1454_mekanisme pencegahan well kick dengan mengunakan metode driller
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Well kick adalah salah satu pengetahuan yang harus diketahui oleh
para pekerja dalam operasi pengeboran migas, maupun pengeboran
panas bumi untuk mencegah terjadinya semburan liar (blow out).
Kick adalah salah satu kondisi dimana fluida formasi telah masuk
kedalam lubang sumur pengeboran, yang mana nantinya fluida tersebut
akan mendorong isi lubang yang ada didalam lubang tersebut hingga
kepermungkaan dengan kata lain semburan liar (blow out). Pengendalian
well kick pada opersi pengeboran sangatlah penting sekali, karena
semburan yang tidak dapat dikendalikan akan dapat banyak masalah
besar baik dari Perusahaan dan Negara, seperti biaya yang tinggi, korban
manusia, kerusakan linggkungan,dan berkurangnya cadangan yang sagat
berpotensial khususnya dibawah perut bumi.
Blow out dapat dicegah dengan jalan mencegah terjadinya kick,
sedangkan kick dapat dicegah oleh factor manusia yang berkerja
pengeboran dengan jalan memperkecil atau menghilangkan terjadinya
kick.
Apabila kick masih terjadi, dia akan meberikan tanda-tanda, apabila
dilihat dari gejala-gejala kick tersebut masih belum dapat berkurang, maka
sumur tersebut harus secepat mungkin ditutup, setelah ditutup lalu
lakukan langkah-langkah dalam mematikan sumur tersebut.
1.2 Tujuan Penulisan.
Adapun dalam tujuan penulisan kolokium II (Tugas Akhir) ini
adalah:
1. Memberikan gambaran dan penjelasan bahwa pentingnya
well control dalam operasi pengeboran, guna mencegah
terjadinya well kick dan bahkan blow out.
2. Memberikan penjelasan pentingnya dasar-dasar mekanisme
pencegahan well kick yang meliputi dari karakteristik lumpur
pengeboran, sebab-sebab terjadinya well kick serta
mekanisme pencegahan well kick dengan mengunakan
metode driller.
3. Merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana pada Jurusan Teknik Perminyakan Universitas Islam
Riau.
1.3 Batasan Masalah.
Agar penulisan ini tidak menyimpang dan lebih terarah dari sasaran
yang akan diajukan, bahasan masalah yang akan dibahas adalah
‘’Mekanisme pencegahan well kick dengan mengunakan metode driller’'.
1.4 Metode penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil dan mengumpulkan
bahan/ data dari berbagai referensi yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas, lalu mendiskusikannya dengan Dosen Pembimbing serta
mencari informasi dari berbagai sumber yang mempunyai pengetahuan
tentang masalah yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
1.5 Sistematika penulisan
Sebagai gamabaran umum dalam sistematika penulisan Tugas akhir
yang terdiri dari berbagai bab dan sub bab di antaranya adalah sebagai
berikut:
� Bab I : Membahas tentang latar belakang, tujuan penulisan,
batasan masalah, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
� Bab II : Menjelaskan tentang tinauan umum lapangan
� Bab III : Teori dasar yang terdiri dari Tekanan formasi,
karakteristik lumpur pembooran, dan sebab-sebab
terjadinya kick.
� Bab IV: Mekanisme Pencegahan Well Kick Dengan
Mengunakan Metode Driller. (Juru bor)
� Bab V : Merupakan hasil dari peritunggan data lapangan
� Bab VI : Pembahasan
� Bab VII: Merupakan kesimpulan dari seluruh uraian-uraian
bab-babsebelumnya.
BAB II
TINJAUAN UMUM LAPANGAN
Dalam Bab II ini, perlu penulis menjelaskan bahwa lapangan “kye”
merupakan lapangan yang dimiliki oleh PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI)
yang ditenderkan kepada mitra kerja PT. CPI yang dalam hal ini PT. Saripari
Pertiwi Abadi. Dengan demikian berikut ini penulis memberikan penjelasan
secara umum tentang lapangan “kye” tersebut.
2.1 Sejarah PT. Chevron Pacific Indonesia
PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) adalah salah satu perusahaan minyak
asing yang beroperasi di Indonesia yang berada dalam lingkup perusahaan
minyak bumi dan gas alam terkenal di seluruh dunia, yaitu California Texas
Petroleum Corporation (CALTEX) yang merupakan anak perusahaan dari
CHEVRON AND TEXACO (Texas Oil Corporation).
Bermula pada Maret 1924, dilakukan upaya pencarian minyak oleh tim
geologi Chevron Corporation (saat itu bernama Standard Oil Company of
California-SOCAL) yang dipimpin oleh Emerson M.Butterworth di daerah
Sumatera, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan wilayah Papua (sekarang Irian
Jaya). Pada tahun 1930, Pemerintah Hindia Belanda menyetujui permintaan
SOCAL untuk memperoleh hak eksplorasi dengan cara menunjuk SOCAL
sebagai minority partner dari suatu perusahaan yang didirikan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada bulan Juni 1930 dengan nama N.V. Nederlandsche Pacific
Petroleum Maatschappij (NPPM) untuk melakukan eksplorasi di Papua.
Tahun 1935, NPPM mendapat tawaran daerah seluas 600.000 hektar di
Sumatera Bagian Tengah yang belum layak dieksplorasi dan dianggap kurang
memberikan harapan. Walaupun bukan daerah yang dikehendaki SOCAL,
namun tawaran tersebut diterima juga. Pada tahun 1936, CHEVRON dan
TEXACO Inc. mendirikan kelompok perusahaan CALTEX. Pemberian kontrak
Caltex di Propinsi Riau dimulai dengan diterimanya tawaran pemerintah Hindia
Belanda tersebut. Setelah eksplorasi Geofisika (Juni 1937), maka dilakukan
pengeboran perdana pada area Kubu I (1938 -April 1939), dan memperoleh
indikasi gas di Rantaubais.
Daerah-daerah migas yang ditemukan adalah :
- Sebanga (Agustus 1940) sebagai sumur perdana
- Rantaubais (November 1940)
- Duri (Maret 1941)
Kemudian pada tanggal 2 April 1941 ditandangani kontrak untuk daerah
Rokan I dengan pemasangan mercubor pertama di Minas-1, dimana pada waktu
itu Indonesia diperintah oleh pendudukan Jepang. Namun pada masa itu terjadi
Perang Dunia II menyebabkan terhentinya seluruh kegiatan eksplorasi minyak
dan meninggalkan peralatan pengeboran seharga US$1 juta. Pada tahun 1944,
dengan memanfaatkan peralatan yang ditinggalkan sebelumnya, bala tentara
Jepang menyelesaikan pengeboran eksplorasi Minas 1 pada lokasi yang
sebelumnya dipilih dan dipersiapkan oleh Caltex. Ini merupakan satu-satunya
sumur Wildcat di Indonesia selama Perang Dunia II dengan kedalaman minyak
2623 ft (787,5 m).
Setelah berakhirnya perang, kegiatan Caltex dilanjutkan dengan
pengembangan lapangan Minas. Pada tanggal 20 April 1952, Menteri
Perekonomian Sumanang, S.H meresmikan selesainya proyek pengembangan
lapangan Minas yang ditandai dengan pengapalan pertama Minas Crude dari
Perawang menuju Pakning, di Selat Malaka, untuk selanjutnya diekspor ke pasar
dunia.
Pada tahun 1957, dimulai Proyek Perluasan I meliputi pengembangan
lapangan Duri, pembangunan jalan raya dan pemasangan pipa saluran minyak
dari Minas melintasi rawa ke Dumai. Proyek ini juga mencakup pembangunan
stasiun-stasiun pengumpul dan stasiun pompa pusat di Duri, serta kompleks
perumahan dan perbengkelan di Duri maupun di Dumai dan diresmikan pada
tanggal 15 Juli 1958 oleh Menteri Perindustrian Ir. F.J. Inkiriwang. Sejak saat itu
produksi Caltex diekspor melalui Dumai. Dalam rangka Proyek Perluasan I ini
diselesaikan juga Jembatan Ponton melintasi Sungai Siak yang menghubungkan
Pekanbaru dengan Rumbai. Dengan adanya Jembatan Siak ini, terwujudlah
jalan lintas pulau yang pertama di Sumatera, merentang sepanjang 500 km dari
Padang ke Dumai.
Usaha menasionalisasi perusahaan minyak asing di Indonesia diatur
dalam UU No.44 Tahun 1960. Berdasrkan UU ini ditetapkan bahwa semua
kegiatan penambangan migas di Indonesia hanya boleh dilakukan oleh
Perusahaan Minyak Negara (Pertamina). Pada tahun 1963, PT Caltex menjadi
badan hukum di Indonesia dan berubah nama menjadi PT. Caltex Pacific
Indonesia. Dengan pemilikan saham masing-masing 50% SOCAL dan TEXACO.
Pada tahun 1970, dimulai Proyek Perluasan II, yaitu pengembangan
lapangan Bangko dan Kotabatak. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 44
tahun 1960, wilayah NPPM yang disebut Rokan I Block dan Rokan II Block
(seluas 9.030 km2), dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Kegiatan NPPM kemudian dilanjutkan oleh PT Caltex Pacific Indonesia (PT
CPI) yang didirikan pada bulan Februari 1963, dan disahkan pada 5 Agustus
1963 dan diumumkan pada tanggal 23 Agustus 1963.
Pada bulan september 1963, diadakanlah “Perjanjian Karya” yang ditanda
tangani antar perusahaan negara dan perusahaan asing yang termasuk di
dalamnya PT. CPI dan Pertamina. Isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa
wilayah PT.CPI adalah wilayah kangaroo seluas 9.030 km2. Pada tahun 1968,
diadakan penambahan luas wilayah yaitu sekitar Minas Tenggara, Libo
Tenggara, Libo Barat, dan Sebanga, sehingga luas wilayah kerja PT. CPI
seluruhnya menjadi 9898 km2.
Kemudian perjanjian karya yang berakhir pada anggal 28 November 1983
diperpanjang menjadi Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) hingga
tanggal 8 Agustus 2001 dengan wilayah kerja seluas 31.700 km2. Dalam kontrak
bagi hasil tersebut antara lain menetapkan bahwa Pertamina adalah pengendali
manajemen operasional dan yang menyetujui program kerja dan anggaran
tahunan. PT. CPI sebagai kontraktor berkewajiban melaksanakan kegiatan
operasional dan menyediakan keahlian teknis, dana investasi serta biaya
operasi. Rasio pembagian untuk kontrak bagi hasil yang disepakati sampai
dengan saat ini adalah sebesar 88% untuk Pertamina dan 12 % untuk PT. CPI
Akhirnya, berkisar pertengahan tahun 2005 dan setelah melewati masa
yang cukup lama dengan tingkat produksi yang cukup tinggi, perusahaan ini
kemudian berubah menjadi PT. Chevron Pasific Indonesia hingga saat ini.
2.2 Wilayah Kerja
Daerah kerja PT CPI yang pertama, seluas hampir 10.000 km2 dikenal
dengan nama Kanggaroo Block terletak di Kabupaten Bengkalis. Selain
mengerjakan daerahnya sendiri CPI juga bertindak sebagai operator bagi
Calasiatic/Chevron dan Topco/Texaco (C&T), perusahaan-perusahaan yang
masing-masing dimiliki Chevron dan Texaco.
Pada bulan September 1963, ditandatangani perjanjian C&T yang
pertama (berdasarkan Perjanjian Karya) untuk jangka waktu 30 tahun, meliputi
empat daerah seluas 12.328 km2, dikenal dengan sebutan Blok A, B, C dan D.
Setelah mendapat tambahan daerah seluas 4.300 km2, maka pada tahun 1968
sebagian blok A, sebagian blok D dan seluruh blok C (32,6 % dari daerah asal)
diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pengembalian daerah-
daerah berikutnya dilakukan pada tahun 1973 dan 1978 sehingga kini tersisa
8.314 km2 (kira-kira 67,4 % luas asal).
Pada bulan Agustus 1971, C&T menandatangani Perjanjian Coastal
Plains Pekanbaru Block seluas 21.975 km2. Kemudian pada bulan Januari 1975,
menandatangani Perjanjian Mountain Front Kuantan Block seluas 6.865 km2.
Setelah dilakukan pengembalian beberapa bagian daerah kerja secara bertahap,
sekarang Coastal Plain Pekanbaru tinggal 9.996 km2.
MEDAN
PADANG
PALEMBANG
BANDAR LAMPUNG
BANDA ACEH
BENGKULU
300 KMS
N
PEKANBARU
JAMBI
SIBOLGA
BLOCK
9,821 Km2
NIAS
BLOCK
9,834 Km2
C&T PS
MFK BLOCK3,000 Km2
SIAK
BLOCK
4,571 Km2
ROKAN
BLOCK
7,914 Km2
C&T PS
CPP BLOCK
9,996 Km2
Relinquished
Relinquished
Gambar 2.1 Daerah Operasi PT. Chevron Pacific Indonesia
Antara tahun 1979 - 1991, C&T menandatangani lima perjanjian lagi, yaitu:
- Tahun 1979, Perjanjian Patungan (Joint Venture) dengan Pertamina (Jambi
Selatan Blok B) seluas 5.826 km2 sudah dikembalikan seluruhnya tahun
1988.
