29 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja

115
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 115

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

165 views

Category:

Art & Photos


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 115

Page 2: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 115

I

erita tentang hilangnya Endang Widuri telah benar-benar

menggoncangkan perasaan Mahesa Jenar. Bagaimana ia akan

dapat menikmati hari-hari seterusnya, apabila disadarinya

betapa pedih hati Arya Salaka dan orang-orang lain di Banyubiru.

Orang-orang yang selama ini berada di dalam suatu lingkungan

yang seakan-akan mengalami semua nasib, suka dan duka, manis

pahit bersama-sama. Apakah kini ia mampu menutup

perasaannya, dan beristirahat dengan tenang sambil menunggu

hari-hari yang berbahagia itu? Sedangkan Kebo Kanigara, Arya

Salaka, Gajah Sora dan orang-orang lain di Banyubiru sedang

berprihatin.

Timbullah kemudian persoalan tersendiri di dalam hati Mahesa

Jenar. Persoalan yang amat rumit. Kedatangannya di Gunungkidul

merupakan permulaan dan hari-hari yang cerah bagi Rara Wilis

sebagai seorang gadis yang merindukan hidup tentram dan wajar.

Tiba-tiba kini mereka dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak

pernah mereka sangka-sangka akan terjadi.

Tiba-tiba Mahesa Jenar itu pun bertanya kepada Bantaran,

“Bantaran, apakah setiap orang di Banyubiru yakin bahwa Widuri

benar-benar hilang?”

“Ya. Semua orang menganggap demikian,” sahut Bantaran.

“Apakah Widuri tidak sedang merajuk, karena ia tidak

diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?” bertanya Mahesa Jenar lagi.

“Ada juga dugaan demikian,” jawab Bantaran. “Tetapi ternyata

tidak. Seorang gadis melihat Widuri berkelahi, dan seorang laki-

laki yang tak dikenal telah menculiknya di belumbang selagi Widuri

sedang hendak mencuci pakaiannya.”

“Bukan main,” desis Mahesa Jenar. “Widuri adalah seorang

gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil menculiknya, maka

orang itu pun pasti orang yang lebih kuat pula.”

B

Page 3: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 115

Bantaran mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat

dengan kata-kata Mahesa Jenar itu, kata-kata serupa pernah juga

didengarnya di Banyubiru.

Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi. Masing-masing

hanyut dalam arus perasaan sendiri. Mahesa Jenar menjadi gelisah

karenanya. Sekilas ditatapnya wajah Rara Wilis. Dan terasa dada

Mahesa Jenar berdesir. Dilihatnya gadis itu menundukkan

wajahnya yang muram. Mahesa Jenar tidak dapat meraba, apakah

sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Rara Wilis. Apakah ia

sedang berpikir dan berduka karena hilangnya Widuri ataukah ia

sedang mencemaskan dirinya, bahwa kebahagiaan yang ditunggu-

tunggunya itu akan mengalami gangguan pula.

Tetapi sudah pasti bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat

berdiam diri mendengar hal itu. Meskipun Bantaran kemudian

menjelaskan, bahwa kedatangannya hanyalah sekadar

memberitahukan, namun pemberitahuan atas permintaan Arya

Salaka itu sudah pasti mempunyai nilai tersendiri di dalam hatinya.

Arya Salaka adalah muridnya. Pada saat nyawa anak itu terancam

oleh bahaya maut dari setiap penjuru. Pada saat anak itu

ditinggalkan oleh ayahnya yang dikasihinya.

Lima enam tahun ia mengolah anak itu supaya ia dapat

memenuhi permintaan ayahnya menjadikan anak itu anak yang

kuat lahir dan batinnya, mempersiapkan anak itu untuk

kedudukannya yang akan datang. Bukan, bukan itu saja yang

mendorongnya menempa Arya Salaka, tetapi rasa keadilannya

memang menuntut demikian. Kini, setelah pekerjaan itu selesai,

apakah ia tega melihat anak itu berduka karena sebuah persoalan

yang sangat pokok baginya. Persoalan kegairahan hidup di masa

depan.

Mahesa Jenar tahu benar perasaan yang bergolak di dalam hati

muridnya itu. Apabila Endang Widuri tidak dapat diketemukan,

maka Arya Salaka akan kehilangan sebagian dari masa depannya

pula.

Page 4: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 115

Demikianlah, ketika kemudian Bantaran itu beristirahat

bersama-sama kawan-kawannya, maka di gandok kulon, Mahesa

Jenar memerlukan duduk bersama dengan Rara Wilis. Mahesa

Jenar ingin mencoba menyatakan perasaannya kepada gadis itu,

dan ia mengharap mudah-mudahan Rara Wilis akan mengetahui

dan mengertinya pula.

Namun karena itulah maka ia menjadi gelisah. Apalagi ketika

dilihatnya Rara Wilis selalu menundukkan wajahnya yang suram.

Maka kebimbangan yang tajam telah melanda dada Mahesa Jenar.

Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebaiknya

dilakukan? Apakah ia akan membiarkan Widuri hilang dan Arya

Salaka menyesali peristiwa itu sepanjang hidupnya?

Betapa pun sulitnya, namun kemudian Mahesa Jenar itu pun

berkata pula, “Wilis, bagaimanakah tanggapanmu atas berita yang

dibawa oleh Bantaran?”

Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar ketika Rara

Wilis samasekali tidak mengangkat wajahnya. Namun meskipun

demikian gadis itu menjawab, “Kasihan anak itu.”

“Ya. Kasihan Widuri, dan kasihan pula Arya Salaka,” sahut

Mahesa Jenar. Rara Wilis hanya menganggukkan kepalanya. Dan

ia tidak lagi berkata apa-apa.

Mahesa Jenar menjadi semakin bimbang. Dengan hati-hati

dicobanya untuk menuntun pembicaraan ke arah yang

dikehendaki, katanya, “Tetapi bagaimana pun juga anak itu harus

diketemukan.”

“Ya,” sahut Rara Wilis.

Sebenarnya hati Rara Wilis pun terganggu pula oleh peristiwa

itu. Endang Widuri yang nakal itu tak pernah dapat dilupakan.

Setiap kali wajah anak itu terbayang di dalam rongga matanya.

Kenakalan dan kelincahan serta sifat kanak-kanakannya yang jujur

kadang-kadang menimbulkan rasa rindunya untuk segera bertemu

Page 5: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 115

dengan anak itu. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Karena itulah

maka mau tidak mau terbersit pula suatu perasaan yang dalam di

dalam hatinya.

Tetapi ia sendiri sedang menghadapi persoalan yang sangat

penting dari segenap umurnya. Hari-hari yang diharapkannya akan

segera datang. Ia mengharap kedatangan beberapa tamu,

terutama dari Karang Tumaritis. Namun tamu itu pasti tidak akan

segera datang.

Rara Wilis itu pun menarik nafas dalam-dalam.

Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada

mengatakan maksudnya. Maksud itu memang harus dikatakannya.

Nanti atau sekarang. Sebab ia tidak dapat menghindari kejaran

perasaan tentang hilangnya Endang Widuri.

Karena itu, maka dengan susah payah ia pun berkata, “Wilis,

apakah kau akan sependapat seandainya aku pergi ke Banyubiru

untuk membantu mencari anak yang hilang itu?”

Rara Wilis sudah tahu sebelumnya bahwa Mahesa Jenar akan

berkata demikian. Bahwa Mahesa Jenar akan meninggalkan lagi

untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Rara Wilis tidak segera

dapat menjawab. Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya,

namun hatinya berdesir juga mendengar pertanyaan itu

diucapkan. Dan sebenarnyalah ia menjadi bersedih. Hari-hari yang

dinantikannya itu seakan-akan menjadi semakin jauh daripadanya.

Kalau mula-mula ia merasa bahwa hari-hari yang dinantikan itu

telah berada di ambang pintu, maka kini pintu itu tiba-tiba tertutup

kembali.

Tetapi Rara Wilis tidak akan dapat menyalahkan siapa-siapa.

Mahesa Jenar tidak bersalah. Sejak semula ia mengenal laki-laki

itu sebagai seorang yang lebih pasrah pada tanggungjawab atas

kewajibannya, serta pengabdian terhadap kemanusiaan daripada

keperluan-keperluan dirinya sendiri, maka seharusnya ia dapat

mengertinya. Arya Salaka juga tidak dapat dipersalahkannya. Ia

Page 6: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 115

telah menderita pula karena hilangnya gadis itu. Dan samasekali

bukanlah kehendaknya, bahwa Widuri harus hilang supaya Mahesa

Jenar datang kembali ke Banyubiru. Gajah Sora, Lembu Sora, dan

Sora Dipayana juga tidak. Widuri pun tidak. Ia akan mengalami

ketakutan dan kecemasan selama ia berada di tangan orang yang

tidak dikenal itu. Lalu siapa? Orang yang menculiknya itu? Orang

itu samasekali tidak bersangkut paut dengan Mahesa Jenar. Tetapi

itulah penyebab dari kedukaannya kali ini. Lalu bagaimanakah

dengan Kebo Kanigara? Kebo Kanigara adalah seorang yang sakti.

Bahkan lebih matang dari Mahesa Jenar sendiri. Tetapi kenapa ia

tidak mampu menemukannya? Apalagi Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar melihat pergolakan di dasar hati Rara Wilis itu.

Meskipun di usahakannya untuk membayangkan pergolakan itu,

namun wajahnya yang mendung adalah pernyataan yang tidak

dapat disembunyikan.

“Rara Wilis,” desis Mahesa Jenar kemudian, “Aku harap kau

dapat mengerti.”

Rara Wilis terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga dengan

demikian ia mengangkat wajahnya. Dengan tajamnya

dipandangnya wajah Mahesa Jenar. Katanya, “Apakah aku tidak

dapat mengerti persoalan yang sedang kau hadapi Kakang?”

Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata dirinya sendirilah

yang tidak dapat mengerti perasaan Rara Wilis itu. Karena itu

maka segera ia berkata, “Maaf Wilis. Maksudku, apakah kau

menyetujuinya?”

Kembali Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Hilangnya

Widuri benar-benar telah menggoncangkan ketentramannya.

Sesaat kemudian maka Rara Wilis itu pun menjawab. “Kakang,

aku samasekali tidak akan bermaksud menghalangi pekerjaan

kakang. Tetapi aku berkata demikian kakang, bukan perasaanku.

Kalau aku berkata demikian kakang, bukan berarti aku tidak

menyetujui kakang untuk pergi ke Banyubiru. Pergilah kakang.

Page 7: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 115

Aku pun merasa kehilangan pula. Tetapi jangan menganggap

kepedihan ini karena aku terlalu mementingkan diriku sendiri.”

Mahesa Jenar memalingkan wajahnya. Ia tidak mau menatap

wajah Rara Wilis terlalu lama. Ia melihat air di dalam mata yang

buram. Dan ia tidak tahan melihatnya. Dilemparkannya pandangan

matanya jauh-jauh ke luar, menorobos sela-sela pintu yang tidak

terkatup rapat. Dilihatnya daun-daun di halaman berguncang

disentuh angin yang bertiup dari lautan. Suaranya semiut seperti

sebuah lagu yang rawan.

Sesaat mereka berdiam diri dalam keheningan. Tetapi Mahesa

Jenar tidak mendengar Rara Wilis terisak-isak. Perlahan-lahan ia

berpaling, dan dilihatnya Wilis masih duduk dalam sikapnya. Tetapi

ia tidak menangis.

Mahesa Jenar itu pun kemudian berkata, “Wilis. Aku dapat

mengerti pula perasaanmu seperti kau dapat mengerti

perasaanku. Kini kau sedang mulai menghayati ketentraman hidup

dalam keluarga yang wajar. Tetapi baru saja kau menikmati

ketenangan ini setelah bertahan-tahun lamanya kau terguncang-

guncang oleh arus yang tak kau ketahui ujung pangkalnya, maka

kembali kau diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang samasekali

tidak bersangkut-paut dengan masa depan sendiri. Tetapi aku

berjanji Wilis, bahwa kali ini adalah kali terakhir.”

“Jangan berjanji kakang,” potong Rara Wilis. “Aku tidak ingin

mendengar janji apa pun darimu. Marilah kita jalani jalan kita

dengan janji di dalam hati. Sebab bagiku, janji bukanlah satu-

satunya tempat untuk menyangkutkan harapan. Tetapi apa yang

akan kita lakukan akan mengatakan kepada kita masing-masing,

janji yang tersimpan di dalam hati itu.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat

mengerti kata-kata Rara Wilis itu. Dan ia adalah orang yang

mantap pada janjinya. Janji yang terpateri di dalam hati. Ia tidak

pernah berjanji kepada Baginda Sultan Trenggana untuk

Page 8: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 115

menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi janji itu

dipenuhinya. Janji yang disimpannya di dalam dadanya. Dan kini

ia telah mengucapkan janji itu pula di dalam hatinya itu. Janji

pribadi.

Akhirnya Mahesa Jenar telah mengambil keputusan untuk

pergi ke Banyubiru besok bersama Bantaran. Keputusan yang

sangat berat, namun harus dilakukan menurut panggilan hatinya.

Sekali lagi ia terpaksa mengorbankan kepentingannya sendiri.

Kepentingan yang sangat berharga bagi hidupnya. Dan sekali lagi

ia mengorbankan perasaan seorang gadis yang dicintainya.

Meskipun Rara Wilis itu dapat mengerti sepenuhnya. Tetapi ia

kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Keadaan yang belum

memungkinkan menikmati ketentraman dan ketenangan hidup.

Lebih-lebih lagi hidup dalam lingkungan keluarga yang diimpikan.

Ki Ageng Pandan Alas melihat pula kerisauan di dalam hati

cucunya. Ia pun menjadi kecewa seperti kekecewaan Rara Wilis

sendiri. Orang tua itu benar-benar ingin melihat keturunannya

tidak lenyap sama sekali. Karena itu, alangkah rindunya ia akan

keluarga cucunya itu. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menentang

keadaan yang tiba-tiba saja dihadapkannya kepadanya, kepada

cucunya dan kepada cita-citanya. Karena itu maka ketika Mahesa

Jenar bermohon diri kepadanya, maka katanya serta merta, “Aku

turut dengan angger ke Banyubiru.”

Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Juga Rara Wilis

terkejut. Namun orang tua itu kemudian berkata pula dengan

wajah yang suram. “Wilis, aku akan berbuat untukmu. Aku tidak

tahu, apakah tenagaku yang tua ini akan berguna, namun aku

ingin membantu mencari yang hilang itu. Betapa kecil arti

usahaku, tetapi aku percaya semakin banyak orang yang berusaha

mencari, maka semakin cepatlah cucu Widuri itu akan

diketemukan. Dengan demikian, maka angger Mahesa Jenar pun

akan semakin cepat selesai pula dengan pekerjaannya.”

Page 9: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 115

Kata-kata itu berdenyut di dalam dada Rara Wilis dan Mahesa

Jenar. Terasa betapa orang tua itu menjadi sedih karena keadaan.

Tetapi orang tua yang penuh dengan pengertian itu, tidak saja

hanya meratap, namun ia berbuat sesuatu untuk mempercepat

penyelesaian.

Karena itu, maka tiba-tiba Rara Wilis pun berkata. “Aku juga

ikut kakang.”

Mahesa Jenar terkejut mendengar permintaan itu. Karena itu

maka dengan serta merta ia berkata, “Jangan. Jangan Wilis.”

“Aku tidak akan dapat menunggu dalam kesepian di

Gunungkidul ini.”

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki

Ageng Pandan Alas, seakan-akan ia menyerahkan setiap persoalan

kepadanya. Namun Ki Ageng Pandan Alas pun menundukkan

wajahnya.

Ketika kemudian mereka berdiam diri, maka ruangan itu pun

menjadi sunyi. Mereka mengangkat wajah-wajah mereka ketika

terdengar suara di belakang, “Kakang Demang, kuda Kakang telah

disiapkan.”

“Baik,” sahut suara yang lain, suara Demang Sarayuda. “Aku

akan pergi ke banjar sebentar.”

Kemudian terdengarlah langkah keduanya lewat disebelah

dinding dan hilang ke pendapa.

Dada Rara Wilis berdentang mendengar langkah itu,

mendengar suara Rati dan mendengar suara Sarayuda. Mereka

telah berhasil membangun suatu ikatan keluarga yang bahagia.

Kalau ia tinggal sendiri di kademangan itu, maka setiap kali ia

melihat kebahagiaan itu, maka hatinya akan menjadi semakin

kesepian. “Apakah aku menjadi cemburu.” katanya di dalam hati.

“atau iri hati?”

Page 10: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 115

Rara Wilis itu pun kemudian mendesak pula. “Kakang, aku

akan ikut ke Banyubiru.”

Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang telah banyak

mengenyam pahit manisnya kehidupan. Tidak saja sebagai

seorang pengembara yang harus bertempur dengan lawan-

lawannya, dengan penjahat-penjahat dan dengan penyamun-

penyamun, namun ia pernah juga merasakan duka derita hidup

kekeluargaan. Orang tua itu pernah melihat anaknya menjadi

korban yang menyedihkan. Ia melihat betapa seorang perempuan

yang hidupnya penuh kepahitan apabila ia ditinggalkan oleh

suaminya yang dicintainya, tetapi ia pernah juga mendengar,

seorang laki-laki yang jalan hidupnya dihancurkannya sendiri,

karena ia merasa kehilangan isterinya. Meskipun kemudian

ternyata bahwa ia hanya berprasangka, seperti Lawa Ijo.

Karena itu, orang tua itu mengerti perasaan yang tersimpan di

dalam hati Rara Wilis. Sehingga kemudian ia menjawab, “Angger

Mahesa Jenar. Bila berkenan di hati angger, biarlah Wilis ikut serta

ke Banyubiru.”

“Hem,” desah Mahesa Jenar di dalam hatinya. “Apakah arti

perjalanan ke Gunungkidul ini?”

Pertanyaan itu pun terdengar pula di dalam hati Rara Wilis dan

Ki Ageng Pandan Alas. Namun mereka mempunyai jawabannya.

“Ternyata Mahesa Jenar masih sanggup mengorbankan

kepentingan pribadinya untuk panggilan rasa keadilannya yang

tersentuh. Penculikan atas Endang Widuri adalah kejahatan. Dan

Mahesa Jenar ingin melenyapkan kejahatan. Meskipun dalam

batas-batas kemampuan yang ada padanya.”

Mahesa Jenar itu pun kemudian terpaksa menerima

permintaan Rara Wilis itu. Ia kemudian menganggap

kedatangannya ke Gunungkidul sebagai suatu kunjungan yang

menyenangkan untuk mempersiapkan masa-masa yang dinanti-

nantikannya bersama Rara Wilis.

Page 11: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 115

Demikianlah maka di suatu pagi yang cerah, bersiaplah sebuah

rombongan di halaman Kademangan Gunungkidul. Meskipun

Sarayuda dan beberapa orang tetua Kademangan itu menjadi

kecewa, namun mereka terpaksa melepaskan rombongan itu

pergi. Beberapa orang telah mendengar pula, apa yang terjadi di

Banyubiru. Bahkan Sarayuda menyesal pula, kenapa Widuri itu

dahulu tidak dibawanya sekali sehingga dengan demikian, maka

tidak ada kemungkinan untuk menculiknya. Tetapi beberapa orang

yang lain tidak mendengar berita tentang hilangnya seorang gadis

di Banyubiru, sehingga karena itu timbullah berbagai pertanyaan

di dalam hati mereka.

Beberapa orang tua-tua yang melihat Ki Ageng Pandan Alas

ikut juga dalam rombongan itu, dengan berkelakar berkata, “Ki

Sentanu, hati-hatilah. Jangan sampai terjadi bahwa kuda itu nanti

yang menaikimu.”

Ki Ageng Pandan Alas yang dikenal bernama Ki Sentanu itu

tertawa. “Mudah- mudahan,” jawabnya.

Pagi itu Mahesa Jenar beserta rombongan meninggalkan

Gunungkidul dengan hati yang bimbang. Kehadirannya di daerah

yang berbukit-bukit itu benar-benar seperti sebuah mimpi saja.

Namun mimpi yang menumbuhkan harapan di dalam hatinya.

Bahwa suatu ketika ia akan dapat mengulangi mimpi yang pasti

akan lebih indah lagi.

Ketika mereka sampai di alun-alun kecil di muka rumah

Kademangan itu maka sekali mereka berpaling, dada Mahesa Jenar

dan Rara Wilis berdesir karenanya. Mereka melihat Demang

Sarayuda dalam pakaian yang indah berdiri disamping Rati

isterinya. Mereka melambaikan tangan mereka sambil tersenyum.

Tetapi senyum itu seakan-akan samasekali tidak ditujukan kepada

mereka. Senyum itu adalah senyum kebahagiaan mereka sendiri.

Page 12: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 115

Rati yang berdiri disamping Sarayuda itu tampak kepucat-

pucatan. Ia tidak tahan berdiri terlalu lama, karena itu, maka

segera ia masuk kembali ke halaman.

Mahesa Jenar yang melihat Rati itu dengan tergesa-gesa,

masuk kembali berkata tanpa sesadarnya, “Apakah Nyai Demang

itu sakit?”

Rara Wilis menundukkan wajahnya sambil menggeleng.

“Ia tidak sakit,” jawabnya.

“Tetapi ia terlalu pucat dan hampir sehari-harian berada

dipembaringannya.”

“Anak itu sedang ngidam. Ia telah mengandung tiga bulan.”

“Oh,” Mahesa Jenar tidak bertanya lagi. Tanpa disengaja ia

telah menyentuh hati Rara Wilis pula. Karena itu sekali ia menarik

nafas dalam-dalam. Dan kemudian diangkatnya wajahnya,

memandang jalan-jalan di depannya. Jalan yang keras kemerah-

merahan karena tanah yang liat. Dikejauhan dilihatnya bukit-bukit

kapur yang kering. Namun di arah yang lain tampaklah sawah-

sawah yang menghijau segar. Gunungkidul adalah suatu daerah

yang bercampur baur.

Ketika kemudian mereka telah melintasi perbatasan induk

Kademangan, maka kuda- kuda itu mulai dipacu. Ki Sentanu kini

bukan lagi seorang tua yang ketakutan duduk di atas punggung

kuda, namun tiba-tiba wajah menjadi bersungguh-sungguh dan

katanya perlahan-lahan, “Marilah, mumpung masih pagi.”

Bantaran yang berkuda dipaling depan, mempercepat kudanya

pula. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak di atas tanah yang

kering. Debu yang putih mengepul tinggi di udara, menakbiri

daerah yang mereka tinggalkan. Daerah yang meskipun hanya

sekelumit, namun telah menyentuh hati Mahesa Jenar sedemikian

dalamnya.

Page 13: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 115

Kini mereka menghadapi jalan yang terbentang memanjang.

Seperti sebuah jalur- jalur yang tak terkira panjangnya, membelit

lereng-lereng bukit, menghujam lurah-lurah dan mendaki tebing.

Sekali-kali menghilang dibalik puntuk-puntuk yang menjorok

dihadapan mereka, untuk kemudian timbul kembali, seakan-akan

dari dalam tanah. Jalan-jalan itulah yang akan mereka lalui. Jalan-

jalan yang dilalui beberapa hari yang lampau dalam arah yang

berlawanan. Namun alangkah jauh bedanya perasaan mereka.

Pada saat mereka datang dan pada saat mereka meninggalkan

daerah yang baru sebentar saja disinggahi sepanjang hidupnya.

Betapa pun panjang jalan yang harus ditempuh itu, namun

setapak demi setapak dilampauinya pula. Seperti sebuah benang

yang digulung disebelah ujungnya, maka kuda-kuda itu akhirnya

akan sampai juga ke ujung yang lain, setelah dilampauinya jurang

dan ngarai, ditembusnya hutan-hutan yang lebat pepat, padang-

padang rumput dan dilampauinya jarak yang memisahkan

Gunungkidul dan Banyubiru. Dan jarak itu tidak terlalu pendek.

Setelah mereka menempuh jarak yang panjang itu, setelah

mereka melampaui jalan yang jauh, maka mereka kemudian

melihat, tanah perdikan Banyubiru yang seakan- akan terbentang

di lereng bukit Telamaya itu pun muncul di hadapan mereka.

Demikian Mahesa Jenar melihat daerah itu, maka hatinya

menjadi berdebar-debar. Daerah itu adalah daerah yang sudah

dikenalnya dengan baik. Tidak saja liku- liku jalan-jalan kota

Banyubiru, namun lekuk-liku sifat dan watak penduduknya.

Penduduk yang rajin bekerja tanpa banyak berteriak-teriak

tentang kemampuan diri sendiri. Namun dengan demikian, mereka

dapat menikmati hasil usaha mereka itu. Dan mereka akan dapat

mewariskan hasil jerih payahnya kepada anak cucu mereka.

Tapi kini tiba-tiba Banyubiru itu serasa asing baginya. Baru

beberapa hari ia berada di Gunungkidul, namun kedatangannya di

Banyubiru kali ini seolah-olah benar-benar seperti orang baru.

Terasa Banyubiru itu tidak seperti Banyubiru yang ditinggalkannya

Page 14: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 115

beberapa hari yang lampau. Sepi dan penuh rahasia. Banyubiru

bagi Mahesa Jenar, seperti menyimpan persoalan-persoalan yang

tidak wajar di dalamnya. Warna-warna hijau segar di lereng bukit,

tampaknya sebagai sebuah takbir yang membayangi daerah di

lereng bukit itu, sebagai sebuah tabir yang menyimpan berbagai

persoalan.

Ketika Mahesa Jenar melampaui daerah-daerah perbatasan

kota, dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga. Gardu-

gardu perondan kini telah dipenuhi lagi oleh orang-orang yang

sedang bertugas seperti dalam saat-saat Banyubiru sedang

berperang. Mereka mendapat tugas untuk mengawasi

kemungkinan orang yang menculik Widuri lolos dari Banyubiru

atau sengaja membawa Widuri keluar untuk disembunyikan.

Namun penjaga-penjaga itu seakan-akan samasekali tidak berarti.

Widuri masih belum diketemukan, seperti lenyap ditelan lereng-

lereng bukit.

Kepada para penjaga itu Bantaran bertanya, “Apakah kau

sudah mendengar kabar tentang hilangnya gadis itu?”

Penjaga Itu menggeleng. Jawabnya, “Belum. Masih belum ada

tanda-tanda apa pun tentang gadis itu.”

Bantaran tidak berkata lagi. Mereka berpacu semakin kencang,

seakan-akan takut terlambat. Namun dalam pada itu Mahesa Jenar

berkata kepada Bantaran. “Bagaimana?”

“Gelap,” sahut Bantaran.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia dapat

berbuat sesuatu yang dapat menyingkap takbir kegelapan itu,

sedang Kebo Kanigara sendiri tidak? Apakah yang dapat

dilakukannya, seorang diri atau berdua, dan bahkan bertiga

dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis di antara ratusan

orang Banyubiru sendiri, termasuk orang-orang seperti Ki Ageng

Gajah Sora, Lembu Sora, mungkin Ki Ageng Sora Dipayana pula,

Arya Salaka dan lain-lainnya. Mungkin mereka tidak dapat

Page 15: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 115

bertempur setangkas Kebo Kanigara, namun mereka akan lebih

mengenal daerah Banyubiru seperti mereka mengenal semua

ruang di dalam rumah mereka sendiri, seperti mereka mengenal

halaman mereka sendiri. Mereka mengenal setiap penduduk

Banyubiru seperti mereka mengenal istri dan anak-anak mereka

sendiri.

Dan ternyata mereka itu tidak berhasil menemukan Endang

Widuri. Lalu apakah kedatangannya akan berarti. Tetapi betapa ia

menjadi bimbang akan usahanya, namun ia tidak akan dapat

berdiam diri tanpa berbuat sesuatu. Ia harus berbuat, apakah

berhasil apakah tidak berhasil, adalah masalah yang tak dapat

dipecahkannya. Tetapi ia tidak boleh berputus asa, apalagi

sebelum ia berbuat sesuatu.

