vol. v no. 06 ii p3di maret 2013

20
H U K U M - 1 - Vol.V, No. 06/II/P3DI/Maret/2013 Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 IZIN PENYADAPAN DALAM RUU KUHAP Sulasi Rongiyati *) Abstrak Pemerintah mengajukan RUU KUHAP sebagai penganti UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana. Salah satu substansi krusial RUU KUHP yang mendapat reaksi publik adalah larangan penyadapan dalam mengungkap tindak pidana kecuali dengan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Ketentuan ini mendapat reaksi publik termasuk KPK dan dianggap sebagai upaya melemahkan institusi KPK dalam tugas pemberantasan korupsi. Sifat lex specialis UU KPK menjadi argumen pengecualian pemberlakuan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam melakukan penyadapan. A. Pendahuluan Bidang hukum berkembang seiring kebutuhan masyarakat dan globalisasi. Hal ini sesuai fungsi hukum sebagai alat kontrol bagi masyarakat, sehingga sifat hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Setiap negara harus menyesuaikan perubahan melalui pembenahan di bidang hukum yang antara lain dilakukan melalui bidang legislasi. Khusus di bidang hukum pidana, dampak globalisasi telah direspon dengan pembentukan beberapa konvensi internasional, seperti United Nations Convention Against Corruption, International Convention Against Torture, dan Covenant on Civil and Political Right. Indonesia termasuk salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi internasional yang berkaitan dengan pengaturan hukum acara pidana tersebut. Bahkan Indonesia juga berperan dalam pembentukan International Criminal Court. Lebih dari seperempat abad Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam menangani tindak pidana. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lebih dikenal dengan istilah KUHAP merupakan karya besar bangsa Indonesia sebagai pengganti hukum pidana formil produk pemerintah kolonial Belanda, Herziene Inlands Reglement. Namun, perkembangan teknologi dan globalisasi yang begitu pesat serta berlakunya berbagai konvensi internasional pasca-berlakunya KUHAP, menuntut perubahan peraturan hukum acara pidana Indonesia. Pemerintah telah mengajukan RUU KUHAP sebagai pengganti UU No. 8 *) Peneliti Madya bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Upload: yulia-indahri

Post on 18-Feb-2015

48 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Izin Penyadapan dalam RUU KUHAP (Sulasi Rongiyati)Pertemuan Panel Tingkat Tinggi untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015 (Sita Hidriyah)Pelanggaran Hak Anak (Mohammad Mulyadi)Dugaan Keberadaan Kartel Pangan dan Upaya Penanggulangannya (Sahat Aditua F. Silalahi)Peranan Kepala Daerah dalam Penanganan Gangguan Keamanan (Prayudi)

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

H U K U M

- 1 -

Vol. V, No. 06/II/P3DI/Maret/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

IZIN PENYADAPAN DALAM RUU KUHAP

Sulasi Rongiyati*)

Abstrak

Pemerintah mengajukan RUU KUHAP sebagai penganti UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana. Salah satu substansi krusial RUU KUHP yang mendapat reaksi publik adalah larangan penyadapan dalam mengungkap tindak pidana kecuali dengan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Ketentuan ini mendapat reaksi publik termasuk KPK dan dianggap sebagai upaya melemahkan institusi KPK dalam tugas pemberantasan korupsi. Sifat lex specialis UU KPK menjadi argumen pengecualian pemberlakuan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam melakukan penyadapan.

A. Pendahuluan

Bidang hukum berkembang seiring kebutuhan masyarakat dan globalisasi. Hal ini sesuai fungsi hukum sebagai alat kontrol bagi masyarakat, sehingga sifat hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Setiap negara harus menyesuaikan perubahan melalui pembenahan di bidang hukum yang antara lain dilakukan melalui bidang legislasi. Khusus di bidang hukum pidana, dampak globalisasi telah direspon dengan pembentukan beberapa konvensi internasional, seperti United Nations Convention Against Corruption, International Convention Against Torture, dan Covenant on Civil and Political Right. Indonesia termasuk salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi internasional yang berkaitan dengan pengaturan

hukum acara pidana tersebut. Bahkan Indonesia juga berperan dalam pembentukan International Criminal Court.

Lebih dari seperempat abad Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam menangani tindak pidana. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lebih dikenal dengan istilah KUHAP merupakan karya besar bangsa Indonesia sebagai pengganti hukum pidana formil produk pemerintah kolonial Belanda, Herziene Inlands Reglement. Namun, perkembangan teknologi dan globalisasi yang begitu pesat serta berlakunya berbagai konvensi internasional pasca-berlakunya KUHAP, menuntut perubahan peraturan hukum acara pidana Indonesia. Pemerintah telah mengajukan RUU KUHAP sebagai pengganti UU No. 8

*) Peneliti Madya bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 2: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 2 -

Tahun 1981 kepada DPR RI. Pembahasan Tingkat I diawali dengan Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 6 Maret 2013.

RUU KUHAP terdiri dari 18 bab dan 286 pasal. Salah satu materi krusial yang diatur adalah mengenai penyadapan. Masalah pengaturan penyadapan dalam RUU KUHAP menjadi perdebatan, khususnya para pemerhati hukum, karena RUU KUHAP pada prinsipnya melarang tindakan penyadapan, dengan pengecualian khusus tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana serius dimungkinkan melakukan penyadapan setelah mendapat izin dari hakim pemeriksa pendahuluan. Ketentuan inilah yang memunculkan resistensi publik, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seperti diketahui, korupsi termasuk kejahatan luar biasa yang melanggar hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya harus dihadapi dengan upaya yang luar biasa pula. KPK sebagai institusi yang diberi kewenangan melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi, oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan sebagai salah satu cara untuk mengungkap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Upaya ini telah terbukti berhasil dan melalui penyadapan yang dilakukan KPK sejumlah skandal korupsi dapat diungkap.

Keharusan memperoleh izin hakim sebelum melakukan penyadapan dianggap sebagai upaya untuk melemahkan KPK, walaupun penyadapan telah menjadi kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. UU KPK berlaku lex specialis terhadap KUHAP yang bersifat lex generalis, namun dengan tidak adanya pengaturan pengecualian izin penyadapan bagi KPK dalam RUU KUHAP, beberapa kalangan khawatir, KPK akan menemui hambatan dalam melakukan tugas pemberantasan korupsi.

B. Pengaturan Penyadapan dalam RUU KUHAP

Penyadapan menjadi salah satu cara yang ditempuh penyidik dalam mengungkap suatu tindak pidana. Namun langkah ini oleh sebagian kalangan dipermasalahkan karena dianggap

melanggar hak asasi manusia. Bab IV RUU KUHAP yang mengatur tentang Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, Penyadapan, dan Pemeriksaan Surat, secara tegas mengatur persyaratan bagi penyidik yang akan melakukan penyadapan. Secara lengkap Pasal 83 RUU KUHAP menyebutkan bahwa:(1) Penyadapan pembicaraan melalui telepon

atau alat komunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan.

(2) Tindak pidana serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindak pidana:a. terhadap keamanan negara;b. perampasan kemerdekaan/penculikan;c. pencurian dengan kekerasan;d. pemerasan;e. pengancaman;f. perdagangan orang;g. penyelundupan;h. korupsi;i. pencucian uang;j. pemalsuan uang;k. keimigrasian;l. mengenai bahan peledak dan senjata

api;m. terorisme;n. pelanggaran berat HAM;o. psikotropika dan narkotika;p. pemerkosaan;q. pembunuhan;r. penambangan tanpa izin;s. penangkapan ikan tanpa izin di perairan;

dant. pembalakan liar.

(3) Penyadapan pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapatkan izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

(4) Penuntut umum menghadap kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersama dengan penyidik dan menyampaikan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dengan melampirkan pernyataan tertulis dari penyidik tentang alasan dilakukannya penyidikan tersebut.

Page 3: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 3 -

(5) Hakim Pemeriksa Pendahuluan mengeluarkan penetapan izin untuk melakukan penyadapan setelah memeriksa permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

(6) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh ) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

(7) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberikan atau menolak memberikan izin penyadapan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus mencantumkan alasan pemberian atau penolakan izin tersebut.

(8) Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus dilaporkan kepada atasan penyidik dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Berdasarkan Pasal 83 RUU KUHAP tersebut dapat dikatakan, pada prinsipnya RUU KUHAP melarang penegak hukum melakukan penyadapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana. Namun RUU KUHAP memberikan kemungkinan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan terhadap tindak pidana tertentu yang disebutkan secara limitatif dalam Pasal 83 ayat (2) RUU KUHAP dengan syarat yang ketat. Seorang penyidik hanya dapat melakukan penyadapan jika tindak pidana yang disangkakan termasuk dalam katagori tindak pidana serius dan penyadapan yang akan dilakukan merupakan satu-satunya upaya untuk mengungkap terjadinya tindak pidana serius tersebut. Syarat berikutnya adalah adanya permintaan tertulis atasan penyidik dan mendapatkan izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dari ketentuan tersebut terlihat birokrasi yang harus ditempuh untuk melakukan penyadapan sangat panjang, sementara untuk mengungkap tindak pidana serius pada umumnya memerlukan tindakan cepat, rapi, dan hati-hati.