- Tahun 1981, Kontrak Bagi Hasil (KPS) Singkarak Blok seluas 7.163 km2 di
Sumatera Barat (telah dikembalikan seluruhnya pada Juni 1984).
- Tahun 1981, KPS Langsa Blok seluas 7.080 km2 di Selat Malaka di Lepas
Pantai Sumatera Utara dan Daerah Istimewa Aceh (juga telah dikembalikan
seluruhnya pada Mei 1986).
- Tahun 1991, KPS Nias Blok seluas 16.116 km2.
Perpanjangan Kontrak Karya ke dalam bentuk KPS untuk Siak Blok seluas
8.314 km2 berlaku 20 tahun sejak 28 Nopember 1993.
2.3 Visi, Misi Dan Nilai-nilai
Pada bulan Januari 1992, diadakan sarasehan dengan melibatkan semua
jajaran manajemen PT CPI yang bertujuan mematangkan visi, misi, dan nilai-nilai
yang dirumuskan secara tegas dan tertulis. Visi perusahaan yang dirumuskan PT
Caltex Pacific Indonesia adalah “Diakui sebagai sebuah perusahaan kelas dunia
yang bertekad untuk mencapai tingkat yang sempurna ”. Untuk dapat diakui
sebagai perusahaan kelas dunia, PT CPI melaksanakan apa yang disebut
Continous Quality Improvement (perbaikan kualitas yang berkesinambungan).
Sedangkan misi perusahaan untuk mencapai visi yang telah dicanangkan adalah
“sebagai mitra usaha Pertamina, PT CPI secara efektif akan mencari dan
mengembangkan sumber daya minyak dan gas bumi untuk kesejahteraan
bangsa Indonesia dan kepentingan pemegang saham”.
Enam nilai pokok yang harus dijunjung tinggi segenap pimpinan dan
karyawan PT Chevron Pacific Indonesia adalah :
1. Memenuhi semua perundangan dan peraturan yang berlaku.
2. Menjunjung standar etika yang paling tinggi.
3. Memperlakukan karyawan sebagai sumberdaya yang paling berharga.
4. Memelihara lingkungan yang sehat dan aman bagi karyawan, kontraktor dan
keluarganya.
5. Menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung pengembangan masyarakat.
6. Menjadikan peningkatan mutu yang berkesinambungan sebagai falsafah
hidup.
2.4 Struktur Organisasi Perusahaan
PT. Chevron Pacific Indonesia merupakan suatu perusahaan swasta
asing yang merupakan Contractor Productin Sharing (KPS) Pertamina. Sejak
tanggal 11 Maret 1995 PT CPI memberlakukan struktur organisasi baru yakni
dari bentuk departemen menjadi Strategic Bussiness Unit (SBU), sehingga
dalam perusahaan seakan-akan ada perusahaan-perusahaan kecil. Dalam unit
ini setiap anggota diarahkan pada kerjasama tim sebagai suatu kelompok kerja.
Dengan demikian, dalam setiap unit terdapat sumberdaya yang cukup untuk
melakukan bisnis sendiri.
Dengan manajemen sistem SBU ini, otonomi tiap unit menjadi semakin
besar (desentralisasi), sehingga diharapkan efektivitas dan efisiensi perusahaan
dengan semboyan “Our Journey to World Class Company” ini semakin tinggi.
Hal ini sangat perlu mengingat tingkat persaingan dan biaya produksi yang
semakin tinggi, sementara harga minyak dan cadangan minyak bumi semakin
menurun dan sukar dieksploitasi.
Reorganisasi ini dilakukan karena melihat bahwa situasi dunia modern
yang semakin kompetitif dan bersifat globalisasi. PT CPI ingin tetap hidup dan
berkembang dalam situasi tersebut dan berusaha menjadi perusahaan “Kelas
Dunia”, dan untuk memperkokoh posisinya, PT CPI melakukan langkah besar
yaitu dengan proses peningkatan mutu yang berkesinambungan sebagai cara
hidup berbisnis. Konsep dasar proses ini adalah secara aktif mendorong semua
pegawai untuk menyumbangkan saran dan tenaga untuk memperbaiki proses
dan prosedur, meningkatkan mutu barang dan jasa hingga akhirnya
meningkatkan cara berbisnis PT CPI.
Organisasi PT CPI sebelum SBU adalah bersifat fungsional, dimana
perusahaan membentuk beberapa departemen dengan fungsi yang berbeda dan
kesemuanya terpisah satu sama yang lain. Ini menghasilkan suatu keahlian
teknis yang tinggi namun proses kerja menjadi panjang dan rumit serta
kerjasama tim antar departemen menjadi lemah.
Pengorganisasian SBU menggabungkan proses pengembangan dan
pengelolaan ladang minyak menjadi satu unit, sedangkan organisasi pendukung
proses tersebut menjadi satu unit yang lain. Konsep SBU ini adalah organisasi
digerakkan oleh proses dan dirancang untuk meningkatkan semangat kerjasama
tim. PT CPI membagi organisasi perusahaannya dalam 7 SBU, yaitu:
- SBU Duri (Duri SBU), merupakan penghasil minyak terbesar PT CPI, yang
memiliki sistem injeksi uap terbesar di dunia. Wilayah operasinya meliputi
lapangan minyak Duri dan Kulim.
- SBU Minas (Minas SBU), merupakan daerah lapangan minyak Caltex dengan
kadar belerang sangat rendah (light oil) dan dikenal dengan Minas Crude.
Minyak jenis ini sangat digemari negara-negara industri yang mengimpor
Sumatran Light Crude. Wilayah operasinya meliputi lapangan Minas.
- SBU Bekasap (Bekasap SBU-yang mengelola ladang bagian Utara), dengan
wilayah operasi meliputi area Petani, Bekasap, Bangko dan Balam.
- SBU Rumbai (Rumbai SBU-yang mengelola ladang bagian Selatan), dengan
wilayah operasi meliputi area Petapahan, Zamrud, Libo dan Pedada.
- SBU Eksplorasi dan Pendukung Teknologi (Exploration and Technical
Support SBU) merupakan SBU pendukung yang bertanggung jawab terhadap
ekplorasi di bagian tengah dan lepas pantai barat Sumatera, operasi
pengeboran, kontrak-kontrak jasa berskala besar, pengembangan teknologi.
- SBU Pendukung Operasi (Support Operation SBU) bertanggung jawab atas
transportasi dan pengisian minyak, pembangkit tenaga listrik, operasi
perbaikan, dan jasa-jasa transportasi angkutan darat dan laut.
- SBU Urusan Umum (bertanggung jawab atas pengadaan barang seperti
perijinan bea dan cukai, pergudangan, pengadaan barang-barang umum,
pembelian berkala tahunan, pengamanan, jasa perjalanan udara dan
kesehatan).
Dengan sistem SBU ini, sistem manajemennya memiliki tingkat-tingkat
tertentu dengan tiap SBU dipimpin oleh seorang Vice President yang dibantu
oleh beberapa manajer. Manajer dibantu beberapa tim manajer dan dibawah tim
manajer terdapat beberapa orang tim leader. Dengan sistem ini garis skalar dan
rantai komando menjadi semakin pendek, pengawasan dan penilaian semakin
objektif dan efektivitas otonomi relatif tinggi dan mudah dijalankan dibanding
sistem “Line and Staff” yang konvensional.
Di bawah ini ada beberapa pemikiran mengenai reorganisasi yang
dikemukakan oleh Presiden dan Ketua Dewan Direksi PT CPI, Baihaki H. Hakim.
Salah satu faktor pemicu untuk melakukan reorganisasi adalah Continuous
Quality Improvement (CQI) yang dicanangkan di Bandung pada tahun 1992,
dimana setelah pelaksanaan CQI sampai dengan akhir 1993 dirasakan bahwa
struktur fungsional CPI yang ada kurang sesuai dengan sasaran yang akan
dicapai dalam hal proses perbaikan mutu. Dalam suatu Quality Control (Gugus
Kendali Mutu) kerjasama yang baik secara tim merupakan proses yang baik
dalam meningkatkan efisiensi. Selain itu PT CPI sudah melakukan “Business
Process Review” yang diharapkan memberikan jalan keluar atau breakthrough
terobosan dan improvements dalam jangka panjang. Maka untuk itu SBU
merupakan bentuk yang cocok.
Faktor lainnya adalah telah dilaksanakannya SBU di dua perusahaan
induk PT CPI, Chevron dan Texaco, dimana di perusahaan tersebut
pelaksanaan SBU sudah baik dan konsepnya sudah beredar dikalangan pakar
manajemen dan perusahaan lain. Faktor selanjutnya yang mempengaruhi
terlaksananya SBU adalah bahwa PT CPI sudah melakukan antisipasi jauh ke
depan terhadap situasi objektif seperti arus globalisasi, kompetisi yang makin
kuat dan tajam, serta sektor industri minyak yang secara internasional semakin
sulit, sehingga ini semua memaksa terjadinya tingkat efisiensi yang lebih tinggi
untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik.
2.5 Kegiatan Operasi
2.5.1 Eksplorasi
Setelah hak eksplorasi diperoleh NPPM pada tahun 1935, maka
dilaksanakan kegiatan seismik secara intensif di Riau, dimulai dengan daerah-
daerah sepanjang aliran Sungai Rokan. Berdasarkan penyelidikan geologik pada
tahun 1936 dan 1937, semakin diyakini bahwa cadangan minyak yang potensial
terdapat di wilayah yang lebih ke Selatan. Sehingga, atas permintaan Caltex,
daerah kerjanya diubah sehingga berbentuk seperti sekarang, yaitu bentuk
seekor kangguru menghadap ke barat.
Pekerjaan eksplorasi yang pertama mencakup penelitian geologik beserta
pengeboran sumur, dan penelitian seismik. Penelitian seismik yang dilakukan
tahun 1937-1941 dengan cara pengeboran pada lokasi-lokasi yang terpencar-
pencar dengan kedalaman seluruhnya 26.208 feet (7.862,4 meter).
Pada tahun 1938, dimulai pengeboran eksplorasi di Kubu, namun tidak
terdapat indikasi adanya minyak. Tahun 1938 -1944, sembilan sumur eksplorasi
berhasil diselesaikan dengan temuan di tiga tempat, yakni gas di Sebanga, serta
minyak di Duri dan Minas. Temuan gas di Sebanga merupakan tonggak sejarah
terpenting bagi eksplorasi perminyakan di bagian tengah pulau Sumatera,
sehingga meningkatkan kegiatan eksplorasi di wilayah yang baru ini.
Setelah Perang Dunia II, PT CPI melanjutkan program eksplorasinya
disamping mengembangkan temuannya di Minas. Enam sumur pengembangan
berhasil diselesaikan pada waktu itu.
Penelitian geologik dan pemetaan-pemetaan dimulai di seluruh daerah
kerja pada tahun 1951, disusul dengan pengeboran eksplorasi dan penelitian
geofisik pada tahun 1955. Pada tahun 1968 PT CPI memanfaatkan helikopter
untuk mendukung kegiatan pengeboran seismik dan eksplorasi, yang berhasil
mengurangi secara drastis hambatan yang dihadapi dalam penyediaan suplai
angkutan tenaga kerja untuk penelitian geofisik.
Sumur-sumur eksplorasi yang dibor sejak tahun 1968 menghasilkan
banyak temuan baru. Sampai tahun 1990, pengeboran eksplorsi telah
menghasilkan 119 temuan (minyak atau gas). Temuan utama yang terjadi sejak
tahun 1989 adalah Lapangan Rintis dan Jingga di daerah KPS Mountain Front-
Kuantan yang menjadi daerah-daerah produksi baru sekaligus meningkatkan
kegiatan eksplorasi di daerah sekitarnya. Hingga kini, PT CPI telah memiliki lebih
dari 70.000 km2 data seismik, 56.000 km2 diantaranya dari Daerah Riau Daratan.
2.5.2 Produksi
Setelah 17 tahun berproduksi, pada tanggal 4 Mei 1969 lapangan
Minas mencapai jumlah produksi akumulatif satu miliar barrel yang pertama, dan
menjadi lapangan raksasa pertama di Asia di sebelah Timur Iran dan ke-22 di
dunia. Hingga akhir tahun 1990, produksi akumulatif Lapangan Minas telah
melebihi tiga miliar barrel. Minas Crude Oil digemari oleh negara-negara industri
karena kadar belerangnya yang sangat rendah. Sampai tahun 1990, PT CPI
telah mengebor 3.660 sumur, 3.094 sumur diantaranya dibor sejak tahun 1966.
PT CPI dewasa ini menggunakan mercu bor yang dapat diangkut dengan
helikopter maupun yang dapat diangkut dengan kendaraan darat untuk
pengeboran-pengeboran eksplorasi dan pengembangan. Setiap tahun dapat
diselesaikan kira-kira 215 hingga 525 sumur eksplorasi dan pengembangan.