Namun Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan kesan yang

menggores dihatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah

terjadi. Sesuatu yang tidak dapat diperhitungkannya dan

dirabanya.

Rombongan itu pun meluncur di antara sawah-sawah dan

ladang di dataran yang terbentang di hadapan bukit Telamaya itu.

Namun terasa pula, seakan-akan batang- batang padi yang

tumbuh di sawah, serta palawija yang menghijau di ladang-ladang

memandangi rombongan itu dengan penuh prasangka. Seakan-

akan mereka samasekali membisu atas kedatangan itu. Bahkan

seakan-akan batang-batang padi dan palawija itu telah

menyembunyikan rahasia yang tak boleh diketahui oleh Mahesa

Jenar dan rombongannya. Bahwa seolah-olah Endang Widuri yang

hilang itu telah disembunyikan pula disana.

Tetapi rombongan itu berpacu terus. Beberapa orang petani

memandangi mereka dengan wajah yang kosong. Hanya satu-satu

di antara mereka berbisik. “Mahesa Jenar telah datang pula untuk

menemukan gadis yang hilang itu.” Tetapi kembali mulut-mulut

mereka terkatup rapat-rapat kala rombongan itu lewat dihadapan

mereka.

Page 16: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 115

Beberapa orang yang melihat rombongan itu merayapi tebing

bukit Telamaya segera menyampaikan kepada Ki Ageng Gajah

Sora. Arya yang mendengar pula laporan itu bertanya dengan

serta merta. “Bantaran telah kembali?”

“Ya,” jawab orang itu.

“Sendiri?”

“Tidak. Beberapa orang itu bersamanya.”

“Paman Mahesa Jenar” desis Arya Salaka. Karena itu segera ia

menyiapkan diri untuk menjemput gurunya itu. Tiba-tiba timbullah

kembali harapan di dalam dadanya. Harapan yang selama ini

hampir padam. Tetapi sebelum Arya Sempat meloncat ke

punggung kudanya, maka derap kuda rombongan yang datang itu

sudah sedemikian dekatnya, sehingga sesaat kemudian, mereka

melihat rombongan itu masuk ke halaman.

Ketika kuda-kuda itu berhenti, maka para penunggangnya

segera berloncatan turun. Arya Salaka yang melihat Mahesa Jenar,

tidak dapat menahan hatinya lagi. Segera ia berlari kepadanya dan

seperti seorang anak yang menyambut kedatangan ayahnya, Arya

itu pun segera menyambut tangan gurunya sambil berdesis.

“Selamat datang paman. Aku menjadi sangat gelisah, seandainya

paman tidak datang ke Banyubiru.”

Mahesa Jenar menepuk punggung Arya Salaka sambil berkata,

“Aku ikut prihatin Arya.”

“Terima kasih paman. Aku percaya bahwa paman pasti akan

datang.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya.

Rombongan itu pun kemudian berjalan ke pendapa disambut

langsung oleh Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora dan

bahkan Ki Ageng Soradipayana pun ada pula di pendapa itu. Di

antara mereka berdiri dengan pandangan yang kosong Kebo

Kanigara.

Page 17: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 115

Mereka menyambut kedatangan Mahesa Jenar dengan penuh

gairah. Seakan-akan mereka, orang-orang yang menentukan jalan

perputaran roda Banyubiru itu menggantungkan harapan mereka

kepada Mahesa Jenar. Wajah-wajah yang ramah dan penuh

harapan memenuhi pendapa itu. Ucapan selamat datang yang

tulus dan sapa atas keselamatannya dengan penuh kesungguhan,

seakan-akan mereka telah bertahun- tahun berpisah.

Dan sambutan itulah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin

merasa dirinya asing pada keadaan disekitarnya. Seakan-akan

Mahesa Jenar melihat suatu daerah yang ketakutan karena

berbagai ancaman. Ia merasa bahwa saat itu dirinya telah menjadi

pusat perhatian dan bahkan seakan-akan menjadi tempat untuk

mengadukan nasib mereka.

Tetapi dada Mahesa Jenar itu pun berdesir karenanya, ketika

ia melihat wajah Rara Wilis yang muram. Gadis itu menundukkan

wajahnya sembil bermain-main dengan ujung kainnya. Dalam

kegairahan orang-orang Banyubiru menyambut kedatangan

Mahesa Jenar itu terasa betapa kesepian telah melanda dada Rara

Wilis. Sebagai seorang gadis ia merasa, bahwa kali ini ia

samasekali tidak diperlukan.Seolah-olah tak seorang pun lagi yang

ingat bahwa ia hadir pula di pendapa itu selain beberapa sapa dan

subasita, mempersilahkannya duduk. Namun kemudian perhatian

mereka terampas oleh persoalan-persoalan yang telah

menggemparkan Banyubiru itu. Tak seorang pun lagi yang

menanyakan, apakah ia bergembira datang kembali ke Banyubiru.

Apakah ia telah merencanakan kapan hari yang ditunggu-tunggu

itu akan datang. Tidak. Tidak ada yang menanyakan itu

kepadanya. Mahesa Jenar pun tidak lagi ingat akan kehadirannya.

Tetapi gadis itu tiba-tiba menggeleng lemah. Dicobanya

mengatasi gelora di dalam hatinya itu. “Ach, aku terlalu

mementingkan diriku sendiri. Di sini, Banyubiru kini, sedang

dihadapkan pada suatu persoalan yang harus mendapat

pemecahan. Kenapa aku tidak sanggup untuk melupakan

Page 18: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 115

persoalanku sendiri seperti masa-masa yang telah lampau?

Kenapa kini aku terikat kepada kepentingan diri ini?”

Dengan susah payah akhirnya Rara Wilis berhasil mengatasi

kesepian itu. Namun terasa ia menjadi pening. Ia samasekali tidak

dapat turut bercakap-cakap dengan orang-orang lain seperti

masa-masa yang lampau. Bahkan dengan Mahesa Jenar pun

seakan-akan tak ada persoalan yang dapat dipecahkan meskipun

hanya untuk berpantas-pantas. Tetapi kini ia sudah tidak lagi

mengeluh, bahwa percakapan mereka hanya semata-mata

berkisar kepada persoalan Widuri yang hilang itu.

Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak dapat melupakan

kesan itu. Kesan kesepian yang memancar dari wajah Rara Wilis.

Sehingga kemudian terloncatlah pertanyaannya kepada Ki Ageng

Gajah Sora, “Ki Ageng, apakah Nyai ada di rumah.”

“Oh, ada. Ada,” sahut Gajah Sora terbata-bata. Ia tidak segera

mengerti maksud pertanyaan itu. Sehingga Mahesa Jenar itu pun

berkata kepada Rara Wilis. “Wilis, ternyata Nyai Ageng ada pula di

belakang. Barangkali kau akan dapat membantunya.”

“Oh. Tidak perlu. Tidak perlu adi. Biarlah adi Wilis duduk saja

di sini.”

Rara Wilis menarik nafas. Ia merasa bahwa ternyata Mahesa

Jenar masih juga mengingat dirinya.

Karena itu segera ia menyahut, “Baiklah kakang. Lebih baik

aku ke belakang.”

Rara Wilis tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia

bergeser, dan turun ke halaman, membebaskan dirinya dari

kesepian di dalam keriuhan persoalan hilangnya Widuri, meskipun

ternyata di sudut terpendam rasa rindunya terhadap gadis yang

nakal itu. “Gadis itu harus diketemukan,” desisnya seorang diri.

Page 19: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 115

II

Di hari pertama itu Mahesa Jenar mendapat banyak bahan

yang didengarnya mengenai hilangnya Widuri. Arya Salaka

berceritera tidak ada habisnya tentang soal itu. Di dengarnya pula

dari mulut gadis yang melihat hilangnya Widuri, bagaimana

seorang laki-laki telah mencukungnya menghilang ke dalam

semak-semak.

Persoalan itu menjadi semakin rumit di dalam hati Mahesa

Jenar. Arya Salaka ternyata lebih mencemaskan nasib Endang

Widuri dari yang lain-lain. Dan Mahesa Jenar pun dapat mengerti

pula, kenapa demikian. Tetapi yang mengherankan Mahesa Jenar,

Kebo Kanigara sendiri tampaknya tidak berusaha sungguh-

sungguh untuk mencari anaknya yang hilang itu. Sudah beberapa

hari Endang Widuri tidak dapat diketemukan, namun Kebo

Kanigara itu masih saja berada di rumah Ki Ageng Gajah Sora.

Hanya kadang-kadang ia pergi untuk mencoba mencari Widuri

namun sebenarnya kemudian ia telah kembali. Kadang-kadang

malam hari ia pergi, namun di pagi harinya Kebo Kanigara telah

berada di biliknya pula.

Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat menanyakannya langsung

kepada Kebo Kanigara. Meskipun kadang-kadang pertanyaan itu

sedemikian mengganggunya, namun ia selalu berusaha untuk

menekannya rapat-rapat di dalam lubuk hatinya.

Namun tiba-tiba kembali Banyubiru menjadi gempar.

Ketika hampir semua orang berputus asa, maka terjadilah

suatu peristiwa yang membakar kemarahan rakyat Banyubiru.

Ternyata hilangnya Widuri akan membawa akibat yang

berkepanjangan.

Dua hari setelah Mahesa Jenar berada di Banyubiru, maka tiba-

tiba salah sebuah gardu peronda pada malam hari melihat sesosok

tubuh yang menimbulkan kecurigaan mereka. Ketika orang itu

disapa oleh para peronda, maka tiba-tiba orang itu cepat-cepat

Page 20: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 115

berjalan menjauh. Sudah tentu, para peronda tidak akan

membiarkannya pergi, sebelum didapatnya penjelasan siapakah

orang itu dan apakah keperluannya. Namun orang itu benar-benar

tidak mau mendekat, bahkan ketika beberapa orang berusaha

mendekatinya, orang itu pun mencoba berlari.

Dengan sigapnya para peronda itu mengejarnya. Beberapa

orang mendahuluinya dan mencegahnya, sehingga orang yang

mencurigakan itu segera terkepung rapat-rapat.

“Siapakah kau?” desak penjaga itu.

Sesaat orang itu tidak menjawab. Dipandanginya orang-orang

yang berdiri mengelilinginya. Lima orang.

“Siapa?” desak penjaga itu.

Jawaban orang itu benar-benar mengejutkan. Katanya,

“Apakah kepentinganmu dengan namaku?”

Para penjaga itu benar-benar keheranan sehingga sesaat

mereka berdiam. Namun kemudian salah seorang diantaranya

bertanya pula. “Ki Sanak. Kami adalah para peronda dari

Banyubiru. Kami mempunyai wewenang untuk mengetahui, setiap

orang yang berada didalam wilayah perondaan kami. Karena itu,

maka katakanlah siapakah Ki Sanak dan apakah keperluan Ki

Sanak.”

Kembali para penjaga itu terkejut. Orang yang tak mereka

kenal itu tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, “Baiklah kalau kau

ingin mengenal namaku. Orang memanggil aku, Mas Karebet.”

Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Nama itu asing bagi

mereka. Karena itu maka salah seorang bertanya pula.

“Darimanakah asal Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak di

malam hari begini?”

“Tidak apa-apa,” jawab orang yang ternyata bernama Karebet

itu.

Page 21: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 115

“Aneh. Tetapi biarlah kau jawab, darimanakah asalmu?”

“Aku berasal dari jauh. Apa pedulimu?”

Para penjaga itu menjadi semakin curiga. Sehingga kemudian

salah seorang membentak, “Jangan mempersulit pekerjaan kami.

Katakanlah, apakah keperluanmu. Kalau kau berkunjung ke salah

seorang penduduk Banyubiru, siapakah yang telah kau kunjungi

itu.”

Karebet mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertolak

pinggang dan berkata lantang, “Jangan ganggu aku. Biarlah aku

berbuat sesuka hatiku.”

“Tidak mungkin Ki Sanak. Tidak mungkin seseorang akan

dapat berbuat sekehendak sendiri. Di tanah perdikan ini ada

peraturan-peraturan yang harus ditaati.”

“Taatilah siapa yang mau mentaati. Aku tidak.”

“Jangan berkeras kepala, Karebet,” bentak seorang penjaga

yang kehilangan kesabaran. “Kau mencoba memancing

kemarahan kami. Apakah sebenarnya kepentinganmu.”

“Jangan bertanya-tanya lagi. Aku akan pergi, minggir.”

“Jangan berbuat seperti orang alasan. Taatilah peraturan kami.

Kami adalah alat-alat untuk menegakkan peraturan itu.”

“Tidak ada peraturan yang dapat mengikat aku,” sahut Karebet

lantang. “Peraturan bagiku adalah ikatan-ikatan yang tak berarti.

Aturan bagiku adalah keduabelah tangan dan keduabelah kakiku,

pedang dilambungku dan taruhannya adalah nyawaku.”

Para penjaga itu benar-benar menjadi heran. Apakah orang itu

orang gila ataukah orang yang tak waras. Namun menilik sikapnya,

maka orang itu benar-benar berbahaya bagi mereka, sehingga

karena itu maka mereka segera mempersiapkan diri.

Page 22: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 115

Karebet yang melihat para penjaga itu bersiap, berkata pula,

“He, apakah yang akan kalian lakukan?”

“Kami hanya sekadar melakukan kewajiban kami, Ki Sanak

harus menyebutkan nama yang sebenarnya, keperluan yang

sebenarnya dan darimanakah Ki Sanak yang sebenarnya. Kalau

tidak, kami terpaksa menangkapmu dan membawa kerumah

Kepala Daerah Tanah Perdikan ini.”

Karebet itu tiba-tiba tertawa. Jawabnya, “Apakah kalian

berkata sebenarnya?”

“Tentu.”

“Bagus. Cobalah tangkap aku. Sudah aku katakan, bahwa

peraturan bagiku adalah keduabelah tangan dan kakiku serta

pedang dilambungku.”

Para penjaga itu serentak bergerak maju. Tetapi Karebetpun

sudah bersiaga, bahkan tiba-tiba ia telah mulai dengan sebuah

serangan yang benar-benar tidak disangka-sangka. Tangannya

bergerak dengan cepatnya menyambar salah seorang dari kelima

penjaga itu, sehingga tiba-tiba orang itu terdorong beberapa

langkah dan terbanting jatuh. Terdengar ia mengerang kesakitan

dan berusaha dengan tertatih-tatih tegak kembali. Namun terasa

punggungnya menjadi sakit, sehingga karena itu, maka tenaganya

sudah jauh berkurang.

Keempat kawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Segera

mereka menyerang bersama-sama. Tetapi, ternyata mereka

berhadapan dengan Mas Karebet. Seorang anak yang aneh dan

mengagumkan. Karena itulah maka mereka tidak dapat berbuat

banyak. Mas Karebet itu mampu bergerak secepat burung sikatan,

dan menyambar-nyambar dengan garangnya, seperti burung

rajawali. Benar-benar suatu gabungan kecakapan yang tiada

taranya.

Page 23: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 115

Tetapi keempat orang laskar Banyubiru dan seorang lagi yang

telah hampir tak berdaya itu pun samasekali bukan pengecut.

Meskipun mereka terkejut melihat lawannya mampu bergerak

dengan cepatnya, bahkan di luar dugaan mereka, namun mereka

kini sedang melakukan tugas mereka, sehingga bagaimana pun

juga, mereka berjuang sekuat-kuat tangan dan kaki mereka, maka

mereka pun pasti masih akan tetap bertempur.

Sehingga dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin

seru. Seorang diantara mereka berusaha untuk meninggalkan

perkelahian itu untuk memberitahukannya kepada mereka yang

masih berada di gardu penjagaan. Namun tiba-tiba Mas Karebet

itu meloncat seperti seekor kijang, dan orang itu pun terpelanting

pula beberapa langkah sehingga kemudian jatuh berguling di

tanah.

Alangkah marahnya para peronda itu. Namun tidak banyaklah

yang dapat mereka lakukan selain mencoba bertahan atas

serangan-serangan Karebet yang sedemikian lincahnya.

Tetapi ternyata Karebet bukanlah lawan mereka. Satu demi

satu mereka jatuh berguling dan betapa sulitnya untuk bangun

kembali.Punggung-punggung mereka terasa menjadi nyeri, dan

dada mereka menjadi serasa sesak. Betapa pun mereka berusaha,

namun tenaga mereka benar-benar terbatas jauh di bawah

kemampuan Mas Karebet itu.

Akhirnya para peronda itu menjadi benar-benar hampir tidak

berdaya. Meskipun mereka masih berusaha untuk berdiri, namun

mereka sudah tidak mampu lagi untuk tegak ditempatnya. Sekali-

kali mereka terhuyung-huyung dan bahkan hampir-hampir mereka

tidak kuat lagi menahan tubuhnya sendiri.

Karebet itu berdiri bertolak pinggang. Ditatapnya wajah para

peronda itu satu demi satu. Kemudian terdengar ia tertawa

nyaring. Katanya di sela-sela suara tertawanya, “He, katakan

Page 24: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 115

sekarang kepadaku. Apakah aku masih harus mentaati

peraturanmu?”

Jawab peronda itu mengejutkan Mas Karebet. Singkat namun

penuh ketegasan. “Ya.”

Tetapi kembali terdengar suara Karebet itu tertawa

berkepanjangan. Katanya pula, “Sekarang kau lihat, bahwa

peraturan itu tidak berlaku bagiku. Yang berlaku bagiku adalah

tenagaku. Kalau kalian mampu mengalahkan aku, barulah aku

akan tunduk kepada kalian.”

“Mungkin kau mampu mengalahkan kami” sahut salah seorang

peronda itu, “Tetapi kau tak akan mampu menghapus peraturan

yang berlaku di daerah ini. Mungkin kau kali ini dapat

menghindarkan diri atas berlakunya peraturan itu. Namun tidak

untuk selamanya. Kau pasti akan dihadapkan pada satu pilihan,

mentaati peraturan yang berlaku di Banyubiru atau pergi

meninggalkan Banyubiru.”

“Omong kosong,” sahut Karebet. “Kau tidak mau mengakui

kekalahanmu. Kau masih akan mencari-cari kebanggaan pada

persoalan yang lain. Lebih baik kalian mengaku atas kekalahan ini.

Hati kalian akan menjadi lapang. Dan kalian akan segera

melupakannya.”

“Tidak,” sahut peronda yang lain. “Kami tidak akan dapat

melupakan. Meskipun kali ini ada seorang yang dapat meloloskan

diri dari keharusan yang berlaku, tetapi di lain kali tidak akan

terulang kembali.”

Karebet itu pun tertawa pula. “Kalian adalah laskar yang baik,”

katanya, “Selagi kalian berhadapan dengan maut pun kalian masih

tetap dalam tugas kalian. Nah, bagus. Karena itu maka Banyubiru

menjadi kuat.”

“Jangan terlalu sombong.”

Page 25: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 115

“Aku tidak sombong. Aku berkata sebenarnya. Dan kau pun

berkata sebenarnya. Aku orang yang tidak mempunyai tempat

tinggal yang mengikat aku, sehingga aku pun tidak terikat pada

peraturan di daerah mana pun juga. Aku akan berbuat apa saja

yang aku kehendaki. Termasuk gadis yang hilang itu.”

“He,” para peronda itu terkejut seperti disengat labah-labah

biru. Betapa pun mereka menjadi lemah, namun mereka

melangkah pula maju sambil berkata. “Apakah yang kau katakan

tadi. Gadis yang hilang beberapa hari yang lampau yang kau

maksudkan?”

“Ya,” sahut Karebet. “Gadis yang hilang itu telah aku ambil.”

“Setan,” terdengar salah seorang peronda itu mengumpat.

“Sekarang kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini.”

“Apakah kau ingin bertempur lagi?”

“Kami belum benar-benar kau lumpuhkan,” sahut peronda itu.

Dan tiba-tiba terdengar gemerincing pedangnya. Dan pedang itu

pun kini telah berada di dalam genggamannya. Kawan-kawannya

pun segera menarik senjata-senjata mereka pula. Berkata pula

peronda itu, “Kami tidak bisa mempergunakan senjata kami

apabila tidak terpaksa. Kini kami melihat, bahwa seandainya kami

melukai dan bahkan apabila terpaksa membunuhmu, bukan salah

kami. Kami tidak biasa berbuat demikian dalam keadaan yang

damai seperti sekarang. Namun keadaan ini pun keadaan yang

tidak bisa pula.”

Karebet mundur selangkah. Katanya, “Jangan menjadi gila

karena kekalahan kalian. Jangan bermain-main dengan senjata.

Siapa yang bermain-main dengan pedang, maka ia akan sampai

pada kemungkinan dilukai dengan pedang pula.”

“Kami berpijak pada kewajiban kami.”

Page 26: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 115

“Bagus. Sudah aku katakan, kalian adalah laskar Banyubiru

yang baik. Tapi bagaimanakah kalau kita hindarkan pertempuran

ini?”

“Hanya ada satu kemungkinan,” sahut peronda itu. “Serahkan

Endang Widuri.”

“Syaratmu terlalu berat.”

“Tidak ada syarat yang lain.”

“Kalau begitu, baiklah aku melawan dengan pedang pula.”

Sebelum para peronda itu menjawab, maka Karebet itu pun

telah menggenggam sebilah pedang pula. Pedang yang tidak

terlalu panjang, namun benar-benar telah menggetarkan hati para

peronda itu. Apalagi ketika Karebet itu berkata. “Kalian sudah tidak

dapat berdiri tegak lagi. Apakah kalian masih mampu

mengayunkan pedang?”

Para peronda itu tidak menjawab. Kembali mereka mendesak

maju. Namun kembali mereka terkejut ketika mereka melihat tiba-

tiba saja Karebet telah meloncat sambil memutar pedangnya.

Dalam satu gerakan yang sangat cepat dan berganda, maka

dengan getar kemarahan yang meluap-luap di dalam dada, mereka

melihat duabilah pedang dari kelima pedang itu telah terlempar

jatuh.

“Kenapa kau letakkan pedang-pedang itu?” ejek Karebet.

Mereka menjadi semakin marah. Dengan serta mereka ketiga

kawannya menyerang bersama-sama. Tetapi Karebet tidak

melawannya. Ia bergeser mundur sambil berkata, “Kalian terlalu

payah. Seandainya aku berlari-larian tanpa melawan sekali pun,

maka kalian akan jatuh dan mati kelelahan. Nah, apakah yang

akan kalian lakukan kemudian?”

Para peronda itu menggeram. Namun kata-kata itu dapat

dimengertinya. Mereka tidak akan mampu lagi berlari-larian

Page 27: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 115

mengejar Karebet yang dengan sombongnya berloncatan di antara

batu padas di lereng bukit Telamaya itu.

Akhirnya, para peronda itupun berhenti dengans endirinya.

Meskipun kelimanya kini menggenggam pedang di tangannya,

namun mereka benar-benar menjadi bingung melawan seorang

anak muda yang aneh itu.

“He para peronda yang baik,” berkata Karebet itu kemudian.

“Jangan mengejar-ngejar aku lagi. Kalian akan menjadi pingsan

karenanya. Lebih baik kalian kembali ke rumah Daerah Tanah

Perdikan Banyubiru. Katakanlah kepadanya, bahwa Endang Widuri

yang hilang itu telah aku bawa. Namaku Karebet, berasal dari

daerah Pengging. Katakan kepadanya bahwa gadis itu telah aku

sembunyikan. Nanti beberapa hari lagi, apabila purnama naik,

maka Baginda Sultan Trenggana akan berburu di hutan Prawata.

Pada saat itulah gadis itu akan aku serahkan kepada Baginda untuk

puteranya, Pangeran Timur. Kalau Arya Salaka tidak

merelakannya, maka aku akan tunggu di hutan itu. Suruhlah ia

datang dengan pasukan segelar sapapan. Maka kedatangannya

akan aku sambut dengan gembira. Sebenarnya aku adalah Lurah

Wira Tamtama yang terpercaya. Pasukanku telah sedia untuk

mengamankan perbuatanku ini.”

Para peronda mendengar kata-kata itu dengan tubuh yang

gemetar. Gemetar karena marah, heran, dendam dan kecewa.

Tetapi mereka kini merasa, wajarlah bahwa mereka tidak mampu

melawan anak muda yang bernama Karebet itu, sebab ia adalah

Lurah Wira Tamtama. Tetapi mereka menjadi heran dan kecewa,

apakah kekuatan itu sudah seharusnya dipergunakan untuk

melakukan perbuatan yang aneh-aneh. Apakah dengan demikian,

maka Karebet benar-benar telah berbuat sebaik-baiknya sebagai

seorang Wira Tamtama?

Tetapi para peronda itu benar-benar tidak dapat berbuat apa-

apa. Mereka hanya mampu melihat Karebet itu kemudian meloncat

diatas sebuah batu padas sambil menengadahkan dadanya. “Inilah

Page 28: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 115

Karebet yang teguh timbul. He para peronda, sampaikanlah kata-

kataku kepada Arya Salaka yang berbangga hati memiliki Sasra

Birawa. Nah, selamat malam, aku tunggu anak muda itu di hutan

Prawata nanti pada saat purnama naik. Sebagai Kebo-Danu

Banyubiru yang perkasa.”

Bukan main marah para

peronda itu, sehingga salah

seorang dari padanya yang

tidak tahan lagi mendengar

kesombongan Karebet itu

dengan serta merta melontar-

kan pedangnya. Tetapi dengan

tawa yang menyakitkan hati,

pedang itu disentuh oleh Mas

Karebet dengan pedangnya

pula. Suara gemerincing di

lereng bukit itu, memberi-

tahukan bahwa pedang yang

dilontarkan itu terlempar jatuh

ke dalam lereng yang terjal.

“Lihatlah bulan yang

hampir bulat di langit.

Meskipun bulan itu sudah hampir tenggelam. Itu adalah pertanda

bahwa saat purnama tidak akan terlalu lama lagi.”

Sebelum para peronda itu berbuat sesuatu, maka bayangan

anak muda yang berdiri di atas batu karang itu seakan-akan

melayang yang hilang di balik batu itu. Para peronda itu masih

berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka sudah tidak

menemukan lagi. Jejaknya pun tidak.

Berbagai perasaan bergolak di dalam dada para peronda itu.

Sudah sekian lama mereka mencari seorang gadis yang hilang.

Dan sudah sekian lama mereka tidak dapat menemukan jejaknya.

Kini tiba-tiba mereka mendengar langsung, bahwa gadis itu telah

Page 29: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 115

dilarikan oleh anak muda yang bernama Karebet. Dengan suara

parau peronda itu berkata, “Pantas. Kalau bukan anak muda itu,

maka sudah pasti Endang Widuri tidak akan berhasil

dikalahkannya. Bukankah anak gadis itu sendiri mampu bertempur

melampaui kita masing-masing. Bahkan kita berlima sekaligus.”

Yang lain-lain menganggukkan kepala mereka. Tetapi mereka

tidak dapat tinggal diam dengan penuh kekaguman. Tiba-tiba

mereka sadar, bahwa apa yang mereka lihat dan mereka dengar

itu harus mereka sampaikan kepada Kepala Daerah Perdikan

mereka. Karena itulah maka dengan tergesa-gesa mereka berjalan

kembali ke gardu mereka. Menceriterakan kepada kawan-kawan

mereka yang mendengarkan dengan penuh keheranan dan

kekaguman.

“Kami akan pergi ke rumah Ki Ageng,” berkata peronda itu.

“Kenapa kalian tidak memberi tahukan kepada kami? Mungkin

kami akan dapat membantu menangkap orang itu, apabila kami

datang bersama-sama.”

“Sudah kami usahakan, tetapi kami tidak sempat melakukan.”

Kelima orang itu pun segera meninggalkan gardu mereka, dan

dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora.

Kedatangan mereka benar-benar mengejutkan. Para penjaga

di rumah Ki Ageng itu pun terkejut pula. Dengan serta merta

mereka bertanya, “Ada apa digardumu?”

“Penting sekali,” jawab yang ditanya. “Kami menghadap Ki

Ageng.”

