14 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja

93
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93

Upload: sariyanti-palembang

Post on 18-Aug-2015

112 views

Category:

Art & Photos


40 download

TRANSCRIPT

Page 1: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93

Page 2: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 93

I

aka, timbullah keinginannya untuk mengenal orang itu dari

dekat. Karena itu segera ia meloncat dan berlari secepat-

cepatnya ke arah bayangan yang melintas itu. Namun

ternyata Mahesa Jenar samasekali tidak berhasil. Yang terbentang

di hadapannya hanyalah wajah malam yang hitam kelam.

Sedangkan bayangan itu samasekali sudah tidak ada lagi.

Meskipun demikian perhatiannya kini telah berpindah dari

pertempuran yang baru saja terjadi kepada orang yang berjubah

abu-abu itu. Siapakah gerangan orang yang telah menjadi teka-

teki sampai bertahun-tahun itu? Kalau saja saat itu Ki Ageng Gajah

Sora ada disampingnya, maka ia akan dapat mencari

pertimbangan, bahwa pasti orang itulah yang telah mengambil

keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.

Tetapi apakah gerangan maksud yang sebenarnya? Dan

kenapakah orang itu tiba-tiba saja muncul pada saat dirinya

terancam bahaya? Bahaya yang hampir saja tak dapat

dihindarkan. Apalagi dalam pertanggungjawabannya terhadap

seluruh anak buahnya. Tetapi bayangan itu kini sudah lenyap.

Yang tinggal hanyalah beberapa masalah, pertanyaan-pertanyaan

dan teka-teki yang bercampur baur berputar-putar di dalam otak

Mahesa Jenar. Campurbaur antara gambaran – gambaran hari

esok serta kenangan hari kemarin yang kadang-kadang tak dapat

ditemukan sendi-sendi penyambungnya.

Dalam pada itu sekali lagi Mahesa Jenar terkejut. Kali ini lamat-

lamat ia mendengar suara tembang. Jauh sekali, meskipun setiap

kata yang terlontar dapat didengarnya dengan jelas.

Mahesa Jenar menjadi termangu-mangu. Siapakah yang

berdendang di tengah malam, di antara bau mayat dan darah ini…?

Mula-mula pikirannya terbang kepada Ki Ageng Pandan Alas.

Namun ternyata suara itu lain. Bukan suara yang sudah sering

didengarnya.

M

Page 3: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 93

Ketika dendang itu telah genap satu bait, ternyata terdengar

diulangnya kembali. Kata demi kata didengarnya dengan seksama.

“Memanising manungsa sejati,

sesantine mring laku utama,

lukita mesu budine,

meruhi hawa lan napsu, mrih sampurna lair lan batin,

kanti atapa brata, gegulang mrih hayu, hayuningrat sak isinya,

rumantine rinakit budi pakarti,

tata gatining jalma.”

Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar tembang itu. Suatu

gambaran tentang manusia idaman. Manusia sejati, yang

bersemboyan, berusaha sebaik-baiknya untuk mengenal bentuk-

bentuk hawa nafsu, untuk mencapai kesempurnaan lahir dan

batin. Dengan penuh prihatin dan memeras diri. Berjuang untuk

kesejahteraan dunia dengan segala isinya. Menuju ke arah

masyarakat yang tata tentram kerta raharja.

Dengan tanpa sadarnya Mahesa Jenar mengangguk-

anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan isi tembang itu.

Demikianlah hendaknya manusia. Namun agaknya manusia yang

demikian itu masih harus dilahirkan. Manusia yang dapat mengenal

dengan seksama segala bentuk-bentuk nafsu, serta

menghindarinya, untuk mencapai kesempurnaan lahir dan batin.

Tetapi jelas dikatakan oleh tembang itu, bahwa manusia itu tidak

menunggu datangnya tata masyarakat yang diidamkan, tetapi

manusia yang demikian harus berjuang untuk mencapainya.

Mahesa Jenar meraba dadanya. Di sinilah kadang-kadang letak

persimpangan jalan yang berbahaya. Harus ditarik garis yang jelas

antara berjuang untuk masyarakat yang dicitakan, dengan unsur-

unsur nafsu yang menyusup kedalamnya tanpa disadari. Dalam

pada itu, tiba-tiba Mahesa Jenar memandang jauh kepada dirinya

Page 4: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 93

sendiri. Ia telah sekian lama berjuang untuk satu cita-cita yang

menurut keyakinannya akan dapat mendatangkan keteguhan

pemerintahan yang seterusnya akan dapat menciptakan

masyarakat yang dicita-citakan. Dan bersyukurlah ia bahwa

sampai saat ini samasekali tidak timbul nafsu di dalam dirinya,

seperti golongan hitam yang juga sedang berjuang dengan tujuan

yang sama. Menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai

Sabuk Inten. Tetapi bagi mereka, penemuan itu samasekali bukan

suatu perjuangan untuk menegakkan pemerintahan, tetapi bahkan

mereka menganggap bahwa siapa yang menemukan sepasang

keris itu, akan mampu menguasai golongannya dan dengan

kekuatan mereka, mereka dapat merebut tahta Demak.

Untunglah bahwa keris itu sudah dapat direnggutnya dari

tangan mereka, meskipun kini keris itu masih harus dicarinya

kembali. Mahesa Jenar menegakkan kepalanya, untuk mencoba

mengetahui dari manakah suara tembang itu dilontarkan. Tetapi

untuk beberapa lama ia tidak berhasil. Suara itu seolah-olah

bergulung-gulung dari segala arah membentur dan melontar

kembali dari tebing-tebing bukit di sekitarnya. Bahkan akhirnya ia

merasa, bahwa ia tak akan berhasil menemukannya. Dengan

demikian Mahesa Jenar dapat kesimpulan bahwa suara tembang

itu telah dilontarkan oleh seorang sakti yang sengaja

membingungkannya. Bahkan dalam penilaiannya orang itu pasti

lebih sakti dari Ki Ageng Pandan Alas. Dalam tingkatannya

sekarang, ia samasekali tidak akan mengalami banyak kesulitan

untuk dapat berdiri sejajar dengan orang tua itu. Tetapi orang ini,

yang berdendang dengan asiknya, bukanlah orang sejajarnya.

Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang yang berjubah

abu-abu yang baru saja menampakkan diri di hadapannya. Dengan

demikian ia menduga bahwa orang itulah yang telah melagukan

tembang dimalam yang sunyi itu. Maka, kemudian Mahesa Jenar

mengambil keputusan untuk tidak mencarinya lebih lanjut. Sebab

usahanya pasti akan sia-sia saja, sebelum orang itu atas kehendak

sendiri menunjukkan tempatnya berada.

Page 5: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 93

Tetapi yang tumbuh kemudian didalam dada Mahesa Jenar

adalah dugaan-dugaan yang bersimpang siur tentang orang itu.

Orang yang aneh dalam pandangan matanya. Meskipun dalam

sepintas lalu, orang itu benar-benar mirip dengan bentuk

Pasingsingan, namun ia pasti bahwa orang itu samasekali bukan

Pasingsingan. Kalau orang itu juga berjubah abu-abu dan juga

memakai wajah yang bukan wajah aslinya, mungkin hanyalah

suatu kebetulan saja, meskipun kebetulan yang masih meragukan.

Dengan teka-teki yang masih berkecamuk di kepalanya itulah

Mahesa Jenar melangkah kembali ke padukuhan Gedangan. Di

sepanjang perjalanannya, ia samasekali tak dapat melepaskan diri

dari persoalan orang berjubah abu-abu itu.

Ketika ia sampai di padukuhan, dilihatnya di rumah Wiradapa

masih lengkap duduk mengelilingi pelita minyak, Kebo Kanigara

beserta anaknya di belakangnya, Wanamerta yang tampak sangat

kelelahan, serta beberapa orang lainnya, yang kemudian

mempersilahkan Mahesa Jenar untuk duduk di antara mereka.

Kepada mereka itu Mahesa Jenar minta untuk tetap bersiaga

dan memberikan beberapa petunjuk apabila besok pertempuran

masih harus dilakukan. Setelah itu maka segera ia minta diri untuk

beristirahat, malahan ia menasehatkan kepada orang-orang lain

untuk beristirahat pula.

Setelah Mahesa Jenar membersihkan dirinya, terasalah bahwa

tubuhnya menjadi segar kembali. Apalagi setelah ia mengisi perut

sekadarnya. Tubuhnya yang telah diperas sehari penuh itu merasa

sehat dan kekuatannya telah utuh seperti semula.

Sebelum ia memasuki ruangannya di bagian depan rumah

Wiradapa, mula-mula ia perlu menengok keadaan Rara Wilis.

Ketika ia masuk dilihatnya Rara Wilis duduk bercakap-cakap

dengan Widuri.

Page 6: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 93

Melihat kedatangan Mahesa Jenar, segera Widuri berdiri untuk

meninggalkan ruangan itu, tetapi cepat Wilis menangkap

lengannya. “Mau kemana kau Widuri?”

“Tidur, Bibi,” jawab gadis itu.

“Bukankah kau akan menemani aku malam ini?” sahut Rara

Wilis.

Widuri berhenti. Tetapi ia termangu-mangu.

“Bukankah kau sudah berjanji…?” Wilis meneruskan.

Widuri mengangguk.

“Nah, kalau begitu, kau tidak boleh pergi,” sambung Mahesa

Jenar.

Widuri tidak jadi meninggalkan ruangan itu, tetapi ia duduk

kembali disamping Rara Wilis.

“Silahkan masuk Kakang...” Wilis mempersilahkan. Tetapi

Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Ia tidak akan terlalu

lama tinggal di ruang itu, sebab ia perlu beristirahat.

“Aku hanya ingin melihat apakah kau telah baik kembali Wilis,”

kata Mahesa Jenar.

“Pangestumu Kakang,” jawab Wilis.

“Syukurlah dan tidurlah. Siapa tahu tenaga kita masih

diperlukan besok atau lusa,” sambung Mahesa Jenar. Setelah itu

segera ia minta diri untuk pergi ke ruang tidurnya

Di dalam ruangan itu dilihatnya lampu minyak yang terayun-

ayun dipermainkan angin yang menyusup lubang-lubang dinding

bambu. Cahaya yang dilontarkan membuat bayang-bayang yang

selalu bergerak-gerak pula. Sebuah bayangan hitam yang terlukis

di dinding tampak seperti sebuah lukisan hitam yang berguncang-

Page 7: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 93

guncang. Itulah bayang-bayang Arya Salaka yang masih saja

duduk dipembaringannya memeluk lutut.

Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar masuk, segera ia

membetulkan letak duduknya. Wajahnya masih nampak suram

setelah mengalami peristiwa yang membentur langsung lubuk

hatinya yang paling dalam, bahkan agaknya mandi pun Arya

Salaka masih belum sempat.

Melihat keadaan Arya Salaka, hati Mahesa Jenar terketuk

kembali. Ia tahu apakah yang dirasakan oleh anak murid satu-

satunya itu. Karena itu maka ia mencoba untuk meredakannya.

“Katanya Jangan banyak kau pikirkan apa yang sudah kau lakukan

Arya. Menurut pendapatku kau telah melakukan hal yang sebaik-

baiknya.”

Arya Salaka mengerutkan keningnya. Meskipun tampak

perubahan di wajahnya, tetapi tidaklah begitu jelas. Namun ketika

ia menyahut, terasalah bahwa ia belum yakin akan kata-kata

gurunya. “Paman, tidakkah aku mengecewakan Paman?”

“Kenapa aku harus kecewa Arya?” tanya Mahesa Jenar.

“Aku tidak dapat membunuhnya. Tidak dapat,” jawab Arya

sambil beberapa kali menggelengkan kepalanya.

“Justru karena itu aku mengagumimu,” potong Mahesa Jenar.

Arya memandang gurunya dengan mata yang memancarkan

keraguan. Namun ia kenal betul watak gurunya. Kalau ia berkata

demikian, maka hatinyapun akan berkata demikian pula. Karena

itu ia menjadi terharu. Bahkan mata itu kemudian menjadi

berkilat-kilat memantulkan sinar pelita karena air yang

membayang didalamnya.

“Sudahlah Arya. Jangan kau terbenam dalam angan-angan.

Bagiku kau telah bertindak benar dan terpuji. Sekarang

beristirahatlah. Mandilah supaya kau menjadi segar. Dan adakah

kau telah makan?”

Page 8: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 93

Arya Salaka menggeleng.

“Nah, pergilah ke belakang. Mandi dan mintalah kepada Bibi

Wiradapa makan secukupnya. Siapa tahu besok kita masih harus

bekerja keras.”

Arya tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan dengan gontai

melangkah keluar ruangan.

Dengan segar Arya pergi ke perigi. Sesaat kemudian

terdengarlah gerit timba yang digerakkan oleh Arya, disusul

dengan suara guyuran air yang dingin segar.

Dalam pada itu, ketika Arya sedang menikmati sejuknya air,

tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah bayangan orang berjubah yang

berdiri di belakangnya. Arya menjadi terkejut dan agak bingung.

Dalam keadaannya sekarang, selagi ia tidak berpakaian, sulitlah

agaknya untuk melawan seandainya orang itu tiba-tiba

menyerang. Meskipun demikian ia harus bersiaga. Tetapi sampai

beberapa lama orang itu berdiri diam mematung. Dalam pada itu

Arya ingin mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Cepat ia

meloncat untuk menyambar, setidak-tidaknya kainnya. Namun ia

menjadi terkejut pula ketika orang itu sudah menghadangnya

dengan samasekali tak diketahuinya, kapan ia melontarkan diri.

Karena hal itu, segera Arya Salaka mengetahui bahwa orang yang

berjubah itu pasti seorang tokoh sakti. Tiba-tiba ia teringat

gurunya pernah berceritera tentang seorang yang berjubah abu-

abu dan bertopeng jelek. Yaitu Pasingsingan. Apakah orang ini

Pasingsingan, guru Lawa Ijo? Tetapi orang ini samasekali tidak

mempergunakan topeng yang jelek, meskipun wajahnya

tampaknya juga tidak wajar. Dengan demikian Arya Salaka

menjadi berdebar-debar.

Tiba-tiba orang itu melangkah maju, setapak demi setapak,

seperti seekor kucing yang sedang merunduk seekor tikus. Dalam

keadaan itu, Arya Salaka tidak dapat berbuat lain daripada

bersiaga untuk melawan. Bahkan kemudian ia lupa akan keadaan

Page 9: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 93

dirinya yang samasekali tidak berpakaian itu. Ia tidak mau mati di

tangan seorang yang bagaimanapun juga saktinya tanpa

perlawanan.

Maka ketika orang yang berjubah itu sudah sedemikian dekat,

Arya pun telah siap melakukan hal-hal yang perlu untuk

melindungi dirinya. Dalam keremangan malam Arya melihat orang

itu perlahan-lahan menjulurkan tangannya. Demikian perlahan-

lahan sehingga agaknya itu bukanlah suatu serangan. Namun Arya

tidak mau tertipu. Iapun perlahan-lahan surut beberapa langkah.

Tetapi kemudian orang itu meloncat dengan cepatnya untuk

menangkap pinggangnya. Arya

yang telah siap itupun segera

meloncat menghindar dan bahkan

dengan sekuat tenaga ia

membalas menyerang dengan

kakinya ke arah lambung orang

yang belum dikenalnya itu. Kalau

saja pada saat ia bertempur

melawan orang-orang Pamingit,

tidak berada di sayap kanan, maka

setidak-tidaknya ia dapat melihat

orang yang berjubah abu-abu yang

sekarang berdiri di hadapannya

itu. Namun seandainya demikian

iapun pasti tidak mau diserang

tanpa sebab dan pasti akan

melawannya.

Tetapi anehnya, meskipun ia telah merasa menghindarkan diri

dan bahkan menyerang orang itu dengan sekuat tenaga, namun

agaknya bagi orang berjubah abu-abu itu, gerakannya samasekali

tidak berarti. Sehingga apa yang diketahuinya, pinggangnya

benar-benar telah dapat ditangkap. Tangan orang itu terasa

demikian kerasnya seperti sebuah himpitan besi yang tak dapat

direnggangkan. Demikianlah Arya Salaka dalam sekejap telah

Page 10: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 93

hampir tak berdaya. Meskipun kedua tangannya bebas, namun

karena himpitan itu terasa seolah-olah tenaganya lenyap, seperti

tulang belulangnya terlepas dari tubuhnya. Tetapi Arya bukan

orang yang lekas berputus asa. Dengan sisa tenaganya ia melawan

sejadi-jadinya. Kaki dan tangannya bergerak sedapat-dapat untuk

menyerang. Bahkan ia berusaha dengan kedua jari-jari tangannya

menyerang mata orang itu. Namun usahanya samasekali tak

berarti.

Tangan yang menjepit pinggangnya itu semakin lama terasa

semakin keras dan sejalan dengan itu tenaganya menjadi semakin

surut semakin surut. Bahkan akhirnya tubuhnya menjadi tidak

lebih dari selembar kain yang samasekali tidak dapat digerakkan

atas kemauan sendiri.

Demikianlah Arya Salaka kini tidak dapat berbuat lain daripada

menunggu apa yang bakal terjadi. Hanya matanyalah yang dapat

memancarkan cahaya kemarahan yang meluap-luap. Sedangkan

mulutnya samasekali tidak berhasil mengeluarkan suara. Meskipun

dalam keadaan yang demikian kesadarannya samasekali tidak

terganggu. Ia dapat merasa dan mengetahui apa yang terjadi atas

dirinya.

Setelah Arya tidak mampu untuk berbuat apapun, maka

kemudian orang itu melepaskan jepitannya perlahan-lahan.

Kemudian dengan kedua tangannya Arya dipapahnya kedalam

kelam, dibawah daun-daun yang lebat rimbun di halaman belakang

rumah Wiradapa.

Di tempat itu perlahan-lahan Arya diletakkan berbaring.

Seperti seorang bayi, bahkan lebih dari itu, sebab ia samasekali

tidak mampu menggerakkan jarinya sekalipun.

Kemudian ia melihat orang itu berdiri tegap di sampingnya.

Diangkatnya kepala sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Namun yang terdengar hanyalah kemerisik daun yang

Page 11: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 93

digoyangkan angin, serta bunyi-bunyi jangkrik bersahutan dengan

suara bilalang. Sedang malam semakin bertambah malam jua.

Padukuhan Gedangan telah terbenam dalam kesunyian yang

lelap. Hampir setiap orang telah nyenyak tertidur, kecuali

beberapa orang yang bertugas ronda. Mahesa Jenar yang telah

membaringkan dirinya samasekali tidak curiga tentang keadaan

Arya Salaka. Ketika ia sudah tidak mendengar guyuran air, ia

hanya mengira bahwa Arya sedang pergi ke dapur untuk minta

makan kepada Nyai Wiradapa. Karena itulah maka ia samasekali

tidak memperhatikannya lagi. Dalam pada itu, malahan kenangan

Mahesa Jenar kembali melontar kepada orang yang berjubah abu-

abu yang telah menyelamatkan laskarnya dari kehancuran. Ia

mencoba untuk menghubung – hubungkan orang itu dengan

orang-orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang yang aneh-

aneh dan orang-orang yang telah menyisihkan diri dari pergaulan.

Diingatnya nama-nama Radite dan Anggara. Kedua-duanya adalah

murid Pasingsingan, yang bahkan Radite adalah orang yang

sebenarnya berhak mempergunakan gelar Pasingsingan beserta

tanda kebesarannya. Namun sebagai manusia ia mengalami

kekhilafan, sehingga akhirnya ia merasa bahwa hidupnya seolah-

olah tak berarti lagi. Ia merasa bahwa setiap dosa yang dibuat oleh

Umbaran, orang yang kemudian memiliki tanda-tanda serta

pusaka-pusaka Pasingsingan adalah akibat dari dosanya.

Tetapi dalam penilaian Mahesa Jenar, Radite dan Umbaran

tidaklah jauh terpaut, bahkan mungkin masih berada dalam

deretan yang sejajar dengan gurunya, dengan Ki Ageng Sora

Dipayana, dengan Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga dengan

demikian ia tidak akan dapat melampaui Kebo Kanigara. Tetapi

orang yang datang itu adalah orang yang terpaut banyak

daripadanya, yang telah menemukan inti dari ilmu perguruan

Pengging. Sehingga dengan demikian orang itu pasti bukan salah

seorang di antara Radite maupun Anggara.

Page 12: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 93

Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Arya

Salaka. Anak itu sudah terlalu lama pergi. Terlalu lama bagi

seorang yang hanya mandi dan makan saja.

Setelah ia menyabarkan diri beberapa saat lagi, akhirnya

perasaan Mahesa Jenar menjadi semakin tidak enak. Karena itu,

iapun bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam ruang

tidurnya. Sekali dua kali ia masih mencoba untuk menanti saja

kedatangan anak itu, tetapi kemudian ia menjadi tidak sabar.

Bahkan kemudian ia menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang

tidak wajar. Untung kalau saja anak itu pergi berjalan-jalan untuk

menenangkan dirinya.

Maka dengan perlahan-lahan agar tidak mengejutkan orang-

orang lain yang tertidur nyenyak, Mahesa Jenar berjalan ke

halaman belakang. Dadanya berdesir ketika ia melihat lampu

dapur telah padam. Sehingga jelas bahwa anak itu tidak ada di

sana. Kemudian Mahesa Jenar pergi ke perigi, meskipun ia

menduga bahwa anak itu sudah tidak ada di sana. Tetapi tiba-tiba

dadanya bergelora cepat sekali. Ia menemukan pakaian Arya

lengkap diatas sebuah batu di tepi sumur itu. Pakaiannya saja. Lalu

kemanakah anak itu pergi? Pasti tidak mungkin kalau Arya sengaja

meninggalkan pakaian di sana, meskipun seandainya ia berganti

dengan pakaian lain. Karena itu Mahesa Jenar mendapat

kesimpulan bahwa Arya telah mengalami suatu hal yang tidak

wajar, yang bahkan mungkin berbahaya. Menilik keadaannya,

serta tidak adanya sesuatu yang didengarnya, maka Mahesa Jenar

menjadi berteka-teki. Ia menjadi heran kepada dirinya sendiri

ketika tanpa sadarnya ia menjengukkan kepalanya ke dalam

perigi, ke dalam lingkaran yang hitam kelam. Seolah-olah ia

sedang mencari Arya Salaka di sana. “Suatu pikiran gila,” gerutu

Mahesa Jenar. “Tak mungkin Arya berbuat demikian, apapun yang

dihadapinya.”

Dengan demikian maka kesimpulan yang terakhir, yang

mengganggu otaknya adalah, bahwa Arya telah mendapat bahaya

dari seseorang yang jauh melampaui ketangguhan anak muda itu.

Page 13: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 93

Dengan kesimpulannya itu Mahesa Jenar menjadi marah sekali.

Siapakah yang telah berani mengganggu murid satu-satunya itu?

Murid yang diharapkan untuk dapat mewarisi ilmu serta

mengembangkannya. Bahkan murid yang keselamatannya

menjadi tanggung jawabnya atas permintaan ayah anak itu

sendiri.

Mahesa Jenar mencoba untuk menemukan jawabnya. Namun

ia menjadi bingung. Tidak mungkin kalau hal itu dapat dilakukan

oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun kedua Uling itu

menyerangnya bersama, namun pasti akan terjadi perkelahian

yang cukup lama untuk memberinya kesempatan mendengar dan

membantu. Tetapi apa yang terjadi adalah sangat mengagumkan.

Anak itu agaknya begitu saja hilang sebelum ia sempat berbuat

sesuatu.

Darah Mahesa Jenar menjadi semakin bergelora. Untuk

beberapa saat ia berdiri diatas kedua kakinya yang renggang.

Wajahnya sedikit terangkat. Dicobanya untuk menangkap setiap

suara yang berdesir di sekitarnya. Namun ia tidak mendengar

sesuatu. Juga matanya yang tajam, setajam mata burung hantu

itupun tidak dapat menangkap sesuatu yang mencurigakan.

Karena itu ia menjadi gelisah. Kemana agaknya Arya Salaka harus

dicari…?

