wahyu hidayat. lc. m -...

133
Tasawuf Akhlaqi Abu Hamid al- Ghazali (Studi atas Kitab Kimiyā’ al- Sa‘ādah) Wahyu Hidayat. Lc. M.Ag

Upload: phungdan

Post on 25-Aug-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

Tasawuf Akhlaqi Abu Hamid al-

Ghazali

(Studi atas Kitab Kimiyā’ al-

Sa‘ādah)

Wahyu Hidayat. Lc. M.Ag

Page 2: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini
Page 3: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini
Page 4: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini
Page 5: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

i

Lembar Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata dua (S2) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 Maret 2017.

Wahyu Hidayat

Page 6: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

ii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Pedoman transliterai Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah

berdasarkan Buku Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

Konsonan

Vokal

Pendek : a = ; i = ; u =

Panjang : a> = ا ; i> = ي ; u> = و

Diftong : ai =اي; au = او

Marbutah ( ة)

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang

berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf (h). Hal yang sama juga

berlaku jika huruf ta marbutah tersebut diikuti kata sifat (na‟t). Namun jika huruf ta marbutah

tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf (t).

Huruf alif tidak di

lambangkan.

b = ب

t = ت

ts = ث

j = ج

h~~~~~~~~` = ح

kh = خ

d = د

dz = ذ

r = ر

z = ز

s = س

sy = ش

s~` = ص

d~` = ض

t~` = ط

z~` = ظ

ع = „

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م

n = ى

h = ه

w = و

y = ي

ء = ,

Page 7: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

iii

Syaddah (Tasydi>d)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah

tanda ( ) dalam alih-aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan

huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. Akan tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang

menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf

syamsiyah.

Kata sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf ال dialih-

aksarakan dengan huruf (al), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah.

Contoh: al-rija>l bukan ar-rija>l, al-di>wa>n bukan ad-di>wa>n

Page 8: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

iv

Tasawuf Akhlaqi Abu Hamid al-Ghazali

(Studi atas Kitab Kimiyā’al-Sa‘ādah)

ABSTRAK

Penulisan tesis ini di maksudkan untuk mencoba melacak dan memberikan gambaran

yang komprehensif tentang karya sufisme al-Ghazali yang berjudul Kimiyā’al-Sa‘ādah yang

merupakan masterpiece sekaligus intisari dan ringkasan dari kitab Ihya>’‘Ulu>m al-Di>n

serta menjadi pembahasan utama yang akan diangkat sekaligus menjadi fokus dari kajian

penelitian dalam tesis ini. Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini secara

umum penting dilakukan untuk memberikan informasi yang lengkap dan utuh kepada insan

akademis secara khusus dan masyarakat muslim pada umumnya terkait dengan karya-karya

al-Ghazali yang ber-genre tasawuf akhlaqi dalam bahasa Persia yang hingga kini mungkin

tidak terlalu banyak dikenal oleh masyarakat muslim di Indonesia. Karena Penelitian ini

merupakan penelitian yang mengggunakan pendekatan historis dan bukan penelitian yang

berdasarkan pada kajian filologi, maka dari itu sumber primernya adalah kitab-kitab atau

karya-karya yang ditulis oleh al-Ghazali dan tentu saja dengan menggunakan sumber-sumber

dan data historis lainnya. Melalui analisa dan pendekatan hermeneutika-sejarah serta dengan

menggunakan teori verstehen Wilhelm Dilthey di dalam upayanya untuk mencoba

memahami teks dan nash yang terdapat dalam karyanya tersebut dalam upayanya

mengungkap serta menjelaskan yang tidak semata-mata kandungan dan isi dari kitab tersebut

saja, melainkan juga melacak motif dan tujuan ditulisnya karya tersebut dengan melihat

fenomena pemikiran dan sosio-kultural masyarakat muslim secara objektif pada saat itu.

Kitab Kimiyā’al-Sa‘ādah yang secara umum dari segi isi dan tema pembahasannya

memiliki metode dan corak tasawuf akhlaqi praksis yang ditulis dalam bahasa Persia, di mana

melalui kitabnya tersebut di paparkan tentang konsep tasawuf akhlaqi dengan sentuhan dan

menggunakan paradigma: akhlak, fiqh dan tasawuf. Sebuah kitab yang menawarkan formula

dan gagasan jalan tengah untuk menjembatani berbagai pertikaian pemikiran ke-Islaman yang

terjadi dizamannya. Lewat tasawuf akhlaqi Kimiyā’al-Sa‘ādah nya tersebut diketahui

bahwasanya al-Ghazali merupakan seorang ulama tasawuf akhlaqi yang komplit, hal yang

demikian tercermin dari corak berfikirnya yang terlihat pada tulisan karya-karyanya dimana

lebih menitik beratkan pada aspek akhlak melalui metode, tazkiyah al-nafs, tashfiyah al-qalb

dan tahliyah al-ru>h. Tujuan dari penulisan tesis ini adalah mengenal secara komprehensif

tentang al-Ghazali dan pemikiran tasawufnya yang memiliki corak dan kecenderungan

nuansa khuluqi-‘amali ketimbang falsafi. Hal ini dikarenakan memang tujuan dari ajaran

tasawufnya adalah membangun karakter dan figur yang ber-akhlak mulia sesuai dengan

sumber syariat Islam yaitu al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang bertujuan

untuk menjadikan hati manusia tertuju hanya kepada Tuhan semata demi tercapainya

kebahagian sejati dan terungkapnya tirai kebesaran Ilahi, di mana merupakan tujuan yang

terpenting dari pelajaran tasawuf akhlaqi lewat kajian kitab Kimiyā’al-Sa‘ādah nya tersebut.

Page 9: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

v

KATA PENGANTAR

نیالرح الرحوي اهلل بسن

يیاهیالو اصحاب و يیالطاهر آله و هحود یعل یصل اللهن

Segala puji hanya bagi Allah SWT atas segala karunia dan hidayah-Nya yang senantiasa

mengiringi setiap hembusan nafas serta jejak langkah hambanya yang lemah ini. Sholawat dan juga

salam hamba haturkan kepada sang pujaan hati, manusia sempurna dunia-akhirat Rasulullah

Muhammad SAW, beserta para keluarga sucinya dan sahabat-sahabat setianya serta para pengikut nya

yang dengan keikhlasan dan keberanian dalam menjalankan semua sunnahnya.

Penulisan tesis yang berjudul : “Tasawuf Akhlaqi Abu Hamid al-Ghazali”, (Studi atas

Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah), merupakan hasil dari berbagai masukan dan saran dari semua

pihak yang dengan kerelaan dan kesediannya berbagi ilmu dan kebijaksanaan (wisdom)

dengan penulis. Tentu saja banyak hambatan dan rintangan yang dilalui oleh penulis di dalam

proses penyelesaian tesis ini, namun berkat do‟a dan motivasi serta kesungguhan hati

alhamdulilah, segala kesulitan dan hambatan akhirnya mengalir begitu saja, hingga pada

saatnya selesai pula penulisan tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya atas bimbingan dan dukungan berbagai pihak, baik

secara moril maupun materil. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis berkewajiban

untuk menghaturkan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Prof. Dr. H. Zainun Kamal F. MA dan Ibu Dr. Hj. Sri Mulyati, MA yang

dengan kesabaran dan keikhlasannya mencurahkan perhatian dan waktunya untuk

membimbing penulisan tesis ini.

Page 10: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

vi

3. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Aziz Dahlan. MA beserta Ibu Dr. Wiwi Siti Sajarah,

M.Ag. yang telah memberikan masukan, catatan dan kritik membangun dalam

karya tesis penulis.

4. Ibu Dr. Atiyatil Ulya, MA selaku Ketua Program Studi dan Bapak Maulana,

M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi S2 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak dan Ibu dosen di Program Studi S2 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Terima kasih kepada LPDP yang telah memberikan nutrisi materi ala kadarnya

kepada penulis di dalam membantu proses penelitian dan penyelesaian tesis.

7. Penghargaan yang tulus dan ikhlas untuk orang tua/mertua penulis yang dengan

doanya menjadi pijakan bagi penulis untuk melihat ke depan.

8. Terima kasih kepada Yang Mulia : Hujatul Islam Sayed Mufid Husaini Kouhsari,

Hujatul Islam Sayed Morteza Musawi, Hujatul Islam Syaikh Hakim Ilahi. Dr.

Mohsen Zangeneh, MA. Adib Behrouz Mujtaba, MA. Dr. Abdul Aziz Abbacy,

MA. Dimana telah menerima dan mempercayakan penulis untuk berkarya dalam

aktivitas ilmu pengetahuan.

9. Pimpinan, staf dan mahasiswa/i STFI Sadra. Jamiah al-Mustafa perwakilan

Indonesia. Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta serta lembaga riset Sadra

International Institute yang telah menjadi wahana intelektualitas bagi penulis.

10. Teman-teman seperjuangan Program Studi S2 angkatan 2014 yang telah berbagi

pengalaman atas berbagai masukan dan saran serta kritiknya dan juga para staf

akademik Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta wabil khusus

Bapak Toto Tohari.

Page 11: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

vii

11. Istriku Halimatussa‟diyah SS, Lc dan buah hatiku Salman Farisi serta Annisa Nur

As Syifa sebagai penyejuk hati sekaligus penawar lelah penulis.

Penulis senantiasa berdoa semoga bantuan dari berbagai pihak tersebut dicatat sebagai

sebuah kebaikan dan amal shaleh serta diberikan ganjaran pahala dari Allah SWT. Semoga

tesis ini bisa memberikan maanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan dan keagamaan.

DAFTAR ISI

Page 12: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

viii

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................................i

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................................ii

ABSTRAK .............................................................................................................................iv

KATA PENGANTAR ...........................................................................................................v

DAFTAR ISI ..........................................................................................................................viii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................................................9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................................9

D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................................10

E. Metode Penelitian ......................................................................................................13

F. Sistematika Penulisan ................................................................................................15

BAB II. BIOGRAFI AL-GHAZALI

A. Latar Belakang Keilmuan ..........................................................................................17

1. Dinamika Sosio Kultural Masa al-Ghazali ..........................................................18

2. Masa Pendidikan al-Ghazali ................................................................................20

B. Karir Perjuangan dan Karyanya .................................................................................22

C. Kepribadian al-Ghazali ..............................................................................................27

1. Skeptisisme al-Ghazali dan Descartes .................................................................29

D. Pemikiran al-Ghazali .................................................................................................32

BAB III. KONSEPSI DAN METODOLOGI TASAWUF

A. Makna Konsep dan Definisi Tasawuf ........................................................................38

1. Definisi Tasawuf dan Irfan ..................................................................................53

2. Hubungan Tasawuf dan Irfan...............................................................................57

3. Landasan Teologi Tasawuf dan Irfan ..................................................................68

B. Definisi dan Metode Tasawuf Akhlaqi ......................................................................69

Page 13: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

ix

1. Kedudukan Akhlak Dalam Islam .........................................................................70

2. Prinsip Dasar Akhlak Dalam Islam......................................................................73

C. Definisi dan Metode Tasawuf Falsafi ........................................................................78

D. Metode Tasawuf Akhlaqi al-Ghazali .........................................................................83

BAB IV. KITAB KIMIYA>’ AL-SA’A>DAH

A. Makna Kebahagiaan Dalam Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah ..............................................91

B. Isi dan Penjelasan Umum Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah .................................................94

C. Beberapa Tema dan Pembahasan Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah .....................................102

1. Akhlak Baik dan Akhlak Buruk ...........................................................................106

2. Amarah .................................................................................................................113

3. Jiwa .......................................................................................................................115

4. Hati .......................................................................................................................121

5. Akal ......................................................................................................................128

6. Ruh .......................................................................................................................137

D. Metode Penulisan Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah .............................................................142

1. Koleksi Naskah Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah ...........................................................143

2. Metodologi Penulisan Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah .................................................144

E. Tasawuf Akhlaqi dan Kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah ........................................................146

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................................149

B. Saran-Saran ................................................................................................................150

KEPUSTAKAAN

LAMPIRAN

Page 14: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

x

Page 15: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Agama sebagai sebuah fenomena telah menorehkan kontribusi sejarah tentang

eksistensi peradaban manusia. Walaupun belum ada laporan penelitian dan kajian yang

menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama

namun disadari atau tidak perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sedikit-banyaknya

telah mengubah orientasi dan makna agama, namun hal itu tidak berhasil meniadakan

eksistensi agama dalam masyarakat, sehingga kajian tentang agama selalu akan terus

berkembang dan menjadi kajian yang amat penting. Karena sifat universalitas agama dalam

masyarakat, maka kajian tentang masyarakat itu sendiri tidak akan lengkap tanpa melihat

agama sebagai salah satu faktornya. Masyarakat yang beragama butuh kepada spiritual. Di

sini sangat perlu menegaskan kembali posisi dan peran spiritual Islam sebagai salah satu

alternatif untuk menjawab krisis tersebut. Sementara itu dalam Islam persoalan spiritual biasa

dipahami dan dipraktikan dalam koridor apa yang dinamakan sebagai ilmu tasawuf.

Islam adalah agama yang penuh dengan nilai-nilai spiritual. Tasawuf pada

gilirannya, diharapkan dapat memberikan solusi terbaik untuk menyelesaikan krisis-krisis

modernisme dan memberikan landasan bagi terwujudnya tipologi manusia paripurna (al-

Insân al-Kâmil)1 serta dapat menata kehidupan manusia dan menunjukan jalan kepada Tuhan

melalui perilaku ibadah dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

1Konsep manusia paripurna, al-Insān al-Kāmil, mulai pertama kali diwacanakan oleh Abu Yazid al-

Busthami (w. 261 H/874 M) dengan menggunakan slogan al-Wali> al-Kāmil beliau mengatakan: “Wali yang

sempurna adalah orang yang telah mencapai makrifat yang sempurna tentang Tuhan, ia telah terbakar oleh api

Tuhannya”. Lihat. Abd. Rahman Badawi, al-Syat~āhat al-Ṣ~āfiyyah, (Kairo:al-Maktabah al-Nahd~}i>yyah al-

Mis~}ri>yyah, 1949 ), hal.135. Tema al-Insān al-Kāmil kemudian menjadi kajian pembahasan para sufi besar di

zamannya sebut saja misalnya, Ibn „Arabi (w. 638 H/1240 M) dalam kitab Fuṣūṣ al-Ḥika>m dan Futu>hat al-

Makiyyah selain membahas tentang faham Wah~dat al-Wujūd dan al-Ḥaqi>qat al-Muh~ammadiyyah, juga

dibahas tentang konsep dan kriteria al-Insān al-Kāmil. Begitu juga Abd al-Karim al-Jilli (w. 826 H/1422 M),

sufi besar yang membahas secara khusus tentang konsepsi al-Insa>n al-Ka>mil sebagaimana yang termaktub

dalam karyanya; al- Insān al-Kāmil fī Ma„rifat al-Awākhir wa al-Awā„il. Menurut al-Jilli, “Peringkat kewalian

Page 16: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

2

Berkembangnya kajian tasawuf di Indonesia yang dimotori kalangan pesantren2 dan

di lingkungan organisasi keagamaan seperti (NU) Nahdlatul Ulama3 kini mulai merambah

pada kalangan menengah perkotaan, meskipun disadari memang sebagian kalangan masih

enggan melihat tasawuf dan bahkan meragukan keabsahannya sebagai salah satu bagian dari

sumber ke-Islaman. Mereka menuduh, mungkin karena sebagian ajaran tasawuf dinilai

menyimpang dari nash, di nilai bahwa tasawuf tidak mempunyai landasan yang kuat dalam

al-Qur‟an dan hadits serta banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur non Islam. Sebagian

kalangan yang menolak tasawuf dan mengartikan tasawuf dalam arti negatif disebabkan oleh

asumsi yang mengatakan kecenderungan dari para pelaku tasawuf yang malas dalam aktifitas

sosial dan tasawuf seringkali mendapat pandangan yang cenderung anti kemajuan dan

kemunduran, tidak sedikit kalangan modernis rasionalis yang menolak mentah-mentah ajaran

tasawuf serta praktik tarekat yang notabene sebagai lembaga kesufian dan kewalian karena

dianggap tidak sejalan dengan modernisasi.4 Pernyataan yang cenderung apriori tersebut,

hanya melihat tasawuf sebagai ajaran yang hanya mementingkan kepada nilai spiritual

semata dan seolah meninggalkan kehidupan profan, akan tetapi yang mesti disadari

bahwasanya tasawuf tidak menolak aspek rasionalitas dan perkembangan zaman.

tertinggi hanya dicapai oleh manusia paripurna dan di antara keistimewaan yang dimiliki oleh manusia yang

mencapai derajat tersebut adalah dikaruniakannya pengetahuan esoterik serta terungkapnya iluminasi

Illahiyah, (Kasyf al-Ilāhi).” Al-Jilli, al-Insān al-Kāmil fī Ma„rifat al-Awākhir wa al-Awā„il, (Beirut: Dar al-Fikr,

1975), hal. 56. 2Istilah Pesantren menurut Profesor Johns diambil dari kata dasar “santri” berasal dari bahasa Tamil

yang berarti guru mengaji. Sedangkan, menurut C.C. Berg; kata Pesantren berasal dari kata dasar “shastri” yang

dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama dan ilmu pengetahuan. Tetapi menurut

Robson kata Pesantren diambil dari kata “Sattiri” yang diartikan dengan orang yang tinggal disebuah rumah

miskin atau bangunan keagamaan secara umum. Lihat. Badri Yatim et all, Sejarah Perkembangan Madrasah,

(Jakarta: DEPAG RI, 2009), hal. 95. Pembahasan yang sangat dalam terkait dengan posisi dan kedudukan

Pesantren di Indonesia terutama relasi antara kyai dan santri serta visi-misinya dalam dunia pendidikan yang

tradisional ini ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982). 3Sebuah organisasi Islam (tradisional) Sunni Ahl al-Sunnah wa al-Jama>„ah terbesar di Indonesia yang

berdiri sejak 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H di kota Surabaya oleh KH. Hasyim Asy„ari (1874-1947). Di

antara faktor yang melatar belakangi pendirian organisasi ini adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran

Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam

kembali pada ajaran Islam “murni”, yaitu dengan cara umat Islam melepaskan diri dari sistem bermazhab. Bagi

para kyai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan namun

tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Lihat. Deliar Noer,

Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 242.

4Ihsan Ilahi Zhahir, Tasawuf: Bualan Kaum Sufi Ataukah Sebuah Konspirasi? (Jakarta: Darul Haq,

2001), hal. 193.

Page 17: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

3

Memang harus diakui bahwa meskipun sebenarnya tasawuf ini bukan sebuah

fenomena yang ingin menjauh dari realitas kehidupan dunia, namun dalam sejarah awal

perkembangannya terdapat indikasi, sufi awal Hasan Basri (21-110 H) mencoba mencari

praktik esoterik dalam beragama akibat dari kecenderungan masyarakat muslim saat itu yang

sangat bergantung pada nilai-nilai keduniaan, ketika gemerlap dunia menggerogoti keimanan

dan merubah pola kehidupan para generasi awal umat Islam, ditawarkanlah konsep zuhud

dimana orientasinya untuk menjauhi kesenangan yang menjurus kepada hawa nafsu serta

menyadarkan kembali untuk tujuan akhir dari kehidupan yang abadi adalah alam akhirat.

Belakangan ini tasawuf mulai masuk kembali diperbincangkan dan bahkan lebih dari itu

banyak yang mencoba mempraktikannya, salah satu ulama tasawuf yang terkenal dalam

dunia Islam dan banyak menghasilkan karya-karya tasawuf serta senantiasa menjadi pijakan

dan rujukan bagi orang yang mendalami ajaran tasawufnya adalah Abu Hamid al-Ghazali

(450-505 H) yang terkenal dengan sebutan Imam al-Ghazali.

Setiap aliran tasawuf memiliki amalan dan ajaran khas, sesuai dengan

aturan-aturan dan tata cara yang ditetapkan di dalam tasawuf tersebut. Secara

sosiologis, tindakan dan perilaku suatu komunitas beragama cenderung didasarkan

pada kepercayaan terhadap ajaran-ajaran yang diyakini kebenarannya, sehingga

ajaran itu memiliki pengaruh yang cukup besar pada proses sosial dan jalannya

kehidupan masyarakat yang bersangkutan.5 Tasawuf bukanlah sekedar ilmu untuk

menggapai hakikat ke-Tuhanan semata melainkan tujuan utama dari tasawuf adalah

bagaimana menekankan pada totalitas untuk senantiasa ber-akhlak mulia kepada

sesama mahluk dan penciptanya serta membangun tatanan sosial yang ideal dalam

hidup bermasyarakat berdasarkan panduan agama.

5F.O‟dea, Sosiologi Agama, (Jakarta: Rajawali, 1992), hal. 21.

Page 18: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

4

Abu Hamid al-Ghazali merupakan salah satu penggagas sekaligus tokoh

tasawuf di dunia Islam. Semasa hayatnya di dalam menjalankan aktifitas sufisme

selalu membangun hubungan duniawi dan ukhrawi yang seimbang dalam

kehidupannya. Ajaran tasawufnya senantiasa berlandaskan kepada sumber syariat

al-Qur‟an dan hadits serta menekankan aspek etika dan akhlak didalam

mengamalkan tasawufnya. Sepanjang hidupnya beliau selalu menekuni karya tulis

yang kemudian diajarkan kepada murid-muridnya serta memberikan pemahaman

spritualnya melalui jalan tasawuf lewat pengolahan batin (riyāḍah), intelektualisme

dan latihan-latihan spiritual yang kemudian dibukukannya dari hasil pengalaman

kontemplasinya tersebut. Melalui tulisannya kita dapat mengenal sosok dan

perjalanan seseorang sufi legendaris tersebut di dalam mengembangkan pemikiran

tasawufnya. Ada beberapa karya tasawufnya yang sering digunakan untuk

mengetahui pemikiran sufisme al-Ghazali, diantaranya:

1. Bidāyat al-Hidāyah

2. Minhāj al-„Ābidīn

3. Kimiyā‟ al-Sa„ādah

4. Ihya>‟ „Ulu>m al-Dīn

5. Mi>za>n al-„Amal

Abu Hamid al-Ghazali adalah salah satu tokoh sufi besar Khurasan,

pelopor ajaran tasawuf Sunni. Melalui tasawuf akhlaqinya hingga kini mampu

mengantarkan sebagai sufi termasyhur dan aspek-aspek pemikiran tasawufnya telah

banyak diminati dan diikuti oleh banyak kalangan. Hal ini yang kemudian di beri

gelar sebagai Hujjat al-Isla>m yang tidak hanya dalam ilmu-ilmu ke-Islaman yang

rasional namun juga dalam dunia sufi. Ajaran tasawuf dan pengikutnya kemudian

menyebar keseluruh penjuru dunia Islam, tidak hanya di wilayah Timur namun juga

Page 19: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

5

Barat, sehingga ajaran-ajarannya selalu dikenang dan dilestarikan. Hingga kini

banyak diantara para pengamat, pemerhati masalah-masalah agama khususnya

tasawuf baik dari Barat maupun Timur ikut andil untuk memberikan kontribusi dan

komentar-komentarnya terhadap pemikiran al-Ghazali.

Paul Newyan, seorang sarjana Barat yang pernah meneliti beberapa tokoh

tasawuf seperti: al-Syazili, Junaid al-Baghdadi, Ibn Arabi dan lain sebagainya,

berpandangan bahwasanya perkembangan tasawuf dibagi menjadi kepada tiga

periode6. Pertama, periode pertumbuhan. Periode ini ditandai oleh Hasan Basri

(w.110/728M) dan berakhir pada abad ke-4H/10M. Periode kedua, dimulai pada

paruh kedua abad ke-4H/10M, periode ini diwarnai dengan rapuhnya pusat politik

dan budaya masyarakat Islam di Baghdad serta maraknya disintegrasi antar suku-

bangsa. Sementara di sisi lain tasawuf terus mengalami perkembangan dan

ajarannya mulai disistematisasi dalam sebuah kitab. Sedangkan periode ketiga, abad

ke-5&6H/11&12M,7 ditandai dengan berkembangnya dua tipe sufisme; elitis-

filosofis dan populis.

Munculnya al-Ghazali disebut sebagai salah satu tokoh yang berusaha

menggabungkan dua kecenderungan ini. Al-Ghazali berusaha merespon apa yang

sedang mengancam kehidupan umat, seperti apa yang pernah dirisaukan oleh para

modernis, beliau menawarkan tasawuf ideal dengan arti bahwa disamping berupaya

6Abu Rabi‟, Ibrahim M, suatu pengantar (ed), dalam Ibn Sabbagh, The Mystical Teaching of al-

Syaẓili (alih bahasa oleh Elmer H. Dauglas), (New York: New York State University Press, 1990), hal. 5. 7Maksud Paul Newyan dengan tipe elitis-filosofis adalah kelompok sufi yang lebih terkenal dengan

pemikiran dan ajaran yang filosofis misalnya, Ibn „Arabi dan Jalal al-Din Rumi. Sedangkan tipe populis adalah

kelompok sufi yang menyebarkan ajaran ke masyarakat dan berkembang luas misalnya dengan melalui jamaah-

jamaah sufisme atau tarekat.

Page 20: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

6

mencapai langit juga harus berkreasi dalam realitas sosial di dunia ini. Beraktifitas

sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integrasi dari hasil kontemplasi.8

Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan di desa Thus, Khurasan dekat Kota

Masyhad bagian timur laut Iran pada tahun 450 H.9 Beliau seorang teolog, filusuf

dan faqih yang beraliran Sunni dan sangat menentang paham Mu„tazilah.10

Al-

Ghazali menolak sistem pemikiran Mu„tazilah yang memiliki kecenderungan besar

di dalam penggunaan akal. Beliau melihat Mu„tazilah lebih terkesan

memprioritaskan akal walaupun memang tidak mendahului wahyu namun tetap

menggunakan wahyu hanya sebatas konfirmasi. Sedangkan kecenderungan fiqih al-

Ghazali mengikuti Imam Syafi‟i dan konsep teologinya lebih dekat kepada Mazhab

Asy„ari11

dimana sangat kuat berpengaruh di Khurasan dan dunia Islam masa itu12

.

8Abu Rabi, Suatu Pengantar (ed), dalam Ibn Sabbagh, The Mystical Teaching of al-Syaẓili, hal. 25.

9Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhan Press, 1984), hal. 275.

10Golongan Rasionalis Islam atau kaum Mu„tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-

persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis, dimana dalam pembahasan mereka banyak

menggunakan akal (rasio) sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam”. Sebagian sejarawan

muslim seperti: al-Baghdadi (w. 463 H), al-Syahrastani (w. 548 H) dan Tasy Kubra Zadah (w. 1561 M);

berpendapat bahwa, kata Mu„tazilah berasal dari kata (i„tazala) yang berarti keluar, memisahkan atau

menjauhkan diri dari sebuah golongan. Hal ini terkait dengan peristiwa perdebatan teologis antara Washil ibn

Atha‟ (w.131 H/748 M) dan Hasan Basri (w. 110 H/728 M) di suatu majelis di Masjid Basrah. Di antara

pandangan Mu„tazilah yang sangat menekankan pentingnya akal adalah: Bahwa manusia dengan

mempergunakan akalnya serta merta dapat dan wajib mengenal Tuhan, selain itu juga akal manusia dapat

memperbedakan perbuatan-perbuatan baik dan buruk tanpa adanya bantuan dan turunnya wahyu dari Tuhan.

Lihat. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986),

hal. 38. 11

Nama lengkapnya adalah Abu al Hasan Ali ibn Isma„il al-Asy„ari ulama kelahiran Basrah pada 873

M/270 H dan wafat di Baghdad pada 935 M/330 H. Pada masa mudanya beliau adalah murid seorang tokoh

Mu„tazilah termasyhur Abu Ali Muhammad ibn Abd al-Wahab al-Jubai. Alasan keluarnya Asy„ari dari mazhab

teologi Mu„tazilah ini dikarenakan ketidak-cakapan al-Jubai yang tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan

al-Asy„ari setelah keduanya terlibat dalam perdebatan teologis. Mengenai isi perdebatan tersebut dapat dilihat

dalam karya Ahmad Mahmud Subhi, fī „Ilmi al-Kalām, (Kairo: Dar al-Kutub al-Jami„ah, 1969), hal.182. Al-

Asy„ari menjadi ulama yang cemerlang di masanya. Di antara karya-karya beliau adalah al-Iba>nah fī Uṣūl al-

Diya>nah, al-Risa>lah fī al-Ist~iḥsa>n al-Khauz fî al-Kalām, Kitab Syarḥ wa al-Tafṣil, al-Luma‟,al-Mu„jaz,al-

I„ādah al-Burhān dan al-Maqālah al-Isla>miyyah wa Ikhtilāf al-Muṣ~alliyin. Kitab yang disebutkan terakhir ini

adalah kitab yang paling otentik mengenai pandangan-pandangan Asy„ari tentang doktrin dan dogma agama

yang berbeda-beda. 12

Bosworth, CE, Dinasti-Dinasti Islam, (ahli bahasa Ilyas Hasan), (Bandung: Mizan, 1993), hal. 54.

Page 21: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

7

Annemari Schimmel mencatat bahwa ajaran tasawuf al-Ghazali ini mempunyai

pendekatan yang berbeda dengan sufi lain. Di mulai sebagai seorang sa>lik yang berupaya

menuju Tuhan dan kemudian dianjurkan untuk merealisasikan ajaran tarikat dalam

masyarakatnya di tengah-tengah aktifitasnya,13

oleh karena itu ajaran tasawuf al-Ghazali bisa

menjadi bukti bahwa menjalani kehidupan sufi itu tidak harus meninggalkan dunia,

mengikuti ajaran tasawuf itu tidak berarti menghalangi upaya-upaya modernisasi. Wal hasil,

ajaran sufisme al-Ghazali tersebut dinilai oleh sebagian pihak sebagai sebuah model tasawuf

jalan tengah (moderat).14

Menjadi sufi adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada

Tuhannya, dapat dibilang hal ini merupakan bagian inti dari ilmu tasawuf. Mengingat alasan-

alasan di atas, tasawuf mulai digemari kembali namun pada sisi lainnya tasawuf juga masih

dipertanyakan baik dari sisi doktrin maupun landasannya, karena itu tampaknya sangat

relevan dan menarik untuk meneliti konsep dan pemikiran tasawuf al-Ghazali yang

nampaknya sesuai dengan kondisi sekarang ini di mana kajian tasawuf cukup digemari tidak

hanya pada lapisan bawah dan menengah bahkan juga lapisan atas.15

Tasawuf atau spiritualisme Islam sampai kini menjadi kajian yang selalu hangat

diperbincangkan dan bahkan lebih dari itu, banyak pula yang mencoba mengamalkannya.

Sekarang ini kecenderungan terhadap spiritual semakin meluas, mulai dari kalangan yang

mewah yang pada akhirnya berakibat pada meningkatnya kaum intelektual yang fasih

13

Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, (The University of North Carolina Press), hal.

51. 14

Sebuah metode sufisme yang memadukan antara formalisme fiqh dengan substansialisme tasawuf

heteredoks (yaitu tasawuf yang memiliki kecenderungan bid„ah/sesat menurut pandangan sebagian ulama,

dalam hal ini Ibn Taimiyah dan pengikutnya). Meski demikian tasawuf jalan tengah ini bukan tanpa kritik

golongan liberal (sebagian golongan/kaum rasionalis termasuk dalam kategori ini Mu„tazilah) mengkritik karena

konservatifnya, sedangkan golongan konservatif mengkritik lmam al-Ghazali terlalu liberal; Kaum filosofis

mengkritik karena ortodoksnya (kegigihan al-Ghazali terhadap kebenaran pemikiran yang diyakininya) dan

kaum ortodoks karena filsafatnya. Namun kritik-kritik tersebut seolah tidak menggoyahkan ketegaran Imam al-

Ghazali sebagai penyelamat tasawuf Sunni. Lebih jauh lihat, M. Saeed Sheikh, “Influence of al-Ghazali”,

dalam, M. M. Syarif (ed.), A History of Muslim Philosophy, (Weesbaden: Otto Harrowits, 1963), hal. 638. 15

Martin Van Bruinessen, Tarikat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 16.

Page 22: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

8

berbicara masalah spiritual. Sejalan dengan fakta serta fenomena tersebut pada tingkat

tertentu kita akan melihat betapa meningkatnya kaum intelektual yang menguasai kajian dan

wacana spiritual saat ini. Intelektual yang juga ahli dibidang spiritual akan mempunyai nilai

tambah dalam masyarakat modern saat ini. Seseorang yang memasuki dunia spiritual melalui

tasawuf akan begitu terkesima dengan ajaran-ajaran tasawuf yang begitu menarik hati.