Terhadap 20 tindak pidana serius yang diperbolehkan melakukan penyadapan, semuanya harus mendapatkan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan tanpa kecuali, termasuk tindak pidana korupsi yang ditangani KPK. Hal ini secara tegas tersurat dalam Naskah Akademik RUU KUHAP sebagai berikut:

“Penyadapan pun dilakukan dengan perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat izin hakim komisaris. Dengan demikian tidak ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin hakim komisaris. Pengecualian izin hakim komisaris dalam keadaan mendesak dibatasi dan tetap dilaporkan melalui penuntut umum.”

Dalam keadaan mendesak penyadapan terhadap tindak pidana serius dapat dilakukan oleh penyidik tanpa izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dengan catatan harus memberitahukan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum yang dapat dilakukan secara lisan, telepon, sms, atau email. Selanjutnya penyadapan tersebut harus dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan paling lama 2 hari sejak penyadapan dilakukan unntuk mendapatkan persetujuan. Jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberikan persetujuan maka penyadapan tersebut harus dihentikan (Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) RUU KUHAP dan penjelasannya).

Ketentuan Pasal 83 dan Pasal 84 RUU KUHAP memberi kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai penentu perlu tidaknya penyadapan dilakukan, bahkan dalam keadaan mendesak pun penyadapan harus dihentikan jika tidak mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hal ini menuntut integritas Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, khususnya untuk tindak pidana luar biasa atau tindak pidana yang dilakukan secara terorganisir seperti korupsi, pencucian uang, dan narkotika.

C. Kewenangan KPK dalam Melakukan Penyadapan

UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK diberikan wewenang untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

Page 4: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 4 -

Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan HAM menegaskan bahwa KPK tidak perlu meminta izin penyadapan, karena UU KPK yang bersifat lex specialis telah mengatur kewenangan penyadapan. Menurut pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, KPK memiliki kewenangan penyadapan sesuai ketentuan UU KPK sehingga tidak memerlukan izin penyadapan. Sifat eksepsional dalam RUU KUHAP diberikan kepada institusi yang telah memiliki UU khusus yang memberikan kewenangan penyadapan. Namun, sebagai sarana kontrol agar kewenangan yang diberikan kepada KPK tidak disalahgunakan, seharusnya penyadapan yang dilakukan KPK harus diberitahukan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Terlebih penyadapan berkaitan dengan hak-hak privat seseorang. Menurut Bernard L. Tanya, penyadapan KPK tidak perlu izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan karena penyadapan merupakan langkah khusus dan rahasia yang selama ini ditempuh KPK. Proses izin melalui hakim justru berpotensi kontraproduktif karena dimungkinkan informasi akan bocor.

Fakta yang terjadi, penyadapan yang dilakukan KPK terbukti efektif untuk mengungkap kasus-kasus besar di bidang korupsi, seperti pada kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang dan kasus korupsi impor daging sapi. Jadi upaya-upaya yang dianggap akan berpengaruh negatif terhadap kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi harus dihindarkan. Sebaliknya, upaya penguatan KPK dengan memberikan kewenangan yang dapat dipertanggungjawabkan perlu didukung oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk DPR dan Pemerintah, dengan tetap melakukan pengawasan secara berkelanjutan.

D. Penutup

RUU KUHAP memberi kewenangan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai penentu izin penyadapan, termasuk penyadapan yang dilakukan dalam keadaan mendesak harus dilaporkan untuk memperoleh izin Hakim

Pemeriksa Pendahuluan, sehingga hakim harus mengedepankan integritas, kejujuran, dan obyektivitas dalam memberi atau menolak izin penyadapan.

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda dan hambatan dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi, maka khusus untuk penyadapan tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, RUU KUHAP seharusnya mengatur secara tegas sebagai pengecualian atas ketentuan penyadapan yang harus dilakukan dengan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hal ini mengingat kewenangan KPK melakukan penyadapan telah diberikan oleh UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berlaku sebagai lex specialis, sedangkan KUHAP merupakan hukum acara besifat lex generalis.

Sebagai bagian dari penegak hukum, sudah selayaknya KPK dilibatkan untuk memberi masukan dalam pembahasan RUU KUHAP. Dengan membuka diri terhadap masukan pihak-pihak terkait dan publik secara luas diharapkan RUU KUHAP mampu menciptakan sistem peradilan yang lebih baik dan mengedepankan rasa keadilan.

Rujukan:1. Naskah Akademik dan RUU tentang

Hukum Acara Pidana.2. “Izin Sadap dalam KUHAP,” Kompas, 21

Maret 2013.3. “KPK Tak Perlu Izin Penyadapan,” Kompas,

21 Maret 2013.4. “Pasal Izin Penyadapan Bisa Dimanfaatkan

Koruptor,” http://www.tempo.co.id, diakses 17 Maret 2013.

5. “Wamenkumhan: Penyadapan Dikecualikan dalam RUU KUHAP,” www.republika. co.id, diakses 17 Maret 2013.

6. “Penyadapan Dikebiri, KPK Minta Pembahasan RUU KUHAP Dihentikan,” www.detiknews.com, diakses 17 Maret 2013.

7. “Revisi KUHAP, Penyadapan Harus Mendapat Izin Hakim,” www.kompas.co.id, diakses 17 Maret 2013.

Page 5: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

H U B U N G A N I N T E R N A S I O N A L

- 5 -

Vol. V, No. 06/II/P3DI/Maret/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

PERTEMUAN PANEL TINGKAT TINGGI UNTUK

AGENDA PEMBANGUNAN PASCA-2015

Sita Hidriyah*)

Abstrak

Pada tahun 2015, target pencapaian Millennium Development Golas (MDGs) akan berakhir. Dalam pencapaiannya, tantangan-tantangan baru bermunculan seperti perubahan iklim, ketahanan pangan dan lain-lain. Untuk menghadapinya, negara-negara anggota PBB telah bersepakat untuk berupaya mencapai target pada tahun 2015 dan membahas bersama agenda pembangunan pasca-2015. Oleh karena itu, Sekjen PBB membentuk High-Level Panel of Eminent Persons on Post-2015 Development Agenda (HLPEP). HLPEP dibentuk sebagai wujud inisiasi upaya persiapan agenda pembangunan pasca-2015 dan pada 24–27 Maret 2013 melaksanakan Pertemuan Tingkat Tinggi di Bali untuk mempersiapkan laporan yang akan diserahkan kepada Sekjen PBB pada akhir Mei 2013. Mengingat laporan akhir HLPEP merupakan produk konsensus antaranggota Panel, pertemuan ini akan memainkan peran yang krusial untuk memfasilitasi konsensus dimaksud.

A. Pendahuluan

Deklarasi MDGs merupakan hasil perjuangan dan kesepakatan bersama antara negara-negara berkembang dan negara maju. Negara-negara berkembang berkewajiban melaksanakannya, termasuk Indonesia, di mana kegiatan MDGs di Indonesia mencakup pelaksanaan kegiatan monitoring MDGs. Sedangkan negara-negara maju berkewajiban mendukung dan memberikan bantuan terhadap upaya keberhasilan setiap tujuan dan target MDGs.

Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani MDGs, juga berkomitmen mewujudkan 8 MDGs sebagai perwujudan peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan kualitas hidup yang lebih baik. Secara nasional, komitmen tersebut dituangkan dalam berbagai dokumen perencanaan nasional, antara lain dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009, yang dipertegas pada RPJMN 2010–2014 dan Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan.

*) Peneliti Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 6: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 6 -

Pada tahun 2015, target capaian MDGs akan berakhir. Sejak tahun 2000 sampai saat ini, sejumlah target telah berhasil dicapai, seperti target pengurangan kemiskinan, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, peningkatan kesehatan anak, perluasan akses air bersih dan pengendalian penyebaran penyakit menular. Namun tantangan-tantangan baru bagi pembangunan juga bermunculan, seperti perubahan iklim, ketahanan pangan dan energi, degradasi laut, urbanisasi dan lain-lain. Menghadapi hal tersebut, negara-negara anggota PBB telah sepakat untuk semaksimal mungkin berupaya mencapai target MDGs pada tahun 2015 dan mulai membicarakan perlunya pembahasan agenda pembangunan pasca-2015.

