27 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja

98
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 98

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

96 views

Category:

Art & Photos


31 download

TRANSCRIPT

Page 1: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 98

Page 2: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 98

I

aka kini Baginda itu berdiri dengan kokohnya di atas kedua

kakinya yang merenggang. Meskipun debar di dadanya

masih menggetarkan jantungnya, namun Baginda kini sudah

mulai tenang kembali setelah mengalami goncangan-goncangan

yang tajam. Tetapi goncangan-goncangan tubuh Baginda itu,

masih belum menyamai goncangan perasaan Baginda. Hampir

Baginda tak percaya, seandainya Baginda sendiri tidak merasakan

bahwa isi dadanya seakan-akan menjadi rontok karenanya. Anak

muda itu ternyata memiliki kedahsyatan ilmu yang

mengagumkan. Sejak semula Baginda memang telah mengira,

bahwa anak yang mampu meloncat mundur melampaui blumbang

sambil berjongkok, pasti bukan anak kebanyakan, namun Baginda

samasekali tidak menyangka bahwa anak itu menyimpan ilmu

yang sedemikian dahsyatnya.

Tetapi alangkah menyesalnya Baginda, bahwa anak itu berada

di keputren di malam hari tanpa setahu Baginda.

Pada saat benturan itu terjadi, Karebet pun terkejut bukan

kepalang. Aji Rog-rog Asem, yang mampu merontokkan buah-

buah asem pada batangnya yang sebesar apapun itu, ternyata

hanya mampu mendorong surut lawannya beberapa langkah.

Bahkan tangannya itu seakan-akan telah membentur selapis

dinding baja yang samasekali tak tergoyahkan, sehingga kekuatan

yang tersalur lewat tangannya itu sebagian telah melontar kembali

melemparkan Karebet beberapa langkah mundur. Bahkan

kemudian terasa, tangannya itu nyeri dan nafasnya menjadi sesak.

Sesaat Karebet itu berdiri kaku. Kepalanya menjadi pening, dan

seakan-akan bintang-bintang di langit itu beterbangan turun

mengerumuni kepalanya.

Ketika perlahan-lahan kesadarannya telah pulih kembali,

dilihatnya lawannya itu masih tegak beberapa langkah

dihadapannya. Betapa Karebet menjadi semakin marah, sehingga

matanya itu seakan-akan menjadi menyala.

M

Page 3: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 98

Baginda, seorang yang memiliki berbagai pengetahuan, kini

sekali lagi terkejut ketika ditatapnya mata Karebet. Mata itu benar-

benar seperti mata kucing di malam yang gelap. Seakan-akan

cahaya yang biru hijau memancar dari dalamnya. Dan karena

itulah maka Baginda menjadi semakin menyesali keadaan. Anak

itu benar-benar anak luar biasa. Dengan demikian Baginda

menjadi semakin tertarik kepadanya. Tetapi bagi seorang raja dan

sebagai seorang ayah, Baginda tidak dapat membiarkan peristiwa

ini terjadi tanpa persoalan. Sebab dengan demikian, maka baik

Baginda sebagai raja maupun sebagai ayah, akan kehilangan nilai-

nilainya yang wajar, apabila persoalan yang tak pada tempatnya

itu dibiarkannya.

Seandainya, ya, seandai-

nya pada saat itu Baginda

menjumpai orang lain, bukan

Karebet dan tidak memiliki

ilmu sedahsyat Aji Rog-rog

Asem serta Lembu Sekilan,

serta dari matanya tidak

membayang cahaya yang biru

kehijauan, maka Baginda pasti

sudah akan bersikap lain.

Mungkin Baginda akan me-

maksa putrinya untuk masuk

ke bilik bundanya, dan me-

nangkap anak itu sebagai

seorang pencuri atau apapun

yang masuk ke dalam istana.

Dengan demikian, maka orang

itu akan dapat dihukum berat.

Tetapi kini yang dihadapi adalah seorang anak muda yang

jarang-jarang ditemuinya. Alangkah baiknya anak itu dalam

kedudukannya dalam pasukan Wira Tamtama. Namun, betapapun

ia harus mendapat hukuman dari perbuatannya itu.

Page 4: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 98

Baginda tidak sempat berangan-angan. Tiba-tiba ia melihat

Karebet meloncat seperti serigala lapar menerkam mangsanya.

Namun Baginda bukan sekadar anak kambing yang hanya mampu

mengembik. Ketika Baginda menyadari betapa berbahayanya

serangan yang masih dilambari dengan Aji Rog-rog Asem itu, maka

Baginda segera mengelak. Namun Baginda kini berhasrat untuk

segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum orang lain

melihatnya. Sebab apabila orang lain melihat perkelahian itu,

melihat putri dan Karebet, maka Baginda tidak akan

menyelamatkan nama putrinya dari aib yang mencoreng kening,

dan wajah Baginda pun akan tercoreng karenanya.

Karena itu, segera Baginda mateg aji kebanggaannya, Bajra

Geni. Aji yang ampuh bukan buatan. Namun Baginda benar-benar

tidak mau membunuh atau melukai Karebet. Karena itu, Baginda

mengambil cara yang tidak berbahaya bagi lawannya. Dengan

kecepatan yang tak disangka-sangka oleh Karebet, Baginda

melontar menyusul arah lawannya yang terbang beberapa jengkal

di sampingnya, karena terkamannya dihindari. Dengan Aji yang

dahsyat itu, Baginda memukul Karebet, namun tidak pada

tubuhnya. Baginda sengaja mengayunkan tangannya di wajah

Karebet, tanpa menyentuhnya.

Tetapi alangkah terkejutnya Karebet. Baginda tidak

melepaskan Aji Bajra Geni sepenuhnya, namun getarannya telah

cukup kuat untuk menggetarkan tubuh Karebet.

Karebet pun terkejut bukan kepalang. Terasa wajahnya

seakan-akan disiram api. Karena itu, maka dengan serta merta ia

meloncat beberapa langkah surut. Dengan tubuh gemetar ia

memandang orang yang sebagian wajahnya terselubung oleh kain

ikat kepala itu. Dan didengarnya orang itu tertawa.

“Alangkah dahsyatnya,” geram Karebet di dalam hatinya.

“Tangannya samasekali tidak menyentuh tubuhku. Namun getaran

serta panas ilmunya telah mampu menembus Aji Lembu Sekilan.”

Page 5: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 98

Orang itu masih tertawa berkepanjangan meskipun tidak

terlalu keras. Kemudian terdengar ia berkata, “Bagaimana Aji

Lembu Sekilan. Apakah kau masih akan membanggakan Aji Lembu

Sekilan yang setengah matang itu. Aku belum menyentuh kulitmu,

tetapi agaknya kau telah merasakan akibatnya. Bahwa kekuatan

Ajiku mampu menembus pertahanan Lembu Sekilanmu.”

Karebet tidak menjawab. Dengan marahnya ia menggeram.

Tetapi ia benar-benar telah dapat mengambil suatu kepastian,

bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan orang itu. Karena itu

Karebet menjadi semakin cemas. Ia samasekali tidak

mencemaskan nasibnya, bahkan sampai mati sekalipun. Namun

bagaimana kemudian dengan putri itu?

Belum lagi ia menemukan cara untuk menyelamatkan Putri itu,

maka terdengar orang yang berdiri di hadapannya itu berkata,

“Nah, apakah kau masih akan melawan.?”

“Jangan menyombongkan diri. Kau lihat aku masih tegak

dihadapanmu,” sahut Karebet.

“Hem,” desah orang itu, “Kau memang keras kepala. Meskipun

demikian aku beri kau kesempatan hidup. Tetapi serahkan putri itu

kepadaku.”

“Apa?” Kata-kata Karebet tersangkut di kerongkongan karena

kemarahannya yang meluap-luap. Sedang Putri Sultan itu menjadi

bertambah mengigil ketakutan. Perlahan-lahan wajahnya beredar

di antara batang-batang perdu di petamanan. Namun hatinya

menjadi bingung. Ia akan dapat berteriak memanggil beberapa

peronda. Tetapi apa katanya tentang Karebet dan orang yang

berselubung kain itu?

Dalam kebingungan Putri itu mendengar orang berselubung itu

berkata, “Apakah Putri akan memanggil Nara Manggala?”

“Ya,” sahut putri itu tiba-tiba.

Page 6: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 98

Kembali orang itu tertawa. Jawabnya, “Mereka akan

menangkap Karebet dan orang yang berselubung kain itu?”

Telinga Karebet menjadi merah karenanya. Kemarahannya

telah benar-benar sampai kepuncak kepalanya. Apalagi ketika ia

mendengar orang itu mengulangi, “Anak muda. Tak ada gunanya

kau melawan. Ajimu kedua-duanya adalah ilmu yang samasekali

tak berarti bagiku. Dengan duduk bertopang dagu aku pasti akan

dapat memunahkannya. Tetapi apakah kau mampu bertahan

terhadap ilmuku meskipun kau membentengi dirimu dengan

Lembu Sekilan?”

Sekali lagi Karebet mencoba melihat siapakah yang berdiri di

hadapannya. Pamannya? Mahesa Jenar? Pasti bukan. Mungkin

orang-orang sakti yang lain? Di istana tidak banyak dijumpai

orang-orang yang pernah menggetarkan hatinya. Beberapa orang

sakti dari para prajurit berbagai kesatuan telah dikenalnya. Dan

orang ini bukanlah salah seorang dari mereka.

Sebelum Karebet mampu memecahkan teka-teki itu. Karebet

mendengar orang yang berdiri dihadapannya itu berkata pula,

“Jangan menunggu aku marah. Biarlah putri itu aku bawa.”

Sekali lagi Karebet menggeram. Sahutnya, “Lampaui dahulu

mayatku. Baru kau bawa Tuan Putri.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau

benar-benar keras kepala.”

“Adalah akibat dari perbuatanku. Tebusannya maut,” sahut

Karebet, dan diteruskan, “Apakah kau sangka, sesudah aku, kau

akan dapat melepaskan diri dari halaman ini? Kau mati dipenggal

oleh Nara Manggala.”

“Tak seorang pun mampu menangkap aku,” jawab orang itu.

“Karebet tidak. Gajah Alit tidak dan Panji Danapati pun tidak.”

Karebet menarik alisnya. Orang itu dapat menyebut beberapa

nama perwira dari Nara Manggala. Karena itu tiba-tiba menjadi

Page 7: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 98

bercuriga. Apakah orang itu orang dalam? Gajah Alit pasti bukan.

Panji Danapatipun bukan. Siapa?

Dalam kebingungan itu kembali Karebet mendengar orang itu

berkata, “Ayo Karebet. Katakan kepadaku, siapakah dari seluruh

Demak mampu mengalahkan aku?”

Karebet benar-benar mengigil mendengar kata-kata itu.

Hampir saja ia menyebut beberapa nama yang pernah dikenalnya

di Karang Tumaritis. Namun niatnya diurungkannya. Yang

terdengar kemudian hanyalah gemeretak giginya beradu.

Tetapi seperti mendengar seribu guntur meledak bersama di

atas kepalanya, kemudian Karebet mendengar orang itu berkata,

“Karebet, katakan, siapa yang mampu melawan Aji Bajra Geni?”

“Bajra Geni. Bajra Geni.” Tanpa sadar Karebet mengulangi

kata-kata itu.

“Ya,” sahut orang itu pendek.

Tubuh Karebet pun kemudian menjadi gemetar. Dengan ragu-

ragu ia memandang orang yang berdiri dihadapannya. Bajra Geni

adalah nama ilmu yang dahsyat, sedahsyat ilmu pamannya dan

Mahesa Jenar. Setingkat pula dengan ilmu-ilmu luar biasa lainnya,

Lebur Seketi,Cunda Manik dan lain lainnya. Tetapi lebih daripada

itu. Aji Bajra Geni dikenal sebagai ilmu yang dimiliki oleh Sultan

Trenggana. Karena itu betapa debar jantung Karebet seakan-akan

terhenti. Bahkan darahnya pun seakan tidak mengalir lagi.

Sebelum Karebet menyadari apa yang terjadi, maka tangan

orang yang berdiri dihadapannya itupun kemudian meraih kain

yang menutupi wajahnya. Dengan sekali gerak, maka kain itupun

telah direnggutkan.

Demikianlah orang yang tegak berdiri dengan gagahnya itu

menarik tutup wajahnya, terdengar puteri Sultan itu menjerit kecil.

Sesaat ia memandangi wajah itu dengan tajamnya, namun sesaat

berikutnya dengan serta merta puteri menjatuhkan dirinya dikaki

Page 8: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 98

Baginda sambil menangis sejadi-jadinya. Sedang Karebet pun

kemudian berlutut pula pada kedua lututnya sambil menyembah

hampir mencium tanah.

“Jangan menangis!” bentak baginda. “Diam atau kututup

mulutmu!”

Dengan sekuat tenaga dan penuh ketakutan, Puteri mencoba

meredakan tangisnya. Tetapi karena itu maka tangis itu seakan-

akan malahan meledak-ledak.

Baginda masih juga berdiri diatas kakinya yang renggang.

Dipandangnya wajah Karebet dengan tajam, setajam ujung

pedang. Dan Karebet pun menundukkan wajahnya dalam-dalam.

“Ayahanda,” terdengar puteri berkata diantara sendunya.

“Apakah kau masih berhak menyebut aku sebagai

ayahandamu?” sahut baginda.

“Ayahanda,” kembali terdengar kata-kata itu meloncat dari

bibir Puteri yang sedang menangis itu.

Namun Sultan Trenggana itu tidak menjawab. Bahkan

kemudian ia berkata kepada Karebet, “Karebet, apakah aku harus

melampaui mayatmu?”

“Ampun, Baginda,” sahut Karebet gemetar, “hamba tidak

menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda.”

“He,” Seru Baginda, “Jadi kalau tidak ada aku kau dapat

berbuat sekehendakmu? Jadi kalau berhadapan dengan orang lain,

kau mengagung-agungkan kekuatanmu? Lembu Sekilan atau Aji

apa lagi yang kau miliki itu?”

“Ampun Baginda,” Karebet semakin tertunduk. Kini

harapannya untuk keluar dari kaputren menjadi lenyap. Ia tinggal

menunggu besok atau lusa, seorang algojo akan memenggal

lehernya, atau menaikkan ke tiang gantungan.

Page 9: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 98

Apalagi ketika didengarnya Baginda berkata, “Karebet itukah

tanda terimakasihmu kepadaku. Bukankah kau telah aku pungut

dari pinggir jalan, kemudian aku coba untuk menjadikan kau

seorang anak muda yang memiliki kebanggaan dengan

menyerahkanmu kepada Prabasemi dan kesatuannya. Kini

ternyata kau telah menyentuh kehormatanku. Sebagai seorang

ayah dan seorang raja.”

Mendengar kata-kata baginda itu tiba-tiba Karebet teringat

kepada Tumenggung Prabasemi. Hampir saja ia mengatakan

persoalan Tumenggung kepada untuk mengurangi kemarahan

baginda kepadanya, tetapi kemudian niat itupun diurungkannya.

“Tak ada gunanya,” katanya dalam hati. Dan kini ia tinggal pasrah

kepada nasib yang membawanya kearah maut. Tak ada hukuman

lain yang pantas diberikan kepadanya selain hukuman mati.

Apalagi telah berani bertempur melawan Baginda.

“Mungkin baginda sendiri yang akan membunuhku,” pikirnya.

Sebenarnya baginda marah sekali kepada Karebet dan

Puterinya. Tetapi terasa sesuatu yang aneh menyelip dihati

baginda. Justru setelah bertempur melawan Karebet, kesaktian

anak itu benar-benar menarik perhatiannya, sehingga baginda pun

berkata di dalam hatinya, “Sayang, anak ini memiliki kemungkinan

dihari depannya. Kemungkinan yang tidak terbatas. Kalau ia

mampu mematangkan aji Lembu Sekilan dengan ilmu

rangkapannya itu, maka ia menjadi seorang sakti yang pilih

tanding.”

Baginda sendiri mempunyai dua orang putera disamping

puterinya. Yang sulung, adalah seorang yang sakti pula. Namun

sayang, karena sesuatu hal, maka Pangeran itu mempunyai

penyakit berat di dalam rongga dadanya. Sedang puteranya yang

seorang lagi, masih terlalu muda, dan agaknya tidak akan

menyamai kakak sulung.

Page 10: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 98

Tetapi Baginda tidak mau terpengaruh oleh perasaannya itu.

Tetapi kemudian Baginda berkata lantang kepada puterinya,

“Cepat masuk kekeputren. Jangan keluar dari pintu kalau bukan

ibunda yang menjemputmu.”

Puteri itupun menyembah sambil menangis. Tetapi ketika akan

menjawab, Baginda membentaknya, “Masuk ke keputren!”

Puteri Baginda itu tidak berani mengangkat wajahnya. Sekali

lagi ia menyembah, dan dengan wajah tunduk serta airmata

berhamburan, Puteri tertatih-tatih masuk kebiliknya. Langsung

direbahkannya dirinya dipembaringan menelungkup. Dan kepada

pembaringan serta dinding-dinding biliknya ia mengadukan

nasibnya yang malang. Betapa kecewanya dan menyesal hati

puteri itu. Tetapi semuanya telah terlanjur dilakukan. Dan

ayahanda Baginda sendiri telah melihat langsung apa yang terjadi.

Diluar Keputren Karebet duduk bersila dengan wajah tepekur.

Anak muda ini menyesal pula atas semuanya yang telah terjadi.

Namun, semuanya telah berlalu. Dan yang dapat dilakukan kini

tinggallah menunggu hukuman yang harus disandangnya.

Sesaat kemudian Bagindapun menjadi bimbanmg.

Bagaimanapun anak muda itu mempunyai tempat tersendiri di

dalam hatinya sehingga dengan demikian, mau tidak mau segala

keputusan yang akan diambil oleh baginda sangat terpengaruh

oleh perasaannya itu.

“Karebet,” berkata Baginda kemudian, “ikut aku ke Ksatriaan.”

“Hamba tuanku,” sahut Karebet sambil menyembah.

Dan Baginda tidak menunggu apapun lagi ditempat itu. Segera

Baginda berjalan diantara rimbunnya daun-daun perdu dihalaman,

supaya tidak seorangpun melihatnya. Kepada Karebet, Baginda itu

berkata, “ikuti aku. Jangan ada seorang pun yang melihatmu.

Apabila demikian, maka nasibmu akan aku serahkan kepada

penjaga itu.”

Page 11: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 98

Karebet menyembah sambil menyahut, “Hamba, Baginda.”

Maka keduanya pun berjalan mengendap endap menghindari

peronda dari pengawal baginda. Sehingga tak seorang pun yang

mengetahuinya, maka berdua telah memasuki Ksatrian dari pintu

samping.

“Karebet,” berkata Baginda setelah mereka di dalam bilik

ksatrian. “Tinggal di sini. Jangan coba melarikan diri. Tak ada

gunanya. Aku segera dapat menangkapmu kemana saja kau

bersembunyi. Sebab setelah ini, akan aku perintahkan segenap

peronda Nara Manggala untuk lebih berhati-hati. Tak seorangpun

boleh meninggalakan halaman istana. Apapun alasannya.”

“Hamba tuanku,” jawab Karebet. “Hamba tidak akan berani

melanggar perintah Baginda.”

Sesaat kemudian Baginda pun mengenakan baju keprajuritan

yang berada di Ksatrian. Dengan pakaian itu kemudian baginda

pergi meninggalkan bilik. Karebet yang berada di dalam bilik itu

menjadi bingung. Apakah yang akan dikatakan nanti di pagi hari,

jika beberapa orang emban atau jajar masuk kedalam bilik untuk

membersihkannya. Dan apapula jawabnya jika Pangeran Timur

nanti datang pula kemari?

Tetapi Karebet lebih takut lagi akan perintah baginda. Karena

itu betapapun ia menjadi cemas, namun ia tidak berani beranjak

dari biliknya. Dengan lesu dijatuhkannya badannya diatas lantai

yang licin bersih dan mengkilap. Dengan berbagai macam

perasaan bercampur baur, Karebet memandang kedinding yang

kokoh kuat sekuat baja.

“Dengan rog-rog Asem aku pasti mampu menjebol pintu ini,“

terdengar suara di dalam hatinya.

“Gila,” jawab suara yang lain

Dan kembali Karebet dengan lemahnya duduk bersandar

didinding. Namun hatinya meronta-ronta seperti api yang

Page 12: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 98

menyala-nyala. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan Baginda

setelah itu.

Dan kenapa Baginda tiba-tiba mengenakan pakaian

keprajuritan. Apakah nanti malam ini juga Baginda akan

melakukan hukuman atas dirinya? dan Sultan sendiri yang akan

menanganinya ?

Tetapi ternyata Karebet adalah anak yang aneh. Betapun

gelisahnya, namun ia tiba-tiba menguap. Dan setelah menggeliat,

ia bergumam, “Persetan dengan segala macam hukuman. Lebih

baik aku tidur. Dengan segala macam kegelisahan dan penyesalan,

soalku tidak selesai.”

Dengan tanpa kesan apapun atas segala macam bencana yang

sewaktu-waktu dapat menimpanya, maka Karebet itu pun

kemudian merebahkan dirinya di lantai, dan sesaat kemudian, ia

sudah tidur mendekur.

Dari Kesatrian, Baginda tidak langsung kembali ke bilik. Betapa

terkejutnya penjaga dari kesatuan Nara Manggala ketika melihat

baginda sendiri lengkap dengan pakaian keprajuritan datang

kepada mereka. Dengan tergesa-gesa mereka segera berloncatan

menyambut kedatangan baginda dan dengan takjimnya mereka

pun segera duduk bersila di hadapan Baginda yang berdiri tegak di

muka gardu.

Beberapa orang menjadi pucat, dan beberapa orang lagi

menjadi cemas. Apakah yang akan terjadi sehingga Baginda

datang sendiri kepada mereka.

Mereka lebih heran lagi ketika tiba-tiba Baginda itu berkata,

“Atas namaku, panggil Prabasemi dari Wira Tamtama.”

“Hamba tuanku,” sahut Nara Manggala yang tertua, “apakah

Tumenggung Prabasemi harus menghadap baginda malam ini?”

“Ya,” jawab Baginda, “Bawa dia ke Kasatrian”

Page 13: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 98

“Hamba Tuanku,” sahut orang tertua itu.

Kemudian ketika Baginda melangkah kembali ke Kasatrian,

dua dari Nara Manggala segera bersiap untuk mengantarkan.

Namun mereka terkejut ketika Baginda berkata, “Aku datang

sendiri. Aku kembali sendiri.”

Penjaga menjadi heran. Tidak menjadi kebiasaan Sultan

berbuat demikian. Tetapi tak seorang pun berani bertanya. Dan

mata mereka dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengiringi Baginda

lenyap dalam bayang-bayang pohon Sawo Kecik.

Sepeninggal Baginda, beberapa orang saling berbisik

diantaranya. “Aneh,” berkata salah seorang dari mereka, “kenapa

baginda memanggil Prabasemi dimalam hari begini?”

Yang lain menggeleng, “Memang aneh.”

Hanya tiba-tiba saja seseorang berkata, “Tadi aku melihat

Karebet masuk istana, katanya kaki baginda terkilir.”

“Lalu sekarang Prabasemi dipanggil oleh baginda,” sahut yang

lain, “Kenapa bukan Karebet yang harus memanggilnya? Bukankah

ia prajurit Wira Tamtama?”

Kawannya hanya dapat mengangkat bahunya sambil berkata,

“entahlah. Ada sesuatu yang kurang wajar terjadi.”

“Apa?” bertanya yang lain

Orang itu menggeleng. Katanya, “Kalau aku mengetahuinya

kau pasti mengetahuinya juga.”

