konsep kepribadian menurut al-ghazali dan …
TRANSCRIPT
KONSEP KEPRIBADIAN MENURUT AL-GHAZALI DAN
KONTRIBUSINYA DALAM PROSES KONSELING
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Bimbingan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah
Oleh
HANA MUKAROMAH
NIM: UB 150093
JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2019
MOTTO
أَ
“Ketahuilah, di dalam jasad itu ada segumpal daging, Jika ia baik, baik pula
seluruh tubuh, tetapi jika buruk, buruk pula seluh tubuh. Ketahuilah, segumpal
daging itu adalah hati.”(HR.Bukhari dan Muslim) [HR.Bukhari No.2051 dan
Muslim No. 1599] 1
1 Abu Zur‟ah ath-Thaybi, Hadits Arbain Nawawi Matan dan Terjemah, Diterjemahkan
dari buku aslinya yang berjudul, Arba’in Nawawi, oleh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-
Nawawi ad-Dimasqi (Surabaya: Pustaka Syabab Surabaya, tt), 10.
PERSEMBAHAN
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat dan kasih sayangnya
disetiap hariku. Engkau adalah pendengar terbaik bagiku dan telah memberikan
yang terbaik untukkku.Tempatku bersandar ketika hatiku rapuh, dan yang selalu
kuharapkan limpahan cinta untukku.
Tidak mudah bagiku untuk sampai dititik ini, begitu banyak episode-episode yang
harus kulalui. Tapi kuyakin sesuatu yang terjadi padaku adalah jalan terbaik yang
telah dipilihkan oleh-Nya.
Kupersembahkan skripsi ini kepada Ibuku Marpuah dan Bapakku Miswandi.
Karena mereka telah memberikan kasih sayangnya dan berusaha memberikan
yang terbaik untukku, mendo‟akanku dan mencukupi segala kebutuhanku dengan
kerja keras tanpa lelah.
Kuucapkan terima kasih kepada Kakekku Mbah Hadi, Nenekku Mbah Suti Serta
Bibiku Sri Lestari S,Si yang telah menjadi orangtua kedua untukku. Terima
kasih telah mengisi masa kecilku, memberikan kasih sayang, pelajaran dan
perhatiannya untukku.
Selanjutnya kuucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuanganku yang
telah memberikan semangat hingga sampai pada tujuan perkuliahan ini.
Khususnya untuk BPI VIIIA yang telah bersama kurang lebih selama 4 tahun,
begitu banyak hal yang telah kita lalui. Terkhusus untuk sahabatku Sauqi Rahma
Putri, Eli Sukmawarni, Rizkha Armely, Suci Rosmaida dan teman lainnya
yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kerja samanya,
nasihatnya, tegurannya, semangatnya serta pelajaran-pelajaran hidup yang
kudapatkan dari kalian semua.
ABSTRAK
Nama : Hana Mukaromah
Nim : UB 150 093
Judul : Konsep Kepribadian Menurut Al-Ghazali dan Kontribusinya dalam
Proses Konseling
Penelitian ini dilatarbelakangi karena tidak seharusnya fenomena perilaku
umat Islam dinilai dengan kacamata teori kepribadian barat yang sekuler, karena
keduanya memiliki frame yang berbeda dalam melihat realitas. Perilaku yang
sesuai dengan perintah agama seharusnya dinilai baik, dan apa yang dilarang oleh
agama seharusnya dinilai buruk. Hal inilah yang mendorong penulis untuk
menelusuri lebih dalam konsep kepribadian menurut al-Ghazali, karena dalam hal
ini al-Ghazali menjelaskan secara mendalam tentang hakikat manusia serta
komponen yang membentuk perilaku seorang manusia.
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah (library research)
dengan menekankan pada sumber tertulis terutama karya Imam al-Ghazali “ihya‟
ulumuddin” serta buku-buku terjemahan yang menjelaskan isi buku ini secara
lebih gamblang. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan buku-buku
yang berkaitan dengan bahasan ini, dengan menerapkan metode analisis historis,
deskriptif dan isi.
Hasilnya penulis menemukan bahwa konsep kepribadian menurut al-
Ghazali ini berkontribusi dalam proses konseling. Dalam konseling, konselor
haruslah memiliki kualitas pribadi yang menunjang keberhasilan proses
konseling. Konsep ini dapat dipelajari dan dipahami konselor agar memiliki
kualitas pribadi yang baik. Konselor juga dapat mengetahui kejelasan-kejelasan
dirinya, jiwa apa yang mendominasinya dan hal-hal apa saja yang bisa
dilakukannya agar memiliki jiwa muthma‟innah. Dengan konsep ini konselor
dapat mengenal dirinya lebih dalam, dan ketika seorang konselor telah mengenal
dirinya maka konselor juga dapat mengajarkan hal ini kepada kliennya.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT,
karena atas berkat rahmat, hidayahnya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan judul
“Konsep Kepribadian Menurut Al-Ghazali dan Kontribusinya dalam Proses
Konseling”. Shalawat dan salam semoga tetap telimpah kepada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya kejalan yang benar dan
dapat dirasakan manifestasinya dalam wujud Imam, Islam dan amal nyata yang
shalih likulli zaman wa makan.
Penelitian dan penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Prodi Bimbingan dan
Penyuluhan Islam pada Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik yang bersifat moril maupun
materi. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Samin Batubara, M.HI selaku Pembimbing I dan Bapak
Massuhartono,S,Pd.I.,MA.SI selaku Pembimbing II yang telah membantu dan
membimbing dalam penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Pirhat Abbas, M.Ag selaku dosen pembimbing Akademik.
3. Bapak Sya‟roni, S.Ag.,M.Pd. selaku ketua prodi Bimbingan Penyuluhan Islam
(BPI) dan Ibu Neneng Hasanah, S.Ag., M.Pd. selaku sektetaris prodi
Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)
4. Bapak Samsu S.Ag.,M.Pd.I.,Ph.D. selaku dekan Fakultas Dakwah UIN STS
Jambi.
5. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, SH.,M.Hum. selaku wakil Dekan Bidang
Akademik dan Kelembagaan Fakultas Dakwah UIN STR Jambi.
6. Bapak Dr. H. Hadri Hasan. MA selaku Rektor UIN STS Jambi.
7. Bapak Prof. Dr. H. Su‟aidi MA. Ph.D. sebagai Wakil Rektor I Bidang
Akademik dan Pengembangan Pendidikan, Bapak Dr. H. Hidayat, M,Pd
sebagai Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum, perencanaan dan
Keuangan, dan Ibu Dr. Hj. Fadillah M.Pd. Sebagai Wakil Rektor III Bidang
Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN STS Jambi.
8. Kepala Perpustakaan UIN STS Jambi Beserta Stafnya dan serta Kepala
Perpustakaan Daerah Jambi.
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis.
10.Bapak dan Ibu karyawan/karyawati di lingkungan Fakultas Dakwah
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
11.Teman-teman seperjuangan angkatan 2015 Prodi Bimbingan Penyuluhan Islam
(BPI).
Atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis
mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT
membalasnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
NOTA DINAS .................................................................................................
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ................................
PENGESAHAN ..............................................................................................
MOTTO ..........................................................................................................
PERSEMBAHAN ...........................................................................................
ABSTRAK ......................................................................................................
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Permasalahan ..................................................................... 6
C. Batasan Masalah ................................................................ 7
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ............................................................... 8
F. Metode Penelitian .............................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ........................................................ 12
BAB II BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup .................................................................... 13
B. Kemasyhurannya ................................................................ 17
C. Perkembangan Pemikiran al-Ghazali ................................. 21
D. Hasil-Hasil Karyanya ......................................................... 24
BAB III KONSEP KEPRIBADIAN MENURUT AL-GHAZALI
A. Hakikat Manusia ................................................................ 27
B. Kedudukan Hati, Ruh, Akal dan Jiwa ................................ 29
C. Jiwa Manusia ...................................................................... 38
D. Akhlak Baik ....................................................................... 46
BAB IV KONSEP KEPRIBADIAN MENURUT AL-GHAZALI
SERTA KONTRIBUSINYA DALAM PROSES KONSELING
A. Pengertian Konseling ......................................................... 49
B. Kualitas Pribadi Konselor .................................................. 53
C. Proses Konseling ................................................................ 59
D. Bentuk-Bentuk Kontribusi Konsep Kepribadian Menurut
al-Ghazali dalam Proses Konseling ................................... 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 72
B. Saran ................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURICULUM VITAE
TRANSLITERASI2
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
` Th
B Zh
T `a
Ts Gh
J F
Ch Q
Kh K
D L
Dz M
R N
Z W
S H
Sy ؍
Sh Y
Dh
B. Vokal dan Harkat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
2Tim Penyusun, PanduanPenulisanKaryaIlmiahMahasiswaFakultasUshuluddin IAIN STS
Jambi (Jambi :Fak.Ushuluddin Iain STS JAMBI, 2014),136-137.
aa Aa
uu
C. Ta’ Marbutah
Transliterasi untuk ta’ marbutah ini ada dua macam:
1. Ta’ Marbutah yang mati atau mendapat harakatsukun, maka transliterasinya
adalah /h/.
contoh:
Arab Indonesia
Salaah
Mir‟ah
2. Ta’Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah,
maka transliterasinya adalah /t/.
Contoh:
Arab Indonesia
Wizaarat al-Tarbiyah
Mir‟at al-zaman
3. Ta’ Marbutah yang berharakat tanwin maka translaterasinya adalah /tan/tin/tun.
Contoh:
Arab Indonesia
Fajannatan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsep tentang manusia sangat penting artinya di dalam sistem pemikiran
dan di dalam kerangka berfikir seorang pemikir. Konsep tentang manusia menjadi
penting karena ia termasuk bagian dari pandangan hidup. Karena itu, meskipun
manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak pernah dimengerti secara utuh,
keinginan untuk mengetahui hakikatnya ternyata tidak pernah berhenti.
Lahirnya berbagai mazhab kepribadian dalam dunia psikologi modern
merupakan sebuah representasi dari upaya ilmiah manusia modern untuk
memahami kedirian manusia seutuhnya, disamping menunjukan pula keterbatasan
pengetahuan para teoritikus kepribadian barat dalam merumuskan struktur internal
manusia. Oleh karena kerangka keilmiahan yang menjadi basis penelusuran para
teoritikus kepribadian barat, maka merekapun mengalami keterbatasan dalam
proses analisis dan sintesis akan konsepsi kepribadian manusia secara
menyeluruh. Mereka mengalami banyak kesulitan dalam mengurai hal-hal yang
berada di luar rasionalitas manusia, yakni hal-hal yang berbau metafisik. Hal
tersebut tampak dalam tiga aliran mainstream psikologi modern; aliran
Psikoanalisa (Freud), aliran Behaviorisme (Skinner), dan aliran psikologi
Humanistik.3
Pentingnya arti konsep manusia di dalam sistem pemikiran dan kerangka
berfikir seorang pemikir, terutama sekali adalah karena hakikat manusia adalah
subjek yang mengetahui. Daya-daya yang dipunyai manusia mempunyai
efektivitas pada dirinya, dalam pandangan para filosof. Manusia mempunyai
kehendak yang bebas dan kemampuan dalam mewujudkan segala perbuatannya.4
Pembicaraan tentang manusia lebih sering menyangkut aspek tertentu saja dari
3 Septi Gumiandari, “Kepribadian Manusia Dalam Perspektif Psikologi Islam (Telaah
Kritis Atas Psikologi Kepribadian Modern)”, Holistik, Volume 12 Nomor 01, (2011), 267. 4 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali (Jakarta: Rajawali, 1988), 1-3.
2
manusia, seperti perbuatan-perbuatannya, tanpa dilihat koherensi dengan hakikat
manusia.5
Kepribadian secara harfiah dapat diartikan dengan tingkah laku, yaitu
tingkah laku individu yang menjadi ciri uniknya. Tingkah laku di sini diasumsikan
dari konsep manusia yang normal dan bukan yang sakit. Artinya, studi tentang
kepribadian adalah studi yang beranjak dari tingkah laku yang sehat dan bukan
sakit. Konsep ini diasumsikan dari pemahaman bahwa pada prinsipnya manusia
adalah makhluk yang fitri, suci dan baik.6
Para psikolog dalam melakukan interpretasi tes-tes psikologi terhadap klien
terkadang memerankan diri sebagai Tuhan melalui alat yang disebut dengan
instrumen atau alat tes tertentu, padahal ia hanya tahu kulit luarnya saja. Tes
kepribadian dalam konteks ini tidak akan mampu menunjukkan kepribadian yang
sesungguhnya.7
Al-Ghazali mengatakan bahwa manusia itu suci (fitrah). Hal ini ditujukan
dengan sabda Rasulullah:
“Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Seorang bayi tidaklah
dilahirkan melainkan dalam kesucian (fitrah). Ke mudian kedua orangtuanyalah
yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi”.8
Konsep sentralnya manusia memiliki watak dasar baik dan buruk, yang
menentukan baik atau tidak adalah keadaan spiritualnya. Manusia dalam asal
fitrah dan bentuknya telah berkumpul padanya empat sifat, yakni hewan buas,
binatang, setan serta rabbani (ketuhanan). Pada saat marah sedang menguasainya,
maka dia pun melakukan perbuatan-perbuatan hewan buas, pada saat setan telah
menguasainya ia telah melakukan perbuatan-perbuatan binatang, serta akan
5 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 9.
6 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta : PT Rajagrafindo, 2006), 38.
7 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 12.
8Elly Lathifah, Ringkasan Shahih Muslim, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul,
Mukhtashar Shahih Muslim, oleh M. Nashiruddin Al-Albani (Jakarta:Gema Insani Press, 2005),
938.
3
memiliki kedua sifat ini.9 Jika kedua sifat ini tergabung di dalam dirinya dan
melahirkan kecintaan pada kejahatan, kesewenangan, penaklukan, penipuan maka
ia ada dalam kendali setan.10
Menurut al-Ghazali memandang manusia haruslah total, mulai dari struktur
eksistensinya, hakikatnya atau esensinya, pengetahuan dan perbuatannya, tujuan
hidupnya sehingga tampak jelas wujud manusia yang sebenarnya.11
Dalam
karyanya ihya’ ulumuddin, al-Ghazali menggunakan empat istilah dalam
membentuk tentang esensi manusia, yaitu: hati, ruh, jiwa dan akal.12
Al-Ghazali berpendapat bahwa hati (al-Qalb) adalah alam ketuhanan, ia
mengetahui apa yang tidak dapat dicapai pikiran dan memancarkan keimanan dan
keyakinan. Ruh merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani,13
ruh merupakan nyawa manusia. Prinsipnya baik dan bersifat keakhiratan.14
Jiwa
(Nafs) bermakna lathifah, Ia merupakan substansi manusia yang membedakannya
dari hewan lain. Kalau ia bersih dan dihiasi zikir kepada Allah Swt serta bersih
dari noda syahwat dan sifat-sifat tercela, ia disebut al-Nafs al-Muthma’innah (jiwa
yang tenang).15
. Akal (Aql) adalah sesuatu yang kauketahui, ilmu menjadi sifat
akal.16
Akal adalah ladang ilmu, berkat akal manusia bisa memahami ilmu-ilmu
9 Labib, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul,
Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali (Surabaya: Himmah Jaya Surabaya, 2004),
306. 10
Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali (Bandung: Penerbit Mizan, 1997),
206. 11
Erit Aswadi, “Perbandingan Konsep Al-Ghazali dan Sigmund Freud Tentang
Kepribadian Manusia Ditinjau Dari Prespektif Konseling”, Skripsi (Yogyakarta: Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), 8. 12
Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ ‘Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali (Jakarta: PT Serambi Semesta
Distribusi, 2017), 309. 13
Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali, 195-196. 14
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 75. 15
Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ ‘Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali, 312. 16
Ibid, 313.
4
agama yang menghantarkan kepada qurb (berdekatan diri dengan ibadah) kepada
Allah.17
Al-Ghazali dijuluki sebagai seorang The Proof Of Islam (Hujjatul Islam),
The Ornament Of Faith (Zaini Al-Din), dan The Renewer Of Religion (Mujaddid)
karena di dalam dirinya terkumpul hampir semua jenis pemikiran dan berbagai
gerakan intelektual dan keagamaan yang berkembang pada masanya.18
Al-Ghazali
adalah orang yang sangat cerdas, berwawasan luas, kuat hapalannya,
berpandangan mendalam, menyelami makna, dan memiliki hujjah-hujjah yang
akurat.19
Beliau secara mendalam mengkaji empat disiplin ilmu yang
menunjukkan berbagai corak pemikirannya, yaitu ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu
kebatinan dan ilmu tasawuf. Al-Ghazali aktif menulis berbagai bidang ilmu
dengan susunan dan metode yang sangat bagus.
Fenomena perilaku yang menimpa umat Islam akhir-akhir ini tidak mungkin
dapat dianalisis dengan teori-teori psikologi kepribadian barat. Boleh jadi dalam
teori psikologi kepribadian barat perilaku tersebut merupakan patologis,
sementara dalam psikologi kepribadian Islam diyakini sebagai perilaku yang
mencerminkan aktualisasi diri atau realisasi diri.
Konsep atau teori kepribadian Islam harusnya segera tampil untuk menjadi
acuan normatif bagi umat Islam. Perilaku umat Islam tidak sepatutnya dinilai
dengan kacamata teori kepribadian barat yang sekuler, karena keduanya memiliki
frame yang berbeda dalam melihat realitas. Perilaku yang sesuai dengan perintah
agama seharusnya dinilai baik, dan apa yang dilarang oleh agama seharusnya
dinilai buruk. Agama memang menghormati tradisi (perilaku yang ma’ruf), tetapi
lebih mengutamakan tuntutan agama yang baik (khayr).20
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan dengan sempurna. Sehingga
ia mempunyai potensi untuk kembali kesempurnaannya, apabila ia mengalami
17
Ahmadie Thaha, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Manhaj al-Bahtsi’an al-Ma’rifah ‘inda al-Ghazali, oleh Victor Said Basir (Jakarta:
Pustaka Panji Mas Jakarta, 1990), 21. 18
Ahmad Ali Riyadi, Psikologi Sufi Al-Ghazali (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008), 7. 19
Irwan Kurniawan, Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, Diterjemahkan dari buku aslinya
yang berjudul, Mukasyafah Al-Qulub: Al-Muqarrib Ila Hadhrah ‘Allam Al-Ghuyub Fi ‘Ilm At-
Tashawwuf, oleh Imam Al-Ghazali (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 12. 20
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 12.
5
beberapa masalah dalam dirinya. Dengan kesempurnaannya, ia dibekali akal
untuk bertindak sesuai dengan kemampuan dan kondisi dirinya.21
Sebagaimana
termaktub dalam QS.Al-Isra‟, ayat 70:
“Dan sesungguhnya, kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami angkat
mereka di darat dan di laut, dan kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan
kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang kami ciptakan dengan
kelebihan yang sempurna”. (QS. Al-Isra: 17).22
Manusia mempunyai sifat berkeluh-kesah, rasa tidak berdaya. Keraguan
dalam bertindak, atau tergesa-gesa dalam bertindak. Semua itu akibat
ketidakmampuannya mengambil suatu keputusan. Ketidakmampuan mengambil
keputusan karena ia ketidakfahaman terhadap dirinya dan ketidakmengertian
terhadap lingkungan di sekitarnya.
Bagi mereka yang tersebut di atas akan timbul berbagai macam masalah.
Masalah ini akan menjadi masalah selama individu masih terus
mempermasalahkannya, tanpa ia berusaha untuk menyelesaikannya karena kita
ketahui bahwa dari masalah yang satu akan muncul masalah yang lainnya.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap kali ada kesulitan atau kesalahan,
maka akan datang kemudahan dan perbaikan. Selama manusia itu mau berusaha
dan mencapai jalan dan cara untuk menyelesaikannya. Cara dan jalan untuk dapat
menyelesaikannya yaitu dengan konseling.
Hakikat konseling tidak akan terlepas dan sangat berhubungan dengan
hakikat manusia itu sendiri. Karena konseling marupakan suatu proses yang
membantu permasalahan yang dialami dan dirasakan manusia.23
Dalam proses
konseling, kepribadian seorang konselor sangat berperan. Dengan kepribadian
21
Abubakar Baraja, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling (Jakarta: Studia Press,
2006), 27. 22
Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985) 23
Abubakar Baraja, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling, 28-29.
6
yang baik juga akan menjadikan hubungan konseling akan tercipta sangat
harmonis.24
Al-Ghazali mengajukan tentang konsep manusia yaitu al-Nafs, al-Qalb, al-
Ruh, dan al-Aql yang membentuk suatu kepribadian manusia. Dengan pendapat
yang dikemukakan oleh al-Ghazali dapat menjadi rujukan seorang konselor agar
konselor dapat memahami kepribadian dirinya, kepribadian klien berpatokan
dengan hakikat manusia seutuhnya, mewujudkan kepribadian baik dan tidak
melihat masalah klien dari kulit luarnya saja. Mengenal diri adalah kunci untuk
mengenal Tuhan, sesuai dengan hadits:
“Siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya,” 25
Ketahuilah, tidak ada yang lebih dekat kepadamu kecuali dirimu sendiri.
