1.1 lisa referat takikardi supraventrikular

34
BAB I PENDAHULUAN Aritmia merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau ekstrakardiak ynng merupakan kelainan primer dengan mekanisme dan penatalaksanaan yang sama. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien usia muda ataupun usia lanjut (Lukman, 2010). Aritmia dibagi menjadi aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikular. Berdasarkan lokasinya, di atrial berupa AV node dan berkas His dan di ventrikel mulai dari infra his bundle. Aritmia dibagi berdasarkan frekuensi denyut jantung yaitu bradikardia dan takikardia dengan nilai normal berkisar antara 60-100/menit. Berdasarkan letaknya, aritmia menyebabkan VES (Ventrikular Extra Systole), dan Supraventricular Extra Systole (SVES) atau Supra Ventriculare Tachycardy (SVT) dimana fokusnya berasal dari berkas His ke atas. AVNRT (AV Nodal Reentry Tachycardia) merupakan salah satu dari SVT di mana terjadi proses reentry di sekitar nodus AV (Lukman, 2010) Takikardi supraventrikular (TSV) adalah takidisritmia yang ditandai dengan perubahan frekuensi jantung yang mendadak, bertambah cepat menjadi berkisar antara 150 sampai 250 per menit. TSV merupakan jenis

Upload: aliqprasetiyo

Post on 30-Jan-2016

114 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

edit

TRANSCRIPT

Page 1: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

BAB I

PENDAHULUAN

Aritmia merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau

ekstrakardiak ynng merupakan kelainan primer dengan mekanisme dan

penatalaksanaan yang sama. Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien

usia muda ataupun usia lanjut (Lukman, 2010).

Aritmia dibagi menjadi aritmia supraventrikular dan aritmia ventrikular.

Berdasarkan lokasinya, di atrial berupa AV node dan berkas His dan di ventrikel

mulai dari infra his bundle. Aritmia dibagi berdasarkan frekuensi denyut jantung

yaitu bradikardia dan takikardia dengan nilai normal berkisar antara 60-100/menit.

Berdasarkan letaknya, aritmia menyebabkan VES (Ventrikular Extra Systole), dan

Supraventricular Extra Systole (SVES) atau Supra Ventriculare Tachycardy

(SVT) dimana fokusnya berasal dari berkas His ke atas. AVNRT (AV Nodal

Reentry Tachycardia) merupakan salah satu dari SVT di mana terjadi proses

reentry di sekitar nodus AV (Lukman, 2010)

Takikardi supraventrikular (TSV) adalah takidisritmia yang ditandai

dengan perubahan frekuensi jantung yang mendadak, bertambah cepat menjadi

berkisar antara 150 sampai 250 per menit. TSV merupakan jenis disritmia yang

paling sering ditemukan. Prevalensi TSV kurang lebih 1 di antara 25.000 individu.

Insiden pada laki-laki dan perempuan tidak berbeda (Doniger & Sharieff, 2010).

Deteksi dini jenis takidisritmia ini sangat penting, terutama karena

sifatnya yang gawat darurat. Diagnosis awal dan tatalaksana SVT memberikan

hasil yang memuaskan. Diagnosis dan pemberian terapi yang terlambat akan

memperburuk prognosis, mengingat kemungkinan terjadinya gagal jantung bila

TSV berlangsung lebih dari 24-36 jam, baik dengan kelainan struktural maupun

tidak (Chun & Hare, 2010).

Kasus takikardi supraventrikular masuk ke dalam kompetensi dokter

umum 3a, yang berarti dokter umum mampu mendiagnosis kasus takikardi

supravetrikular secara tepat dan mampu memberi terapi awal serta merujuk ke

spesialis yang relevan. Referat ini diharapkan dapat menambah informasi dan

Page 2: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

wawasan mengenai takikardi supraventrikular, baik kepada penulis maupun

pembaca, sehingga kompetensi yang diharapkan dapat tercapai. Referat ini akan

membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis,

manifestasi klinis, cara penegakan diagnosis, tatalaksana dari takikardi

supraventrikular.

2

Page 3: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Supraventricular tachycardia (SVT) adalah takidisritmia yang ditandai

dengan perubahan denyut jantung yang mendadak bertambah cepat.

Perubahan denyut jantung pada bayi dengan SVT umumnya menjadi berkisar

antara 150 kali/menit sampai 250 kali/menit. (Doniger & Sharieff, 2010).

