Download - 16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 95
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 95
I
etelah berhenti sejenak, Panembahan Ismaya meneruskan,
“Karena itulah Mahesa Jenar, aku tidak dapat mencegah Arya
Salaka untuk mengambil haknya kembali. Untuk mengambil
kekuasaan yang ada di Banyubiru dari tangan adik atau pamannya.
Sedang kekuasaan itu sendiri bukanlah hal yang selalu baik atau
tidak baik. Hampir semua orang di dunia ini menginginkan
kekuasaan. Dalam bentuk yang besar atau dalam ujud yang lebih
kecil serta dalam lingkungan yang kecil pula. Namun yang harus
dinilai kemudian adalah bagaimana kekuasaan itu dipergunakan.
Akhirnya, bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan itulah,
yang menentukan bentuk dari kekuasaan yang berada di dalam
tangannya. Apakah ia mengabdikan kekuasaan itu untuk nilai-nilai
kemanusiaan ataukah dengan kekuasaannya ia justru
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu.”
“Mahesa Jenar, aku harap kau dapat memahaminya.
Selanjutnya aku mengharap, bahwa Arya Salaka akan dapat
mendengarnya pula darimu. Karena kau adalah gurunya, maka
aku kira kaulah orang paling dekat di hatinya. Kaulah yang akan
dapat memberitahukan kepadanya, bahwa kekuasaan yang berada
kembali di tangannya nanti harus menemukan titik sasaran yang
benar. Seperti tombak lambang kebesaran Banyubiru yang
dibawanya itu. Tombak itu dapat dipergunakannya untuk
melindungi diri serta orang lain. Namun tombak itu di tangan orang
yang tidak bertanggungjawab dapat dipergunakan untuk
membunuh kawan seiring. Nah Mahesa Jenar, pergilah. Ingat,
pengabdianmu harus kau tujukan kepada manusia. Tidak kepada
kedudukan, harta benda dan nafsu. Dan pengabdianmu itu
merupakan unsure terpenting dari kebaktianmu yang tertinggi.
Bakti dengan tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya
semakin dalam. Tak ada satu patah kata pun yang sisip dari
hatinya, dari pendiriannya. Memang demikianlah tujuan
S
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 95
pengabdian yang selama ditempuhnya. Karena itu, setiap kata
yang diucapkan oleh Panembahan Ismaya itu telah mempertebal
keyakinannya. Di dalam hati ia berjanji untuk menuangkan
pengertiannya itu sejauh-jauhnya kepada Arya Salaka. Sebab di
tangan Arya Salaka lah letak kekuasaan Banyubiru di masa datang.
Rombongan itu mula-mula singgah di Gedangan untuk
mendapat pinjaman kuda, disamping mereka memenuhi undangan
Wiradapa untuk mengunjungi upacara bersih desa. Upacara yang
diselenggarakan setiap para penduduk Gedangan selesai dengan
musim menuai padi. Demikian pula kali ini. Mereka bersuka ria
karena panenan mereka berhasil. Pada malam itu, ketika
rombongan Mahesa Jenar bermalam di Gedangan, suasana desa
itu benar-benar meriah. Mereka menyelenggarakan peralatan
bersama di sebuah tanah lapang kecil di tengah-tengah desa
mereka. Setiap keluarga datang dengan membawa ancak berisi
berbagai macam makanan. Nasi beserta lauk-pauknya dan
bermacam-macam jenis masakan yang lain. Bahkan ada yang
membawa jodhang penuh dengan masakan yang enak. Makanan
jadah, jenang alot, tasikan, sagon, lapis dan sebagainya. Maka
apabila upacara-upacara adat telah selesai, maka segera makanan
mereka itu dibagi bersama-sama dan dimakan bersama-sama
pula. Demikianlah, peralatan itu benar-benar merupakan peralatan
yang meriah.
Sedangkan hampir seluruh desa mereka dihiasi dengan janur-
janur kuning yang mereka sangkutkan di setiap regol halaman.
Dan di hadapan regol desa mereka letakkan hiasan yang
termeriah, dengan janur-janur kuning, daun topengan dan daun-
daun yang berwarna-warni. Merah, kuning, hijau dan berbelang-
belang. Demikian pula dinding yang melingkari desa mereka serta
sepanjang dinding halaman rumah-rumah, terpancang berpuluh-
puluh bahkan beratus-ratus oncor yang menjadikan desa mereka
terang-benderang seolah-olah siang.
Anak-anak Gedangan pun mendapat bagian pula. Semalam
suntuk mereka tidak tidur. Setelah mereka lelah berlari-larian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 95
kesana kemari, mereka dapat menikmati pertunjukan wayang
beber. Pertunjukan yang mengisahkan kepahlawanan, yang
dipetik dari cerita Mahabarata.
Demikianlah rombongan kecil Mahesa Jenar dapat ikut pula
menikmati kemeriahan malam bersih desa di Gedangan itu.
Mereka ikut serta bergembira bersama-sama penduduk Gedangan
dan kemudian ikut serta dengan mereka mengunjungi pertemuan
di pendapa Kelurahan serta menikmati upacara tari-tarian sebagai
pernyataan terima kasih pula atas panenan mereka yang berhasil.
Tetapi dalam pada itu, Arya Salaka menjadi semakin trenyuh
di dalam hati. Teringatlah segala kemeriahan upacara di Tanah
Perdikan Banyubiru pada masa kecilnya. Pada masa ayahnya
masih memimpin tanah itu. Dan karena itulah tekadnya menjadi
semakin bulat. Ia harus mendapatkan kembali tanah itu. Ia
berjanji di dalam hatinya, apabila ia harus mewakili ayahnya dalam
pemerintahan tanah perdikan itu, yang dilakukannya harus
menguntungkan rakyatnya. Membina kembali Banyubiru dalam
segala seginya. Dan ia harus dapat menjadikan Banyubiru sebagai
idaman ayahnya. Menjadikan Banyubiru gemah ripah lohjinawi
kertaraharja. Dimana setiap orang dapat menikmati kesuburan
tanah kampung halamannya, dimana setiap orang dapat
menikmati cerahnya matahari dan bulatnya bulan di malam hari.
Menikmati ketenteraman hidup dan tanpa kegelisahan menjelang
hari tuanya. Cukup sandang, cukup pangan. Sejahtera lahir dan
batin.
Maka, setelah mereka bermalam dua malam di Gedangan,
rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan. Mereka diantar oleh
hampir segenap penduduk Gedangan sampai ke regol desa
mereka. Dengan penuh kebanggaan mereka memandang debu
yang mengepul dilemparkan oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari
seenaknya. Seolah-olah mereka melihat rombongan pasukan
berkuda yang tak terkalahkan menuju ke medan pertempuran.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 95
Tak ada yang penting yang terjadi di dalam perjalanan itu.
Setelah mereka bermalam satu malam, maka pada hari berikutnya
ketika matahari telah condong ke barat, sampailah mereka di
daerah pegunungan Sumawana. Suatu daerah pegunungan yang
menurut dongeng rakyat, adalah pegunungan dimana Prabu
Dasamuka ditimbun dengan tanah oleh Pahlawan Kera yang
berbulu putih, Hanoman. Karena kepercayaan itulah maka di
daerah pegunungan itu, tidak diperkenankan membawa tuak atau
semacam minuman keras yang lain. Sebab apabila ada orang yang
melanggar pantangan itu, Prabu Dasamuka, yang tidak dapat mati,
akan menggeram dan mengguncang-guncang gunung yang
menimbuninya, sebab tuak adalah jenis minuman yang sangat
digemarinya. Rakyat yang hidup di daerah itu, meskipun sangat
jarang, tidak pernah takut seandainya Prabu Dasamuka itu dapat
menjebol tanah yang menimbuninya. Sebab di dekatnya adalah
bukit yang terkenal bernama Kendalisada. Di bukit itulah Hanoman
bertapa dan sekaligus menunggui gunung yang dipakainya untuk
menimbun tubuh Prabu Dasamuka.
Ketika rombongan kecil itu sampai di sekitar bukit Sumawana,
mereka menghentikan perjalanan mereka. Daerah ini sudah dekat
benar dengan daerah Candi Gedong Sanga. Karena itu mereka
harus berhati-hati. Sebab apabila ada salah paham, mungkin akan
menimbulkan hal-hal yang tidak mereka kehendaki. Karena itu
mereka tidak maju lagi, tetapi mereka bermaksud bermalam di
daerah itu.
Pada malam itulah Mahesa Jenar berhasrat memancing orang-
orang Banyubiru yang bersembunyi di sekitar daerah itu dibawah
pimpinan Bantaran dan Penjawi. Karena itu, maka ketika malam
telah turun dengan kelamnya, segera Mahesa Jenar menyalakan
api sebesar-besarnya. Ia yakin bahwa laskar Pamingit tidak akan
sampai berkeliaran sedemikian jauhnya, apalagi mereka mengerti
bahwa sebagian laskar Bantaran dan Penjawi ada di sekitar daerah
Banyubiru.
Dan apa yang diharapkan terjadilah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 95
Ketika mereka sedang menikmati jadah sisa bekal mereka dari
Gedangan yang mereka panggang di atas api, tiba-tiba
terdengarlah gemersik daun-daun di sekitarnya. Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan hampir semua orang dalam rombongan itu
mengetahuinya, namun mereka masih berpura-pura tidak
mendengarnya.
Sebentar kemudian terdengarlah beberapa orang berloncatan
dengan senjata di tangan. Dengan lantangnya seorang yang
memimpin laskar itu berkata, “Ki Sanak, aku harap Ki Sanak tidak
melawan. Kami tidak ingin berbuat jahat, tetapi kami ingin
mengetahui siapakah kalian.”
Mahesa Jenar mengangkat mukanya. Ia samasekali tidak
berkata apa-apa. Sambil tersenyum ia mengangkat tangannya
menunjuk Wanamerta yang duduk di sudut perapian sambil
membenamkan dirinya di dalam kainnya.
Ketika orang itu melihat Wanamerta, tiba-tiba wajahnya jadi
tegang. Untuk beberapa saat ia bahkan berdiam diri seperti
patung, tetapi tiba-tiba ia meloncat dan berjongkok di hadapannya
sambil berteriak, “Kiai, adakah benar ini Kiai Wanamerta.”
Orang tua itu tersenyum. Tersenyum lucu sekali.
Tetapi semua orang yang menyaksikannya menjadi ikut
terharu ketika di sela-sela senyumnya tampak di antara pelupuk
mata orang tua itu membayang butiran-butiran air mata. Serta
dengan suara parau ia menjawab, “Ya, inilah Wanamerta yang tua.
Bukankah kau Jaladri?”
“Ya,” sahut pemimpin laskar itu. “Bagaimanakah Kiai dapat
sampai di tempat ini?”
“Hemm….” desis Wanamerta, lalu katanya, “Kenalkah kau
dengan Anakmas Mahesa Jenar?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 95
“Mahesa Jenar…?” ulang Jaladri, “Ya tentu aku mengenalnya.
Lima tahun yang lalu, ia pernah tinggal di Banyubiru untuk
beberapa lama.”
“Itulah dia,” potong Wanamerta sambil menunjuk Mahesa
Jenar.
Jaladri menoleh kepada Mahesa Jenar. Memang ia pernah
mengenalnya. Lima tahun yang lalu. Karena itu ia agak pangling.
Baru ketika ia telah memperhatikan beberapa lama, ia menjadi
jelas, bahwa memang orang itulah yang pernah dikenalnya
bernama Mahesa Jenar. Karena itu segera ia menggeser diri duduk
sambil membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar, sambil
berkata, “Maafkan kami, Tuan. Kami hampir tidak dapat mengenal
Tuan setelah sekian lama berpisah. Apalagi sebelumnyapun aku
tidak begitu dekat dengan Tuan.”
Mahesa Jenar menjawab dengan hormatnya pula. “Adalah hal
yang wajar kalau kau tidak mengenal aku lagi. Waktu itu aku tidak
mempunyai waktu banyak untuk tinggal lebih lama lagi di
Banyubiru. Apalagi kita sudah terlalu lama tidak bertemu. Tetapi
untunglah bahwa kau mengenal Paman Wanamerta.”
“Kepada Kiai Wanamerta, berapa puluh tahun aku terpisah,
namun aku masih akan dapat mengenalnya. Dan bahkan semua
orang Banyubirupun akan tetap mengenalnya,” jawab Jaladri.
“Bagus,” sahut Mahesa Jenar. “Sebab ia adalah tetua
Banyubiru. Kalau kau lupa kepadanya, berarti kau telah lupa
kepada kampung halaman itu”.
“Benar Tuan,” jawab Jaladri, kemudian dengan agak ragu-ragu
ia bertanya, “Tetapi, menurut Kakang Bantaran, bukankah Tuan
berjanji untuk membawa Arya Salaka kepada kami?”
Mahesa Jenar tersenyum. Agaknya Bantaran telah
mengumumkan kesanggupannya itu kepada anak buahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 95
Kemudian dengan tertawa lirih ia berkata. “Cobalah Jaladri, carilah
di antara kami, adakah Arya Salaka serta?”
Jaladri menjadi ragu. Ia memandang satu persatu kawan-
kawan seperjalanan Mahesa jenar. Mahesa Jenar sendiri, lalu
seorang yang berumur agak lebih tua sedikit dari Mahesa Jenar,
disampingnya duduk bersimpuh seorang gadis kecil. Di dekatnya
duduk bersila seorang gadis yang berpakaian laki-laki, dan di ujung
duduk bersilah pula seorang pemuda yang gagah, kuat sentosa. Di
pinggangnya terselip sehelai tombak yang bertangkai pendek.
Jaladri masih tetap ragu-ragu. Ia tidak berani menebak satu di
antaranya. Meskipun apabila Arya Salaka ada di antaranya, yang
paling mungkin adalah pemuda yang gagah itu. Setelah beberapa
lama ia menimbang-nimbang, akhirnya ia menjawab, “Aku tidak
tahu Tuan Arya Salaka. Pada saat meninggalkan Banyubiru masih
terlalu kecil bagi yang ada sekarang.”
Meskipun demikian mata Jaladri tidak lepas dari pemuda tegap
yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya.
Mahesa Jenar tertawa pendek, demikian pula Kebo Kanigara.
Tetapi dengan demikian, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, dan
bahkan Arya Salaka sendiri. Jaladri mempunyai dugaan yang
benar. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera
membenarkan dugaan itu. Dengan tegak berdiri ia berkata,
“Jaladri… antarkanlah kami sekarang kepada Bantaran.”
“Baik Tuan,” jawab Jaladri cepat, seperti demikian saja
meloncat dari mulutnya.
Kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Wanamerta, Kebo
Kanigara dan kawan-kawan seperjalanannya. “Marilah, kita
selesaikan perjalanan kita yang tinggal beberapa langkah saja.”
Semuanya segera mempersiapkan diri mereka pula. Dan
sesaat kemudian mereka meneruskan perjalanan yang sudah tidak
jauh lagi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 95
Jaladri lebih dahulu telah mengirimkan dua orangnya untuk
mendahului dan memberitahukan kedatangan Mahesa Jenar, agar
Bantaran dapat mempersiapkan sambutan sekadarnya.
Demikianlah, tidak terlalu lama, mereka telah sampai ke
daerah Candi Gedong Sanga, di lereng Gunung Ungaran. Oleh
Jaladri, mereka dibawa menyusup ke sebuah hutan yang tidak
terlalu lebat. Di dalam hutan yang tipis itu terdapatlah sebuah
barak besar dikelilingi beberapa barak kecil. Itulah perkemahan
laskar Banyubiru yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi.
Ketika Mahesa Jenar sampai ke tempat itu, sibuklah mereka
mengadakan penyambutan. Berdesak-desakan mereka berebut
muka, sehingga Mahesa Jenar dan kawan-kawan tidak dapat
bergerak maju lagi. Sampai Bantaran berdiri dan berteriak,
“Berilah jalan supaya mereka dapat masuk ke dalam pondok ini.”
Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
dipersilakan masuk ke dalam pondok yang terbesar itu. Di
dalamnya terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Dan di
sanalah pemimpin-pemimpin laskar itu telah siap menanti. Mahesa
jenar dan kawan-kawannya dipersilakan duduk di ujung
pertemuan itu. Tetapi demikian ia mulai memperhatikan satu demi
satu dari setiap wajah di dalam ruangan itu, tiba-tiba ia terkejut
ketika melihat yang duduk berjajar di samping Penjawi. Karena itu
segera Bantaran memperkenalkan kedua orang itu kepada Mahesa
Jenar. “Tuan, barangkali Tuan belum mengenalnya. Mereka adalah
orang baru di sini. Tetapi mereka melihat kebenaran perjuangan
kami. Karena itu mereka di pihak kami.”
Tiba-tiba meloncatlah dari mulut Mahesa Jenar sapaan yang
akrab, “Kakang Mantingan dan Wirasaba, adakah kalian telah lama
berada di tempat ini?”
Dalang Mantingan dan Wirasaba menganggukkan kepalanya.
Terdengarlah Mantingan menjawab, “Sudah… Adi. Aku sudah
beberapa bulan bergaul dengan anak-anak Banyubiru, meskipun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 95
kadang-kadang aku juga memerlukan kembali ke Wanakerta atau
Prambanan bersama-sama dengan Adi Wirasaba.”
Teringatlah Mahesa Jenar pada saat mereka baru saja
menyaksikan bahkan terlibat dalam suatu bentrokan melawan
golongan hitam yang sedang mempersiapkan sebuah pertemuan
di daerah Rawa Pening. Pada saat itu Mahesa Jenar dengan empat
orang teman, yaitu Mantingan, Wirasaba, Gajah Alit dan
Paningron, harus bertempur melawan seluruh kalangan hitam dari
angkatan sebayanya, yang kemudian mendapat bantuan dari Sima
Rodra tua dan Pasingsingan. Untunglah pada saat itu muncul
Radite dan Anggara yang menyelamatkan mereka berlima. Pada
saat itu ia memang berpesan kepada Mantingan untuk berusaha
melihat-lihat keadaan Banyubiru. Agaknya Mantingan benar-benar
melaksanakan pesan Radite dan Anggara, bahkan akhirnya
mengambil keputusan untuk tinggal bersama-sama dengan
mereka.
Kemudian sibuklah pertemuan itu dengan pernyataan
keselamatan masing-masing. Wanamerta yang menjadi semakin
terharu melihat anak-anak Banyubiru yang masih setia kepada
pimpinannya itu, malahan menjadi seperti patung. Ia hanya dapat
mendengarkan percakapan-percakapan yang semakin ramai dan
gembira, dan sesekali menoleh kesana kemari, tanpa tujuan.
Tiba-tiba dari sela-sela keriuhan percakapan itu terdengarlah
Bantaran bertanya, “Tuan, bukankah Tuan telah menyanggupkan
kepada kami untuk membawa Arya Salaka…?”
Mahesa Jenar tertawa. Memang, ia menanti pertanyaan itu,
sehingga dengan sengaja tidak memperkenalkan kawan-kawan
seperjalanannya. Karena itu baru kemudian ia menjawab untuk
memperkenalkan mereka. “Saudara-saudaraku dari Banyubiru…
Baiklah aku memperkenalkan kawan seperjalananku satu
persatu.” Kemudian sambil menunjuk, Mahesa Jenar meneruskan,
“Ini, yang duduk di sebelahku adalah Rara Wilis, seorang gadis
yang lebih senang menamakan dirinya Pudak Wangi, cucu seorang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 95
sakti bernama Pandan Alas. Di sampingnya adalah Endang Widuri,
putri Kakang Kebo Kanigara yang duduk di sebelahnya. Dan yang
seorang lagi adalah Bagus Handaka.”
Semua mata mengikuti jari Mahesa Jenar. Namun ketika
sampai orang yang terakhir, ia tidak menyebut nama Arya Salaka,
anak-anak Banyubiru menjadi bertanya-tanya dalam hati. Bahkan
kemudian terdengar suara Penjawi, “Lalu bagaimanakah dengan
Arya Salaka…?” Tetapi seperti juga Jaladri, Penjawi memandang
Arya Salaka yang disebut bernama Bagus Handaka itu tanpa
berkedip. Sebab pada masa kanak-kanaknya, dengan Penjawi-lah
Arya Salaka paling banyak bergaul. Karena itu sedikit banyak ia
masih dapat mengenal wajah itu, meskipun sudah jauh berbeda.
Mahesa Jenar tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil. Dan
karena itulah maka Penjawi tidak menunggu lebih lama lagi.
Dengan cepatnya ia berjalan jongkok ke arah Arya Salaka dan
dengan suara parau ia berkata hampir berteriak sambil memukul-
mukul lengan Arya yang sudah menjadi sekeras baja itu. “Arya,
alangkah mengagumkan kau. Benar-benar kau telah menjadi
seekor banteng muda yang luar biasa kuatnya. Ah, alangkah
malunya aku, yang semakin lama menjadi semakin kering.”
Bersamaan dengan itu tiba-tiba, hampir meledaklah suara
membahana, “Arya Salaka telah datang, Arya Salaka telah
datang.”
Kemudian tampaklah laskar Banyubiru itu berdesak-desakan
di pintu pondok sehingga pintu itu seolah-olah akan mereka
tumbangkan karena menghalang-halangi mereka yang ingin
melihat kehadiran Arya Salaka di antara mereka.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu menjadi sangat
terharu. Bahkan Rara Wilis sampai menekan dadanya karena tiba-
tiba terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya. Sedang Endang
Widuri tiba-tiba menjadi sangat bangga. Ia tidak tahu kenapa
perasaan itu begitu saja tumbuh di dalam dadanya, seolah-olah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 95
dirinyalah yang mendapat sambutan sedemikian hangatnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun tidak kalah terharu,
namun mereka berdua telah dapat mengendalikan perasaan
mereka, sehingga mereka tetap duduk dengan tenang. Yang paling
tidak dapat mengendalikan perasaannya adalah Wanamerta.
Dalam kesempatan itu, ia merasa bahwa seolah-olah ia telah
sampai pada puncak kebahagiaan. Bahkan dengan serta merta
terlontar kata-kata dari mulutnya, “Aku tidak keberatan
seandainya sekarang juga aku mati, sebab aku telah menyaksikan
angger Arya Salaka kembali kepada anak-anak Banyubiru yang
setia kepada kebenaran atas hak pada tanah mereka.”
Sedang Arya Salaka sendiri malah menjadi bingung. Ia biasa
hidup seperti seekor burung yang bebas lepas di udara, yang
seolah-olah tidak mempunyai suatu ikatan apapun. Ia tidak biasa
menerima pujian dan sanjungan. Apalagi sikap memanjakan diri.
Dan sekarang tiba-tiba terdengarlah teriakan-teriakan nyaring di
dalam maupun di luar ruangan itu menyebut namanya. Memuji-
mujinya dan bahkan ada di antaranya yang mengaguminya,
seolah-olah dirinya menjadi seorang pahlawan yang baru
memenangkan perang. Karena itulah maka tubuhnya menjadi
gemetar. Wajahnya bertambah lama bertambah pucat, dan
keringat dingin telah memenuhi seluruh tubuhnya. Mahesa Jenar
yang bijaksana dapat merasakan keadaan itu. Karena itu segera ia
berkata keras-keras, untuk mengatasi segenap keriuhan itu.
“Saudara-saudara rakyat Banyubiru yang setia…. Atas nama Arya
Salaka, aku ucapkan terima kasih atas sambutan kalian. Tetapi aku
minta janganlah kalian menyambut kedatangannya dengan
berlebih-lebihan. Sebab sikap yang demikian akan besar
pengaruhnya, meskipun aku yakin akan keteguhan hati Arya
Salaka, namun bersikaplah sewajarnya. Dengan demikian, segala
sesuatu akan berlangsung dengan wajar pula. Tanpa berlebih-
lebihan, tanpa pengaburan atas nilai yang sebenarnya. Dengan
demikian saudara-saudara tidak akan mudah menjadi kecewa
apabila ada hal-hal yang tidak seperti saudara harapkan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 95
Suara Mahesa Jenar itu ternyata dapat menenangkan suasana
di dalam ruangan itu, namun di luar ruangan masih saja terjadi
keributan dan teriakan-teriakan. Mereka agaknya tidak puas
sebelum dapat memandang wajah anak kepala daerah mereka
yang telah mereka anggap hilang itu. Karena itu mereka masih
saja berusaha untuk dapat berdiri di pintu. Dengan demikian
akhirnya Mahesa Jenar merasa perlu untuk menenangkan mereka
dengan membawa Arya Salaka keluar. Maka berkatalah ia kepada
Bantaran dan Penjawi, “Biarlah Arya Salaka berdiri di depan pintu
sebentar, agar mereka menjadi puas.”
