19 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 93
I
etapi sementara itu, Wanamerta memandang sekelilingnya
dengan alis yang berkerut-kerut. Ia melihat perubahan pada
tata perkelahian lawannya.
Wanamerta tidak lagi melihat mereka bersiap untuk
menyerang satu demi satu atau berdua atau bertiga sekalipun.
Yang dilihatnya adalah orang-orang Pamingit itu mulai membuat
sebuah gelang, mengelilingi mereka berdua.
“Setan,” desis Sendang Papat.
“Mereka mengepung kita,” sahut Wanamerta.
Sendang Papat memutar kudanya untuk melihat keadaan di
sekelilingnya. Ia melihat sepuluh, bahkan lebih dari itu, orang-
orang berkuda di sekelilingnya. Sedang di tengah lapang itu, ia
melihat beberapa ekor kuda tak berpenumpang. Dua tiga orang
Pamingit terbaring di antara beberapa orang Banyubiru yang
terluka dan bahkan ada yang terbunuh di tanah lapang itu. Suatu
kekacauan yang mengerikan.
Tetapi sementara itu, Wanamerta dan Sendang Papat harus
berpikir tentang diri mereka. Ketika mereka melayangkan kembali
pandangan mereka, mereka melihat perlahan-lahan kuda-kuda
yang mengepung itupun mulai bergerak maju.
Wanamerta adalah seorang tua yang berpengalaman cukup.
Karena itu segera ia mengetahui maksud orang-orang Pamingit itu.
Maka desisnya, “Sendang, jangan beri kesempatan mereka
bersama-sama menyerang. Kau lihat kelemahan mereka?”
Sendang menggeleng lemah.
“Kita menyerang dari arah api. Aku harap mereka terganggu
oleh cahaya yang silau itu. Kita tembus dinding yang bertentangan
dengan arah cahaya. Secepat-cepatnya, sebelum datang yang lain,
T
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 93
mereka sempat membantu,” kata Wanamerta setengah
memerintah.
Sendang Papat telah menangkap maksud orang tua itu. Ia
memuji didalam hatinya. Tetapi ia tidak sempat untuk berkata
apapun, sebab demikian Wanamerta selesai berkata, demikian ia
menarik kekang kudanya dan memacu ke arah barat. Sendang
Papat pun segera menyusul. Pedangnya berkilau-kilau kemerah-
merahan oleh cahaya api yang sudah mulai berkurang. Namun
cahayanya masih cukup besar untuk menerangi seluruh tanah
lapang itu.
Orang-orang Pamingit itu terkejut melihat kesigapan
Wanamerta dan Sendang Papat. Meskipun mereka sudah mengira,
bahwa kedua orang itu tidak akan mau menyerah begitu saja,
namun serangan mereka berdua yang tiba-tiba, telah
menyebabkan mereka kehilangan waktu beberapa saat untuk
menilai gerakan itu.
Demikianlah, Wanamerta telah mencapai dinding kepungan
itu, dengan membelakangi api yang menyala-nyala. Setiap garis-
garis yang tergores pada tubuh orang Pamingit itu. Setiap
gerakannyapun dapat diketahuinya. Sebaliknya orang-orang itu
hanya melihat bayangan hitam seperti terbang menerkamnya.
Mereka tidak dapat melihat dengan jelas, gerakan-gerakan apakah
yang sudah dilakukan oleh dua hantu yang seakan-akan meloncat
dari tengah-tengah itu. Karena itu mereka menjadi gugup.
Tetapi sesaat kemudian, kawan-kawan mereka pun menjadi
sadar. Mereka akhirnya mengetahui juga, bahwa Wanamerta telah
mengambil keuntungan dari cahaya api yang silau itu. Dengan
demikian segera merekapun bergerak maju mengejarnya.
Ternyata perhitungan Wanamerta adalah tepat. Ia dapat
mencapai dinding kepungan sebelum lawan-lawan mereka yang
lain sempat membantu. Dengan telapaknya Wanamerta
menyerang orang yang menghadang di hadapannya. Meskipun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 93
kemudian orang dikanan kirinya merapat, namun cahaya yang
silau telah membuat untung Wanamerta dan Sendang Papat.
Perkelahian yang terjadi kemudian tidak berlangsung lama.
Mereka tidak dapat menahan kedua orang itu untuk menerobos
kepungan mereka. Dengan demikian akhirnya Wanamerta berhasil
keluar dari lingkaran maut itu bersama-sama dengan Sendang
Papat. Tetapi Wanamerta kemudian tidak mau disilaukan oleh api
yang memberinya keuntungan, apabila ia harus melawan
pengejarnya. Karena itu segera ia membelokkan arah kudanya ke
kanan.
Tetapi orang-orang Pamingit itu telah mendapatkan kesadaran
mereka. Sebagian dari mereka segera menyusul, dan sebagian lagi
memotong jalan. Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat telah
melepaskan diri dari kepungan. Mereka dapat menghadapi lawan
mereka dari satu arah. Meskipun demikian lawan mereka terlalu
banyak. Sehingga kemudian ternyata bahwa Wanamerta dan
Sendang Papat pun terdesak. Menghadapi keadaan yang demikian,
kedua orang Banyubiru yang gemblengan itu malahan telah
membulatkan tekad untuk melawan sampai kesempatan terakhir.
Dalam pada itu, ketika mereka sedang berkelahi mati-matian,
tiba-tiba terdengarlah suara-suara anak muda tertawa. Disusul
oleh sebuah aba dari antara mereka, “Ayolah, kita mulai.”
Yang berada di tanah lapang itu kemudian dikejutkan oleh
munculnya empat ekor kuda dari sudut tanah lapang itu. Kemudian
seekor lagi ditunggangi oleh seorang anak muda yang tampan,
bertubuh tegap dan berdada bidang. Agaknya anak muda yang
terakhir itulah yang telah mengucapkan aba-aba. Sedang keempat
anak muda yang lain itupun langsung menerjunkan diri ke kancah
pertempuran.
“Ayolah Kiai,” teriak salah seeorang di antaranya, “Aku berada
di pihak Kiai dan Paman Sendang Papat.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 93
Wanamerta heran melihat kedatangan mereka. Demikian juga
Sendang Papat. Wanamerta adalah orang Banyubiru sejak
Pangrantunan. Tetapi terhadap anak-anak muda itu ia belum
begitu mengenal. Sedang mula-mula Sendang Papat pun agak
ragu, siapakah yang telah datang tepat pada saatnya membantu
mereka berdua.
Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat belum sempat bertanya
tentang mereka. Pertempuran itu menjadi kian sengit. Keempat
anak muda itupun berkelahi dengan tekad yang menyala-nyala.
Dengan demikian pekerjaan Sendang Papat dan Wanamerta
menjadi berkurang. Lawan-lawan mereka setidak-tidaknya telah
berkurang dengan empat orang, yang harus melayani keempat
anak muda yang bertempur dengan tenaga yang penuh. Namun
agaknya keempat anak muda itu masih kurang pengalaman,
sehingga meskipun mereka bertempur mati-matian, tetapi
ternyata bahwa mereka tidak lebih dari setiap orang dari laskar
Pamingit itu. Sehingga dengan demikian, pertempuran itupun
hampir tak terpengaruh oleh kehadiran keempat orang itu.
Meskipun demikian, kesempatan untuk menjaga diri bagi
Wanamerta dan Sendang Papat adalah jauh lebih besar dari
semula.
Maka semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin
keras. Orang-orang Pamingit yang tidak segera dapat
menyelesaikan pekerjaan mereka itupun menjadi marah dan
bertempur semakin liar. Karena jumlah mereka lebih banyak maka
kemudian mereka pun berhasil sedikit demi sedikit menguasai
keadaan, sehingga pertempuran itupun menjadi berat sebelah.
Ternyata yang menjadi pusat perhatian mereka adalah Wanamerta
dan Sendang Papat. Sedang terhadap keempat anak muda itu
mereka hanya sekedar memberikan perlawanan untuk menjaga
mereka supaya mereka tidak dapat langsung membantu
Wanamerta dan Sendang Papat.
Dalam keadaan yang demikian itu, maka tiba-tiba pemuda
yang seorang lagi yang masih duduk diam di atas punggung
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 93
kudanya di tepi lapangan itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya itu
sangatlah menarik perhatian. Baik orang Pamingit maupun
Wanamerta dan Sendang Papat. Bahkan kawan kawannya pun
menoleh kepadanya.
“Permainan yang jelek,” katanya. “Tidakkah kalian dapat
berkelahi lebih baik?”
“Apakah yang jelek?,” jawab salah seorang temannya.
“Kalian hanya mampu berputar putar seorang penari jathilan
di atas kuda kepang,” jawab anak muda itu….
Kawan-Kawan anak muda itu tak ada yang menjawab. Tetapi
pertempuran masih berlangsung terus. Sehingga kemudian
terdengar ia berkata pula, “Kiai Wanamerta dan Paman Sendang
Papat pun agaknya sudah terlalu payah. Tetapi cara-cara yang
dipergunakan, serta gerak-gerak yang bersumber pada Paman
Mahesa Jenar agaknya cukup menarik.”
Wanamerta dan Sendang Papat sekali lagi terkejut bukan
main. Kenapa anak muda itu mengetahui beberapa unsur gerak
yang dipelajarinya dari Mahesa Jenar?
Kemudian terdengarlah anak muda yang gagah tampan itu
meneruskan, “Tetapi sayang, bahwa Paman Sendang Papat kurang
berhasil mengambil keuntungan dari gabungan ilmu Ki Ageng Supit
Wanakerta dengan ilmu dari perguruan Pengging.”
Sendang Papat menjadi semakin heran. Ia belum pernah
mengenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta. Sedang yang dikenalnya
hanya Wanamerta. Tiba-tiba ia tidak dapat menunda keinginannya
untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu, sehingga
sambil bertempur ia berteriak, “Aku belum kenal Ki Ageng Supit
dari Wanakerta.”
“Kalau begitu....” jawab anak muda itu, “Kakang Sendang pasti
kenal salah seorang muridnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 93
“Siapakah dia?” tanya Sendang Papat.
“Wiraraga atau Dalang Mantingan,” jawab anak muda itu.
Kembali Sendang Papat keheranan. Ternyata anak muda itu
kenal pula kepada Ki Dalang Mantingan.
Sementara itu orang-orang Pamingit menjadi semakin
mendesak pula. Sehingga akhirnya Wanamerta dan Sendang Papat
benar-benar mengalami kesulitan. Dalam keadaan yang demikian
itulah tiba-tiba anak muda yang masih berdiam diri di pinggir tanah
lapang itu berkata lantang, “Maafkan aku Kiai Wanamerta dan
Kakang Paman Papat kalau aku ikut campur pula dalam
pertempuran ini.”
Setelah selesai dengan kata-katanya, segera ia mendorong
kudanya untuk terjun ke dalam pertempuran.
Mula-mula orang Pamingit itu tidak banyak
memperhatikannya. Mereka mengira bahwa anak muda itu tidak
terlalu jauh terpaut dari keempat kawannya. Tetapi ketika anak
muda itu telah benar-benar bertempur, ternyata ia benar-benar
mengejutkan. Dalam saat yang sangat pendek, ternyata ia telah
berhasil melemparkan dua orang Pamingit dari kudanya.
“Gila…!” teriak salah seorang yang terlempar itu dengan penuh
kemarahan. Punggungnya terasa betapa sakit, sedang bajunya
tersobek lebih sekilan. Dengan mengumpat-umpat ia berusaha
untuk mengejar kudanya kembali dan dengan susah payah ia
meloncat ke punggungnya. Demikian pula kawannya yang seorang
lagi. Sambil memungut pedangnya ia berteriak, “Anak gila,
agaknya kaupun ingin menjadi bangkai seperti Wanamerta dan
Sendang Papat.”
Anak muda itu tertawa. Sedang tandangnya menjadi semakin
mengherankan. Ia menyerang seperti elang untuk kemudian
melingkar dan menyerang kembali. Ia tidak pernah menghindari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 93
setiap serangan, dan bahkan dengan tertawa nyaring ia melawan
dua tiga orang sekaligus.
“Aneh,” pikir Wanamerta dan Sendang Papat seperti berjanji.
Perhatian orang-orang Pamingit kemudian lebih banyak tertuju
kepadanya daripada Wanamerta dan Sendang Papat. Apalagi
mereka berduapun menjadi seolah-olah penonton yang
keheranan. Demikian juga keempat kawan-kawannya.
Anak muda itu, yang bertubuh tegap dan kekar dan tampan,
bertempur seperti anak bermain kejar-kejaran. Wajahnya
samasekali tidak menunjukkan kesungguhan. Sayang bahwa
cahaya api yang semakin pudar, tidak memberi kesempatan
kepada Wanamerta dan Sendang Papat untuk mengenalnya
dengan baik.
Dengan nada yang segar, anak muda itu berkata, “He, kawan-
kawan dari Pamingit. Kenapa kalian bersusah payah mengejar-
ngejar Kiai Wanamerta dan Kakang Sendang Papat, sedang orang-
orang yang bersalah tidak kau tangkapi?”
“Siapa yang bersalah itu?” teriak orang-orang Pamingit dengan
marah.
“Sontani dan orang-orangnya,” jawab anak muda itu.
“Omong kosong,” bentak orang Pamingit yang lain sambil
memutar pedangnya menyambar punggung anak itu.
Dengan enaknya anak muda itu mengelak tanpa berkisar.
Tetapi kemudian dengan satu gerakan yang sederhana ia telah
berhasil memukul dengan tangannya. Ya, dengan tangannya,
pergelangan tangan orang yang menyerangnya, sehingga
terdengar ia mengaduh perlahan, dan pedangnya terpelanting
jatuh di tanah. Orang itu menggeram marah, tetapi ia memacu
kudanya menjauhi anak muda itu, sebelum ia berhasil
mendapatkan sebilah pedang yang lain yang dipungutnya dari
seorang kawannya yang telah terbaring di tanah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 93
Anak muda itu masih bertempur dengan lincahnya. Wanamerta
dan Sendang Papat, seolah-olah terbebas samasekali dari
perkelahian itu. Mereka kini tinggal menghadapi seorang-seorang.
Sedang yang lain lebih banyak mencari perhatian untuk
menjatuhkan pemuda itu lebih dahulu.
Dengan tertawa anak muda itu kemudian terdengar berkata,
“He, kawan-kawan Pamingit. Demikianlah kira-kira yang akan
kalian alami, kalau kalian pada suatu saat terpaksa bertempur
melawan Arya Salaka.”
“Arya Salaka…?” u;ang salah seorang dari padanya, sedangkan
dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat tertarik pula pada kata-
kata itu.
“Ya, Arya Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi. Aku
hanya menirukan beberapa bagian dari ilmunya,” anak muda itu
melanjutkan.
Tak ada yang terdengar menjawab perkataannya. Tetapi
orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin marah. Namun
mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak akan
mampu melawan anak muda itu bersama-sama dengan
Wanamerta, Sendang Papat dan keempat anak-anak muda yang
lain, yang menganggap perkelahian itu seperti permainan saja.
“Arya Salaka dapat memukul hancur kepala kuda yang kalian
naiki hanya dengan tangannya.” Anak muda itu meneruskan. Dan
tiba-tiba ia menyambar salah seorang lawannya, dan dengan gerak
yang mengejutkan ia menghantam kepala kuda itu. Terdengarlah
suara ledakan disusul dengan teriakan-teriakan anak-anak muda
yang lain, seperti mereka melihat kawannya menang bertaruh.
Kuda itu menggeliat dan memekik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh
berguling untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir darah
bercampur otak yang menghambur-hambur. Orang yang semula
melekat di punggung kuda itu, juga terbanting. Seperti orang
lumpuh ia menyaksikan kepala kudanya pecah. Tubuhnya terasa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 93
gemetar dan seolah-olah segala persendian tubuhnya terlepas satu
sama lain.
“Hebat…, hebat….” teriak kawan-kawannya. Tetapi orang-
orang Pamingit menjadi pucat karenanya.
“Hebat….” desis Wanamerta dan Sendang Papat perlahan-
lahan.
Anak muda itu memutar
kudanya sekali. Dan orang-
orang Pamingit mulai men-
jauhinya.
“Lihatlah kepala kuda itu,”
katanya. Wajahnya yang cerah
itu beredar berkeliling.
“Nah, siapa yang ingin
kepalanya sendiri aku pecah-
kan seperti kepala kuda itu?”
katanya pula.
Tak seorang pun terdengar
menjawab. Orang-orang
Pamingit itupun telah berhenti
menyerang dengan kuda-kuda
mereka, tegak beberapa
langkah berkeliling, seperti hendak mengepung anak muda itu.
Namun tak seorangpun berani mendekati.
“Nah, ketahuilah bahwa Arya Salaka pun mampu berbuat
demikian,” katanya.
“Tetapi itu tidak mengherankan.” Tiba-tiba salah seorang dari
orang-orang Pamingit itu berkata. Mata anak muda itupun menjadi
redup. Dengan sudut matanya ia memandang orang Pamingit itu.
“Kau tidak heran…?” Ia bertanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 93
Ternyata orang Pamingit itu menjadi gemetar. Tetapi ia malu
untuk menunjukkan perasaan takutnya. Meskipun terbata-bata ia
menjawab, “Sawung Sariti pun mampu melakukan. Ia memiliki aji
Lebur Sekethi.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Hebat.
Memang, Lebur Sekethi pun hebat pula. Sehebat Sasra Birawa dan
Cundha Manik dari Gunungkidul. Tetapi ilmu semacam itupun
mengenal tingkatan pula. Sawung Sariti menekuni ilmunya sambil
makan dan minum seenak-enaknya. Kalau ia lelah, ia dapat
berbaring di tempat pembarian yang empuk dan baik. Tetapi tidak
dengan Arya Salaka.”
Anak muda itu berhenti sambil menarik nafas. Ia menunggu
kalau-kalau ada yang mencoba menjawabnya. Namun orang-
orang Pamingit itu menjadi seperti orang-orang terinjak. Diam.
“Dengarlah....” katanya kemudian, “Sawung Sariti berlatih di
dalam pendapa yang terlindung dari terik matahari. Beberapa
orang mengipasinya kalau keringatnya mulai mengalir. Dengan
tergesa-gesa gadis-gadis menyediakan air hangat bila ia haus.
Dan apa yang terjadi dengan Arya Salaka?
Ia mesu diri sejadi-jadinya dalam masa pembajaan. Apabila
siang, ia berlatih di terik panas matahari. Apabila malam ia berlatih
dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah, ia membaringkan
dirinya, beralas rumput, berselimut langit. Kalau ia haus,
minumlah ia air hangat yang baru memancar dari sumbernya.
Sedangkan kalau ia lapar, dengan sabarnya ia menunggui perapian
dimana ia merebus jagung atau ketela pohon.
Disamping itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja keras.
Ia mencangkul di antara para petani. Berjuang melawan ombak
dan taupan di antara para nelayan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 93
Nah, katakan sekarang hai orang-orang Pamingit. Siapakah
yang kira-kira akan lebih kuat dan masak menguasai ilmunya. Arya
Salaka atau Sawung Sariti?”
Tak ada jawaban. Orang-orang Pamingit itu masih diam.
Beberapa orang menjadi semakin pucat.
“Tidakkah ada yang dapat menjawab?” tanya anak muda itu
pula. Lalu tiba-tiba sambil menunjuk kepada orang yang semula
memperbandingkan Arya Salaka dan Sawung Sariti, anak muda itu
bertanya, “Hai, kau yang membanggakan anak Lembu Sora itu,
jawablah, manakah yang lebih masak. Lebur Sekethi yang
dibumbui dengan pemanjaan diri ataukah Sasra Birawa yang
dialasi oleh penderitaan lahir dan batin, namun dijiwai oleh
ketawakalan dan pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa…?”
Orang yang ditunjuk itupun menjadi semakin ketakutan.
Terasa lututnya bergetar. Dan mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.
“Tidakkah kau bisa menjawab?” tanya anak muda itu pula.
Namun orang itupun benar-benar tak mampu menjawab.
Karena itu terdengarlah anak muda itu tertawa. “Jangan takut,”
katanya. “Aku tidak akan membunuh seorangpun di antara kalian,
apabila tidak berbuat hal-hal yang tak aku kehendaki.”
Anak Muda itu diam sesaat, lalu meneruskan, “Ketahuilah dan
rasakanlah kebenaran kata-kataku. Ilmu yang bagaimanapun
dahsyatnya, tetapi ia tidak diterapkan dalam pengabdian yang
benar, ia samasekali tak berarti. Bahkan ia akan menjadi jauh lebih
berbahaya dari segala macam ilmu. Sebaliknya Arya Salaka telah
menempatkan dirinya dalam kancah penderitaan lahir batin.
Dengan suatu keyakinan, bahwa berbahagialah mereka yang
menderita. Sebab dengan demikian ia akan dapat menempatkan
dirinya dalam pengabdian untuk mereka yang menderita. Dalam
tempat itulah Arya Salaka akan mempergunakan ilmunya. Dan
tidak mustahil bahwa pada suatu ketika Arya Salaka akan berdiri
berentang muka dengan Sawung Sariti. Masing-masing dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 93
Sasra Birawa dan Lebur Seketi. Tetapi Lebur Saketi yang telah
dinodai.”
Ketika anak muda itu diam untuk sesaat, lapangan itu
dicengkam oleh kesepian. Suara api telah lama terhenti. Dan
nyalanya pun telah menjadi semakin pudar pula.
“Kalau begitu....” akhirnya anak muda itu berkata pula,
“Tinggalkan tempat ini. Katakan kepada laskar Pamingit yang lain
bahwa Arya Salaka akan datang. Katakan bahwa seorang anak
muda telah mempertunjukkan ilmu Arya itu. Sebagian kecil saja.
Sebab Arya Salaka tidak saja dapat memecahkan kepala kuda,
tetapi batu sebesar kepala kuda itu, dan bahkan kepala kalian
semua.”
Mendengar kata-kata itu, mulailah laskar Pamingit itu gelisah.
Mereka, yang bagaimanapun juga adalah laskar-laskar yang
dipercaya, agak malu untuk begitu saja meninggalkan tugasnya.