B. Pencapaian Menuju MDGs 2015

MDGs atau Tujuan Pembangunan Milenium, adalah sebuah paradigma pembangunan global yang hadir sebagai tindak-lanjut Deklarasi Milenium dan dideklarasikan Konferensi Tingkat Tinggi Milenium oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan September 2000. Dasar hukum dikeluarkannya deklarasi MDGs adalah Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 55/2 Tanggal 18 September 2000, (A/Ris/55/2 United Nations Millennium Development Goals). Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitmen mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan. Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota PBB mengenai sebuah paket arah pembangunan global yang dirumuskan dalam delapan tujuan yang mencakup kemiskinan, kelaparan, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dan kemitraan global. MDGs yang akan berakhir tahun 2015 memiliki delapan sasaran yakni pengentasan kemiskinan dan kelaparan ekstrem, pemerataan pendidikan dasar, mendukung adanya persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria,

dan penyakit lain, menjamin daya dukung lingkungan hidup, mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Pada bulan September tahun 2010, KTT MDGs di New York telah memberikan mandat kepada Sekjen PBB Ban Ki Moon untuk menginisiasi upaya persiapan agenda pembangunan pasca-2015 sekaligus memilih Panel Tinggi PBB atau High-Level Panel (HLP) untuk merumuskan program penggantinya. Sebagai tindak lanjut, Sekjen PBB pada bulan Juli 2012 mengumumkan 27 anggota High-Level Panel of Eminent Persons on Post-2015 Development Agenda atau Panel Tingkat Tinggi dari Tokoh-tokoh dunia terkemuka untuk memberikan saran tentang kerangka pembangunan global setelah tahun 2015, yang merupakan target MDG Award 2012. Panel ini diketuai bersama (co-Chairs) oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Liberia, Ellen Johnson-Sirleaf, dan Perdana Menteri Inggris, David Cameron. Panel mencakup 26 anggota eminent persons (tokoh terkemuka) dari pemerintahan, sektor swasta, akademisi, civil society dan pemuda, serta berdasarkan keseimbangan geografis dan gender. Tujuan HLPEP adalah memberikan saran serta rekomendasi kepada Sekjen PBB mengenai visi dalam mengatasi tantangan pembangunan global. HLP juga akan ditugaskan untuk menyusun laporan kepada Sekjen PBB yang memuat rekomendasi terkait visi dan bentuk agenda pembangunan pasca-2015 yang tegas dan lantang namun mudah dicapai. Menurut rencana, Laporan HLPEP tersebut akan diserahkan kepada Sekjen PBB pada akhir Mei 2013. Laporan HLPEP akan menjadi masukan kunci bagi laporan Sekjen PBB kepada Sidang Majelis Umum PBB pada bulan September 2013.

C. Perkembangan HLPEP

HLPEP telah bertemu sebanyak tiga kali, yaitu di New York (25 September 2012) yang membahas tentang visi agenda pembangunan pasca-2015, London (1 November 2012) yang membahas masalah kemiskinan di tingkat individual dan rumah tangga serta di Monrovia, Liberia (1 Februari 2013) yang dihadiri Presiden

Page 7: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 7 -

SBY, Presiden Liberia Ellen Johnson-Sirleaf, dan PM Inggris David Cameron. Dalam pertemuan terakhir, Presiden SBY mengungkapkan RI menawarkan tiga alternatif bentuk agenda pembangunan pasca-2015, yaitu menggunakan kerangka MDGs dengan penajaman tertentu, menambah target-target baru, dan perombakan total terhadap MDGs. Namun, Presiden SBY menyarankan untuk menghindari alternatif ketiga karena banyak negara bekerja keras untuk memenuhi target MDGs. Perombakan total terhadap MDGs dapat memicu kebingungan dan diskontinuitas terhadap apa yang selama ini telah dibangun. Selain itu, jika opsi ini yang dipilih akan terjadi kebingungan dan diskontinuitas. Presiden SBY telah mengidentifikasi adanya tiga kelompok pemikiran terkait tindak lanjut komitmen MDGs. Pertama adalah mengadopsi MDGs sebagaimana yang ada dengan memperkuatnya. Kedua, melanjutkan sasaran MDGs dan mengidentifikasi target-target baru, dan ketiga adalah menyusun target pembangunan baru untuk agenda pasca-2015. Terlepas dari ketiga pemikiran yang berkembang ini, Presiden berpandangan bahwa MDGs telah banyak membawa kemanfaatan, dan oleh karena itu apa yang telah dicapai selama ini perlu dilanjutkan dan diperkuat. Bila dianggap perlu, dapat ditambahkan beberapa target pembangunan baru.

Hasil dari pertemuan tersebut, atau yang disebut sebagai “Komunike Monrovia” berisi ringkasan jalannya pertemuan untuk keperluan outreach dan transparansi publik yang menggarisbawahi agenda global pembangunan pasca-2015 yang berorientasi pada manusia dan sensitif terhadap tantangan universal abad 21, yaitu memajukan pembangunan berkesinambungan, mendukung pertumbuhan yang menciptakan lapangan kerja, melindungi lingkungan, dan mewujudkan perdamaian, keamanan, keadilan, kebebasan dan kesetaraan di semua tingkat. Komunike juga menegaskan bahwa pengentasan kemiskinan dan perwujudan kesejahteraan merupakan visi dan tanggung jawab bersama. Upaya pencapaian target MDGs tahun 2015 wajib dikerahkan, namun tetap harus membentuk kerangka kerja tunggal pembangunan 2015 yang kohesif, dan mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan perlindungan lingkungan. Isu

tersebut dibahas pada pertemuan HLPEP ke-4 di Bali pada 24–27 Maret 2013, sekaligus untuk membahas pengentasan kemiskinan melalui kemitraan global dan means of implementation dan menuntaskan isu-isu lain sebelum rekomendasi akhir panel disampaikan kepada Sekjen PBB bulan Mei 2013. Tantangan utama saat ini adalah melakukan prioritisasi berbagai isu yang perlu dimasukan dalam agenda pembangunan pasca 2015. Mengingat waktu penyerahan laporan sudah dekat, maka pertemuan di Bali akan memainkan peran yang krusial dalam proses penyelesaian laporan dimaksud.

D. Indonesia dan Pertemuan HLPEP

Dalam pertemuan HLPEP di Bali Maret ini, Indonesia juga akan menjadi tuan rumah untuk pertemuan stakeholders dalam Outreach Meeting, yaitu Publik, Sektor Swasta, Akademik dan Lembaga Penelitian, Pemuda dan LSM. Outreach Meeting tersebut diselenggarakan pada tanggal 25 Maret 2013 untuk mendiskusikan rekomendasi agenda pembangunan pasca-2015 sesuai dengan garis program yang sedang dikembangkan berdasarkan poin penjangkauan fokus dari pemerintah Indonesia, Sekretariat Panel Tingkat Tinggi dan Kantor Eksekutif Sekretaris Jenderal. Pertemuan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada HLPEP dalam merekomendasikan kerangka pengembangan selanjutnya setelah tahun 2015.

Bersamaan dengan sidang HLPEP, Asia Pacific United Nations Millennium Campaign (UNMC) menyelenggarakan Asia Pacific Regional Parliamentarian and CSO Forum on MDGs Acceleration and The Post 2015 Development Agenda di Bali pada tanggal 24–26 Maret 2013. UNMC sejak 2012 telah meluncurkan program Parliamentarian Forum on the MDGs Acceleration and Post 2015 Agenda sebagai dukungan atas program-program MDGs. Adapun sasaran utama dari forum tersebut adalah mengindentifikasi hal-hal penting dari pengalaman MDGs, mengidentifikasi dan menyepakati isi-isu prioritas, prinsip-prinsip dasar dan kritik membangun serta membahas unsur-unsur inti dari kemitraan global bagi pembangunan. Adapun peserta dari forum tersebut adalah

Page 8: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 8 -

beberapa anggota parlemen dari negara-negara Asia-Pasifik. Indonesia telah memilih beberapa anggota parlemennya untuk berpartisipasi dan ikut memberikan pernyataan akan pencapaian MDGs beserta solusi ataupun input yang dapat diberikan untuk pencapaian MDGs dan agenda pembangunan pasca-2015.

Posisi Indonesia kini sudah dipandang dalam kegiatan percaturan Internasional. Dalam pertemuan terakhir di Monrovia, Indonesia mengambil posisi menghindari perombakan total terhadap Millennium Development Goals (MDGs) sebagai bentuk agenda pembangunan pasca-2025. Indonesia juga sudah dipercaya menjadi tempat pertemuan-pertemuan dunia bergengsi seperti HLPEP pada tanggal 25–27 Maret 2013 di Bali. Selain itu, pada bulan November 2013 mendatang, Indonesia akan dipercaya menjadi Ketua APEC yang dikukuhkan dalam pertemuan tingkat dunia yang rencananya akan diselenggarakan di kota Denpasar.

