19 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja

93
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93

Upload: sariyanti-palembang

Post on 15-Aug-2015

113 views

Category:

Art & Photos


22 download

TRANSCRIPT

Page 1: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93

Page 2: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 93

I

etapi sementara itu, Wanamerta memandang sekelilingnya

dengan alis yang berkerut-kerut. Ia melihat perubahan pada

tata perkelahian lawannya.

Wanamerta tidak lagi melihat mereka bersiap untuk

menyerang satu demi satu atau berdua atau bertiga sekalipun.

Yang dilihatnya adalah orang-orang Pamingit itu mulai membuat

sebuah gelang, mengelilingi mereka berdua.

“Setan,” desis Sendang Papat.

“Mereka mengepung kita,” sahut Wanamerta.

Sendang Papat memutar kudanya untuk melihat keadaan di

sekelilingnya. Ia melihat sepuluh, bahkan lebih dari itu, orang-

orang berkuda di sekelilingnya. Sedang di tengah lapang itu, ia

melihat beberapa ekor kuda tak berpenumpang. Dua tiga orang

Pamingit terbaring di antara beberapa orang Banyubiru yang

terluka dan bahkan ada yang terbunuh di tanah lapang itu. Suatu

kekacauan yang mengerikan.

Tetapi sementara itu, Wanamerta dan Sendang Papat harus

berpikir tentang diri mereka. Ketika mereka melayangkan kembali

pandangan mereka, mereka melihat perlahan-lahan kuda-kuda

yang mengepung itupun mulai bergerak maju.

Wanamerta adalah seorang tua yang berpengalaman cukup.

Karena itu segera ia mengetahui maksud orang-orang Pamingit itu.

Maka desisnya, “Sendang, jangan beri kesempatan mereka

bersama-sama menyerang. Kau lihat kelemahan mereka?”

Sendang menggeleng lemah.

“Kita menyerang dari arah api. Aku harap mereka terganggu

oleh cahaya yang silau itu. Kita tembus dinding yang bertentangan

dengan arah cahaya. Secepat-cepatnya, sebelum datang yang lain,

T

Page 3: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 93

mereka sempat membantu,” kata Wanamerta setengah

memerintah.

Sendang Papat telah menangkap maksud orang tua itu. Ia

memuji didalam hatinya. Tetapi ia tidak sempat untuk berkata

apapun, sebab demikian Wanamerta selesai berkata, demikian ia

menarik kekang kudanya dan memacu ke arah barat. Sendang

Papat pun segera menyusul. Pedangnya berkilau-kilau kemerah-

merahan oleh cahaya api yang sudah mulai berkurang. Namun

cahayanya masih cukup besar untuk menerangi seluruh tanah

lapang itu.

Orang-orang Pamingit itu terkejut melihat kesigapan

Wanamerta dan Sendang Papat. Meskipun mereka sudah mengira,

bahwa kedua orang itu tidak akan mau menyerah begitu saja,

namun serangan mereka berdua yang tiba-tiba, telah

menyebabkan mereka kehilangan waktu beberapa saat untuk

menilai gerakan itu.

Demikianlah, Wanamerta telah mencapai dinding kepungan

itu, dengan membelakangi api yang menyala-nyala. Setiap garis-

garis yang tergores pada tubuh orang Pamingit itu. Setiap

gerakannyapun dapat diketahuinya. Sebaliknya orang-orang itu

hanya melihat bayangan hitam seperti terbang menerkamnya.

Mereka tidak dapat melihat dengan jelas, gerakan-gerakan apakah

yang sudah dilakukan oleh dua hantu yang seakan-akan meloncat

dari tengah-tengah itu. Karena itu mereka menjadi gugup.

Tetapi sesaat kemudian, kawan-kawan mereka pun menjadi

sadar. Mereka akhirnya mengetahui juga, bahwa Wanamerta telah

mengambil keuntungan dari cahaya api yang silau itu. Dengan

demikian segera merekapun bergerak maju mengejarnya.

Ternyata perhitungan Wanamerta adalah tepat. Ia dapat

mencapai dinding kepungan sebelum lawan-lawan mereka yang

lain sempat membantu. Dengan telapaknya Wanamerta

menyerang orang yang menghadang di hadapannya. Meskipun

Page 4: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 93

kemudian orang dikanan kirinya merapat, namun cahaya yang

silau telah membuat untung Wanamerta dan Sendang Papat.

Perkelahian yang terjadi kemudian tidak berlangsung lama.

Mereka tidak dapat menahan kedua orang itu untuk menerobos

kepungan mereka. Dengan demikian akhirnya Wanamerta berhasil

keluar dari lingkaran maut itu bersama-sama dengan Sendang

Papat. Tetapi Wanamerta kemudian tidak mau disilaukan oleh api

yang memberinya keuntungan, apabila ia harus melawan

pengejarnya. Karena itu segera ia membelokkan arah kudanya ke

kanan.

Tetapi orang-orang Pamingit itu telah mendapatkan kesadaran

mereka. Sebagian dari mereka segera menyusul, dan sebagian lagi

memotong jalan. Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat telah

melepaskan diri dari kepungan. Mereka dapat menghadapi lawan

mereka dari satu arah. Meskipun demikian lawan mereka terlalu

banyak. Sehingga kemudian ternyata bahwa Wanamerta dan

Sendang Papat pun terdesak. Menghadapi keadaan yang demikian,

kedua orang Banyubiru yang gemblengan itu malahan telah

membulatkan tekad untuk melawan sampai kesempatan terakhir.

Dalam pada itu, ketika mereka sedang berkelahi mati-matian,

tiba-tiba terdengarlah suara-suara anak muda tertawa. Disusul

oleh sebuah aba dari antara mereka, “Ayolah, kita mulai.”

Yang berada di tanah lapang itu kemudian dikejutkan oleh

munculnya empat ekor kuda dari sudut tanah lapang itu. Kemudian

seekor lagi ditunggangi oleh seorang anak muda yang tampan,

bertubuh tegap dan berdada bidang. Agaknya anak muda yang

terakhir itulah yang telah mengucapkan aba-aba. Sedang keempat

anak muda yang lain itupun langsung menerjunkan diri ke kancah

pertempuran.

“Ayolah Kiai,” teriak salah seeorang di antaranya, “Aku berada

di pihak Kiai dan Paman Sendang Papat.”

Page 5: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 93

Wanamerta heran melihat kedatangan mereka. Demikian juga

Sendang Papat. Wanamerta adalah orang Banyubiru sejak

Pangrantunan. Tetapi terhadap anak-anak muda itu ia belum

begitu mengenal. Sedang mula-mula Sendang Papat pun agak

ragu, siapakah yang telah datang tepat pada saatnya membantu

mereka berdua.

Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat belum sempat bertanya

tentang mereka. Pertempuran itu menjadi kian sengit. Keempat

anak muda itupun berkelahi dengan tekad yang menyala-nyala.

Dengan demikian pekerjaan Sendang Papat dan Wanamerta

menjadi berkurang. Lawan-lawan mereka setidak-tidaknya telah

berkurang dengan empat orang, yang harus melayani keempat

anak muda yang bertempur dengan tenaga yang penuh. Namun

agaknya keempat anak muda itu masih kurang pengalaman,

sehingga meskipun mereka bertempur mati-matian, tetapi

ternyata bahwa mereka tidak lebih dari setiap orang dari laskar

Pamingit itu. Sehingga dengan demikian, pertempuran itupun

hampir tak terpengaruh oleh kehadiran keempat orang itu.

Meskipun demikian, kesempatan untuk menjaga diri bagi

Wanamerta dan Sendang Papat adalah jauh lebih besar dari

semula.

Maka semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin

keras. Orang-orang Pamingit yang tidak segera dapat

menyelesaikan pekerjaan mereka itupun menjadi marah dan

bertempur semakin liar. Karena jumlah mereka lebih banyak maka

kemudian mereka pun berhasil sedikit demi sedikit menguasai

keadaan, sehingga pertempuran itupun menjadi berat sebelah.

Ternyata yang menjadi pusat perhatian mereka adalah Wanamerta

dan Sendang Papat. Sedang terhadap keempat anak muda itu

mereka hanya sekedar memberikan perlawanan untuk menjaga

mereka supaya mereka tidak dapat langsung membantu

Wanamerta dan Sendang Papat.

Dalam keadaan yang demikian itu, maka tiba-tiba pemuda

yang seorang lagi yang masih duduk diam di atas punggung

Page 6: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 93

kudanya di tepi lapangan itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya itu

sangatlah menarik perhatian. Baik orang Pamingit maupun

Wanamerta dan Sendang Papat. Bahkan kawan kawannya pun

menoleh kepadanya.

“Permainan yang jelek,” katanya. “Tidakkah kalian dapat

berkelahi lebih baik?”

“Apakah yang jelek?,” jawab salah seorang temannya.

“Kalian hanya mampu berputar putar seorang penari jathilan

di atas kuda kepang,” jawab anak muda itu….

Kawan-Kawan anak muda itu tak ada yang menjawab. Tetapi

pertempuran masih berlangsung terus. Sehingga kemudian

terdengar ia berkata pula, “Kiai Wanamerta dan Paman Sendang

Papat pun agaknya sudah terlalu payah. Tetapi cara-cara yang

dipergunakan, serta gerak-gerak yang bersumber pada Paman

Mahesa Jenar agaknya cukup menarik.”

Wanamerta dan Sendang Papat sekali lagi terkejut bukan

main. Kenapa anak muda itu mengetahui beberapa unsur gerak

yang dipelajarinya dari Mahesa Jenar?

Kemudian terdengarlah anak muda yang gagah tampan itu

meneruskan, “Tetapi sayang, bahwa Paman Sendang Papat kurang

berhasil mengambil keuntungan dari gabungan ilmu Ki Ageng Supit

Wanakerta dengan ilmu dari perguruan Pengging.”

Sendang Papat menjadi semakin heran. Ia belum pernah

mengenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta. Sedang yang dikenalnya

hanya Wanamerta. Tiba-tiba ia tidak dapat menunda keinginannya

untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu, sehingga

sambil bertempur ia berteriak, “Aku belum kenal Ki Ageng Supit

dari Wanakerta.”

“Kalau begitu....” jawab anak muda itu, “Kakang Sendang pasti

kenal salah seorang muridnya.”

Page 7: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 93

“Siapakah dia?” tanya Sendang Papat.

“Wiraraga atau Dalang Mantingan,” jawab anak muda itu.

Kembali Sendang Papat keheranan. Ternyata anak muda itu

kenal pula kepada Ki Dalang Mantingan.

Sementara itu orang-orang Pamingit menjadi semakin

mendesak pula. Sehingga akhirnya Wanamerta dan Sendang Papat

benar-benar mengalami kesulitan. Dalam keadaan yang demikian

itulah tiba-tiba anak muda yang masih berdiam diri di pinggir tanah

lapang itu berkata lantang, “Maafkan aku Kiai Wanamerta dan

Kakang Paman Papat kalau aku ikut campur pula dalam

pertempuran ini.”

Setelah selesai dengan kata-katanya, segera ia mendorong

kudanya untuk terjun ke dalam pertempuran.

Mula-mula orang Pamingit itu tidak banyak

memperhatikannya. Mereka mengira bahwa anak muda itu tidak

terlalu jauh terpaut dari keempat kawannya. Tetapi ketika anak

muda itu telah benar-benar bertempur, ternyata ia benar-benar

mengejutkan. Dalam saat yang sangat pendek, ternyata ia telah

berhasil melemparkan dua orang Pamingit dari kudanya.

“Gila…!” teriak salah seorang yang terlempar itu dengan penuh

kemarahan. Punggungnya terasa betapa sakit, sedang bajunya

tersobek lebih sekilan. Dengan mengumpat-umpat ia berusaha

untuk mengejar kudanya kembali dan dengan susah payah ia

meloncat ke punggungnya. Demikian pula kawannya yang seorang

lagi. Sambil memungut pedangnya ia berteriak, “Anak gila,

agaknya kaupun ingin menjadi bangkai seperti Wanamerta dan

Sendang Papat.”

Anak muda itu tertawa. Sedang tandangnya menjadi semakin

mengherankan. Ia menyerang seperti elang untuk kemudian

melingkar dan menyerang kembali. Ia tidak pernah menghindari

Page 8: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 93

setiap serangan, dan bahkan dengan tertawa nyaring ia melawan

dua tiga orang sekaligus.

“Aneh,” pikir Wanamerta dan Sendang Papat seperti berjanji.

Perhatian orang-orang Pamingit kemudian lebih banyak tertuju

kepadanya daripada Wanamerta dan Sendang Papat. Apalagi

mereka berduapun menjadi seolah-olah penonton yang

keheranan. Demikian juga keempat kawan-kawannya.

Anak muda itu, yang bertubuh tegap dan kekar dan tampan,

bertempur seperti anak bermain kejar-kejaran. Wajahnya

samasekali tidak menunjukkan kesungguhan. Sayang bahwa

cahaya api yang semakin pudar, tidak memberi kesempatan

kepada Wanamerta dan Sendang Papat untuk mengenalnya

dengan baik.

Dengan nada yang segar, anak muda itu berkata, “He, kawan-

kawan dari Pamingit. Kenapa kalian bersusah payah mengejar-

ngejar Kiai Wanamerta dan Kakang Sendang Papat, sedang orang-

orang yang bersalah tidak kau tangkapi?”

“Siapa yang bersalah itu?” teriak orang-orang Pamingit dengan

marah.

“Sontani dan orang-orangnya,” jawab anak muda itu.

“Omong kosong,” bentak orang Pamingit yang lain sambil

memutar pedangnya menyambar punggung anak itu.

Dengan enaknya anak muda itu mengelak tanpa berkisar.

Tetapi kemudian dengan satu gerakan yang sederhana ia telah

berhasil memukul dengan tangannya. Ya, dengan tangannya,

pergelangan tangan orang yang menyerangnya, sehingga

terdengar ia mengaduh perlahan, dan pedangnya terpelanting

jatuh di tanah. Orang itu menggeram marah, tetapi ia memacu

kudanya menjauhi anak muda itu, sebelum ia berhasil

mendapatkan sebilah pedang yang lain yang dipungutnya dari

seorang kawannya yang telah terbaring di tanah.

Page 9: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 93

Anak muda itu masih bertempur dengan lincahnya. Wanamerta

dan Sendang Papat, seolah-olah terbebas samasekali dari

perkelahian itu. Mereka kini tinggal menghadapi seorang-seorang.

Sedang yang lain lebih banyak mencari perhatian untuk

menjatuhkan pemuda itu lebih dahulu.

Dengan tertawa anak muda itu kemudian terdengar berkata,

“He, kawan-kawan Pamingit. Demikianlah kira-kira yang akan

kalian alami, kalau kalian pada suatu saat terpaksa bertempur

melawan Arya Salaka.”

“Arya Salaka…?” u;ang salah seorang dari padanya, sedangkan

dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat tertarik pula pada kata-

kata itu.

“Ya, Arya Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi. Aku

hanya menirukan beberapa bagian dari ilmunya,” anak muda itu

melanjutkan.

Tak ada yang terdengar menjawab perkataannya. Tetapi

orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin marah. Namun

mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak akan

mampu melawan anak muda itu bersama-sama dengan

Wanamerta, Sendang Papat dan keempat anak-anak muda yang

lain, yang menganggap perkelahian itu seperti permainan saja.

“Arya Salaka dapat memukul hancur kepala kuda yang kalian

naiki hanya dengan tangannya.” Anak muda itu meneruskan. Dan

tiba-tiba ia menyambar salah seorang lawannya, dan dengan gerak

yang mengejutkan ia menghantam kepala kuda itu. Terdengarlah

suara ledakan disusul dengan teriakan-teriakan anak-anak muda

yang lain, seperti mereka melihat kawannya menang bertaruh.

Kuda itu menggeliat dan memekik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh

berguling untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir darah

bercampur otak yang menghambur-hambur. Orang yang semula

melekat di punggung kuda itu, juga terbanting. Seperti orang

lumpuh ia menyaksikan kepala kudanya pecah. Tubuhnya terasa

Page 10: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 93

gemetar dan seolah-olah segala persendian tubuhnya terlepas satu

sama lain.

“Hebat…, hebat….” teriak kawan-kawannya. Tetapi orang-

orang Pamingit menjadi pucat karenanya.

“Hebat….” desis Wanamerta dan Sendang Papat perlahan-

lahan.

Anak muda itu memutar

kudanya sekali. Dan orang-

orang Pamingit mulai men-

jauhinya.

“Lihatlah kepala kuda itu,”

katanya. Wajahnya yang cerah

itu beredar berkeliling.

“Nah, siapa yang ingin

kepalanya sendiri aku pecah-

kan seperti kepala kuda itu?”

katanya pula.

Tak seorang pun terdengar

menjawab. Orang-orang

Pamingit itupun telah berhenti

menyerang dengan kuda-kuda

mereka, tegak beberapa

langkah berkeliling, seperti hendak mengepung anak muda itu.

Namun tak seorangpun berani mendekati.

“Nah, ketahuilah bahwa Arya Salaka pun mampu berbuat

demikian,” katanya.

“Tetapi itu tidak mengherankan.” Tiba-tiba salah seorang dari

orang-orang Pamingit itu berkata. Mata anak muda itupun menjadi

redup. Dengan sudut matanya ia memandang orang Pamingit itu.

“Kau tidak heran…?” Ia bertanya.

Page 11: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 93

Ternyata orang Pamingit itu menjadi gemetar. Tetapi ia malu

untuk menunjukkan perasaan takutnya. Meskipun terbata-bata ia

menjawab, “Sawung Sariti pun mampu melakukan. Ia memiliki aji

Lebur Sekethi.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Hebat.

Memang, Lebur Sekethi pun hebat pula. Sehebat Sasra Birawa dan

Cundha Manik dari Gunungkidul. Tetapi ilmu semacam itupun

mengenal tingkatan pula. Sawung Sariti menekuni ilmunya sambil

makan dan minum seenak-enaknya. Kalau ia lelah, ia dapat

berbaring di tempat pembarian yang empuk dan baik. Tetapi tidak

dengan Arya Salaka.”

Anak muda itu berhenti sambil menarik nafas. Ia menunggu

kalau-kalau ada yang mencoba menjawabnya. Namun orang-

orang Pamingit itu menjadi seperti orang-orang terinjak. Diam.

“Dengarlah....” katanya kemudian, “Sawung Sariti berlatih di

dalam pendapa yang terlindung dari terik matahari. Beberapa

orang mengipasinya kalau keringatnya mulai mengalir. Dengan

tergesa-gesa gadis-gadis menyediakan air hangat bila ia haus.

Dan apa yang terjadi dengan Arya Salaka?

Ia mesu diri sejadi-jadinya dalam masa pembajaan. Apabila

siang, ia berlatih di terik panas matahari. Apabila malam ia berlatih

dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah, ia membaringkan

dirinya, beralas rumput, berselimut langit. Kalau ia haus,

minumlah ia air hangat yang baru memancar dari sumbernya.

Sedangkan kalau ia lapar, dengan sabarnya ia menunggui perapian

dimana ia merebus jagung atau ketela pohon.

Disamping itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja keras.

Ia mencangkul di antara para petani. Berjuang melawan ombak

dan taupan di antara para nelayan.

Page 12: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 93

Nah, katakan sekarang hai orang-orang Pamingit. Siapakah

yang kira-kira akan lebih kuat dan masak menguasai ilmunya. Arya

Salaka atau Sawung Sariti?”

Tak ada jawaban. Orang-orang Pamingit itu masih diam.

Beberapa orang menjadi semakin pucat.

“Tidakkah ada yang dapat menjawab?” tanya anak muda itu

pula. Lalu tiba-tiba sambil menunjuk kepada orang yang semula

memperbandingkan Arya Salaka dan Sawung Sariti, anak muda itu

bertanya, “Hai, kau yang membanggakan anak Lembu Sora itu,

jawablah, manakah yang lebih masak. Lebur Sekethi yang

dibumbui dengan pemanjaan diri ataukah Sasra Birawa yang

dialasi oleh penderitaan lahir dan batin, namun dijiwai oleh

ketawakalan dan pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa…?”

Orang yang ditunjuk itupun menjadi semakin ketakutan.

Terasa lututnya bergetar. Dan mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.

“Tidakkah kau bisa menjawab?” tanya anak muda itu pula.

Namun orang itupun benar-benar tak mampu menjawab.

Karena itu terdengarlah anak muda itu tertawa. “Jangan takut,”

katanya. “Aku tidak akan membunuh seorangpun di antara kalian,

apabila tidak berbuat hal-hal yang tak aku kehendaki.”

Anak Muda itu diam sesaat, lalu meneruskan, “Ketahuilah dan

rasakanlah kebenaran kata-kataku. Ilmu yang bagaimanapun

dahsyatnya, tetapi ia tidak diterapkan dalam pengabdian yang

benar, ia samasekali tak berarti. Bahkan ia akan menjadi jauh lebih

berbahaya dari segala macam ilmu. Sebaliknya Arya Salaka telah

menempatkan dirinya dalam kancah penderitaan lahir batin.

Dengan suatu keyakinan, bahwa berbahagialah mereka yang

menderita. Sebab dengan demikian ia akan dapat menempatkan

dirinya dalam pengabdian untuk mereka yang menderita. Dalam

tempat itulah Arya Salaka akan mempergunakan ilmunya. Dan

tidak mustahil bahwa pada suatu ketika Arya Salaka akan berdiri

berentang muka dengan Sawung Sariti. Masing-masing dengan

Page 13: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 93

Sasra Birawa dan Lebur Seketi. Tetapi Lebur Saketi yang telah

dinodai.”

Ketika anak muda itu diam untuk sesaat, lapangan itu

dicengkam oleh kesepian. Suara api telah lama terhenti. Dan

nyalanya pun telah menjadi semakin pudar pula.

“Kalau begitu....” akhirnya anak muda itu berkata pula,

“Tinggalkan tempat ini. Katakan kepada laskar Pamingit yang lain

bahwa Arya Salaka akan datang. Katakan bahwa seorang anak

muda telah mempertunjukkan ilmu Arya itu. Sebagian kecil saja.

Sebab Arya Salaka tidak saja dapat memecahkan kepala kuda,

tetapi batu sebesar kepala kuda itu, dan bahkan kepala kalian

semua.”

Mendengar kata-kata itu, mulailah laskar Pamingit itu gelisah.

Mereka, yang bagaimanapun juga adalah laskar-laskar yang

dipercaya, agak malu untuk begitu saja meninggalkan tugasnya.

