vol. v no. 05 i p3di maret 2013

20
H U K U M - 1 - Vol.V, No. 05/I/P3DI/Maret/2013 Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 PENCEGAHAN DAN PENANGANAN INVESTASI ILEGAL Lidya Suryani Widayati *) Abstrak Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi membuat aksi penipuan investasi atau investasi ilegal meningkat. Pelaku kejahatan menyadari, banyak orang kaya baru yang biasanya bingung menginvestasikan uangnya. Mereka kelebihan dana dan membutuhkan saluran investasi sehingga seharusnya dapat disikapi oleh lembaga pegiat investasi baik perbankan maupun nonbank. Praktek investasi ilegal seharusnya dapat dicegah dengan adanya koordinasi yang baik antar instansi yang terkait dengan pengaturan, perizinan, atau pengawasan produk investasi. A. Pendahuluan Selama 1996-2007 Mabes Polri menangani 7 kasus besar terkait investasi ilegal yang merugikan masyarakat. Ketujuh kasus itu adalah kasus PT Qisar tahun 1996, PT Ibis Bandung tahun 2006, PT Wahana Bersama Globalindo tahun 1997-2007, PT Sarana Perdana Indoglobal tahun 2006-2007, PT Gamasmart Karya Utama tahun 2006-2007, PT Platinum Invesment tahun 2007 dan PT Smartfund Investment Global tahun 2007. Kasus serupa muncul pada tahun-tahun berikutnya dan masyarakat masih saja terpengaruh untuk bergabung dalam investasi ilegal karena iming-iming keuntungan besar. Terakhir adalah kasus investasi emas oleh PT Raihan Jewellery dan PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Menurut Kepala Bappebti, Syahrul R Sempurnajaya, kasus seperti Raihan Jewellery dan GTIS banyak terjadi di Surabaya, Jakarta, Medan, dan beberapa kota besar. Dua perusahaan lain yang juga melakukan hal serupa adalah Virgin Gold Mining Corporation dan Trimas Mulia. Harga emas yang terus naik selama beberapa tahun terakhir membuat emas menjadi pilihan investasi, apalagi dengan iming-iming bonus tetap bulanan. Sebelumnya pernah mencuat kasus PT QISAR di Sukabumi, skemanya sama, yakni money game atau skema Ponzi, yakni memutar dana nasabah dengan cara membayar bonus nasabah lama dengan sumber uang dari nasabah baru. Hal itu terus berlangsung hingga jumlah dana dari nasabah baru tidak dapat lagi menutupi pembayaran bonusnya. *) Peneliti Madya Bidang Hukum Pidana pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Upload: yulia-indahri

Post on 12-Aug-2015

106 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Pencegahan dan Penanganan Investasi Ilegal (Lidya Suryani Widayati)Konflik Sulu-Malaysia: Ancaman terhadap Keamanan Kawasan? (Rizki Roza)Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Dina Martiany)Tingkat Inflasi dan Kebijakan Pembatasan Impor Hortikultura (Rafika Sari)Reformasi Administrasi Melalui Perampingan Organisasi Birokrasi (Riris Katharina)

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

H U K U M

- 1 -

Vol. V, No. 05/I/P3DI/Maret/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN

INVESTASI ILEGALLidya Suryani Widayati*)

Abstrak

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi membuat aksi penipuan investasi atau investasi ilegal meningkat. Pelaku kejahatan menyadari, banyak orang kaya baru yang biasanya bingung menginvestasikan uangnya. Mereka kelebihan dana dan membutuhkan saluran investasi sehingga seharusnya dapat disikapi oleh lembaga pegiat investasi baik perbankan maupun nonbank. Praktek investasi ilegal seharusnya dapat dicegah dengan adanya koordinasi yang baik antar instansi yang terkait dengan pengaturan, perizinan, atau pengawasan produk investasi.

A. Pendahuluan

Selama 1996-2007 Mabes Polri menangani 7 kasus besar terkait investasi ilegal yang merugikan masyarakat. Ketujuh kasus itu adalah kasus PT Qisar tahun 1996, PT Ibis Bandung tahun 2006, PT Wahana Bersama Globalindo tahun 1997-2007, PT Sarana Perdana Indoglobal tahun 2006-2007, PT Gamasmart Karya Utama tahun 2006-2007, PT Platinum Invesment tahun 2007 dan PT Smartfund Investment Global tahun 2007. Kasus serupa muncul pada tahun-tahun berikutnya dan masyarakat masih saja terpengaruh untuk bergabung dalam investasi ilegal karena iming-iming keuntungan besar. Terakhir adalah kasus investasi emas oleh PT Raihan Jewellery dan PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS).

Menurut Kepala Bappebti, Syahrul R Sempurnajaya, kasus seperti Raihan Jewellery dan GTIS banyak terjadi di Surabaya, Jakarta, Medan, dan beberapa kota besar. Dua perusahaan lain yang juga melakukan hal serupa adalah Virgin Gold Mining Corporation dan Trimas Mulia. Harga emas yang terus naik selama beberapa tahun terakhir membuat emas menjadi pilihan investasi, apalagi dengan iming-iming bonus tetap bulanan. Sebelumnya pernah mencuat kasus PT QISAR di Sukabumi, skemanya sama, yakni money game atau skema Ponzi, yakni memutar dana nasabah dengan cara membayar bonus nasabah lama dengan sumber uang dari nasabah baru. Hal itu terus berlangsung hingga jumlah dana dari nasabah baru tidak dapat lagi menutupi pembayaran bonusnya.

*) Peneliti Madya Bidang Hukum Pidana pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 2: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 2 -

Menurut Kepala Bappebti Syahrul R Sempurnajaya, kasus tersebut bukan bentuk kontrak komoditas, namun murni pidana dan menjadi ranah kepolisian. Skema dan tata cara investasi Raihan Jewellery dan GTIS sama sekali berbeda dengan sistem transaksi di perdagangan berjangka komoditas. Karenanya, Bappebti tidak punya wewenang menindak perusahaan-perusahaan tersebut.

Mabes Polri menilai, kasus tersebut bukan domain kepolisian, melainkan Bappebti. Ini berdasarkan UU No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, hukum pelanggaran ini bersifat lex specialis. Menurut Kepala Subdirektorat II Harta Benda Bangunan dan Tanah Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur, Ajun Komisaris Besar Hadi Utomo, kepolisian belum menentukan apakah kasus ini termasuk dalam ranah pidana atau perdata.

B. Izin Usaha Investasi

Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, izin perusahaan keuangan hanya diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau dahulu oleh Bank Indonesia dan Bapepam-LK. OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di dalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Pengaturan di bidang keuangan sangat ketat sehingga sulit untuk ditembus oleh “perusahaan abal-abal”. Menurut Iman Sugema dalam tulisan “Penipuan Berkedok Emas”, biasanya perusahaan penyelenggara investasi ilegal hanya memiliki izin sebagai perusahaan dagang biasa. Dalam prakteknya, mereka beroperasi sebagai perusahaan investasi dengan melakukan “pengumpulan dana” dari masyarakat. Permasalahannya, tidak ada peraturan yang “melarang” perusahaan dagang untuk melakukan kegiatan yang mirip-mirip dengan perusahaan keuangan. Kata mirip-mirip ini harus digarisbawahi karena perusahaan itu biasanya secara sengaja menyamarkan transaksi keuangan dalam kedok transaksi jual beli biasa.

Sebagai contoh, ada perusahaan yang menawarkan investasi dalam bentuk jual beli emas. Jika seseorang membeli emas dari perusahaan tersebut dan sepenuhnya “menguasai emas” tersebut maka merupakan transaksi jual beli biasa. Transaksi tersebut sama halnya dengan ketika seseorang membeli emas di toko emas mana pun. Jika harga emas naik, maka pembeli akan untung dan pembeli akan rugi ketika harga emas turun.

Namun ada jenis transaksi keuangan yang berkedok jual beli emas. Nasabah diminta berinvestasi dalam bentuk pembelian emas dan sebagian atau seluruh emas itu dikelola oleh perusahaan tersebut dan selanjutnya nasabah diberi “janji” imbalan yang sifatnya tetap setiap bulan atau setiap tahun.

Sebetulnya transaksi tersebut merupakan transaksi keuangan dan seharusnya perusahaan tersebut memiliki izin sebagai perusahaan keuangan, karena dalam transaksi tersebut yang diserahkan nasabah adalah uang. Transaksi jual beli hanyalah kedok untuk menyiasati aturan perizinan. Dalam hal ini, perusahaan tersebut telah bertindak sebagai pengelola aset dan dari memutarkan aset tersebut kemudian seolah-olah nasabah akan mendapatkan keuntungan yang dijamin pasti diperoleh. Hakikatnya sama dengan bank atau pengelola reksa dana. Uang dikumpulkan dari masyarakat, dikelola dan kemudian pemilik uang mendapatkan keuntungan hasil usaha.

Jadi perusahaan tersebut bertindak sebagai perusahaan keuangan yang cara beroperasinya berbeda dengan toko emas biasa. Oleh karena itu, perusahaan tersebut harus memiliki izin dari OJK.