Mereka itu pun kemudian terdiam. Masing-masing berjalan

kembali masuk ke gardu peronda. Baru saja mereka duduk, seperti

orang tersengat lebah, Nara Manggala yang tertua berteriak, “He,

bodoh kalian. Kenapa kalian tidak berangkat memanggil

Prabasemi?”

“Oh,” sahut yang lain, “Hampir aku lupa kepada perintah itu.”

Page 14: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 98

Kemudian dengan tergesa-gesa dua orang Nara Manggala

segera bersiap untuk berangkat menjemput Prabasemi. Mereka

segera memperbaiki pakaian mereka, melengkapi tanda

keprajurutan. Dengan pedang dilambung masing-masing berdua

segera pergi menjemput Tumenggung Prabasemi.

Meskipun kemudian tak seorang pun yang bercakap-cakap,

namun sebenarnya mereka saling bertanya di dalam hati, apakah

yang sebenarnya terjadi?

II

Dari Gardu Penjaga, Baginda langsung masuk kedalam biliknya

dimana Permaisuri dan dua orang emban sedang menunggu.

Ketika permaisuri melihat kedatangan Baginda, maka terdengar

sebuah tarikan napas panjang.

“Nah,” berkata Baginda, “bukankah aku masih utuh?”

Sekali lagi Permaisuri menarik napas. Katanya, “Hamba

menjadi gelisah.”

Baginda kemudian memandangi kedua emban yang duduk

bersimpuh sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sesaat

kemudian berkatalah baginda “Kembalilah ke bilikmu masing

masing emban.”

Kedua emban itu terkejut. Dan bersamaan mereka

menyembah sambil membungukkan badan mereka, “Hamba

Baginda.”

“Tetapi, ingat,” berkata baginda pula, “apabila seseorang

mendengar tentang puteri itu, kau berdualah yang akan aku

pancung di alun-alun.”

Kedua emban menjadi pucat. Dengan gemetar, sekali lagi

mereka menyembah dengan takjimnya.

“Nah tinggalkan bilik ini.”

Page 15: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 98

Keduanya tidak menjawab. Namun setelah sekali lagi mereka

menyembah, maka segera mereka meninggalkan bilik itu.

“Alangkah malangnya nasibku,” kata emban Permaisuri,

“Kalau aku tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan

mengalami bencana ini. Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri

yang bercerita tentang peristiwa itu, maka apabila ada orang lain

yang mendengarnya, kamilah yang akan dipancung. Hi,

mengerikan.”

Emban yang lain tidak menjawab. Terbesit pula penyesalan di

dalam dirinya. Tetapi apabila dibayangkannya rumah yang megah

dari Tumenggung Prabasemi serta segala macam penghormatan

yang akan didapatnya, maka emban itu sersenyum di dalam hati.

Putri itu pasti akan mendapat hukumannya. Setidak-tidaknya akan

mengalami pingitan yang lebih ketat. Sehingga dengan demikian,

maka Prabasemi itu pasti akan melupakannya.

Demikian kedua emban itu meninggalkan bilik Baginda, maka

segera Baginda mengatakan apa yang telah dialaminya serta apa

yang telah terjadi.

Ketika Permaisuri mendengar, bahwa berita yang dibawa oleh

emban itu benar-benar terjadi, maka dengan serta merta,

pecahlah tangisnya. Alangkah hinanya. Apabila Putri itu adalah

putri seorang raja yang namanya ditakuti oleh lawan dan disegani

oleh kawan. Tetapi putrinya sendiri, samasekali telah

mengabaikannya.

“Kenapa hal ini terjadi, Baginda?” bertanya Permaisuri.

“Padahal menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara

hamba untuk menjadikannya seorang putri yang berbudi. Justru

dalam masa pingitan, serta masa-masa perkembangan jasmaniah

dan rohaniah, bencana itu terjadi.”

Baginda tidak menjawab. Bahkan wajahnya ditundukkannya,

seakan-akan sedang menghitung jari-jari kakinya. Sebagai

seorang ayah, maka hampir-hampir Baginda tak dapat menahan

Page 16: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 98

kemarahannya terhadap Karebet. Tetapi, sebagai seorang

Senapati Perang, maka Baginda dapat melihat kekuatan yang

tersembunyi di dalam tubuh Karebet yang telah berani melangkahi

pagar kaputren itu. Bahkan sebagai seorang raja, Baginda melihat

masa depan dari kerajaannya, Demak, yang sampai kini masih

belum diketemukannya seorang sakti yang mempunyai

kemungkinan yang tak terbatas dimasa depannya. Pernah juga

Baginda mendengar nama-nama, diantaranya Mahesa Jenar yang

bergelar Rangga Tahjaya. Namun orang itu telah lama membuang

diri dalam satu pengabdian yang luhur. Berusaha menemukan

pusaka-pusaka Keraton yang lolos dari perbendaharaan Istana.

“Tetapi orang itu samasekali bukan keluarga istana,” desis

Baginda di dalam hatinya.

“Ah!” Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya.

Kemudian katanya di dalam hati, “Apakah Karebet itu juga

keluarga istana?”

Baginda tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesuatu

bergolak di dalam dadanya. Dicobanya berkali-kali untuk mengusir

perasaan yang mengetuk-ngetuk jantungnya. Karebet itu adalah

anak yang diketemukan di pinggir jalan. Tidak lebih. Bukan

kadang, bukan sentana.

“Tetapi ia putra Ki Kebo Kenanga.” Kembali terdengar kata-

kata jauh di dasar hatinya. “Kebo Kenanga adalah putra Pangeran

Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran darah

Majapahit di dalam tubuhnya?”

“Hem.” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Ketika Baginda

itu berpaling, dilihatnya Permaisuri masih menyeka kedua belah

matanya yang basah.

“Sudahlah,” hibur Baginda, “Aku akan mencoba mencari cara

sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.”

“Apakah cara itu?” tanya Permaisuri.

Page 17: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 98

“Aku belum tahu,” sahut Baginda, “Tetapi mula-mula adalah

menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan

Karebet.”

Permaisuri menganggukkan kepalanya. “Besok, Putriku akan

aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan

yang lebih seksama.”

“Aku sependapat,” sahut Baginda, “Dan biarlah anak muda

yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.”

“Akan diapakankah?”

“Biarlah anak itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan

kepada Palindih di Bergota.”

“Hanya itu?”

Baginda terdiam. Disadarinya, bahwa Pemaisuri itu benar-

benar merasa terhina. Namun Baginda tidak akan dapat

mengatakan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh Permaisuri

secara keseluruhan. Sebab Permaisuri tidak merasakan

kedahsyatan ajian anak muda itu, tidak merasakan bahwa di dalam

diri anak itu tersimpan Aji Lembu Sekilan dan dari matanya

memancarkan cahaya biru kehijauan seperti mata seekor harimau

yang garang di malam hari. Permaisuri tidak dapat mengerti bahwa

Demak memerlukan orang yang demikian itu. Orang yang

mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas. Meskipun di seluruh

wilayah Demak, banyak terdapat orang-orang sakti, namun tidak

seorang pun dari mereka yang pernah mempengaruhi perasaan

Baginda sebegitu dalam seperti Karebet, putra Ki Kebo Kenanga.

Sebelum Sultan Trenggana menemukan jawaban atas

pertanyaan Permaisuri itu, maka kembali Permaisuri bertanya,

“hukuman apa yang akan baginda berikan terhadap Karebet.

Apakah hukuman itu cukup seimbang dengan kesalahannya?”

Baginda menarik nafas, kemudian jawabnya, “Hukuman itu

adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat

Page 18: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 98

pertimbangan lain. Namun hukuman itu harus sesuai dengan

keduanya. Sebab kesalahan itu tidak saja terletak pada Karebet,

tetapi pada Puteri itu juga.”

Tiba-tiba Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang

puteri, terasa kata-kata baginda agak janggal. Karena itu katanya,

“Baginda, apakah yang akan dilakukan puteri kalau Karebet tidak

memulainya? Aku yakin bahwa anak muda itu memanfaatkan

kesempatan. Apabila Baginda memanggilnya, maka dimanfaatkan

kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri adalah anak pingitan.

Jarang-jarang ia melihat anak muda di dalam biliknya yang sempit.

Maka ketika dilihatnya Karebet itu maka langsung mempengaruhi

hatinya.”

Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah baginda

yang tunduk. Kali ini mereka tidak berbicara sebagai Raja terhadap

Permaisuri tetapi sebagai ayah dan seorang ibu. Seorang ibu yang

merasa tersinggung karena perbuatan seorang anak muda atas

puterinya dan seorang ayah yang melihatnya dari cakupan yang

luas. Maka dengan hati-hati Bgainda berkata, “Tetapi apabila

puterimu tidak memanggapinya, maka tidak terjadi sesuatu

diantara mereka berdua. Setiap hubungan antara anak muda dan

gadis-gadis, pasti dimulai dari kedua ujung hati masing-masing.

Apabila tidak, maka hubungan itu tidak akan terjadi.”

“Oh,” sahut permaisuri. “Baginda telah berbicara tentang hati

laki-laki, yang melihat perempuan dari sudut seperti Karebet.

Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuan. Mungkin

puteri mula-mula samasekali tidak menanggapi sikap Karebet.

tetapi lambat laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya,

maka hati itu pasti cair. Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih

dari sikap gadis yang merasa kasihan terhadap seorang anak muda

yang terbakar hatinya. Atau mungkin Karebet sengaja membuat

dirinya seakan-akan tidak mampu hidup tanpa puteri. Atau apapun

yang dilakukannya sebagai suatu cara meruntuhkan hati seorang

gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan cemburu, bermanja-

manja atau merayu.”

Page 19: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 98

Sekali lagi Baginda menarik nafas. Sekali lagi dicobanya untuk

menjawab, “Kalau gadis itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam

pendiriannya.”

“Betapapun keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat

membuat lubang padanya.” Sahut permaisuri.

Kali ini Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum

pernah Permaisuri bersikap keras kepadanya. Sebagai seorang

permaisuri, setiap kali yang dilakukan adalah menghambakan

perintah Baginda. Mendengarkan kata-kata baginda dengan wajah

tunduk, kemudian tersenyum kalau baginda tersenyum, dan

berduka kalau baginda berduka. Namun Baginda bukanlah seorang

laki-laki berhati batu. Baginda dapat mengetahui sepenuhnya

perasaan Permaisurinya, dan bahkan berterimakasih pula kepada

permaisurinya itu. Namun kali ini Baginda menjumpai sikap yang

jauh berbeda. Permaisuri itu menjawab kata dengan kata, kalimat

dengan kalimat. Karena itu, maka baginda dapat mengerti, betapa

pedih luka dihari permaisurinya sehingga dilupakannya suba sita.

Meskipun demikian, Baginda masih ingin untuk dapat

menerangkan apakah sebabnya, maka Karebet itu masih diberinya

kesempatan, meskipun dijauhkan dari Demak. Tetapi tidak saat

ini, sebab apabila perempuan itu telah dikuasai oleh perasaannya,

maka setiap pertimbangan akan tersisihkan. Demikian juga

Permaisuri kali ini.

Karena itulah maka dengan tersenyum Baginda berkata,

“Baiklah. Biarlah aku pertimbangkan sekali lagi. Tetapi janganlah

aku yang dipersalahkan.”

Kata-kata itu tiba-tiba menyadarkan Permaisuri akan dirinya.

Ia sedang berhadapan dengan seorang raja yang memiliki segala

kekuasaan ditangannya. Tiba-tiba Permaisuri menyembah sambil

berkata, “Ampun Baginda. Aku ternyata telah berpendapat terlalu

jauh. Namun aku hanya sekedar menuangkan perasaan ibu atas

bencana yang menimpa puterinya.”

Page 20: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 98

Baginda mengangguk-anggukan kepalanya pula. Jawabnya,

“Aku mengerti. Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati

Perang dan segala macam jabatan pemerintahan, tetapi aku

adalah seorang ayah pula.”

Permaisuri itu pun kemudian berdiam diri. Namun di kedua

belah matana masih tampak, betapa ia tidak rela mengalami

peristiwa yang samasekali tidak didangka-sangkanya. Bencana

yang menimpa puterinya. Namun kini segala sesuatu telah

diserahkannya kepada Baginda. Permaisuri itu dapat mengerti

kata-kata Baginda, bahwa Baginda tidak saja seorang Raja tetapi

juga seorang ayah, sekaligus seorang Raja yang harus

memandang segala persoalan dari berbagai segi.

“Kenapa hal ini terjadi dengan Puteriku, puteri Baginda. Kalau

saja itu terjadi atas orang-orang yang tinggal dipondokan kecil

maka tidaklah banyak persoalan yang timbul karenanya. Tetapi

puteri itu adalah anak seorang Raja yang akan disoroti oleh setiap

mata dari seluruh negeri.” Betapapun Permaisuri masih saja

meratap dalam hatinya. Namun tidak sepatah katapun

diucapkannya.

Yang kemudian berkata adalah Baginda, “Marilah, aku antar

kembali ke bilikmu. Aku harus segera ke Kesatrian. Ambilah

puterimu besok pagi, dan biarkan ia tinggal dalam istana untuk

smeentara.”

Permaisuri menyembah, kemudian tanpa berkata sepatah

katapun segera mereka meninggalkan bilik Baginda kembali ke

bilik Permaisuri sendiri. Dimuka pintu Permaisuri melihat emban

tadi duduk bersimpuh menungguinya.

“Kau masih di sini?” bertanya Permaisuri.

Emban itu menyembah sambil menjawab, “Ampun Gusti.”

Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu.

Katanya, “Kenapa kau menangis?”

Page 21: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 98

Emban itu menundukkan wajahnya, “Hamba Takut Gusti.”

“Apa yang kau takutkan?”

Emban tidak menjawab. Tetapi sesekali ia menyembah dan

kepalanya semakin tunduk.

“Jangan takut,” berkata Permaisyuri, “Kau tidak bersalah dan

kau tidak berbuat apa-apa”

Tetapi emban tidak berani mengangkat wajahnya. Hanya

sekali-kali dipandangnya kaki Baginda dan Permaisuri berganti

ganti. Baginda pun kasihan juga melihat emban itu. Tetapi baginda

tida berkata apapun.

Setelah permaisuri itu masuk kembali ke dalam biliknya, maka

segera Baginda meninggalkan bilik itu. Di muka pintu, baginda

berkata kepada emban yang masih bersimpuh di situ, “Kawani

Gustimu.”

“Hamba Baginda,” sahut emban itu. Tetapi ia tidak berani

masuk kedalam bilik karena permaisuri tidak memanggilnya.

Karena itu ia masih duduk dimuka pintu. Baru ketika ia terbatuk

karena sedannya, maka terdengar Permaisuri memanggilnya,

“apakah kau masih di muka pintu?”

“Ampun gusti, Baginda memerintahkan hamba untuk

menemani Gusti.”

“Tidurlah,” berkata Permaisyuri itu, “Aku ingin tinggal seorang

diri”

Barulah emban itu berdiri dan kembali ke biliknya. Tetapi

begitu ia merebahkan dirinya, ia menangis sejadi-jadinya. Berkali-

kali dirabanya lehernya seolah olah sebuah goresan telah

melukainya.

“Kenapa kau?” tanya seorang temannya

Emban itu menggeleng.

Page 22: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 98

“Apakah jajar yang berkumis kecil ingkar janji?”

“Ah,” desah emban yang sedang menangis itu. Namun

lehernya menjadi semakin pedih dan napasnya sesak.

Kawan-kawannya kemudian tidak bertanya apapun lagi.

Dibiarkannya ia menangis dan menelungkup. Bahkan beberapa

kawan-kawannya saling berbisik dan tertawa tertahan-tahan.

Mereka menyangka bahwa emban itu sedang berselisih dengan

calon suaminya yang jauh lebih muda daripadanya.

Dalam pada itu Baginda telah berjalan menunju ke Kasatrian.

Namun sebelum Baginda sampai, maka Baginda melihat dua orang

Nara Manggala membawa Prabasemi menunju ke Kasatrian itu

pula. Karena itu segera Baginda berjalan mendahuluinya.

Ketika Baginda sampai di pintu samping, dan perlahan-lahan

membuka pintu itu, alangkah terkejutnya. Baginda melihat, betapa

Karebet dengan tenangnya tidur mendengkur di atas lantai. Sekali

lagi Baginda mengelus dada. Katanya di dalam hati, “Anak itu

memang luar biasa. Apakah ia tidak menyadari bahaya yang dapat

menimpa dirinya setiap saat, atau memang demikian ikhlasnya ia

menjalani setiap persoalan betapapun rumitnya dan bahkan

hidupnya terancam?”

Baginda menarik nafas. Kekagumannya kepada Karebet

menjadi semakin bertambah-tambah. Tetapi meskipun demikian

Baginda tidak mau menunjukkan betapa perasaan Baginda itu

mencengkam segala pertimbangannya. Karena itu, dengan serta

merta Baginda menutup dengan kerasnya daun pintu itu, sehingga

berderak-derak keras sekali.

Alangkah terkejutnya Karebet yang sedang tidur nyenyak itu.

Sekali ia meloncat dengan garangnya, dan dalam sekejap ia telah

siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika

kesadarannya telah sepenuhnya menguasai otaknya, dan ketika

dilihatnya Baginda berdiri di muka pintu bilik itu, dengan serta

merta ia menjatuhkan dirinya sampai menyembah. “Ampun

Page 23: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 98

Baginda, hamba hanya terkejut. Hamba samasekali tidak

bermaksud berbuat apapun. Apalagi melawan.”

Hampir Baginda tertawa melihat sikap Karebet itu. Tetapi

sekali lagi Baginda menahan dirinya. Bahkan dengan tajamnya

Baginda memandangi wajah Karebet yang pucat.

“Apakah kau masih akan melawan?” bentak Baginda.

“Ampun Baginda. Hamba benar-benar hanya terkejut.”

“Kenapa kau tidur?”

“Hamba tidak ingin tidur, Baginda, tetapi mata hamba tak

dapat hamba kuasai lagi.”

“Apakah sangkamu kau akan terlepas dari hukuman yang

paling berat?”

“Tidak Baginda. Hamba akan menerima setiap hukuman

apapun yang akan Baginda jatuhkan.”

Sekali lagi Baginda menarik nafas. Tetapi Baginda tidak

berkata-kata lagi. Di luar, terdengar langkah Prabasemi dan dua

orang Nara Manggala.

Perlahan-lahan terdengar ketukan di pintu bilik itu. Maka

berkatalah Baginda, “Masuklah.”

Pintu itu bergerit perlahan-lahan. Ketika pintu itu terbuka,

nampaklah Prabasemi berdiri di muka pintu. Ketika tiba-tiba

dilihatnya Karebet duduk di lantai, tiba-tiba berdesirlah dada

Tumenggung Wira Tamtama itu.

“Masuklah.” Kembali terdengar suara Baginda, berat bernada

datar.

Dada Prabasemi pun serasa meledak mendengar suara itu.

Sekali lagi ia memandangi wajah Karebet. Dan ketika Karebet

memandangnya pula, tiba-tiba anak itu tersenyum.

Page 24: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 98

“Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hatinya. “Apakah

Karebet mengatakan segala hasratku kepada Baginda, dan malam

ini Baginda memanggil aku untuk menghukum mati?”

Kaki Prabasemi menjadi gemetar. Karebet masih saja

memandangnya sambil tersenyum-senyum. Tetapi ketika Baginda

tiba-tiba berpaling kepadanya, dengan cepatnya Karebet

menundukkan wajahnya.

Prabasemi kemudian dengan tubuh gemetar duduk bersila di

hadapan Baginda. Sekali ia menyembah, kemudian menekurkan

kepalanya terhujam ke lantai. Detak jantungnya yang berdentang-

dentang serasa benar-benar akan memecahkan dadanya.

Kemudian kepada kedua Nara Manggala yang masih berdiri di

muka pintu, Baginda berkata, “Tinggalkan Tumenggung Prabasemi

di sini.”

Kedua orang itu pun membungkukkan kepalanya dengan

takzimnya, dan kemudian meningalkan Kesatrian.

Sesaat Baginda masih berdiam diri. Ditatapnya Tumenggung

Prabasemi yang ketakutan itu. Mula-mula Baginda menjadi heran,

kenapa tiba-tiba Tumenggung itu menggigil ketakutan. Karena itu

maka berkatalah Baginda, “Apakah kau terkejut, Prabasemi?

Terkejut karena aku memanggilmu di malam hari?”

Suara Prabasemi gemetar, sehingga tidak begitu jelas

terdengar, “Hamba Baginda. Hamba, hamba tidak menyangka.”

“Apa yang tidak kau sangka?”

Prabasemi menjadi semakin bingung. Dan ketika sekali lagi ia

memandang Karebet dengan sudut matanya, Karebet masih saja

tersenyum.

“Apakah kau menyangka bahwa aku tidak akan memanggil

seseorang di malam hari begini?”

Page 25: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 98

“Ya, ya, Baginda.”

Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian

katanya pula, “Kalau aku memanggilmu tidak pada saat-saat yang

wajar, itu pasti ada sesuatu yang sangat penting.”

“Hamba, Baginda.” Kata-kata Prabasemi itu menjadi semakin

gemetar.

“Aku tidak memanggil orang lain, karena persoalan ini mau

tidak mau pasti akan menyangkut dirimu.”

Kata-kata Baginda itu terdengar ditelinga Prabasemi sebagai

suara kentongan yang menyebarkan kabar kematian. Dengan

mata merah namun dengan wajah pucat Prabasemi mencoba

sekali lagi memandang wajah Karebet. Namun kini Karebet telah

menundukkan wajahnya. “Gila, Setan, Anak itu benar-benar

penghianat. Kenapa tidak aku bunuh saja ia kemarin atau lusa”

Maka berkata Baginda seterusnya, “Nah, Prabasemi. Aku ingin

mengatakan suatu rahasia kepadamu tetapi dengan janji, bahwa

apabila ada orang lain yang mendengar lewat mulutmu, maka

umurmu tidak lebih panjang dari sepemakan sirih.”

Prabasemi telah benar-benar menjadi ketakutan. Dengan

wajah tunduk ia menyembah sambil berkata, “ampun baginda.”

“Dengarlah,” berkata baginda kemudian, “Apakah kau

mengenal anak yang duduk di belakang ini?”

Prabasemi mengangguk. Tubuhnya menggigil seperti

kedinginan, “Hamba, Tuanku.”

“Kau kenal namanya?”

“Hamba Baginda.”

“Siapakah dia dan dari kesatuan apa dia?”

Page 26: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 98

Darah Prabasemi seolah berhenti karenanya. Namun ia

berusaha menjawab, “Ampun Baginda. Namanya Karebet, dari

kesatuan hamba pula. Wira Tamtama.”

Baginda mengangguk anggukkan kepalanya. Namun Baginda

menjadi semakin heran melihat sikap Prabasemi. Bahkan

Karebetpun menjadi geli pula, sehingga untuk sesaat ia dapat

melupakan nasibnya sendiri.

“Prabasemi,” berkata Bagind pula, “Dahulu aku menyerahkan

anak itu kepadamu. Tetapi sekarang anak itu akan aku ambil

darimu.”

Prabasemi terkejut mendengar kata-kata Baginda yang tidak

disangka-sangka itu. Sehingga karenanya ia bahkan menjadi

bingung. Sesaat ia menatap wajah Baginda dan sesaat pula ia

memandang wajah karebet.

Tumenggung itu baru sadar ketika didengarnya Baginda

berkata seterusnya, “Sejak saat ini, Karebet bukan Wira Tamtama

lagi.”

Kembali Prabasemi terkejut. Tetapi Karebet sudah tidak

mampu lagi untuk tersenyum. Kepalanya yang lemah itu terkulai

tunduk, sedang nafasnya berangsur-angsur menjadi semakin

cepat.