Kelainan SVT mencakup komponen sistem konduksi di bagian atas

bundel HIS. Pada kebanyakan SVT mempunyai kompleks QRS normal.

Kelainan ini sering terjadi pada demam, emosi, aktivitas fisik dan gagal

jantung.

2.2 Epidemiologi

Takikardi supraventrikular merupakan kegawatdaruratan kardiovaskular

yang sering ditemukan. Angka kejadian SVT diperkirakan 1 per 250.000

sampai 1 per 250. Angka kekerapan masing-masing bentuk SVT berbeda

sesuai usia. (Chun & Hare, 2010).

Insiden SVT diperkirakan hampir 50-60% (Schlechte, 2011). SVT

terjadi dengan struktur jantung yang normal dan hanya 15% SVT yang disertai

dengan penyakit jantung, karena obat-obatan atau demam, (Kantoch, 2011).

SVT akan menghilang secara spontan pada beberapa pasien (Hanisch, 2012).

Namun, sampai dengan 33% pasien akan mengalami kekambuhan (Schlechte,

2011). Bahkan, untuk SVT jenis atrioventricular nodal reentrant tachycardia

(AVNRT) biasanya tidak dapat sembuh secara spontan dan membutuhkan

ablasi radiofrekuensi (Sekar, 2013).

2.3 Etiologi

3

Page 4: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

1. Idiopatik, ditemukan hampir setengah jumlah insiden. Tipe idiopatik lebih

sering pada bayi daripada anak.

2. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) 10-20% terjadi setelah konversi

menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan

interval PR yang pendek dan interval QRS yang lebar; yang disebabkan

oleh hubungan langsung antara atrium dan ventrikel melalui jaras

tambahan.

3. Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle, L-

TGA)

2.4 Klasifikasi

Berikut ini adalah jenis takikardia supraventrikular:

1) SVT yang melibatkan jaringan sinoatrial :

a. Sinus tachycardia

b. Inappropriate sinus tachycardia

c. Sinoatrial node reentrant tachycardia (SANRT)

2) SVT yang melibatkan jaringan atrial :

a. Atrial tachycardia (Unifocal) (AT)

b. Multifocal atrial tachycardia (MAT)

c. Atrial fibrillation

d. Atrial flutter

3) SVT yang melibatkan jaringan nodus atrioventrikular :

a. AV nodal reentrant tachycardia (AVNRT)

b. AV reentrant tachycardia (AVRT)

c. Junctional ectopic tachycardia

2.5 Elektrofisiologi

Gangguan irama jantung secara elektrofisiologi disebabkan oleh

gangguan pembentukan rangsang, gangguan konduksi rangsang dan gangguan

pembentukan serta penghantaran rangsang.

1) Gangguan pembentukan rangsang

4

Page 5: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

Gangguan terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang

terbentuk secara aktif menimbulkan gangguan irama ektopik dan bila

terbentuk secara pasif sering menimbulkan escape rhytm (irama

pengganti).

- Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara

aktif dan fenomena reentry

- Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal

tidak atau belum sampai pada waktu tertentu dari irama normal,

sehingga bagian jantung yang belum atau tidak mendapat rangsang itu

bekerja secara otomatis untuk mengeluarkan rangsangan instrinsik

yang memacu jantung berkontraksi.

- Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan

kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung

yang melebihi keadaan normal.

- Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade

unidirectional (blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad)

dimana rangsang dari arah lain masuk kembali secara retrograd

melalui bagian yang mengalami blokade tadi setelah masa refrakternya

dilampaui. Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik.

Bila reentry terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak teratur

(pada beberapa tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi

ektopik atau fibrilasi.

2) Gangguan konduksi

Kelainan irama jantung disebabkan oleh hambatan hantaran

(konduksi) aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut

mengakibatkan tidak adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian

miokard yang seharusnya menerima rangsang untuk dimulainya kontraksi.

Blokade ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai

dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang-cabang jaras

kanan kiri sampai pada percabangan purkinye dalam miokard.

3) Gangguan pembentukan dan konduksi rangsangan

5

Page 6: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

Gangguan irama jantung terjadi sebagai karena gangguan

pembentukan rangsang dan gangguan hantaran rangsang.

2.6 Mekanisme Terjadinya SVT

Mekanisme supraventrikular takikardi adalah atrioventricular nodal

reentrant tachycardia (AVNRT), atrioventricular reciprocating (reentrant)

tachycardia (AVRT), dan atrial tachycardia (Link, 2012).