Hingga akhir tahun 1990 ini jumlah produksi PT CPI sejak tahun 1952 mencapai
lebih dari tujuh miliar barrel, berasal dari 3.237 sumur yang tersebar di 96
lapangan.
Program penyuntikan air (Water Flooding) di Lapangan Minas dimulai
tahun 1970. Air yang tersedot waktu pemompaan minyak disuntikan kembali
kedalam tanah sebanyak tiga juta barrel sehari. Proyek injeksi air lainnya
dilaksanakan di Lapangan Kotabatak sejak tahun 1974 dengan penyuntikan rata-
rata 32.000 barrel sehari. Sementara itu terus dikembangkan pula metode
peningkatan perolehan minyak yang dikenal sebagai Enchanced Oil Recovery
(EOR) untuk menambah cadangan minyak serta memperbaiki faktor perolehan,
selain juga untuk menahan merosotnya laju produksi lapangan-lapangan yang
menua.
Menyusul keberhasilan proyek perintis di Lapangan Duri, pada tahun 1981
dimulai penerapan penyuntikan uap panas di seluruh Lapangan Duri.
Penyuntikan uap di area 1 kira-kira seluas 1157 hektar sejak April 1985, di area
2 seluas 247 hektar sejak 1986, di area 3 seluas 1457 hektar pada tahun 1987
dan pembangunan sarana produksi saat ini sedang berlangsung di area 4 (1140
hektar). Pada tanggal 3 Maret 1990 diresmikan Proyak Injeksi- Uap (Steam
Injection) Duri, yang merupakan proyek injeksi uap terbesar di dunia.
DURI
HISTORY STEAM INJECTION PROJECT
Gambar 2.2 : Ladang minyak Duri dan tahun proyek injeksi uap
Gambar 2.3. : Peta lokasi Duri Steam Flood
Tabel 2.1 Luas lokasi steam flood
Area 01 1140 Ha Area 07 1940 Ha
Area 02 253 Ha
Area 08 1278 Ha
Area 03 1469 Ha Area 09 1703 Ha
Area 04 1231 Ha
Area 10 1650 Ha
Area 05 1350 Ha Area 11 2026 Ha
Area 06 1687 Ha Area 12 20072 Ha
2.6 Sarana Penunjang Operasi
Sarana-sarana yang menunjang operasi PT CPI antara lain:
� Pembangkit Tenaga Listrik di Duri, Central Duri, dan Minas (21 generator
turbin gas berkapasitas 390 MW), serta saluran transmisi dan distribusi listrik
sepanjang 1.300 km dengan menggunakan sistem Hotline Maintenance yang
memungkinkan dilakukannya perbaikan pada saluran-saluran listrik tegangan
tinggi tanpa memutuskan aliran listrik.
� Empat buah dermaga khusus di Dumai (dua diantaranya mampu melayani
kapal-kapal tangki berbobot mati 150.000 ton). Kompleks tangki
penyimpanan dengan kapasitas 5,8 juta barrel. Dua jalur pipa saluran
masing-masing berdiameter 90 cm dan 75 cm pada jalur-jalur Minas-Dumai
dan Bangko-Dumai.
� Saluran Microwave UHF yang menghubungkan ke empat Distrik, serta suatu
sistem telepon dan komunikasi radio HF/VHF/UHF untuk seluruh kegiatan
lapangan. Pemanfaatan empat saluran Sistem Komunikasi Satelit Domestik
Palapa untuk hubungan dengan kantor di Jakarta. Layanan teleks dan
elektronik mail antara Dumai-Rumbai-Jakarta dengan kedua perusahaan
pemegang saham dan perusahaan-perusahaan afiliasi di seluruh dunia
melalui Satelit Palapa dan Intelsat.
� Pada akhir tahun 1968, PT CPI memasang unit pengolah data elektronik
yang pertama, berupa komputer IBM 360 Model 30 dengan core capacity 64
Kbytes, untuk memenuhi tuntutan tersedianya sarana informasi yang akurat
dan cepat, serta adanya sistem pengendalian yang efektif dalam segala segi.
Dumai Remote Entry Shipping System (DRESS) merupakan On-Line
Teleprocessing yang pertama diterapkan PT CPI untuk mengelola pengisian
dan pemompaan tangki penyimpanan dan mengatur kapal tangki di Dumai,
serta menyusun, membuat dan menghasilkan dokumen teleprocessing untuk
Crude Movement, Storage & Shipping.
2.7 Maintenance Support Service
Maintenance Support Services (MSS) memegang peranan penting dalam
kelancaran kegiatan produksi yang dilakukan PT Chevron Pacific Indonesia,
dimana MSS mempunyai tugas untuk menangani masalah perbaikan peralatan
operasi dan membuat peralatan operasi. MSS bertanggung jawab dalam
pemasangan dan pengujian peralatan operasi baru dan menentukan kelayakan
dari peralatan tersebut.
MSS berada dibawah Support Operation Division SBU berfungsi sebagai
penunjang kegiatan operasional SBU-SBU seperti Duri, Minas, Bekasap dan
Rumbai. MSS dikepalai oleh seorang manager yang menkoordinasikan 6 team
manager diantaranya adalah North Maintenance Support, berfungsi sebagai
penunjang perawatan peralatan pada daerah operasional PT. CPI bagian utara
yaitu Duri District. General Fabrication merupakan bagian dari North
Maintenance Support. Sebelum sistem SBU, General Fabrication dikenal dengan
machine dan welding shop yang dikepalai oleh seorang senior supervisor.
General Fabrication dipimpin oleh seorang team leader. Team leader ini
mengkoordinasi team leader masing – masing seksi yang terdiri dari :
� Welding Fabricartion
� Machining Fabrication
� Sleeving Job and Tank Repair
� Rig Structure and Steam boiler Repair
� Hot Tap and Cold Cut
Pembuatan konstruksi atau perbaikan peralatan yang memerlukan proses
welding dan machining dilakukan pada General Fabrication, diantaranya
¸Machining Job, Repair Tank and Gas Facilities, Pipa Sleeve, Rig and Hoist
Accecories, Drilling Tool, Steam Boiler, PG&T Component, Heavy Equipment
part, Engine Block , Automotive part, Pump Casing, Machinery part dan masih
banyak lagi yang lainnya.
MSS merupakan divisi yang sangat penting perannya dalam operasi
produksi di PT. Chevron Pacific Indonesia. Seluruh perbaikan dan perawatan
fasilitas penunjang produksi dilakukan di MSS baik berupa main facilities
maupun support facilities. MSS ini dikepalai oleh seorang manajer yang
membawahi empat team manager yang diantarnya yaitu :
� Team manager Automotive & Construction Equipment
� Team manager Sub-Surface Equipment
� Team manager Production Equipment & Facilitiy
� Team manager Business Support
Selain membawahi empat bidang team manager, MSS inipun terdiri dari tiga
bidang koordinator yaitu :
• Coordinator Administration
• Coordinator Savety Health & Environment
• Coordinator Quality Improvement
Divisi MSS ini ada di setiap SBU yang terdapat di PT Chevron Pacific
Indonesia, namun sebagai pusat MSS terbesar berada di SBU Duri. Dari setiap
team manager akan membawahi beberapa sub-team yang langsung
mengerjakan proses perbaikan dan perawatan sesuai dengan spesifikasi
bidangnya masing-masing.
Pada dasarnya seluruh Sub-Departemen yang ada pada MSS ini memiliki
suatu tujuan yang sama dimana dalam melakukan aktivitas kegiatannya selalu
mengutamakan hasil kerja yang memiliki suatu standar tertentu dan hasil yang
berkualitas tinggi. Hal ini dilakukan dengan cara menekan biaya-biaya serendah-
rendahnya dengan melakukan:
� Pengembangan tim yang memiliki kinerja yang tinggi dengan merangsang
karyawan untuk lebih Produktif dan Inovatif.
� Mengoptimalkan fasilitas yang dimiliki dan jasa yang dihasilkan. Selain itu
harapan yang diharapkan dari dari pemakai jasa MSS adalah :
a. Terpenuhinya ketersediaan unit berdasarkan jumlah yang diinginkan.
b. Tercapai unit dengan kualitas yang tinggi dan siap pakai setelah reparasi
dalam kondisi ulang.
c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran dana.
d. Menyediakan dukungan teknis dengan mengadakan analisis kegagalan
secara aktif dan membantu dalam mengatasi permasalahan yang dialami
konsumen, lebih fleksibel dalam penyediaan jasa.
e. Menyediakan laporan aktivitas yang cepat, akurat, lengkap, dan tepat
waktu, lebih proaktif.
f. Efektif dan cepat tanggap dalam berkomunikasi dan keterlibatan dalam
tim antara departemen.
g. Dapat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi.
h. Terpenuhinya ketersediaan unit berdasarkan jumlah yang diinginkan.
i. Tercapai unit dengan kualitas yang tinggi dan siap pakai setelah reparasi
dalam kondisi ulang.
j. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran dana.
k. Menyediakan dukungan teknis dengan mengadakan analisis kegagalan
secara aktif dan membantu dalam mengatasi permasalahan yang dialami
konsumen.
l. Lebih fleksibel dalam penyediaan jasa.
m. Menyediakan laporan aktivitas yang cepat, akuarat, lengkap, dan tepat
waktu.
n. Lebih proaktif, efektif dan cepat tanggap dalam berkomunikasi dan
keterlibatan dalam tim antardepartemen.
o. Dapat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi.
2.8 Facility Operation dan Maintenance Team
FOMT merupakan salah satu bagian dari unit operasi yang berada di
Departemen Produksi, bersama-sama dengan production operation team ,well
work team and asset manangement team yang mempunyai tugas untuk
memfasilitasi operasi-operasi yang ada di fields, mengoperasikan Treat and Ship
(T&S) di setiap CGS dan generate and Distribute (D&D) untuk keperluan steam
station dan maintenance keperluan T&S dan G&D.
FOMT sebagai suatu team yang dipimpin oleh seorang team leader
berkebangsaan Kanada, Robert Dobrik J.A. Dalam melaksanakan pekerjaannya
agar efisien, FOMT dibagi menjadi 5 tim yang terdiri dari Threat & Ship (T&S)
yang menangani masalah yang terjadi CGS (1,3,4,5 dan 10), Generate &
Distribute (G&D) bertugas menangani permasalahan Steam Station,
maintenance dan bertugas melayani T&S dan G&D dimana team ini terdiri dari
bagian Mechanical, electrical dan instrument, Administration Support dan
Operation Engineering Supprort (OES).
Operation Engineering Supprort dibagi lagi menjadi bagian OES dan G&D yang
bertugas memeberikan support kepada G&D dalam menangani masalah steam
station, OES dan T&S memeberikan supprort kepada T&S, OES production dan
OES Support System, yang masing-masing group dipimpin oleh seorang lead
engineer.
BAB III
3.1 Tekanan
Tekanan adalah suatu gejala alam yang terjadi pada setiap benda
permungkaan bumi yang merupakan besarnya gaya yang berkerja dalam setiap
satuan luas, secara epiris dapat ditulis dengan:
A
FP = (3.1)
Dimana : P = Tekanan, psi
F = Gataya yang berkerja pada daerah luas, N
A = Luas permungkaan yang enerima gaya, 2m
Sedangkan tekanan hidrostatik adalah tekanan yang disebabkan oleh
fluida yang berkerja diatasnya, secara empiris dapat ditulis
DPh ××= γ052,0 (3.2)
Dimana : Ph = Tekanan hidrostatik, psi.
γ = Berat jenis lumpur, ppg.
D = Kedalaman, ft.
Berat jenis lumpur dibuat agar dapat memberikan tekanan hidrostatik sedikit
lebih besar dari tekanan formasi, agar tidak terjadi kick. Tekanan hidrostatik
dibuat lebih besar sedikit dari tekanan formasi.
3.1.1 Tekanan Normal
Tekanan normal adalah besar tekanan yang diberikan oleh cairan yang
berisikan ronga-ronga formasi secara hidrostatik, untuk untuk kedalaman normal
sama dengan tekanan cairan yang ada didalam formasi hingga kepermungkaan.
3.1.2 Tekanan Abnormal
Tekanan abnormal adalah dimana tekanan formasi yang besar pada
gradient tekanan ini disebabkan oleh kompeksi batuan yang berada diatasnya,
hingga sedemikian rupa sehingga air yang keluar dari lempeng tidak langsung
keluar menghilang akan tetapi tetap berada pada batuan semula.
Sumber penyebab ini bias dilihat dari proses geologi karena adanya uot
crop dari lapisan pasir pada ketinggian yang lebih tinggi dari sruktur reservoir,
dimana berhubungan langsung dengan aktifitas tektonik (adanya intruksi granit
atau kubah garam). Apabila dilihat dari segi kompeksi, tekanan overburden
cukup membuat terkompresinya volume dari batuan sendimen, dimana bias
dilihat pada gambar 3.1
Gambar 3.1
Karena cairan berada didalam maka akan menuju kedaerah yang poros
dan permeable, sedangkan cairan diatas tidak disrtai dengan dengan
mengalirnya cairan tersebut, maka cairan tersebut menerima tekanan
overburden sehingga cairan tersebut terkompeksi, oleh karena itulah cairan
tersebut menyimpan energi yang sangat tinggi. Dan penyeblainya mungkin
diakibatkan oleh patahan yang terangkat hingga kepermungkaan pada gambar
3.2 dan 3.3 dimana iya mempunyai kedalaman yang sama D1, akibat terjadinya
patahan terangkat samapai kedalam D2.