Karena itulah maka anak muda itu membentak, “Kenapa kalian
belum juga pergi? Apakah kalian masih ingin melihat pertunjukan
yang lain…? Pergilah. Kenangkanlah di dalam dadamu. Kalau Arya
Salaka mampu berbuat demikian, apakah yang akan dapat
dilakukan oleh gurunya, Mahesa Jenar?”
Sekarang orang-orang Pamingit itu tidak menunggu perintah
itu untuk ketiga kalinya. Ketika salah seorang dari mereka,
menarik kekang kudanya, dan kemudian memutarnya, yang lain-
lainpun segera berloncatan meninggalkan tanah lapang yang
mengerikan itu.
Sesaat kemudian tinggallah Wanamerta, Sendang Papat, anak
muda yang perkasa itu dan keempat kawannya. Dalam cengkaman
keheranan Wanamerta dan Sendang Papat tertegun seperti
tonggak batu.
Mereka tersadar ketika anak muda itu mendekati mereka
sambil berkata, “Paman Wanamerta, sebaiknya Paman
meninggalkan tempat ini. Siapa tahu bahwa laskar Pamingit akan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 93
kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Meskipun barangkali
aku masih dapat melindungi Paman dan Kakang Sendang Papat,
meskipun seandainya Lembu Sora sendiri yang datang, namun
perbuatan itu samasekali kurang bijaksana. Bukankah Paman
mendapat kesempatan untuk pergi sekarang?”
“Ya, ya, Ngger,” jawab Wanamerta terputus-putus, “Aku
ucapkan terima kasih yang tak terhingga.”
“Paman dapat mempergunakan kuda-kuda kami untuk kawan-
kawan Paman dan Kakang Sendang Parapat. Tinggalkan kota ini
sebelum matahari terbit. Supaya Paman tidak banyak mengalami
gangguan, serta kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya
dapat dikurangi.” anak muda itu meneruskan.
“Baik, baik Ngger,” jawab Wanamerta, yang seolah-olah
merasa dirinya betapa bodohnya. Tiba-tiba ia teringat pada
keinginannya untuk mengetahui siapakah pemuda yang aneh,
yang memiliki keperkasaan yang luar biasa itu. Katanya kemudian,
“Tetapi perkenankanlah aku mengetahui siapakah Angger-angger
ini semuanya?”
Anak muda itu tersenyum. Jawabnya, “Paman tidak perlu
mengenal aku. Aku adalah anak kabur kanginan. Tanpa tempat
tinggal, tanpa sanak kadang.”
Wanamerta menarik nafas panjang. Desaknya, “Ah, apakah
keberatan Angger? Aku hanya sekadar ingin menceritakannya
kepada Angger Mahesa Jenar dan Cucu Arya Salaka, bahwa Angger
telah menyelamatkan kami berdua.”
Anak muda itu tertawa. Kemudian ia meloncat dari kudanya.
Ia tidak menjawab pertanyaan Wanamerta, tetapi katanya,
“Bawalah kudaku. Kawan-kawanku akan mengantarkan.
Seterusnya, pakailah kuda-kuda mereka untuk kembali ke
perkemahan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 93
“Terimakasih Ngger,” jawab Wanamerta, “Kami mengucapkan
terimakasih yang tak ada taranya. Tetapi Angger belum menjawab
pertanyaanku.”
Sekali lagi anak itu menghindari pertanyaan Wanamerta,
katanya, “Waktuku tidak terlalu banyak Paman. Kami persilakan
Paman berangkat.” Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata,
“Antar Paman sampai tempat Kakang Sendang Parapat
disembunyikan. Pinjamkan dua ekor kuda kalian. Aku akan pulang
dahulu dengan berjalan kaki.”
Pemuda itu tidak menunggu lama, kepada Wanamerta ia minta
diri, katanya, “Sudahlah Paman, aku tidak akan membuat
permusuhan-permusuhan di Banyubiru. Lebih baik aku
menyembunyikan diri. Salamku buat Paman Mahesa Jenar dan
Arya Salaka, Bibi Wilis dan Widuri, kalau ia turut serta. Juga untuk
Paman Kebo Kanigara.”
Setelah itu, maka dengan tidak menunggu jawaban, ia
melangkah meninggalkan Wanamerta dan Sendang Papat yang
memandanginya dengan kagum. Anak itu berjalan dengan langkah
yang tetap tegap. Seakan-akan dari tubuhnya memancarkan
kewibawaan yang agung.
Tiba-tiba Wanamerta ingat kepada kata-katanya. Kata-kata
anak muda yang tak mau dikenal itu, bahwa Arya Salaka pun
mampu melakukan apa yang baru saja dilihatnya dengan Sasra
Birawa. Karena itulah ia menjadi bangga dan berbesar hati.
Meskipun Arya agak lebih muda dari anak yang aneh itu, namun ia
yakin bahwa Arya Salaka pun akan mampu menggemparkan
orang-orang Pamingit kelak.
“Marilah Paman….” Tiba-tiba seorang dari anak muda yang
empat itu mengajak.
Wanamerta terkejut. Seperti orang tersadar dari mimpinya, ia
menjawab tergagap, “Marilah Angger.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 93
Sesaat kemudian berjalanlah iring-iringan kuda itu ke rumah
Prana, tempat Sendang Parapat disembunyikan.
Sendang Papat menggandeng kuda anak muda yang tak mau
dikenalnya, sedang Wanamerta duduk dengan muka tunduk. Tiba-
tiba seperti orang yang teringat sesuatu Wanamerta bertanya,
“Anak-anak muda, siapakah sebenarnya kalian ini?”
Mereka berempat tersenyum bersama-sama. Salah seorang
dari mereka menjawab, “Kami adalah anak-anak Banyubiru saja
Kiai.”
Wanamerta menarik nafas kecewa. Anak-anak itupun agaknya
tidak mau menyatakan diri mereka. Ia menjadi heran, kenapa hal
itu disembunyikan. Apakah mereka takut pembalasan dendam dari
orang-orang Pamingit? Dan bukankah ia bukan orang Pamingit?
Dan bukankah anak muda yang pertama tadi tidak takut kepada
Lembu Sora sekalipun? Alangkah hebatnya. Seorang yang masih
semuda itu, telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan
Ilmu Lembu Sora.
Tetapi Wanamerta tidak bertanya lagi. Ia merasa bahwa hal itu
tak akan berguna. Kenangannya kemudian bergeser kepada
Sendang Parapat. Mudah-mudahan ia mendapat pertolongan.
Perjalanan mereka tidak memerlukan waktu lama. Rumah
Prana tidak begitu jauh dari tanah lapang itu. Begitu mereka
sampai, Sendang Papat tidak menunggu lagi. Segera ia meloncat
menambatkan kudanya serta kuda yang dituntunnya, untuk
kemudian dengan tergesa-gesa mengetuk pintu rumah itu.
Sekali dua kali, ketukannya tidak mendapat jawaban. Baru
setelah Sendang Papat mengulang-ulang, terdengarlah seseorang
bertanya, “Siapa…?”
“Aku Sendang Papat,” jawabnya.
Perlahan-lahan pintu rumah itupun terbuka. Seorang yang
telah setengah umur, berdiri di balik pintu itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 93
“Paman Prana,” sapa Sendang Papat.
“O, kau Sendang, masuklah,” jawab Prana.
“Aku bersama dengan Kiai Wanamerta,” Sendang Papat
menjelaskan.
“Marilah Kiai,” ajak Prana, “Marilah masuk.”
Wanamerta mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Prana.”
Lalu kepada keempat pemuda yang mengantarnya ia berkata,
“Kami persilakan angger singgah di rumah sahabat ini.”
“Terimakasih Kiai, kami akan segera pulang,” jawab mereka.
Dan setelah mereka meninggalkan dua kuda mereka, segera
merekapun minta diri. Keempat anak muda itu dengan
mempergunakan dua ekor kuda segera meninggalkan halaman itu.
“Anak-anak yang aneh,” gumam Wanamerta. Sendang Papat
sudah tidak sabar lagi. Segera ia bertanya tentang adiknya.
Setelah pintu rumah itu ditutup kembali, segera mereka dibawa ke
ruang belakang, dimana Sendang Parapat dibaringkan.
Ketika Wanamerta dan Sendang Papat memasuki ruangan itu,
mereka melihat tubuh Sendang Parapat diam terbaring. Di
sebelahnya duduk tiga orang kawannya. Ketika Sendang Papat
meraba tubuh adiknya itu, Sendang Parapat membuka matanya.
Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Maafkan aku Kakang, aku
tidak dapat memenuhi harapanmu. Menjadi prajurit yang baik.”
Sendang Papat merapatkan diri duduk di samping adiknya.
Bisiknya, “Kau telah berusaha Parapat. Kejadian ini samasekali
bukan salahmu. Orang-orang Sontani telah mulai dengan curang,
menyerang kau dari belakang.”
“Tidak sepantasnya aku mengemban tugas ini Kakang.”
Sendang Parapat meneruskan seolah-olah ia tidak mendengar
kata-kata kakaknya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 93
“Jangan berpikir terlalu jauh, Parapat....” sahut Wanamerta.
“Kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Bukankah tak
seorangpun mampu berbuat sesuatu, apabila ia mendapat
serangan seperti serangan atas dirimu? Sekarang, tenangkan
hatimu. Mudah-mudahan lukamu lekas sembuh.”
“Ya,” jawab Sendang Parapat, “Aku ingin lukaku lekas sembuh.
Sekarang, aku tunggu. Besok aku akan kembali dengan keris
ditangan.”
Wanamerta, Sendang Papat dan mereka yang mendengar
kata-kata itu menjadi terharu. “Bagus....” bisik Wanamerta. “Kau
akan segera kembali ke Banyubiru.”
Sendang Parapat diam. Tetapi wajahnya sudah tidak terlalu
pucat. Nafasnya telah mulai teratur. Darah sudah tidak mengalir
lagi dari lukanya. Agaknya Ki Prana berhasil mendapatkan jenis
daun-daunan yang baik.
Dalam keadaan yang demikian itulah Wanamerta dan Sendang
Papat teringat kepada pesan anak muda yang aneh itu,
“Tinggalkan tempat ini sebelum matahari terbit.”
“Sendang....” berbisik Wanamerta, “bagaimana dengan pesan
anak muda itu?”
“Baiklah kita usahakan Kiai. Kita tinggalkan kota ini sebelum
matahari terbit,” jawab Sendang Papat.
Mereka berdua bersama-sama memandang Sendang Parapat.
Dapatkah anak itu diajak berjalan atau berkuda?
Agaknya Sendang Parapat merasa, bahwa dirinya menjadi
persoalan. Karena itu perlahan-lahan ia berkata, “Aku dapat
berbuat apa saja yang kalian kehendaki. Berjalan pulang atau
bertempur sekarang juga.”
Wanamerta menarik nafas. Anak muda ini memang berhati
baja seperti juga kakaknya yang hampir saja bunuh diri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 93
“Parapat...” jawab Wanamerta, “Baiklah kami berkuda pulang
ke perkemahan. Di sana dapat kita kaji untung rugi dari setiap
langkah kita dengan tenang.”
“Apalagi berkuda,” jawab Parapat.
Kemudian merekapun segera bersiap. Prana tidak dapat
menahan mereka, sebab ia tahu bahwa mereka sedang melakukan
tugas mereka. Setelah luka Sendang Parapat dibalut, maka segera
ia dipapah dan diangkat ke atas punggung kuda untuk dinaiki
bersama dengan kakaknya.
“Kuda yang bagus,” desis Prana, “Dari mana Kiai mendapatkan
kuda ini?”
“Dari seorang anak muda yang tak mau kami kenal,” jawab
Wanamerta.
“Yang berempat tadi?” tanya Prana.
“Seorang lagi,” jawab Wanamerta pula. “Kawan dari yang
empat ini.”
“O....” sahut Prana, “Kalau yang empat itu, aku kenal mereka.”
“He…?” Sendang Papat memotong, “Siapakah mereka?”
“Belum lama mereka muncul. Sebelumnya mereka selalu
tekun ke padepokan Lemah Telasih,” jawab Prana.
“Putra Ki Lemah Telasih?” tanya Wanamerta.
“Ya. Putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih,” jawab Ki Prana.
“Ya ampun,” sahut Wanamerta, “Jadi mereka anak-anak dan
kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Buyut Banyubiru
itu?”
“Ya.”
“Yang seorang lagi?” Sendang Papat menyela.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 93
“Siapa?” sahut Prana, “Mereka hanya selalu berempat. Tak ada
orang lain di padepokan itu.”
“Ada. Seorang yang gagah tampan dan berwibawa anggun.
Sungguh anak yang luar biasa,” sambung Sendang Papat.
Ki Prana menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.
Wanamerta dan Sendang Papat jadi kecewa. Tetapi ia tidak
dapat memaksa untuk mendapat jawaban. Karena itu segera
mereka minta diri untuk segera kembali ke perkemahan.
Sesaat kemudian mereka segera berangkat beriringan.
Sekarang ketiga orang kawan Sendang-lah yang berkuda di muka.
Kemudian Sendang kakak-beradik.
Malam masih gelap bukan main. Di langit bintang-bintang
berkedip-kedip gemerlapan. Angin pegunungan yang segar
perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang menempuh
perjalanan. Alangkah dinginnya. Tetapi udara yang segar itu telah
menyegarkan tubuh Sendang Parapat.
Di sana-sini terdengar ayam jantan berkokok untuk yang
terakhir kalinya.
“Hampir pagi,” desis Wanamerta.
“Fajar telah membayang di timur,” sahut Sendang Papat.
Kemudian mereka diam. Masing-masing terbenam ke alam yang
lampau. Semasa Banyubiru mengalami masa yang aman damai.
Semasa mereka menikmati hidup yang tenteram. Sebelum orang-
orang dari golongan hitam mulai mengganggu daerui8ah ini,
disusul oleh nafsu berkuasa dari adik Ki Ageng Gajah Sora sendiri.
Dua bencana yang sama-sama menjadikan Banyubiru porak
poranda.
Dikenangnya masa-masa yang lampau. Sekali dua kali, dalam
perayaan-perayaan bersih desa, ia selalu muncul dalam malam-
malam yang mengesankan. Sebagai seorang penari yang baik
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 93
bersama dengan adiknya, ia selalu mendapat perhatian dari
kawan-kawannya. Apabila ia menari topeng dalam lakon Panji,
yang kadang-kadang pertunjukan itu sampai menjelang pagi. Ia
kemudian menjadi bangga kalau pertunjukan selesai, tanpa
melepaskan pakaian penernya, ia berjalan menyusur jalan-jalan
kota, pulang ke rumahnya. Ia menjadi semakin bangga kalau
gadis-gadis yang berdiri di tepi jalan saling berbisik, “Itulah
Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”
Fajar kali inipun ia menyusuri jalan kota. Tetapi untuk
menjauhinya. Tak seorangpun kali ini yang berbisik-bisik, “Itulah
Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”
Namun meskipun demikian, kali ini pun ia bangga. Hatinya
sendirilah yang berbisik-bisik, “Inilah Sendang Papat, salah
seorang anak muda di Banyubiru yang berjuang menegakkan
keadilan dan kebenaran.”
Tetapi yang terdengar di fajar yang dingin itu hanyalah angin
yang berdesir. Warna semburat merah mulai tersirat dari balik
punggung-punggung pegunungan. Dan rombongan itupun menjadi
semakin jauh dari pusat kota menuju ke perkemahan yang sudah
dekat berada di hadapan mereka. Sebab sebelum mereka
berangkat, mereka sudah mengetahui bahwa laskar Banyubiru
itupun akan merangkak maju mendekati kota.
Ketika mereka telah melampui batas, legalah hati mereka.
Sebab kemungkinan untuk menemui bahaya menjadi semakin
berkurang. Mereka pasti, bahwa laskar Lembu Sora tak akan
mengejar mereka. Sebab merekapun pasti ragu pula, apakah
orang-orang Banyubiru itu tidak membawa banyak kawan.
Ketika matahari kemudian menjenguk dari atas perbukitan dan
melemparkan sinarnya yang pertama, Wanamerta dan kawan-
kawannya telah jauh dari setiap bahaya yang mengancam. Mereka
dapat berjalan dengan tenang menuju ke perkemahan, di sana
menunggu Mahesa Jenar dan Arya Salaka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 93
II
Tetapi semakin dekat mereka dengan perkemahan, semakin
gelisahlah mereka. Apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa
Jenar tentang mereka, tentang rombongan kecil yang ditugaskan
untuk meyakinkan rakyat Banyubiru tentang kebenaran
perjuangan Arya Salaka…?
Rombongan kecil itu mendapat tugas untuk memperbanyak
kawan, bukan lawan. Sedang yang terjadi adalah sebuah keributan
dan bencana, meskipun itu adalah di luar kehendak mereka.
Namun disamping perasaan gelisah mereka tidak lupa,
mengucap syukur di dalam hati mereka, bahwa mereka telah
terlepas dari bahaya maut yang hampir saja menjebak mereka.
Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang masih
memberi kesempatan kepada mereka untuk menikmati kecerahan
sinar matahari.
Ketika matahari sepenggalah, tampaklah di hadapan mereka,
di dalam sebuah lembah yang berdinding curam, rumah-rumah
kacang daun ilalang. Itulah perkemahan anak-anak Banyubiru.
Mereka memilih tempat itu untuk menghindari penyerbuan yang
tiba-tiba. Sebab di lembah itu, mereka hanya dapat dicapai lewat
mulut yang menghadap ke dua arah. Sehingga dengan demikian,
mereka seolah-olah berada di dalam sebuah benteng yang kuat.
Demikianlah kedatangan Wanamerta mengejutkan anak-anak
Banyubiru. Mereka menyangka bahwa Wanamerta akan tinggal di
dalam kota beberapa hari lamanya. Tiba-tiba baru semalam
mereka meninggalkan induk pasukan, kini mereka telah datang
kembali. Apalagi ketika mereka melihat salah seorang dari
rombongan itu terluka.
“Sendang Parapat terluka,” teriak salah seorang.
“He...?” sahut yang lain terkejut, “Apa katamu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 93
“Sendang Parapat terluka,” teriak orang pertama. Teriakan itu
kemudian berkumandang, dan mengalir dari mulut ke mulut yang
lain. Maka gemparlah perkemahan itu. Seorang kemudian berlari
menemui Mahesa Jenar dan dengan nafas yang memburu berkata
tergesa-gesa, “Wanamerta telah kembali. Sendang Parapat
terluka. Agaknya lukanya cukup berat.”
Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara yang berada di
perkemahan itu terkejut. Dengan gemetar Arya Salaka terloncat
berdiri sambil bertanya, “Apa katamu? Sendang Parapat terluka?”
Orang itu mengangguk.
Arya Salaka benar-benar terpengaruh oleh berita itu. Sehingga
tiba-tiba saja ia telah meloncat menghambur menyongsong
rombongan kecil itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan yang gelisah.
Dari kejauhan Arya melihat rombongan kecil itu dikerumuni
oleh laskarnya. Wanamerta telah turun dari kudanya. Demikian
juga kawan-kawannya yang lain, kecuali Sendang Papat yang
masih menjaga adiknya di atas punggung kuda.
Ketika orang-orang yang mengerumuni Wanamerta itu melihat
kedatangan Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, segera
menyibaklah mereka. Sesaat kemudian disusul kedatangan
Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.
Arya Salaka memandang Sendang Parapat yang pucat di atas
punggung kudanya. Ketika matanya tersangkut pada darah yang
memerah di pakaian anak muda itu, hatinya berdesir cepat.
Tiba-tiba terdengarlah pertanyaannya dengan suara yang
bergetar, “Kau terluka Kakang Parapat?”
Sendang Parapat mengangguk. Namun mulutnya mencoba
untuk tersenyum. Dengan suara perlahan-lahan ia menjawab,
“Tidak seberapa. Hanya luka kecil.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 93
Arya menarik nafas, kemudian terdengarlah giginya berdetak.
Dari matanya memencar kemarahan yang tak terkira. “Siapakah
yang melukaimu?”
Sendang Parapat tidak
menjawab. Ia menoleh kepada
Wanamerta. Agaknya ia minta
supaya orang tua itulah yang
menjelaskannya. Tetapi sebe-
lum Wanamerta berceritera,
berkatalah Mahesa Jenar,
“Paman, bawalah Sendang
Parapat ke kemahku. Biarlah
lukanya mendapatkan pera-
watan. Sementara itu Paman
dapat berceritera dengan
tenang tentang apa yang telah
terjadi atas Paman dan
Sendang berdua.”
Wanamerta mengangguk.
Kemudian dibawanya Sendang
Parapat ke kemah Mahesa Jenar. Kebo Kanigara yang telah cukup
lama tinggal di padepokan Karang Tumaritis, agaknya telah prigel
pula mengobati luka. Demikianlah ia mencoba membuka luka
Sendang Parapat dan membersihkannya dengan air hangat.
“Bagaimana Kakang?” tanya Mahesa Jenar. Sedangkan Arya
Salaka menjadi gelisah mondar-mandir di dalam ruangan itu.
“Mudah-mudahan luka-luka ini segera sembuh,” jawab Kebo
Kanigara, yang kemudian mengobati luka-luka dengan ramuan
dedaunan dan akar-akaran yang memang sudah disediakan.
Ketika Sendang Parapat telah dibaringkan, maka mulailah
Mahesa Jenar bertanya kepada Wanamerta, “Apakah yang telah
terjadi dengan rombongan kecil itu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 93
Dengan hati-hati Wanamerta menceritakan semua yang telah
dialaminya. Sejak ia menginjakkan kakinya di kota, sampai ia
meninggalkan kota itu, tanpa menyembunyikan atau menam-
bahnya samasekali. Diceriterakan pula bagaimana Sendang Papat
seolah-olah menjadi gila ketika ia mengira adiknya telah mati.
Sehingga bagaimana mungkin seorang penari sampai hati
membakar seperangkat gamelan.
Mahesa Jenar mendengarkan setiap kata-kata Wanamerta
dengan seksama. Demikian juga Arya Salaka dan Kebo Kanigara.
Bahkan pada wajah Arya Salaka kemudian tergores luka di
hatinya, sehingga keringat dingin membasahi dahi serta
punggungnya. Ia merasa bahwa Wanamerta telah berusaha
sedapat-dapatnya untuk menghindari bentrokan yang mungkin
terjadi, namun agaknya orang-orang yang menentangnya itu
benar-benar telah kehilangan jantungnya.
