang-kadang
menjadi persoalan.”
“Hem,” Sembada yang keras hati itu menggeram. Katanya,
“Kalau kau sudah tahu alasan kami, apakah kau tidak akan
mengganggu kami?”
“Tergantung pada alasan itu” sahut orang berjubah itu. “Kalau
aku cukup mengerti, maka aku tidak akan mengganggu kalian.”
“Jangan terlalu sombong,” bentak Sembada yang kasar itu.
“Apakah dengan demikian kami akan terpengaruh karenanya?
Apakah apabila kau mencoba mengganggu sekalipun, maka kami
tidak akan menyelesaikan pekerjaan kami?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 97
Orang berjubah itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya, “Ki Sanak benar. Meskipun aku mencoba mengganggu
sekalipun, namun aku tidak akan dapat berbuat banyak. Tetapi
bukankah setidak-tidaknya dengan demikian aku akan
memperlambat pekerjaan kalian.”
“Bagus. Bagus,” teriak Sembada yang tidak sabar. “Kami
adalah keluarga Dadungawuk. Anak muda yang terbunuh oleh
Karebet itu?”
“He?” Bukan main terkejut hati Karebet. Ia samasekali tidak
mengenal nama Dadungawuk. Dan ia samasekali tidak melakukan
pembunuhan. Karena itu maka segera ia memotong. “Bohong. Aku
tidak pernah mengenal seseorang yang bernama Dadungawuk.”
“Aku sudah menyangka bahwa kau akan ingkar,” sahut
Sembada. “Watakmu yang licik dan sifat-sifatmu yang sombong
itu adalah gabungan dari ujud seorang pengecut yang
sebenarnya.”
“Jangan membual,” teriak Karebet yang menjadi semakin
marah. “Katakan yang sebenarnya. Bukankah kau seraya
Tumenggung Prabasemi?”
Sambirata tertawa. Katanya, “Sudah aku katakan. Tak ada
gunanya untuk mempersoalkan, apakah sebabnya kami akan
membunuh anak muda yang malang itu. Mau tidak mau, salah atau
benar. Keputusan kami, akan kami lakukan.”
Kata-kata itu benar-benar membakar hati Karebet. Dengan
serta merta ia berteriak, “Minggirlah. Kalau kau bukan
Pasingsingan, aku tidak tahu, bagaimana aku akan menyebutmu.
Tetapi jangan mengganggu perkelahian ini. Aku pun sudah
memutuskan pula untuk mengakhiri perkelahian yang memuakkan
ini.”
Kata-kata itu benar-benar berkesan di hati Sembada dan
Sambirata. Mau tidak mau mereka pun harus berpikir tentang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 97
kata-kata itu. Meskipun demikian, mereka telah terlanjur terlibat
dalam persoalan itu. Dengan demikian maka mereka tidak akan
dapat berhenti ditengah jalan, meskipun lawan mereka benar-
benar mempunyai kekuatan yang tak mereka sangka-sangka.
Tetapi orang berjubah itu masih berdiri saja ditempatnya.
Bahkan ia masih berkata, “Jangan berusaha saling membunuh.
Apakah tidak ada cara-cara lain yang lebih baik daripada saling
membunuh?”
“Tidak ada,” sahut Sembada. “Kecuali kalau Karebet mau
membunuh dirinya.”
Ucapan itu seolah-olah sebuah bara api yang menyentuh
telinga mas Karebet. Karena itu, hampir saja ia meloncat,
menyerang Sembada, namun tiba-tiba dengan penuh perbawa
orang berjubah itu berkata “Karebet, jangan lakukan. Seharusnya
kau mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang masak
sebelum kau berbuat sesuatu.”
Karebet tertegun mendengar peringatan itu. Namun
kemarahannya yang telah membakar seluruh isi dadanya itu,
alangkah sukarnya untuk dikendalikan.
Tetapi dalam pada itu orang berjubah itu berkata seterusnya.
“Karebet, kau sekarang adalah orang buangan. Aku mendengar hal
itu sebelum kau bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi.
Karena itu keadaanmu samasekali tidak menguntungkan setiap
perbuatanmu. Kalau sampai terjadi kau membunuh seseorang,
dan berita itu terdengar oleh Sultan, maka hukumanmu akan
menjadi berlipat ganda, sebab Sultan akan menjadi semakin
murka kepadamu. Pada saat kau bertempur melawan Prabasemi
pun, hampir-hampir aku mencegahmu. Namun ketika aku tahu
bahwa kau sadari keadaanmu, maka niatku itu pun aku urungkan.”
Karebet terkejut mendengar kata-kata itu. Kalau demikian,
maka orang berjubah itu telah mengikutinya sejak ia
meninggalkan Demak. Orang itu ternyata melihat, bahwa ia telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 97
bertengkar dengan Tumenggung Prabasemi, sehingga daripadanya
ia mengetahui bahwa kini ia adalah orang buangan. Namun dalam
pada itu, peringatan yang diberikan kepadanya benar-benar telah
menyentuh hatinya. Peringatan yang sebenarnya sejak semula
telah dipikirkannya. Tetapi ketika kemarahannya telah memuncak,
serta hidupnya sendiri telah terancam, maka pertimbangan-
pertimbangan itu lenyap dari kepalanya. Dan kini, ia
mendengarkan dari orang lain. Orang lain yang tidak dikenalnya.
Tetapi peringatan yang diucapkan oleh orang berjubah itu
telah menyalakan kemarahan Sembada dan Sambirata. Orang
berjubah itu seakan-akan mengatakan, bahwa Karebet itu pasti
akan berhasil membunuh mereka berdua. Meskipun mereka
datang hanya sekedar untuk mendapatkan timang emas, dan
meskipun harga nyawanya jauh lebih mahal dari harga timang
emas itu, namun mereka tidak mau pula bahwa harga diri terlalu
direndahkan. Karena itu, maka terdengar Sembada menjawab.
“He, orang bertopeng. Pergilah. Jangan ribut tentang nyawa kami.
Apakah kau sangka bahwa Karebet itu dapat membunuh kami
berdua? Kalau kau sudah melihat sejak permulaan dari perkelahian
ini, maka kau akan tahu, bahwa umur Karebet sudah melekat
diujung rambutnya. Namun sesaat sebelum ia mati, maka kau
datang mengganggu kami.”
“Omong Kosong,” potong Karebet yang hatinya telah menjadi
panas kembali.
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kepada Karebet ia berkata, “Ingat-ingatlah pesanku. Jangan
terpancing kedalam keadaan yang akan menyulitkan
kedudukanmu. Kau sekarang masih dapat mengharapkan
ampunan dari Baginda, namun kalau kau telah melakukan
kesalahan lagi, maka ampunan itu jangan kau harapkan
samasekali. Sebab pembunuhan ini akan dapat disebut dalam
berbagai macam keadaan. Prabasemi dapat mengatakan apa saja
yang dapat menambah kemarahan Baginda. Di antaranya, orang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 97
yang terbunuh itu adalah keluarga Dadungawuk seperti yang baru
saja dikatakannya.”
“Aku tidak mengenal Dadungawuk,” potong Karebet.
“Itu adalah suatu contoh yang baik dari bentuk-bentuk fitnah
yang dapat dilakukan oleh Tumenggung Prabasemi.”
Karebet itu pun terdiam, namun segera ia teringat kata-kata
Prabasemi dihadapan Baginda Sultan Trenggana, tentang seorang
calon Wira Tamtama. Tetapi Sembadalah yang berteriak, “He
orang bertopeng. Apakah sebenarnya maksudmu, dan siapakah
sebenarnya kau ini?”
Orang bertopeng itu menggeleng. Katanya, “Sudah aku
katakan bahwa tak ada gunanya kau mengerti siapa aku.”
“Bagus,” sahut Sembada. “Tetapi jangan ganggu kami.”
Orang bertopeng itu seakan-akan tidak memperhatikan kata-
kata itu, bahkan kepada Karebet ia berkata, “Karebet, pikirkan
baik-baik.”
“Tetapi apakah aku harus berdiam diri saja, seandainya
mereka akan membunuhku.”
“Pergilah,” jawab orang bertopeng itu.
“Pergi?” Karebet itu menjadi heran. Kemudian jawabnya,
“Apakah kalau aku pergi orang-orang itu tidak akan menyusulku?”
“Biarkanlah mereka. Menyingkirlah supaya kau terhindar dari
bencana yang lebih besar lagi.”
Karebet menjadi bingung. Ia telah mengenal orang itu. Semula
ia menyangka bahwa orang bertopeng itu Pasingsingan. Bahkan ia
menyangka bahwa Pasingsingan itu pun telah mendapat tugas pula
dari Tumenggung Prabasemi. Namun ternyata orang itu
memberinya beberapa petunjuk yang dapat dimengertinya.
Namun bagaimana ia harus melaksanakannya? Apakah ia harus
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 97
pergi dan membiarkan orang itu mengejar dan membunuhnya?
Atau bagaimana?
Dalam pada itu Sambirata berkata, “Hem. Ki Sanak yang
bertopeng. Agaknya kau telah terlalu jauh mencampuri urusan
kami. Karebet kau suruh menyingkir dari arena ini. Kalau
demikian, maka kau telah bertekad untuk menggantikannya.
Begitu?”
Orang bertopeng itu berhenti sesaat. Kemudian jawabnya,
“Aku tidak mempunyai cara lain. Aku hanya sekedar bermaksud
menyelamatkan kalian dari perbuatan terkutuk. Karebet dan kalian
berdua.”
“Jangan banyak bicara,” teriak Sembada. Apalagi ketika ia
mengetahui bahwa orang itu bukan Pasingsingan yang
menakutkan yang pernah didengarnya dari dongeng-dongeng.
“Sekarang kau pergi dan membiarkan kami membunuh Karebet.
Atau kami harus membunuhmu dulu, baru membunuh Karebet.”
Orang bertopeng itu seakan-akan samasekali tidak mendengar
teriakan itu. Katanya, “Menyingkirlah Karebet. Kalau mungkin,
pertumpahan darah harus dihindari.”
Sembada itu kini sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia
menggeram. Selangkah maju sambil berkata, “Kalau kau mati
disini pula, jangan menyalahkan aku. Kau terlalu tamak dan
sombong.”
Melihat Sembada melangkah maju, Karebet hampir melangkah
maju pula. Namun terdengar orang itu berkata, “Ingat, Sultan
sedang murka kepadamu. Jangan kau tambah kesalahanmu
dengan perbuatan-perbuatan yang tak berarti. Serahkan orang-
orang ini kepadaku.” Kata-kata itu benar-benar berpengaruh dihati
Karebet. Terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Dan terasa
bahwa ia tidak akan dapat menolak permintaan itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 97
Tetapi Sembada dan Sambirata telah benar-benar sampai
kepuncak kemarahan mereka. Karena itu, maka Sembada
berteriak, “Bagus. Ternyata aku harus membunuhmu dahulu. Baru
anak yang bernama Karebet itu.”
Orang berjubah itu tidak sampai menjawab. Ketika ia hampir
mengucapkan beberapa patah kata, maka Sembada yang kasar itu
telah menyerangnya langsung dalam kekuatan Ajinya Sapu Angin.
Orang bertopeng itupun melihat betapa kekuatan ajinya itu
meluncur lewat tangan-tangan Sembara kearahnya. Namun ia
samasekali tidak beranjak dari tempatnya.
Karebet yang melihat serangan itu terkejut. Tetapi ia berdiri
berseberangan dengan Sembada, sehingga ia tidak dapat berbuat
apa-apa kecuali berteriak, “Hei, Ki Sanak. Menghindarlah.”
Tetapi orang berjubah itu samasekali tidak bergerak.
Dibiarkannya Sembada menghantamnya dengan Aji Sapu Angin.
Namun sesaat sebelum tangan sembada menyentuh jubahnya,
tampak orang itu menjadi tegang. Dan pada saat itulah Aji Sapu
Angin membentur tubuhnya.
Namun yang terjadi benar-benar mengejutkan. Orang yang
berjubah itu masih tegak ditempatnya. Ia hanya bergetar sedikit.
Namun kemudian ia berdiri tegak kembali, seolah-olah tidak
pernah terjadi sesuatu. Tetapi Sembada yang menghantam orang
itu dengan kekuatannya, tiba-tiba terpelanting beberapa langkah
dan jatuh terguling karena benturan kekuatannya sendiri.
Tangannya yang melontarkan Aji Sapu Angin itu terasa membentur
benteng baja. Karena itulah maka ia sendirilah yang terlempar
mundur.
Sambirata heran melihat peristiwa itu. Tidak saja Sambirata,
namun Karebetpun berdiri dengan mulut ternganga. Seakan-akan
ia melihat suatu peristiwa dahsyat didalam mimpi. Aji Sapu Angin
mampu menggetarkan Aji Lembu Sekilan, meskipun tidak sampai
keintinya. Kini ia melihat orang berjubah itu samasekali tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 97
bergerak, namun Sembada sendirilah yang terdorong surut,
bahkan jatuh bergulingan beberapa kali.
Tetapi lebih dari itu. Ketika
Sembada tidak terguling lagi,
maka terdengar ia mengeluh
pendek. Dengan susah payah
ia berusaha bangkit. Namun
tiba-tiba ia terduduk kembali
dengan lemahnya. Nafasnya
serasa sesak, dan seakan-akan
bagian dalam dadanya pecah
berkeping-keping.
Sambirata menjadi ragu
sesaat. Ia melihat kawannya
telah jatuh karena pukulannya
sendiri. Karena itu apakah ia
akan mengulangi kesalahan
Sembada. Kini Sambirata
memperhitungkan setiap
kemungkinan. Seandainya ia mampu mengalahkan orang berjubah
dan bertopeng itu, namun dibelakangnya masih berdiri anak yang
bernama Karebet. Anak yang belum dapat dikalahkannya
meskipun ia berdua dengan Sembada. Apalagi kini Sembada sudah
tidak mampu untuk berdiri.
Sesaat Sambirata tegak saja seperti tonggak. Pikirannya
berjalan hilir mudik tak menentu. Ketika sekali lagi ia memandang
kawannya yang terduduk lemah itu, maka iapun mengeluh didalam
hatinya. “Apakah yang datang berjubah ini sebangsa demit atau
Hantu Alasan?”
Sambirata kemudian terperanjat ketika ia mendengar suara
orang bertopeng menggeram dari balik topengnya, “Hem, apakah
kau juga akan coba memukul aku?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 97
Kembali Sambirata menjadi bimbang. Namun akhirnya ia
menggeleng. Kini telah ditemukannya jawaban. Ia tidak
memperdulikan lagi kawannya yang terluka itu. Juga timang emas
yang dijanjikan. Nyawanya lebih berharga dari segala-galanya.
Bahkan sampai pada harga dirinya sekalipun. Karena itu, maka
tanpa malu-malu Sambirata menjawab, “Tidak Kiai. Aku tidak akan
melawan kehendak Kiai.”
Karebet mengerutkan keningnya ketika mendengar jawaban
itu. Bahkan ia mengumpat-umpat didalam hatinya. Alangkah
liciknya hati orang itu. Meskipun demikian, ia samasekali tidak
berkata apapun.
Yang menjawab adalah orang bertopeng, “Apakah kau benar-
benar tidak akan berbuat sesuatu?”
“Tentu Kiai,” sambut Sambirata. “Aku pun sebenarnya tidak
mempunyai persoalan dengan angger Karebet. Tetapi terbawa oleh
kesetiakawanan aku terpaksa membantu orang itu.”
Sembada berdesah mendengar kata Sambirata. Tetapi ia tidak
berani berbuat apapun. Kalau ia membantah, maka Sambirata
akan dapat berbuat apa saja atasnya. Selagi keadaan wajar, ia
tidak akan mampu melawan Sambirata, apalagi kini, tulang-
tulangnya seakan remuk.
Orang bertopeng itu memandangi Sambirata dan Sembada
berganti-ganti lewat lubang topengnya. Sesaat kemudian ia
menarik nafas panjang. Dan kemudian ia berkata, “Kembalilah
kalian ke Demak. Katakan bahwa Karebet telah mati. Ia tidak akan
kembali ke Demak dalam waktu yang singkat, sebelum Baginda
mengampuni kesalahannya.”
Sambirata mengangguk. Kemudian katanya,” Tentu Kiai kami
akan kembali ke Demak.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 97
Tetapi Sembada yang menyeringai kesakitan itu berkata,
“Alangkah mudahnya. Tetapi kalau kelak anak itu kembali ke
Demak, maka kepalaku akan dipenggal oleh Prabasemi.”
Sambirata tiba-tiba tertawa. Katanya, “Sudahlah adi Sembada.
Kalau kau tidak berani menanggung akibat dari perbuatan ini,
biarlah timang-timang ini dikembalikan saja.”
“Timang?” tiba-tiba Karebet memotong.
“Ya,” jawab Sambirata. “Kami harus membunuh angger. Dan
kami akan mendapat timang emas.”
Tangan Karebet menjadi gemetar mendengar pengakuan itu.
Tetapi sebelum ia menjawab, orang berjubah itu berkata,
“Lupakan semuanya. Beruntunglah kalian, bahwa kalian belum
menjual diri kalian dengan harga yang sangat murah itu. Apakah
artinya timang emas itu? Seandainya kalian mampu membunuh
Karebet sekalipun, namun apakah yang dapat kau miliki itu cukup
bernilai untuk menebus tanggung jawab yang harus kau berikan
pada masa-masa langgeng? Pada masa kau berhadapan dengan
Kekuasaan tertinggi. Jauh lebih tinggi dari kekuasaan Prabasemi,
bahkan kekuasaan Sultan Trenggana sekali pun?”
Orang berjubah itu diam sesaat. Sembada yang masih
menahan sakit itupun terdiam, dan Sambirata menundukkan
wajahnya. Semula ia mengurungkan niatnya hanya sekedar untuk
menyelamatkan hidupnya, maka tiba-tiba tersentuhlah perasaan
Sambirata oleh kata-kata orang bertopeng itu. “Ya,” katanya di
dalam hati, “Alangkah murahnya harga diriku. Sebuah timang
emas. Hem.” Tetapi Sambirata itu tidak berkata sepatah kata pun.
Yang terdengar kemudian adalah kata-kata orang berjubah itu.
“Seandainya kau berhasil membunuh Karebet, dan mendapatkan
timang-timang emas itu, maka apakah kalian dapat memakainya
dengan tenang? Setiap kali timang itu melekat di lambung kalian,
maka setiap kali kalian akan teringat, bahwa timang itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 97
sebenarnya berlumuran dengan darah seseorang yang tidak
bersalah kepada kalian.”
Sambirata semakin menundukkan wajahnya. Sentuhan-
sentuhan pada parasaannya semakin terasa. Dan karena itulah
tiba-tiba ia merasa menyesal atas perbuatannya itu. Namun justru
karena itulah maka ia berdiam diri.
“Nah. Pikirkanlah kata-kataku,” berkata orang berjubah itu
pula. Tiba-tiba Sambirata itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan hormat ia menjawab, “Baik Kiai. Akan aku pikirkan baik-
baik kata Kiai.”
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukan kepalanya.
Kemudian katanya, “Sekarang kembalilah ke Demak. Kau dapat
menempuh jalan yang wajar. Bukankah kau menempuh jalan yang
sulit, jalan yang bukan sewajarnya dilalui orang pada saat kau
berangkat kemari? Lewat gerumbul-gerumbul dan memotong di
antara hutan-hutan belukar. Itu adalah gambaran dari
pengakuanmu atas perbuatan-perbuatan yang tidak wajar pula
yang akan kau lakukan. Sebab kalau kau berlaku wajar, maka kau
tidak perlu melalui jalan-jalan yang tersembunyi.”
Sekali lagi Sambirata mengangguk. Dan kemudian jawabnya,
“Ya Kiai. Aku menyadarinya”
Tetapi ketika Sambirata itu berpaling kearah Sembada, maka
katanya “Apakah kau sudah mampu berjalan Adi?”
Sembada mengerang perlahan-lahan. Sekali lagi ia berusaha
bangkit. Namun punggungnya masih terasa sakit. Tetapi ia tidak
mau menunjukkan kelemahan dirinya. Maka katanya “Bertanyalah
kepada murid-muridmu. Apakah mereka sudah mampu berjalan?”
Sambirata itupun kemudian menebarkan pandangan matanya
kearah murid-muridnya yang masih berserakan disekitarnya. Ada
yang sudah mampu duduk dan mencoba berdiri, namun ada juga
yang masih terbaring sambil menyeringai. Melihat mereka itu,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 97
tergetarlah hati Sambirata. Hampir saja ia mengorbankan orang-
orang itu hanya untuk sebuah timang. Dan karena itu, maka
timbullah iba didalam hatinya. Iba kepada murid-muridnya yang
tidak tahu menahu ujung pangkal dari perbuatannya.
Perlahan-lahan Sambirata itu menghampiri muridnya yang
paling parah di antara mereka. Perlahan-lahan ia berbisik.
“Maafkan aku.”
Muridnya itu menjadi heran. Apakah yang harus
dimaafkannya?
Meskipun demikian muridnya itu tidak bertanya apapun
kepada gurunya. Mereka hanya menyeringai menahan sakit dan
berkata jujur. “Aku belum dapat berjalan Kiai”
Sambirata menarik nafas. Agaknya keadaan muridnya itu
benar-benar sulit. Karena itu maka katanya, “Aku tidak tergesa-
gesa. Biarlah kalian menjadi baik dahulu. Aku akan menunggu
kalian disini.”
Orang bertopeng itu mengawasi hampir setiap orang ditempat
itu. Sesaat kemudian terdengar ia berkata, “Baiklah kalau kalian
masih akan menunggu kawan-kawan kalian sehingga mungkin
untuk berjalan kembali. Kini biarlah anak muda ini pergi bersama
aku.”
Sambirata mengangguk sambil menjawab, “Silakan Kiai. Aku
mengucapkan terima kasih kepada Kiai.”
Orang bertopeng itu mengangguk, kemudian katanya kepada
Mas Karebet, “Ikuti aku.”
Karebet ragu-ragu sejenak. Ia belum mengenal orang itu. Ia
pernah mendengar bahwa orang yang berjubah abu-abu adalah
Pasingsingan. Kini ia berhadapan dengan orang yang berjubah
abu-abu itu. Apakah orang itu bukan Pasingsingan? Sesaat
timbullah beberapa prasangka didalam hatinya. Mula-mula ia
menyangka bahwa orang itu hanya sekedar merebut korbannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 97
dari Sambirata dan Sembada, supaya Pasingsinganlah yang
berhasil membunuhnya untuk mendapat hadiah dari Prabasemi.
Tetapi menilik suara dan tingkah lakunya, maka orang bertopeng
itu bukanlah seorang yang bernama Pasingsingan.
Akhirnya Karebet tidak mempunyai pilihan lain. Kalau orang itu
Pasingsingan, maka dimanapun, orang itu pasti akan dapat
membunuhnya. Diketahui atau tidak diketahui oleh orang lain.