Karena itulah maka anak muda itu membentak, “Kenapa kalian

belum juga pergi? Apakah kalian masih ingin melihat pertunjukan

yang lain…? Pergilah. Kenangkanlah di dalam dadamu. Kalau Arya

Salaka mampu berbuat demikian, apakah yang akan dapat

dilakukan oleh gurunya, Mahesa Jenar?”

Sekarang orang-orang Pamingit itu tidak menunggu perintah

itu untuk ketiga kalinya. Ketika salah seorang dari mereka,

menarik kekang kudanya, dan kemudian memutarnya, yang lain-

lainpun segera berloncatan meninggalkan tanah lapang yang

mengerikan itu.

Sesaat kemudian tinggallah Wanamerta, Sendang Papat, anak

muda yang perkasa itu dan keempat kawannya. Dalam cengkaman

keheranan Wanamerta dan Sendang Papat tertegun seperti

tonggak batu.

Mereka tersadar ketika anak muda itu mendekati mereka

sambil berkata, “Paman Wanamerta, sebaiknya Paman

meninggalkan tempat ini. Siapa tahu bahwa laskar Pamingit akan

Page 14: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 93

kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Meskipun barangkali

aku masih dapat melindungi Paman dan Kakang Sendang Papat,

meskipun seandainya Lembu Sora sendiri yang datang, namun

perbuatan itu samasekali kurang bijaksana. Bukankah Paman

mendapat kesempatan untuk pergi sekarang?”

“Ya, ya, Ngger,” jawab Wanamerta terputus-putus, “Aku

ucapkan terima kasih yang tak terhingga.”

“Paman dapat mempergunakan kuda-kuda kami untuk kawan-

kawan Paman dan Kakang Sendang Parapat. Tinggalkan kota ini

sebelum matahari terbit. Supaya Paman tidak banyak mengalami

gangguan, serta kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya

dapat dikurangi.” anak muda itu meneruskan.

“Baik, baik Ngger,” jawab Wanamerta, yang seolah-olah

merasa dirinya betapa bodohnya. Tiba-tiba ia teringat pada

keinginannya untuk mengetahui siapakah pemuda yang aneh,

yang memiliki keperkasaan yang luar biasa itu. Katanya kemudian,

“Tetapi perkenankanlah aku mengetahui siapakah Angger-angger

ini semuanya?”

Anak muda itu tersenyum. Jawabnya, “Paman tidak perlu

mengenal aku. Aku adalah anak kabur kanginan. Tanpa tempat

tinggal, tanpa sanak kadang.”

Wanamerta menarik nafas panjang. Desaknya, “Ah, apakah

keberatan Angger? Aku hanya sekadar ingin menceritakannya

kepada Angger Mahesa Jenar dan Cucu Arya Salaka, bahwa Angger

telah menyelamatkan kami berdua.”

Anak muda itu tertawa. Kemudian ia meloncat dari kudanya.

Ia tidak menjawab pertanyaan Wanamerta, tetapi katanya,

“Bawalah kudaku. Kawan-kawanku akan mengantarkan.

Seterusnya, pakailah kuda-kuda mereka untuk kembali ke

perkemahan.”

Page 15: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 93

“Terimakasih Ngger,” jawab Wanamerta, “Kami mengucapkan

terimakasih yang tak ada taranya. Tetapi Angger belum menjawab

pertanyaanku.”

Sekali lagi anak itu menghindari pertanyaan Wanamerta,

katanya, “Waktuku tidak terlalu banyak Paman. Kami persilakan

Paman berangkat.” Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata,

“Antar Paman sampai tempat Kakang Sendang Parapat

disembunyikan. Pinjamkan dua ekor kuda kalian. Aku akan pulang

dahulu dengan berjalan kaki.”

Pemuda itu tidak menunggu lama, kepada Wanamerta ia minta

diri, katanya, “Sudahlah Paman, aku tidak akan membuat

permusuhan-permusuhan di Banyubiru. Lebih baik aku

menyembunyikan diri. Salamku buat Paman Mahesa Jenar dan

Arya Salaka, Bibi Wilis dan Widuri, kalau ia turut serta. Juga untuk

Paman Kebo Kanigara.”

Setelah itu, maka dengan tidak menunggu jawaban, ia

melangkah meninggalkan Wanamerta dan Sendang Papat yang

memandanginya dengan kagum. Anak itu berjalan dengan langkah

yang tetap tegap. Seakan-akan dari tubuhnya memancarkan

kewibawaan yang agung.

Tiba-tiba Wanamerta ingat kepada kata-katanya. Kata-kata

anak muda yang tak mau dikenal itu, bahwa Arya Salaka pun

mampu melakukan apa yang baru saja dilihatnya dengan Sasra

Birawa. Karena itulah ia menjadi bangga dan berbesar hati.

Meskipun Arya agak lebih muda dari anak yang aneh itu, namun ia

yakin bahwa Arya Salaka pun akan mampu menggemparkan

orang-orang Pamingit kelak.

“Marilah Paman….” Tiba-tiba seorang dari anak muda yang

empat itu mengajak.

Wanamerta terkejut. Seperti orang tersadar dari mimpinya, ia

menjawab tergagap, “Marilah Angger.”

Page 16: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 93

Sesaat kemudian berjalanlah iring-iringan kuda itu ke rumah

Prana, tempat Sendang Parapat disembunyikan.

Sendang Papat menggandeng kuda anak muda yang tak mau

dikenalnya, sedang Wanamerta duduk dengan muka tunduk. Tiba-

tiba seperti orang yang teringat sesuatu Wanamerta bertanya,

“Anak-anak muda, siapakah sebenarnya kalian ini?”

Mereka berempat tersenyum bersama-sama. Salah seorang

dari mereka menjawab, “Kami adalah anak-anak Banyubiru saja

Kiai.”

Wanamerta menarik nafas kecewa. Anak-anak itupun agaknya

tidak mau menyatakan diri mereka. Ia menjadi heran, kenapa hal

itu disembunyikan. Apakah mereka takut pembalasan dendam dari

orang-orang Pamingit? Dan bukankah ia bukan orang Pamingit?

Dan bukankah anak muda yang pertama tadi tidak takut kepada

Lembu Sora sekalipun? Alangkah hebatnya. Seorang yang masih

semuda itu, telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan

Ilmu Lembu Sora.

Tetapi Wanamerta tidak bertanya lagi. Ia merasa bahwa hal itu

tak akan berguna. Kenangannya kemudian bergeser kepada

Sendang Parapat. Mudah-mudahan ia mendapat pertolongan.

Perjalanan mereka tidak memerlukan waktu lama. Rumah

Prana tidak begitu jauh dari tanah lapang itu. Begitu mereka

sampai, Sendang Papat tidak menunggu lagi. Segera ia meloncat

menambatkan kudanya serta kuda yang dituntunnya, untuk

kemudian dengan tergesa-gesa mengetuk pintu rumah itu.

Sekali dua kali, ketukannya tidak mendapat jawaban. Baru

setelah Sendang Papat mengulang-ulang, terdengarlah seseorang

bertanya, “Siapa…?”

“Aku Sendang Papat,” jawabnya.

Perlahan-lahan pintu rumah itupun terbuka. Seorang yang

telah setengah umur, berdiri di balik pintu itu.

Page 17: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 93

“Paman Prana,” sapa Sendang Papat.

“O, kau Sendang, masuklah,” jawab Prana.

“Aku bersama dengan Kiai Wanamerta,” Sendang Papat

menjelaskan.

“Marilah Kiai,” ajak Prana, “Marilah masuk.”

Wanamerta mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Prana.”

Lalu kepada keempat pemuda yang mengantarnya ia berkata,

“Kami persilakan angger singgah di rumah sahabat ini.”

“Terimakasih Kiai, kami akan segera pulang,” jawab mereka.

Dan setelah mereka meninggalkan dua kuda mereka, segera

merekapun minta diri. Keempat anak muda itu dengan

mempergunakan dua ekor kuda segera meninggalkan halaman itu.

“Anak-anak yang aneh,” gumam Wanamerta. Sendang Papat

sudah tidak sabar lagi. Segera ia bertanya tentang adiknya.

Setelah pintu rumah itu ditutup kembali, segera mereka dibawa ke

ruang belakang, dimana Sendang Parapat dibaringkan.

Ketika Wanamerta dan Sendang Papat memasuki ruangan itu,

mereka melihat tubuh Sendang Parapat diam terbaring. Di

sebelahnya duduk tiga orang kawannya. Ketika Sendang Papat

meraba tubuh adiknya itu, Sendang Parapat membuka matanya.

Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Maafkan aku Kakang, aku

tidak dapat memenuhi harapanmu. Menjadi prajurit yang baik.”

Sendang Papat merapatkan diri duduk di samping adiknya.

Bisiknya, “Kau telah berusaha Parapat. Kejadian ini samasekali

bukan salahmu. Orang-orang Sontani telah mulai dengan curang,

menyerang kau dari belakang.”

“Tidak sepantasnya aku mengemban tugas ini Kakang.”

Sendang Parapat meneruskan seolah-olah ia tidak mendengar

kata-kata kakaknya.

Page 18: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 93

“Jangan berpikir terlalu jauh, Parapat....” sahut Wanamerta.

“Kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Bukankah tak

seorangpun mampu berbuat sesuatu, apabila ia mendapat

serangan seperti serangan atas dirimu? Sekarang, tenangkan

hatimu. Mudah-mudahan lukamu lekas sembuh.”

“Ya,” jawab Sendang Parapat, “Aku ingin lukaku lekas sembuh.

Sekarang, aku tunggu. Besok aku akan kembali dengan keris

ditangan.”

Wanamerta, Sendang Papat dan mereka yang mendengar

kata-kata itu menjadi terharu. “Bagus....” bisik Wanamerta. “Kau

akan segera kembali ke Banyubiru.”

Sendang Parapat diam. Tetapi wajahnya sudah tidak terlalu

pucat. Nafasnya telah mulai teratur. Darah sudah tidak mengalir

lagi dari lukanya. Agaknya Ki Prana berhasil mendapatkan jenis

daun-daunan yang baik.

Dalam keadaan yang demikian itulah Wanamerta dan Sendang

Papat teringat kepada pesan anak muda yang aneh itu,

“Tinggalkan tempat ini sebelum matahari terbit.”

“Sendang....” berbisik Wanamerta, “bagaimana dengan pesan

anak muda itu?”

“Baiklah kita usahakan Kiai. Kita tinggalkan kota ini sebelum

matahari terbit,” jawab Sendang Papat.

Mereka berdua bersama-sama memandang Sendang Parapat.

Dapatkah anak itu diajak berjalan atau berkuda?

Agaknya Sendang Parapat merasa, bahwa dirinya menjadi

persoalan. Karena itu perlahan-lahan ia berkata, “Aku dapat

berbuat apa saja yang kalian kehendaki. Berjalan pulang atau

bertempur sekarang juga.”

Wanamerta menarik nafas. Anak muda ini memang berhati

baja seperti juga kakaknya yang hampir saja bunuh diri.

Page 19: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 93

“Parapat...” jawab Wanamerta, “Baiklah kami berkuda pulang

ke perkemahan. Di sana dapat kita kaji untung rugi dari setiap

langkah kita dengan tenang.”

“Apalagi berkuda,” jawab Parapat.

Kemudian merekapun segera bersiap. Prana tidak dapat

menahan mereka, sebab ia tahu bahwa mereka sedang melakukan

tugas mereka. Setelah luka Sendang Parapat dibalut, maka segera

ia dipapah dan diangkat ke atas punggung kuda untuk dinaiki

bersama dengan kakaknya.

“Kuda yang bagus,” desis Prana, “Dari mana Kiai mendapatkan

kuda ini?”

“Dari seorang anak muda yang tak mau kami kenal,” jawab

Wanamerta.

“Yang berempat tadi?” tanya Prana.

“Seorang lagi,” jawab Wanamerta pula. “Kawan dari yang

empat ini.”

“O....” sahut Prana, “Kalau yang empat itu, aku kenal mereka.”

“He…?” Sendang Papat memotong, “Siapakah mereka?”

“Belum lama mereka muncul. Sebelumnya mereka selalu

tekun ke padepokan Lemah Telasih,” jawab Prana.

“Putra Ki Lemah Telasih?” tanya Wanamerta.

“Ya. Putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih,” jawab Ki Prana.

“Ya ampun,” sahut Wanamerta, “Jadi mereka anak-anak dan

kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Buyut Banyubiru

itu?”

“Ya.”

“Yang seorang lagi?” Sendang Papat menyela.

Page 20: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 93

“Siapa?” sahut Prana, “Mereka hanya selalu berempat. Tak ada

orang lain di padepokan itu.”

“Ada. Seorang yang gagah tampan dan berwibawa anggun.

Sungguh anak yang luar biasa,” sambung Sendang Papat.

Ki Prana menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.

Wanamerta dan Sendang Papat jadi kecewa. Tetapi ia tidak

dapat memaksa untuk mendapat jawaban. Karena itu segera

mereka minta diri untuk segera kembali ke perkemahan.

Sesaat kemudian mereka segera berangkat beriringan.

Sekarang ketiga orang kawan Sendang-lah yang berkuda di muka.

Kemudian Sendang kakak-beradik.

Malam masih gelap bukan main. Di langit bintang-bintang

berkedip-kedip gemerlapan. Angin pegunungan yang segar

perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang menempuh

perjalanan. Alangkah dinginnya. Tetapi udara yang segar itu telah

menyegarkan tubuh Sendang Parapat.

Di sana-sini terdengar ayam jantan berkokok untuk yang

terakhir kalinya.

“Hampir pagi,” desis Wanamerta.

“Fajar telah membayang di timur,” sahut Sendang Papat.

Kemudian mereka diam. Masing-masing terbenam ke alam yang

lampau. Semasa Banyubiru mengalami masa yang aman damai.

Semasa mereka menikmati hidup yang tenteram. Sebelum orang-

orang dari golongan hitam mulai mengganggu daerui8ah ini,

disusul oleh nafsu berkuasa dari adik Ki Ageng Gajah Sora sendiri.

Dua bencana yang sama-sama menjadikan Banyubiru porak

poranda.

Dikenangnya masa-masa yang lampau. Sekali dua kali, dalam

perayaan-perayaan bersih desa, ia selalu muncul dalam malam-

malam yang mengesankan. Sebagai seorang penari yang baik

Page 21: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 93

bersama dengan adiknya, ia selalu mendapat perhatian dari

kawan-kawannya. Apabila ia menari topeng dalam lakon Panji,

yang kadang-kadang pertunjukan itu sampai menjelang pagi. Ia

kemudian menjadi bangga kalau pertunjukan selesai, tanpa

melepaskan pakaian penernya, ia berjalan menyusur jalan-jalan

kota, pulang ke rumahnya. Ia menjadi semakin bangga kalau

gadis-gadis yang berdiri di tepi jalan saling berbisik, “Itulah

Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”

Fajar kali inipun ia menyusuri jalan kota. Tetapi untuk

menjauhinya. Tak seorangpun kali ini yang berbisik-bisik, “Itulah

Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”

Namun meskipun demikian, kali ini pun ia bangga. Hatinya

sendirilah yang berbisik-bisik, “Inilah Sendang Papat, salah

seorang anak muda di Banyubiru yang berjuang menegakkan

keadilan dan kebenaran.”

Tetapi yang terdengar di fajar yang dingin itu hanyalah angin

yang berdesir. Warna semburat merah mulai tersirat dari balik

punggung-punggung pegunungan. Dan rombongan itupun menjadi

semakin jauh dari pusat kota menuju ke perkemahan yang sudah

dekat berada di hadapan mereka. Sebab sebelum mereka

berangkat, mereka sudah mengetahui bahwa laskar Banyubiru

itupun akan merangkak maju mendekati kota.

Ketika mereka telah melampui batas, legalah hati mereka.

Sebab kemungkinan untuk menemui bahaya menjadi semakin

berkurang. Mereka pasti, bahwa laskar Lembu Sora tak akan

mengejar mereka. Sebab merekapun pasti ragu pula, apakah

orang-orang Banyubiru itu tidak membawa banyak kawan.

Ketika matahari kemudian menjenguk dari atas perbukitan dan

melemparkan sinarnya yang pertama, Wanamerta dan kawan-

kawannya telah jauh dari setiap bahaya yang mengancam. Mereka

dapat berjalan dengan tenang menuju ke perkemahan, di sana

menunggu Mahesa Jenar dan Arya Salaka.

Page 22: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 93

II

Tetapi semakin dekat mereka dengan perkemahan, semakin

gelisahlah mereka. Apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa

Jenar tentang mereka, tentang rombongan kecil yang ditugaskan

untuk meyakinkan rakyat Banyubiru tentang kebenaran

perjuangan Arya Salaka…?

Rombongan kecil itu mendapat tugas untuk memperbanyak

kawan, bukan lawan. Sedang yang terjadi adalah sebuah keributan

dan bencana, meskipun itu adalah di luar kehendak mereka.

Namun disamping perasaan gelisah mereka tidak lupa,

mengucap syukur di dalam hati mereka, bahwa mereka telah

terlepas dari bahaya maut yang hampir saja menjebak mereka.

Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang masih

memberi kesempatan kepada mereka untuk menikmati kecerahan

sinar matahari.

Ketika matahari sepenggalah, tampaklah di hadapan mereka,

di dalam sebuah lembah yang berdinding curam, rumah-rumah

kacang daun ilalang. Itulah perkemahan anak-anak Banyubiru.

Mereka memilih tempat itu untuk menghindari penyerbuan yang

tiba-tiba. Sebab di lembah itu, mereka hanya dapat dicapai lewat

mulut yang menghadap ke dua arah. Sehingga dengan demikian,

mereka seolah-olah berada di dalam sebuah benteng yang kuat.

Demikianlah kedatangan Wanamerta mengejutkan anak-anak

Banyubiru. Mereka menyangka bahwa Wanamerta akan tinggal di

dalam kota beberapa hari lamanya. Tiba-tiba baru semalam

mereka meninggalkan induk pasukan, kini mereka telah datang

kembali. Apalagi ketika mereka melihat salah seorang dari

rombongan itu terluka.

“Sendang Parapat terluka,” teriak salah seorang.

“He...?” sahut yang lain terkejut, “Apa katamu?”

Page 23: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 93

“Sendang Parapat terluka,” teriak orang pertama. Teriakan itu

kemudian berkumandang, dan mengalir dari mulut ke mulut yang

lain. Maka gemparlah perkemahan itu. Seorang kemudian berlari

menemui Mahesa Jenar dan dengan nafas yang memburu berkata

tergesa-gesa, “Wanamerta telah kembali. Sendang Parapat

terluka. Agaknya lukanya cukup berat.”

Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara yang berada di

perkemahan itu terkejut. Dengan gemetar Arya Salaka terloncat

berdiri sambil bertanya, “Apa katamu? Sendang Parapat terluka?”

Orang itu mengangguk.

Arya Salaka benar-benar terpengaruh oleh berita itu. Sehingga

tiba-tiba saja ia telah meloncat menghambur menyongsong

rombongan kecil itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan yang gelisah.

Dari kejauhan Arya melihat rombongan kecil itu dikerumuni

oleh laskarnya. Wanamerta telah turun dari kudanya. Demikian

juga kawan-kawannya yang lain, kecuali Sendang Papat yang

masih menjaga adiknya di atas punggung kuda.

Ketika orang-orang yang mengerumuni Wanamerta itu melihat

kedatangan Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, segera

menyibaklah mereka. Sesaat kemudian disusul kedatangan

Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.

Arya Salaka memandang Sendang Parapat yang pucat di atas

punggung kudanya. Ketika matanya tersangkut pada darah yang

memerah di pakaian anak muda itu, hatinya berdesir cepat.

Tiba-tiba terdengarlah pertanyaannya dengan suara yang

bergetar, “Kau terluka Kakang Parapat?”

Sendang Parapat mengangguk. Namun mulutnya mencoba

untuk tersenyum. Dengan suara perlahan-lahan ia menjawab,

“Tidak seberapa. Hanya luka kecil.”

Page 24: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 93

Arya menarik nafas, kemudian terdengarlah giginya berdetak.

Dari matanya memencar kemarahan yang tak terkira. “Siapakah

yang melukaimu?”

Sendang Parapat tidak

menjawab. Ia menoleh kepada

Wanamerta. Agaknya ia minta

supaya orang tua itulah yang

menjelaskannya. Tetapi sebe-

lum Wanamerta berceritera,

berkatalah Mahesa Jenar,

“Paman, bawalah Sendang

Parapat ke kemahku. Biarlah

lukanya mendapatkan pera-

watan. Sementara itu Paman

dapat berceritera dengan

tenang tentang apa yang telah

terjadi atas Paman dan

Sendang berdua.”

Wanamerta mengangguk.

Kemudian dibawanya Sendang

Parapat ke kemah Mahesa Jenar. Kebo Kanigara yang telah cukup

lama tinggal di padepokan Karang Tumaritis, agaknya telah prigel

pula mengobati luka. Demikianlah ia mencoba membuka luka

Sendang Parapat dan membersihkannya dengan air hangat.

“Bagaimana Kakang?” tanya Mahesa Jenar. Sedangkan Arya

Salaka menjadi gelisah mondar-mandir di dalam ruangan itu.

“Mudah-mudahan luka-luka ini segera sembuh,” jawab Kebo

Kanigara, yang kemudian mengobati luka-luka dengan ramuan

dedaunan dan akar-akaran yang memang sudah disediakan.

Ketika Sendang Parapat telah dibaringkan, maka mulailah

Mahesa Jenar bertanya kepada Wanamerta, “Apakah yang telah

terjadi dengan rombongan kecil itu?”

Page 25: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 93

Dengan hati-hati Wanamerta menceritakan semua yang telah

dialaminya. Sejak ia menginjakkan kakinya di kota, sampai ia

meninggalkan kota itu, tanpa menyembunyikan atau menam-

bahnya samasekali. Diceriterakan pula bagaimana Sendang Papat

seolah-olah menjadi gila ketika ia mengira adiknya telah mati.

Sehingga bagaimana mungkin seorang penari sampai hati

membakar seperangkat gamelan.

Mahesa Jenar mendengarkan setiap kata-kata Wanamerta

dengan seksama. Demikian juga Arya Salaka dan Kebo Kanigara.

