17 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja

91
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

208 views

Category:

Art & Photos


30 download

TRANSCRIPT

Page 1: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91

Page 2: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91

I

alam yang semakin larut itu benar-benar merupakan malam

yang tegang dan gelisah. Ketika di kejauhan terdengar salak

anjing-anjing liar, maka kembali terdengar siulan yang

melengking merobek suara angin yang berdesir lembut. Seperti

semula, suara itu pun kemudian disusul dengan siulan dari tiga

penjuru yang lain berturut-turut. Namun suara ini terdengar jauh

lebih dekat daripada suara yang pertama. Agaknya orang-orang

yang menyebar sirep itu sudah berjalan maju beberapa puluh

langkah. Sesaat kemudian telinga Mantingan menangkap suara

langkah perlahan mendekati gardu pimpinan yang masih

benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia melihat

tiga orang kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang

diantaranya mengendap-endap mendekati pintu yang masih

ternganga lebar. Hati-hati sekali ia mengintip ke dalam.

Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan itu kosong, ia memberi

isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain pun kemudian

mendekati pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka

tertawa. Sebentar kemudian terdengar pula salah seorang dari

ketiga orang itu bersiul pula. Dan bermunculan pula dari berbagai

arah beberapa orang mendekati gardu pimpinan itu. Ketika

semuanya sudah berkumpul, menurut hitungan Mantingan,

berjumlah sepuluh orang.

Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya semakin erat melekat

pada tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia masih belum

tahu siapa-siapakah yang mendekati perkemahan itu. Baru

kemudian ketika salah seorang dari mereka dengan sombong

mempermainkan pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir.

“Rombongan Lawa Ijo,” desis Mantingan. Ia pernah melihat jenis

pisau belati panjang semacam itu. Bahkan ia hampir saja terlubang

dadanya oleh pisau semacam itu. Mau tidak mau Mantingan harus

berpikir keras memperhitungkan kekuatannya sendiri. Kekuatan

perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota

M

Page 3: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91

gerombolan Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun

yang lalu.

Dalam cahaya lampu minyak jarak yang menusuk lewat pintu

gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat salah seorang dari

mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal

melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang

itu beberapa tahun yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur

bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Wiraraga, Paningron, dan

Gajah Alit. Melawan orang-orang itu bersama rombongannya.

Sekarang, agaknya orang itu pula yang memimpin rombongannya

mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru. Orang itu tidak

lain adalah Lawa Ijo itu sendiri.

Sekali lagi dada Mantingan berdesir. Meskipun ia sendiri

samasekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi setelah ilmu

geraknya yang lincah, Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam,

namun ia merasa harus memperhitungkan orang-orang itu.

Orang-orang lain dalam rombongan itu adalah seorang yang

bertubuh gagah tegap. Ketika seleret sinar menyambar wajah

orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak percaya pada

penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang

bernama Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar. Sekarang,

tiba-tiba orang itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam

keheranan itu tiba-tiba ia teringat pada masa kanak-kanaknya.

Meskipun lamat-lamat ia teringat bahwa yang kemudian Watu

Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung. Orang itulah

pasti saudara kembar itu. Sedang orang-orang yang lain,

Mantingan belum pernah melihatnya. Seorang yang tinggi

kekurus-kurusan, seorang yang pendek bulat yang juga berkumis

lebat, dan orang-orang lain yang gagah dan garang. Mereka itulah

anak buah Lawa Ijo yang terpilih untuk mengikutinya menyerbu ke

perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka itulah Carang Lampit,

Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, Tembini dan sebagainya, yang

berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo sendiri.

Page 4: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91

Beberapa saat kemudian terdengarlah Lawa Ijo berkata

perlahan-lahan namun jelas. Kata demi kata terdengar oleh

Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh dari

gardu itu. “Dengarlah baik-baik… agaknya sirep kita benar-benar

dapat membius perkemahan ini. Tidak seorang pun yang masih

terbangun. Dan gardu ini pun telah kosong. Aku kira gardu ini

adalah gardu pimpinan. Sekarang, untuk meyakinkan kita sendiri,

lihatlah berkeliling. Apakah masih ada seorang yang bangun. Kalau

ada, aku beri wewenang kepada kalian untuk menyelesaikannya.

Kemudian kalian harus berkumpul kembali di sini. Dan bersama-

sama memasuki setiap perkemahan. Jangan sampai seorang

pemimpin pun yang dapat membebaskan dirinya.”

Sesaat kemudian berpencarlah mereka ke segenap penjuru.

Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang masih tetap berada di gardu

pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi semakin gelisah.

Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum

akan bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para

penjaga yang ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya.

Ternyata Lawa Ijo tidak perlu menunggu terlalu lama.

Beberapa saat kemudian anak buahnya telah berkumpul kembali

dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh tinggi

kekurus-kurusan itu berkata, “Ki Lurah, tak seorang penjaga pun

yang masih terbangun. Semuanya tertidur di tempat mereka

bertugas.”

“Bagus….” dengus Lawa Ijo, “Lalu apa lagi yang kalian lihat?”

“Semua perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman

melakukan pekerjaan kita,” sambung orang yang tinggi kekurus-

kurusan, yang bernama Carang Lampit.

Lawa Ijo tertawa pendek. “Aku kira Mahesa Jenar tidak akan

kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan orang yang dapat

diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu. Dengan

keempat kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia

Page 5: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91

berhasil melarikan diri, nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila

ia kembali.” Kata-kata itu diakhiri dengan bunyi tertawanya yang

khusus, yang menggelegar memenuhi rimba. Mengerikan.

Setelah suara tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti,

Carang Lampit meneruskan laporannya, “Ki Lurah, menurut

penilikan kami, diantara kemah-kemah yang ada ternyata ada satu

kemah yang mendapat penjagaan kuat. Aku kira ada sesuatu yang

penting di dalamnya. Atau barangkali di dalam pondok itulah

berada gadis kecil yang dikatakan Jadipa siang tadi.”

“Kalau begitu kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,”

dengus orang bertubuh sedang tetapi berkaki pendek. Terlalu

pendek dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang itulah

yang bernama Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh

Endang Widuri.

Mendengar Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit

tertawa. “Aku ingin melihat kau sekali lagi berlari menghindarinya

apabila perutmu dikenai kaki gadis kecil itu.”

“Ia bukan gadis kecil,” jawab Jadipa. “Di desaku dahulu gadis-

gadis sebayanya telah dikawinkan oleh orang tuanya. Dan

memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu segera kawin.

Mempelai laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.”

“Tunjukkan kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,”

jawab Bagolan.

“Akulah orangnya,” jawab Jadipa.

Hampir serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang

dari mereka yang bertubuh kekar kuat dan berwajah gelap

berkata, “Kalau kau berselisih dengan istrimu kelak, kau harus lari

kepada Ki Lurah untuk minta tolong melerainya.”

Jadipa diam saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan

gadis itu. Meskipun demikian, kemudian ia membela diri, “Aku

Page 6: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91

sebenarnya tidak kalah. Tetapi aku tidak mau menyakitinya.

Karena itu aku biarkan ia sampai malam ini.”

Kembali kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo

berkata, “Carang Lampit… apakah sebabnya kau dapat

mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang kau anggap

terpenting?”

“Di luar kemah itu terdapat beberapa orang penjaga yang

sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah lain tidak ada penjaga-

penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada seorang

penjagapun,” jawab Carang Lampit.

Lawa Ijo mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Menurut

laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru

bersama seorang yang belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan

Penjawi. Jadi, pemimpin-pemimpin Banyubiru yang tinggal di

perkemahan ini adalah Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti, kakak-

beradik Sendangpapat dan Sendangparapat, dan dua orang yang

menurut pendengaranku bernama Mantingan dan Wirasaba.

Ditambah dengan gadis kecil yang disebut-sebut oleh Jadipa

bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi, menurut

Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka

sendiri.”

“Benar Ki Lurah,” sahut Jadipa, “Gadis itu berkata demikian.”

Kemudian Lawa Ijo meneruskan, “Kalau demikian pekerjaan

kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu. Kecuali

menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka.

Ketahuilah bahwa laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini

jauh lebih berbahaya daripada laskar Banyubiru yang masih tetap

berada di Banyubiru, dan laskar Pamingit. Laskar yang berada di

tempat ini, dengan penuh keyakinan berusaha untuk

mempertahankan Banyubiru. Mereka rela mati untuk

keyakinannya itu. Sedangkan laskar yang lain terdiri orang-orang

yang bekerja untuk hidup mereka dan kekayaan mereka tanpa

Page 7: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91

memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan

demikian maka apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar

Pamingit. Dengan demikian maka kalangan hitam akan merajai

Banyubiru dan Pamingit. Mengaduk isinya dan menemukan keris

Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

Sekali lagi Lawa Ijo tertawa menggelegar memenuhi rimba itu.

Ia menjadi bergembira sekali, seolah-olah Banyubiru telah jatuh

ke tangannya, dan demikian pula Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk

Inten.

Mendengar semua kata-kata Lawa Ijo itu, tubuh Mantingan

bergetaran. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ia

mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai banyak sekali

pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para

pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba.

Bahkan kemudian tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya.

Tetapi kemudian ia dapat mengerti bahwa hal yang demikian itu

sangat mungkin. Orang-orang Lawa Ijo dapat mendengar nama-

nama itu dari orang-orang Banyubiru yang acuh tak acuh pada

keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa Jenar,

Widuri sendirilah yang telah bercerita.

Dalam pada itu kembali terdengar suara Lawa Ijo, “Nah,

sekarang marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para

pemimpin itu. Sebab tanpa pimpinan, laskar Banyubiru akan

kehilangan garis perjuangannya. Manakah menurut

pertimbanganmu yang pertama-tama kita masuki Carang

Lampit…?”

“Perkemahan yang aku katakan tadi Ki Lurah,” jawab Carang

Lampit. Bersamaan dengan bunyi jawaban itu, berdesirlah hati

Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu pertama-

tama akan memasuki pondok Rara Wilis.

Gerombolan itu pun segera bergerak lewat beberapa langkah

dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi. Sekali lagi

Page 8: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91

Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh.

Tanpa disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan

bertanya kepada senjatanya itu, apakah yang harus dilakukan

segera. Ia menjadi sedikit lega ketika diingatnya bahwa Wirasaba

ada di dalam kemah itu.

Sementara itu, di dalam pondok kecil itu Wirasaba semakin

lama menjadi semakin tidak sabar. Waktu yang hanya beberapa

saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam. Ketika

mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar,

Wirasaba tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir

beberapa kali. Tetapi sesaat kemudian ia sudah terbanting duduk

kembali. Demikian pula ketika untuk kedua kalinya Lawa Ijo

tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba semakin

marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu,

baginya lebih baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka.

Tetapi ia tidak dapat meninggalkan pondok kecil itu.

Dalam pada itu, Widuri sudah tidak berbaring lagi. Ia duduk di

belakang Rara Wilis sambil memeluk kedua lututnya. Ia menjadi

jemu mendengar suara tertawa yang memuakkan itu. Wilis dan

Arya Salaka masih duduk di tempatnya semula tanpa berkisar.

Mereka pun menjadi gelisah karena ketidaksabaran mereka.

Ketika mereka mendengar derap kaki beberapa orang

mendekati pondok itu, serentak mereka mengangkat kepala untuk

mengetahui dari manakah suara langkah itu datang. Dada mereka

kemudian menjadi berdebar-debar, dan tanpa sengaja

menggenggam senjata mereka semakin erat.

Suara langkah itu segera berhenti beberapa depa dari

perkemahan itu. Di luar, terdengarlah suara, “Inikah pondok itu,

Carang Lampit?”

“Ya, Ki Lurah,” jawab yang lain, “Itulah mereka, para penjaga

yang jatuh tertidur.”

Page 9: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91

Terdengarlah kemudian suara tertawa pendek. Sahutnya,

“Bagus. Mungkin di dalam pondok inilah mereka tinggal. Sekarang

masuklah dan tangkaplah mereka hidup-hidup. Barangkali mereka

kita perlukan. Bukankah gadis yang bernama Rara Wilis itulah yang

dahulu digilai oleh Jaka Soka? Nah, barangkali gadis itu dapat kita

pergunakan sebagai alat untuk menundukkan hati Ular Laut yang

gila itu.”

Mendengar percakapan itu hati Rara Wilis berdesir. Ia

menyesal bahwa Ular Laut itu pernah melihat wajahnya, sehingga

sampai sekarang masih saja persoalan itu terbawa-bawa.

Meskipun ia samasekali sudah tidak perlu lagi setakut dahulu,

namun ia lebih ngeri merasakan kegilaan Jaka Soka itu daripada

harus bertempur melawannya.

Tetapi ia tidak sempat terlalu banyak mengenang

pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan Jaka Soka itu,

karena di luar kembali terdengar suara. “Carang Lampit, bawalah

Bagolan, Tembini dan beberapa orang lagi. Ingat, tangkap mereka

hidup-hidup, dan ikat mereka itu. Kecuali kalau Arya Salaka

melawan, ia dapat mengatasi pengaruh sirepku, kalau ia ada di

dalam pondok itu pula.”

“Baik Ki Lurah,” jawab suara yang lain.

Bersamaan dengan itu bersiaplah semua orang yang berada di

dalam pondok itu untuk menghadapi segala kemungkinan. Menilik

langkah mereka, dan suara-suara yang bergumam, mereka pasti

terdiri beberapa orang yang lebih banyak dari jumlah mereka yang

ada di dalam.

Tetapi sebelum mereka membuka pintu, tiba-tiba terdengarlah

suara tertawa agak jauh dari pondok itu. Suara tertawa itu tidak

begitu keras dan samasekali tidak mengerikan. Orang-orang yang

berada di dalam pondok itu terkejut. Apalagi yang berada di

luarnya dengan suara lantang terdengarlah salah seorang di luar

pondok itu berkata, “Hai Carang Lampit, siapakah itu?”

Page 10: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91

“Entahlah Ki Lurah,” jawab yang lain.

“Gila,” dengus suara yang pertama, yang ternyata adalah

suara Lawa Ijo sendiri. “Masih ada orang yang dapat

membebaskan diri dari pengaruh sirepku ini.”

Kemudian terdengarlah suara di kejauhan, “Lawa Ijo, sebagai

penghuni perkemahan ini aku mengucapkan selamat datang.”

“Siapakah kau…?” teriak Lawa ijo.

“Bagi mereka yang sudi menyebut namaku, akulah yang

bernama Mantingan,” jawab suara itu.

“Hemm, jadi kaukah yang terkenal dengan nama Dalang

Mantingan yang sakti?”

“Tak ada orang yang menambah dengan kata sakti itu, Lawa

Ijo,” jawab Mantingan. “Tetapi sebenarnyalah bahwa aku seorang

dalang.”

“Bagus….” jawab Lawa Ijo. “Bahwa kau dapat membebaskan

dirimu dari pengaruh sirepku itu sudah merupakan pertanda

bahwa kau memiliki kesaktian yang cukup. Tetapi kau terlalu

berani menampakkan dirimu di hadapanku dan kawan-kawanku.

Apakah kau sudah bosan hidup?”

“Belum, Lawa Ijo,” jawab Mantingan selanjutnya, “Aku

samasekali masih belum bosan hidup.”

“Kenapa kau mengganggu kami?” bentak Lawa Ijo.

“Aku samasekali tidak mengganggu kau. Bukankah aku

sekadar mengucapkan selamat datang?” sahut Mantingan.

“Diam!” teriak Lawa Ijo marah. “Kemarilah dan katakan cara

apa yang kau senangi untuk membunuh orang yang telah

menghina aku.”

“Aku tidak akan membunuh orang itu,” jawab Mantingan.

Page 11: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91

“Pengecut…!” teriak Lawa ijo semakin keras. “Kalau begitu,

pilihlah cara yang kau senangi untuk membunuhmu.”

Kembali terdengar suara Mantingan tertawa. Segar dan

renyah. Katanya kemudian, “Sudah aku katakan bahwa aku masih

senang menunggu terbitnya matahari esok pagi, Eh, apakah

keperluanmu datang kemari tanpa memberitahukan lebih dulu?”

“Setan!” umpat Lawa Ijo. “Kalau begitu, aku akan

memaksamu, menyeret kemari dan membunuhmu dengan cara

yang aku senangi.”

“Jangan marah Lawa Ijo. Tak ada orang yang akan

mengucapkan terimakasih kepadamu, apabila demikian itu caramu

memperkenalkan diri,” jawab Mantingan.

Lawa Ijo rupanya sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia

berteriak kepada Wadas Gunung, “Wadas Gunung, tangkap orang

itu. Bawa dia kemari. Aku ingin mengetahui betapa keras tulang

kepalanya.”

Mendengar perintah itu, dada Wirasaba berdentang keras. Ia

tidak dapat membiarkan Mantingan bertempur sendiri. Tetapi

rupanya Jaladri sudah tidak sabar lagi menunggu saja sambil

tiduran. Maka kemudian terdengar juga suaranya, “Ki Dalang

Mantingan, bolehkah aku turut dalam permainan ini?”

Jaladri tidak menunggu jawaban Mantingan. Demikian ia

selesai berkata, demikian ia meloncat ke pintu. Mendengar suara

seorang lagi yang ternyata dapat membebaskan diri dari pengaruh

sirepnya, Lawa Ijo semakin terkejut. Wadas Gunung yang sudah

melangkahkan kakinya ke arah Mantingan, jadi tersentak. Dengan

garangnya ia berkata, “Carang Lampit, ternyata masih ada orang-

orang yang terbebas dari pengaruh sirep ini.”

Carang Lampit tidak menjawab, tetapi terdengar giginya

gemeretak karena marah. Bahkan kemudian ia meloncat maju dan

seterusnya ia berlari ke arah Mantingan dengan senjatanya di

Page 12: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91

tangan, yaitu carang ori di tangan kanan dan sebuah pisau belati

panjang di tangan kiri.

Tetapi sebelum ia mencapai Dalang Mantingan, yang berdiri di

bawah pohon, dimana ia mula-mula memanjatnya, Jaladri telah

berlari pula mencegatnya. Carang Lampit menjadi semakin marah.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun langsung ia menyerang

Jaladri dengan senjatanya. Ternyata Jaladri pun cukup tangkas

menghadapinya. Segera ia meloncat ke samping, dan kemudian

berputarlah canggah bermata dua di tangannya, untuk kemudian

dengan garangnya menyerang Carang Lampit. Carang Lampit

menggeram dengan penuh kemarahan. Matanya yang bengis

menjadi semakin buas. Tandangnya pun menjadi semakin buas

pula. Kedua senjatanya menyambar-nyambar mengerikan.

Mantingan melihat pertarungan itu dengan seksama. Mula-

mula ia menjadi cemas, apakah Jaladri dapat mengimbangi

kekuatan Carang Lampit. Tetapi ketika selangkah dua langkah

pertempuran itu berlangsung, Mantingan segera mengetahui

bahwa Jaladri pun cukup memiliki kemampuan untuk melawan

salah seorang anak buah Gerombolan Alas Mentaok yang terkenal

itu. Di seberang yang lain, Lawa Idjo, Wadas Gunung dan kawan-

kawannyapun mengikuti pertempuran itu dengan tanpa berkedip.

Mereka menjadi tidak senang ketika mereka melihat ketangkasan

Jaladri. Dengan penuh kemarahan, Lawa Ijo bertanya, “Siapakah

orang itu?”.

“Orang itulah yang bernama Jaladri,” jawab salah seorang

anak buahnya.

“Awasi dia,” katanya kepada Wadas Gunung. “Aku ingin

menyelesaikan orang sombong yang bernama Mantingan itu.”

“Baik Ki Lurah,” jawab Wadas Gunung.

“Yang lain jangan menunggu seperti orang nonton adu jago.

Masukilah perkemahan ini. Tangkap Wilis dan Widuri hidup-hidup.

Bunuh saja Arya Salaka kalau ia berada di sana. Kalau tidak, cari

Page 13: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91

sampai bertemu, supaya bukan kepalamu yang aku ceraikan dari

tubuhmu,” sambung Lawa Ijo dengan marahnya.

“Baik Ki Lurah,” jawab anak buahnya pula.

Sementara itu Lawa Ijo telah melangkah, setapak demi

setapak, ke arah Mantingan yang masih saja berdiri di bawah

pohon sambil menyaksikan Jaladri bertempur. Tetapi ketika ia

melihat Lawa Ijo mendekatinya, segera ia pun mempersiapkan diri.

Sebab melawan pemimpin gerombolan alas Mentaok ini bukanlah

pekerjaan yang ringan. Maka segera ia pun melangkah dua

langkah maju, menyongsong kedatangan Lawa Ijo.

Lawa Ijo yang terlalu percaya kepada kesaktiannya,

menganggap pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang berat. Ia

seolah-olah demikian yakin bahwa untuk membunuh Mantingan,

tidak akan banyak membuang tenaga.

Ketika ia tetap berdiri beberapa langkah dari mantingan masih

saja ia sempat berkata, “Hai Mantingan. Kalau kau mencoba

melawan maka kau akan menyesal”

Mantingan masih tetap berdiri di tempatnya. Sepintas ia

melihat orang-orang Lawa Ijo yang lain telah siap untuk memasuki

pondok Rara Wilis. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tetapi

Lawa Ijo telah meninggalkan pintu pondok itu dan memerlukan

untuk melawannya, ia menjadi sedikit berlega hati. Ia mengharap

bahwa orang-orang lain dari gerombolan Lawa Ijo itu tidak terlalu

berbahaya.

Karena Mantingan tidak segera menjawab perkataannya, Lawa

Ijo merasa sekali lagi dihinakan. Maka dengan membentak keras

ia mengulangi, “Mantingan. Tidakkah kau dengar kata-kataku?

Menyerahlah dan jangan mencoba melawan. Sebab dengan

demikian kau akan menyesal bahwa kau akan mengalami

penderitaan pada saat akhirmu.”

Page 14: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91

Mantingan tertawa pendek. Tetapi matanya masih saja

menatap pintu pondok Rara Wilis. Sebuah tangan yang kasar

dengan tiba-tiba merenggut pintu itu. Tetapi demikian pintu

terbuka, sebuah kapak yang berat dengan ganasnya melayang ke

arah kepala orang itu. Untunglah bahwa orang itu cukup tangkas.

