vol. v, no. 22/ii/p3di/november/2013

20
H U K U M - 1 - Vol.V, No. 22/II/P3DI/November/2013 Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 CONTEMPT OF COURT DALAM PERSIDANGAN MK Sulasi Rongiyati *) Abstrak Persidangan kasus pilkada di MK diwarnai kerusuhan oleh pengunjung yang tidak puas dengan hasil putusan MK. Kasus suap Akil Muchtar dianggap sebagai penyebab ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga MK. Peristiwa tersebut telah mencoreng serta merendahkan kewibawaan dan kehormatan lembaga peradilan, sehingga perlu tindakan tegas. Beberapa upaya perlu dilakukan untuk menjunjung tinggi kehormatan lembaga peradilan, antara lain melalui pembenahan dalam diri aparat penegak hukum dan masyarakat untuk berperilaku terhormat, meningkatkan sistem pengamanan persidangan di pengadilan, serta perlunya perbuatan penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court) diatur secara komprehensif dalam KUHP. Pengaturan contempt of court dalam RUU KUHP diharapkan tidak bersifat diskriminatif sehingga memenuhi rasa keadilan masyarakat dan menciptakan kepastian hukum. A. Pendahuluan Kerusuhan yang terjadi pada saat sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 14 November 2013 sangat disayangkan dan dikecam banyak pihak. Kericuhan berawal ketika Ketua Majelis Hakim MK membacakan Putusan Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Gubernur Provinsi Maluku yaitu putusan atas perkara No. 94/PHPU.D-IX/2013 yang digugat oleh pasangan Herman Koedoeboen dan Daud Sangaji. Secara tiba-tiba pengunjung sidang mengeluarkan kata-kata kotor kepada hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Mereka juga merusak sejumlah fasilitas di ruang sidang lobi lantai 2 Gedung MK, seperti kursi, speaker, televisi, dan kaca. Sebagaimana diketahui Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Gubernur Provinsi Maluku digugat oleh empat pasangan dengan nomor registrasi yang berbeda, yaitu perkara nomor: a. 91/PHPU.D- IX/2013 yang diajukan oleh pasangan Abdullah Tuasikan-Hendrik Lewerissa; b. 92/PHPU.D-IX/2013 yang diajukan oleh pasangan Jacobus F Puttillehalat dan Arfin Tapi Oyhoe; c. 93/PHPU.D-IX/2013 yang diajukan oleh pasangan William B. Noya dan Adam Latuconsina; dan No. 92/PHPU.D-IX/2013 *) Peneliti bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR-RI, e-mail: [email protected]

Upload: yulia-indahri

Post on 29-Nov-2015

57 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Contempt of Court dalam Persidangan MK (Sulasi Rongiyati)Bencana Filipina, Dimana ASEAN? (Poltak Partogi Nainggolan)Konflik Perburuhan dan Gagasan Sharoushi di Indonesia (Dinar Wahyuni)Kebijakan Dana Optimalisasi dalam APBN Tahun Anggaran 2014 (Juli Panglima Saragih)DPT dan Partisipasi Politik Pemilu 2014 (Prayudi)

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

H U K U M

- 1 -

Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

CONTEMPT OF COURT DALAM

PERSIDANGAN MKSulasi Rongiyati*)

Abstrak

Persidangan kasus pilkada di MK diwarnai kerusuhan oleh pengunjung yang tidak puas dengan hasil putusan MK. Kasus suap Akil Muchtar dianggap sebagai penyebab ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga MK. Peristiwa tersebut telah mencoreng serta merendahkan kewibawaan dan kehormatan lembaga peradilan, sehingga perlu tindakan tegas. Beberapa upaya perlu dilakukan untuk menjunjung tinggi kehormatan lembaga peradilan, antara lain melalui pembenahan dalam diri aparat penegak hukum dan masyarakat untuk berperilaku terhormat, meningkatkan sistem pengamanan persidangan di pengadilan, serta perlunya perbuatan penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court) diatur secara komprehensif dalam KUHP. Pengaturan contempt of court dalam RUU KUHP diharapkan tidak bersifat diskriminatif sehingga memenuhi rasa keadilan masyarakat dan menciptakan kepastian hukum.