Prabasemi yang kebingungan itu masih belum dapat

menangkap maksud baginda, sehingga tanpa sesadarnya ia

bertanya, “Kenapa?”

Baginda mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Prabasemi

menyembah, “Ampun Baginda, maksud hamba, bagaimana

perintah Baginda?”

Baginda menarik napas kemudian berkata, “Prabasemi, kau

adalah seorang Tumenggung yang kini sedang mendapat beberapa

kepercayaan. Aku tidak mempersoalkan peristiwa ini kecuali

dengan kau. Karena kau adalah pemimpin langsung dari anak

Page 27: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 98

muda yang bernama Karebet. Sedang kepada kakang Patihpun

samasekali aku tidak memberitahukannya. Tetapi sekali lagi

dengan janji, apabila seorang mendengar persoalan ini dari

mulutmu, maka bagimu akan segera disediakan tiang gantungan.”

Hati Prabasemi yang tinggal semenir itu kini telah berkembang

kembali. Sedikit demi sedikit ia dapat mengurai keadaan. Apalagi

ketika Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet telah berbuat

kesalahan terhadap keluargaku.”

Tiba-tiba Prabasemi seakan bersorak kegirangan. Inilah

soalnya. Jadi bukan dirinyalah yang akan dihadapkan ketiang

gantungan, tetapi agaknya anak yang bernama Karebet itu.

Karena itu maka Prabasemi itu kini sudah tidak tidak menggigil

lagi. Meskipun demikian ia masih mengumpat-umpat di dalam

hatinya, “Demit itu masih juga sempat menggangu orang pada

saat nyawanya sudah diujung ubun-ubun.” katanya dalam hati.

Dan karena itulah maka tiba-tiba Prabasemi menyahut kata-

kata Baginda dengan jawaban yang tak disangka-sangka oleh

baginda, “Ampun Baginda, Sebenarnyalah demikian, Karebet

memang mempunyai tabiat kurang baik. Sehingga, karena itulah

ia melakukan perbuatan gila. Dengan berbuat demikian, bukankah

ia telah menghinakan tidak saja keluarga Baginda, tetapi justru

Adat Demak telah dihinakannya pula. Keberaniannya mencuri hati

Tuan Puteri merupakan kesalahan yang tak dapat diampuni.”

Karebet itu pun terkejut mendengar kata-kata pemimpinnya

itu, sehingga hatinya menjadi semakin berdear-debar. Tetapi,

Bagindalah yang lebih-lebih terkejut lagi. Karena itu, sambil

mengerutkan keningnya, Baginda bertanya, “Prabasemi darimana

kau tahu dengan pasti kesalahan Karebet atas keluargaku?”

Kini Prabasemilah yang terkejut bukan alang kepalang.

Ternyata ia terdorong mengatakan sesuatu yang belum

diketahuinya. Karena itu, kembali dadanya berdebar-debar. Sekali

ditatapnya Karebet yang tertunduk lesu. Sekali dipandangnya kaki

Page 28: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 98

Baginda. Namun akhirnya ia berkata, “Baginda, ampunkan hamba.

Sebenarnya Karebet pernah berkata kepada hamba, memuji-muji

puteri baginda. Sesekali ia akan datang kekeputren untuk

menemui puteri itu. Namun, ampun baginda, aku sangka Karebet

hanya berkelakar dan menghilangkan kejemuannya apabila

sedang bertugas dalam gardu penjagaan di luar istana. Karena

itulah ketika Baginda bersabda bahwa Karebet telah berbuat

kesalahan atas keluarga Baginda, langsung hamba dapat menebak

apa yang telah dilakukannya.”

Darah Baginda serasa mendidih mendengar kata-kata

Prabasemi itu. Dengan wajah yang merah membara, maka

dipandanginya wajah Karebet yang tunduk. Namun Karebet tidak

kurang terkejutnya mendengar pengaduan Tumenggung

Brabasemi itu. Bahkan hampir saja akan menjawabnya, dan

mengatakan apa yang terjadi dengan Tumenggung. Namun

kemudian niat itu diurungkannya. Apabila ia tak dapat

membuktikannya, maka pa yang dikatakannya itu dianggap tidal

lebih dari fitnah belaka. Karena itu, kembali Karebet menundukkan

kepalanya. Dicobanya memutar otak mencari jawaban, apabila

Baginda bertanya kepadanya tentang kebenaran kata-kata

Prabasemi itu.

Dan sebenarnyalah Baginda itupun kemudian bertanya,

“Karebet, kau dengar kata Tumenggung Prabasemi?”

“Hamba Baginda,” jawab Karebet sambil menyembah.

“Apa katamu tentang itu?”

“Sebenarnya aku pernah berbuat demikian Baginda.”

Jawaban Karebet itu benar-benar tak disangka-sangka oleh

Tumenggung Prabasemi. Ia mengharap Karebet akan

membantahnya dan bercerita tentang bermacam-macam

persoalan. Dengan demikian Tumenggung itu akan dapat

membuat Baginda semakin marah dengan menuduhkan bahwa

Page 29: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 98

untuk mengurangi kesalahannya, Karebet telah membuat fitnah.

Tetapi ternyata Karebet justru membenarkan kata-katanya.

Baginda itu pun menjadi heran. Kemarahannya yang telah

memuncak tiba-tiba mereda kembali mendengar jawaban itu.

Meskipun demikian baginda itu membentaknya, “Kenapa kau

berbuat demikan Karebet?”

“Baginda,” jawab Karebet,

“Ampunkan hamba. Sebenar-

nya setelah melihat puteri

Baginda, hamba menjadi

seorang yang tak dapat menilai

diri sendiri. Sekali-sekali

hamba pernah mempercakap-

kannya dengan Kiai Tumeng-

gung karena hamba tidak

mempunyai orang tua lagi

semenjak ibu hamba mening-

gal, setelah ayah Kebo Kena-

nga meninggal pula. Itulah

sebabnya, maka hamba hanya

dapat mengadu kepada

pimpinan hamba yang hamba

anggap ayah bunda hamba.

Apalagi, kebiasaan Kiai Tu-

menggung mirip dengan kebiasaan eyang Pangeran

Handayaningrat almarhum. Mengurai rambut dan menyangkutkan

ikat kepala di lehernya. Itulah sebabnya hamba terlalu percaya

kepada Kiai Tumenggung, dan hamba katakan apa yang tersimpan

dihati hamba tanpa berprasangka.”

“Bohong!” tiba-tiba Tumenggung Prabasemi memotong

Karebet. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, disadarinya

bahwa di hadapannya Sultan Trenggana sedang duduk

mendengarkan kata-kata Karebet itu. Karena itulah, maka dengan

gugup Prabasemi menyembah sambil berkata, “Ampun Tuanku.”

Page 30: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 98

Sultan Trenggana mengerutkan alisnya. Ya, sebenarnyalah

anak yang diambil dari jalan ini bukanlah anak kebanyakan. Ketika

Karebet menyebut nama Kebo Kenanga dan Handayaningrat,

betapa mereka mempunyai perbedaan pandangan dalam pelbagai

persoalan, namun runtuh juga belas kasihan Baginda kepada

Karebet yang yatim piatu hampir sejak kanak-kanak. Namun

meskipun demikian, anak itu mampu memiliki kekuatan lahir dan

batin yang mengagumkan.

Kini Sultan Trenggana dihadapkan pada suatu masalah yang

sangat pelik. Akan lebih mudah menghadapi daerah yang

memberontak daripada persoalan puterinya. Maka akhirnya

Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet aku ambil kembali. Anak itu

akan aku jauhkan dari pusat kerajaan. Aku jauhkan sejauhnya dari

istana. Biarlah ia menjadi pembantu Arya Palindih dalam tugasnya

mengawasi bandar Bergota.”

Prabasemi benar-benar terkejut mendengar keputusan itu,

seperti juga Karebet yang terkejut bukan kepalang. Karebet yang

telah merasa bahwa umurnya akan tinggal seujung malam itu tiba-

tiba merasa dirinya hidup kembali. Karena itu dengan serta merta

ia bertiarap di kaki Baginda. Anak yang aneh itu, yang seakan-

akan tidak pernah merasakan sedih dan duka dan kesulitan-

kesulitan hidup yang lain, tiba-tiba menangis di bawah kaki

Baginda. Bukan karena ia akan hidup lebih lama lagi, namun terasa

olehnya, betapa kasih Baginda itu kepadanya.

Karena itu, justru ketika ia merasakan bahwa sebenarnya budi

Baginda kepadanya, sejak ia dipungutnya dari tepi-tepi jalan,

bukan main besarnya, penyesalannya bertambah-tambah. Ia

menyesal bahwa ia telah menyebabkan Baginda gusar kepadanya,

dan ia menyesal bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan yang

sangat besar bagi adat kehidupan Demak.

Berbeda dengan Tumenggung Prabasemi. Tumenggung itupun

terkejut bukan buatan mendengar keputusan Baginda. Ternyata

Karebet itu samasekali tidak dihukum mati. Anak itu hanya

Page 31: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 98

sekadar dijauhkan dari istana. Alangkah mudahnya. Karena itu,

maka pada saat-saat yang akan datang, kemungkinan Karebet

untuk kembali ke Demak masih terbuka. Tetapi kalau anak itu

telah terpenggal lehernya, maka ia baru akan dapat tidur nyenyak.

Karena itu betapapun ia takut kepada Baginda, dicobanya juga

untuk berkata, “Baginda, apakah hukuman itu sudah cukup adil?”

Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah

pertimbanganmu Prabasemi?”

“Baginda, hukuman yang paling pantas bagi pengkhianatannya

adalah hukuman mati.”

Karebet yang sudah duduk kembali itupun memandang

Prabasemi dengan sudut matanya. Ia dapat memahami perasaan

Tumenggung itu. Tetapi Karebet samasekali tidak dapat

mengatakan apakah yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan

Tumenggung itu. Karena itu, yang dapat dilakukan hanyalah

mengumpat di dalam hatinya.

Tetapi ternyata Baginda tidak begitu saja menerima pendapat

Prabasemi. Dengan penuh pertimbangan Baginda berkata,

“Prabasemi. Bukan kesalahan dalam tata hubungan antara seorang

kawula dan seorang raja. Seorang prajurit dan seorang Panglima.

Aku sependapat dengan kau, bahwa setiap pengkhianat harus

dihukum mati. Tetapi Karebet tidak berkhianat. Ia hanya sekedar

melakukan hubungan yang wajar antara seorang pria dengan

wanita. Tetapi caranyalah yang samasekali tidak wajar. Karena itu

maka menjauhkan Karebet dari istana, akan berarti

menghapuskan setiap kemungkinan Karebet berbuat untuk kedua

kalinya. Dan apabila ternyata dengan segala cara maka

pengampunan kali ini diabaikan, maka aku tidak akan memberinya

ampun untuk kedua kalinya.”

Prabasemi itu mengerutkan keningnya. Tampaklah betapa ia

tidak senang mendengar keputusan Baginda. Karena itu sekali lagi

diberanikan dirinya berkata, “Baginda. Janganlah menjadi contoh

Page 32: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 98

yang memalukan bagi seorang prajurit Wira Tamtama. Hamba

akan menderita malu sekali apabila seseorang mendengarnya,

bahwa seorang prajurit Wira Tamtama dalam pimpinan Prabasemi

telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Biarlah ia menjadi contoh

bagi para prajurit yang lain.”

“Peristiwa ini tak akan dapat dijadikan contoh dalam bentuk

apapun, Prabasemi. Aku tidak mau, seorang pun mengetahui apa

yang telah terjadi. Aku tidak akan dapat memberikan alasan yang

kuat, kenapa Karebet harus dihukum mati. Kalau alasan yang

sebenarnya aku beritahukan, maka rahasia ia akan terbuka.”

Prabasemi itu menggigit bibirnya. Ketika sekali terpandang

mata Karebet itu menatapnya, maka kemarahan Prabasemi tak

dapat dikendalikan lagi. Dengan garangnya ia menunjuk kepada

anak muda itu sambil menggeram. “He, Karebet. Terkutuklah kau

sampai anak cucumu.”

Karebet tidak menjawab. Dalam keadaan yang demikian itu,

maka yang paling baik baginya adalah berdiam diri.

Bilik itu kemudian dicengkam oleh kesenyapan. Kesenyapan

yang menggelisahkan. Baginda itu ternyata sekali lagi harus

berpikir dan bertindak bijaksana. Kalau ia samasekali tak

mendengarkan permintaan Prabasemi, maka Baginda pun menjadi

cemas, jangan-jangan Prabasemi mempunyai cara sendiri untuk

melakukannya.

Ketika Baginda sedang berpikir, maka Prabasemi berpikir pula.

Namun agaknya Baginda tidak akan dapat memenuhi

permintaannya untuk melenyapkan Karebet. Karena itu Prabasemi

sedang mencari cara lain yang samasekali tak akan mudah

diketahui. Tetapi betapapun, namun terasa oleh Tumenggung itu,

bahwa sebenarnyalah Baginda sangat sayang kepada Karebet.

Tiba-tiba Tumenggung itu tersenyum di dalam hati. Karena itu,

maka sekali ia menyembah kepada Baginda, lalu katanya,

“Baginda. Sebenarnya hamba pun tidak akan sampai pada

Page 33: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 98

permohonan yang paling keras untuk menghukum mati Karebet.

Namun terdorong karena luapan perasaan, setelah hamba

mendengar bahwa Karebet telah berbuat khianat itulah yang telah

mendorong hamba untuk tidak ingin melihatnya lagi dalam

lingkungan keprajuritan. Sehingga meskipun Karebet itu tidak

dihukum mati, namun sebaiknya anak muda itu tidak lagi

mendapat kesempatan apapun yang memungkinkannya kembali

ke istana. Dengan menempatkan anak itu pada kakang Palindih,

maka kesempatan masih terbuka setiap kali baginya untuk

mendapatkan kedudukan kembali dalam lingkungan keprajuritan,

untuk kembali ke istana. Kecuali apabila Putri telah mendapat

tempat yang selayaknya bagi seorang putri.”

Baginda tidak segera menjawab kata-kata Prabasemi. Namun

Baginda melihat banyak persoalan yang dapat terjadi. Baginda

melihat, bahwa Prabasemi benar-benar tersinggung atas

perbuatan Karebet itu. Namun Baginda samasekali tidak

menyangka bahwa di dalam dada Tumenggung yang garang itu

tersimpan pikiran-pikiran yang gila pula. Baginda samasekali tidak

menyangka bahwa Prabasemi mempunyai maksud-maksud yang

tidak kalah gilanya dengan apa yang telah dilakukan oleh Karebet.

Namun agaknya Prabasemi akan menempuh jalan yang lain

daripada yang pernah ditempuh oleh anak muda yang aneh itu.

Setelah Baginda menimbang beberapa saat, akhirnya Baginda

membenarkan permohonan Prabasemi itu. Baginda

mempertimbangkan permohonan Permaisuri pula. Baik Permaisuri

sebagai ibu putrinya, maupun Prabasemi, pemimpin langsung

Karebet, yang dapat dianggapnya orang tuanya, bersama-sama

tidak menghendaki anak itu lagi. Tidak menghendaki Karebet

tampak di antara kawula Demak. Namun untuk membunuhnya,

Baginda benar-benar tidak sampai hati. Sebab, meskipun anak itu

sekadar anak gembala yang dipungutnya dari tepi blumbang

masjid, namun anak itu mempunyai beberapa tanda-tanda

keanehan di dalam dirinya. Dan bagaimanapun juga, Baginda tidak

Page 34: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 98

dapat menutup kenyataan bahwa anak itu adalah cucu Pangeran

Pengging Sepuh, Pangeran Handayaningrat.

Mudah-mudahan mereka kelak dapat melupakan kesalahan

itu. Dan mudah-mudahan hukuman ini dapat menyadarkan anak

itu. Apabila kelak datang suatu kemungkinan, anak itu dapat

dicarinya, diambilnya kembali dalam lingkungan keprajuritan.

Sebab sebenarnya Demak memerlukan orang-orang yang memiliki

kelebihan daripada orang-orang kebanyakan. Dan benarlah kata-

kata Prabasemi, bahwa kelak dapat diambil kebijaksanaan lain

apabila putrinya telah mendapatkan tempat yang wajar bagi

seorang putri raja.

Karena itulah maka akhirnya Baginda berkata, “Karebet,

apakah kau setuju dengan pertimbangan-pertimbangan dari

pemimpinmu?”

Karebet menyembah sambil membungkukkan badannya

dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, betapa ia menjadi tidak

senang kepada Prabasemi. Perasaan muaknya menjadi

bertambah-tambah. Tetapi sekali lagi ia menahan hatinya, sebab

tak ada bukti apapun yang dapat diajukannya apabila ia ingin

menceritakan tentang maksud-maksud Tumenggung yang licik itu.

“Nah, Karebet. Segala keputusan adalah keputusanku. Bukan

orang lain. Juga keputusan tentang dirimu kali ini, adalah tanggung

jawabku. Ternyata ada beberapa pertimbangan baru tentang

dirimu. Kalau semula aku ingin menyerahkan kau kepada Kakang

Palindih, maka hal itu masih mendapat pertimbangan-

pertimbangan lain. Kini aku telah menentukan sikapku sebagai

suatu keputusan. Kau sejak saat ini bukan anggota Wira Tamtama

lagi. Dan kau sejak ini bukan keluarga dalam lingkungan

keprajuritan apapun dan jabatan-jabatan apapun. Kau harus pergi

meninggalkan Demak. Untuk tidak menampakkan dirimu lagi

sampai keputusan ini aku cabut.”

Page 35: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 98

Dada Karebet berdesir mendengar keputusan itu. Sekali lagi ia

menyembah jauh di bawah kaki Baginda. Alangkah sakit

perasaannya. Jauh lebih sakit daripada apabila sejak semula ia

mendapatkan hukuman mati. Disingkirkan dari lingkungan

keprajuritan dan disisihkan dari Demak adalah hukuman yang

terlampau berat. Tetapi ketika disadarinya bahwa kesalahannya

terlampau berat, maka Karebet pun kemudian mencoba

menghibur diri sendiri. Mencoba menerima keadaan, dan

dipaksanya untuk menjadi keadaan yang sewajarnya. Setiap

kesalahan harus mendapat hukuman.

Dan Karebet pun kemudian menerima setiap keputusan

Baginda dengan kesadaran. Tetapi ia tidak dapat melupakan

Tumenggung Prabasemi itu. Seandainya Tumenggung itu tidak

mempunyai maksud-maksud gila, maka ia pasti tidak akan terlalu

bernafsu untuk menyingkirkannya, sehingga Tumenggung itu pasti

membiarkannya untuk pergi ke Bergota. Tetapi segala

kemungkinan kini telah tertutup. Baginda telah menjatuhkan

keputusan. Dan keputusan Baginda kali ini bukan sekadar

pertimbangan. Namun benar-benar telah merupakan keputusan

yang diucapkan.

Mendengar keputusan Baginda, kembali Prabasemi tersenyum

di dalam hati. Tetapi ia tetap menundukkan wajahnya, seakan-

akan keputusan itu tidak berpengaruh apapun di dalam

perasaannya.

“Karebet....” kata Baginda kemudian, “Keputusan itu berlaku

sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan istana

ini dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.”

“Ampun Baginda,” sela Prabasemi, “Keputusan Baginda itu

berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk

berada di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik

jika kelak Baginda mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit

yang melihat Karebet, harus mengusirnya.”

Page 36: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 98

Baginda mengerutkan keningnya. “Alangkah dalam dendam

Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda.

“Mungkin Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap

kemungkinan, bahwa iapun akan ikut bertanggungjawab atas

kesalahan anak buahnya. Karena itu justru ia bersikap sangat

keras.”

Namun Baginda menjawab, “Apakah alasan yang dapat aku

berikan untuk perintah itu?”

Prabasemi merenung sejenak. Kemudian katanya, “Ampun

Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik. Biarlah

aku membuat alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh

seorang yang menyatakan keinginannya masuk Wira Tamtama.

Dan lurah Tamtama yang muda itu telah menjadi panas hatinya,

ketika orang ingin menunjukkan kesaktiannya, sehingga

karenanya orang baru itu terbunuh.”

“Setan,” desis Karebet di dalam hatinya. Kepalanya kini benar-

benar menjadi pening. Kenapa persoalan-persoalan yang

menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di hadapannya? Hal

inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya. Ditambah

dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu.

Kembali bilik itu menjadi sepi sesaat. Terasa betapa Baginda

menjadi bimbang atas keputusannya sendiri. Sekali-kali ditatapnya

wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali ditatapnya kepala

Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran, kenapa ia

seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya,

ketika terasa pada Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan

dijauhkan darinya. Meskipun anak itu telah menumbuhkan

kemarahan padanya, pada Permaisuri dan Tumenggung

Prabasemi, namun Baginda tidak dapat melepaskan harapan,

bahwa anak itu pada suatu masa pasti akan menjadi seorang yang

berharga bagi Demak.

Page 37: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 98

Tetapi Baginda tidak akan dapat mencabut keputusan yang

telah dijatuhkan. Karena itu sebelum perasaan Baginda menjadi

semakin kalut, maka berkatalah Baginda, “Nah, Karebet. Saat ini

pula kau harus mulai menjalani hukuman sebelum orang lain

mengetahui keadaanmu. Kepadamu pun aku berpesan, apabila

masih ada tanda kesetiaanmu kepadaku, jangan kau katakan

apapun yang terjadi, kepada siapapun. Supaya aku tidak usah

berusaha menanggkapmu dan memberi hukuman kepadamu yang

jauh lebih berat dari hukuman mati.”

Karebet itu pun menyembah di kaki Baginda, dan bahkan

kemudian diciuminya kaki itu. Dengan terbata-bata, anak muda itu

berkata, “Ampun Baginda. Tiada titah Baginda yang tidak akan

hamba lakukan. Apapun yang akan aku jalani, apabila itulah

keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung tinggi.”

Baginda terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali

Baginda menindas perasaannya. Maka kata Baginda, “Baik. Aku

harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak

saja dari Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana

ini. Sebab besok setiap prajurit akan mendengar, bahwa Karebet

diusir dari istana. Dan setiap prajurit akan mengusirmu pula.”

Alangkah pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus

melakukannya. Karena itu sekali lagi ia menyembah dan berkata,

“Titah Baginda akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata

masih dilimpahi oleh kemurahan hati Baginda.”

Setelah Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia

bergeser mundur. Namun tiba-tiba Prabasemi berkata, “Ampun

Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di

perbatasan.”

Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Jangan

seorang pun tahu apa yang telah terjadi.”

“Tidak Baginda,” sahut Prabasemi. “Hamba sendiri akan

mengantarkannya sampai ke perbatasan, malam ini.”

Page 38: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 98

Baginda tidak segera menjawab. Bahkan Baginda itu menjadi

semakin heran. Kenapa kemarahan Prabasemi itu menjadi

sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri, yang

langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi

Baginda menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan

bahwa ia tidak tersangkut kesalahan-kesalahan yang telah

dilakukan oleh Karebet itu. Karena itu maka berkata Baginda.

“Apakah hal itu kau anggap perlu Prabasemi?”

“Hamba Baginda,” jawab Prabasemi. “Sebab apabila tidak

demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah

kawan-kawannya di dalam kota.”

Baginda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian

kata Baginda, “Terserahlah kepadamu Prabasemi.”

Kembali Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah

sekali lagi ia berkata, “Ampun Baginda, biarlah hamba berangkat

sekarang sebelum fajar.”

“Pergilah,” sahut Baginda.

Kemudian kepada Karebet, Prabasemi berkata, “Ayolah

Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan

bagimu.”

III

Karebet samasekali tidak menjawab. Tetapi kemudian mereka

bersama-sama meninggalkan bilik Kasatrian itu. Prabasemi

berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang mengulas

bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk.