“Malam-malam begini? Tidak besok pagi?”

“Terlalu penting.”

“Soal apa?”

“Gadis yang hilang itu.”

Page 30: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 115

“He,” penjaga itu terkejut. “Kau menemukannya.”

“Akan aku beritahukan kepada Ki Ageng.”

“Ya. Tetapi apakah sudah kau ketemukan?”

“Berilah kesempatan aku bertemu Ki Ageng. Tergesa-gesa

sekali.”

“Oh,” penjaga itu pun sadar, bahwa ia harus membangunkan

Ki Ageng. Karena itu, maka cepat-cepat ia pergi ke samping rumah

dan perlahan-lahan mengetuk dinding ditentang pembaringan Ki

Ageng.

“Siapa?” terdengar sapa dari dalam.

“Kami, para penjaga Ki Ageng.”

“Ada apa?”

“Seseorang peronda melaporkan tentang gadis yang hilang

itu.”

“He,” Ki Ageng Gajah Sora terkejut sehingga ia terloncat dari

pembaringannya. Penjaga yang membangunkan itu mendengar

pembaringan Ki Ageng berderak dan didengarnya langkah tergesa-

gesa keluar dari dalam biliknya.

Sesaat kemudian didengarnya pintu pringgitan terbuka, dan Ki

Ageng muncul di ambang pintu.

“Siapa yang membangunkan aku?”

Penjaga itu telah berdiri disamping tangga pendapa. Sehingga

dari sana ia menjawab, “Aku Ki Ageng.”

“Kemari. Kemarilah. Katakan apa yang kau ketahui tentang

gadis itu.”

Page 31: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 115

Penjaga-penjaga itu pun membawa kelima orang peronda

yang bertemu dengan Karebet, naik ke pendapa. Ki Ageng Gajah

Sora pun segera menerima mereka.

“Penting sekali?” bertanya Ki Ageng.

“Ya, Ki Ageng,” jawab salah seorang dari mereka.

“Apakah kalian menemukan jejaknya,” bertanya Ki Ageng.

“Ya,” jawab peronda itu.

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Kemudian

berkatalah ia kepada penjaga rumahnya, “Bangunkan tamu-tamu

kita. Mereka sebaiknya mendengar juga tentang hal ini.”

Para penjaga itu pun segera membangunkan tamu-tamu Ki

Ageng Gajah Sora yang berada di dalam gandok-gandok rumah

itu. Ki Ageng Gajah Sora sendiri membangunkan Arya Salaka.

Sehingga sesaat kemudian pendapa Banyubiru itu telah terjadi

suatu pertemuan yang lengkap. Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng

Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas,

Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Kebo Kanigara beserta

beberapa orang lain. Mahesa Jenar duduk dengan dada berdebar-

debar. Hampir tidak sabar Arya Salaka bertanya dengan suara

parau sambil mengusap matanya yang masih agak kemerah-

merahan. “Cepat, katakan, apa yang kau lihat.”

Peronda itu menarik nafas. Ia menjadi berdebar-debar pula

setelah ia duduk bersama dengan orang-orang yang dikaguminya

itu. Tidak hanya seorang tetapi beberapa orang. Bagaimanakah

seandainya mereka bersama-sama maju bertempur. Di kenangnya

kata-kata Mas Karebet itu. “Suruhlah ia datang segelar sapapan.”

Tiba-tiba dada peronda itu seakan-akan mengembang.

Dihadapannya duduk orang-orang sakti yang tidak kalah saktinya

dengan Mas Karebet.

“He. Kenapa kau malah tertidur,” bentak Arya Salaka.

Page 32: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 115

Orang itu terkejut. Dan dengan serta merta ia berkata, “Tidak.

Aku tidak tertidur.”

“Katakanlah.”

Salah seorang dari peronda itu pun kemudian mulai dengan

ceritanya. Ditemuinya seorang yang mencurigakan. Dan diketahui

kemudian apa yang telah dilakukan. Orang itulah yang menculik

Endang Widuri.

“Hem,” geram Arya Salaka. “Kalian berlima tidak dapat

menangkapnya.”

“Tidak,” jawabnya.

“Apakah kau dapat mengira-irakan bentuk atau ciri-ciri orang

itu?” desak Arya tidak sabar.

“Orang itu menyebut namanya”

“He,” bukan main terkejut Arya Salaka, dan bahkan semua

yang ada di pendapa itu “Orang itu berani menyebut namanya,”

suara Arya benar-benar meluapkan kemarahan tiada taranya.

Meskipun ia sadar, bahwa orang itu pasti seorang yang perkasa.

Bahkan ia menyadari pula bahwa orang itu pasti terlalu percaya

kepada diri sendiri. “Siapakah nama orang itu?”

Peronda itu menarik nafas. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu.

Apakah nama itu nama sebenarnya? Kalau tidak, maka akan sia-

sialah laporannya ini. Atau kalau nama itu nama sebenarnya

sekalipun, apakah orang-orang yang berada di pendapa ini telah

pernah mengenalnya?

Karena ia tidak segera menjawab, maka Arya Salaka menjadi

jengkel, sehingga ia berteriak, “Siapa namanya he?”

Kembali peronda itu terkejut, dan dengan serta merta pula ia

mengucapkan nama itu, katanya, “Ia menyebut namanya sendiri

Karebet.”

Page 33: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 115

“Karebet,” tanpa disengaja Arya Salaka mengulangi nama itu

dengan kerasnya. Bahkan sekali ia bergeser maju dan

mengguncang tubuh peronda itu sambil berteriak. “Karebet kau

bilang.”

Peronda itu mengangguk. “Ya”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan seisi pendapa. Benar-

benar tak mereka sangka bahwa yang mengambil Endang Widuri

adalah Mas Karebet. Beberapa orang yang belum pernah

mendengar nama itu, belum dapat mengambil kesimpulan apa

pun. Tetapi Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Rara Wilis serentak

berpaling ke arah Kebo Kanigara. Dan terdengar Mahesa Jenar

menggeram perlahan, “Karebet.”

“Paman,” tiba-tiba Arya Salaka itu berteriak. “Paman Kebo

Kanigara. Bagaimanakah itu? Kenapa yang berbuat curang itu

justru Karebet. Kenapa?”

Mahesa Jenar terpaksa bergeser pula maju. Dengan sabarnya

ia berkata, “Arya. Tenanglah. Tenanglah sedikit. Marilah kita

berbicara dengan hati yang lapang.”

“Tetapi bukankah Karebet itu kemanakan paman Kebo

Kanigara?”

“Ya. Karebet itu memang kemanakan pamanmu Kebo

Kanigara,” sahut Mahesa Jenar, masih setenang semula. “Tetapi

ingatlah. Yang hilang itu adalah anak pamanmu itu pula.”

“Oh,” Arya Salaka menekan dadanya. Dada itu serasa akan

pecah karenanya. Tetapi kini ia menundukkan wajahnya. Endang

Widuri adalah puteri Kebo Kanigara. Sehingga dengan demikian,

maka seharusnya Kebo Kanigaralah yang akan lebih dahulu marah

daripada dirinya.

Kebo Kanigara menjadi gelisah pula karenanya. dengan wajah

yang suram ia berkata, “Ya. Karebet adalah kemenakanku.”

Page 34: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 115

Sesaat pendapa itu menjadi sepi. Angin yang dingin telah

menyentuh tubuh-tubuh mereka yang hangat karena hati mereka

yang terbakar oleh perasaan yang pelik ini.

Dalam keheningan itu kembali terdengar Suara Arya Salaka

gemetar, “Sekarang dimanakah Karebet itu?”

“Anak muda itu telah menghilang.”

“Hem,” Arya Salaka menggeram penuh kemarahan. “Apakah

kita akan dapat menemukannya?”

“Ya,” sahut peronda itu.

“He. Apakah yang kau katakan,” Arya Salaka menjadi

semakin gelisah. “Kau katakan bahwa ada kemungkinan untuk

menemukannya?”

“Ya,” sahut orang itu. “Bahkan orang itu mengharap

kedatangan kita. Orang-orang Banyubiru.”

“Gila,” teriak Arya. “Atau kaukah yang gila itu?”

“Tidak. Benar-benar dikatakannya. Nanti saat purnama naik,

Baginda Sultan Tranggana akan berburu ke hutan Prawata.”

“Gila. Kau yang benar-benar telah gila. Aku bertanya tentang

Karebet. Bukan tentang Sultan Tranggana,”

“Ini adalah kelanjutan dari peristiwa itu,” sahut orang itu.

“Nanti pada saat purnama naik, Baginda akan pergi berburu.”

“Itu sudah kau katakan.”

“Ya, ya,” peronda itu menjadi gugup. Dan karenanya maka

kata-katanya menjadi kurang teratur. “Diperburuan itu, maka

Karebet akan menyerahkan Endang Widuri kepada Baginda untuk

puteranda Pangeran Timur.”

“Kau berkata sebenarnya?” potong Arya tergagap.

Page 35: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 115

“Ya. Dan dikatakan oleh Karebet itu, bahwa seandainya Arya

Salaka yang membanggakan Sasra Birawa itu tidak merelakannya,

maka dipersilakan ia datang dengan pasukan segelar sapapan.

Karebet yang katanya lurah Wira Tamtama akan menyambutnya

dengan senang hati.”

“Begitu katanya?” teriak Arya.

“Ya.”

Kembali Arya Salaka kehilangan pengamatan diri. Sambil

mengguncangkan tubuh peronda itu ia berteriak, “Dimana kau

temui Karebet itu?”

“Diperbatasan, di Sendang Muncul.”

Arya Salaka tidak menjawab. Tiba-tiba ia meloncat berlari ke

belakang. Semua terkejut melihat tingkahnya. Namun Mahesa

Jenar dan ayahnya, Gajah Sora yang mengenal tabiat anak itu,

segera mengetahui, bahwa Arya Salaka berlari untuk mengambil

kudanya. Karena itu maka keduanya hampir bersamaan

memanggilnya, “Arya. Arya Salaka.”

Tetapi Arya Salaka tidak mendengarnya. Ia berlari terus ke

kandang kudanya. Dengan tergesa-gesa dipasangnya pelana

kudanya dan ditariknya kuda itu keluar kandang. Sesaat kemudian

terdengarlah derap kuda itu perpacu keluar halaman rumah Ki

Ageng Gajah Sora. Tetapi sesaat kemudian menyusul dua ekor

kuda berlari seperti angin ke arah yang bersamaan. Mereka adalah

Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora sendiri yang tidak sampai

hati melepas Arya Salaka yang sedang kebingungan itu. Apalagi

Mahesa Jenar yang menyadari, bahwa tingkat ilmu Arya Salaka

masih belum dapat disejajarkan dengan ilmu Mas Karebet yang

aneh itu. Sehingga dengan demikian, seandainya mereka benar-

benar bertemu, maka nasib Arya Salaka terlalu mencemaskan.

Mereka yang tinggal di pendapa rumah itu duduk membeku

dalam kesuraman sinar pelita. Nyala api yang kemerah-merahan

Page 36: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 115

bergerak-gerak ditiup angin yang lemah. Daun-daun sawo di

halaman bergoyang-goyang seperti sedang menarikan sebuah

tarian yang pedih.

Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ada

sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tampaklah membayang

di matanya kegelisahan dan kecemasan. Kadang-kadang ia

menarik nafas dalam-dalam, dan kadang-kadang ia memejamkan

matanya. Sesuatu yang maha berat sedang menghimpit hatinya,

namun hatinya itu berdoa kepada Yang Maha Agung, semoga

semuanya dapat selesai dengan sebaik-baiknya.

Arya Salaka yang berpacu di dalam gelap itu, benar-benar

seperti orang yang mabuk. ia tidak ingat lagi bahaya yang dapat

menerkamnya. Jurang-jurang yang terjal dipinggir jalan atau

apapun yang dapat membahayakan perjalanannya. Yang ada

dikepalanya hanyalah seorang anak muda yang bernama Karebet,

seorang yang pernah dikagumi dan bahkan mereka pernah bergaul

dengan rapatnya sebagai dua orang sahabat yang akrab.

“Kenapa kakang Karebet itu sampai hati berbuat demikian”

desah Arya Salaka didalam hatinya. “Tetapi, apapun yang pernah

terjadi, sikap yang baik dan persahabatan yang akrab, namun

bukan salahku kalau persahabatan itu kini pecah. Kenapa kakang

Karang Tunggal tidak saja berkata terus terang dan

membicarakannya dengan orang tua-tua.”

Semakin diangan-angankannya, maka darah Arya semakin

meluap-luap. Arya Salaka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu

sampai di perbatasan arah Sendang Muncul.

Tetapi akhirnya ia sampai juga ke tempat itu. Tempat yang

sepi senyap. Dilihatnya beberapa onggok batu karang berserak-

serakan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran disana-

sini.

Arya Salaka yang marah itu menghentikan kudanya. Dengan

nanar ia memandang berkeliling. Diamatinya relung-relung hitam

Page 37: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 115

diantara batu-batu karang dan di bawah rimbunnya gerumbul-

gerumbul yang ada disekitarnya. Tetapi Arya Salaka tidak

mendengar suara apapun juga, seakan-akan daerah itu daerah

pekuburan yang mengerikan. Tetapi Arya Salaka tidak puas

dengan tajam matanya. Segera ia meloncat turun, dan dengan hati

yang melonjak-lonjak ia berlari-lari mengelilingi daerah itu.

Disasaknya gerumbul-gerumbul yang rimbun dan ditembusnya

kegelapan malam di sela-sela batu karang. Tetapi yang dicarinya

tidak diketemukannya.

Arya Salaka itu seakan-akan telah benar-benar kehilangan

kesadaran diri .Tiba-tiba ia meloncat naik ke atas batu karang

sambil berteriak keras-keras, “He Karebet. Jangan menunggu

Purnama naik. Inilah Arya Salaka dari Banyubiru. Kita selesaikan

persoalan kita tanpa menunda-nunda. Buat apa kau lakukan

perbuatan terkutuk itu. He. Karebet. Karebet....”

Suara Arya Salaka menggeletar memukul tebing-tebing

pegunungan. Suara gemanya bersahut-sahutan mengumandang di

lereng bukit Telamaya. Namun suara itu menggeletar tanpa arti.

Tak seorang pun yang menyahut.

Arya Salaka menjadi semakin marah. Sekali lagi ia berteriak,

“Karebet. Dengan mengumpankan gadis itu, apakah kau akan

diangkat menjadi Adipati. He. Marilah kita berhadapan sebagai

jantan sejati. Tidak perlu dengan pasukan segelar sapapan.

Karebet....”

Suara itu pun menggelepar di kesunyian malam. Gemerisik

angin pegunungan membawa udara yang dingin sejuk. Helai-helai

daun yang kuning berguguran satu-satu di tanah yang lembab oleh

embun. Namun suara Arya Salaka itu hilang saja disapu hembusan

angin.

Arya Salaka mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara

telapak kuda mendekat. Ia tahu betul, bahwa mereka itu adalah

orang-orang Banyubiru. Mungkin ayahnya, mungkin orang lain.

Page 38: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 115

Tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia masih saja tegak di atas batu

karang. Bulan yang hampir bulat telah melekat di ujung

pepohonan. Sinarnya telah memerah dan hampir tenggelam.

Namun cahayanya yang dipantulkan oleh wajah Rawa Pening,

masih tampak kuning kemerahan, berkilat-kilat.

“Arya,” terdengar suara lembut dari bawah batu karang itu.

Arya yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu, masih juga

mendengar suara itu. Suara yang telah dikenalnya baik-baik,

melampaui ayahnya sendiri. Suara itu adalah suara gurunya.

Meskipun demikian untuk sesaat ia masih berdiam diri di atas batu

karang itu. Gelora kemarahannya yang menghentak dadanya

belum juga dapat ditenangkannya.

“Arya,” suara itu didengarnya kembali. Betapa ia dihanyutkan

oleh kemarahannya, namun suara itu benar-benar berpengaruh

padanya. Karena itu maka Arya itu pun berpaling. Dilihatnya di

dalam keremangan malam, dua orang yang masih duduk di atas

punggung kuda. Gurunya, Mahesa, dan ayahnya Gajah Sora.

“Arya,” kali ini ia mendengar suara ayahnya. “Turunlah.”

Arya masih berdiri di atas batu karang itu. Sekali tatapan

matanya menyangkut pada bulan yang telah hampir lenyap di balik

pepohonan yang tumbuh di lereng bukit. Tiba-tiba ia berkata

nyaring. “Lihatlah ayah. Bulan hampir purnama. Aku harus segera

bersiap untuk menyambut Karebet di hutan Prawata.”

“Sabarlah Arya,” desis Mahesa Jenar. “Turunlah, marilah kita

bicarakan soalmu ini.”

Arya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang tidak dapat

berbuat apa-apa di atas batu karang itu. Di atas batu karang itu

tidak ditemuinya Karebet dan juga akan ditemuinya gadis yang

hilang. Karena itu maka segera ia pun meloncat turun.

“Sebaiknya kau tenangkan hatimu Arya,” berkata Mahesa

Jenar.

Page 39: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 115

Arya Salaka tidak menjawab. Dipandang wajah ayahnya yang

duduk diam di atas punggung kudanya. Tetapi di dalam malam

yang remang ia tidak mendapat sesuatu kesan dalam wajah itu.

Selain, tegang.

“Marilah kita pulang dahulu,” ajak Mahesa Jenar.

Arya Salaka tidak menjawab. Ia masih mencoba memandang

tempat-tempat yang gelap disekelilingnya.

“Anak itu sudah pergi,” desis ayahnya.

Arya menggeretakkan giginya. Namun perlahan-lahan ia

menuju kekudanya.

“Naiklah. Biarlah kita bicarakan semuanya ini di rumah,”

berkata ayahnya mendesak.

Arya Salaka itu kemudian menjadi seakan-akan kehilangan

segala-galanya. Ia menjadi bingung, cemas, marah dan tanggapan

yang simpang siur atas perbuatan Karebet itu. Dengan hati yang

kosong ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan

lesunya ia mendorong kudanya berjalan kembali ke rumahnya.

Rumah yang seakan-akan menjadi terlalu sunyi. Lebih sunyi dari

tempat ini.

Perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke rumah Gajah Sora.

Arya Salaka tidak mampu lagi melecut kudanya dan melarikannya.

Ia lebih tenang berjalan perlahan-lahan dalam malam yang

semakin gelap karena bulan kini telah benar-benar tenggelam.

Tetapi dikejauhan telah terdengar kokok ayam jantan untuk ketiga

kalinya.

Arya Salaka menengadahkan wajahnya. Betapa pun juga ia

tidak dapat melupakan kewajibannya. Karena itu ia mempercepat

langkah kudanya, sebelum ia terlambat untuk melakukan

sembahyang subuh. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berkuda

dibelakangnya, tak sepatah kata pun terloncat dari bibir mereka.

Page 40: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 115

Mereka seakan-akan onggokan benda-benda mati yang terikat

erat-erat di atas punggung kuda.

III

Ketika matahari mulai melemparkan cahayanya yang pertama,

menyentuh ujung-ujung pepohonan, Mahesa Jenar telah

dikejutkan oleh ringkik-ringkik kuda di halaman. Dengan tergesa-

gesa Mahesa Jenar menghampirinya dan bertanya kepadanya.

“Akan kemanakah Ki Ageng sepagi ini?”

“Aku akan kembali ke Pamingit,” jawab Ki Ageng Lembu Sora.

“Oh” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Namun

betapa pun juga timbul pula prasangkanya. Dalam kesibukan yang

semakin memuncak ini justru Ki Ageng Lembu Sora akan kembali

ke Pamingit. Karena itu maka ia bertanya pula. “Apakah ada

sesuatu keperluan yang mendesak?”

KI Ageng Lembu Sora lah yang kini memandang Mahesa Jenar

dengan heran. Apakah Mahesa Jenar belum tahu apa yang akan

dilakukan oleh Arya Salaka? Meskipun demikian ia menjawab juga,

“Saat purnama naik hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku tidak

akan dapat tinggal diam. Pasukan Pamingit akan membantu Arya

Salaka menghadapi Karebet di hutan Prawata.”

“He,” Mahesa Jenar benar-benar terkejut seperti disambar

petir melesat. Jadi Arya Salaka telah mengambil keputusan yang

berbahaya itu? Tubuh Mahesa Jenar itu pun menjadi gemetar

karenanya, sehingga sesaat ia tidak dapat berkata apa-apa.

Ditatapnya saja wajah Ki Ageng Lembu Sora yang bersungguh-

sungguh itu. Baru kemudian ia berhasil menenangkan hatinya, dan

berkata, “Ki Ageng apakah itu merupakan keputusan Ki Ageng

Gajah Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana pula?”

“Kakang Gajah Sora dan ayah Sora Dipayana tak berhasil

mencegah Arya Salaka. Dan bukankah ini soal kehormatan pula?

Kehormatan Banyubiru dan seluruh tanah perdikan Pangrantunan

Page 41: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 115

lama termasuk Pamingit? Arya telah membantu dan membebaskan

Pamingit dari genggaman orang-orang golongan hitam beberapa

waktu lampau. Apakah sekarang, aku harus membiarkan

kehormatan Arya Salaka diinjak-injak orang lain?”

“Hem,” Mahesa Jenar menarik nafas. Ki Ageng Lembu Sora

masih juga kejangkitan penyakitnya yang lama, meskipun dalam

persoalan yang lain. Harga diri yang berlebih-lebihan dan nafsu

untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi kali ini

Ki Ageng Lembu Sora tidak mutlak bersalah seperti apa yang

dahulu pernah dilakukan. Bahkan kini ia merasa berkuwajiban

untuk membalas kebaikan hati Arya Salaka. Karena itu maka

Mahesa Jenar itu pun berkata, “Baiklah aku mencoba menemui

kakang Gajah Sora”.

Ki Ageng Lembu Sora memandangi Mahesa Jenar dengan

pandangan yang aneh. Apakah guru Arya Salaka itu tidak

sependapat seandainya Arya Salaka memenuhi tantangan

Karebet? Tetapi Lembu Sora itu pun kemudian tidak

menghiraukannya lagi. Kembali ia mempersiapkan dirinya untuk

segera berangkat ke Pamingit, memilih orang-orang yang paling

dipercaya untuk ikut berangkat ke hutan Prawata nanti pada saat

purnama naik beberapa hari lagi. Dengan demikian, maka

sebelumnya pasukannya harus siap pula di Banyubiru.

Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mencari Ki Ageng Gajah

Sora yang duduk diserambi belakang rumahnya bersama-sama

dengan Arya Salaka. Wajah anak muda itu tampak merah

membara sedang tangannya menggenggam tangkai sebuah pisau

belati panjang yang berwarna kuning berkilat-kilat, Kiai Suluh.

Ketika mereka melihat Mahesa Jenar mendatangi mereka,

maka Ki Ageng Gajah Sora itu pun mempersilakannya duduk

bersama mereka. Ketika terpandang oleh Arya Salaka wajah

gurunya yang tenang dalam, terasa hatinya bergetar dahsyat.

Tanpa disengaja ia menundukkan wajahnya.

Page 42: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 115

“Kakang,” berkata Mahesa Jenar kepada Ki Ageng Gajah Sora.

“Agaknya Ki Ageng Lembu Sora segera akan kembali ke Pamingit.”

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam sambil

mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya pendek.

“Dari Ki Ageng Lembu Sora aku mendengar segala-galanya

tentang keputusan Arya Salaka.”

Kembali Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan

kepalanya.

“Apakah Ki Ageng Gajah Sora berpendapat demikian?”

bertanya Mahesa Jenar kemudian.

Ki Ageng Gajah Sora itu diam mematung. Ditatapnya pohon-

pohon nyiur yang tumbuh di halaman belakang rumahnya. Sekali-

kali daunnya bergerak ditiup angin pagi dan cahaya matahari yang

bermain-main di halaman menjadi bergerak-gerak pula.

Sesaat Ki Ageng tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab.

Namun kemudian terdengar suaranya serak. “Ya. Apa boleh buat.”

Mahesa Jenar menarik keningnya. Tampak beberapa kerut-

kerut tumbuh didahinya. Perlahan-lahan ia berkata, “Sudahkah

kakang mempertimbangkannya masak-masak.”

Mendengar pertanyaan itu Arya Salaka mengangkat wajahnya.

Dipandangnya wajah gurunya dengan penuh pertanyaan. Apakah

gurunya tidak sependapat dengan keputusan itu?”

Arya kemudian melihat ayahnya menundukkan wajahnya.

Pertanyaan Mahesa Jenar benar-benar telah menggoncangkan

jantungnya. “Ya, apakah keputusan itu sudah sebaik-baiknya?”

Pertanyaan itu timbul pula didalam hatinya. Tetapi ketika

dipandanginya wajah anaknya yang merah padam, timbul pula

kasihan di dalam dirinya. Anak satu-satunya yang dengan gigih

telah berjuang untuk kepentingan tanah perdikan ini. Bahkan, ia

dibawah asuhan Mahesa Jenar itu sendiri?

Page 43: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 115

Ketika Gajah Sora tidak segera menjawab, maka Mahesa Jenar

itu pun kemudian langsung bertanya kepada Arya Salaka, katanya,

“Arya. Apakah kau telah membayangkan apa saja yang kira-kira

dapat terjadi dengan keputusan itu?”

Arya Salaka ragu-ragu sejenak. Tetapi dorongan yang kuat di

dalam hatinya memaksakan menjawab, “Tak ada pilihan lain

paman.”

Mahesa Jenar menarik nafas. Katanya, “Apakah kau telah

mencobanya?”

Arya mengerutkan alisnya. Desisnya, “Apa yang dapat

dicoba?”

“Arya,” berkata Mahesa Jenar. “Dalam persoalan ini masih

harus dicari sumber yang menyebabkannya. Kalau ternyata

Karebet berbuat demikian atas perintah Baginda, maka soalnya

menjadi jelas. Namun kalau perbuatan itu dilakukannya atas

kehendak sendiri untuk mendapatkan hadiah atau pangkat atau

apapun, maka akan ternyata bahwa kau terlalu tergesa-gesa.

Mungkin Baginda sendiri akan menolak persembahan itu. Dan

masih ada seribu satu macam kemungkinan yang lain.”

“Tidak paman,” jawab Arya tegas. Mahesa Jenar terkejut

mendengar jawaban itu. Belum pernah Arya bersikap demikian

kerasnya kepadanya. Dan ternyata Arya itu berkata terus. “Sudah

jelas dikatakannya, bahwa Karebet mengambil Widuri untuk

Pangeran Timur. Kalau perintah itu tidak turun dari istana, apakah

Karebet berani mempersembahkan seorang yang hanya

diambilnya dari pegunungan? Apakah itu bukan merupakan

penghinaan bagi Pangeran Timur dan Baginda sendiri? Tetapi hal

itu pasti sudah menjadi pilihan Pangeran Timur. Paman,

seandainya hal itu dilakukan baik-baik, maka hatiku tidak akan

merasa dihinakan.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat

ketidakwajaran dalam persoalan ini. Hampir-hampir ia berkata,

Page 44: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 115

bahwa apakah hak Arya Salaka untuk marah? Hanya karena

penghinaan yang dilontarkan oleh Karebet itu? Dan kenapa

Karebet itu sengaja memancing kemarahan Arya Salaka?

Tetapi Mahesa Jenar tidak mengatakannya. Disadarinya bahwa

hati Arya Salaka benar-benar sedang gelap. Dan Mahesa Jenar pun

dapat memahami kegelapan hati itu. Dikenangnya kemudian,

ketika ia kehilangan Rara Wilis di Pliridan beberapa tahun yang

lalu. Seorang yang tidak tahu sebab musababnya, Sagotra,

hampir-hampir dicekiknya sampai mati. Namun kini Arya Salaka

menghadapi persoalan itu tidak seorang diri seperti dirinya pada

saat itu. Tetapi di belakangnya akan terlibat beratus-ratus orang.

