zat adiktif nikotin

32
Blok 17 : Neuropsikiatri TUGAS REFERAT PENYALAHGUNAAN NAPZA OLEH: Tannia Rizkyka Irawan H1A012059 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM NUSA TENGGARA BARAT

Upload: tanrw

Post on 18-Dec-2015

100 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

blok 17

TRANSCRIPT

Blok 17 : NeuropsikiatriTUGAS REFERATPENYALAHGUNAAN NAPZA

OLEH: Tannia Rizkyka IrawanH1A012059

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAMNUSA TENGGARA BARAT2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan laporan tugas jurnal ini sebagai hasil bahan belajar pada Blok XVII (Blok Neuropsikiatri) semester VI.Penulis memohon maaf jika dalam penugasan ini terdapat banyak kekurangan dalam menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan jurnal ini karena semua ini disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia. Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada para pembaca serta sebagai bahan untuk dikritisi agar lebih baik kedepannya.

Mataram, Mei 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.. iDaftar Isi. iiBAB I .4BAB II 5BAB III .21Daftar Pustaka .. 22

BAB IPENDAHULUAN

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat jika masuk kedalam tubuh manusia akan memengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.Menurut laporan United Nations Office Drugs and Crime pada tahun 2009 menyatakan 149 sampai 272 juta penduduk dunia usia 15-64 tahun yang menyalahgunakan obat setidaknya satu kali dalam 12 bulan terakhir. Dari semua jenis obat terlarang ganja merupakan zat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia yaitu 125 juta sampai dengan 203 juta penduduk dunia dengan prevalensi 2,8%-4,5% (UNODC, 2011).Berdasarkan hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) memperkirakan prevalensi penyalahgunaan NAPZA pada tahun 2009 adalah 1,99% dari penduduk Indonesia berumur 10-59 tahun. Pada tahun 2010, prevalensi penyalahgunaan NAPZA meningkat menjadi 2,21%. Jika tidak dilakukan upaya penanggulangan diproyeksikan kenaikan penyalahgunaan NAPZA dengan prevalensi 2,8% pada tahun 2015 (BNN, 2011).Untuk itu perlunya mahasiswa mengetahui jenis jenis NAPZA, mekanisme kerja yang mempengaruhi SSP sehingga menimnulkan adiksi, serta tatalaksana bagaimana mengurangi adiksi. Dalam review jurnal ini penulis akan membahas kodein untuk jenis narkotika, amfetamin untuk jenis psikotropika, dan nikotin untuk jenis zat adiktif.BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 CODEINKodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam Oppium poppy , Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-tussive dan anti-diare) dan hipnosis properti (terkait dengan keragaman dari komponen aktif, termasuk morfin, kodein dan papaverin (Nielsen, 2010). Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat opium. Opium yang bersal dari getah Papaverin Somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran maka istilah analgesic narkotik menjadi kurang tepat (Pharmacy Board Victoria, 2010).Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivate semisintetik alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Tetapi semua analgesik opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi (Nielsen, 2010).Yang termasuk golongan obat opioid adalah :1. obat yang berasal dari opium-morfin2. senyawa semisintetik morfin3. senyawa sintetik yang berefek seperti morfinObat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid.EpidemiologiSekitar 23,5 juta orang berusia 12 atau lebih tua memerlukan pengobatan untuk masalah penggunaan obat-obatan terlarang pada tahun 2009. Dalam laporan kumpulan data, penyalahgunaan opiat, termasuk kodein, menyumbang persentase terbesar dari penerimaan terkait Narkotika (sekitar 20 persen). Di Amerika, kecanduan dan penyalahgunaan kodein sudah sangat umum, dan diperkirakan mencapai 33 juta pengguna setiap tahun (Robinson, 2010).