Gambaran 3.2 Formasi Normal
Gambaran 3.3 Formasi Abnormal karena patahan
3.1.3 Tekanan Subnormal
Tekanan subnormal adalah tekanan dibawah dari tekanan normal,
dimana iya mempunyai tekanan dibawah tekanan 0,433 psi, dimana disebut
dengan formasi yang lemah. Keadaan ini sangatlah sulit daam melakukan
melakukan pengeboran. Akan tetapi bias diatasi dengan campuan penyumbat
(loss circulation material) atau cemen (cemen plug).
3.1.4 Tekanan Rekah
Tekanan rekah adalah tekanan hidrostatik maksimum yang dapat
ditahan tahan tampa menyebabkan terjadinya pecah-pecah, besarnya tekanan
dipengaruhi oleh tekanan overburden dengan kondisi dari kekuatan batuan,
untuk mengetahui gradient tekanan rekah sangat berguna saat meneliti kekuatan
dasar selubung (casing). Sedangkan gradient tekanan rekah tidak diketahui
maka akan dapat kesulitan dalam penyemenan. Selain dari hasil log, gradient
tekanan dapat diketahui dengan memakai prinsip “leak off test” yaitu denahgan
memberikan tekanan sedikit-demi sedikit hingga sedemikianrupa sampai terlihat
tanda mulai pecah-pecah, yaitu dengan menaikan tekanan sedikit-demi sedikit
kemudian tiba-tiba turun.
3.1.5 Tekanan Overburdent
Tekanan overburden adalah besarnya tekanan yang diberikan oleh berat
yang diakibatkan oleh berat seluruh beban yang berada diatas suatu kedalaman
disetiap satuan luas
Dimana
P = berat initial batua + berat cairan (3.3)
Luas
Gradien tekanan overburdent menyatakan overburden dalam setiap
satuan kedalaman luas
D
PobGob = (3.4)
Dimana :
Gob = Gradien tekanan overburden, psi/ft
Pob = Tekanan Overburdent, psi
D = Kedalaman, ft
Besarnya gradient tekanan yang normal biasanya 1 psi/ft, yaitu diambil
dengan mengangap berat jenis batuan rata-rata 2,3 dikalikan dengan gradient
tekanan air 0,433, psi/ft. didapat 1 psi/ft.
3.2 Karakteristik lumpur pemboran
Dalam bab ini menjelaskan tentang pandangan umum terhadap lumpur
pemboran yang digunakan sebagai berikut:
� Fungsi lumpur pemboran
� Koponen lumpur pemboran
� Sifat-sifat lumpur pemboran
3.2.1 Fungsi lumpur pemboran
� Mengangkat cutting dari dasar lubang kepermungkaan
� Menahan dinding lubang agar jangan runtuh
� Melumasi dan mendinginkan bit
� Mengontrol tekanan formasi
� Menahan cutting dan material pemberat selama sirkulasi berhenti
agar jangan runtuh
� Sebagai media dari informasi
� Sebagai tenaga penggerak
� Sebagai media informasi logging
3.2.1.1 Mengangkat cutting dari dasar lubang kepermungkaan
Pemboran menghasilkan lubang dari serpih bor (cutting). Cutting
diangat segera mugkin dari dasar lubang, dengan jalan
mensirkulasikan lumpur dari tangki lumpur kelubang sumur, hingga ke
kembali ke tangki lumpur, cutting terangkat bersamaan dengan
jalannya sirkulasi lumpur hingga kepermungkaan, lumpur disaring oleh
shale shaker dan cutting dibuang. gambar sirkulasi lumpur dari
permukaan ke lubang bor, dan aliran dari dasar lubang membawa
cutting kepermukaan dapat dilihar pada gambar 3.4
Gambar 3.4 Pengangkatan cutting dari dasar lubang kepermungkaan
3.2.1.2 Menahan dinding lubang agar jangan runtuh
Selama proses pemboraan berlangsung dihindari agar dinding
lubang jangan sampai runtuh, apabila dinding lubang runtuh maka
rangkaian pemboran akan terjepit, ini merupakan problema dalam
dunia pemboran. lumpur membentuk lapisan padatan pada dinding
lubang, serta memberikan tekanan kedinding lubang agar lubang
tersebut untuk sementara tidak runtuh.
2.2.1.1 Melumasi dan mendinginkan bit
Bit yang selalu bersetuhan degan formasi, dimana pada saat
proses pemboran bit akan cepat haus. Dengan adanya sirkulasi
lumpur bit akan terdinginkan. Dimana lumpur merupakan sebagai
pelumas, sehingga putran dari rangkaian pemboran akan berjalan
lebih baik.
2.2.1.2 Mengontrol tekanan formasi
Formasi yang ditembus mempunyai tekanan, adakalanya tekanan
formasi tinggi,dan adakalanya tekanan formasi rendah, dan sedang.
Bila tekanan formasi tinggi lumpur harus dapat melawan tekanan
tersebut, sehingga lumpur dapat menahan aliran fluida formasi, kalau
tidak maka akan terjadinya blow out. Sebaliknya apabila tekanan
formasi rendah maka lumpur harus dikurangi pula agar formasi tidak
pecah. Tekanan lumpur menahan formasi dapat dilihat pada gamabar
3.5
Gambar 3.5 Lumpur menahan tekanan formasi
2.2.1.3 Menahan cutting dan material pemberat selama sirkulasi berhenti
agar jangan runtuh
Disaat menahan dril l pipe atau saat mencabut rangkaian sirkulasi
dari lumpur dihentikan. Cutting yang berada di perjalanan menuju di
anulus menuju permungkaan juga akan berhenti. Disaat ini, lumpur
harus juga dapat menahan cutting tersebut, agar jangan runtuh atau
turun kedasar lubang, sebab jika turun, maka akan menjepit rangkaian
pemboran. Gamabar 2.6 dimana lumpur dalam keadaan suspensi
didalam lumpur diwaktu tidak adanya sirkulasi.
Gambar 3.6 Lumpur menahan cutting
3.2.1.6 Sebagai media dari informasi
Bila terjadi kick dimana fluida formasi masuk kedalam lubang
sumur, maka akan dapat diketahui segera dengan naik nya
permungkaan lumpur kedalam tangki. Disini lumpur bertindak sebagai
media informasi. lumpur sebagai media informasi dapat dilihat pada
gambar 3.7
Gambar 3.7 Lumpur sebagai media inforasi
3.2.1.7 Sebagai tenaga penggerak
Dimana disaat melakukan pemboran berarah, digunakan suatu
alat yang disebut dengan Dyna Drill . Rangkaian disini memang tidak
berputar, hanya bitlah yang berputar. Tenaga untuk merputar berasal
dari lumpur.
2.2.1.1 Sebagai media informasi logging
Dalam memperkirakan karakeristik formasi sering mengunakan
logging listrik. lumpur disini berfungsi sebagai penghantar aliran listrik
dari peralatan logging yang diturunkan kedalam lubang sumur formasi
yang diselidiki. Dengan demikian lumpur dapat dikatakan sebagai
media logging. logging yang di maksud disini adalah electro logging.
lumpur yang dimaksud dengan bahan dari air, bukan bahan dasar
minyak. Karena minyak tidak dapat menghantar l istrik. Gambar 3.8
menunjukan lumpur sebagai media logging listrik
Gambar 3.8 Lumpur sebagai media informasi logging
2.2.2 Komponen lumpur pemboran
Lumpur pemboran terdiri dari tiga komponen, antara lain:
� Zat cair
� Zat padat
� Zat kimia
Ketiga kompnen ini tercampur sedemikian rupa sehingga didalam Lumpur
sesuai dengan formasi yang akan ditembus.
3.2,2.1 Zat cair lumpur bor
Zat cair lumpur bor merupakan fasa dasar dari lumpur, yang mana
merupakan air atau minyak. Bila bahan dasar lumpr adalah air maka lumpur
disebut dengan water base mud, air yang digunakan bias berupa air tawar atau
air asin. Lumpur yang digunakan berupa bahan dasar air tawar disebut dengan
fres water mud, dan bahan dasar air asin disebut dengan salt water mud.
Sedangkan fase cair yang berupa bahan dasar minyak disebut dengan oil base
mud dimana kadar air tidak boleh besar dari 5%. Apa bila lebih dari itu maka
sifat lumpur tidak stabil. Oleh karena itu lumpu yang mengunakan oil base mud
maka digunakan tangki lumpu yang tertutup, agar jika hujan ataupun embun
dimalam hari tidak mempengaruhi kestabilan dari sifat lumpur.
Oil base mud digunakan apabila water base mud tidak sanggup lagi
menghadapi problem yang ada. Sebagai contoh pada saat menghadapi formasi
yang sangat sensitive terhadap air misalnya formasi shale, formasi shale runtuh
terus setelah dirawat oleh zat-zat kimia, maka lumpur diganti dengan oil base
mud, karena minyak tidak bias dihisap oeh shale. Lumpur oil base mud sangat
mahal harganya, justru itu oil base mud digunakan pada saat memaksa.
Sedangkan kekurangan dalam penggunaan lumpur ini adalah dia dah terbakar,
maka dari itu minyak yang digunakan adalah minyk yang telah diolah (refned oil).
3.2.2.2 Zat padat lumpur bor
Zat padat lumpur bor ada 2 macam yaitu:
� Reaktive solid
� Inert solid
3.2.22.1 Reaktive solid
Reaktive solid adalah merupakan padatan yang bereaktive solid,
padatan ini membut lumpur kental atau membentuk koloid, sebagai contoh
dalam kehidupan sehari-hari sebagai reaktif solid adalah susu, susu
biladicampur dengan air maka akan berbentuk koloid. Didalam lumpur yang
bertindak dalam reactive kolid adalah bentonite yang bercampur dengan air
yang nantinya akan berbentuk koloid. Bila bahan dasarnya air laut maka reactive
solid iyalah attapulgite, dan attapulgite dapat bereaksi dengan air asin maupun
air tawar.
2.2.1.1.1 Inert solid
Inert solid merupakan padatan yang tidak dapat bereaksi dengan zat
cair lumpur bor. Didalam kehidupan sehari-hari bila pasir diaduk dengan air
kemudian didiamkan lalu dilihat beberapa menit, maka setelah kita liat beberapa
kemudian pasir tersebut tidak dapat bercampur dengan air, akan tetapi pasir
tersebut turu kebawah. Disini pasir disebut sebagai inert solid. Disini inert solid
berfungsi sebagai penambah berat atau berat jenis lumpur, yang bertujuan untuk
menahan tekanandari formasi.
3.2.3.1 Zat kimia
Zat kimia lumpur bor berfungsi seagai mengontrol sifat-sifat lumpur
bor. Atau dengan kata lain, tidak menimbulkan problem pada saat proses
pemboran berlangsung. Salah satu contoh dalam menurunkan viscositas, karena
viscositas yang keluar terlalu tinggi maka viscositas ditambah dengan spersene
agar viscositas nya turun.
3.2.3 Sifat-sifat lumpur bor
Sifat lumpur bor diatur sedemikian rupa sehingga dia tidak menimbulkan
problem padasaat pengeboran berlangsung. Apabila terjadi perubahan dalam
sifat lumpur maka dilakukan perbaikan-perbaikan seseramungkin.
Sifat–sifat lumpur bor terdiri dari:
� Berat jenis
� Viscositas
� Gelstrength
� Yeild point
� Filtration loss
� pH lumpur
� Sand content
2.2.1.1 Berat jenis
Berat jenis lumpur adalah berat lumpu dibagi dengan volume lumpur,
secara sisematik ditulis
Vm
GmBJm = (3.5)
Dimana:
BJm = Berat jenis lumpur, ppg
Vm = Volume lumpur,
Gm = Berat jenis lumpur,
Berat jenis lumpur sangat berpengaruh dalam mengontrol formasi, sebab
dengan memakai berat jenis lumpur maka berat jenis lumpur akan naik pula. Hal
ini dilakukan dengan formasi yang tinggi. Seperi contohnya barite digunakan
untuk menaikan berat jenis lumpurpemboran. Selain barite digunakan juga
seperti:
o Galena
o Ilminite
o Ottawa sand
Umumnya berat jenis lumpur dinyataka dalam specific grafiti (SG).