Dengan cepat ia meloncat mundur. Tetapi agaknya Wirasaba tidak

memberinya kesempatan. Dengan cepat pula ia meloncat keluar

dan kapaknya yang besar itu terayun-ayun mengerikan sekali.

Orang-orang yang berdiri di muka pintu itu segera meloncat

berpencaran. Cemara Aking, Bagolan, Tembini, Jadipa dan yang

lain-lain. Mereka terkejut bukan kepalang, sebab mereka

samasekali tidak mengira bahwa di dalam pondok itu bersembunyi

Wirasaba yang pernah mereka kenal beberapa tahun yang lampau

di Pliridan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang sudah cukup

terlatih menghadapi setiap kemungkinan. Karena itu dalam waktu

yang pendek mereka telah siap dengan senjata-senjata mereka

untuk melawan Wirasaba. Namun yang samasekali diluar

perhitungan mereka adalah, tiba-tiba saja dimuka pintu itupun

telah berdiri berjajar Rara Wilis dengan pedang tipisnya, Arya

Salaka dengan tombak pusakanya, dan yang seorang lagi adalah

gadis dengan wajah berseri-seri bermain-main dengan sebuah

rantai perak sebesar ibu jari. Untuk beberapa saat mereka menjadi

heran bahwa orang-orang itupun dapat membebaskan dirinya dari

pengaruh sirep Lawa Ijo, dan mereka menjadi heran pula bahwa

mereka itu agaknya akan ikut serta dalam pertempuran. Tetapi

mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menimbang,

sebab tiba-tiba saja mereka bertiga itu dengan lincahnya

berloncatan, bahkan mirip dengan api yang memercik ke segenap

penjuru. Demikianlah kemudian mau tidak mau, gerombolan Lawa

Ijo itu dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa Rara Wilis dan

Endang Widuri itupun bukanlah gadis yang hanya dapat menangis

dan beriba-iba. Tetapi mereka bahkan memiliki ketangkasan dan

ketangguhan yang mengagumkan. Apalagi anak muda yang harus

mereka bunuh, dan bernama Arya Salaka itu. Seperti seekor

burung rajawali, ia menyambar nyambar dengan dahsyatnya.

Page 15: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91

Lawa Ijo, yang mendengar hiruk-pikuk itupun kemudian

menghentikan langkahnya. Ketika ia menoleh, ia hampir-hampir

tidak percaya pada penglihatannya. Samar-samar dalam

kegelapan malam ia melihat perkelahian yang dahsyat itu.

Perkelahian antara anak buahnya dengan beberapa orang yang

muncul dari dalam pondok

yang telah hampir saja

dimasukinya. Apalagi kemudi-

an ketajaman matanya dapat

menangkap bahwa yang

bertempur itu adalah dua

orang gadis, seorang anak

muda disamping orang yang

gagah dan bersenjatakan ka-

pak. Bahkan kemudian tanpa

disengaja ia bergumam, “Sia-

pakah mereka itu?”

Dan tanpa disengaja pula

Mantingan menjawab, “Mereka

itulah yang telah kau sebut-

sebut namanya.”

Lawa Ijo tidak berkata-

kata lagi. Tetapi ia menjadi semakin terpaku pada pertempuran

itu. Ternyata Rara Wilis, Endang Widuri, Arya Salaka berempat

dengan Wirasaba dapat melawan delapan orang anggota

gerombolan terkenal dari Alas Mentaok dengan baiknya. Pedang

Rara Wilis bergetaran dengan cepatnya, menyambar-nyambar

dengan lincahnya. Sinarnya yang gemerlapan merupakan

gumpalan-gumpalan sinar maut yang bergulung-gulung

menyerang lawannya. Disamping itu masih ada lagi cahaya yang

berkilat-kilat dari rantai perak Endang Widuri. Ia jarang-jarang

sekali mempergunakan senjata itu, sebagaimana pesan ayahnya.

Bahkan ia lebih senang memakainya sebagai perhiasan di

lehernya. Kalau pada saat itu ia terpaksa mempergunakannya,

Page 16: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91

maka sudah tentu bahwa ia menganggap pertempuran kali ini

cukup berbahaya baginya. Rantai itu di tangan Endang Widuri yang

kecil dapat mematuk-matuk dengan ganasnya, yang kadang-

kadang dengan kecepatan luar biasa menyambar lawannya untuk

kemudian membelitnya. Meskipun demikian, meskipun Endang

Widuri sendiri telah dapat bertempur dengan lincahnya, namun

sekali-kali Rara Wilis selalu berkisar mendekatinya. Bagaimanapun

anak nakal itu kadang-kadang perlu diperingatkan, bahwa

pertempuran kali ini bukanlah permainan anak-anak. Di sebelah

lain, Arya Salaka dengan tangkasnya memainkan tombak

pusakanya. Tombak itu berputar seperti baling-baling, namun

kemudian meluncur seperti petir menyambar lawannya. Demikian

membingungkan, sehingga tak seorang pun berani mendekatinya.

Lawan-lawannya bertempur dalam jarak yang cukup dan mencoba

menyerangnya dari arah yang berlawanan.

Adapun Wirasaba yang mula-mula merasa berkewajiban

melindungi kedua gadis beserta Arya Salaka, tidak kalah herannya

dari Lawa Ijo. Ia samasekali tidak menyangka bahwa Rara Wilis

adalah seorang gadis yang perkasa, sedang Endang Widuri dengan

kelincahannya merupakan seorang yang cukup berbahaya bagi

lawan-lawannya. Apalagi anak muda yang bernama Arya Salaka

itu. Bahkan akhirnya ia merasa bahwa ketiganya yang semula

harus dilindungi itu memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dirinya

sendiri. Disamping perasaan malu, Wirasaba kemudian merasa

bersyukur. Sebab ternyata lawan mereka adalah anggota

gerombolan Lawa Ijo yang menggemparkan. Kalau kedua gadis

dan Arya Salaka benar-benar memerlukan perlindungannya, maka

sudah pasti bahwa ia tidak akan mampu melakukan kewajibannya.

Sebab ia sadar bahwa Jaladri telah terikat dalam perkelahian yang

seimbang. Ki Dalang Mantingan masih harus membayangi Lawa

Ijo. Karena itu ketika ia merasa bahwa pekerjaannya telah

bertambah ringan, maka ia pun dapat bertempur dengan tenang.

Lawa Ijo masih saja berdiri seperti patung. Dengan dada yang

bergelora ia mengikuti pertempuran itu. Ia menjadi marah sekali

Page 17: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91

ketika ia melihat Wadas Gunung samasekali tidak berdaya

menghadapi Rara Wilis, sehingga Tembini masih harus

membantunya. Jadipa yang terlanjur ketakutan berhadapan

dengan Widuri, mencoba mencari lawan lain. Bersama dengan dua

orang lain, ia bertempur melawan Arya Salaka. Ternyata Arya

Salaka memiliki ketangkasan luar biasa, sehingga untuk

melawannya bertiga, samasekali tidak menyulitkan anak muda itu.

Sedang Bagolan dengan kedua bola besinya bertempur melawan

Endang Widuri. Mula-mula Bagolan agak merasa segan dan malu.

Ia merasa bahwa gadis kecil itu samasekali bukanlah pekerjaan

yang sesuai dengan dirinya. Tetapi ketika sekali dua kali hampir

saja kelit kepalanya terkelupas oleh sambaran rantai Widuri,

barulah ia sadar bahwa gadis itu benar-benar luar biasa. Karena

itu ia tidak dapat lagi menganggap bahwa ia hanya sekadar

melayani saja. Akhirnya keringat dingin membasahi hampir

seluruh permukaan tubuh Bagolan, ketika ternyata perlahan-lahan

namun pasti Endang Widuri berhasil menguasainya. Wirasaba

sendiri masih harus melayani dua orang yang mengeroyoknya.

Tetapi beberapa tahun yang lampau bersama dengan Mahesa

Jenar, ia pernah mengalami pengeroyokan anak buah Lawa Ijo itu.

Bahkan hampir duapuluh orang. Apalagi sekarang kakinya telah

benar-benar sembuh dan pulih kembali sehingga untuk melawan

kedua orang itu, Wirasaba tidak harus bekerja terlalu keras.

Ketika Lawa Ijo tidak sabar lagi melihat pertempuran itu,

dengan garangnya ia berteriak, “Hei Wadas Gunung, Tembini dan

Bagolan… tidak malukah kamu…? Lihatlah lawanmu itu baik-baik.

Ia tidak lebih dari seorang perempuan. Apalagi gadis kecil yang

banyak tingkah itu.” Kemudian kepada Rara Wilis dan Widuri, Lawa

Ijo berkata, “Jangan melawan. Kalian tidak akan dibunuh.”

Terdengarlah Endang Widuri tertawa dengan suara kekanak-

kanakan. Kemudian terdengarlah jawabannya, “Kalau kami tidak

akan dibunuh, akan kalian apakan kami…?”

Page 18: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91

Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Meskipun Lawa Ijo

sedang dipenuhi oleh kemarahan, namun ia berpikir juga untuk

mencari jawabnya. “Kalian akan kami bawa ke rumah kami.”

Sekali lagi Endang Widuri tertawa. Tetapi matanya tidak

terlepas dari lawannya. Bahkan masih saja berhasil mendesak

maju. Mendengar jawaban Lawa Ijo, Widuri meneruskan, Kami

akan merepotkan kalian nanti. Karena itu kami kira usulmu tidak

dapat kami terima. Adapun pendapat kami, barangkali baik juga

seandainya kalian tidak bermaksud membunuh kami, sebaiknya

kami saja yang membunuh kalian.”

Juga, kata-Kata Endang Widuri itu samasekali juga tidak

terduga. Tetapi kali ini Lawa Ijo menjadi bertambah marah.

Selama ini agaknya ia merasa bahwa Wadas Gunung, Tembini dan

Bagolan masih berpegang pada perintahnya untuk menangkap

hidup-hidup kedua gadis itu, sehingga mereka bertempur dengan

sangat hati-hati supaya tidak melukai mereka. Karena kemarahan

Lawa Ijo sudah memuncak, ia berteriak keras-keras, “He, Wadas

Gunung, Tembini dan Bagolan… jangan ragu-ragu lagi. Terserahlah

gadis-gadis itu menurut kehendak kalian. Apakah mereka akan

kalian bunuh ataukah akan kalian hidupi untuk kepentingan

kalian.”

Mendengar kata-kata Lawa Ijo itu, Rara Wilis benar-benar

tersinggung. Berbeda dengan Widuri yang menganggap setiap

perkataan Lawa Ijo itu tidak lebih dari perkataan yang

mengungkapkan kemarahannya. Tetapi bagi Rara Wilis yang telah

meningkat dewasa, bahkan telah melampaui dunia keremajaan,

sangat sakit hati atas anggapan seolah-olah dirinya tidak lebih dari

barang taruhan. Karena itu tiba-tiba dadanya terguncang dahsyat.

Dari matanya memancarlah perasaan sakit hati serta

kemarahannya. Sejalan dengan itu pedangnya pun menjadi

bertambah garang dan berputar-putra mengerikan.

Dalam pada itu Wadas Gunung pun menjadi sangat malu

mendengar teguran kakak seperguruannya. Sebagai seorang

Page 19: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91

murid Pasingsingan, Wadas Gunung memiliki ilmu yang cukup

tinggi. Tetapi karena perhatian Pasingsingan sebagian besar

dicurahkan kepada Lawa Ijo, maka agak kuranglah waktunya yang

diberikan kepada murid mudanya itu. Meskipun demikian karena

pembawaan tubuhnya yang kokoh kuat, Wadas Gunung adalah

orang yang cukup berbahaya. Karena itu kemudian terdengarlah

ia menggeram keras. Dan dengan sepenuh tenaga ia menyerang

lawannya, meskipun di dalam hati kecilnya terselip juga perasaan

sayang apabila kembang yang indah itu rontok karena tersentuh

tangannya.

Apalagi kali ini ia bertempur bersama dengan Tembini, seorang

yang memiliki ketangkasan cukup. Sayang bahwa kelincahan

Tembini tidak mendapat saluran yang cukup baik, sehingga seolah-

olah ia bertempur tanpa pegangan selain dari apa yang selalu

diperbuatnya selama ia berada di dalam gerombolan itu dengan

sedikit bimbingan dari Lawa Ijo dan Wadas Gunung.

Tetapi lawan mereka kali ini adalah murid Ki Ageng Pandan

Alas, dan sekaligus cucunya pula. Selama beberapa tahun terakhir

Pandan Alas tidak mempunyai pekerjaan lain selain menanam

jagung, kecuali mendidik cucunya ini untuk dapat merebut

ayahnya kembali dari tangan anak Sima Rodra dari Lodaya. Hampir

setiap saat Rara Wilis yang kemudian dinamainya Pudak Wangi itu

benar-benar selalu bermain-main dengan pedang tipisnya. Apalagi

kemudian karena kedatangan kakak seperguruannya dari

Gunungkidul yang bernama Sarayuda, kesempatan Pudak Wangi

itu untuk membajakan diri menjadi semakin padat. Karena itulah

kemudian Pudak Wangi dapat menyusul tokoh-tokoh yang sudah

terkenal jauh sebelum dirinya sendiri mengenal tangkai senjata.

Demikianlah ketekunan kakeknya itu, samasekali tidak sia-sia.

Karena ternyata ia pun berhasil menemukan ayahnya kembali,

meskipun beberapa saat sebelum tarikan nafasnya yang terakhir,

yang kemudian disusul dengan pertempuran yang terjadi di

Gedangan, yang memberinya kesempatan untuk membuat

perhitungan dengan janda ayahnya itu.

Page 20: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91

Dengan demikian, meskipun kali ini ia harus bertempur

melawan Wadas Gunung dan Tembini bersama-sama, namun ia

samasekali tidak berkecil hati. Apalagi perasaan kegadisannya

telah tersinggung. Karena itulah ia pun segera mengerahkan

tenaganya untuk menekan lawannya.

Ternyata usahanya berhasil. Lambat laun Wadas Gunung dan

Tembini merasa bahwa dirinyalah yang akan ditentukan nasibnya.

Bukan sebaliknya. Meskipun demikian sebagai orang yang telah

bertahun-tahun di dalam lingkungan yang penuh dengan

pertempuran, perkelahian dan pembunuhan, mereka samasekali

tidak putus asa.

Lawa Ijo kemudian menyadari kesulitan Wadas Gunung. Ia

tahu benar bahwa Rara Wilis ternyata telah mewarisi sebagian ilmu

kakeknya. Karena itu tanpa setahunya sendiri ia melangkah

mendekati lingkaran pertempuran.

Sedangkan Mantingan menjadi seolah-olah terbius melihat

Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka yang sedang

bertempur. Ketika Lawa Ijo melangkah maju, ia pun mengikuti di

belakangnya. Dengan penuh keheranan ia melihat mereka itu

seperti melihat Dewa Yama yang sedang menarikan tarian maut

dengan penuh gairah.

Apalagi ketika ia melihat bahwa anak-anak Lawa Ijo itu

semakin lama menjadi semakin terdesak.

Sebaliknya, Lawa Ijo menjadi semakin marah. Akhirnya ia

menjadi sedemikian marahnya sehingga hampir saja ia melompat

menyerbu. Tetapi demikian ia mulai bergerak, segera Mantingan

pun tersadar dari kekaguman yang telah mencekam dirinya.

Karena itu segera ia berkata, “Lawa Ijo, apa yang akan kau

lakukan?”

Lawa Ijo pun seperti terbangun dari mimpinya yang buruk,

menjadi terkejut. Namun demikian ia menjawab, “Aku akan

membunuh mereka itu satu demi satu.”

Page 21: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91

“Siapakah yang pertama-tama…?” tanya Ki Dalang Mantingan.

Hati Lawa Ijo yang sedang menyala-nyala itu menjadi seperti

disiram minyak mendengar pertanyaan Mantingan itu. Karena itu

ia menjawab sambil berteriak, “Kau…!”

Bersamaan dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya

itu, Lawa Ijo tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia memutar

tubuhnya, meloncat menyerang Mantingan dengan dua pisau

belati panjang di kedua belah tangannya, sambil menggeram, “Aku

bunuh kau secepatnya supaya tidak selalu membuat telingaku

merah. Setelah itu, baru yang lain.”

Tetapi Mantingan sudah bersiaga sepenuhnya. Karena itu

ketika Lawa Ijo meloncatinya, Mantingan tidak gugup. Dengan

cepat ia mengelakkan diri dan sekaligus trisulanya bergerak

memukul pisau lawannya. Namun Lawa Ijo pun cukup tangkas.

Ketika serangannya gagal, cepat-cepat ia menarik senjatanya,

kemudian menyerang kembali dengan ganasnya.

II

Maka segera terjadi pula satu lingkaran pertempuran yang

tidak kalah serunya. Lawa Ijo dengan dua pisau belati panjang,

menyerang dengan garangnya seperti badai melanda-landa tak

henti-hentinya. Namun Mantingan dapat menyesuaikan dirinya

dengan baiknya, mirip seperti sepucuk cemara yang berputar-

putar ke arah badai bertiup. Dengan demikian Mantingan selalu

dapat membebaskan dirinya sendiri serangan lawannya. Tetapi

yang sewaktu-waktu dengan penuh kelincahannya ia menyusup

diantara serangan-serangan Lawa Ijo, mempermainkan trisulanya

dengan cepatnya mematuk-matuk seperti serangan dari beribu-

ribu mata tombak yang datang dari segenap penjuru. Itulah daya

kesaktian ilmu Ki Dalang Mantingan, yakni Pacar Wutah, sehingga

sasarannya seolah-olah samasekali tidak mendapat tempat untuk

mengelak.

Page 22: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91

Tetapi lawan Mantingan kali ini adalah Lawa Ijo, murid

Pasingsingan terkasih. Hantu berjubah abu-abu dan bertopeng

menakutkan itu benar-benar telah membekali muridnya dengan

berbagai macam ilmu. Ilmu lahiriah dan ilmu-ilmu batin, meskipun

berlandaskan pada kekuatan hitam. Namun dalam bentuk

penerapannya sungguh mengagumkan. Lawa Ijo mempunyai

ketangguhan, ketangkasan dan kecepatan bergerak yang luar

biasa. Ilmu Pacar Wutah yang diwarisi oleh Ki Dalang Mantingan

dari gurunya, Ki Ageng Supit, ternyata tidak berhasil mengurung

Lawa Ijo. Bahkan kemudian semakin lama terasalah bahwa ilmu

warisan Pasingsingan lebih ganas daripada ilmu yang diwarisi oleh

Mantingan dari gurunya. Oleh karena itu Mantingan harus berjuang

sekuat tenaga. Beberapa tahun yang lalu, dalam pertempuran

bersama-sama di dekat Rawa Pening, ia telah dapat

menyejajarkan diri dengan tokoh-tokoh golongan hitam itu.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, agaknya Lawa Ijo telah

bekerja lebih tekun lagi.

Apalagi Lawa Ijo telah bertempur dengan cara yang buas

sekali. Baginya tidak ada pantangan apapun untuk mencapai

tujuannya. Kekejaman, kekasaran dan kelicikan, semuanya adalah

cara yang dapat saja dipakainya. Sedangkan Mantingan bertempur

dengan penuh kejantanan dan kejujuran. Meskipun sekali dua kali

ia mengalami tekanan-tekanan yang kasar dan gila, namun tak

terpikir olehnya untuk ikut serta melayani Lawa Ijo dengan cara-

cara yang kasar dan curang.

Dalam pada itu, semakin lama semakin jelas bahwa Mantingan

tidak berhasil menempatkan dirinya pada keadaan yang

menguntungkan. Beberapa kali ia terdesak mundur. Untunglah

bahwa ia pun memiliki pengalaman yang luar biasa. Sebagai

seorang dalang yang selalu mengembara dari satu tempat ke

tempat yang lain untuk menyebarkan kisah-kisah kepahlawanan

yang tertera dalam kitab-kitab Mahabarata dan Ramayana, dan

sekaligus menyelenggarakan hiburan untuk rakyat, Mantingan

pernah menjumpai seribu satu macam peristiwa dan gangguan-

Page 23: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91

gangguan lahir batin. Berdasarkan pada segenap pengalaman

itulah Mantingan menempa dirinya di perguruan Wanakerta.

Namun kali ini ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa

ilmu Lawa Ijo berada segaris di atasnya. karena itu ia harus

berjuang dengan penuh kebulatan tekad. Kalau saja otaknya tidak

ikut serta bertempur saat itu, mungkin ia sudah tergilas hancur.

Tetapi karena kecerdasannya, ia dapat mempergunakan setiap

saat dan keadaan untuk membantu dirinya. Meskipun demikian

hati Mantingan mengeluh juga. “Luar biasa, Lawa Ijo ini,” pikirnya.

“Tetapi aku harus bertahan sedikit-dikitnya untuk waktu yang

sama dengan waktu yang diperlukan oleh Wadas Gunung dan

Carang Lampit.”

Sekali-kali Mantingan sempat melirik ke arah lingkaran

pertempuran Rara Wilis. Melihat hasil itu, ia menjadi berbesar hati.

Seandainya ia harus binasa melawan Lawa Ijo, namun Rara Wilis

harus sudah berhasil menyelesaikan pertempurannya. Dengan

demikian ia mengharap gadis itu dapat membebaskan dirinya dari

serangan bersama yang dibarengi oleh kekuatan Lawa Ijo yang

dahsyat. Untuk melawan Lawa Ijo sendiri, Mantingan masih belum

dapat menilai apakah Rara Wilis akan mampu. Tetapi ia masih

mempunyai harapan lain. Sebab Wirasaba pun dapat mendesak

musuhnya. Dalam kesibukan berpikir, Mantingan sempat

merasakan kegelian juga melihat Endang Widuri. Kalau saja ia

tidak sibuk mempermainkan trisulanya, mau ia menggaruk-garuk

kepalanya. Gadis itu bertempur samasekali seenaknya saja,

meskipun ia berhadapan dengan Bagolan. Seorang yang bertubuh

pendek gemuk seperti babi hutan dengan dua bola besi bertangkai

di kedua tangannya. Tetapi Mantingan tidak mempunyai waktu

banyak karena terus-menerus terdesak dan harus bertahan.

