15 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja

94
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 94

Upload: sariyanti-palembang

Post on 16-Aug-2015

135 views

Category:

Art & Photos


7 download

TRANSCRIPT

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 94

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 94

I

dapun Radite dan Anggara, ketika melihat orang yang

berjubah itu tegak di hadapan mereka seperti patung,

terlonjaklah dada mereka. Tiba-tiba saja tubuh mereka

menjadi bergetar dan nafas mereka menjadi semakin cepat

beredar. Karena pada tubuh yang tegak mematung di hadapannya

itu, seolah-olah terpancarlah suatu kenangan atas masa silam.

Suatu kenangan dari masa yang gemilang dari seorang yang

menamakan dirinya Pasingsingan. Ya, pada saat Radite berhak

mengenakan jubah yang berwarna abu-abu, seorang yang berhak

mengenakan topeng yang meskipun kasar dan jelek namun dari

padanya terpancar suatu harapan bagi setiap orang yang

menyaksikannya. Karena dibalik wajah yang kasar dan jelek itu

tersembunyi suatu pengabdian yang luhur tanpa pamrih. Tetapi

keluhuran serta kemurnian pengabdian itu kemudian menjadi

lebur. Dan setelah itu nama Pasingsingan menjadi hancur. Nama

Pasingsingan dengan cepatnya meluncur hanyut ke dalam lumpur,

karena pokal seorang saudara seperguruannya yang bernama

Umbaran. Tiba-tiba kembali Radite terlempar pada suatu

anggapan, bahwa dirinyalah sumber dari segala bencana dan noda

yang kemudian melekat dan mengotori jubah abu-abu, topeng

yang kasar dan jelek namun mamancarkan harapan damai serta

nama yang menggetarkan, “Pasingsingan.”

Dan sekarang di hadapannya berdiri seseorang yang

mengingatkannya kepada dirinya beberapa tahun yang silam.

Tetapi yang pasti baginya orang yang berjubah itu bukanlah

Umbaran. Sebab bagaimanapun saktinya Pasingsingan, yang

berasal dari orang yang bernama Umbaran itu, namun tidaklah

mungkin ia mampu menciptakan suasana sedemikian seramnya.

Dalam pada itu, tiba-Tiba Radite teringat akan sumber dari

nama Umbaran. Sumber dari mahluk-mahluk yang kemudian

menyebut dirinya Pasingsingan. Teringatlah ia pada saat ia

menerima warisan jubah abu-abu serta segala kelengkapannya

A

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 94

yang demikian saja berada di dalam ruang tidurnya. Teringatlah ia

ketika orang yang mewariskan benda-benda itu kemudian lenyap

tak berbekas. Yang kemudian datang kembali ketika nama

Pasingsingan itu telah ternoda dan berkata kepadanya “Bahwa tak

ada gunanya untuk mencoba memperbaiki nama yang telah

terbenam di dalam arus ketamakan, kedengkian dan kejahatan.”

Radite adalah seorang tua yang mempunyai mata hati yang

tajam. Demikian pula adiknya, Anggara. Karena itu tiba-tiba

tergoreslah suatu tanggapan batin yang tak dapat diketahui dari

mana datangnya yang mengatakan padanya, bahwa kemungkinan

satu-satunya orang yang berdiri di hadapannya itu adalah gurunya

Pasingsingan Sepuh. Karena itu, seperti orang berjanji, Radite dan

Anggara tiba-tiba bersama-sama berjongkok dan membungkuk-

kan kepala mereka dengan takzimnya.

Orang yang berjubah abu-abu itu mundur beberapa langkah

ke belakang. Wajahnya yang kosong dan pucat, samasekali tak

menampakkan sesuatu kesan. Apalagi didalam gelap malam,

wajah itu seolah-olah samasekali tidak bergerak.

Dalam pada itu tiba-tiba terdengarlah suara Radite serak,

“Guru… ampunkanlah kami, atas segala ketikdaksopanan kami.

Sebab kami samasekali tidak menduga bahwa kami masih berhak

untuk memandang wajah guru karena dosa-dosa kami.”

Orang yang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram. Lalu

terdengarlah suaranya seolah-olah bergulung-gulung di dalam

perutnya, “Radite dan Anggara, demikianlah, sejak aku kau

kecewakan, aku memang sudah berhasrat untuk tidak

menjumpaimu lagi. Sebab setiap aku memandang wajahmu,

tergoreslah kembali luka di hati ini. Bagaimanapun aku berusaha

untuk bersikap sebagai seorang yang berjiwa besar, namun

ternyata aku bukanlah orang yang berjiwa demikian. Meskipun aku

tidak membebankan semua kesalahan kepadamu, namun dengan

menghindari pertemuan itu, aku berhasrat untuk melupakan

segala-galanya yang pernah terjadi. Melupakan gelar Pasingsingan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 94

yang sudah sejak berpuluh tahun sebelumnya dipupuk dan

disiangi, untuk kemudian dapat berkembang dengan harumnya.

Tetapi, kemudian karena sifat-sifat yang sebenarnya alami dari

setiap manusia, maka semuanya itu menjadi hancur. Sifat-sifat

alami yang tanpa kesadaran serta pengarahan yang benar, maka

kaburlah batas antara manusia yang berakal budi dengan mahluk-

mahluk lainnya, yang hanya mengenal sifat-sifat alami melulu

sebagai naluri.”

Radite dan Anggara menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Mereka samasekali tidak berani menatap wajah orang yang berdiri

di hadapannya. Mereka merasakan benar-benar betapa kata-kata

orang itu langsung menembus jantung mereka. Dan karena kata-

kata itu pula kemudian Radite dan Anggara menjadi yakin seyakin-

yakinnya bahwa tidak mungkin ada orang lain yang dapat berbuat,

bersikap dan berkata kepadanya sedemikian itu selain

Pasingsingan Sepuh. Karena itu maka sekali lagi Radite

menundukkan kepalanya sambil berkata parau, “Guru, telah

sekian lama aku menanti, bahwa pada suatu saat aku akan dapat

membersihkan dosa-dosaku dengan menjalani hukuman yang

dapat guru jatuhkan kepadaku. Dan sekarang aku mendapat

kesempatan untuk bertemu. Karena itulah aku mohon, guru sudi

berbuat sesuatu atas diriku sebagai suatu pernyataan

penyesalanku yang tiada terhingga.”

“Radite….” jawab orang yang berjubah itu, “Pengakuan atas

kesalahan yang tiada dibuat-buat, yang diucapkan dengan jujur

dan ikhlas adalah suatu hukuman yang seberat-beratnya. Sebab,

hukuman bukanlah sekadar menyakiti, menyiksa atau

penderitaan-penderitaan lain. Tetapi tujuan dari pada hukuman

yang sebenarnya adalah mencegah terulangnya kesalahan itu.

Kalau seseorang, dengan ikhlas dan jujur telah mengakui

kesalahannya dan berusaha dengan sepenuh hati untuk tidak

berbuat kesalahan-kesalahan lagi, maka menurut pendapatku

tidak adalah hukuman lain yang wajib ditimpakan atasnya.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 94

Sekali lagi kata-kata orang berjubah itu meresap ke dalam

setiap relung dada Radite maupun Anggara, seperti meresapnya

rasa sejuk dari percikan air yang telah wayu sewindu. Meskipun

demikian, karena beban perasaan yang terasa sangat berat

menghimpit hati, Radite mencoba sekali lagi mendesak, “Guru,

bukankah hal yang demikian setidak-tidaknya akan dapat menjadi

suri tauladan, bahwa Radite mengalami hukuman atas

kesalahannya? Sebab apabila ada kesalahan yang lepas dari

hukuman, maka ada kemungkinan orang lain akan melakukan hal

yang sama dengan harapan untuk membebaskan diri pula dari

setiap hukuman.”

Terdengarlah orang yang berjubah itu tertawa lirih. Jawabnya,

“Radite, aku tahu bahwa kau ingin mengurangi tanggungan

perasaanmu. Tetapi ketahuilah, bahwa dengan penyesalan serta

keikhlasanmu mengakui kesalahanmu itu adalah hukuman yang

sudah cukup berat. Sedang apabila ada orang lain yang dengan

sengaja berbuat kesalahan, kepadanyalah hukuman harus

dibebankan, bahkan dua kali lipat dari yang seharusnya.”

Radite menjadi terdiam. Untuk beberapa saat suasana kembali

dicekam oleh kesepian. Dalam pada itu timbul pulalah berbagai

pertanyaan di dalam dada Radite dan Anggara. Kalau gurunya

pada saat yang tiba-tiba tanpa diduga-duganya itu hadir di

hadapannya, apakah maksudnya? Ia tidak ingin memberi hukuman

kepadanya, sebaliknya gurunya itu telah bertekad untuk tidak

menjumpainya lagi. Tetapi sekarang orang itu ada disini. Baru

kemudian teringatlah oleh Radite bahwa disampingnya ada orang

lain dari perguruan lain. Yaitu Mahesa Jenar dan orang yang

menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Apakah kedatangan

gurunya itu ada sangkut-pautnya dengan mereka itu?.

Karena itu kemudian bertanyalah ia, “Guru, kalau demikian

apakah aku berhak mempersilakan guru untuk singgah ke dalam

pondokku?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 94

Terdengar orang berjubah itu tertawa pendek. Lalu sahutnya,

“Radite, kau agaknya terlalu cemas melihat bayanganmu sendiri.

Bagiku, dosamu tidak sebesar yang kau duga sendiri. Sudah aku

katakan bahwa kalau aku tidak ingin menjumpaimu lagi itu karena

kekerdilan jiwaku sendiri. Jiwa orang tua yang merindukan masa

lampau itu tetap menjadi kebanggaannya. Bahkan kalau mungkin,

menjadi kebanggaan setiap orang”

Tetapi, Radite dan Anggara. Ternyata apa yang cemerlang di

masa lampau tidaklah selalu yang cemerlang masa sekarang dan

masa yang akan datang. Dan ini akhirnya harus aku yakini

meskipun tidak semua yang berasal dari masa lampau itu harus

dilupakan dan disisihkan. Namun satu hal yang bagiku tetap harus

tak berubah dari masa ke masa. Dari masa lampau, masa kini dan

masa yang akan datang. Bahwa apa yang kita lakukan seharusnya

kita abdikan dengan penuh kasih dan cinta kepada manusia dan

kemanusiaan. Bukan sebaliknya manusia dan kemanusiaan kita

abdikan pada diri kita, pada kepentingan kita pribadi. Demikianlah

manusia akan mencerminkan kasih dan cinta Tuhan.”

Tidak hanya Radite dan Anggara yang meresapi kata-kata

orang berjubah itu. Juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

mendengarkan kata demi kata dengan seksama. Sehingga untuk

sesaat mereka lupa pada kepentingan mereka sendiri.

Sementara itu terdengar orang berjubah itu meneruskan, “Dan

karena itulah agaknya aku datang kemari. Kalau pada saat-saat

lampau tak sepantasnya orang-orang muda menyeret orang-orang

tua ke dalam satu persoalan, namun sekarang ternyata aku

terseret kemari karena pokal anak-anak muda.”

Radite dan Anggara terkejut mendengar kata-kata itu. tanpa

disengaja mereka menoleh kepada Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara yang masih duduk disamping mereka. Namun ketika

didengarnya kata-kata orang berjubah itu, mereka pun

mengangkat wajah mereka.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 94

Dan orang berjubah itu pun meneruskan, “Aku terpaksa

datang kemari karena aku tidak mau

Radite dan Anggara menjadi semakin tercengang. Sedangkan

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menundukkan wajah.

Dalam pada itu terdengar kelanjutan kata-kata orang berjubah itu,

“Nah Radite… katakanlah kepadaku sekarang, apakah kau

menyimpan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten…?”

Bukan main terkejutnya. Tidak hanya Radite dan Anggara.

Tetapi juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dengan tergagap

terdengar Radite menjawab, “Guru, aku samasekali tidak

menyimpan kedua pusaka itu. seandainya demikian, buat apakah

kiranya kedua pusaka itu bagiku?”

Orang berjubah itu menoleh kepada Mahesa Jenar dan

bertanya kepadanya, “Aku dengar, kau berkeras menuduh bahwa

kedua pusaka itu berada di tempat ini.”

Mahesa Jenar samasekali tidak menduga bahwa ia akan

mendapat pertanyaan itu. Karena itu dengan ragu-ragu ia

menjawab, “Ya Tuan… memang aku menyangka bahwa kedua

keris itu berada di sini.”

“Nah….” jawab orang berjubah itu, “Radite dan Anggara telah

menjawab bahwa kedua pusaka itu tidak berada di tempat ini. Kau

harus percaya, sebab sepengetahuanku, Radite dan Anggara tidak

pernah berbohong.”

Kembali Mahesa Jenar kebingungan. Sesekali ia menoleh

kepada Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara agaknya sedang

berpikir. Karena itu akhirnya Mahesa Jenar terpaksa menjawab,

“Tuan… memang sebenarnya aku tidak ingin menemukan keris itu

di sini.”

“Lalu apakah maksudmu sebenarnya…?” desak orang berjubah

itu.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 94

Sekali lagi Mahesa Jenar ragu. Sedangkan Radite dan Anggara

pun menjadi bingung. Ia tidak mengerti arah jawaban Mahesa

Jenar. Mahesa Jenar sendiri, yang mula-mula sudah merencanakan

segala sesuatu dengan lengkap dan urut, namun di hadapan orang

berjubah abu-abu itu semuanya menjadi terpecah-pecah kembali.

Seolah-olah ia kehilangan ingatan atas segala rencana yang telah

disusunnya bersama Kebo Kanigara. Meskipun demikian satu hal

yang dapat dijadikan pegangan. Orang berjubah abu-abu itu kini

sudah datang.

Karena itu ia tidak perlu berbelit-belit lagi. Dan ketika ia

melihat Kebo Kanigara mengangguk kecil, berkatalah Mahesa

Jenar, “Tuan yang berjubah abu-abu, kalau aku datang kemari dan

memaksakan suatu perselisihan kepada Paman Radite dan Paman

Anggara, sebenarnya adalah karena Tuan. Sebab sejak semula aku

pun sudah percaya bahwa kedua keris itu samasekali tidak berada

di tempat ini, tetapi berada pada seseorang yang sakti, yang

mengenakan jubah abu-abu mirip dengan jubah yang pernah dan

selalu dipakai oleh Pasingsingan.”

Radite dan Anggara tersentak bersama-sama mendengar kata-

kata itu. Mula-mula jantungnya berdebar-debar, tetapi kemudian

jantung itu menjadi seolah-oleh berhenti bekerja. Keringat dingin

mulai membasahi punggungnya. Bagaimanapun mereka

menyadari bahwa sementara ini mereka telah dipergunakan oleh

Mahesa Jenar untuk memancing kehadiran gurunya. Tetapi

sebelum ia sempat berkata sesuatu, terdengarlah Mahesa Jenar

berkata kepada mereka, “Paman berdua… ampunkan kami. Kami

samasekali tidak bermaksud menyakiti hati Paman berdua. Apalagi

sampai ada pertempuran yang sebenarnya antara hidup dan mati.

Apa yang kami lakukan benar-benar suatu permainan yang

berbahaya. Namun penuh dengan tanggungjawab atas kedua

pusaka yang hilang itu.”

Perasaan aneh menjalar dalam dada Radite dan Anggara.

Bahkan kemudian mereka tidak tahu, bagaimana seharusnya

mereka menanggapi kejadian itu. Dalam keadaan yang demikian

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 94

terdengarlah orang berjubah itu tertawa lirih. Katanya, “Aku

kagum pada kecerdasanmu Mahesa Jenar. Rupanya kau pernah

mendengar bahwa Radite dan Anggara adalah murid Pasingsingan.

Kau pernah melihat bahwa orang yang membawa kedua keris itu

pun berjubah abu-abu seperti Pasingsingan. Nah, kau yakin bahwa

apabila kau bertempur melawan Radite dan Anggara, pastilah

orang berjubah abu-abu itu datang meleraimu. tetapi bagaimana

kalau aku berpendirian, biarlah kau berdua dibinasakan oleh Radite

dan Anggara?”

Hampir saja Mahesa Jenar menjawab bahwa ia berusaha untuk

tidak terbinasakan, karena keseimbangan yang telah dicapainya

setelah ia mesu raga. Sedangkan Kanigara adalah seorang yang

cukup sakti untuk mengimbangi Radite. Tetapi niat itu diurungkan,

karena dengan demikian, meskipun ia tidak bermaksud apa-apa,

agaknya akan nampak bahwa ia menyombongkan dirinya.

Dan karena beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab,

orang berjubah abu-abu itu meneruskan, seolah-olah mengerti

perasaan Mahesa Jenar. “Atau kalau kalian merasa bahwa

kesaktian kalian berimbang, bagaimanakah kalau seandainya aku

tidak mengetahui apa yang terjadi di sini?”

Karena perkataan itu, seolah-olah Mahesa Jenar mendapat

tuntunan untuk menjawabnya, “Tuan… aku yakin bahwa Tuan akan

mengetahui apa yang akan terjadi di sini. Sebab kehadiran Tuan

pada pertempuran di Gedangan, serta usaha Tuan untuk

menyempurnakan tata nadi Arya Salaka menunjukkkan kepadaku

bahwa Tuan selalu hadir di dalam saat-saat yang gawat.

Sedangkan aku yakin pula bahwa Tuan tidak akan membiarkan

salah satu pihak dari kita yang sedang bertempur menjadi binasa.

Sebab Paman Radite dan Paman Anggara adalah murid-murid Tuan

yang terpercaya. Meskipun akhirnya Tuan merasa perlu untuk

menjauhinya, namun Tuan tidak akan tega sampai sejauh-

jauhnya. Sebaliknya, apakah Tuan dapat melihat kami, aku dan

Kakang Kebo Kanigara, binasa…?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 94

“Kenapa tidak…?” terdengar orang berjubah itu menyahut.

“Kalau demikian….” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Tuan

pasti tidak akan melerai kami. Membiarkan kami bertempur terus.

Dan apabila kami binasa, selesailah persoalan Tuan, tetapi kalau

kami menguasai keadaan, Tuan akan datang membantu Paman

Radite dan Paman Anggara, tetapi ternyata yang terjadi tidaklah

demikian.”

“Kau yakin bahwa aku tidak akan berbuat demikian?” jawab

orang berjubah abu-abu itu.

“Bukankah kau masih berada di tempat ini, dan aku masih

belum berbuat sesuatu? Nah, agaknya kau telah mempercepat

tindakan-tindakan yang akan aku lakukan. Ketahuilah bahwa kau

benar. Aku datang untuk membantu Radite dan Anggara

membinasakan kalian berdua.”

Radite dan Anggara menjadi semakin bingung. Persoalan yang

agaknya menjadi semakin berbelit-belit. Ia menjadi bertambah

terkejut lagi ketika tiba-tiba Kebo Kanigara tertawa. Tiba-tiba saja

ia menemukan sifat-sifat yang sudah sangat dikenalnya pada

orang berjubah abu-abu itu. Karena itu tiba-tiba pula ia berkata

hampir berteriak, “Nah, Tuan yang berjubah abu-abu… lakukanlah

apa yang Tuan kehendaki. Namun aku ingin meninggalkan pesan

buat anakku Arya Salaka di Padepokan Karang Tumaritis.”

Orang berjubah itu terdiam. Bahkan tampak beberapa jengkal

ia surut ke belakang. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak kenal

Arya Salaka dari Karang Tumaritis. Kalau yang kau maksud itu

adalah anak yang pernah aku tolong, memperbaiki tata nadinya,

maka aku tidak ada hubungan samasekali dengan anak itu.”

Sekarang Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan hatinya

lagi. Karena itu maka ia ikut berteriak, “Nah, Tuan… aku yakin

bahwa Tuan tidak berani mengganggu kami. Sebab di belakang

kami berdiri seorang yang maha sakti pula seperti Tuan, yang

bermukim di gunung Karang Tumaritis, bernama Panembahan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 94

Ismaya. Seorang Panembahan yang sangat gemar mengumpulkan

dan menyimpan hampir segala jenis topeng-topeng serta pahatan

kayu.”

Sekali lagi Radite dan Anggara terkejut. Bahkan darahnya

seolah-olah mengalir semakin cepat, ketika ia mendengar Mahesa

Jenar berkata, bahwa seolah-olah menantang gurunya. Di samping

itu ia menjadi heran pula bahwa ada orang lain yang disebut maha

sakti, apalagi sampai gurunya tidak berani bertindak karena orang

itu. Dan sSetelah perasaan mereka terguncang-guncang untuk

kesekian kalinya, kembali Radite dan Anggara menjadi tercengang

ketika tiba-tiba gurunya tertawa. Tertawa hampir terkekeh-kekeh.

Dalam keadaan yang demikian semakin jelaslah, betapa tua usia

orang yang berjubah abu-abu itu.

Katanya kemudian, “Mahesa Jenar, adakah orang yang kau

sebutkan maha sakti itu gurumu?”

“Bukan,” jawab Mahesa Jenar, “Tetapi Panembahan Ismaya

adalah seorang Panembahan yang tak ada duanya di kolong langit

ini. Aku sangat tertarik pada topeng-topengnya yang beraneka

ragam. Ada yang kasar dan jelek, namun penuh menyimpan watak

yang sejuk damai. Tetapi ada pula yang tampak cerdik, namun

jauh dari sifat-sifat kesombongan. Dan salah satu yang sangat

menarik bagiku adalah yang Tuan pakai sekarang ini.”

Orang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram. Namun

samasekali tidak menakutkan. Bahkan kemudian katanya kepada

Radite dan Anggara, “Anak-anakku, agaknya kalian menjadi

pening mendengar kata-kata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Tetapi biarkanlah mereka berkicau sesukanya.”

Radite dan Anggara mengangguk-anggukkan kepalanya.

Namun mereka sebenarnya ingin penjelasan. Disamping itu tiba-

tiba mereka mendengar nama Kebo Kanigara disebut-sebut. Baik

oleh Mahesa Jenar maupun oleh gurunya. Karena itu terdengarlah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 94

Radite berkata, “Benar Bapa, aku benar-benar menjadi pening.

Namun sudilah kiranya Bapa memberi penjelasan.”

Orang berjubah abu-abu itu tertawa. Katanya, “Radite,

sebaiknya aku kau persilakan masuk ke dalam pondokmu dahulu

bersama kedua tamu-tamumu yang aneh ini.”

Radite kemudian merasa diingatkan atas kewajibannya

sebagai tuan rumah. Karena itu dipersilakannya gurunya beserta

kedua tamu yang membingungkan itu masuk ke dalam rumahnya.

Setelah mereka duduk melingkari lampu minyak jarak, diatas

sebuah bale-bale yang besar, mulailah orang berjubah itu berkata,

“Radite dan Anggara… kau kenal aku karena kau adalah murid-

muridku yang seolah-olah telah merupakan bagian dari hidupnya

sendiri. Tetapi kau melihat wajahku selalu tertutup oleh sebuah

topeng yang kasar dan jelek, yang kemudian dipakai oleh

Umbaran. Dan karena itulah agaknya kau belum pernah melihat

wajahku yang sebenarnya. Meskipun demikian, dengan wajah

yang lainpun kau segera dapat mengenal aku pula. Demikian pula

agaknya Kebo Kanigara yang meskipun aku mengenakan pakaian

yang belum pernah dilihatnya, namun karena pergaulan kami yang

sudah lama, maka iapun segera dapat mengenal aku pula.

Sedangkan Mahesa Jenar, akan segera mengenal aku karena

perhitungan-perhitungan otaknya yang cemerlang. Sehingga

karena pokalnya kau benar dapat dipancingnya malam ini. Dan

kalian adalah umpan-umpannya.”

Radite dan Anggara memang sudah merasakan hal itu. Namun

peristiwa seterusnya adalah terlalu aneh baginya. Apalagi orang

yang disebut Kebo Kanigara, yang mula-mula menamakan dirinya

Tumenggung Surajaya itupun telah banyak bergaul dengan

gurunya. Apakah ia pun berguru pada orang yang dahulu bernama

Pasingsingan itu? Tetapi kalau demikian, maka unsur-unsur pokok

ilmu mereka pasti bersamaan. Sedangkan orang itu justru

bersumber pada cabang perguruan Pengging.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 94

Dalam pada itu, orang yang berjubah abu-abu itu agaknya

mengerti akan isi hati Radite dan Anggara, karena itu ia

meneruskan, “Satu-satunya cara bagi Mahesa Jenar untuk dapat

bercakap-cakap dengan orang yang berjubah abu-abu ini, yang

dilihatnya dengan mata kepala sendiri telah mengambil Nagasasra

dan Sabuk Inten dari Banyubiru, adalah dengan cara ini.