Jika kamu tidak mengetahui dirimu sendiri, bagaimana bisa mengetahui segala
sesuatu yang lain.26
Diharapkan setelah melalui proses konseling seorang klien
bisa mengembangkan kepribadian muslim yang sempurna atau optimal (kaffah
dan insan kamil) sesuai dengan tujuan konseling Islam itu sendiri.27
Penulis dalam hal ini mengangkat pemikiran al-Ghazali dengan
mempertimbangkan bahwa pemikirannya dapat diterima oleh masyarakat Islam di
Indonesia. Keunikan pemikiran ini tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh lain. Karena
itu penulis tertarik untuk menelisik lebih jauh tentang konsep kepribadian menurut
al-Ghazali dan kontribusinya dalam proses konseling.
B. Permasalahan
Pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana
konsep kepribadian menurut al-Ghazali, agar seorang konselor memahami
24
Abubakar Baraja, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling, 55. 25
Dedi Slamet Riyadi dan Fauzi Bahreisy, Fauzi. Kimiya’ Al-Sa’adah (Kimia Ruhani untuk
Kebahagiaan Abadi), Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, The Alchemy of
Happiness” dengan merujuk pada edisi bahasa Arab, “Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah” oleh Imam Al-
Ghazali (Jakarta: Penerbit Zaman, tt), 9. 26
Haidar Bagir, Kimia Kebahagiaan, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, The
Alchemy of Happiness al-Ghazali, oleh Imam Al-Ghazali (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), 9. 27
Tohirin, Bimbingan dan Konseling Di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi)
(Jakarta Rajawali Pers 2014), 36.
7
kepribadian dirinya, kepribadian klien untuk mewujudkan kepribadian baik
melalui proses konseling? Pokok masalah ini lebih jauh dapat dirumuskan dalam
beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Bagaimana konsep kepribadian menurut al-Ghazali?
2. Bagaimana kontribusi konsep kepribadian al-Ghazali dalam proses konseling?
C. Batasan Masalah
Berdasarkan pokok permasalahan diatas, maka penelitian ini di fokuskan
pada satu permasalahan. Dimana hal ini untuk menghindari objek bahasan yang
keluar dari koridor yang diharapkan. Oleh karena itulah dalam penelitian penulis
membatasi masalah yang akan dibahas hanya tentang bagaimana konsep
kepribadian menurut al-Ghazali dan kontribusinya dalam proses konseling.
Penelitian ini hanya berbicara tentang konsep kepribadian menurut al-
Ghazali dan bagaimana bentuk kontribusinya dalam proses konseling. Selain itu
penelitian ini dibatasi dalam konteks pemikiran al-Ghazali.
D. Tujuan dan Kegunaan penelitian
Penelitian ini secara umum diupayakan untuk mengetahuai konsep
kepribadian menurut al-Ghazali dan kontribusinya dalam proses konseling. sedang
secara khusus, penelitian ini diujukan untuk:
1. Mengetahui konsep kepribadikan menurut al-Ghazali.
2. Mengetahui bagaimana kontribusi konsep kepribadian menurut al-Ghazali
dalam proses konseling.
Lebih lanjut, penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai kegunaan yang
bersifat teoritis dan juga praktis, yaitu:
1. Memberikan sumbangan yang berharga dalam memperkaya khazanah
keilmuan Islam tentang konsep kepribadian menurut al-Ghazali.
2. Menambah pengetahuan bagi penulis baik itu secara teori dan praktek dalam
penelitian.
8
3. Menjadi kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN STS Jambi yang tengah
mengembangkan paradigma keilmuan yang berwawasan global dalam bentuk
Universitas Jambi.
4. Untuk melengkapi persyaratan guna untuk memperoleh gelar sarjana strata
satu (S1) Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam UIN STS Jambi.
E. Tinjauan Pustaka
Al-Ghazali yang merupakan pemikir Islam ini secara mendalam telah
mengkaji empat disiplin ilmu yang menunjukkan corak pemikirannya, yaitu ilmu
kalam, ilmu filsafat, ilmu kebatinan dan ilmu tasawuf. Tidak heran jika banyak
sekali tulisan-tulisan yang merujuk pada pemikiran al-Ghazali.
Karya Muhammad Yasir Nasution yang berjudul Manusia Menurut al-
Ghazali, yang memaparkan tentang rumusan al-Ghazali tentang manusia sebagai
suatu realitas yang ada. Adapun masalah yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Hakikat dan struktur keberadaan manusia dalam pandangannya dan alasan
yang mendasari pandangan itu.
2. Potensi yang paling esensial di dalam struktur keberadaan manusia.
3. Kemampuan manusia untuk mengetahui dan mewujudkan perbuatannya
berdasarkan potensi yang dimilikinya.
4. Kesempurnaan manusia dan jalan yang harus ditempuh untuk mencapainya.
5. Hubungan antar substansi material manusia (badan) dan substansi
immaterialnya (jiwa).28
Karya Imam al-Ghazali yang berjudul Mukhtashar Ihya Ulumuddin yang
diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan dalam Mutiara Ihya Uhumuddin. Ini
merupakan kitab yang paling popular di antara kitab-kitab klasik-tradisional dan
menjadi rujukan utama bagi para penempuh jalan sufi. Ihya Ulumuddin atau Al-
Ihya merupakan kitab yang membahas tentang kaidah dan prinsip dalam
28
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 6.
9
menyucikan jiwa yang membahas perihal penyakit jiwa, pengobatannya, dan
mendidik hati.29
Karya Erit Aswadi yang berjudul Perbandingan Prespektif al-Ghazali dan
Sigmund Freud Tentang Kepribadian Manusia Ditinjau dalam Prespektif
Konseling. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep kepribadian
manusia menurut al-Ghazali dan Sigmund Freud, serta kontribusinya dalam
keilmuan konseling. Dalam pelaksanaan konseling, konsep al-Ghazali dan
Sigmund Freud penting untuk diketahui serta dipahami oleh seorang konselor.
Konsep ini adalah pengetahuan dasar bagi konselor.30
Karya Muhammad Shazlan Faidz Bin Roselan yang berjudul Konsep
Bimbingan Kepribadian Tazkiyah Al-Nafs dalam Perspektif al-Ghazali. Karya ini
mengkaji tentang nilai-nilai pembentukan karakter dan bimbingan kepribadian
dengan konsep Tazkiyah Al-Nafs karya al-Ghazali yang berisikan tentang
bimbingan, pengetahuan dan pelatihan.31
Karya Arianes yang berjudul Konsep al-Nafs dan al-Ruh Sebagai Media
Pembinaan Akhlak al-Ghazali. Penelitain ini dilatar belakangi oleh sering
terjadinya gangguan-gangguan dalam kehidupan masyarakat, hal ini tidak jarang
muncul dari perbuatan-perbuatan manusia. Dalam karya ini penulis ingin
mengemukakan konsep al-Nafs dan al-Ruh sebagai media pembinaan akhlak.
Hasilnya penulis menemukan bahwa untuk mengurangi dan mengatasi antar
gejolak pada media pembinaan akhlak ini terdapat hubungan antar pembinaan
akhlak terahadap konsep al-Nafs dan al-Ruh menurut al-Ghazali. Sebab, di dalam
konsep tersebut diajukan untuk mendekati diri kepada Allah melalui mujahad,
riyhadat al-Nafs, dan tahzib al-akhlak.32
29
Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali, 5. 30
Erit Aswadi, “Prespektif al-Ghazali dan Sigmund Freud Tentang Kepribadian Manusia
Ditinjau dalam Prespektif Konseling”, Skripsi (yogyakarta: universitas islam negeri sunan kalijaga
yogyakarta, 2012) 31
Muhammad Shazlan Faidz Bin Roselan, “Konsep Bimbingan Kepribadian Tazkiyah Al-
Nafs dalam Perspektif al-Ghazali”, Skripsi (Jambi: UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2018) 32
Arianes, “Konsep al-nafs dan al-ruh Sebagai Media Pembinaan Akhlak al-Ghazali”,
skripsi (Jambi: IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2014).
10
Sebagai mana terlihat dari studi relevan ini bahwa belum ada diantara kajian
ini yang membahas tentang Konsep Kepribadian Menurut al-Ghazali dalam
Prespektif Konseling. Artinya, karya penulis tidaklah sama dengan karya di atas,
penulis menyoroti konsep kepribadian menurut al-Ghazali saja dan bagaimana
kontribusinya dalam proses konseling. Dengan demikian penelitian penulis adalah
berbeda dan dapat ditinjau lebih jauh.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitain ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu
serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka.33
Menurut Abdul Rahman Sholeh, penelitian kepustakaan ialah penelitian
yang menggunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan
memanfaatkan fasilitas yang ada di perpustakaan.34
Penelitian kepustakaan
mengandalkan data-datanya hampir sepenuhnya dari perpustakaan sehingga
penelitian ini lebih populer dikenal dengan penelitian kualitatif deskriptif
kepustakaan atau penelitian bibliografis dan ada juga yang mengistilahkan dengan
penelitian non reaktif, karena ia sepenuhnya mengandalkan data-data yang
bersifat teoritis dan dokumentasi yang ada di perpustakaan.35
2. Sumber dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, karena itu sumber data dalam
penelitian ini bersumber dari perpustakaan, seperti buku-buku yang ada
relevansinya dengan penelitian ini, dokumen, catatan kisah-kisah sejarah, jurnal
ataupun skripsi.
Jenis data digunakan dalam penelitian ini dapat peneliti klasifikasikan dalam
dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder merupakan data
yang secara langsung memiliki keterkaitan dan hubungan langsung dengan topik
33
Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 31. 34
Abdul Rahman Sholeh, Pendidikan Agama dan Pengembangan untuk Bangsa (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005), 63. 35
Mukhtar, Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif (Jakarta: Referensi, 2013), 6.
11
bahasan penelitian. Adapun sumber sekunder merupakan karya yang memiliki
keterkaitan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini.
a. Data primer
Penyuguhan data primer penulis menggunakan karya-karya al-Ghazali,
salah satunya yaitu Mutiara Ihya‟ Ulumuddin terjemahan Irwan Kurniawan dan
Ihya‟ Ulumiddin Jiwa Agama terjemahan Ismail Yakub cetakan Kuala Lumpur,
kimiya’ al-sa’adah terjemahan Dedi Slamet Riyadi dan Fauzi Bahreisy.
b. Data sekunder
Adapun sumber data sekunder penulis menggunakan yang berkaitan dengan
bahasan, seperti Manhaj al-Bahtsi’an al-Ma’rifah ‘Inda al-Ghazali (al-Ghazali
mencari makrifah) terjemahan Ahmadie Thaha, Tahdzib Al-Akhlaq Wa Mu’alajat
Amradh Al-Qulub (mengobati penyakit hati membentuk akhlak mulia) terjemahan
Muhammad Al-Baqir, Manusia Menurut al-Ghazali Karya Muhammad Yasir
Nasution, Kepribadian dalam Psikologi Islam karya Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa
Psikologi Islam karya Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, dan buku tentang konseling.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Menela‟ah buku yang berkaitan dengan konsep kepribadian karya al-Ghazali.
b. Memisahkan antara data primer dan sekunder.
c. Menela‟ah buku-buku tokoh yang ada relevansinya dengan masalah yang
diteliti dengan merujuk kepada referensi yang tersedia dilingkungan akademik
UIN STS Jambi.
4. Metode Analisis Data
Setelah data dikumpulkan, maka diadakan analisis data-data. Oleh karena
itu, penulis menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis sebagai
berikut:
a. Analisis historis adalah menjelaskan tentang sejarah masa lampau. Dalam hal
ini penulis menganalisis sejarah yang berkaitan dengan riwayat hidup al-
Ghazali dan pemikirannya.
12
b. Analisis deskriptif adalah menjelaskan apa adanya dengan mengutip dan
menyalin beberapa pemikiran al-Ghazali dan para tokoh yang menelaah
pemikiran al-Ghazali, Kemudian memaparkan permasalahan yang lebih
konkrit.
c. Analisis isi adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi
suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media masa.
G. Sistematika Penelitian
Untuk mensistematisasikan penelitian dan menjawab pertanyaan dalam
penelitian ini, maka penelitian merujuk pada tekhnik penelitian yang disepakati
pada fakultas dakwah UIN STS Jambi. Penelitian ini akan dibagi dalam beberapa
bab.
Bab I membahas tentang latar belakang masalah, permasalahan, batasan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,
serta sistematika penelitian.
Bab II membahas tentang riwayat hidup al-Ghazali, kemasyhurannya,
perkembangan pemikiran al-Ghazali, karya-karya al-Ghazali. Bab ini diarahkan
untuk melihat latar belakang kehidupan dan pemikiran al-Ghazali.
Bab III membahas tentang hakikat manusia, kedudukan hati, ruh, akal dan
jiwa, jiwa manusia menurut al-Ghazali serta mengetahui akhlak baik.
Bab IV merupakan bahasan inti, yang diuraikan untuk menjelaskan tentang
konseling dan bagaimana kontribusi konsep kepribadian menurut al-Ghazali
dalam proses konseling.
Bab V, merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang
kesimpulan akhir penelitian, saran-saran, yang akan mengakhiri penelitian.
13
BAB II
BIOGRAFI AL-GHAZALI
Bab ini akan membahas tentang riwayat hidup al-Ghazali, yang akan
mengulas perjalanan hidup al-Ghazali hingga akhir hayatnya. Kemudian akan
membahas kemasyurannya untuk mengetahui pihak yang pro dan yang kontra
terhadap pemikirannya. Selanjutnya perkembangan pemikiran al-Ghazali, dan
yang terakhir akan menyebutkan karya yang dihasilkan dari pemikirannya.
A. Riwayat Hidup
Al-Ghazali dengan nama Zainuddin, Hujjatul Islam Abu Hamid,
Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali Ath-Thusi An-Nasysaburi, Al-Faqih Ash-
Shufi, Asy-Syafi‟i, Al-Asy-Ari.36
Terkenal dengan nama Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali mendapat gelar imam besar Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam. Al-
Ghazali berasal dari kata Ghazalah nama kampung al-Ghazali dilahirkan, adapun
pendapat lain al-Ghazali berasal dari kata Ghazzal al-Shuf berarti pemintal
benang wool, profesi ayah al-Ghazali.37
Dilahirkan di suatu kampung bernama
Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia pada tahun 450 H/ 1058 M. Ia
keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja Saljuk yang
memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz.
Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain
bulu. Di samping itu ayahnya selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik
ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila
mendengar urain alim ulama itu maka ayah al-Ghazali menangis tersedu-sedu
seraya bermohon kepada Allah Swt. Kiranya dia dianugerahi seorang putera yang
pandai dan berilmu.38
Akan tetapi belum sempat menyaksikan (menikmati)
36
Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Al-Ghazali, 9. 37
Ahmadie Thaha, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali oleh Victor Said Basil, 7. 38
Ismail Yakub, Ihya’ Ulumiddin Jiwa Agama Jilid 1, Diterjemahkan dari buku aslinya
yang berjudul, Ihya’Ulumiddin, oleh Imam Al-Ghazali , 24.
14
jawaban Allah (karunia) atas doanya, ia meninggal dunia pada saat putra
idamannya masih usia anak-anak.
Sejarah sendiri tidak memberikan keterangan dan takdir telah membuat ibu
al-Ghazali tidak dikenal masa. Akan tetapi sang ibu menyaksikan apa yang tidak
disaksikan oleh suaminya ketika anaknya menjadi matahari dunia yang terbit di
ufuk kejayaan dan keagungannya, serta sang anak kala itu menduduki posisi yang
terhormat di bidang ilmu pengetahuan.39
Sebelum meninggal dunia, ayah al-Ghazali pernah menitipkan kedua
anaknya (seorang di antara adalah Muhammad, yang kemudian dijuluki al-
Ghazali), kepada seorang sufi (sahabat karibnya) sambil mengungkap kalimatnya
bernada menyesal: “[N]asib saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu
pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anak-
anakku ini, peliharalah mereka dan pergunakanlah sampai habis harta warisan
yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka”.
Kasih sayang ibu menjadi modal utama pendorong moral bagi mereka untuk
belajar terus. Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin
bagi sang sufi untuk memberi nafkah kepada mereka berdua, sang sufi pun
berkata:
“[K]etahuilah bahwa saya telah membelanjakan bagi kalian, seluruh harta
peninggalan ayahmu. Saya seorang miskin dan bersahaya dalam hidupku. Saya
kira hal yang terbaik yang dapat kalian lakukan ialah masuk ke dalam sebuah
madrasah sebagai murid. Dengan jalan ini kalian akan mendapatkan gambaran
untuk kelangsungan hidupmu”.
Kedua anak tersebut berlaku demikian dan ini menjadi sebab dari
kebahagiaan dan tercapainay cita-cita luhur mereka.40
Pada masa kecilnya al-
Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad Bin
Muhammad Ar-Razikani41
dan mempelajari ilmu tasawuf kepada yusuf An-Nasaj,
sampai pada usia 20 tahun. Kemudian al-Ghazali memasuki sekolah tinggi
39
Sulaiman Dunya, Al Haqiqat Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali (Surabaya: Pustaka
Hikmah Perdana, 2002), 38. 40
Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 7-8. 41
Ismail Yakub, Ihya’ Ulumiddin Jiwa Agama Jilid 1, Diterjemahkan dari buku aslinya
yang berjudul, Ihya’Ulumiddin, oleh Imam Al-Ghazali , 24.
15
Nidhamiyah, dan di sinilah ia bertemu dengan Imam Haramain. Prof. Dr. Abu
Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut:
[A]l-Ghazali mempelajari ilmu fiqih, mantiq, dan ushul, dan dipelajarinya
antara lain: filsafat dari risalah-risalah Ihwanus Shofa karangan Al-Farabi, Ibnu
Maska Waih. Sehingga dengan melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, al-
Ghazali dapat menyelami paham-paham Aristoteles dan pemikir Yunani yang
lain. Juga ajaran-ajaran Imam Syafi‟i, Harmalah, Jambad, Al-Muhasidi dan
lain-lain, bukan tidak berbekas pada pendidikan al-Ghazali. Begitu juga Imam
Abu Ali Al-Faramzi, bekas murid Al-Qusyairi yang terkenal dan sahabat As-
Subkhi, besar jasanya dalam mengajar ilmu tasawuf pada al-Ghazali. Ia
mempelajari juga agama-agama lain seperti agama Masehi.
Al-Ghazali sanggup bertukar pikiran dengan segala aliran dan agama, serta
menulis beberapa buku di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, sehingga
keahliannya itu diakui dapat mengimbangi gurunya yang sangat dihormatinya itu.
Dalam usianya yang baru mencapai 28 tahun, al-Ghazali telah menggemparkan
kaum sarjana dan ulama dengan kecakapannya yang luar biasa. Di Naishabur ia
telah menghidupkan paham skeptisme yang dianut oleh para sarajan Eropa pada
masa berikutnya.42
Al-Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang yang cinta ilmu
pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa
kesulitan. Al-Ghazali hidup dimasa kacau dan situasi genting, pertentangan antar
golongan semakin menjadi-jadi dan gerakan Bathini (kebatinan) semakin leluasa.
Sementara itu golongan Syi’ah telah menguasai kota Baghdad yang dipimpin
Thaghr Al-Baughd. Perdana menteri Nidzam al-Mulk mendirikan beberapa
lembaga pendidikan. Terbesar diantaranya Universitas Nidhamiyah. Nidzam al-
Mulk berusaha menyeberluaskan ilmu-ilmu agama dan filsafat.43
Kemudian pada
tahun 483 H/ 1090 M, di angkat menjadi guru besar di Universitas Nidhamiyah
Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu ia laksanakan dengan sangat baik.
Selama di Baghdad. selain mengajar, ia juga mengadakan bantahan-batahan
terhadap pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat, dan lain-lainnya.
42
Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 8. 43
Ahmadie Thaha, al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali oleh Victor Said Basil, 1.
16
Para mahasiswa sangat gemar dengan kuliah-kuliah yang disampaikan al-
Ghazali karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang ia miliki. Para
mahasiswa dan sarjana yang tidak kurang jumlahnya dari 300 sampai 500 orang
seringkali terpukau pada kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para ulama dan
masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya, sehingga
tidak heran jika ia menjadi sangat masyhur dan popular dalam waktu yang relatif
tidak lama.
Al-Ghazali telah menelan seluruh paham, aliran dan ajaran-ajaran firqah,
thaifah, dan filsafat. Kesemuanya itu menimbulkan pergolakan dalam otaknya
sendiri, karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya, sehingga ia ragu
kepada kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada Allah, apalagi untuk
mengetahui hakikatnya.44
Naiklah derajatnya di kalangan para penguasa, para menteri, tokoh-tokoh
masyarakat, dan para pemegang kendali kekhalifahan saat di Bagdad. Kemudian
di sisi lain, keadaannya terbalik. Maka ia meninggalkan Bagdad, meninggalkan
semua kedudukannya, dan menyibukkan dirinya dengan ketakwaan. Pada tahun
489 H ia pergi ke Damaskus dan tinggal di situ selama beberapa waktu.
Kemudian, dari Damaskus ia pergi ke Bait Al-Maqdis, dan mulai menulis
bukunya, Al-Ihya. Ia mulai berjihad melawan nafsu, mengubah akhlak,
memperbaiki watak, dan menempa hidupnya45
. Setelah itu bergeraklah hatinya
untuk menunaikan ibadah haji, dan kemudian ia pulang ke Negara kelahiranya.