A. Pendahuluan

Kerusuhan yang terjadi pada saat sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 14 November 2013 sangat disayangkan dan dikecam banyak pihak. Kericuhan berawal ketika Ketua Majelis Hakim MK membacakan Putusan Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Gubernur Provinsi Maluku yaitu putusan atas perkara No. 94/PHPU.D-IX/2013 yang digugat oleh pasangan Herman Koedoeboen dan Daud Sangaji. Secara tiba-tiba pengunjung sidang mengeluarkan kata-kata kotor kepada hakim yang menyidangkan perkara tersebut.

Mereka juga merusak sejumlah fasilitas di ruang sidang lobi lantai 2 Gedung MK, seperti kursi, speaker, televisi, dan kaca. Sebagaimana diketahui Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Gubernur Provinsi Maluku digugat oleh empat pasangan dengan nomor registrasi yang berbeda, yaitu perkara nomor: a. 91/PHPU.D-IX/2013 yang diajukan oleh pasangan Abdullah Tuasikan-Hendrik Lewerissa; b. 92/PHPU.D-IX/2013 yang diajukan oleh pasangan Jacobus F Puttillehalat dan Arfin Tapi Oyhoe; c. 93/PHPU.D-IX/2013 yang diajukan oleh pasangan William B. Noya dan Adam Latuconsina; dan No. 92/PHPU.D-IX/2013

*) Peneliti bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR-RI, e-mail: [email protected]

Page 2: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 2 -

yang diajukan oleh pasangan Herman Andrian Koedoeboen dan Daud Sangaji.

Beberapa kalangan berpendapat bahwa peristiwa tersebut merupakan dampak dari kasus suap yang dilakukan oleh mantan Ketua MK, M. Akil Mochtar yang dianggap telah menurunkan kredibilitas dan kewibawaan MK, sehingga masyarakat berani melakukan kekerasan terhadap MK. Pandangan berbeda disampaikan Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, yang berpendapat kasus ini terjadi karena ketidaksiapan para pihak menerima konsekuensi proses hukum. Pelaku tidak siap menerima kekalahan.

Terlepas dari apa yang menjadi latar belakang terjadinya kerusuhan dalam persidangan MK, tindakan sekelompok pengunjung yang mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan merusak peralatan di ruang sidang MK merupakan perbuatan yang merendahkan dan melecehkan kewibawaan lembaga peradilan yang semestinya dihormati. Tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tindakan merendahkan atau penghinaan terhadap lembaga peradilan atau yang dikenal dengan istilah “contempt of court.”

B. Pengertian dan Ketentuan Contempt of Court

Dalam negara common law, contempt of court merupakan istilah umum untuk menggambarkan setiap perbuatan atau tidak berbuat yang pada hakikatnya bermaksud untuk mencampuri atau mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan peradilan. Istilah contempt of court dikatakan sebagai istilah umum karena dapat dibedakan antara civil contempt dan criminal contempt.

Civil contempt digunakan untuk menggambarkan contempt yang disebabkan ketidakpatuhan terhadap perintah yang diberikan oleh pengadilan perdata. Pelanggaran dalam civil contempt ini disebabkan kegagalan dari salah satu pihak yang berperkara untuk melakukan atau melaksanakan perintah pengadilan guna manfaat atau keuntungan pihak lainnya. Tindakan yang dilakukan bukan melawan martabat pengadilan, tetapi merugikan pihak lain dan atas

permintaan pihak yang dirugikan, pengadilan mengeluarkan suatu perintah atau penetapan supaya pihak yang menolak melaksanakan perintah pengadilan tersebut dapat melakukan kewajibannya. Sanksi yang diberikan terhadap pelaku civil contempt adalah bersifat paksaan dengan tujuan untuk melindungi hak-hak dari pihak yang memenangkan gugatan serta untuk melindungi efektifitas penyelenggaraan administrasi peradilan dengan menunjukkan bahwa perintah pengadilan akan dilaksanakan.