Bertempur dengan murid-muridnya. Dengan demikian orang yang

berjubah abu-abu ini pasti tidak hanya sekadar memperlihatkan

diri untuk melerai atau memihak kepadanya saja, sebab lawan-

lawannya adalah murid orang berjubah abu-abu itu sendiri.”

Tiba-tiba Radite menggeser duduknya ke dekat Mahesa Jenar

dan menepuk bahunya keras-keras sambil berkata, “O, ngger,

ngger. Pandai benar kau buat hati orang tua kalang kabut. Hampir

saja aku kehilangan pengamatan diri. Sebab persoalan yang

Angger berdua paksakan kepada kami adalah langsung

menyinggung luka hati yang paling parah. Itulah sebabnya aku tak

dapat menahan diri lagi.”

“Maafkan kami Paman,” sela Kebo Kanigara, “Sebab kami tahu

betapa sabar dan alimnya Paman berdua, sehingga mula-mula

kami menemui kesulitan untuk membuat paman berdua marah.

Maka terpaksalah kami agak melampaui batas-batas kesopanan.

Tetapi kami harap Paman percaya, bahwa bukanlah demikian

maksud kami yang sebenarnya.”

Radite mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian

bertanyalah ia, “Tetapi kenapa Angger menyinggung-nyinggung

Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”

“Sebab memang kedua keris itulah yang kami cari,” jawab

Kebo Kanigara. “Dan terhadap orang yang kami harapkan hadir

kemudian, kami menaruhkan harapan sepenuhnya atas kedua

pusaka itu. Karena orang yang berjubah abu-abu itupun tahu pasti

bahwa kedua keris itu tidak berada di sini.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 94

Radite menarik nafas dalam-dalam, sedang Anggara pun

kemudian tertawa lirih, katanya, “Alangkah bingungnya aku

kemudian. Baru sekarang aku menjadi jelas. Alangkah bodohnya

orang-orang tua ini, yang hanya pantas untuk menjadi penunggu

burung di sawah-sawah.”

“Tetapi….” tiba-tiba Radite menyela, “Siapakah sebenarnya

Angger ini, yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya,

namun yang kemudian disebut oleh Bapa Guru dengan nama Kebo

Kanigara…?”

Orang berjubah abu-abu itu tersenyum. Katanya, “Itulah

kesenangannya. Membingungkan orang lain dengan nama-nama

yang dibuatnya. Ia pernah menamakan diri Putu Karang Jati waktu

ia menemui Pandan Alas.”

“Pandan Alas…?” ulang Radite dan Anggara hampir berbareng.

“Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak…?”

“Ya,” jawab orang yang berjubah abu-abu itu. “Dan sekarang

ia menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Dan orang yang

suka berganti nama itu tidak lain adalah seorang yang menganut

ilmu perguruan Pengging. Sebagaimana kau lihat, Mahesa Jenar

pun memiliki nama yang aneh pula. Di Gedangan mula-mula ia

dikenal bernama Manahan. Barangkali memang demikianlah

kebiasaan anak-anak Ki Ageng Pengging Sepuh.”

“Aku sudah menduga,” sela Radite, “Bahwa Angger ini pasti

seorang murid yang sempurna dari perguruan Pengging.”

“Tidak saja murid,” sahut orang berjubah abu-abu itu, “Tetapi

ia adalah anak Handayaningrat itu, dan bahkan adik

seperguruannya.”

Radite dan Anggara bersama-sama mengerutkan keningnya.

Tahulah ia sekarang kenapa ia memiliki kesaktian yang

mengagumkan. Yang dapat mengimbangi ilmu yang dimiliki oleh

Radite sendiri.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 94

Tetapi dalam pada itu terdengarlah Mahesa Jenar berkata,

“Tuan benar. Memang anak-anak perguruan Pengging suka

berganti nama. Tetapi agaknya Tuan lupa bahwa seorang yang

bernama Radite pernah bernama Pasingsingan dan pernah

bernama Paniling. Seorang yang bernama Anggara pun memiliki

nama lain, yaitu Darba. Tetapi lebih daripada itu, seorang lain yang

pernah bernama pula Pasingsingan, ternyata memiliki nama yang

lain, Panembahan Ismaya.”

Bagaimanapun juga, orang berjubah abu-abu itu tergeser

beberapa jengkal. Namun wajahnya yang pucat samasekali tidak

menunjukkan sesuatu perubahan. Sinar pelita yang menggapai-

gapai dengan gelisahnya, membuat bayangan-bayangan yang

bergerak-gerak di dinding.

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Paniling dan Darba

masih juga terkejut. Apakah sangkut-paut antara Pasingsingan

dengan Panembahan Ismaya…?

Tiba-Tiba tampaklah orang berjubah abu-abu itu melepas ikat

kepalanya. Dan karena itu tampaklah di bawah rambutnya yang

telah memutih, suatu garis yang memisahkan antara kulit

kepalanya dengan kulit wajahnya.

“Sekarang aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi,”

bisiknya. “Sebab Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah

mengetahui semuanya dengan jelas. Dan bagiku, sekarang sudah

tidak ada gunanya lagi memiliki bermacam-macam nama dan

kedudukan.”

Bersamaan dengan itu, terkelupaslah kulit yang tipis dari

wajah orang berjubah abu-abu itu. Kulit kayu yang dipahatnya

halus-halus menyerupai benar wajah seseorang. Terhadap topeng

itu tak seorangpun yang terkejut. Apalagi Mahesa Jenar, yang jauh

sebelumnya telah mengenal bahwa orang berjubah abu-abu itu

tidak memiliki wajah sewajarnya, melainkan mengenakan topeng.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 94

Dan topeng itu jauh berbeda dengan topeng yang pernah

dipakainya pada saat ia bernama Pasingsingan.

Dari balik topeng itu muncullah wajah orang berjubah abu-abu

itu. Wajah seorang tua yang lunak damai. Meskipun berkerut-kerut

namun kesegaran masih memancar dari wajahanya. Wajah yang

sudah dikenal oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Memang orang itulah Panembahan Ismaya.

Radite dan Anggara tiba-tiba merasa terharu. Terharu karena

mereka berkesempatan mengenal wajah gurunya. Wajah yang

selama ini menjadi teka-teki. Bahkan mereka menduga bahwa

seumur hidup mereka tak akan sempat memandang wajah itu.

Namun suatu hal yang mengejutkan mereka berdua, bahwa orang

berjubah abu-abu itu tidaklah setua yang mereka duga. Umurnya

tidak banyak terpaut banyak dengan umur mereka sendiri.

Meskipun demikian Radite dan Anggara membungkukkan

kepalanya sambil berkata dengan hormatnya, “Bapa Guru… aku

merasa mendapatkan suatu kurnia juga tiada taranya, bahwa Bapa

Guru telah berkenan memberi kesempatan kepada kami untuk

lebih mengenal Bapa.”

Orang yang berjubah abu-abu, yang pernah bernama

Pasingsingan dan kemudian menjauhkan diri dari kesibukan dunia

ramai di Bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya

itu tersenyum. “Semua permulaan akan ada akhirnya. Hanya yang

tidak bermula sajalah yang tidak akan berakhir. Yaitu Tuhan Yang

Maha Esa. Di hadapan kalian berempat aku merasa seolah-olah

aku telah mencapai segala cita-cita serta idamanku, sejak aku

menamakan diriku Pasingsingan.”

Ketika orang yang berjubah abu-abu dan menamakan dirinya

Panembahan Ismaya dalam bentuknya yang lain itu berhenti

sejenak, suasana menjadi hening. Tak seorang pun yang berkata-

kata. Mereka sedang terbenam dalam arus perasaan masing-

masing. Mereka mencoba menghubung-hubungkan apa yang

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 94

pernah terjadi atas orang berjubah abu-abu itu sehingga ia

terpaksa mempergunakan topeng hampir seumur hidupnya.

Sedangkan sebagai Panembahan Ismaya, ia menyepi di sebuah

bukit kecil dan menjauhkan diri dari pergaulan.

Tetapi tak seorangpun yang berani bertanya. Mereka takut

kalau ada hal-hal yang dapat menyinggung perasaannya. Namun

tanpa mereka duga, orang itu berkata dengan sendirinya,

“Mungkin apa yang terjadi atas diriku agak mengherankan.

Bertopeng seumur hidup dan menyepi hampir seumur hidup pula.”

Keterangan itu akan menarik bagi Radite dan Anggara. Bahkan

juga bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Tetapi tiba-tiba orang berjubah abu-abu itu membelokkan

percakapan kepada Mahesa Jenar. Katanya, “Mahesa Jenar…

sekarang kau sudah bertemu dengan orang yang berjubah abu-

abu, yang mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk

Inten dari Banyubiru. Dan karena pengotak-atikmu bersama Kebo

Kanigara, menghubung-hubungkan semua yang pernah kalian

alami, akhirnya kalian mengambil kesimpulan bahwa orang

berjubah abu-abu itulah Panembahan Ismaya. Lalu apakah

keperluanmu dengan aku?”

Mahesa Jenar menelan ludahnya beberapa kali. Mula-mula ia

agak bimbang untuk langsung menyampaikan keperluannya.

Tetapi ia yakin bahwa sebenarnya orang tua itu pun sudah

mengerti pula. Karena itu ia mencoba mengelak, “Tuan… apakah

aku masih perlu mengatakan keperluanku? Aku kira Tuan telah

mengetahui selengkapnya.”

“Mahesa Jenar….” jawab orang berjubah itu, “Lebih baik kau

tidak mengira-ira. Katakanlah, dan aku akan menjadi jelas, tanpa

kira-kira lagi.”

Sekali lagi Mahesa Jenar menelan ludahnya. Lalu dengan suara

yang parau ia menjawab, “Tuan… sebenarnya aku hanya ingin

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 94

mengetahui di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai

Sabuk Inten itu berada.”

“Hanya itu…?” sahut orang berjubah itu.

“Dan apabila Tuan berkenan, aku ingin menerima kedua

pusaka itu, kembali untuk menyelesaikan beberapa masalah

antara aku dan kakang Gajah Sora di satu pihak, dan

Pemerintahan demak di lain pihak.

“Hanya itu…? Hanya supaya kau dapat kembali ke Istana dan

Gajah Sora dapat dibebaskan?”

“Tidak,” jawab Mahesa Jenar tergesa-gesa. “Bukan hanya itu.

Tetapi aku tidak mau menyembunyikan pamrih itu supaya aku

tidak menjadi penipu atas diri sendiri. Sebab apabila aku hanya

mengatakan bahwa aku ingin mengembalikan kedua pusaka itu

demi kelangsungan pemerintahan, maka aku telah menyembunyi-

kan beberapa bagian darinya, yaitu pamrih pribadi.”

Orang berjubah abu-abu itu mengangguk-anggukkan

kepalanya. Lalu jawabnya, “Kau memang jujur dan berterus

terang. Tetapi kau terlalu tergesa-gesa. Sudah beberapa kali aku

isyaratkan kepadamu, bahwa sekarang ini sedang ada

pertentangan yang tajam terjadi di Demak. Antara keturunan

Sultan Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Karena itu kau

masih harus menilai siapakah diantara mereka yang patut

mendapat sipat kandel itu. Kalau kau muncul sekarang dengan

pusaka-pusaka itu, maka akibatnya akan menjadi lebih parah lagi.

Mereka menjadi semakin bernafsu dalam pertentangan-

pertentangan yang akan timbul. Kedua pusaka itu akan merupakan

penyebab pula, karena mereka merasa perlu untuk memilikinya.

Dengan demikian kau membantu menimbulkan persoalan-

persoalan baru yang akan menambah ketegangan. Bahkan akan

dapat menimbulkan pertumpahan darah diantara para perwira,

bintara dan tamtama. Kalau demikian yang terjadi, maka tinggal

menunggu besok atau lusa, Demak pasti akan binasa. Sebab yang

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 94

akan berhadapan sebagai lawan dalam pertentangan itu adalah

kekuatan-kekuatan Demak sendiri. Baik yang berpihak kepada

keturunan Sekar Seda Lepen maupun yang berpihak kepada

Sultan Trenggana. Setiap jiwa yang melayang karenanya adalah

kerugian yang harus ditanggung oleh Demak sendiri.

Karena itu janganlah suasana menjadi bertambah tegang.

Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalan itu dengan

baik. Dengan musyawarah diantara kekuatan-kekuatan saka guru

Demak sendiri.”

Mendengar keterangan itu, Mahesa Jenar menundukkan

kepala dalam-dalam. Demikian pula Kebo Kanigara. Sedangkan

Radite dan Anggara mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Dengan demikian….” orang berjubah abu-abu itu

meneruskan, “Setiap orang Demak akan dapat mencurahkan

tenaganya untuk kesejahteraan negeri. Membangun tempat-

tempat ibadah dan pendidikan, surau-surau dan langgar.

Disamping itu setiap prajurit Demak akan berkesempatan untuk

menumpas habis golongan-golongan yang tidak senang melihat

Demak menjadi bulat. Maka setelah itu akan terjalinlah kesatuan

hati rakyat. Ketenteraman hidup dengan berbakti kepada Tuhan

Yang Maha Esa tanpa mendapat gangguan dalam pangkuan tanah

tumpah darah yang gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem

kertaraharja, tanpa bibit-bibit pertentangan yang ditaburkan di

hari ini, yang akan tumbuh dan menjadi lebat di hari kemudian.”

Ketika orang berjubah abu-abu itu berhenti, terdengarlah

kokok ayam bersahutan menyambut datangnya fajar. Fajar yang

tidak akan dapat ditunda oleh siapapun. Ia akan datang apabila

saatnya datang. Biarpun ayam jantan tidak berkokok. Demikianlah

kekuasaan Tuhan yang melampaui segenap kekuasaan yang ada.

Mahesa Jenar sadar akan ketergesaannya. Ia agaknya kurang

dapat menanggapi setiap ajaran isyarat yang diberikan, baik oleh

seorang yang berjubah abu-abu yang dijumpainya dahulu di

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 94

jalannya yang hampir sesat dan kehilangan akal maupun oleh

orang itu juga dalam pakaiannya sebagai seorang Panembahan.

Namun demikian masih saja ada beberapa hal yang belum

dapat dipahami, apakah dengan diketemukannya keris itu justru

tidak dapat menghentikan persengketaan antara dua golongan

besar itu. Tetapi disamping itu timbul pula pertanyaan-pertanyaan

lebih lanjut di dalam dadanya. Juga di dada Kebo Kanigara dan

kedua murid Pasingsingan itu. Demikian besar minat orang yang

berjubah abu-abu itu terhadap persatuan dan kesatuan Demak,

sehingga mustahil kalau ia tidak memiliki sangkut-paut yang

sangat rapat dengan kedua golongan itu.

Meskipun demikian, meski berbagai pertanyaan bergelut di

dalam dada setiap orang yang duduk di dalam lingkaran kecil itu,

namun tak seorang pun yang menyatakannya. Agaknya orang

berjubah abu-abu itu sudah merasa perlu untuk menyatakan

dirinya tanpa satu pertanyaan pun.

Dalam sesaat orang tua berjubah itu berdiam diri,

memandangi setiap wajah dari keempat orang yang dengan penuh

minat mendengarkan ceritanya. Dan ketika sambaran matanya

hinggap pada wajah Mahesa Jenar, tertangkaplah banyak sekali

persoalan yang ingin dikatakannya. Namun tak sepatah katapun

yang terloncat dari mulutnya. Orang tua yang berjubah abu-abu

itu agaknya dapat merasakan persoalan-persoalan itu. Karena itu

ia meneruskan, “Mahesa Jenar… seandainya salah seorang dari

mereka memiliki kedua keris itu sekalipun, tidaklah dapat

dianggap sebagai suatu jaminan bahwa persengketaan mereka

akan mereda. Sebab dengan memiliki kedua keris itu tidaklah

berarti bahwa ia mutlak dapat memegang pemerintahan di Demak,

selama jiwa orang itu masih belum menjadi luluh dengan jiwa

kedua keris itu. Apabila seseorang telah benar-benar dapat

menguasai, serta jiwa kedua keris itu luluh dalam dirinya, barulah

ia mendapat sipat kandel yang sebenarnya. Selama masih ada

jarak antara seseorang dengan keris itu, maka selama itu keris-

keris yang keramat itu samasekali tak akan berguna. Karena itulah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 94

maka meskipun orang yang berjubah abu-abu sebagaimana kau

lihat, berhasil menyimpan kedua keris itu, seandainya, ia ingin

memegang tampuk pemerintahan Demak, hal itu tidak akan dapat

dicapainya. Sebab jiwa keris itu tidak dapat luluh ke dalam dirinya.

Juga orang-orang dari golongan hitam itupun akan tidak

mempunyai sesuatu arti, apabila mereka memiliki kedua pusaka

Demak itu.” Kembali orang tua itu berhenti. Di luar, cahaya

matahari pagi telah memercik hinggap di dedaunan. Burung-

burung dengan riangnya berkicau bersahutan. Demikianlah

Padepokan yang sepi itu seolah-olah telah terbangun dari tidurnya.

Namun halaman-halaman rumah penduduk padepokan itu masih

tampak sepi. Satu-dua orang yang telah muncul dari ambang

pintunya, dengan tergesa-gesa pergi ke sungai, sedang yang lain

dengan sibuknya menyalakan api untuk merebus air. Di sana-sini

terdengar jeritan anak-anak kecil yang memanggil ibunya, ketika

mereka terbangun dari tidurnya yang nyenyak, seolah-olah

mereka kecewa kehilangan mimpi yang segar.

Dalam kecerahan pagi itu tampaklah orang-orang yang duduk

di atas sebuah bale-bale besar di rumah Paniling masih belum

berkisar dari tempatnya. Mereka masih dengan asiknya

mendengarkan kisah dari orang tua yang berjubah abu-abu itu.

Sementara itu, tiba-tiba orang yang berjubah abu-abu itu

berkata. “Radite, biarlah aku melepaskan jubah abu-abuku,

supaya orang-orang yang lewat di muka rumahmu ini tidak

menjadi keheran-heranan melihat pakaianku yang tidak biasa di

pedukuhanmu ini.”

Dengan tergoboh-gopoh Radite mempersilakan orang tua itu

masuk ke dalam sebuah ruangan untuk berganti pakaian.

Untunglah bahwa hal itu segera dilakukan, sebab ketika matahari

telah semakin naik di atas punggung-punggung perbukitan,

tampaklah jalan-jalan pedukuhan itu mulai sibuk. Beberapa orang

telah mulai turun ke sawah dengan binatang-binatang kesayangan

mereka, menjelang saat tanam padi.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 94

Demikianlah, ketika beberapa orang lewat di muka pondok di

ujung pedukuhan itu, mereka melihat dua ekor kuda tertambat di

halaman. Karena itu teringatlah mereka, bahwa kemarin mereka

melihat dari celah-celah pintu mereka, dua orang berkuda lewat di

jalan pedukuhan itu. Karena itu sesuai dengan watak-watak

mereka yang sederhana dan penuh rasa kekeluargaan, mereka

pun merasa berkepentingan pula dengan penunggang-

penunggang kuda itu. Meskipun demikian mereka terheran-heran

pula ketika mereka melihat bekas-bekas tanaman yang terinjak-

injak di halaman.

Ketika beberapa orang menjenguk ke dalam rumah itu,

dilihatnya beberapa orang duduk-duduk di atas bale-bale besar

bersama-sama dengan Ki Paniling dan Ki Darba. Karena itu dengan

ramahnya mereka menyambut kehadiran mereka. Dengan

tergopoh-gopoh pula Paniling dan Darba mempersilakan mereka

masuk dan memperkenalkan mereka yang masih dapat mengenal

Mahesa Jenar. Karena itu terdengar suara orang itu. “He, kakang

Paniling bukankah ini kemanakanmu yang beberapa tahun yang

lalu pernah datang kemari?”

Ki Paniling tersenyum lebar, jawabnya, “Otakmu agaknya baik

sekali. Ya, ialah kemenakan yang beberapa tahun yang lalu pernah

datang kemari.”

Kemudian sambil tertawa-tertawa bangga atas pujian itu,

orang itu bertanya seterusnya, “Dan siapakah yang dua lagi?”

“Ia juga kemanakanku,” sahut Paniling, “Dan yang satu lagi….”

Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana ia mesti menyebut

gurunya. Untunglah bahwa gurunya segera menyahut, “Aku adalah

kakaknya. Ayah anak-anak ini.”

“O….” terdengar beberapa orang bergumam. Lalu berkata

salah seorang diantaranya, “Selamatlah Kakang berkunjung ke

pedukunan ini. Mudah-mudahan Kakang krasan pula, dan sudi

singgah ke rumah tetangga-tetangga di sebelah.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 94

“Pasti, pasti,” jawab guru Radite itu. “Aku akan tinggal

beberapa hari di sini. Dan aku akan singgah di rumah kalian apabila

waktuku memungkinkan.”

Demikianlah terjadi percakapan yang akrab dan semanak di

antara mereka. percakapan yang samasekali tidak dibumbui oleh

maksud-maksud lain daripada apa yang mereka percakapkan.

Penduduk pedukuhan itu samasekali tidak mengenal cara-cara

yang dilapisi oleh sifat berpura-pura. Dada mereka tak ubahnya

seperti sebuah kitab lontar yang terbuka. Setiap orang yang

berkepentingan akan langsung dapat membacanya kata demi kata.

Demikianlah huruf itu membentuk kata-kata serta kalimat-kalimat.

Demikianlah maksud serta isi dari kitab itu sebenarnya.

Tetapi mereka tidak lama berada di tempat itu. Karena sawah

serta ladang mereka selalu menunggu. Menunggu uluran tangan

para petani yang dengan setia dan tekun menggarapnya. Tanpa

banyak persoalan. Mereka bekerja untuk memetik hasilnya.

Karena itu mereka sadar bahwa apabila mereka tidak bekerja,

maka mereka pun akan kelaparan. Dengan demikian mereka tidak

pernah berpikir lain daripada kesejahteraan pedukuhan mereka,

tergantung atas kesanggupan serta kemauan mereka bekerja.

Dan seandainya ada orang lain, yang berbelas kasihan

memberi kepada pedukuhan itu kesejahteraan yang melimpang-

limpah, maka pastilah itu bukan hal yang sewajarnya. Pastilah

dengan demikian mereka mempunyai pamrih. Setidak-tidaknya

orang-orang dari pedukuhan itu akan terikat oleh suatu perasaan

berhutang budi. Dan dengan demikian hilanglah sebagian,

meskipun hanya sebagian kecil, kemerdekaan serta kedaulatan

mereka atas diri sendiri.

Karena itulah maka mereka bekerja keras dengan penuh

kegembiraan dan terima kasih. Terima kasih kepada Tuhan yang

telah melimpahkan tenaga dan tanah garapan bagi mereka.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 94

Namun ketika mereka meninggalkan halaman rumah itu, ada

juga yang sempat bertanya, “Bapak Paniling, kenapakah tanaman-

tanaman Bapak rusak bekas terinjak-injak?”

Paniling agak binggung untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi

akhirnya diketemukan juga jawabnya. “Akh, semalam kuda tamu-

tamuku itu lepas dari ikatannya. Terpaksalah kami beramai-ramai

menangkapnya.”

Mereka percaya saja pada keterangan itu. Bahkan beberapa

orang menjadi geli karenanya. Tetapi apabila mereka tahu apa

yang sebenarnya terjadi, pastilah mereka mempunyai tanggapan

yang akan sangat jauh berbeda.

Demikianlah ketika para petani meninggalkan rumah Ki

Paniling, kembali perhatian mereka tertuju kepada orang tua yang

sekarang sudah tidak lagi mengenakan jubah abu-abu. Tetapi

orang tua itu kini mengenakan baju lurik merah coklat serta ikat

kepala yang kehijau-hijauan.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengenal wajah orang

itu dengan baiknya sebagai seorang Panembahan. Tetapi kali ini,

dalam pakaian yang lain, tidak seperti yang biasa dipakainya, yaitu

jubah putih, tampaklah bahwa wajah itu menjadi semakin segar.