Mahesa Jenar itu pun hanya dapat merenung. Ia tidak dapat

mencegah muridnya dalam keadaan itu, kalau ia tidak ingin

kehilangan kewibawaan atas muridnya itu. Sebab hampir pasti,

bahwa Arya Salaka tidak akan mendengarnya. Tetapi sudah tentu

bahwa hatinya akan menjadi hancur pula, apabila ia harus

menyaksikan pertentangan yang pecah antara Banyubiru dan

Demak. Beberapa tahun yang lampau ia berusaha mati-matian

untuk menghindarkan pertentangan itu. Pertentangan yang timbul

karena persoalan yang bagi Demak jauh lebih bernilai. Persoalan

yang ditimbulkan karena keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten,

meskipun ternyata hanya karena kesalahpahaman saja. Kini soal

itu adalah soal seorang gadis. Tetapi bagi Arya Salaka persoalan

ini adalah persoalan harga diri, kehormatan dan yang lebih penting

adalah gairah bagi masa depannya.

Mahesa Jenar itu pun kemudian meninggalkan serambi

belakang rumah Ki Ageng Gajah Sora. Arya Salaka pun kemudian

pergi pula menemui beberapa orang pimpinan Banyubiru untuk

menyiapkan laskarnya.

Sedang untuk beberapa saat Ki Ageng Gajah Sora masih duduk

merenung ditempatnya. Terbayanglah apa yang pernah

dilakukannya sendiri pada saat itu. Justru pada saat dirinya akan

ditangkap oleh prajurit-prajurit Demak. Pada saat ia mendapat

Page 45: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 115

tuduhan menyembunyikan keris-keris pusaka istana Kiai

Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Pada saat itu ia tidak dapat

berbuat apa-apa ketika ia melihat kibaran panji-panji Gula Kelapa

diantara sepasukan Manggala pati. Bendera yang melambangkan

kebesaran Demak. Lebih dari itu, bendera yang melambangkan

persatuan dan kesatuan. Apakah sekarang ia akan membiarkan

anaknya melawan Demak. Melawan persatuan dan kesatuan itu.

Hati Gajah Sora itu pun tiba-tiba menjadi hancur. Hancur seperti

yang pernah dialaminya beberapa tahun yang lalu. Tetapi ia kini

tidak mampu mencegah anaknya berbuat demikian.

Tiba-tiba ia tersadar ketika Ki Ageng Lembu Sora masuk

menemuinya. Adiknya itu segera akan minta diri untuk kembali ke

Pamingit. Menyiapkan pasukannya untuk membantu Arya Salaka

memaksa Baginda Sultan Trenggana mengurungkan niatnya,

mengambil Endang Widuri untuk puteranya.

Semuanya kemudian berjalan di luar kemauan Ki Ageng Gajah

Sora. Beberapa kali ia berusaha mencegah anaknya melanjutkan

niatnya, namun ia tidak juga berhasil. Bukan saja Ki Ageng Gajah

Sora, tetapi Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana. Namun

Arya Salaka tetap pada pendiriannya. Merebut Endang Widuri

dengan segala akibatnya. Sedang Gajah Sora yang merasa seolah-

olah Arya Salakalah yang telah mempertahankan kedudukannya di

Banyubiru, baik dari tangan Lembu Sora maupun dari tangan

golongan hitam, maka ia tidak sampai hati untuk mempergunakan

kekuasaan mencegah laskar Banyubiru untuk mengambil bagian

dalam kemarahan Arya Salaka itu.

Tetapi Mahesa Jenar tidak segera berputus asa. Dibiarkannya

Arya Salaka mempersiapkan dirinya. Mempersiapkan laskarnya

dan bahkan dengan laskar Pamingit sekalipun. Namun ia masih

berusaha untuk mencari jalan keluar. Diotak-atiknya persoalan itu.

Direntang-digulung, diurai-dilipatnya. Dihubung-hubungkannya

setiap persoalan dan setiap sikap dari orang-orang yang

berkepentingan. Dan akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu

Page 46: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 115

sikap, betapa pun berat hatinya untuk melakukannya. Menemui

Kebo Kanigara seorang diri.

Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya

Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang

disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran

Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa

ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.

Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya

Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang

disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran

Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa

ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.

“Terima kasih kakang,” sahut Mahesa Jenar sambil duduk

dipembaringan Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berkumpul dalam waktu

yang lama. Setiap kali mereka bertemu dan bercakap-cakap.

Setiap kali mereka mempersoalkan berbagai masalah yang paling

ringan sampai yang paling berat. Setiap kali mereka berbuat

bersama-sama dan mereka pun ternyata memiliki unsur kekuatan

yang sama. Mereka bersama-sama adalah tetesan dari sumber

kekuatan Ki Ageng Pengging Sepuh.

Tetapi pertemuan mereka kali ini terasa amatlah canggungnya.

Mereka berdua tidak segera menyadari apakah sebabnya dari

kecanggungan itu, namun terasa ada sesuatu yang diantara

mereka yang kurang sewajarnya.

Setelah mencobanya menenangkan hatinya, maka Mahesa

Jenar mencoba mulai dengan persoalannya. Katanya, “Kakang.

Apakah kakang tidak ingin melihat persiapan Arya Salaka yang

akan membantu kakang mengambil kembali Widuri dari tangan

Karebet?”

Page 47: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 115

Kebo Kanigara menarik alisnya. Ditatapnya keheningan malam

di luar pintu biliknya. Di samping dinding didengarnya jengkerik

seolah-olah lagi menangis. Menangisi mereka yang tak akan dapat

dijumpainya.

Dalam kesenyapan itu terdengar Kebo Kanigara berkata, “Aku

akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arya Salaka,

Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Semua

berjalan dengan baik, kakang. Laskarnya memiliki tekad yang

tinggi. Mereka berniat mempertahankan kehormatan nama kakang

Kebo Kanigara dan Arya Salaka. Bahkan laskar Pamingit pun akan

segera datang dan membantu Arya Salaka pula.”

Kebo Kanigara terdiam. Wajahnya menjadi tegang. Dan

punggungnya menjadi basah oleh keringat.

“Nanti pada saat purnama naik, Arya sudah bersedia

mengepung Baginda yang sedang berburu. Aku tidak tahu, apakah

Baginda menyadari hal itu. Apakah Baginda menyangka bahwa

Arya Salaka dan laskar Banyubiru tidak akan berani berbuat

demikian sehingga Baginda tidak mempersiapkan diri untuk

menghadapinya. Namun menilik kata-kata Karebet, maka Baginda

pasti telah menyiapkan Wira Tamtama dan bahkan mungkin

kesatuan-kesatuan yang lain”.

Kebo Kanigara masih berdiam diri. Keringatnya semakin

banyak mengaliri punggungnya. Dan kembali terdengar Mahesa

Jenar berkata, “Kakang, kalau terjadi pertempuran antara kedua

pasukan itu, maka alangkah ramainya. Kalau Baginda telah siap

menghadapi Arya Salaka, maka laskar Banyubiru pasti akan

tumpas. Beratus-ratus orang Banyubiru dan Pamingit akan

menjadi korban. Tetapi kalau Baginda tidak mempersiapkan

dirinya, maka laskar Demaklah yang akan binasa. Baginda akan

terancam jiwanya karena kemarahan yang meluap-luap. Dan Arya

Page 48: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 115

Salaka untuk seterusnya akan bergelar seorang pemberontak yang

baik, yang telah berhasil membunuh rajanya sendiri.”

“Sudahlah Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Suaranya

perlahan-lahan dan parau. “Aku sudah menyangka bahwa hal-hal

yang demikian dapat terjadi.”

“Ya. Aku juga menganggap bahwa kakang sudah dapat

membayangkannya. Lalu bagaimana dengan kita kakang? Apakah

sebaiknya kita ikut juga dalam pertempuran itu?”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya

bergelora. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

Sesaat bilik itu menjadi sunyi. Mereka berdua duduk

mematung. Namun ternyata bahwa wajah-wajah mereka menjadi

tegang.

Yang mula-mula berkata di antara mereka adalah Mahesa

Jenar. Dengan penuh tekanan ia berkata. “Bagaimanakah

sebaiknya kakang, apakah kita juga akan berada dalam pasukan

itu?”

“Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara “aku sedang bersedih

karena kehilangan Widuri. Karena itu, aku tidak dapat berpikir,

jalan manakah yang sebaiknya aku tempuh untuk menemukannya.

Apabila kemudian kita ketahui bahwa anak itu dibawa oleh Karebet

dan akan dibawanya ke Hutan Prawata, maka bagiku tidak ada

pilihan lain dari pada datang merebutnya.”

“Dengan kekerasan?”

“Kalau itu kemungkinan satu-satunya.”

“Kakang,” berkata Mahesa Jenar ber-sungguh-sungguh,

“Kakang masih mempunyai kesempatan untuk menghindarkan

pertumpahan darah itu. Bukankah kakang Kebo Kanigara putera

Pangeran Handayaningrat. Bukankah kakang Kebo Kanigara dapat

menghadap Baginda dan menjelaskan persoalannya kepada

Page 49: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 115

Baginda? Dan bukankah kakang berhak untuk mengambil puteri

kakang itu sendiri?”

“Mahesa Jenar. Sultan Trenggana adalah seorang yang keras

hati. Kalau sudah terkandung maksud oleh Baginda, maka tak

seorang pun akan dapat merubahnya.”

“Tetapi Karebet itu adalah kemanakan kakang. Karebet

sedemikian takutnya kepada kakang Kebo Kanigara. Apakah

kakang tidak dapat memaksanya untuk menyerahkan Widuri itu

kepada kakang?”

“Karebet memang takut kepadaku, Mahesa Jenar. Namun

ternyata bahwa di belakangnya kini berada satu kekuatan yanq

akan dapat melawan aku. Mungkin karena itulah ia berani berbuat

sedemikian atas Widuri itu.”

“Tetapi, bukankah Karebet itu dapat berbuat lain dari yang

dilakukannya itu? Mungkin ia dapat datang kepada kakang Kebo

Kanigara dan minta kepada kakang untuk menghadap Baginda,

sedang Baginda akan dapat langsung mengambil Widuri dari

kakang Kebo Kanigara. Dan apakah keuntungan Karebet dengan

menghinakan Arya Salaka dan menantangnya untuk mengambil

Widuri di hutan Prawata nanti pada saat Purnama naik?”

Kebo Kanigara itu pun terdiam. Dan kembali Mahesa Jenar

berkata, “Apakah karena Karebet ingin melihat pertumpahan darah

di antara sesama rakyat Demak atau barangkali Karebet ingin

menunjukkan kejantanannya di hadapan Sultan Trenggana? Atau

apa?”

“Jangan menambah aku menjadi bingung Mahesa Jenar.”

“Kakang, baiklah aku berterus terang. Apakah kakang cukup

berduka atas hilangnya Widuri, satu-satunya anak yang kakang

kasihi selama ini? Apakah kakang cukup menunjukkan usaha untuk

menemukannya sampai saat ini ? Kakang, sekali lagi, baiklah aku

berterus terang, supaya tidak terjadi salah tangkap dari segala

Page 50: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 115

perbuatan kakang itu. Apakah kakang telah berusaha melepaskan

Widuri dari kemungkinarn hubungan yang lebih erat dengan Arya

Salaka dengan alat Karebet itu?”

“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara

tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sesaat ya menundukkan

wajahnya. Diluar malam menjadi semakin kelam. Dan malam yang

kelam itu benar-benar mendebarkan.

Di antara gemerisik angin malam, kembali terdengar suara

Mahesa Jenar yang berat “Kakang. Maafkanlah. aku kakang, tetapi

sebaiknya aku tidak menyirnpan pertanyaan-pertanyaan itu di

hatiku. Lebih daripada yang telah aku katakan, kakang.

Sebenarnya aku tidak dapat mengerti, kenapa kakang masih saja

bersikap acuh tak acuh atas hilangnya Widuri.”

Kebo Kanigara mengangkat wajahnya. Wajah yang tiba-tiba

menjadi sedemikian tegangnya. Perlahan-lahan terdengar ia

bergumam, “Mahesa Jenar, apakah kau berprasanqka buruk

terhadapku?”

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Bahkan terjadilah

beberapa persoalan di dalam dirinya. Menurut kata-kata Kebo

Kanigara, maka betapa Kebo Kanigara itu menjadi sedemikian

bingungnya sehingga ia sudah tidak dapat lagi berpikir wajar.

Namun apakah seorang Kebo Kanigara dapat menjadi sedemikian

kehilangan segala macam pertimbangan? Betapa ia menyayangi

anaknya itu, namun sudah pasti bahwa Kebo Kanigara akan tetap

dalam keseimbangan. Ia pasti akan berusaha mencari anaknya.

lebih dari yang telah dilakukannya sekarang. Tidaklah mungkin

kalau Kebo Kanigara hanya akan sekedar menunggu bantuan Arya

Salaka dengan laskarnya. Bahkan membiarkan pertentangan yang

akan semakin memuncak antara Banyu Biru dan Demak karena

anak puterinya yang hilang dibawa oleh Karebet, “Aneh” gumam

Mahesa Jenar di dalam dirinya. Sehingga karena itulah maka ia

menjawab pertanyaan Kebo Kanigara “Kakang, sebenarnyalah aku

menjadi sangat heran. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang telah

Page 51: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 115

kakang lakukan. Namun dalam tangkapan perasaanku, kakang

telah berbuat diluar kewajaran.”

“Hem,” Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. “Apakah

yang seharusnya aku lakukan, Mahesa Jenar?”

“Menyelesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah. Tanpa

memberikan kemungkinan yang pahit itu. Tanpa memungkinkan

kebinasaan baik laskar Banyubiru, maupun Demak.”

“Apakah aku mampu berbuat demikian?”

“Tentu,” jawab Mahesa Jenar. “Kakang tentu mampu.

Seharusnya kakang sudah berhasil mencari Karebet dan

memaksanya mengembalikan Widuri. Atau kalau Widuri benar-

benar dikehendaki oleh Pangeran Timur, maka kakang dapat

menjelaskan persoalannya.”

“Sulit bagiku Mahesa Jenar.”

“Kakang,” wajah Mahesa Jenar menjadi tegang pula. “Maafkan

aku kakang. Sebenarnya aku sedang menduga, apakah

sebenarnya kakang hendak menjauhkan Widuri dari Arya Salaka?

Atau kakang sebenarnya sedang mengangkat sebuah neraca

antara Arya Salaka dan Pangeran Timur. Namun, kakang tidak

sampai hati memberitahukannya kepada keluarga Arya Salaka?”

“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. “Jangan kau katakan

itu. Aku bukan orang gila. Aku masih sehat dan dapat berpikir

sebaik-baiknya.”

“Tetapi apa yang kakang lakukan benar-benar menimbul-kan

berbagai pertanyaan di dalam hatiku. Apakah kakang sengaja

memancing pertentangan dan membinasakan Arya Salaka untuk

menyelesaikan persoalan ini.”

“Cukup. Cukup Mahesa Jenar.”

Page 52: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 115

“Beri aku penjelasan kakang. Beri aku penjelasan supaya aku

dapat mengerti jalan pikiran kakang. Apakah kakang Kebo

Kanigara akan mempergunakan Arya Salaka untuk membinasakan

Sultan Trenggana karena dendam kakang atas runtuhnya keluarga

kakang dan lenyapnya kesempatan bagi trah Handayaningrat,

apalagi dengan terusirnya Karebet dari istana Demak?”

Wajah Kebo Kanigara itu

tiba-tiba menjadi suram.

Demikian suramnya sehingga

Mahesa Jenar terhenti dengan

sendirinya. Ia mengharap

Kebo Kanigara membela diri

dan menyatakan alasan-alasan

yang sebenarnya. Tetapi Kebo

Kanigara itu berkata, “Sampai

hati kau menuduh aku

demikian Mahesa Jenar?”

Mahesa Jenar pun kini

terdiam sesaat. Hatinya

menjadi sedemikian risaunya

sehingga terpaksa ia mengeluh

pula, “Alangkah rumitnya

persoalan kali ini. Kakang, jadi

kakang telah bertekad dan membiarkan Arya membuat

penyelesaian menurut caranya?”

Kebo Kanigara masih menundukkan wajahnya. Terasa benar

pada wajahnya yang suram itu pergolakan di dalam hatinya. Hati

yang selama ini selalu tenang dan tenteram. Namun hati itu kini

bergelora seperti lautan yang dilanda angin lautan yang dahsyat.

Perlahan-lahan Kebo Kanigara itu menjawab, “Untuk

sementara, Mahesa Jenar. Sebelum aku menemukan cara yang

lain.”

Page 53: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 115

Mahesa Jenar menarik nafas. Ia tidak akan berhasil untuk

mengubah pendirian Kebo Kanigara yang aneh dan tidak dapat

dimengertinya. Tetapi ia yakin seyakin-yakinnya, bahwa ada

sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Namun betapapun juga

alasannya, apakah ia akan dapat melihat bentrokan yang terjadi

antara Banyubiru dan Demak di hutan Prawata nanti? Apakah ia

akan dapat melihat laskar Banyubiru binasa? Laskar yang telah

berhasil melepaskan diri dari satu ujian yang maha berat,

membebaskan diri merekadari orang-orang golongan hitam.

Dankini mereka akan terperosok ke dalam kehancuran yang

mutlak? Sedang apabila Sultan tidak berprasangka akan

datangnya bahaya itu, apakah ia juga akan dapat melihat bagian

kecil dari laskar Demak dan mungkin Sultan sendiri binasa?

Mahesa Jenar itu menggeram. Dadanya serasa benar-benar

akan pecah. Namun sementara itu, ia pun tidak akan dapat berbuat

apa-apa. Karena itu, maka dengan nada yang dalam ia minta diri

kepada Kebo Kanigara itu, katanya “Baiklah kakang. Biarkan

kakang beristirahat malam ini. Mungkin pekerjaan kakang akan

menjadi semakin banyak besok.”

Kebo Kanigara menggigit bibirnya. Jawabnya lemah, “Baiklah

Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar itu pun kemudian segera meninggalkan bilik

Kebo Kanigara. Dihalaman ia mendengar kentongan dikejauhan

dalam nada dara muluk.

“Tengah malam,” gumamnya. Dan sesaat kemudian para

penjaga di halaman itu pun memukul kentongannya pula dalam

nada yang sama. Ketika Mahesa Jenar kemudian menengarahkan

wajahnya, maka dadanya berdesir. Dilihatnya bulan yang hampir

bulat mengapung di langit dengan tenangnya. Sehelai-helai awan

yang tipis terbang menyapu wajah bulan itu. Di langit yang biru,

kelelawar berterbangan berkejar-kejaran seperti sedang bergurau.

Page 54: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 115

Tetapi Mahesa Jenar samasekali tidak tertarik pada kelelawar,

pada awan dan bintang-bintang di langit. Yang sangat menarik

perhatiannya adalah bulan yang hampir penuh itu. Sehingga

perlahan-lahan ia bergumam sendiri, “Empat hari lagi purnama

penuh akan naik. Pada saat itu, Sultan Trenggana akan membuat

perkemahan di hutan Prawata. Pada saat itu Arya Salaka akan

mengepungnya dan menuntut Widuri kembali. Kalau mereka tidak

menemukan kata sepakat, maka keduanya akan bertempur dan

akan saling membinasakan.”

Kembali Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Udara

yang dingin menyentuh dadanya dan terdengar ia berdesah

perlahan-lahan. Telah terbayang dimatanya, mayat yang

bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Bukan. Sama

sekali bukan lawan. Keduanya adalah kawan. Sebab keduanya

adalah isi dari kerajaan yang seharusnya berada dalam persatuan

dan kesatuan yang bulat. Tetapi sudah hampir pasti bahwa mereka

tidak akan pernah menemukan kata sepakat. Seandainya benar

Baginda menerima Endang Widuri, maka Baginda sudah tentu

tidak akan bersedia menyerahkan apabila dihadapannya telah

mengancam sepasukan laskar. Tetapi mungkin Baginda akan

bersedia apabila ayah gadis itu sendiri datang kepadanya dan

menjelaskan persoalannya dengan baik. Tetapi Kebo Kanigara

tetap dalam pendiriannya. “Aneh” sekali lagi ia bergumam, “Aneh,

dan tidak wajar.”

Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dada Mahesa Jenar

itu. Ia dengan tiba-tiba saja teringat, bahwa masih ada seorang

yang dapat mempengaruhi pendapat Kebo Kanigara. Kalau orang

itu dapat mengerti persoalannya, dan bersedia memanggil Kebo

Kanigara, maka persoalannya masih mungkin dipecahkan. Karena

itu, maka timbullah kembali harapan di dalam dada Mahesa Jenar.

Dengan langkah yang tetap ia kemudian masuk ke dalam biliknya

untuk beristirahat. Mudah-mudahan ia akan dapat menyelesaikan

tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Page 55: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 115

Tetapi malam itu Mahesa Jenar tidak dapat beristirahat sama

sekali. Kalau ia sesaat dapat memejamkan matanya dan lupa diri,

maka seakan-akan sesuatu yang berat menghimpit dadanya,

sehingga tergagap ia bangun kembali. Berulang-ulang dan bahkan

kadang-kadang tubuhnya serasa menjadi kejang. Meskipun ia

menyadari dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi, namun untuk

beberapa lama ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya.

“Hem,” Mahesa Jenar itu menggeram. Sebagai seorang yang

terlatih, maka ia mampu menguasai tubuhnya dengan sebaik-

baiknya. Namun dalam kerisauan ini, Mahesa Jenar seakan-akan

benar-benar menjadi terganggu lahir dan batinnya.

Ketika ia bangkit dari pembaringannya di pagi-pagi benar,

maka dilihatnya Rara Wilis sedang membantu Nyai Ageng

menghidangkan minuman kepada mereka yang berada di dalam

rumah itu, kepada Ki Ageng Gajah Sora sendiri dan tamu-tamunya.

Ketika Rara Wilis itu masuk ke dalam bilik Mahesa Jenar,

tampaklah gadis itu terkejut. Dan tanpa sesadarnya ia menyapa.

“Kakang, apakah kakang sedang sakit?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tidak

Wilis. Aku tidak sedang sakit. Kenapa?”

“Kakang pucat sekali.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin

benar kata Rara Wilis, bahwa ia pucat sekali. Sambil menggosok

wajahnya Mahesa Jenar itu berkata, “Wilis duduklah sebentar. Ada

yang ingin aku katakan kepadamu.”

Rara Wilis itu pun segera duduk di samping Mahesa Jenar.

Wajahnya pun memancarkan berbagai pertanyaan. Karena itu

tidak hampir sabar ia menunggu Mahesa Jenar berkata, “Wilis.

Nanti aku antar kau pulang ke Gunungkidul”.

Page 56: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 115

Rara Wilis terkejut bukan kepalang. Sesaat ia terbungkam dan

wajahnya menjadi pucat. Ia samasekali tidak tahu maksud Mahesa

Jenar itu.

“Jangan terkejut Wilis,” sambung Mahesa Jenar. “Aku tidak

berkata sebenarnya. Tetapi aku hanya ingin kau membantuku

menyelesaikan persoalan ini.”

“Oh,” Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. “Kakang

mengejutkan aku.”

“Tetapi kau harus menjawab demikian kepada siapa pun juga,

bahwa aku hari ini akan mengantarkan kau pulang ke

Gunungkidul.”

Rara Wilis itu mengangguk kosong. Namun samasekali tidak

tahu maksud Mahesa Jenar itu.

“Pergilah ke Ki Ageng Pandan Alas. Kau harus mohon diri pula

kepada semua orang di sini. Katakan bahwa kau ingin sekali segera

kembali.”

Sekali lagi Rara Wilis itu mengangguk. Dan setelah Mahesa

Jenar memberinya beberapa pesan, maka mulailah Rara Wilis

menyampaikan maksud itu kepada Nyai Ageng Gajah Sora beserta

keluarganya.

Tentu saja semuanya yang mendengar keinginan itu terkejut

bukan kepalang. Ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka dan orang-

orang lain. Bahkan Kebo Kanigara hampir tak dapat berkata

apapun mendengar maksud itu. Dengan penuh harapan mereka

mencegah maksudnya itu. Namun, Rara Wilis dan Mahesa Jenar

tidak dapat diminta untuk menunda kepergian itu. Bahkan Arya

Salaka yang dengan penuh permintaan mengharap gurunya

mengurungkan niatnya, namun Mahesa Jenar tetap pada

pendiriannya.

Katanya kepada Arya Salaka, “Aku dapat menempuh

perjalanan itu empat hari pulang-balik. Aku akan kembali tepat

Page 57: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 115

pada saat Purnama naik, atau bahkan sebelumnya. Aku akan ikut

ke hutan Prawata dan aku akan menyaksikan apa yang terjadi”.

Ki Ageng Pandan Alas yang tenang-tenang saja melepaskan

Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi. Rara Wilis telah mengatakan

apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar. Namun bahwa orang tua

itu tidak ikut serta, adalah merupakan suatu pertanyaan yang tidak

dapat dijawab oleh orang-orang Banyubiru.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis pagi itu benar-benar pergi

meninggalkan Banyubiru. Mereka samasekali tidak membawa

bekal apapun selain senjata-senjata mereka, busur dan beberapa

anak panah untuk berburu di perjalanan.

Di regol halaman, Kebo Kanigara berbisik perlahan kepada

Mahesa Jenar, “Mahesa Jenar, apakah sebenarnya yang akan kau

lakukan?”

“Aku benar-benar akan mengantar Rara Wilis kakang,” sahut

Mahesa Jenar lemah.

“Aku menjadi ragu-ragu atas kepergianmu ini,” berkata Kebo

Kanigara pula.

“Jangan ragu-ragu kakang. Aku sedang mengungsikan Rara

Wilis, supaya seandainya Sultan benar-benar marah kepada Arya

Salaka, dan menyerang Banyubiru, gadis ini sudah aku

selamatkan.”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa sindiran itu

tepat mengenai jantungnya. Namun ia berkata pula, “Adakah

sesuatu yang tersembunyi?”

“Dada kita kini sudah tidak terbuka lagi, kakang ada yang

tersembunyi di dalam dada kakang Kebo Kanigara, dan ada yang

tersembunyi di dalam dadaku.”

“Hem,” Kebo Kanigara itu pun berdesah. Dan mereka, yang

tinggal di halaman itu terpaksa melepaskan Mahesa Jenar dan Rara

Page 58: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 115

Wilis pergi meninggalkan Banyubiru dengan beribu-ribu

pertanyaan mengiringi kepergian itu.

Sepasang kuda yang dinaiki oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis

berpacu dengan kencangnya, berderap-derap di jalan yang

berbatu-batu. Debu yang putih melontar di belakang kaki-kaki

kuda itu, namun sebentar kemudian lenyap disapu angin pagi yang

berhembus dari pegunungan.

Ketika mereka telah melampaui batas kota Banyubiru, maka

Rara Wilis sudah tidak dapat lagi menyimpan pertanyaan

dihatinya. Karena itu maka dengan ragu-ragu ia bertanya.

“Kakang, apakah sebenarnya yang akan kita lakukan?”

Mahesa Jenar berpaling. Dilihatnya wajah Rara Wilis yang

gelisah. Karena itu maka segera ia memperlambat kudanya sambil

menjawab, “Kita pergi bertamasya Wilis.”

“He?”

Mahesa Jenar tersenyum. Dan karena itu Rara Wilis menjadi

semakin heran. Dalam kesibukan yang hampir-hampir tidak

memberikan kesempatan beristirahat kepada Mahesa Jenar itu,

tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tersenyum sambil berkata

kepadanya, bahwa mereka sedang bertamasya.

Mahesa Jenar melihat kebimbangan di hati Rara Wilis. Karena

itu, maka ia tidak mau membingungkan gadis itu lebih lama lagi.

Maka jawabnya, “Aku akan pergi ke Karang Tumaritis, menghadap

Panembahan Ismaya.”

“Oh,” Rara Wilis menarik nafas. “Apakah Panembahan akan

kakang minta turut menyelesaikan persoalan ini?”