Akhirnya kesempatan untuk menyerang menjadi semakin tipis.

Bahkan kemudian trisulanya benar-benar harus diputar seperti

baling-baling untuk melindungi seluruh bagian tubuhnya dari

patukan pisau-pisau belati panjang Lawa Ijo.

Page 24: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91

Lawa Ijo yang ganas itu hampir tak sabar pula. Ia ingin

melumpuhkan lawannya segera. Ia menjadi marah dan

mengumpat tak habis-habisnya melihat kenyataan bahwa

Mantingan sedemikian mahirnya mempermainkan trisulanya,

sehingga selubang jarum pun tak berhasil ditemukan untuk

menyusupkan pisau belatinya. Meskipun ia sadar bahwa Mantingan

kini tinggal mampu mempertahankan diri.

Demikianlah Mantingan bertahan mati-matian untuk

memperpanjang waktu. Kalau ia kemudian binasa, ia mengharap

Rara Wilis bersama-sama dengan Wirasaba dapat mengganti

kedudukannya.

Di bagian lain, Widuri bertempur seperti seekor kijang.

Meloncat dengan lincahnya kian kemari. Kadang-kadang ia berlari-

lari berputar-putar seolah-olah sudah tidak berani lagi menghadapi

lawannya. Namun kemudian ketika Bagolan mengejarnya dengan

dada terkembang, tiba-tiba ia berhenti, Widuri menyerang dengan

dahsyatnya. Rantai peraknya berputar-putar seperti lesus yang

seolah-olah menghisap Bagolan untuk masuk ke dalam pusaran

anginnya. Dalam keadaan demikian maka seluruh bagian tubuh

Bagolan dialiri keringat dingin. Mati-matian ia harus

menyelamatkan dirinya dari hisapan itu. Gumpalan bayangan

rantai Widuri yang gemerlapan itu membuatnya pening. Segera

Bagolan mengumpulkan tenaga lahir batin, sambil menggerutu tak

habis-habisnya. Untunglah bahwa ia memiliki tenaga raksasa

melampaui tenaga Widuri. Sadar akan kelebihannya maka sekali-

kali ia tidak menghindari serangan-serangan lawan kecilnya.

dengan sepenuh tenaga ia mencoba untuk melawan setiap

serangan dengan serangan. Widuri pun sadar akan keadaan ini.

Untunglah bahwa ia bersenjata rantai yang lemas, yang tidak

menggoncangkan tangannya dalam benturan-benturan yang

terjadi. Namun ia selalu menjaga bahwa ia harus menghindarkan

rantainya untuk tidak melilit senjata Bagolan, kecuali dalam

kecepatan yang tinggi menurut perhitungan yang tepat. Dan

memang ia sedang menunggu kesempatan itu. Kalau mungkin ia

Page 25: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91

akan merampas bola-bola besi lawannya. Tetapi Bagolan bukan

anak-anak seperti dirinya yang senang pada permainan aneh-

aneh. Bagolan adalah salah seorang dari gerombolan Lawa Ijo

yang menilai jiwa seseorang tidak lebih dari jiwa seekor katak.

Dengan uang beberapa keping ia sudah bersedia memotong leher

seseorang. Karena itu kali ini pun tidak ada soal lain dalam

benaknya kecuali melumatkan gadis kecil yang banyak tingkah ini.

Meskipun kadang timbul pula ingatan Bagolan bahwa seorang

kawannya memerlukan lawannya itu. Namun seandainya ia

berhasil menangkap hidup pun ia pasti akan membuat perhitungan

dengan Jadipa. Gadis kecil harus ditukar sedikitnya dengan

sebuah timang bermata berlian tiga rantai seperti yang

dirampoknya di daerah Mangir beberapa bulan yang lalu. Tetapi

ketika Widuri itu bertempur semakin cepat, ingatannya tentang

timang bermata berlian tiga rangkai itu pun kabur. Yang ada

kemudian adalah ingatan tentang kepalanya sendiri yang setiap

saat terancam akan terlepas dari lehernya.

Wirasaba pun ternyata melihat kesulitan Mantingan. Tetapi ia

tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat meninggalkan

lawannya yang pasti akan menyulitkan kawan-kawannya yang

lain. Meskipun ia telah berusaha secepat-cepatnya menyelesaikan

pertempuran, tetapi kedua lawannya yang bernama Cemara Aking

dan Ketapang itu dapat memberikan perlawanan dengan gigih.

Ternyata kedua orang itu pun sekadar dapat memberikan

perlawanan dan mengikat Wirasaba dalam suatu pertempuran.

Sebab mereka berdua pun yakin bahwa mereka tidak akan dapat

mengalahkan Wirasaba.

Demikianlah ketika malam bertambah malam, pertempuran itu

pun menjadi semakin sengit. Ketika tubuh mereka telah dibasahi

peluh yang mengalir dari setiap lubang kulit, tandang mereka pun

menjadi semakin keras. Masing-masing kemudian bermaksud

untuk segera mengakhiri pertempuran dan membinasakan lawan-

lawan mereka. Demikian juga Lawa Ijo yang semakin keras

Page 26: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91

menekan Ki Dalang Mantingan ke dalam keadaan yang semakin

berbahaya.

Mantingan pun kemudian harus bekerja lebih keras lagi untuk

mempertahankan dirinya. Tetapi perasaannya kini benar-benar

telah bulat, bahwa ia harus menegakkan kesetiakawanannya

terhadap Mahesa Jenar, Arya Salaka dan anak-anak Banyubiru.

Apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu ia samasekali

tidak gelisah, bingung dan berkecil hati ketika tekanan-tekanan

Lawa Ijo menjadi semakin sengit. Namun justru karena itulah

maka ia tetap tenang dan menguasai dirinya sehingga ia tidak

kehilangan akal. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan

dapat memperpanjang waktu perlawanannya. Sebab dalam

keadaan-keadaan yang sangat sulit sekalipun, otaknya masih

cukup cerah untuk mencari jalan keluar dari bahaya itu.

Lawa Ijo lah yang justru menjadi gelisah dan marah. Ia ingin

segera membunuh lawannya. Namun sampai beberapa lama

usahanya selalu tidak berhasil. Karena itu, dibakar oleh

kemarahannya yang memuncak, tiba-tiba ia berteriak nyaring.

Kedua pisaunya disilangkan di atas kepalanya, sedang dari

matanya seolah-olah memancar api yang menyala-nyala.

Mantingan terkejut melihat sikap itu. Ia masih belum tahu apa

maksud dari gerakan-gerakan yang aneh itu. Namun ia yakin

bahwa Lawa Ijo sedang membuka ilmunya yang diandalkan.

Dengan demikian Mantingan semakin menyiagakan diri. Ia masih

melihat Rara Wilis dan Wirasaba melayani lawannya. Karena itu

bagaimanapun ia harus berusaha untuk menyelamatkan mereka

itu sampai mereka berhasil membunuh lawan-lawan mereka,

supaya mereka tidak ditelan oleh Lawa Ijo. Ketika Lawa Ijo sudah

siap untuk meloncat dan menyerangnya kembali, Mantingan

membelai trisulanya sekali lagi, seolah-olah untuk yang terakhir

kalinya. Ilmu Pacar Wutah-nya sudah dikerahkan sejak lama

sebelum Lawa Ijo mempergunakan ilmu terakhirnya. Meskipun

demikian ia tak dapat mendesaknya. Apalagi sekarang, pada saat

Lawa Ijo sudah sampai pada puncak keganasannya. Waktu yang

Page 27: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91

diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan tenaganya tidaklah lama.

Beberapa kejap kemudian ia sudah meloncat kembali dan

menyerang Mantingan dengan sangat dahsyat. Mantingan pun

dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak ilmu

pacar wutah. Namun hanya sesaat saja ia mampu bertahan, sebab

kemudian terasa bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan

udara yang amat panas. Mantingan sadar bahwa udara yang panas

itu adalah akibat dari ilmu Lawa Ijo yang dipancarkan oleh

kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber pada ilmu hitam.

Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian dengan

garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh udara yang

sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar tidak melihat

kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara panas yang

membakar dirinya, seolah-olah membuat darahnya mendidih dan

tak berdaya. Kakinya tiba-tiba terasa lumpuh. Dalam keadaan

demikian, ia hanya mampu mengacungkan trisulanya lurus ke

depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan menerkamnya dengan

dua pisau belati di tangan.

Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba

terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh yang jatuh

terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan dapat menembus dada

Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ketika

ia menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya

Tembini berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah

merah segar. Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah

Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis melihat

keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu sengaja ia

berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa Ijo. Karena

untuk melukai Wadas Gunung masih agak sulit dan waktu yang

terlalu sempit, akhirnya pedang Rara Wilis terpusat ke arah dada

Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu mendahului

gerak Lawa Ijo yang hampir saja menentukan batas umur

Mantingan dengan ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas

Kobar, sehingga benar-benar jeritan Tembini dapat menghentikan

langkah terakhir Lawa Ijo.

Page 28: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91

Melihat Tembini terbanting dan berguling-guling di tanah, Lawa

Ijo samasekali tidak menaruh perhatian. Ia bahkan menjadi

semakin marah karena geraknya terganggu. Karena itu dari

mulutnya terdengar umpatan, “Persetan kau Tembini. Matilah kau

kelinci, dan kulitmu akan aku rentang di depan regol sarang kita

sebagai peringatan dari salah seorang anggota Lawa Ijo yang

memalukan.”

Semua yang mendengar umpatan itu mau tak mau meremang

bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri, Lawa Ijo dapat

berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam pada itu

Bagolan pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti

Tembini. Apalagi lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil.

Tetapi bagaimanapun Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata

ia tidak dapat mengatasi keadaan. Sebab rantai perak itu seperti

selalu meraung-raung di telinganya, menyambar-nyambar seperti

lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian tubuhnya

dengan sesukanya. Memang, beberapa kali Bagolan telah

merasakan ujung rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan nyeri.

Semakin lama semakin sering. Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil

itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu

bertempur sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan

terkelupas habis.

Dalam pada itu, kembali mata Lawa ijo yang memancar merah

menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan yang

membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya

api. Kali ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun

yang terjadi. Meskipun semua anggotanya akan berteriak

bersama-sama dan mati bersama-sama sekali pun. Ia akan

membunuh Mantingan untuk kemudian membunuh Wirasaba dan

Arya Salaka.

Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang anak

muda muncul dari kegelapan malam berjalan seenaknya ke

arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi oleh senyumnya yang

manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata, “Paman

Page 29: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91

Mantingan, sebaiknya Paman beristirahat untuk sementara.

Meskipun aku harap Paman untuk selalu mengawasi aku di sini.

Beberaoa tahun yang lampau aku mendengar guruku bertempur

mati-matian melawan Lawa Ijo di tengah-tengah hutan

Tambakbaya. Sekarang kurang lebih lima tahun kemudian, biarlah

aku, muridnya, mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku telah

dapat memenuhi harapan guruku, mewarisi ilmunya untuk

sedikitnya seperti ilmu guru lima tahun lalu.”

Melihat kedatangan anak muda dan mendengar kata-katanya

untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti dihantam batu

hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali, sedemikian

marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di

tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan

Arya Salaka itu. Apakah benar-benar ia akan melakukannya?

Dalam pada itu Mantingan pun kemudian menengok ke segenap

arah untuk mencari di manakah orang-orang yang baru saja

bertempur melawan Arya Salaka.

Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di sana-sini

tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran

berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis

melawan Wadas Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan

Ketapang, sedangkan Widuri melawan Bagolan.

Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan

bertanya, “Di manakah lawan Angger tadi…?”

Arya Salaka masih saja tersenyum. “Aku terpaksa membunuh

mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau mendengar

peringatanku. Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba

membunuh aku pula.”

“Kau bunuh mereka bertiga…?” Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo

berteriak.

“Maaf Lawa Ijo.” jawab Arya Salaka. “Anak buahmu itu terlalu

keras kepala,

Page 30: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91

Sekali lagi dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia memandang

berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung, Cemara Aking,

Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang terluka.

Kalau demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah

Bandotan, Jadipa dan seorang kebanggaannya yang bernama Kyai

Sada Gebang. Dengan hampir tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi

berteriak, “Benar kau lakukan pembunuhan itu?”

“Aku tidak bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar

membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada

membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua

berjanggut panjang dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya

bukan main.”

Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata, “Ialah Kyai Sada

Gebang. Kau bunuh juga orang itu?”

Terpaksa, gumam Arya Salaka.

Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada orang lain

yang membantu anak muda itu sehingga ia berhasil membunuh

ketiga orangnya yang samasekali bukan orang-orang kebanyakan,

Dan sekarang anak itu datang menantangnya. Tiba-tiba timbullah

dendam di dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin

membara dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin

membunuh anak muda itu untuk memadamkan semangat

perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak Banyubiru

yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang

berbahaya bagi jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh

daerah perdikan bekas perdikan Pangrantun.

Dan, sekarang anak itu telah datang kepadanya untuk

menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa tanpa

bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena itu

dengan menggeram ia berkata, Arya Salaka, kalau kau benar-

benar dapat membunuh ketiga orang-orangku tanpa bantuan

Page 31: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91

orang lain, maka wajarlah kalau kau berani menantang aku. Tetapi

kalau dalam perkelahian ini kau akan terbunuh dengan sia-sia,

maka jangan salahkan aku. Bersama-sama dengan Mantingan,

kepalamu akan aku penggal dan akan aku pasang kelak di tengah-

tengah alun-alun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira

rakyat Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu?

Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar perkataan kasar

itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang semacam Lawa Ijo

itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan tenangnya ia

menjawab, Jangan kau menakut-nakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku

jangan sekali-kali kau penggal, sebab alangkah sulitnya hidup

tanpa kepala.

“Gila!” geramnya. Mendengar ejekan-ejekan Mantingan,

telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi sekarang anak

yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani menghinanya pula,

menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang sama.

Karena itu Lawa Ijo sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang

maharaja di daerah alas Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya

yang maha sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa

membiarkan dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba

menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh,

membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah ia. Kalau

ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia.

Demikianlah kali ini, timbullah keinginannya untuk membunuh

dengan cara yang paling mengerikan. Ia menganggap bahwa

orang-orang itu samasekali tidak menghargainya, tidak merasa

ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus mendapat

hukuman.

Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Arya Salaka,

sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas seolah-

olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap penjuru di

sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo itu

pun merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya.

Page 32: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91

Bersama dengan itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang

akan terjadi dengan Arya Salaka? Mantingan sendiri mengalami

kesulitan untuk mempertahankan diri melawan Lawa Ijo. Tetapi

hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan tenangnya

dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo.

Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan

yang cepat dan lincah ia meloncat memutar tombak pusakanya,

langsung mengarah ke ulu hati lawannya. Lawa Ijo pun terkejut

melihat serangan itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan.

Serangannya yang dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih

sempat dihindarinya.

Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula terkejut

merasakan serangan udara panas itu. Namun tanpa sesadarnya,

udara yang panas itu lambat laun menjadi sejuk dengan

sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari segenap lubang

kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi

terpengaruh oleh udara panas yang secara bergelombang melibat

dirinya. Ia sendiri tak menyadari bahwa berkat pertolongan orang

berjubah abu-abulah, ia dapat membebaskan diri dari serangan aji

Alas Kobar yang ganas. Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam

tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga cadangan

untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan kulit untuk

melawan rangsang dari luar, kini telah bebas. Kekuatan-kekuatan

itu dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus. Adalah

suatu kurnia baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur jalan

pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya dengan baik

menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk

mendasari ilmunya Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang

berjubah abu-abu yang telah membuka segenap simpanan

kekuatan di dalam tubuhnya. Demikianlah, maka Arya Salaka

seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan

simpul-simpul perasa dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun

ia tidak menjadi kebal dari serangan senjata, namun dalam saat-

saat tertentu dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap

perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu.

Page 33: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91

Sebenarnyalah, bahwa seseorang dengan mengatur

pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran dan kehendak,

percaya kepada kebenaran atas tindakannya, dan pasrah setulus-

tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Besar, dapatlah kiranya orang

menyingkirkan diri dari kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh

wujud jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai

ujud jasmaniahnya sendiri.

Dalam keadaan yang

demikianlah Arya Salaka

bertempur dengan gigihnya

melawan Lawa Ijo. Sebagai

seorang pemuda yang sedang

berkembang, ia memiliki

semangat yang luar biasa.

Otot-ototnya yang mulai

tampak berjalur-jalur di bawah

kulitnya telah membentuk

tubuhnya menjadi bertambah

serasi dengan wajahnya yang

keras penuh daya juang dan

penuh harapan bagi masa

depan.

Mantingan melihat pertem-

puran itu seperti terpaku di

tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan

menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo dalam

keadaan sedemikian baiknya. Ia samasekali tidak menyangka

bahwa Arya Salaka telah berhasil menempa dirinya menjadi

seorang anak muda perkasa. Yang mau tidak mau harus diakuinya

bahwa anak itu telah melampauinya, dan menempatkan dirinya

sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan ternyata

bahwa Arya Salaka samasekali tidak mengalami kesulitan dalam

pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang

memancarkan panas, sepanas api.

Page 34: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91

Mantingan tersadar ketika beberapa kali udara panas melanda

dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut menjauhi titik

pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam dirinya. Apakah

sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah samasekali tidak

merasakan sentuhan-sentuhan udara panas itu. Meskipun

demikian Mantingan belum berani meninggalkan Arya Salaka

bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi sesuatu atas anak

itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya.

Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu, Mantingan

tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur

berpasangan melawan Lawa Ijo, meskipun ia yakin bahwa

seandainya ia ikut serta maka pasti ia berdua dengan Arya Salaka

akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun

barangkali tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh

Lawa Ijo.

Karena itu Mantingan hanya dapat melihat saja pertempuran

itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya tetap tergenggam

erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika melihat Arya

Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti

burung rajawali raksasa. Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-

benar dapat bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya

menjadi bercahaya seperti mata serigala. Dengan menggeram

dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun demikian di

dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang membelit-belit dirinya.

Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi heran, kenapa anak

muda itu dapat membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu Alas

Kobar.

Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan jawab atas

pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya

menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia

merangsang lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya

berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar,

yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera

pewayangan. Tetapi Arya Salaka pun tangguh bukan kepalang.

Page 35: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91

Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat sekali. Sedang

gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan

gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi jalannya.

Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan

dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng, melawan

Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah

banyak memiliki pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah

beberapa puluh orang yang cukup terkenal dilawan dan

dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan yang didatanginya

dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal

beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang

dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan Demak.

Namun ia masih tetap pada pekerjaannya. Merampok. Membunuh.

Dan yang terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk

menundukkan perdikan Banyubiru. Apalagi ketika tersiar berita

untuk kedua kalinya, bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten

tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia bersepakat dengan kawan-

kawan segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan

Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan terjadi

saling mendesak dan saling membunuh diantara golongan hitam

itu sendiri.

Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya karena

Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya. Apakah

sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia sekarang menghadapi

suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu memiliki

kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada

Lawa Ijo menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih

ia mengerahkan segenap kekuatannya dengan dilambari oleh

ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak itu.

Namum, Arya Salaka bukanlah seekor cacing yang hanya

mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah

membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar

dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda

yang luar biasa. Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan

Page 36: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91

kelincahan yang dapat menyamai Lawa Ijo. Bahkan apapun yang

dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh lawannya yang

muda itu.

Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah, bahkan

akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan. Apalagi ketika

sekali-kali ia sempat melihat lingkaran-lingkaran pertempuran

yang lain. Tak ada tanda-tanda samasekali bahwa anak buahnya

dapat mengatasi keadaan. Wadas Gunung, adik seperguruannya

ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat berkisar

mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung

samasekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak

pula terlalu mudah. Sedang Wirasaba masih bertempur pula

dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun menakutkan. Di

kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan rantai berputar di

tangan kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa langkah di

mukanya hanya berkisar-kisar saja. Dengan tertawa-tawa Widuri

membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama

Bagolan samasekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai

berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi

lawannya, ia berkisar berputar-putar. Namun kemana ia pergi,

Widuri selalu menghadapinya. Akhirnya Bagolan menjadi marah

juga. Marah, malu dan segala macam perasaan bercampur baur.

Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah basah karena

peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia

ingin meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah

sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa gadis kecil

itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain-main dengan

rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah

mengumpat-umpat di dalam hati tak habis-habisnya. Kalau saja

Widuri menyerangnya, Bagolan akan mendapat kesempatan pada

perubahan-perubahan gerak gadis itu. Tetapi ternyata Widuri

masih berdiri saja di tempatnya.

Tetapi justru karena itu Bagolan merasa malam itu tegang

sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya terdengar

Page 37: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91

berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak dapat. Karena

itulah maka ia menjadi seperti cacing kepanasan.

Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka ternyata

jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu bertempur dengan

tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh anak muda itu benar-benar

seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa tahun

yang lalu di hutan Tambak Baya. Ketangkasan, ketangguhan dan

ketrampilan. Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi

ilmunya dengan ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu

samasekali tidak menemui kesulitan apa-apa, sehingga menurut

penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju dari

Mahesa Jenar lima tahun yang lalu.

Disamping perasaan marah, timbul pula sepercik pertanyaan

di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya telah berhasil

menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan

Mahesa Jenar sendiri.

Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan cepatnya.

Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki ilmu yang

tinggi, maka ia tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan

sekarang ternyata apa yang pernah didengarnya itu adalah benar.

Ia pernah bertempur dan bahkan membunuh sepasang Uling dari

Rawa Pening. Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari

mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah

yang agak mengganggu dirinya, karena sebagian kekuatan

cadangannya tersalur untuk melawan kekuatan pancaran panas

sehingga kulitnya tidak hangus karenanya, disamping tata

pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan

tekadnya, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha

Besar. Maka hal yang demikian itulah yang telah mengurangi

gangguan-gangguan perasaan pada bentuk jasmaniahnya.

Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin ganas. Ia samasekali

tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah teriakan nyaring

dari mulut orang yang bernama Ketapang, karena goresan kapak

Page 38: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91

Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika di sekeliling titik

pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis

dan Endang Widuri disamping Mantingan. Mereka telah kehilangan

lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya

Lawa Ijo sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah

untuk meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak

buahnya bertempur semakin lama, mereka pasti akan binasa.

Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh orang lain, Lawa

Ijo membenarkan anak buahnya untuk menyingkir.

Tetapi ia sendiri samasekali belum bermaksud meninggalkan

pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia

mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-

sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-

sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo

tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk

mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun

benar. Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan

kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati

pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka

tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang

Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap

bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu.

Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran

itu. Meskipun mereka tidak merasa curang, apabila mereka

bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun tiba-tiba di dalam

hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya

Salaka bertempur sendiri.

Sedang Lawa Ijo yang ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia

mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri, kemudian berkata,

“Hai betina-betina dari Banyubiru… kenapa kalian tidak maju

bersama-sama? Jangan berpura-pura bersikap jantan dengan

membiarkan anak kecil ini menjadi korban kesombongan kalian.”

Page 39: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91

Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan

menjawab, “Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang berpura-pura

untuk menyelamatan diri. Jangan pula berbicara tentang

kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami bersama-sama dan

beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan

sembunyi-sembunyi memasuki perkemahan kami? Tetapi biarlah

untuk sementara kami ingin melihat kau bertempur.”

Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak dapat

berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak ikut membantu

Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka yang telah siap

itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah

bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun

anak muda ini pun mempunyai harapan yang kecil saja untuk

mengalahkannya.

Namun sebagai seorang tokoh yang namanya telah

bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok, maka

ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri.

Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya menjadi heran,

apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang pertempuran

itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri juga sudah

pasti bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi

kenapa ia tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya?

Pertanyaan itu akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan.

Karena itu ia pun menjadi bertambah waspada. Apakah kawan-

kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya.

Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu

kepada Wirasaba, yang ternyata sependapat pula. Apalagi

kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring

sekali seperti suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu

kemudian disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi

dengan nada yang lebih tinggi.

Mantingan melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu,

ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih lama lagi.

Page 40: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91

Dengan lantang terdengarlah ia memerintah, “Tangkap iblis dari

Mentaok ini.”

Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera berloncatan

mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur seorang diri. Untuk

beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti bertempur.

Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah ia

sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya

menyambar wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di

sisi itu. Tetapi tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan

dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri. Ah, anak ini

bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah, secerah

bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi ia tidak

mempunyai kesempatan untuk mengagumi kecantikan gadis kecil

itu.

Dalam kegelisahan, tiba-tiba Lawa Ijo mengangkat kepalanya

letika sekali lagi mendengar sebuat suitan. Dekat di samping

mereka berdiri.

Mendengar suitan itu, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi terang

kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias

bibirnya.

Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya menjadi

terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu mempunyai arti

yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi perkemahan

anak-anak Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka

bersama-sama menyiagakan diri untuk menghadapi

kemungkinan-kemungkinan yang lebih berbahaya.

III

Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam

keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah

bayangan seperti bayangan hantu yang melayang-layang

memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak disamping Lawa

Page 41: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91

Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah abu-abu serta

menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah topeng yang kasar dan

jelek.

“Pasingsingan…!” Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan

nama yang mengerikan itu.

Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti

bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata, “Apakah yang

telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?”

Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di dalamnya

terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang

sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud

kedatangannya. Menuntut bela terhadap murid serta anak

buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia bergumam, “Kalian telah

melakukan beberapa kesalahan.”

Setiap dada menjadi terguncang karenanya. Mereka semua

telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama Pasingsingan.

Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk mereka melihat

orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka

dengan sebuah tuntutan yang mengerikan. Tetapi mereka tidak

akan dapat berbuat lain daripada mengangkat dada mereka

sebagai jantan sejati. Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat

diatas kebenaran, diatas suatu pengabdian yang tulus. Karena itu

kemudian terdengar Mantingan menjawab, “Tidak ada sesuatu

yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain mengucapkan

selamat datang di perkemahan kami, dengan cara yang disenangi

oleh murid Tuan sendiri.”

“Hem….” terdengar Pasingsingan mendengus. “Kau tahu

dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?”

“Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?” jawab

Mantingan.

Page 42: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91

“Bagus!” sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam. “Kalau

demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku

dengan baik pula.”

Mantingan mengangguk.

“Nah,” dengus Pasingsingan dari belakang topengnya. “Kenapa

kalian melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?”

Mantingan menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Pasingsingan

sedang mencari sebab untuk melakukan pembalasan. Namun

demikian ia menjawab. “Kami samasekali tidak melakukan

pembunuhan tuan. Yang kami lakukan adalah suatu cara untuk

menyelamatkan diri kami.”

“Omong kosong” bentak Pasingsingan. “Apapun alasanmu

tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.”

“Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya

seseorang ingin membunuh tuan?” sahut Mantingan.

Untuk beberapa lama Pasingsingan tidak berkata sesuatu.

Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh nafasnya yang

memburu. Kemudian dengan lantang ia berkata. “Kaukah yang

bernama Mantingan, dalang Mantingan.”

“Ya” jawab Mantingan pendek.

“Mulutmu terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang

pertama-tama akan aku hancurkan” berkata Pasingsingan

perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang dahsyat.

Mantingan menarik nafas sekali lagi. “Apaboleh buat” pikirnya.

Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal diam. Meskipun

Rara Wilis adalah seorang gadis, namun darah Pandan Alas yang

mengalir ditubuhnya telah menjadikannya seorang gadis yang

tabah dan berani. Meskipun ia menyadari, betapa tinggi ilmu

Pasingsingan itu, namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan

darah Gunung Kidul itu akan bertekuk lutut untuk dipenggal

Page 43: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91

lehernya. Karena itu ujung pedangnya nampak semakin bergetar

sejalan dengan debar jantungnya yang bertambah cepat. Bahkan

kemudian terdengar suaranya gemetar. “Tuan, adakah tuan ingin

ikut dalam permainan anak-anak ini?.”

Juga pertanyaan Rara Wilis itu sederhana, sama sederhananya

dengan pertanyaan Pasingsingan yang pertama. Tetapi juga

didalam kata-kata itu terkandung suatu tantangan yang dalam.

Tantangan bagi kejantanan Lawa Ijo dan Pasingsingan sendiri.

Tetapi ternyata Lawa Ijo bukan seorang jantan. Ia adalah seorang

yang licik, yang dapat menganggap suatu cara apapun dapat

dibenarkan untuk mencapai maksudnya. Karena itu ialah yang

menjawab pertanyaan Rara Wilis. “Adakah pertanyaan itu sebagai

suatu permintaan ampun dari guru, Rara Wilis?”

Dada Rara Wilis tergoncang. Ia merasa tersinggung oleh

jawaban itu. Namun Wirasaba yang tinggi hati telah

mendahuluinya menjawab. “Dibelakang sayap indukmu kau masih

mampu tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami samasekali tidak seperti

orang yang terkenal dengan sebutan iblis alas Mentaok, yang

ternyata tidak lebih dari seekor anak ayam yang ketakutan melihat

bilalang terbang.”

“Diam” bentak Lawa Ijo marah. Tetapi suaranya tiba-tiba

tenggelam dalam derai tawa Endang Widuri. Semua yang

mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan

tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali, kalau

dalam keadaan yang demikian, masih ada orang yang berani

memperdengarkan tertawanya.

“Aneh” kata Widuri dalam nada kekanak-kanakan. “Seorang

yang bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar lenganku ini, tiba-

tiba tanpa malu-malu bersembunyi dibelakang punggung gurunya.

Bukankah itu suatu tontonan yang lucu.”

Darah Lawa Ijo yang sudah mendidih sejak semula itu terasa

seperti diaduk. Tetapi ketika dipandangnya wajah gadis kecil yang

Page 44: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91

cerah itu, terasa sesuatu yang aneh meraba-raba dadanya. Tiba-

tiba saja seperti bintang yang jatuh dari langit, terbesitlah jauh

disudut relung hatinya, yang selama ini seolah-olah tak pernah

tampak olehnya, suatu perasaan yang menyenangkan, apabila

iamempunyai anak seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis,

berani dan tangkas. Tetapi berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia

merasa seolah-olah gadis kecil yang menghinanya pula. Dengan

menggeram ia berkata. “Siapakah kau?”

“Seorang yang bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu,

siapakah yang sedang berdiri dihadapannya” jawab Widuri tanpa

takut-takut.

Sekali lagi Pasingsingan menggeram karena kemarahan yang

sudah hampir memuncak.

Mendengar Pasingsingan menggeram sedemikian dahsyatnya,

tegaklah bulu roma mereka yang mendengarnya kecuali Widuri. Ia

masih saja tersenyum seperti tidak terjadi sesuatu. Meskipun

sebenarnya didalam hatinya memercik juga kecemasannya atas

sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap

tenang seperti ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka

Pasingsingan menjadi bertambah marah lagi. Ia merasa terhina

oleh seorang anak kecil yang sengaja merendahkannya. Karena itu

ia tidak bersabar lagi. Sebagai seorang penjahat yang telah

berpuluh bahkan ratusan kali membunuh, maka ia samasekali

tidak lagi punya hati terhadap calon korbannya. Demikian juga

terhadap Widuri. Meskipun ia melihat betapa gadis itu masih

sedang tumbuh, namun ia telah dibakar oleh kemarahannya. Maka

dengan suara yang bergetar ia berkata. “Gadis kecil yang tak tahu

diri. Apakah kau telah mempunyai nyawa yang rangkap, sehingga

berani menghina Pasingsingan? Karena itu kaulah yang pertama-

tama akan menerima hukuman”. Sehabis kalimat itu, mulailah

Pasingsingan bergerak kearah Endang Widuri. Kembali semua

orang yang menyaksikan, hatinya berdesir. Tetapi mereka tidak

mau membiarkan peristiwa yang mengerikan itu terjadi. Serentak

tanpa berjanji lebih dahulu, berloncatanlah semua orang

Page 45: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91

menghadang dihadapan Endang Widuri. Mantingan dengan

trisulanya yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis

dengan pedang tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus kedepan.

Disampingnya berdiri Arya Salaka dengan wajah yang tegang dan

dengan tangan yang gemetar menggenggam Kiai Bancak.

Disebelahnya Wirasaba dengan kapak raksasanya yang sudah

tersandang dipundaknya siap untuk diayunkan sedang diujung

berdiri Jaladri erat-erat memegang canggah andalannya. Melihat

sikap orang-orang itu, Pasingsingan berhenti. Tetapi sebagai

seorang yang berilmu tinggi, ia samasekali tidak takut menghadapi

barisan kelinci-kelinci itu. Bahkan terdengarlah suara tertawanya

bergumam di belakang topengnya. Kemudian terdengar

Pasingsingan berkata, “Bagus…. Aku puji kesetiakawanan kalian.

Tetapi kalian tidak akan dapat menghalangi aku untuk membunuh

gadis gila itu.” Ternyata Pasingsingan siap untuk melakukan kata-

katanya. Tetapi terjadilah sesuatu diluar dugaan. Dalam

ketegangan itu terdengar Lawa Ijo berkata, “Guru… ampunilah

gadis kecil itu.”

Pasingsingan terkejut mendengar kata-kata muridnya. Ketika

ia menoleh, dilihatnya Lawa Ijo rapat berdiri di belakangnya.

Bahkan tidak saja Pasingsingan, tetapi semua orang terkejut dan

heran mendengar kata-kata itu. Sehingga terdengarlah

Pasingsingan bertanya, “Apa yang kau katakan itu Lawa Ijo?”

“Ampunilah gadis kecil itu,” ulang Lawa Ijo.

“Apa kepentinganmu?” tanya Pasingsingan pula.

Lawa Ijo diam. Tetapi ia menundukkan wajahnya. Wajahnya

yang buas dan liar itu. Namun anehlah bahwa matanya yang

menyala-nyala seperti mata serigala itu tiba-tiba menjadi suram.

Beberapa kali ia memandang wajah Widuri, hanya untuk seleret

pandang. Tetapi ia tidak berani memandang wajah gurunya.

Pasingsingan menjadi semakin heran. Selama hidupnya, sejak

istri dan anaknya meninggal, Lawa Ijo tidak pernah menaruh

Page 46: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91

perhatian kepada perempuan. Tiba-tiba sekarang ia merasa

sayang kepada gadis kecil itu. Suasana kemudian dicekam oleh

keheningan. Namun setiap dada dipenuhi oleh ketegangan yang

memuncak. Di kejauhan terdengar gonggongan anjing-anjing liar,

berebut makan, disusul oleh teriakan serigala lapar. Beberapa kali

terdengar pula gema raung harimau memecah malam. Angin

pegunungan mengusap tubuh mereka, meresapkan udara dingin.

Kata-kata Lawa Ijo itu ternyata menyebabkan Pasingsingan

ragu-ragu untuk bertindak. Ia masih berdiri saja seperti patung.

Patung iblis yang menakutkan. Dalam keheningan itu terdengarlah

suara Lawa Ijo memecah sepi. “Tetapi kalau guru akan bertindak

terhadap yang lain, aku tidak berkeberatan.”

Terdengar nafas berat berdesis lewat hidung Pasingsingan.

Sekali lagi ia menoleh kepada muridnya. Dan sekali lagi ia

bertanya, “Apa kepentinganmu atas gadis itu?”

Lawa Ijo menggeleng. “Tak ada,” jawabnya.

Sekali lagi jawaban Lawa Ijo itu mengherankan mereka yang

mendengarnya. Bahkan Widuri sendiri menjadi heran.

Dalam pada itu, keragu-raguan Pasingsingan itu telah

mengubah segala keadaan. Kalau semula semua penghuni

perkemahan itu sudah tidak mempunyai harapan untuk

membebaskan diri dari tangan hantu itu, tiba-tiba terperciklah

setitik cahaya terang di dalam dada mereka.

Lamat-lamat di kejauhan, dibawa desir angin malam,

terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Mereka berharap, mudah-

mudahan mereka itulah Mahesa Jenar bersama Kebo Kanigara dan

kawan-kawannya. Dengan orang-orang itu, mereka tidak lagi

merupakan umpan-umpan yang samasekali tak berarti bagi

Pasingsingan. Ditambah dengan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan

beberapa orang lagi, mereka mengharap untuk setidak-tidaknya

dapat mengimbangi hantu bertopeng itu.

Page 47: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91

Pasingsingan pun mendengar derap kuda itu. Namun ia tahu

pula, bahwa suara itu masih jauh sekali. Dalam malam yang sepi,

suara yang lambat dan jauh pun akan dapat dikumandangkan oleh

tebing-tebing jurang dan kemudian dapat mencapai daerah-

daerah ketinggian seperti daerah di sekitar candi Gedong Sanga

ini. Dengan telinganya yang tajam, Pasingsingan memperhatikan

suara itu dengan seksama. Wajahnya yang terangkat, seolah-olah

dapat membuat perhitungan yang tepat, kira-kira sejauh berapa

tonggak sumber suara telapak kuda itu. Ketika ia kemudian yakin

akan pendengarannya, berkatalah ia, “Masih jauh. Waktu masih

cukup banyak untuk memusnahkan kalian. Nah, bersiaplah untuk

menghadapi saat terakhir. Melawan atau tidak melawan, akan

sama saja akibatnya bagi kalian.” Kemudian kepada Lawa Ijo ia

berkata, “Usahakan supaya orang-orang berkuda itu agak lambat

datang. Pergilah dengan orang-orangmu yang masih ada.”

“Baik guru,” jawab Lawa Ijo. Tetapi sekali lagi matanya

menatap wajah Endang Widuri.

“Aku sisakan gadis kecil itu. Atau akan kau bawa dia?” Tanya

Pasingsingan.

Lawa Ijo menggeleng. “Aku tidak mempunyai kepentingan

apa-apa. Aku hanya ingin Guru mengampuninya.”

“Pergilah,” dengus Pasingsingan.

Dalam sekejap meloncatlah Lawa Ijo hilang ditelan tabir

hitamnya malam. Yang tinggal kemudian hanyalah orang berjubah

abu-abu dan bertopeng seperti iblis itu.

Harapan yang semula timbul di dalam dada mereka untuk

dapat bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara dan yang lain-lain, kini telah pudar kembali. Meskipun

mereka masih belum dapat menjajagi, sampai di mana tingkat ilmu

Mahesa Jenar kini, namun semakin banyak jumlah mereka,

semakin kuat pula perlawanan yang dapat mereka berikan.

Page 48: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91

Sementara itu suara kuda di kejauhan masih saja melingkar-

lingkar di dalam lembah, seolah-olah tidak menjadi bertambah

dekat. Kemudian mereka pun sadar bahwa jalan yang harus

ditempuh oleh orang-orang berkuda itu pun melingkar-lingkar

seperti ular. Karena itu akhirnya mereka kembali kepada

kepercayaan diri. Kepada senjata-senjata mereka yang

tergenggam di tangan mereka. Lebih daripada itu, mereka percaya

kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.

Demikianlah mereka dengan dada yang berdebar-debar

melihat Pasingsingan itu bergerak perlahan-lahan. Tangan

Pasingsingan mulai dikembangkan seperti hendak menerkam.

Kemudian dengan cepat sekali ia meloncat ke samping, untuk

kemudian menyerang dengan cepatnya ke arah Dalang Mantingan.

Tetapi orang-orang itupun bukanlah orang-orang yang tak berdaya

samasekali. Segera mereka berloncatan untuk memencar diri dan

menyerang bersama-sama dari segenap penjuru.

Terhadap mereka itupun ternyata Pasingsingan tidak dapat

menganggap remeh. Ia menggeram sekali lagi dengan kerasnya.

Seperti kilat ia dengan sangat lincah menghindari setiap senjata

yang tertuju kepadanya. Untuk kemudian menggeliat dengan

cepatnya dan melenting seperti terlempar dari tempatnya berdiri

untuk mencapai daerah diluar lingkaran kepungan lawan-

lawannya. Mantingan dan kawan-kawan berdesir melihat cara

Pasingsingan bergerak. Benar-benar seperti singgat, namun

kadang-kadang seperti ular, dan sekali-sekali seperti asap yang

dapat melayang-layang di udara. Mereka diam-diam mengeluh di

dalam hati. Dan terasalah di dalam hati kecil mereka bahwa

mereka tak akan mampu untuk memberi perlawanan yang cukup

lama sampai Mahesa Jenar tiba. Apalagi mereka tahu bahwa Lawa

Ijo dan kawan-kawannya telah ditugaskan oleh gurunya untuk

menghadang dan memperlambat perjalanan rombongan berkuda

itu. Tetapi bagaimanapun juga, mereka akan memberikan

perlawanan sekuat tenaga mereka sampai orang yang terakhir.

Sebab lebih baik mati dengan tangan terentang, daripada mati

Page 49: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 91

dengan tangan bersilang di dada. Karena itu seperti angin pusaran

mereka menyerang Pasingsingan berputar. Meskipun mereka tidak

pernah mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran

bersama, namun karena pengalaman mereka masing-masing,

segera mereka dapat menyesuaikan diri. Ternyata gerak mereka

dapat sedikit menolong memperpanjang waktu. Mula-mula

Pasingsingan pun agak sulit untuk dapat mengadakan serangan

terhadap rombongan yang berputar sambil menyerang berganti-

ganti dari segenap arah itu. Namun akhirnya Pasingsingan dapat

pula menyesuaikan diri. Ia pun kemudian ikut berputar pula

mengikuti putaran lawan-lawannya dan menyerang pada tempat

yang tepat. Dalang Mantingan. Untunglah bahwa Rara Wilis yang

berdiri di belakang Dalang Mantingan itu, sehingga pedangnya

dapat membantu melawan iblis yang mengerikan itu, disamping

serangan-serangan yang lincah dilancarkan Arya Salaka dari arah

yang lain. Dalam pada itu sekali lagi Pasingsingan melenting sambil

menyerang Jaladri. Dengan cepat Jaladri menjatuhkan dirinya

untuk menghindari sambaran tangan Pasingsingan sambil

mengacungkan senjatanya. Tetapi dengan demikian

pertahanannya terbuka, sehingga sekali lagi Pasingsingan berhasil

meloloskan diri dari kepungan, meskipun Wirasaba telah mencoba

menyerangnya ketika Pasingsingan sedang terapung di udara.

Tetapi kapak raksasanya itu terayun menebas angin. Dengan

menggeliat Pasingsingan berhasil menghindari sambaran kapak

itu. Namun sayang bahwa demikian kakinya menjejak tanah,

terasalah angin menyentuh kulitnya. Belum lagi ia berhasil

menghindar, terasalah sebuah benda menyambarnya. Cepat ia

berusaha memutar tubuhnya di atas satu kakinya. Sehingga

sambaran senjata itu hanya menyentuh jubahnya. Ketika ia sudah

siap untuk menyerang kembali, dilihatnya rantai perak berputar

seperti baling-baling. Rantai itu pulalah yang telah menyentuh

jubahnya. Sekali lagi Pasingsingan berdesis marah. Tetapi

demikian ia siap untuk menyerang dari bawah ke arah tubuh

Endang Widuri, teringatlah ia akan pesan muridnya, sehingga

maksudnya terpaksa diurungkan. Namun ia menjadi semakin

marah. Terasa sesuatu menyumbat dadanya, sehingga

Page 50: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 91

terdengarlah giginya gemeretak. Dengan demikian ia mencari

saluran untuk memuntahkan kemarahannya itu. Ia merasa

tersinggung sekali, bahwa rombongan kelinci itu berhasil

mengenainya, meskipun hanya jubahnya. Dalam kemarahan yang

memuncak itu, tiba-tiba dengan cepatnya tangan Pasingsingan

bergerak seperti orang menabur benih. Dan bersamaan dengan itu

memancarlah cahaya kekuning-kuningan ke segenap penjuru.

Ternyata di tangan iblis itu tergenggam sebuah pisau belati

panjang yang berwarna kuning keemasan. Itulah pusaka

Pasingsingan yang bernama Kyai Suluh. Dengan senjata itu di

tangan, terdengarlah Pasingsingan bergumam, “Aku masih berbaik

hati kepada kalian. Kalau aku ingin membunuh kalian, dengan

senjata ini. Aku dapat membakar tubuh kalian seperti membakar

jangkrik dengan ilmu Alas Kobar.”