Cahaya matanya tidak saja tampak dalam dan damai, seperti

biasa, yang seolah-olah menjangkau jauh ke alam yang tidak kasat

mata. Tetapi mata itu kini memancar dengan terangnya menyorot

ke depan, ke masa yang akan datang. Ke masa yang tidak terlalu

jauh. Maka seolah-olah terjadilah suatu paduan antara masa depan

yang dekat dengan masa yang tak teraba oleh pancaindera.

Ketika suara sendau dan tawa para petani sudah hilang di

kejauhan, orang tua itu agaknya merasa perlu untuk melanjutkan

keterangannya. Karena itu ia mulai berkata, “Anak-anakku

sekalian. Demikianlah tuah dari kedua keris yang sedang kau cari

itu. Ia baru bermanfaat bagi pemiliknya apabila jiwa keris itu sudah

luluh dalam dirinya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 94

Pertandanya bahwa keris itu sudah luluh ke dalam diri

pemiliknya, adalah bahwa keris itu kehilangan kecemerlangannya.

Ia kuningan. Tetapi kedua keris itu menjadi tak ubahnya seperti

besi biasa saja. Sama warnanya dengan sebuah pisau dapur saja.

Sedang apabila jiwa kedua keris itu luluh pada diri seseorang,

maka orang itu akan memiliki sifat-sifat khusus yang meresap ke

dalam dirinya. Kyai Nagasasra mempunyai watak disuyuti oleh

kawula. Dicintai dan disegani oleh rakyat. Dengan demikian ia

akania akan memiliki unsur sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat

yang demikian memang seharusnya dimiliki oleh seorang

pemimpin. Pancaran dari cinta kasih Tuhan, perikemanusiaan,

memberi perlindungan kepada orang yang kehujanan dan

kepanasan, memberi makanan kepada orang yang kelaparan,

memberi pakaian kepada orang yang telanjang, memberi tuntunan

bagi yang kehilangan jalan.

Sedang Kyai Sabuk Inten mempunyai watak seperti watak

lautan. Luas tanpa tepi. Menampung segala arus sungai dari

manapun datangnya. Menerima dengan tadah banjir yang

bagaimanapun besarnya. Namun gelombangnya dapat

menunjukkan kedahsyatan dan kesediaan bergerak dan bahkan

selalu bergerak. Watak yang demikianlah yang memungkinkan

seseorang dapat menemukan yang belum pernah diketemukan.

Dan karenanyalah kesejahteraan rakyatnya dapat dijamin.

Kesejahteraan lahir dan batin. Memberi kesempatan kepada

mereka untuk mengalirkan airnya yang ditampung dapat beriak

dengan manisnya, namun dapat bergulung-gulung dengan

dahsyatnya, seolah-olah lautan itu sedang mendidih.”

Orang tua itu berhenti sejenak. Ia memandang berkeliling lalu

melemparkan sorot matanya yang damai itu lewat lubang pintu

dan jatuh di atas tanah berdebu di halaman. Sekali-kali ia menarik

nafasnya dalam-dalam. Seolah-olah ada sesuatu yang kurang

pada tempatnya. Kemudian terdengarlah ia melanjutkan, “Sayang,

bahwa kedua keris itu masih harus dilengkapi dengan yang satu

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 94

lagi. Kyai Sengkelat. Keris itu pun sekarang sudah lenyap dari

perbendaharaan istana.”

“Kyai Sengkelat?” sela Mahesa Jenar hampir berteriak.

Orang tua itu mengangguk, jawabnya, “Ya, Kyai Sengkelat.

Tidak saja keris-keris itu tidak mau luluh pada diri seseorang,

tetapi keris-keris itu ternyata lolos dari tempat penyimpanannya.

Padahal Sengkelat pun tidak kalah pentingnya. Ia memiliki watak

yang lengkap dari watak seorang prajurit. Prajurit yang setia dan

patuh akan kewajibannya, yang bekerja dan berjuang bukan untuk

kepentingan diri. Tetapi seorang prajurit akan berjuang untuk

tanah tumpah darah serta rakyatnya, dengan penuh kejujuran dan

tanpa pamrih, dalam lingkaran kebaktian dan cinta kasih Yang

Maha Agung.”

Suasana kemudian menjadi hening sepi. Masing-masing

tenggelam dalam angan-angan sendiri. Mahesa Jenar yang dengan

bekerja keras dan mati-matian berusaha untuk menemukan Kyai

Sabuk Inten, bahkan usahanya itu belum dapat dikatakan berhasil

sepenuhnya, tiba-tiba ia mendengar bahwa Kyai Sengkelat pun

sedang lolos dari simpanannya. Sedang Kebo Kanigara, sebagai

seorang keturunan Brawijaya, menjadi sedih pula. Bagaimanapun

juga, ia masih selalu merindukan kebesaran yang pernah dicapai

oleh Majapahit dahulu.

Tiba-tiba terdengarlah Kebo Kanigara bertanya, “Tuan, tidak

adakah hulubalang Istana yang dapat berusaha untuk menemukan

keris-keris itu?”

Orang tua itu kemundian tersenyum. Jawabnya, “Tidak kurang

banyaknya para prajurit Demak yang disebar ke segenap penjuru.

Bukankah Mahesa Jenar pernah juga bertemu dengan Gajah Alit

dan Panigron? Juga bukankah Arya Palindih pernah diutus ke

Banyubiru untuk menemukan keris-keris itu? Bahkan sampai

sekarangpun masih banyak dari para perwira Demak yang

berkeliaran mencari pusaka-pusaka itu.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 94

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun

jelas terbayang di dalam kepalanya, bahwa para prajurit Demak

itu akan menjadi selalu kecewa, karena mereka tidak akan dapat

menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Agaknya Kyai

Sengkelat pun masih terlalu sulit untuk diketahui tempatnya.

Sebenarnya tidaklah terlalu banyak orang yang mengetahui

hilangnya pusaka-pusaka itu. Sebab memang hal itu dirahasiakan.

Yang boleh mengetahui hanyalah orang-orang terbatas saja.

Tetapi ada di antara mereka yang bertugas, terutama dari pejabat-

pejabat rahasia Demak sendiri, mempunyai pamrih atas pusaka-

pusaka itu. Sebab mereka mempunyai pengertian yang salah,

seolah-olah siapa saja yang memiliki pusaka itu, dengan sendirinya

akan dapat menduduki tahta. Orang tua itu kembali membetulkan

letak duduknya. Dan sekali-kali menarik napas dalam-dalam.

Kemudian ia meneruskan, “Padahal, segala sesuatu sangat

tergantung kepada orang itu sendiri. Dan tergantung padanya

pulalah pusaka-pusaka keraton itu dapat luluh atau tidak ke dalam

dirinya. Itulah yang biasa disebut orang -wahyu-. Dan wahyu itu

bukanlah semacam permainan dadu dengan mempertaruhkan

keberuntungan, tetapi untuk dapat menerima wahyu maka

seseorang harus mempersiapkan dirinya sebagai wadah dari watak

dan sifat-sifat wahyu itu. Karena itulah maka untuk menerima

wahyu seseorang harus bekerja keras, mesu raga dengan penuh

keprihatinan.”

Segala sesuatunya menjadi jelas bagi Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Tetapi justru karena

itu Mahesa Jenar tidak lagi menjadi gelisah atas pusaka-pusaka

keraton yang hilang itu. Sebab meskipun ia berada di tangan

seseorang, seseorang yang mempunyai pamrih sekalipun, tidaklah

ia akan selalu berhasil setelah memiliki kedua pusaka itu.

Meskipun demikian untuk meyakinkan diri sendiri, bertanyalah

Mahesa Jenar, “Tuan, aku sudah dapat memahami semua

keterangan itu. Namun meskipun demikian, untuk menente-

ramkan perasaanku sendiri, aku ingin mendapat penjelasan yang

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 94

pasti, apakah kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten

ada pada Tuan.”

Sekali lagi orang itu tersenyum. Sambil mengangguk ia

menjawab, “Benar… Mahesa Jenar. Kedua keris itu ada padaku.

Jangan takut. Bagiku kau adalah lantaran yang sebaik-baiknya

untuk menyerahkan kembali kedua pusaka itu ke Demak kelak

apabila kita sudah mendapat gambaran, siapakah yang paling

sesuai untuk menjadi wadah dari wahyu itu. Meskipun demikian

segala sesuatu masih tergantung atas kebenaran yang tertinggi.

Adakah Tuhan memperkenankan atau tidak. Sebab Tuhan-lah

Maha Penentu dari segala kejadian.”

Yang tiba-tiba menjadi persoalan di dalam otak Mahesa Jenar

dan Kebo Kanigara kemudian adalah Ki Ageng Gajah Sora. Ia akan

dapat dibebaskan apabila kedua keris itu sudah dapat

diketemukan. Sebab dengan demikian akan dapat dibuktikan

apakah ia bersalah atau tidak. Sedang menurut orang tua itu,

penyerahan kembai keris-keris itu masih memerlukan waktu. Lalu

bagaimanakah yang akan terjadi dengan Gajah Sora itu…? Karena

persoalan itu bertubi-tubi menghantam dinding kepalanya,

akhirnya Mahesa Jenar memberanikan diri bertanya, “Tuan… Masih

ada sesuatu yang sangat mengganggu perasaanku, yaitu masalah

Kakang Gajah Sora. Dengan demikian maka ia tidak akan segera

mendapatkan penyelesaian.”

Orang tua itu, yang pernah mengenakan gelar Pasingsingan

itu, mengerutkan keningnya. Persoalan itu bagi Banyubiru bukan

persoalan yang kecil. Sebab persoalan itu bagi Banyubiru akan

menentukan garis sejarah masa depan Banyubiru, meskipun tidak

seluruhnya. Untunglah Gajah Sora meninggalkan seorang anak

laki-laki yang dapat dibanggakan, Arya Salaka. Karena itu ia

berkata, “Mahesa Jenar… sebaiknya kalian tidak usah menunggu

Gajah Sora. Bawalah Arya Salaka ke dalam tugas sucinya. Aku kira

ia cukup mampu untuk melakukan, meskipun kau harus selalu

berada di sampingnya. Sedangkan Ki Ageng Gajah Sora… serahkan

saja kepadaku.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 94

Sekali lagi suatu pertanyaan membersit di dalam hati Mahesa

Jenar, bahkan juga di dalam hati Kebo Kanigara dan kedua murid

Pasingsingan itu. Mereka mendapatkan suatu firasat yang

mengatakan bahwa orang tua itu bagaimanapun pasti mempunyai

hubungan sambut rapat dengan Sultan Trenggana atau

pemerintah Demak.

Akhirnya Kebo Kanigara tidak dapat lagi menahan

keinginannya untuk mengetahui keadaan orang tua itu lebih

banyak lagi, sehingga kemudian ia berkata, “Tuan, telah bertahun-

tahun aku tinggal di Bukit Karang Tumaritis, bersama-sama

dengan Tuan dalam kedudukan Tuan sebagai seorang

Panembahan bergelar Panembahan Ismaya. Namun kemudian

ternyata aku samasekali masih belum mengenal Tuan. Sebab

ternyata aku masih belum mengetahui apa yang Tuan lakukan

apabila Tuan sampai berbulan-bulan meninggalkan padepokan

kami. Juga ternyata karena keterangan-keterangan Tuan, aku

malahan menjadi semakin banyak menyimpan pertanyaan-

pertanyaan tentang Tuan. Karena itu seandainya Tuan tidak

keberatan sejalan dengan pernyataan Tuan untuk tidak berahasia

lagi, khususnya terhadap kami, apakah Tuan tidak keberatan

apabila Tuan menyatakan kepada kami siapakah Tuan serta dari

manakah Tuan sebenarnya.”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil

mengangguk-anggukkan kepalanya, berkatalah ia dengan suara

yang dalam dan perlahan, “Kebo Kanigara dan kalian yang lain…

apakah ada perlunya aku menyatakan diri serta asal-usulku?

Sebab apa yang sudah terjadi itu tidak akan banyak pengaruhnya

bagi masa yang akan datang.”

Karena Mahesa Jenar pun ingin sekali mendengar keterangan

itu, ia pun mendesaknya, “Bahwa masa lampau selalu penting bagi

masa kini maupun masa depan. Apa yang terjadi sekarang karena

telah terjadi sesuatu pada masa-masa lampau. Karena itu kami

tidak akan dapat meninggalkan angkatan dari masa lampau.

Alangkah kerdilnya jiwa kami apabila kami memperkecil arti

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 94

angkatan-angkatan sebelum kami. Meskipun bukan berarti bahwa

kami akan selalu menggantungkan diri padanya. Namun

pengalaman-pengalaman adalah mahaguru yang sangat baik.

Hasil-hasil yang pernah dicapai serta cara-cara untuk

mencapainya. Juga kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan

adalah suatu cermin untuk mengenal cacat wajah sendiri.”

Kembali orang itu mengangguk-angguk. Matanya yang sejuk

itu sekali lagi terlempar ke atas tanah berdebu di halaman.

Matahari kini telah semakin tinggi menggantung di langit yang biru

bersih. Daun-daun yang hijau segar tampak berkilat-kilat

memantulkan cahayanya yang cerah.

II

Orang tua yang menamakan diri Panembahan ismaya itu masih

berdiam diri. Tampaknya ia agak ragu-ragu. Namun akhirnya

diceritakanlah kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua

muridnya itu tentang dirinya. “Anak-anakku sekalian…. Baiklah aku

menuruti permintaanmu. Tetapi jangan kau ceritakan kepada

orang lain dari apa yang akan kau dengar.” Ia berhenti sejenak

untuk mendapat kesan bahwa mereka yang akan mendengarkan

ceritanya benar-benar tidak akan mengatakan kepada orang lain.

Sejenak kemudian ia meneruskan, “Yang mula-mula boleh kau

ketahui, namaku yang sebenarnya yang diberikan oleh ayah dan

ibuku, adalah Buntara, lengkapnya Raden Buntara.”

Mendengar nama itu, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua

muridnya bersama-sama tergerak hatinya. Bahkan tiba-tiba Kebo

Kanigara mengangkat wajahnya serta memandang orang tua itu

tajam-tajam. Memandang segenap bagian tubuhnya seolah-olah di

dalamnya tersimpan sesuatu yang sangat menarik perhatiannya.

Agaknya orang tua itu merasa betapa Kebo Kanigara tertarik pada

namanya. Karena itu ia bertanya, “Adakah sesuatu yang menarik

dari nama itu, Kanigara…?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 94

Kanigara mengerutkan keningnya. Otaknya bekerja keras

untuk mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya.

Akhirnya seperti orang terperanjat ia menjawab, “Ya… nama itu

sangat menarik bagiku.”

Orang tua itu tersenyum, lalu katanya, “Apakah yang

menarik?”

Kanigara kembali menarik alisnya. Ketika kemudian ia teringat

sesuatu, hampir berteriak ia berkata, “Raden Buntara, bukankah

Raden Buntara itu adik Sultan Brawijaya Pamungkas dari seorang

garwa ampeyan…?”

Sekali lagi orang tua itu tersenyum. Katanya, “Kau pernah

mendengar nama itu?”

“Ya,” jawab Kanigara, “Aku pasti pernah mendengarnya.

Ayahku pernah menyebut-nyebut nama itu.”

“Tentu,” sahut orang tua itu. “Ayahmu pasti pernah menyebut-

nyebut namaku. Aku adalah pamannya yang paling dekat dengan

ayahmu itu.”

“Kalau demikian Tuan lah Eyang Buntara yang pernah aku

dengar namanya,” kata Kanigara sambil membungkuk hormat.

Hormat sekali.

Raden Buntara mengangguk-angguk. Namun kemudian ia

berkata, “Kanigara, kau benar. Aku adalah orang yang kau maksud

itu. Tetapi jangan panggil aku Eyang Buntara. Panggilah aku

Panembahan Ismaya.”

Sekali lagi Kebo Kanigara membungkukkan kepala dengan

takzimnya. Bahkan kemudian Mahesa Jenar, Radite dan Anggara

pun membungkuk hormat. Hormat kepada seorang yang mereka

segani. Tetapi lebih dari itu, orang tua itu ternyata adalah adik

Baginda Brawijaya pamungkas.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 94

Untuk sesaat suasana ditelan oleh kesepian. Berbagai

perasaan muncul di dalam kepala masing-masing. Sehingga

kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara Panembahan

Ismaya. “Tetapi kemudian aku terlibat dalam berbagai persoalan,

sehingga aku merasa perlu untuk mengasingkan diriku dari dunia

ramai.” Sekali lagi orang tua itu berhenti untuk menarik nafas dan

membetulkan duduknya. Kemudian disambungnya lagi, “Ketika itu

terjadi perbedaan paham yang bersumber pada perbedaan

kepercayaan. Pada waktu itu aku sudah mencoba untuk

meyakinkan bahwa kepercayaan bukanlah sumber yang tak dapat

dibendung. Namun agaknya Sultan merasa bahwa ia lebih baik

mengundurkan diri dari tahta serta meninggalkan istana. Tetapi

Raden Patah pun samasekali tidak mau memperkosa kekuasaan

Majapahit. Karena itu sebelum Prabu Brawijaya itu menyerahkan

kekuasaan. Dan ternyata Prabu Brawijaya memberikan izin itu,

meskipun ia sudah berada di perjalanan.

Ketika Raden Patah kemudian memegang pimpinan kerajaan,

dipindahkannya pusat kerajaan dari Majapahit ke Demak, sehingga

dengan demikian berakhirlah suatu rangkaian pemerintahan yang

berpusat di Majapahit.

Pada saat itu Prabu Brawijaya, diiringi oleh beberapa orang

pergi berkelana dari satu tempat ke lain tempat. Beliau berjalan

menyusur pantai selatan menuju arah matahari terbenam.

Akhirnya sampailah beliau ke daerah Bukit Seribu, yang juga

terkenal dengan nama Gunungkidul.

Meskipun aku adalah adik Brawijaya, namun umurku agak

terpaut banyak daripadanya. Bahkan dengan Raden Patah pun

agaknya aku tidak lebih tua. Karena itu, pada suatu saat Raden

Patah memerintahkan kepadaku, bahwa ia mengharap dapat

menerima kunjungan ayahanda Baginda. Bahkan mengharapkan

Prabu Brawijaya menghentikan perantauannya dan menetap di

suatu tempat yang dikehendakinya. Dengan susah payah aku

menyusur bekas perjalanan Baginda. Bertanya dari suatu tempat

ke tempat lain. Dengan demikian dapatlah banyak yang dilihat dan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 94

banyaklah yang dapat didengar, tentang hidup dan penghidupan.

Tentang alam dan seluk-beluknya, untuk melengkapi

pengetahuannya menjelang masa langgeng.

Tetapi terjadilah hal yang samasekali tak terduga-duga.

Seorang tumenggung yang ikut serta dalam rombongan Baginda

merasa curiga atas kehadiranku. Tumenggung itu menyangka

bahwa aku datang dengan pamrih. Kalau aku dianggap lawan yang

harus dibunuh, maka aku tidak akan sakit hati. Tetapi yang tidak

dapat aku terima adalah sangkaan yang bukan-bukan atas diriku

dalam persoalan-persoalan yang memalukan. Ia menganggap

bahwa aku sengaja mendekatkan diriku kepada Baginda untuk

dapat mengetahui di mana kekayaan Baginda yang dibawa sebagai

bekal perjalanan, disimpan. Ia menuduh bahwa aku ingin memiliki

harta kekayaan itu. Dan yang lebih parah lagi, ia mempergunakan

istrinya yang ikut serta dalam perjalanan itu untuk memancing

persoalan. Dengan susah payah aku selalu mencoba untuk

menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang mungkin timbul.

Namun ketika akhirnya aku ketahui bahwa sebenarnya ialah yang

bermaksud jahat atas Baginda dan harta bendanya, aku tidak

dapat membiarkannya.”

Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Pandangannya yang

jauh menatap cahaya matahari yang menari-nari di daun-daun dan

ranting-ranting pepohonan di luar, seolah-olah mencari lembah

peristiwa-peristiwa masa lalu pada bayang-bayang yang selalu

bergerak di batang-batang kayu.

Kemudian, setelah menarik nafas panjang, ia kembali

meneruskan, “Kemudian akulah yang sengaja membuat persoalan.

Atau tegasnya aku sengaja menanggapi persoalan-persoalan yang

dibuatnya. Agaknya darah mudaku pada saat itu sangat

mempengaruhi jalan pikiranku, sehingga karena itu aku telah

membuat suatu kesalahan.

Seperti yang sekali dua kali pernah dilakukan, istri

Tumenggung itu sengaja datang ke pondokku di belakang rumah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 94

yang dipergunakan sebagai pesanggrahan sederhana. Pada saat-

saat sebelumnya, apabila perempuan itu datang, aku selalu pergi

menghindar jauh-jauh. Sebab aku sudah dapat mengetahui

maksud kedatangannya. Tetapi kali ini aku sengaja menemuinya.

Aku ingin mendengar apa yang akan dikatakannya kepadaku,

meskipun aku sudah dapat menduganya lebih dahulu. Ternyata

dugaanku tidak jauh menyimpang. Perempuan itu mula-mula

mencela suaminya, kemudian memuji-muji aku sebagai seorang

pemuda yang gagah, tampan dan berani. Kemudian dengan solah

yang dibuat-buat, ia mulai mengatakan tentang ketidakpuasannya

terhadap suaminya, dan yang terakhir, yang tidak aku duga-duga

bahwa sedemikian jauh pertentangan yang ingin dibuatnya, adalah

perempuan itu minta tolong kepadaku, supaya aku membunuh

suaminya. Tentu saja dengan pura-pura mengharap, supaya aku

akan menggantikan suami itu.

“Sayang” jawabku kepada perempuan itu berterus terang “Aku

sudah tahu permainan yang harus kau lakukan. Bukankah dengan

demikian setiap orang akan menuduh aku merebut isteri orang.

Suamimu mengharap aku akan menyerangnya. Siang atau malam,

apabila laki-laki itu tampaknya sedang lengah. Namun sebenarnya

ia telah siap membunuhku, sebab kau sudah memberitahukan

kepadanya. Kalau laki-laki itu sudah berhasil melawan aku dalam

suatu perkelahian, maka setiap orang akan meludah dihadapanku.

Hidup atau mati.

Nah, kalau demikian katakanlah kepadanya. Kalau ia

menghendaki suatu perkelahian, suruhlah ia menantang aku

sebagai seorang laki-laki. Ada atau tidak ada persoalan.”

Wajah perempuan itu menjadi merah. Tetapi agaknya ia

memang perempuan yang cerdik. Aku mengharap ia akan marah,

dan berlari menyampaikan kata-kataku kepada suaminya. Tetapi

ia tidak berbuat demikian. Wajahnya yang merah itu sesaat

kemudian telah cerah kembali. Sambil tersenyum-senyum ia

mendekati aku. Katanya “Kau laki-laki jujur. Sayang kau masih

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 94

terlalu muda untuk menanggapi persoalan. Agaknya Raden belum

mengenal aku sungguh-sungguh.”

Mula-mula aku menjadi gemetar ketika tiba-tiba perempuan

itu meraba tubuhku. Bahkan kemudian aku menjadi muak. Dan

karena itulah aku berbuat kesalahan. Sebenarnya lebih baik sekali

aku berlari jauh-jauh

meninggalkan tempat itu.

Tetapi aku tidak berbuat

demikian. Ketika aku tidak

dapat menahan perasaan

muak yang bergolak di dalam

dadaku, perempuan itu aku

dorong keras-keras dan jatuh

terbanting di lantai. Karena

itulah maka tiba-tiba terdengar

ia berteriak-teriak. Mula-mula

aku menyangka bahwa ia

berteriak karena kesakitan.

Tetapi dugaanku itu ternyata

keliru. Perempuan itu

samasekali tidak berteriak

karena kesakitan. Ternyata

beberapa saat kemudian

terdengarlah langkah beberapa orang berlari-lari. Beberapa

diantaranya langsung masuk ke dalam pondok. Hampir pecah

kepalaku pada saat itu ketika aku mendengar perempuan itu

berteriak “Lelaki gila. Aku diseretnya kemari dengan kasarnya.”

Semua mata terarah kepadaku. Diantaranya adalah sepasang

mata laki-laki tamak, suami dari perempuan gila itu. Sambil

menggeram mengerikan ia bertanya kepada isterinya dengan

suara mengguntur. “Hai perempuan rendah. Apa kerjamu disini?”