Apabila seseorang sudah menyelami dalamnya lautan fana maka seakan-akan dia telah

bersatu dengan Tuhannya.

Sungguh sebuah jasa yang luar biasa dari al-Ghazali melalui karya-karyanya yang

menggagas jalan tasawuf moderat yang sampai kini tetap memberikan kontribusi terhadap

pemikiran umat yang begitu berpengaruh sangat dalam terhadap dimensi kehidupan

masyarakat muslim di masanya dan masa kini. Melalui ajaran dan ide-ide tasawufnya

tersebut karya-karyanya senantiasa dikaji dan diamalkan oleh para pecinta tasawuf.

Mengingat alasan-alasan di atas yang mana ajaran tasawuf al-Ghazali masih bertahan sampai

saat ini bahkan adanya kecenderungan lebih banyak pengikutnya dari hari ke hari hingga

tasawuf mulai digemari kembali oleh semua kalangan sosial ataupun strata ekonomi yang

berbeda-beda. Namun pada sisi lain tasawuf masih seringkali dipertanyakan baik dari sisi

doktrin maupun landasannya seakan-akan tasawuf bukan dari ajaran Islam dan merupakan

saduran dari agama selain Islam.

Maka dari itu tampaknya hal ini sangat relevan dan menarik untuk mengkaji dan

merekonstruksi kembali konsep dan pemikiran tasawuf al-Ghazali terkait dengan bagaimana

ide dan gagasan orisinal tasawuf yang dijalankan oleh para pengikutnya dari berbagai

kelompok dan golongan tersebut yang kemudian disesuaikan dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan konteks sosial kehidupan masyarakat muslim masa kini.

Page 23: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

9

Penelitian ini mencoba untuk mengkaji serta melacak dan memahami secara lebih

komprehensif tentang pemikiran tasawuf al-Ghazali yang nampaknya sangat dibutuhkan

dengan kondisi sekarang ini, di mana tasawuf di harapkan menjadi solusi sosial bagi

kehidupan manusia modern dan bahkan lebih dari itu kajian ini cukup digemari pada lapisan

bawah dan menengah serta lapisan atas strata masyarakat muslim Indonesia. Hal ini di

indikasikan dengan banyaknya pusat kajian tasawuf yang mulai semarak diadakan di

pemukiman elit dan adanya fenomena baru dengan semakin marak munculnya penerjemahan

dan penerbitan buku dan karya tasawuf itu sendiri.

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

Penelitian ini akan memfokuskan kajian pada seputar sistem ajaran tasawuf akhlaqi

dan pemikiran sufisme Imam al-Ghazali terutama mengupas lebih dalam karya beliau yang

menjadi objek pembahasan penulisan tesis ini yang berjudul Kimiyā‟al-Sa„ādah

Adapun rumusan masalah yang akan dicarikan jawabannya adalah sebagai berikut:

1. Apa dan bagaimana ide serta gagasan utama tasawuf akhlaqi al-Ghazali?

2. Bagaimana konsep dan metodologi tasawuf akhlaqinya?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan

Penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang

diajukan di atas dengan harapan akan memberikan beberapa manfaat dan

kegunaan.

Page 24: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

10

2. Manfaat

Bila studi ini dapat terlaksana dengan baik serta dilakukan secara maksimal,

diharapkan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka penelitian ini dapat

memberikan manfaat yang antara lain:

a. Sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan dunia Islam, terutama di

bidang ilmu tasawuf.

b. Dapat lebih mengenal sosok al-Ghazali secara lebih komprehensif sebagai

pemikir dalam bidang tasawuf bagi masyarakat yang ingin mengenal

lebih dalam, maka penelitian ini dapat bermanfaat.

c. Tasawuf al-Ghazali tampaknya memiliki ajaran yang menjembatani

antara masyarakat yang sangat mendepankan esoterik semata dengan

masyarakat modern yang realis-empiris. Melalui penelitian ini, penulis

berharap dapat memberikan masukan kepada masyarakat modernis agar

menghilangkan kesan bahwa tasawuf itu anti kemajuan dan kemunduran.

d. Penelitian ini akan sangat berguna bagi penulis sendiri dan para pengkaji

tasawuf al-Ghazali tentunya untuk lebih mengenal bidang tasawuf lebih

dalam dan apabila masih banyak kekurangan di dalam penyajian tesis ini,

penulis akan terus belajar dan memperbaiki agar ilmu yang didapat

semakin bertambah dan bermanfaat.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini secara khusus mencoba mengkaji secara komprehensif mengenai latar

belakang, pendidikan dan karya-karya tasawuf al-Ghazali yang sampai saat ini masih belum

lengkap dan belum optimal. Kalaupun ada kebanyakan dari tulisan atau hasil penelitian

tentang al-Ghazali dalam bentuk perbandingan dengan tokoh lain yang terkait dengan tema

atau pembahasan tertentu. Sangat sedikit sekali tulisan atau hasil karya ilmiah yang mengkaji

Page 25: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

11

pemikiran tasawuf al-Ghazali melalui kajian kitabnya secara utuh dan menyeluruh. Beberapa

kajian terkait dengan pemikiran tasawuf tokoh ini dapat kita lacak dan telusuri melalui karya

tulisan dalam bentuk buku, jurnal atau karya tulis ilmiah tingkat magister di antaranya dalam

bentuk buku adalah: “Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah”16

karya Abdul Fattah

Sayid Ahmad yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan oleh

penerbit Khalifa pada tahun 2013. Melalui karyanya tersebut penulis menyampaikan tentang

sejarah dinamika ajaran tasawuf pada masa Islam klasik dengan menguraikan beberapa

konsep dan teori ajaran tasawuf di masa kejayaannya kemudian diikuti dengan berbagai

pandangan ulama Islam selanjutnya yang kecenderungannya puritan dalam hal ini diwakili

oleh Ibnu Taimiyah.

Secara eksplisit buku ini mencoba mensejajarkan pandangan tasawuf al-Ghazali dan

Ibnu Taimiyah dengan latar belakang intelektual kedua tokoh tersebut walaupun amat

disayangkan bahwasanya penulis buku ini lebih cenderung memihak kepada pandangan dan

pemikiran Ibnu Taimiyah. Kemudian juga karya buku terbitan Islamika Press Jogyakarta

yang berjudul “Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi

Klasik-Kontemporer”17

yang ditulis oleh Sibuwaihi, di mana dalam buku ini diterangkan

mengenai perbedaan konsep terkait dengan masalah eskatologi dalam pandangan kedua

tokoh yang dalam kacamata epistemologi Islam dan barat tentu saja dengan mencoba

melakukan analisa yang terkait pada dunia keilmuan yang berbeda di zamannya, namun

sayang buku ini tidak memberikan kesimpulan yang pasti tentang pandangan yang

bagaimana dan seperti apa konsep eskatologi yang sesuai dengan pandangan Islam itu

sendiri.

16

Abdul Fatah Sayed Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Penerbit

Khalifa, 2013). 17

Sibuwaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-

Kontemporer, (Yogyakarta: Islamika Press, 2003).

Page 26: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

12

Tesis yang dikaji terkait dengan tasawuf akhlaqi al-Ghazali juga ditulis oleh Yusuf

Daud mahasiswa Pascasarjana ICAS-Paramadina tahun 2014 dengan judul “Ma„rifat al-

Nafs According To al-Ghazali and Its Relevance for Today‟s World”.18

Penekanan dari

kajian tesis ini adalah mencoba memahami dan mendefinisikan konsep Ma„rifat al-Nafs

dalam pandangan al-Ghazali dan mencoba mengkaitkannya pada pola kehidupan manusia

kontemporer, memahami lebih dalam tentang hakikat diri manusia didalam menggapai

kebahagiaan sejati. Di sinilah al-Ghazali memberikan masukan dan pandangan terkait

dengan masalah yang terkait dengan ketenangan diri manusia. Namun sayang penulis tidak

memberikan penjelasan dari kitab atau referensi yang mana dalam tulisan al-Ghazali lebih

khusus di dalam membahas konsep Ma„rifat al-Nafs itu sendiri.

Karya penulisan dalam bentuk tesis lainnya terkait dengan Tasawuf al-Ghazali

adalah karya dari Sofwan Iskandar mahasiswa Pascasarjana ICAS-Paramadina tahun 2013

yang mengambil tema “ Konsep Manusia Sempurna (al-Insān al-Kāmil) menurut al-Ghazali

dan Murtadha Muthahhari: Sebuah Studi Perbandingan.19

Dalam tesis ini dijelaskan

mengenai makna dan konsep manusia sempurna dalam pandangan kedua tokoh di atas

disebutkan bahwasanya ketika manusia telah mencapai derajat keutamaan (al-Faḍilah)

manusia memiliki potensi untuk dapat menuju derajat kesempurnaan (al-Insān al-Kāmil)

melalui pendekatan yang berbeda dan tentu saja dari latar belakang mazhab dan ideologi

agama yang tidaklah sama memunculkan suatu analisa yang berbeda pula terkait dengan

konsep manusia sempurna dari pandangan kedua tokoh pemikiran Islam itu sendiri.

Maka dari itu dalam pembahasan ini, peneliti ingin menganalisa dan

mengungkapkan secara detail konsep-konsep tasawuf akhlaqi Abu Hamid al-Ghazali yang

terkenal dengan sikap moderatnya melalui pernyataan yang ditulis oleh beliau terkait dengan

18

Yusuf Daud, Ma„rifat al-Nafs According To al-Ghazali and Its Relevance for Today‟s World. Tesis

Magister Agama (Jakarta: ICAS Paramadina, 2014). 19

Sofwan Iskandar, Konsep Manusia Sempurna (al-Insān al-Kāmil) menurut al-Ghazali dan Murtadha

Muthahhari: Sebuah Studi Perbandingan. Tesis Magister Agama (Jakarta: ICAS-Paramadina, 2013).

Page 27: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

13

dimensi akhlak dalam ajaran tasawuf lewat kajian dan telaah terhadap salah satu karya

tasawufnya yang berjudul Kimiyā‟al-Sa„ādah.

E. METODE PENELITIAN

Penelitian tesis ini termasuk penelitian sejarah, (historical research)20

ditinjau dari

ragam masalah yang diteliti. Penelitian sejarah melewati lima tahap, yaitu penelitian topik,

pengumpulan sumber (heuristic),21

verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi,

analisis dan sintesis serta penulisan. Sementara ditinjau dari segi sumber-sumber data

penelitian, penelitian ini bersifat kepustakaan (library reseach).22

Data-data yang dibutuhkan

dalam penelitian ini adalah bukti-bukti sejarah tokoh al-Ghazali berupa keterangan,

penjelasan, penafsiran atau analisis pakar sejarah terkait tentangnya. Selain itu dokumen-

dokumen yang menyangkut berbagai manuskrip, ungkapan dan surat-surat yang

menggambarkan ide dan pemikiran al-Ghazali dan terutama karyanya. Kedua macam jenis

data itu merupakan bahan-bahan yang saling menunjang dalam mempertajam kerangka

analisis. Maka jenis data yang dibutuhkan bersifat kualitatif dan dokumenter.

Oleh karena itu sumber-sumber data dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi

dua macam yaitu: sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer berupa bahan

kepustakaan yakni: buku, artikel, laporan dan sejenisnya yang berkaitan dengan masalah

penelitian. Sumber primer kitab al-Ghazali yang berjudul: Kimiyā‟al-Sa„ādah, Husain

20

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1997), hal. 87-107. 21

Sumber disini adalah sumber sejarah (historical sources) yaitu sumber-sumber yang dapat dijadikan

alat bukti tentang peristiwa masa lampau baik berupa peninggalan yang berbentuk relief, monumen ataupun

manuskrip atau bukti-bukti lain yang otentik. Sejumlah sumber yang tersedia adalah data verbal sehingga

membuka kemungkinan bagi penulis sejarah untuk memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal. Adapun

klasifikasi sumber sejarah tersebut pada dasarnya dapat dibedakan menurut bahan, asal-usul atau urutan

penyampaiannya dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua: Sumber

tertulis dan sumber tidak tertulis; sedangkan sumber-sumber menurut urutan penyampaiannya dapat dibedakan

menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sementara menurut tujuannya dapat pula dibagi menjadi sumber

formal dan informal. Lihat. Siti Maryam (ed), Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern,

(Yogyakarta: Jurusan SPI IAIN Sunan Kalijaga &LESFI, 2003), hal. 5-6. 22

Suryadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta; Rajawali Press, 1998), hal. 16.

Page 28: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

14

Hadijum (ed), Intesyarate Elme Va Farhangi, Tehran 1390 H, serta ditambah dengan buku

pendukung lain di antaranya:

1. Bidāyat al-Hidāyah, ( Beirut: Dar al-Sadr, 1419 H)

2. Minhāj al-„Ābidīn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H)

3. Ihyā‟ „Ulūm al-Dīn, (Tehran: Intesyarat-e Elmi va Farhangi, 1389 H)

4. Mi>za>n al-„Amal (Beirut: Dar al-Ṣadr, 1430 H)

Sumber primer ini juga meliputi yaitu: pertama, karya-karya tulis al-Ghazali dan

kedua berbagai tulisan dan kitab-kitab yang berisi pembahasan, analisis dan penuturan

sejarah para penulis yang dekat masa hidupnya yang terkait dengan al-Ghazali. Sedangkan

sumber sekunder penelitian ini adalah bahan-bahan pustaka berupa buku, artikel, dan terbitan

apapun yang membahas pemikiran dan pandangan al-Ghazali yang berkenaan dengan

masalah sosial, budaya, ekonomi dan politik dan tasawuf tentunya.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini pada intinya adalah metode

penelaahan (pemeriksaan dan bacaan) pustaka. Kemudian data-data diatas tersebut dibaca

dengan menggunakan pendekatan hermeneutika dalam upayanya untuk mencoba membaca

sekaligus menafsirkan karya-karya, ungkapan dan pernyataan al-Ghazali yang belum jelas

maksudnya serta mencoba melihat latar-belakang serta motif dari ditulisnya karya al-Ghazali

tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keshahihan dan kedalaman isinya dan

tidak melakukan penelitian yang bersifat filologis.

Melalui bantuan lain dari data sekunder ide-ide dan gagasan tasawuf akhlaqi al-

Ghazali kemudian dipahami dan dianalisa dengan menggunakan kajian ilmu-ilmu sosial.

Page 29: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

15

Oleh karena itu penggunaan pendekatan hermeneutika tersebut berdasarkan hermeneutika

sejarah Wilhelm Dilthey23

.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Mengingat luasnya permasalahan yang dikaji serta untuk memudahkan penulisan,

maka konsep penulisan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:

Pendahuluan sebagai bab pertama yang menyangkut pembahasan mengenai latar

belakang terkait munculnya ajaran tasawuf dalam Islam hingga menjadi sebuah kajian yang

marak di kalangan masyarakat muslim modern dalam upayanya mencari persoalan manusia

masa kini dan kemudian diikuti dengan pembahasan masalah yang mencoba mengangkat

kajian tasawuf akhlaqi al-Ghazali dengan melihat pada ide dan pemikiran tasawufnya.

Setelah itu dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian dari tesis ini sebagai wacana dan

sumbangsih bagi kajian ilmu tasawuf di tanah air. Dengan melihat tinjauan pustaka dari

beberapa karya tulis yang terkait dengan al-Ghazali dan dengan menggunakan metode

penelitian hermeneutika-sejarah tesis ini ditulis.

Dalam bab kedua membicarakan tentang latar belakang kehidupan dan pendidikan

al-Ghazali, karir intelektual, perjuangan dan karyanya. Disamping itu juga akan dibahas

mengenai kepribadian serta pandangan dan karya-karya al-Ghazali dimana denga adanya

uraian tersebut diharapkan dapat menghadirkan sosok al-Ghazali lebih dalam dan

menyeluruh.

Sementara itu dalam bab ketiga akan dibahas mengenai konsepsi dan metodologi

ajaran tasawuf secara umum, penjabaran terkait dengan definisi tasawuf dan „irfa>n dengan

23

Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dikenal sebagai intelektual-filusuf sekaligus sosiolog asal Jerman dan

dianggap sebagai tokoh sejarawan hermeneutika modern pertama di dunia barat. Pendekatan Dilthey yang

menjadikan hermeneutika-sejarah sebagai sumber pemahaman teks dan jika diterapkan pada karya-karya al-

Ghazali akan dihasilkan, bahwasanya kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah adalah teks sufisme yang memiliki nilai sejarah

dan dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya pada waktu itu. Teori Dilthey mengenai understanding (verstehen)

mengartikan hermeneutika sebagai teori dan aturan dalam menginterpretasikan karya tulis dalam pendekatan

historis dan lewat kajian human sciences bisa di dapatkan hasil yang objektif.

Page 30: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

16

menekankan pada aspek historis dan doktrinalnya sekaligus pembagiannya. Kemudian secara

khusus akan dikaji mengenai pemikiran tasawuf al-Ghazali yang menitik-beratkan pada

metode tasawuf akhlaqinya.

Bab ke-empat mengkaji tentang ajaran tasawuf akhlaqi al-Ghazali dengan merujuk

pada kitab Kimiyā‟al-Sa„ādah yang meliputi pembahasan tentang isi kitab tersebut disertai

dengan penjelasannya serta membahas metode penulisan kitab tersebut dengan menampilkan

beberapa bagian dari tema–tema tertentu dalam kitab tersebut dan diakhiri dengan latar

belakang penulisan kitab tersebut serta kaitannya dengan kajian metode tasawuf akhlaqi al-

Ghazali.

Pada bab kelima berisi kesimpulan-kesimpulan hasil pembahasan dari persoalan

yang dimunculkan pada bab pertama dan dilanjutkan dengan saran-saran yang berkaitan

dengan kajian ketasawufan dan kemudian diakhiri dengan beberapa sample manuskrip

Kimiyā‟al-Sa„ādah karya al-Ghazali yang sekaligus menutup pembahasan tesis ini.

Page 31: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

17

BAB II

BIOGRAFI AL-GHAZALI

Abu Hamid Muhamad ibn Muhamad al-Thusi al-Ghazali merupakan salah satu

cendekiawan muslim di zamannya yang terkenal karena pemikiran dan karyanya disatu sisi

serta banyaknya pandangan dan tulisan yang terkait dengannya dari berbagai kalangan disisi

lain. Beliau tidak hanya masyhur di lingkungan akademisi dan intelektual di dunia Islam

selama berabad-abad, melainkan juga terkenal di dunia Barat baik kalangan kritikus dan

pemikirnya. Diantara salah satu faktor yang membuat nama al-Ghazali terkenal di dunia

Barat adalah proses pencariannya di dalam menggapai hakikat kebenaran tentang ilmu hingga

mengakibatkan sebuah keadaan skeptisisme dalam dirinya. Hingga kemudian konsep

skeptisisme ini di adopsi oleh filosof Perancis Rene Descartes (w.1650 M)1 didalam

memahami hakikat ilmu pengetahuan. Faktor lain dari penyebab terkenalnya al-Ghazali di

dunia Barat atau bahkan dunia Islam secara umum adalah pertentangan keras al-Ghazali

terhadap ilmu filsafat. Pemikirannya tersebut secara khusus telah mematikan wacana berpikir

bebas dalam beragama sekaligus sebagai bentuk pengingkaran terhadap ilmu-ilmu rasional

dalam Islam.

Kehadiran al-Ghazali menurut sebagian kalangan justru menjadi anugerah bagi umat

Muhammad SAW dikarenakan lewat tangannya hadir karya-karya yang monumental dalam

bahasa Arab dan Persia di berbagai bidang keilmuan diantaranya: mantiq, filsafat, fiqh, kalam

serta tasawuf. Sebagian ulama menganggap al-Ghazali sebagai figur yang derajat keilmuan

dan intelektualitasnya satu derajat di bawah Nabi Muhamad SAW hingga kemudian gelar

1Rene Descartes sering disebut sebagai bapak filsafat modern merupakan seorang filsuf dan ahli

matematika asal Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de

prima Philosophia (1641). Terkenal-dengan ucapannya "Aku berpikir maka aku ada". I think, therefore I exist.

Metode filsafatnyanya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian mengantarkannya

pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam tiga bagian dapat diragukan. Diantaranya: 1.

Pengetahuan yang berasal-dari pengalaman inderawi dapat diragukan; 2. Fakta umum tentang dunia semisal:

Api itu panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan; 3.Logika dan Matematika prinsip-prinsip

logika dan matematika juga ia ragukan. Lihat. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogyakarta:

Penerbit Kanisius, 1980), hal. 18.

Page 32: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

18

Hujjat al-Isla>m2 disematkan pada dirinya. Hadirnya al-Ghazali dianggap mampu

menjembatani polemik panjang antara ilmu fiqh dan ilmu tasawuf sekaligus mampu

melakukan terobosan baru didalam melakukan interpretasi esoterik terhadap ayat-ayat al-

Quran dan meletakan tasawuf dalam koridor ilmu syariat.

A. Latar Belakang Keilmuan

Dinamika Sosio Kultural Masa al-Ghazali

Pertengahan abad ke V H atau bertepatan dengan abad XI M adalah masa-masa

kehidupan dan dinamika sosio-kultural masyarakat al-Ghazali berlangsung. Pada saat itu era

dimana kekuasaan Dinasti Abbasiah berkuasa dan telah memasuki masa kemunduran dan

kelemahan politik bagi dinasti. Peristiwa kudeta di kalangan istana seringkali terjadi bahkan

terjadinya pertumpahan darah dan juga revolusi oleh kalangan Ismailiyah yang di dukung

oleh Dinasti Fatimiyah menjadi catatan kelam bagi stabilitas Dinasti Abbasiah tersebut.

Hingga akhirnya serangan muncul dari orang-orang Turki yang kemudian menguasai wilayah

Iraq hingga akhirnya kekuasaan Dinasti Abbasiah berhasil di rebut. Taghrul Beik yang

kemudian mendirikan Dinasti Saljuq sekaligus menobatkan dirinya sebagai pemegang

kendali kekuasaan dan pemerintahan di seluruh wilayah Baghdad dan Khurasan yang

sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Abbasiyah saat itu.3

2Dimasa al-Ghazali apresiasi keilmuan terhadap para ulama muslim oleh masyarakat dan istana begitu

tinggi. Banyak gelar (laqab) yang disematkan kepada para ulama seperti: Al-Kulayni (w. 329 H) yang bergelar

sebagai Tsiqah al-Isla>m, kemudian juga kepada Sayid Murteza (w. 436 H) dengan gelar ‘Alla>m al-Huda>

serta Allamah Hilli (w. 648 H) dengan sebutan Aya>tulla>h. Gelar al-Ghazali yang termasyhur di antara gelar

yang lainnya adalah Hujja>t al- Isla>m diberikan karena lewat kemampuan artikulasi bahasa dan kecakapannya

dalam berdebat dan selalu dimenangkan olehnya terhadap lawan debatnya senantiasa menjadi keistimewaan

baginya di hadapan ulama pada masa itu. Di Iran sendiri gelar Hujja>t al- Isla>m sampai saat ini masih berlaku

dan disematkan kepada seseorang yang telah mengenyam pendidikan Baḥts al- Kha>rij sebuah tingkatan dalam

pendidikan Hauzah (keagamaan-tradisional) di Iran dimana orang tersebut telah mampu berijtihad dalam

masalah-masalah keagamaan dan telah mendapatkan syahadah dari ulama sekelas Aya>tulla>h. Jalaluddin

Humaiy, Ghazali Nameh, (Tehran: Entesyarate Chop Furughi, 1318 Hs), hal.112. 3Para khalifah Dinasti Abbasiyah yang sezaman dengan al-Ghazali di antaranya Abdullah Qaim Bi

Amrillah (422-467 H); Abdullah Muqtadi Biamrillah (467-487 H); Ahmad al-Mustazhar Billah (477-512 H).

Sementara itu para sultan Dinasti Saljuqiyah yang sezaman dengan al-Ghazali diantaranya Ruk al-Din Abu

Talib Tughrul Beik (429-455 H); Izz al-Din Abu Suja‟ Alep Arselan (455-465 H); Jalal al-Din Abu Fath Malik

Shah ibn Alep Arselan (465-485 H); Naser al-Din Mahmud ibn Malik Shah (485-486 H); Ruk al-Din Abu

Page 33: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

19

Pada masa Dinasti Saljuqiyah yang dipimpin oleh Sultan Izz al-Din Abu Suja„ Alep

Arselan (455-465 H), inisiasi pembukaan sekolah-sekolah Nizamiah dilakukan. Alasan di

dirikannya sekolah-sekolah Nizamiah tersebut adalah untuk membentengi agama sekaligus

mempertahankan tradisi dan Sunnah Nabi Muhamad SAW. Pada dasarnya Dinasti Saljuqiyah

ini bukanlah sebuah sistem monarki yang berlandaskan agama atas mazhab tertentu bahkan

boleh dibilang para pembesar Dinasti Saljuqiyah tidak paham permasalahan yang terkait

dengan pokok agama (uṣhuluddīn) apalagi masalah–masalah yang terkait dengan cabang

agama itu sendiri (furu‟).

Namun yang menarik adalah walaupun Dinasti Saljuqiyah di zaman Alep Ersalan ini

sama sekali buta dengan masalah agama akan tetapi kecintaannya pada ilmu dan ulama (ahlu

sunnah) menjadikannya beliau sebagai seorang sultan dari Dinasti Saljuqiyah yang dekat

dengan rakyat dan ulamanya. Akhirnya diperintahkannya Wazir Nizam al-Mulk untuk

membuka beberapa Madrasah Nizamiah di berbagai wilayah kekuasaannya seperti di

Baghdad, Naisyabur dan Isfahan. Tentu saja tujuan utama dari pembukaan sekolah tersebut

adalah bukan tanpa sebab dan hanya semata-mata untuk kepentingan agama, namun lebih

dari itu ternyata ada motif politik yang kemudian dijadikan alat untuk meraih dominasi

kekuasaan bagi sang sultan terkait dengan konfilk kawasan.

Kuatnya pengaruh Syiah Ismailiyah dikawasan Baghdad dan kemudian mendapat

dukungan dari Dinasti Fatimiyah di wilayah Afrika Utara (Mesir) dengan membangun

Univeristas al-Azhar sebagai pusat pendidikan dan pengajaran mazhab Syiah Ismailiyah

dikawasan Timur-Tengah. Atas dasar kekhawatiran tersebutlah menjadi motif di bukanya

Madrasah Nizamiah di mana salah satu tujuannya untuk membentengi dan mengembangkan

mazhab Ahlu Sunnah dari pengaruh dominasi mazhab Syiah Ismailiyah. Madrasah Nizamiah

diharapkan menjadi pusat pendidikan keagamaan mazhab Ahlu Sunnah di wilayah dan

Muzaffar Burkiyaruq (486-498 H); Ghiyats al-Din Abu Suja‟ ibn Malik Shah (498-511 H). Lihat Jalaluddin

Humaiy, Ghazali Nameh, hal. 350.

Page 34: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

20

kawasan kekuasaan dinasti Saljuqiyah. Para ulama Ahlu Sunnah terkemuka yang tersebar

dari wilayah Asia Barat mulai dari Syam sampai Khurasan berkumpul dan menjadikan

Madrasah Nizamiah sebagai basis keagamaan mereka.4 Maka dari itu masa awal al-Ghazali

adalah masa di mana wacana ilmu dan pemikiran keagamaan semakin cepat berkembang

bahkan disertai dengan munculnya ulama-ulama besar di zamannya yang senantiasa aktif dan

produktif di dalam melahirkan gagasan dan pemikiran keagamaannya dalam bentuk karya

tulis.5

1. Masa Pendidikan al-Ghazali

Menurut sejarawan muslim6 yang mengkaji tentang biografi al-Ghazali

menerangkan bahwa tokoh sufi ini dilahirkan di kota Thus sebelah Timur Khurasan

(Masyhad: Sekarang), pada pertengahan abad ke V H (450 H/1058 M). Meskipun tidak ada

data yang akurat terkait dengan kapan dan waktu yang tepat al-Ghazali memulai belajar

secara formal, namun hampir bisa dipastikan bahwasanya beliau mengenyam pendidikan non

formal pertamanya kepada teman sang ayah yang merupakan seorang sufi. Beliau adalah

4Hanna Fakhuri, Tarikh Falsafe Dar Jahon-e Islam, (Tehran: Entesyarate Ilm va Farhang, 1383), hal.

518. 5Masa awal al-Ghazali dalam pandangan sejarawan muslim dikenal-sebagai masa kejayaan umat Islam

dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan dan juga sastra serta ilmu pengetahuan di satu sisi, namun di sisi lain masa

tersebut juga dikenal sebagai masa ta’asub mazhab yang tinggi dan masa perdebatan yang sengit antar mazhab.

Misalnya, perdebatan yang sering kali terjadi di kalangan Ahlu Sunnah sendiri yaitu antara mazhab teologi

Asy‟ari dan Mu‟tazilah pada abad ke 4-5 H semakin tajam kemudian juga perdebatan sengit antara mazhab

fiqhiyah antara mazhab Syafi‟i dan mazhab Hanafi dan hal itu bahkan terjadi di dua kota besar yaitu Naisyabur

dan Isfahan yang menjadi pusat ibukota Dinasti Saljuqiyah. Di sisi lainnya pertentangan yang tajam antara

mazhab Bathiniyah yang bersekutu dengan mazhab Ismailiyah untuk mempropagandakan dan menyerang

mazhab Ahl Sunnah. Akibat pertentangan mazhab ini akhirnya meruncing pada masalah politik antar dinasti

dimana setiap dinasti mendukung salah satu mazhab untuk menyerang dinasti lain yang berseberangan dengan

mazhabnya. Misalnya Dinasti Fatimiyah Mesir dan golongan Ismailiyah Iran bersekutu untuk menyerang

Dinasti Abbasiyah yang bersekutu dengan Dinasti Saljuqiyah. Lihat Ibn Atsir, al-Ka>mil fi al-Ta<rikh, Vol.4

(Damaskus: Matbua‟ al-Tawfiq, 1347), hal.75. 6Di antara para sejarawan yang secara khusus mengkaji dan melacak sejarah kehidupan al-Ghazali di

antaranya adalah Taj al-Din as-Subki, Tabaqa>t al-Sya>fi‘iyah, (w.771 H/1370 M); Abd al-Ghafir al-Farisi, al-

Siya>q li Ta>rikh Naisha>bur, (w. 529 H/1133 M); al Sam„ani, al-Tahbi>r fī al-Mu‘ja>m al-Kabi>r, (w. 562

H/1166 M); Ali ibn Hasan Ibn Asakir, Târ>ikh Dimashqi wa Zikr Faḍliha> wa Tasmiyat man H~allaha>, (w.

571 H/1775 M); Abd al-Rahman Ibn Ali Ibn al-Jawzi, al-Muntazam fī Tâ>rikh al-Mulu>k wa al-Uma>m, (w.

597 H/1201 M); Ahmad Ibn Muhamad Ibn Khalikan Wafa>yat al-‘Aya>n wa Anba’ Abna al-Zama>n, (w. 681

H/1282 M); Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi, Ta>rikh al-Isla>m wa Wafa>yat al-Masha>hir wa al-A‘la>m,

(w.748 H/ 1347 M); Ismail ibn Umar Ibn Katsir, al-Bidâ>yah wa al-Nihâ>yah fi Tâ>rikh, (w. 774 H/ 1373 M);

Abd. Rahman Badawi, Mu‘allifa>t Ghaz>ali> (w. 2002 M).

Page 35: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

21

Imam Ahmad bin Muhamad Radzkani7 figur ulama yang sangat mumpuni dalam bidang al-

Qur‟an, bahasa Arab dan fiqh. Lewat tangan beliau al-Ghazali memperoleh pelajaran ilmu

dasar keagamaan (uṣhuluddīn). Proses pembelajaran non formal yang diterima al-Ghazali

tersebut sangat berlangsung singkat dikarenakan minimnya sarana dan prasarana dan hanya

mengandalkan pendanaan dari sisa warisan orang tua al-Ghazali. Sang guru kemudian

menyarankan kepada al-Ghazali untuk melanjutkan pendidikannya ke kota Naisyabur, di sana

terdapat Madrasah Nizhamiyah yang dibangun oleh Nizam al-Mulk yang secara pendanaan

dikelola secara baik oleh negara dan seluruh biaya pendidikan mahasiswanya dibebaskan.

