vol. 06, no. 03, jun 2017

16
Vol. 06, No. 03, Jun 2017 Published: 2017-07-04

Upload: others

Post on 13-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

Vol. 06, No. 03, Jun 2017 Published: 2017-07-04

Page 2: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

Articles PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU CYBERBULLY DITINJAU

DARI HUKUM POSITIF DI INDONESIA

I Putu Bayu Saputra Adi Natha, Komang Pradnyana Sudibya

o PDF

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA

PEMILU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012

Nyoman Gede Ngurah Bagus Artana, I Gusti Ketut Ariawan, I Made Walesa Putra

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PUTUSAN HAKIM PIDANA YANG

MELAMPAUI TUNTUTAN PENUNTUT UMUM (Analisis Putusan Pengadilan

Negeri Tabanan Nomor : 07/Pid.Sus/2013/PN.TBN)

I Made Bayu Gautama Suadi Putra, Made Gde Subha Karma Resen

UPAYA MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

PENCEMARAN AIR SUNGAI AKIBAT PEMBUANGAN LIMBAH

Made Lia Pradnya Paramita, Gde Made Swardhana

PENERAPAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)

DALAM MENYELESAIKAN PERKARA-PERKARA PERDATA DI INDONESIA

Karolus Weladami, Nyoman Satyayudha Dananjaya

PENGATURAN TINGKAT KESALAHAN DOKTER SEBAGAI DASAR

PENENTUAN GANTI RUGI PADA PASIEN KORBAN MALPRAKTEK

Kadek Arini, Ida Bagus Putra Atmadja

Page 3: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

1

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

DALAM TINDAK PIDANA PEMILU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012

Oleh :

Nyoman Gede Ngurah Bagus Artana

I Gusti Ketut Ariawan

I Made Walesa Putra

Program Kekhususan Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Tindak pidana pemilu kini tidak hanya dapat dilakukan

oleh orang perseorang melainkan dapat juga dilakukan oleh korporasi. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan

DPRD, khususnya ketentuan Pasal 303, 304, 306, dan 307 UU

No. 8 Tahun 2012 masih terdapat kekaburan norma terkait penentuan pihak yang bertanggungjawab atas tindak pidana

pemilu yang dilakukan oleh korporasi dan juga masih terdapat

permasalahan dalam penegakkan pertanggungjawaban korporasi

di masa akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dalam pertanggungjawaban korporasi.

Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif

dengan pendekatan komparatif, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konsep hukum. Sumber hukum yang ada

dikumpulkan dengan teknik studi dokumen dan dianalisis dengan

teknik diskriptif, teknik sistematisasi dan teknik evaluatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa untuk

menentukan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana

pemilu dapat dipedomani peraturan perundang-undangan lain yang terkait korporasi dan ketentuan umum Rancangan KUHP

dapat menjadi pedoman penegakkan pertanggungjawaban

korporasi di masa akan datang.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Korporasi, dan

Pemilu

Nyoman Gede Ngurah Bagus Artana adalah mahasiswa Fakutas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi : [email protected]

I Gusti Ketut Ariawan adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

I Made Walesa Putra adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Page 4: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

2

ABSTRACT

Criminal election in its development has increased, it is not only done by an individual and political party, but also can be done by corporation. UU No. 8 Tahun 2012 about election of DPR, DPD, and DPRD is expected to prevent the development of criminal election which caused by corporation. But, as the provision of article 303, 304, 306, and 307 UU No. 8 Tahun 2012, there is an obscurity of corporation accountability norms which impact to uncertainty of corporation accountability which is related with imprisonment of the corporation This research uses normative legal method with comparative approach, legal circulation, and legal concept approach. Existing legal sources were collected by document study techniques and analyzed by descriptive techniques, systematization techniques and evaluative techniques

Based on the result of the research, it is known that to determine corporation accountability in election crime can be guided by other laws related to corporation and general provisions. The draft Penal Code can be a guideline for uphold corporate liability in the future.

Keywords: Criminal Liability, Corporation, and Election

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembentuk konstitusi menggunakan sistem dan asas

ketatanegaraan demokrasi, untuk mencapai tujuan bernegara.1

Pemilihan umum (pemilu) legislatif merupakan salah satu bentuk

perwujudan dari asas demokrasi dengan konsep kedaulatan

rakyat.