Dengan suara tergagap perempuan itu menjawab “aku tidak

sengaja datang kemari. Aku berjalan dihalaman untuk memetik

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 94

sirih. Tetapi tiba-tiba aku diseret oleh laki-laki itu dengan laku

seekor binatang kelaparan.”

Kembali laki-laki itu mengeram. Kemudian dengan pandang

mata yang mengerikan pula ia bertanya kepadaku. “Kau hinakan

nama isteriku Raden. Sayang bahwa suaminya adalah seorang

laki-laki yang mempunyai harga diri. Kalau kau inginkan dia,

marilah kita selesaikan dengan cara seorang laki-laki.”

Aku menjadi ragu. Untuk menjelaskan persoalan yang

sebenarnya agaknya samasekali tidak ada gunanya. Karena itu aku

mengambil keputusan untuk menerima tantangannya. Bukankah

aku memang ingin membuat perhitungan dengan Tumenggung

itu? Namun sayang, sangatlah sayang. Bahwa tak seorangpun

yang mengerti keadaan sebenarnya. Tak seorangpun yang

mengerti isi hatiku yang sesungguhnya, kecuali seorang jajar tua

yang sangat setia kepada baginda. Dan jajar itu pulalah yang

mengetahui segala seluk beluk pokal Tumenggung itu. Ia pulalah

yang mendengar dengan telinganya sendiri, bagaimana

Tumenggung itu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para

Menteri yang sependapat dengan pikirannya. Tetapi ia hanyalah

seorang jajar yang tidak berarti. Karena itu, apa yang didengar

dan diketahuinya itu tak dapat dipercaya oleh siapapun meskipun

ia sudah pernah mengajukannya kepada baginda lewat seorang

bupati dalam yang boleh dipercaya. Bahkan akhirnya Bupati itu

yang semula tertarik kepada ceriteranya berkata kepadanya

“Jajar, agaknya kau terlalu letih. Karena kau bermimpi buruk.”

Akulah orang yang pertama-tama menaruh perhatian

sepenuhnya atas keterangannya. Ia langsung berkata kepadaku,

kepada adik baginda. Ia mengharapkan keselamatan baginda

dapat terjamin.

Akhirnya terjadilah perkelahian itu. Perkelahian yang ditunggui

oleh beberapa orang saksi. Tumenggung itu agaknya yakin bahwa

ia akan dapat membunuhku. Dengan demikian rencananya tidak

akan terhalang. Ia memang pernah mengenal aku sebelumnya,

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 94

dan aku pernah mengenalnya pula, sebagai seorang Tumenggung

dalam susunan keprajuritan Majapahit. Justru dalam kesatuan

pengawal raja.

Namun perkelahian itu berakhir sebaliknya. Akupun kemudian

kehilangan pengamatan diri, sehingga tanpa aku sadari, laki-laki

itu terbunuh oleh tanganku. Mula-mula aku merasa bhawa

akibatnya tidak akan terlalu jauh. Aku akan berusaha meyakinkan,

bahwa apa yang sebenarnya terjadi tidaklah seperti yang diduga

oleh banyak orang. Tetapi aku tidak mempunyai kesempatan.”

Untuk beberapa saat Panembahan Ismaya berhenti

berceritera. Matanya yang memancar damai itu kemudian tampak

sayu dan redup. Agaknya kenangan masa silam itu tidak begitu

menyenangkan. Kemudian ia meneruskan. “Ketika pertempuran

itu berakhir beberapa orang sahabat Tumenggung itu mengangkat

mayatnya pergi, sedang beberapa orang lain dengan pandangan

yang aneh berkata kepadaku. “Nah, Raden. Tuan sekarang berhak

memiliki perempuan itu.”

Tentu saja aku terkejut. Karena itu aku jawab “Aku tidak

perlukan perempuan itu.”

Beberapa orang itu mencibirkan bibirnya. Kata salah seorang

diantaranya. “Hm, agaknya tuan mau bermain-main saja dengan

isteri orang. Tetapi kemudian tuan mengingkari kewajiban tuan.”

HAMPIR saja aku meloncat dan membunuh orang itu pula,

kalau tidak tiba-tiba saja semua orang tegak memandang ke suatu

arah dan hampir bersamaan membungkuk dengan hormatnya.

Agaknya Baginda datang pula ke tempat itu. Pada saat itu keringat

dingin telah mengaliri segenap tubuhku. Aku tidak tahu apakah

sebenarnya maksud kedatangan baginda. Tetapi aku sudah

menduga bahwa pasti ada hubungannya dengan perkelahian yang

baru saja terjadi. Dan apa yang aku duga adalah benar. Baginda

yang telah tampak sedemikian tuanya itu memandangku dengan

sinar mata yang marah. Meskipun terdengar Baginda berkata-kata

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 94

dengan sabar dan perlahan-lahan, namun bagiku setiap kata

Baginda terdengar sebagai meledaknya guruh diatas kepalaku.

Kata Baginda, “Adikku… apakah yang terjadi adalah samasekali

diluar dugaanku. Aku bergembira bahwa salah seorang keluarga

terdekatku sudi datang berkunjung kepadaku. Kepada orang yang

sudah hampir dilupakan. Namun tiba-tiba kau membuat hatiku

semakin parah karena kelakuanmu.”

Hampir menangis aku berjongkok di kaki Baginda. Dengan

terputus-putus aku mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya

tersimpan di dalam kepalaku.

Tetapi keteranganku itu agaknya terdengar aneh sekali.

Meskipun Baginda tidak membantahnya, namun aku yakin bahwa

Baginda samasekali tidak percaya. Bahkan kemudian Baginda

dengan berdiam diri meninggalkan tempat itu. Karena itulah aku

menjadi semakin tersiksa. Tersiksa oleh berbagai perasaan yang

menghujam hati.

Dengan terbunuhnya Tumenggung yang curang itu,

menyebabkan gerombolannya semakin marah. Mereka kemudian

tidak mau menunggu lebih lama lagi. Mereka menjadi takut kalau

gerakan mereka akan segera diketahui. Disamping itu mereka

agaknya takut pula kalau aku juga akan mengadakan gerakan

untuk melawannya. Akhirnya terjadilah dimalam yang mengerikan

itu. Beberapa orang prajurit kepercayaan raja mati terbunuh.

Mereka disergap dengan tiba-tiba oleh gerombolan orang-orang

tamak yang sudah hampir gila itu. Dalam keadaan yang demikian,

sekali lagi aku kehilangan pengamatan diri. Kembali aku berbuat

kesalahan. Bahwa aku tidak lebih dahulu menunggu perintah

Baginda. Ketika aku mendengar keributan langsung aku

menyerbu, melibatkan diri dalam perkelahian itu. Akibatnya,

beberapa orang terbunuh. Orang-orang yang dengan sengaja ingin

merebut harta kekayaan Baginda.

Namun agaknya apa yang aku lakukan itu tidak berkenan pula

di hati Baginda. Bahkan beberapa orang dari pihak lain pun

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 94

menyalahkan aku. Mereka takut kalau kepercayaan Baginda akan

berkisar kepadaku. Sekali lagi Baginda berkata kepadaku dengan

sabar dan perlahan-lahan. “Adikku Raden Buntara… aku tidak akan

menyalahkan kau. Jiwa muda yang tersimpan didalam dadamu

memang memerlukan penyaluran. Aku hanya ingin menunjukkan

beberapa kenyataan kepadamu. Sebelum kau datang ke tempat ini

pesanggrahanku yang terpencil ini, selalu diliputi oleh suasana

damai. Tetapi dengan kehadiranmu di sini, keadaan menjadi lain.

Terserahlah atas penilaianmu terhadap kenyataan itu.”

Aku menjadi semakin berduka atas pernyataan Baginda itu.

Beberapa orang segera memencilkan aku seolah-olah akulah

orangnya yang selalu membuat ribut. Satu-satunya sahabatku di

tempat itu adalah jajar tua yang dapat mengetahui keadaan yang

senyatanya. Ia melihat kenyataan yang sebenarnya. Dan hanya

jajar tua itulah yang melihat, bahwa aku telah berjuang untuk

keselamatan Baginda beserta rombongannya. Tetapi sekali lagi

hatiku terluka. Lebih parah dari luka-luka yang terdahulu. Pada

suatu pagi aku ketemukan jajar tua, sahabatku itu terguling di

tanah di depan pondoknya tanpa nyawa. Sebuah luka menggores

di lehernya. Pada saat itu darahku tiba-tiba mendidih. Hampir saja

otakku tak dapat aku kendalikan lagi. Untunglah bahwa

pengalaman pahit selama ini agaknya dapat mengekang segala

tingkah lakuku. Dengan sedih aku mencoba untuk

memberitahukan kematian itu kepada beberapa orang. Namun tak

seorangpun menaruh perhatian kepada jajar tua yang dianggap

samasekali tak berarti itu. Bahkan karena ia benci kepadaku.

Karena itu aku tak dapat berbuat lain daripada menguburkan

mayat itu sendiri. Sendiri.

Dengan segala peristiwa yang sangat menyakitkan hati itulah

kemudian aku memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu

kembali ke Demak. Melaporkan apa yang sudah terjadi. Aku

mengharap agar Sultan dapat menjernihkan suasana.

Menjernihkan hubungan yang gelap antara aku dengan Baginda

Brawijaya beserta orang-orang di sekitarnya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 94

Tetapi apa yang terjadi kali ini tak dapat aku pikul lebih jauh

lagi. Ketika aku menghadap Baginda Sultan Demak, beliau

berkata, juga dengan sabar dan perlahan-lahan. “Paman, aku

sudah mendapat laporan lengkap tentang Paman. Ayahanda Prabu

telah mengirim utusan kemari sebelum paman datang. Beliau

merasa menyesal bahwa segala sesuatu yang kurang pada

tempatnya telah terjadi. Apalagi persoalan itu bersumber pada

persoalan seorang istri, yang karena keadaan menjadi sedemikian

buruknya. Paman tidak saja membunuh suaminya, tetapi karena

Paman, maka terjadilah bentrokan antara sahabat-sahabat laki-

laki itu dengan beberapa orang prajurit yang memihak kepada

Paman. Karena itu Paman bukanlah seorang utusan seperti yang

aku harapkan. Bahkan sebaliknya, Paman telah menjadikan

Ayahanda Prabu semakin jauh daripadaku.”

Dadaku hampir pecah mendengar tuduhan itu. Tetapi aku tidak

dapat menyangkalnya. Satu-satunya orang yang mengetahui

keadaan yang sebenarnya telah meninggal. Yaitu jajar tua yang

bermuka jelek, namun berhati bersih sebersih air yang baru

memancar dari sumbernya. Adapun nama dari jajar tua itu adalah

Pasingsingan.”

Yang mendengarkan ceritera Panembahan Ismaya itu

tersentak dalam duduknya. Mereka hampir bersamaan mengulangi

nama itu. “Pasingsingan.”

“Ya,” sahut Panembahan Ismaya. “Jajar tua itulah yang

sebenarnya bernama Pasingsingan. Aku pahatkan nama itu pada

dinding-dinding hatiku.”

Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu

mengangguk-anggukkan kepalanya.

Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu

mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Panembahan

Ismaya meneruskan, “Ketika aku sudah tidak mendapat

kesempatan lagi untuk membersihkan namaku, maka aku menjadi

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 94

sangat malu. Aku merasa bahwa wajahku tak patut lagi berada

ditengah-tengah para satria Demak. Karena itulah maka akhirnya

aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari padanya.

Mengasingkan diri di tempat yang jauh.”

Akhirnya aku menemukan suatu lembah yang pantas bagi

tempat pengasinganku. Di lembah itulah akhirnya aku bertapa.

Mencoba untuk mendapat imbangan dari segala perasaan yang

menekan dadaku. Kalau kadang-kadang aku ingin melihat

kesibukan manusia, aku datang ke desa-desa di sekitar lembah itu.

Namun rasa-rasanya setiap orang muak memandang wajahku,

sehingga akhirnya aku terpaksa mengenakan sebuah kedok.

Demikianlah aku dengan prihatin hidup tidak sebagai manusia

yang sewajarnya. Aku hidup benar-benar seperti seekor kelelawar.

Yang muncul dalam saat-saat menusia tenggelam dalam mimpi.

Bahkan akhirnya ada orang yang menyangka aku hantu. Hantu

bertopeng dan berjubah abu-abu.

Namun demikian aku tetap percaya pada keadilan. Keadilan

yang maha tinggi, yang terletak di tangan Tuhan Yang Maha

Kuasa. Aku yakin, bahwa meskipun pada saat-saat itu aku seolah-

olah hilang dari percaturan manusia, namun aku yakin, bahwa

pada suatu saat aku akan kembali. Kembali ditengah-tengah

pergaulan hidup. Meskipun bukan Buntara, tetapi setidak-tidaknya

cita-citaku, berlanjut dari hidupku akan berada di tengah-tengah

manusia dalam keadaan yang baik.

Akhirnya saat itu tiba. Ketika aku melihat seorang pemuda

dalam perjalananku yang memang sering aku lakukan, beserta

seorang anak laki-laki yang memiliki wajah yang cerah, tiba-tiba

aku merasa bahwa padanya aku dapat menumpangkan harapan.

Padanya aku ingin ikut serta dengan menyerahkan tekad untuk

kembali berada di tengah manusia. Karena itulah aku selalu

membayanginya. Kalau bukan aku sendiri, aku menyuruh Kanigara

untuk mengikutinya. Apalagi ketika aku melihat, bahwa orang

muda itu memiliki keturunan ilmu yang sama dengan Kanigara.

Demikianlah akhirnya aku berhasil membawa Mahesa Jenar ke

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 94

bukit kecil yang aku namakan Karang Tumaritis beserta muridnya

Arya Salaka. Aku ingin memberinya bekal-bekal dalam usahanya

menjelang hari-harinya yang akan datang. Tidak saja Nagasasra

dan Sabuk Inten, tetapi juga berbagai macam ilmu sekadarnya.

Tetapi agaknya otaknya terlalu jernih. Sehingga bersama-

sama dengan Kanigara ia justru memaksa aku untuk mempercepat

membuka diri. Untunglah bahwa segala sesuatunya bagiku sudah

terasa matang. Sehingga meskipun aku dipaksa untuk membuka

diri, tidak banyaklah pengaruhnya bagi semua rencana-rencana

yang sudah aku siapkan.

Yang mendengar ceritera itu seolah-olah terpaksa menahan

napasnya. Ternyata bahwa Panembahan Ismaya telah lama

membayangi Mahesa Jenar. Teringatlah Mahesa Jenar, pada saat

ia hampir kehilangan akal, ia telah dicegat oleh laki-laki berjubah

abu-abu itu untuk meluruskan kembali jalannya. Juga di pantai

Tegal Arang, seseorang telah mengingatkan tekadnya untuk

menemukan Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Dan orang itu

agaknya bukan Panembahan Ismaya, tetapi Kebo Kanigara,

dimana ia sempat menuntun Arya Salaka dalam beberapa hari

untuk menjadikan anak itu bertambah masak. Tetapi ternyata

Kebo Kanigara sendiri tidak mengerti keseluruhan dari tugasnya.

Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan, “Dalam jarak

yang cukup panjang, diantara masa-masa aku melenyapkan diri

dari istana, sampai saat terakhir ini, banyaklah pengalaman yang

aku jumpai. Bahkan terlalu banyak. Di dalam hidupku muncullah

orang-orang seperti Umbaran, yang mula-mula aku sangka orang

yang berhati baik, namun akhirnya, ternyata bahwa ia telah

menambah hidupku menjadi semakin buruk. Kemudian datanglah

Radite dan Anggara. Kepadanya aku mula-mula menaruh harapan.

Tetapi kembali Umbaran merusak jalan hidup mereka. Sehingga

Radite akhirnya tergelincir dan mengalami masa-masa seperti

yang pernah aku alami. Mengasingkan diri di Pudak Pungkuran ini.

Untunglah bahwa ia menemukan ruang gerak yang dapat

menolong kepahitan masa lampaunya. Juga kemudian aku jumpai

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 94

Kanigara dengan gadis kecilnya. Aku bawa ia ke Karang Tumaritis.

Tetapi agaknya ia lebih cinta pada anak gadisnya daripada masa

depannya sendiri. Sehingga seolah-olah, seluruh hidupnya telah

diserahkan buat hari kemudian anaknya. Dan karena sifat

kebapaan yang sedemikian dalamnya itulah, aku tidak sampai hati

untuk memisahkannya dari anaknya, meskipun aku dapat

menjamin masa depan anak itu. Karena itu, tugas yang aku

bebankan padanyapun bukanlah tugas yang panjang-panjang.

Sehingga ia akan selalu berada disamping gadis kecil yang sudah

tak beribu lagi itu. Sehingga akhirnya aku dijumpai Mahesa Jenar

beserta Arya Salaka. Meskipun dalam garis hubungan keluarga, ia

tidak dekat Kanigara, namun karena ia berasal dari istana pula,

maka aku mengharap agak banyak dari padanya. Mudah-mudahan

Mahesa Jenar tidak akan menyia-nyiakan harapanku itu.”

Tiba-tiba Mahesa Jenar merasa, suatu beban yang sangat

berat terpikul di atas pundaknya. Beban yang masih samar-samar.

Apakah yang harus ia lakukan untuk memenuhi harapan

Panembahan tua itu. Karena itu ia sambil membungkukkan

kepalanya, bertanya kepadanya, “Panembahan, apakah agaknya

yang harus aku lakukan untuk memenuhi harapan Panembahan

itu?”

Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya,

katanya, “Hampir setiap orang telah melupakan nama Buntara.

Mereka yang sekali dua kali teringat nama itu, terutama bagi

mereka yang telah lanjut usia, akan mencibirkan bibir mereka.

Tetapi itu tidak penting. Sebagaimana tekadku sejak masa

mudaku, bagiku yang penting adalah keselamatan negeri diatas

segala-galanya. Demikianlah hendaknya kau Mahesa Jenar. Adalah

suatu kebetulan bahwa aku dapat menyimpan pusaka-pusaka

yang hilang itu, yang justru akan dapat membantu membina

kesejahteraan negara, dengan menyerahkannya kepada orang

yang tepat. Nah, Mahesa Jenar, pekerjaan yang aku harap dapat

kau lakukan, adalah mengadakan penilaian atas kedua keturunan

yang sudah aku katakan kepadamu, kelak. Tetapi itu tidak berarti

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 94

bahwa kau hanya menjadi penonton saja, namun dalam saat-saat

yang perlu, kau harus ikut pula.”

Dengan demikian segala sesuatu kini menjadi jelas, kenapa

Panembahan Ismaya bernama Pasingsingan dan kenapa ia sangat

menaruh perhatian atas tata pemerintahan Demak.

Setelah orang tua itu menarik nafas panjang, ia mulai lagi

berkata, “Mahesa Jenar, ternyata kau telah melakukan pekerjaan

itu. Bahkan apabila kelak ada seorang pemimpin yang memiliki

sifat-sifat kepemimpinan, disuyudi oleh para kawula serta berjiwa

seperti jiwa lautan, karena memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai

Sabuk Inten, yang akibatnya akan membawa kesejahteraan bagi

tanah tumpah darah ini, sebagian adalah karena perjuanganmu.

Perjuangan yang telah kau lakukan sejak lama. Perjuangan yang

tak dikenal oleh siapapun. Sebab perjuangan yang kau lakukan

adalah perjuangan yang khusus. Tetapi aku percaya akan

kebesaran jiwamu. Meskipun namamu kelak tidak akan dipahatkan

di batu-batu ataupun tertulis di lontar-lontar kitab babad, namun

kaulah hakekat dari kemenangan itu.”

Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba bulu-bulu kuduk Mahesa

Jenar meremang. Memang sejak semula ia samasekali tidak

bermimpi untuk mendapat tanda jasa di dadanya. Atau namanya

digoreskan di pintu-pintu gerbang kota, serta di jalan-jalan raya.

Yang diimpikan adalah kesejahteraan rakyat di bumi tercinta ini.

Kesejahteraan lahir dan batin. Jasmaniah dan rohaniah.

Dalam pada itu, terdengar Panembahan Ismaya meneruskan,

“Karena itu Mahesa Jenar, sebagian besar dari pekerjaanmu itu

sudah selesai. Kau tidak perlu lagi bersusah payah mencari Kyai

Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sebab kedua pusaka itu sudah di

tanganku.

Sementara itu, kau dapat menyelesaikan pekerjaanmu yang

lain. Kau telah berjanji kepada sahabatmu Ki Ageng Gajah Sora

untuk menuntun anaknya. Nah, lakukanlah itu baik-baik. Bawalah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 94

anak itu pada suatu tugas yang besar. Memperoleh kembali tanah

pusaka baginya. Sementara itu biarlah aku berusaha mendapatkan

kembali kebebasan Gajah Sora itu.”

Kemudian ruangan itu menjadi hening. Yang terdengar

hanyalah tarikan nafas mereka yang duduk di dalamnya sambil

mengurai gagasan masing-masing. Sehingga kemudian suasana

itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya dalam nada yang

jauh berbeda dari semula. Katanya, “Nah, Paniling, Darba dan

kedua kemanakannya. Aku sudah selesai berceritera. Sekarang

berilah aku kesempatan untuk mengenal desamu yang sepi ini.”

Mendengar kata-kata itu Paniling seperti orang yang terbangun

dari mimpi yang mengasyikkan. Dengan tergagap ia menjawab,

“Baik, baiklah Guru.”

“Jangan panggil aku Guru. Di sini aku adalah kakakmu,”

potong Panembahan Ismaya. “Namaku….” ia berhenti mengingat-

ingat, lalu lanjutnya, “Siapakah kau akan menyebut diriku kalau

tetangga-tetanggamu bertanya namaku?”

Paniling tidak segera menjawab. Ia tidak tahu, nama apakah

yang baik diterapkan pada orang yang menyebut dirinya kakaknya

itu.

Tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Among Raga.”

Panembahan Ismaya tertawa, jawabnya, “Ah, seolah-olah aku

hanya mementingkan masalah-mnasalah jasmaniah belaka. Tetapi

nama itu baik. Memang kau pandai mencari nama. Baiklah aku

pakai nama itu di sini, meskipun isi kata itu sendiri tidak begitu

mapan bagiku.”

Kanigara sadar, bahwa memang nama itu tidak begitu

menyenangkan, namun ia masih juga membela diri. “Tetapi

Panembahan, bukankah nama itu akan menjadi aling-aling dari

keadaan Paman yang sesungguhnya. Bukankah di sini

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 94

Panembahan ingin menampakkan diri dalam ujud jasmaniahnya

saja, tetapi bukan dalam ujud keseluruhan.”

Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya,

jawabnya, “Baiklah, aku tidak keberatan.”

Demikianlah, untuk sehari-dua Panembahan Ismaya tinggal di

rumah muridnya. Ia mencoba memenuhi harapan tetangga-

tetangga Paniling, untuk sekali dua kali berkunjung ke rumah

mereka berganti-ganti. Dengan penuh kesederhanaan

Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bergaul

dengan mereka.

Meskipun demikian, apabila malam datang, serta pondok di

ujung padukuhan itu telah menutup pintunya, selalu terjadilah

pembicaraan-pembicaraan yang jauh berbeda dengan setiap

pembicaraan yang sederhana dengan para tetangga mereka.

Tetapi di belakang pintu tertutup itu, Panembahan Ismaya selalu

memberi kepada keempat orang yang terdekat dari padanya itu

berbagai ilmu dan pengetahuan. Lahir dan batin. Bahkan

diceriterakan pula bagaimana ia memiliki segala macam kesaktian.

Memang sejak masa mudanya, ia selalu berusaha untuk

mendapatkan berbagai macam ilmu. Sebab dalam kekisruhan yang

terjadi, pada akhir kejayaan Majapahit, ia selalu mengira bahwa

dengan kekuatan jasmaniah kejayaan itu dapat dibina kembali.

Karena itulah ia mencoba untuk mendapatkan kekuatan-kekuatan

itu. Setelah ia terpaksa meninggalkan lingkungan kesatriaan,

usaha itu semakin diperdalam. Namun jiwanya telah berbeda. Ia

ingin menemukan segala bentuk kekuatan untuk mencapai tujuan.