Sambil berpikir keras, Mahesa Jenar demikian saja melangkah

meninggalkan tempat itu. Yang mula-mula dilakukan adalah

berjalan berkeliling halaman. Kalau-kalau ada hal-hal yang

mencurigakan yang dapat dipakainya untuk bahan pencariannya.

Dalam hal ini, ia samasekali tidak ingin mengganggu orang lain. Ia

ingin mencarinya seorang diri. Baru apabila ia tidak berhasil, ia

akan minta pertolongan Kebo Kanigara.

Tetapi tiba-tiba, ketika ia baru mendapat separo dari

perjalanan kelilingnya itu ia terhenti. Perlahan-lahan didengarnya

nafas seseorang yang mengalir dengan teratur. Mahesa Jenar

mencoba untuk meyakinkan pendengarannya. Perlahan-lahan ia

Page 14: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 93

melangkah setapak maju. Dan benarlah. Ia telah mendengar nafas

seseorang.

Menilik tarikannya yang teratur itu, Mahesa Jenar dapat

menduga bahwa di halaman itu terdapat seseorang yang tertidur.

Karena itu ia menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Adakah Arya

Salaka yang tertidur di situ…? Anehlah kalau demikian.

Bagaimanapun letih serta kantuknya, tetapi tidak mungkin bahwa

ia tidak sempat berpakaian, lalu begitu saja menjatuhkan diri dan

tertidur di situ.

Karena itu, ia tidak membiarkan dirinya mendapatkan sesuatu

hal yang tak dikehendaki. Jangan-jangan hal yang serupa telah

menyeret Arya kedalam bencana, karena ia kurang hati-hati atas

suara desah nafas yang dikiranya orang yang sedang tertidur

nyenyak.

Dengan demikian malahan Mahesa Jenar menjadi bersiaga

penuh. Setiap saat ia dapat bertindak. Bahkan setiap saat, apabila

ia benar-benar berhadapan dengan bahaya yang besar, ilmunya

Sasrabirawa siap untuk dilontarkan.

Setelah beberapa saat ia menunggu dengan tidak ada

perubahan apapun, kembali ia maju setapak. Sekali lagi setapak

demi setapak dengan penuh kewaspadaan.

Akhirnya suara desah nafas itu sudah sedemikian dekatnya.

Dengan hati-hati sekali Mahesa Jenar bergerak beberapa jengkal

maju. Matanya tajam dipergunakannya sebaik-baiknya menembus

daerah yang gelap pekat karena daun-daun yang rimbun.

Perlahan-lahan seolah-olah muncul dari daerah yang hitam

sesosok tubuh yang terbujur diam. Melihat tubuh itu Mahesa Jenar

menjadi berdebar-debar. Sejengkal lagi ia bergeser maju. Dengan

demikian tubuh yang nampak lamat-lamat itu menjadi semakin

jelas. Dan apakah yang nampak kemudian sangat

mengejutkannya. Ketika tubuh itu menjadi jelas segera Mahesa

Jear dapat mengenalnya. Tubuh itu adalah tubuh Arya Salaka. Dan

Page 15: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 93

dari tubuh itu pulalah Mahesa Jenar dapat mendengar desah

nafasnya yang teratur. Nafas orang yang sedang tidur nyenyak.

Meskipun tubuh yang terbaring tanpa pakaian itu adalah Arya

Salaka namun Mahesa Jenar tidak tergesa-gesa mendekatinya. Ia

masih belum tahu pasti, apakah tidak ada hal-hal yang berbahaya.

Baru setelah beberapa saat tidak terdengar sesuatu selain nafas

Arya, Mahesa Jenar melangkah perlahan-lahan mendekati. Ketika

ia meraba tubuh anak itu, terasa bahwa tubuh itu tetap hangat

seperti biasa.

Demikian tubuh Arya tersentuh tangan Mahesa Jenar,

tampaklah anak itu terkejut. Cepat ia meloncat bangkit dan

bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika

yang dilihat berdiri dihadapannya adalah Mahesa Jenar, iapun

segera mengendorkan perasaannya.

Dalam keadaan yang penuh dengan tanda tanya. Mahesa Jenar

berkata, “Kau tertidur Arya?”

Arya menganggukkan kepalanya.

“Tetapi kenapa pakaianmu kau tinggalkan…?” Mahesa Jenar

meneruskan.

Arya terkejut mendengar teguran itu. Ia baru merasa bahwa

ia masih belum mengenakan pakaiannya. Karena itu segera ia

meloncat berlari ke perigi. Mahesa Jenar menjadi semakin heran.

Namun kemudian ia pasti, bahwa sesuatu telah terjadi.

Setelah Mahesa Jenar sekali lagi memperhatikan keadaan

sekelilingnya, serta tidak ada sesuatu yang mencurigakan, iapun

segera berjalan mengikuti arah langkah Arya Salaka. Sampai di

tepi sumur, Arya segera menyambar pakaiannya. Ia tidak sempat

membersihkan debu serta tanah lembab yang melekat pada

tubuhnya.

Setelah Arya lengkap berpakaian, Mahesa Jenar tidak segera

bertanya tentang apa yang telah terjadi atasnya, tetapi diajaknya

Page 16: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 93

Arya untuk masuk kembali ke dalam ruang tidurnya, setelah Arya

menolak membangunkan Nyai Wiradapa untuk minta disediakan

makan buatnya.

Baru setelah mereka duduk di pembaringan, Mahesa Jenar

segera bertanya kepada anak muridnya, apakah sebabnya anak itu

telah melakukan suatu pekerjaan yang aneh. Tidur di halaman

belakang, di bawah daun-daun yang lebat rimbun serta samasekali

tidak berpakaian.

Arya sendiri mula-mula heran, bahwa ia telah tertidur di

halaman belakang tanpa pakaian samasekali. Diingatnya kembali

apa yang telah terjadi atasnya. Perlahan-lahan sekali, semakin

lama menjadi semakin jelas tampak kembali apa yang pernah

dialaminya. Maka diceriterakannya apa saja yang terjadi atas

dirinya. Pada saat ia sedang mandi, dan tiba-tiba muncullah

seorang berjubah menangkapnya.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Lalu sambil

mengangguk-angguk iabertanya, “Apa yang dilakukan atasmu

ketika kau telah terbaring di bawah daun-daun yang lebat itu, dan

adakah ia berkata sesuatu kepadamu?”

Setelah mengingat-ingat sebentar Arya menjawab, “Ya,

Paman... Memang ada yang dikatakan kepadaku. Ketika itu

pendengaranku sudah menjadi lamat-lamat. Sebab pada saat itu

terasa bahwa kantukku tiba-tiba menjadi tidak tertahan lagi.” Arya

berhenti sebentar, lalu ia meneruskan. “Mula-mula dipijitnya

seluruh tubuhku. Dari ubun-ubun sampai ke ujung ibu jari kakiku.

Mula-mula terasa betapa sakitnya. Setiap jari-jari orang itu

menyentuh kulitku terasa seolah – olah seluruh tubuhku menjadi

nyeri tak terhingga. Namun aku samasekali tidak bisa

mengucapkan sepatah katapun, bahkan berdesispun tidak. Tetapi

semakin lama perasaan sakit itu menjadi semakin berkurang.

Bahkan akhirnya pijitan itu terasa nyaman sekali. Sehingga aku

menjadi ngantuk bukan buatan. Sesaat sebelum aku tertidur aku

masih mendengar orang itu berkata, “Arya Salaka, kau telah

Page 17: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 93

terlalu lama menyiksa tubuhmu dengan pekerjaan-pekerjaan

berat. Namun kau samasekali tidak memelihara urat-urat darah

serta otot-ototmu. Dengan demikian kau telah menyia-nyiakan

sebagian dari tenaga dahsyat yang sebenarnya dapat kau ikut

sertakan dalam setiap lontaran tenaga.” Sekali lagi Arya berhenti,

kemudian, “Sesudah itu aku tidak ingat apa-apa lagi sampai

Paman membangunkan aku.”

Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera Arya.

Ia memang pernah mendengar suatu ilmu yang dapat

dipergunakan memperkokoh tubuh seseorang serta memperbesar

tenaganya denga membuka segenap saluran yang ada di dalam

tubuh. Memperlancar jalan darah serta memperbaiki letak otot –

ototnya sehingga pada orang itu tidak lagi diperlukan tenaga untuk

mengatasi kesulitan – kesulitan di dalam tubuh sendiri. Dengan

demikian segenap cadangan tenaga apabila diperlukan dapat

dipergunakan seluruhnya dan disalurkan lewat bagian-bagian

tubuh yang dikehendaki. Tetapi masih belum jelas, apakah orang

itu telah memperlakukan Arya demikian atau sebaliknya, membuat

beberapa rintangan di dalam tubuhnya sehingga dalam pelontaran

tenaga akan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Karena itu

segera ia bertanya, “Arya, bagaimanakah rasanya tubuhmu

sekarang?”

Dengan tidak sesadarnya, Arya mengamat-mati tubuhnya

sendiri. Kakinya, tangannya, lengannya dan jari-jarinya. Semula ia

samasekali tidak memperhatikan, apakah ada perubahan –

perubahan di dalam dirinya. Tetapi ketika Mahesa Jenar bertanya

kepadanya, terpaksa ia memperhatikan setiap perasaan yang lain

di dalam dirinya. Tentang peredaran darahnya, detak jantungnya

serta sendi – sendi anggota badannya.

Tiba-tiba saja ia merasa betapa segar darah yang mengalir di

dalam tubuhnya, merambat sampai kesegenap ujung rambut di

seluruh badannya. Setiap anggota badannya terasa menjadi

betapa ringannya. Dan dengan demikian ia dapat bergerak

bertambah cepat dan lincah. Detak jantungnya yang lunak teratur

Page 18: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 93

serta sendi-sendi anggota badannya yang licin, namun seakan-

akan bertambah kokoh.

Demikianlah akhirnya ia berkesimpulan bahwa kini ia telah

mendapat suatu perasaan yang luar biasa. Yang bahkan ia tidak

tahu bagaimana harus mengatakan. Sehingga yang dapat

diucapkan hanyalah beberapa kata saja. “Tubuhku menjadi

bertambah baik Paman.”

Jawaban itu sendiri tidak begitu meyakinkan bagi Mahesa

Jenar. Tetapi wajah Arya yang berseri, caranya menggerakkan

tangan dan kakinya, serta betapa tampak anak itu keheran-

heranan sendiri, adalah jawaban yang cukup jelas. Jawaban yang

telah mengandung suatu ceritera bahwa tubuh Arya kini telah

berbeda dengan tubuh Arya beberapa saat yang lalu. Anak itu

agaknya kini telah memiliki kesempurnaan tata nadi dalam

tubuhnya. Mahesa Jenar sendiri merasa bahwa selama ini ia telah

memaksa anak itu bekerja keras, berlatih, berkelahi, berjalan dan

berlari setiap hari. Namun ia tidak dapat melakukan hal yang lain

bagi tata nadi anak itu. Meskipun ia sendiri dahulu pernah juga

mempelajari beberapa pengetahuan mengenai urat dan jalan

darah, namun apa yang dapat dilakukan tidak lebih dari daripada

saling memijit sesama prajurit apabila mereka sedang kelelahan.

Baik didalam latihan-latihan maupun didalam pertempuran-

pertempuran yang sebenarnya.

Tetapi tidaklah demikian yang terjadi atas Arya. Orang yang

berjubah itu tidak sekadar memijit Arya supaya Arya tidak lagi

merasa lelah. Lebih daripada itu. Orang itu telah menolong Arya

untuk dapat mengerahkan segenap tenaga yang tersimpan

didalam tubuhnya yang tegap kekar itu. Meskipun mula-mula

Mahesa Jenar merasa cemas bahwa yang terjadi adalah

sebaliknya, namun terhadap orang yang berjubah abu-abu yang

belum dikenalnya itu, ia telah menumpahkan kepercayaan bahwa

tidaklah mungkin ia akan berbuat jahat terhadap Arya.

Page 19: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 93

Bersamaan dengan itu, makin kuatlah dugaan yang telah

tumbuh di dalam dadanya, bahwa orang itupun samasekali tidak

bermaksud jahat atas perbuatannya mengambil kedua keris Kyai

Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru, meskipun akibat

hilangnya kedua keris itu sangat dahsyat atas tanah perdikan

dilereng bukit Telamaya itu.

Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Namun tak

habis-habisnya ia mengagumi tubuh muridnya yang sedang

menginjak dewasa itu. Selama ini meskipun hampir setiap saat,

siang dan malam, ia tidak pernah terpisah darinya, tetapi seolah-

olah baru sekarang ia melihat alangkah gagahnya anak ini. Anak

Ki Ageng Gajah Sora, yang dalam usianya yang masih sangat

muda itu telah dapat mencerminkan kebesaran jiwa yang

diwarisinya dari orang tuanya, serta pendidikan yang diberikannya.

Arya yang merasa selalu dipandangi oleh gurunya, menjadi

tertunduk. Namun ia merasa bahwa gurunya samasekali tidak

menyesal atas kejadian yang baru saja dialami. Karena itu iapun

tidak perlu mencemaskannya lagi. Bahkan perasaan yang segar

yang memancar didalam tubuhnya, telah menumbuhkan suatu

harapan dalam dirinya. Harapan atas masa depan yang lebih baik.

Sedang yang tersangkut di dalam otak Arya Salaka kemudian

adalah pertanyaan-pertanyaan tentang orang yang berjubah itu.

Orang yang dengan serta merta menangkapnya, dan

menjadikannya tertidur di dalam semak-semak. Karena itu

kemudian ia bertanya kepada gurunya, “Paman, adakah Paman

mengenal orang yang berjubah itu?”

Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Tetapi aku

pernah melihatnya beberapa tahun yang lalu di Banyubiru.”

“Di Banyubiru…?” Arya bertambah heran.

“Ya,” jawab Mahesa Jenar pendek.

Page 20: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 93

Kemudian kembali mereka berdiam diri. Dingin malam

semakin tajam menusuk sampai ke tulang sungsum.

“Tidurlah Arya,” desis Mahesa Jenar kemudian sambil

membaringkan dirinya. Dan sejenak kemudian mereka berdua

telah lelap ditelan oleh sunyi malam. Arya Salaka tertidur dengan

sebuah senyum yang tersungging di bibirnya. Ia tidak merasa lagi

punggungnya menjadi gatal-gatal oleh serangga yang

menggigitnya. Serangga yang terbawa oleh tanah lembab ketika

ia terbaring di semak-semak halaman belakang. Sedang Mahesa

Jenar pun kemudian tertidur karena kelelahan.

Padukuhan Gedangan kini benar-benar telah terbenam dalam

suasana yang hening. Beberapa orang peronda yang berjalan hilir-

mudik di sudut-sudut desa kadang-kadang harus berdesis

menahan angin malam yang mengalir lembut, membawa udara

pegunungan yang dingin.

Ketika di timur tampak fajar mulai membayangkan cahaya

kemerahan, datanglah beberapa orang yang dikirim untuk

menyelidiki keadaan pasukan lawan. Dari mereka, pimpinan ronda

mendapat laporan bahwa pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidur

sudah tidak lagi berada di perkemahan mereka. Agaknya mereka

telah merasa, bahwa meskipun mereka meneruskan pertempuran,

namun mereka pasti tidak akan berhasil. Karena itu, lebih baik

mereka menarik diri.

Karena laporan itulah, pasukan Gedangan tidak perlu lagi

mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang akan

datang.

Meskipun tidak terdengar tanda-tanda bahaya, namun Mahesa

Jenar dan Arya Salaka, bangun pada saatnya. Pada saat terang-

terang tanah. Ketika mereka keluar dari ruang tidur, mereka

melihat beberapa orang telah berada di halaman depan. Tetapi

demikian Mahesa Jenar melihat sikap mereka, segera Mahesa

Jenar mengetahui bahwa tidak ada lagi bahaya yang mengancam

Page 21: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 93

pedukuhan itu. Setidak-tidaknya untuk waktu-waktu yang cukup

untuk menyembuhkan luka-luka yang diderita oleh laskar

Gedangan dalam pertempuran kemarin.

Meskipun demikian, Mahesa Jenar memerintahkan juga laskar

Gedangan bersiap untuk melakukan pembersihan daerah yang

kemarin dipergunakan sebagai ajang pertempuran.

Demikianlah sehari itu, yang dilakukan oleh orang-orang

Gedangan adalah bekerja keras, mengubur mayat-mayat yang

berserak-serakan, baik dari kawan sendiri maupun dari lawan.

Ketika matahari condong ke barat, selesailah pekerjaan

mereka. Mereka kini boleh kembali kepada keluarga masing-

masing, meskipun tetap untuk tidak meninggalkan kewaspadaan.

Beberapa orang secara bergilir masih harus tetap berada di gardu-

gardu penjagaan. Siang maupun apabila nanti malam datang.

Dalam keadaan yang demikian terasalah, betapa akibat

pertempuran telah merampas kegembiraan seluruh penduduk

Gedangan. Apalagi yang terpaksa melepaskan salah seorang

anggota keluarga mereka. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain

daripada menyerahkan beberapa orang terbaik dari pedukuhan

mereka sebagai tawur dalam perjuangan mempertahankan hak

dan ketenteraman hidup mereka untuk seterusnya.

Ketika pekerjaan mereka telah selesai seluruhnya, barulah

mereka dapat menarik nafas lega. Demikian juga Mahesa Jenar,

Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri dan Arya Salaka. Mereka kini

telah dapat berkumpul bercakap-cakap dengan tenang. Namun

agaknya Arya tidak begitu tertarik duduk bercakap-cakap di antara

mereka. Agaknya beberapa masalah masih selalu

mengganggunya. Karena itu ia minta diri untuk berjalan-jalan

menikmati cahaya matahari sore. Selain Arya Salaka, ternyata

Widuri pun lebih senang berjalan-jalan dan berlari-lari diluar.

Sehingga dengan demikian, ia minta diri pula untuk ikut serta

bersama Arya Salaka bermain-main.

Page 22: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 93

Demikianlah mereka berdua berjalan menyusur jalan-jalan

pedukuhan sambil bercakap-cakap. Kadang-kadang Widuri minta

Arya Salaka berceritera tentang dirinya, tentang pengalamannya

dan tentang cita-citanya. Sebaliknya kadang-kadang ia bercerita

tentang segala sesuatu yang disenanginya. Tentang burung –

burung yang terbang bebas di udara. Tentang bunga-bunga yang

mekar di halaman. Dan kadang-kadang dengan penuh keingin-

tahuan, Widuri menanyakan tentang daerah-daerah yang jauh di

seberang punggung-punggung bukit, daerah dimana langit dan

bumi seolah-olah berpadu dalam satu garis yang membujur

panjang sekali.

Dalam percakapan yang asik itu Arya selalu berusaha untuk

menjawab sedapat-dapatnya. Diceriterakan apa yang pernah

dilihatnya dibalik pegunungan yang berjajar seperti wayang di

pakeliran. Diceriterakannya betapa di sana tergelar pantai yang

luas serta laut tanpa tepi. Betapa nelayan di lautan bekerja keras

untuk mencari kekayaan yang tersimpan di dalam lautan.

Diam-diam Widuri menjadi kagum kepada anak muda itu.

Kagum akan pengalamannya yang luas, serta kagum akan

ketetapan hatinya memandang hari kemudian. Hari yang bakal

datang. Sebaliknya, Arya pun menjadi tertarik perhatiannya

kepada gadis itu. Dengan pertanyaan-pertanyaan ia dapat

mengetahui betapa banyak kemauan dan cita-cita yang tersimpan

didalam dadanya.

Demikianlah dengan tidak merasakan lelah, mereka berjalan

terus. Meskipun sejak pagi Arya Salaka telah memeras keringat

membantu orang-orang Gedangan membuat lubang-lubang kubur.

Namun dalam kesejukan angin senja, ia lebih senang berjalan-

jalan bersama Widuri daripada beristirahat dan bercakap-cakap

dengan orang-orang yang tidak sebayanya.

Karena itulah maka dengan tidak terasa, mereka telah

melewati ladang persawahan beberapa tonggak dari pedukuhan.

Bahkan mereka telah menyusur jalan-jalan sempit yang membujur

Page 23: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 93

ke dalam daerah-daerah hutan-hutan kecil. Jalan setapak yang

selalu dilewati oleh orang-orang yang pergi mencari kayu ke dalam

hutan itu, tanpa prasangka dan raga-ragu.

Bahkan dengan wajah yang berseri-seri mereka memandang

ujung-ujung daun-daun muda yang bergoyang-goyang ditiup

angin. Cahaya matahari yang tersangkut di pucuk-pucuk dahan

kayu tampak berkilau-kilau dengan riangnya, seriang suara burung

yang berkicau mengantar datangnya senja. Selembar awan yang

menggantung di langit bergerak perlahan-lahan dihanyutkan angin

dari selatan.

Ketika kemudian dari arah barat membayang warna merah

kekuning-kuningan, Widuri memejamkan matanya sambil

bergumam, “Layung... layung senja, jangan kau pancarkan

penyakit ke mataku, pancarkan kepada anak nakal di sampingku.”

Arya Salaka tertawa mendengarnya, sahutnya, “Layung-

layung senja selalu baik kepadaku. Karena itu aku tidak pernah

sakit mata.” Kemudian Arya Salaka berdiri menatap langit-langit

yang berwarna merah itu, sambil seolah-olah berkata kepadanya,

“Layung... layung senja yang baik. Simpanlah segala macam

penyakit. Berikanlah kepada kami sejahtera dan sentosa.”

“Tidak bisa,” potong Widuri sambil tertawa. “Candhik ala tidak

bisa memberi sejahtera dan sentosa. Ia hanya punya benih

penyakit mata.”

“Penyakit matapun tidak,” sahut Arya Salaka.

Kemudian terdengarlah mereka tertawa bersama-sama.

Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Dari balik semak-

semak hutan yang tidak begitu lebat, mereka mendengar suara

berdesir. Telinga mereka yang sudah terlatih baik segera dapat

mengetahui bahwa suara itu suara langkah orang. Karena itu

mereka tidak bergurau lagi. Perhatian mereka tertuju kepada

telapak kaki yang terdengar semakin lama semakin dekat. Bahkan

Page 24: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 93

suara langkah itu samasekali tidak tertahan-tahan, sehingga

mereka menduga bahwa orang yang datang itu sengaja akan

menjumpainya tanpa bersembunyi-sembunyi.

II

Ketika mereka menoleh ke dalam semak-semak di belakang

mereka masih belum ada seseorangpun yang tampak. Suara

langkah itu masih berada di dalam semak-semak yang sudah mulai

suram. Tiba-tiba dari balik daun-daun yang lebat itu terdengar

suara orang tertawa. Mirip dengan ringkik kuda liar yang

kehausan. Widuri bukanlah seorang gadis penakut, namun

mendengar suara tertawa yang mengerikan itu ia bergeser setapak

mendekati Arya Salaka. Kecuali itu, sekaligus Arya Salaka dan

Widuri dapat mengetahui bahwa orang yang berada di dalam

semak-semak itu tidaklah hanya seorang, tetapi sedikitnya dua

orang, yang tertawa bersama-sama.

Dalam pada itu perasaan Arya Salaka menjadi tidak enak.

Seolah-olah ia mendapat suatu firasat yang kurang baik. Karena

itu iapun segera bersiap-siap untuk menanti, apakah yang bakal

terjadi.

Sesaat kemudian tampaklah daun-daun semak-semak itu

tersibak. Yang mula-mula tampak adalah tangan-tangan kasar

yang menyisihkan daun-daun yang lebat itu. Kemudian muncullah

di hadapan kedua anak muda itu dua orang yang bertubuh tinggi

kekurus-kurusan, berwajah runcing, dengan tepi mata yang

terangkat tinggi. Demikian mereka berdiri tegak di luar semak-

semak, kembali terdengar suara tertawa mereka yang

mengerikan, seperti ringkik kuda-kuda liar.

Melihat kedua orang itu hati Arya Salaka berdebar-debar. Ia

sudah mengenal keduanya. Beberapa kali ia pernah melihat.