Sedangkan istilah criminal contempt didefinisikan sebagai perbuatan yang tidak menghormati pengadilan dan proses peradilannya yang bertujuan untuk merintangi, menghalangi, mengganggu jalannya peradilan atau cenderung untuk menyebabkan pengadilan tidak dihormati. Dalam hal ini criminal contempt merupakan pelanggaran yang ditujukan terhadap pengadilan dan proses peradilannya. Berkaitan dengan hal ini, Muladi menyebutkan bahwa criminal contempt merupakan segala perbuatan yang cenderung untuk menghalangi jalannya administrasi peradilan. Perbuatan tersebut dianggap menentang lembaga yang sangat penting dalam memperjuangkan kepentingan umum. Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku criminal contempt adalah sanksi yang bersifat menghukum. Di negara-negara common law, pelaku dapat dijatuhi pidana denda atau pidana penjara.

Pengertian contempt of court di Indonesia dapat dilihat dalam Penjelasan Umum butir 4 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Berdasarkan Penjelasan Umum butir 4 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tersebut di atas, maka pengertian contempt of court adalah segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan.

Secara khusus belum ada peraturan perundang-undangan yang spesifik mengatur mengenai contempt of court. Namun, beberapa pasal dalam KUHP dan KUHAP mengantur “contempt” di hadapan pengadilan dan

Page 3: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 3 -

“contempt” di luar pengadilan yaitu pada Pasal 159 ayat (2) KUHAP mengenai hak peradilan memanggil saksi demi kepentingan proses peradilan serta kewajiban saksi untuk datang dan memberikan keterangan. Jika terjadi sebaliknya, dengan saksi yang mangkir tanpa alasan yang sah perbuatan ini dipahami sebagai bentuk contempt of court yaitu disobeying a court order (tidak mematuhi perintah pengadilan). Berbeda lagi pandangan KUHP pada Pasal 210 dan 420 mengenai penyuapan aktif dan pasif kepada dan oleh hakim yang dapat sub judice rule (mempengaruhi hasil dari suatu pemeriksaan peradilan) dan membuat hakim berdasarkan kewenangannya tidak obyektif dalam memberikan keputusan. Serta perbuatan yang lain pada Pasal 217 KUHP membuat kegaduhan dalam persidangan, yang semua itu secara terpisah dipahami sebagai perbuatan contempt of court.

Terkait dengan kasus kerusuhan dalam persidangan MK, dalam Peraturan MK No. 09 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan, secara tegas mengatur tata tertib bagi hakim, para pihak, dan saksi ahli, dan pengunjung sidang. Pasal 5 Peraturan MK tersebut memuat kewajiban bagi para pihak, saksi, saksi ahli dan pengunjung sidang untuk bersikap tertib, tenang, dan sopan selama persidangan berlangsung. Secara detail Pasal 5 ayat (2) juga memuat larangan-larangan bagi pengunjung, antara lain: membuat gaduh, merusak atau mengganggu fungsi sarana, prasarana, dan perlengkapan persidangan; menghina saksi dan saksi ahli; melakukan perbuatan atau tingkah laku yang dapat mengganggu jalannya persidangan atau merendahkan kehormatan dan martabat hakim konstitusi serta kewibawaan mahkamah; memberikan ungkapan atau pernyataan dalam persidangan yang isinya berupa ancaman terhadap independensi hakim dalam memutus perkara. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 dikatagorikan sebagai penghinaan terhadap mahkamah (Pasal 7 ayat (3)). Sanksi bagi pelaku pelanggaran ketentuan tersebut adalah peringatan atau dikeluarkan dari ruang sidang mahkamah.

Jika hanya berpedoman pada Tata Tertib Persidangan MK maka sanksinya sangat ringan dan sangat tidak memadai. Hal ini dapat dipahami karena sifat kekuatan hukum

dari Perturan Tata Tertib yang tidak dapat memberlakukan sanksi pidana. Namun, jika dipandang dari sisi perbuatan yang dilakukan merupakan penyerangan terhadap lembaga peradilan serta kerugian yang diakibatkan, maka selayaknya pelaku dikenai ketentuan pidana yang terdapat dalam KUHP.