Panembahan tua itu mengakui, bahwa mula-mula memang

dikandung maksud untuk menunjukkan kebersihan dirinya dengan

kekuatan. Ia ingin membuat hal yang aneh-aneh dengan memaksa

orang untuk berlutut di hadapannya. Dan kepada orang-orang itu

ia akan memaksakan kehendaknya. Meskipun dasar kehendak itu

selalu baik dan bermanfaat bagi beberapa orang, namun cara-cara

dan sifat kepahlawanan cengeng itu akhirnya tidak memberinya

kepuasan. Dan akhirnya maksud-maksud itu samasekali

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 94

diurungkan. Bahkan semakin banyak ilmu yang dihirupnya,

semakin jauhlah ia dari sifat-sifat itu. Dan akhirnya malahan ia

membawa dirinya dengan luka-luka di hati untuk mengasingkan

diri di lembah yang jauh dari lingkungan manusia. Di situlah ia

menerima Umbaran sebagai muridnya, tetapi orang itu kemudian

dimintanya meninggalkan tempat itu. Beberapa tahun kemudian

datanglah Radite dan Anggara. Sehingga suatu saat, ia merasa

bahwa ilmu-ilmu yang pernah dicapainya itu tak akan berarti apa-

apa bagi manusia apabila tidak diamalkan. Dengan demikian ia

mengharap Radite untuk mewakilinya dengan topeng dan jubah

abu-abu. Dengan mempergunakan nama Pasingsingan, mulailah

Radite mengamalkan ilmunya. Sedang Anggara untuk sementara

dimintainya memelihara pertapaannya selama ia melenyapkan diri

dari kedua muridnya untuk menyaksikan hasil pengamalannya dari

jarak yang cukup jauh. Tetapi ia menjadi kecewa ketika Radite

kemudian tergelincir.

“Bagimu Mahesa Jenar….” akhirnya Panembahan Ismaya

minta, “Jadikanlah semua itu bekal bagimu.”

Demikianlah yang mereka lakukan dari hari ke hari. Bergaul

dengan para petani disiang hari, dan menambah bekal hidup

mereka di malam hari. Sehingga akhirnya, ketika Panembahan

Ismaya memandang segala sesuatunya telah cukup, maka setelah

ia bermohon diri kepada para tetangga, pergilah ia meninggalkan

padukuhan Pudak Pungkuran mendahului Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara, setelah ia berpesan kepada Radite. “Radite, seseorang

yang membiarkan kejahatan berlangsung tanpa berusaha untuk

menghalang-halangi maka orang yang demikian itu dapat

dianggap telah ikut membantu berlangsungnya kejahatan.”

Mula-mula Radite tidak mengerti maksud pesan itu. Tetapi

beberapa waktu kemudian barulah ia sadar, bahwa ia samasekali

tidak berbuat sesuatu terhadap saudara seperguruannya yang

terang-terangan telah melakukan berbagai kejahatan. Yaitu

Umbaran. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa gurunya telah

memaafkan segala kesalahannya, bahkan mempercayakan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 94

kepadanya, untuk menghentikan segala kejahatan yang selalu

dilakukan oleh Umbaran dengan nama Pasingsingan. Hidup atau

mati. Dengan demikian tiba-tiba beban yang selama ini

menghimpit hatinya, seolah-olah berguguran, rontok tanpa bekas.

Terasalah kemudian betapa ringan perasaannya kini. Dan dengan

penuh tekad ia berjanji, bahwa ia akan melakukan pesan itu

sebaik-baiknya.

Beberapa hari kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun

segera mohon diri pula, kembali ke Karang Tumaritis. Kebo

Kanigara telah merasa sedemikian rindunya kepada putrinya yang

ditinggalkannya beberapa hari, sedang Mahesa Jenar pun ingin

segera menemui muridnya untuk mengajaknya memulai dengan

suatu tugas yang berat, kembali ke Banyubiru.

III

Dalam perjalanan pulang, Mahesa Jenar dan kebo Kanigara

memerlukan singgah sebentar di kota Banyubiru. Ketika malam

turun perlahan-lahan di lereng-lereng bukit Telamaya, mereka

berdua menambatkan kuda mereka agak jauh di luar kota. Dengan

berjalan kaki mereka menyusuri jalan-jalan kota. Satu-dua masih

tampak pintu rumah yang terbuka. Lampu minyak yang suram

melemparkan cahanyanya berpencaran menusuk gelap malam.

Bahkan di belakang regol halaman yang masih ternganga, masih

tampak beberapa orang laki-laki duduk-duduk sambil bercakap-

cakap.

Banyubiru dalam penglihatan Mahesa Jenar tidak banyak

mengalami perubahan. Jalan-jalan yang itu-itu juga menjalar dari

satu ujung ke ujung yang lain. Bangunan-bangunan tidak banyak

bertambah, bahkan beberapa banjar tampak tak terpelihara.

Tempat-tempat ibadah pun agaknya menjadi bertambah suram.

Tetapi ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di ujung

jalan kota, mereka terkejut ketika mereka melihat obor terpancang

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 94

di tengah-tengah lapangan. seperangkat gamelan telah siap pula

di tempat itu. Beberapa orang telah mulai ramai mengerumuninya.

Dengan penuh keinginan untuk mengetahui, Mahesa Jenar dan

Kebo Kanigara mendekati lapangan itu. Kepada seorang anak yang

lewat di sampingnya, Mahesa Jenar bertanya, “Apakah Banyubiru

sedang ada perayaan?”

Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan heran. Kemudian

anak itu malah ganti bertanya, “Apakah Bapak bukan penduduk

Banyubiru…?”

Mahesa Jenar ragu sebentar. Tetapi ia harus menjawab agar

tidak menimbulkan kecurigaan. Karena itu katanya, Bukan, Nak.

Aku bukan penduduk Banyubiru. Aku datang dari Pangrantunan.”

“Pangrantunan…?” Anak itu tiba-tiba terkejut.

Kembali Mahesa Jenar ragu. Namun ia mengangguk. “Ya,

kenapa…?”

“Tidak apa-apa,” jawab anak itu. “Beberapa hari yang lalu

beberapa orang Pangrantunan juga datang kemari. Mereka adalah

saudara-saudara ibuku. Menurut paman-paman itu, Pangrantunan

sekarang kembali kacau. Mereka ketakutan karena Simarodra tua

sering mengunjungi pedukuhan itu. Apakah betul demikian…? Dan

apakah betul Simarodra tua itu menuntut lebih banyak dari

Simarodra dahulu?”

“Betul, Nak….” jawab Mahesa Jenar sekenanya, namun karena

itu ia ingin lebih banyak tahu. Karena itu ia bertanya, “Siapakah

pamanmu itu? Dan apakah yang dilakukan di sini…?”

“Pamanku bernama Reksadipa. Ia datang untuk

melaporkannya kepada Ki Ageng Lembu Sora,” jawab anak itu.

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu

sahutnya, “Hem… jadi kau kemenakan Kakang Reksadipa.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 94

Kemudian Mahesa Jenar berhenti sebentar. “Lalu apa katanya

ketika ia kembali ke Pangrantunan?”

“Tidak apa-apa,” anak itu menjawab, “Tetapi Paman

mengeluh. Katanya Ki Ageng Lembu Sora sedang akan

mempertimbangkan. Tetapi itu tidak bijaksana. Sebab menurut

Paman, keadaan sudah sangat gawat. Dan rakyat Pangrantunan

sendiri tidak mampu untuk melawan mereka, meskipun rakyat

Pangrantunan tidak takut.”

Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Memang letak

Pangrantunan yang seolah-olah berhadapan dengan Gunung Tidar

itu sangat tidak menguntungkan. Tetapi menghadapi hal

sedemikian tidakkah Ki Ageng Lembu Sora Dipayana dapat berbuat

sesuatu…? Namun kepada anak itu sudah pasti Mahesa Jenar tidak

bertanya demikian. Karena itu ia bertanya tentang obor dan

gamelan yang sudah siap di lapangan itu. Katanya, “Nak, ada

apakah dengan keramaian itu?”

“Itu bukan keramaian,” jawabnya. “Dahulu Paman Reksadipa

juga bertanya demikian. Gamelan itu memang setiap hari berada

di sana. Orang-orang sekarang sedang bersenang senang karena

panenan kemarin meskipun tidak memuaskan. Mereka setiap

malam mengadakan tayub di lapangan itu.”

“Di lapangan terbuka…? Tiba-tiba Mahesa Jenar menyela.

“Ya,” jawab anak itu. “Setiap orang boleh ikut. Kalau siang

mereka mengadu ayam. Juga di tempat itu.”

“O....” Tiba-tiba Mahesa Jenar mengeluh. Alangkah jauh

kemunduran yang dialami oleh tanah perdikan ini.

Meskipun Kanigara tidak mengerti seluruh persoalan yang

berputar di dalam kepala Mahesa Jenar, namun sedikit banyak ia

pun mengerti. Tayub setiap malam dan mengadu ayam setiap hari

adalah gejala-gejala kehancuran suatu daerah.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 94

Ketika beberapa lama Mahesa Jenar berdiam diri, berkatalah

anak itu, “Sudahlah Paman, aku akan pulang. Hari telah malam.”

Anak itu tidak menunggu jawaban Mahesa Jenar. Demikian ia

selesai berbicara segera ia menghambur ke dalam gelap. Di

kelokan jalan, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih melihat

anak itu singgah di sebuah warung untuk membeli sesuatu.

“Itulah Kakang… gambaran Banyubiru saat ini. Suram dan

mengerikan. Menyabung ayam di siang hari dan tuak di malam

hari,” kata Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara.

“Kesalahan yang tak boleh dibiarkan lebih lama lagi,” jawab

Kebo Kanigara.

Kemudian kedua orang itu bersepakat untuk menyaksikan tari

tayub yang sebentar lagi akan diselenggarakan di lapangan itu.

Demikianlah, ketika hari menjadi semakin gelap, di tanah

lapang itu menjadi semakin banyak orang. Beberapa orang niyaga

pun telah bersiap di belakang seperangkat gamelan. Sehingga

sesaat kemudian suara gamelan telah mulai mengalun,

menggoncang kesepian malam, yang kemudian disusul dengan

suara waranggana memanjat tinggi. Namun terasalah bahwa

suasananya bukanlah suasana yang sopan.

Sebentar kemudian ternyata bahwa memang demikianlah

yang terjadi. Beberapa orang lelaki segera muncul di gelanggang.

Menari dan berdendang. Sedang dari mulut mereka menyebar bau

tuak. Disusul dengan munculnya beberapa orang ledek di tengah-

tengah arena itu.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara duduk tidak seberapa jauh

dari tempat itu. Namun mereka mencari tempat yang gelap,

dimana cahaya obor tidak menyentuhnya, karena bayang-bayang

beberapa orang yang berdiri menonton.

Ketika malam menjadi semakin dalam, suasana di tengah

tanah lapang itu pun menjadi semakin riuh. Beberapa orang telah

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 94

menjadi pening karena mabuk. Bahkan beberapa orang telah

kehilangan kesadaran dan berbuat hal-hal yang aneh-aneh di

arena itu. Beberapa penari wanita yang telah terlatih melayani

mereka dengan baiknya, sehingga suasana di arena itu betul-betul

menjadi suasana gila-gilaan. Dalam keadaan yang demikian tidak

mustahil kalau sampai terjadi bentrokan-bentrokan dan

perkelahian-perkelahian diantara mereka, karena mereka telah

kehilangan pengamatan diri.

Di tepi arena, Mahesa

Jenar dan Kebo Kanigara

melihat beberapa orang yang

sibuk berjualan. Apa saja yang

dapat mereka jual. Makanan,

minuman dan tembakau.

Mereka samasekali tidak

menaruh perhatian pada

suasana yang berlangsung di

sekitarnya. Yang penting bagi

mereka adalah bahwa

dagangan mereka laku, dan

mereka mendapat uang

sebanyak-banyaknya. Para

penjual yang terdiri laki-laki

dan perempuan,

menghanyutkan diri saja

dengan keadaan. Bersenda-

gurau, berteriak-teriak melayani orang-orang mabuk atau

kelelahan. Namun orang itu tak sempat menghitung lagi berapa

uang yang harus mereka bayarkan. Asal mereka menggenggam

uang logam, mereka lemparkan begitu saja kepada penjualnya,

perempuan-perempuan muda yang merajuk dengan manjanya.

Tetapi tiba-tiba mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sempat

melihat seorang perempuan yang berdiri tegak agak di kejauhan.

Nampaknya ia ragu-ragu untuk mendekati tempat itu. Tetapi

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 94

kemudian perlahan-lahan ia melangkah maju. Ketika ia menjadi

semakin dekat, dan seleret sinar lampu para penjual menyambar

wajahnya, tampaklah bahwa perempuan itu memiliki ciri-ciri yang

lain dari setiap perempuan yang berada di tanah lapang itu.

Wajahnya yang sayu pucat dan tubuhnya yang kekurus-kurusan,

seolah-olah mencerminkan perasaannya yang sedih.

Ketika beberapa orang melihatnya, segera mereka

melemparkan pandangan mata mereka. Tetapi ada juga orang

yang dengan nada mengejek berteriak, “Marilah Nyai. Apakah

yang kau cari…?”

Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi segera matanya

memandang berkeliling, kepada hampir semua orang yang berdiri

di sekitar arena itu. Seakan-akan ia sedang mencari seseorang

diantara wajah-wajah itu.

“Anakmu tidak berada di sini, Nyai,” teriak salah seorang, yang

kemudian disusul dengan gelak tawa. “Carilah anak itu di tengah

rimba,” sambung suara yang lain. “Mungkin ia berada bersama

bapaknya.” Kembali terdengar suara bergelak-gelak.

Perempuan itu masih berdiam diri, berdiri seperti patung.

Namun dengan demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat

memandangnya lebih jelas. Dari sinar matanya, mereka dapat

menduga bahwa karena sesuatu penderitaan, orang itu agaknya

menjadi agak terganggu kesadarannya. Meskipun tidak begitu

berat.

Ketika kemudian dilihatnya dari mata perempuan itu menitik

butiran-butiran air. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi

yakin bahwa sesuatu benar-benar telah menghimpit perasaannya.

Ternyata mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki ketika

terdengar seorang laki-laki berkata dengan kasarnya, “Suamimu

tak berani pulang, Nyai. Demikianlah hukuman bagi pemberontak.

Dan bayimu yang mati itu tidak akan bisa hidup lagi. Apalagi ikut

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 94

bersenang-senang bersama kami sekarang, tak ada tempat bagi

laki-laki semacam suamimu itu.”

Air mata di wajah perempuan itu menjadi semakin deras.

Agaknya ia dapat mengerti, bahwa suaminya tidak berada di

tempat itu.

Kemudian terdengarlah suara lain yang bertanya, “Siapakah

dia?”

“Istri Penjawi,” jawab suara yang lain lagi.

“O, karena itulah ia masih muda dan cantik,” sahut suara yang

pertama. “Kalau begitu kenapa tidak saja ia kau ajak menari…?”

“Tidak mau. Ia baru saja kematian bayinya. Mungkin dua tiga

hari lagi,” sahut suara lain yang disusul dengan gelak tertawa

orang banyak.

Diantara suara yang riuh, di sela-sela suara gamelan yang

semakin menggila itu tiba-tiba terdengarlah suara yang berat

mengatasi yang lain. Katanya, “Aku tidak percaya kalau ia tidak

mau. Ataupun kalau ia tidak mau, seret saja ia ke arena.”

Oleh suara yang berat itu, tiba-tiba semua terdiam. Dan semua

mata memandang ke arah suara itu. Seorang yang tinggi besar

dan berwajah kasar berdiri bertolak pinggang di pinggir arena.

Sedang bola matanya dengan tajam memandang istri Penjawi itu

seperti hendak meloncat dari kepalanya. Sambungnya, “Ternyata

ledek Banyubiru tak ada yang secantik ledek-ledek dari Pamingit.

Dan perempuan itu agaknya akan bisa setidak-tidaknya

menyamainya.”

Orang yang berwajah kasar itu maju beberapa langkah ke arah

perempuan muda yang disebut istri Penjawi, yang kemudian

menjadi ketakutan. Apalagi ketika orang itu meneruskan kata-

katanya. “Sayang bahwa wajah yang cantik itu tidak mendapat

pemeliharaan.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 94

Ketika orang yang tinggi besar dan berwajah kasar itu

melangkah terus, keadaan segera menjadi tegang. Tetapi

beberapa orang yang mabuk mulai tertawa-tawa kembali dan

menganggp bahwa apa yang akan terjadi merupakan suatu

tontonan yang menyenangkan. Namun beberapa orang lain, yang

kepalanya juga sudah mulai pening-pening, segera merasa

tersinggung. Bahkan seorang yang sudah setengah mabuk

berteriak, “Hei, monyet dari Pamingit. Jangan ganggu orang

Banyubiru. Aku sendiri sudah lama jatuh cinta kepadanya. Tetapi

aku tidak mendapat kesempatan. Nah, sekarang suaminya

mungkin sudah mampus ditelan macan. Karena itu, perempuan itu

akan aku ambil sebagai istriku yang muda.”

Orang yang bertubuh tinggi besar itu menoleh. Dilihatnya

seseorang yang bertubuh sedang, namun kokoh kuat seperti orang

hutan berjalan mendekatinya. Tampak bibir orang Pamingit itu

bergerak-gerak mengejek. Kemudian terdengar ia menjawab,

“Jangan terlalu kasar berkelakar sahabat. Orang Banyubiru harus

menghormati orang-orang Pamingit. Sebab Banyubiru sekarang

berada di bawah pemerintahan Pamingit. Kalau kau tidak mau

mati, jangan ganggu aku. Biarkan orang Pamingit berbuat sesuka

hatinya. Bahkan istrimu pun kalau aku kehendaki harus kau

serahkan.”

Mata orang Banyubiru yang kokoh kuat itu segera menyala

marah. Dengan membentak-bentak ia menjawab, “Jangan banyak

mulut. Pergi atau kau akan segera jadi bangkai.”

Pertunjukan itu segera terhenti karena ribut-ribut yang terjadi.

Beberapa ledek yang sedang menari-nari dengan tenangnya

berjalan ke tengah-tengah jajaran gamelan dan duduk diantara

para niyaga. Mereka samasekali tidak menunjukkan perasaan

cemas atau takut. Hal yang demikian sudah sering terjadi. Tetapi

ketika mereka mendengar bahwa pertengkaran itu terjadi antara

orang Pamingit dan Banyubiru, perhatian mereka agaknya tertarik

juga.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 94

Salah seorang ledek dengan memanjangkan lehernya,

berusaha melihat mereka yang bertengkar, lalu bertanya,

“Siapakah yang bertengkar?”

Terdengarlah seorang niyaga menjawab, “Jiwala dengan orang

Pamingit.”

Ketika ledek itu berhasil melihat orang Pamingit yang tinggi

besar berwajah kasar itu, ia tertawa sambil menyubit kawannya.

“Hei, agaknya Si Saraban yang bertengkar dengan Jiwala. Apakah

kau tidak membantunya…?”

“Peduli apa?” jawab kawannya, seorang ledek yang berhidung

pesek. “Kemarin ia sanggup memberi aku uang, tetapi sampai

sekarang ia tidak menepati janjinya.”

Sekali lagi mereka menjengukkan kepalanya. Lalu dengan

mengerutkan keningnya, ledek yang berhidung pesek itu berkata,

“Gila. Bukankah mereka mempertengkarkan istri Penjawi itu?”

Sekali lagi kawannya mencubitnya sambil tertawa. “He, kau

agaknya mendapat saingan. Kalau Saraban menang, kaulah yang

harus berkelahi melawan istri Penjawi itu.”

Kawannya tidak menjawab, tetapi ia semakin merengut.

Mendengar percakapan itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

terpaksa menahan nafas. Tetapi hatinya mengeluh. Sampai

sedemkian jauh orang-orang Banyubiru terperosok ke dalam

jurang yang mengerikan.

Dalam pada itu, orang Banyubiru yang bernama Jiwala itupun

sudah berdiri di hadapan Saraban. Dengan bertolak pinggang ia

memandang orang Pamingit itu dari ujung rambut sampai ke ujung

kakinya. Sedang orang Pamingit itu mengawasinya dengan marah.

Tetapi sebentar-sebentar mereka berdua terpaksa menengok ke

arah perempuan yang kekurus-kurusan dan berdiri dengan

gemetar di pinggir tanah lapang itu. Ternyata sedemikian

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 94

ketakutan, sampai istri Penjawi itu tidak tahu apa yang harus

dilakukan.

Dalam pada itu sekali lagi Saraban membentak, “Pergi. Jangan

halang-halangi aku.”

Jiwala tidak menjawab, tetapi dengan tangkasnya ia

menyerang perut Saraban. Namun agaknya Saraban pun bukan

orang yang dapat diremehkan. Demikian tangan Jiwala terulur ke

arah perutnya, dengan cepatnya ia memiringkan tubuhnya dan

sekaligus kakinya menyambar dada lawannya. Jiwala yang sedang

mabuk itu tidak sempat menghindarkan dirinya, sehingga terasa

kaki orang yang bertubuh tinggi besar itu mendorong tubuhnya

kuat-kuat. Demikianlah ia terlempar beberapa langkah dan jatuh

berguling. Agaknya tendangan orang Pamingit itu cukup keras,

karena ternyata setelah bersusah payah berusaha barulah Jiwala

dapat bangun. Namun ia sudah tidak berani lagi mendekati orang

Pamingit yang bernama Saraban itu.

Melihat geraknya, segera Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

tahu, bahwa orang Pamingit itu bukan lawan Jiwala. Menurut

dugaan mereka, Saraban pasti termasuk orang yang cukup baik

kedudukannya, bahkan mungkin ia adalah salah seorang pimpinan

laskar Pamingit.

Perkelahian itu hanya berlangsung beberapa saat saja. Sebab

ketika Jiwala tidak berani lagi mendekati lawannya, tak seorang

pun lagi yang mengganggu Saraban. Bahkan tiba-tiba terdengar

seseorang berbisik. “Salah Jiwala sendiri, kenapa ia melawan

orang itu. Bukankah ia pengawal Ki Ageng Lembu Sora?”

Mendengar bisikan itu, dada Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

berdesir. Tentulah orang Banyubiru itu tidak akan dapat

mengalahkannya. Kemudian terdengarlah orang lain berbisik pula,

“Kalau Jiwala tidak sedang mabuk, tentu ia tidak berani berbuat

demikian.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 94

Demikianlah ternyata Saraban kemudian akan dapat berbuat

sekehendak hatinya. Kembali dengan wajah yang menakutkan, ia

memandang istri Penjawi yang berdiri gemetar. Ternyata ia benar-

benar menjadi ketakutan dan kehilangan akal, sehingga ia

samasekali tidak berpikir untuk melarikan diri. Mula-mula ia

mengharap bahwa ada orang yang menolongnya, tetapi dengan

jatuhnya Jiwala, harapannya menjadi lenyap.

Mula-mula Saraban itu masih memandang berkeliling.

Agaknya ia masih mencari lawan untuk menunjukkan

kekuatannya. Ketika tak seorangpun yang berani mengganggu

lagi, barulah setapak demi setapak ia mendekat.

Nyi Penjawi menjadi semakin ketakutan. Setapak ia mundur,

tetapi dua tapak Saraban melangkah maju, sehingga jarak mereka

menjadi semakin dekat.

Dalam pada itu, beberapa orang yang semula tertawa-tawa

kini menjadi terdiam. Bagaimanapun juga, di dalam sudut hati

mereka yang paling dalam, tersirat juga rasa kasihan. Kasihan

kepada istri Penjawi yang sedang ditinggal suaminya menyingkir,

karena Lembu Sora akan membinasakannya. Ditambah lagi, baru

beberapa minggu ia kehilangan bayinya. Sekarang tiba-tiba

seorang laki-laki berwajah kasar, dengan rakusnya ingin

merampas kecantikannya. Apalagi orang itu adalah orang

Pamingit.

Tetapi tak seorangpun yang berani berbuat sesuatu. Sebab tak

seorangpun yang merasa mampu mengalahkan Saraban. Sedang

untuk maju bersama-sama pun mereka tidak berani. Sebab

dengan demikian, orang-orang Pamingit pasti akan beramai-ramai

menyerang mereka. Meskipun sebenarnya mereka tidak bersalah,

karena melindungi seseorang yang diperlakukan tidak adil, namun

orang Pamingit dapat saja membuat alasan-alasan.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menyaksikan semua

peristiwa itu dengan wajah yang tegang. Ketika Saraban tinggal

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 94

beberapa langkah saja jaraknya dari Nyi Penjawi, Mahesa Jenar

tidak dapat membiarkan hal yang kotor itu berlangsung. Tetapi

ketika ia sudah bergerak, terasa Kebo Kanigara menggamitnya

sambil berbisik, “Duduklah Mahesa Jenar. Biarlah aku selesaikan

masalah ini. Sebab belum ada di antara mereka yang mengenal

aku. Sedang kau agaknya telah dikenal oleh beberapa orang di

sini.”

