18 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 94
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 94
I
asingsingan melihat perubahan wajah Mahesa Jenar itu.
Karena itu ia curiga. Ia tidak tahu siapakah yang datang
berkuda itu. Dengan penuh perhatian ia mencoba mengetahui,
kira-kira berapa orang yang akan datang pula ke tempat itu.
Telinganya yang tajam segera dapat mengetahui bahwa derap
kuda itu tidak akan lebih dari lima atau enam. Dengan demikian ia
dapat mengira-ira kekuatan rombongan itu. Tetapi karena otak
Pasingsingan sedang terganggu oleh bayangan-bayangan yang
mencemaskan hatinya, bayangan bayangan Pasingsingan tua,
Radite, dan Anggara, maka tiba-tiba menjalarlah dugaannya
kepada salah seorang dari mereka. Apakah didalam rombongan itu
akan datang pula Radite atau Anggara? Atau malah kedua-
duanya…? Seandainya bukan mereka sekalipun, semakin banyak
orang yang harus dilawannya, semakin kecil pula kemungkinan
yang dapat diperoleh untuk memenangkan pertempuran ini. Sebab
ia yakin bahwa seandainya ia pun pasti tidak akan tinggal diam.
Karena itu disamping Mahesa Jenar sendiri, kehadiran orang lain
di perkemahan itu akan dapat menambah kesulitan bagi
Pasingsingan. Apalagi kalau ia mengetahui, bahwa yang datang itu
adalah seekor burung rajawali yang perkasa, yang bahkan
melampaui keperkasaan Mahesa Jenar, lawannya yang
mencemaskan hatinya itu.
Karena itulah maka akhirnya dengan kecewa Pasingsingan
terpaksa melihat kenyataan-kenyataan itu. Sebagai seekor
serigala yang ganas, ia tidak mau mati di dalam kandang kelinci.
Maka ketika didengarnya bahwa telapak kuda itu dengan lajunya
mendekati perkemahan itu, tiba-tiba Pasingsingan menggeram
keras sekali. Mahesa Jenar pun segera bersiap menghadapi setiap
kemungkinan. Matanya tidak bergeser dari ujung pisau belati
Pasingsingan yang berwarna kuning kemilau.
Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba hantu
berjubah abu-abu itu seperti terbang melontar mundur, dan
P
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 94
dengan kecepatan luar biasa ia memutar tubuhnya dan meluncur
seperti dihembus badai. Mahesa Jenar untuk beberapa saat
tertegun heran. Karena itulah ia kehilangan waktu untuk
mengejarnya. Meskipun kemudian Mahesa Jenar dengan
kecepatan yang tak kalah dari kecepatan Pasingsingan meloncat
mengejarnya, namun hantu itu telah lenyap di dalam semak-
semak, berselimut kehitaman malam.
Sementara itu, derap kaki-kaki itu sudah semakin dekat. Dan
tiba-tiba dari dalam gelap tersembullah beberapa orang
penunggang kuda. Yang paling depan adalah Kebo Kanigara yang
masih melekatkan hampir seluruh tubuhnya pada punggung
kudanya. Demikian kuda itu masuk ke halaman perkemahan itu,
dengan sigap para penunggangnya segera menarik kekangnya,
sehingga kuda-kuda itu meringkik dan berdiri pada kedua kaki
belakang. Demikian kuda itu meletakkan kedua kaki mereka,
sedemikian para penunggangnya berloncatan turun.
Ketika Endang Widuri melihat ayahnya datang, segera ia
meloncat berlari ke arahnya sambil berteriak, “Ayah, sayang ayah
terlambat.”
Melihat putrinya berlari-lari menyongsong, dada Kebo
Kanigara serasa tersiram embun. Namun ia menjadi sedikit ragu
mendengar kata-kata itu, sehingga terlontarlah pertanyaannya,
“Apa yang terlambat?”
Widuri kemudian dengan manjanya memeluk lambung
ayahnya sambil menjawab, “Baru saja kami menonton pertunjukan
yang luar biasa.”
“Pertunjukkan apa?” desak ayahnya tidak sabar.
“Paman Mahesa Jenar bermain sulap melawan tukang sihir
berjubah abu-abu,” jawab gadis itu.
Mendengar keterangan Endang Widuri, Kebo Kanigara menarik
nafas. Terdengarlah ia berdesis perlahan, “Pasingsingan…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 94
Tetapi ia sudah tidak terkejut lagi, sebab ia memang sudah
menduga sebelumnya, bahwa guru Lawa Ijo itu berada di
perkemahan.
“Di mana pamanmu sekarang?” tanya Kebo Kanigara.
“Paman mengejar tukang sihir itu,” jawab Endang Widuri.
Sementara itu yang lain pun telah berdiri mengitarinya.
Dengan penuh hormat mereka membungkukkan kepala.
“Adakah kalian selamat?” tanya Kebo Kanigara kepada
mereka.
“Atas pangestu Kakang, kami semua selamat. Karena Adi
Mahesa Jenar tidak terlambat datang,” jawab Mantingan.
Kebo Kanigara masih melihat kesan-kesan yang mencemaskan
pada wajah-wajah mereka. Apalagi pada wajah Rara Wilis yang
hampir-hampir saja hangus oleh aji Alas Kobar, sedang Widuri itu
pun masih kelihatan pucat.
“Apa yang sudah dilakukan?” Kebo Kanigara bertanya pula.
Tetapi sebelum Mantingan sempat menjawabnya, terdengarlah
Endang Widuri berceritera dengan riuhnya, “Setan itu bisa
menjadikan dirinya panas seperti bara, dan dengan suara tertawa
ia dapat merontokkan isi rongga dada. Ah sayang, ayah tidak
melihat kami pada waktu itu. Lucu sekali. Pasingsingan itu sama
sekali tidak berbuat apa-apa kecuali tertawa. Dan kami semuanya
menggigil, bahkan seperti ayam disembelih. Bukankah itu aneh
sekali? Untunglah bahwa Paman Mahesa Jenar dapat
menghentikannya sebelum jantung kami patah karenanya.”
Mendengar ceritera anaknya, Kebo Kanigara mau tidak mau
harus tersenyum. Tetapi kemudian senyumnya terpaksa
ditahannya ketika anaknya itu meneruskan, “Kenapa ayah
tersenyum, sedang kami hampir mati karenanya?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 94
“Bukankah kau sendiri berkata bahwa hal itu adalah lucu
sekali?” bantah ayahnya.
“Tetapi ayah jangan tersenyum. Sebaiknya ayah mengucapkan
ikut berduka cita. Apalagi Bibi Wilis. Ketika bibi mencoba menolong
Paman Mahesa Jenar yang tiba-tiba terbanting karena serangan
Pasingsingan itu, agaknya Bibi Wilis nekad melawan udara panas
yang memancar dari tubuh tukang sihir jahat itu,” sahut Widuri.
Sekali lagi Kebo Kanigara tak dapat menahan senyumnya.
Tanpa disengaja ia memandang ke arah Rara Wilis yang
menundukkan wajahnya. Ia menjadi malu mendengar ceritera
gadis kecil itu. “Aku berkata benar, Ayah....”
Widuri meneruskan sambil merengut. “Paman Mahesa Jenar
itu pun dapat dijatuhkannya, meskipun kemudian terpaksa bangun
kembali.”
“Kenapa terpaksa?” tanya Kebo Kanigara.
“Sebab bibi Rara Wilis hampir terjatuh pula. Kalau tidak,
barangkali Paman Mahesa Jenar masih enak-enak berbaring,
menikmati hangatnya udara yang memancar dari tubuh
Pasingsingan dimalam yang begini dingin,” jawab Widuri.
“Sudahlah… jangan membual,” potong ayahnya.
“Siapa bilang aku membual…?” sahut gadis itu. “Aku berkata
sebenarnya.”
Kebo Kanigara masih saja tersenyum. Tetapi kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Melontarlah di dalam
benaknya perkataan anaknya itu, “Paman Mahesa Jenar itu pun
dapat dijatuhkannya.”
Kemudian kepada Mantingan ia bertanya, “Adakah Mahesa
Jenar selamat?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 94
“Bagi kami” jawab Mantingan, “agak sulit untuk dapat
mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab pertempuran itu berada
jauh dalam tingkatan yang tidak dapat kami capai. Meskipun ia
masih tetap segar dan bahkan sekarang iblis itu sedang
dikejarnya,”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia terkejut ketika
tiba-tiba didengarnya kemersik daun didalam semak-semak.
Kemudian muncullah dari dalam semak itu, seorang laki-laki yang
berjalan perlahan-lahan ke arahnya.
“Mahesa Jenar....” sapa Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya,
Kakang.”
“Bagaimana dengan Pasingsingan?” tanya Kebo Kanigara.
Sambil menggeleng Mahesa Jenar menjawab, “Aku tak berhasil
menangkapnya.”
Kembali Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, “Tak apalah, bukankah ia tidak berhasil menimbulkan
bencana?”
“Pangestu Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Baiklah....” kata Kebo Kanigara seterusnya, “Sekarang
cobalah, bangunkan orang-orang yang terkena sirep itu. Mungkin
pengaruhnya sudah jauh berkurang. Apalagi sumbernya telah
pergi pula.”
Jaladri, Bantaran dan Penjawi tidak menunggu perintah itu
diulangi. Segera mereka pergi berpencaran untuk membangunkan
orang-orang yang tertidur nyenyak karena syarafnya dipengaruhi
sirep yang disebarkan oleh Lawa Ijo.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 94
Sementara itu malam telah sampai di ujungnya. Di kejauhan
sudah terdengar ayam hutan berkokok bersahutan. Sedang langit
telah diwarnai oleh cahaya perak pagi.
Cahaya lintang-lintang telah mulai pudar. Satu-satu mulailah
mereka menghilang dari wajah langit yang biru bersih. Angin pagi
yang berhembus lemah, menggoncang-goncang daun-daun
pepohonan rimba.
“Marilah kita beristirahat,” kata Kebo Kanigara, “Bukankah
kaliah lelah?”
“Semalam aku tidak tidur,” sahut Widuri, “Karena itu aku akan
tidur sehari penuh.”
“Aku tidak percaya,” jawab ayahnya.
“Kenapa?” tanya Widuri.
“Belum lagi matahari sepenggalah, kau pasti sudah bangun
dan bertanya apakah sudah ada makan pagi,” jawab ayahnya.
Widuri tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.
Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan ke pondok yang
disediakan baginya. Yang lainpun kemudian berlalu pula ke tempat
masing-masing. Mantingan berjalan dengan langkah gontai,
sedang Wirasaba seolah-olah tinggal mampu menjerat tubuhnya
dengan lemah. Meskipun sebenarnya ia tidak sedemikian parah
tenaganya, namun peristiwa yang baru saja dilihatnya merupakan
suatu peristiwa yang membekas dalam sekali di dalam hatinya.
Rara Wilis yang masih sangat pucat pun berjalan menyusul Endang
Widuri untuk beristirahat.
Ternyata para anggota laskar Banyu Biru yang tertidur, sudah
tidak lagi dipengaruhi oleh sirep Lawa Ijo. Meskipun masih ada
diantara mereka yang merasa betapa nikmat mimpi yang
diperoleh, namun merekapun kemudian berloncatan bangun ketika
tubuh mereka digoncang-goncang oleh pemimpin-pemimpin
mereka. Beberapa orang malahan menjadi bingung, sedang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 94
beberapa orang lain menjadi cemas dan malu. Lebih-lebih para
petugas yang pada malam itu sedang mendapat giliran jaga. Ketika
mereka meninggalkan gardu pimpinan, mereka mendapat pesan
untuk berhati-hati. Sebab mereka mendapat tanda-tanda buruk
pada siang harinya. Apalagi firasat para pemimpin laskar
Banyubiru itu pun telah memberi mereka peringatan. Tetapi tiba-
tiba pemimpin mereka itu terpaksa membangunkan mereka di saat
fajar hampir pecah. Meskipun demikian, tersangkut pula di dalam
dada mereka sebuah pertanyaan yang tak dapat mereka jawab
sendiri, “Kenapa mereka telah melakukan suatu perbuatan yang
belum pernah mereka lakukan, dan bahkan belum pernah terjadi
didalam perkemahan itu, dimana seorang yang diserahi
tanggungjawab melalaikan tanggungjawab…? Apalagi tidur di saat-
saat penjagaan.”
Tetapi, mereka menjadi agak terhibur ketika mereka
mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka, bahwa
meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka, namun itu
bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Sebab memang pengaruh
sirep Lawa Ijo itu sedemikian tajamnya, sehingga sulitlah untuk
melepaskan darinya.
Ketika para pemimpin Banyu Biru itu kemudian menempatkan
petugas-petugas baru pada titik-titik yang dianggap perlu untuk
mendapat pengawasan, mereka pun berpesan wanti-wanti kepada
para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada.
Mereka diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila
ditemuinya sesuatu yang mencurigakan, apalagi membahayakan.
Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam gardu pimpinan itu
duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan asyiknya.
Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan
Wanamerta. Dengan penuh semangat Jaladri berceritera tentang
apa yang baru saja dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah
dibayangkan, meskipun hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri
sendiri pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat
melirik ke arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 94
melihat Rara Wilis itu bertempur seperti sikatan menyambar
belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang Widuri benar-benar
seperti burung camar yang bermain-main di atas gelombang.
Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata di
keduabelah tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat
digetarkan.
Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah Arya
Salaka. Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan diri, ia
sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya
Salaka melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan bahwa
Arya Salaka mampu mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok
itu. Apalagi Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu
dengan udara panas, meskipun tidak sedahsyat Pasingsingan,
namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh Arya Salaka.
Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan
seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri tingkat ilmu
Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan dengan tingkat ilmu
Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya telah meningkat
sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi.
Di sebuah pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar duduk,
bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari ruangan itu pula,
Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale bambu. Ia pun
ternyata lelah. Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat ia
masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo
Kanigara.
“Aku dengar dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil
mendorongmu jatuh…?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya, Kakang,” jawab Mahesa Jenar. “Semula aku tidak tahu
bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan
berdasarkan ajinya Alas Kobar.”
“Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar
itu?” tanya Kanigara pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 94
“Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi pada
saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas yang melibat
seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam dadaku
getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra
Birawa mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku
kemudian terbebas dari pengaruh udara panas itu. Pada saat aku
mengerahkan getaran-getaran itulah aku dapat dikenai oleh
Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena
aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong itu,
sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga getaran-
getaran itu terganggu.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar,
meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada
penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu
Sasra Birawa ke segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan
pertahanan. Kemudian ia bertanya pula, “Tidakkah iblis itu kau
lumpuhkan dengan Sasra Birawa itu pula? Aku kira ia mempunyai
cukup daya tahan sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan
demikian kau akan dapat menangkapnya hidup-hidup.”
Mahesa Jenar ragu sebentar. Kemudian ia menjawab, “Kakang,
semula aku pun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar
bahwa getaran-getaran ilmuku sedang mengalir ke segenap
tubuhku, aku takut kalau-kalau dengan demikian getaran-getaran
itu harus terhisap kembali untuk kemudian aku salurkan ke sisi
telapak tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas
Kobar itu.”
Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa.
Katanya, “Itulah keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil
menekuni ilmu perguruan Pengging sehingga hampir sempurna,
tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu di dalam perkembangan
yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur yang tak kau kenal
sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau capai
kesempurnaan ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 94
pernah kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau
dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatan-
kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah
kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada kehendakmu.
Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang, bahwa kau
benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila
pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti
mata air yang agung yang tak akan kering meskipun airnya
mengalir siang dan malam ke segenap penjuru.”
Mendengar uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya hati
Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar karena bangga.
Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa ilmu Sasra Birawa
yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak
akan kering di segala musim. Seandainya ia tahu bahwa ia dapat
mempergunakan ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan.
Sebagai manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki
senjata yang dahsyat tiada taranya. Bukankah dengan demikian ia
menjadi seorang yang dapat membebaskan diri dari perasaan sakit
yang disebabkan oleh rangsang dari luar tubuhnya apabila ia
menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa? Meskipun ia tidak
menjadi kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan yang mirip
dengan ilmu kekebalan.
Tetapi, sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah saat-
saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat ia menyadari
kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia dengan penuh
kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang cukup
untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa atas usahanya
yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri. Itulah sebabnya, pada
saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang pula perasaan
bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam
relung hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri,
mengucapkan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Yang Maha Pengasih atas karunia itu. Bahkan diam-diam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 94
ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan
pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh rasa
cinta kasih.
Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan
seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang tersirat
dari wajah itu. Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam-
macam pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat
yang paling berbahaya itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam
sikap yang tercela. Ia tahu bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi
sombong karenanya sehingga kehilangan pengamatan atas
tingkah laku dan perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang
akan datang. Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo
Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu sampai tergelincir
karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas ilmu yang
dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya. Ia akan
mampu menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak
menggoncangkan keamanan dan ketertiban, namun seandainya ia
mau, ia akan dapat menghimpun kekuatannya untuk
menghancurkan Demak. Tetapi ia yakini kemudian, bahwa Mahesa
Jenar akan tetap dapat memelihara kemurnian dari tujuannya.
Mengabdikan diri setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada
kebenaran dan keadilan.
Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh keheningan,
terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan, “Aku
bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, serta berterima kasih kepada
Kakang Kebo Kanigara yang telah memberi aku kemungkinan-
kemungkinan yang lebih luas dalam pengabdian diri. Mudah-
mudahan aku dapat mrantasi, dapat memanfaatkan ilmuku ini
sebaik-baiknya.”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab,
tetapi hatinya berkata, “Berbahagialah kau Mahesa Jenar.
Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia atas
keluhuran hatimu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 94
Namun yang terucapkan adalah, “Meskipun demikian Mahesa
Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh almarhum
ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah
kau pergunakan pada setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai
pameran kekuatan yang tak berarti. Ilmu itu hanya akan kau
pergunakan pada saat-saat dimana kau harus dapat
mempertanggung-jawabkan akibatnya. Tidak kepada sesama
manusia, tidak kepada para pemimpin di Demak, bahkan tidak
kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan
mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas segala
pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak
dari para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima
dari Yang Maha Tinggi.”
Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu seperti
apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya, namun Mahesa
Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari orang yang
dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo
Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang
dilakukannya pun sesuai benar dengan kata-katanya itu.
Mempergunakan-ilmunya pada kesempatan yang tepat, untuk
keperluan yang tepat pula.
Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut ruangan itu
berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan gurunya
dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya
kini benar-benar menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan
dapat dikalahkan oleh Pasingsingan. Dengan demikian gurunya
sudah tidak akan lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama
dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya,
dan orang-orang lain yang setingkat dengan mereka itu. Namun
disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat Kebo Kanigara
kepada gurunya.
Dengan demikian, di dalam hati Arya Salaka timbul pula
harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun akan
mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 94
demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya
sendiri bahwa ia pun akan berbuat seperti gurunya, seperti apa
yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara. Karena angan-angannya
itu, maka tiba-tiba merasa badan Arya Salaka bergetar. Bergetar
karena harapan pada masa yang akan datang, pada kesulitan-
kesulitan yang masih harus di atasi.
Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu bangkit
dari tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat, dan
membaringkan diri mereka masing-masing, Arya Salaka masih
tetap berangan-angan.
Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya kepada masa depan
itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati cerahnya sinar
matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan
cemas pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula
kepada keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada
masa kanak-kanaknya dengan penuh kasih sayang, kepada
ayahnya, yang meskipun terkadang-kadang marah kepadanya,
namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah mendidiknya
menghadapi masa kemudian. Arya Salaka ingat benar betapa
ayahnya berkata kepadanya, bahwa kelak ia akan menjadi seorang
pahlawan. Semula ia mengira bahwa seorang pahlawan adalah
seorang yang hebat berkelahi, yang tak terkalahkan oleh siapapun
juga. Tetapi sekarang ia berpendapat lain. Karena pergaulannya
dengan gurunya, dan karena umurnya yang semakin dewasa
tahulah ia apa yang dimaksud dengan kata pahlawan.
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba
memejamkan matanya, malah hilir-mudiklah bayangan-bayangan
masa lampaunya, masa kini dan harapan-harapan bagi masa
mendatang. Meskipun ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk
mencoba melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia
berusaha, semakin jelaslah bayangan-bayangan itu mengganggu.
Ketika ia membuka matanya kembali, dilihatnya sinar matahari
yang masih sangat condong menembus dinding-dinding
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 94
pondoknya, membuat lingkaran-lingkaran cahaya di lantai. Di
kejauhan terdengar riuh burung-burung liar berkicau bersahutan.
Suaranya terdengar betapa merdunya, semerdu lagu puji-pujian
terhadap Tuhan, yang memperkenankan mereka masih menikmati
indahnya pagi ini.
Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah kokok
ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang berdesir
lemah.
Di luar pondok itu, Arya Salaka mendengar orang berjalan hilir-
mudik dalam kewajiban masing-masing, diantar oleh suara gerit
timba serta debur air orang mandi.
Tetapi bayangan di dalam rongga matanya masih saja
mengganggu otak Arya Salaka. Bahkan kemudian ia ikut pula
dalam barisan-barisan angan-angan itu seorang gadis yang nakal,
namun cukup memiliki daya hidup yang menyala-nyala di dalam
dadanya. Mula-mula ia mencoba mengenal gadis itu baik-baik di
dalam angan-angannya. Bentuk tubuhnya, senyum serta tawanya
yang renyah, seolah tingkahnya yang penuh kejujuran.
“Ah....” desah Arya Salaka. Sekali lagi ia mencoba
melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh itu sambil menarik
nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap tegak di dalam
angan-angannya.
Arya Salaka kemudian bangkit dari tempat pembaringannya.
Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Ketika ia berdiri di atas
tlundhak pintu itu, ia melihat kakak-beradik Sendang Papat dan
Sendang Parapat lewat di mukanya. Kedua kakak-beradik itu
dengan hormat membukuk kepadanya. Arya Salaka pun
membungkuk sambil tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak-
anak Banyubiru yang gigih itu. Mereka ternyata tidak sekadar
berbuat untuk mendapat pujian atau gelar-gelar yang
menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka
melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Sadar akan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 94
kewajibannya terhadap kampung halaman, sadar akan
kesetiaannya kepada tumpah darah.
Dari ruang di sebelah, Arya mendengar nafas gurunya
mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu telah
tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka pun menguap.
Perlahan-lahan ia menutup pintu pondok itu dan perlahan-lahan ia
berjalan ke tempat pembaringannya, untuk kemudian merebahkan
diri. Karena lelah dan kantuk, akhirnya iapun tertidur pula.