Bahkan sejak ia masih tinggal di Banyubiru. Dua orang itu tidak

lain sepasang Uling dari Rawa Pening, dengan ikat pinggang yang

lebar, bergambar dua ekor Uling yang saling berlilitan.

Page 25: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 93

Kedua orang itu masih beberapa langkah lagi maju mendekati

Arya Salaka dan Endang Widuri.

Endang Widuri masih belum mengenal keduanya. Tetapi dalam

pertempuran yang terjadi kemarin, sepintas lalu ia melihat kedua

orang yang menyerang dari belakang itu, dan kemudian dapat

diusir oleh Mahesa Jenar. Dengan demikian iapun segera merasa

bahwa ia kini berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh.

Karena itu bagaimanapun juga, Widuri harus memperhitungkan

kemampuan diri. Dirinya sendiri dan Arya Salaka, satu-satunya

kawan yang ada di tempat itu. Tetapi karena di dalam tubuh Widuri

mengalir darah keturunan Pengging, maka ia tidak gentar

menghadapi lawan yang bagaimanapun juga.

Tetapi, yang justru menggoncangkan dadanya, bukanlah

kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya, apabila ia

benar-benar harus bertempur melawan sepasang Uling itu. Dalam

hal yang demikian, sedikit banyak ia telah menerima latihan-

latihan yang berat dari ayahnya. Setidak-tidaknya ia akan dapat

bertempur sambil menarik diri mendekati pedukuhan Gedangan.

Apalagi di dekatnya ada Arya Salaka, meskipun ia masih belum

dapat mengukur kekuatan tenaga anak muda itu dibandingkan

dengan orang-orang yang tak dikenalnya itu. Tetapi yang lebih

mengerikan baginya adalah cara kedua orang itu mengamat-amati

dirinya. Seolah-olah tubuhnya itu bulat-bulat akan ditelan mereka.

Lebih-lebih lagi ketika tampak di bibir kedua orang itu membayang

senyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba bulu kuduk Endang Widuri

berdiri serentak, meskipun ia tidak tahu maksud yang terkandung

dalam senyuman yang aneh itu.

Apalagi ketika kemudian terdengar salah seorang dari mereka

berkata, “Selamat bertemu putera Ki Ageng Gajah Sora.” Suara

yang terdengar adalah suara yang serak parau.

Arya Salaka memandang kedua orang itu dengan seksama. Ia

sudah pasti bahwa hal yang tak diinginkan akan terjadi. Maka

dengan tidak melepaskan pandangannya kepada sepasang Uling

Page 26: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 93

itu ia menjawab, “Selamat bertemu sahabat. Adakah kau akan

menyampaikan kabar tentang daerahku…?”

Terdengar Uling Putih tertawa berderai. “Ya… ya… Tuan muda.

Aku membawa kabar untuk Tuan. Ketahuilah bahwa di daerah

Tuan kini terjadi malapetaka yang hebat. Adik Tuan, Sawung Sariti

dengan leluasa dapat membunuh setiap orang yang dikehendaki.

Bahkan akhirnya Tuan sendiri. Sesudah itu, tahukah Tuan apa

yang akan terjadi…? Banyubiru akan sepenuhnya jatuh ke tangan

Sawung Sariti. Tetapi itu bukanlah peristiwa yang terakhir yang

terjadi atas daerah Tuan itu. Sebab akhirnya Sawung Sariti,

maupun ayahnya Ki Ageng Lembu Sora itu akan mati juga. Kau

ingin tahu siapakah yang akan membunuhnya…?” Uling Putih

berhenti sejenak, seolah-olah ia menunggu kata-katanya itu

meresap ke dalam dada Arya Salaka. Kemudian ia meneruskan,

“Yang membunuh mereka beserta para pengikutnya adalah aku

dan adikku. Uling Kuning.” Seterusnya kembali terdengar suara

tertawa sepasang Uling yang mengerikan itu.

Dada Arya Salaka terguncang oleh kata-kata itu. Namun ia

tidak ingin segera bertindak, sebab ia tahu betapa perkasanya

kedua Uling itu.

Sesaat kemudian terdengar Uling itu berkata lagi, “Tetapi Tuan

muda, aku sudah terlalu lama menunggu. Sawung Sariti tidak juga

berhasil membunuh Tuan. Nah sekarang aku akan menolong

mempercepat rencana itu, supaya aku lebih cepat menguasai

daerah Banyubiru itu sebagai kepala daerah perdikan yang

dihormati, tidak sebagai sepasang perampok seperti sekarang itu.”

Jantung Arya Salaka terasa seperti diguncang-guncang

mendengar kata-kata Uling Putih itu. Karena itu dengan suara

gemetar karena marah ia menjawab, “Sepasang Uling yang

perkasa… aku adalah ahli waris yang sah atas daerah itu. Dengan

demikian aku tidak harus menuntut atas hak saja, tetapi aku harus

bertanggungjawab pula atas daerah itu dengan menunaikan

Page 27: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 93

kewajiban-kewajibanku sebaik-baiknya. Salah satu dari

kewajibanku adalah menyelamatkan daerah Banyubiru.”

Mendengar jawaban Arya Salaka, Uling Kuning tertawa keras-

keras. Katanya, “Tuan adalah seorang yang mengagumkan.

Seorang yang sudah terusir dari kedudukannya, namun masih

merasa bertanggungjawab. Tetapi Tuan tidak usah menunggu

lama. Sebab sebentar lagi Tuan harus sudah benar-benar

melupakan impian Tuan untuk kembali ke Banyubiru. Sesudah itu,

jalan yang akan kami lalui menjadi bertambah lapang. Apalagi

sepeninggal Kakang Sima Rodra suami istri, maka jalan ke

Pamingit telah terbuka pula.” Kemudian terdengar Uling Putih

menyambung, “Apalagi dengan kedua keris Kyai Nagasasra dan

Kyai Sabuk Inten. Jangankan Banyubiru dan Pamingit. Bahkan

Demak pun akan dapat kami gulung.”

“Impian yang indah,” sahut Arya Salaka, “Tetapi kau lupa

bahwa di Banyubiru ada Eyang Sora Dipayana. Seandainya kau

dapat membunuh aku dan kemudian Adi Sawung Sariti, bahkan

Paman Lembu Sora sekalipun, apa yang akan dapat kau lakukan

atas Eyang Sora Dipayana itu?”

Kembali terdengar Uling Putih tertawa. Jawabnya, “Adakah kau

mengira bahwa umur kakekmu itu akan dapat mencapai puluhan

tahun lagi? Kalau semuanya sudah dapat aku bereskan, maka

orang tua itu pasti akan mati kesedihan dan putus asa. Kalau tidak,

seandainya orang tua itu tidak takut melihat kenyataan hari

depannya yang patah, maka aku pun dapat mempertemukannya

dengan orang sebayanya, yang datang ke Rawa Pening, khusus

untuk keperluan itu.”

“Gurumu…?” tanya Arya Salaka.

Kedua Uling itu mengangguk bersama-sama. Jawab Uling

Putih, “Ya, guruku Sura Sarunggi.”

Page 28: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 93

Arya Salaka mengerutkan keningnya. Agaknya Uling Rawa

Pening itu telah benar-benar menyusun kekuatan untuk dapat

sampai ke kedudukan yang diinginkan.

Dalam pada itu ia sudah tidak melihat kemungkinan lain

daripada menghadapi sepasang Uling itu dengan kekerasan.

Seperti juga Widuri yang selama ini berdiam diri mendengarkan

percakapannya dengan sepasang Uling itu, maka iapun harus

memperhitungkan kekuatan diri. Untunglah bahwa Widuri telah

memiliki bekal untuk membela dirinya sendiri. Namun sekarang

bagaimanakah imbangan kekuatan dari mereka berdua dengan

kekuatan Uling itu sepasang…?

“Tuan muda....” tiba-tiba Uling Kuning masih meneruskan,

“Sepeninggal Tuan jangan Tuan cemaskan gadis Tuan itu.

Meskipun kami sudah tidak semuda Tuan, namun kami akan

berusaha untuk memeliharanya baik-baik.”

Widuri menjadi muak mendengar perkataan itu. Apalagi ketika

kemudian disusul dengan suara tertawa mereka yang mirip ringkik

kuda yang sudah hampir gila. Namun Widuri masih dapat menahan

dirinya ia menyerahkan segenap persoalan kepada Arya Salaka.

Namun Arya Salaka pun menjadi marah mendengar

perkataan-perkataan yang menyakitkan hati itu. Maka dengan

lantang iapun menjawab, “Sepasang Uling yang baik. Terima kasih

atas berita yang telah kau sampaikan kepadaku. Dan terima kasih

pula atas perhatianmu terhadap diriku sehingga untuk seorang

anak-anak, kau berdua telah memberikan waktu yang cukup

banyak serta tenaga yang besar sekali. Dengan demikian aku

merasa mendapat kehormatan dari sepasang orang perkasa.

Meskipun demikian sebaiknya kau mempertimbangkan sekali lagi,

apakah kau ingin meneruskan rencanamu itu, ataukah lebih baik

kau tetap menjadi perampok kecil-kecilan yang bersarang di Rawa

Pening.”

Page 29: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 93

Sepasang Uling itu terkejut mendengar jawaban Arya Salaka.

Sindiran itu sudah jelas bagi mereka, bahwa Arya Salaka

samasekali tidak gentar menghadapinya. Meskipun mereka telah

memperhitungkan bahwa anak itu

pasti tidak akan menyerahkan

lehernya begitu saja, namun

mereka samasekali tidak menduga

bahwa anak itu berani

merendahkannya. Karena itu

dengan suara yang keras parau

Uling Putih menjawab, “Hati-

hatilah kau berbicara anak muda.

Supaya aku tidak membiarkan kau

menderita pada saat ajalmu

datang.”

Arya Salaka samasekali tidak

mempedulikan ancaman itu,

jawabnya, “Sebaiknya kau kembali

saja ke Rawa Pening. Lebih baik

kau menghadap Paman Lembu

Sora dan minta menjadi

pekatiknya. Kau akan mendapat jaminan seumur hidupmu. Kau

tidak akan kelaparan.”

“Tutup mulutmu!” bentak Uling Kuning sambil melangkah

maju. Ternyata darahnya agak lebih panas dari kakaknya.

“Berlututlah dan minta ampun, supaya kau tidak mengalami

siksaanku.”

Arya menatap mata Uling Kuning itu dengan penuh kebencian.

Dengan dada menengadah ia menjawab, “Maaf Uling Kuning, aku

tidak bisa berjongkok dan minta ampun. Kalau kau telah biasa

melakukan itu kau sajalah yang berjongkok dan minta ampun.”

Darah Uling Kuning maupun Uling Putih menjadi mendidih

karenanya. Tetapi pada saat Uling Kuning hampir saja lupa diri dan

Page 30: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 93

meloncat menyerang, tiba-tiba terpandanglah olehnya Endang

Widuri. Karena itu tiba-tiba ia mengurungkan serangannya.

Bahkan kemudian ia menoleh kepada Uling Putih sambil berkata,

“Apakah yang harus kita lakukan terhadap anak yang telah

menghina kebesaran nama Sepasang Uling dari Rawa Pening ini

Kakang?”

Uling Putih yang telah marah itu menjawab, “Menyingkirlah,

biar aku sayat kulit mukanya, dan akan aku biarkan ia hidup

sampai matahari terbit esok.”

Ancaman itu sungguh mengerikan. Suatu siksaan yang tiada

taranya. Namun Arya Salaka samasekali tidak gentar. Ia masih

berdiri dengan dada menengadah menghadapi setiap

kemungkinan. Juga kemungkinan untuk disayat kulit wajahnya,

dan dibiarkan hidup sampai besok.

Dalam pada itu Uling Kuning tersenyum di dalam hati. Memang

sebenarnya ia ingin menyerahkan Arya Salaka kepada kakaknya.

Sebab ia lebih tertarik untuk menangkap gadis yang menjelang

dewasa yang datang kepadanya seolah-olah hadiah dari langit.

Meskipun demikian ia masih berpura-pura berkata, “Adakah

Kakang perlu menanganinya sendiri?”

Uling Putih menjawab, “Biar puas hatiku, jangan kau ikut

campur.”

Uling Kuning mundur selangkah. Matanya dengan liar

merambat ke segenap bagian tubuh Endang Widuri. Tubuh yang

tepat pada usia kemekaran menjelang masa remaja.

Sementara itu Uling Putih telah siap. Dengan wajah yang

mengerikan ia melangkah maju. Selangkah demi selangkah.

Tangannya yang panjang telah siap sepenuhnya untuk merobek-

robek kulit Arya Salaka.

Arya Salaka pun segera mempersiapkan dirinya. Ia harus

melawan Uling itu mati-matian. Sebab ia tahu betul, bahwa

Page 31: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 93

sepasang Uling Rawa Pening adalah orang-orang yang hampir

seluruh hidupnya diwarnai oleh noda-noda yang hitam kelam.

Karena itu, Arya Salaka berpendapat bahwa ia harus mencoba

untuk dapat memusnahkannya. Tetapi ia masih belum dapat

mengukur, apakah ilmu yang selama ini dipelajarinya akan cukup

mampu untuk melawan Uling Putih itu. Namun dalam pada itu,

yang tergores didalam hatinya, adalah perbuatan yang sebaik-

baiknya sebagai suatu pernyataan kebaktian yang tulus kepada

sesama. Tetapi yang masih sedikit mengganggu pikirannya adalah

Endang Widuri. Ia melihat suatu tanda-tanda yang mencemaskan

pada Uling Kuning. Ia melihat bagaimana cara Uling Kuning itu

memandang Endang Widuri. Karena itu maka mau tidak mau ia

merasa bertanggungjawab pula atas keselamatan gadis itu.

Uling Putih kini sudah dekat berdiri di depannya. Giginya

gemeretak didalam mulutnya yang terkatub rapat. Tetapi sesaat

kemudian terdengar ia menggeram, “Tidak sia-sia aku berdua

tinggal untuk beberapa hari di sini. Sekarang aku akan puas

menghisap darahmu.”

Arya Salaka tidak menjawab. Tetapi ia menarik kaki kirinya

setengah langkah surut.

Bersamaan dengan itu, Uling Putih meloncat dengan

garangnya menyerang dada Arya Salaka. Cepat Arya Salaka

menekuk lutut sambil membungkukkan tubuhnya. Sementara itu

tangannya menyambar lambung lawannya dengan gerak yang

mendatar.

Dalam pada itu Arya Salaka menjadi terkejut sendiri dengan

gerakannya. Sebab tiba-tiba ia merasa seolah-olah ada tenaga

kuat yang mendorong dari dalam. Tenaga yang selama ini seolah-

olah tersembunyi. Bahkan dalam gerakannya itu, terasa benar

bahwa segala sesuatu di dalam tubuhnya telah berubah. Mungkin

itulah yang dimaksud dengan penyempurnaan tata nadi yang

dilakukan oleh orang berjubah abu-abu. Dan dengan demikian

geraknya menjadi cepat dan kuat.

Page 32: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 93

Uling Putih terkejut melihat kecepatan gerak anak itu. Bahkan

ia terkejut pula ketika melihat tangan lawannya menyambar

lambung. Karena ia samasekali tidak menduga bahwa hal yang

demikian akan terjadi, maka iapun kurang mempersiapkan dirinya.

Ia mengira bahwa anak itu hanya dapat berloncat-loncatan sedikit.

Ia tidak tahu bahwa Arya Salaka dalam perkelahian seorang lawan

seorang telah dapat mengalahkan Sawung Sariti. Sebab Sawung

Sariti sendiri selalu mengatakan bahwa ia harus bertempur

menghadapi beberapa orang yang datang membantu Arya Salaka.

Dengan demikian Uling Putih itu tidak sempat berbuat lain daripada

membentur tangan Arya Salaka. Uling Putih menarik kaki

kanannya, kemudian memutar tubuhnya dan menghantam lengan

lawannya itu dengan kedua belah tangannya. Arya Salaka masih

belum dapat menguasai geraknya sendiri sebaik-baiknya. Sebab

sejak ia bertemu dengan laki-laki aneh yang berjubah abu-abu

serta menidurkannya di dalam semak-semak, ia belum pernah

mencoba tenaganya. Ini adalah yang pertama kalinya ia dapat

melihat akibat dari kejadian malam yang mendebarkan itu. Karena

itu ia tidak dapat menghindarkan diri dari benturan yang terjadi.

Benturan antara lengannya dengan kedua tangan Uling Putih.

Akibatnya diluar dugaan Uling Putih dan Arya Salaka sendiri. Uling

Putih yang pada dasarnya memandang rendah kepada lawannya,

sengaja tidak mengerahkan segenap kekuatannya. Sebab ia

mengira bahwa sebagian tenaganya saja ia akan mampu

mematahkan lengan anak yang dianggapnya terlalu sombong itu.

Tetapi yang terjadi samasekali tidaklah demikian. Tenaga

tangan Arya ternyata besar sekali, sehingga Uling Putih terdorong

surut beberapa langkah, sedang Arya sendiri tetap tidak bergeser

dari tempatnya.

Mengalami peristiwa itu, dada Uling Putih seolah-olah menyala

karena hatinya yang panas. Disamping perasaan heran yang tak

habis-habisnya terhadap kekuatan tenaga anak yang dianggapnya

tidak lebih dari seekor kelinci yang lemah itu, juga menggelora di

dalam dadanya suatu perasaan malu, marah, dendam dan nafsu

Page 33: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 93

bercampur baur. Karena itu, maka segera ia mengerahkan

segenap perhatiannya untuk satu tujuan, membunuh dan

menyayat-nyayat putera kepala daerah Perdikan Banyubiru itu.

Demikianlah dengan garangnya ia menyerang kembali.

Serangan yang datang menggelombang dengan dahsyatnya. Arya

Salaka pun kemudian melayaninya dengan tangguhnya. Ia telah

mewarisi hampir segenap jenis unsur-unsur gerak dari perguruan

Pengging, ditambah dengan tata nadinya yang telah

disempurnakan. Dengan demikian anak muda itu seolah-olah

dapat bertempur seperti burung elang di udara, menyambar-

nyambar dengan garangnya. Tetapi kemudian ia mampu pula

bertempur laksana banteng yang tangguh kukuh, tenang dan

meyakinkan.

Uling Kuning dan Endang Widuri berdiri terpaku menyaksikan

pertempuran itu. Pertempuran yang berjalan dengan sengitnya.

Yang sekali waktu berjalan cepat, tetapi kemudian menjadi lambat,

namun penuh dengan ketegangan yang mendebarkan.

Uling Kuning, yang mula-mula menjadi sangat gembira ketika

kakaknya bermaksud untuk membunuh Arya Salaka dengan

tangannya sendiri, karena dengan demikian ia dapat berbuat

leluasa atas gadis cantik itu, kemudian terpaksa mengikuti

pertempuran itu dengan seksama. Bahkan kadang-kadang

timbullah kecemasan di hatinya. Sebab kadang-kadang ia melihat

serangan Arya Salaka seperti air yang mengalir dengan derasnya,

melanda setiap usaha yang akan merintanginya. Untunglah bahwa

Uling Putih adalah seorang yang penuh dengan pengalaman

bertempur. Dalam keadaan-keadaan yang sulit, ia masih mampu

untuk membebaskan dirinya. Namun dengan demikian

anggapannya terhadap Arya Salaka telah berubah. Ia kemudian

menganggap anak muda itu seorang lawan yang berbahaya tak

henti-hentinya, yang rasa-rasanya datang dari segenap penjuru.

Dalam keadaan yang demikian Uling Putih harus memeras

keringatnya untuk dapat mencapai titik keseimbangan. Namun

agaknya anak muda itu benar-benar luar biasa. Meskipun Uling

Page 34: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 93

Putih telah berusaha membentengi tubuhnya dengan gerakan-

gerakan yang cepat dan berubah-ubah, tetapi ia tidak bisa

menutup mata, atas suatu kenyataan bahwa dadanya menjadi

semakin sesak oleh pukulan-pukulan Arya Salaka, yang meluncur

seperti tatit menyambar tanpa dapat dihindari. Bahkan beberapa

kali, ia tidak dapat berhasil membebaskan diri seluruhnya atas

serangan-serangan kaki lawannya yang masih sangat muda itu.

Meskipun Uling Kuning melihat kenyataan itu, namun ia terlalu

mengagumi kakaknya, seperti ia mengagumi dirinya sendiri yang

seolah-olah tak seorangpun dari angkatan sebayanya, apalagi

anak-anak seperti Arya Salaka, akan mampu mengalahkannya.

Karena itu, ia tidak mengalami sendiri tekanan-tekanan maut yang

mendesing-desing di telinga, ia tidak sedemikian mencemaskan

keadaan Uling Putih. Bahkan tiba-tiba ia teringat kepada

kepentingannya sendiri. Kepada gadis yang berdiri tak seberapa

jauh darinya.

Dengan sudut matanya sekali lagi ia memandang Endang

Widuri yang masih asik melihat pertempuran antara Arya Salaka

dan Uling Putih. Dan sekali lagi dada Uling Kuning itu bergetar.

Kalau saja ia nanti berhasil membawa anak itu ke Rawa Pening,

pasti akan merupakan barang yang sangat berharga di daerah

yang tersekat dari pergaulan. Berbeda dengan daerah

Nusakambangan, pusat kerajaan Ular Laut yang tampan, dimana

terdapat berpuluh-puluh gadis korbannya yang disimpan di sana.

Berbeda pula dengan cara hidup Sima Rodra muda dari Gunung

Tidar. Yang seolah-olah telah kehilangan tingkat tata pergaulan

hidup manusia yang wajar, dimana laki-laki dan perempuan

dibiarkan mengalami suatu penghidupan yang buas dalam segala

segi-seginya.

Karena itu maka kemudian perlahan-lahan perhatiannya

berkisar dari titik pertempuran kepada Endang Widuri. Bahkan

kemudian iapun menggeser kakinya setapak demi setapak ke arah

gadis itu. Ia ingin menangkapnya di tempat itu pula. Dengan

demikian, kecuali ia akan mendapat sesuatu yang dianggapnya

Page 35: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 93

permainan yang menyenangkan, sekaligus ia dapat mempengaruhi

perhatian Arya Salaka. Dengan demikian secara tidak langsung ia

sudah membantu kakaknya. Sebab sedikit saja Arya Salaka

lengah, maka kakaknya pasti akan dapat mempergunakan

kesempatan itu sebaik – baiknya.

Ketika ia sudah mendapat keputusan bulat atas rencananya

itu. Uling Kuning tersenyum-senyum sendiri. Ia memastikan

bahwa rencana itu akan berhasil. Menangkap Endang Widuri dan

sekaligus menyebabkan Arya Salaka binasa.

Sementara itu, pertempuran berjalan semakin sengit. Arya

Salaka terpaksa mengakui ketangguhan lawannya. Tahulah ia

sekarang, mengapa ayahnya dahulu tidak tergesa-gesa bertindak

terhadap kedua orang yang berbahaya itu. Pada waktu itu pasti

ayahnya sedang mempersiapkan segala kemungkinan serta

perhitungan-perhitungan yang masak. Ternyata kedua orang itu

benar-benar luar biasa. Untunglah bahwa pada saat itu, ia telah

banyak menerima tuntunan langsung atau tidak langsung,

sehingga dengan demikian ia dapat melawan Uling Putih dengan

sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ternyata bahwa ia berhasil

mendesaknya. Apalagi setelah ia mengalami pijatan-pijatan di

seluruh permukaan tubuhnya, terasa sekali betapa ia bertambah

segar, kuat dan lincah. Tenaganya dapat melontar bebas tanpa

sesuatu rintangan.

Uling Putih kemudian mengumpat-umpat di dalam hati. Ia

samasekali tidak menduga bahwa Arya Salaka memiliki keteguhan

serta ketangguhan yang sedemikian besarnya. Karena itu ia

menjadi bertambah marah. Dikerahkannya segenap ilmunya.