Pemilu legislatif di Indonesia telah diselenggarakan sejak

tahun 1955 hingga penyelengaraan terakhir pada tahun 2014.

Praktek penyelengaraan pemilu, tidak pernah luput dari praktek-

praktek yang menodai nilai-nilai demokrasi dan asas-asas dalam

pemilu. Pelanggaran dalam bidang pemilu kini tidak hanya dapat

1Janendjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konpress, Jakarta, h.3.

Page 5: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

3

dilakukan oleh orang perseorang melainkan dapat juga dilakukan

oleh korporasi.

Beberapa kasus keterlibatan korporasi dalam

penyelenggaraan pemilu dapat ditemukan dalam kasus

penyuapan korporasi terhadap partai politik yang terjadi di negara

Amerika Serikat. Kasus yang menjadi sorotan adalah pada saat

pemilihan presiden Amerika Serikat antara senator Bob Dole

dengan Bill Clinton. Dalam persaingan perebutan kursi presiden,

Bob Dole dituduh menggunakan sumbangan dana ilegal, yang

dimana sumbangan ilegal tersebut diperolehnya dari perusahaan

alat olahraga di Massachusetts dan perusahaan Aqua-Leisure

Industries yang masing-masing berjumlah USD 36.000 dan USD

1.000.2 Kasus lainnya, pada tahun 1994 sebuah perusahaan gas

di Oklahoma menyumbang sebesar USD 150.000 kepada kandidat

dari Partai Demokrat, Stuart Price yang bersaing dengan kandidat

dari Partai Republik, Steve Largent, ketika berlangsung kampanye

untuk menjadi anggota Kongres.

Pemerintah telah mengantisipasi kasus-kasus tersebut

dengan membentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD. Dalam undang-undang

tersebut terdapat beberapa ketentuan yang terkait korporasi,

namun masih belum jelas mengatur mengenai apabila terjadi

kejahatan dalam bidang pemilu yang dilakukan oleh korporasi,

apakah pertanggungjawabannya dapat dijatuhkan kepada

korporasi ataukah terhadap pengurusnya dan tidak menentukan

perbuatan yang bagaimana tergolong dalam tindak pidana pemilu

yang dilakukan oleh korporasi.

2M. Arief Amrullah, 2009, “Korporasi dan Politik Uang Dalam Pemilu”, URL : http://library.unej.ac.id/client/search/asset/612, diakses tanggal 10 Januari 2016.

Page 6: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

4

1.2. Permasalahan.

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban korporasi dalam

tindak pidana pemilu berdasarkan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2012?

2. Bagaimakah pengaturan pertanggungjawaban korporasi

dalam pengaturan hukum Indonesia di masa akan

datang?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini

adalah untuk pengembangan konsep, asas, dan teori mengenai

pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pemilu

berdasarkan UU 8 Tahun 2012.

Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini

adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi

dalam tindak pidana pemilu dalam UU 8 Tahun 2012 dan

pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana

pemilu dalam konteks pembaharuan hukum pidana.

II. ISI MAKALAH

2.1 Metode Penelitian

2.1.1 Jenis Penelitian

Berangkat dari terdapat permasalahan hukum berupa

kekaburan norma atau norma yang tidak jelas yang akan

berpengaruh pada penegakan hukum dalam pertanggungjawaban

pidana dalam bidang pemilu, maka penelitian yang digunakan

adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif

hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in book).3

3Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2013, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.

Page 7: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

5

2.1.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan komparatif (komparative approach), pendekatan

perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep

hukum (Analitical & Conseptual Approach).

2.1.3 Sumber Bahan Hukum

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat4, yang mana pada penelitian ini yang menjadi

bahan hukum primer meliputi:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5316);

c. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016

tentang Tata Cara Penangan Perkara Tindak Pidana

oleh Korporasi.

2. Bahan hukum sekunder, seperti rancangan undang-

undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun

2015, hasil-hasil penelitian, pendapat ahli hukum yang

berkaitan dengan judul penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu seperti kamus hukum dan

ensiklopedia.

2.1.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum

yang digunakan adalah studi dokumen. Teknik studi dokumen

merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum.5

4Ibid, h.31. 5Ibid, h. 68.

Page 8: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

6

2.1.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini

diantaranya teknik diskriptif, teknik sistematisasi dan teknik

evaluatif.