EtiologiKecanduan kodein dan zat-zat lain yang merupakan kombinasi dari sejumlah faktor yang bekerja bersama-sama, yaitu (Chew, 2001):1. Genetik: Individu yang memiliki kerabat - terutama orang tua - yang kecanduan zat lebih mungkin untuk mengalami masalah kecanduan di kemudian hari.2. Otak Kimia: Codeine bekerja dengan berinteraksi dengan neurotransmitter di otak. Satu teori adalah seseorang yang menyalahgunakan kodein melakukannya untuk mengatasi kurangnya neurotransmitter yang terjadi secara alamiah. Kodein dapat digunakan sebagai bentuk pengobatan sendiri untuk mengatasi kekurangan.3. Lingkungan: Hipotesis lain adalah anak-anak yang tumbuh di lingkungan rumah stabil dan dapat terkena penyalahgunaan narkoba dengan melihat orang tua mereka atau saudara yang lebih tua menggunakan. Mereka belajar bahwa penyalahgunaan narkoba adalah cara yang dapat diterima untuk mengatasi masalah emosional dan peristiwa kehidupan yang penuh stres.4. Psikologis: Kadang-kadang orang yang menjadi kecanduan zat seperti kodein adalah self-mengobati untuk berurusan dengan gangguan mental yang tidak diobati. Codeine digunakan dalam upaya untuk mengendalikan efek samping yang tidak menyenangkan dari gangguan mental yang mendasari.

PatomekanismeDahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata narkosis bahasa Yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantunganfisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi (Simmons, 2010).Peptida opioid endogen, Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya didaerah otak yang mengandung peptida yang memiliki sifat farmakologik menyerupai opioid. Terdapat 3 jenis peptide opioid yakni enkefalin, endorfin, dan dinorfin. Peptida opioid endogen tersebut diperkirakan berpran pada transmisi saraf, meskipun mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas diketahui. Tiap jenis berasal dari prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memperlihatkan distribusi anatomis yang khas. Prekursor ini disebut proenkefalin A, pro-opiomelanokortin (POMC) dan prodinorfin (proenkefalin B). Masing-masing prekursor mengadung sejumlah peptida yang aktif secara biologik, baik sebagai opioid maupun nonopioid yang telah dideteksi dalam darah dan berbagai jaringan (Joyce, 1996; Simmons, 201). Reseptor opioid majemuk (multiple). Ada 3 jenis uatama reseptor opioid yaitu mu ( ), delta ( ), kappa ( ). Ketiga jenis reseptor tersebut pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki sub tipe: mu1, mu2, mu3, delta1, delta2, delta3, kappa1, kappa2, kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtype reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologi yang beragam (Joiyce, 1996; Pharmacy Board Victoria, 2010).Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong opioid dibagi menjadi :1. Agonis opioid menyerupai morfin, yaitu yang bekerja sebagai agonis terutama pada reseptor , dan mungkin pada reseptor k (contoh : morfin)2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua resepor (contoh : nalokson)3. Opioid dengan kerja campur :a. Agonis-antagonis opioid, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain (contoh : nalorfin, pentazosin)b. Agonis parsial (contoh : buprenorfin)Reseptor memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi nafas miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor diduga meperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi nafas yang tidak adekuat agonis . Selain itu disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor (epsilon) yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin.terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor memegang peranan dalam menimbulkan depresi penafasan yang ditimbulkan oleh opioid. Dari penelitian pada tikus reseptor dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi nafas, sedangkan reseptor dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume. Reseptor ada 2 jenis yaitu reseptor 1 , yang hanya didapatkan pada SSP dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan katalepsi sedangkan reseptor 2 dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan bradikardi. Analgesic yang berperan pada tingkat spinal berinteraksi dengan reseptor dan (Pharmacy Board Victoria, 2010).