“Ya. Panembahan mempunyai pengaruh yang kuat atas

kakang Kebo Kanigara. Mudah-mudahan Panembahan dapat

memberinya beberapa petunjuk, sehingga kemungkinan-

kemungkinan yang pahit akan dapat dihindarkan.”

Page 59: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 115

Rara Wilis mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah dapat

membayangkan apa yang akan terjadi. Ia sudah melihat persiapan

yang tergesa-gesa di Banyubiru dan ia juga mendengar bahwa

Lembu Sora telah kembali ke Pamingit untuk mengambil

pasukannya.

Sepeninggalan Mahesa Jenar dan Rara Wilis, Kebo Kanigara

benar-benar menjadi gelisah. Disadarinya bahwa Mahesa Jenar

bukanlah anak-anak lagi seperti Arya Salaka, atau seorang ayah

yang sangat merasa berhutang budi kepada anaknya seperti Ki

Ageng Gajah Sora dan pamannya Ki Ageng Lembu Sora, sehingga

hampir-hampir mereka sendiri tidak sempat berpikir. Namun

Mahesa Jenar adalah seorang yang berotak tenang.

Kebo Kanigara itu pun kemudian mencoba menemui Ki Ageng

Pandan Alas. Dengan hati-hati dicobanya bertanya, “Ki Ageng,

kemanakah Mahesa Jenar itu sebenarnya akan pergi?”

Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Jawabnya

sambil tersenyum, “Bukankah sudah dikatakan, bahwa Mahesa

Jenar akan mengantarkan Wilis pulang ke Gunungkidul?

“Kenapa Ki Ageng tidak ikut serta?” bertanya Kebo Kanigara.

“Aku sudah tua. Aku akan terlalu payah untuk pergi berkuda

kesana kemari. Lebih baik aku beristirahat di sini sambil menunggu

Mahesa Jenar kembali.”

“Kenapa bukan Ki Ageng saja yang mengantarkannya?”

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Kebo Kanigara agaknya benar-

benar gelisah, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang terlontar

dari bibirnya terlalu sederhana dan tergesa-gesa. Meskipun

demikian Ki Ageng itu menjawab. “Ah. Pertanyaan yang aneh. Wilis

pasti lebih senang diantar oleh Mahesa Jenar daripada aku

antarkan.”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Jawaban itu dapat

dimengertinya. Namun persoalannya yang belum dapat juga

Page 60: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 115

dimengerti. Meskipun demikian ia tidak bertanya lagi. Kebo

Kanigara itu kembali ke dalam biliknya. Dicobanya mengotak-atik,

namun pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya

tidak juga dapat dijawabnya.

IV

Panembahan Ismaya terkejut ketika seorang cantrik datang

kepadanya, menyampaikan kabar, bahwa Mahesa Jenar dan Rara

Wilis datang ke bukit itu. Dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua

itu menyambut sendiri kedatangan tamunya.

Sambil membungkuk hormat Mahesa Jenar dan Rara Wilis

melangkah masuk ke Pondok Panembahan Ismaya. Pondok yang

dikenalnya baik-baik. Pondok yang masih juga seperti dahulu.

Sejuk dan tenang. Beberapa buah topeng masih juga tergantung

pada tiang-tiang dan dinding. Mereka terkejut ketika mereka

melihat sebuah topeng yang jelek dan kasar tergantung di antara

beberapa buah topeng yang lain. Apakah topeng itu sudah tidak

pernah dipakai lagi oleh Panembahan tua itu? Tetapi Mahesa Jenar

tidak ingin menanyakannya.

Dengan ramahnya Panembahan Ismaya itu mempersilakan

tamu-tamunya duduk dan dengan ramahnya maka Panembahan

tua itu menyapa keselamatan mereka.

“Demikianlah Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Tuhan

melindungi hamba dan keselamatan. Mudah-mudahan

Panembahan pun demikian pula hendaknya.”

“Syukurlah ngger,” sahut Panembahan Ismaya.

Sehingga sesaat kemudian maka pembicaraan mereka

menjadi semakin akrab. Panembahan Ismaya bertanya dari satu

soal ke soal lain, dari satu masalah ke masalah yang lain. Sehingga

akhirnya Panembahan itu berkata, “Aku menjadi berdebar-debar

akan kedatangan angger berdua. Aku merasa mempunyai hutang

kepada kalian. Bukankah aku sanggup datang ke Gunungkidul

Page 61: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 115

untuk mewakili orang tua Mahesa Jenar. Nah, sekarang kalian

telah datang untuk menagih janji. Tentu akan segera aku penuhi.

Kapan saja aku akan berangkat bersama angger berdua ke

Gunungkidul.”

Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Sedang wajah Rara

Wiils menjadi merah padam. Namun terdengar Mahesa Jenar

menjawab. “Terima kasih Panembahan. Memang yang pertama

kali, kedatanganku sengaja mengingatkan Panembahan akan hal

itu.”

“Aku tidak pernah lupa ngger,” sahut Panembahan.

“Maksudku, aku ingin mempercepat waktu.”

“Ah. Aku memang sudah terlalu tua, sehingga aku agak lambat

berbuat sesuatu.”

Mahesa Jenar itu menjadi gelisah ketika ia sampai pada

maksud kedatangannya. Karena itu dengan hati-hati ia ingin

berkisar dari pembicaraan tentang dirinya kepada persoalan yang

sebenarnya dibawanya. Katanya, “Panembahan, sebenarnya

disamping persoalanku pribadi itu, aku membawa persoalan lain,

yang aku kira cukup penting untuk aku sampaikan kepada

Panembahan.”

Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Kemudian

katanya, “Ah, apakah masih ada persoalan penting bagiku selain

persoalan angger berdua? Aku kira tidak. Aku tidak akan mampu

untuk memikirkan persoalan-persoalan lain.”

“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar, “Kali ini tidak ada orang

lain yang dapat memecahkannya selain Panembahan.”

Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia

berkata, “Baiklah ngger. Baiklah kau simpan dahulu persoalan-

persoalan itu. Sekarang beristirahatlah. Bukankah masih ada

waktu nanti, besok atau lusa?”

Page 62: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 115

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika ia

ingin berkata lagi, dilihatnya beberapa orang cantrik masuk ke

dalam ruangan itu sambil membawa hidangan. Sehingga karena

itu, maka ia menjadi terdiam.

Yang berkata kemudian adalah Panembahan Ismaya. “Marilah

ngger. Mungkin angger sudah lama tidak merasakan makanan

pegunungan. Air daun sere, nasi jagung dan sambal wijen.”

Sebenarnyalah bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang

lapar. Karena itu, maka mereka tidak berkeberatan ketika

Panembahan itu membawa mereka, menikmati hidangan para

cantrik itu.

Tetapi kembali Mahesa Jenar menjadi kecewa. Meskipun

kemudian mereka telah selesai makan, namun Panembahan itu

masih saja berkata. “Jangan tergesa-gesa. Beristirahatlah. Pondok

sebelah barat sampai kini masih kosong. Kebo Kanigara belum

juga pulang sejak saat mereka pergi bersama Widuri ke Banyubiru

bersama angger berdua.”

Mahesa Jenar benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk

segera mengatakan maksudnya. Karena itu, maka dengan kecewa

mereka beristirahat di pondok sebelah barat. Pondok yang dahulu

pernah di tempatinya pula. Pondok itu masih juga seperti dahulu.

Dari ruangannya mereka dapat melihat pohon-pohon yang

rindang. Kebun bunga-bunga yang subur dan jauh dihadapannya

mereka terbentang sebuah ngarai yang subur pula, dimana para

cantrik bercocok tanam.

Mahesa Jenar berdesir, ketika tiba-tiba saja teringat pula

olehnya bahwa kebun bunga itu pernah dirusaknya oleh Sawung

Sariti dan kemudian oleh Sima Rodra betina dari Gunung Tidar.

Bulu-bulu kuduknya berdiri ketika dikenangnya, dibawah bukit itu

pernah terjadi suatu malam yang mengerikan. Dimana janda Sima

Rodra mengadakan semacam upacara untuk menyatakan

kegembiraan mereka setelah mereka berhasil menangkap Rara

Page 63: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 115

Wilis. Kebiadaban yang pernah terjadi antara orang-orang dari

golongan hitam itu.

Tiba-tiba tanpa disengaja Mahesa Jenar berpaling kepada Rara

Wilis yang agaknya benar-benar merasa penat setelah perjalanan

yang berat itu.

“Wilis,” katanya, “Kau ingat daerah ini? Daerah yang pernah

merayakan kehadiranmu di antara mereka? Kau ingat?”

Rara Wilis mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah itu

pernah terjadi?”

“Ah, seharusnya kau tidak akan dapat melupakan. Bukankah

di bawah bukit ini kau mendapat sambutan yang sangat meriah?

Kau ingat tentu. Di bawah bukit ini menunggu ibu tirimu yang akan

mencarikan buat kau seorang menantu dari Nusa Kambangan.”

“Ah,” tiba-tiba Rara Wilis bangkit dan dengan kedua tangannya

ia mencubit Mahesa Jenar sekeras-kerasnya.

Mahesa Jenar menyeringai kesakitan. Katanya, “Wilis, apakah

kau sedang mengetrapkan aji Cunda Manik.”

Rara Wilis mencubit semakin keras, dan Mahesa Jenar itu

terpaksa berkata, “Sudahlah. Sudah. Aku bertobat sekarang.”

“Kalau kakang menyebutnya sekali lagi,” jawab Rara Wilis.

“Maka aku benar-benar akan mengetrapkan aji Cunda Manik. Aku

tidak takut seandainya kakang melawan dengan Sasra Birawa.”

“Akulah yang takut,” sahut Mahesa Jenar.

Rara Wilis itu pun duduk kembali. Namun kengerian benar-

benar telah merayapi dadanya. Sehingga karena itu, maka tiba-

tiba ia merenung.

Ruangan itu kemudian menjadi sunyi. Angin pegunungan

berhembus perlahan-lahan menggoyang-goyangkan perdu di

Page 64: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 115

halaman. Terasa silirnya angin mengusap tubuh-tubuh mereka,

sehingga terasa betapa sejuknya udara pegunungan itu.

Namun Mahesa Jenar masih saja digelisahkan oleh persoalan

yang dibawanya ke bukit ini. Ia tidak mengerti, kenapa

Panembahan tidak segera mau menerima persoalan itu. Sehingga

kemudian Mahesa Jenar itu menjadi berbimbang hati. Apakah

Panembahan benar-benar belum mendengar persoalan ini? Karena

kebimbangan itu, maka dada Mahesa Jenar justru menjadi

berdebar-debar. Dan karena itulah maka seakan-akan ia tidak

sabar lagi menunggu.

Desakan di dalam dadanya itu menjadi sedemikian kuatnya

sehingga dengan serta merta ia berkata kepada Rara Wilis. “Wilis,

kenapa Panembahan tidak mau mendengar persoalan ini segera?”

Wilis terkejut. Ketika ia berpikir dilihatnya wajah Mahesa Jenar

menjadi bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Wilis

merasakannya pula, bahwa kali ini Mahesa Jenar tidak bergurau

lagi.

“Aku menjadi ragu-ragu Wilis,” berkata Mahesa Jenar. “Apakah

Panembahan sengaja menghindarinya?”

Tiba-tiba Mahesa Jenar itu berdiri. Dan dengan serta merta ia

berkata, “Marilah kita menghadap sekarang.”

Rara Wilis mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apakah

Panembahan tidak menjadi gusar karenanya?”

“Kita katakan, bahwa kita akan segera kembali.”

Rara Wilis tidak menjawab. Diikutinya saja kemana Mahesa

Jenar pergi. Kepada seorang cantrik Mahesa Jenar menyatakan

keinginannya untuk bertemu Panembahan.

“Sampaikan kepada Panembahan. Aku berdua akan mohon

diri.”

Page 65: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 115

Sekali lagi Panembahan terkejut. Sekali lagi dengan tergopoh-

gopoh ditemui Mahesa Jenar. Katanya, “Kenapa angger

sedemikian tergesa-gesa?”

“Panembahan,” sahut Mahesa Jenar. “Sudah aku katakan,

bahwa kedatanganku membawa persoalan yang perlu segera aku

sampaikan kepada Panembahan, Banyubiru sekarang sedang

mempersiapkan perang.”

“Perang,” Panembahan itu terkejut sekali, sehingga sesaat ia

berdiam diri memandangi Mahesa Jenar dengan tanpa berkedip.

“Ya,” sahut Mahesa Jenar. “Apakah Panembahan belum

mendengar bahwa Widuri telah hilang?”

“Oh,” Panembahan itu semakin terkejut. “Widuri anak Kebo

Kanigara maksudmu?”

“Ya Panembahan?”

“Bagaimana mungkin anak itu hilang?”

“Widuri hilang karena pokal Karang Tunggal. Tegasnya Widuri

diculik oleh Karang Tunggal itu.”

Tampaklah wajah Panembahan Ismaya itu berubah. Sambil

mengangguk-anggukkan kepalanya ia bergumam. “Anak itu tidak

juga menjadi jera.”

Mahesa Jenar itu pun segera menceriterakan serba singkat apa

yang diketahuinya tentang hilangnya Widuri. Dan akhirnya ia

berkata, “Panembahan, apakah kemungkinan pertumpahan darah

itu tidak akan dapat dihindari?”

Panembahan Ismaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian

katanya perlahan-lahan, “Kenapa Sultan Trenggana itu tidak saja

menghendaki gadis yang lain?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin

heran mendengar tanggapan Panembahan Ismaya itu.

Page 66: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 115

Panembahan Ismaya samasekali tidak menyesalkan tindakan

Karebet atau ketergesa-gesaan Kebo Kanigara, tetapi yang mula-

mula disesalkan adalah Sultan Trenggana. Apalagi ketika

Panembahan itu berkata, “Adalah wajar sekali kalau Kebo Kanigara

menjadi marah.”

“Tetapi kemarahan kakang Kebo Kanigara berlebih-lebihan

Panembahan. Apakah kakang Kebo Kanigara tidak dapat

mengambil cara lain, sehingga pertumpahan darah itu tidak

terjadi. Arya Salaka yang merasa kehilangan pula, mungkin akan

dapat reda, apabila Kakang Kebo Kanigara mencoba menempuh

cara yang lain.”

Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Sekali lagi

jawabnya mengejutkan Mahesa Jenar, “Mungkin Kebo Kanigara

dan Arya Salaka memperhitungkan juga harga diri mereka,

sehingga mereka tidak akan dapat datang kepada Trenggana dan

mohon belas kasihan kepada Sultan itu.”

Mahesa Jenar kini benar-benar menjadi bingung. Apakah

dirinya sendirilah yang kini telah kehilangan kejantanannya

sehingga ia memandang persoalan itu sebagai persoalan yang

harus diselesaikan tanpa pertumpahan darah? Ataukah karena ia

sudah terdorong kepada suatu keinginan untuk berumah tangga,

sehingga penyelesaian yang diangankannya itu benar-benar

sebagai suatu tindakan yang terlalu lemah dan bahkan telah

mengorbankan harga dirinya? “Apakah aku telah berubah?”

pertanyaan itu timbul didalam hatinya. Meskipun demikian maka

ia mencoba berkata pula, “Panembahan, mungkin kakang Kebo

Kanigara tidak mau mengorbankan harga dirinya, mungkin pula

karena sebab-sebab lain, sebab-sebab yang tidak dapat aku

mengerti. Tetapi bagaimanakah kalau permohonan itu dilakukan

oleh orang lain? Oleh Panembahan misalnya. Bahkan Pangeran

Buntara masih juga mempunyai sangkut paut yang dekat dengan

Sultan Trenggana?”

Page 67: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 115

“Jangan sebut nama itu lagi Mahesa Jenar,” sahut Panembahan

itu. “Pangeran Buntara telah tidak ada lagi. Yang ada sekarang

Panembahan Ismaya.”

“Apakah Pasingsingan yang sakti juga tidak dapat berbuat

sesuatu untuk meredakan pertentangan ini? Misalnya dengan

mengambil Karebet dan dengan pengaruhnya memaksa Karebet

menyerahkan Widuri kembali?”

“Dengan demikian soalnya juga tidak akan selesai, Mahesa

Jenar. Seandainya Karebet dapat menyerahkan Widuri kembali,

sedang Sultan Trenggana masih menghendakinya, maka kau juga

akan dapat membayangkan akibatnya.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar

tidak dapat mengerti keadaan itu. Hampir saja Mahesa Jenar

melihat kesalahan itu pada dirinya sendiri. Pada keruntuhan yang

dialami. Hampir-hampir ia mengambil kesimpulan, bahwa ia tidak

dapat mengerti sikap Kebo Kanigara dan Arya Salaka karena ia

telah kehilangan kejantanannya. Namun berkali-kali terngiang di

dalam hatinya. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan pertumpahan

darah itu terjadi.”

Karena itu maka tiba-tiba Mahesa Jenar itu memberanikan diri

berkata, “Panembahan. Baiklah aku mencoba sekali lagi. Kalau

kakang Kebo Kanigara dan Panembahan ternyata berpendapat

bahwa Sultan Trenggana yang bersalah, karena menghendaki

Endang Widuri itu, maka biarlah aku mencoba. Aku ingin

menghadapkan Sultan Trenggana pada suatu pilihan. Mudah-

mudahan dengan demikian terhindarlah segala bencana.”

“Apakah yang akan kau lakukan?” bertanya Panembahan

Ismaya.

“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar kemudian dengan

takzimnya. “Bukan maksudku untuk menjual jasa. Baik kepada

Sultan Trenggana maupun kepada siapa pun juga. Maafkan aku,

kalau ternyata kemudian tidak berkenan di hati Panembahan. Aku

Page 68: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 115

ingin menghadapkan Sultan Trenggana kepada suatu pilihan.

Keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang sampai sekarang

belum kembali ke istana, atau Endang Widuri.”

“Mahesa Jenar,” potong Panembahan Ismaya. Wajahnya

sesaat menjadi tegang. Namun kemudian wajah itu menjadi

tenang kembali. Perlahan-lahan Panembahan itu berkata, “Apakah

maksudmu?”

“Panembahan. Kalau berkenan di hati Panembahan, maka

apakah Panembahan sendiri, apakah kakang Kebo Kanigara

apakah Arya Salaka, biarlah salah seorang daripadanya

menghadap Sultan, memohon untuk menukar Endang Widuri

dengan pusaka-pusaka itu.”

“Mahesa Jenar,” berkata Panembahan. “Kedua pusaka itu

adalah hakmu. Biarlah kau miliki hak itu. Kau akan mendapat

tempat tersendiri dengan mengembalikan keris-keris itu ke istana.

Kalau keris-keris itu diserahkan untuk keperluan yang lain, maka

kau akan kehilangan hak itu. Keris itu akan kembali, dan Endang

Widuri akan kembali pula. Seakan-akan telah terjadi jual beli di

antara mereka, sehingga usahamu selama ini akan tidak mendapat

penghargaan apapun juga. Sebab tukar menukar itu telah

berlangsung.”

“Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Aku samasekali tidak

memimpikan penghargaan apapun juga. Biarlah seandainya

dengan demikian aku tidak mendapat apapun. Memang aku tidak

mengharapkan apapun itu. Namun dengan demikian, maka

terhindarlah kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan.

Apakah artinya jasa yang dapat aku persembahkan kepada

Demak, apabila Demak akan mengalami bencana? Apakah artinya

penghargaan yang akan aku terima, kalau Demak mengalami

cidera. Panembahan, biarlah aku dilupakan, tetapi Demak akan

tetap dalam keadaannya sekarang. Mudah-mudahan justru karena

itu, Demak akan menjadi semakin jaya. Karena itu, biarlah kedua

keris itu, Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten kembali ke istana,

Page 69: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 115

kembali ke gedung perbendaharaan. Tidak perlu Mahesa Jenar

yang menyerahkannya. Tidak perlu Mahesa Jenar yang dianggap

berjasa menemukannya.”

Panembahan Ismaya menundukkan wajahnya. Tampaklah

wajah itu berkerut-kerut. Terasa betapa Panembahan tua itu

menahan perasaan yang meluap-luap di dalam dadanya. Sekali ia

mengangkat wajahnya, namun kembali wajah itu ditundukkannya.

Sesaat ruangan itu menjadi sepi. Mahesa Jenar menunggu

dengan hati yang sangat berdebar-debar, apakah Panembahan

Ismaya akan mengijinkannya. Karena keris-keris itu sekarang

berada di tangan Panembahan itulah, maka Mahesa Jenar

menggantungkan keadaan kepadanya.

Tetapi alangkah kecewanya Mahesa Jenar itu. Alangkah

pahitnya perasaannya ketika ia melihat Panembahan Ismaya itu

menggelengkan kepalanya sambil berkata lirih. “Jangan Mahesa

Jenar. Jangan. Biarlah orang lain menyelesaikan persoalannya

sendiri. Biarlah kau nanti membawa persoalanmu sendiri pula.”

“Panembahan,” suara Mahesa Jenar menjadi parau karena

hatinya yang pedih. “Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah

sebenarnya yang akan menimpa Demak di saat-saat terakhir ini.

Aku telah mencoba menghubungi Kakang Kebo Kanigara, namun

aku tidak mendapat tanggapan yang sewajarnya. Kini aku

mencoba menghadap Panembahan dan bahkan aku ingin mencoba

mempergunakan kedua pusaka-pusaka Istana itu. Namun aku

menjumpai pendirian yang samasekali tidak dapat aku mengerti

Panembahan, apakah benar-benar aku telah berubah menjadi

seorang pengecut yang takut melihat darah tertumpah. Apakah

aku kini sudah tidak pantas lagi ikut serta mempersoalkan perkara-

perkara yang rumit seperti sekarang? Kalau demikian

Panembahan, maka biarlah aku menyingkir. Meskipun umurku

belum terlalu tua, tetapi pendiriankulah yang sudah tidak sesuai

lagi dengan keadaan kini.”

Page 70: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 115

Dada Panembahan Ismaya itu benar-benar bergelora. Tetapi

tak dapat ia berbuat lain. Sehingga karena itu, maka tampaklah

alangkah ia menjadi gelisah.

“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar kemudian, “Apabila

demikian keadaannya, maka baiklah aku mohon diri. Aku tidak

melihat peristiwa itu terjadi. Biarlah aku langsung menunju ke

Gunungkidul. Biarlah aku kini menjadi seorang yang tidak berarti

apa-apa lagi. Dan apabila sampai saatnya pun aku tidak akan

bersedia menyerahkan keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk

Inten. Biarlah orang lain melakukannya.”

“Jangan. Jangan Mahesa Jenar. Aku dapat merasakan betapa

hatimu seakan-akan terpecah karenanya. Tetapi jangan

mengasingkan dirimu seperti itu. Mungkin aku dapat memberi kau

petunjuk dalam persoalan yang kau hadapi sekarang. Meskipun

sebenarnya tidak seharusnya aku katakan. Tetapi aku tidak sampai

hati melihat kau menjadi kehilangan kepercayaan pada dirimu dan

pendirianmu. Usahamu menghindarkan pertumpahan darah

seharusnya dihargai. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa.

Jangan bertanya lagi kepadaku dan kepada Kebo Kanigara.

Pergilah ke Banyubiru kembali. Temuilah Ki Buyut Banyubiru. Ki

Lemah Telasih. Mungkin kau akan mendapat sedikit penjelasan

yang kau perlukan.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia melihat lebih

jelas lagi. Bahwa sebenarnya ia berada dalam suatu lingkaran yang

sangat asing baginya. Ternyata bahwa jalur-jalur yang dipasang

oleh Kebo Kanigara dalam menghadapi persoalan puterinya telah

sampai ke Karang Tumaritis. Sekarang, barulah diingatnya bahwa

sebenarnya Panembahan Ismaya telah pula terlibat dalam

persiapan yang dilakukan oleh Kebo Kanigara. Tetapi yang masih

gelap baginya, apakah sebenarnya yang akan terjadi? Mahesa

Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Lemah Telasih. Ia

harus pergi kepada orang itu. Apa pun yang akan dilakukan, maka

usaha itu masih belum dilepaskannya.

Page 71: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 115

Saat itu pula Mahesa Jenar dan Rara Wilis mohon diri kepada

Panembahan Ismaya. Meskipun Panembahan Ismaya minta

mereka berdua untuk bermalam, namun Mahesa Jenar terpaksa

tidak dapat memenuhinya.

“Nanti Panembahan. Pada saat Purnama naik, aku akan

menghadap Panembahan.”

Panembahan itu berpikir sejenak. Tampak ia menjadi ragu-

ragu. Katanya bertanya, “Bukankah pada saat Purnama naik

Banyubiru akan mengalami ketegangan?”

“Ya Panembahan,” sahut Mahesa Jenar.

“Kenapa kau akan meninggalkan tempat itu untuk datang

kemari?”

“Lebih baik aku tidak menyaksikan peristiwa itu. Biarlah aku di

sini menenangkan hati bersama Panembahan.”

Panembahan tua itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia

mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya. “Sejak dahulu

aku sudah mengatakan kepadamu Mahesa Jenar, bahwa

wawasanmu benar-benar tajam. Biarlah aku katakan terus terang,

bahwa nanti pada saat purnama naik aku tidak ada di Padepokan

ini. Bukankah itu yang akan kau katakan kepadaku? Ternyata kau

benar. Dan sebahagiaan dari dugaan-dugaanmu yang lain pun aku

kira benar pula.”

Mahesa Jenar tidak dapat menanyakan lagi, atau

memancingnya dengan persoalan-persoalan lain. Sehingga karena

itu, maka ia pun segera bermohon diri untuk meninggalkan

Padepokan itu.

Ketika Mahesa Jenar menuntun kudanya meninggalkan pondok

itu, dilihatnya Panembahan Ismaya benar-benar menjadi gelisah.

Terasa ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun ditahannya

kuat-kuat. Sehingga Mahesa Jenar pun merasakan ketegangan di

dalam dada Panembahan Ismaya. Tetapi ketegangan itu langsung

Page 72: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 115

mempengaruhinya pula, sehingga dadanya pun menjadi tegang.

Namun Mahesa Jenar berjalan terus menuntun kudanya bersama

Rara Wilis. Demikian mereka melampaui pagar halaman, segera

mereka berdua itu pun berlari menuruni tebing bukit Telamaya.

Beberapa lama Panembahan Ismaya masih tegak di ambang

pintu. Wajahnya yang tua tampaknya menjadi semakin tua.

Perlahan-lahan dianggukkannya kepalanya dan terdengar ia

bergumam. “Kalian masih seperti dahulu. Kalian masih dalam

pengabdian yang luhur.”

Tiba-tiba Panembahan itu pun segera masuk ke dalam

pondoknya. Dipanggilnya seorang cantrik dan kemudian katanya.

“Aku akan berada di dalam sanggar. Jangan bangunkan aku

sampai tiga hari setelah purnama naik.”

“Baik Panembahan,” sahut cantrik itu.

Panembahan itu pun segera mempersiapkan dirinya untuk

masuk ke dalam sanggarnya.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis yang meninggalkan bukit Karang

Tumaritis berkuda dengan kecepatan sedang. Sekali-kali Rara Wilis

menanyakan beberapa soal kepada Mahesa Jenar, namun Mahesa

Jenar sendiri masih belum mampu mengambil kesimpulan apa-

apa.

V

Semalam sebelum purnama naik, hutan Prawata telah sibuk

dengan persiapan perkemahan yang akan dipakai oleh Baginda.

Besok pagi-pagi Baginda akan sampai di hutan itu untuk suatu

masa perburuan yang akan memakan waktu sepekan sampai

sepuluh hari.

Beberapa orang yang mendahului Baginda telah mendapat

tugas membangun beberapa buah perkemahan untuk para

pengikut Baginda. Namun agaknya kali ini Baginda tidak membawa

Page 73: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 115

banyak pengikut. Beberapa perwira Wira Tamtama, akan beberapa

orang lagi dari kesatuan-kesatuan lain, di bawah pengawalan

kesatuan Nara Manggala.