Al-Ghazali di samping rumahnya mendirikan madrasah untuk para fukaha
dan kamar-kamar untuk para sufi. Ia membagi waktunya untuk mengkhatamkan
al-Qur‟an, berdiskusi dengan ulama lain, mengkaji ilmu, sambil terus
melaksanakan salat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya hingga kembali ke
rahmatullah. Ia wafat di Thus pada hari senin tanggal 14 Jumadil akhir 505 H/ 19
Desember 1111 M, pada umur 55 tahun.
Abu Al-Faraj Al-Jawzi dalam kitabnya, Ats-Tsabat ‘Inda Al-Mamat,
mengatakan bahwa Ahmad, adik Imam al-Ghazali berkata:
44
Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 9. 45
Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 10.
17
[P]ada hari Senin subuh, kakaku, Abu Hamid, berwudhu dan salat, lalu
berkata, „ambilkan untukku kain kafan.‟ Ia mengambilnya dan menciumnya,
lalu melakukannya di atas kedua matanya. Ia berkata, „aku mendengar dan aku
taat untuk menemui al-Malik.‟ Kemudian, ia menjulurkan kakinya dan
menghadap kiblat. Tak lama, ia meninggal dunia menjelang matahari
terbenam”.46
Al-Ghazali meninggalkan 3 orang anak perempuan sedang anak laki-lakinya
yang bernama Hamid yang telah meninggal dunia semenjak kecil sebelum
wafatnya al-Ghazali, karena anak inilah, ia digelarkan “Abu Hamid” (bapak si
Hamid).47
B. Kemasyhurannya
Sesuatu yang wajar dan menjadi kebiasaan umat manusia sepanjang sejarah,
bahwa seorang pemikir yang kontroversial adalah dikutuk dan dipuji. Demikian
pula al-Ghazali, ia adalah seorang tokoh dan pemikir dalam berbagai disiplin
(universalist) yang terkenal sepanjang masa, banyak kawan yang sepaham dan
banyak pula lawan yang menentang, diagungkan dan dicaci maki, dibela dan
dibenci.
Mereka yang menyanjung setinggi langit memberikan komentar; tanpa
kehadirannya, ilmu-ilmu agama, akhlak dan tasawuf pada abad belakang ini telah
lama pudar cahayanya. Oleh karena itu al-Ghazali biasa dipanggil dengan
beberapa nama julukan, di antaranya: Hujjatul Islam, bapak ahli tasawuf, pembela
ahli sunnah Wal jama‟ah dan pemelihara tauhid pemusnah syirik.48
Dr. Zwemmer, mustasyrid (orientalis) Inggris yang cukup berpengaruh
pernah menempatkan al-Ghazali sebagai salah satu dari empat orang pilihan pihak
Islam dari zaman Rasulullah Saw, sampai zaman kita sekarang ini, yakni:
pertama Muhammad sendiri, kedua al-Bukhari, ketiga al-Asy-Ari dan keempat al-
Ghazali. Demikian itu masih banyak para sarjana, ulama maupun pengikutnya
46
Mahfudli Sahli, Dibalik Ketajaman Mata Hati, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukasyafatul Qulub, oleh Imam Al-Ghazali (Jakarta: Pustaka Amani, 1997), 13. 47
Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 10. 48
Ibid, 11.
18
yang berlebih-lebihan dalam memujanya, sehingga hanya ditampilkan kebaikan,
kebesaran dan kelebihannya saja dengan cara yang melampaui batas kewajaran.
Sebaliknya, mereka yang amat tajam mengkritik al-Ghazali mengatakan:
“[D]osa besar, kemunduran umat Islam dalam bidang duniawi dan ilmu filsafat
adalah atas tanggung jawab beliau, karena menganjurkan hidup secara sufi dan
zuhud serta uslah”. Oleh karena itu, al-Ghazali dikecam dengan kata-kata yang
tajam dan pedas, seumpama: Ghazali musuh dan musuh ahli pikir, pengebiri
kemerdekaan bepikir yang berani, dari zaman Ghazali-lah bertolak kemunduran
Islam, al-Ghazali anti ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu kimia,
matematika dan filsafat, karena semuanya menurut pendapat al-Ghazali menjurus
ke arah anti Tuhan atau atheisme.
Tidak sedikit pula ulama-ulama besar yang juga memberi kecaman yang
tajam terhadap al-Ghazali dari berbagai segi, antara lain: Ibnu Rusyd (filosof
sekaligus ulama) menghantamnya habis-habisan di lapangan ilmu filsafat, karena
bukunya Tahafut Al Falasifah, Ibnu Taimiyah (ulama salaf) mengupas
pendiriannya di lapangan ilmu tasawuf dan dianggapnya sangat menyesatkan,
Ibnu Qoyyim (pakar fiqh Islam) menyalahkannya di lapangan ilmu-ilmu hukum,
karena fatwa-fatwanya yang banyak menolak dan berlawanan dengan Syari‟at.49
Pertentangan al-Ghazali dan filosof-filosof Islam adalah pertentangan
penafsiran teolog dan penafsiran filosof. Penafsiran yang diberikan filosof-filosof
Islam tentang beberapa soal keagamaan berbeda dengan yang diberikan al-
Ghazali, penafsiran filosof Islam lebih liberal dari penafsiran al-Ghazali yang
menganut Asy‟ariyah.
Simposium tentang al-Ghazali yang diselenggarakan oleh BKSPTIS (Badan
Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta) di Jakarta, tanggal 26 Januari 1985,
telah menjawab kecaman-kecaman dan sebagai kritik-kritik tersebut, antara lain:
Prof. Dr. Harun Nasution berkesimpulan: maka sebab tidak berkembangnya
pemikiran filsafat di dunia Islam sunni sesudah jatuhnya Baghdad pada
pertengahan abad XIII, tidaklah bisa diletakkan pada serangan al-Ghazali terhadap
pemikiran para filosof sebagai terkandung dalam Tahafut Al Falasifah itu.
49
Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 12.
19
Dr. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif pada kesempatan itu juga menyatakan: al-
Ghazali bukanlah tokoh yang menyebarkan benih anti intelektualisme, sebab ia
hanyalah menyerang dengan tuntas aspek metafisik dari filsafat Al-Farabi dan
Ibnu Sina, terutama diserangnya dari aspek metafisik ini. Ia tidak pernah
menantang logika atau penggunaan penalaran, yang ia tentang adalah klaim akal
untuk mengetahui seluruh kebenaran.50
Terlepas dari itu semuanya, baik kawan maupun lawan, yang pro maupun
yang kontra, yang memuji atau yang mencaci, al-Ghazali tetap memiliki sosok
kepribadian yang mulia, penuh kharismatik, kehidupan yang shaleh, ketakwaan
yang tinggi dan jasanya yang besar. Banyak orang besar dalam sejarah, tetapi ia
besar hanyalah dalam (satu spesialisasi) bidangnya, sedangkan bidang lainnya dia
tidak tahu sama sekali. Al-Ghazali tidaklah demikian halnya, ia memiliki keahlian
dan kepandaian, otoritasnya pada disiplin ilmu sangat representatif dalam segala
bidang, ketenarannya sempat menerobos dunia musyik hingga maghrib.
Syekh Musthofa Al-Maraghi mengakui al-Ghazali ahli di dalam berbagai
lapangan pengetahuan, yaitu ahli ilmu ushul yang mahir, ahli fiqih yang
berpikiran merdeka, ahli teologi yang menjadi iman ahli sunnah, ahli sosiologi
yang luas pengetahuannya tentang masyarakat, ahli psikologi yang luas
pandangannya tentang rahasia jiwa manusia, ahli filsafat yang berani
membongkar segala kesalahan filsafat, ahli pendidikan yang ulung, dan seorang
sufi yang sangat zuhud. Bahkan, kalangan ilmuan Barat sekarang, masih tetap
mengakui jasa dari al-Ghazali beserta pemikir-pemikir muslim lainnya dalam
peranannya terhadap peradaban Barat. Oleh karena itu al-Ghazali sering diberi
gelar Mujaddin atau pembaru sekaligus pembangun Agama.51
Menurut pengkajian Abul A‟la Al-Maududi, ada delapan segi amaliah
pembaruan yang dilakukan al-Ghazali pada masa hidupnya yaitu:
1. Pengkajian filsafat Yunani dengan cara yang mendalam dan teliti lalu
mengemukakan kritik yang tajam, yang kemudian dimasukkannya ke dalam
hati dan jiwa kaum muslim.
50
Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 13. 51
Ibid, 14.
20
2. Meluruskan kekeliruan yang terjadi akibat upaya perbaikan yang dilakukan
oleh ulama mutakallimin yang kurang menguasai logika.
3. Menjelaskan akidah-akidah Islam dan prinsip-prinsip melalui logika yang tidak
bertentangan dengan filsafat dan ilmu logika yang berkembang saat itu. Al-
Ghazali juga berusaha menjelaskan berbagai hikmah dan rahasia syari‟at dan
ibadat dalam rangka meluruskan pendapat masyarakat, yang selama ini
diracuni suatu keyakinan bahwa agama mereka sudah tidak sesuai lagi dengan
akal.
4. Menentukan semua aliran keagamaan yang ada pada masanya, serta berusaha
mempertemukan segi-segi perbedaan mereka
5. Memperbarui pemahaman keagamaan umat dan menyatakan ketidakbergunaan
keimanan seseorang yang tidak disertai dengan komitmen batin, mengikis
habis taklid buta di kalangan mereka dan berusaha mendorong umat agama
agar kembali kepada al-Qur‟an dan Sunnah yang bersih serta menghidupkan
kembali semangat ijtihad.
6. Melakukan kritik terhadap sistem pendidikan dan pengajaran yang telah usang,
menggantikannya sistem baru. Dalam sistem pendidikan dan pengajaran lama
itu terdapat dua kelemahan; pertama, polarisasi ilmu agama dan ilmu umum
yang tidak mustahil akan menyebabkan umat akan menerapkan sekularisasi,
pandangan dikotomi semacam ini, menurut al-Ghazali jelas amat keliru.
Kedua, masuknya berbagai hal yang di atas memiliki syari‟at yang pada
hakikatnya tidak memiliki kaitan apa pun dengan syari‟at, yang bisa
mengakibatkan munculnya pemahaman keagamaan dalam masyarakat yang
menjurus pada kesesatan.
7. Mengkaji moral umat dengan pengkajian yang mendalam, al-Ghazali memang
memiliki kesempatan yang amat luas untuk mengungkapkan kehidupan para
ulama, tokoh-tokoh agama, umara, pangeran-pangeran dan orang awam.52
Gelar hujjatul Islam dari dunia Islam kapada al-Ghazali, dapat diartikan
bahwa umat Islam umumnya mengakui bahwa amal dan ilmu al-Ghazali selama
52
Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 15-16.
21
hidupnya merupakan suatu hujjah, pembelaan yang berhasil menentang anasir
luar yang membahayakan kepercayaan umat Islam.
Melalui pengetahuan mistiknya yang mendalam ia berhasil mengawinkan
prinsip-prinsip filsafat dan mistik ke dalam sistem teologinya. Atau barangkali di
sinilah letak kebesaran dan kemasyhuran al-Ghazali, yakni dalam mencari suatu
sintesa yang mantap antara unsur-unsur yang bertentangan dalam khazanah
intelektual skolastik Islam. Segala sesuatu apabila telah mencapai kesempurnaan
dan kebesarannya, maka tampaknyalah ia di mana kekurangannya. Abul A‟la Al-
Maududi mengoreksi gerakan pembaruan yang dilakukan al-Ghazali dari segi
pandangan ilmiah memiliki tiga kelemahan utama: pertama, kelemahan beliau
dalam segi pemahaman ilmu hadits (segi selektifitas pemakain hadits). Kedua,
kuatnya pengaruh logika dalam dirinya. Ketiga, terlihat terlalu dalam amaliah
yang mengarah pada tasawuf.53
C. Perkembangan Pemikiran al-Ghazali
Sejarah hidup al-Ghazali yang menarik perhatian adalah kedahagaan
terhadap segala pengetahun serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan
mencapai hakikat kebenaran segala sesuatu yang tidak pernah puas. Pengalaman
pengembangan intelektual dan spiritualnya berpindah-pindah dari ilmu kalam ke
filsafat, kemudian ke dunia batiniah dan akhirnya membawanya kepada tasawuf.
Inilah sebabnya untuk memahami kejelasan pola pemikiran dan corak hidupnya,
sering mengalami kesulitan sebagaimana dinyatakan A. Hanafi, M.A: oleh karena
itu pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan semasa hidupnya
dan penuh keguncangan batin sehingga sukar diketahui kejelasan corak
pemikirannya, seperti terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap
aliran-aliran akidah pada masanya.
Kontradiksi pikiran al-Ghazali juga sangat di pengaruhi oleh perkembangan
pikirannya, seperti yang dikatakan oleh Dr. Zaki Mubarak, yaitu: perbedaan
tersebut disebabkan perkembangan pikiran al-Ghazali mulai dari seorang murid
biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi
53
Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 17.
22
guru, bahkan guru yang benar-benar kenamaan. Akhirnya menjadi kritikus kuat,
menguasai dan menyingkap bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi
pengarang besar yang membanjiri dunia dengan pembahasan-pembahasan dan
buku-bukunya.
Al-Ghazali hidup ketika pemikiran di dunia Islam berada pada tingkat
perkembangannya yang tinggi. Pemikiran-pemikiran tidak berhenti sebagai hasil
olah-budi individual, tetapi berkembang menjadi aliran-aliran dengan metode dan
sistemnya masing-masing. Pemikir yang sezaman dengan al-Ghazali,
menggambarkan betapa banyaknya aliran pemikiran di dunia Islam pada waktu
itu. Setiap aliran, menurut al-Ghazali mengklaim kebenaran pada dirinya, yang
dengan sendirinya menempatkan aliran yang lain pada kedudukan yang tidak
benar.54
Al-Ghazali menggolong-golongkannya berdasarkan cara masing-masing
menemukan kesimpulan (kebenaran). Berdasarkan ini, menurutnya ada empat
aliran yang popular pada masanya, yaitu: mutakallimun, para filosof, al-ta’lim,
dan para sufi. Dua yang pertama dalam usaha mencapai kebenaran, menggunakan
akal, walaupun antara keduanya terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip
penggunaan akal itu; golongan yang ketiga menekankan orientasi imam; dan yang
terakhir menggunakan al-dzawq (intuisi).55
Al-Ghazali memperhatikan pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya, ia
merasa bahwa pengetahuan-pengetahuan itu tidak mencapai tingkat kebenaran
dan keyakinan, kecuali (mungkin) yang tergolong al-hissiyyat (yang diperoleh
melalui indera) dan al-dharurriyah (yang bersifat a priority dan aksiomatis).
Sebab, kedua jenis pengetahuan ini tidak berasal dari orang lain, tetapi berasal
dari diri subjek sendiri.56
Al-Ghazali menguji pengetahuan inderawi dan melihat bahwa pengetahuan
itu tidak terlepas dari kemungkinan tersalah. Akal, ternyata dapat membuktikan
kesalahan-kesalahan inderawi. Bayangan-bayangan benda yang dalam pandangan
mata, diam, ternyata dengan pengamatan dan eksperimen, akal menyimpulkan
bahwa bayangan-bayangan itu bergerak. Dengan demikian, kepercayaan al-
54
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 17-18. 55
Ibid, 19. 56
Ibid, 33.
23
Ghazali kepada pengetahuan inderawi hilang. Kepercayaan selanjutnya tertumpu
pada pengetahuan yang diperoleh melalui akal, seperti pengetahuan aksiomatis
yang bersifat a priori sebab, akal telah berhasil memperlihatkan kelemahan
indera.
Kepercayaan terhadap akal goncang kembali ketika ia memikirkan apa dasar
yang membuat akal dipercaya. Kalau ada dasar yang membuat akal percaya, maka
dasar itulah sesungguhnya yang lebih dipercaya, sebagaimana halnya akal
menjadi dasar kepercayaan terhadap indera. Ia melihat bahwa aliran-aliran yang
menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan
pandangan-pandangan yang bertentangan yang sulit diselesaikan dengan akal.
Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan yang
bertentangan itu. Ketika itu ia tidak berhasil membuktikan adanya sumber
pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal secara faktual.57
Kemungkinan adanya sumber pengetahuan supra-rasional itu diperkuat oleh
al-Ghazali dengan adanya pengakuan para sufi bahwa pada situasi-situasi tertentu,
mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran akal, dan dengan hadits
yang menyatakan bahwa manusia sadar dari tidurnya sesudah mati. Jadi,
berdasarkan pengetahuan para sufi dan hadits, ada situasi di luar situasi normal di
mana kesadaran manusia lebih tajam. Ia berhadapan dengan dua kemungkinan
tentang ada atau tidaknya sumber pengetahuan yang lain di dunia ini.
Al-Ghazali mengalami puncak kesangsiannya, ia tidak lagi mempunyai
sumber-sumber pengetahuan yang dapat dipercayai untuk menemukan jalan
keluar, sebab ia telah menyangsikan segalanya; taqlid, indera dan akal. Menurut
pengakuan al-Ghazali sendiri, hampir dua bulan ia mengalami kekacauan
psikologis tanpa kemampuan menyelesaikannya. Hanya dengan cahaya yang
diberikan Tuhan dengan tiba-tiba ke dalam hatinya, ia merasa sehat dan dapat
menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis itu kembali.58
Pengakuan al-Ghazali tentang proses kesangsiannya adalah rasionalisasi
dari perkembangan pemikirannya. Semangat yang menawarkannya adalah
57
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 33. 58
Ibid, 34.
24
semangat al-Ghazali sesudah perkembangan pemikirannya yang terakhir yaitu
tasawuf, yang ingin dikemukakannya dengan menceritakan proses kesangsian ini
adalah bahwa intuisi lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk
menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan
yang lebih tinggi kebenarannya adalah yang diperoleh melalui cahaya (nur) yang
dilimpahkan Tuhan ke dalam hati manusia.
Sumber pengetahuan tertinggi tersebut disebutnya juga al-nubuwwat yang
pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham.
Hakikat al-nubuwwat tidak dapat digambarkan, sebab ia hanya dapat dimengerti
melalui pengalaman langsung. al-nubuwwat sifatnya sangat individual dan
tergantung kepada kepercayaan. Artinya, orang yang mengalaminya dapat
meyakini kebenarannya secara mutlak, tetapi orang lain belum tentu
mempercayainya. Dengan demikian, al-nubuwwat adalah hasil pengalaman
individu untuk kepentingan individual pula. 59
Tasawuf, dalam pencarian hakikat tidak akan tercapai dengan pengetahuan
saja, tetapi selain itu harus dengan pengalaman langsung. Kesimpulannya, dengan
tasawuflah pengenalan langsung tentang hakikat itu dapat dicapai. Sufilah yang
lebih dekat dengan Tuhan; akhlak merekalah yang lebih bersih; cara hidup
merekalah yang lebih benar; gerak dan diam mereka lahir dari jiwa yang disinari
nur nubuwwat.60
D. Hasil-hasil karyanya
Al-Ghazali telah menulis puluhan buku, meliputi berbagai lapangan ilmu
pengetahuan antara lain: filsafat, ilmu kalam, fiqih, ushul fiqh, tafsir, tasawuf,
akhlak dan otobiografinya. Di dalam muqaddimah kitab Ihya’ Ulumuddin, Dr.
Badawi Thabana, menulis hasil-hasil karya al-Ghazali yang berjumlah 47 kitab,
yang penulis susun menurut kelompok ilmu pengetahuan sebagai berikut:61
1. Kelompok filsafat dan ilmu kalam, yang meliputi:
a. Maqashid Al Falasifah (tujuan para filosof)
59
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 36. 60
Ibid, 41. 61
Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 19-20.
25
b. Tahafut Al Falasifah (kerancuan para filosof)
c. Al Iqtishod Fi Al-I’tiqad (moderasi dalam aqidah)
d. Al Munqid Min Al-Dhalal (pembebas dari kesesatan)
e. Al Maqashidul Asna Fi Ma’ani Asmillah Al-Husna (arti nama-nama Tuhan
yang hasan)
f. Faishalut Tafriqah Bainal Islam Waz Zindiqah (perbedaan antara Islam dan
zindiq)
g. Al Qishasul Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat)
h. Al-Mustadhiri (penjelasan-penjelasan)
i. Hujjatul Haq (argumen yang benar)
j. Mufsiluk Khilaf Fi Ushuludin (memisahkan perselisihan dalam ushuluddin)
k. Al Muntahal Fi ‘Ilmil Jidal (tata cara dalam ilmu diskusi)
l. Al Madhnun Bin ‘Ala Ghairi Ahlihi (persangkaan pada bukan ahlinya)
m. Mahkum Nadlar (metodelogika)
n. Asraat ‘Ilmiddin (rahasia ilmu agama)
o. Al Arba’in Fi Ushuluddin (40 masalah ushuluddin)
p. Iljamul Awwam ‘An ‘Ilmil Kalam (menghalangi orang awam dari ilmu
kalam)
q. Al Qulul Jamil Fir Raddi Ala Man Ghayaral Injil (kata yang baik untuk
orang-orang yang mengubah injil)
r. Mi’yarul ‘Ilmi (timbangan ilmu)
s. Al Intishar (rahasia-rahasia alam)
t. Isbatun Nadlar (pemantapan logika).