C. Pencegahan dan Penanganan Kasus Investasi Ilegal

Banyaknya nasabah yang terjaring praktek penipuan investasi menjadi sinyal tumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Sedikitnya dana masyarakat yang dijebak dalam investasi ini mencapai Rp45 triliun. Dana investasi ini antara lain berupa investasi emas, valuta asing, dan agrobisnis.

Menurut A. Prasetyantoko dalam tulisan “Investasi Skema Ponzi”, model-model kejahatan investasi tampaknya sederhana dan kasuistis belaka. Namun jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan risiko sistemis

Page 3: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 3 -

berkepanjangan. Kasus PT Antaboga yang merembet ke kasus Bank Century adalah contohnya. Ke depan, hal-hal semacam itu sangat mungkin akan sering terjadi dalam skala lebih besar, serta lebih rumit karena terdapat alasan dari dua sisi, yaitu permintaan dan penawaran.

Dari sisi permintaan, dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6% per tahun, ke depan, jumlah orang kaya dan kelas menengah akan terus bertambah. Mereka pasti perlu instrument investasi lebih rumit dan tak lagi puas dengan bunga tabungan dan deposito. Mereka adalah pasar berbagai produk investasi nonkonvensional. Dari sisi penawaran, ada kecenderungan terjadi konglomerasi sektor keuangan. Perbankan mulai ekspansi ke berbagai sektor keuangan lain, seperti pembiayaan, asuransi, dan sekuritas.

Menurut A Prasetyantoko, perkembangan sisi permintaan dan penawaran terjadi dalam situasi regulasi yang masih relatif lemah. Sementara tingkat kesadaran investasi masyarakat cenderung rendah. Ketika terjadi manipulasi, dampaknya ke mana-mana. Semakin berbahaya, jika perilaku aji mumpung terjadi dalam sistem keuangan yang terkoneksi dalam konglomerasi sektor keuangan. Gejolak pada satu sektor dapat cepat menyebar ke sektor lain.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman menyatakan, kasus penipuan tersebut dapat dihindari jika masyarakat memiliki pemahaman yang cukup terhadap produk-produk keuangan. Oleh karena itu, sesuai amanat UU No. 21 Tahun 2011, lembaga ini juga berkewajiban melakukan pendidikan agar masyarakat paham finansial (financial literacy).

Untuk perlindungan, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, meliputi: memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila berpotensi merugikan masyarakat; dan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Untuk memantau dan mencegah perluasan praktik penipuan investasi, pemerintah sebenarnya sudah memiliki Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum Di Bidang Pengelolaan Investasi yang dibentuk berdasarkan SK Ketua Bapepam-LK Nomor:Kep-208/BL/2007 yang ditetapkan pada tanggal 20

Juni 2007, yang terakhir diperpanjang dengan SK Ketua Bapepam-LK Nomor:Kep-124/BL/2012 yang ditetapkan pada tanggal 19 Maret 2012. Satgas ini beranggotakan beberapa instansi terkait, yang meliputi: Bappebti, OJK, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Tugas Satgas meliputi: menginventarisasi kasus-kasus pengelolaan investasi yang mempunyai potensi merugikan masyarakat; menganalisis dugaan tindakan melawan hukum yang merupakan pelanggaran di bidang peraturan perundang-undangan di masing-masing bidang investasi; menghentikan atau menghambat maraknya kasus-kasus pengelolaan investasi dengan modus operandi pengerahan dana masyarakat; memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang praktik pengerahan dana masyarakat oleh pihak yang tidak mempunyai izin atau penyalahgunaan izin; meningkatkan koordinasi penanganan dugaan tindakan melawan hukum di masing-masing bidang investasi; melakukan pemeriksaan secara bersama terkait dengan pelanggaran yang terjadi di masyarakat dan tindak lanjut untuk menghentikan tindakan melawan hukum tersebut.

Mengacu pada tugas Satgas, praktek investasi ilegal seharusnya dapat dicegah apabila Satgas dapat bekerja optimal dan ada koordinasi yang baik antar instansi. Optimalisasi Satgas dan koordinasi yang baik antar instansi dalam Satgas sangat penting karena praktik penipuan investasi semakin canggih. Status hukum pelakunya juga beragam, mulai dari koperasi hingga perusahaan perdagangan.

Selain berkoordinasi, pemerintah melalui berbagai instansi tersebut- harus pula mengumumkan kepada publik untuk lebih berhati-hati terhadap berbagai produk investasi yang ditawarkan berbagai pihak yang tidak terdaftar atau diakui oleh otoritas di pasar uang, pasar modal, dan bursa komoditas. Menurut Kepala Grup Humas Bank Indonesia (BI) Difi Ahmad Johansyah, masyarakat harus melek finansial agar terhindar dari jebakan investasi ilegal. Masyarakat harus paham risiko produk finansial. Salah satu cara mengetahui risiko produk investasi adalah dengan membaca dan meneliti isi prospektus produk, lalu meneliti dan memastikan penerbit investasi itu adalah

Page 4: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 4 -

pihak yang kredibel. Prospektus adalah keterangan mengenai suatu produk investasi berikut risikonya. Setiap produk keuangan selalu memiliki risiko, namun, ada risiko yang rendah dan terjaga, dan ada juga risiko yang tinggi.

Beberapa peraturan mengenai produk investasi tidak jelas bagi masyarakat, dan mungkin juga instansi pemerintah. Mengingat aturan yang belum jelas, maka instansi yang terkait dengan masalah investasi harus berani melakukan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku sebagai solusi atas masalah yang ada. Apabila diperlukan, instansi tersebut harus mengeluarkan peraturan yang memasukkan produk investasi ke dalam wilayah yurisdiksinya sehingga diharapkan dapat dikenai ketentuan yang berlaku.

Pada dasarnya, kasus investasi ilegal dapat dijerat dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU No. 10 Tahun 1998) , Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998, setiap orang yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10 miliar dan paling banyak Rp20 miliar. Dalam hal kegiatan tersebut dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberikan perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Pelaku investasi ilegal juga dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP yaitu diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

D. Penutup

Pemerintah berkewajiban memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai berbagai produk investasi yang ditawarkan berbagai pihak yang tidak terdaftar atau diakui oleh otoritas di pasar uang, pasar modal, dan bursa komoditas agar terhindar dari investasi

ilegal. Kasus Investasi ilegal dapat dihindari jika masyarakat memiliki pemahaman yang cukup terhadap produk-produk investasi. Di pihak lain, lembaga penggiat investasi baik perbankan maupun nonbank seharusnya dapat menyikapi adanya fenomena peningkatan kelas menengah yang membutuhkan saluran investasi.

Koordinasi antar instansi terkait sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kasus investasi ilegal. Instansi yang terkait dengan masalah investasi harus berani melakukan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku sebagai jalan keluar untuk menangani kasus investasi ilegal. Dalam hal ini, instansi terkait harus mengeluarkan peraturan yang memasukkan produk investasi ke dalam wilayah yurisdiksinya sehingga diharapkan dapat dikenai ketentuan yang berlaku.

Rujukan:1. Iman Sugema, “Penipuan Berkedok Emas,”

Republika, 11 Maret 2013.2. A. Prasetyaantoko, “Investasi Skema Ponzi,”

Kompas, 5 Maret 2013.3. “Tata Penertiban Investasi Disusun. Satgas

Waspada Investasi Dioptimalkan,” Kompas, 5 Maret 2013.

4. Edy Purwo Saputro, “Politik dan Data Tarik Investasi,” Republika, 5 Maret 2013.

5. “Korban Investasi Emas Bertambah,” Suara Pembaruan, 5 Maret 2013.

6. “PPATK Telusuri Aliran Dana PT Golden Traders,” Koran Tempo, 4 Maret 2013.

7. “Investasi Illegal Mengancam. Dana Masyarakat Melimpah di Daerah-Daerah Produktif,” Kompas, 4 Maret 2013.

8. “Kasus Investasi Emas Pidana,” Kompas, 2 Maret 2013.

9. “Tergiur Imbal Hasil,” Kompas, 2 Maret 2013.

10. “OJK: Waspadai Tawaran Investasi Tak Normal,” Suara Pembaruan, 2 Maret 2013.

11. “Penipuan Investasi Emas. Kasus Raihan Jewellery dan GTIS Urusan Bappebti,” Suara Pembaruan, 2 Maret 2013.

12. “Investasi Ilegal: Bagaimana Sikap Pemerintah dan Masyarakat,” http://yunushusein.wordpress.com, diakses 11 Maret 2013.

13. “Polri Tangani Tujuh Kasus Investasi Ilegal,” http://www.antaranews.com, diakses 11 Maret 2013.

Page 5: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

H U B U N G A N I N T E R N A S I O N A L

- 5 -

Vol. V, No. 05/I/P3DI/Maret/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

KONFLIK SULU-MALAYSIA: ANCAMAN TERHADAP

KEAMANAN KAWASAN?Rizki Roza*)

Abstrak

Upaya Sultan Sulu untuk menghidupkan kembali klaim kekuasaannya atas wilayah Sabah telah memicu pertikaian berdarah dan membawa hubungan diplomatik Malaysia dan Filipina ke titik terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Pihak-pihak yang bertikai harus segera berunding untuk menyelesaikan persoalan sebelum pertikaian meluas dan mengganggu stabilitas kawasan.