Hutan yang sepi itu tiba-tiba menjadi ramai dan riuh. Di malam

hari sebelum Purnama naik, lampu-lampu obor telah menyala

bertebaran di sekitar perkemahan, yang di bangun di sebuah

lapangan rumput yang agak luas di tengah-tengah hutan itu.

Sementara itu, Banyubiru pun menjadi ramah. Namun penuh

dengan ketegangan. Laskar dari Pamingit telah siap pula di alun-

aun Banyubiru, sedang laskar Banyubiru sendiri dengan penuh

tekad telah menggenggam senjata masing-masing di tangan

mereka.

Arya Salaka telah memerintahkan kepada mereka, bahwa

apabila nanti saatnya matahari tenggelam, laskar itu harus mulai

bergerak. Malam itu mereka akan merayap mendekati hutan

Prawata dan besok malam pada saat Purnama naik, mereka harus

sudah mengepung perkemahan Baginda. Arya Salaka sendiri akan

memimpin seluruh laskar Banyubiru dan Pamingit.

Telah bulat tekad di dalam dadanya. Kalau Baginda menerima

Endang Widuri dari Karebet, maka apapun yang akan terjadi.

Widuri akan direbutnya dengan kekerasan. Kalau tidak dan

Karebet sendiri ingin bertahan dengan pasukan Wira Tamtama

yang dipimpinnya, maka Arya Salaka akan sanggup

menghancurkannya, seandainya Karebet tidak bersedia

menyerahkan Widuri. Laskar yang dibawanya pasti akan

berpengaruh atas tuntutannya. Kalau ia datang tanpa kekuatan,

maka ia pasti akan diabaikan. Tetapi dengan kekuatan

dibelakangnya, maka mau tidak mau permintaannya untuk

menerima kembali Widuri pasti akan dipertimbangkan.

Dengan gelisahnya Arya Salaka menunggu matahari terbenam

di kaki langit. Sekali-kali ia berjalan mondar-mandir di halaman

rumahnya. Sekali-kali dilayangkan pandangannya ke pada laskar

Page 74: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 115

yang sudah bersedia sepenuhnya di alun-alun. Dipendapa

rumahnya dilihatnya telah siap dalam kesigapan tempur,

pamannya, Lembu Sora, Kebo Kanigara, dan ayahnya. Namun

tampaklah Ki Ageng Sora menjadi pucat dan gemetar. Terasa

sesuatu bergelora di dalam dadanya. Ia sendiri tidak mampu

bertempur melawan laskar Demak yang memadai Gula Kelapa.

Apalagi kini. Di antara mereka terdapat Baginda sendiri.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis duduk pula di pendapa itu

bersama Ki Ageng Pandan Alas. Meskipun dilambung Wilis

tergantung sebilah pedang, namun kebimbangan yang besar

tampak membayang di wajahnya.

Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Tampaklah mulutnya bergerak- gerak. Tetapi ia tidak mengatakan

sesuatu. Sedang Mahesa Jenar duduk termenung memandang

langit dikejauhan yang semakin lama menjadi semakin suram.

Sesuram hati Arya Salaka.

Arya Salaka yang kemudian duduk pula di tangga pendapa itu,

menunggu dengan dada yang bergolak. Terbayang di dalam

angan-angannya, apakah kira-kira yang telah terjadi dengan

Endang Widuri. Kenapa seorang gadis yang memiliki ilmu tata bela

diri itu tidak sempat membebaskan dirinya dari Karebet? Dan

sebenarnyalah Endang Widuri telah berusaha sekuat-kuat

tenaganya. Tanpa dilihat oleh seorang pun maka Widuri itu telah

bertempur dengan gigihnya.

Pagi itu Widuri sedang mencuci pakaiannya di belumbang,

ketika tiba-tiba saja Karebet muncul disampingnya. Gadis itu

terkejut bukan buatan. Tetapi ketika dilihatnya yang datang itu

Karebet, maka ia menjadi gembira.

Namun kembali Widuri itu terkejut, ketika Karebet tiba-tiba

mengajaknya pergi ke Demak.

“Kenapa ke Demak?” bertanya Widuri.

Page 75: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 115

Karebet memandangi wajah Widuri dengan pandangan yang

aneh. Katanya sambil tersenyum-senyum. “Buat apa kau tinggal

di pedukuhan yang sepi ini? Ikutlah aku ke Demak. Kau akan mukti

disana.”

“Apakah kau sudah menjadi gila, kakang,” bentak Widuri.

Namun Karebet masih juga tersenyum-senyum, sehingga

Widuri itu pun menjadi takut pula karenanya. Tetapi Widuri tidak

sempat berbuat apa-apa. Meskipun kemudian Widuri berusaha

membela diri, namun Karebet bukanlah lawannya. Widuri tidak

dapat bertahan, sehingga akhirnya dapat dilumpuhkan. Dalam

keadaan pingsan maka gadis itu dibawa menghilang, masuk ke

dalam semak-semak.

Kini Arya Salaka sudah siap untuk merebutnya dengan

segenap kekuatan yang mungkin dikerahkannya.

Demikianlah, maka ketika matahari telah hilang dibalik

cakrawala, maka segera Arya Salaka bersiap. Dengan langkah

yang tetap ia berjalan ke alun-alun dihadapan rumahnya.

Diberikannya beberapa perintah, dan para pemimpin laskar

Banyubiru dan Pamingit segera memahaminya. Laskar Banyubiru

berada di bawah pimpinan Bantaran sedang laskar Pamingit

berada di bawah pimpinan Wulungan. Dibelakang Arya Salaka

berdiri beberapa orang yang akan menjadi kekuatan laskar

Banyubiru dan Pamingit itu. Gajah Sora, Lembu Sora, Kebo

Kanigara, Mahesa Jenar, Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis.

Namun tak seorang pun yang tahu di antara mereka, apakah yang

tersimpan di dalam dada masing-masing. Meskipun mereka berdiri

berjajar dalam barisan yang sama, namun barisan Arya Salaka kali

ini adalah barisan yang penuh menyimpan berbagai persoalan di

setiap dada mereka. Persoalan yang satu sama lain berbeda-beda

dan satu sama lain bertolak dari kepentingan yang berbeda pula.

Tetapi yang tampak, yang kasat mata, mereka kemudian

berjalan beriringan di belakang laskar Banyubiru dan Pamingit

Page 76: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 115

yang dengan tekad yang menyala di dalam dada mereka, pergi

menuju ke hutan Prawata.

Tepat pada saat purnama naik, maka hutan Prawata benar-

benar menjadi sangat ramainya. Di dalam setiap barak kini sudah

terpancang obor-obor dan di hampir setiap sudut-sudutnya pun

diterangi dengan nyala-nyala lampu obor pula. Di pinggir lapangan

rumput dibuat orang sebuah perapian yang besar. Nyalanya

seakan-akan menggelepar menggapai daun-daun pepohonan yang

berjuntai di atasnya. Cahaya yang kemerah-merahan terlempar

jauh menusuk ke dalam sela-sela daun-daun yang tidak begitu

rimbun.

Baginda kini telah berada di dalam barak yang terbesar di

tengah-tengah barak- barak yang lain. Sebagai seorang pemburu,

maka Baginda dapat hidup di dalam lingkungan yang sangat

sederhana. Barak dari batang ilalang dan dedaunan. Pembaringan

yang dibuat dari kulit-kulit kayu dan bambu, serta segala macam

peralatan yang sederhana. Hidup yang sedemikian merupakan

selingan yang menggembirakan bagi Baginda yang kadang-kadang

menjadi terlalu jemu dengan isi istana. Di dinding-dinding barak

itu, kini tergantung busur dan anak panah. Pedang, tombak dan

segala macam senjata. Bukan saja senjata-senjata untuk berburu,

namun juga senjata-senjata untuk berperang dari para pengawal

Baginda.

Malam yang demikian akan menjadi sangat menyenangkan

bagi para prajurit dan Baginda sendiri. Biasanya Baginda mulai

berburu pada malam pertama. Pada malam bulan sedang bulat

sebulat-bulatnya. Seperti malam itu, dimana langit bersih dan

bintang-bintang bertaburan. Sinar bulan yang cemerlang

menyusup ke dalam rimba yang tidak begitu pepat, menari-nari di

atas tanah yang lembab.

Tetapi malam ini keadaan Baginda tidak sedemikian gembira

seperti biasanya. Tampaklah Baginda menjadi muram dan gelisah.

Sekali-kali Baginda memandangi busur-busur yang tergantung di

Page 77: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 115

dinding barak. Serta pusakanya, sebilah keris, tidak juga

dilepaskannya. Terasa sesuatu yang selalu membayangi

kegembiraan Baginda.

Ketika seorang perwira masuk ke dalam biliknya beserta

seorang prajurit, maka segera Baginda memanggilnya duduk

dekat-dekat di hadapannya.

“Jangan hiraukan lagi subasita. Kita sekarang sama-sama

seorang pemburu.”

“Tidak Baginda,” perwira itu menyembah. “Ternyata kita belum

sempat untuk berburu malam ini atau malam besok.”

“Bagaimana dengan kabar itu?”

“Hamba telah menyaksikan sendiri. Perkemahan ini telah

dikepung rapat-rapat.”

Baginda menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya

kepada perwira itu, “Paningron. Apakah kau dapat menduga

kekuatannya?”

“Tidak secara cepat Baginda. Tetapi kira-kira dua tiga kali lipat

kekuatan kita di sini.”

Baginda terdiam sesaat. Perwira itu, yang tidak lain adalah

Paningron, menunggu apakah yang harus dikerjakannya. Pasukan

yang ikut serta dengan Baginda memang tidak begitu banyak,

sebab Baginda hanya sekadar ingin berburu. Namun tiba-tiba kini

Baginda Sultan telah berhadapan dengan sepasukan laskar yang

sedemikian kuatnya, sehingga Baginda harus berhati-hati

menghadapinya.

Sejenak kemudian baginda itu pun berdiri. Dilepaskannya baju

keprajuritan yang dikenakannya. Kemudian kepada prajurit yang

duduk di sampingnya Baginda berkata, “Berikan bajumu.”

Page 78: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 115

Prajurit itu menjadi terheran-heran. Namun sekali lagi Baginda

itu berkata, “Berikan baju dan kelengkapanmu.”

Prajurit itu menjadi terheran-heran. Dibukanya bajunya dan

diserahkannya kepada Sultan, yang segera dipakainya.

“Terlalu kecil,” gumam Sultan.

“Ya,” sahut Paningron yang segera dapat mengetahui maksud

Sultan.

“Apakah baju ini tidak pernah kau cuci?” bertanya Baginda

sambil tersenyum. “Baju itu hamba pakai sejak hamba

mempersiapkan diri semalam Baginda,” sahut prajurit itu.

“Pantas?”

“Apanya Baginda”

“Baunya,” jawab Baginda sambil tersenyum Prajurit itu

tersenyum pula. Tetapi ia tidak dapat tersenyum lagi ketika

Baginda berkata, “Kau tinggal di dalam barak ini. Kalau ada orang

yang ingin masuk, jangan kau beri kesempatan. Jawabnya seperti

aku menjawab,“ Jangan ganggu aku.”

“Tetapi suara hamba Baginda,” jawab prajurit itu.

Baginda berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Baik, kalau

begitu tutup pintu. Jangan kau bukakan apabila aku tidak

memanggil namamu.”

“Hamba Baginda.” Baginda dan Paningron segera

meninggalkan bilik itu yang kemudian segera ditutupnya. Penjaga

yang melihat mereka keluar dalam keremangan bulan Purnama,

tidak menyangka bahwa orang itu adalah Baginda sendiri.

Ternyata Baginda membawa Paningron untuk melihat sendiri

kekuatan orang-orang yang telah mengepung mereka dengan

rapatnya. Hampir di setiap pohon bersandar seorang yang

bersenjata. Di sela-sela pepohonan Baginda melihat cahaya

Page 79: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 115

perapian yang menyala-nyala. Dan karena itulah maka Baginda

kadang-kadang dapat melihat bayangan orang yang berjalan hilir

mudik.

“Kau benar Paningron,” berkata Baginda. “Kekuatan itu benar-

bebar tidak dapat diabaikan.”

“Hamba telah meneliti tuanku.”

Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan

mengendap-endap Baginda itu berkata, “Siapakah yang

memimpinnya?”

“Hamba kurang tahu Baginda. Tetapi sudah hamba saksikan

sendiri di Pamingit, kekuatan Banyubiru benar-benar

mengagumkan. Apalagi kini mereka telah bergabung bersama

kekuatan-kekuatan dari Pamingit.”

“Apakah Rangga Tohjaya masih di Banyubiru?”

“Hamba tuanku.”

“Apakah ia ikut dalam barisan itu?”

“Belum hamba ketahui.”

Baginda menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa

apabila laskar Banyubiru itu lengkap dengan segenap

pimpinannya, maka kekuatan Banyubiru benar-benar

mengagumkan.

Paningron yang melihat Baginda kemudian termenung, segera

berkata, “Baginda, apakah hamba dapat mengirim seseorang

untuk memanggil pasukan yang cukup untuk mengusir orang-

orang Banyubiru.”

Baginda diam sesaat. Dipandangnya nyala api yang melonjak-

lonjak di sela-sela pepohonan. Nyala api dari perapian orang-orang

Banyubiru. Namun perlahan-lahan Baginda menggelengkan

Page 80: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 115

kepalanya. “Jangan Paningron. Orang itu tidak akan dapat

menembus kepungan orang-orang Banyubiru.”

“Hamba sendiri sanggup melakukan Baginda. Hamba dapat

melampauinya dengan kuda yang berpacu kencang-kencang.”

“Akan sama saja bahayanya, Paningron.”

Paningron tidak lagi berkata-kata. Diikutinya saja kemudian

Baginda berjalan berkeliling. Tiba-tiba di sudut lapangan rumput

itu Baginda berhenti. Digesernya pusakanya dan dengan serta

merta dirabanya hulu pusaka itu. Paningron pun segera melihat,

sebuah bayangan yang berdiri tegak dihadapan mereka.

“Siapa?” bertanya Paningron perlahan-lahan.

“Apakah aku berhadapan dengan Baginda?” desis bayangan

itu.

“Oh” sahut Baginda.

“Eyang ternyata benar-benar datang.”

“Tentu cucunda Baginda” sahut bayangan itu.

“Hamba sudah berjanji.”

“Nah. Bagaimana dengan orang-orang itu, eyang?”

“Sudah hamba katakan Baginda, itulah yang dapat hamba

sampaikan kepada Baginda malam ini. Seperti yang pernah hamba

sampaikan sebelumnya.”

“Hem. Apakah nilai nama Sultan Trenggana dapat dipakai

untuk kepentingan seorang Karebet.”

“Jangan Baginda menilai Karebet kini. Tetapi Karebet pada

masa datang akan mempunyai nilai tersendiri dalam hati Baginda.

Dan bukankah Baginda juga seorang ayah yang baik.”

“Persetan dengan anak itu.”

Page 81: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 115

“Tetapi puteri Baginda akan dapat menderita seumur

hidupnya. Dan bahkan mungkin mengancam jiwanya.”

Baginda itu pun kemudian termenung sesaat. Ternyata

Baginda tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa puteri Baginda

telah mencoba untuk membunuh dirinya. Untunglah maksud itu

dapat di urungkan. Entah karena malu, entah karena Karebet yang

hilang. Namun untuk seterusnya tak dapat memandang hari-hari

yang dilampauinya dengan gairah. Apalagi sebenarnya Sultan

sendiri tidak terlalu membeci Karebet. Justru Baginda sendiri

pernah melihat kelebihan-kelebihan yang ada pada anak itu.

“Bagaimana Baginda?” bertanya bayangan itu.

“Hem. Eyang telah membingungkan aku. Kalau aku

membiarkan pemberontakan ini, maka peristiwa yang serupa akan

dapat terjadi dihari-hari yang akan datang.”

“Mereka samasekali tidak memberontak terhadap Baginda.

Mereka datang untuk mencari Karebet.”

Sekali lagi Baginda termenung. Dan didengarnya bayangan itu

berkata, “Selain dari itu Baginda, bukankah hamba telah menolong

Baginda mencarikan jalan untuk mencari kemungkinan memanggil

kembali anak itu, dengan alasan yang dapat dipertang-

gungjawabkan.”

“Aku merendahkan harga diriku. Trenggana adalah Sultan

yang disegani lawan dan kawan. Apakah aku tidak dapat

memusnahkan mereka?”

“Tentu Baginda. Sebab mereka tidak akan berani melawan

Baginda seandainya Baginda sendiri keluar di medan pertempuran.

Apalagi salah seorang pengawal Baginda di panji-panji Gula

Kelapa. Maka Gajah Sora pasti akan mati ketakutan melihat panji-

panji itu.”

“Jadi bagaimana?” bertanya Baginda.

Page 82: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 115

“Hamba adalah orang tua, Baginda. Orang tua yang telah tidak

mempunyai pamrih apa-apa lagi. Berpuluh-puluh tahun hamba

menghilang. Sekarang hamba ingin melihat Demak menjadi

bertambah baik menilik persoalan-persoalan yang terpendam di

dalamnya.”

“Jangan sebut lagi, keturunan Kakangmas Sekar Seda Lepen.”

“Tidak. Aku tidak akan menyebutnya, tetapi hal itu tidak akan

dapat menghapus kenyataan itu.”

“Ya. Eyang benar. Anak itu ada di sini pula sekarang.”

“Penangsang?”

“Ya”

Sesaat mereka terdiam. Paningron menjadi bingung

mendengar pembicaraan itu. Tetapi ia tidak berani bertanya. Yang

didengarnya kemudian adalah suara Sultan. “Lalu bagaimana

eyang?”

“Tergantung pada Baginda.”

“Baiklah, besok pagi-pagi pasukanku akan bersiap

menyongsong mereka menurut rencana yang telah eyang buat.

Mudah-mudahan semua berjalan dengan baik.”

Bayangan itu pun kemudian mengangguk-angguk dalam-

dalam. Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Baginda ternyata

telah berbuat sesuatu yang mengagumkan hamba. Orang tua yang

samasekali sudah tidak berarti lagi. Besok hamba tidak akan lagi

bersembunyi. Namun hamba akan mengabdikan diri dibawah duh

Baginda.”

“Ah. Eyang terlalu merendahkan diri.”

“Sekarang Cucunda Baginda, biarlah aku pergi.”

Page 83: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 115

“Jangan eyang. Eyang harus berada di sini. Kalau ada sesuatu

kesalahan, maka eyang akan dapat membetulkannya”.

“Atau untuk menjadi tanggungan?”

“Tidak.”

“Baiklah. Aku ikut Baginda.”

Bayangan itu pun kemudian berjalan mengikuti Baginda

disamping Paningron. Namun mereka yang berjaga-jaga dimuka

barak, samasekali tidak memperhatikan siapakah yang lewat

dihadapan mereka. Ketika mereka melihat Paningron, meka yang

lain samasekali tidak penting bagi mereka sebab mereka tahu,

bahwa Paningron adalah seorang perwira dari jabatan rahasia di

Demak.

Bulan yang bulat mengapung di langit dengan sangat

lambatnya. Namun pasukan-pasukan pengawal Baginda tiba-tiba

menjadi ribut. Mereka segera berlari-lari kedalam barak masing-

masing untuk mengambil senjata mereka. Paningron telah

menjatuhkan perintah, supaya mereka bersedia menghadapi

setiap kemungkinan. “Kekuatan mereka jauh lebih besar dari

kekuatan kita,” berkata Paningron kepada para pemimpin Demak.

Tetapi seorang perwira Wira Tamtama menanggapinya dengan

sebuah senyum. Katanya di dalam hati, “Apakah yang dapat

dilakukan oleh orang-orang pedesaan?” Orang itu samasekali tidak

mau memikirkannya lagi. “Besok mereka akan aku musnahkan,”

katanya. Orang itu adalah Tumenggung Prabasemi. Seorang

perwira Wira Tamtama yang terlalu menyadari kelebihan-

kelebihan yang ada pada dirinya.

Malam itu semua prajurit siap ditempatnya. Beberapa penjaga

selalu mondar-mandir mengawasi keadaan. Sedang yang lain

beristirahat untuk menanti, apakah tugas yang akan mereka

lakukan besok pagi. Namun senjata-senjata mereka telah melekat

di tangan.

Page 84: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 115

Ketika matahari mulai membayang di pagi dini hari, maka

mulai membayang pulalah ketegangan di wajah para prajurit

Demak dan setiap orang dalam laskar Banyubiru. Arya Salaka

dengan pisau belati yang kuning berkilat-kilat dipinggangnya,

segera memimpin laskarnya maju mendekati perkemahan

Baginda. Beberapa orang yang mendampinginya menjadi

berdebar-debar pula. Lebih-lebih Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan

Gajah Sora sendiri. Sedang di antara mereka tidak terdapat Ki

Ageng Sora Dipayana. Orang tua itu lebih baik tinggal di

Banyubiru. Berdoa di dalam hati bersama-sama Wanamerta,

semoga semuanya dihindarkan dari bencana.

Semakin dekat mereka dengan perkemahan Baginda, maka

semakin berdebar-debar pula hati setiap laskar di dalam pasukan

Arya Salaka. Meskipun mereka telah mengalami pertempuran yang

dahsyat melawan orang-orang dari golongan hitam, namun hati

mereka masih juga terpengaruh melihat pasukan Demak yang

telah bersiaga pula disekeliling perkemahan.

Mereka melihat betapa pasukan Demak telah menanti

kedatangan mereka. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak

dibandingkan dengan laskar Banyubiru dan Pamingit, tetapi karena

mereka mempergunakan tanda-tanda kebesaran, maka tampaklah

betapa tangguhnya pasukan yang kecil itu.

Di luar sekali tampaklah sepasukan Wira Tamtama di bawah

panji-panji Tunggul Dahana. Mereka berdiri berjajar dengan

tenangnya. Di tangan masing-masing tergenggam sebilah pedang,

dan di tangan yang lain sebilah perisai. Dengan dada tengadah

mereka memandangi laskar Banyubiru yang semakin lama menjadi

semakin dekat.

Di dalam lingkungan Wira Tamtama tampaklah sebuah panji-

panji lain. Tunggul Mega. Panji-panji dari pasukan Manggala Sraja.

Pasukan ini tidak begitu banyak jumlahnya, namun ketegangan

wajah mereka menunjukkan ketegangan hati mereka pula. Dengan

Page 85: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 115

penuh perhatian mereka menyaksikan laskar Banyubiru yang

sedang mendekati mereka.

Yang paling dalam meskipun jumlahnya terlalu sedikit, namun

pasukan inilah yang menggoncangkan hati Mahesa Jenar.

Perasaannya menjadi sedemikian gelisahnya sehingga hampir-

hampir ia tidak dapat melangkah maju lagi. Perasaan yang

demikian pernah dialami pada saat laskar Banyubiru berhadap-

hadapan dengan laskar Demak lima enam tahun yang lampau di

Banyubiru. “Kenapa peristiwa-peristiwa semacam ini masih harus

terulang?” desah di dalam hati. Di lingkaran yang paling dalam

dilihatnya sepasukan kecil Nara Manggala. Wira Jala Pati dalam

satu lapis dengan pasukan Manggala Pati. Di atas mereka itu

terpancang panji-panji Garuda Rekta, Sura Pati dan yang paling

mendebarkan adalah Panji lambang keperkasaan Demak, Gula

Kelapa.

Mahesa Jenar mengelus dadanya. Ketika ia berpaling,

dilihatnya Kebo Kanigara menundukkan wajahnya, sedang Ki

Ageng Gajah Sora menggigit bibirnya.

“Hem,” Mahesa Jenar berdesah di dalam hati, “Mudah-

mudahan semuanya berlangsung baik.”

Namun bagaimana pun juga, laskar Pajang dalam gelar

Gedong Minep itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Ia

tahu benar, bahwa meskipun laskar Demak itu tidak begitu

banyak, apalagi mereka tidak sengaja pergi berperang, sehingga

kelengkapan mereka pun bukan kelengkapan perang secara

sempurna, namun pasukan Demak adalah pasukan yang telah

masak.

Tetapi laskar Banyubiru itu maju terus. Arya Salaka yang

sedang bermata gelap itu hampir-hampir tidak melihat apa saja

yang terpancang dihadapannya. Dengan gigi gemeretak ia

memandangi lapangan di muka barak itu. Katanya di dalam hati,

“Manakah anak muda yang bernama Karebet itu?”

Page 86: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 115

Dengan tidak memperdulikan apa saja Arya berjalan terus

sehingga mereka menjadi semakin dekat dengan perkemahan

Baginda Sultan Trenggana.

Arya Salaka memegang pimpinan, tiba-tiba melihat seorang

yang berkuda datang ke arahnya. Seorang dari pasukan Nara

Manggala. Orang itu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi,

kemudian datang lebih mendekat lagi.

“Terimalah Arya,” bisik Mahesa Jenar.

Arya Salaka segera maju beberapa langkah ke depan.

Diterimanya sehelai rontal yang diberikan oleh orang berkuda itu.

Arya Salaka menggeretakkan giginya. Kemudian katanya

kepada ayahnya, “Ayah, Baginda sudah tahu maksud kedatangan

kita. Baginda tahu bahwa kita mencari kakang Karebet di sini. Dan

Baginda tidak akan menyerahkan Karebet itu kepada kita.”

Ayahnya mengerutkan keningnya. Dipalingkannya wajahnya,

menatap Mahesa Jenar yang menundukkan kepalanya.

“Bagaimana adi?” bertanya Gajah Sora.

Mahesa Jenar kemudian melambaikan tangannya kepada Arya

Salaka untuk melihat rontal ditangannya. Kemudian wajah yang

bersungguh-sungguh ia berkata, “Terimalah Arya. Sebaiknya kau

menerima tawaran itu. Dengan demikian kau akan mengurangi

korban yang bakal jatuh dalam perang brubuh.”

Kebo Kanigara yang mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu

berpaling. Kemudian kembali ia memandang kekejauhan. Sekali-

kali tampak bibirnya bergerak-gerak, tetapi tak sepatah kata pun

yang meloncat dari mulutnya.

Sesaat Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian

Mahesa Jenar itu pun berkata, “Hasrat yang paling besar untuk

menemukan Endang Widuri justru datang daripadamu Arya. Bukan

dari pamanmu Kebo Kanigara. Karena itu, wajarlah apabila kau

Page 87: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 115

yang akan tampil kedepan melawan seseorang yang akan dikirim

oleh Baginda di lapangan itu. Demikianlah sikap seorang jantan.”

Arya mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo Kanigara terkejut

mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu sehingga dahinya berkerut-

kerut. Namun sekali lagi Kebo Kanigara itu tidak berkata apapun

juga.

Namun kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar telah

membakar dada Arya Salaka. Karena itu, maka kemudian ia

melangkah kembali dan menghadap kepada orang yang berkuda

itu dengan dada tengadah. “Aku terima tawaran itu. Aku, Arya

Salakalah yang akan datang ke gelandang.”

Suasana ditengah-tengah lapangan rumput itu benar-benar

menjadi tegang. Ketika matahari telah sepenggalah, terdengarlah

sebuah tengara, sangkalala yang mendengung di udara. Setiap

orang yang mendengar sangkalala itu menjadi berdebar-debar.

Hampir semua orang di kedua belah pihak telah mengetahui,

bahwa untuk menyelesaikan persoalan antara pimpinan Banyubiru

dan Baginda, telah disepakati untuk mengadakan perang tanding.

Meskipun hampir semua orang dari pasukan Demak tidak tahu,

apakah sebenarnya tuntutan Arya Salaka itu.

Arya Salaka segera membenahi pakaiannya. Ia kini membawa

tombak Kiai Bancak, tetapi ia lebih senang membawa Kiai Suluh,

pusaka yang diterimanya secara tidak langsung dari Pasingsingan.

Ketika Arya Salaka melihat seseorang berjalan maju ke

lapangan rumput itu dari perkemahan laskar Demak, maka Arya

Salaka pun bersiap pula. Sekali ia berputar menghadap ayah dan

gurunya sambil berbisik, “Ayah dan paman-paman. Restuilah aku,

semoga aku akan berhasil.”