E. Penutup

Pemerintah telah mengklaim jika 8 target MDGs hampir semuanya tercapai. Namun sayang, tidak semua pihak mendukung klaim itu. Sejumlah organisasi massa menyatakan jika pencapaian MDGs gagal bahkan belum tercapai. Ini seiring meningkatnya kemiskinan, tidak adanya akses masyarakat terhadap kesehatan, pendidikan dasar, ketahanan pangan, dan kerusakan lingkungan serta konflik agraria. Akses untuk ketahanan pangan dan kesehatan masih dinilai sangat mahal, sedangkan perampasan tanah meningkat signifikan seiring biaya hidup yang tinggi. Secara global tujuan MDGs memang terlaksana dan tercapai secara baik. Namun pada tingkat nasional, tujuan tersebut masih membutuhkan kerja keras dan partisipasi serta kerjasama dari berbagai pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat. Keseriusan itu hendaknya diimplementasikan dengan mengintegrasikannya dalam program-program daerah sesuai acuan program pembangunan nasional, sehingga pada tahun 2015 mendatang, keseluruhan tujuan MDGs bisa dicapai sesuai target.

Pembahasan HLPEP di Bali sejatinya merupakan mata rangkaian dari serangkaian pembahasan Panel Tingkat Tinggi sebelumnya.

Hal-hal yang belum tuntas pada pertemuan sebelumnya akan dituntaskan di pertemuan terakhir ini. Presiden SBY juga berharap jika persoalan mengenai agenda pembangunan paska 2025 bisa dibicarakan lebih lanjut pada pertemuan HLPEP Bali. HLPEP kali ini juga akan memunculkan Komunike Bali yang akan mencerminkan jalannya pembahasan pertemuan dan langkah-langkah bagi pencapaian agenda pembangunan pasca-2015. Agenda pembangunan pasca-2015 kiranya dapat jelas, fokus, ringkas, transparan dan terukur. Selain itu, mengatasi ketidakmerataan pembangunan melalui sustainable-growth with equity, memperhatikan perbedaan kapasitas dan tingkat pembangunan antarnegara serta menjawab tantangan-tantangan baru. Sementara hasil-hasil yang diharapkan dari Asia Pacific Regional Parliamentarian and CSO Forum on MDGs Acceleration and The Post 2015 Development Agenda diharapkan dapat memberikan keberhasilan atas tantangan MDGs serta kebijakan dan program mempercepat kemajuan, adanya kemitraan, jaringan dan kesepakatan strategis serta menguraikan isu-isu penting untuk dimasukkan ke pertemuan HLPEP. Pencapaian tujuan dan target MDGs bukanlah semata tugas pemerintah. Tetapi, tugas seluruh komponen bangsa. Sehingga, pencapaian tujuan dan target MDGs harus menjadi pembahasan seluruh masyarakat

Rujukan:1. “Cameron to Attend Bali Meeting Remotely,”

The Jakarta Post, 21 Maret 2013.2. “High Level Pannel Siap Digelar Di Bali,”

http://www.depkeu.go.id, diakses 22 Maret 2013.

3. “Millennium Development Goals,” http://mdgs-dev.bps.go.id/main.php?link=home, diakses 20 Maret 2013.

4. “Partisipasi Lawan Kemiskinan,” http://internasional.kompas.com, diakses 20 Maret 2013.

5. “Presiden: Ubah Paradigma Kemiskinan,” Kompas, 20 Februari 2013.

6. “SBY Pimpin Panel Tingkat Tinggi ke-4 PBB di Bali 25–27 Maret,” http://news.liputan6.com, diakses 20 Maret 2013.

Page 9: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 9 -

Vol. V, No. 06/II/P3DI/Maret/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

PELANGGARAN HAK ANAKMohammad Mulyadi*)

Abstrak

Secara normatif, Indonesia telah mempunyai landasan hukum bagi perlindungan hak anak, namun sampai saat ini persoalan anak masih menjadi isu yang memerlukan perhatian khusus. Selain masih belum diperhatikannya hak anak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, ternyata masih banyak tindak pelanggaran hak anak, baik akibat ketidaktahuan, kekeliruan cara pandang, maupun pengabaian pemenuhan hak anak. Pelanggaran tersebut dapat berupa kekerasan fisik/psikis sebagai pelampiasan emosi, eksploitasi ekonomi dengan menjadikan anak sebagai pekerja anak atau anak jalanan sehingga mengabaikan pendidikannya, perdagangan anak untuk tujuan seksual komersial atau tujuan ekonomi lainnya, pembuangan dan pembunuhan bayi, serta balita bergizi buruk, yang kesemuanya sering dikaitkan dengan kemiskinan. Selain itu, juga masih sering terlihat adanya pemaksaan kehendak orang tua akibat kurang dihargainya pendapat anak atau menjadikan anak hanya sebagai obyek semata.

A. Pendahuluan

Pada Bagian Umum Penjelasan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan, anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan

generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan pemberitaan media tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga biasanya menimpa istri atau anak. Bagi anak, rumah adalah tempat mereka berlindung dari berbagai bahaya yang dapat mengancam kehidupannya. Namun, rumah juga dapat menjadi tempat awal anak mengalami

*) Peneliti Madya bidang Sosiologi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 10: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 10 -

kekerasan. Orang yang paling dekat, -seperti orang tua kandung, orang tua tiri, saudara kandung, paman, bibi- yang seharusnya dapat memberi perlindungan, justru menjadi pelaku utama kekerasan yang mengakibatkan penderitaan anak. Ini sesuai pernyataan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, bahwa “anak menjadi sangat rentan terhadap kekerasan karena hampir setiap kasus yang diungkap, pelakunya orang dekat korban.” Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Romany Sihite, “hampir setiap kekerasan seksual pada anak memang terjadi dalam pola relasi kekuasaan. Begitu pula kekerasan pada anak yang terjadi di dalam rumah tangga, itu terjadi akibat pola dominasi orang tua atau orang yang lebih dewasa terhadap anak.”

Saat ini, tindak kekerasan terhadap anak terus meningkat. Ada keyakinan bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang terungkap dan diberitakan hanyalah sedikit dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya. Data yang akurat belum tersedia, karena banyak kasus kekerasan dan eksploitasi anak yang tidak dilaporkan, karena masalah tersebut dianggap masalah internal keluarga yang tidak perlu diketahui orang lain. Kalaupun ada publikasi, kasus-kasus yang dipublikasikan biasanya adalah kasus-kasus yang menimbulkan kematian atau paling tidak yang korbannya mengalami penderitaan sangat hebat.

Merujuk data layanan pengaduan masyarakat melalui Hotline Service dalam bentuk pengaduan langsung, telefon, surat menyurat maupun elektronik, sepanjang tahun 2012 Komnas PA menerima 2.386 kasus. Sama artinya bahwa setiap bulannya Komnas PA menerima pengaduan masyarakat kurang lebih 200 pengaduan pelanggaran hak anak. Angka ini meningkat 98% jika dibanding dengan pengaduan masyarakat yang di terima Komnas PA pada tahun 2011 yakni 1.234 pengaduan.

Menurut data Komnas PA, pada tahun 2011 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada 2012 jumlahnya meningkat menjadi 40.398.625 kasus. Di samping itu, selama periode Januari–Juni 2012 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka seperti orang tua kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga.

B. Terjadinya Kekerasan pada Anak

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak biasanya berkaitan erat dengan pandangan dan pemahaman mengenai anak dan hak-haknya serta ketidakberdayaan dan ketergantungan anak pada orang tua atau anggota keluarga yang lebih dewasa. Karena belum dewasa, anak dianggap belum bisa menentukan arah hidupnya sehingga segala sesuatu harus ditentukan oleh orang tuanya, meskipun hal tersebut bertentangan dengan keinginan anak. Anak juga sering dianggap tidak lebih tahu dari orang tuanya, jadi apapun yang menjadi keinginan orang tuanya, anak harus menurutinya.

Komnas PA mencatat 8 faktor yang menyebabkan tingginya angka kekerasan, yaitu:1. Lemahnya keterlibatan maupun partisipasi

masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak anak di lingkungan masyarakat.

2. Rendahnya pengetahuan masyarakat, terutama keluarga, mengenai hak-hak anak yang telah dijamin oleh berbagai hukum positif yang berlaku. Pola pengasuhan juga masih mengedepankan otoritas keluarga (atas nama pendisiplinan) daripada pola partisipatif.

3. Terjadi degradasi nilai dan krisis solidaritas antarmasyarakat.

4. Kurangnya pengetahuan pemerintah, terutama aparat penegak hukum, menyangkut hak anak yang telah diatur dalam Konvensi Internasional dan hukum positif tentang Hak Anak. Sekalipun pemerintah telah meneken kesepakatan bersama untuk penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.