Mau tidak mau hati mereka tergetar melihat cahaya

gemerlapan yang memancar dari senjata Pasingsingan itu.

Meskipun di malam yang gelap, namun pantulan cahaya bintang-

bintang di langit telah mampu untuk menyilaukan mata. Tetapi

meskipun demikian, sekali lagi, mereka bertekad untuk bertempur

sampai tenaga terakhir, sampai tetes darah terakhir pula.

Pasingsingan kini tidak mau memperpanjang waktu lagi. Ia

sudah tidak mendengar derap kuda yang melingkar-lingkar di

lembah. Pasti orang-orang berkuda itu telah terlibat dalam

pertempuran melawan Lawa Ijo. Pasingsingan mengharap Lawa Ijo

dan kawan-kawannya dapat memberinya waktu. Karena itu, waktu

yang sempit ini harus dipergunakan sebaik-baiknya. Demikianlah

akhirnya terdengar dari mulut Pasingsingan itu suitan nyaring, dan

bersamaan dengan itu melontarlah tubuhnya seperti bayangan

hantu di malam yang kelam menyerang dengan dahsyatnya.

Tak seorang pun yang mengharap dapat keluar dari

pertempuran itu. Karena itu, malahan mereka menjadi tenang dan

bertempur mati-matian. Kalau mungkin mereka akan membawa

iblis itu hancur bersama dengan mereka.

Page 51: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 91

Tetapi ketika senjata-senjata mereka sekali saja bersentuhan

dengan pusaka Pasingsingan, terasa tangan mereka bergetaran

keras, dan perasaan sakit menjalar kesegenap tubuh mereka.

Tetapi ketika saat yang memuncak itu hampir sampai pada titik

tertinggi, mereka mendengar derap orang berlari. Disusul dengan

sebuah sapa yang tergesa-gesa, “Selamat malam Pasingsingan

muda, yang pernah bergelar Umbaran.”

Pasingsingan terkejut mendengar sapa itu. Apalagi ketika ia

mendengar orang itu menyebut nama Umbaran. Karena itu,

sedemikian terkejutnya hantu berjubah abu-abu itu terloncat

mundur beberapa langkah dan dengan sikap yang menakutkan ia

memutar tubuhnya ke arah suara sapa yang telah mengganggunya

itu.

Kemudian tampaklah dalam kegelapan malam, seseorang

tersembul dengan cepat dari balik pepohonan. Dengan langkah

yang tergesa-gesa pula ia berjalan mendekat lingkaran

pertempuran itu. Bersamaan dengan itu hampir setiap mulut

menyebut nama orang itu dengan penuh harapan dan

kegembiraan yang membersit di dalam dada mereka.

Bahkan terdengar Pasingsingan bergumam di belakang topeng

jeleknya, “Mahesa Jenar.”

“Ya,” jawab orang itu. “Hampir aku terlambat datang.”

Pasingsingan memandang Mahesa Jenar dengan seksama. Ia

heran bahwa Mahesa Jenar berhasil muncul dalam waktu jauh lebih

cepat dari perhitungannya. Ia mengharap Lawa Ijo setidak-

tidaknya dapat menahannya, untuk waktu yang cukup baginya

membunuh orang-orang yang telah menyakitkan hatinya itu.

Namun agaknya Pasingsingan salah hitung.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bukanlah anak-anak yang

dapat diberinya sekadar permainan untuk melupakan ibunya yang

sedang pergi. Demikianlah, dalam perjalanan pulang, Kebo

Page 52: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 91

Kanigara, Mahesa Jenar dan kawannya seolah-olah telah

mendapat suatu firasat yang kurang baik. Dengan kencangnya

mereka memacu kuda mereka seperti anak panah. Mereka

menjadi tidak tenang, serasa meninggalkan anak-anak bermain di

tepi sungai. Karena itu maka yang tergores di dalam angan-angan

mereka, adalah secepatnya sampai ke Candi Gedong Sanga.

Apalagi ketika mereka sampai ke lembah di hadapan daerah

perkemahan mereka. Kebo Kanigara ternyata mempunyai

perasaan yang tajam sekali. Ketika angin yang aneh menyentuh

kulitnya, berkatalah ia bergumam seperti kepada diri sendiri,

“Alangkah sejuknya malam.”

Mahesa Jenar masih belum merasakan sesuatu yang tidak

pada tempatnya, karena itu ia menjawab, “Sejuk, bahkan terlalu

sejuk. Aku kira malam musim kemarau ini dinginnya benar-benar

sampai menggigit tulang.”

Kebo Kanigara menoleh kepada Mahesa Jenar. Dari wajah

kawan seperjalanannya itu Kebo Kanigara dapat mengetahuinya

bahwa Mahesa Jenar belum merasakan sesuatu. Namun waktu itu

tidak terlalu lama. Sebab kemudian tampaklah alis Mahesa Jenar

berkerut. Dan tiba-tiba dengan nanar ia memandang ke arah

perkemahan anak-anak Banyubiru, meskipun yang tampak

hanyalah kehitaman melulu. Namun seolah-olah ia ingin

menembus hitamnya malam, dan langsung ingin mengetahui apa

yang telah terjadi dibalik tabir malam yang kelam itu.

Tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berkata, “Ya, alangkah

sejuknya malam.”

Kebo Kanigara tersenyum. Tetapi kendali kudanya

dipegangnya semakin erat. Tumitnya beberapa kali menyentuh

perut kudanya, untuk mempercepat perjalanan. Mahesa Jenar pun

berbuat serupa, diikuti oleh Wanamerta, Bantaran dan Penjawi

yang telah menggigil kedinginan.

Page 53: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 91

Bahkan terdengar Wanamerta yang tua berdesis, “Alangkah

anehnya alam. Kalau siang panasnya seperti memecahkan kepala.

Kalau malam dinginnya sampai membekukan darah. Tetapi

agaknya Anakmas berdua di muka itu tidak merasakan betapa

tubuhku hampir membeku. Bahkan mereka mempercepat lari kuda

mereka.”

“Bukankah lebih cepat lebih baik Paman?” jawab Bantaran.

“Dengan demikian kita lebih cepat sampai untuk kemudian

menyalakan api sebesar-besarnya. Membakar jagung dan ketela.

Alangkah nikmatnya. Meskipun aku tadi sudah mendapat suguhan

makan, namun laparnya bukan main.”

Terdengar Penjawi tertawa saja. Kemudian terdengar di sela-

sela suara tertawanya. “Kakang Bantaran. Untunglah bahwa

tempat nasimu tadi tidak dilubangi oleh orang-orang Pamingit,

sehingga kau masih akan dapat menikmati perasaan kenyang.”

Terdengar mereka bertiga tertawa. Kebo Kanigara dan Mahesa

Jenar menoleh sambil tersenyum pula. Tetapi mereka sudah tidak

mampunyai minat untuk turut serta berkelakar. Sebab sudah

terasa oleh mereka itu, bahwa di Gedong Sanga telah terjadi

sesuatu.

Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar berbisik, untuk

tidak menggelisahkan pengikutnya. “Apakah yang telah

mempengaruhi udara malam ini Kakang?”

“Aku takut bahwa Bantaran dan Penjawi akan tertidur di atas

kudanya,” jawab Kebo Kanigara.

“Sirep,” desis Mahesa Jenar.

“Ya,” jawab Kanigara singkat.

Kemudian untuk sesaat mereka terdiam. Tetapi kuda mereka

berpacu lebih cepat lagi. Semakin dekat, semakin terasa pengaruh

yang aneh mengalir menurut angin lembah menyentuh-nyentuh

tubuh mereka. Kemudian terdengarlah sekali lagi Penjawi

Page 54: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 91

menguap sambil menggerutu, “Ah, ada-ada saja. Dalam berpacu

begini dapat juga aku menjadi ngantuk.”

“Kami terlalu letih,” jawab Bantaran yang mulai ngantuk pula.

Mendengar pembicaraan

mereka, Kebo Kanigara men-

jadi cemas. Maka katanya

kepada Mahesa Jenar, “Kita

beritahu mereka, supaya me-

reka berjuang memperta-

hankan kesadaran mereka. Se-

dang Paman Wanamerta, aku

kira mempunyai kemampuan

yang cukup dalam tubuhnya

yang telah tua dan penuh

pengalaman itu.”

“Baiklah Kakang,” jawab

Mahesa Jenar.

Kemudian Kebo Kanigara

melambaikan tangannya dan

sedikit memperlambat jalan kudanya, sehingga dalam waktu yang

hanya sekejap, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta telah

menyusulnya.

“Adakah kalian ngantuk…?” tanya Kebo Kanigara.

“Ya,” jawab mereka hampir bersamaan.

“Bagus,” sahut Kebo Kanigara, “Itu pertanda bahwa perasaan

kalian cukup tajam. Sayang bahwa kalian kurang memperhatikan

perasaan kalian. Apakah perasaan yang demikian itu wajar atau

tidak.”

Mereka menggeleng bersama-sama.

Page 55: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 91

“Nah, kalau demikian kalian berada dalam keadaan yang

khusus. Kantuk sambil berkuda. Hal yang tidak pernah kalian alami

selama kalian menjadi anggota laskar Banyubiru. Karena itu

ketahuilah, bahwa kalian telah terkena pengaruh ilmu yang tajam.”

“Sirep,” potong mereka hampir bersamaan.

Kebo Kanigara mengangguk, katanya meneruskan, “Ya, kalian

merasakan betapa nyamannya udara malam ini. Karena itu kalian

harus berusaha untuk tetap pada kesadaran kalian, bahwa kalian

sedang mendapat serangan. Pertahankanlah diri kalian. Pusatkan

segenap kekuatan kalian untuk melawan serangan ini. Karena itu

kalian harus tetap menjaga dan meyakini keadaan ini.”

“Baiklah Tuan,” jawab Bantaran dan Penjawi bersamaan.

Dengan demikian mereka mulai dengan perjuangan mereka untuk

menguasai kesadaran mereka. Namun pengetahuan mereka

tentang keadaan mereka pada saat itu, yaitu adanya libatan

pengaruh sirep pada diri mereka, ternyata merupakan bekal yang

baik di dalam usaha mereka mempertahankan diri mereka masing-

masing.

Wanamerta yang tua itupun tampak merenung. Agaknya iapun

sedang merasakan dengan seksama keadaan dirinya. Kemudian

terdengarlah ia bergumam, “Hem…. Untunglah Angger Kebo

Kanigara cukup waskita. Memang kantukku kali ini agaknya bukan

sembarang kantuk.”

Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata pula, “Nah, kalau

demikian akan selamatlah kalian. Sebab kalau kalian tidur sambil

berkuda di jalan-jalan yang terjal dan berkelok-kelok ini, sangatlah

berbahaya. Lebih berbahaya lagi kalau tiba-tiba muncul beberapa

orang menghadang perjalanan ini dan melubangi tempat nasi

kalian yang nyaris dilubangi oleh orang-orang Pamingit.”

Bantaran, Penjawi dan Wanamerta tertawa perlahan. Namun

mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berkelakar.

Page 56: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 91

Mereka segera memusatkan kesadaran mereka dalam perlawanan

mereka terhadap pengaruh sirep yang terasa semakin tajam.

Kembali mereka berdiam diri. Udara malam terasa menjadi

semakin dingin. Dari dinding bukit-bukit kecil di sekitar lembah itu

terdengar gema pantulan derap kaki kuda mereka seperti ratusan

kuda yang berlari-lari mengitari lembah itu. Semakin dekat mereka

dengan daerah perkemahan anak-anak Banyubiru, perasaan

mereka menjadi semakin tidak tenteram.

Ketika mereka sampai pada tanjakan terakhir, tiba-tiba di

dalam kegelapan malam, mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara

yang tajam itu melihat beberapa orang berdiri bertolak pinggang

di tengah jalan. Dengan demikian hati mereka berdesir. Mereka

pasti bukan pasukan anak-anak Banyubiru. Karena itu segera

mereka memperlambat jalan kuda mereka. Kemudian

terdengarlah Kebo Kanigara berbisik, “Mereka benar-benar

menghadang perjalanan kita.”

“Aku menjadi semakin gelisah atas keselamatan anak-anak

kita, Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

“Lalu apakah yang akan kita lakukan?” tanya Kebo Kanigara.

“Aku harus secepatnya sampai di perkemahan,” sahut Mahesa

Jenar.

Kebo Kanigara merasakan, apa yang tersirat di dalam dada

Mahesa Jenar. Ia meninggalkan dua orang yang sangat penting di

dalam perbendaharaan hatinya. Yang pertama adalah Arya Salaka,

sebagai beban pertanggungjawaban yang sepenuhnya berada di

tangannya. Kedua adalah orang yang telah merampas hatinya.

Yang bagaimanapun juga dikesampingkan, namun dalam saat-

saat yang berbahaya, perasaan itu akan menjadi bertambah nyata.

Karena itu tidak ada alasan baginya untuk menahan maksud

Mahesa Jenar, meskipun ia sendiri digelisahkan pula oleh satu-

satunya putri yang ditinggalkan di perkemahan itu pula. Namun

apabila salah seorang dari mereka berdua dapat mencapai tempat

Page 57: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 91

itu secepatnya, maka keadaan pasti akan dapat dikuasai, siapapun

yang sedang berada di sana.

“Kalau begitu….” akhirnya Kebo Kanigara mengambil

keputusan, “Biarkan aku berjalan terus menghadapi orang-orang

itu. Kau cari jalan lain untuk segera sampai ke perkemahan itu.

Kita masih belum tahu siapakah yang menghadang perjalanan

kita. Apakah kita memerlukan waktu sedikit atau banyak.”

“Baik Kakang,” jawab Mahesa Jenar. Kemudian dengan tidak

menunggu kata-kata Kebo Kanigara lagi, Mahesa Jenar meloncat

dari kudanya. Kemudian menyelinap hilang dibalik gerumbul-

gerumbul di tepi jalan lembah itu, untuk kemudian dengan

tergesa-gesa lewat jalan memintas langsung menuju ke

perkemahan di Gedong Sanga yang sudah tidak seberapa jauh

lagi. Apalagi Mahesa Jenar mengambil jalan lurus, meskipun

sekali-kali harus mendaki tebing dan meloncati lubang-lubang

yang banyak berserakan di sana-sini. Ia tidak mempunyai angan-

angan lain pada saat itu daripada secepatnya sampai di daerah

perkemahan. Meskipun demikian, ia sempat mendengarkan saat

derap kuda-kuda rombongannya itu berhenti. Namun ia

samasekali tidak mempedulikan. Ia percaya bahwa Kebo Kanigara

pasti akan dapat mengatasi keadaan.

Dalam pada itu, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun

terkejut melihat Mahesa Jenar meloncat turun dari kudanya dan

kemudian menghilang. Tetapi mereka tidak sempat bertanya

ketika kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, “Bawalah

kudanya. Ia perlu secepatnya sampai di perkemahan kita.

Bersiaplah menghadapi kemungkinan di depan kita.”

Sebelum mereka menjawab, jarak mereka dengan orang-

orang yang berdiri di tengah jalan itu sudah demikian dekatnya

sehingga mereka terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka.

Namun mereka masih tetap berada di atasnya.

Page 58: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 91

IV

Sesaat kemudian salah seorang yang berdiri di tengah,

bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju sambil

berkata dengan suara yang menakutkan, “Siapa kalian?”

“Aku Karangdjati,” jawab Kanigara perlahan-lahan.

“Hem….” dengus orang yang bertanya, yang tidak lain adalah

Lawa Ijo. “Kalian mau ke mana?”

“Kami ingin kembali ke perkemahan kami,” jawab Kanigara.

“Hem….” Sekali lagi Lawa Ijo mendengus.

“Dari manakah kalian?” Sampai pertanyaan itu, Kebo Kanigara

merasa bahwa orang yang berdiri menghadangnya itu ingin

memperpanjang waktu dengan mengajukan berbagai pertanyaan.

Karena itu ia segera mencoba mempersingkat pembicaraan. “Aku

datang dari Banyubiru. Kau tidak usah menanyakan keperluanku.

Dan kau tidak usah mengurus hal-hal di luar kepentinganmu. Nah

sekarang katakan kepadaku siapa kau ini?”

Lawa Ijo tertawa, jawabnya, “Jarang-jarang aku menemui

pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang mengenal aku.

Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas Mentaok.”

“Ooo….” sahut Kanigara. Sekarang ia dapat mengukur

kekuatan lawannya, sebab ia telah mendengar kekuatan hantu

Alas Mentaok ini.

Tetapi agaknya Lawa Ijo masih saja ingin bertanya-tanya.

Apalagi ketika ia tidak melihat Mahesa Jenar diantara orang-orang

rombongan berkuda itu. “Berapa orang kalian semuanya?”

“Empat,” jawab Kanigara mulai jengkel.

“Tetapi jumlah kuda kalian adalah lima. Di mana yang

seorang?” tanya Lawa Ijo pula.

Page 59: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 91

Kanigara sudah tidak mau melayani pertanyaan-pertanyaan

yang menjemukan itu lagi. Ia ingin cepat-cepat lewat dan

menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami sesuatu. Karena itu

Kanigara berkata lantang, “Minggirlah Lawa Ijo, supaya aku bisa

lewat, atau supaya kamu tidak terinjak oleh kaki kuda-kuda kami.”

Lawa Ijo adalah seorang kepala gerombolan yang ditakuti oleh

penduduk di sekitar Alas Mentaok. Bahkan namanya tersiar sampai

ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu ketika ia mendengar

seorang yang takut terinjak seakan-akan menganggapnya tidak

lebih dari seorang yang takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi

marah. Apalagi orang yang duduk di atas punggung kuda dan

memandangnya dengan berani itu bukanlah orang yang pernah

menggemparkan karena kesaktiannya. Kalau semula ia agak

cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui tingkat ilmu

Arya Salaka, muridnya, maka kemudian ia menjadi berlega hati

ketika Mahesa Jenar tidak ada di dalam rombongan itu. Meskipun

ia mulai bertanya, ketika diketahuinya bahwa seekor kuda dari

rombongan itu ternyata tidak berpenumpang.

Maka dengan marah ia menjawab dengan kasarnya,

“Karangjati, kau harus belajar menilai seseorang. Aku minta kau

turun dari kudamu untuk menghormati kehadiranku di sini.

Kemudian kau harus berkata sejujur-jujurnya, di mana Mahesa

Jenar sekarang berada. Sesudah itu baru aku dapat memberi

keputusan apakah kau akan diijinkan meneruskan perjalanan ke

perkemahan orang-orang Banyubiru, atau kau terpaksa kembali ke

Banyubiru.”

Kanigara semakin tidak senang melihat sikap itu. Sebenarnya

ia tidak perlu marah kepada Lawa Ijo, sebab ia tahu benar bahwa

demikianlah sifat-sifat yang pada umumnya dimiliki oleh orang-

orang dari kalangan hitam. Tetapi kali ini Kanigara tergesa-gesa

benar. Karena itu ia merasa terganggu. Sehingga dengan

tajamnya ia menjawab, “Lawa Ijo, aku sedang tergesa-gesa. Kau

pasti tahu apa sebabnya. Dan kau tidak usah menyembunyikan

diri, bahwa kau sengaja menghalangi perjalananku dan menurut

Page 60: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 91

dugaanmu Mahesa Jenar akan lambat datang ke perkemahan.

Tetapi dengan demikian aku menjadi semakin yakin, bahwa kau

pasti telah berbuat kejahatan terhadap anak-anak Banyubiru.

Udara yang mengandung pengaruh sirep ini telah mengabarkan

kepadaku sejak tadi bahwa ada sesuatu yang kurang pada

tempatnya.”

Dada Lawa Ijo berdesir mendengar kata Kebo Kanigara yang

menebak dengan tepat apa yang sedang terjadi. Karena itu ia

merasa tidak perlu untuk memutar-mutar pembicaraan lagi,

bahkan ia mengharap agar orang yang menamakan diri Karangjati

itu menjadi gelisah dan kecemasan. Katanya, “Kau benar. Ternyata

otakmu terang seperti bintang-

bintang di langit itu. Karena itu

seharusnya kau juga mengerti

bahwa orang-orang Banyubiru

dan orang-orang yang datang

bersama Mahesa Jenar telah

habis terbunuh. Karena itu

maka sekarang datang giliran

padamu dan orang-orang yang

datang bersertamu itu.”

Kanigara mengerutkan

keningnya. Tetapi ia tidak

yakin bahwa kata-kata Lawa

Ijo itu benar-benar telah

terjadi. Sebab dengan

demikian tidak perlu agaknya

bagi Lawa Ijo untuk

mencegatnya di perjalanan,

meskipun tinggal beberapa langkah dari perkemahan. Kalau apa

yang dikatakan Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi, maka pasti

Lawa Ijo akan membiarkan mereka itu sampai di perkemahan dan

membunuhnya di sana pula, atau samasekali membiarkan hidup

apabila mereka merasa tidak mampu untuk melawan.

Page 61: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 91

Dengah demikian maka Kanigara menjawab, “Jangan

membual Lawa Ijo. Apa gunanya kau mempersulit dirimu

menghadang kami di tengah jalan…? Kenapa tidak kau tunggu saja

kami di perkemahan? Tetapi dengan kehadiranmu di sini, aku

menduga bahwa ada orang lain yang sedang melakukan tugasnya

di perkemahan. Katakan siapakah dia. Gurumu yang bergelar

Pasingsingan barangkali…?”

Sekali lagi dada Lawa Ijo berdesir cepat. Orang itu benar-benar

berotak cerah seperti apa yang dikatakan. Namun demikian ia

merasa bahwa dirinya adalah orang yang sukar dicari

bandingannya. Dengan demikian sambil membusungkan dada ia

berkata, “Sekali lagi aku membenarkan kata-katamu. Guruku

berada di sana dan saat ini sedang membinasakan semua orang

yang ditemuinya.”

Kanigara tidak membuang waktu lagi. Tanpa diduga oleh Lawa

Ijo, Kanigara menarik kekang kudanya dan memukul perut kuda

itu dengan tumitnya. Dengan terkejut kudanya meloncat maju.

Melihat kuda itu seperti akan menerkamnya, Lawa Ijo pun terkejut.