Apa yang terjadi di perkemahan itu, ternyata telah
memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa Jenar
maupun Arya Salaka, bahwa golongan hitam benar-benar telah
meningkatkan kegiatannya. Mereka untuk sementara memang
dapat bekerja bersama, diantara mereka menghanyutkan
Banyubiru dengan harapan untuk menemukan keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan mempergunakan Banyubiru
sebagai sasaran pertama dalam usaha mereka membentuk
pemerintahan yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah
di Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan
kekuasaan Demak.
Dengan demikian, jelaslah kemudian, siapakah yang mula-
mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta berbagai
macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah golongan hitam
seluruhnya untuk berusaha mendapatkan keris-keris Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten, mereka mengadakan semacam
perjanjian, siapa yang memiliki keris sipat kandel Kraton Demak
itu akan diangkat menjadi pemimpin dari segenap gerombolan
hitam yang terserak-serak hampir di segenap sudut Demak. Dalam
himpunan itu, mereka mengharap dapat menguasai sebagian
wilayah Demak dan mempergunakan wilayah itu sebagai daerah
pancatan untuk menandingi kekuasaan Demak. Dalam penelahan
Mahesa Jenar, rencana itu pasti timbul dari Pasingsingan. Apalagi
ia telah menyuruh Lawa Ijo untuk mengambil pusaka-pusaka dari
perbendaharaan Istana, yang sebenarnya perbuatan itu hanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 94
sekedar usaha darinya untuk membuktikan apakah kedua pusaka
yang diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja.
Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan merasa tidak lebih
tinggi dari Sima Rodra, Bugel Kaliki, dan sebagainya, namun ia
merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir
lebih daripada mereka itu. Sehingga bagi Pasingsingan, apabila
keris-keris itu sudah berada di dalam salah seorang anggota
gerombolan hitam, baginya akan lebih mudah untuk
mendapatkannya daripada apabila pusaka-pusaka itu berada di
istana atau di tangan golongan lain. Karena itu, demikian
Pasingsingan mendengar Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
jengkar dari Istana, demikian ia menyusun rencananya. Tetapi
rencana yang disusunnya itu tak dapat dilaksanakannya dengan
baik. Sebab tiba-tiba muncullah Lembu Sora yang meskipun tidak
termasuk di dalam golongan hitam, bahkan yang sebenarnya
mempunyai pertentangan kepentingan, namun dalam beberapa
hal mereka menunjukkan adanya persamaan perbuatan dan
tingkah laku. Mereka sama-sama menaruh minat yang besar
terhadap Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak untuk
diserahkan kembali kepada yang berhak, tetapi mereka ingin
kedua pusaka itu untuk diri mereka sendiri.
Sehingga, dengan demikian jelaslah bagi Mahesa Jenar, bahwa
meskipun dalam gerak mereka dapat mewujudkan irama yang
senada, namun di dalam tubuh mereka itu, seperti api di dalam
sekam, setiap kali berkobarlah api pertentangan yang maha
dahsyat untuk memuaskan nafsu kekuasaan mereka masing-
masing. Meskipun demikian Mahesa Jenar yakin, bahwa mereka
tak akan mampu untuk menyusun pemerintahan tandingan,
namun apabila mereka mulai melaksanakan rencana mereka,
berarti akan terjadi kekacauan dan keributan. Pembunuhan,
perkosaan terhadap sendi perikemanusiaan dan banyak lagi hal-
hal yang akan terjadi.
Rencana Pasingsingan menjadi semakin terpecah belah, ketika
kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh mendahului
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 94
perhitungannya disusul dengan munculnya orang yang bernama
Mahesa Jenar. Yang ternyata adalah orang itulah yang
menentukan kegagalannya. Karena itu, tak ada jalan lain bagi
Pasingsingan, kecuali membunuh Mahesa Jenar. Dalam keadaan
yang terakhir, muncullah rencana Pasingsingan yang mahahebat
menurut perasaannya. Mengarahkan segenap kekuatan golongan
hitam untuk menghancurkan Banyubiru, memusnahkan orang-
orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora Dipayana, laskar
Banyubiru kedua belah pihak, serta tunas-tunas masa depan, yaitu
Arya Salaka dan Sawung Sariti sekaligus.
Mahesa Jenar dapat merasakan betapa dendam yang
tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya. Tetapi
adalah menjadi tanggungjawabnya untuk menanggulanginya.
Rombongan dari Nusakambangan yang datang ke Banyubiru,
serta rombongan Alas Mentaok yang datang di perkemahan ini,
memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman otak Mahesa Jenar
cukup mampu untuk mengurai segala sesuatu yang mungkin bakal
terjadi, serta yang telah direncanakan oleh golongan hitam itu.
Demikian lelahnya Arya Salaka pada saat itu sehingga ia
tertidur demikian nyenyaknya. Ketika matahari telah lewat puncak
langit, ia terkejut karena gurunya membangunkannya. Ketika ia
membuka matanya, dilihatnya Kebo Kanigara duduk menghadap
hidangan makan siang. Nasi jagung dengan lauk daging binatang
buruan dan sayur-sayuran.
“Tidakkah kau lapar?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka menggeliat. Kemudian iapun segera bangkit dan
pergi mencuci mukanya, untuk kemudian bersama-sama dengan
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati makan siang dengan
lahapnya.
Ketika mereka telah selesai makan, serta sisa-sisa makannya
telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba terdengarlah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 94
Mahesa Jenar berkata seperti kepada diri sendiri, “Itulah yang aku
cemaskan, Kakang.”
Arya Salaka tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya gurunya
telah lama membicarakan sesuatu masalah dengan Kebo Kanigara.
Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya iapun sedang
berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab, “Kita dihadapkan pada
kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan.”
Arya memandang kedua laki-laki itu tanpa berkedip.
Sebenarnya ingin juga ia mengetahui persoalannya, namun ia
tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada persoalan
itu, ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi bersungguh-
sungguh.
Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakan-akan
masing-masing terbenam dalam persoalan yang kurang
menyenangkan.
Di luar terik matahari seperti membakar daun-daun
rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa jauh
dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan jagung.
Suaranya beruntun seperti suara orang berlagu dengan irama yang
tetap. Di arah lain terdengar suara tempaan besi gemerinting
bersahut-sahutan. Beberapa orang pandai besi sudah bekerja
keras untuk membuat atau memperbaiki alat-alat pertanian dan
bahkan ada diantara mereka yang membuat senjata.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Kakang, aku
kira, aku perlu memberikan keterangan keterangan mengenai
tugas kita kepada Arya Salaka.”
Kebo Kanigara mengangguk mengiyakan, jawabnya, “Berilah
ia gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang kira-kira akan
terjadi.”
Arya Salaka mengingsar duduknya. Ia menjadi bergembira.
Dengan demikian ia mengharap akan dapat mengetahui kesulitan-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 94
kesulitan apakah yang sedang membebani perasaan gurunya serta
Kebo Kanigara.
“Arya....” kata Mahesa Jenar, “Aku akan menceritakan
perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku akan
mengatakan apa adanya, supaya kau mendapat gambaran yang
benar terhadap daerahmu, serta orang-orang yang sedang berada
di sana.”
Arya Salaka mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar dengan
penuh minat. Ketika kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa
yang telah dialami selama ini, maka kata demi kata
diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan seolah-olah ia
sendiri ikut serta mengalami perjalanan yang kurang
menyenangkan itu.
Meskipun Mahesa Jenar menceriterakan apa yang telah terjadi,
namun ia mencoba untuk tidak menimbulkan kecemasan, apalagi
ketakutan pada Arya Salaka. Ia mencoba untuk menyingkirkan
sentuhan-sentuhan pada perasaan anak itu. Sebab ia tahu benar,
betapa halusnya perasaan Arya Salaka sebagai seorang anak yang
sejak belasan tahun harus sudah berpisah dari ikatan kasih sayang
ayah bundanya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut
mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama. Ia tidak
bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi dirinya sendiri.
Ia tidak bertanya, apakah dirinya masih mempunyai kemungkinan
untuk kembali ke tanah pusakanya yang telah lama terlepas dari
tangannya. Ia tidak bertanya apakah masih ada kemungkinan
baginya untuk kembali ke Banyu Biru sebagaimana ayahnya.
Tetapi pertanyaan yang pertama-tama diucapkan oleh anak muda
itu adalah, “Paman, tidakkah Paman bertemu dengan Bunda?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat ia
berpandangan saja dengan Kebo Kanigara. Bagaimana ia akan
menjawab pertanyaan itu. Memang dalam saat yang gawat, seperti
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 94
yang dihadapinya pada saat itu, terlupakanlah kepentingan-
kepentingan lain, sehingga pada saat itu ia tidak bertanya dan
berusaha menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Karena itulah maka ia
tidak berceritera tentang orang itu. Arya Salaka yang
mendengarkan setiap kata demi kata, menjadi kecewa ketika
ceritera Mahesa Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru
ibunya itu bagi Arya Salaka adalah suatu kepentingan yang tak
kalah artinya dari segenap kepentingan-kepentingan yang lain.
Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, “Arya, aku minta maaf
kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan sama sekali
untuk berbuat lebih banyak dari yang sudah aku lakukan. Sehingga
dengan demikian aku tidak dapat menemui Nyai Ageng Gajah
Sora. Tetapi karena kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana tidak
mengatakan sesuatu, aku kira ibumu itu pun tidak mengalami
sesuatu.”
Mendengar jawaban itu Arya Salaka menundukkan wajahnya.
Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya ia kepada ibunya,
sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung ke Banyu Biru saat
itu juga.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menyelami perasaan
anak itu sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga bahwa Arya telah
menyalahkan mereka, kenapa mereka sama sekali tidak ingat
kepada orang yang telah melahirkan, membesarkan dengan penuh
kasih sayang.
Maka berkatalah Mahesa Jenar perlahan-lahan dan hati-hati
untuk menentramkan hati anak itu, “Arya, tenangkanlah hatimu.
Berbanggalah kau, karena kau telah menjauhkan kepentingan
pribadimu, terpisah dari ayah bunda, tetapi dengan menjunjung
tinggi pengabdian diri terhadap sesama, terhadap rakyatmu dan
terhadap Tuhanmu, sebagai sumber dari pengabdianmu
menegakkan kebenaran dan keadilan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 94
Arya Salaka masih saja menundukkan wajahnya. Namun kata
gurunya itu meresap pula di dalam kalbunya. Akhirnya ia mencoba
untuk menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki.
Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di dalam dadanya, namun
ia mencoba untuk menekannya kuat-kuat. Bukankah kepentingan
rakyatnya jauh lebih berharga dari kepentingan diri? Seandainya
ia kemudian tenggelam dalam duka karena perasaan rindunya
kepada bunda, apakah yang akan dapat disumbangkan kepada
tanah perdikan Banyu Biru, tanah pusakanya? Karena itu maka
kemudian ia mengangkat wajahnya. Dengan penuh tekad ia
berkata, “Paman, biarlah aku lupakan perasaan rinduku kepada
bunda. Lalu apakah yang harus aku kerjakan?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan
bangga. Katanya, “Demikianlah putra Ki Ageng Gajah
Sora….Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu. Sebab di
depanmu ternganga jurang kewajiban yang maha besar. Nah
anakku, bersiaplah untuk dapat beberapa hari ini bersama-sama
dengan segenap laskarmu, datang ke Banyu Biru.”
Tiba-tiba wajah Arya Salaka jadi berseri. Dengan demikian ia
akan bertemu kembali dengan tanah tercinta, dengan sawah
ladang kampung halaman, meskipun mungkin harus ditebusnya
dengan darah.
Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya Salaka
meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang mula-
mula dilakukan adalah pergi kepada Endang Widuri dan
mengabarkan rencana pamannya itu kepadanya.
“Kita akan bersama-sama ke Banyu Biru?” tanya Endang
Widuri yang tiba-tiba menjadi bergembira pula.
“Ya,” jawab Arya Salaka.
“Aku akan dapat melihat rumahmu yang pernah kau
ceriterakan kepadaku dahulu di lereng pegunungan Telamaya,”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 94
sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat. “Bukankah
begitu?”
“Ya,” jawab Arya Salaka singkat.
“Dari halaman rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa Pening
yang berkilau…?” Widuri meluruskan.
“Bukan dari halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di muka
rumahku.” Arya Salaka membetulkan.
“Ya. Dari alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu
mempunyai alun-alun?” tanya Endang Widuri.
“Hem....” Widuri meneruskan, “Kalau begitu kau adalah anak
seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di muka istana
Demak pun ada alun-alun.”
“Tidak selalu,” potong Arya, “Ayahku bukanlah orang yang
kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah kepala daerah
perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga ada alun-alun. Di
Pangrantunan, bekas rumah kakek dahulu juga terdapat alun-alun.
Bahkan di muka rumah kademangan Paman Sarayuda di
Gunungkidul, katanya ada alun-alun juga.”
“Kapan kita berangkat?” Tiba-tiba Endang Widuri bertanya
seolah-olah tidak sabar lagi menunggu sampai esok.
Arya Salaka menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.
“Sebulan… dua bulan… atau setahun lagi…?” tanya Endang
pula.
“Seharusnya Arya Salaka-lah yang paling tidak bersabar.”
Tiba-tiba terdengar suara Rara Wilis dari belakang mereka.
Segera mereka itu pun menoleh. Dan tiba-tiba terbersitlah
perasaan malu di dalam dada Endang Widuri. Perasan yang selama
ini belum pernah dirasakannya. Karena itu pipinya pun kemudian
menjadi merah. Tetapi perasaan itu hanya sebentar menjalar di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 94
dalam dirinya, kemudian kembali terdengar suaranya renyah,
“Kakang Arya Salaka pun sebenarnya tidak bersabar pula. Tetapi
ia tidak mau mengatakannya. Sedang aku menjadi sangat ingin
melihat kehidupan bukit
Telamaya dan kecerahan
wajah Rawa Pening di pagi
yang bening.”
Rara Wilis tersenyum.
Sebenarnya di dalam hatinya
sendiri pun tersimpan pula
harapan, agar segala sesua-
tunya menjadi lekas
terselesai-kan. Sebagai
seorang gadis ia lebih mudah
tersentuh oleh perasaan rindu
kepada keluar-ga. Kepada
hidup kekeluarga-an yang
lumrah. Meskipun di dalam
tubuhnya mengalir juga darah
pengembara dari kakeknya,
Pandan Alas, namun baginya
lebih baik hidup tentram damai dalam pelukan keluarga yang
bahagia. Bermain-main dengan anak dan suami serta bergurau
dengan tetangga.
Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun ikut
duduk bersama dengan Arya dan Endang Widuri. Ikut bercakap-
cakap dengan mereka itu, untuk melupakan kerinduannya pada
masa yang diimpikan. Namun ia pun sadar sesadar-sadarnya,
bahwa ia harus mengutamakan membantu orang yang dicintainya
dalam mengemban kewajiban. Ia harus dapat menekan diri, dalam
pergolakan masa kini.
Tetapi agaknya Mahesa Jenar tidak menunda-nunda waktu
lebih lama. Ketika matahari pada sore hari itu terbenam, mulailah
ia mengumpulkan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru, di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 94
gardu pimpinan. Kebo Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang Widuri
pun hadir pula. Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran,
Panjawi, Jaladri, Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa
orang lagi.
Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar membeberkan segala
sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang menyangkut diri
Arya Salaka. Karena itu ia ingin membawa Arya Salaka ke
Banyubiru. Tetapi tidak dalam rombongan kecil, tetapi mereka
bersama-sama akan berangkat, sebagai suatu pernyataan bahwa
apabila terpaksa, laskar Banyubiru yang setia itu pun memiliki
kekuatan yang tak dapat diabaikan.
Dalam keriuhan sambutan yang bergelora, disertai dengan
keikhlasan berkorban dari para pemimpin laskar, terdengar
Mahesa Jenar berkata, “Laskar Banyubiru yang setia, kalian harus
ingat akan tujuan kalian. Sekali lagi aku katakan, kita kembali ke
Banyubiru tidak akan membalas dendam. Kita datang ke
Banyubiru untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, untuk
kepentingan kemanusiaan. Karena itu jangan berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan kemanusiaan. Bertentangan dengan
perasaan keadilan dan bertentangan dengan sendi-sendi
kemanusiaan.”
Pertemuan itu menjadi hening. Suatu pertanda bahwa kata-
kata Mahesa Jenar itu benar-benar meresap ke dalam dada setiap
orang yang mendengarkan. Kemudian terdengarlah ia
melanjutkan, “Ingatlah bahwa kalian berada dalam satu pimpinan.
Jangan berbuat sendiri-sendiri yang dapat merugikan nama baik
kalian sebagai pejuang. Nah, sejak besok pagi, bersiagalah untuk
setiap saat berangkat ke Banyubiru.”
Laskar Banyubiru yang setia itu menyambut pernyataan
Mahesa Jenar dengan penuh tekad. Mereka menyingkir ke daerah
Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali tidak mau
menerima keadaan yang menyedihkan di tanah mereka. Karena
itu ketika mereka mendapat kesempatan untuk kembali ke
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 94
Banyubiru, mongkoklah hati mereka. Mereka tidak mengharap hal
yang berlebih-lebihan. Mereka tidak mengharap untuk kemudian
menjadi Demang, Lurah atau Bahu. Tetapi mereka sekedar
mengharap pemerintahan yang adil dan jujur, berlandaskan pada
sendi-sendi yang telah diletakkan sejak masa pemerintahan Ki
Ageng Sora Dipajana. Sebagai seorang yang patuh kepada
agamanya, Ki Ageng Sora Dipajana mendasarkan
pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan
kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tindak
tanduk dan tingkah lakunya di dalam menjalankan pemerintahan,
cinta kasih kepada sesama, kepada manusia sebagaimana Tuhan
menjadikan manusia dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah
darah, kampung halaman serta lingkungan yang dikurniakan
Tuhan kepada manusia. Mendasarkan pemerintahan pada
kepentingan rakyatnya serta mendengarkan dan melaksanakan
pendapat mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin.
Tidak hanya dalam ucapan penghias bibir, tetapi benar-benar
dalam pengamalan dan perbuatan.
Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian diterapkan dalam
pemerintahan Ki Ageng Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi sejak
masih berada di Pamingit, adiknya Ki Ageng Lembu Sora agaknya
sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu. Sedikit demi sedikit ia
tenggelam dalam kepentingan diri sendiri, nafsu lahiriah yang
kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan sendi-sendi
dasar yang menurut pengakuannya juga dianutya. Tetapi apakah
artinya pernyataan, pengakuan dan kesediaan yang diteriakkan
sampai menyentuh langit, namun dalam tindak tanduk dan tingkah
lakunya bertentangan dengan kata-katanya…? Apakah artinya
janji yang tidak pernah ditepati…? Apakah artinya pengabdian diri
yang hanya berupa pameran lahiriah tanpa satunya kata dan
perbuatan…? Beberapa orang yang pernah mengalami penderitaan
lahir batin dapat menjadi saksi. Lapangan-lapangan yang pernah
dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk-
mabukan dan adu jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 94
tempat ibadah yang semakin hari semakin susut dikunjungi orang
dapat merupakan saksi-saksi yang tak dapat dibantah.
Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang betapapun alasannya.
Sebab sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas
kemanusiaan adalah pelanggaran pula dari azas-azas ke-Tuhan-
an.
Itulah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang Banyubiru
yang setia. Setia kepada sendi-sendi dasar pemerintahan itu.
Dengan demikian, ketika matahari mulai menjengukkan
wajahnya di keesokan harinya, sibuklah laskar Banyubiru
mempersiapkan diri. Mereka mempertinggi irama latihan mereka,
mempertajam pedang serta tombak mereka. Meskipun senjata-
senjata itu bukan mutlak harus dipergunakan, namun terhadap
orang yang bernama Lembu Sora dan Sawung Sariti, hal yang
demikian itu tak dapat dikesampingkan.
Hari itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sendiri memerlukan
menyaksikan latihan-latihan yang diselenggarakan tanpa
mengenal lelah. Beberapa kali kedua orang sakti itu langsung
memberikan nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk. Bahkan
beberapa orang yang cukup kuat, langsung mendapat latihan-
latihan khusus dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara disamping
usaha-usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Mantingan,
Wirasaba dan pimpinan laskar mereka sendiri.
II
Pada hari ketiga, ketika Mahesa Jenar menganggap bahwa
waktunya telah masak, dipersiapkannya laskar Banyubiru itu. Dan
pada suatu pagi yang cerah, didahului oleh pengantar kata dari
setiap pimpinan kelompok, untuk memperteguh jiwa anak-
anakBanyubiru itu, menjalarlah sebuah iringan yang seperti ular
menelusuri jalan-jalan perbukitan. Di ujung barisan itu berjalanlah
Mahesa Jenar di samping Arya Salaka. Kemudian di belakangnya
berjalan seenaknya Endang Widuri di samping ayahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 94
Perhatiannya sama sekali tidak tersangkut pada perjalanan yang
penting ini, tetapi ia lebih senang memberhatikan lembah yang
berwarna hijau kekuning-kuningan, diantara batu-batu padas yang
merah tembaga menjorok seakan-akan menghadang perjalanan
itu. Sinar matahari pagi yang dilemparkan ke lembah-lembah itu
menari dengan lincahnya mempermainkan titik-titik embun yang
masih tersangkut di ujung-ujung daun.
Ketika Arya Salaka muncul dari balik sebuah bukit kecil, tiba-
tiba dadanya berdesir. Tanpa sesadarnya ia berhenti. Mahesa
Jenar cepat dapat mengetahui perasaan apakah yang bergolak di
dalam dada anak itu. Cepat Mahesa Jenar menariknya ke tepi dan
memberi isyarat kepada pasukannya untuk berjalan terus. Ketika
Endang Widuri lewat beberapa langkah di depan Arya Salaka, ia
menoleh kepadanya dengan heran. Tetapi ia tidak bertanya
sesuatu, sebab kemudian kembali ia tertarik pada dataran yang
berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang sudah cukup
tinggi.
“Ai....” teriak gadis kecil itu, “Apakah itu?”
Ayahnya tertawa, dijawabnya, “Seharusnya aku mengajak kau
merantau supaya kau tidak menjadi anak yang heran melihat
matahari terbit.”
Endang Widuri sama sekali tidak memperhatikan kata-kata
ayahnya, bahkan kemudian ia berteriak gembira sekali, “Rawa
Pening? Bukankah itu Rawa Pening?”