Karena itu maka ia tidak menolak, dan diikutinya orang berjubah
abu-abu itu. Namun selama itu, anak muda yang masih
mengetrapkan ilmunya, Aji Lembu Sekilan dan sekaligus
ditangannya masih menjing Aji Rog-rog Asem.
Beberapa langkah kemudian, ketika orang-orang yang
terbaring dipinggir jalan hutan itu telah tidak nampak lagi, maka
orang berjubah abu-abu itu berhenti. Ditatapnya mata Karebet
dengan tajamnya. Kemudian dengan sebuah anggukan kepada ia
berkata, “Duduklah Karebet.”
Orang itu tidak menunggu jawaban Karebet. Namun segera ia
berjalan kebalik gerumbul dan duduk diatas rumput-rumput
kering. Karebet kembali menjadi ragu- ragu. Tetapi seolah-olah
sebuah pesona telah menariknya untuk kemudian duduk
dihadapan orang berjubah abu-abu itu, dibalik gerumbul pula.
“Karebet,” berkata orang itu. “Hampir kau melakukan sebuah
kesalahan lagi. Bukankah kau kini sedang menjalani hukuman?”
Kelunakan dan kesungguhan kata-kata orang itu memberi
keyakinan kepada Karebet, bahwa orang itu sebenarnya bukan
Pasingsingan. Karena itu maka jawabnya “Ya, Kiai. Aku sedang
menjalani sebuah hukuman.”
“Apakah sebabnya?” bertanya orang itu.
Karebet sesaat menjadi ragu-ragu. Namun kemudian terluncur
pula dari mulutnya, persoalan-persoalan yang menyebabkannya
diusir dari istana. “Tetapi Kiai,” berkata kemudian, “Janganlah hal
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 97
ini didengar orang lain, supaya Sultan tidak semakin marah
kepadaku.”
Orang bertopeng itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, “Karebet. Aku mengikutimu sejak kau
meninggalkan istana, berrjalan bersama-sama dengan
Tumenggung Prabasemi. Aku melihat sesuatu yang tidak wajar
pada kalian berdua. Karena itu aku mencoba melihat apa saja yang
akan terjadi. Ternyata dihutan Santi kalian berdua terlibat dalam
suatu perkelahian. Ketika aku melihat Prabasemi jatuh, aku hampir
saja mencegahmu. Namun ternyata kau pada waktu itu masih
dapat menguasai dirimu. Tetapi yang baru saja terjadi disini,
agaknya kau telah benar-benar menjadi mata gelap.”
Karebet mengangguk, “Ya Kiai,” jawabnya. “Aku tidak ingin
mati di tangan kedua orang itu.”
“Aku tidak menyalahkanmu” sahut orang bertopeng itu. “Aku
hanya ingin mencegah kesalahan yang mungkin kau lakukan, yang
akan dapat mendorongmu semakin jauh dari istana.”
Karebet menundukkan kepalanya. Kini ia pasti, bahwa orang
itu samasekali bukan Pasingsingan. Tetapi siapa?
Dan tiba-tiba saja ia bertanya. “Tetapi apakah aku boleh
mengetahui, siapakah Kiai ini?”
Orang itu menggeleng. “Tidak ada gunanya,” jawabnya.
Karebet menarik nafas. Ia tidak bertanya lagi kepada orang itu
Sebab sekali ia merahasiakan dirinya, maka betapapun ia mencoba
bertanya, namun pasti ia tidak akan mendapat jawaban.
Karebet itu kemudian mengangkat wajahnya ketika orang itu
bertanya. “Sekarang, ke manakah kau akan pergi?”
Karebet menarik nafas dalam-dalam. Ya, kemana ia akan
pergi? Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya, “Aku
akan ke Tingkir.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 97
“Tidak” jawab karebet, “aku tidak yakin bahwa Prabasemi akan
melepaskan maksudnya membunuhku. Mungkin ia akan meminta
orang lain lagi untuk melakukan pembunuhan itu. Dalam keadaan
yang demikian, mungkin sekali aku kehilangan kesabaran, dan
membunuh orang itu sehingga dengan demikian Sultan Trenggana
akan semakin murka kepadaku.”
“Kau benar,” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi kemana?”
Karebet menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”
“Apakah kau tidak mempunyai sahabat, kawan atau saudara
ditempat lain?” bertanya orang bertopeng itu.
Karebet diam sejenak. Tiba-tiba terbayanglah di rongga
matanya, sebuah lembah yang luas dengan padi yang hijau subur
dikaki pegunungan Telamaya. Suatu daerah yang sangat menarik
yang pernah dikunjunginya. Tetapi daerah itu belum menemukan
ketentraman karena persoalan antar keluarga sendiri.
“Bagaimana?” bertanya orang itu pula.
Karebet menggeleng. Jawabnya, “Aku mempunyai sahabat,
saudara dan kawan-kawan. Tetapi mereka sedang sibuk dengan
persoalan mereka sendiri. Apakah aku tidak akan menambah
keributan mereka, apabila aku datang kepada mereka itu?”
Terdengar orang bertopeng itu tertawa pendek. Katanya
seolah-olah bergumam saja didalam mulutnya. “Hem. Kau
memandang dari sudut yang buram. Cobalah, katakan kepadaku
bahwa kau akan datang untuk membantu memecahkan persoalan
mereka itu.”
Karebet menengadahkan wajahnya. Sesaat terpancarlah
sesuatu dari wajahnya. Katanya didalam hati, “Ya, aku adalah
seorang laki-laki. Kenapa aku tidak dapat memperingan pekerjaan
mereka itu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 97
Tiba-tiba Karebet itu berkata, “Pendapat Kiai baik sekali. Aku
dapat datang kepada mereka untuk membantu mereka. Mungkin
tenagaku akan berguna.”
“Bagus”, orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Topengnya bergerak-gerak seperti kepala hantu-hantuan di sawah
untuk menakut-nakuti burung.
“Baiklah Kiai,” berkata Karebet pula, “Aku akan pergi kesana.”
“Kemana?”
Karebet berdiam diri sejenak. Namun sesaat kemudian ia
berkata lantang. “Banyubiru.”
“Banyubiru,” orang bertopeng itu mengulang. Kemudian
katanya, “Pergilah ke Tingkir. Kemudian pergilah ke Banyubiru.”
“Baik Kiai,” sahut Karebet.
Orang bertopeng itupun kemudian berdiri. Dipandanginya
Karebet dengan seksama. Kemudian katanya, “Kita berpisah disini
setelah aku mengikutimu sejak dari Demak. Mudah-mudahan aku
terhindar dari segala malapetaka. Dan mudah-mudahan kau selalu
dapat mengekang dirimu sendiri. Pergilah. Aku akan pergi ke
Bergota.”
Karebet mengerutkan keningnya, dan dengan serta merta ia
bertanya.
“Kenapa ke Bergota?”
“Tidak ada hubungannya dengan kau. Aku akan menemui Arya
Palindih,” jawab orang itu.
Kembali Karebet menjadi sangat tertarik kepada jawaban itu.
Tetapi orang itu berkata, bahwa kepergiannya itu tak ada
hubungannya dengan dirinya. Meskipun demikian, ia bertanya-
tanya juga didalam hatinya. Bukankah Sultan Trenggana pernah
mengatakan kepadanya bahwa ia akan dikirim ke Bergota
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 97
seandainya Prabasemi tidak mencegahnya? Meskipun demikian
Karebet itu tidak bertanya lagi.
Orang bertopeng itupun kemudian minta diri dan perlahan-
lahan ia berjalan meninggalkan Karebet. Tetapi, ia tidak berjalan
lewat jalan yang terbentang di tengah-tengah hutan itu, namun
berjalan menyusup lewat gerumbul-gerumbul di hutan itu.
Sebelum orang itu hilang dari pandangan mata Karebet, terdengar
ia berkata, “Karebet, aku tadi berkata kepada Sambirata, bahwa
ia menempuh jalan yang tidak wajar karena tuduhan yang tidak
wajar. Kini akupun menempuh jalan yang tidak wajar karena
keadaanku pun tidak wajar dan tujuanku pun tidak wajar. Namun
percayalah bahwa aku mempunyai itikad yang baik bagimu dan
bagi Demak.”
Karebet mengerutkan keningnya. Timbullah pertanyaan bahwa
didalam hatinya. “Kenapa bagiku dan bagi Demak? Apakah ada
hubungan yang erat antara aku dan Demak? Ah” desahnya. “Aku
hanya seorang lurah Wira Tamtama.”
Tetapi tiba-tiba ia berdesis. “Bukan, Lurah Wira Tamtama pun
bukan. Aku adalah orang buangan.”
Ketika orang bertopeng itu lenyap dibalik rimbunnya daun-
daun rimba yang hijau, maka Karebet itu menjadi bersedih.
Dikenangnya dirinya dan disesalinya segenap perbuatannya.
Namun semuanya telah berlalu. Dan kini ia tinggal menjalani
akibat dari perbuatan-perbuatannya yang salah itu.
Sesaat Karebet itu masih tegak ditempatnya. Sekali-kali
diawasinya daun-daun yang hijau tempat orang bertopeng itu
melenyapkan dirinya.
”Orang Aneh,” gumam Karebet. “Memang di dunia ini selalu
ada keanehan-keanehan yang kadang-kadang lucu. Apakah
gunanya orang itu menutupi wajahnya dan berjubah. Apakah
wajahnya itu terlalu jelek dan kasar, atau seorang buruan yang
sedang menyembunyikan diri? Tetapi tidak pantas kalau orang itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 97
menyembunyikan dirinya karena persoalan-persoalan lahiriah. Ia
adalah seorang yang sakti, ternyata Aji Sembada samasekali tidak
mampu mendorongnya selangkah pun.”
Karebet itupun kemudian dengan segan melangkah pergi. Kini
ia berjalan dengan tujuan yang pasti. Ke Tingkir kemudian ke
Banyubiru.
Ketika ia muncul dari balik-balik gerumbul, tiba-tiba timbullah
keinginannya untuk menengok kembali Sembada dan Sambirata.
Karena itu ia berjalan menuju ke arah mereka. Dari kejauhan
dibalik tikungan Karebet telah melihat mereka masih berada
ditempatnya.
Sembada kini sudah duduk menepi, dan beberapa murid
Sambirata pun semuanya telah berbaring dan duduk-duduk di
rerumputan. Bahkan dilihatnya Sembada dengan lahapnya sedang
makan bekal yang dibawanya.
Ketika mereka melihat Karebet datang kepada mereka, maka
Sembada dan Sambirata itupun berdesir hatinya. Apakah maksud
kedatangan Karebet itu kembali kepada mereka? Apakah setelah
orang bertopeng itu pergi, Karebet akan meneruskan maksudnya,
bertempur sampai saat-saat terakhir? Tetapi kini Sambirata telah
tidak bernafsu lagi untuk bertempur. Di dalam dadanya telah
terdengar suara-suara yang belum pernah didengarnya. Dan
suara-suara itu telah mendorongnya untuk menghindari bentrokan
langsung dengan Karebet itu.
Tetapi wajah Karebet samasekali tidak menunjukkan
ketegangan. Bahkan ketika ia melihat Sembada yang masih saja
menyuapi mulutnya itu, ia tersenyum sambil berkata, “Alangkah
nikmatnya, makan setelah bekerja keras.”
“Makanlah kalau kau mau” berkata Sembada itu tanpa
berpaling. Meskipun demikian denyut jantungnya menjadi semakin
cepat. Ia masih belum yakin kalau dalam waktu yang sesingkat itu
Karebet telah dapat melupakan apa-apa yang baru saja terjadi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 97
Tetapi Karebet benar-benar anak yang aneh, yang berbuat apa
saja menurut keinginannya sesaat-sesaat. Tiba-tiba saja ia duduk
di samping Sembada dan berkata, “Aku juga lapar, kakang
Sembada.”
Sambirata menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kejujuran
yang memancar dalam diri Karebet. Kejujuran yang tidak dibuat-
buat. Karena itu ia menjadi semakin kecewa atas perbuatannya.
Untunglah semuanya belum terlanjur terjadi. Kalau ia berhasil
membunuh Karebet, maka dosanya akan selalu mengejarnya
apabila ia kelak mengetahui sifat-sifat anak itu. Sedang apabila
Karebet yang membunuhnya, maka kasihanlah anak itu. Sebab
dengan demikian ia akan mendapat hukuman yang lebih berat dari
Baginda.
Dengan penuh penyesalan ia melihat Karebet itu meraih
sepotong makanan bekal yang mereka bawa dari Demak. Dan
tanpa ragu-ragu disuapkannya makanan itu kedalam mulutnya.
“Enak” gumam Karebet itu.
“Sifat itu sangat menyenangkan” berkata Sambirata di dalam
hatinya. Dan dibiarkannya Karebet itu kemudian makan sepuas-
puasnya.
Sembada yang sedang makan itupun menjadi heran pula
melihat Karebet benar-benar mau makan bersamanya. Karena itu
ia menjadi tenang sedikit. Mungkin Karebet itu benar-benar tidak
akan meneruskan perkelahian yang pasti tidak akan
menguntungkannya.
Hanya beberapa murid Sambirata yang mengumpat-umpat di
dalam hatinya. Punggung-punggung mereka masih terasa sakit
karena anak muda yang bernama Karebet itu. Dan kini Karebet itu
makan bekalnya seenaknya. Bahkan tidak henti-hentinya.
“Makanlah angger.” Sambirata itu mempersilakan dengan
ramahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 97
“Aku akan kenyang, paman,” sahut Karebet. Dan tiba-tiba pula
Karebet itu berdiri.
Sembada lah yang paling terkejut. Ia masih belum dapat
menghilangkah kecemasannya apabila Karebet itu tiba-tiba
membunuhnya. Tetapi Sembada itu menarik nafas dalam-dalam,
ketika dilihatnya Karebet itu menekan punggungnya sambil
menggeliat. “Aku sudah terlalu kenyang paman”, katanya kepada
Sambirata. “Sekarang biarlah aku meneruskan perjalananku ke
Tingkir. Apakah paman masih akan mencegah aku?”
“Tidak, tidak ngger. Silakan berjalan terus. Aku tidak akan
mengganggu angger lagi,” sahut Sambirata.
Tetapi Sembada yang kasar itu menjawab, “Pergilah. Tapi
jangan mencoba mengganggu kami.”
Karebet itu berpaling. Tetapi kemudian ia tersenyum,
jawabnya “Baiklah. Aku tidak sengaja mengganggumu, kakang.
Aku lapar, dan dihadapanmu ada makanan.”
“Bukan soal makanan,” bentak Sembada. “Tetapi jangan
halangi kami kembali ke Demak, kalau kau ingin selamat.”
Sekali lagi Karebet tersenyum. Katanya, “Apakah kakang
sudah dapat berjalan dengan baik.”
Sembada tidak menjawab. Namun ia mengumpat perlahan-
lahan, “Persetan.”
Karebet itupun kemudian berjalan meninggalkan mereka.
Ditelusurinya jalan sempit ditengah-tengah hutan yang semakin
lama semakin tipis. Sehingga sesaat kemudian ia akan sampai ke
mulut lorong itu dan meninggalkan daerah hutan yang
memberinya kesan tersendiri. Di hutan inilah Prabasemi berusaha
merampas nyawanya untuk yang kesekian kalinya. “Hem,”
gumamnya, “Orang itu benar-benar berusaha menghilangkan aku
karena otaknya yang gila seperti aku. Tetapi aku tidak
mengganggu orang lain. Aku mendapatkan kesempatan tanpa aku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 97
sangka-sangka. Sedangkan Prabasemi mencari kesempatan
dengan segala cara. Bahkan mengorbankan orang lain sekalipun.
Sekali lagi Karebet menarik napas. Kemudian ditatapnya jalan
yang terbentang dihadapannya. Kini ia meninggalkan hutanitu.
Ketika ia menengadahkan wajahnya dilihatnya langit yang cerah.
Awan yang tipis selembar demi selembar mengalir ke Utara, dan
burung berterbangan di angkasa seakan menari dengan riangnya.
Karebet mengusap dahinya yang basah. Angin yang lembut
perlahan-lahan menyentuh tubuhnya yang kotor.
Ketika Karebet mengangkat wajahnya, hatinya menjadi
berdebar-debar. Dihadapannya terbaring seonggok warna hijau ke
hitam-hitaman. Padukuhan Tingkir, tempat ia dibesarkan oleh ibu
angkatnya Nyi Tingkir.
Langkah Karebetpun tertegun sesaat. Kembali ia berbimbang
hati. Tetapi kemudian ia melangkah kembali dengan langkah yang
tetap. Pulang ke Tingkir dan kelak terus ke Banyu Biru.
Angin yang lembut sekali lagi mengusap wajah Karebet yang
basah oleh keringat. Dan kembali persoalan itu hanyut satu
persatu di kepalanya, berlari berurutan seperti kuda yang sedang
berpacu. Dan akhirnya sampailah ia ke ujung kenangannya.
II
Malam itu langit cerah yang ditandai oleh sepotong bulan
muda. Ketika Karebet mengangkat wajahnya, yang tampak
dihadapannya bukan pedukuhan Tingkir yang hijau kehitam-
hitaman, tetapi sebuah dataran yang luas dengan daun-daun padi
yang menghijau melapisinya. Warna-warna semburat kuning yang
dilemparkan oleh bulan sepotong di langit tampak berkilat-kilat
memantul dipermukaan air Rawa Pening.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 97
Karebet kembali kepada keadaanya kini. Dihadapannya duduk
pamannya yang disegani. Kebo Kanigara yang mendengarkan
ceritanya dengan asyik.
Ketika Karebet itu berhenti berbicara, maka Kebo Kanigara itu
menarik napas panjang. Panjang sekali. Dan terdengarlah ia
bergumam, “Bukan main. Itulah sebabnya maka sepeninggalmu,
timbulah berbagai cerita mengenai dirimu.”
Karebet tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-
dalam. Dan malam menjadi semakin dingin, karena arus angin
pegunungan.
“Darimana kau tahu sedemikian banyak cerita tentang dirimu,
yang kau alami dan tidak kau alami?”
Dengan kepala masih tertunduk Karebet menjawab, “Sebagian
aku alami langsung, sedangkan sebagian aku dengar dari seorang
sahabat yang dapat dipercaya.”
“Siapakah orang itu?”
“Sambirata!”
“He, Sambirata yang kau katakan mencegatmu di hutan dekat
Tingkir itu?”
“Ya, ternyata ia telah menyesali perbuatannya. Karena itu ia
berusaha mencari kebenaran tentang diriku. Aku tidak tahu, apa
saja yang sudah dilakukannya, namun ia berhasil mengetahui
sebagian besar keadaanku, dan ia pun berhasil mencari aku, ketika
aku masih berada di Tingkir.”
“Hanya orang itu?” bertanya Kebo Kanigara.
“Ya, tetapi paman Sambirata aku minta menghubungi
sahabatku yang lain di dalam lingkungan Wira Tamtama.
Daripadanya paman Sambirata dapat melengkapi ceritanya.”
“Siapakah orang itu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 97
“Santapati. Kakang Santapati, seorang lurah Wira Tamtama
juga.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia
berdiam diri, dan Karebet tidak berkata apapun. Karena itu maka
keadaan di lereng menjadis epi kembali. Di kejauhan terdengar
suara cengkerik sahut menyahut dengan derik belalang. Sesekali
terdengar aum harimau di kejauhan, di hutan Gunung Telamaya.
Sesekali Kebo Kanigara memandang wajah kemenakannya
yang suram. Dilihatnya penyesalan yang dalam menggores
didadanya. Karena itu maka perasaan Kebo Kanigara itupun
menjadi iba juga kepadanya. Kepada satu-satunya
kemenakannya. Karebet adalah penyambung keturunan Pengging
disamping Widura. Karena itulah maka adalah menjadi
keinginanya bahwa Karebet kelak mendapat tempat yang baik,
sebagai seorang cucu Handayaningrat, maka adalah wajar apabila
Karebet apabila Karebet itu tidak saja menjadi seorang buangan
dan sekedar Lurah Wira Tamtama.
“Hem,” geram Kebo Kanigara didalam hatinya. “Trenggana
ternyata dapat dipengaruhi oleh orang-orang seperti Prabasemi.”
Tiba-tiba terbersitlah sesuatu di kepala Kebo Kanigara. Karebet
adalah kemanakannya. Nasib Karebet dihari kemudian akan
menentukan darah keturunan Pengging. Kalau Karebet itu akan
hancur menjadi debu di pembuangan, maka darah Pengging akan
kering seperti lautan yang kering. Betapapun agungnya lautan itu
dihari-hari lampau, namun apabila kemudian telah kering dibakar
terik matahari, maka keagungan airnya pasti akan dilupakan
orang. Demikianlah kalau Karebet itu benar-benar akan lenyap dari
percaturan pemerintah Demak, maka darah Pangeran
Handayaningrat untuk selamanya tidak akan dapat mengharapkan
Widuri untuk merebut tempat itu, sebab mau tidak mau ia melihat
hubungan yang akrab antara putrinya itu dengan Arya Salaka.
Meskipun Arya Salaka bukan darah yang tetes dari istana, namun
ia bangga atas anak muda itu. Anak muda yang menyadari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 97
keadaannya, menyadari tanggung jawabnya. Dan ia puas dengan
keadaan putrinya, asalkan kelak ia merasa bahagia. Apalagi
putrinya itu sejak kecilnya samasekali tidak pernah mengenyam
kehidupan istana. Karena itu, maka apa yang dicapainya itu benar-
benar telah memberinya kebahagiaan.
Baru beberapa waktu
kemudian Kebo Kanigara itu
berkata, “Karebet. Jangan
tinggalkan Banyubiru tanpa
ijinku. Mungkin ada beberapa
cara yang dapat ditempuh,
supaya Sultan Trenggana itu
memaafkan kesalahanmu.”
Karebet menganggukkan
kepalanya sambil menjawab,
“Baik paman. Aku akan tinggal
di Banyubiru sampai paman
memerintahkan aku berbuat
lain.”
Kembali mereka terlempar
dalam kesenyapan. Dan
kembali suara jengkerik bersahut-sahutan dengan desir angin di
dedaunan. Awan yang putih segumpal hanyut di wajah bulan
kuning pucat.
Sesaat kemudian barulah Kebo Kanigara berkata, “Karebet.
Alangkah bodohnya kau. Kenapa kau sampai terpancing dalam
pertempuran melawan Sultan Trenggana?”
“Aku tidak mengenal paman. Sultan menggunakan tutup
wajah dari ikat kepalanya. Dan Sultan samasekali tidak
mempergunakan tanda-tanda kebesarannya.”
“Apakah kau tidak mampu melihat ciri-ciri gerak Baginda?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 97
“Tidak paman. Aku lebih baik tidak menyangka bahwa aku
berhadapan dengan Baginda, karena Baginda mempergunakan Aji
Welut Putih.”
“Kenapa dengan Aji Welut Putih.”
“Bukankah Aji itu biasa dipergunakan oleh orang-orang jahat
yang berusaha melepaskan diri dari kejaran?”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Baginda
mengenal seribu macam ilmu. Dari yang paling jahat sampai yang
paling baik.”