5. Pendekatan pemerintah masih bersifat sektoral dan kurang menyertakan pemangku kepentingan lain di masyarakat.

6. Koordinasi antara Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di masyarakat dan lembaga pemerintah belum berjalan efektif. Banyak kasus yang diadukan warga ke LPA dan Komnas PA ternyata belum ditanggapi secara tepat oleh pemerintah setempat.

7. Minimnya anggaran pemerintah lokal yang dialokasikan untuk perlindungan anak.

Page 11: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 11 -

8. Sedikitnya regulasi yang menjamin perlindungan anak dalam bentuk Peraturan Daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.

C. Perlindungan Hak Anak

Dalam banyak hal anak-anak bergantung pada orang dewasa. Karena ketergantungan ini, sering kali anak dianggap sebagai makhluk yang tidak berdaya. Hak anak dianggap sebagai suara yang tidak perlu didengarkan, meskipun anak bisa melahirkan gagasan dan tindakan yang berarti untuk melakukan perubahan bagi lingkungan sekitarnya. Berikut adalah beberapa hal terkait hak anak yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah:

1. Hak Penduduk dan Kebebasan SipilSebagaimana tercantum dalam Pasal 28

UU Perlindungan Anak, mendapatkan akta kelahiran adalah bentuk pengakuan pertama negara terhadap keberadaan seorang anak. Mendapatkan akta kelahiran disebut juga sebagai hak Kependudukan dan Kebebasan Sipil. Namun menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sampai bulan November 2012 masih ditemukan sekitar 50 juta anak Indonesia yang tidak memiliki akta kelahiran. Ini sama artinya, secara hukum jutaan anak tidak diakui sebagai warga negara Indonesia dan dengan sendirinya tidak berhak mendapat layanan negara. Padahal mendapatkan identitas, nama, dan kewarganegaraan dalam bentuk akta lahir yang dikeluarkan negara merupakan hak konstitusional anak.

Fakta ini berdampak, anak yang tidak memiliki akta lahir sangat rentan terhadap tindak kekerasan, eksploitasi, serta praktek-praktek manipulasi terhadap asal-usul anak. Oleh sebab itu, pencatatan kelahiran sangatlah penting bagi anak, sebagai bagian integral dari Hak Penduduk dan Kebebasan Sipil.

2. Hak PendidikanBentuk pelanggaran hak anak lainnya

adalah hak atas pendidikan. KPAI mencatat sekitar 2,5 juta anak dari 26,3 juta anak usia wajib belajar di tahun 2010 yakni usia 7–15

tahun, belum dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun. Sementara, 1,87 juta anak dari 12,89 juta anak usia 13–15 tahun tidak mendapatkan hak atas pendidikan.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan anak tidak dapat sekolah, di antaranya kesulitan untuk mengakses sekolah, terutama anak-anak yang berada di wilayah perbatasan maupun di daerah Komunitas Adat Terpencil, selain juga karena kendala ekonomi dan kurangnya kesadaran orang tua tentang arti pendidikan bagi anak.

Ini menunjukkan bahwa program wajib belajar belum menunjukkan keberhasilan. Amanah UUD 1945 tentang kewajiban negara agar melakukan alokasi anggaran pendidikan 20% baik di tingkat pusat (APBN) maupun daerah (APBD) rupanya belum memberikan dampak siginifikan bagi upaya pemenuhan hak pendidikan bagi anak.

3. Hak KesehatanMenurut laporan Kemenkes, hingga Juni

2012 tercatat 821 penderita AIDS berusia 15–19 tahun, bahkan 212 penderita berusia 5–14 tahun. Sedangkan untuk anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, Badan Narkotika Nasional (2006) menyebutkan, 80% dari sekitar 3,2 pengguna berasal dari kelompok usia muda (remaja/pemuda). Penggunaaan jarum suntik secara bergantian dalam mengkonsumsi narkotika adalah praktek yang lazim ditemukan di dalam kalangan remaja. Ini membuat mereka bersiko tertular virus HIV/AIDS. Pada September 2011, Kemensos merilis kabar adanya 464 anak Indonesia usia di bawah 15 yang tahun mengidap HIV/AIDS. Selain dari jarum suntik, pemakai narkoba anak itu mewarisi HIV dari ibu mereka.

Fenomena lainnya adalah kasus anak kurang gizi (marasmus kwasiokor). Menurut data KPAI, diperkirakan ada 10 juta anak-anak usia balita yang menderita kurang gizi, dan 2 juta di antaranya menderita gizi buruk. Kasus ini dapat ditemui di Sumatera, NTT, NTB, dan Sulawesi. Menurut data Komnas PA, di Sumatra Barat terdapat 23.000 dari total 300.000 anak usia balita terancam menderita gizi buruk, dan itu juga berlangsung di beberapa daerah lainnya.

Page 12: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 12 -

D. Penutup

Upaya yang telah dilakukan selama ini belum sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak. Pemenuhan hak anak masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan pemerintah. Kondisi ini secara jelas terlihat dengan meningkatnya jumlah kasus-kasus pelanggaran hak-hak anak, baik yang dilakukan orang terdekatnya maupun orang lain yang tidak dikenal oleh anak. Hal ini pada akhirnya merugikan Indonesia sendiri karena akan banyak kehilangan generasi muda yang berkualitas dan menjadi penerus bangsa.

Peraturan perundang-undangan yang ada seperti UU Perlindungan Anak juga belum dilaksanakan secara konsisten untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendalaman materi lebih lanjut mengenai konsep dan kebijakan perlindungan anak, agar implementasi kebijakan tersebut tepat sasaran. Dalam hal ini DPR RI perlu mendorong setiap langkah dalam upaya terwujudnya perlindungan anak Indonesia,

Berbagai permasalahan yang terkait dengan upaya perlindungan anak membutuhkan penanganan serius agar setiap permasalahan yang menimpa anak dapat segera ditangani. Adapun beberapa rekomendasi yang dapat dikemukakan kepada para pemangku kewajiban perlindungan anak adalah sebagai berikut:1. Percepatan revisi UU Perlindungan Anak

menjadi UU Sistem Perlindungan Anak. Daerah juga perlu segera memiliki Perda Sistem Perlindungan Anak yang di dalamnya

mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.

2. Penghentian kekerasan terhadap anak harus melibatkan seluruh pemangku kewajiban perlindungan anak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 UU Perlindungan Anak, yakni negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua, perlu bersinergi secara efektif dalam sebuah sistem yang dibangun secara partisipatoris.

3. Pelibatan Anak dalam pembuatan aturan. Anak sebagai subyek pendidikan harus didengar pendapatnya dan pengalamannya serta dilibatkan secara aktif dalam pembuatan aturan sekolah dan menjadi pelaku aktif Sekolah Ramah Anak.

Rujukan:1. Huraerah, A. 2006. Kekerasan pada Anak.

Bandung: Nuansa.2. Widartana, G. 2009. Kekerasan dalam

Rumah Tangga. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

3. “Kekerasan Seksual Anak Semakin Rentan,” http://megapolitan.kompas.com, diakses 17 Maret 2013.

4. “50 Juta Anak Indonesia Tak Punya Akta Lahir,” http://www.kpai.go.id, diakses 20 Maret 2013.

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

6. “Inilah 8 Sebab Kekejaman terhadap Anak,” http://nasional.kompas.com, diakses 23 Maret 2013.

Page 13: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 13 -

Vol. V, No. 06/II/P3DI/Maret/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

E KO N O M I DA N K E B I J A K A N P U B L I K

DUGAAN KEBERADAAN KARTEL PANGAN

DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

Sahat Aditua F. Silalahi*)

Abstrak

Banyak pihak menduga praktek kartel berada di balik lonjakan harga pangan. Keberadaan kartel pangan memang disinyalir telah lama ada di Indonesia dengan berbagai variasi dalam praktek monopoli. Di sisi lain, keberadaan kartel pangan sulit untuk dibuktikan, karena KPPU memiliki keterbatasan wewenang sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999. Pemerintah harus mengambil kebijakan yang meliputi sektor hulu dan hilir usaha tani, pengaturan kembali logistik pangan, dan memperkuat peran serta wewenang KPPU dalam rangka menanggulangi kenaikan komoditas pangan akibat keberadaan kartel.

A. Pendahuluan

Lonjakan harga bawang di pasar telah memberikan dampak kepada perekonomian Indonesia. Tercatat harga bawang berada di kisaran harga Rp50.000/kg–Rp85.000/kg; bahkan di beberapa daerah ada pedagang yang menjual di atas Rp100.000/kg. Kenaikan harga bawang turut memberikan kontribusi terhadap inflasi bulan Januari–Februari 2013 sebesar 1,79% di mana angka tersebut merupakan angka tertinggi selama 10 tahun terakhir. Begitu juga dengan lonjakan harga bahan pangan lainnya seperti daging juga telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap inflasi.