Manifestasi KlinisSeseorang yang mengalami ketergantungan codeine mungkin mengalami efek menyenangkan pada saat pemakaian dihentikan. Sementara sebagian besar gejala dapat dilewati dalam beberapa hari, mungkin diperlukan durasi bebrapa bulan sebelum merasa secara fisik normal kembali. Efek withdrawal kodein meliputi: (Simmons, 2010)1. sakit kepala2. Nyeri otot3. insomnia4. demam5. Mual dan Muntah6. berkeringat7. dehidrasi8. kelemahan9. masalah pencernaan

Gejala gejala lain yang menunjukkan gejala ketergantungan codein yaitu (Simmons, 2010):1. Mengantuk terus-menerus2. kelelahan3. Keluhan kulit gatal4. Kehilangan selera makan5. tidur berlebihan6. Warna kebiru-biruan pada bibir dan kuku7. Mual dan pusing8. Otot berkedut tak terkendali9. Penarikan dari kegiatan sosial, kehilangan minat dalam hobi10. Berulang kali meminjam atau meminta uang untuk mendukung kecanduan

TatalaksanaObat sakit seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin, Advil) dapat digunakan untuk membantu meringankan rasa sakit saat terjadi efek withdrawal ringan. Loperamide (Imodium) dapat membantu mengobati diare. Hydroxyzine (Vistaril, Atarax) dan obat lain dapat membantu dengan mual. (Nielsen, 2010; Robinson, 2010)

Jika terjadi efek withdrawal yang berat, clonidine (Catapres, Kapvay, dan lain-lain) sering digunakan untuk mengurangi kecemasan. Hal ini juga dapat meringankan (Nielsen 2010): nyeri otot berkeringat ingusan haid agitasiPenggunaan lainnya, opiat yang memiliki efek adiktif ringan dapat mengurangi beberapa gejala penarikan. Buprenophine (Suboxone, Subutex) adalah antagonis opioid yang dapat digunakan untuk kodein detoksifikasi.

Untuk kecanduan dan ketergantungan yang berat, beralih ke opioid pmeliharaan seperti metadon mungkin dapat digunakan. Perawatan detoksifikasi cepat di bawah anestesi dapat mengurangi intensitas beberapa gejala penarikan. Metode ini juga menggunakan blocker opioid seperti naltrexone. Namun, prosedur ini datang dengan risiko muntah di bawah anestesi, yang merupakan kejadian yang mengancam jiwa (Robinson, 2010).