“Ada apa dengan Rawa Pening?” tanya ayahnya.
“Sejak lama aku ingin melihatnya. Kalau demikian, bukankah
kita sudah tidak jauh lagi dari rumah Kakang Arya Salaka?” tanya
Widuri pula.
Pertanyaan itu terdengar aneh bagi Kebo Kanigara. Tetapi
sebagai seorang ayah dari seorang gadis yang sedang menjelang
mekar, ia hanya menarik nafas. Tetapi kemudian terdengar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 94
jawabannya, “Widuri, Banyubiru masih jauh. Jalan lembah itu akan
berkelok-kelok seperti ular yang sedang berenang. Meskipun
demikian kau sudah dapat melihat arahnya dari tempat ini. Itulah
Bukit Telamaya.”
Endang Widuri tidak tahu pengaruh apakah yang menjalar di
hatinya, namun ketika ia mendengar nama itu, ia menjadi
berdebar-debar.
Telamaya dalam pendengaran Endang Widuri, merupakan
daerah yang sejuk, tenteram dan damai. Tiba-tiba angan-
angannya memanjat tinggi ke alam cita. Meskipun ia belum pernah
melihat daerah Bukit Telamaya, namun ia tiba-tiba menjadi
sedemikian besar keinginan untuk pergi ke daerah itu, sebagai
daerah yang menyenangkan.
Tanpa sesadarnya pula kemudian ia menoleh ke arah Arya
Salaka. Anak muda itu ternyata masih berdiri tegak di samping
Mahesa Jenar, memandang jauh ke arah lambung Bukit Telamaya
yang membujur di hadapannya seperti raksasa yang tidur dengan
nyenyaknya. Di balik bukit itu membayanglah warna biru
kehijauan disaput oleh awan yang tipis, Gunung Merbabu.
Kemudian Endang Widuri meneruskan perjalanannya dengan
penuh angan-angan di kepalanya. Sebagai seorang gadis ia senang
pada keindahan. Juga keindahan alam yang terbentang di
hadapannya. Lembah, ngarai, jurang-jurang terjal dan dinding-
dinding padas yang menjulang tinggi, ditelusuri oleh jalur-jalur
putih, jalan setapak yang selalu dipergunakan oleh orang-orang
yang mencari kayu di hutan-hutan. Di sana-sini jalur-jalur itu
hilang terputus ditelah oleh hutan-hutan yang berserakan di
lembah itu. Agak jauh di sebelah Rawa Pening, terbentanglah
sawah yang luas. Setingkat demi setingkat pematang-pematang
sawah itu seperti memanjat tebing pada sisinya. Tetapi daerah itu
masih jauh.
Arya Salaka yang berdiri di samping Mahesa Jenar merasa
betapa hatinya berdebar-debar menyaksikan semuanya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 94
Seperti seorang akan menjelang kekasih yang telah bertahun-
tahun tak bertemu. Sawah, ladang, kampung halaman rumahnya
dengan pohon jambu yang lebat berbuah. Semuanya itu seperti
hilir mudik di depan matanya. Dan dibalik kehijauan lambung Bukit
Telamaya itulah tinggal seorang yang paling dicintai, serta
dirindukannya, yaitu ibunya.
Mahesa Jenar ikut merasakan betapa perasaan rindu itu
mengusik hati muridnya. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari
mulutnya. Sebab ia tahu pula bahwa kata-katanya akan dapat
menambah gelora perasaan rindu itu.
Untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri. Di samping
mereka berjalanlah iringan laskar Banyubiru. Di pundak merekalah
terletak masa depan Bukit Telamaya itu, dan kepada merekalah
bukit itu menggantungkan nasibnya.
Tiba-Tiba Arya Salaka menjadi semakin terharu ketika ia
melihat keserasian yang mengetuk dadanya. Di hadapannya
terbentang lembah yang hijau dibatasi oleh lereng bukit Telamaya,
sedang di sampingnya menjalarlah laskar yang setia. Betapa
kemudian tergambar di dalam otaknya itu seolah-olah merupakan
seekor naga raksasa yang sedang berjuang untuk merebut kembali
sebutir telur raksasanya yang teronggok di hadapannya. Arya
menarik nafas. Bukit Telamaya itu seolah-olah sebuah permata
yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sinarnya memancarkan
ke segenap penjuru, memerangi seluruh langit dan bumi.
Kemudian teringatlah anak muda itu akan sebuah kisah
terjadinya Rawa Pening. Seekor naga yang rindu kepada ayahnya.
Sedang ayah itu bersedia untuk menerimanya apabila ular itu
sanggup melingkari gunung Merbabu. Tetapi sayang, bahwa
panjang tubuhnya tidak memungkinkan, meskipun hanya kurang
sejengkal. Karena itu ular raksasa itu tidak menyenangkan
ayahnya. Dengan serta merta, lidah ular raksasa itu segera
dipotongnya. Maka matilah ular itu. Tetapi jiwa ular itu kemudian
berubah menjadi seorang kerdil yang menancapkan lidi di lembah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 94
bukit sebelah utara Gunung Merbabu. Tak seorang pun dapat
menarik lidi itu. Karena itu kemudian orang kerdil itu sendirilah
yang menariknya. Dari lubang bekas lidi itu memancarlah mata air
yang semakin lama semakin besar dan besar. Akhirnya terjadilah
di lembah itu sebuah Rawa. Rawa Pening.
Sekarang, Arya Salaka pun sedang melakukan tugas yang
seolah-olah dibebankan oleh ayahnya. Melingkari bukit Telamaya.
Pasukannya itulah ibarat tubuh ular yang harus mampu melilit
bukit itu. Tetapi kalau kemudian panjang tubuh itu tidak
memungkinkan, ia tidak akan menyambung hanya dengan
lidahnya. Tidak dengan janji dan prasetya. Tetapi ia akan
menyambung kekurangan itu dengan darahnya. Dengan
nyawanya.
Arya Salaka terkejut ketika terasa setetes air menyentuh
tangannya. Cepat ia mengusap matanya yang sedang mengaca.
Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar pun agak terpaku
juga pada kebesaran alam yang tergelar di hadapannya. Memang
demikianlah tabiatnya. Setiap kali ia berhadapan dengan
kebesaran alam, setiap kali ia menyebut nama Yang Maha Besar.
Kalau ciptaan-Nya saja sedemikian agungnya, betapa Agung Yang
Menciptakannya.
Ketika Mahesa Jenar menoleh kepadanya, Arya Salaka
mencoba untuk tersenyum. Senyum yang diwarnai oleh gelora
hatinya. Meskipun demikian, Mahesa Jenar melihat juga warna
merah yang menyaput mata muridnya. Tetapi ia pura-pura tidak
melihatnya dan malah ia bertanya kepada anak muda itu dengan
pertanyaan yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan
Banyubiru, sambil menengadahkan mukanya. “Arya, udara cerah.
Sebentar lagi matahari akan sampai di atas kepala kita. Mudah-
mudahan kita dapat beristirahat sebentar di hutan di depan kita.”
Arya Salaka mengangguk. Dengan terbata-bata ia menjawab,
“Ya, Paman. Hutan itu sudah tidak begitu jauh.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 94
“Kita perlu istirahat sebentar, Arya. Kemudian kita
meneruskan perjalanan. Kita akan bermalam satu malam sebelum
esok paginya kita sampai ke hadapan Bukit Telamaya itu.”
“Tidakkah hari ini kita lanjutkan perjalanan, Paman?” tanya
Arya Salaka sekenanya.
“Tidak perlu,” jawab Mahesa Jenar, “Sebab menurut
pertimbanganku, sebelum kita memasuki daerah itu, biarlah dua
tiga orang mendahului menyaksikan keadaan. Sebab apabila
terpaksa terjadi perselisihan, maka kita dapat mengetahui
siapakah yang berada di pihak kita, dan siapakah yang berbeda
pendapat dengan kita. Dengan demikian kita akan mendapat
gambaran yang tegas, apakah yang perlu kita lakukan.”
Arya Salaka yang telah dapat menguasai perasaanya, sekali
lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata pertimbangan
gurunya itu adalah benar-benar merupakan suatu tindakan yang
berhati-hati dan penuh kewaspadaan. Karena itu ia menjawab,
“Agaknya demikianlah yang seharusnya, Paman.”
Sekali lagi Mahesa Jenar melemparkan pandangannya ke Bukit
Telamaya yang melintang di hadapannya, lembah, ngarai serta
jurang-jurang yang terjal. Sekali lagi ia memandang cahaya
matahari yang terpantul dari wajah Rawa Pening.
Maka kemudian katanya, “Marilah Arya, ujung pasukanmu
telah berjalan agak jauh mendahului kita.”
Arya tersadar dari perasaan rindu, haru serta gambaran-
gambaran masa datang. Ketika ia menoleh ke belakang, dilihatnya
laskarnya yang berjalan berjajar dua di jalan sempit itu telah
hampir sampai ke pangkalnya. Di belakang pasukan itu dilihatnya
Mantingan dan Wirasaba berjalan beriringan dengan Bantaran dan
Penjawi.
Melihat Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang seolah-olah
sengaja menyaksikan seluruh isi laskarnya, Mantingan tersenyum.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 94
Kemudian setelah sampai di hadapan anak muda itu ia berkata,
“Adakah yang kurang dalam barisan ini?”
Sambil berjalan di samping mereka itu Arya menjawab, “Tidak,
Paman. Namun demikian aku mengharap bahwa barisan kita
menjadi semakin lengkap. Apabila kita besok mulai memasuki
Banyubiru, aku harap bahwa di samping Sang Saka Gula Kelapa,
berkibar pula Panji-panji Dirada Sakti, sebagai lambang kebesaran
tanah Perdikan Banyubiru, di dalam pelukan persatuan dan
kesatuan Demak.”
Mantingan dan Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya,
apalagi Bantaran dan Penjawi. Sehingga terdengarlah Penjawi
menjawab, “Hebat. Kita pasang pula umbul-umbul dan tanda-
tanda kebesaran lainnya. Bukankah dengan demikian pasukan kita
akan bertambah megah?”
“Demikianlah hendaknya,” jawab Arya Salaka, “Asal hati kita
bertambah megah dan besar.”
Mahesa Jenar kagum akan kecepatan berpikir Arya. Dengan
demikian ia benar-benar seperti menanti laskarnya berjalan dahulu
untuk berbicara dengan Mantingan. Hilanglah kesan keharuan dari
wajahnya. Hilanglah sikap kekanak-kanakannya yang rindu pada
orang tua. Yang kemudian menjadi sikap seorang putra kepala
daerah perdikan yang rindu pada kebesaran tanah perdikannya.
Kemudian untuk beberapa lama pasukan itu berjalan dalam
keheningan. Tak seorangpun yang mengucapkan kata-kata,
namun di dalam dada masing-masing bergeloralah berbagai
macam persoalan yang hilir-mudik, serta kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi silih berganti. Wajah-wajah
mereka kadang-kadang tampak cerah seperti cerahnya matahari,
kadang-kadang menjadi suram oleh kenyataan yang mereka
hadapi. Bahwa mereka harus melampaui banyak persoalan, untuk
kembali kekampung halaman sendiri. Bahwa mereka merasa,
seolah-olah mereka adalah orang buruan yang dikejar-kejar dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 94
terasing karena mereka adalah perampok-perampok dan
penjahat-penjahat. Bahwa mereka harus berhadapan dengan
orang-orang yang tak tahu diri dan membuat kadang-kadang
diluar perikemanusiaan, hanya karena ia berkata, “Aku tetap setia
kepada Banyubiru.” Apakah salah mereka dengan kesetiaannya
itu? Kesetiaan yang dilandasi oleh kesadaran, bahwa dalam
keadaan yang sedemikian ini, hanya pemerintahan yang
berlandaskan kebenaran dan keadilanlah yang akan dapat
menjamin ketentraman Banyubiru. Bahkan pulihnya hubungan
yang wajar antara Banyubiru dan Pamingit, diantara segala
sesuatu dapat dikembalikan kepada tempatnya yang sebenarnya.
Sebab menurut keyakinan mereka, hanya dengan cara-cara yang
demikian, Banyubiru akan dapat berkembang atas perkenaan Yang
Maha Kuasa, serta sejahtera lahir dan batin. Akan bergemalah
kembali kesibukan serta keriuhan para penjual dan pembali di
pasar-pasar. Serta akan berkembanglah kembali usaha-usaha
pendidikan, sebagai taburan benih buat masa depan. Hanya dari
benih-benih yang baik serta pemeliharaan yang baiklah akan dapat
tumbuh bibit-bibit serta pohon-pohon yang baik pula. Tetapi
apabila pada bibit-bibit yang baik itu tidak pernah mendapat rabuk
yang baik, bahkan kemudian disiram dengan racun, akan kerdillah
pohon-pohon yang akan menjadi tempat bernaung di masa depan,
serta akan muncul pulalah buah yang dihasilkan.
Demikianlah tanpa dirasa, oleh karena tekad yang memang
sudah membaja, matahari telah berada di atas kepala. Sesaat
kemudian pasukan itu memasuki sebuah hutan perdu yang tak
begitu lebat. Ketika seluruh barisan itu telah ditelan oleh kesejukan
rimba, terdengarlah suara sangkalala. Suatu pertanda bahwa
pasukan itu harus berhenti beristirahat. Dalam kesempatan itu
Mahesa Jenar, Arya Salaka, Kebo Kanigara, Mantingan serta
beberapa orang penting lainnya mengadakan pembicaraan-
pembicaraan. Mereka memilih beberapa orang untuk mendahului
laskar Banyubiru, melihat-lihat suasana. Di pundak merekalah
diletakkan kepercayaan untuk mengabarkan kedatangan laskar
mereka kepada rakyat Banyubiru. Laskar yang akan menempatkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 94
mereka ke dalam wadah yang sewajarnya. Serta kepada mereka
diletakkan tanggungjawab untuk memberikan warna kepada
rakyat Banyubiru dalam menghadapi kehadiran laskar mereka.
Mereka harus sadar, bahwa kedatangan laskar itu bukan berarti
bencana seperti yang mereka sangka, yang ditimbulkan oleh
berita-berita yang sengaja ditiup-tiupkan oleh berbagai pihak yang
mempunyai kepentingan yang sama.
Golongan hitam yang takut berhadapan dengan rakyat
Banyubiru dan Pamingit yang bersatu bulat selalu berusaha untuk
memperbesar perselisihan antara rakyat Banyubiru dan Pamingit,
antara rakyat Banyubiru dan rakyat Banyubiru sendiri. Bahkan
kadang-kadang mereka dapat menjadikan diri mereka seolah-olah
laskar Banyubiru yang menyingkir ke Gedong Sanga untuk
mengadakan pengacauan dan bahkan kadang-kadang
perampokan atas rakyat Banyubiru sendiri. Namun kadang-kadang
mereka dapat merubah dirinya untuk menjadi orang-orang
Pamingit atau laskar Banyubiru yang menerima pemerintahan
Lembu Sora untuk mengadakan penganiayaan atas orang
Banyubiru yang dianggapnya setia kepada kampung halaman.
Dengan demikian mereka telah menggali lubang yang semakin
dalam antara dua keluarga sedarah itu.
Disamping itu, mereka yang telah disilaukan oleh kedudukan
serta harta benda pun menjadi mata gelap. Mereka pun melakukan
perbuatan yang serupa, yang tidak mereka sengaja telah
membantu memperdalam jurang antara keluarga sendiri. Dari
mulut mereka selalu timbul berbagai celaan dan hinaan terhadap
laskar Banyubiru. Seolah-olah mereka tidak lebih dari gerombolan
penjahat yang sama sekali tidak berbeda dengan penjahat-
penjahat yang lain.
Tugas itu bukanlah tugas yang ringan. Karena itu dipilihlah
diantara laskar Banyubiru itu beberapa orang yang dianggap akan
dapat menunaikan tugas dengan baik. Pilihan itu jatuh kepada
kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat dibantu oleh
beberapa orang. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih agak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 94
kurang tenang dengan anak-anak muda itu. Karena itu akhirnya ia
minta kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Wanamerta, untuk
mengawasi pelaksanaan tugas itu.
Dengan senang hati mereka menerima kehormatan itu.
Dengan penuh tekad mereka berjanji akan melaksanakan sebaik-
baiknya, apapun yang akan terjadi dengan mereka.
“Sendang Papat dan Sendang Parapat....” pesan Mahesa Jenar,
“Kalian datang ke Banyubiru bukan untuk menambah keributan,
bukan untuk menakut-nakuti dan bukan untuk mengancam. Kalian
datang ke Banyubiru untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang
sewajarnya. Karena itu jangan menuruti darah muda kalian. Kita
memilih kalian, karena kalian dalam wawasan kami dapat
mempergunakan otak kalian dengan baik. Nah, seterusnya Paman
Wanamerta ada di antara kalian. Jagalah keselamatannya.
Turutilah nasehatnya. Kemudian datanglah kembali kepada kami
dengan kawan yang lebih banyak, bukan lawan.”
Maka setelah beristirahat beberapa saat, rombongan kecil itu
pun berangkat mendahului. Mereka mengharap bahwa menjelang
malam, mereka sudah akan memasuki kota.
Sepeninggal rombongan itu, Mahesa Jenar menyusun
rombongan yang kedua, untuk memenuhi anjuran Ki Ageng Sora
Dipayana, membawa Arya Salaka menghadap. Tugas ini tak dapat
dibebankan kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri bersama
Kebo Kanigara.
Bantaran, Penjawi dan bahkan hampir segenap pimpinan
laskar Banyubiru itu tidak mengerti, kenapa Mahesa Jenar masih
saja melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan mereka tidak
akan berguna. Mereka menjadi tidak bersabar, bahwa mereka
masih harus menunggu dan menunggu. Perjalanan dari Candi
Gedong Sang ke Banyubiru itu terasa betapa panjangnya. Mereka
menjadi gelisah karena dengan rombongan-rombongan itu mereka
masih harus bersabar. Mereka harus menanti rombongan pertama
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 94
itu kembali, seterusnya mereka pun harus menunggu Mahesa
Jenar membawa Arya Salaka kepada kakeknya. Bukankah hal itu
tidak akan banyak berarti?
Mahesa Jenar melihat kegelisahan itu. Karena itu ia berkata
dengan sareh, “Para pemimpin laskar Banyubiru… aku masih
mengharap kalian bersabar. Sekali lagi aku ingatkan, bahwa yang
penting bagi kita bukanlah menghantam Banyubiru dengan
kekerasan, tetapi yang penting adalah penempatan kembali segala
sesuatunya pada tempat yang seharusnya. Kita ingin melihat Ki
Ageng Lembu Sora sudi meninggalkan Banyubiru. Nah, dengan
mempergunakan pengaruh yang masih ada, dari hubungan darah
yang rapat antara Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana
dan Arya Salaka, mudah-mudahan usaha kita tercapai tanpa
setetes darah pun yang mengalir dari tubuh kita. Kita mengharap
bahwa apabila Arya Salaka telah benar-benar berada di hadapan
Lembu Sora, akan berubahlah pendirian pamannya itu. Sebab
bagaimanapun juga anak ini adalah kemanakannya.”
Tiba-tiba dari antara para pimpinan laskar Banyubiru itu
terdengar sebuah pertanyaan yang menggambarkan betapa kesal
hati mereka “Tuan, kalau begitu apakah artinya kita berarak-arak
kemari, kalau kita tidak menggilas Lembu Sora sampai ke anak
cucunya? Sebab selama orang itu masih hidup beserta segenap
pengikutnya, maka keadaan Banyubiru masih akan selalu ribut
dibuatnya.”
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti
sepenuhnya perasaan itu. Sejak semula mereka sudah bersiap
untuk bertempur, seperti mereka siap pula bertempur melawan
golongan hitam. Karena itu Mahesa Jenar menjawab dengan sareh,
“Kedatangan kalian kemari adalah bukti dari kesetiaan kalian
terhadap Banyubiru. Sebagai suatu kenyataan yang harus
diperhitungkan oleh Ki Ageng Lembu Sora dalam keputusannya.
Nah, para pimpinan laskar Banyubiru, aku berjanji untuk yang
terakhir kalinya mengecewakan kalian. Kalau usahaku kali ini
gagal, maka akulah yang akan memerintahkan kalian untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 94
menggempur Banyubiru, dan akulah yang akan berdiri di barisan
yang paling depan bersama-sama dengan Arya Salaka. Sebab Arya
Salaka-lah yang berwewenang atas tanah Perdikan Banyubiru,
mengemban kewajiban memegang pimpinan. Kecuali ia adalah
putra Ki Ageng Gajah Sora, suatu kenyataan yang tak dapat
disangkal, bahwa Arya Salaka-lah yang menerima Tombak Kyai
Bancak sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.”
Meskipun keterangan Mahesa Jenar itu belum memuaskan
mereka, namun para pimpinan laskar Banyubiru itu mencoba
untuk mengertinya. Tetapi mereka sadar bahwa untuk beberapa
saat mereka akan melampaui masa-masa yang menjemukan.
Menunggu dan menunggu. Sedangkan menunggu bagi seorang
prajurit yang sudah bersiap untuk bertempur, adalah pekerjaan
yang paling tidak menyenangkan. Namun mereka adalah laskar
yang mempunyai ikatan yang kuat, sehingga setiap perintah akan
dilaksanakan dengan baik. Demikian juga perintah untuk
menunggu itu pun akan mereka laksanakan pula.
Ketika mereka sudah cukup beristirahat, kembali laskar
Banyubiru itu melanjutkan perjalanannya. Mereka mengharap
untuk sampai ke perbatasan perjalanannya. Mereka mengharap
untuk sampai perbatasan menjelang senja. Di sanalah mereka
akan berkemah, dan menghabiskan waktu-waktu mereka dengan
sebal dan gelisah.
Di langit, matahari yang menyala-nyala berputar demikian
cepatnya. Maka ketika sorotnya yang kemerahan di langit sebelah
barat tenggelam di balik bukit-bukit, laskar Banyubiru itu telah
sampai ke tujuannya. Mereka segera menempatkan diri sebaik-
baiknya. Meskipun mereka tidak dalam gelar perang, namun
mereka harus selalu bersiaga, kalau-kalau laskar Lembu Sora
mendahului menyerang mereka. Sebagian dari para laskar itu pun
segera beristirahat, sebab besok mereka harus membangun
perkemahan untuk beberapa hari lamanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 94
Dalam pada itu Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang
Parapat telah pula memasuki kota Banyubiru. Untuk menjaga
keamanan diri, mereka sengaja memilih jalan-jalan yang sepi.