Specific grafiti juga dinyatakan dalam persamaan berikut:
BJw
BJmSG = (3.6)
Dimana:
SG = Specific grafiti, tampa satuan
BJm = Berat jenis lumpur pemboran, ppg
BJw = Berat jenis air, biasanya 8.33 ppg, /1.0 gr/cc, /62,4 lb/cuft
Dalam pembuatan berat jenis lumpur selalu dibuat berat jenis lumpur
memberikan tekanan hidrostatis lebih besar dari tekanan formasi yang akan
ditembus, agar terhindar dari timbulnya gejala-gejala kick, hubungan berat jenis
lumpu dengan tekanan hidrostatik adalah:
DPh ××= γ052,0 (2.7)
Dimana:
Ph = Tekanan hidrostatik, psi
γ = Densitas lumpu bor, ppg
D = Kedalaman, ft
Dalam merencanakan lumpur bor diperkirakan terlebih dahulu tekanan
formasi yang akan ditembus, tekanan formasi dinyatakan sebagai berikut:
DGFPf ×= (2.8)
Dimana: Pf = Tekanan formasi, psi
Gf = Gradien tekanan formasi, psi/ft
D = Kedalaman, ft
Untuk gradien tekanan formasi antara 0.433 psi/ft samapi dengan 0,465
psi/ft. apabila tekanan formasi lebih dari 0,465 formasi tersebut dikatakan
abnormal, sedangkan apabla kurang dari 0,433 psi/ft formasi tersebut dikatakan
subnormal.
2.2.1.2 Viscositas
Secara fisik viscositas merupakan tahanan terhadap aliran lumpur yang
sedang bersirkulasi, yang mana tahanan ini disebabkan oleh pergeseran antara
partikel-partikel dari lumpur bor, dimana viscositas lumpur memegang peran
dalam pengangkatan serbuk pemboran kepermungkaan. Makin kental lumpur
maka pengangkatan kating lebih baik. Kalau lumpur kurang kental maka
pengangkatan cutting kurang sempurna, dan nantinya cutting akan tertinggal
dibawah lubang, dan dapat menyebabkan terjepitnya rangkaian pemboran, dan
bila mana lumpur pemboran tidak kental maka akan bertambah problem dalam
pemboran dimana pasir sukar untu dilepaskan sehingga pasir ikut bersirkulasi
kedalam lubang bor. Hal ini menyebabkan berat jenis lumpur mudah naik, maka
tekanan akan naik, bila tekanan dari lumpur melebihi tekanan rekah formasi
maka akan berakibatkan formasi akan pecah, seingga terjadi kehilangan lumpur
atau loss sirkulasi.
2.2.1.3 Gelstrength.
Pada saat lumpur bersirkulasi yang berperan adalah viscositas,
sedangkan pada saat berhenti yang berperan disitu adalah gelstrength. Lumpur
akan menjadi gel pada saat tidak adanya sirkulasi.hal ini disebabkan gaya tarik
menarik antara partikel-partikel padatan lumpur yang mengagar, ini lah yang
disebut dengan gelstrength. Diwaktu lumpur berhenti bersirkulasi, lumpur harus
dapat menjadi gelstrength yang dapat menahan cutting dan material pemberat
agar jangan runtuh, sehingga padatan tidak dapat menumpuk di annulus,
sehingga mencegah terjadinya pipa terjepit pada rangkaia pemboran. Akan
tetapi bila gelstrength terlalu tinggi maka akan memperlambat proses lumpur
bersrkulasi. Walaupun pompa mempunyai daya yang kuat, karena pompa tidak
dapat memopakan melebihi dari maksimum pompa yang diizinkan karena
apabila melebihi dari itu, maka formasi akan pecah. Misalnya pada saat
penggantian bit dan lumpur mempuyai gelstrength yang tinggi, sehingga tekanan
pada saat memulai sirkulasi pasti tekanan formasi akan besar.
3.2.3.4 Yield point adalah
Yield point adalah bagian reaktansi untuk mengalir oleh gaya tarik-
menarik antar partike yang didispersi dalam fase fluida. gaya tersebut
disebabkan oleh muatan pada permungkaan partikel yang didispensi dalam fase
fluida. Yield point dan gel strength keduanya merupakan gaya tarik-menarik
dalam sistem lumpur. Bedanya gel strength adalah ukuran gaya tarik menarik
dalam keadaan statik, sedangkan yield poin dalam dinamik. Yield point perlu
diketahui karena berpengaruh pada kehilangan tekanan pada saat sirkulasi.
3.2.3.5 Filtration loss
Filtration loss adalah proses keluarnya fase cair lumpur bor dan masuk
kedalam formasi, akibat adanya pengaruh tekanan pompa dan kedalaman
formasi. Fase cair yang keluar disebut dengan mud filtrate, sedangkan padatan
yang dihasilkannya disebut degan mud cake yang menempel pada dinding
formasi. Terjadinya infasi filtrate ini selama proses pemboran terbagi atas dua
yaitu :
� Filtrasi static
Dimana filtrasi yang terjadi sewaktu tidak adanya sirkulasi lumpur
dan rotasi drill string (ini terjadi selama trip atau pengantian mata
bor). Interaksi fluida dari mineral, formasi akan dapat menyebabkan
terjadinya pengembangan clay.
� Filtrasi dinamik
Filtrasi yang terjadi pada waktu sirkulasi lumpur dan rotasi drill string.
Terjadinya filtrasi dinamik tergantung pada jenis lumpur yang digunakan,
baik dari segi tekanan, viscositas, temperatur, serta kecepatan sirkulasi
lumpur
Lumpur bor yang memberikan tekanan filtrasi loss yang besar, maka
akan membentuk mud cake yang lebih tebal dari dinding formasi, kejadian ini
akan menimbulkan tidak baik bagi lubang bor, seperti penurunan permebilitas
dan kesalahan dalam evaluasi logging. Sifat lumpur bor yang diinggini adalah
memberikan filtration loss yang kecil dengan mud cake yang tipis dan kuat.
Dalam hal ini mud cake berfungsi sebagai bantalan antara drill string dan dinding
sumur guna mencegah formasi damage.
2.2.1.1 PH Lumpur bor
pH dipakai untuk tingkat kebasahan dan keasaman dari lumpur bor.
pH dari lumpur yang dipakai berkisar antara 8,5 sampai 12
Menurut ilmu kimia bila:
pH kondisi
< 7 Asam
> 7 basa
= 7 netral
Jadi lumpur yang digunakan dalam suasana basa. Tapi kalau lumpur
bor terlalu asam maka:
� Maka lumpur yang keluar dalam lubang sumur akan halus atau
hancur. Sehingga tidak dapat di tentukan apakah batuan yang
ditembus oleh mata bor. Dengan kata lain sulit untuk
mendapatkan informasi dari cutting’
� Peralatan-peralatan yang oleh lumpur saat sedang bersirkulasi
ataupun tidak akan mudah untuk berkarat.
Kalaupun lumpur bor terlalu basa juga tidak baik, karena akan
menaikan viscositas dan gelsrength dari lumpur.
2.2.1.2 Send content
Send content adalah kadar pasir dalam lumpur bor. Pasir tidak boleh
terlalu banyak dalam lumpur karena pasir bersifat mengikis (abrasive), karena
dapat merusak peralatan-peralatan yang dilalui saat bersirkulasi. Karena pasir
bersifat inert solid maka pasir yang terlalu banyak didalam Lumpur akan
mengakibatkan berat lumpur dari bor akan menjadi tinggi.
2.3 Sebab-sebab terjadinya well kick
Seperti telah disebutkan terlebih dahulu sebelumnya bahwa well kick
adalah peristiwa masuknya fluida formsi kedalam sumur pemboran yang
disebabkan oleh tekanan hidrostatik yang lebih kecil dari tekanan formasi, hal ni
disebabkan:
� Drilling Break
� Berat jens lumpur tidak memadai
� Kurangnya tinggi lumpur.
� Kehilangan sirkulasi.
� Kandungan gas dalam lumpur.
� Swab effect.
3.3.1 Drilling break
Drilling break adalah percepatan pertambahan laju pemboran secara
mendadak, karena menembus lapisan poros dan permeable. Drilling break juga
bias pada formasi yang tinggi. Tekanan tinggi dari formasi ini menyebabkan
cutting (serpih bor) mudah terlepas dan terangkat keatas. Hal ini juga
menyebabkan kenaikan kecepatan laju pemboran. Jadi Drilling break merupakan
salah satu tanda bit memasuki formasi bertekanan abnormal atau bertekanan
tinggi yang dapat menimbilkan terjadinya kick. Perlu diketahui terjadinya drilling
break tidak selalu menandakan terjadinya kick didalam lubang bor, akan tetapi
drilling break dapat juga terjadi pada formasi bergoa-goa atau formasi rekah.
3.3.2 Berat jenis lumpur tidak memadai
Dari besarnya tekanan hidrostatik yang diberikan lumpur kepada formasi
lebih kecil dari tekanan formasi itu sendiri, sehingga sudah tentu ciaran akan
mendesak lumpur yang berada dalam lubang pemboran tersbut, dan sumur akan
mengalami kick.
3.3.3 Kurangnya tinggi lumpur ditangki lumpur
Berkurangnya tinggi lumpur di dalam sumur, akibat keluarnya sebagian
volume dalam pipa bor ketika penggantian bit, sehingga memperkecil tekanan
hidrostatik yang diberikan lumpur keformasi, maka cairan lumpur dalam formasi
akan didesak oleh cairan formasi yang ada didalam sumur tersebut.
3.3.4 Kehilangan sirkulasi
Akibat kehilangan sirkulasi maka berakibat berkurangnya volume lumpur,
dan akhirnya berakibat menguranggi tekanan hidrostatik lumpur itu sendiri
sehingga cairan formasi akan mendesak lumpur dan nantinya akan berakibat
masuknya fluida formasi. Dimana dapat dilihat pada gambar 2.8 A dan 3.8 B
Gambar 3.8 A Saat bit akan menembus formasi yang berongga
Gambaran 3.8 B Bit telah menembus formasi berongga
Pada gambar A terlihat bahwa tinggi kolom lumpur masih dapat
menahan tekanan formasi. Pada kondisi gambar B tekanan formasi sudah lebih
kecil dari tekanan formasi, dan akan berakibat terjadinya kick.
3.3.5 Kandungan gas dalam lumpur
Dalam formasi gas, mengandung gas didalam pori-pori batuanya. Disaat
formasi gas ditembus, ruang yang sudah ditembus semula merupakan batuan
dan gas. Gas ada yang lepas bersamaan dengan cuttings, dan didalam cutting
masih terdapat. Gas yang ada di dalam cuttings kalau masih berada disumur,
berarti belum keluar dari cutting, karena tekanan hidrostatik didalam sumur
masih besar. Disaat cutting masih meninggalkan dasar lubang bor menuju
kepermungkaan, tekanan hidrostatik lumpur akan bekurang, sehingga gas mulai
keluar dari cutting dan gas tersebut akan menyatu dengan gas yang lepas, dan
cepat sekali menurunkan berat jenis lumpur di dalam lubang bor. Kondisi sumur
disaat bit menembus formasi gas dapat dilihat pada gambar 2.9 dan 2.10
Gambar 3.9 Kondisi bit saat akan menembus formsi mengandung gas
Gambar 3.10. Kondisi bit saat menembus formasi yang mengandung gas Bila bit sudah menembus formasi gas, maka berat jenis lumpur akan
berkurang, dan bila berat lumpur yang kurang tadi didak tambah berat jenisnya
maka akan timbul yang nama kick dan bahkan akan terjadi (blow out). hal ini
terjadi pada saat memasuki daerah abnormal, biasanya pahat akan lebih dahulu
menembus daerah shale yang banyak mengandung gelembung-gelembung gas
sehingga bila bercampur dengan lumpur pemboran, akan menurunkan berat
jenisnya
2.2.1 Swab effect
Kick bias terjadi akibat adanya daya isap (swab effect) oleh mata bor
terhadap formasi, karena mata bor atau rangkaian dari pemboran diangkat
terlalu cepat. Hal ini mirip dengan aksi piston pompa yang bergerak menghisap,
umum nya ini disebabkan oleh kekentalan dari lumpur terlalu tinggi.
Apabila penrunan tekanan hidrostatik akibat swab sampai lebih rendah
dari tekanan formasi, maka fluida formasi akan masuk kedalam lubang bor.
Dengan masuknya fluida formasi kedalam lubangbor, maka tekanan hidrostatis
dari lumpur itu akan menurun. Apabila peristiwa ini dibiarkan larut terus-menerus,
volume fluida formasi akan membesar dan penurunan tekanan hidrostatis akan
membesar pula. Akibatnya terjadilah kick. Dimana dapat dilihat pada gambir 3.11
Gambar 3.11
Untuk mencegah swab effect adalah:
- Mencabut rangkaian pemboran jangan terlalu cepat
- Viscositas lumpur jangan terlalu tinggi
- Perbaiki sifat-sifat lumpur, terutama dengan menurunkan atau mengurangi
tebal nya mud cake.
- Usahakan mencabut rangkaian pemboran dengan system kering, dibuat
beberapa takaran dari lumpur yang adala dibagian luar dari pipe bor
(annuls) yang bertujuan agar terjadi perbedaan tekanan dibawah bit, yang
mana tinggi lumpur akan turun, sewaktu pencabutan tidak ada lagi lumpur
yang tertumpah di meja putar. Bagian lumpur yang dibuat lebih berat
disebut dengan “slug”. Tinggi Slug dalam dapat di tentukan dengan
persamaan dibawah.