2.2 AMFETAMINAmfetamin (1-metil-2-phenethylamine) pertama disintesis pada tahun 1887 dan merupakan anggota pertama dari kelompok senyawa yang memiliki struktur serupa dan sifat biologis dan secara kolektif disebut "amfetamin". Kelompok ini juga termasuk methamphetamine, disintesis enam tahun kemudian, dan 3-4 methylenedioxymethamphetamine (MDMA), dipatenkan pada tahun 1914. Amfetamin menghasilkan efek utama mereka dengan meningkatkan tingkat sinaptik dari amine biogenik, dopamin, norepinefrin dan serotonin, melalui beberapa makanisme (Berman et al, 2008).EpidemiologiPenggunaan metamfetamin di Kanada, Meksiko dan Amerika Serikat telah dikaitkan erat dalam hal produksi dan pasokan obat. Menurut survei nasional mereka, prevalensi tahunan untuk pemakaian di Kanada pada tahun 2004 adalah 0,8%, sedangkan di Meksiko pada tahun 2002 0,3% untuk amfetamin dan 0,1% untuk metamfetamin (Berman et al, 2008).Mekanisme Kerja Amfetamin adalah senyawa yang mempunyai efek simpatomimetik tak langsung dengan aktivitas sentral maupun perifer. Strukturnya sangat mirip dengan katekolamin endogen seperti epinefrin, norepinefrin dan dopamin. Efek alfa dan beta adrenergik disebabkan oleh keluarnya neurotransmiter dari daerah presinap. Amfetamin klasik mempunyai efek menghalangi re-uptake dari katekolamin oleh neuron presinap dan menginhibisi aktivitas monoamin oksidase, sehingga konsentrasi dari neurotransmitter terutama dopamin cenderung meningkat dalam sinaps. Efek tersebut terutama kuat pada neuron dopaminergik yang keluar dari area tegmental ventralis ke korteks serebral dan area limbik. Jalur tersebut disebut jalur hadiah (reward pathway) dan aktifasinya kemungkinan merupakan mekanisme adiksi utama bagi amfetamin. Amfetamine memiliki waktu paruh (T) 12-15 jam (Berman et al, 2008; Bramness et al, 2012).Dari beberapa penelitian pada binatang diketahui pengaruh amfetamine terhadap ketiga biogenik amin tersebut yaitu (Berman et al, 2008): DopaminAmfetamine menghambat re uptake dan secara langsung melepaskan dopamin yang baru disintesa. Pada penelitian didapatkan bahwa isomer dekstro dan levo amfetamine mempunyai potensi yang sama dalam menghambat up take dopaminergik dari sinaptosom di hipothalamus dan korpus striatum tikus. NorepinefrinAmfetamine memblok re uptake norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan norepinefrin baru, penambahan atau pengurangan karbon diantara cincin fenil dan nitrogen melemahkan efek amfetamine pada pelepasan re uptake norepinefrin SerotoninSecara umum, amfetamine tidak mempunyai efek yang kuat pada sistem serotoninergik. Menurut Fletscher p-chloro-N-metilamfetamin mengosongkan kadar 5 hidroksi triptopfan (5-HT) dan 4 hidroksi indolasetik acid (5-HIAA), sementara kadar norepinefrin dan dopamine tidak berubah.Amfetamin menghambat reuptake dopamin dengan berinteraksi dengan transporter dopamin (DAT), sehingga meningkatkan konsentrasi dopamin di celah sinaps [. Amfetamin juga berinteraksi dengan vesikular monoamine transporter 2 (VMAT2), yang menyebabkan peningkatan jumlah dopamine dalam sitosol. Efek neurotoksik terlihat juga di neuron serotonergik dan noradrenergic (Bramness et al, 2012).Dosis tinggi amphetamine dan methamphetamine mengubah neuron dopaminergik yang menginervasi striatum (caudatus-putamen). Pada hewan coba, dosis tinggi MDMA mengubah neuron serotonergik. Toksisitas dopaminergik disimpulkan dari defisit dalam penanda fenotip untuk syaraf dopaminergic terminal, termasuk dopamin itu sendiri, enzim biosintesis yang hidroksilase tirosin dan asam amino L-aromatik dekarboksilase, dan kedua transporter membran plasma dopamin (DAT) dan transporter monoamina vesikular (VMAT) . Pada tikus yang diberikan MDMA, penipisan berlarut-larut dari reseptor 5-HT (serotonin), penurunan membangkitkan rilis 5-HT, perubahan sekresi hormon, dan perilaku kecemasan yang terus-menerus juga telah ditafsirkan sebagai bukti neurotoksisitas, meskipun penafsiran ini tidak konklusif (Berman et al, 2008).