Bukan karena ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia

menyesali dirinya. Sesaat teringatlah ia akan pamannya, Kebo

Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar, dan sahabatnya

Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun tersenyum. Di tempat itu

ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian ia menjadi

ragu-ragu. Apakah yang akan dikatakannya kepada pamannya

Page 39: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 98

kelak. Apakah pamannya tidak akan marah kepadanya? Dan

senyum di bibir Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini

kembali ia berjalan sambil menundukkan wajahnya.

Ketika mereka sampai di pintu gerbang, lewat di muka gardu

penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala bertanya,

“Apakah persoalannya sudah selesai Kiai Tumenggung?”

Prabasemi berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab

singkat, “Sudah.”

“Apakah yang terjadi?”

“Tidak apa-apa,” jawab Prabasemi.

Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet berkata, “Kaki

Baginda terkilir.”

Prabasemi mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga

itu berkata, “Sudah kau katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak

apa-apa. Baginda berjalan dengan tegap dan cepat.”

“Baginda sudah sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet,

“Memanggil Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah

Baginda timpang.”

Tumenggung Prabasemi pun menjadi heran. Karebet baru saja

mendengar keputusan tentang dirinya. Tetapi tiba-tiba ia sudah

dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun Prabasemi menjadi

tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah hati.

Ia ingin Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek

seperti orang banci.

Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka

Tumenggung itu membentak, “Ikut aku!”

Karebet menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi,

maka keduanya segera pergi meninggalkan gerbang halaman

dalam istana itu.

Page 40: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 98

Sampai di luar gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan

angkuhnya, “Karebet, arah manakah yang akan kau pilih?”

Karebet berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Ki, apakah aku

tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?”

Prabasemi berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Apa sajakah

milikmu itu?”

“Pakaian, Ki.”

“Itu saja?”

“Ya.”

“Biarlah aku tukar dengan uang.”

“Jangan Kiai. Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari

almarhum ayahku. Jangan ditukar dengan apapun.”

Prabasemi yang yakin rencananya akan terjadi itu berkata,

“Baiklah, marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan

berbuat gila, supaya lehermu tidak aku penggal malam ini.”

Karebet tidak menyahut. Tetapi mereka berdua segera

berjalan ke pondok Karebet. Ketika Karebet masuk ke dalam

pondoknya Prabasemi berkata, “Aku ikut. Dan jangan berkata

kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.”

Karebet tidak dapat menolak. Karena itu dibiarkannya

Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya, namun tidak ke dalam

biliknya.

Sebenarnya Karebet samasekali tidak sayang pada beberapa

lembar pakaiannya. Tetapi yang memaksanya untuk pulang lebih

dahulu adalah sebilah pusaka yang dahsyat, Kyai Sangkelat.

Demikianlah setelah Karebet itu menyembunyikan Kyai

Sangkelat di bawah bajunya, maka ia pun segera keluar dari

Page 41: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 98

biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa lembar

pakaian.

“Kau bukan Wira Tamtama lagi. Jangan kau bawa pakaian

keprajuritan.”

“Tidak, Kiai,” jawab Karebet. “Pakaianku aku tinggal di

sangkutan pada dinding bilikku.”

Tetapi Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok

bilik Karebet. Dan dilihatnya pakaian itu tersangkut di sana.

Namun ketika mereka meninggalkan pondok itu, Karebet

berkata, “Aku telah diusir dari Demak. Karena itu aku tidak sempat

menyelesaikan persoalan pondokku dengan pemiliknya. Karena itu

aku serahkan semua itu kepada Kiai.”

Prabasemi tersenyum. “Itu bukan persoalan sulit. Biarlah itu

aku selesaikan.”

Karebet tidak berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian

berjalan menelusuri jalan-jalan kota ke selatan. “Aku akan menuju

ke arah selatan,” kata Karebet kemudian.

“Baik. Baik. Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,”

jawab Prabasemi sambil tertawa.

Tetapi karena sikap Prabasemi itu, maka Karebet justru

menjadi curiga. Sikap itu terlalu ramah. Jauh berbeda dengan

sikapnya, pada saat mereka masih berada di Kasatrian. Meskipun

demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja berjalan

dengan kepala tunduk.

Malam semakin lama semakin dalam menjelang fajar. Embun

telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di rerumputan yang

tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut bertiup

perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya.

Namun hati Karebet tidak sesejuk angin malam.

Page 42: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 98

Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan dengan langkah

yang semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka takut

kesiangan. Dan sebenarnya bahwa malam memang hampir sampai

ke akhirnya. Bintang-bintang telah jauh berkisar ke arah barat.

Namun di timur belum muncul bintang fajar yang cemerlang.

“Hem,” desis Prabasemi kemudian, “Hampir fajar.”

Karebet tidak menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan

dipandangnya langit yang kelam. “Masih cukup lama,” katanya di

dalam hati.

Perjalanan mereka yang cepat itu tidak memerlukan waktu

terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka sampai

ke tepi kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah

persawahan yang tidak begitu luas. Dan di sebelah Barat,

tampaklah seleret hutan yang memanjang ke selatan. Meskipun

hutan itu tidak terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga

beberapa jenis binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa

jenis harimau kecil.

Prabasemi melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia

tersenyum. Kemudian katanya kepada Karebet, “Marilah aku antar

kau sampai ke hutan itu.”

Mendengar kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar

menjadi terkejut, sehingga dengan serta merta ia berkata,

“Kenapa sampai ke hutan itu?”

“Sampai ke hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi,

“Supaya kau selamat dari terkaman binatang-binatang buas.”

“Ah,” desah Karebet. “Tak ada binatang buas yang berbahaya

di hutan itu.”

“Biarlah aku mengantarmu untuk yang terakhir kali,” sahut

Prabasemi sambil tertawa.

Page 43: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 98

Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di dalam dada Karebet.

Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya Tumenggung Prabasemi

itu berjalan di sampingnya.

Sesaat kemudian mereka berdua saling berdiam diri.

Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya, sedang Karebet

mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung

Prabasemi membuang-buang waktu untuk mengantarkannya

sehingga sampai ke hutan itu.

Namun tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam

dan berkata, “Hem. Karebet. Sekarang akhirnya tahu, kenapa kau

pernah menunjukkan layon kembang kepadaku dahulu.”

Karebet mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab.

Sementara itu mereka masih berjalan terus menyusuri jalan-jalan

kecil di antara sawah yang terbentang. Di antara batang-batang

padi muda yang tampaknya hijau segar, sesegar udara pagi yang

tertiup angin basah dari pegunungan.

“Beberapa hari aku mencoba memecahkan teka-teki itu,

Karebet,” kata Prabasemi.

Karebet masih berdiam diri.

“Ternyata kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.”

Kini Karebet berpaling. Ketika terpandang wajah Tumenggung

itu, tiba-tiba bangkitlah kembali muaknya. Tetapi ia masih berdiam

diri.

“Sebenarnya aku akan mengucapkan selamat kepadamu

seandainya kau berhasil mempersunting bunga dari istana itu.”

“Sudahlah Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah.

Tumenggung Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Pahit, memang

pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika

aku melihat layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah

Page 44: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 98

Karebet, bahwa sebenarnya tidak baru sekarang aku tahu apa

yang telah terjadi di Kaputren.”

Kini Karebet mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar

kata-kata itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaan

itu.

Tumenggung Prabasemi yang menunggu jawaban Karebet itu

menjadi heran. Kenapa Karebet diam saja mendengar

pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya, “Aku telah

lama mendengar peristiwa yang memuakkan itu terjadi. Dan aku

sedang menunggu kesempatan untuk berbuat seperti sekarang

ini.”

Dada Karebet pun menjadi berdebar-debar karenanya.

Meskipun demikian ia masih mencoba untuk berdiam diri.

Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus. “Dan sekarang

kasempatan itu datang juga.”

“Kesempatan apa Tumenggung?” bertanya Karebet.

“Karebet” berkata Tumenggung itu, “Sejak aku mengetahui

hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka sejak

itu aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi

putus asa dan kehilangan gairah untuk menjelang masa-masa

depanku. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku cari cara yang

sebaik-baiknya untuk menyingkirkan kau dari daerah istana.”

Debar dijantung Karebet itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia

berusaha untuk menguasainya sekuat-kuat tenaganya.

Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa saja yang

tersimpan di dalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus

“Karebet, selama ini aku telah berjuang untuk mengalahkanmu.

Aku telah berusaha dengan susah payah untuk menebus kepahitan

yang pernah aku alami. Dan sekarang, datanglah giliranku untuk

menikmati keindahan wajah putri itu setelah berbulan-bulan aku

hampir menjadi gila karenanya.”

Page 45: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 98

Karebet menggigit bibirnya. Ia menunggu Tumenggung itu

mengatakan apakah yang telah dilakukannya selama ini. Tetapi

Tumenggung itu hanya berkata, “Sekarang kau harus menerima

kekalahan itu. Kekalahan mutlak. Karena itu jangan mencoba

melawan kehendak Tumenggung Prabasemi.”

Tumenggung itu berhenti berbicara. Dengan tersenyum-

senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang Karebet menjadi

semakin muak kepadanya.

Sementara itu kaki-kaki mereka terayun terus menuju ke

hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih

sedemikian gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di

langit yang pekat. Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan

merajai langit di malam hari.

Semakin dekat mereka dengan hutan itu, semakin tegang

wajah Tumenggung yang masih muda itu. Nafasnya menjadi

semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi

semakin cepat berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di

tepi hutan itu berkatalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet,

apakah tidak kau ketahui bahwa di dalam hutan ini terdapat

beberapa jenis binatang buas.”

Karebet tidak tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi,

sehingga ia menjawab. “Ya Tumenggung, aku tahu.”

“Tetapi Karebet,” berkata Tumenggung itu. “Sebuas-buasnya

binatang yang tinggal di dalam hutan ini, bagiku tidak ada yang

berbahaya samasekali.”

Karebet semakin tidak tahu maksud orang itu. Dan yang

kemudian didengarnya adalah benar-benar menggelegar

ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga itu.

Berkata Tumenggung Prabasemi. “Sebuas-buasnya binatang di

dalam hutan kecil ini Karebet, bagiku kau akan jauh lebih

berbahaya lagi daripada mereka itu.”

Page 46: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 98

Terasa jantung Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu

hampir tak dipercayanya. Namun Tumenggung itu berkata terus.

“Bagiku Karebet, meskipun kau telah diusir dari istana dan bahkan

dari Demak, namun selagi kau telah diusir dari istana

kesempatanmu untuk kembali ke istana masih selalu terbuka. Nah,

ketahuilah bahwa maksudku kali ini, adalah melenyapkan

kesempatan itu samasekali. Kau dengar?”

Jantung Karebet tiba-tiba terguncang keras sekali. Ia

samasekali tidak menyangka bahwa itulah yang dikehendaki oleh

Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya tiba-tiba

menjadi gemetar.

Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata, “Karebet,

kau adalah orang satu-satunya yang telah mengetahui rahasia

perasaanku disamping seorang emban yang telah aku suap untuk

memata-matai putri. Dari emban itu pula aku mengetahui segala-

galanya, dan pasti emban itu pula yang telah melaporkan

hubunganmu dengan putri itu kepada Baginda.”

Kini tubuh Karebet benar-benar menggigil. Sedang

Tumenggung Prabasemi masih berkata, “Selama kau masih hidup

Karebet, maka perubahan keadaan akan memungkinkan kau untuk

kembali ke istana, dan memungkinkan kau bercerita tentang aku.

Karena itu, malang benar nasibmu, bahwa aku diperbolehkan

mengantarmu sampai ke luar kota. Agaknya betapa besar dosamu,

namun Baginda masih juga sayang kepada nyawamu. Sehingga

kau masih akan diberi kesempatan untuk pergi ke Bergota. Tetapi

dengan demikian Karebet, aku benar-benar tak akan mendapat

kesempatan seperti ini. Tetapi sekarang kau bukan apa-apa lagi.

Kalau kau mati di sini dan mayatmu dimakan oleh serigala, maka

Baginda tidak akan bertanya tentang kau. Kau dengar?”

Wajah Karebet tiba-tiba menjadi merah menyala. Namun

terdengar suaranya gemetar. “Tetapi apakah dengan demikian Ki

Tumenggung tidak melanggar perintah Baginda?”

Page 47: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 98

“Melanggar atau tidak melanggar, tak seorangpun yang akan

mengetahuinya.”

“Tetapi apakah Kiai Tumenggung berhak berbuat demikian?

Baginda telah memutuskan, bahwa aku dibebaskan dari hukuman

mati. Aku hanya diusir dari Demak. Kenapa Tumenggung akan

berbuat melampaui putusan Baginda?”

Tumenggung Prabasemi tertawa. Ia menjadi sedemikian

senangnya melihat Karebet gemetar. Karena itu katanya, “Karena

itu. Karebet. Kau jangan terlalu berani menghina Tumenggung

Prabasemi. Aku tidak peduli keputusan yang telah dijatuhkan oleh

Baginda. Aku akan berbuat dalam tanggungjawabku. Dan Baginda

tidak akan mengetahui, apa yang telah aku lakukan.”

“Tetapi lambat laun Baginda akan mendengarnya juga. Malam

ini aku pergi bersama Kiai Tumenggung. Kalau kemudian aku mati,

maka sudah pasti Kiai yang membunuhnya.”

“Tak seorang pun akan menemukan mayatmu. Mayatmu besok

sebelum fajar sudah akan habis menjadi makanan serigala. Dan

kalau kau tidak nampak lagi, maka semua orang pasti hanya

menyangka bahwa kau benar-benar sedang menjalani hukuman

itu.”

Karebet kini tidak dapat berkaka apapun lagi. Tetapi tubuhnya

benar-benar gemetar seperti kedinginan. Bahkan kadang-kadang

terdengar giginya gemeretak. Sedangkan Tumenggung Prabasemi

masih juga tertawa dan berkata, “Jangan menyesal saat ini.

Semuanya telah terlambat. Aku telah sampai pada suatu

keputusan, melenyapkan kau. Tak ada suatu masalah pun yang

mengubah rencanaku itu. Meskipun demikian aku bukan seorang

yang kejam. Karena itu aku beri kesempatan kau memilih cara

yang kau kehendaki menjelang kematianmu itu. Ketahuilah

Karebet. Aku akan dapat membunuhmu dengan sekali pukul pada

tengkukmu, dadamu atau punggungmu. Nah, sekarang

katakanlah, manakah yang harus aku pukul supaya kau....”

Page 48: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 98

“Diam!” Tiba-tiba Karebet yang gemetar itu membentak

lantang.

Tumenggung Prabasemi terkejut sehingga kata-katanya

terputus. Kini ia tidak tertawa lagi. Ditatapnya tubuh Karebet yang

gemetar. Namun ternyata Tumenggung itu salah sangka. Karebet

samasekali tidak gemetar karena ketakutan, tetapi anak muda itu

gemetar karena kemarahannya yang telah menjalari seluruh urat

darahnya. Sedemikian marahnya anak muda itu, sehingga justru

mulutnya jadi terbungkam.

Yang berkata kemudian adalah Tumenggung Prabasemi,

“Karebet, apakah kau sudah menjadi gila, sehingga kau berani

membentak aku? Jangan berbuat sesuatu yang akan

mencelakakan dirimu. Cara untuk membunuh seseorang ada

beberapa macam. Jangan memilih yang paling mengerikan yang

dapat aku lakukan.”

Dada Karebet seakan-akan terguncang-guncang mendengar

kata-kata Tumenggung Prabasemi itu. Hampir-hampir saja ia tidak

dapat menahan kemarahannya. Namun tiba-tiba menjalarlah

suatu perasaan yang aneh dalam dirinya. Tiba-tiba ia menyadari

kebebasannya. Kebebasan seperti yang pernah dimilikinya

sebelum ia menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Karena itu,

tiba-tiba ia merasa bahwa tidak ada suatu apapun yang

mengikatnya. Tak ada ikatan hubungan apapun lagi antara dirinya

dengan Tumenggung itu, bahkan antara dirinya dengan tatacara

Keprajuritan. Karena itu ketika ia melihat kepuasan yang

membayang di wajah Tumenggung Prabasemi, anak muda itu

menjadi geli. Lenyaplah segala kemarahannya, dan bahkan kini

seakan-akan anak muda itu diberi kesempatan untuk bermain-

main. Karena itu tiba-tiba ia tersenyum, senyum yang aneh.

Betapa Tumenggung Prabasemi terkejut melihat Karebet itu

tersenyum, sehingga dengan serta merta ia berteriak, “Setan. Kau

sangka aku bermain-main?”

Page 49: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 98

“Tidak Prabasemi,” jawab Karebet, “Aku tidak menyangka

engkau sedang bermain-main”

“He, apa katamu? Kau hanya njangkar saja menyebut

namaku?”

Karebet itu kini tidak hanya sekedar tersenyum. Penyakitnya

benar-benar telah kambuh. Karena itu ia tertawa tergelak-gelak,

sehingga Tumenggung Prabasemi menjadi sedemikian

herannya. “Apakah anak ini menjadi gila karena ketakutan?”

katanya di dalam hati. Namun ternyata jawaban Karebet

meyakinkannya bahwa anak itu tidak gila.

Berkata anak muda itu, “Prabasemi. Aku kini telah menjalani

hukumanku. Karena itu aku bukan Wira Tamtama lagi. Apabila

demikian, apakah hubunganku dengan Prabasemi? Aku

menyebutmu Tumenggung, Kiai Tumenggung, karena aku berada

dibawah pimpinanmu. Tetapi, sekarang aku bukan lagi

orangmumu. Sehingga antara Karebet dan Prabasemi tidak ada

lagi tataran yang mengharuskan aku menghormatimu. Kalau kau

sebut namaku begitu saja, maka akupun berhak memanggilmu

tanpa sebutan apapun. Prabasemi, begitu saja. Ya Prabasemi.

Prabasemi, kau dengar?”

“Setan,” geram Prabasemi. Kini ia tidak saja lagi dipenuhi

dendam di dalam dadanya, tetapi kemarahannyapun telah

melonjak ke ubun-ubun. Dengan parau ia berkata, “He Karebet,

apakah kau sudah benar-benar menjadi gila. Sudah kukatakan

kepadamu, bahwa aku memberi kesempatan kepadamu untuk

memilih cara yang sebaik-baiknya untuk mati. Sekarang kau

menumbuhkan kemarahanku, sehingga kesempatan itu aku cabut

kembali. Sekarang dengarlah, aku akan membunuhmu seperti saat

aku membunuh Bahu dari Tunggul. Kau ingat? jangan melawan,

supaya aku tidak menjadi marah.”

Betapapun juga, bulu roma Karebet meremang. Prabasemi

pernah membunuh Bahu dari Tunggul dengan cara mengerikan

Page 50: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 98

karena Bahu melawan perintahnya. Dianggapnya Bahu

memberontak terhadap Demak. Karena itu, maka orang itu

dipergunakannya sebagai contoh bagi mereka yang memberontak

terhadap raja. Dibunuhnya Bahu dengan cara yang mengerikan.

Digores-goreskannya kulit Bahu dengan duri setelah diikat pada

sebatang pohon. Dan dibiarkannya mati sehari setelah itu.

Prabasemi melihat perubahan di wajah Karebet. Karena itu

timbul kegembiraannya. Katanya, “Aku dapat berbuat lebih

daripada itu Karebet. Dan jangan sekali-kali mencoba

mengandalkan kemudaanmu. Aku memang kagum melihat kau

bertempur dalam setiap pertempuran. Namun pertempuran-

pertempuran yang pernah kau alami adalah pertempuran-

pertempuran kecil tak berarti. Karena itu jangan berbangga hati

karenanya. Tapi kau sekarang berhadapan dengan Tumenggung

Prabasemi. Ya Tumenggung Prabasemi. Ingatlah bahwa

Tumenggung Prabsemi adalah seorang tumenggung yang

ditakuti.”

Namun kembali Prabasemi terkejut. Tiba-tiba Karebet itu

tertawa kembali sambil berkata, “Prabasemi. Jangan membual.

Kau memang sedang memilih cara kematian yang sebaik-baiknya.

Sedang yang paling baik bagiku adalah bukan mati. Tetapi, aku

lebih senang hidup mengembara dan berburu binatang. Apakah

kau ingin ikut aku? Nanti kau akan aku perkenalkan dengan

sahabat-sahabatku. Kau pernah mengenal nama Mahesa Jenar?”

“Tutup mulutmu!” bentak Prabasemi yang kembali

kemarahannya memuncak. Kini ia benar-benar telah kehilangan

kesabaran. Setapak ia melangkah maju sambil menggeram, “Kau

benar-benar sedang sekarat. Kini sebutlah nama ibu dan bapakmu

sebelum ajalmu tiba.”

“Bapak ibuku telah mendahului aku. Kalau aku sebut namanya,

ia tidak akan dapat bangkit dari kuburnya.”

Page 51: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 98

“Gila!” teriak Prabasemi. Matanya benar-benar telah

menyalakan hatinya. Dan tiba-tiba ia berteriak, “Mampus kau anak

gila.”

Prabasemi itu menconcat dengan garangnya menyerang

Karebet langsung mengarah kedadanya. Prabasemi benar-benar

ingin melumpuhkan anak muda itu sebelum membunuhnya.

Karebet benar-benar akan dibunuhnya dengan cara yang pernah

dilakukannya itu.

Tetapi Karebet ternyata dapat bergerak dengan lincahnya.

Dengan sekali menggeliat ia telah berhasil membebaskan dirinya

dari serangan Prabasemi. Bahkan ia sempat berkata, “Kiai

Tumenggung, bukankah Kiai Tumenggung pernah memberi aku

nasehat, sebagai seorang Wira Tamtama seharusnya pantang

menyerah. Sekali ia maju bertempur, maka ia akan maju terus.

Hanya kematianlah yang dapat menghentikan gerak maju itu. Dan

bukankah kini aku sedang memenuhi nasehat Kiai Tumenggung itu

untuk melawan Prabasemi.”

“Tutup mulutmu,” teriak Prabasemi, “Atau aku harus

menyobeknya.”

“Terserahlah, bukankah kita telah bertempur. Sobeklah kalau

kau ingin.”

“Anak Setan,” geram Prabasemi. Sedang kemudian serangan

yang keduapun telah melucur dengan cepatnya. Sebuah

tendangan mendatar mengarah ke lambung kiri Karebet. Namun

sekali ini Karebet cukup cekatan untuk menghindarinya. Sifat-

sifatnya yang aneh kini telah menguasai otaknya, sehingga

betapapun ia terkejut mengalami serangan yang sedemikian

cepatnya, namun sempat juga ia berkata, “Prabasemi, kita

bertempur untuk satu taruhan yang ternilai harganya. Kalau aku

mati, kau akan menjadi menantu Sultan Trenggana. Sedangkan

kalau kau yang mati, maka aku akan mendapatkan dua

kesempatan. Menggantikan kau sebagai Tumenggung dan

Page 52: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 98

mendapatkan puteri yang cantik itu. Bukankah begitu? Tetapi

bagaimanapun juga Prabasemi, ternyata kau gila juga seperti aku.

Dan ingatlah apabila puteri itu kelak menjadi isterimu dan kau

diangkat menjadi adipati, kesempatan yang pertama menerima

hati puteri itu adalah aku, Karebet, anak gembala yang dipungut

Sultan Trenggana dari tepi belumbang Mesjid Demak.”

“Tutup mulutmu,” Prabasemi berteriak keras keras. Dan

suaranya bergemna bersahut-sahutan di dalam rimba itu.

Meskipun demikian, Tumenggung yang garang itu terkejut bukan

kepalang. Ternyata Wira Tamtama yang masih muda ini benar-

benar tangkas. Sehingga ia mampu mengelakserangannya sampai

dua kali tanpa tersentuh samasekali. Karena itu kemarahan

Tumenggung semakin menyala-nyala seakan membakar dadanya.