Satu-dua mereka bertemu juga dengan penduduk yang
memandang mereka dengan curiga. Namun karena malam telah
gelap, tak seorangpun yang dapat mengenalinya.
Karena itu, Wanamerta bersama kawan-kawannya dapat
mencapai pusat kota dengan selamat.
Di sepanjang jalan mereka sempat membicarakan apakah
yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka pasti tidak akan
mempunyai waktu yang cukup untuk menemui orang-seorang,
memasuki rumah yang satu ke rumah yang lain. Karena itu mereka
mencoba untuk bertemu dengan penduduk Banyubiru dalam
jumlah yang besar sekaligus.
Dari Bantaran mereka pernah mendengar bahwa orang-orang
Banyubiru sekarang mempunyai kebiasaan yang menyedihkan.
Menyabung ayam, judi dan tayub di lapangan di ujung kota. Maka
ketika Wanamerta teringat pada ceritera Bantaran itu, ia berkata,
“Sendang berdua, bukankah sebaiknya kita pergi ke tanah lapang
itu?”
Kakak-beradik itu ragu sejenak. Jawab Sendang Papat,
“Paman, tidakkah perbuatan itu terlalu berbahaya?”
Wanamerta tersenyum. Jawabnya, “Aku kira tidak, Sendang
Papat, aku kira lebih mudah berbicara dengan orang banyak
daripada berbicara dengan mereka satu demi satu, apabila kita
dapat menempatkan diri kita. Tetapi kalau kita gagal, bahayanya
menjadi lebih besar. Nah, biarlah kita mencoba mengail ikan yang
besar sekaligus, meskipun umpannya pun harus besar.”
“Baiklah Paman,” jawab Sendang Papat. Meskipun dengan
demikian mereka harus bersiap menghadapi bahaya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 94
Tiga orang yang pergi bersama mereka, berjalan agak jauh di
belakang. Ketika Wanamerta sudah mengambil keputusan, maka
segera Sendang Parapat menemui mereka, dan memberi mereka
pesan-pesan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka ketika mereka mendengar suara gamelan
tidak demikian jauh di hadapan mereka mulai dibunyikan,
berkatalah Wanamerta, “Nah, itulah, mereka segera akan mulai
dengan acara gila-gilaan itu.”
Sendang Papat dan Sendang Parapat tidak menjawab. Mereka
hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Marilah kita mulai dengan permainan kita,” sambung
Wanamerta, “Kita ambil jalan yang berbeda-beda, supaya
kedatangan kita tidak menarik perhatian.”
Maka Wanamerta pun kemudian berjalan sendiri, Sendang
Papat dan Sendang Parapat beserta ketiga orang yang lainpun
kemudian berpisah-pisah untuk seterusnya pergi ke tanah lapang
yang memancarkan kemaksiatan yang memuakkan itu.
Ketika mereka sampai ke tempat itu lewat jalan-jalan berbeda
dan berdiri ditempat yang berserak-serak dan gelap, segera
mereka melihat kebenaran ceritera Bantaran itu. Mereka melihat
beberapa orang tledek menari-nari di tengah arena dengan gerak-
gerak yang menggairahkan. Sendang Papat dan Sendang Parapat
adalah penari yang baik pula. Tetapi mereka belum pernah
mempelajari bentuk-bentuk tarian seperti yang ditarikan oleh
tledek-tledek itu. Apalagi ketika mereka kemudian mengenal
siapakah yang kemudian bersedia merendahkan diri mereka
sendiri untuk melakukan perbuatan itu, tanpa sengaja. Sendang
Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta, tanpa berjanji, di tempat
masing-masing menggeleng-gelengkan kepala mereka. Gadis-
gadis itu ternyata beberapa tahun yang lalu adalah gadis-gadis
yang baik, bahkan mereka adalah penari-penari yang baik pula.
Tetapi tiba-tiba mereka sekarang menari dengan gaya yang tak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 94
pernah mereka kenal sebelumnya. Bahkan menurut penilaian
mereka, gadis-gadis itu sama sekali tidak menari, tetapi mereka
benar-benar mencoba untuk memancing-mancing nafsu
jasmaniah yang rendah, dalam irama gelap yang gila-gilaan pula.
Diantara nada-nada yang berirama panas itu terdengar suara
pesinden yang tidak kalah gilanya dari tari-tarian itu sendiri.
Pesinden yang telah kehilangan patokan-patokan seni suara.
Maka di lapangan itu terdapatlah suatu perpaduan antara tari-
tarian, lagu dan irama yang benar-benar dapat membakar hangus
dada yang berisi hati yang lemah. Namun sayang, terlalu sayang,
bahwa justru tari-tarian, lagu dan irama yang demikian itulah yang
kini mendapat penggemar-penggemar yang cukup banyak.
Sendang Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta melihat, betapa
pemuda-pemuda sebaya dengan kakak-beradik Sendang itu,
bahkan diantaranya masih sangat muda. Mereka telah benar-
benar tenggelam dalam lagu-lagu yang sama sekali telah
kehilangan bentuknya sebagai lagu, tari-tarian yang hanya
memantulkan gairah tanpa keindahan dan watak. Apalagi harus
dipanaskan dengan suasana yang benar-benar telah berubah
seperti panasnya api neraka, telah menelan seluruh tanah lapang
itu ke dalam suasana yang mengerikan.
Ketika Wanamerta dengan beberapa orangnya masih saja
berdiri di dalam bayang-bayang yang gelap, mereka dalam waktu
yang tidak terlalu lama telah menyaksikan dua kali perkelahian
diantara para penonton. Perkelahian orang-orang yang mabuk
tuak, dibelai oleh suara tertawa beberapa orang perempuan
dengan gembira sekali menyaksikan perkelahian itu. Namun di
samping itu, Wanamerta dan kawan-kawannya, masih juga melhat
beberapa orang laki-laki yang hanya berjongkok-jongkok saja
menonton suasana itu dari kejauhan. Dari wajah-wajah mereka,
Wanamerta menangkap beberapa kesan yang berbeda-beda. Ada
diantara mereka yang kecewa karena kehabisan uang. Ada yang
kecewa karena mereka menyaksikan tingkah laku yang seolah-
olah kehilangan kesadaran. Ada yang kecewa karena sejak akhir-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 94
akhir ini mereka tidak dapat menyaksikan lagi bentuk-bentuk
kesenian seperti yang pernah mereka nikmati dahulu.
Wanamerta tidak menunggu suasana menjadi bertambah ribut
dan gila. Ia ingin menjumpai sesuatu pada orang-orang Banyubiru
itu. Karena itu, ia tidak berlindung di bawah bayang-bayang yang
gelap lagi. Dengan sengaja ia berjalan maju diantara orang-orang
yang berserak-serak di tanah lapang itu. Di dalam hatinya
bergolaklah berbagai macam perasaan sehingga terasa jantungnya
berdebar-debar. Tiba-tiba Wanamerta merasa seperti seorang
bekel Bayangkari pada masa pemerintahan Baginda Jayanegara
yang bernama Gajah Mada. Setelah ia berhasil menyingkirkan
Baginda Jayanegara dari pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti,
kemudian ia kembali ke Maja-
pahit mengabarkan kepada
rakyatnya bahwa Baginda telah
wafat. Ketika ia mengetahui
bahwa rakyat Majapahit dan
para pembesar berduka cita
atas berita itu, tahulah ia
bahwa rakyat masih cinta
kepada Baginda Jayanegara.
Demikianlah kali ini, ia harus
berhadapan dengan rakyat
Banyubiru, membawa kabar
tentang laskar mereka.
Mula-mula tak seorangpun
memperhatikan kehadirannya.
Tetapi beberapa saat kemudian
seorang demi seorang meman-
dangnya dengan penuh perhatian. Mula-mula mereka ragu,
apakah benar yang berdiri di antara mereka dengan sikap acuh tak
acuh itu Kiai Wanamerta.
Ki Wanamerta pura-pura sama sekali tak merasakan perhatian
orang kepadanya. Dengan berdiam diri, ia semakin maju, melihat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 94
pertunjukan di arena. Pertunjukan yang telah menjadi semakin gila
dan panas.
Dalam pada itu terdengarlah bisik-bisik di antara para
penonton. Seorang perlahan-lahan berkata kepada kawan yang
berdiri di sebelahnya, “He Kakang, bukankah itu Kiai Wanamerta?”
Dengan mengedipkan matanya, kawannya itu menjawab,
“Kalau aku tidak salah lihat, beliaulah Kiai Wanamerta”
Mereka jadi berdiam diri. Tetapi karena keinginan mereka
untuk mendapatkan kebenaran atas sangkaan itu, mereka berjalan
perlahan-lahan mengikutinya. Ternyata bukan hanya kedua orang
itu sajalah yang ingin melihat, apakah orang itu benar-benar Kiai
Wanamerta. Dengan demikian para penonton di tanah lapang itu
pun berdesakan maju. Kali ini bukan karena tledeknya yang
semakin membuat tingkah yang aneh-aneh, tetapi karena mereka
ingin memandang wajah orang yang mereka sangka Kiai
Wanamerta itu dengan lebih seksama lagi.
Diam-diam Kiai Wanamerta merasa, bahwa sedikit demi sedikit
ia telah dapat menarik perhatian. Tinggal kemudian apakah ia
dapat melakukannya dengan baik. Sekali dua kali ia menarik nafas
untuk mengatur perasaannya, dan menenangkan debar
jantungnya.
Ketika ia telah merasa yakin, bahwa hatinya tidak akan
bergetar lagi, maka perlahan-lahan ia berjalan ke samping
pertunjukan itu, untuk kemudian menjauhinya.
Orang-orang yang mengikutinya, masih saja berjalan beriring-
iring di belakangnya. Bahkan semakin lama semakin banyak.
Orang-orang yang semula tenggelam dalam lagu dan tarian yang
sudah semakin bubrah itu, kemudian satu demi satu meninggalkan
gelanggang. Sebab dalam pandangan mereka, kehadiran Kiai
Wanamerta adalah sesuatu yang aneh dalam suasana yang
demikian itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 94
Para tledek, merasakan suatu keadaan yang berbeda dengan
hari-hari yang telah mereka lewati. Mereka kali ini merasa seolah-
oleh tidak mendapat perhatian dari para pengunjungnya. Malahan
satu demi satu mereka meninggalkan arena. Karena itu, para
tledek itu berusaha habis-habisan untuk mengikat penggemarnya.
Mula-mula mereka memperpanas suasana dengan gerak-gerak
yang semakin gairah. Tetapi ketika para penonton masih saja satu
demi satu melangkah pergi, tledek-tledek itu benar-benar
kehilangan akal. Mereka bernyanyi dan menari semakin liar, dan
bahkan kemudian mereka lupa diri, bahwa mereka adalah manusia
yang memiliki ikatan-ikatan susila, meskipun telah sejak lama
dilanggarnya, namun tidaklah sehebat kali ini, dimana mereka
menjerit-jerit dengan lagunya yang merangsang. Tertawa-tawa
tak menentu, meskipun hatinya menangis, sebab apabila para
penggemarnya sudah meninggalkannya, berarti tak ada makan di
esok hari.
III
Kiai Wanamerta pun kemudian berhenti di tengah-tengah
lapangan itu. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya menghadap
kepada orang-orang yang mengikutinya. Ketika mata orang tua
yang sejuk itu memandang mereka yang berderet-deret di
hadapannya, maka tiba-tiba terasalah suatu tusukan yang tajam
ke dalam setiap dada orang-orang Banyubiru itu. Meskipun
Wanamerta belum mengucapkan sepatah katapun, namun cahaya
matanya telah berkata banyak sekali. Bahkan setiap hati di dalam
dada penduduk Banyubiru itu pun ikut serta berkata-kata. Ikut
serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab,
“Kenapa hal-hal semacam ini bisa terjadi…?”
Teringatlah mereka peristiwa beberapa bulan berselang. Ketika
di tanah lapang ini pula, mereka menyaksikan perkelahian yang
sengit antara Suraban dan Bantaran. Pada saat itu, mereka seolah-
oleh telah berjanji untuk tidak akan mengulangi kelakuan-
kelakuan mereka yang gila ini. Namun karena pengaruh keadaan,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 94
sedikit demi sedikit, tanah lapang yang penuh dengan kemaksiatan
ini menariknya kembali. Dan sekarang yang berdiri di hadapannya
bukan sekedar Bantaran, tetapi orang yang pernah menjadi
kepercayaan Ki Ageng Sora Dipayana sejak Pangrantunan lama.
Tetua tanah perdikan Banyubiru, Kiai Wanamerta.
Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka
menundukkan wajahnya, bahkan ada yang berusaha bersembunyi
di punggung kawan-kawannya, supaya mukanya tidak terlihat oleh
Kiai Wanamerta yang mereka hormati itu. Tetapi disamping
perasaan yang demikian, disamping perasaan sesal dan malu, ada
pula yang merasa betapa akibat yang akan ditimbulkan oleh
kehadiran Wanamerta itu. Seperti pada saat Bantaran mengacau
di tanah lapang itu, maka Wanamerta pun akan melakukan hal
yang sama. Karena itu wajah orang-orang yang berpendirian
demikian segera menjadi gelap dan tegang. Mereka memandang
Wanamerta dengan perasaan benci.
Meskipun tanggapan mereka atas kehadiran Wanamerta itu
berbeda-beda, namun tak seorangpun yang mengucapkan kata-
kata. Sementara itu para niyaga dan penarinyapun akhirnya
mengetahui pula, apa sebabnya para penontonnya meninggalkan
arena. Bahkan beberapa orang diantaranya segera meninggalkan
pekerjaan mereka, dan ikut pula berderet-deret melihat tetua
tanah perdikan mereka, yang dengan tiba-tiba ada diantara
mereka.
Karena itu, maka untuk beberapa lama tanah lapang itu
tenggelam dalam kesepian. Suara riuh gamelan dengan irama
yang gila, suara perempuan tertawa, seperti iblis betina, segera
lenyap dalam keheningan yang tegang.
Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta perlahan-
lahan, namun merata ke segenap telinga, “Kenapa kalian berhenti
bersuka ria?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 94
Bergetarlah setiap jantung mereka yang mendengarnya.
Namun tak seorang pun dapat menjawab.
“Kalian benar-benar telah menjadikan tanah kalian makmur.
Ternyata dengan perbuatan kalian, siang-malam bersuka ria,
bergembira atas kemakmuran kalian, seperti apa yang sering
kalian lakukan dahulu hanya setahun sekali, sesudah kalian
menuai padi musim basah. Itu saja kalian lakukan dalam batas-
batas yang jauh lebih sempit daripada batas-batas yang kalian
buat sekarang ini. Dalam batas-batas yang dibenarkan oleh
kepribadian kita, dan lebih dari itu dalam batas-batas yang
diperkenankan oleh agama kita.”
Tanah lapang itu menjadi bertambah hening. Dengan demikian
gemersik daun yang disibakkan oleh angin, terdengarlah betapa
kerasnya.
Ketika tak ada akibat apapun dari kata-katanya, Wanamerta
meneruskan, “Aku datang untuk melihat kalian bersuka ria. Nah,
teruskanlah.”
Tak seorang pun beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi mereka
yang sejak semula merasa terganggu oleh kehadiran Wanamerta,
menjadi semakin tersinggung oleh kata-kata ejekan itu.
Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang Banyubiru
itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan, “Kenapa kalian
memandang aku seperti memandang hantu? Adakah kalian tidak
mengenal aku lagi?”
Masih belum terdengar suara dari antara mereka.
“He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah,” sambung
Wanamerta.
Yang disebut namanya menjadi semakin bingung. Mereka tidak
tahu apa yang mesti dilakukan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 94
Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara yang
berat dan parau, “Kiai, apakah yang sebenarnya akan Kiai lakukan
di sini?”
Pandang Wanamerta segera beredar ke arah suara itu. Suara
yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh jangkung, berkumis
pendek seperti lalat yang hinggap di bawah hidungnya, dengan
bibir yang tebal dan hidung yang melengkung seperti paruh
burung.
“Ha, kau itu agaknya Sontani?” tanya Wanamerta.
“Ya, akulah,” sahut orang jangkung itu. Matanya
memancarkan perasaan yang kurang senang atas kehadiran
Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat hadiah
pangkat dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban untuk
mengamankan daerahnya.
“Ah, hampir aku tak mengenalmu lagi,” sambung Wanamerta,
“Kau sekarang nampak begitu gagah.”
Sontani adalah seorang yang sombong. Yang merasa dirinya
mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang lain. Karena
itulah maka sudah sewajarnya kalau ia diangkat menjadi bahu dan
mengepalai pedukuhan Lemah Abang. Juga terhadap Wanamerta,
ia ingin menunjukkan jabatannya, sebagai suatu kewajaran. “Kiai,
aku berbicara sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu
jangan Kiai merajuk seperti anak-anak.”
Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran kota
Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang tua yang
saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak mengesankan
keheranannya, bahkan dengan tersenyum Kiai Wanamerta
menjawab, “Aku mengucapkan selamat kepadamu Sontani. Tetapi
lalu bagaimana dengan Kiai Bakung?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 94
“Huh,” jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya, “Orang tua
yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik mengeram saja di
rumahnya. Tak ada yang dapat dilakukan.”
Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia tidak
menjawab.
Maka terdengarlah kembali suara Sontani, “Nah Kiai… aku
ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di sini?”
Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya, “Sudah aku
katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria.”
“Bohong!” bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya
kemudian, “Telah sekian lamanya kau menghilang. Sekarang tiba-
tiba muncul seperti hantu bangkit dari kuburnya.”
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia kurang senang
mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana tidak
rusak karenanya. Maka iapun menjawab, “Sontani, pertama,
memang kedatanganku ini tertarik oleh suara gamelan yang
demikian hangatnya. Kedua, aku memang sudah rindu kepada
kampung halaman. Aku telah memutuskan untuk pulang dan hidup
diantara kalian seperti sediakala.”
“Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke Banyubiru,”
bantah Sontani.
“Kenapa?” sahut Wanamerta.
“Kau telah meninggalkan kampung halamanmu terlalu lama.
Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan sepantasnya
kau sekarang ditangkap dan diserahkan kepada Ki Ageng Lembu
Sora,” ancam Sontani.
“O….” jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan
kepalanya. “Ketahuilah Sontani, dan ketahuilah anak-anakku
rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang berhasrat untuk kembali
pulang kampung halaman, tetapi juga orang-orang lain seperti
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 94
Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan Sendang Parapat, Wiraga
dan yang lain-lain. Bahkan, dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda
Arya Salaka pun akan kembali ke Banyubiru.”
Oleh karena itu, tiba-tiba terdengarlah gumam yang merata di
seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah sedang terbang
berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk sesaat, namun yang
kemudian menjadikan mereka bertanya-tanya, kepada diri sendiri,
kepada orang-orang yang berdiri di sekitarnya, “Apakah berita itu
benar…?”
Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-
katanya, “Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah
kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah
pengalaman?”
Sebagian besar dari mereka yang berdiri di tanah lapang itu,
tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap kebenaran dari
berita itu. Maka kembali terdengar mereka bergumam, “Mudah-
mudahan berita itu benar.”
Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar di lapangan
itu, terdengarlah suara Sontani lantang, “Bohong…!”
Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti. Disusul
dengan suara Sontani melanjutkan, “Apakah keuntungan kita
dengan kedatangan anak itu?”
“Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?” jawab Wanamerta.
“Tidak peduli anak siapa dia. Anak setan, hantu, thethekan.
Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru mengalami bencana.
Pada saat golongan hitam menyerang daerah ini. Untunglah bahwa
pada saat itu seluruh rakyat Banyubiru bangkit melawannya
bersama-sama dengan rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah
tanah perdikan ini. Sekarang anak itu akan kembali dan masih
menyebut-nyebut sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 94
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan
menjawab, Sontani sudah berteriak pula, “Ia masih merasa berhak
pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku yakin bahwa
kedatangannya hanya akan menambah bencana saja. Setiap masa
peralihan sama sekali tidak akan menguntungkan. Kiai, katakan
kepada anak itu, supaya ia mengurungkan niatnya sebelum ia
menyesal!”
Kata-kata Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa orang,
lebih-lebih yang sejak semula memandang kehadiran Wanamerta
itu sebagai bencana. Maka terdengarlah seseorang berteriak,
“Jangan tambah kesulitan kami dan hal-hal yang tetek bengek.
Biarlah kami hidup seperti apa yang kami alami sekarang ini.”
Mendengar teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi
menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri untuk
memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak sepuas-
puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak itu terhalang,
maka semakin bernafsulah mereka. Sehingga suaranya sendiri
tidak akan dapat didengar orang. Agaknya kesempatan itu pun
dipergunakan sebaik-baiknya oleh orang-orang yang tidak
menghendaki kehadirannya. Maka terdengarlah bersautan, “He,
Wanamerta. Jangan bikin ribut di tanah yang kau anggap tanah
kelahiranmu ini.” Disusul oleh yang lain, “Kami tidak perlukan anak
itu. Juga tidak kami perlukan kau, Wanamerta.”
Orang-orang yang semula mengharap kebenaran berita
tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu pula.
Apakah untungnya? Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya
akan menambah keributan. Satu demi satu merekapun
terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang semakin ribut. Bahkan
akhirnya seorang berteriak, “Pergilah kau Wanamerta, keledai tua
yang tak tahu diri. Pergi…. Pergi….” Disaut oleh suara gemuruh,
“Pergi…. Pergi…. Biarlah kami menikmati malam-malam yang
indah ini tanpa gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar
Kiai Wanamerta tergila-gila kepadamu.” Terdengarlah kemudian
suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah lapang itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 94
Sendang Papat dan Sendang Parapat yang berdiri di bawah
bayang-bayang yang gelap, hampir-hampir tak dapat menguasai
diri mereka. Peluh dingin mengalir di segenap bagian tubuhnya.
Tangan mereka sudah bergetar di hulu keris mereka. Namun
ketika mereka masih melihat Kiai Wanamerta berdiri dengan
tenangnya, merekapun menahan diri mereka sekuat-kuatnya.
Memang pada saat itu Wanamerta masih berdiri tegak di
tempatnya tanpa bergerak. Ia memandang setiap wajah orang-
orang Banyubiru yang seakan-akan telah kehilangan akal itu.
Dibiarkannya mereka berteriak-teriak seperti orang kemasukan
setan.