Manifestasi KlinisAmfetamine dan metamfetamine dapat memperpanjang masa kewaspadaan, meningkatkan fokus dan peraasaan berenergi serta mengurangi kelelahan. Amphetamine dan metamfetamine dapat menghasilkan euforia, menginduksi anoreksia. Efek samping termasuk kecemasan, agresi, paranoid, hiperaktif, mengurangi nafsu makan, takikardia, peningkatan denyut, dilatasi pupil takipneu, peningkatan tekanan darah, sakit kepala, insomnia, jantung berdebar, aritmia dan lain-lain (Bramness et al, 2012).Gejala-gejala psikosis yang disebabkan oleh amfetamin sangat mirip dengan akut psikosis spektrum skizofrenia dan meliputi: kurangnya konsentrasi, delusi, peningkatan aktivitas motorik, disorganisasi pikiran, insight yang buruk, kecemasan, kecurigaan dan halusinasi pendengaran (Bramness et al, 2012).DiagnosisKriteria diagnostik untuk intoksikasi amfetamin menurut DSM-V (Maslim, 2013):A. Pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan (misalnya methylphenidate) yang belum lama terjadi.B. Perilaku maladaptif atau perubahan perilaku yang bermakna secara klinis (misalnya euforia atau penumpulan afektif, perubahan sosiabilitas, kewaspadaan berlebihan, kepekaan interpersonal, kecemasan, ketegangan, atau kemarahan, perilaku stereotipik, gangguan pertimbangan, atau gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan.C. Dua (atau lebih) hal berikut berkembang selama atau segera sesudah pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan;(1)takikardia atau bradikardia(2)dilatasi pupil(3)peninggian atau penurunan tekanan darah(4)berkeringat atau menggigil(5)mual atau muntah(6)tanda-tanda penurunan berat badan(7)agitasi atau retardasi psikomotor(8)kelemahan otot, depresi pernapasan, nyeri dada, atau aritmia jantung(9)konfusi, kejang, diskinesia, distonia, atau komaD. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain

Kriteria diagnostik untuk putus amfetamin menurut DSM-IV (Maslim, 2013): Penghentian (atau penurunan) amfetamin (atau zat yang berhubungan) yang sudah lama atau berat Mood disforik dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut, yang berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A:(1)kelelahan(2)mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan(3)insomnia atau hipersomnia(4)peningkatan nafsu makan(5)retardasi atau agitasi psikomotor Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain

2.3 NIKOTINEpidemiologiPenggunaan tembakau secara tipikal dimulai ketika usia anak. Sebesar 80% perokok memulai untuk merokok pada usia 18 tahun. Meskipun sebesar 2/3 dari remaja merokok, hanya 20-25 persen yang menjadi perokok tetap. Faktor resiko merokok pada anak adalah pengaruh lingkungan dan orang tua, masalah perilaku yang cepat terbawa pengaruh buruk lingkungan, karakteristik personal (depresi, dan cemas), serta genetik. Resio ketergantungan terhadap nikotin akan semakin buruk jika merokok dimulai pada usia yang sangat muda. Penelitian menunjukkan bahwa tius yang terpapar nikotin lebih lama mengalami kerusakan otak yang lebih parah dibandingkan yang terpaparnya dalam waktu singkat (Benowitz NL, 2010).Perokok memiliki resiko tinggi untuk mengalami penyakit yang seharusnya dapat dicegah dan memiliki angka harapan hidup yang lebih rendah dibandingkan populasi normal. Rata-rata sekitar 435.000 orang di Amerika Serikat meninggal dengan penyakit yag disebabkan oleh rokok setiap tahunnya, dan merokok merupakan penyebab 1 dari 5 kematian yang terjadi sepanjang tahun. Tembakau adalah penyebab mayor dari kematian oleh kanker, penyakit kardiovaskular, dan penyakit saluran pernapasan (Benowitz NL, 2010).Saat ini sekitar 45 juta penduduk Amerika merokok, dan sekitar 70% nya menyatakan akan berhenti merokok, dan kenyataan nya setiap tahun, terdapat 40% yang akhirnya benar-benar berhenti merokok walaupun hanya 1 hari. Namun, sekitar 80% dari seluruh perokok akan kembali merokok dalam 1 bulan mendatang, dan pada akhirnya yang benar-benar berhent merokok hanya 3% dari populasi. Hal ini terjadi karena erat kaitannya dengan kandungan rokok yaitu nikotin yang dapat menyebabkan adiksi sehingga sulit bagi perokok untuk lepas dari kebiasaan merokoknya (Benowitz NL, 2010).