A. Pendahuluan

Beberapa pekan terakhir kita menyaksikan situasi yang memprihatinkan dan juga mengkhawatirkan di wilayah Sabah, Malaysia. Sejumlah korban jiwa telah jatuh akibat konflik bersenjata antara pihak Polis Diraja Malaysia dengan kelompok bersenjata yang mengakui dirinya sebagai Tentara Kesultanan Sulu. Situasi ini telah membawa hubungan diplomatik Malaysia–Filipina ke titik terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik bersenjata tersebut? Bagaimana dampak yang ditimbulkannya? Bagaimana sikap pemerintah Malaysia dan Filipina? Akankah konflik tersebut dapat mengancam stabilitas keamanan kawasan? Apa langkah-langkah yang sebaiknya diambil untuk menyelesaikan konflik tersebut, termasuk oleh Indonesia sebagai Negara yang paling mungkin terdampak?

B. Klaim Kesultanan Sulu

Pada tanggal 12 Februari 2013, sekelompok orang bersenjata yang dipimpin oleh Datu Raju Muda Agbimuddin Kiram menyebut dirinya Tentara Kesultanan Sulu (Royal Sulu Army) mendarat di desa pesisir Lahad Datu, Sabah, Malaysia. Tujuan mereka adalah untuk mengklaim wiayah tersebut sebagai milik mereka, serta menuntut pemerintah Malaysia meningkatkan pembayaran uang sewa tanah mereka.

Wilayah Sabah masuk menjadi kekuasaan Kesultanan Sulu pada tahun 1658 atas pemberian Sultan Brunei sebagai tanda terima kasih atas bantuan para pejuang Tausug asal Sulu dalam menghapuskan pemberontakan pada 1660–1700-an di Brunei. Kemudian pada tahun 1878, di masa penjajahan Inggris, wilayah Sabah disewa oleh British North Borneo Company dengan

*) Peneliti Pertama Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected].

Page 6: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 6 -

membayarkan uang sewa senilai USD1.600 per tahun. Berdasarkan kontrak tersebut, uang sewa akan terus dibayarkan selama Sabah masih dikuasai perusahaan tersebut. Setelah Inggris pergi, dan Sabah kemudian menjadi bagian dari wilayah negara Malaysia sejak tahun 1963, pembayaran sejumlah uang tersebut masih terus berlangsung. Sampai saat ini, pemerintah Malaysia masih membayar sekitar 5.000 Ringgit Malaysia per tahun kepada pewaris Kesultanan Sulu. Akan tetapi terdapat perbedaan interpretasi atas kontrak yang disepakati sebelumnya. Bagi pihak Inggris, uang yang dibayarkan pada Kesultanan Sulu merupakan pembayaran untuk pengalihan kepemilikan Sabah, sementara pihak Kesultanan Sulu menganggap uang tersebut sebagai uang sewa wilayah mereka di Sabah tanpa merubah status kepemilikan.

Bertentangan dengan klaim Sultan Sulu, dengan berlandaskan pada fakta sejarah sebagian pihak berpandangan bahwa kekuasaan Kesultanan Sulu atas wilayah Sabah sudah sejak lama gugur. Di antara pandangan tersebut, salah satunya berlandaskan pada Traktat Bates. Traktat Bates merupakan perjanjian yang ditandatangani pada 1899 oleh Sultan Jamalul Kiram II dan Jenderal John C Bates (Komandan Pasukan AS di Filipina) yang pada praktiknya melucuti kekuasaan Kesultanan Sulu di wilayah kekuasaannya sendiri. Sejak saat itu, praktis kekuasaan Sultan Sulu dibatasi menjadi sekedar simbol kepemimpinan agama dan adat.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Sultan Sulu memutuskan untuk melancarkan aksi tersebut saat ini? Sejumlah analisis pun berkembang, salah satunya mengaitkan dengan proses perundingan damai antara Pemerintah Filipina dengan kelompok separatis Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Filipina Selatan. Perundingan damai yang difasilitasi oleh Malaysia tersebut berujung pada penandatanganan kesepakatan damai pada Oktober 2012. Diketahui bahwa Jamalul Kiram III dikecualikan dari proses perundingan tersebut. Hal itu kemudian menimbulkan kekecewaan Jamalul Kiram III, sehingga mendorongnya untuk memisahkan diri dan berupaya mengumpulkan kembali seluruh wilayah kerajaannya yang tersebar di sejumlah kepulauan di Filipina Selatan hingga Sabah.

Kondisi kerajaan yang terus melemah sehingga tak mampu memberikan kesejahteraan untuk rakyatnya diduga juga menjadi salah satu faktor pendorong.

C. Sikap Pemerintah Malaysia dan Filipina

Sejak awal pasukan Sulu masuk, Pemerintah Malaysia menolak tuntutan dan meminta mereka untuk meninggalkan wilayah Sabah. Malaysia telah memberikan mereka waktu menunda serangan guna memberi kesempatan kelompok tersebut untuk menyerahkan diri. Pemerintah Filipina pun melakukan hal yang sama, berulang kali mengatakan kepada kelompok itu bahwa Filipina siap untuk berunding, serta mendesak mereka untuk meletakkan senjata dan pulang ke kampung halaman. Sampai pada tahap ini, Sultan Sulu menyatakan tidak akan menyerah dan siap berperang sampai tentara terakhir.

Ketegangan meningkat setelah pecahnya kontak senjata antara Tentara Kesultanan Sulu dengan Polis Diraja Malaysia yang mengakibatkan tewasnya delapan personel polisi Malaysia. Peristiwa tersebut memicu kemarahan pemerintah Malaysia, sehingga kemudian pemerintah Malaysia melakukan operasi militer dan pencarian besar-besaran terhadap tentara kesultanan Sulu dan orang-orang lainnya yang dianggap terlibat.

Merespon keputusan Malaysia untuk menggelar operasi militer, Filipina mengutus Menlu Albert Del Rosario ke Kuala Lumpur untuk mendesak pemerintah Malaysia memberikan toleransi maksimum kepada kelompok bersenjata Sulu yang berada di Negara bagian Sabah. Menlu Filipina juga mengajukan permintaan langsung kepada Malaysia agar diizinkan mengirimkan kapal angkatan laut guna mengangkut bantuan kemanusiaan dan medis ke Sabah, juga untuk memberikan bantuan konsuler serta mengangkut warga Filipina pulang. Terhadap kelompok bersenjata Kesultanan Sulu, ia kembali meminta mereka untuk menyerahkan diri secara damai.

Presiden Filipina secara pribadi meminta Perdana Menteri Malaysia Najib Razak untuk memastikan bahwa 800.000 warga Filipina tidak

Page 7: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 7 -

dianiaya. Filipina juga meminta secara resmi kepada Malaysia untuk memastikan warganya yang ditahan diperlakukan secara manusiawi, serta meminta akses penuh bagi diplomat Filipina ke tahanan asal Filipina untuk memberi mereka bantuan konsuler, terlebih lagi bagi warga Filipina yang tidak terlibat.

Akan tetapi sejumlah laporan menunjukkan hal yang sama sekali berbeda dengan harapan Presiden Filipina. Beredar laporan dari media yang menyatakan bahwa telah terjadi kekerasan terhadap warga Filipina tak bersalah yang terjebak dalam pertempuran di Sabah. Pemerintah Filipina menyatakan keprihatinan mendalam atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia tersebut, dan menganggapnya sebagai sebuah tindakan yang tidak dapat diterima. Departemen Luar Negeri Filipina menyatakan bahwa lembaga pemerintah akan mengkaji laporan tersebut, dan akan meminta penjelasan pihak Malaysia, meskipun Kepala Kepolisi Sabah, Hamza Taib membantah tuduhan tersebut.

Operasi militer yang dilakukan oleh Malaysia menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan banyak pihak, termasuk Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Ban mendesak agar kekerasan di Sabah segera dihentikan dan kedua pihak menempuh jalur perundingan untuk menyelesaikan sengketa. Sekjen PBB mengkhawatirkan dampak situasi tersebut pada warga sipil, termasuk para pekera migran di wilayah itu. Ia mendesak semua pihak untuk memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan dan bertindak dengan menghormati penuh norma serta standar hak asasi manusia internasional.

Merespon himbauan Sekjen PBB serta laporan yang menyatakan bahwa telah terjadi pembantaian 40 warga sipil di Lahad Datu oleh militer Malaysia, Sultan Sulu melalui juru bicaranya Abraham Idjirani menyerukan gencatan senjata demi menghindari pertumpahan darah lebih lanjut di Sabah. Namun pihak Malaysia menolak gencatan senjata dan terus melakukan penangkapan dan pengejaran. Malaysia menegaskan bahwa bentrokan hanya dapat dihentikan jika Tentara Kesultanan Sulu menyerah tanpa syarat.