C. KodifikasiContempt of Court dalam Rancangan KUHP

Merujuk pada penjelasan Pasal 4 UU Mahkamah Agung, terbuka kemungkinan pembentukan UU yang secara khusus mengatur contempt of court. Hal ini ditindaklanjuti oleh Keputusan Rakernas MA Tahun 2012 yang merekomendasikan pembentukan UU tentang Contempt of Court. Namun, kalangan praktisi hukum sendiri masih berbeda pendapat. Perhimpunan Advokat Indonesia menganggap UU Contempt of Court tidak perlu dibentuk karena ada kekhawatiran UU tersebut akan membelenggu gerak advokat dalam membela klient-nya dengan dalih contempt of court, sehingga ketentuan mengenai contempt of court cukup diatur dalam UU yang mengatur mengenai peradilan. Saat ini RUU KUHP yang sedang dibahas DPR-RI telah mencantumkan ketentuan contempt of court sebagai salah satu materi yang diatur dalam satu bab tersendiri dengan memuat ancaman sanksi terhadap pelaku contempt of court baik denda (civil contempt of court) maupun hukuman penjara (criminal contempt of court).

Dalam RUU KUHP, materi contempt of court diatur dalam bab khusus yang antara lain mengatur perbuatan melawan hukum dalam hal: tidak mematuhi perintah pengadilan untuk kepentingan proses peradilan, menghina hakim atau menyerang integritas; advokat yang mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan sedangkan patut mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak yang dibantunya, meminta imbalan dengan maksud mempengaruhi terhadap saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara yang bersangkutan; menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, advokat, dan/atau hakim; tidak datang pada saat dipanggil sebagai

Page 4: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 4 -

saksi; merusak sarana, prasarana dan alat-alat perlengkapan sidang pengadilan; melakukan penyerangan langsung kepada saksi atau aparat penegak hukum dan petugas pengadilan; dan membuat gaduh dalam sidang pengadilan.

Jika dilihat substansi contempt of court dalam RUU KUHP, nampak jelas ketentuan tersebut diberlakukan kepada masyarakat di luar aparat penegak hukum. RUU KUHP belum mengatur bagaimana jika penegak hukum di lingkungan peradilan seperti hakim, penyidik, dan penyelidik melakukan perbuatan yang merendahkan martabat, kewibawaan, dan/atau kehormatan lembaga peradilan. Ketentuan yang mengatur perlindungan hukum bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sudah sangat memadai, namun tidak dapat dipungkiri penegak hukum juga berpotensi untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat merendahkan kehormatan dan kewibawaan lembaga peradilan, sehingga sudah selayaknya ketentuan contempt of court berlaku juga bagi aparat penegak hukum.

Sangat dikhawatirkan, pengaturan contempt of court yang hanya diberlakukan untuk masyarakat di luar aparat penegak hukum menjadi perbuatan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mengkritik lembaga peradilan.

D. Penutup

Kasus kerusuhan pada proses persidangan MK sudah selayaknya diambil tindakan hukum secara tegas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, karena pelaku kerusuhan telah melakukan contempt of court yang dapat digolongkan ke dalam jenis criminal contempt dalam hal ini mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan merusak sarana dan prasarana persidangan. Beberapa upaya perlu dilakukan untuk mencegah terulangnya peristiwa contempt of court. Pertama, kewibawaan dan kehormatan lembaga peradilan harus dijaga tidak hanya oleh masyarakat umum tetapi juga aparat penegak hukum itu sendiri, khususnya hakim, penyidik, penyelidik, dan jaksa. Kedua, menindak tegas pelaku contempt of court dan meningkatkan sistem pengamanan persidangan, misalnya dengan pembatasan dan pemeriksaan terhadap pengunjung yang

akan menghadiri sidang. Ketiga, memperkuat ketentuan peraturan perundang-undangan contempt of court yang komprehensif. Penguatan ini tidak harus dengan membentuk UU khusus tentang contempt of court tetapi dapat dilakukan melalui penguatan dan penyempurnaan pengaturan dalam UU yang berkaitan dengan lembaga peradilan. Penulis berpendapat, penempatan pengaturan contempt of court dalam RUU KUHP dalam bab tersendiri sebagai penyempurnaan pengaturan KUHP yang sekarang berlaku sangat tepat mengingat selama ini ketentuan contempt of court tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Di samping itu, pelecehan terhadap lembaga peradilan yang dikatagorikan dalam criminal contempt termasuk dalam ruang lingkup perbuatan pidana. Menjadi tugas Pemerintah dan DPR-RI dalam melakukan pembahasan RUU KUHP untuk bersikap kritis dan hati-hati dengan mengedepankan rasa keadilan, khususnya dalam membuat rumusan perbuatan-perbuatan yang dapat digolongkan sebagai perbuatan contempt of court.