Namun sebelum memutuskan untuk berangkat ke kota Naisyabur, al-Ghazali justru

melangkahkan kakinya menuju kota Jurjan (Gorgon: Sekarang) pada tahun 465 H.8 Di sana

al-Ghazali dengan susah payah menjalani proses pembelajaran kepada Imam Abi Nashr al-

Ismaili (w. 477 H), kajian dan pelajaran yang menjadi takhasusnya saat itu adalah ilmu fiqh.

Pada saat itulah beliau telah menghasilkan karya tulis yang pertama dengan judul al-

Ta‘liqa>t fī Furu>’ al-Maẓhab.9

Akhirnya pada usia 19 Tahun (470 H/1078 M) al-Ghazali bersama para sahabatnya

membulatkan tekad untuk berhijrah ke kota Naisyabur dengan niat menimba ilmu di Madrasah

Nizamiyah. Di sana beliau selain berguru kepada Abu al-Ma„ali al-Juwaini Imam al-Haramain

(w. 1085 M) terdapat juga Syekh Abu Ali Farmadi (w.1084 M) seorang sufi dan Hakim Umar

Khayam (w. 1044 M) sastrawan dan ahli astronomi, lewat tangan mereka al-Ghazali memperoleh

7Seorang sufi ternama bermazhab Syafi„i kelahiran kota Thus yang wafat tahun 450 H. Namanya di

sebut dalam karya Tabaqa>t al-Sya>fi’iyah, Tajuddin Subki (w.771 H) sebagai ulama yang alim dan faqih.

Kata Radzkani/Radkani merupakan nama dari pusat kota di wilayah Thus dimasanya. Lihat Jalaluddin Humaiy,

Ghazali Nameh, (Tehran : Entesyarate Chop Furughi, 1318 Hs), hal.118. 8Alasan yang menjadi dasar perginya al-Ghazali ke kota Jurjan adalah dikarenakan pada zamannya dua

kota yang memiliki madrasah dengan sistem pendidikan dan pengajar terbaik adalah kota Naisyabur dan Jurjan,

dimana yang pertama dikarenakan sebagai kota pelajar sementara kota yang kedua merupakan kota dengan

banyaknya ulama besar yang bermukim disana di antaranya Abdul Qahir al-Jurjani (pakar sastra dan balaghah).

Lihat. Husesin Zarin Kub, Farar az Madreseh: Darboreye Zendegi va Andiseye Abu Hamid al-Ghazali,

(Tehran: Entesyarate Amir Kabir1391 Hs), hal. 9. 9Kautsar Azhari Noer (ed), Warisan Sufi Agung: Mengenal Karya Besar Para Sufi. (Jakarta: Sadra

Press, 2014), hal. 356.

Page 36: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

22

pendidikan yang amat mendalam dalam bidang: teologi, filsafat, logika, fikih dan sastra.

Sementara itu diantara para sahabat nya yang berada dalam lingkaran kelasnya diantaranya

adalah: Kiya al-Harasy (w. 504 H/ 1110 M), Abu al-Muzaffar Khaufi (w. 500 H/1106 M), Abu

al-Muzaffar Abi Wardi, Abu al-Qasim Hakimy dan Ibrahim Syabak. Menginjak usia yang belum

genap 28 Tahun al-Ghazali telah menguasai berbagai macam ilmu ke-Islaman seperti; ushul fiqh,

kalam, hadist dan sastra serta yang terpenting adalah beliau sangat ahli dan pandai berdebat.

Sang guru sangat mempercayakan al-Ghazali untuk menggantikannya disetiap mata pelajaran

yang diampunya dikala berhalangan hadir dari sanalah muncul kepercayaan al-Ghazali untuk

mengembangkan segala potensi keilmuan yang dimiliknya, sejak saat itu al-Ghazali selalu

menjadi buah bibir di kalangan ulama dan cendekiawan dimasanya hingga kemudian berbagai

gelar keilmuan disematkan kepadanya diantaranya: Syaraf al-‘Aimmah, Zain al-Di>n dan Hujjat

al-Isla>m.10

B. Karir Perjuangan dan Karyanya.

Setelah wafatnya al-Juwayni pada tahun 1085 M, al-Ghazali kemudian melanjutkan

pengembaraanya menuju Camp11

(Lashkargoh/Muashkar), bukan tanpa alasan al-Ghazali

menuju ke tempat tersebut, disebabkan kemasyhuran nya telah didengar oleh Wazier Khaje

Nizam al-Mulk Thusi (w. 485 H) al-Ghazali pun kemudian diundang sang menteri serta

mendapatkan penghormatan yang luar biasa di sana dan yang menarik ternyata tradisi keilmuan

sangat terjaga ditempat tersebut dan al-Ghazali mendapatkan kedudukan yang istimewa dari

10

Gelar-gelar tersebut bukanlah tanpa sebab disematkan kepada al-Ghazali, di masa krisis intelektual-

dan pemikiran pada masanya al-Ghazali muncul sebagai ulama yang kepiawaiannya dalam berdebat di bidang

ilmu agama membuat kagum masyarakat muslim di zamannya. Hampir di setiap perdebatan yang dilakukan

oleh al-Ghazali dengan para lawannya melalui argumentasi dan dalil-dalil aqli dan naqli selalu dimenangkan

olehnya. Lihat Hussein Zarin Kub, Justeju Dar Tasawuf Iran, (Tehran: Entesyararate Amir Kabir, 1386 Hs), hal.

86. 11

Pusat wilayah bagian kerajaan Saljuq yang terletak tidak jauh dari kota Naisyabur di bawah

kepemimpinan seorang menteri yang bernama Khaje Nizam al-Mulk Thusi (w. 485 H) dari Dinasti Saljuqiyah,

di sana terdapat Masjid Jami tempat berkumpulnya para ulama kerajaan dan lapangan indah nan luas yang diberi

nama Meydan Husain. Nizam al-Mulk merupakan Wazir yang dermawan dalam bidang pendidikan Islam (fiqh)

dan orang yang pertama kali menerapkan sistem beasiswa bagi para pelajar yang mengeyam pendidikan di

madrasahnya yang sangat besar. Lihat Ahmad Kamaludin Hilmi, al-Sala>jiqah fī al-Tārikh wa al-Haḍara>h,

(Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiyyah, tt), hal. 375.

Page 37: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

23

sang menteri. Para ulama istana senantiasa sangat antusias memberikan jawaban serta

memberikan solusi atas permasalahan dan persoalan yang tidak hanya menyangkut masalah-

masalah keagamaan tetapi juga problem kenegaraan. Salah satu diantara para ulama istana yang

sangat dekat dengan Wazier Khaje Nizam al-Mulk Thusi adalah Abu al-Muzaffar Farghani dan

Abu al-Muzaffar Sam„ani, mereka adalah ulama dan faqih yang berhaluan mazhab Hanafi.

Di lasykargoh tersebut ada sebuah program dan kajian rutin yang di selenggarakan

oleh Wazier Nizam al-Mulk yang diikuti dan dihadiri secara terbatas hanya dari kalangan

ulama istana saja. Tema yang selalu menjadi topik utama dalam kajian tersebut adalah

pembahasan yang terkait dengan akidah, kalam dan mazhab dalam Islam, biasanya dengan

menggunakan metode jadali (debat) antara para ulama maka hasil akhirnya akan didapat

sebuah argumen yang kuat dan meyakinkan untuk bisa di ajukan kepada sang menteri. Pada

fase inilah al-Ghazali menampilkan kecerdasannya yang luar biasa di kalangan ulama

ternama istana dimasanya.

Keunggulannya dalam berdebat dengan tutur kata dan bahasa yang mudah di fahami

namun mendalam ditambah dengan kekuatan logika dan analisanya menjadikan al-Ghazali

muncul sebagai ulama yang sangat disegani, semenjak saat itulah al-Ghazali dekat dengan

kalangan istana terutama Sultan Malik Shah Saljuqi (w.485 H) hingga kedudukan dan

penghormatan yang tinggi dalam bidang keilmuan dari pihak istana dan masyarakat muslim

di masanya senantiasa di sematkan kepada al-Ghazali. Belum genap menapaki usia 35 tahun

tepatnya pada tahun 484 H di bulan Jumadil Awal al-Ghazali menempati posisi barunya yang

amat prestisius yaitu sebagai Rektor di Universitas Nizhamiyah Baghdad12

selama 4 tahun.

12

Sebuah model madrasah atau “Universitas” di zamannya yang pertama dalam sistem pendidikan

Islam yang dibangun oleh Wazir Nizham al-Mulk (w. 485 H) yang didirikan di dua kota yang berbeda yaitu

Naisyabur (Iran) dan Baghdad (Irak). Orientasi dari pengajaran madrasah ini pada awalnya lebih banyak menitik

beratkan pada kajian ilmu fiqh semata, lalu kemudian menerapkan dengan sistem baru yaitu dengan sistem

klasikal dan tidak hanya mengkaji ilmu fiqh semata melainkan ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya seperti: Sastra,

Kalam, Filsafat dan Ushul. Lihat. Hasan Ibrahim Hasan, Tārikh al-Islām wa al-Siyāsi wa al-Dīn wa al-

Tsaqa>fi, Juz 4, (Egypt : Dar ash Shadr, tt), hal. 425.

Page 38: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

24

Gelora intelektual al-Ghazali semakin cemerlang di masa menjabat sebagai Rektor, al-

Ghazali telah banyak menulis buku serta menjadi referensi berjalan dalam setiap masalah

keagamaan dan kenegaraan, selain itu juga menjadi pengajar yang dikagumi dimana hampir

dari 300-400 pelajar agama dalam tingkatan faqih senantiasa setia mengikuti perkuliahan

yang diampu oleh al-Ghazali, di antara murid-muridnya yang termasyhur tersebut adalah;

Imam Muhyidin Muhammad bin Yahya bin Abi Mansur al-Naisyaburi (w.548 H),

beliau adalah ulama besar mazhab Syafi„i yang bermukim di Khurasan, guru besar dalam

bidang ilmu kalam Asy„ari di Madrasah Nizamiyah Naisyabur dan Herat. Imam Abu al-Fath

Muhammad bin Fadhl Marsky (w.549 H), ulama besar mazhab Syafi„i yang memilki

pengaruh di kota Thus. Imam Abu Mansyur Muhammad bin As„ad Wa„iz Athori Thusi

(w.573 H). Ibn Burhan Faqih Abu al-Fath Ahmad bin Ali (w.520 H). Tajul Islam bin Khamis

(w. 522 H).13

Kehidupan yang penuh kemewahan dan kecenderungan pada gemerlap duniawi juga

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan hidup al-Ghazali. Intrik politik,

penghambaan kepada kedudukan dan korupsi sangat marak terjadi di lingkungan dan

kalangan ulama istana hal ini yang kemudian membuat sebuah perasaan yang bertolak

belakang dari hati nurani al-Ghazali dengan apa yang dia lihat sehari-hari. Hingga akhirnya

perasaannya gelisah dan tidak sanggup lagi melihat realitas yang dihadapinya selama di

Baghdad dengan segala kedudukan serta kemewahan yang melekat pada dirinya. Kemudian

pada tahun 488 H tepatnya di bulan Rajab terjadi guncangan yang hebat pada jiwa dan

pikirannya yang kemudian membuat dirinya secara fisik dan ruhani tidak dapat lagi

memberikan kuliah di almamaternya hingga terniang di benaknya untuk segera

meningggalkan Baghdad dengan alasan untuk menjauhi segala aktifitas duniawi yang penuh

fatamorgana di mana pada dasarnya secara tersirat al-Ghazali ingin melepaskan semua atribut

13

Jalaluddin Humaiy, Ghazali Nameh, (Tehran: Entesyarate Chop Furughi, 1318 Hs), hal. 282.

Page 39: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

25

dan jabatan resmi yang melekat pada dirinya selama ini, mungkin menurutnya untuk bisa

lepas dari penyakitnya tersebut maka dia juga harus menjauhi diri dari atribut duniawi dan

kesenangan profan.14

Jadwal dan program mengajarnya di Madrasah Nizamiah Baghdad kemudian di

amanatkan kepada saudaranya Imam Ahmad al-Ghazali, akhirnya dengan niat melaksanakan

ibadah haji al-Ghazali meninggalkan kota Baghdad. Pada masa kurun waktu 488-498 H

selama kurang lebih 10 tahun al-Ghazali melakukan pengembaraan spritual ke berbagai kota

dan wilayah di timur tengah seperti: Syam, Baitul Muqaddas dan Hijaz. Segala upaya dan

usahanya untuk mencari hakikat Ilahiyah sekaligus penyembuhan batinnya dijalaninya

dengan melakukan kontemplasi diri di sudut-sudut tempat dan masjid yang disinggahinya, di

sanalah lahir pula karya-karya besar pemikirannya yang merupakan buah dari olah batin dan

pikirannya sekaligus sebagai penawar dari kegundahan batinnya, yang kemudian dikenal

sebagai mognum opus karya etikanya yang berjudul Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn15.

Namun lebih dari itu al-Ghazali merupakan cendekiawan muslim yang produktif di

dalam menghasilkan karya-karya ilmiah keagamaan yang hampir mencapai level ratusan

buku telah beliau hasilkan,16

tetapi ada juga beberapa karya ilmiah keagamaan yang di

nisbahkan kepada al-Ghazali namun pada dasarnya bukan merupakan hasil karya al-Ghazali.

Diantara karya-karya yang dinisbahkan kepada al-Ghazali antara lain ; al-Ta‘liqa>t fī Furu>’

al-Maẓhab (470 H), al-Mankhu>l min Ta‘liq al-Uṣu>l (478 H) al-Basīṭ (484 H) Syifa> al-

14

Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 28. 15

Kitab Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn tersebut ditulis antara tahun 488-494 H, sebagai karya terbesar dalam

penulisan bidang tasawuf al-Ghazali. Kutipan yang diangkat dalam kitab tersebut senantiasa merujuk pada al-

Qur‟an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Tema besar dalam kitab ini terdiri atas 4 bagian di antaranya adalah:

‘Ubu>diyat (Jalan komunikasi batiniah antara Tuhan dengan hamba-Nya), Mua>malat (Jalan komunikasi dan

inter-relasi antar-sesama makhluk Tuhan), Muhlika>t (Jalan yang membawa petaka bagi makhluk Tuhan).

Munjiya>t (Jalan yang membawa keselamatan bagi Makhluk Tuhan). Lihat Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn,

(Kairo: Dar al-Hadist, tt). 16

Sebenarnya penelusuran terkait dengan verifikasi dan penelusuran karya-karya al-Ghazali telah

dimulai oleh para sarjana barat (orientalis ) di antaranya adalah R. Gosche, Louis Masignon dan Montgemorry

Watt lihat. Abd. Rahman Badawi, Muallifa>t al-Ghaza>li>, ( Kuwait: Wika>llat al-Matbu>at, 1977 ), hal.25.

Page 40: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

26

Gali>l fī al-Qiyās wa al-Ta‘li>l (486 H), Mi‘ya>r Maqāsid al-Falāsifah (487 H) Tahāfut al-

Falāsifah (488 H), Iḥyā’ ‘Ulu>m al-Di>n ( 488 H). Mi’ya>r al-‘Ilm (489 H). Miza>n ‘Amal

(489 H). Al-Waji>z (495 H). Al-Qiṣṭa>s al-Mustaqīm (498 H). Misykāt al-Anwa>r (498 H).

Kimiyā’ Sa‘ādah (499 H) Ayyuhal-Wala>d (499 H). Bidāyah al-Hidāyah (499 H). Al-Munqiẓ

min al-D~halāl (501 H). Al-Mustashfa> min ‘Ilm Uṣu>l (503 H). Naṣīhah al-Mulu>k (503

H). Mi‘raj al-Sālikīn (504 H). Al-Jam al-Awa>m ‘an ‘Ilm al-Kala>m (505 H).17

Terkait dengan hasil karya penulisan al-Ghazali sebagian ulama berpendapat serta

memberikan catatan antara lain:

1. Adanya pengulangan (al-tikrār): Tema-tema serta pokok bahasan yang terdapat dalam

karya al-Ghazali ternyata antara satu kitab dengan kitab yang lainnya ada

kecenderungan hampir mirip, begitu juga dalam pengambilan perumpamaan sebuah

hadits dan penjelasannya. Seperti dapat kita temukan dalam kitab al-Arba‘i>n fī>

‘Uṣu>l al-Dīn dengan Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn dan bahkan dengan kitab Kimiyā’ al-

Sa‘ādah .

2. Karya-karya al-Ghazali senantiasa mengambil lebih banyak referensi melalui dan dari

dalil-dali naqli bahkan dalam karyanya yang terkait dengan pembahasan dan

pengingkarannya terhadap masalah-masalah filsafat.

3. Dalil-dalil dan sumber referensi terutama hadits yang sangat lemah begitu lekat

dengan karya-karya al-Ghazali terutama dalam karya tasawufnya.

Namun yang menarik diantara kritikan sebagian ulama terkait dengan karya al-

Ghazali diatas ternyata ada sisi keunggulan, di mana dari hampir semua karya tulis al-

17

Hussein Zarin Kub, Justeju Dar Tasawuf Iran, (Tehran: Entesyararate Amir Kabir, 1386 Hs), hal.

248.

Page 41: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

27

Ghazali, para ulama bersepakat tentangnya yaitu, kebanyakan karya al-Ghazali disampaikan

dengan bahasa yang mudah dipahami padat dan berisi.18

C. Kepribadian al-Ghazali

Figur intelektualitas al-Ghazali dari sudut pandang dan dimensi yang berbeda-beda

memiliki keunggulan yang sangat luar biasa. Ibn Asakir dalam kitabnya yang berjudul al-

Tabyi>n Kazb al-Mufta>ri Fī Mā Naṣa>b ila> al-Ima>m Abi> Hasan al-Asya>’ri

mengkategorikan al-Ghazali sebagai pembaharu dalam Islam (al-Mujadid).19

Gagasan dan

pemikirannya dalam mengembangkan aliran kalam Asy‟ari secara resmi ke berbagai dunia

Islam dan inovasinya dalam pembahasan tasawuf telah menjelma sebagai mainstream utama

yang dianut di masyarakat muslim Asia Tenggara hingga saat ini. Diantara salah satu ke

istimewaan yang ada dalam pribadi al-Ghazali adalah, beliau sosok yang haus akan ilmu

pengetahuan dan pencari hakikat kebenaran sejati. Hal-ini sebagaimana yang di tuliskannya

dalam kitabnya al-Munqi>ẓ min al-Ḍhalāl, dimana dalam kitab tersebut beliau berkata:

“Aku selepas dari masa kanak-kanak dan mulai memasuki masa remaja (baligh)

sebelum memasuki usia dua puluh tahun bahkan hingga sampai saat ini dimana umur

telah melewati lima puluh tahun senantiasa tidak pernah lalai untuk menyelami lautan

yang dalam. Aku menyusup dalam setiap ambiguitas dan beralih dari hadapan yang

problematik dan dari setiap keragu-raguan aku mencari jalan keluar nya berdasarkan

pokok permasalahan seolah-olah aku sedang berdiri didalam jurang kegelapan. Serta

dari semua mazhab dan keyakinan aku cari hakikat dan rahasianya sampai aku bisa

mengetahuinya mana yang hak dan mana yang batil. Aku sekali-kali tidak pernah

meninggalkan yang batin sampai Dia memberikan kepada ku. Begitu juga sebaliknya

yang zhahir tidak akan melekat padaku sampai aku dapatkan pengetahuan tentangnya,

tidak pula filsafat kecuali yang aku fahami dan yakini tentangnya, tidak pula sebagai

teolog yang dengan tujuan untuk berdebat atau tidak pula sebagai sufi yang telah

melewati maqam nya, tidak pula sebagai zindiq sampai aku yakin secara jelas bahwa

aku memiliki pengetahuan yang cukup tentangnya.”20

18

Sulaiman Dunia, al-H~aqi>qat fî Nazar al-Ghaza>li>, (Kairo : Dar al-Ma‟arif, tt), hal.68-72. 19

Ibn Asakir, al-Tabyin Kazb al-Mufta>ri fī Mā Naṣab ilā al-Imām Abi> Hasan al-Asy’a>ri, (Syam:

Matbuat at Taufik 1347), hal. 292. 20

Al-Ghazali, al-Munqi>ẓ min al-Ḍhalāl, (Kairo: Dar al-Fikr, 1952), hal. 9.

Page 42: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

28

Al-Ghazali merupakan figur yang memiliki karakter yang kuat, rasa keingin tahuan

tentang sesuatu dan kesungguhan dalam pencarian hakikat sesuatu merupakan naluri dan

tabiat yang dimilikinya semenjak masa kanak-kanak. Namun sayang pada proses

pencariannya tersebut al-Ghazali pernah dihinggapi suatu perasan yang membuat jiwa dan

akalnya merasa terguncang yang kemudian menjadikannya ragu terhadap sesuatu hal-

tersebut. Masih lewat karya tulisnya yang berjudul al-Munqi>ẓ min al-Ḍhalāl, al-Ghazali

menuliskan kisah hidupnya pada fase keragu-raguannya (shakākiyat):

الوقال و الطق بحکن ال: الحال بحکن السفسطه هبهذ یعل هوایف اا يیشهز هي بایقز دام و... .

“...Selama mendekati hampir dua bulan, aku berada di atas mazhab skeptisime

(jalan keragu-raguan) yang menyelimuti keadaan ku dan tidak berdasarkan dari

pandangan dan ucapan (seseorang).”21

Sikap skeptisime al-Ghazali tidak hanya terkait pada persoalan pribadinya tapi lebih

dari itu melebar pula kepada segala ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya di mana seakan

telah menjadi bahan dan sumber keraguan pada pencapaian kebenaran yang selama ini

senantiasa dicarinya, bahkan dalam hal keyakinan pun al-Ghazali dilanda sebuah keadaan

yang amat rumit sebagimana pengakuannya berikut ini:

“Ada orang yang menderita was-was terhadap ihwal lahiriah ayat al-Qur‟an dan

berdasarkan asumsi mereka mengkritiknya. Mereka menghancurkan dasar keyakinan

mereka sendiri dan menderita kejumudan batin terhadap persoalan Hari Kebangkitan

dan ihwal pasca kematian. Aku tidak menganggap hal tersebut jauh dari realitas

lantaran aku pernah terjerumus dalam kesesatan ini selama beberapa waktu akibat

bergaul dengan sahabat-sahabat yang buruk.”22

Melihat hal-itu para sejarawan muslim menilai bahwasanya akar persoalan dari

munculnya rasa skeptisisme al-Ghazali tersebut diantaranya dikarenakan oleh:

21

Ibid, hal. 22.

22Al-Ghazali, Jawāhir al-Qur’ān, (Beirut: Dar al-Ihya‟, 1433), hal.44-46.

Page 43: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

29

1. Hausnya al-Ghazali terhadap pencarian hakikat dan makrifat pengetahuan namun

penelahaannya hanya bersandar pada kebebasan berpikirnya semata.

2. Mengkaji berbagai macam pandangan tentang ilmu pengetahuan dan kemudian

membandingkannya satu sama lain hingga akhinya ditemukan kekurangan dan

kelebihannya masing-masing dan pada akhirnya tidak dapat dipastikan hakikat

kebenaran yang sesungguhnya hingga membuat dilema pada jiwa dan pikirannya.23

Pada dasarnya pandangan pribadi al-Ghazali terhadap ilmu-ilmu rasionalitas

sangatlah sulit untuk bisa diterima, bahkan pada awalnya memang al-Ghazali terkesan

menolak berkembangnya ilmu filsafat dalam tradisi Islam tetapi bukan tanpa catatan, artinya

al-Ghazali masih bisa menerima ilmu rasionalitas yang satu ini selama bisa diyakinkan

dengan sebuah metodologi ilmu yang dengan istilah al-Ghazali diterima sebagai ‘Ilmu

Yaqi>n sebagaimana ungkapannya:

الىهن و الغلط اهکاى قارهی وال بیر هعه یبقی ال اکشافا العلىم هیف کشفی یالذ ییقیال العلن

“Ilmu yaqin adalah rangkaian pengetahuan yang tersingkap sepenuhnya di dalamnya)

dan tidak tersisa keraguan serta tidak memiliki (potensi) kemungkinan salah dan

keragu-raguan terhadap (pengetahuan tersebut).“24

Perlu diketahui juga bahwasanya al-Ghazali meragukan ihwal indrawinya dan

berupaya mengobatinya, namun ia juga dilema sikap keraguan. Sebagai upaya untuk

mengatasai hal tersebut tentunya ia membutuhkan sebuah referensi serta dalil-dalil

argumentasi untuk menjelaskannya, dikarenakan segala potensi yang ada padanya dalam

keadaan lemah dan untuk mendapatkan argumentasi tersebut harus berdasarkan pengetahuan

primer dan aksiomatis dan itu tidak dapat dipenuhinya hingga pada akhirnya seperti yang

diklaim oleh al-Ghazali sendiri bahwasanya berkat petunjuk dan cahaya Ilahi yang

23

Hasan Muallim (ed), Ta>rikh Falsafeye Isla>mi, (Qum : Chop Markaz Jahone Ulume Islami, 1385),

hal.184. 24

Al-Ghazali, al- Munqiẓ, hal.25.

Page 44: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

30

merupakan kunci pengetahuannya yang sekaligus menyinari hati dan pikirannya al-Ghazali

telah selamat melewati fase tersebut. Hal inilah yang bisa kita pahami terkait dengan

kepribadian al-Ghazali dari sisi pengalaman intelektualitasnya yang menarik sebagaimana

pembahasan tentang epistemologi skeptisisme masa kini mendapatkan tempat yang tinggi

dalam dunia filsafat modern wabil khusus dalam ranah filsafat Islam dan al-Ghazali telah

lebih awal merintisnya.

1. Skeptisisme al-Ghazali dan Descartes

Sejarah kehidupan al-Ghazali sempat berada di titik nadir ketika ia mengalami fase

keguncangan jiwa dan spritualnya. Hal itu disebabkan karena adanya sebuah sikap dan rasa

keraguan (skeptis) terhadap apa-apa yang diyakini oleh dirinya baik itu berupa keyakinan

ilmu dan sikap serta pribadinya selama ini. Perasaan skeptisisme yang memuncak mulai

dirasakannya ketika berada di Nizamiah Baghdad. Sebagaimana yang beliau ceritakan dalam

bukunya yang berjudul Jawāhir al-Qur’ān berikut ini:

“Saat itu sekelempok orang menanyakan kepada ku tentang makna lahir dan batin

ayat-ayat al-Qur‟an, aku menjawabnya namun mereka mempermasalahkan jawaban

ku, kemudian mereka juga menanyakan hakikat dari kematian dan masa setelahnya,

namun lidah ku kelu, perasaan bodoh menghukum diriku, aku sadar bahwa bahwa aku

tidak menjawab semua itu dengan baik, bahkan aku merasa selama ini aku berkumpul

dengan orang-orang yang buruk.”25

Skeptisisme al-Ghazali berawal dari idealismenya yang kuat untuk mencoba

memperbaiki tatanan kehidupan yang lebih baik secara moral, baik ditingkat masyarakat

maupun di tingkat pejabat istana. Hal ini merupakan lumrah adanya dikarenakan memang

untuk merubah tatanan dan kehidupan masyarakat yang bermoral dan beradab di perlukan

upaya keras untuk mencapainya. Menjauhi kehidupan glamour dan menghindari perdebatan

yang tiada henti dengan hidup menyendiri dan merenung serta mengambil jarak dengan

25

Al-Ghazali, Jawāhir al-Qur’ān, hal. 44-46.

Page 45: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

31

kekuasaan adalah langkah yang dinilai tepat oleh al-Ghazali saat itu26

. Boleh jadi kondisi al-

Ghazali merupakan kondisi yang diklaim sebagimana kaum sufi, memandang kritis segala

sesuatu dan di antara sekian banyak pencapaian intelektualitasnya yang memberikan

sumbangsih pemikiran bagi umat Islam adalah sikap keterbebasan nya dari bentuk taklid

(menerima pengetahuan tanpa mempertanyakan). Al-Ghazali meyakini bahwa tidak satu pun

taklid yang lebih superior dari taklid lainnya: mengunggulkan satu taklid atas taklid lainnya

merupakan kesesatan dan kebodohan menurutnya.27

Akhirnya setelah menjalankan prosesi uzlah ke berbagi tempat untuk mencari solusi

atas problema skeptisime tersebut, akhirnya al-Ghazali dengan pertolongan ilham dari Tuhan

serta cahya Ilahi yang menyinari hatinya sekaligus pembuka tirai dari gelapnya pengetahuan

tentang Tuhan, maka terbebaslah al-Ghazali dari penyakit ragu yang hampir saja

membuatnya putus asa.

Di dalam membandingkan skeptisime al-Ghazali dengan Decartes ada baiknya kita

harus mengetahui tesis awal dari skeptisisme Decartes yang mengatakan bahwasanya:

“Kita harus ragu terhadap sesuatu sampai kita yakin terhadap sesuatu itu serta bisa

sampai ketingkat untuk menjelaskan dan memilah sesuatu itu pada akhirnya”

Sementara al-Ghazali mengatakan, terkait dengan skeptisisme nya:

"الغلط اهکاى قارهیوال بیر هع یبقیال اکشافا الوعلىم هیف کشفی یوالذ ییقی العلن اى یظهزل و"

“Dan nampak bagi ku bahwasanya ilmu yakin adalah ilmu yang mengungkap secara

jelas di dalamnya sejelas-jelasnya dan tidak pula tersisa serta tidak pula ada keraguan

ataupun kemungkinan salah yang mengikutinya”28

Skeptisisme Decartes merupakan sebuah sikap ragu-ragu yang partikular dan harus

di atasi dengan sikap pencarian hingga menimbulkan sikap yakin yang hakiki walupun

26

Ghulam Husein Ibrahim Dinani, Mantiq va Ma’refat Dar Nazar Ghazali, (Tehran: Intesyarat-e Amir

Kabir, 1383), hal. 52.

27Ali Asgar Yazdi, Sakkakiyat Naqd bar Adelle, (Qum: Entesyarate Bustan Ketab, 1381), hal. 56.

28

Al-Ghazali, al-Munqiẓ, hal. 25.

Page 46: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

32

melalui cara di luar batas kemampuan manusia untuk menggapainya. Kesangsian Descartes

cenderung bersifat gramatikal dan metodologis, ia menghadapi berbagai kesulitan dalam

menjelaskan relasi antara subjek dan objek lantaran meyakini dualisme subjek-objek.

Ringkasnya, masalah pengetahuan seseorang terhadap alam eksternal juga mengalami

problema yang akhirnya berimplikasi pada skeptisisme. Maklum saja, pengetahuan seseorang

terhadap alam eksternal menciptakan relasi subjek-objek yang pada gilirannya menuntut

kesatuan keduanya. Kendati Descartes menganggap beberapa konsepsi merupakan hasil

pengaruh alam eksternal terhadap raga indrawi melalui pengalaman empiris tetapi

berdasarkan prinsip-prinsip filsafatnya, ia tidak mampu menjelaskan secara detail dampak

dan konsepsi yang bersumber darinya.

Disatu sisi, kesangsian atau keraguan Descartes berbeda dengan al-Ghazali. Ini

mengingat al-Ghazali benar-benar meragukan semua perkara, sementara Descartes hanya

sekedar mengasumsikan keraguan. Setelah melewati tahap keraguan, ia sampai pada tahap

keyakinan bahwa dirinya tidak dapat lagi meragukan realitas dirinya sendiri. Pasalnya, ia

berpikir dan berpikir menjadi bukti keberadaan penyebab sesuatu, karena orang yang tiada

tidak mungkin dapat berpikir. Ia mendasarkan keyakinan dan pengetahuan lainnya di atas

fondasi tersebut. Sementara al-Ghazali selamat dan terbebas dari belenggu keraguan bukan

dengan jalan pembuktian argumentasi melainkan, seperti yang diakuinya sendiri karena

berkat petunjuk dan cahaya Ilahi yang menerangi hatinya dan terselamatkanlah jiwanya.

D. Pemikiran al-Ghazali

Imam al-Ghazali telah mewariskan tinta emas bagi gerak dan dinamika intelektual

dalam sejarah pemikiran Islam. Gagasan dan ide-idenya tentang kajian tasawuf, teologi

bahkan filsafat menjadi rujukan utama pengagumnya. Tak pelak al-Ghazali bahkan dianggap

sebagai ulama pengganti dan pewaris sejati Nabi Muhammad SAW. Lewat tangannya di

Page 47: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

33

damaikanlah dua kutub keilmuan Islam yang selalu berseteru baik dalam paradigma: teologi,

filsafat dan fiqh akhirnya menjadi harmoni, doktrin dan ajarannya menampilkan karakter

wajah intelektual Islam yang lembut dan santun bukan Islam yang keras dan ketus. Karya-

karya ilmiahnya yang terdiri atas berbagai bidang ilmu keagaamaan telah dia tuliskan dan tak

terhitung dengan jari, di mana itu semua dihasilkannya melalui proses perjalanan intelektual

dan pencarian spritual yang didapatkannya dengan penuh kesabaran dan kesungguhan, seolah

al-Ghazali hendak ingin menunjukan kepada kita bahwa pencarian akan hakikat kebenaran

tidaklah sekali jadi dan tak langsung matang, banyak jalan yang harus ditempuh melalui

proses panjang yang berliku, disaat itulah ketika didapatkannya kebenaran dan diterimanya

keyakinan maka munculah sebuah ketenangan batin yang tidak bisa digambarkan betapa

luasnya ilmu Tuhan.