Namun ia benar-benar tidak mau terinjak oleh kaki kuda itu.

Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya sambil meloncat ke

samping. Dengan mengumpat sejadi-jadinya ia menerjang Kebo

Kanigara. Ternyata Kebo Kanigara memiliki kelincahan jauh di luar

dugaan Lawa Ijo. Ketika ia menerjang dengan garangnya, tiba-tiba

terasa pergelangan tangannya tertangkap dengan kuatnya.

Bahkan beberapa saat ia tergantung-gantung dibawa oleh derap

kuda Kebo Kanigara untuk kemudian terbanting dengan kerasnya

di padas tepi jalan itu. Untunglah bahwa tubuh Lawa Ijo benar-

benar keras seperti batu. Meskipun sakitnya bukan main, namun

ia masih dapat meloncat untuk kemudian berdiri. Ketika ia sudah

tegak berdiri, ia melihat anak buahnya mencoba untuk menyerang

Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Tetapi apakah yang dapat

mereka lakukan, hanyalah seperti sebuah permainan anak-anak

yang samasekali tidak menarik. Lawa Ijo melihat, kuda Kebo

Kanigara membalik sekali, dan menyambar beberapa orang

Page 62: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 91

sekaligus. Sedang Bantaran, Penjawi dan Wanamertapun telah

melawan penyerang-penyerangnya dari atas kuda mereka. Tetapi

yang paling mengerikan adalah gerak kuda Kebo Kanigara. Seperti

seekor elang yang gagah melayang-layang dengan derasnya

menyambar mangsanya. Lawa Ijo benar-benar ngeri melihatnya.

“Gila,” gumamnya, “Siapakah orang ini?”

Tetapi ia tidak mau berdiam diri. Dengan sebuah teriakan

nyaring melontarlah dari kedua belah tangannya, dua benda yang

berkilat-kilat seperti tatit melayang ke arah Kebo Kanigara.

Demikian cepatnya kedua pisau belati panjang itu, sehingga

kecepatan mata hampir tak mampu mengikutinya.

Demikianlah Lawa Ijo memang memiliki keahlian untuk

menyerang dengan pisau dari jarak jauh. Tetapi sasaran Lawa Ijo

kali ini adalah Kebo Kanigara. Karena itu meskipun pisau Lawa Ijo

itu dengan cepatnya menyambar satu kearah kepalanya, sedang

yang lain ke arah perutnya, namun Kanigara masih juga mampu

menghindari. Mula-mula ia membungkuk lekat dengan punggung

kudanya, kemudian untuk menghindari sambaran pisau yang

mengarah keperutnya, ia memutar tubuhnya melekat ke bagian

sisi punggung kuda itu, sehingga dengan demikian pisau Lawa Ijo

berlari tidak lebih dari secengkang di atasnya.

Kali ini dada Lawa Ijo benar-benar seperti diguncang-guncang

melihat keterampilan Kebo Kanigara. Tidak saja kekuatannya yang

maha besar, yang telah dirasakannya pada saat pergelangannya

ditangkap. Namun ternyata orang itu ahli pula mengendarakan

kuda. Karena itu, ia merasa bahwa usahanya menghalang-halangi

orang itu pasti akan sia-sia. Tetapi dengan demikian setidak-

tidaknya ia sudah berhasil memperpanjang waktu, meskipun

hanya sebentar. Karena itu ketika ia melihat kuda Kebo Kanigara

itu sekali lagi berputar ke arahnya, cepat-cepat ia meloncat ke

dalam gerumbul di tepi jalan dengan suatu suitan nyaring.

Bersamaan dengan itu anak buahnya pun segera berloncatan

meninggalkan gelanggang seperti anak ayam yang bersembunyi

melihat di udara ada seekor elang.

Page 63: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 91

Kebo Kanigara tidak mau membuang waktu lagi. Cepat-cepat

ia memutar kudanya, dan dengan cepat pula ia mengajak kawan-

kawannya menuju ke perkemahan. “Ayolah kita tinggalkan tempat

celaka ini. Tidak ada waktu untuk mengurusi Lawa Ijo. Mudah-

mudahan Mahesa Jenar tidak terlambat sampai.”

Setelah itu, maka kembali mereka berpacu. Meskipun jarak

lurus ke perkemahan itu tidak jauh lagi, namun mereka terpaksa

melingkar-lingkar menuruti jalan yang dapat mereka tempuh

dengan kuda-kuda mereka. Kembali terdengar deru kaki kuda

memenuhi lembah, memukul-mukul lambung bukit untuk

kemudian dilontarkan kembali seakan-akan beratus-ratus ekor

kuda berderap bersama di sekitar lembah itu.

Sementara itu, di perkemahan, Mahesa Jenar telah berdiri

diantara mereka yang sedang berjuang melawan Pasingsingan.

Pada saat itu, meskipun mata Pasingsingan tidak jelas tampak

karena terbalut oleh topeng kasarnya, namun terasa betapa

tajamnya ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai

ke ujung ikat kepalanya. Sebenarnya bagi Pasingsingan, yang

menilai Mahesa Jenar seperti beberapa tahun yang lalu, tidak

demikian terpengaruh atas kehadirannya. Pasingsingan merasa

bahwa sekalipun dengan Mahesa Jenar, pekerjaannya tidak akan

bertambah berat, meskipun ia mempertimbangkan juga

kemungkinan lain, karena anak muda, murid Mahesa Jenar itu.

Tetapi bagaimanapun juga, Pasingsingan masih menganggap

orang itu termasuk dalam gerombolan kelinci-kelinci yang tak tahu

diri. Tetapi yang mengejutkan Pasingsingan, adalah sapa yang

telah diucapkan oleh Mahesa Jenar itu. Dari mana dia mendengar

bahwa yang ada sekarang adalah Pasingsingan muda, yang pernah

bernama Umbaran. Karena itu dengan kemarahan yang masih

menyala-nyala di dalam dadanya terdengar suaranya yang berat,

“Mahesa Jenar, kalau aku tidak salah dengar, adakah kau tadi

menyebut Pasingsingan muda yang pernah bernama Umbaran?”

“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat.

Page 64: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 91

“Hem….” geram Pasingsingan, kemudian ia bertanya,

“Siapakah yang kau maksud dengan nama itu?”

Mendengar pertanyaan itu Mahesa Jenar tertawa. Sekarang ia

sudah tidak lagi gelisah, justru setelah ia berdiri berhadapan

dengan Pasingsingan, diantara orang-orang yang namanya

tergores hatinya. Ia tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan

Pasingsingan itu, tetapi sekali lagi ia meyakinkan, apakah orang-

orang di perkemahan itu masih lengkap. Ketika sekali lagi matanya

menyambar Arya Salaka, Wilis, kemudian Endang Widuri dan

seterusnya Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, hatinya menjadi

semakin tenang. Ia merasa bahwa kehadirannya tidak terlambat.

Kalau orang-orang itu masih lengkap, maka pasti Pasingsingan

belum berhasil berbuat sesuatu atas orang-orang Banyubiru.

Melihat sikap Mahesa Jenar itu Pasingsingan menjadi semakin

marah. Dengan membentak ia mengulangi pertanyaan sekali lagi,

“Mahesa Jenar, siapakah yang kau maksud dengan nama-nama

itu?”

Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa, jawabnya, “Tuan, aku pernah

berdiri di hadapan Tuan beberapa tahun yang lalu di alun-alun

Banyubiru bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora dan

bersama-sama dengan seorang sebaya dengan Tuan, yaitu Ki

Ageng Pandan Alas. Pada saat itu aku mendengar betapa orang

tua itu meragukan sahabat lamanya yang bernama Pasingsingan.

Pernahkah Tuan mendengar ceritanya itu?”

“Hem….” Sekali lagi Pasingsingan menggeram. Tetapi ia masih

mencoba menahan diri. Ia ingin mendengar dari mana Mahesa

Jenar mengetahui dan kemudian membuat sebutan Pasingsingan

muda. Karena keinginannya untuk mengetahui itulah kemudian ia

bertanya lebih lanjut, “Adakah ceritanya itu menarik?”

“Entahlah,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi ceritanya itu ada

sangkut pautnya dengan nama yang Tuan tanyakan itu.”

Page 65: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 91

Dengan gelisah Pasingsingan mendesak, “Jawab ptanyaanku.

Siapakah yang kau maksudkan dengan Pasingsingan muda itu”

“Ceritanya harus dimulai dari ujungnya,” jawab Mahesa Jenar.

“Pasingsingan sahabat Pandan Alas itu ternyata pelupa. ia tidak

ingat lagi, kapan dan bagaimana ia mula-mula bertemu dengan Ki

Ageng Pandan Alas.”

“Aku peringatkan sekali lagi Mahesa Jenar. Jangan mengigau.

Dan ingatlah dengan siapa kau berhadapan,” potong Pasingsingan

semakin marah.

“Jangan marah Tuan,” sahut Mahesa Jenar, “Bukankah Tuan

ingin mengetahui siapakah yang aku maksud dengan Pasingsingan

muda yang bernama Umbaran itu? Nah, dengarkan kelanjutan

cerita itu. Setelah aku bertemu dengan Tuan beberapa tahun lalu

di alun-alun Banyubiru itu, aku bertemu pula, yang aku sangka

adalah Tuan. Tetapi aku keliru. Orang yang aku sangka Tuan itu,

belum pernah bertemu dengan aku sebelumnya. Bahkan ia

samasekali tidak bersikap memusuhi aku seperti Tuan. Dan orang

itu juga bernama Pasingsingan.”

“Bohong!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.

“Dengar dahulu Tuan….” Mahesa Jenar melanjutkan tanpa

memperdulikan teriakan Pasingsingan. “Aku benar bertemu

dengan Pasingsingan satu lagi.”

Pasingsingan masih berusaha menahan dirinya. Ia ingin

mendengar di manakah Mahesa Jenar bertemu dengan

Pasingsingan yang satu itu.

Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Apakah

Tuan tidak percaya?- “

“Hem….” Pasingsingan tidak menjawab, tetapi yang

mendengar hanyalah dengusnya yang bernada rendah.

Page 66: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 91

“Pasingsingan itu aku temui di Pudak Pungkuran,” sambung

Mahesa Jenar. Pasingsingan masih berdiam diri.

“Bahkan di sana ada tidak hanya satu Pasingsingan. Tetapi

tiga,” Mahesa Jenar meneruskan.

“Tiga…?” ulang Pasingsingan hampir berteriak. Tetapi

kemarahannya sudah menggelegak sampai di kepalanya. Ia

merasa seolah-olah Mahesa Jenar hanya mau mempermainkan

dirinya, atau memperpanjang waktu untuk menanti kawan-

kawannya yang masih berada di perjalanan. Sebab Pasingsingan

yang cerdik itupun segera mengetahui, bahwa Mahesa Jenar pasti

pergi mendahului rombongan yang dicegat Lawa Ijo di perjalanan.

Karena itu dengan marahnya ia menggeram, “Nah, sekarang aku

tidak mau mendengar lagi. Bersiaplah dan bertempurlah bersama-

sama. Umur kalian tidak akan lebih daripada saat bintang waluku

mencapai ujung cemara itu.”

Tetapi Mahesa Jenar seperti tidak mendengar kata-kata

Pasingsingan itu dan berkata terus, “Dua orang Pasingsingan

sebaya dengan Tuan, sedang yang seorang lagi agaknya telah

lebih tua, meskipun masih tampak segar. Dari mereka aku

mendengar bahwa selain dari tiga Pasingsingan itu masih ada satu

lagi yang memisahkan diri dari pergaulan antar Pasingsingan itu.

Orang yang memisahkan diri itulah Pasingsingan yang paling muda

dan bernama Umbaran.”

Pasingsingan yang sudah siap untuk meloncat menyerang

mereka dengan pisau belatinya yang bernama Kyai Suluh itu

menjadi urung. Dadanya yang terbakar oleh kemarahannya itu

menjadi berdebar-debar. Dengan penuh kecurigaan ia bertanya

menyelidiki, “Siapa itu…?” Suara itu cukup garang, namun terasa

betapa ia menjadi cemas oleh kata-kata itu.

“Adakah mereka hanya mengaku diri?” sahut Mahesa Jenar

pura-pura.

Page 67: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 91

“Tentu,” Pasingsingan menegaskan, “Tak ada duanya di dunia

ini. Pasingsingan hanyalah seorang. Dan akulah satu-satunya

Pasingsingan itu.”

Mahesa Jenar tertawa pendek. Katanya, “Ternyata Tuan yang

menamakan diri Pasingsingan itu, tidak mempunyai banyak

pengertian tentang nama Tuan. Agaknya pengertianku tentang

Pasingsingan justru lebih banyak dari Tuan. Aku pernah

mendengar seorang jujur setia, yang mengantar perjalanan Prabu

Brawijaya Pamungkas, ya Pasingsingan. Aku kenal seorang sakti

yang bertapa mengasingkan diri, yang juga bernama

Pasingsingan. Aku kenal ketiga-tiga muridnya, yang kemudian

berebut gelar itu. Namanya Radite, Anggara dan yang satu

Umbaran.”

Terdengar Pasingsingan menggeretakkan giginya. Namun

Mahesa Jenar berkata terus, “Sayang bahwa Pasingsingan yang

sekarang memiliki tanda-tanda kekhususannya adalah

Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak atasnya.”

Pasingsingan sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi.

Dengan penuh kemarahan sekali lagi ia berteriak, “Tutup mulutmu,

dan matilah bersama-sama dengan orang-orangmu yang tak tahu

diri.”

Ketika Pasingsingan sudah melangkah setapak maju, Mahesa

Jenar pun melangkah maju. Mantingan, Wirasaba, Wilis, Arya

Salaka, Endang Widuri dan Jaladri ternyata telah bergerak pula.

Tetapi dengan isyarat Mahesa Jenar mencegah mereka. Kemudian

terdengar ia berkata, “Apakah untung kami untuk bertempur

bersama-sama, Pasingsingan…? Aku kira lebih baik apabila kita

menunjukkan kejantanan diri. Biarlah siapa diantara kita yang

sudah puas mengenyam pahit asin penghidupan ini mencoba

mempertaruhkan diri. Kalau kau menang atasku, biarlah kau dapat

menikmati kemenanganmu, dan kalau sebaliknya, biarlah aku

dapat menikmati kemenanganku sebagai hasil dari sikap jantan.”

Page 68: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 91

Mantingan menjadi cemas mendengar kata Mahesa Jenar itu,

sehingga tanpa sesadarnya terloncatlah dari mulutnya, “Adi

Mahesa Jenar, bukankah yang berdiri di hadapan kita ini

Pasingsingan, guru Lawa Ijo?”

Mahesa Jenar tahu sepenuhnya, apa yang bergolak di dalam

dada Mantingan. Mantingan masih menilai dirinya seperti masa

terakhir mereka bertemu, pada saat mereka berlima bertempur

melawan tokoh-tokoh gerombolan hitam di Rawa Pening. Tetapi ia

tidak sempat memberinya penjelasan, karena kemudian

Pasingsingan juga menganggap kesombongan Mahesa Jenar.

“Mula-mula aku ingin membunuh kalian dengan senjataku ini,

supaya kalian tidak tersiksa pada saat terakhir, tetapi karena

kesombonganmu, aku ingin melihat kau menderita pada saat

terakhir itu. Aku akan membunuhmu dengan tanganku. Akan aku

patahkan anggota badanmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau

kesakitan dan berteriak-tariak minta ampun.”

Semua yang mendengar ancaman itu, tegaklah bulu roma

mereka. Cara paling keji telah dirancangnya oleh Pasingsingan.

Tetapi mereka tidak berani melanggar larangan Mahesa Jenar,

sebab dengan demikian, mereka akan dapat menyinggung

perasaannya. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap siap

dengan senjata mereka, sebab kalau benar-benar Pasingsingan

akan melakukan ancamannya itu, tidak mungkin bagi mereka,

untuk membiarkan hal itu terjadi.

Sesaat kemudian Pasingsingan, yang ingin membunuh Mahesa

Jenar dengan tangannya itu menyarungkan pisau belatinya. Dan

kemudian dengan sikap yang mengerikan ia perlahan-lahan

mendekati Mahesa Jenar yang berdiri tegak seperti sebuah batu

karang yang kokoh kuat, tak tergoyahkan oleh badai dan arus oleh

deru gelombang.

Pasingsingan heran juga melihat sikap dan ketenangan Mahesa

Jenar. Tetapi di matanya, Mahesa Jenar tidak lebih dari seorang

anak-anak yang besar kepala. Karena itu, ketika ia sudah berdiri

Page 69: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 91

selangkah di hadapan Mahesa Jenar yang belum beranjak dari

tempatnya, menyerangnya dengan acuh tak acuh saja. Sebuah

pukulan diarahkan ke wajah Mehasa Jenar. Tetapi meskipun dalam

sikap acuh tak acuh, namun gerakan Pasingsingan itu cukup

menggoncangkan dada mereka yang melihatnya.

Mahesa Jenar pun mengetahui, bahwa Pasingsingan

memukulnya dengan acuh tak acuh. Tetapi ia tahu pula bahwa

tangan Pasingsingan itu seolah-olah mengandung bisa yang sangat

berbahaya. Karena itu, ia tidak mau dikenai oleh pukulan itu.

Bahkan kemudian ia mengharap agar Pasingsingan menjadi

marah, dan bertempur sepenuh tenaganya. Ia mengharap, bahwa

dengan ilmu yang telah didalami sampai ke intinya itu, ia akan

dapat setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan Pasingsingan.

Karena itu, ketika Pasingsingan memukulnya dengan sikap

acuh tak acuh, maka dengan sikap acuh tak acuh pula Mahesa

Jenar menghindari pukulan itu. Bahkan seperti orang yang

menggeliat sehabis bangun tidur, tanpa mengubah letak kakinya.

Namun karena demikian, sambaran tangan Pasingsingan itu

hampir hampir saja menyentuh kulitnya, bahkan sambaran

anginnya serasa betapa kerasnya pukulan yang demikian saja

dilontarkan.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya berdesir

copot. Mula-mula dada mereka menjadi tegang, seolah-olah tak

sempat untuk menarik nafas. Tetapi kemudian mereka heran

melihat sikap Mahesa Jenar. Kenapa ia sedemikian beraninya

bersikap acuh tak acuh saja. Namun yang mereka saksikan, adalah

pukulan Pasingsingan itu benar-benar tidak mengenainya.

Yang paling heran dari semuanya adalah Pasingsingan sendiri.

Seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatan matanya, bahwa

Mahesa Jenar dapat menghindari pukulannya hanya dengan

menggeliat saja. Namun ternyata hal itu benar-benar telah terjadi.

Karena itu marahnya sampai ke ujung ubun-ubunnya. Sekali lagi,

Page 70: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 91

ia merasa direndahkan oleh orang yang baginya samasekali tak

berarti.

Namun, Pasingsingan tidak segera mengulangi serangannya.

Bahkan kemudian ia berdiri saja tertolak pinggang. Untuk

kemudian memperdengarkan suara tertawanya. Suara tertawa

yang mengerikan, dilontarkan dengan lembaran ilmu Gelap

Ngampar. Suaranya menggetarkan seolah-olah menggoncangkan

dunia, menggetarkan setiap dada orang yang mendengarkannya.

Suara itu terdengar nyaring bahkan merontokkan daun-daun yang

tidak sanggup lagi berpegangan lebih erat lagi pada dahannya.

Semua orang yang mendengar suara tertawa itu terkejut.

Segera mereka berloncatan mundur, untuk mengurangi tekanan

udara yang seperti akan membelah dada mereka. Dengan penuh

tenaga dan pemusatan kekuatan batin segera mereka berjuang

melawan ilmu Gelap Ngampar itu. Demikian dahsyatnya ilmu itu,

sehingga mereka yang mendengarnya menjadi mengigil seluruh

tubuhnya. Perlahan-lahan terasa darahnya seolah-olah membeku,

dan segenap tulang-tulangnya terlepas dari sendi-sendinya. Yang

mula-mula sekali tidak kuat melawan pengaruh tertawa itu adalah

Jaladri. Seperti orang kehilangan segenap tenaganya ia jatuh

tertunduk. Canggahnya terlepas dari tangannya, yang kemudian

dengan sekuat-kuat sisa tenaganya ditekankannya tangan itu ke

dadanya, seolah-olah untuk menjaga agar isi dadanya itu tidak

rontok. Wirasaba pun telah menggigil dengan kerasnya. Ia masih

mencoba bertahan pada tangkai kapaknya. Demikian pula yang

lain, semakin lama menjadi semakin kehilangan tenaga.

Mahesa Jenar pun merasakan akibat dari Gelap Ngampar itu.

Ia pernah mengalami serangan serupa, beberapa tahun lalu di

alun-alun Banyubiru. Untunglah bahwa pada saat itu hadir Ki

Ageng Pandan Alas yang dapat melawan Gelap Ngampar itu

dengan suara tembangnya, yang sebenarnya berlandaskan pada

ilmu yang dinamai Sapu Angin.

Page 71: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 91

Tetapi bagi Mahesa Jenar, akibat dari serangan Gelap Ngampar

itu kini terasa berbeda sekali dengan serangan yang dialaminya

lima tahun yang lampau. Suara tertawa itu kini tidak demikian

berpengaruh pada dirinya, seolah-olah dadanya sudah berlapis

baja, akibat dari perjuangannya, menguasai diri, bahkan ia telah

berhasil meragakan sukma di dalam gua di Karang Tumaritis.

Akibat daripadanya ternyata dahsyat sekali. Kecuali ia telah

berhasil menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging, lahir-

batinnya juga sudah tertempa kuat sekali. Bahkan Mahesa Jenar

telah menemukan kekuatan-kekuatan yang tak pernah dikenalnya

di dalam tubuhnya. Kekuatan yang melampaui kekuatan manusia

biasa. Yang tak dapat diketemukan dalam pengamatan wajar dari

seorang ahli sekalipun, karena kekuatan kekuatan itu langsung

diterima dari sumbernya. Inilah ciri adanya kekuasaan yang tak

kasatmata. Kekuasaan dari Yang Mahasa Kuasa. Sehingga karena

itu pulalah maka peristiwa-peristiwa di dunia ini betapapun

dirancang oleh manusia dengan cermatnya, sebagaimana

kewajiban manusia adalah berusaha, namun akhirnya

penentuannya adalah di tangan Yang Maha Kuasa.