2. Kelompok ilmu fiqih dan ushul fiqh, yang meliputi:
a. Al Bastih (pembahasan yang mendalam)
b. Al Wasith (perantara)
c. Al Wajiz (surat-surat wasiat)
d. Khulashatul Mukhthashar (intisari ringkasan karangan)
e. Al Mustasyfa (pilihan)
f. Al Mankhul (adat kebiasaan)
26
g. Syifakhul ‘Alil Fi Qiyas Wat Ta’lil (penyembuh yang baik dalam kiyas dan
ta‟lil)
h. Adz-Dzari’ah Ila Makarimis Syari’ah (jalan kapada kemuliaan syari‟ah)
3. Kelompok ilmu akhlak dan tasawuf, yang meliputi:62
a. Ihya ‘Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama)
b. Mizanul Amal (timbangan amal)
c. Kmiyaus Sa’adah (kimia kebahagiaan)
d. Misykatul Anwar (relung-relung cahaya)
e. Minhajul ‘Abidin (pedoman beribadah)
f. Ad-Dararul Fakhirat Fi Kasyfi Ulumil Akhirat (mutaiara penyingkap ilmu
akhirat)
g. Al-Ainis Fil Wahdah (lembut-lembut dalam kesatuan)
h. Al-Qurbah Ilallahi Azza Wa Jalla (mendekatkan diri kepada Allah)
i. Akhlah Al Abrar Wan Najat Minal Asrar (akhlak yang luhur dan
menyelamatkan dari keburukan)
j. Bidayatul Hidayah (permulaan mencapai petunjuk)
k. Al Mahadi Wal Ghayyah (permulaan dan tujuan)
l. Talis Al-Iblis (tipu daya iblis)
m. Nashihat Al Mulk (nasihat untuk raja-raja)
n. Al-‘Ulum Al Laduniyyah (ilmu-ilmu laduni)
o. Al-Risalah Al Qudsiyah (risalah suci)
p. Al-Ma’khadz (tempat pengambilan)
q. Al Amali (kemuliaan).
4. Kelompok ilmu tafsir, yang meliputi:
a. Yaaquutut Ta’wil Fi Tafsirit Tanzil (metodologi ta‟wil di dalam tafsir yang
diturunkan) : terdiri 40 jilid
b. Jawahir Al-Qur’an (rahasia yang terkandung dalam al-qur‟an).
62
Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 20.
27
BAB III
KONSEP KEPRIBADIAN MENURUT AL-GHAZALI
Bab ini akan diawali dengan membahas hakikat manusia, pembahasan ini
sebagai pengantar untuk pembahasan berikutnya. Dalam hal ini al-Ghazali
menggunakan empat term untuk hakikat manusia yaitu hati (al-Qalb), ruh (al-
Ruh), akal (al-Aql) dan jiwa (al-Nafs). Setelah mengetahui fungsi dan
kedudukannya, selanjutnya akan membahas tentang jiwa manusia yang terbagi
menjadi tiga yaitu, jiwa ammarah, jiwa lawwamah serta jiwa muthma’innah. Dan
yang terakhir akan membahas tentang akhlak baik.
A. Hakikat Manusia
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu
memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak
berubah-ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya
sendiri dan membedakan dari yang lainnya. Manusia dipandang sebagai makhluk
historis; karena mempunyai sejarahlah ia berbeda dengan makhluk-makhluk
lainya.
Al-Ghazali dalam buku-buku filsafatnya menyatakan bahwa manusia
mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu al-Nafs
(jiwanya). 63
Yang dimaksud dengan al-Nafs adalah “substansi yang berdiri
sendiri, tidak bertempat, dan merupakan tempat pengetahuan-pengetahuan
intelektual (al-ma’qulat) berasal dari alam al-malakut atau ‘alam al-amr. Ini
menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik.
Sebab, fisik sesuatu yang mempunyai tempat dan fungsi, fisik adalah sesuatu yang
tidak berdiri sendiri; keberadaannya tergantung kepada fisik. alam al-malakut atau
‘alam al-amr adalah realitas-realitas (al-mawjudat) di luar jangkauan indera dan
imajinasi, tanpa tempat, arah dan ruang. Dengan demikian, esensi manusia adalah
substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subjek yang mengetahui.
63
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 50.
27
28
Pembuktian adanya substansi immaterial yang disebut al-nafs, al-Ghazali
mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan
manusia, dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya, apabila al-nafs tidak
ada. Sebab, seluruh ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (mawjud)
yang dapat memahaminya.64
Yang mempunyai kemampuan memahami bukanlah
fisik manusia, sebab apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami,
objek-objek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami.
Al-Ghazali juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan
kesadaran langsung. Melalui pembuktian bahwa dengan kenyataan faktual, al-
Ghazali memperlihatkan bahwa di antara makhluk-makhluk hidup terdapat
perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing.
Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan al-Ghazali mengandaikan
seorang manusia menghentikan segala aktivitas fisiknya, sehingga ia berbeda
dalam keadaan tenang dan hampa aktivitas. Menurut al-Ghazali ada sesuatu yang
tidak hilang di dalam dirinya, yaitu kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada;
bahwa ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang disebut al-nafs al-
insaniyyah. Prinsip inilah yang betul-betul membedakan manusia dari segala
makhluk lainnya.65
Al-Ghazali menggunakan berbagai term untuk esensi manusia selain al-
Nafs, ia juga menyebutnya al-Qalb, al-Ruh dan al-Aql. Ia menyebut keempat term
itu sebagai al-alfazh al-mutaradifah (kata-kata yang mempunyai arti yang sama).
Penggunaan term-term yang empat itu untuk menunjukkan esensi manusia,
mungkin sekali didasarkan keinginan mempertemukan konsep-konsep filsafat,
tasawuf, dan syara’ (sumber-sumber ajaran islam). Sebab, term al-Nafs dan al-Aql
sering digunakan para filosof, sedangkan al-Ruh dan al-Qalb sering digunakan
para sufi. Di dalam Al-Qur‟an, al-Ruh, al-Nafs dan al-Qalb dipergunakan untuk
kesadaran manusia. Esensi manusia memang bersifat sangat rahasia dalam arti,
kebanyakan akal manusia tidak dapat menangkap hakikatnya.66
64
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 51. 65
Ibid, 52. 66
Ibid, 60-61.
29
B. Kedudukan Hati, Ruh, Akal dan Jiwa
1. Hati (al-Qalb)
Kata hati (al-Qalb) memiliki dua makna yaitu: pertama, hati berarti daging
berbentuk pohon cemara yang ada di bagian kiri dada. Di dalamnya terdapat
rongga yang dialiri darah berwarna hitam. Ia merupakan sumber dan pusat ruh.
Dengan bentuk ini, daging tersebut juga ada di dalam tubuh hewan dan orang
mati.
Kedua, hati adalah sesuatu yang mengandung lathifah rabbaniyah
ruhaniyah. Lathifah inilah yang mengetahui Allah Swt dan menjangkau sesuatu
yang tidak bisa dijangkau kekuatan imajinasi dan ilusi manusia. Hati merupakan
substansi manusia dan juru bicaranya. 67
Hati seumpama cermin, selama cermin
itu bersih dari kotoran dan noda, maka segala sesuatu dapat terlihat padanya.
Tetapi jika cermin itu dipenuhi noda, sementara tidak ada yang dapat
menghilangkan noda darinya dan mengilapkannya, maka rusaklah cermin itu. 68
Hati merupakan bagian dalam Nafs(jiwa) yang bekerja memahami, mengolah,
menampung realitas sekelilingnya dan memutuskan sesuatu. Sesuai dengan
potensinya, hati merupaka kekuatan yang sangat dinamis, tetapi ia temperamental,
fruktuatif, emosional, dan pasang surut.69
Al-Ghazali berpendapat bahwa hati diciptakan untuk memperoleh
kebahagiaan akhirat. Al-Ghazali berkata “[S]esungguhnya makanan hati adalah
hikmah, ma’ifah dan mencintai Allah, akan tetapi kadang hati membelot dari
tabiatnya karena ia sakit yang telah menyerangnya”. Al-Ghazali pun berbicara
tentang penyakit hati yang disebut akal.70
Kebahagiaan hati sangat tergantung
pada ma’rifat kepada Allah Swt. Ma’rifat pada Allah sangat tergantung pada
perenungan terhadap ciptaan-Nya. Pengetahuan tentang ciptaan Allah hanya
diperolah melalui bantuan indera. Dari uraian ini maka dapat dipahami bahwa
67
Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali , 320. 68
Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 199. 69
Achmad Mubarok, Sunnatullah dalam Jiwa Manusia (Sebuah Pendekatan Psikologi
Islam)(Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), 152. 70
Ahmadie Thaha, al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali oleh Victor Said Basil, 86.
30
indera harus bersumber dari hati. Tanpa hati maka indera manusia tidak akan
memperoleh puncak persepsi, terutama persepsi spiritual. Daya persepsi manusia
akan terwujud apabila terjadi interaksi antara daya-daya qalbiyah dengan daya-
daya indera. Hewan memiliki daya indera, tetapi inderanya tidak mampu
mempersepsikan sesuatu, sebab ia tidak memiliki daya hati.71
Hati memiliki berbagai daya insani (manusia), yaitu daya inderawi seperti
penglihatan dan pendengaran; dan daya psikologis seperti kognisi, emosi, konasi,
meskipun daya emosi lebih dominan. Daya inderawi hati berbeda dengan daya
inderawi biologis. Hati mampu melihat dengan mata hati dan meraba dengan
sentuhan hati. Al-Ghazali menyebut fungsi inderawi hati sebagai indera keenam
(al-hiss al-sadis) yang menjelma di dalam akal pikiran dan cahaya hati.72
Panca
indera (al-hissi al-khams) mampu mencapai hal-hal yang inderawi, tetapi belum
mampu merasakan keindahan-keburukan dan kecintaan-kemuakan.
Daya emosi (al-infi’ali) hati sebagai daya yang paling dominan
menimbulkan daya rasa (al-syu’ur). Emosi merupakan satu reaksi kompleks yang
mengait satu tingkat tinggi kegiatan dan perubahan-perubahan secara mendalam
serta dibekali dengan perasaan (feeling) yang kuat atau disertai keadaan afektif.
Daya emosi hati dalam al-Qur‟an dan Sunnah ada yang positif dan ada yang
negatif. Emosi positif misalnya cinta, senang, riang, percaya (iman), tulus
(ikhlash), dan sebagainya. Sedangkan emosi negatif, seperti benci, sedih, ingkar
(kurf), mendua (nifaq), dan sebaginya. Daya-daya emosi hati dapat teraktualisasi
melalui rasa intelektual, rasa inderawi, rasa etika, rasa estetika, rasa sosial, rasa
ekonomi, rasa religius, dan rasa yang lain.
Daya kognisi hati bersifat halus dan rabbani yang mampu mencapai hakikat
sesuatu. Hati mampu memperoleh pengetahuan (ma’rifat) melalui daya cita rasa
(al-dzawqiyyah)73
dan intuitif (al-hadsiyyah).74
Hati akan memperoleh puncak
71
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2002), 50 72
Victor Said Basir, Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali (Beirut: Dar Al-
Kitab Al-Libanani, Tt 73
Dzawq adalah cita rasa atau pengalaman spiritual langsung. Ia merupakan tahap pertama
dalam pengalaman pengungkapan rahasia allah (tajalli).
31
pengetahuan apabila manusia telah menyucikan dirinya (tazkiyah al-nafs),
sehingga ia dapat menghasilkan ilham(bisikan suci dari Allah) dan kasyf
(terbukanya dinding yang menghalangi hati). Akal tidak mampu memperoleh
pengetahuan yang sebenarnya mengenai Tuhan, sedangkan hati dapat mengetahui
hakikat semua yang ada.75
Daya hati yang lain adalah konasi yang mana manusia mampu beraksi,
berbuat, berusaha, berkemampuan dan berkehendak. Sumber konasi hati adalah
sinergi antara pikiran (al-khatir), kemauan (iradah) dan kemampuan (qudrat).
Hati juga mampu menangkap pesan, simbol, dan kenyataan mimpi. Al-Ghazali
berkata, “[T]idur merupakan tertahannya ruh (aspek psikis struktur nafsani) dari
dunia lahir untuk menuju pada dunia batin”. Ungkapan al-Ghazali tersebut
menunjukkan bahwa ketika aspek fisik struktur nafsani istirahat (tidur) maka
aspek psikisnya mampu beraktivitas secara batiniah. Aktivitas batiniah yang
terkandung dalam tidur ini yang disebut dengan mimpi. Hati ketika terlepas dari
jasad manusia dalam tidur maka ia mampu ke mana saja yang ia kehendaki. Oleh
karena natur ini maka ia mampu berkomunikasi dengan simbol, kesan dan
kenyataan bersifat ruhani.
Hati mampu mengantarkan manusia ada tingkat spiritualitas, religiusitas,
dan ketuhanan. Semua tingkatan itu merupakan tingkatan supra-kesadaran
manusia, sebab kedudukannya lebih tinggi daripada kemampuan rasional
manusia. Sifat rasional dapat ditangkap oleh akal manusia, sedang sifat supra-
rasional hanya dapat ditangkap oleh hatinya. Dengan begitu, fungsi hati bukan
sekedar merasakan sesuatu, melainkan juga berfungsi untuk memikirkan,
menemukan, dan membenarkan sesuatu yang bersifat supra-rasional. Sebagai
pusat kepribadian, hati harus sehat (al-shihhah al-qalbiyyah), sebab jika ia sakit
maka seluruh kepribadian manusia mengalami kelainan (anomaly).76
74
Dalam Grolier Encyclopedia 2000, intuisi diartikan sebagai pengetahuan tentang konsep,
kebenaran, atau pemecahan masalah, yang dicapai secara spontan, tanpa melalui tahapan-tahapan
penalaran dan penyelidikan. 75
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 77. 76
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 99.
32
Fungsi hati terhadap pembentukan kepribadian manusia ada dua disini:
Pertama: menurut penulis hati dapat berfungsi sebagai “al-lathiifah al-I’itiraaf
dan al-Lathiifah al-Akhlaak”(yaitu hati yang mampu membuat manusia sadar dan
hati yang dapat membentuk kepribadian manusia). Kedua: hati dapat melahirkan
sikap tawadhu’, baik dalam bermuamalah dengan sesama manusia pada umumnya
atau berinteraksi dengan Al-Qur‟an pada khususnya dan Tark al-Ma’ashi yaitu
menghindarkan diri dari perbuatan maksiat.77
2. Ruh (al-Ruh)
Kata ruh (al-ruh) memiliki dua makna yaitu: pertama, ruh dalam pengertian
alami, yaitu uap yang bersumber dari darah berwarna hitam yang ada dalam
rongga hati (dalam pengertian daging berbentuk pohon cemara). Ia beredar
mengikuti peredaran darah yang mengalir melalui urat dan pembuluh darah ke
seluruh anggota tubuh. Perumpamannya seperti pelita di dalam rumah yang
menerangi seluruh bagian dan penjuru rumah. Ruh dalam pengertian inilah yang
dimaksudkan oleh para dokter.78
Kedua, ruh dalam pengertian sebagai lathifah rabbaniyah (sesuatu yang
sangat halus yang bersifat ketuhanan). Pengertian ruh yan kedua ini sama dengen
pengertian hati. Dengan demikian, berarti ruh dan hati sama-sama bermakna
lathifah rabbaniyah. Inilah yang diisyratkan dalam firman Allah Swt QS. al-
Isra‟,ayat 85.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “ruh itu termasuk
urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS.
al-Isra‟:17)79
Ruh merupakan nyawa, ia aksiden (‘aradh), yaitu sesuatu yang baru dan
singgah pada substansi jisim. Ia ada jika jisim ada dan menghilang apabila
jasadnya rusak atau mati. Ruh sebagai substansi halus yang menyatu dengan
77
Duriana dan Anin Lihi, “Qalbu dalam Pandangan Al-Ghazali”. Mediasi, Volume, 9
Nomor. 2 (2015), 42-43. 78
Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 311. 79
Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)
33
badan manusia di dalam khalq. Ruh merupakan esensi (hakikat manusia yang
bersaksi dan diberi amanah di dalam perjanjian (mitsaq). Ruh dapat keluar-masuk
ke dalam tubuh manusia. Hal ini dapat dicontohkan ketika manusia sedang tidur
dimana ruhnya mampu melepaskan diri dari jasad dan dapat berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat yang lain, atau dari suatu zaman (waktu) ke zaman
yang lain, tanpa sedikit pun terhalang oleh hukum-hukum jasadi.
Kematian jasad bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk pada tubuh manusia
ketika tubuh tersebut siap menerima. Ruh pada prinsipnya memiliki natur yang
baik, dan bersifat keakhiratan. Ia hidup melalui zatnya sendiri yang tidak butuh
makan, minum serta kebutuhan jasmani lainnya. Ruh merasakan kenikmatan
(surga) yang luar biasa apabila ia terlepas dari jasad. Kondisi ini berlaku jika ruh
yang dimaksud merupakan ruh yang suci dan kesaksiannya diterima. Apabila ruh
tersebut merupakan yang kotor maka ia mendapatkan siksaan (neraka).
Ruh tercipta sebelum jasad manusia ada. Ruh bersifat kekal, walaupun
kekalnya bukan seperti kekalnya pencipta-Nya. Kematian bukan pada ruh tetapi
pada nafs dan badan. Kematian badan disebabkan oleh ajalnya telah tiba, dan
kematian nafs disebabkan oleh badan terpisah dari ruh. Apabila ruh mati maka
manusia tidak akan mengalami kenikmatan dan kesengsaraan.80
3. Akal (al-Aql)
Akal juga memiliki dua makna. Pertama, akal merupakan substansi banyak
hal. Kedua, akal adalah sesuatu yang kauketahui. Maka dalam pengertian ini ilmu
menjadi sifat akal. Dalam pengertian ini, akal adalah lathifah rabbaniyah
sebagaimana juga hati, ruh, dan jiwa.81
Al-Ghazali menggunakan empat pengertian pada akal pertama, akal adalah
suatu sifat yang membedakan manusia dari binatang, yaitu gharizah (pembawaan
dasar) yang siap menerima pengetahuan teoritis, dan seakan merupakan nur yang
dipancarkan ke dalam hati, demikian itu pendapat Hatis Ibn Asad al-Muhasibi.
Kedua, akal adalah ilmu atau pengetahuan tentang kemustahilan sesuatu yang
mustahil, kemungkinan sesuatu yang mustahil dan kemestian sesuatu yang mesti,
80
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 74-75. 81
Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 313.
34
ini disebut hawiyyah ‘aqliyyah. Ketiga, akal adalah ilmu yang diusahakan (‘ulum
muktasabah) yang dicapai melalui pengalaman dinamis. Pengertian ini sesuai
dengan pengertian akal teoritis yang dikemukakan para filosof. Keempat, akal
adalah segala pengetahuan dari gharizah yang mendorong manusia mencari
kenikmatan praktis.
Akal di buku ihya’ adalah sarana hidup yang tumbuh berkembang dan
memancarkan sinarnya ketika sampai usia dewasa, dan itu senantiasa tumbuh
sempurna sampai puncak perkembangannya. Kesempurnaan itu memancar ketika
manusia mencapai usia empat puluh tahun.82
Akal merupakan daya dari jiwa atau
salah satu fungsi jiwa, ini berarti jiwa bisa dibagi-bagi dan diuraikan, seperti
badan terdiri dari bermacam anggota dengan fungsinya masing-masing.
Sesungguhnya akal adalah jawhar (esensi) dan jiwa tidak mungkin merupakan
‘aradl (atribut), sebab ‘aradl akan hancur dan rusak dengan hancur dan rusaknya
badan. Jiwa tetap tidak hancur setelah hancurnya badan. Dengan demikian jiwa
pun jawhar.83
Akal merupakan hakikat manusia yang bisa mengenal inti kemanusiaan
sendiri, dan dengan mengenal dirinya kemudian ia mengenal yang lain. Akal
katanya pula adalah kesiapan fitri dari jiwa manusia untuk mengenal ilmu-ilmu
hingga anak kecil disebut ‘aqil (berakal) sekalipun akalnya belum dipergunakan
secara konkrit. Al-Ghazali membatasi akal dari sudut daya kerja dan objeknya
kalau akal merupakan kehalusan ketuhanan (latifah rabbaniyah), ia disebut jiwa
(nafs). Kalau akal mengukir ilmu-ilmu di dalam hati, ia disebut pena (qalam).
Kalau akal mengantarkan manusia kepada perintah Allah ia disebut malaikat. Dan
kalau akal menangkap inti terdalam dari sesuatu maka ia disebut akal teoritis. Jika
akal memahami kebenaran agama, ia disebut penglihatan batin atau cahaya iman.
Sebab di dalam hati ada gharizah yang disebut cahaya ketuhanan.84
Akal secara psikologis memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah
suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang mencakup
82
Ahmadie Thaha, al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali oleh Victor Said Basil, 37. 83
Ibid, 27. 84
Ibid,28.
35
mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan pandangan, mengasumsikan,
berimajinasi, memprediksi, berpikir, mempertimbangkan, menduga, dan
menilai.85
Al-Ghazali berpendapat bahwa akal memiliki banyak fungsi dan aktivitas.