Bantaran dan Penjawi menyetujui, serta mempersilakan Arya
Salaka untuk berdiri sebentar, menerima sambutan dari rakyat.
Maka berkatalah Mahesa Jenar kepada Arya Salaka, “Marilah
kita berdiri di muka pintu itu sebentar Arya Salaka, dan berkatalah
sepatah dua patah kata kepada rakyatmu.”
Arya Salaka menjadi semakin gelisah. Ia lebih tenang pada
saat ia berhadapan dengan Uling Kuning dan Uling Putih daripada
waktu itu. Dengan tergagap ia menjawab, “Paman sajalah yang
berbicara kepada mereka atau Kakang Penjawi.”
Mahesa Jenar tersenyum, katanya, “Mereka tidak akan mau
mendengarkan siapa saja yang akan berbicara selain kau.”
Keringat Arya Salaka semakin banyak mengalir. Tetapi ia tidak
dapat membantah lagi ketika Mahesa Jenar kemudian berdiri dan
menarik tangannya. Dengan jantung yang berdegupan Arya Salaka
digandeng oleh Mahesa Jenar berjalan ke arah pintu diikuti oleh
Penjawi, Bantaran, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Widuri.
Ketika Arya muncul di muka pintu, meledaklah tepuk tangan
riuh, dibarengi dengan teriakan-teriakan yang menyebut-nyebut
nama anak kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Sedang Arya
Salaka sendiri berdiri terpaku tanpa bergerak. Terdengarlah
kemudian Mahesa Jenar berbisik di telinganya, “Berbicaralah,
Arya….”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 95
Arya menjadi semakin bingung. Maka bisiknya pula, “Apakah
yang harus aku bicarakan?”
“Ucapkanlah pernyataan terima kasih kepada mereka dan
katakan bahwa kau masih lelah sehingga kau perlu segera
beristirahat. Karenanya pembicaraan yang agak panjang kau
tunda sampai besok,” jawab Mahesa Jenar berbisik-bisik.
Mula-mula Arya Salaka
masih tetap gelisah mengha-
dapi keadaan yang tidak
disangka-sangkanya itu. Teta-
pi tiba-tiba dari jantungnya
meledaklah perasaan tang-
gungjawabnya, didorong pula
oleh darah kepemimpinan
yang mengalir dalam tubuh-
nya. Arya Salaka kemudian
berhasil menguasai dirinya dan
memperoleh keseimbangan.
Sehingga dengan demikian ia
menjadi agak tenang. Maka
dicobanya untuk menyam-
paikan pernyataan terima
kasih kepada rakyat yang
menyambutnya itu. Namun
bagaimanapun juga, suaranya masih terdengar gemetar.
“Saudara-saudaraku dari Banyubiru. Yang pertama-tama akan aku
sampaikan kepada kalian, adalah pernyataan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas sambutan kalian yang samasekali tidak aku
duga. Seterusnya, karena aku masih sangat lelah perkenankanlah
aku beristirahat dahulu. Besok pembicaraanku akan aku
perpanjang lagi.”
Mahesa jenar tersenyum mendengar uraian Arya Salaka yang
masih terasa bongkah-bongkah itu. Meskipun demikian kata-kata
itu cukup untuk dapat menenangkan rakyatnya. Namun masih
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 95
juga terdengar teriakan-teriakan yang meminta Arya untuk
berbicara lebih banyak lagi. Kemudian tampillah Bantaran, yang
meminta kepada rakyat Banyubiru yang tetap teguh pada
pendiriannya itu, untuk memberi kesempatan kepada Arya Salaka
beristirahat.
“Nah saudara-saudaraku….” katanya, “Sekarang berilah
kesempatan tamu-tamu kita beristirahat. Juga kalian dapat
beristirahat sekarang, kecuali mereka yang bertugas. Sebab di
hadapan kalian terbentanglah lautan yang penuh dengan badai dan
taufan yang harus kalian renangi. Siapa tahu, besok atau bahkan
nanti, kalian harus sudah menerjuninya.”
Dengan demikian maka anak-anak Banyubiru itu kemudian
perlahan-lahan meninggalkan pintu barak dimana Arya Salaka
masih berdiri bersama dengan kawan-kawan seperjalanannya.
Namun kemudian Bantaran tidak mempersilakannya masuk
kembali, tetapi mereka dipersilakan untuk pergi ke pondok yang
lebih kecil, yang telah dipersiapkan untuk mereka. Meskipun
demikian, karena mereka samasekali tidak menduga bahwa di
dalam rombongan itu akan terdapat dua orang gadis, maka dengan
tergesa-gesa mereka terpaksa menyiapkan tempat lain untuk
keperluan itu.
Demikianlah mereka kemudian dipersilakan beristirahat di
tempat masing-masing. Mantingan dan Wirasaba memerlukan
mengunjungi Mahesa Jenar, meskipun hanya sebentar, untuk
berkenalan lebih dekat lagi dengan Arya Salaka dan Kebo
Kanigara. Setelah itu maka ditinggalkannya mereka bertiga,
setelah dipersilakan mereka makan sekadarnya.
Sedang Wanamerta segera terjun ke dalam lingkungan anak-
anak Banyubiru yang sudah lama terpisah dengannya, dan
kemudian tidur bersama mereka.
Malam itu rasanya berjalan demikian cepat. Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Arya Salaka segera tenggelam ke dalam mimpi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 95
Demikian juga di dalam pondok yang lain. Rara Wilis dan Endang
Widuri yang dikawani oleh Nyi Penjawi, segera tertidur pula. Di luar
pondok itu, tampaklah beberapa orang berjaga-jaga dengan
cermatnya. Sebab dalam tanggapan mereka, keselamatan gadis-
gadis itu sangat tergantung kepada penjagaan yang mereka
lakukan.
Ketika mereka terbangun pada pagi harinya, dan kemudian
keluar dari pondok masing-masing, tampaklah betapa cerahnya
matahari pagi. Sinar-sinarnya yang menembus daun-daun
pepohonan terpercik di atas tanah lembab, membuat gambaran-
gambaran yang menyenangkan. Seolah-olah gambaran anak-anak
yang dengan lincahnya berloncat-loncatan dengan penuh
kegembiraan menyambut hari yang bakal datang. Sedang angin
pagi mengalir lambat membawa udara sejuk segar.
Pada hari itu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka
diantar oleh Bantaran, Penjawi, Mantingan, Wirasaba dan
Wanamerta melihat-lihat keadaan di sekitar barak-barak itu.
Melihat persiapan-persiapan yang mereka lakukan. Dari mereka
itulah Mahesa Jenar mengetahui bahwa sebagian besar rakyat
Banyubiru tetap menanti kedatangan kepala daerah perdikan
mereka. ternyata dengan bantuan yang mengalir tak henti-
hentinya. Meskipun dengan bersembunyi-sembunyi mereka dapat
mengirimkan makanan, pakaian dan senjata. Bahkan anak-anak
Banyubiru telah mendapat perkakas yang cukup untuk membuka
hutan. Karena itulah rombongan itu bukan saja rombongan orang-
orang yang menyingkirkan diri, namun mereka termasuk perintis-
perintis pula dalam perluasan daerah pertanian Banyubiru. Sebab
disamping mempersiapkan diri mereka untuk datang kembali ke
Banyubiru, mereka ternyata telah membuka hutan dan membuat
tanah pertanian.
Pada hari-hari berikutnya, Mahesa Jenar, Arya Salaka dan
kawan-kawannya sempat melihat kesiapsiagaan anak-anak
Banyubiru itu. Mereka mendapat kesempatan untuk melihat anak-
anak Banyubiru itu berlatih. Mula-mula Mahesa Jenar menjadi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 95
heran melihat kemajuan yang pesat dibandingkan masa-masa
Banyubiru beberapa tahun yang lalu. Justru setelah mereka
didorong ke tengah-tengah hutan. Tetapi keheranan itu kemudian
lenyap ketika ia melihat Mantingan dan Wirasaba berada di antara
mereka. Agaknya kedua orang itu, disamping Penjawi dan
Bantaran, yang telah bekerja mati-matian untuk melatih anak-
anak Banyubiru itu.
Melihat tingkat pengetahuan laskar Banyubiru itu, Arya Salaka
pun berbangga pula. Ternyata bahwa mereka lebih maju daripada
laskar Gedangan. Sebaliknya, apa yang diduga Bantaran
sebelumnya ternyata benar-benar terjadi. Dengan kehadiran Arya
Salaka, laskar Banyubiru merasa mendapat suatu karunia yang
tiada taranya. Mereka menjadi semakin teguh pada tekadnya.
Kembali ke Banyubiru.
Tetapi meskipun demikian Bantaran, Penjawi dan beberapa
orang pemimpin laskar Banyubiru itu masih tetap bimbang. Bukan
karena meragukan kesetiaan laskarnya, yang menurut
penilaiannya telah menyerahkan diri mereka bulat-bulat sampai
tetes darah terakhir. Tetapi sebagai seorang pemimpin, mereka
berkewajiban menilai kekuatan mereka sendiri untuk
diperbandingkan dengan kekuatan lawan mereka. Mereka harus
tidak menutup mata terhadap kenyataan yang ada. Mereka harus
memperhitungkan bahwa laskar Pamingit yang bergabung dengan
sebagian orang-orang Banyubiru yang tidak setia terdapatlah
nama-nama besar seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Disamping itu Bantaran dan kawan-kawannya selalu meragukan
apakah kira-kira yang akan dilakukan Ki Ageng Sora Dipayana
apabila benar-benar terjadi bentrokan antara dua kekuatan itu. Di
pihaknya, ia yakin bahwa Kebo Kanigara dapat diketengahkan.
Bantaran pernah melihat sendiri, paman guru Mahesa Jenar itu
berhasil menyelamatkan diri setelah bertempur melawan sepuluh
orang pengawal Lembu Sora. Tetapi bila Ki Ageng Sora Dipayana
melibatkan diri dalam perselisihan itu, apakah Kebo Kanigara
dapat mengimbanginya? Kemudian Bantaran harus menilai
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 95
Mahesa Jenar pula. Dahulu, sepengetahuannya, Mahesa Jenar
memiliki ilmu setingkat dengan Gajah Sora. Ki Ageng Gajah Sora
sendiri pernah mengatakan. Tetapi sekarang Ki Ageng lembu Sora
pesat sekali maju. Ia mendapat tuntunan yang tiada henti-
hentinya dari Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga Lembu Sora
sekarang telah melampaui kakaknya, Gajah Sora. Sedang Mahesa
Jenar, apakah yang diperolehnya selama ini, meskipun berada di
lingkungan paman gurunya? Apalagi kemudian pimpinan laskar
Banyubiru harus memperhitungkan pula Arya Salaka, yang mau
tidak mau akan berhadapan kepentingan dengan Sawung Sariti.
Apa yang mereka lihat sekarang, Sawung Sariti benar-benar telah
menjadi seorang pemuda yang luar biasa. Ia dengan beraninya
menghadapi lawan-lawannya sebagai seekor ayam jantan di arena
pertarungan. Selain itu ia dapat bergerak dengan sangat lincahnya
seperti seekor burung sariti di udara. Apalagi ia pun telah
mendapat tempaan dari kakeknya. sehingga anak muda itu benar-
benar memiliki ilmu yang menakutkan. Meskipun dari Wanamerta,
Bantaran telah mendengar apa yang pernah terjadi antara Arya
Salaka dan Sawung Sariti, namun ia menganggap bahwa Sawung
Sariti kemudian telah lebih maju lagi dengan pesatnya, disamping
dugaan-dugaan bahwa Wanamerta agak terlalu bangga terhadap
Arya Salaka. Dalam pada itu pimpinan laskar Banyubiru itu tidak
mengada-ada. Namun sebagai pemimpin ia harus bertindak hati-
hati. Meskipun demikian ia tidak sampai hati untuk
mengatakannya kepada Mahesa Jenar yang kemudian diharap
akan dapat memimpin laskar Banyubiru itu.
Yang dapat mereka lakukan kemudian hanyalah sebuah
pernyataan untuk meminta Mahesa Jenar memimpin laskar
Banyubiru. Sebab mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa
Mahesa Jenar kecuali memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada
setiap orang yang ada, mereka juga mengetahui bahwa Mahesa
Jenar adalah bekas seorang perwira prajurit Demak.
Tentu saja Mahesa Jenar tidak menolak. Bahkan ia merasa
mendapat jalan untuk menentukan cara laskar Banyubiru berbuat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 95
Ia ingin membuat laskar Banyubiru laskar yang kecuali baik dalam
tata cara bertempur, juga harus merupakan laskar yang baik
dalam bertindak. Di dalam atau di luar lingkaran pertempuran.
Maka sejak saat itulah Mahesa Jenar mengambil pimpinan dari
tangan Bantaran dan Penjawi. Dan sejak itu pula Mahesa Jenar
menyelenggarakan latihan yang lebih teratur untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
II
Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar sampai pada suatu saat
dimana ia menganggap bahwa waktunya telah tiba untuk berbuat
sesuatu ke arah penyelesaian masalah Banyubiru. Karena itulah
maka segera mengadakan persiapan-persiapan terakhir.
Dalam pada itu adalah diluar dugaan samasekali, ketika tiba-
tiba datanglah seorang yang ditugaskan untuk tinggal di
Banyubiru, yang mengabarkan bahwa Banyubiru, sebuah desas-
desus yang tersebar luas mengatakan bahwa keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten kini berada di Banyubiru.
Mahesa Jenar terkejut mendengar khabar itu. Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten jelas berada di tangan Panembahan Ismaya.
Tetapi kenapa tiba-tiba orang mendesas-desuskan bahwa keris itu
berada di Banyubiru…? Mula-mula kepada orang yang membawa
khabar itu Mahesa Jenar menanyakan, kira-kira dari manakah
sumber berita itu. Tetapi orang itu pun samasekali tidak
mengetahui. Namun ia dapat mengatakan bahwa karena itulah
maka di Banyubiru timbul kegelisahan. Sebab adanya desas-desus
itu akan banyak akibat yang dapat terjadi.
Karena itulah Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah didesak
oleh keadaan untuk bertindak lebih cepat. Ia masih teringat jelas
bahwa golongan hitam pun sangat memerlukan keris-keris itu.
Sebenarnya ia samasekali tidak percaya, bahwa kedua keris itu
dengan tiba-tiba saja berada di Banyubiru, sebab ia yakin bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 95
tak seorang pun yang dikenalnya, dapat melampaui segala macam
ilmu yang dimiliki Panembahan Ismaya. Seandainya dua-tiga
orang sakti sekalipun yang datang ke Bukit Karang Tumaritis, pasti
orang-orang itu tidak akan berhasil mendapatkan Kyai Nagasasra
dan Kyai sabuk Inten, apalagi orang-orang Banyubiru. Biarpun
mereka datang bersama-sama. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng
lembu Sora dan Sawung Sariti beserta seluruh laskarnya. Karena
itu ia akhirnya sampai suatu kesimpulan bahwa di belakang desas-
desus itu pasti tersembunyi suatu maksud.
Maka, setelah Mahesa Jenar berunding dengan Kebo Kanigara,
ia memutuskan untuk segera membawa Arya Salaka ke Banyubiru.
Sudah barang tentu Mahesa Jenar bertindak menurut caranya,
yang merupakan pancaran dari wataknya. Ia tidak segera
membawa pasukannya ke Banyubiru sekaligus dalam persiapan
tempur dengan mempergunakan gelar perang, tetapi ia
mengharap bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan menurut cara
yang baik. Mula-mula Bantaran, Penjawi, bahkan Wanamerta
heran melihat kelunakan sikap Mahesa Jenar itu. Bahkan mereka
menduga bahwa di dalam hati Mahesa Jenar meragukan kekuatan
laskarnya. Karena itulah maka mereka mengajukan pertimbangan
lain. Mereka mendesak agar Mahesa Jenar memaksa dengan
kekuatan untuk mengusir Lembu Sora dari Banyubiru. Sebab
mereka tidak melihat cara lain yang dapat dipergunakan selain
cara itu.
Mahesa Jenar memahami sepenuhnya perasaan yang bergolak
di dalam dada Bantaran, Penjawi dan anak-anak Banyubiru, yang
terpaksa menyingkir dari kampung halaman mereka sendiri.
Mereka telah mengalami tekanan lahir batin. Kepahitan yang
selama ini harus mereka telan, telah menyebabkan mereka
menjadi dendam. Apalagi mereka merasa bahwa mereka telah
melakukan tindakan kebenaran. Mempertahankan hak atas tanah
mereka. Mereka dikejar-kejar, dimusuhi, ditangkap dan segala
macam usaha yang lain untuk menakut-nakuti agar mereka
melepaskan kesetiaan mereka kepada tanah mereka. Tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 95
ternyata lebih baik bagi mereka menyingkirkan diri, meninggalkan
kampung halaman, untuk tetap mempertahankan pendirian
mereka. Mempertahankan kesetiaan mereka terhadap tanah
pusaka mereka, terhadap tanah tercinta.
Karena itu Mahesa Jenar harus bersikap hati-hati terhadap
mereka. Ia tidak dapat demikian saja memaksa mereka untuk
melepaskan dendam mereka. Tetapi ia harus berusaha
menumbuhkan dari dalam diri mereka masing-masing, pengertian
tentang apa yang akan mereka lakukan.
Dengan penuh kebijaksanaan berkatalah Mahesa Jenar kepada
Bantaran, Penjawi beserta para pemimpin laskar Banyubiru,
“Saudara-saudaraku… kalau kalian gagal untuk menginjakkan kaki
kalian beserta Arya Salaka kembali ke Banyubiru, akulah orang
yang pertama-tama akan menyatakan penyesalan yang sedalam-
dalamnya. Dan akulah orangnya yang akan menerjunkan diri,
mengorbankan segala yang ada padaku untuk kepentingan kalian.
Sebab aku telah menerima penyerahan dari kakang Gajah Sora
atas putranya, Arya Salaka, beserta segala kelengkapan atas
dirinya. Diantaranya kedudukan kepala daerah perdikan
Banyubiru. Karena itu percayalah bahwa aku akan bekerja keras
untuk melaksanakan pekerjaan itu. Tetapi berilah aku kesempatan
menyelesaikan menurut cara yang akan aku tempuh. Pertama-
tama aku akan berusaha untuk menempuh jalan yang sebaik-
baiknya. Lembu Sora adalah adik Gajah Sora. Aku masih ingin
melihat bahwa masih ada hubungan dari mereka berdua.
Hubungan yang sangat dekat. Mereka dialiri darah dari sumber
yang sama. Apabila cara ini tidak berhasil, barulah aku akan
mempergunakan cara lain. Membawa kalian serta. Tetapi ingat,
bahwa apa yang kalian lakukan bukanlah pembalasan dendam.
Yang akan kalian lakukan adalah mengambil hak kalian kembali.
Hak atas tanah kalian dan hak atas pimpinan daerah kalian. Karena
itu maka yang harus kalian lakukan adalah sesuai dengan tujuan
itu. Jangan ada di antara kalian yang mempergunakan kesempatan
ini untuk kepentingan diri sendiri. Melepaskan dendam pribadi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 95
kepada orang-orang yang samasekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan perjuangan kalian mengambil kembali kampung halaman
kalian. Kesetiaan kalian.
Aku percaya bahwa kalian akan dapat menunjukkan kebesaran
jiwa kalian, yang dengan demikian akan menunjukkan pula
perbedaan antara kalian dengan orang-orang yang berjiwa kerdil,
yang hanya mengenal kepentingan diri daripada kepentingan
bersama.”
Dengan demikian pekerjaan kalian hanya terbatas sampai hak
atas tanah perdikan itu kembali. Seterusnya kalian tidak perlu
berbuat apa-apa lagi, yang barangkali malah akan menyuramkan
nama kalian. Yang harus kalian ingat pula, bahwa kecuali kalian
dan orang-orang Pamingit itu masih ada orang-orang yang
termasuk di dalam barisan golongan hitam.
Tidak mustahil kalau mereka akan mengambil setiap
kesempatan, mengail di air keruh. Kalau kalian kemudian terlibat
dalam permusuhan yang berlarut-larut, maka dengan senangnya
mereka akan datang dan membangun istana kemenangan dia atas
bangkai-bangkai kalian tanpa bersusah-payah lagi.”
Bantaran, Penjawi, Wanamerta beserta para pemimpin laskar
Banyubiru menundukkan kepala mereka. Mereka mengerti
sepenuhnya apa yang baru saja didengarnya. Di dalam hati
mereka terbersitlah pengakuan atas kebenaran kata-kata itu. Tiba-
tiba mereka menjadi sadar bahwa orang-orang Pamingit, lebih-
lebih orang Banyubiru itu sendiri, adalah saudara-saudara mereka.
Ada di antara mereka yang berkakak, beradik, berkemenakan dan
bersepupu dengan orang-orang Pamingit.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Saudara-
saudaraku… kalian harus dapat menempatkan diri kalian dalam
tindakan kalian kali ini. Sekali lagi aku ingatkan, marilah kita ambil
hak kita, milik kita sendiri. Selebihnya tidak. Apalagi apa yang
dinamakan pembalasan dendam.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 95
Pemimpin-pemimpin Banyubiru itu masih tetap berdiam diri,
namun tanpa mereka sadari, mereka telah mengangguk-
anggukkan kepala mereka sebagai suatu pernyataan setuju atas
segala uraian Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Mahesa Jenar
megakhiri pertemuan itu. Dengan minta doa restu kepada segenap
laskar Banyubiru, ia minta diri untuk pergi ke Banyubiru. Beberapa
orang dimintanya ikut serta untuk menyaksikan apa yang akan
mereka bicarakan. Diantaranya adalah Wanamerta, Bantaran,
Penjawi, dan Kebo Kanigara. Kali ini Mahesa Jenar menganggap
belum waktunya membawa serta Arya Salaka. Rombongan ini
tidak lebih daripada sebuah rombongan utusan dari Arya Salaka
selaku orang yang berhak atas daerah perdikan Banyubiru,
mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai hari kemudian
Banyubiru. Mahesa Jenar masih menyangsikan apakah
keselamatan Arya Salaka tidak terancam bila ia dibawanya serta
bersama-sama dengan rombongan itu. Sebab ia masih belum
dapat menggambarkan bagaimanakah tanggapan Lembu Sora,
terutama Ki Ageng Sora Dipayana atas kehadiran Arya Salaka.
Demikianlah rombongan utusan itu dilepas dengan debaran
hati segenap laskar Banyubiru yang terpaksa menyingkir ke daerah
Candi Gedong Sanga. Meskipun ada di antara mereka yang
meragukan keberhasilan pembicaraan mereka, namun cara itu
merupakan cara yang terhormat sebelum cara-cara yang lain
harus ditempuh. Arya Salaka sendiri sangat kecewa ketika Mahesa
Jenar memintanya untuk tinggal di Candi Gedong Sanga.
Sebenarnya ia ingin sekali untuk segera dapat melihat Banyubiru.
Tanah tempat ia dilahirkan, tempat ia menerima kasih sayang ayah
bunda. Ketika rombongan Mahesa Jenar lenyap di balik batang-
batang liar di daerah hutan itu, tiba-tiba terasalah hatinya seperti
tergores oleh sembilu. Tiba-tiba ia teringat kepada ayah dan
bundanya. Kepada ayahnya yang terpaksa terpisah darinya karena
pokal pamannya. Demikian juga ibunya. Terbayanglah di dalam
otaknya, apakah yang kira-kira terjadi atas ibunya selama ini.
Selama ia tidak pernah mencium pipinya seperti pada masa kanak-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 95
kanaknya. Karena itulah tiba-tiba hatinya meronta. Kenapa ia tidak
berlari menyusul rombongan itu.
Tetapi dalam pada itu terasalah tangan halus menyentuh
pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Rara Wilis berdiri di
belakangnya. Arya Salaka mengetahui hubungan apakah yang
terjalin antara gadis itu dengan gurunya. Karena itu ia
menghormati Rara Wilis seperti ia menghormati gurunya.
Dengan demikian ia tidak membantah ketika Rara Wilis
mengajaknya dengan penuh pengertian untuk kembali ke dalam
pondoknya.
Sebagai seorang gadis, hati Rara Wilis mulai tersentuh.
Demikian juga ketika ia melihat betapa kecewa hati Arya Salaka,
karena ia tidak diperkenankan ikut serta bersama gurunya.