Tetapi ia harus menghadapi suatu kenyataan, bahwa setelah ia

memeras diri, ia tetap tidak mampu untuk menundukkan

lawannya. Akhirnya ia menjadi gelisah. Bahkan ia mengharap agar

adiknya melihat kesulitannya. Ia tidak dapat berteriak memintanya

ikut bertempur sebab ia masih memperhatikan harga dirinya.

Namun apabila keadaan memaksa, ia tidak akan pedulikan lagi,

apalagi dengan demikian ia dianggap licik atau apapun. Tetapi

Page 36: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 93

sebelum ia benar-benar minta adiknya menolongnya, dalam

sekilas ia melihat Uling Kuning perlahan-lahan mendekati gadis

kecil yang sedang asik melihat perkelahian itu. Dalam pada itu

timbulah suatu harapan padanya. Mudah-mudahan gadis itu

ditangkap oleh adiknya. Kalau gadis itu kemudian menjerit,

saatnya tiba, Arya Salaka pasti akan lengah. Dan pada saat itu saat

yang sebaik-baiknya untuk menghancurkannya.

Pada saat itu, malam telah turun perlahan-lahan. Warna-warna

merah di langit telah lenyap disapu oleh warna-warna kelam.

Bulan telah mulai menampakkan dirinya kembali di antara taburan

bintang-bintang. Awan yang tipis bertebaran disana-sini menghias

langit.

Perhatian Endang Widuri sebenarnya memang sedang

tertumpah pada perkelahian yang sengit antara Arya Salaka

melawan Uling Putih. Dengan keheran-heranan ia melihat Arya

Salaka melontarkan diri, membelit dan kemudian meloncat dengan

garangnya menghantam lawannya. Tetapi ia mengerti pula bahwa

Uling Putih pun mempunyai kekuatan yang cukup untuk dapat

mempertahankan dirinya. Ia bergerak setapak-setapak, bergeser,

meloncat dan berputar untuk menjaga agar ia tetap dapat

menghadapi Arya Salaka yang seperti bayangan saja. Sekali

muncul di sana, kemudian muncul di tempat lain. Kalau saja

lawannya bukan orang yang cukup kuat, maka ia pasti akan

menjadi pening dan kebingungan.

Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin seru. Arya

Salaka semakin mendesak lawannya pula. Melihat peristiwa itu

Endang Widuri menjadi gembira, sehingga gadis itu tersenyum-

senyum sendiri. Bahkan ia kadang-kadang bergerak pula seperti

anak-anak mendengar gamelan. Sekali ia bergeser maju, sekali ke

samping. Bahkan kadang-kadang ia meremas-remas tangannya

sendiri dengan kuatnya.

Tetapi ketika Uling Putih telah benar-benar terdesak, tiba-tiba

tangannya menarik tali yang membelit pinggangnya. Demikian tali

Page 37: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 93

yang besar itu terurai, tampaklah bahwa sebenarnya yang

membelit pinggangnya itu adalah sebuah cemeti. Arya Salaka

tertegun melihat cambuk yang lemas di tangan Uling Putih. Ia tahu

benar bahwa cambuk itulah senjata andalannya. Dengan demikian

ia harus berhati-hati menghadapinya.

Ketika itulah Uling Putih itu menyerang dengan garangnya.

Cambuknya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Sebuah

sambaran mendatar mengarah ke dada Arya Salaka. Dengan

tangkasnya Arya membungkuk dalam-dalam, serta dengan sekali

berputar, kakinya menyambar perut Uling Putih. Namun Uling

Putih sempat menarik dirinya setapak mundur. Bersamaan dengan

itu, ia telah sempat menarik cambuknya mendatar pula. Kali ini

Arya tidak dapat membungkuk lebih rendah lagi. Tetapi ia harus

meloncat mundur. Uling Putih tidak mau memberinya kesempatan.

Dengan loncatan yang panjang ia memburu Arya sambil

mengayunkan cambuknya sendhal pancing. Arya yang mengetahui

betapa bahaya yang mengancam apabila ia sampai terkena

pukulan itu, segera meloncat kesamping. Ketika ujung cemeti itu

berdesing disamping telinganya, ia melontar dengan cepatnya

maju dekat sekali dengan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia

menghantam dada lawannya. Uling Putih terkejut melihat gerakan

yang cepat dan tak terduga-duga itu. Dengan tangan kirinya ia

mencoba menahan tangan Arya, sedang tangan kanan memutar

cambuknya cepat-cepat untuk menyerang dalam jarak yang

pendek itu. Demikianlah dengan kerasnya tangan Arya

menghantam tangan kiri Uling Putih yang mencoba melindungi

dadanya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga terdengarlah

Uling Putih mengaduh tertahan. Tangan kirinya ternyata tidak

mampu menahan tekanan tangan lawannya, sehingga

bagaimanapun juga, terasa sesuatu mendesak dadanya. Desakan

itu demikian kuatnya, sehingga ia terlontar mundur dan kemudian

jatuh terguling. Tetapi dalam pada itu, Uling Putih agaknya

memang ahli memainkan senjatanya. Meskipun pada saat itu Arya

berdiri hampir melekat tubuhnya, ujung cambuknya berhasil juga

Page 38: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 93

menyentuh pundaknya, sehingga terasalah betapa nyerinya, dan

bahkan terasa bahwa kulitnya terkelupas.

Arya menyeringai menahan pedih. Tanpa disengaja tangannya

meraba tempat yang terluka itu. Terasa betapa darahnya yang

hangat mengalir. Dalam pada itu Uling Putih segera melenting

berdiri. Namun terasa betapa dadanya semakin sesak.

Dalam pada itu, baik Uling Putih maupun Arya Salaka telah

mencapai puncak kemarahannya. Mereka masing-masing telah

merasakan betapa tubuh mereka telah berhasil disakiti oleh

lawannya. Maka terdengarlah Uling Putih menggeram penuh

dendam. Matanya yang menyala merah menjadi semakin liar. Arya

Salaka pun kemudian menggigil karena kemarahan. Jantungnya

berdebar keras, sedang tangannya bergetaran, siap untuk

menghancurkan lawannya.

Uling Putih yang telah dapat menguasai dirinya kembali,

segera melangkah maju. Ia telah melihat hasil serangannya pada

lengan lawannya. Dengan demikian ia menjadi sedikit berbesar

hati. Mudah-mudahan luka ditangan Arya itu dapat mempengaruhi

keteguhan hatinya. Tetapi ia salah harap. Karena luka itu Arya

malah menjadi semakin garang. Bahkan tiba-tiba tangannya yang

gemetar telah menggenggam pusaka kebesaran tanah perdikan

Banyubiru, Kyai Bancak.

Demikianlah pertempuran itu berkobar kembali. Cambuk Uling

Putih berputar seperti baling-baling. Bergulung-gulung seolah-olah

ingin melibas lawannya dan membenamkan kedalamnya.

Demikian dahsyatnya Uling Putih memainkan senjatanya sehingga

terdengarlah angin mendesing-desing menggoyang daun-daun

pepohonan di sekitarnya serta merontokkan daun-daun kering

yang sudah tidak mampu lagi berpegangan di batang-batangnya

lebih erat lagi.

Tetapi ia berhadapan dengan murid keturunan dari perguruan

Pengging yang telah mengalami pembajaan diri yang luar biasa

Page 39: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 93

beratnya. Bahkan telah mendapat pertolongan dari seorang ahli

tata nadi memperbaiki letak otot-otot serta syaraf-syarafnya.

Sehingga Arya Salaka dapat mempergunakan segenap tenaganya

dalam lontaran-lontaran kekuatan tanpa dipengaruhi oleh

penggunaan tenaga cadangan di dalam tubuhsendiri. Apalagi kini

di tangannya telah tergenggam tombak sipat kandel yang dapat

melipatgandakan kemampuannya melawan Uling Putih itu.

Dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah gulungan sinar

keputih-putihan melingkar-lingkar mengerikan yang seolah-olah

sedang berusaha untuk melanda sinar yang menyala kebiru-

biruan. Itulah cahaya tombak Kyai Bancak. Namun sinar yang

kebiru-biruan itu selalu berhasil menghindarkan dirinya, dan

bahkan sekali-sekali dengan dahsyatnya menyusup langsung ke

pusat gulungan sinar putih itu. Dengan demikian maka tampaklah

betapa Arya Salaka dapat mengimbangi lawannya dengan baik.

Bahkan kemudian Uling Putih terpaksa memeras keringat habis-

habisan untuk dapat mengimbangi permainan tombak bertangkai

pendek, sependek tangkai pedang, yang digerakkan oleh tangan

yang kokoh kuat dan terlatih baik.

Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin sengit.

Dan sejalan dengan itu perhatian Endang Widuri pun menjadi

semakin terikat. Ia menjadi semakin kagum atas ketangkasan

Arya Salaka. Kalau beberapa saat yang lalu, ia pernah berlatih

bersama-sama dengan anak muda itu, maka sekarang dengan

penuh keheranan ia melihat Arya Salaka telah melangkah jauh

kedepan. Pada waktu Arya bertempur melawan Sawung Sariti pun,

tenaganya masih belum sedahsyat sekarang ini. Tetapi ia tidak

tahu bahwa di dalam tubuh Arya, baru saja terdapat beberapa

perubahan tata nadi yang sangat menguntungkannya.

Tetapi karena keasyikannya melihat pertempuran itulah maka

ia samasekali tidak menduga bahwa Uling Kuning telah menjadi

semakin dekat, semakin dekat di belakangnya.

Page 40: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 93

Maka, tiba-tiba saja dirasanya sepasang tangan yang kuat

telah memegang kedua belah lengannya. Dengan demikian

Endang Widuri menjadi terkejut sekali, sehingga tanpa disengaja

ia memekik kecil.

Saat itulah yang memang ditunggu-tunggu oleh kedua Uling

bersaudara itu. Sebab dengan demikian mereka mengharap Arya

akan menjadi lengah. Dan apa yang mereka harapkan itu benar-

benar terjadi. Arya terkejut mendengar suara Widuri. Tetapi ia

tidak menjadi lengah karenanya. Untuk dapat mengetahui keadaan

gadis itu. Arya Salak meloncat jauh-jauh ke belakang. Meskipun

demikian, karena perhatiannya sebagian terampas oleh peristiwa

lain, maka terasalah sebuah sengatan pedih di pinggangnya.

Ternyata sekali lagi Uling Putih berhasil mengenainya dengan

cambuknya yang sangat berbahaya. Terdengarlah Arya berdesis

menahan sakit. Meskipun demikian ketika jaraknya telah menjadi

agak jauh dari lawannya, ia sempat juga memandang kearah

Widuri yang berdiri tidak begitu jauh dari titik perkelahian itu.

Tetapi yang terjadi kemudian, samasekali tidak seperti yang

diharapkan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening itu. Luka di

pinggang Arya itu ternyata telah membakar semangat Arya lebih

dahsyat lagi. Dengan menyeringai menahan pedih, ia menggeram

penuh kemarahan. Meskipun demikian otaknya masih dapat

bekerja dengan baik. Ia tidak mau terlibat dalam pertempuran

yang liar.

Uling Kuning, yang berhasil menangkap Widuri tanpa diketahui

sebelumnya, agaknya menjadi menyesal sekali. Ketika ia

memegang lengan gadis itu, ia terlalu berhati-hati, seperti seorang

yang memegang sebuah permainan ringkih, sehingga ia takut

kalau merusakkannya. Tetapi ia samasekali tidak menduga, bahwa

gadis kecil itu tidak ubahnya sebagai seekor lebah kuning yang

manis namun sengatnya sangat berbahaya.

Demikian Endang Widuri merasa tangkapan pada lengannya,

ia menjadi sadar bahwa Uling Kuning telah menyerangnya. Tetapi

Page 41: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 93

otaknya yang cerdas merasakan betapa tangan Uling Kuning itu

terlalu hati-hati meraba kulitnya. Itulah sebabnya, maka dengan

satu gerakan merendah, sambil memutar tubuhnya setengah

lingkaran, kakinya dengan cepatnya telah berhasil mengenai perut

Uling Kuning bagian bawah. Uling Kuning samasekali tidak

menduga bahwa hal yang demikian dapat terjadi, sehingga ia

samasekali tidak bersiaga. Karena itu terdengarlah ia mengaduh

kesakitan. Bahkan kekuatan Endang Widuri cukup melempar-

kannya beberapa langkah dan kemudian membantingnya jatuh ke

tanah.

Untunglah Uling Kuning telah mempunyai cukup pengalaman.

Dengan cepatnya ia meloncat berdiri dan mencoba menghadapi

setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Namun demikian, kaki

gadis kecil, puteri Ki Kebo Kanigara, yang telah dibekali dengan

pengetahuan yang cukup, terasa telah menggoncangkan isi

perutnya. Perasaan mual berputar-putar mengganggu sekali,

seolah-olah isi perutnya diaduk dengan hebatnya. Belum lagi Uling

Kuning benar-benar sadar atas apa yang terjadi, dilihatnya gadis

kecil itu melayang dengan lincahnya, menyerang seperti semburan

air hujan yang datang ke segenap bagian tubuhnya. Uling Kuning

terpaksa surut beberapa langkah. Namun demikian ia mempunyai

cukup kesempatan untuk membentengi dirinya dengan tangkisan-

tangkisan yang rapat. Tetapi Endang Widuri cukup lincah dan

cekatan untuk membingungkannya.

Ketika Arya Salaka melihat bahwa Endang Widuri ternyata

telah berhasil menolong dirinya sendiri, ia menjadi berbesar hati.

Ia percaya bahwa gadis itu akan mampu untuk menahan serangan

Uling Kuning dalam waktu yang cukup lama. Ia mengharap bahwa

keadaan akan memungkinkannya untuk membantu. Apalagi ketika

dilihatnya Uling Kuning menjadi gelisah karena serangan pertama

kaki Widuri yang tepat mengenai bagian bawah perutnya. Ternyata

bahwa akibat dari serangan itu sangat menguntungkan. Sebab

untuk seterusnya tenaga Uling Kuning sangat terpengaruh oleh

Page 42: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 93

perasaan muak dan sakit yang melilit-lilit di dalam rongga

perutnya.

Tetapi Arya tidak mempunyai kesempatan lebih lama lagi

untuk menilai pertempuran antara Widuri dan Uling Kuning. Sebab

pada saat itu Uling Putih telah menyerangnya pula, bagaikan badai

yang datang bergulung-gulung. Tetapi agaknya badai itu

menghantam gunung yang tegak dengan perkasanya, serta tak

setapakpun bergeser dari tempatnya.

Demikianlah di tempat yang sepi itu telah terjadi dua lingkaran

pertempuran. Uling Putih yang menyesal, bahwa ia tak berhasil

mempergunakan saat yang ditunggu-tunggu menjadi semakin

marah. Cambuknya berputar-putar semakin cepat. Tetapi

lawannya menjadi semakin garang pula. Luka di lengan dan

lambung Arya telah menambahnya semakin teguh. Ujung

tombaknya yang bercahaya kebiru-biruan, mematuk-matuk ke

segenap bagian tubuh lawan seolah-olah menjadi beribu-ribu mata

tombak yang datang dari segala arah.

Sejalan dengan itu, dada Uling Putih terasa menjadi semakin

sesak. Beberapa kali ia meloncat menjauhi lawannya untuk

mendapat kesempatan menarik nafas dalam-dalam. Namun

lawannya bukan pula seorang yang tidak mengetahui keadaannya.

Karena setiap ia berusaha untuk mendapat kesempatan itu, Arya

Salaka selalu dengan garangnya mendesak maju. Kepada

lawannya yang sangat berbahaya itu, Arya samasekali tidak mau

memberi kesempatan samasekali. Bahkan kemudian, tiba-tiba ia

teringat pada suatu pagi yang cerah di Banyubiru. Pada saat ia

berhasil menangkap seekor Uling dari Rawa Pening. Pada saat itu

Mahesa Jenar berkata kepadanya, bahwa bukan Uling seperti yang

ditangkapnya itulah yang berbahaya di daerah sekitar Rawa

Pening, tetapi sepasang Uling yang sekarang berhadapan

melawannya itulah yang dicemaskan. Diingatnya pada saat itu, ia

seolah-olah berjanji kepada Mahesa Jenar, bahwa sepasang Uling

itu pun kelak akan dibunuhnya. Sepasang Uling yang selalu

membayangi kekuasaan ayahnya di Banyubiru. Bahkan telah

Page 43: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 93

berterus terang kepadanya, bahwa sepasang Uling itupun

sekarang sedang dalam perjuangan untuk dapat merebut

kedudukan ayahnya itu lewat segala macam lekuk-liku dan cara-

cara yang licik. Karena itu, dada Arya Salaka menjadi semakin

menggelegak. Baginya tidak ada pilihan lain daripada berusaha

untuk memenuhi harapannya, membinasakan sepasang Uling yang

berhati hitam itu.

Dengan demikian, kebulatan tekadnya itu seolah-olah telah

mempengaruhi tenaganya. Ia seolah-olah telah mendapat tenaga

yang maha besar mengalir lewat pembuluh-pembuluh darahnya ke

segenap bagian tubuhnya. Karena itu, maka apa yang terjadi

kemudian sangat mengejutkan lawannya. Dengan penuh

keyakinan di dalam dadanya, Arya melanda lawannya seperti

ombak lautan yang digoncangkan badai. Dengan garangnya,

segulung demi segulung, berturut-turut menghantam tebing, yang

akhirnya akan runtuh berguguran. Demikianlah Uling Putih

akhirnya merasakan, bahwa tekanan serangan Arya Salaka

menjadi semakin dahsyat. Bahkan tiba-tiba ketika ia sedang mati-

matian mempertahankan dirinya, terasa tangannya yang

memegang cambuk itu bergetar. Dan apa yang dilihatnya sangat

mengejutkannya. Ternyata ujung cambuknya telah terpotong oleh

ketajaman tombak Arya Salaka. Dengan demikian, Uling Putih

menjadi cemas. Satu-satunya senjata yang selama ini dibangga-

banggakannya telah terpotong. Ia menjadi bertambah cemas lagi

ketika ia melirik ke arah adiknya. Dalam sekilas Arya menyaksikan

gadis itu dapat melawan Uling Kuning dengan baiknya setelah

UlingKuning dikenainya lebih dahulu. Dengan demikian ia tidak

dapat mengharap Uling Kuning akan dapat membantunya.

Tetapi Uling Putih adalah seorang yang berhati batu. Meskipun

pertempuan yang telah berlangsung itu mengatakan kepadanya

bahwa Arya Salaka bukanlah anak-anak yang hanya dapat bermain

loncat-loncatan, namun ia telah bertekad untuk memenangkan

pertempuran itu dan membunuhnya. Karena itu ia menjadi

semakin buas. Geraknya semakin lama menjadi semakin liar.

Page 44: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 93

Dalam keadan yang demikian itulah Arya benar-benar berusaha

menguasai keadaan. Ia bertempur dengan hati-hati. Ia tidak saja

mempergunakan tenaganya, tetapi ia memperhitungkan pula

setiap keadaan dan kemungkinan.

Demikianlah, ketika bulan muda telah membenamkan dirinya

di balik punggung pegunungan, terdengarlah suatu jeritan ngeri

mengumandang membentur dinding-dinding bukit. Jerit ngeri

yang patah. Dan kemudian disusul dengan suara tubuh yang jatuh

terbanting.

Sesaat kemudian kembali malam terlempar ke dalam suasana

yang sepi, Arya Salaka tampak tegak berdiri dengan tangan yang

gemetar memegang Kiai Bancak yang berlumuran darah. Darah

Uling Putih yang kini terbaring tak bernafas di hadapannya. Yang

terdengar pada saat itu hanya dengus nafas Arya Salaka yang

melonjak-lonjak. Tetapi Arya Salaka tidak mendapat kesempatan

untuk menyaksikan tubuh lawannya itu lebih lama lagi. Sebab tiba-

tiba ia melihat sebuah bayangan yang meloncat lari. Itulah Uling

Kuning yang setelah tertegun sejenak bersama lawannya, Endang

Widuri, yang seperti terpesona, menjadi sadar bahwa bahaya maut

telah mengancamnya. Karena itu ia akan berusaha untuk

menghindarkan dirinya. Tetapi Arya telah melihat bayangannya.

Dengan secepat kilat dikejarnya Uling Kuning itu. Terhadap orang-

orang yang demikian itu Arya tidak dapat berbuat lain kecuali

membinasakan. Itulah sebabnya maka Arya samasekali tidak mau

lagi memberi kesempatan kepada Uling Kuning untuk meloloskan

diri.

Demikian pula Endang Widuri. Ia tidak mau pula ketinggalan.

Maka segera iapun berlari mengejar kedua bayangan yang berlari

berkejar-kejaran. Namun kedua bayangan itu kemudian lenyap

menyusup ke dalam semak-semak. Untuk seterusnya Endang

Widuri kehilangan jejak. Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak

tahu kemana ia harus pergi. Sedang jalan kembalipun tak

diketahuinya pula. Untuk beberapa saat Endang Widuri berdiri

termangu-mangu.

Page 45: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 93

Tiba-tiba, ketika ia sedang mencari-cari jalan terdengarlah

gemersik daun di belakangnya. Cepat ia meloncat memutar

tubuhnya, dan berdiri dengan teguhnya diatas kedua kakinya yang

renggang setengah langkah serta tangannya yang disilangkan di

muka dadanya, siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang

akan terjadi.

Dalam sepi malam, terdengar langkah itu semakin jelas.

Bahkan kemudian dilihatnya dalam gelap malam dua bayangan

yang berjalan dengan tetap ke arahnya.

Endang Widuri yang baru saja bertempur melawan Uling

Kuning, masih saja merasa dipengaruhi oleh suasana perkelahian.

Karena itu ia menyambut kedatangan dua bayangan itu dengan

sikap yang garang, siap untuk bertempur. Tetapi kemudian ia

terkejut ketika didengarnya sebuah tawa yang lunak, yang sudah

terlalu sering didengarnya.

“Ayah…!” teriaknya sambil berlari menyambut kedatangan

bayangan yang sudah semakin dekat.

“Apa yang kau kerjakan di sini?” tanya Kebo Kanigara.

“Berkelahi,” jawab gadis itu.

“Hem… desis ayahnya. Aku memang sudah mengira. Apalagi

ketika aku jumpai sesosok mayat dibalik semak-semak di sebelah.”

“Kakang Arya telah membunuhnya,” jawab Widuri.

Kebo Kanigara memandang wajah Mahesa Jenar, kawannya

berjalan dengan wajah yang berkerut. Ia ingin mengetahui

bagaimanakah pendapatnya mengenai muridnya.

“Aku sudah menduga pula, bahwa anak itu akan

membunuhnya pada suatu saat. Dan sekarang hal itu sudah

dilakukannya,” gumam Mahesa Jenar seperti kepada dirinya

sendiri.

Page 46: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 93

“Darimana ayah dan Paman Mahesa Jenar tahu bahwa kami

berada di sini?” tanya Widuri.

“Ketika hari sudah gelap, dan kau berdua tidak juga datang,

aku menjadi cemas. Seseorang telah melihat kau berjalan ke arah

ini sore tadi. Dan yang terakhir teriakan seseorang, yang mungkin

adalah teriakan Uling Putih pada saat dadanya disobek oleh

tombak Arya, telah menuntun aku kemari. Tepat pada saat kami

datang, kami melihat kau berlari-lari. Karena itulah maka aku

dapat menemukan kau di sini,” jawab ayahnya.

“Tetapi aku kehilangan jejak Kakang Arya Salaka,” sahut

Widuri.

“Marilah kita cari. Agaknya ia akan terlibat pula dalam

pertempuran melawan Uling Kuning. Padahal tenaganya sudah

jauh susut karena kelelahan,” potong Mahesa Jenar.

Mereka tidak berkata-kata lagi. Tetapi segera mereka

melangkah menyibak daun-daun yang pekat, yang menghadang di

hadapan mereka. Dengan matanya yang tajam, Mahesa Jenar

dapat melihat bekas-bekas ranting yang tersibak patah-patah oleh

injakan dan sentuhan tubuh Uling Kuning dan Arya Salaka, yang

berkejar-kejaran. Dengan demikian meskipun agak sulit dan

perlahan-lahan, Mahesa Jenar dapat mencari jejak mereka berdua.