Dengan gigi gemeretak, sekali lagi dikerahkannya tenaganya

untuk menyerang lawannya. Sedemikian dahsyatnya, seperti

burung Rajawali yang menyambar mangsanya.

Karebet mengerutkan keningnya. Serangan ini benar-benar

berbahaya. Sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat

tertawa-tawa lagi. Kini dipusatkannya perhatiannya kepada

perkelahian itu. Sekali terbersit juga kekagumannya atas lawannya

yang mampu bergerak sedemikian cepatnya. Namun Karebet itu

pun mampu mengimbanginya. Sambaran-sambaran burung

Rajawali dapat dielakkannya, dan bahkan kini serangan-

serangannya pun datang pula seperti badai diudara yang dengan

dahsyatnya melanda burung rajawali yang merasa dirinya raja dari

seluruh langit itu.

Demikianlah pertempuran itu menjadi sangat serunya. Masing-

masing adalah prajurit Wira Tamtama yang pantang surut. Masing-

masing memiliki bekal yang cukup dahsyat. Karena itu daerah

sekitar perkelahian seakan akan timbul angin pusaran. Daun-daun

bergerak berputaran dan daun-daun kering berguguran ditanah.

Ranting ranting yang tersambar tangan mereka berderak-derak

patah berserakan. Tanah di sekitar mereka seakan-akan telah

Page 53: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 98

dibajak, dan tumbuh-tumbuhan perdu dan batang-batang kecil

telah roboh terinjak-injak kaki mereka.

Perkelahianpun semakin lama menjadi semakin seru. Masing-

masing menjadi kagum akan keprigelan lawannya. Lebih-lebih

Prabasemi. Ia telah pernah mendengar dan melihat sendiri

beberapa kelebihan Karenet dari kawan-kawannya prajurit-prajurit

Wira Tamtama yang lain. Namun tidak disangkanya anak itu

mampu melawannya sampai beberapa lama dalam tingkatan yang

sejajar. Karena itu maka Tumenggung itu benar-benar telah

kehilangan pengamatan diri. Yang ada di dalam otaknya adalah

membunuh. Karebet harus dibunuh dengan cara apapun.

Sedang Karebet pun sebenarnya mengagumi pula ketangkasan

Prabasemi. Tumenggung yang masih cukup muda, meskipun agak

lebih tua daripadanya. Namun ketangkasannya telah sedemikian

tingginya, sehingga karena itulah maka sepantasnya bahwa

Prabasemi cepat menanjak ketempatnya yang sekarang. Namun

sayang, Tumenggung sakti ini mempunyai sifat-sifat yang kurang

pada tempatnya. Tumenggung itu terlalu kejam dalam hampir

segala tindakan yang diambilnya. Terlalu bernafsukan harga diri

dan kebanggaan atas tingkatan-tingakatn yang pernah dicapainya.

Apalagi kini ia menjadi semakin gila lagi dengan harapan yang

tumbuh di dalam dirinya tentang puteri Sultan Trenggana.

Tetapi kemudian Karebet pun berkata di dalam hatinya kepada

dirinya sendiri, “Apakah aku juga tidak gila seperti Tumenggung

itu?”

Karebet itu tersenyum. Tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap

seperti awan disapu angin ketika serangan Prabasemi hampir

mematahkan lengannya. Sebuah pukulan gebangan yang dahsyat

mengarah ke pergelangannya. Untunglah cepat ia menyadari

keadaannya sehingga ia masih sempat menarik tangannya itu

bahkan ia masih mampu berputar diatas tumitnya dan dengan

tumit yang lain menyambar perut Prabasemi. Tetapi Prabasemi

Page 54: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 98

tidak membiarkan perutnya menjadi sakit. Cepat ia menggeliat,

dan kaki Karebet lewat beberapa jari dari perutnya yang buncit.

Perkelahian itu berjalan semakin sengit. Prabasemi benar-

benar sudah sampai puncak kemarahannya dan Karebetpun

melayani dengan sepenuh tenaga.

Tetapi kemudian ternyata bahwa keadaan mereka agak

berbeda. Prabasemi adalah seorang Tumenggung yang menjadi

seorang sakti karena ketekunannya berlatih. Kedahsyatannya

tumbuh di dalam ruang latihan dalam keadaan yang cukup baik.

Namun Karebet adalah seorang yang aneh. Ia tidak pernah berlatih

secara teratur, namun ia tidak kalah tekunnya dari Prabasemi.

Namun karebet adalah seorang yang anak gembala dan sekaligus

seorang perantau. Tubuhnya seakan-akan ditempa sekitarnya.

Panas dingin dan segala macam pekerjaan yang harus

dilakukannya. Berkelahi dengan penjahat dan berjuang melindungi

kawan gembala dari segala sergapan para pencuri ternak.

Pengalaman yang diperolehnya di Karang Tumaritis bersama

pamannya dan kemudian Arya Salaka, disamping Endang Widuri.

Semuanya itu telah menempa tubuh Karebet menjadi sekeras

tembaga, tulang-tulangnya sekeras besi dan otot-ototnya seliat

jalur baja.

Itulah sebabnya semakin lama pertempuran itu menjadi

semakin nyata, bahwa tidak saja kelincahan dan kecepatan

bergerak, namun ketahanan jasmaninyapun Prabasemi tidak dapat

menyamai Karebet.

Prabasemi pun akhirnya merasakan keadaan itu pula. Karena

itu, betapapun betapapun jantungnya bergejolak dengan dahsyat.

Kemarahannya yang telah memuncak itu benar-benar telah

membakar darahnya sehingga seakan-akan mendidih. Telah

dikerahkan segenap tenaga dan kecepatannya untuk mengalahkan

lawannya, namun Karebet ternyata memiliki beberapa kelebihan

daripadanya. Karena itu, sekali-sekali terdengar Prabasemi

Page 55: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 98

menggeram. Ia kini benar-benar menghadapi keadaan yang

samasekali tidak disangka-sangkanya.

Karena itu setelah ia yakin bahwa ia tidak akan dapat

mengalahkan lawannya, maka tidak ada jalan lain kecuali

menyelesaikan perkelahian itu dengan ilmunya yang terakhir.

Sebenarnya malu juga Tumenggung Prabasemi itu. Melawan anak-

anak yang selama ini menjadi reh-rehannya, masih harus

menggunakan ilmu simpanan yang jarang-jarang sekali

dipergunakannya. Namun ia tidak mempunyai jalan lain daripada

itu. Ilmu itu adalah ilmu gerak yang luar biasa. Ilmu yang dinamai

oleh gurunya Aji Sapu Angin. Sebenarnyalah apabila ilmu itu

dipergunakannya, maka gerak Prabasemi benar-benar seperti

menghalau angin.

Demikianlah ketika tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan

untuk menebus kepahitan yang telah ditimbulkan oleh Karebet itu

atasnya, serta tuntutan dendam yang membara di dalam dadanya,

maka Prabasemi itu pun segera meloncat mundur. Secepat kilat

ditrapkannya ilmu gerak itu, Aji Sapu Angin. Dijulurkannya kedua

tangannya kedepan kemudian dengan gerakan menyentak, kedua

lututnya ditarik serta ditekuknya. Kedua tangannya mengepal dan

menelentang dilambungnya. Itulah pertanda, gerakan-gerakan

pertama dari unsur Aji Sapu Angin.

Karebet terkejut melihat sikap itu. Tetapi ia segera menyadari

bahwa lawannya pasti mempergunakan ilmu tertingginya. Tetapi

setelah bertempur beberapa lama melawan Prabasemi, sedang

tenaganya seakan tidak berkurang, tahulah Karebet sampai

dimana tingkat ilmu Tumenggung itu. Betapapun ia kagum akan

kecepatan bergerak serta tenaganya, namun ternyata masih

belum dapat menyamainya. Karena itu, ketika ia melihat

Tumenggung Prabasemi mempergunakan ajinya, maka Karebet

tidak perlu tergesa-gesa mempergunakan aji Rog-Rog Asem. Yang

kini dipergunakannya adalah ilmu pertahanannya yang sudah

jarang-jarang dimiliki oleh seseorang. Lembu Sekilan. Bahkan

dalam pada itu, masih sempat juga Karebet berkata, “Ait apakah

Page 56: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 98

kira-kira yang akan kau lakukan Prabasemi? Agaknya kau telah

terpaksa menggunakan aji pamungkasmu?”

“Mampus kau,” bentak Prabasemi dengan marahnya.

Tubuhnya melontar seperti tatit menyambar Karebet.

Karebet terkejut melihat gerak itu, namun gerak itu terlalu

cepat baginya. Itulah Aji Sapu Angin sehingga kali ini Karebet

benar benar tak mampu menghindari. Karena itulah maka

serangan Prabasemi kali ini tepat mengenai dada kiri Karebet.

Sambaran tangan Prabasemi yang dilambari ilmu gerak itu benar-

benar terasa menghentak tulang iga, sehingga karena itulah maka

Karebet terdorong beberapa langkah.

Ketika Prabasemi merasakan sentuhan tangannya itu, serta

melihat bahwa Karebet benar-benar tak mampu menghindari

serangannya yang dilontarkan dalam lambaran ajinya itu, maka

terdengar Prabasemi itu berteriak, “Tataplah langit, peluklah bumi,

Karebet. Jangan rindukan lagi matahari esok pagi.”

Tetapi alangkah terkejutnya Tumenggung Wira Tamtama itu,

ketika ia melihat Karebet terlempar beberapa langkah surut,

terbanting ditanah dan berguling beberapa kali. Namun kemudian

dengan tangkas melenting berdiri diatas kedua kakinya yang

meregang. Sekali ia menyeringai, namun kemudian terdengar

tertawa lirih. Katanya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Hem,

alangkah dahsyatnya ilmumu Prabasemi, apa namanya?”

Prabasemi menggigil karena marahnya. Giginya beradu

sehingga hampir-hampir menjadi patah. Betapa ia melihat Karebet

masih tegak berdiri dengan mulut tertawa.

“Anak setan, gendruwo, tetekan,” Tumenggung itu

mengumpat tak habis-habisnya.

Karebet masih berada ditempatnya. Diantara suara tertawanya

terdengar ia berkata, “Alangkah dahsyatnya ilmumu itu. Kalau

tidak, maka ia tidak akan mampu menembus Aji Lembu Sekilan.”

Page 57: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 98

“Lembu Sekilan?” tanpa sesadarnya Prabasemi itu mengulangi.

Berbagai perasaan berputar-putar di dalam lenaknya. “Lembu

Sekilan?” berkali-kali Tumenggung itu mengulangi di dalam

hatinya. Hampir-hampir ia tidak percaya. Tetapi, ia mengalaminya

sendiri. Sentuhan ajinya yang selama ini dibanggakan, ternyata

tidak mampu menembus pertahanan Lembu Sekilan. Ajinya hanya

mampu mendorongnya jatuh, namun anak itu tetap segar. Bahkan

masih tertawa lirih memandanginya dengan tenangnya.

Karebet masih berdiri di tempatnya. Ketika ia melihat

Tumenggung itu menjadi tegang, maka katanya, “Apakah kau

sudah siap untuk membunuhku dengan cara yang sama seperti

kau membunuh Bahu dari Tunggul?”

Prabasemi memggeram. Alangkah panas hatinya mendengar

ejekan itu. Karena itu, dengan suara gemetar ia menjawab, “aku

akan melakukannya lebih daripada itu!”

“Bagaimana kalau sebaliknya?” balas Karebet.

Dada Prabasemi hampir meledak karenanya. Karena itu maka

sekali lagi ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya. Dengan

cepatnya ia meloncat, melontarkan sebuah pukulan yang dahsyat

ke arah wajah Karebet. Kali ini pun Karebet kalah cepat dari Aji

Sapu Angin, sehingga sekali lagi ia terdorong surut beberapa

langkah, namun ia tidak lagi terbanting jatuh.

Meskipun demikian wajahnya terasa panas dan kepalanya

sedikit pening. Karena itu ia mengumpat dalam hatinya, “Gila juga

Aji orang ini.”

Namun Prabasemi ternyata tidak memberinya kesempatan.

Sekali lagi ia meloncat, dan serangannya kini mengarah ke perut

Karebet. Karebet yang percaya benar kepada aji Lembu Sekilannya

segera memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu. Kali

ini Karebet benar benar telah dapat menguasai keseimbangan

antara kekuatan lawannya dan kemampuan Ajinya. Akibatnya

sekalipun serangan Prabasemi membenturnya namun Karebet

Page 58: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 98

tidak lagi terdorong karenanya. Bahkan kemudian anak muda aneh

itu melawan sejadi-jadinya. Dikerahkannya segenap kemampuan

yang setinggi-tingginya. Namun ia samasekali belum

mempergunakan Aji Rog-Rog Asemnya.

Meskipun demikian ternyata Karebet tidak segera dapat

dikuasai lawannya. Meskipun serangan-serangan Karebet tidak

begitu berbahaya dalam benturan dengan ajian lawannya, namun

karena Lembu Sekilan, maka Karebet tidak merasakan bahwa

lawan telah mencurahkan segenap kemampuan yang ada

padanya, bahkan sudah sampai pada tahap ilmu yang terakhir.

Prabasemi semakin lama semakin cemas dan bingung. Benar-

benar tak disangka-sangkanya bahwa Karebet memiliki

kemampuan sedemikian tingginya. Semula disangkanya bahwa

lurah Wira Tamtama muda ini tidak lebih ataupun tidak jauh

terpaut dari kawan-kawannya. Tetapi Karebet benar-benar seperti

anak setan.

Karebet itu pun semakin lama semakin menyadari akan

kemampuannya. Betapapun Prabasemi mengerahkan Aji Sapu

Angin, namun Lembu Sekilan masih mampu mengatasinya

sehingga dengan demikian maka seakan-akan Prabasemi

samasekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan. Meskipun

ajinya juga mampu mengurangi tekanan tangan Karebet yang

menyentuh tubuhnya, namun sebenarnya terasa oleh Prabasemi,

bahwa Karebet telah mampu melampauinya.

IV

Tetapi semuanya sudah terlanjur. Ia tidak dapat menarik lagi

ucapannya. Ia sudah berkata bahwa ia akan membunuh Karebet

itu. Ia sudah berkata bahwa apapun yang terjadi, maka

maksudnya itu tak akan diurungkan. Dan anak muda itu pun telah

berkata bahwa mereka kini sedang berkelahi untuk satu taruhan.

Page 59: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 98

Karena itu, maka tidak ada satu pun jalan untuk

menghindarkan diri dari perkelahian itu. Dan terbayanglah di

wajah Tumenggung, bahwa saat-saat terakhirnya telah tiba. Ia

samasekali tidak akan dapat membunuh Karebet itu, tetapi ia pasti

bahwa Karebet akan mampu membunuhnya.

Prabasemi bukanlah seorang penakut. Ia adalah seorang

Tumenggung Wira Tamtama, yang sudah berpuluh kali berjuang

melawan maut. Telah berpuluh kali ia membunuh lawannya, dan

bahwa suatu ketika salah seorang lawannya akan membunuhnya,

benar-benar sudah diramalkannya. Karena itu, apabila ia kali ini

mati dalam perkelahian, maka ia tidak akan menjadi gentar.

Meskipun demikian, ada juga suatu yang bergetar di dalam

dadanya. Ia samasekali tidak takut mati. Namun mati karena anak

muda yang aneh itu rasa-rasanya tidak senang juga. Walaupun

demikian, Prabasemi harus menyadari keadaannya.

Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin seru pula. Aji

Sapu Angin adalah Aji yang cukup dahsyat, sehingga apabila Aji

itu menyentuh dahan-dahan kayu di sekitar perkelahian itu maka

terdengarlah suaranya berderak-derak patah. Pohon-pohon muda

dan cabang-cabang pepohonan. Karena itu, maka di daerah

perkelahian itu seakan-akan telah tertiup angin prahara yang

menggoncangkan pepohonan serta menggugurkan pepohonan

serta menggugurkan daun-daunnya.

Apabila pertempuran itu terjadi di siang hari, maka dari

kejauhan akan nampaklah daun-daun yang berguncang-guncang

dan akan tampak pulalah dahan-dahan yang patah berhamburan,

karena kedahsyatan Aji Sapu Angin.

Tetapi karena Aji Sapu Angin itu tidak mampu menembus

sampai keintinya Aji Lembu Sekilan, maka kesempatan Karebet

untuk mengenai lawannya, jauh lebih banyak dari Prabasemi.

Berkali-kali Prabasemi terpaksa menyeringai kesakitan dan

berkali-kali ia terpaksa menyeringai pula karena kekecewaan.

Page 60: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 98

Serangannya telah benar-benar mengenai sasarannya, tetapi

Karebet seolah-olah telah menjadi kebal.

Namun kemudian ternyata, betapa dahsyatnya Aji Sapu Angin

itu, tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan jasmaniah Tumenggung

Prabasemi itu terbatas. Setelah ia memeras tenaganya dalam

kekuatan Aji Sapi Angin, maka terasalah getaran-getaran ilmu di

dalam dadanya menjadi susut. Sejalan pula dengan itu, maka

kegarangan Tumenggung Wira Tamtama itu menjadi susut pula.

Baik Prabasemi sendiri, maupun Karebet, segera melihat apa

yang sebenarnya terjadi. Prabasemi kemudian merasa peluh

dingin memancar dari segenap tubuhnya, bukan karena ia takut

mati, tetapi sebenarnya ia menjadi sangat malu atas kekalahannya

itu. Kekalahan yang tak pernah dibayangkannya. Kekalahan dari

seorang anak yang lebih muda daripadanya dan reh-rehannya pula

dalam keprajuritan. Anak itu tidak lebih dari seorang lurah Wira

Tamtama.

“Apa boleh buat” desisnya, “Kalau mungkin, biarlah kita mati

bersama,” katanya dalam hati.

Kini Karebet mendapat kesempatan lebih banyak lagi dari

beberapa saat sebelumnya. Dan ternyata pula, karena

kemuakannya atas Tumenggung itu, maka kesempatan itu pun

dipergunakan sebaik-baiknya. Dengan lincahnya ia bergerak-gerak

menyerang dengan dahsyatnya. Tangannya yang sepasang itu

bergerak-gerak dari segenap arah, menyerang hampir ke setiap

permukaan tubuh Prabasemi. Dan terasalah ujung tangan itu

menyengat-nyengat seperti kerumunan beribu-ribu lebah.

Meskipun demikian Prabasemi samasekali tidak menyerahkan

dirinya ditelan oleh kegarangan lawannya. Dipergunakannya setiap

kesempatan yang masih ada. Namun kembali ia kecewa, Ajinya

tidak dapat menembus Lembu Sekilan sampai keintinya, sehingga

Karebet, seakan-akan hanya bergetar sedikit, untuk kemudian

meloncat maju dengan garangnya.

Page 61: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 98

Demikianlah, maka lambat laun, tenaga Tumenggung

Prabasemi itu pun terperas habis. Tubuhnya menjadi semakin lama

semakin lemah, dan serangan-serangan Karebet semakin

menekannya. Akhirnya Prabasemi yang garang itu benar-benar

kehabisan tenaga. Ketika ia sempat menengadahkan wajahnya,

dilihatnya warna semburat merah membayang dilangit yang biru.

“Hampir fajar,” keluhnya. “Fajar terakhir.”

Prabasemi itu sudah tidak dapat mengeluh lagi. Dengan

dahsyatnya Karebet meloncat menyambar wajahnya dengan sisi

telapak tangannya. Tumenggung Prabasemi terguncang, dan

kemudian terbanting jatuh. Terasa kepalanya menjadi pening dan

nafasnya menjadi sesak. Tetapi ia adalah seorang Tumenggung

Wira Tamtama. Setiap kali ia berteriak-teriak dihadapan anak

buahnya, bahwa tak ada kemungkinan melangkah mundur bagi

Wira Tamtama. Yang ada, maju terus atau mati. Demikianlah

pendiriannya itu tetap dipertahankannya sampai saat-saat yang

paling berbahaya bagi hidupnya. Betapa pun kepalanya pening dan

pedih-pedih di dalam dadanya, namun Prabasemi itu masih

berusaha untuk tegak kembali. Dicobanya untuk menyamar kaki

Karebet dengan kakinya. Namun dengan lincahnya Karebet itu

meloncat, dan seperti gunung yang runtuh menimpa dadanya, kaki

Karebet itu tepat menghantam tulang-tulang iga Tumenggung

Prabasemi yang sudah sedemikian lemahnya.

Sekali lagi Tumenggung Prabasemi terlempar beberapa

langkah dan kembali ia terbanting di tanah.

Terdengar Tumenggung itu menggeram. Karebet masih

melihat, dengan gemetar, Prabasemi mencoba berdiri. Namun

ketika ia bertumpu pada kedua kakinya, kembali Prabasemi

terjatuh tertelungkup.

Karebet itu segera meloncat ke depan. Kebenciannya kepada

Tumenggung itu benar-benar meluap sampai ke ubun-ubunnya.

Karena itu, dengan sebelah tangannya, diraihnya baju Prabasemi

Page 62: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 98

yang dibuat dari beludru. Ketika tubuh Prabasemi itu terangkat,

sekali lagi tangan Karebet menyambar dagunya. Kali ini wajah

Prabasemi terangkat, dan Tumenggung itu terlempar jatuh

menelentang.

Karebet yang masih dikuasai oleh kemarahannya itu segera

meloncat menyusul, namun tiba-tiba terasa dadanya berdesir

tajam. Ketika ia melihat wajah Tumenggung itu, maka tiba-tiba ia

menjadi berdebar-debar. Ia terkejut ketika tampak samar-samar

darah meleleh dari mulutnya. Dan Tumenggung itu kini samasekali

tak bergerak-gerak lagi.

“Mati?” tiba-tiba terlontar kata-kata itu dari mulut Karebet.

Dan karena itu ia menjadi gemetar karenanya.

Perlahan-lahan ia maju mendekati. Ketika diraba dada

Tumenggung itu, terdengar Karebet berdesis, “Masih hidup.”

Tiba-tiba timbullah kecemasan dihati anak muda yang aneh

itu. Kalau dirinya mati, maka tak seorangpun yang akan

mencarinya, setidak-tidaknya dalam waktu yang dekat. Tetapi

kalau Tumenggung yang mati, maka pasti segera aka diketahui

Sultan Trenggana tahu benar, bahwa Tumenggung Prabasemi

pergi mengantarkannya sampai keluar kota. Kalau kemudian

Tumenggung itu hilang, dan tidak kembali kerumahnya maka

Sultan segera akan mengetahuinya, bahwa setidak-tidaknya

Karebet mengetahuinya apakah yang terjadi.

Karena itu, maka Sultan Trenggana pasti akan menjadi sangat

murka. Mungkin sekali disebarkannya beberapa orang untuk

menangkapnya. Hidup atau mati.

Sekali lagi Karebet meraba tubuh Prabasemi. Ia menjadi

sedikit berlega hati, ketika ia yakin bahwa Tumenggung itu benar-

benar belum mati.

“Kenapa aku takut, seandainya Sultan akan berusaha

menangkapku?” tiba-tiba terdengar suara di dalam relung hatinya.

Page 63: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 98

“Hukuman mati hanya akan dijatuhkan satu kali. Bukankah

Tumenggung ini kalau masih hidup pasti akan berusaha

membunuhku pula?”

Tetapi tiba-tiba Karebet menundukkan wajahnya. Sebenarnya

Karebet samasekali tidak takut pada hukuman mati itu. Kini ia

telah mengenal apa yang sebenarnya sedang bergolak di dalam

dadanya. Bukan suatu perasaan takut, tetapi suatu perasaan yang

jauh lebih berharga dari itu. Tiba-tiba saja, terasa betapa

kemurahan hati Sultan telah melimpah kepadanya. Betapa Sultan

Trenggana berusaha mengurangi kesalahan-kesalahan yang telah

dilakukannya. Limpahan kemurahan hati sejak ia dipungut oleh

Baginda dari tepi kolam, kemudian diangkat menjadi Wira

Tamtama. Bahkan dalam waktu singkat Baginda telah

menganugerahkan pangkat Lurah.