Teriakan-teriakan itu pun semakin lama menjadi semakin
keras dan ribut. Tetapi mereka tak berbuat lain daripada berteriak-
teriak. Ketika mereka masih melihat Wanamerta berdiri saja
seperti patung, mereka menjadi heran. Dengan demikian teriakan-
teriakan itu pun menjadi semakin berkurang. Apalagi ketika
mereka melihat ketenangan yang membayang di wajah orang tua
itu, seolah-oleh teriakan-teriakan mereka itu seperti suara angin
yang berdesir, menyegarkan tubuhnya.
Wanamerta mengamati keadaan secermat-cermatnya. Ia
berusaha untuk memperhitungkan waktu sebaik-baiknya. Ketika
suara teriakan-teriakan itu sudah susut, berkatalah ia dengan
lantangnya, “He, Nyi Gadung Sari kenapa kau belum juga menari?
Marilah kita menari bersama-sama. Bukankah Wanamerta juga
seorang penari yang baik? Lebih baik dari kalian yang berada di
tanah lapang ini?”
Suara Wanamerta itu benar-benar mengejutkan. Apalagi Nyi
Gadung Sari sendiri. Tetapi yang lebih terkejut adalah mereka
yang mengharapkan Wanamerta menjadi marah. Dengan
demikian mereka punya alasan untuk mengusirnya. Tetapi
ternyata orang tua itu sama sekali tidak marah.
“Saudara-saudaraku serta anak-anakku, bukankah aku sudah
berkata bahwa aku akan kembali ke kampung halaman? Bukankah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 94
dengan demikian aku harus menyesuaikan diri dengan cara hidup
kalian?”
Teriakan-teriakan dari orang-orang yang berdiri di tanah
lapang itu telah benar-benar berhenti. Ada diantaranya yang sudah
puas, ada yang karena suaranya telah menjadi serak parau. Tetapi
ada juga yang karena terkejut mendengar kata-kata Wanamerta
yang sama sekali tak mereka duga sebelumnya.
“Bukankah kalian menghendaki agar aku tidak mengganggu
kalian?” tanya Wanamerta.
Sementara suasana menjadi hening. Namun sesaat kemudian
terdengar beberapa orang menjawab, “Ia benar, jangan ganggu
kami.”
“Aku berjanji untuk tidak mengganggu kalian.” Wanamerta
meneruskan, “Bahkan aku ingin menyesuaikan diri dengan kalian.
Bukankah apa yang kalian lakukan itu sangat menarik? Menari-nari
menyanyi dan bergembira sepanjang hari. Bukankah dengan
demikian kalian akan awet muda?” Wanamerta diam sesaat. Maka
kembali tanah lapang itu ditelan kesepian. Yang terdengar
hanyalah tarikan nafas yang saling memburu. Ketika tak seorang
pun yang memotong kata-kata itu, Wanamerta meneruskan,
“Inilah kelebihan kalian dari masa-masa lampau. Dari jaman nenek
moyang nenek moyang kita. Apa yang kalian lakukan sekarang
belum pernah terjadi di tanah perdikan ini sejak masa tanah ini
masih bernama Pangrantunan. Kita sekarang tidak perlu bekerja
keras, tidak perlu membanting tulang untuk tanah kita yang sudah
melimpah ruah ini. Sawah ladang, parit-parit dan jalan-jalan.
Begitu?”
Tanah lapang itu menjadi semakin sunyi. Namun dada orang-
orang Banyubiru menjadi semakin riuh. Benarkah mereka
sekarang tidak perlu lagi bekerja keras? Benarkah sawah ladang
mereka telah melimpah ruah? Pertanyaan-pertanyaan itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 94
bergelora di setiap dada. Dan perlahan-lahan mereka
menggelengkan kepala mereka.
“Nah....” sambung Wanamerta, “Sekarang kita tidak usah
bersusah payah, berpikir tentang tetek bengek. Kita sekarang
tidak usah bersusah payah berpikir tentang kesejahteraan
kampung halaman lahir maupun batin. Begitu?”
Tak satu suara pun yang terdengar, sehingga Wanamerta
berkata terus, “Jadi bagaimana? Atau kita memang menghendaki
hal-hal seperti ini berlangsung terus? Kita biarkan masjid-masjid,
banjar-banjar desa dan balai-balai kita menjadi sarang labah-labah
dan runtuh sedikit demi sedikit seperti keruntuhan akal kita…?
Bagus-bagus. Demikian agaknya yang kalian kehendaki. Mari, mari
anak-anakku. Marilah kita berpikir tentang diri kita sendiri. Tidak
perlu tentang tanah pusaka kita yang tercinta. Karena itulah maka
aku sependapat dengan kalian. Menyabung ayam di siang hari,
judi, tuak dan tayub di malam hari seperti sekarang ini. Hem….”
Wanamerta berhenti untuk menelan ludahnya. Wajahnya telah
basah oleh peluh yang mengalir dari keningnya. Kata-katanya
seakan-akan menghunjam ke dalam dada orang-orang Banyu Biru
yang berdiri tegak berhimpit-himpitan di sekitarnya. Ketika tak
seorang pun menjawab ia meneruskan lagi, “Dan sekarang semua
itu ada pada kita. Menyabung ayam, judi, perempuan, dan
apalagi…?”
Kata-kata itu tajamnya seperti sembilu. Mereka yang semula
terseret oleh arus kebencian kepada orang tua itu, sekali lagi
menundukkan wajah mereka. Mereka menjadi sangat malu kepada
diri sendiri. Seterusnya Wanamerta berkata, “Nah, sekarang kalian
boleh memilih. Tenggelam dalam lumpur kemaksiatan atau tegak
kembali lewat jalan kebenaran. Atau kita menunggu masanya kita
menjadi hancur dengan sendirinya, kemudian orang-orang dari
kalangan hitam akan menari-nari di atas bangkai kita bersama.
Sadar atau tidak sadar apa yang kalian lakukan adalah sangat
menguntungkan dan mempercepat keruntuhan kita. Lahir dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 94
batin. Sekarang kita dapat tertawa, menari dan menyanyi. Tetapi
besok kita akan mati dengan bau tuak menghambur dari mulut
kita. Dan kita telah kehilangan jalan untuk menghadap kembali
kepada Tuhan kita.”
Tanah lapang itu benar-benar seperti padang luas yang
kosong. Sepi hening. Yang terdengar kemudian adalah Wanamerta
kembali, “Sekarang kalian tinggal memilih. Aku berada di pihak
kalian. Dan apakah kalian pernah melihat wayang? Apakah kalian
pernah mendengar ceritera Baratayuda? Pada saat Pendawa
menuntut haknya kembali dari para Kurawa…?”
Juga tidak seorangpun yang memotong kata-kata Wanamerta,
sehingga ia dapat meneruskan, “Dalam ceritera pewayangan,
wayang beber atau wayang kulit, diceriterakan bahwa akhir dari
Baratayuda itu, yang sayang tidak memuaskan kita semua.
Kenapa akhir dari Baratayuda itu menunjukkan kemenangan pihak
Pendawa? Tidak Kurawa?” Wanamerta melihat kegelisahan rakyat
Banyubiru yang berdiri mengelilinginya. Pada wajah-wajah mereka
tampak ketegangan yang mencekam. Tetapi masih belum seorang
yang berkata sepatah katapun. Yang terdengar kemudian adalah
suara Wanamerta kembali, “Nah, baiklah lain kali kita mengadakan
pertunjukan wayang tujuh hari tujuh malam. Sejak Kresna Duta
sampai Karna Tanding, lalu seterusnya kita ubah, Arjuna lah yang
mati oleh Adipati Karna dari Awangga. Dan seterusnya berturut-
turut habislah Pandawa setelah para putra gugur lebih dahulu.
Juga Parikesit kita bunuh.”
Meskipun Wanamerta bercakap terus, namun perhatiannya
tidak terlepas dari setiap wajah yang dengan tenang dan gelisah
mendengar kata-katanya. Ceritera wayang, apalagi Baratayuda
dianggap keramat oleh penduduk Banyubiru. Tiba-tiba secara
tepat Wanamerta mengungkapkan sindirannya dengan
mempergunakan ceritera itu. Sehingga tiba-tiba terdengarlah
seseorang berkata, meskipun perlahan-lahan, “Tidak bisa Kiai,
Baratayuda tidak bisa diubah demikian.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 94
Wanamerta pura-pura terkejut mendengar perkataan itu.
Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab, “Kenapa tidak bisa?
Bukankah Prabu Astina, Prabu Kurapati dapat memberi kepada
rakyatnya keleluasaan seperti yang kita kehendaki. Sabung ayam,
judi, tayub, tuak dan sebagainya, sedang orang-orang Pendawa
sepanjang hidupnya hanya prihatin saja?”
“Tidak, Kiai,” terdengar suara yang lain, “Kita tidak
menghendaki demikian. Kita tidak menghendaki seperti orang-
orang Astina di Banyubiru.”
“He…?” kembali Wanamerta pura-pura terkejut. “Apakah yang
kau katakan?”
“Kami tidak menghendaki hal itu terjadi di Banyubiru,” ulang
suara itu.
“Yang mana tidak kau kehendaki? Bukankah raja Astina Ratu
Gung Binatara, Raja yang kaya? Bukankah adinda baginda yang
berjumlah 99 orang itu semuanya pandai berjudi, tayub dan tuak?
Bukankah di Astina ada seorang pendeta yang putus saliring ilmu,
agal alus, yang kasat mata, yang tidak kasatmata? Yang bernama
Dorna?”
“Tidak… tidak....” terdengar beberapa orang memotong kata-
kata Wanamerta, “Kami tidak menghendaki itu.”
“Itu yang mana…?” Wanamerta memancing ketegasan
mereka.
“Judi. Kami tidak mau judi,” jawab yang lain.
“O, hanya itu saja?” desak Wanamerta.
“Tidak. Tidak hanya itu. Kami tidak mau tuak,” jawab beberapa
suara berbareng.
“Judi dan tuak itu saja?” Wanamerta merasa bahwa ia hampir
mencapai maksudnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 94
Dan ada yang didengarnya kemudian sangat
menyenangkannya. Orang-orang Banyubiru itu kemudian
berteriak, “Tidak. Kami tidak mau judi, tuak, tayub dan sabung
ayam. Kami bukan orang-orang Astina. Kami adalah orang-orang
Banyubiru.”
“Tunggu dulu,” potong Wanamerta, “Bukankah putra-putra
Astina berada dalam asuhan Maha Pendeta Dorna yang bijaksana,
yang dapat memberikan kepada mereka kenikmatan jasmaniah,
rohaniah dalam kekuasaan mereka atas Astina?”
“Kami tidak mau pendeta itu. Kami tidak mau orang semacam
Dorna.” Terdengar mereka berteriak-teriak, “Pendeta degleng,
pendeta bermulut ular.”
“Jadi bagaimana seterusnya? Bagaimana dengan akhir dari
Baratayuda itu?” tanya Wanamerta.
“Prabu Kurupati terbunuh. Semua adik-adik terbunuh. Pendeta
Dorna mati di tangan Drestajumena yang berhasil memancung
lehernya,” sahut mereka bersama.
“Tetapi dengan demikian masyarakat yang kita cita-citakan.
Jadi, kemenangan Pendawa berarti kemenangan keprihatinan dari
kemenangan lahiriah, tetapi juga berarti kemenangan dari jiwa
rohaniah yang tawakal, percaya kepada keadilan Yang Maha
Pencipta. Dengan demikian kita tidak akan dapat membayangkan
masyarakat seperti masarakat kita malam ini. Tetapi masyarakat
yang bekerja keras menuju tata kehidupan yang tenteram damai
tata tentrem karta raharja, gemah ripah lohjinawi”.
Semua terdiam. Hening. Sepi. Seandainya sepotong lidi jatuh
di tengah lapang itu, suaranya pasti akan sangat mengejutkan.
Angin malam yang lembut mengusap wajah-wajah yang
terbanting-banting.
Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar suara Wanamerta
gemuruh seperti guruh yang membelah langit-langit lapis, “Hei
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 94
rakyat Banyubiru, katakan kepadaku sekarang, adakah kalian
masih tetap pada pendirian kalian? Supaya aku membiarkan kalian
hanyut dalam arus kesenangan lahiriah, yang berpangkal melulu
pada nafsu yang tak terkendali seperti sekarang ini?” Tak ada
suara yang terdengar. Karena itu Wanamerta meneruskan,
“Jawablah pertanyaanku. Adakah kalian masih akan meneruskan
cara hidup kalian sekarang ini? Judi, tuak, tayub dan berkelahi
sesama kita karena kita sudah mabuk…?”
Mula-mula yang terdengar hanyalah suara-suara bergumam.
Namun kemudian terdengarlah suara mereka saur manuk,
“Tidak…tidak… tidak….” Wanamerta kemudian meneruskan, “Nah,
dengarlah baik-baik. Aku ingin bertanya sekali lagi, apakah cara
hirup kita ini akan kita akhiri?”
“Ya, Kiai, ya, ya, kita akhiri sampai di sini,” sahut mereka
berebut keras.
“Bagus. Itulah yang aku harapkan. Rakyat Banyubiru yang
sejati. Kalian harus melupakan racun yang dengan perlahan-lahan
membunuh kalian, membunuh semangat kalian, sehingga kalian
lupa pada masyarakat yang kalian cita-citakan, lupa kepada
kampung halaman, lupa kepada pribadi kalian. Nah, dengarlah
baik-baik. Arya Salaka itu akan datang. Benar-benar akan datang.”
Tiba-tiba meledaklah suara mereka gemuruh. “Kita sambut
anak muda itu diantara kita. Kita sudah sampai pada ceritera
Lahirnya Parikesit. Dan Parikesit itu akan datang membebaskan
kita.”
Teriakan-teriakan yang gemuruh itu mengumandang sampai
beberapa saat. Tiba-tiba diantara suara gemuruh itu terdengar
sebuah teriakan, “Belum. Kita belum sampai ke sana. Kita masih
harus menyelesaikan Baratayuda dahulu.”
“Marilah kita tuntut hak kita, hak atas tanah dan kampung
halaman sendiri,” teriak yang lain.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 94
Dalam keriuhan itu terdengarlah suara Sontani menggelegak
menggetarkan tanah lapang itu, “Omong kosong! Omong kosong
semuanya. Apakah yang akan kalian tuntut? Tak seorangpun
merasa kehilangan hak atas tanah ini sekarang.”
Tiba-tiba suara riuh itu mereda. Karena itu Sontani
meneruskan, “Apakah yang hilang dari milik kalian. Tanah, sawah,
halaman dan rumah kalian. Bukankah barang-barang itu masih
tetap di tanganmu. Dan bukankah tak ada seorangpun yang
merampasnya?”
Suara riuh itu kini menjadi diam. Memang mereka yang berdiri
di tanah lapang itu masih memiliki tanah mereka, sawah mereka
dan rumah mereka. Tetapi kemudian terdengarlah suara
Wanamerta tenang, “Kau benar Sontani, tetapi aku dan kalian
harus membayar upeti lebih dari dua kali lipat dari upeti yang harus
kalian bayar dulu.”
“Benar, benar….” Kembali mereka berteriak-teriak.
Muka Sontani menjadi merah padam. Ia merasa terdesak.
Tetapi ia tidak akan membiarkan keributan itu terjadi. Kalau rakyat
Banyubiru itu menerima Arya Salaka, belum pasti ia akan tetap
menjabat pangkatnya yang sekarang. Ia tidak peduli apakah
dengan demikian ia berkhianat atau tidak. Yang penting ia menjadi
kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu Sontani harus
berusaha keras untuk melawan Wanamerta. “Upeti adalah
kewajiban setiap tanah perdikan untuk membiayai tanahnya. Kalau
upeti tanah ini terpaksa berlipat dua, itu adalah karena kebutuhan-
kebutuhan kamipun meningkat pula,” katanya.
Wanamerta tersenyum, jawabnya, “Apakah yang pernah
dihasilkan oleh upeti itu? Adakah kau dapat membangun rumah-
rumah pendidikan? Banjar-banjar desa…? Bukankah selama ini tak
satu pun rumah baru berdiri di Banyubiru? Yang sudah ada pun tak
terpelihara lagi. Bahkan tempat-tempat ibadah pun tidak ada. Dan
bukankah upeti itu mengalir ke Pamingit?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 94
“Benar, benar….!” Teriakan itu semakin mengumandang.
Sontani tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ia melompat
menembus lingkaran manusia yang berdiri di sekeliling
Wanamerta, sambil berteriak, “Persetan dengan sesorahmu. Kau
hanya akan mengacau saja di sini. Pergi atau aku tangkap kau.”
Wanamerta masih tegak di tempatnya seperti tugu. Dengan
masih setenang tadi ia menjawab, “Jangan marah Sontani.
Bukankah aku tidak berbuat apa-apa? Bukankah semula akupun
telah mengatakan semuanya itu? Bahkan semula akupun telah
mengatakan bahwa aku berada di pihak kalian, apapun yang kalian
kehendaki. Dan sekarang kalian menghendaki meletakkan segala
sesuatunya pada tempat-tempat yang sewajarnya, yang
seharusnya. Tidak lebih dan tidak kurang. Bukan judi, tuak, nafsu
dan kekuasaan. Inilah suatu usaha untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan yang sebenar-benarnya.”
“Jangan berkicau, menco tua. Aku perintahkan kau
meninggalkan tempat ini sebelum aku sumbat mulutmu dengan
tanganku.” Sontani sudah tidak dapat menyabarkan diri lagi.
“Jangan Sontani,” jawab Wanamerta masih setenang tadi,
“Akibatnya tidak akan menjadi lebih baik.”
Tetapi Sontani telah kehilangan akalnya. Ia melangkah
semakin dekat. Wajahnya yang keras dan matanya yang hitam
kelam, menunjukkan betapa kerasnya hatinya.
Sementara itu Sendang Papat dan Sendang Parapat telah
meninggalkan tempat mereka. Dengan tanpa menarik perhatian,
mereka telah berada diantara rakyat Banyubiru yang berdesak-
desakan itu. Mereka melihat betapa Sontani dengan marah
menghampiri Wanamerta. Tetapi karena Sontani agaknya seorang
diri, maka Sendang Papat dan Sendang Parapat pun menyabarkan
diri mereka dan melihat saja apa yang akan terjadi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 94
“Wanamerta....” kata Sontani dengan suara yang bergetar oleh
kemarahannya. “Jangan menjawab pertanyaanku. Tetapi kau
hanya bisa melaksanakan. Tinggalkan tempat ini.”
Wanamerta masih belum
bergerak. Tetapi orang-orang
yang berdiri melingkar itu
menjadi cemas. Sontani adalah
seorang yang benar-benar
keras hati. Ia benar-benar
dapat melakukan apa saja
yang ia katakan. Tetapi
Wanamerta belum juga
beranjak dari tempatnya. Maka
ketika ia melihat Sontani
semakin dekat di hadapannya,
ia mencoba untuk sekali lagi
menjawab. Tetapi demikian
Wanamerta menggerakkan
mulutnya, Sontani sudah
membentaknya, “Jangan
menjawab dengan kata-kata,
pergi!” Wanamerta memandanginya dengan seksama. Dari ujung
rambutnya sampai ke ujung kakinya. Maka ketika ia sudah
mendapat ketetapan hati, sengaja ia berkata, “Kenapa tidak
boleh?”
Sontani telah benar-benar marah. Ketika ia mendengar
Wanamerta masih berkata lagi, ia tidak dapat mengendalikan
dirinya. Dengan satu loncatan ia telah berhasil menangkap baju
Wanamerta dan mengguncangnya sambil membentak, “Jangan
menjawab. Kau hanya bisa pergi dari sini.”
Gerakan Sontani itu tiba-tiba telah menggerakkan semua
orang yang berdiri di sekeliling mereka berdua. Tiba-tiba mereka
menjadi sedemikian benci terhadapnya. Terhadap orang yang gila
pangkat dan gila hormat itu. Ketika Sontani sekali lagi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 94
mengguncang baju Wanamerta, terdengarlah sebuah teriakan,
“Lepaskan dia Sontani, lepaskan.”
Sontani melirik ke arah suara itu. Namun ia tidak mau
mendengarkan. Sehingga tiba-tiba dari arah lain terdengar pula
suara, “Sontani, jangan main kekerasan.”
“Diam kalian!” bentak Sontani, “Aku dapat berbuat apa yang
aku kehandaki. Jangan turut campur.”
“Jangan keras kepala Sontani.” Terdengar suara yang lain,
“Supaya kami tidak berkeras kepala pula.”
Sontani menjadi gemetar. Tetapi suara-suara itu terus saling
menyusul. “Lepaskan dia….. Lepaskan dia…. Atau kami harus
melepaskannya?” Disusul pula dengan suara-suara yang mulai
bernada kemarahan. “Pergi kau Sontani. Pergi kau. Atau kami
harus memaksa?”
Tetapi diantara teriakan-teriakan itu terdengar pula jerit
pengikut-pengikut Sontani, “Hantam dia. Hantam kambing tua
itu.”
Sontani melihat pengikut-pengikutnya. Dengan demikian ia
menjadi semakin sombong. Sekali lagi ia menggoncang-
goncangkan baju Wanamerta itu sambil menggeram, “Babi tua,
jangan banyak tingkah.”
Pada saat itulah maka keadaan hampir tak dapat dikuasai lagi.
Kedua belah pihak hampir saja bertindak, dan apabila demikian, di
tanah lapang itu akan terjadi medan pertempuran kecil-kecilan.
Tetapi, tiba-tiba Wanamerta berteriak tanpa memperdulikan
Sontani, “He, orang-orang Banyubiru. Sadarlah pada diri kalian
masing-masing. Jangan dibiarkan perasaan kalian menjerat kalian
ke dalam suatu perbuatan yang tolol.”
Teriakan Wanamerta itu ternyata berpengaruh juga. Beberapa
orang mengurungkan niatnya dan memandangnya dengan heran.
Sementara itu, orang tua yang telah dipenuhi oleh pengalaman
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 94
dalam pemerintahan dan pengendalian terhadap orang-orang
Banyubiru itu memandang Sontani langsung ke dalam matanya.
Mata yang memancarkan kemarahan, ketamakan dan nafsu yang
tak habis-habisnya. Ketika Sontani melihat mata orang tua itu, ia
terkejut. Seolah-olah dari dalam mata itu memancarkan pengaruh
yang aneh. Sehingga tiba-tiba Sontani membuang matanya ke
arah orang-orang Banyubiru yang berdiri, dengan tenang, namun
masing-masing telah bersiap untuk memukul dan berkelahi.
“Lepaskan Sontani,” kata Wanamerta lirih. Lirih saja. Tetapi
bagi Sontani terdengar seperti guruh yang meledak di atas
kepalanya. Ia mencoba untuk melawan pengaruh kata-kata itu
dengan menggenggam baju itu lebih erat dan mencoba menarik
Wanamerta ke dadanya, namun Wanamerta itu menjadi seperti
tugu yang tegak dan tak tergerakkan. Bahkan sekali lagi ia berkata
lirih, “Lepaskan Sontani, lepaskan.”