Hatinya menjadi iba.
“Jangan berduka, Arya….” nasihat Rara Wilis, “Besok atau lusa
kau akan pergi juga ke sana. Kalau saat ini pamanmu tidak
membawamu adalah semata-mata karena pertimbangan
keselamatanmu.”
Arya menundukkan mukanya. Ia tahu benar alasan itu, tetapi
perasaannya amatlah susah dikendalikan. Karena Rara Wilis bagi
Arya tidak ubahnya dengan gurunya, dan orang tuanya sendiri.
Maka kepadanya Arya Salaka pun berkata terus terang, “Bibi, aku
dapat mengerti sepenuhnya kenapa Paman tidak membawa aku
serta. Tetapi tiba-tiba saja perasaan rinduku kepada tanah
kelahiran itu tak dapat aku kendalikan lagi. Lebih dari itu, betapa
rinduku kepada Bunda, yang sejak lima tahun lalu tak pernah aku
dengar khabar beritanya.” Dalam pada itu, betapa Arya Salaka
berusaha sekeras-kerasnya, namun di kedua belah matanya
mengembanglah air matanya yang bening, sebening hatinya.
Mendengar pernyataan Arya Salaka, Rara Wilis terdiam.
Bahkan tiba-tiba iapun teringat kepada ibunya. Ibunya yang sudah
tidak akan dapat dijumpainya lagi. Maka iapun menjadi berduka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 95
pula. Namun demikian ia masih mencoba untuk menghibur hati
Arya, katanya, “Arya… meskipun tertunda beberapa waktu namun
kau akhirnya akan dapat bertemu dengan bunda tersayang. Tetapi
tidaklah demikian dengan aku, Arya. Kau masih harus
mengucapkan terimakasih, bahwa kau masih menyimpan harapan
di dalam dadamu. Sedang aku, samasekali harapan itu telah
padam sejak lama. Aku tidak akan bertemu lagi, sekarang, besok,
lusa atau kapanpun dengan ayah bundaku.”
Kemudian keduanya terdiam. Masing-masing hanyut ke dalam
dunia angan-angan. Kepada kerinduan yang menyentuh-nyentuh
perasaan masing-masing. Sehingga ruangan itu kemudian menjadi
hening sepi.
Tetapi keheningan itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara Endang
Widuri yang berlari-lari masuk. Katanya berderai dengan penuh
kegembiraan. “Bibi… alangkah banyaknya bunga anggrek di hutan
ini.”
Wilis tersadar dari angan-angannya. Dengan tersenyum kecil
yang dipaksakan ia menjawab, “Adakah kau mendapatkannya,
Widuri…?”
“Inilah, Bibi….” sahut Widuri sambil menyerahkan setangkai
bunga anggrek yang berbentuk seekor kala.
“Dari manakah kau dapatkan bunga ini?” tanya Wilis.
“Di lembah sebelah itu, Bibi….” jawab Widuri.
Rara Wilis menarik nafas. Lembah di sebelah adalah lembah
yang terjal dan berbahaya. Agaknya Widuri memang anak yang
benar-benar nakal. Katanya kemudian, “Jangan bermain-main di
tempat yang berbahaya, Widuri. Di sana banyak ular-ular berbisa.
Mungkin juga ada harimau yang buas.”
“Tidak Bibi,” sahut Widuri dengan nakalnya. “Tidak ada ular
dan tidak ada harimau yang mengganggu. Tetapi tadi memang ada
orang yang mencoba menangkap aku.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 95
Rara Wilis dan Arya Salaka terkejut seperti disengat kala.
Dengan penuh perhatian Rara Wilis bertanya, “Ada orang yang
akan menangkap kau…?”
Widuri mengangguk seenaknya, seolah-olah peristiwa itu
samasekali tidak penting baginya.
“Tahukah kau sebabnya…?” tanya Rara Wilis.
“Entah,” jawab Widuri. “Mungkin orang itulah yang menanam
anggrek ini.”
“Mustahil,” sahut Arya Salaka. “Anggrek yang tumbuh di
lembah itu tak seorangpun yang menanamnya.”
Widuri kemudian menjadi heran. Katanya, “Lalu kenapa ia
akan menangkap aku?”
“Itulah yang ingin kami ketahui,” sela Rara Wilis. “Apakah
katanya padamu mula-mula…?”
Widuri mengingat-ingat sebentar, lalu jawabnya, “Ia bertanya,
kenapa aku berada di lembah itu.”
“Bagaimana kau menjawab?” selidik Arya.
Endang Widuri menjadi jengkel pada pertanyaan-pertanyaan
itu. Tetapi ia menjawab pula, “Aku katakan kepadanya, bahwa aku
ingin bunga anggrek ini.”
“Tidakkah ia bertanya tentang kau…?” tanya Wilis pula.
Karena pertanyaan-pertanyaan itu agaknya masih panjang,
Widuri kemudian menjatuhkan dirinya di samping Rara Wilis. Dan
dengan malasnya ia menjawab panjang, sebab ia tahu bahwa
kemudian pertanyaan-pertanyaan masih akan mengalir seperti
banjir. Katanya, “Ya, ia bertanya tentang aku. Ia bertanya
siapakah namaku dan dari manakah aku datang. Aku datang
bersama siapa dan untuk apa.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 95
Ketika Arya akan mengajukan pertanyaan lagi, Widuri sudah
mendahului, “Aku jawab semuanya. Aku bernama Endang Widuri.
Aku datang dari Karang Tumaritis. Aku datang bersama sahabatku
yang bernama Arya Salaka putra kepala daerah perdikan
Banyubiru, yang datang untuk mengambil haknya kembali dari
tangan pamannya yang jahat.”
“Kau katakan itu semua?” sela Wilis dengan cemas.
“Ya, aku katakan semua itu. Aku katakan bahwa bersama-
sama dengan kami datang pula ayah, Kebo Kanigara, Mahesa
Jenar yang perkasa bersama Bibi Rara Wilis yang cantik.”
“Ssst….” potong Rara Wilis. “Jangan nakal,” bisiknya. Mau tidak
mau ia harus tersenyum. Namun berita itu bagi Arya Salaka dan
Rara Wilis merupakan berita yang cukup penting. Karena itu ia
ingin kelanjutan cerita Widuri, meskipun ia tidak sabar mendengar
cara Widuri berkisah. “Lalu, apakah yang dilakukannya?” tanya
Arya Salaka.
“Orang itu tiba-tiba menjadi sangat menakutkan. Matanya
terbelalak dan dengan marah ia memaksa aku untuk ikut serta
bersamanya,” jawab Widuri.
Wilis menarik nafas sekali lagi. Pasti ada hal-hal yang
samasekali tidak pada tempatnya.
“Apakah orang itu bukan orang di antara kita di sini?” tanya
Wilis.
Mendengar pertanyaan Rara Wilis, Endang Widuri tertawa, lalu
jawabnya, “Pasti bukan, Bibi. Kalau orang itu salah seorang di
antara kita pasti ia tidak akan bertanya tentang aku.”
Sekali lagi Rara Wilis terpaksa tersenyum. Katanya, “Maksudku
adalah untuk menguatkan dugaanku bahwa orang itu pasti
mempunyai kepentingan yang rahasia terhadap kita di sini.
Terhadap seluruh kekuatan anak-anak Banyubiru.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 95
Endang Widuri mengerutkan keningnya. Agaknya baru
sekarang ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh orang itu adalah
jauh lebih berbahaya daripada seorang pemilik anggrek yang
kehilangan bunganya. Karena itu tiba-tiba ia bercerita dengan
penuh minat. “Bibi, memang agaknya orang itu sangat aneh.
Ketika ia marah kepadaku, aku minta maaf bahwa aku memetik
bunganya sebelum aku minta izin kepadanya. tetapi agaknya ia
samasekali tidak memperhatikan.” Endang Widuri berhenti sejenak
untuk mengingat apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia
meneruskan, “Bahkan kemudian ia berusaha untuk menangkap
aku. Tentu saja aku tidak mau. Maka ketika ia memaksa, aku
terpaksa melawannya.” Kemudian tiba-tiba Endang Widuri tegak
berdiri. Sambil menirukan beberapa gerak yang lincah, ia bercerita
tentang perkelahiannya. Widuri sebenarnya seorang gadis yang
memiliki ilmu tata beladiri jauh lebih dewasa dari sifat-sifatnya
yang kekanak-kanakan. Dalam persoalan tata beladiri, Widuri
telah dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang cukup
mempunyai nama cemerlang. Tetapi karena ia tidak pernah
meninggalkan padepokan, maka hampir tak seorang pun yang
mengenalnya. Ditambah lagi dengan sifatnya sebagai gadis
tanggung yang selalu dimanja oleh ayahnya. Dengan demikian
perkelahian yang baru saja terjadi itu pun baginya seolah-olah
hanya permainan yang tidak menyenangkan. Maka, katanya
mengakhiri ceritanya, “Tetapi ternyata orang itu hanya besar
kepala saja. Tenaganya tidak lebih dari seekor kelinci. Meskipun
demikian, karena aku tidak bersedia untuk berkelahi, maka aku
mengenakan kain panjang ini. Dan ketika aku lupa, dan
menyerangnya dengan kaki, kainku jadi sobek karenanya,” kata
Endang Widuri mengakhiri ceritanya. Lalu dengan bersungut-
sungut ia menunjukkan kain panjangnya yang sobek lebih dari dua
cengkang di bagian belakang.
Endang Widuri kemudian duduk kembali di samping Rara Wilis.
sedang Arya Salaka dan Rara Wilis terpaksa menggelengkan
kepala. Kemudian bertanyalah Arya Salaka, “Kau apakan
kemudian orang itu…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 95
“Ia kemudian melarikan diri, dan lenyap di dalam gerumbul-
gerumbul liar di lembah itu,” jawab Endang Widuri.
Berita itu bagi Rara Wilis dan Arya Salaka sangat penting
artinya. Karena itu kemudian Arya minta diri untuk menemui
Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang selama Mahesa Jenar
bersama-sama beberapa orang pergi ke Banyubiru, merekalah
yang diserahi pimpinan atas anak-anak Banyubiru.
“Berita itu sangat penting, Angger,” kata Mantingan setelah
dengan seksama mendengarkan cerita Arya Salaka tentang
Endang Widuri. “Bagaimana mungkin penjagaan kita yang kuat
dapat diterobos, kalau bukan oleh orang yang cukup tangguh.
Meskipun demikian aku heran juga, bahwa Endang Widuri dapat
mengalahkannya.”
Tiba-tiba Arya Salaka menjadi bangga atas pujian itu. Pujian
untuk Endang Widuri. Karena itu tanpa dikehendakinya sendiri ia
telah ikut serta memuji gadis tanggung itu.
Mantingan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantaslah
kalau ia putri Kakang Kebo Kanigara. Apalagi selama ini Endang
Widuri berada dalam lingkungan yang menguntungkan. Bersama-
sama dengan Angger, gadis itu merupakan pasangan berlatih yang
mengagumkan,” gumamnya kepada Arya Salaka.
Terasa wajah Arya Salaka menjadi panas. Maka berusahalah ia
menjawab, “Apakah Paman pernah melihat aku atau Widuri
berlatih?”
Mantingan tertawa lirih. Umurnya yang telah menjangkau lebih
dari setengah abad itu telah menjadikannya orang yang cukup
mengenal perasaan seseorang. Apalagi berhubungan dengan
pekerjaannya sebagai seorang dalang. Karena itu ia tidak
melanjutkan gurauannya. Apalagi persoalan yang dihadapinya
cukup penting. Sehingga segera ia kembali pada persoalan berita
yang dibawa oleh Endang Widuri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 95
“Apakah yang sebaiknya kami lakukan?” Mantingan mencoba
untuk mendapat pertimbangan dari Wirasaba, Arya Salaka dan
Jaladri. Sesudah berpikir sejenak, berkatalah Wirasaba, “Satu hal
yang patut menjadi pertimbangan adalah, orang itu telah
mengetahui bahwa di sini ada Adi Mahesa Jenar, Kakang Kebo
Kanigara, Angger Arya Salaka, dan yang dikenalnya langsung
adalah Angger Widuri sendiri. Orang itu pasti akan mengatakan
bahwa di sini ada seorang gadis kecil yang sangat berbahaya.
Kalau gadis itu telah dapat mengalahkannya, apalagi orang-orang
yang bernama Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka.”
Mantingan mengangguk membenarkan. Padahal Kebo
Kanigara, Mahesa Jenar dan beberapa orang lain sedang berada di
perjalanan ke Banyubiru.
“Kalau demikian….” sambung Jaladri, “Tempat kita ini berada
dalam bahaya. Kalau mereka mengetahui bahwa orang-orang
yang bernama Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sedang berada di
perjalanan, mungkin sekali mereka akan mempergunakan
kesempatan itu. Mencegat mereka atau menyerang tempat ini.”
“Baiklah adi Jaladri,” sahut Mantingan. “Apakah jeleknya kalau
kita berhati-hati. Siapkan orang-orangmu dan perkuatlah
penjagaan di sekitar tempat ini. Mungkin ada sesuatu yang tidak
kita harapkan bisa terjadi.”
Jaladri segera melaksanakan tugas itu. Dipanggilnya beberapa
orang pemimpin laskar Banyubiru dan diberinya mereka petunjuk-
petunjuk. Mereka sejak saat itu harus sudah siaga tempur. Setiap
saat bahaya dapat datang.
Maka sibuklah daerah perkemahan itu dengan berbagai
persiapan. Beberapa orang menyiapkan perlengkapan-
perlengkapan, beberapa orang lagi mengasah senjata-senjata
mereka. Dengan demikian maka perkemahan itu diliputi oleh
suasana yang tegang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 95
Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan, seolah-olah
tersembul dari hutan di sekitar perkemahan itu, anak-anak
Banyubiru menjadi semakin siaga. Penjagaan mereka menjadi
semakin rapat. Apalagi penjagaan atas pondok Rara Wilis dan
Widuri. Sebab mereka mengira bahwa kedua gadis itu sangat
memerlukan penjagaan. Kecuali Mantingan, Wirasaba dan Jaladri,
yang kecuali sudah mendengar berita perkelahian antara Widuri
dan orang yang mengandung rahasia itu, sebenarnya dari gerak-
gerik kedua gadis itu mereka sudah menduga bahwa mereka
bukanlah gadis seperti kebanyakan gadis-gadis yang lain.
Sementara itu orang-orang Banyubiru telah dikejutkan oleh
kedatangan sebuah rombongan kecil orang-orang berkuda. Dua
orang yang di depan mempunyai perawakan yang sedang, tegap
dan kuat. Seorang memakai baju hijau gadung, kain lurik hijau
gadung pula. Di atas kuping kanannya terselip sekuntum bunga
melati hutan. Sedang di sebelahnya, yang seorang lagi berbaju
lurik bergaris-garis tebal berwarna coklat dan berkain lurik merah
soga berikat kepala biru gelap.
Dengan wajah tengadah mereka memegangi kendali kuda-
kuda mereka, yang dengan tegap berjalan ke arah pusat kota.
Beberapa orang yang menyaksikan mereka berdua terpaksa
menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka belum pernah
mengenalnya, namun mereka seolah-olah melihat dua ekor burung
rajawali yang dengan megahnya terbang di udara. Sedang bagi
mereka yang pernah mengenalnya lima tahun yang lalu, segera
bergumam di dalam mulutnya, dengan mata terbelalak penuh
keheranan. “Bukankah yang menyelipkan bunga di telinga
kanannya itu pernah tinggal di Banyubiru beberapa tahun yang
lalu, dan bernama Mahesa Jenar…?” Tetapi segera mereka
menjadi semakin heran, ketika mereka kemudian memandang tiga
orang berkuda di belakang sepasang rajawali itu. Dan mereka
segera meneruskan gumam mereka, “Dan bukankah mereka itu Ki
Wanamerta, Penjawi dan Bantaran…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 95
Mula-mula orang-orang Banyubiru itu hanya saling
memandang di antara mereka. Tetapi ketika seorang di antara
mereka tanpa disengaja menyebut nama Mahesa Jenar agak
keras, terdengarlah mereka menjawab bersahutan, “Ya, orang
itulah Mahesa Jenar.”
“Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia datang bersama Bantaran dan
Penjawi, bahkan dengan Ki Wanamerta?” terdengar suara yang
lain.
Tak seorangpun yang menyahut. Malahan mereka tiba-tiba
menjadi bingung. Sebab Bantaran dan Penjawi bagi penduduk
Banyubiru yang tetap tinggal di kampung halaman mereka serta
tidak terlalu banyak mengerti tentang seluk-beluk tanah mereka
sendiri, merupakan tokoh-tokoh yang membingungkan. Kadang-
kadang penduduk Banyubiru itu mengharap-harap kedatangan
mereka, namun kadang-kadang mereka tiba-tiba membencinya
sebagai orang-orang yang selalu membawa bencana. Daerah-
daerah, desa-desa dan pedukuhan-pedukuhan yang disinggahi
oleh Bantaran dan Penjawi dalam saat-saat terakhir ini,
merupakan tanda tidak baik bagi penduduknya. Sebab sesaat
kemudian akan datanglah pasukan-pasukan dari Pamingit dan
Banyubiru sendiri untuk mengadu dan menangkapi beberapa
orang untuk diperiksa.
Sekarang penduduk Banyubiru itu melihat Bantaran dan
Penjawi datang bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Seorang
yang dapat disejajarkan dengan pepunden mereka, Ki Ageng
Gajah Sora. Malahan bagi orang-orang Banyubiru itu tampaklah
Mahesa Jenar seperti Ki Ageng Gajah Sora itu sendiri, yang datang
kembali ke kampung halamannya.
Tetapi sedemikian jauh, mereka hanya dapat saling berbisik di
antara mereka sendiri. Tak seorangpun di antara mereka yang
berani maju ke depan dan bertanya tentang teka-teki yang
berputar-putar didalam benaknya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 95
Rombongan Mahesa Jenar itu pun merasakan, bahwa setiap
orang yang melihat kedatangan mereka menjadi heran dan
bertanya-tanya di antara mereka. Tetapi rombongan itu pun tetap
berdiam diri seperti samasekali tak ada orang yang melihat
mereka.
Demikianlah rombongan itu dengan tenangnya terus berjalan,
lewat jalan-jalan sempit di antara daerah-daerah persawahan,
menembus jalan-jalan desa dan melintasi jembatan-jembatan
bambu di atas parit-parit yang mengalirkan airnya yang jernih.
“Kakang Kanigara….” tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar
berbisik. “Adakah Kakang melihat sesuatu yang tidak sewajarnya?”
“Ya” jawab Kanigara. “Tetapi itu sudah agak jauh lewat.”
Mahesa Jenar mengangguk. Katanya, “Kalau demikian apa
yang Kakang lihat, aku lihat pula.”
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara masih sibuk menduga-duga orang aneh yang
dijumpainya sesaat sebelum mereka memasuki tlatah Banyubiru.
Seorang berkuda, yang seolah-olah membayangi perjalanan
mereka dari punggung-punggung perbukitan. Tetapi ketika
rombongan itu memasuki daerah Banyubiru, segera orang itu
lenyap di seberang bukit.
Tiba-tiba Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta segenap orang
dalam rombongan itu terkejut, ketika mereka mendengar derap
beberapa ekor kuda yang berlari kencang ke arah mereka. Dan
belum lagi mereka mengucapkan kata-kata, dari balik tikungan di
depan mereka muncullah sebuah rombongan orang berkuda pula.
Lebih dari limabelas orang.
Mahesa Jenar mengendorkan lari kudanya, diikuti oleh kawan-
kawannya. Mereka masih belum mengetahui, apakah tujuan
orang-orang berkuda itu. Maka ketika rombongan itu menjadi
semakin dekat, dan tidak mengurangi kecepatan mereka, Mahesa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 95
Jenar beserta keempat kawannya segera menepi. Agaknya orang-
orang berkuda itu tergesa-gesa. Demikianlah rombongan itu
dengan cepatnya berlari melintas. Beberapa orang menoleh
kepada Mahesa Jenar, tetapi beberapa orang yang lain agaknya
tidak peduli. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara segera menutup hidung
mereka, supaya tidak dimasuki debu yang berhambur-hamburan
di belakang rombongan itu.
Tetapi ketika rombongan
itu telah melampauinya, tiba-
tiba terdengarlah sebuah aba-
aba dari antara mereka. Dan
dengan tiba-tiba pula rom-
bongan itu berhenti bersama-
sama, sehingga kuda-kuda
mereka meringkik dan berpu-
tar-putar. Kemudian beberapa
orang di antara mereka tiba-
tiba memutar kuda mereka,
dan berlari ke arah rombongan
Mahesa Jenar.
Ketika Mahesa Jenar me-
mandang Kanigara, Kanigara
pun sedang memandangnya.
Dengan kedipan mata, Kani-
gara memberi isyarat kepada Mahesa Jenar dan ketiga kawannya
yang lain. Sebab bagaimanapun juga, sesuatu yang tak diharapkan
dapat terjadi karena orang-orang itu masih belum mereka kenal
samasekali.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera mempersiapkan diri.
Sebagi utusan yang bermaksud menempuh penyelesaian yang
baik, mereka tak bersenjata, kecuali di punggung mereka terselip
sebilah keris sebagai suatu kelengkapan yang lazim. Karena itu,
ketika mereka melihat keadaan yang tidak menentu, segera
mereka memutar keris mereka di lambung kiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 95
Beberapa orang itu menjadi semakin dekat, dan ternyata yang
lainpun mengikuti mereka pula. Dan semakin dekat mereka itu,
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiap pula
untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Seorang yang bertubuh besar berkulit hitam mengkilap dan
bermata tajam seperti mata serigala mengendarai kudanya paling
depan dan langsung mengarah kepada Kebo Kanigara. Melihat
orang itu datang kepadanya, Kanigara pun segera menyambutnya.
Mula-mula orang itu menghentikan kudanya beberapa langkah dari
Kebo Kanigara, kemudian memandangnya dengan tajam. Baru
beberapa saat kemudian ia bertanya, “Ki Sanak, siapakah kalian
ini, dan apakah keperluan kalian?”
Kanigara tidak segera menjawab. Tetapi dengan matanya ia
minta pertimbangan kepada Mahesa Jenar yang sedikit banyak
sudah mengenal daerah Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar
menggeleng kecil, tahulah Kebo kanigara, bahwa orang-orang itu
bukanlah orang-orang Banyubiru. Karena itu segera ia menjawab,
“Apakah Ki Sanak bukan orang Banyubiru?”
Orang itu mengerenyitkan keningnya. Ia tidak senang
pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. Karena itu
dengan kasar ia mengulangi pertanyaannya, “Aku bertanya
kepadamu, siapakah kalian ini?”
Kebo Kanigara tidak ingin bertengkar. Karena itu ia menjawab,
“Kalau kalian belum mengenal kami, pastilah kalian bukan orang
Banyubiru, sebab kami adalah penduduk daerah ini.”
Orang itu memandang Kebo Kanigara dengan penuh
kecurigaan. Kemudian dipandanginya Mahesa Jenar, Wanamerta,
Bantaran dan Penjawi berganti-ganti. “Benarkah kalian penduduk
Banyubiru…?” desaknya.
Wanamerta mendesak maju. Kemudian ia menyahut, “Sejak
lahir aku tinggal di daerah ini. Kau curiga…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 95
Tiba-tiba orang itu tertawa. Jawabnya, “Tidak kakek tua. Aku
percaya kalau kau orang Banyubiru. Sebab bentuk kalian
mengingatkan aku kepada bentuk-bentuk batu padas yang
berbongkah-bongkah keras dan kasar.”
Wanamerta tersinggung oleh jawaban itu. Tetapi ia didahului
oleh Kebo Kanigara yang mengenal gelagat. Katanya, “Sesudah
kalian tahu bahwa kami adalah orang-orang Banyubiru, maka kami
pun ingin mengetahui, siapakah kalian dan dari manakah kalian?”
Sekali lagi orang itu tertawa. Jawabnya, “Aku baru saja
menemui kepala daerah perdikan kalian. Tetapi orang itu ternyata
keras kepala.”
“Kau benar,” sahut Mahesa Jenar. “Orang itu memang keras
kepala. Tetapi apakah keperluan kalian?”
Tiba-tiba orang itu terdiam. Lalu ia mendorong kudanya
beberapa tapak maju mendekati Kebo Kanigara. Dengan perlahan-
lahan hampir berbisik ia bertanya, “Ki Sanak, aku lihat kalian
bukanlah orang kebanyakan. Karena itu kalian pasti sudah tahu
bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di Banyubiru.