1) Atrioventricular Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT)

AVNRT timbul karena adanya reentrant yang menghubungkan

antara nodus AV dan jaringan atrium. Nodus AV pada AVNRT memiliki

dua jalur konduksi yaitu jalur konduksi cepat dan jalur konduksi lambat.

Jalur konduksi lambat yang terletak sejajar dengan katup trikuspid,

memungkinkan reentrant sebagai jalur impuls listrik baru melalui jalur

tersebut, keluar dari nodus AV secara retrograde (yaitu, mundur dari nodus

AV ke atrium) dan secara anterograde (yaitu, maju dari nodus AV ke

ventrikel) dalam waktu bersamaan. Depolarisasi atrium dan ventrikel yang

bersamaan, mengakibatkan gelombang P jarang terlihat pada gambaran

EKG, meskipun depolarisasi atrium akan memunculkan gelombang P pada

akhir kompleks QRS pada lead V1 (Link, 2012).

Gambar 1. Proses terjadinya atrioventricular nodal reentrant tachycardia

dan gambaran EKG yang timbul

2) Atrioventricular Reciprocating (Reentrant) Tachycardia (AVRT)

6

Page 7: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

AVRT merupakan takikardi yang disebabkan oleh adanya satu atau

lebih jalur konduksi aksesori yang secara anatomis terpisah dari sistem

konduksi jantung normal. Jalur aksesori merupakan sebuah koneksi

miokardium yang mampu menghantarkan impuls listrik antara atrium dan

ventrikel pada suatu titik selain nodus AV. AVRT terjadi dalam dua

bentuk yaitu orthodromik dan antidromik. (Doniger & Sharieff 2010).

AVRT orthodromik, impuls listrik akan dikonduksikan turun

melewati nodus AV secara antegrade seperti jalur konduksi normal dan

menggunakan sebuah jalur aksesori secara retrograde untuk masuk

kembali ke atrium. Karakteristik jenis ini adalah adanya gelombang P

yang mengikuti setiap kompleks QRS yang sempit karena adanya

konduksi retrograde. (Kantoch 2011; Doniger & Sharieff 2010).

Impuls listrik AVRT antidromik akan dikonduksikan berjalan turun

melalui jalur aksesori dan masuk kembali ke atrium secara retrograde

melalui nodus AV. Karena jalur aksesori tiba di ventrikel di luar bundle

His, kompleks QRS akan menjadi lebih lebar dibandingkan biasanya.

(Kantoch 2011; Doniger & Sharieff 2010).

Gambar 2. Proses terjadinya atrioventricular reciprocating (reentrant)

tachycardia dan gambaran EKG yang timbul.

3) Atrial tachycardia

7

Page 8: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

Sekitar 10% dari semua kasus SVT, namun SVT ini sukar diobati.

Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya

karena pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia

yang lama. Takikardi atrium primer tampak adanya gelombang P yang

agak berbeda dengan gelombang P pada waktu irama sinus, tanpa disertai

pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak

tidak didapatkan jaras abnormal (jaras tambahan). (Manole & Saladino,

2013).

Takikardi atrial adalah takikardi fokal yang dihasilkan dari adanya

sebuah sirkuit reentrant mikro atau sebuah fokus otomatis. Atrial flutter

disebabkan oleh sebuah ritme reentry di dalam atrium, yang menimbulkan

laju detak jantung sekitar 300 kali/menit dan bersifat regular atau regular-

ireguler. Gambaran EKG akan tampak gelombang P dengan penampakan

“sawtooth”. Perbandingan antara gelombang P dan QRS yang terbentuk

biasanya berkisar 2:1 sampai dengan 4:1. Karena rasio gelombang P

terhadap QRS cenderung konsisten, atrial flutter biasanya lebih regular

bila dibandingkan dengan atrial fibrillation. Atrial fibrillation dapat

menjadi SVT jika respon ventrikel yang terjadi lebih besar dari 100 kali

per menit. Takikardi jenis ini memiliki karakteristik ritme ireguler-ireguler

baik pada depolarisasi atrium maupun ventrikel. (Doniger & Sharieff,

2010; Link, 2012).

Gambar 3. Proses terjadinya atrial tachycardia dan gambaran EKG yang timbul.