Rujukan: 1. Faisal, “Contempt of court dalam

Pembaruan Hukum Pidana Indonesia,” Jurnal Hukum Progresif, Vol. VII/No.1/Juni 2013.

2. “Peradi Tak Setuju UU Contempt of Court,” http://www.hukumonline.com, diakses 20 November 2013.

3. “MA Idamkan UU Contempt of Court,” http://www.hukumonline.com, diakses 22 November 2013.

4. “MK Rusuh: MK Runtuh,” http://news_liputan6.com, diakses 20 November 2013.

5. “Persidangan MK: Mafud Usul Perbaikan SOP,” Suara Karya, 16 November 2013.

6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.7. UU No. 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

8. Peraturan MK No. 9 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan.

9. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Page 5: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

H U B U N G A N I N T E R N A S I O N A L

- 5 -

Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

BENCANA FILIPINA, DIMANA ASEAN?

Poltak Partogi Nainggolan*)

Abstrak

Bencana topan Haiyan yang dahsyat telah memporak-porandakan Filipina, salah satu negara besar ASEAN. Sekalipun sudah ada peringatan dini atas bencana alam tersebut, namun aksi cepat tanggap dan bantuan kemanusiaan tidak dipersiapkan secara memadai. Bantuan asing cepat datang, termasuk dari negara ASEAN, namun hal ini terlihat bukan inisiatif (kolektif ) ASEAN sebagai sebuah organisasi kawasan yang akan segara menjadi komunitas pada tahun 2015. Hal ini kemudian menyisakan keraguan terhadap perwujudan Komunitas ASEAN 2015 dalam dua tahun lagi.

A. Pendahuluan

Terhitung seminggu lebih, sejak 8 November 2013, topan Haiyan melanda Filipina, salah satu negara penting di ASEAN. Secara tragis, badai dahsyat itu telah memporakporandakan Provinsi Leyte, terutama kota-kota Giporlos, Tacloban, Guiuan, dan Ormoc, di Filipina Tengah. Laporan PBB menyebutkan, sekitar 2,5 juta penduduk sangat membutuhkan bantuan makanan, dan banyak mayat korban dibiarkan tergeletak di pinggir jalan. Kondisi korban yang masih hidup sangat memprihatinkan, karena nyaris semua bangunan hancur dihantam topan dan gelombang laut. Korban tewas mencapai 4.460 orang, korban luka mencapai 12.165 orang, korban yang dilaporkan hilang mencapai 1.140

orang, dan jumlah pengungsi mencapai 11,8 juta orang.

Yang lebih buruk lagi, distribusi bantuan belum berjalan efektif, dan sejauh ini belum ada tanda-tanda pengiriman bantuan makanan, air bersih, dan obatan-obatan yang terkoordinasi. Yang menyedihkan, tiada kejelasan siapa yang memimpin operasi pencarian dan penyelamatan korban. Bahkan, dapur umum untuk korban yang selamat pun nihil. Presiden Aquino III menggambarkannya sebagai mimpi buruk logistik, karena tidak terbayangkan sebelumnya, besar sumber daya yang harus disediakan dan dikerahkan. Leyte membutuhkan lebih banyak obat-obatan, suntikan vaksin anti-tetanus, dan bantuan lainnya yang bersifat darurat, seperti antibiotik dan, bahkan kantung mayat.