Nah katakan kepadaku, siapakah yang menyimpan kedua keris
itu.”
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta ketiga kawannya
terkejut mendengar pertanyaan itu. Untunglah bahwa mereka
segera dapat menguasai diri, sehingga perasaan itu tidak terlalu
membekas di wajah mereka. Tetapi pertanyaan itu merupakan
penegasan dari berita-berita yang mengatakan bahwa di
Banyubiru tersebar desas-desus, yang menyatakan Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di tempat itu.
Karena itu tiba-tiba Kanigara ingin mengetahui dengan pasti,
siapakah orang-orang itu. Demikian juga agaknya Mahesa Jenar
dan bahkan ketiga kawan-kawannya. Maka bertanyalah kemudian
Kebo Kanigara, “Dari manakah kalian mendengar berita tentang
kedua keris itu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 95
Orang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa.
“Apakah untungmu mengetahui dari mana aku mendengarnya?”
Kanigara menyahut, “Sayang, kau mimpi di siang hari. Tak ada
keris di tanah perdikan Banyubiru, kecuali kerisku sendiri serta
keris kawan-kawanku ini.”
“Jangan begitu, Ki Sanak,” potong orang itu. “Kalau kau mau
menunjukkan kepadaku, kau akan menerima hadiah cukup.”
“Apakah hadiah itu?” sela Mahesa Jenar.
“Apa saja yang kau kehendaki. Uang? Emas atau permata?”
jawab orang itu.
“Sayang kami tidak mengetahuinya,” desis Mahesa Jenar.
Pandangan orang bermata serigala itu menjadi semakin tajam.
Sekali dua kali ia menengok kepada kawan-kawannya yang berada
di belakangnya, seolah-olah ia ingin mengetahui kesiapsiagaan
mereka.
“Memang orang-orang Banyubiru keras kepala,” gumam orang
itu. “Seperti kepala daerah perdikannya.”
“Ki Sanak….” kata Kebo Kanigara kemudian, “Yang paling
mengetahui segala sesuatu di Banyubiru ini adalah Ki Ageng
Lembu Sora. Kalau kau tadi telah menemuinya, maka kenapa tidak
kau tanyakan kepadanya? Atau barangkali kalau kau sudah
menanyakannya dan dijawabnya kedua keris itu tidak berada di
Banyubiru, maka jawaban itu pastilah benar.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya semakin
menunjukkan ketidakpuasannya. Meskipun demikian ia masih
mencoba untuk menyabarkan diri dan berkata ditahan-tahan.
“Kalian tinggal memilih. Menunjukkan di mana keris itu berada dan
menerima hadiah atau tidak mau menjawab, tetapi kalian binasa.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 95
Kanigara masih tetap berkata dengan sabarnya, “Ki Sanak.
Apakah yang akan kami katakan tentang kedua keris itu, kalau
kami benar-benar tidak mengetahuinya?”
Orang berkulit hitam itu sekali lagi menengok kepada kawan-
kawannya dan seperti orang minta pertimbangan ia berkata,
“Apakah yang sebaiknya kami lakukan atas orang-orang ini?”
“Terserah Ki Lurah,” jawab salah seorang di antara mereka.
“Hem….” ia menarik nafas. “Ki sanak, kami merasa perlu untuk
memberi pelajaran kepada kalian, sekaligus memberi peringatan
kepada Ki Ageng Lembu Sora. Kalau ia akan tetap berkeras kepala,
nasib rakyatnya akan tidak menyenangkan. Sekali lagi aku
memberi kesempatan kepada kalian untuk menunjukkan kepada
kami di mana kedua keris itu disimpan. Menilik sikap, pakaian dan
keadaan kalian, kalian adalah orang-orang penting di Banyubiru
ini. Tetapi kalau kalian tetap tidak mau bicara, maka kalian akan
menjadi orang pertama yang akan kami jadikan korban. Kalian
akan kami bunuh dengan cara yang mengerikan. Mata kalian akan
kami copot dari batok kepala kalian. Dada kalian akan kami silang
dengan pisau dan isi perut kalian akan kami tumpahkan keluar.
Nah, bukankah itu mengerikan? Setiap hari akan kami lakukan hal
yang serupa sampai kepala daerahmu atau seseorang mau
mengatakan kepada kami, baik karena ketakutan maupun karena
ia ingin hadiah, di mana kedua keris itu berada.”
Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Apalagi
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sebagai orang-orang Banyubiru
yang sebenarnya.
Penjawi, yang paling muda di antara mereka, adalah orang
yang berdarah paling panas. Ia segera mendesak maju.
Sebenarnya ia dapat membiarkan saja hal itu berlaku di Banyubiru.
Sebab itu adalah tanggungjawab Lembu Sora pada saat ini.
Sedang mereka sendiri pada saat itu agaknya mungkin sekali
untuk menyelamatkan diri. Tetapi sebagai seorang yang berangan-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 95
angan masa depan yang gemilang bagi rakyat Banyubiru, ia tidak
dapat berpangku tangan. Terbayanglah di dalam otak Penjawi,
masa yang mengerikan akan berlangsung di Banyubiru. Masa duka
yang bersusun-susun. Beban yang berat, serta usaha-usaha
penyingkiran yang dilakukan oleh Lembu Sora atas orang-orang
yang setia kepada tanah tercinta, dengan berbagai macam cara.
Bahkan kalau perlu dengan mengadakan pembunuhan. Akan
ditambah lagi dengan pameran pembunuhan oleh pihak lain. Yang
dapat dipastikan, orang-orang itu datang dari golongan hitam.
Maka berkatalah Penjawi dengan lantangnya, “Ki Sanak.
Dengan semua keteranganmu dan caramu menakut-nakuti kami,
kami dapat memastikan bahwa kalian datang dari daerah yang
kelam. Dari dunia yang penuh dengan noda-noda dan dosa-dosa.
Kalian adalah orang-orang yang kami namakan golongan hitam.
Sebab hati kalian adalah hati yang berwarna hitam. Sekarang
kalian mencoba menakut-nakuti kami, dan rakyat kami. Tetapi
kami samasekali tidak takut. Sebab kami berdiri diatas kebenaran.
Meskipun demikian kami ingin menjelaskan kepadamu sekali lagi,
bahwa sebenarnyalah keris-keris itu tidak ada pada kami. Tidak
ada di Banyubiru. Karena itulah, baik kami maupun Lembu Sora
tak akan dapat mengatakan di mana keris itu disimpan.”
Kata-kata Penjawi terpotong oleh suara tertawa yang
mengerikan. Orang yang bermata serigala itu tiba-tiba menjadi
buas. Matanya semakin lama semakin liar dan berwarna merah.
Dengan marahnya ia berteriak, “Jangan mengigau. Aku tidak
peduli apakah kau menganggap aku orang-orang hitam, merah,
hijau atau apa saja. Tetapi kalau kau tetap berkeras kepala, kami
akan melakukan rencana kami, dan mayat kalian akan kami
sebarkan ke segenap sudut Banyubiru.”
Juga Penjawi menjadi marah. Wajahnya menjadi tegang dan
berwarna darah. Bantaran dan Wanamerta kemudian segera
mempersiapkan diri. Namun dalam ketegangan itu masih
terdengar suara Kanigara tenang, “Ki Sanak. Apa yang akan kalian
lakukan kepada kami, adalah tanggungjawab kami dan kewajiban
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 95
kami untuk melindungi diri. Tetapi agaknya kalian samasekali
belum mengenal kami. Orang-orang Banyubiru yang berjiwa
jantan. Nyawa kami telah lama kami letakkan di ujung pengabdian
kami. Karena itu sebaiknya kalian mempertimbangkannya sekali
lagi.”
Kembali terdengar orang yang berkulit hitam dan bermata
serigala itu tertawa keras-keras seperti hampir gila. Dengan
buasnya ia menjawab, “Apakah arti kejantanan orang Banyubiru
bagi kami. Selama darah kalian masih merah, serta kalian masih
belum dapat melenyapkan diri dalam satu kerdipan mata, maka
kalian adalah korban-korban kami yang menyenangkan.
Ketahuilah, bahwa kami datang dari Nusa Kambangan mengemban
tugas dengan kekuasaan penuh.”
Meskipun orang-orang Banyubiru itu sudah menduga
sebelumnya, bahwa gerombolan itu adalah gerombolan hitam,
namun hati mereka tergetar pula. Bahkan kemudian terdengar
Mahesa Jenar menyahut, “Apakah kalian anak buah Ular Laut?”
“Nah….” sahut orang itu. “Kau pasti pernah mendengar
kebesaran namanya. Dengan tangannya ia akan dapat menyapu
bersih segenap isi Banyubiru.
“Hem,” gumam Mahesa Jenar. “Agaknya pengetahuanmu
terlalu sempit. Kau belum tahu betapa dahsyatnya tangan Ki
Ageng Lembu Sora. Apakah artinya Jaka Soka baginya. Barangkali
kau juga belum mendengar tentang putranya yang bernama
Sawung Sariti.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
menjawab dengan kasarnya, “Omong kosong semuanya.
Andaikata kau berkata benar, maka Kyai Nagapasa akan dapat
menyelesaikan dengan sangat mudahnya.”
“Kyai Nagapasa…?” ulang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
hampir bersamaan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 95
Orang itu tertawa kembali. Katanya, “Kau menjadi pucat
seperti mayat mendengar nama itu.”
“Bagaimana aku menjadi pucat mendengar nama yang tidak
berarti itu. Bahkan mendengar pun aku belum pernah,” jawab
Mahesa Jenar.
“Itu pertanda kepicikan pendengaranmu.” Orang itu
menjelaskan dengan bangga. “Kyai Nagapasa adalah nama ilmu
pamungkas perguruan Nusa Kambangan. Dengan nama itu pula
kami sebut orang yang memiliki dan mengembangkan. Ia adalah
guru Jaka Soka.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya benar-
benar akan terjadi peristiwa-peristiwa yang menggemparkan. Kini
yang berhadapan bukan saja tokoh-tokoh muda dari kalangan
hitam, namun agaknya tokoh-tokoh tua, guru-guru merekalah
yang mengambil alih persoalan. Dalam sepintas, membayanglah di
dalam angan-angan Mahesa Jenar akan nama-nama Pasingsingan,
Umbaran, Sima Rodra dari Lodaya, Bugel Kaliki dari Lembah
Gunung Cerme, Sura Sarunggi yang telah kehilangan kedua
muridnya dari Rawa Pening, dan sekarang terdengar lagi sebuah
nama Kyai Nagapasa. Namun disamping itu ia menjadi puas karena
pancingannya berhasil untuk mengetahui asal orang-orang itu.
Melihat Mahesa Jenar terdiam, orang itu mengangkat dadanya.
Ia merasa bahwa orang-orang Banyubiru itu menjadi ketakutan.
Karena itu sekali lagi ia menggertak, “Nah, adakah kalian mau
berkata tentang kedua keris itu, setelah kalian mendengar nama-
nama yang berdiri di belakang kami?”
Orang yang berwajah buas, bermata serigala itu menjadi
terkejut sekali ketika ia mendengar Mahesa Jenar menjawab,
“Sampaikan salamku kepada Jaka Soka, apabila kau sempat
pulang kembali.”
Dengan mata terbelalak orang itu memandang Mahesa Jenar
seperti ingin menelannya bulat-bulat. Sikapnya yang seolah-olah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 95
menganggap Jaka Soka tidak lebih dari dirinya, menyebabkan
orang bermata serigala itu marah bukan kepalang. Ia menganggap
Mahesa Jenar orang yang tak tahu diri. Dengan membentak-
bentak ia berkata, “Ayo, mintalah maaf atas kelancangan mulutmu
itu. Kalau tidak, kau akan mati dengan menderita.”
“Penderitaan bagi laki-laki bukanlah hal yang sangat
menakutkan,” jawab Mahesa Jenar. Jawaban itu kembali sangat
mengagetkan anak buah Jaka Soka, sehingga dengan demikian ia
sudah tidak merasa perlu untuk berbicara lebih banyak. Dengan
lantangnya ia berkata kepada anak buahnya, “Kepung kelinci-
kelinci yang tak tahu diri ini.”
Agaknya orang-orang Nusa Kambangan itu telah benar-benar
terlatih dan berpengalaman. Sebab demikian mereka mendengar
aba itu, dalam waktu sekejap mereka telah bergerak dengan
cepatnya membentuk sebuah gelang yang melingkari Mahesa
Jenar beserta ke tempat kawan-kawannya.
Bersamaan dengan itu, ternyata Wanamerta, Bantaran dan
Penjawipun telah siap pula dengan keris ditangan kanan dan
kendali kuda ditangan kiri. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
tampak masih tenang-tenang saja. Untuk beberapa saat mereka
saling berpandangan seolah-olah mereka sedang
mempertimbangan bersama apakah yang akan mereka lakukan.
Tiba-tiba tampaklah Mahesa Jenar tersenyum. Dengan sangat
tenangnya, seolah-olah tidak terjadi apapun pada saat itu ia
berkata kepada orang yang berkulit hitam dan bermata serigala
itu. “Ki Sanak, apakah yang akan kalian lakukan?”
Melihat ketenangan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang
itu menjadi heran. Malahan kemudian ia merasakan betapa
besarnya perbawa kedua orang itu. Namun demikian, untuk
menutupi kekerdilan diri, ia berteriak lantang, :Aku akan
melaksanakan kata-kataku. Mencincang kalian dan melemparkan
ke segenap sudut Banyu Biru.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 95
Mahesa Jenar tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, ”Kau salah
hitung. Kau akan melakukan pekerjaan itu di atas kampung
halamanku. Di sekitar sanak kadangku. Betapa tangguhnya kalian
semuanya ini. Namun apabila seorang di antara para petani di
sawah atau anak-anak yang sedang bermain melihat perkelahian
ini, maka dengan memukul kentongan mereka akan mengerahkan
segenap penduduk Banyubiru yang berjumlah ribuan orang, untuk
mengepung kalian, dan justru kalianlah yang akan ditangkap oleh
mereka. Meskipun demikian kalian tak usah cemas, bahwa kalian
akan mengalami siksaan, apalagi dicincang. Sebab kami,
penduduk Banyubiru mendasarkan watak kami kepada ketaatan.
Kami mengagungkan nama Tuhan Yang Maha Esa, yang akan kami
ujudkan dalam pengalaman kami dalam hidup sehari-hari.”
Perkataan Mahesa Jenar itu ternyata berkesan di hati orang
bermata serigala itu. Tampaklah wajahnya yang buas itu menjadi
tegang. Alisnya seolah-olah bertemu satu sama lain di atas
hidungnya yang besar. Dengan liarnya ia memandang jauh-jauh
ke sawah di sekitarnya, ke desa yang terdekat, dan ke segenap
sudut dan persimpangan jalan.
Pematang-pematang di sawah, pagar-pagar batu yang
mengelilingi desa-desa terdekat, gunduk-gunduk padas di tepi
jalan, tiba-tiba di mata orang itu berubah menjadi orang-orang
yang dengan cermatnya mengawasi segala gerak-geriknya.
Apalagi ketika jauh-jauh dilihatnya beberapa orang, ya… orang
yang sebenarnya sedang menggarap sawahnya. Hati orang itu
tiba-tiba menjadi kecut. Apalagi kemudian Mahesa Jenar berkata,
“Ki Sanak… jangan ganggu kami di tanah sendiri. Kalian hanya
dapat datang kemari dalam saat-saat tertentu dan dalam jumlah
tertentu. Tetapi kami berada di tempat ini di segala waktu, dan
jumlah kami tak akan terhitung olehmuu.”
Ternyata perkataan Mahesa Jenar itu merupakan sebuah
pukulan terakhir yang benar-benar tak terlawan oleh orang
bermata serigala itu. Apalagi ketika ia melihat kawan-kawannya
menjadi gelisah. Gelisah oleh kata-kata Mahesa Jenar itu. Maka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 95
tiba-tiba terdengarlah ia berteriak nyaring dan bersamaan dengan
itu, ia menarik kendali kudanya untuk kemudian lari secepat-
cepatnya meninggalkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang menjadi terheran-heran
melihat peristiwa itu. Melihat orang berwajah serigala itu dengan
pucat berlari sejadi-jadinya diikuti oleh seluruh anak buahnya.
Meskipun demikian, untuk kepuasan perasaan mereka, orang-
orang Nusa Kambangan itu masih menggemakan ancaman,
“Awaslah kalian orang-orang Banyubiru. Aku akan datang pada
waktunya dengan seluruh orang-orang kami.” Gema ancaman itu
memukul lereng-lereng bukit kecil yang banyak berserakan di
sekitar daerah itu dan bergulung-gulung berulang beberapa kali.
Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya tersenyum saja.
Beberapa saat kemudian terdengar suara Wanamerta
bergumam, “Angger, kenapa orang-orang itu dibiarkan saja
pergi?”.
Mahesa Jenar menoleh. Dengan tenang ia menjawab, “Kami
berada di daerah yang tak kami kenal. Kami tidak yakin bahwa
apabila kami bertempur melawan orang-orang itu, Lembu Sora
akan membenarkan sikap kami. Kalau kejadian ini dianggapnya
akan dapat membahayakan ketenteraman Banyubiru, maka ia
dapat mempergunakan persoalan ini sebagai alasan untuk
melakukan hal-hal yang tidak kami inginkan. Karena itu sebaiknya
kami menghindarkan diri dari segala peristiwa yang dapat
merugikan perjalanan kami, meskipun kami nyata-nyata tidak
memulainya.”
Wanamerta mengangguk-anggukkan kepala penuh
pengertian. Demikian juga Bantaran dan Penjawi. Perlahan-lahan
mereka menyarungkan keris-keris mereka kembali.
Kemudian rombongan itu meneruskan perjalanannya
perlahan-lahan. Tetapi dengan demikian mereka jadi tertunda
untuk beberapa waktu. Namun demikian sesuatu yang penting
telah mereka alami. Yaitu, mereka tidak lagi dapat mengabaikan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 95
desas-desus tentang beradanya kedua pusaka Demak di Tanah
Perdikan Banyubiru.
Semakin dekat dengan pusat kota, semakin rapatlah penduduk
tanah perdikan itu. Dan dengan demikian semakin banyak pulalah
orang-orang yang melihat kedatangan Mahesa Jenar, didampingi
oleh seorang yang belum mereka kenal, dan di belakang mereka
berdua, tampaklah Bantaran, Penjawi dan tetua tanah perdikan
itu, Wanamerta.
Beberapa orang menjadi terharu karenanya. Dengan dada
sesak, mereka melambaikan tangan mereka. Namun di antara
mereka ada pula yang mengumpat di dalam hati, dan yang
kemudian membenahi pakaian dan kekayaan mereka sambil
menggerutu, “Kalau setan-setan itu lewat, akan celakalah daerah
kami ini. Kenapa perampok-perampok itu tidak mati disambar petir
atau tertangkap pada saat mereka merampok…?”
Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada seorangpun.
Meskipun kepada anak atau adiknya. Sebab ia tahu benar, bahwa
pemuda-pemuda Banyubiru memiliki kesetiaan yang tinggi
terhadap tanah mereka, serta sedang berjuang memulihkan hak
tanah itu kepada tempat yang sewajarnya. Laki-laki maupun
wanita.
Demikianlah ketika mereka muncul di alun-alun Banyubiru,
tampaklah dari rumah kepala daerah perdikan itu, beberapa orang
berdiri berjajar di depan regol halaman. Mahesa Jenar tersenyum
melihat sambutan itu. Agaknya seseorang telah melaporkan
kedatangannya, sehingga Ki Ageng Lembu Sora dapat menyiapkan
diri, menyambut kedatangan mereka, meskipun ujud sambutan itu
sendiri masih belum diketahuinya. Karena itulah, meskipun wajah-
wajah mereka mengulum senyum segar, namun mereka tidak
meninggalkan kewaspadaan sepenuh-penuhnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 95
III
Semakin dekat mereka dengan rumah kepala daerah itu,
senyum Mahesa Jenar menjadi semakin suram. Sebab ia menjadi
semakin jelas bahwa di belakang orang-orang yang berdiri di regol
halaman, tampaklah ujung-ujung tombak yang berjajar-jajar
rapat. Dan ketika Mahesa Jenar melayangkan pandangannya ke
sudut-sudut pagar halaman di ujung alun-alun sebelah-
menyebelah, tahulah ia bahwa halaman rumah kepala daerah
perdikan Banyubiru itu dijaga rapat sekali. Beberapa orang siap
dengan senjata di tangan mereka.
Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara. Agaknya orang
itupun sedang memperhatikan keadaan dengan seksama. Lebih
seksama lagi daripada Mahesa Jenar. Sebab kecuali ia melihat
ujung-ujung senjata yang gemerlapan karena cahaya matahari,
juga karena ia samasekali belum pernah datang ke tempat itu
sebelumnya. Karena itu sebagai seorang yang sudah cukup makan
garam, maka untuk menghadapi setiap kemungkinan, ia perlu
mengetahui keadaan di mana ia sedang berada.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun melihat suasana itu.
Hati mereka menjadi berdebar-debar. Mereka adalah orang-orang
yang termasuk dalam catatan Lembu Sora untuk dilenyapkan.
Bahkan mereka adalah orang-orang yang pertama-tama. Dalam
pada itu, mereka menjadi ragu. Apakah kedatangan mereka itu
tidak hanya sekadar mengantarkan nyawa mereka. Dan bukankah
mereka sudah mengusulkan kepada Mahesa Jenar, bahwa cara
yang demikian itu sangatlah berbahaya.
Tetapi mereka sudah berada di depan hidung Lembu Sora.
Apapun yang akan terjadi harus mereka hadapi sebagai seorang
jantan. Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara yang masih tetap tenang, meskipun wajah-wajah mereka
menjadi bersungguh-sungguh pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 95
Rombongan itu semakin lama menjadi semakin dekat.
Beberapa orang yang berdiri di regol halaman itupun telah mulai
bergerak maju untuk menyambutnya. Dan yang paling depan dari
mereka adalah Lembu Sora sendiri dan Sawung Sariti.
Ketika mereka sudah lebih dekat lagi, segera Mahesa Jenar
menghentikan kudanya dan langsung meloncat turun diikuti oleh
kawan-kawannya. Beberapa orang anak buah Lembu Sora segera
berlari-larian menerima kuda-kuda mereka.
Berbeda dengan pada saat Mahesa Jenar berjumpa untuk
pertama kalinya dengan Lembu Sora, kali ini kepala daerah
perdikan Pamingit itu menyambutnya dengan tertawa-tawa,
meskipun sikapnya yang sombong itu masih saja memancar dari
wajahnya yang tengadah.
“Marilah, Adi Mahesa Jenar….” sambutnya. “Aku merasa
bergembira sekali mendapat kunjunganmu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab,
“Sebagai seorang yang pernah menerima kebaikan hati dari
penduduk Banyubiru, sekali-kali aku ingin menengoknya kembali.”
“Bagus-bagus….” sahut Lembu Sora. “Marilah kami persilahkan
kalian masuk dan naik ke pendapa yang memang telah kami
persiapkan untuk menyambut kedatangan kalian.”
Maka berjalanlah mereka beriring-iring naik ke pendapa yang
sudah direntangi tikar pandan yang putih bersih. Pendapa yang
lima tahun lalu pernah dikenal pula oleh Mahesa Jenar sebagai
tempat untuk duduk-duduk menghirup hawa sejuk yang mengalir
di sepanjang lereng-lereng pegunungan Telamaya. Sebagai
tempat untuk bermain-main Arya Salaka bersama-sama dengan
ayahnya, Ki Ageng Gajah Sora. Juga sebagai tempat untuk
memulai memberikan dasar-dasar ilmu tata berkelahi dan dasar-
dasar tempaan jiwa oleh Gajah Sora kepada putra tunggalnya,
Arya Salaka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 95
Sekarang ia kembali berada di pendapa itu sebagai tamu.
Tamu yang membawa tugas berat dari anak Ki Ageng Gajah Sora
untuk menyampaikan permintaan yang amat penting. Yaitu
haknya kembali atas tanah perdikan ini.
Setelah mereka melingkar di atas tikar pandan itu, mulailah
Lembu Sora mengucapkan selamat atas kedatangan tamu-
tamunya itu. “Adi Mahesa Jenar, kami keluarga Banyubiru dan
Pamingit mengucapkan selamat datang kepada Adi bersama-sama
dengan rombongan, kepada kawan Adi yang belum aku kenal, dan
kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi.”