Karebet menarik nafas dalam-dalam. Apalagi kalau pamannya

kelak mengetahui apa yang sudah dilakukannya. Membunuh dan

karena itu ia dihukum mati. Maka kembali tubuhnya mengigil.

Sekali lagi diawasinya tubuh yang terlentang tidak bergerak itu.

Perlahan-lahan Karebet berdiri melangkahi tubuh Prabasemi.

Diangkatnya kedua tangannya dan perlahan-lahan digerakkannya.

“Kiai, Kiai Tumenggung,” panggilnya.

Tetapi Prabasemi tidak menjawab. Karena itu Karebet menjadi

bertambah bingung. Ketika sekali lagi ia menggerakkan tangan itu,

maka sekilas dilihatnya sebuah kamus bertimang tretes intan

berlian melingkar diperut Tumenggung itu.

“Hem,” desisnya, “Sebuah timang yang mahal.”

Tetapi, Karebet menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-

benar menjadi cemas. Kalau ditinggalkannya tubuh ini, maka

mungkin sekali akan menjadi hidangan pesta bagi serigala-serigala

lapar. Atau kalau seorang pencari kayu melihatnya, dan melihat

timang itu, ada kemungkinan pula Tumenggung yang pingsan itu

dibunuhnya, hanya karena timang dan permata-permatanya.

Page 64: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 98

Karebet semakin lama semakin gelisah. Akhirnya ia tidak dapat

menemukan suatu cara yang lain daripada membiarkannya sampai

sadar. Tetapi dengan demikian, ia terpaksa menunggunya.

Dengan dada yang berdebar-debar, Karebet kemudian

berjalan hilir-mudik di samping tubuh Prabasemi. Setiap kali ia

mendengar gemersik daun-daun kering, ia menjadi terkejut.

Betapa marahnya ketika tiba-tiba dari balik rimbunnya dedaunan

perdu, Karebet melihat seekor serigala mengintai tubuh yang

terbaring itu. Dengan lidah yang terjulur panjang dan air liur yang

menetes satu-satu.

“Biasanya serigala liar berjalan beriring-iring,” desisnya.

Namun ia tidak peduli. Diraihnya sebuah batu dan dengan sekuat

tenaga, tenaga Mas Karebet yang sedang marah dilemparinya

serigala itu.

Terdengar serigala itu melengking tinggi. Kemudian diam. Dari

kepalanya mengalir darah yang merah segar. Sesaat kemudian

terdengarlah beberapa ekor serigala yang lain, mengaum-aum

dengan ributnya. Namun semakin lama semakin jauh.

“Hem,” gumam Karebet, “Benar juga mereka datang

berbondong-bondong.”

Kini kembali Karebet merenungi wajah Prabasemi yang pucat

itu. Anak muda itu hampir berteriak kegirangan ketika dilihatnya

Prabasemi bergerak-gerak.

Seperti anak-anak mendapat mainan, Karebet segera

meloncat mendekatinya. Sambil mengguncang-guncangkan tubuh

itu, dipanggilnya nama Tumenggung itu, “Kiai, Kiai Tumenggung.”

Tetapi Prabasemi belum mendengar suara itu. Namun sekali

lagi tampak ia menggerakkan kepalanya.

Sebenarnya tubuh Tumenggung itu adalah tubuh yang luar

biasa. Kekuatan yang tersimpan di dalamnya telah menolongnya,

menghindarinya dari kematian. Karena itu, ketika angin fajar

Page 65: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 98

mengusap wajahnya maka perlahan-lahan terasa darahnya

seakan-akan mengalir kembali.

Namun ketika sekali lagi Karebet melihat Tumenggung itu

bergerak, maka timbullah pikirannya untuk tidak menampakkan

dirinya lagi. Kalau Tumenggung itu kemudian menjadi sadar, dan

memaki-makinya, maka Karebet akan takut kalau ia justru sekali

lagi menjadi lupa diri. Maka ketika dilihatnya Tumenggung itu

menggeliat, Karebet segera meloncat ke balik-balik gerumbul,

tidak begitu jauh dari tempat Prabasemi itu berbaring.

Tumenggung yang malang itu perlahan-lahan menggeliat.

Kemudian terdengar ia mengeluh pendek. Karebet yang

bersembunyi di balik gerumbul mengawasinya dengan tegang.

Apakah Tumenggung itu masih mampu untuk berjalan kembali ke

Demak?

Ketegangan wajah Karebet itu semakin lama menjadi semakin

kendor. Prabasemi betapapun terasa seakan-akan segenap tulang

belulangnya tidak bersambung lagi, namun ia berusaha

menggerak-gerakkan tangannya. Kemudian kakinya.

“Hem….” Prabasemi kembali mengeluh pendek. Mulutnya yang

lebar tampak menyeringai menahan sakit. Namun kini,

kesadarannya telah berangsur-angsur pulih kembali.

Kemudian dicobanya menggerakkan kepalanya, memandang

tempat-tempat di sekitarnya. Dengan geramnya ia menggeram.

“Di mana setan itu?”

Tetapi kembali ia menyeringai. Punggungnya benar-benar

serasa patah. Karena itu, dibiarkannya tubuhnya terbaring untuk

beberapa lama.

Di langit bintang-gemintang menjadi semakin lama semakin

pudar. Dari timur telah membayang cahaya kemerah-merahan,

dan sayup-sayup terdengar suara ayam hutan berkokok bersahut-

sahutan.

Page 66: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 98

Prabasemi menarik nafas. “Ternyata aku masih hidup,”

desahnya. Dan kini dicobanya perlahan-lahan untuk

menggerakkan seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati ia

memiringkan dirinya untuk kemudian bertelekan pada sebelah

tangannya. Prabasemi berusaha untuk duduk. Tetapi kembali

dengan lemahnya ia terkulai di tanah.

“Gila!” geramnya.

Karebet yang melihat kesulitan itu, menjadi kasihan juga

kepadanya. Namun ia sudah bertekad untuk tidak menemuinya

lagi. Karena itu, betapapun keinginannya untuk menolongnya,

keinginan itu ditahannya kuat-kuat.

Akhirnya, betapa pun Prabasemi mengalami kesulitan,

akhirnya ia mampu untuk duduk dan tertelekan kedua tangannya.

Sekali-sekali terdengar ia berdesis. Namun kemudian menggeram

penuh kemarahan. Dengan nanar ia memandang berkeliling.

Bahkan kemudian ia berteriak “He, di mana kau?”

Namun kemudian, nafasnya menjadi terengah-engah. Dan

kepalanya ditundukkannya.

Tetapi tubuh Prabasemi itu benar-benar tubuh yang

mempunyai daya tahan mengagumkan. Beberapa saat kemudian,

maka telah dicobanya untuk menggerak-gerakkan kakinya. Sekali-

kali dicobanya untuk berjongkok dan kemudian dengan tertatih-

tatih dan berpegangan pada batang-batang pohon Tumenggung

itu mencoba untuk berdiri.

“Luar biasa,” kata Karebet di dalam hatinya. “Baru beberapa

saat ia terkapar hampir mati. Namun kini ia telah mampu untuk

berdiri.”

Sekali lagi Tumenggung itu memandang berkeliling. Ia benar-

benar sedang mencari Mas Karebet. Namun anak itu tidak

dilihatnya. Karena itu dengan geramnya ia berteriak, “He Karebet,

anak setan. Jangan bersembunyi.”

Page 67: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 98

Karebet mengumpat di dalam hatinya? “Benar-benar orang ini

keras hati. Setelah nyawanya singgah di ujung ubun-ubun, masih

juga ia berteriak-teriak?”

“He Karebet, pengecut,” katanya. “Tidak sepantasnya Wira

Tamtama melarikan diri.”

“Gila!” Hampir-hampir Karebet menjawab kata-kata itu.

Untunglah segera disadarinya, bahwa sebenarnya, ia tidak dapat

melangkahi limpahan kemurahan hati Sultan Trenggana.

Dengan penuh kemarahan, terdengar Tumenggung itu

bergumam, “Awas kau Karebet. Pada suatu ketika akan datang

saatnya, aku mencarimu dan dengan tanganku aku bunuh kau

seperti aku membunuh Bahu dari Tunggul.”

Sekali lagi Karebet mengumpat di dalam hati. Namun

dibiarkannya Tumenggung itu berjalan terhuyung-huyung. Dengan

tangan yang gemetar, ia berpegangan dari satu pohon ke pohon

berikutnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dan dilihatnya

seberkas cahaya terlempar di atas pepohonan, ia berdesis, “Hari

telah pagi.”

Dan karena itulah maka langkahnya terhenti. Tumenggung itu

menjadi ragu-ragu. Apakah katanya nanti, kalau ia bertemu

dengan seseorang di perjalanan pulang?

Diamat-amati pakaiannya. Kemudian dengan tergesa-gesa

dilihatnya timangnya. “Hem. Masih lengkap,” gumannya.

Dengan hati-hati dicobanya untuk memperbaiki letak

pakaiannya, dan sejenak kemudian, kembali ia terhuyung-huyung

berjalan meninggalkan tempat yang terkutuk itu.

Sepeninggal Tumenggung Prabasemi, Karebet keluar dari

persembunyiannya. Sekali ia menarik nafas panjang. Kemudian

gumannya, “Luar biasa. Luar biasa. Ia masih mampu berjalan.”

Page 68: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 98

Kemudian ia menjenguk dari balik dedaunan. Prabasemi

benar-benar telah berjalan dengan baik, walaupun sekali-kali

masih harus berhenti, menekan punggungnya dengan kedua

tangannya.

Kini Karebet tinggal melihat kedalam dirinya. Setelah

Prabasemi hilang di antara pepohonan, kembali ia menjadi

bingung. Apakah yang akan dilakukannya, dan akan kemanakah

ia?

Beberapa saat Karebet diam termenung. Bahkan kemudian ia

pun duduk di tanah yang seakan-akan baru saja dibajak oleh kaki-

kakinya dan kaki Tumenggung Prabasemi. Tiba-tiba Karebet pun

tersenyum, gumamnya seorang diri, “Kasihan Tumenggung itu.

Untunglah aku menyadari keadaannku, sebelum aku

membunuhnya.”

Tetapi kemudian disadarinya, bahwa tempat itu cukup

berbahaya baginya. Kalau Tumenggung yang mendendamnya itu

sempat, pasti ia akan datang kembali dengan beberapa orang

untuk menangkapnya dan membunuhnya.

Sebenarnya Tumenggung Prabasemi mendendam Karebet

sampai tujuh turunan. Sepanjang jalan tak habis-habisnya ia

mengumpat-umpat. Meskipun demikian, Tumenggung Prabasemi

itu terpaksa mengakui, bahwa anak itu mempunyai beberapa

kelebihan daripadanya.

Ketika Tumenggung Prabasemi sampai di pinggir hutan, dan

melihat sawah yang terbentang di hadapannya, ia menjadi ragu-

ragu. Dalam keadaannya itu, pasti semua orang yang bertemu di

sepanjang jalan akan menertawakannya. Meskipun ia tidak melihat

wajahnya sendiri, tetapi ia dapat membayangkan, betapa noda-

noda merah biru telah memenuhi wajahnya. Apalagi ketika ia

melihat beberapa noda darah yang meleleh dari mulutnya,

mengotori baju beludrunya.

“Setan. Anak setan” umpatnya tak habis-habisnya.

Page 69: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 98

Akhirnya Tumenggung Prabasemi terpaksa menunggu di tepi

hutan itu sampai malam datang kembali. Ia tidak mau seorang pun

yang melihatnya dalam keadaan itu. Apalagi bila seorang Wira

Tamtama melihatnya. Maka ia tidak akan dapat menjawab, apabila

mereka bertanya, apakah sebabnya.

Sekali lagi Prabasemi mengumpati Karebet. Terpaksa ia

mencari setetes air untuk minum hari itu. Untunglah, bahwa di

bawah sebatang pohon benda, diketemukannya mata air kecil

yang segar. Namun kemudian dihabiskannya waktunya dengan

mereka-reka, apakah yang dapat dilakukannya untuk membalas

dendam.

“Hem,” katanya kemudian, “Aku tidak akan dapat

melakukannya sendiri. Aku tidak takut. Aku tidak takut!”

teriaknya, seakan-akan seseorang telah menuduhnya. “Tetapi

Sultan akan mengetahuinya, dan menghukumku.”

Tiba tiba Prabasemi tersenyum, “Bodohnya aku, bukankah aku

bisa minta bantuan kakang Sembada?”

Kemudian Prabasemi mengangguk angguk dan tersenyum

sendiri dengan puasnya. Sembada adalah seorang yang dapat

membantunya.

Tetapi ketika disadarinya keadaannya kini, kembali Prabasemi

mengumpat. Terpaksa ia menunggu sampai malam.

“Kakang Sembada harus berangkat malam nanti,” desisnya.

Hari itu terasa betapa panjangnya. Dengan gelisah Prabasemi

berjalan hilir mudik di dalam hutan. Sekali kali ia membaringkan

tubuhnya di atas rumput-rumput kering, namun kembali ia

berjalan hilir mudik.

Namun udara hutan yang segar telah menyegarkan badannya

pula. Berangsur-angsur tenaganya menjadi pulih kembali.

Nafasnya telah tidak terasa sesak, dan tulang iganya sudah tidak

Page 70: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 98

terlalu nyeri. Tetapi matahari benar-benar sangat menjemu-

kannya.

Akhirnya, ketika Prabasemi hampir-hampir tidak sabar lagi,

maka matahari itupun tenggelam diujung Barang. Cahayanya yang

merah menyala diujung bukit dan ditepi awan yang mengambang

di langit. Namun kemudian tabir yang hitam kelam seolah turun

dari langit, merayap keseluruh permukaan bumi.

Prabasemi menarik napas dalam-dalam. Kemudian dengan

cepatnya ia meloncat setengah berlari pulang kerumahnya. Di

sepanjang jalan hatinya berdebar-debar. Ia sudah pasti dicari oleh

anak buahnya. Mudah-mudahan Baginda tidak mencarinya.

Dan apa yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ketika

Prabasemi hampir sampai dirumahnya, dilihatnya beberapa orang

prajurit Wira Tamtama berjaga-jaga. Ketika salah seorang

melihatnya maka tiba-tiba prajurit itu berteriak, “Itu Kiai

Tumenggung Prabasemi.”

Beberapa kawan-kawannya yang lain pun segera berkumpul.

Seakan-akan mereka melihat sesuatu yang belum pernah mereka

lihat.

Prabasemi datang dengan langkah tegap. Meskipun kakinya

masih terasa agak sakit, namun samasekali ia tidak timpang. Ia

berjalan seorang diri seperti sedang berlatih berjalan dalam

barisan.

Sebelum prajurit itu bertanya kepadanya, maka Tumenggung

yang malang itu mendahului membentaknya, “Apa yang kalian

kerjakan di sini?”

Prajurit yang dibentaknya itupun menganggukkan kepalanya

sambil menjawab, “Kami mencemaskan Kiai Tumenggung. Sehari

ini kami tidak melihat kiai. Ketika kakang lurah Santapati

menghadapi Kiai, maka dijumpainya rumah ini kosong, sehingga

kakang lurah menjadi bingung. Setelah kakang lurah menunggu

Page 71: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 98

sampai tengah hari, dan Kiai Tumenggung tidak juga datang,

mnaka kakang lurah memerintahkan beberapa orang mencari Kiai,

dan beberapa orang diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sini.”

“Gila, di mana Santapati?”

“Di belakang.”

“Panggil dia.”

Seorang prajurit segera berlari kebelakang memanggil lurah

Wira Tamtama Santapati. Santapati yang dengan gelisahnya

duduk di serambi belakang karena Tumenggungnya sehar-harian

tak dapat diketemukan, menjadi sangat terkejut ketika ia melihat

seorang prajurit berlari-lari.

“Ada apa?” bertanya lurah itu

“Ki Tumenggung sudah datang.”

“Di mana sekarang?”

“Di serambi depan. Kakang Santapati dipanggil oleh Kiai

Tumenggung.”

Cepat-cepat Santapati berlari ke serambi depan untuk

menemui Tumenggungnya. Beberapa pelayan Prabasemi yang

mendengar laporan itu menjadi gembira pula karenanya. Meskipun

Prabasemi selalu membentak-bentak mereka, namun kalau

maksudnya untuk sesuatu tercapai, maka tidak segan-segan

Tumenggung yang garang itu memberi mereka hadiah.

Di serambi depan, Santapati melihat Tumenggung duduk

dengan garangnya. Karena itu segera ia mengangguk hormat

sambil berkata, “Selamat datang Kiai Tumenggung.”

Tumenggung itu memandangnya dengan tajamnya. Kemudian

katanya parau, “He. Apa yang kau kerjakan di sini?”

Page 72: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 98

“Kami menjadi gelisah karena Kiai Tumenggung tidak kami

temukan sehari tanpa kami ketahui kemana Kiai Tumenggung

perginya.”

“Gila kau, Bukankah aku Tumenggung Prabasemi? Aku sudah

cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri. Aku sudah cukup

mampu berbuat apa saja kehendakku. Apa kau sangka aku

memerlukan kalian?”

“Ampun kiai. Kami hanya menjadi gelisah dan tidak tahu apa

yang harus kami lakukan. Kami mencoba mencari Kiai.”

“Kau sangka aku hilang? Diculik orang? He, kau sangka ada

orang di seluruh Demak yang mampu menculik Tumenggung

Prabasemi?”

“Tidak Kiai.” Santapati menjadi ketakutan. “Kami hanya

mencoba untuk menghubungi Kiai.”

“Bodoh kalian,” gumam Prabasemi. “Tetapi biarlah aku

maafkan kau kali ini.” Tumenggung itu berhenti sejenak, kemudian

diteruskannya, “Nah, katakan apa yang telah terjadi sehari ini?”

“Tidak ada apa-apa, Kiai. Selain Kiai Tumenggung yang kami

anggap hilang.”

“Tutup mulutmu!” bentak Prabasemi. “Jangan sebut itu lagi.

Aku tidak hilang, tahu. Aku sedang memenuhi impianku semalam.

Aku harus pergi ke hutan Santi. Dan sebenarnya aku telah

mendapat sesuatu di sana.”

“Apa itu Kiai?” Tiba-tiba Santapati bertanya.

“Apa? Kau akan meniru aku? Sampai gila kau tak akan

mendapatkan apapun di tempat itu.”

Santapati berdiam diri. Ia percaya bahwa Prabasemi baru

datang dari hutan kecil itu. Pakaiannya sedemikian kotornya,

bahkan tubuhnya pun kotor pula, bahkan wajah Tumenggung itu

Page 73: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 98

nampak aneh. Ketika Prabasemi merasa bahwa Santapati itu

mengawasinya tanpa berkedip maka teriaknya, “Apa yang kau

lihat?”

Santapati terkejut mendengar pertanyaaan itu. Karena itu

dengan tergagap ia menjawab, “Tidak apa-apa Kiai.”

Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya. Dengan

nada yang tinggi ia berkata, “Lihat, apa yang telah terjadi di hutan

Santi itu. Aku telah bergumul dengan bahureksa hutan itu. Seekor

serigala belang.”

“Oh,” Santapati terkejut.

“Untung aku berhasil membunuhnya.”

Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh

kekaguman. Ia tidak melihat Prabasemi membawa senjata

apapun. Namun Tumenggung itu berhasil membunuh seekor

harimau belang.

“Nah,” kata Tumenggung itu kemudian, “Kalian sekarang harus

pergi. Biarlah aku beristirahat. Tetapi katakan kepadaku, apakah

kau masih melihat Karebet sehari ini?”

Santapati menggeleng. “Tidak Kiai. Kami juga menjadi gelisah

karenanya. Sehari ini kami tidak dapat menghubungi Kiai

Tumenggung, sedang Adi Lurah Karebet pun tidak berada di

tempatnya, sehingga beberapa anak buahnya menjadi bingung

pula. Tetapi mereka menyangka bahwa Adi Karebet berada di

istana. Sehingga karena itu mereka akan menunggu sampai besok

pagi.”

“Hem,” Prabasemi menggeram, “Benar, Karebet berada di

istana semalam bersama aku. Tetapi sejak hari ini, Karebet tidak

boleh berada di Demak lagi. Setiap prajurit, baik prajurit Wira

Tamtama, Nara Manggala, Jala Pati dan apapun, diberi izin untuk

membunuhnya tanpa sebab. Karena Karebet telah dibuang dari

Page 74: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 98

tata pergaulan masyarakat Demak, dan tidak lagi mendapat

perlindungan apapun dari kerajaan.”

Santapati terkejut. Karebet adalah seorang anak muda yang

baik, ramah dan menyenangkan. Banyak sekali yang dapat

diceritakan untuk menggembirakan kawan-kawannya. Anak muda

itu seakan-akan mengetahui seluruh permukaan pula ini. Ia dapat

bercerita tentang bukit-bukit, lembah-lembah, jenis-jenis binatang

di dalam hutan-hutan yang hampir tak pernah diambah manusia,

sampai cerita tentang gadis-gadis cantik di daerah-daerah yang

pernah dikunjunginya. Karena itu maka dengan serta merta ia

bertanya, “Kenapa Kiai? Kenapa anak yang baik itu diusir dari

Demak?”

“Apa katamu? Apakah Karebet anak yang baik?” Tumenggung

itu berhenti sejenak. Tetapi kemudian ia berkata seterusnya, “Ya.

Anak itu memang anak yang baik. Tetapi ia telah berbuat

kesalahan. Tanpa setahuku, Karebet telah dihubungi oleh seorang

anak muda yang ingin masuk ke dalam lingkungan Wira Tamtama.

Namun anak muda itu agaknya telah menyakitkan hati Karebet,

sehingga keduanya bertengkar. Namun Karebet memiliki kelebihan

dari anak muda yang bernama….” Prabasemi diam sejenak.

Direka-rekanya sebuah nama yang pantas. Baru kemudian ia

berkata, “Namanya Dadungawuk.”

Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Prabasemi

berkata. “Namun sayang. Karebet telah bertindak sendiri.

Dadungawuk yang sombong itu dibunuhnya.”

“Hem,” Santapati mengangguk-angguk pula. “Sayang,”

desisnya. “Tetapi kesalahan itu bukan kesalahan yang terlalu

besar. Bukankah Karebet membunuhnya setelah mereka

bertengkar?”

“Itu dapat terjadi dalam hubungan perseorangan. Mungkin

Karebet tidak bersalah. Tetapi peristiwa ini telah menyeret nama

Wira Tamtama ke dalam suatu tempat yang terlalu buruk. Apakah

Page 75: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 98

kita, Wira Tamtama tidak ikut menjadi jelek kalau seorang dari kita

berbuat sewenang-wenang hanya karena ia seorang Wira

Tamtama?”

Santapati mengangguk-angguk kembali. Namun ia bertanya,

“Tetapi apakah hukuman itu sampai sedemikian jauhnya, sehingga

setiap orang boleh membunuhnya?”

“Bukankah dengan demikian, berarti bahwa kita, Baginda

sendiri, dan semua pemimpin Demak tidak sependapat dengan

perbuatannya? Karena itu, jadikanlah peristiwa ini sebagai contoh

bagimu.”

Sekali lagi Santapati mengangguk-angguk, namun

keheranannya tidak juga berkurang. Belum pernah ia mendengar

peristiwa itu kapan terjadi. Dan kalau yang mengatakan

kepadanya bukan Tumenggung Prabasemi sendiri, maka ia pasti

tidak akan percaya. Tetapi kali ini yang mengatakan adalah

atasannya dan atasan Karebet itu pula. Apalagi sebelum peristiwa

ini, maka agaknya Tumenggung Prabasemi terlalu dekat dengan

anak muda itu.