Fungsi dan aktivitas akal (al-af’al al-‘aqliyyah) yang dimaksud adalah:86
a. Al-nazhar (sight atau vision); secara bahasa berarti melihat
mempertimbangkan, memperhatikan, mengawasi dan menyidik dengan
pikiran. Secara istilah berarti daya akal yang mencapai penglihatan reflektif
untuk mencapai berbagai kesimpulan yang konkret. Al-nazhar lazimnya
menggunakan akal bantu indra mata, yang berhubungan dengan fenomena
empiris, sehingga hasilnya belum mencapai pada taraf penyingkapan batin
(kasyaf).
b. Al-tadabbur; daya akal yang dapat memperhatikan sesuatu secara seksama dan
teratur, yang mengikuti logika sebab akibat. Wilayahnya mencakup pemikiran
yang kongkret maupun yang abstrak.
c. Al-ta’ammul (contemplation); daya akal yang mampu merenungkan sesuatu
yang abstrak dan tidak harus terkait dengan fakta-fakta empiris. Daya
jangkaunya bersifat prediktif dan spekulatif.
d. Al-istibshar (insight); daya akal yang mencapai wawasan, pengetahuan dan
pengertian yang mendalam. Al-istibshar mampu memecahkan dan
menyelesaiakan masalah-masalah yang rumit dengan metode yang baru. Proses
perolehan pemecahan datang tiba-tiba tanpa pengalaman sebelumnya, sehingga
keberadaannya ditandai dengan adanya pengertian yang tinggi, penyimpanan
dan ingatan yang baik serta mengungkapkan atau transfer yang baik pula.
e. Al-i’tibar; daya akal yang mampu mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa
tertentu atau mengaitkan satu tanda (‘alamah) dengan peristiwa tertentu.
f. Al-tafkir (thingking); secara bahasa berarti memikirkan. Menurut istilah berarti
daya akal yang mampu memproses sesuatu secara simbolis; pemecahan
85
James. P chaplin, Kamus Lengkap Psikologi Terjemah Kartini Karntono (Jakarta: PT.
Rajagrafindo, 1989), 90. 86
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 106.
36
masalah yang mencakup kegiatan ideasional yang didasarkan atas pendekatan
argumentatif (istidhlaliyyah) dan logis (manthiqiyyah).
Akal adalah persemaian dan ladang ilmu. Berkat akal diciptakan industri
dan ilmu-ilmu lainnya yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Berkat
akal manusia dapat menikmati kedudukan tinggi dan terhormatnya di dunia. Dan
berkat akal pula manusia bisa memahami ilmu-ilmu agama yang menghantarkan
kepada qurb (berdekat diri dengan ibadah) kepada Allah.87
4. Jiwa (al-Nafs)
Kata jiwa (al-Nafs) memiliki dua makna yaitu: pertama, jiwa (al-Nafs) yang
dimaknai sebagai kekuatan yang menghimpun amarah, hasrat, dan sifat-sifat
tercela. Kedua, nafs adalah pengertian lathifah rabbaniyah. Dalam pengertian
kedua ini, nafs juga memiliki arti yang sama dengan hati dan ruh. Dengan
demikian, jiwa (nafs) bermakna lathifah. Ia merupakan substansi manusia yang
membedakannya dari hewan lain. Kalau ia bersih dan dihiasi zikir kepada Allah
Swt serta bersih dari noda syahwat dan sifat-sifat tercela, ia disebut al-Nafs al-
Muthm’innah (jiwa yang tenang).88
Inilah yang diisyratkan dalam firman Allah
Swt QS. al-Fajr, ayat 27:
“wahai jiwa yang tenang”.(QS. Al-Fajr: 89).89
Jiwa (nafs) yang belum mencapai derajat ini bisa digolongkan ke dalam satu
dari dua jenis nafs. Pertama, jiwa itu disebut al-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang
selalu memaki atau mencela). Kedua, jiwa (nafs) yang selalu menyuruh
(ammarah) pada kejahatan. Sebelum sampai pada derajat al-Nafs al-Lawwamah,
jiwa selalu menyuruh kepada kejelekan sebagaimana ditujukkan dalam firman
Allah QS.Yusuf, ayat 53:
87
Ahmadie Thaha, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali oleh Victor Said Basil, 21. 88
Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 311-312. 89
Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)
37
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (QS. Yusuf: 12).
Jiwa dalam tingkatan ini tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak
mencela kejelekan. Ia tingkatan jiwa yang paling rendah. Sementara nafs
Muthma’innah adalah tingkatan jiwa yang paling tinggi, dan di antara kedunya
adalah nafs Lawwamah yang tidak senang pada kejahatan sehingga tidak
cenderung padanya dan tidak pula dapat tenang dalam kebaikan, yaitu zikir
kepada Allah Swt.
Nafs adalah potensi jasad-ruhani (psikofisik) manusia yang secara inhern
telah ada sejak jasad manusia siap menerimanya, yaitu usia empat bulan dalam
kandungan. Potensi ini terikat dengan hukum yang bersifat jasad-ruhani. Semua
potensi yang terdapat pada daya ini bersifat potensial, tetapi ia dapat mengaktual
jika manusia mengusahakan. Aktualitas nafs ini merupakan citra kepribadian
manusia, yang aktualisasi itu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya
faktor usia, pengalaman, pendidikan, pengetahuan, lingkungan dan sebagainya.90
Nafsu sebagai daya nafsani memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al-
ghadhabiyah dan al-syahwaniyah. Al-ghadhab adalah suatu daya yang berpotensi
untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan. Ghadhab dalam
terminologi psikoanalisis disebut dengan defense (pertahanan, pembelaan, dan
penjagaan), yaitu tingkah laku yang berusaha membela atau melindungi ego
terhadap kesalahan, kecemasan dan rasa malu; perbuatan untuk melindungi diri
sendiri; dan memanfaatkan dan merasionalisasikan perbuatan diri. Al-syahwat
adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang
menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan appetite,
yaitu suatu hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu).
Prinsip kerja hawa nafsu mengikuti prinsip kenikmatan dan berusaha
mengumbar impuls-impuls agresif dan seksualnya. Dalam prespektif psikologi,
hawa nafsu memiliki daya konasi (daya karsa). Konasi (kemauan) adalah
bereaksi, berbuat. Berusaha, berkemauan dan berkehendak. Apabila manusia
90
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 81.
38
mengumbar dominasi hawa nafsunya maka kepribadiannya tidak akan mampu
bereksistensi secara baik. Manusia model ini memiliki kedudukan sama dengan
binatang bahkan lebih hina.91
Sebagaimana ditujukkan dalam firman Allah QS. al-
A‟raf, ayat 179:
“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata tetapi tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai”. (QS. al-A‟raf: 7)92
Hati, ruh, akal dan jiwa memiliki kesamaan, yakni bahwa semuanya lathifah
rabbaniyah (sesuatu yang sangat halus yang bersifat ketuhanan). 93
Istilah rabbani
berasal dari kata rabb yang dalam bahasa Indonesia berarti Tuhan, yaitu Tuhan
yang memiliki, memperbaiki, mengatur, menambah, menunaikan,
mengembangkan, memelihara, dan mematangkan sikap mental. Istilah rabbani
dalam konteks ini memiliki ekuivalensi dengan istilah ilah yang berarti ke-Tuhan-
an.
Kepribadian rabbani atau kepribadian ilahi adalah kepribadian individu
yang didapat setelah mentransformasikan asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat
Tuhan ke dalam dirinya untuk kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan
nyata. Atau dalam bahasa sederhana, kepribadian rabbani adalah kepribadian
individu yang mencerminkan sifat-sifat ketuhanan (rabbaniyah).94
91
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, 55-56. 92
Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985) 93
Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 313. 94
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 188-189.
39
C. Jiwa Manusia
Nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi
menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dank
arena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Qur‟an dianjurkan untuk diberi
perhatian lebih besar.95
Menurut al-Ghazali, jiwa itu dapat berfikir, mengingat, dan
sebagainya. Sedangkan unsur jiwa merupakan unsur rohani sebagi penggerak
jasad untuk melakukan kerjanya termasuk alam ghaib.96
Jiwa bukanlah sesuatu yang hitam putih seperti materi, melainkan suatu
keadaan mental yang dinamis yang pasang dan surut seperti kualitas iman.
Terbangunnya suatu kualitas jiwa berhubungan dengan bagaimana seseorang
mengusahannya. Secara kronologis dapat dideskripsikan bahwa seseorang
manusia dilahirkan hingga usia belum mukallaf jiwanya masih suci. Ketika sudah
mencapai usia tanggung jawab (mukallaf) dan berinteraksi dengan lingkungan
kehidupan yang menggoda, ia selalu aktif merespon lingkungan kadang positif
kadang negatif. Akan tetapi ia berproses mencari jati diri, ia sering menyesali diri
dan mencala dirinya. Maka, dalam kondisi kualitas seperti itu ia disebut sebagai
nafs lawwamah, jiwa yang selalu menyesali diri. Jika dalam pencarian jati diri itu
kemudian ia menemukan pola positif, lambat laun ia dapat mencapai tingkat nafs
muthma’innah. Akan tetapi jika pola respons yang terbentuk itu negatif, maka ia
dapat menurun menjadi nafs ammarah dengan segala karakteristik buruknya.97
1. Jiwa Ammarah (Nafs al-Ammarah)
Jiwa ammarah adalah jiwa yang cenderung pada tabiat jasad dan
mengajarkan pada prinsip kenikmatan. Ia menarik hati manusia untuk melakukan
perbuatan-permuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitif, sehingga ia
merupakan tempat dan sumber kejelekan dan jiwa tercela. Jiwa ini tergolong
manganiaya diri. Ciri jiwa ini adalah tidak membekali diri untuk menuju pada
95
Rudi Ahmad Suryadi, “Telaah Konseptual Mengenai Konsep Jiwa Manusia”, Jurnal
Pendidikan Agama Islam, Volume 14, Nomor.1 (2016), 45-44. 96
Ibid, 37. 97
Achmad Mubarok, Sunnatullah dalam Jiwa Manusia (Sebuah Pendekatan Psikologi
Islam)(Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), 152-153.
40
tujuan hidupnya, bahkan ia menyia-nyiakan dan berbekal dengan sesuatu yang
justru menganggu perjalannya.
Ciri umum dari nafs ini menurut Al-Qur‟an ada empat yaitu dengan mudah
menentang dan menyalahi apa-apa yang dilarang Allah, selalu mengikuti
dorongan hawa nafsu, melakukan maksiat, tidak mau memenuhi segala panggilan
kebenaran. Nafs ammarah mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa, dan di
antara ciri-ciri nafs yang sangat mudah melakukan dosa adalah diisyaratkan dalam
Al-Qur‟an yaitu:98
a. Tidak mau mendengarkan nasihat
b. Patuh kepada bisikan hawa nafsu
c. Tidak memperdulikan larangan Tuhan
d. Suka berdusta
e. Suka bermusuhan
f. Suka melakukan berbagai perbuatan dosa
g. Suka melampaui batas
h. Enggan berbuat baik
i. Suka berkhianat
j. Suka menyembunyikan kesaksian
k. Buruk sangka
Di dalam tujuan ia akan merugi dan menyesal. Ia dikendalikan oleh syahwat
dan menjalar ke seluruh tubuhnya melalui hati. Syahwatnya lebih diutamakan
daripada melayani hak-hak Tuhan. Ia melalukan dosa dan mengabaikan kebaikan.
Ia memiliki iman dan tauhid, sekalipun perbuatan buruknya masih menyelimuti
dirinya, Ia zalim terhadap:
1) Hak-hak pribadi dengan mengikuti nafsu syahwat dan melupakan Tuhannya.
Kezaliman di sini ada yang sama sekali tidak menyisihkan keimanan,
kesetiaan, dan kejujuran, sehingga ia tergolong kezaliman syirik dan kufur dan
ada pula kezaliman yang masih menyisihkan keimanan, kesetiaan dan
kejujuran;
98
Hasbullah Ahmad, Mewujudkan Ketenangan Jiwa (Jakarta: Gaung Persada (GP) Press
Jakarta, 2012), 22-23.
41
2) Hak-hak sesamanya, sehingga orang lain mengalami kerugian;
3) Hak-hak Tuhannya dengan cara menyekutukan.
Barangsiapa yang berjiwa ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiliki
identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Jiwa model ini rela
menurunkan derajat asli manusia, merusak dirinya sendiri dan merusak orang lain.
Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu daya syahwat yang selalu
menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan orang lain dan
daya ghadhab yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal, berkelahi,
ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh dan sebagainya.99
Eksistensi jiwa ammarah didorong oleh dua faktor dominan:
a) Faktor internal, berupa hawa nafsu menusia yang memiliki natur hayawaniyyah
(sifat-sifat binatang).
b) Faktor eksternal berupa bisikan setan yag disebut dengan was-was.
Karakternya membisikan jiwa manusia untuk berbuat maksiat, kekufuran,
kefasikan, kemusyrikan dan perbuatan merusak.
Bentuk-bentuk tipologi jiwa ammarah adalah syirik, kufur, riya‟, nifaq,
zindiq, bid‟ah, sihir, membangga-banggakan kekayaan, mengikuti hawa nafsu dan
syahwat, sombong dan ujub, membuat kerusakan, boros, memakan riba,
mengumpat, pelit, durhaka atau membangkang, benci, pengecut dan takut, fitnah,
memata-matai, angan-angan atau mengkhayal, hasud, khianat, senang dengan
duka yang lain, ragu-ragu, buruk sangka, rakus, aniaya atau zalim, marah,
menceritakan kejelekan orang lain, menipu, jahat atau fujur, dusta, sumpah palsu,
berbuat keji, menuduh zina, makar, bunuh diri, dan adu domba. Jiwa ammarah
dapat beranjak ke jiwa yang baik apabila ia telah diberi rahmat oleh Allah Swt.
Pendakian jiwa ammarah menuju ke tingkat jiwa lawwamah.
2. Jiwa Lawwamah (Nafs al-Lawwamah)
Lawwamah berasal dari kata al-talum yang berarti al-taraddud (bimbang
dan ragu-ragu). Jiwa lawwamah adalah jiwa yang telah memperoleh cahaya hati,
lalu ia bangkit untuk memperbaikinya antara dua hal. Dalam upayanya itu
kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak gelap,
99
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 152-153.
42
tetapi kemudian ia diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya itu
dan selanjutnya ia bertaubat dan memohon ampun (istighfar).
Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jiwa lawwamah berada di antara
jiwa ammarah dan jiwa muthma’innah. Jiwa semacam ini telah berusaha
meningkatkan kualitas dirinya yang telah dibantu oleh cahaya terang (nurani),
tetapi watak gelapnya ikut campur dalam pembentukan jiwa, sehingga ia menjadi
bimbang dan bingung. Kebimbangan itu pada akhirnya bermuara pada tiga
kemungkinan:100
a. Ia akan tertarik dengan watak gelapnya, sehingga ia tetap dalam kualitas
rendahnya, yang dalam hal ini berkoalisi dengan hawa nafsu. Menurut al-
Ghazali, akal yang tertahan oleh syahwat dan ghadhab akan mengakibatkan al-
intikas (jungkir-balik), padahal seharusnya akal mampu menahan syahwat dan
ghadhab.
b. Ia akan tertarik oleh nurani, sehingga ia bertaubat dan berusaha memperbaiki
kualitasnya, yang dalam hal ini berkoalisi dengan hati.
c. Ia berada dalam posisi netral, artinya perbuatan yang diciptakan tidak bernilai
buruk atau bernilai baik, tetapi berguna bagi kelestarian eksistensi
manusiawinya sendiri.
Jiwa lawwamah merupakan jiwa yang didominasi oleh komponen akal.
Akal yang baik adalah akal yang tunduk pada cahaya hati. Natur akal sendiri
bukannya tidak baik, tetapi tidak memiliki nilai spiritual dan transendental.
Manusia yang mau menggunakan akalnya secara baik boleh jadi ia memiliki jiwa
sosialitas dan moralitas, tetapi jiwa ini hanya sekadar dimotivasi oleh nilai
manusiawi tanpa melibatkan motivasi ibadah.
Pengetahuan dan kebenaran yang dicapai oleh akal masih terbatas. Ia hanya
mampu mencapai pengetahuan dan kebenaran rasional, tanpa menyentuh
kebenaran dan pengetahuan yang suprarasional. Al-Ghazali sendiri menyatakan
bahwa akal sering memutarbalikkan fakta, penuh kepalsuan dan khayalan. Akal
tidak mampu menangkap hal-hal yang tersembunyi. Bahkan dalam mimpi pun
akal tidak mampu menolak hal-hal yang irasional.
100
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 158-159.
43
Nafs ini sangat menyesali hilangnya peluang baik, dan untuk itu ia mencela
dirinya sendiri. Nafs dalam tingkat ini merupakan keadaan batin yang bekerja
mengawasi secara internal terhadap tingkahlaku, satu kondisi di mana orang-
orang mukmin yang berada pada tingkat ini selalu mempertahankan dirinya,
mengira amalnya serca mencela kekhilafan yang terlanjur diperbuatnya, baik
perkataan maupun perbuatan.101
Sisi positif bagi jiwa lawwamah adalah masih bersifat pemula, artinya
seseorang yang berjiwa lawwamah masih mulai beranjak dari jiwa yang baik.
Peralihan jiwa ini ditandai dengan adanya taubat dan jihad melawan hawa nafsu.
Oleh karena itu masih bersifat pemula maka jiwa lawwamah belum mampu
menghantarkan manusia pada eksistensi yang sebenarnya.
Bentuk-bentuk tipologi jiwa lawwamah sulit ditentukan yang bernilai netral.
Maksud netral di sini dapat berarti:
1) Tidak memiliki nilai buruk atau nilai baik tetapi dengan gesekan motivasi
netralitas suatu tingkah laku itu akan menjadi baik atau akan menjadi buruk.
Baik buruk nilainya tergantung pada kekuatan daya yang mempengaruhi;
2) Ia bernilai baik menurut ukuran manusia, tetapi belum tentu baik menurut
ukuran Tuhan, seperti rasionalitas, moralitas dan sosialitas yang dimotivasi
oleh antroposentris (insaniyah).
Eksistensi manusia yang sebenarnya akan terwujud apabila manusia telah
melakukan jiwa muthma’innah.
3. Jiwa Muthma’innah (Nafs al-Muthma’innah)
Jiwa muthma’innah adalah jiwa yang telah diberi kesempatan cahaya hati,
sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik.
Jiwa ini selalu berorientasi ke komponen hati untuk mendapatkan kesucian dan
menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang dan
tentram.102
Jiwa muthma’innah bersumber dari hati manusia, sehingga hanya hati
yang mampu merasakan ketenangan. Hati selalu cenderung pada ketenangan
dalam beribadah, mencintai, bertaubah, bertawakal, dan mencari ridha Allah Swt.
101
Hasbullah Ahmad, Mewujudkan Ketenangan Jiwa, 18. 102
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 162.
44
Jiwa muthma’innah merupakan jiwa atas sadar atau supra kesadaran
manusia. Dikatakan demikian sebab jiwa ini merasa tenang dalam menerima
keyakina fitrah. Al-Ghazali menyatakan bahwa daya hati (yang mendominasi jiwa
muthma’innah) mampu mencapai pengetahuan (ma’rifah) melalui daya cita rasa
(dzawq) dan kasyf (terbukanya tabir misteri yang menghalangkan penglihatan
batin manusia). Dengan kekuatan dan kesucian daya hati maka manusia mampu
memperoleh (pengetahuan) wahyu dan ilham dari Tuhan. Wahyu diberikan
kepada para nabi, sedangkan ilham diberikan pada manusia suci.
Dalam prespektif Al-Qur‟an dapat dilihat bahwa tanda-tanda orang yang
berjiwa muthma’innah adalah:
a. Adanya keyakinan yang tidak tergoyahkan terhadap kebenaran dan tetap pada
ketenangan iman.
b. Memiliki rasa aman, terbebas dari rasa takut dan sedih di dunia dengan teguh
pendirian atau istiqomah dalam menghadapi tantangan hidup walau apapun
yang terjadi dalam ujian dan cobaan hidup terutamanya di akhirat kelak.
c. Ketentraman hati yang di miliki adalah akibat dari selalu ingat Allah dalam
setiap keadaan baik dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring, kesemua
aktivitas tidaklah pernah terlepas dari mengingat Allah Swt.103
Eksistensi jiwa muthma’innah didorong oleh dua faktor:
1) Faktor internal, berupa daya hati manusia yang memiliki natur ilahiyyah. Jika
hati berkuasa maka ia mampu memberikan ketenangan dan keimanan;
ketenangan karena mendapatkan pertolongan dan berita gembira dari Allah;
ketenangan karena selalu ingat kepada-Nya.
2) Faktor eksternal berupa penjagaan dari malaikat dan hidayah dari Allah Swt.
a) Jika setan mendorong manusia berbuat jahat melalui was-was, maka
malaikat mendorong untuk berbuat baik melaui ilham. Karakter malaikat
adalah membisikan manusia untuk berbuat taat, jujur dan ikhlas kepada
Allah Swt, sehingga mengakibatkan selamat dan kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.
103
Hasbullah Ahmad, Mewujudkan Ketenangan Jiwa,19.