2.7 Gejala Klinis

8

Page 9: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

Gejala klinis takikardia supraventrikular (SVT) biasanya dibawa

karena mendadak gelisah, bernafas cepat, tampak pucat, muntah-muntah, laju

nadi sangat cepat sekitar 200-300 per menit, tidak jarang disertai gagal jantung

atau kegagalan sirkulasi yang nyata. (Schlechte, et al., 2011; Hanash &

Crosson, 2010).

Takikardia supraventrikular pada pasien serangan awal disebabkan

oleh sindrom WPW, baik yang manifes maupun yang tersembunyi (concealed)

sering menyebabkan pasien dibawa ke dokter karena rasa berdebar dan

perasaan tidak enak (Schlechte, et al., 2011).

SVT kronik dapat berlangsung selama berminggu-minggu bahkan

sampai bertahun-tahun. Frekuensi denyut nadi yang lebih lambat, berlangsung

lebih lama, gejalanya lebih ringan dan juga lebih dipengaruhi oleh sistem

susunana saraf autonom. Sebagian besar pasien terdapat disfungsi miokard

akibat SVT pada saat serangan atau pada SVT sebelumnya. (Schlechte, et al.,

2011).

Gejala klinis lain SVT dapat berupa palpitasi, lightheadness, mudah

lelah, pusing, nyeri dada, nafas pendek dan bahkan penurunan kesadaran.

Pasien juga mengeluh lemah, nyeri kepala dan rasa tidak enak di tenggorokan

(Schlechte, et al., 2011).

Risiko terjadinya gagal jantung sangat rendah pada anak dan remaja

dengan SVT tapi risikonya meningkat pada neonatus dengan SVT, neonatus

dengan WPW dan pada anak dengan penyakit jantung. Bila takikardi terjadi

saat fetus, dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung berat dan hidrops

fetalis. (Kothari & Skinner, 2013)

2.8 Diagnosis

Diagnosis SVT berdasarkan pada gejala dan tanda sebagai berikut:

a. Sulit minum, muntah, mudah mengantuk, mudah pingsan, keringat

berlebihan. Bila gagal jantung, maka dapat menjadi pucat, batuk, distress

respirasi dan sianosis. (Schlechte, et al., 2011).

b. Palpitasi, nyeri dada, pusing, kesulitan bernapas, pingsan. (Schlechte, et

al., 2011).

9

Page 10: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

c. Palpitasi, nyeri dada, pusing, kesulitan bernapas, pucat, keringat

berlebihan, mudah lelah, toleransi latihan fisik menurun, kecemasan

meningkat dan pingsan. (Schlechte, et al., 2011).

d. Denyut jantung :150 – 250 kali/menit. (Manole & Saladino, 2013)

e. Perubahan TD (hipertensi atau hipotensi); nadi mungkin tidak teratur;

defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut

menurun; kulit pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun

bila curah jantung menurun berat.

f. Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,

perubahan pupil.

g. Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat

antiangina, gelisah

h. Napas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi

nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan

komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau

fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.

i. Demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema

(trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

j. EKG:

(1) AVNRT : gelombang P yang menghilang atau timbul segera setelah

kompleks QRS sebagai pseudo r’ dalam V1 atau pseudo s dalam lead

inferior. (Delacrétaz, 2012)

(2) AVRT orthodromik : gelombang P yang mengikuti setiap kompleks

QRS yang sempit karena adanya konduksi retrograde. (Kantoch 2011;

Doniger & Sharieff 2010).

(3) AVRT antidromik : kompleks QRS melebar

(4) Atrial tachycardia : Rasio gelombang P : QRS berkisar 2:1 sampai

dengan 4:1

2.9 Penatalaksanaan

10

Page 11: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

Secara garis besar penatalaksanaan SVT dapat dibagi dalam dua

kelompok yaitu penatalaksanaan segera dan penatalaksanaan jangka panjang.

1) Penatalaksanaan segera

a. Direct Current Synchronized Cardioversion

Setiap kegagalan sirkulasi yang jelas dan termonitor dengan

baik, dianjurkan penggunaan direct current synchronized

cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon

yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu

sinkron dengan puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada

puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi ventrikel.

Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock

oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi

ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC

shock kedua yang tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap

tidak berhasil, maka diperlukan tindakan invasive. (American Heart

Association, 2011).

b. Manuver Vagal

Tindakan ini dilakukan pada anak yang lebih besar namun tidak

dianjurkan pada bayi karena jarang berhasil. Maneuver vagal yang

terbukti efektif adalah perendaman wajah. Teknik ini dilakukan

dengan cara bayi terbungkus handuk dan terhubung ke EKG, wajah

direndam selama sekitar lima detik ke dalam mangkuk air dingin.