Tiba-tiba Santapati terkejut ketika Tumenggung Prabasemi itu

membentaknya, “He, mengapa kau berdiri seperti patung. Pergi.

Sekarang kalian boleh pergi.”

“Oh” Santapati tergagap, seperti orang yang terbangun dari

tidurnya yang nyenyak. “Baik, baik Kiai. Baiklah aku mohon diri

bersama anak-anak”

Tetapi, ketika Santapati mulai bergerak, maka Tumenggung itu

berteriak, “Pergi sekarang, dan panggil kakang Sembada untuk

datang kemari malam ini. “

Langkah Santapati terhenti. Kemudian ia memutar tubuhnya

kembali menghadap Kiai Tumenggung. Sambil mengangguk dalam

ia bertanya, “Kakang Sembada yang manakah yang Kiai maksud?”

“Gila. Hanya ada satu Sembada yang aku kenal?”

Page 76: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 98

“Tidak Kiai. Yang sudah aku ketahui ada tiga. Lurah Pasar

Paing. Yang kedua Jagal di Kedung Wuni dan yang satu lagi

Sembada jajar juru taman di Kasatrian.”

“Bodoh kau. Ada lebih seribu Sembada di seluruh Demak.

Tetapi kau harus tahu, manakah yang aku panggil kakang di antara

mereka.”

Santapati menjadi bingung. Untung-untungan ia berkata.

“Apakah kakang Sembada Lurah Pasar Paing yang kaya raya itu.”

“Oh, alangkah bodohnya kau. Buat apa aku memanggil Lurah

Pasar? Panggil Kakang Sembada, jagal dari Kedung Wuni.”

Santapati mengerutkan

keningnya. Aneh. Prabasemi

memerlukan memanggil seo-

rang jagal dari Kedung Wuni.

Apakah Tumenggung ini akan

mengadakan selamatan de-

ngan menyem-belih beberapa

ekor lembu setelah ia men-

dapatkan sesuatu dari hutan

Santi? Tetapi Santapati tidak

berani bertanya. Sekali lagi ia

menganggukkan kepalanya da-

lam-dalam, kemudian mohon

diri meninggalkan rumah

Tumenggungnya itu. Walaupun

di sepanjang jalan tak habis-

habisnya ia berpikir. “Buat

apakah Kiai Tumenggung me-

manggil jagal Kedung Wuni?”

Tetapi Santapati tidak mau menjadi pusing karenanya. Ia

cukup menyampaikan perintah itu, lalu pulang dan tidur nyenyak.

Page 77: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 98

Sembada malam itu benar-benar menghadap Tumenggung

Prabasemi. Jagal Kedung Wuni itu adalah saudara seperguruan

Tumenggung yang garang itu. Namun nasib mereka ternyata jauh

berbeda. Meskipun Sembada lebih dahulu berguru, namun

kecerdasan otak Tumenggung Prabasemi memungkinkan

Tumenggung itu melampaui kakak seperguruannya. Apalagi dalam

beberapa hal Prabasemi berhasil menunjukkan kekhususannya,

sehingga karena itulah maka keadaannya Prabasemi jauh lebih

baik dari keadaan kakak seperguruannya itu, juga dalam tataran

olah keprajuritan dan tata perkelahian Prabasemi sudah berada

diatasnya.

Ketika Prabasemi telah menguraikan maksudnya, maka

bertanyalah Sembada, “Kenapa tidak Adi Tumenggung saja yang

melakukannya?”

“Tidak mungkin, Kakang. Aku tidak dapat meninggalkan

pekerjaanku. Dan apabila kelak Sultan mengetahui maka

keadaanku akan menjadi lebih buruk.”

“Tetapi kemungkinan untuk mengetahui bahwa Kakang yang

melakukannya adalah sangat kecil. Sedang kalau aku yang

melakukannya, maka dengan mudahnya orang dapat

menghubungkan setiap peristiwa. Prabasemi tidak ada di

rumahnya pada saat orang menemukan mayat Karebet. Tetapi

orang tak akan menghiraukannnya, apakah Kakang Sembada

berada dirumah atau tidak pada suatu saat.”

Sembada mengerutkan keningnya. Tiba-tiba matanya

terbelalak ketika ia meilihat Prabasemi melepaskan kamus dan

timang emasnya. Cahaya berlian yang berkilat-kilat pada timang

itu telah menyilaukan mata Sembada. Ketika Prabasemi

mempermainkan timang itu, maka bertanyalah Sembada, “Adi

Tumenggung, sebenarnya pekerjaan itu sangat mudah aku

lakukan. Tetapi di mana aku harus mencari Karebet?”

Page 78: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 98

Prabasemi tersenyum. “Tidak terlalu mudah, Kakang. Kakang

harus membawa lima atau enam kawan.”

“Lima atau enam?” mata Sembada tiba-tiba terbeliak, “Apakah

anak itu anak setan?”

“Bukan, samasekali bukan. Tetapi aku ingin kali ini tidak akan

gagal. Lebih baik Kakang kelebihan tenaga daripada Kakang harus

mengulanginya lain kali.”

“Baik. Baik,” sahut Sembada, “Tetapi ke mana aku harus

mencari?”

“Kakang, aku sangka anak itu akan pergi jauh-jauh. Ia adalah

murid seorang perantau. Namun aku sangka ia akan singgah ke

rumahnya di Tingkir. Bukankah anak itu terkenal pula bernama

Jaka Tingkir? Nah, Kakang dapat mencoba mendahuluinya. Kakang

harus melakukan pekerjaan Kakang itu kalau mungkin, sebelum

anak itu sempat sampai ke rumahnya dan bercerita tentang

dirinya, supaya tak seorang pun yang akan meributkannya. Ibu

angkatnya pasti menyangka bahwa anak itu masih berada di istana

sampai beberapa lama. Sedang apabila seseorang menemukan

mayatnya, maka biarlah orang menyangka bahwa keluarga

Dadaungawuk yang telah membunuhnya”

“Siapa Dadungawuk itu?”

“Dadungawuk adalah nama anak muda yang dibunuh oleh

Karebet itu.”

Sembada mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku

akan melakukannya Adi Tumenggung. Tetapi kalau aku tidak dapat

menemukannya, maka Adi Tumenggung jangan menyalahkan

aku.”

“Semuanya harus dicoba. Malam ini sebaiknya Kakang

berangkat dengan orang-orang yang barangkali dapat kakang

kumpulkan. Ingat, lima, enam atau tujuh orang. Syukur lebih dari

itu. Sebab, selama ini ia ada di dalam kesatuanku, maka aku telah

Page 79: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 98

dapat menilai betapa anak itu menyimpan ajian di dalam tubuhnya

yang dapat melindunginya, Lembu Sekilan.”

“Lembu Sekilan?” Sekali lagi mata Sembada terbelalak.

“Apakah aku mampu melawan Lembu Sekilan?”

“Jangan terlalu merendahkan dirimu. Bukankah Kakang

memiliki Aji Sapu Angin seperti aku?”

Sembada termenung sesaat. Aji Sapu Angin memang dapat

dibanggakannya, namun ia tidak tahu apakah Sapu Angin-nya

yang tidak sempurna mampu menembus Lembu Sekilan. Ketika

Sembada baru mencoba menilai diri, maka terdengarlah Prabasemi

berkata, “Lembu Sekilan anak itu masih belum sempurna. Karena

itu Kakang jangan cemas karenanya. Meskipun demikian kawan-

kawan kakang pun harus mampu menyesuaikan diri dengan ilmu

anak itu. Mungkin dengan senjata masih mungkin menembus

pertahanan ajian anak itu.”

Dicobanya oleh Sembada berpikir tentang segala

kemungkinan. Dicobanya juga untuk menginat-ingat beberapa

nama yang pantas untuk melakukan pekerjaan itu. Tiba-tia ia

tersenyum, katanya, “Kenapa kita tidak minta tolong kepada

perguruan Sembirata? Hem, guru itu adalah kawanku. Ia memiliki

beberapa kelebihan daripadaku. Sedang beberapa muridnya yang

terpercaya dapat aku bawa serta.”

“Terserah kepada Kakang,” kata Prabasemi sambil

melemparkan ikat pinggangnya yang bertimang emas dan

bertretes berlian. “Inilah, barangkali Kakang perlu menyangkutkan

pedang di pinggang Kakang.”

Sembada menggigit bibirnya untuk menahan senyumnya. Ia

menjadi sangat gembira atas pemberian itu. Meskipun demikian

dengan tamaknya ia berkata, “Hem. Aku mengucapkan terima

kasih atas pemberianmu Adi. Tetapi aku sangka Kiai Sembirata

memerlukan juga timang, meskipun tidak sebaik ini.”

Page 80: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 98

“Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hati. Tetapi

sebenarnya dirinya pun telah hampir gila pula. Dengan bersungut-

sungut ia berjalan masuk ke dalam biliknya. “Hem, alangkah

mahalnya putri itu.” Namun ia bersungut pula, “Aku telah banyak

kehilangan, belum tentu aku berhasil.” Tetapi kata-kata itu

dijawabnya sendiri, “Tetapi aku harus berusaha. Yang pertama,

melenyapkan Karebet, supaya Putri itu tidak selalu

mengharapkannya kembali.”

Karena itu betapapun ia mengumpat-umpat di dalam hati,

namun diambilnya juga satu ikat pinggang yang lain, bertimang

emas pula, namun tidak tidak bertretes berlian.

Setelah menerima ikat pinggang itu beserta timangnya, maka

Sembada pun minta diri untuk pergi ke Sambirata.

“Kakang,” kata Prabasemi kemudian, “Ikat pinggang itu

hanyalah Kakang pinjam untuk menyangkutkan pedang. Tetapi

kalau pedang itu kemudian samasekali tak berguna, maka ikat

pinggang itupun tak akan berguna pula bagi Kakang, dan biarlah

orang lain yang lebih memerlukan memakainya.”

Sembada mengerutkan keningnya. Ia kenal betul sifat-sifat

adik seperguruannya. Ia dapat menjadi seorang pemurah yang

tidak kepalang tanggung, namun ia dapat menjadi pelit sekeras

batu akik. Karena itu ia tidak dapat menjawab, selain

menganggukkan kepalanya. Ketika ia telah keluar dari pagar

halaman, masih didengarkannya suara Tumenggung Prabasemi,

“Ingat pesanku itu. Yang memakainya ada yang memerlukannya.”

“Setan,” gumam Sembada. Namun ia bertekad untuk memiliki

timang berteretes berlian itu. Sudah beberapa tahun ia

menginginkan benda serupa itu. Namun pekerjaannnya sebagai

jagal tidak memberinya kemungkinan.

Sampai di rumahnya, diajaknya seorang pembantunya yang

juga menjadi satu-satunya muridnya yang sangat disayanginya.

Page 81: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 98

Dengan perbekalan yang cukup, mereka meninggalkan rumah itu.

Sebuah pedang pendek terselip di ikat pinggang masing-masing.

“Kita pergi ke perguruan Sambirata,” kata Sembada.

Muridnya mencoba untuk menanyakan, apakah yang akan

mereka lakukan. Tetapi Sembada tidak memberitahukannya.

“Nanti akan kau dengar pula.”

Kiai Sambirata mendengar permintaan sahabatnya dengan

ragu-ragu. Sebenarnya Kiai Sambirata memiliki beberapa

kelebihan dari Sembada. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan

Sambirata untuk menerima beberapa permintaan orang-orang

lain, mengantarkan mereka ke tempat-tempat yang dianggap

berbahaya. Bahkan sekali-kali pernah juga dilakukannya untuk

memaksakan beberapa kehendak seseorang atas orang lain.

Melamar anak orang dengan sedikit tekanan, dan bermacam-

macam lagi. Karena itu nama Sambirata agak tidak disukai oleh

beberapa orang. Namun belum dapat dibuktikan, bahwa ia pernah

melakukan kejahatan. Kali ini permintaan Sembada adalah terlalu

langsung. Pembunuhan. Meskipun demikian, ketika Sembada

menjanjikan timang emas itu kepada Sambirata apabila pekerjaan

mereka berhasil, terpercik pula keinginannya untuk menerima

barang berharga itu.

Karena itu, maka kali ini, permintaan itu betapapun beratnya,

namun diterimanya pula. Apalagi Kiai Sambirata itu merasa bahwa

ia memiliki beberapa kemampuan yang dapat dibanggakannya.

Melampaui Sembada itu sendiri. Tetapi sebenarnyalah bahwa

Sambirata masih belum melampaui Prabasemi. Namun otaknya

yang tidak begitu cerdik menjadikannya tidak lebih dari seorang

pesuruh yang garang.

Tetapi mereka kini tidak bekerja seorang demi seorang.

Mereka bersama-sama telah bergabung dalam satu kekuatan

untuk melenyapkan anak muda yang bernama Karebet.

Page 82: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 98

Sambirata pun kemudian membawa beberapa orang muridnya

yang dipercaya, sehingga mereka menjadi berjumlah tujuh orang.

Rombongan itu sebenarnya menjadi sebuah rombongan yang

cukup besar. Namun mereka tidak berjalan bersama-sama.

Mereka telah mengadakan persepakatan untuk berjalan sendiri-

sendiri. Namun akhirnya mereka akan bertemu di tempat yang

telah ditentukan, di sekitar Tingkir. Mereka akan mengawasi jalan

dari Demak yang masuk ke pedukuhan itu.

Sementara itu Jaka Tingkir pun masih dalam keragu-raguan.

Ia belum tahu pasti, ke mana ia akan pergi. Namun akhirnya

sampailah ia kepada keputusan yang samasekali tidak

diketahuinya, bahwa bahaya telah menunggunya di setiap saat.

Yang mula-mula akan dilakukan oleh Tingkir itu sebenarnyalah

kembali ke Tingkir untuk sementara. Ia ingin tinggal di rumah ibu

angkatnya untuk sesaat menenangkan pikirannya. Baru dari sana

ia akan menentukan apakah yang akan dilakukannya untuk

seterusnya.

Dengan penuh penyesalan, Jaka Tingkir yang juga bernama

Mas Karebet itu berjalan menyusur hutan-hutan kecil, kembali ke

kampung halamannya, Tingkir. Betapa pun penyesalan itu

menghentak-hentak dadanya, namun semuanya itu telah berlalu.

Keputusan Baginda telah dijatuhkan atasnya. Dan ia tidak akan

dapat mengubahnya. Namun betapapun juga, masih tersimpan

harapan di dalam hatinya, bahwa suatu ketika Baginda akan

mengampuninya. Bukankah Baginda berkata bahwa ia dibuang

dari Demak sampai keputusan itu dicabut? Bukankah dengan

demikian, ia masih dapat mengharap Baginda mencabut

keputusannya?

Tetapi seandainya tidak pun, maka ia tidak akan bersakit hati

kepada Baginda. Baginda telah cukup melimpahkan kasih

sayangnya kepadanya. Tetapi apabila dikenangnya Tumenggung

Prabasemi, maka dadanya seakan-akan meledak karenanya.

Kadang-kadang timbul juga penyesalannya, kenapa Tumenggung

Page 83: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 98

yang gila itu tidak dibunuhnya? Bagaimanakah kelak, apabila

maksud Tumenggung itu, karena kelicikannya dapat tercapai?

Terdengar Karebet menggeretakkan giginya. Ia tidak akan dapat

melihat putri itu dipersandingkan dengan Tumenggung yang gila

itu. “Akan aku bunuh ia di persandingan,” geramnya.

Karebet berjalan terus siang dan malam. Hanya kadang-

kadang saja ia berhenti. Menikmati sejuknya udara di hutan-hutan

yang rindang. Mendengarkan burung bernyanyi. Namun kalau

didengarnya suara angin berdesir lembut, maka hatinya pun

berdesir pula. Sekali-kali dikenangnya suara putri Baginda yang

lembut di telinganya.

“Hem!” Karebet menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa aku

sekarang berpenyakit gila? Bukankah penyakit ini telah hampir

sembuh ketika aku berada di Karang Tumaritis?”

Namun betapa pedih hati anak muda itu. Pedih sebagaimana

anak muda yang dipisahkan dari seorang gadis yang telah

menambat hatinya, pedih sebagai seorang prajurit yang diusir dari

keprajuritannya.

“Salahku, salahku sendiri,” gumamnya.

Karebet pun kemudian berjalan terus. Ia ingin cepat-cepat

sampai ke Tingkir untuk mencium tangan ibu angkatnya. Akan

diciumnya tangan itu sebagai pelepas pedih hatinya yang selama

ini seakan-akan menjadi semakin parah.

Namun ketika Karebet itu sudah semakin dekat dengan

Tingkir, terasa ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh hatinya.

Firasatnya sebagai seorang yang selalu berkeliaran di tempat-

tempat yang berbahaya telah memperingatkannya untuk berhati-

hati. Dan sebenarnyalah, sesaat kemudian terasa bahwa jalan di

hadapannya yang melintas hutan yang tidak begitu lebat itu,

tampak tidak sewajarnya. Jalan itu terlalu sepi. Ia tidak melihat

seekor burungpun yang terbang melintas, atau seekor bintang

kecil lainnya yang berlari-lari menyeberangi jalan. Karena itu,

Page 84: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 98

Karebet menghentikan langkahnya. Kemudian terdengar ia

bergumam, “Kalau kesepian itu disebabkan karena binatang buas,

maka biasanya harimau atau ular besarlah sebabnya. Tetapi kalau

ada sebab lain, maka tak tahulah.”

Maka Karebet pun kemudian bersiap-siap menghadapi setiap

kemungkinan. Harimau, ular atau apa saja. Tetapi untuk beberapa

lama tak ada apapun yang dilihatnya. Meskipun demikian,

kesepian itu masih meragukannya.

Dengan demikian, maka Karebet tidak mau berjalan maju lebih

jauh lagi. Bahkan kemudian dengan tenangnya ia duduk bersandar

pada sebuah pohon. Namun segenap panca indranya telah

dipasangnya baik-baik. Setiap desir angin yang betapa pun

lirihnya, pasti akan didengarnya, dan setiap gerak yang betapa pun

lembutnya, pasti dilihatnya.

Tetapi alangkah terkejutnya anak muda itu. Ia mendengar

suara berdesir di belakangnya. Didengarnya pula dengus nafas

perlahan-lahan. Namun samasekali bukan nafas harimau atau pun

dengus ular. Nafas itu adalah nafas seseorang.

“Aneh,” kata Karebet di dalam hatinya. “Kalau sebab daripada

kesenyapan itu adalah manusia. Bukankah jalan ini sering dilewati

orang dari dan ke Tingkir? Dan bukankah manusia tidak akan

menakut-nakuti binatang-binatang kecil itu?” Namun akhirnya

Karebet sampai pada kesimpulannya bahwa, “Manusia pun

mungkin pula. Mereka pasti berada di dalam semak-semak. Pasti

lebih dari satu sehingga binatang-binatang menjadi ketakutan.”

Karena kesimpulannya itulah maka kemudian Karebet menjadi

lebih berhati-hati. Manusia, apalagi lebih dari satu, baginya akan

lebih berbahaya daripada harimau atau binatang-binatang lain.

Dan apa yang diduganya itu segera terjadi. Ketika Karebet

mendengar langkah seseorang meloncat di belakangnya, maka

segera ia pun melenting tegak pada kedua kakinya yang kokoh

kuat. Kini di hadapannya berdiri seseorang yang bertubuh tinggi

Page 85: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 98

tegap dan berdada bidang. Dari sela-sela bajunya tampak rambut

yang lebat tumbuh di dadanya. Alangkah terkejutnya Karebet

melihat orang itu, sehingga dengan serta merta ia menyapanya,

“Kakang Sembada?”

Sembada tersenyum. “Ya akulah,” jawabnya.

Karebet mengerutkan keningnya. Ia melihat wajah Sembada

yang garang, karena itu segera ia dapat menyangka, bahwa

kedatangannya bukanlah dengan maksud yang baik. Tetapi

Karebet tidak mau segera berprasangka jelek. Dicobanya

kemudian untuk menghilangkan setiap kesan yang gelap dari

wajahnya. Dengan senyum kecil Karebet kemudian berkata,

“Kedatangan Kakang sangat mengejutkan aku.”

Wajah Sembada masih tetap garang. Bahkan kemudian

dengan tajamnya ia memandangi tubuh Jaka Tingkir itu. “Hem.

Tidak seberapa besar,” katanya di dalam hati. “Apakah dalam

tubuh itu benar-benar tersimpan Aji Lembu Sekilan?”

Karena Sembada tidak segera menjawab, maka Karebet

bertanya pula, “Apakah keperluan Kakang, sehingga Kakang

sampai kemari?”

Sembada menggeram. Ia ingin segera menyelesaikan

pekerjaannya. Karena itu ia tidak berbicara melingkar-lingkar.

Langsung saja dikatakannya apa yang dikehendaki. Dengan nada

datar ia berkata, “Karebet, aku adalah sraya Adi Tumenggung

Prabasemi.”

Dada Karebet segera berdesir. Cepat ia dapat menebak.

Apakah sebenarnya maksud Sembada itu. Namun ia masih juga

bertanya, “Apakah yang harus Kakang lakukan?”

Sembada menarik nafas. Kemudian setelah menenangkan

getar dadanya ia berkata, “Aku harus membunuh kau.”

Page 86: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 98

Meskipun Karebet telah menyangka, namun pengakuan yang

tiba-tiba itu mengejutkannya juga. Sesaat ia terpaku diam.

Ditatapnya wajah Sembada yang garang itu.

“Jangan mempersulit pekerjaanku, Karebet. Aku dan kau tidak

pernah mempunyai persoalan apapun. Aku tidak pernah menyakiti

hatimu, dan kau tidak pernah menyakiti hatiku pula. Karena itu,

marilah kita saling berbaik hati. Tolonglah pekerjaanku kali ini

supaya segera selesai. Nanti aku akan mendapat sebuah kamus

bertimang emas tretes berlian,” berkata Sembada.

Karebet mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian

jawabnya dalam nadanya yang khusuk, “Baik Kakang. Baiklah aku

menolongmu. Tetapi aku harus mendapat separo dari kamus dan

timang itu.”

Sembada mengerutkan keningnya. “Hem..”, geramnya dan

kemudian katanya di dalam hati, “Anak ini benar-benar anak yang

luar biasa. Tanggapannya atas bahaya yang dihadapi masih saja

seperti menyongsong datangnya kekasih.” Namun Sembada tidak

mau terpengaruh oleh wibawa Joko Tingkir. Karena itu ia

membentak, “Aku tidak sedang berkelakar, Karebet.”

Justru Karebet yang aneh itu kini tertawa. Katanya, “Kita tidak

pernah saling menyakiti hati masing-masing. Jangan membentak-

bentak, Kakang. Lebih baik kita bergurau setelah kita lama tidak

bertemu.”

“Diam!” bentak Sembada yang samasekali tidak berhasil

menakut-nakuti Karebet. Meskipun demikian sekali lagi ia

menggertak, “Hem.. mati dan mati ada seribu jalan. Apalagi di

hutan ini. Di pembaringan pun orang dapat sekarat. Ayo,

tundukkan kepalamu supaya kau tidak mengalami derita di saat-

saat terakhir.”

Sembada menjadi marah bukan buatan ketika Karebet

malahan tertawa bergelak-gelak. Dengan memegang perutnya,

anak muda itu berkata, “Ah, Kakang. Masih saja Kakang teringat

Page 87: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 98

akan pekerjaan Kakang. Kita sekarang tidak sedang berada di

pembantaian, Kakang.”