“Aku kurang menyadari itu paman. Mungkin Baginda sengaja
mempergunakan Aji Welut Putih untuk lebih mengaburkan
anggapanku terhadap orang yang tertutup wajah itu.”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia
berkata, “Jangan kambuh lagi Karebet. Kalau kau meninggalkan
Banyubiru tanpa setahuku, aku tidak akan mencampuri lagi
segenap persoalanmu.”
“Baik paman,” jawab Karebet.
Kebo Kanigara itupun kemudian bangkit sambil berkata.
“Kembalilah kerumah Ki Lemah Telasih. Mudah-mudahan Buyut
Banyubiru itu akan memberimu banyak tuntunan yang akan
bermanfaat bagi hidupmu.”
Karebet itupun kemudian berdiri pula. Sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya ia berkata, “Baik paman.”
Ketika pamannya itu kemudian berjalan meninggalkannya,
maka Karebet itu pun segera kembali kerumah Ki Buyut Banyubiru.
Sebenarnyalah Karebet, sejak dari Tingkir segera ia pergi ke
Banyubiru. Semula ia mengharap bahwa Arya Salaka Telah
berhasil kembali ke tanah perdikannya. Namun ternyata
ditemuinya tanah itu sedang dicengkram oleh ketegangan. Karena
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 97
itu, maka untuk sementara ia mencari tempat yang dapat
dipakainya untuk menyembunyikan dirinya. Sehingga akhirnya
ditemukannya tempat itu. Rumah Ki Buyut Banyubiru, yang baik
hati. Ia tinggal di rumah itu bersama-sama dengan beberapa orang
murid Ki Lemah Telasih yang lain. Mereka termasuk orang-orang
yang lebih mementingkan persoalan-persoalan pengobatan dan
ketekunan dalam mencari dan menemukan jenis dedaunan untuk
pengobatan daripada olah kanuragan. Disamping itu, Ki Lemah
Telasih adalah seorang yang tekun beribadah. Itulah sebabnya
Karebet betah tinggal dirumahnya. Ditemuinya persoalan-
persoalan dalam hidupnya. Cara-cara pengobatan itu sangat
menarik hati anak muda yang aneh itu.
Diperjalanan kembali ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, Kebo
Kanigarapun selalu diganggu oleh berbagai pesoalan. Apakah ia
akan membiarkan Karebet terbuang dari pergaulan yang telah
pernah dicapainya? Kebo Kanigara itupun dapat ikut merasakan
kepahitan yang dialami oleh Karebet itu. Kepahitan yang dialami
oleh setiap prajurit yang terpaksa disingkirkan dari kedudukannya.
Tetapi Kebo Kanigara pun tahu pula, bahwa Baginda masih
memiliki kesayangan yang besar kepada anak yang aneh itu.
Meskipun demikian Kebo Kanigara itu pun berkata didalam
hatinya, “Biarlah orang-orang tua mencoba membantu
menyelesaikan masalah ini.”
Malam itu Kebo Kanigara hampir tak dapat tidur nyenyak. Ia
bangun pagi-pagi benar dan tampaklah bahwa perasaannya
sedang dibebani oleh persoalan-persoalan yang berat.
Mahesa Jenar yang mengetahui serba sedikit tentang Karebet,
segera dapat menduga, bahwa Kebo Kanigara benar-benar sedang
dirisaukan oleh kemenakannya yang nakal. Karena itu sebagai
seorang sahabat yang dekat, maka Mahesa Jenar menyatakan
dirinya untuk membantu memecahkan kesulitan-kesulitan yang
sedang dihadapi oleh Kebo Kanigara itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 97
Kebo Kanigara yang masih belum tahu apa yang akan
dilakukan itu berkata, “Bukan main. Anak itu telah jauh tenggelam
kedalam gelora darah mudanya.”
“Apakah kesalahan yang telah dilakukannya itu terlampau
besar, sehingga tidak akan mungkin mendapat pengampunan
kakang,” bertanya Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara merenung sejenak. Kemudian desahnya,
“Mudah-mudahan. Tetapi waktu yang diperlukan cukup panjang.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Serba
sedikit Kebo Kanigara mengatakan juga apa yang pernah
didengarnya dari Karebet. Namun tidak seluruhnya. Ada
persoalan-persoalan yang tidak dapat di ketahui oleh orang lain.
Meskipun orang lain itu adalah Mahesa Jenar sendiri, yang selama
ini selalu berbuat bersama-sama, berjuang bersama-sama dan
bahkan hidup mati mereka berdua seakan-akan telah
dipertaruhkan bersama. Tetapi masalah yang dihadapi oleh Kebo
Kanigara sebagian adalah masalah yang berhubungan dengan
keluarganya. Berhubungan dengan saluran darah Majapahit yang
mengalir ditubuhnya dan ditubuh Karebet, namun juga ditubuh
Sultan Tranggana.
Karena ada beberapa persoalan yang tidak dapat dikatakannya
kepada Mahesa Jenar, maka Mahesa Jenar pun tidak segera dapat
melihat, apa yang dapat dilakukannya untuk membantu
memecahkan persoalan itu.
“Mahesa Jenar” berkata Kebo Kanigara kemudian, “Jangan kau
ikut serta dirisaukan oleh persoalan-persoalan yang dibuat oleh
Karebet. Lupakanlah persoalan itu. Selesaikan persoalanmu yang
telah lama kau tunda-tunda. Bukankah waktu itu kini telah
datang?”
Mahesa Jenar tersenyum. Segera ia tahu maksud Kebo
Kanigara. Karena itu Mahesa Jenar menjawab, “Baiklah kakang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 97
Meskipun demikian apabila pada suatu saat kakang memerlukan
aku, maka aku selalu menyiapkan diri untuk itu.”
“Terima kasih, Mahesa Jenar. Pada saatnya aku akan
memberitahukannya kepadamu.” Namun dalam pada itu, sesuatu
tersimpan didalam hati Kebo Kanigara. Sesuatu yang tidak dapat
segera dikatakan kepada Mahesa Jenar, meskipun pada suatu saat
pasti akan menyangkut perasaannya. “Hem” gumam Kebo
Kanigara didalam hatinya, “Biarlah Mahesa Jenar menikmati masa-
masa yang paling baik dalam hidupnya.”
Sejak itu Kebo Kanigara berusaha untuk menghilangkan
kesan-kesannya yang menggelisahkan karena pokal keme-
nakannya. Meskipun beberapa kali ia masih menemui Karebet,
tetapi ia tidak pernah menyebut-nyebutnya lagi kepada Mahesa
Jenar. Dibiarkannya Mahesa Jenar sibuk dengan persoalan sendiri.
Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak mendengar dari Kebo
Kanigara bahwa Karebet telah pergi ke Karang Tumaritis dan telah
kembali ke Banyubiru.
Dalam pada itu, maka Ki Ageng Pandan Alas merasa bahwa ia
telah cukup lama berada di Banyubiru. Karena itu maka ia pun
minta diri kepada Ki Ageng Gajah Sora, kepada Kebo Kanigara,
kepada Mahesa Jenar dan kepada cucunya Rara Wilis.
“Kenapa Ki Ageng tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru?”
bertanya Gajah Sora.
“Aku sudah cukup lama tinggal di sini angger. Karena itu aku
ingin sekali-kali melihat tanah kelahiranku. Aku ingin pulang ke
Gunungkidul, menyampaikan kabar yang sebaik-baiknya bagi
sanak kadang dan handai taulan di sana. Sudah tentu kami akan
mengharap Wilis sekali-kali juga mengunjungi kampung halaman.
Dan sudah tentu kami akan mengharap bahwa kami dapat
menyaksikan hari yang paling baik bagi hidupnya di kampung
halaman sendiri. Apapun yang kemudian akan dilakukan, dan
kemana pun kemudian Wilis akan pergi, bukanlah soal bagi kami.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 97
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya, “Sebenarnya Banyubiru akan sangat berterima kasih
kalau kesempatan itu tidak kami terima di sini, sebagai tanah yang
telah menerima limpahan pengabdiannya yang tanpa pamrih itu.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Terima kasih. Terima kasih.”
sahutnya, “Tetapi biarlah kami pada suatu ketika membawanya
dahulu kembali. Kami ingin memperkenalkan angger Mahesa Jenar
kepada sanak kadang serta sahabat-sahabat kami.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ki Ageng, kami akan datang setiap saat. Aku akan bergembira
untuk melihat tanah tempat kelahiran Wilis. Dan aku akan
bergembira untuk dapat mengenal sanak kadang di tanah itu.”
“Bagus. Biarlah kelak seseorang datang menjemput kalian di
sini. Begitu aku sampai di Gunung Kidul, begitu aku minta
seseorang menjemput kalian supaya kalian tidak usah mencari-
cari jalan. Meskipun seandainya kalian tidak melewati hutan
Mentaok, kalian sudah tidak akan bertemu lagi dengan Lawa Ijo,
ataupun Pasingsingan yang satu itu. Seandainya demikian pun
maka angger Mahesa Jenar sudah pasti tidak akan takut. Dan aku
tidak perlu menebang pohon di hutan itu dan kemudian
berdendang Dandang Gula.”
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepalanya. Suatu
kenangan yang mengesankan. Dihutan itu pula ia pertama-tama
bertemu dengan seorang gadis yang bernama Rara Wilis. Di hutan
itu pula ia hampir binasa karena Pasingsingan. Namun didesa itu
pula ia diselamatkan oleh Ki Ageng Pandan Alas dengan suara
kapaknya dan kemudian disusul dengan tembang Dandang Gula
yang melontarkan ciri kehadirannya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Ageng Pandan Alas
itu pula. “Sungguh tidak sedap berlagu di tengah-tengah hutan
yang lebat. Setiap kali aku membuka mulut, setiap kali beberapa
ekor nyamuk masuk bersama-sama. Tetapi aku tidak dapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 97
berhenti sebab dengan demikian aku tidak akan berhasil mencegah
Pasingsingan berbuat menurut caranya.”
Kembali Mahesa Jenar mengenangkan peristiwa-peristiwa
yang pernah terjadi. Betapa ia hampir menjadi gila karena tiba-
tiba Rara Wilis hilang. “Hem” desahnya di dalam hati. Sebuah
tarikan nafas yang panjang telah menggerakkan dadanya.
Ki Ageng Pandan Alas melihat perasaan yang melintas di hati
Mahesa Jenar. Karena itu ia tersenyum. Namun ketika ia menatap
wajah Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas itu mengerutkan
keningnya. Tampaklah mata gadis itu berkilat-kilat. Selapis air
telah membasahi pelupuk matanya. Karena itu maka orang tua
yang jenaka itu tidak lagi berkata tentang masa-masa lampau.
Katanya kemudian, “Kalau aku akan mengirim orang untuk
menjemput kalian, maka aku hanya ingin supaya kalian tidak usah
mencari jalan. Aku tidak yakin apakah Rara Wilis masih dapat
mengingat jalan itu dengan baik, atau apakah kalian akan dapat
mencari jalan dalam waktu singkat. Perjalanan kalian kali ini
adalah perjalanan yang jauh berbeda dengan setiap perjalanan
yang pernah kalian tempuh. Kalian dapat berjalan menyusup hutan
belantara mencari sesuatu yang belum pasti tempat dan
keadaannya. Sedang Gunungkidul adalah suatu daerah yang tidak
akan dapat berpindah-pindah. Namun akan lebih baik bagi kalian,
apabila kalian tidak usah bersusah payah untuk mencari jalan itu
sendiri.”
“Terima kasih, Ki Ageng” jawab Mahesa Jenar, “Kami akan
menunggu dengan senang hati.”
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Tersenyum karena ia melihat
masa depan satu-satunya cucunya menjadi cerah, secerah
matahari pagi.
Demikianlah, akhirnya Ki Ageng Pandan Alas meninggalkan
Banyu Biru. Meninggalkan cucunya dan meninggalkan kesan yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 97
membekas di hati yang ditinggalkannya. Namun, orang tua itu pun
membawa kesan yang cerah pula di dalam hatinya.
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang pejalan. Ia dapat
berjalan ke mana saja ia kehendaki. Namun perjalanannya ini
terasa sangat lambatnya. Ia ingin segera ke Gunungkidul dan
menyuruh beberapa orang untuk menjemput cucunya. Sengaja ia
tidak membawa cucunya itu berjalan bersama-sama, karena ia
ingin menghormati cucunya serta bakal suaminya dengan suatu
jemputan yang cukup baik. Ia sendiri tidak memiliki apapun di
Gunungkidul. Namun muridnya yang sekarang sudah menjadi
Demang, pasti akan mau membantunya.
Sepeninggalan Ki Ageng Pandan Alas, maka timbullah
beberapa keragu-raguan dihati Mahesa Jenar. Kalau ia harus
menetap di Gunungkidul, maka persoalannya menjadi agak sulit
baginya. Selama ini Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten belum
kembali ke Demak. Meskipun ia percaya sepenuhnya kepada
Panembahan Ismaya, namun tanpa diketahui sebabnya ia selalu
ingin tinggal didekatnya untuk sementara sebelum keris-keris itu
kembali. Tetapi ia sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat menolak
permintaan Ki Ageng Pandan Alas. Ia tahu bahwa Rara Wilis
menjadi bergembira karenanya. Gembira bahwa ia akan segera
melihat kampung halaman, dan bergembira bahwa ia akan dapat
berada didalam lingkungannya semasa kanak-kanak.
Tetapi Rara Wilis pun pernah berkata kepadanya, bahwa ia
mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan ialah yang
menentukan.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau mengecewakan Rara Wilis.
Nanti apabila sampai saatnya persoalan itu dapat dibicarakannya
dengan baik. Dan ia yakin bahwa Wilispun pasti akan dapat
mengertinya.
Demikianlah maka mereka menunggu di Banyubiru.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 97
Selama itu banyaklah yang sudah mereka kerjakan di antara
rakyat Banyubiru, membangun tanah perdikan itu. Memperbaiki
tanggul yang telah dijebol oleh Arya Salaka dan memperbaiki jalur-
jalur saluran air dan menanami kembali lereng bukit yang gundul
karena api yang dinyalakan oleh Jaka Soka.
Tak ada seorang pun yang sempat duduk bertopang dagu.
Arya Salaka telah bekerja mati-matian untuk tanah yang dibelanja
selama ini. Bahkan Endang Widuri pun dengan gembiranya ikut
membantunya. Ia telah hampir lupa kepada padepokan Karang
Tumaritis, dan ia kerasan tinggal di Banyubiru.
Kebo Kanigara yang semula sudah siap kembali ke Karang
Tumaritis, tiba-tiba terhambat juga oleh kemenakannya. Ada
sesuatu yang masih harus diselesaikan di Banyubiru karena
kehadiran Karebet. Sehingga karena itu, maka ia pun menunda
keberangkatannya. Tentu saja Widuri menjadi sangat bergembira
karenanya. Ia lebih senang tinggal di Banyubiru. Tetapi ia
samasekali tidak menyangka bahwa ayahnya selama ini telah
disibukkan oleh saudara sepupunya, Karebet. Bahkan ia tidak
menyadari pula, bahwa keadaan itu bukan sekedar kesibukan-
kesibukan pikiran dan perasaan. Namun karena Kebo Kanigara
sudah bertekad untuk membantu kemenakannya itu kembali ke
Istana, maka akan banyaklah persoalan-persoalan yang
dihadapinya.
Tetapi Kebo Kanigara tidak mau menyulitkan orang lain.
Karena itu semuanya disimpan didalam dadanya. Hanya sekali-kali
ia menyuruh Karebet pergi ke Karang Tumaritis, minta nasehat dan
pertimbangan Panembahan Ismaya dan memberitahukan kepada
Panembahan itu bahwa Kebo Kanigara menjadi agak lambat lagi.
Dengan demikian, meskipun mereka bersama-sama masih
tetap tinggal di Banyubiru, dan meskipun mereka tampaknya
dalam kesibukan yang sama sehari-harinya, namun didalam hati
mereka, mereka mempunyai alasan yang berbeda-beda.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 97
Mahesa Jenar dan Rara Wilis sekedar menunggu jemputan dari
Gunungkidul, Endang Widuri karena sesuatu telah mengikatnya di
Banyubiru, sesuatu yang tidak dapat dikatakan, sedang Kebo
Kanigara terikat oleh kemenakannya dengan segenap
persoalannya.
III
Demikianlah pada suatu hari, Banyubiru diributkan oleh
kedatangan sebuah rombongan orang-orang berkuda. Rombongan
itu berpacu dari arah Barat. Bukan hanya sekedar sepuluh orang,
namun lebih banyak lagi. Suara derap kakinya menggeletar,
memecah kesepian tanah yang damai itu.
Seseorang yang sedang bekerja disawah melihat rombongan
itu merayap-rayap menyelusur jalan-jalan dilembah, mendaki
Bukit Telamaya. Terasa sesuatu berdesir didalam dadanya.
Rombongan itu samasekali bukan rombongan dari Pamingit.
Dipaling depan tampaklah seorang dalam pakaian yang mewah,
beludru berkilat-kilat. Sebuah pedang panjang tersangkut
dilambungnya. Pedang dengan sebuah wrangka yang putih
berkilau. Pedang yang jarang-jarang dimiliki oleh orang biasa.
Orang itu samasekali bukan Ki Ageng Lembu Sora. Dan para
pengiringnya samasekali bukan orang Pamingit.
Petani itu berpikir didalam hatinya. Masih terbayang apa saja
yang telah terjadi beberapa waktu yang lampau. Terbayangllah
laskar-laskar dari golongan hitam yang bersama-sama menyerang
Banyubiru, kemudian terbayang pula kekacauan yang timbul
didaerah perdikan itu setelah laskar Pamingit mendudukinya.
Tetapi petani itu tidak tahu, apa yang akan dilakukan untuk
mengetahui siapakah para pendatang itu. Karena itu maka segera
ia berlari pulang, dan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada
anaknya.
“Bapak melihat rombongan itu sebenarnya?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 97
“Ya, aku melihat dan mataku masih cukup baik.”
Anaknya yang sudah cukup dewasa berpikir sejenak.
Kemudian katanya kepada ayahnya, “Biarlah aku sampaikan
kepada kakang Bantaran.”
Anaknya tidak menunggu jawaban ayahnya. Cepat-cepat ia
berlari kekandang, melepaskan kudanya dan dipacunya kerumah
Bantaran.
Mendengar laporan itu, Bantaran mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Apakah tidak ada tanda-tanda pada mereka
itu?”
“Aku tidak tahu,” jawab anak muda itu.
“Marilah ikut aku,” sahut Bantaran.
Keduanya kemudian memacu kuda mereka, mendaki tebing
yang menghadap ke Barat. Sebenarnyalah, mereka melihat
serombongan orang-orang berkuda sudah semakin dekat.
Serombongan orang-orang berkuda yang lengkap dengan senjata-
senjata mereka.
“Dua puluh orang kira-kira,” gumam Bantaran.
“Apakah maksud mereka?” bertanya anak petani itu.
Bantaran menggelang. Jawabnya, “Apapun maksud mereka,
tetapi mereka aku kira tidak akan berbuat kerusuhan disini.
Mereka datang disiang hari, lewat jalan yang sewajarnya dan
hanya dua puluh orang. Meskipun demikian, datanglah ke gardu
penjagaan pertama. Beritahukan bahwa ada serombongan orang
berkuda akan lewat. Sebentar lagi aku akan datang ke gardu itu.”
Anak petani itu tidak menjawab. Segera ia melarikan kudanya
ke gardu pertama memberitahukan apa yang telah dilihatnya.
Pemimpin gardu itu menghela nafasnya. Kemudian kata-
katanya, “Kedatangan kakang Bantaran kami tunggu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 97
Anak petani itupun kemudian kembali ke tempat Bantaran
mengawasi orang-orang berkuda itu. Mereka sudah tampak lebih
jelas lagi. Tetapi karena jalan melingkar-lingkar, maka jarak yang
harus dilaluinya masih cukup panjang.
Kemudian Bantaran itupun berkata kepada anak petani itu.
“Kembalilah, sampaikan pesan ini kepada kakang Penjawi, bahwa
berita tentang kedatangan orang-orang berkuda itu supaya
dilaporkan kepada paman Wanamerta.”
Sepeninggalan anak petani itu, segera Bantaran pergi ke gardu
pertama. Gardu yang masih ditempati oleh beberapa orang
penjaga. Meskipun Banyubiru seakan-akan sudah tenang, namun
peperangan yang baru saja terjadi masih mengharuskan mereka
berhati-hati.
Di gardu penjagaan itu, Bantaran melihat beberapa orang telah
bersiaga. Namun kemudian Bantaran berkata “Jangan terlalu
berprasangka. Orang-orang itu pasti tidak akan berbuat jahat.”
Meskipun demikian, beberapa orang di gardu itu telah
menggantungkan pedang-pedang mereka dilambung, dan yang
lain menyandarkan tombak-tombak mereka disamping mereka
berdiri.
Sesaat kemudian gemeretak kaki kuda itu telah terdengar.
“Ha, itulah mereka,” gumam Bantaran.
Tetapi mereka masih menunggu cukup lama. Jalan yang
melingkar dan berbelit-belit itu agaknya telah memperpanjang
jarak perjalanan orang-orang berkuda itu.
Meskipun demikian, akhirnya muncullah dari tikungan
beberapa orang berkuda. Sebenarnyalah bahwa yang paling depan
dari mereka adalah seorang yang berpakaian sangat bagus. Baju
beludru, kain lurik yang berwarna kemerah-merahan. Sebuah
pedang yang bagus berjuntai disisi kudanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 97
Orang itu terkejut ketika dilihatnya beberapa orang yang
berdiri dipinggir jalan berseberangan. Segera orang itu menyadari,
bahwa kedatangannya telah mengejutkan beberapa orang
penjaga. Karena itu maka segera orang-orang berkuda itu
memperlambat kuda-kuda mereka, dan berhenti beberapa langkah
dari Bantaran.
Wanamerta yang telah mendengar laporan Penjawi, menjadi
gelisah juga. Segera ia pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, dan
memberitahukan tentang apa yang didengarnya dari Penjawi.
Namun seperti apa yang didengarnya, maka katanya, “Tetapi
menurut Bantaran, orang-orang itu pasti tidak akan berbuat huru-
hara disini, sebab mereka hanya kira-kira duapuluh orang.”
Meskipun demikian berita itu telah menimbulkan berbagai
pertanyaan di hati mereka yang sedang duduk dipendapa itu. Ki
Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri. Mereka mencoba
menerka, siapakah kira-kira yang datang dalam rombongan itu.
Namun mereka tidak dapat menemukan jawaban.
Kemudian terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya,
“Dimanakah Penjawi sekarang?”
“Penjawi sedang pergi menyusul Bantaran. Anak itu tidak
dapat membiarkan seandainya orang-orang itu berbuat sesuatu.
Namun mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa di antara mereka.”
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dan sebelum mereka
dapat berbuat apapun, maka terdengarlah seseorang penjaga
berkata, “Sebuah rombongan berkuda.”