Akan tetapi, maneuver vagal yang lain seperti pemijatan sinus karotis

dan penekanan pada bola mata tidak direkomendasikan dan terbukti

tidak efektif. Hal tersebut dikarenakan pemijatan sinus karotis justru

dapat menekan pernapasan dan penekanan pada bola mata memiliki

resiko terjadinya luka pada mata dan retina. Jika perendaman wajah

gagal, adenosin dengan dosis awal 200 µg / kg dapat diberikan secara

intravena dengan cepat ke dalam pembuluh darah besar (seperti pada

fossa antecubital). Terkadang dibutuhkan dosis adenosine sampai

dengan 500 µg / kg. (Schlechte, 2011).

11

Page 12: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

c. Pemberian adenosin

Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat

kronotropik negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat

dan berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada

hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan dari

aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel

dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV

sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin

mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas jantung.

(Manole & Saladino, 2013).

Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama

dalam terapi SVT karena dapat menghilangkan hampir semua SVT.

Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus. (Dubin, 2012;

Kannankeril & Fish, 2011). Adenosin diberikan secara bolus intravena

diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan

50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 200 µ/kg). Dosis yang

efektif yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien diberikan

digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang. (Moghaddam, et al.,

2011)

Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial

flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada

pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau

setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti

beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa

menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma. (Manole &

Saladino, 2013).

Kegagalan adenosine dalam menghilangkan takikardi masih

mungkin mengarah pada :

(1) Dosis yang tidak adekuat atau pemberian obat yang terlalu lambat

(2) Proses mekanisme menuju atrial takikardi

(3) Proses mekanisme menuju VT. (Kothari & Skinner, 2013).

12

Page 13: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

d. Verapamil

Obat ini juga tersedia untuk penanganan segera SVT, akan tetapi

saat ini mulai jarang digunakan karena efek sampingnya. Obat ini

mulai bekerja 2 sampai 3 menit, dan bersifat menurunkan cardiac

output. Banyak laporan terjadinya hipotensi berat dan henti jantung.

Jika diberikan verapamil, persiapan untuk mengantisipasi hipotensi

harus disiapkan seperti kalsium klorida (10 mg/kg), cairan infus, dan

obat vasopressor seperti dopamin. Tidak ada bukti bahwa verapamil

efektif mengatasi ventrikular takikardi pada kasus-kasus yang tidak

memberikan respon dengan adenosine. (Chun & Van Hare, 2010;

American Heart Association, 2011)

e. Prokainamid.

Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga

efektif. Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau

pada konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus

AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading dose

diberikan. Dosis oral yang biasa diberikan berkisar antara 40-100

mg/kg/hari terbagi dalam 4-6 dosis. Dosis awal untuk intravena yang

dapat ditoleransi adalah 5-15 mg/kg, sedangkan untuk dosis

pemeliharaan dapat menggunakan 40-100 mcg/kg/menit (Iyer, 2013).

f. Digoksin

Dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan SVT

pada anak. Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera

SVT dan sebaiknya dihindari pada anak yang lebih besar dengan

WPW sindrom karena ada risiko percepatan konduksi pada jaras

tambahan. Digitalisasi dipakai pada pasien tanpa gagal jantung

kongestif. (Schlechte, 2011).

g. Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak

bisa digunakan, dan digitalis tidak efektif, infus intravena

phenylephrine bisa dicoba untuk konversi cepat ke irama sinus.

Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan

13

Page 14: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

mengubah takikardi dengan meningkatkan refleks vagal. Efek

phynilephrin (Neo-synephrine) sama halnya dengan sedrophonium

(tensilon) yang meningkatkan reflek vagal seperti juga efek anti

aritmia lain seperti procainamid dan propanolol. Metode ini tidak

direkomendasikan pada pasien dengan CHF karena dapat

meningkatkan afterload sehingga merugikan pada pasien dengan gagal

jantung. Dosis phenylephrin 10 mg ditambahkan ke dalam 200 mg

cairan intravena diberikan secara drip dengan pengawasan doketr

terhadap tekanan darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-170

mmHg.

h. Flecainide dan sotalol

Merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk

mengontrol SVT yang refrakter. Dosis yang terbukti aman digunakan

berkisar 80-180 mg/m2/hari yang diberikan dalam 2-3 dosis terbagi

(Iyer, 2013)

i. Beta bloker.