2.2 Hasil dan Analisis

2.2.1 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak

Pidana Pemilu Legislatif

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak

mengakui korporasi sebagai subyek hukum pidana, dikarenakan

KUHP masih menganut hanya manusia saja yang dapat dituntut

sebagai pelaku dari suatu tindak pidana berupa pelanggaran

maupun kejahatan.6 Korporasi sebagai subyek tindak pidana

mulai dikenal sejak tahun 1955, dengan diundangkannya UU No.7

Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.7 Sampai saat ini

korporasi sebagai subyek tindak pidana telah diatur dalam

beberapa peraturan perundang-undangan di luar KUHP.

Salah satu peraturan perundangan-undangan yang

mengatur terkait korporasi adalah UU 8 Tahun 2012. Beberapa

ketentuan yang berkaitan dengan korporasi dalam ketentuan

tersebut diatur dalam pasal 303 ayat (1), 304 ayat (1), 306, dan

Pasal 307. Dalam pasal 303 ayat (1) disebutkan bahwa setiap

orang, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non

pemerintah yang memberikan dana kampanye Pemilu melebihi

batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131

ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun

6I Dewa Made Suartha, 2015, Hukum Pidana Korporasi, Pertanggungjawaban Pidana dalam Kebijakan Hukum Pidana Indonesia, Setara Press, Malang, h. 46. 7Muladi dan Dwidja Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenadamedia, Jakarta, h.159.

Page 9: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

7

dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Berdasarkan ketentuan mengenai korporasi dalam UU 8 Tahun

2012 tersebut diketahui bahwa apabila telah terjadi suatu tindak

pidana pemilu yang dilakukan oleh korporasi dalam hal ini

perusahaan, badan usaha non pemerintah, maupun perusahaan

pencetak suara maka bentuk pertanggungjawabannya adalah

pidana penjara dan pidana denda.

Pasal-pasal yang berkaitan dengan korporasi dalam

ketentuan UU 8 Tahun 2012 tidak mengatur secara spesifik

mengenai pihak yang harus bertanggungjawab apabila terjadi

suatu tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh korporasi apakah

dibebankan terhadap korporasi ataupun terhadap pengurus

korporasi.

Korporasi memang telah diakui sebagai subyek tindak

pidana dalam beberapa ketentuan di luar KUHP. Tetapi dalam

penegakkan hukumnya, hanya ada satu putusan yang

menempatkan korporasi sebagai terdakwa.8 Dalam kasus ini, pada

tingkat kasasi, Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 1

Maret 1969 No. 136K/Kr/1966 justru membatalkan putusan

Pengadilan Tinggi Ekonomi, sehingga badan hukum yang

dimaksud, tidak lagi ditempatkan di bawah pengampuan.9 Dua

putusan Mahkamah Agung lainnya, yang secara langsung maupun

tidak langsung berkaitan dengan korporasi, dalam putusanya

sama sekali tidak melibatkan korporasi sebagai subyek tindak

pidana, melainkan hanya terhadap pengurusnya saja. Putusan itu

yakni Putusan Mahkamah Agung RI Tanggal 19 September 1970

No. 66/KR/1969 dan Putusan Mahkah Agung RI Tanggal 26

Januari 1984 No. 346K/KR/1980.

8

Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi,

Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 56. 9Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h. 169.

Page 10: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

8

Terhadap tindak pidana di bidang pemilu dengan melihat

rumusan pasal yang berkaitan dengan korporasi sudah

seharusnya korporasi dapat dijatuhi hukum pidana, oleh karena

kerugian yang ditimbulkan akan merugikan masyarakat luas dan

juga mempengaruhi keputusan politik badan legislatif yang lebih

memihak pada korporasi bukan pada masyarakat.10

Untuk menjatuhkan pertanggungjawaban pidana kepada

korporasi dalam tindak pidana pemilu diperlukan suatu aturan

atau batasan terkait kapan suatu korporasi dikategorikan

melakukan tindak pidana. UU 8 Tahun 2012 tidak mengatur

menganai hal tersebut, maka dalam hal ini dapat mengadopsi dari

peraturan perundangan yang sudah mengatur mengenai tindak

pidana korporasi, seperti undang-undang korupsi dan undang-

undang tindak pencucian uang.

Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberatasan Tindak

Pidana Korupsi, menyebutkan tindak pidana korupsi dilakukan

oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh

orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun

berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan

korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun

2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan hanya

pengurus yang mempunyai hubungan fungsional dalam struktur

organisasi korporasi sajalah yang dapat melibatkan korporasi

dalam pertanggungjawaban pidananya. Berdasarkan kedua

rumusan tersebut, dibatasi suatu tindak pidana dapat dilakukan

oleh korporasi dengan syarat dilakukan oleh mereka yang memiliki

10Ermanto Fahamsyah dan I Gede Widhiana Suarda, 2006, “Implementasi Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Kaitannya dengan Kejahatan Korporasi”, Mimbar Hukum Volume 18, Nomor 2, Juni 2006, h, 235.

Page 11: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

9

hubungan langsung dengan korporasi dan oleh kegiatan yang

tergolong untuk kepentingan korporasi.

Dalam menentukan suatu pertanggungjawaban korporasi

dalam bidang pemilu juga perlu ditentukan terkait dengan siapa

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana pemilu

yang dilakukan oleh korporasi. Dalam membatasi hal ini, maka

digunakan teori-teori pertanggungjawaban korporasi, seperti teori

strict liability dan teori vicarious liability. Teori strict liability atau

konsep pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk

pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan

adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya unsur

perbuatan.11 Teori vicarious liability adalah pertanggungjawaban

seseorang, tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas

tindakan orang lain.12 Dua teori ini, sebagai cara dalam memidana

korporasi maupun menjatuhkan pidana terhadap pengurus suatu

korporasi.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan

pengurusnya, telah dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak

Pidana Oleh Korporasi (Perma Korporasi). Dalam perma korporasi

tersebut memberikan pedoman penanganan tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi. Dalam ketentuan perma korporasi,

korporasi dikatakan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana

sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Perma Korporasi.

2.2.2 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Masa Akan

Datang

Perumusan korporasi sebagai subyek tindak pidana dan

pertanggungjawabannya masih tersebar dalam berbagai peraturan

11Mahrus Ali, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 112. 12I Dewa Made Suartha, op.cit., h.87.

Page 12: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

10

perundang-undangan di luar KUHP. Berdasarkan demikian

mengakibatkan ketidakseragaman pengaturan terkait pidana

korporasi dan masih terdapat beberapa cara perumusan

pertanggungjawaban pidana korporasi.13 Hal lain yang

menunjukkan kelemahan dari kebijakan formulasi yakni,

pertanggungjawaban korporasi tidak diatur secara umum,

melainkan pengaturannya hanya diatur dalam undang-undang

khusus dan kurang konsisten dalam menggunakan istilah

korporasi.14

Terhadap permasalahan dalam kebijakan formulasi sistem

pertanggungjawaban korporasi, terdapat dua alternatif

penyelesaian. Pertama dengan melakukan reformulasi pengaturan

sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang diatur dalam

perundangan di luar KUHP dan kedua dengan cara melakukan

pembaharuan KUHP dengan memasukkan korporasi sebagai

subyek tindak pidana secara umum.15

Dalam rangka pembaharuan hukum pidana terkait

korporasi, maka reorientasi dan reformulasi sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi harus didasarkan pada

suatu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai. Pada sudut

pendekatan kebijakan, reorientasi dan reformulasi sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi adalah sebagai bagian dari

kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan

hukum,16 sedangkan dari sudut pendekatan nilai, pada

hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan

13I Dewa Made Suartha, op.cit, h. 88. 14

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h. 230. 15Muladi, 1997, Ham, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, BP Undip, Semarang, h.169. 16Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, h. 23.

Page 13: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

11

penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan

sosiokultural.17

Pengaturan korporasi dalam konteks pembaharuan hukum

pidana dapat dilihat dalam naskah Rancangan KUHP Tahun 2015

(RKUHP 2015). Dalam naskah tersebut, penyusun RKUHP 2015

telah memasukkan konsep korporasi dan pertanggungjawabannya

sebagai subyek tindak pidana dalam Pasal 48 sampai dengan

Pasal 54 dan terkait batasan korporasi diatur dalam Pasal 190

RKUHP 2015. Berdasarkan rumusan tersebut, apabila suatu

tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka

pertanggungjawabannya dijatuhkan terhadap korporasi sendiri,

atau korporasi dan pengurusnya, dan pengurusnya saja. Pidana

pokok yang dapat dikenai terhadap korporasi hanyalah pidana

denda, yang dimana pidana denda ini lebih berat dari pidana

denda terhadap orang. Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan

terhadap korporasi berupa pencabutan hak yang diperoleh

korporasi.