Mekanisme Adiksi NikotinInhalasi asap dari rokok akan membawa partikel nikotin keluar dari rokok dan masul ke saluran pernapasan, yang akan diabsorbsi melalu sistem vena paru dan masuk ke dalam sirkulasi. Nikotin yang masuk ke dalalm sirkulasi arteri akan berpindah secara cepat dari paru menuju otak dimana disana akan berikatan dengan reseptor nikotin kolinergik (channel ion yang secara normal berikatan dengan asetilkolin). Ikatan nikotin diantara dua subunit reseptor akan membuka saluran yang akan membuat natrium influks ke dalam sel. Pemasukan natrium ini akan merangsang kanal bervoltasi dependen kalsium yang salah satu efek dari influks nya kalsium ini akan melepaskan sejumlah neurotransmiter.Reseptor kolinergik nikotinik terdiri dari 5 subunit. Otak mamalia mengekspresikan sembilan subunit a (a2-a10) dan 3 subunit b (b2-b4). Reseptor yang paling berpengaruh adalah reseptor a4b2, a3b4, dan a7. Reseptor a4b2 adalah mediator prinsipal yang sangat tergantung dengan nikotin, selain itu ada juga reseptor a3b4 yang menimbulkan efek berbasis kardiovaskular (Benowitz NL, 2010).Stimulasi reseptor kolinergik nikotinik akan menyebabkan rilisnya berbagai neurotransmitter di otak, salah satunya adalah dopamin. Nikotin merilis dopamin didaerah mesolimbik, korpus striatum, dan korteks frontal. Neuron dopaminergik pada ventral tegmental area otak tengah dan nukleus akumbens merupakan daerah yang peka terhadap sistem reward dan punishment yang diinduksi oleh obat-obatanKeterlibatan monoamin oksidase juga disini berperan penting. Monoamin oksidase, enzim yang berlokasi di neuron katekolaminergik befungsi untuk mengkatalasse metabolisme dopamin, norepinefrin, dan serotonin. Produk kondensasi dari asetaldehid yang terdapat dalam rokok akan menginhibisi aktifitas monoamin oksidase tipe A dan tipe B yang mana terdapat bukti bahwa inhibisi monoamin oksidase ini berkontribusi dalam menimbulkan adiksi dengan cara mereduksi produksi dopamin (Benowitz NL, 2010).

Sumber: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra0809890

Gambar 1. Peran Sistem Dopamin Mesolimbik pada Aktifitas Nikotin. Aktivasi reseptor a4b2 pada ventral tegmental area akan menyebabkan rilisnya dopamin pada nucleus accumbens.

Manifestasi Klinis dari Adiksi NikotinKetika seseorang yang mengalami adiksi nikotin berhenti merokok maka akan muncul withdrawal syndrome yang diakibatkan oleh penghentiannya yang secara tiba-tiba itu. Pada saat merokok maka nikotin dalam rokok tersebut akan mereduksi stres dan kecemasan, meningkatkan konsentrasi, dan meningkatkan performa dalam bekerja. Withdrawal syndrome dapat bermanifestasi sebagai kondisi stress dan ansietas, iritabilitas, mudah marah, depresi, dan susah beristirahat. Gejala withdrawal ini muncul 1-2 hari, puncaknya di minggu pertama dan bertahan 2-4 minggu. Basis penanganan adiksi nikotin adalah bagaimana seorang pasien pelanpelan lepas dari adiksinya dengan seminimal mungkin efek withdrawal dari nikotin tersebut (Rosenthal DG et al, 2011).. Perokok berusaha untuk mengkonsumsi nikotin sehingga berusaha untuk mencukupi kebutuhan nikotinnya sepanjang hari. Orang dengan metabolisme lebih cepat akan mengkonsumsi rokok yang lebih banyak jumlahnya dibandingkan orang dengan metabolisme lambat. Contohnya pada orang dengan basis genetik metabolisme lambat (varian gen CYP26 yang terasosiasi dengan aktifitas reduksi enzim) akan mengkonsumsi rokok yang lebih banyak dibandingkan orang dengan gen CYP26 yang normal (Rosenthal DG et al, 2011).