Tinggi slug (ft) = bbl/ftbor batang dari Kapasitas
bbls Slug nyaBanyak (3.9)
Perlu diinggat bahkan di perhatikan sekali bahwa penyebab terbesar
dalam timbulnya kick pada saat melakukan pemboran minyak dan gas bumi
disebabkan adalah swab effect.
BAB IV
PENCEGAHAN WELL KICK DENGAN
MENGUNAKAN METODE DRILLER
Metode ini disebut juga dengan metode “dua kali sirkulasi” Karena
mempunyai dua kali sirkulasi, sirkulasi pertama dengan mengunakan lumpur
semula yang bertujuan untu mengeluarkan influx (fluida formasi) yang telah
memasuki lubang bor. Dan lumpur kedu mengunakan lumpur pemberat.
Metode ini sangat baik apabila barite tidak banyak/tidak cukup tersedia
di area pengeboran. Sambil menunggu barite, influx (fluida formasi) yang berada
di lubang pemboran dapat dikeluarkan. Selain itu dengan dikeluarkannya influx
tersebut, bararti juga mengurangi kemungkinan terjadinya peningkatan yang
tinggi pada tekanan selubung akibat dari mikgrasi influx kepermungkaan secara
tidak tercontrol
4.1 Sirkulasi pertama
Sirkulasi pertama mengunakan lumpur lama (original mud), untuk
mengeluarkan original mud dari dalam lubang bor kepermungkaan, dengan
jalan:
1. Lakukan line up, jalankan pompa dan pompakan original mud.
2. Catat tekanan casing mula-mula.
3. Kecepatan pompa dinaikan secara bertahap, sampai slow pamp rate atau
kill rate speed.
4. Harga slow pamp rate (kill rate speed), tekanan casing harus dijaga
konstan. Karena penurunan didasar lubang, dan akan menyebabkan
penurunan didasar lubang, dan akan menyebabkan influx bertambah.
(Scondary Kick). Bila terjadi kenaikan dicasing langkah yang harus
dilakukan adalah dengan jalan membuka choke, dan turunkan tekanan
casing sampai keharaga semula. Namun bila terjadi penurunan, langkah
yang harus dilakukan tutup choke, dan naik kan tekanan casing sampai
kembai keharga semula. Lihat gambar 4.1
Gamabar 4.1 Kondisi lumpur mulai keluar dari annulus
5. Setelah sroke pemompaaan mencapai kill rate speed, Sroke counter
dikembalikan keangka nol, dan perhatian ditunjukan kepada Drillpipe
pressure. tekanan drill pipe dijaga konstan samapi sirkuasi pertama
selesai. Bila tejadi penurunan tekanan di drillpipe, langkah yang dilakukan
tutup choke, naikan tekanan casing hingga mencapai tekanan semula.
Lihat gamabar 4.2
Gambar 4.2 Diamana penurunan tekanan pada drillpipe kembali pada harga semula
Kalau kenaikan choke, tekanan yang langsung berubah adalah tekanan
casing. Tekanan drillpipe akan berubah setelah beberapa detik
berikutnya secara otomatis sebesar perubahan tekanan casing yang
berubah. Reaksi yang terbaca pada tekanan drillpipe butuh waktu,
dimana perubahan tekanan casing akan berjalan kedasar lubang
dahulu, baru naik kepermungkaan sampai drillpipe. Hal ini mengingat
hubungan antara bagian dalam rangkaian pemboran dengan annulus
adalah seperti hubungan pipa U. Bila menutup choke dimana mata kita
hanya memperhatikan drillpipe, maka tekanan casing akan mengalami
kenaikan yang besar. Hal ini akan memecahkan formasi.
Misalkan terjadinya kenikan tekanan drillpipe 100 psi, langkah yang
harus dilakukan adalah
→ Buka choke,
→ Turunkan tekanan casing 100 psi,
→ Tunggu sebentar, dan nanti tekanan drillpipe akan turun pada
tekanan semula.
Sebaliknya pun begitu, apabila terjadi penurunan tekanan casing 100
psi, maka langkah yang dilakukan adalah
→ Tutup choke,
→ Naikan tekanan casing 100 psi,
Tunggu tunggu sebentar, dan tekanan drillpipe akan naik pada tekanan
semula.
6. Original mud akan mendorong influx kepermungkaan, maka akan terjadi
kenaikan tekanan casing, maka dari itu agar tidak terjadi pecah formasi
tekanan casing harus slalu dijaga konstan. Dimana gambaran original
mud mendorong influx kepermungkaan, dapat dilihat pada gambar 4.3
Gambar 4.3 Dimana Original mud mendorong influx kepermungkaan
7. Tekanan casing mencapai maksimum di saat puncak influx tiba di
permungkaan. gambaran puncak influx tiba dipermungkaan dapat dilihat
pada gambar 4.4
Gambar 4.4 Puncak influx tiba di permungkaan
Bila influx sudah keluar kepermugkaan, tekanan casing mulai menurun
dapat dilihat pada gamabar 4.5
Gamabar 4.5 Tekanan casing mulai menurun disaat iflux mulai keluar
Disaat stroke pemompaan yang terbaca pada sroke counter menunjukan
harga total sroke, diharapkan original mud sudah sampai dipermungkaan
dan influx sudah sudah keluar semuanya. Setelah influx sudah keluar
semuanya tekanan casing akan sama dengan tekanan drillpipe. Hal ini di
karenakan berat lumpur udah sama dengan berat jenis di dalam annulus.
Lihat gambar 4.6
Gambar 4.6 Menunjukan influx sudah keluar ke permungkaan
Kalau tekanan casing belum sama dengan tekanan drillpipe berarti influx
belum keluar semuanya dari dalam lubang.
Untuk melihat apakah original mud sudah samapi kembali kepermugkaan
dapat dilakukan dengan memeriksa berat jenis lumpur yang keluar.
Kalau tekanan casing sudah sama dengan tekanan drilpipe, tutup choke
dan jalankan pompa. Tekanan drillpipe sama dengan tekanan casing.
Untuk sirkulasi pertama selesai.
4.2 Sirkulasi kedua
menggunakan lumpur untuk mematikan kick (kill mud). tujuan nya
adalah dengan mengantikan original mud dengan kill mud agar original mud
benar-benar kembali keperngkaan. Yang bertujuan agar influx yang mungkin
tersisa didalam lubang pemboran benar-benar terangkat.
Langkah-langkah sirkulasi kedua adalah sebagai berikut :
1. Jalankan pompa, dan buat kill rate speed, pertahankan tekanan casing.
Kembalikan
angka sroke counter ke angka nol.
2. Pertahankan tekanan casing selama kill mud berjalan kepermungkaan
sampai kill mud sampai di bit. Lihat gamabar 4.7
Gambar 4.7 Kill mud dalam perjalanan dari permungkaan menuju ke bit
Kill mud mud tiba di bit kalau sroke counter menunjukan harga surface
to bit sroke. Lihat gamabar 4.8
Gambar 4.8 Kill mud saapai menuju bit
3. Saat kill mud keluar dari bit dan mengisi annulus dijaga konstan.
Sedangkan tekanan casing mulai turun, karena lumpur dengan berat
jenis yang lebih besar mulai memasuki annulus. Lihat gambar 4.9
4. Setelah stroke counter menunjukan harga total sroke, perhatikan
tekanan casing apakah sudah sama dengan tekanan drillpipe.
Gambar 4.9 Menunjukan kill mud berjalan dari bit menuju ke permungkaan
5. Bila tekanan casing sudah sama dengan tekanan drillpipe, berarti kick
sudah mati. Maka tutup choke dan matikan pompa. Lihat gambar 4.10
Dimana 4.10 kick sudah mati
Apabila Cp dan Dp sama sama nol berarti kick sudah tidak sisa sisa kick
yang tadinya berada disumur tidak ada lagi, dan boleh dilanjutkan
pengeboran kembali
BAB V
PERHITUNGAN DALAM MENGENDALIKAN WELL KICK
Metoda ini biasanya disebut dengan metoda dua kali sirkulasi lumpur.
Sirkulasi pertama bertujuan untuk mengeluarkan fluida kick yang ada di dalam
lubang. Sirkulasi ini menggunakan lumpur lama atau original mud weight (OMW).
Sedangkan sirkulasi kedua bertujuan untuk memasukkan lumpur berat (kill mud
weight, KMW) kedalam lubang untuk mengimbangi tekanan formasi yang
menimbulkan kick sekaligus mematikannya.
Selama sirkulasi pertama dilakukan, tekanan di drillpipe dijaga constant
sebesar ICP. Sedangkan tekanan di kepala casing akan naik sampai suatu
harga tekanan tertentu, dan puncaknya disaat kick mulai mencapai permukaan.
Setelah fluida kick keluar, tekanan di kepala casing akan turun dan akan
mencapai SIDP bila fluida kick sudah keluar seluruhnya. Lalu lakukan sirkulasi
kedua
Sirkulasi kedua dilakukan setelah semua fluida influx keluar dari dalam
lubang dengan melakukan sirkulasi lumpur dengan tekanan pompa sebesar ICP.
Selama proses ini tekanan di drillpipe akan turun dari ICP sampai FCP. FCP
dicapai setelah lumpur berat tiba di bit. Setelah lumpur berat keluar dari bit, maka
tekanan drillpipe harus dijaga konstat seharga FCP sampai lumpur berat tiba di
permukaan. Dan nantinya tekanan di kepala casing dijaga konstan, lumpur berat
dipompakan sampai lumpur berat tiba di bit, dan Cp harus dijaga konstan.
Apabila Cp dan Dp sama sama nol, berarti kick sudah tidak sisa-sisa kick yang
tadinya berada disumur tidak ada lagi, boleh dilanjutkan pengeboran kembali
5.1 Data yang dibutuhkan
Ada pun data-data yang dibutuhkan dalam perhitungan mematikan kick
dengan mengunakan Metode Driller adalah sebagai berikut :
� Data Awal senelum terjadinya kick.
� Data Recod setelah terjadinya kick.
5.1Data awal sebelum terjadinya kick
5.1.1 Original Mud Weight (OMW)
5.1.2 Kill Rate Pressure (KRP)
5.1.3 Pomp # 1
5.1.4 Pomp # 2
5.1.5 Pomp Output # 1 (PO)
5.1.6 Pomp Output # 2 (PO)
5.1.7 Drill Pipe Capacity (DPC)
5.1.8 Anulus Capacity (AnC)
5.1.9 True Vertical Depth (TVD)
5.1.10 Measure Depth (MD)
5.1.11 Casing Shoe TVD
5.1.12 Casing Shoe MD
5.1.13 Leack of Test Pressure (Lod MW)
5.1.14 Survace Test Pressure Yield (Burst)
5.1.15 Casing Internal Yield (burst)
5.1.16 BOP Stack Rating
5.1.1 Original Mud Weight (OMW)
Original Mud Weight (OMW) adalah berat jenis lumpur yang dipakai
sebelum terjadi well kick
5.1.2 Kill Rate Pressure (KRP)
Kill rate pressure adalah pressure loss pada system sirkulasi saan lumpur
dipompakan dengan slow pump rate.
Secara umum, harga KRP dihitung dengan melakukan percobaan setiap
terjadi perubahan harga berat jenis lumpur, perubahan lapisan yang ditembus
dan pergantian Crew Rig. Percobaan yang dilakukan adalah dengan
menjalankan pompa lumpur sebesar SPR dan mencatat tekanan sirkulasi nya
sebagai KRP.
5.1.3 Pompa# 1
Dengan mensirkulasikan original mud dengan mengunakan pomp#1
diaman pompa pertama memberikan tenaga untuk mendorong lumpur baik itu
lumpu original mud maupun Kill mud.
5.1.4 Pomp# 2
Dengan mengunakan lumpur original mud ataupun kill mud, pompa#2
berpunsi sebagai cadangan , jika satu waktu terjadinya kerusakan pada
pompa#1 maka dapat digunakan pompa#2
5.1.5 Pomp Output # 1
Pump output adalah volume lumpur yang dipompakan per stroke untuk
menentukan jumlah stroke dari permukaan sampai ke bit dan kembali
kepermukaan.
5.1.6 Pomp Output # 2 (PO)
Pump output adalah volume lumpur yang dipompakan per stroke untuk
menentukan jumlah stroke dari permukaan sampai ke bit dan kembali
kepermukaan. Akantetapi pomp output #2 ini dugunakan apabila ada kerusakan
pada pomp #1 maka pomp output #2 lah sebagai pengganti nya..
5.1.7 Drill Pipe Capacity (DPC)
Merupakan kapasitas per feet untuk menentukan jumlah volume per
masing-masing feet dari drill pipe
.
5.1.8 Anulus Capacity (AnC)
Merupakan kapasitas per feet untuk menentukan jumlah volume dari
annulus casing.
5.1.9 True Vertical Depth (TVD)
True Vertical Depth adalah kedalaman dari tegak lurus formasi yang
ditembus
5.1.10 Measure Depth (MD)
Kedalaman formasi yang ditembus hingga kepermungkaan
5.1.11 Casing Shoe TVD
Letak dari sepatu casing dari tiap-tiap kedalaman Sebenarnya.