Mendengar bisikan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar

mengurungkan niatnya. Ia membiarkan Kebo Kanigara perlahan-

lahan berdiri. Tetapi ketika selangkah ia maju, mereka bersama

dikejutkan oleh sebuah suara yang berat parau dari kegelapan di

belakang perempuan yang kekurus-kurusan itu. Katanya,

“Saraban, jangan berlagak jantan sendiri. Orang Banyubiru tidak

semuanya berjiwa betina. Cobalah kau maju selangkah lagi,

namamu akan terhapus dari deretan nama-nama pengawal Lembu

Sora. Dan bangkaimu akan dikubur dengan segala macam kutuk

dan caci.”

Saraban ternyata terkejut juga mendengar suara itu. Dengan

tidak disadarinya sendiri, ia menghentikan langkahnya. Matanya

yang liar dibukanya lebar-lebar untuk mengetahui, siapakah yang

dengan sombong mencoba menghalang-halangi niatnya. Dalam

pada itu, dari dalam gelap, muncullah sebuah bayang-bayang,

yang dengan tetap melangkah maju. Sesaat kemudian tampaklah

di bawah cahaya lampu yang samar, seorang laki-laki dengan mata

yang menyala-nyala karena marah, berdiri diantara laki-laki yang

bernama Saraban dengan perempuan yang kekurus-kurusan, yang

sedang meneteskan air mata putus asa. Orang itu tidak setinggi

dan sebesar Saraban. Namun tubuhnya tampak kuat seperti baja.

Ketika Saraban mengenal wajah orang itu, ia menggeram. Dan

bersamaan dengan itu terdengar Mahesa Jenar berdesis sambil

berdiri karena terkejut, “Bantaran….”

“Bantaran….” ulang Kebo Kanigara yang terpaksa

menghentikan langkahnya. “Siapakah dia?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 94

“Salah seorang kepercayaan Ki Ageng Gajah Sora yang

bersama-sama dengan Penjawi terpaksa menyingkir dari

Banyibiru.”

“Kalau begitu….” sahut Kanigara, “Aku tak perlu

mengganggunya.”

“Aku kira demikian,” jawab Mahesa Jenar.

Dengan demikian Kanigara mengurungkan langkahnya, tetapi

mereka mencari tempat untuk menyaksikan peristiwa yang

mendebarkan hati itu.

Dalam pada itu, Bantaran masih tetap berdiri di muka Nyi

Panjawai, dengan kaki renggang dan dada terbuka. Sesaat

kemudian, tampaklah matanya beredar kesegenap arah.

Memandang setiap wajah orang Banyu Biru yang berdiri di

sekitarnya. Dan tiba-tiba saja orang-orang Banyu Biru yang kena

sambaran matanya, dengan cepat menundukkan mukanya.

Mereka seolah-olah merasa mendapat teguran dari salah seorang

pemimpin mereka. Meskipun beber:apa orang lebih senang

menjelenggarakan sabungan ayam dan tari tayub daripada

berjuang membebaskann tanah perdikan mereka, namun

beberapa orang yang lain masih juga merasa malu atas kelakuan

mereka itu.

Dan dari mulut Bantaran itu kemudian terdengar suaranya

menggeram, “Aku melihat kelakuan kalian. Hampir setiap malam

aku berada di tempat ini. Dan hampir setiap malam aku melihat

apa yang terjadi. Mabuk, judi, berkelahi di antara sesama karena

hal-hal yang memalukan, dan menyabung ayam di siang hari. Dan

puncak dari kebodohan kalian adalah membiarkan setan ini

mengganggu isteri orang. Isteri kawan setiamu, yang sekarang

sedang berjuang untuk kalian.”

Suasana menjadi sunyi diam. Tak seorang pun yang berani

menatap wajah Bantaran yang merah menyala-nyala. Bahkan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 94

seandainya ada selembar daun kuning jang gugur, suaranya akan

jelas terdengar seperti gemuruhnja guntur di langit.

Dalam pada itu, Saraban pun mendjadi marah pula. Ia pernah

berkenalan dengan Bantaran. Karena itu ia tahu benar bahwa Ban-

taran termasuk salah seorang yang sedanq dikejar-kejar oleh

laskar Pamiingit, untuk disingkirkan. Karena itu, terdengarlah

Saraban berteriak dengan suara yang gemuruh, “Hai Bantaran.

Ternyata kau benar-benar sombong. Kedatanganmu tidak saja

sangat mengganggu kesenangan kami malam ini, tetapi akan

serupa benar dengan serangga menjelang api. Nah agaknja malam

ini aku akan mendapat dua hadiah yang berharga. Membunuh

Bantaran dan mendapat isteri baru.”

Terdengar Bantaran menggeretakkain giginya. Namun

perlahanlahan ia menoleh kepada Nji Penjawi sambil berkata,

“Menyingkirlah Nyai, biarlah monyet ini aku selesaikan.”

Njai Penjawi tak menjawab sepatah katapun. Namun, air

matanya mendjadi semakin deras mengalir. Sementara itu

Bantaran meneruskan. “Suamimu selamat sampai sekarang.

Mudah-mudahan ia kelak akan datang dengan pasukannja. Nah

kalau demikian barulah orang tahu, siapakah Penjawi itu.”

“Jangan mengigau” bentak Saraban,

Mendengar bentakan itu, selanqkah Bantaran maju. la tidak

merasa perlu untuk berdebat lebih lama. Tetapi terasa bahwa tak

ada cara penyelesaian yanq lebih baik daripada bertempur dengan

orang itu. Meskipun ia sadar, bahwa seandainya kehadirannya itu

didengar oleh Lembu Sora dan laskar Pamingit yang lain, maka

akibatnja akan sangat berbahaya.

Meskipun orang-orang yang berada di tanah lapang itu sudah

hampir setiap hari menyaksikan perkelahian, namun kali ini

suasananya

agak berbeda. Yang mereka lihat setiap hari adalah perkelahian

di antara orang-orang mabuk. Sedang sekarang mau tidak mau

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 94

mereka melihat pertengkaran langsung tidak saja karena Nyi

Penjawi, tetapi lebih daripada itu. Yaitu di antara orang Pamingit

dan orang Banyu Biru. Orang yang dengan penuh nafsu ingin

menguasai daerah orang lain melawan orang yang memperta-

hankan daerah itu.

Maka, ketika selangkah lagi Bantaran maju, berpencaranlah

orang-orang yang berada di tanah lapang itu ke tepi. Mereka

semuanya mengetahui siapakah Bantaran, dan sebagian besar dari

mereka pun mengetahui pula, siapakah Saraban. Karena itu tak

seorang pun yang berani mendekati mereka berdua jang sudah

bersiap untuk bertempur.

Demikianlah, sesaat kemudian, tanpa berkata sepatah pun

lagi, Saraban meloncat dengan garangnya rnenjerang Bantaran,

Namun Bantaran pun telah siap pula menyambutnya, sehingga

tidak usah menunggu terlalu lama, pertempuran itu segera

berlangsung dengan serunya. Saraban yang bertubuh tinggi besar

itu ternyata mempunjai tenaga yang luar biasa besarnya, sedang

Bantaran meskipun lebih kecil dan pendek, tetapi ia dapat bergerak

dengan lincahnya. Dengan cepatnya ia meloncat dari satu arah ke

arah jang lain. Karena itulah maka serangannya seolah-olah

datang dari segala penjuru.

Mula-mula Saraban dapat selalu mengikuti arah gerak

Bantaran. Bahkan sekali dua kali serangannya yang berbahaya

dapat memaksa Bantaran melontar selangkah dua langkah

mundur. Tetapi lama kelamaan kaki Bantaran semakin lincah

melontar-lontarkan tubuhnja kesana kemari, sehingga akhirnya

Saraban menjadi bingung. Beberapa kali Bantaran berhasil

memancing lawannya menghadap ke arah yang salah, sehingga

dalam keadaan yang demikian, meloncatlah serangan-serangan

Bantaran yanq dahsyat. Untunglah bahwa tubuh Saraban benar-

benar keras seperti kayu. Sehingga untuk beberapa lama ia dapat

bertahan. Namun karena serangan Bantaran itu datang bertubi-

tubi bahkan kemudian seperti aliran air terjun, maka, akhirnyja

terasalah bahwa Saraban mulai terpaksa bekerja mati-matian. Dan

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 94

beberapa saat kemudian terpaksalah orang Pamingit yang

bertiubuh tinggi besar itu mengeluh. Tetapi meskipun demikian, ia

masih juga berusaha sekuat tenaganya untuk dapat mengimbanyi

lawannya. Sekali dua kali tangannya yang besar dan berat itu

terayun dengan kerasnja disusul dengan lontaran kakinya

dibarenqi teriakan yang memekakkan telinga. Namun Bantaran

selalu berhasil menghindar dan kemudian meloncat maju

membalas menyerang. Meskipun tenaganja tidak sebesar orang

Pamingilt itu, namun pukulannya yang selalu mengarah ke tempat-

tempat yang ringkih, menjakan Saraban terdesak terus.

Ketika Saraban lengah, tangan Bantaran berhasil masuk di an-

tara kedua tangan lawannya yang bersilang, mengenai rahangnya.

Dengan kerasnya muka Saraban teranqkat disusul dengan sebuah

pukulan ke arah perut. Terdengarlah Saraban mengaduh pendek

sambil membungkukkan badannya. Pada saat itu, sekali lagi

tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya Saraban

melihat arah sambaran tangan lawannya. Dengan sisa tenaganya

ia menghindar ke samping. Dengan demikian serangan Bantaran

tidak mengenai sasarannya. Bahkan tubuhnya terbawa beberapa

langkah maju, terseret oleh ayunan tangannya. Saraban melihat

kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia

memukul tengkuk Bantaran. Namun Bantaran yang masih segar

ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi

serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan

kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya

dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau kepala Saraban dari

atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran

menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga

melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas.

Kemudian dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.

Semua orang yang menyaksikan kesudahan dari perkelahian

itu menahan nafasnya. Meskipun orang-orang Banyubiru menjadi

cemas atas peristiwa itu, namun mereka di dalam hatinya bangga

juga atas keunggulan orang Banyubiru atas orang Pamingit.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 94

Bantaran yang telah berhasil menjatuhkan lawannya, berdiri

dengan tegap di depan tubuh Saraban yang sudah tak berdaya lagi

untuk bangkit. Sekali lagi ia memandang berkeliling, ke arah

wajah-wajah orang Banyubiru yang berdiri di sekitar tempat

perkelahian itu. Dan sekali lagi wajah-wajah orang Banyubiru itu

terbanting di tanah yang ditumbuhi rumput dengan suburnya.

Dalam pada itu terdengarlah suara Bantaran parau, “Saudara-

saudaraku, rakyat Banyubiru. Aku menyesal atas semua yang

telah terjadi di tanah perdikan ini. Kalian ternyata telah terbius

oleh pemanjaan nafsu yang tak terkendali. Tetapi dengan peristiwa

ini, kalian tidak akan dapat untuk seterusnya berpangku tangan.

Sebab kawan-kawan orang Pamingit itu tidak akan tinggal diam.

Dan akibatnya akan dapat kalian rasakan. Untuk seterusnya kalian

hanya dapat memilih, menangkap aku, lalu menyerahkan kepada

Lembu Sora, yang dengan demikian kalian akan bebas dari

pembalasan dendam, atau bangkit melawan kekuasaan Pamingit

atas tanah kita sambil menunggu kehadiran pemimpin kita Ki

Ageng Gajah Sora atau putranya Arya Salaka.”

Tak seorangpun yang menyatakan pendapatnya. Dan memang

demikianlah perasaan mereka yang mendengar kata-kata

Bantaran. Sebagian diantara mereka menjadi malu atas kelakuan

mereka, tetapi memang ada juga diantaranya yang di dalam

hatinya mengumpati Bantaran. Sebab dengan perbuatannya itu,

pastilah akan terjadi hal-hal yang samasekali tak dikehendaki.

Orang-orang Pamingit pasti akan datang ke tempat itu dan

mengaduknya. Menangkapi orang-orang yang dicurigainya,

memukuli mereka tanpa alasan untuk melampiaskan dendam

mereka.

Belum lagi gema suara Bantaran itu lenyap, tiba-tiba

terdengarlah derap beberapa ekor kuda dengan kencangnya

menuju ke tanah lapang itu. Mendengar derap yang berdatangan

Bantaran tampak terkejut. Segera ia tahu apakah yang sebentar

lagi akan terjadi. Meskipun demikian ia tetap tenang. Dan dengan

tenang pula ia berkata lantang, “Rupa-rupanya ada juga

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 94

pengkhianat-pengkhianat di Banyubiru ini. Dan agaknya mereka

telah melaporkan kehadiranku.”

Orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu segera menjadi

gelisah. Beberapa orang telah bersiap untuk melarikan diri. Tetapi

mereka samasekali tidak mendapat kesempatan. Sebab dalam

waktu yang sangat singkat, beberapa orang berkuda telah datang

dan langsung mengepung tanah lapang itu di empat penjuru.

Bantaran masih dalam

sikapnya yang tenang,

memandang berkeliling.

Kepada kira-kira sepuluh-

duabelas orang yang masih

berada di atas punggung kuda

mereka. Wajah para

penunggang kuda itu tampak

garang-garang, sedang di

tangan mereka masing-masing

tergenggam senjata. Ada yang

berupa tombak, pedang atau

macam-macam senjata yang

lain.

Dua orang diantara

mereka, mendorong kuda

mereka agak ke depan. Rupa-

rupanya dua orang itu adalah pemimpin rombongan. Salah

seorang daripadanya terdengar berteriak dengan suara yang

nyaring, “Hai orang-orang Banyubiru yang tak tahu diri.

Katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama

Bantaran.”

Bantaran masih tegak di tempatnya. Tetapi karena kekacauan

yang timbul, karena beberapa orang yang ingin melarikan diri,

maka di sekitarnyapun telah berdiri beberapa orang dengan tubuh

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 94

gemetar sehingga orang-orang berkuda itu tidak segera dapat

melihat tubuh Saraban yang terkapar di tanah.

Suara pemimpin rombongan berkuda yang bergeletar

memenuhi tanah lapang itu untuk beberapa lama tidak mendapat

jawaban. Karena itu ia mengulangi, “Ayo… katakanlah kepada

kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran. Kalau

tidak ada diantara kalian yang mau menunjuk batang hidungnya,

maka semuanya yang berada di tanah lapang ini akan kami bawa.

Sesudah itu janganlah kalian mengharap untuk bertemu kembali

dengan anak istri kalian.” Bantaran menarik nafas dalam-dalam

sambil menekan dadanya. Sudah tentu ia tidak menghendaki

sekian banyak orang menjadi korban untuk dirinya. Meskipun

demikian sekali dua kali tampaklah ia menoleh ke arah Nyi Penjawi

yang berdiri tidak jauh di belakangnya.

Agaknya, Nyi Penjawi itulah yang memberati hati Bantaran.

Sebagai seorang sahabat Penjawi, ia tidak akan tega melihat nama

perempuan itu dinodai.

Sebelum Bantaran mengambil suatu sikap, tiba-tiba seorang

diantara dua orang berkuda itu meloncat turun dan menyambar

baju orang yang bertubuh sedang tetapi tampak otot-ototnya

menonjol seperti orang hutan. Sambil membentak-bentak orang

itu bertanya, “Siapa namamu…?”

Dengan tergagap orang yang masih agak mabuk itu

menjawab, “Gonjang, Tuan.”

“Kenalkah kau dengan orang yang bernama Bantaran?” tanya

orang Pamingit seterusnya.

Untuk beberapa saat Gonjang berdiam diri. Namun tiba-tiba

terdengarlah jawabannya di luar dugaan. Orang yang suka mabuk

dan berbuat tidak sepantasnya itu ternyata memiliki

kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang Banyubiru ia merasa

berkewajiban melindungi Bantaran. Karena itu jawabnya, “Kenal

Tuan. Aku kenal betul dengan orang itu.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 94

“Nah kalau begitu tunjukkanlah orangnya kepada kami,” desak

orang Pamingit itu.

Kemudian terdengarlah jawabnya yang mengejutkan hati

orang-orang di tanah lapang itu. “Sudah sejak berbulan-bulan ia

tidak pernah menampakkan dirinya, Tuan. Karena itu aku tidak

dapat menunjukkannya kepada Tuan.”

Tiba-tiba mata orang Pamingit itu seolah-olah akan meloncat

dari batok kepalanya. Ternyata jawaban itu samasekali tidak

diduganya. Karena itu ia menjadi marah sekali. Ketika tangannya

yang memegang baju Gonjang diguncang-guncangkan, Gonjang

pun ikut terguncang seperti sebatang pohon yang diputar-putar

badai. Sambil membentak-bentak lebih kasar orang Pamingit itu

sekali lagi bertanya, “Ayo katakanlah kepada kami, yang mana

diantara kalian yang bernama Bantaran.”

“Betul Tuan… ia tidak berada di sini sekarang,” jawab Gonjang

tergagap.

“Bohong!” bentak orang Pamingit itu. “Aku mendapat laporan

bahwa ia berada di tanah lapang ini sekarang.”

“Nah, kenapa Tuan tidak bertanya kepada orang yang

melaporkan itu saja…?” sahut Gonjang.

Orang Pamingit itu tidak menjawab lagi. Tetapi sebuah pukulan

yang keras melayang ke wajah Gonjang. Dengan kerasnya orang

itu terdorong ke belakang, dan kemudian terjatuh dengan

kerasnya. Terdengarlah ia mengerang kesakitan. Namun meskipun

demikian ia tidak juga menunjukkan siapakah diantara mereka

yang bernama Bantaran.

Tetapi dalam pada itu, ternyata Gonjang adalah orang yang

cerdik. Ia telah mencoba memancing orang Pamingit itu untuk

menunjukkan kepada orang-orang Banyubiru, siapakah yang

sebenarnya tidak berkhianat. Namun agaknya orang Pamingit itu

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 94

pun telah berjanji untuk melindungi pengkhianat itu, sehingga

orang itu tidak dibawanya serta.

Bantaran yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya menjadi

berdebar-debar. Ia menjadi bimbang, justru karena ia sedang

berusaha untuk melindungi istri Penjawi. Kalau saat itu ia dapat

ditangkap, maka bila Saraban nanti sadar kembali, nasib istri

Penjawi itupun sudah dapat dibayangkan. Sebab untuk melawan

sepuluh orang berkuda itu agaknya di luar kemampuannya.

Bantaran hampir mengenal satu demi satu orang-orang Pamingit

yang akan menangkapnya. Temu Ireng, Talang Semut, Dadahan,

dan orang-orang setingkatnya. Seandainya tak seorang diantara

orang Banyubiru yang mau menunjukkannya, namun kalau orang-

orang Pamingit itu meneliti satu demi satu orang yang berada di

tanah lapang itu, meskipun makan waktu lama, akhirnya dirinya

akan diketemukan juga. Sebab orang-orang Pamingit itu pun telah

mengenalnya seperti ia mengenal mereka.

Belum lagi Bantaran mendapat suatu cara yang sebaik-

baiknya, orang Pamingit itu telah menangkap seorang lagi.

Seorang muda yang berwajah tampan, berkumis sebesar lidi.

Pakaiannya terbuat dari kain lurik yang mahal. Tetapi demikian ia

diseret ke depan, tubuhnya tiba-tiba serasa lumpuh. Dan ketika

orang Pamingit itu membentaknya, ia menjadi pingsan.

Akhirnya Bantaran mengambil suatu ketetapan untuk

menyatakan dirinya di hadapan orang-orang Pamingit itu sebelum

jatuh korban lebih banyak lagi. Ia akan mencoba melawan dan

menimbulkan kekacauan, sementara itu ia berharap Nyi Penjawi

sempat melarikan diri. Tetapi ketika Bantaran bermaksud

membisiki Nyi Penjawi tentang maksudnya itu, tiba-tiba diantara

sekian banyak orang yang berdiri di tanah lapang itu muncullah

seseorang yang bertubuh sedang, tegap dan berdada bidang.

dengan suara yang berat namun penuh wibawa ia berkata nyaring,

“Hai, orang-orang Pamingit…. Inilah Bantaran.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 94

Semua yang berada di tanah lapang terkejut mendengar

pengakuan itu. Untuk sesaat kembali tanah lapang itu menjadi

hening sunyi. Sesunyi tanah pekuburan. Tetapi dalam pada itu

semua mata bergerak ke arah seorang yang berjalan perlahan-

lahan namun pasti, menyibak orang-orang yang berada di

depannya, menuju ke arah dua orang yang agaknya memimpin

rombongan orang-orang Pamingit itu. Ketika mereka melihat orang

itu, sekali lagi mereka terkejut. Dan yang lebih terkejut adalah

Bantaran sendiri. Orang-orang Banyubiru menjadi bertanya-tanya

di dalam hati, siapakah orang yang telah dengan beraninya

menamakan dirinya Bantaran di hadapan sepuluh orang Pamingit

yang garang-garang itu…?

Tetapi, sesaat kemudian Bantaran menjadi sadar, bahwa

seseorang telah mencoba melindunginya. Namun orang itu belum

pernah dilihatnya.

“Nyai….” bisik Bantaran kepada Nyi Penjawi, “Adakah ia orang

baru…?”

Nyai Penjawi menggelengkan kepalanya. “Aku belum pernah

melihatnya, Kakang.”

Bantaran menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menebak,

siapakah orang yang telah mencoba menyelamatkan dirinya itu.

Tetapi tiba-tiba ia menjadi cemas atas keselamatan orang itu. Dua

orang pemimpin rombongan orang-orang Pamingit itu bukanlah

orang yang dapat diajak berbicara. Mereka adalah Temu Ireng dan

Talang Semut. Dua orang yang lebih suka mempergunakan

tangannya daripada mulutnya. Apalagi pengakuan orang itu hanya

akan mendatangkan bencana saja baginya. Sebab orang yang

bernamaTemu Ireng dan Talang Semut itu telah mengenal

siapakah orang yang bernama Bantaran, sehingga

pengorbanannya akan menjadi sia-sia. Sebab akhirnya mereka

masih akan mencari orang yang dikehendakinya. Karena itu

Bantaran ingin meloncat maju untuk mencegah pengorbanan yang

dianggapnya akan sia-sia saja.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 94

Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk meloncat dan berteriak,

tiba-tiba seseorang menggamitnya. Ketika ia menoleh, ia

terperanjat bukan kepalang, sampai ia tergeser dari tempatnya.

Demikian terperanjatnya Bantaran, sampai beberapa saat ia tak

dapat berkata-kata. Baru setelah debar jantungnya berkurang,

terdengarlah ia berdesis, “Tuan… Bukankah Tuan….”

“Ssst… jangan kau sebut nama itu,” potong orang yang

menggamitnya.

Bantaran mengangguk angguk cepat. Namun ia masih agak

bingung menanggapi kehadiran orang yang samasekali tak

disangka-sangka itu.

“Tuan….” sambungnya sambil tergagap, “Kenapa Tuan tiba-

tiba saja berada di tempat ini…?”

Orang itu, yang tak lain adalah Mahesa Jenar, tersenyum lebar.

“Bantaran… ketika sepuluh orang berkuda itu datang, kau agaknya

tetap tenang. Tetapi ketika kau lihat aku, kau menjadi

kebingungan.”

Bantaran mencoba memperbaiki jalan nafasnya sambil

menjawab, “Sebab bagiku kehadiran Tuan lebih berkesan di hati,

daripada monyet-monyet dari Pamingit itu.”

Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian katanya

memperingatkan Bantaran pada keadaannya kini, “Apalagi orang-

orang Pamingit itu akan menangkap kau.”

Bantaran tersadar akan bahaya yang mengancam. Tetapi

bersamaan dengan itu kembali ia teringat kepada orang aneh yang

mengaku dirinya Bantaran itu. Karena di sampingnya sekarang ada

Mahesa Jenar maka disampaikannya keheranannya itu kepadanya.

“Tuan, aku menjadi heran, ketika seseorang mengaku bernama

Bantaran, dan dengan beraninya menghadapi Temu Ireng.”