Sedangkan Wanamerta kemudian menjadi gelisah kembali.
Bagaimanakah penilaian Mahesa Jenar kepada hasil pekerjaannya.
Ketika Wanamerta telah berhenti berceritera, terdengarlah
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ruangan itu kemudian
menjadi sepi senyap. Semuanya menunggu apakah yang akan
dikatakan oleh Mahesa Jenar.
“Paman....” Terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-
lahan. “Kalau demikian, maka peristiwa itu dapat berakibat buruk.
Hari ini orang-orang Pamingit pasti akan mengadakan tindakan-
tindakan yang dapat melukai hati rakyat Banyubiru sebagai
pembalasan dendam.”
Semua terdiam. Wanamerta sendiri menyadari hal itu. Karena
itu ia berusaha sedapat-dapat menghindarkan diri dari setiap
bentrokan yang terjadi. Tetapi ia tidak berhasil.
Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, “Tetapi
bukanlah salah Paman.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 93
Wanamerta menarik nafas. Syukurlah kalau Mahesa Jenar
mengetahui kesulitan yang dihadapinya pada waktu itu.
Dalam pada itu Mahesa Jenar menyambung kata-katanya pula,
“Tetapi siapakah yang telah berusaha untuk menyelamatkan
Paman dari tangan orang-orang Pamingit itu?”
Wanamerta menggeleng lemah. “Aku tidak dapat
mengetahuinya Ngger.”
“Aneh...” Mahesa Jenar bergumam.
“Tetapi keempat kawan-kawannya dapat dikenal oleh Ki
Prana,” sahut Sendang Papat, “Mereka adalah putra-putra dan
kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Ki Banyubiru.
Tetapi yang seorang itu tak diketahuinya.”
“Bagaimana dengan tanda-tanda yang dimilikinya?” tanya
Mahesa Jenar pula. Kemudian Wanamerta mencoba untuk
menggambarkan tokoh anak muda yang aneh itu.
Tiba-tiba Widuri tertawa. Dan suara tertawanya telah
mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu.
Ketika ia sadar bahwa seluruh perhatian tertumpah kepadanya, ia
menunduk malu.
“Kenapa kau tertawa?” tanya ayahnya.
“Anak muda yang aneh itu,” jawabnya.
“Kenapa dia?” desak ayahnya.
“Bukankah anak muda itu Kakang Karang Tunggal?” sahut
Widuri.
“He…?” Kanigara mengerutkan keningnya. Akhirnya ia berkata,
“Kau benar. Anak itu pasti Karang Tunggal.”
Mahesa Jenar akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya
pula. Iapun agaknya sependapat bahwa anak muda itu tidak lain
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 93
adalah Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Mas
Karebet, atau mendapat sebutan lain Jaka Tingkir.
“Siapakah dia…?” Wanamerta ingin tahu.
“Kemanakanku,” jawab Kebo Kanigara, “Nakalnya memang
bukan main.”
Wanamerta menarik alisnya yang sudah keputih-putihan.
Sejak semula ia telah mengagumi Kebo Kanigara seperti ia
mengagumi Mahesa Jenar. Jadi kalau kemenakannya dapat
melakukan hal yang sedemikian dahsyatnya, agaknya sudah pada
tempatnya. Karena itu ia berkata, “Itulah sebabnya, maka anak
muda itu telah mengenal Arya Salaka, Mahesa Jenar, Ki Ageng
Supit, Wiraraga dan Mantingan.”
“Anak muda itu telah mengenal Ki Ageng Supit, Kakang
Wiraraga dan aku?” tanya Ki Dalang Mantingan.
“Ya, Ngger,” jawab Wanamerta. “Disebut-sebutnya nama-
nama itu.”
“Tidak aneh,” potong Kebo Kanigara, “Ia berjalan dari satu
ujung keujung negeri ini yang lain. Ia singgah hampir setiap
perguruan yang ada.”
“Luar biasa….” Terdengar hampir setiap mulut bergumam.
Namun mereka tidak lama terpaku pada anak muda yang aneh
itu. Sebab merekapun pada saat itu menghadapi keadaan yang
cukup gawat. Meskipun di dalam hati Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara terselip pula pertanyaan, kenapa Jaka Tingkir itu tiba-tiba
saja berada di Banyubiru? Bukankah ia berangkat dari Karang
Tumaritis, untuk mohon diri kepada ibu serta ibu angkatnya untuk
mengabdi ke Demak? Apakah ia telah menyia-nyiakan waktu
sekian lamanya untuk berjalan kesana-kemari tanpa ujung
pangkal, sedangkan seorang yang waskita, telah mengatakan
kepadanya, bahwa ia akan sanggup untuk menerima jabatan
Agung?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 93
Tetapi pertanyaan itu tak terucapkan. Sebab tak seorangpun
yang akan dapat menjawab. Yang kemudian terdengar adalah
suara Mahesa Jenar, “Paman, bagaimana menurut tanggapan
Paman. Apakah orang-orang Pamingit itu akan membuat onar?”
Kembali perhatian Wanamerta terlempar kepada peristiwa
malam tadi. Setelah berpikir sejenak iapun menjawab, “Mungkin
Anakmas. Hal itu adalah mungkin sekali.”
“Kalau begitu kita harus mencegahnya.” Mahesa Jenar
bergumam seperti untuk diri sendiri. Namun tanggapan Arya
Salaka ternyata hebat sekali. Tiba-tiba ia berdiri tegak, dan dengan
dada tengadah ia berkata, “Marilah Paman. Betapa rinduku pada
tanah kelahiran. Dan betapa rinduku kepada pangabdian.”
Akibat dari kata-kata Arya Salaka itu ternyata bukan main.
Tiba-tiba ruangan itupun menjadi riuh. Wanamerta, Sendang
Papat, Bantaran, Panjawi, dan para pemimpin laskar Banyubiru
yang lain tiba-tiba serentak berkata, “Kita serahkan jiwa raga kita
untuk kampung halaman, untuk masa depan tanah kelahiran.”
Mahesa Jenar terharu melihat kesetiaan itu. Pernyataan
beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu merupakan cermin
dari setiap hati yang lain. Mereka agaknya telah bersedia sepenuh-
penuhnya, apapun yang terjadi atas mereka. Bahkan Sendang
Parapat yang terbaring itupun berkata perlahan-lahan namun
penuh dengan gelora kesetiaannya, “Kiai Wanamerta, bawalah aku
serta. Aku sudah akan sembuh sore nanti.”
“Baiklah,” jawab Mahesa Jenar kepada para pemimpin itu.
“Memang masa depan Banyubiru terletak di tangan kalian. Karena
keyakinan itu pulalah maka kalian bersedia berkorban. Laralapa.
Menderita selama ini dan untuk masa-masa yang belum kalian
ketahui ujungnya. Meskipun seandainya kalian tidak akan
mengecap kenikmatan hasil perjuangan kalian, namun anak cucu
kalian akan menulis di atas lontar, bahwa pada suatu masa, rakyat
Banyubiru bangkit berjuang untuk menegakkan keadilan dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 93
kebenaran. Berjuang untuk anak cucu mereka tanpa pamrih bagi
diri sendiri, dengan membiarkan dirinya menderita sakit dan lapar.
Namun dengan cita-cita luhur dan murni.”
Dada para pemimpin itupun menjadi semakin bergelora.
Seakan-akan mereka tidak sabar lagi menunggu. Ke Banyubiru
sekarang juga.
Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,
“Karena itu, bersiaplah kalian. Aku akan pergi ke Banyubiru
sekarang juga dengan Arya Salaka.”
Ketika Mahesa Jenar berhenti berbicara, tampaklah para
pemimpin Banyubiru itu saling berpandangan. Mereka tidak begitu
mengerti maksud kata-kata Mahesa Jenar. Maka terdengarlah
Penjawi bertanya, “Apakah Tuan dan Adi Arya Salaka saja yang
akan pergi ke Banyubiru?”
Mahesa Jenar menarik alisnya. Hati-hati ia menjawab, “Tidak.
Kalian semua juga akan pergi. Tetapi baiklah aku mendahului.”
Penjawi segera mengetahui maksud Mahesa Jenar. Mahesa
Jenar agaknya masih akan mempergunakan cara damainya, yang
menurut dugaannya samasekali tak akan berhasil. Karena itu
terdengarlah ia menyahut, “Tuan dan Adi Salaka, di belakang Tuan
berdua adalah kami sekalian. Seluruh laskar Banyubiru ini.”
Mahesa Jenar sekali lagi menarik alisnya. Dengan ragu-ragu ia
memandang Kebo Kanigara, seolah-olah minta pertimbangan.
Kebo Kanigara pun mengetahui betapa sulitnya mengendalikan
perasaan sekian banyak orang yang sedang marah. Tetapi
samasekali kurang bijaksana kalau ia turut campur dalam
pembicaraan itu. Sebab laskar Banyubiru itu lebih banyak
mengenal Mahesa Jenar daripada dirinya. Dengan demikian
Penjawi hanya dapat menganguk-anggukkan kepalanya dan
mencoba mengetahui perasaan Arya Salaka. Kalau saja Arya
Salaka dapat ditenangkan, maka ada harapan untuk menenangkan
seluruh laskar Banyubiru itu. Tetapi ketika terpandang wajah anak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 93
muda itu, baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara hanya dapat
menekan dada mereka. Sebab dari mata anak itu memancarkan
api kemarahannya yang menyala-nyala sehingga dalam mata itu
seolah-olah membayangkan cahaya api yang bergelora.
Apalagi ketika kemudian terdengar anak muda itu berkata,
“Paman, matahari masih belum tinggi di puncak langit. Kalau
Paman memerintahkan, sekarang juga kita akan berangkat.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Namun di dalam hatinya
berkecamuk kecemasan yang gemuruh. Kalau ia menuruti
perasaan marah yang meluap-luap dari pemimpin laskar
Banyubiru itu, maka akibatnya adalah di luar kemauannya. Yang
terjadi kemudian adalah pertempuran yang mengerikan antara
sesama keluarga. Antara orang-orang Banyubiru melawan orang-
orang Pamingit yang pasti akan dibantu oleh sebagian kecil orang-
orang Banyubiru juga. Banyubiru dan Pamingit adalah ibarat daun
sirih. Wajah dan punggungnya. Meskipun berbeda ujudnya, namun
apabila digigit, akan sama rasanya. Sebab keduanya adalah
belahan dari tanah perdikan yang tunggal, tanah perdikan
Pangrantunan.
Karena itulah maka Mahesa Jenar mencoba untuk
mencegahnya. Dengan sangat hati-hati pula ia berkata, “Tentu.
Aku tentu akan segera minta kalian untuk berangkat. Tetapi kau
adalah kunci persoalan itu, Arya. Mestikah kita memilih jalan yang
pahit lebih dahulu sebelum kita coba jalan yang licin?”
“Masih adakah jalan yang licin itu, Paman?” bertanya Arya
Salaka.
“Kemungkinan masih selalu ada, Arya. Apalagi kakekmu Ki
Ageng Sora Dipayana telah meminta agar kau datang kepadanya,”
jawab Mahesa Jenar.
Arya Salaka diam sesaat. Tetapi ketika ia melihat Sendang
Parapat terbaring, menyala kembalilah hatinya. Karena itu ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 93
menjawab, “Kalau Eyang Sora Dipayana mampu mencegahnya,
maka peristiwa ini tak akan berlarut-larut.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Agaknya Arya
telah hampir tidak sabar lagi. Meskipun ia dapat mengetahui
perasaan apakah yang telah mendorong anak muda itu, namun
apa yang diucapkan itu adalah pertanda betapa sakit luka hati yang
dideritanya. Didorong pula oleh sifat kepemimpinan yang
dimilikinya, maka ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan
rakyat Banyubiru.
Tetapi karena itu pulalah maka Mahesa Jenar merasa bahwa
usahanya bertambah sulit. Namun demikian ia menjawab, “Arya,
persoalan yang dihadapi oleh eyangmu adalah terlalu sulit. Bukan
sekadar mencegah tindakan-tindakan pamanmu saja. Tetapi ada
persoalan-persoalan lain yang memaksanya untuk berbuat
bijaksana.”
Arya Salaka kurang dapat memahami cara berpikir gurunya.
Namun sebagai seorang murid yang selama ini merasakan betapa
gurunya itu mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan
tanggungjawab, maka Arya Salaka tidak berani lagi untuk
membantahnya. Di sudut hatinya, Arya Salaka pun menaruh
kepercayan yang kuat terhadap gurunya itu. Kepercayaan yang
sedikit terdesak oleh kemarahan yang meluap-luap. Ia tahu pasti,
bahwa seperti bisanya gurunya akan membawanya lewat jalan
yang paling bersih dari kemungkinan noda-noda yang dapat
memercik pada dirinya. Tetapi disamping itu, ketidaksabarannya
telah memukul-mukul dadanya, seolah-olah akan pecah.
Mahesa Jenar pun tahu, bahwa kalau kemudian Arya Salaka
itu diam, bukanlah karena ia dapat meyakini kata-katanya.
Kediaman anak itu baginya, seperti api yang tertutup sekam.
Namun api itu tetap menyala di dalam. Karena itulah Mahesa Jenar
harus dapat mengambil sikap yang sebijaksana mungkin. Ia harus
tidak mematahkan anak-anak Banyubiru, namun ia pun tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 93
dapat membiarkan anak-anak Banyubiru itu menjadi korban
ketergesa-gesaan mereka.
Setelah berpikir sesaat terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
“Arya Salaka, siapkanlah laskarmu. Kita berangkat bersama-
sama.”
Sambutan atas ucapan itu, terdengar seperti gunung meledak.
Laskar Banyubiru itupun bersorak dengan riuhnya. Tiba-tiba di
dalam ruangan itu menari-narilah ujung-ujung senjata, seperti
anak-anak yang riang berloncat-loncatan. Berkilat-kilat ujung-
ujung pedang, tombak, keris dan sebagainya. Diiringi oleh janji
setia yang diucapkan tak teratur berebut keras.
Para pemimpin laskar Banyubiru itupun kemudian berpencaran
ke pasukan masing-masing. Sesaat kemudian riuhlah perkemahan
itu. Semua hari bersama-sama menyanyi, “Kembali ke kampung
halaman, kembali ke tanah kelahiran. Enyahkan kelalilman dan
tegakkan keadilan.”
Arya Salaka pun menjadi bergembira pula. Semakin cepat ia
sampai ke kota itu akan semakin baiklah baginya. Banyu Biru bagin
Arya Salaka mempunyai daya tarik yang tak ternilai besarnya,
disamping perasaan keadilannya yang terinjak-injak.
Karena itu, tanpa dikehendakinya, iapun melompat ke luar dari
ruangan itu. Dengan wajah berseri ia melihat laskarnya
mempersiapkan diri. Ia berjalan dari satu kemah ke kemah yang
lain. Ia melihat kelompok demi kelompok, seolah-olah ia ingin
mengetahui segenap kekuatan yang ada dalam laskarnya.
Namun dalam pada itu, di dalam kemahnya, Mahesa Jenar
duduk termenung. Ia tidak dapat pergi meninggalkan laskar
Banyubiru dalam keadaan yang demikian. Sebab di luar
pengawasannya, dapat saja mereka melakukan hal-hal yang justru
merugikan nama baik mereka dan bertentangan dengan tujuan
mereka. Tetapi untuk membawa mereka serta agaknya juga akan
menjadi persoalan. Bagaimana sebaik-baiknya menghentikan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 93
mereka, dan memberi kesempatan kepadanya untuk menemui Ki
Ageng Sora Dipayana bersama-sama dengan Arya Salaka. Ia
masih mengharap kewibawaan orang tua itu atas putra serta
cucunya.
Kebo Kanigara pun agaknya menemui kesulitan dalam
persoalan ini. Perlahan-lahan ia berkata, “Mahesa Jenar, tipislah
harapan kita, untuk menempuh jalan lain, kecuali bertempur.
Sebab laskar Banyubiru sudah sedemikian lama menahan diri. Dan
Arya Salaka sendiri tampaknya tidak sabar lagi.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Ia masih mempunyai
harapan untuk menghentikan pasukan itu di tengah jalan, dan
membiarkan mereka menunggu sesaat. Tetapi bagaimanakah
caranya, sehingga tidak menimbulkan kejengkelan pada laskar
yang setia itu?
“Kalau Arya dapat kau tenangkan, Mahesa Jenar, mungkin
seluruh laskar ini pun akan tunduk pada perintahnya. Sebab api
didalam dada mereka itupun semakin berkobar ketika Arya Salaka
berada di antara mereka,” lanjut Kebo Kanigara.
“Tak ada jalan untuk berbuat demikian Kakang. Arya telah
waringuten. Agaknya ia tak dapat diajak berunding lagi. Meskipun
seandainya ia diam, namun kediamannya itu justru berbahaya bagi
dirinya,” jawab Mahesa Jenar.
“Ya”, jawab Kanigara pendek, “kau benar”
Kembali ruang itu ditekan oleh kesenyapan. Masing-masing
mencoba mencari jalan untuk memecahkan persoalan laskar
Banyu Biru yang meluap-luap itu.
Tiba-tiba dalam kesenyapan itu terdengar Rara Wilis berkata
kepada Endang Widuri, “Endang, bagaimana perasaanmu saat ini?
Apakah kau bergembira pula seperti Arya Salaka?”
Widuri tidak tahu arah persoalannya. Meskipun ia mendengar
pembicaraan ayahnya dan Mahesa Jenar, namun sebenarnya ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 93
lebih setuju dengan pendapat Arya Salaka. Kenapa Banyubiru itu
tidak digempur saja. Mati atau ukti. Dengan demikian
persoalannya akan lekas selesai. Karena itu iapun menjawab, “Aku
bergembira seperti Kakang Arya Salaka. Aku kagum pada sikap
jantan yang dimilikinya.”
Rara Wilis mengangguk-angguk. “Kau pun bersikap jantan,”
katanya.
“Kenapa aku…?” sahutnya. “Aku hanya sekadar bergembira
melihat sikapnya.”
Rara Wilis tersenyum. Seperti bergumam ia berkata kepada
diri sendiri, “Aku teringat pada cerita Purwa, pada saat menjelang
Baratayuda. Orang-orang Pandawa pun menjadi ragu-ragu.
Apakah mereka harus berjuang melawan sanak kadang mereka
sendiri. Tetapi akhirnya pertempuran itupun tak dapat dihindari.
Tak dapat dihindari, meskipun segala usaha damai telah dicoba.
Prabu Duryudana lebih senang mendengar nasihat Durna daripada
pamannya sendiri. Diantaranya Resi Bima, seorang Resi yang
bijaksana, dan Prabu Salya, mertua Prabu Duryudana sendiri.”
Yang mendengar ceritera itupun berdiam diri. Masing-masing
dengan tanggapannya sendiri. Namun tak seorang pun yang
memotong cerita itu.
“Ketika Bisma gugur....” lanjut Wilis, “Para kadang Pandawa
masih sempat menghadap Resi yang dipundhi-pundhi itu. Mereka
masih sempat minta maaf dan minta pangestu kepadanya.
Demikian juga sebelum Prabu Salya gugur. Nakula dan Sadewa
sempat mengharap orang tua yang sakti itu. Dengan air mata
mereka berdua minta agar mereka dijauhkan dari dosa mereka,
karena mereka harus bertempur melawan saudara-saudara
mereka yang lebih tua.”
Sekali lagi Rara Wilis diam sesaat. Widuri mendengarkan
dengan penuh minat. Tetapi wajahnya telah berubah dari semula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 93
“Ketika kedua junjungan para darah Barata itu gugur,
menyesallah kedua belah pihak. Tetapi lebih menyesal lagi
mereka, seandainya mereka tidak sempat menghadap
sebelumnya. Mohon maaf segala kekhilafan lahir batin. Dan akan
lebih menyesal pulalah mereka, seandainya sebelum Baratayuda
itu mulai, mereka belum bersimpuh di hadapan para junjungan
itu.” Wilis meneruskan.
Widuri menarik nafas. Otaknya memang benar-benar
cemerlang seperti bintang pagi. Sebelum Rara Wilis meneruskan,
Widuri berkata perlahan-lahan, “Bukankah Arya Salaka
mampunyai junjungan pula di Banyubiru? Bukankah eyang Arya
Salaka itu berada di sana, dan mungkin akan gugur pula dalam
bentrokan ini?”
Rara Wilis mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
perlahan-lahan pula ia menjawab, “Tak seorangpun yang mampu
menyampaikan kekhilafan ini kepada Arya Salaka. Bukankah kau
mau menolongnya, supaya ia tidak akan menyesal sepanjang
hidupnya kelak?”
Widuri memandang ayahnya, Mahesa Jenar, Wilis dan orang-
orang lain di dalam ruangan itu dengan senyum yang kecil. Tiba-
tiba ia merasa berbahagia menerima tugas itu. “Tidak adakah
orang lain yang dapat berbuat demikian…?” bisik hatinya.
“Akan aku coba,” katanya, “Supaya Kakang Arya Salaka tidak
berbuat kesalahan. Bukankah maksud bibi sebaiknya Arya Salaka
sowan eyang Ki Ageng Sora Dipayana? Bukankah dengan demikian
Paman Mahesa Jenar dapat melaksanakan rencananya? Namun
apabila rencana itu gagal, Arya Salaka tidak akan menyesal
seandainya eyangnya itu gugur seperti Resi Bisma. Sebab ia telah
bersujud di bawah kakinya.”
Semua yang mendengar percakapan itu menarik nafas dalam-
dalam. Mahesa Jenar mengucap syukur dalam hati atas kelincahan
perasaan Rara Wilis. Sebagai seorang gadis, ia mempunyai
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 93
tanggapan yang lebih halus terhadap pergaulan Arya Salaka dan
Endang Widuri. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati gadis itu
seperti belum pernah melihat sebelumnya. Dalam keadaan yang
sedemikian, Mahesa Jenar sempat juga sekali lagi mengagumi
gadis itu. Namun di dalam hatinya, Rara Wilis bukanlah gadis
belasan tahun lagi. Bahkan ia sudah melampaui dunia remaja,
yang tak pernah dinikmatinya seperti gadis-gadis yang lain.