5.1.13 Leack of Test Pressure (Lod MW)
Leack of test adalah Suatu test pecah formasi untuk memperkirakan
tekanan dan berat jenis lumpur maxsimum yang digunakan.
5.1.14 Survace Test Pressure Yield (Burst)
Memprediksikan besarnya kekuatan penyemenan yangdilakukan
dipermungkaan.
5.1.15 Casing Internal Yield (burst)
Kekuatan tekanan yang diraskan didalam casing
5.1.16 BOP Stack Rating
Karakteristik dari BOP yang digunakan, dengan berdasarkan dari dari
kedalaman yang mempengaruhi besarnya tekanan formasi yang dapat ditahan
oleh Peralatan semburan liar (BOP).
5.2 Data yang didapat pada saat terjadinya kick
5.2.1 Shut in Drill Pipe Pressure (SIDP)
5.2.2 Shut in Casing Pressure (SICP)
5.2.3 Pit Volume Increase (Pit Gain)
5.2.1 Shut in Drill Pipe Pressure (SIDP)
Shut in drill pipe pressure (SIDP) adalah tekanan bagian dalam rangkaian
yang terbaca dipermukaan saat sumur ditutup. Harganya ditunjukkan oleh
parameter yang terdapat di kaki stand pipe. SIDP diperlukan untuk menentukan :
- Tekanan formasi yang menimbulkan kick
- Berat jenis lumpur untuk mematikan kick
- Tekanan awal sirkulasi saat mematikan kick
5.2.2 Shut in Casing Pressure (SIDP)
Shut in casing pressure (SICP) adalah tekanan di kepala casing saat
sumur ditutup. Data ini diperlukan untuk :
- Pengontrolan tekanan disaat mematikan kick
- Menentukan berat jenis fluida kick
5.2.3 Pit Volume Increase (Pit Gain)
Pertamabahan volume yang terdapat di tanggki lumpur
5.3 Hasil Calculasi dalam mengendalikan kick
5.3.1 Kill Mud Weight (KMW)
5.3.2 Initial Circulating Pressure (ICP)
5.3.3 Final Circulating Pressure (FCP)
5.3.4 Surface to Bit Stroke (SBT)
5.3.5 Bit to Surface Stroke (BTS)
5.3.6 Total Stroke for One Circulating (TSOC)
5.3.7 Maximum Allowable MW (Max.AMW)
5.3.2 Kill Mud Weight (KMW)
Kill Mud Weight merupakan berat jenis lumpur yang digunakan untuk
mematikan well kick yang dihitung sesuai dengan tekanan hidrostatik lumpur .
Ph = 0,052 x KMW x TVD (5.1)
Dimana :
Ph = Tekanan hidrostatik lumpur, psi
KMW = Berat jenis lumpur untuk mematikan kick, ppg
TVD = True Vertical Depth, D
5.3.2 Initial Circulating Pressure (ICP)
Tekanan awal untuk mensirkulasikan kill mud yang bertujuan Untuk
menghitung besarnya ICP dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
ICP = SIDP = KRP (5.2)
Dimana :
ICP : Initial Circulating Pressure
SIDP : Shut In Drillpipe Pressure
KRP : Kill Rate Pressure
5.3.3 Final Circulating Pressure (FCP)
Final Circulating Pressure (FCP) adalah tekanan akhir dari sirkulasi
lumpur berat saat mematikan kick. Final Circulating Pressure dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :
FCP = KRP x OMW
KMW (5.2)
Dimana :
FCP : Final Circulating Pressure
KMW : Kill Mud Weight
OMW :Original Mud Meight
Dalam mematikan kick, tekanan awal sirkulasi lumpur berat adalah
sebesar ICP. Sedangkan tekanan sirkulasi saat lumpur berat mencapai bit
adalah sebesar FCP. Tekanan FCP ini harus dipertahankan (constant) mulai
lumpur berat keluar dari bit sampai lumpur berat kembali mencapai permukaan.
Untuk mempertahankan tekanan tersebut adalah dengan mengatur choke di
permukaan agar tekanan dalam lubang tetap constant.
Hubungan tekanan sirkulasi awal dan tekanan sirkulasi akhir dengan
waktu pemompaan saat mematikan kick dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 5.1 Hubungan Initial Circulating Pressure dengan Surface to Bit
5.3.4 Surface to Bit Stroke (SBT)
Surface to Bit Stroke (SBS) adalah jumlah stroke pemompaan yang
diperlukan oleh lumpur berat mulai dari permukaan sampai ke bit. SBS dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
SBS = POP
VolDCVolDP + (5.3)
Dimana :
SBS : Surface to Bit Stroke
VolDP : Volume Drillpipe
VolDC : Volume Drillcollar
POP : Pump Out Put 5.3.5 Bit to Surface Stroke (BTS) Bit to Surface Stroke (BSS) adalah jumlah stroke pemompaan yang
diperlukan oleh lumpur berat mulai dari bit sampai kepermukaan. BSS dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
BSS = POP
VolAnnDCVolAnnDP +
Dimana :
BSS : Bit to Surface Stroke
POP : Pump Out Put
VolAnnDP : Volume Annulus Drillpipe
VolAnnDC : Volume Annulus Drillcollar
5.3.6 Total Stroke Circulating (TSC)
Dimana total dari lumpur yang disirkulasikan dalam mematikan sumur
yang mengalami kick.
Data lapangan pada sumur KYE 01
Original Mud waight (OMW) : 9 ppg.
Kill Rate Pressure (KRP) : 150 psi.
Pomp # 1 : 60 spm.
Pomp # 2 : -
Pomp Output 1 (PO) : 0,06189 bbl/stroke.
Pompa Output 2 (PO) : -
Anulus Capacity (AnC) : 0,0591 bbl/ft.
Drill Pipe Capacity (DPC) : 0,0613 bbl/ft.
True Vertical Depth (TVD) : 800 ft.
Measure Depth (MD) : 800 ft.
Casing Shoe TVD : 600 ft
Casing Shoe MD : 600 ft
Leak-off Test Mud Waight (Lot MW) : 9 psi.
Surface Test Pressure (Surface TP) : 100 psi
Casing Internal Yield (Burst) : 150 psi.
BOP Stack Rating : 3000 psi.
Shut in Drill Pipe Pressure(SIDP) : 100 psi.
Shut in Casing Pressure (SICP) : 150 psi
Pit Volume Increase (Pit Gain) : 5 bbl.
Tentukan:
o Kill Mud Waight (KMW).
o Initial Casing Pressure (ICP).
o Final Casing Pressure (FCP).
o Surface To Bit Stroke (STBS).
o Bit To Surface Sroke (BTSS).
o Total Sroke Circulation.
Penyelesaian
Kill Mud Waight (KMW) = SIDP ÷ TVD ÷ 0,052 + OMW
= 150 psi÷ 800 ft ÷ 0,052 + 9 ppg
= 12,61 ppg.
Initial Circulating Pressure ( ICP) = KRP + SIDP
= 200 psi + 150 psi
= 350 psi.
Final Circulating Pressure (FCP) = KRP x KMW ÷ OMW
= 200 psi x 12,61 ppg ÷ 9 ppg
= 280,2 psi
Surface To Bit Stroke (STBS) = DPC x ( MD ) ÷ PO
= 0,0613 bbl/ft x 800 ft ÷ 0,06189 bbl/strk
= 792,4 srk .
Bit To Surface Stroke (BTSS) = AnC x ( MD ) + PO
= 0,0591 bbl/ft x 800 ft ÷ 0,06189 bbl/strk
= 763,94 strk
Total Stroke Circuation = STBS + BTSS
= 792,4 strk + 763,94 stroke
= 1556,3 strk.
Data lapangan pada sumur KYE 02
Original Mud waight (OMW) : 9 ppg.
Kill Rate Pressure (KRP) : 200 psi.
Pomp # 1 : 60 spm.
Pomp # 2 : -
Pomp Output 1 (PO) : 0,04189 bbl/stroke.
Pompa Output 2 (PO) : -
Anulus Capacity (AnC) : 0,0391 bbl/ft.
Drill Pipe Capacity (DPC) : 0,0413 bbl/ft.
True Vertical Depth (TVD) : 700 ft.
Measure Depth (MD) : 700 ft.
Casing Shoe TVD : 300 ft
Casing Shoe MD : 300 ft
Leak-off Test Mud Waight (Lot MW) : 9 psi.
Surface Test Pressure (Surface TP) : 100 psi
Casing Internal Yield (Burst) : 150 psi.
BOP Stack Rating : 3000 psi.
Shut in Drill Pipe Pressure(SIDP) : 100 psi.
Shut in Casing Pressure (SICP) : 150 psi
Pit Volume Increase (Pit Gain) : 5 bbl.
Tentukan:
o Kill Mud Waight (KMW).
o Initial Casing Pressure (ICP).
o Final Casing Pressure (FCP).
o Surface To Bit Stroke (STBS).
o Bit To Surface Sroke (BTSS).
o Total One Sroke Circulation.
Penyelesaian
Kill Mud Waight (KMW) = SIDP ÷ TVD ÷ 0,052 + OMW
= 90 psi÷ 700 ft ÷ 0,052 + 9 ppg
= 11,47 ppg.
Initial Circulating Pressure ( ICP) = KRP + SIDP
= 150 psi + 90 psi
= 240 psi.
Final Circulating Pressure (FCP) = KRP x KMW ÷ OMW
= 150 psi x 11,47 ppg ÷ 9 ppg
= 191.,2 psi
Surface To Bit Stroke (STBS) = DPC x ( MD ) ÷ PO
= 0,0413 bbl/ft x 700 ft ÷ 0,04189 bbl/strk
= 690,1 srk
Bit To Surface Stroke (BTSS) = AnC x ( MD ) + PO
= 0,0391 bbl/ft x 700 ft ÷ 0,06189 bbl/strk
= 442,24 strk
Total Stroke Circuation = STBS + BTSS
= 690,1strk + 442,24 stroke
= 1132,3 strk.
BAB VI
PEMBAHASAN
Adapun dalam bab pembahasan ini, penulis menganalisa tentang
pencegahan dari well kick dengan mengunakan metode driller. Dimana fluida
formasi telah masuk kedalam lubang bor, apabila tidak ditanggulagi dengan
sesegera mungkin, maka akan terjadi semburan yang hebat yaitu biasanya
disebut dengan istilah dalam pengeboran migas adalah blow out (semburan liar)
yang mana apabila telah terjadi blow out sulit untuk ditanggulangi lagi, maka
akan berdamapak buruk, baik itu pada lingkungan setempat, perusahaan dan
Negara, seperti biaya yang tinggi, korban manusia, kerusakan lingkungan, serta
berkurang nya cadangan Negara yang berpotensial khususnya dibawah perut
bumi. Blow out dapat di cegah dengan jalan mencegah terjadinya kick,
sedangkan kick dapat dicegah oleh factor manusia yang berkerja pada operasi
pengeboran dengan jalan memperkecil kick atau menghilangkan penyebab –
penyebab kick tersebut, berarti sudah mencegah terjadinya kick.
Apabila kick masih terjadi, dia akan memberikan tanda – tanda, dimana kita lihat
dari gejala – gejala kick tersebut masih belum dapat berkurang, maka sumur
tersebut harus secepat mungkin ditutup, setelah di tutup lalu dilakukan langkah –
langkah dalam mematikan sumur.
Pencegahan well kick dengan mengukan metode driller.(metode juru bor).
metode ini biasanya disebut dengan “dua kali sirkulasi” karena mempunyai
carakerja dua kali system sirkulasi. System yang pertama mengunakan lumpur
lama yang bertujuan untuk mengeluarkan influx (fluida formasi), yang telah
masuk kedalam lubang bor. Dan sirkulasi ke dua dengan memakai lumpur
pemberat yang telah dikalkulasikan seberapa banyak dibutuhkan kill mud
(lumpur pemberat) selama proses sirkulasi pertama sesuai dengan kebutuhan
dalam mematikan sumur. Metode ini sangat baik digunakan jika barit (lumpur
pemberat) tidak cukup banyak tersedia di area pemboran, sambil menunggu
barite, influx (fluida formasi) yang telah berada didalam lubang bor bisa
dikeluarkan. Selain itu, dengan dikeluarkannya influx berarti telah mengurangi
kemungkinan terjadinya peningkatan yang tinggi pada tekanan pipa selubung
akibat dari migrasi influx kepermungkaan secara tidak tercontrol.
Sebelum terjadinya influx (fluida formasi), sumur sudah diantisipasi agar fluida
pemboran tidak dapat masuk kedalam sumur pengeboran agar terhindar dari
terbentuknya influx, agar tidak terjadi well kick, akan tetapi well kick tidak bisa di
elakan juga, maka ada beberapa usaha yang dilakuan yaitu:
1. Mencegah terjadinya swab effect.
2. Menambah bearat jenis lumpur.
3. System dua kali circkulation dengan menjaga tekanan saat sedang
melakukan sirkulasi original mud dan kill mud dengan mengunakan metode
driller (metode juru bor).