Bahkan pada wajah Arya Salaka kemudian tergores luka di

hatinya, sehingga keringat dingin membasahi dahi serta

punggungnya. Ia merasa bahwa Wanamerta telah berusaha

sedapat-dapatnya untuk menghindari bentrokan yang mungkin

terjadi, namun agaknya orang-orang yang menentangnya itu

benar-benar telah kehilangan jantungnya.

Sedangkan Wanamerta kemudian menjadi gelisah kembali.

Bagaimanakah penilaian Mahesa Jenar kepada hasil pekerjaannya.

Ketika Wanamerta telah berhenti berceritera, terdengarlah

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ruangan itu kemudian

menjadi sepi senyap. Semuanya menunggu apakah yang akan

dikatakan oleh Mahesa Jenar.

“Paman....” Terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-

lahan. “Kalau demikian, maka peristiwa itu dapat berakibat buruk.

Hari ini orang-orang Pamingit pasti akan mengadakan tindakan-

tindakan yang dapat melukai hati rakyat Banyubiru sebagai

pembalasan dendam.”

Semua terdiam. Wanamerta sendiri menyadari hal itu. Karena

itu ia berusaha sedapat-dapat menghindarkan diri dari setiap

bentrokan yang terjadi. Tetapi ia tidak berhasil.

Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, “Tetapi

bukanlah salah Paman.”

Page 26: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 93

Wanamerta menarik nafas. Syukurlah kalau Mahesa Jenar

mengetahui kesulitan yang dihadapinya pada waktu itu.

Dalam pada itu Mahesa Jenar menyambung kata-katanya pula,

“Tetapi siapakah yang telah berusaha untuk menyelamatkan

Paman dari tangan orang-orang Pamingit itu?”

Wanamerta menggeleng lemah. “Aku tidak dapat

mengetahuinya Ngger.”

“Aneh...” Mahesa Jenar bergumam.

“Tetapi keempat kawan-kawannya dapat dikenal oleh Ki

Prana,” sahut Sendang Papat, “Mereka adalah putra-putra dan

kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Ki Banyubiru.

Tetapi yang seorang itu tak diketahuinya.”

“Bagaimana dengan tanda-tanda yang dimilikinya?” tanya

Mahesa Jenar pula. Kemudian Wanamerta mencoba untuk

menggambarkan tokoh anak muda yang aneh itu.

Tiba-tiba Widuri tertawa. Dan suara tertawanya telah

mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu.

Ketika ia sadar bahwa seluruh perhatian tertumpah kepadanya, ia

menunduk malu.

“Kenapa kau tertawa?” tanya ayahnya.

“Anak muda yang aneh itu,” jawabnya.

“Kenapa dia?” desak ayahnya.

“Bukankah anak muda itu Kakang Karang Tunggal?” sahut

Widuri.

“He…?” Kanigara mengerutkan keningnya. Akhirnya ia berkata,

“Kau benar. Anak itu pasti Karang Tunggal.”

Mahesa Jenar akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya

pula. Iapun agaknya sependapat bahwa anak muda itu tidak lain

Page 27: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 93

adalah Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Mas

Karebet, atau mendapat sebutan lain Jaka Tingkir.

“Siapakah dia…?” Wanamerta ingin tahu.

“Kemanakanku,” jawab Kebo Kanigara, “Nakalnya memang

bukan main.”

Wanamerta menarik alisnya yang sudah keputih-putihan.

Sejak semula ia telah mengagumi Kebo Kanigara seperti ia

mengagumi Mahesa Jenar. Jadi kalau kemenakannya dapat

melakukan hal yang sedemikian dahsyatnya, agaknya sudah pada

tempatnya. Karena itu ia berkata, “Itulah sebabnya, maka anak

muda itu telah mengenal Arya Salaka, Mahesa Jenar, Ki Ageng

Supit, Wiraraga dan Mantingan.”

“Anak muda itu telah mengenal Ki Ageng Supit, Kakang

Wiraraga dan aku?” tanya Ki Dalang Mantingan.

“Ya, Ngger,” jawab Wanamerta. “Disebut-sebutnya nama-

nama itu.”

“Tidak aneh,” potong Kebo Kanigara, “Ia berjalan dari satu

ujung keujung negeri ini yang lain. Ia singgah hampir setiap

perguruan yang ada.”

“Luar biasa….” Terdengar hampir setiap mulut bergumam.

Namun mereka tidak lama terpaku pada anak muda yang aneh

itu. Sebab merekapun pada saat itu menghadapi keadaan yang

cukup gawat. Meskipun di dalam hati Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara terselip pula pertanyaan, kenapa Jaka Tingkir itu tiba-tiba

saja berada di Banyubiru? Bukankah ia berangkat dari Karang

Tumaritis, untuk mohon diri kepada ibu serta ibu angkatnya untuk

mengabdi ke Demak? Apakah ia telah menyia-nyiakan waktu

sekian lamanya untuk berjalan kesana-kemari tanpa ujung

pangkal, sedangkan seorang yang waskita, telah mengatakan

kepadanya, bahwa ia akan sanggup untuk menerima jabatan

Agung?

Page 28: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 93

Tetapi pertanyaan itu tak terucapkan. Sebab tak seorangpun

yang akan dapat menjawab. Yang kemudian terdengar adalah

suara Mahesa Jenar, “Paman, bagaimana menurut tanggapan

Paman. Apakah orang-orang Pamingit itu akan membuat onar?”

Kembali perhatian Wanamerta terlempar kepada peristiwa

malam tadi. Setelah berpikir sejenak iapun menjawab, “Mungkin

Anakmas. Hal itu adalah mungkin sekali.”

“Kalau begitu kita harus mencegahnya.” Mahesa Jenar

bergumam seperti untuk diri sendiri. Namun tanggapan Arya

Salaka ternyata hebat sekali. Tiba-tiba ia berdiri tegak, dan dengan

dada tengadah ia berkata, “Marilah Paman. Betapa rinduku pada

tanah kelahiran. Dan betapa rinduku kepada pangabdian.”

Akibat dari kata-kata Arya Salaka itu ternyata bukan main.

Tiba-tiba ruangan itupun menjadi riuh. Wanamerta, Sendang

Papat, Bantaran, Panjawi, dan para pemimpin laskar Banyubiru

yang lain tiba-tiba serentak berkata, “Kita serahkan jiwa raga kita

untuk kampung halaman, untuk masa depan tanah kelahiran.”

Mahesa Jenar terharu melihat kesetiaan itu. Pernyataan

beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu merupakan cermin

dari setiap hati yang lain. Mereka agaknya telah bersedia sepenuh-

penuhnya, apapun yang terjadi atas mereka. Bahkan Sendang

Parapat yang terbaring itupun berkata perlahan-lahan namun

penuh dengan gelora kesetiaannya, “Kiai Wanamerta, bawalah aku

serta. Aku sudah akan sembuh sore nanti.”

“Baiklah,” jawab Mahesa Jenar kepada para pemimpin itu.

“Memang masa depan Banyubiru terletak di tangan kalian. Karena

keyakinan itu pulalah maka kalian bersedia berkorban. Laralapa.

Menderita selama ini dan untuk masa-masa yang belum kalian

ketahui ujungnya. Meskipun seandainya kalian tidak akan

mengecap kenikmatan hasil perjuangan kalian, namun anak cucu

kalian akan menulis di atas lontar, bahwa pada suatu masa, rakyat

Banyubiru bangkit berjuang untuk menegakkan keadilan dan

Page 29: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 93

kebenaran. Berjuang untuk anak cucu mereka tanpa pamrih bagi

diri sendiri, dengan membiarkan dirinya menderita sakit dan lapar.

Namun dengan cita-cita luhur dan murni.”

Dada para pemimpin itupun menjadi semakin bergelora.

Seakan-akan mereka tidak sabar lagi menunggu. Ke Banyubiru

sekarang juga.

Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,

“Karena itu, bersiaplah kalian. Aku akan pergi ke Banyubiru

sekarang juga dengan Arya Salaka.”

Ketika Mahesa Jenar berhenti berbicara, tampaklah para

pemimpin Banyubiru itu saling berpandangan. Mereka tidak begitu

mengerti maksud kata-kata Mahesa Jenar. Maka terdengarlah

Penjawi bertanya, “Apakah Tuan dan Adi Arya Salaka saja yang

akan pergi ke Banyubiru?”

Mahesa Jenar menarik alisnya. Hati-hati ia menjawab, “Tidak.

Kalian semua juga akan pergi. Tetapi baiklah aku mendahului.”

Penjawi segera mengetahui maksud Mahesa Jenar. Mahesa

Jenar agaknya masih akan mempergunakan cara damainya, yang

menurut dugaannya samasekali tak akan berhasil. Karena itu

terdengarlah ia menyahut, “Tuan dan Adi Salaka, di belakang Tuan

berdua adalah kami sekalian. Seluruh laskar Banyubiru ini.”

Mahesa Jenar sekali lagi menarik alisnya. Dengan ragu-ragu ia

memandang Kebo Kanigara, seolah-olah minta pertimbangan.

Kebo Kanigara pun mengetahui betapa sulitnya mengendalikan

perasaan sekian banyak orang yang sedang marah. Tetapi

samasekali kurang bijaksana kalau ia turut campur dalam

pembicaraan itu. Sebab laskar Banyubiru itu lebih banyak

mengenal Mahesa Jenar daripada dirinya. Dengan demikian

Penjawi hanya dapat menganguk-anggukkan kepalanya dan

mencoba mengetahui perasaan Arya Salaka. Kalau saja Arya

Salaka dapat ditenangkan, maka ada harapan untuk menenangkan

seluruh laskar Banyubiru itu. Tetapi ketika terpandang wajah anak

Page 30: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 93

muda itu, baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara hanya dapat

menekan dada mereka. Sebab dari mata anak itu memancarkan

api kemarahannya yang menyala-nyala sehingga dalam mata itu

seolah-olah membayangkan cahaya api yang bergelora.

Apalagi ketika kemudian terdengar anak muda itu berkata,

“Paman, matahari masih belum tinggi di puncak langit. Kalau

Paman memerintahkan, sekarang juga kita akan berangkat.”

Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Namun di dalam hatinya

berkecamuk kecemasan yang gemuruh. Kalau ia menuruti

perasaan marah yang meluap-luap dari pemimpin laskar

Banyubiru itu, maka akibatnya adalah di luar kemauannya. Yang

terjadi kemudian adalah pertempuran yang mengerikan antara

sesama keluarga. Antara orang-orang Banyubiru melawan orang-

orang Pamingit yang pasti akan dibantu oleh sebagian kecil orang-

orang Banyubiru juga. Banyubiru dan Pamingit adalah ibarat daun

sirih. Wajah dan punggungnya. Meskipun berbeda ujudnya, namun

apabila digigit, akan sama rasanya. Sebab keduanya adalah

belahan dari tanah perdikan yang tunggal, tanah perdikan

Pangrantunan.

Karena itulah maka Mahesa Jenar mencoba untuk

mencegahnya. Dengan sangat hati-hati pula ia berkata, “Tentu.

Aku tentu akan segera minta kalian untuk berangkat. Tetapi kau

adalah kunci persoalan itu, Arya. Mestikah kita memilih jalan yang

pahit lebih dahulu sebelum kita coba jalan yang licin?”

“Masih adakah jalan yang licin itu, Paman?” bertanya Arya

Salaka.

“Kemungkinan masih selalu ada, Arya. Apalagi kakekmu Ki

Ageng Sora Dipayana telah meminta agar kau datang kepadanya,”

jawab Mahesa Jenar.

Arya Salaka diam sesaat. Tetapi ketika ia melihat Sendang

Parapat terbaring, menyala kembalilah hatinya. Karena itu ia

Page 31: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 93

menjawab, “Kalau Eyang Sora Dipayana mampu mencegahnya,

maka peristiwa ini tak akan berlarut-larut.”

Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Agaknya Arya

telah hampir tidak sabar lagi. Meskipun ia dapat mengetahui

perasaan apakah yang telah mendorong anak muda itu, namun

apa yang diucapkan itu adalah pertanda betapa sakit luka hati yang

dideritanya. Didorong pula oleh sifat kepemimpinan yang

dimilikinya, maka ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan

rakyat Banyubiru.

Tetapi karena itu pulalah maka Mahesa Jenar merasa bahwa

usahanya bertambah sulit. Namun demikian ia menjawab, “Arya,

persoalan yang dihadapi oleh eyangmu adalah terlalu sulit. Bukan

sekadar mencegah tindakan-tindakan pamanmu saja. Tetapi ada

persoalan-persoalan lain yang memaksanya untuk berbuat

bijaksana.”

Arya Salaka kurang dapat memahami cara berpikir gurunya.

Namun sebagai seorang murid yang selama ini merasakan betapa

gurunya itu mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan

tanggungjawab, maka Arya Salaka tidak berani lagi untuk

membantahnya. Di sudut hatinya, Arya Salaka pun menaruh

kepercayan yang kuat terhadap gurunya itu. Kepercayaan yang

sedikit terdesak oleh kemarahan yang meluap-luap. Ia tahu pasti,

bahwa seperti bisanya gurunya akan membawanya lewat jalan

yang paling bersih dari kemungkinan noda-noda yang dapat

memercik pada dirinya. Tetapi disamping itu, ketidaksabarannya

telah memukul-mukul dadanya, seolah-olah akan pecah.

Mahesa Jenar pun tahu, bahwa kalau kemudian Arya Salaka

itu diam, bukanlah karena ia dapat meyakini kata-katanya.

Kediaman anak itu baginya, seperti api yang tertutup sekam.

Namun api itu tetap menyala di dalam. Karena itulah Mahesa Jenar

harus dapat mengambil sikap yang sebijaksana mungkin. Ia harus

tidak mematahkan anak-anak Banyubiru, namun ia pun tidak

Page 32: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 93

dapat membiarkan anak-anak Banyubiru itu menjadi korban

ketergesa-gesaan mereka.

Setelah berpikir sesaat terdengarlah Mahesa Jenar berkata,

“Arya Salaka, siapkanlah laskarmu. Kita berangkat bersama-

sama.”

Sambutan atas ucapan itu, terdengar seperti gunung meledak.

Laskar Banyubiru itupun bersorak dengan riuhnya. Tiba-tiba di

dalam ruangan itu menari-narilah ujung-ujung senjata, seperti

anak-anak yang riang berloncat-loncatan. Berkilat-kilat ujung-

ujung pedang, tombak, keris dan sebagainya. Diiringi oleh janji

setia yang diucapkan tak teratur berebut keras.

Para pemimpin laskar Banyubiru itupun kemudian berpencaran

ke pasukan masing-masing. Sesaat kemudian riuhlah perkemahan

itu. Semua hari bersama-sama menyanyi, “Kembali ke kampung

halaman, kembali ke tanah kelahiran. Enyahkan kelalilman dan

tegakkan keadilan.”

Arya Salaka pun menjadi bergembira pula. Semakin cepat ia

sampai ke kota itu akan semakin baiklah baginya. Banyu Biru bagin

Arya Salaka mempunyai daya tarik yang tak ternilai besarnya,

disamping perasaan keadilannya yang terinjak-injak.

Karena itu, tanpa dikehendakinya, iapun melompat ke luar dari

ruangan itu. Dengan wajah berseri ia melihat laskarnya

mempersiapkan diri. Ia berjalan dari satu kemah ke kemah yang

lain. Ia melihat kelompok demi kelompok, seolah-olah ia ingin

mengetahui segenap kekuatan yang ada dalam laskarnya.

Namun dalam pada itu, di dalam kemahnya, Mahesa Jenar

duduk termenung. Ia tidak dapat pergi meninggalkan laskar

Banyubiru dalam keadaan yang demikian. Sebab di luar

pengawasannya, dapat saja mereka melakukan hal-hal yang justru

merugikan nama baik mereka dan bertentangan dengan tujuan

mereka. Tetapi untuk membawa mereka serta agaknya juga akan

menjadi persoalan. Bagaimana sebaik-baiknya menghentikan

Page 33: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 93

mereka, dan memberi kesempatan kepadanya untuk menemui Ki

Ageng Sora Dipayana bersama-sama dengan Arya Salaka. Ia

masih mengharap kewibawaan orang tua itu atas putra serta

cucunya.

Kebo Kanigara pun agaknya menemui kesulitan dalam

persoalan ini. Perlahan-lahan ia berkata, “Mahesa Jenar, tipislah

harapan kita, untuk menempuh jalan lain, kecuali bertempur.

Sebab laskar Banyubiru sudah sedemikian lama menahan diri. Dan

Arya Salaka sendiri tampaknya tidak sabar lagi.”

Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Ia masih mempunyai

harapan untuk menghentikan pasukan itu di tengah jalan, dan

membiarkan mereka menunggu sesaat. Tetapi bagaimanakah

caranya, sehingga tidak menimbulkan kejengkelan pada laskar

yang setia itu?

“Kalau Arya dapat kau tenangkan, Mahesa Jenar, mungkin

seluruh laskar ini pun akan tunduk pada perintahnya. Sebab api

didalam dada mereka itupun semakin berkobar ketika Arya Salaka

berada di antara mereka,” lanjut Kebo Kanigara.

“Tak ada jalan untuk berbuat demikian Kakang. Arya telah

waringuten. Agaknya ia tak dapat diajak berunding lagi. Meskipun

seandainya ia diam, namun kediamannya itu justru berbahaya bagi

dirinya,” jawab Mahesa Jenar.

“Ya”, jawab Kanigara pendek, “kau benar”

Kembali ruang itu ditekan oleh kesenyapan. Masing-masing

mencoba mencari jalan untuk memecahkan persoalan laskar

Banyu Biru yang meluap-luap itu.

Tiba-tiba dalam kesenyapan itu terdengar Rara Wilis berkata

kepada Endang Widuri, “Endang, bagaimana perasaanmu saat ini?

Apakah kau bergembira pula seperti Arya Salaka?”

Widuri tidak tahu arah persoalannya. Meskipun ia mendengar

pembicaraan ayahnya dan Mahesa Jenar, namun sebenarnya ia

Page 34: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 93

lebih setuju dengan pendapat Arya Salaka. Kenapa Banyubiru itu

tidak digempur saja. Mati atau ukti. Dengan demikian

persoalannya akan lekas selesai. Karena itu iapun menjawab, “Aku

bergembira seperti Kakang Arya Salaka. Aku kagum pada sikap

jantan yang dimilikinya.”

Rara Wilis mengangguk-angguk. “Kau pun bersikap jantan,”

katanya.

“Kenapa aku…?” sahutnya. “Aku hanya sekadar bergembira

melihat sikapnya.”

Rara Wilis tersenyum. Seperti bergumam ia berkata kepada

diri sendiri, “Aku teringat pada cerita Purwa, pada saat menjelang

Baratayuda. Orang-orang Pandawa pun menjadi ragu-ragu.

Apakah mereka harus berjuang melawan sanak kadang mereka

sendiri. Tetapi akhirnya pertempuran itupun tak dapat dihindari.

Tak dapat dihindari, meskipun segala usaha damai telah dicoba.

Prabu Duryudana lebih senang mendengar nasihat Durna daripada

pamannya sendiri. Diantaranya Resi Bima, seorang Resi yang

bijaksana, dan Prabu Salya, mertua Prabu Duryudana sendiri.”

Yang mendengar ceritera itupun berdiam diri. Masing-masing

dengan tanggapannya sendiri. Namun tak seorang pun yang

memotong cerita itu.

“Ketika Bisma gugur....” lanjut Wilis, “Para kadang Pandawa

masih sempat menghadap Resi yang dipundhi-pundhi itu. Mereka

masih sempat minta maaf dan minta pangestu kepadanya.

Demikian juga sebelum Prabu Salya gugur. Nakula dan Sadewa

sempat mengharap orang tua yang sakti itu. Dengan air mata

mereka berdua minta agar mereka dijauhkan dari dosa mereka,

karena mereka harus bertempur melawan saudara-saudara

mereka yang lebih tua.”

Sekali lagi Rara Wilis diam sesaat. Widuri mendengarkan

dengan penuh minat. Tetapi wajahnya telah berubah dari semula.

Page 35: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 93

“Ketika kedua junjungan para darah Barata itu gugur,

menyesallah kedua belah pihak. Tetapi lebih menyesal lagi

mereka, seandainya mereka tidak sempat menghadap

sebelumnya. Mohon maaf segala kekhilafan lahir batin. Dan akan

lebih menyesal pulalah mereka, seandainya sebelum Baratayuda

itu mulai, mereka belum bersimpuh di hadapan para junjungan

itu.” Wilis meneruskan.

Widuri menarik nafas. Otaknya memang benar-benar

cemerlang seperti bintang pagi. Sebelum Rara Wilis meneruskan,

Widuri berkata perlahan-lahan, “Bukankah Arya Salaka

mampunyai junjungan pula di Banyubiru? Bukankah eyang Arya

Salaka itu berada di sana, dan mungkin akan gugur pula dalam

bentrokan ini?”

Rara Wilis mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan

perlahan-lahan pula ia menjawab, “Tak seorangpun yang mampu

menyampaikan kekhilafan ini kepada Arya Salaka. Bukankah kau

mau menolongnya, supaya ia tidak akan menyesal sepanjang

hidupnya kelak?”

Widuri memandang ayahnya, Mahesa Jenar, Wilis dan orang-

orang lain di dalam ruangan itu dengan senyum yang kecil. Tiba-

tiba ia merasa berbahagia menerima tugas itu. “Tidak adakah

orang lain yang dapat berbuat demikian…?” bisik hatinya.

“Akan aku coba,” katanya, “Supaya Kakang Arya Salaka tidak

berbuat kesalahan. Bukankah maksud bibi sebaiknya Arya Salaka

sowan eyang Ki Ageng Sora Dipayana? Bukankah dengan demikian

Paman Mahesa Jenar dapat melaksanakan rencananya? Namun

apabila rencana itu gagal, Arya Salaka tidak akan menyesal

seandainya eyangnya itu gugur seperti Resi Bisma. Sebab ia telah

bersujud di bawah kakinya.”

Semua yang mendengar percakapan itu menarik nafas dalam-

dalam. Mahesa Jenar mengucap syukur dalam hati atas kelincahan

perasaan Rara Wilis. Sebagai seorang gadis, ia mempunyai

Page 36: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 93

tanggapan yang lebih halus terhadap pergaulan Arya Salaka dan

Endang Widuri. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati gadis itu

seperti belum pernah melihat sebelumnya. Dalam keadaan yang

sedemikian, Mahesa Jenar sempat juga sekali lagi mengagumi

gadis itu. Namun di dalam hatinya, Rara Wilis bukanlah gadis

belasan tahun lagi. Bahkan ia sudah melampaui dunia remaja,

yang tak pernah dinikmatinya seperti gadis-gadis yang lain.