45
b) Hidayah (petunjuk) dari Allah Swt. Hidayah sangat membantu manusia
dalam menentukan jati dirinya. Manusia dengan kemampuannya sendiri
tanpa diberi hidayah maka sulit menemukan jati dirinya.104
Jiwa mutma’innah adalah jiwa yang didominasi oleh daya hati (55%) yang
dibantu oleh daya akal (30%) dan daya nafsu (15%). Jiwa lawwamah adalah jiwa
yang didominasi oleh daya akal (40%) yang dibantu oleh daya hati (30%) dan
daya nafsu (30%). Sedangkan jiwa ammarah adalah jiwa yang dominasi oleh daya
nafsu (55%) yang dibantu oleh daya akal (30%) dan hati (15%). Dengan demikian
masing-masing komponen memiliki prosentasi tersendiri dalam pembentukan
jiwa.105
Untuk lebih mudah memahami konsep kepribadian menurut al-Ghazali bisa
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3.1
No Jenis Jiwa Pendominasiannya Ciri-Ciri
1 Nafs ammarah Jiwa yang dominasi
oleh daya nafsu (55%)
yang dibantu oleh daya
akal (30%) dan hati
(15%)
Ciri jiwa ini adalah tidak
membekali diri untuk
menuju pada tujuan
hidupnya, bahkan ia
menyia-nyiakan dan
berbekal dengan sesuatu
yang justru menganggu
perjalannya.Orang yang
termasuk dalam
golongan ini adalah
orang yang sangat jelek
sifat dan wataknya.
2 Nafs lawwamah Jiwa yang didominasi
oleh daya akal (40%)
yang dibantu oleh daya
hati (30%) dan daya
nafsu (30%)
Ciri jiwa ini adalah selalu
mengeluh, kecewa, dan
menyalahkan dirinya.
Seseorang yang berjiwa
lawwamah masih mulai
beranjak dari jiwa yang
baik. Peralihan jiwa ini
ditandai dengan adanya
104
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 163-165. 105
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, 62.
46
taubat dan jihad melawan
hawa nafsu.
3 Nafs
muth’mainnah
Jiwa yang didominasi
oleh daya hati (55%)
yang dibantu oleh daya
akal (30%) dan daya
nafsu (15%)
Ciri jiwa ini hatinya
selalu tentram karena
ingat kepada Allah; yaitu
seyakin-yakinnya
terhadap apa yang
diyakinkannya sebagai
kebenaran. Oleh karena
itu, ia tidak mengalami
konflik batin. Emosinya
stabil, tidak merasa
cemas, dan tidak pula
takut.
D. Akhlak Baik
Akhlak yang baik adalah rupa hati yang baik, maka dengan terhapusnya dari
sifat-sifat tercela terbentuklah sifat-sifat terpuji. Adapun tujuan utama dari akhlak
yang baik adalah terhentinya kecintaan kepada dunia dalam hati seseorang dan
sebagai gantinya makin mantap pula kecintaanya kepada Allah, maka tidak
sesuatu pun yang lebih dinginkannya kecuali perjumpaan dengan Allah. Akhlak
dapat diubah dengan tindakan, maka berusahalah menudukkan kemarahan,
syahwat dan kejahatan. Jika pada asal fitrahnya tidak ada, misalnya
kedermawanan maka biasakanlah hal itu walaupun dengan memaksakan diri.
Demikian pula apabila tidak diciptakan sebagai orang yang mempunyai sifat
rendah hati, maka lakukanlah hal itu (rendah hati) walaupun dengan memaksakan
diri sehingga menjadi terbiasa. Seperti itu pula sifat-sifat yang lainnya diobati
dengan kebalikan hingga tercapai tujuan.106
Ada dua macam di dalam kebaikan, yakni kebaikan berbentuk rupa serta
kebaikan yang berbentuk akhlak. Kebaikan yang berbentuk rupa itulah yang
dinamakan keindahan, sedangkan yang dinamakan kebaikan akhlak ialah
106
Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali, 213.
47
kebaikan hati; kemudian kebaikan hati itu sendiri adalah jika sifat-sifat terpuji
telah mengalahkan sifat-sifat tercela.
Akhlak baik ialah bentuk hati, sifat-sifat yang tercela akan digantikan
dengan sifat-sifat yang terpuji. Ia adalah akhlak yang baik. Sedangkan yang
dimaksud dengan akhlak baik yang sempurna adalah pada Rasulullah. Sebab
beliau telah mencapai derajat yang sempurna. Rasulullah telah mengingatkan
bahwa akhlak dapat berubah dengan terpengaruh dibawah tindakan manusia.
Maka hendaknya manusia berusaha dapat menundukkan amarah serta syahwat
dan sifat yang serakah.107
Langkah pertama untuk mengenal diri adalah menyadari bahwa diri, terdiri
atas bentuk luar yang disebut hati dan ruh. Sebagian pemahaman mengenai
hakikat hati atau ruh dapat diperoleh seseorang dengan menutup matanya dan
melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya sendiri. Dengan begitu, ia
akan mengetahui keterbatasan sifat dirinya. Jika seseorang merenungkan dirinya,
ia akan mengetahui bahwa sebelumnya ia tidak ada, Sebagaimana termaktub
dalam QS. Al-Insan, ayat 2:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena
itu kami jadikan dia mendengar dan melihat”.(QS.Al-Insan: 76)108
Ia akan mengetahui bahwa ia terbuat dari setetes air yang tidak mengandung
intelektual, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan seterusnya. Setinggi apa pun
tingkat kesempurnaanya, ia tidak menciptakan dirinya, bahwa tidak kuasa untuk
menciptakan meski hanya sehelai rambut. Wujudnya adalah pantulan dari
kekuasaan, kebijakan, dan cinta sang pencipta. Bukan saja sifat-sifat manusia
107
Labib, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul,
Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali , 313. 108
Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)
48
merupakan pantulan sifat-sifat Allah, melainkan keberadaan ruhnya pun dapat
mengantarkan manusia pada pemahaman tentang keberadaan Allah.109
Tidak ada seseorang pun yang benar-benar mengetahui tentang kecacatan
dirinya. Karenanya, jika ia telah melakukan sendiri perjuangan melawan dirinya
sehingga sempat meninggalkan perbuatan-perbuatan keji, mungkin saja ia
mengira telah berhasil membaikkan akhlaknya dan menyempurnakan dirinya.
Lalu ia akan merasa tidak perlu lagi melakukan mujahadah selanjutnya. Oleh
sebab itu, diperlukan penjelasan tentang tanda-tanda akhlak yang baik yaitu,
identik dengan keimanan sedangkan akhlak yang buruk adalah identik dengan
kemunafikan.
Seorang pengamat menulis tentang tanda-tanda orang yang baik akhlaknya,
sebagai berikut “[I]a harus seorang pemalu, sangat jarang ganggunya, banyak
kebaikannya, senantisa benar ucapannya, sedikit berbicara, banyak berbuat,
sedikit kesalahan, tidak suka mencampuri hal-hal yang bukan urusannya, suka
bebuat kebajikan, menjaga hubungan persahabatan, berwibawa, penyabar, selalu
berterima kasih, berpuas hati, penyantun, lemah-lembut, menahan diri, serta
penyayang. Bukan kebiasaanya untuk melaknat, memaki-maki, memfitnah,
menggunjing, atau bersifat tergesa-gesa, dengki, bakhil ataupun penghasut. Selalu
berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah dan membenci karena
Allah, ridha demi Allah dan marah juga karena Allah.110
Berkata Hatim Al-
Ashamm:
“[S]eorang mukmin senantiasa disibukkan dengan merenung dan mengambil
pelajaran, sementara seorang munafik disibukkan dengan ketamakan dan
angan-angan kosong. Seorang mukmin berputus asa dari siapa saja kecuali
Allah, sementara seorang munafik mengharap dari siapa saja kecuali Allah.
Seorang mukmin merasa aman kecuali karena Allah. Seorang mukmin
menawarkan hartanya demi mempertahankan agamanya, sementara seorang
munafik menawarkan agamanya demi mempertahankan hartanya. Seorang
mukmin menangis (karena malunya kepada Allah) meskipun berbuat
kebajikan, sementara seorang munafik tetap tertawa meskipun berbuat
109
Haidar Bagir, Kimia Kebahagiaan, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, The
Alchemy of Happiness al-Ghazali, oleh Imam Al-Ghazali, 33. 110
Muhammad al-Baqir, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia,
Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Tahzib Al-Akhlaq wa Mu’alajat Amradh Al-Qulub
oleh Imam Al-Ghazali (Bandung: Penerbit Karisma, 1997), 92-96.
49
keburukan. Seorang mukmin senang ber-khalwat dan menyendiri, sementara
seorang munafik senang berkumpul-kumpul. Seorang mukmin menanam
seraya takut merusak, sementara seorang munafik mencabuti seraya
mengharapkan panenan. Seorang mukmin memerintah dan melarang sebagai
siasat, sehingga berhasil memperbaiki, sementara seorang munafik
memerintahkan dan melarang demi meraih jabatan, sehingga merusak”.
50
BAB IV
KONSEP KEPRIBADIAN AL-GHAZALI SERTA KONTRIBUSINYA
DALAM PROSES KONSELING
Bab selanjutnya akan menjelaskan tentang pengertian konseling, kualitas
pribadi konselor, yang akan menyebutkan hal-hal yang perlu dimiliki seorang
konselor agar tercapai proses konseling yang efektif. Kemudian akan menjelaskan
proses konseling dari tahap awal, pertengahan (tahap kerja), hingga tahap akhir
(tahap tindakan). Dan akan ditutup dengan membahas tentang bentuk-bentuk
kontribusi konsep kepribadian menurut al-Ghazali dalam proses konseling.
A. Pengertian Konseling
Istilah konseling yang berasal dari bahasa Inggris “counseling” di dalam
kamus artinya dikaitkan dengan kata “counsel” yang mempunyai beberapa arti
yaitu: nasihat (to obtain counsel), anjuran (to give counsel), dan pembicaraan (to
take counsel). Berdasarkan arti di atas, konseling secara etimologi berarti
pembicaraan dengan bertukar pikiran.111
Konseling merupakan situasi pertemuan tatap muka antara konselor dan
klien yang berusaha memecahkan sebuah masalah dengan mempertimbangkannya
bersama-sama sehingga klien dapat memecahkan masalahnya berdasarkan
penentuan sendiri. Pengertian ini menunjukkan bahwa konseling merupakan suatu
situasi pertemuan tatap muka antara konselor dengan klien di mana konselor
berusaha menolong klien memecahkan masalah yang dihadapi klien berdasarkan
pertimbangan bersama-sama, tetapi penentuan pemecahan masalah dilakukan oleh
klien sendiri. Artinya bukan konselor yang memecahkan masalah klien.112
Hubungan dalam konseling bersifat interpersonal. Terjadi dalam bentuk
wawancara secara tatap muka antara konselor dengan klien. Hubungan itu,
melibatkan semua unsur kepribadian yang meliputi: pikiran, perasaan,
pengalaman, nilai-nilai, kebutuhan, harapan, dan lain-lain. Dalam proses
konseling kedua belah pihak hendaknya menunjukkan kepribadian yang asli. Hal
111
Tohirin, Bimbingan dan Konseling Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), 21. 112
Ibid, 22.
49
51
ini dimungkinkan karena konseling itu dilakukan secara pribadi dan dalam
suasana rahasia.
Menurut Achmad Mubarok, Konseling Islam dalam sejarah Islam dikenal
dengan istilah hisbah, artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan
baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan mungkar yang jelas-
jelas dikerjakan oleh klien (aml ma’ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien
yang bermusuhan.113
Khalifah Umar Bin Khattab adalah orang pertama yang
mengatur pelaksanaan hisbah sebagai suatu sistem dengan merekrut dan
mengorganisasi muhtasib (konselor) dan kemudian menugaskan mereka ke segala
pelosok kaum muslimin guna membantu orang-orang yang bermasalah.
Khalifah berikutnya juga meneruskan kebijakan Umar sehingga ketika itu
jabatan muhtasib menjadi jabatan yang terhormat di mata masyarakat.114
Selain
itu, praktek-praktek kehidupan sufi menunjukkan adanya aktivitas konseling Islam
yang berlangsung dengan baik. Dengan demikian, konseling Islam telah memiliki
landasan yang kukuh untuk terus dikembangkan dan disesuaikan dengan tingkat
kebutuhan manusia dalam menjalani kehidupannya.
Tujuan umum dari konseling Islam ialah membantu klien agar ia memiliki
pengetahuan tentang posisi dirinya dan memiliki keberanian mengambil
keputusan untuk melakukan suatu perbuatan yang dipandang baik, benar, dan
bermanfaat untuk kehidupannya di dunia dan untuk kepentingan akhirat.115
Menurut Syamsu Yusuf tujuan konseling Islam adalah membantu individu
agar memiliki sikap, kesadaran, pemahaman, atau perilaku sebagai berikut:
1. Memiliki kesadaran akan hakikat dirinya sebagai makhluk atau hamba Allah.
2. Memiliki kesadaran akan fungsi hidupnya di dunia sebagai khalifah Allah.
3. Memahami dan menerima keadaan dirinya sendiri (kelebihan dan
kekurangannya) secara sehat.
4. Memiliki kebiasaan yang sehat dalam cara makan, tidur, dan menggunakan
waktu luang.
113
Achmad Mubarok, Al-Irsyad An-Nafsiy Konseling Islam Teori dan Kasus (Jakarta: Bin
Arena Perwira,2000), 79. 114
Ibid, 83. 115
Ibid, 89.
52
5. Bagi yang sudah berkeluarga seyogianya menciptakan iklim kehidupan
keluarga yang fungsional.
6. Memiliki komitmen diri untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama
(beribadah) dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat habl min Allah maupun
habl min al-nas.
7. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar atau bekerja yang positif.
8. Memahami masalah dan menghadapinya secara wajar, tabah atau sabar.
9. Memahami faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah atau stress.
10. Mampu mengubah persepsi atau minat.
11. Mampu mengambil hikmah dari musibah (masalah) yang dialami.
12. Mampu mengontrol emosi dan berusaha meredamnya dengan introspeksi diri.
Tujuan konseling Islam tidak hanya diarahkan pada pemecahan masalah
dari klien, melainkan juga ada indikator yang lebih konkret bagi klien yang sehat
seperti yang diungkapkan oleh Syamsu Yusuf diatas.116
Keefektifan konseling
sebagian besar ditentukan oleh kualitas hubungan antara konselor dengan
kliennya. Dilihat dari segi konselor, kualitas hubungan pada kemampuannya
dalam menerapkan teknik-teknik konseling dan kualitas pribadinya.117
Konseling sebagai proses membantu individu agar berkembang, memiliki
beberapa prinsip yang penting yaitu:
a. Memberikan kabar gembira dan kegairahan hidup.
Dalam hubungan konseling konselor sebaiknya jangan dulu mengungkap
berbagai kesalahan, dan kesulitan klien. Akan tetapi berupaya membuat situasi
konseling yang menggembirakan. Karena situasi seperti itu membuat klien
senang, tertarik untuk melibatkan diri dalam pembicaraan, dan akhlaknya akan
menjadi terbuka untuk membeberkan isi hati dan rahasianya118
, sebagaimana
termaktub dalam QS. Saba‟, ayat 28:
116
Syamsu Yusuf, Mental Hygiene (Bandung, Pusaka Bani Quraisy, 2004), 178 117
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2012), 9. 118
Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Teori dan Prektek (Bandung: Alfabeta, 2013)
,23.
53
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Saba‟: 34).119
b. Melihat klien sebagai subjek dan hamba Allah
Klien bukanlah objek konseling, melainkan sebagai subjek yang
berkembang. Dan dia adalah hamba Allah yang menjadi tugas amanah bagi
seorang konselor. Dia bukan objek konseling untuk diperlakukan tanpa nilai
moral-religius, akan tetapi menghargainya sebagai pribadi yang merdeka
karena itu di dalam hubungan konseling klien yang harus banyak berbicara
mengenai dirinya dan bukan konselor. Sebab itu, upaya konselor adalah
mengenali potensi dan kelemahan serta kesulitan klien, kemudian klien akan
mengungkapkan segalanya dengan jujur dan terbuka.
c. Menghargai klien tanpa syarat.
Menghargai klien adalah syarat utama untuk terjadinya hubungan
konseling yang gembira dan terbuka. Penghargaan ini dimaksudkan sebagai
upaya konselor yang memberikan ucapan-ucapan serta bahasa badan yang
menghargai.
d. Dialog Islam yang menyentuh.
Dengan hubungan yang akrab, konselor berupaya agar mengemukakan
butir-butir dialognya yang menyentuh hati klien sehingga memunculkan rasa
syukur, rasa cinta, bahkan perasaan dosa. Klien mengungkapkan perasaan-
perasaan tersebut dengan tulus, jujur, dan terbuka.120
Keakraban dan
keterlibatan klien adalah kata kunci dalam hubungan konseling untuk membuat
klien terbuka perasaan keagamaan dan kemanusiaan.
Banyak konselor menggunakan pendekatan agama untuk membuat klien
tersentuh hatinya. Karena itu selayaknya konselor mempelajari ilmu agama.
119
Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985) 120
Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Teori dan Prektek ,24.
54
Sebab manakala klien meminta informasi mengenai hal itu, dapat diberikan
secara lengkap termasuk pengajaran agama seperti sholat, doa-doa, fikih dll
e. Keteladanan pribadi konselor
Keteladanan pribadi konselor dapat menyentuh perasaan klien untuk
mengidentifikasi diri konselor. Hal itu merupakan sugesti bagi klien untuk
berusaha kearah positif. Motivasi untuk berusaha disebabkan kepribadian,
wawasan dan keterampilan serta amal kebajikan konselor terhadap klien.
Konselor bersikap jujur, saleh, dan berpandangan luas, serta penuh perhatian
terhadap klien. Seolah-olah kepribadian teladan adalah pesan rabbani, yang
memancar dalam perilaku konselor.121
B. Kualitas Pribadi Konselor
Kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang sangat penting dalam
konseling. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pribadi
konselor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling yang efektif, di
samping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan keterampilan
konseling.
1. Pemahaman diri (self-knowledge)
Self-knowledge ini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik,
dia memahami secara pasti apa yang yang dia lakukan, mengapa dia melakukan
hal itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Pemahaman diri sangat
penting bagi konselor, karena beberapa alasan berikut:
a. Konselor yang memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya cenderung akan
memiliki persepsi yang akurat tentang orang lain atau klien (konselor akan
lebih mampu mengenal diri orang lain secara tepat pula).
b. Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil juga
memahami orang lain.
c. Konselor yang memahami dirinya, maka dia akan mampu mengajar cara
memahami diri itu kepada orang lain.
121
Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Teori dan Prektek ,25.
55
d. Pemahaman tentang diri memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan
berkomunikasi secara jujur dengan klien pada saat proses konseling
berlangsung.
Konselor yang memiliki tingkat self-knowledge yang baik akan
menunjukkan sifat-sifat berikut.
1) Konselor menyadari dengan baik tentang kebutuhan dirinya, sebagai konselor
dia memiliki kebutuhan diri, seperti: kebutuhan untuk suskes, kebutuhan
merasa penting, dihargai, superior dan kuat.
2) Konselor menyadari dengan baik tentang perasaan-perasaannya. Perasaan-
perasaan itu seperti: rasa aman, takut, bermasalah, dan cinta. Ketidaksadaran
konselor akan perasaannya dapat berakibat buruk terhadap proses konseling.
3) Konselor menyadari tentang apa yang membuat dirinya cemas dalam
konseling, dan apa yang menyebabkan dirinya melakukan pertahanan diri
dalam rangka mereduksi kecemasan tersebut.
4) Konselor memahami atau mengakui kelebihan dan kekurangan dirinya.122
2. Kompeten (competent)
Maksud kompeten di sini adalah bahwa konselor itu memiliki kualitas fisik,
intelektual, emosional, sosial, dan moral sebagai pribadi yang berguna.
Kompetensi sangatlah penting bagi konselor, sebab klien yang dikonseling akan
belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk
mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia. Dalam hal ini, konselor berperan
untuk mengajar kompetensi-kompetensi tersebut kepada klien.
Konselor yang lemah fisiknya, lemah kemampuan intelektualnya, sensitif
emosinya, kurang memiliki kemampuan dalam berhubungan sosial, dan kurang
memahami nilai-nilai moral maka dia tidak akan mampu mengajarkan
kompetensi-kompetensi tersebut kepada klien.
Konselor yang memiliki kompetensi melahirkan rasa percaya pada diri klien
untuk meminta bantuan konseling terhadap konselor tersebut. Di samping itu
kompetensi ini juga sangat penting bagi efisiensi waktu pelaksanaan konseling.
122
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 37-38.