Ternyata perjalanan itu cukup panjang. Ketika mereka telah

hampir tidak sabar lagi, tiba-tiba kaki mereka menginjak tanah

yang gembur basah. Semakin lama semakin dalam. Dan sejalan

dengan itu, semak-semaknya pun menjadi bertambah tipis.

“Tanahnya mengandung air,” desis Mahesa Jenar.

“Aku kira kita sampai ke rawa atau telaga,” sahut Kebo

Kanigara.

Dan apa yang mereka perkirakan adalah benar. Sesaat

kemudian mereka sampai ke daerah yang ditumbuhi batang-

batang ilalang, dan kemudian di hadapan mereka terbentang

Page 47: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 93

telaga yang tidak terlampau luas. Agaknya Uling Kuning berusaha

melarikan diri dengan bersembunyi di telaga itu.

Ketika mereka sudah berdiri di tepi telaga, serta melayangkan

pandangan berkeliling, tiba-tiba terlihatlah sesuatu yang bergerak-

gerak di dalam telaga itu.

Demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat bayangan

itu, segera mereka mengerti bahwa yang bergerak-gerak itu

pastilah Arya Salaka dan Uling Kuning yang sedang bertempur di

dalam air. Untuk sesaat Mahesa Jenar tertegun. Ia menjadi cemas

melihat pertempuran di dalam air itu. Apalagi Kebo Kanigara.

Sebab mereka tahu bahwa hampir sepanjang hidupnya Uling

Kuning berada di sekitar tanah yang berawa-rawa, sehingga

baginya, air merupakan tempat berlindung yang terbaik.

Kemudian Widuri pun melihat perkelahian itu, namun baginya

tidaklah demikian jelas, apakah yang terjadi.

Sementara itu, Arya Salaka yang tidak mau melepaskan Uling

Kuning, terpaksa mengejarnya pula terjun ke dalam telaga. Ia

sadar bahwa Uling Kuning berharap, lewat telaga itu ia akan

mampu melepaskan dirinya. Atau kalau terpaksa ia terlibat di

dalam perkelahian, maka perkelahian di dalam air akan banyak

memberinya keuntungan. Dan apa yang diharapkan itu terjadilah.

Arya tidak peduli lagi apa yang akan terjadi, meskipun ia terpaksa

berkelahi di dalam air.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya.

Disamping mereka harus berjuang untuk tidak terbinasakan oleh

lawan, mereka juga harus menjaga diri mereka supaya tidak

tenggelam.

Uling Kuning adalah seorang yang seolah-olah dapat hidup di

dalam air. Tangan dan kakinya benar-benar dapat dipergunakan

dengan baik seperti itik mempergunakan sayap serta kakinya, atau

binatang air mempergunakan sirip-siripnya. Karena itu, ia dapat

dengan lincahnya bertempur. Namun sayang bahwa perasaan

Page 48: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 93

muak dan nyeri di dalam perutnya tidak juga mau hilang. Apalagi

yang dihadapi adalah Arya Salaka. Uling Kuning tidak pernah

mimpi bahwa anak itu pernah hidup sebagai anak nelayan di pantai

Tegal Arang. Bahkan meskipun tidak begitu lama, namun Arya

telah memiliki pengalaman yang cukup untuk menaklukan air.

Tidak hanya air setenang air telaga itu, tetapi air yang sedang

murka sekalipun. Arya Salaka pernah terjun ke dalam gelombang

yang ganas untuk menyelamatkan alat-alat penangkap ikannya

bersama-sama kawan-kawannya. Bahkan darah pelaut yang

mengalir di dalam tubuh ayahnya, ternyata mengalir pula di dalam

tubuhnya. Pada masa kanak-kanaknya ia telah berani berkelahi

dengan seekor uling yang cukup besar di dalam rawa. Sedang pada

saat ia menginjak dewasa, ia menerjunkan diri dalam dunia

kehidupan nelayan. Karena itu, dengan tidak diduga oleh Uling

Kuning, Arya Salaka pun dengan dahsyatnya berhasil menyerang

lawannya dari arah yang membingungkan. Sekali-kali ia

melenyapkan diri dari permukaan air, kemudian muncullah ia di

tempat yang tak terduga-duga. Seandainya musuhnya bukan

seorang yang memang sejak kecil hidup bergulat dengan air, maka

Arya pasti akan dengan mudahnya dapat membinasakan. Tetapi

sekarang ia menemukan lawan yang seimbang.

Maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.

Air di sekitar tempat itu menjadi seolah-olah mendidih. Buih-buih

yang putih bergolak dengan hebatnya di antara bayangan hitam

yang timbul-tenggelam bersama-sama. Bahkan kedua bayangan

itu akhirnya seolah-olah berpadu menjadi satu dan bergolak bukan

main hebatnya.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta Endang Widuri yang

berdiri di tepi telaga menjadi cemas. Apalagi ketika tiba-tiba

bayangan yang hitam itu lenyap seperti ditelan putaran air yang

melingkar-lingkar.

Mahesa Jenar kemudian menjadi tidak sabar lagi menunggui

saja di tepi telaga. Karena itu segera ia melepas baju serta

kainnya. Hanya dengan celana saja Mahesa Jenar meloncat pula

Page 49: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 93

ke dalam air, dan berenang cepat-cepat ke arah kedua bayangan

itu tenggelam.

Sementara itu Arya berjuang mati-matian melawan maut.

Uling Kuning benar-benar tangguh bertempur di dalam air.

Tangannya benar-benar dapat melilit seperti seekor Uling yang

melilit korbannya. Untunglah bahwa Arya memiliki tenaga raksasa,

sehingga dengan pukulan-pukulan yang keras, ia selalu dapat

membebaskan diri dari belitan Uling Kuning. Namun akhirnya

usaha Uling Kuning itu berhasil. Seperti gila ia tidak menghiraukan

samasekali pukulan-pukulan terakhir yang dilontarkan oleh Arya

Salaka yang tenaganya semakin lama semakin kendor. Bahkan

tiba-tiba terasa sesuatu menjerat di lehernya. Ternyata Uling

Kuning telah berhasil mengurai cambuk lemasnya, dan berhasil

membelit leher Arya dengan senjatanya itu. Dengan demikian

seolah-olah nafas Arya menjadi tersumbat. Ia meronta sekuat

tenaga, namun tenaga Uling Kuning itu semakin erat menarik

belitan cambuknya pada leher Arya. Dalam keadaan demikian Arya

menjadi marah bukan buatan dan mengamuk sejadi-jadinya.

Dengan kakinya ia menangkap tubuh Uling Kuning dan tidak mau

melepaskannya lagi. Sedang kedua tangannya berusaha untuk

mencekik leher lawannya. Namun sayang ia tidak berhasil.

Meskipun demikian kakinya menjadi seperti terkunci dan dengan

kerasnya membelit perut lawannya. Perasaan muak dan nyeri pada

perut Uling Kuning menjadi semakin hebat. Dengan sekuat tenaga

ia mencoba untuk menahan perasaan itu. Sebab pada hematnya,

sebentar lagi Arya pasti sudah tidak akan dapat bernafas dan

dengan demikian ia akan bebas.

Dalam keadaan yang demikian itulah mereka bersama-sama

berputar-putar dan akhirnya bersama-sama tenggelam. Bagi Arya

tidak ada jalan lain kecuali mati bersama-sama daripada mati

seorang diri. Itulah sebabnya, ketika terasa senjata Uling Kuning

membelit lehernya semakin keras, kakinya pun menjadi semakin

keras menekan perut lawannya itu, supaya Uling Kuning ikut serta

Page 50: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 93

terseret ke dalam air. Sedang tangannya berusaha untuk

mengurangi tekanan lilitan cambuk di lehernya.

Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ia teringat bahwa pada saat ia

menerjunkan diri ke dalam air. Kiai Bancak telah disarungkannya.

Tepat pada saat-saat terakhir, dengan sisa tenaga yang ada Arya

menarik tombak pusaka kebesaran

Banyubiru, dan dengan sepenuh

nafsu kemarahannya ditekankan

ujung tombak itu ke dalam perut

lawannya. Terdengarlah suara

menggelegak sesaat. Setelah itu

terasa tarikan cambuk yang

membelit lehernya menjadi

semakin kendor. Sadarlah Arya

bahwa ia berhasil membunuh Uling

Kuning dengan tombaknya. Karena

itu dilepaskannya belitan kakinya,

dan setelah air di sekitarnya

dipenuhi dengan merahnya darah,

ia berusaha untuk berenang ke

permukaan air. Namun tenaganya

sudah sedemikian lemahnya.

Bagaimanapun juga ia berusaha,

tetapi pada saat ia berhasil menegakkan kepalanya ke permukaan

air terasa bahwa matanya menjadi berkunang-kunang. Ketika Arya

mencoba memandang bintang-bintang yang gemerlapan di langit,

maka yang tampak seolah-olah mendung yang tebal menggantung

di udara. Hitam dan kelam. Yang diingatnya pada saat terakhir

adalah menyarungkan tombaknya yang baginya sama harganya

dengan kepalanya, kembali ke dalam sarungnya. Sesudah itu

semuanya seperti lenyap dari ingatannya.

Ketika ia tersadar, terasa seolah-olah sebuah mimpi yang

indah membayang di hadapannya. Meskipun tubuhnya masih

terasa dingin oleh pakaiannya yang basah, namun dilihatnya

Page 51: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 93

beberapa orang duduk di sekitarnya, pada sebuah balai-balai

besar. Sebuah lampu minyak yang terang, menyala-nyala dengan

riangnya, seolah-olah ikut serta bergembira untuk keselamatan

Arya Salaka.

Ketika ia sempat mengamat-amati wajah-wajah di sekitarnya,

tampaklah gurunya yang sedang merenunginya dengan seksama.

Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, Wiradapa dan

beberapa orang lagi yang dikenalnya sebagai orang-orang

Gedangan.

Demikian ia mulai menggerakkan matanya, tampaklah

keriangan membersit di wajah-wajah mereka yang dengan

kecemasan menungguinya. Apalagi Mahesa Jenar. Dengan

tergopoh-gopoh ia bergerak maju dan dengan hati-hati

ditempelkannya kupingnya pada dada Arya untuk mendengarkan

detak jantung anak itu.

“Arya....” bisiknya.

Arya mencoba tersenyum, namun kulit wajahnya serasa

membeku.

“Kakang Wiradapa....” kata Mahesa Jenar perlahan-lahan.

“Pinjamilah anak ini pakaian kering.”

Dengan tergesa-gesa Wiradapa bangkit, dan sesaat kemudian

ia telah kembali dengan pakaian-pakaian kering. Dengan kain

panjang, tubuh Arya diselimuti rapat-rapat, dan kemudian

dilepaskannya pakaian-pakaiannya yang basah. Sesaat kemudian

terasa tubuhnya menjadi agak hangat. Tetapi dalam pada itu,

ingatannya masih belum pulih benar. Ia masih belum mengerti

dimana ia berada. Dinding-dinding ruangan itu nampaknya masih

kabur serta dilapisi selaput yang buram.

Dengan susah payah akhirnya terdengar ia berdesis, “Di

manakah aku sekarang…?”

Page 52: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 93

“Kau berada di Kelurahan Gedangan, Arya. Tenangkan

pikiranmu. Semuanya sudah selesai,” sahut Mahesa Jenar.

“Uling Kuning…?” bisiknya perlahan.

“Ia tidak akan mengganggumu lagi,” jawab Mahesa Jenar.

“Jadi, aku berhasil…?” sambungnya.

“Ya, kau berhasil,” jawab Mahesa Jenar pula.

Arya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengarlah ia

bergumam, “Tuhan Maha Besar.”

Yang mendengar gumaman Arya itu menjadi terharu. Mereka

semakin yakin bahwa anak itu tidak saja akan menjadi seorang

yang berjiwa besar, tetapi ia juga akan menjadi seorang pemimpin

yang saleh. Seorang pemimpin yang akan membawa rakyatnya

berjalan sepanjang jalan Allah. Dalam usianya yang semuda itu,

sudah tampaklah sifat-sifat Arya Salaka yang cemerlang. Jauh dari

kesombongan dan nafsu membalas dendam. Cinta kepada

manusia dan kemanusiaan, serta memandang alam ini dengan

penuh cinta kasih pula.

Demikianlah setelah mengucapkan kata-kata itu hati Arya

menjadi tenteram. Tetapi bersamaan dengan perasaan itu,

tubuhnya mulai berasa betapa penat dan sakitnya. Tulang-

tulangnya serasa berderak-derak patah, serta sendi-sendinya

seperti terlepas. Luka di lengan serta lambungnya menjadi pedih

sekali. Cambuk Uling itu telah menyobek kulitnya. Disamping itu,

lehernyapun terasa nyeri. bekas-bekas cambuk Uling Kuning masih

meninggalkan bekas-bekas goresan merah. Meskipun demikian

Arya Salaka berusaha untuk melupakan semua sakit-sakit yang

dideritanya.

Tetapi suatu pekerjaan yang berat, bahkan sangat berat telah

diselesaikan. Melenyapkan Uling Putih dan Uling Kuning sekaligus.

Kemudian tahulah ia, bahwa Mahesa Jenar lah yang telah

menolongnya, ketika ia pingsan di tengah-tengah telaga, setelah

Page 53: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 93

ia berkelahi melawan Uling Kuning. Gurunya itu datang tepat pada

saatnya, yang kemudian menyambarnya dan menariknya ke tepi.

Kalau saja Mahesa Jenar terlambat beberapa saat saja, mungkin

ia pun telah binasa seperti Uling Kuning.

Ketika orang-orang yang mengerumuninya mengetahui bahwa

keadaannya telah berangsur baik, maka satu demi satu mereka

meninggalkan tempat itu. Yang tinggal kemudian hanya beberapa

orang saja. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri,

Wanamerta dan Wiradapa. Dengan pertolongan beberapa orang,

Kebo Kanigara mendapatkan beberapa macam daun-daunan serta

akar-akar yang diperlukan untuk mengobati luka Arya. Untunglah

bahwa dalam beberapa hal Kebo Kanigara telah belajar pada

Panembahan Ismaya, sehingga dengan cekatan ia dapat

mengobati luka-luka itu.

Beberapa saat kemudian tampaklah keadaan Arya Salaka

berangsur baik. Bahkan kemudian ia sudah dapat tidur. Dengan

demikian ia dapat beristirahat lahir dan batin.

Demikianlah, untuk beberapa hari Arya perlu beristirahat

benar-benar untuk menyembuhkan luka-lukanya serta

memulihkan tenaganya. Sebab setelah ia bertempur mati-matian,

terasa seolah – olah tenaganya telah terhisap habis.

Dalam saat-saat itu, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah

berusaha menjadikan orang-orang Gedangan lebih masak lagi.

Sebab untuk seterusnya tidaklah selalu Mahesa Jenar, Arya Salaka

dan Kebo Kanigara akan dapat berada di tempat itu. Meskipun

menurut perhitungan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, musuh

tidak akan datang kembali. Orang-orang yang berkepentingan

langsung dengan daerah Gedangan telah binasa. Sedangkan laskar

Pamingit pun menurut dugaan Mahesa Jenar tidak akan segera

kembali. Mereka pasti harus mempertimbangkan kekuatan yang

ada di daerah kecil ini. Mereka pada saat-saat yang lalu pasti tidak

akan menduga bahwa di daerah ini ada orang-orang seperti Kebo

Page 54: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 93

Kanigara dan bahkan orang yang berjubah abu-abu, yang tanpa

diduga-duga datang menolong.

Setelah Arya sudah pulih kembali kesehatan serta tenaganya,

maka mulailah mereka mempertimbangkan apa yang akan

dilakukan seterusnya. Menurut pertimbangan Kebo Kanigara,

maka yang sebaik baiknya adalah menghadap Panembahan

Ismaya dan melaporkan apa yang telah terjadi serta menyatakan

keselamatan diri.

Demikianlah kemudian mereka terpaksa minta diri kepada

orang-orang Gedangan, setelah mereka mengalami suka duka

bersama, berjuang bersama. Tentu saja orang-orang Gedangan

menjadi kecewa atas perpisahan itu. Tetapi perpisahan itu harus

terjadi, sebagaimana matahari akan tenggelam pada senja hari

setelah sehari penuh sinarnya memancari permukaan bumi.

Demikianlah pula setiap pertemuan pasti akan diikuti dengan

perpisahan. Cepat atau lambat. Karena tak ada sesuatu yang kekal

di muka bumi ini. Setiap kali selalu ada perubahan-perubahan dan

putaran-putaran peristiwa. Seperti berputarnya bola bumi itu

sendiri. Sekali sebagian wajahnya menjadi terang benderang

karena cahaya matahari tetapi sekali menjadi gelap oleh

bayangannya sendiri.

Kepada orang-orang Gedangan Mahesa Jenar mencoba untuk

menjelaskan hal itu. Kemudian katanya, “mengakhiri karena itu

selagi kita berada ditempat yang terang. janganlah kita

bersombong diri. Janganlah kita menganggap bahwa di sana ada

dunia yang gelap, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang

tidak berhak menikmati terangnya sinar matari. Tetapi dalam

keadaan demikian, kita justru harus mengucapkan syukur kepada

Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita masih berkesempatan untuk

memandang udara yang cerah. Sebab pada saat yang lain, kitapun

akan sampai pada daerah yang kelam. Pada saat yang demikian

kita harus berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menerangi

hati kita menjelang masa depan yang cerah.”

Page 55: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 93

Akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya

Salaka, Endang Widuri dan Wanamerta terpaksa dilepas pergi,

meskipun dengan berat hati. Meskipun demikian, mereka

berkesempatan untuk mengadakan sekedar selamatan

perpisahan, meskipun sederhana.

Demikianlah ketika cerahnya matahari pagi sedang memercik

di atas dedaunan, berjalanlah sebuah rombongan yang kecil

meninggalkan desa Gedangan menuju ke pebukitan Karang

Tumaritis. Di sepanjang jalan tidaklah banyak yang mereka

percakapkan, sebab kepala mereka masing-masing dipenuhi oleh

kenangan-kenangan atas peristiwa yang baru saja terjadi. Tetapi

tidaklah demikian dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Selain

kenangan-kenangan yang sekali-sekali membayang di dalam

ingatannya, mereka juga berangan-angan tentang masa depan.

Tentang Sawung Sariti beserta ayahnya Ki Ageng Lembu Sora.

Tentang daerah perdikan Banyubiru. Dan yang tidak kalah

pentingnya, tentang pusaka-pusaka Demak, Kyai Nagasasra dan

Kyai Sabuk Inten. Dengan diketemukannya kedua keris itu, maka

banyak hal yang sekaligus dapat diurai. Sebab keadaan Ki Ageng

Gajah Sora pun sebagian tergantung pada keris-keris itu.

Yang juga terlintas di dalam otak Mahesa Jenar adalah cara

penyelesaian yang secepat-cepatnya mengenai Banyubiru.

Tidaklah sepantasnya kalau Arya Salaka masih harus

menyembunyikan diri terus-menerus. Karena itu bagi Mahesa

Jenar, sebaiknya Arya Salaka yang datang ke Banyubiru, dan

dengan berterus terang menyatakan diri sebagai pengganti

ayahnya, kepala daerah perdikan Banyubiru.

Tetapi pelaksanaan rencana itu haruslah diolah semasak-

masaknya. Sebab setiap kesalahan akan dapat menimbulkan

akibat yang samasekali tidak diharapkan.

Demikianlah rombongan kecil itu berjalan menyusur jalan-

jalan pegunungan dengan tenangnya. Sekali-kali mereka harus

meloncat-loncat di atas batu-batu padas. Dan dengan demikian

Page 56: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 93

mereka telah mengejutkan burung-burung liar yang sedang

bertengger di atas karang-karang terjal yang menjorok di tebing-

tebing pegunungan.

III Hari yang Cerah

Pada saat rombongan kecil, yang terdiri dari Kebo Kanigara

beserta putrinya Endang Widuri. Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya

Salaka dan Wanamerta sampai di Padepokan Karang Tumaritis,

mereka melihat Panembahan Ismaya sedang duduk dikerumuni

beberapa orang cantrik. Agaknya Panembahan itu sedang

bercakap-cakap atau berceritera tentang suatu hal yang sangat

menarik. Sebab tidaklah lazim Panembahan Ismaya memberi

wejangan dan pelajaran dengan cara yang demikian.

Ketika salah seorang cantrik melihat kedatangan rombongan

itu, serta memberitahukan kepada Panembahan Ismaya, maka

dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu berdiri dan

menyambut. Dipersilahkannya rombongan itu duduk pula

bersama-sama dengan para cantrik.

Yang pertama-tama ditanyakan adalah keselamatan mereka

yang baru saja datang menghadap.

Kebo Kanigara lah yang mewakili menjawab setiap pertanyaan

Panembahan Ismaya, serta menyampaikan bakti mereka

bersama-sama.

Panembahan Ismaya mendengarkan semua ceritera Kebo

Kanigara dengan penuh perhatian. Kata demi kata seolah-olah

dicernakan kembali didalam otaknya untuk dapat menangkap

saripatinya.

“Syukurlah kalau kalian selamat,” katanya kemudian, namun

wajahnya tampak muram.

“Karena pangestu Panembahan,” jawab Kebo Kanigara.

Page 57: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 93

“Sebenarnya aku telah mendengar apa yang terjadi di

Gedangan, dari tembang-rawat-rawat bakul sinambi wara. Juga

seorang cantrik yang sedang turun untuk menukarkan hasil

pertanian kami, mendengar pula ceritera tentang pertempuran

yang terjadi di Gedangan.” Panembahan Ismaya berhenti sejenak.

Wajahnya yang muram itu menatap dengan tajam ke arah mata

Kebo Kanigara yang kemudian menundukkan kepalanya. “Dan aku

mendengar pula....” sambung Panembahan Ismaya, “Bahwa pada

kedua belah pihak jatuh korban.”

“Ya.” jawab Kanigara pendek sambil masih menekurkan

kepalanya.

“Dalam setiap perselisihan dan kekerasan akan jatuh korban,”

sambung Panembahan Ismaya bergumam seperti kepada dirinya

sendiri. “Besar atau kecil, seperti apa yang baru saja terjadi.”

Sekali lagi Panembahan tua itu berhenti, menelan ludahnya. Lalu

kemudian ia berkata kepada salah seorang cantrik, “Kenapa belum

kalian sajikan minuman untuk para tamu ini?”

Seorang cantrik segera berdiri dan pergi ke belakang untuk

menyiapkan minuman bagi rombongan yang memang kehausan

itu.

Setelah mengucapkan kata-kata itu. Panembahan Ismaya

tidak meneruskan kata-katanya. Bahkan kemudian tampaklah ia

menundukkan wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang menyumbat

kerongkongannya.

Yang melihat hal itu, tak seorang pun yang berani

mengucapkan sepatah katapun. Meskipun hati mereka diliputi oleh

berbagai pertanyaan namun mulut mereka terkatub rapat.

Baru beberapa saat kemudian Panembahan tua itu berkata,

“Anak-anakku semua. Baru saja aku memperkatakan angger Arya

Salaka. Aku dengar bahwa angger mengalami peristiwa yang

hampir menyeretnya kedalam kesulitan.”

Page 58: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 93

Arya Salaka membungkukkan badannya, dan dengan

hormatnya ia menjawab, “Benar Panembahan. Tetapi Tuhan yang

Maha Murah telah membebaskan aku dari cengkeraman maut.”

Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Katanya lirih, “Angger, baru saja memperkatakan angger dengan

para cantrik. Peristiwa seperti apa yang terjadi atas daerah

Perdikan Banyubiru itu telah berulang kali terjadi. Dalam

lingkungan yang besar dan dalam lingkungan yang lebih kecil.

Pertentangan yang terjadi di antara keluarga sendiri.”

Panembahan Ismaya berhenti sesaat, seolah-olah hendak

menunggu sampai kata-katanya meresap kedalam otak bocah itu.