Hidupnya penuh dengan persoalan-persoalan yang rumit, yang
menuntut ketabahan hati dan malahan akhirnya menjadikan gadis
itu tidak saja berhati tabah, tetapi juga bertubuh kuat dan berilmu
cukup tinggi. Meskipun demikian ia tidak dapat menerima uluran
tangan saudara tua seperguruannya, untuk menikmati kelimpahan
raja brana, sebagai seorang isteri Demang yang kaya raya. Ia lebih
senang menunggunya, seorang kleyang kabur kanginan. Bahkan
ikut serta dengan dirinya, menempuh penghidupan yang penuh
dengan bahaya dalam pengabdiannya kepada Tuhan, manusia
serta kemanusiaan. Memancarkan cinta kasih abadi dari
sumbernya yang tertinggi.
Disamping itu, iapun mengagumi ketangkasan berpikir Endang
Widuri. Gadis itu agaknya mempunyai keistimewaan yang tak
dapat diduga-duga. Dalam pada itu, Mahesa Jenar pun tidak heran,
bahwa Endang Widuri adalah tetesan darah Pengging. Anak Kebo
Kanigara.
Widuri kemudian tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera
berlari ke luar. Ia sudah bertekad untuk melakukan tugasnya
sebaik-baiknya. Dengan berlari-lari kecil ia mencari Arya Salaka di
antara keributan para anggota laskar Banyubiru itu.
Widuri menemukan Arya Salaka di ujung perkemahan itu. Anak
muda itu sedang berdiri tegak di atas sebuah batu yang besar.
Seperti sebuah tonggak ia tak bergerak, memandang ke arah
pegunungan yang terbujur di hadapannya. Telamaya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 93
Ketika Arya Salaka mendengar langkah-langkah kecil berjalan
ke arahnya, iapun menoleh. Sambil tersenyum ia menyapa halus,
“Siapakah yang kau cari Widuri?”
“Tidak ada,” jawab gadis itu singkat. Namun kemudian gadis
itupun dengan lincahnya meloncat ke atas batu itu. Ia ingin
menyampaikan pesan bibi Wilis itu perlahan-lahan, supaya Arya
Salaka dapat menangkap urutan maksudnya. Tetapi sebelum ia
mulai berceritera terdengarlah Arya Salaka berkata, “Sebentar lagi
aku akan pergi ke bukit itu.”
“Ya,” jawab Widuri singkat.
“Tak seorangpun akan dapat menghalangi. Malang-malang
putung, rawe-rawe rantas.” Arya melanjutkan.
“Ya,” jawab Widuri.
“Di sana akan kita jumpai
reruntuhan dari gedung yang
dibangun sejak Eyang Sora
Dipayana, sampai ayah Gajah
Sora. Tugas kita adalah
membangun reruntuhan itu,
menjadikan gedung yang
megah dan kuat. Kalau
mungkin melampaui masa-
masa yang lewat.”
“Ya.”
“Banyubiru harus dapat
memancarkan kecemerlangan-
nya kembali. Api yang menyala
di jantungnya, yang telah
hampir padam karena pokal
Paman Lembu Sora, harus aku nyalakan kembali sebesar-
besarnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 93
“Ya.” Widuri mulai gelisah. Agaknya ia tidak akan dapat
kesempatan untuk menyampaikan ceriteranya. Apalagi ketika ia
sudah nekad untuk memotong angan-angan Arya Salaka itu, tiba-
tiba terdengarlah sangkalala berbunyi.
Wajah Arya bertambah gembira. “Kau dengar itu…?”
“Ya,” sahut Widuri, yang benar-benar menjadi gelisah dan
cemas.
“Marilah kita bersiap,” ajak Arya. Arya tidak menunggu
jawaban Endang Widuri. Dengan serta merta ditangkapnya gadis
itu dan ditariknya menghambur ke arah bunyi sangkalala yang
menjadi semakin nyaring. Suaranya menyusup lembah-lembah,
menghantam bukit-bukit, meraung-raung seperti suara Naga Raja
yang marah menuntut balas.
Ketika mereka sampai di perkemahan, mereka melihat laskar
Banyubiru itu telah hampir siap. Mantingan, Wirasaba, Bantaran
dan Penjawi telah mengenakan pakaian tempur, sambil menjinjing
perisai yang belum diterapkan. Melihat pelengkapan itu, dada Arya
Salaka berdesir. Ia jarang melihat orang bertempur dengan
perisai. Sekarang ia melihat perlengkapan yang luar biasa. Perisai,
tombak larakan yang panjangnya lebih dari dua depa. Panah dan
bandil. Tanpa diketahuinya, merayaplah suatu perasaan yang aneh
di dalam dadanya. Ia sudah pernah berkelahi di antara hidup dan
mati. Ia pernah membunuh dua bersaudara, Uling Putih dan Uling
Kuning. Tetapi ketika ia melihat persiapan terakhir dari prajurit
yang berangkat berperang ia menjadi berdebar-debar. Ketika
laskarnya ini meninggalkan Candi Gedong Sanga, Arya Salaka
tidak melihat perlengkapan yang demikian mengerikan. Saat itu ia
melihat laskar Banyubiru itu memanggul senjata mereka,
disamping perlengkapan-perlengkapan perkemahan, dan bahan
makanan. Tetapi sekarang ia hanya melihat ujung-ujung senjata.
Ia tidak melihat peralatan dan perlengkapan lain kecuali alat-alat
penyebar maut itu. Pada saat yang demikian itu teringatlah Salaka
kepada ayahnya. Pada saat ayahnya siap untuk bertempur
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 93
melawan Prajurit Demak. Pada saat itu ia melihat perlengkapan
seperti itu. Dari tempat yang agak tinggi ia melihat barisan
Banyubiru seperti padang ilalang yang berdaun baja. Runcing dan
tajam. Sekarang pemandangan yang mengerikan itu dilihatnya
pula.
Satu-satu ia memandang wajah yang riang di dalam barisan
itu. Seolah-olah mereka tidak mengerti bahwa dalam perjalanan
mereka, maut dapat saja menghampirinya.
Mahesa Jenar kemudian keluar dari kemahnya. Di belakangnya
berjalan Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Mereka tetap saja seperti
biasa. Mereka samasekali tidak mengenakan pakaian tempur.
Tidak membawa perisai dan bahkan Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara samasekali tidak bersenjata. Sedang di pinggang Rara
Wilis tergantung pedang tipisnya.
Ketika Mahesa Jenar melihat Arya Salaka dan Endang Widuri
masih berdiri diam, iapun berkata, “Arya bersiaplah. Bawalah
tombakmu Kyai Bancak.”
Arya tersadar dari lamunannya. Segera ia meloncat berlari ke
kemahnya untuk mengambil tombak Kyai Bancak. Tombak itu
baginya bukan saja senjata yang telah dikenalnya baik-baik.
Senjata yang seolah-olah telah merupakan satu jiwa dengan
dirinya, namun senjata itu juga merupakan tanda kebesaran
kepala daerah perdikan Banyubiru.
Ketika Arya Salaka meninggalkan Endang Widuri sendirian,
Widuri pun segera berjalan ke tempat Rara Wilis berdiri. Perlahan-
lahan terdengarlah Rara Wilis berbisik, “Bagaimana? Sudahkah
berceritera kepada Arya Salaka?”
Sambil bersungut-sungut Endang Widuri menjawab, “Belum.
Aku belum sempat berkata sepatahpun. Ketika aku menemuinya,
aku hanya boleh mendengarkan ia berceritera. Tak ada putus-
putusnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 93
Meskipun Rara Wilis agak kecewa seperti Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara, namun mereka tersenyum.
“Belum terlambat benar,” kata Rara Wilis. “Di perjalanan kau
masih mempunyai kesempatan.”
“Aku akan coba,” sahut gadis itu.
“Kau akan ikut serta dalam barisan ini?” tanya Kebo Kanigara,
meskipun ia tahu bahwa gadisnya itu tak mungkin mau
ditinggalkan. Kembali Widuri bersungguh-sungguh, jawabnya,
“Apakah aku harus tinggal di sini?”
“Ya,” sahut ayahnya.
“Tidak mau,” jawab Widuri.
Yang mendengar jawaban itu, terpaksa tersenyum pula.
“Perjalanan ini adalah bukan perjalanan tamasya,” ayah Widuri
menerangkan.
“Aku tahu. Tetapi bukankah aku mempunyai tugas yang
penting dalam perjalanan ini?” bantah Widuri. “Menurut bibi Wilis
tak ada orang yang dapat melakukannya kecuali aku.”
Kebo Kanigara tidak mau menggodanya lagi. Sebab kalau
gadisnya itu jengkel, ia akan berteriak sesukanya. Meskipun
demikian ia perlu memperingatkan putrinya itu, katanya, “Kalau
kau akan ikut serta, berhiaslah dahulu.”
Widuri pun sadar, bahwa ia belum siap untuk mengikuti
perjalanan yang berbahaya. Karena itu ia segera berlari ke
kemahnya, untuk melepas kain panjangnya, mengenakan celana
latihannya. Kain pendek di luar, dan yang tak dilupakannya adalah
rantai peraknya. Di kalungkan rantai itu melingkari lehernya,
sedang ujungnya berjuntai dan dikaitkan pada ikat pinggangnya.
Ketika ia telah siap, segera iapun meloncat dengan lincahnya,
dan menempatkan dirinya di belakang ayahnya. Arya Salaka pun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 93
telah berdiri di sana, di samping Mahesa Jenar, dengan tombak
Kyai Bancak di tangannya.
Di hadapan mereka, berbarislah dalam kelompok-kelompok,
laskar Banyubiru. Hampir seluruhnya ikut serta, selain yang
bertugas menyiapkan makan, dan yang harus menyampaikan
setiap hari ke garis terdepan. Sebab mereka tidak tahu, berapa
lama mereka dapat menyelesaikan pekerjaan mereka.
Ketika mereka, laskar Banyubiru itu, telah bersiap,
terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka, “Perjalanan
kali ini adalah perjalanan yang menentukan. Kalau kita terpaksa
bertempur, maka setiap orang di antara kalian, mempunyai
kemungkinan untuk gugur. Karena itu, siapa yang belum bersiap
untuk berkorban dengan milik kalian yang paling berharga, yaitu
jiwa kalian, aku persilakan meninggalkan barisan.”
Terdengarlah suara bergumam di dalam barisan. Namun tak
seorangpun yang meninggalkan barisan. Dengan semangat yang
menyala-nyala mereka tetap tegak di tempat mereka berdiri.
“Terima kasih.” Mahesa jenar meneruskan, “Ternyata kalian
telah merelakan jiwa raga kalian dalam pengabdian yang luhur ini.
Namun, meskipun demikian, dengarkanlah keterangan ini. Bahwa
tujuan kalian yang terutama bukanlah bertempur.”
Kembali terdengar suara bergumam di dalam barisan itu.
Bahkan Arya Salaka pun sampai menoleh kepadanya. Mahesa
Jenar melihat tanggapan itu, segera meneruskan, “Tujuan kalian
yang terutama adalah menempatkan kebenaran dan keadilan di
atas pemerintahan Banyubiru. Bukankah demikian? Bertempur
adalah cara yang terakhir. Tetapi bukanlah tujuan. Jangan
dilupakan ini. Sehingga seandainya pemerintahan Banyubiru dapat
dikembalikan pada keadaan yang seharusnya tanpa bertempur,
tanpa setetes darahpun yang harus mengalir dari tubuh kalian,
janganlah kalian mencari perkara.” Mahesa Jenar diam sejenak. Ia
melihat kebimbangan di sebagian wajah-wajah di hadapannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 93
Kemudian ia menyambungnya, “Tetapi, perhitungan kita adalah
perhitungan yang paling mahal. Menembus benteng pertahanan
orang-orang Pamingit dengan ujung senjata. Sudahkah kalian
siap?”
Terdengarlah jawaban serentak mengguruh. Bahkan ada di
antara mereka yang mencabut senjata, mengangkatnya tinggi-
tinggi seperti akan menusuk langit, sambil berteriak-teriak. “Kami
telah bersedia. Hidup mati kami, kami serahkan untuk tanah
tercinta.”
Mahesa Jenar membiarkan mereka berteriak sepuas-puas
mereka. Kemudian ia mengangkat tangannya. Suara yang
mengguruh itu pun semakin menurun dan akhirnya diam.
Terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Tanahmu adalah tanah
pusaka. Tanah yang dikurniakan Tuhan kepadamu. Karena itu
cintailah tanah itu. Sedangkan hidup matimu adalah di tangan
Tuhanmu. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita.”
Darah orang-orang Banyubiru itu serasa mendidih. Namun
demikian di dalam dada mereka, sekali-kali terngiang pula kata-
kata Mahesa Jenar, “Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi
bukan tujuan.” Juga di dalam dada Arya Salaka, kata-kata itu
berulang kali mengumandang.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Arya Salaka,
“Arya, semuanya sudah siap. Berilah tanda supaya laskarmu
berangkat.”
Dari Mahesa Jenar, Arya telah banyak mendapat petunjuk dan
tuntunan tentang tata keprajuritan. Karena itu, ketika Mahesa
Jenar memberinya kesempatan untuk memimpin laskarnya, iapun
tahu apa yang harus dikerjakannya.
Maka Arya Salaka pun melangkah maju. Dengan isyarat, ia
minta Wanamerta berdiri di sampingnya. Wanamerta adalah tetua
tanah perdikan Banyubiru. Ia menjadi emban kepala daerah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 93
perdikan sejak eyangnya Ki Ageng Sora Dipayana masih
memegang jabatan itu. Ayahnya diembaninya. Sekarang Arya
Salaka tidak mau meninggalkannya.
III
Ketika Wanamerta telah berdiri di sampingnya, Arya Salaka
segera mengangkat tombak pusakanya. Terdengarlah kemudian
sebuah tengara, suara bende yang pertama. Suatu pertanda,
bahwa barisan itu harus berkemas. Setiap orang segera
memeriksa diri mereka sendiri. Apakah yang kurang dan apakah
yang ketinggalan. Senjata mereka, pakaian mereka.
Sebentar kemudian Arya Salaka mengangkat tombaknya
untuk yang kedua kali. Suara bende itupun berkumandang untuk
kedua kalinya. Suatu pertanda bahwa barisan itu harus segera
bersiaga penuh. Mereka tinggal menunggu bunyi bende untuk
yang ketiga kalinya, yang memberi perintah kepada seluruh
barisan itu untuk segera berangkat.
Sebelum Arya mengangkat tombaknya untuk yang ketiga,
sekali lagi ia melayangkan pandangannya kepada seluruh barisan
itu. Ia melihat beberapa orang kepercayaan laskar Banyubiru itu
berdiri di baris pertama dengan umbul-umbul kecil di tangan. Jauh
lebih kecil dari umbul-umbul yang pernah dilihatnya di Banyubiru
dahulu, ketika ayahnya hampir saja terlibat dalam pertempuran
dengan pasukan Demak. Namun meskipun demikian, umbul-
umbul ini pun memberinya kesan yang menggetarkan. Di tengah-
tengah deretan umbul-umbul itu dilihatnya panji-panji kebanggaan
tanah perdikannya, Dirada Sakti. Apalagi ketika matanya
tertumbuk pada panji-panji pepunden seluruh rakyat Demak,
hatinya bergetar deras. Panji-panji itu pulalah yang memaksa
ayahnya dahulu untuk mengurungkan niatnya, melawan
kekuasaan tertinggi. Warna Gula Kelapa itu pulalah yang
menyebabkan ayahnya tak berdaya untuk menolak
pertanggungjawaban atas hilangnya keris-keris Nagasasra dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 93
Sabuk Inten dari rumahnya. Dan kali ini Gula Kelapa itu menyertai
laskar Banyubiru menuntut haknya, yang selama ini dilanggar dan
dihinakan oleh orang-orang Pamingit.
Melihat kesiapan laskarnya, Arya menarik nafas dalam-dalam.
Sesekali ia menengadahkan wajahnya ke langit. Tampaklah
bibirnya bergerak-gerak, dan terdengarlah suara perlahan sekali,
yang hanya dapat didengarnya sendiri. “Ya Allah, yang
memerintah langit dan bumi. Aku serahkan diriku dan laskarku ke
dalam tangan-Mu, ke dalam bimbingan-Mu. Jauhkanlah kami dari
kesalahan-kesalahan, serta berilah cahaya di dalam hati kami.
Berlakulah segala kehendak-Mu atas diri kami, sebab segala
kehendak-Mu pasti berlaku. Kami adalah domba-domba yang
menggantungkan nasib kami kepada penggembalanya yang Maha
Pengasih dan Pengampun.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba Arya Salaka
merasa mendapat kekuatan yang luar biasa. Sebagai seorang
pemuda yang perkasa, ia cukup mempunyai bekal lahir dan batin
dalam pekerjaan yang dilakukannya kali ini. Namun karena
jiwanya yang pasrah kepada Sumber Hidup-nya, ia menjadi
semakin yakin kepada tindakannya.
Kemudian dengan tidak usah menunggu lebih lama lagi,
diangkatnya tombaknya tinggi-tinggi. Dan sesaat kemudian
menggemalah suara bende yang ketiga kalinya, mengaum seperti
jerit harimau lapar.
Belum lagi gema bunyi bende itu berhenti, menyautlah suara
sangkalala dan seruling, melagukan lagu yang gemuruh, seirama
dengan gemuruhnya darah laskar Banyubiru itu.
Berbareng dengan itu, bergeraklah Arya Salaka dan
Wanamerta di ujung berisannya, diikuti oleh Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Sedang Mantingan dan
Wirasaba mendapat tugas untuk mengamat-amati barisan itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 93
Ketika barisan itu sudah mulai bergerak, berbisiklah Endang
Widuri kepada Rara Wilis, “Akan aku coba, Bibi, sebelum barisan
itu sampai di kaki bukit Telamaya itu.”
Rara Wilis mengangguk sambil tersenyum, jawabnya, “Kalau
kau berhasil Widuri, dan kemudaian Ki Ageng Sora Dipayana
berhasil pula mencegah terjadinya pertumpahan darah, maka
berpuluh-puluh jiwa yang akan menjadi benteng dalam perjuangan
ini dapat diselamatkan, serta berpuluh-puluh wanita akan
mengukir di dalam hatinya, bahwa seseorang telah membendung
air mata mereka yang akan tertumpah, karena mereka kehilangan
suami, serta beribu-ribu anak-anak yang akan meneriakkan
kembali nama bapaknya, ketika bapak mereka kembali dengan
selamat dari pertumpahan yang urung nanti.”
Terasa sesuatu bergerak-gerak di tenggorokannya. Dengan
tidak sengaja gadis itu memandang ayahnya. Bagaimanakah
perasaannya kalau pada suatu kali ayahnya itu pergi dan tidak
akan kembali. Tetapi pada saat itu tiba-tiba ayahnya
memandangnya pula. Agaknya Kebo Kanigara pun ragu, apakah
pertempuran dapat dihindari. Karena itu ia merasa perlu untuk
melindungi anaknya lebih rapat lagi. Dengan berbisik ia
menyerahkan sesuatu kepada Endang Widuri, katanya, “Inilah
bandul kalungmu. Pasanglah.”
Widuri menerima pemberian itu. Ia terpekik kecil ketika ia
melihat sebuah benda yang berkilat-kilat di tangannya. Sebuah
gelang putih gemerlapan dan dari dalamnya memancar cahaya
kebiru-biruan. Pada dinding luar gelang itu, terdapatlah ukiran api
yang menyala, sehingga gelang itu menjadi seolah-olah bergerigi
tajam.
“Apakah ini ayah?” tanya Widuri sambil tersenyum keriangan.
Ia belum pernah melihat benda itu sebelumnya.
“Itulah kelengkapan kalungmu itu. Pasanglah di ujungnya,”
jawab ayahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 93
“Apakah namanya?” desak gadis itu.
“Cakra,” jawab ayahnya singkat.
“Cakra? Adakah cakra ini yang dahulu dipunyai oleh Prabu
Kresna?” tanya Widuri pula.
“Hus, jangan mimpi. Kalau aku memiliki cakra peninggalan
Prabu Kresna, bukankah aku dapat menggugurkan bukit Merbabu
itu?”
Endang Widuri masih saja mengagumi cakra pemberian
ayahnya itu. Ia menjadi geli mendengar jawaban ayahnya.
Katanya, “Ah, aku kira dengan cakra ini aku akan mampu
menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan.”
“Pakailah,” potong ayahnya, “Lalu kerjakan tugasmu.”
Widuri seperti tersadar dari mimpi yang menyenangkan
tentang cakra itu. Ia teringat pada pekerjaannya yang diserahkan
kepadanya oleh Rara Wilis. Karena itu ia melangkah lebih cepat
menyusul Arya Salaka yang berjalan beberapa langkah di
depannya.
“Kakang...” bisik Endang Widuri setelah ia berjalan di samping
anak muda itu. Arya Salaka menoleh. Kali ini Endang Widuri tidak
mau kedahuluan lagi, sehingga ia tidak sempat untuk berbicara.
Karena itu segera ia berkata, “Kakang lihat ini.”
Arya melihat benda yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.
“Apakah itu?” ia bertanya.
“Cakra,” jawabnya singkat.
“Bagus,” gumam Arya Salaka, “Lihat.”
Widuri menyerahkan cakra itu kepada Arya Salaka yang
mengaguminya. Arya Salaka segera tahu, bahwa benda itu adalah
kelengkapan kalung Endang Widuri. Dengan senjata itu Widuri
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 93
akan menjadi gadis yang benar-benar berbahaya di dalam
pertempuran. Pada saat ia menyaksikan Endang Widuri berkelahi
melawan Bagolan, rantai gadis itu samasekali tidak berbandul.
Dengan rantai itu saja Bagolan samasekali tak berdaya
melawannya, apalagi kalau di ujung rantainya tersangkut senjata
itu.
Ketika Arya Salaka masih mengagumi senjata itu, berkatalah
Endang Widuri kepadanya, “Kakang, apakah barisan ini sekarang
juga akan mulai dengan gelar perang?”
Arya mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia mengangguk,
jawabnya, “Ya, begitu barisan ini keluar dari mulut lembah, aku
pasang gelar.”