Salah seorang dari mereka segera memberitahukannya
kepada Ki Ageng Gajah Sora, dan sambil mengangguk-angguk Ki
Ageng berkata, “Baik. Kembalilah ketempatmu.”
Orang itu pun segera berjalan ke gardunya, sedang beberapa
orang yang lain, segera berdiri pula sambil berjaga-jaga.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 97
Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wilis, Arya Salaka
dan Endang Widuri segera turun ke halaman. Mereka berusaha
menjemput orang-orang berkuda itu sebelum mereka memasuki
regol halaman.
Tetapi langkah mereka segera tertegun. Yang mula-mula
masuk ke halaman justru adalah Bantaran dan Penjawi. Karena itu
maka Ki Ageng Gajah Sora itu segera bertanya. “Siapakah
mereka?”
Sebelum Bantaran menja-
wab, maka muncullah orang
yang pertama. Seorang yang
gagah tampan dengan baju
beludru dan sebuah pedang
yang indah di lambungnya.
Demikian orang itu melihat
Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara segera ia berseru,
“Mahesa Jenar, aku datang
menjemputmu.”
Mahesa Jenar, Kebo Kani-
gara, Arya Salaka dan Endang
Widuri terkejut melihat orang
itu. Lebih-lebih adalah Rara
Wilis. Karena itu sesaat mere-
ka diam mematung. Sehingga
terdengar kembali orang itu berkata, “Apakah kau lupa kepadaku?”
Mahesa Jenar seakan-akan tersadar dari mimpinya yang aneh.
Karena cepat-cepat ia menjawab, “Tidak. Aku tidak melupakan
kau, Sarayuda.”
Sarayuda, orang yang baru datang itu tertawa, wajahnya cerah
secerah warna pakaiannya. Sambil meloncat turun dari kudanya ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 97
berkata, “Aku datang atas perintah Ki Ageng Pandan Alas untuk
menjemput kalian berdua.”
Wajah Rara Wilis segera menjadi kemerah-merahan. Ia tidak
dapat melupakan, apakah yang telah terjadi antara mereka
bertiga, Mahesa Jenar, Sarayuda dan dirinya. Karena itu, maka
segera ditundukkannya wajahnya dalam-dalam.
Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar, “Terima kasih
Sarayuda. Tetapi marilah, perkenalkanlah dahulu dengan Kepala
Daerah Tanah Perdikan Banyubiru, Ki Ageng Gajah Sora.”
Sarayuda tersadar akan kehadirannya di Banyubiru. Karena itu
maka segera ia berkata. “O, maafkan. Aku terlalu bernafsu untuk
menyampaikan maksud kedatanganku, sehingga aku lupa suba-
sita.”
“Marilah Ki Sanak,” Ki Ageng Gajah Sora mempersilakan,
“Marilah, aku mempersilakan kalian untuk naik kependapa.”
Maka seluruh rombongan itu pun kemudian memperkenalkan
diri. Sarayuda adalah Demang yang kaya raya, yang menguasai
suatu daerah yang luas di daerah Pegunungan Kidul. Sedang Ki
Ageng Gajah Sora adalah seorang Kepala Daerah Tanah Perdikan
yang kuat dan subur dilereng bukit Telamaya. Keduanya adalah
orang-orang yang bertanggungjawab atas wilayahnya dan akan
rakyatnya. Karena itu, maka segera mereka dapat menyesuaikan
dirinya dalam perkenalan yang akrab, meskipun ada beberapa
perbedaan sifat di antara mereka. Sarayuda adalah seorang yang
menyadari kekayaannya, meskipun tidak berlebih-lebihan,
sehingga caranya berpakaian pun telah menunjukkan keadaannya,
sedang Ki Ageng Gajah Sora adalah seorang yang sederhana.
Segera pembicaraan mereka berkisar kepada maksud
kedatangan Sarayuda. Berkata Demang itu kemudian, “Kakang
Gajah Sora, kedatanganku kemari adalah karena perintah guruku,
Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput Mahesa Jenar dan Rara
Wilis. Setiap orang di Gunungkidul telah mendengar berita itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 97
Berita tentang akan kehadiran Rangga Tohjaya didaerah mereka.
Karena itu, maka Gunungkidul sedang dihinggapi oleh perasaan
yang melonjak-lonjak, mengharap agar orang yang ditunggu-
tunggu itu segera datang. Rara Wilis adalah seorang gadis yang
cukup mereka kenal, karena daerah itu adalah daerah masa
kanak-kanaknya. Banyak kawan-kawannya bermain ingin melihat
mereka, seorang anak gadis dari daerah mereka yang pernah
memakai nama Pudak Wangi dan telah berhasil membinasakan
seorang perempuan yang dahulu pernah menggemparkan daerah
itu, yang kemudian bernama Nyai Sima Rodra.
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu, sedang Rara
Wilis semakin menundukkan wajahnya. Pipinya menjadi kemerah-
merahan dan karena itulah maka sepatah kata pun dapat
diucapkan. Widuri yang mendengar kata-kata itu dengan seksama,
tersenyum-senyum kecil. Dengan nakalnya ia berkata. “Ah.
Apakah paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu
paman Demang Sarayuda?”
“Ya tentu,” jawab Sarayuda, “Aku dan rakyatku akan
menyambutnya.”
“Bukan main. Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi
tamu Agung,” sahut Widuri. “Apakah aku boleh ikut serta?”
“Tentu,” jawab Sarayuda. “Aku dan setiap orang yang hadir di
dalam pendapa ini untuk pergi ke Gunungkidul. Menyaksikan bukit-
bukit gundul dan bukit-bukit kapur di antara lembah-lembah hijau.
Sangat berbeda dengan pemandangan di Bukit Telamaya ini.”
Wajah Endang Widuri itu pun kemudian menjadi cerah. Dengan
serta merta ia berkata, “Bagus sekali. Aku akan ikut dengan Bibi
Wilis. Boleh bukan bibi?”
Rara Wilis tidak segera dapat menjawab. Sekali dipandangnya
wajah Kebo Kanigara. Ia tidak dapat berkata apapun tentang gadis
itu sebelum ayahnya memberikan persetujuan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 97
Widuri melihat keragu-raguan Rara Wilis. Karena itu segera ia
berkata kepada ayahnya. “Ayah, bukankah kita akan ikut ke
Gunungkidul.”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
terdengar ia berkata perlahan-lahan. “Sayang Widuri kita tidak
dapat ikut serta.”
Kecerahan wajah Widuri segera larut, seperti bulan disaput
awan yang sedemikian kelam. “Kenapa?”
“Ada sesuatu yang harus kita kerjakan di sini.”
“Apakah yang harus dikerjakan?”
“Aku Widuri. Aku mempunyai banyak pekerjaan di sini. Dan
agaknya kita telah terlalu lama tidak kembali ke Karang Tumaritis.”
“Aku tidak mau. Aku tidak mau,” berkata Widuri itu.
Kebo Kanigara tersenyum. Kemudian kepada Sarayuda itu
berkata. “Sayang adi. Sungguh sayang. Sebenarnya aku juga ingin
mengantarkan Widuri ikut serta mengunjungi daerah adi. Namun
ternyata ada persoalan-persoalan yang harus aku selesaikan. Dan
aku harus segera kembali ke Karang Tumaritis.”
Sarayuda menarik nafas, “Ya sayang.”
Yang menyahut kemudian adalah Endang Widuri, “Kalau ayah
mempunyai pekerjaan di sini atau di Karang Tumaritis, biarlah aku
ikut bersama Bibi Wilis. Nanti kalau ayah sudah selesai, biarlah
ayah menjemput aku.”
Kebo Kanigara itu tersenyum pula. Namun senyumnya
membayangkan sesuatu yang tak dapat diraba. Katanya, “Tidak
Widuri. Jangan pergi sekarang. Besok apabila sampai waktunya,
biarlah kau aku antarkan kesana. Kalau sampai saatnya Paman
Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan mengarungi hidup baru mereka.”
“Emoh,” seru gadis itu. “Aku akan pergi bersama bibi Wilis.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 97
“Bukankah sama saja bagimu Widuri,” berkata ayahnya.
“Besok atau sekarang.”
“Tidak,” sahut Widuri. “Aku ingin melihat, bagaimana rakyat
Gunungkidul menyambut paman Mahesa Jenar.”
“Tetapi kau tidak akan melihat, bagaimana pamanmu dan bibi
Wilis dipersandingan.”
“Biar. Aku akan ikut bersama bibi Wilis.”
Rara Wilis menjadi iba melihat Endang Widuri. Tetapi ia tidak
berani berkata apapun. Itu sepenuhnya adalah wewenang
ayahnya. Karena itu, Rara Wilis hanya dapat memandangnya
dengan senyum yang hambar.
Sarayuda agaknya dapat menempatkan dirinya. Ia tidak mau
mengecewakan Kebo Kanigara. Maka katanya, “Begitulah angger
Widuri. Seperti kata ayah angger itu. Biarlah besok aku menyuruh
beberapa orang menjemput ke mari apabila sudah tiba waktunya.
Kalau angger sudah kembali ke Karang Tumaritis, biarlah kelak di
jemput pula ke sana. Bukankah begitu? Kelak angger bisa pergi
bersama ayah.”
Widuri kemudian menjadi bersungut-sungut. Bahkan
tampaklah matanya menjadi basah. Ia menjadi sangat kecewa.
Katanya kemudian, “Aku tidak mau dijemput oleh sembarang
orang.”
Demang Sarayuda tersenyum. Jawabnya, “Baiklah, besok aku
sendiri akan menjemput angger. Begitu?”
Widuri tidak menjawab. Namun tiba-tiba ia berdiri dan berlari
masuk ke dalam biliknya. Alangkah kecewa hatinya, bahwa ia tidak
dapat turut serta dengan Rara Wilis. Meskipun mereka berdua
bukan sanak bukan kadang, namun perpisahan di antara mereka
benar-benar tidak menyenangkan. Pergaulan mereka yang
ditandai dengan berbagai kesulitan, benar-benar telah mengikat
mereka dalam suatu ikatan yang sangat erat. Tidak saja Widuri
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 97
yang menjadi sedih akan perpisahan itu, tetapi Rara Wilis pun
merasakan, bahwa ia akan menjadi kesepian tanpa gadis yang
nakal itu.
Tetapi Kebo Kanigara benar-benar berhalangan untuk turut
serta pergi ke Gunungkidul. Masih ada suatu pekerjaan yang
mengikatnya di Banyubiru. Pekerjaan yang ditimbulkan oleh
kemenakannya yang nakal.
Mahesa Jenar pun menjadi kecewa. Tetapi ia dapat mengerti
keberatan Kebo Kanigara. Meskipun demikian Mahesa Jenar itu
berkata, “Kakang. Sebenarnya aku sangat mengharap kakang
untuk ikut serta bersama kami.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya katanya,
“Aku juga menyesal sekali Mahesa Jenar. Tetapi barangkali kau
dapat mengerti apa yang akan aku lakukan. Karena itu biarlah lain
kali aku menyusul ke Gunungkidul bersama Widuri.”
Sesaat mereka pun berdiam diri. Arya Salaka menundukkan
kepalanya. Semula ia ingin juga turut pergi ke Gunungkidul
mengantarkan gurunya. Tetapi ketika ia mengetahui, bahwa
Endang Widuri tidak diperbolehkan oleh ayahnya ikut dalam
rombongan itu, maka ia menjadi bimbang. Keinginannya untuk
turut pun terlalu besar, namun terasa sesuatu yang menahannya
untuk tinggal di rumah. Karena itu, anak muda itu bahkan menjadi
bingung. Sehingga akhirnya Arya pun hanya berdiam diri saja.
“Ah, terserah apa yang akan aku lakukan nanti,” desisnya di
dalam hati. “Kalau tiba-tiba aku ingin berangkat biarlah aku
berangkat. Kalau aku ingin tinggal, biarlah aku tinggal.”
“Tetapi,” berkata pula hatinya. “Bagaimana kalau guru
mengajakku?”
“Entahlah,” jawabnya sendiri di dalam hati.
Malam itu Sarayuda dan para pengiringnya bermalam di rumah
itu pula. Karena tempatnya yang terbatas, maka para tamu itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 97
dipersilakan tidur di pendapa, di atas tikar pandan yang dirangkap
supaya tidak terlalu dingin.
Dalam pada itu Mahesa Jenar dan Rara Wilis pun segera
mempersiapkan dirinya. Tetapi tidak banyaklah yang mereka
punyai. Mereka tidak sempat berbuat untuk diri mereka sendiri
selama ini. Karena itu, apa yang dimilikinya pun hampir tidak ada.
Hanya beberapa lembar pakaian yang sudah lungset tanpa
perhiasan apapun bagi Mahesa Jenar hal itu hampir tak
berpengaruh pada perasaannya.Tetapi bagi Rara Wilis, terasa
sekali alangkah miskinnya. Ia samasekali tidak memiliki perhiasan
apapun sebagai seorang gadis. Bahkan yang dimilikinya adalah
sebilah pedang. Pedang tipis yang telah dikotori dengan darah.
Mahesa Jenar terkejut ketika tiba-tiba dilihatnya wajah Rara
Wilis menjadi suram. Karena itu dengan dada yang berdebar-debar
mencoba bertanya. “Wilis. Adakah sesuatu yang mengganggu
perasaanmu?”
Rara Wilis terkejut mendengar pertanyaan itu. Segera
dicobanya untuk menguasai perasaannya. Dengan sebuah
senyuman yang dipaksakan ia menjawab, “Kenapa? Aku tidak apa-
apa kakang. Aku sedang berpikir tentang hari-hari yang akan
datang.”
“Oh” Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
tidak membantah. Namun ketika dilihatnya sekali lagi Rara Wilis
merenungi kainnya yang hampir-hampir sudah kehilangan
warnanya, maka hatinya pun berdesir.
“Hem,” desahnya di dalam hati. “Ternyata aku tidak
menyadari, bahwa tekanan perasaan Wilis sudah terlampau padat.
Agaknya dalam ketegangan kewajiban yang aku hadari, gadis itu
tidak sempat memperhatikan keadaan dirinya sendiri. Namun
dalam kesempatan seperti ini, barulah disadarinya perasaan itu.
Perasaan seorang gadis.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 97
Tetapi Mahesa Jenar tidak berkata apapun. Ia masih belum
tahu, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan kebutuhan-
kebutuhan yang wajar bagi sebuah keluarga. Apapun yang
dilakukannya, maka apabila sampai saatnya, maka hal itu tidak
akan mungkin dapat diabaikan.Ia tidak dapat membutakan
matanya, seandainya pada suatu saat ia dikejar-kejar oleh
keperluan-keperluan tetek bengek itu. “Itu merupakan suatu
kewajiban”, desahnya.
Mahesa Jenar itu pun kemudian berjalan keluar bilik Rara Wilis,
dan ke halaman. Dilihatnya beberapa orang sudah berbaring-
baring di pendapa, sedang beberapa orang lagi masih duduk-
duduk di antara mereka. Bahkan ada juga yang masih berjalan-
jalan di luar regol halaman.
Ketika Mahesa Jenar pergi keluar regol pula, maka orang-
orang dari Gunungkidul itu bertanya-tanya tentang beberapa hal
kepadanya.
“Tanah ini cukup subur,” berkata salah seorang dari mereka,
“Tanah yang akan memberikan apa saja yang diharapkan oleh
penggarapnya.”
“Demikianlah,” sahut Mahesa Jenar, “Tanah yang telah
dipertahankan dengan banyak pengorbanan.”
Tamu dari Gunungkidul itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Tanah kami adalah tanah yang
bercampur-baur. Ada yang subur sesubur tanah ini. Ada yang
menggantungkan airnya dari air hujan melulu. Bahkan ada yang
hanya dapat dijadikan padang-padang rumput untuk peternakan.
Bahkan ada yang batu melulu.”
Mahesa Jenar mengangguk lemah. Tanah ini adalah tanah
yang subur, yang telah dipertahankan dengan darah dan air mata.
Dirinya sendiri pun telah ikut serta memeras keringat untuk
kepentingan tanah ini. Tanah yang subur, yang akan dapat
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 97
penduduknya. Bahkan siapa yang bekerja keras, pasti akan dapat
segera menikmati hasil dari jerih payahnya itu.
“Tetapi aku tidak dapat ikut serta,” desis Mahesa Jenar didalam
hati.
Timbullah didalam hatinya sesuatu yang tak pernah
dipikirkannya. Kalau ia nanti akan membangun rumah tangga yang
kuat, maka ia harus membuat tiang-tiangnya kuat pula. Di
antaranya, bagaimana ia harus hidup sekeluarganya. Karena itu,
maka sampailah Mahesa Jenar pada suatu kesimpulan. “Bekerja”.
“Ah,” kembali ia berdesah di dalam hati, “Akhirnya aku sampai
pada persoalan itu. Persoalan yang sangat pribadi. Persoalan yang
hampir tak ada sangkut pautnya dengan pengabdian yang selama
ini dilakukannya. Tetapi apakah dengan demikian maka segenap
pengabdian harus terhenti?”
“Tidak,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri. “Aku akan dapat
dan harus dapat melakukan kedua-duanya sekaligus. Mudah-
mudahan Wilis akan dapat mengerti pula.”
Tiba-tiba teringatlah Mahesa Jenar itu kepada masa-masa
lampaunya, masa-masa ia tinggal di istana Demak sebagai
seorang prajurit. Dikenangnya pula beberapa orang kawan-
kawannya yang pada saat itu telah berkeluarga pula. Katanya
didalam hati, “Mereka dapat melakukan kedua-duanya.
Pengabdian dan keluarga.”
“Tetapi tidak hanya didalam istana, atau didalam bidang-
bidang itu kedua-duanya dapat dilakukannya sekaligus,” katanya
pula. “Di sini, aku lihat rakyat Banyubiru melakukannya pula.
Bekerja untuk keluarganya, namun mereka melakukan
pengabdiannya untuk tanahnya. Membangun tanah ini. Tempat-
tempat ibadah, banjar-banjar desa dan surau-surau tempat
pendidikan lahir dan batin. Bekerja keras untuk kesejahteraan
keluarganya dan kesejahteraan bersama.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 97
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu teringat pada ceritera Wanamerta
tentang seorang bahu yang pernah mencoba menyuapnya dengan
timang emas bertretes berlian. “Bukan itu,” desah Mahesa Jenar di
dalam hatinya. “Bukan seperti bahu itu. Ia bekerja untuk diri
sendiri, tetapi bukan untuk sebuah pengabdian. Justru ia
menghisap hidup disekitarnya untuk kepentingannya.
Dibiarkannya orang-orang disekitarnya kering, namun dirinya
sendiri menimbun kekayaan tanpa batas.”
Namun bagaimana pun juga, Mahesa Jenar dihadapkan pada
suatu kewajiban yang baru. Kuwajiban atas sebuah keluarga yang
bakal disusunnya. Kuwajiban yang tidak kalah sucinya dari
kuwajiban yang telah dilakukannya selama ini. Sebab dengan
keluarga yang baik Yang Maha Esa telah mempergunakan untuk
menangkar-lipatkan jumlah manusia di dunia untuk memelihara
dan memanfaatkan ciptaan-Nya dengan baik.
Demikianlah, rombongan Sarayuda itu tinggal di Banyubiru
untuk dua hari lamanya. Selama itu mereka telah melihat-lihat
Banyubiru dengan baik. Apa yang dapat dilakukan di daerah
Demang yang kaya raya itu, telah mereka pelajari, sedang apa
yang baik bagi Banyubiru telah disarankannya pula.
Sehingga sampailah pada saatnya mereka meninggalkan
Banyubiru. Dua hari kemudian, maka bersiaplah rombongan itu
meninggalkan Banyubiru beserta Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Ki
Ageng Gajah Sora dengan menyesal tak dapat ikut serta bersama
mereka pergi ke Gunungkidul karena keadaan daerahnya yang
masih harus mendapat pengawasannya. Kebo Kanigara terikat
pada suatu kuwajiban yang tak dapat ditinggalkannya pula.
Sedang Endang Widuri dengan penuh penyesalan terpaksa tidak
dapat mengikuti Rara Wilis ke Gunungkidul. Pada saat-saat
terakhir itu pun kemudian Arya Salaka memutuskan untuk tidak
turut bersama gurunya, meskipun ada juga keinginan yang
melonjak-lonjak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 97
Dalam kesempatan itu Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng
Lembu Sora pun telah memerlukan datang ke Banyubiru untuk
menyampaikan ucapan selamat jalan kepada Mahesa Jenar. Orang
yang aneh didalam tanggapannya. Orang yang hampir tak dapat
dimengertinya, apakah yang telah menjadikannya seorang yang
memiliki jiwa pengabdian yang sedemikian besarnya.
Sebelum matahari sepenggalah, maka rombongan itu telah
bersiap untuk berangkat. Ternyata Mahesa Jenar dan Rara Wilis
tidak hanya memerlukan dua ekor kuda untuk mereka. Seekor
kuda yang lain, tanpa sepengetahuan mereka telah dipisahkan
oleh Ki Ageng Gajah Sora. Dipunggung kuda itu terdapat sebuah
beban yang tak diketahui isinya. Beban yang telah diatur oleh Nyi
Ageng Gajah Sora bersama Nyi Ageng Lembu Sora.
Terharu juga Mahesa Jenar melihat kuda yang seekor itu tentu
saja ia tidak dapat menolak untuk tidak menyakiti hati Ki Ageng
Gajah Sora kakak beradik.
Perpisahan itu merupakan perpisahan yang mengharukan.
Meskipun mereka tahu, bahwa suatu ketika Mahesa Jenar akan
kembali pula, namun seakan-akan mereka bertemu pada saat itu
untuk terakhir kalinya. Apalagi Endang Widuri. Ketika kemudian
Sarayuda minta diri dengan serta merta gadis itu berlari
menghambur memeluk Rara Wilis. Sambil menangis Widuri
berkata, “Bibi, jangan pergi terlalu lama.”
Rara Wilis pun seorang gadis pula. Karena itu maka ia pun
tidak dapat menahan air matanya. Apalagi ketika dilihatnya Nyai
Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi
berlinang-linang. Teringat pula oleh mereka berdua, pada saat-
saat mereka berhadapan dengan Galunggung yang sedang
dihinggapi oleh kegilaannya tentang pangkat dan kekayaan,
sehingga hampir saja mereka berdua dibunuhnya. Untunglah pada
saat itu Rara Wilis hadir di antara mereka, sehingga sebenarnyalah
gadis itulah yang telah menyambung umurnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 97
“Widuri,” berkata Rara Wilis itu kemudian. “Perpisahan ini tidak
akan terlalu lama. Bukankah kau segera akan menyusul kami ke
Gunungkidul?”
Endang Widuri mengangguk perlahan. Dipalingkannya
wajahnya kepada ayahnya seakan-akan ia minta ketegasan
daripadanya.