Mahesa Jenar mengangguk. Jawabnya, “Terimakasih Kakang.
Mudah-mudahan segenap keluarga Pamingit dan keluarga
Banyubiru selamat dan sejahtera. Kecuali itu perkenankanlah aku
memperkenalkan kawanku ini. Ia adalah seorang Putut dari Karang
Tumaritis, bernama Karang Jati.”
Lembu Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pernah
mendengar nama tempat itu. Karang Tumaritis.
Sebelum Lembu Sora ingat nama Karang Tumaritis, tiba-tiba
terdengar Sawung Sariti menyela, “Aku sudah pernah datang ke
tempat itu. Karang Tumaritis tempat tinggal Panembahan Ismaya.
Orang yang mengaku dirinya waskita tetapi tak sesuatu pun yang
diketahuinya.”
“Ya, kepada Panembahan itulah aku menghambakan diri,” sela
Kebo Kanigara.
Sawung Sariti memandang Kebo Kanigara dengan sikapnya
yang khusus. Seperti juga ayahnya, ia mewarisi sikap sombong.
Tetapi tiba-tiba sikapnya segera berubah. Ia melihat Kebo
Kanigara justru tidak di Karang Tumaritis, tetapi di Gedangan
ketika ia pada saat itu membawa laskarnya bersama-sama dengan
Sima Rodra, Bugel Kaliki dan laskar sepasang Uling dari Rawa
Pening. Tetapi untuk sementara ia tidak berkata apa-apa dan
berusaha untuk menghilangkan kesan perasaannya itu dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 95
wajahnya. Sebab mau tidak mau, dan meskipun ia tidak sempat
menyaksikan Kebo Kanigara bertempur pada saat itu, karena ia
sendiri segera terlibat dalam perkelahian dengan Arya Salaka,
namun bahwa Bugel Kaliki, Sima Rodra tua, dan Jaka Soka dapat
diusir dan malahan Janda Sima Rodra terbunuh pula, maka mau
tidak mau kekuatan orang itu harus diperhitungkan, disamping
kesaktian Mahesa Jenar yang mengagumkan. Disusul kemudian
berita kematian sepasang Uling dari Rawa Pening.
Kemudian, setelah mereka tenang sejenak, kembali terdengar
Lembu Sora berkata kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi,
“Paman Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, sudah lama rakyat
Banyubiru merindukan kalian. Kemanakah kalian? Kemanakah
kalian pergi selama ini? Dan apakah keperluan kalian? Sebenarnya
tenaga kalian sangat kami perlukan di sini untuk membantuku
selama ini.”
Sambil mengangguk-angguk Wanamerta menjawab,
“Anakmas Lembu Sora, aku semakin lama semakin menjadi tua.
Dan apakah arti hidupku ini bagi Banyubiru, kalau tidak dapat
berbuat sesuatu untuknya. Karena itu aku mencoba untuk
menemukan putra Anakmas Gajah Sora, Arya Salaka.”
Warna merah membersit di wajah Ki Ageng Lembu Sora.
Namun segera ia berusaha untuk menenteramkan hatinya. Bahkan
kemudian ia bertanya seolah-olah ia sendiri mengharap kehadiran
anak itu. “Lalu, adakah usaha Paman Wanamerta berhasil…?”
“Pangestu Angger, aku berhasil,” jawabnya.
Lembu Sora menarik nafas panjang untuk meredakan debar
jantungnya. Kemudian ia berkata pula, “Aku tidak dapat mengerti,
bagaimana Paman Wanamerta dapat bertemu dengan anak itu.”
“Mudah saja, Anakmas,” jawab Wanamerta, “Aku pergi ke
tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh Cucu Sawung Sariti.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 95
Sawung Sariti menjadi gelisah. Namun ia adalah anak yang
cerdik. Secerdik ayahnya. Maka dengan berpura-pura terkejut ia
menjawab, “Adakah Eyang Wanamerta pernah pergi ke tempat-
tempat yang pernah aku kunjungi?”
“Benar Cucu Sawung Sariti,” jawab Wanamerta.
“Dan menemukan Kakang Arya Salaka…?”
Sambil mengangguk puas, Wanamerta menjawab, “Benar
Cucu.”
Tiba-tiba Sawung Sariti menjawab sambil tertawa keras-keras.
Katanya di sela-sela derai tawanya, “Sayang, Eyang…. Seperti aku
juga mula-mula terjebak oleh suatu kecurangan yang hampir
sempurna. Seorang anak muda yang sebaya dengan aku mengaku
bernama Arya Salaka.”
Darah Wanamerta tersirat mendengar jawaban itu. Juga
Bantaran dan Penjawi. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Wajah mereka segera berubah merah dan jantung mereka
berdentam seperti guruh yang menggelegak di dalam dada
mereka. Bagaimanapun mereka mencoba menahan diri, namun
terasa juga tangan-tangan mereka menjadi gemetar karenanya.
Tetapi sebelum mereka dapat mengatur perasaan mereka,
terdengarlah suara Lembu Sora, “Adi Mahesa Jenar, aku memang
pernah mendengar tentang seorang anak muda menamakan
dirinya Arya Salaka. Tetapi aku belum pernah melihatnya. Sebagai
seorang paman, aku pasti akan mengenalnya kembali meskipun
sudah sejak kurang lebih lima tahun yang lalu tak melihatnya. Aku
sejak kanak-kanak tidak akan melupakannya. Namun perlu Adi
ketahui bahwa seorang anak muda yang bernama Arya Salaka itu
pernah diketemukan mati terbunuh. Ia kehilangan pusakanya Kyai
Bancak dan sebuah peniti yang barangkali dari emas, serta
timangnya bertetes intan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 95
Sekali lagi sebuah petir seolah-olah meledak di dalam pendapa
itu. Bahkan jauh lebih dahsyat dari cerita Sawung Sariti. Penjawi
yang paling tidak dapat menahan diri, dengan tergagap berteriak,
“Bohong, semuanya bohong…!” Lalu suara Penjawi hilang
tersumbat di kerongkongan. Seolah-olah berjejal-jejal berebut
dahulu, sehingga dengan demikian malah tak sekata pun yang
muncul seterusnya.
Mendengar kata-kata Penjawi yang terbata-bata itu, Lembu
Sora tersenyum. Senyum yang sangat menyakitkan hati. Tetapi
kemudian ia berkata dengan ramahnya, “Jangan berprasangka
yang bukan-bukan, Penjawi. Aku samasekali tak bermaksud
membohongi kalian. Tetapi sebaiknya kalian dapat
mempertimbangkan kejadian-kejadian yang pernah berlaku.
Kalian jangan membabi buta atas kesetiaan kalian kepada Arya
Salaka, sebagai ungkapan kesetiaan atas tanah yang sama-sama
kita cintai.”
Penjawi bukanlah orang yang dapat banyak bicara. Karena itu
semakin banyak yang akan diucapkan, semakin sulit kata-kata itu
keluar dari mulutnya. Demikian juga Bantaran yang hanya dapat
mengingsar-ingsar duduknya dan meraba-raba hulu kerisnya.
Wanamerta sendiri menjadi bingung. Ia samasekali tidak menduga
bahwa ia akan mendapat jawaban yang demikian. Sedangkan
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun menjadi gelisah,
mereka masih tetap pada kesadaran yang penuh. Karena itu
Mahesa Jenar masih dapat berkata las-lasan, “Kakang Lembu Sora,
apakah yang Kakang katakan itu merupakan pendapat Kakang
Lembu Sora?”
Lembu Sora mengernyitkan keningnya. Terhadap Mahesa
Jenar ia harus berhati-hati. Karena itu ia mempertimbangkan
setiap kata-katanya dengan baik. Maka setelah berfikir sejenak ia
menjawab. “Adi, aku tidak mengatakan demikian. Tetapi aku wajib
mempertimbangkan setiap keadaan, supaya aku tidak meletakkan
keputusan yang salah”.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 95
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa
kali. Lalu katanya meneruskan, “Baik. Kalau demikian
bagaimanakah kalau berita tentang kematian yang Kakang dengar
itu salah…?”
Lembu Sora berpikir sekali lagi. Baru ia menjawab, “Mudah-
mudahan berita yang aku dengar itu salah. Tetapi bagaimana aku
tahu kalau berita itu tidak benar?”
“Kakang akan tahu bahwa berita itu tidak benar setelah
Kakang nanti dapat bertemu dengan Arya Salaka,” sahut Mahesa
Jenar.
Lembu Sora tersenyum. Katanya, “Bagaimanakah aku dapat
percaya bahwa yang datang kemudian itu Arya Salaka?”
“Ia harus membawa tanda kebesaran Banyubiru,” jawab
Mahesa Jenar. “Dan bukankah Kakang akan dapat mengenal
kembali kemenakan Kakang itu?”
“Permainan yang bagus,” potong Sawung Sariti. “Aku pernah
bertemu dengan Paman Mahesa Jenar di Gedangan bersama-sama
dengan anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, yang
membawa tombak yang dinamainya Kyai Bancak.”
“Diam!” Tiba-tiba terdengar Bantaran membentak. Semua
orang terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan Bantaran sendiri
terkejut. Sawung Sariti samasekali tidak senang mendengar
Bantaran membentaknya. Karena itu ia menjawab tajam,
“Bantaran… kalau kau membentak aku sekali lagi, aku sobek
mulutmu.”
Tetapi kata-kata bentakan itu sudah terucapkan. Sebagai laki-
laki, Bantaran tidak mau dihinakan, meskipun ia tahu bahwa
Sawung Sariti bukanlah lawannya. Tetapi mati atas landasan
kesetiaan kepada Banyubiru adalah pengabdian yang didambanya
selama ini. Dengan demikian tiba-tiba menengadahkan dadanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 95
sambil berkata, “Aku akan berbuat sekali, dua kali, sepuluh kali
lagi, sesuka hatiku.”
Hampir saja Sawung Sariti meloncat, kalau ia tidak ditahan
Lembu Sora, yang agaknya kepalanya masih cukup dingin. Namun
kata-katanya sangat menyakitkan hati. “Sawung Sariti, adakah
cukup berharga bagimu untuk menyentuh tubuhnya?”
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin
memadamkan api yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Namun
dari matanya terpancarlah bara kemarahan yang tak terhingga.
Mahesa Jenar melihat keadaan berkembang ke arah yang tidak
diharapkan, meskipun ia tidak dapat menyalahkan Bantaran,
Wanamerta maupun Penjawi. Ia sebenarnya samasekali tidak
menduga bahwa sampai sedemikian jauh keingkaran Lembu Sora
dan Sawung Sariti terhadap kemenakannya serta sepupunya
sendiri. Terhadap kadang tuwa yang selalu bersikap baik kepada
mereka, Gajah Sora. Mahesa Jenar pernah mendengar cerita
tentang hubungan mereka. Lembu Sura dengan Gajah Sora
sebagai kakak-beradik. Ia pernah mendengar bagaimana Gajah
Sora sebagai saudara tua selalu melindungi dan membimbing
adiknya dalam berbagai soal, dan banyak mengalah dalam
berbagai hal. Namun akibatnya, kemanjaan Lembu Sora itu
menjadi berlebih-lebihan dan menelan Gajah Sora sendiri. Kalau
sekali dua kali, Gajah Sora pernah marah kepadanya, adalah
wajar. Sebagai seorang kakak yang ingin melihat adiknya tidak
berbuat kesalahan-kesalahan.
Mahesa Jenar berusaha untuk tetap memelihara suasana
pertemuan itu agar tidak bertambah kusut, meskipun dadanya
sendiri seperti hendak meledak. Maka berkatalah ia dengan
setenang-tenangnya, seolah-olah tidak terjadi ketegangan
samasekali di dalam pertemuan itu. “Kakang Lembu Sora, baiklah
kita berbicara mengenai beberapa soal yang penting. Biarlah kita
singkirkan masalah-masalah kecil yang tidak berarti.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 95
Lembu Sora menelan ludahnya serta menggigit bibirnya. Ia
kagum juga kepada Mahesa Jenar yang dapat menguasai
perasaannya dengan baik. Tetapi ia sudah bertekad untuk
menganggap bahwa Arya Salaka sudah tidak ada lagi di muka bumi
ini.
Karena itu Lembu Sora menjawab, “Baiklah Adi, aku tidak
pernah menolak berbicara dengan siapa saja, selama pembicaraan
itu akan berguna. Berguna bagi Pamingit, bagi Banyubiru, dan
berguna bagi kita semua.”
“Demikianlah harapan kami,” sahut Mahesa Jenar.
“Kedatangan kami ini pun pada kepentingan Banyubiru. Bukan
kepentingan kami sendiri.”
Lembu Sora tersenyum. Dengan penuh kesadaran akan
kebesaran dirinya, ia menjawab, “Nah, katakanlah apa yang
berguna bagi Banyubiru itu?”
“Aku membawa tugas dari Angger Arya Salaka, untuk
menyampaikan baktinya kepada Kakang Lembu Sora,” sahut
Mahesa Jenar.
Lembu Sora menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan
mengerutkan keningnya ia menjawab, “Adi Mahesa Jenar, jangan
mengada-ada. Kau bagiku adalah seorang yang pantas dihormati
seperti Kakang Gajah Sora dahulu menghormatimu. Namun
demikian hormat kami pun mengenal batas. Sebagai kepala
daerah perdikan yang besar, yang terbentang dari Pamingit sampai
Banyubiru, aku harus bersikap baik, namun tegas dalam garis
kepemimpinan. Karena itu aku minta kepada Adi untuk tidak
menyebut-nyebut nama Arya Salaka, seorang yang telah tidak ada
lagi.”
Mahesa Jenar mengangkat dadanya seolah-olah ada sesuatu
yang menyilang di dalamnya. Dengan sudut matanya ia melihat
betapa wajah Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sudah menjadi
merah padam. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih berkata,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 95
“Bukankah Kakang Lembu Sora tidak melihat sendiri, seorang anak
muda yang disebut bernama Arya Salaka itu terbujur di tanah tak
bernafas lagi?”
Perasaan tidak senang
yang tajam terpercik di wajah
Lembu Sora. Kemudian
terdengarlah ia menjawab,
“Aku tidak sempat untuk
mengurusi masalah-masalah
tetek bengek yang tidak
berarti. Bukankah aku
mempunyai petugas-petugas
untuk keperluan itu…?”
“Kalau benar Kakang
berbuat demikian, maka
agaknya Kakang Lembu Sora
telah berbuat suatu kesalahan.
Persoalan Arya Salaka
bukanlah persoalan tetek
bengek yang tak berarti. Arya
Salaka adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang
berhak untuk menggantikan kedudukan itu apabila ayahnya
berhalangan melakukan tugasnya,” sahut Mahesa Jenar yang
sudah mulai kehilangan kesabarannya.
“Hemmm….” dengus Lembu Sora. Wajahnya pun telah mulai
semburat merah. “Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan kepada
Adi, bahwa aku tidak dapat mempercayaimu sejak perjumpaan
kita yang pertama-tama. Sejak hilangnya pusaka Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.”
Dada Mahesa Jenar benar-benar seperti dihantam linggis,
mendengar kata-kata itu. Sehingga tidak sesadarnya ia
menggeretakkan giginya. Namun bagaimanapun juga dengan
susah payah ia masih menahan diri, dan berkata, “Kakang, aku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 95
tidak keberatan terhadap sikapmu kepadaku. Tetapi
bagaimanakah seandainya anak muda yang aku namakan Arya
Salaka itu mendapat kesaksian dari segenap penduduk daerah
perdikan ini, dan mereka menerimanya sebagai Arya Salaka yang
sebenarnya?”
Pertanyaan ini sekali lagi menggelisahkan Lembu Sora.
Sawung Sariti pun tidak tahan lagi untuk membiarkan pembicaraan
yang tak disukainya itu berlarut-larut. Maka ia pun kemudian
menyela, “Ayah, apakah gunanya pembicaraan ini kita layani?
Sebaiknya biarlah tamu-tamu kita ini kita persilakan berdiam diri.
Dengan rendah hati atau kalau perlu kita terpaksa memaksa
mereka dengan cara kita.”
Mahesa Jenar memandang Sawung Sariti dengan sudut
matanya. Sekali lagi ia merasa muak melihat wajah itu. Wajah
yang tampan dan bersih namun di belakang wajah itu tersirat
kelicikan hatinya. Tiba-tiba ia teringat kepada Jaka Soka dari Nusa
Kambangan.
“Angger….” kata Mahesa Jenar kemudian, “Biarlah kami
berbicara secara orang tua. Sebaiknya Angger bermain-main saja
di halaman, daripada mencampuri urusan ini.”
Bara yang mula-mula berkobar di dada Sawung Sariti masih
belum padam, ditambah dengan kata-kata Mahesa Jenar yang
cukup tajam itu. Maka semakin menyalalah hatinya. Tetapi
sebelum ia menjawab, Lembu Sora telah mendahuluinya, “Adi
Mahesa Jenar, aku tidak mau membicarakannya lagi. Aku sudah
memutuskan untuk menganggap Arya Salaka telah mati, dan
Kakang Gajah Sora pun telah dihukum mati di Demak, sebagai
akibat dari pengkhianatannya, meskipun aku telah berusaha untuk
mencegahnya.”
“Maaf Kakang,” potong Mahesa Jenar, “Aku datang untuk
membicarakannya. Bukan untuk sekadar menghadap yang
dipertuan di Banyubiru sekarang.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 95
“Cukup…!” potong Lembu Sora, “Tidak ada yang aku
bicarakan.”
Mahesa Jenar benar-benar tersinggung karenanya, ditambah
dengan perasaan muaknya sejak bertemu dengan orang itu untuk
pertama kalinya. Karena itu ia menjawab lantang, “Kalau kau tidak
mau berbicara, aku akan berbicara dengan rakyat Banyubiru, dan
membuktikan kepada mereka bahwa Arya Salaka akan berada di
tengah-tengah mereka.”
Mendengar ancaman Mahesa Jenar itu, Lembu Sora
terperanjat. Tetapi kemudian ia pun menjadi marah dan
menjawab, “Adi Mahesa Jenar, akulah kepala daerah perdikan ini.
Akulah yang berwenang atas rakyat dan daerah ini. Tak seorang
pun aku perkenankan melanggar wewenangku. Apalagi kau. Ayah
Sora Dipayana pun tidak.”
Wanamerta mendengar kata-kata itu dengan dada yang
berdentam-dentam. Telinganya serasa tersentuh api. Maka
katanya lantang, meskipun ia langsung berhadapan dengan
bahaya yang dapat saja merenggut jiwanya, “Anakmas Lembu
Sora, akulah yang mula-mula minta kepada Anakmas untuk
mengawasi daerah perdikan ini sepeninggal Anakmas Gajah Sora.
Tetapi cerita tentang Anakmas Lembu Sora tak dapat ditutup-
tutupi lagi. Cerita tentang hilangnya Anakmas Arya Salaka, yang
untung dapat diselamatkan oleh Anakmas Mahesa Jenar. Cerita
tentang laskar yang Anakmas namakan Laskar Pamingit dan
Banyubiru yang ingin membebaskan Anakmas Gajah Sora dengan
menyerang pasukan dari Demak. Seterusnya cerita tentang
hilangnya Pandan Kuning dan Sawung Rana.”
“Cukup!” teriak Lembu Sora. “Ternyata rambutmu yang telah
memutih itu samasekali tidak mencerminkan hatimu yang putih.
Kau ingin melihat darah mengalir di Banyubiru. Kalau dengan
demikian kau akan dapat mengambil keuntungan, maka kaulah
orang yang pertama-tama aku lenyapkan sekarang ini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 95
“Tak seorang pun yang dapat melenyapkan kenyataan yang
telah terjadi. Betapapun orang berusaha menutupi kebenaran dan
menghapuskan. Namun kebenaran itu tak akan lenyap,” sanggah
Wanamerta dengan berani.
“Jangan menggurui aku,” bentak Lembu Sora. “Aku tahu, kau
sudah berusia lanjut. Tetapi jangan berlagak lebih pandai daripada
orang-orang muda. Bagiku tidak ada tempat bagi kalian di
Banyubiru.”
Dalam pada itu, Mahesa Jenar sekali lagi mencoba untuk yang
terakhir kalinya menempuh cara yang sebaik-baiknya bagi
penyelesaian Banyubiru. Katanya, “Ki Ageng Lembu Sora,
mumpung segala sesuatu belum telanjur, marilah kita tenangkan
hati kita. Berilah aku kesempatan untuk menunjukkan kemauan
kami yang sebenarnya. Bahwa tak ada artinya pertentangan
antara kita sama kita. Biarlah kita cari jalan yang sebaik-baiknya
untuk menyelesaikan masalah kita.”
“Hemm....” dengus Lembu Sora, namun matanya benar-benar
telah memancar merah bara. “Agaknya kaulah sumber dari
keributan ini. Kau telah membuat seorang anak muda
menggantikan kesempatan Arya Salaka untuk kepentinganmu.
Kau cari seorang anak muda yang mirip dengan anak itu. Kau ajari
dia menyebut aku paman dan menyebut nama ayahnya Gajah
Sora. Kau ajari dia menuntut hak atas Banyubiru.”
“Ki Ageng Lembu Sora….” potong Mahesa Jenar, “Demi
kehormatan kita masing-masing, jangan katakan yang bukan-
bukan.”
“Nah….” jawab Lembu Sora berapi-api, “Bukankah kau takut
melihat kenyataan itu? Kenyataan bahwa permainan kotormu telah
aku ketahui.”
“Kau telah benar-benar tersesat. Kalau tanggapanmu itu jujur,
maka kau benar-benar telah berdiri di atas alas yang gelap, yang
samasekali tak dipancari oleh kebijaksanaan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 95
“Cukup!” teriak Lembu Sora dengan gemetar. “Jangan
membuat aku kehilangan kesabaran.”
Mahesa Jenar adalah seorang jantan. Seorang perwira yang
tak mengenal surut. Ketika ia mendengar teriakan-teriakan dan
bentakan-bentakan itu, bagaimanapun sabarnya ia menjadi marah
pula. Karena itu ia pun kemudian menjawab lantang, “Kakang
Lembu Sora, kalau kau berbicara atas hak maka akulah yang
memegang hak sekarang ini atas Banyubiru. Aku telah menerima
wewenang langsung dari Kakang Gajah Sora sejak Kakang Gajah
Sora meninggalkan daerah ini. Akulah yang mendapat tugas
darinya untuk mengamankan Banyubiru dan putranya, Arya
Salaka. Akulah sekarang yang mempunyai kewajiban untuk
mengatur Banyubiru berdasarkan dan bersumberkan wewenang
yang diberikan oleh Kakang Gajah Sora. Karena itu jangan
mencoba membatasi usahaku memulihkan pemerintahan di
Banyubiru.”
Lembu Sora telah benar-benar kehilangan pengamatan diri.
Tiba-tiba ia berkisar maju dekat-dekat di muka Mahesa Jenar.
Sambil menuding wajahnya, Lembu Sora berkata, “Kau adalah
orang yang paling berbahaya bagi Banyubiru. Kau adalah sumber
bencana sejak hilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Aku telah menasihatkan kepada kakang Gajah Sora untuk
menangkapmu. Tetapi ia tidak mau. Dan sekarang ketika kau hadir
kembali ke daerah ini, tersebarlah desas-desus bahwa keris itu
berada di Banyubiru. Bukankah itu jelas? Jelas bahwa kau yang
telah mencuri kedua pusaka itu.”
Juga Mahesa Jenar tiba-tiba juga kehilangan pengamatan diri.
Ketika tangan Lembu Sora masih berada di depan wajahnya, tiba-
tiba dengan kerasnya ia memukulnya ke samping. Dan kemudian
dengan cepatnya, secepat getaran cahaya, ia meloncat turun dari
pendapa, dan berkata kepada Lembu Sora dengan marahnya,
“Lembu Sora… aku adalah laki-laki seperti kau.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 95
Lembu Sora pun kemudian meloncat tak kalah cepatnya.
Dengan wajah yang bengis ia berdiri berhadapan dengan Mahesa
Jenar. Sementara itu Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun
segera berloncatan, dan tiba-tiba mereka sudah bersiap untuk
bertempur.