“Apakah kakang akan mulai dengan pertempuran langsung
siang ini juga?” tanya Widuri pula.
Arya menengadahkan wajahnya. Ia melihat matahari telah
melampaui kepalanya. Pertanyaan Widuri itu tepat benar. Kalau ia
mulai hari ini dengan menyerang langsung jantung kota, maka ia
akan terganggu oleh gelap malam. Ia tidak dapat
memperhitungkan, apakah ia akan dapat menyelesaikan
pertempuran sehari, dua hari, seminggu atau lebih.
Tetapi ia sudah punya rencana lengkap. Hampir setiap hari ia
mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar. Dari petunjuk-
petunjuk itu ia sudah dapat mengetahui dengan pasti, apakah yang
harus dilakukan kalau ia harus merebut Banyubiru dengan
kekerasan. Soalnya hanyalah soal waktu saja.
Ia harus membagi pasukannya dalam tiga bagian. Sayap kiri,
kanan dan induk pasukan. Sayap kiri itu harus membawa dirinya
melewati jurusan Timur. Mendaki bukit di sebelah timur untuk
kemudian menguasai daerah Banyubiru bagian timur. Sedang
sayap kanan harus berbuat yang sama dari arah barat. Namun di
samping itu, sayap ini mempunyai tugas untuk melakukan
pencegatan, apabila datang bantuan dari Pamingit.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 93
“Pertempuran tidak harus berlangsung hari ini.” Akhirnya
terdengar Arya bergumam. “Hari ini aku akan menghadapkan
laskarku ke perbatasan. Malam nanti sayap-sayapku akan mulai
berkembang. Besok pagi aku mulai dengan gerakan memasuki
kota.”
Widuri mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian ia
tinggal mempunyai waktu sedikit. Kalau laskar ini telah terpecah,
maka akan sulitlah untuk mengubah setiap rencana yang sudah
dipersiapkan itu.
“Kau menghadapi pekerjaan yang berat, Kakang,” kata Widuri.
“Ya, aku sadari itu sepenuhnya. Paman Lembu Sora bukan
orang yang bodoh. Ia mempunyai pandangan yang luas dan
dalam. Ia memiliki keahlian bersiasat. Aku kira Sawung Sariti pun
akan memiliki sifat-sifat itu juga.”
“Sadar atau tidak sadar, apa yang kau lakukan ini mirip benar
dengan ceritera Baratayuda.” Endang Widuri mulai dengan
usahanya menyampaikan pesan Rara Wilis.
Arya mengangguk sambil tersenyum. “Mungkin,” gumamnya.
Kemudian mulailah Widuri berceritera dari ceritera yang
didengarnya dari Rara Wilis. Ternyata Widuri benar-benar memiliki
kecerdasan yang mengagumkan. Dengan hati-hati ia
mengemukakan persoalan demi persoalan.
Apa yang diduga oleh Rara Wilis ternyata sebagian besar
benar. Kalau yang menyampaikan ceritera itu kepada Arya Salaka
orang lain, bukan Widuri, maka akibatnyapun akan lain. Tetapi kali
ini Arya mendengar ceritera tentang Bisma dan Prabu Salya dari
Endang Widuri. Dari seorang gadis yang aneh baginya. Arya Salaka
sendiri tidak tahu, pengaruh apakah yang sudah memukau dirinya,
sehingga setiap kata dari gadis itu sedemikian meresap ke dalam
dadanya. Iapun kemudian merasa, betapa menyesalnya nanti,
apabila eyangnya melibatkan diri di dalam pertempuran ini.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 93
Eyangnya yang menurut Mahesa Jenar mengharap
kedatangannya. Mengharap untuk dapat menemui cucunya yang
telah lama hilang. Ia tidak tahu, apakah ada di antara orang di
dalam pasukannya yang mampu menandingi eyangnya itu. Tetapi
Mahesa Jenar kini ternyata memiliki ilmu yang dahsyat. Disamping
itu ada Kebo Kanigara.
Tiba-tiba ia menyesal atas dugaannya itu. Kenapa ia seolah-
olah yakin bahwa eyangnya akan berpihak kepada pamannya.
Apakah tidak mungkin kakeknya itu datang kepadanya dan
berkata, “Kau benar Arya. Karena itu aku berada di pihakmu.”
Bahkan lebih daripada itu. Akhirnya Arya Salaka sampai pada
pikiran yang sejalan dengan pikiran Mahesa Jenar. Apakah tidak
mungkin apabila kakeknya itu berkata kepada pamannya, “Lembu
Sora, tinggalkan Banyubiru. Serahkanlah daerah ini kepada anak
yang bernama Arya Salaka, putra kakakmu Gajah Sora.” Lalu
pamannya itu menjawab, “Baiklah ayah.” Bukankah dengan
demikian pertempuran dapat dihindari? Tetapi Lembu Sora
bukanlah orang yang dapat berlaku demikian.
Untuk beberapa lama Arya Salaka berdiam diri. Ia berjalan saja
tanpa menoleh. Matanya seolah-olah terpaku pada bukit yang
terbujur jauh di hadapannya, yang sekali hilang ditelan oleh bukit
kecil di sekitar jalan yang dilaluinya, tetapi yang kemudian muncul
kembali, seakan-akan tersembul dari dalam tanah.
Di langit matahari berjalan pula dengan tenangnya. Sinarnya
yang semakin condong terasa seperti membakar kulit.
Endang Widuri tidak tahu pasti, apakah yang sedang bergolak
di dalam dada anak muda itu sebagai akibat dari kata-katanya.
Tetapi iapun berdiam diri pula. Ia berjalan dengan langkah yang
tetap mengikuti irama langkah barisan anak-anak Banyubiru itu.
Ketika laskar itu akhirnya muncul dari daerah-daerah
pegunungan, Widuri melihat suatu dataran yang luas terbentang
dihadapannya. Ia mengira bahwa Arya akan segera menebarkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 93
barisannya dalam gelar perang. Tetapi sampai beberapa lama aba-
aba itu samasekali tidak diberikannya. Laskar Banyubiru itu masih
saja berjalan seperti ular yang panjang berkelok-kelok menuruti
jalan sempit menuju ke Banyubiru. Di kiri kanan jalan itu
terbentang padang rumput yang luas, yang di sana sini terdapat
beberapa gerumbul-gerumbul kecil dan pohon-pohon perdu yang
berserak-serakan. Sedang di lereng-lereng bukit kecil tampak
batang-batang ilalang yang memanjat sampai ke lambung.
Ketika matahari telah mulai merendah, barulah mereka sampai
ke daerah yang berhadapan dengan tanah-tanah persawahan.
Diseberang sawah itulah mereka baru akan menjumpai desa yang
pertama.
Di kejauhan, di seberang padang-padang rumput itu, tiba-tiba
tampaklah debu putih yang mengepul. Mata Arya yang tajam
segera dapat melihatnya. Demikian juga Endang Widuri dan
Wanamerta. Maka terdengarlah Arya Salaka berbisik, “Kau lihat
debu itu, Widuri?”
Endang Widuri mengangguk. “Kuda,” desisnya.
“Ya, orang berkuda.” Arya Salaka melengkapi.
Debu itu semakin lama menjadi semakin tipis, dan akhirnya
semakin jauh dan jauh, untuk kemudian seperti hilang ditelan
cakrawala.
Untuk beberapa saat, orang berkuda itu mempengaruhi pikiran
Arya Salaka. Namun akhirnya hatinya memutuskan, “Biarlah
seandainya orang itu akan memberitahukan kepada Paman Lembu
Sora. Kami sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Kasar dan
halus.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 93
Tetapi bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang berkuda
itu benar-benar menimbulkan persoalan. Kuda itu ternyata
menghilang ke arah barat. Seandainya orang berkuda itu, salah
seorang pengawas dari Pamingit, ia tidak akan menghilang ke
barat. Tetapi ia akan memacu kudanya ke selatan, dan menghilang
ke balik desa yang pertama
tampak di muka barisan itu.
Dengan demikian, maka
Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara mempunyai tang-
gapan yang lain. Orang itu
bukanlah orang Pamingit atau
Banyubiru.
“Jadi siapakah dia?” tanya
Kebo Kanigara perlahan-lahan.
“Tak ada lain, orang itu pasti
dari golongan hitam,” jawab
Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara mengang-
guk-anggukan kepalanya.
“Satu-satunya kemungkinan,”
gumamnya.
“Mereka akan mengambil keuntungan dari perselisihan ini,”
sahut Mahesa Jenar.
“Keadaan yang sulit.” Kembali Kebo Kanigara bergumam.
Mahesa Jenar pun kemudian berdiam diri. Ia melihat bahwa
Arya Salakapun telah mengetahui adanya orang berkuda yang
mencurigakan itu. Tetapi ia tidak mau mempengaruhi rencana
anak muda itu. Ia ingin mengetahui, sampai dimana kemampuan
Arya Salaka. Ia akan memberi petunjuk-petunjuk apabila sangat
diperlukan, atau laskar ini menuju kedalam bahaya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 93
Tiba-tiba ia melihat Arya Salaka mengangkat tangan kirinya.
Kemudian terdengarlah bunyi bende dua kali berturut-turut.
Sesaat kemudian berhentilah seluruh pasukan itu. Dengan isyarat
Arya Salaka memanggil para pemimpin kelompok untuk datang
kepadanya.
“Kita berhenti di sini,” katanya kepada para pemimpin
laskarnya. Kemudian kepada Bantaran dan Penjawi, ia berkata,
“Siapkan laskar ini menjadi tiga bagian. Sayap kiri, yang akan
masuk ke Banyubiru lewat timur. Sayap kanan lewat barat dan
menjaga kemungkinan datangnya bantuan dari Pamingit. Sedang
yang lain, induk pasukan akan langsung menuju ke jantung kota,
serta menyiapkan bagian-bagian yang harus melakukan
pengejaran-pengejaran terhadap lawan yang menarik diri serta
membuat pertahanan-pertahanan baru.”
Para pemimpin itupun telah tahu benar apa yang harus
dilakukan, sebab perintah itu adalah perintah ulangan seperti yang
mereka dengar sebelumnya.
“Tetapi....” kemudian Arya Salaka meneruskan, “Kalian jangan
bergerak lebih dahulu sebelum aku memberi perintah. Aku harus
mendapat keyakinan bahwa dengan sekali tusuk, rencana kita
berhasil. Karena itu aku harus menguasai keadaan medan sebaik-
baiknya.”
Para pemimpin itupun mengerutkan keningnya. Tetapi mereka
tidak menanyakan apa-apa. Tugas mereka, menunggu sampai
Arya memberikan perintah. Sekarang, nanti atau nanti malam.
Namun mereka sudah tidak terlalu gelisah, seperti ketika mereka
masih harus menunggu di perkemahan tanpa batas waktu.
Sekarang mereka telah berada di garis perbatasan. Bahkan
mungkin mereka tidak usah menunggu sampai besok, sebab
orang-orang Pamingit itupun dapat melakukan penyerangan
dengan tiba-tiba. Karena itu mereka selalu bersiap. Tempat itu
mendapat pengawalan yang kuat dari pasukan-pasukan panah
yang akan menjadi ujung-ujung sayap.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 93
Kelompok yang akan menjadi sayap kiri telah memisahkan diri
di bawah pimpinan Bantaran. Dalam kelompok itu ikut serta
Mantingan. Sedang sayap kanan dipimpin oleh Penjawi dan
Wirasaba. Kelompok inipun telah memisahkan diri. Induk pasukan
langsung berada di tangan Arya Salaka.
Melihat keadaan itu, Endang Widuri menarik nafas. Ia menjadi
berlega hati. Arya Salaka belum memberikan perintah bergerak
kepada kedua sayap pasukan itu. Mudah-mudahan nanti
malampun belum.
Ketika sebagian dari laskar itu telah beristirahat, kembali Arya
Salaka teringat kepada orang-orang berkuda yang hilang ditelan
cakrawala di ujung barat. Tiba-tiba ia ingin mendapat
pertimbangan pendapat tentang orang berkuda itu dari Mahesa
Jenar.
Ia mendekati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang duduk di
atas batang-batang ilalang kering bersama-sama dengan Rara
Wilis.
“Paman....” katanya setelah ia pun duduk, “Apakah tanggapan
Paman Mahesa Jenar dan Paman Kebo Kanigara serta bibi Wilis
tentang orang berkuda tadi?” Mahesa Jenar mengerutkan
keningnya, katanya, “Apa katamu tentang itu…?” Mahesa Jenar
bertanya pula.
Arya Salaka diam berpikir. Dilemparkan pandangan matanya
ke arah orang berkuda tadi lenyap. Tetapi di sana sudah tidak
dilihatnya apa-apa lagi. Debu yang mengepul itupun telah lenyap.
Tiba-tiba iapun sadar, bahwa orang itu samasekali bukan
pengawas dari Pamingit. Sebab jurusan itu, jurusan yang ditempuh
oleh orang berkuda itu, menjauhi Banyubiru.
“Ada dua kemungkinan menurut pikiran saya, Paman.” Arya
menjawab. “Orang itu mungkin pengawas paman Lembu Sora,
tetapi mungkin juga bukan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 93
“Kalau bukan…?” Mahesa Jenar ingin menjelaskan.
“Kalau bukan, ia adalah orang dari gerombolan hitam,” sahut
Arya, “Mungkin dari Nusakambangan, mungkin dari Gunung Tidar
atau dari daerah sebelah timur Rawa Pening.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya, katanya
perlahan-lahan, “Mungkin ketiga-tiganya, ditambah orang-orang
dari Alas Mentaok yang sudah dilengkapkan kembali.”
Arya Salaka mengangguk-angguk.
“Masukkan mereka dalam perhitunganmu, Arya,” Mahesa
Jenar menasihati.
Arya Salaka tidak menjawab, tetapi tampaklah ia berpikir
keras. Sejak semula memang ia merasa betapa sulit pekerjaannya.
Ditambah dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat
ditimbulkan oleh orang-orang kalangan hitam. Ia yakin bahwa
gerombolan hitam dari Rawa Pening pasti mendendamnya. Apalagi
kalau mereka akhirnya mengetahui bahwa dialah yang membunuh
sepasang pemimpinnya, Uling Putih dan Uling Kuning. Disamping
itu dendam yang tak ada taranya dari orang-orang Gunung Tidar
terhadap Mahesa Jenar. Sima Rodra yang kehilangan anak dan
menantunya yang dibunuh oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis, pasti
akan mencoba menuntut balas. Demikian juga Pasingsingan yang
mengalami kekalahan baru beberapa hari yang lalu.
Persamaan kepentingan itu akan mereka padukan sebaik-
baiknya. Mereka bersama-sama ingin membalas dendam. Juga
mereka bersama-sama ingin memiliki keris-keris Kyai
Nagasasradan Kyai Sabuk Inten. Mereka pulalah yang telah
menyusun kekuatan untuk merebut Banyubiru dan Pamingit
sebagai rintisan jalan menuju ke Demak. Menurut anggapan
mereka, dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten,
berlandaskan kekuatan laskar yang akan dihimpunnya kelak dari
Banyubiru dan Pamingit, maka terbukalah pintu gerbang
kekuasaan tertinggi. Demak. Meskipun di dalam dada mereka itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 93
masih selalu terngiang pertanyaan-pertanyaan, “Lalu siapakah
orangnya yang akan memegang kekuasaan tertinggi di antara
golongan hitam itu? Pasingsingan? Sima Rodra? Atau dari
angkatan yang lebih muda? Lawa Ijo atau Jaka Soka atau yang lain
lagi…?”
“Aku kira orang-orang dari golongan hitam itu akan
menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.” Terdengar Arya
kemudian berkata. “Mereka akan menggempur kita, apabila
tenaga kita sudah jauh berkurang dalam pertempuran kita
melawan orang-orang Pamingit.”
Mahesa Jenar mengangguk.
Kembali Arya merenungkan kata-katanya sendiri. Alangkah
jelasnya persoalan yang dihadapi. Tetapi ia telah melangkahkan
kakinya karena itu ia pantang mundur.
“Akan aku bentuk pasukan-pasukan cadangan dari ketiga
bagian laskarku,” katanya kemudian. “Aku kira aku harus
membuka di garis pertempuran. Pasukan-pasukan cadangan itu
harus tetap segar untuk menghadapi laskar hitam yang akan
datang kemudian.”
Kembali Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Di
dalam hatinya ia bangga atas keterampilan Arya Salaka. Namun
keterampilan itu adalah keterampilan pikiran anak muda yang
masih berdarah panas dan berdada panas. Meskipun demikian
Mahesa Jenar tidak membantahnya. Ia mengharap, dalam
ketenangan istirahatnya nanti Arya akan menemukan sendiri
pemecahan masalah itu. Ia mengharap Arya akan mencoba
menemui kakeknya. Memberitahukan persoalannya dan
persoalan-persoalan lain. Di antaranya orang berkuda yang terang
orang dari gerombolan hitam.
Kemudian mereka berdiam diri. Endang Widuri berjalan
dengan langkah gontai ke arah mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 93
Dengan seenaknya ia menjatuhkan dirinya duduk, bersandar
pada Rara Wilis.
“Dari mana kau Widuri?” tanya Rara Wilis.
“Aku melihat-lihat laskar ini. Baru saja aku bersama-sama
dengan Paman Mantingan menangkap kelinci-kelinci liar,”
jawabnya.
“Kau pergi ke sayap kiri?” potong Arya Salaka.
“Ya,” jawab Rara Wilis, “Mereka sedang merebus air.”
“Jangan mondar-mandir Widuri.” Ayahnya mencoba memberi
nasehat. “Di gerumbul-gerumbul itu mungkin bersembunyi bahaya
yang mengancam keselamatanmu.”
Widuri tersenyum. “Bukankah aku sudah mempunyai cakra?”
“Jangan takabur dengan benda itu,” sahut ayahnya, “Dengan
demikian benda itu akan menyeretmu masuk ke dalam bahaya.”
“Jangan marah ayah,” jawab Widuri, “Aku hanya bergurau.”
“Kau memang terlalu nakal.” Ayahnya melanjutkan. “Sekali-
kali aku masih ingin menarik kupingmu.”
“Jangan ayah,” potong Widuri, “Bahkan mungkin Kakang Arya
menganggap bahwa sekali-kali perlu juga aku mondar-mandir,
sebab ada yang dapat aku lihat di ujung desa sebelah.”
“Apa…?” Arya tertarik pada keterangan itu.
“Cermin,” jawab Widuri.
“Cermin…?” Arya semakin tertarik, juga Mahesa Jenar. Segera
teringatlah ia pada saat Lembu Sora mencegat laskar Demak yang
membawa Gajah Sora. Orang-orangnya memberikan tanda-tanda
dengan benda yang berkilat-kilat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 93
“Aku lihat cahaya yang bersahut-sahutan. Dari desa itu dan
dari desa yang jauh itu,” jawab Widuri.
Mendengar keterangan Widuri itu Arya mengangkat wajahnya,
memandang jauh ke arah desa yang ditunjuk oleh Endang Widuri.
Kabar yang dibawa gadis itu sangat menarik perhatian. Bahkan
Mahesa Jenar kemudian berdiri tegak dan dengan cermatnya
memandangi desa di hadapan laskar Banyubiru itu. Terbayanglah
di dalam otaknya, pasukan yang pepat padat bersembunyi di sana.
Sehingga seolah-olah pada setiap batang didalam desa itu, berdiri
seorang laskar Lembu Sora, yang siap menanti kedatangan laskar
Banyubiru itu dengan senjata di tangan.
Arya Salaka pun kemudian berdiri. Memanggil dua orang
pembantunya, memberitahukan kepada kedua sayap laskarnya.
Mereka harus di hadapan hidung mereka. Disamping itu mereka
harus membentuk laskar cadangan, sebab ada kemungkinan,
golongan hitam akan mengail di air yang sedang keruh. Kedua
orang itupun segera menyampaikan pesan Arya Salaka. Namun
kedua orang itu masih belum membawa perintah kepada sayap-
sayap pasukan itu untuk bergerak. Disamping kepada kedua orang
itu, kepada Sendang Papat yang berada di dalam pasukan induk
itu, Arya Salaka pun telah memerintahkan untuk memisahkan
sebagian laskarnya yang harus tetap segera untuk menghadapi
lawan baru yang setiap saat dapat mengancamnya.
Tetapi keterangan yang diberikan kepada sayap-sayap
laskarnya, sangat mempengaruhi dirinya sendiri. Golongan hitam
akan mengail di air yang keruh. Kenapa ia mesti mengeruhkan
airnya? Tidak, bukan dirinya, tetapi pamannya. Apa yang dilakukan
Arya Salaka kini adalah akibat dari perbuatan pamannya. Kalau
pamannya tidak melakukan pelanggaran atas ketetapan adat yang
berlaku, maka iapun tidak akan melakukan perjuangan dengan
kekerasan. Tegasnya, tanggungjawab dari keributan yang bakal
terjadi adalah terletak di pundak pamannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 93
Sekali lagi Arya menengokkan wajahnya ke langit. Matahari
telah semakin rendah, dan sebentar lagi akan hilang dibalik bukit-
bukit di sebelah barat. Burung-burung seriti dan manyar telah
berterbangan berputar-putar untuk mencari tempat bermalam di
atas pohon-pohon siwalan yang bertebaran di sana-sini.
“Baik, kami atau mereka, tidak akan mulai hari ini, Paman,”
kata Arya Salaka kemudian. “Sebentar lagi malam tiba.”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar, “Tetapi mungkin besok pagi-pagi
benar sebelum pecah fajar, kau harus sudah bertempur.”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba
tangannya membelai tombaknya seperti membelai kepala adik
kesayangannya. Adakah di dalam laskar pamannya nanti ikut pula
orang-orang Banyubiru yang berdiri di pihak Pamingit. Dan adakah
di antara mereka itu kawan-kawan sepermainan dahulu? Arya
Salaka menjadi bersedih hati mengenang kemungkinan-
kemungkinan itu. Tombaknya itu mungkin besok akan menusuk
jantung kawan-kawannya sepermainan. Dan bukankah Sawung
Sariti tidak hanya kawan sepermainannya, tetapi justru saudara
sepupunya? Tetapi meskipun demikian pedang anak muda itu
hampir saja menembus dadanya.