D. Ancaman terhadap Kawasan?

Langkah Sultan Sulu dianggap telah memicu insiden berdarah yang telah berlangsung dalam satu bulan terakhir. Apakah konflik ini akan menjadi ancaman keamanan di kawasan? Menurut laporan, sampai dengan hari Minggu, 10 Maret 2013, sejumlah 1.200 warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Sabah dinyatakan aman. Mereka merupakan para pekerja ladang sawit yang berada di sekitar lokasi konflik. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia juga telah melakukan berbagai langkah yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan keselamatan WNI yang berada di sekitar wilayah konflik.

Pulau Sebatik di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, yang berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia masih aman dari dampak konflik yang terjadi di Sabah. Tidak terlihat pula arus eksodus tenaga kerja Indonesia melalui Pulau Sebatik, ataupun aktivitas lainnya yang berkaitan dengan konflik tersebut. Dari Tawau, Konsul RI Muhammad Soleh memastikan bahwa tidak ada arus eksodus WNI pekerja ladang akibat konflik tersebut. Pulau Sebatik memang rentan dijadikan pintu masuk bagi eksodus, baik dari TKI, warga Malaysia, maupun kelompok bersenjata asal Filipina.

Sejumlah laporan yang mengkhawatirkan sempat muncul, misalnya yang menyatakan bahwa telah dikirimkan 10 ribu pendukung Sultan Sulu ke Sabah untuk memperkuat pasukan di sana. Akan tetapi laporan-laporan semacam itu tidak terbukti. Meskipun pendiri Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), Nur Misuari mengakui bahwa terdapat pejuang dari kelompoknya ikut tergabung dalam pasukan yang masuk ke Sabah, ia menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat dalam masalah tersebut. Dengan segala keterbatasan Kesultanan Sulu maka tidak perlu dikhawatirkan konflik tersebut dapat mengancam stabilitas keamanan kawasan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa aksi Sultan Sulu tersebut telah membawa hubungan diplomatik Malaysia dan Filipina ke titik terburuk dalam beberapa dekade terakhir, tetapi ini bukan karena sengketa kepemilikan Sabah melainkan disebabkan oleh laporan-

Page 8: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 8 -

laporan yang menyatakan bahwa telah terjadi penganiayaan terhadap warga Negara Filipina yang tidak bersalah. Pada saat Sabah bergabung dengan Malaysia, Pemerintah Filipina sempat mengajukan klaimnya, akan tetapi pada tahun 1977 telah menyetujui untuk tidak lagi mempersoalkan kepemilikan Sabah. Jadi dapat dikatakan konflik yang saat ini terjadi sepenuhnya antara Pemerintah Malaysia dengan Kesultanan Sulu, bukan konflik antara kedua Negara.

E. Penutup

Tindakan Sultan Sulu mengirimkan kelompok bersenjata ke Sabah untuk menghidupkan kembali klaim kekuasaannya terhadap wilayah Sabah dapat dikatakan sebagai kekeliruan yang telah mengganggu hubungan diplomatik Malaysia dan Filipina. Respon pemerintah Malaysia yang menggunakan kekuatan militer sehingga menimbulkan banyak korban jiwa serta dugaan pelanggaran hak asasi manusia juga merupakan kekeliruan lainnya. Filipina pun telah dianggap lamban merespon situasi yang berkembang sehingga menyebabkan telah terjadi kemungkinan penggunaan kekerasaan terhadap warganya yang tidak bersalah di daerah konflik. Sekalipun konflik ini dapat dikatakan tidak cukup signifikan untuk mengancam stabilitas kawasan, pemerintah Indonesia dalam hal ini kiranya perlu mengambil inisiatif untuk memfasilitasi pihak-pihak yang bertikai agar dapat menyelesaikan persoalan melalui meja perundingan. Hal ini perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya pemerintah Indonesia dalam melindungi keselamatan warga negaranya serta dalam upaya turut menjaga stabilias kawasan.

Rujukan:1. “Filipina Nilai Terjadi Pelanggaran HAM

oleh Malaysia di Sabah,” http://internasional.kompas.com, diakses 13 Maret 2013.

2. “Pulau Sebatik Aman dari Konflik Sulu-Malaysia,” http://internasional.kompas.com, diakses 13 Maret 2013.

3. “1.200 WNI di Sabah Dipastikan Aman,” http://internasional.kompas.com, diakses 13 Maret 2013.

4. “Malaysia Tolak Seruan Gencatan Senjata,” http://internasional.kompas.com, diakses 13 Maret 2013.

5. “Liku-liku Sejarah Klaim Sabah,” http://internasional.kompas.com, diakses 13 Maret 2013.

6. “PBB Minta Kekerasan di Sabah Diakhiri,” http://www.bbc.co.uk/indonesia, diakses 13 Maret 2013.

7. “Malaysia diminta menahan diri atasi kelompok Sulu,” http://www.bbc.co.uk/indonesia, diakses 13 Maret 2013.

Page 9: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 9 -

Vol. V, No. 05/I/P3DI/Maret/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Dina Martiany*)

Abstrak

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif gender dianggap sebagai suatu keniscayaan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Idealnya dapat terwujud kesetaraan untuk memperoleh akses, memiliki kontrol, dan menikmati manfaat pembangunan, serta berpartisipasi dalam pembangunan di segala bidang. KNPP PA, Kemenkum-HAM, dan Kemendagri telah menerbitkan buku “Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Perundang-undangan.” DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang diharapkan dapat mengintegrasikan parameter tersebut dalam proses penyusunan dan pembahasan undang-undang.

A. Pendahuluan

Pencapaian kesetaraan gender di Indonesia saat ini masih jauh dari harapan. Masih banyak permasalahan krusial yang harus segera ditangani, antara lain: Angka Kematian Ibu (AKI) yang sangat tinggi sebesar 228/100.000 kelahiran hidup, HIV/AIDS, kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat, kemiskinan, persamaan upah, trafficking, dan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Akar permasalahan tersebut salah satunya bersumber dari keberadaan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan bias gender.

Peraturan diskriminatif itu dapat berada pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan

nasional. Sejak Tahun 1999 sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah melakukan pemantauan berbagai kebijakan daerah, dan menemukan setidaknya ada 40 (empat puluh) kebijakan daerah yang kondusif bagi pemenuhan hak konstitusional perempuan, antara lain, tentang pemulihan korban, perlindungan bagi buruh migran, pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (trafficking in person), dan penanganan HIV/AIDS. Keempat puluh kebijakan ini belum termasuk inisiatif di beberapa wilayah untuk menerbitkan kebijakan daerah tentang pendidikan dan layanan kesehatan

*) Peneliti bidang Studi Gender pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 10: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 10 -

yang murah bahkan gratis, sesuai dengan kemampuan daerahnya.

Namun di sisi lain juga ditemukan berbagai kebijakan daerah yang diskriminatif atau bias gender, yang jumlahnya cenderung terus meningkat. Pada awalnya sejumlah 154 pada Tahun 2009, kemudian 184 pada Tahun 2010, dan terakhir menjadi 217 pada Tahun 2011. Pada tahun 2012 Komnas Perempuan mencatat bahwa masih terdapat 282 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif di 100 kabupaten/kota dan 28 provinsi.

Adanya peraturan perundang-undangan yang responsif gender di berbagai bidang dipercayai sebagai upaya mendasar dalam menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut di atas. Langkah praktis dan strategis untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang responsif gender sangat penting agar segala persoalan serta aspirasi masyarakat dapat diwadahi. Keberadaan peraturan perundang-undangan bukan hanya dijadikan sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan, tetapi juga untuk mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, baik laki-laki dan perempuan. Dengan terwujudnya kesetaraan gender akan berdampak pada peningkatan kualitas kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Hal ini yang mendorong Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KNPP PA), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum-HAM), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyusun acuan dan alat analisis gender dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, serta teknis perumusan kebijakan operasional atau turunannya. Penjabaran mengenai acuan dan alat analisis secara detail dituangkan dalam buku “Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Perundang-undangan” yang mulai diterbitkan pada tahun 2012.

B. Parameter Kesetaraan Gender

Pada tanggal 12 Agustus 2011 telah disahkan dan diundangkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang merupakan pengganti dari UU No. 10 Tahun 2004. Pasal 6

Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, serta keseimbangan keserasian, dan keselarasan.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) beserta penjelasannya disebutkan bahwa pada dasarnya materi muatan suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung atau mengakibatkan hal-hal yang bersifat diskriminatif, ketidakadilan, ketidaksetaraan, termasuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, serta berbagai hal yang tidak selaras dengan asas-asas materi yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Jaminan mengenai kesetaraan setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pemenuhan hak konstitusional sesungguhnya telah diatur dalam UUD 1945. Adapun ke-14 Rumpun Hak Konstitusional tersebut, yaitu: 1) Hak atas Kewarganegaraan, 2) Hak atas Hidup, 3) Hak untuk Mengembangkan Diri, 4) Hak atas Kemerdekaan Pikiran dan Kebebasan Memilih, 5) Hak atas Informasi, 6) Hak atas Kerja dan Penghidupan yang Layak, 7) Hak atas Kepemilikan dan Perumahan, 8) Hak atas Kesehatan dan Lingkungan Sehat, 9) Hak Berkeluarga, 10) Hak atas Kepastian Hukum dan Keadilan, 11) Hak Bebas dari Ancaman, Diskiminasi, dan Ancaman Kekerasan, 12) Hak atas Perlindungan, 13) Hak Memperjuangkan Hak, dan 14) Hak atas Pemerintahan. Masing-masing rumpun tersebut diuraikan satu persatu hingga menjadi 40 hak konstitusional setiap warga negara.