56
Konselor yang senantiasa berusaha meningkatkan kualitas kompetensinya, akan
menampilkan sifat-sifat atau kualitas perilaku sebagai berikut.
a. Terus menerus meningkatkan pengetahuannya tentang tingakah laku dan
konseling dengan banyak membaca atau menelaah buku-buku atau jurnal-
jurnal yang relevan; menghadiri acara-acara seminar atau diskusi tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan profesinya.
b. Menemukan pengalaman-pengalaman hidup baru yang membentunya untuk
lebih mempertajam kompetensi, dan mengembangkan ketrampilan
konselingnya. Upaya itu ditempuhnya dengan cara menerima resiko,
tanggung jawab, dan tentangan-tantangan yang dapat menimbulkan rasa
cemas. Kemudian dia menggunakan rasa cemas itu untuk mengaktualisasikan
potensi-potensinya.
c. Mencoba gagasan-gagasan atau pendekatan-pendekatan baru dalam
konseling. Maka senantiasa mencari cara-cara yang paling tapat atau berguna
untuk membantu klien.
d. Mengevaluasi efektivitas konseling yang dilakukannya, dengan menelaah
setiap pertemuan konseling, agar dapat bekerja lebih produktif.
e. Melakukan kegiatan tindak lanjut terhadap hasil evaluasi yang telah
dilaksanakan untuk mengembangkan atau memperbaiki proses konseling.
3. Kesehatan psikologis
Konselor dituntut memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik dari
kliennya. Hal ini penting karena kesehatan psikologis (psikological health)
konselor akan mendasari pemahamannya terhadap perilaku dan keterampilannya.
Ketika konselor memahami bahwa kesehatan psikologisnya baik dan
dikembangkan melalui konseling, maka dia membangun proses konseling tersebut
secara lebih positif. Apabila konselor tidak mendasarkan konseling tersebut
kepada pengembangan kesehatan psikologis, maka ia akan mengalami
kebimbangan dalam menetapkan arah konseling yang ditempuhnya.
57
Kesehatan psikologis konselor yang baik sangat berguna bagi hubungan
konseling. Karena apabila konselor kurang sehat psikisnya, maka dia akan
teracuni atau terkontaminasi oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang
subjektif, nilai-nilai yang keliru, dan kebingungan.
Konselor yang kesehatan psikologisnya baik memiliki kualitas sebagai
berikut:
a. Memperolah pemuasan kebutuhan rasa aman, cinta, kekuatan dan seks.
b. Dapat mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya.
c. Menyadari kelemahan atau keterbatasan kemampuan dirinya.
d. Tidak hanya berjuang untuk hidup, tetapi juga menciptakan kehidupan yang
lebih baik. Konselor dapat menikmati kehidupan secara nyaman. Dia
melakukan aktivitas-aktivitas yang positif, seperti: membaca, menulis,
bertamasya, bermain (berolahraga), dan berteman.123
4. Dapat dipercaya (trustworthiness)
Kualitas ini berarti bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau
penyebab kecemasan bagi klien. Kualitas konselor yang dapat dipercaya sangat
penting dalam konseling, karena beberapa alasan, yaitu sebagai berikut:
a. Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan
masalah dirinya yang paling dalam. Dalam hal ini, klien harus merasa bahwa
konselor itu dapat memahami dan mau menerima curahan hatinya dengan
tanpa penolakan. Jika klien tidak memiliki rasa percaya ini, maka rasa frustasi
lah yang menjadi hasil konseling.
b. Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor.
Artinya klien percaya bahwa konselor mempunyai motivasi untuk
membantunya.
c. Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka
akan berkembang dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
Konselor yang dipercaya cenderung memiliki kualitas sikap dan perilaku
sebagai berikut:
1) Memiliki pribadi yang konsisten.
123
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 40.
58
2) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapanya maupun perbuatannya.
3) Tidak pernah membuat orang lain (klien) kecewa atau kesal.
4) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar
janji, dan mau membantu secara penuh.
5. Jujur (honesty)
Maksud jujur di sini adalah bahwa konselor itu bersikap transparan
(terbuka), autentik, dan asli (genuinei). Sikap jujur ini penting dalam konseling,
karena alasan-alasan berikut.
a. Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin
hubungan psikologis yang lebih baik dekat satu sama lainnya di dalam proses
konseling. Konselor yang menutup atau menyembunyikan bagian-bagian
dirinya terhadap klien dapat menghalangi terjadinya relasi yang lebih dekat.
Kedekatan menimbulkan hubungan psikologis sangat penting dalam
konseling, sebab dapat menimbulkan hubungan yang langsung dan terbuka
antara konselor dengan klien. Apabila terjadi ketertutupan dalam konseling
dapat menyebabkan merintangi perkembangan klien.
b. Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara
objektif kepada klien.
Konselor yang jujur memiliki karakteristik sebagai berikut:124
1) Bersikap kongruen, artinya sifat-sifat dirinya yang dipersepsi oleh dirinya
sendiri (real self) sama sebangun dengan yang dipersepsi oleh orang lain
(public self).
2) Memiliki pemahaman yang jelas tentang makna kejujuran.
6. Kekuatan (strengyh)
Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab
dengan hal itu klien akan merasa aman. Klien memandang konselor sebagai orang
yang tabah dalam menghadapi masalah, dapat mendorong klien untuk mengatasi
masalahnya, dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi. Konselor
yang memiliki kekuatan cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku
berikut.
124
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 40-41.
59
a. Dapat membuat batasan waktu yang pantas dalam konseling.
b. Bersifat fleksibel.
c. Memiliki identitas diri yang jelas.
7. Bersikap hangat
Hangat disini maksudnya adalah ramah, penuh pertimbangan dan
memberikan kasih sayang. klien yang datang meminta bantuan konselor, pada
umumnya yang kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga dia
kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih
sayang. melalui konseling, klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan
melakukan sharing dengan konselor. Apabila hal itu diperoleh maka klien dapat
mengalami perasaan yang nyaman.
8. Actives responsiveness
Keterlibatan konselor dalam konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui
respon yang aktif, konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap
kebutuhan klien. Di sini, konselor mengajukan pertanyaan yang tepat,
memberikan umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi yang berguna
mengemukakan gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan klien tentang cara
mengambil keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien
dalam proses konseling.125
9. Sabar (patience)
Melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien
untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukkan
lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung
menampilkan kualitas sikap dan perilaku yang tidak tergesa-gesa.
10. Kepekaan (sensitivity)
Kualitas ini berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya dinamika
psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah tersinggung, baik pada diri
klien maupun dirinya sendiri.
Klien yang datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak
menyadari masalah yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan ada yang tidak
125
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 42.
60
menyadari bahwa dirinya bermasalah. Pada diri mereka hanya Nampak gejala-
gelajanya, sementara yang sebenanya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya.
Konselor yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis apa masalah
sebenarnya yang dihadapi klien. Konselor yang sensitif memiliki kualitas perilaku
sebagai berikut:
a. Sensitif terhadap reaksi dirinya sendiri.
b. Mengetahui kapan, di mana, dan berapa lama mengungkap masalah klien
(prosing).
c. Mengajukan pertanyaan tentang persepsi klien tantang masalah yang
dihadapinya.
d. Sensitif terhadap sifat-sifat yang mudah teringgung dirinya.
11. Kesadaran holistik (holistic awareness)
Pendekatan holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami
klien secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan
berarti bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang
menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi-dimensi itu
meliputi: fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral spiritual.126
Konselor yang memiliki kesadaran holistik cenderung menampilkan
karakteristik sebagai berikut.
a. Menyadari secara akurat tantang dimensi-dimensi kepribadian yang
kompleks.
b. Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan memperhatikan
tentang perlunya referal (rujukan).
c. Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.
C. Proses Konseling
Proses konseling terlaksana karena hubungan konseling berjalan dengan
baik. Menurut Brammer dalam Sofyan S.Willis proses konseling adalah peristiwa
yang tengah berlangsung dan memberi makna bagi para peserta konseling tersebut
(konselor dan klien).
126
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 43.
61
Setiap tahapan proses konseling membutuhkan keterampilan-keterampilan
khusus. Namun keterampilan-keterampilan itu bukanlah yang utama jika
hubungan konseling tidak mencapai rapport. Dinamika hubungan konseling
ditentukan oleh penggunaan keterampilan konseling yang bervariasi. Dengan
demikian proses konseling tidak dirasakan oleh peserta konseling (konselor-klien)
sebagai hal yang menjemukan. Akibatnya keterlibatan mereka dalam proses
konseling sejak awal hingga akhir dirasakan sangat bermakna dan berguna. Proses
konseling pada dasarnya bersifat sistematis. Ada tahapan-tahapan yang harus
dilalui untuk sampai pada pencapaian konseling yang sukses. Secara umum proses
konseling dibagi atas tiga tahapan:127
1. Tahapan awal konseling
Tahap ini terjadi sejak klien menemui konselor hingga berjalan proses
konseling sampai konselor dan klien menemukan definisi masalah klien atas dasar
isu, kepedulian, atau masalah klien. Adapun proses konseling tahap awal
dilakukan konselor sebagai berikut.
a. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien
Hubungan konseling yang bermakna ialah jika klien terlibat berdiskusi
dengan konselor. Kunci keberhasilan tersebut pada: pertama, keterbukaan
konselor. Kedua, keterbukaan klien artinya dia dengan jujur mengungkapkan isi
hati, perasaan, harapan, dan sebagainya. Namun keterbukaan ditentukan oleh
faktor yakni dapat dipercayai klien karena dia tidak berpura-pura, akan tetapi
jujur, asli, mengerti dan menghargai. Ketiga, konselor mampu melibatkan klien
terus menerus dalam proses konseling. Karena dengan demikian, maka proses
konseling akan lancar dan segera dapat mencapai tujuan konseling.
b. Memperjelas dan mendefinisikan masalah
Jika hubungan konseling telah terjalin baik dimana klien telah melibatkan
diri, berarti kerjasama antara konselor dengan klien akan dapat mengangkat isu,
kepedulian, atau masalah yang ada pada klien. Sering klien tidak begitu
menjelaskan masalahnya, walaupun mungkin dia hanya mengetahui gejala-gejala
yang dialaminya. Demikian pula klien yang tidak memahami potensi apa yang
127
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 50.
62
dimilikinya, maka tugas konselorlah untuk membantu mengembangkan potensi,
memperjelas masalah, dan membantu mendefinisikan masalah bersama-sama.
c. Membuat penaksiran dan penjajakan
Konselor berusaha menjajaki atau menaksir kemungkinan mengembangkan
isu atau masalah, dan merencang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan
membangkitkan semua potensi klien, dan dia menentukan berbagai alternatif yang
sesuai bagi antisipasi masalah.
d. Menegosiasi kontrak
Kontrak artinya perjajakan antara konselor dengan klien. Kontrak
menggariskan kegiatan konseling, termasuk kegiatan klien dan konselor. Artinya
mengandung makna bahwa konseling adalah urusan yang saling ditunjang. Dan
bukan pekerjaan konselor sebagai ahli, disamping itu juga mengandung makna
tanggung jawab klien, dan ajakan untuk kerja sama dalam proses konseling.128
2. Tahap pertengahan (tahap kerja)
Berangkat dari definisi masalah klien yang disepakati pada tahap awal,
kegiatan selanjutnya adalah memfokuskan pada penjelajahan masalah klien,
bantuan apa yang akan diberikan berdasarkan penilaian kembali apa-apa yang
telah dijelajahi tentang masalah klien.
Menilai kembali masalah klien akan membantu klien memperoleh
persepektif baru, alternatif baru, yang mungkin berbeda dengan sebelumnya,
dalam rangka mengambil keputusan dan tindakan. Dengan adanya perspektif baru,
berarti ada dinamika pada diri klien menuju perubahan. Tanpa perspektif maka
klien sulit untuk berubah.
Di saat manusia (klien) ataupun pemecahan atas permasalahan yang sedang
dihadapinya, maka hendaknya ia mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Meyakini adanya permasalahan yang sedang dihadapi. Apakah permasalahan
ini mempunyai kepentingan dalam hidupnya? Apakah permasalahan ini
membutuhkan motivasi tertentu yang mengantarkan pada pemecahannya?
b. Mengumpulkan banyak informasi sekitar permasalahan yang sedang dihadapi
hingga permasalahan tersebut tampak jelas adanya serta dapat ditentukan nilai
128
Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Teori dan Prektek , 50-51.
63
dan batasannya secara mendetail hingga mempermudah dalam pencarian
solusinya.
c. Meletakkan opsi-opsi yang sekiranya bisa menjadi solusi atau pemecahan
masalah.
d. Rekomendasi opsi pemecahan masalah. Di saat seseorang berpikir untuk
merumuskan suatu pemecahan permasalahan, maka hendaknya ia
menganalisis terlebih dahulu opsi-opsi ini dan membahasnya sesuai dengan
informasi yang didapatkannya disertai dengan bukti-bukti yang dapat
menunjang terlaksananya opsi ini hingga menjadi kokoh dan bisa
diaplikasikan.
e. Pemeriksaan lebih lanjut mengenai opsi ini, dengan mengindahkan opsi-opsi
yang dianggap tidak layak hingga dapat dipilih opsi terbaik dalam
memecahkan permasalahan yang ada. Setelahnya barulah dikumpulkan
banyak informasi yang lebih banyak dan lebih membantu merekonstruksi
kembali opsi ini agar lebih aplikatif dalam berbagai kondisi.129
Adapun tujuan-tujuan tahap pertengahan ini yaitu:
1) Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah, dan kepedulian klien lebih jauh.
Dengan penjelajahan ini, konselor berusaha agar klien mempunyai
perspektif dan alternatif baru terhadap masalahnya. Konselor mengadakan
reassessment (penilaian kembali) dengan melibatkan klien artinya masalah itu
dinilai bersama-sama. Jika klien bersemangat, berarti dia sudah begitu terlibat
dan terbuka. Dia akan melihat masalahnya dari perspektif atau pandangan yang
lain yang lebih objektif dan mungkin pula dengan berbagai alternaif. Dalam hal
ini keterampilan eksplorasi perlu dimiliki klien. Eksplorasi bisa berarti
penelusuran atau penggalian. Keterampilan eksplorasi adalah suatu
keterampilan konselor untuk menggali perasaan, pikiran dan pengalaman klien.
Keterampilan ini penting karena dalam konseling terkadang klien menyimpan
rahasia, menutup diri, dan diam seribu bahasa atau tidak mampu
mengemukakan pendapatnya secara terus terang. Melalui keterampilan ini,
129
Muafir Bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 279-
280.
64
akan memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan
terancam.
Eksplorasi ada tiga macam: yaitu pertama eksplorasi perasaan yaitu
keterampilan konselor untuk menggali perasaan klien yang tersimpan. Kedua,
eksplorasi pikiran, yaitu keterampilan atau kemampuan konselor untuk
menggali ide, pikiran dan pendapat klien. Ketiga, eksplorasi pengalaman, yaitu
keterampilan konselor untuk menggali pengalaman-pengalaman klien sebagai
hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan nonverbal klien.
Tingkat terpenting konseling dalam Islam adalah sebagai berikut:130
a) Pengakuan. Apabila seseorang yang berdosa telah mengakui kesalahannya dan
kezalimannya pada dirinya di hadapan Allah lah ia bertobat dengan tobat yang
sebenar-benarnya, maka sesunggunya Allah akan menerima tobatnya tersebut
dan mengampuni semua dosa dan kesalahannya dengan izin-Nya. Pengakuan
berarti suatu pengaduan dan keluh kesah atas apa yang menimpa diri dengan
niat untuk mengakhiri apa yang telah menimpanya. Hal ini dilakukan dengan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah yang mahakuasa hingga akhirnya
dia berkenan menghapuskan dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan,
meringankan siksaan batin, menjernihkan goncangan hati dan mengembalikan
rasa aman dalam diri. Di saat seseorang mengakui suatu kesalahan, maka ia
akan mengosongkan hati dari perbuatan serupa dan mempublikasikan hal
tersebut kepada keadaan. Sehingga, ia akan mampu mempersiapkan diri dalam
memperbaiki dirinya dan menjadi orang yang bermanfaat.
b) Belajar. Dengannya mampu menghapuskan ataupun mengalihkan perilaku
buruk dan juga menyerap perilaku baik. Selain itu, dengan belajar maka
seseorang akan mulai menerima dirinya sendiri apa adanya, menerima orang
lain dan mampu mengendalikan diri serta menyesuaikan diri dengan
lingkungan dimana ia tinggal dengan mengemban tanggung jawab dan
membuat target dan tujuan yang realistis dalam kehidupan. Dengan belajar,
maka seseorang akan mampu untuk konsisten, bekerja dan berproduktivitas
hingga ia mampu menjadi orang yang berguna. Juga mampu mengembangkan
130
Muafir Bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, 84.
65
al-nafs lawwamah dan mendayagunakannya sebagai kekuatan internal dalam
diri serta sebagai pengendali tinglah lakunya.
c) Sadar. Yang dimaksud adalah adanya satu kesadaran dari seseorang akan
penyebab yang mendorongnya melakukan kesalahan dan memahaminya
dengan baik serta memahami permasalahan kejiwaan yang dihadapinya.
Darinya ia mampu memahami semua hal yang baik baginya dan juga hal yang
bisa membahayakannya. Dengan adanya kesadaran dalam diri inilah, maka
seseorang dapat menyeimbangkan tingkah lakunya. Ia pun akan semakin
merekatkan interaksinya dengan Tuhan dan juga sesamanya.
d) Tobat. Ia adalah satu-satuya harapan bagi siapa pun yang berbuat kesalahan,
agar kesalahan yang dilakukannya mendapatkan ampunan dari-Nya. Dengan
adanya tobat ini, maka seseorang yang melakukan kesalahan ataupun dosa
akan mendapatkan kembali keoptimisannya dalam menghadapi hidup. Juga
akan mendapatkan ketenangan jiwa serta makin menambah kepercayaan dan
kedekatannnya kepada Allah.
e) Doa. Doa adalah memanjatkan suatu permohonan kepada Allah agar dia
memberikan pertolongan dan bantuan-Nya. Hal inilah yang selalu dilakukan
Rasulullah di saat beliau menghadapi kesulitan ataupun musibah yang sangat
besar.131
Dapat dipahami bahwa konseling dalam Islam adalah gabungan dari
berbagai proses seperti mengembalikan kesadaran, perbaikan, pengarahan,
hidayah dan pendidikan hingga setiap individu dapat lebih mengenal dirinya
sendiri dan juga Tuhannya. Juga dapat selalu konsisten dalam melakukan
ibadah kepada-Nya sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Sehingga ia akan selalu dapat membentengi dirinya dan juga menghilangkan
perasaan bersalahnya ataupun perasaan bahwa ia memiliki banyak kekuatan
yang justru mengancam kestabilan jiwanya. Dengan konsisten dalam
melakukan ibadahnya pun, ia akan mampu menerima dirinya apa adanya dan
memenuhi segala kebutuhannya, baik berupa rasa aman, keberhasilan,
penghargaan maupun kestabilan jiwa.
131
Muafir Bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, 85-87.
66
2) Menjaga agar hubungan konseling selalu terpelihara.
Hal ini terjadi jika: pertama, klien merasa senang terlibat dalam
pembicaraan atau wawancara konseling, serta menampakkan kebutuhan untuk
mengembangkan potensi diri dan memecahkan masalahya. Kedua, konselor
berupaya kreatif dengan keterampilan yang bervariasai, serta memelihara
keramahan, empati, kejujuran, keikhlasan dalam memberi bantuan. Kreatifitas
konselor dituntut pula untuk menyusun renacana bagi penyelesaian masalah
dan pengembangan diri.
3) Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak.
Kontrak dinegosisasikan agar betul-betul memperlancar proses konseling.
Karena itu konselor dan klien agar selalu menjaga perjanjian dan selalu
mengingat dalam pikirannya. Pada tahap pertengahan konseling ada lagi
beberapa strategi yang perlu digunakan konselor yaitu pertama,
mengkomunikasikan nilai-nilai itu, yakni klien selalu jujur dan terbuka dan
menggali lagi lebih dalam masalahnya. Kerana kondisi sudah amat kondusif,
maka klien sudah merasa dekat, terundang dan tertantang untuk memecahkan
masalahny. Kedua, menentang klien sehingga dia mempunyai strategi baru dan
rencana baru, melalui pilihan dari beberapa alternatif, untuk meningkatkan
dirinya.132
3. Tahap akhir (tahap tindakan)
Konselor mengambil inti pokok pembicaraan selama proses konseling
berlangsung. Dari kesimpulan pembicaraan akan diketahui bagaimana keadaan
perasaan klien saat ini, apa rencana klien selanjutnya dan pokok-pokok
pembicaraan apa yang akan dibicarakan pada sesi selanjutnya. Menjelang sesi
akhir wawancara konseling, konselor harus dapat membantu klien untuk dapat
membuat rencana berupa suatu program untuk tindakan, yaitu rencana perbuatan
nyata yang produktif bagi kemajuan klien. Kemudian konselor mengevaluasi
keberhasilan proses konseling yang telah dilaksanakan. Konselor menetapkan sisi
132
Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Teori dan Prektek , 52-52.
67
mana dari proses konseling yang telah dicapai dan sisi mana yang belum. Selain
itu juga ditetapkan kendala apa yang menjadi penghambat proses konseling.
Selanjutnya berdasarkan hasil evaluasi ditentukan apa tindak lanjutnya (follow up-
nya).