Mahesa Jenar melihat keragu-raguan yang membayang di
wajah Arya Salaka, seperti ceritera tentang Arjuna yang ragu-ragu
pula, pada saat Baratayuda mulai pecah. Tetapi apa yang
dilakukan oleh Mahesa Jenar, samasekali berbeda dengan apa
yang dilakukan Kresna pada waktu itu. Mahesa Jenar untuk
sementara membiarkan saja Arya Salaka diganggu oleh
kegelisahannya.
“Sampai malam nanti....” pikir Mahesa Jenar.
Yang dihadapi oleh Arya Salaka kini bukanlah pamannya itu
sendiri. Inilah salah satu perbedaan dengan ceritera Baratayuda
itu. Tetapi ada pihak ketiga yang tidak kalah berbahaya. Bahkan
laskar hitam itu samasekali tidak terikat pada suatu tata
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 93
kesopanan atau pun kepercayaan yang dapat mengendalikan
kebiadaban serta kekejaman mereka.
Ketika matahari kemudian terbenam, mereka masing-masing
mencari tempat mereka sendiri-sendiri untuk beristirahat. Disana-
sini bertebaran para petugas yang harus mengawasi keadaan,
dengan senjata siap di tangan. Sekali dua kali Arya Salaka
mengadakan peninjauan atas kesiapan anak buahnya. Sedang di
sana-sini tampak perapian menyala-nyala. Mereka kemudian
seperti berpesta, ketika serombongan orang-orang yang bertugas
membawa kiriman makan datang ke tempat itu.
Kepada pembawa kiriman itu Arya Salaka berpesan, “Bawalah
untuk besok pagi, sebelum ayam jantan berkokok untuk yang
terakhir kalinya. Kedudukan-kedudukan baru akan segera kami
beritahukan, apabila pertempuran sudah mulai.”
Kemudian keadaan menjadi sepi kembali. Masing-masing
mencoba untuk mempergunakan waktu istirahat sebaik-baiknya.
Namun di dalam dada Arya bergolaklah persoalan-persoalan yang
rasa-rasanya semakin rumit. Sebenarnya ia sudah sampai pada
waktunya untuk memerintahkan laskar di kedua sayapnya untuk
bergerak.
Dalam pada itu, Mahesa Jenar menjadi semakin cemas pula
atas setiap keputusan yang diambil oleh Arya Salaka. Karena itu ia
samasekali tidak berani meninggalkan anak itu. Meskipun seolah-
olah ia samasekali tidak ikut campur pada setiap keputusan Arya
Sakala, namun kehadirannya di samping anak muda itu ternyata
sangat berpengaruh.
“Paman...” akhirnya Arya Salaka minta pertimbangan,
“Bagaimanakah kalau aku mulai melepaskan sayap-sayap
laskarku?”
Mahesa Jenar pun telah merasa bahwa pada suatu ketika ia
akan menghadapi pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang sangat
sulit untuk dijawab. Tetapi meskipun demikian ia masih belum
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 93
melepaskan usahanya. Katanya, “Adakah kau sudah menganggap
cukup waktu?”
Arya Salaka ragu. Karena itu ia bertanya, “Kalau aku
kehilangan waktu, apakah itu tidak membahayakan kedudukan
kita ini Paman?”
Arya Salaka benar. Sedang orang-orang Pamingit itu telah siap
di hadapannya. Mungkin mereka akan membuka gelar lebih
dahulu, Supit Urang, atau Garuda Nglayang. Tetapi mereka tak
akan dapat mengepung laskar ini, sebab Arya telah memisahkan
kedua sayapnya agak jauh.
Meskipun demikian orang-orang Pamingit dapat memotong
sayap-sayap pasukan ini, untuk kemudian menyerang induk
pasukan dengan gelar yang sempit. Cakra Byuha atau Dirada Meta
atau Gedong Minep. Namun menilik watak Senapati yang akan
memimpin laskar Pamingit itu, baik Sawung Sariti maupun Lembu
Sora sendiri, pasti tidak akan mempergunakan gelar terakhir.
Mereka pasti lebih senang memilih gelar Cakra Byuha atau Dirada
Meta. Bahkan mungkin seperti apa yang pernah mereka lakukan
terhadap pasukan Demak dengan jumlah yang sangat besar, Glatik
Neba atau Samodra Rob.
Dalam menilai keadaan, Mahesa Jenar tidak dapat menutup
kenyataan bahwa bukan salah Arya atau kalau Arya kini tertekad
bulat untuk bertempur. Sebab kalau ia tidak melakukan itu, ia akan
digilas oleh pasukan lawannya, yang barangkali saat ini sedang
merayap-rayap untuk membentuk gelar perang yang berbahaya.
Maka kemungkinan satu-satunya yang dapat dilakukan oleh Arya,
apabila ia akan menghadap eyangnya, adalah sekarang. Dan ia
harus kembali sebelum tengah malam. Apabila keadaan tidak
menguntungkan, sayap-sayapnya masih akan dapat mencapai
tempat yang ditentukan sebelum fajar, dan memukul Banyubiru
dari tiga jurusan. Tetapi adakah Arya bermaksud demikian?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 93
Untuk menjajagi perasaan anak itu, Mahesa Jenar berkata,
“Siapakah menurut dugaanmu, yang akan madeg Senapati dari
Pamingit pagi besok? Lembu Sora, Sawung Sariti atau eyangnya
Sora Dipayana?”
Mendengar nama kakeknya tersebut, dada Arya berdesir.
Bagaimanakah kalau benar eyangnya itu yang memimpin pasukan
Pamingit dan Banyubiru yang berpihak kepada Lembu Sora?
Melihat keragu-raguan Arya Salaka, Mahesa Jenar mengharap
untuk dapat membawa anak itu malam ini menghadap kakeknya.
Karena itu ia mendesak, “Kalau eyangmu yang memimpin pasukan
itu, jangan cemas. Ada aku dan Kakang Kebo Kanigara yang akan
membinasakan.”
Kembali dada Arya Salaka berdesir. Justru karena ia percaya
kepada gurunya. Ia percaya bahwa Mahesa Jenar sekarang akan
dapat melawan eyangnya, dan ia percaya kata-kata gurunya,
bahwa Kebo Kanigara dapat membinasakan kakeknya itu. Tetapi
bagaimanakah kalau kakeknya itu benar-benar binasa?
Teringatlah Arya Salaka pada ceritera Endang Widuri siang tadi.
Meskipun Bisma tidak sependapat dengan Kurawa, demikian juga
dengan Prabu Salya, namun karena kedudukan mereka, mereka
terpaksa bertempur melawan orang-orang Pandawa. Karena
desakan hati mereka yang putih dan tanpa pamrih, akhirnya
mereka membiarkan diri mereka binasa, meskipun mereka
mengetahui sebelumnya. Bisma telah menyadari bahwa prajurit
wanita yang bernama Srikandi-lah yang akan mengantarkan
jiwanya menghadap Hyang Maha Agung. Demikian juga Salya,
bahkan memberitahukan bagaimana orang Pandawa harus
membunuhnya. Tetapi orang-orang Pandawa sempat menghadap
mereka. Mohon maaf atas segala kesalahan mereka, dan mereka
mendapat restu dari kedua pepunden itu.
Tiba-tiba terdengar Arya berdesis, “Bagaimanakah kalau
Eyang Sora Dipayana yang memimpin laskar Pamingit?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 93
“Sudah aku katakan,” jawab Mahesa Jenar, “Aku sanggup
melawannya.”
Runtuhlah wajah Arya Salaka membentur tanah, seperti
hatinya yang hancur. Tiba-tiba mengambanglah airmatanya yang
bening membasahi matanya. Kenapa ia harus menghadapi
keadaan yang sedemikian pahit. Terbayanglah masa kanak-
kanaknya, dimana ia sering dengan nakalnya didukung di
punggung eyangnya. Berlari-lari. Dan kadang-kadang eyangnya
itu berdendang pula untuknya, dalam lagu tembang yang
menawan.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar segera mengambil
kesempatan. “Kenapa kau berduka? Adakah kau takut kehilangan
aku? Percayalah aku tak akan dapat dikalahkan oleh eyangmu itu.”
Wajah Arya menjadi semakin tunduk. Ia tidak menjawab. Yang
terdengar kemudian adalah suara Mahesa Jenar, “Atau kau
cemaskan nasib eyangmu?”
Mendengar perkataan itu, tanpa disadarinya, Arya Salaka
menganggukkan kepalanya. Cepat Mahesa Jenar berkata sambil
mengangguk-anggukan kepalanya, “Arya, sebenarnya di dalam
dadamu telah lebih dahulu bergolak suatu pertempuran yang
dahsyat. Sebagai seorang anak muda, kau terlalu sulit untuk
mengendalikan dirimu. Tetapi karena tempaan watakmu yang
baik, yang menetes dari keluhuran budi ayahmu, telah memaksa
perasaanmu untuk mencemaskan nasib, tidak saja eyangmu,
tetapi seluruh rakyatmu. Karena itu Arya Salaka, bagaimanakah
dengan usulku, tidakkah kau ingin bertemu dengan eyangmu
sebelum api pertempuran ini berkobar?”
Kembali dada Arya tersentuh. Siang tadi ia merasa, bahwa
yang demikian itu samasekali tidak ada gunanya. Karena itu, ia
samasekali tidak setuju dengan pendapat Mahesa Jenar untuk
sekali lagi menghadap ke Banyubiru. Tiba-tiba terasa sekarang,
bahwa alangkah baiknya hal itu dilakukan. Tetapi sekarang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 93
pasukannya telah berhadap-hadapan. Kalau ia tidak segera mulai,
orang-orang Pamingit yang akan mengambil prakarsa, memulai
pertempuran itu.
Mahesa Jenar menangkap perasaan yang bergolak didalam
dada anak muda itu, maka katanya, “Kalau kau ingin menghadap
eyangmu Arya, biarlah aku dan Kakang Kebo Kanigara
menyertaimu bersama-sama dengan Paman Wanamerta. Kalau
orang-orang Pamingit itu curang, kami dapat melakukan
perlawanan sekadarnya, sambil memberi tanda kepada
pasukanmu untuk bergerak. Karena itu biarlah Paman Wanamerta
membawa anak panah sendaren, yang dapat mengaung di udara,
atau anak panah api.”
Sekali lagi Arya mengangguk kosong. Seolah-olah pikirannya
terampas habis oleh kesulitan perasaan yang dihadapinya.
“Kita berangkat sekarang,” sambung Mahesa Jenar, “berkuda,
dan membawa obor di tangan, supaya mereka tahu, bahwa kita
bermaksud baik. Bukan mata-mata yang menyusup ke daerah
mereka. Sebelum tengah malam, kita harus sudah berada di
tengah-tengah laskar ini.”
IV
Ketika Mahesa Jenar meloncat berdiri, Arya pun berdiri. Segera
Mahesa Jenar memberitahukan maksudnya kepada Kebo Kanigara
dan Wanamerta, yang segera bersiap-siap pula. Kepada Rara Wilis,
Kebo Kanigara menitipkan putrinya. Kepada Sendang Papat, Arya
Salaka berpesan, bahwa apabila panah sendaren-nya mengaum
atau panah apinya menyala di udara, laskar Banyubiru harus
segera bertindak. “Karena itu, siapkan sebagian dari mereka,”
katanya.
Sendang Papat menjadi heran. Apa yang akan dilakukan oleh
Arya Salaka? Maka bertanyalah ia, “Apakah yang akan kau lakukan
Adi Arya Salaka?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 93
“Melihat medan dan melihat keadaan kota,” jawabnya.
“Pekerjaan yang berbahaya. Orang-orang Pamingit dapat
menangkap tuan-tuan,” katanya kepada Mahesa Jenar.
“Aku punya alasan,” potong Arya, “Aku akan berpura-pura
menghadap Eyang Sora Dipayana untuk bersujud di bawah
kakinya sebelum aku mulai dengan pertempuran.”
“Adakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang-orang
Pamingit?” tanya Sendang Papat.
“Mudah-mudahan mereka cukup jantan,” jawab Arya.
Sendang Papat tidak bertanya lagi. Alasan Arya Salaka dan
cara yang akan dilakukan memang masuk akal, meskipun Arya
Salaka terpaksa memutar balik, agar laskarnya tidak dikecewakan.
“Baik….” Akhirnya Sendang Papat menjawab, “Akan aku
siapkan beberapa orang pelopor yang apabila keadaan memaksa
akan menembus pasukan Pamingit langsung ke arah tanda-tanda
yang akan kau berikan, untuk membantu. Sedang yang lain akan
aku kerahkan untuk memberi tekanan kepada mereka, sampai kau
dan Tuan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Kiai Wanamerta dapat
membebaskan diri.”
“Bagus,” jawab Arya, “Kami akan berangkat. Beritahu kepada
sayap-sayap laskar ini, supaya mereka tidak terkejut melihat
tanda-tanda apabila terpaksa aku berikan, siapkan sayap-sayap
itu.”
Setelah memberikan beberapa pesan-pesan, serta
menempatkan Rara Wilis sebagai penasehat Sendang Papat, maka
berangkatlah rombongan kecil itu. Di muka sekali seorang
pembawa obor besar merupakan penerang jalan, kemudian
berkuda di belakangnya Wanamerta dan Arya Salaka. Dekat di
belakangnya berjajar Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Kemudian
yang terakhir juga seorang pembawa obor.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 93
Rombongan itu sangat menarik perhatian laskar Banyubiru.
Mereka saling bertanya-tanya apakah yang akan dilakukan oleh
rombongan kecil itu, sehingga sesaat kemudian para pemimpin
laskar itu mendengar penjelasan dari Sendang Papat. Dengan
demikian mereka tidak gelisah oleh usaha-usaha yang mereka
anggap tak akan berarti.
Demikianlah dalam waktu yang singkat, rombongan Arya
Salaka telah terpisah jauh dari laskarnya. Mereka berjalan dijalan-
jalan persawahan yang membujur di antara tanah-tanah yang
diterangi oleh batang-batang padi yang sedang berbunga. Sedang
dekat di hadapan mereka tampaklah seperti bukit-bukit kecil,
desa-desa yang pertama. Dari desa-desa itulah sore tadi Endang
Widuri melihat cahaya yang berkilat-kilat bersahut-sahutan.
Dalam keheningan malam itu terdengarlah suara Mahesa Jenar
perlahan-lahan, “Arya, batang-batang padi sedang berbunga.”
“Ya,” jawab Arya singkat.
“Kalau kau berjalan beriring dengan laskarmu dalam gelar
perang, atau orang-orang Pamingit yang maju dalam gelar pula,
batang-batang padi yang sedang berbunga itu akan binasa oleh
kaki-kaki laskar yang akan bergulat di antara hidup dan mati.
Tetapi disamping laskar itupun masih ada lagi orang-orang yang
akan bergulat melawan lapar, sebab tanah harapannya telah
hancur dilanda arus peperangan. Perempuan-perempuan akan
menangis karena kehilangan suami, sedang anak-anak mereka
akan menangis karena lapar.”
Terasa sesuatu menggores di dalam dada Arya. Peperangan
adalah peristiwa yang terkutuk. Yang dapat mematahkan cinta
antara manusia, cinta antara keluarga, cinta antara suami istri dan
anak-anak mereka. Tetapi gurunya itupun pernah berkata
kepadanya, “Arya, ada beberapa tingkat dalam bercinta. Cinta kita
kepada sesama, cinta antara pria dan wanita, cinta antara orang
tua dan anak-anak, cinta antara manusia. Kemudian meningkatlah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 93
cinta kita kepada tanah kelahiran, kepada kampung halaman,
kepada tanah air dan bangsa. Tanah yang diberikan oleh Tuhan
kepada kita serta lingkungan hidup di atasnya. Dan tingkat yang
tertinggi dari cinta kita adalah cinta kita kepada sumber cinta itu
sendiri. Kepada yang memberi kita gairah atas sesama manusia,
yang memberikan tanah tumpah darah dan lingkungan hidup di
atasnya. Yaitu cinta kita kepada Tuhan itu sendiri. Cinta kita
kepada Yang Maha Pencipta. Tak ada yang dapat dipertentangkan
dengan cinta kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cinta itu adalah
cinta yang paling luhur. Tetapi kadang-kadang kita dihadapkan
kepada persoalan yang seolah-olah merupakan pertentangan
antara kedua pancarannya. Cinta kita kepada tanah tumpah darah,
cinta kita kepada bangsa yang seolah-olah bertentangan
kepentingan dengan cinta kita pada kemanusiaan dan manusia.”
“Tidak,” kata gurunya itu, “Kita bisa menempatkan kedua-
duanya. Kita harus menempatkan cinta kita kepada tanah tumpah
darah berdasarkan cinta kita kepada manusia. Kepada manusia
yang akan kita lahirkan. Kepada manusia yang akan mewarisi
hidup kita kelak, supaya mereka dapat menikmati hidup mereka.
Supaya mereka dapat menikmati cinta yang kudus. Cinta kepada
Tuhannya tanpa merasa takut dan cemas. Tanpa terganggu oleh
persoalan-persoalan duniawi.”
Arya menarik nafas dalam-dalam. Memang peperangan harus
dicegah. Tetapi kalau ia harus pecah, maka hendaknya perang itu
dilandaskan kepada kepentingan kemanusiaan. Bukan
kepentingan diri dan keinginan-keinginan untuk diri sendiri.
Demikianlah kalau peperangan antara laskarnya melawan laskar
Pamingit. Perang ini memang dapat menimbulkan perlawanan atas
rasa cinta, tetapi ia harus dilandaskan pada kecintaan dan
pengabdian yang lebih luhur.
Karena itulah maka Arya sadar, bahwa gurunya bukan
bermaksud menganjurkan kepadanya untuk menerima nasibnya,
nasib rakyatnya. Tetapi gurunya hanya mencoba mencegah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 93
timbulnya pertentangan apabila kemungkinan itu masih bisa
dicapai.
Tiba-tiba tersentak dari lamunannya, ketika dengan tiba-tiba
orang berkuda yang berjalan di mukanya itu mendadak berhenti.
“Ada apa?” ia bertanya.
Orang itu menujuk ke depan. Di pojok desa tampaklah
beberapa orang berdiri. Kemudian terdengarlah salah seorang dari
mereka berteriak, “Berhentilah di situ.”
Arya kemudian mendorong kudanya, mengambil tempat
terdepan. Ia masih maju beberapa langkah. Tetapi kemudian iapun
terpaksa berhenti ketika sebuah tombak melayang dan menancap
di tanah, hanya dua langkah dari kaki kudanya.
Demikian asyiknya Arya menganyam angan-angannya,
sehingga ia tidak melihat sebelumnya, orang-orang yang
menghadang perjalanannya itu. Ia tahu betul isyarat yang
diberikan oleh orang-orang itu. Kalau ia tidak berhenti, maka
tombak yang kedua akan diarahkan kepadanya. Karena Arya tidak
menghendaki bentrokan terjadi, maka iapun mematuhi isyarat itu.
Ketika rombongan kecil itu telah berhenti, majulah beberapa
orang bersenjata mendekati mereka. Sementara itu Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara telah berada dekat di belakang Arya Salaka.
Sedang Wanamerta pun kemudian menempatkan dirinya di
samping anak muda yang membawa tombak Kyai Bancak itu.
Beberapa orang itu kemudian berdiri mengitari Arya Salaka
dan rombongannya, seolah-olah mereka hendak mengepung
rapat-rapat. Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya
maju selangkah, lalu dengan bertolak pinggang ia berkata,
“Siapakah kalian? Kemana kalian akan pergi? Dan apakah maksud
kalian?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 93
Sesaat kemudian Arya Salaka menjawab, “Ki Sanak, kami
adalah orang-orang Banyubiru. Adakah Ki Sanak juga orang
Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya singkat.
“Kalau begitu kalian seharusnya mengenal kami,” sambung
Arya.
Orang itu mengangkat alisnya. Tetapi tiba-tiba dari dalam
rombongan itu meloncat seseorang sambil berteriak, “Kalian
merasa diri kalian orang-orang Banyubiru?”
“Ya,” jawab Arya.
“Aku orang Banyubiru sejak lahir,” katanya lantang penuh
kebanggaan.
“Aku percaya, Ira. Kau memang lahir di Banyubiru, dibesarkan
di Banyubiru, dan dewasa di Banyubiru,” sahut Wanamerta, “Dan
agaknya kau sekarang sedang mencoba untuk membalas budi
kepada tanah yang telah memberikan kepadanya makan, di saat
lapar dan memberimu air di saat kau haus.”
Orang itu terkejut. Memang matanya agak kurang jelas di
dalam gelap, sehingga ia terlambat mengenal Wanamerta. Ketika
ia mendengar suara itu, serta suara itu menyebut namanya dengan
tepat, barulah ia berusaha mengenalnya baik-baik. Tiba-tiba
terpekik dan berlari memeluk kaki orang tua itu. “Bukankah Tuan…
Kiai Wanamerta?”
“Akulah,” jawab Wanamerta.
“Maafkan aku Kiai. Aku kurang mengenal Kiai di malam yang
gelap ini,” kata orang itu.
“He, Ira....” bentak pemimpin rombongan itu, “Apa yang
sedang kau lakukan?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 93
“Orang ini adalah Kiai Wanamerta,” jawab Ira, “Ia adalah tetua
tanah perdikan ini.”
“Tidak!” bentak pemimpin itu. “Tak ada yang pantas disujudi
di tanah ini selain Ki Ageng Lembu Sora.”
“Tetapi Kiai Wanamerta adalah emban kepala perdikan ini
sejak aku lahir, sejak pemerintahan tanah perdikan ini dipegang
oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Jangan menggurui aku,” bentak pemimpin itu, yang ternyata
orang Pamingit. “Akupun kenal Kiai Wanamerta. Agaknya benar
itulah orangnya. Semula memang aku agak kurang mengenalnya
kembali setelah ia menjadi bertambah tua. Tetapi Wanamerta
adalah orang yang tak berarti bagi Banyubiru.”
Orang Banyubiru yang bernama Ira itu agaknya kurang senang
mendengar kata-kata pemimpinnya itu. Maka iapun berkata,
“Jangan berkata begitu. Supaya aku tetap menghormatmu.”