Oleh karena itu, sebelum pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, sangat penting terlebih dahulu untuk dilakukan kajian dan analisis mengenai latar belakang, tujuan, sasaran, jangkauan arah pengaturan, dan konsepsi yang akan dibangun. Salah satu alat analisis yang perlu dilakukan adalah bagaimana dampak suatu peraturan perundang-undangan terhadap hak-hak konstitusional perempuan dan laki-laki, apakah pengaturan telah responsif gender, dan tidak diskriminatif terhadap perempuan. Di sinilah Parameter Kesetaraan Gender yang telah disusun oleh KNPP PA, Kemenkum-HAM dan Kemendagri dibutuhkan.

Page 11: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 11 -

Dalam Parameter Kesetaraan Gender tersebut ditentukan empat indikator kesetaraan gender yang perlu diintegrasikan pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:1. Akses;

Mempertimbangkan bagaimana agar perempuan dan laki-laki dapat memperoleh kesempatan yang setara terhadap setiap sumber daya yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya: akses terhadap fasilitas kesehatan, pengambilan keputusan pada saat akan melahirkan, akses terhadap informasi, pendidikan, dan sumber daya ekonomi.2. Partisipasi;

Terkait dengan partisipasi, perlu diperhatikan apakah peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dalam setiap kebijakan dan program pembangunan.3. Kontrol;

Perlu dianalisis apakah norma hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan memuat ketentuan yang setara berkenaan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.4. Manfaat

Menganalisis apakah norma hukum dalam peraturan perundang-undangan mampu menjamin suatu kebijakan dan program akan menghasilkan manfaat yang setara bagi laki-laki dan perempuan.

Adapun tujuan penyusunan Parameter Kesetaraan Gender dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:a. Sebagai acuan dan analisis melalui perspektif

gender, untuk dapat melihat bagaimana akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan dapat dilakukan, dinikmati, dan dimiliki oleh perempuan dan laki-laki;

b. Mengintegrasikan perspektif gender dalam proses peraturan perundang-undangan, dimulai dari perencanaan/penyusunan naskah akademik, penyusunan dan pembahasan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan teknis operasionalnya; dan

c. Sebagai acuan dalam melakukan pengkajian, pemantauan, dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan, serta pelaporan implementasi suatu perundang-undangan.

Sasaran pengguna Parameter Kesetaraan Gender ini ditujukan untuk:a. Para pembentuk atau yang berwenang

menetapkan peraturan perundang-undangan;

b. Perancang peraturan perundang-undangan (legal drafter);

c. Ahli dan praktisi hukum, akademisi, organisasi masyarakat sipil, para legal, dan profesi lain yang sejenis; dan

d. Para perumus dan pelaksana kebijakan, program, dan kegiatan publik dalam pembangunan nasional dan/atau pembangunan daerah.

C. Peran DPR dalam Pembentukan Undang-Undang Responsif Gender

Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa fungsi DPR-RI adalah legislasi, pengawasan, dan anggaran. DPR merupakan institusi yang memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan undang-undang yang responsif gender. Hal ini disebabkan karena:a. DPR merupakan lembaga pembuat

kebijakan;b. DPR merupakan refleksi atau gambaran dari

keadaan kualitas politik di Indonesia; danc. DPR merupakan institusi utama dalam

implementasi pembangunan.

DPR hendaknya dapat menerapkan Parameter Kesetaraan Gender sebagai acuan dan alat analisis dalam setiap proses pembentukan undang-undang. Analisis dengan keempat indikator Parameter Kesetaraan Gender dilakukan bukan hanya pada Rancangan Undang-undang (RUU) yang langsung terkait dengan bidang pemberdayaan perempuan atau kesetaraan gender, namun dilakukan pada RUU bidang yang lain pula. Perlu diperhatikan bagaimana dampak suatu undang-undang terhadap pemenuhan hak konstitusional bagi laki-laki dan perempuan.

Page 12: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 12 -

D. Penutup

Upaya untuk menerapkan Parameter Kesetaraan Gender dalam setiap proses pembentukan perundang-undangan memang tidak mudah, namun dapat mulai dilakukan apabila ada political will yang kuat dari seluruh pihak. Terutama komitmen dari DPR, baik anggota sebagai pemegang hak politik legislasi, maupun para supporting system yang mendukung proses pembentukan undang-undang. Harapan yang ingin dicapai dari penerapan Parameter Kesetaraan Gender ini, antara lain: terbentuknya peraturan perundang-undangan yang responsif gender; terintegrasikannya perspektif kesetaraan gender dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan; dan terjaminnya pengakuan kesetaraan gender dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan teknis operasional/turunannya.

Rujukan:1. UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Dalam Negeri. 2012. Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

3. United Nations Development Programme (UNDP). 2010. Pengarusutamaan Gender dalam Parlemen.

4. Wardani, Sally Astuti. 2012. “Parameter Kesetaraan Gender dan Tindak Lanjutnya”, materi disampaikan dalam Konsultasi Nasional “Meneguhkan Komitmen Pemenuhan Hak-hak Konstitusional bagi perempuan” di Jakarta, 12 Maret 2012.

5. “Komnas Perempuan Temukan 282 Perda Diskriminatif,” http://nasional.kompas.com, dipublikasikan 23 November 2012.

6. “Penggunaan Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,” http://jdih.ristek.go.id, dipublikasikan 26 Juni 2012.

7. “Parameter Kesetaraan Gender,” 27 Februari 2012, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id, diakses 11 Maret 203.

Page 13: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 13 -

Vol. V, No. 05/I/P3DI/Maret/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

E KO N O M I DA N K E B I J A K A N P U B L I K

TINGKAT INFLASI DAN KEBIJAKAN

PEMBATASAN IMPOR HORTIKULTURA

Rafika Sari*)

Abstrak

Inflasi tertinggi dalam 10 tahun terakhir terjadi pada bulan Januari 2013 (1,03%) dan Februari 2013 (0,75%). Salah satu kontribusi terbesar terhadap tingkat infasi tersebut adalah kelompok bahan makanan. Kebijakan pembatasan impor produk hortikultura, diyakini oleh beberapa pakar ekonomi, berpengaruh cukup signifikan terhadap tingkat inflasi yang terjadi. Bawang putih merupakan komoditas dengan kontribusi tingkat inflasi tertinggi dari kelompok bahan makanan dan merupakan salah satu produk hortikultura yang dibatasi jumlah impornya yang berlaku efektif Januari 2013. Upaya untuk menekan inflasi adalah dengan menstabilkan harga melalui operasi pasar dalam jangka pendek, dan segera menerbitkan rekomendasi impor produk Hortikultura (RIPH) yang tertunda.

A. Pendahuluan

Dalam 10 tahun terakhir, inflasi tertinggi terjadi pada bulan Januari 2013 (1,03%) dan bulan Februari 2013 (0,75%). Inflasi tahun kalender Januari-Februari 2013 telah mencapai 1,79%, sementara target inflasi sesuai APBN tahun 2013 sebesar 4,9%. Berdasarkan data BPS, kontribusi terbesar terhadap laju inflasi bulan Februari 2013 adalah kelompok bahan makanan (0,49%). Adapun komoditas kelompok bahan makanan yang dominan memberikan sumbangan inflasi terbesar adalah bawang putih (0,12%), dan menyusul tomat sayur dan bawang merah (0,07%), dan cabe merah (0,04%), sedangkan daging sapi mencapai 0,01%.

Grafik Level Inflasi Februari, 2004-2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, Bisnis Indonesia, 4

Maret 2013.

*) Peneliti bidang Ekonomi Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

0,80%

0,60%

0,40%

0,20%

0,00%

0,20%

-0,02%

0,17%

0,58%0,62% 0,65%

0,21%

0,13%0,05%

0,75%

04 05 06 07 08 09 10 11 12 13

Page 14: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 14 -

Tingginya tingkat inflasi tersebut disebabkan jumlah pasokan (supply) pangan lebih sedikit daripada jumlah permintaannya (demand), sehingga menyebabkan kenaikan harga. Sementara, keran impor sebagai salah satu alternatif sumber pasokan dalam negeri telah ditutup/dibatasi dengan kebijakan pengendalian impor yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Dari 20 komoditas hortikultura yang diatur dalam regulasi tersebut, ada 7 komoditas hortikultura yang dibatasi jumlah kuota impornya yang masuk ke Indonesia, dan 13 komoditas lainnya yang dilarang masuk ke Indonesia dalam jangka waktu tertentu.