Kemudian ia meneruskan, “Baru saja aku berceritera kepada para

cantrik. Ceritera tentang masa-masa lalu, yang pernah aku dengar

dari mulut ke mulut, atau yang pernah aku baca dari lontar-lontar.

Keretakan demi keretakan, perselisihan demi perselisihan dan

pertempuran demi pertempuran telah berulang kali menusuk

jantung kita sendiri. Usaha yang telah dikerjakan dengan bekerja

keras dan penuh keprihatinan, akhirnya dihancurkan oleh

ketamakan dan pemanjaan nafsu.”

“Kisah tentang kebesaran Baginda Erlangga di Jawa Timur

adalah satu di antaranya. Dengan susah payah baginda Erlangga

berusaha untuk membina persatuan dari seluruh kerajaannya.

Dibekali dengan sakit dan lapar. Dengan mesu raga disepanjang

bukit dan hutan. Sehingga oleh Empu Kanwa Baginda

dipersamakan dengan Arjuna dalam Kakawin Arjunawiwaha.

Tetapi yang kemudian terpaksa membagi daerah yang dengan

susah payah disatukan itu menjadi dua. Itu sebenarnya bukanlah

peristiwa yang paling menyedihkan didalam hidupnya. Tetapi lebih

daripada itu pewaris-pewarisnya ternyata telah menyobek-nyobek

dada sendiri. Terutama Janggala, yang semakin lama menjadi

semakin surut. Dan akhirnya lenyap dari percaturan sejarah.

Sedang Kediri agaknya masih dapat bertahan lebih lama lagi.

Namun negara ini pun mengalami peristiwa yang sama. “Baginda

Jayabaya terpaksa harus berperang melawan kadang sendiri, yaitu

Page 59: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 93

Jayasaba. Tetapi apa yang mereka dapatkan dari perselisihan-

perselisihan itu? Kediri pun semakin lama semakin surut. Dan

hanyutlah Kediri pada jaman Baginda Kertajaya, dilanda oleh

kekuatan yang tumbuh dari lingkungan yang tak dapat diketahui.

“Ken Arok, yang kemudian bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi.

Tetapi kekuatan inipun kemudian terpecah belah. Pertengkaran-

pertengkaran timbul. Golongan yang satu melawan golongan yang

lain. Pengikut-pengikut Anusapati dari darah Tunggul Ametung

melawan golongan Tohjaya dari darah Sang Amurwabhumi dengan

isterinya yang kedua Ken Umang. Juga mereka tidak mendapatkan

sesuatu dari pertengkaran ini kecuali kelemahan dan mendorong

diri sendiri ke tepi jurang keruntuhan. Ketika golongan-golongan

itu telah tidak lagi saling berdesak-desakan, datanglah

Kertanegara. Tetapi tanpa disangka-sangka, di dalam tubuh

kekuasaan Kertanegara terdapatlah Ardaraja, yang membantu

kekuatan dari luar untuk menghancurkan Singasari. Juga Singasari

kemudian runtuh. Setelah itu lahirlah Majapahit dengan

megahnya. Kesatuan dan persatuan dapat dibina dengan cucuran

keringat Sang Maha Patih Gajah Mada. Karena itulah Majapahit

menjadi mercusuar dari negara-negara yang terserak-serak dari

Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,

Palembang, Tumasik dan banyak daerah-daerah lagi. Juga dengan

negara-negara tetangga Syangka, Darmanegari, Campa, Kamboja

dan masih banyak lagi.” Sekali lagi Panembahan Ismaya berhenti

untuk sesaat.

Arya mendengar ceritera Panembahan Ismaya itu dengan

penuh perhatian. Beberapa dari ceritera itu pernah didengarnya

dari gurunya. Namun kali ini rasa-rasanya ceritera itu lebih

meresap daripada yang pernah didengarnya.

“Tetapi” Panembahan Ismaya meneruskan, “Majapahit pun

kemudian menjadi surut. Sepeninggal Gajah Mada dan Baginda

Hayam Wuruk, Majapahit seolah-olah kehilangan alas. Perang

yang timbul di antara keluarga sendiri semakin mempercepat

kehancurannya. Perang Saudara yang menyedihkan terjadi, ketika

Page 60: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 93

Blambangan tidak mau tunduk lagi. Sebab Adipati Blambangan

merasa berhak pula atas tahta Majapahit. Akibat perang saudara

yang disebut Perang Paregreg inilah maka Majapahit benar-benar

telah menghancurkan dirinya sendiri. Sebab setelah itu Kerajaan

Besar yang telah mengalami perang saudara selama 5 tahun itu

benar-benar telah lumpuh dan tidak mampu mengembangkan

sayapnya kembali. Raja-raja yang ada kemudian samasekali tidak

berarti. Adipati-adipati dan Bupati-bupati kemudian lebih senang

memisahkan diri dan mendirikan negara-negara kecil yang

terpecah belah.”

“Dalam pada itu, bangkitlah kemudian kerajaan Demak. Nah,

dalam hal ini anakmas Mahesa Jenar akan lebih banyak tahu

daripada aku. Namun satu hal yang sekarang sangat

mencemaskan. Kebesaran Demakpun agaknya terganggu. Dua

garis keturunan yang aku dengar sekarang ini sedang dalam

keadaan yang kurang menyenangkan. Garis keturunan Sultan

Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda Lepen.”

Panembahan Ismaya mengakhiri ceriteranya. Pandangan

matanya yang lunak beredar dari wajah yang satu ke wajah yang

lain. Sedangkan mereka yang mendegarkan ceritera itu, dengan

cermatnya mengikuti setiap persoalan. Apalagi Mahesa Jenar dan

Kebo Kanigara. Mereka tidak mendengar kisah itu sebagai kisah

melulu. Kisah yang harus disesali bahwa hal-hal yang

menyedihkan itu telah terjadi. Tetapi lebih daripada itu, masa yang

lampau itu hendaknya menjadi cermin atas masa datang

perpecahan demi perpecahan, perselisihan demi perselisihan

antara keluarga sendiri. Dan itu terjadi sekarang.

Ya, sekarang ini.

Dan ini mengancam keselamatan kerajaan Demak.

Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Demikian pula Kebo

Kanigara sebagai seorang bangsawan cucu dari salah seorang yang

pernah merajai Majapahit, hatinya tersentuh pula.

Page 61: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 93

Arya Salaka yang tidak mengerti terlalu jauh tentang ceritera

itu berusaha untuk menghubungkan dengan peristiwa di

daerahnya, Banyubiru. Setiap kali ia merasa, bahwa memang hal

yang serupa telah terjadi. Dalam lingkungan yang kecil, Tanah

Perdikan Banyubiru. Namun demikian ia tidak tahu, bagaimana

seharusnya ia memecahkan masalah yang dihadapinya. Tetapi ia

tidak perlu bingung. Sebab nanti akan dapat menanyakan itu

kepada gurunya.

Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar Panembahan Ismaya

berkata dengan nada yang berbeda, “Nah anak-anak sekalian. Aku

terlalu tergesa-gesa untuk berceritera, sampai aku lupa bahwa

kalian sedang lelah dan perlu beristirahat. Karena itu, silahkan

kalian membersihkan diri, dan kemudian biarlah para cantrik

melayani kalian makan bersama. Akupun perlu beristirahat setelah

terlalu lama bermain-main dengan para cantrik.”

Kemudian ditinggalkannya Kebo Kanigara beserta

rombongannya oleh Panembahan Ismaya untuk mengaso di dalam

sanggarnya.

Demikianlah kemudian merekapun segera menempati tempat

mereka masing-masing seperti pada saat mereka berada di tempat

itu. Dan untuk waktu-waktu seterusnya, kembalilah mereka

menjadi bagian dari masyarakat kecil di atas bukit Karang

Tumaritis.

Kebo Kanigara kembali dalam kedudukannya sebagai seorang

Putut bersama Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Wilis dan Widuri pun

kembali pula hidup di antara para Endang di padukuhan itu.

Tetapi dalam pada itu, ada yang selalu menyentuh-nyentuh

perasaan Mahesa Jenar. Ceritera Panembahan Ismaya tentang

keadaan Demak sekarang sangat menarik perhatiannya. Ia selalu

menghubung-hubungkan ceritera itu dengan pusaka-pusaka

Demak yang hilang. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Page 62: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 93

Apakah kalau pusaka itu diketemukan, dan kemudian dimiliki

oleh salah seorang dari garis keturunan itu, keadaan lalu jadi

tenang?

Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang

yang berjubah abu-abu, yang pernah datang ke Banyubiru dan

mengambil kedua keris itu. Lebih daripada itu. Mahesa Jenar

teringat dengan gamblangnya seorang yang berjubah abu-abu

pula, yang dijumpainya di perjalanannya pada saat ia sedang

kehilangan akal. Pada saat hatinya seolah-olah pecah karena

hubungannya dengan Rara Wilis yang pada saat itu diantarkan oleh

Sarayuda. Pada saat ia meninggalkan Arya Salaka di perjalanan

dan berusaha untuk melupakan anak itu. Pada saat itu dijumpainya

orang yang berjubah abu-abu itu. Teringat dengan jelasnya orang

itu berkata kepadanya, ketika ia bertanya di mana kedua keris itu

berada. Katanya, “Mahesa Jenar, kedua keris itu berada di dalam

kekerasan hatimu serta usahamu”. Lalu orang berjubah itu

meneruskan, “Hati-hatilah kelak kau memilih. Ada dua keturunan

yang merasa berhak memiliki keris itu. Keturunan Trenggana dan

Keturunan Sekar Seda Lepen. Pilihlah siapa di antara mereka yang

mengutamakan kepentingan rakyat serta kesejahteraan negara.

Kepadanya keris itu kau serahkan.”

Suara itu seolah-olah kini terngiang kembali dalam telinganya.

Suara orang yang berjubah abu-abu. Tiba-tiba ia menghubungkan

pesan orang berjubah abu-abu itu dengan ceritera Panembahan

Ismaya. Dua garis keturunan yang diam-diam mengandung

pertentangan, garis keturunan Sultan Trenggana dan garis

keturunan Sekar Seda Lepen.

Hati Mahesa Jenar kemudian menjadi berdebar-debar. Apakah

hubungannya antara ceritera Panembahan Ismaya dan orang yang

berjubah abu-abu itu. Dan apakah sebabnya maka orang yang

berjubah abu-abu itu tiba-tiba saja muncul di dalam pertempuran

yang terjadi beberapa saat yang lalu, ketika pasukannya sedang

dalam keadaan yang sangat berbahaya?

Page 63: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 93

Persoalan-persoalan itu selalu melingkar-lingkar di dalam

relung dada Mahesa Jenar, bahkan kemudian telah mendorongnya

untuk menilai setiap keadaan paling kecilpun dalam usahanya

untuk menemukan jawaban teka-teki yang selalu mengganggu

otaknya itu.

Malahan lebih daripada itu, ia sudah bertekad untuk

menemukan suatu kepastian, bahwa orang yang berjubah abu-abu

dan orang yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya pastilah

ada tali yang menghubungkan mereka itu.

Dalam usahanya itu mula-mula Mahesa Jenar tidak ingin

berkata kepada seorangpun. Untuk sementara ia ingin bekerja

sendiri. Dihubung-hubungkannya semua yang pernah dilihat dan

didengarnya, yang pernah dialami dan pernah dihayati selama ini.

Meskipun dalam beberapa hari kemudian tak ada sesuatu yang

menjelaskan dugaannya, namun dengan sabarnya ia bekerja

terus. Sebab apabila hal itu bisa dipecahkan, akan terbukalah

beberapa masalah sekaligus.

Tetapi akhirnya kepada Kebo Kanigara, seorang yang telah

banyak memberi bantuan kepadanya dalam pencapaiannya atas

taraf peresapan ilmunya lebih sempurna lagi, Mahesa Jenar

ternyata tidak dapat berahasia. Kepada Kebo Kanigara

diceriterakannya semua yang pernah dialami dan semua dugaan

yang tersimpan di dalam dadanya.

Mendengar semuanya itu, Kanigara mengerutkan keningnya

tinggi-tinggi. Wajahnya berubah menjadi tegang. Dan dengan hati-

hati ia menjawab, “Mahesa Jenar, meskipun aku telah agak lama

tinggal di padepokan ini, namun banyak hal yang tidak aku ketahui

tentang Panembahan Ismaya. Yang aku ketahui adalah,

Panembahan Ismaya memang sering meninggalkan padepokan ini.

Seterusnya aku tidak tahu.”

Page 64: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 93

Mahesa Jenar dapat mempercayai kata-kata Kebo Kanigara itu.

Sebab orang yang berjubah abu-abu itu pasti tidak menginginkan

seorangpun mengetahui keadaan sebenarnya.

Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar mendapatkan suatu

pikiran yang barangkali akan dapat memperjelas persoalan. Dan

ketika pikirannya itu disampaikan kepada Kanigara, ia menjadi

tersenyum dan menjawab, “Mahesa Jenar, otakmu benar-benar

terang. Dan beruntunglah semua pengalaman yang pernah kau

alami dapat kau pergunakan sebaik-baiknya. Aku sependapat

dengan rencanamu, dan aku akan membantumu.”

Kemudian bersepakatlah mereka untuk mencoba memecahkan

teka-teki yang rumit itu. Kali ini mereka akan menempuh jalan

yang sedikit berbahaya. Namun apabila jalan yang dilewatinya

benar, akan terpecahkanlah persoalan itu.

Demikianlah pada suatu malam, Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Kepada Rara

Wilis dan Endang Widuri, mereka berpesan bahwa mereka akan

menempuh suatu perjalanan yang agak panjang, untuk

menyelesaikan banyak persoalan, sehingga mereka tidak perlu

ikut. Sedang kepada Arya Salaka, dipesankan untuk

menyampaikan kepergian mereka besok pagi, langsung kepada

Panembahan Ismaya, tidak kepada orang lain. Juga tidak kepada

Rara Wilis dan Endang Widuri.

Ketika pada pagi harinya Arya Salaka menyampaikan pesan itu

kepada Panembahan Ismaya, panembahan tua itu tiba-tiba

mengerutkan keningnya. Wajahnya berubah membayangkan

kecemasan. Kepada Arya, ia bertanya, “Arya… kapankah mereka

berangkat?”

“Semalam Panembahan,” jawab Arya.

“Kenapa mereka tidak mengatakan keperluannya itu

kepadaku?”

Page 65: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 93

“Kedua paman itu takut kalau Panembahan tidak mengijinkan.

Sebab Panembahan selalu tidak memperkenankan paman-paman

itu untuk melakukan kekerasan untuk mencapai maksudnya,

apabila tidak terpaksa sekali.”

Kembali Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Namun

karena kebijaksanaannya, Arya tidak dapat mengerti tanggapan

apa yang menjalar dalam dada orang tua itu.

“Arya....” kata Panembahan pula, “Adakah paman-pamanmu

itu yakin bahwa mereka akan menemukan apa yang dicarinya?”

“Ya Eyang… kedua paman itu yakin bahwa yang dicarinya itu

ada di sana,” jawab Arya.

“Seharusnya mereka minta ijin dulu kepadaku,” gumamnya,

lalu katanya meneruskan, “Tetapi semuanya sudah terlanjur.

Kaulah sekarang yang harus menggantikan kedua pamanmu

menuntun para cantrik dan semua penghuni padepokan ini.”

Demikianlah Panembahan tua itu menyesali perbuatan Mahesa

Jenar dan Kebo Kanigara. Dalam hal ini, Arya Salaka pun menjadi

heran. Apakah salahnya kalau kedua pamannya minta ijin lebih

dulu? Kalau masalahnya benar-benar penting, apalagi menyangkut

kedua keris pusaka Demak itu, pasti Panembahan Ismaya akan

mengijinkan. Tetapi Arya Salaka tidak mau berpikir terlalu

panjang. Kalau kedua pamannya itu berbuat demikian, pastilah

ada hal yang memaksa mereka melakukan itu.

Sementara itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah jauh

meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Mereka pergi ke arah

timur dan kadang-kadang mereka mengarah ke utara, dengan

tujuan Banyubiru.

Perjalanan itu memang agak jauh. Lewat tanah-tanah yang

berbatu-batu tajam dan kadang-kadang mereka harus mendaki

lereng-lereng terjal. Untunglah bahwa sebelum mereka

Page 66: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 93

menempuh perjalanan itu mereka sempat singgah di Gedangan

untuk mendapatkan dua ekor kuda yang baik.

Dengan kuda itulah mereka menempuh perjalanan. Diiringi

oleh derap kaki-kaki kuda mereka yang berirama menyentuh batu-

batu padas di bawah sinar matahari pagi, setelah mereka

beristirahat beberapa lama. Burung-burung yang hinggap di

batang-batang pohon liar memandang kedua penunggang kuda itu

dengan kagumnya. Seolah-olah mereka sudah mengenalnya

dengan baik, bahwa kedua orang itu adalah dua orang perkasa

yang sedang dalam perjalanan yang berbahaya.

Namun demikian, wajah-wajah mereka itu tampak betapa

cerahnya secerah matahari pagi, yang memandang jalan yang

terbentang di hadapannya dengan penuh keyakinan. Meskipun

batu-batu padas menjorok menghadang perjalanan mereka,

mereka samasekali tidak mempedulikannya.

Demikianlah kuda-kuda itu berlari dengan kecepatan sedang.

Beberapa saat kemudian mereka menyusup hutan-hutan yang

tidak begitu lebat. Tetapi semakin mereka menyusup ke jantung

hutan itu, terasa bahwa hutan itu menjadi semakin padat.

Meskipun demikian perjalanan mereka samasekali tidak

terganggu. Kuda-kuda mereka pun seolah-olah terpengaruh oleh

kebesaran tekad para penunggangnya.

Ketika matahari menjadi terik, seakan-akan ingin membakar

hutan itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menghentikan

perjalanan mereka, pada saat mereka menjumpai air. Mereka

segera membiarkan kuda-kuda mereka minum, sedang mereka

berduapun beristirahat pula. Setelah puas, barulah mereka

meneruskan perjalanan kembali.

Tujuan mereka yang sebenarnya bukanlah kota Banyubiru.

Banyubiru bagi Mahesa Jenar hanyalah merupakan ancar-ancar ke

arah tujuannya. Karena beberapa orang Banyubiru telah

mengenalnya, maka ia sengaja memasuki kota itu, setelah malam

Page 67: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 93

menjadi gelap. Dari Banyubiru, Mahesa Jenar menyusup ke utara.

Melewati hutan-hutan yang tidak begitu lebat untuk kemudian

membelok ke arah Timur. Mendaki lambung Bukit Gajahmungkur

dan seterusnya menyusur sepanjang lerengnya ke utara.

Pada sebuah puncak kecil dari

bukit-bukit yang merentang

membujur ke utara itu Mahesa

Jenar berhenti.

“Kakang Kanigara, di sini aku

pernah berkelahi melawan orang-

orang dari golongan hitam hampir

seluruhnya,” kata Mahesa Jenar.

“Siapa saja?” tanya Kebo

Kanigara.

“Sima Rodra muda suami istri,

sepasang Uling, Lawa Idjo dan

Lembu Sora,” jawab Mahesa Jenar.

“Jaka Soka…?” tanya Kanigara

pula.

“Tidak. Ia sedang bertengkar dengan Lembu Sora saat itu,”

jawab Mahesa Jenar pula.

“Dapatkah kau mengatasi keadaan?”

“Tidak. Aku hampir saja mati. Untunglah aku terperosok ke

dalam jurang karena pertolongan seseorang.”

“Bagaimana ia menolongmu?”

“Ia adalah orang yang cukup sakti untuk meruntuhkan tebing

dimana pada saat itu aku sedang terdesak.”

Kanigara tersenyum. Hebat juga orang yang telah

menolongnya itu.

Page 68: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 93

“Siapakah dia?”

“Dialah yang aku sebut-sebut bernama Radite.”

Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian

katanya, “Jadi… orang yang sebenarnya berhak menamakan diri

Pasingsingan itukah?”

“Ya.”

Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat. Angin malam

berhembus perlahan mengusap wajah-wajah yang segar itu.

Kanigara memandang berkeliling. Di sebelah Barat tampak

berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan, permukaan air Rawa

Pening yang tenang seperti kaca. Sedikit ke arah barat tampaklah

seperti gelombang hitam, batang-batang padi yang bergerak-

gerak tersentuh angin.

“Inikah daerah yang harus dipimpin oleh Arya Salaka kelak?”

tanya Kebo Kanigara.

“Ya. Membujur ke barat dan menjorok ke utara sepanjang tepi

Rawa Pening,” jawab Mahesa Jenar.

Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi.

Memang Banyubiru adalah tanah yang patut diperebutkan. Daerah

yang subur dan memiliki sungai-sungai yang cukup, sehingga

sawah ladangnya tidak saja selalu tergantung pada jatuhnya

hujan.

Sesaat kemudian kembali mereka meneruskan perjalanan.

Ketika mereka sampai di sebuah hutan kecil, mereka berhenti

untuk melepaskan lelah.

Ketika matahari pagi mulai menerangi punggung-punggung

bukit, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mulai dengan

perjalanannya kembali. Kuda-kuda mereka nampaknya menjadi

segar dan berlari-lari dengan riangnya. Hutan-hutan di daerah ini

Page 69: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 93

bukanlah merupakan hutan-hutan yang lebat. Sebab hampir setiap

hari daerah ini dirambah oleh orang-orang yang mencari kayu.

Kaki-kaki kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terdengar

berderap-derap dalam irama angin pagi. Debu yang putih tipis

mengepul-ngepul dilemparkan oleh kaki-kaki kuda itu. Tetapi

sesaat kemudian telah lenyap terhambur oleh hembusan angin.

Demikianlah mereka menempuh perjalanan pada hari terakhir.

Mereka mengharap bahwa malam nanti mereka telah sampai pada

arah yang harus mereka tuju.

Di daerah ini perjalanan mereka tidaklah dapat begitu lancar.

Karena Mahesa Jenar masih harus mengingat-ingat jalan manakah

yang pernah ditempuhnya dahulu. Sebab baru sekali ia pernah ke

tempat yang ditujunya sekarang. Itu saja pada arah yang

berlawanan. Untunglah bahwa ketajaman ingatannya cukup

terlatih untuk mengenal daerah-daerah baru. Sebagai seorang

prajurit, hal yang sedemikian adalah sangat berguna.

Mereka sampai ke tempat tujuan ketika matahari masih

tampak tergantung di langit sebelah barat. Meskipun sinarnya

sudah tidak begitu kuat, namun pantulan cahaya ujung-ujung

dedaunan nampak berkilat-kilat. Alangkah segarnya alam.

Karena itu mereka masih harus beristirahat kembali sambil

menunggu matahari itu membenamkan diri, sebelum mereka

memasuki daerah yang disebut oleh penghuninya Pudak

Pungkuran.

Demikianlah, sambil beristirahat mereka memperbincangkan

apakah yang kira-kira akan terjadi. Mereka mengharap bahwa

mereka menempuh jalan yang benar. Dalam pada itu merekapun

masih harus menilai-nilai diri. Terutama Mahesa Jenar. Apakah

dalam tingkatannya yang sekarang ia sudah dapat menempatkan

dirinya sejajar dengan angkatan gurunya.

Page 70: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 93

“Mahesa Jenar....” kata Kebo Kanigara, “Menurut pendapatku,

kau benar-benar sudah mencapai tingkatan ayah Pengging Sepuh.

Bahkan andaikata ayah Pengging Sepuh itu masih ada sekarang,

belum tentu ayah dapat menang bertempur melawanmu. Sebab

tenagamu masih penuh, disamping pengalamanmu yang aneh-

aneh yang barangkali tidak terlalu banyak orang lain mengalami.

Kesenanganmu bersama muridmu mengamat-amati gerak-gerik

binatang adalah sangat berguna bagi ilmumu. Dan bukankah kau

telah pernah membuktikannya pula untuk melawan Sima Rodra

tua. Kekalahan Sima Rodra adalah karena ia hanya mengagumi

ketangkasan dan kekuatan seekor harimau. Sedang kau tidak. Kau

mengagumi ketangkasan harimau tetapi kau mengagumi pula

kelincahan seekor kijang, bahkan seekor kelinci sekalipun.”

Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu. Jawabnya,

“Terima kasih Kakang. Dan bukankah itu berkat hadirnya seorang

Mahesa Jenar palsu di kaki bukit Karang Tumaritis?”

Kanigara tersenyum pula. “Aku hanya merupakan lantaran

supaya kau sudi sedikit membuang waktu untuk mendalami

ilmumu. Tidak saja berjalan dari satu daerah ke daerah yang lain,

meskipun kehadiranmu di daerah-daerah itu ternyata sangat

berguna pula.”

Sementara itu langit telah bertambah buram. Dan sesaat

kemudian lenyaplah cahaya matahari yang terakhir. Meskipun

kemudian bulan muncul pula di langit, namun sinarnya tidaklah

terlalu cerah.

Pada saat yang demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

meneruskan perjalanan mereka, memasuki sebuah pedukuhan

kecil yang masih belum banyak mengalami perubahan seperti

empat atau lima tahun yang lalu.

Ketika mereka sampai di depan sebuah rumah di ujung

pedukuhan kecil itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera

Page 71: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 93

meloncat turun dan kemudian menambatkan tali kudanya pada

sebatang pohon.

Mereka samasekali tidak memperdulikan wajah-wajah yang

terheran-heran mengintip dari sela-sela daun pintu hampir dari

setiap rumah, ketika penduduk di pedukuhan terpencil itu

mendengar derap dua ekor kuda di jalan-jalan mereka. Hal yang

demikian adalah jarang sekali, bahkan hampir belum pernah

terjadi.

Ketika penghuni rumah di ujung jalan itu mendengar langkah

kuda di halaman, maka segera tampaklah ia membuka pintu

rumahnya. Sebuah wajah yang telah meninggalkan usia

pertengahan menjelang saat-saat senja dalam edaran hidupnya,

menjenguk keluar. Mula-mula tampak keningnya berkerut. Lalu

kemudian membayanginya sebuah senyuman yang jernih.

Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Wajah yang ditandai

oleh dahi yang lebar, bibir yang tebal, dan hidung yang besar, serta

rambut yang mulai memutih, namun dari bawah dahinya

memancarkan sinar matanya yang bersih lembut.

Ketika orang itu dengan tergopoh-gopoh datang

menyongsongnya, Mahesa Jenar membungkuk hormat serta

berkata, “Selamat malam Kiai. Mudah-mudahan kedatanganku

tidak mengejutkan Kiai.”

“Tidak, tidak Angger. Aku senang kau sudi menjenguk aku

kembali,” jawabnya.

Kemudian Mahesa Jenar memperkenalkan Kebo Kanigara

sebagai seorang Putut dari Padepokan Karang Tumaritis dan

bernama Putut Karang Jati.

“Marilah Angger berdua, marilah masuk,” ajaknya.

Kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengikuti orang

tua itu memasuki rumahnya. Belum lagi mereka mulai dengan

sebuah percakapan, tiba-tiba sebuah tubuh yang tinggi kekurus-

Page 72: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 93

kurusan berkulit merah tembaga terbakar oleh teriknya matahari,

namun bermata terang seterang bintang-bintang di langit, telah

berdiri di muka pintu. Dengan sebuah tawa yang memancar

langsung dari dadanya ia menyambut kedatangan Mahesa jenar.

Katanya, “Aku tidak mimpi apapun malam tadi, serta siang tadi

burung-burung prenjak tidak berkicau. Tetapi tiba-tiba

membayanglah teja di langit.”

Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat pula

kepada orang itu. Demikian pula Kebo kanigara. Melihat kedua

orang itu, segera Kebo Kanigara mengetahui, bahwa meskipun

mereka berpakaian petani seperti kebanyakan petani, namun

kedua orang itu pasti bukanlah sembarang petani. Karena itu

segera ia dapat menebak, bahwa kedua orang itulah yang oleh

Mahesa Jenar dimaksud bernama Paniling dan Darba, atau yang

bernama sebenarnya Radite dan Anggara.

“Ketika aku mendengar derap kuda,” Darba meneruskan, “aku

bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang yang terperosok ke

pedukuhan kecil ini? Tetapi beberapa orang yang sempat

mengintip dari celah-celah pintu berkata kepadaku, bahwa orang

berkuda itu menuju ke rumah Kakang Paniling. Karena itulah aku

segera datang kemari. Dan dugaanku benar. Bahwa pasti orang

yang datang dari jauhlah yang telah mengunjungi rumah ini.”

“Demikianlah Paman....” jawab Mahesa Jenar. Dan kepada

Darba pun Mahesa Jenar memperkenalkan Putut Karang Jati.

Demikianlah mereka setelah masing-masing mengucapkan

salam selamat, mulailah Paniling dan Darba bertanya-tanya

mengenai keadaan Mahesa Jenar selama ini tanpa prasangka

apapun. Namun Mahesa Jenar hanya berusaha menjawab

beberapa hal saja.

Sehingga, akhirnya Paniling dan Darba merasa bahwa sikap

Mahesa Jenar agaknya kurang wajar. Karena itu kemudian Paniling

bertanya “Angger, aku sangka kedatangan Angger mengandung

Page 73: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 93

suatu keperluan yang penting, yang barangkali agak tergesa-gesa.

Nah, angger. Katakanlah. Kalau saja kami berdua dapat menolong

kesulitan angger, biarlah kami berusaha untuk menolongnya.”

Sesaat Mahesa Jenar menjadi ragu-ragu. Beberapa kali ia

memandang kepada Kebo Kanigara. Tetapi karena Kebo Kanigara

sedang menundukkan mukanya, merenungi lantai, maka ia tidak

melihatnya.

Akhirnya Mahesa Jenar memutuskan untuk melaksanakan

rencananya. Meskipun dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi

ia berdoa agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan baik.

Maka kemudian berkatalah ia, “Paman berdua… benarlah

dugaan Paman. Aku datang dengan suatu keperluan yang penting.

Meskipun dengan berat hati, namun terpaksalah aku akan

melakukan kewajibanku, kewajiban kepada negara dan rakyat.”

Paniling dan Darba bersama-sama mengerutkan keningnya.

Mereka menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh Mahesa

Jenar berdasarkan atas kewajibannya kepada negara dan rakyat?

“Paman....” Mahesa Jenar meneruskan, “Setelah beberapa

tahun aku berkeliling hampir seluruh sudut negeri ini untuk

mencari kedua keris Demak yang lenyap seperti yang pernah aku

katakan dahulu, dan samasekali aku tidak menemukan jejaknya,

maka berdasarkan pengamatanku, atas seseorang yang

mengambil keris itu langsung dari Banyubiru, akhirnya aku

berkesimpulan, bahwa tidak ada orang lain yang demikian

saktinya, melampaui kesaktian Pasingsingan, serta berjubah abu-

abu seperti Pasingsingan pula, selain salah seorang dari kedua

paman ini. Paman Radite atau Paman Anggara.”

Perkataan Mahesa Jenar yang diucapkan kata demi kata

dengan jelasnya itu, bagi Paniling dan Darba, seolah-olah

menggelegarnya berpuluh-puluh guntur bersama-sama diatas

kepala mereka. Sehingga dengan demikian, malahan seolah-olah

tidak sepatah katapun yang dapat mereka tangkap dengan jelas.

Page 74: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 93

Karena itu dengan agak ragu-ragu pada pendengarannya, Paniling

bertanya, “Angger, apakah yang Angger katakan itu?”

“Maafkanlah aku Paman,” Mahesa Jenar menjelaskan, “Bahwa

aku akhirnya berkesimpulan. Keris -keris Kyai Nagasasra dan Kyai

Sabuk Inten agaknya berada di tangan paman salah seorang atau

kedua-duanya.”

Paniling dan Darba bersama-sama menarik nafas panjang.

Untunglah bahwa umur mereka yang telah lanjut, menyebabkan

mereka dapat mengendapkan setiap perasaan yang paling pedih

sekalipun.

Dengan sareh terdengar Paniling menjawab, “Angger,

beberapa tahun yang lampau telah aku katakan, bahwa akupun

ikut merasa sedih atas lenyapnya kedua keris itu. Tetapi orang

yang berjubah abu-abu itu bukanlah salah seorang di antara kami.

Apakah pamrih kami dengan menyimpan kedua keris itu…? Kami

telah merasa berbahagia hidup di padepokan ini bersama-sama

dengan para petani. Sebab mereka adalah orang-orang yang

berhati terbuka. Demikian yang dikatakan, demikian pulalah yang

dipikirkan. Di sini aku merasa bahwa hidup kami telah penuh

dengan arti.”

“Paman....” jawab Mahesa Jenar, “Sekali lagi aku mohon maaf.

Tetapi sayang Paman, bahwa aku tidak dapat berkesimpulan lain

daripada itu.”

Darba menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mata yang

suram ia berkata, “Bagaimana aku dapat menduga yang demikian

Angger. Kami samasekali tidak melihat adanya suatu keuntungan

apapun dengan menyimpan kedua keris itu. Sedang kami tahu,

bahwa orang lain sangat memerlukannya. Seandainya kedua keris

itu ada pada kami, maka dengan senang hati akan kami serahkan

kepada Angger Mahesa Jenar.”

Page 75: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 93

“Paman, aku tidak tahu siapakah yang berdiri di belakang

Paman. Aku juga tidak tahu, apakah Paman mempunyai seorang

calon untuk merebut tahta.”

Kembali Paniling dan Darba terkejut bukan buatan. Perlahan-

lahan tanpa disadarinya mereka mengelus dada. Katanya, “O…

Ngger... Jangan berpikiran demikian. Aku berdua samasekali tidak

mempunyai seorang muridpun. Juga kami berdua tidak

mempunyai anak keturunan. Apalagi membayangkan seseorang

untuk menduduki tahta kerajaan. Sungguh Ngger, mimpi pun aku

tidak berani.”

Mahesa Jenar tertawa dingin. Sahutnya, “Aku sudah bertanya

kepada lebih dari seratus orang. Semuanya menjawab seperti

jawaban Paman berdua itu. Apalagi Paman berdua adalah dua

orang sakti yang hampir tak ada bandingnya di dunia ini.”

Sekali lagi Paniling dan Darba menarik nafas dalam-dalam.

Terdengarlah Darba menjawab dengan nada sedih, “Angger

Rangga Tohjaya… Angger seharusnya bijaksana. Seandainya kami

berdua benar-benar sakti seperti apa yang Angger sebutkan.

Namun mustahillah bahwa kami berdua akan dapat menguasai

seluruh prajurit dan pengawal kerajaan, meskipun kami

menyimpan sipat kandel Demak. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai

Sabuk Inten.”

Mahesa Jenar tertawa semakin keras. “Hampir setiap anak

kecilpun mengetahui, bahwa dengan berpegangan pada kedua

sipat kandel itu Paman berdua mengharapkan seluruh istana akan

tunduk dengan sendirinya tanpa kekerasan.”

“Angger....” potong Paniling, “Pandanglah wajah-wajah kami

yang telah mulai berkeriput ini. Apakah terbayang nafsu duniawi

yang berlebih-lebihan? Kalau demikian maka kami adalah orang-

orang tua yang paling berdosa di dunia ini. Kami yang telah

bertekad untuk meninggalkan segala nafsu duniawi dan berusaha

Page 76: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 93

untuk menenteramkan diri serta mendekatkan diri pada

sesembahan kami yang langgeng. Tuhan Yang Maha Besar.”

Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Dengan tajam ia

memandang Paniling dan Darba berganti -ganti. Lalu katanya

dengan lantang, “Aku tidak percaya, bahwa kalian sudah tidak

mempunyai pamrih duniawi lagi. Dan ketahuilah, bahwa pada

wajah kalian memang terbayang nafsu yang berlebih-lebihan.”

Paniling dan Darba tersentak mendengar jawaban itu.

Beberapa saat wajah mereka menjadi tegang. Tetapi sesaat

kemudian wajah-wajah itu menjadi semakin sayu. Dengan nada

yang sedih terdengar Paniling menjawab, “Jadi, adakah Angger

Mahesa Jenar tetap pada pendirian Angger, menyangka bahwa

Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada pada kami…?”

“Ya,” jawab Mahesa Jenar tegas.

“Kalau demikian, lalu apakah yang akan Angger lakukan?”

lanjut Paniling.

“Serahkanlah keris-keris itu kepadaku.” Suara Mahesa Jenar

menjadi semakin tegas.

“Sayang, kami tidak dapat melakukan karena tidak ada yang

dapat kami serahkan,” jawab Paniling pula.

“Aku akan membuktikan bahwa keris itu berada di tempat ini,”

potong Mahesa Jenar.

Paniling dan Darba menggeleng-gelengkan kepala. Untuk

beberapa lama mereka saling berpandangan. Sampai akhirnya

terdengarlah Paniling menjawab dengan suara yang agak dalam,

“Kalau Angger ingin membuktikan, kami persilakan dengan senang

hati.”

Mahesa Jenar menjadi tidak sabar lagi. Ia ingin Paniling dan

Darba menjadi marah. Karena itu ia membentak seperti

membentak pesakitan, “Hai paman berdua, jangan coba berputar-

Page 77: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 93

putar lagi. Aku dapat bertindak lunak. Tetapi aku juga dapat

berbuat kasar. Jangan membantah lagi. Berdirilah dan tunjukkan

kedua keris itu, di mana kau sembunyikan.”

Dahi Paniling dan Darba menjadi bertambah berkerut.

Akhirnya dengan lemah terdengar Paniling menjawab, “Angger…

barangkali Angger benar. Bahwa aku telah berbuat diluar tahuku

sendiri. Kalau demikian terserahlah kepada Angger. Kalau Angger

ingin menghukum kami berdua, hukumlah. Lakukanlah yang

Angger anggap paling benar dan adil. Kami tidak akan ingkar.

Kalau Angger menganggap bahwa kami sepantasnya dihukum

mati, dipancung atau digantung, lakukanlah itu. Kami akan

menjalani penuh keiklasan dan kami akan tersenyum pada saat

akhir kami.”

Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Demikian

agaknya Kebo Kanigara. Mereka samasekali tidak menduga bahwa

kedua orang itu sudah demikian iklasnya menghadapi maut

sekalipun, untuk membuktikan betapa bersih mereka.

Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata ia tidak

berhasil membuat kedua orang itu marah dan menantangnya

berkelahi. Bahkan kemudian Mahesa Jenar menjadi terharu

sehingga terpaksa menundukkan kepala.

Apalagi ketika terdengar Darba melanjutkan kata-kata

Paniling, “Anakmas agaknya mempunyai wewenang untuk

bertindak. Baik sebagai seorang yang setia pada keyakinannya

atau bahkan barangkali Anakmas sekarang benar-benar sedang

mengemban tugas sebagai seorang prajurit. Kalau dengan

menjalani tindak kekerasan, kami dapat melapangkan tugas

Angger maka kami akan merasa bahagia karenanya.”

Mahesa Jenar kemudian tidak mengerti lagi apa yang harus

dilakukan. Ia sudah berusaha untuk memancing kemarahan kedua

orang itu, namun ternyata sia-sia.

Page 78: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 93

Dalam pada itu Kebo Kanigara yang sebenarnya terharu pula

atas keiklasan kedua orang itu untuk pasrah diri, tiba-tiba tertawa

nyaring. “Hai orang-orang yang berjiwa kerdil… buat apa kami

membunuh kalian? Ketahuilah bahwa sebenarnya aku adalah

seorang petugas dari Istana. Akulah yang bernama Tumenggung

Surajaya. Kalau kalian tidak mau menyerahkan kedua keris itu

sekarang, maka kalian akan kami bawa menghadap ke Istana

Demak. Aku berwenang untuk menghukum kalian, dan hukuman

yang aku rencanakan adalah mengikat leher kalian, serta

menggiring kalian keliling kota. Setiap orang yang berpapasan

harus mengucapkan kata-kata penghinaan terhadap kalian.

Perempuan dan anak-anak harus melempari kalian dengan batu.

Sedang laki-laki dapat berbuat sekehendaknya atas kalian.”

Mahesa Jenar sendiri terkejut mendengar kata-kata itu,

sehingga tanpa disengaja ia mengawasi Kebo Kanigara dengan

tajamnya. Namun Kanigara masih saja tertawa, malahan semakin

keras.

Bagaimanapun jernihnya hati yang tersimpan di dalam dada

Paniling dan Darba, namun mereka adalah manusia juga. Manusia

yang memiliki kesadaran diri atas derajadnya sebagai manusia.

Karena itu, ketika mereka mendengar kata-kata hinaan tamunya,

dada mereka terasa bergetar juga.

Dalam pada itu agaknya Darba yang lebih muda daripada

Paniling, yang mula-mula merasa bahwa kelakuan tamu mereka

sudah berlebihan. Dengan nafas yang semakin cepat beredar,

beberapa kali ia menelan ludahnya. Dengan sekuat tenaga ia

mencoba menahan diri supaya ia tidak melakukan hal-hal yang

dapat mengotori diri mereka.

Baru beberapa saat kemudian, sambil membungkuk hormat

Darba berkata, “Tuan… maafkanlah kami. Kalau kami tidak

mengetahui sebelumnya bahwa yang sudi datang ke pondok kami

adalah seorang tumenggung. Karena itu terimalah sembah bekti

kami berdua.”

Page 79: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 93

Kebo Kanigara tertawa masam. Jawabnya, “Aku samasekali

tidak membutuhkan segala macam upacara yang tak berarti itu.

Kedatanganku adalah untuk kepentingan yang jauh lebih besar

daripada salam yang akan menyenangkan hatiku.”

“Bukan itulah maksud kami,” potong Darba yang nafasnya

semakin berdesakan di dalam rongga dadanya. “Tetapi memang

seharusnyalah kami menghormati Tuan. Hanya sayanglah bahwa

Tuan telah menjalankan pekerjaan agak kurang bijaksana.”

“Apa…?” bentak Kebo Kanigara sambil membelalakkan mata.

“Kau bilang aku kurang bijaksana…? Hai orang-orang yang tak

berarti, berjongkoklah dan cium telapak kakiku sambil

mengucapkan permohonan maaf atas kelancangan mulutmu.”

Paniling yang berdada luas lautan pun kemudian menjadi tidak

senang. Bahkan Mahesa Jenar sendiri menganggap bahwa Kebo

Kanigara sudah agak terlalu jauh. Namun Mahesa Jenar sadar,

kalau tidak demikian maka kedua orang itu pasti tidak akan dapat

marah.

“Baiklah, aku mohon maaf,” sahut Darba, “Namun biarlah aku

tidak usah berjongkok dan mencium telapak kaki Tuan. Sebab

barangkali aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu.”

Mata Kebo Kanigara menjadi semakin terbelalak. “Patuhi

perintah, hai orang tua yang tak malu,” teriaknya. “Sekarang aku

menjadi tidak percaya bahwa kalianlah yang bernama Radite dan

Anggara. Sebab kalian tidak lebih daripada sisa-sisa orang paria

yang berkeliaran sejak zaman pemerintahan Majapahit. Kalian

tidak pantas mendapat pelayanan sebagaimana aku menjadi

manusia yang paling hina sekalipun dari sisa-sisa golongan sudra.”

Sekarang Darba sudah tidak dapat membiarkan dirinya dihina

lebih jauh. Apalagi ketika disebut sebutnya nama Radite dan

Anggara. Namun yang selama ini disembunyikan untuk tidak

dilekati oleh noda. Karena itu tiba-tiba matanya menjadi bercahaya

kembali. Cahaya yang memancar kemerah-merahan karena marah

Page 80: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 93

yang terpendam di dalam dada. Kemudian katanya, “Terserahlah

kepada Tuan. Namun sayang bahwa aku tidak ingin berbuat seperti

yang Tuan maksudkan.”

Wajah Kebo Kanigara tampak benar-benar menjadi merah.

Dengan garangnya ia melangkah ke arah Paniling yang duduk di

hadapannya. Sambil menunjuk kepada Darba yang berada di

depan pintu, ia berteriak, “Hai kau tua bangka, suruh adikmu

melakukan perintahku.”

Perlahan-lahan Paniling menggelengkan kepalanya. Terdengar

suaranya lirih namun terasa betapa getaran kemarahan melontar

hampir tak terkendali. “Tidak, Tuan. Aku tidak dapat menyuruhnya

berbuat demikian.”

“Lakukan perintahku,” ulang Kebo Kanigara. “Atau aku harus

datang kepadamu dengan membawa seorang perempuan seperti

yang dilakukan Umbaran untuk memaksamu?”

Kata-kata Kanigara itu langsung menyentuh luka yang paling

dalam. Karena tajamnya lebih daripada segala macam kata hinaan.

Tiba-tiba tanpa disengaja Paniling telah tegak berdiri. Matanya

memancar merah serta nafasnya berkejar-kejaran melalui lubang

hidungnya yang besar. Kemudian terdengarlah kata-katanya

bergetar. Kata-kata seorang jantan yang pernah bergelar

Pasingsingan. Yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat

lain untuk mengamalkan kebajikan. Karena itulah maka kata kata-

kata itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa atas Kebo

Kanigara dan Mahesa Jenar. “Angger berdua… aku sudah

mengatakan apa yang aku ketahui dan apa yang iklaskan. Tetapi

Angger berdua minta terlalu banyak dariku. Karena itu biarlah aku

berikan yang paling berharga yang ada padaku, yaitu namaku

Radite. Tetapi nama itu agak berbeda dengan nama Paniling,

seorang petani yang tidak berharga. Tuan boleh berbuat

sekehendak Tuan atas seorang petani yang bernama Paniling dan

Darba. Tetapi tidak demikian atas nama Radite dan Anggara. Nah,

Tuan… apakah yang tuan-tuan kehendaki sekarang, ambillah.

Page 81: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 93

Tetapi jangan mengharap Tuan dapat mengambilnya begitu saja.

Nama itu adalah sama berharganya dengan nyawa kami.”

Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar

kata-kata itu. Apalagi ketika mereka melihat sikap Paniling dan

Darba yang tiba-tiba telah berubah. Sikapnya kemudian benar-

benar meyakinkan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang

sakti yang jarang dicari bandingannya.

Namun Kebo Kanigara adalah seorang sakti pula. Seorang

yang masih cukup muda untuk berkembang terus, namun yang

telah melampaui kesaktian ayahnya sendiri, Ki Ageng Pengging

Sepuh. Sedangkan Mahesa Jenar telah menemukan inti ilmu

Perguruan Pengging. Apalagi mereka telah melakukan semuanya

itu dengan sengaja. Sengaja memancing pertengkaran dan

pertempuran dengan orang yang bernama Radite dan Darba,

murid terpercaya dari Pasingsingan Sepuh.

Demikianlah kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah

tegak pula. Dengan bentakan-bentakan marah, Kebo Kanigara

berkata, “Bagus… bagus... Begitulah seharusnya orang yang

bernama Radite berkata. Aku, Tumenggung Surajaya,

kepercayaan Sultan Demak, serta Adi Rangga Tohjaya pasti akan

melakukan tugasnya dengan baik. Nah, keluarlah. Biar aku

renggut nama kebanggaanmu dengan usaha seorang laki-laki.”

Kebo Kanigara tidak menunggu Paniling menjawab kata-

katanya. Cepat ia mendahului melangkah keluar pintu, diikuti oleh

Mahesa Jenar. Sementara itu Paniling menjadi ragu pula ketika

dilihatnya kedua tamunya lenyap dibalik pintu, terjun ke dalam

gelapnya malam. Sekali lagi tangannya menekan dadanya untuk

mencoba mencari kembali pikirannya yang bening. Namun

akhirnya ketika dilihatnya Darba telah meloncat pula keluar pintu,

dengan ragu iapun keluar.

Page 82: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 93

IV

Di luar ia melihat Kanigara telah bersiap. Bahkan demikian ia

melangkah keluar, terdengarlah Kebo Kanigara berteriak, “Hati-

hatilah, hai orang yang bernama Radite. Aku datang untuk

membunuhmu.”

Demikian suara itu lenyap ditelan angin malam, tampaklah

tubuh Kanigara dengan garangnya melayang menyerang Ki

Paniling.