TatalaksanaBeberapa teknik untuk berhenti merokok yang direkomendasikan oleh WHO adalah:1. Pendekatan perilaku (dengan konseling) dengan beberapa pilihan:Berhenti seketika (cold turkey) atau Berhenti bertahap melalui Pengurangan bertahap dari jumlah rokok yang diisap dan penundaan waktu mulainya merokok setiap hari.2. Pendekatan farmako terapi: Terapi Pengganti Nikotin (plester, permen karet, spray dan inhaler). Di Indonesia pada akhir tahun 2003 beredar obat NiQuitin plester (7 mg, 14 mg dan 21 mg). Untuk perokok sedang dan berat, pengobatan diberikan selama 10 minggu dengan pengurangan dosis bertahap. Tablet Bupropion yang merupakan obat anti depresan. Obat ini tidak terdapat di pasaran Indonesia. Tablet Varenicline yaitu obat generasi baru yang khusus dikembangkan untuk obat berhenti merokok (Nama dagangnya adalah Champix). Tidak mengandung nikotin sama sekali. Berfungsi agonis parsial yaitu mengikat reseptor nikotin di otak; nikotin di blok sehingga pelepasan Dopamin dikurangi secara parsial. Efek ini mengurangi gejala craving (keinginan yang kuat untuk merokok). Kurangnya Dopamin juga mengakibatkan kurangnya kepuasan sesaat yang ditimbulkan rokok (disebut efek antagonis). Pengobatan selama 12 minggu (starter pack 1-2 minggu, maintenance 3-12 minggu); Harga Champix masih cukup mahal, per 2 box untuk 2 minggu adalah Rp 756,663. Jadi untuk 1 paket pengobatan dibutuhkan biaya 6 x Rp 756,663 = lebih dari Rp 4,5 juta. 3. Terapi alternatif lain antara lain akupuntur, accupressure dan hipnoterapi.

PrognosisPasien yang mengalami adiksi nikotin memiliki prognosis yang buruk jika pada saat program berhenti merkok tidak mendapatkan dukungan dari keluarga dan lingkungan sektar, serta jika berdasarkan Fagerstrm Test for Nicotine Dependence (FTND) Rentang skor antara 0 sd 10; skor 5 mengindikasikan ketergantungan tinggi. Skor ini dikembangkan tahun 1978; direvisi tahun 1991 (6 items), terdiri dari (Rosenthal DG et al, 2011): Kapan waktu pertama merokok setelah bangun tidur di pagi hari? Kesulitan untuk tidak merokok di tempat dilarang merokok? Kapan waktu tersulit menghindari rokok? Berapa batang rokok per hari? Apakah anda merokok lebih sering di pagi hari setelah bangun tidur dibanding di waktu lain? Apakah anda tetap merokok di situasi sakit sekalipun? KomplikasiPada withdrawal sindrom yang tidak ditangani dengan baik, maka tentu saja akan muncul perasaan traumatik pada pasien dan sebaiknya jumlah rokok yang diturunkan dikurangi jumlahnya secara perlahan. Komplikasi dari adiksi nikotin tentu datang ari konsumsi rokok dan bahaya nya bagi saluran pernapasan, terutama COPD, kanker paru, kanker laring, abortus pada wanita yang merokok, dan gangguan anatomis seperti kehitaman pada gusi dan gigi (Rosenthal DG et al, 2011).KesimpulanNikotin merupakan penyebab utama seseorang mengalami adiksi terhadap rokok, dan hal tersebut merupakan penyebab terbesar disabilitas serta kematian. Pengeluaran neurotransmiter seperti dopamin, glutamat, dan GABA erat kaitannya dengan perkembangan ketergantungan nikotin. Orang dengan masalah genetik dan masalah psikiatri seperti depresi memiliki ketergantungan untuk menjadi adiksi terhadap nikotin ini.