Dalam dunia filsafat, al-Ghazali melalui karya Taha>fut al-Fala>sifahnya hendak

ingin menyadarkan kita bahwasannya ilmu rasio yang satu ini bukanlah konsumsi masyarakat

awam, banyak yang mesti direvisi ulang terkait dengan ilmu ini agar umat tidak galau dan

resah dalam beragama. Pembahasan dan segala perdebatan yang dikaji dalam ranah filsafat

terkait dengan masalah Tuhan yang mencakup eksistensi dan esensi-Nya, wujud alam,

kebangkiatan jasmani dan sebagainya ternyata tidak dapat menjangkau dan mendekatkan

umat kepada Tuhan tetapi justru semakin menjauhkan umat dari Tuhan, al- Ghazali bukanlah

tipe seorang yang begitu antipati, membenci dan memaki ilmu filsafat dan para filosoufnya.

“Pengkafirannya” kepada para filosouf merupakan refleksi kegundahannya yang semakin

memuncak ditambah dengan kegamangan umat yang tidak tahu harus kemana dan mau

dibawa kemana umat ini dalam beragama agar tidak jatuh lebih dalam ke lubang kubangan

yang gelap dan semakin sesat.

Tahāfut al-Fala>sifah: Pemikiran Filsafat al-Ghazali

Page 48: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

34

Sebagaimana diketahui bahwasanya al-Ghazali (w.1111 M) diklaim sebagai

ilmuwan Islam yang sangat anti dan menentang dunia filsafat dan hal ini sebenarnya

merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Apabila kita membaca karyanya yang

berjudul Tahāfut al-Falāsifah dan beberapa kitab lainnya seperti Maqāsid al-Falāsifah jelas

nampak memang ketidaksukaan al-Ghazali terhadap ilmu aqliyah yang satu ini. Namun disisi

lain orang-orang Eropa29

abad pertengahan memandang figur al-Ghazali dengan mengkaji

bukunya yang berjudul Maqāsid al-Falāsifah memiliki pandangan lain yang berbeda dengan

para ilmuwan muslim. Dalam kitab Maqāsid al-Falāsifah karya al-Ghazali sebenarnya

merupakan auto kritik pandangan filsafat Ibnu Sina, oleh sebab itu itu ada 3 pembahasan

utama yang terkait dengan ilmu pengetahuan dalam filsafat Ibnu Sina (w. 1037 M) yaitu tema

mengenai logika, alam dan Tuhan.

Pengkafiran al-Ghazali terhadap al-Farabi (w. 950 M) dan Ibn Sina terkait pada tiga

hal masalah penting dari dua puluh pokok masalah filsafat30

yang saat itu dipegang kuat

pandapatnya oleh para penganut filsafat Islam. Hingga akhirnya lewat kitab Tahāfut al-

Tahāfut Ibn Rusyd (w. 1198 M) yang merupakan jawaban tegas atas kritik dan pandangan

al-Ghazali yang tertuang dalam kitabnya Tahāfut al-Falāsifah dan ternyata disisi lain

bahwasanya ada kesamaan visi diantara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd terkait penentangan

mereka berdua terhadap Ibnu Sina dan al-Farabi. Di mana seolah Al-Ghazali hendak ingin

mengatakan dan kemudian diamini selanjutnya oleh Ibnu Rusyd: “Filsafat terkadang

membahayakan agama”.31

29

Di antaranya adalah Dominicus Gundisallimus di Toledo tahun 1145 M ke dalam bahasa Latin

diterjemahkannya menjadi Logica et Philosophia Al-Gazelis Arabis. 30

Sebagaimana yang ditulis al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah, pengkafirannya para

filosof terkait dengan pandangan-pandangan filosof seperti: Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan mempunyai

subtansi basit namun tidak memiliki māhiya (hakikat). Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyât (hal-yang partikuler),

Tuhan tidak diberi sifat Jins (genus) dan Fasl (diferentia), Alam tidak bermula, Alam kekal, Tidak ada

kebangkitan Jasmani. Lihat. al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, (Egypt: Dar Al-Ma‟arif, 1961), hal.120. 31

Pemikiran al-Ghazali sebagaimana yang termaktub dalam karyanya Tahâfut al-Falâsifah senantiasa

memisahkan posisi antara akal dan wahyu dimana tidak ada hubungan yang erat antara keduanya. Menariknya,

Page 49: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

35

Apabila kita membaca dengan seksama kitab Tahāfut al-Falāsifah disana disebutkan

bahwa: para fuqaha (ahli fikih) tidak semuanya mengkirtik dan alergi terhadap filsafat. Al-

Ghazali sendiri dengan secara jujur dan sungguh-sungguh menganalisa filsafat lewat

kacamata filosuf dan tidak mencampur adukannya dengan pembahasan teologi. Walaupun

sama-sama dimaklumi bahwasanya al-Ghazali memang dikenal pula sebagai teolog. Perlu

disadari bahwasanya kecintaan dan keyakinannya terhadap ilmu logika sangatlah tinggi, hal

itu tercermin dalam karya-karya beliau yang notabene terkait dengan dunia logika

diantaranya kitabnya yang berjudul: Mi‘ya>r al-‘Ilm, al-Qiṣṭa>s al-Mustaqīm, Miha>kk al-

Nazar Fī Al-Mantīq dan yang lainnya. Begitu juga dengan konsep ajaran naturalisme Yunani

dan politik Yunani al-Ghazali sangat meyakini dan menerimanya. Akan tetapi ketika

memasuki ranah yang lebih luas terkait pembahasan Ilahiyah beliau sangat keras menentang

dan mengkritik habis Tuhannya kaum filosouf dan sebagian kritiknya tersebut menjadi

penentangan al-Ghazali yang paling fundamental. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah

seseorang yang menentang dan mengkritik satu persoalan dari sekian banyak persoalan-

persoalan dalam dunia filsafat dianggap dan dicap sebagai orang yang anti filsafat. Tentu saja

tidaklah demikian.

Pemikiran al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam menuai bebarapa pro dan kontra

para filosuf di dalam memandang sebagian masalah dan persoalan-persoalan dalam kajian

filsafat, banyak yang berbeda pandangan dan hal ini adalah hal yang wajar dan bukan

dianggap sebagai sesuatu yang anti filsafat. Dalam hal ini bukanlah kita berada di pihak al-

Ghazali yang kemudian membelanya dengan mengatakan dari seseorang yang anti filsafat

lalu menjadikannya tokoh yang sangat filisofis yang kemudian disematkan kepada al-

Ghazali. Namun kita hanya berusaha mencoba menelusuri tentang kedudukan al-Ghazali

hal ini tidak hanya diterima di kalangan pengikut mazhab Asy„ariyyah bahkan Ibn Rusyd juga meyakininya.

Lihat. Ghulam Reza A‟vani. Majmue-ye Ghazali Vajuhi: Elm Ghazali Setizi, (Tehran: Khoneh Kitab, 1389 Hs),

h. 758.

Page 50: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

36

dalam sejarah perkembangan filsafat Islam. Peran apa saja yang telah disumbangkan al-

Ghazali di dalam dunia filsafat Islam, apa benar al-Ghazali tokoh yang justu berada diluar

lingkaran filsafat Islam hal inilah yang menjadikan sebuah pertanyaan yang tidak berakhir

dengan sebuah jawaban melainkan juga sebuah kegundahan yang dialami oleh para pemikir

Islam kontemporer saat ini.

Page 51: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

37

Page 52: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

38

Page 53: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

39

Page 54: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

40

Page 55: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

41

Page 56: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

42

Page 57: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

43

Page 58: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

37

BAB III

KONSEPSI DAN METODOLOGI TASAWUF

Tasawuf merupakan salah satu bagian dari inti spritualisme Islam dan kadang dianggap

sebagai jenis mistisisme dalam Islam dimana dalam bahasa Inggris seringkali disebut sebagai

sufisme. Kosa kata tasawuf mulai hangat dibicarakan karena diasosiasikan dan memiliki arti

yang menerangkan kepada salah satu jenis pakaian kasar yang dalam bahasa arab disebut al-Ṣūf

(wol kasar), selain itu juga hal tersebut menjelaskan bahwasanya kain wol kasar tersebut

merupakan simbol kesederhanaan yang dipakai oleh para zahid serta merupakan ciri busana dari

orang-orang suci sebelum datangnya agama Islam.1

Sebagai sebuah jalan dan metode mendekatkan diri serta ranah kontemplasi bagi setiap

muslim, tasawuf memiliki slogan اهلل یاع dimana ajaran ini mulai nampak pada pertengahan

abad ke II H dan belum terpengaruhi konsep dan ajaran filsafat Yunani seperti paham wah~dat

al-wujūd, h~ulu>l dan ittih~ad. Pada masa tersebut tasawuf lebih kental dengan nuansa

praktiknya („amali) ketimbang konsep teoritisnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Sementara itu pada abad ke III dan IV H tasawuf mulai memperlihatkan konsepsi dan

sistematikanya yang kemudian terkompilasi sebagai sebuah ajaran dan praktik keagamaan dalam

Islam. Abad ke V sampai VIII H ajaran tasawuf mulai bergelut dengan sastra dan budaya Persia,

di mana kebanyakan dari para penyair dan sastrawan Persia pada saat itu memposisikan dirinya

sebagai seorang sufi. Banyak istilah dan kosa kata tasawuf senantiasa menghiasi karya sastra

mereka bahkan corak dan tipologi sastra dan budaya Persia sangat kental nuansa sufismenya.2

1R.A. Nicholson, The Mystic of Islam, (London: Kegan Paul Ltd, 1966). hal. 35.

2Banyak karya-karya sastra dan syair Persia yang ditulis oleh para pujangga dan sastrawan Persia kental

dengan nuansa sufismenya di antaranya yang termasyhur adalah: Kasyf al-Mahju>b, Esrar al-Khera>q wa al-

Mula>winat, al-Baya>n li ahl A„ya>n, Manha>j al-Di>n, Kita>b Fana>' wa Baqa>‟, Diva>n. Abu Hasan Ali ibn

Utsman al-Hujwairi (w .470H). Tadhkīrat al-Awliya>‟, Mantiq al-Ṭai>r, Ila>hi Nameh, Isra>r Na>meh, Musi>bat

Na>meh, Vand Na>meh. Syeikh Shihabuddin Muhamad ibn Ibrahim Attar al-Naisaburi (w. 618H). Sharh-e Ta„aruf,

Page 59: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

38

A. Makna Konsep dan Definisi Tasawuf

Kata tasawuf merupakan bentuk kata masdar: al-Ṣuf, dimana kita ketahui bersama

bahwasanya maṣdar dalam gramatika bahasa arab terbentuk dari kata ism dengan kata lain kata

tasawuf memiliki makna memakai atau dengan kata lain memakai kain wol kasar. Sementara

pendapat yang lain menyatakan bahwasanya kata tasawuf berarti sophia yang merupakan sebuah

kata dari bahasa Yunani yang berarti hikmah (wisdom), namun ada pula yang beranggapan

bahwasanya kata tasawuf berasal-dari kata ṣūfī yang direlasikan dengan kata ṣāfa yang berarti

jernih, bersih dan suci.3 Sebagian lagi berpendapat kata tasawuf merupakan berasal-dari kata

ṣuffah yaitu serambi masjid Madinah, dimana orang-orang yang disebut ahli shuffah adalah para

sahabat Nabi Muhamad SAW yang senantiasa bermukim di serambi masjid Madinah. Perlu

diketahui juga kata tasawuf bukan merupakan bagian dari kata atau bahasa yang digunakan

dalam al-Qur‟an dan tidak pernah satu kalipun disebut oleh al-Qur‟an itu sendiri.4

Al-Qusyairi di dalam kitabnya al-Risālah al-Qusyairiyyah5 mengatakan, bahwa para

generasi pertama (sahabat Nabi Muhamad SAW) dan sesudahnya (tabi‟in) lebih menyukai dan

lebih merasa mendapat penghormatan apabila mereka disebut sebagai sahabat. Dengan demikian,

istilah seperti „ābid, nāsik, zāhid dan sūfi yang digunakan untuk para ahli ibadat, orang-orang

Faṣiḥah al-Mudda>in, Abu Ibrahim ibn Ismail Mustamli al-Bukhari (w.434 H). Nafḥa>t al-Uns min Had~hra>t al-

Quds, Haft Awrang, Shawāhid al-Nubu>wah, Aṣ‟ah al-Lum„at. Nur al-Din Abd ar-Rahman Jami„ (w. 798H). Lebih

lengkapnya lihat. Muhammad Syarif, Farhang-e Adabiyat-e Farsi, (Tehran: Entesyarate Mouin, 1388), hal. 779.

3Khalil Riziq, al-Irfa>n al-Shi„i> min al-Abha>th al-Sayid Kamal al-Heyda>ri, (Qum: Dar al-Fara>qid,

1438), hal. 58.

4Namun yang menarik adalah kata aṣ-Ṣūf (kain wol) terdapat dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang

diriwayatkan oleh Anas ibn Malik dimana redaksinya seperti ini :

اصف ثظ یاحاس شکة اعثذ اذع ةج( ص) اهلل ي سع کا

“Bahwasanya Rasulullah SAW pada saat itu menyambut undangan seorang hamba sahaya kemudian Beliau

menaiki keledai dan mengenakan pakaian yang kasar”. Lihat, Syaikh Shihab ad-Din Suhrawardi, Awa>rif al-

Ma„ārif, ( Tehran: Entesyarate Elmi va Farhanggi, tt), hal. 23.

5Abd al-Karim al-Qusyairi, al-Risālat al-Qusyairiyyat, (Egypt :Maktabat Muhammad Ali Shabib, 1386),

hal. 7-8.

Page 60: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

39

shaleh dan orang-orang yang tekun beribadat dan berjihad pada jalan Allah baru dikenal setelah

generasi sahabat dan tabi‟in.

Menurut Hamka,6 ahli kebatinan yang mula-mula digelari orang sufi ialah Abu Hasyim

dari Kufah yang meninggal dunia pada tahun 150 H / 761 M. Kehidupan sehari-hari Abu Hasyim

memang mencontoh kesederhanaan Nabi Muhamad SAW dan sahabat-sahabatnya serta tidak

mempedulikan kemegahan dan kemewahan yang diperebutkan masyarakat pada waktu itu.

Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa, istilah tasawuf dan sufi belum didengar pada

masa Nabi Muhamad SAW dan masa sahabat-sahabatnya serta masa tabi‟in. Untuk lebih

jelasnya akan diuraikan konsep dan definisi tasawuf berikut ini.

Bila diteliti tentang asal-usul kata sufi itu terdapat perbedaan pendapat dan ada yang

mempertanyakannya, apakah kata tasawuf itu ism musytaq (mempunyai akar kata) atau ism jāmid

(yang tidak punya akar kata). Apakah kata tasawuf itu dari bahasa Arab atau dari bahasa „ajam

(bahasa non-Arab). Ada yang menyebut, kata tasawuf berasal dari bahasa Arab seperti kata shafā

(bening), shafwān (bening, licin tidak bisa dihinggapi debu), shaff (barisan, seperti barisan

shalat), shuffat (ruangan di sisi Masjid Rasul), shuffat (nama penjaga Ka‟bah pada zaman

Jahiliyyah, yaitu Shuffat ibn Murrah) dan shūf (bulu domba, kain bulu kasar). Ada yang

mengatakan kata tasawuf berasal dari kata asing yaitu dari bahasa Yunani yang berasal dari kata

sophia yang berarti kebijaksanaan.

Menurut al-Kalabazy (w. 380 H) bahwa Bisyr bin al-Harits menyebut, kata tasawuf itu

musytaq dari kata shafā, seperti ucapan: al-shūfi man shafā qalbuhu li Allah,7artinya seorang sufi

6Hamka, Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta :Pustaka Panjimas, 1993), hal. 79.

7Ali Sa mi al-Nasya r, Nasy‟at al-Fikr al-Falsafah fī al-Isla>m, (Kairo: Dar al-Ma‟a>rif, 1977), hal. 37.

Page 61: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

40

(ahli tasawuf) adalah seorang yang bersih hatinya, semata-mata karena mengharap ridha Allah

SWT.

Menurut pandangan lain, kata tasawuf adalah musytaq dari kata al-shaff al-awwal,

artinya shaf pertama, karena kebiasaan kaum shūfi mereka selalu berada pada shaf pertama di

hadapan Allah SWT (shalat dan lain sebagainya) dan menghadapkan hati dengan sepenuhnya

kepada-Nya. Mereka berdiri dengan segala rahasia mereka di hadapan Allah SWT.

Ada yang mengatakan, diambil dari kata ahl al-shuffah, yaitu para sahabat nabi yang

hijrah bersama Nabi Muhamad ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaan mereka di

Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Masjid Nabi dan tidur di atas

bangku batu, shuffat, yaitu pelana sebagai bantalnya. Ahl al-shuffat itu sungguhpun mereka tidak

mempunyai harta namun mereka berhati baik dan mulia serta tidak mementingkan dunia. Inilah

yang merupakan karakteristik dan sifat kaum sufi.8

Al-Saraj al-Tusi berketetapan, bahwa shuffat itu adalah kelompok pada masa sebelum

Islam yang memusatkan perhatiannya untuk perlaksanaan haji dan berkhidmat untuk merawat

Ka‟bah.9

Berbeda dengan pendapat di atas, kata tasawuf bukan kata musytaq tetapi kata jamid,

sebagaimana yang ditulis oleh al-Qusyairi (w. 465 H).10

kata al-Qusyairi, kata tasawuf itu kata

jamid. Pendapat yang mengatakan diambil dari kata al-shafā atau shuffat keluar dari ketentuan

bahasa (bahasa Arab) yang sesuai dengan ketentuan bahasa adalah berasal dari kata al-shuf (wol

8Harun Nasution dkk, Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional Tasawuf, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina:

Seri Kka 23/Tahun III/1988), hal. 2.

9Ali Sami al-Nasyar, Nasy‟at, hal. 39.

10

Al-Qusyairi, nama lengkapnya „Abd al-Karim ibn Hawazin al-Qusyairi, lahir tahun 376-465 H.

kedudukannya di dalam tasawuf Islam sangat penting, mengingat karyanya al-Risa>lah salah satu karya yang

terpenting dalam penelitian tasawuf terutama sebelum abad kelima hijrah.

Page 62: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

41

kasar).11

Senada dengan itu Ibn Khaldun (733-808 H/1332-1406 M), menyatakan menerima

pendapat yang mengatakan kata tasawuf berasal dari kata al-shūf,12

karena para sufi itu biasanya

ditandai dengan pakaiannya yang terbuat dari al-shūf itu, berbeda dengan pakaian-pakaian mewah

yang dipakai pada masanya itu. „Ali Sāmi al-Nasyār dan Hamka lebih mempertegas lagi.

Bila dilihat dari sudut lughawi (kebahasaan) memang lebih tepat asal kata tasawuf itu

dari al-shūf, yang ditujukan kepada orang-orang yang memakai wol kasar itu. Kata tasawuf, suatu

pengambilan bahasa yang disebut ilmu sharaf (tata bahasa Arab) bab tafa>‟ul, maka bentuk

katanya tashawwafa, yatashawwafu, tashawwafan, seperti tashawwafa rajulun, artinya seorang

laki-laki itu telah bertasawuf, yaitu telah berpindah halnya dari kehidupan biasa kepada

kehidupan sufi.

Nurcholis Majid tampaknya juga ada kecenderungan kepada pendapat yang mengatakan

bahwa asal kata tasawuf itu dari kata shūf itu sendiri.13

Harun Nasution menekankan, diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah

yang banyak diterima sebagai asal kata sufi.14

Sebagaimana juga pendapat Ibrahim Basyuni,

bahwa penisbataan kata tasawuf kepada kata shūf lebih cocok menurut asal katanya.15

Meskipun secara etimologi para ahli berbeda pendapat tentang asal-usul kata tasawuf,

yang paling tepat adalah berasal dari kata shūf (bulu domba), baik dilihat dari sudut kebahasaan,

sikap kesederhanaan, maupun dari segi kesejarahan. Maka kata shūfi berarti orang yang memakai

kain dari bulu domba yang kasar yang biasa dipakai oleh orang-orang miskin di Timur Tengah

11

Al-Qusyairi, al-Risālat al-Qusyairiyyah, hal. 217. 12

Abd al-Rahman bin Khaldun, Muqaddimat Ibn Khaldun, (Beirut :Dar al-Fikr, 1401), hal. 611. 13

Harun Nasution dkk, Disiplin Ilmu, hal. 8. 14

Harun Nasution dkk, Disiplin Ilmu, hal. 3. 15

Ibrahim Basyuni, Nasy‟at al-Tasawwuf al- Islāmi, (Mesir : Dar al-Ma‟arif, 1969), hal. 10.

Page 63: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

42

pada masa lalu, karena ingin hidup sederhana dan menjauhi kemewahan dan keduniaan, sehingga

mereka hidup sederhana sebagai orang-orang miskin dengan memakai pakaian kasar tersebut

serta memusatkan perhatian hanya untuk beribadat. Tokoh pertama yang memakai kata shūfi

adalah Abu Hasyim al-Kufi di Irak yang wafat tahun 150 H.

Pada akhirnya tasawuf makin sering didengar dan orang-orang yang hidupnya

sederhana memusatkan perhatiannya kepada peribadatan dan hidup kerohanian serta mengambil

jarak dengan penguasa yang bergelimang dangan kemewahan dan pelanggaran ajaran agama

serta telah melalaikan dalam beribadat kepada Allah, mereka dipanggil dengan al-shūfiyat dan

mutashawwifat .16

Berhubung berbeda-bedanya penekanan para shūfi (selanjutnya ditulis sufi) dalam

kehidupan kerohaniannya itu seperti yang menekankan kepada hidup zuhud, ada yang

menekankan kepada raja‟ khauf, wara‟, faq ir, mahabbat dan lain sebagainya. Maka timbul

pertanyaan terkait dengan apa yang dikatakan tashawuf. Untuk menjawab pertanyaan itu

marilah kita lihat tulisan al-Qusyairi dalam karya al-Risa>lah-nya. Beliau telah menuliskan

sejumlah pengertian dari tokoh-tokoh tasawuf yang hidup sebelum adab ke-4 H. Pengertian

tasawuf yang disampaikan oleh tokoh tersebut dirasa lebih tepat karena mereka berada pada

masa tasawuf itu tumbuh dan berkembang bahkan mereka termaksud praktisinya. Al-Qusyairi

telah mencoba mengumpulkan dan menulis pendapat 83 orang tokoh tasawuf. Berdasarkan hal

yang demikian al-Qusyairi berkesimpulan bahwa tasawuf adalah suatu cabang ilmu pengetahuan

Islam yang berupaya untuk dapat mengetahui cara-cara membersihkan jiwa dan akhlak serta

mengisi nilai-nilai spiritual pada keduanya untuk tercapainya kebahagiaan yang abadi. 17

16

Abd al-Rahman bin Khaldun, Muqaddima>h, (Kairo : Dar al-Fikr, 1435), hal. 611. 17

Al-Qusyairi, al-Risālat al-Qusyairiyyah, hal. 12.

Page 64: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

43

Selain al-Qusyairi ada tokoh-tokoh lain yang menulis pengertian tasawuf seperti: Abu

Bakar al-Kalabazi mengutip pendapat al-Junaid (W. 297 H/ 910 M), seorang tokoh sufi asal

Baghdad pernah ditanya seseorang tentang pengertian tasawuf. Katanya,18

tasawuf adalah

bersihnya hati dari hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian, memutuskan kebiasaan-

kebiasaan hidup materialis pada diri manusia, memadamkan sifat-sifat buruk manusia serta

menjauhi tuntutan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kerohanian, mengkaji ilmu-ilmu hakikat,

mementingkan keutamaan yang bersifat kekal selalu memberikan nasehat kepada semua umat di

mana segala perbuatannya ikhlas karena Allah serta tunduk dan mengikuti Rasulullah SAW di

dalam menjalankan syari‟at Islam.

Sejalan dengan itu, Ma‟ruf al-Karkhi (W. 200 H) mengatakan, tasawuf adalah

mengambil hakikat dan putus asa dari apa yang ada di tangan makhluk.19

Sedangkan Sahl bin

„Abdullah Al-Tusi (W. 283 H) menyebutkan, seorang sufi adalah orang yang bersih dari

kekeruhan, putus asa dengan manusia karena menuju Allah SWT.20

Sebagai suatu ilmu, kajian tasawuf telah mengalami perkembangan yang sangat besar.

Tasawuf bukan sekedar praktek-praktek pribadi tokohnya, tetapi sudah tertulis dan diajarkan.

Lebih maju lagi, tasawuf telah memasuki ranah falsafah dan kemudian dari sana dikenal dengan

nama atau kajian tasawuf falsafi. Pada masa ini, tasawuf telah menjadi objek penelitian. Ada

yang meneliti tokoh-tokohnya, karya-karyanya dan ada pula yang meneliti pengaruh dan

fenomena kehidupan dari berbagai kelompok tasawuf.

18

Abu Bakar al-Kalabazi, Ajaran-ajaran Sufi (terj.), (Bandung :Pustaka, 1995), hal.18. 19

Ibrahim Basyuni, Nasy‟at , hal. 18. 20

Ibrahim Basiuni, Nasy‟at , hal. 19.

Page 65: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

44

Gerakan tasawuf pada periodesasi sejarah Islam membagi tasawuf pada tingkat al-

bidāyat21

, al-mujāhadat22

, dan al-muzāqat23

telah tumbuh semenjak zaman Rasulullah SAW,

dimana beliau telah meletakkan dasar hukum zuhud yaitu tidak tertarik pada sesuatu serta

meninggalkannya bahkan mengosongkan hati dari kesenangan dunia untuk beribadah kepada

Allah SWT. Pola hidup zuhud ini dikembangkan oleh para sufi yang datang kemudian dalam

usaha mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pola zuhud ini termasuk tingkat al-

bidāyat dalam dunia tasawuf Islam.

Para sahabat Rasul sangat tertarik dengan pola kehidupan Rasul, yaitu kesungguhan (al-

Mujāhadat) dan kesenangan (al-Mudzāqat) Rasul dalam menjalankan peribadatan serta

kesehariannya. Mereka ingin mengetahui ibadah-ibadah khusus Rasul dan hendak

mengamalkannya dalam kehidupan mereka. Mereka datang ke rumah Rasul dan menanyakan

kepada istri-istrinya tentang tingkah laku serta peribadatan Rasulullah SAW. Setelah mereka

kembali, terdengar gagasan mereka. Ada yang menyatakan akan selalu shalat malam dan tidak

tidur semalamannya. Ada pula yang mengatakan tidak akan menikah selamanya. Sewaktu

mengetahui yang demikian itu Rasulullah SAW bersabda:

ا ىـى ا أصى ا أ ا أ ج أفطاس أص ض ف اغاء أ ـظ عـى سغة ـ ى فـ

Artinya:

“Tetapi aku shalat (juga pada malam hari) dan aku juga tidur. Aku berpuasa, aku juga

berbuka dan aku juga mengawini perempuan. Barangsiapa yang membenci sunnahku ini,

dia tidak termaksud dalam golonganku”. (H.R. Mutafaqun„alaih)

21

Al-bidāyat (dasar, pemula), yaitu ada semacam fitrah yang tumbuh pada diri seseorang. Adanya keinginan

untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, tentunya setelah meyakini ke-Maha Agungan-Nya. 22

Al-mujāhadat (kesungguhan), yaitu adanya kesungguhan dan perjuangan keras dengan menciptakan kondisi

tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 23

Al-muzāqat (merasakan), yaitu adanya kesenangan dan ketenangan untuk mendekatkan diri kepada Allah

SWT.

Page 66: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

45

Dalam usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, para sahabat telah

menciptakan kondisi untuk itu (al-Mujāhadat), dengan membentuk kelompok-kelompok dan

tempat-tempat tertentu untuk beribadah seperti kelompok: al-Qurā‟, al-Shuffat, al-Tawwābi n dan

al-Bukhaiyi n.24

1. Kelompok al-Qurā’

Kelompok al-Qurā‟ adalah kelompok yang selalu membaca al-Qur‟an dan

memperdalam pemahaman terhadap kandungannya. Mereka belum merasa puas dengan

pendekatan diri melalui ibadah shalat, puasa dan haji, tetapi mereka menciptakan suatu kondisi

untuk menambah rasa dekatnya kepada Allah SWT, seperti dengan membaca al-Qur‟an.

Anggota kelompok ini yang terbanyak dari kaum Anshar. Selain menekuni membaca al-

Qur‟an, mereka juga di siang hari aktif mengajak masyarakat untuk mempelajari al-Qur‟an dan

membacanya, dan di malam harinya mereka selalu shalat tahajjud. Mata pencarian mereka

sebagian besar adalah mencari kayu api. Mereka mempunyai semboyan:

تاـفعاي اـمشأ اص

Artinya: “ Hiasilah al-Qur‟an itu dengan tindakan yang nyata.”

Untuk menghadapi kaum murtad, Rasulullah SAW mengutus para sahabatnya. Pilihan

Rasulullah jatuh pada mereka karena mereka memiliki semangat Qur‟ani. Diantaranya yaitu:

„Abd Allah bin Mas‟ud dan Abi al-Darda‟.

Kelompok seperti ini berlanjut pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan „Ali bin Abi

Thalib. kelompok al-Qurā‟ pada periode sahabat ini ditokohi oleh Mu‟az bin Jabal dan Abu Zar

al-Ghiffari.

24

Ali Sa mi al-Nasya r, Nasy‟at, hal. 79.

Page 67: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

46

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah yang terkenal dengan kemewahannya itu

makin mendorong masyarakat mengikuti kelompok al-Qurā‟ dengan pola hidup zuhud. Mereka

melihat pola hidup mewah Bani Umayyah telah menyimpang dari konsep kesederhanaan dan

cenderung membawa kepada kehancuran bagi negara dan membuat masyarakat jauh dari ajaran

Islam.

Di Basrah, muncul pula kelompok al-Qurā‟ yang ditokohi oleh Abu Musa al-Asy‟ari.

Dia mempunyai suara sangat merdu terutama sewaktu membaca al-Qur‟an. Sebagaimana yang

dikutip „Ali Sa mi yang mengungkapkan bahwa Abu Musa al-Asy‟ari memiliki suara bagaikan

serunai Nabi Daud.25

Sewaktu telah berdiri madrasah-madrasah di Bashrah dan di kota lainnya seperti:

Kuffah, Syam, Moshul, dan Khurrasan, sebagai penggeraknya adalah dari kelompok al-Qurā‟.

Tokoh-tokoh kelompok al-Qurā‟ dari Tabi‟in ini telah melahirkan konsep-konsep baru.

Terutama di Bashrah, misalnya Amr bin „Abd Qis melahirkan konsep zuhud. Harm bin Hayan

melahirkan konsep al-khauf (takut). Ahnaf bin Qis melahirkan konsep al-shabr (sabar).

Sedangkan Hasan Basri melahirkan konsep al-khauf dan al-roja ‟ (harap) dan Rabi‟ah al-

Adawiyah seorang tokoh sufi wanita yang melahirkan konsep al-mahabbah (cinta).

Di Kuffah, tokoh zahidnya yang terkenal adalah Sufyan Tsauri (w. 161 H). di Mesir, tokoh

zahidnya adalah Salim ibn Atar al-Tajibi (w. 75 H), Abdurrahman ibn Hujairi (w. 69 H), dan

Nafi‟ (Hamba Sahaya Abdullah ibn Umar bin Khattab, w. 117 H).26

2. Kelompok Ahl al-Shuffat

25

Ali Sa mi al-Nasya r, Nasy‟at. hal. 106. 26

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkha>l ila al-Tasawwuf al-Isla mi, (Kairo: Dar al-Tsaqafat li al-

Thaba‟at al-Nasyar, 1997), hal. 79-80.

Page 68: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

47

Ahl al-Shuffat berasal dari nama kelompok sahabat yang terdiri dari kaum Muhajirin.