Hidupnya penuh dengan persoalan-persoalan yang rumit, yang

menuntut ketabahan hati dan malahan akhirnya menjadikan gadis

itu tidak saja berhati tabah, tetapi juga bertubuh kuat dan berilmu

cukup tinggi. Meskipun demikian ia tidak dapat menerima uluran

tangan saudara tua seperguruannya, untuk menikmati kelimpahan

raja brana, sebagai seorang isteri Demang yang kaya raya. Ia lebih

senang menunggunya, seorang kleyang kabur kanginan. Bahkan

ikut serta dengan dirinya, menempuh penghidupan yang penuh

dengan bahaya dalam pengabdiannya kepada Tuhan, manusia

serta kemanusiaan. Memancarkan cinta kasih abadi dari

sumbernya yang tertinggi.

Disamping itu, iapun mengagumi ketangkasan berpikir Endang

Widuri. Gadis itu agaknya mempunyai keistimewaan yang tak

dapat diduga-duga. Dalam pada itu, Mahesa Jenar pun tidak heran,

bahwa Endang Widuri adalah tetesan darah Pengging. Anak Kebo

Kanigara.

Widuri kemudian tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera

berlari ke luar. Ia sudah bertekad untuk melakukan tugasnya

sebaik-baiknya. Dengan berlari-lari kecil ia mencari Arya Salaka di

antara keributan para anggota laskar Banyubiru itu.

Widuri menemukan Arya Salaka di ujung perkemahan itu. Anak

muda itu sedang berdiri tegak di atas sebuah batu yang besar.

Seperti sebuah tonggak ia tak bergerak, memandang ke arah

pegunungan yang terbujur di hadapannya. Telamaya.

Page 37: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 93

Ketika Arya Salaka mendengar langkah-langkah kecil berjalan

ke arahnya, iapun menoleh. Sambil tersenyum ia menyapa halus,

“Siapakah yang kau cari Widuri?”

“Tidak ada,” jawab gadis itu singkat. Namun kemudian gadis

itupun dengan lincahnya meloncat ke atas batu itu. Ia ingin

menyampaikan pesan bibi Wilis itu perlahan-lahan, supaya Arya

Salaka dapat menangkap urutan maksudnya. Tetapi sebelum ia

mulai berceritera terdengarlah Arya Salaka berkata, “Sebentar lagi

aku akan pergi ke bukit itu.”

“Ya,” jawab Widuri singkat.

“Tak seorangpun akan dapat menghalangi. Malang-malang

putung, rawe-rawe rantas.” Arya melanjutkan.

“Ya,” jawab Widuri.

“Di sana akan kita jumpai

reruntuhan dari gedung yang

dibangun sejak Eyang Sora

Dipayana, sampai ayah Gajah

Sora. Tugas kita adalah

membangun reruntuhan itu,

menjadikan gedung yang

megah dan kuat. Kalau

mungkin melampaui masa-

masa yang lewat.”

“Ya.”

“Banyubiru harus dapat

memancarkan kecemerlangan-

nya kembali. Api yang menyala

di jantungnya, yang telah

hampir padam karena pokal

Paman Lembu Sora, harus aku nyalakan kembali sebesar-

besarnya.”

Page 38: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 93

“Ya.” Widuri mulai gelisah. Agaknya ia tidak akan dapat

kesempatan untuk menyampaikan ceriteranya. Apalagi ketika ia

sudah nekad untuk memotong angan-angan Arya Salaka itu, tiba-

tiba terdengarlah sangkalala berbunyi.

Wajah Arya bertambah gembira. “Kau dengar itu…?”

“Ya,” sahut Widuri, yang benar-benar menjadi gelisah dan

cemas.

“Marilah kita bersiap,” ajak Arya. Arya tidak menunggu

jawaban Endang Widuri. Dengan serta merta ditangkapnya gadis

itu dan ditariknya menghambur ke arah bunyi sangkalala yang

menjadi semakin nyaring. Suaranya menyusup lembah-lembah,

menghantam bukit-bukit, meraung-raung seperti suara Naga Raja

yang marah menuntut balas.

Ketika mereka sampai di perkemahan, mereka melihat laskar

Banyubiru itu telah hampir siap. Mantingan, Wirasaba, Bantaran

dan Penjawi telah mengenakan pakaian tempur, sambil menjinjing

perisai yang belum diterapkan. Melihat pelengkapan itu, dada Arya

Salaka berdesir. Ia jarang melihat orang bertempur dengan

perisai. Sekarang ia melihat perlengkapan yang luar biasa. Perisai,

tombak larakan yang panjangnya lebih dari dua depa. Panah dan

bandil. Tanpa diketahuinya, merayaplah suatu perasaan yang aneh

di dalam dadanya. Ia sudah pernah berkelahi di antara hidup dan

mati. Ia pernah membunuh dua bersaudara, Uling Putih dan Uling

Kuning. Tetapi ketika ia melihat persiapan terakhir dari prajurit

yang berangkat berperang ia menjadi berdebar-debar. Ketika

laskarnya ini meninggalkan Candi Gedong Sanga, Arya Salaka

tidak melihat perlengkapan yang demikian mengerikan. Saat itu ia

melihat laskar Banyubiru itu memanggul senjata mereka,

disamping perlengkapan-perlengkapan perkemahan, dan bahan

makanan. Tetapi sekarang ia hanya melihat ujung-ujung senjata.

Ia tidak melihat peralatan dan perlengkapan lain kecuali alat-alat

penyebar maut itu. Pada saat yang demikian itu teringatlah Salaka

kepada ayahnya. Pada saat ayahnya siap untuk bertempur

Page 39: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 93

melawan Prajurit Demak. Pada saat itu ia melihat perlengkapan

seperti itu. Dari tempat yang agak tinggi ia melihat barisan

Banyubiru seperti padang ilalang yang berdaun baja. Runcing dan

tajam. Sekarang pemandangan yang mengerikan itu dilihatnya

pula.

Satu-satu ia memandang wajah yang riang di dalam barisan

itu. Seolah-olah mereka tidak mengerti bahwa dalam perjalanan

mereka, maut dapat saja menghampirinya.

Mahesa Jenar kemudian keluar dari kemahnya. Di belakangnya

berjalan Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Mereka tetap saja seperti

biasa. Mereka samasekali tidak mengenakan pakaian tempur.

Tidak membawa perisai dan bahkan Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara samasekali tidak bersenjata. Sedang di pinggang Rara

Wilis tergantung pedang tipisnya.

Ketika Mahesa Jenar melihat Arya Salaka dan Endang Widuri

masih berdiri diam, iapun berkata, “Arya bersiaplah. Bawalah

tombakmu Kyai Bancak.”

Arya tersadar dari lamunannya. Segera ia meloncat berlari ke

kemahnya untuk mengambil tombak Kyai Bancak. Tombak itu

baginya bukan saja senjata yang telah dikenalnya baik-baik.

Senjata yang seolah-olah telah merupakan satu jiwa dengan

dirinya, namun senjata itu juga merupakan tanda kebesaran

kepala daerah perdikan Banyubiru.

Ketika Arya Salaka meninggalkan Endang Widuri sendirian,

Widuri pun segera berjalan ke tempat Rara Wilis berdiri. Perlahan-

lahan terdengarlah Rara Wilis berbisik, “Bagaimana? Sudahkah

berceritera kepada Arya Salaka?”

Sambil bersungut-sungut Endang Widuri menjawab, “Belum.

Aku belum sempat berkata sepatahpun. Ketika aku menemuinya,

aku hanya boleh mendengarkan ia berceritera. Tak ada putus-

putusnya.”

Page 40: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 93

Meskipun Rara Wilis agak kecewa seperti Mahesa Jenar dan

Kebo Kanigara, namun mereka tersenyum.

“Belum terlambat benar,” kata Rara Wilis. “Di perjalanan kau

masih mempunyai kesempatan.”

“Aku akan coba,” sahut gadis itu.

“Kau akan ikut serta dalam barisan ini?” tanya Kebo Kanigara,

meskipun ia tahu bahwa gadisnya itu tak mungkin mau

ditinggalkan. Kembali Widuri bersungguh-sungguh, jawabnya,

“Apakah aku harus tinggal di sini?”

“Ya,” sahut ayahnya.

“Tidak mau,” jawab Widuri.

Yang mendengar jawaban itu, terpaksa tersenyum pula.

“Perjalanan ini adalah bukan perjalanan tamasya,” ayah Widuri

menerangkan.

“Aku tahu. Tetapi bukankah aku mempunyai tugas yang

penting dalam perjalanan ini?” bantah Widuri. “Menurut bibi Wilis

tak ada orang yang dapat melakukannya kecuali aku.”

Kebo Kanigara tidak mau menggodanya lagi. Sebab kalau

gadisnya itu jengkel, ia akan berteriak sesukanya. Meskipun

demikian ia perlu memperingatkan putrinya itu, katanya, “Kalau

kau akan ikut serta, berhiaslah dahulu.”

Widuri pun sadar, bahwa ia belum siap untuk mengikuti

perjalanan yang berbahaya. Karena itu ia segera berlari ke

kemahnya, untuk melepas kain panjangnya, mengenakan celana

latihannya. Kain pendek di luar, dan yang tak dilupakannya adalah

rantai peraknya. Di kalungkan rantai itu melingkari lehernya,

sedang ujungnya berjuntai dan dikaitkan pada ikat pinggangnya.

Ketika ia telah siap, segera iapun meloncat dengan lincahnya,

dan menempatkan dirinya di belakang ayahnya. Arya Salaka pun

Page 41: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 93

telah berdiri di sana, di samping Mahesa Jenar, dengan tombak

Kyai Bancak di tangannya.

Di hadapan mereka, berbarislah dalam kelompok-kelompok,

laskar Banyubiru. Hampir seluruhnya ikut serta, selain yang

bertugas menyiapkan makan, dan yang harus menyampaikan

setiap hari ke garis terdepan. Sebab mereka tidak tahu, berapa

lama mereka dapat menyelesaikan pekerjaan mereka.

Ketika mereka, laskar Banyubiru itu, telah bersiap,

terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka, “Perjalanan

kali ini adalah perjalanan yang menentukan. Kalau kita terpaksa

bertempur, maka setiap orang di antara kalian, mempunyai

kemungkinan untuk gugur. Karena itu, siapa yang belum bersiap

untuk berkorban dengan milik kalian yang paling berharga, yaitu

jiwa kalian, aku persilakan meninggalkan barisan.”

Terdengarlah suara bergumam di dalam barisan. Namun tak

seorangpun yang meninggalkan barisan. Dengan semangat yang

menyala-nyala mereka tetap tegak di tempat mereka berdiri.

“Terima kasih.” Mahesa jenar meneruskan, “Ternyata kalian

telah merelakan jiwa raga kalian dalam pengabdian yang luhur ini.

Namun, meskipun demikian, dengarkanlah keterangan ini. Bahwa

tujuan kalian yang terutama bukanlah bertempur.”

Kembali terdengar suara bergumam di dalam barisan itu.

Bahkan Arya Salaka pun sampai menoleh kepadanya. Mahesa

Jenar melihat tanggapan itu, segera meneruskan, “Tujuan kalian

yang terutama adalah menempatkan kebenaran dan keadilan di

atas pemerintahan Banyubiru. Bukankah demikian? Bertempur

adalah cara yang terakhir. Tetapi bukanlah tujuan. Jangan

dilupakan ini. Sehingga seandainya pemerintahan Banyubiru dapat

dikembalikan pada keadaan yang seharusnya tanpa bertempur,

tanpa setetes darahpun yang harus mengalir dari tubuh kalian,

janganlah kalian mencari perkara.” Mahesa Jenar diam sejenak. Ia

melihat kebimbangan di sebagian wajah-wajah di hadapannya.

Page 42: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 93

Kemudian ia menyambungnya, “Tetapi, perhitungan kita adalah

perhitungan yang paling mahal. Menembus benteng pertahanan

orang-orang Pamingit dengan ujung senjata. Sudahkah kalian

siap?”

Terdengarlah jawaban serentak mengguruh. Bahkan ada di

antara mereka yang mencabut senjata, mengangkatnya tinggi-

tinggi seperti akan menusuk langit, sambil berteriak-teriak. “Kami

telah bersedia. Hidup mati kami, kami serahkan untuk tanah

tercinta.”

Mahesa Jenar membiarkan mereka berteriak sepuas-puas

mereka. Kemudian ia mengangkat tangannya. Suara yang

mengguruh itu pun semakin menurun dan akhirnya diam.

Terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Tanahmu adalah tanah

pusaka. Tanah yang dikurniakan Tuhan kepadamu. Karena itu

cintailah tanah itu. Sedangkan hidup matimu adalah di tangan

Tuhanmu. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita.”

Darah orang-orang Banyubiru itu serasa mendidih. Namun

demikian di dalam dada mereka, sekali-kali terngiang pula kata-

kata Mahesa Jenar, “Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi

bukan tujuan.” Juga di dalam dada Arya Salaka, kata-kata itu

berulang kali mengumandang.

Sesaat kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Arya Salaka,

“Arya, semuanya sudah siap. Berilah tanda supaya laskarmu

berangkat.”

Dari Mahesa Jenar, Arya telah banyak mendapat petunjuk dan

tuntunan tentang tata keprajuritan. Karena itu, ketika Mahesa

Jenar memberinya kesempatan untuk memimpin laskarnya, iapun

tahu apa yang harus dikerjakannya.

Maka Arya Salaka pun melangkah maju. Dengan isyarat, ia

minta Wanamerta berdiri di sampingnya. Wanamerta adalah tetua

tanah perdikan Banyubiru. Ia menjadi emban kepala daerah

Page 43: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 93

perdikan sejak eyangnya Ki Ageng Sora Dipayana masih

memegang jabatan itu. Ayahnya diembaninya. Sekarang Arya

Salaka tidak mau meninggalkannya.

III

Ketika Wanamerta telah berdiri di sampingnya, Arya Salaka

segera mengangkat tombak pusakanya. Terdengarlah kemudian

sebuah tengara, suara bende yang pertama. Suatu pertanda,

bahwa barisan itu harus berkemas. Setiap orang segera

memeriksa diri mereka sendiri. Apakah yang kurang dan apakah

yang ketinggalan. Senjata mereka, pakaian mereka.

Sebentar kemudian Arya Salaka mengangkat tombaknya

untuk yang kedua kali. Suara bende itupun berkumandang untuk

kedua kalinya. Suatu pertanda bahwa barisan itu harus segera

bersiaga penuh. Mereka tinggal menunggu bunyi bende untuk

yang ketiga kalinya, yang memberi perintah kepada seluruh

barisan itu untuk segera berangkat.

Sebelum Arya mengangkat tombaknya untuk yang ketiga,

sekali lagi ia melayangkan pandangannya kepada seluruh barisan

itu. Ia melihat beberapa orang kepercayaan laskar Banyubiru itu

berdiri di baris pertama dengan umbul-umbul kecil di tangan. Jauh

lebih kecil dari umbul-umbul yang pernah dilihatnya di Banyubiru

dahulu, ketika ayahnya hampir saja terlibat dalam pertempuran

dengan pasukan Demak. Namun meskipun demikian, umbul-

umbul ini pun memberinya kesan yang menggetarkan. Di tengah-

tengah deretan umbul-umbul itu dilihatnya panji-panji kebanggaan

tanah perdikannya, Dirada Sakti. Apalagi ketika matanya

tertumbuk pada panji-panji pepunden seluruh rakyat Demak,

hatinya bergetar deras. Panji-panji itu pulalah yang memaksa

ayahnya dahulu untuk mengurungkan niatnya, melawan

kekuasaan tertinggi. Warna Gula Kelapa itu pulalah yang

menyebabkan ayahnya tak berdaya untuk menolak

pertanggungjawaban atas hilangnya keris-keris Nagasasra dan

Page 44: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 93

Sabuk Inten dari rumahnya. Dan kali ini Gula Kelapa itu menyertai

laskar Banyubiru menuntut haknya, yang selama ini dilanggar dan

dihinakan oleh orang-orang Pamingit.

Melihat kesiapan laskarnya, Arya menarik nafas dalam-dalam.

Sesekali ia menengadahkan wajahnya ke langit. Tampaklah

bibirnya bergerak-gerak, dan terdengarlah suara perlahan sekali,

yang hanya dapat didengarnya sendiri. “Ya Allah, yang

memerintah langit dan bumi. Aku serahkan diriku dan laskarku ke

dalam tangan-Mu, ke dalam bimbingan-Mu. Jauhkanlah kami dari

kesalahan-kesalahan, serta berilah cahaya di dalam hati kami.

Berlakulah segala kehendak-Mu atas diri kami, sebab segala

kehendak-Mu pasti berlaku. Kami adalah domba-domba yang

menggantungkan nasib kami kepada penggembalanya yang Maha

Pengasih dan Pengampun.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba Arya Salaka

merasa mendapat kekuatan yang luar biasa. Sebagai seorang

pemuda yang perkasa, ia cukup mempunyai bekal lahir dan batin

dalam pekerjaan yang dilakukannya kali ini. Namun karena

jiwanya yang pasrah kepada Sumber Hidup-nya, ia menjadi

semakin yakin kepada tindakannya.

Kemudian dengan tidak usah menunggu lebih lama lagi,

diangkatnya tombaknya tinggi-tinggi. Dan sesaat kemudian

menggemalah suara bende yang ketiga kalinya, mengaum seperti

jerit harimau lapar.

Belum lagi gema bunyi bende itu berhenti, menyautlah suara

sangkalala dan seruling, melagukan lagu yang gemuruh, seirama

dengan gemuruhnya darah laskar Banyubiru itu.

Berbareng dengan itu, bergeraklah Arya Salaka dan

Wanamerta di ujung berisannya, diikuti oleh Mahesa Jenar, Kebo

Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Sedang Mantingan dan

Wirasaba mendapat tugas untuk mengamat-amati barisan itu.

Page 45: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 93

Ketika barisan itu sudah mulai bergerak, berbisiklah Endang

Widuri kepada Rara Wilis, “Akan aku coba, Bibi, sebelum barisan

itu sampai di kaki bukit Telamaya itu.”

Rara Wilis mengangguk sambil tersenyum, jawabnya, “Kalau

kau berhasil Widuri, dan kemudaian Ki Ageng Sora Dipayana

berhasil pula mencegah terjadinya pertumpahan darah, maka

berpuluh-puluh jiwa yang akan menjadi benteng dalam perjuangan

ini dapat diselamatkan, serta berpuluh-puluh wanita akan

mengukir di dalam hatinya, bahwa seseorang telah membendung

air mata mereka yang akan tertumpah, karena mereka kehilangan

suami, serta beribu-ribu anak-anak yang akan meneriakkan

kembali nama bapaknya, ketika bapak mereka kembali dengan

selamat dari pertumpahan yang urung nanti.”

Terasa sesuatu bergerak-gerak di tenggorokannya. Dengan

tidak sengaja gadis itu memandang ayahnya. Bagaimanakah

perasaannya kalau pada suatu kali ayahnya itu pergi dan tidak

akan kembali. Tetapi pada saat itu tiba-tiba ayahnya

memandangnya pula. Agaknya Kebo Kanigara pun ragu, apakah

pertempuran dapat dihindari. Karena itu ia merasa perlu untuk

melindungi anaknya lebih rapat lagi. Dengan berbisik ia

menyerahkan sesuatu kepada Endang Widuri, katanya, “Inilah

bandul kalungmu. Pasanglah.”

Widuri menerima pemberian itu. Ia terpekik kecil ketika ia

melihat sebuah benda yang berkilat-kilat di tangannya. Sebuah

gelang putih gemerlapan dan dari dalamnya memancar cahaya

kebiru-biruan. Pada dinding luar gelang itu, terdapatlah ukiran api

yang menyala, sehingga gelang itu menjadi seolah-olah bergerigi

tajam.

“Apakah ini ayah?” tanya Widuri sambil tersenyum keriangan.

Ia belum pernah melihat benda itu sebelumnya.

“Itulah kelengkapan kalungmu itu. Pasanglah di ujungnya,”

jawab ayahnya.

Page 46: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 93

“Apakah namanya?” desak gadis itu.

“Cakra,” jawab ayahnya singkat.

“Cakra? Adakah cakra ini yang dahulu dipunyai oleh Prabu

Kresna?” tanya Widuri pula.

“Hus, jangan mimpi. Kalau aku memiliki cakra peninggalan

Prabu Kresna, bukankah aku dapat menggugurkan bukit Merbabu

itu?”

Endang Widuri masih saja mengagumi cakra pemberian

ayahnya itu. Ia menjadi geli mendengar jawaban ayahnya.

Katanya, “Ah, aku kira dengan cakra ini aku akan mampu

menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan.”

“Pakailah,” potong ayahnya, “Lalu kerjakan tugasmu.”

Widuri seperti tersadar dari mimpi yang menyenangkan

tentang cakra itu. Ia teringat pada pekerjaannya yang diserahkan

kepadanya oleh Rara Wilis. Karena itu ia melangkah lebih cepat

menyusul Arya Salaka yang berjalan beberapa langkah di

depannya.

“Kakang...” bisik Endang Widuri setelah ia berjalan di samping

anak muda itu. Arya Salaka menoleh. Kali ini Endang Widuri tidak

mau kedahuluan lagi, sehingga ia tidak sempat untuk berbicara.

Karena itu segera ia berkata, “Kakang lihat ini.”

Arya melihat benda yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.

“Apakah itu?” ia bertanya.

“Cakra,” jawabnya singkat.

“Bagus,” gumam Arya Salaka, “Lihat.”

Widuri menyerahkan cakra itu kepada Arya Salaka yang

mengaguminya. Arya Salaka segera tahu, bahwa benda itu adalah

kelengkapan kalung Endang Widuri. Dengan senjata itu Widuri

Page 47: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 93

akan menjadi gadis yang benar-benar berbahaya di dalam

pertempuran. Pada saat ia menyaksikan Endang Widuri berkelahi

melawan Bagolan, rantai gadis itu samasekali tidak berbandul.

Dengan rantai itu saja Bagolan samasekali tak berdaya

melawannya, apalagi kalau di ujung rantainya tersangkut senjata

itu.

Ketika Arya Salaka masih mengagumi senjata itu, berkatalah

Endang Widuri kepadanya, “Kakang, apakah barisan ini sekarang

juga akan mulai dengan gelar perang?”