Mahesa Jenar dan Bantaran bersama-sama mengangkat

wajah, memandang ke arah orang yang menamakan dirinya

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 94

Bantaran, yang sekarang telah dekat benar dengan Temu Ireng

dan Talang Semut.

Dalam pada itu terdengar Bantaran meneruskan, “Agaknya

orang itu belum mengenal siapakah mereka berdua, ditambah

dengan delapan orang lainnya.”

“Jangan risaukan orang itu,” sahut Mahesa Jenar.

Bantara menoleh sambil mengerutkan keningnya. “Kenalkah

Tuan dengan orang itu?”

Mahesa Jenar mengangguk, tetapi ia masih tetap memandang

kepada orang yang menamakan diri Bantaran, yang sekarang

sudah berdiri tepat di hadapan Temu Ireng.

“Siapakah dia…?” desak Bantaran.

“Paman guruku,” jawab Mahesa Jenar singkat.

“O….” Suara Bantaran seolah-olah terpotong di kerongkongan.

Baru kemudian ia meneruskan, “Alangkah bodohnya aku. Kalau

demikian sepuluh orang itu samasekali tidak akan berarti.”

Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan kata-kata

Bantaran, sebab pada saat itu ia melihat Temu Ireng melangkah

maju. Kemudian terdengarlah suaranya mengguntur, “Kaukah

yang bernama

Bantaran…?”

Orang yang bediri di hadapannya, yang sebenarnya adalah

Kebo Kanigara, menjawab dengan tenangnya, “Ya, akulah

Bantaran.”

Sekali lagi temu Ireng memandang orang yang berdiri di

hadapannya itu tanpa berkedip. Kemudian terdengarlah ia tertawa

terbahak-bahak, tertawa untuk menegaskan kemarahannya yang

hampir memecahkan dadanya. Dan ketika suara tertawa itu tiba-

tiba terhenti, terdengarlah ia berkata dengan kerasnya kepada

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 94

kawannya yang masih berada di atas kudanya. “Hai… Adi Talang

Semut, agaknya mataku telah rusak. Coba katakan kepadaku,

adakah orang ini Bantaran…?”

Orang-orang yang berada di tanah lapang itu hatinya menjadi

tegang. Mereka samasekali belum pernah mengenal orang aneh

yang mengumpankan dirinya itu. Tetapi disamping itu, orang-

orang yang mula-mula mengumpati Bantaran di dalam hati,

menjadi malu. Kalau orang yang belum mereka kenal saja bersedia

melindungi pemimpin Banyubiru itu, bukankah kewajiban orang

Banyubiru sendiri untuk berbuat lebih banyak lagi?

Dalam pada itu Talang Semut tidak kalah marahnya. Ia

mendorong kudanya maju mendekati Kebo Kanigara. Semakin

dekat ia dengan Kanigara, semakin teganglah setiap wajah yang

menyaksikan peristiwa itu. Tidak pula kalah tegangnya wajah

Bantaran. Bahkan sampai ia menggigit bibirnya sendiri.

Talang Semut ternyata tidak menjawab pertanyaan Temu

Ireng dengan kata-kata. Sedemikian marahnya ia, karena ia

merasa dipermainkan oleh orang yang belum dikenalnya, yang

disangkannya juga orang Banyubiru yang ingin melindungi

pemimpinnya, sehingga Talang Semut merasa tidak perlu

bertanya-tanya lagi. Maka ketika kudanya telah dekat benar

dengan tubuh Kebo Kanigara, diangkatnya cambuknya tinggi-

tinggi sambil menggeram keras.

Cambuk itu sekali menggeletar di udara, dan seterusnya

dengan derasnya menyambar tengkuk Kebo Kanigara.

Hampir semua orang yang menyaksikan peristiwa itu seakan-

akan berhenti bernafas. Talang Semut bagi orang Banyubiru tak

ubahnya seperti hantu peminum darah. Sekali ia turun tangan,

maka hampir dapat dipastikan bahwa korbannya tak akan dapat

lagi melihat matahari terbit. Demikianlah mereka menyangka

bahwa orang yang mengaku bernama Bantaran itu akan menjadi

korban kemarahan Talang Semut.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 94

Tetapi sekejap kemudian, dada mereka terguncang

menyaksikan akibat perbuatan Talang Semut. Bahkan beberapa

orang menjadi tak begitu percaya kepada mata mereka. Sebab apa

yang mereka saksikan samasekali diluar dugaan mereka.

Ketika cambuk itu melayang ke arah tubuhnya, Kebo Kanigara

meloncat dengan tangkasnya, menangkap tangkai cambuk itu.

Dengan keras sekali ia menariknya. Tetapi agaknya Talang Semut

memegang cambuk itu sedemikian eratnya, sehingga cambuk itu

tak terlepas dari tangannya. Tetapi ternyata kekuatan Talang

Semut bukanlah tandingan Kebo Kanigara, sehingga ketika

Kanigara menariknya lebih keras lagi, tubuh Talang Semut-lah

yang ikut terseret dari kudanya. Karena Talang Semut tidak

menduga, maka untuk sesaat ia kehilangan akal. Ketika ia sadar,

tangan Kebo Kanigara telah memegang bagian depan bajunya

sedemikian erat, dan sebuah pukulan melayang tepat ke arah

pelipisnya. Semuanya itu berlangsung sedemikian cepatnya

sehingga Talang Semut tidak mempunyai kesempatan samasekali

untuk membela diri. Yang terjadi kemudian adalah pelipisnya

seolah-olah membentur dinding baja. Begitu kerasnya sehingga

tiba-tiba saja matanya menjadi berkunang-kunang. Sesaat

kemudian ia samasekali tidak sadarkan diri, dan tubuhnya yang

sudah tak berdaya itu jatuh terkulai di tanah. Pingsan.

Temu Ireng melihat peristiwa itu terjadi di depan hidungnya.

tetapi ia seolah-olah terpukau oleh suatu kekuatan gaib. Bermimpi

pun ia tidak. Bahwa ada orang yang dapat sedemikian mudahnya

mengalahkan Talang Semut. Yang pernah didengar Temu Ireng

adalah, orang yang paling sakti di Banyubiru adalah Ki Ageng Sora

Dipayana. Dan orang yang telah melakukan suatu keajaiban itu

adalah seorang yang masih terhitung muda. Tiba-tiba Temu Ireng

sampai pada suatu kesimpulan bahwa hal itu terjadi atas

kesalahan Talang Semut sendiri. Sebab agaknya ia kurang berhati-

hati. Dengan demikian ia kehilangan kesiagaan diri. Karena itulah

kemudian dengan menggeram Temu Ireng mencabut goloknya,

dan dengan berteriak keras ia langsung menyerang Kebo Kanigara.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 94

Dalam pada itu Dadahan beserta kawan-kawannya telah

menyaksikan bagaimana Talang Semut dijatuhkan oleh orang yang

mengaku bernama Bantaran. Karena itu mereka tidak mau

membiarkan Temu Ireng bertempur seorang diri. Dengan demikian

mereka beramai-ramai menyerang Kebo Kanigara.

Namun Kebo Kanigara adalah seorang yang hampir sempurna

dalam ilmunya. Ilmu tata berkelahi dari keturunan ilmu perguruan

Pengging. Karena itu, meskipun kemudian empat orang

menyerangnya bersama-sama dari atas punggung kuda, namun ia

samasekali tidak gugup. Bahkan kemudian dengan lincahnya ia

menyambut setiap serangan yang datang.

Dengan demikian, terjadilah suatu pertempuran yang ribut.

Empat orang berkuda bertempur melawan seorang yang meloncat-

loncat dengan lincahnya diantara derap kaki kuda. Bahkan

kemudian keempat penunggang kuda itu kadang-kadang menjadi

bingung, karena kuda-kuda mereka saling melanggar. Sesekali

kalau Kebo Kanigara sempat, ditusukkanlah jari-jarinya yang kuat

itu ke perut salah satu kuda yang bersimpang-siur di sekitarnya,

sehingga dengan terkejut kuda itu meringkik dan melonjak-lonjak.

Beberapa penunggang kuda yang lain masih berusaha untuk

dapat mengawasi seluruh tanah lapang, supaya orang yang

sesungguhnya dicari tidak melepaskan diri. Namun dalam

pertempuran itu, orang-orang yang berada di tanah lapang

menjadi kacau balau. Mereka berlarian kesana kemari tak tentu

tujuan, menghindarkan diri dari kemungkinan terinjak oleh kaki-

kaki kuda yang seolah-olah menjadi liar.

Dalam keadaan yang demikian itulah Mahesa Jenar berbisik

kepada Bantaran, “Bantaran… masih adakah keluarga Penjawi

yang lain yang perlu diselamatkan dari kemarahan orang Pamingit

kelak, atau barangkali keluargamu sendiri…?”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 94

“Keluargaku… tidak Tuan. Mereka semua telah mengungsikan

diri. Sedang keluarga Penjawi pun sudah tidak ada, kecuali seorang

kakek, ayah Nyi Penjawi itu,” sahut Bantaran.

“Nah, kalau demikian, pergilah kepada kakek itu,” sambung

Mahesa Jenar, “Supaya ia tidak memikul tanggungjawab atas

peristiwa ini. Sebab mungkin besok atau lusa, Saraban benar-

benar menjadi gila. Juga orang-orang yang menjadi malu atas

kekalahannya dari Paman Guru itu.”

Bantaran mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya,

“Lalu bagaimanakah dengan Tuan dan Nyi Penjawi…?”

“Tinggalkan Nyi Penjawi ini padaku,” jawab Mahesa Jenar.

“Nanti kita dapat bertemu di tepi Sendang Putih. Kuda kami, kami

tinggalkan di sana.”

Sekali lagi Bantaran mengangguk.

“Disamping itu….” lanjut Mahesa Jenar, “Aku ingin mendapat

keterangan darimu tentang pasukan-pasukan yang telah kau

persiapkan bersama-sama dengan Penjawi. Mungkin sebentar lagi

kita memerlukannya.”

“Baiklah Tuan,” sahut Bantaran.

“Hati-hatilah,” bisik Mahesa Jenar kemudian. “Aku harap kita

dapat bertemu sebelum fajar.”

Setelah berpesan kepada Nyi Penjawi, untuk mengikuti segala

petunjuk Mahesa Jenar, Bantaran kemudian ikut serta

menghanyutkan diri dalam kekacauan yang terjadi. Demikian pula

Mahesa Jenar, dengan menggandeng Nyi Penjawi, berusaha

mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari daerah tanah

lapang yang terkutuk itu. Usaha Mahesa Jenar itu tidaklah terlalu

sukar. Dalam puncak kekacauan, kelima orang berkuda yang

berusaha mengawasi orang-orang di tanah lapang itu ternyata

tidak dapat menguasai keadaan. Ditambah dengan usaha Kebo

Kanigara menyeret titik pertempuran itu semakin ke tengah,

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 94

sehingga keadaan menjadi semakin kacau. Akhirnya beberapa

orang berbondong-bondong berlarian meninggalkan lapangan itu

tanpa menghiraukan apapun juga.

Meskipun kelima orang Pamingit itu berusaha untuk tetap

menahan orang-orang itu di lapangan, namun usaha mereka tidak

berhasil. Bahkan akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-

orang berlarian kesana kemari, karena kuda-kuda mereka seolah-

olah menjadi gila di kejutkan oleh teriakan-teriakan orang-orang

yang ketakutan.

Sesaat kemudian, lapangan itu telah menjadi kosong, kecuali

Kebo Kanigara yang masih harus bertempur melawan orang-orang

berkuda dari Pamingit itu. Apalagi kini kelima orang yang lain, yang

tidak berhasil menahan orang-orang Banyubiru di lapangan, ingin

menumpahkan kemarahan mereka kepada orang yang

menamakan dirinya Bantaran. Sebab orang itulah sumber dari

kekacauan dan kegagalan mereka menangkap Bantaran.

Dalam pada itu, Kebo Kanigara merasa bahwa tugasnya telah

selesai. Ia yakin bahwa Bantaran dan Mahesa Jenar telah berhasil

menyelamatkan Nyi Penjawi. Karena itu ia harus segera

mengakhiri pertempuran.

Demikianlah Kebo Kanigara mulai bertempur dengan sepenuh

tenaga. Ia tidak saja menghindari serangan-serangan orang

Pamingit itu, tetapi iapun telah mulai menyerang mereka. Ketika

seekor kuda dengan penunggangnya yang garang bersenjata

sebilah pedang yang gemerlapan menyerangnya, Kebo Kanigara

tidak saja menghindari serangannya, tetapi tiba-tiba iapun

meloncat keatas punggung kuda itu. Lawan-lawannya yang

menyaksikan perbuatannya menjadi heran, bahkan menjadi

kebingungan untuk beberapa saat, lebih-lebih penunggang itu

sendiri. Ketika ia masih belum sadar, terasalah sebuah pukulan

yang dahsat mengenai tengkuknya. Sesudah itu, tubuhnya dengan

kerasnya terlempar dari punggung kudanya dan seterusnya tak

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 94

sadarkan diri. Sedang pedangnya yang gemerlapan kini telah

berada di tangan Kebo Kanigara.

Maka mulailah Kebo

Kanigara bertempur melawan

delapan orang, tetapi kini

dengan pedang ditangan.

Sebagai seorang yang memiliki

ilmu yang tinggi, maka Kebo

Kanigara selalu dapat menem-

patkan dirinya pada keadaan

yang menguntungkan. Dengan

tangan kiri memegang kendali

kuda, sedang dengan tangan

kanan ia mengayun-ayunkan

pedangnya berputar-putar

dahsyat. Ia dapat memper-

gunakan hampir seluruh tanah

lapang itu sebaik-baiknya.

Sekali-sekali ia melarikan

kudanya menjauhi lawan-

lawannya. Kemudian dengan tangkasnya ia memutar kudanya

cepat-cepat untuk menghadapi lawannya yang paling depan.

Dengan demikian ia dapat memancing pertempuran melawan

orang-orang Pamingit itu hampir satu persatu. Dan satu persatu

pula mereka dapat dirobohkan. Pedang ditangannya itu seolah-

olah merupakan patuk seekor burung garuda yang bertempur

melawan delapan ekor serigala. Sekali-sekali garuda itu terbang

tinggi, kemudian menukik cepat, dan dengan paruhnya yang

runcing tajam, dibinasakannya serigala itu satu persatu.

Demikianlah akhirnya pedang Kanigara itu telah berhasil melukai

orang kelima dipundak kanannya. Demikian hebat luka itu,

sehingga akhirnya seperti keempat orang yang lain, orang itu jatuh

tersungkur ditanah, dengan tubuh lemas tak berdaya.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 94

Kini tinggallah tiga orang lagi. Tentu saja ketiga orang itu

mengerti bahwa lawannya bukanlah manusia setingkat mereka.

Kalau semula mereka, delapan orang, tidak mampu

mengalahkannya, apalagi kini tinggal 3 orang lagi. Bagaimanapun

juga beraninya orang-orang Pamingit itu, namun mereka harus

melihat suatu kenyataan, bahwa mereka bertiga tidak akan

mungkin memenangkan pertempuran itu.

Karena itu selagi nyawa mereka masih tinggal didalam tubuh,

serta selagi darah mereka masih belum tertumpah, maka tidak ada

cara lain yang lebih baik daripada menghindarkan diri dari tanah

lapang itu secepat-cepatnya. Untunglah kalau mereka sempat

datang kembali dengan membawa bantuan. Syukurlah kalau

Sawung Sariti atau lebih-lebih Ki Ageng Lembu Sora sendiri, yang

kebetulan sedang berada di Banyubiru dapat menyaksikan

ketangkasan orang itu.

Maka setelah mereka masing-masing berpikir dan mengambil

suatu keputusan, yang seolah-olah diatur bersama, maka ketika

salah seorang daripadanya memutar kudanya dari tanah lapang itu

sambil memperingatkan kawan-kawannya, bahwa lebih baik

menyelamatkan diri serta membawa bantuan lebih banyak lagi,

segera menghamburlah ketiga ekor kuda itu dengan

penunggangnya meninggalkan Kebo Kanigara secepat mereka

dapat.

IV

Kebo Kanigara memandang ketiga orang yang meninggalkan

gelanggang itu sambil mengusap peluhnya. Kemudian matanya

berkisar dari satu tubuh ketubuh yang lain, yang masih terkapar

ditanah lapang itu. Ia mengharap agar kemudian kawan-kawan

mereka segera datang dan merawat luka-luka mereka. Sebab

Kebo Kanigara samasekali tidak bermaksud membunuh mereka

semua. Kalau diantara terpaksa ada yang menghembuskan napas

penghabisan, itu adalah diluar kemauannya. Sebab dalam bermain

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 94

dengan air, pastilah ada diantaranya yang terpercik dan menjadi

basah karenanya.

Setelah itu, segera Kebo Kanigara teringat kepada Mahesa

Jenar dan Bantaran. Dengan Mahesa Jenar ia berjanji untuk segera

kembali ketempat kuda-kuda mereka tertambat. Karena itu

sebelum keadaan menjadi lebih buruk, segera Kebo Kanigara

meloncat dari kudanya, dan berlari lewat jalan semula, pergi ke

Sendang Putih. Ia terpaksa menyusur jalan-jalan sempit dan

halaman-halaman kosong seperti yang dilaluinya semula, karena

ia tidak mengenal daerah dan jalan-jalan lain di Banyubiru. Tetapi

dengan demikian, beruntunglah ia, karena sesaat kemudian lamat-

lamat ia mendengar derap kuda, jauh lebih banyak dari semula,

menuju ketanah lapang dimana ia baru saja bertempur. Karena

itulah ia segera mempercepat larinya supaya tidak terkejar oleh

orang-orang yang pasti akan mencarinya.

Baru ketia ia telah menyusup ke semak-semak, mengambil

jalan yang memotong. Ia menjadi agak lega dan memperlambat

larinya. Apalagi ia terpaksa berusaha mengenal kembali jalan

setapak yang dilaluinya itu, supaya ia tidak tersesat.

Beberapa lama kemudian sampailah ia di tempat mereka

berjanji untuk bertemu. Di situ telah menanti Mahesa Jenar,

Bantaran, Nyi Penjawi dan seorang kakek tua ayah Nyi Penjawi.

Dengan tersenyum Mahesa Jenar menyambut kedatangan

Kebo Kanigara, katanya, “Sudah puaskah Kakang bermain-main

dengan orang Pamingit?”

Sambil duduk di samping Mahesa Jenar, Kanigara menjawab

sambil tersenyum pula, “Mereka adalah kawan bermain yang baik.

Orang-orang Pamingit itu ternyata ahli menunggang kuda.”

Dengan tersenyum pula Mahesa Jenar menjawab, “Sayang

mereka tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik mereka

naik kuda.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 94

Kemudian dengan lesu Kanigara berkata seperti kepada diri

sendiri, “Aku terpaksa melukai beberapa orang diantaranya. Sebab

aku tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik diantara

mereka yang terbunuh.”

Mahesa Jenar samasekali tidak menyahut. Ia tahu betul

perasaan Kebo Kanigara, bahwa bukanlah pada tempatnya, dalam

keadaan yang demikian, dimana ia tidak mempunyai persoalan

langsung dengan orang-orang Pamingit itu, tangannya terpaksa

menumpahkan darah. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tak

seorangpun yang akan dapat menyalahkannya. Apalagi Bantaran.

Sebagai seorang pemimpin laskar Banyubiru, ia menjadi keheran-

heranan, bahwa dalam pertempuran yang berlangsung itu, dimana

seorang harus melawan 10 orang bersama-sama, masih juga

menyesal kalau ia terpaksa membunuh lawannya.

Sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi. Masing-masing

membiarkan angan-angannya mengembara ke daerah yang

berbeda-beda.

Kemudian terdengarlah kembali Mahesa Jenar berkata kepada

Bantaran, “Bantaran… aku masih ingin mendapat beberapa

keterangan tentang laskarmu dan laskar Penjawi. Sebab mau tidak

mau, apabila Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti tetap pada

pendiriannya, kita akan memerlukannya.”

Bantaran menggeser duduknya, kemudian menjawabnya,

“Laskar kami sebenarnya tidaklah begitu banyak, Tuan. Apalagi

sampai saat ini kami samasekali tidak mendapat bimbingan yang

baik. Apakah artinya kami berdua. Aku dan Penjawi. Sedang yang

kami hadapi adalah Ki Ageng Lembu Sora dan putranya, Sawung

Sariti. Sedangkan tingkat keterampilan kami tidaklah lebih

daripada pengawal-pengawal Lembu Sora itu.”

“Tetapi bagaimanakah dengan tekad mereka…?” sela Mahesa

Jenar.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 94

“Itulah yang mendorong kami untuk tetap berjuang. Mereka

ternyata bersedia menunggu pemimpin mereka. Ki Ageng Gajah

Sora atau putranya, Arya Salaka yang hilang itu.”

“Bagaimanakah dengan Wanamerta?” Mahesa Jenar mencoba

bertanya.

“Orang tua itupun telah meninggalkan Banyubiru.” jawab

Bantaran. “Tetapi kami belum mengetahuinya, di mana ia berada.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian

ia berkata, “Bantaran, agaknya Wanamerta benar-benar belum

berhasil mencari hubungan dengan kalian. Ketahuilah bahwa

Wanamerta telah berhasil menyusul putra Ki Ageng Gajah Sora.”

“Arya Salaka…?” potong Bantaran terkejut.

“Ya,” jawab Mahesa Jenar, “Dan selama ini Arya salaka dalam

keadaan selamat.”

“Syukurlah,” sahut Bantaran. “Memang demikianlah berita

yang pernah aku dengar, meskipun aku belum meyakini

sebelumnya. Sekarang karena Tuan yang mengatakannya, maka

aku dapat mempercayainya.”

“Dari mana kau dengar berita itu?” tanya Mahesa Jenar.

“Aku tidak jelas sumbernya,” jawab Bantaran. “Tetapi aku kira

dari orang-orang Pamingit. Sebab aku dengar mereka sedang

mencari untuk membunuhnya. Bahkan yang kami dengar Arya

Salaka selalu bersama-sama dengan Tuan.”

Kembali Mahesa Jenar mengangguk=anggukkan kepalanya.

Katanya, “Berita itu benar. Hampir seluruhnya. Bahkan Sawung

Sariti sendiri sudah untuk kedua kalinya berusaha membunuh Arya

Salaka dengan tangannya.”

Mendengar keterangan itu, Bantaran mengangkat kepalanya.

Bagaimanapun ia merasa tersinggung atas kelakuan Sawung

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 94

Sariti. Maka katanya, “Untunglah bahwa Arya Salaka dapat Tuan

selamatkan.”

“Ia telah dapat menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab Mahesa

Jenar.

Bantaran menjadi heran mendengar jawaban itu. Sawung

Sariti pada saat-saat terakhir telah menjadi seorang pemuda yang

tangguh, berkat tuntunan kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana.

Meskipun seandainya Arya Salaka mendapat tuntunan dari Mahesa

Jenar, apakah anak itu akan dapat menyamai ketangguhan

Sawung Sariti. Malahan, seandainya paman guru Mahesa Jenar itu

yang mendidiknya, ia masih belum yakin bahwa Arya dapat

menyamai Sawung Sariti. Sebab Ki Ageng Sora Dipayana adalah

seorang yang sukar dicari tandingnya. Tetapi Bantaran tidak mau

menanyakannya. Ia takut kalau-kalau dengan demikian akan

dapat menyinggung perasaan Mahesa Jenar.

Dalam pada itu Mahesa Jenar meneruskan, “Yang penting

bagimu Bantaran, peliharalah tekad dan kesetiaan laskarmu

terhadap perjuangan yang telah dirintisnya. Dalam waktu yang

singkat aku akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah

mereka.”

Tiba-tiba dada Bantaran terasa seolah-olah mengembang

karena kegembiraan. Kalau Arya Salaka berada di tengah-tengah

mereka maka laskarnya akan menjadi laskar yang bertekad baja,

yang tidak lagi memperhitungkan hidup dan mati yang memang

diluar kekuasaan manusia.

“Karena itu….” Mahesa Jenar meneruskan, “Bersiaplah

menghadapi masa yang menentukan.”

“Baiklah Tuan,” jawab Bantaran mantap. “Akan kami kabarkan

hal ini kepada mereka supaya mereka merasa bahwa apa yang

mereka lakukan itu mempunyai arti bagi tanah perdikan mereka.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 94

“Kalau demikian, ke manakah aku harus membawa Arya

Salaka…?” sahut Mahesa Jenar.