*) Profesor Riset bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR-RI, e-mail: [email protected]

Page 6: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 6 -

B. Ketidakhadiran ASEAN

Bantuan terkoordinasi atas nama ASEAN belum tampak sejak pihak lain sudah beroperasi di lapangan. Peran asing, terutama AS dan sekutunya, yaitu Australia dan Inggris, dominan di lapangan. Dari Asia, hanya tampak Jepang, yang siap di lapangan bersama Komisi Eropa, Kanada, dan Selandia Baru. Sisanya Singapura, RRC dan Taiwan, serta LSM internasional seperti Dokter Lintas Batas (MSF), Bantuan Pangan Dunia (WFP) dan Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional (ICRC). AS, Inggris, Komisi Eropa, Jepang, dan Australia masing-masing siap menggelontorkan dana bantuan sebesar 20,1 juta, 16 juta, 11,0 juta, 10,0, dan 9,3 juta dolar AS, dan Singapura 0,3 juta dolar AS.

AS sendiri telah mengirim dan menggelar bantuan lewat kapal induk USS George Washington dan sedikitnya tujuh kapal AL di wilayah terdekat bencana, yakni Pulau Samar, dengan lima ribu prajurit AL. Selain itu, ada delapan pesawat tambahan mendarat di Manila, 12 kapal kargo, dua kapal amfibi, dengan 1.000 tenaga marinir, dilengkapi peralatan konstruksi, generator, dan tangki air portabel. Helikopter AS bolak-balik dari kapal induk membawa bantuan ke Tacloban, dan telah mendistribusikan 118 ton makanan, air minum, dan kebutuhan korban bencana lainnya. Sementara, Australia mengirimkan kapal pendarat amfibi HMAS Tobruk dan tiga pesawat angkut Hercules C-130, dan Inggris mengirimkan kapal perang terbesar, yaitu induk helikopter HMS Illustrious dan kendaran truk forklift. Singapura, Indonesia dan Malaysia mengirimkan pesawat angkut logistik dan Hercules C-130.

Indonesia sendiri telah mengirimkan 75 ton bantuan logistik senilai satu juta dolar AS, dan satu juta dolar AS berikutnya akan ditransfer ke Pemerintah Filipina. Sebanyak 11,8 ton berupa makanan, tenda, dan matras, dikirim dengan Hercules TNI-AU. Namun, sekali lagi, ini semua merupakan inisiatif sepihak, dan tidak dikoordinasikan dalam kerangka ASEAN. Sisanya, diberikan oleh PMI, dengan memobilisasi bantuan masyarakat Indonesia, seperti 2.000 peralatan kebersihan, 2.000 selimut, 1.000 tenda keluarga, dan

10..000 dus mie instan. Bantuan kemanusiaan Indonesia dikirimkan secara resmi lewat pemerintah, dengan menggunakan aparat TNI dan pesawat Hercules mereka, dan disampaikan langsung oleh Dubes RI di Filipina di wilayah bencana.

Di luar itu, yang berasal dari masyarakat, telah disalurkan oleh PMI yang juga mengirimkan pesawat helikopter untuk mempercepat pengiriman logistik di daerah-daerah yang telah terputus jalur transportasinya. Operasi kemanusiaan PMI ini dikatakan sebagai yang terbesar. Di luar itu, masih ada lagi, bantuan kemanusiaan yang diorganisasi oleh LSM seperti ACT (Aksi Cepat Tanggap), yang memobilisasi bantuan masyarakat dan tenaga sukarelawan. Respons Presiden SBY sendiri cukup cepat dan besar, namun sekali lagi, semua ini adalah inisiatif individual, dan bukan aksi kolektif negara-negara anggota ASEAN, yang digerakkan oleh kepemimpinannya sekarang ini dengan segala perangkat atau mesin birokrasinya.

C. Ironi ASEAN

Bencana alam dahsyat yang melanda Filipina lagi-lagi memperlihatkan ketidakhadiran ASEAN secara nyata di tengah-tengah komunitasnya yang membutuhkan respons dan tindakan segera, khususnya bantuan kemanusiaan. Sebaliknya, kekuatan asing, seperti dalam kasus bencana Tsunami di Aceh, Indonesia, selalu cepat tanggap memberikan bantuan, dan dirasakan kehadirannya oleh komunitas akar rumput ASEAN. Padahal, dalam waktu kurang dari dua tahun lagi (2015) realisasi ASEAN sebagai sebuah komunitas kawasan akan dimulai. Bencana topan dahsyat Haiyan di Filipina memperlihatkan belum munculnya sentralitas kepemimpinan, yang dapat melahirkan kebijakan versi ASEAN. Jika, sentralitas kepemimpinan dan kebijakan ASEAN belum dirasakan komunitasnya, dan yang muncul masih insiatif sepihak, manfaat realistis komunitas kawasan akan terus dipertanyakan.