Arya mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia mengangguk,

jawabnya, “Ya, begitu barisan ini keluar dari mulut lembah, aku

pasang gelar.”

“Apakah kakang akan mulai dengan pertempuran langsung

siang ini juga?” tanya Widuri pula.

Arya menengadahkan wajahnya. Ia melihat matahari telah

melampaui kepalanya. Pertanyaan Widuri itu tepat benar. Kalau ia

mulai hari ini dengan menyerang langsung jantung kota, maka ia

akan terganggu oleh gelap malam. Ia tidak dapat

memperhitungkan, apakah ia akan dapat menyelesaikan

pertempuran sehari, dua hari, seminggu atau lebih.

Tetapi ia sudah punya rencana lengkap. Hampir setiap hari ia

mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar. Dari petunjuk-

petunjuk itu ia sudah dapat mengetahui dengan pasti, apakah yang

harus dilakukan kalau ia harus merebut Banyubiru dengan

kekerasan. Soalnya hanyalah soal waktu saja.

Ia harus membagi pasukannya dalam tiga bagian. Sayap kiri,

kanan dan induk pasukan. Sayap kiri itu harus membawa dirinya

melewati jurusan Timur. Mendaki bukit di sebelah timur untuk

kemudian menguasai daerah Banyubiru bagian timur. Sedang

sayap kanan harus berbuat yang sama dari arah barat. Namun di

samping itu, sayap ini mempunyai tugas untuk melakukan

pencegatan, apabila datang bantuan dari Pamingit.

Page 48: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 93

“Pertempuran tidak harus berlangsung hari ini.” Akhirnya

terdengar Arya bergumam. “Hari ini aku akan menghadapkan

laskarku ke perbatasan. Malam nanti sayap-sayapku akan mulai

berkembang. Besok pagi aku mulai dengan gerakan memasuki

kota.”

Widuri mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian ia

tinggal mempunyai waktu sedikit. Kalau laskar ini telah terpecah,

maka akan sulitlah untuk mengubah setiap rencana yang sudah

dipersiapkan itu.

“Kau menghadapi pekerjaan yang berat, Kakang,” kata Widuri.

“Ya, aku sadari itu sepenuhnya. Paman Lembu Sora bukan

orang yang bodoh. Ia mempunyai pandangan yang luas dan

dalam. Ia memiliki keahlian bersiasat. Aku kira Sawung Sariti pun

akan memiliki sifat-sifat itu juga.”

“Sadar atau tidak sadar, apa yang kau lakukan ini mirip benar

dengan ceritera Baratayuda.” Endang Widuri mulai dengan

usahanya menyampaikan pesan Rara Wilis.

Arya mengangguk sambil tersenyum. “Mungkin,” gumamnya.

Kemudian mulailah Widuri berceritera dari ceritera yang

didengarnya dari Rara Wilis. Ternyata Widuri benar-benar memiliki

kecerdasan yang mengagumkan. Dengan hati-hati ia

mengemukakan persoalan demi persoalan.

Apa yang diduga oleh Rara Wilis ternyata sebagian besar

benar. Kalau yang menyampaikan ceritera itu kepada Arya Salaka

orang lain, bukan Widuri, maka akibatnyapun akan lain. Tetapi kali

ini Arya mendengar ceritera tentang Bisma dan Prabu Salya dari

Endang Widuri. Dari seorang gadis yang aneh baginya. Arya Salaka

sendiri tidak tahu, pengaruh apakah yang sudah memukau dirinya,

sehingga setiap kata dari gadis itu sedemikian meresap ke dalam

dadanya. Iapun kemudian merasa, betapa menyesalnya nanti,

apabila eyangnya melibatkan diri di dalam pertempuran ini.

Page 49: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 93

Eyangnya yang menurut Mahesa Jenar mengharap

kedatangannya. Mengharap untuk dapat menemui cucunya yang

telah lama hilang. Ia tidak tahu, apakah ada di antara orang di

dalam pasukannya yang mampu menandingi eyangnya itu. Tetapi

Mahesa Jenar kini ternyata memiliki ilmu yang dahsyat. Disamping

itu ada Kebo Kanigara.

Tiba-tiba ia menyesal atas dugaannya itu. Kenapa ia seolah-

olah yakin bahwa eyangnya akan berpihak kepada pamannya.

Apakah tidak mungkin kakeknya itu datang kepadanya dan

berkata, “Kau benar Arya. Karena itu aku berada di pihakmu.”

Bahkan lebih daripada itu. Akhirnya Arya Salaka sampai pada

pikiran yang sejalan dengan pikiran Mahesa Jenar. Apakah tidak

mungkin apabila kakeknya itu berkata kepada pamannya, “Lembu

Sora, tinggalkan Banyubiru. Serahkanlah daerah ini kepada anak

yang bernama Arya Salaka, putra kakakmu Gajah Sora.” Lalu

pamannya itu menjawab, “Baiklah ayah.” Bukankah dengan

demikian pertempuran dapat dihindari? Tetapi Lembu Sora

bukanlah orang yang dapat berlaku demikian.

Untuk beberapa lama Arya Salaka berdiam diri. Ia berjalan saja

tanpa menoleh. Matanya seolah-olah terpaku pada bukit yang

terbujur jauh di hadapannya, yang sekali hilang ditelan oleh bukit

kecil di sekitar jalan yang dilaluinya, tetapi yang kemudian muncul

kembali, seakan-akan tersembul dari dalam tanah.

Di langit matahari berjalan pula dengan tenangnya. Sinarnya

yang semakin condong terasa seperti membakar kulit.

Endang Widuri tidak tahu pasti, apakah yang sedang bergolak

di dalam dada anak muda itu sebagai akibat dari kata-katanya.

Tetapi iapun berdiam diri pula. Ia berjalan dengan langkah yang

tetap mengikuti irama langkah barisan anak-anak Banyubiru itu.

Ketika laskar itu akhirnya muncul dari daerah-daerah

pegunungan, Widuri melihat suatu dataran yang luas terbentang

dihadapannya. Ia mengira bahwa Arya akan segera menebarkan

Page 50: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 93

barisannya dalam gelar perang. Tetapi sampai beberapa lama aba-

aba itu samasekali tidak diberikannya. Laskar Banyubiru itu masih

saja berjalan seperti ular yang panjang berkelok-kelok menuruti

jalan sempit menuju ke Banyubiru. Di kiri kanan jalan itu

terbentang padang rumput yang luas, yang di sana sini terdapat

beberapa gerumbul-gerumbul kecil dan pohon-pohon perdu yang

berserak-serakan. Sedang di lereng-lereng bukit kecil tampak

batang-batang ilalang yang memanjat sampai ke lambung.

Ketika matahari telah mulai merendah, barulah mereka sampai

ke daerah yang berhadapan dengan tanah-tanah persawahan.

Diseberang sawah itulah mereka baru akan menjumpai desa yang

pertama.

Di kejauhan, di seberang padang-padang rumput itu, tiba-tiba

tampaklah debu putih yang mengepul. Mata Arya yang tajam

segera dapat melihatnya. Demikian juga Endang Widuri dan

Wanamerta. Maka terdengarlah Arya Salaka berbisik, “Kau lihat

debu itu, Widuri?”

Endang Widuri mengangguk. “Kuda,” desisnya.

“Ya, orang berkuda.” Arya Salaka melengkapi.

Debu itu semakin lama menjadi semakin tipis, dan akhirnya

semakin jauh dan jauh, untuk kemudian seperti hilang ditelan

cakrawala.

Untuk beberapa saat, orang berkuda itu mempengaruhi pikiran

Arya Salaka. Namun akhirnya hatinya memutuskan, “Biarlah

seandainya orang itu akan memberitahukan kepada Paman Lembu

Sora. Kami sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Kasar dan

halus.”

Page 51: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 93

Tetapi bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang berkuda

itu benar-benar menimbulkan persoalan. Kuda itu ternyata

menghilang ke arah barat. Seandainya orang berkuda itu, salah

seorang pengawas dari Pamingit, ia tidak akan menghilang ke

barat. Tetapi ia akan memacu kudanya ke selatan, dan menghilang

ke balik desa yang pertama

tampak di muka barisan itu.

Dengan demikian, maka

Mahesa Jenar dan Kebo

Kanigara mempunyai tang-

gapan yang lain. Orang itu

bukanlah orang Pamingit atau

Banyubiru.

“Jadi siapakah dia?” tanya

Kebo Kanigara perlahan-lahan.

“Tak ada lain, orang itu pasti

dari golongan hitam,” jawab

Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara mengang-

guk-anggukan kepalanya.

“Satu-satunya kemungkinan,”

gumamnya.

“Mereka akan mengambil keuntungan dari perselisihan ini,”

sahut Mahesa Jenar.

“Keadaan yang sulit.” Kembali Kebo Kanigara bergumam.

Mahesa Jenar pun kemudian berdiam diri. Ia melihat bahwa

Arya Salakapun telah mengetahui adanya orang berkuda yang

mencurigakan itu. Tetapi ia tidak mau mempengaruhi rencana

anak muda itu. Ia ingin mengetahui, sampai dimana kemampuan

Arya Salaka. Ia akan memberi petunjuk-petunjuk apabila sangat

diperlukan, atau laskar ini menuju kedalam bahaya.

Page 52: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 93

Tiba-tiba ia melihat Arya Salaka mengangkat tangan kirinya.

Kemudian terdengarlah bunyi bende dua kali berturut-turut.

Sesaat kemudian berhentilah seluruh pasukan itu. Dengan isyarat

Arya Salaka memanggil para pemimpin kelompok untuk datang

kepadanya.

“Kita berhenti di sini,” katanya kepada para pemimpin

laskarnya. Kemudian kepada Bantaran dan Penjawi, ia berkata,

“Siapkan laskar ini menjadi tiga bagian. Sayap kiri, yang akan

masuk ke Banyubiru lewat timur. Sayap kanan lewat barat dan

menjaga kemungkinan datangnya bantuan dari Pamingit. Sedang

yang lain, induk pasukan akan langsung menuju ke jantung kota,

serta menyiapkan bagian-bagian yang harus melakukan

pengejaran-pengejaran terhadap lawan yang menarik diri serta

membuat pertahanan-pertahanan baru.”

Para pemimpin itupun telah tahu benar apa yang harus

dilakukan, sebab perintah itu adalah perintah ulangan seperti yang

mereka dengar sebelumnya.

“Tetapi....” kemudian Arya Salaka meneruskan, “Kalian jangan

bergerak lebih dahulu sebelum aku memberi perintah. Aku harus

mendapat keyakinan bahwa dengan sekali tusuk, rencana kita

berhasil. Karena itu aku harus menguasai keadaan medan sebaik-

baiknya.”

Para pemimpin itupun mengerutkan keningnya. Tetapi mereka

tidak menanyakan apa-apa. Tugas mereka, menunggu sampai

Arya memberikan perintah. Sekarang, nanti atau nanti malam.

Namun mereka sudah tidak terlalu gelisah, seperti ketika mereka

masih harus menunggu di perkemahan tanpa batas waktu.

Sekarang mereka telah berada di garis perbatasan. Bahkan

mungkin mereka tidak usah menunggu sampai besok, sebab

orang-orang Pamingit itupun dapat melakukan penyerangan

dengan tiba-tiba. Karena itu mereka selalu bersiap. Tempat itu

mendapat pengawalan yang kuat dari pasukan-pasukan panah

yang akan menjadi ujung-ujung sayap.

Page 53: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 93

Kelompok yang akan menjadi sayap kiri telah memisahkan diri

di bawah pimpinan Bantaran. Dalam kelompok itu ikut serta

Mantingan. Sedang sayap kanan dipimpin oleh Penjawi dan

Wirasaba. Kelompok inipun telah memisahkan diri. Induk pasukan

langsung berada di tangan Arya Salaka.

Melihat keadaan itu, Endang Widuri menarik nafas. Ia menjadi

berlega hati. Arya Salaka belum memberikan perintah bergerak

kepada kedua sayap pasukan itu. Mudah-mudahan nanti

malampun belum.

Ketika sebagian dari laskar itu telah beristirahat, kembali Arya

Salaka teringat kepada orang-orang berkuda yang hilang ditelan

cakrawala di ujung barat. Tiba-tiba ia ingin mendapat

pertimbangan pendapat tentang orang berkuda itu dari Mahesa

Jenar.

Ia mendekati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang duduk di

atas batang-batang ilalang kering bersama-sama dengan Rara

Wilis.

“Paman....” katanya setelah ia pun duduk, “Apakah tanggapan

Paman Mahesa Jenar dan Paman Kebo Kanigara serta bibi Wilis

tentang orang berkuda tadi?” Mahesa Jenar mengerutkan

keningnya, katanya, “Apa katamu tentang itu…?” Mahesa Jenar

bertanya pula.

Arya Salaka diam berpikir. Dilemparkan pandangan matanya

ke arah orang berkuda tadi lenyap. Tetapi di sana sudah tidak

dilihatnya apa-apa lagi. Debu yang mengepul itupun telah lenyap.

Tiba-tiba iapun sadar, bahwa orang itu samasekali bukan

pengawas dari Pamingit. Sebab jurusan itu, jurusan yang ditempuh

oleh orang berkuda itu, menjauhi Banyubiru.

“Ada dua kemungkinan menurut pikiran saya, Paman.” Arya

menjawab. “Orang itu mungkin pengawas paman Lembu Sora,

tetapi mungkin juga bukan.”

Page 54: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 93

“Kalau bukan…?” Mahesa Jenar ingin menjelaskan.

“Kalau bukan, ia adalah orang dari gerombolan hitam,” sahut

Arya, “Mungkin dari Nusakambangan, mungkin dari Gunung Tidar

atau dari daerah sebelah timur Rawa Pening.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya, katanya

perlahan-lahan, “Mungkin ketiga-tiganya, ditambah orang-orang

dari Alas Mentaok yang sudah dilengkapkan kembali.”

Arya Salaka mengangguk-angguk.

“Masukkan mereka dalam perhitunganmu, Arya,” Mahesa

Jenar menasihati.

Arya Salaka tidak menjawab, tetapi tampaklah ia berpikir

keras. Sejak semula memang ia merasa betapa sulit pekerjaannya.

Ditambah dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat

ditimbulkan oleh orang-orang kalangan hitam. Ia yakin bahwa

gerombolan hitam dari Rawa Pening pasti mendendamnya. Apalagi

kalau mereka akhirnya mengetahui bahwa dialah yang membunuh

sepasang pemimpinnya, Uling Putih dan Uling Kuning. Disamping

itu dendam yang tak ada taranya dari orang-orang Gunung Tidar

terhadap Mahesa Jenar. Sima Rodra yang kehilangan anak dan

menantunya yang dibunuh oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis, pasti

akan mencoba menuntut balas. Demikian juga Pasingsingan yang

mengalami kekalahan baru beberapa hari yang lalu.

Persamaan kepentingan itu akan mereka padukan sebaik-

baiknya. Mereka bersama-sama ingin membalas dendam. Juga

mereka bersama-sama ingin memiliki keris-keris Kyai

Nagasasradan Kyai Sabuk Inten. Mereka pulalah yang telah

menyusun kekuatan untuk merebut Banyubiru dan Pamingit

sebagai rintisan jalan menuju ke Demak. Menurut anggapan

mereka, dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten,

berlandaskan kekuatan laskar yang akan dihimpunnya kelak dari

Banyubiru dan Pamingit, maka terbukalah pintu gerbang

kekuasaan tertinggi. Demak. Meskipun di dalam dada mereka itu

Page 55: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 93

masih selalu terngiang pertanyaan-pertanyaan, “Lalu siapakah

orangnya yang akan memegang kekuasaan tertinggi di antara

golongan hitam itu? Pasingsingan? Sima Rodra? Atau dari

angkatan yang lebih muda? Lawa Ijo atau Jaka Soka atau yang lain

lagi…?”

“Aku kira orang-orang dari golongan hitam itu akan

menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.” Terdengar Arya

kemudian berkata. “Mereka akan menggempur kita, apabila

tenaga kita sudah jauh berkurang dalam pertempuran kita

melawan orang-orang Pamingit.”

Mahesa Jenar mengangguk.

Kembali Arya merenungkan kata-katanya sendiri. Alangkah

jelasnya persoalan yang dihadapi. Tetapi ia telah melangkahkan

kakinya karena itu ia pantang mundur.

“Akan aku bentuk pasukan-pasukan cadangan dari ketiga

bagian laskarku,” katanya kemudian. “Aku kira aku harus

membuka di garis pertempuran. Pasukan-pasukan cadangan itu

harus tetap segar untuk menghadapi laskar hitam yang akan

datang kemudian.”

Kembali Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Di

dalam hatinya ia bangga atas keterampilan Arya Salaka. Namun

keterampilan itu adalah keterampilan pikiran anak muda yang

masih berdarah panas dan berdada panas. Meskipun demikian

Mahesa Jenar tidak membantahnya. Ia mengharap, dalam

ketenangan istirahatnya nanti Arya akan menemukan sendiri

pemecahan masalah itu. Ia mengharap Arya akan mencoba

menemui kakeknya. Memberitahukan persoalannya dan

persoalan-persoalan lain. Di antaranya orang berkuda yang terang

orang dari gerombolan hitam.

Kemudian mereka berdiam diri. Endang Widuri berjalan

dengan langkah gontai ke arah mereka.

Page 56: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 93

Dengan seenaknya ia menjatuhkan dirinya duduk, bersandar

pada Rara Wilis.

“Dari mana kau Widuri?” tanya Rara Wilis.

“Aku melihat-lihat laskar ini. Baru saja aku bersama-sama

dengan Paman Mantingan menangkap kelinci-kelinci liar,”

jawabnya.

“Kau pergi ke sayap kiri?” potong Arya Salaka.

“Ya,” jawab Rara Wilis, “Mereka sedang merebus air.”

“Jangan mondar-mandir Widuri.” Ayahnya mencoba memberi

nasehat. “Di gerumbul-gerumbul itu mungkin bersembunyi bahaya

yang mengancam keselamatanmu.”

Widuri tersenyum. “Bukankah aku sudah mempunyai cakra?”

“Jangan takabur dengan benda itu,” sahut ayahnya, “Dengan

demikian benda itu akan menyeretmu masuk ke dalam bahaya.”

“Jangan marah ayah,” jawab Widuri, “Aku hanya bergurau.”

“Kau memang terlalu nakal.” Ayahnya melanjutkan. “Sekali-

kali aku masih ingin menarik kupingmu.”

“Jangan ayah,” potong Widuri, “Bahkan mungkin Kakang Arya

menganggap bahwa sekali-kali perlu juga aku mondar-mandir,

sebab ada yang dapat aku lihat di ujung desa sebelah.”

“Apa…?” Arya tertarik pada keterangan itu.

“Cermin,” jawab Widuri.

“Cermin…?” Arya semakin tertarik, juga Mahesa Jenar. Segera

teringatlah ia pada saat Lembu Sora mencegat laskar Demak yang

membawa Gajah Sora. Orang-orangnya memberikan tanda-tanda

dengan benda yang berkilat-kilat.

Page 57: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 93

“Aku lihat cahaya yang bersahut-sahutan. Dari desa itu dan

dari desa yang jauh itu,” jawab Widuri.

Mendengar keterangan Widuri itu Arya mengangkat wajahnya,

memandang jauh ke arah desa yang ditunjuk oleh Endang Widuri.

Kabar yang dibawa gadis itu sangat menarik perhatian. Bahkan

Mahesa Jenar kemudian berdiri tegak dan dengan cermatnya

memandangi desa di hadapan laskar Banyubiru itu. Terbayanglah

di dalam otaknya, pasukan yang pepat padat bersembunyi di sana.

Sehingga seolah-olah pada setiap batang didalam desa itu, berdiri

seorang laskar Lembu Sora, yang siap menanti kedatangan laskar

Banyubiru itu dengan senjata di tangan.

Arya Salaka pun kemudian berdiri. Memanggil dua orang

pembantunya, memberitahukan kepada kedua sayap laskarnya.

Mereka harus di hadapan hidung mereka. Disamping itu mereka

harus membentuk laskar cadangan, sebab ada kemungkinan,

golongan hitam akan mengail di air yang sedang keruh. Kedua

orang itupun segera menyampaikan pesan Arya Salaka. Namun

kedua orang itu masih belum membawa perintah kepada sayap-

sayap pasukan itu untuk bergerak. Disamping kepada kedua orang

itu, kepada Sendang Papat yang berada di dalam pasukan induk

itu, Arya Salaka pun telah memerintahkan untuk memisahkan

sebagian laskarnya yang harus tetap segera untuk menghadapi

lawan baru yang setiap saat dapat mengancamnya.

Tetapi keterangan yang diberikan kepada sayap-sayap

laskarnya, sangat mempengaruhi dirinya sendiri. Golongan hitam

akan mengail di air yang keruh. Kenapa ia mesti mengeruhkan

airnya? Tidak, bukan dirinya, tetapi pamannya. Apa yang dilakukan

Arya Salaka kini adalah akibat dari perbuatan pamannya. Kalau

pamannya tidak melakukan pelanggaran atas ketetapan adat yang

berlaku, maka iapun tidak akan melakukan perjuangan dengan

kekerasan. Tegasnya, tanggungjawab dari keributan yang bakal

terjadi adalah terletak di pundak pamannya.

Page 58: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 93

Sekali lagi Arya menengokkan wajahnya ke langit. Matahari

telah semakin rendah, dan sebentar lagi akan hilang dibalik bukit-

bukit di sebelah barat. Burung-burung seriti dan manyar telah

berterbangan berputar-putar untuk mencari tempat bermalam di

atas pohon-pohon siwalan yang bertebaran di sana-sini.

“Baik, kami atau mereka, tidak akan mulai hari ini, Paman,”

kata Arya Salaka kemudian. “Sebentar lagi malam tiba.”

“Ya,” jawab Mahesa Jenar, “Tetapi mungkin besok pagi-pagi

benar sebelum pecah fajar, kau harus sudah bertempur.”

Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba

tangannya membelai tombaknya seperti membelai kepala adik

kesayangannya. Adakah di dalam laskar pamannya nanti ikut pula

orang-orang Banyubiru yang berdiri di pihak Pamingit. Dan adakah

di antara mereka itu kawan-kawan sepermainan dahulu? Arya

Salaka menjadi bersedih hati mengenang kemungkinan-

kemungkinan itu. Tombaknya itu mungkin besok akan menusuk

jantung kawan-kawannya sepermainan. Dan bukankah Sawung

Sariti tidak hanya kawan sepermainannya, tetapi justru saudara

sepupunya? Tetapi meskipun demikian pedang anak muda itu

hampir saja menembus dadanya.