“Ke Gedong Sanga, Tuan,” jawab Bantaran cepat. “Di sekitar

candi itu kami menempatkan laskar kami.”

“Baiklah. Dan beruntunglah aku dapat bertemu dengan kau di

sini, sehingga aku mendapat banyak bahan untuk saat-saat

terakhir.”

Demikianlah, mereka mengakhiri pembicaraan. Setelah sekali

lagi Mahesa Jenar berjanji akan membawa Arya ke Candi Gedong

Sanga, maka bersama dengan Kebo Kanigara ia minta diri untuk

segera kembali ke Karang Tumaritis, dimana Arya Salaka pasti

telah menunggunya. Bersamaan dengan itu, berangkat jugalah

Bantaran lewat jalan-jalan hutan membawa istri Penjawi beserta

ayahnya untuk berkumpul kembali dengan laskarnya, setelah

beberapa hari ia berkeliaran di daerah sekitar Banyubiru untuk

melihat perkembangan daerah itu.

Namun kali ini dengan bangga ia akan dapat berkata kepada

laskarnya tentang apa yang disaksikannya di Banyubiru,

pertemuannya dengan Mahesa Jenar yang tanpa diduga-duganya.

Serta yang terakhir bahwa mereka boleh mengharap, dalam waktu

singkat Mahesa Jenar akan membawa Arya Salaka ke tengah-

tengah mereka.

Di perjalanan kembali ke Karang Tumaritis, Mahesa Jenar dan

Kebo Kanigara tak henti-hentinya memperbincangkan

kemunduran-kemunduran yang terjadi di Banyubiru. Kemunduran

dalam segala bidang. Namun mereka masih menduga-duga

apakah sebabnya Ki Ageng Sora Dipayana masih berdiam diri.

Demikianlah mereka menempuh perjalanan, melintasi padang-

padang rumput, hutan-hutan yang tidak begitu lebat, mendaki

lambung-lambung bukit, serta menuruni lereng-lerengnya, untuk

kemudian sampai ke daerah persawahan yang membentang luas

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 94

di hadapan mereka, setelah mereka bermalam di bawah

bentangan langit biru.

Sedang pedukuhan yang tampak di hadapan mereka, seperti

pulau-pulau yang tersembul dari lautan, adalah pedukuhan

Gedangan. Oleh hembusan angin yang cepat-cepat lambat, butir-

butir padi yang sudah mulai menguning tampak seperti wajah

lautan yang berombak-ombak. Jauh di ujung desa tampaklah

beberapa puluh orang perempuan seperti semut yang terapung-

apung, sudah mulai menuai padi.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat semuanya itu dengan

wajah yang cerah. Mereka ikut bersama-sama dengan para petani

Gedangan, merasa gembira bahwa hasil jerih payah mereka

selama beberapa bulan kini sudah dapat dipetik hasilnya. Lebih

daripada itu, Mahesa Jenar melihat benar-benar kemajuan yang

telah dicapai oleh pedukuhan kecil ini dalam bidang pertanian.

Setelah puas memandang sawah yang terbentang di hadapan

mereka itu, segera mereka menarik kekang kuda masing-masing,

dan berjalanlah kuda-kuda mereka seenaknya. Burung-burung liar

yang terkejut karena suara telapak kaki kuda itu, beterbangan

terpencar-pencar. Sedang butiran-butiran padi yang penuh berisi,

seolah-olah merundukkan batang-batang mereka kepada kedua

orang yang baru datang itu.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bagi orang-orang Gedangan

adalah orang-orang yang sangat dihormati. Karena mereka berdua

telah banyak memberikan jasa mereka kepada pedukuhan kecil

itu. Karena itu ketika seseorang melihat kehadiran mereka, ia

segera berlari-lari melaporkannya kepada pejabat-pejabat

pedukuhan, sehingga sesaat kemudian ributlah pendapa kelurahan

Gedangan. Mereka segera bersiap-siap untuk menyambut

kedatangan tamu-tamu mereka.

Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di halaman

kelurahan, bahkan mereka menjadi terkejut. Mula-mula mereka

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 94

heran, apakah yang terjadi di kelurahan itu sehingga banyak orang

hilir-mudik kesana kemari. Tetapi ketika akhirnya mereka

mengetahui duduk perkaranya, mereka menjadi geli. Hal yang

sedemikian itu sebenarnya samasekali tak mereka kehendaki.

Sebab apa yang mereka lakukan tidak lebih dan tidak kurang

daripada melakukan kewajiban mereka, sebagai manusia yang

mengabdikan diri pada sumbernya serta hasil pancaran dari

sumber itu.

Tetapi rakyat Gedangan itu menjadi kecewa ketika mereka

mengetahui bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak dapat

terlalu lama tinggal di pedukuhan mereka, sebab suatu kewajiban

yang penting telah menanti. Mereka hanya dapat bermalam satu

malam saja, untuk seterusnya mereka minta diri meneruskan

perjalanan ke Karang Tumaritis. Sedangkan kuda-kuda yang

dipinjamnya, masih belum mereka kembalikan, bahkan Mahesa

Jenar telah berpesan apabila diperlukan mereka masih akan

meminjamnya lebih banyak lagi nanti.

“Berapa ekor lagi yang akan Tuan perlukan…?” tanya

Wiradapa.

“Lima atau enam ekor,” jawab Mahesa Jenar kepada Lurah

Gedangan itu.

“Baiklah Tuan, kuda-kuda itu akan kami sediakan sejak hari

ini,” sahut Wiradapa, dan seterusnya ia berkata, “Kecuali itu,

perkenankan kami mengundang Tuan berdua beserta sahabat dan

putra-putra Tuan untuk mengunjungi pedukuhan kami ini pada

akhir bulan.”

“Apakah keperluan kalian…?” tanya Mahesa Jenar.

“Kami akan mengadakan upacara bersih desa. Sebagai

pernyataan terimakasih dan kegembiraan kami atas karunia Tuhan

yang telah menjadikan sawah-sawah kami bertambah subur serta

tanaman-tanaman kami selamat dari gangguan hama.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 94

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum. “Baiklah,” jawab

mereka hampir bersamaan.

Kemudian setelah itu, mumpung masih pagi, segera berangkat

ke bukit kecil yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis.

Ketika matahari telah sampai di atas kepala mereka, sampailah

mereka di atas bukit kecil itu. Perjalanan mereka di atas punggung

kuda seakan-akan merupakan tamasya yang menyenangkan.

Kedatangan mereka disambut dengan meriah oleh penghuni

bukit kecil itu. Para cantrik dan endang. Lebih-lebih lagi, betapa

gembira hati Endang Widuri yang telah beberapa lama ditinggalkan

oleh ayahnya. Untunglah bahwa saat itu ia sudah mempunyai

kawan bermain yang dapat melayaninya, yaitu Rara Wilis. Arya

Salaka pun menjadi sangat gembira. Sebab hanya dialah yang

mengetahui, walaupun hanya sedikit, bahwa apa yang dilakukan

oleh gurunya beserta Kebo Kanigara adalah tugas yang berbahaya.

Ketika mereka sudah beristirahat beberapa lama, bertanyalah

Kebo Kanigara kepada anaknya, “Widuri, apakah Panembahan

dalam keadaan sehat…?”

Dengan manjanya Widuri menjawab, “Yang aku ketahui,

sepeninggal ayah, Panembahan mengurung dirinya di dalam

sanggar sampai berhari-hari. Tak seorang pun yang diperkenankan

ikut serta. Bahkan makanan pun telah dibawanya sendiri sejak

Panembahan mulai dengan samadinya.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi

tahulah ia, dan juga Mahesa Jenar tahu, bahwa sebenarnya

Panembahan Ismaya pada saat itu sedang pergi meninggalkan

padepokan untuk menyusulnya ke Pudak Pungkuran, dimana ia

bersama-sama dengan Mahesa Jenar sedang menemui Radite dan

Anggara.

“Apakah beliau sekarang masih berada di dalam sanggar?”

tanya Kanigara kemudian.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 94

Widuri menggeleng. Jawabnya, “Sudah hampir seminggu

Panembahan wudhar dari samadinya.”

Sambil memandang kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara

berkata, “Kalau demikian, baiklah kita menghadap.”

Mahesa Jenar menyetujuinya pula. Dan ketika mereka sudah

melangkah sampai luar pintu pondok, menyusullah Arya Salaka

sambil berbisik, “Paman, Panembahan agak menyesal ketika aku

katakan tentang kepergian Paman berdua.”

Kanigara dan Mahesa Jenar terhenti. Tetapi kemudian mereka

berdua tersenyum. Jawab Kanigara, “Kami akan mencoba

menjelaskan kepada Panembahan.”

“Mudah-mudahan Panembahan dapat mengerti,” sahut Arya

Salaka.

“Aku kira demikian,” sahut Mahesa Jenar. “Nanti sesudah kami

menghadap, aku beritahukan kepadamu.”

Arya Salaka mengangguk, tetapi hatinya masih juga gelisah.

Jangan-jangan Panembahan masih tetap kecewa terhadap

gurunya serta Kebo Kanigara.tetapi ia sudah tidak berani bertanya

lagi.

Ketika Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sampai di rumah

kediaman Panembahan Ismaya, Panembahan tua itu ternyata

sedang duduk dihadap beberapa orang cantrik tertua. Agaknya ada

sesuatu yang sedang mereka perbincangkan. Ketika dilihatnya

kedatangan Kabo Kanigara dan Mahesa Jenar, maka dengan

perasaan gembira mereka berdua disambutnya serta segera

dipersilakan masuk.

“Marilah Angger berdua… beberapa hari aku menjadi gelisah

atas kepergianmu berdua. Syukurlah kalau kau berdua tidak

menemui halangan sesuatu.”

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 94

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengangguk hormat,

sebagai pernyataan bakti mereka kepada Panembahan tua itu.

“Agaknya kalian berdua menjadi gembira karena perjalanan

itu…? Ternyata wajah kalian bertambah segar,” sambung

Panembahan Ismaya.

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tidak menjawab. Mereka

hanya menundukkan muka mereka. Sebab tak ada yang akan

mereka katakan, karena Panembahan Ismaya telah mengetahui

seluruhnya.

Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik,

“Cantrik-cantrik sekalian… aku perkenankan kalian meninggalkan

ruangan ini. Sediakanlah makan siangku. Aku ingin setelah ini

makan bersama-sama dengan Kanigara dan Mahesa Jenar.”

Maka mundurlah para cantrik dari ruangan itu, untuk

mempersiapkan makan siang Panembahan Ismaya.

Sepeninggal para cantrik, barulah Panembahan bertanya

segala sesuatu mengenai perjalanan kembali Mahesa Jenar dan

Kebo Kanigara. Dan kepada Panembahan itu diceritakan pula

bagaimana keadaan Banyubiru sekarang. Kemunduran dalam

segala bidang, terutama kemunduran akhlak.

“Panembahan….” kata Mahesa Jenar kemudian, “Menurut

pertimbanganku, segala sesuatu yang terjadi di Banyubiru itu

harus segera dihentikan, dengan mengembalikan Arya Salaka ke

sana. Atau lebih-lebih kalau mungkin Kakang Gajah Sora.”

Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia

merasa ditagih janji, sebab merasa berkesanggupan untuk

membebaskan Gajah Sora. Tetapi untuk melaksanakan

kesanggupan itu agaknya tidak terlalu mudah. Karena itu ia

menjawab, “Kau benar Mahesa Jenar. Bawalah Arya Salaka lebih

dahulu. Aku masih belum dapat membebaskan ayahnya. Aku

harap hal itu segera terjadi. Dan bukankah akan sangat

menggembirakan kalau Gajah Sora nanti dapat kembali ke

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 94

Banyubiru setelah Banyubiru dapat dipulihkan…? Dan apa yang

terjadi sebelum itu, seolah-olah hanya suatu peristiwa dalam

mimpi, meskipun mimpi yang menyedihkan.”

Mahesa Jenar masih merenungkan masalah-masalah yang

akan dihadapinya. Kalau saja tidak ada persoalan yang lebih besar,

yang akan langsung mempengaruhi pemerintahan Demak, maka

cara yang semudah-mudahnya untuk membebaskan Ki Ageng

Gajah Sora adalah menyerahkan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai

Sabuk Inten. Tetapi ternyata cara itu tidak dapat ditempuhnya.

Sebab Banyubiru bagi Demak hanyalah merupakan sebagian saja

dari seluruh persoalan. Namun ia percaya kepada Panembahan

Ismaya. Panembahan itu pasti akan menemukan suatu cara untuk

membebaskan Gajah Sora. Dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan

Kyai Sabuk Inten.

Syukurlah kalau kalau nanti Gajah Sora dapat menjumpai

tanah perdikan sudah pulih kembali, meskipun belum seluruhnya.

Tetapi setidak-tidaknya Gajah Sora merasa bahwa ia kembali ke

tanahnya sendiri, seperti pada saat ditinggalkan.

Kemudian diceritakan pula oleh Mahesa Jenar pertemuannya

dengan Bantaran, salah seorang pemimpin laskar Banyubiru, serta

pasukannya di sekitar Candi Gedong Sanga.

Akhirnya Panembahan Ismaya menyetujui permintaan Mahesa

Jenar untuk mengajak Kanigara serta dalam usahanya

mengembalikan Banyubiru ke dalam tangan Arya Salaka. Sebab

tanpa orang-orang yang lebih tua itu, Arya Salaka tidak akan

mampu melakukan pekerjaan berat itu.

“Tetapi kau jangan terlalu tergesa-gesa, Mahesa Jenar….”

Panembahan Ismaya menasihati, “Sebab apa yang akan dilakukan

oleh Arya Salaka adalah pekerjaan yang sulit. Mula-mula kau harus

berusaha untuk menjelaskan masalahnya tanpa pertumpahan

darah. Kau dapat membawa laskar yang dipimpin Bantaran hanya

untuk membuat keadaan seimbang, supaya keseimbangan itu

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 94

diperhitungkan pula oleh Lembu Sora. Sebab apabila ia hanya

berhadapan dengan kalian berdua beserta Arya Salaka, maka

mereka pasti akan berkeras kepala. Selain daripada itu, kau harus

mempersiapkan Arya Salaka untuk menghadapi setiap

kemungkinan yang akan terjadi. Lahir dan batin. Supaya dalam

setiap keadaan hatinya tidak terguncang dan kehilangan

keseimbangan.”

Demikianlah Mahesa Jenar mendapat banyak sekali bekal yang

perlu baginya untuk memenuhi kesanggupannya kepada Ki Ageng

Gajah Sora, pada saat orang itu pergi meninggalkan Banyubiru,

dan menitipkan anaknya kepadanya.

Setelah makan siang bersama-sama dengan Panembahan

Ismaya dan Kebo Kanigara, maka segera Mahesa Jenar minta diri

untuk beristirahat. Namun demikian ia tidak dapat melepaskan diri

dari persoalan-persoalan yang selalu membelit hatinya, persoalan

Banyubiru.

Agaknya Arya Salaka pun hampir tidak sabar menanti Mahesa

Jenar. Ketika ia melihat gurunya itu datang, segera ia bertanya,

apakah Panembahan Ismaya marah kepadanya.

Dengan tersenyum Mahesa Jenar menjawab, “Panembahan

bukanlah orang yang dapat marah. Apakah kau pernah melihat

Panembahan marah?”

Arya menggeleng, tetapi ia menjawab, “Aku selalu cemas

bahwa Panembahan akan marah untuk pertama kalinya kepada

Paman dan Paman Kanigara.”

Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian sahutnya, “Tidak.

Panembahan tidak marah. Ia hanya memberi aku dan Kakang

Kanigara nasihat. Dan nasihat-nasihat itu akan sangat berguna

bagiku dan Kakang Kanigara.”

Sejak saat itu Mahesa Jenar mencoba untuk memberi

penjelasan kepada Arya Salaka untuk melengkapi pengetahuannya

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 94

tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di Banyubiru. Karena

Arya Salaka sekarang menurut anggapan Mahesa Jenar telah

cukup siap untuk mengetahui segala-galanya, maka Mahesa Jenar

kini tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Juga dijelaskan apa yang

sekarang terjadi kalau keadaan yang demikian dibiarkan berlarut-

larut.

Arya Salaka mendengarkan semua penjelasan itu dengan

menekan dada. Ia telah dapat merasakan betapa jeleknya keadaan

Banyubiru sepeninggal ayahnya.

Hampir setiap malam ia duduk bercakap-cakap dengan Mahesa

Jenar, yang kadang-kadang ditemani Kebo Kanigara, Rara Wilis

dan Endang Widuri. Apa yang mereka percakapkan selalu berkisar

pada masalah Banyubiru. Apalagi kalau Wanamerta

berkesempatan untuk ikut serta berbicara. Banyak sekali cerita

yang dapat membakar dada Arya Salaka. Sebagai orang tertua,

yang pada saat Gajah Sora meninggalkan Banyubiru menerima

tanda pemerintahan Pusaka Kyai Bancak, dan yang selajutnya

kehadirannya di Banyubiru oleh Ki Ageng Lembu Sora samasekali

tidak diperhitungkan, bahkan disingkirkan dengan satu cara yang

keji, ia benar-benar sakit hati.

Disamping semua penjelasan, untuk mempersiapkan Arya

Salaka menghadapi keadaan-keadaan di Tanah Perdikan yang

sudah kira-kira lima tahun ditinggalkan, ia selalu menerima pula

tuntunan-tuntunan lahiriah. Setiap hari ia masih harus berlatih

sekeras-kerasnya. Menambah pengetahuan tata pertempuran dan

olah senjata. Dalam keadaan yang demikian, terasalah betapa

perkembangan jasmaniah Arya Salaka menjadi bertambah cepat

setelah orang aneh yang mengenakan jubah memijiti hampir

seluruh tubuhnya pada suatu malam, setelah ia bertempur

melawan Sawung Sariti. Untunglah bahwa di bukit kecil itu ia

mempunyai banyak kawan berlatih. Endang Widuri yang memiliki

cabang keturunan ilmu yang sama dengan ilmunya. Rara Wilis dari

Perguruan Pandan Alas. Serta Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Meskipun sebenarnya Arya Salaka kadang-kadang bertanya di

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 94

dalam hati tentang persamaan yang sedemikian dekatnya antara

Kebo Kanigara dengan gurunya, Mahesa Jenar, namun pertanyaan

itu tetap disimpannya. Sejalan dengan itu, kadang-kadang ia

menjadi heran pula, bahwa ilmu gurunya sendiri agaknya menjadi

jauh berkembang, seolah-olah berkembang dengan sendirinya.

tetapi juga keheranan ini disimpannya di dalam hati.

Sudah tentu bahwa dalam keadaan demikian tidak saja Arya

Salaka sendiri yang berhasil memperkuat dirinya lahir-batin, tetapi

juga kawan-kawannya berlatih. Mereka ternyata saling menerima

dan memberi. Ilmu pedang yang luar biasa lincahnya, dari

perguruan Pandan Alas, dalam keserasiannya dengan ilmunya.

Sebaliknya, keteguhan serta gerak-geraknya yang kuat dapat

mempengaruhi keterampilan Rara Wilis. Sedangkan kenakalan

Endang Widuri pun kadang-kadang dapat memberi banyak ilham

kepada Arya, sehingga dalam ilmunya kadang-kadang sifat itu

terungkap dalam gerak-gerak yang tampaknya tidak masuk akal

dan kurang berhati-hati, namun sebenarnya mempunyai segi-segi

yang mengelabuhi lawan.

Maka, ketika segala sesuatunya telah dirasa cukup, sampailah

Mahesa Jenar pada taraf terakhir dari pekerjaannya menjelang

keberangkatan mereka ke Banyubiru, yaitu mematangkan jiwa

Arya Salaka menghadapi segala macam kemungkinan.

Kemungkinan yang paling menyenangkan sampai kemungkinan

terakhir yang dapat saja terjadi. Yaitu gugur dalam menunaikan

kewajiban sucinya.

Tetapi jiwa Arya memang sudah mendapat tempaan yang luar

biasa sejak bertahun-tahun terakhir. Kesulitan hidup yang hampir

setiap hari dijalani, sulit lahir-batin, adalah bekal yang baik dalam

pekerjaannya itu.

Disamping itu, Mahesa Jenar tidak pula lupa menunjukkan,

bahwa apa yang akan dilakukan itu adalah suatu usaha. Usaha

yang wajib diperjuangkan oleh manusia untuk mencapai cita-

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 94

citanya, namun segala keputusan terakhir dari semua masalah,

terletak ditangan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar menyampaikan segala

macam persiapan dan anggapannya, bahwa segala sesuatunya

sudah cukup, kepada Panembahan Ismaya. Bersamaan dengan

itu, ia mohon diri bersama muridnya untuk menunaikan

kewajibannya, serta sekali lagi ia mohon kepada Panembahan

untuk mengizinkan Kebo Kanigara pergi bersamanya.

Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar dengan

hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling rumit,

yang selalu tumbuh hampir setiap saat. Alangkah menyedihkan,

bahwa seseorang melakukan persiapan sampai seteliti-telitinya

untuk melakukan tindakan kekerasan. Padahal, seharusnya setiap

bentuk kekerasan pasti harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat

menyembunyikan kenyataan, bahwa diantara anak manusia di

dunia ini masih saja ada yang samasekali tidak menghiraukan

kemanusiaannya, yang dengan segala macam cara, menindas

manusia-manusia yang lain. Dan terhadap manusia-manusia yang

demikian itu, wajarlah bahwa ada usaha-usaha untuk

mencegahnya. Usaha terakhir pencegahan itu adalah dengan cara

yang samasekali menyimpang dari tuntutan cinta kasih manusia.

Sebab kadang-kadang yang harus dilakukan adalah nampaknya

berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu sendiri. Yaitu

kekerasan, perkelahian dan bahkan kadang-kadang persoalan

hidup dan mati.

Karena persoalan-persoalan yang sedemikian itulah, maka

selalu timbul pertentangan di dalam diri. Pertentangan antara

hakekat dari pengabdian diri terhadap manusia sebagai tempat

untuk meletakkan pengabdian yang tertinggi dengan penuh cinta

kasih sebagaimana Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada

manusia, serta kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah

menodainya. Di sinilah kadang-kadang dijumpainya persimpangan

jalan antara tujuan dengan cara pengabdian. Namun demikian

bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk mencapai tujuan.

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 94

Sebab dalam hal yang demikian kaburlah batas antara tujuan yang

hendak dicapai dengan mengorbankan tujuan itu sendiri, sebagai

puncak pengabdian. Dalam hal yang demikian itu, apabila segala

macam cara dapat dibenarkan, maka akan timbullah fitnah,

kebiadaban, kekejaman dan kesewenang-wenangan, yang justru

menghilangkan nilai tertinggi dan tujuannya, yaitu manusia.

Terhadap Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Panembahan

Ismaya tidak tedheng aling-aling. Dan karena itulah maka

Panembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk

selama ini. Orang berjubah abu-abu yang sakti dan seorang

Panembahan yang menjauhkan diri dari daerah keduniawian.

Mendengar uraian itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar hanya

dapat menundukkan wajah mereka dengan takzimnya. Namun

didalam dada mereka bergolaklah pertanyaan-pertanyaan yang

tak terucapkan. Pertanyaan tentang diri mereka, tentang Arya

Salaka yang terusir dari Banyubiru, dan tentang hak yang sudah

terampas dari tangannya.

Namun meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, agaknya

Panembahan Ismaya dapat mengertinya. Karena itu katanya,

“Karena itu Mahesa Jenar, kau harus dapat mencari keserasian dari

cara dan tujuan pengabdian. Dan dari sinilah nanti akan tampak,

bahwa seseorang memiliki ketinggian budi yang tidak sama. Ada

orang yang berbudi luhur dan berjiwa besar dan ada orang yang

berbudi rendah dan berjiwa kecil. Ada orang yang

mengumandangkan nilai-nilai kemanusiaan, namun akan seribu

satu macam semboyan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu

tercermin dalam tindak tanduknya sehari-hari. Seorang yang

menganggap dirinya pendukung nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ia

mengorbankan manusia untuk mempertahankan kepentingan diri

sendiri yang dipancangkannya di atas tumpukan bangkai-bangkai.

Namun sebaliknya ada orang yang dengan berdiam diri

membangun nilai-nilai itu dalam lingkungan yang jauh dari pamrih

untuk mencemerlangkan diri.