Mereka tinggal di Masjid Nabawi di Madinah dan tidur di atas bangku dari batu dengan

memakai shuffat (pelana) sebagai bantalnya. Mereka berhati baik dan mulia serta tidak

terpengaruh dengan kilauan kemewahan dunia waktu itu. Mereka tidak rusuh dan tidak

menghiraukan harta benda yang mereka tinggalkan di Mekkah. Mereka membagi waktunya

untuk membaca al-Qur‟an dan memahaminya serta senantiasa zikir dan tafakkur.

Mereka mencontoh kehidupan zuhud Rasulullah SAW dan melaksanakan apa yang

diperintahkannya, seperti sabdanya:

ااط ثهح ااط عذ فا اصذ اهلل ثهح ا اذ ف اصذ

Artinya:

“Zuhudlah terhadap kehidupan di dunia ini, maka Allah akan mencintaimu. Zuhudlah

terhadap yang di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (H.R. Ibn Majah)

Ali Sa mi menyebutkan, bahwa kehidupan mereka bagaikan firman Allah SWT.:

ع فغه اصثش از ذع تاغذاج ست اعش شذ ان تعذ ال ج ع ا احاج صح تشذ ع اذ

تطع ال ا أغف ث ل اتثع روشا ع ا وا ش فشطا أ

Artinya:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di

pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu

berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan

janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,

serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (Q.S. Al-

Kahfi: 28).

Menyaksikan perbuatan Ahl Shuffat yang memusatkan perhatiannya untuk beribadat

pagi dan petang dan mereka kurang memperhatikan lingkungannya, maka pemuka-pemuka

Madinah menyarankan kepada Rasulullah SAW agar mereka tidak jadi perhatian lagi,

ditinggalkan saja dan tidak diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan lainnya serta mereka tidak

Page 69: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

48

lagi ditempatkan di Masjid Nabawi. Rasulullah SAW enggan menerima saran itu. Kemudian

Rasulullah sangat gembira dengan turunnya ayat ini, karena Allah SWT menyuruhnya agar

bersabar terhadap amal perbuatan mereka itu.

Cara hidup zuhud mereka dilaksanakan pula oleh para sufi yang datang kemudian.

Bahkan ada yang berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata Ahl Shuffat itu. Tokohnya

yang terkenal adalah Bara‟ah bin Malik.

3. Kelompok al-Tawwābi>n dan al-Bukhai>yyi n

Pada masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, terlihat adanya kesungguhan mereka

untuk menjalankan aturan-aturan agama serta kemauan yang tinggi dalam membentengi diri dari

terjebaknya dalam kemaksiatan dan terlihat pada mereka adanya penyesalan yang sangat dalam

bila mengingat dosa dan kesalahannya.

Kelompok yang selalu menyesali diri atas kemaksiatan yang pernah mereka lakukan

dan menyatakan tidak akan kembali kepada kesalahan untuk masa yang akan datang seraya

mengharapkan ampunan dari Allah SWT dan diterimanya kembali sebagai hamba-Nya, mereka

disebut Tawwābi n (orang-orang yang bertaubat). Sedangkan kelompok yang selalu menyesali

atas kealpaannya, menangisi akan kesalahannya serta meneteskan air mata penyesalan adalah

kelompok al-Bukha>iyi n (orang-orang yang selalu menangis).

Menurut catatan yang dikumpulkan oleh R.A. Nicholson dan disampaikan kembali oleh

Ali Sami al-Nasyar27

, sebagian sahabat pada saat itu pergi ke bukit-bukit di luar kota Madinanh

dengan berpakaian yang sangat sederhana. Mereka mengikat tangannya sendiri, menangis dan

berdoa agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT. Bahkan ada yang berjalan tanpa alas kaki

27Ali Sa mi al-Nasya r, Nasy‟at. hal. 85.

Page 70: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

49

sekalipun perjalanan itu sangat jauh, seperti menunaikan ibadah haji. Sebagian lagi memilih

diam dan tidak banyak bicara. Semua itu sebagai realitas penyesalan mereka yang sangat dalam

atas kesalahan dan dosa mereka. Menurut Ali Sami al-Nasyar Abu Bakar meninggalkan cara

seperti ini setelah beliau diangkat menjadi Khalifah.

Konsep taubat yang dikembangkan oleh kelompok ini, belakangan oleh para sufi

dijadikan salah satu dari maqa ma t (tingkatan, station) dalam perjalanan kepada Allah SWT.

Bahwasanya Allah SWT berkali-kali menganjurkan agar setiap mukmin memperbanyak taubat

dan memohon ampun kepada-Nya. Sedangkan Rasulullah SAW sendiri sampai 70 kali dalam

sehari semalam bertaubat, sekalipun dosanya sudah diampuni oleh Allah SWT.

Sementara itu disisi yang lainnya terdapat banyak pengertian yang dikemukakan para

ulama terkait dengan terminologi tasawuf. Ibrahim Basyuni28

telah memilih empat puluh definisi

tasawuf yang diambil dari rumusan-rumusan ahli sufi yang hidup pada abad ke 3 H. Menurut

Basyuni, untuk mendapatkan suatu definisi yang universal haruslah bertolak dari definisi yang

banyak itu sehingga terdapat pengertian yang saling melengkapi. Untuk itu dari definisi-definisi

yang ada dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Al-Bidāyah, yaitu definisi yang membicarakan tentang pengalaman pada tahap permulaan.

Definisi yang mengungkapkan pengalaman pada kelompok bidāyah ini antara lain berasal-

dari:

Ma„ruf al-Karkhi (w. 200 H), ia mengatakan bahwa tasawuf ialah mengambil hakikat dan

putus asa terhadap apa yang ada di tangan makhluk, maka siapa yang tidak benar-benar

fakir, dia tidak benar-benar tasawuf

28Ibrahim Basyuni, Naṣ„ah al-Tashawwuf al-Islami, (Kairo: Dar al-Fikr, 1969), hal. 35.

Page 71: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

50

Abu Turab al-Nakhsabi (w. 245 H), ia mengatakan bahwa sufi ialah orang yang tidak ada

sesuatu pun yang mengotori dirinya dan dapat membersihkan segala sesuatu.

Zunun al-Misri (w. 245 H), ia mengatakan bahwa sufi ialah orang yang tidak suka

meminta dan tidak merasa susah karena ketiadaan.

Sahl ibn „Abdillah al-Tustari (w. 283 H), ia mengatakan bahwa sufi ialah orang yang

bersih dari kekeruhan dan penuh dengan cara pikir yang terpusat pada Tuhan dan

memutuskan hubungan dengan manusia.

2. Al-Muja>hadah, yaitu definisi yang membicarakan tentang pengalaman yang menyangkut

kesungguhan dan kegiatan. Definisi yang termasuk dalam kelompok ini antara lain dari:

Abu al-Husain al-Nuri (w. 295 H), ia mengatakan bahwa tasawuf bukanlah wawasan atau

ilmu tetapi akhlak karena apabila wawasan, maka ia dapat dicapai hanya dengan

kesungguhan, dan apabila ilmu ia akan dapat dicapai dengan belajar. Akan tetapi tasawuf

hanya dapat dicapai dengan berakhlak dengan akhlak Allah.

Abu Muhammad Ruwaim (w. 303 H), ia mengatakan bahwa tasawuf terdiri dari tiga

perangai; berpegang kepada kefakiran dan mengharap Allah, merendahkan diri, serta

mendahulukan orang lain dengan tidak menonjolkan diri dan meninggalkan usaha.

3. Al-Maza>qah, yaitu definisi yang membicarakan pengalaman dari segi perasaan. Definisi

yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah:

Al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H), ia mengatakan bahwa tasawuf ialah seseorang

bersama Allah tanpa ada penghubung.

Abu Bakr al-Syibli (w.334 H), ia mengatakan bahwa orang-orang sufi adalah anak-anak

kecil di pangkuan Tuhan.

Page 72: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

51

Mesti diketahui bahwasanya perkataan dan pendapat para syaikh terkait dengan definisi

tasawuf masih sangat banyak jumlahnya. Jika kita kumpulkan semuanya terkait dengan

pandangan mereka bisa jadi akan tersusun sebuah ensiklopedia yang sangat besar dimana berisi

tentang pandangan dan pendapat dari berbagai aspek dan dimensi yang berkaitan dengan definisi

tasawuf itu sendiri. Hafiz Abu Naim Isfahani29

(w.430 H) dalam karyanya yang berjudul al-

Ḥ~ilya>t al-Auliyā, mencoba menuliskan berbagai pandangan para syaikh terkait dengan makna

dan definisi tasawuf mulai dari zamannya. Beliau berpendapat bahwasanya jika berbagai ribuan

pandangan dan definisi yang di ekspresikan melalui perkataan para mursyid terkait dengan

tasawuf dan terkesan ada perbedaan pandangan tetapi pada tataran makna dan hakikatnya

diantara pandangan yang banyak tersebut satu sama lain memiliki kedekatan dan keterkaitan satu

dengan yang lainnya. Hal ini juga di amini oleh Syeikh Abu Hafez Umar Shihab al-Din

Suhrawardi (w.623 H) dalam kitabnya „Awārif al-Ma„ārif seraya mengatakan:

“Perkataan-perkataan para syaikh tentang esensi tasawuf hampir ribuan jumlahnya dan

berbeda satu dengan yang lainnya namun memiliki makna hakikat dan dekat antara satu

dengan yang lainnya”.30

Sebagai bagian dari khazanah intelektual Islam, tasawuf mempunyai sejarah yang

panjang dalam perkembangannya. Meskipun doktrin Islam tidak menyebutkan secara jelas

tentang terminologi tasawuf namun tidak mengherankan kemudian, jika timbul sebuah

perbedaan tentang tasawuf dan hal yang terkait dengannya. Karena perkembangan doktrin

29

Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Ishaq ibn Musa ibn Mihran al-Isfahani. Seorang ulama dan

sejarawan Muslim sunni persia bermazhab syafi‟i. Sohibul kitab Ḥilya>t al-Awliyā, dimana kitab tersebut

merupakan ensiklopedia biografi para mursyid dan syekh sufi yang meliputi 650 Tokoh sufi. Kitab tersebut terdiri

atas 10 jilid dan hampir menembus 4000 halaman secara keseluruhan. Lihat. Hafiz Abu Naim Isfahani, Ḥilya>t al-

Awliyā, Juz I (Egypt: Dar al-Fikr,tt), hal. 45.

حا ع اجاب لذ ک عثاسات اختالف اتصف یف ختش اجت شاکث اکتاب ارا شغ یف رکشا

30

یاع تماست اتختفت االفاظ فا لي اف یع ذتض اتصف ا یف حاشا الاي

Suhrawardi, Awarif, hal. 55.

Page 73: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

52

tasawuf dalam Islam bisa dimulai dari gerakan-gerakan zuhud (asceticism) semenjak awal-abad-

abad I Hijriyah yang dipelopori oleh ulama seperti Abu Dzar al-Ghiffari (w.652 M) Hasan al-

Basri (w. 110 H), ataupun Rabiah al-Adawiyah (w. 185 H)31

dan Ibrahim bin Adham (w.166 H)

dan menjadi landasan asketisisme Islam yang berkembang dengan pesat selama abad I dan abad

II Hijriyah. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya terutama mulai abad III H. Tasawuf

yang bersifat zuhud itu semakin menemukan bentuk doktrin tasawuf yang lebih baik yang

kemudian memunculkan istilah-istilah baru seperti konsep ma„rifah, fana>‟, baqa‟ itt~iha>d,

h~ulu>l dan sebagainya. Munculnya istilah-istilah dan konsep-konsep baru dalam tasawuf

menjadikan sufisme Islam menjadi semakin komplek dan berkembang menjadi sebuah ilmu

tasawuf.32

Menurut catatan yang dikumpulkan oleh para ahli, bahwa pada permulaan abad III H

terlihat adanya catatan perubahan dan peralihan konkrit pada kezuhudan. Panggilan za hid kepada

orang lain, zuhud tidak lagi dikenal. Tetapi, lebih dikenal dengan sebutan sufi (orang-orang yang

bertasawuf).

Abad III H bisa dikatakan sebagai abad permulaan tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti

luas. Menurut Abu Ala „Afifi sejak itupun tasawuf memasuki periode baru, yaitu periode intuisi,

kasya>f dan dzau>q (rasa). Periode ini terjadi pada abad III dan IV Hijriah yang merupakan

zaman keemasan tasawuf dalam pencapaiannya yang paling luhur33

.

1. Definisi Tasawuf dan Irfān

31Mengenai perkembangan doktrin sufi ini dan tokoh-tokohnya lihat. al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke

Zaman, Terjemahan oleh A. Rofi Usmani, Bandung: Pustaka Hidayah, 1983. A. Nicholson, “Sufism”, dalam

Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. 12 Charles Scriber‟s, tt.

32Lihat, Milson Manahem, Menjadi Sufi, Terjemahan oleh Yuliani liputo dari A Sufi Rule for Novices.

Bandung: Pustaka Pelajar, 1975), hal. 34.

33Abu Ala „Afifi, al-Tashawwuf al-Tsaurat al-Ru>hiyat fi al-Isla>m, (Kairo: Dar al Fikr, 1962), hal. 92.

Page 74: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

53

Sebagaimana yang telah disinggung di atas terkait dengan pembahasan definisi

etimologis dari tasawuf, sekarang kita akan membahas padanan kata tasawuf yang kemudian

dikenal atau disebut dengan nama „irfān. Pada dasarnya antara kata tasawuf dan „irfān memiliki

makna yang sama secara terminologis namun memang berbeda secara etimologi. Kata „irfān

berasal-dari kata „arafa yang memiliki arti (mengetahui, mengenal). Irfān sendiri bermakna al-

„Ilm (ilmu)34

. Menurut Raghib al-Isfahani, al-ma„rifah dan al-„irfān berarti mempersepsi sesuatu

dengan tafakur dan bertadabur akan efeknya. Irfān sendiri lebih khusus daripada „ilm dan lawan

keduanya adalah inkar (ketidak-tahuan). 35

Kemudian Irfān atau tasawuf dibagi menjadi dua,

yaitu „irfān nazari („irfān teoritis) dan „irfān amali („irfān praktis). Dilihat dari objek materi dari

irfān teoritis maka kadang bisa disebut pula sebagai tasawuf falsafi (tasawuf filosofis)36

. Menurut

Amini Nezad, irfān bisa ditinjau dari lima pendekatan yaitu: pendekatan teoritis yang kemudian

dikenal-sebagai „irfān nazari dan pendekatan praktis yang disebut juga sebagai „irfān amali,

pendekatan agama yang membahas hubungan „irfān dan syari„at, pendekatan sastra yang disebut

dengan „irfān adabi dan pendekatan pelatihan dan pendidikan yang kemudian melahirkan

banyak kelompok-kelompok sufi yang terakumulasi dalam bentuk tarekat.

Baik „irfān dan tasawuf dengan kedua pembagiannya teori dan praksis tidak bisa dibatasi

pada agama tertentu dan budaya tertentu saja. Namun masih saja ada anggapan yang terpengaruh

pada satu titik ekstrim dan juga pada titik ekstrim lainnya. Dari satu sisi orang-orang muslim

sangat berpegang teguh pada al-Qur‟an dan sunnah, namun dari sisi lain mereka terpengaruh oleh

budaya sebelum Islam. Dari sini munculnya arus penyimpangan politik dan akhlak yang

mengajak untuk memisahkan agama dari politik pada periode pemerintahan sebelumnya seperti

34Ali ibn Ismail ibn Sayyidah, al-Muhka>m wa al-Muhīṭ~ al-A‟za>m, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyyah, tt), hal. 108. Muhammad ibn Manzhur, Lisa>n al-„Arab, Juz 9 (Beirut: Dar aṣ-Ṣadr, tt), hal. 236.

35Husain ibn Muhammad Raghib al-Isfahani, Mufradāt Alfazh al-Qur‟a>n, (Beirut: Dar al-Qalam, tt), hal.

570.

36Khalil Riziq, al-„Irfa>n al-Shi‟i> min Abḥa>ts al-Sayid Kamal-al-Heydari, hal. 16.

Page 75: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

54

pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah.

Penyimpangan ini juga ditemukan dalam dunia Islam pada wilayah „irfān dan

tasawuf. Mereka menamakan diri mereka sendiri dengan za>hid dan a>rif. Kemudian

mereka mengistilahkan diri mereka sendiri dengan al -Mutaṣ~awwifu>n. Dalam „irfān teori

mereka meyakini inkarnasi (hulūl) dan penyatuan (ittihād) serta mereka memisahkan syariat

dari tarikat dalam„irfān praktis („amalī). Mereka membangun khāneqāh-khāneqāh (tempat

perkumpulan para sufi) sebagai pengganti pergi ke mesjid-mesjid. Mereka memisahkan diri

mereka dari barisan kaum muslim. Mereka terbagi kepada aliran dan komunitas yang berbeda-

beda. Sejarah Islam dan sejarah filsafat dan„irfān menjadi bukti segala perubahan-perubahan

tersebut dan berbagai dilema pemikiran dan politik. Karena itu pembahasan ini tidak

bertujuan untuk mempertahankan dan memaparkan segala pemikiran asing yang ada di dalam

„irfān dan tasawuf. Pembahasan ini untuk mempertahankan „irfān yang murni yang berasal dari

Islam yang bersumber dari al-Qur‟an dan sunnah.

„Irfān dan tasawuf sejak dahulu telah masuk dalam bingkai ilmu humaniora

sebagaimana yang telah dibuktikan pada indikator dan dalil-dalil historis. Masing-masing dari

keduanya memiliki pengikut dan pendiri. Para penentangnya menyebut mereka dengan rafi>dah,

baik itu dari kalangan muslim maupun dari kalangan orientalis.

Pada dasarnya, terminologi tasawuf dan „irfān bukan sekedar istilah semata, tetapi

sejak dahulu hingga saat ini keduanya memiliki perjalanan sejarah dan memberikan pengaruh

terhadap budaya dan peradaban Islam. Di samping itu, tasawuf dan „irfān berkembang disela-

sela terjadinya proses gerakan pengetahuan dan teknologi, bersamaan itu pula terjadi

perkembangan dan perluasan pengetahuan Islam dan „irfān dalam dunia Islam. Dalam proses-

proses tersebut muncul beberapa persoalan seperti, apakah tasawuf atau „irfān merupakan budaya

Page 76: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

55

asing yang masuk ke dalam Islam atau jika diasumsikan bahwa irfān atau tasawuf merupakan

budaya luar, maka ada kemungkinan terjadi penyimpangan dari budaya Islam yang murni.

Jika demikian, apakah predikat Islam itu muncul dari aspek tasawuf atau „irfān itu

sendiri atau datang dari filsuf atau dari para „urafa‟ atau dari aspek cakupan konsep-konsep dan

posisi masing-masing serta penerapannya terhadap konsep-konsep Islam yang murni. Demikian

juga, apakah mungkin penamaan pengetahuan atau filsafat dan „irfān ada hubungannya dengan

Islam atau tidak. Sehingga, muncul misalnya filsafat Islam atau mistisisme Islam („irfān).

Bagaimanapun gagasan-gagasan tersebut tidak melazimkan bahwa apapun yang di dalamnya

terdapat pengetahuan maka hal tersebut dikhususkan kepada kaum muslim dan begitu juga

terkait dengan konsep dan maksudnya.

Jika dikatakan bahwa seluruh filsafat dan „irfān dan segala sesuatu yang ada di

dalamnya merupakan konsep dan pengetahuan, maka apakah secara otomatis menjadi Islam atau

jika mereka adalah seorang mistikus yang sempurna, apakah kemudian mereka menjadi seorang

muslim, maka dalam menjawab pertanyaan di atas sebagian pendapat mengatakan bahwa

tidak akan ada yang disebut dengan filsafat Islam dan mistis Islam. Bahkan, tidak akan ada

yang disebut dengan mistis Kristen dan juga mistis Turki dan lain sebagainya. Tidak tepat

adanya penisbatan pengetahuan filsafat dan „irfān atau mistik pada golongan tertentu, aliran

tertentu dan juga mazhab tertentu37

.

Namun demikian, yang dimaksud dengan „irfān atau mistis Islam adalah sebagian

besar urafa itu adalah orang-orang muslim atau sebagian besar konsep-konsepnya berasal dari

a l - Qur‟an dan sunnah, sehingga relasi terhadapnya adalah relasi yang benar atau

perkataannya dapat diterima. Meskipun ada sebagian konsep-konsep yang tidak sejalan dengan

37

Taqi Misbah Yazdi, al-Silsilah Abha>ts al-Falsafah al-Isla>miyah, (Qum: Muassaseh Dar Roh Haq,

1348),hal. 27.

Page 77: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

56

Islam dan tidak sejalan dengan akidah Islam dan bahkan ada sebagian mistikus dan filsuf non-

Muslim, misalnya dari kalangan Yahudi atau Nasrani.

Tidak tepat juga jika dikatakan bahwa „irfān secara keseluruhan lahir dari al Qur‟an

dan sunnah, walaupun konsep-konsep dan asumsi-asumsi yang dibangun diperoleh melalui

pertolongan wahyu dan sunnah. Tentunya, konsep-konsep „irfān dan tasawuf tersebut

dicetuskan dan diabadikan oleh para urafa dan para pemikir besar Islam. Melalui proses panjang

dan berliku, mereka berhasil menambahkan sebuah budaya ke dalam Islam baik secara

metodologis dan juga secara kriteria ilmiah meskipun budaya tersebut telah ada terlebih dahulu

sebelum datangnya Islam.

Dalam proses itulah, makna „irfān diperoleh. Makna dari „irfān secara bahasa adalah

pengetahuan dan secara istilah maknanya ma„rifātullāh yaitu mengenal Allah SWT38

. Tidak

diragukan bahwa pada periode pertama, pa ra urafa belum memiliki istilah khusus mengenai

„irfān karena mereka belum memiliki pengetahuan atas konsep dan istilah dengan cara

mendefinisikannya. Oleh karena itu peristilahan tersebut muncul pada era setelahnya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut Suhrawardi bahwasanya

perkataan-perkataan para guru sufi dalam menjelaskan rahasia-rahasia mereka mengenai

tasawuf semakin bertambah bahkan melebihi dari seribu perkataan. Mereka menyampaikan

seluruh perkataannya dalam bahasa yang sangat sulit. Namun demikian, perbedaan-perbedaan

yang ada pada mereka sesungguhnya hanya pada bahasa saja bukan pada maknanya39

.

Selain makna „irfān, istilah sufi dan „a>rif pada periode pertama juga belum

muncul dan belum digunakan. Penamaan tersebut belum digunakan pada seluruh aliran yang

38

M. Moen, Farhang Lughat Dehkhuda, (Tehran: Dar Nasyr Jameeh, 1341), hal. 340.

39Suhrawardi, Awa>rif al-Ma‟a>rif, edisi farsi diterjemahkan oleh Yahya Yatsrabi (Qom: Chop Hauzah

Ilmiyah, 1341), hal. 27.

Page 78: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

57

ada pada saat itu40

. Kata sufi digunakan untuk pertama kalinya pada periode kedua Hijriyah41

.

Sarraj al-Thusi mengisyaratkan perkataan Sufyan al-Tsauri (w. 161H) yang mengatakan

bahwa kata „arif digunakan pertama kali pada abad ke dua Hijriyah. Kemudian istilah ini

tersebar dan banyak digunakan pada abad ke tiga Hijriyah. Abu Yazd kemudian mengganti

kata sufi lalu mengatakan, kesempurnaan seorang „a>rif adalah pengorbanan dirinya kepada

Tuhan, maka seorang „a>rif adalah yang melihat Tuhan, ma„rūf dan bersama dengan orang-

orang yang „a>lim atas alam ini42

.

2. Hubungan Tasawuf dan Irfān

Secara umum, ada tiga teori yang dapat menjelaskan tentang adanya hubungan

antara Islam, tasawuf dan „irfān. Pertama, para sufi dan„a>rif yang hidup pada periode pertama.

Mereka meyakini bahwa pemikiran-pemikiran mereka sesuai dengan kemurnian Islam. „Irfān

dan tasawuf berasal dari Islam tanpa ada penyimpangan sama sekali. Mereka membebaskan diri

dari segala suluk yang bercampur dengan non-Islam.

Dalam konteks ini, mayoritas „urafa> dan sufi meyakini bahwa„irfān dan tasawuf

merupakan simbol Islam, karena sebagian besar dari hakikat-hakikat Islam dan pengetahuan-

pengetahuan Ilāhiyyah lebih banyak mengejawantahkan pada keduanya daripada pengetahuan-

pengetahuan lain. Muslim sejati adalah mereka yang meyakini keduanya. Tasawuf dan „irfān

berpegang teguh pada al-Qur‟an dan sunnah serta Sirah Nabawiyah dan sahabat-sahabat yang

agung baik itu dalam „irfān „amali maupun dalam „irfān nazari (teoritis) dan keduanya dapat

menolong kepada kehidupan manusia.

40Murtadha Muthahari, al-Ala>qah al-Mutaba>dillah baina al-Isla>m wa I>>ran, (Qom: Nasyr Islami,

1362), hal.27.

41Ibn Kholdun, Muqaddimah Ibn Kholdun, edisi farsi diterjemahkan oleh Muhammad Barwin al-Kanabadi,

(Qom: Dar al-Tarjamah wa Nasyr al-Kitab), hal.193.

42Ibn Khaldun, Muqaddima>h Ibn Khaldun, hal.194.

Page 79: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

58

Kedua, dijelaskan oleh para ahli hadis dan sebagian orientalis. Mereka meyakini

bahwa „irfān dan tasawuf berasal dari budaya asing yang masuk ke dalam Islam. Budaya-budaya

impor tersebut datang dari negara dan agama lain seperti: Yunani, Iran, India, Cina, Hindu,

Budha, Yahudi dan Kristen. Masuknya budaya asing ini terjadi dan bercampur dengan budaya

Islam setelah periode penerjemahan. Teori kedua ini terdiri dari beberapa kelompok

diantaranya: adalah sebagai berikut.

1. Kaum Hadist

Ahli hadis meyebut para sufi dan urafa berdasarkan pada riwayat-riwayat Islam

yang mereka miliki sebagai bagian dari golongan rafi>dah (kafir) dan menyatakan bahwa

jalan yang mereka tempuh tidak sesuai dengan syariat. Bahkan, sebagian riwayat merendahkan

mereka serta melaknatnya. Sementara itu, sebagian sufi berusaha keras untuk

menghubungkan keyakinannya pada periode ke-Nabian Muhammad SAW dan awal kemunculan

Islam. Menurutnya, bukti-bukti sejarah telah menunjukkan bahwa kemunculan tasawuf dan

„irfān pada dua abad setelah kemunculan Islam. Pandangan tersebut didasarkan atas konsep

harqah [simbolisasi pengetahuan melalui sebuah kain yang menunjukkan pemberian sebuah

ilmu dari seorang mursyid secara langsung] dan menisbahkannya kepada Amirul Mukminin Ali

bin Abi Thalib sebagai sumbernya. Para sufi juga berpendapat bahwa Salman al-Farsi, Abu Dzar

al-Ghifari adalah mursyid mereka.

Bagi para ahli hadist, usaha keras mereka tentu sebuah usaha yang sia-sia karena hal

tersebut hanyalah asumsi yang tidak disertai dengan bukti-bukti. Satu-satunya landasan hanya

berdasarkan pada riwayat yang dinukil oleh al-„Awa>li yang berusaha untuk membuktikan

ketersambungan tasawuf pada nasab golongan Alawiyyah. Riwayat tersebut menjelaskan

makna huruf dari kata sauf bahwa huruf shad tanda dari sidq (kejujuran) dan shifā‟

Page 80: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

59

(kejernihan), huruf wāw tanda dari wafā‟ (loyalitas) dan huruf fa‟ tanda dari al-faqr (kefaqiran)

dan fana‟. Hal senada juga disampaikan oleh Mulla Sadra dalam karyanya Kathr al-As}nām

al-Jāhiliyyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya mereka (para sufi) pada satu aspek

tertentu telah meninggalkan pengetahuan, mereka juga menciptakan syariat-syariat yang tidak

benar yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan sunnah. Sesungguhnya penyaksian mereka serta

karamah-karamah mereka dan tindakan-tindakan mereka yang dianggap sebagai tindakan

diluar kebiasaan manusia hanyalah tipu muslihat semata43

. Salah seorang yang mengeritik

dengan keras pendangan-pandangan sufi adalah murid dari Mulla Sadra yaitu Faidh Kasyani

dalam karyanya al-Insāf. Berdasarkan dengan hal ini pandangan yang menyatakan antara

kesatuan dan kesamaan„irfān dan tasawuf dengan Islam masih memiliki banyak persoalan

dan terbuka untuk dikritik44

.

2. Golongan Orientalis

Di samping datang dari kelompok internal Islam seperti disebutkan di atas, kritik juga

datang dari kaum orientalis. Mereka meyakini bahwa terdapat kemiripan antara „irfān dan

tasawuf dengan budaya-budaya sebelum Islam. Bahkan, „irfān dan tasawuf dilahirkan dari

budaya sebelumnya dan mempengaruhi keduanya.

Di antara budaya dan agama yang mempengaruhi „irfān dan tasawuf menurut para

orientalis, salah satunya adalah agama Budha. Kesamaan antara Budha dengan „irfān dan

tasawuf terletak pada kedekatan regional dan historis. Sebagian besar urafa berasal dari wilayah

timur Iran dan Khurasan di mana wilayah tersebut dekat dengan wilayah para pemeluk Budha45

.

43Sayyid Ishaq Husaini Kouhsari, al-Ta>rikh al-Falsafah al-Isla>miyah, (Tehran: Intesyarat Amir Kabir,

tt), hal. 230.

44Sayyid Ishaq Husaini Kouhsari, al-Ta>rikh al-Falsafah al- Isla>miyah, hal. 248.

45

Abdul Husain Zarrin Kub, al-Bahts al-Tasawuf fi> I>ran, (Tehran: Intesyarat Amir Kabir, 1376), hal.6.

Page 81: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

60

Bukti penting adanya pengaruh agama Budha terhadap „irfān yaitu terkait dengan sosok mitos

Ibrahim bin Adham al-Balkhi (w. 761-762H).

Dalam mitos tersebut dijelaskan, sesungguhnya Ibraham bin Adham Balkhi adalah

seorang pemimpin. Suatu hari ia keluar untuk pergi berburu, kemudian Ia mendengar perkataan

tertentu yang bunyinya; sesungguhnya kami tidak menciptakan dirimu untuk berburu rusa dan

serigala. Mendengar suara tersebut ia sangat tercengang dan merenungi perkataannya. Lalu ia

menanggalkan pakaian kemuliaannya dan memilih jalan darwis (sufi) dan berjalan menziarahi

beberapa negara. Ia berkeyakinan bahwa pengetahuan hakiki adalah alam kasyf dan syuhu>d.

Perlu diketahui bahwa hanya sekedar bersandar atas kesamaan tidak bisa menjadi sebuah

dalil dalam membuktikan asumsi tersebut. Hal ini berdasarkan pada pertama, sesungguhnya

kehadiran tasawuf berawal di Basrah dan Baghdad. Jika ada yang mengatakan

kemunculannya di timur Iran, asumsi ini tidak memiliki bukti sama sekali. Menurut Zarrin

Kub, jika tasawuf dan „irfān dengan seluruh kesempurnaannya, pendiriannya dan

pengaruhnya dinisbahkan kepada Buddha, tetap saja asumsi ini tidak mungkin diterima

karena asumsi ini tidak berdasar sama sekali46

.

Kedua, banyak bukti dan juga dalil sejarah yang menunjukkan bahwa Ibrahim bin

Adham bukanlah mitos tetapi benar-benar ada dan nyata dalam sejarah, tidak seperti yang

dijelaskan di atas yaitu keberadaan Ibrahim sebagai sosok mitos dan dimitoskan. Demikian juga,

sosok Budha pun tidak memberikan pengaruh dalam „irfān dan budaya Islam47

. Selain agama

Budha, sebagian orientalis meyakini bahwa „irfān dan tasawuf di pengaruhi oleh agama

Kristen. Alasannya karena Islam berkembang di sebagian wilayah Kristen seperti Suriah dan Irak

dan kaum muslim berhubungan dengan orang-orang Kristiani dan para pastor Kufah, Damaskus

46Abdul Husain Zarrin Kub, al-Bahts al-Tasawuf fi I>ran, hal. 42.

47

Muhammad Taqi Fa‟ali, al-Di>n wa al-Irfa>n, (Tehran: Anjumane Ma‟arif Islami Iran, 1381), hal. 44.