Paniling yang sebenarnya bernama Radite terkejut sekali

mendapat serangan yang demikian tiba-tiba, cepat dan luar biasa

kuatnya. Dengan demikian dapat mengukur betapa sakti

lawannya. Dalam pada itu timbul pula pertanyaan dalam dirinya,

tentang orang yang mengaku bernama Tumenggung Surajaya.

Tetapi ia sempat banyak berpikir. Lawannya bergerak

demikian cepat dan berbahaya. Karena itu iapun segera harus

melayaninya.

Maka segera terjadilah perkelahian yang dahsyat. Perkelahian

antara dua orang sakti yang sukar dicari bandingnya. Dalam pada

itu segera terasa oleh Kebo Kanigara bahwa Radite benar-benar

seorang yang benar-benar sakti. Seorang yang telah mencapai

tingkatan yang sangat tinggi dalam meresapi ilmunya.

Meskipun orangtua itu tidak tampak terlalu banyak bergerak,

namun setiap gerakannya mengandung unsur-unsur yang sangat

berbahaya.

Sebaliknya setelah mereka bertempur beberapa saat, Radite

pun menjadi heran atas lawannya yang masih muda itu. Dalam

usia yang baru menjelang pertengahan abad telah memiliki ilmu

yang sedemikian sempurna. Bahkan kadang-kadang sangat

membingungkan. Apalagi ketika Radite melihat beberapa unsur

gerak yang dikenalnya dengan baik. Unsur-unsur gerak dari

sahabatnya almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun dalam

Page 83: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 93

beberapa hal telah banyak mengalami perubahan, namun unsur-

unsur pokok masih jelas sebagaimana pernah dilihatnya dahulu.

Demikianlah kemudian per-

tempuran itu semakin lama

menjadi semakin sengit. Dua

orang yang sakti, yang dengan

ilmu-ilmunya sedang berjuang

untuk menguasai lawannya.

Karena Kanigara masih belum

berkenalan sebelumnya maka ia

dapat bertempur dengan baik

tanpa segan-segan. Dan karena itu

pula, pertempuran itu pun menjadi

seru sekali.

Darba dan Mahesa Jenar

melihat pertempuran itu dengan

kagumnya. Bahkan Darba pun

akhirnya melihat pula persamaan

antara orang yang menamakan

dirinya Tumenggung Surajaya itu dengan Ki Ageng Pengging

Sepuh. Karena itu ia bertanya dalam otaknya, siapakah orang itu

dan apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh serta

Mahesa Jenar. Tetapi disamping itu ia menjadi sangat heran,

bahwa Mahesa Jenar berkeras hati menyangka bahwa keris-keris

pusaka Demak berada di tempat mereka. Bahkan akhirnya Darba

menyangka bahwa orang itu pasti mempunyai garis keturunan

ilmu dengan Mahesa Jenar, dan orang itu sengaja diajaknya untuk

mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Dalam pada itu Mahesa Jenar tidak mau untuk menjadi

penonton saja. Ia pun harus ikut dalam persoalan yang diharapkan

akan memecahkan beberapa persoalan yang penting dalam

hidupnya dan masa depannya. Karena itu ketika Darba sedang asik

memperhatikan pertempuran antara Radite dan Kebo Kanigara,

berteriaklah Mahesa Jenar, “Paman Anggara… karena Paman

Page 84: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 93

Anggara ikut pula dalam usaha menyembunyikan pusaka-pusaka

Istana itu, maka Paman pun harus menerima hukumannya.”

Anggara yang sehari-hari menamakan dirinya Darba, terkejut.

Apakah yang dikehendaki Mahesa Jenar…? Dan ketika ia melihat

Mahesa Jenar bersiap untuk menyerangnya, ia menjadi bertambah

heran. Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan orang

itu. Ilmunya tak lebih dari tingkatan seorang murid dibandingkan

dengan ilmunya. Meskipun Anggara tak pernah merendahkan

orang lain, namun terhadap Mahesa Jenar tidaklah sewajarnya

kalau ia terpaksa bertempur. Karena itu Darba pun menjawab,

“Angger Mahesa Jenar… biarlah pamanmu Radite memperta-

hankan nama baiknya sekaligus namaku. Sebaiknya kita tidak

usah ikut serta dalam perselisihan ini. Meskipun barangkali kau

juga mengemban tugas sebagai seorang prajurit seperti

Tumenggung Surajaya itu pula, Mahesa Jenar… namun biarlah

pertempuran mereka itu yang menentukan nasibmu. Kalau Kakang

Radite binasa karena benar-benar berdosa terhadap negara,

biarlah nanti aku kau binasakan pula. Tetapi kalau ternyata Kakang

Radite tidak bersalah, aku harap kau menerima pula kenyataan itu.

Dan untuk seterusnya kau tidak lagi menganggap kami

menyembunyikan pusaka-pusaka itu.”

Mendengar jawaban Anggara, Mahesa Jenar menjadi ragu.

tetapi ketika ia melihat pertempuran antara kebo Kanigara dan

Radite menjadi bertambah seru dan berbahaya, ia tidak mau

tinggal diam. Dengan ikut sertanya dalam pertempuran itu ia

mengharap segala sesuatunya akan menjadi jelas pula. Apakah ia

telah menempuh jalan yang benar atau tidak. Karena itu sekali lagi

ia berteriak, “Paman Anggara terserahlah kepadamu. tetapi

Rangga Tohjaya wajib melakukan kewajibannya.”

Selesai dengan kata-katanya, segera Mahesa Jenar meloncat

dan langsung menyerang dada Anggara dengan kecepatan luar

biasa. Melihat serangan Mahesa Jenar, Anggara mau tidak mau

secara naluriah terpaksa meloncat mengelak. Sebenarnya Anggara

masih ingin memperingatkan Mahesa Jenar. Tetapi demikian

Page 85: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 93

Mahesa Jenar gagal dengan serangan pertamanya, langsung ia

berputar dan meluncurkan kakinya ke arah lambung Anggara

dengan dahsyatnya. Serangan kedua ini benar-benar tidak

disangka-sangka. Sedang Mahesa pun bergerak dengan kecepatan

penuh. Sebenarnya maksudnya hanya untuk meyakinkan Anggara

bahwa dalam tingkatannya yang sekarang, ia telah cukup dewasa

untuk bertempur melawannya. Tetapi tanpa disengaja,

serangannya itu benar-benar telah membahayakan lawannya,

sehingga ia menjadi terkejut sendiri ketika melihat Anggara benar-

benar tidak sempat menghindari.

Sementara itu, anggara yang tidak menduga sebelumnya,

bahwa Mahesa Jenar mampu bergerak secepat itu, benar-benar

telah kehilangan kesempatan untuk menghindar. Karena itu,

segera ia menekuk kakinya, sedikit merendahkan tubuhnya,

sambil melindungi lambungnya dengan sikunya untuk menangkis

serangan Mahesa Jenar. Dengan demikian maka terjadilah

benturan yang sengit antara kaki Mahesa Jenar dengan siku

Anggara. Akibatnya mengejutkan. Bahkan tidak diduga-duga oleh

Mahesa Jenar dan juga oleh Anggara. Dalam benturan yang

terjadi, Anggara dan Mahesa Jenar masing-masing terdorong

surut. Bagi Mahesa Jenar yang sejak semula mengagumi kesaktian

kedua tokoh murid Pasingsingan itu, menjadi heran bahwa

kekuatan yang ada pada dirinya, setelah ia bekerja keras untuk

menemukan inti sari dari ilmunya, dapat mengimbangi kekuatan

Anggara. Sedangkan Anggara menjadi heran dan bertanya-tanya

di dalam hati, siapakah yang telah mengubah Mahesa Jenar dalam

waktu-waktu terakhir ini menjadi seorang yang demikian kuatnya.

Tetapi karena itulah maka akhirnya Anggara menjadi sadar, bahwa

Mahesa Jenar benar-benar telah memiliki bekal untuk melakukan

tugasnya. Dengan demikian. Anggara kemudian benar-benar telah

bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar menyerang dengan

cepatnya. Tetapi kali ini Anggara telah dapat mengetahui, bahwa

Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun

Page 86: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 93

lalu, ketika bersama-sama dengan Mantingan, Wiraraga, Gajah Alit

dan Paningron bertempur melawan Sima Rodra tua dari Lodaya

dan Pasingsingan. Ketika itu Mahesa Jenar berlima tidak lebih

daripada lima ekor tikus melawan dua ekor kucing yang ganas.

Tetapi tikus itu kini telah berubah tidak saja sebagai seekor kucing

yang ganas, namun benar-benar telah berubah menjadi seekor

harimau yang garang.

Karena itulah maka Anggara pun menyambut serangan

Mahesa Jenar dengan penuh kewaspadaan. Kewaspadaan seorang

sakti yang mempunyai perbendaharaan pengalaman seluas lautan.

Demikianlah di ujung padukuhan kecil yang sepi itu terjadilah

dua lingkaran pertempuran yang sengit. Dua pasang orang-orang

sakti. Namun karena kepercayaan mereka pada diri sendiri, serta

sifat-sifat kejantanan yang mereka miliki, maka pertempuran itu

tidak banyak menimbulkan keributan. Masing-masing bertempur

dengan berdiam diri. Hidup atau mati mereka sepenuhnya mereka

percayakan kepada sumber hidup mereka.

Tetapi pertempuran itu sendiri merupakan pertempuran yang

dahsyat tiada taranya. Kebo Kanigara memiliki ketangguhan

seperti seekor banteng yang kuat tiada taranya. Sepasang kakinya

yang kokoh telah membawakan tubuhnya pada keadaan-keadaan

yang menguntungkan. Kadang-kadang kedua kaki itu tampak

seolah-olah tertancap dalam-dalam membenam di tanah

tempatnya berpijak, seperti batu karang yang kokoh kuat berdiri

dengan tegaknya. Namun kemudian kakinya itu pula dapat

berloncatan dengan lincah dan kecepatan yang mengagumkan.

Sebaliknya, Radite pun mempunyai keistimewaan yang sukar ada

bandingnya. Meskipun kadang-kadang seakan-akan ia hanya

bergeser setapak demi setapak, namun kadang-kadang seakan-

akan kakinya seakan-akan tidak berpijak di atas tanah. Dengan

tangan yang mengembang ia berloncatan kesana kemari, seperti

seekor Garuda yang dengan garangnya bertempur mati-matian,

mempertahankan serangannya.

Page 87: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 93

Di tempat lain, tampak Mahesa Jenar dengan gigihnya

bertempur melawan Anggara, murid Pasingsingan yang termuda.

Namun murid termuda ini pun memiliki ilmu yang luar biasa

tingginya. Sebagai seekor naga yang bersayap, ia menyerang

Mahesa Jenar dari segala jurusan. Menyambar-nyambar dengan

dahsyatnya. Tangan dan kakinya seolah-olah telah berubah

menjadi sayap menyebar angin maut. Namun Mahesa Jenar adalah

seorang yang luar biasa pula. Dengan mesu diri serta meraga-

sukma tanpa seorang penuntun langsung ia berhasil menemukan

intisari dari ilmu perguruan Pengging. Ditambah dengan

kecerdasan otaknya yang cemerlang seperti bintang di langit, serta

usahanya untuk menyesuaikan diri dengan alam, telah menjadikan

ilmu dari perguruan Pengging itu suatu ilmu yang tiada

bandingnya. Dengan demikian, maka iapun telah berusaha

secermat-cermatnya, menyesuaikan diri untuk melawan Anggara

yang bertempur sebagai seekor naga bersayap. Demikianlah

Mahesa Jenar berusaha pula untuk dapat mengimbangi lawannya.

Sebagai seekor burung rajawali ia berjuang dengan dahsyatnya.

Tangannya yang hanya sepasang itu seolah-olah berubah menjadi

puluhan bahkan ratusan pasang sayap yang mengibas bersama-

sama, menimbulkan desing angin yang menderu-deru, disamping

kaki-kakinya yang menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh

lawannya.

Ternyata, ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa

lama, kekuatan mereka tampak berimbang. Kebo Kanigara benar-

benar dapat mengimbangi kesaktian murid Pasingsingan yang

pernah mendapat kepercayaan untuk mempergunakan topeng

yang terkenal sebagai wajah Pasingsingan, pernah memiliki pula

jubah abu-abu serta akik kelabang sayuta beserta sebuah pisau

belati panjang kuning gemerlapan, yang bernama Kyai Suluh.

Radite bukan seorang yang sombong, yang menganggap

kesaktiannya tanpa tanding. Namun terhadap orang ini, yang

menamakan diri Tumenggung Surajaya, ia menjadi heran. Ilmu

orang itu pasti bersumber pada ilmu seketurunan dengan

sahabatnya Pengging Sepuh. Namun ia menjadi heran, bahwa

Page 88: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 93

orang ini benar-benar dapat menguasainya dengan baik, bahkan

memiliki perkembangan-perkembangan yang mengagumkan.

Menurut pengertiannya, Ki Ageng Pengging Sepuh hanya

mempunyai seorang murid, yang bernama Mahesa Jenar, dan

bergelar Rangga Tohjaya. Dalam pada itu, keheranannya, dalam

pengamatannya yang hanya sepintas, tidak segera dapat

menguasai Mahesa Jenar yang menyerangnya. Bahkan dalam

beberapa lama, pertempuran mereka masih tetap dalam keadaan

seimbang.

Tetapi justru karena itulah, maka akhirnya mereka benar-

benar telah mengerahkan segenap tenaga serta kemampuan

mereka. Pertempuran itu benar-benar telah menjadi semakin seru

dan dahsyat. Bahkan yang tampak kemudian hanyalah bayangan-

bayangan hitam di dalam gelapnya malam, yang berloncat-

loncatan, berputar-putar semakin lama semakin cepat. Yang

akhirnya menjadi seolah-olah dua pasang Wisnu dalam bentuknya

yang hitam cemani, menari-nari dengan lincahnya,

mengungkapkan sebuah tarian maut yang mengerikan.

Sementara itu, malam menjadi semakin dalam. Orang-orang

di pedukuhan kecil yang sepi itu, yang mula-mula mengintip dari

balik pintu-pintu mereka, ketika mereka tidak mendengar apapun

lagi, maka mereka samasekali tidak merasa tertarik untuk

mengetahui lebih banyak tentang dua orang berkuda yang

menyusur jalan-jalan sempit di padepokan mereka. Mereka hanya

mengira, bahwa kedua orang itu adalah perantau-perantau yang

memasuki mulut lorong dari satu arah dan keluar dari mulut lorong

di arah lain. Mereka berhenti di ujung padepokan mereka, dan

kemudian bertempur mati-matian dengan orang cikal bakal

pedukuhan itu. Kalau saja mereka mengetahui hal itu, apapun

yang terjadi, pastilah mereka akan membantunya. Namun kalau

mereka sempat menyaksikan pertempuran itu, mereka akan

menjadi keheran-heranan, bahwa orang-orang yang setiap hari

mereka panggil Ki Paniling dan Ki Darba, yang hanya mereka kenal

sebagai seorang petani yang rajin, mampu bertempur sedemikian

Page 89: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 93

dahsyatnya, bahkan pasti diluar kemampuan pengamatan mereka,

atau malahan mereka akan jatuh pingsan karenanya.

Demikianlah pertempuran itu masih belum tampak akan

berakhir. Masing-masing sudah berjuang dengan sepenuh tenaga,

namun seolah-olah mereka bertempur melawan hantu yang tak

dapat disentuhnya.

Dalam saat-saat yang demikian itulah, terlintas di dalam otak

masing-masing, suatu cara penyelesaian yang lebih cepat. Sudah

pasti mereka mengerti bahwa setiap orang sakti memiliki ilmu-ilmu

simpanan yang tak akan dipergunakan dalam sembarang waktu.

Bagi Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, dalam hal yang demikian

tidaklah sewajarnya mempergunakan ilmu-ilmu pamungkas

mereka. Sebaliknya, Radite dan Anggara pun tak terlintas di dalam

otak mereka untuk mengakhiri pertempuran dengan ilmu terakhir.

Karena itu, mereka telah mempersiapkan diri mereka untuk

mengadakan pertempuran yang lama. Sebab mereka tidak dapat

mengandalkan kekuatan maupun kecepatan bergerak serta unsur-

unsur gerak yang dapat membingungkan lawan-lawan mereka,

sebab ternyata apa yang mereka lakukan selalu dapat diimbangi

oleh setiap pihak. Meskipun demikian pertempuran itu masih tetap

berlangsung dengan sengitnya. Sebab bagaimanapun juga mereka

tetap berusaha untuk setidak-tidaknya tidak dikalahkan oleh lawan

masing-masing.

Tetapi justru dalam hal yang demikian itulah kadang-kadang

orang terpaksa untuk berpikir lebih banyak. Dan dalam keadaan

yang terpaksa demikian itulah kadang-kadang muncul

kesanggupan-kesanggupan yang tidak pernah dirasakan ada di

dalam dirinya. Kesanggupan yang malahan dapat mengejutkan diri

sendiri.

Demikian pula apa yang terjadi dalam kancah pertarungan itu.

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang masih memiliki masa depan

yang lebih panjang dari lawan-lawan mereka, dapat

Page 90: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 93

memanfaatkan pertempuran itu dengan baiknya. Dalam masa-

masa yang masih memungkinkan perkembangan yang menanjak

terus, mereka selalu berusaha untuk melengkapi ilmunya dengan

apapun yang mereka ketemukan dalam perjalanan hidup mereka.

Namun dengan satu bekal yang tak akan tanggal dari hati mereka,

bahwa ilmu-ilmu mereka harus mereka amalkan untuk kebajikan.

Kebajikan bagi tanah tumpah darah, kebajikan bagi rakyat yang

hidup di atasnya, serta kebajikan bagi umat manusia.

Ketika kemudian terdengar kokok ayam jantan bersahut-

sahutan menjelang lingsir malam pertempuran itu masih

berlangsung terus. Namun demikian tak seorangpun penduduk

padukuhan itu yang mendengar keributan itu. Pertempuran yang

sengit itu berlangsung dengan tertibnya. Samasekali tidak nampak

kekasaran-kekasaran seperti yang pernah terjadi, ketika Mahesa

Jenar dalam tingkatannya pada waktu itu bertempur melawan Jaka

Soka, Lawa Ijo atau Sima Rodra. Tetapi dalam keadaan yang

terasa tertib itu melontarlah pukulan-pukulan yang dahsyat dan

penuh mengandung bahaya.

Dalam keadaan yang demikian, ketika keempat orang sakti itu

sedang terbenam dalam arus pertempuran yang merampas

segenap perhatian mereka, tiba-tiba terasalah udara yang aneh

mengalir mengusap tubuh mereka. Udara yang seakan-akan

mengandung pengaruh yang tajam, yang langsung menyusup ke

dalam tulang sungsum, sehingga dengan demikian tenaga mereka

seolah-olah ikut serta terhembus oleh aliran udara aneh itu.

Demikianlah perlahan-lahan tenaga mereka menjadi semakin

lemah. Bahkan kemudian seperti lenyap samasekali. Dengan

penuh keheranan, mereka masih tetap berusaha untuk

mempertahankan diri mereka sekuat tenaga. Sebab mula-mula

mereka mengira bahwa kesaktian lawan-lawan mereka telah

mempengaruh tenaga mereka. Tetapi ketika serangan-serangan

lawanpun menjadi jauh susut, akhirnya mereka mengetahui,

bahwa sesuatu telah terjadi. Sesuatu diluar lingkaran pertempuran

itu.

Page 91: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 93

Mereka berempat adalah orang-orang yang cukup sakti. Yang

tanggap akan kejadian-kejadian di dalam maupun di luar diri

mereka sendiri. Karena itu, ketika mereka merasa bahwa suatu

kekuatan diluar kemampuan mereka, telah mempengaruhi diri

mereka, segera mereka menghentikan pertempuran itu. Dengan

sekuat tenaga jasmaniah dan batiniah, mereka berusaha untuk

menyelamatkan sisa-sisa tenaga mereka.

Tetapi pengaruh dari udara yang aneh itu demikian besarnya,

sehingga tiba-tiba saja, mereka tidak saja merasa tenaga mereka

susut, namun mereka juga merasa, bahwa mereka telah

dipengaruhi oleh kantuk yang luar biasa.

Radite adalah yang tertua di antara mereka berempat. Ialah

orang yang memiliki pengalaman yang terbanyak. Pengalaman

yang kadang-kadang hampir tak masuk akal sekalipun pernah

dijumpainya. Karena itulah maka segera ia mengenal bentuk aliran

udara yang aneh itu. Karena itu terdengar ia berdesis perlahan,

“Alangkah kuatnya sirep ini.”

Anggara dan Kebo Kanigara pun mengenal pula, bahwa

seseorang dapat mempergunakan pengaruh kekuatan batin atas

orang lain. Bahkan apabila ditekuni, dapatlah orang itu melahirkan

suatu ilmu sirep semacam ini.

Sedang Mahesa Jenar sendiri pernah mengalami betapa

pengaruh sirep itu dapat melenyapkan kesadaran seseorang,

sehingga orang yang berada di dalam lingkungan itu dapat seolah-

olah tidur nyenyak sekali. Ketika itu ia sedang bertugas di Istana,

beberapa tahun yang lampau. Ia pernah mengalami pengaruh

sirep yang dilontarkan oleh Lawa Ijo. Kecuali itu diatas Gunung

Tidar, ketika ia berusaha untuk menemukan keris-keris Kyai

Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, ia pernah terkena arus sirep itu

pula. Sirep yang disebarkan oleh Gajah Sora, namun yang

sebenarnya telah dapat dilenyapkan oleh Sima Rodra tua, kalau

saja pada saat itu seorang yang bernama Titis Anganten dari ujung

timur tidak membantunya.

Page 92: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 93

Sekarang, kembali ia mengalami pengaruh sirep. Seandainya

kekuatan sirep ini sama dengan kekuatan sirep yang pernah

mempengaruhinya, maka dalam tingkatannya yang sekarang ini,

kekuatan sirep itu tidak akan banyak pengaruhnya. Tetapi ternyata

kekuatan sirep yang sekarang jauh lebih besar dari yang pernah

mempengaruhinya dahulu. Bahkan dalam tingkatannya yang

sekarang hampir-hampir ia tidak mampu untuk mempertahankan

kesadarannya. Apalagi tenaganya.

Dalam keadaan yang demikian, akhirnya mereka berempat

hanya dapat duduk bersila sambil mengheningkan diri, berusaha

untuk tetap dalam keadaan sadar.

Malam yang kelam masih saja terserak di permukaan bumi. Di

daun-daun pepohonan bergayutan titik-titik yang setetes demi

setetes berjatuhan mengusik rumput-rumput kering yang

bertebaran disana-sini dengan liarnya. Suasana kemudian menjadi

hening sepi. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara-suara

jangkrik seperti teriakan bayi yang kehausan susu ibunya.

Dalam pada itu, ketika mereka sedang tekun berjuang untuk

tidak kehilangan kesadaran, tiba-tiba melayanglah sebuah

bayangan yang hitam, yang kemudian dengan cepat sekali,

seolah-olah tidak menyentuh tanah, telah berdiri di hadapan

mereka. Dan bersamaan dengan itu, terasa bahwa pengaruh sirep

itupun menjadi semakin kendor, bahkan kemudian dengan

cepatnya lenyap dari diri mereka berempat.

Meskipun mereka terkejut pula atas kehadiran seseorang

tanpa diduganya lebih dahulu, namun mereka sempat pula

menarik nafas lega atas kebebasan mereka dari ikatan udara yang

aneh itu.

Ketika mereka telah sempat memperhatikan bayangan yang

berdiri di hadapan mereka, tahulah mereka bahwa orang itu adalah

orang yang mengenakan jubah yang hanya tampak kehitam-

hitaman di dalam gelap malam, namun dalam pada itu Mahesa

Page 93: 14 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 93

Jenar segera mengenal, bahwa orang itu adalah orang yang selalu

dikenalnya mengenakan jubah abu-abu.

Karena itu segera terpancarlah cahaya yang cerah dari

wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara, sehingga tanpa

disengajanya ia bergeser sejengkal maju.