Sejumlah pengamat ekonomi menilai bahwa pemberlakuan kebijakan ini cukup berpengaruh terhadap tingkat inflasi yang terjadi pada dua bulan terakhiri, di mana terjadi kenaikan harga pada beberapa produk hortikultura di sejumlah kota di Indonesia. Pada bulan Februari 2013, beberapa produk hortikultura yang mengalami kenaikan harga adalah bawang putih, bawang merah, cabe merah, cabe rawit, tomat buah, wortel, anggur, apel, melon, pepaya, pir, dan pisang.

Sebagai respon dari negara lain atas kebijakan pengendalian impor di atas, Amerika Serikat, salah satu negara yang meratifikasi aturan World Trade Organization (WTO), menggugat Indonesia karena telah melanggar peraturan perdagangan internasional. Kebijakan pengendalian impor ini memberikan dampak buruk bagi kegiatan ekspor produk hortikultura dari Amerika Serikat. Berdasarkan data Dewan Hortikultura Nasional, total produk hortikultura dari negara ini yang masuk ke Indonesia masih di bawah 10%.

B. Tata Niaga Produk Hortikultura dan Dampaknya terhadap Inflasi

Pada tahun 2012, Indonesia memberlakukan pembatasan pintu masuk bagi produk hortikultura impor. Berdasarkan Permentan No. 15 dan 16 Tahun 2012 yang berlaku mulai tanggal 19 Juni 2012, produk

hortikultura impor dibatasi hanya dapat masuk ke Indonesia melalui empat pintu. Tujuan penetapan empat pintu masuk itu adalah agar Pemerintah dapat lebih melakukan fungsi pengawasan terhadap produk impor. Keempat pintu tersebut adalah Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Pelabuhan Belawan Medan, dan Pelabuhan Makasar. Sedangkan Pelabuhan Tanjung Priok tidak lagi ditetapkan sebagai pintu masuk karena keterbatasan kemampuan laboratorium karantina dan keamanan pangan, tidak memadainya jumlah petugas karantina jika dibandingkan dengan jumlah komoditas yang harus diperiksa serta telah ditemukan beberapa kasus yang dapat mengancam pertanian Indonesia berdasarkan kegiatan pemeriksaan karantina dan keamanan pangan. Hal ini telah menimbulkan protes dari negara WTO lainnya karena menambah biaya transportasi yang membengkak dengan mengalihkan dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Bahkan telah menyebabkan banyak importir berskala menengah kebawah gulung tikar.

Kemudian, kebijakan pembatasan impor produk hortikultura mulai diterapkan pada awal tahun 2013 berdasarkan Permentan No. 60 Tahun 2012. Tabel dibawah ini menunjukkan 7 komoditas yang dibatasi jumlah kuota impor ke Indonesia, efektif berlaku sejak bulan Januari 2013 hingga akhir bulan Juni 2013, dan 13

Tabel Komotitas Hortikultura Nasional yang Diatur Impor

Produk yang Dibatasi Jumlah

Kuota Impor

Produk yang Dilarang Masuk

ke Indonesia

- Bawang (bawang bombay, bawang merah, dan bawang putih)

- Jeruk (jeruk siam, jeruk mandarin)

- Lemon- Grapefruit/

Pamelo- Anggur- Apel- Lengkeng

- Durian- Nanas- Melon- Pisang- Mangga- Pepaya- Kentang- Kubis- Wortel- Cabe- Krisan- Anggrek- Heliconia

Sumber: Permentan No. 60 Tahun 2012

Page 15: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 15 -

komoditas yang dilarang masuk ke Indonesia (dalam jangka waktu tertentu) yang meliputi 6 jenis produk buah, 4 jenis produk sayuran dan 3 jenis produk bunga.

Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mendukung petani domestik dengan mempertimbangkan kemampuan produksi industri pertanian domestik dalam memenuhi kebutuhan pasar, dan sehingga tujuan akhirnya adalah terciptanya swasembada pangan pada berbagai produk pangan. Kebijakan ini seyogyanya memberikan dampak positif terhadap petani domestik untuk meningkatkan produksinya. Namun berbagai permasalahan muncul apabila kebijakan pengendalian impor produk hortikultura tersebut diterapkan namun tidak dibarengi dengan kesiapan dan strategi pemerintah untuk mengantisipasinya.

Pertama, lambatnya penerbitan RIPH untuk semester I tahun 2013 mengakibatkan terhambatnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Aturan RIPH merupakan aturan baru yang berdasarkan Permentan No. 60 Tahun 2012. Salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam penyusunan RIPH adalah kapasitas gudang (cold storage) sesuai dengan importir terdaftar, yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan. Aturan ini mendapat keluhan dari negara lain yang menjadi importir produk hortikultura. Dan menurut Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo) Bob Budiman, aturan mengenai penyimpanan bisa mengundang praktek kartel karena hanya importir besar yang sanggup memenuhi kewajiban tersebut.

Terlambatnya penerbitan RIPH pada produk bawang putih karena jatah kuota impor bawang putih yang diberikan tidak sebanding dengan jumlah importirnya, sehingga menyulitkan Pemerintah memilih importir yang layak mendapat kuota impor. Pada tahun ini ada 130 jumlah importir yang mengajukan izin. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan tahun 2012 yaitu sebanyak 70 importir.

Kedua, petani domestik belum siap bahkan mengalami kesulitan meningkatkan jumlah produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga yang terjadi adalah pasokan domestik menjadi terbatas. Pasokan bawang putih domestik hanya mencakup 5-10% dari kebutuhan nasional, yaitu sebesar 400.000 ton, sementara sebagian besar lainnya selama ini diimpor dari luar negeri. Inilah yang menyebabkan harga bahan makanan meningkat.

Kebijakan pembatasan impor akan efektif diterapkan apabila jumlah produksi domestik berlimpah. Oleh karena itu, sebelum menerapkan kebijakan pembatasan tersebut, Pemerintah perlu memperhatikan pasokan domestik agar laju inflasi tetap terjaga.

Dalam kaitannya dengan pasokan bawang putih, terdapat beberapa alasan mengapa bawang putih diproduksi minim di Indonesia. Pertama, bawang putih merupakan jenis tanaman subtropis yang sulit ditanam di Indonesia yang beriklim tropis. Kedua, Pemerintah lebih memilih meningkatkan produksi keledai yang sama-sama tanaman subtropis karena kebutuhan masyarakat atas kedelai jauh lebih banyak daripada bawang putih. Ketiga, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi bawang putih jauh lebih besar daripada kedelai, sehingga petani lebih memilih memproduksi kedelai daripada bawang putih.

C. Upaya Pengendalian Inflasi Pasca-pembatasan Impor

Harga bawang putih yang semula Rp10 ribu s.d. Rp14 ribu per kilo naik hingga mencapai Rp40 ribu per kilo, bahkan ada yang mencapai Rp80 ribu per kilo. Sedangkan harga bawang merah yang semula Rp16 ribu per kilo kini menjadi Rp50 ribu per kilo. Kenaikan harga tersebut terjadi di hampir semua kota di Indonesia. Inflasi yang ditandai dengan kenaikan harga dapat merugikan daya beli konsumen. Namun untuk menilai bahwa kebijakan pembatasan impor semata itulah yang mempengaruhi terjadinya inflasi, diperlukan ketersediaan data yang akurat mengenai jumlah pasokan yang tersedia dan jumlah permintaan atas produk tersebut, sehingga dapat dianalisa lebih lanjut seberapa signifikan implikasi kebijakan tersebut terhadap inflasi. Selain kebijakan yang dipaparkan di atas, masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan tingkat inflasi atas kelompok bahan pangan dalam dua bulan terakhir, antara lain faktor cuaca/musim penghujan yang tidak merata di sejumlah daerah, infrastruktur yang rusak dan pelabuhan yang bermasalah. Hal ini juga berpotensi menghambat distribusi pasokan, sehingga perlu segera dibenahi untuk menekan tingkat inflasi yang terjadi.

Upaya yang harus dilakukan Pemerintah untuk menekan inflasi adalah menstabilkan harga dengan memastikan pasokan bahan pangan

Page 16: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 16 -

pokok dalam negeri. Di sinilah peran serta Bulog diperlukan dalam menstabilkan harga melalui operasi pasar dalam jangka pendek.

Swasembada pangan sebagai target dari penerapan kebijakan pembatasan impor sulit tercapai. Permasalahan yang sering dialami dalam mengembangkan perkebunan/pertanian adalah kurang kondusifnya iklim investasi pada sektor perkebunan/pertanian dan minimnya penelitian dan pengembangan (Research and Development) pada bidang ini, sehingga dana yang tersalurkan untuk program ini sangat kecil. Kemudian, Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia yang hebat di bidang pertanian namun tidak bekerja di bidang ini. Beberapa masukan dalam mengembangkan perkebunan/pertanian adalah memaksimalkan produktivitas lahan, revitalisasi sistem inti plasma yang pro job, pro poor, pro growth, dan pro environment, revitalisasi sarana dan prasarana, rekonstruksi hilirisasi, reformulasi pasar dalam negeri dan luar negeri, harmonisasi peraturan, dan siinkronisasi sistem agribisnis dan agroindustri.