Page 82: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

61

dan Nejran. Agama Kristen telah tersebar sebelumnya di antara kabilah-kabilah Arab sebelum

Islam. Dengan adanya kesamaan tersebut, maka menjadi nyata bahwa ada pengaruh agama

Kristen terhadap keberadaan tasawuf dan „irfān dalam Islam. Seorang peneliti asal Inggris,

William Jones, telah menulis satu karya yang menghubungkan „irfān atau tasawuf dengan agama

Kristen, terutama Injil Matius pada Bab lima48

. Demikian juga Nicholson menyebutkan bahwa

kecendrungan pada zuhud dan hal-hal mistis merupakan pengaruh dari para pastor dan tokoh

spiritual Kristen49

.

Pandangan tersebut didasarkan pada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa ada

kaitan antara pertapaan dan khāneqāh yang mengikuti jalan para pastor. Bahkan, khāneqāh

pertama dibangun di Ramallah dan di tanah Kristen dan juga oleh salah satu pemimpin tokoh

Kristen. Selain bukti di atas terdapat bukti lain yang menunjukkan kesamaan diantaranya, seperti

kata-kata yang tersembunyi dan kaidah-kaidah rahasia, muka>syafah al-ru>haniyah,

menggugurkan taklif dan tujuh derajat maqām dalam meraih maqām ittihād dan penyatuan50

.

Sebagian kalangan berpendapat bahwasanya Islam tumbuh dan berkembang di wilayah

agama Kristen terutama pengaruh Iskandariyah dan gereja Ortodoks terhadap budaya Islam.

Namun demikian fakta tersebut tidak membuktikan adanya pengaruh langsung terhadap „irfān.

Dalam ajaran Kristen terdapat sebuah konsep kerahiban yang merupakan sesuatu yang

dimasukkan ke dalam agama. Konsep ini telah memberikan pengaruh yang sangat ekstrim

terhadap usaha suluk. Namun demikian harus dipahami bahwa konsep kerahiban ini tidak

dikhususkan pada agama tertentu. Metode ini hadir dalam seluruh agama termasuk Islam,

sebagaimana „irfān tidak dikhususkan pada mazhab dan agama tertentu tetapi konsep „irfān hadir

48Qasim Ghani, Tarikh Tasawuf Dar Islam, (Tehran: Intesyarate Zawar, 1369), hal. 54.

49

Yahya Yatsrabi, al-Irfa>n al-Naza>ri, (Qom: Intesyarate Hauzah Islami, 1374),hal.13.

50Hanna al Fakhuri (ed), Ta>rikh al-Falsafah fi al-„Alam al-Isla>mi, (Tehran: Intesyarat al „Alamiyah wa

al Tsaqafiyah, 1373), hal.253.

Page 83: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

62

dalam seluruh agama. Adapun Geiger, Kaufman, Marxy, Herzfeld dan Goldziher mengatakan

bahwa „irfān dan tasawuf dipengaruhi oleh agama Yahudi dan sesungguhnya ajaran „irfān identik

dengan ajaran Talmud Yahudi secara keseluruhan51

. Bahkan identitas tersebut pada kata-kata dan

peristilahan seperti: nasūt, rahmūt, rahbūt, jabarūt dan wahdāniyyah. Mereka berusaha untuk

membuktikan keberadaan nilai-nilai mistis dalam agama Yahudi dan kemudian dibandingkan

dengan Islam. Pada dasarnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adanya kesamaan pada

sebagian konsep-konsep tidak bisa dijadikan alasan dan dalil dalam menunjukkan adanya

pengaruh Yahudi terhadap „irfān dan tasawuf. Di samping itu, mistisisme dalam Yahudi tidak

begitu berkembang sehingga dapat mempengaruhi secara langsung terhadap bangunan „irfān.

Kitab Taurat tidak memiliki potensi dalam menciptakan pengaruh tersebut.

Sementara itu, pengaruh negara terhadap perkembangan „irfān menurut Zarrin Kubb

adalah negara Iran. Pengaruh ini berasal dari warisan Zoroaster seperti konsep perjanjian

(alastu), konsep wilayah dan lain-lainnya. Tentunya, tidak mungkin mengingkari pengaruh Iran

dan pusat pengetahuan lain seperti Jandi Syabur. Bahkan, sebagian besar para sufi dan „urafa>

berasal dari Iran. Hal ini telah dikemukan oleh Syahid Muthahhari dalam karyanya relasi timbal

balik antara Islam dan Iran yang menunjukkan adanya bukti atas asumsi tersebut. Selain Iran,

Cina merupakan salah satu negara yang juga dianggap memberi pengaruh terhadap

perkembangan „irfān. Toshihiko Izutsu dan Umar Faruq meyakini bahwa agama-agama yang ada

di Cina telah mempengaruhi tasawuf bahkan dianggap sebagai faktor utama munculnya tasawuf

misalnya: Taoisme berasal dari Lao-Tse (531-604 SM) dimana tasawuf dipengaruhi oleh

kitabnya yaitu Tao Te Ching yang terdiri dari dua pasal. Kitab ini meliputi konsep dan dasar-

dasar yang sangat mendalam mengenai rahasia-rahasia mistis.

51Abd.Rahman Badawi, Ta>rikh al-Tasawuf, hal.53-54.

Page 84: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

63

Pendapat terakhir berkenaan dengan pengaruh pemikiran luar terhadap tasawuf yaitu

adanya keyakinan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh pemikiran Yunani khususnya pengaruh

Helenistik sekitar tahun 331 SM. Setelah perluasan pengaruh Iskandariyah sampai pada wilayah

timur yang berlanjut hingga abad ke 6 M, masuklah budaya baru seputar metafisika dan

Platonisme khususnya pada aspek sihir dan ilmu gaib. Dari hal tersebut lahirlah budaya yang

disebut dengan „kearifan dan tradisi Yunani‟ dan Louis Massignon menyebutnya dengan istilah

kearifan dan tradisi Timur52

. Pengaruh tersebut diantaranya adalah seperti kitab Pseudo-

Aristotelian (utūlūjiyā), teori emanasi yang dengan ucapan terkenalnya: “Tidak ada yang keluar

dari yang satu kecuali satu”.

Teori-teori ini dapat ditemukan dalam pemikiran Suhrawardi dan Ibn „Arabi yang mana

pemikiran mereka telah dipengaruhi oleh Hermes dan Neo-Platonis. Berdasarkan pada

penjelasan tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran mistis Yunani khususnya filsafat

Plotinus memiliki pengaruh terhadap „irfān dalam Islam. Pengaruh ini terjadi khususnya setelah

periode masuknya penerjemahan teks-teks filsafat dan mistis Yunani ke dunia Islam.

3. Golongan Moderat

Disebut moderat karena dalam pemikiran-pemikirannya mereka mencoba

memposisikan „irfān dan tasawuf sebagaimana mestinya seperti: pemikiran Imam Khomeini,

Allamah Thabataba‟i dan Syahid Muthahhari yang tidak terjebak pada salah satu titik ekstrim.

Mereka meyakini bahwa „irfān yang murni adalah „irfān yang berasal dari al-Qur‟an dan sunnah

serta do‟a-do‟a seperti do‟a Kumail, do‟a Imam Husain di Arafah, Shahiifah Sajjadiyah,

Munajat Sya‟baniah dan do‟a Abi Hamzah al-Tsumali. Pandangan ini didasarkan pada asumsi

52

Abdul Husain Zarrin Kub, Justeju dar Tasawuf Iran, Vol.2, (Tehran: Intesyarat Amir Kabir, 1368), hal.

23.

Page 85: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

64

bahwa „irfān dan tasawuf membangun metode berdasarkan Islam baik secara teoritis maupun

praktis.

Kaum moderat ini beberapa di antaranya merupakan orientalis. Secara eksplisit, mereka

mengakui kesalahan pandangan yang mengatakan bahwa „irfān berasal dari pengaruh budaya

sebelum Islam, terutama setelah tahun 1920-an. Salah satu di antara orientalis tersebut adalah W.

E. Nicholson (1866-1945) yang mengatakan bahwa „irfān berasal dari budaya asing yang

kemudian masuk ke dalam pemikiran Islam. Tetapi pada tahun 1921, Nicholson merubah

pemikirannya dan mengatakan bahwa faktor yang paling inti dan mendasar dari tasawuf adalah

keberadaan Islam itu sendiri baik dilihat dari esensinya maupun akidahnya. Tentu ada faktor luar

dan salah satunya adalah kondisi politik, sosial dan pengetahuan yang masuk ke dalam dunia

Islam53

.

Pernyataan Nicholson tersebut selanjutnya diikuti oleh Louis Massignon (1883-1962)

yang mengatakan bahwa al-Qur‟an telah menanam benih realitas dan hakikat tasawuf. Benih-

benih ini selanjutnya ditebarkan oleh Islam dengan cukup memadai sehingga tidak butuh pada

budaya asing. Oleh karena itu tasawuf tidak memiliki relasi khusus dengan aliran tertentu,

golongan tertentu, bahasa tertentu dan bahkan bangsa tertentu. Tasawuf memiliki ruh tersendiri

yang tidak akan dibatasi pada batasan tertentu baik itu batasan materil maupun spiritual54

.

Bagi cendekiawan Muslim Iran seperti Murtadha Muthahhari dan Imam Khomeini

meyakini bahwa unsur-unsur „irfān sejak awal munculnya berasal dari Islam baik itu dilihat dari

aspek teorinya maupun dilihat dari aspek praktisnya. Berdasarkan unsur-unsur tersebut telah

lahir kaidah-kaidah dan aturan-aturan tertentu dan aturan-aturan ini berdampak pada alam

pemikiran lain seperti pemikiran filsafat dan teologi terutama pada pemikiran iluminasi. Namun

53Abdurahman Badawi, Ta>rikh al-Tasawuf, hal.68.

54

Ayatullah Khomeini, Mi‟ra>j al-Sa>liki>n wa al-Shala>t al-„A>rifi>n, (Tehran: Nasyr Imam Khomeini,

1378), hal.29.

Page 86: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

65

demikian, sejauh manakah ukuran kaidah-kaidah dasar dan aturan-aturan tersebut yang telah

dibangun oleh urafa berasal dari unsur-unsur Islam, apakah dalam prakteknya mereka

memproduksi sendiri sebagaimana yang dihasilkan oleh para faqih dalam menjelaskan dialektika

antara teks dan prinsip-prinsip dasar atau tidak. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini perlu

penelitian tersendiri. Namun yang pasti adalah bahwa „irfān bersumber dari Islam bukan dari

lainnya.

Demikian juga Muthahhari menegaskan bahwa kaidah „irfān berasal dari al-Qur‟an,

Nahj al-Balaghah dan kumpulan do‟a yang ada di dalam tradisi Islam. Salah satunya adalah

do‟a-do‟a yang dikumandangkan oleh para sufi dan para urafa yang sarat dengan pengetahuan-

pengetahuan „irfān seperti: do‟a Kumail, do‟a Abu Hamzah al-Tsimali, Munājat Sha„bāniyyah,

dan Sahifah Sajjadiyah. Do‟a-do‟a tersebut dipenuhi dengan konsep-konsep dan pemikiran-

pemikiran spiritual yang sangat tinggi. Bahkan meliputi kondisi-kondisi (hāl) „irfān itu sendiri.

Oleh karenanya dengan adanya sumber-sumber tersebut apakah sekiranya kita masih

membutuhkan sumber-sumber asing.

Sementara itu berkenaan dengan ahli makrifat, Imam Khomeini mengatakan: “Dari

persoalan yang seharusnya diperhatikan oleh orang-orang mukmin khususnya bagi para ahli ilmu

bahwa jika mereka menyaksikan sesuatu atau mendengar perkataan dari ahli makrifat, janganlah

kalian secara langsung menganggap mereka dengan fasad dan batil tanpa adanya dalil dari al-

Qur‟an dan sunnah atau menutup telinga mereka terhadap kaum ahli makrifat dan tidak boleh

mengecilkan mereka. Sesungguhnya saya bersumpah atas nama Allah SWT bahwa perkataan

mereka merupakan komentar atas al-Qur‟an dan hadist”55

.

Dalam kesempatan lain Imam Khomeini juga mengatakan: “Sesungguhnya apa yang

dikatakan oleh „urafā‟ dengan perkataan sebagian filsuf itu satu, maka tidak selayaknya

menjauhkan umat dari kebaikan-kebaikan seperti ini, jika Allah memberikan umur yang

55Ayatullah Khomeini, al-Ta‟li>m al-„Irfa>niyah, (Tehran: Nasyr Imam Khomeini, 1377), hal.29.

Page 87: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

66

panjang kepada kita semua, semoga perkataan kita akan diingat sebagaimana perkataan

mereka dan mendudukkan kita bersama dengan mereka. Karena itu jangan kalian katakan,

dalam persoalan ini saya menolak perkataan kalian. Jangan sekali-kali, namun seharusnya

mengulangnya dan mengulangnya kembali untuk kedua kalinya”56

.

Imam Khomeini mengirim surat kepada istri anaknya Sayid Ahmad dan mengatakan,

“Wahai anakku, jika engkau tak mampu untuk menjadi ahli atau belum sampai menjadi

ahli dalam bidang tersebut, maka jangan engkau mengingkari maqām kaum „ārif dan

maqām orang-orang saleh, karena sebagian besar perkataan mereka telah ada dalam al-

Qur‟an dan dalam do‟a-do‟a dan munajat-munajatnya”57

.

Tidak hanya Imam Khomeini dan Muthahhari yang mengatakan bahwa „irfān memiliki

fondasi yang solid di dalam Islam tetapi juga dikatakan oleh seorang ahli tafsir, „a>rif sekaligus

filosuf, Allamah Thabataba‟i. Beliau mengatakan: “Benar bahwa terdapat hakikat yang

dijelaskan dalam al-Qur‟an yang tak mungkin diingkari, diantaranya adalah masuknya manusia

ke singgasana Ilahiyah serta kedekatannya pada alam suci. Di mana dirinya akan menyaksikan

sesuatu yang tersembunyi bagi orang lain yaitu tanda-tanda Allah yang agung dan juga cahaya

jabarut yang tidak akan pernah padam”58

.

Diriwayatkan juga oleh Rasulullah SAW yang menyatakan:

“Jika kalian tidak memperbanyak perkataan dan tidak mengisi kalbu kalian dengan sesuatu

yang lain, maka niscaya kalian akan menyaksikan apa yang aku saksikan dan kalian akan

mendengarkan apa yang aku dengar. Sesungguhnya jalan seperti ini adalah jalan tanpa

melalui pikiran dan merupakan pemberian Ilahi yang dikhususkan kepada siapa yang Dia

kehendaki dari hamba-hambanya dan kesudahan yang baik adalah milik orang-orang

bertaqwa (wal„āqibatu lil muttaqīn)”.

Untuk sampai pada tingkatan tersebut menurut Allamah Thabataba‟i yaitu melalui teks-

teks lahiriyah al-Qur‟an dan sunnah serta melalui pendekatan akal dan lewat pensucian hati.

Namun demikian sebagian umat Islam ada yang hanya mengambil salah satu bagian dari ketiga

metode tersebut dan sebagian yang lain mengambil keseluruhan dari bagian tersebut. Mereka

56Ayatullah Khomeini, Tafsi>r al-Fa>tihah, (Tehran: Nasyr Imam Khomeini, 1377), hal.193.

57Ayatullah Khomeini, al-Ta‟li>m al-„Irfa>niyah,.hal.32.

58

Muhammad Husain Thabataba‟i, al-Mi>za>n fi Tafsi>r al-Qur‟a>n, Vol.5, (Qum: Muassasah al „A>lam

lil Mathbu>‟at, 1394), hal.270

Page 88: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

67

menggabungkan ketiga metode tersebut seperti sudut-sudut pada segitiga dimana jika bertambah

salah satu dari sudut segitiga tersebut maka sudut yang lain akan mengecil dan sebaliknya59

.

Pernyataan Thabataba‟i di atas diperkuat oleh Allamah Hasan Zadeh Amuli yang

mengatakan bahwa sebuah sistem tanpa „irfān seperti ruh tanpa jasad. Ilmu dan „irfān

menurutnya dapat menjadikan manusia seutuhnya karena sesungguhnya hakikat perkembangan

jiwa sejalan dengan ma‟rifatulla>h. „Irfān hakiki dapat ditelusuri di dalam wahyu dan riwayat

yang datang dari Rasulullah SAW beserta keluarga sucinya60

.

3. Landasan Teologi Tasawuf dan Irfān

Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa „irfān bersumber dari Islam itu

sendiri terutama al-Quran. Disebutkan di dalam al-Qur‟an bahwa hubungan antara Allah SWT

dan selain diri-Nya tidak seperti hubungan antara bangunan dan arsiteknya dan juga tidak seperti

hubungan antara jam tangan dengan pembuatnya dan juga tidak seperti hubungan antara sebab

dan akibat. Allah selalu hadir pada setiap saat dan setiap waktu, kapan pun dan di mana pun.

Kehadiran Allah dalam setiap ciptaan-Nya senantiasa ditegaskan dalam kitab suci-Nya al-

Quran.

Murtadha Muthahhari mengatakan: “Kita mesti meneliti dengan teliti ayat-ayat yang

berkaitan dengan liqāullah dan ridhwānullah serta ayat-ayat yang berkaitan dengan wahyu dan

ilham. Mengamati bagaimana perkataan malaikat terhadap para Nabi dan manusia lainnya

sebagaimana perkataan malaikat terhadap Maryam. Memperhatikan ayat berkenaan dengan

Mi‟raj Rasulullah dimana Mi‟raj merupakan kisah perjalanan sair dan suluk dalam mengarungi

tahapan-tahapan maqām kedekatan (al-qurb) Ilahi hingga sampai pada tahapan terakhir.

59Muhammad Husain Thabataba‟i, al-Mi>za>n fi Tafsi>r al-Qur‟a>n., hal.295.

60

Hasan Zadeh Amuli, Hezar Yek Kalimeh,Vol.2, (Qom: Intesyarate Daftar Tabligat, 1373), hal. 138.

Page 89: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

68

Begitu juga banyak hadist-hadist yang berasal dari Nabi Muhamad SAW memiliki

dimensi esoteris dan makna batin yang sangat dalam. Oleh karena itu dapat kita pahami

bahwasanya antara „irfān dan tasawuf sesungguhnya laksana syariat yang tidak terpisah dari

tareqat bahkan keduanya merupakan perkara yang satu. Jika ada seseorang yang menginginkan

untuk sampai pada ajaran-ajaran langit dan menggapainya, maka tidak ada jalan lain kecuali

mengikuti perintah-perintah para Nabi dan menjauhi larangan-larangannya serta senantiasa

mengikuti jalan mereka. Sesungguhnya Rasulullah SAW merupakan suri tauladan yang paling

baik dalam persoalan ini dan begitu juga dengan para „a>rif dan ahli hikmah. Mereka semua

adalah para pesuluk yang menuju kepada jalan Tuhan.

B. Definisi dan Metode Tasawuf akhlaqi

Alangkah baiknya sebelum kita membahas masalah tasawuf akhlaqi, selayaknya kita

harus mendefinisikan dahulu hal yang terkait dengan definisi akhlak itu sendiri. Dimana

bertujuan untuk menelusuri tentang kedudukan akhlak dalam Islam serta prinsip-prinsip akhlak

dalam Islam sehingga diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih menyeluruh dan

komprehensif tentang akhlak dalam perspektif ajaran Islam tentunya.

Akhlak merupakan kajian yang selalu menjadi topik utama agama-agama dunia serta

menjadi tujuan serta pesan utama dari setiap agama samawi, karena memang tujuan asli

diutusnya para Nabi dan Rasul selain menyeru kepada keesaan Tuhan (tauhid) ia juga memiliki

tanggung jawab untuk bagaimana menata dan membangun tatanan akhlak yang sejalan dan

selaras dengan semangat dan ruh nilai-nilai agama. Mereformasi perilaku umat dan kaum yang

dianggap telah jauh melenceng dari tatanan dan koridor Ilahiah. Islam memandang akhlak

memiliki peranan yang sangat sentral dalam diri kehidupan manusia.

Page 90: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

69

Lewat akhlak diangkatnya derajat manusia ke tempat yang mulia bahkan lebih dari itu

keutamaan akhlak terkadang pada suatu dimensi lebih tinggi derajatnya daripada ritual agama itu

sendiri. Islam sebagai sebuah agama langit terakhir sangat menekankan ajaran yang

memperhatikan akhlak atau etika, bahkan lebih dari itu nilai-nilai ritual ibadah yang sangat

dianjurkan dan diwajibkan oleh Islam ternyata tujuannya bagaimana menjadi makhluk dan

hamba yang ber-akhlak mulia dan inilah hakikat tertinggi dari diutusnya sang Rasul terakhir bagi

umat akhir zaman.

1. Kedudukan Akhlak Dalam Islam

Dalam bahasa Arab : Etika, moral sering disepadankan dengan istilah ”Akhlak”. Uraian

lebih lanjut tentang hal itu dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, „Ilm al-akhlaq, istilah ini

dalam kamus "Al-Mawrid" diterjemahkan dengan etika (ethics), moral (morals), dan filsafat

moral (moral philosophy)61

. Sementara itu dalam kamus "al-Mu'ja>m al-Wa>sith" istilah "'Ilm

al-Akhla>q" didefinisikan sebagai "'Ilmun maud~u'uhu ahka>mun qimiyyatun tata'allaqu bi al-

a'mal al-lati tus~afu bi al-khusni au al-qubhi". Ibnu Sina, misalnya, menulis sebuah buku dengan

judul “‟Ilm al-Akhlaq “ yang berisi uraian tentang etika.

Kedua, falsafat al-akhlaq, misalnya yang terdapat dalam kitab yang ditulis oleh

Manshur Ali Rajab berjudul “Taammula>t fi Falsafat al-Akhla>q”62

. Kitab yang ditulis oleh

Muhammad Yusuf Musa dengan judul “Falsafat al-Akhla>q fi al-Isla>m wa Shila>tuha> bi al-

Falsafat al-Ighriqiyah”63

. Ketiga, al-Akhlaq, misalnya dalam sebuah kitab yang ditulis oleh

61Rohi Balbaki, Al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary (Beirut: Dar al-'Ilm Lil Malayi>n, 1993),

hal. 521.

62

Manshur Ali Rajab, Taammula>t fi Falsafat al-Akhla>k (Mesir: Maktabat al-Mishri>yyah, 1961), cet.

ke-3.

63Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhla>k fi al-Isla>m wa Sila>tuha> bi al-Falsafat al-Ighriqiyah

(Kairo: Muassasa>t al-Khanji>, 1963), cet. ke-3.

Page 91: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

70

Muhammad „Abd al-Darraz dengan judul “Dustu>r al-Akhla>q fi al-Qura>n: Dira>sat

Muqa>ranat li al-Akhla>qi al-Nadza>riya>t fi al-Qura>n”64

; Kitab yang ditulis oleh Zaki

Mubarak dengan judul “al-Akhla>q „ind al-Ghazali”65

; Kitab yang ditulis oleh Ahmad Amin

dengan judul “Kita>b al-Akhla>k”66

; Kitab yang ditulis oleh As‟ad al-Sahrani dengan judul “al-

Akhla>k fi al-Isla>m wa al-Falsafah al-Qadi>mah”67

.

Melihat uraian di atas, maka ada dua istilah yang sepadan dengan etika, moral, yaitu

istilah “akhlak” dan “adab”. Secara detail dua istilah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, istilah “akhlak” merupakan kata kunci dalam membahas masalah moral ini, karena

istilah “akhlak” lebih dikenal dalam pembahasan masalah etika dalam Islam dan bentuk

mufradnya, “khuluq”, secara langsung tercantum di dalam teks al-Quran maupun hadits Nabi

Muhammad SAW. Dalam al-Quran surat al-Qalam ayat 4 terdapat kata “khuluq” yang berarti

budi pekerti. Ayat tersebut berbunyi:

خك عظ یاک ع

Artinya: "Sesungguhnya engkau (Muhammad) di atas budi pekerti yang baik" (QS. Al-

Qalam, 68: 4)

Kata “akhlak” merupakan bentuk jamak dari kata “khuluq” atau “khilq” yang berarti

perangai (al-Sajiyah), kelakuan atau watak dasar (al-T~abi>‟ah), kebiasaan (al-„A>dat),

peradaban yang baik (al-Muru>‟ah), dan agama (al-Di>n). Istilah “akhlak” sudah menjadi kosa

64Muhammad 'Abd Darraz, Dustu>r al-Akhla>q fi al-Qur‟a>n: Dira>sat Muqa>ranat li alAkhla>qi al-

Nadzariya>t fi al-Qur‟a>n (Kuwait, Dar al-Buhu>ts al-'Ilmi>yyah, 1991), cet, ke-8.

65 Zaki Mubarak, al-Akhla>q „ind al-Ghaza>li (Kairo: Dar al-Ka>tib al-'Arabi> li al-Thiba>'at wa al-

Nasyr, t.t).

66Ahmad Amin, Kita>b al-Akhla>q (Kairo: Mathba'at Dar al-Kutub al-Mishri>yyat, 1929), cet, ke-3.

67

As'ad al-Sahmaraniy, al-Akhla>q fi al-Isla>m wa al-Falsafah al-Qadi>mah (Bairut: Dar al-Nafa>is,

1993), cet, ke-3.

Page 92: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

71

kata bahasa Indonesia, yaitu akhlak. Kata “akhlak” dalam bahasa Indonesia berarti budi pekerti

atau kelakuan68

.

Muhammad Quraish Shihab membedakan antara istilah akhlak dan etika ;

Beliau menyatakan sebagai berikut; “Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan

dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya

berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah

dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat

lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniyah

(agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah SWT hingga

kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak

bernyawa”69

.

Pandangan Quraish Shihab di atas yang membedakan antara akhlak dalam ajaran agama

dengan etika dapat dipahami sepanjang perbedaan antara akhlak dan etika itu secara umum,

tetapi persoalannya ketika etika itu kemudian juga ditarik dari ajaran agama tertentu seperti

agama Islam misalnya, yang kemudian menimbulkan etika dalam perspektif agama tertentu

misalnya: etika dalam Islam, maka perbedaan itu tidak perlu lagi dipersoalkan. Jadi yang

membedakan bukan antara kata akhlak dengan etika saja tetapi yang membedakan adalah karena

akhlak yang dikemukakan oleh Quraish Shihab di atas berdasarkan pada ajaran agama.

Kedua, istilah “adab” yang berarti kebiasaan atau adat, sebagaimana kata Toha Husain,

bahwa kata adab berasal dari kata “al-adabu” yang berarti “al-„adab”70

. Selain itu, beberapa

kamus memberikan arti kata adab dengan kesopanan, pendidikan, pesta dan akhlak71

. Dengan

68Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. ke-3,

1994), hal. 980.

69Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat

(Bandung: Mizan, 1996), hal. 261.

70Muhammad 'Abid al-Jabiri, al-Aqlu al-Akhla>qi al-Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-

Qiyam fi al-Tsaqafah al-'Arabiyyah (Maroko: Markaz Dira>sat al-Wih~dah al-'Arabi>yyah, 2001), cet, ke-1, hal.

42.

71A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), hal. 13-14.

Page 93: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

72

demikian, kata adab juga dapat berarti etika. Ensiklopedi Islam yang ditulis oleh Cyril Glasse

juga memberikan arti adab dengan kesopanan, sopan-santun, tata krama, moral dan sastra72

.

Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern memberikan arti adab yang disejajarkan

dengan istilah etika. Dalam Ensiklopedi itu ditulis adab adalah refleksi tentang ideal-ideal mulia

yang harus menginformasikan praktik keahlian sebagai: negarawan, dokter, usahawan dan

kegiatan penting lainnya kepada masyarakat73

. Dengan penjelasan ini tampaknya kata adab lebih

dekat dengan arti etika khusus atau etika terapan. Hal ini dapat diperkuat dengan melihat

beberapa buku yang ditulis oleh beberapa ahli misalnya, buku yang ditulis oleh al-Ruhawi yang

berjudul “Ada>b al-T~abi>b”, buku yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy‟ari yang bernama

“Ada>b al-Ta‟li>m wa al-Muta‟alli>m” dan sebagainya.

Kata adab sudah sejak lama diadopsi kedalam bahasa Indonesia. Kata adab dalam

bahasa Indonesia juga mempunyai arti: kesopanan, kehalusan, kebaikan budi pekerti dan akhlak.

Dengan demikian, maka kata adab dapat diterjemahkan dengan istilah etika namun

kecenderungannya lebih mengarah pada etika terapan.

2. Prinsip Dasar Akhlak Dalam Islam

Hamzah Ya'qub menulis lima karakteristik akhlak (etika) Islam yang menurutnya dapat

membedakannya dengan etika yang lain74

. Lima karakteristik akhlak Islam yang dimaksud

adalah: Pertama, akhlak (etika) Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku

yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk. Kedua, akhlak (etika) Islam

menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan

72Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 11.

73

John L.Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 2, cet. ke 2 (Bandung: Mizan, 2002),

hal. 24.

74Hamzah Ya'qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung: Penerbit

Diponegoro, 1983), hal. 14.

Page 94: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

73

kepada ajaran Allah SWT, yaitu ajaran yang berasal dari al-Quran dan hadis. Ketiga, akhlak

(etika) Islam bersifat universal dan komprehensif serta dapat diterima oleh seluruh umat manusia

di segala waktu dan tempat. Keempat, ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan

fithrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan

pedoman oleh seluruh manusia. Kelima, akhlak (etika) Islam mengatur dan mengarahkan fithrah

manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran

sinar petunjuk Allah SWT. menuju keridlaan-Nya. Dengan melaksanakan etika Islam niscaya

manusia akan selamat dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan

menyesatkan.

Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang konsentrasinya lebih menitik beratkan pada sikap

dan perilaku serta budi pekerti ajaran tasawuf itu sendiri. Tasawuf ini banyak dikembangkan oleh

ulama-ulama salaf melalui metode-metode tertentu yang telah digariskan. Tasawuf bentuk ini

berupaya untuk lebih memfokuskan kepada sebuah aturan akhlak dan etika yang berakhlak mulia

serta menjauhi dan menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela di dalam diri para sufi atau

dengan kata lain tasawuf akhlaqi adalah sebuah konsep ajaran sufisme yang berwawasan moral

praktis dengan berdasarkan pada al-Qur‟an dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang dijalankan

dengan penuh konsisten seraya memperhatikan batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan yang

mengikutinya75

.

Sementara itu pandangan yang lain mengatakan, tasawuf akhlaqi merupakan prosesi

ritual yang berkaitan dengan suluk, perbuatan dan mujahadah. Tasawuf akhlaqi berupaya untuk

mendeskripsikan maqam-maqam ahli makrifat dan derajat-derajat para pesuluk dalam upayanya

75Alwi Shihab, Islam Sufistik : Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung :

Mizan, 2001), hal.32.

Page 95: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

74

menuju kedekatan dengan sang Kho>liq dengan menitik beratkan pada perilaku dan akhlak

mulia yang dilakukan melalui muja>hadah dan ta~sfiyah (pensucian).

Perkembangan tasawuf akhlaqi diawali dengan gerakan zuhud. Gerakan zuhud mulai

hadir pada abad pertama dan kedua Hijrah dimana lahirnya ajaran tersebut dikarenakan adanya

beberapa faktor diantaranya :

1. Merupakan salah satu ajaran Islam yang pada saat itu mulai ditinggalkan umatnya.

2. Sebagai revolusi spiritual kaum muslimin didalam melawan hegemoni nafsu duniawi.

3. Adanya konsep kependetaan Nasrani yang kemudian dipraktikan oleh orang-orang

terdahulu dari kalangan Arab.

4. Revolusi melawan fiqh dan kalam (teologi) karena tidak ditemukan dalam pandangan

ulama fiqh dan kalam sesuatu yang memuaskan terkait dengan spiritual keagamaan.

Adapun madrasah zuhud pada abad pertama dan kedua diantaranya adalah76

:

1. Madrasah Madinah melahirkan banyak zuhud yang berpegang teguh dengan al-

Qur‟an dan sunnah diantaranya Abu Ubaydah ibn al Jarrah (w.18 H), Abu Dzar al-

Giffari (w.22 H), Salman al Farisi (w.32 H), Abdullah Ibn Mas‟ud (w.33 H),

Hudzaifah ibn al-Yaman (w.36 H).

2. Madrasah Bashrah yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Hasan Bashri (w.110 H),

Malik ibn Dinar (w.131 H), Rubah ibn „Amru al-Qaysi (w.190 H).

3. Madrasah Kufah yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Rabi‟ ibn Khutsyn (w.67 H),

Sa‟ad bin Jabir (w. 95 H), Sufyan al-Tsauri (w.161 H).