Mahesa Jenar melihat keragu-raguan yang membayang di

wajah Arya Salaka, seperti ceritera tentang Arjuna yang ragu-ragu

pula, pada saat Baratayuda mulai pecah. Tetapi apa yang

dilakukan oleh Mahesa Jenar, samasekali berbeda dengan apa

yang dilakukan Kresna pada waktu itu. Mahesa Jenar untuk

sementara membiarkan saja Arya Salaka diganggu oleh

kegelisahannya.

“Sampai malam nanti....” pikir Mahesa Jenar.

Yang dihadapi oleh Arya Salaka kini bukanlah pamannya itu

sendiri. Inilah salah satu perbedaan dengan ceritera Baratayuda

itu. Tetapi ada pihak ketiga yang tidak kalah berbahaya. Bahkan

laskar hitam itu samasekali tidak terikat pada suatu tata

Page 59: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 93

kesopanan atau pun kepercayaan yang dapat mengendalikan

kebiadaban serta kekejaman mereka.

Ketika matahari kemudian terbenam, mereka masing-masing

mencari tempat mereka sendiri-sendiri untuk beristirahat. Disana-

sini bertebaran para petugas yang harus mengawasi keadaan,

dengan senjata siap di tangan. Sekali dua kali Arya Salaka

mengadakan peninjauan atas kesiapan anak buahnya. Sedang di

sana-sini tampak perapian menyala-nyala. Mereka kemudian

seperti berpesta, ketika serombongan orang-orang yang bertugas

membawa kiriman makan datang ke tempat itu.

Kepada pembawa kiriman itu Arya Salaka berpesan, “Bawalah

untuk besok pagi, sebelum ayam jantan berkokok untuk yang

terakhir kalinya. Kedudukan-kedudukan baru akan segera kami

beritahukan, apabila pertempuran sudah mulai.”

Kemudian keadaan menjadi sepi kembali. Masing-masing

mencoba untuk mempergunakan waktu istirahat sebaik-baiknya.

Namun di dalam dada Arya bergolaklah persoalan-persoalan yang

rasa-rasanya semakin rumit. Sebenarnya ia sudah sampai pada

waktunya untuk memerintahkan laskar di kedua sayapnya untuk

bergerak.

Dalam pada itu, Mahesa Jenar menjadi semakin cemas pula

atas setiap keputusan yang diambil oleh Arya Salaka. Karena itu ia

samasekali tidak berani meninggalkan anak itu. Meskipun seolah-

olah ia samasekali tidak ikut campur pada setiap keputusan Arya

Sakala, namun kehadirannya di samping anak muda itu ternyata

sangat berpengaruh.

“Paman...” akhirnya Arya Salaka minta pertimbangan,

“Bagaimanakah kalau aku mulai melepaskan sayap-sayap

laskarku?”

Mahesa Jenar pun telah merasa bahwa pada suatu ketika ia

akan menghadapi pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang sangat

sulit untuk dijawab. Tetapi meskipun demikian ia masih belum

Page 60: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 93

melepaskan usahanya. Katanya, “Adakah kau sudah menganggap

cukup waktu?”

Arya Salaka ragu. Karena itu ia bertanya, “Kalau aku

kehilangan waktu, apakah itu tidak membahayakan kedudukan

kita ini Paman?”

Arya Salaka benar. Sedang orang-orang Pamingit itu telah siap

di hadapannya. Mungkin mereka akan membuka gelar lebih

dahulu, Supit Urang, atau Garuda Nglayang. Tetapi mereka tak

akan dapat mengepung laskar ini, sebab Arya telah memisahkan

kedua sayapnya agak jauh.

Meskipun demikian orang-orang Pamingit dapat memotong

sayap-sayap pasukan ini, untuk kemudian menyerang induk

pasukan dengan gelar yang sempit. Cakra Byuha atau Dirada Meta

atau Gedong Minep. Namun menilik watak Senapati yang akan

memimpin laskar Pamingit itu, baik Sawung Sariti maupun Lembu

Sora sendiri, pasti tidak akan mempergunakan gelar terakhir.

Mereka pasti lebih senang memilih gelar Cakra Byuha atau Dirada

Meta. Bahkan mungkin seperti apa yang pernah mereka lakukan

terhadap pasukan Demak dengan jumlah yang sangat besar, Glatik

Neba atau Samodra Rob.

Dalam menilai keadaan, Mahesa Jenar tidak dapat menutup

kenyataan bahwa bukan salah Arya atau kalau Arya kini tertekad

bulat untuk bertempur. Sebab kalau ia tidak melakukan itu, ia akan

digilas oleh pasukan lawannya, yang barangkali saat ini sedang

merayap-rayap untuk membentuk gelar perang yang berbahaya.

Maka kemungkinan satu-satunya yang dapat dilakukan oleh Arya,

apabila ia akan menghadap eyangnya, adalah sekarang. Dan ia

harus kembali sebelum tengah malam. Apabila keadaan tidak

menguntungkan, sayap-sayapnya masih akan dapat mencapai

tempat yang ditentukan sebelum fajar, dan memukul Banyubiru

dari tiga jurusan. Tetapi adakah Arya bermaksud demikian?

Page 61: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 93

Untuk menjajagi perasaan anak itu, Mahesa Jenar berkata,

“Siapakah menurut dugaanmu, yang akan madeg Senapati dari

Pamingit pagi besok? Lembu Sora, Sawung Sariti atau eyangnya

Sora Dipayana?”

Mendengar nama kakeknya tersebut, dada Arya berdesir.

Bagaimanakah kalau benar eyangnya itu yang memimpin pasukan

Pamingit dan Banyubiru yang berpihak kepada Lembu Sora?

Melihat keragu-raguan Arya Salaka, Mahesa Jenar mengharap

untuk dapat membawa anak itu malam ini menghadap kakeknya.

Karena itu ia mendesak, “Kalau eyangmu yang memimpin pasukan

itu, jangan cemas. Ada aku dan Kakang Kebo Kanigara yang akan

membinasakan.”

Kembali dada Arya Salaka berdesir. Justru karena ia percaya

kepada gurunya. Ia percaya bahwa Mahesa Jenar sekarang akan

dapat melawan eyangnya, dan ia percaya kata-kata gurunya,

bahwa Kebo Kanigara dapat membinasakan kakeknya itu. Tetapi

bagaimanakah kalau kakeknya itu benar-benar binasa?

Teringatlah Arya Salaka pada ceritera Endang Widuri siang tadi.

Meskipun Bisma tidak sependapat dengan Kurawa, demikian juga

dengan Prabu Salya, namun karena kedudukan mereka, mereka

terpaksa bertempur melawan orang-orang Pandawa. Karena

desakan hati mereka yang putih dan tanpa pamrih, akhirnya

mereka membiarkan diri mereka binasa, meskipun mereka

mengetahui sebelumnya. Bisma telah menyadari bahwa prajurit

wanita yang bernama Srikandi-lah yang akan mengantarkan

jiwanya menghadap Hyang Maha Agung. Demikian juga Salya,

bahkan memberitahukan bagaimana orang Pandawa harus

membunuhnya. Tetapi orang-orang Pandawa sempat menghadap

mereka. Mohon maaf atas segala kesalahan mereka, dan mereka

mendapat restu dari kedua pepunden itu.

Tiba-tiba terdengar Arya berdesis, “Bagaimanakah kalau

Eyang Sora Dipayana yang memimpin laskar Pamingit?”

Page 62: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 93

“Sudah aku katakan,” jawab Mahesa Jenar, “Aku sanggup

melawannya.”

Runtuhlah wajah Arya Salaka membentur tanah, seperti

hatinya yang hancur. Tiba-tiba mengambanglah airmatanya yang

bening membasahi matanya. Kenapa ia harus menghadapi

keadaan yang sedemikian pahit. Terbayanglah masa kanak-

kanaknya, dimana ia sering dengan nakalnya didukung di

punggung eyangnya. Berlari-lari. Dan kadang-kadang eyangnya

itu berdendang pula untuknya, dalam lagu tembang yang

menawan.

Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar segera mengambil

kesempatan. “Kenapa kau berduka? Adakah kau takut kehilangan

aku? Percayalah aku tak akan dapat dikalahkan oleh eyangmu itu.”

Wajah Arya menjadi semakin tunduk. Ia tidak menjawab. Yang

terdengar kemudian adalah suara Mahesa Jenar, “Atau kau

cemaskan nasib eyangmu?”

Mendengar perkataan itu, tanpa disadarinya, Arya Salaka

menganggukkan kepalanya. Cepat Mahesa Jenar berkata sambil

mengangguk-anggukan kepalanya, “Arya, sebenarnya di dalam

dadamu telah lebih dahulu bergolak suatu pertempuran yang

dahsyat. Sebagai seorang anak muda, kau terlalu sulit untuk

mengendalikan dirimu. Tetapi karena tempaan watakmu yang

baik, yang menetes dari keluhuran budi ayahmu, telah memaksa

perasaanmu untuk mencemaskan nasib, tidak saja eyangmu,

tetapi seluruh rakyatmu. Karena itu Arya Salaka, bagaimanakah

dengan usulku, tidakkah kau ingin bertemu dengan eyangmu

sebelum api pertempuran ini berkobar?”

Kembali dada Arya tersentuh. Siang tadi ia merasa, bahwa

yang demikian itu samasekali tidak ada gunanya. Karena itu, ia

samasekali tidak setuju dengan pendapat Mahesa Jenar untuk

sekali lagi menghadap ke Banyubiru. Tiba-tiba terasa sekarang,

bahwa alangkah baiknya hal itu dilakukan. Tetapi sekarang

Page 63: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 93

pasukannya telah berhadap-hadapan. Kalau ia tidak segera mulai,

orang-orang Pamingit yang akan mengambil prakarsa, memulai

pertempuran itu.

Mahesa Jenar menangkap perasaan yang bergolak didalam

dada anak muda itu, maka katanya, “Kalau kau ingin menghadap

eyangmu Arya, biarlah aku dan Kakang Kebo Kanigara

menyertaimu bersama-sama dengan Paman Wanamerta. Kalau

orang-orang Pamingit itu curang, kami dapat melakukan

perlawanan sekadarnya, sambil memberi tanda kepada

pasukanmu untuk bergerak. Karena itu biarlah Paman Wanamerta

membawa anak panah sendaren, yang dapat mengaung di udara,

atau anak panah api.”

Sekali lagi Arya mengangguk kosong. Seolah-olah pikirannya

terampas habis oleh kesulitan perasaan yang dihadapinya.

“Kita berangkat sekarang,” sambung Mahesa Jenar, “berkuda,

dan membawa obor di tangan, supaya mereka tahu, bahwa kita

bermaksud baik. Bukan mata-mata yang menyusup ke daerah

mereka. Sebelum tengah malam, kita harus sudah berada di

tengah-tengah laskar ini.”

IV

Ketika Mahesa Jenar meloncat berdiri, Arya pun berdiri. Segera

Mahesa Jenar memberitahukan maksudnya kepada Kebo Kanigara

dan Wanamerta, yang segera bersiap-siap pula. Kepada Rara Wilis,

Kebo Kanigara menitipkan putrinya. Kepada Sendang Papat, Arya

Salaka berpesan, bahwa apabila panah sendaren-nya mengaum

atau panah apinya menyala di udara, laskar Banyubiru harus

segera bertindak. “Karena itu, siapkan sebagian dari mereka,”

katanya.

Sendang Papat menjadi heran. Apa yang akan dilakukan oleh

Arya Salaka? Maka bertanyalah ia, “Apakah yang akan kau lakukan

Adi Arya Salaka?”

Page 64: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 93

“Melihat medan dan melihat keadaan kota,” jawabnya.

“Pekerjaan yang berbahaya. Orang-orang Pamingit dapat

menangkap tuan-tuan,” katanya kepada Mahesa Jenar.

“Aku punya alasan,” potong Arya, “Aku akan berpura-pura

menghadap Eyang Sora Dipayana untuk bersujud di bawah

kakinya sebelum aku mulai dengan pertempuran.”

“Adakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang-orang

Pamingit?” tanya Sendang Papat.

“Mudah-mudahan mereka cukup jantan,” jawab Arya.

Sendang Papat tidak bertanya lagi. Alasan Arya Salaka dan

cara yang akan dilakukan memang masuk akal, meskipun Arya

Salaka terpaksa memutar balik, agar laskarnya tidak dikecewakan.

“Baik….” Akhirnya Sendang Papat menjawab, “Akan aku

siapkan beberapa orang pelopor yang apabila keadaan memaksa

akan menembus pasukan Pamingit langsung ke arah tanda-tanda

yang akan kau berikan, untuk membantu. Sedang yang lain akan

aku kerahkan untuk memberi tekanan kepada mereka, sampai kau

dan Tuan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Kiai Wanamerta dapat

membebaskan diri.”

“Bagus,” jawab Arya, “Kami akan berangkat. Beritahu kepada

sayap-sayap laskar ini, supaya mereka tidak terkejut melihat

tanda-tanda apabila terpaksa aku berikan, siapkan sayap-sayap

itu.”

Setelah memberikan beberapa pesan-pesan, serta

menempatkan Rara Wilis sebagai penasehat Sendang Papat, maka

berangkatlah rombongan kecil itu. Di muka sekali seorang

pembawa obor besar merupakan penerang jalan, kemudian

berkuda di belakangnya Wanamerta dan Arya Salaka. Dekat di

belakangnya berjajar Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Kemudian

yang terakhir juga seorang pembawa obor.

Page 65: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 93

Rombongan itu sangat menarik perhatian laskar Banyubiru.

Mereka saling bertanya-tanya apakah yang akan dilakukan oleh

rombongan kecil itu, sehingga sesaat kemudian para pemimpin

laskar itu mendengar penjelasan dari Sendang Papat. Dengan

demikian mereka tidak gelisah oleh usaha-usaha yang mereka

anggap tak akan berarti.

Demikianlah dalam waktu yang singkat, rombongan Arya

Salaka telah terpisah jauh dari laskarnya. Mereka berjalan dijalan-

jalan persawahan yang membujur di antara tanah-tanah yang

diterangi oleh batang-batang padi yang sedang berbunga. Sedang

dekat di hadapan mereka tampaklah seperti bukit-bukit kecil,

desa-desa yang pertama. Dari desa-desa itulah sore tadi Endang

Widuri melihat cahaya yang berkilat-kilat bersahut-sahutan.

Dalam keheningan malam itu terdengarlah suara Mahesa Jenar

perlahan-lahan, “Arya, batang-batang padi sedang berbunga.”

“Ya,” jawab Arya singkat.

“Kalau kau berjalan beriring dengan laskarmu dalam gelar

perang, atau orang-orang Pamingit yang maju dalam gelar pula,

batang-batang padi yang sedang berbunga itu akan binasa oleh

kaki-kaki laskar yang akan bergulat di antara hidup dan mati.

Tetapi disamping laskar itupun masih ada lagi orang-orang yang

akan bergulat melawan lapar, sebab tanah harapannya telah

hancur dilanda arus peperangan. Perempuan-perempuan akan

menangis karena kehilangan suami, sedang anak-anak mereka

akan menangis karena lapar.”

Terasa sesuatu menggores di dalam dada Arya. Peperangan

adalah peristiwa yang terkutuk. Yang dapat mematahkan cinta

antara manusia, cinta antara keluarga, cinta antara suami istri dan

anak-anak mereka. Tetapi gurunya itupun pernah berkata

kepadanya, “Arya, ada beberapa tingkat dalam bercinta. Cinta kita

kepada sesama, cinta antara pria dan wanita, cinta antara orang

tua dan anak-anak, cinta antara manusia. Kemudian meningkatlah

Page 66: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 93

cinta kita kepada tanah kelahiran, kepada kampung halaman,

kepada tanah air dan bangsa. Tanah yang diberikan oleh Tuhan

kepada kita serta lingkungan hidup di atasnya. Dan tingkat yang

tertinggi dari cinta kita adalah cinta kita kepada sumber cinta itu

sendiri. Kepada yang memberi kita gairah atas sesama manusia,

yang memberikan tanah tumpah darah dan lingkungan hidup di

atasnya. Yaitu cinta kita kepada Tuhan itu sendiri. Cinta kita

kepada Yang Maha Pencipta. Tak ada yang dapat dipertentangkan

dengan cinta kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cinta itu adalah

cinta yang paling luhur. Tetapi kadang-kadang kita dihadapkan

kepada persoalan yang seolah-olah merupakan pertentangan

antara kedua pancarannya. Cinta kita kepada tanah tumpah darah,

cinta kita kepada bangsa yang seolah-olah bertentangan

kepentingan dengan cinta kita pada kemanusiaan dan manusia.”

“Tidak,” kata gurunya itu, “Kita bisa menempatkan kedua-

duanya. Kita harus menempatkan cinta kita kepada tanah tumpah

darah berdasarkan cinta kita kepada manusia. Kepada manusia

yang akan kita lahirkan. Kepada manusia yang akan mewarisi

hidup kita kelak, supaya mereka dapat menikmati hidup mereka.

Supaya mereka dapat menikmati cinta yang kudus. Cinta kepada

Tuhannya tanpa merasa takut dan cemas. Tanpa terganggu oleh

persoalan-persoalan duniawi.”

Arya menarik nafas dalam-dalam. Memang peperangan harus

dicegah. Tetapi kalau ia harus pecah, maka hendaknya perang itu

dilandaskan kepada kepentingan kemanusiaan. Bukan

kepentingan diri dan keinginan-keinginan untuk diri sendiri.

Demikianlah kalau peperangan antara laskarnya melawan laskar

Pamingit. Perang ini memang dapat menimbulkan perlawanan atas

rasa cinta, tetapi ia harus dilandaskan pada kecintaan dan

pengabdian yang lebih luhur.

Karena itulah maka Arya sadar, bahwa gurunya bukan

bermaksud menganjurkan kepadanya untuk menerima nasibnya,

nasib rakyatnya. Tetapi gurunya hanya mencoba mencegah

Page 67: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 93

timbulnya pertentangan apabila kemungkinan itu masih bisa

dicapai.

Tiba-tiba tersentak dari lamunannya, ketika dengan tiba-tiba

orang berkuda yang berjalan di mukanya itu mendadak berhenti.

“Ada apa?” ia bertanya.

Orang itu menujuk ke depan. Di pojok desa tampaklah

beberapa orang berdiri. Kemudian terdengarlah salah seorang dari

mereka berteriak, “Berhentilah di situ.”

Arya kemudian mendorong kudanya, mengambil tempat

terdepan. Ia masih maju beberapa langkah. Tetapi kemudian iapun

terpaksa berhenti ketika sebuah tombak melayang dan menancap

di tanah, hanya dua langkah dari kaki kudanya.

Demikian asyiknya Arya menganyam angan-angannya,

sehingga ia tidak melihat sebelumnya, orang-orang yang

menghadang perjalanannya itu. Ia tahu betul isyarat yang

diberikan oleh orang-orang itu. Kalau ia tidak berhenti, maka

tombak yang kedua akan diarahkan kepadanya. Karena Arya tidak

menghendaki bentrokan terjadi, maka iapun mematuhi isyarat itu.

Ketika rombongan kecil itu telah berhenti, majulah beberapa

orang bersenjata mendekati mereka. Sementara itu Mahesa Jenar

dan Kebo Kanigara telah berada dekat di belakang Arya Salaka.

Sedang Wanamerta pun kemudian menempatkan dirinya di

samping anak muda yang membawa tombak Kyai Bancak itu.

Beberapa orang itu kemudian berdiri mengitari Arya Salaka

dan rombongannya, seolah-olah mereka hendak mengepung

rapat-rapat. Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya

maju selangkah, lalu dengan bertolak pinggang ia berkata,

“Siapakah kalian? Kemana kalian akan pergi? Dan apakah maksud

kalian?”

Page 68: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 93

Sesaat kemudian Arya Salaka menjawab, “Ki Sanak, kami

adalah orang-orang Banyubiru. Adakah Ki Sanak juga orang

Banyubiru?”

“Ya,” jawabnya singkat.

“Kalau begitu kalian seharusnya mengenal kami,” sambung

Arya.

Orang itu mengangkat alisnya. Tetapi tiba-tiba dari dalam

rombongan itu meloncat seseorang sambil berteriak, “Kalian

merasa diri kalian orang-orang Banyubiru?”

“Ya,” jawab Arya.

“Aku orang Banyubiru sejak lahir,” katanya lantang penuh

kebanggaan.

“Aku percaya, Ira. Kau memang lahir di Banyubiru, dibesarkan

di Banyubiru, dan dewasa di Banyubiru,” sahut Wanamerta, “Dan

agaknya kau sekarang sedang mencoba untuk membalas budi

kepada tanah yang telah memberikan kepadanya makan, di saat

lapar dan memberimu air di saat kau haus.”

Orang itu terkejut. Memang matanya agak kurang jelas di

dalam gelap, sehingga ia terlambat mengenal Wanamerta. Ketika

ia mendengar suara itu, serta suara itu menyebut namanya dengan

tepat, barulah ia berusaha mengenalnya baik-baik. Tiba-tiba

terpekik dan berlari memeluk kaki orang tua itu. “Bukankah Tuan…

Kiai Wanamerta?”

“Akulah,” jawab Wanamerta.

“Maafkan aku Kiai. Aku kurang mengenal Kiai di malam yang

gelap ini,” kata orang itu.

“He, Ira....” bentak pemimpin rombongan itu, “Apa yang

sedang kau lakukan?”

Page 69: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 93

“Orang ini adalah Kiai Wanamerta,” jawab Ira, “Ia adalah tetua

tanah perdikan ini.”

“Tidak!” bentak pemimpin itu. “Tak ada yang pantas disujudi

di tanah ini selain Ki Ageng Lembu Sora.”

“Tetapi Kiai Wanamerta adalah emban kepala perdikan ini

sejak aku lahir, sejak pemerintahan tanah perdikan ini dipegang

oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”

“Jangan menggurui aku,” bentak pemimpin itu, yang ternyata

orang Pamingit. “Akupun kenal Kiai Wanamerta. Agaknya benar

itulah orangnya. Semula memang aku agak kurang mengenalnya

kembali setelah ia menjadi bertambah tua. Tetapi Wanamerta

adalah orang yang tak berarti bagi Banyubiru.”

Orang Banyubiru yang bernama Ira itu agaknya kurang senang

mendengar kata-kata pemimpinnya itu. Maka iapun berkata,

“Jangan berkata begitu. Supaya aku tetap menghormatmu.”