Berkenaan dengan lonjakan harga bawang, beberapa pihak mensinyalir terdapat kartel yang sengaja menahan pasokannya ke pasar. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) bahkan memberikan informasi bahwa ada 21 perusahaan importir yang sengaja mempermainkan harga bawang. Kelompok perusahaan tersebut menguasai lebih dari 50% pasokan sehingga secara signifikan dapat mempengaruhi harga pasar.

Lepas dari benar tidaknya informasi tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan kartel akan memberikan dampak kepada perekonomian. Kemampuan kartel dalam menguasai pasar membawa kecenderungan kelompok tersebut akan menempuh cara yang

*) Peneliti bidang Ekonomi Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 14: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 14 -

dapat memaksimalkan keuntungan dengan mengorbankan kondisi perekonomian secara makro. Tulisan ini akan mengkaji tentang kartel, khususnya kartel pangan dan kebijakan yang dapat ditempuh Pemerintah untuk meminimalisir kerugian ekonomi akibat keberadaan kartel tersebut.

B. Persaingan Usaha dan Dampaknya Bagi Perekonomian

Memaksimalkan keuntungan menjadi motif utama pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya. Secara ekonomi keuntungan akan semakin tinggi bila pelaku usaha dapat menumbuhkan skala bisnisnya. Bertambahnya keuntungan dapat berasal dari dua sumber, yaitu peningkatan pendapatan dan penghematan karena skala ekonomi.

Banyaknya pelaku usaha yang berusaha menjadi pemimpin pasar akan menimbulkan persaingan. Hal ini merupakan implikasi logis dari terbatasnya pasar yang tersedia sedangkan di sisi lain jumlah pelaku usaha dalam bidang yang sama tidak bisa dibatasi. Secara teori adanya persaingan akan memberikan manfaat bagi konsumen karena pelaku usaha akan bersaing untuk memberikan produk atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Selain itu secara makro, persaingan usaha membawa dampak kepada efisiensi sumber daya yang pada gilirannya akan membawa surplus bagi perekonomian negara.

Di sisi lain persaingan juga dapat mendorong pelaku usaha untuk membentuk kerjasama dengan tujuan utama memaksimalkan keuntungan sekaligus melindungi kepentingan bisnis. Bentuk kerjasama yang dilakukan dapat berbasis penyatuan sumber daya, pembagian pasar, ataupun penetapan harga (price fixing). Perilaku berkelompok dan bekerjasama inilah yang bila berjalan tanpa mematuhi rambu-rambu aturan persaingan usaha yang sehat akan membawa dampak negatif bagi konsumen dan perekonomian secara umum.

C. Kartel Pangan dan Prakteknya di Indonesia

Dalam literatur, kartel didefinisikan sebagai perjanjian pengaturan antara pelaku usaha dalam pasar yang sama dengan tujuan untuk memaksimalkan tingkat keuntungan. Pelaku usaha sering menempuh strategi pembentukan kartel dengan tujuan merespon adanya perang harga (price wars) dan ketidakstabilan pasar, mempertahankan harga dan tingkat keuntungan tinggi, serta mempertahankan eksistensi pelaku usaha di pasar.

Istilah kartel secara umum digunakan untuk menggambarkan setiap kesepakatan, kolusi, atau konspirasi yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pemakaian istilah kartel sendiri dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu kartel utama dan kartel sekunder. Kartel utama (hard core cartel) meliputi kartel penetapan harga, persekongkolan tender, pembatasan output, dan pembagian wilayah. Kartel utama dianggap sangat berbahaya karena para pelakunya sepakat melakukan konspirasi mengenai hal-hal yang bersifat sangat pokok dalam suatu transaksi bisnis, seperti harga, wilayah, dan konsumen. Sedangkan kartel sekunder cenderung hanya menguasai sebagian dari rantai ekonomi produk, seperti simpul distribusi. Walaupun pada umumnya juga merugikan, keberadaan kartel sekunder masih dapat diterima sepanjang tidak merugikan konsumen secara luas.

Kartel dapat berperilaku seperti monopoli pasar sehingga menciptakan praktek persaingan tidak sehat. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), pada tahun 1996–2004, praktek kartel telah menyebabkan fluktuasi harga secara internasional, dimana dalam beberapa kasus varian harga dapat mencapai 50%. Survey ini juga menyatakan bahwa kartel dapat meniadakan atau mengakhiri persaingan dengan menciptakan barrier to entry bagi pelaku usaha baru yang ingin masuk ke dalam pasar.

Bila kartel tersebut bergerak dalam bidang pengadaan pangan, maka kartel tersebut dikenal dengan sebutan kartel pangan. Kartel

Page 15: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 15 -

pangan sendiri ditengarai sudah sejak lama ada di Indonesia dengan praktek yang beragam. Bahkan ada sebagian kartel pangan yang telah bersifat sangat struktural sehingga dalam penanggulangannya dibutuhkan langkah strategis dan komprehensif.

Kartel pangan berangkat dari struktur pasar ekonomi pangan yang telah berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak lama. Struktur pasar pangan di Indonesia pada dasarnya ada dua, yaitu struktur monopsoni dan variannya berupa oligopsoni dan struktur monopoli dan variannya berupa oligopoli. Struktur pasar pangan disebut monopsoni apabila pembeli komoditas pangan tersebut hanya satu, atau beberapa pembeli (oligopsoni) bekerjasama dalam mengatur harga beli komoditas pangan. Sedangkan struktur pangan disebut monopoli apabila penjual komoditas pangan tersebut hanya satu, atau beberapa penjual (oligopoli) bekerjasama dalam mengatur harga jual komoditas pangan.

Menurut Bustanul Arifin, terdapat banyak komoditas pangan yang sering menjadi sasaran praktek monopsoni dan monopoli. Apapun bentuk praktek yang dilakukan, petani dan masyarakat akan selalu menjadi pihak yang dirugikan karena ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi praktek pasar yang telah terstruktur ini. Sejak di tingkat hulu petani telah berhadapan dengan pengijon yang sangat berkuasa dalam menentukan harga beli komoditas. Petani sering tidak berdaya dalam menghadapi pengijon karena ketiadaan alternatif pasar yang lebih adil. Pengijon juga diuntungkan dengan penguasaan informasi pasar yang lebih baik sehingga seringkali harga beli yang ditawarkan sangat merugikan pihak petani.

Dari sisi distribusi, rantai perdagangan pangan juga tidak lepas dari praktek monopoli/monopsoni. Sasaran yang menjadi praktek tersebut adalah komoditas pangan strategis dimana komoditas termasuk bahan pangan pokok. Komoditas pangan lain yang sering menjadi praktek monopoli/monopsoni adalah komoditas impor di mana pelaku kartel dapat lebih leluasa mengatur harga jual berdasarkan kondisi pasokan dalam negeri.

D. Upaya Penanggulangan Kartel Pangan

Otoritas pengawas persaingan usaha di setiap negara memberikan perhatian khusus pada bentuk kerjasama kartel karena memiliki potensi untuk menjadi usaha monopolistik. Keberadaan kartel yang merugikan telah mendorong berbagai negara untuk melarang bentuk kartel di dalam hukum persaingan usaha. Bahkan di beberapa wilayah yurisdiksi, kartel telah dikategorikan sebagai bentuk kejahatan serius dan masuk dalam kategori kejahatan pidana.

Persaingan usaha di Indonesia sendiri diatur melalui UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU No. 5 Tahun 1999 telah mendefinisikan tindakan anti persaingan ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) Bentuk perjanjian yang dilarang, (2) Kegiatan yang dilarang, dan (3) Posisi dominan. Kartel sendiri dikategorikan ke dalam salah satu bentuk perjanjian yang dilarang.

Pemerintah telah membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk melalui Kepres No. 75 Tahun 1999 dengan tujuan untuk mengawasi pelaksanaan dari UU No. 5 Tahun 1999. KPPU memiliki tugas ganda yaitu menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha dan menciptakan serta memelihara iklim persaingan yang kondusif.

Dalam prakteknya KPPU sering menghadapi kendala untuk membuktikan eksistensi dari sebuah kartel. Walaupun KPPU telah mensinyalir adanya perilaku kartel, tetapi sulit bagi KPPU untuk menemukan alat bukti berupa perjanjian dikarenakan pelaku kartel lebih sering mengadakan kesepakatan secara tidak tertulis.

Sulitnya pembuktian eksistensi kartel juga turut disebabkan oleh keterbatasan menyangkut kewenangan KPPU. Keterbatasan itu antara lain adalah: (1) KPPU tidak memilki wewenang melakukan penggeledahan terhadap pelaku usaha yang diindikasikan melakukan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999; (2) KPPU sering terkendala dengan sifat kerahasiaan perusahaan sehingga tidak dapat memperoleh

Page 16: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 16 -

akses terhadap data yang diperlukan; (3) Walaupun KPPU berwenang untuk meminta keterangan dari instansi pemerintah, namun hingga saat ini belum terjalin kerjasama yang baik dalam penyelidikan mengenai keberadaan kartel; dan (4) Walaupun KPPU berwenang untuk memanggil dan meminta keterangan dari pelaku usaha atau saksi, tetapi KPPU tidak dapat memaksa kehadiran dari pihak-pihak tersebut.