“Hati-hatilah Arya,” hampir bersamaan orang-orang yang

mendampinginya menyahut. Ayahnya, Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara, Lembu Sora dan Bantaran. Sedang Rara Wilis pun tidak

kalah tegangnya melihat apa yang bakal terjadi.

Page 88: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 115

Dengan langkah tetap Arya Salaka berjalan pula ke tengah

lapangan itu. Ditatapnya wajah yang datang dari perkemahan

Baginda. Seorang yang bertubuh tegap kekar, berkumis

melintang, berjalan sambil tersenyum-senyum. Ketika terlihat

olehnya seorang anak muda datang menghampirinya, orang itu

mengerutkan keningnya. Anak inikah yang bernama Arya Salaka.

Prajurit yang mengenakan pakaian seorang pemburu itu menjadi

kecewa. “Hanya seorang anak-anak,” desisnya.

Tetapi ketika ia melihat ketenangan dan pancaran wajah anak

itu, maka hatinya berdebar-debar juga.

Ketika mereka kemudian bertemu di tengah-tengah lapangan

itu, maka mereka pun segera berhenti. Beberapa orang prajurit

Demak segera mendekati mereka, dan dengan sebuah lambaian

mereka memanggil wakil-wakil dari Banyubiru untuk menjadi

saksi.

Gajah Sora menjadi ragu-ragu sejenak. Karena itu maka

segera ia bertanya kepada Mahesa Jenar. “Siapakah yang akan

datang ke arena?”

Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Gajah Sora,

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi mereka untuk sesaat

saling berdiam diri.

“Apakah adi Mahesa Jenar?” bertanya Gajah Sora.

Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. “Jangan kakang.

Jangan aku. Mungkin Kakang Kebo Kanigara lebih baik. Kakang

Kanigara mempunyai kepentingan langsung dalam peristiwa ini.”

“Hem,” Kebo Kanigara bergumam sambil menyilangkan kedua

tangan di dadanya. “Jangan aku. Orang-orang Demak telah

menyangka aku tak akan mereka jumpai lagi.”

“Lalu siapa?” desah Mahesa Jenar. “Kakang Gajah Sora sendiri

barangkali?”

Page 89: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 115

Gajah Sora itu pun menggelengkan kepalanya. “Tidak”

katanya. “Aku tidak sanggup.”

Kembali mereka berdiam diri sambil berpandangan. Tiba-tiba

mata Mahesa Jenar menyambar wajah Rara Wilis dan Ki Ageng

Pandan Alas yang berdiam seperti tonggak. Sekali ia menarik nafas

panjang dan kemudian katanya. “Apakah kau dapat mewakili kami

Wilis? Hanya menyaksikan perkelahian itu, supaya tidak terjadi

kecurangan. Barangkali paman Pandan Alas akan sudi

mendengarkanmu.”

Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Kemudian

katanya, “Kami bukan orang Banyubiru.”

“Itu tidak penting. Yang diperlukan adalah mereka yang dapat

menilai perkelahian itu supaya berlangsung dengan jujur”.

“Baiklah,” jawab Ki Ageng Pandan Alas. “Tetapi biarlah salah

seorang dari Banyubiru pergi bersama kami. Mungkin angger

Bantaran atau yang lain?”

“Aku bersedia pergi,” tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora menyela.

“Bagus,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Marilah kita pergi

dengan Bantaran.”

Mereka berempat pun kemudian berjalan pula ke tengah-

tengah lapangan. Seorang tua yang bernama Pandan Alas, seorang

yang gagah, tinggi besar, Ki Ageng Lembu Sora, seorang pemimpin

laskar Banyubiru yang berani, Bantaran dan seorang gadis

ramping dengan pedang tipis di lambungnya, Rara Wilis.

Keempat orang itu benar-benar menarik perhatian segenap

prajurit Demak. Langkah mereka yang tetap dan tenang, benar-

benar mengagumkan. Prajurit Demak yang berpakaian pemburu,

dan yang sudah berdiri berhadapan dengan Arya Salaka

mengerutkan keningnya. Ternyata Banyubiru memiliki laskar yang

dapat dibanggakan seperti Lembu Sora. Tetapi karena yang maju

Page 90: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 115

ke dalam arena itu seorang anak muda saja. Kenapa bukan orang

yang tinggi, besar dan berkumis tebal setebal kumisnya sendiri.

Tetapi ini adalah urusan Banyubiru sendiri.

Ketika keempat orang Banyubiru itu telah berdiri melingkari

dua orang yang akan bertempur itu bersama enam orang prajurit

Demak, maka perang tanding itu segera akan dimulai. Seorang

prajurit Demak yang tidak lain adalah Paningron, maju selangkah.

Dengan penuh hormat ia mengangguk kepada Ki Ageng Pandan

Alas, yang dianggapnya wakil tertua dari Banyubiru, sambil

berkata. “Ki Ageng perang tanding akan segera dimulai.”

Pandan Alas tersenyum. Ia tidak dapat menyembunyikan

perasaannya. Prajurit itu pernah dilihatnya di Pamingit dan

Paningron pun ternyata tidak lupa pula kepadanya. “Silakan,”

jawab Ki Ageng Pandan Alas.

“Atas nama Baginda. Yang akan mewakili prajurit Demak

adalah adi Tumenggung Prabasemi. Salah seorang perwira Wira

Tamtama. Sedang yang mewakili Banyubiru adalah Arya Salaka.

Begitu?”

“Ya,” sahut Pandan Alas.

Tiba-tiba Arya yang sedang marah itu memotong. “Kenapa

bukan Karebet sendiri maju ke gelanggang?”

Paningron menarik alisnya. Jawabnya. “Perintah Baginda telah

jatuh. Tumenggung Prabasemi yang akan mewakilinya.”

Prabasemi mengerutkan keningnya. Kenapa anak muda itu

menyebut-nyebut nama Karebet. Apakah Karebet telah berbuat

sesuatu yang menjadikan rakyat Banyubiru marah, dan sekarang

ia harus mewakilinya?

“Persetan,” berkata Prabasemi di dalam hatinya. “Aku harus

menunjukkan kepada Baginda, bahwa bukan hanya Karebet yang

mampu menyelesaikan persoalan.”

Page 91: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 115

Paningron kemudian melanjutkan kata-katanya. “Ki Ageng

Pandan Alas, apabila tidak berkeberatan, baiklah kita taati

peraturan yang telah ditulis Baginda di dalam rontal yang sudah

disampaikan kepada Arya Salaka. Perang tanding akan berhenti

setelah salah seorang tak berdaya. Jangan terjadi pembunuhan,

supaya Baginda memaafkan segala yang telah terjadi. Lawan yang

kalah dapat disusul dengan orang yang lain berturut-turut, tutuh

tinutuh, sehingga orang terakhir yang mungkin dapat diajukan ke

arena menurut pertimbangan-pertimbangan masing-masing.”

Ki Ageng Pandan Alas menganggukkan kepalanya. Orang tua

itu benar-benar melihat, seakan-akan sesuatu sedang

direncanakan. Meskipun ia tidak tahu benar, namun orang tua itu

samasekali tidak menjadi gelisah melihat perkembangan keadaan.

“Baiklah,” berkata Paningron. “Perang tanding akan segera

dimulai.”

Paningron itu pun kemudian melangkah surut. Kemudian

diberinya kesempatan kedua orang yang telah berhadapan itu

mulai dengan tugas mereka mewakili laskar masing-masing dalam

perang tanding itu.

Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar karenanya. Dari

kejauhan ia segera mengenal Paningron yang pasti sudah

mengenal pula kelebihan Arya Salaka. Sedang perwira Wira

Tamtama yang akan mewakili Demak itu belum begitu dikenalnya.

Namun pernah ia dahulu melihatnya. Baru setelah beberapa saat

Mahesa Jenar mengingat-ingat tahulah ia bahwa orang itu adalah

Prabasemi yang dahulu masih menjadi lurah Wira Tamtama.

Arya Salaka yang didorong oleh ketegangan, kemarahan dan

tuntutan keadilannya yang bergolak di dalam dadanya, tidak

berkata apa pun lagi. Segera ia bersiap untuk segera mulai dengan

perang tanding itu.

Prabasemi dengan tenangnya menghadapi anak muda yang

gelisah itu. Sekali-kali Prabasemi itu masih tersenyum. Anak dari

Page 92: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 115

Banyubiru itu benar-benar menjengkelkan. Kenapa anak itu tidak

menjadi cemas atau bahkan ketakutan melihat dirinya. “Hem”

desahnya. “Anak ini adalah anak yang sombong.”

Sedang Arya Salaka dengan penuh kewaspadaan menghadapi

lawannya bertubuh kokoh kuat itu. Ia menyadari, seandainya

orang itu bukan seorang yang pilih tanding, pasti ia tidak akan

diangkat menjadi seorang perwira dan harus mewakili Demak

dalam arena itu. Mungkin orang ini setingkat dengan gurunya pada

waktu gurunya masih menjadi prajurit. Mungkin kurang dan

mungkin lebih. Karena itu Arya Salaka samasekali tidak berani

melengahkan waktu.

Beberapa saat kemudian, Prabasemi itu pun mulai bergerak.

Perlahan-lahan, masih dengan tersenyum-senyum. Arya menjadi

semakin marah melihat sikapnya. Sikap seorang yang sedang

bermain-main dengan anak-anak yang masih sering menangis.

Ketika tangan Prabasemi bergerak menyambar wajahnya, Arya

bergeser surut. Kembali dadanya berguncang ketika ia melihat

Prabasemi tertawa. Sikapnya seperti sikap seekor harimau

menghadapi seekor anjing sakit-sakitan.

Arya Salaka kemudian tidak dapat menahan diri lagi. Ia

mendengar peraturan yang harus ditaati sebagai seorang laki-laki.

Kalau ia menang, maka ia masih akan menghadapi orang-orang

lain yang akan ditunjuk oleh Baginda. Namun kalau ia kalah,

apakah ada orang lain yang menggantikannya. Gurunya, ayahnya

atau Kebo Kanigara? Arya Salaka itu telah menjadi kecewa ketika

ia tidak melihat ayahnya, atau gurunya berada disampingnya.

Karena itu, maka ia merasa agaknya gurunya serta ayahnya ingin

menyerahkan setiap persoalan kepadanya sendiri.

“Aku akan berjuang sekuat tenagaku,” katanya didalam hati.

Karena itu, ketika ia masih melihat Prabasemi tersenyum-

senyum saja tiba-tiba ia meloncat dengan cepatnya menyentuh

dada lawannya. Meskipun dengan demikian ia hanya ingin

Page 93: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 115

memperingatkan lawannya untuk segera mulai dengan sungguh-

sungguh, namun akibatnya benar-benar mengherankan.

Prabasemi terkejut bukan buatan melihat kecepatan gerak itu,

sehingga ia benar-benar tidak sempat menghindarinya. Karena itu,

maka ia ingin mundur selangkah untuk mengurangi tekanan

tangan Arya Salaka. Tetapi tangan Arya telah mempercepat gerak

surutnya, sehingga tampaknya Prabasemi benar-benar terdorong

beberapa langkah.

Wajah perwira Wira Tamtama itu menjadi merah membara.

Sekali ditatapnya wajah-wajah yang berada di sekeliling arena itu.

Ketika terpandang olehnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, ia

mengumpat di dalam hati. Orang tua itu tersenyum kepadanya.

“Setan,” desisnya. Apalagi ketika matanya bertemu pandang

dengan Rara Wilis yang menyandang pedang dilambungnya. Maka

dada Prabasemi itu pun serasa menyala membakar segenap urat

syarafnya. Kini ia sudah tidak tersenyum-senyum lagi. Bahkan

dengan penuh dendam ia memandang Arya Salaka yang belum

pernah dikenal sebelumnya. Ia harus mengembalikan namanya

yang tiba-tiba saja telah diguncangkan oleh seorang anak-anak.

Karena itu anak itu harus segera lumpuh. Semakin cepat ia

melumpuhkan Arya Salaka, maka akan semakin menanjak pula

namanya sebagai seorang Wira Tamtama. Karena itu, maka

dengan garangnya segera ia menyerang. Kedua tangannya

bergerak bagaikan sepasang petir yang menyambar bersama-

sama. Namun Arya Salaka benar-benar telah bersiap. Dengan

cepatnya ia bergeser ke samping menghindari sambaran tangan

kanan Prabasemi. Namun dengan kecepatan yang luar biasa

tangan kiri Prabasemi pun telah menjangkau pelipisnya. Kali ini

Arya tidak sempat menghindarkan diri, hingga karena itu maka ia

harus melawan serangan itu. Dengan sekuat tenagannya, karena

ia tidak dapat mengira-irakan kekuatan lawannya, maka tangan

Prabasemi itu pun ditamparnya dengan tangan kanannya.

Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Prabasemi yang

marah itu pun ternyata telah mengerahkan sebagian besar

Page 94: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 115

tenaganya. Namun karena tenaganya dipusatkan kepada kedua

belah tangannya, maka benturan itu benar-benar

menggoncangkan jantungnya. Tangan Arya Salaka benar seperti

sepotong besi gligen yang menghantam tangannya. Perasaan nyeri

menyengat pergelangan tangan itu, yang kemudian seakan-akan

merembet kesegenap tubuhnya.

Prabasemi menyeringai. Meskipun mereka bersama-sama

terdorong beberapa langkah surut, namun alangkah marahnya

ketika ia melihat wajah Arya Salaka yang tegang itu samasekali

tidak menunjukkan perasaan sakit dan nyeri seperti yang

dirasakannya.

Wajah Prabasemi yang marah itu benar-benar menjadi

membara karenanya. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Dan

sekali lagi hatinya terguncang ketika ia melihat wajah Rara Wilis.

Kali ini ia melihat wajah gadis itu sedemikian asyiknya melihat

pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa

gadis itu pasti dapat menilai pula apa yang telah terjadi. Apalagi

ketika ia melihat wajah Paningron. Wajah itu sedemikian

kecewanya memandanginya. “Gila,” desahnya. “Anak itu harus

segera kulumpuhkan. Kalau ia mati karenanya, samasekali bukan

salahku, sebab di dalam perkelahian hal-hal semacam itu mungkin

saja terjadi.”

Betapa Prabasemi ingin namanya menjadi semakin cemerlang

dihadapan Baginda. Meskipun Baginda tidak nampak di luar

baraknya, namun ia yakin bahwa Baginda pasti akan mengetahui

apakah yang akan terjadi. Kini ia benar-benar ingin melumpuhkan

lawannya. Secepat-cepatnya. Karena itu, maka Prabasemi itu pun

kemudian melontar surut beberapa langkah. Dijulurkannya kedua

tangannya ke depan, kemudian dengan gerak yang menyentak

ditariknya kedua sikunya ke belakang serta ditekuknya. Kedua

tangannya menelentang ke belakang mengepal di lambungnya.

Sedang tubuhnya direndahkannya, siap melontar dalam ilmunya

Aji Sapu Angin.

Page 95: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 95 of 115

Arya Salaka melihat gerakan-gerakan itu. Sebagai seorang

yang memiliki pengalaman yang cukup, meskipun dalam umurnya

yang muda, maka segera ia mengetahuinya bahwa ia berhadapan

dengan Aji rangkapan dari lawannya itu. Sesaat ia menjadi ragu-

ragu. Ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas,

dilihatnya orang tua itu mengangguk. Maka dengan tidak berpikir

panjang, Arya Salaka itu pun segera mengangkat tangan kanannya

tinggi-tinggi seolah-olah hendak menggapai langit, tangannya

yang lain bersilang didada, sedang satu kakinya diangkatnya serta

ditekuknya ke depan. Arya Salaka pun telah siap dengan Ajinya

Sasra Birawa.

Arena itu benar-benar menjadi tegang. Paningron terkejut

melihat sikap itu. Segera ia meloncat ke depan untuk melerai

mereka, namun ia terlambat. Prabasemi telah meloncat maju.

Ayunan tangannya dengan derasnya mengarah kekepala Arya

Salaka. Namun ketika ia melihat sikap Arya pun, hatinya berdesir.

Apakah yang dilakukan oleh anak muda itu? Prabasemi pun

menyadari. Arya Salaka telah berusaha melindungi dirinya dengan

kekuatan tertinggi yang dimilikinya.

Sesaat kemudian terjadilah sebuah benturan yang dahsyat.

Lamat-lamat terdengar Mahesa Jenar berdesah, “Arya,” namun

suara itu tidak didengarnya.

Benturan kedua Aji itu benar-benar mengejutkannya. Arya

berguling di tanah. Terdengar sebuah keluhan pendek, namun

kemudian dengan sepenuh tenaga, Arya mencoba untuk tetap

menguasai kesadarannya. Betapa tubuhnya serasa kejang-

kejang, namun ia masih dapat berusaha untuk bangkit kembali.

Dan dengan terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua kakinya.

Meskipun kepalanya menjadi pening, namun ia masih dapat

melihat keadaan sekelilingnya dengan terang. Dan dilihatnya

dihadapannya, Tumenggung Prabasemi terbanting pula di tanah.

Sekali ia menggeliat, tetapi kemudian betapa ia berusaha dengan

susah payah. Namun Prabasemi tidak berhasil mengangkat

tubuhnya. Sekali ia mengangkat kepalanya pada kedua tangannya

Page 96: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 96 of 115

yang bertelekan tanah, namun kemudian ia terjatuh kembali.

Bibirnya yang tebal itu bergerak mengumpat-umpat. Tetapi

Prabasemi tidak berhasil untuk melumpuhkan lawannya, bahkan

dirinya sendirilah yang menjadi lumpuh karenanya. Betapa hatinya

terbakar oleh luapan kemarahannya. Tetapi apakah yang dapat

dilakukannya?

Beberapa orang kemudian mendekatinya untuk membawanya

menepi. Tetapi Tumenggung itu berteriak-teriak, “Pergi. Pergi. Tak

seorang pun dapat mengalahkan Prabasemi. Biar aku remukkan

kepalanya. Pergi.”

Namun sekali lagi Paningron memberi isyarat kepada mereka,

dan Tumenggung Prabasemi itu pun diangkat menepi, meskipun ia

mengumpat-umpat sejadi-jadinya.

Peristiwa itu telah benar-benar menggemparkan para prajurit

Demak. Mau tidak mau mereka telah memuji di dalam hati.

Ternyata anak Banyubiru itu telah mampu mengalahkan

Prabasemi.

Arya Salaka masih berdiri tegak di atas kedua kakinya yang

terasa menjadi lemah. Terasa urat-uratnya seperti membeku.

Namun ketika angin rimba mengusapnya, terasa tubuhnya

menjadi semakin segar pula.

Paningron yang mengatarkan Prabasemi masuk ke dalam

baraknya segera kembali ke arena. dengan sareh ia bertanya

kepada Ki Ageng Pandan Alas. “Ki Ageng, lawan yang pertama

telah dirobohkan. Apakah Banyubiru akan menerima orang kedua

seperti yang dijanjikan.”

Ki Ageng Pandan Alas memandang Arya Salaka. Dilihatnya

anak itu masih terlalu letih. Tetapi terdengar Arya yang sedang

marah itu menjawab lantang, “Aku masih tetap berdiri di sini

sebelum Karebet diserahkan kepada kami dengan segala

akibatnya.”

Page 97: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 97 of 115

Para prajurit Demak sesaat menjadi ragu-ragu. Mereka tidak

tahu kenapa Baginda memilih cara ini untuk menyelesaikan

persengketaan itu. Di dalam rombongan berburu ini, tidak banyak

orang yang dapat diketengahkan untuk melakukan perang tanding

seorang melawan seorang. Perwira yang dapat dibanggakan

adalah Tumenggung Prabasemi. Namun Tumenggung telah

dikalahkan. Apabila serta maka Gajah Alit, atau Panji Danapati,

Arya Palindih, atau beberapa orang lain pasti akan dapat

menyelesaikan pertempuran itu. Namun mereka tidak beserta

Baginda. Yang ada di sini hanyalah selain Tumenggung Prabasemi

adalah Paningron sendiri. Mungkin Paningron akan tampil untuk

yang terakhir kalinya, apabila tidak ada orang lain yang dapat

memenangkan segala perkelahian. Atau mungkin Baginda sendiri?

Para prajurit Demak menjadi berdebar-debar. Kenapa tidak

dibiarkan saja laskar Banyubiru menyerbu? Dengan pengalaman

dan kematangan prajurit Demak dalam olah perang dan gelar-

gelar perang, maka mereka akan dapat menjebak laskar lawannya,

mesikipun jumlahnya tidak seimbang.

Tetapi perang tanding itu telah dimulai. Karena itu maka pasti

akan diteruskannya. Dalam keadaan yang demikian, maka setiap

prajurit Demak menjadi tegang. Mereka menunggu siapakah

kemudian yang akan masuk ke arena. Dirinya? Adalah mungkin

sekali setiap orang akan ditunjuk oleh Baginda. Karena itu, maka

mereka menunggu perkembangan keadaan dengan penuh

ketegangan.

Paningron menarik nafasnya. Sekali ia melambaikan

tangannya, dan kembali terdengar sangkalala bergema. Dari

dalam barak keluarlah beberapa orang yang mengantarkan orang

kedua yang akan mewakili Demak. Tiba-tiba semua mata

terpancang kepada orang itu. Orang yang telah hilang dari Demak

beberapa saat lampau. Diantara desah pembicaraan orang-orang

itu, terdengar Paningron berkata lantang, “Kali ini Karebet akan

masuk ke arena. Dengan perjanjian, apabila ia menang dalam

perang tanding ini, maka ia akan mendapat pengampunan dari

Page 98: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 98 of 115

Baginda atas semua kesalahan yang telah dibuatnya, membunuh

seorang calon Wira Tamtama yang bernama Dadungawuk. Namun

Karebet tidak berhasil, maka nasibnya akan diserahkan kepada

orang-orang Banyubiru. Sebab ialah yang telah membawa

persoalan itu kemari.”

Di sekitar lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Baik para

prajurit Demak, maupun laskar Banyubiru. Mereka kini melihat

Karebet, ia berjalan ke arena, mendekati Arya Salaka yang masih

tegak di atas kedua kakinya. Bagaimana mungkin Karebet itu tiba-

tiba berada di situ. Sedangkan ia masih harus menjalani

hukumannya.

Arya yang melihat kehadiran Karebet itu tiba-tiba menjadi

gemetar. Kemarahannya benar-benar telah menggoncangkan

dadanya, bahkan seakan-akan dada itu akan meledak. Karena

itulah, maka seakan-akan tubuhnya yang masih lemah itu

menemukan kekuatannya kembali. Kekuatan yang berlipat.

Kekuatan yang selama ini pernah dimilikinya. Dengan gigi

gemeretak ia bergumam kepada dirinya sendiri, “Karebet. Karebet.

Seakan-akan diseluruh wajah bumi, kau adalah jantan sendiri.”

Karebet itu pun berjalan dengan tenangnya mendekati Arya

Salaka. Wajahnya masih saja mengulum senyum dan bahkan

dengan kata-kata yang akrab ia menyapa, “Selamat bertemu

kembali adi Arya Salaka.”

Arya Salaka bergumam. Jawabnya, “Tidak ada waktu untuk

mengucapkan selamat. Bersiaplah. Kita tentukan siapakah yang

akan berhasil dalam perkelahian ini. Ternyata kau telah sengaja

mengorbankan saudara sepupumu hanya untuk mendapatkan

pengampunan atas kesalahanmu itu.”

Karebet mengerutkan keningnya. Dilayangkannya pandangan

matanya ke seberang tanah lapang. Meskipun tidak jelas namun ia

pasti bahwa disana ada pamannya Kebo Kanigara. Tetapi dadanya

berdesir kalau diingatnya bahwa Mahesa Jenar berada disana.

Page 99: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 99 of 115

Apalagi Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis dan beberapa orang lain,

ada juga di sekitarnya.

Dalam pada itu kembali terdengar Arya Salaka berkata. “Nah,

Karebet yang perkasa, yang ditakuti karena memiliki Aji Lembu

Sekilan. Apakah kau membanggakan kesaktianmu sehingga kau

bertindak dengan sekehendak hatimu?”

Sekali lagi Karebet mengerutkan keningnya. Namun sebelum

ia sempat menjawab, maka terdengar Arya berkata terus. “Kau

telah memancing kekeruhan dan menantang aku untuk datang

sesudah purnama naik di hutan Prawata. Nah, Karebet yang sakti.

Ini Arya Salaka telah datang.”

Karebet menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak tersenyum

lagi. Ditatapnya saja wajah Arya Salaka yang menyala itu. Sesaat

tampak ia menjadi ragu-ragu. Namun setelah ia menelan ludahnya

beberapa kali barulah ia berkata, “Terpaksa aku lakukan adi.”

“Omong kosong,” bantah Arya Salaka. “Ternyata kau sampai

hati menjual adik sepupumu itu?”

Karebet menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab kata-

kata Arya Salaka. Tampaklah Karebet itupun menjadi gelisah dan

Arya Salaka berkata terus, “Sekarang aku datang memenuhi

tantanganmu.”

Sesaat Karebet memandang berkeliling. Beberapa orang di

sekitarnya memandangnya dengan penuh keheranan. Karena

itulah maka Karebet itupun tiba-tiba berkata lantang, “Marilah adi.

Kita mulai permainan yang tidak menyenangkan ini.”

Belum lagi Karebet mengucapkan mulutnya, Arya Salaka yang

dadanya serasa menyala itu telah meloncatinya dengan sebuah

serangan yang dahsyat. Karebet pun segera menghindarkan

dirinya dengan lincahnya, dan dengan tangkasnya maka ia pun

membuka serangan pula.

Page 100: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 100 of 115

Maka terjadilah kemungkinan sesuatu perkelahian yang sengit.

Masing-masing mencoba untuk melawan dengan sebaik-baiknya.

Mengerahkan segenap ilmunya dan mencoba untuk menjatuhkan

lawannya. Namun keduanya adalah anak-anak muda yang

perkasa. Arya Salaka yang didorong oleh kemarahan yang meluap-

luap seakan-akan benar-benar menemukan tenaga tambahan

yang tak pernah diduganya. Sedang Karebet yang masih segar,

benar-benar seorang pemuda yang lincah dan tangkas. Karena

itulah maka perkelahian itu segera berkisar dari satu titik ke titik

yang lain. Perkelahian yang membingungkan dan mendebarkan

hati. Pertempuran itu ternyata jauh berbeda sifatnya dari

pertempuran yang pertama. Prabasemi yang selalu bernafsu

menghancurkan lawannya, ternyata telah mendorong perkelahian

itu cepat kepada akhirnya. Tetapi ini perkelahian itu benar-benar

mirip dengan sepasang garuda yang berlaga di udara.

Sambar menyambar, terkam menerkam. Beberapa orang yang

mengelilingi perkelahian itu pun terpaksa melangkah surut.

Lingkaran pertempuran menjadi semakin lebar. Karebet bergerak

dengan cepatnya, melontar-lontarkan dirinya dalam jarak yang

panjang. Arya Salaka ternyata lebih senang menunggu lawannya.

Gerakannya dibatasi. Namun setiap gerakan yang dilakukannya,

benar-benar melontarkan bahaya yang bernada maut.

Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-

masing adalah anak-anak muda yang perkasa, sehingga mereka

berdua kemudian seakan-akan menjadi lebur dalam satu pusaran

yang membingungkan.

Di dalam barak, di samping barak yang dipergunakan oleh

Baginda, seorang yang bertubuh besar dan kokoh mengumpat-

umpat di dalam hati. Nafasnya masih terasa menyekat di dalam

rongga dadanya, namun dengan parau ia mengumpat, “Gila.

Kenapa Karebet itu telah berada di tempat ini pula”.

Orang itu adalah Prabasemi. Ia tidak saja menjadi marah dan

malu karena kekalahannya, tetapi hatinya menjadi terguncang

Page 101: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 101 of 115

ketika dilihatnya, tiba-tiba saja Karebet telah berada dilingkungan

mereka tanpa mereka ketahui.