“Apa…?” jawab orang Pamingit itu sambil membelalakkan

matanya. “Kau akan melawan pemimpinmu?”

Oleh bentakan itu, sadarlah Ira, bahwa bagaimanapun juga ia

berada di bawah perintah orang Pamingit itu. Karena itu iapun

terpaksa berdiam diri menahan hati. Tetapi dengan demikian,

sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata

bertentangan dengan suara hatinya. Ia hanya sekadar hanyut

dalam arus yang tak dimengertinya sendiri. Ia mendengar segala

macam ceritera dan caci maki terhadap orang-orang Banyubiru

yang tidak mau menerima Lembu Sora memegang pemerintahan

atas Pamingit dan Banyubiru. Pada saat itu ia mengira bahwa

orang-orang itu memang benar-benar orang-orang yang akan

membuat kacau saja. Apalagi kemudian berita tentang kehadiran

Bantaran di tanah lapang di ujung kota, dan membuat onar tanpa

mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab yang tersiar hanyalah

berita tentang Bantaran ngamuk. Tetapi tak ada yang mengatakan

bahwa sebenarnya seorang Pamingit yang buas sedang berusaha

Page 70: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 93

untuk merendahkan kehormatan seorang wanita Banyubiru, yang

kebetulan wanita itu adalah istri Panjawi. Disusul kemudian berita

tentang Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat, yang

seolah-olah merupakan suatu kelompok yang akan merampok

keramaian gila-gilaan ditanah lapang yang sama, bahkan

kemudian Sendang Papat telah membakar seperangkat gamelan.

Juga dalam kabar-kabar yang tersiar itu tak terdapat kata-kata,

seorang telah menusuk lambung Sendang Parapat ketika Sendang

bersuadara itu sedang melindungi seorang dari kemarahan orang-

orang Banyubiru.

Tetapi sekarang ketika Ira berhadapan dengan Wanamerta,

tiba-tiba terasa bahwa berita itu samasekali tidak benar. Orang

seperti Wanamerta ini, tidak akan mungkin melakukan kebiadaban

atas rakyat yang dicintainya, atas rakyat yang dibelanya sejak ia

menempatkan dirinya di atas segala kepentingan pribadi.

Di dalam gelap malam itu terasa betapa sejuk wajah yang tua

itu, dan betapa manis mata itu memandangnya, seolah olah terasa

udara sejuk menusuk sampai ke tulang sungsumnya. Berbeda

benar dengan pemimpinnya orang Pamingit, yang keras dan kasar

itu.

Keadaan yang hening itu tiba-tiba pecah oleh suara bentakan

pemimpin rombongan pengawal itu, “Sekali lagi aku bertanya,

siapakah kalian selain Kiai Wanamerta?”

Arya mengangguk perlahan, jawabnya lambat, “Aku Arya

Salaka.”

“Arya Salaka….” kembali Ira terpekik.

Tiba-Tiba rontoklah hati orang Banyubiru itu setelah

berhadapan dengan Arya Salaka, yang selama ini telah dianggap

hilang. Memang ada di antara orang-orang Banyubiru yang dengan

sadar menempatkan dirinya di antara orang-orang Pamingit, tetapi

orang-orang seperti Ira inipun banyak sekali jumlahnya. Orang

yang tak tahu arti perbuatannya sendiri. Tetapi Ira takut pula

Page 71: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 93

kepada pemimpinnya. Sebab dengan demikian, ia dapat

kehilangan pekerjaan yang dapat dipakainya sebagai alat untuk

berbangga diri terhadap kawan-kawannya.

Berbeda dengan orang-orang Pamingit yang lain. Ketika

mereka mendengar nama Arya Salaka, mereka pun segera

mendesak maju.

Pemimpin pengawal itupun kemudian mendengus, “Jadi kaulah

orang yang mengaku bernama Arya Salaka?”

“Kenapa mengaku?” tanya Arya.

Orang Pamingit itu tertawa. Kemudian kepada anak buahnya

ia berkata, “Bersiaplah. Ada pekerjaan yang harus kalian lakukan.

Inilah dia orangnya yang mengaku bernama Arya Salaka. Tidakkah

kalian ingin menangkapnya?”

Para pengawal itu pun semakin maju. Beberapa orang yang

semula masih berdiri di pojok desa segera mendekat pula dengan

senjata terhunus. “Satu, dua tiga, empat, lima enam.” Salah

seorang di antara mereka menghitung jumlah rombongan kecil itu.

“Hanya enam orang. Aneh, apakah memang mereka ini sedang

bunuh diri karena putus asa?”

“Ki Sanak....” kata Arya Salaka tenang, “Jangan mengganggu

kami. Sebab kamipun tidak mengganggu kalian malam ini. Kami

hanya ingin minta kesempatan menghadap Eyang Sora Dipayana.

Sesudah itu kami akan kembali.”

“Apa perlunya kalian menghadap Ki Ageng Sora Dipayana?”

tanya pemimpin pengawal itu.

“Sebagai seorang cucu, aku harus berbakti kepadanya,” sahut

Arya Salaka.

Orang itu tertawa kembali. Masih dengan bertolak pinggang ia

menjawab, “Jangan membuat alasan yang aneh-aneh. Dengarlah

anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, kalau kau lolos dari

Page 72: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 93

penjagaanku ini, kaupun akan binasa di gardu pengawal yang

kedua, yang lebih rapat dan keras. Lihat itu, di bawah rumpun

wregu di sana. Itulah gardu penjagaan kedua, dan disamping

gardu itu pulalah laskar Pamingit bersiap untuk menerima

kedatangan laskarmu besok pagi.”

“Tidakkah kita dapat menunda persoalan besok pagi, sampai

pada waktunya?” bertanya Arya. “Sekarang aku akan menghadap

eyangku sebagai seorang cucu.”

Orang itu menggeleng. Perintahnya, “Turun dari kuda kalian.

Aku harus menangkap kalian, hidup atau mati.”

Diam-diam Wanamerta memanggil kedua orang yang

membawa obor untuk mendekat. Setiap saat ia perlukan api obor

itu untuk menjalankan panah apinya apabila diperlukan.

Sesaat kemudian terdengarlah orang itu berkata pula,

“Duapuluh lima bahu tanah yang akan kami terima apabila kami

berhasil menangkap orang yang menamakan diri Arya Salaka.”

Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Namun

demikian dengan tersenyum ia berkata, “Ah, betapa mahalnya

kepalaku yang tak berarti ini. Dua puluh lima bahu tanah adalah

cukup luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima bahu itu tanah di

sekitar Rawa Pening, maka aku kira kau akan keberatan.”

Tetapi hatinya berkata, “Suatu usaha yang tak kenal

kesopanan. Janji itu agaknya telah menutup kemungkinan untuk

mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan mencari-cari

alasan untuk menimbulkan pertengkaran, dan kemudian

menangkapnya hidup atau mati.”

Diam-diam Arya Salakapun menghitung jumlah mereka. Tidak

kurang dari lima belas orang. Tetapi sebenarnya lima belas orang

itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil yang hanya berjumlah

enam orang itu.

Page 73: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 93

Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah mulai

kehilangan kesabaran itu membentak, “Aku punya wewenang

untuk menangkap kau. Kalau mungkin hidup, kalau tidak, mati pun

tak akan mengurangi hadiah yang sudah dijanjikan.”

“Bagaimana kalau kau yang mati? Adakah kau akan menerima

hadiah pula?” Tiba-tiba Wanamerta bertanya.

“Diam!” bentak orang Pamingit itu marah. “Meskipun tak ada

hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga menyobek

mulutmu itu.”

Wanamerta mengangkat alisnya yang sudah mulai keputih-

putihan. Tetapi kesan wajahnya masih tetap saja, sejuk. Bahkan

wajah Ira lah yang menjadi tegang mendengar kata-kata kasar

dari pemimpinnya itu. Tetapi sekali lagi ia tidak mau berbuat apa-

apa yang dapat merugikan kedudukannya.

Dalam ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata,

“Adakah kau mendengar ceritera tentang tanah lapang beberapa

hari lampau? Pada saat itu aku dan Sendang Papat pun telah

hampir mati dikeroyok oleh orang-orang Pamingit. Tetapi tiba-tiba

datang beberapa orang pemuda. Salah seorang daripadanya dapat

memecahkan kepala kuda dengan tangannya. Waktu orang-orang

Pamingit keheranan dan ketakutan, ia berkata, “Arya Salaka pun

mampu berbuat demikian. Nah, adakah kau dengar. Sekarang

biarlah Arya Salaka mencoba. Karena kau bersikap permusuhan

biarlah kepalamu saja yang dipecahkan.”

Arya Salaka sendiri geli mendengar kata-kata itu, namun

ternyata ada juga akibatnya. Memang orang Pamingit itu pernah

mendengar peristiwa dari kawan-kawannya. Tanpa sadar Arya

Salaka mengamat-amati tangan anak muda itu. Di dalam gelap ia

melihat tangan itu tidak lebih dari tangan-tangan yang lain. Tidak

sebesar tangan raksasa, dan tidak terbuat dari baja.

“Omong kosong!” Tiba-tiba pemuda itu bergumam, namun

hatinya sendiri ragu. Tetapi bukankah ia mempunyai banyak

Page 74: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 93

kawan? Dan bukankah dengan memukul kentongan, gardu

penjagaan kedua akan memberinya bantuan? Bahkan dengan

isyarat ia dapat menyiapkan laskar Pamingit yang nanti tengah

malam akan membuat gelar perang, untuk melawan laskar Arya

Salaka. Karena pikiran itu, pemuda itu menjadi tenang kembali.

Dengan beraninya ia berteriak, “Sekali lagi aku peringatkan, turun

dari kuda kalian.”

Kali ini agaknya orang Pamingit itu sudah tidak mau berbicara

lagi. Mungkin ia akan langsung menyerang atau akan memukul

tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua itulah yang pasti akan

dilakukan segera apabila ia

tahu bahwa di dalam

rombongan kecil itu ada

Mahesa Jenar dan ada orang

yang pernah bertempur

melawan beberapa orang

berkuda sekaligus ditanah

lapang, Kebo Kanigara.

Arya Salaka pun tidak mau

membuang-buang waktu,

sebab tengah malam ia harus

sudah berada di antara

laskarnya kembali.

Karena itu ketika ia sudah

tidak mempunyai pilihan lain,

kecuali dengan kekerasan atau

tindakan-tindakan semacam

itu, maka segera iapun meloncat turun. Tetapi demikian ia

menjejak tanah, demikian ia melangkah dengan lincahnya

menangkap pergelangan orang Pamingit itu. Orang itu terkejut

bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa anak muda itu

dapat bergerak sedemikian tangkasnya seperti burung lawet yang

menari-nari di udara. Tetapi segala sesuatu telah terlambat.

Tangan orang Pamingit itu terasa seperti terhimpit besi. Perasaan

Page 75: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 93

nyeri dari pergelangan tangan itu menjalari tubuhnya sampai ke

ujung ubun-ubun. Terdengar orang itu mendesah menahan sakit.

Tetapi ia adalah pemimpin rombongan pengawal. Tentu saja ia

tidak mau menunjukkan kelemahannya di hadapan anak buahnya.

Dengan tangan kirinya ia mencoba menghantam dada Arya Salaka.

Arya melihat tangan yang terayun ke arah dadanya. Namun

kekuatan orang Pamingit itu sebagian besar telah lenyap karena

perasaan sakitnya. Dengan demikian, ayunan tangannya itu

samasekali sudah tak berarti. Arya Salaka pun samasekali tidak

menghindar ketika dadanya dibentur oleh pukulan itu. Bahkan

dengan tertawa pendek ia berkata, “Jangan meronta-ronta anak

nakal. Sekali-kali kau perlu mendapat pelajaran.”

Bukan main panasnya hati orang Pamingit itu mendengar kata-

kata Arya Salaka. Dengan mengerahkan tenaganya ia berusaha

melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin sakit

tangan Arya Salaka menghimpitnya. Meskipun demikian ia tidak

putus asa, dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun dengan

satu putaran, ia menjadi tidak berdaya.

Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu seperti terpaku

di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan yang aneh.

Tiba-tiba saja mereka melihat pemimpinnya terpilin tangannya dan

kemudian mengaduh tanpa dapat melawan.

Ketika mereka sadar, segera merekapun bergerak maju.

Mereka sudah siap menyerang bersama-sama. Tetapi dalam pada

itu terdengar Arya berkata, “Tidakkah kau dapat mengajari anak

buahmu untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat membawa

bencana bagimu?”

Orang Pamingit itu tahu benar maksud Arya Salaka itu. Namun

ia masih mencoba menggertaknya, katanya, “Biarlah kau

merasakan betapa tajamnya tombak orang-orang Pamingit. Kalau

kau tak segera melepaskan tanganku, umurmu akan menjadi

semakin pendek.”

Page 76: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 93

Arya Salaka tertawa. “Kau dengar?” katanya kepada para

pengawal, “Pemimpinmu akan memberi perintah kepadamu.”

“Bohong,” bantah pemimpin pengawal itu, ia masih akan

berkata lagi ketika tiba-tiba Arya menekan lambungnya dengan

tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai kesakitan.

Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan nafasnya. Apalagi

ketika terdengar Arya berkata, “Tombak orang Banyubiru agaknya

memang tidak begitu tajam seperti tombak orang-orang Pamingit,

namun tombak inipun akan dapat merontokkan tulang igamu.”

Ternyata orang Pamingit itu masih sayang kepada tulang

iganya. Dengan segan-segan ia terpaksa berkata agak keras,

“Jangan berbuat sesuatu demi keselamatanku.”

Para pengawal itupun tertegun. Mereka jadi bingung, apa yang

akan mereka lakukan. Kalau mereka menyerang bersama-sama,

mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi kalau mereka tidak

berbuat apa-apa, bukankah mereka telah berbuat kesalahan, dan

sekaligus mimpi mereka tentang tanah yang duapuluh bahu itu

akan lenyap?

Dalam keraguan itu terdengarlah Arya berkata, “Dengarlah

para pengawal yang belum mengenal kawan-kawan

seperjalananku. Kecuali aku dan Eyang Wanamerta terdapat juga

seorang yang pernah kau dengar namanya, yaitu Paman Mahesa

Jenar. Di sampingnya adalah orang yang pernah menggemparkan

tanah lapang itu pula. Ketika itu orang-orang Pamingit mencoba

menangkap Bantaran.”

Pemimpin pengawal itu menggeliat. “Setan!” Ia mengumpat di

dalam hati. Pada saat itu iapun ikut serta mengeroyok orang itu.

Tetapi tidak kurang dari sepuluh orang berkuda samasekali tak

berhasil menangkapnya. Bahkan beberapa orang kawannya telah

jatuh menjadi korban. Sedang para pengawal yang lainpun pernah

juga mendengar ceritera itu dari kawan-kawan mereka atau dari

pemimpinnya itu.

Page 77: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 93

“Masihkah kalian akan melawan kami?” tanya Arya Salaka.

Mereka diam seperti patung. Ternyata di dalam rombongan itu

terdapat orang-orang yang bagi mereka hanya pernah mereka

kenal sebagai tokoh-tokoh dalam ceritera-ceritera kepahlawanan

yang sakti tiada taranya. Hanya pemimpin rombongan pengawal

itu sajalah yang benar-benar menyaksikan betapa Kebo Kanigara

bertempur melawan mereka. Karena itu nafsu perlawanan

merekapun menjadi lenyap. Mereka memang dapat memukul

tanda bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka dengan

tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang seolah-

olah sudah bukan manusia biasa lagi, mereka agaknya menjadi

segan, sebab sebelum kawan-kawan mereka datang, nyawa

mereka pasti sudah beterbangan.

Arya Salaka merasakan betapa dalam pengaruh kata-katanya

itu. Karena itu segera ia mempergunakan kesempatan. Katanya,

“Ki Sanak. Marilah antarkan aku sampai ke rumah Paman Lembu

Sora. Bukankah sudah tidak begitu jauh lagi? Setidak-tidaknya

untuk melampaui gardu penjagaan dan tempat-tempat pemusatan

laskar Pamingit itu.”

Pemimpin rombongan itu menggeram. Ia menjadi marah

sekali. Tetapi tak satupun yang dapat dilakukan. Sebab ia tahu

benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat menembus

jantungnya.

“Marilah....” kata Arya, “Berkuda bersama-sama dengan aku.”

Sungguh suatu pekerjaan yang tak menyenangkan. Tetapi ia

masih ingin dapat melihat bintang-bintang yang bertebaran di

langit biru. Karena itu ia tidak membantah. Selagi ia masih hidup,

ia masih mempunyai harapan untuk melepaskan diri. Dengan

langkah yang kosong pemimpin pengawal itu didorong oleh Arya

Salaka ke kudanya untuk kemudian meloncat ke punggung kuda

itu dan menaikinya bersama-sama.

Kemudian kuda-kuda itupun bergerak.

Page 78: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 93

“Kau tahu apa yang harus kau lakukan untuk menyelamatkan

jiwamu?” bisik Arya kepada orang Pamingit itu. Orang itu tidak

menjawab. Tetapi kupingnya serasa tersentuh api. Meskipun

demikian ia berkata, “Jangan berbuat sesuatu, supaya aku tidak

memecatmu.”

“Padamkan obor,” perintah Arya seterusnya.

Ketika obor-obor mereka telah padam, mereka meneruskan

perjalanan mereka yang penuh dengan bahaya. Sebab mereka

samasekali tidak menduga bahwa telah diundangkan suatu hadiah

yang menarik untuk menangkap Arya Salaka. Hal itu akan sangat

mempengaruhi cara berpikir orang-orang Pamingit dan orang-

orang Banyubiru yang berhati goyah.

Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memuji di

dalam hati mereka. Ternyata Arya memiliki ketangkasan berpikir

yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia dapat

mengatasinya tanpa banyak keributan.

“Pandai juga anak itu menghemat tenaga,” bisik Kebo

Kanigara.

Mahesa Jenar tersenyum sambil mengangguk, jawabnya,

“Agaknya ia tidak mau merepotkan orang-orang tua ini.”

Kemudian mereka berdiam diri, Wanamerta berada rapat di

belakang Arya Salaka. Dua orang yang membawa obor itupun

kemudian dipanggilnya mendekat.

“Sediakan titikanmu,” perintah Wanamerta. “Setiap saat kita

perlukan api. Kalau keadaan memburuk harus kita kirimkan tanda-

tanda dengan panah sendaren dan panah api.”

Orang itupun segera menyediakan titikan, emput dan dimik

belerang. Supaya dalam keadaan yang tergesa-gesa mereka dapat

segera menyalakan tanda-tanda apabila diperlukan.

Page 79: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 93

“Kalau terjadi perkelahian jangan hiraukan lawan-lawan kita,

tugasmu menyalakan api.” Wanamerta meneruskan.

“Baik Kiai,” jawab orang itu.

Perjalanan menyusur tepi desa itu semakin lama semakin

dalam masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah sepinya.

Tak ada nyala api samasekali dalam rumah-rumah di tepi jalan.

Agaknya mereka dalam ketakutan yang sangat. Atau barangkali

rumah-rumah di tepi jalan itu sudah tidak berpenghuni. Barangkali

mereka telah mengungsi jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari

rumah-rumah mereka yang mungkin akan menjadi ajang perang

yang mengerikan.

Orang-orang Pamingit ternyata tidak mempunyai kebesaran

tekad seperti orang-orang Banyubiru. Mereka sedikit banyak

menggantungkan pekerjaan yang dilakukan pada upah yang

mereka terima. Mereka bekerja pada Lembu Sora bukanlah karena

jiwa pengabdian mereka kepada tanah kelahiran mereka, atau

kepada suatu keyakinan mereka terhadap kebenaran yang dapat

diperjuangkan oleh para pemimpinnya. Mereka bekerja bukan

semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi mereka bekerja

semata-mata karena mereka menerima upah. Itulah sebabnya

orang Pamingit yang berkuda bersama-sama dengan Arya itupun

lebih senang memelihara hidupnya daripada melakukan tugasnya

dengan jantan. Ia masih mengharap untuk dapat hidup dan

melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian hanyalah mereka-reka

alasan untuk membebaskan dirinya dari kemarahan atasannya.

Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat dengan gardu

penjagaan, hati orang itupun menjadi semakin gelisah. Apakah

yang akan dikatakan kepada mereka kalau orang-orang di gardu

penjagaan itu menghentikan rombongan ini. Sedang kalau mereka

akhirnya tahu, bahwa rombongan ini terdiri dari Arya Salaka dan

kawan-kawannya, maka mereka pasti akan mengambil tindakan.

Dengan demikian, maka jiwanyapun terancam pula oleh ujung

Page 80: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 93

tombak Arya Salaka. Karena itu,demi keselamatan diri, ia berkata

perlahan-lahan, “Kita ambil jalan simpang.”

“Jangan menjebak kami,” sahut Arya Salaka.

“Aku belum gila,” bantah orang itu. “Apakah yang akan kau

katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita melewatinya?”

“Itu bukan urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih ingin

hidup seterusnya,” jawab Arya

“Karena itu, kita lewat jalan simpang yang sempit disamping

pohon Wregu itu,” sahut orang itu.

“Apakah tidak mencurigakan?”, tanya Arya.

“Lebih aman bagimu,” jawab orang Pamingit itu.

“Dan bagimu juga,” Arya meneruskan sambil tertawa.

Tiba tiba terdengar dari gardu penjagaan yang sudah tidak

jauh lagi sebuah teriakan,”He, kemana arah angin?”.

Arya tahu bahwa kata-kata itu adalah pertanyaan sandi. Ketika

orang Pamingit itu belum menjawab, Arya meneruskan ujung

tombaknya sambil berbisik, “terserah kepadamu.”

Orang itu semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga

untuk keselamatannya, “Ke laut…!”

“Dimana letak bintang Waluku?” terdengar suara dari Gardu.

“Tenggara,” jawab orang Pamingit itu.

“He…!” kembali orang di gardu berteriak, “Siapa kau?”

“Dari gardu pertama mengantar orang Banyubiru yang

meninjau medan,” jawab orang yang berkuda bersama Arya itu

berteriak.

“Kenapa lewat jalan sempit itu?” bertanya suara itu pula.

Page 81: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 93

“Ia akan singgah kerumahnya sebentar. Makan dan mengambil

kambingnya yang tertinggal ketika keluarganya mengungsi,”

jawabnya.