Obat ini telah terbukti efektif pada 55% pasien. Selain itu juga

penggunaan obat amiodarone juga berhasil pada 71% pasien dimana di

antaranya sebagai kombinasi dengan propanolol. Keberhasilan terapi

memerlukan kepatuhan sehingga amiodarone dipakai sebagai pilihan

terapi pada beberapa pasien karena hanya diminum 1x sehari. Semua

pasien yang diterapi dengan amiodarone, harus diperiksa tes fungsi

hati dan fungsi tiroid setiap 3 bulan. Propanolol dapat digunakan

secara hati-hati, sering efektif dalam memperlambat fokus atrium pada

takikardi atrial ektopik (Iyer, 2008).

14

Page 15: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

Gambar 4. Penatalaksanaan Jangka Pendek SVT Algoritma

2) Penanganan Jangka Panjang

Umur pasien dengan SVT digunakan sebagai penentu terapi jangka

panjang SVT. Di antara yang menunjukkan tanda dan gejala SVT, kurang

lebih sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak setengah dari

jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan mengalami resolusi

sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan

merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.

15

Page 16: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

Gambar 5. Algoritma Manajemen Jangka Panjang SVT

a. Medikamentosa

Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka

panjang karena umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi

dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak

dikaitkan dengan preeksitasi.

Pasien yang sensitif terhadap pengobatan adenosine dapat

diberikan long acting β blocker, yang telah terbukti aman digunakan

dan tidak membutuhkan monitoring spesifik. Pada pasien yang

mengalami syok atau sulit untuk dilakukan kardioversi, dapat

diberikan obat-obatan antiaritmia yang lebih kuat, seperti sotalol,

flecainide atau amiodarone yang masing-masing membutuhkan

monitoring intensif. Konsentrasi flecainide dalam darah harus diukur

16

Page 17: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

pada pemberian hari ke tujuh untuk memastikan tidak tercapainya

konsentrasi yang bersifat toksik. Pada pemberian sotalol, harus

dilakukan monitoring terhadap interval QT. Dosis yang diberikan

dapat diterima jika interval QT mencapai 0,5 detik. Sotalol memiliki

beberapa efek β blocker dan harus diperhatikan kemungkinan

terjadinya disfungsi miokard. (Iyer, 2013)

Digoksin kadang-kadang digunakan sebagai obat tambahan

yang dikombinasikan dengan obat-obatan tersebut (Wong, et al.,

2006). Digoksin tidak diunakan sebagai terapi tunggal karena dianggap

kurang efektif. Penggunaannya juga berpotensi memberikan resiko

terjadinya atrial takikardi di masa mendatang. Penggunaan digoksin

dikontraindikasikan untuk pasien dengan Wolff-Parkinson-White

(WPW) karena meningkatkan sifat konduksi dari jalur aksesori dan

merupakan predisposisi untuk mempercepat terjadinya fibrilasi atrium

dan kematian mendadak pada pasien. (Wong, et al., 2012)

Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5

tahun, radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan.

Pasien yang menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini

umumnya takikardinya tidak mungkin mengalami resolusi sendiri dan

umunya tidak tahan atau kepatuhannya kurang dengan pengobatan

medikamentosa. Terapi ablasi dapat dilakukan bila SVT refrakter

terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek samping obat pada

pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif

terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter dan mengancam

kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker atau ablasi

pembedahan. (Kothari & Skinner, 2013)

Tabel 1. Klasifikasi obat-obatan yang biasa digunakan dalam

manajemen takikardi.

Klasifikasi Obat-Obatan

Kelas 1 : Sodium channel blocker Flecainide, propafenone

17

Page 18: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

Kelas 2 : β blockers Atenolol, propanolol, esmolol,

nodolol

Kelas 3 : potassium channel

blocker

Amiodarone, sotalol

Kelas 4 : calcium channel blocker Verapamil, diltiazem

b. Ablasi Kateter

Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan

kuratif berupa ablasi kateter. Ablasi kateter pertama sekali

diperkenalkan oleh Gallagher dkk tahun 1982. Sebelum tahun 1989

ablasi kateter dilakukan dengan sumber energi arus langsung yang

tinggi (high energy direct current) berupa DC Shock menggunakan

kateter elektroda multipolar yang diletakkan di jantung. Karena

pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak terlokalisasi maka

banyak timbul komplikasi. Saat ini ablasi dilakukan dengan energi

radiofrekuensi sekitar 50 watt yang diberikan sekitar 30-60 detik.