Sebenarnya KPPU telah berhasil membuktikan keberadaan beberapa kartel dan membawa kasus tersebut ke pengadilan. Sebagai contoh adalah kartel jasa pemeriksaan kesehatan calon tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah, kartel minyak goreng, kartel fuel surcharge jasa penerbangan domestik, dan kartel industri farmasi. Dalam putusan-putusan tersebut, KPPU telah menyatakan pelaku usaha terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, dan/atau Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Namun dalam beberapa kasus, putusan tersebut malah dibatalkan oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dengan pertimbangan KPPU tidak berhasil membuktikan kesepakatan kartel secara tegas, baik melalui komunikasi ataupun perjanjian tertulis antara pelaku usaha yang terlibat di dalamnya.

Pemerintah wajib bertindak tegas untuk mengatasi fenomena kartel pangan. Jika praktek kartel pada komoditas pangan tidak segera dihentikan, maka biaya sosial-ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat akan semakin besar. Selain itu dampak praktek kartel pangan secara makro akan memperbesar inefisiensi pada sistem perekonomian Indonesia.

Langkah-langkah kebijakan yang direkomendasikan adalah:1. Peningkatan produksi, produktivitas, dan

efisiensi usahatani dan tata niaga komoditas pangan di sektor hulu. Pemerintah juga harus memberikan perhatian kepada perbaikan infrastruktur sebagai variabel tetap penunjang produksi pangan.

2. Pembenahan administrasi perdagangan dalam dan luar negeri khusunya faktor logistik yang menunjang ketahanan pasokan pada saat terjadi gagal panen.

3. Peningkatan peran dan kapasitas KPPU dengan meninjau kembali hambatan dalam implementasi pasal-pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya tidak ragu-

ragu dalam meninjau kembali pasal-pasal yang tidak menunjang pelaksanaan tugas KPPU dan melakukan revisi terhadap pasal tersebut.

E. Penutup

Walaupun telah merugikan perekonomian, keberadaan kartel pangan sulit untuk dibuktikan. Rekomendasi kebijakan yang diambil Pemerintah harus dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi rantai usahatani di bidang pangan. Kebijakan ini harus meliputi sektor hulu dan hilir usahatani, mulai dari proses penanaman, distribusi, hingga sampai ke konsumen akhir. Selain itu Pemerintah harus memperkuat peran, kapasitas, serta wewenang KPPU, salah satu caranya adalah meninjau kembali pasal yang tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1999 dan merevisi ketentuan yang membatasi pelaksanaan tugas KPPU.

Rujukan:1. Anggraini, A.M. 2011. Mendeteksi dan

Mengungkap Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 30 (2). hh. 50–63.

2. “ASH Tuding Kartel Bawang Putih Mainkan Harga,” Republika, 15 Maret 2013.

3. “Jangan Biarkan Kartel Bawang Merajalela : Kadin Punya 3 Cara,” http://bisnis.liputan6.com, diakses 18 Maret 2013.

4. “Kartel Pangan dan Kegagalan Negara,” Investor Daily, 3 Februari 2013.

5. Khemani, R.S. Glossary of Industrial Organisation Economics and Competition Law. http://www.oecd.org/dataoecd/8/61/2376087.pdf, diakses 20 Maret 2013.

6. “Lawan Pengusaha, KPPU Kalah 3 Kali Berturut-turut di Meja Hijau,” http://www.detiknews.com, diakses 20 Maret 2013.

7. Leslie, Christopher R. 2004. Trust, Distrust, and Antitrust. Texas Law Review Vol. 82 (3). hh. 23–41.

8. “Pengadilan Batalkan Vonis KPPU,” http://www.bataviase.co.id, diakses 19 Maret 2013.

9. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Page 17: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 17 -

Vol. V, No. 06/II/P3DI/Maret/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

P E M E R I N TA H A N D A L A M N E G E R I

PERANAN KEPALA DAERAH DALAM PENANGANAN

GANGGUAN KEAMANAN Prayudi*)

Abstrak

Beberapa kasus gangguan keamanan telah mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Inpres No. 2 Tahun 2013. Inpres ini berusaha membagi tugas koordinasi di tingkatan pemerintahan, terutama melalui peran kepala daerah dalam rangka menangani koordinasi antaraparat. Persoalannya, pertama, konstruksi pengaturan selama ini terutama menyangkut perbantuan TNI kepada Polri, belum mempunyai kerangka yang tegas dan baru sebatas MOU yang dibuat. Kedua, tantangan kapasitas dari kepala daerah hasil Pilkada itu sendiri yang harus dijawab untuk memiliki wibawa tersendiri bagi Pihak yang sangat rentan terlibat konflik. Harapannya, secara kelembagaan agar mampu diselesaikan secara tuntas dan bukan hanya mengandalkan pendekatan keamanan semata.

A. Pendahuluan

Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan. Melalui terbitnya Inpres ini, diharapkan bahwa kepala daerah tidak lagi ragu untuk bertindak mengatasi konflik komunal di daerahnya. Kepala daerah harus pula mampu menyelesaikan konflik antaranggota masyarakat. Presiden SBY menyatakan dalam dua tahun mendatang, tahun 2013 dan tahun 2014, Pemerintah memprioritaskan tugas memelihara keamanan dalam negeri. Instruksi tersebut pada intinya menginginkan adanya efektivitas penanganan gangguan keamanan di seluruh Indonesia.

Belajar dari pengalaman selama tahun 2012, Indonesia diwarnai oleh berbagai aksi kekerasan, benturan sosial, konflik komunal, serta tindakan terorisme. Hal ini menunjukkan, keamanan dan ketertiban masyarakat tidak dapat terjaga sacara baik. Bahkan, dari berbagai survey, terungkap bahwa rakyat menyatakan ketidakpuasan, dan menuduh aparat keamanan melakukan pembiaran. Melalui Inpres No. 2 Tahun 2013, pemerintah berharap situasi keamanan dapat lebih terjaga. Peran gubernur, bupati, dan walikota akan sangat besar dan menentukan dalam proses penanganan masalah keamanan.

*) Peneliti bidang Politik Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 18: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 18 -

Mendagri, Gamawan Fauzi mengatakan, Inpres No. 2 Tahun 2013 akan membuat penanganan kerusuhan di daerah akan lebih efektif. Semua unsur di UU Kepolisian, UU TNI, dan UU Intelijen, dipadukan untuk menghadapi kerusuhan di daerah. Menko Polhukam, Djoko Suyanto menyatakan, melalui Inpres No. 2 Tahun 2013 kepala daerah harus memiliki peta konflik dan rencana langkah penanganan pasca-konflik karena setiap daerah memiliki karakteristik potensi konflik yang berbeda satu sama lain. Kepala daerah wajib pula memberikan penjelasan kepada publik mengenai penanganan konflik dan pasca konflik. Sehigga, jangan hanya kapolres dan danrem yang memberikan penjelasan kepada media massa, tetapi Kepala Daerah juga harus melakukannya karena dianggap lebih mengetahui situasi konflik di daerahnya.

B. Pelibatan TNI-Polri dan Peran Kepala Daerah

Isi Inpres No. 2 Tahun 2013 antara lain menyangkut pembentukan tim terpadu tingkat pusat yang dipimpin oleh Menko Polhukam dan tim terpadu tingkat daerah yang dipimpin kepala daerah. Di samping itu, juga terdapat kewajiban bagi kementerian yang tidak disebut secara langsung dalam Inpres ini, tetapi terkait dalam upaya pemulihan pasca konflik, seperti halnya Kementerian Perumahan Rakyat, dan Kementerian Kesehatan, dalam rangka pemberian bantuan.

Inpres ini memberikan penekanan kepada upaya untuk menyelesaikan masalah keamanan. Padahal idealnya, masalah konflik komunal harus memperoleh penanganan secara komprehensif dari pihak negara dengan melihat akar penyebab sebenarnya dari konflik. Atas berbagai konflik yang muncul seperti konflik agraria, terorisme, konflik berbasis kekerasan minoritas, konflik yang dipicu masalah ketidakadilan, pemerintah justru berpandangan untuk penyelesaiannya melalui gelar pasukan di lapangan.