76Abu al Wafa at Taftazani, Madkha>l ila> al-Tashawuf al-Isla>mi, (Kairo : Dar al-Tsaqa>fah li Nasyr wa

al- Tawzi, 1987), hal.70-84.

Page 96: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

75

4. Madrasah Mesir yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Salim ibn „Aqar al-Tajibi (w.75

H) Abdullah ibn Umar (w.117 H) Abu Abdullah ibn Wahab ibn Muslim al- Mishri

(w.197 H).

5. Madrasah Khurasan yang melahirkan tokoh-tokoh seperti Ibrahim bin Adham (w.161

H) dan al Fufayl bin Iyadh (w. 187 H).

Pada dasarnya penyusunan kitab yang berkaitan tentang suluk dan maqa>m yang harus

dilalui oleh pesuluk dimulai pada akhir abad ke 2 Hijriah, dimana Risa>lat Adab al-Iba>dat

karya Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H) menjadi buku suluk pertama. Al-Balkhi menguraikan urutan

tingkatan spiritual yang harus dilaui oleh pesuluk secara bertahap, artinya pesuluk tidak

diperbolehkan melangkah pada tingkatan yang tinggi kecuali setelah dia menyempurnakan

tingkatan sebelumnya. Seorang pengamat tasawuf Muhsin Bidar Far mengatakan dalam buku

Risala>t Adab al-Iba>dat karya Syaqiq al-Balkhi dijelaskan terkait dengan pembagian manzi>l

al-shidqi> (tingkatan kebenaran) dimana dalam tingkatan-tingkatan tersebut seorang pesuluk

yang berada pada tingkatan kebenaran harus melalui empat tahapan agar dia sampai kepada

hakikat kebanaran yang mutlak diantaranya adalah dimulai dari zuhud kemudian khauf (rasa

takut) lalu syau>q ila> al-janna>t (kerinduan pada surga) dan yang terakhir adalah al-

Mahabbah lilla>h (kecintaan kepada Allah)77

.

Namun pada dasarnya kitab tersebut memiliki pembahasan yang sama dengan kitab

Misba<h al-syari‟a>h yang dinisbahkan oleh Ja‟far Shadiq (w.148 H) yang menjelaskan tentang

apa dan bagaimana jalan yang harus ditempuhnya. Setelah itu penulisan buku tasawuf akhlaqi

berlanjut kepada Hakim Tirmidzi (w. 318 H) yang menulis kitab dengan judul Mana>zil al-

77Muhsin Bidar Far, “Muqaddimah” dalam Syarh Mana>zil al-Sa>‟iri>n, (Kamal al-Din Abd ar Razzaq

a-l Qasani), (Qum : Mansyurat Bidar, 1427 H), hal. 9.

Page 97: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

76

Iba>d wa al-Iba>dah dan al-Nifar>i serta kitab yang berjudul al-Mawa>qif al-Mukhattaba>t78

.

Kemudian dilanjutkan kembali oleh Abu Nashr Abdullah ibn Ali al-Siraj al-Thusi (w. 386 H)

dalam karya tasawufnya yang berjudul al-Luma>‟ fi Tar>ikh al-Tasawuf al Isl>ami. Di dalam

kitabnya tersebut terdapat pembahasan khusus tentang maqa>m-maqa>m spiritual para sufi

yang membahas tentang al-ahwa>l wa al-maqa>ma>t79

. Ada pula Abu Thalib al Makki (w. 385

H) yang menulis karya yang berorientasi pada tasawuf akhlaqi yang berjudul Qu>t al-Qulu>b fi

Mu‟a>malat al-Mahbu>b. Dalam bukunya tersebut al-Makki menjelaskan tentang maqa>m jiwa

dan tingkatan spritual80

. Masih dalam pembahasan tentang Tasawuf akhlaqi seorang ahli sufi

yang bernama Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi (w. 380 H) menulis kitab al-Ta‟arru>f li

Mazha>b ahl al-Tasawuf81

. Kemudian dilanjutkan oleh Abdullah ibn Muhammad al Anshori al

Harawi (w.481 H) yang meneruskan tradisi penulisan karya tasawuf akhlaqi. Beliau menulis

kitab Mana>zil al-Sa>‟iri>n di tahun 475 H. Selain itu juga beliau menulis kitab sufi dalam

bahasa Farsi yang berjudul Sad Meydan82

(Seratus Maqa>m) pada tahun 448 H. Pada dasarnya

kitab Mana>zil dan Sad Meydan membahas teentang 100 maqa>m spiritual yang kemudian

dikelompokan menjadi 10 bagian.

Aliran tasawuf akhlaqi atau yang kemudian dikenal dengan tasawuf Sunni yang ditandai

lewat ajaran dari penganutnya yang selalu memagari tasawuf mereka dengan al-Qur‟an dan

sunnah serta mengaitkan keadaan dan tingkatan ruhaninya dengan kedua dasar agama itu dan

didukung oleh penganut aliran ahlu al-sunnah wa al-jama>‟ah. Tasawuf ini berbeda dengan

78Muhsin Bidar Far, “Muqaddimah” dalam Syarh Mana>zil al-Sa>‟iri>n, hal.10-12

79Abu Nashr Abdullah ibn Ali al-Siraj al-Thusi, al-Luma> fi Ta>rikh al-Tasawuf al-Isla>mi, (Kairo : al

Maktabah al-Tawfiqi>yah, tt), hal.45-75.

80Abu Thalib al-Makki, Qu>t al-Qulu>b fi Mu‟a>malat al-Mahbu>b, ( Kairo : al-Maktabah al-

Tawfiqi>yah, tt).

81Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, al-Ta‟a>ruf li Mazhab ahl al-Tasawuf, (Kairo : al-Maktabah al

Tsaqa>fah al –Dini>yah, 2004), hal.76-161. 82

A.G. Ravin Farhadi. The Hundred Ground‟s of Abdullah Ansari of Heart (dalam The Heritage of Sufism,

(Oxford : Oneworld Publications, 1990), hal.381-400.

Page 98: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

77

tasawuf semi filosofis di mana para pengikut dan penganut semi filosofis ini cenderung pada

ungkapan-ungkapan ganjil (syathaha t) serta mereka menolak dari konsep al-fana ‟ menuju

penyatuan (al-h~ulu l).

Pada abad kelima Hijriah aliran tasawuf akhlaqi atau tasawuf Sunni mulai berkembang

sedangkan tasawuf falsafi mulai berkurang. Berkembangnya tasawuf Sunni ini berkat dukungan

dari penganut aliran teologi ahlu al-sunnah wa al-jama>‟ah. Pada periode ini baru dikenal istilah

maqa ma t atau mana zil.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf

yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang dirumuskan pada pengaturan

sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat yang bertujuan untuk mencapai

kebahagian yang optimal, di mana manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi

dirinya dengan ciri-ciri dan sifat Ilahiyah melalui pensucian jiwa raga yang bermula dari

pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia yang kemudian dalam

tasawuf akhlaqi dikenal dengan metode: takha>lli, taha>lli dan tajalli.

C. Definisi dan Metode Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan dan paduan antara

teori-teori tasawuf itu sendiri dan juga filsafat. Model tasawuf falsafi ini banyak di praktikan dan

dikembangkan oleh para sufi yang filosof83

atau bisa dikatakan sebagai aliran yang

menggabungkan tasawuf dengan aliran mistik dari lingkungan diluar Islam. Faktor-faktor yang

83Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk menggapai kesucian batin dalam perjalanan

spritualnya menuju kedekatan dengan sang Kha>liq yang kemudian menjadi daya pikat bagi pemikir dan

cendekiawan muslim dizamannya yang notabene memiliki latar belakang sebagai mutakallim dan filosof. Dari

kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau sebaliknya filosof yang sufis, dimana konsep-konsep

tasawuf mereka dikenal dengan tasawuf falsafi. Lihat. M. Jamil, Cakrawala Tasawuf : Sejarah Pemikiran dan

Kontekstualitas, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2004), hal.30.

Page 99: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

78

menyebabkan kecenderungan filosofis ini antara lain: Terciptanya peluang kontak dan interaksi

dengan aliran-aliran mistisime kawasan lain. Akibatnya berkembanglah konsepsi-konsepsi dalam

tasawuf yang mengangkat tema-tema seperti fana‟-al itt~ihad, al-h~ulul dan wah`dat al-wuju>d

yang dalam tradisi tasawuf akhlaqi sumber-sumber konsepsi tasawuf falsafi tersebut agak sulit

menemukannya dalam inti ajaran Islam.

Meskipun tasawuf dalam perkembangannya terpengaruh oleh filsafat dan menciptakan

istilah-istilah serta diwarnai dengan konsepsi-konsepsi filosofis itu sendiri yang kemudian

menjadikannya sebagai ciri dan karakteristiknya, namun sebagaimana yang di yakini oleh Abu

al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, bahwasanya tasawuf jenis ini merupakan bukan sebuah konsep

tasawuf yang murni, karena disatu sisi konsep-konsep filosofis begitu terkait erat dengan model

tasawuf ini di mana selalu menggunakan makna dan simbol-simbol filsafat yang memiliki

kecenderungan serta berorientasi pada ajaran panteisme (kesatuan wujud Tuhan dengan alam

atau anggapan bahwa semua itu adalah Tuhan, di mana Ia telah bersatu dengan alam. Namun

disisi lain model tasawuf falsafi ini tidaklah sepenuhnya dikatakan terpengaruh konsepsi

filosofis, disadari bahwasanya konsep tasawuf falsafi ini juga didasarkan pada rasa atau dzauq

sebagaimana yang di gunakan dalam sebagian tradisi filsafat akhlaqi Islam84

.

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Hamka, menurutnya jenis tasawuf falsafi ini tidak

sepenuhnya dikatakan sebagai tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai

filsafat85

. Disamping itu, tasawuf falsafi secara umum mengandung kesamaran-kesamaran

dikarenakan banyaknya istilah-istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang

memahami aliran tasawuf ini. Hal ini tentunya berbeda dengan tasawuf akhlaqi yang lebih

cenderung mendasarkan ajaran-ajarannya kepada al-Qur‟an dan sunnah di mana lebih

84Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilā al-Tas}awwuf al-Isla mi, hal. 175.

85

Hamka, Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1986), hal.76.

Page 100: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

79

menekankan pada dimensi akhlak yang terkait dengan hubungan antara Tuhan dengan makhluk-

Nya, kemudian makhluk dengan makhluk lainnya. Menjaga keseimbangan antara implementasi

nilai-nilai syariat dalam upayanya menggapai hakikat serta lebih berkonsentrasi pada

pembentukan akhlak yang mulia melalui metode: takha>lli, taha>lli dan tajalli. Jika dalam

tasawuf akhlaqi bahwasanya konsep ma‟rifah merupakan maqam tertinggi yang dapat dicapai

oleh sang sa>lik dimana dalam fase tersebut ia dapat mengenal Tuhan melaui media kalbu

sanubari, namun dalam tasawuf falsafi lebih dari itu, dalam tasawuf ini sang sa>lik bahkan bisa

menaiki ke maqa>m yang lebih tinggi dari konsep ma‟rifah tasawuf akhlaqi, yaitu menyatunya

antara salik dengan Kho>liq dengan konsep dan istilah yang berbeda-beda seperti: itt~ihad,

hulul> dan wah~dat~ al-wuju>d.86

Masih menurut Abu al-Wafa al-Ghanimi yang kemudian menyebutkan adanya periode

tasawuf falsafi dalam Islam yang mana di antara tokohnya adalah Ibn Arabi. Tasawuf falsafi

adalah tasawuf Islam yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dengan visi rasional

penggagasnya. Abu al-Wafa al-Ghanimi juga menilai bahwasanya, tasawuf falsafi mulai muncul

dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad VI Hijriyah. Meskipun para tokohya baru dikenal

setelah seabad kemudian. Namun sejak itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang

terutama di kalangan para sufi yang juga seorang filosof. Dalam catatan para ahli, tokoh tasawuf

falsafi yang terkenal dalam Islam adalah Ibn Arabi dengan pemahaman tasawufnya, wah dat al-

wuju d.

Ibn Arabi adalah salah satu figur sekaligus tokoh tasawuf falsafi yang masyhur dan

berpengaruh sampai ke Nusantara. Ibn Arabi (w. 1240 M) menegakkan pahamnya berdasarkan

renungan, metode falsafi dan rasa tasawuf yang dalam. Karyanya yang berjudul Futuha t al-

Makkiyat dan Fushu sh al-Hika m sukar untuk dipahami oleh orang-orang yang terbilang awam

86M. Jamil, Cakrawala Tasawuf : Sejarah Pemikiran dan Kontekstualitas, hal.44.

Page 101: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

80

karena dia berjalan agak rumit serta memilih kata-kata yang membuat orang terhanyut dalam

keasyikan denganya.

Tasawuf Ibn Arabi tentang Wah dat al-Wuju d itu menghendaki pemahaman yang

sungguh-sungguh. Jika tidak maka akan menimbulkan permasalahan teologi bahkan

mengundang antara pro dan kontra. Tasawuf Ibn Arabi dalam konteks dinamika pemikiran

tasawuf dan sufisme intelektual di Nusantara mendapat sambutan oleh Hamzah Fansuri dan

Syamsuddin Sumatrani87

. Paham kedua tokoh ini, sebagaimana disebut Nur al-Din al-Raniri,

Wah dat al-Wuju d Mulhi>d atau lebih dikenal dengan sebutan Wuju diyyah. Paham Wuju diyyah

ini dipermasalahkan di kalangan para tokoh tasawuf akhlaqi di Timur Tengah dan bahkan

Nusantara.

D. Metode Tasawuf akhlaqi al-Ghazali

Berbicara mengenai ulama yang paripurna ini membangkitkan kembali kepada kita

sejarah kejayaan intelektual Islam masa lampau. Figur yang sangat kharismatik, unik dan

moderat ini gagasan dan ide-ide intelektualnya telah menjadi rujukan ilmiah ke-Islaman yang

tidak hanya digandrungi di dunia Islam semata bahkan diterima pula di dunia Barat. Ia

merupakan simbol rohaniwan muslim yang senantiasa memberikan sumbangan pemikiran

terhadap segala persoalan umat. Sementara disisi lain tidak sedikit pula yang menghardik dan

mencaci-makinya, dianggapnya sebagai biang kerok kemerosotan Islam dan pemikirannya oleh

sebagian kalangan muslim sendiri justru dianggap menjadi sumber dari stagnasi dan kejumudan

berpikir umat akhir zaman, bahkan sebagian lagi berpendapat bahwa al-Ghazali tidak lain

hanyalah sebagai seorang ulama yang tidak pernah konsisten dalam pemikirannya di mana

87

Untuk lebih jelas hubungan tasawufnya dengan tasawuf Ibn Arabi, lihat. Abd Aziz Dahlan, Penelitian

Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wjud) Tuhan, Alam, Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin

Sumatrani, (Padang :IAIN Imam Bonjol Pres, 1999).

Page 102: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

81

terbawa oleh arus kekuasaan dan kepentingan. Wajar memang tokoh utama tidak mesti memiliki

satu kepribadian dan beliau lahir dari kondisi zaman dan umat yang sedang gila-gilanya

mengkaji dan menelaah ilmu-ilmu ke-Islaman, di tangannyalah terjadi proses turbulensi

pemikiran umat yang begitu cepat.

Tiada yang membantah kebesaran Abu Hamid al-Ghazali. Karya magnum opusnya di

bidang tasawuf, Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n mendapatkan sambutan hangat dan antusiasme dari

publik Islam sejak dulu hingga sekarang. Di tengah adanya kecenderungan menjauhkan tasawuf

dari ajaran Islam, Imam al-Ghazali menghidangkan tasawuf yang bertumpu pada al-Qur‟an dan

hadist. Kitab Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n rimbun dengan rujukan dan kutipan dalil-dalil normatif

Islam. Proses tahapan spiritual seperti: zuhud, ridha, tawakkal dan lain-lain diberinya pendasaran

Qur‟ani dan hadist. Dari sini tidaklah keliru sekiranya dikatakan bahwa corak tasawuf al-Ghazali

kecenderungannya khuluqi-„amali dan bukan falsafi. Dengan corak tasawuf ini, al-Ghazali

diresepsi umat Islam secara luas hingga datang Ibn Rusyd yang mengajukan sejumlah keberatan

terhadap al-Ghazali. Namun kritik orang-orang seperti Ibn Rusyd itu tak menggoyahkan

kedudukan al-Ghazali di mata umat Islam. Argumen-argumen yang disuguhkan al-Ghazali

dalam Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n terlalu kuat untuk dipatahkan. Kini di tengah dunia kontemporer

Islam yang disesaki dengan corak dan ekspresi ke-Islaman yang keras dan tandus, pikiran-

pikiran sufistik al-Ghazali seperti menemukan relevansi dan signifikansinya untuk hadir kembali,

di mana beliau menyuguhkan konsep mahabbah (cinta), tauhid (monoteisme), khauf (takut) dan

ma‟rifah (pengetahuan) dalam inti ajaran agama Islam.

Page 103: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

82

Kitab Kimiya>‟al-Sa‟a>dah al-Ghazali merupakan intisari dan ringkasan dari kitab

Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n. Maka dari itu ada baiknya penulis paparkan sekilas terkait dengan kitab

Ihya>‟ tersebut. Sepintas mungkin agak aneh terniang di telinga kita bahwa kitab yang dipahami

oleh umat penganutnya sebagai pegangan untuk masyarakat sufi ini diberi judul Ihya>‟ „Ulu>m

al-Di>n yang artinya penghidup ilmu-ilmu agama. Bukankah dalam pandangan sufi yang paling

diutamakan adalah amaliah nyata dalam kesucian batin yang damai dan penuh keikhlasan.

Sementara ilmu adalah aktivitas akal dan budidaya logika yang seringkali justru melahirkan

sikap congkak dan kecenderungan “berkilah”, jika itu menjadi tanda tanya bagi keanehan yang

pertama maka keanehan berikutnya adalah buku tersebut banyak dituding sebagai yang paling

bertanggung jawab atas tragedi kemunduran dunia intelektual dan pemikiran Islam dengan akibat

yang sangat jauh yang hingga sampai sekarang masih banyak diratapi umat ini88

.

Dari berbagai kajian atas tangga-tangga kehidupan yang dititi al-Ghazali (450-505 H)

nampak bahwa karya Ihya>‟ ini hampir sepenuhnya dapat dikatakan sebagai rekaman lengkap

hasil pengalaman dan perantauan intelektual dalam usahanya mencari apa yang dipahaminya

sebagai hakikat kebenaran. Di masa al-Ghazali prestasi dalam ilmu filsafat dianggap setara

dengan prestasi ke-Nabian (nubu>wah). Bedanya, prestasi filsafat lebih merupakan konsumsi

untuk kalangan elit sedang prestasi para Nabi merupakan konsumsi kalangan awam yang

berpikir sederhana. Namun ternyata bagi al-Ghazali filsafat bukan saja tidak lebih istimewa

dibanding dengan kajian ke-Islaman yang lainnya, justru filsafat dianggapnya telah

menimbulkan guncangan yang begitu hebat atas kejiwaannya. Dalam ukuran tertentu beliau

konon benar-benar telah menjadi “gila”dan hampir saja berhenti dari perantauannya89

. Tetapi

88Fazlurahman, Membuka Pintu Ijtihad (terj), (Bandung : Pustaka, 1984), hal.182-212.

89Seyed Amir Ali, Api Islam (terj), (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hal. 691.

Page 104: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

83

dengan bimbingan Tuhan ia dapat menemukan kembali energi spritualitas dan totalitas ruhaninya

yang mengantarkannya kepada beningnya dunia sufisme90

.

Kitab Ihya>‟ yang tersusun atas empat jilid besar ini mengkaji secara komprehensip

tentang empat bidang kehidupan manusia dalam upayanya mencari kebenaran sejati. Diantaranya

adalah: Ubu>diyat (Jalan komunikasi spritual antara Tuhan dengan hamba-Nya) Mua>malat (

Jalan komunikasi dan inter-relasi antar sesama makhluk Tuhan), Muhlika>t ( Jalan yang

membawa petaka bagi makhluk Tuhan.), Munjiya>t (Jalan yang membawa keselamatan bagi

makhluk Tuhan). Masing-masing bidang ini dirinci dalam sepuluh sub bab disertai dengan

penjelasn panjang dari masing-masing pembahasannya. Sesuai dengan namanya karya al-Ghazali

yang sekilas nampak mirip dengan ensiklopedia ini diawali dengan kajian yang sangat intuitif

tentang berbagai persepsi dasar yang menyangkut dunia keilmuan. Memperoleh inspirasi dari

doa yang selalu diulang-ulang oleh Nabi Muhammad SAW: “Wahai Tuhan, hamba berlindung

kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat”.

Al-Ghazali menolak anggapan bahwa ilmu itu netral dan bebas nilai. Setelah

menjelaskan tentang hakikat ilmu dan hal-hal yang terkait, al-Ghazali kemudian berangkat pada

suatu uraian lain yang hampir tak ada celah untuk dibantah tentang ilmu yang seperti apa yang

wajib, yang perlu (sunah) dan yang boleh (jaiz) disamping ilmu-ilmu yang sebaiknya

ditinggalkan kecuali bagi orang-orang tertentu saja, sebagaimana ilmu ada yang baik dan buruk

dan dengan analogi ini ada juga pemilik ilmu (ulama) yang baik dan buruk. Menariknya untuk

mengimbangi terminologi ulama su‟ (ulama buruk) al-Ghazali tidak memakai istilah ulama

khair atau ulama shahih melainkan digunakannya istilah ulama akhirat. Artinya apa, bahwa yang

dipahami al-Ghazali tentang ulama buruk tidak lain adalah ulama yang pijakan keilmuannya

90

Al-Ghazali, Munqi>z al-Dha>lal, (Kairo: Dar Al Nashr, 1972), hal. 50.

Page 105: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

84

terletak pada suatu kepentingan yang dianggap berseberangan dengan nilai-nilai ukhrawi atau

dengan kata lain ulama yang di sebut buruk adalah ulama duniawi dan sebaliknya ulama yang

baik adalah ulama akhirat91

.

Namun apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ilmu yang baik tersebut dan ulama

yang memiliki ilmu itu dikategorikan sebagai ulama akhirat. Dalam uraiannya tentang macam-

macam ilmu yang terkesan agak “jlimet” tersebut al-Ghazali telah membuat pemisahan teoritis

antara ilmu yang bersumber pada dalil naqli dengan ilmu yang lahir dan bersumber dari

argumentasi logis dan hukum tatanan alam. Walaupun secara samar al-Ghazali telah menegaskan

perihal tentang keunggulan ilmu jenis pertama atas jenis yang kedua tersebut, akan tetapi faktor

penentu yang membuat suatu ilmu unggul atas yang lain justru terletak pada keputusan moral

yang diambil oleh sang penuntut ilmu itu sendiri di dalam menjawab pertanyaan untuk apa ilmu

itu dicari. Ilmu dengan nilai relatif ini adalah ilmu yang dari sudut objek kajiannya terbatas dan

merasa telah cukup hanya pada ranah fenomena lahiriah (eksoteris) sedang dari sudut instrumen

penyerapannya masih terikat oleh daya penalaran yang ditopang oleh bantuan inderawi dan yang

termasuk dalam kategori ilmu disini adalah suatu jenis cabang ilmu yang kita kenal sekarang

dengan ilmu-ilmu umum92

.

Maka dari itu al-Ghazali dengan jalan sufisme tersebut menawarkan sebuah pendekatan

syariat yang tidak semata-mata bersifat formal. Apabila kita perhatikan bahwasanya di hampir

semua bagian dalam Ihya>‟Ulu>m al-Di>n jilid pertama dan setengah bagian dari jilid yang

kedua membahas tentang masalah fiqihyah mulai dari soal wudhu, sholat, puasa sampai haji.

Namun tidak seperti lazimnya pendekatan fiqh yang kecenderungannya legal-formal dan

91

Al-Ghazali, Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n, (Kairo: Dar al-Hadist, 1992), hal. 72. 92

Pada masa itu ilmu agama seperti : Fiqh, Kalam dan Filsafat serta cabang-cabangnya bisa dikatakan

masih pada masa puncak perkembangannya ketimbang ilmu-ilmu umum. Lihat. G.Makdisi. “The Sunny Revival”

dalam Richard (ed) “Islamic Civilization” , (Birmingham : Oxford Press,1973), hal.158.

Page 106: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

85

berkutat pada hal yang: wajib, sah, batal dan terlarang tetapi lebih dari itu al-Ghazali membahas

topik-topik tersebut dengan sentuhan spritualitas dan semangat ruhani sebagai esensi dan ruh dari

perbuatan tersebut. Sebagai contoh, wudhu misalnya yaitu perbuatan untuk menunaikan ibadah

ritual sholat. Menurut al-Ghazali proses berwudhu seseorang yang terdiri dari usapan dan

basuhan air ke anggota tubuh tertentu, mestilah dipandang sebagai simbol hakiki atas proses

pensucian diri dari noda-noda batin akibat ulah anggota tubuh yang zahir secara keseluruhan.

Demikian juga sholat janganlah dianggap semata-mata sebagai ritual gerak-gerik akrobatik yang

harus ditunaikan secara pas dan berurutan, melainkan lebih dari itu sholat adalah sebagai media

dan jalan komunikasi spiritual antara hamba dan Tuhannya. Menurut al-Ghazali, sejauh mana

seorang ulama memiliki ilmu yang dihiasi dengan kesadaran spiritual dapat dinilai dengan

seberapa dekat atau pada tingkat kedekatan yang bagaimana sang ulama tersebut dengan sang

Kho>liq serta tekadnya untuk mengambil jarak terhadap gemerlap keduniaaan di lain pihak.

Bagi al-Ghazali semangat sufistik merupakan upaya revolusioner dalam pendalaman

agama, baik dalam hal pemahaman, penghayatan dan pengamalannya. Pada dasarnya agama

hadir sebagai jawaban atas panggilan manusia yang bersifat dalam atau ruhani. Dari sudut

pemikiran ini maka semangat sufistik sesuatu yang bersifat deeply dari setiap sistem keagamaan.

Agama tanpa adanya semangat dimensi sufistik akan menjadi absurd dan gersang dan bisa

menjadi tidak menarik bagi agama itu sendiri terhadap kalangan yang masih memiliki kesadaran

ruhani. Namun meskipun demikian semangat sufistik sebagai harkat pendalaman agama dan

capaian-capaian keruhaniannya yang setinggi apa pun tidak boleh tumbuh dan berkembang

secara liar yang kemudian merusak tatanan syariat. Seperti tingginya eksistensi spiritual seorang

manusia tidak membuat dia mencabik-cabik serta memusnahkan raganya, melainkan menurut al-

Page 107: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

86

Ghazali bahwasanya sufisme harus menitik beratkan pada kesucian jiwa-ruhani dan keluhuran

budi sebagai perwujudan paling otentik dari nilai keberagamaan seseorang.

Imam al-Ghazali memang bukanlah dikenal sebagai sufi pada awalnya. Ia juga bukan

perintis dan peletak dasar ilmu tasawuf. Jauh sebelum al-Ghazali menulis buku-buku tasawuf,

beberapa abad sebelumnya sudah muncul beberapa ulama yang concern pada ilmu tasawuf. Pada

abad kedua Hijriyah, para sufi muncul dari daerah-daerah seperti Kufah, Bashrah, Madinah,

Khurasan dan Mesir. Di antara mereka adalah Hasan Basri (w. 110 H./729 M.), Sufyan al-Tsauri

(w. 135 H./754 M), Ibrahim ibn Adham (w. 161 H./778 M.), Rabi‟ah al-Adawiyah (w. 185

H./801 M.) dan Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H./803 M.). Pada periode ini tak banyak buku-buku

tasawuf yang ditulis mereka.

Kemudian pada abad ketiga Hijriyah mulai bermunculan sejumlah tokoh sufi yang

menulis buku. Di antaranya adalah Haris al-Muhasibi93

(w. 243 H./857 M.) yang menulis

buku al-Ri‟a>yah li Huqu>q lillah, Abu Sa‟id al-Kharraz (w. 277 H.) dengan bukunya al-

Tha>riq ila> Allah aw Kita>b al-Shidq. Dzun Nun al-Mishri dengan bukunya, al-Mujarraba>t,

dan Junaid al-Baghdadi dengan kitab Rasa>‟il al-Junaid94

. Tasawuf dalam periode ini telah

berkembang menjadi mistisisme dalam Islam. Tasawuf yang disandarkan pada teks-teks al-

Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Para sufi menyadari bahwa ketekunan dalam

beribadah, tidak cinta pada kenikmatan dunia, pasrah hanya kepada Allah, cinta penuh kepada

Allah SWT adalah jalan-jalan menuju pemerolehan ridha Allah SWT dan tersingkapnya hijab-

93

Ulama Mesir Abdul Halim Mahmud berpendapat bahwa kitab karya al Muhasibi tersebut jika dilihat dari

kedalaman kandungannya laksana kitab Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n Ghazali. Lihat Abdul Halim Mahmud, Ustadz al –

Sa>‟irin al-Ha>rits ibn Asad al-Muhaisibi, (Kairo: Dar al-Kutub al Haditsah, 1973), hal.23-24. 94

Kitab Rasa‟il Junaid al-Baghdadi ini menjadi pegangan tasawuf selain Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n al-

Ghazali di kalangan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama di Indonesia. Kitab tersebut sudah diterjemahkan ke

dalam bahasa Inggris oleh Ali Hasan Abdul Kader, The Life Personality and Writing of al Junaid, (London: Lzac &

Company ltd, 1962) .(Penulis) sendiri memiliki kitab Rasa‟il Junaid al Baghdadi dalam bentuk bahasa Farsinya.

Page 108: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

87

tirai yang memisahkan manusia dengan Allah SWT. Kehidupan sufi saat itu dipenuhi dengan

kedisiplinan dalam menjalankan ibadah wajib dan kedisiplinan dalam melaksanakan ibadah

sunnah seperti shalat tahajjud, membaca al-Qur‟an, puasa senin-kamis dan sebagainya. Dengan

menjalankan ritus peribadatan tersebut ditambah dengan suasana hati yang terus mengingat

Allah SWT (dzikrulla>h), maka para sufi bisa menyaksikan (musya>hadah) dan mengenal Allah

SWT (ma‟rifa>tulla>h). Al-Ghazali mengakui bahwa para sufi berikut adalah orang-orang yang

memiliki pengaruh kuat dalam membetuk corak pemikiran dan pilihan hidup al-Ghazali. Mereka

itu adalah, Abu Thalib al-Makki (w. 386 H./996 M.), Haris al-Muhaisibi (w. 243 H./857 M.),

Junaid al-Baghdadi (w. 298 H./854 M.), Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H./875 M.) dan al-

Shibli (w. 334 H./945 M.). Ia juga telah mengenal pernyataan-pernyataan sufi seperti Abu

Sulaiman al-Darami (w.215 H./850 M.), al-Sir al-Saqathi (w. 253 H.), Rabi‟ah al-„Adawiyah (w.

185 H./801 M.) hingga Ibrahim ibn Adham (w. 162 H). Kitab Ihya>‟ „Ulu>m al-Di>n yang

dianggap sebagai masterpiece ini basah dengan kutipan-kutipan dari para tokoh sufi sebelum al-

Ghazali tersebut. Merujuk kepada para tokoh sufi itu, al-Ghazali dalam kitab Ihya>‟ ‟Ulu>m al-

Di>n banyak mengeksplorasi maqa>mat dan ahwal> seperti telah diletakkan fondasinya oleh

para sufi sebelumnya. Selain itu juga al-Ghazali berbicara tentang konsep ma‟rifah dimana

konsep tersebut bagi Imam al-Ghazali dijadikan sebagai salah satu dari maqa>mat (stasion) yang

harus disinggahi oleh seorang sa lik (seorang yang berjalan) kepada Allah SWT. Semakin tajam

ma‟rifah seseorang, maka makin dalam pula rasa ke-Tuhanan pada dirirnya dan makin banyak

rahasia ke-Tuhanan yang dapat diketahuinya. Oleh karena itu ulama sufi mengadakan latihan-

latihan untuk tercapainya ma‟rifah yang sempurna. Kemudian juga melakukan taubat, riya>dah,

zuhud, tawakkal dan ridha. Dengan itu, tidak keliru sekiranya para pengkaji tasawuf Islam

menyimpulkan bahwa tasawuf al-Ghazali bercorak khuluqi-amali. Sementara itu juga al–Ghazali

Page 109: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

88

memberikan warning kepada para pelaku tasawuf falsafi untuk selalu berhati-hati dan tidak

terlalu vulgar di dalam menceritakan pengalaman spritualnya kepada masyarakat awam agar

tidak terjadi keresahan di dalam sikap keberagamaan mereka, sebagimana yang al-Ghazali

katakan di dalam kitabnya Misyka>t al-Anwa>r berikut ini :

ک. احك ااحذ اال اجد یف شا ا یع اتفما-ماحم ءعا یا اعشج تعذ-اسفاع

اعتغشلا تىح جاکثش ع اتفت. ارل حاال رک صاس اع عشفاا احاي ز کا

ال اهلل شغ یزکش ال تغع ف ت ف واثت فصاس عم فا اعتفت احضح داح تافش

" احك اا" احذ فماي-عم عطا د دفع عکشا افغکش اهلل اال عذ ک ف. ضاا افغ زکش

یط اغکش حاي یف اعشاق کال . "اهلل اال حاجث یف ا" آخش لاي !" یشا اعظ ا عثحا" اخش لاي

رک أ عشفا, اسض یف اهلل ضا یاز اعم عطا یا سدا عکش ع خف فا. یحک ال

" أا أي یأ أا" عشم فشط حاي یف یاعاش لي ث شث ت االتحاد مححم ک

“Para arifin, setelah mereka menuju ke langit hakikat bersepakat bahwa mereka tidak

melihat dalam wujud selain yang Maha Satu nan nyata (al-wa>hid al-haqq). Namun, diantara

mereka ada yang mengalami kondisi ini sebagai pengetahuan sadar (irfānan „ilmiyya>n).