Di samping Prabasemi, berdiri seorang anak muda pula yang

bertubuh kokoh kuat sebagai seekor harimau jantan di tengah

rimba belantara. Sepasang matanya yang tajam memandang

perkelahian itu dari jarak yang cukup jauh. Namun ketajaman

matanya itu segera melihat, bahwa keduanya, yang bertempur itu,

adalah anak-anak muda yang perkasa pula. Namun keperkasaan

kedua pemuda itu telah menimbulkan gairah pula di dalam

hatinya. “Kenapa pamanda Baginda tidak menunjuk aku untuk

maju ke arena,” desisnya.

Prabasemi menoleh. Dilihatnya anak muda itu, Arya

Penangsang. “Hem,” desahnya. “Seharusnya tuanlah yang maju

ke arena.”

“Pamanda Baginda tidak menunjuk aku,” jawabnya. Kemudian

katanya pula, “Kenapa paman Prabasemi dapat dikalahkan?”

Prabasemi menundukkan wajahnya. Jawabnya, “Tangan anak

itu benar-benar seberat batu hitam yang menggempur dadaku.”

Arya Penangsang tersenyum. Katanya, “Aku tahu benar. Anak

muda itu mempergunakan Aji Sasra Birawa”.

“He?” Prabasemi terkejut. Namun kembali ia menundukkan

wajahnya. Di dalam hati ia berdoa semoga Karebet itu akan

dilumpuhkan Aji Sasra Birawa pula.

“Tetapi aku tidak takut melawan Sasra Birawa,” gumam Arya

Penangsang.

Prabasemi tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berjalan masuk ke

dalam baraknya sambil berpegangan dinding. “Persetan.”

Pertempuran di arena masih berlangsung terus. Namun

perkelahian itu kini menjadi semakin kendor.

Page 102: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 102 of 115

Tak seorang pun yang mengetahui apakah sebabnya. Mungkin

karena telah kelelahan atau mungkin salah seorang daripadanya

telah terluka. Namun sebenarnyalah dalam pertempuran itu

terdengar Karebet berbisik, “Maafkan aku adi.”

Arya Salaka terkejut. “Kenapa? Tak ada jalan yang harus aku

maafkan. Aku telah memenuhi tantanganmu. Marilah kita

selesaikan perkelahian ini.”

“Adi,” berbisik Karebet itu pula. “Dengarkanlah ceriteraku. Aku

berkata sebenarnya.”

Arya Salaka mula-mula samasekali tak memperhatikannya.

Namun kemudian ia mendengar Karebet itu berkata. “Kali ini tak

ada orang lain yang dapat menolongku, selain adi Arya Salaka.”

Arya Salaka mengerutkan keningnya. Dan tanpa menunggu

lagi, Karebet mulai dengan ceriteranya. Karena itulah maka

perkelahian diantara mereka menjadi bertambah surut.

Ketika Karebet selesai dengan ceriteranya, maka terdengar

Arya Salaka berkata. “Apakah kau berkata sebenarnya?”

“Ya. Aku berkata sebenarnya.”

“Kenapa kakang tidak berkata sebelumnya?”

“Aku memerlukan kau datang dalam kesiagaan yang benar-

benar.”

“Hem,” Arya Salaka menggeram. Tampaklah keragu-raguan

membayang diwajahnya. Dipertimbangkannya masak-masak

kata-kata Karebet itu dan dikupasnya sejauh-jauhnya. Ketika ia

melihat wajah Karebet yang bersungguh-sungguh itu, maka tiba-

tiba ia tersenyum meskipun dicobanya untuk menyembunyikan

dalam-dalam. “Gila. Kau benar-benar bermain api kakang. Apakah

aku harus bersimpuh menyembahmu?”

“Jangan. Lepaskan Sasra Birawa itu.”

Page 103: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 103 of 115

“He?” Arya Salaka terkejut. “Apakah sebenarnya maksudmu?”

“Ya. Lepaskan Sasra Birawa. Aku tidak akan melawan. Tetapi

aku akan bertahan dengan Lembu Sekilan. Mungkin aku dan adi

akan terlempar beberapa langkah. Mudah-mudahan tidak

berbahaya, meskipun tubuh kita akan kesakitan.”

Arya Salaka tidak sempat berpikir lebih lama. Menilik wajah

dan kata-kata Karebet, maka Karebet telah berkata sebenarnya.

Tetapi seandainya Karebet itu berbohong, bukankah Sasra Birawa

itu adalah kekuatannya yang tertinggi? Seandainya Sasra Birawa

itu tidak mampu mengalahkan Karebet, maka ia sudah tidak

memiliki kekuatan lain yang akan dipergunakan. Karena itu

apapun yang dilakukan oleh Karebet, maka sudahlah pasti ia akan

mempergunakan kekuatan tertinggi itu.

Arya Salaka yang sedang menimbang-nimbang itu pun

terkejut ketika ia melihat Karebet melontar menyerangnya. Ketika

ia mengelak ia mendengar Karebet berbisik. “Mulailah.”

Arya Salaka itu tidak dapat berbuat lain daripada memenuhi

permintaan itu. Sekali ia meloncat surut. Diangkatnya sebelah

tangannya tinggi-tinggi, dan disilangkannya tangannya yang lain

di dadanya. Satu kakinya diangkatnya ke depan dan dengan

menggenggam Arya Salaka meloncat melontarkan Aji Sasra

Birawa.

Dalam pada itu, Karebet yang melihat Arya Salaka telah siap,

segera mempersiapkan dirinya pula. Direnggangkannya kakinya

dan kedua tangannya segera bersiap dimuka dadanya. Wajahnya

segera menjadi tegang. Dan diterapkannya Aji Lembu Sekilan

sejauh-jauhnya yang dimilikinya.

Pukulan Arya Salaka benar-benar dahsyat. Seakan-akan

sebuah gunung runtuh menimpa dada Karebet. Namun Karebet

telah mapan dalam Aji Lembu Sekilan, sehingga pukulan itu tidak

menggugurkan isi dadanya. Meskipun demikian ia terlontar

beberapa langkah surut dan jatuh berguling beberapa kali ditanah.

Page 104: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 104 of 115

Namun sesaat kemudian ia telah melenting berdiri tegak di atas

kedua kakinya.

Arya Salaka yang mempergunakan Ajinya terasa seakan-akan

membentur benteng baja. Pukulan itu seakan-akan telah

menghantam dirinya sendiri, sehingga ia pun terlempar beberapa

langkah. Dengan kerasnya ia terbanting ditanah. Sesaat matanya

menjadi berkunang-kunang. Seakan-akan langit akan runtuh

menimpanya. Karena itu ia segera memejamkan matanya dan

mengumpulkan segenap kekuatan yang ada padanya.

Sebenarnyalah bahwa tubuh Arya Salaka adalah tubuh yang luar

biasa, sehingga dengan demikian, ia tidak mengalami cidera.

Namun untuk sesaat ia tidak dapat bangkit berdiri dengan

kekuatan sendiri.

Melihat anaknya terbanting jatuh, dada Gajah Sora seperti

akan meledak. Tiba-tiba hilanglah segenap pertimbangannya.

Dengan serta merta ia berkata, “Akulah yang akan menjadi orang

kedua.”

Kebo Kanigara terkejut mendengar perkataan itu. Karena itu

segera ia mencegahnya sambil berkata. “Tunggulah. Apakah yang

akan terjadi kemudian.”

“Apa yang harus aku tunggu?”

Kebo Kanigara menjadi bingung. Sejak semula ia telah

menyangka, bahwa akan sulitlah untuk mengendalikan Gajah

Sora. Apalagi mereka melihat Lembu Sora ditengah lapangan

itupun telah menjadi gemetar dan tangannya telah melekat di hulu

pedangnya.

Namun sekali lagi wajah Gajah Sora itupun terkulai ketika tiba-

tiba ia melihat Sultan Tranggana dikejauhan keluar dari dalam

baraknya.

“O. Apakah yang sepantasnya aku lakukan?” terdengar Gajah

Sora berdesah. Kedua tangannya tiba-tiba telah menutupi

Page 105: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 105 of 115

wajahnya. Dalam kebingungan itu ia bergumam. “Kalau saja

Sultan tidak ada disana. Kalau saja panji-panji Gula Kepala itu

tidak berkibar disana pula.”

“Jangan cemas kakang,” tiba-tiba terdengar suara Mahesa

Jenar. “Akupun orang buangan seperti Karebet. Birlah aku maju ke

arena. Seandainya aku akan digantung sekalipun, aku tidak akan

menyesal.”

“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. “Jangan.”

“Aku tidak sampai hati melihat Arya Salaka dan aku tidak

sampai hati melihat Kakang Kebo Kanigara kehilangan anaknya

satu-satunya,” berkata Mahesa Jenar.

“Tetapi,” Kebo Kanigara menjadi gelisah. Ketika ia memandang

kelapangan, dilihatnya Baginda berjalan ke arena. Dibelakangnya

berjalan seorang tua dalam pakaian kepangeran.

“Kau lihat orang tua itu?” bertanya Kebo Kanigara.

“Ya, aku lihat. Pangeran Buntara, yang bergelar Panembahan

Ismaya dan pernah menggemparkan Demak sebagai seorang yang

bernama Pasingsingan.”

“Ya,” sahut Kebo Kanigara.

“Apa peduliku.”

“Mahesa Jenar,” Kebo Kanigara menjadi bertambah gelisah.

Tetapi tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tertawa. Aneh sekali.

Gajah Sora pun menjadi sangat heran karenanya. Dan mereka

mendengar Mahesa Jenar itu berkata, “Aku telah bertemu di

Lemah Telasih. Ki Buyut Banyubiru telah mengatakan kepadaku

semuanya.”

“Oh,” Kebo Kanigara berdesah. “Kau mencemaskan aku.”

“Kakang pun telah mencemaskan aku pula.”

Page 106: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 106 of 115

Gajah Sora memandang mereka dengan penuh pertanyaan.

Namun tiba-tiba mereka melihat Paningron melambaikan kepada

mereka. “Marilah kakang,” ajak Mahesa Jenar. Kita menghadapi

Baginda.”

Baginda pun kemudian melihat mereka datang. Kebo Kanigara,

Mahesa Jenar dan Gajah Sora. Dengan tersenyum Baginda

menerima mereka, sambil berkata, “Eyang Buntara. Apakah

mereka akan kami bahwa masuk ke dalam perkemahan?”

“Ya cucunda Baginda.”

“Bawalah,” perintah Baginda kepada Paningron.

Baginda itu memandang

Arya Salaka sesaat. Kemudian

dihampirinya anak yang masih

menyeraingai itu. Ditepuknya

pundaknya sambil berkata,

“Kau pun anak luar biasa. Mari,

masuklah ke dalam kemahku.”

Terasa sesuatu yang aneh

di dalam dada Arya Salaka.

Perlahan-lahan ia menyembah,

dan kemudian diikutinya Ba-

ginda masuk ke dalam per-

kemahan.

Di dalam perkemahan itu

duduk Baginda Sultan Treng-

gana, Pangeran Buntara dan

Paningron, dihadap oleh Karebet, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar,

Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora, Lembu Sora, Arya

Salaka dan Bantaran. Dengan wajah yang terang Baginda itu

memberi kesempatan kepada Pangeran Buntara untuk berceritera,

apa saja sebenarnya yang telah mereka lakukan.

Page 107: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 107 of 115

“Oh,” Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. “Jadi semuanya

ini hanyalah sebuah permainan saja? Permainan yang berbahaya.”

“Ya,” jawab Pangeran Buntara. “Namun dengan demikian

Baginda akan menjadi tenang menghadapi masa-masa depan.

Baginda tidak akan lagi diganggu oleh prajurit yang selalu bersedih

hati, dan menyebabkan permaisuri bersedih pula.”

Baginda mengangguk-anggukkan kepala. Dan Gajah Sora pun

berkata. “Wajarlah kalau selama ini Kakang Kebo Kanigara tidak

tampak bersungguh-sungguh berduka. Rupa-rupanya Karebet

telah mendapat ijin daripadanya.”

Karebet tersenyum. Tetapi ia menjadi ngeri pula kalau

dikenangnya cara-cara yang ditempuhnya itu. Apalagi ketika pada

suatu malam ia dikejar oleh Arya Salaka ketika ia berusaha

menemui Kebo Kanigara di halaman rumah Gajah Sora.

Tetapi bukan itu saja. Tiba-tiba Pangeran Buntara itu pun

berkata.”Baginda, hari ini adalah dapat memanggil kembali

Karebet, maka Baginda akan mendapatkan kembali pusaka-

pusaka Baginda itu. Selain Sangkelat yang telah diserahkan lewat

Karebet kemarin, dan Baginda sendiri melihat bahwa keris itu

agaknya telah luluh dalam diri Karebet, sehingga meyakinkan

Baginda akan berhasilnya cara ini, maka kini perkenankan Mahesa

Jenar menyerahkan pula keris-keris yang selama ini dicarinya, Kiai

Nagasasra dan Sabuk Inten.”

Alangkah terkejutnya Baginda. Sehingga dengan serta merta

Baginda berkata, “Jadi keris-keris itu telah kau ketemukan?”

Mahesa Jenar menyembah dengan takzimnya. Jawabnya

penuh haru. “Hamba Baginda.”

“Di manakah pusaka-pusaka itu kau simpan.”

Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi ditatapnya wajah

Pangeran Buntara yang tua itu. Sehingga Pangeran itu pun

berkata, “Kedua keris itu aku simpan Baginda.”

Page 108: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 108 of 115

“Oh,” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya

kemudian. “Mahesa Jenar, kecuali Karebet, maka kau pun akan

kembali ke istana. Pekerjaan yang kau pilih telah selesai. Sekarang

teruskanlah pekerjaanmu yang lama. Tenagamu sangat aku

perlukan.”

Mahesa Jenar menyembah dengan penuh hormat. Ia tidak

dapat menolak perintah itu. Dan karena itulah maka ia menjawab.

“Hamba Baginda. Hamba hanya akan tunduk pada perintah

Baginda.”

Baginda itu pun menarik nafas panjang-panjang. Panjang

sekali. Seakan-akan semua mendung yang meliputi Demak kini

telah terbuka.

Ketika Baginda diperkenalkan satu demi satu dengan orang-

orang yang menghadap, maka Baginda berkata. “Jadi gadis ini

adalah bakal isterimu Mahesa Jenar?”

“Hamba Baginda,” jawab Mahesa Jenar sambil tersipu-sipu.

“Dengan pedang dilambungnya?”

“Hamba Baginda,” sekali lagi Mahesa Jenar menyahut sambil

menyembah.

“Yang ini, kakeknya?”

“Hamba Baginda. Gadis itu telah tidak berayah dan beribu.”

“Oh,” Baginda menganggukkan kepalanya dan tiba-tiba

Baginda itupun berkata. “Ki Ageng Pandan Alas. Biarlah aku

melamar cucumu untuk Mahesa Jenar. Kau terima lamaran itu?

Sebenarnya aku telah mendengar sebagian dari kisah hubungan

Mahesa Jenar dan cucumu yang tertunda-tunda itu. Dan kini

pekerjaan Mahesa Jenar itu sudah selesai.”

“Ampun Baginda,” sembah orang tua itu. Betapa ia menjadi

sangat gembira. Cucunya telah mendapat sangkutan yang

Page 109: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 109 of 115

diidamkannya. Karena itu maka matanya pun menjadi basah.

Jawabnya, “Bukan main anugerah yang hamba terima.”

“Jangan tunggu umurnya bertambah tua, Mahesa Jenar. Bulan

ini biarlah kakek itu merayakan peralatan perkawinannya.

Bukankah semalam purnama sedang naik. Masih ada waktu

setengah bulan.”

Mereka berpaling ketika mereka mendengar isak Rara Wilis

yang tak dapat ditahannya. Hari yang ditunggu-tunggu kini benar-

benar telah mambayang di pelupuk matanya. Akhirnya hari itu

akan sampai pula kepadanya.

Arya Salaka pun kemudian mendapat pengukuhan kembali

atas tanah perdikannya. Dan dengan sebuah senyuman Baginda

berkata, “Bagaimanakah tuntutanmu atas gadis putera Kebo

Kanigara itu?”

Arya Salaka tidak menjawab. Namun ia masih menyeringai

kesakitan. Dadanya masih nyeri karena Ajinya yang membentur

Aji Lembu Sekilan.

“Gadis itu tidak berada di sini,” berkata Baginda. “Tetapi besok

akan segera kau jumpai di Banyubiru.”

Hari itu adalah hari yang menentukan bagi Mahesa Jenar dan

Arya Salaka. Juga hari yang menentukan bagi Karebet. Meskipun

para prajurit Demak dan laskar Banyubiru masih bingung melihat

perkembangan keadaan, namun mereka menjadi lega, ketika

mereka melihat para pemimpin mereka menjadi gembira.

Pertentangan itu benar-benar telah berakhir.

Namun dalam pada itu Baginda terkejut melihat Arya

Penangsang sudah siap di atas punggung kudanya. Dengan

lantang ia berteriak. “Aku akan pergi berburu sendiri paman. Aku

dapat berbuat itu tanpa orang lain. Biarlah Karebet menemui

paman dan adinda puteri bungsu.”

Page 110: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 110 of 115

Baginda terkejut. Tetapi Arya Penangsang telah pergi diiringi

oleh Tumenggung Prabasemi.

Angin pegunungan bertiup semakin kencang mengguncang

daun-daun rimba. Semua persoalan yang dihadapi Baginda terasa

seakan-akan telah dihancurkan pula oleh angin itu. Persoalan-

persoalan yang mengganggunya selama ini dalam tugasnya

menyatukan tanah tumpah darah.

Tetapi kembali Baginda diganggu oleh sebuah persoalan yang

baru saja tumbuh. Agaknya Arya Penangsang, kemanakannya itu

tidak senang melihat hubungan Karebet dengan puterinya. “Tentu

pokal Prabasemi,” pikir Baginda.

Namun ketika Penangsang kembali, Prabasemi tidak turut

serta, Tumenggung itu tiba-tiba menghilang. Disadarinya bahwa

Karebet telah merebut kemenangannya, dan ia akan mendapat

kesusahan karena itu.

Tetapi persoalan itu tidak akan segera memerlukan tangan

Baginda untuk menyelesaikan. Persoalan itu masih akan dapat

dirampungkan pada saat-saat mendatang.

Ketika awan yang putih berarak ke utara, maka Mahesa Jenar

menengadahkan wajahnya. Dilihatnya langit cerah secara hatinya.

Dan ia menjadi semakin gembira ketika dilihatnya kemudian Arya

Salaka dan Karebet bersendaugurau dengan gembiranya. Tetapi

lebih-lebih lagi ketika ia melihat seorang gadis yang berpedang

dilambungnya tersenyum kepadanya sambil berbisik. “Kakang,

hari itu akan segara datang.”

“Ya Wilis. Segara akan datang. Semoga.”

Keduanya pun kemudian menundukkan wajah mereka. Sedang

hati mereka memanjatkan perasaan terima kasih serta doa kepada

Tuhan Yang Mahaesa, semoga mereka akan sampai pada saat-saat

yang ditunggu-tunggu itu.

TAMAT

Page 111: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 111 of 115

Singgih Hadi Mintardja

(26 Januari 1933 – 18 Januari 1999)

emasa hidup Singgih Hadi Mintardja atau dalam karya-karya

biasa ditulis SH Mintardja, lebih dikenal sebagai penulis cerita

bersambung serial silat dengan setting kerajaan Mataram

zaman Sultan Agung di beberapa suratkabar, seperti Harian Bernas

berjudul Mendung di Atas Cakrawala dan Api di Bukit Menoreh di

Kedaulatan Rakyat. Episode terakhir yang hadir di hadapan

pembaca Harian Bernas adalah episode ke 848 Mendung di Atas

Cakrawala.

Setamat SMA, SH Mintardja yang lahir di Yogyakarta pada 26

Januari 1933, bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan

(1958). Terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kantor Wilayah

(Kanwil) Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan (Depdikbud) Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY) dan pensiun

pada 1989. Beberapa cerita roman silat

yang digali dari sejarah di kerajaan Jawa

telah ditulis SH Mintardja — yang oleh

kerabatnya akrab dipanggil dengan nama

Pak Singgih — sejak tahun 1964.

Berbekal pengetahuan sejarah,

ditambah mendalami kitab Babat Tanah

Jawi yang beraksara Jawa, lahirlah cerita

Nagasasra Sabuk Inten. Kisah berlatar belakang kerajaan Demak

itu melahirkan tokoh Mahesa Jenar. Karena cerita Nagasasra

sebanyak 29 jilid begitu meledak di pasaran dan amat digandrungi

pembaca, banyak orang yang terkecoh dengan cerita roman

sejarah itu.

Banyak yang mengira Mahesa Jenar benar-benar ada dalam

sejarah Demak. Akibatnya, tim sepakbola asal Semarang pun

S

Page 112: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 112 of 115

dinamakan Tim Mahesa Jenar. Mungkin dengan nama itu Wong

Semarang berkeinginan kiprah tim sepakbola sehebat Mahesa

Jenar dengan pukulan “Sasra Birawa”-nya yang menggeledek.

“Padahal saya memperoleh nama itu begitu saja. Rasanya kalau

diucapkan sangat indah dan kalau didengar kok enak,” ujar

Mintardja dalam pengakuannya di buku Apa dan Siapa Orang

Yogyakarta, edisi 1995.

Buku Nagasasra belum surut dari pasaran, SH Mintardja

membuat kisah Pelangi di Langit Singasari (dimuat di Harian Berita

Nasional tahun 1970-an) kemudian dilanjutkan dengan serial

Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan.

Agaknya suami Suhartini yang tinggal di Kampung Daengan,

Gedongkiwo, Yogya ini tidak pernah mengenal lelah. Pada tahun

1967 menggelindingkan Api di Bukit Menoreh mengambil kisah

berdirinya kerajaan Mataram Islam. Di sana ada tokoh Agung

Sedayu, Swandaru, Kyai Gringsing, Sutawijaya, dan paling terakhir

adalah Glagah Putih dan Rara Wulan — saudara sepupu sekaligus

murid Agung Sedayu.

Ada sementara penggemar cerita SH Mintardja yang bilang,

bila dijajarkan, maka cerita Api di Bukit Menoreh panjangnya

melebihi jarak Anyer – Panarukan. Asal tahu saja, kisah itu

memang lebih dari 300 jilid (buku) dan hingga akhir hayatnya

kisah itu belum selesai. Dan masih ada puluhan serial cerita kecil

lainnya yang dibuatnya.

Di sisi lain, Mintardja pun berusaha menulis kisah petualangan

pendekar pembela kebenaran yang lebih pop. Kisah itu tidak

terlalu keraton sentris, namun berusaha digali dari kisah kehidupan

sehari-hari dengan setting masa lalu, ya apalagi kalau tidak jauh

dari kerajaan-kerajaandi Tanah Jawa. Kisah seperti Bunga di Atas

Batu Karang yang mengisahkan masuknya pengaruh Kompeni

Belanda ke Bumi Mataram; kemudian serial Mas Demang yang

“hanya” mengisahkan anak seorang demang. Dan terakhir adalah

tokoh Witaraga dalam kisah Mendung di Atas Cakrawala, mantan

Page 113: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 113 of 115

prajurit Jipang yang kalah perang yang berusaha menemukan

jatidirinya kembali dengan mengabdi pada kebenaran dan welas

asih.

Perkenalkan Budaya

Ada yang khas dari seluruh kisah yang ditampilkan SH

Mintardja. Ia berusaha menyelipkan pesan-pesan moral di

dalamnya. Bahkan di dalamnya juga diperkenalkan beberapa

kebudayaan Jawa yang mungkin saat ini mulai punah. Sebagai

contoh adalah ungkapan rasa syukur menjelang panen padi di

desa-desa. Upacara “wiwit” yang berarti “mulai” (panen), berupa

pesta kecil di tengah sawah, beberapa kali dengan jelas

ditampilkan dalam beberapa ceritanya. Adat kebiasaan “mitoni”

atau “sepasaran” dalam menyambut kelahiran bayi di masyarakat

Jawa pun dengan pas digambarkannya.

Banjir darah tidak selalu dijadikan penyelesaian akhir untuk

menentukan bahwa yang benarlah yang menang. Ada

penyelesaian akhir yang lebih pas. Bertobat, tanpa harus ada yang

terbunuh. Bahkan ayah 8 anak, empat putra dan empat putri serta

kakek 12 cucu ini, sejalan dengan usia dan perkembangan zaman,

kematangan menulisnya pun semakin tercermin di dalam

kisahnya. Jika pada kisah Nagasasara Sabuk Inten dan Pelangi di

Langit Singsari masih menggunakan bahasa “tuan” untuk

menyebut anda ataupun engkau, maka pada Api di Bukit Menoreh

dan kisah lainnya, kata “tuan” itu sudah raib dari kamus kosa

katanya.

Entah terpengaruh oleh film atau karena melihat anaknya

berlatih silat, untuk menggambarkan serunya sebuah pertarungan

tidak lagi digambarkan dengan angin yang menderu-deru dan

desingan senjata; namun lebih masuk akal. Gambaran teknik

beladiri murni digunakan di karya-karyanya yang terakhir. Bila

akhir dari sebuah pertempuran memang harus dengan tenaga

dalam, ya itu tadi, pembaca lagi-lagi dibawa berkhayal melihat

Page 114: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 114 of 115

benturan ilmu maha dahyat yang bobotnya melebihi granat. Ya,

namanya saja cerita.

Ternyata, selain mengarang cerita silat atas kehendaknya

sendiri, SH Mintardja juga tidak menolak cerita pesanan, misalnya,

untuk pementasan ketoprak. Beberapa cerita sempalan seperti

Kasaput ing Pedhut, Ampak-ampak Kaligawe, Gebranang ing

Gegayuhan merupakan cerita serial ketoprak sayembara yang

disiarkan TVRI Yogyakarta.

Karya

SH Mintardja telah menulis lebih dari 400 buku. Cerita berseri

terpanjangnya adalah Api di Bukit Menorehyang terdiri dari 396

buku. Berikut ini daftar beberapa karya sang pengarang itu:

Api di Bukit Menoreh (396 episode)

Tanah Warisan (8 episode) Matahari Esok Pagi (15 episode)

Meraba Matahari (9 episode)

Suramnya Bayang-bayang (34 episode) Sayap-sayap Terkembang (67 episode)

Istana yang Suram (14 episode) Nagasasra dan Sabuk Inten (16 episode)

Bunga di Batu Karang (14 episode) Yang Terasing (13 episode)

Mata Air di Bayangan Bukit (23 episode) Kembang Kecubung (6 episode)

Jejak di Balik Bukit (40 episode)

Tembang Tantangan (24 episode)

Berpulang

Kini SH Mintardja telah tiada. Mungkin banyak penggemar

karya-karyanya yang ikut sedih dan kecewa karena kisah-kisahnya

masih menggantung di tengah jalan. “Tapi semua memang

kehendak Yang Maha Agung. Kita tidak dapat menolaknya,” begitu

Page 115: 29 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 115 of 115

sepenggal pesan moral SH Mintardja yang sering dia tulis dalam

berbagai karyanya.

Penulis cerita bersambung Singgih Hadi Mintardja atau lebih

dikenal dengan nama SH Mintardja, Senin (18/1/1999) lalu,

meninggal dunia. Almarhum menghembuskan nafas terakhir di

hadapan anggota keluarganya, Senin, pukul 11.39 WIB di Rumah

Sakit Bethesda, Yogya, dalam usia 66 tahun. Jenazah SH Mintardja

dimakamkan Selasa (20/1/1999) pukul 15.00 WIB di pemakaman

Kristen Arimatea, Mergangsan, Yogyakarta.

Almarhum dirawat di RS Bethesda sejak Sabtu 26 Desember

1998, karena menderita sakit jantung.

Sumber:

– Wikipedia

– Selamat jalan Pak Singgih, oleh: ee/djo – Yogya, Bernas