Energi tersebut diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan

frekuensi 500.000 siklus per detik (hertz).

Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul

pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jaringan yang berada di

bawah kateter ablasi yang menjadi sumber energi panas, bukan kateter

itu sendiri. Thermal injury adalah mekanisme utama kerusakan

jaringan selama prosedur ARF. Meningkatnya suhu jaringan

menyebabkan denaturasi dan evaporasi cairan yang kemudian

menimbulkan kerusakan jaringan lebih lanjut dan koagulasi jaringan

dan darah. Kerusakan jaringan permanen timbul pada temperatur

sekitar 50 derajat celsius.

Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan

memasukkan kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya

ke jantung kanan) dengan panduan sinar X. Biasanya prosedur ini

bersamaan dengan pemeriksaan elektrofisiologi. Selanjutnya kateter

18

Page 19: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

ablasi diletakkan pada sirkuit yang penting dalam mempertahankan

kelangsungan aritmia tersebut di luar jaringan konduksi normal. Bila

lokasi yang tepat sudah ditemukan, maka energi radiofrekuensi

diberikan melalui kateter ablasi. Umumnya pasien tidak merasakan

adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat juga dirasakan adanya

rasa sakit. Bila tidak terjadi komplikasi pada pasien, hanya perlu

dirawat selama 1 hari bahkan bisa pulang hari.

Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti lama

dan frekuensi takikardi, toleransi terhadap gejala, efektivitas dan

toleransi terhadap obat anti aritmia, dan ada tidaknya kelainan struktur

jantung. Untuk SVT yang teratur, banyak penelitian yang

menunjukkan bahwa ARF lebih efektif daripada obat dalam aspek

peningkatan kualitas hidup pasien dan penghematan biaya daripada

obat anti aritmia.

Dari beberapa meta analisis didapatkan angka keberhasilan

rata-rata ARF pada SVT adalah 90-98% dengan angka kekambuhan

sekitar 2-5%. Angka penyulit sekitar 1%. ARF dipertimbangkan

sebagai terapi lini pertama dibandingkan dengan obat-obatan (Kim, et

al., 2012).

c. Pacu Jantung Dan Terapi Bedah

Alat pacu jantung akan segera berfungsi bila terjadi bradikardi

hebat. Alat pacu jantung untuk bayi dan anak yang dapat diprogram

secara automatik (automatic multiprogrammable overdrive

pacemaker) akan sangat memudahkan penggunaannya pada pasien

yang memerlukan. Pacu jantung juga dapat dipasang di ventrikel

setelah pemotongan bundel HIS, yaitu pada pasien dengan SVT

automatik yang tidak dapat diatasi. Tindakan ini merupakan pilihan

terakhir setelah tindakan pembedahan langsung gagal.

Tindakan pembedahan dilakukan pertama kali pada pasien

sindrom WPW. Angka keberhasilannya mencapai 90%. Karena

19

Page 20: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

memberikan hasil yang sangat memuaskan, akhir-akhir ini cara ini

lebih disukai daripada pengobatan medikamentosa. Telah dicoba pula

tindakan bedah pada SVT yang disebabkan mekanisme automatik

dengan jalan menghilangkan fokus ektopik secara kriotermik. Gillete

tahun 1983 melaporkan satu kasus dengan fokus ektopik di A-V

junctionyang berhasil diatasi dengan tehnik kriotermi dilanjutkan

dengan pemasangann pacu jantung permanen di ventrikel.

Dengan kemajuan di bidang kateter ablasi, tindakan bedah

mulai ditinggalkan. Akan tetapi di beberapa senter kardiologi,

kesulitan melakukan ablasi transkateter dapat diatasi dengan

pendekatan bedah dengan menggunakan tehnik kombinasi insisi dan

cryoablation jaringan. Pada saat yang sama adanya residu kelainan

hemodinamik yang menyebabkan hipertensi atrium dan ventrikel dapat

dikoreksi sekaligus.

BAB III

20

Page 21: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

KESIMPULAN

Takikardi supraventrikular merupakan kegawatdaruratan kardiovaskular

yang sering ditemukan. Penyebab SVT adalah idiopatik, sindrom Wolf Parkinson

White (WPW) dan beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single

ventricle, L-TGA).

Gejala klinis lain SVT dapat berupa gelisah, bernafas cepat, tampak pucat.