Tangan Sontani bergetar. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia
melepaskan tangannya perlahan-lahan. Ia tidak dapat melawan
pengaruh perbawa orang tua yang dahulu sangat dihormatinya itu.
Tetapi demikian tangannya terlepas, demikian ia sadar, bahwa
Bahu Lemah Abang akan lepas dari tangannya apabila Arya Salaka
benar-benar akan datang. Karena itu, didorong pula oleh
kesombongannya, serta untuk menutupi kelemahannya, ia
berteriak, “Aku lepaskan kau kelinci tua, tetapi pergilah dari sini.”
Wanamerta tidak mendengarkan lagi kata-kata itu, tetapi ia
berkata kepada orang-orang Banyubiru, “Apa yang kalian lakukan?
Aku lihat kalian akan berkelahi satu sama lain”. Mereka yang
membenarkan kata-kata sebagian besar dari kalian, melawan
mereka yang berpihak kepada Sontani. Kenapa kalian…? Bukankah
kalian sama-sama orang Banyubiru? Aku berterima kasih kepada
kalian yang berusaha untuk menyelamatkan aku. Aku tahu itu. Dan
aku berbangga pula melihat pengikut-pengikut Sontani yang
berani, meskipun jumlah mereka tidak sebanyak yang lain. Tetapi
aku sedih melihat pertentangan kalian. Aku sedih melihat kalian
akan bertempur satu sama lain, sesama orang Banyubiru.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 94
Keadaan menjadi hening. Tetapi orang-orang yang mendengar
kata-kata itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak tahu
maksud perkataan itu. Bagaimanakah seharusnya mereka
berbuat? Bukankah mereka harus merebut hak atas tanah ini?
Tetapi mereka tidak boleh berbuat apa-apa.
Wanamerta melihat keragu-raguan itu. Karena itu ia
menjelaskan, “Anak-anakku, jangan berbuat sendiri-sendiri. Hal
itu sama sekali tidak akan menguntungkan. Tidak bagiku dan tidak
bagi Sontani. Yang harus kalian lakukan hanyalah menempa tekad
untuk melebarluaskan berita itu. Kalian hanya akan menyambut
kedatangannya dua tiga hari lagi di tanah ini dengan tombak Kyai
Bancak di tangannya. Pembicaraan seterusnya biarlah dilakukan
oleh yang berhak membicarakannya. Yaitu Arya Salaka dan yang
mengembaninya, yaitu Mahesa Jenar. Selebihnya tunggu
perintahnya.”
Wanamerta masih melihat keheranan terbayang di wajah
mereka. Keheranan seperti yang terbayang di wajah-wajah laskar
Banyubiru di Gedong Sanga ketika mendengar keputusan Mahesa
Jenar bahwa mereka masih harus menunggu. Tetapi disamping itu
Wanamerta merasa berbangga bahwa ia dapat langsung berbicara
dengan mereka dan memberikan kepada mereka jalan lurus yang
harus mereka tempuh. Meskipun ia yakin bahwa apa yang sudah
dicapainya itu tidak boleh terlepas lagi.
Tetapi sementara itu Sontani menjadi bermata gelap. Ia tidak
dapat mendengar, otaknya tak dapat menahannya. Karena itu
dengan suara yang mengguruh ia berkata, “Wanamerta, baiklah
kalau kau tidak mau pergi. Dan baiklah kalau kau masih akan
berteriak-teriak terus. Karena aku sudah cukup memberi kau
kesempatan, aku sekarang terpaksa bertindak terhadapmu.
Menyumbat mulutmu.”
Wanamerta melihat mata Sontani telah menyala-nyala. Ia
tidak mungkin lagi menghindari bentrokan dengannya. Tetapi ia
tidak mau orang-orang Banyubiru terlibat ke dalam bentrokan itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 94
Orang-orang yang sebenarnya tidak banyak menentukan
penyelesaian masalah hanya karena berkelahi sesamanya. Karena
itu ia menjawab, “Baiklah Sontani. Kau ingin aku diam, tetapi aku
ingin berbicara terus. Kita berlawanan kehendak. Karena itu
terserah apa yang akan kau lakukan dan biarlah aku mencoba
untuk berbuat atas kehendakku pula. Tetapi satu hal yang akan
aku katakan kepada orang-orang Banyubiru dan termasuk
pengikut-pengikutmu. Tenaga mereka masih sangat diperlukan
buat masa depan. Buat ketentraman terakhir. Karena itu kalau ada
perbedaan pendapat diantara kau dan aku, janganlah menyangkut
mereka.”
Sontani mendengar kata-kata itu. Ia sadar bahwa kata-kata
itu berarti suatu tantangan tanding seorang lawan seorang. Ia
menjadi bergembira, sebab iapun tahu bahwa pengikutnya tidak
sedemikian banyak berada di tanah lapang itu. Maka ia menjawab
lantang, “Suatu kehormatan bagiku orang tua yang sombong.
Dahulu aku mengagumimu. Tetapi waktu itu aku adalah seekor
anak ayam yang kagum melihat ayam jantan berkokok di atas
pagar. Tetapi sekarang tidak. Akulah ayam jantan itu.”
Wanamerta menarik nafas. Ia adalah seorang yang
mempunyai cukup pengalaman. Ia adalah emban kepala daerah
perdikan ini. Sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana,
ia telah menjabatnya. Karena itu iapun cukup tajam untuk menilai
seseorang. Terhadap Sontani, iapun dapat menilai pula dengan
tepat. Ia tidak lebih dari seorang yang besar kepala, sombong dan
keras hati.
“Kau benar,” jawab Wanamerta, “Kau adalah ayam jantan itu.
Hanya saja kau adalah ayam jantan yang berkokok setelah
matahari hampir terbenam.”
Sontani menggeram. Sekali dua kali ia melihat berkeliling.
Tetapi ia tidak melihat Sendang Papat dan Sendang Parapat yang
tersenyum melihat kesombongannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 94
Dengan sombongnya seolah-olah berkata kepada rakyat
Banyubiru, “Inilah aku, Sontani Bahu dari Pedukuhan Tanah
Abang.”
Kemudian kepada Wanamerta ia berkata, “Wanamerta, bukan
salahku kalau kemudian tanganmu patah, atau lehermu terpuntir.
Sebab kau adalah orang tua yang tak tahu diri.”
Wanamerta tersenyum. Senyum yang sangat menjemukan
bagi Sontani. Karena itu ia menggeram sekali lagi dan berkata,
“Bersedialah. Lihatlah bintang-bintang di langit dengan seksama,
barangkali ini untuk yang terakhir.”
“Yang terakhir?” tanya Wanamerta heran.
“Ya, sebab ada suatu kemungkinan, bahwa dengan tersentuh
tanganku kau akan mati,” jawab Sontani dengan sombongnya.
Wanamerta mengangguk-angguk. Sontani benar-benar
sombong. Dan kesombongan itu menjengkelkan sekali. Maka
jawab Wanamerta, “Gemintang yang bercahaya-cahaya itu. Jadi
aku tidak akan memandangnya untuk yang terakhir kalinya. Tetapi
kalau kau yang mati, mungkin karena pokalmu sendiri, kau akan
berdiam menjadi ampas Rawa Pening.”
Hati Sontani menjadi semakin menyala. Dan tiba-tiba saja ia
berteriak, “Jagalah mulutmu baik-baik Wanamerta, sebab aku
ingin sekali meremasmu.”
Wanamerta segera bersiaga, dan dengan suatu loncatan yang
cepat, Sontani mulai menerjang. Beberapa orang yang berdiri
disekitarnya berdesakan mundur. Dada mereka tergoncang.
Sontani adalah seorang yang kasar dan keras hati. Karena itu
serangannya pun kasar pula. Beberapa orang menjadi cemas
apakah Wanamerta dapat menjaga dirinya menghadapi Bahu
Pedukuhan Lemah Abang yang sedang gila untuk
mempertahankan kedudukannya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 94
Wanamerta heran melihat serangan Sontani yang dapat
demikian cepat. Ia mengenal Sontani lima tahun yang lalu, sebagai
seorang yang selalu merasa tidak puas. Dan sekarang orang itu
berjuang untuk mempertahankan kepuasan-kepuasan yang
pernah dicapainya. Kepuasan-kepuasan lahiriah yang tak berharga
sama sekali.
Wanamerta segera menghindarkan diri dengan satu gerakan
yang sederhana. Dan itu menambah kemarahan Sontani. Meskipun
beberapa tahun yang lampau ia benar-benar mengagumi orang tua
itu, tetapi sementara ini ia merasa bahwa ia telah bertambah
dewasa dalam ilmu tata perkelahian. Dengan gerakan-gerakan
yang keras, ia bertempur dengan penuh nafsu. Tangannya
bergerak berputar-putar, seolah-olah roda yang berputar-putar
hendak menggilas lumat orang tua yang memuakkan itu.
Mengalami serangan yang datang bertubi-tubi itu, Wanamerta
menarik dirinya beberapa langkah surut. Ia baru dalam taraf
mempelajari gerakan-gerakan lawannya yang cukup cepat dan
berbahaya itu. Tetapi Sontani yang sedang marah itu tidak
memberinya kesempatan. Sebagai seekor harimau yang gila, ia
meloncat menerkam, menghantam, bertubi-tubi. Tetapi
Wanamerta cukup berpengalaman. Karena ia merasa lebih tua,
maka ia menjaga agar ia tidak kehabisan nafas di tengah jalan.
Karena itu ia bertempur dengan sangat menghemat tenaga.
Meskipun demikian, setiap gerakan Wanamerta cukup memberi
perlawanan yang gigih. Sehingga setelah beberapa saat mereka
bertempur, Sontani sama sekali tak berhasil menyentuhnya.
Karena itulah maka hatinya menjadi semakin membara. Dengan
demikian ia menjadi semakin buas dan liar. Sontani mengerahkan
segenap tenaganya untuk secepatnya menghancurkan orang tua
yang akan menjadikan sebab hilangnya kekuasaan yang sudah
berada di tangannya atas pedukuhan Lemah Abang yang subur di
pinggiran kota Banyubiru itu. Menghadapi serigala yang marah itu,
Wanamerta harus berhati-hati pula. Sebab segala gerakan Sontani
selalu dilambari oleh segenap kekuatannya. Dan ia adalah orang
yang cukup mempunyai tenaga. Hanya sayang bahwa tenaganya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 94
tidak disalurkannya dengan tepat. Bahkan seperti terhambat tak
berarti. Tetapi meskipun demikian, apabila serangannya itu dapat
mengenai sasarannya, agaknya akan berbahaya juga. Karena
Wanamerta masih selalu menghindari serangan-serangan Sontani,
maka seolah-olah Wanamerta menjadi terdesak. Rakyat yang
berdiri di sekitar perkelahian itu menjadi cemas, sebab mereka
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Sontani pun
berpendapat demikian pula, meskipun ia hampir tidak sabar
karena serangan-serangannya tak pernah mengenai sasarannya.
Diantara para penonton itu tampak Sendang Papat dan
Sendang Parapat tersenyum-senyum. Lima tahun yang lampau,
memang agaknya Sendang Papat dan Sendang Parapat itu tidak
lebih dari Sontani. Tetapi setelah mereka menggembleng diri di
bawah asuhan Ki Dalang Mantingan, Wirasaba, bahkan kemudian
mereka itu pun mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar
sendiri. Maka ia melihat betapa lemahnya serangan-serangan
Sontani. Mereka dengan tersenyum melihat betapa Wanamerta
dengan sabarnya melayani permainan Sontani yang menjemukan
dan sama sekali tidak bermutu. Wanamerta tidak ingin melihat
keadaan semakin keruh. Agaknya Wanamerta berusaha untuk
mengalahkan Sontani tanpa melukainya.
Tetapi Sontani agaknya benar-benar orang yang tidak berotak.
Ia sama sekali tidak menyadari keadaan. Karena itu ia malahan
menjadi semakin berbesar hati dan sombong. Bahkan kemudian ia
berteriak-teriak, “Jangan berlari-lari seperti kelinci menghadapi
serigala, Wanamerta yang malang. Agaknya kau telah terjerumus
karena kesombonganmu ke dalam sudut yang celaka. Tetapi
janganlah kau ingkar pada kejantananmu. Kepada sesumbarmu
yang seolah-olah membelah langit.”
Wanamerta menggeleng lemah. Sambil menghindar terus ia
menjawab, “Sontani, seingatku, seumur hidupku aku tidak pernah
sesumbar. Karena itu, aku tidak malu seandainya aku kalah dalam
pertempuran. Kekalahan bukan berarti kehilangan kejantanan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 94
Seorang jantan pun dapat kalah pula. Kalah dalam kejantanannya
sebagai suatu kenyataan.”
Sontani tertawa. Karena tertawa, ia memperlemah
serangannya. Katanya, “Ha, kau sudah semakin ketakutan. Aku
beri kau kesempatan sekali lagi. Berjongkoklah dan minta maaf
kepada Bahu Pedukuhan Lemah Abang agar kau kuampuni karena
kesalahanmu. Setelah itu kau harus meninggalkan lapangan ini
dengan merangkak sampai ke batas tanah lapang.”
“Sejak umur setahun aku sudah tidak biasa lagi merangkak,
Sontani. Maafkan kalau aku tidak dapat memenuhi
permintaanmu,” jawab Wanamerta.
Sontani membelalakkan matanya. Ia mengharap Wanamerta
benar-benar minta maaf kepadanya, meskipun seandainya ia tidak
dapat memenuhi perintahnya itu seluruhnya. Tetapi tiba-tiba
Wanamerta menjawab sedemikian menyakitkan hati. Karena itu
sekali lagi Sontani berkata untuk menghina orang tua itu, “Aku beri
kesempatan dalam hitungan lima kali. Setelah itu tak ada
kesempatan lagi bagimu. Kalau akan aku tangkap, aku cukur
gundul dan aku arak berkeliling kota besok pagi.”
Wanamerta tidak menjawab. Ia membiarkan saja Sontani
menghitung untuk memuaskan hatinya. Tetapi ketika Sontani
sampai ke hitungan yang ketiga, tiba-tiba Wanamerta mulai
dengan melontarkan beberapa serangan balasan. Sontani terkejut.
Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta yang tua itu
masih mampu bergerak sedemikian cepat dan berturut-turut.
Karena itu ia sama sekali kurang bersiaga, sehingga beberapa
serangan Wanamerta itu berturut-turut mengenai tubuhnya. Tidak
hanya sekali, tetapi dua-tiga kali, sehingga ia terdorong beberapa
langkah surut. Mengalami perisitwa itu tiba-tiba mata Sontani yang
hitam kelam itu menjadi memerah darah, seolah-olah dari sana
menyembur api yang menyala-nyala. Dadanya terasa sesak,
bukan karena sakit oleh serangan lawannya, tetapi karena
perasaan yang bercampur baur. Marah, malu, muak dan segala
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 94
macam. Tetapi dalam pada itu, ia menjadi semakin bernafsu untuk
menghancurkan musuhnya itu. Dalam tanggapannya, serangan
Wanamerta itu adalah karena kelengahannya. Meskipun demikian
ia sama sekali tidak menjadi jera, sebab pukulan Wanamerta,
meskipun mengenainya tetapi tidak menyakitkan. Namun dengan
perasaan itu ia telah membuat kesalahan untuk yang kedua
kalinya. Ia tidak menyadari bahwa Wanamerta sebenarnya tidak
menggunakan seluruh tenaganya. Ia hanya mempergunakan
kecepatan dan mendorong dada Sontani, menyentuh pundaknya
dan dengan kaki ia menyinggung lambungnya.
Tetapi kemarahan Sontani telah benar-benar menggelapkan
pikirannya. Ia benar-benar sudah tidak dapat menimbang untuk
rugi dari perbuatannya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin
membabi buta. Menerjang, menghantam, memukul dengan penuh
nafsu. Ia berkelahi seperti serigala gila sedang kelaparan. Dari
mulutnya terdengarlah nafasnya memburu dan geramnya yang
seram.
Wanamerta membiarkan Sontani bertempur dengan cara yang
demikian. Ia mengharap Sontani akan kehabisan tenaga dan
berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian ia tidak
mengalahkannya dengan menyinggung kehormatannya beserta
pengikut-pengikutnya.
Tetapi Sontani berpendirian lain. Karena pikirannya yang gelap
itulah ia tidak dapat menimbang apa yang akan dilakukan. Apakah
akibat yang bakal timbul, dan apakah itu akan menimbulkan
korban ataukah tidak. Ketika ia merasa bahwa tenaganya sudah
mulai berkurang karena peluh yang sudah membasahi tubuhnya
seperti orang mandi, ia menjadi tidak bersabar lagi. Ia ingin
dengan segera menangkap dan menghinakan lawannya di hadapan
umum. Sedangkan Wanamerta benar-benar licin seperti belut.
Sebenarnya heranlah Sontani, bahwa orang setua itu masih
mampu menghindarkan diri dari serangan-serangannya yang
mengalir seperti banjir. Tetapi bagi Wanamerta, Sendang Papat
dan Parapat, gerakan-gerakan itu sama sekali tidak seperti banjir
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 94
sungai yang paling kecil sekalipun. Gerakan-gerakan itu tidak lebih
dari gerakan-gerakan yang hanya dikendalikan oleh nafsu dan
kesombongan. Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap diri
sendiri, sehingga tidak mampu lagi untuk melihat kenyataan.
Perasaan yang demikian itulah yang mendorong seseorang ke
dalam sudut kekalahan. Sebab kesombongan dan sikap menghina
lawan adalah unsur utama dari kekalahan itu sendiri.
Demikian juga Sontani. Ia merasa dirinya berlebihan. Tetapi
sekali waktu ia mengalami peristiwa yang ia takut mengakuinya.
Ia takut berpikir bahwa sebenarnya Wanamerta adalah lawan yang
tak dapat dikalahkan.
Oleh karena itu, oleh perasaan yang bercampur baur itulah
kemudian ia menjadi bermata gelap. Dengan penuh kemarahan ia
berteriak nyaring, “He Wanamerta, bertempurlah dengan laku
seorang jantan. Jangan hanya mampu berlari dan menghindar.
Bertahanlah, dan marilah kita sama-sama mengangkat dada.”
“Hem....” gumam Wanamerta. Di dalam hati ia mulai
menyesali sikap Sontani yang keras kepala itu. Tetapi ia
menyabarkan diri.
Ketika beberapa saat kemudian Wanamerta masih belum
menjawab, sekali lagi Sontani berteriak, “Hai, kelinci betina.
Bertempurlah dengan dada tengadah. Jangan lari berputar-putar
seperti ayam disembelih. Kalau kau takut mati dalam pertempuran
ini, bertobatlah dan mintalah ampun.”
Wanamerta menggeleng lemah. Tetapi ia tetap menunggu
sampai Sontani kehabisan tenaga. Karena itu perlahan-lahan ia
menjawab, “Kau belum sampai ke hitungan yang kelima, Sontani.”
Alangkah sakitnya hati Sontani. Ia sendiri sudah lupa pada
hitungan itu karena serangan Wanamerta yang tiba-tiba. Sekarang
dari lawannya itu ia mendapat peringatan akan kelalaiannya.
Karena itu ia menjadi bertambah marah dan tiba-tiba terjadilah
apa yang dicemaskan oleh Wanamerta. Apa yang sejak semula
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 94
dihindari, sehigga ia lebih senang menghindari serangan Sontani
itu terus menerus tanpa menjatuhkannya. Dengan penuh
kemarahan, Sontani berteriak, “Hei orang-orang Lemah Abang
yang setia. Tangkap kelinci tua ini.”
Perintah itu benar-benar menggetarkan hati Wanamerta.
Bukan karena ia takut seandainya ia terpaksa melawan seluruh
pengikut Sontani, bahkan seandainya ia terpaksa mati karenanya.
Tetapi dengan menggerakkan pengikutnya, Sontani harus
menghadapi akibat yang barangkali tak pernah dipikirkan. Karena
itu Wanamerta mencoba mencegahnya. Dengan nyaring ia
berteriak, “Tunggulah Sontani.”
Tetapi, Sontani benar-benar telah kesurupan setan. Ia tidak
mendengar seruan itu, bahkan beberapa orang pengikutnya yang
mendengarnya menganggap bahwa Wanamerta telah menjadi
ketakutan. Dengan demikian mereka semakin bernafsu dan
berloncatan maju, mendesak orang-orang yang berdiri di
sekitarnya. Bahkan beberapa orang mereka dorong jatuh tanpa
peringatan apapun.
Gelang raksasa yang terdiri dari manusia yang berjejal-jejal itu
tampak bergerak-gerak. Beberapa orang masih belum sadar apa
yang akan terjadi. Baru ketika beberapa orang berloncatan
memasuki arena, tahulah mereka bahwa Sontani bersama-sama
dengan pengikutnya akan menangkap Wanamerta itu beramai-
ramai.
IV
Itulah permulaan dari bencana yang menimpa diri Sontani.
Sebab orang-orang yang telah terbuka hatinya, melihat kebenaran
keadilan, tidak rela Wanamerta menjadi makanan pesta dari
orang-orang yang hanya dapat menghitung kebenaran dari
kepentingan mereka sendiri. Karena itulah maka merekapun
serentak, tanpa perintah dari siapapun, bergerak melawan orang-
orang Sontani. Sehingga di lapangan terbuka itu terjadilah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 94
semacam perang kecil-kecilan antara para pengikut Sontani
melawan orang-orang Banyubiru yang lain.
Sendang Papat, Sendang Parapat dan beberapa orang
kawannya telah berdiri di sekitar Wanamerta. Mereka harus
menjaga keselamatan orang tua itu. Orang tua yang telah menjadi
emban kepala daerah perdikan Banyubiru sejak masa
pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana.
“Apa yang akan kita lakukan, Kiai?” tanya Sendang Papat.
Wanamerta tegak seperti patung, mulutnya komat-kumit,
namun belum terdengar ia berkata. Tetapi dari matanya telah
terlontar betapa ia menyesal melihat hal ini terjadi. Tawuran
antara rakyat dan rakyat yang sebenarnya sama-sama menanti
masa depan yang lebih menyenangkan.