BAB IIIPENUTUP

KESIMPULAN NAPZA merupakan istilah yang dipakai saat ini, yang merupakan kepanjangan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya, yang sering dikenal dengan NARKOBA (Narkotika dan Bahan/Obat Berbahaya lainnya. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat adiktif lainnya adalah minuman beralkohol (minuman keras/miras) merupakan cairan tak berwarna mudah menguap, mudah terbakar diperoleh dari fermentasi karbohidrat yang bersifat sedatif, hipnotik dan depresan. Penyalahgunaan adalah penggunaan Narkotika atau Psikotropika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Beberapa Jenis Napza: Ganja/Mariyuana , Heroin/Putaw, Kokain/Crack, MDMA/Ecstasy, Methamphetamin /shabu-shabu, Amphetamin LSD, Sedativa, dll. Tahap pengguna:Coba-coba, Sosial / rekreasi, Situasional, ketergantungan. Faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA yaitu Faktor Individu, Faktor Zat, Faktor Lingkungan. Dampak penyalahgunaannya dapat mengakibatkan gangguan Fisik, mental dan emosional, Memburuknya kehidupan sosial dan psikologis. Upaya penanggulanagn yang dapat dilakukan yaitu preventif, pengobatan, dan rehabilitatif

DAFTAR PUSTAKA

Benowitz NL, 2010. Nicotine Addiction. Engl J Med; 362:2295. Available on http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra0809890 [April, 8th 2015].Berman S, ONeill J, Fears S, et al, 2008. Abuse of Amphetamine and Structural Abnormalities in Brain. Ann N Y Acad Sci. 1141:195-220 Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2769923/ [Accessed on May 7th 2015]Bramness JG, Gundersen OH, Guterstam J, et al, 2012. Amphetamine-Induced Psychosis a Separate Diagnostic Entity or Primary Psychosis Triggered in the Vulnerable. BMC Psychiatry.12:221available from http://www.biomedcentral.com/1471-244X/12/221 [Accessed on May 7th 2015]Chew, M., White, J., Somogyi, A., Bochner, F., & , & Irvine, R. (2001). Precipitated withdrawal following codeine administration is dependent on CYP genotype. European journal of pharmacology, 425(3), 159 -164. Available from http://www.researchgate.net/publication/11831379_Precipitated_withdrawal_following_codeine_administration_is_dependent_on_CYP_genotype [Accessed on May 7th 2015]Joyce, L. dan Evelyne, H. 1996. Farmakologi. Jakarta: EGC Maslim R, 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: PT Nuh JayaPharmacy Board Victoria. (2010). Guidelines for Good Pharmaceutical Practice 2010. Available from http://www.pharmacybd.vic.gov.au/news.php Accessed on May 7th 2015]Robinson, G. M., Robinson, S., McCarthy, P., & Cameron, C. 2010. Misuse of over-the-counter codeine-containing analgesics: dependence and other adverse effects. Journal of the New Zealand Medical Association, 123, 1317. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20657632 [Accessed on May 7th 2015]Rosenthal DG, WeitzMan M, BenoWitz NL. 2011. Nicotine Addiction: Mechanisms and Consequences. International Journal of Mental Health vol. 40, no. 1, Spring 2011, pp. 2238. Available on http://www.biblioteca.cij.gob.mx/Archivos/Materiales_de_consulta/Drogas_de_Abuso/Tabaco/Articulos/60911667.pdf [Accessed on May, 8th 2015].Simmons, A. (2010). Codeine Crackdown comes into effect. Diakses tanggal 8 Mei 2014, Available from http://www.abc.net.au/news/stories/2010/2005/2001/2887640.htm [Accessed on May, 8th 2015].

United Nation Office of Drug and Crime, 2011. World Drug Report. Available from http://www.unodc.org/documents/data-and-analysis/WDR2011/World_Drug_Report_2011_ebook.pdf [Accessed on May, 8th 2015].

22