Orang di gardu itu diam. Mereka membiarkan rombongan itu

lewat meskipun didalam hati bertanya tanya, “kenapa demikian

banyak?,” Tetapi karena mereka dapat menjawab kata kata sandi

itu, maka merekapun menjadi tidak bercuriga. Bahkan kemudian

terdengar salah seorang berteriak, “Bawa kambing kemari, kita

panggang disini.”

“Baik,” jawab orang Pamingit itu.

Dengan demikian, mereka selamat melampau penjagaan itu.

Mereka menyususup jalan sempit kemudian lewat beberapa

halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.

“Terimakasih,” bisik Arya, “Kau adalah penunjuk jalan yang

baik. Tetapi dimanakah pemusatan laskar Pamingit?”

“Sudah lampau. Diseberang gardu penjagaan tadi,” jawabnya.

Arya percaya. Ita tertawa dalam hatinya. Beginilah nilai

kesetiaan orang Pamingit. Mereka tidak lebih daripada laskar

bayaran yang tak kenal pengabdian.

Ketika mereka sudah mencapai jalan kecil itu, segera Arya

mengenalnya, kemana ia harus pergi.

Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan orang

pamingit itu.

V

Suara telapak kuda terdengar gemeretak di atas tanah yang

berbatu padas. Didalam malam yang sepi terdengar seperti suara

prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke medan perang.

Page 82: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 93

Tiba tiba ketika mereka masih asik berangan angan tentang

diri masing masing, terdengarlah dari arahgardu pertama, suara

kentongan yang berbunyi dua kali tiga ganda, sehingga orang

dalam rombongan berkuda itu menjadi terkejut karenanya.

Orang Pamingit itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah

memberikan tanda. Bahkan kemudian tanda itu disaut oleh gardu

kedua.

“Tanda bahaya?” desis orang Pamingit itu.

“Bahaya apa?” desak Arya.

“Mereka bersiap siap,” jawabnya.

“Bohong,” potong Arya Salaka, “mereka memberi tanda bahwa

ada musuh masuk kedalam pertahanan mereka.”

Orang Pamingit itu diam. Keringat dinginnya mengalir

membasahi punggungnya. Ia samasekali tidak menduga bahwa

anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang baginya adalah

tanda bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba terasa

tengkuknya meremang seperti dirayapi oleh berjuta-juta semut.

Apalagi ketika ujung tombak Arya semakin lekat di lambungnya.

“Kau masih menduga bahwa tombak orang Banyubiru tidak

setajam tombak orang Pamingit?” tanya Arya.

Orang Pamingit yang semula marah itu kemudian kehilangan

kemarahannya, bahkan dengan menggigil ia menjawab: “Tidak,

tidak. itu samasekali bukan salahku. Aku melarang mereka untuk

berbuat hal yang tidak kalian kehendaki.”

“Bohong!” bentak Arya, “kau pasti memberikan tanda-tanda

rahasia kepada mereka.”

“Tidak, tidak,” orang itu benar benar menggtigil. Ia masih

senang untuk tetap hidup. Apalagi upahnya bulan ini masih belum

diterimanya samasekali. Alangkah mengerikannya kalau malam ini

Page 83: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 93

ia terpaksa mati. Lalu bagaimana dengan anak isterinya? “Bukan,

bukan salahku. Aku masih ingin hidup. Bukankah aku telah

membawa kalian melampaui gardu kedua?”

Arya harus cepat mengambil keputusan. Suara kentongan itu

menjadi semakin merata. Untunglah bahwa ia sudah mengenal

jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik. Karena itu, segera ia

mengambil keputusan untuk secepat cepatnya sampai kerumah

pamannya. Mudah mudahan pamannya dapat mengerti alasan

kedatangannya dan dapat menerimanya untuk beberapa saat saja,

untuk berbakti kepada kakeknya dan apabila mungkin membawa

ibunya keluar dari sarang sarang orang orang licik itu. Sebab tidak

mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing hitam kemarahan

pamannya, atau malahan dijadikan tanggungannya.

“Kita harus sampai secepatnya,” katanya kepada Wanamerta.

Orang Pamingit itu menjadi semakin gemetar. Seolah-olah

ujung tombak Arya itu telah masuk sejari ke dalam perutnya.

“Bagaimana dengan kau?” bentak Arya kepada orang Pamingit

itu.

“Bukan salahku. Aku masih ingin hidup,” pintanya dengan

suara menggigil ketakutan.

Arya menjadi kasihan juga melihat orang itu.

“Anakku lima orang,” sambungnya, “Yang terkecil baru

berumur tiga bulan. Hidupilah aku. Aku akan tunduk segala

perintahmu.” Kata-kata itu meluncur saja tanpa terkendali.

Meskipun hatinya sendiri merasa ragu. Sebab kalau ia menghadapi

keadaan seperti itu, pasti orang itu akan dibunuhnya. Karena itu ia

mencoba meyakinkan, “Anak-anakku akan kelaparan kalau aku

mati. Aku tidak punya sawah dan istriku bukan juragan. Karena itu

aku harus bekerja menjadi laskar Ki Ageng Lembu Sora, meskipun

itu bertentangan dengan jiwaku sendiri. Sebenarnya aku….”

Page 84: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 93

Orang itu tidak sempat menyelesaikan kata-kata ketika tiba-

tiba ia merasa tangan Arya mendorongnya. Ia merasa terlempar

dari punggung kuda itu dan sekali terguling. Kemudian ia hanya

dapat menyaksikan kuda-kuda itu berlari semakin kencang dan

meninggalkan kepulan debu yang putih.

Untuk beberapa saat ia masih duduk di tanah. Nafasnya

bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba lambungnya, dan

tidak terdapat luka samasekali, ia menarik nafas dalam-dalam.

Rupa-rupanya ia masih tetap hidup. Sambil mengangguk-angguk

ia berkata kepada diri sendiri, “Agaknya anak itu benar-benar tidak

mau membunuh aku. Aneh.”

Suara derap kuda itupun menjadi semakin lambat dan

akhirnya menghilang di kejauhan. Orang Pamingit itu berdiri

perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia benar-

benar jatuh terbanting. Namun ia masih tetap hidup. Tiba-tiba ia

menjadi sangat terharu. Ia masih mempunyai harapan untuk

bertemu dengan anak istrinya. Mudah-mudahan kalau besok

benar-benar terjadi pertempuran, ia dapat hidup pula.

“Tuhan Maha Pengasih,” desisnya. Ia terkejut sendiri

mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak pernah

menyebut nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji pada diri sendiri,

kalau ia masih dikaruniai umur panjang, ia akan rajin mengunjungi

masjid. Bahkan ia berjanji untuk memperbaiki masjid di desanya

yang selama ini tak terpelihara.

Ketika ia sedang mengusap air matanya yang tiba-tiba saja

membasahi pipinya, tiba-tiba terdengarlah hiruk pikuk. Ia

mendengar langkah orang berlari-lari. Dari tikungan muncullah

beberapa orang bersenjata dan langsung datang kepadanya.

“Siapa kau?” bentak salah seorang.

“Srengga,” jawab orang Pamingit itu.

“Apa kerjamu di sini?” tanya orang itu pula.

Page 85: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 93

Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu ia menjawab saja

sekenanya, “Aku terjatuh di sini, lihat ini luka di kakiku.”

“Terjatuh dari mana?” tanya orang itu pula.

Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba seseorang bertanya,

“Kau yang melampaui gardu kedua bersama-sama dengan orang-

orang Banyubiru?”

“Ya,” jawabnya kosong.

Akhirnya ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri pula.

“Aku ditipunya.”

“Bohong,” bentak orang itu. “Anak buahmu datang kepada

kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi.”

Dada orang itu berdesir. Namun ia masih mencoba untuk

mengurangi kesalahannya. Katanya, “Nah, kalau kau sudah tahu

kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku kalau salah

seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang aku alami.

Apa yang akan kalian lakukan? Membunuh diri dan membiarkan

orang itu lari sesudah mengetahui keadaan medan? Apakah kalian

dengan kaki-kaki kalian dapat mengejar derap lari kuda mereka?”

“Pengecut,” bentak salah seorang. “Berapakah jumlah

mereka? Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?”

“Jumlah kami ada 15 orang,” jawab Srengga. “Limabelas orang

dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama yang hanya

bisa jual tampang, Sungsang yang bermata merah tetapi takut

melihat darah.”

“Dipimpin oleh Srengga, yang lebih senang memeluk daging

panggang daripada senjatanya,” potong seseorang.

“Jangan banyak bicara,” Srengga mulai marah. “Kau belum

tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di gardu kedua?

Berapa?”

Page 86: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 93

“Juga 15 orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak takut

melawan limabelas orang berkuda. Jangankan empat,” jawab yang

ditanya.

“Omong kosong,” bentak Srengga. “Dengar. Dengan apa yang

telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian. Kau tahu

siapa yang berkuda tadi?”

Orang-orang dari gardu kedua itu tertawa terbahak-bahak.

Salah seorang berkata mengejek, “Menyelamatkan kami? Apakah

yang empat orang itu terdiri dari jin? Atau setan, hantu… atau

tetekan?”

“Lebih dari itu,” potong Srengga. “Mereka adalah Arya Salaka.”

“He…?” semuanya terkejut mendengar nama itu. “Kalau benar

kau benar-benar gila. Dua puluh lima bahu dijanjikan untuk

menangkapnya, hidup atau mati. Dan dua puluh lima bahu itu kau

sia-siakan?”

“Aku belum selesai,” sahut Srengga, “Yang lain adalah Kiai

Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat orang darimu.”

“Masih cukup banyak?” sela seseorang.

“Yang lain lagi…,” Srengga meneruskan, “Orang itu tidak lain

adalah Mahesa Jenar.”

“Mahesa Jenar…?” Mereka berbareng mengulang.

“Ya,” jawab Srengga. “Dan yang seorang lagi adalah orang

yang melindungi Bantaran di tanah lapang beberapa minggu yang

lalu.”

Orang dari gardu kedua itu tiba-tiba terdiam.

“Nah....” Srengga meneruskan, “Hitunglah berapa orang harus

disiapkan untuk melawan mereka. Paling-paling kalian hanya

berani melawan orang-orang yang membawa obor itu. Mahesa

Jenar dan yang seorang lagi, ditambah dengan Arya Salaka

Page 87: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 93

agaknya akan dapat membunuh kami tigapuluh orang tanpa

kesukaran sebelum kami sempat memukul tanda bahaya.”

Mereka masih tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-orang

itu membenarkan sikapnya, katanya meneruskan, “Nah, aku

bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan mereka. Aku antarkan

mereka masuk lebih dalam ke daerah Banyubiru. Maksudku aku

akan membawanya ke alun-alun. Di sana laskar kita akan

berpesta. Bukankah Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, dan

kalau perlu Ki Ageng Sora Dipayana ada?”

Orang dari gardu itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari

mereka berkata, “Agaknya kau pandai bersiasat, Srengga.”

“Itulah,” jawab Srengga, “Karena ketololan kalian dengan

membunyikan tanda-tanda itu, mereka melarikan diri. Aku

dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat sesuatu.”

“Ke mana mereka?” tanya orang-orang dari gardu kedua.

“Kau akan mengejar mereka?” tanya Srengga pula.

Orang-orang di gardu kedua itu diam.

“Kembalilah ke gardu kalian.” Tiba-tiba Srengga memerintah.

“Aku akan kembali ke garduku. Lupakan mimpi burukmu. Tanah

duapuluhlima bahu itu. Sebab kalau kepalamu telah terpisah dari

lehermu, kau tidak akan dapat menikmatinya.”

Srengga tidak menunggu jawaban. Ia langsung kembali ke

gardunya. Di sepanjang jalan sempit itu tiba-tiba ia teringat pada

kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi ke alun-alun, ia

benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar Pamingit, bahkan

mungkin dengan Lembu Sora dan Sawung Sariti. Tanpa sadar,

merayaplah suatu perasaan yang belum pernah dirasakan Srengga

sebelumnya. Ia tiba-tiba merasa cemas terhadap keselamatan

lawannya. Baru kali ini hal itu terjadi. Namun ia tidak mampu

berbuat apa-apa, kecuali tanpa sadar pula ia berdoa di dalam

Page 88: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 93

hatinya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Arya Salaka

dan kawan-kawannya.

Dalam pada itu, laskar Banyubiru yang sedang beristirathat

tidak jauh dari perbatasan kota, mendengar pula tanda-tanda yang

dibunyikan oleh orang-orang Pamingit di Banyubiru. Demikian

mereka mendengar bunyi itu, demikian mereka menjadi gelisah.

Sebelum pemimpin-pemimpin mereka memberikan perintah

apapun, mereka telah menyiapkan diri. Semua orang di dalam

pasukan itu, apalagi orang-orang yang telah dipilih oleh Sendang

Papat untuk menjadi pelopor laskarnya, telah bersiap diri. Mereka

berdiri tegak dengan tekad yang teguh memandangi lambung bukit

di hadapannya. Di leher mereka melingkar kain putih memplak

bergambar gajah berwarna kuning emas sebagai pertanda

kesediaan mereka untuk mati bagi tanah mereka. Yang paling

depan dari mereka itu adalah Sendang Papat sendiri. Tangannya

yang gemetar telah melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum

melihat tanda apapun. Ia belum mendengar bunyi sendaren atau

melihat panah api naik ke udara. Namun karena itulah ia menjadi

semakin gelisah, jangan-jangan Arya Salaka tidak sempat

memberikan tanda-tanda itu.

“Mustahil,” gumamnya.

Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi gelisah. Meskipun Ki

Dalang Mantingan tampaknya tenang-tenang saja, namun di

dalam dadanya pun bergolak perasaan cemasnya, dan di

tangannya tergenggam erat-erat trisulanya. Di sayap kanan,

Penjawi berjalan hilir mudik di hadapan anak buahnya yang telah

memegang senjata masing-masing. Wirasaba duduk di atas

sebuah batu, dan meletakkan dagunya pada tangkai kapaknya.

Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba

menekan hatinya yang gelisah. Namun merekapun belum melihat

tanda apapun yang melontar ke udara.

Sedang pada saat itu kuda Arya Salaka beserta rombongan

meluncur lewat jalan-jalan sempit di dalam kota. Mereka menjadi

Page 89: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 93

semakin dekat dengan alun-alun Banyubiru, tempat Arya bermain

pada masa kanak-kanaknya.

Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak memukul jalan-jalan

berbatu memecah sepinya malam. Beberapa orang yang masih

tinggal di rumah masing-masing menjadi semakin ngeri. Seolah-

olah mereka mendegar gemuruhnya gunung yang meledak di

hadapan mereka.

“Adakah laskar Arya Salaka telah datang....” bisik mereka.

Seorang ibu sambil memeluk anaknya di pembaringan

bergumam, “Apakah kira-kira yang akan terjadi…?”

Suaminya, lelaki tua yang duduk di sisinya menjawab lirih,

“Pertempuran akan berkobar di perbatasan. Mudah-mudahan

mereka tidak akan menginjak halaman rumah kita.”

Kemudian, lelaki tua itu berdiri dan berjalan ke amben di

sebelah. Ia melihat selusin anak-anaknya yang lain sedang tidur

nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya itu terpaksa

dibakar orang, entah orang Pamingit entah orang Banyubiru, dan

dirinya sendiri terpaksa diseret di sepanjang jalan, entah oleh

orang Pamingit entah oleh orang Banyubiru, lalu apakah yang akan

terjadi dengan anak-anak itu. Peperangan adalah sesuatu yang

terkutuk, lebih-lebih bagi anak-anak. Anak-anak yang ingin

menikmati kebesaran alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh

Maha Penciptanya.

Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian itu segala sesuatu

dapat terjadi. Orang yang tangannya telah dibasahi darah,

kadang-kadang menjadi kehilangan kesadaran. Orang-orang yang

dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai hati membunuh seekor

tikus pun, dalam peperangan kadang-kadang akan dapat

melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk. Membunuh, menyiksa

dan bahkan terhadap anak-anak.

Page 90: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 93

Di rumah sebelah, lelaki tua itu mendengar tangis bayi

melengking-lengking. Tanpa sesadarnya ia menoleh kepada anak

kecilnya yang tidur di pelukan ibunya. “Jangan menangis,”

desisnya kepada anak yang tidur itu. Anak itu memang tidak

menangis. Tetapi hati lelaki itulah yang menangis.

Istrinya tahu bahwa suaminya sedang berpikir tentang bayi

yang menangis itu, katanya, “Mengungsi di rumah sebelah.”

Suaminya tidak menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di amben

beserta empat anak-anaknya tidur berjajar. Wajah anak-anak itu

tampak bersih bening; sebening udara pagi hari. Tetapi mereka

besok akan menggigil ketakutan; seandainya perang benar-benar

berkobar di perbatasan.

Suara kaki-kaki kuda Arya masih menggemuruh, seperti suara

guruh yang menjalar sepanjang jalan, menuju ke alun-alun. Dalam

kegelapan malam, Arya tidak sempat melihat apakah di alun-alun

itu banyak berjaga-jaga laskar Lembu Sora. Yang dilakukan adalah

menerobos alun-alun itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya

sepasang beringin, yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu.

Agaknya alun-alun itu memang sepi. Laskar Lembu Sora

hampir seluruhnya telah dikerahkan di pemusatan-pemusatan

laskar di garis pertempuran. Namun di muka rumahnya, Arya

masih melihat segerombolan orang yang agaknya bertugas

menjaga rumah itu. Mereka telah berada dalam kesiagaan penuh,

ketika mereka mendengar tanda kentongan yang mengumandang

di garis perbatasan.

Ketika mereka mendengar derap kuda mendekati, mereka pun

segera memencar. Dari ujung alun-alun itupun muncul pula

segerombolan laskar cadangan. Tetapi demikian mereka siap,

demikian Arya telah berada di hadapan hidung mereka.

Ketika ujung-ujung senjata mengarah kepadanya, Arya

menghentikan kudanya. Demikian juga orang-orang lain dalam

rombongan itu. Dengan tangan kirinya, Arya memegang tombak

Page 91: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 93

kebesarannya, sedang tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi,

sebagai suatu pertanda bahwa ia datang untuk tujuan tanpa

kekerasan.

Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun, para penjaga

agaknya telah mengenal beberapa orang di antara rombongan itu.

Wanamerta dan Mahesa Jenar. Karena itu mereka menjadi sangat

berhati-hati.

Salah seorang dari mereka kemudian melangkah maju. Ia

berhenti beberapa langkah di hadapan kuda Arya. Dengan

seksama ia mencoba memperhatikan anak muda itu. Tetapi malam

cukup gelap dan cahaya obor di kejauhan hanya samar-samar

sampai. Sedang Arya Salaka telah lenyap beberapa tahun semasa

ia masih terlalu kecil untuk datang dengan tombak di tangan.

Sekarang, di punggung kuda itu duduk seorang anak muda yang

perkasa. Karena itu orang itu tidak segera dapat mengenal, bahwa

anak muda yang memegang tombak itu adalah Arya Salaka.

Kemudian terdengarlah suara orang itu dengan garangnya,

“Siapakah kau yang datang bersama-sama dengan Kiai

Wanamerta dan Mahesa Jenar?”

Arya Salaka tersenyum. Ia kenal orang itu. Ketika masa

kecilnya ia sering datang ke Pamingit, dan pernah dikenalnya

pengawal pribadi pamannya itu.

Jawabnya, “Selamat malam Paman Wulungan. Apakah Paman

lupa kepadaku?”

Wulungan mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia mengamat-

amati anak muda itu. Namun sampai beberapa lama ia masih

belum dapat mengenalnya kembali. Tetapi akhirnya ia tidak perlu

mengingat-ingatnya. Ia dapat bertanya kepadanya. Tidakkah

mustahil bahwa di Banyubiru dan Pamingit ini semua orang

mengenalnya sebagai seorang yang dipercaya untuk menjadi

pemimpin pengawal pribadi Lembu Sora beserta keluarganya?

Page 92: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 93

Karena itu sekali lagi ia berkata garang, “Jawab pertanyaanku.

Siapakah kau?”

Arya masih tersenyum. Namun ia menjawab, “Arya Salaka.”

“He…?” Orang itu terkejut, “Jadi kaukah Angger Arya Salaka?”

“Ya,” jawab Arya.

Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya. Untuk beberapa

saat ia terbenam dalam ingatannya beberapa tahun yang lalu. Ia

selalu baik dan hormat terhadap anak ini, sebagai putra Ki Ageng

Gajah Sora. Tiba-tiba kali inipun ia bersikap hormat pula. Sambil

mengangguk ia berkata, “Aku benar-benar pelupa. Tetapi Angger

telah tumbuh demikian cepatnya.” Tiba-tiba ia ingat akan

tugasnya. Ia ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora

kepadanya, bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan

Gajah Sora atau pengikut-pengikutnya. Karena itu dengan tiba-

tiba pula ia mengubah sikapnya. Ia mencoba untuk berkata dengan

garang seperti semula, meskipun kewibawaan Arya

mempengaruhinya. “Jadi kau yang menamakan diri Arya Salaka?”

Arya sudah tidak tersenyum lagi. Ia melihat perubahan sikap

itu. Dengan tenang ia menjawab, “Ya. Akulah Arya Salaka.”

“Apa perlumu datang kemari?” Wulungan bertanya.

“Aku ingin mengunjungi Kakek Sora Dipayana,” jawab Arya.

“Kau datang dengan laskarmu?” tanya orang itu pula.

Kembali Arya tersenyum, jawabnya, “Sebagaimana Paman

Wulungan lihat. Aku datang hanya berenam.”

Wulungan mengerutkan keningnya. Arya Salaka memang

hanya berenam. Tetapi ia menegaskan, “Siapakah yang berbaris

rapat di perbatasan?”

“Laskarku,” jawab Arya Salaka pendek.

Page 93: 19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 93

“Adakah dengan demikian kau hanya berenam saja?” tanya

Wulungan mendesak.

“Kalau aku datang dengan seluruh laskarku, maka

pertempuran pasti sudah berkobar,” jawab Arya.

“Bukankah maksudmu memang demikian?” sahut Wulungan.

Arya memandang Wulungan dengan seksama. Perubahan

sikapnya yang tiba-tiba, serta pertanyaannya yang mendesak,

mengingatkannya kepada kata-kata Srengga di gardu pertama.

“Duapuluhlima bahu buat menangkap Arya Salaka. Hidup atau

mati.”

“Janji yang terkutuk,” desis hatinya.