Sontani sendiri tiba-tiba didorong oleh hiruk-pikuk menjauhi
Wanamerta. Dengan penuh kemarahan ia berkelahi. Namun
lawannya terlalu banyak. Karena itu ia terpaksa mundur dan
mundur. Demikian pula agaknya para pengikutnya. Mereka
ternyata korban lawan. Lawan yang dengan penuh kemarahan
melawan mereka. Bagaimanapun kuatnya Sontani, dan
bagaimanapun para pengikutnya berkelahi membabi buta, namun
akhirnya mereka terpaksa mengalami perlakuan yang sama sekali
tak mereka harapkan. Demikian pula Sontani. Meski ia telah
berkelahi mati-matian namun akhirnya ia tidak berhasil
melepaskan diri dari tangan orang-orang yang semula
dianggapnya tak akan menghalangi tindakannya. Beberapa orang
menangkapnya dan memegangi tangan serta kakinya. Beberapa
orang mencoba memukulnya pada bagian-bagian tubuhnya
sekenanya. Sontani meronta-ronta sejadi-jadinya. Tetapi tangan
orang-orang itu terlalu keras, dan ia tak mampu melepaskan diri
dari mereka yang tak terkendali lagi itu.
Wanamerta melihat bahaya itu. Bagaimanapun juga ia tak
menghendaki adanya korban. Karena itu hampir tak terdengar dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 94
sela-sela bibirnya yang bergetar ia berkata, “Sendang,
selamatkanlah Sontani itu.”
Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah orang muda yang
selama ini ikut merasakan betapa tekanan-tekanan yang telah
dialami oleh orang-orang
Banyubiru dari orang-orang
semacam Sontani itu. Di
hadapan hidungnya ia melihat
Sontani telah berusaha untuk
menghina Wanamerta, sese-
puh tanah perdikan ini. Karena
itu, ketika ia mendengar
perintah Wanamerta, mereka
menjadi heran dan ragu, se-
hingga Wanamerta terpaksa
mengulangi, “Sendang....”
suaranya perlahan-lahan, “Se-
lamatkan Sontani.”
Sendang Papat dan
Sendang Parapat sadar dari
keragu-raguannya. Bagaima-
napun perasaannya bergolak di dalam dadanya, namun mereka
adalah orang-orang yang patuh. Karena itu mereka tidak
menunggu lebih lama lagi. Dengan sigapnya mereka meloncat
diantara orang yang bergolak seperti gabah diinteri itu, menyusup
langsung ke arah Sontani.
Dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman serta
kelebihan-kelebihan mereka, mereka pun segera berhasil berdiri di
samping Sontani yang sedang meronta-ronta itu. Dengan penuh
tenaga, Sendang Papat berteriak mengatasi keriuhan suara orang-
orang Banyubiru yang marah itu, “Hai, kawan-kawan yang baik.
Aku harap kerelaan kalian. Serahkanlah orang ini kepadaku.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 94
Beberapa orang yang dekat berdiri dengan Sendang Papat itu
terkejut, ketika mereka memandanginya, dalam samar-samar
sinar obor yang jauh. “Bukankah yang berteriak itu Sendang
Papat...?”
Tiba-tiba seorang diantara mereka berkata, “He, adakah kau
Adi Sendang Papat?”
“Ya,” jawabnya singkat.
Dari arah lain terdengar suara, “Dan inilah adiknya, Sendang
Parapat.”
“Bagus, bagus,” teriak yang lain, “Bukankah kau datang untuk
membunuhnya?”
“Lepaskan dia,” kata Sendang Papat keras-keras.
Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sendang Papat
mendesakkan kata-katanya pula, “Lepaskan dia. Berhentilah
berkelahi. He, yang di sana, berhentilah berkelahi.”
Suara itu disahut oleh Sendang Parapat dan oleh beberapa
kawan-kawan yang datang bersamanya. Karena suara-suara itulah
maka perkelahian itu terpengaruh pula. Semakin lama menjadi
mereda, dan akhirnya berhenti, meskipun masing-masing wajah
masih diliputi oleh ketegangan dan kemarahan.
“Serahkan orang itu kepadaku,” kata Sendang Papat dengan
kewibawaan yang mengagumkan orang-orang yang berdiri di
sekitarnya. Namun meskipun demikian tampak mereka ragu,
seperti Sendang Papat mula-mula juga ragu. Di sebelah lain berdiri
dengan kaki renggang, adiknya Sendang Parapat.
“Apakah kalian keberatan?” desak Sendang Papat. Matanya
beredar berkeliling. Memandang wajah-wajah yang penuh
mengandung pertanyaan. Sedang Sontani sendiri, yang berdiri di
hadapan Sendang Papat, tidak pula kalah herannya. Ia tahu benar
bahwa Sendang Papat adalah salah seorang yang dikejar-kejarnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 94
selama ini seperti juga Bantaran, Penjawi, Jaladri dan yang lain-
lainnya lagi.
Tiba-tiba dari antara mereka, yang berdiri berkeliling itu
terdengar sebuah pertanyaan, “Akan kau apakan dia, Sendang
Papat?”
Sendang Papat sendiri untuk sesaat bingung mendengar
pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menjawab, “Serahkanlah
kepada kebijaksanaan Kiai Wanamerta.”
“Apa yang akan dilakukan?” bertanya yang lain.
“Ia tahu apa yang akan dilakukan,” jawab Sendang Papat.
Keadaan menjadi sepi. Sepi namun penuh keraguan. Masing-
masing mencoba mengangan-angankan apakah kira-kira yang
akan dilakukan oleh Wanamerta.
Tetapi kesepian itu tiba-tiba dipecahkan oleh suatu peristiwa
yang tak terduga-duga, yang merusak suasana yang hampir baik
kembali itu. Tiba-tiba dari sela-sela orang yang mengerumuni yang
pucat lesu itu meloncatlah seseorang yang dengan serta merta
menyerang Sendang Parapat. Sebuah tusukan yang kuat
mengenai lambung kirinya, sehingga terdengar ia mengaduh.
Tetapi Sendang Parapat adalah seorang yang terlatih. Karena
itu sedemikian ia merasakan sebuah tusukan mengenai dirinya,
selain tanpa sesadarnya ia mengaduh perlahan, namun dengan
cepatnya ia bergerak dengan tenaganya yang terakhir, menangkap
tubuh orang yang menusuknya itu, sehingga ketika orang itu akan
melarikan diri, tubuh Sendang Parapat yang lemah terseret
beberapa langkah. Tetapi dengan demikian orang itu tidak dapat
segera melenyapkan dirinya ke dalam gerombolan orang-orang
yang masih berdiri di sana sini. Ia terpaksa berhenti mendorong
Sendang Parapat untuk melepaskan pegangannya yang seolah-
oleh terkunci. Dalam saat itulah Sendang Papat, memandangi
kejadian itu dengan mata terbelalak. Tusukan yang mengenai
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 94
adiknya, pada saat ia sedang melindungi Sontani, yang dibencinya,
adalah serasa tusukan pada dadanya, yang ditutupinya rapat-
rapat, kini seolah-olah tersiram minyak. Seperti kawah gunung
berapi yang tak menemukan jalan, tiba-tiba meledaklah
kemarahan Sendang Papat. Ia sempat melihat adiknya berputar
cepat sekali, dan menangkap pergelangan tangan orang yang
menusuknya. Ia melihat tubuh adiknya yang telah lemah itu
terseret beberapa langkah. Maka ia sendiri kemudian seperti
thathit meloncat beberapa langkah ke arah orang yang mendorong
adiknya, untuk melepaskan pegangannya. Demikian Sendang
Parapat terlepas, dan tubuhnya terbanting di tanah, demikian
Sendang Papat sampai kepada orang itu. Wajah Sendang Papat
tiba-tiba berubah. Seolah-olah di dalamnya tersembunyi malaikat
pencabut nyawa. Dengan tidak berkata sepatah katapun, ia
menyerang orang yang menusuk adiknya itu. Orang itu pun
agaknya sadar pula. Karena itu iapun segera melawan serangan
itu. Sendang Papat benar-benar marah. Tenaganya menjadi
seakan-akan belipat-lipat. Seperti badai yang tak tertahan lagi ia
menerkam orang yang menusuk lambung adiknya. Betapa orang
itu mencoba melawannya, tetapi ternyata Sendang Papat bukanlah
lawannya. Karena itu ia terdorong surut beberapa langkah, yang
kemudian disusul sebuah pukulan dengan tenaga tergenggam
pada dagunya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga orang itu
seolah-olah terangkat beberapa jengkal dan terlempar ke
belakang, untuk kemudian dengan kerasnya pula terbanting ke
tanah. Sendang Papat sendiri mata gelap. Ia tidak ingat lagi kata
Wanamerta, ia tidak ingat lagi pesan Mahesa Jenar dan pemimpin-
pemimpin yang lain. Yang teringat hanyalah, seorang dengan licik
dan curang telah menusuk adiknya. Seperti seekor harimau ia
meloncat ke atas tubuh orang itu, dan dengan sekuat tenaga
seperti hujan yang tercurah dari langit, ia menghantam bertubi-
tubi wajah orang itu. Terdengarlah orang itu berteriak ngeri. Tetapi
juga teriakan itu seolah-olah tak terdengar oleh Sendang Papat
yang sedang marah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 94
Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu, justru menjadi
terdiam seperti patung. Dengan mata terbelalak pula mereka
menyaksikan kejadian itu. Kejadian yang berlangsung sedemikian
cepatnya. Sehingga apa yang mereka ketahui kemudian adalah
Sendang Papat yang marah itu duduk di atas tubuh lawannya yang
terlentang di tanah sambil memukulnya habis-habisan untuk
mencurahkan kemarahannya yang meluap-luap.
Tetapi kawan-kawan orang itu ternyata tidak tinggal diam.
Ketika mereka melihat kawannya tak mampu lagi untuk bergerak,
mereka pun kemudian mencoba untuk melepaskannya. Ternyata
mereka adalah pengikut-pengikut Sontani.
Beberapa orang bersama-sama dengan mempergunakan
senjata-senjata tajam yang kecil, semacam pisau-pisau runcing,
menyerang Sendang Papat. Sendang Papat betapapun marahnya,
namun naluri keprajuritannya segera memperingatkannya akan
bahaya yang mengancam itu. Namun justru karena itulah dengan
tangkasnya ia berdiri, menarik bagian dada baju orang yang
menusuk adiknya itu sehingga berdiri dan dengan segenap tenaga
yang ada, Sendang Papat memukul orang itu dengan tangan
kanannya ke arah perutnya. Terdengarlah suaranya seperti
tersumbat di kerongkongan. Tubuhnya terbungkuk dan terhuyung-
huyung akan jatuh menelungkup. Pada saat itu Sendang Papat
melepaskan pegangannya, dengan tangan kirinya, ia mengangkat
muka orang itu menengadah, dan sekali lagi dengan tangan
kanannya ia menghantam wajah itu. Ternyata orang itu sudah
tidak mampu untuk mengaduh lagi. Tubuhnya demikian saja
terlempar ke belakang, dan sekali lagi ia terbanting di tanah. Pada
saat itu beberapa orang telah berada di sekeliling Sendang Papat
dengan pisau-pisau di tangan. Tetapi Sendang Papat adalah
seorang yang terlatih menghadapi bahaya. Meskipun ia sendiri
tidak mempergunakan senjata, namun ia sama sekali tidak takut
melawan orang-orang itu. Karena itulah maka segera berkobar
kembali perkelahian. Sendang Papat melawan lebih dari empat
lima orang yang menyerangnya dari segenap penjuru. Meskipun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 94
demikian belum terlintas di dalam otak Sendang Papat itu untuk
mempergunakan keris yang terselip di lambung kirinya.
Demikian ia melompat kesana-kemari, seperti seekor kijang
yang keriangan di padang rumput yang hijau. Tangannya
menyambar-nyambar seperti berpuluh-puluh pasang tangan yang
bergerak bersama-sama. Pengalaman-pengalaman serta latihan-
latihan yang ditekuninya selama ini, ternyata menempatkannya
pada kedudukan yang menguntungkan. Apalagi kali ini orang yang
bernama Sendang Papat itu benar-benar mengamuk tanpa
terkendali.
Perkelahian itu ternyata telah memancing berkobarnya
kembali pertempuran kecil di tanah lapangan itu. Ketika para
pengikut Sontani mulai menyerang Sendang Papat, orang-orang
yang memihak Wanamerta pun mulai bergerak pula. Tetapi orang-
orang Sontani itu telah merasa bahwa mereka tidak akan mempu
melawan kemarahan orang-orang yang jauh lebih banyak dari
jumlah mereka. Karena itu sebagian besar dari mereka segera
melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Yang tinggal kemudian
hanyalah kelima orang yang bersama-sama bertempur melawan
Sendang Papat itulah. Karena mereka bersenjata, mereka merasa
bahwa mereka akan mampu mempertahankan diri mereka.
Wanamerta, yang tak jauh dari mereka, melihat keributan
timbul kembali. Cepat ia berlari untuk mengetahui apakah yang
terjadi. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat Sendang Parapat
terbaring di tanah dengan darah yang mengalir dari lukanya. Ia
melihat dua orang yang datang bersama dari Gedong Sanga
berusaha untuk menahan darah yang mengalir itu. Sedang
seorang lagi agaknya ikut serta berkelahi melawan orang Sontani.
Wanamerta kemudian menekan dadanya, ketika ia melihat
Sendang Papat mengamuk tanpa dapat mengendalikan dirinya
sama sekali.
Beberapa saat Wanamerta berdiam diri dengan cemas.
Perkembangan keadaan itu agaknya sama sekali tidak seperti yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 94
dikehendaki Wanamerta, meskipun darinya ia dapat mengambil
keuntungan-keuntungan. Dengan demikian ia telah dapat
menempatkan beberapa bagian orang-orang Banyubiru itu kepada
kesadarannya kembali. Tetapi peristiwa yang terjadi ini dapat
membawa akibat yang buruk. Meskipun hanya sementara.
Pada saat itu Wanamerta sudah tidak melihat Sontani lagi.
Orang itu lari terbirit-birit ketika terbuka kesempatan, tanpa
mempedulikan lagi apakah orang-orangnya masih berkelahi terus,
dan apakah ada diantara mereka yang menjadi korban. Yang
penting baginya adalah menyelamatkan diri sendiri.
Yang mula-mula dilakukan oleh Wanamerta adalah menyuruh
kedua orang yang berusaha untuk membendung darah yang keluar
dari lambung kiri Sendang Parapat itu untuk membawanya ke tepi.
Kemudian kepada kedua orang itu, Wanamerta bertanya,
“Bagaimana luka itu?”
“Berat Kiai,” jawab salah seorang diantaranya.
“Adakah kau kenal seorang yang dapat kau percaya di sekitar
tempat ini?” tanya Wanamerta pula.
Kedua orang itu berpikir. Kemudian salah seorang menjawab,
“Bagaimana dengan Kakang Prana?”
Wanamerta mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia
mengangguk-angguk, katanya, “Aku kira ia baik. Bawalah
Sendang Parapat kepadanya. Kami akan menyelesaikan beberapa
persoalan di sini. Kami akan menyusul kau nanti ke sana. Aku
sendiri masih harus mengawasi Sendang Papat yang kehilangan
keseimbangan.”
“Tak dapat disalahkan,” gumam orang itu seperti kepada diri
sendiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 94
“Ya,” jawab Wanamerta singkat. Kemudian ia berkata, “Nah
pergilah kepada Prana. Usahakan obat-obatan apapun buat luka
itu. Barangkali daun metir, atau sarang labah-labah.”
“Baik Kiai,” sahut orang itu sambil berdiri dan mengangkat
tubuh Sendang Parapat ke rumah Ki Prana yang tak jauh dari
lapangan itu. Mereka mengharap akan dapat beristirahat dan
menyembunyikan Sendang Parapat yang terluka itu.
Sepeninggal kedua orang itu, kembali Wanamerta mendekati
Sendang Papat yang sedang ngamuk. Beberapa orang telah berdiri
di sekitar tempat itu dan beberapa orang lagi berbondong-bondong
berlari-lari ke titik perkelahian itu pula. Mereka itu datang kembali
setelah mengejar-ngejar orang-orang Sontani.
Tiba-tiba salah seorang yang baru datang itu dengan nafas
tersengal-sengal berteriak, “Bunuh saja mereka semua, bunuh
saja.”
“Bunuh… bunuh….” sahut yang lain.
Wanamerta menjadi semakin cemas. Dengan demikian
permusuhan antara orang-orang Banyubiru itu akan bertambah
menjadi-jadi. Karena itu Wanamerta segera bertindak. Ia
mengharapkan pertanggungan-jawab sepenuhnya terletak di
bahunya, setidak-tidaknya pada Sendang Papat. Maka segera ia
meloncat maju sambil berteriak, “Jangan ganggu mereka. Biarkan
mereka bertempur dengan jujur.”
Beberapa orang menjadi heran mendengar kata-kata
Wanamerta itu. Mereka benar-benar tidak tahu maksudnya.
Mereka mengira bahwa Wanamerta pun akan sependapat dengan
mereka. Bahkan seorang yang berdiri di deretan paling depan
bertanya, “Bagaimanakah perkelahian itu dapat disebut jujur? Adi
Sendang Papat hanya seorang diri tanpa senjata, harus melawan
lima orang bersenjata.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 94
Wanamerta melangkah maju semakin dekat. Ia tidak melihat
kesulitan pada Sendang Papat, karena itu ia menjawab, “Jangan
takut. Malah kalian harus bangga bahwa Sendang Papat bertempur
melawan lima orang sekaligus. Lihatlah apa yang akan terjadi.”
Tetapi Sendang Papat sendiri sama sekali tidak mendengar
mereka merasa cemas, bahwa Sendang Papat akan mengalami
bencana seperti adiknya.
Kemudian tak seorang pun berbicara lagi. Mereka dengan
seksama memperhatikan perkelahian itu. Tetapi bagaimanapun
juga pembicaraan itu. Ia sama sekali tidak melihat Wanamerta dan
tidak tahu bahwa sekian banyak orang, perhatiannya tercurah
kepadanya. Yang ia ketahui adalah gelora dadanya sendiri. Gelora
kemarahan yang meluap-luap. Sendang Parapat adalah satu-
satunya saudaranya. Sejak kecil keduanya tidak pernah berpisah.
Seolah-olah mereka mampunyai ikatan batin yang sedemikian
eratnya. Sakit bagi yang seorang adalah sakit pula bagi yang lain.
Tiba-tiba sekarang di hadapan hidungnya ia melihat adiknya jatuh
berlumurah darah. Karena itu otaknya menjadi terguncang dan
karena itu ia kehilangan kesadaran. Sedang lima lawannya tiba-
tiba menjadi cemas. Mereka melihat rakyat yang marah itu
mengitarinya. Tetapi mereka merasa bahwa seolah-olah mereka
telah terjebak di dalam kepungan. Karena itu mereka tidak
mungkin lagi untuk melarikan diri. Dengan demikian maka
merekapun mengamuk pula. Mereka harus bertempur mati-
matian, sambil menunggu perkembangan keadaan. Mereka
mengharap Sontani datang membantu, atau Sontani akan datang
dengan kawan-kawan yang lebih banyak lagi, sukar kalau Sontani
dapat menghubungi pasukan Pamingit. Apalagi ketika mereka
mendengar kata-kata Wanamerta, mereka merasa bahwa orang-
orang Banyubiru tidak akan berani bertindak terhadap mereka.
Sebab dengan demikian pasti akan terjadi bencana bagi mereka
itu.
Tetapi meskipun orang-orang Banyubiru itu tidak bertindak
apa-apa terhadap mereka, namun akan sama sajalah akibatnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 94
Sebab Sendang Papat yang mata gelap itu, tendangannya jauh
lebih menakutkan daripada seandainya orang-orang Banyubiru itu
menyerang mereka beramai-ramai. Sekali-sekali mereka mencoba
juga untuk mencari jalan melarikan diri, tetapi orang-orang yang
berdiri di sekitar tempat itu sudah sedemikian tepatnya. Karena itu
tidak ada pilihan lain, bertempur mati-matian.
Demikianlah perkelahian itu berlangsung beberapa lama.
Sendang Papat yang mata gelap terpengaruh oleh kemarahannya,
melawan lima orang yang mata gelap karena putus asa. Sebab
setelah sedemikian lama belum juga Sontani datang membantu,
mereka tidak dapat mengharapkannya lagi.
Orang-orang yang ada di sekitar perkelahian itu, semakin lama
menjadi semakin terpaku oleh perasaan kagum atas tandang
Sendang Papat yang hanya seorang diri melawan lima orang yang
bersenjata. Bahkan Wanamerta sendiri pun heran melihat Sendang
Papat bertempur. Seolah-olah kekuatan serta kelincahannya
bertambah-tambah.
Bahkan seolah-olah ia bergerak tidak atas kehendak dirinya.
Demikianlah seorang yang sedang meluap-luap. Tanpa sesadarnya
sendiri segala ilmu yang tersimpan tercurah seperti hujan yang
melimpah.
Apa yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan. Tiba-
tiba Sendang Papat berhasil merampas sebuah belati dari salah
seorang lawannya, dan sebelum seorang sempat melihatnya,
terdengarlah sebuah teriakan nyaring, dan salah seorang dari
lawan-lawannya itu rubuh di tanah. Darah yang merah menyembur
dari dadanya.
“Sendang Papat…!” teriak Wanamerta cemas. Tetapi Sendang
Papat sama sekali tidak mendengarnya. Bahkan sesaat kemudian
seorang lagi mengaduh keras dan menggelepar tak berdaya. Tiga
orang yang lain, betapapun mereka tak mengenal takut pada
mulanya, namun setelah mereka melihat kenyataan itu, hati
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 94
mereka pun berdesir. Sekali lagi mereka mencoba melihat keadaan
sekeliling mereka, dan tiba-tiba mereka berteriak sambil meloncat
ke arah orang-orang yang sedang menyaksikan perkelahian itu.
Beberapa orang terkejut dan bergerak mundur. Dengan serta-
merta, mereka mendesak menyusup ke dalam kepepatan orang-
orang yang merubungnya. Tetapi agaknya salah seorang dari
mereka mengalami nasib yang malang. Sendang Papat sempat
menangkap lehernya dan tanpa ampun lagi, belati kecilnya
menyusup diantara tulang-tulang iganya. Terdengar sekali ia
memekik tinggi, kemudian terdiam untuk selama-lamanya. Tiga
orang telah menggeletak berlumuran darah yang mengalir dari
mulutnya. Namun agaknya Sendang Papat sama sekali belum
puas. Dengan marahnya ia berteriak nyaring, “Tangkap iblis-iblis
itu.”