Kemudian ada pula yang mengalaminya sebagai kondisi„rasa‟(ha>lan dzauqiyan). Pluralitas

telah lenyap secara total dari kesadaran mereka. Tenggelamnya mereka bersama keesaan murni

(al-farda>niyah al-mahdah). Saat itu akal mereka mati hingga mereka seperti orang-orang

bingung. Mereka tak kuasa lagi untuk mengingat selain Allah atau bahkan mengingat diri mereka

sendiri. Bagi mereka hanya Allah yang ada. Mereka pun jadi mabuk hingga meluluhkan

kekuasaan akal mereka. Kemudian salah satu diantara mereka berkata:”Akulah Allah”,

sementara yang lainnya berkata: “Maha suci Aku! Betapa Agungnya Aku!”. Ada pula yang

mengatakan: “Dalam jubah ini hanya ada Allah”. Kalimat-kalimat para pecinta ini sebaiknya

dirahasiakan dan tidak diceritakan. Bila “mabuk” mereka mulai reda dan mereka telah kembali

ke kuasaan akal dimana yang ada hanya timbangan Allah di bumi-Nya, mereka sadar bahwa itu

bukanlah persatuan (itt~iha>d) yang sebenarnya, namun semacam persatuan sebagaimana

layaknya kata-kata seorang pecinta berada dalam kondisi memuncak, “Aku adalah Dia yang Aku

cintai dan Dia yang aku cintai adalah Aku”95

95

Al-Ghazali, Misyka>t al-Anwa>r, ed.Abu al-„Ala al-Afifi, (Kairo:al-Maktabah al-A‟rabiyah, 1964),

hal.57.

Page 110: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

89

Page 111: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

149

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pada bagian ini akan kita dapati jawaban dari pertanyaan yang telah disebutkan pada

bagian pendahuluan.

1. Pemikiran tasawuf akhlaqi al-Ghazali merupakan bagian dari substansi ajaran Islam

yang mengedepankan dinamika spiritual dan al-akhla>q al-kari>mah dalam upayanya

mencoba mencari kebahagiaan sejati dan hakikat kebenaran Ilahiyah yang berdasarkan

kepada tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Tasawuf akhlaqi al-Ghazali

merupakan instrumen dan piranti untuk mencari jalan keluar dari segala kegundahan

intelektual dan kehampaan spiritual yang tidak hanya bermanfaat di zamannya, bahkan

masih tetap relevan untuk dijadikan bimbingan dan tuntunan dalam ranah spiritual dan

moral masyarakat muslim modern saat ini. Pemikiran tasawuf akhlaqi al-Ghazali

merupakan simbol perjuangan dan pemberontakan pengalaman spiritual manusia.

Perjuangan untuk mencari dan menggapai ketenangan spiritual yang hakiki serta

permberontakan terhadap segala bentuk dan ragam kepentingan yang dipaksakan

masuk, menggoda dan menguasai hati manusia yang menghalangi perhatian manusia

kepada wajah sang pencipta. Gagasan utama dari tasawuf akhlaqi al-Ghazali

Melaksanakan secara total syariat agama dan menjalankan nilai-nilai akhlak dan moral

berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang bertujuan untuk

menjadikan hati manusia tertuju hanya kepada Tuhan semata demi tercapainya

kebahagiaan sejati dan terungkapnya tirai kebesaran Tuhan merupakan output dari

pelajaran tasawuf akhlaqi al-Ghazali.

2. Konsep dan metodologi tasawuf akhlaqi al-Ghazali, apabila kita melihat dari beberapa

karya tasawufnya, bahwasanya al-Ghazali senantiasa berpijak dan berpedoman pada

ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW di dalam membahas tema-

Page 112: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

150

tema sufisme. Selain itu sebagai seorang pengikut mazhab ahlu sunnah wa al-

jama>’ah, al-Ghazali tetap memegang teguh mazhab Asy’ari sekaligus tempat

rujukannya di dalam bidang teologi dan kalam. Al-Ghazali di dalam penulisan karya

tasawufnya lebih banyak menghindari konsep-konsep ajaran filsafat (tasawuf falsafi)

yang menurutnya sangat tidak tepat untuk disebarkan dan dikembangkan pada

masyarakat awam kebanyakan yang justru akan menimbulkan efek negatif yaitu berupa

penyelewengan syariat dan kekeroposan keimanan. Corak dan gaya penulisan tasawuf

al-Ghazali di dalam karya-karya tasawufnya dibuat berjenjang sesuai dengan tingkatan

keilmuan pembacanya. Struktur bahasa yang mudah dipahami dan kosa-kata yang jelas

namun juga memiliki nilai sastra yang tinggi, menandakan karya tasawuf al-Ghazali

merupakan dan ditujukan untuk konsumsi masyarakat awam kebanyakan. Karya

tasawuf akhlaqi al-Ghazali tidaklah berdiri sendiri, beliau dalam penulisan karya

tasawufnya juga mengambil kutipan dan referensi dari para sufi sebelumya seperti:

dari kitab Qu>t al-Qulu>b Abu Talib al-Makki, Risa>lah al-Qusyairiyah al-Qusyairi

dan juga karya al-Muhaisibi al-Ri’a>yah li Huqu>q Lilla>h. Selain itu semua macam

ilmu yang dikuasai al-Ghazali dijadikannya sebagai pendekatan untuk bisa memahamai

sebuah topik dan tema pembahasan menjadi lebih komprehensif dan menyeluruh.

A. Saran-Saran

Penelitian konsep tasawuf dan pemikiran ketasawufan yang terdapat dalam sebuah

karya sufisme yang ditulis oleh para ulama dan sufi masa lampau sudah selayaknya harus

diaktifkan kembali terutama dikalangan mahasiswa, dosen dan insan akademisi perguruan

tinggi Islam di Indonesia. Seperti kita ketahui bersama karena di dalam kitab-kitab tasawuf

klasik banya sekali terkandung hikmah dan pelajaran penting yang tiada ternilai harganya.

Membaca ulang kembali gagasan dan pemikiran dari para sufi dunia Islam kini menjadi

sebuah keharusan, di mana di saat dunia Islam dan masyarakatnya sedang mengalami krisis

Page 113: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

151

moral dan intelektual, tidak hanya itu saja wajah Islam kembali tercoreng dikarenakan

sebagian umatnya yang menampilkan Islam sebagai agama yang radikal dan anarkis. Hal ini

bisa kita lihat pada wajah kelompok Islam radikal ISIS (Islamic State Iraq-Syam) yang sangat

aktif mempropagandakan Islam garis keras di Timur-Tengah. Sementara dalam konteks

internal negeri kita, dapat kita saksikan bagaimana sebagian organisasi masyarakat (ormas)

tertentu yang berbasiskan agama Islam yang amat disayangkan dengan cara-cara kasar

mengintimidasi dan berlaku anarkis terhadap golongan yang berada diluar dirinya. Maka dari

itu diharapkan kajian keagamaan dengan menggunakan pendekatan tasawuf melalui dunia

pendidikan dan akademisi lewat penelitian dan riset karya-karya tasawuf, bisa memberikan

sumbangsih pemikiran bagi terciptanya masyarakat yang ber-akhlak mulia dan menjunjung

tinggi perdamaian dan toleransi tidak hanya antara umat Islam namun juga antar sesama umat

beragama khususnya di negeri kita yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.

Diharapkan dengan digiatkannya kembali kajian penelitian karya-karya klasik

tasawuf di dunia Islam tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang tasawuf,

namun lebih dari itu dapat berguna bagi pencerahan moral dan spiritual masyarakat muslim

di Indonesia tentunya. Harus diakui memang bahwasanya mengkaji disiplin ilmu tasawuf

tidaklah mudah, diperlukan sebuah kerja keras yang konsisten dan intens, hingga sampai kita

bisa menyelami pemikiran tasawuf dengan rasa yang optimal serta berupaya untuk

menghilangkan stigma negatif yang selama ini ada pada masyarakat modern-intelek yang

ditujukan kepada ilmu tasawuf.

Demikianlah buah kesimpulan dan saran yang saya bisa sampaikan, hanya berharap

semoga tulisan ini bisa memberikan hikmah dan pelajaran bagi penulis serta bagi insan

cendekia yang tertarik dengan dunia tasawuf. Sekali lagi hanya dengan do’a tulus kehadirat

Ilahi, semoga sha>hib al-kita>b Kimiyā’al-Sa‘ādah dan penulis diberikan ampunan oleh

Dzat yang Maha Kuasa. Ilahi amin.

Page 114: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

152

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟a>n Al-Kari>m

Abdul Kader, Ali Hasan, The Life Personality and Writing of al Junaid. London: Lzac &

Company ltd, 1962.

Abdullah, Amin, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan, 2002.

Abu Hafs, Siradj al-Din, Thabaqa>t al-Auliya>’. Mesir: Makhtabah al-Khanji, tt.

Abu Rabi‟, Ibrahim M. Suatu pengantar editor, dalam Ibn Sabbagh, The Mystical Teaching

of al-Syaẓili, alih bahasa oleh elmer H. Dauglas. New York: State University press,

1993.

Afifi, Abu al-„Ala, Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr, Kairo: Dar al-Fikr, 1969.

_____________, al-Tasawuf al-Tsaurat al-Ru>hiyat fi al-Isla>m. Kairo: Dar al Fikr, 1962.

Al-Farabi, Ara> al-Madi>nah al-Fadhi>lah. Kairo : Dar al-Maarif, 1981.

Al-Hasani, Sayid Mahmud Abu al-Faid al-Manufi, Jumhu>rat al-Auliya> wa I’la>m ahlu al-

Tasawuf. Kairo: Dar al-Hadist, 1967.

Al-Isfahani, Husayn ibn Muhamad, Mufradāt Alfazh al-Qur’a>n. Beirut: Dar al-Qalam, tt.

Al-Isfahani, Hafiz Abu Naim, Ḥilya>t al-Auliyā, Juz I. Egypt: Dar al-Fikr,tt.

Al-Ghazali, Ihya>’ ‘Ulu>m al- Di>n. Kairo: Dar al-Hadist, 1992.

_________, Munqi>dz al-Dhala>l. Kairo: Dar al-Nashr, 1972.

_________, Taha>fut al-Fala>sifah. Kairo: Dar al-Maarif, 1961.

_________, Jawāhir al-Qur’ān. Beirut: Dar al-Ihya Ulum, 1433.

_________, Misyka>t al-Anwa>r, ed. Abu al-„Ala al-Afifi. Kairo: al-Maktabah al-A‟rabiyah,

1964.

__________, Kimiyā’al-Sa‘ādah, (dalam bahasa Farsi), di tahqiq oleh Husain Khadijum.

Tehran: Intesyarate Ilmi va Farhanggi, 1354.

__________, Mi’ra>j al-Sa>liki>n, Kairo :Silsilah al-Tsaqa>fah al-Isla>miyyah, 1964.

Page 115: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

153

__________, Ma’a>rij al-Quds fi Ma’rifat al-Nafs, Kairo: Maktabat al-Jundi, 1968.

Al-Jabiri, Muhamad Abed, Nahnu wa Tura>ts ; Qira>’ah Muasirah fi Tura>tsina> al-

Falsafi. Beirut: Markaz

Dira>sah al-Wihdah al-Arabiyah, 1990.

__________, al-Aqlu al-Akhla>qi al-Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-

Qiyam fi al-Tsaqa>fah al-'Arabiyyah Maroko: Markaz Dira>sat al-Wihdah al-'Arabiyyah,

2001.

Al-Jilli, al-Insān al-Kāmil fī Ma‘rifat al-Awākhir wa al-Awā‘il. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.

Al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab ahli al-Tasawuf. Kairo: Maktabah al-Kuliyah al-

Azhariyyah,1969.

Al-Majlisi, Muhammad Baqir, al-Biha>r al-Anwa>r. Vol.7. Beirut: Muassasah al Wafa,

1403

Al-Naisabury, Imam al-Quayairi, Risalah Qusyairiyah: Induk Ilmu Tasawuf, terjemahan dari

al-Risa>lah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-tasawuf oleh Muhammad Luqman Hakim.

Surabaya: Risalah Gusti 2000.

Al-Makki, Abu Thalib, Qu>t al-Qulu>b fi Mu’a>malat al-Mahbu>b. Kairo : al-Maktabah

al- Taufiqiyah, tt

Al-Nasya r, Ali Sa mi , Nasy’at al-Fikr al-Falsafah fī al-Islām. Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1977.

Al-Sahmaraniy, As‟ad, al-Akhla>q fi al-Isla>m wa al-Falsafah al-Qadi>mah. Beirut: Dar al-

Nafais, 1993.

Al-Suhrawardi, Awa>rif al-Ma’a>rif. Kairo: al-Muktabah al-Alamiyah, !358 .

Al-Sya‟rani, Abu al-Wahhab, al-Taba>qat al-Qubra>. Kairo, tanpa penerbit,1334 .

Al-Sarraj, al-Luma>’. Mesir: Dar al-Kutub al- Haditsah, 1960.

Al-Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi dari Zaman ke Zaman, terjemahan dari Rofi Usmani.

Bandung: Pustaka 1997.

____________, Madkha>l-ilā al-Tasawuf al-Islāmi. Kairo: Dar al-Tsaqafah, 1987.

Page 116: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

154

Amin, Ahmad, Kita>b al-Akhla>q. Kairo: Mathba'at Dar al-Kutub al-Mishriyyat, 1929

Amir, Ali Syed, Api Islam (terj). Jakarta : Bulan Bintang, 1978.

Amuli, Hasan Zadeh, Heza>r Yek Kalimeh, Vol.2. Qom: Intesyarat-e Daftar Tabligat, 1373.

Annemari, Schimmel, Mystical Dimension of Islam. The University of Nort Carolina Press,

1981.

Arberry, A J, Ajaran-Ajaran Sufi, Terjemahan oleh Astuti dari The Doctrine of the Sufis.

Bandung : Pustaka, 1995.

Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani Press, 1984

Al-Qusyairi, al-Risa>lah al-Qusyairiyah. Kairo: Dar al-Khair,tt.

A‟vani, Ghulam Reza, Majmue-ye Ghaza>li Vaju>hi: Elm Ghaza>li Seti>zi. Tehran:

Khoneh Kitab, 1389.

Badawi, Abdul Rahman, Ta>rikh al-Tasawuf al-Isla>mi. Beirut: Dar al-Qalam, 1975.

__________________, Syaṭāhat al-Ṣāfiyyah. Kairo: al-Maktabah an-Nahḍiyah al-Miṣriyyah,

1949.

_________________, Muallifa>t al-Ghaza>li. Kuwait: Wikallat al-Matbu>at, tt.

Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Arasy Mizan, 2005.

Balbaki, Rohi, Al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary. Beirut: Dar al-'Ilm

li al-Malayin, 1993.

Basyuni, Ibrahim, Nasy’at al-Tasawuf al-Isla>mi. Mesir: Dar al-Ma‟a>rif, 1969.

Baldick Julian, Mystical Islam, An Introduction to Sufism, Oxford University : London, 1992

Bosworth, Encyclopedia of Islam, Vol. X. Leiden, 1986.

---------------- CE, Dinasti-Dinasti Islam, alih bahasa Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993.

Bruinessen, Martin Van, Tarikat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.

Page 117: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

155

Dahlan, Abd Aziz, Penelitian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wjud)

Tuhan, Alam, Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani. Padang :IAIN Imam

Bonjol Pres, 1999.

Darraz, Muhammad Abdullah, Dustu>r al-Akhla>q fi al-Qur’a>n: Dira>sat Muqa>ranat li

al- Akhla>qi al-Nadzariyat fi al-Qur’a>n. Kuwait, Dar al-Buhu>ts al-'Ilmiyyah, 1991.

Dhahir, Ihsan Ilahi, Dira>sat fi al-Tasawuf. Lahore-Pakistan: al-Ida>rah Tarjuman, 1988.

Dhammananda, Srie, Keyakinan Umat Buddha. Jogyakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan

Ehipassiko Foundation, 2004.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren. Jakarta : Penerbit LP3ES, Cet.IX, 2011.

Dinani, Ghulam Husain, Mantiq va Ma’refat dar Nazar Ghaza>li. Tehran: Intesyarat-e Amir

Kabir, 1383.

Dunia, Sulaiman, al-Haqi>qat fî Nazar al-Ghaza>li. Kairo : Dar al-Maarif, tt.

_______________, Taha>fut al-Fala>sifah Li al-Ima>m al-Ghaza>li. Kairo: Dar al-Ma‟arif,

1972.

Dzakavati, Ali Reza, Erfa>niyat. Tehran : Intasyrat-e Haqiqat, 1379.

Esposito, Jhon. L, (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 2, cet. ke 2. Bandung:

Mizan, 2002.

Fa‟ali, Muhmad Taqi, Di>n va Irfa>n. Tehran: Anjumane Ma‟arif Islami Iran, 1381.

Fakhry, Majid, Ethical Theories in Islam. Leiden-New York: E.J. Brill, 1991.

Fakhuri, Hanna, Ta>rikh Falsafe dar Jahon-e Isla>m. Tehran: Entesyarate Ilm va Farhang,

1383.

F.O‟dea, Sosiologi Agama. Jakarta: Rajawali, 1992.

Far, Muhsin Bidar, Muqaddimah, dalam Syarh Mana>zil al-Sa>’irin, (Kamal al-Din Abd al

-Razaq al-Qasani). Qum : Mansyurat Bidar, 1427.

Farhadi, AG Ravin,. The Hundred Ground’s of Abdullah Ansari of Heart (dalam The

Heritage of Sufism. Oxford : Oneworld Publications, 1990.

Page 118: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

156

Ghani, Qasim, Ta>rikh Tasawuf dar Isla>m. Tehran: Intesyarate Zawar, 1369.

Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980.

____________, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980.

Hamka, Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993.

______, Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Hasan, Ibrahim Hasan, Tārikh al-Islām wa al-Siyāsi wa al-Dīn wa al-Tsaqa>fi, Juz 4. Kairo

: Dar al-Shadr, tt.

Halim, Mahmud Abdul, Usta>dz al-Sa>’irin al-Harits ibn Asad al-Muhaisibi. Kairo: Dar al-

Kutub al-Haditsah, 1973.

Hatta, Muhamad, Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press, 1982.

Hilal, Ibrahim, al-Tasawuf al-Isla>mi baina al-Di>n wa al-Falsafah. Kairo: Dar al-

Nahdshah al-Arabiyah, 1979.

Hilmi, Ahmad Kamaludin, al-Sala>jiqah fī al-Tārikh wa al-Haḍa>rah. Kuwait: Dar al-

Buhuts al-Ilmiyyah, tt.

Humaiy, Jalaluddin, Ghaza>li Na>meh. Tehran: Entesyarate Chop Furughi, 1318.

Ibn Asakir, Tabyi>n Kazb al-Mufta>ri fī Mā Naṣab ilā al-Imām Abi Hasan al-Asy’a>ri.

Syam: Matbu‟at al-Taufik 1347.

Ibn Atsir, al-Ka>mil fi al-Ta>rikh, Vol.4. Damascus: Matba‟ al-Taufiq, 1347.

Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt.

Ibn Manzhur, Muhammad, Lisa>n al-‘Arab, Juz. 9. Beirut: Dar al-Ṣadr, tt.

Ibn Miskawaih, Tahdzi>b al-Akhla>q wa Tat~hi>r al-A’raq, Beirut: Mansyu>rah Dar Al-

Maktabah, 1389.

Page 119: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

157

Ibn Sabbagh, The Mystical Teaching of al-Syadzili, kitab asal, Durrat al-Asrar wa Tufat al-

Abrar,, Elmer H. Douglas-Author. Penerbit: State University of New York Press,

Albany, 1993.

Ibn Sayyidah, Ali Ismail, al-Muhka>m wa al-Muhīṭ al-‘Azam, Juz.2. Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyyah, tt.

Jafar, Kamal Ibrahim, al-Tasawuf: Thari>qan wa Tajribatan wa Mazha>ban. Kairo: Dar al-

Kutub al-Jam‟iyah, 1970.

Jamil, Muhamad, Cakrawala Tasawuf : Sejarah Pemikiran dan Kontekstualitas. Jakarta :

Gaung Persada Press, 2004.

Johansen, Julian, Sufism and Islamic Reform: The Bettle for Islamic Tradition. New York:

Oxford, 1996.

J. Trimingham Spencer, The Sufi Orders in Islam. Oxford University Press : London, 1971.

Khomeini, Ayatollah, Mi’raj al-Sa>likin wa Shalat al-‘A>rifin. Tehran: Nasyr Imam

Khomeini, 1378.

________________, al-Ta’lim al-‘Irfa>niyah. Tehran: Nasyr Imam Khomeini, 1377.

________________, Tafsir al-Fa>tihah. Tehran: Nasyr Imam Khomeini, 1377.

Kouhsari, Sayyid Ishaq Husaini, Ta>rikh al-Falsafah al-Isla>miyah. Tehran: Intesyarat

Amir Kabir, tt.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1997.

Lapidus, Ira M, A History of Islamic Societies. Cambrigde University Press, 1989.

Lewis, Bernard. et, all Ed. The Encyclopaedia of Islam : London, 1965.

Mac Donald, D.B, “Sufism”, dalam First Encyclopaedia of Islam oleh E.J. Brills London,

1987.

Makdisi, G, “The Sunny Revival” dalam Richard (ed) “Islamic Civilization”. Birmingham :

Oxford Press, 1973.

Page 120: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

158

Manahem, Milson, Menjadi Sufi, Terjemahan oleh Yuliani Liputo dari A Sufi Rule for

Novices. Bandung : Pustaka Pelajar, 1975.

Mansyur, Laely, Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Markham, Religion and Ethics. New York : Encyclopedia of Applied Ethics, Part 3, 1998.

Moen, Muhammad, Farhang Lughat Dehkhuda. Tehran: Dar Nasyr Jame‟eh, 1341.

Muallim, Hassan, (ed), Ta>rikh Falsafeye Isla>mi. Qum : Chop Markaz Jahone Ulume

Islami, 1385.

Mubarak, Zaki, al-Akhla>q ‘ind al-Ghaza>li. Kairo: Dar al-Katib al-'Arabiy li al-Thiba'at wa

al-Nasyr, tt.

Muhajir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992.

Muhammad, Hasyim, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah Atas Pemikiran

Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Muhammad, Nur Hidayat, Tarekat dalam Timbangan Syariat. Surabaya : Muara Progresif,

2013.

Muhammad bin Husain, Sayyid Radhi, Nahjul Bala>ghah. Qom: Muassasah Amirul

Mukminin, 1376.

Munawwir, A.W, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984.

Musa, Muhammad Yusuf, Falsafah al-Akhla>q fi al-Isla>m wa Sila>tuha bi al-Falsafah al-I

ghriqi>yah. Kairo: Muassasat al-Khanji, 1963.

Muthahari, Murtadha, al-Ala>qah al-Mutaba>dillah baina al-Isla>m wa I>ran. Qom:

Nasyr Islami, 1362

Nasr, Seyyed Hossein, “The Rise and Development of Persian Sufism” dalam The Heritage

of Sufism: Classical Persian Sufism from its Origins to Rumi. Oxford: One World

Publication, 1989.

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1995.

Page 121: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

159

_____________, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI

Press, 1986

____________,dkk, Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional Tasawuf. Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina: Seri Kka 23/Tahun III/1988.

Nicholson, R.A, The Mystic of Islam, London: Kegan Paul Ltd, 1966.

____________, “Sufism”, dalam Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol.12. Charles

Scriber‟s, tt

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980

Noer, Kautsar Azhari, (ed), Warisan Sufi Agung: Mengenal Karya Besar Para Sufi. Jakarta:

Sadra Press, 2014.

Qadir, Zuly, Sejarah Teologi dan Etika Agama-Agama. Yogyakarta : Interfidei, 2003.

Rahman Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad (Terj). Bandung : Pustaka, 1984.

____________, Islam. Chicago University Press, 1978.

Rajab, Manshur Ali, Taammula>t fi Falsafah al-Akhla>q, Mesir: Maktabat al-Mishriyyah,

1961.

Riziq, Khalil, al-Irfa>n al-Shi‘i> min Abha>ts al-Sayid Kama>l-al-Heyda>ri. Qum: Dar al-

Faraqid, 1438.

Schimmel, Annemari, Mystical Dimensions of Islam. The University of North Carolina

Press, 1975.

Sayed Ahmad, Abdul Fatah, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Penerbit

Khalifa, 2013.

Sibuwaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlurahman: Studi Komparatif Epistemologi

Klasik-Kontemporer. Yogyakarta: Islamika Press, 2003

Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan

Umat. Bandung: Mizan, 1996.

Page 122: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

160

Shihab, Alwi, Islam Sufistik : Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia.

Bandung : Mizan, 2001.

Siregar, A Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufisme. Jakarta : Raja Grafindo

Persada , 2000.

Smith, Margaret, Reading from the Mystics of Islam. London : Luzak dan co, 1972.

Subhi, Ahmad Mahmud, fī ‘Ilmi al-Kalām. Kairo: Dar al-Kutub al-Jami„ah, 1969

Suryabrata, Suryadi, Metodologi Penelitian. Jakarta : Rajawali Press, 2003.

Syarif, M, (ed.), A History of Muslim Philosophy. Weesbaden: Otto Harrowits, 1963.

Syarif, Muhamad, Farha>ng-e Adabiya>t-e Fa>rsi. Tehran: Entesyarate Mouin, 1388.

Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

Cet.ke-3, 2001.

Thabataba‟i, Muhammad Husain, al-Mi>za>n fi Tafsir al-Qur’a>n, Juz.5. Qum: Muassasah

al „Alam lil Mathbu‟at, 1394.

Valiuddin, Mir, Zikir dan Kontemplasi, diterjemahkan dari Contemplative Disciplines in

Sufism. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

Watt, William Montgomery, The Faith and Practice of al-Ghazali. London: Allen & Unwin,

1953.

Yatsrabi, Yahya, al-Irfa>n al-Nazari. Qom: Intesyarate Hauzah Islami, 1374.

Ya'qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar). Bandung:

Diponegoro, 1983.

Yatim, Badri, et all, Sejarah Perkembangan Madrasah. Jakarta: DEPAG RI, 2009.

Yazdi, Ali Asgar, Sakka>kiyat Naqd bar Adell-e. Qum: Entesyarate Bustan Ketab, 1381.

Yazdi,Taqi Misbah, al-Silsilah Abhats al-Falsafah al-Isla>miyah. Qum: Muassaseh Dar Roh

Haq, 1348.

Zhahir, Ihsan Ilahi, Tasawuf; Bulan Kaum Sufi ataukah sebuah konspirasi?. Jakarta: Darul

Haq, 2001

Page 123: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

161

Zarin Kub, Abdul Husein, Fara>r az Madreseh: Darbo>reye Zendegi> va Andiseh-ye Abu

Ha>mid Ghaza>li. Tehran : Amir Kabir Published, 1391.

_________________, Justeju> Dar Tasawuf I>ra>n. Tehran: Entesyararate Amir Kabir,

1386.

________________, al-Bahts al-Tasawuf fi Ira>n. Tehran: Intesyarat Amir Kabir, 1376.

Page 124: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

8/9/2016 نمايش

http://dl.nlai.ir/UI/40a6cdd7e62c43449f49cf28e6f15389/LRRView.aspx 1/2

ورود به سايت  کاربر بازدید کننده كتابخانه و اسناد ديجيتال

جستجو نمايش صفحه اصلي >

نمايشكيمياي سعادت

سازمان اسناد و كتابخانه ملي جمهوري اسالمي ايران

برو به صفحه: ۲۴۷صفحه ۲۴۷ از ۲۵۲

نهشا

نمه

سناشنا

جوست

جت

سهر

فتي

شنگ

دابن

راهنماجستجومرور

خانه

راهنما

Page 125: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

8/9/2016 نمايش

http://dl.nlai.ir/UI/40a6cdd7e62c43449f49cf28e6f15389/LRRView.aspx 2/2

راهنما| تماس با ما| مالحظات حقوقي | نظرات و پيشنهادات| پشتيباني فني| سايت اصلي

version:۳.۱.۲ © تمامي حقوق براي سازمان اسناد و كتابخانه ملي جمهوري اسالمي ايران محفوظ مي باشد

قبلي

۲۴۷

۲۴۸

۲۴۹

۲۵۰

۲۵۱

۲۵۲

خانه

راهنما

Page 126: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini
Page 127: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini
Page 128: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini
Page 129: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini
Page 130: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

8/9/2016 نمايش

http://dl.nlai.ir/UI/40a6cdd7e62c43449f49cf28e6f15389/LRRView.aspx 1/2

ورود به سايت  کاربر بازدید کننده كتابخانه و اسناد ديجيتال

جستجو نمايش صفحه اصلي >

نمايشكيمياي سعادت

سازمان اسناد و كتابخانه ملي جمهوري اسالمي ايران

برو به صفحه: ۸صفحه ۸ از ۲۵۲

نهشا

نمه

سناشنا

جوست

جت

سهر

فتي

شنگ

دابن

راهنماجستجومرور

خانه

راهنما

Page 131: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

8/9/2016 نمايش

http://dl.nlai.ir/UI/40a6cdd7e62c43449f49cf28e6f15389/LRRView.aspx 2/2

راهنما| تماس با ما| مالحظات حقوقي | نظرات و پيشنهادات| پشتيباني فني| سايت اصلي

version:۳.۱.۲ © تمامي حقوق براي سازمان اسناد و كتابخانه ملي جمهوري اسالمي ايران محفوظ مي باشد

بعدي قبلي

۷

۸

۹

۱۰

۱۱

۱۲

خانه

راهنما

Page 132: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini

CURRICULUM VITAE

Personal Data

Name : Wahyu Hidayat, Lc, S.Hum.M.Ag

Date and Place of Birth : 20 Januari 1981, Jakarta. Indonesia

Religion : Islam

Civil Status : Citizen of The Republic of Indonesia

Language : Indonesian,English, Arabic and Persian

Present Home Addres : Jl. Rawa Badak 1 No. 95 A RT/RW: 003/005

Kel Lagoa. Koja. Jakarta-Utara 14270

Phone No. : 021-4355147/ 0812 1388 4727

Email :[email protected]

Education

Al Mustafa International University Qum-Iran: The Faculty of Persian Languge and

Islamic Knowledge.(Diplom Degree).

State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta-Indonesia: The Faculty of

Language and Humanities.Department of History and Islamic Civilization.(Bachelor Degree).

Al Mustafa International University Branch Mashhad-Iran: The Faculty of Islamic

Theology. (License Degree).

Ferdauwsi University Mashhad-Iran : The Faculty of Persian Language (Master

Degree).

State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta-Indonesia: The Faculty of Ushuluddin

(Master Degree)

Job Experiences

Librarian staff at Iranian Corner library Faculty of Ushuluddin State Islamic

University Syarif Hidayatullah Jakarta.

Persian Language Lecture at Islamic Cultural Centre at Pejaten Jakarta.

Translator for International Seminar and National Forum.

Head of Scientific Relationship Sadra International Institute Jakarta

Persian Language Lecture at STFI Sadra Jakarta

Page 133: Wahyu Hidayat. Lc. M - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34466/2/WAHYU... · Penelitian terhadap kajian karya kitab tasawuf al-Ghazali ini