D. Penutup

Kaitannya dengan protes yang diajukan oleh negara anggota WTO, kebijakan pengendalian impor memang diperlukan khususnya terhadap produk hortikultura yang memenuhi hajat hidup sebagian besar petani di Indonesia. Sehingga Pemerintah dapat melindungi dan menyejahterakan petani domestik dan bahkan mencapai target swasembada. Yang perlu diwaspadai adalah masa waktu kebijakan pengendalian impor produk hortikultura yang berakhir pada bulan Juni 2013. Akankah petani domestik mampu mengejar peningkatan produksi selama enam bulan, dan apakah Indonesia mampu menciptakan swasembada dalam waktu yang singkat.

Dalam kaitannya dengan kuota impor, Pemerintah perlu merumuskan langkah strategis untuk segera menetapkan aspek-aspek yang perlu dan penting diatur dalam RIPH dan segera menerbitkan RIPH bawang dan produk lainnya,

sehingga dapat terhindar dari penyelundupan produk hortikultura ke Indonesia.

Untuk menjaga kestabilan harga, maka diharapkan ada keseimbangan antara pasokan dan permintaan, sehingga kepentingan petani dan konsumen dapat dilindungi. Perlu peran Pemerintah dalam menekan inflasi baik dalam jangka pendek, maupun jangka panjang.

Rujukan:1. Permentan No. 60/PERMENTAN/

OT.140/9/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH).

2. “Harga Bawang Tidak Terkendali,” Media Indonesia, 13 Maret 2013.

3. “DPR Minta Impor Bawang Putih Dibebaskan,” Neraca, 7 Maret 2013.

4. “Proyeksi Pertumbuhan: Konsumsi Tetap Kuat,” Bisnis Indonesia, 7 Maret 2013.

5. “Pembatasan Impor Bawang Putih Ditinjau Kembali,” Media Indonesia, 6 Maret 2013.

6. “Kementan Menjamin Harga Turun,” Kompas, 6 Maret 2013.

7. “Pemerintah Amankan Pasokan Pangan,” Bisnis Indonesia, 6 Maret 2013.

8. “Dampak Pembatasan Impor Hortikultura Ditelusuri,” Bisnis Indonesia, 2 Maret 2013.

9. “Batasi Impor 7 Jenis Sayur & Buah, RI Konsultasi dengan AS di WTO,” http://finance.detik.com, 1 Maret 2013, diakses 7 Maret 2013.

10. “Fadel Muhammad: Penyakit Impor itu Bikin Kacau,” http://finance.detik.com, 27 Februari 2013, diakses 7 Maret 2013.

11. “Suntikan Dukungan Mengalir Ke Pemerintah: Hadapi Gugatan Amerika Soal Pembatasan Impor Hortikultura,” http://ekbis.rmol.co, 25 Februari 2013, diakses 7 Maret 2013.

12. “Sejumlah Importir Hortikultura Bangkrut,” http://www.tribunnews.com, 12 Februari 2013, diakses 7 Maret 2013.

13. “SPS-Negara Anggota WTO Memprotes Kebijakan Indonesia Atas Pembatasan Pintu Masuk Produk Impor Hortikultura,” http://www.mission-indonesia.org, 17 April 2012, diakses 7 Maret 2013.

Page 17: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 17 -

Vol. V, No. 05/I/P3DI/Maret/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

P E M E R I N TA H A N D A L A M N E G E R I

REFORMASI ADMINISTRASI

MELALUI PERAMPINGAN ORGANISASI BIROKRASI

Riris Katharina*)

Abstrak

Reformasi Administrasi yang sering disebut dengan reformasi birokrasi telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, salah satunya dengan melalui perampingan organisasi birokrasi di 16 Kementerian/Lembaga dalam enam bulan ke depan. Reformasi administrasi dipandang perlu dilakukan mengingat organisasi Kementerian/Lembaga di Indonesia dinilai sangat gemuk sehingga menjadi tidak efisien, baik dari sisi anggaran maupun kepegawaian. Dari sudut teori reformasi adminstrasi, tindakan pemerintah Indonesia sudah tepat, namun perlu mengingat akan adanya hambatan berupa penolakan. Oleh karena itu, peran pemimpin, dalam hal ini Presiden untuk dapat melaksanakan reformasi administrasi dengan sangat segera dibutuhkan.

A. Pendahuluan

Dalam pembukaan rapat Audit Evaluasi Organisasi pada 16 Kementerian/Lembaga Pemerintah di kantor Wakil Presiden pada tanggal 5 Maret 2013, Wapres Boediono melaporkan sebanyak tiga Kementerian/Lembaga sudah siap untuk dirampingkan. Total 16 Kementerian/Lembaga akan dirampingkan dalam waktu enam bulan mendatang. Ketiga Kementerian/Lembaga yang sudah siap dirampingkan tersebut yaitu (1) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN & RB); (2) Lembaga Administrasi Negara; dan (3) Badan Kepegawaian Negara. Secara keseluruhan, ke-16 Kementerian/Lembaga yang akan dirampingkan, yaitu (1) Kementerian Keuangan;

(2) Kementerian Sosial; (3) Kementerian Dalam Negeri; (4) Kementerian PAN & RB; (5) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional; (6) Kementerian Kelautan dan Perikanan; (7) Kementerian Hukum dan HAM; (8) Kementerian Kehutanan; (9) Kementerian Pekerjaan Umum; (10) Lembaga Administrasi Negara (LAN); (11) Kementerian Pertanian; (12) Badan Kepegawaian Negara (BKN); (13) Kementerian Kesehatan; (14) Arsip Nasional Republik Indonesia; (15) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; dan (16) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Perampingannya melalui upaya menggabungkan Kementerian/Lembaga berdasarkan evaluasi memiliki tugas dan fungsi

*) Peneliti Madya bidang Administrasi Negara pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Page 18: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 18 -

serupa. Audit atau evaluasi dilakukan leh Tim yang berasal dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, kementerian terkait, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), serta para akademisi, pakar, dan juga konsultan independen.

Alasan 16 Kementerian/Lembaga yang akan dirampingkan, pertama, merupakan Kementerian/Lembaga yang membidangi urusan strategis pemerintah yang berhubungan dengan aspek umum, pelayanan dasar, kesejahtreraan rakyat, dan pengelolaan sumber daya alam. Kedua, ke-16 Kementerian/Lembaga mempunyai daya ungkit (leverage) yang tinggi dalam mendorong reformasi birokrasi (reformasi administrasi).

Dalam kenyataannya, birokrasi pemerintahan Indonesia sangat gemuk. Menurut Kementerian PAN dan RB, hal ini tergambar dari situasi birokrasi di mana ada satu pekerjaan yang seharusnya cukup ditangani tiga orang malah ditangani 20 orang. Selain pemborosan karena membayar pegawai, hal ini juga mengakibatkan lambannya birokrasi bekerja. Bahkan, untuk mendanai perjalanan dinas Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 2013 hampir sebesar Rp21 triliun. Beberapa hal itulah yang menjadi indikasi adanya masalah pada struktur biroraksi di Kementerian/Lembaga.

B. Reformasi Administrasi di Indonesia dalam Perspektif Teori

Pemerintah Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya mendengungkan reformasi birokrasi. Dalam literatur yang ada, reformasi birokrasi sesungguhnya tidak dikenal. Reformasi birokrasi yang dimaksud dalam pemerintahan Indonesia lebih dikenal sebagai reformasi administrasi.

Hahn Been Lee dalam Leemans, mengatakan bahwa pada prinsipnya tujuan setiap reformasi administrasi ada tiga yaitu: (1) untuk peningkatan tata kelola; (2) untuk peningkatan metode; dan (3) untuk peningkatan kinerja.

Hahn Been Lee mengatakan bahwa bentuk administrasi sebuah negara akan menentukan model reformasi birokrasi yang akan dilakukannya. Hahn-Been Lee

mengklasifikasikan bentuk-bentuk birokrasi dari sudut reformasi administrasi di negara-negara berkembang yaitu: (a) Closed Bureaucracy; (b) Mixed Bureaucracy; dan (c) Open Bureaucracy. Dalam pemerintahan dengan closed bureaucracy, ciri utama dari model ini antara lain diperlihatkan oleh masih kentalnya aspek pengaruh elit dan hak istimewa di dalamnya. Selain itu, para pegawai memiliki budaya kerja yang bertanggung jawab atas pelayanan yang diberikan serta memiliki semangat yang tinggi. Meskipun demikian, para pegawai birokrasi model ini bekerja di bawah aturan yang bersifat senioritas. Ciri lainnya, birokrasi model ini cenderung tidak harmonis, seperti hubungannya dengan militer dengan kelompok bisnis atau dengan pers. Model birokrasi ini memiliki daya tahan terhadap gelombang perubahan sosial yang akan terjadi, meskipun gejolak tersebut datang dari kelompok baru yang lebih memiliki posisi di mata masyarakat. Hal ini dikarenakan besarnya kekuatan politik yang dapat digunakan oleh mesin birokrasi untuk membendung tuntutan kelompok baru tersebut.