Dengan demikian, maka Mahesa Jenar samasekali tidak dapat

melepaskan diri dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar itu. Tetapi

ketika ia menoleh kepada kawan-kawannya ia menjadi terkejut

sekail. Dadanya berguncang cepat. Sebab ia melihat hampir tak

seorangpun dapat bertahan. Mereka telah hampir kehilangan

kekuatan masing-masing sebagai akibat dari tekanan ilmu Gelap

Ngampar yang langsung mempengaruhi urat syaraf mereka.

Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia tidak memiliki ilmu

seperti yang dimiliki oleh Pandan Alas. Meskipun daya tahannya

sendiri barangkali tidak kalah dengan daya tahan Pandan Alas,

namun untuk membantu orang lain, melenyapkan pengaruh Gelap

Ngampar itu adalah sulit baginya. Dalam pada itu teringat pula

olehnya, pengasuh yang serupa di Pulau Hantu di Laut Kuning.

Menurut pendengaran Mahesa Jenar, di Pulau Hantu itu sering juga

terdengar suara yang tertawa demikian mengerikan sehingga

kadang-kadang para pelaut yang membawa kapalnya lewat di

Page 72: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 91

dekat pulau itu dapat menjadi gila. Kehilangan tenaga dan akal.

Ada yang bahkan menjadi lemas dan mati. Yang lebih mengerikan

lagi ada diantara mereka menjadi saling berkelahi dan saling

membunuh.

Untuk sementara Mahesa Jenar tidak tahu bagaimana dapat

menolong kawan-kawannya dari serangan yang aneh itu. Tetapi

kemudian ia menemukan suatu cara yang mungkin dapat

dilakukan. Kalau sumber suara tertawa itu dapat dihentikan, ia

mengharap pengaruhnya pun akan lenyap sebelum sampai ke

puncaknya. Dengan demikian maka segera ia berdiri, dan dengan

sigapnya ia melontarkan dirinya langsung menerjang dada

Pasingsingan yang terbuka.

Pasingsingan terkejut melihat serangan itu. Sejak semula ia

sudah heran melihat Mahesa Jenar dapat mempertahankan dirinya

dari serangan Gelap Ngampar, meskipun ia telah memperketat

serangan itu. Bahkan kemudian Mahesa Jenar dengan derasnya

menyerang dadanya.

Meskipun demikian, serangan Mahesa Jenar itu bagi

Pasingsingan hanya dapat menambah kemerahannya saja. Ia

menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan bunuh diri.

Karena itu dengan tetap melancarkan serangan Gelap Ngampar,

Pasingsingan menyilangkan tangannya di muka dadanya untuk

menangkis serangan Mehasa Jenar.

Tetapi ketika kemudian terjadi benturan antara serangan

Mahesa Jenar dengan pertahanan Pasingsingan, terbukalah mata

hantu berjubah abu-abu itu, bahwa lawannya bukanlah termasuk

dalam gerombolan kelinci yang tidak tahu diri.

Karena Pasingsingan tidak mempergunakan segenap

kekuatannya, maka dalam benturan itu ia telah terdorong surut

beberapa langkah. Sedang Mahesa Jenar sendiri, terpental

selangkah mundur.

Page 73: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 91

Peristiwa yang tak terduga-duga itu telah menggoncangkan

dada Pasingsingan. Heran, marah, dendam, bercampur baur

melingkar-lingkar di dalam dadanya. Dalam pada itu, karena

benturan yang tak terduga-duga itu, terputuslah suara

tertawanya. Ia terpaksa mengerahkan segenap tenaganya untuk

menjaga keseimbangan tubuh-

nya yang hampir-hampir saja

terdorong jatuh.

Tetapi kemudian dengan

sigapnya Pasingsingan pun

telah berhasil menguasai ke-

seimbangannya kembali. Se-

perti sebatang pohon raksasa

ia kemudian berdiri tegak.

Giginya gemeretak, dadanya

mengombak seperti akan

meledak. Sekali lagi matanya

yang tersembunyi di belakang

lubang topengnya itu meman-

dang Mahesa Jenar dengan

tajamnya. Kekuatan apakah

yang telah membantunya,

sehingga ia mampu melawan

aji Gelap Ngampar dan sekaligus memberinya tenaga yang luar

biasa besarnya..? Hanya dalam waktu kira-kira lima tahun saja,

sejak pertemuan mereka di Rawa Pening, kemampuan Mahesa

Jenar telah sedemikian jauh menanjak. Pada saat itu, Mahesa

Jenar berlima, melawan Pasingsingan dan Sima Rodra tua berdua,

seolah-olah merupakan lima ekor tikus sakit-sakitan melawan dua

ekor kucing yang garang. Sekarang tiba-tiba salah seekor tikus itu

telah berubah menjadi serigala, yang sedang menerkam salah

seekor kucing yang garang itu.

Tetapi Pasingsingan adalah seorang yang telah kenyang

makan garam sehingga segera dapat mengendalikan dirinya. Kini

Page 74: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 91

ia benar-benar menghadapi keadaan yang cukup berbahaya.

Dengan benturan yang terjadi, Pasingsingan segera dapat

mengetahui, bahwa Mahesa Jenar benar-benar memiliki bekal

yang cukup untuk merasa dapat melawannya. Tetapi yang masih

perlu diuji, apakah Mahesa Jenar dapat mempergunakan

kekuatannya itu untuk melawan ketangkasan, ketangguhan dan

kelincahan hantu bertopeng itu.

Karena itu, setelah beberapa lama Pasingsingan berdiri tegak

mengawasi Mahesa Jenar, terdengarlah suaranya menggeram,

“Mahesa Jenar, agaknya kau telah mendapat tenaga dari hantu

penjaga Rawa Pening itu. Dan karena itulah kau merasa mampu

untuk bertempur seorang lawan seorang dengan Pasingsingan.

Setelah kau membual dengan ceritera tentang Pasingsingan yang

berbelit-belit itu, sekarang kau benar-benar ingin mengadu

tenaga. Mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Tetapi kau jangan

merasa gembira, karena kau berhasil mendorong aku mundur

beberapa langkah. Tetapi kini aku akan maju lagi, dan tak

seorangpun dapat mencegahnya.”

V

Mahesa Jenar kini melihat, bahwa Pasingsingan telah

memutuskan untuk bertempur dengan sepenuh tenaganya.

Karena itu iapun segera bersiap. Dengan penuh kewaspadaan

Mahesa Jenar mengikuti setiap gerakan Pasingsingan, meskipun

sepintas lalu ia masih sempat untuk mengerling kepada kawan-

kawannya. Ternyata, ketika serangan Gelap Ngampar itu terputus

sebelum sampai ke puncaknya, pengaruhnyapun terputus pula.

Dengan demikian, meskipun perlahan-lahan, namun mereka yang

dikenai oleh aji itupun terbebas pula. Mantingan, Wilis, Arya,

Widuri, Wirasaba dan bahkan Jaladri, perlahan-lahan dapat

menemukan kesadaran serta kekuatan mereka kembali. Mereka

kini sudah tidak menggigil lagi, meskipun terasa dada mereka

masih bergetar dan jantung mereka masih berdegupan.

Mantingan, Wilis Arya, Widuri dan Wirasaba telah mulai dapat

Page 75: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 91

melihat apa yang telah terjadi di hadapan mereka. Mereka mulai

bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi seterusnya. Yang paling

cemas diantara mereka adalah Mantingan. Meskipun tangannya

masih gemetar, namun ia telah mencoba menggenggam trisulanya

erat-erat.

Sementara itu Pasingsinganpun telah bersiap sepenuhnya.

Dengan menggeram ia melompat menyerang Mahesa Jenar. Tidak

dengan sikap acuh tak acuh, tetapi kini ia benar-benar bertempur

untuk segera dapat membinasakan lawannya. Namun Mahesa

Jenar pun telah bersiap. Ia telah mengalami, meskipun mulanya

tidak bersungguh-sungguh, namun akhirnya ia harus berjuang

sekuat-kuatnya, pada saat ia harus bertempur melawan Anggara.

Meskipun perkembangan ilmunya kemudian berbeda, namun

Anggara dan Umbaran telah menghisap ilmunya dari sumber yang

sama. Sehingga dengan demikian, masih nampak juga

persamaannya, apabila salah seorang dari mereka itu tidak

sengaja untuk menyembunyikan diri dalam gerak-gerak lain yang

diciptakannya kemudian.

Demikianlah maka sesaat kemudian berkobarlah perang

tanding yang maha dahsyat. Pasingsingan yang telah

menggemparkan tlatah Demak dengan perbuatan-perbuatannya

yang mengerikan, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang

dilakukan oleh muridnya, melawan seorang yang telah berhasil

menekuni ilmunya sampai ke intinya. Meskipun Pasingsingan jauh

lebih dahulu dari Mahesa Jenar, namun ternyata dengan satu

loncatan, Mahesa Jenar telah berhasil menjusulnya. Serangan-

serangan Mahesa Jenar ternyata samasekali tidak kalah

berbahayanya dari serangan-serangan hantu berjubah itu. Sekali-

kali terjadilah benturan-benturan yang keras. Dan dalam keadaan

yang demikian itulah, Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pada

dirinya, bahwa Pasingsingan bukanlah hantu yang menakutkan

dan tak dapat dikalahkan.

Pasingsingan semakin lama menjadi semakin terbakar hatinya.

Kalau semula ia baru dapat mengukur kekuatan Mahesa Jenar,

Page 76: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 91

namun kemudian ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa Mahesa

Jenar tidak saja bertambah kuat lahir dan batin, namun iapun

mampu pula mempergunakan kekuatannya itu sebaik-baiknya.

Sebagai seorang murid Pasingsingan tua, Pasingsingan itu telah

mendengar dan mendapat petunjuk-petunjuk tentang bermacam-

macam perguruan. Juga perguruan Pengging yang terkenal. Kini ia

harus mengalami betapa salah seorang murid dari Pengging itu

telah mampu melawannya.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.

Pasingsingan menjadi semakin heran melihat keterampilan

lawannya. Tetapi karena itu pula ia merasa seakan-akan dirinya

dihadapkan pada suatu ujian, apakah ia masih berhak memakai

gelar Pasingsingan untuk seterusnya. Disamping kenyataan itu, di

dalam dadanya bergolak pula berbagai pertanyaan tentang Mahesa

Jenar. Dari manakah ia pernah mendengar cerita tentang

Pasingsingan tua, tentang Radite, Anggara dan Umbaran…?

Darimana pula ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya

kini adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak memakai

tanda-tanda kekhususannya…?

Pasingsingan itupun kemudian menjadi cemas bahwa

sebenarnya rahasia tentang dirinya telah terbuka. Bahkan

kemudian ia menduga bahwa Radite atau Anggara-lah yang

sengaja mengabarkan tentang rahasia itu. Tetapi apakah Mahesa

Jenar pernah bertemu dengan mereka berdua?

Tiba-tiba kemarahan Pasingsingan menjadi semakin berkobar-

kobar di dalam dadanya. Orang yang dapat berceritera tentang

Pasingsingan ini harus dimusnahkan, supaya rahasia itu dibawanya

mati.

Dengan demikian, Pasingsingan bertempur semakin dahsyat.

Jubahnya berkibar-kibar di belakang punggungnya seperti sayap.

Di dalam kelam, tampaklah Pasingsingan seperti kelelawar raksasa

yang terbang menyambar-nyambar dengan jarinya yang

berkembang mengerikan. Tetapi lawannya adalah seekor banteng

Page 77: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 91

yang tangguh. Semakin banyak peluh mengalir dari tubuh Mahesa

Jenar, semakin segarlah tubuhnya. Bahkan kemudian ia pun

bertempur semakin tangguh. Ketika Pasingsingan menyerangnya

semakin dahsyat, Mahesa Jenar pun bertempur benar-benar

seperti banteng ketaton.

Dalam keadaan yang berbahaya sedemikian itu, Pasingsingan

tidak sempat untuk meneliti gerakannya sendiri satu demi satu,

seperti pada saat Anggara bertempur melawannya. Karena itu

semakin lama, gerak-gerak mereka berdua, Umbaran yang

berjubah Pasingsingan dan Anggara, menjadi semakin rapat

persamaannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat mengenal

gerak-gerak itu kembali, yang khusus dapat dilihatnya dalam

gerakan-gerakan pertahanan yang rapat, meskipun apa yang

dilakukan oleh Pasingsingan ini tampak lebih kasar.

Bahkan sekali-kali Mahesa Jenar ingin mempengaruhi pikiran

lawannya. Meskipun tidak sempurna, namun dalam saat-saat yang

sedemikian bersahaja, Mahesa Jenar mencoba-coba menirukan

gerak-gerak itu. Bahkan gerak-gerak yang belum dilakukan oleh

Pasingsingan.

Melihat gerak-gerak khusus Pasingsingan itu dapat pula

dilakukan oleh Mahesa Jenar, meskipun tidak sempurna,

Pasingsingan menjadi semakin heran dan gelisah. Karena itu

Pasingsingan memastikan bahwa Mahesa Jenar pernah bertemu

dengan Radite atau Anggara. Dengan demikian ia yakin pula

bahwa rahasianya benar-benar telah diketahui oleh lawannya itu.

Dalam pada itu, Pasingsingan mengumpat pula di dalam hati.

Bahwa dengan demikian Radite tidak memegang janjinya. Orang

itu telah berjanji pada saat tukar-menukar antara tanda

kekhususan serta pusaka-pusaka Pasingsingan dengan gadis yang

memintanya, terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.

Tetapi apapun yang dilakukan, Pasingsingan tidak berhasil

untuk menguasai lawannya. Jangankan membunuhnya,

menyentuhnya pun semakin lama menjadi semakin sulit. Dalam

Page 78: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 91

tingkatan ilmu yang seimbang, Mahesa Jenar masih memiliki

kelebihan. Umurnya yang jauh lebih muda, sehingga pembawaan

kodrat alamiah telah menolongnya. Kalau semula Mahesa Jenar

samasekali tidak berdaya melawan orang-orang tua adalah karena

tingkat ilmu jaya kawijayan guna kasantikan orang-orang tua itu

jauh lebih melampaui ilmunya. Tetapi sekarang apa yang telah

dicapainya tidak kurang dari apa yang dimiliki oleh Umbaran.

Dengan demikian, pada umurnya itu, ia memiliki kemenangan-

kemenangan. Hal ini pun dirasakan oleh Pasingsingan. Nafas

Mahesa Jenar yang dapat diaturnya dengan baik itu semakin lama

tampak semakin mapan dan teratur. Ketenangannya mengamati

setiap persoalan dan kesulitan, kecerahan otaknya dalam

mengurai setiap masalah, telah menuntunnya sedikit demi sedikit

pada keadaan yang lebih baik dari lawannya.

Sekali lagi Pasingsingan mengumpat di dalam hati. Ia pun

merasakan betapa Mahesa Jenar berhasil mendesaknya perlahan-

lahan. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terlawan, hatinya

menjadi panas bukan main. Apalagi mengingat gelar yang harus

dipertahankan mati-matian. Pusaka-pusaka serta ciri-ciri

kekhususan Pasingsingan. Kalau oleh Mahesa Jenar ia sudah dapat

dikalahkan, lalu apakah haknya untuk tetap menjadi orang yang

ditakuti…? Lebih-lebih lagi apabila orang-orang seperti Pandan

Alas, Sora Dipajana, Titis Anganten sampai mengenalnya, bahwa

bukan dirinyalah Pasingsingan yang pernah bersahabat dengan

mereka itu. Maka ia akan semakin banyak menemui kesulitan

dalam usahanya untuk menguasai Kyai Nagasasra dan Sabuk

Inten. Sebab dengan nama Pasingsingan, orang tua itu merasa

segan-segan pula bertindak terhadapnya, yang disangkanya

Pasingsingan sahabat mereka puluhan tahun yang lampau. Seperti

apa yang dilakukan oleh Pandan Alas di alun-alun Banyubiru, yang

masih memperlakukannya sebagai sahabatnya.

Tetapi tiba-tiba ia teringat, apa yang pernah dialaminya di

Rawa Pening. Ketika ia sudah siap membunuh Mahesa Jenar

dengan keempat kawannya, muncullah dua orang yang berpakaian

Page 79: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 91

mirip dengan Mahesa Jenar dan memberinya pertolongan.

Beberapa bulan ia mencoba memecahkan teka teki itu. Namun

akhirnya, ketika orang-orang itu sudah tidak pernah dijumpainya

lagi, ia menjadi lupa kepada mereka. Tetapi sekarang tiba-tiba

bayangan kedua orang itu muncul kembali. Kalau demikian, kedua

orang itu pasti telah menemui Mahesa Jenar dan berceritera

tentang dirinya. Ya. Ia pasti sekarang. Orang yang dapat

mengalahkannya dengan begitu mudah, orang dapat

membebaskan diri dari pengaruh ilmunya Alas Kobar. Orang itu

tidak dapat lain daripada Radite dan Anggara.

“Gila!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.

Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Tetapi ia

bertempur terus. Serangan-serangannya semakin lama semakin

deras seperti hujan yang tercurah dari langit disertai prahara yang

bergulung-gulung mengerikan.

Pasingsingan akhirnya tidak mau lagi membiarkan dirinya

digilas oleh anak-anak yang baru tumbuh. Tiba-tiba ia tidak ragu

lagi mengendalikan kemarahannya sehingga ia tidak segan-segan

untuk membakar lawannya dengan ilmunya yang dahsyat, Alas

Kobar.

Sementara itu, Mantingan, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang

Widuri, Wirasaba dan Jaladri telah hampir sembuh kembali dari

akibat serangan Gelap Ngampar, meskipun dada mereka seakan-

akan masih terasa berderak-derak. Namun mereka telah dapat

berdiri tegak dan dengan penuh kesadaran telah dapat mengikuti

pertempuran yang terjadi antara Pasingsingan melawan Mahesa

Jenar.

Mantingan yang samasekali tidak menduga bahwa Mahesa

Jenar telah dapat mencapai tingkatan yang sedemikian tinggi

dalam waktu singkat, mula-mula tidak percaya pada

penglihatannya, tetapi ketika kemudian ia melihat betapa orang

berjubah abu-abu itu telah berjuang sedemikian lama dan

Page 80: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 91

sungguh-sungguh, tahulah ia bahwa Mahesa Jenar benar-benar

tidak sedang bunuh diri. Karena itulah ia menjadi berbangga hati.

Kalau semula pada saat Mantingan melihat Rara Wilis, Arya Salaka

dan Endang Widuri turut serta melawan anak buah Lawa Ijo, ia

telah berbangga hati, lebih-lebih ketika ia terpaku pada suatu

kenyataan bahwa Arya Salaka mampu melawan Lawa Ijo dan

membebaskan dirinya dari pengaruh serangan panas yang luar

biasa dari kelelawar Alas Mentaok itu, kini ia tidak tahu lagi

perasaan apa yang berkobar didalam dadanya. Sebagai seorang

sahabat yang sejak semula telah mengagumi Mahesa Jenar, ia kini

benar-benar bersyukur bahwa sahabatnya itu telah berhasil

menempa dirinya menjadi orang yang luar biasa. Mantingan

bersyukur bahwa Mahesa Jenar telah berhasil dalam pembajaan

diri itu. Sebab ia tahu pasti, bahwa hasil dari pembajaan diri itu ia

akan dilimpahkan di dalam suatu pengalaman kemanusiaan,

pengalaman pada tumpah darah. Ia tahu pasti bahwa Yang Maha

Kuasa telah merestui sahabatnya itu dalam perjuangannya

menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sedang Wirasaba seperti orang yang terpesona. Ia berdiri

dengan mulut ternganga. Beberapa tahun yang lalu, hatinya telah

digemparkan oleh suatu kenyataan, bahwa Mahesa Jenar mampu

menghancurkan sebuah batu hitam dengan tangannya, sedang

kapak raksasanya hanya mampu melukai batu itu tidak lebih dari

sejengkal. Sekarang ia melihat Mahesa Jenar itu bertempur, yang

menurut penglihatannya sangat ruwet. Wirasaba tidak tahu

bagaimana orang dapat bertempur sampai sedemikian. Gerak

mereka kadang-kadang seperti singgat. Melenting berloncatan.

Kadang-kadang seperti dua ekor burung yang menggelepar

dengan kerasnya untuk kemudian seperti seekor harimau

menerkam. Tetapi kemudian Pasingsingan itu terlontar kembali

karena yang diterkamnya benar-benar mirip seekor banteng jarig

melemparkan lawannya dengan tanduk-tanduknya yang kokoh

kuat.

Page 81: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 91

Arya Salaka pun terpaku di tempatnya. Sekarang ia benar-

benar yakin bahwa gurunya benar-benar orang luar biasa. Namun

dalam pada itu menjalar pula hatinya hasrat yang semakin kuat

untuk menghisap ilmu sekuat-kuat tenaganya. Ia tahu benar

bahwa gurunya itu telah bekerja keras untuknya, melampaui yang

seharusnya dilakukan oleh seorang guru. Gurunya itu telah

mengasihinya seperti anak sendiri. Bahkan bersedia mati pula

untuknya. Karena itu Arya Salaka berjanji di dalam dirinya sendiri,

bahwa ia tidak akan mengecewakan orang itu, dan sekaligus ia

akan dapat berbangga diri kepada ayahnya kelak.

Berbangga tentang dirinya sendiri, dan berbangga tentang

gurunya. Sebab ia tahu bahwa ayahnya telah menyerahkan

kedalam asuhan Mahesa Jenar.