Dalam pada itu, setiap laskar Banyubiru dan Pamingit yang
berada di halaman itu segera mendesak maju. Dan dalam waktu
yang singkat mereka telah mengepung pendapa itu. Apalagi ketika
kemudian Lembu Sora berkata lantang kepada mereka, “Hai laskar
Banyubiru…. Selamatkan daerahmu dari orang-orang yang ingin
merampas milikmu. Sebab mereka masih belum melupakan,
beberapa tahun yang lalu, mereka hampir mencincang kau ketika
mereka menyadari bahwa kau telah mencuri pusaka-pusaka yang
dengan susah payah diusahakan oleh kakang Gajah Sora. Tetapi
Kakang Gajah Sora terlalu baik hati kepadamu.”
Laskar Banyubiru dan Pamingit itu pun kemudian semakin
mendesak maju. Dan tiba-tiba terdengar di antara mereka suatu
teriakan, “Bunuh…!”
Mahesa Jenar memutar tubuhnya seperempat lingkaran.
Dengan kaki renggang ia menghadapi setiap kemungkinan. Ketika
dilihatnya laskar di sekitarnya semakin mendesak maju, ia pun
berteriak kepada Lembu Sora, “Aku adalah orang terakhir yang
mendapat kepercayaan Kakang Gajah Sora.”
Lembu Sora menyahut keras, “Omong kosong!”
Tetapi Mahesa Jenar tidak memperhatikannya samasekali.
Dengan lantang ia meneruskan kata-katanya, “Kalau ada di antara
kalian laskar Banyubiru benar-benar laskar Banyubiru,
dengarkanlah kata-kataku. Kalau kalian menyerang aku, adalah
sama saja kalian menyerang Gajah Sora yang memberikan
kepercayaan kepadaku untuk mengasuh dan mengamankan
putranya, Arya Salaka. Dengan demikian kalian telah melupakan
diri kalian sendiri sebagai pengawal-pengawal setia Banyubiru.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 95
Siapakah yang telah bekerja sepenuh hati untuk Banyubiru…?
Siapakah yang telah membangun tempat-tempat ibadah yang
tersebar di empat penjuru Banyubiru…? Siapakah yang telah
menggali parit-parit untuk sawah-sawah kalian…? Dan siapakah
yang paling bersedih hati pada saat Banyubiru dilanda oleh arus
kejahatan dari gerombolan hitam dan menelan banyak korban,
beberapa tahun yang lalu? Dan siapakah yang telah
mempertaruhkan dirinya bagi ketenteraman rakyat Banyubiru
ketika pasukan dari demak datang ke tempat ini karena desas-
desus dan fitnah atas kebersihan hati rakyat Banyubiru, disamping
kesetiaannya kepada panji-panji Gula Kelapa yang pernah
dibelanya mati-matian. Siapa…? Dan siapakah di antara kalian
yang pada saat itu ikut serta dengan Gajah Sora, dan hampir saja
terjadi perlawanan tergadap Demak? Siapa? Dan apakah yang
kalian lakukan sekarang? Kalian telah mengingkari diri kalian dan
kesetiaan kalian atas tanah ini.”
Lembu Sora tidak mau mendengar Mahesa Jenar berkata
terus. Dengan penuh kemarahan ia berteriak, “Jangan dengarkan
orang ini mengigau di tengah hari. Dan jangan dibiarkan ia
mengelabuhi mata rakyat Banyubiru. Nah, karena orang itu tidak
mau menutup mulutnya, adalah tugas kalian untuk
menyumbatnya.”
Beberapa orang Pamingit semakin merapatkan kepungan
mereka. Tetapi beberapa laskar Banyubiru menjadi ragu-ragu.
Tiba-tiba mereka ingat jelas, seperti baru kemarin saja terjadi, Ki
Ageng Gajah Sora segelar sepapan dengan gelar perang Gajah
Meta menyongsong kedatangan pasukan Demak dalam gelar
Cakra Byuha. Jelas tergambar kembali dalam ingatan laskar
Banyubiru, ketika pasukan Demak mengubah gelarnya menjadi
gelar Garuda Nglayang. Diingat pula oleh mereka, bagaimana
Gajah Sora menjadi gemetar ketika dilihatnya panji-panji yang
berwarna gula kelapa melambai-lambai di atas ujung pasukan
Demak. Pada saat itulah mereka melihat Gajah Sora menyerahkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 95
putranya, Arya Salaka, kepada orang itu. Orang yang bernama
Mahesa Jenar, yang sekarang berdiri di hadapan mereka.
Karena itulah, ketika orang-orang Pamingit bergerak maju,
mereka tetap berdiri di tempat, seolah-olah terpaku di atasnya.
Dengan demikian, tanpa dibuat terjadilah dua lingkaran pasukan
di halaman itu. Pasukan Pamingit yang semakin mendesak maju,
dan di luar lingkaran itu berdirilah dengan bimbang pasukan lembu
Sora yang semula berasal dari laskar Banyubiru, yang tidak banyak
mengerti tentang mereka
sendiri, dan tentang tanah
mereka.
Sedangkan orang-orang
Pamingit yang menjadi
semakin rapat itu pun
kemudian ragu, ketika mereka
melihat Mahesa Jenar siap
dalam siaga tempur. Di
sampingnya, berseberangan di
tiga penjuru, terlihat
Wanamerta yang tua,
Bantaran yang kokoh kuat,
dan Penjawi dengan wajah
yang tegang namun penuh
keikhlasan. Mereka memegang
keris masing-masing, siap
untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Tetapi kemudian mereka menjadi sadar akan tugas
mereka, ketika mereka melihat Lembu Sora dengan wajah berapi-
api berdiri bertolak pinggang di dalam lingkaran itu. Apalagi ketika
kemudian Lembu Sora tidak sabar lagi, tiba-tiba dengan suara
berdesing menakutkan mencabut pedangnya. Pedang yang tidak
berukuran lumrah.
Melihat pedang itu, hati Mahesa Jenar benar-benar melonjak
didesak oleh kemarahannya. Agaknya Lembu Sora telah benar-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 95
benar ingin membunuhnya. Karena itu tiba-tiba ia bersiap dalam
sikap terakhir. Apabila pedang itu ternyata benar-benar terayun ke
arahnya, maka ia harus dalam waktu sesingkat-singkatnya
memukul kembali. Pukulan yang menentukan. Sebab kemudian ia
harus bertempur melawan jumlah yang besar.
Dan, apa yang ditunggunya benar-benar terjadi. Dengan suara
berdesing panjang, pedang itu terayun deras sekali menyambar
lehernya. Tetapi Mahesa Jenar telah benar-benar siap. Siap
menghadapi segala kemungkinan. Karena itu dengan lincahnya ia
merendahkan diri dan meloncat ke samping. Dalam pada itu
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera berloncatan
merenggang untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Sedang ujung-ujung tombak yang rapat berjajar di sekitar mereka
telah menunduk mengarah ke dada mereka.
Mahesa Jenar pada saat itu telah benar-benar kehilangan
pengamatan diri. Ia merasa bahwa tidaklah mungkin baginya
bersama-sama dengan kawan-kawannya yang hanya berjumlah
lima orang itu bertempur melawan segenap laskar yang berada di
halaman itu, yang di antaranya ada orang-orang seperti Lembu
Sora, Sawung Sariti, bahkan mungkin akan ikut campur pula Ki
Ageng Sora Dipayana. Karena itu ketika pedang Lembu Sora
dengan derasnya menyambar di atas kepala Mahesa Jenar, segera
ia tegak di atas satu kakinya, dan hampir saja ia menyalurkan
segenap kekuatannya pada sisi telapak tangan kanannya dalam
ujud ilmunya yang luar biasa, Sasra Birawa. Beberapa orang
berloncatan mundur, sedangkan Lembu Sora sendiri menjadi
cemas. Ia tidak bisa berbuat lain daripada segera mempersiapkan
dirinya atas lambaran ilmu saktinya, Lebur Sakethi.
Tetapi tiba-tiba melontarlah sesosok tubuh memasuki
lingkaran itu. Dan dengan tenang berdiri di depan Mahesa Jenar,
menepuk kedua pundaknya dan berkata lirih, “Tenangkan hatimu,
Mahesa Jenar. Ilmumu sekarang adalah jauh lebih dahsyat
daripada lima tahun yang lalu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 95
Kata-kata itu bagi Mahesa Jenar seolah-olah setetes embun di
atas relung-relung hatinya yang membara. Apalagi ketika ia
melihat wajah orang itu, yang dengan senyum kecil
memandangnya seperti seorang kakak dengan penuh kasih
sayang. Maka tiba-tiba pandangan Mahesa Jenar jatuh di tanah di
depannya. Mahesa Jenar menjadi malu kepada diri sendiri, dan
kepada Kebo Kanigara. Orang yang telah membawanya kembali ke
alam kesadaran. Apalagi ketika Kebo Kanigara berbisik, “Bukan
demikian maksud kedatanganmu kali ini, Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar yang masih tertunduk itu berdesis perlahan-
lahan, “Maaf Kakang. Aku kehilangan kesadaranku ketika Lembu
Sora menyerangku.”
“Angkatlah wajahmu….” Kebo Kanigara meneruskan, “Dan
lihatlah siapa yang berdiri di depan Lembu Sora itu.”
Ketika Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, dan memandang
ke arah Lembu Sora, ia menjadi terkejut. Di depan orang itu telah
berdiri seorang tua, yang sudah berambut putih dan berjenggot
putih, memandangnya dengan mata sayu suram.
Tanpa disengaja Mahesa Jenar segera membungkuk hormat,
sambil berkata dengan takzimnya. “Baktiku untuk Paman Sora
Dipayana.”
Orang tua itu mengangguk pula. Jawabnya, “Salamku
untukmu, Mahesa Jenar, dan untuk kalian yang datang
bersamanya.”
Kebo Kanigara masih belum memutar tubuhnya. Ia masih
menghadap kepada Mahesa Jenar. Dengan berbisik ia bertanya,
“Nah, bukankah kau sudah mengenalnya? Apakah orang itu ayah
Lembu Sora?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar perlahan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 95
“Aku mengaguminya. Ia pasti seorang yang sakti, menilik
geraknya yang luar biasa,” gumam Kebo Kanigara sambil
membalikkan diri, dan kemudian membungkuk hormat pula.
Dengan wajah yang masih sesuram semula, Sora Dipayana
berkata, “Aku menyesal bahwa sesuatu yang sama-sama tak kita
kehendaki telah terjadi.”
Dengan suara yang dalam, Kebo Kanigara menjawab,
“Demikian pula kami. Mudah-mudahan hal-hal yang tak
dikehendaki itu tidak terulang kembali.”
Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian
pandangan matanya berkisar kepada Penjawi, Bantaran, dan
kemudian Wanamerta. “Adi Wanamerta… apakah kau sehat-sehat
saja selama ini…?”
Wanamerta menjadi terharu mendengar sapaan Sora
Dipayana itu. Sora Dipayana baginya adalah seorang pemimpin
yang pada masa-masa menjalankan tugas menjadi
kebanggaannya. Kebanggaan seluruh daerah perdikan yang dulu
disebut Pangrantunan. Karena itu dengan hormat ia menjawab,
“Kakang, sebagaimana Kakang, agaknya aku pun selamat.
Demikian juga anak-anak Banyubiru yang pergi bersamaku.”
Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat
berkeliling, matanya menjadi bertambah suram. Ia melihat dua
lingkaran di halaman itu. Laskar Pamingit di lingkaran pertama,
dan laskar Banyubiru di lingkaran kedua. Masing-masing masih
erat memegang senjata mereka. Bagi Sora Dipayana, yang hampir
seluruh hidupnya diserahkan kepada tanah perdikan itu, melihat
peristiwa itu dengan sedih. Apa yang dilihatnya di halaman itu
adalah lambang perpecahan yang terjadi saat itu. Perpecahan
antara Pamingit dan Banyubiru. Dua daerah yang seharusnya
dapat saling mengisi dan saling memperkuat ketahanan diri dalam
segala bidang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 95
Kemudian kepada lembu Sora ia berkata, “Lembu Sora,
bukankah lebih baik kalau kau persilahkan tamumu ini duduk
kembali? Dan bukankah lebih akrab kalau kau jamu tamu-tamumu
ini dengan sekadar pelepas haus, daripada kau suguhkan kepada
mereka pameran kekuatan yang tak berarti?”
Lembu Sora tidak begitu senang mendengar kata-kata
ayahnya. Tetapi ia tidak berani membantah. Karena itu ia hanya
dapat menggigit bibir, sehingga sekali lagi Sora Dipayana berkata,
“Lembu Sora, persilakan tamumu duduk kembali.”
“Baik ayah,” jawabnya singkat. Tetapi Lembu Sora masih
belum mempersilakan tamu-tamunya. Malah kemudian ada
sesuatu yang dicarinya. “Sariti… Sariti….” panggilnya.
“Ya, ayah….” jawab Sawung Sariti, masih duduk di tangga
pendapa.
“Kemarilah.”
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi bibirnya masih
menyeringai kesakitan. Sehingga ketika Lembu Sora melihatnya,
ia menjadi terkejut. “Kenapa kau?”
Sawung Sariti tidak menjawab. Hanya matanya saja yang
membentur wajah kakeknya. Lembu Sora kemudian tergopoh-
gopoh datang kepadanya, dan sekali lagi ia bertanya, “Kenapa
kau…?”
“Kakek….” jawab Sariti singkat.
Lembu Sora menoleh kepada ayahnya. Kemudian ia bertanya,
“Kenapa dengan Sariti, ayah…?”
“Ah,” jawab Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya.
“Aku hanya mencegahnya bermain-main dengan tombak.”
Semua mata segera tertuju kepada Sawung Sariti. Ia menjadi
tidak senang, ketika seolah-olah dirinya menjadi tontonan. Tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 95
ia tidak segera dapat berdiri dan pergi dari tempatnya. Kakinya
terasa sakit bukan main, bahkan seolah-olah tidak dapat
digerakkan samasekali. Sedang tangannya menjadi semutan dan
gemetar.
“Ayah….” kata lembu Sora dengan nada menyesal, “Apakah
Ayah akan membiarkannya demikian?”
Sora Dipayana perlahan-lahan berjalan mendekati cucunya.
dengan sareh ia berkata, “Sariti, lain kali janganlah kau berbuat
hal-hal yang berbahaya.”
Sawung Sariti hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala,
meskipun hatinya mengumpat tidak habis-habisnya. Ia hanya
dapat menyeringai dan berdesis-desis ketika kemudian Ki Ageng
Sora Dipayana mengurut punggungnya.
“Nah, masuklah,” perintahnya kemudian. “Jangan campuri
perkara orang tua-tua.”
Sawung Sariti kemudian berdiri dan terhuyung-huyung
berjalan masuk ke dalam pringgitan. Di depan pintu, sekali lagi ia
menoleh dan memandang Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, dengan penuh dendam.
Ketika anak itu sudah lenyap di balik pintu, terdengar Sora
Dipayana berkata, “Lembu Sora, apakah kau masih memerlukan
laskar sebanyak itu untuk menyambut tamumu?”
“Ayah….” jawab Lembu Sora, “Aku tidak menyiapkan laskar ini
untuk menyambut kedatangan Adi Mahesa Jenar. Tetapi semula
aku menyiapkan laskarku karena Banyubiru baru saja didatangi
oleh orang-orang dari Nusa Kambangan untuk mencari kedua
pusaka Demak yang hilang, yang katanya berada di Banyubiru ini.”
Sora Dipayana mengerutkan keningnya kembali. Jawabnya,
“Baiklah, kalau demikian kau dapat membubarkannya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 95
“Baiklah, Ayah,” jawab Lembu Sora singkat, dan kemudian
dengan tangannya ia memberi isyarat kepada pemimpin laskar
yang berada di halaman itu. Kemudian segera membubarkan
laskar Pamingit dan Banyubiru. Sebentar kemudian halaman itu
menjadi kosong, kecuali beberapa orang yang khusus bertugas
sebagai pengawal-pengawal pribadi Lembu Sora.
Sekali lagi Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta,
Bantaran dan Penjawi dipersilahkan naik ke pendapa. Tetapi kali
ini Lembu Sora sudah tidak tenang lagi duduk bersama. Karena itu
ia berkata, “Ayah, biarlah untuk sementara ayah menemani tamu-
tamu kita. Aku ingin menyelesaikan persoalan kecil dibelakang
sebentar.”
Ki Ageng Sora Dipayana menganggukkan kepalanya,
jawabnya, “Baiklah Lembu Sora, tetapi sesudah pekerjaanmu itu
selesai datanglah dan duduklah di sini bersama-sama.”
Lembu Sora tidak menjawab. Dengan langkah gontai ia
berjalan meninggalkan tamu-tamunya yang duduk bersama
dengan Ki Ageng Sora Dipayana.
Sepeninggal Lembu Sora, berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,
“Angger berdua. Sebenarnyalah kedatangan kalian sangat
mengejutkan kami dan rakyat Banyubiru. Sudah sejak bertahun-
tahun mereka melupakan nama Mahesa Jenar bersama dengan
lenyapnya nama Gajah Sora dan Arya Salaka.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia
menyahut, “Adakah nama itu lenyap pula dari hati Tuan? Bukan
Mahesa Jenar, tetapi Gajah Sora dan Arya Salaka.”
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Dalam
sekali. Dan ketika Mahesa Jenar memandang wajahnya yang
suram, ia menjadi terkejut. Membayanglah di dalam sepasang
matanya yang sayu, seolah-olah mendung menyelimuti langit.
Dengan tertahan-tahan ia menjawab, “Gajah Sora adalah harapan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 95
bagi masa kini, sedang Arya Salaka adalah harapan masa depan.
Bagaimana aku dapat melupakan mereka?”
“Tetapi masa kini telah hilang dari tangannya,” sahut Mahesa
Jenar meneruskan. Perlahan-lahan namun jelas.
Sora Dipayana memandangi mata Mahesa Jenar dengan
cermat. Ia melihat pertanyaan yang bergulat di dalamnya. Karena
itu ia berkata, “Anakmas Mahesa Jenar, aku tidak pernah menolak
kalau ada orang meletakkan tanggungjawab di dalam tanganku.
Aku tidak pernah mengelakkan tuduhan bahwa aku seolah-olah
membiarkan keadaan berkembang seperti apa yang terjadi kini.
Tetapi aku ingin juga mengatakan, alasan-alasan apakah yang
telah menyudutkan aku ke dalam keadaan ini.”
Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak. Dengan seksama ia
mengawasi Kebo Kanigara. Dan tiba-tiba saja terlontar dari
mulutnya, “Siapakah Angger ini?”
“Aku adalah seorang Putut, Tuan. Yang menghambakan diri
pada Panembahan yang tinggal di bukit Karang Tumaritis dan
bernama Panembahan Ismaya,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebagai seorang Putut, aku bernama Putut Karang Jati,”
lanjut Kanigara.
Sora Dipayana mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia bertanya
pula, “Adakah Anakmas bergelar lain selain nama Angger sebagai
seorang Putut?”
Kebo Kanigara ragu sejenak. Ketika ia menoleh kepada Mahesa
Jenar, Mahesa Jenar pun agaknya bimbang hati. Akhirnya kepada
orang tua itu Kebo Kanigara tidak merasa perlu untuk
menyembunyikan diri. Karena itu ia menjawab, “Tuan, aku
memang memiliki nama lain. Nama yang diberikan oleh ayah
bunda pada saat aku dilahirkan nama itu adalah Kebo Kanigara.”
Mendengar nama itu Ki Ageng Sora Dipayana menegakkan
kepalanya. Ia lupa-lupa ingat akan nama itu. Namun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 95
bagaimanapun juga orang yang bernama Kebo Kanigara itu sangat
menganggumkannya. Ia melihat ketika orang yang bernama Kebo
Kanigara itu menepuk pundak Mahesa Jenar untuk
menenangkannya. Ia melihat betapa Mahesa Jenar tidak berani
memandang wajah orang itu. Karena itu, orang yang bernama
Kebo Kanigara itu pasti mempunyai pengaruh yang kuat atas
Mahesa Jenar. Apalagi menilik sikapnya yang tenang penuh
kepercayaan kepada diri sendiri, telah menyatakan betapa ia
memiliki ilmu yang kuat dan meyakinkan pula. Kalau Kebo
Kanigara itu seorang Putut yang bernama Karang Jati, dan
memiliki ilmu yang cukup meyakinkan, bagaimanakah agaknya
Panembahan yang bernama Ismaya itu? Dan apakah hubungannya
dengan Mahesa Jenar, sehingga ia datang bersamanya? Tetapi
Sora Dipayana merasa kurang pada tempatnya untuk
menanyakannya.
Sementara itu Kebo Kanigara pun sedang memperhatikan Ki
Ageng Sora Dipayana dengan seksama. Ia pernah mendengar
nama itu dari ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan ia pernah
mendengar pula bahwa Ki Ageng Sora Dipayana itu adalah sahabat
ayahnya dan memiliki ilmu yang setingkat. Agaknya apa yang
dikatakan oleh ayahnya itu tidak berlebih-lebihan. Ia melihat
dengan mata kepala sendiri apa yang baru saja terjadi. Ketika
Sawung Sariti dengan diam-diam bersiap untuk melontarkan
tombak ke punggung Mahesa Jenar, Kebo Kanigara telah bersiap
untuk mencegahnya. Tetapi tiba-tiba ia melihat Sora Dipayana itu
seperti melayang terbang ke arah anak muda itu. Dengan satu
sentuhan di punggungnya, Sawung Sariti tiba-tiba gemetar dan
jatuh terduduk di tangga tanpa dapat berdiri lagi.
Kemudian seperti berjanji, mereka masing-masing meloncat
masuk kedalam lingkaran laskar Pamingit untuk mencegah
terjadinya pertumpahan darah. Kebo Kanigara berusaha untuk
menenangkan Mahesa Jenar, sedang Sora Dipayana mencegah
Lembu Sora untuk berbuat lebih banyak lagi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 95
Setelah mereka berdiam diri sejenak, mulailah Sora Dipayana
melanjutkan kata-katanya, “Angger berdua, Wanamerta, Bantaran
dan Penjawi. Anggaplah bahwa sebuah dongeng yang akan saya
utarakan nanti sebagai suatu usaha untuk meringankan
perasaanku dari himpitan tanggungjawab yang hampir tak dapat
aku laksanakan. Atau barangkali dapat kalian artikan sebagai
suatu usaha untuk meringankan kesalahan-kesalahan yang pernah
aku lakukan.” Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak,
kemudian ia melanjutkan, “Pada saat itu, aku baru saja datang
kembali dari perjalananku mencari jejak kedua pusaka Demak
yang hilang kembali, setelah diketemukan oleh Gajah Sora dan
Mahesa Jenar bersama-sama. Aku datang kembali ke Banyubiru
tanpa membawa kedua keris itu. Apalagi membawanya kembali,
jejaknya pun tak dapat aku ketahui. Yang aku ketemukan di
Banyubiru pada saat itu, adalah pemerintahan tanah perdikan ini
telah beralih ke tangan Lembu Sora. Dari dia aku mendengar cerita
tentang apa saja yang telah terjadi di tanah perdikan ini.
Dari Lembu Sora aku mendengar bahwa Gajah Sora dihukum mati
oleh Sultan Demak karena pengkhianatannya. Dan darinya pula
aku mendengar bahwa Arya Salaka telah diketemukan terbunuh
dan kehilangan tombak pusakanya, Kyai Bancak.”
“Tidak benar,” potong Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk. Katanya,”Aku
tidak percaya cerita itu sejak aku mendengarnya. Tetapi apakah
yang aku hadapi seterusnya di sini ? Di tanah perdikan ini ? Lembu
Sora adalah anakku pula. Anak terkasih dari ibunya. Sedang
kepada ibunya aku tidak dapat melupakan duka derita yang
disandangnya pada saat itu. Duka derita sebagai ungkapan
kesetiaan seorang istri yang baik, pada saat aku sedang bekerja
mati-matian membangun tanah perdikan ini, yang semula
bernama Pangrantunan. Dan pada saat itulah Lembu Sora
dilahirkan. Dengan Lembu Sora didalam embanan, ibunya
membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan kami. Kadang-
kadang Lembu Sora itu dibawanya menuai padi diterik panas
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 95
matahari, menumbuk dan kemudian menanaknya sekali. Sedang
Gajah Sora pada saat itu telah dapat berjalan mengikutinya
kemana ia pergi, menggandengnya disepanjang pematang dan di
jalan-jalan yang samasekali belum berujud jalan seperti sekarang
ini.”
Sora Dipayana berhenti sesaat. Pandangan matanya terlempar
jauh, seolah-olah menerawang kembali kepada masa-masa silam.