Sebenarnya Kebo Kanigara merasa kasihan juga kepada
putrinya itu. Tetapi terpaksa ia tidak dapat mengijinkannya,
karena ia sendiri tidak dapat pergi. Anak itu adalah anak yang
sangat nakal, sehingga betapapun juga, maka Kebo Kanigara itu
tidak sampai hati melepaskannya tanpa pengawasannya. Apalagi
nanti Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang disibukkan oleh
persoalan mereka sendiri, maka Widuri akan sangat mengganggu
mereka, dan kadang-kadang pasti akan lepas dari pengawasan.
Karena itu, betapa pun juga, maka Kebo Kanigara berusaha
untuk tetap melarang anaknya ikut serta.
Ketika anaknya itu berpaling kepadanya, maka katanya, “Ya
Widuri. Segera kita akan menyusul ke Gunungkidul. Kemarin aku
sudah mendapat ancar-ancar, kemana kita nanti harus pergi. Jalan
mana yang harus kita tempuh, dari pamanmu Sarayuda. Kalau kau
bersabar sedikit bukankah pamanmu Sarayuda bersedia untuk
menjemputmu?”
Akhirnya Rara Wilis itupun dilepaskannya juga, meskipun
tangisnya mash saja menyesakkan dadanya, sementara Mahesa
Jenar menepuk punggung muridnya. “Kau sudah menjelang
dewasa penuh Arya. Sudah seharusnya kau menyadari keadaanmu
itu. Bekerja keras membantu ayahmu. Tak ada orang lain yang
diharapkannya selain daripadamu.”
Arya mengangguk sambil menjawab, “Ya paman”.
Maka kemudian sampailah saatnya rombongan itu berangkat.
Perpisahan yang mengesankan. Rara Wilis masih melihat Endang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 97
Widuri berlari masuk ke gandok kulon, sedang kemudian Nyai
Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menyusulnya.
Sebuah salam yang erat sebagai tanda terima kasih yang tak ada
batasnya, telah diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana. Orang tua
itu justru hampir tak mampu lagi mengucapkan kata-kata terima
aksihnya. Terima kasih atas segenap bantuan yang telah diberikan
oleh Mahesa Jenar langsung, namun lebih daripada itu, Mahesa
Jenar telah membentuk Arya Salaka menjadi harapan bagi masa
datang.
Satu demi satu, maka kemudian keluarlah mereka dari
halaman di atas punggung kuda masing-masing. Bagi Mahesa
Jenar dan Rara Wilis perjalanan yang akan ditempuh itu terasa
aneh. Perjalanan yang jauh berbeda dengan semua perjalanan
yang pernah mereka lakukan. Kalau pada masa lampau mereka
berjalan dengan penuh keprihatinan, maka perjalanan kali ini
adalah perjalanan menunju ke hari-hari yang cerah. Namun karena
itulah maka dada mereka menjadi berdebar-debar.
Setelah mereka meninggalkan halaman itu maka mulailah
kuda mereka berjalan agak cepat. Beberapa orang melihat
rombongan itu menganggukkan kepala mereka. Mereka
memberikan hormat setulus-tulusnya kepada Mahesa Jenar dan
Rara Wilis. Bahkan Ki Wanamerta, Jaladri, Bantaran dan Penjawi
telah ikut serta dengan rombongan itu, mengantarkan sampai ke
perbatasan kota. Bukan hanya mereka. Beberapa orang lain pun
telah ikut pula, sehingga rombongan itu menjadi semakin panjang.
Di perbatasan kota mereka berhenti sesaat. Wanamerta yang
tua itu memerlukan mengucapkan selamat jalan, mengucapkan
terima kasih atas nama segenap rakyat Banyubiru dan ternyata
orang tua yang telah menjadi hampir bulat kembali itu meneteskan
air mata.
“Selamat tinggal paman,” berkata Mahesa Jenar kemudian.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 97
Wanamerta mengangguk. Ingin ia menjawab, namun suaranya
tersangkut dikerongkongan.
Yang terdengar kemudian hanyalah sebuah jawaban pendek,
“Ya, ya angger.”
Mahesa Jenar itu pun kemudian meneruskan perjalanannya.
Dimuka sendiri Demang Sarayuda mulai mempercepat jalan
kudanya. Perjalanan mereka adalah perjalanan yang panjang.
Namun mereka tidak usah takut terhadap siapa pun sehingga
mereka tidak perlu memilih jalan-jalan yang tersembunyi. Atau
mereka pun samasekali tidak berkepentingan dengan apapun
selama perjalanan mereka. Karena itulah maka perjalanan itu akan
tidak terganggu.
Di sepanjang jalan itu Rara Wilis telah mulai menganyam
angan-angannya menjelang masa-masa yang akan datang. Hal
yang lumrah bagi gadis-gadis yang akan menginjak masa-masa
yang telah lama mereka tunggu-tunggu. Rara Wilis pun adalah
seorang gadis biasa. Meskipun kadang-kadang dilambungnya
tersangkut sebilah pedang, dan bahkan pedang yang telah
berbekas darah, namun dalam saat-saat yang demikian ia adalah
seorang gadis. Tidak lebih daripada itu. Karena itulah maka ia
mendambakan masa yang berbahagia, masa yang bagi Rara Wilis
sebenarnya telah terlalu lambat.
Sepeninggal Mahesa Jenar dan Rara Wilis terasa rumah Ki
Ageng Gajah Sora menjadi sepi. Apalagi ketika Ki Ageng Lembu
Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana telah kembali ke Pamingit.
Namun meskipun demikian, kehadiran Endang Widuri di
Banyubiru, masih dapat menyejukkan suasana rumah Ki Ageng
Gajah Sora itu.
Untuk menghilangkan kejemuannya Endang Widuri bekerja
apa saja yang dapat dilakukannya. Menanami halaman, yang
seakan-akan halamannya sendiri. Ikut menanam padi disawah.
Menyiangi dan pekerjaan-pekerjaan lain. Sebagai seorang gadis
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 97
Widuri senang juga membantu Nyai Ageng Gajah Sora didapur.
Menyiapkan makan dan minuman.
Ki Ageng Gajah Sora pun masih mempunyai kawan bercakap-
cakap. Kebo Kanigara, meskipun pada saat-saat terakhir Kebo
Kanigara sering meninggalkan rumah, dan tak pernah ia berkata
tentang apapun juga kepada putrinya. Widuri pun menyadari
keadaanya. Ia merasa masih terlalu kecil untuk berbicara tentang
masalah-masalah yang berat dengan ayahnya. Karena itu, maka
jarang sekali Widuri bertanya-tanya tentang pekerjaan ayahnya.
Gadis itu lebih senang bercakap-cakap dengan Arya Salaka di
pendapa atau dengan Nyai Ageng Lembu Sora di belakang.
Meskipun demikian gadis itu tidak melupakan ilmu yang
pernah dipelajarinya. Di saat-saat tertentu ia berlatih bersama
Arya Salaka. Mereka berdua memiliki sumber ilmu yang sama.
Ilmu yang dipancarkan dari perguruan Pengging.
Namun sekali-kali gadis itu teringat pula kepada Rara Wilis.
Karena itu, maka sekali-kali ia bertanya pula kepada ayahnya.
“Ayah, apakah pekerjaan ayah masih belum selesai?”
Kebo Kanigara menggeleng, “Belum Widuri.”
“Kapan kita menyusul bibi Wilis?”
“Sebentar lagi,” sahut ayahnya. “Sebentar lagi aku akan pergi
ke Karang Tumaritis. Pamanmu Mahesa Jenar berpesan kepadaku,
untuk atas namanya, mohon diri kepada Panembahan. Bukankah
Panembahan telah berjanji untuk pergi ke Gunungkidul? Kau
dengar juga bukan? Nah. Kalau demikian, sebaiknya kita pergi
bersama dengan Panembahan kelak.”
Dengan kesanggupan itu hati Widuri terhibur pula sedikit.
Tetapi dalam pada itu, ia heran juga, apa sajakah yang dilakukan
oleh ayahnya di Banyubiru?
Namun Kebo Kanigara tak pernah menyebut-nyebutnya. Dan
Widuripun tidak bertanya-tanya pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 97
IV WIDURI HILANG
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang
menggemparkan Banyubiru yang belum beberapa lama mengalami
ketenangan kini telah diguncangkan kembali dengan suatu
peristiwa yang tak disangka-sangka samasekali.
Pada hari itu, segenap kentongan tanda bahaya menggema di
lerang bukit Telamaya. Tanda bahaya yang benar-benar
mengejutkan setiap orang. Mereka tidak melihat tanda-tanda
apapun yang terjadi, namun tiba-tiba mereka mendengar tanda
bahaya itu.
Sesaat kemudian mereka melihat, beberapa orang
penunggang kuda berlari-lari memacu kudanya kesegenap
penjuru. Bahkan Arya Salaka sendiri seperti orang yang menjadi
gila. Gajah Sora, Kebo Kani gara, Wanamerta, Bantaran, Penjawi,
Jaladri dan semua laskar di Banyubiru memencar di atas kuda
masing-masing.
“Apakah yang terjadi?” bertanya seseorang.
Orang yang ditanyanya menggelengkan kepalanya. Meskipun
demikian wajahnya menjadi pucat pula. “Entahlah.”
Baru sesaat kemudian, ketika mereka melihat seorang berkuda
berlari dihadapan mereka, maka berteriaklah mereka itu, “Ada
apa?”
“Endang Widuri hilang.”
“He,” tetapi orang berkuda itu telah jauh. Dua orang yang lain
menyusul pula dibelakang orang berkuda yang pertama. Tetapi
kepada orang itu pun mereka tidak sempat bertanya apa-apa.
Nyai Ageng Gajah Sora pada saat itu menangis di dalam
biliknya. Gadis itu bukan anaknya, tetapi benar-benar seperti anak
gadis yang telah dilahirkannya sendiri. Gadis itu memang nakal,
tetapi menyenangkan. Banyak hal-hal yang menarik dilakukan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 97
oleh gadis itu. Apabila tak seorang pun yang ada, pada saat Nyai
Ageng membutuhkan beberapa butir kelapa, maka dengan
tangkasnya gadis itu memanjatnya. Bahkan sampai batang yang
paling tinggi sekalipun. Namun gadis itu pandai juga memasak dan
bercerita. Pandai menjahit dan pandai juga berdendang.
Namun tiba-tiba gadis itu hilang.
Di hadapan Nyai Ageng Gajah Sora itu duduk bersimpuh
seorang gadis pula. Gadis itu juga menangis seperti Nyai Ageng.
Dan dari gadis itulah Banyubiru mendengar berita tentang
hilangnya Widuri.
Nyai Ageng Gajah Sora, sambil mengusap air matanya
berkata, “Apakah tak ada orang lain di belumbang itu?”
Gadis itu menggeleng, “Tidak Nyai Ageng. Waktu aku datang,
aku sempat mendengar ceritanya. Ketika aku berlari-lari
menengoknya, aku hanya melihat bayangan seorang anak muda
memapahnya berlari masuk ke dalam semak-semak.”
Nyai Ageng Gajah Sora termenung sejenak. Adalah aneh
sekali, bahwa hal itu dapat terjadi. Widuri bukanlah gadis biasa
seperti gadis yang bersimpuh di hadapannya itu. Widuri adalah
seorang gadis yang memiliki beberapa macam keanehan. Gadis itu
mampu berkelahi seperti laki-laki. Bahkan melampaui kemampuan
seorang laskar Pamingit yang dapat dianggap kuat, Galunggung.
Kenapa ia tidak memukul saja anak muda yang menculiknya itu?
Berbagai persoalan melingkar-lingkar didalam dadanya.
Heran, kecewa menyesal dan berpuluh-puluh persoalan yang lain.
“Apakah kau dapat mengira-irakan, kemana Endang Widuri itu
dibawa?” bertanya Nyai Ageng itu pula.
Gadis itu menggeleng, “Aku tidak tahu Nyai. Namun aku
melihat mereka menyusup ke arah Timur. Tetapi untuk seterusnya
aku tidak tahu, sebab aku langsung berlari memberitahukannya
kemari.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 97
Nyai Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dalam kegelapan
nalar Nyai Ageng hanya dapat menangis.
Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi marah bukan buatan. Gadis
itu hilang di dalam wilayahnya. Endang Widuri baginya adalah
seorang tamu. Karena itu, maka ia merasa bertanggungjawab pula
atas kehilangan itu. Dengan menggeratakkan giginya, Ki Ageng
Gajah Sora memacu kudanya pergi ke belumbang yang
sebenarnya tidak begitu jauh. Demikian ia sampai di belumbang,
demikian ia meloncat turun, di ikuti oleh Arya Salaka dan Kebo
Kanigara sendiri, disamping beberapa orang lain. Tanpa mendapat
perintah segera mereka memencar diri, mengamat-amati setiap
pertanda yang mungkin dapat dijadikan alasan untuk mengetahui,
siapakah yang telah melakukan perbuatan itu.
Di belumbang itu masih tinggal beberapa potong pakaian
Endang Widuri yang belum sempat dicucinya. Beberapa helai telah
dicelupkannya ke dalam air, sedang beberapa helai yang lain masih
kering terletak di tepian.
“Anak itu tidak banyak mendapat kesempatan,” desis Gajah
Sora.
Kebo Kanigara memandangi pakaian anaknya dengan mata
yang suram. Namun mulutnya terkatub rapat-rapat. Tak sepatah
kata pun yang diucapkannya. Dengan tangan yang gemetar ia
berjongkok, meraih pakaian-pakaian anaknya itu, dan kemudian
dimasukkannya kedalam bakul. Perlahan-lahan kemudian
terdengar ia bergumam, “Biarlah pakaian Widuri ini aku simpan
baik-baik. Aku yakin, pada suatu saat ia akan kembali lagi
kepadaku.”
Mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu Gajah Sora hanya
dapat menarik nafas. Namun terucapkan janji didalam hatinya,
bahwa kekuatan yang ada di Banyubiru harus mampu
menyerahkan anak itu kembali kepada ayahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 97
Arya Salaka kemudian tidak mau merenung-renung lebih lama
di tepi belumbang itu. Ia telah mendengar pula, bahwa Widuri di
bawa menyusup ke arah timur. Karena itu, maka ia pun mencoba
melihat arah yang dikatakan itu. Di amat-amatinya setiap jengkal
tanah, mungkin ia akan dapat menemukan jejak.
Hati Arya Salaka terlonjak ketika benar-benar ditemukannya
jejak itu. Jejak yang benar-benar masuk ke dalam gerumbul ke
arah Timur. Karena itu dengan hati-hati ia mengikuti jejak itu.
Namun alangkah kecewanya anak muda putera Kepala Daerah
Tanah Perdikan Banyubiru itu. Jejak itu hanya dapat di ikuti
beberapa langkah. Kemudian hilang di atas rerumputan yang liar.
Betapa pun Arya Salaka mencoba mencarinya, namun sia-sia saja.
Arya Salaka itu pun kemudian menyusup lebih dalam lagi. Ia
kini mencari jejak pada ranting-ranting di sekitarnya. Sekali ia
melihat sebuah ranting yang patah. Namun kembali ia kehilangan
kesempatan untuk mengikutinya.
“Setan,” desis Arya Salaka yang benar-benar menjadi gemetar
karena marah. Namun ia tidak tahu, bagaimana ia akan
menumpahkan kemarahannya. Karena itu, direnggutnya setiap
dahan, ranting dan apa saja yang teraba oleh tangannya.
Ketika Arya Salaka itu sudah yakin, bahwa tidak akan
diketemukan tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan kemana
mereka harus mencari, maka segera Arya meninggalkan
belumbang itu langsung meloncat di atas kudanya.
Dengan kecepatan penuh, Arya berpacu ke arah timur. Tetapi
ia tidak tahu pasti, kemana ia harus pergi. Ia pergi demikian saja
karena gelora di dalam dadanya, tanpa diketahuinya arah yang
pasti.
Demikian juga para pemimpin dan laskar Banyubiru yang lain.
Mereka berpacu ke segenap arah. Namun mereka pun hanya
sekadar mencoba mencari kemungkinan untuk melihat atau
menemukan gadis yang hilang tanpa pegangan yang pasti. Mereka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 97
itu sedang berusaha mencari yang hilang tanpa petunjuk-petunjuk
samasekali.
Karena itu alangkah sulitnya. Sehari itu, seluruh daerah
Banyubiru telah di aduk oleh laskar Banyubiru. Hampir setiap
orang turut serta dalam pencaharian itu. Namun Endang Widuri
tidak dapat diketemukan. Gadis itu seakan-akan hilang di telan
oleh retak tanah perdikan Banyubiru.
Bahkan tidak saja kota Banyubiru, namun para penunggang
kuda telah jauh menjorok ke segenap arah. Namun usaha mereka
sia-sia belaka. Arya Salaka sendiri bersama beberapa orang telah
sampai ke daerah Rawa Pening. Di obrak-abriknya daerah bekas
sarang Uling Putih dan Uling Kuning, seandainya ada sisa-sisa
gerombolan itu yang sengaja membuat Banyubiru kacau. Namun
Endang Widuri tidak ada di sana, dan tak diketemukannya
pertanda, bahwa tempat itu masih didiami orang.
Malam itu, para pemimpin Banyubiru berkumpul di pendapa
rumah Ki Ageng Gajah Sora. Peristiwa hilangnya Widuri bagi
Banyubiru tidak dapat di anggap sebagai suatu persoalan yang
kecil. Pesoalan itu sama besarnya dengan hadirnya golongan hitam
di tanah mereka. Karena itu maka setiap kekuatan yang ada harus
dikerahkan untuk memecahkan peristiwa itu.
Namun tak seorang pun yang dapat mengemukakan pendapat
mereka tentang hilangnya Endang Widuri. Mereka diliputi oleh
suasana yang gelap pekat. Tak ada setitik api pun yang dapat
memberi petunjuk kepada mereka, tentang persoalan yang
menggemparkan itu.
Dalam ketegangan itu terdengar Arya Salaka berdesis,
“Peristiwa ini benar-benar memalukan tanah perdikan ini ayah.
Karena itu, maka Endang Widuri harus diketemukan segera.”
Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gajah Sora dan
bahkan beberapa orang lain mengetahui bahwa Arya Salaka tidak
saja tersinggung kehormatan atas hilangnya tamunya itu, namun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 97
jauh lebih daripada itu. Hampir setiap orang di pendapa itu
mengetahuinya, bahwa Arya Salaka dan Endang Widuri agaknya
telah masuk ke dalam suatu ikatan tanpa ssadar mereka itu.
Ikatan yang tidak dapat dikatakan dan tidak dapat dirumuskan
oleh mereka yang mengalaminya. Karena itu, maka adalah wajar
sekali kalau Arya Salaka benar-benar menjadi sangat marah dan
bingung.
“Aku sependapat dengan kau Arya,” jawab ayahnya. “Kini kita
sedang mencari setiap kemungkinan untuk itu.”
“Apa pun yang akan terjadi, kita harus menemukannya
kembali,” sahut Arya pula.
“Ya. Tentu,” berkata ayahnya pula. Namun terbayang di
wajahnya Ki Ageng Gajah Sora keragu-raguan yang
menggelisahkan. Kemana harus dicari anak itu? Sejak pagi, Ki
Ageng Gajah Sora telah memerintahkan beberapa orang yang
pergi ke Pamingit. Memberitahukan kehilangan itu kepada Ki
Ageng Lembu Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana. Dan ternyata,
Pamingit pun telah menjadi gelisah pula. Senja itu telah datang
utusan Ki Ageng Lembu Sora untuk menanyakan apakah Endang
Widuri sudah diketemukan.
Dan utusan itu pun kembali dengan membawa berita, bahwa
persoalan Widuri masih gelap.
Dalam kegelapan pikiran, tiba-tiba Arya Salaka teringat
kepada gurunya, Mahesa Jenar. Meskipun ia kini telah berhadapan
dengan berpuluh-puluh orang, dan bahkan ada di antara mereka,
ayahnya dan Kebo Kanigara, ayah gadis itu, namun ada sesuatu
yang menyentuh perasaannya, bahwa gurunya akan dapat
membantunya. Mahesa Jenar bagi Arya Salaka merupakan tempat
untuk berlindung hampir enam tahun lamanya. Tempat Arya
Salaka menggantungkan hidup matinya dalam masa-masa yang
berbahaya. Karena itu, hampir dalam semua kesulitan, Arya selalu
teringat kepada gurunya itu. Demikian juga kali ini. Maka tiba-tiba
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 97
saja ia berkata, “Ayah, aku akan berusaha memberitahukan
kehilangan ini kepada paman Mahesa Jenar.”
Ki Ageng Gajah Sora mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo
Kanigara pun terkejut mendengar kata-kata Arya itu, sehingga
kemudian katanya, “Jangan Arya. Jangan mengganggu pamanmu
itu.”
Ki Ageng Gajah Sora ternyata sependapat pula dengan Kebo
Kanigara. Karena itu maka ia berkata pula, “Ya, Arya. Biarlah
pamanmu Mahesa Jenar beristirahat. Selama ini hampir-hampir
seluruh hidupnya telah dicurahkan untuk kepentingan orang lain.
Kepentingan kita. Karena itu, maka biarlah kali ini pamanmu
Mahesa Jenar tidak terganggu. Biarlah kita yang berada di
Banyubiru ini berusaha sekuat-kuat tenaga kita. Tetapi kita sudah
berjanji kepada diri sendiri bahwa Endang Widuri harus
diketemukan.”
Arya Salaka menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak puas
dengan jawaban-jawaban itu. Betapa pun juga, maka dalam
kesulitan ini, ia akan merasa lebih tenang apabila gurunya ada
disampingnya.
Kebo Kanigara melihat perasaan yang tergores di hati Arya
Salaka. Maka katanya, “Arya. Marilah kita mencoba menyelesaikan
masalah ini. Sebenarnya aku sendiri sangat gelisah atas hilangnya
Endang Widuri. Tetapi kita bukanlah orang-orang yang hanya
dapat meratap. Aku sendiri sudah tentu akan berusaha untuk
menemukan anak itu. Dan aku akan berterima kasih seandainya
Ki Ageng Gajah Sora, beserta kekuatan-kekuatan yang ada di
Banyubiru untuk membantunya. Namun dengan sepenuh hati aku
tidak pernah meletakkan kesalahan ini kepada orang lain. Apalagi
kepada Banyubiru sebab hal yang demikian itu akan dapat terjadi,
kapan saja dan dimana saja. Karena itu, jangan terlalu
menyalahkan diri sendiri dan Banyubiru.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 97
Arya Salaka masih belum menjawab. Dicobanya untuk mencari
alasan yang sebaik-baiknya, agar orang-orang lain tidak mau
mengerti, kenapa ia berkepentingan akan hadirnya Mahesa Jenar.
Sebenarnya Arya Salaka pun menyadari, apa yang dapat dilakukan
oleh gurunya itu. Gurunya tidak melihat pada saat Endang Widuri
itu hilang. Kalau Kebo Kanigara, ayah gadis itu sendiri yang sedang
berada di Banyubiru, tidak segera dapat menemukannya, apalagi
Mahesa Jenar. Arya Salaka itu tahu pasti, bahwa tingkat kesaktian
gurunya tidak akan dapat melampaui Kebo Kanigara itu. Meskipun
demikian, perasaannya selalu mendesaknya supaya
memberitahukan peristiwa itu kepada gurunya.