“Apa…?” jawab orang Pamingit itu sambil membelalakkan
matanya. “Kau akan melawan pemimpinmu?”
Oleh bentakan itu, sadarlah Ira, bahwa bagaimanapun juga ia
berada di bawah perintah orang Pamingit itu. Karena itu iapun
terpaksa berdiam diri menahan hati. Tetapi dengan demikian,
sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata
bertentangan dengan suara hatinya. Ia hanya sekadar hanyut
dalam arus yang tak dimengertinya sendiri. Ia mendengar segala
macam ceritera dan caci maki terhadap orang-orang Banyubiru
yang tidak mau menerima Lembu Sora memegang pemerintahan
atas Pamingit dan Banyubiru. Pada saat itu ia mengira bahwa
orang-orang itu memang benar-benar orang-orang yang akan
membuat kacau saja. Apalagi kemudian berita tentang kehadiran
Bantaran di tanah lapang di ujung kota, dan membuat onar tanpa
mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab yang tersiar hanyalah
berita tentang Bantaran ngamuk. Tetapi tak ada yang mengatakan
bahwa sebenarnya seorang Pamingit yang buas sedang berusaha
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 93
untuk merendahkan kehormatan seorang wanita Banyubiru, yang
kebetulan wanita itu adalah istri Panjawi. Disusul kemudian berita
tentang Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat, yang
seolah-olah merupakan suatu kelompok yang akan merampok
keramaian gila-gilaan ditanah lapang yang sama, bahkan
kemudian Sendang Papat telah membakar seperangkat gamelan.
Juga dalam kabar-kabar yang tersiar itu tak terdapat kata-kata,
seorang telah menusuk lambung Sendang Parapat ketika Sendang
bersuadara itu sedang melindungi seorang dari kemarahan orang-
orang Banyubiru.
Tetapi sekarang ketika Ira berhadapan dengan Wanamerta,
tiba-tiba terasa bahwa berita itu samasekali tidak benar. Orang
seperti Wanamerta ini, tidak akan mungkin melakukan kebiadaban
atas rakyat yang dicintainya, atas rakyat yang dibelanya sejak ia
menempatkan dirinya di atas segala kepentingan pribadi.
Di dalam gelap malam itu terasa betapa sejuk wajah yang tua
itu, dan betapa manis mata itu memandangnya, seolah olah terasa
udara sejuk menusuk sampai ke tulang sungsumnya. Berbeda
benar dengan pemimpinnya orang Pamingit, yang keras dan kasar
itu.
Keadaan yang hening itu tiba-tiba pecah oleh suara bentakan
pemimpin rombongan pengawal itu, “Sekali lagi aku bertanya,
siapakah kalian selain Kiai Wanamerta?”
Arya mengangguk perlahan, jawabnya lambat, “Aku Arya
Salaka.”
“Arya Salaka….” kembali Ira terpekik.
Tiba-Tiba rontoklah hati orang Banyubiru itu setelah
berhadapan dengan Arya Salaka, yang selama ini telah dianggap
hilang. Memang ada di antara orang-orang Banyubiru yang dengan
sadar menempatkan dirinya di antara orang-orang Pamingit, tetapi
orang-orang seperti Ira inipun banyak sekali jumlahnya. Orang
yang tak tahu arti perbuatannya sendiri. Tetapi Ira takut pula
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 93
kepada pemimpinnya. Sebab dengan demikian, ia dapat
kehilangan pekerjaan yang dapat dipakainya sebagai alat untuk
berbangga diri terhadap kawan-kawannya.
Berbeda dengan orang-orang Pamingit yang lain. Ketika
mereka mendengar nama Arya Salaka, mereka pun segera
mendesak maju.
Pemimpin pengawal itupun kemudian mendengus, “Jadi kaulah
orang yang mengaku bernama Arya Salaka?”
“Kenapa mengaku?” tanya Arya.
Orang Pamingit itu tertawa. Kemudian kepada anak buahnya
ia berkata, “Bersiaplah. Ada pekerjaan yang harus kalian lakukan.
Inilah dia orangnya yang mengaku bernama Arya Salaka. Tidakkah
kalian ingin menangkapnya?”
Para pengawal itu pun semakin maju. Beberapa orang yang
semula masih berdiri di pojok desa segera mendekat pula dengan
senjata terhunus. “Satu, dua tiga, empat, lima enam.” Salah
seorang di antara mereka menghitung jumlah rombongan kecil itu.
“Hanya enam orang. Aneh, apakah memang mereka ini sedang
bunuh diri karena putus asa?”
“Ki Sanak....” kata Arya Salaka tenang, “Jangan mengganggu
kami. Sebab kamipun tidak mengganggu kalian malam ini. Kami
hanya ingin minta kesempatan menghadap Eyang Sora Dipayana.
Sesudah itu kami akan kembali.”
“Apa perlunya kalian menghadap Ki Ageng Sora Dipayana?”
tanya pemimpin pengawal itu.
“Sebagai seorang cucu, aku harus berbakti kepadanya,” sahut
Arya Salaka.
Orang itu tertawa kembali. Masih dengan bertolak pinggang ia
menjawab, “Jangan membuat alasan yang aneh-aneh. Dengarlah
anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, kalau kau lolos dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 93
penjagaanku ini, kaupun akan binasa di gardu pengawal yang
kedua, yang lebih rapat dan keras. Lihat itu, di bawah rumpun
wregu di sana. Itulah gardu penjagaan kedua, dan disamping
gardu itu pulalah laskar Pamingit bersiap untuk menerima
kedatangan laskarmu besok pagi.”
“Tidakkah kita dapat menunda persoalan besok pagi, sampai
pada waktunya?” bertanya Arya. “Sekarang aku akan menghadap
eyangku sebagai seorang cucu.”
Orang itu menggeleng. Perintahnya, “Turun dari kuda kalian.
Aku harus menangkap kalian, hidup atau mati.”
Diam-diam Wanamerta memanggil kedua orang yang
membawa obor untuk mendekat. Setiap saat ia perlukan api obor
itu untuk menjalankan panah apinya apabila diperlukan.
Sesaat kemudian terdengarlah orang itu berkata pula,
“Duapuluh lima bahu tanah yang akan kami terima apabila kami
berhasil menangkap orang yang menamakan diri Arya Salaka.”
Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Namun
demikian dengan tersenyum ia berkata, “Ah, betapa mahalnya
kepalaku yang tak berarti ini. Dua puluh lima bahu tanah adalah
cukup luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima bahu itu tanah di
sekitar Rawa Pening, maka aku kira kau akan keberatan.”
Tetapi hatinya berkata, “Suatu usaha yang tak kenal
kesopanan. Janji itu agaknya telah menutup kemungkinan untuk
mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan mencari-cari
alasan untuk menimbulkan pertengkaran, dan kemudian
menangkapnya hidup atau mati.”
Diam-diam Arya Salakapun menghitung jumlah mereka. Tidak
kurang dari lima belas orang. Tetapi sebenarnya lima belas orang
itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil yang hanya berjumlah
enam orang itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 93
Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah mulai
kehilangan kesabaran itu membentak, “Aku punya wewenang
untuk menangkap kau. Kalau mungkin hidup, kalau tidak, mati pun
tak akan mengurangi hadiah yang sudah dijanjikan.”
“Bagaimana kalau kau yang mati? Adakah kau akan menerima
hadiah pula?” Tiba-tiba Wanamerta bertanya.
“Diam!” bentak orang Pamingit itu marah. “Meskipun tak ada
hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga menyobek
mulutmu itu.”
Wanamerta mengangkat alisnya yang sudah mulai keputih-
putihan. Tetapi kesan wajahnya masih tetap saja, sejuk. Bahkan
wajah Ira lah yang menjadi tegang mendengar kata-kata kasar
dari pemimpinnya itu. Tetapi sekali lagi ia tidak mau berbuat apa-
apa yang dapat merugikan kedudukannya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata,
“Adakah kau mendengar ceritera tentang tanah lapang beberapa
hari lampau? Pada saat itu aku dan Sendang Papat pun telah
hampir mati dikeroyok oleh orang-orang Pamingit. Tetapi tiba-tiba
datang beberapa orang pemuda. Salah seorang daripadanya dapat
memecahkan kepala kuda dengan tangannya. Waktu orang-orang
Pamingit keheranan dan ketakutan, ia berkata, “Arya Salaka pun
mampu berbuat demikian. Nah, adakah kau dengar. Sekarang
biarlah Arya Salaka mencoba. Karena kau bersikap permusuhan
biarlah kepalamu saja yang dipecahkan.”
Arya Salaka sendiri geli mendengar kata-kata itu, namun
ternyata ada juga akibatnya. Memang orang Pamingit itu pernah
mendengar peristiwa dari kawan-kawannya. Tanpa sadar Arya
Salaka mengamat-amati tangan anak muda itu. Di dalam gelap ia
melihat tangan itu tidak lebih dari tangan-tangan yang lain. Tidak
sebesar tangan raksasa, dan tidak terbuat dari baja.
“Omong kosong!” Tiba-tiba pemuda itu bergumam, namun
hatinya sendiri ragu. Tetapi bukankah ia mempunyai banyak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 93
kawan? Dan bukankah dengan memukul kentongan, gardu
penjagaan kedua akan memberinya bantuan? Bahkan dengan
isyarat ia dapat menyiapkan laskar Pamingit yang nanti tengah
malam akan membuat gelar perang, untuk melawan laskar Arya
Salaka. Karena pikiran itu, pemuda itu menjadi tenang kembali.
Dengan beraninya ia berteriak, “Sekali lagi aku peringatkan, turun
dari kuda kalian.”
Kali ini agaknya orang Pamingit itu sudah tidak mau berbicara
lagi. Mungkin ia akan langsung menyerang atau akan memukul
tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua itulah yang pasti akan
dilakukan segera apabila ia
tahu bahwa di dalam
rombongan kecil itu ada
Mahesa Jenar dan ada orang
yang pernah bertempur
melawan beberapa orang
berkuda sekaligus ditanah
lapang, Kebo Kanigara.
Arya Salaka pun tidak mau
membuang-buang waktu,
sebab tengah malam ia harus
sudah berada di antara
laskarnya kembali.
Karena itu ketika ia sudah
tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali dengan kekerasan atau
tindakan-tindakan semacam
itu, maka segera iapun meloncat turun. Tetapi demikian ia
menjejak tanah, demikian ia melangkah dengan lincahnya
menangkap pergelangan orang Pamingit itu. Orang itu terkejut
bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa anak muda itu
dapat bergerak sedemikian tangkasnya seperti burung lawet yang
menari-nari di udara. Tetapi segala sesuatu telah terlambat.
Tangan orang Pamingit itu terasa seperti terhimpit besi. Perasaan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 93
nyeri dari pergelangan tangan itu menjalari tubuhnya sampai ke
ujung ubun-ubun. Terdengar orang itu mendesah menahan sakit.
Tetapi ia adalah pemimpin rombongan pengawal. Tentu saja ia
tidak mau menunjukkan kelemahannya di hadapan anak buahnya.
Dengan tangan kirinya ia mencoba menghantam dada Arya Salaka.
Arya melihat tangan yang terayun ke arah dadanya. Namun
kekuatan orang Pamingit itu sebagian besar telah lenyap karena
perasaan sakitnya. Dengan demikian, ayunan tangannya itu
samasekali sudah tak berarti. Arya Salaka pun samasekali tidak
menghindar ketika dadanya dibentur oleh pukulan itu. Bahkan
dengan tertawa pendek ia berkata, “Jangan meronta-ronta anak
nakal. Sekali-kali kau perlu mendapat pelajaran.”
Bukan main panasnya hati orang Pamingit itu mendengar kata-
kata Arya Salaka. Dengan mengerahkan tenaganya ia berusaha
melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin sakit
tangan Arya Salaka menghimpitnya. Meskipun demikian ia tidak
putus asa, dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun dengan
satu putaran, ia menjadi tidak berdaya.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu seperti terpaku
di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan yang aneh.
Tiba-tiba saja mereka melihat pemimpinnya terpilin tangannya dan
kemudian mengaduh tanpa dapat melawan.
Ketika mereka sadar, segera merekapun bergerak maju.
Mereka sudah siap menyerang bersama-sama. Tetapi dalam pada
itu terdengar Arya berkata, “Tidakkah kau dapat mengajari anak
buahmu untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat membawa
bencana bagimu?”
Orang Pamingit itu tahu benar maksud Arya Salaka itu. Namun
ia masih mencoba menggertaknya, katanya, “Biarlah kau
merasakan betapa tajamnya tombak orang-orang Pamingit. Kalau
kau tak segera melepaskan tanganku, umurmu akan menjadi
semakin pendek.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 93
Arya Salaka tertawa. “Kau dengar?” katanya kepada para
pengawal, “Pemimpinmu akan memberi perintah kepadamu.”
“Bohong,” bantah pemimpin pengawal itu, ia masih akan
berkata lagi ketika tiba-tiba Arya menekan lambungnya dengan
tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai kesakitan.
Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan nafasnya. Apalagi
ketika terdengar Arya berkata, “Tombak orang Banyubiru agaknya
memang tidak begitu tajam seperti tombak orang-orang Pamingit,
namun tombak inipun akan dapat merontokkan tulang igamu.”
Ternyata orang Pamingit itu masih sayang kepada tulang
iganya. Dengan segan-segan ia terpaksa berkata agak keras,
“Jangan berbuat sesuatu demi keselamatanku.”
Para pengawal itupun tertegun. Mereka jadi bingung, apa yang
akan mereka lakukan. Kalau mereka menyerang bersama-sama,
mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi kalau mereka tidak
berbuat apa-apa, bukankah mereka telah berbuat kesalahan, dan
sekaligus mimpi mereka tentang tanah yang duapuluh bahu itu
akan lenyap?
Dalam keraguan itu terdengarlah Arya berkata, “Dengarlah
para pengawal yang belum mengenal kawan-kawan
seperjalananku. Kecuali aku dan Eyang Wanamerta terdapat juga
seorang yang pernah kau dengar namanya, yaitu Paman Mahesa
Jenar. Di sampingnya adalah orang yang pernah menggemparkan
tanah lapang itu pula. Ketika itu orang-orang Pamingit mencoba
menangkap Bantaran.”
Pemimpin pengawal itu menggeliat. “Setan!” Ia mengumpat di
dalam hati. Pada saat itu iapun ikut serta mengeroyok orang itu.
Tetapi tidak kurang dari sepuluh orang berkuda samasekali tak
berhasil menangkapnya. Bahkan beberapa orang kawannya telah
jatuh menjadi korban. Sedang para pengawal yang lainpun pernah
juga mendengar ceritera itu dari kawan-kawan mereka atau dari
pemimpinnya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 93
“Masihkah kalian akan melawan kami?” tanya Arya Salaka.
Mereka diam seperti patung. Ternyata di dalam rombongan itu
terdapat orang-orang yang bagi mereka hanya pernah mereka
kenal sebagai tokoh-tokoh dalam ceritera-ceritera kepahlawanan
yang sakti tiada taranya. Hanya pemimpin rombongan pengawal
itu sajalah yang benar-benar menyaksikan betapa Kebo Kanigara
bertempur melawan mereka. Karena itu nafsu perlawanan
merekapun menjadi lenyap. Mereka memang dapat memukul
tanda bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka dengan
tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang seolah-
olah sudah bukan manusia biasa lagi, mereka agaknya menjadi
segan, sebab sebelum kawan-kawan mereka datang, nyawa
mereka pasti sudah beterbangan.
Arya Salaka merasakan betapa dalam pengaruh kata-katanya
itu. Karena itu segera ia mempergunakan kesempatan. Katanya,
“Ki Sanak. Marilah antarkan aku sampai ke rumah Paman Lembu
Sora. Bukankah sudah tidak begitu jauh lagi? Setidak-tidaknya
untuk melampaui gardu penjagaan dan tempat-tempat pemusatan
laskar Pamingit itu.”
Pemimpin rombongan itu menggeram. Ia menjadi marah
sekali. Tetapi tak satupun yang dapat dilakukan. Sebab ia tahu
benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat menembus
jantungnya.
“Marilah....” kata Arya, “Berkuda bersama-sama dengan aku.”
Sungguh suatu pekerjaan yang tak menyenangkan. Tetapi ia
masih ingin dapat melihat bintang-bintang yang bertebaran di
langit biru. Karena itu ia tidak membantah. Selagi ia masih hidup,
ia masih mempunyai harapan untuk melepaskan diri. Dengan
langkah yang kosong pemimpin pengawal itu didorong oleh Arya
Salaka ke kudanya untuk kemudian meloncat ke punggung kuda
itu dan menaikinya bersama-sama.
Kemudian kuda-kuda itupun bergerak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 93
“Kau tahu apa yang harus kau lakukan untuk menyelamatkan
jiwamu?” bisik Arya kepada orang Pamingit itu. Orang itu tidak
menjawab. Tetapi kupingnya serasa tersentuh api. Meskipun
demikian ia berkata, “Jangan berbuat sesuatu, supaya aku tidak
memecatmu.”
“Padamkan obor,” perintah Arya seterusnya.
Ketika obor-obor mereka telah padam, mereka meneruskan
perjalanan mereka yang penuh dengan bahaya. Sebab mereka
samasekali tidak menduga bahwa telah diundangkan suatu hadiah
yang menarik untuk menangkap Arya Salaka. Hal itu akan sangat
mempengaruhi cara berpikir orang-orang Pamingit dan orang-
orang Banyubiru yang berhati goyah.
Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memuji di
dalam hati mereka. Ternyata Arya memiliki ketangkasan berpikir
yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia dapat
mengatasinya tanpa banyak keributan.
“Pandai juga anak itu menghemat tenaga,” bisik Kebo
Kanigara.
Mahesa Jenar tersenyum sambil mengangguk, jawabnya,
“Agaknya ia tidak mau merepotkan orang-orang tua ini.”
Kemudian mereka berdiam diri, Wanamerta berada rapat di
belakang Arya Salaka. Dua orang yang membawa obor itupun
kemudian dipanggilnya mendekat.
“Sediakan titikanmu,” perintah Wanamerta. “Setiap saat kita
perlukan api. Kalau keadaan memburuk harus kita kirimkan tanda-
tanda dengan panah sendaren dan panah api.”
Orang itupun segera menyediakan titikan, emput dan dimik
belerang. Supaya dalam keadaan yang tergesa-gesa mereka dapat
segera menyalakan tanda-tanda apabila diperlukan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 93
“Kalau terjadi perkelahian jangan hiraukan lawan-lawan kita,
tugasmu menyalakan api.” Wanamerta meneruskan.
“Baik Kiai,” jawab orang itu.
Perjalanan menyusur tepi desa itu semakin lama semakin
dalam masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah sepinya.
Tak ada nyala api samasekali dalam rumah-rumah di tepi jalan.
Agaknya mereka dalam ketakutan yang sangat. Atau barangkali
rumah-rumah di tepi jalan itu sudah tidak berpenghuni. Barangkali
mereka telah mengungsi jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari
rumah-rumah mereka yang mungkin akan menjadi ajang perang
yang mengerikan.
Orang-orang Pamingit ternyata tidak mempunyai kebesaran
tekad seperti orang-orang Banyubiru. Mereka sedikit banyak
menggantungkan pekerjaan yang dilakukan pada upah yang
mereka terima. Mereka bekerja pada Lembu Sora bukanlah karena
jiwa pengabdian mereka kepada tanah kelahiran mereka, atau
kepada suatu keyakinan mereka terhadap kebenaran yang dapat
diperjuangkan oleh para pemimpinnya. Mereka bekerja bukan
semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi mereka bekerja
semata-mata karena mereka menerima upah. Itulah sebabnya
orang Pamingit yang berkuda bersama-sama dengan Arya itupun
lebih senang memelihara hidupnya daripada melakukan tugasnya
dengan jantan. Ia masih mengharap untuk dapat hidup dan
melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian hanyalah mereka-reka
alasan untuk membebaskan dirinya dari kemarahan atasannya.
Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat dengan gardu
penjagaan, hati orang itupun menjadi semakin gelisah. Apakah
yang akan dikatakan kepada mereka kalau orang-orang di gardu
penjagaan itu menghentikan rombongan ini. Sedang kalau mereka
akhirnya tahu, bahwa rombongan ini terdiri dari Arya Salaka dan
kawan-kawannya, maka mereka pasti akan mengambil tindakan.
Dengan demikian, maka jiwanyapun terancam pula oleh ujung
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 93
tombak Arya Salaka. Karena itu,demi keselamatan diri, ia berkata
perlahan-lahan, “Kita ambil jalan simpang.”
“Jangan menjebak kami,” sahut Arya Salaka.
“Aku belum gila,” bantah orang itu. “Apakah yang akan kau
katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita melewatinya?”
“Itu bukan urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih ingin
hidup seterusnya,” jawab Arya
“Karena itu, kita lewat jalan simpang yang sempit disamping
pohon Wregu itu,” sahut orang itu.
“Apakah tidak mencurigakan?”, tanya Arya.
“Lebih aman bagimu,” jawab orang Pamingit itu.
“Dan bagimu juga,” Arya meneruskan sambil tertawa.
Tiba tiba terdengar dari gardu penjagaan yang sudah tidak
jauh lagi sebuah teriakan,”He, kemana arah angin?”.
Arya tahu bahwa kata-kata itu adalah pertanyaan sandi. Ketika
orang Pamingit itu belum menjawab, Arya meneruskan ujung
tombaknya sambil berbisik, “terserah kepadamu.”
Orang itu semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga
untuk keselamatannya, “Ke laut…!”
“Dimana letak bintang Waluku?” terdengar suara dari Gardu.
“Tenggara,” jawab orang Pamingit itu.
“He…!” kembali orang di gardu berteriak, “Siapa kau?”
“Dari gardu pertama mengantar orang Banyubiru yang
meninjau medan,” jawab orang yang berkuda bersama Arya itu
berteriak.
“Kenapa lewat jalan sempit itu?” bertanya suara itu pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 93
“Ia akan singgah kerumahnya sebentar. Makan dan mengambil
kambingnya yang tertinggal ketika keluarganya mengungsi,”
jawabnya.