Dalam pada itu Endang Widuri sudah mulai tertawa-tawa pula

setelah pengaruh Gelap Ngampar lenyap dari dadanya, meskipun

ia masih agak pucat. Ia melihat Mahesa Jenar itu seperti melihat

ayahnya. Ia menjadi heran, kenapa Mahesa Jenar itu dalam hampir

setiap geraknya mirip benar seperti ayahnya. Kalau ayahnya dapat

bertempur seperti batu karang yang tak bergerak oleh badai yang

bagaimanapun dahsyat, Mahesa Jenar pun kadang-kadang berlaku

demikian. Tetapi kadang-kadang melihat lawannya seperti banjir

bandang tanpa dapat dihalangi oleh kekuatan apapun. Pada saat

yang lain seperti juga ayahnya Mahesa Jenar mengurung lawannya

seperti angin prahara. Meskipun ia hanya melihat ayahnya

bertempur dalam latihan-latihan dengan dirinya, dengan Putut

Karang Tunggal yang sebenarnya bernama Karebet, namun ia

melihat betapa Mahesa Jenar itu memiliki kemampuan yang mirip

benar dalam setiap gerak-geriknya. Tetapi gadis kecil ini tidak tahu

bahwa Mahesa Jenar dan ayahnya, Kebo Kanigara, meneguk air

dari sumber yang sama. Dan bahwa kedua-duanya telah

menguasai ilmunya dengan sempurna, meskipun Kebo Kanigara

sedikit lebih mengendap daripada Mahesa Jenar.

Orang yang samasekali tidak tahu bagaimana menilai

pertempuran itu adalah Jaladri. Bahkan ia menjadi pening, dan

Page 82: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 91

karena itu ia lebih senang menenangkan dirinya daripada bersusah

payah mengikuti perang tanding yang tak kenal ujung pangkalnya

itu.

Berbeda dengan perasaan mereka adalah Rara Wilis. Ia

mempunyai kesan tersendiri dari pertempuran itu. Ketika

pertempuran itu menjadi semakin seru, iapun menjadi semakin

cemas. Meskipun kemudian ia merasa, bahwa Mahesa Jenar

memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kekuatan

iblis berjubah abu-abu itu, namun setiap serangan Pasingsingan

dirasanya seperti serangan pada dirinya sendiri. Setiap sentuhan

yang mengenai tubuh Mahesa Jenar, seolah-olah kulitnyalah yang

terluka. Rara Wilis tiba-tiba menjadi cemas, jauh lebih cemas

daripada ia sendiri yang bertempur. Ia samasekali tidak rela kalau

laki-laki itu sampai dapat disinggung oleh lawannya. Ia tidak rela

kalau laki-laki itu sampai terluka. Ketika Wilis sadar akan

perasaannya itu, tiba-tiba warna merah membersit ke pipinya. Ia

merasa malu sendiri, meskipun ia yakin bahwa tak seorang pun

yang memperhatikannya. Tetapi seolah-olah setiap ujung daun-

daun pepohonan di sekitarnya itu tersenyum melihat warna

hatinya. Seolah-olah desir angin yang lewat di belakangnya

berbisik di telinganya, “Jangan cemas Rara Wilis, kau tidak akan

kehilangan laki-laki itu.” Tiba-tiba Rara Wilis menundukkan

wajahnya dengan tersipu-sipu.

Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba arena itu dikejutkan oleh

sebuah teriakan nyaring yang terlontar dari belakang topeng kasar

Pasingsingan. Bersamaan dengan itu memancarlah udara panas ke

segenap penjuru. Ke arah mereka yang sedang terpesona

menyaksikan pertempuran itu, sehingga tanpa mereka sengaja,

segera mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Bahkan

Jaladri segera berlindung ke balik sebuah pohon untuk

menghindarkan diri dari serangan panas yang luar biasa. Itulah

pengaruh dari ilmu Alas Kobar yang dahsyat, yang tidak saja

dilontarkan oleh Lawa Ijo, tetapi kini oleh gurunya, Pasingsingan.

Page 83: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 91

Alangkah dahsyatnya ilmu itu. Tetapi yang paling dahsyat

mengalami serangan itu adalah orang yang dituju. Dalam

penerapan ilmu itu tubuh Pasingsingan sendiri seolah-olah telah

berubah menjadi bara baja yang panasnya tak terhingga.

Mahesa Jenar terkejut mengalami serangan panas itu. Setiap

sentuhan dengan tubuh Pasingsingan, terasa panas yang luar biasa

menyengat kulitnya, disamping libatan udara panas di seluruh

tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, sadarlah Mahesa Jenar

bahwa lawannya telah matek aji yang pernah didengarnya

bernama Alas Kobar.

Untuk sementara Mahesa Jenar terpaksa terdesak mundur. Ia

mencoba menghindari setiap sentuhan tubuh Pasingsingan.

Tetapi dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar

samasekali tak berniat melarikan diri. Sebagai seorang laki-laki, ia

akan menghadapi setiap kemungkinan. Ia merasa menjadi

pelindung dari seluruh perkemahan itu. Kalau ia terpaksa

melarikan diri, maka ia tak ada artinya samasekali. Apa saja yang

pernah dilakukan dan apa saja yang pernah dipercayakan orang

kepadanya. Dalam perjuangan melawan kejahatan tak ada niatnya

untuk sekadar menyelamatkan dirinya sendiri, dan membiarkan

orang lain binasa karenanya. Karena itulah maka Mahesa Jenar

membulatkan tekadnya. Mengumpulkan segenap kekuatan lahir

batinnya, dengan tekad bulat untuk melawan Pasingsingan,

betapapun pengaruh panas itu menyengatnya di segenap bagian

tubuhnya.

Anehnya, bahwa yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan.

Di luar dugaan Mahesa Jenar sendiri. Ketika ia telah membulatkan

tekad, memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya, lahir

batin, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Kuasa,

maka tiba-tiba terasa, bersama-sama dengan nafasnya yang

semakin teratur, sejalan dengan peredaran darahnya, mengalirlah

udara segar di dalam tubuhnya. Mahesa Jenar telah mengenal

perasaan itu. Ia merasakan seperti aliran kekuatan yang luar

Page 84: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 91

biasa, yang dalam keadaan khusus, seperti yang pernah dilakukan

apabila ia sedang menerapkan ilmunya Sastra Birawa, merambat

dari pusat jantungnya mengalir ke sisi telapak tangannya. Tetapi

kini, dalam pemusatan tekad, untuk melawan libatan udara panas

yang mematuk-matuk seluruh permukaan tubuhnya itu, terasa

kekuatan dari pusat jantungnya itu mengalir menurut peredaran

darah ke segenap bagian, menurut jalur-jalur darah yang paling

kecil sekalipun. Terasalah untuk beberapa saat darahnya seperti

mendidih. Terjadilah seolah-olah benturan yang sengit di seluruh

permukaan kulitnya. Dalam keadaan yang demikian, terganggulah

gerak tempur Mahesa Jenar, karena perasaannya dipengaruhi oleh

pemusatan kehendak untuk melawan udara panas itu. Maka tanpa

setahunya, tiba-tiba serangan Pasingsingan yang dahsyat telah

berhasil menyusup diantara jaring-jaring pertahanan Mahesa

Jenar, langsung mengenai pundaknya. Serangan itu bukanlah

sekadar serangan Alas Kobar, tetapi benar-benar tangan

Pasingsingan mengenai pundak itu.

Mahesa Jenar yang sedang berjuang melawan Aji Alas Kobar

itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia adalah seorang

yang masak dalam pemusatan kehendak. Meskipun ia terdorong

dan bahkan kemudian ia terjatuh, namun ia samasekali tidak

melepaskan diri dari usahanya, membulatkan diri, dalam

perlawanannya.

Dalam saat yang demikian itulah, sebenarnya Mahesa Jenar

telah menerapkan ilmunya Sasra Birawa pula. Namun dalam

bentuk yang berbeda. Tanpa setahunya sendiri sebelumnya,

bahwa sebenarnya ilmunya Sasra Birawa dalam bentuk

perlawanan dan pertahanan dapat disalurkan ke segenap bagian

tubuhnya. Ke segenap bagian-bagian yang terkecil sekalipun untuk

kemudian melawan rangsangan yang betapapun dahsyatnya, yang

mencoba mempengaruhi tubuh itu.

Tetapi meskipun demikian, ilmu itu tidak dapat menahan

dorongan kekuatan yang luar biasa, yang dilontarkan Pasingsingan

Page 85: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 91

dengan penuh kemarahan, sehingga Mahesa Jenar jatuh

terbanting di tanah setelah terdorong beberapa langkah surut.

Mereka yang menyaksikan peristiwa itu, dadanya serasa akan

pecah, Mahesa Jenar bagi mereka adalah satu-satunya orang yang

dapat diharapkan untuk menyelamatkan perkemahan ini. Ketika

mereka melihat betapa Pasingsingan semakin lama semakin

terdesak yakinlah mereka bahwa Mahesa Jenar akan dapat

melakukan tugasnya dengan baik. Namun tiba-tiba, dalam kabut

ilmu Alas Kobar, Mahesa Jenar ternyata dapat dikuasai oleh

lawannya, bahkan kemudian dengan suatu serangan jasmaniah,

Mahesa Jenar dapat didorongnya jatuh.

Apalagi ketika ia kemudian melihat Pasingsingan itu tertawa

sambil bertolak pinggang, dan dari sela-sela lubang topengnya

terdengarlah ia bergumam, “Hem… aku terpaksa melakukan apa

yang telah aku katakan. Mematahkan tulangmu satu demi satu.

Aku ingin melihat kau kesakitan dan ingin mendengar kau

berteriak minta ampun.”

Mendengar ancaman itu, teganglah semua orang yang berdiri

agak jauh dari lingkaran pertempuran itu. Tetapi pastilah bahwa

mereka tidak akan tinggal diam. Karena mereka samasekali tidak

mampu untuk mendekati iblis itu, maka mereka menjadi agak

bingung, bagaimana cara mereka untuk berjuang bersama-sama,

dan kalau perlu mati bersama-sama dengan Mahesa Jenar.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba Pasingsingan

dikejutkan oleh seleret sinar yang tebal menyambarnya. Karena

itu mendadak suara tertawanya terhenti. Dengan lincahnya ia

merendahkan dirinya sambil berputar setapak ke samping. Namun

belum lagi ia berhenti bergerak, disusullah sinar tebal itu dengan

sambaran sinar yang lain. Sekali lagi Pasingsingan terpaksa

menghindar. Ketika itu ia kemudian melihat bahwa kedua

sambaran sinar itu tidak lain tombak pendek yang melontar dari

tangan Arya Salaka, disusul oleh sebatang trisula dari tangan

Mantingan, terdengarlah hantu itu menggeram marah. Sekali lagi

Page 86: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 91

terdengar ia bergumam, “Tikus-tikus yang malang. Jangan banyak

tingkah. Supaya kau nanti dapat mati dengan tenang.”

Dalam pada itu dada Rara Wilis pun terasa menjadi pepat.

Sesaat ia memejamkan matanya. Ia tidak sampai hati melihat

Mahesa Jenar terbanting. Tetapi ia tidak mau membiarkan laki-laki

itu mengalami cidera. Tetapi tidak sesadarnya, ia berusaha untuk

meloncat mendekati. Namun langkah Wilis pun terhenti ketika

tubuhnya serasa hangus terbakar. Tetapi hatinyalah yang lebih

dahulu hangus daripada tubuhnya, sebab bagaimanapun juga

Mahesa Jenar adalah tempat ia meyangkutkan harapan bagi masa

depan.

Terdorong oleh perasaan yang tak disadarinya sendiri, yang

jauh lebih tebal dari perasaan setiakawan, telah memaksa Rara

Wilis untuk tidak mempedulikan diri sendiri. Meskipun tubuhnya

serasa terbakar oleh panas yang melampaui panasnya api, ia

mencoba juga berjalan setapak demi setapak ke arah Mahesa

Jenar, sedang matanya samasekali tidak mau melepaskan setiap

gerak gerik hantu berjubah abu-abu itu. Kalau-kalau tiba-tiba ia

meloncat dan menyerangnya. Tetapi sebalum ia berhasil mencapai

laki-laki yang dicemaskan itu, terasa seluruh kulit dagingnya

menjadi luluh.

Ketika ia maju setapak lagi, ia menjadi kehilangan segenap

daya tahannya. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya ia

terhuyung-huyung jatuh. Tetapi betapa terkejutnya ketika terasa

sepasang tangan menyambarnya. Dan dengan suatu loncatan

panjang ia telah dibebaskan dari daerah pengaruh yang berbahaya

dari aji Alas Kobar itu.

Dengan cemas ia mencoba mengamat-amati, siapakah yang

telah menolongnya itu. Sekali lagi ia terkejut kepadanya. Ternyata

yang menyelamatkannya dari lingkaran yang berbahaya itu adalah

Mahesa Jenar sendiri. Semula ia hampir tidak percaya pada

dirinya. Bahkan ia mengira, apakah ia tidak bermimpi atau pingsan

atau mati, dan bertemu dengan laki-laki itu di alam lain. Tetapi

Page 87: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 91

perasaan itu segera lenyap ketika terdengar suara Pasingsingan

menggeram, “Setan. Ternyata nyawamu rangkap, Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar kemudian meletakkan Rara Wilis dari tangannya.

Ternyata daya tahan gadis itu luar biasa pula, sehingga demikian

ia menyentuh tanah, demikian ia telah dapat berdiri di atas kedua

kakinya sendiri. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya

segenap mata yang memandangnya memancarkan keheranan dan

kekaguman. Bahkan seperti sorot mata yang bimbang akan

kebenaran penglihatan mereka. Tiba-tiba dari antara mereka Arya

Salaka meloncat berlari ke arah gurunya, kemudian meraba-raba

tubuh itu sambil berkata lirih, “Adakah guru selamat…?”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana mereka

tidak heran, kalau dirinya sendiripun hampir-hampir tidak

mengerti atas peristiwa-peristiwa yang dialami. Namun

pengenalannya pada getaran-getaran yang memancar dan pepat

jantungnya telah memberinya sedikit keterangan, bahwa kekuatan

Sasra Birawa-nya telah mengalir dan membendung segenap

rangsangan yang menyentuh tubuhnya.

Memang mula-mula Mahesa Jenar merasakan betapa udara

panas melibat seluruh tubuhnya. Bagaimana kulitnya serasa

terkelupas karena sentuhan-sentuhan tubuh Pasingsingan. Namun

sejak ia mulai mengatur diri, memusatkan tekad pada perlawanan

atas serangan panas di segenap permukaan tubuhnya, pernafasan

yang diaturnya baik-baik seperti apabila ia siap untuk melontarkan

ilmunya Sasra Birawa, terasa betapa di dalam tubuhnya terjadi

pergolakan-pergolakan yang cepat. Terasa betapa getaran-

getaran dari pusat jantungnya mulai bergerak. Tidak ke sisi telapak

tangannya, namun menjalar ke segenap bagian tubuhnya. Dengan

demikian, kekuatan di dalam dirinya telah langsung mengadakan

perlawanan. Pada saat yang demikian itulah ia merasa sebuah

dorongan yang kuat pada pundaknya, disertai suatu gigitan nyeri

yang bukan main, sehingga ia terdorong dan terbanting jatuh.

Untuk sesaat memang seolah-olah ia kehilangan daya

perlawanannya. Tetapi dalam pada itu, getaran-getaran di dalam

Page 88: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 91

tubuhnya itu menjadi semakin deras mengalir. Apalagi Mahesa

Jenar membiarkan dirinya seperti sebuah batu yang menggelinding

karena sebuah dorongan yang kuat tanpa daya perlawanan.

Dengan demikian ia dapat tetap pada pemusatan pikiran,

mempercepat aliran getaran-getaran dari pusat jantungnya itu,

sehingga batu itu sendiri samasekali tidak mengalami cidera

samasekali.

Akhirnya segenap perasaan sakit, nyeri, panas dan segala

macam perasaan yang merangsang dari luar tubuhnya, perlahan-

lahan menjadi berkurang, bahkan akhirnya menjadi punah

samasekali. Meskipun ia masih berada dalam jarak capai aji Alas

Kobar, namun ia tidak lagi merasakan betapa panasnya aji itu,

yang semula dirasanya melampaui panasnya bara.

Namun demikian, ia tidak segera bangkit. Ia masih mencoba

meyakin keadaannya. Karena itulah maka seolah-olah Mahesa

Jenar setelah terbanting jatuh tidak mampu lagi untuk tegak

kembali.

Mahesa Jenar masih tetap berdiam diri, ketika ia melihat

tombak muridnya menyambar Pasingsingan, disusul oleh sebuah

trisula yang terbang secepat kilat. Namun kedua senjata itu

samasekali tidak mengenai sasarannya.

Tetapi ia tidak dapat tetap berbaring di situ, ketika ia melihat

Rara Wilis dengan tanpa menghiraukan keadaan diri sendiri,

mencoba menerobos lingkaran aji Alas Kobar. Apalagi ketika ia

melihat gadis itu menjadi sangat payah dan hampir-hampir saja

terjatuh. Dengan sigapnya ia melenting berdiri dan meloncat ke

arah Rara Wilis. Untunglah Mahesa Jenar berbuat cepat pada

saatnya, sehingga dengan lemahnya Rara Wilis terkulai di

tangannya.

Meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga, namun

Rara Wilis yang dengan lemahnya, menyandarkan kepalanya pada

dadanya itu, telah menggetarkan perasaannya. Perasaan seorang

Page 89: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 91

laki-laki yang sedang mengenyam angan-angan tentang seorang

gadis. Mau rasa-rasanya, untuk tidak melepaskan gadis itu dari

tangannya untuk seumur hidupnya. Tetapi keadaan itu kemudian

hancur terurai oleh geram Pasingsingan. Dan karena itulah maka

Mahesa Jenar sadar, bahwa bahaya masih tetap melekat di

hidungnya. Maka perlahan-lahan Rara Wilis itu kemudian

diletakkan di atas tanah. Mahesa Jenar menjadi terharu juga,

ketika muridnya berlari-lari untuk meraba-raba tubuhnya, seolah-

olah mencari-cari apakah ada yang hilang darinya. Dengan penuh

perasaan sayang seorang ayah, Mahesa Jenar menepuk kepala

anak muda itu sambil menjawab pertanyaan, “Aku tidak apa-apa,

Arya. Bukankah anggota badanku masih utuh?”

Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lebih banyak.

Pasingsingan yang melihat Mahesa Jenar itu bangkit kembali dan

seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu, menjadi tidak kalah

herannya. Tetapi justru dengan demikian hatinya menjadi semakin

panas. Ia cemas pada kenyataan, bahwa Mahesa Jenar kini adalah

seorang yang memiliki kesaktian yang tinggi. Cemas pada

kegagalannya untuk mendapatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk

Inten yang akan dipergunakan sebagai pancatan, nggayuh

kemukten, mencapai impiannya yang indah. Kekuasaan atas

gerombolannya, untuk kemudian meningkat pada kekuasaan atas

tanah ini. Atas kerajaan Demak.

Namun demikian, terdorong oleh nafsu yang bergelora di

dalam dadanya, maka ia merasa, bahwa Mahesa Jenar harus

dibinasakan. Ia tidak perlu berfikir lagi, apakah ia harus bersikap

jantan atau tidak. Namun tujuannya sudah pasti. Membunuh laki-

laki yang menghalang-halangi niatnya. Selama orang yang

bernama Mahesa Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya itu masih

hidup, selama itu pula niatnya akan selalu dirintanginya. Karena

itu, maka dengan menggeram penuh kemarahan, berkilat-kilatlah

sebuah pisau belati panjang di tangan hantu berjubah abu-abu itu.

Ia sudah bertekad untuk membunuh Mahesa Jenar dengan Alas

Page 90: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 91

Kobar bersama-sama dengan pusaka Pasingsingan, Kiai Suluh,

yang bercahaya kekuning-kuningan.

Melihat Pusaka itu, Mahesa Jenar terkejut. Ia tahu benar

betapa berbahayanya pisau belati itu. Pisau belati ciri khusus dari

orang yang bernama Pasingsingan, yang diterima turun-temurun

dari Pasingsingan tua, Raden Buntara, lewat Radite, yang

kemudian karena keteguhan jiwa Radite dapat digoncangkan oleh

paras yang cantik, akhirnya pusaka itu jatuh ke tangan iblis yang

berbahaya ini.

Demikianlah, maka kini Mahesa Jenar harus berjuang mati-

matian. Untunglah bahwa aji Alas Kobar itu sudah tidak

berpengaruh atas tubuhnya, sehingga ia dapat memusatkan daya

perlawanan terhadap pisau belati Pasingsingan itu.

Ketika Pasingsingan sudah siap, Mahesa Jenar segera

melangkah maju. Dengan dada tengadah ia berjalan perlahan-

lahan, namun dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, penuh

kepercayaan pada kekuasaan Tuhan, bahwa pengabdiannya akan

mendapat limpahan perlindungan-Nya. Sebab iapun yakin bahwa

setiap pengingkaran pada kebenaran, bagaimanapun juga

dipertahankan dan diperjuangkan oleh kekuatan apapun, namun

tak ada kekuatan yang mampu melawan hukum kebenaran dan

keadilan yang digoreskan oleh tangan Yang Maha Adil.

Sekali lagi dada Pasingsingan bergetar melihat sikap Mahesa

Jenar. Tenang, namun meyakinkan. Dalam saat yang sekejap itu

melingkar-lingkarlah di dalam benak Pasingsingan, bayangan-

bayangan dari masa lampaunya dan gambaran dari masa

idamannya, yang bergumul pula dengan bayangan-bayangan

Pasingsingan-Pasingsingan yang terdahulu, silih berganti.

Kemudian sampailah ia pada suatu umpatan yang kotor terhadap

Radite dan Anggara. Kepadanyalah ia melimpahkan kesalahan,

sebab Umbaran itu menyangka bahwa Mahesa Jenar menjadi

masak karena tangan mereka, untuk dijadikan alat membalas sakit

hatinya, sebab Radite sendiri terikat dengan suatu perjanjian yang

Page 91: 17 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 91

tak akan dilanggarnya. Apalagi ketika ia melihat Mahesa Jenar

samasekali tidak terpengaruh oleh aji andalannya, Alas Kobar.

Ketika ia sedang menimbang-nimbang, tiba-tiba bersama

dengan desir angin malam yang mengusap daun-daun pepohonan,

terdengarlah kembali telapak kaki kuda yang semakin lama

semakin dekat. Mahesa Jenar tersenyum mendengar telapak kaki

kuda itu. Ia percaya bahwa tak seorang pun dapat menghalangi

perjalanan Kebo Kanigara. Kalau orang itu cepat sebelum hantu itu

pergi, maka ia mengharap akan dapat menangkap Umbaran itu

hidup-hidup. Ia ingin menyerahkannya kepada Pasingsingan tua,

untuk mendapat pengadilan.