Pendapa Banyubiru itu sesaat menjadi hening sepi. Angin
malam yang lembut menggerakkan daun-daun sawo di halaman.
Dikejauhan terdengar lamat-lamat suara anjing liar di lereng-
lereng bukit sedang berjuang berebut makanan.
Melihat daun-daun sawo itu yang bergerak-gerak itu, tiba-tiba
bulu kuduk Wanamerta berdiri. Meskipun ia tidak takut, namun
apabila teringat bahwa ia pernah melihat daun-daun itu bergetar,
dan kemudian terjunlah seseorang yang menamakan dirinya
Wadas Gunung, hatinya masih saja berdesir. Untunglah bahwa
kekuasaan Yang Maha Kuasa ternyata telah menyelamatkan
Banyubiru.
Dalam keheningan itulah kemudian terdengar Arya Salaka
berkata perlahan-lahan, namun jelas terdengar kata demi kata,
“Ayah. Aku tidak ingin mengganggu paman Mahesa Jenar. Aku
sudah cukup menerima perlindungan dan bahkan apa saja yang
ada pada paman Mahesa Jenar itu. Ilmunya dan ajaran-ajaran
yang sangat berguna. Tetapi karena itulah barangkali yang telah
mengikat aku dalam satu sikap, seakan-akan semuanya
tergantung kepada paman Mahesa Jenar. Kalau kali ini aku masih
akan memberitahukan hilangnya Endang Widuri kepada paman
Mahesa Jenar, maka hal itu pasti juga karena terpengaruh oleh
perasaanku itu. Tetapi seandainya demikian, seandainya aku
masih harus mengganggu guru, mudah-mudahan kali ini untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 97
yang terakhir kalinya. Dan biarlah aku hanya sekadar
memberitahukan akan kehilangan itu. Kalau paman Mahesa Jenar
masih belum sempat berbuat sesuatu, biarlah guru tidak usah
datang ke Banyubiru.”
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat
merasakan apa yang sedang bergolak didalam dada anak itu. Anak
itu pasti akan merasa bersalah kelak, apabila gurunya bertanya
kepadanya, kenapa hal itu tidak diberitahukannya. Karena itu,
maka akhirnya Ki Ageng Gajah Sora itu berkata. “Arya. Kalau kau
akan memberitahukan kepada pamanmu, baiklah. Tetapi ingat,
hanya sekadar memberitahukan. Jangan sekali-kali kau
mengharap pamanmu itu datang kemari apabila tidak atas
kehendaknya sendiri.”
Arya kemudian mengangkat wajahnya. Ia menjadi
bergembira mendengar jawaban ayahnya. Dengan gurunya
setidak-tidaknya nasehatnya, Arya merasa, bahwa kekuatannya
akan bertambah. Namun di samping itu timbul pula perasaan
malunya, bagaimana nanti kalau gurunya itu menganggap bahwa
ia masih saja tidak mampu berbuat sendiri.
Tetapi kali ini ia memandang kejadian itu sangat pentingnya.
Endang Widuri telah melakukan banyak hal dalam lingkungan
bersama dengan gurunya dan Rara Wilis. Maka mau tidak mau,
pasti ada sesuatu ikatan yang menghubungkan mereka. Sehingga
tidaklah akan berlebihan apabila hal itu diberitahukannya kepada
gurunya.
Namun Kebo Kanigara agaknya menjadi kecewa atas
keputusan Ki Ageng Sora Dipayana. Dengan nada yang rendah ia
berkata, “Ki Ageng, aku akan sangat berterima kasih atas segala
susah payah yang telah Ki Ageng lakukan. Tidak saja pada saat-
saat anakku satu-satunya itu hilang. Tetapi selama ini, aku telah
mendapat tempat yang sangat baik di Banyubiru. Karena itu tidak
sewajarnya kalau aku akan selalu terus menerus membebani Ki
Ageng dengan persoalan-persoalanku. Kini persoalan hilangnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 97
Widuri. Juga terhadap Mahesa Jenar yang selama ini hampir tidak
pernah dapat menikmati hari-hari yang tenang. Karena itu, biarlah
aku mencoba untuk mencarinya. Tanpa mengurangi penghargaan
atas segala bantuan Ki Ageng, namun adalah menjadi bubuhanku
bahwa Endang Widuri harus diketemukan.”
“Tidak paman,” tiba-tiba Arya menyahut. “Tidak saja paman,
tetapi kami, kita semua kebubuhan mencarinya. Juga paman
Mahesa Jenar, wajib diberitahu atas peristiwa ini.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora menyambung, “Arya benar,
kakang Kebo Kanigara. Apa yang kami lakukan adalah kewajiban,
disamping sebagai pernyataan terima kasih atas apa saja yang
pernah kakang lakukan di Banyubiru dan Pamingit. Dan apa yang
pernah dilakukan oleh Endang Widuri sendiri.”
Kebo Kanigara sudah barang tentu tidak dapat menolak uluran
tangan itu. Maka jawabnya, “Terima kasih Ki Ageng.”
Sekali lagi pendapa itu diterkam oleh kesepian. Sekali-kali
Wanamerta melihat daun-daun sawo bergoyang-goyang. Dan
sekali lagi dadanya berdesir karenanya. Tetapi ketika ia melihat
daun-daun yang lain pun bergoyang pula, maka katanya di dalam
hati, “Hem. Angin yang nakal telah menggodaku.”
Dalam keheningan itu tiba-tiba mereka mendengar derap kuda
di antara desir angin malam. Beberapa orang yang mendengar
suara itu segera mengangkat wajah mereka. Dan mereka
sependapat bahwa suara itu adalah suara serombongan orang-
orang berkuda yang telah memasuki alun-alun. Namun karena
mereka tidak mendengar suara kentongan dan tanda-tanda yang
lain, maka suasana di pendapa itu masih tetap dalam ketenangan.
Beberapa saat kemudian, para penjaga regol telah
menghentikan beberapa ekor kuda yang akan memasuki halaman.
Namun ketika mereka melihat para penumpangnya, maka mereka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 97
segera menganggukkan kepalanya sambil mempersilakan para
penunggang kuda itu untuk masuk.
“Siapa?” terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya.
“Ki Ageng Lembu Sora beserta beberapa orang pengiringnya,”
sahut orang yang berdiri di dalam gardu.
“Oh,” desis Ki Ageng. Dan orang-orang yang berada di
pendapa itu pun segera berdiri menyambut kedatangan tamu-
tamu mereka.
Sebelum duduk, Ki Ageng Lembu Sora sudah bertanya,
“Bagaimana dengan Endang Widuri?”
Ki Ageng Gajah Sora menggeleng, “Belum kami ketemukan.”
“Hem” terdengar seseorang menggeram. Ketika Ki Ageng
Gajah Sora berpaling kepada orang itu, maka dilihatnya Wulungan
menggigit bibirnya. Bahkan kemudian ia berguman, “Angger
Widuri telah menyelamatkan aku. Ketika Adi Galunggung menjadi
gila dan menaburkan pasir kemataku pada saat kami berkelahi,
maka nyawaku telah berada di ujung pedangnya. Namun
untunglah, angger Widuri berhasil mencegahnya, sehingga
akhirnya aku pun selamat.”
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
dipersilakan tamunya duduk di pendapa itu pula.
Pembicaraan tentang Widuri menjadi semakin riuh. Semua
orang di pendapa bertekad untuk menemukannya. Bahkan Ki
Ageng Lembu Sora berkata, “Aku dapat mengerahkan setiap orang
di Pamingit untuk ikut serta mencarinya, kakang.”
“Terima kasih,” jawab Ki Ageng Gajah Sora.
Tetapi Kebo Kanigara masih saja menundukkan kepalanya.
Pembicaraan yang didengarnya tentang anaknya benar-benar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 97
telah mengharukannya, sehingga malahan ia tidak dapat berkata
apa-apa tentang itu.
Beberapa orang yang sempat menatap wajahnya menjadi
terharu pula. Widuri adalah satu-satunya kawan hidupnya. Bahkan
hidupnya sendiri agaknya tidak sedemikian menarik dibanding
dengan hidup anaknya itu. Anak satu-satunya yang akan dapat
menjadi penyambung masa depannya. Namun tiba-tiba anak itu
hilang. Hilang seperti tenggelam dalam kekelaman malam.
Malam itu orang-orang yang berkumpul di pendapa Banyubiru,
samasekali tidak dapat menarik kesimpulan apa pun tentang
hilangnya Endang Widuri. Namun mereka tidak dapat menolak,
bahwa besok Arya Salaka akan mengirim utusan ke Gunungkidul
untuk memberitahukan hilangnya Endang Widuri dari Banyubiru.
Malam itu pun berjalan menurut ketentuannya sendiri,
samasekali tidak menghiraukan kerisauan hati Arya Salaka yang
berputar-putar di dalam biliknya. Betapa hatinya menjadi gelisah,
marah dan bermacam perasaan lagi bercampur baur di dalam
dadanya. Karena itu, maka ia samasekali tidak dapat memejamkan
matanya. Angan-angannya hilir mudik tidak tentu arah. Siapakah
yang akan dipersalahkan atas hilangnya Widuri. “Seandainya aku
tahu siapa yang mengambilnya, maka baginya tak ada ampun lagi.
Aku bunuh dengan tanganku.” Anak muda itu menjerit di dalam
hatinya. Tapi tak seorang pun yang dapat memberitahukan
kepadanya, siapakah yang telah mengambil Endang Widuri.
Akhirnya Arya Salaka itu tidak betah lagi tersekap di dalam
biliknya. Perlahan-lahan ia berjalan keluar. Lewat longkangan
gandok kulon Arya muncul di pintu butulan.
Tiba-tiba Arya Salaka itu berdesir. Dilihatnya sesosok
bayangan bergerak di halaman belakang rumahnya. Cepat seperti
kilat anak muda itu meloncat memburu ke arah bayangan itu.
Namun sesaat ia kehilangan jejaknya. Tetapi Arya Salaka adalah
seorang anak muda yang terlatih dalam menghadapi segala
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 97
macam persoalan. Cepat ia berjongkok dan memasang telinganya
baik-baik. Namun ia masih belum mendengar sesuatu.
Alangkah terkejutnya hati anak muda itu, ketika tiba-tiba ia
melihat bayangan yang dikejarnya, telah meloncat pagar
halamannya yang cukup tinggi itu.
“Gila,” desisnya. Terdengarlah giginya gemeretak karena
marah. Tetapi ia tidak mau kehilangan bayangan itu, meskipun
disadarinya, bahwa tidak semua orang dapat berbuat serupa itu.
Meloncat pagar yang sedemikian tingginya hampir tanpa bersuara
adalah suatu pekerjaan yang sulit. Karena itu, maka segera ia pun
berlari ke arah bayangan itu dan meloncat pula ke atas dinding. Ia
masih melihat bayangan itu berlari sepanjang dinding halaman dan
kemudian masuk menyuruk ke dalam rimbunnya semak-semak.
Meskipun demikian Arya pun berlari menyusulnya. Sesaat ia
masih dapat mengikutinya dituntun oleh suara desah langkah
bayangan itu serta batang-batang yang terdengar. Bahkan
akhirnya Arya sempat melihat orang itu meloncati parit dan berlari
ke tengah-tengah rumpun bambu.
Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, maka Arya
mempercepat larinya. Diterobosnya rimbunnya rumpun-rumpun
bambu itu tanpa menghiraukan apa saja yang dapat terjadi
atasnya. Tetapi kali ini ia gagal. Bayangan itu seakan-akan lenyap
begitu saja di tengah-tengah rumpun bambu itu. Dengan penuh
kemarahan Arya mencarinya, menghentak-hentakkan setiap
batangnya, bahkan beberapa batang telah dipatahkannya dengan
suara yang berderak-derak. Namun bayangan itu benar-benar
telah hilang.
Suara berderak bambu-bambu patah itu, telah mengejutkan
beberapa orang disekitarnya. Bahkan ada pula di antara mereka
yang keluar rumah dengan obor-obor di tangan.
Ketika Arya Salaka melihat obor-obor itu, maka terdengarlah
ia berteriak. “Bawa obor itu kemari.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 97
“Siapa kau?” orang yang membawa obor itu bertanya.
“Arya Salaka,” sahut Arya.
“Oh, kaukah itu ngger”
Orang yang membawa obor itu kemudian berlari-lari ke arah
suara Arya Salaka. Orang itu terkejut melihat Arya berada di
tengah-tengah rumpun bambu-bambu di malam yang gelap.
Karena itu maka dengan serta merta orang itu bertanya. “Hem
ngger. Kenapa angger berada di dalam rumpun bambu di malam
buta? Apakah angger tadi di gondol wewe?”
Arya menggeram, “Omong kosong. Aku tidak dicuri oleh
kunthilanak itu. Aku sedang mencari seseorang. Berikan obormu
itu.”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Apakah betul Arya Salaka yang
berdiri di tengah-tengah rumpun bambu itu?
Karena orang itu tidak mau mendekat, maka dengan
jengkelnya Arya Salaka meloncat dari rumpun itu dan merampas
obor yang masih menyala-nyala sambil berkata, “Aku bukan anak
gendruwo. Aku Arya Salaka.”
Kemudian tidak hanya orang itu saja yang keluar dari
rumahnya. Suara Arya Salaka mengumandang dari rumah yang
satu menyusup ke dinding rumah yang lain. Karena itulah maka di
bawah rumpun bambu itu kemudian menjadi ribut. Beberapa orang
bertanya-tanya, apakah yang sedang dicarinya.
“Orang,” jawab Arya. “Aku mengejar seseorang yang
memasuki halaman rumahku. Ia bersembunyi di dalam rumpun
bambu ini. Tetapi tiba-tiba orang itu hilang.”
Beberapa orang kemudian mengucapkan kata-kata yang tidak
jelas di dalam mulutnya sambil gemetar. Bahkan salah seorang
berbisik, “Itu adalah Kiai Jenggot ngger. Jangan dicari lagi.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 97
“Bohong. Aku melihatnya di halaman rumahku. Bukan Kiai
Jenggot. Tetapi seseorang.”
Berita itu pun kemudian menjalar sampai ke gardu penjagaan
regol rumah Arya Salaka, dan penjaga gardu itu melaporkannya
ke Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi yang terbangun kemudian tidak
saja Ki Ageng Gajah Sora, namun juga Ki Ageng Lembu Sora,
beberapa orang pengiringnya dan Kebo Kanigara. Mereka
bersama-sama pergi, ke rumpun bambu di mana orang yang
dikejar oleh Arya Salaka itu melenyapkan dirinya.
Sesaat kemudian di bawah rumpun bambu itu telah menyala
lebih dari sepuluh buah obor. Semua orang berusaha untuk ikut
mencari orang yang telah bersembunyi di bawah rumpun bambu
itu. Tetapi orang itu tidak dapat diketemukan.
“Aneh,” desis Arya Salaka. “Aku telah mengejarnya, sedang
jarak kita menjadi semakin dekat. Aku pasti, bahwa orang itu
menyusup ke dalam rumpun ini, namun tiba-tiba ia telah hilang.”
Semua orang menjadi tegang. Apakah perisitwa ini ada
hubungannya dengan hilangnya Widuri? Tetapi kalau demikian,
maka apalagi yang akan dicarinya di rumah Ki Ageng Gajah Sora?
Tanpa mereka sengaja maka sebagian dari mereka segera
menghubungkan peristiwa itu dengan hal-hal yang gaib, yang tidak
dapat dikupas dengan nalar. Tetapi Ki Ageng Gajah Sora, Lembu
Sora, Wanamerta segera menghubungkannya dengan keris-keris
Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten.
“Apakah masih ada yang menyangka bahwa keris-keris itu
berada di Banyubiru?” berkata mereka di dalam hati mereka.
“Seandainya demikian, siapakah yang masih akan mencoba
mencurinya?”
Yang paling mungkin adalah mereka, sisa-sisa dari gerombolan
hitam yang masih belum punah benar. Tetapi di antara mereka,
sudah tidak ada seorang pun yang akan mampu mengganti
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 97
kedudukan pemimpin-pemimpin mereka. Kecuali apabila ada
pendatang-pendatang baru yang akan merebut kedudukan
golongan itu.
Setelah puas mereka mencari, dan ternyata mereka tidak
menemukan apa-apa, maka segera mereka kembali ke rumah Ki
Ageng Gajah Sora. Sedang beberapa orang di sekitarnya kembali
pula ke rumah-rumah masing-masing sambil bergumam. “Hem,
Kiai Jenggot itu kini mengganggu lagi.”
Kembali di pendapa Banyubiru, beberapa orang berkumpul
membicarakan keanehan yang baru saja di lihat oleh Arya Salaka.
Dalam kesibukan pembicaraan itu, maka berkatalah Ki Ageng
Gajah Sora. “Arya, apakah kau benar-benar melihat seseorang,
atau hanya karena hatimu yang sedang gelap itu saja, maka kau
seolah-olah melihat seseorang di halaman ini?”
“Aku melihat sebenarnya ayah,” jawab Arya. Namun tiba-tiba
ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ia merasa bahwa ia melihat
seseorang.
Melihat keragu-raguan itu, maka berkatalah Ki Ageng Gajah
Sora, “Atau sebuah mimpi yang buruk?”
Arya menggigit bibirnya. Namun kemudian ia berkata. “Marilah
kita lihat.”
Arya tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia turun
ke halaman dan menyuruh beberapa orang penjaga menyalakan
obornya. Ayahnya, pamannya, Kebo Kanigara dan orang-orang
lain segera mengikutinya. Mereka pergi ke halaman belakang
dengan obor di tangan.
Beberapa saat kemudian terdengar Arya itu berteriak. “Inilah
ayah. Lihatlah bekas-bekasnya. Apakah hanya bekas kakiku
sendiri?”
Semua orang kemudian mendekatinya. Di bawah dinding
mereka melihat beberapa berkas bekas kaki. Seberkas adalah kaki
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 97
Arya Salaka, sedang beberapa langkah di sampingnya
diketemukan pula seberkas telapak kaki. Salah satu dari berkas-
berkas itu adalah kaki orang yang dikejarnya.
Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini
percaya bahwa seseorang telah memasuki halaman ini tanpa
diketahui, meskipun Gajah Sora untuk sementara masih perlu
menempatkan beberapa orang penjaga di sekitar rumahnya.
”Aneh,” gumam mereka. Dan sebenarnyalah bahwa hal itu
sangat mengherankan beberapa orang penjaga di sekitar
rumahnya.
Malam itu, kemudian hampir tak seorang pun dari mereka yang
berada di pendapa, sempat untuk pergi tidur. Mereka mondar-
mandir saja kesana kemari. Meskipun kemudian Lembu Sora
masuk juga ke gandok wetan, namu orang itu tidak juga dapat
tidur. Sedang Kebo Kanigara masih belum beranjak dari tempatnya
di pendapa Banyubiru. Hanya kini ia duduk bersandar tiang.
Pandangan matanya jauh menyusup ke dalam gelapnya malam,
menyentuh ujung pepohonan di kejauhan. Gelap. Malam itu
semakin gelapnya.
Ketika ia melihat Arya Salaka naik ke pendapa dan duduk di
sampingnya, maka terdengar Kebo Kanigara itu bertanya lirih,
“Kenapa kau tidak membangunkan seorang pun Arya.”
Arya duduk dengan gelisahnya. Kemudian jawabnya, “Aku
tergesa-gesa paman. Aku lupa segala-galanya. Aku hanya
mengharap untuk dapat menangkapnya.”
“Orang itu bukan orang kebanyakan. Sangat berbahaya
bagimu Arya. Siapa tahu ia memiliki sesuatu yang lebih berbahaya
dari Sasra Birawa.”
Arya menundukkan kepalanya. Kata-kata Kebo Kanigara ittu
dapat dimengertinya. Namun ia benar-benar tidak mendapat
kesempatan untuk berbuat banyak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 97
Demikianlah malam itu Banyubiru diliputi oleh suasana yang
aneh. Mirip dengan suasana yang pernah mereka alami sebelum
Arya Salaka hilang dari lingkungan rakyat Banyubiru. Demikian
pula suasana di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Dahulu mereka juga
berjaga di pendapa itu. Dahulu mereka duduk dengan kesiagaan
penuh di pendapa, di luar pendapa bahkan beberapa orang
berjaga-jaga di halaman belakang. Namun keris-keris yang
mereka simpan ternyata lenyap pula.
Gajah Sora menarik nafas. “Hem,” desahnya “Waktu itu
ternyata Panembahan Ismaya berusaha menyelamatkan pusaka-
pusaka itu. Tetapi sekarang siapa? Apakah Panembahan itu pula?”
Gajah Sora itu menggeleng dengan sendirinya Panembahan
Ismaya tidak akan membuat mereka menjadi bingung lagi tanpa
maksud-maksud tertentu yang tidak mereka mengerti
sebelumnya. “Apakah kali ini juga terkandung maksud seperti itu?”
Namun tak seorang pun yang dapat duduk dengan tenang.
Wanamerta pun menjadi gelisah. Bantaran, Penjawi, Jaladri
berjalan hilir mudik di halaman dengan pedang di pinggang
masing-masing. Bahkan Jaladri tidak lupa pula membawa
senjatanya yang aneh, canggah, tombakbermata dua.
Halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora benar-benar di kuasai
oleh ketegangan. Suasananya mirip benar dengan suasana
peperangan. Tetapi mereka tidak tahu pasti siapakah musuh yang
harus mereka hadapi.
Malam itu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Ketika di
timur telah membayang warna merah, maka terdengarlah ayam
jantan berkokok bersahut-sahutan untuk yang terakhir kalinya.
Kabut yang tebal turun membawakan udara yang sangat dingin.
Sehingga kepekatan malam itu pun kemudian disusul dengan
kabut yang keputih-putihan memagari pandangan. Meskipun
malam telah hampir lenyap, namun lereng Telamaya itu kini
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 97
seakan-akan berselimut dengan kabut yang tebal, seperti seorang
raksasa yang berbaring kedinginan.
Tetapi malam itu telah dilampauinya tanpa terjadi sesuatu
yang menggoncangkan suasana. Mereka memasuki hari
mendatang dengan nafas lega. Meskipun demikian, apa yang
terjadi pada malam itu sangat mempengaruhi ketentraman hati
para pemimpin Banyubiru.
Pagi itu Arya Salaka telah mengutus tiga orang untuk
menyampaikan kabar tentang hilangnya Endang Widuri ke
Gunungkidul. Arya telah berpesan dengan sungguh-sungguh,
bahwa mereka hanya menyampaikan pemberitahuan saja. Segala
sesuatunya kemudian terserah kepada Mahesa Jenar sendiri,
meskipun di dalam hati Arya mengharap agar gurunya itu
mengambil keputusan untuk datang ke Banyubiru. Arya yang
masih muda itu samasekali tidak dapat mempertimbangkan
persoalan-persoalan lain yang menyangkut kehidupan gurunya.