Pengaturan tindak pidana pemilu telah diatur dalam

Naskah RKUHP 2015 yakni diatur dalam Pasal 278 sampai dengan

Pasal 282 RKUHP 2015. Permasalahannya rumusan ketentuan

tersebut tidak ada yang mengatur berkaitan dengan tindak pidana

pemilu yang dilakukan oleh korporasi. Rumusan tersebut hanya

berisikan penegasan sanksi terhadap tindak pidana pemilu yang

sebelumnya telah diatur dalam KUHP, yang berupa merintangi

orang menjalankan haknya dalam memilih, penyuapan, perbuatan

tipu muslihat, dan menggagalkan pemungutan suara. Berkaitan

dengan pengaturan tindak pidana pemilu di masa akan datang,

sampai saat ini belum ada pembahasan terkait dengan

pembaharuan ketentuan pemilu. Sampai saat ini Rancangan

17Ibid, h.30.

Page 14: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

12

Undang-Undang tentang Kitab Hukum Pemilu (RUU Pemilu) hanya

masuk dalam daftar program legislasi nasional rancangan undang-

undang prioritas tahun 2016, yaitu pada nomor 26 dengan judul

RUU Kitab Hukum Pemilu.18

3. Penutup

3.1 Kesimpulan

1. Dengan dipedomani peraturan perundang-undangan

yang mengatur mengenai korporasi, teori-teori

pertanggungjawaban pidana korporasi, dan juga Perma

Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemeriksaan

Perkara Tindak Pidana oleh korporasi, maka

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak

pidana pemilu dapat dijatuhi kepada korporasi saja, atau

pengurus korporasi saja, ataupun korporasi bersama

dengan pengurus korporasi.

2. Naskah RKUHP 2015 hanya berisikan pengaturan terkait

korporasi sebagai subyek tindak pidana dan

pertanggungjawabannya dan juga mengatur terkait

dengan tindak pidana pemilu. Pengaturan

pertangunggjawaban pidana korporasi dalam tindak

pidana pemilu tidak ditemukan dalam RKUHP 2015,

maka apabila terjadi suatu tindak pidana di bidang

pemilu yang dilakukan oleh korporasi, buku I RKUHP

2015 dapat menjadi pedoman umum penegakan

pertanggungjawaban pidana korporasi di masa akan

datang.

18Achmadudin Rajab, 2016, “Urgensi Menyegarkan Pembahasan RUU Kitab Hukum Pemilu”, Jurnal Rechtvinding, September 2016, h.1.

Page 15: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

13

3.1 Saran

1. Sebaiknya aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan

Hakim) bisa memperkarakan secara pidana korporasi

sebagai pelaku tindak pidana, karena telah adanya

pedoman dalam menjatuhkan pertanggungjawaban

pidana terhadap korporasi dalam Perma Korporasi.

2. Sebaiknya pemerintah melakukan penetapan terhadap

Naskah RKUHP 2015, agar terciptnya keseragaman

pengaturan terkait sistem pertanggungjawaban pidana

korporasi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2013, Pengantar Metode

Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta.

Gaffar, Janendjri M, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konpress,

Jakarta.

Mahrus Ali, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Rajawali

Pers, Jakarta.

Muladi dan Dwidja Priyatno, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenadamedia, Jakarta.

Muladi, 1997, Ham, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, BP

Undip, Semarang.

Suartha, I Dewa Made, 2015, Hukum Pidana Korporasi,

Pertanggungjawaban Pidana dalam Kebijakan Hukum Pidana Indonesia, Setara Press, Malang.

Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Page 16: Vol. 06, No. 03, Jun 2017

14

Jurnal

Achmadudin Rajab, 2016, “Urgensi Menyegarkan Pembahasan

RUU Kitab Hukum Pemilu”, Jurnal Rechtvinding, September

2016.

Ermanto Fahamsyah dan I Gede Widhiana Suarda, 2006,

“Implementasi Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Kaitannya dengan Kejahatan Korporasi”, Mimbar Hukum

Volume 18, Nomor 2, Juni 2006.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.

20 Tahun 2001 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 3874.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penangan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Berita

Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2058.

Sumber Lainnya

Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional Tahun 2015.

Internet

M. Arief Amrullah, 2009, “Korporasi dan Politik Uang Dalam

Pemilu”,URL:http://library.unej.ac.id/client/search/asset/612