Wajah Sembada menjadi merah padam. Namun sebelum ia

membentak-bentak lagi, Karebet pun terkejut. Ia mendengar desir

di semak-semak. Karena itu maka katanya di dalam hati. “Benar

dugaanku. Tidak hanya seorang.”

Dan sesaat kemudian Karebet menggeser kakinya. Dari sisinya

melontarlah seorang yang akan lebih tua dari Sembada. Namun

tampaklah betapa orang itu jauh lebih tenang dan meyakinkan.

Orang itulah Kiai Sambirata.

Dengan lemahnya Kiai Sambirata menganggukan kepalanya.

Dan dengan sareh ia berkata, “Apakah Angger yang bernama

Karebet?”

Karebet mengangguk. Namun terasa bahwa ia harus lebih

waspada karenanya. Meskipun ia tidak bergerak dari tempatnya,

namun ia benar-benar tidak mau menjadi lembu bantaian. Karena

itu segera dengan diam-diam diterapkannya Ajinya yang dahsyat,

Lembu Sekilan.

Sambirata melihat wajah Karebet yang tegang. Tetapi ia tidak

segera menyadari, bahwa dengan sikap yang sederhana itu,

Karebet telah matek Ajinya Lembu Sekilan. Karena itu, masih saja

Kiai Sambirata yang terlalu percaya kepada dirinya itu berkata,

“Benarkah aku berhadapan dengan Angger Jaka Tingkir?”

Karebet mengangguk, “Ya. Akulah Karebet, yang juga disebut

orang, Jaka Tingkir.”

Kiai Sambirata mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akulah

yang bernama Sambirata.”

Karebet memandang orang itu dengan seksama. Di Demak,

nama itu memang pernah didengarnya. Tetapi ia tidak pernah

menaruh perhatian. Kini tiba-tiba orang itu datang kepadanya

dengan maksud yang tidak sewajarnya. Dengan demikian, maka

Page 88: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 98

Karebet itu benar-benar harus berhati-hati. Ia tahu benar benar

bahwa Sembada adalah kakak seperguruan Prabasemi dan

Sambirata adalah orang yang kurang disenangi oleh masyarakat

Demak karena pekerjaannya. Ternyata kini mereka berdua

bergabung untuk melenyapkannya. Meskipun demikian

sebenarnya Karebet samasekali tidak gentar. “Kalau perlu,”

katanya, “aku terpaksa membunuh untuk mempertahankan

hidupku.”

Yang berbicara kemudian adalah Sambirata. “Angger. Baiklah

aku berterus terang. Kami berdua dengan beberapa murid-

muridku datang untuk membunuh Angger. Kalau Angger ingin

mencoba, lawanlah kami. Kami tidak mampunyai banyak waktu.”

Sekali lagi Karebet terkejut. Ternyata mereka tidak hanya

berdua. Tetapi justru karena itu timbullah marahnya. Wajahnya

yang riang menjadi kemerah-merahan karena nyala api

kemarahan yang membakar dadanya. Dengan lantang anak dari

Tingkir itu menjawab, “Paman dan Kakang Sembada. Kita adalah

manusia yang mempunyai sifat mempertahankan hidup yang

dikaruniakan kepada kita. Aku harus mencoba mempertahankan

hidup itu sekuat-kuat tenagaku. Kalau Yang Maha Esa berkenan,

maka jangan menyesal kalau kalian berdualah yang akan

mendahului aku.”

“Jangan membual. Meskipun kau kekasih Jim, Setan, Peri,

Prayangan, namun kalau tidak mampu menangkap angin, jangan

mencoba menengadahkan kepalamu,” bentak Sembada dengan

kasarnya.

“Langit dan bumi menjadi saksi. Kalau terjadi pertumpahan

darah di sini, bukan akulah yang bersalah,” sahut Karebet.

Sembada sudah tidak dapat menahan diri lagi. Timang emas

bertretes berlian benar-benar menarik hati, apalagi anak muda itu

benar-benar telah membakar telinganya. Karena itu, cepat-cepat

ia meloncat dan memukul dada Karebet sekuat-kuatnya. Karebet

Page 89: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 98

melihat gerak Sembada itu, namun ia samasekali tidak

menghindarinya. Namun wajahnya menjadi tegang dalam

penerapan ajian yang setinggi-tingginya, daya pertahanan dalam

Aji Lembu Sekilan.

Tenaga Sembada adalah tenaga yang luar biasa kuatnya.

Namun ia masih mempergunakan kekuatan jasmaniah melulu.

Karena itu, ketika tangannya membentur dada Karebet alangkah

terkejutnya. Karebet itu masih saja tegak seperti tonggak. Sedang

kedua kakinya yang kokoh kuat seakan-akan berakar jauh

menghujam ke pusat bumi.

Bahkan terasa, seakan-akan tangan Sembada itu menghantam

sesuatu yang tak dapat dilihatnya. Tetapi tangannya itu seakan-

akan samasekali tidak menyentuh dada Karebet.

Ketika ia menyadari serangannya itu gagal, maka segera ia

meloncat surut. Dengan marahnya ia menggeram, sambil

menunjuk wajah Karebet itu dengan ujung jarinya. “Setan,

gendruwo. He Karebet. Apa kau sangka Aji Lembu Sekilan itu tak

akan terlawan?”

Karebet tidak menjawab. Namun sekilas ia melihat Sambirata

bergeser. Orang itu menghentakkan kedua tangannya dan dengan

satu gerakan yang cepat, tangan itu ditariknya ke samping.

“Hem,” geram Karebet. “Aji apalagi yang akan kau pamerkan?”

Sambirata benar-benar tersinggung. Ia memang memiliki

kekuatan yang melampaui kekuatan orang-orang kebanyakan.

Dengan pemusatan pikiran dan kehendak, maka Sambirata dapat

menyalurkan kekuatan itu. Namun ia samasekali tak peduli,

apakah nama dari kekuatan yang tersimpan dalam dirinya. Dan

Sambirata memang tidak berpikir tentang nama itu meskipun

dahulu gurunya menyebutnya, Aji Wilet, namun yang dimilikinya

telah banyak mengalami perubahan, sehingga ia tidak

menyebutnya demikian. Tetapi betapa pun juga, ia mampu

menerapkan ilmunya yang dahsyat itu. Ketika ia menyadari,

Page 90: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 98

bahwa lawannya sejak permulaan itu telah mempergunakan Aji

Lembu Sekilan, maka Sambirata pun segera mempergunakan

ilmunya itu.

Dengan serta merta, Sambirata meloncat pula dan langsung

memukul wajah Karebet. Karebet melihat serangan itu, dan ia pun

menyadari, bahwa Sambirata tidak sekadar menyerangnya dengan

tenaganya, namun pasti sudah dilambari dengan suatu ilmu yang

berbahaya. Karena itu, Karebet pun segera menarik diri satu

langkah ke samping, sehingga serangan Sambirata dapat

dihindari. Namun Sambirata benar-benar lincah. Sekali lagi ia

melenting seperti sikat, dan Karebet tidak sempat untuk

menghindari, ketika kaki Sambirata itu langsung menghantam

lambungnya.

Terjadilah suatu benturan yang tajam, antara kekuatan ilmu

Sambirata melawan Lembu Sekilan. Akibatnya pun dahsyat pula.

Dan sekali ia berguling. Sedang Sambirata pun terdorong oleh

kekuatannya sendiri yang seakan-akan membentur dinding baja.

Terasa pula dadanya menjadi pedih. Karena itu segera ia

memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk melawan

tekanan yang seakan-akan menghentak-hentak di dalam dadanya

itu.

Karebet yang baru saja berhasil menguasai dirinya, setelah Aji

Lembu Sekilan berhasil ditembus, meskipun tidak terlalu

berbahaya oleh Sambirata, terkejut sekali melihat serangan

Sembada. Sekilas ia masih sempat melihat Sembada itu

menjulurkan kedua tangannya ke belakang, sedang kedua

tangannya kemudian mengepal di lambungnya.

“Seperti yang dilakukan Prabasemi,” geramnya. Namun

serangan itu telah tiba, sedemikian cepatnya, sehingga kali inipun

Karebet tidak dapat menghindar. Karena itu, maka sekali lagi Aji

Lembu Sekilan yang baru saja digoncangkan oleh Sambirata itu

kembali berguncang. Aji Sembada menembus Aji Lembu Sekilan

yang belum mapan kembali.

Page 91: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 98

Sekali lagi Karebet berguncang dan terbanting di tanah. Kali

ini ia harus berguling beberapa kali untuk mendapatkan jarak dari

lawan-lawannya. Namun sekali lagi Karebet terkejut. Tiba-tiba saja

ia melihat beberapa orang bersama-sama muncul dari dalam

belukar di sekitarnya. Mereka berebutan menyerangnya dengan

pedang pendek, seperti ingin mencincangnya.

Namun Karebet adalah seorang yang aneh, yang memiliki

ketangkasan dan keperkasaan yang mengagumkan. Ketika ia

melihat serangan itu datang, maka secepatnya ia melanting

berdiri, dan dengan sekali loncat, ia telah berhasil menjauhkan

dirinya dari orang-orang itu. Tetapi kemudian datanglah serangan

Sambirata memotong gerakannya.

Karebet menggeram. Betapa ia menjadi marah bukan main.

Kini ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Kalau ia terpaksa membunuh,

maka sekali lagi ia meyakinkan dirinya, bukan salahnya.

Dengan demikian, maka kembali Karebet menerapkan Aji

Lembu Sekilan dalam puncak kemampuannya. Ia sadar bahwa

Sambirata masih akan berhasil menembus ajiannya itu. Namun

pasti tidak akan berbahaya. Juga Sembada tidak akan

membahayakan jiwanya. Tetapi senjata-senjata tajam itu pun

perlu mendapat perhatiannya. Dengan kekuatan yang baik, maka

senjata tajam itu pun akan mampu menembus benteng

pertahanannya, meskipun tidak akan dapat membunuhnya dengan

sekali tusuk. Namun kalau luka itu menjadi bertambah-tambah

dan darahnya mengalir terlalu banyak, maka keadaan itu pun pasti

akan menimbulkan bahaya.

Kini Karebet itu pun sudah siap dengan puncak

keterampilannya. Seperti sikatan berloncatan di rerumputan hijau.

Karebet menghindari setiap serangan lawannya, dan bahkan

beberapa orang telah terpelanting dan terbanting jatuh. Namun

sentuhan-sentuhan Karebet yang harus mempertahankan diri dari

setiap serangan itu, maka tekanan-tekanan lawan-lawannya masih

saja terasa menjadi semakin berat. Meskipun demikian Karebet

Page 92: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 98

samasekali tidak gentar. Ia melihat, bahwa hanya dua orang di

antara mereka yang harus mendapat perhatiannya yang khusus.

Sambirata dan Sembada dari Kedung Wuni.

Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin lama

semakin seru. Beberapa orang murid Sambirata itu samasekali tak

berdaya menghadapi kelincahan Karebet. Mereka menjadi benar-

benar tidak dapat mengerti, bahwa setiap kali mereka menusukkan

pedang-pedang mereka, maka seakan-akan mereka samasekali

tak menyentuh tubuh lawannya, meskipun lawannya tidak

berusaha untuk menghindar. Hanya dalam kesempatan-

kesempatan yang sangat baik, selagi mereka sempat

mengerahkan segenap kekuatannya, maka pedangnya dapat

menggores kulit Karebet. Dan beberapa tetes darah mengalir dari

luka itu.

Namun setiap tetes darah yang tumpah, seakan-akan

merupakan tetesan minyak yang menyirami api kemarahan di

dalam dada anak muda dari Tingkir itu. Betapa kemudian ia tidak

lagi mengendalikan dirinya. Dengan kecepatannya bergerak, maka

ia pun segera berhasil menjatuhkan beberapa lawannya. Murid-

murid Sambirata itu, jatuh bangun tak henti-hentinya. Sekali-kali

mereka merasa bahwa lawannya yang hanya seorang itu akan

segera binasa. Namun lain kali, seakan-akan terasa gunung runtuh

menimpa dadanya. Seperti beribu-ribu kunang terbang di sekitar

rongga mata mereka. Dalam kesesakan nafas itu, mereka sekali-

kali mendengar kawan-kawannya yang mengaduh, dan jatuh

menimpanya.

Apabila seorang di antara mereka mampu merangkak bangun,

maka seorang yang lain terbanting jatuh. Sehingga mereka

seakan-akan samasekali tak berarti. Tetapi mereka sedang

bertempur di hadapan guru mereka. Betapa pun pungggung

mereka serasa telah patah, tetapi dengan kekuatan-kekuatan

mereka yang terakhir, mereka masih juga mencoba bangun.

Berdiri dan bergeser setapak demi setapak di sekitar perkelahian

Page 93: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 98

itu, untuk sesaat kemudian dada mereka serasa meledak karena

sentuhan-sentuhan tangan atau kaki Karebet.

Dalam saat-saat berikut-

nya, meskipun tampaknya

beberapa orang masih juga

berdiri mengitari tempat per-

kelahian itu, namun se-

benarnya tidak lebih dari

Sembada dan Sambirata ber-

dualah yang berkelahi mati-

matian. Dengan kekuatan

ajian masing-masing, mereka

mencoba untuk membunuh

anak yang aneh itu.

Dalam pada itu, Karebet

pun merasakan tekanan-

tekanan yang berat dari kedua

orang itu. Mereka masing-

masing ternyata tidak lebih

dari Tumenggung Prabasemi. Namun karena kekuatan mereka

bergabung, maka Karebet benar-benar meng-hadapi pekerjaan

yang sangat berat. Aji Lembu Sekilan nya terasa sesekali

terguncang. Dan sekali-kali terasa bahwa dalam kesempatan-

kesempatan itu, kekuatan-kekuatan ajian lawannya berganti-ganti

dapat menembusnya meskipun tidak terlalu dalam. Namun apabila

hal itu berlangsung lama, maka ada kemungkinan pertahanannya

menjadi semakin lemah.

Meskipun orang-orang lain, kecuali kedua orang itu hampir tak

berarti bagi Karebet, namun mereka telah memecahkan beberapa

pemusatan perhatiannya. Sehingga sesaat kemudian dengan

penuh kemarahan, maka orang-orang itu satu demi satu

dilumpuhkannya.

Page 94: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 98

Dan kini yang terakhir adalah Sembada dan Sambirata.

Keduanya tampaknya masih cukup segar utuk melawannya.

Meskipun kedua orang itu pun sebenarnya menjadi gelisah pula

menghadapi Aji Lembu Sekilan.

Kini Karebet benar-benar dapat memusatkan segenap

perhatiannya. Sekali-kali ia berpaling kepada orang-orang yang

bergelimpangan disana-sini. Ada di antara mereka yang masih

mencoba bangkit, namun ternyata tenaga mereka seakan-akan

telah terhisap habis, sehingga kembali mereka tak berdaya jatuh

di tanah.

Sambirata yang melihat muridnya tak berdaya itu mengumpat

tak habis-habisnya, katanya, “Tikus-tikus malang. Ternyata kalian

samasekali tak dapat dibanggakan sebagai seorang murid

Sambirata.”

Murid-murid itu pun mengeluh di dalam hati. Tetapi mereka

bergumam pula di dalam hati. “Jangankan aku, sedang guru

sendiri pun tidak juga segera dapat menguasai lawan yang hanya

seorang itu.”

Karebet kemudian samasekali tak memperhatikan lagi mereka

yang telah terkapar di tanah. Yang dihadapinya kini adalah

Sembada dan Sambirata. Kedua orang ini benar-benar berhasrat

akan membunuhnya.

Sesaat kemudian pertempuran pun berkobar pula dengan

sengitnya. Sembada dan Sambirata berjuang dengan sepenuh

tenaga. Meskipun mereka bukan datang dari perguruan yang

sama, namun mereka segera dapat menyesuaikan diri mereka.

Berganti-ganti mereka menyerang dengan kedahsyatan ajian

masing-masing. Seperti sepasang burung alap-alap yang

menyambar-nyambar mangsanya.

Tetapi Karebet benar-benar memiliki kelincahan yang tak

mereka sangka-sangka, disamping perisainya yang luar biasa Aji

Lembu Sekilan. Betapa dahsyatnya serangan-serangan Sembada

Page 95: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 95 of 98

dan Sambirata, namun Mas Karebet itu masih saja mampu

mempertahankan dirinya.

Meskipun demikian, sekali-kali pertahanannya terguncang pula

oleh kekuatan-kekuatan Aji lawannya. Sehingga sekali-kali Mas

Karebet mampu pula didorongnya jatuh. Namun demikian ia jatuh

segera ia melanting berdiri, siap melawan dengan lambaran

ilmunya, Lembu Sekilan.

Tetapi betapapun Karebet berjuang dalam keadaannya itu,

namun ternyata bahwa lawannya bukan seorang Prabasemi. Tetapi

kini lawannnya yang berjumlah dua orang itu, ternyata berhasil

menggabungkan kekuatan mereka dengan baiknya. Sehingga

sekali-kali mereka berdua berhasil bersama-sama

menghantamkan kekuatan ajinya atas tubuh Mas Karebet yang

masih muda itu.

Dengan demikian, maka Mas Karebet itu semakin lama

menjadi semakin terdesak karenanya. Dan tekanan ini telah

membakar jantungnya. Kemarahan semakin lama menjadi kian

memuncak, seakan-akan telah mendidihkan seluruh darahnya. Ia

tidak mau mati karena pokal Prabasemi.

Meskipun pusat kemarahannya berkisar kepada Tumenggung

Prabasemi, dan meskipun disadarinya bahwa kedua orang yang

datang bersama murid-muridnya itu tidak lebih dari orang-orang

suruhan yang ingin mendapatkan upah karena perbuatannya itu,

namun apabila tak dimilikinya cara lain, maka cara satu-satunya

untuk menyelamatkan dirinya adalah membunuh lawan-lawannya.

Karena itu, Karebet yang marah itu, masih mencoba untuk

mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukannya.

Kalau ia terpaksa membunuh, dan perbuatannya itu didengar oleh

Sultan, maka apakah Sultan tidak menjadi semakin murka

kepadanya.

Karena itu, maka untuk terakhir kalinya Karebet itu mencoba

mencegah bencana yang semakin berlarut-larut. Katanya, “Kakang

Page 96: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 96 of 98

Sembada. Aku minta kakang berpikir sekali lagi, apakah yang

kakang lakukan itu sudah kakang anggap benar?”

Sembada masih menyerang Karebet dengan dahsyatnya.

Meskipun demikian ia sempat juga menjawab, “Jangan banyak

bicara. Aku bukan anak-anak.”

Dengan tangkasnya Karebet menghindari serangan yang

ganas itu. Namun tiba-tiba Sambirata memotong geraknya sambil

berputar setengah lingkaran. Tangan Sambirata yang terjulur itu

tidak mengenai sasarannya, tetapi cepat ia meloncat sekali lagi.

Ajinya yang dahsyat terayun tepat mengarah tengkuk Karebet.

Karebet masih berusaha untuk menghindar, namun

kesempatannya terlalu sempit. Yang dapat dilakukan adalah

meloncat surut selagi ia masih berjongkok. Gerakan-gerakan

khusus yang sulit dilakukan oleh orang lain. Karena itu Sambirata

terkejut bukan buatan. Sekali lagi serangannya tak mengenai

lawannya.

Tetapi dalam pada itu Sembada telah siap dengan serangannya

pula. Demikian Karebet menyentuh tanah, Sembada meloncat

dengan cepatnya melontarkan Aji Sapu Anginnya kearah

punggung lawannya. Kali ini kesempatan Karebet benar-benar

sangat sempit. Karena itu ia hanya dapat berputar dan dengan

puncak kekuatan Aji Lembu Sekilan yang dimiliki ia melawan

pukulan Aji Sapu Angin. Ternyata dengan gerakan yang pendek

itu, pukulan Sembada tidak tepat mengenai sasarannya.

Tangannya itu hanya mampu menyentuh pundak Karebet. Sedang

pundak Karebet telah dilindungi pula oleh Lembu Sekilan, sehingga

pukulan yang melesat itu samasekali tak mampu menerobos

perisai Karebet yang dahsyat itu.

Sembada menggeram. Namun kali ini serangan Karebetlah

yang menyambar perutnya. Dengan berputar pada satu kakinya,

Karebet membuat serangan dengan kakinya menyambar lawannya

dengan dahsyatnya. Sedangan yang tidak disangka-sangka.

Karena itu, maka Sembada dengan tergesa-gesa meloncat surut.

Page 97: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 97 of 98

Namun Karebet tidak membiarkannya, sekali ia meloncat maju,

dan sekali lagi kakinya menjulur lurus kedada lawannya. Serangan

itu sedemikian cepatnya, sehingga Sembada tak mampu lagi untuk

mengelak. Karena itu, maka dengan sepenuh tenaga, dilawannya

serangan Karebet itu dengan Aji Sapu Angin, sehingga terjadilah

benturan yang dahsyat antara Aji Lembu Sekilan yang melindungi

serangan Karebet, melawan Aji Sapu Angin.

Sembada itu pun tergetar surut beberapa langkah, namun

Karebet pun terlontar pula mundur. Aji Lembu Sekilan dalam

patrap penyerangan memang tidak sekuat dalam patrap

pertahanan. Karena itu terasa pula, nyeri-nyeri menjalari tubuh

anak muda dari Tingkir itu. Apalagi sesaat kemudian Sambirata

telah melontarkan serangannya pula, sehingga Karebet yang

belum memiliki keseimbangan yang mantap itu terpaksa

menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali menghindari

kekuatan Aji Sambirata.

Keadaan Karebet semakin lama benar-benar menjadi semakin

sulit. Aji Lembu Sekilannya beberapa kali telah berhasil

digoncangkan oleh kekuatan Aji kedua lawannya bersama-sama.

Meskipun demikian ia masih berteriak. “Kakang Sembada dan

paman Sambirata. Aku kini memperingatkan kalian untuk yang

terakhir kalinya. Pergilah dan katakan kepada Prabasemi bahwa

Karebet telah mati. Aku tidak akan datang ke Demak sebelum

Sultan mengampunkan kesalahanku. Dalam waktu yang tidak

tertentu itu, mudah-mudahan Prabasemi telah melupakan

dendamnya kepadaku.”

Yang terdengar kemudian adalah suara Sembada dan

Sambirata tertawa hampir bersamaan. Tetapi suara Sembada yang

lebih kasar dari Sambirata itu ternyata jauh lebih keras. Katanya

diantara gelak tawanya, “Hai anak yang bernasib jelek. Sesaat

sebelum kau mati, kau masih punya waktu untuk menyombongkan

dirimu.”

Page 98: 27 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 98 of 98

Dan terdengar Sambirata berkata pula, “Angger ternyata

menyadari kesulitan yang angger alami. Menyerahlah supaya

angger tidak menjadi lelah. Perjalanan ke akhirat masih panjang,

dengan demikian angger masih menyimpan sisa tenaga untuk

perjalanan itu.”

Karebet menjadi marah bukan alang kepalang. Matanya kini

memancar hijau kebiru-biruan sebagaimana sinar mata harimau

dikegelapan. Dengan parau terdengar suaranya gemetar karena

marah, “kalau begitu terserahlah. Aku tidak mau mati. Bagiku lebih

baik membunuh daripada dibunuh tanpa sebab.”

Sekali lagi Sembada dan Sambirata tertawa. Tetapi tiba-tiba

suaranya terputus karena melihat Karebet meloncat mundur.

Dengan pancaran mata yang aneh, biru kehijauan Karebet

memandang kedua lawannya berganti-ganti. Kemudian dengan

wajah tegang anak muda itu menggosokkan kedua telapak

tangannya, meloncat dengan garangnya dan tegak diatas kedua

kakinya yang renggang. Sesaat kemudian ditekuknya kedua

lututnya, siap melontarkan serangan yang dahsyat, aji Rog-rog

Asem.