Demikianlah maka ketiga orang itu, yang dipimpin oleh
Bantaran berpacu menunju ke Gunungkidul. Suara kaki-kaki kuda
berderak-derak memecah kesunyian pagi. Beberapa orang melihat
Bantaran memacu kudanya secepat angin. Maka timbullah
beberapa pertanyaan di hati mereka. Ke manakah Bantaran sepagi
ini?
Sepeninggalan Bantaran orang-orang di Banyubiru masih
meneruskan usaha mereka mencari Endang Widuri. Arya Salaka
sendiri menjelajahi segenap sudut Banyubiru. Namun Endang
Widuri benar-benar lenyap. Karena itu, maka Arya Salaka menjadi
gelisah, cemas dan marah yang meluap-luap.
Ia tidak akan menjadi sedemikian gelisah, seandainya ia harus
mencari apa-apa yang hilang, bahkan pusaka Banyubiru sekalipun.
Sebab ia akan dapat mempergunakan waktu yang panjang.
Seminggu, sebulan bahkan setahun dua tahun sebelum benda itu
diketemukan. Namun tidak akan dapat terjadi demikian dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 97
Endang Widuri. Ia tidak dapat menunggu sebulan, dua bulan atau
lebih. Sebab dengan demikian banyak hal yang akan dapat terjadi
dengan gadis itu. Hal-hal yang tidak akan dapat terjadi dengan
pusaka-pusaka atau benda-benda lain. Sebenarnyalah bahwa
Endang Widuri bukanlah benda-benda itu.
Dalam keadaan yang demikian itulah, maka terasa sekali pada
Arya Salaka, bahwa ia tidak sekadar kehilangan tamu atau kawan
bermain baginya. Tetapi, bahwa dengan hilangnya Endang Widuri,
terasa ada sesuatu yang hilang pula dari hatinya. Sesuatu yang
tidak jelas dapat dikatakannya. Namun dapat dirasakannya.
Ibunya, Nyai Ageng Gajah Sora menjadi sangat bersedih pula.
Bukan saja karena Widuri sudah menjadi sangat cumbu padanya.
Namun sebagai seorang ibu, segera ia dapat melihat, luka yang
tergores di hati anaknya. Nyai Ageng sangat iba melihat Arya
Salaka kadang-kadang merenungi titik-titik di kejauhan, namun
kadang-kadang ia menjadi sangat gelisah. Bahkan anak muda itu
sering sekali dengan serta merta meloncat di atas punggung
kudanya dan berlari menghambur ke tempat yang tak
diketahuinya, apabila perasaannya mendesaknya untuk segera
menemukan Endang Widuri. Namun kemudian Arya Salaka
kembali pulang dengan wajah yang pedih.Widuri belum
diketemukan.
Tidak saja Arya Salaka yang mencarinya hampir sepanjang
hari di setiap hari. Namun Kebo Kanigara pun kemudian jarang-
jarang tampak di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Hampir setiap hari
apabila matahari telah terbit ke Timur, Kebo Kanigara segera minta
diri untuk mencari anaknya. Dengan seekor kuda yang
dipinjamnya dari Banyubiru, Kebo Kanigara berputar ke segenap
penjuru. Tetapi seperti Arya Salaka, maka Kebo Kanigara itu pun
kemudian pulang seorang diri.
Sehingga akhirnya, Kebo Kanigara itu berkata kepada Ki Ageng
Gajah Sora, “Ki Ageng. Apabila Endang Widuri tidak segera dapat
aku ketemukan, maka aku akan mohon diri untuk mencarinya. Aku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 97
tidak akan dapat mengatakan, berapa lama waktu yang akan aku
pergunakan untuk itu.”
Ki Ageng Gajah Sora menjadi gelisah pula. Namun jawabnya,
“Jangan tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru kakang. Kita disini
masih berharap untuk menemukannya.”
“Tetapi bagaimanakah kalau Widuri telah di bawa orang
meninggalkan Banyubiru.”
Ki Ageng Gajah Sora tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Sebenarnya akan sangat menggelisahkan apabila diketahui bahwa
Endang Widuri sudah tidak berada di Banyubiru lagi. Tetapi
bagaimana?
Bahkan kemudian Ki Ageng Gajah Sora itu telah sampai pada
suatu keputusan, untuk menyebar orang-orangnya jauh ke luar
Banyubiru, di samping para pengawas yang telah di tempatkan di
setiap pintu kota, dan di garis batas. Mungkin Endang Widuri
berada di Demak, di Pajang, Jipang atau Bergota. Namun ia masih
menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Bantaran setelah ia
kembali dari Gunungkidul.
“Biarlah aku menunggu Bantaran itu pulang Ki Ageng,” berkata
Kebo Kanigara. “Mudah-mudahan tidak terlalu lama, sehingga aku
tidak akan terlambat.”
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
mencoba ikut merasakan apa yang menyebabkan Kebo Kanigara
menjadi sangat murung dan pendiam. Apalagi kalau Ki Ageng itu
melihat Arya Salaka menjadi seperti anak yang kehilangan sikap.
Sekali-kali ia berbaring dibiliknya, namun tiba-tiba ia berlari keluar
untuk hanya sekedar duduk di bawah pohon sawo sambil
bertopang dagu.
Bantaran yang mendapat tugas untuk pergi ke Gunungkidul,
berusaha melakukan pekerjaannya sebaik-baiknya. Dengan
kecepatan yang sebesar-besarnya ia memacu kudanya di atas
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 97
jalan berbatu-batu. Di turuninya lereng bukit Telamaya, dan
kemudian di atas jalan-jalan ngarai ia menerobos hutan-hutan
rindang menempuh jalan yang telah di ancar-ancarkan. Namun
Bantaran itu menyadari, bahwa perjalanannya bukan perjalanan
yang ringan. Sekali-kali ia harus menempuh belukar yang pepat
dan jarang-jarang dilewati orang. Karena itulah maka di sisi
kudanya tersangkut pula sebuah busur dan endong yang penuh
dengan anak panah. Apabila keadaan memaksa, maka dengan
senjata itu ia dapat mempertahankan dirinya dalam jarak yang
jauh sambil berkuda. Namun yang penting baginya apabila mereka
harus bermalam di perjalanan senjata itu akan dapat dipakainya
untuk berburu binatang.
Selain panah-panah itu, dilambungnya tersangkut pula sebilah
pedang panjang. Senjatanya itu hampir tak pernah berpisah dari
tubuhnya sejak ia menyingkir ke Gedong Sanga.
V
Sementara itu, Mahesa Jenar dan Rara Wilis telah sampai ke
Gunungkidul.
Perjalanan yang mereka tempuh adalah benar-benar
perjalanan yang mengasyikkan. Apabila sebelumnya mereka selalu
berada dalam perjalanan yang diliputi oleh ketegangan-
ketegangan yang mendebarkan, maka perjalanan kali ini selalu
diliputi oleh sendau gurau yang riang.
Meskipun dapat di tempuh jalan lain yang lebih baik, seperti
yang telah diberitahukan oleh Sarayuda kepada Kebo Kanigara
apabila ia akan menyusul kelak, namun kali ini Sarayuda sengaja
menempuh jalan yang lain. Jalan yang sangat sulit. Tetapi
kesulitan itu benar-benar tidak terasa oleh Rara Wilis. Karena itu,
maka perjalanan mereka kali ini melewati daerah-daerah yang
sukar. Mereka ternyata memasuki hutan-hutan yang pepat.
Bahkan kemudian mereka melewati daerah Gelangan dan
menjelujur di kaki bukit Tidar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 97
Mahesa Jenar yang pernah bertempur di atas bukit itu
melawan Ki Ageng Gajah Sora memandangi bukit kecil itu dengan
kesan yang aneh. Sebuah kenangan telah menggores di dadanya.
Seandainya pada saat itu, Aji Sasra Birawa yang ada padanya tidak
seimbang dengan Aji Lebur Saketi yang dimiliki oleh Ki Ageng
Gajah Sora, maka entahlah apa yang terjadi. Namun agaknya Ki
Ageng Sora Dipayana benar-benar telah mengukur kekuatan yang
tersimpan di dalam dirinya waktu itu, dan kekuatan-kekuatan yang
tersimpan di dalam diri anaknya.
Tetapi saat ini Sarayuda tidak mengambil jalan ke arah
Pangrantunan, namun perjalanan itu mengarah terus ke selatan.
Setelah bermalam diperjalanan, sampailah mereka ke hutan
yang cukup lebat. Mentaok.
“Apakah kita akan ke hutan ini Sarayuda?” bertanya Mahesa
Jenar.
“Ya,” sahut Sarayuda “Jalan yang paling dekat”.
Mahesa Jenar meragukan jawaban itu. Tetapi ia tidak
menjawab. Diikutinya saja Sarayuda yang berkuda lewat jalur
jalan yang dahulu pernah dilalui. Mereka akhirnya sampai juga di
Pliridan dan tanpa setahu Mahesa Jenar, tiba-tiba mereka sudah
berada di depan sebuah goa. Mahesa Jenar terkejut melihat goa
itu. Goa yang pernah ditinggal oleh Ki Ageng Pandan Alas.
“Apakah kau pernah melihat goa itu Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar tersenyum. Kemudian katanya, “Entahlah,
bertanyalah kepada Wilis.”
Rara Wilis hanya dapat menundukkan wajahnya. Kenangan itu
tiba-tiba telah menerkam hatinya. Tetapi ia adalah seorang gadis.
Tanggapannya atas kenangan itu tidak seperti Mahesa Jenar.
Karenanya tiba-tiba matanya terasa sangat panas. Dan setetes air
mata jatuh dipangkuannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 97
Sarayuda dan Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Tetapi
mereka tidak menjadi cemas, meskipun mereka melihat Rara Wilis
itu menangis. Sebab mereka tahu, bahwa gadis itu sedang di
ganggu oleh sebuah kenangan. Kenangan yang menakutkan
seperti terjadi saja di dalam mimpi.
Sebenarnya memang Rara Wilis sedang mengenangkan masa-
masa lampaunya. Di hutan inilah ia dahulu hampir saja membunuh
dirinya, seandainya tidak ada seorang yang bernama Mahesa Jenar
itu, yang sekarang ini berada di dekatnya sebagai seorang yang
telah merampas segenap hatinya. Di hutan ini pula ia bertemu
dengan kakeknya, Ki Ageng Pandan Alas. Dan di hutan ini pula ia
hampir di terkam Ular Laut yang mengerikan. Tetapi semuanya itu
sudah lampau. Semua pahit getir penghidupan telah dialami.
Bahaya yang dilampauinya tidak saja di hutan Mentaok ini, namun
kemudian nyawanya pun telah diserahkannya untuk merebut
kembali ayahnya dari tangan Harimau betina di Gunung Tidar.
Namun ayahnya itu telah mati pula. Kini ia tinggallah seorang gadis
yatim piatu.
Di hutan itu, di daerah Pliridan yang sepi itulah mereka
bermalam kembali. Daerah yang pernah memberi mereka suatu
kenangan yang pahit.
Tetapi pada malam itu, mereka dikejutkan oleh kehadiran
beberapa orang yang bertubuh besar dan bengis. Mereka dengan
serta merta mengancungkan senjata- senjata mereka kepada
rombongan itu.
“Apakah kehendakmu?” bertanya Sarayuda kepada pemimpin
mereka.
“Harta atau nyawa?” gertak mereka.
Sarayuda tertawa. Jawabnya, “Kenallah kalian kepada kami?”
Orang itu menarik alisnya. Kemudian geramnya, “Persetan
dengan kalian. Aku tidak pernah bertanya, siapakah korbanku kali
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 97
ini. Semua pedagang yang lewat di daerah ini adalah hidangan
buat kami.”
“Kami telah membawa beberapa orang pengantar yang akan
dapat melawan kalian.”
“Hem, aku sudah tahu. Kalian pasti membawa beberapa orang
pengantar. Nah sekarang biarlah kami bertempur. Pekerjaan ini
sudah kami lakukan bertahun- tahun.”
Sekali lagi Sarayuda tertawa. Karena itulah maka pemimpin
mereka membentak. “Jangan tertawa. Ayo, apakah kau pemimpin
dari para pengawal.”
Sarayuda maju selangkah. Kemudian katanya, “Berapa
orangkah jumlah kalian?”
”Lima belas orang,” sahut
orang itu. “Kalau kami
memberi tanda, maka akan
datang lagi lima belas orang
pula.”
Tiba-tiba sebelum Sarayu-
da menjawab, maka Mahesa
Jenar telah melangkah maju
pula. Dengan tenangnya ia
berkata. “Jangan membual.
Apakah kau sekarang ber-
gabung dengan sisa anak buah
Lawa Ijo?”
Pemimpin rombongan itu
terkejut. Diamat-amatinya Ma-
hesa Jenar dengan seksama.
Kemudian katanya, “Siapakah kau?”
“Sakayon,” jawab Mahesa Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 97
“He?” mata orang itu terbelalak. “Darimana kau tahu
namaku?”
“Aku Sakayon dari Gunung Tidar. Dahulu aku adalah anak buah
Sima Rodra.”
Orang itu menjadi semakin heran. Namun ketika terpandang
olehnya wajah Mahesa Jenar yang semakin lama menjadi semakin
jelas, maka terdengar suaranya parau, “Apakah kau Mahesa
Jenar?”
Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, “Kau masih mengenal
aku? Kapankah kau melihat wajahku?”
Sakayon pernah melihat Mahesa Jenar beberapa kali. Ia ikut
dengan Sima Rodra ke Gedangan, ia turut pula mencegat laskar
Demak di Gunung Telamaya, dan ia melihat Mahesa Jenar
bertempur melawan beberapa orang tokoh hitam.
Karena itu, setelah Sakayon itu yakin, bahawa yang berdiri
dihadapannya itu Mahesa Jenar, maka katanya terbata-bata.
“Mahesa Jenar, kami tidak tahu, bahwa rombongan ini adalah
rombonganmu. Karena itu, maka aku mencegatnya. Aku sangka
bahwa rombongan ini adalah rombongan para pedagang yang akan
menyeberangi hutan ini.”
“Hem. Jadi perbuatan-perbuatan yang demikian itu masih saja
kalian lakukan setelah lurahmu mati?”
Sakayon tidak menjawab, tetapi kepalanya ditundukkannya.
“Sakayon, apakah kau percaya, bahwa rombonganku akan
dapat menumpas rombonganmu sekarang ini?”
Wajah Sakayon menjadi pucat. Sekali ia berpaling. Dilihatnya
beberapa anak buahnya menjadi heran. Tetapi ada di antaranya
yang pernah melihat Mahesa Jenar. Bekas anak buah Sima Rodra
dan bekas anak buah Lawa Ijo yang bergabung itu, kini diliputi oleh
ketegangan. Namun mereka yang baru dalam pekerjaannya,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 97
mencoba untuk masih menunjukkan kegarangannya. “Siapakah
orang itu kakang Sakayon?”
“Mahesa Jenar,” jawab Sakayon gemetar.
“Apakah orang itu anak gendruwo, sehingga kita takut
kepadanya.”
“Bukan saja anak gendruwo,” jawab salah seorang di antara
mereka bekas anak buah Lawa Ijo. “Tetapi anak malaikat.”
Orang baru itu menjadi heran. Apalagi ketika ia mendengar
Sakayon menjawab, “Aku percaya Mahesa Jenar. Aku minta maaf.”
“Lihatlah, di antara orang-orang ini adalah prajurit-prajurit
pilihan.” berkata Mahesa Jenar menakut-nakuti. “Kami mendapat
tugas untuk memusnahkan gerombolan-gerombolan yang masih
saja mengacau di hutan Mentaok ini. Kami harus membersihkan
hutan Mentaok, Tambak Baya dan daerah-daerah Beringan dan
Pacetokan, seluruhnya.”
“Ampun. Kami minta ampun,” tiba-tiba suara Sakayon menjadi
semakin gemetar dan cemas.
“Kami akan mengampuni kalian, tetapi ada syarat-syaratnya!”
Sakayon terdiam. Ia tidak tahu, syarat apakah yang akan
dituntut oleh Mahesa Jenar itu. Karena itu, maka ia menunggu
Mahesa Jenar berkata, “Sakayon. Kami mendapat tugas untuk
memberantas kejahatan di hutan ini. Kalau kalian berjanji untuk
menghentikan kejahatan ini, maka kalian akan aku ampuni.
Namun kalau tidak, maka jangan mengharap kalian hidup lebih
lama lagi. Kemana saja kalian bersembunyi, maka kami pasti akan
dapat menemukan. Kami bawa kalian ke Demak dan kalian akan
kami adu melawan harimau di alun-alun sebagai tontonan.”
Sakayon dan beberapa orang di dalam gerombolan itu tahu
benar siapa Mahesa Jenar itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah
Mahesa Jenar. Aku terima syarat itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 97
Mahesa Jenar tertawa. Katanya, “Aku sudah mengenal watak
kalian. Kalian berjanji hanya apabila kalian menghadapi bahaya.
Meskipun demikian aku percaya padamu kali ini. Kembalilah
kerumahmu masing-masing, dan cobalah hidup seperti orang-
orang lain. Mereka tidak perlu mengalami kegelisahan seperti yang
selalu kau alami. Dengan demikian maka kau akan dapat hidup
tenteram.”
Sakayon menggeleng. Jawabnya, “Aku sudah tidak
mempunyai rumah dan tempat tinggal. Aku adalah seorang layang
kabur kanginan.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Namun kemudian ia berkata,
“Sakayon. Daerah ini adalah daerah yang subur. Dahulu Pliridan
adalah daerah yang ditinggali oleh beberapa orang petani. Kau
dapat mengusahakan tanah ini. Dengan tekad yang baik, kau akan
dapat berhubungan dengan orang-orang lain untuk mengadakan
tukar menukar hasil tanah ini dan mungkin hasil hutan yang dapat
kau usahakan.”
Sakayon mengangguk-anggukkan kepalanya. Terjadilah suatu
pergolakan di dalam hatinya. Kata-kata Mahesa Jenar itu tanpa
sesadarnya telah direnungkannya, dan dicernakannya di dalam
hatinya, sehingga akhirnya terdengar kata-kata di dalam hatinya,
“Mahesa Jenar berkata sebenarnya.” Ditambah lagi dengan rasa
takutnya atas ancaman Mahesa Jenar untuk membawanya ke
Demak dan mengadunya dengan harimau di alun-alun. Sedang ia
percaya sepenuhnya, bahwa Mahesa Jenar itu pasti akan dapat
berbuat demikian. Menangkapnya kemana saja ia bersembunyi.
Karena itu maka katanya, “Mahesa Jenar. Aku berterima kasih
atas segala nasehatmu. Akan aku coba untuk mengusahakan
tanah ini. Dan aku coba untuk menghubungi keluarga kami dengan
tekad yang baik. Mudah-mudahan aku berhasil.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 97
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Kemudian ia maju selangkah menepuk bahu Sakayon
sambil berkata. “Sarungkan senjatamu.”
Sakayon tidak dapat berbuat lain daripada menyarungkan
goloknya sambil menundukkan kepalanya.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika di dengarnya seorang
daripada anak buahnya, seorang anak muda yang bertubuh tinggi
tegap, setegap raksasa kerdil, berkata dengan lantang. “He,
kakang Sakayon. Sejak kapan kau menjadi seorang perempuan
cengeng.”
Sakayon mengangkat wajahnya. Jawabnya. “Jangan melawan
Gendon. Tak ada gunanya. Lebih baik kau dengarkan nasihatnya.”
Anak muda yang bernama Gendon itu samasekali tidak puas.
Di samping Sakayon ia merasa orang yang paling penting di dalam
gerombolan itu. Karena itu, maka ia melangkah maju sambil
menunjuk wajah Mahesa Jenar. “He apakah kau memiliki guna-
guna dan menenung kakang Sakayon sehingga ia menjadi tunduk
kepada kemauanmu?”
Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak. Aku tidak dapat
merenungnya. Tetapi ia dalah sahabat lamaku.”
Gendon menjadi heran. Sekali ia memandang wajah Sakayon,
namun betapa pun juga ia tidak yakin akan kata Mahesa Jenar.
Maka dengan lantangnya ia berkata, “Kalau kau tidak ikut
kakang Sakayon. Maka biarlah aku selesaikan pekerjaan ini
sendiri. Ayo, siapa ikut aku?”
Beberapa orang di antara mereka melangkah maju. Namun
mereka menjadi heran, justru orang-orang lama, anak buah
Sakayon sendiri dan bekas anak buah Lawa Ijo yang mereka
bangga-banggakan samasekali tidak bergerak. Bahkan di
antaranya berkata, “Jangan”.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 97
Tetapi Gendon yang merasa usahanya selama ini selalu
berhasil tidak memperdulikannya. Dengan goloknya ia menunjuk
wajah Mahesa Jenar. “Ayo, berikan semua harta bendamu.”
Mahesa Jenar memandang anak muda itu dengan sedih. Anak
itu memiliki tubuh yang kokoh kuat dan memiliki sikap yang
meyakinkan. Namun sayang. Ia terperosok dalam lingkungan yang
kelam.
Karena Mahesa Jenar tidak segera menjawab, maka terdengar
anak itu membentak kembali, “Ayo. Cepat”.
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Sambil menunjuk
Sarayuda ia berkata. “Lihatlah. Kawanku itu berpedang pula di
lambungnya. Kau tahu gunanya pedang?”
Gendon ragu-ragu sejenak. Kemudian teriaknya, “Tidak peduli.
Serahkan harta benda yang kau bawa.”
Mahesa Jenar menggigit bibirnya. Ketika ia berpaling, masih
dilihatnya beberapa orang kawan-kawan Sarayuda duduk dengan
tenangnya. Mereka samasekali hampir tidak tertarik pada
gerombolan itu. Sebab mereka yakin benar, apa yang akan dapat
dilakukan oleh Sarayuda dan Mahesa Jenar, meskipun ia tidak
kehilangan kewaspadaan. Bahkan beberapa di antara mereka telah
meraba hulu pedang mereka. Hanya Rara Wilis lah yang kemudian
bangkit berdiri sambil berkata, “Sakayon. Apakah kau tidak mau
membawa orang-orangmu pergi.”
“Oh,” Sakayon tergagap.
Namun Gendon itu berteriak, “Ha. Ternyata ada seorang gadis
pula di antara mereka. Agaknya gadis itu tak kurang cantiknya.
Ayo, menyerahlah. Dan serahkan gadis itu kepadaku.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar membungkukkan badannya. Katanya,
“Baiklah ambillah gadis itu kalau mau. Tetapi jangan ganggu
rombongan ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 97
“Ah,” desah Rara Wilis. Ia tahu Mahesa Jenar akan
menunjukkan kepada anak muda itu, bahwa ia sedang berhadapan
dengan orang-orang yang tak akan mungkin dikalahkannya.
Gendon ragu-ragu sesaat. Namun kemudian ia berkata,
“Baiklah, ayo ikut aku. Aku tidak akan mengganggu kalian,
asalkan, kecuali gadis ini, semua harta bendamu aku bawa pula.”