6.1 Mencegah terjadinya swab effect.
� Mencabut rangkaian pemboran jangan terlalu cepat
� Viscositas lumpur jangan terlalu tinggi
� Perbaiki sifat-sifat lumpur, terutama dengan menurunkan atau
mengurangi tebal nya mud cake.
Usahakan mencabut rangkaian pemboran dengan system kering, dibuat
beberapa takaran dari lumpur lebih berat dari lumpur yang dibagian luar dari pipe
bor (annuls). yang bertujuan agar terjadi perbedaan tekanan dibawah bit, yang
mana tinggi lumpur akan turun, sewaktu pencabutan tidak ada lagi lumpur yang
tertumpah di meja putar. Bagian lumpur yang dibuat lebih berat disebut dengan
“slug”. Tinggi Slug dalam dapat di tentukan dengan persamaan dibawah.
Banyaknya Slug bbls. Tinggi slug (ft) = (6.1) Kapasitas dari batang bor bbl/ft.
Perlu diinggat bahkan di perhatikan sekali bahwa penyebab terbesar
dalam timbulnya kick pada saat melakukan pemboran minyak dan gas bumi
disebabkan adalah swab effect.
6.2 Menambah berat jenis lumpur. (densitas)
6.2.1 Berat jenis (densitas)
Berat jenis lumpur adalah berat lumpur yang dibagi dengan
volume lumpur, secara sistematik ditulis:
Gm BJm = (6.2)
Vm Dimana :
BJm = Berat Jenis Lumpur
Vm = Volume Lumpur
Gm = Berat Lumpur.
Berat jenis lumpur sangat besar pengaruhnya dalam mengontrol formasi.
Sebab dengan menaikan berat jenis lumpur bor maka tekanan lumpur akan naik
pula. Hal ini dilakukan dengan formasi yang tinggi. Seperti contohnya, barite
diperlukan untuk menaikan berat jenis lumpur pemboran. Selain barite digunakan
juga seperti:
� Galena.
� Ilmenite.
� Ottawa sand.
Umumnya dalam dunia pemboran, berat jenis lumpur juga dinyatakan
dalam bentuk Specific Grafiti (SG). Specific Grafiti juga dinyatakan dalam
persamaan sebagai berikut:
BJm SG = (6.3) BJw Dimana:
SG = Spesific gravity, tanpa satuan
BJm = Berat jenis lumpur pemboran, ppg
BJw = barat jenis air, biasanya 8,33 ppg, atau 1,0
gr/cc, atau 62,4 lb/cuft.
Dalam pembutan berat jenis lumpur selalu harus dibuat berat jenis lumpur
memberikan tekanan hidrostatik lumpur yang lebih besar dari tekanan formasi
yang akan ditembus, supaya terhindar dari timbulnya kick, hubungan berat jenis
dengan tekanan hidrostatik adalah:
Ph = 0,052 × γ × D (6.4)
Dimana:
Ph = Tekanan hidrostatik, psi
γ = Densitas lumpur bor, ppg.
D = Kedalaman lubang bor, ft.
Dalam merencanakan lumpur bor diperkirakan terlebih dahulu tekanan
formasi yang akan ditembus. Tekanan formasi dinyatakan sebagai berikut:
DGFPf ×= (6.5)
Dimana:
Pf = Tekanan formasi, Psi
Gf = Gradien tekanan formasi, Psi/ft
D = Kedalaman, ft.
Untuk gradien tekanan formasi antara 0,433 psi/ft samapai dengan 0,465
psi/ft. apabila tekanan formasi lebih dari 0,465 formasi tersebut dikatakan
abnormal, dan apabila kurang dari 0,433psi/ft dikatakan subnormal.
6.1 System dua kali circkulasi.
Dengan menjaga tekanan saat sedang melakukan sirkulasi original mud
dan kill mud dengan mengunakan metode driller (metode juru bor).
6.1.1 Sirkulasi pertama.
Sirkulasi pertama mengunakan lumpur lama (original mud), yang
bertujuan untuk mengeluarkan influx dari dalam lubang bor, dengan jalan:
1. Lakukan line up, jalankan pompa lumpur dan pompa original mud
2. Catat tekanan casing mula-mula.
3. Kecepatan pemompaan dinaikan secara bertahap, sampai mencapai
slow pump rate atau kill rete speed.
4. Harga Slow pump rate (kill rate speed), tekanan casing harus dijaga
konstan. Karena penurunan tekanan casing menyebabkan penurunan
didasar lubang, dan akan menyebabkan influx bertambah (Secondary
kick).
Bila terjadi kenaikan casing, langkah yang perlu dilakukan adalah buka
choke, dan turunkan tekanan casing sampai kembali keharga semula.
Bila terjadi penurunan, langkah yang harus dilakukan adalah dengan
menutup choke, dan naikan tekanan casing sampai kembali keharga
semula. Lihat gambar 6.1
Gambar 6.1 Kondisi lumpur mulai keluar dari annulus. (1)
5. Setelah sroke pemompaaan mencapai kill rate speed, Sroke counter
dikembalikan keangka nol, dan perhatian ditunjukan kepada Drillpipe
pressure. tekanan drill pipe dijaga konstan samapi sirkuasi pertama
selesai. Bila tejadi penurunan tekanan di drillpipe, langkah yang
dilakukan tutup choke, naikan tekanan casing hingga mencapai tekanan
semula. 6.2
Gambar 6.2 Penurunan tekanan pada drillpipe kembali pada harga semula (1)
Kalau kenaikan choke, tekanan yang langsung berubah adalah tekanan
casing. Tekanan drillpipe akan berubah setelah beberapa detik
berikutnya secara otomatis sebesar perubahan tekanan casing yang
berubah. Reaksi yang terbaca pada tekanan drillpipe butuh waktu,
dimana perubahan tekanan casing akan berjalan kedasar lubang
dahulu, baru naik kepermungkaan sampai drillpipe. Hal ini mengingat
hubungan antara bagian dalam rangkaian pemboran dengan annulus
adalah seperti hubungan pipa U. Bila menutup choke dimana mata kita
hanya memperhatikan drillpipe, maka tekanan casing akan mengalami
kenaikan yang besar. Hal ini akan memecahkan formasi.
Misalkan terjadinya kenikan tekanan drillpipe 100 psi, langkah yang
harus dilakukan adalah:
→ Buka choke,
→ Turunkan tekanan casing 100 psi,
→ Tunggu sebentar, dan nanti tekanan drillpipe akan turun pada
tekanan semula.
Sebaliknya pun begitu, apabila terjadi penurunan tekanan casing 100
psi, maka langkah yang dilakukan adalah:
→ Tutup choke,
→ Naikan tekanan casing 100 psi,
Tunggu tunggu sebentar, dan tekanan drillpipe akan naik pada
tekanan semula.
6. Original mud akan mendorong influx kepermungkaan, maka akan terjadi
kenaikan tekanan casing, maka dari itu agar tidak terjadi pecah formasi
tekanan casing harus slalu dijaga konstan. Dimana gambaran original
mud mendorong influx kepermungkaan, dapat dilihat pada gambar 6.3
Gambar 6.3 Original mud mendorong influx kepermungkaan. (1)
7. Tekanan casing mencapai maksimum di saat puncak influx tiba di
permungkaan. gambaran puncak influx tiba dipermungkaan dapat dilihat
pada gambar 6.4
Gambar 6.4 Puncak influx tiba di permungkaan. (1)
Bila influx sudah keluar kepermugkaan, tekanan casing mulai menurun
dapat dilihat pada gamabar 6.5
Gambar 6.5 Tekanan casing mulai menurun disaat iflux mulai keluar. (1)
Disaat stroke pemompaan yang terbaca pada sroke counter
menunjukan harga total sroke, diharapkan original mud sudah sampai
dipermungkaan dan influx sudah keluar semuanya. Setelah influx sudah
keluar semuanya tekanan casing akan sama dengan tekanan drillpipe.
Hal ini di karenakan berat lumpur udah sama dengan berat jenis di
dalam annulus. Lihat gambar 6.6
Gambar 6.6 Menunjukan influx sudah keluar ke permungkaan. (1)
Kalau tekanan casing belum sama dengan tekanan drillpipe berarti influx
belum keluar semuanya dari dalam lubang.
Untuk melihat apakah original mud sudah samapi kembali
kepermugkaan dapat dilakukan dengan memeriksa berat jenis lumpur
yang keluar ditangki lumpur.
Kalau tekanan casing sudah sama dengan tekanan drilpipe, tutup choke
dan jalankan pompa. Tekanan drillpipe sama dengan tekanan casing. Untuk
sirkulasi pertama selesai.
6.2 Sirkulasi kedua
Dalam sirkulasi kedua menggunakan lumpur baru (Kill mud) untuk mematikan
kick. tujuannya adalah dengan mengantikan original mud dengan kill mud agar
original mud benar-benar kembali kepermungkaan, yang mana influx yang
mungkin tersisa di sumur pemboran benar-benar terangkat kepermungkaan,
untuk mencegah terjadinya scendari kick.
6.2.1 Langkah-langkah dalam melakukan sirkulasi kedua adalah :
1. Jalankan pompa, dan buat kill rate speed, pertahankan tekanan
casing.Kembalikan angka sroke counter ke angka nol.
2. Pertahankan tekanan casing selama kill mud berjalan kepermungkaan
sampai kill mud sampai di bit. Lihat gamabar 6.7
Gambar 6.7 Kill mud dalam perjalanan dari permungkaan menuju ke bit. (1)
Kill mud mud tiba di bit kalau sroke counter menunjukan harga surface to
bit sroke. Lihat gamabar 6.8
Gambar 6.8 Kill mud sampai menuju bit. (1)
3. Saat kill mud keluar dari bit dan mengisi anulus, drill pipe presure dijaga
konstan. Sedangkan tekanan casing mulai turun, karena lumpur dengan
berat jenis yang lebih besar mulai memasuki annulus. Lihat gambar 6.9
4. Setelah stroke counter menunjukan harga total sroke, perhatikan
tekanan casing apakah sudah sama dengan tekanan drillpipe.
Gambar 6.9 Menunjukan kill mud berjalan dari bit menuju ke permungkaan (1)
5. Bila tekanan casing sudah sama dengan tekanan drillpipe, berarti kick
sudah mati. Maka tutup choke dan matikan pompa. Lihat gambar 6.10
Gambar 6.10 Dimana kick sudah mati.(1)
Apabila Cp dan Dp sama sama nol berarti kick sudah tidak dan adalagi
sisa-sisa kick, dan boleh dilanjutkan pengeboran kembali.
BAB VII
KESIMPULAN
7.1 Kesimpulan dan Saran
1. Metode Driller ini disebut juga dengan “metode dua kali sirkulasi”, karena
mempunyai cara dua kali sirkulasi. Sirkulasi yang pertama dengan
mengunakan lumpur semula yang bertujuan untuk mengeluarkan influx
(fluida formasi) yang telah masuk kedalam llubang bor. Dan lumpur yang
ke dua dengan memakai lumpur pemberat. Yang bertujuan agar sisa-sisa
influx yang nungkin tersisa di dalam sumur akan benar-benar terangkat ke
permungkaan.
2. Metode ini sangat baik apabila barite tidak cukup banyak tersedia di area
pengeboran. Sambil menunggu barite, influx (fluida formasi) yang berada
didalam lubang bor dapat dikeluarkan. Selain itu, dengan dikeluarkan flida
formasi (influx), berarti juga menguranggi kemungkinan terjadinya
peningkatan yang tinggi pada tekanan pipa selubung akibat dari migrasi
influx kepermungkaan secara tidak terkontrol.
3. Metode ini sering kali digunakan oleh awak pemboran, karena tidak
banyak membutuhkan perhitungan, dan memiliki hasil bagus hinga 90%
dibanding dengan metode-metode lain.
4. Metode ini memerlukan waktu yang lebih lama dalam proses mematikan
sumur yang mengalami kick agar tidak terhindar dari terjadinya blou uot
yang sulit untuk ditanggulangi.
7.2 Saran
1. Penggunaan lumpur baru yang diperoleh dari perhitungan sebagai lumpur
pemberat sebaiknya memperhitungkan gradient rekah formasi untuk
mencegah terjadinya underground blowout.
2. faktor utama terbentuknya fluida formasi adalah pada para perkerja
pengeboran, karena pada saat proses cabut rangkaian pemboran terlalu
cepat yang menyebabkan terjadinya gaya isap terhadap fluida formasi
tersebut (swab effek).
DAFTAR PUSTAKA
1. Badu, Kaswir. 2007. , Well Control Pusat Pendidikan dan Latihan Minyak
dan Gas Bumi. Cepu.
2. Pusdiklat Migas 2008. Training Manual well control, (Pusat Pendidikan
dan Latihan Minyak dan Gas Bumi. Cepu.)
3. Paryadi. 2005. Lumpur Pemboran, Pusat Pendidikan dan Latihan Minyak
dan Gas Bumi. Cepu.
4. Rudi rubiandini, perencanaan pemboran jurusan teknik perminyakan ITB.
5. Treining Basic Well Control PT. Caltex Pacific Indonesia Duri.