Orang di gardu itu diam. Mereka membiarkan rombongan itu
lewat meskipun didalam hati bertanya tanya, “kenapa demikian
banyak?,” Tetapi karena mereka dapat menjawab kata kata sandi
itu, maka merekapun menjadi tidak bercuriga. Bahkan kemudian
terdengar salah seorang berteriak, “Bawa kambing kemari, kita
panggang disini.”
“Baik,” jawab orang Pamingit itu.
Dengan demikian, mereka selamat melampau penjagaan itu.
Mereka menyususup jalan sempit kemudian lewat beberapa
halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.
“Terimakasih,” bisik Arya, “Kau adalah penunjuk jalan yang
baik. Tetapi dimanakah pemusatan laskar Pamingit?”
“Sudah lampau. Diseberang gardu penjagaan tadi,” jawabnya.
Arya percaya. Ita tertawa dalam hatinya. Beginilah nilai
kesetiaan orang Pamingit. Mereka tidak lebih daripada laskar
bayaran yang tak kenal pengabdian.
Ketika mereka sudah mencapai jalan kecil itu, segera Arya
mengenalnya, kemana ia harus pergi.
Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan orang
pamingit itu.
V
Suara telapak kuda terdengar gemeretak di atas tanah yang
berbatu padas. Didalam malam yang sepi terdengar seperti suara
prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke medan perang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 93
Tiba tiba ketika mereka masih asik berangan angan tentang
diri masing masing, terdengarlah dari arahgardu pertama, suara
kentongan yang berbunyi dua kali tiga ganda, sehingga orang
dalam rombongan berkuda itu menjadi terkejut karenanya.
Orang Pamingit itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah
memberikan tanda. Bahkan kemudian tanda itu disaut oleh gardu
kedua.
“Tanda bahaya?” desis orang Pamingit itu.
“Bahaya apa?” desak Arya.
“Mereka bersiap siap,” jawabnya.
“Bohong,” potong Arya Salaka, “mereka memberi tanda bahwa
ada musuh masuk kedalam pertahanan mereka.”
Orang Pamingit itu diam. Keringat dinginnya mengalir
membasahi punggungnya. Ia samasekali tidak menduga bahwa
anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang baginya adalah
tanda bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba terasa
tengkuknya meremang seperti dirayapi oleh berjuta-juta semut.
Apalagi ketika ujung tombak Arya semakin lekat di lambungnya.
“Kau masih menduga bahwa tombak orang Banyubiru tidak
setajam tombak orang Pamingit?” tanya Arya.
Orang Pamingit yang semula marah itu kemudian kehilangan
kemarahannya, bahkan dengan menggigil ia menjawab: “Tidak,
tidak. itu samasekali bukan salahku. Aku melarang mereka untuk
berbuat hal yang tidak kalian kehendaki.”
“Bohong!” bentak Arya, “kau pasti memberikan tanda-tanda
rahasia kepada mereka.”
“Tidak, tidak,” orang itu benar benar menggtigil. Ia masih
senang untuk tetap hidup. Apalagi upahnya bulan ini masih belum
diterimanya samasekali. Alangkah mengerikannya kalau malam ini
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 93
ia terpaksa mati. Lalu bagaimana dengan anak isterinya? “Bukan,
bukan salahku. Aku masih ingin hidup. Bukankah aku telah
membawa kalian melampaui gardu kedua?”
Arya harus cepat mengambil keputusan. Suara kentongan itu
menjadi semakin merata. Untunglah bahwa ia sudah mengenal
jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik. Karena itu, segera ia
mengambil keputusan untuk secepat cepatnya sampai kerumah
pamannya. Mudah mudahan pamannya dapat mengerti alasan
kedatangannya dan dapat menerimanya untuk beberapa saat saja,
untuk berbakti kepada kakeknya dan apabila mungkin membawa
ibunya keluar dari sarang sarang orang orang licik itu. Sebab tidak
mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing hitam kemarahan
pamannya, atau malahan dijadikan tanggungannya.
“Kita harus sampai secepatnya,” katanya kepada Wanamerta.
Orang Pamingit itu menjadi semakin gemetar. Seolah-olah
ujung tombak Arya itu telah masuk sejari ke dalam perutnya.
“Bagaimana dengan kau?” bentak Arya kepada orang Pamingit
itu.
“Bukan salahku. Aku masih ingin hidup,” pintanya dengan
suara menggigil ketakutan.
Arya menjadi kasihan juga melihat orang itu.
“Anakku lima orang,” sambungnya, “Yang terkecil baru
berumur tiga bulan. Hidupilah aku. Aku akan tunduk segala
perintahmu.” Kata-kata itu meluncur saja tanpa terkendali.
Meskipun hatinya sendiri merasa ragu. Sebab kalau ia menghadapi
keadaan seperti itu, pasti orang itu akan dibunuhnya. Karena itu ia
mencoba meyakinkan, “Anak-anakku akan kelaparan kalau aku
mati. Aku tidak punya sawah dan istriku bukan juragan. Karena itu
aku harus bekerja menjadi laskar Ki Ageng Lembu Sora, meskipun
itu bertentangan dengan jiwaku sendiri. Sebenarnya aku….”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 93
Orang itu tidak sempat menyelesaikan kata-kata ketika tiba-
tiba ia merasa tangan Arya mendorongnya. Ia merasa terlempar
dari punggung kuda itu dan sekali terguling. Kemudian ia hanya
dapat menyaksikan kuda-kuda itu berlari semakin kencang dan
meninggalkan kepulan debu yang putih.
Untuk beberapa saat ia masih duduk di tanah. Nafasnya
bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba lambungnya, dan
tidak terdapat luka samasekali, ia menarik nafas dalam-dalam.
Rupa-rupanya ia masih tetap hidup. Sambil mengangguk-angguk
ia berkata kepada diri sendiri, “Agaknya anak itu benar-benar tidak
mau membunuh aku. Aneh.”
Suara derap kuda itupun menjadi semakin lambat dan
akhirnya menghilang di kejauhan. Orang Pamingit itu berdiri
perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia benar-
benar jatuh terbanting. Namun ia masih tetap hidup. Tiba-tiba ia
menjadi sangat terharu. Ia masih mempunyai harapan untuk
bertemu dengan anak istrinya. Mudah-mudahan kalau besok
benar-benar terjadi pertempuran, ia dapat hidup pula.
“Tuhan Maha Pengasih,” desisnya. Ia terkejut sendiri
mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak pernah
menyebut nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji pada diri sendiri,
kalau ia masih dikaruniai umur panjang, ia akan rajin mengunjungi
masjid. Bahkan ia berjanji untuk memperbaiki masjid di desanya
yang selama ini tak terpelihara.
Ketika ia sedang mengusap air matanya yang tiba-tiba saja
membasahi pipinya, tiba-tiba terdengarlah hiruk pikuk. Ia
mendengar langkah orang berlari-lari. Dari tikungan muncullah
beberapa orang bersenjata dan langsung datang kepadanya.
“Siapa kau?” bentak salah seorang.
“Srengga,” jawab orang Pamingit itu.
“Apa kerjamu di sini?” tanya orang itu pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 93
Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu ia menjawab saja
sekenanya, “Aku terjatuh di sini, lihat ini luka di kakiku.”
“Terjatuh dari mana?” tanya orang itu pula.
Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba seseorang bertanya,
“Kau yang melampaui gardu kedua bersama-sama dengan orang-
orang Banyubiru?”
“Ya,” jawabnya kosong.
Akhirnya ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri pula.
“Aku ditipunya.”
“Bohong,” bentak orang itu. “Anak buahmu datang kepada
kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi.”
Dada orang itu berdesir. Namun ia masih mencoba untuk
mengurangi kesalahannya. Katanya, “Nah, kalau kau sudah tahu
kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku kalau salah
seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang aku alami.
Apa yang akan kalian lakukan? Membunuh diri dan membiarkan
orang itu lari sesudah mengetahui keadaan medan? Apakah kalian
dengan kaki-kaki kalian dapat mengejar derap lari kuda mereka?”
“Pengecut,” bentak salah seorang. “Berapakah jumlah
mereka? Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?”
“Jumlah kami ada 15 orang,” jawab Srengga. “Limabelas orang
dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama yang hanya
bisa jual tampang, Sungsang yang bermata merah tetapi takut
melihat darah.”
“Dipimpin oleh Srengga, yang lebih senang memeluk daging
panggang daripada senjatanya,” potong seseorang.
“Jangan banyak bicara,” Srengga mulai marah. “Kau belum
tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di gardu kedua?
Berapa?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 93
“Juga 15 orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak takut
melawan limabelas orang berkuda. Jangankan empat,” jawab yang
ditanya.
“Omong kosong,” bentak Srengga. “Dengar. Dengan apa yang
telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian. Kau tahu
siapa yang berkuda tadi?”
Orang-orang dari gardu kedua itu tertawa terbahak-bahak.
Salah seorang berkata mengejek, “Menyelamatkan kami? Apakah
yang empat orang itu terdiri dari jin? Atau setan, hantu… atau
tetekan?”
“Lebih dari itu,” potong Srengga. “Mereka adalah Arya Salaka.”
“He…?” semuanya terkejut mendengar nama itu. “Kalau benar
kau benar-benar gila. Dua puluh lima bahu dijanjikan untuk
menangkapnya, hidup atau mati. Dan dua puluh lima bahu itu kau
sia-siakan?”
“Aku belum selesai,” sahut Srengga, “Yang lain adalah Kiai
Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat orang darimu.”
“Masih cukup banyak?” sela seseorang.
“Yang lain lagi…,” Srengga meneruskan, “Orang itu tidak lain
adalah Mahesa Jenar.”
“Mahesa Jenar…?” Mereka berbareng mengulang.
“Ya,” jawab Srengga. “Dan yang seorang lagi adalah orang
yang melindungi Bantaran di tanah lapang beberapa minggu yang
lalu.”
Orang dari gardu kedua itu tiba-tiba terdiam.
“Nah....” Srengga meneruskan, “Hitunglah berapa orang harus
disiapkan untuk melawan mereka. Paling-paling kalian hanya
berani melawan orang-orang yang membawa obor itu. Mahesa
Jenar dan yang seorang lagi, ditambah dengan Arya Salaka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 93
agaknya akan dapat membunuh kami tigapuluh orang tanpa
kesukaran sebelum kami sempat memukul tanda bahaya.”
Mereka masih tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-orang
itu membenarkan sikapnya, katanya meneruskan, “Nah, aku
bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan mereka. Aku antarkan
mereka masuk lebih dalam ke daerah Banyubiru. Maksudku aku
akan membawanya ke alun-alun. Di sana laskar kita akan
berpesta. Bukankah Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, dan
kalau perlu Ki Ageng Sora Dipayana ada?”
Orang dari gardu itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari
mereka berkata, “Agaknya kau pandai bersiasat, Srengga.”
“Itulah,” jawab Srengga, “Karena ketololan kalian dengan
membunyikan tanda-tanda itu, mereka melarikan diri. Aku
dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat sesuatu.”
“Ke mana mereka?” tanya orang-orang dari gardu kedua.
“Kau akan mengejar mereka?” tanya Srengga pula.
Orang-orang di gardu kedua itu diam.
“Kembalilah ke gardu kalian.” Tiba-tiba Srengga memerintah.
“Aku akan kembali ke garduku. Lupakan mimpi burukmu. Tanah
duapuluhlima bahu itu. Sebab kalau kepalamu telah terpisah dari
lehermu, kau tidak akan dapat menikmatinya.”
Srengga tidak menunggu jawaban. Ia langsung kembali ke
gardunya. Di sepanjang jalan sempit itu tiba-tiba ia teringat pada
kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi ke alun-alun, ia
benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar Pamingit, bahkan
mungkin dengan Lembu Sora dan Sawung Sariti. Tanpa sadar,
merayaplah suatu perasaan yang belum pernah dirasakan Srengga
sebelumnya. Ia tiba-tiba merasa cemas terhadap keselamatan
lawannya. Baru kali ini hal itu terjadi. Namun ia tidak mampu
berbuat apa-apa, kecuali tanpa sadar pula ia berdoa di dalam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 93
hatinya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Arya Salaka
dan kawan-kawannya.
Dalam pada itu, laskar Banyubiru yang sedang beristirathat
tidak jauh dari perbatasan kota, mendengar pula tanda-tanda yang
dibunyikan oleh orang-orang Pamingit di Banyubiru. Demikian
mereka mendengar bunyi itu, demikian mereka menjadi gelisah.
Sebelum pemimpin-pemimpin mereka memberikan perintah
apapun, mereka telah menyiapkan diri. Semua orang di dalam
pasukan itu, apalagi orang-orang yang telah dipilih oleh Sendang
Papat untuk menjadi pelopor laskarnya, telah bersiap diri. Mereka
berdiri tegak dengan tekad yang teguh memandangi lambung bukit
di hadapannya. Di leher mereka melingkar kain putih memplak
bergambar gajah berwarna kuning emas sebagai pertanda
kesediaan mereka untuk mati bagi tanah mereka. Yang paling
depan dari mereka itu adalah Sendang Papat sendiri. Tangannya
yang gemetar telah melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum
melihat tanda apapun. Ia belum mendengar bunyi sendaren atau
melihat panah api naik ke udara. Namun karena itulah ia menjadi
semakin gelisah, jangan-jangan Arya Salaka tidak sempat
memberikan tanda-tanda itu.
“Mustahil,” gumamnya.
Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi gelisah. Meskipun Ki
Dalang Mantingan tampaknya tenang-tenang saja, namun di
dalam dadanya pun bergolak perasaan cemasnya, dan di
tangannya tergenggam erat-erat trisulanya. Di sayap kanan,
Penjawi berjalan hilir mudik di hadapan anak buahnya yang telah
memegang senjata masing-masing. Wirasaba duduk di atas
sebuah batu, dan meletakkan dagunya pada tangkai kapaknya.
Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba
menekan hatinya yang gelisah. Namun merekapun belum melihat
tanda apapun yang melontar ke udara.
Sedang pada saat itu kuda Arya Salaka beserta rombongan
meluncur lewat jalan-jalan sempit di dalam kota. Mereka menjadi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 93
semakin dekat dengan alun-alun Banyubiru, tempat Arya bermain
pada masa kanak-kanaknya.
Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak memukul jalan-jalan
berbatu memecah sepinya malam. Beberapa orang yang masih
tinggal di rumah masing-masing menjadi semakin ngeri. Seolah-
olah mereka mendegar gemuruhnya gunung yang meledak di
hadapan mereka.
“Adakah laskar Arya Salaka telah datang....” bisik mereka.
Seorang ibu sambil memeluk anaknya di pembaringan
bergumam, “Apakah kira-kira yang akan terjadi…?”
Suaminya, lelaki tua yang duduk di sisinya menjawab lirih,
“Pertempuran akan berkobar di perbatasan. Mudah-mudahan
mereka tidak akan menginjak halaman rumah kita.”
Kemudian, lelaki tua itu berdiri dan berjalan ke amben di
sebelah. Ia melihat selusin anak-anaknya yang lain sedang tidur
nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya itu terpaksa
dibakar orang, entah orang Pamingit entah orang Banyubiru, dan
dirinya sendiri terpaksa diseret di sepanjang jalan, entah oleh
orang Pamingit entah oleh orang Banyubiru, lalu apakah yang akan
terjadi dengan anak-anak itu. Peperangan adalah sesuatu yang
terkutuk, lebih-lebih bagi anak-anak. Anak-anak yang ingin
menikmati kebesaran alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh
Maha Penciptanya.
Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian itu segala sesuatu
dapat terjadi. Orang yang tangannya telah dibasahi darah,
kadang-kadang menjadi kehilangan kesadaran. Orang-orang yang
dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai hati membunuh seekor
tikus pun, dalam peperangan kadang-kadang akan dapat
melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk. Membunuh, menyiksa
dan bahkan terhadap anak-anak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 93
Di rumah sebelah, lelaki tua itu mendengar tangis bayi
melengking-lengking. Tanpa sesadarnya ia menoleh kepada anak
kecilnya yang tidur di pelukan ibunya. “Jangan menangis,”
desisnya kepada anak yang tidur itu. Anak itu memang tidak
menangis. Tetapi hati lelaki itulah yang menangis.
Istrinya tahu bahwa suaminya sedang berpikir tentang bayi
yang menangis itu, katanya, “Mengungsi di rumah sebelah.”
Suaminya tidak menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di amben
beserta empat anak-anaknya tidur berjajar. Wajah anak-anak itu
tampak bersih bening; sebening udara pagi hari. Tetapi mereka
besok akan menggigil ketakutan; seandainya perang benar-benar
berkobar di perbatasan.
Suara kaki-kaki kuda Arya masih menggemuruh, seperti suara
guruh yang menjalar sepanjang jalan, menuju ke alun-alun. Dalam
kegelapan malam, Arya tidak sempat melihat apakah di alun-alun
itu banyak berjaga-jaga laskar Lembu Sora. Yang dilakukan adalah
menerobos alun-alun itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya
sepasang beringin, yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu.
Agaknya alun-alun itu memang sepi. Laskar Lembu Sora
hampir seluruhnya telah dikerahkan di pemusatan-pemusatan
laskar di garis pertempuran. Namun di muka rumahnya, Arya
masih melihat segerombolan orang yang agaknya bertugas
menjaga rumah itu. Mereka telah berada dalam kesiagaan penuh,
ketika mereka mendengar tanda kentongan yang mengumandang
di garis perbatasan.
Ketika mereka mendengar derap kuda mendekati, mereka pun
segera memencar. Dari ujung alun-alun itupun muncul pula
segerombolan laskar cadangan. Tetapi demikian mereka siap,
demikian Arya telah berada di hadapan hidung mereka.
Ketika ujung-ujung senjata mengarah kepadanya, Arya
menghentikan kudanya. Demikian juga orang-orang lain dalam
rombongan itu. Dengan tangan kirinya, Arya memegang tombak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 93
kebesarannya, sedang tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi,
sebagai suatu pertanda bahwa ia datang untuk tujuan tanpa
kekerasan.
Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun, para penjaga
agaknya telah mengenal beberapa orang di antara rombongan itu.
Wanamerta dan Mahesa Jenar. Karena itu mereka menjadi sangat
berhati-hati.
Salah seorang dari mereka kemudian melangkah maju. Ia
berhenti beberapa langkah di hadapan kuda Arya. Dengan
seksama ia mencoba memperhatikan anak muda itu. Tetapi malam
cukup gelap dan cahaya obor di kejauhan hanya samar-samar
sampai. Sedang Arya Salaka telah lenyap beberapa tahun semasa
ia masih terlalu kecil untuk datang dengan tombak di tangan.
Sekarang, di punggung kuda itu duduk seorang anak muda yang
perkasa. Karena itu orang itu tidak segera dapat mengenal, bahwa
anak muda yang memegang tombak itu adalah Arya Salaka.
Kemudian terdengarlah suara orang itu dengan garangnya,
“Siapakah kau yang datang bersama-sama dengan Kiai
Wanamerta dan Mahesa Jenar?”
Arya Salaka tersenyum. Ia kenal orang itu. Ketika masa
kecilnya ia sering datang ke Pamingit, dan pernah dikenalnya
pengawal pribadi pamannya itu.
Jawabnya, “Selamat malam Paman Wulungan. Apakah Paman
lupa kepadaku?”
Wulungan mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia mengamat-
amati anak muda itu. Namun sampai beberapa lama ia masih
belum dapat mengenalnya kembali. Tetapi akhirnya ia tidak perlu
mengingat-ingatnya. Ia dapat bertanya kepadanya. Tidakkah
mustahil bahwa di Banyubiru dan Pamingit ini semua orang
mengenalnya sebagai seorang yang dipercaya untuk menjadi
pemimpin pengawal pribadi Lembu Sora beserta keluarganya?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 93
Karena itu sekali lagi ia berkata garang, “Jawab pertanyaanku.
Siapakah kau?”
Arya masih tersenyum. Namun ia menjawab, “Arya Salaka.”
“He…?” Orang itu terkejut, “Jadi kaukah Angger Arya Salaka?”
“Ya,” jawab Arya.
Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya. Untuk beberapa
saat ia terbenam dalam ingatannya beberapa tahun yang lalu. Ia
selalu baik dan hormat terhadap anak ini, sebagai putra Ki Ageng
Gajah Sora. Tiba-tiba kali inipun ia bersikap hormat pula. Sambil
mengangguk ia berkata, “Aku benar-benar pelupa. Tetapi Angger
telah tumbuh demikian cepatnya.” Tiba-tiba ia ingat akan
tugasnya. Ia ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora
kepadanya, bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan
Gajah Sora atau pengikut-pengikutnya. Karena itu dengan tiba-
tiba pula ia mengubah sikapnya. Ia mencoba untuk berkata dengan
garang seperti semula, meskipun kewibawaan Arya
mempengaruhinya. “Jadi kau yang menamakan diri Arya Salaka?”
Arya sudah tidak tersenyum lagi. Ia melihat perubahan sikap
itu. Dengan tenang ia menjawab, “Ya. Akulah Arya Salaka.”
“Apa perlumu datang kemari?” Wulungan bertanya.
“Aku ingin mengunjungi Kakek Sora Dipayana,” jawab Arya.
“Kau datang dengan laskarmu?” tanya orang itu pula.
Kembali Arya tersenyum, jawabnya, “Sebagaimana Paman
Wulungan lihat. Aku datang hanya berenam.”
Wulungan mengerutkan keningnya. Arya Salaka memang
hanya berenam. Tetapi ia menegaskan, “Siapakah yang berbaris
rapat di perbatasan?”
“Laskarku,” jawab Arya Salaka pendek.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 93
“Adakah dengan demikian kau hanya berenam saja?” tanya
Wulungan mendesak.
“Kalau aku datang dengan seluruh laskarku, maka
pertempuran pasti sudah berkobar,” jawab Arya.
“Bukankah maksudmu memang demikian?” sahut Wulungan.
Arya memandang Wulungan dengan seksama. Perubahan
sikapnya yang tiba-tiba, serta pertanyaannya yang mendesak,
mengingatkannya kepada kata-kata Srengga di gardu pertama.
“Duapuluhlima bahu buat menangkap Arya Salaka. Hidup atau
mati.”
“Janji yang terkutuk,” desis hatinya.