Orang-orang yang mengaguminya, tiba-tiba menjadi cemas
pula melihat wajah anak muda yang menjadi liar itu. Mereka hanya
dapat menyibak ketika Sendang Papat meloncat mengejar dua
orang lagi yang mencoba menyelamatkan diri. Mereka, yang
berdiri memagar lingkaran pertempuran itu, malahan terpaku
diam, dan membiarkan kedua orang lawan Sendang Papat itu
menyusup diantara mereka, dan membuat keributan bagian
belakang lingkaran itu. Untunglah bahwa malam itu cukup gelap.
Sinar obor yang menyala agak jauh dari tempat itu, sama sekali
tertutup oleh bayangan-bayangan orang-orang yang bergerak-
gerak di sekitar tempat itu. Dengan demikian maka Sendang Papat
mendapat banyak kesulitan untuk menemukan kedua orang yang
melarikan diri menyusup diantara sekian banyak orang yang
kemudian dari ujung lapangan mereka meloncat ke dalam
gerumbul-gerumbul di tepi tanah lapang itu.
Ketika Sendang Papat tidak berhasil menemukan kedua orang
lawannya, menjadi semakin marah. Seperti orang yang hilang
ingatan ia berteriak, “Hai, orang-orang Banyubiru… di mana kedua
orang gila itu? Kenapa kalian hanya diam menonton seperti
menonton tayub. He, di mana…? di mana…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 94
Tak seorangpun menjawab. Sendang Papat dengan liar
memandang ke segenap arah. Namun kedua orang itu tak dapat
diketemukan.
Tiba-tiba mata Sendang Papat menyangkut pada seperangkat
gamelan, obor-obor yang menyala-nyala, beberapa dingklik
dasaran tuak dan minum-minuman semacamnya, air tape yang
dikentalkan, badhek dan sebagainya. Hatinya yang marah itu pun
menjadi semakin menyala seperti obor-obor itu dibongkok
bersama-sama.
Gamelan yang seperangkat itu pun merupakan salah satu
sumber kemunduran akhlak di Banyubiru, merupakan salah satu
sebab rakyat Banyubiru kehilangan gairah pada perjuangannya.
Sendang Papat adalah seorang penari yang mencintai gamelan
seperti ia menyayangi pakaian-pakaiannya. Tetapi gamelan yang
seperangkat ini, yang berada di tanah lapang untuk mengiring
tayub dan mabuk-mabukan, adalah gamelan yang mengkhianati
kemurnian seni, serta menerapkan seni dalam perjuangan yang
tak terkendali. Tiba-tiba Sendang Papat meloncat sambil berteriak,
“He, orang-orang Banyubiru, adakah kalian masih akan
menyelenggarakan tari-tarian gila seperti malam-malam yang
pernah kau lalui dengan gila-gilaan?”
Tak seorang pun yang menjawab.
“Dengar…!” teriak Sendang Papat, “Aku akan membakar
gamelan yang telah menghantarkan kalian pada keadaan yang
cemar ini. Kalau kalian keberatan, lawanlah aku. Tetapi kalau
kalian sependapat, ikutlah aku.”
Juga tak seorang pun menjawabnya. Karena itu tiba-tiba
dengan sigapnya Sendang Papat berlari ke arah gamelan yang
dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya menyambar
sebuah obor di tangan kiri dan satu obor lagi di tangan kanan.
Dilemparkannya kedua obor itu ke tengah-tengah jajaran gamelan
itu. Tidak hanya dua obor, tetapi tiga, empat dan lampu-lampu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 94
minyak di dingklik-dingklik itu disepak-sepaknya. Bahkan
kemudian orang-orang yang melihat perbuatannya itu menjadi
terpengaruh pula. Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil
berteriak-teriak mencabut segala obor yang berada di tanah
lapang itu dan dilemparkan bersama-sama ke arah seperangkat
gamelan itu.
“Bakar saja, bakar saja…!” teriak mereka bersama-sama.
Obor-obor itu pun kemudian menyala berkobar-kobar. Minyak
yang berada di dalam bumbung pun kemudian tumpah ruah dan
membasahi gamelan-gamelan itu. Karena itulah maka sesaat
kemudian, api pun menyala-nyala dengan garangnya, seolah-olah
hendak menyentuh langit. Lidah api yang dihembus angin
perlahan-lahan, bergoyang-goyang seperti penari-penari yang
menari-nari dengan riangnya di atas gamelan yang sedikit demi
sedikit hangus dimakannya.
Tanah lapang itu kemudian menjadi terang benderang.
Beberapa orang berusaha menyelamatkan dagangan-dagangan
mereka. Tuak, minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja
di atas dasaran mereka. Tetapi api mengamuk demikian hebatnya.
Dingklik-dingklik, warung-warung kacang itu pun dalam sekejap
telah lenyap dalam pelukan penari maut yang menari-nari dengan
iringan lagu derak-berderaknya gamelan dan bambu-bambu yang
terbakar. Orang-orang Banyubiru itu seperti kelompok orang-
orang yang kehilangan akal dan kesadaran. Mereka
menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di tanah
lapang itu.
Kembali Wanamerta menekan dadanya. Keadaan berkembang
sedemikian cepatnya. Tetapi ia tidak menyalahkan Sendang Papat.
Sebab telah jatuh korban di pihaknya, karena kelicikan lawannya.
Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah tanggapan Mahesa
Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 94
dikehendakinya. Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami sendiri
peristiwa-peristiwa ini, maka iapun akan dapat mengerti.
Api semakin lama semakin tinggi menggapai-gapai di udara.
Asap yang hitam membubung tinggi ke langit.
Melihat api serta asap itu, Wanamerta dapat memperhitungkan
keadaan. Mau tidak mau, cahaya merah yang mewarnai kehitaman
malam itu pasti akan dapat dilihat oleh orang-orang Lembu Sora.
Karena itulah maka mereka pasti akan datang. Dan dengan
demikian keadaan akan bertambah buruk. Karena itu, selagi masih
ada kesempatan Wanamerta ingin mencoba menghindarkan
orang-orang Banyubiru dari bentrokan bentrokan yang lebih besar.
Dengan demikian ia menyusup diantara orang banyak yang seperti
anak anak bermain api mendekati Sendang Papat.
Ketika ia sudah berdiri di belakang anak muda itu ia
menggamitnya, Sendang Papat menoleh kearahnya. Matanya
masih merah diwarnai kemarahan yang meluap luap. Wanamerta
beragu sejenak, tetapi akhirnya ia berkata, “Sendang, hentikan
permainan ini.”
Sendang Papat memandang wajah Wanamerta dengan
kecewa, bantahnya, “Aku harus membunuh semua orang yang
telah bersetuju untuk membunuh adikku.”
“Baiklah Sendang, aku akan membantumu. Tetapi tidak
sekarang dan tidak dalam kesempatan ini.” jawab Wanamerta
lunak.
“Kapan aku dapat melakukannya? mereka sudah mulai
sekarang.” bantah Sendang Papat.
“Bukan sekarang Sendang, bahkan telah lama. Dan selama ini
kami masih mencari cari jalan untuk menyelesaikan masalah kita
dengan orang orang yang telah keblinger itu,” Wanamerta
mencoba memberikan penjelasan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 94
“Aku tidak sabar lagi. Adikku telah terbunuh, dan masih
adakah orang yang akan berusaha menyalahkan aku?” sahut
Sendang Papat.
“Tidak Sendang, tidak. Kau tidak bersalah. Kau berusaha
membela adikmu, yang hanya merupakan salah seorang dari
mereka yang menjadi korban peristiwa peristiwa semacam ini.
Tetapi ketahuilah bagaimana sekiranya Lembu Sora datang ke
tanah lapang ini?,” bertanya Wanamerta. “Bagaimanakah kalau
terjadi bentrokan antara orang banyu Biru dengan pasukan Lembu
Sora?.”
“Aku akan berdiri paling depan. Akan aku bunuh mereka
semua, atau aku yang terbunuh,” jawab Sendang Papat lantang.
Wanamerta menjadi kebingungan. Meskipun apabila Lembu
Sora itu benar benar datang, ia tidak akan mengingkari tanggung
jawab. Sebab ialah orang tertua dari rombongannya.
Sebelum Wanamerta dapat menguasai perasaan Sendang
Papat yang meluap luap itu. Tiba-tiba terdengar dari kejauhan
derap kaki kuda. Dada Wanamerta pun berdesir. Itulah pertanda
bencana akan datang.
“Sendang jangan biarkan korban menjadi semakin banyak,”
berbisik Wanamerta.
Tetapi Sendang papat ridak mendengarnya. Yang didengar
adalah derap kuda yang mendatangi tanah lapang itu.
Tiba-tiba wajahnya menjadi terang. Tampaknya ia menjadi
gembira sekali, seperti kanak kanak yang mendapat mainan.
Sesekali ia meloncat dengan lincahnya. Untuk kemudian
menghambur menyongsong derap kuda yang semakin lama
semakin dekat. Beberapa orang yang yang melihatnya ikut berlari-
lari dibelakangnya. Merekapun tiba tiba menjadi gembira pula.
Dari dalam gelap, dibalik tikungan jalan, muncullah beberapa
orang berkuda. Mereka adalah orang Lembu Sora dari Pamingit.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 94
Wajah wajah mereka tampak betapa garangnya. Cahaya api yang
kemerahan itu membuat kesan yang seram pada rombongan
berkuda itu.
Pemimpin rombongan itu segera melihat api yang menyala-
nyala. Merekapun kemudian melihat orang orang yang seolah olah
mengamuk. Segera kemarahan menjalar di dada mereka. Apalagi
ketika mereka melihat beberapa orang menyongsong kedatangan
mereka dengan senjata pemukul, bambu dan kayu dan apa saja
yang mereka ketemukan.
Pemimpin laskar itu segera memberikan perintah, dan
bertebaranlah orang orang berkuda itu ke segenap penjuru.
Mereka memacu kuda mereka tanpa memperhitungkan banyak
orang dilapangan itu. Beberapa orang terdorong jatuh dan bahkan
ada diantaranya yang terlanggar dan terbanting di tanah.
Beberapa orang berteriak teriak mengancam dan mengumpat
umpat.
Sendang Papat menjadi kecewa ketika rombongan itu
terpencar pencar seperti orang kesurupan ia berlari-lari mengejar
kuda-kuda itu. Tetapi, kuda-kuda itu berputar-putar dan
menginjak injak yang ada di jalannya. Melihat sikap itu Sendang
Papat menjadi semakin marah. Bahkan Wanamertapun menjadi
marah pula. Ia tidak pernah membayangkan, demikian orang
Pamingit memperlakukan orang Banyubiru itu dianggapnya sapi
gembalaan, yang dapat digiringnya dengan pecut dan tongkat
pemukul. Tetapi bagaimanapun kepalanya msdih tetap dingin.
Berbeda dengan Sendang Papat yang diikuti segenap orang yang
berada di tanah lapang itu. Merekapun segera memberikan
perlawanan. Orang banyak itu pun mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi apa yang dapat mereka lakukan tidak banyak. Mereka
adalah orang yang tidak begitu banyak mendapat didikan
keprajuritan. Dengan demikian perlawanan merekapun tidak
banyak berarti. Hanya Sendang Papat lah yang mampu
menghadapi bahaya yang mengancam dirinya. Ketika seekor kuda
dengan kencangnya berlari menerjangnya, dengan segala
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 94
kekuatan ia mendesak orang di sekitarnya untuk menghindar.
Namun demikian kuda itu lewat disampingnya demikian ia
meloncat ke atas punggungnya. Sekali gerak, tangannya telah
membenamkan kerisnya kepunggung orang itu yang kemudian
terbanting jatuh. Dengan kuda itulah Sendang Papat melawan
orang Pamingit. Tetapi Sendang Papat seorang diri itu pun tak
banyak yang dapat dilakukan.
Wanamerta kemudian tidak mengingkari tanggung jawabnya.
ia berusaha untuk mengurangi tekanan orang Pamingit itu. Namun
akhirnya satu demi satu jatuhlah korban.
Sedang keributan di tanah lapang itu pun semakin menjadi jadi
pula.
Akhirnya Wanamerta menganggap bahwa bentrokan itu harus
segera diakhiri. Ia tidak mau melihat orang kecil menjadi korban.
Karena itu segera Wanamerta berteriak, “Hindarkan diri, hei orang
Banyubiru. Hindarkan diri kalian.”
Sekali dua kali suara Wanamerta itu tenggelam saja dalam
gemuruhnya teriakan rakyat yang marah serta teriakan orang
Pamingit yang memaki maki. Tetapi ia tidak putus asa. Diulanginya
lagi kata katanya sekali dua kali. Kemudian terdengar ia berteriak
keras; “Hei orang Banyu Biru yang setia. Jangan terlalu bodoh
melawan orang berkuda itu. Tinggalkan mereka. Hindarkan diri
kalian dari injakan kuda-kuda itu.”
Beberapa orang mendengar teriakan Wanamerta, mereka
mulai berfikir. Apakah mereka akan dapat melawan orang berkuda
itu. Sedangkan di hadapan mereka korban jatuh bertambah lagi.
Apalgi orang Pamingit yang juga menjadi gila itu menghunus
pedang mereka. Meskipun demikian Sendang Papat bertempur
seperti burung Sikatan. Ia menyambar dengan lincahnya di atas
kudanya. Namun tidaklah banyak yang dapat dikerjakan.
Ketika Wanamerta berteriak sekali lagi, suaranya mulai dapat
perhatian. meskipun beberapa orang yang meluap luap
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 94
perasaannya, seolah olah tidak akan meninggalkan tanah lapang
itu meskipun seandainya mereka harus terbunuh, tetapi terdengar
Wanamerta berkata: “He, hindarkan diri kalian. Jangan mati tanpa
arti. Tenaga kalian masih
sangat diperlukan oleh tanah
kelahiran ini. Tetapi nanti
dalam kesempatan yang lebih
baik, dimana kalian membawa
senjata di tangan kalian.”
Demikianlah, kemudian
orang Banyubiru itu sadar akan
keadaan yang tidak
berimbang. Karena itulah
mereka mengikuti nasehat
Wanamerta yang selalu
diulang ulang. Beberapa orang
meloncat dan berlari
meninggalkan lapangan itu.
Kuda orang Pamingit itu
pun mejadi liar pula. Mereka
berlari lari mengelilingi lapangan seperti serigala lapar. Diatas
punggung mereka itu pun duduk orang gila yang liar seperti
beruang alasan.
Orang berada dilapangan semakin berkurang jua. Satu satu
mereka mencoba menghindarkan diri mereka dengan janji di
dalam dada apabila datang saatnya maka akan mereka serahkan
jiwa raga mereka sebagai tebusan atas kekhilafan mereka selama
ini. Tetapi kali ini, mereka tidak akan mati tanpa arti.
Beberapa orangberkuda mencoba mengejar mereka namun
mereka itu pun segera meloncati pagar batu dan menyusup pagar
bambu, tenggelam dalam gerumbul yang gelap.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 94
Sendang Papat masih saja bertempur terus. Ia sama sekali
tidak memperhitungkan lagi keadaan yang dihadapinya. ia tidak
mau melihat kenyataan bahwa akhirnya ia harus bertempur
seorang diri.
Demikianlah kemudian tiga orang berkuda bersama-sama
menyerangnya. Sendang Papat memang tangkas. Tetapi ia tidak
dapat melawan ketiga-tiganya sekaligus. Ia mencoba untuk
memutar kudanya, menghindar kesamping. tetapi kuda lawannya
itu akan melanggarnya. Disusul dengan yang seekor lagi dari arah
lain. Sendang Papat segera menarik kekang kudanya, sehingga
kuda itu terhenti. Seekor kuda lawannya, berlari terus kedepan,
tetapi seekor lagi benar benar membenturnya.
Tekanan itu ternyata terlalu berat bagi Sendang Papat
sehingga iapun kemudian terlempar dari punggung kudanya
bersama sama dengan penunggang kuda yang membenturnya.
Keduanya jatuh bergulingan dan berusaha bangkit kembali.
Demikian mereka berdiri, demikian mereka bertempur kembali.
Tetapi dalam pada itu, kawan kawannyapun telah siap pula untuk
membantu. Wanamerta yang masih berdiri di tanah lapang melihat
kesulitan yang bakal terjadi atas Sendang Papat. Ia tidak mau
mengorbankannya. Adiknya telah terluka berat sehingga ia harus
berusaha supaya kakaknya dapat diselamatkan. tetapi lawan
terlalu banyak. Untuk sesaat Wanamerta berbimbang hati. Ia
menyesal bahwa Sendang Papat telah kehilangan kejernihan
pikirnya sehingga seolah olah ia akan membunuh diri.
Tetapi ia tidak mempunyai banyak waktu. Bagaimanapun yang
terjadi ia harus membantu anak itu. Karena itulah dengan secepat
ia dapat, meloncatlah orang tua itu ke arah Sendang Papat, untuk
membantunya. Ketika seekor kuda menyambarnya, Sendang
Papat masih sempat mengelakkan dirinya bahkan ia masih dapat
menyerang lawannya, yang berdiri di atas tanah. Dengan
demikian, Wanamerta masih dapat menyapanya sebelum ia digilas
oleh kaki kuda orang Pamingit itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 94
Yang mula mula diucapkan Wanamerta adalah “Sendang,”
suaranya perlahan sekali. “Adikmu mencarimu”
“He,” Sendang Papat terkejut “Prapat?”
“Ya,” jawab Wanamerta. Sementara itu ia harus turut melawan
lawan Sendang Papat. Sementara itu seekor kuda sekali lagi
menyambar mereka. Dengan ikat kepala yang diuraikan,
Wanamerta berhasil menakuti kuda itu, sehingga kuda itu meronta
dan melonjak tinggi. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh
sendang Papat. Dengan sigapnya ia meloncat, dan sekali lagi
kerisnya membenam di tubuh orang itu. “Naiklah kiyai,” teriaknya.
Tetapi Wanamerta tidak sempat naik. Orang yang semula berkelahi
melawan Sendang papat menyerangnya. Ketika sebuah pedang
menyambar lehernya, Wanamerta berjongkok merendahkan
dirinya. Kemudian dengan kakinya ia menghantam lambung orang
itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar. Malanglah
baginya, ketika saat itu dua ekor kuda bersama sama berlari
mendekati titik perkelahian. Kedua orang itu sudah siap untuk
menusuk tubuh Wanamerta dari dua arah. Tiba-Tiba seseorang
terlempar ke depan mereka. Terdengarlah jerit ngeri. Tubuh itu
pun dengan dahsyatnya terinjak oleh kaki-kaki kuda yang sedang
berlari kencang. Wanamerta hanya melihat peristiwa itu sebentar
saja. Iapun segera berlari, meloncat ke atas punggung kuda, yang
semula dipakai oleh Sendang Papat. Kuda itu, yang masih berdiri
di tengah lapangan, menjadi terkejut dan berlari melingkar-
lingkar. Untunglah Wanamerta segera dapat menguasainya.
Dalam pada itu Sendang Papat sudah bimbang. Kalau semula
ia sudah berketetapan hati untuk mati dengan membawa bela
sebanyak-banyaknya, kini ia terpaksa berpikir kembali.
“Adakah Parapat masih hidup?” pikirnya.
Dan tiba-tiba Sendang Papat ingin mendapat penjelasan
tentang adiknya. Karena itu Sendang Papat segera mendekatkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 94
diri kepada Wanamerta sambil bertanya, “Adakah Kiai tadi berkata
tentang Parapat?”
Mata Wanamerta tidak terpelas dari para penunggang kuda
yang telah siap menerjang mereka. Meskipun demikian ia
menjawab, “Ya.”
“Bagaimana dengan anak itu?” Sendang Papat minta
penjelasan.
“Ia mengharap kedatanganmu. Mudah-mudahan ia masih
tertolong,” Wanamerta mencoba untuk memancing anak itu
meninggalkan tanah lapang yang terkutuk ini.
Sementara itu, ia melihat beberapa orang lain, yang semula
mengejar-ngejar orang Banyubiru telah memasuki tanah lapang
kembali. Bahkan mereka pun segera bersiap pula untuk
menyerang. Wanamerta melihat bahaya yang bertambah-tambah,
sementara itu harapannya mulai timbul kembali. Mudah-mudahan
Sendang Papat bersedia meninggalkan tanah lapang ini untuk
melihat adiknya.
“Tak cukup banyak waktu Sendang,” kata Wanamerta pula,
“Adikmu cepat-cepat harus mendapat bantuan.”
“Di mana dia sekarang?” tanya Sendang Papat.
“Ia disembunyikan di rumah Ki Prana,” jawab Wanamerta.
Sendang Papat merenung sejenak. Di hadapannya orang-
orang Pamingit memacu kudanya ke arah mereka berdua.
“Mereka datang, Kiai,” kata Sendang Papat.
Wanamerta telah melihat mereka pula. Segera ia menarik
kekang kudanya memutar sekali, lalu berlari ke samping. “Pikirkan
adikmu itu,” katanya sebelum kudanya berlari.
Sendang Papat tidak sempat menjawab. Seekor kuda lawan
menyerangnya dengan cepatnya. Ketika sebuah pedang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 94
menyambarnya, dengan cepatnya ia melekatkan tubuhnya pada
punggung kudanya. Hatinya berdesir ketika Sendang Papat
merasakan angin sambaran pedang menghembus tengkuknya.
“Hampir saja,” desisnya. Karena itu Sendang Papat merasa bahwa
lebih baik melawan orang-orang Pamingit itu, dengan pedang pula.
Karena itu cepat-cepat ia meloncat turun memungut pedang dari
seseorang yang telah tak berdaya untuk bangkit kembali. Dengan
pedang itulah kemudian ia melawan setiap penyerangnya dengan
kekuatan yang berimbang. Tetapi orang-orang Pamingit itu pun
bertambah-tambah pula. Sendang Papat melihat Wanamerta yang
tua itu pun dapat bergerak mengagumkan. Di tangannya tiba-tiba
saja telah tergenggam sebuah telempak, tombak bertangkai
pendek. Agaknya ia pun merasa perlu untuk memegang sebuah
senjata yang tidak terlalu pendek dalam pertempuran berkuda.
Namun, meskipun demikian di dalam hati Sendang Papat
mulailah timbul keraguan. Ia terpengaruh benar oleh kata-kata
Wanamerta tentang adiknya. Karena itu selagi ia sempat, ia
mendorong kudanya ke arah Wanamerta, dan dengan suara yang
parau dan perlahan-lahan ia berkata, “Apakah kita lebih baik
meninggalkan lapangan ini, Kiai?”
“Demikianlah, untuk keselamatan adikmu. Ia membutuhkan
perawatan,” jawab Wanamerta.
“Baiklah,” jawab Sendang Papat.