Masa-masa pahit yang pernah dialami. Setelah orang tua itu
menelan ludahnya, maka mulailah ia meneruskan ceritanya,
“Rupa-rupanya Tuhan berkenan kepada usahaku itu, sehingga
beberapa tahun kemudian terwujudlah padepokan yang kemudian
berkembang menjadi semakin ramai dan subur. Aku menjadi
bangga ketika kemudian tanah ini dikuatkan dengan suatu piagam
menjadi tanah perdikan. Tanah perdikan yang semakin lama
menjadi semakin berkembang. Bersamaan dengan itu semakin
berkembang pulalah perasaan iba dan kasih istriku kepada Lembu
Sora. Ia selalu ingat kepada saat-saat bayi itu mengalami masa-
masa pahit. Namun akibatnya adalah sifat-sifat manja pada anak
itu. Bahkan kemudian sifat itu semakin menjadi-jadi.. Dan
kesalahan itu barangkali yang telah menjerumuskannya kedalam
keadaannya sekarang ini. Keadaan yang samasekali tidak dapat
dibenarkan.” Sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana berhenti, seolah-
olah ia menjadi sangat lelah. Beberapa kaliia menarik napas
dalam-dalam. Kedua tangannya ditekankan ke lantai yang
dilambari tikar pandan,seolah-olah dengan demikian ia ingin
mencari kekuatan untuk menahan berat badannya yang
tidakseberapa besar itu. Beberapa saat kemudian ia mulai lagi
dengan ceritanya, “Meskipun kemudian aku sadar bahwa akuharus
berdiri diatas kebenaran dan keadilan, namun aku bermaksud
untuk berlaku bijaksana. Aku ingin menyelesaikan masalahnya
tanpa mengorbankan salah satu di antaranya. Karena itulah maka
diam-diam aku pergi ke Demak untuk membuktikan ketidak
benaran cerita Lembu Sora. Tetapi aku terbentur pada suatu
kenyataan, bahwa Gajah Sora ternyata terlibat dalam suatu
keadaan yang sulit. Ia dapat dilepaskan apabila kesalahannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 95
nyata-nyata tidak terbukti, apabila Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten telah dapat diketemukan, dan ternyata benar-benar tidak
disembunyikannya.” Kemudian dengan nada yang rendah dan
sedih, Ki Ageng Sora Dipayana bergumam, “Lalu berapa tahunkah
kedua keris itu dapat ditemukan ?” Mata orang tua itu menjadi
sayu. Dan nada kata-katanya menjadi sangat rendah. “Apalagi
umurku menjadi semakin tua. Berapa tahun lagi aku masih
diperkenankan oleh Yang Maha Esa untuk dapat menikmati
segarnya angin pegunungan Telamaya ini ? Apakah yang terjadi
seandainya aku harus meninggalkan tanah ini menghadap Tuhan
Yang Maha Esa, sedang Gajah Sora masih belum kembali ? Sedang
Arya Salaka kemudian lenyap tanpa bekas, seolah-olah ia telah
benar-benar mati terbunuh ?
Itulah sebabnya kenapa aku tidak mempunyai pilihan lain
daripada untuk sementara mempergunakan tenaga yang ada
untuk kepentingan tanah ini. Aku sadar bahwa dari berbagai
penjuru dapat datang bahaya. Gerombolan kalangan hitam yang
liar dari Gunung Tidar, Rawa Pening dan Alas Mentaok. Bahkan
ternyata dari Nusa Kambangan pun bahaya itu dapat datang setiap
saat.” Ki Ageng Sora Dipayana mengakhiri ceritanya dengan suatu
tarikan napas kecewa. Ia melihat masa depan yang suram bagi
tanah perdikannya yang dibangunnya dengan cucuran keringat.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan
Penjawi pun merasakan apa yang bergetar di dalam orang tua itu.
Mereka ikut serta dihadapkan pada persimpangan jalan yang tidak
dikenalnya. Jalan manakah yang harus dipilihnya. Ki Ageng Sora
Dipayana tidak dapat membiarkan tanah perdikannya ditelan oleh
kekuatan hitam yang ada disekitarnya. Sedang yang ada padanya
pada saat itu tidak ada lain, kecuali Ki Ageng Lembu Sora dan
Sawung Sariti. Maka orang tua itu tidak dapat berbuat lain
daripada membentengi Pamingit dan Banyubiru dengan menempa
Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Untuk sesaat pendapa Banyubiru itu menjadi sepi. Masing-
masing berdiam diri dan membiarkan angan angan mereka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 95
merayapi daerah yang tak mereka kenal. Ki Ageng Sora Dipayana
masih saja memandangi titik-titik di kejauhan. Menembus alam
kasat mata dan hinggap ke dalam alam yang hanya dapat
dicitakan. Banyubiru yang gemah ripah loh jinawi. Jauh dari sifat
cecengilan dan fitnah. Jauh dari keirihatian dan ketamakan.
“Adakah kita akan sampai ke sana…?” Tiba-tiba terdengar Sora
Dipayana bergumam.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan orang-orang lain yang
mendengarnya menjadi terkejut. Bahkan Sora Dipayana sendiri
seolah-olah menjadi tersadar oleh kata-katanya sendiri.
“Sampai ke mana Ki Ageng?” tanya Wanamerta.
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas panjang. Lalu ia melipat
tangannya di dadanya. Tetapi ia harus menjawab pertanyaan
Wanamerta itu. Maka katanya, “Wanamerta… kau adalah orang
tertua yang pernah ikut serta membanting tulang, membina tanah
ini. Bahkan sejak tanah ini masih bernama Pangrantunan. Seperti
aku, agaknya kau mencita-citakan tanah ini menjadi tanah yang
subur. Wadah dari masyarakat yang sejahtera lahir dan batin.
Tetapi kau agaknya lebih beruntung daripadaku. Pada saat saat
seperti sekarang ini kau berhasil menarik garis tegas.”
Wanamerta merasa, seolah-olah Ki Ageng Sora Dipayana
sedang menyesali dirinya. Menyesali keadaan yang
menghadapkannya kepada persoalan yang serba salah. Maju tatu,
mundur ajur. Karena itu maka ia berusaha untuk memperingan
beban orang tua itu. Katanya. “Ki Ageng, kalau dalam wawasan Ki
Ageng aku dapat menarik garis tegas pada keadaan seperti
sekarang ini, adalah karena aku mempunyai kesempatan yang
lebih banyak. Aku dapat menilai Anakmas Gajah Sora dan
Anakmas Lembu Sora dalam keadaan yang wajar, karena aku tidak
tersangkut pada persoalan-persoalan yang ali-temali seperti
Kakang Sora Dipayana.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 95
“Kau benar Wanamerta,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Kau
lebih beruntung lagi, karena kau berhasil menemukan Arya
Salaka.”
“Itu adalah karena doa dan pangestu Kakang,” sahut
Wanamerta.
Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana menoleh kepada Mahesa
Jenar dan berkata
kepadanya, “Mahesa Jenar, adakah Arya Salaka itu sehat-sehat
saja?”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baik Ki
Ageng. Arya Salaka sekarang dalam keadaan segar bugar. Ia
menyampaikan baktinya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Hem….” Sora Dipayana bergumam. “Ia pasti segagah
ayahnya. Lima tahun yang lalu ia telah jauh lebih gagah dari
kawan-kawan sebayanya. Apalagi sekarang.”
“Ia mirip benar dengan ayahnya, Paman.” Mahesa Jenar
menyambung.
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum puas. Tetapi hanya sesaat,
sebab kemudian ia teringat kembali pada keadaan yang dihadapi
kini. Di dalam rumah itu ada Sawung Sariti yang mewarisi sifat-
sifat ayahnya. Meskipun demikian ia tidak mau membiarkan
keadaan berkembang berlarut-larut kearah yang tak dikehendaki.
Karena itu ia harus berbuat sesuatu. Menempatkan kembali segala
sesuatunya pada tempat masing-masing. Karena itu ia berkata,
“Mahesa Jenar, bawalah Arya Salaka kemari.”
Mendengar kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu, Mahesa
Jenar beserta segenap kawan-kawannya menjadi bergembira.
Wajah-wajah mereka menjadi cerah dan bercahaya. Tetapi ketika
mereka sadar bahwa kekuasaan Banyubiru pada saat itu seolah-
olah berada sepenuhnya di tangan Lembu Sora, mereka menjadi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 95
ragu. Dan tanpa mereka sadari mereka segera memandang kearah
pintu dimana Lembu Sora tadi masuk.
Sora Dipayana ternyata menangkap perasaan mereka.
Perasaan yang sebenarnya berkecamuk juga di dalam rongga
dadanya. Tetapi ia berpendapat bahwa keadaan di Banyubiru harus
segera mendapat bentuk yang tegas. Apabila keadaan dibiarkan
seperti saat itu maka kehidupan rakyatnya pun jadi mengambang
tanpa pegangan. Mereka menjadi ragu-ragu untuk berbuat
banyak, sebab mereka selalu dibebani oleh perasaan takut dan
was-was. Mereka selalu dihadapkan pada keadaan yang tidak
tetap, ang setiap waktu dapat berubah-ubah tanpa ketentuan.
Karena pendapat itulah maka kemudian Ki Ageng Sora
Dipayana berkata, “Mahesa Jenar, aku kira kau sedang
mempertimbangkan apakah yang akan terjadi apabila Arya Salaka
kau bawa kemari?”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab, “Benar Paman.
Memang aku menjadi bimbang akan nasib anak itu kelak.”
“Sebenarnya aku pun bimbang. Tetapi aku menghendaki agar
keadaan seperti sekarang ini segera berakhir. Karena itu aku akan
mencoba agar segala sesuatu akan menjadi jelas dalam waktu
yang dekat. Mudah-mudahan aku masih mempunyai pengaruh
yang cukup atas anakku sendiri.” Jelas terasa dalam nada kata-
katanya. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar sedang dihadapkan
pada suatu persoalan yang sulit.
Mahesa Jenar akhirnya merasa bahwa pertemuan itu sudah
cukup baginya. Ia sudah mendapat gambaran yang cukup jelas
tentang keadaan di Banyubiru, yang sudah cukup pula
dipergunakannya sebagai bekal untuk menentukan langkah-
langkah seterusnya. Karena itu segera ia mohon diri untuk kembali
ke daerah Candi Gedong Sanga. Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana
menahannya untuk beberapa saat karena ia masih ingin menjamu
tamu-tamunya dengan sekadar minuman dan makanan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 95
“Sebentar lagi hari akan malam, Paman, sebaiknya kami
berangkat sekarang.” Mahesa Jenar mencoba untuk memaksa
kembali. Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana menjawab, “Apakah
bedanya siang dan malam bagimu Anakmas Mahesa Jenar? Apalagi
kau berjalan bersama dengan Angger Kebo Kanigara, selain masih
ada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi. Tak ada sesuatu yang
akan dapat menghalangi perjalananmu.”
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu. Sambil
mengangguk ia menjawab, “Itu terlalu berlebihan, Paman. Kecuali
apabila Paman Sora Dipayana mengantarkan kami.”
“Tetapi kemudian kau harus mengantar aku kembali Mahesa
Jenar,” sahut Sora Dipayana, “Dengan demikian semalam suntuk
kita akan saling mengantar”. Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora
Dipayana tersenyum mendengar kelakar itu, bahkan juga orang-
orang lain yang mendengarnya, meskipun di dalam dada mereka
masih tersimpan beberapa soal yang sukar dipecahkan.
Demikianlah, akhirnya mereka terpaksa menunggu sampai
hidangan disajikan. Minum dan makan. Meskipun mereka duduk
bersama menikmati hidangan itu dengan Lembu Sora dan Sawung
Sariti, namun tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka
menjadi kaku dan tegang, sehingga tidak banyak makanan yang
dapat mereka makan, serta minuman yang dapat mereka minum.
Setelah selesai mereka menikmati jamuan itu, serta setelah
mereka beristirahat sejenak, maka sekali lagi Mahesa Jenar
memohon diri untuk kembali ke perkemahan anak-anak
Banyubiru. Kali ini Ki Ageng Sora Dipayana tidak menahannya lagi.
Dilepaskannya Mahesa Jenar beserta rombongannya sampai ke
halaman untuk seterusnya meninggalkan rumah kepala daerah
perdikan Banyubiru itu.
Ketika rombongan kecil itu telah lenyap dibalik regol, serta
derap langkah kudanya tidak terdengar lagi, berkatalah Lembu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 95
Sora menyesali ayahnya, “Ayah, kenapa ayah menyuruh orang itu
membawa anak yang menamakan diri Arya Salaka itu kemari?”
“Apakah keberatanmu Lembu Sora?” tanya ayahnya pula.
“Apakah ayah dapat menerimanya sebagai Arya Salaka yang
sebenarnya? Dan apakah ayah masih mau memberi kepercayaan
kepada orang yang bernama Mahesa Jenar itu?” desak Lembu Sora
beruntun.
“Lembu Sora,” jawab ayahnya. “Biarlah kita buktikan bersama.
Dengan demikian kita akan dapat mengetahui dan membuktikan
bahwa orang yang bernama Mahesa Jenar ini memiliki sifat-sifat
pengecut dan jahat, apabila anak muda yang dinamakan Arya
Salaka itu benar-benar bukan cucuku. Tetapi sebaliknya, apabila
anak muda itu benar-benar Arya Salaka, maka orang yang
mengabarkan kepadamu bahwa Arya Salaka telah terbunuh,
ternyata ia keliru, atau orang itu memang belum mengenal cucuku
dengan baik.”
Mendengar kata-kata ayahnya, yang kedengarannya tegak di
tengah-tengah itu, Lembu Sora mengatupkan giginya. Ia
samasekali tidak senang mendengar keputusan ayahnya
mengundang Arya Salaka datang ke Banyubiru. Karena itu, ia
harus berusaha untuk mencegahnya. Tetapi ia tidak berani
mengemukakan keberatannya itu kepada ayahnya.
Ketika Lembu Sora kemudian pergi meninggalkan ayahnya,
dan menengok ke alun-alun di hadapan rumah itu, ia masih
melihat debu berserakan yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda
Mahesa Jenar beserta rombongannya. Tetapi kuda-kuda itu sendiri
sudah tidak begitu jelas kelihatan. Dari kejauhan, bayangan yang
kelam seolah-olah datang menerkam daerah perdikan itu dengan
perlahan-lahan. Sedang di ufuk barat, matahari yang kelelahan
telah membenamkan dirinya dibalik punggung-punggung bukit.
Sinarnya yang lamat-lamat untuk sesaat masih tersangkut di
awan-awan yang mengalir lambat-lambat menyapu wajah langit
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 95
yang berwarna biru tua. Tiba-tiba sesaat kemudian
bermunculanlah bintang-bintang yang gemerlapan menggantung
di awang-awang.
Sekali dua kali Mahesa Jenar memandang ke arah langit.
Bintang-bintang yang semakin padat sangat mengagumkannya. Ia
kagum kepada kebesaran alam, kepada benda-benda yang
bertebaran di angkasa, kepada tata alam yang sempurna. Tetapi
kekagumannya kepada alam, kepada benda-benda yang berkilat-
kilat di angkasa itu akhirnya terdampar pada sumbernya. Yaitu
kekagumannya kepada Yang Maha Sempurna, yang telah
menjadikan semuanya ini. Tuhan Yang Maha Esa.
Demikianlah setiap kali hatinya tergetar oleh kekagumannya
itu, setiap kali pula ia merasa semakin dekat pada-Nya. Dan setiap
kali ia merasa bahwa ia harus meningkatkan kebaktian kepada-
Nya, serta pengabdian kepada titah terkasihnya, yaitu manusia.
Pengabdian yang bukan sekadar damba kasih dalam kidung-
kidung atau kakawin-kakawin, tetapi pengabdian yang benar-
benar diamalkan, dicerminkan dalam tindak-tanduk dan cara hidup
sehari-hari.
IV
Demikianlah di dalam perjalanan itu hampir tak terdengar
mereka bercakap-cakap. Masing-masing berdiam diri, kecuali
memperhatikan jalan-jalan di hadapan mereka, agaknya mereka
masih juga sibuk menilai peristiwa yang baru saja terjadi dan yang
kira-kira akan terjadi.
Seperti juga ketika mereka datang di Banyubiru, pada saat itu yang
berjalan di depan adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, sedang
di belakangnya Wanamerta dan seterusnya Bantaran dan Penjawi.
Dalam keheningan malam yang menjadi semakin dalam,
hanya derak-derak batu-batu padas yang tersentuh kaki-kaki kuda
itu sajalah yang terdengar disamping suara-suara belalang di
kejauhan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 95
Di langit, kelelawar menari-nari dengan lincahnya, seolah-olah tak
ada mahluk lain yang berani mengganggunya, sebab malam hari
itu adalah milik mereka.
Ketika Mahesa Jenar beserta rombongannya sedang
menempuh perjalanan itu di perkemahan anak-anak Banyubiru, di
sekitar Candi Gedong Sanga tampaklah persiapan-persiapan dan
penjagaan-penjagaan yang lebih ketat daripada biasanya. Apa
yang diceritakan Endang Widuri merupakan pertanda bahaya yang
mengancam. Meskipun mereka belum yakin dari manakah bahaya
itu datang.
Mantingan, Wirasaba dan Jaladri samasekali tidak berani
meninggalkan gardu pimpinan. Sebab mereka menduga bahwa
setiap saat mereka akan dikejutkan oleh peristiwa yang tak
mereka kehendaki. Ketika itu Arya Salaka pun merasa tidak tenang
berbaring di dalam pondoknya. Perasaannya selalu saja
mengganggu. Karena itu kemudian ia bangkit berdiri dan berjalan
keluar. Di luar, ia berpapasan dengan beberapa orang penjaga
yang menyapanya dengan hormat. “Angger, kemanakah Angger
akan pergi?”
“Aku hanya ingin berjalan-jalan saja, Paman. Udara terlalu
panas, dan aku masih belum berhasrat untuk tidur,” jawab Arya.
“Tetapi hati-hatilah Angger.” Orang itu melanjutkan, “Jangan
meninggalkan lingkaran perkemahan ini.”
“Baik Paman,” jawab Arya Salaka.
Setelah orang itu menjauhinya, terdengar ia bergumam,
“Agaknya orang itupun mendapat firasat yang kurang baik.”
Sejalan dengan itu, tiba-tiba ia teringat kepada Widuri yang
tinggal bersama Rara Wilis dan Nyi Penjawi. Mula-mula ia menjadi
cemas bahwa orang yang dikalahkan oleh gadis itu
mendendamnya dan berusaha untuk membalasnya. Namun
kemudian hatinya menjadi tenteram ketika ia sadar bahwa Widuri
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 95
bukan anak-anak yang masih perlu mendapat perlindungan
khusus. Tingkat ilmunya adalah jauh lebih tinggi dari setiap orang
yang berada di luar pondok yang mencoba melindunginya. Apalagi
dalam pondok itu berada pula Rara Wilis. Meskipun demikian Arya
Salaka berhenti sejenak untuk mengawasi pondok itu. Pondok
dimana tinggal di dalamnya Endang Widuri. Tetapi pondok itu
nampaknya sepi saja, seolah-olah ikut tertidur dengan para
penghuninya. Sedang di sekitar pondok itu ia melihat tiga orang
berjaga-jaga. Ia menjadi lega. Kemudian Arya melangkah kembali
menikmati udara malam yang sejuk. Sekali dua kali ia memandang
ke arah langit. Bintang-bintang yang semakin padat sangat
mengagumkannya. Ia, seperti juga gurunya, pada saat yang
bersamaan itu, kagum kepada kebesaran alam, kepada benda-
benda yang bertebaran di angkasa, kepada tata alam yang
sempurna. Juga seperti gurunya yang sedang menuju ke
perkemahan itu, kekagumannya kepada alam, kepada benda-
benda yang berkilat-kilat di angkasa itu akhirnya terdampar
kepada sumbernya, yaitu kekagumannya kepada Yang Maha
Sempurna, yang telah menjadikan semuanya ini.
Dalam keadaan yang demikian, seolah-olah terngiang kembali
segala nasehat dan petuah-petuah dari gurunya. Seakan-akan
mendengung di dalam rongga telinganya kata-kata Mahesa Jenar.
“Arya, yang penting dari setiap usahamu, adalah usaha-usaha dan
perbuatan-perbuatan yang dapat banyak berarti bagi rakyatmu
kelak, untuk mendatangkan kebahagiaan lahir dan batin. Tetapi
yang lebih penting lagi adalah pertanggungjawabanmu sebagai
seorang pemimpin yang akan dituntut kelak, apabila kau
menghadap kembali kepada Yang Maha Esa. Karena itulah maka
perbuatan-perbuatanmu sekarang harus dapat dinilai dari dua
segi. Pengabdianmu pada sesama dan kebaktianmu kepada
Tuhan.”
Sambil berangan-angan, tanpa disadari Arya Salaka telah
berjalan sampai ke batas perkemahan. Ia masih melihat seorang
penjaga berdiri tegak di tengah jalan, sedang di pinggir jalan itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 95
duduk tiga orang yang lain. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk
ikut serta duduk bersama mereka. Karenaitu perlahan-lahan ia
mendatanginya.
Ketiga orang-orang itu
melihat seseorang mengham-
pirinya, hampir serentak mere-
ka menyapa lirih, “Siapa?”
“Arya,” jawab Arya Salaka.
“O….” terdengar salah seo-
rang dari mereka itu. “Akan
kemanakah Angger?”
“Aku ingin duduk bersama-
sama dengan Paman di sini,”
jawab Arya.
“Ah,” sahut orang itu. “Di
sini banyak nyamuk. Tidakkah
Angger perlu beristirahat?”
“Aku belum ingin tidur,
Paman,” jawab Arya pula, dan yang kemudian duduk di samping
ketiga orang itu.
Ketika orang itu mengingsar duduknya, sedang orang yang
tegak di tengah jalan itu menoleh pula kepadanya.
“Tidakkah Angger lebih enak duduk di gardu pimpinan
bersama-sama Adi Mantingan?” tanya yang berdiri itu.
“Nanti aku akan ke sana juga,” jawab Arya.
Orang-orang itu tidak bertanya lagi. Tetapi mereka merasa
bertambah beban. Karena mereka belum kenal kepada anak itu
setelah beberapa tahun terpisah. Mereka merasa bahwa Arya
Salaka itu masih saja seperti dahulu. Masih harus mendapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 95
perlindungan dan perawatan. Karena itu maka seorang dari ketiga
orang yang duduk itu kemudian tegak pula dan berjalan-jalan hilir-
mudik. Sedang kedua orang yang lain, meskipun tidak berkata
apa-apa, tetapi mereka mengingsar duduknya, sehingga seorang
di sebelah kiri dan seorang lagi di sebelah kanan Arya. Arya
tersenyum di dalam hati, tetapi ia juga bangga atas anak buahnya
yang sangat hati-hati itu. Disamping itu, ia merasa bahwa agaknya
Mantingan menganggap bahwa keadaan perkemahan itu benar-
benar dalam bahaya.
Ketika Arya telah duduk di antara kedua orang itu, mulailah ia
bertanya-tanya tentang beberapa hal. Tentang Banyubiru
sepeninggalnya. Tentang pamannya Lembu Sora. Bahkan tentang
pohon jambu di halaman yang dahulu ditanamnya.
“Pohon jambu itu luar biasa lebatnya,” jawab orang yang
duduk di sebelah kirinya.
Arya Salaka kemudian mencoba membayangkan pohon itu.
Alangkah rindangnya duduk di bawahnya apabila matahari yang
terik sedang membakar seluruh halaman rumanya. Tetapi yang
terakhir terbayang di dalam otaknya adalah orang yang paling
dikasihinya. Orang yang telah melahirkannya dan mengasuhnya
dengan penuh cinta kasih. Orang itu adalah ibunya. Nyai Ageng
Gajah Sora. Terbayanglah wajah ibunya yang sayu pucat berdiri di
regol halaman rumahnya. Dengan penuh harapan ia menanti
kedatangan ayahnya. Gajah Sora dari Demak. Dan dengan penuh
harapan pula ia menanti kedatangannya, satu-satunya anak yang
dimilikinya. Tetapi kemudian dibayangkannya, bahwa ibunya akan
menjadi putus asa kalau yang ditunggunya sekian lama tidak
kunjung tiba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah menangis
di ruang tidurnya dengan membenamkan wajahnya di bawah
bantalnya yang telah basah oleh air mata.