Keterampilan mengakhiri konseling merupakan suatu kemampuan
konselor menutup sesi konseling. Penutupan sesi konseling tidak harus dilakukan
secara seragam oleh semua konselor. Masing-masing konselor tentu memiliki
teknik tersendiri dalam menutup sesi konseling yang disesuaikan dengan kondisi
klien, masalah klien, dan situasi konseling itu sendiri. Secara umum penutupan
sesi konseling dilakukan oleh konselor dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengatakan bahwa waktu konseling akan berakhir.
b. Merangkum isi pembicaraan (isi wawancara konseling).
c. Menunjukkan kepada klien tentang pertemuannya yang akan datang.
d. Mengajak klien berdiri sambil menunjukkan isyarat gerak tangan.
e. Menunjukkan catatan singkat kepada klien tentang hasil pembicaraan (hasil
wawancara konseling).
f. Memberikan tugas-tugas tertentu kepada klien apabila diperlukan.133
Pada Tahapan akhir konseling ditandai beberapa hal yaitu:
1) Menurunnya kecemasan klien. Hal ini ketahui setelah konselor menanyakan
keadaan kecemahannya.
2) Adanya perubahan perilaku klien kearah yang lebih positif, sehat dan
dinamis.
3) Adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.
4) Terjadinya perubahan sikap positif, yaitu mulai dapat mengoreksi diri dan
meniadakan sikap dan suka menyalahkan dunia luar, seperti orangtua, guru,
teman, keadaan tidak menguntungkan dan sebagainya.
D. Bentuk-Bentuk Kontribusi Konsep Kepribadian Menurut al-Ghazali
dalam Proses Konseling
133
Tohirin, Bimbingan dan Konseling Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), 314-
315.
68
Konsep kepribadian yang dikemukakan oleh al-Ghazali dalam hal ini
sangat berkontribusi dalam proses konseling, bentuk-bentuknya sebagai berikut:
1. Mengenal Diri
Agar konselor memiliki kualitas pribadi seperti yang telah disebutkan
diatas, maka konselor diharapkan mempelajari konsep kepribadian menurut al-
Ghazali. Dengan mempelajarinya, konselor akan memahami hakikat dirinya
yang akan mengantarkannya pada pemahaman atas jiwa apa yang
mendominasinya dengan melihat ciri-ciri yang ditunjukan oleh perilakunya
sendiri.
Seperti yang telah disebutkan bahwa mengenal diri adalah kunci untuk
mengetahui yang lain. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya ada dalam
pengetahuan tentang hal-hal berikut ini: siapakah anda, dan dari mana datang?
Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di
manakah kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sebenarnya berada?
Sebagian sifat anda adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang lain adalah sifat-
sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat. Mesti anda temukan, mana di
antara sifat-sifat ini yang aksiden dan mana yang esensial (pokok). Sebelum
anda ketahui hal ini, tidak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda
yang sebenarnya.134
Mengenal diri adalah jalan mengenal Allah, hal ini bisa menjadi bahan
renungan bagi seorang konselor untuk memahami tujuan hidupnya. Tujuan
hidup adalah kesempurnaan yang mungkin diperoleh yang dirindukan oleh
setiap orang. Kesempurnaan manusia adalah yang sesuai dengan substansi
esensialnya, (al-Nafs). Kesempurnaan manusia berkaitan erat dengan
keutamaan (al-fadha’il), yaitu berfungsinya daya-daya yang dimiliki manusia
sesuai dengan tuntutan manusia. Dengan terwujudnya al-fadha’il pada diri
seseorang, ia telah memiliki akhlak yang terpuji.135
Allah adalah sumber segala
pengetahuan dan hakikat-hakikat, fitrah manusia adalah mengenal Allah dan
percaya kepada-Nya. Mengingat-Nya akan memberikan ketenangan didalam
134
Haidar Bagir, Kimia Kebahagiaan, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, The
Alchemy of Happiness al-Ghazali, oleh Imam Al-Ghazali, 9-10. 135
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 131-134
69
hati setiap orang dan hatinya pun akan lebih peka terhadap kesalahan yang
mungkin diperbuatnya serta dengan mengenal-Nya seseorang akan
memperoleh kebahagiaan akhirat.
Al-Ghazali mempunyai konsep muhasabat al-nafs (koreksi diri)
menjelang tidur pada setiap malam. Lain dari pada itu ada cara-cara yang bisa
dilakukan oleh konselor untuk mengenal diri yaitu:
a. Mencari seorang teman yang shaleh serta menjadikannya sebagai
pengawasan keadaan-keadannya serta dapat mengingatkannya atas
kejelekan-kejelekannya;
b. Jika tidak menemukan seorang teman, maka dengarkanlah perkataanya
orang-orang yang dengki dengan mencari kesalahan-kesalahanmu.
Ambillah faedah darinya, jangan marah serta jangan memusuhinya jika
seseorang telah mengingatkanmu atas suatu kejelekan;
c. Jika ada seseorang yang mengingatkanmu ada ular di bajumu yang
menyengatmu, maka terimalah segala peringatannya tersebut. Jikalau
engaku memahaminya, maka hal tersebut menunjukkan kelemahan
imanmu terhadap akhirat, jikalau memaafkan hal tersebut, maka hal itu
menunjukkan kekuatan imanmu.136
2. Memperbaiki Diri Agar Tercapai Tingkatan Jiwa Muthma’innah
Setelah konselor mengetahui dominasi jiwa yang ada pada dirinya,
langkah selanjutnya yaitu melakukan pelatihan. Pelatihan bisa dilakukan
melalui perjuangan melawan nafsu (mujahadah) dan latihan-latihan ruhani
(riyadhah). Yaitu pada mulanya dengan memaksakan diri melakukan hal-hal
yang timbulnya dari adanya akhlak yang baik agar pada akhirnya ia menjadi
bagian dari sifat yang mapan.
Dicontoh bagi seorang yang ingin memiliki bakat sebagai seorang ahli
fiqih haruslah mempelajari dan mempelajari kembali, hukum-hukum fiqih,
sampai akhirnya kecakapan tersebut tertanam di hatinya, dan jadilah ia seorang
ahli fiqih. Demikian pula seorang yang ingin melakukan pensucian jiwa, tidak
136
Labib, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul,
Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali, 315-316.
70
mungkin ia mensucikannya, menyempurnakan dan menghiasinya dengan
amalan-amalan mulia, hanya dengan melakukan ibadah pada satu malam saja,
atau menghindarkan diri dari perbuatan maksiat selama satu hari saja.137
Jadi
seseorang yang ingin menyucikan jiwanya harus berkelanjutan dalam
prosesnya hingga tercapai jiwa muthma’innah. Dengan mempelajari,
memahami dan mempraktekkan hal ini, konselor dapat mencapai kualitas
pribadi seperti yang telah dikemukakan diatas, karena kualitas pribadi konselor
menjadi faktor penentu agar tercapai konseling yang efektif.
3. Mengajarkannya Kepada Klien
Konselor dalam proses konseling akan menemui klien yang berbeda-
beda. Sebagaimana konselor, klien juga dilatarbelakangi oleh sikap, nilai-nilai,
pengalaman, perasaan, budaya, sosial, ekonomi dan sebagainya. Semua itu
membentuk kepribadiannya. Saat berhadapan dengan konselor didalam proses
konseling, maka latar belakang tersebut akan muncul baik dengan sengaja
dimunculkan maupun muncul dengan sendirinya, seperti sikap.
Ada klien yang bersikap curiga terhadap konselor sehingga tidak mau
terbuka dalam pembicaraan, ada lagi klien emosional, marah dan menyerang
konselor dengan kata-kata. Dibalik itu ada yang diam saja, mengangguk-
angguk saja dan sedikit sekali kalimat yang keluar dari mulutnya. Ada juga
klien yang acuh tak acuh alias cuek tapi akan ditemukan pula yang angkuh,
manja dan tergantung pada konselor dan banyak pula yang menolak. Ragam
keadaan klien bukan berarti membuat konselor putuas asa, akan tetapi
seharusnya belajar lebih banyak bagaimana cara mengantisipainya.
Tujuan umum dari konseling Islam ialah membantu klien agar ia
memiliki pengetahuan tentang posisi dirinya dan memiliki keberanian
mengambil keputusan untuk melakukan suatu perbuatan yang dipandang baik,
benar, dan bermanfaat untuk kehidupannya di dunia dan untuk kepentingan
akhirat. Salah satu upaya konselor adalah mengenali potensi dan kelemahan
137
Muhammad al-Baqir, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia,
Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Tahzib Al-Akhlaq wa Mu’alajat Amradh Al-Qulub
oleh Imam Al-Ghazali (Bandung: Penerbit Karisma, 1997), 55-56.
71
serta kesulitan klien, kemudian klien akan mengungkapkan segalanya dengan
jujur dan terbuka.
Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil
juga memahami klien serta mampu mengajar cara memahami diri itu kepada
klien. Keteladanan pribadi konselor dapat menyentuh perasaan klien untuk
mengidentifikasi diri konselor.
Diharapkan setelah klien menjalani proses konseling bisa lebih mengenal
dirinya, berusaha untuk memperbaiki diri dengan mengoreksi diri dan
meningkatkan ketakwaannya kepada Allah dengan memperbaiki kualitas
ibadahnya agar tercapai ma’rifah kepada Allah sehingga terwujud ketengan dalam
hatinya.
Untuk lebih mudah memahami bagaimana kontribusi konsep kepribadian
menurut al-Ghazali dalam proses konseling bisa dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1
No Bentuk
Kontribusi
Penjelasan Cara
1 Mengenal diri -Mengetahui
pendominasian jiwa
dalam diri konselor
dengan melihat ciri-ciri
yang ditunjukan dari
perilakunya yang
berpatokan pada konsep
kepribadian menurut al-
Ghazali
- Memahami tujuan
hidupnya
- Muhasabat al-nafs
(koreksi diri)
2 Memperbaiki diri
agar tercapai
tingkatan jiwa
muthma’innah
-Konselor melakukan
pelatihan-pelatihan
secara berkelanjutan
hingga tercapai jiwa
muthma’innah
-Melawan nafsu
(mujahadah)
-Latihan-latihan ruhani
(riyadhah) pada mulanya
dengan memaksakan diri
melakukan hal-hal yang
timbulnya dari adanya
akhlak yang baik agar
72
pada akhirnya ia menjadi
bagian dari sifat yang
mapan
3 Mengajarkannya
Kepada Klien
-Dalam proses
konseling seorang
konselor akan
berhadapan dengan
klien yang memiliki
kualitas jiwa yang
berbeda-beda
-Tujuan umum dari
konseling Islam ialah
membantu klien agar ia
memiliki pengetahuan
tentang posisi dirinya
dan memiliki
keberanian mengambil
keputusan untuk
melakukan suatu
perbuatan yang
dipandang baik, benar,
dan bermanfaat untuk
kehidupannya di dunia
dan untuk kepentingan
akhirat
-Konselor yang
terampil dalam
memahami dirinya,
maka dia akan terampil
juga memahami klien
serta mampu mengajar
cara memahami diri itu
kepada klien.
-Menjelaskan dan
mengajarkan konsep
kepribadian menurut al-
Ghazali secara runtut
agar klien memiliki
pemahaman akan dirinya
sendiri sehingga klien
akan lebih peka terhadap
apa yang terjadi pada
dirinya
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Permasalahan sekaligus hasil penelitian telah disajikan. Ada beberapa hal
yang dapat ditarik kesimpulan mengenai konsep kepribadian menurut al-Ghazali
dan kontribusinya dalam proses konseling. Adapun kesimpulan dari pemaparan
penelitian di atas ialah sebagai berikut:
1. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu
identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan
membedakan dari yang lainnya. Al-Ghazali menggunakan berbagai term untuk
esensi manusia yaitu hati (al-Qalb), ruh (al-Ruh), akal (al-Aql) dan jiwa (al-
Nafs). Empat komponen ini adalah pembentuk jiwa manusia, baik itu jiwa
Ammarah (jiwa yang selalu memaki atau mencela), Lawwamah (jiwa yang
selalu memaki atau mencela), Muthma’innah (jiwa yang tenang).
Pendominasiannya akan berbeda-beda pada setiap manusia tergantung usaha
yang dilakukannya.
2. Adapun bentuk-bentuk kontribusi konsep kepribadian al-Ghazali dalam proses
konseling adalah:
a. Mengenal Diri
Dengan mengacu pada konsep kepribadian al-Ghazali konselor bisa
mengetahui pendominasian jiwanya dengan cara mengenal diri karena
dengan cara inilah konselor bisa mengetahui yang lainnya. Al-Ghazali
mempunyai konsep muhasabat al-nafs (koreksi diri) menjelang tidur pada
setiap malam. Cara lain yaitu dengan mencari teman yag shaleh,
mendengarkan perkataan orang dengki suka mencari kesalahan ataupun
dengan menerima peringatan orang lain tentang diri walaupun itu
menyakitkan. Mengenal diri adalah jalan untuk mengenal Allah, hal ini bisa
menjadi bahan renungan bagi seorang konselor untuk memahami tujuan
hidupnya yaitu kebahagiaan akhirat.
b. Memperbaiki diri agar tercapai tingkatan jiwa muthma’innah
73
74
Setelah konselor mengetahui dominasi jiwa yang ada pada dirinya, langkah
selanjutnya yaitu melakukan pelatihan. Pelatihan bisa dilakukan melalui
perjuangan melawan nafsu (mujahadah) dan latihan-latihan ruhani
(riyadhah). Dengan cara memaksakan diri, hingga terwujud sifat yang
usahakannya itu.
c. Mengajarkannya kepada klien
Dalam konseling, konselor akan menemui berbagai macam bentuk klien,
ada yang cepat menerima perubahan ataupun sebalaiknya, untuk pemecahan
masalahnya hal ini tergantung jiwa apa yang mendominasinya. Konselor
yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil juga
memahami klien serta mampu mengajar cara memahami diri itu kepada
klien. Keteladanan pribadi konselor dapat menyentuh perasaan klien untuk
mengidentifikasi diri konselor.
Dengan mempelajari, memahami dan mempraktekkan hal ini, konselor
dapat mencapai kualitas pribadi seperti yang telah dikemukakan diatas, karena
kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu tercapai konseling yang efektif.
B. Saran
Konsep kepribadian menurut al-Ghazali sangatlah membantu konselor
dalam proses konseling. Al-Ghazali memaparkan hakikat manusia secara
mendalam, untuk mengetahui komponen apa saja yang membentuk suatu perilaku.
Dari sini juga dapat diketahui pendominasian jiwa dalam diri, dengan cara
mengenal diri karena dengan mengenal diri adalah kunci mengetahui hal yang
lainnya. Al-Ghazali juga menyebutkan cara-cara yang dapat ditempuh seorang
konselor untuk mengenal diri, konselor bisa mempraktekkan hal ini pada dirinya
ataupun kepada klienya dalam proses konseling. Hal ini dilakukan agar konselor
memiliki kualitas pribadi seperti yang telah dibahas. Konselor dapat merujuk pada
buku-buku karangan al-Ghazali seperti ihya‘ ulumuddin, Kimiya’ Al-Sa’adah dan
buku-buku pendukung yang lain. Bagi para penulis selanjutnya yang tertarik
dengan bahasan ini, sebenarnya masih banyak yang bisa diperdalam dari bahasan
ini untuk menambah keilmuan dan di terapkan untuk diri sendiri.
75
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Suryadi, Rudi. “Telaah Konseptual Mengenai Konsep Jiwa Manusia.”
Jurnal Pendidikan Agama Islam. Volume 14, Nomor.1 (2016).
Ahmad, Hasbullah. Mewujudkan Ketenangan Jiwa. Jakarta: Gaung Persada (GP) Press
Jakarta, 2012. al-Baqir, Muhammad. Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia.
Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Tahzib Al-Akhlaq wa
Mu’alajat Amradh Al-Qulub” oleh Imam Al-Ghazali. Bandung: Penerbit
Karisma, 1997.
Ali Riyadi, Ahmad. Psikologi Sufi Al-Ghazali. Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008.
Arianes. “Konsep al-nafs dan al-ruh Sebagai Media Pembinaan Akhlak al-
Ghazali”. skripsi. Jambi: IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2014.
Aswadi, Erit. “Prespektif al-Ghazali dan Sigmund Freud Tentang Kepribadian
Manusia Ditinjau dalam Prespektif Konseling”. Skripsi. (Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.
Bagir, Haidar. Kimia Kebahagiaan. Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul “The Alchemy of Happiness al-Ghazali” oleh Imam Al-Ghazali.
Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
Baraja, Abubakar. Psikologi Konseling dan Teknik Konseling. Jakarta: Studia
Press, 2006.
Bin Said Az-Zahrani, Muafir. Konseling Terapi. Jakarta: Gema Insani Press,
2005.
Dunya, Sulaiman. Al Haqiqat Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali. Surabaya:
Pustaka Hikmah Perdana, 2002.
Gumiandari, Septi. “Kepribadian Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam
(Telaah Kritis Atas Psikologi Kepribadian Modern).” Holistik. Volume 12
Nomor. 1 (2011).
Ismaiel, Junaidi. Intisari Ihya’ Ulumuddin. Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul “Mukhtashar Ihya’ Ulummudin” oleh Imam Al-Ghazali. Jakarta:
PT Serambi Semesta Distribusi, 2016.
Kurniawan, Irwan. Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi. Diterjemahkan dari buku
aslinya yang berjudul “Mukasyafah Al-Qulub: Al-Muqarrib Ila Hadhrah
75
76
‘Allam Al-Ghuyub Fi ‘Ilm At-Tashawwuf” oleh Imam Al-Ghazali.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Kurniawan, Irwan. Mutiara Ihya’ Ulumuddin. Diterjemahkan dari buku aslinya
yang berjudul “Mukhtashar Ihya’ Ulummudin” oleh Imam Al-Ghazali.
Bandung: Penerbit Mizan, 1997.
Labib. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul “Mukhatshar Ihya’Ulumuddin” oleh Imam Al-Ghazali.
Surabaya: Himmah Jaya Surabaya, 2004.
Lathifah, Elly. Ringkasan Shahih Muslim. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul
“Mukhtashar Shahih Muslim” oleh M. Nashiruddin Al-Albani. Jakarta: Gema
Insani Press.
Mahmud. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Mubarok, Achmad. Al-Irsyad An-Nafsiy Konseling Islam Teori dan Kasus.
Jakarta: Bin Arena Perwira, 2000.
Mubarok, Achmad. Sunnatullah dalam Jiwa Manusia (Sebuah Pendekatan
Psikologi Islam). Jakarta: IIIT Indonesia, 2002.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2002.
Mujib, Abdul. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo,
2006.
Mukhtar. Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: Referensi,
2013.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1999.
P chaplin, James. Kamus Lengkap Psikologi Terjemah Kartini Kartono. Jakarta:
PT. Rajagrafindo, 1989.
Rahman Sholeh, Abdul. Pendidikan Agama dan Pengembangan untuk Bangsa.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
S. Willis, Sofyan. Konseling Individual, Teori dan Prektek. Bandung: Alfabeta,
2013.
Sahli, Mahfudli. Dibalik Ketajaman Mata Hati. Diterjemahkan dari buku aslinya
yang berjudul “Mukasyafatul Qulub” oleh Imam Al-Ghazali. Jakarta:
Pustaka Amani, 1997.
77
Said Basir, Victor. Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali. Beirut:
Dar Al-Kitab Al-Libanani, Tt.
Shazlan Faidz Bin Roselan, Muhammad. “Konsep Bimbingan Kepribadian
Tazkiyah Al-Nafs dalam Perspektif al-Ghazali”. Skripsi. Jambi: UIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2018.
Slamet Riyadi, Dedi dan Fauzi Bahreisy. Fauzi. Kimiya’ Al-Sa’adah (Kimia
Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi). Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul “The Alchemy of Happiness” dengan merujuk pada edisi bahasa
Arab, “Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah” oleh Imam Al-Ghazali. Jakarta: Penerbit
Zaman, tt.
Thaha, Ahmadie. Al-Ghazali Mencari Makrifah. Diterjemahkan dari buku aslinya
yang berjudul “Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali” oleh
Victor Said Basil. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
Tohirin. Bimbingan dan Konseling Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi).
Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Yakub, Ismail. Ihya’ Ulumiddin Jiwa Agama Jilid 1 dan 4. Diterjemahkan dari
buku aslinya yang berjudul “Ihya’Ulumiddin” oleh Imam Al-Ghazali.
Kuala Lumpur: Victory Ajensi, 1988.
Yasir Nasution, Muhammad. Manusia Menurut Al-Ghazali. Jakarta: Rajawali,
1988.
Yusuf, Syamsu dan Juntika Nurihsan. Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.
Yusuf, Syamsu. Mental Hygiene. Bandung: Pusaka Bani Quraisy, 2004.
Zainuddin. Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
78
CURRICULUM VITAE
Nama : Hana Mukaromah
TTL : Madiun, 15 Agustus 1997
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Fak/Jur : Dakwah/Bimbingan Penyuluhan Islam
NIM : UB. 150093
Alamat Asal : Dusun Sungai Kemang, kel. Sungsang Kec. Senyerang
Kab. Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi
Alamat Sekarang : Pemondokan/Kost Cemara No.55 Rt.09, Rw. 08, Desa
Mendalo darat, Kec. Jaluko, Kab. Muaro Jambi.
Riwayat Pendidikan
SD : SD NEGERI SUKOREJO 02 (2003-2009)
SMP : SMP NEGERI 01 KEBONSARI (2009-2012)
SMA : SMA SWASTA AL-ARIEF (2012-2015)
UNIVERSITAS : UIN STS JAMBI (2015-2019)
Motto :Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan
kemanfaatan bagi manusia yang lainnya