Rara Wilis maju beberapa langkah. Tiba-tiba ditariknya pedang
dari lambung Sarayuda. Dengan lantang gadis itu berkata,
“Pergilah anak muda. Pergilah.”
Gendon terkejut. Tiba-tiba ia meloncat mundur. Dilihatnya
Rara Wilis itu maju lagi sambil mengacungkan pedangnya.
“Pergilah.”
Gendon diam sesaat. Namun yang terdengar suara Mahesa
Jenar, “Anak itu bukan Jaka Soka Wilis.”
“Ah,” kembali Rara Wilis mendesah.
Tetapi Gendon belum mengenal Rara Wilis. Ia menjadi rikuh
kepada kawan-kawannya. Ternyata gadis ini akan melawannya.
Sarayuda yang membiarkan pedangnya ditarik oleh Rara Wilis
tertawa saja sambil bertolak pinggang. Agaknya Rara Wilis yang
paling tidak senang melihat gerombolan itu, sebab ingatannya
tentang gerombolan semacam itu, benar-benar mendirikan bulu
romanya. Karena itu maka segera ia berusaha untuk mengusirnya.
Tetapi ketika Gendon menyadari keadaannya, ia menjadi
sangat marah. Karena itu dengan serta merta ia menyerang Rara
Wilis dengan garangnya, meskipun ia hanya bermaksud untuk
menakut-nakuti. Tetapi terjadilah hal yang tak di sangka-sangka.
Tiba-tiba Rara Wilis menggerakkan pedangnya dalam putaran
untuk melibat golok lawannya. Alangkah terkejutnya Gendon itu.
Pedang Rara Wilis itu seakan-akan melilit goloknya dan sebuah
tekanan yang kuat telah melemparkan goloknya beberapa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 97
langkah. Sebelum ia mampu berbuat sesuatu terasa ujung pedang
Rara Wilis melekat di dadanya.
Tubuh Gendon itu pun kemudian menjadi gemetar. Terasa
bahwa nyawanya tiba-tiba saja telah bergerak keubun-ubunnya.
Sebelum Rara Wilis berkata sepatah kata pun, maka terdengar
Mahesa Jenar mendahului, “Bagaimana? Apakah kau benar-benar
ingin membawa gadis itu?”
“Tidak-tidak,” suara Gendon menjadi gemetar seperti
tubuhnya. Sakayon hampir tak dapat menahan tawanya. Namun
kemudian ia berkata, “Aku minta ampun untuknya, Mahesa Jenar.”
“Pergi, pergi” berkata Rara Wilis lantang. Ia menjadi muak
melihat orang-orang yang kasar dan bengis itu berdiri saja di
mukanya.
“Baiklah” sahut Sakayon, “Kami akan pergi. Dan kami akan
mencoba melakukan nasihat-nasihatmu, Mahesa Jenar.”
“Cobalah,” sahut Mahesa Jenar. “Hari depanmu masih cukup
panjang untuk menghapus noda-noda yang melekat pada tubuh
dan jiwamu.”
Sakayon itu pun kemudian mengajak kawan-kawannya pergi.
Gendon berjalan paling belakang sambil menundukkan wajahnya.
Ia tidak dapat mengerti, kenapa ia berjumpa dengan seorang gadis
garang itu. Namun akhirnya ia mendengar seluruhnya dari
Sakayon. Siapa-siapa saja yang berada di dalam rombongan itu.
Terutama Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Ketika kemudian malam itu telah lampau, dan matahari pergi
dengan cerahnya menjengukkan dirinya dari balik kaki langit,
maka rombongan itu berangkat pula meneruskan perjalanan
mereka. Namun kini mereka tidak melintas hutan Tambak Baya,
tetapi mereka menempuh jalan lain, agak ke selatan terus ke
Gunungkidul.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 97
Di iringi oleh angin pagi, dan kicau burung-burung liar, mereka
berjalan dengan hati yang terang seperti terangnya matahari.
Langit yang biru bersih sekali membayang di sela-sela dedaunan
di hutan yang semakin lama menjadi semakin tipis. Sehingga
akhirnya, mereka menempuh jalan di antara padang-padang
rumput dan gerumbul-gerumbul rindang. Setelah mereka berjalan
sehari penuh, maka mulailah mereka sampai pada lembah-lembah
yang subur di daerah Gunungkidul.
“Kami tidak akan bermalam lagi,” berkata Sarayuda.
“Meskipun malam, kami harus memasuki induk Kademangan
malam ini juga.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Di
pandanginya lembah-lembah yang hijau di penuhi oleh tanaman-
tanaman padi yang subur. Di sana-sini, dalam jarak yang cukup
jauh, dilihatnya beberapa buah pedesaan seperti pulau yang
terapung di tengah-tengah lautan yang hijau.
“Daerah yang luas dan terpencar-pencar,” berkata Sarayuda
ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang bersungguh-sungguh.
“Ya,” sahut Mahesa Jenar. “Di manakah induk Kademang-
anmu.”
Sarayuda tertawa. “Masih jauh,” jawabnya. “Kami harus
mendaki bukit di hadapan kita itu. Nah, disanalah aku tinggal.”
“Kenapa tidak di lembah yang subur ini?”
“Dari bukit ini aku dapat melihat, hampir seluruh tanah-tanah
ngarang yang terbentang di bawah kaki bukit. Bukankah Ki Ageng
Gajah Sora membuat rumahnya di lereng Telamaya pula? Tidak di
ngarai?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya kembali.
Dari segi-segi yang lain, agaknya rumah di atas bukit benar-benar
menguntungkan. Seandainya rumah di atas bukit benar-benar
menguntungkan. Seandainya harus dilakukan perlawanan atas
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 97
penyerangan-penyerangan yang kuat, maka kedudukan mereka
yang berada di lereng menjadi lebih baik.
Sebenarnyalah malam itu mereka memasuki induk desa
Kademangan Gunungkidul. Demikian mereka mendekati pedesaan
itu, maka seorang dari para pengikut Sarayuda harus berpacu lebih
dahulu menyampaikan kabar kedatangan mereka kepada Ki Ageng
Pandan Alas.
Sungguh di luar dugaan. Tiba-tiba mereka mendengar
kentongan berbunyi bertalu-talu. Kentongan yang agaknya
memberi tanda kehadiran Mahesa Jenar dan Rara Wilis di
Kademangan Gunungkidul.
“Orang-orang di Gunungkidul telah berpesan kepadaku,
apabila kelak aku datang bersama Mahesa Jenar dan Rara Wilis,
maka mereka minta supaya mereka diberitahukan. Kentongan itu
adalah tanda untuk itu.”
“Hem. Terlalu berlebih-lebihan,” gumam Mahesa Jenar.
“Bukan maksudku. Mereka menganggap bahwa Mahesa Jenar
adalah seorang yang aneh. Lebih-lebih lagi adalah Rara Wilis.
Setiap orang di Gunungkidul telah mendengar, bahwa Rara Wilis
telah berhasil membinasakan Harimau Betina yang pernah
merobek-robek hati ibunya.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun ia menjadi terharu
ketika tiba-tiba di dengarnya Rara Wilis mengeluh. Betapa pun
gadis itu berusaha menahan hatinya, namun sambutan yang
berlebih-lebihan itu benar-benar telah meneteskan air matanya.
Suara kentongan dan kata-kata Sarayuda telah membangkitkan
perasaan yang melonjak-lonjak di dalam hatinya. Tanah yang
terbentang di hadapannya benar telah menumbuhkan berbagai
kenangan. Kenangan tentang dirinya di masa-masa kanak-kanak,
tentang ibunya dan tentang ayahnya. Di kenangnya betapa
perempuan yang cantik namun berhati ganas telah merampas
ayahnya. Di kenangnya ketika ia mencoba memanggil ayahnya di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 97
rumah perempuan itu pada saat ibunya sakit. Namun bukan main
marah ayahnya kepadanya. Dan di usirnya seperti anjing di iringi
oleh derai tertawa perempuan iblis itu. Tetapi perempuan itu telah
mati. Mati karena ujung pedang yang diterimanya dari kakeknya,
Ki Pandan Alas, yang oleh penduduk sedesanya dikenal dengan
nama Ki Santanu.
Dan kini, setelah bertahun-tahun ia meninggalkan kampung
halaman yang penuh dengan kenangan pahit itu, ia akan kembali
pulang. Dikenangnya, bahwa pada saat ia meninggalkan tanah itu,
tak seorang pun yang dipamitinya. Tak seorang pun yang
melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat jalan. Ia pergi
saja seperti ia memang harus pergi.
Tetapi ketika kini ia kembali, maka hampir seluruh penduduk
induk Kademangan itu mengelu-elukannya. Menyambutnya
sebagai seorang yang sedemikian penting di Kademangan itu.
“Alangkah bahagianya seandainya ibuku menyaksikan
sambutan untukku ini,” desah di dalam hatinya. “Tetapi ibu itu
telah meninggal dalam keadaan yang pedih.”
Air mata Rara Wilis itu masih menetes terus. Dan karena itu
maka Mahesa Jenar dan Sarayuda samasekali tidak berkata
sepatah kata pun juga.
Akhirnya, mereka melihat berpuluh-puluh obor keluar dari
induk desa dihadapan mereka. Obor-obor itu berkumpul di sebuah
lapangan, seperti sebuah alun-alun kecil di muka rumah Sarayuda.
Rumah yang besar dan berhalaman luas. Rumah seorang Demang
yang kaya raya.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis itu menjadi berdebar-debar
karenanya. Mereka samasekali tidak dapat membayangkan bahwa
mereka akan mengalami sambutan yang demikian meriahnya.
Sambutan yang menurut mereka adalah berlebih-lebihan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 97
Tetapi Sarayuda memang menyambut Rara Wilis dan Mahesa
Jenar itu dengan caranya. Ia ingin melenyapkan kesan tentang
luka yang pernah terpahat di hatinya. Luka yang sebenarnya tak
akan dapat disembuhkannya. Namun dengan jujur Sarayuda telah
berusaha. Ia benar-benar melepaskan Rara Wilis dengan hati yang
ikhlas. Dan gadis itu kini tidak lebih daripada adik seperguruannya.
Demikian mereka memasuki halaman rumah Sarayuda, maka
demikian hati Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir. Di pendapa
Kademangan itu telah dibentangkan tikar pandan. Beberapa orang
tua-tua telah menunggu mereka di pendapa. Karena itu, demikian
mereka melihat rombongan itu memasuki halaman, demikian
mereka serentak berdiri dan turun ke halaman.
Rara Wilis tertegun ketika ia melihat seorang perempuan muda
datang menyambutnya. Seorang yang pernah dikenalnya dimasa
kanak-kanaknya sebagai kawannya bermain. Kini perempuan itu
benar-benar menjadi seorang perempuan yang cantik, apalagi
dalam pakaian yang cukup baik.
“Kau Rati,” sapa Wilis.
Perempuan itu tersenyum sambil memegang kedua lengan
Rara Wilis dengan eratnya. “Kau tidak lupa kepadaku, Wilis.”
“Tentu tidak,” sahut Wilis. “Kita sama-sama mengalami masa-
masa yang pahit pada masa kanak-kanak kita. Kau tahu bahwa
hari ini aku akan datang?”
Perempuan yang bernama Rati itu berpaling ke arah Sarayuda.
Katanya, “Kakang Sarayuda memberitahukan kepadaku.”
“Wilis,” berkata Sarayuda. “Rati kini adalah istriku.”
“Oh,” suara Wilis terputus. Tiba-tiba terasa sesuatu yang tak
dimengertinya bergolak di dalam dadanya. Dengan cepatnya
melintas di dalam angan-angannya, betapa Sarayuda pernah
menjadi hampir gila karenanya. Hampir saja Sarayuda binasa
dalam perkelahian di Karang Tumaritis karenanya pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 97
Kini setelah Sarayuda itu melepaskan niatnya dengan ikhlas,
maka dihadapannya berdiri Rati, kawannya bermain di masa
kanak-kanaknya, sebagai istri Sarayuda itu. Karena itu maka tiba-
tiba ia menjadi terharu. Dan dengan serta merta dipeluknya
perempuan itu erat-erat.
“Rati. Aku mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan
kau akan menemukan kebahagiaan untuk seterusnya.”
Rati pernah mendengar, apa yang terjadi atas kawannya itu.
Ia pernah mendengar dari Sarayuda sendiri, yang berkata dengan
jujur tentang hari-hari lampaunya. Dan Rati samasekali tidak
berkeberatan atas masa lampau itu. Tetapi yang penting baginya,
masa lampau adalah sumber perhitungan buat masa depan.
Namun masa depan itu sendirilah yang terlebih penting baginya.
Dan ia percaya bahwa Sarayuda benar-benar telah melepaskan
semua hasratnya terhadap gadis cucu gurunya itu.
Rati itu pun menangis pula ketika Rara Wilis menangis sambil
memeluknya. Betapa pun garangnya gadis yang bernama Rara
Wilis itu, namun ia adalah seorang gadis. Gadis yang dipengaruhi
oleh segala macam keadaan di masa kanak-kanaknya, sehingga
Rara Wilis benar-benar menjadi seorang gadis perasa. Seorang
gadis yang mudah meruntuhkan keharuan.
Namun sejenak kemudian pendapa Kademangan Gunungkidul
itu menjadi sangat meriah. Hampir-hampir menyerupai sebuah
perhelatan. Meskipun segala macam persiapan dilakukan dengan
tergesa-gesa, namun bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis, sambutan
itu benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Sambutan
yang samasekali tak disangka-sangkanya.
Ki Santanu sendiri bahkan hampir tak dapat berkata apa pun
dalam penyambutan itu. Di lingkungan sanak kadang, maka
seakan-akan lenyaplah sifat anehnya, sifat-sifat Pandan Alasnya.
Ia tidak lebih dari orang-orang tua yang lain, yang duduk berjajar
sambil berkelakar. Namun Ki Santanu benar-benar menjadi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 97
terharu, ketika ia melihat, bahwa seorang keturunannya akan
mendapat tempat yang baik di dalam perjalanan hidupnya.
“Mudah-mudahan Wilis dapat menyambung darah keturunan
Pandan Alas” katanya di dalam hati.
Demikianlah maka sejak hari itu, Mahesa Jenar dan Rara Wilis
hidup dalam lingkungan keluarga Sarayuda. Mereka tidak boleh
meninggalkan rumah, meskipun rumah rumah Rara Wilis yang
dahulu masih juga ada, ditunggui oleh beberapa orang
keluarganya meskipun sudah jauh. Namun Sarayuda minta kepada
mereka untuk tinggal bersamanya.
“Rumahku cukup luas Mahesa Jenar,” berkata Sarayuda.
“Biarlah Wilis tinggal di dalam bersama Rati dan biarlah kau tinggal
digandok kulon.”
”Terima kasih Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar namun terasa
sesuatu berdesir di dadanya. Rumah itu bukan rumahnya sendiri.
Apakah kelak kalau ia telah berkeluarga, ia akan tinggal di
rumah orang lain pula? tidak dirumah sendiri? Suatu persoalan
yang selama ini belum pernah dipikirkannya.
Tetapi Mahesa Jenar tidak menyesal, bahwa selama ini ia telah
menyerahkan hampir segala-galanya kepada suatu pengabdian.
Pengabdian yang luhur dan ikhlas. Karena itu, maka Mahesa Jenar
pun dengan mantap memandang ke depan, ke hari yang akan
datang. Teringatlah ia akan kata-kata Rara Wilis, bahwa
perkawinan bukanlah pertanda bahwa segalanya telah selesai,
namun perkawinan juga merupakan pertanda akan mulainya
persoalan-persoalan baru yang tidak kurang rumitnya.
Dalam pada itu, Rara Wilis sebagai seorang gadis tidak dapat
melupakan sejenak pun akan hari-hari yang dijelangnya. Dari Rati
ia mendengar, betapa hari-hari permulaan benar-benar
memberinya kebahagiaan. Dan Rara Wilis pun merindukan hari-
hari itu. Karena itu, maka hampir setiap saat gadis itu telah
mereka-reka apa saja yang harus dilakukan sebagai seorang istri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 97
Kewajiban-kewajiban rumah tangga yang pasti akan jauh berbeda
dari yang penah dilakukannya. Tangan yang kecil itu tidak harus
lagi bermain-main dengan pedang, namun harus digenggamnya
sebilah pisau dapur untuk menyiapkan masakannya.
Tetapi tiba-tiba angan-angan itu digetarkan oleh peristiwa
yang benar-benar mengejutkan. Dengan tergesa-gesa seseorang
memberitahu, bahwa ada tiga orang tamu yang ingin menemui
Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Ketika Mahesa Jenar mendengar berita itu, dadanya pun
tergetar pula. Karena itu maka segera ia ingin tahu, siapakah yang
datang itu.
“Tiga orang berkuda dari Banyubiru,” sahut orang itu.
Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar. Firasatnya
mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi. Tetapi sebagai seorang
tamu, ia tidak dapat menerima orang itu tanpa setahu Sarayuda.
Namun Sarayuda segera berkata, “Marilah. Persilahkan mereka
kemari. Dimanakah mereka sekarang?”
“Mereka masih di alun-alun,” jawab orang itu. “Seorang anak
muda yang sedang bekerja di sawah telah membawa mereka
sebagai penunjuk.”
Orang itu pun kemudian mempersilakan tamu-tamu itu masuk
ke halaman Kademangan. Demikian orang itu memasuki halaman,
desir dada Mahesa Jenar menjadi semakin keras. “Bantaran.”
desisnya.
Setelah mereka dipersilakan duduk di pendapa Kademangan,
maka dengan ramahnya Demang Sarayuda bertanya-tanya
tentang keselamatan mereka, perjalanan mereka dan yang
mereka tinggalkan.
“Semuanya baik Ki Demang,” sahut Bantaran. “Perjalananku
baik, dan yang berada di Banyubiru pun baik.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 95 of 97
“Syukurlah,” sahut Demang itu. Namun Mahesa Jenar melihat
sesuatu yang menggelisahkan diwajah Bantaran. Sehingga setelah
mereka bercakap-cakap sejenak, maka Mahesa Jenar yang segera
ingin tahu persoalan yang dibawanya itu bertanya. “Apakah ada
sesuatu yang perlu kau sampaikan kepadaku Bantaran, atau kau
hanya sekadar melihat jalan yang harus ditempuh, apabila kelak
beberapa orang dari Banyubiru akan berkunjung kemari?”
Bantaran menarik nafas panjang. Kemudian setelah ia
bergeser sedikit, mulailah ia berbicara tentang keperluannya.
Katanya, “Kedatanganku yang pertama-tama memang hanya
sekadar melihat, bagaimanakah jalan yang kira-kira akan
ditempuh, apabila nanti beberapa orang dari Banyubiru akan
berkunjung kemari.” Bantaran itu berhenti sejenak. Namun
Mahesa Jenar menangkap sesuatu di balik kata-kata itu. Meskipun
demikian dibiarkannya Bantaran berkata terus. “Tetapi di samping
itu” berkata Bantaran itu. “Aku mendapat pesan dari angger Arya
Salaka yang harus aku sampaikan kepada kakang Mahesa Jenar di
sini.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apakah pesan itu?”
“Lupakanlah dahulu pesan itu, Adi Bantaran. Tinggallah di sini
dua atau tiga hari. Baru kau sampaikan pesan itu,” potong
Sarayuda.
Namun Bantaran itu tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku
ingin berbuat demikian. Tetapi biarlah aku menyampaikan pesan
itu. Kalau kemudian aku harus tinggal di sini untuk sementara, aku
akan sangat bersenang hati.”
“Baiklah,” sahut Mahesa Jenar, “Sarayuda pasti tidak akan
berkeberatan.”
Sarayuda itu pun tertawa, “Silakanlah. Mungkin Mahesa Jenar
segera ingin mendengarnya. Tetapi dengan syarat, bahwa pesan
itu tidak akan memberinya rangsang yang menggelisahkan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 96 of 97
“Entahlah,” jawab Bantaran, “Mudah-mudahan tidak.”
“Nah. Katakanlah,” Mahesa Jenar menjadi tidak sabar.
Bantaran berdiam diri sesaat. Di aturnya detak jantungnya
supaya ia dapat mengatakannya dengan baik dan jelas. ”Kakang
Mahesa Jenar,” berkata Bantaran itu. “Pesan itu sangat pendek.
Dan mudah-mudahan benar-benar tidak menggelisahkan kakang,”
kembali Bantaran berhenti, sedang Mahesa Jenar menjadi semakin
tidak sabar. Baru sesaat kemudian Bantaran itu meneruskan.
“Sepeninggal kakang dari Banyubiru, ternyata Endang Widuri telah
hilang.”
“He?” alangkah terkejutnya Mahesa Jenar mendengar berita
itu. Bukan saja Mahesa Jenar, tetapi juga Sarayuda dan Rara Wilis.
Berita itu benar-benar seperti bunyi guruh yang meledak di atas
kepala mereka. Sehingga dengan serta merta Rara Wilis bertanya,
“Endang Widuri puteri Kakang Kebo Kanigara maksudmu?”
“Ya,” sahut Bantaran.
Tiba-tiba semuanya jadi terbungkam. Berita itu benar-benar
merupakan hal yang tidak pernah mereka sangka akan dapat
terjadi.
Sesaat kemudian berkatalah Mahesa Jenar, “Apakah kakang
Kebo Kanigara sudah pulang ke Karang Tumaritis tanpa Widuri?”
“Belum,” jawab Bantaran.
“Belum?” ulang Mahesa Jenar seakan-akan tidak percaya.
“Ya belum.”
Hal ini pun merupakan suatu keanehan bagi Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara masih berada di Banyubiru. “Kenapa anak gadisnya
itu dapat hilang dan sampai beberapa waktu tidak segera dapat
diketemukan?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 97 of 97
Karena itu maka Mahesa Jenar itu bertanya, “Apakah yang
sudah dilakukan di Banyubiru?”
“Semua orang telah mencoba untuk mencarinya. Ki Ageng
Gajah Sora, Kakang Kebo Kanigara sendiri, Arya Salaka dan
bahkan Ki Ageng Lembu Sora datang juga ke Banyubiru. Semua
orang telah berusaha mencari hampir di setiap sudut Banyubiru.
Semua jalan keluar telah dijaga segera setelah diketahui Endang
Widuri hilang. Bahkan beberapa orang telah dikirim keluar
Banyubiru. Namun Endang Widuri belum diketemukan.”
“Apakah yang dilakukan oleh Kebo Kanigara?”
“Kami tidak tahu. Tetapi Kakang Kebo Kanigara itu mencarinya
hampir setiap saat. Hanya pada malam harinya saja kakang Kebo
Kanigara pulang ke rumah Ki Ageng. Bahkan malam hari pun
kadang-kadang kakang Kebo Kanigara tidak pulang.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Apalagi setelah ia
mendengar bahwa di halaman Banyubiru pun telah dikejutkan oleh
sebuah bayangan yang tak dapat ditangkap oleh Arya Salaka.