Arya menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia memejamkan
matanya sambil menggelengkan kepalanya untuk mengusir
bayang-bayang yang mengganggu otaknya. Tetapi bayangan-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 95
bayangan itu menjadi semakin jelas dan seolah-olah ibunya itu
melambai-lambai kepadanya dengan wajah sedih dan berkata,
“Arya, aku sudah sedemikian rindunya kepadamu.”
Arya terkejut ketika terasa tetesan cairan yang hangat di
pipinya. Cepat ia mengusapnya dengan lengan bajunya. Tetapi
mau tidak mau, dadanya menjadi sesak oleh sesuatu yang seakan-
akan menyumbat kerongkongannya.
“Hem….” Beberapa kali Arya menarik nafas dalam-dalam.
Dalam sekali, untuk mengurangi himpitan perasaan yang menekan
dadanya.
Semula ia ingin menanyakan kepada orang-orang Banyubiru
itu tentang keadaan ibunya. Tetapi kemudian ia menjadi
ketakutan. Ketakutan pada jawaban yang akan didengarnya.
Jangan-jangan jawaban mereka atas pertanyaan itu akan dapat
menambah sedih hatinya. Karena itu, maksudnya untuk bertanya
tentang ibunya dibatalkan.
Sementara itu malam menjadi semakin jauh. Bintang-bintang
telah berkisar dari tempatnya semula ke arah barat. Di ujung
selatan, bintang Gubug Penceng telah melampaui garis tegak
lurus.
Dalam pada itu tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh. Angin yang
silir bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya sehingga tiba-tiba
pula perasaan kantuk seolah-olah menyengat perasaannya. Dua
orang yang berada di kedua sisinya itu telah beberapa kali
menguap. Sedang orang yang berjalan hilir mudik itu pun
merasakan pula serangan kantuk yang dalam. Demikian pula
orang yang tegak berjaga-jaga di tengah jalan. Dengan tanpa
mereka sadari, mereka jatuh terduduk.
Arya Salaka pun merasakan juga serangan kantuk itu. Tetapi
karena pengalamannya selama ini, telah mempertajam nalurinya.
Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tiba-
tiba ia teringat cerita gurunya tentang semacam ilmu yang dapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 95
mempengaruhi kesadaran seseorang. Yaitu ilmu sirep. Dengan
ilmu itu orang dapat memperlemah kesadaran orang lain yang
tampaknya menjadi kantuk dan tertidur. Karena itu, pada saat
itupun Arya segera memperkuat ketahanan diri. Dikerahkannya
segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh sirep yang
dalam itu.
Arya Salaka, meskipun masih sangat muda, tetapi karena
masa-masa pembajaan diri yang selama ini dialami, maka iapun
telah menjadi anak muda yang perkasa lahir dan batin.
Karena itulah maka ia berhasil menyelamatkan dirinya dari
pengaruh sirep yang tajam itu.
Beberapa kali ia mencoba membangunkan orang-orang jaga
yang kemudian jatuh tertidur. Tetapi demikian mereka terbangun,
menguap dan kembali jatuh tertidur. Arya Salaka menjadi heran.
Demikian kuatnya pengaruh sirep terhadap kesadaran seseorang.
Namun meskipun demikian, ia yakin, apabila ada sesuatu yang
mengejut dan cukup kuat memberi mereka rangsang, maka orang-
orang yang kena pengaruh sirep itupun akan dapat terlepas
dengan sendirinya. Sebab apabila ia memukul paha salah seorang
dari penjaga yang tertidur, orang itupun menjadi terkejut pula dan
terbangun untuk kemudian jatuh tertidur kembali.
Bagi Arya Salaka, pengaruh sirep itu merupakan tanda bahaya.
Ia tidak tahu siapakah yang menyebarkannya. Tetapi ia menjadi
cemas, kalau kemudian sepasukan laskar akan diam-diam
menyerbu perkemahan yang seolah-olah menjadi tertidur
seluruhnya. Ia tidak tahu apakah semua orang mengalami nasib
seperti kelima penjaga itu. Apakah orang yang berjaga-jaga di
sekitar pondok Endang Widuri pun menjadi tertidur. Dan apakah
Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan Jaladri tidak dapat
membebaskan diri dari pengaruhnya. Arya Salaka menjadi
kebingungan. Ia tidak sampai hati meninggalkan para penjaga
yang tertidur itu. Kalau penyebar sirep ini menghendaki, maka
dengan mudahnya mereka membunuh penjaga-penjaga itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 95
Tetapi belum lagi ia mendapat keputusan, telinganya yang
tajam mendengar kemersik daun tersentuh kaki. Cepat Arya
Salaka menyiagakan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi suara itu tidak berhenti ketika sudah menjadi semakin dekat
dari tempat duduknya. Bahkan kemudian terdengar suara berbisik
lirih, “Siapa yang bertugas di sini?”
Arya sudah mengenal suara itu. Suara Wirasaba. Karena itu ia
menjadi gembira karena setidak-tidaknya, ia sendiri dan Wirasaba
dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep ini. Maka dengan
perlahan-lahan pula ia menjawab, “Aku, Paman, Arya.”
“Arya Salaka?” ulang Wirasaba agak terkejut.
“Ya,” jawab Arya pula.
Wirasaba beringsut mendekati Arya Salaka. “Kenapa Angger
berada di sini?” tanya Wirasaba.
“Aku hanya berjalan-jalan saja ketika aku tidak dapat tidur.
Tetapi para penjaga inilah yang kemudian jatuh tertidur,” sahut
Arya.
“Mereka terkena pengaruh sirep,” jelas Wirasaba. “Untunglah
Angger terbebas dari pengaruhnya.”
“Akupun merasakan pengaruhnya, Paman. Lalu bagaimanakah
dengan yang lain-lain?” tanya Arya Salaka.
“Adi Mantingan sedang mengamati mereka,” jawab Wirasaba.
Hati Arya Salaka menjadi bertambah besar ketika ternyata
Mantingan pun terbebas dari pengaruh sirep itu. Bahkan kemudian
ia bertanya, “Siapa pulakah yang dapat menyelamatkan diri?”
“Adi Mantingan baru menyelidiki mereka. Tetapi Jaladri juga
terbebas dari pengaruh sirep ini atas bantuan Adi Mantingan,”
jawab Wirasaba.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 95
Kemudian Arya Salaka tidak cemas lagi. Ada empat orang yang
pasti terbebas dari pengaruh sirep itu. Namun ia bertanya pula,
“Jadi dapatkah Paman Mantingan menolong orang lain
membebaskan diri dari pengaruh sirep ini?”
“Demikianlah,” jawab Wirasaba. “Tetapi tidak kepada semua
orang. Ia hanya dapat membantu seperlunya apabila orang itu
sendiri cukup mempunyai daya tahan.”
“Syukurlah,” gumam Arya.
“Ia adalah seorang dalang. Sebagai seorang dalang ia perlu
memiliki berbagai macam ilmu. Sebab kadang-kadang ia memang
berhadapan dengan gangguan-gangguan dari para penontonnya
yang jahil.” Wirasaba menegaskan.
Tetapi kemudian Arya Salaka kembali membayangkan
bagaimanakah kalau sepasukan laskar menyerbu perkemahan ini.
Sedang sebagian besar dari laskar Banyubiru itu jatuh tertidur.
Karena itu ia bertanya kembali, “Paman Wirasaba, bagaimanakah
seandainya malam ini perkemahan kita ini diserbu oleh sepasukan
laskar?”
Meskipun Arya Salaka mempunyai daya tahan lahir batin yang
cukup kuat, namun ternyata pengetahuannya belumlah seluas
Wirasaba, yang menjawab pertanyaannya itu. “Tidak Angger,
pasukan penyerbu itupun akan terkena pengaruh sirep ini pula.
Sebab daya kekuatan sirep ini tidak dapat ditujukan kepada
seorang atau serombongan orang. Tetapi dayanya seolah-olah
memenuhi udara di sekitar penyebarnya. Sehingga apabila pada
malam ini ada orang yang ingin memasuki perkembahan ini, pasti
merekapun jumlahnya terbatas. Terbatas pada mereka yang atas
kemampuan sendiri, atau atas bantuan orang lain membebaskan
diri dari pengaruh sirep ini.”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia
samasekali tidak perlu khawatir. Di dalam perkemahan itu ia cukup
mempunyai kawan yang mempunyai ilmu cukup tinggi. Meskipun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 95
demikian ia masih ingin mengetahui bagaimanakah keadaan
Endang Widuri dan Rara Wilis. Sebab tanpa setahunya, ia merasa
bahwa nasib gadis kecil itu adalah sama dengan nasibnya sendiri.
Maka kemudian setelah Wirasaba berada di tempat itu, ia tidak
keberatan lagi meninggalkan para penjaga itu. Kepada Wirasaba
ia berkata, “Paman, apabila Paman bersedia untuk tinggal di sini,
aku minta ijin untuk menengok pondok Bibi Wilis dan Widuri.”
“Jangan Angger,” cegah Wirasaba. “Jangan pergi sendiri.
Marilah aku antar Angger ke sana.”
“Lalu bagaimana dengan para penjaga ini?” tanya Arya Salaka.
“Biarlah mereka kita sisihkan. Aku kira orang-orang yang
menyebar sirep itu tidak akan berkesempatan mengurusi para
penjaga itu. Mereka pasti berhasrat untuk langsung menemukan
kekuatan-kekuatan pokok dari perkemahan ini.”
Arya Salaka dapat mengerti keterangan Wirasaba itu. Karena
itu iapun segera membantunya, mengangkat para penjaga yang
tertidur itu ke tepi, ke atas rerumputan yang sudah mulai basah
karena embun malam yang perlahan-lahan turun ke bumi.
Dingin malam musim bediding rasa-rasanya sampai menggigit
tulang. Namun oleh ketegangan yang mengetuk-ngetuk dada, rasa
itu samasekali tak mempengaruhi mereka yang sedang berusaha
menyelamatkan perkemahan itu.
Dengan mengendap-endap penuh kewaspadaan, Arya Salaka
diantar oleh Wirasaba yang menggenggam sebuah kapak yang
besar sekali menuju ke barak kecil tempat Rara Wilis dan Endang
Widuri beristirahat selama mereka berada di perkemahan itu.
Meskipun sebenarnya Arya Salaka samasekali tidak merasa
perlu pengawalan, namun ia tidak mau menyakitkan hati orang
lain. Karena itu ia tidak menolak. Ketika mereka lewat dekat gardu
pimpinan, mereka melihat bahwa gardu itu kosong. Tetapi mata
Arya Salaka yang tajam dapat melihat sebuah bayangan yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 95
berdiri di belakang gardu itu. Agaknya Jaladri merasa perlu
sekadar melindungkan dirinya untuk dapat mengadakan
pengawasan di sekitar tempat itu dengan lebih seksama. Di
tangannya tergenggam sebuat canggah, tombak bermata dua.
Arya dan Wirasaba berjalan terus. Dengan gerak tangan
Wirasaba memberi isyarat kepada Jaladri, yang membalas dengan
isyarat tangan pula. Beberapa langkah kemudian mereka sudah
melihat pondok tempat tinggal Rara Wilis dan Endang Widuri.
Ternyata para penjaga pondok itupun telah tertidur pula. Karena
itu Arya Salaka menjadi cemas, jangan-jangan telah terjadi
sesuatu atas penghuninya.
Perlahan-lahan ia menyusuri tempat-tempat yang gelap
mendekati pondok itu.
“Marilah, kita lihat apakah mereka tidak mengalami sesuatu
paman” ajak Arya Salaka berbisik perlahan sekali
“Marilah,” jawab Wirasaba.
Dengan sangat hati-hati mereka mendekati pintu pondok yang
memang tidak pernah terkancing. Perlahan-lahan Arya
menyingkapkan pintu itu. Meskipun demikian terdengar suatu gerit
perlahan. Hanya perlahan. Tiba-tiba ketika pintu itu terbuka,
terjulurlah ujung sehelai pedang yang tipis mengarah ke dada Arya
Salaka.
Arya Salaka terkejut. Untunglah ia memiliki ketangkasan yang
cukup. Meskipun pedang itu tidak membawa serangan maut,
namun agaknya perlu juga ia menjaga dirinya dan menghindari.
Melihat senjata itu Wirasaba pun terkejut. Ia segera meloncat maju
untuk menangkis serangan itu. Tetapi ujung pedang itu sangat
lincahnya di dalam kegelapan malam, bahkan dengan sekali putar
hampir saja lengan Wirasaba tergores. Karena itu Wirasaba
terkejut sekali dan meloncat mundur. Ketika ia kemudian
mengangkat kapaknya untuk menyerang kembali terdengarlah
Arya Salaka berdesis. “Paman, itu adalah pedang Bibi Wilis.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 95
Wirasaba terhenti. Dan bersamaan dengan itu, tampaklah
sebuah bayangan meloncat keluar dengan lincahnya, bahkan
seperti terbang. Demikian bayangan itu menginjak tanah,
demikian ia telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi
juga bayangan itu terkejut ketika ia melihat Wirasaba dan Arya
Salaka berdiri di dalam gelap. Karena itu terlontarlah dari
mulutnya. “Kau, Arya…?”
“Ya, Bibi….” jawab Arya. “Kami minta maaf kalau kami
mengejutkan Bibi.”
Rara Wilis menarik nafas. Katanya, “Suasana malam ini
memaksa aku untuk sangat berhati-hati.”
“Aku sebenarnya ingin melihat keadaan Bibi dan Widuri tanpa
mengganggu,” sambung Arya.
“Tak apalah,” jawab Rara Wilis. “Dan syukurlah kalau kalian
juga berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam
ini.”
Wirasaba berdiri tegak dan bersandar pada tangkai kapaknya.
Meskipun ia telah menduga bahwa Rara Wilis tidaklah sama
dengan kebanyakan wanita, namun ia samasekali tidak menduga
bahwa sampai sekian gadis itu telah mencapai ilmunya. Sementara
itu tiba-tiba terdengar suara dari tlundak pintu. “Untunglah
dadamu tidak terlubang Kakang Arya.”
Arya menoleh. Dilihatnya Endang Widuri duduk dengan
enaknya di atas tlundak pintu itu. Arya Salaka dan Wirasaba lebih
terkejut melihat Endang Widuri duduk di situ daripada mendengar
suaranya. Mereka samasekali tidak mengira bahwa gadis itupun
berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep. Karena itu
terdengar Arya bertanya perlahan, “Kau tidak tertidur…?”
“Aku belum ngantuk.” jawab Widuri seenaknya.
“Aneh,” tiba-tiba terdengar Wirasaba bergumam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 95
Rara Wilis mendengar gumam itu. Dengan tersenyum ia
menjawab, “Anak itu memang luar biasa.
Akupun harus berjuang untuk melawan pengaruh sirep ini sekuat
tenaga. Tetapi Widuri memang seakan-akan samasekali tidak
disentuh oleh kekuatan sirep ini.”
Widuri merasa bahwa dirinyalah yang sedang dipercakapkan
itu. Maka iapun segera menyahut, “Apakah kalian heran karena
aku belum ngantuk? Bukankah ini masih belum terlampau
malam?”
Tak seorangpun menjawab. Mereka tahu sifat gadis itu. Nakal
dan kadang-kadang suka menuruti perasaan sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba di kejauhan terdengar suara siulan
nyaring. Suara itu menggetar di seluruh perkemahan anak-anak
Banyubiru itu, seolah-olah melingkar-lingkar menyusup ke setiap
pondok. Rara Wilis dan kawan-kawannya terkejut mendengar
suara itu. Suara yang belum pernah mereka dengar. Apalagi
kemudian suara itu disusul dengan bunyi yang sama di arah yang
berlawanan.
Tidak itu saja, suara siulan itu masih terdengar berturut-turut
dari dua arah yang berbeda. Dengan demikian maka dapat
diketahui bahwa orang yang bersiul, dan yang pasti, mereka
pulalah yang menyebarkan sirep ini, berada di empat arah mata
angin. Karena itulah, Rara Wilis dan kawan-kawannya itu
mengetahui bahwa orang-orang itu telah berusaha mengepung
perkembahan ini. Dengan demikian mereka harus enjadi lebih
berhati-hati lagi.
Sementara itu mereka melihat Ki Dalang Mantingan dan Jaladri
datang pula ke pondok itu. Dengan nafas yang terengah-engah ia
berkata perlahan, “Aku cari Angger Arya Salaka setengah mati.
Ketika aku menengok ke pondok Angger, aku menjadi gugup,
karena Angger tidak ada di tempat. Aku coba mencari berkeliling,
tetapi juga tidak aku jumpai. Akhirnya dari Jaladri aku mendengar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 95
bahwa Angger pergi kemari bersama-sama dengan Kakakng
Wirasaba”
“Angger Arya Salaka berada di mulut perkemahan ini, Adi,”
jawab Wirasaba.
“Syukurlah kalau tidak terjadi sesuatu. Dan bukankah di sini
juga tidak terjadi sesuatu?” tanya Mantingan pula.
“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis singkat.
“Kakang Wirasaba, menilik suara yang mereka perdengarkan,
mereka berada di empat arah mata angin di sekeliling perkemahan
ini. Juga menilik tanda-tanda suara yang mereka berikan, mereka
pasti mengira bahwa perkemahan ini telah terbenam seluruhnya
dalam pengaruh sirepnya. Karena itu mereka pasti akan memasuki
perkemahan ini dengan seenaknya.” Mantingan mulai memberi
penjelasan. “Karena itu, maka adalah menjadi kewajiban kami
untuk menyelamatkan perkemahan ini. Waktu kita agaknya tinggal
sedikit. Sebab apabila mereka merasa bahwa jarak waktu yang
mereka berikan untuk meresapkan sirepnya telah mereka anggap
cukup, mereka pasti akan segera bertindak”
Wirasaba sependapat dengan keterangan Mantingan. Maka ia
pun membenarkannya, “Lalu apakah yang harus kita lakukan Adi?”
tanya Wirasaba.
Mantingan berpikir sejenak. Kemudian ia menjawab, “Kita
yang telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh jahat ini,
harus memberikan perlindungan-perlindungan terhadap anak-
anak Banyubiru yang lain. Aku kira mereka akan mencari orang-
orang yang mereka anggap penting. Aku tidak tahu apakah
mereka telah mengetahui keadaan perkemahan ini dengan baik.
Tetapi disamping itu….” Mantingan berhenti sejenak. Matanya
berkisar kepada Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka.
Rara Wilis Segera menangkap perasaan Ki Dalang Mantingan.
Karena itu ia menjawab, “Kakang, biarlah kami coba untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 95
melindungi diri kami masing-masing. Adalah sudah menjadi
kewajiban Kakang Mantingan, Kakang Wirasaba dan Jaladri untuk
mencoba melindungi anak-anak Banyubiru yang merupakan
tenaga-tenaga inti dari laskar ini.”
Mantingan menjadi agak malu karena perasaannya dapat
ditebak dengan tepat. Tetapi ia tidak akan sampai hati untuk
membiarkan gadis-gadis itu dan anak semuda Arya Salaka untuk
menjaga diri mereka sendiri terhadap penyerang-penyerang yang
bersembunyi seperti ini. Apalagi jelas bahwa para penyerang itu
memiliki ilmu yang cukup tinggi. Terbukti dengan sirepnya yang
cukup tajam ini. Sedangkan Arya Salaka bagi laskar Banyubiru
ternyata telah menjadi penguat tekad perjuangan mereka.
Sehingga daripada yang lain-lain, Arya Salaka-lah yang pertama-
tama wajib diselamatkan.
“Maaf Adi Wilis….” kata Mantingan pula, “Aku wajib untuk
berusaha menyelamatkan kalian. Karena itu, aku harap Kakang
Wirasaba tetap berada di tempat ini, aku akan berada di pondok
sebelah untuk mencoba melindungi anak-anak yang tertidur
dengan nyenyaknya.”
“Baiklah Adi,” jawab Wirasaba.
“Kau ikut dengan aku Jaladri,” sambung Mantingan. “Kita
kosongkan gardu pimpinan.” Seterusnya kepada Rara Wilis ia
berkata, “Keadaan menjadi semakin gawat. Kami silahkan kalian
masuk. Sebaiknya Kakang Wirasaba pun berada di dalam pula.
Kami masing-masing akan memberi tanda apabila keadaan kami
sulit. Pukullah kentongan atau berteriaklah memanggil. Jarak kami
tidak terlalu jauh.”
Selesai dengan kata-katanya, Mantingan pun segera bergerak
meninggalkan tempat itu. Ia terpaksa membagi kekuatan mereka.
Wirasaba untuk melindungi pondok Wilis, sedang ia sendiri dan
Jaladri berusaha untuk melindungi kekuatan-kekuatan pokok
laskar Banyubiru. Tetapi meskipun demikian, namun otaknya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 95
diganggu juga oleh teka-teki, bagaimana mungkin Arya Salaka dan
Rara Wilis dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam
ini. Apalagi ia samasekali tidak tidak tampak kantuk. Sedangkan
orang seperti Jaladri itupun masih memerlukan bantuannya untuk
membebaskan diri dari pengaruh sirep ini. Meskipun ia telah
menduga bahwa kedua gadis itu pasti memiliki kelebihan dari
gadis-gadis lain, tetapi ia samasekali belum dapat membayangkan
sampai di mana ketinggian ilmu mereka itu. Dalam pada itu Rara
Wilis seperti juga Arya Salaka, tidak mau mengecewakan Dalang
Mantingan. Karena itu ia menerima Wirasaba untuk menjadi
pelindung pondok itu, meskipun ia sadar bahwa sebenarnya
tenaganya sangat diperlukan.
Sesaat kemudian, setelah mereka masuk kembali ke dalam
pondok masing-masing, suasana perkemahan itu diliputi oleh
kesunyian yang tegang.
Wirasaba duduk dengan gelisah di dalam pondok Rara Wilis.
Sedang Rara Wilis sendiri selalu siap untuk setiap saat bertindak.
Pedangnya yang tipis tersandang di pinggangnya. Ia duduk di bale-
bale bambu menghadap pintu. Disampingnya duduk Arya Salaka.
Kyai Banyak sudah tidak lagi bertangkai sependek tangkai belati.
Tetapi ia telah memberinya tangkai hampir sedepa. Sedangkan
Widuri dengan enaknya berbaring di bale-bale itu, seolah-olah
tidak menghiraukan samasekali kegelisahan orang-orang di
sekitarnya. Namun demikian ternyata gadis tanggung itupun telah
bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Ternyata bahwa
ia tidak mengenakan kain panjangnya, tetapi ia berpakaian seperti
seorang laki-laki. Pakaian yang selalu dipakainya apabila ia sedang
berlatih tata bela diri maupun latihan-latihan untuk ketahanan diri.
Pertanda yang lain dari kesiap-siagaannya adalah sebuah karset
perak berbentuk rantai sebesar itu jari yang melingkar di leher
Widuri, yang ujungnya terjuntai tersangkut di ikat pinggangnya.
Rantai perak itu tidak saja merupakan senjata yang berbahaya,
tetapi di leher gadis itu, rantai itu dapat menjadi perhiasan yang
menambah kecerahan wajahnya. Di pondok sebelah, Jaladri
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 95 of 95
menunggu setiap kemungkinan dengan cemas pula. Ia tidak duduk
atau berdiri bersiaga, tetapi ia berpura-pura tidur dalam jajaran
para laskar Banyubiru yang benar-benar sedang tertidur dengan
nyenyaknya. Seperti Arya Salaka, ia mencoba-coba untuk
membangunkan beberapa orang. Namun demikian ia menggeliat,
demikian ia kembali kehilangan kesadaran. Bahkan sesaat
kemudian terdengarlah dengkurnya mengusik sepi malam. Tetapi
meskipun ia berbaring, di sampignya terletak senjata andalannya.
Sebuah canggah bermata dua, yang tidak terlepas dari tangannya.
Mantingan, yang merasa bertanggungjawab atas keselu-
ruhannya, tidak ikut serta masuk ke dalam pondok-pondok itu.
Ketika semuanya telah menjadi sepi kembali, karena Wirasaba dan
Jaladri telah lenyap di balik pintu-pintu pondok. Mantingan segera
meloncat ke sebuah batang pohon yang daunnya cukup
memberinya perlindungan. Di lambungnya terselip sebilah keris,
sedang tangannya menggenggam senjatanya erat-erat. Trisula
yang bertangkai kayu berlian, sebagai lambang kekuatannya yang
dilambari ilmu gerak yang luar biasa lincahnya, Pacar Wutah.