Dalam model mixed bureaucracy, dapat dilihat ciri antara lain terdapat hubungan antara birokrasi dengan masyarakat, meskipun hubungan tersebut terbatas. Hubungan tersebut terjadi ketika seseorang atau individu ditugaskan untuk membantu pemerintahan yang lemah, seperti pemerintahan yang membutuhkan keahlian statistik, perencanaan ekonomi dan promosi. Individu dan tenaga ahli tersebut dapat berasal dari universitas, lembaga penelitian atau unit militer. Keterlibatan masyarakat tersebut selanjutnya membuat pemerintah semakin fleksibel dalam proses rekrutmen. Perubahan yang mendasar dalam struktur birokrasi model ini terjadi ketika ada pergolakan sosial dan politik seperti perang, revolusi atau kudeta. Pada titik tersebut, birokrasi akan menerima infusi yang besar dari kelompok sosial lainnya. Ketika model ini diterapkan, banyak standar dan prosedur rekrutmen serta promosi berubah guna mendukung kelompok baru.

Model selanjutnya yaitu open bureaucracy. Birokrasi terbuka memiliki pola rekrutmen yang relatif fleksibel. Setiap orang yang memenuhi syarat dapat masuk ke birokrasi. Selain itu, standar masuk dalam hal pendidikan dan pengalaman tidak terlalu kaku. Berbagai kontak dan pertukaran terjadi antara pemerintah dan

Page 19: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 19 -

industri. Partai politik berkuasa dan pengaruh mereka terhadap birokrasi lebih bersifat langsung. Birokrasi menjadi dipolitisir dan legislatif atau partai sering mempengaruhi dan intervensi. Pintu birokrasi harus terbuka lebar yang diikuti juga oleh pintu di luar itu birokrasi. Hal lain yang harus diperhatikan dalam birokrasi terbuka yaitu prosedur baru dan organisasi yang sederhana.

C. Tantangan Reformasi Administrasi di Indonesia

Jika dilihat reformasi administrasi Indonesia dan model birokrasinya, maka birokrasi terbuka masih tetap relevan menunjukkan model birokrasi Indonesia. Hal ini ditandai dari sudah terbukanya pola rekrutmen yang relatif fleksibel, di mana birokrasi yang diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), dapat diisi oleh orang-orang dari luar PNS (walaupun selanjutnya kemudian diberikan status PNS), asalkan memenuhi syarat yang ditentukan. Hal ini memungkinkan masuknya orang-orang di sektor swasta ke dalam pemerintah. Sekalipun, pengaruh secara langsung partai politik dijaga ketat agar tidak terjadi dengan berbagai peraturan yang mengatur kenetralan birokrasi.

Dengan kenyataan tersebut, maka reformasi birokrasi yang tepat untuk dilakukan dengan menyederhanakan organisasi. Penyederhanaan organisasi terhadap ke-16 Kementerian/Lembaga dalam perspektif Hahn Been Lee sudah tepat. Penyederhaan tersebut akan dapat meningkatkan kinerja pemerintahan. Pekerjaan dilakukan secara efisien, dan akibatnya penghematan anggaran dapat digunakan untuk kegiatan pembangunan.

Akan tetapi, Caiden memberikan peringatan bahwa proses reformasi administrasi akan menimbulkan banyak hambatan, antara lain: 1. Tidak ada yang ingin mengoreksi sistem

adminitrasi yang sudah berjalan, mungkin karena mereka menganggap sistem itu merupakan kenyataan yang sulit untuk dirubah, atau masyarakat tidak menyukai orang-orang yang tidak tunduk pada sistem yang berlaku.

2. Tidak adanya orang yang sanggup merumuskan rencana perubahan dengan baik dan efektif. Untuk merumuskan proposal reformasi diperlukan pengetahuan

yang cukup. Informasi yang dibutuhkan mungkin tidak tersedia, tidak akurat, tidak tepat atau terdistorsi, atau tidak berguna sama sekali.

3. Tidak adanya advokasi pembaharuan, tidak cukup dukungan, dan tidak ada pemimpin yang mau mengambil alih inisiatif reformasi. Akar masalahnya mungkin ekonomi dan kurangnya sumber daya. Reformasi dianggap hanya akan merugikan mereka yang mendapatkan dan menikmati keuntungan dari sistem seperti ini.

4. Tidak adanya kepentingan untuk memperbaiki kinerja administrasi yang sudah ada karena administrasi dianggap tidak memiliki nilai, sementara di lain sisi, kinerja rendah biasanya dapat diterima dan ditolerir. Hal ini disebabkan masalah sosial atau ekonomi. Orang tidak perduli pada sistem administrasi yang bobrok selagi dirinya tidak dirugikan.

Caiden juga menekankan bahwa salah satu yang mempengaruhi berjalannya reformasi administrasi adalah politik. Dalam sebuah negara demokrasi dengan sistem multi partai, administrasi biasanya berada di luar politik. Reformasi dapat berjalan tanpa campur tangan politik. Hubungan antara reformasi administrasi dan politik antara lain dinyatakan sebagai berikut: (1) Sistem pemerintah daerah yang kuat akan lebih gampang menerima reformasi di daerah, akan tetapi cenderung menjadi penghambat reformasi di tingkat nasional; (2) Bila eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai yang sama, reformasi akan lebih mudah diterima; (3) Bila legislatif dikuasai oleh partai yang berbeda, penolakan terhadap reformasi akan lebih terasa; (4) Pemerintah yang dikuasai oleh satu partai berkuasa akan lebih mudah menerima reformasi ketimbang pemerintah koalisi; (5) Sistem pemerintah yang berkuasa dengan jaminan waktu berkuasa yang jelas akan lebih mudah menerima reformasi; (6) Partai berideologi cenderung susah menerima reformasi yang tidak sejalan denga ideologinya; (7) Sistem politik yang lemah cenderung menolak reformasi; (8) Demikian juga pimpinan politik yang kuat cenderung akan berhasil dalam gerakan reformasi ketimbang pimpinan politik yang lemah; dan (9) Sistem administrasi yang dipengaruhi politik cenderung lebih susah menerima reformasi ketimbang yang tidak dipengaruhi politik.

Page 20: Vol. V No. 05 I P3DI Maret 2013

- 20 -

Terkait dengan peran pimpinan politik, ada sejarah negara yang berhasil melakukan reformasi administrasi karena pimpinan politiknya, antara lain Singapura yang mampu menjadi negara maju melalui reformasi administrasinya.

D. Rekomendasi

Sebagai sebuah negara yang model birokasinya lebih terbuka, reformasi administrasi yang dilakukan dengan melakukan perampingan organisasi sudah tepat dilakukan. Reformasi administrasi ini sudah tentu akan mendapat berbagai macam hambatan, terutama dari segi politik, mengingat hadirnya koalisi dalam kabinet pemerintah.

Untuk mengatasi hambatan politik tersebut, sudah tentu peran pemimpin politik, baik di tingkat partai politik, terlebih lagi dari Presiden yang kuat, sangat dibutuhkan untuk dapat memperlancar berjalannya reformasi administrasi dalam menciptakan birorasi yang dapat meningkatkan kinerjanya untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Itu artinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini harus berani meneruskan rekomendasi dari hasil audit evaluasi organisasi yang dibentuk oleh Wakil Presiden secara cepat, tanpa kepentingan politik menghadapi Pemilu 2014.

DPR-RI sebagai lembaga politik, dapat memberikan dukungan kepada Presiden melalui Kementerian PAN dan RB dalam upaya merampingkan birokrasi di seluruh Kementerian/

Lembaga. Selain mempertanyakan pelaksanaan reformasi melalui perampingan organisasi dalam rapat kerja juga melalui komitmen penghematan anggaran Kementerian/Lembaga dalam pembahasan anggaran di Komisi dan Badan Anggaran.

Kerjasama dengan para akademisi dan pakar atau ahli independen sebagaimana dilakukan dalam reformasi pada birokrasi model campuran tetap dapat dilakukan dalam kasus Indonesia. Hal ini mengingat kontribusi mereka terhadap penguatan bagi pemimpin politik dalam mengambil keputusan di tengah banyaknya kepentingan dari pihak koalisi di kabinet.

Rujukan:1. “Birokrasi Gemuk: Pekerjaan 3 Orang

Ditangani 20 Orang,” http://www.analisadaily.com, diakses 11 Maret 2013.

2. Caiden, Gerald. E. 1969. Administrative Reform. Chicago. Illinois: Aldine Publishing Company.

3. “Enam Belas Kementerian dan Lembaga Dirampingkan,” Media Indonesia, 6 Maret 2013.

4. ”FITRA: Biaya Perjalanan Dinas PNS 21 Triliun Terlalu Serakah,” http://finance.detik.com, diakses 11 Maret 2013.

5. Leemans, Arne. F. (editor). 1976. The Management of Change in Government. The Netherlands: Martinus Nijhoff.

6. Neo, Bon Siong & Chen, Geraldine. 2007. Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore. Singapore: WorldScientific Publishing.