Dapat pula terjadi muntah-muntah. Laju nadi sangat cepat sekitar 200-300 per

menit, tidak jarang disertai gagal jantung atau kegagalan sirkulasi yang nyata,

palpitasi, lightheadness, mudah lelah, nyeri dada, nafas pendek dan bahkan

penurunan kesadaran. Pasien juga mengeluh lemah, nyeri kepala dan rasa tidak

enak di tenggorokan. Risiko terjadinya gagal jantung dapat terjadi pada pasien

dengan SVT, WPW dan dengan penyakit jantung.

Diagnosis SVT berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan EKG. Penatalaksanaan SVT berupa penatalaksanaan segera dan

jangka panjang. Penatalaksanaan segera dapat menggunakan Direct Current

Synchronized Cardioversion, dan medikamentosa. Sedangkan penatalaksanaan

jangka panjang yang dapat dilakukan yaitu medikamentosa, DC shock, ablasi

kateter, pemakaian alat pacu jantung dan tindakan bedah.

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 22: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

American Heart Association, 2011. Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: Advanced life support. Circulation, Volume 112, pp. 167-187.

Chun, T. U. H. & Van Hare, G. F., 2010. Advances in the approach to treatment of supraventricular tachycardia in population. Current Cardiology Reports, Volume 6, pp. 322-326.

Delacrétaz, E., 2012. Supraventricular Tachycardia. New England Journal of Medicine, 354(10), pp. 1039-1051.

Doniger, S. J. & Sharieff, G. Q., 2010. Dysrythmias. Clinics of North America, Volume 53, pp. 85-105.

Dubin, A., 2012. Cardiac arrhythmias. In: R. Kliegmann, R. Behrmann, H. Jenson & B. Stanton, eds. Philadelphia: Saunders, Elsevier, pp. 1942-1950.

Hanash, C. R. & Crosson, J. E., 2010. Emergency Diagnosis and Management of Arrhythmias. J Emerg Trauma Shock, Volume 3(3), p. 251–260.

Hanisch, D., 2012. Arrhythmias. Journal of Nursing, Volume 16, pp. 351-362.

Iyer, V. R., 2013. Drug Therapy Considerations in Arrhythmias. Indian Pacing and Electrophysiology Journal, Volume 8 (3), pp. 202-210.

Kannankeril, P. & Fish, F., 2011. Disorders of Cardiac Rhythm and Conduction. In: , eds. . 7th ed.. In: H. Allen, D. Driscoll, R. Shaddy & T. Feltes, eds. Moss and Adams' Heart Disease in Infants, Children, and Adolescents: Including the Fetus and Young Adults 7th Ed. Philadelphia: Lippincott, Williams and Wilkins, pp. 293-342.

Kantoch, M. J., 2011. Supraventricular tachycardia. Indian Journal, Volume 72, pp. 609-619.

Kim, Y. H., Park, H.-S., Hyun, M. C. & Kim, Y.-N., 2012. Tachyarrhythmia and Radiofrequency Catheter Ablation: Results From 1993 to 2011. Korean Circulation Journal, Volume 42, pp. 735-740.

Kothari, D. S. & Skinner, J. R., 2013. Tachycardias: an update. Volume 91, p. 136–144.

Link, M. S., 2012. Evaluation and Initial Treatment of Supraventricular Tachycardia. The New England Journal of Medicine, 367(15), pp. 1438-1448.

22

Page 23: 1.1 LISA REFERAT Takikardi Supraventrikular

Manole, M. D. & Saladino, R. A., 2013. Emergency Department Management of the Patient With Supraventricular Tachycardia. Emergency Care, 23(3), pp. 176-189.

Moghaddam, M. Y. A., Dalili, S. M. & Emkanjoo, Z., 2011. Efficacy of Adenosine for Acute Treatment of Supraventricular Tachycardia. The Journal of Tehran University Heart Center, Volume 3(3), pp. 157-162.

Schlechte, E. A., Boramanand, N. & Funk, M., 2011. Supraventricular Tachycardia in the Primary Care Setting: Agerelated Presentation, Diagnosis, and Management. Journal of Health Care, 22(5), pp. 289-299.

Sekar, R. P., 2013. Epidemiology of Arrhythmias. Indian Pacing and Electrophysiology Journal, Volume 8, pp. 8-13.

Wong, K. K., Potts, J. E., Etheridge, S. P. & Sanatani, S., 2012. Medications used to manage supraventricular tachycardia: A North American Survey. Cardiology, Volume 27, pp. 199-203.

23