Dalam kaitan ini, Kapolri dan Panglima TNI sudah menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 28 Januari 2013, untuk memperbantukan anggota TNI dalam pengamanan yang dilakukan Polri. MoU dibuat untuk menyiasati tidak adanya

undang-undang yang mengatur TNI, dalam melaksanakan pengamanan massa bersama Polri. Intinya, MoU menjelaskan bahwa komando dan pengendalian satuan tugas TNI yang diperbantukan kepada Polri berada di bawah Polri. Tugas perbantuan TNI kepada Polri di antaranya untuk menghadapi unjuk rasa maupun mogok kerja, menghadapi kerusuhan massa, menangani konflik sosial, menangani kelompok kriminal bersenjata, dan mengamankan kegiatan masyarakat atau pemerintah yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional yang mempunyai kerawanan. MoU menjadi titik penting dalam kerangka penataan keamanan dalam negeri dan perspektif keamanan nasional dalam arti yang luas, mengingat keterlibatan kepala daerah dianggap kurang memadai selama ini dalam kasus-kasus terjadinya aksi kekerasan massal. Persoalannya, perkembangan pasca-pemberlakuan Inpres No. 2 Tahun 2013 dan terbentuknya MoU ternyata terjadi aksi kekerasan antaraparat, sebagaimana terjadi terhadap kasus bentrokan TNI dengan Polri yang sempat berujung pada terjadinya kebakaran di Mapolres Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan (OKU, Sumsel) dan jatuhnya korban.

Salah satu hasil dari reformasi yang dianggap esensial keberadaannya adalah lahirnya Ketetapan MPR RI (Tap MPR) No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Di samping itu, keluarnya Ketetapan MPR RI (Tap MPR) No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tap MPR RI No. VI Tahun 2000 menegaskan, pemisahan antara TNI dan Polri merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari lagi. Hal ini dilakukan sebagai akibat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh kekuatan militer dalam pemerintahan Orde Baru serta situasi dan kondisi bangsa yang dianggap sangat sejalan jika dilakukan pemisahan secara kelembagaan. Apa yang terjadi sebelum reformasi 1998, terutama mengenai dwifungsi ABRI, dapat memberikan kenangan buruk bagi rakyat Indonesia tentang kesan militeristik yang senantiasa dijadikan alat kekuasaan dan bukan menjadi alat negara yang mengabdi pada kepentingan bangsa.

Page 19: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 19 -

Di dalam Pasal 27 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, antara lain disebutkan kewajiban dari kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah terkait ketenteraman dan ketertiban masyarakat. (huruf b). UU No. 32 Tahun 2004 juga menegaskan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, terkecuali bagi urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah, di mana dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah berdasarkan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; (f ) agama. UU No. 32 Tahun 2004 juga menegaskan tentang kewenangan pemerintah pusat di luar urusan pemerintahan tadi yang dapat:a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan

pemerintahan;b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan

kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat;

c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Pasal 25 dari UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan: “Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang, antara lain terkait melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Ketentuan ini jelas dapat membuka ruang untuk diinterpretasikan secara luas, termasuk tugas dan kewenangannya sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam Inpres No. 2 Tahun 2013 terkait penanganan gangguan keamanan.

C. Persoalan Keamanan Nasional

Direktur Program Imparsial, Al Araf menilai, masalah utama Inpres No. 2 Tahun 2013 dan MOU TNI-Polri adalah terkait legalitas yang lemah dan keliru tentang pengaturan perbantuan TNI. Secara legal, pengaturan tentang perbantuan TNI seharusnya diatur dalam bentuk UU, atau paling tidak diatur dalam bentuk

UU, atau kalau perlu hanya sampai setingkat peraturan pemerintah (PP). Pasal 41 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, menyebutkan, dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara RI dapat meminta bantuan TNI yang diatur lebih lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Adapun Pasal 7 ayat (2) point 10 UU No. 3 Tahun 2002 tentang TNI menegaskan, tugas TNI dalam kerangka operasi militer selain perang dalam membantu Kepolisian Negara RI dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU.

Sayangnya, hingga kini pemerintah dan DPR justru belum membentuk UU tentang Perbantuan TNI. Anehnya, pemerintah justru mengatur tentang perbantuan itu melalui Inpres dan MoU TNI-Polri. Pengaturan tentang fungsi perbantuan TNI dalam Inpres dan MOU tidak mengatur secara kaku dan tegas rambu-rambu dan prinsip-prinsip dasar pengaturan perbantuan TNI dalam kehidupan negara yang demokratis. Sebaliknya, bagi Menhan Purnomo Yusgiantoro membantah pandangan, terbitnya Inpres No. 2 Tahun 2013 terdapat hubungannya dengan RUU Kamnas. Materi muatan dan urgensi pemberlakuan Inpres ini dianggap berbeda dengan keinginan pemerintah untuk mengatur persoalan keamanan melalui RUU Kamnas.

Di tengah tumpuan penanganan keamanan di daerah, pilkada dianggap telah memunculkan figur-figur politik yang terlampau mengandalkan popularitas dibandingkan kapabilitas, sehingga, dalam upaya penanganannya masih diselenggarakan aparat yang terkait langsung dengan masalah keamanan setempat. Padahal, meskipun konstruksi perundang-undangan yang membatasi 5 urusan sebagai absolut dimiliki pusat, sebagai pembagian kewilayahan dan bukan performance kedaulatan, kemunculan figur-figur sebagai hasil fenomena politik pilkada ini tetap menjadi masalah tersendiri. Keraguan publik bagi kapasitas figur kepala daerah dan wakilnya dengan kemampuan koordinasi antaraparat untuk mengatasi keamanan di wilayahnya, masih tanda tanya tersendiri. Sehingga, proses penyelesaian dalam konflik yang dihadapi di tingkat lokal, masih dominan menggunakan cara-cara konvensional bersifat militeristik di antara aparat formal yang terkait langsung, dibandingkan peran kepala daerah dan wakilnya. Bahkan, sebaliknya, kepala daerah justru pada kasus tertentu menjadi

Page 20: Vol. V No. 06 II P3DI Maret 2013

- 20 -

sumber masalah dalam konflik antarkomunitas beragama, dengan melakukan penyegelan sarana tempat ibadah dengan alasan-alasan tertentu. Sehingga, pada kasus spesifik demikian, kepala daerah ditempatkan menjadi sumber masalah yang mengundang konflik semakin berlarut-larut dan parahnya aparat keamanan justru membiarkan terjadinya serangkaian aksi bentrokan di lapangan.

Kasus-kasus korupsi yang menimpa cukup banyak kepala daerah dan wakilnya, juga menjadi pertanyaan tersendiri bagi tanggung jawab kepemimpinan pemda dalam melakukan koordinasi antaraparat terkait keamanan. Kasus dugaan penyimpangan dana pemulihan pasca konflik Poso sejak 2007 misalnya, menjadi contoh tanda tanya bagi konsolidasi kapasitas kelembagaan di tingkat kepala daerah untuk mengatasi masalah keamanan di daerahnya.

D. Penutup

Inpres No. 2 Tahun 2013 harus dilihat dalam konteks pelibatan antaraparat dan kerangka pengaturan hukum secara luas. Adapun dari kacamata politis juga dapat dipandang sebagai ujian supremasi sipil dalam menghadapi eskalasi potensi konflik yang cenderung mudah menimbulkan gangguan bagi stabilitas pemerintahan setempat. Hal ini tercermin dari kapasitas kepemimpinan di tingkat daerah yang dihasilkan melalui Pilkada dalam mengelola persoalan keamanan di daerahnya, sebagai

indikator dari kematangan politik demokrasi yang dihasilkan. Bagi DPR RI sendiri, lahirnya Inpres No. 2 Tahun 2013, kiranya menegaskan agar pelaksanaannya di lapangan harus diawasi secara ketat, agar tidak terjadi proses penyalahgunaan. Sedangkan dari sudut legislasi, pembahasan RUU Kamnas tetap harus dilakukan dalam konteks kepentingan nasional jangka panjang dan mampu menjawab tuduhan kepentingan politik partisan menuju pemilu 2014. Di samping itu, hal ini juga merupakan momentum bagi upaya memperkaya materi muatan RUU Pilkada terkait tugas dan kewenangan kepala daerah, serta upaya memasukkan RUU Perbantuan TNI kepada Polri dalam prolegnas.

Rujukan:1. “Kepala Daerah Jangan Ragu-Ragu,” Kompas,

29 Januari 2013.2. Al Araf, “Kebijakan Keamanan dan Pemilu,”

Kompas, 11 Maret 2013.3. “MOU TNI-Polri Untuk Menyiasati

Tiadanya Undang-Undang,” http:www//tribunnews.com, diakses 11 Maret 2013.

4. “Dua Tewas Akibat Pembakaran Mapolres OKU,” Suara Pembaruan, 11 Maret 2013.

5. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

6. “Inpres Penanganan Gangguan Keamanan tak Terkait RUU Kamnas,” http:www.kompas.com, diakses 16 Maret 2013.

7. “Konflik Hilang Korupsi Terbilang,” Tempo Edisi 18–24 Maret 2013.