Hal ini juga menggambarkan terus berlangsungnya penyebaran tanggung jawab (division of responsibility) di antara negara

Page 7: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 7 -

anggota ASEAN, yang mengaburkan tanggung jawab ASEAN sebagai sebuah komunitas. Padahal, secara simultan Uni Eropa terus menunjukkan manfaat nyatanya sebagai sebuah komunitas kawasan dengan peran Komisi Eropa, bahkan di luar kawasan, untuk urusan kemanusiaan yang universal. Jika realitas ini terus terjadi, prospek ASEAN sebagai sebuah komunitas kawasan diragukan, tidak lebih dari cita-cita yang kosong, sebab, tidak ada daya kohesinya untuk menyatukan gerak-langkah pemerintah negara anggotanya.

ASEAN tidak hanya langka dari kehadiran (birokrasi) pemerintahan kawasan, tetapi juga dari aksi dan kebijakan yang dibutuhkan komunitas warganya. Sementara, kehadiran kekuatan asing yang realistis dan dominan akan melanjutkan ketergantungan ASEAN pada negara dan kekuatan luar, di segala bidang, termasuk di bidang sosial dalam penanganan bencana alam. Ironisnya, ASEAN selama ini telah melakukan banyak kerja sama dan latihan mitigasi bencana yang diperlukan.

Kasus Haiyan menunjukkan absennya inisiatif regional ASEAN. Sebagai sebuah komunitas regional, ASEAN terus abai, kurang peduli, dan cenderung lepas tanggung jawab atas masalah domestik yang dihadapi anggotanya. Karena itu, dipertanyakan, apa artinya kerja sama dan pelatihan mitigasi bencana selama ini yang telah banyak mengeluarkan biaya, termasuk yang didanai asing, dan berpindah tempat dilaksanakan negara anggotanya? Sementara, ASEAN sendiri sudah memiliki apa yang disebut sebagai ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Center), dengan berbagai kegiatan pelatihan di lapangan, yang telah berjalan selama ini. Dalam kasus topan Haiyan, tidak pernah ada laporan tentang koordinasi kegiatan pemberian bantuan oleh AHA Centre pada para korban bencana alam lewat AHA Centre ini. Kejadian ini bukan hanya menunjukkan persoalan buruknya penerapan komunikasi organisasi secara empirik para saat diperlukan, di antara negara anggota ASEAN. Tetapi, juga, soal lepas tanggung jawab dan undercapacity negara ASEAN yang memegang kendali kepemimpinan ASEAN sekarang ini. Absennya sentralitas kebijakan dan kepemimpinan

merupakan bukti lemahnya akuntabilitas kepemimpinan ASEAN. Ini tidak boleh terus terjadi, jika ASEAN ingin menjadi kuat di kawasan, dan disegani negara luar.

Inisiatif Singapura, negara kecil anggota ASEAN, dan juga Malaysia, yang cepat tanggap juga tidak lepas dari upaya menguji kemampuan militernya menghadapi tetangganya sesama anggota ASEAN, yang dalam beberapa hal tidak dapat mengubur perbedaan pendapat dan kepentingan, khususnya terkait klaim teritorial yang belum terselesaikan. Bagaimanapun, kecurigaan dalam ASEAN masih ada, sehingga kebijakan yang tampak tulus tidak bebas dari keinginan menyelidiki kemampuan pertahanan tetangga, yang dalam situasi damai belum tentu dapat diselidiki dan diuji langsung di lapangan. Pada saat terjadi bencana alam tsunami di Aceh pada Desember 2004, militer Singapura yang sangat modern dan canggih memiliki kesempatan leluasa memasuki wilayah teritorial Indonesia, atas nama operasi bantuan kemanusiaan. Sedangkan dalam bencana Haiyan, militer Malaysia dapat memasuki wilayah Filipina, tetangga ASEAN-nya yang memiliki masalah terkait gerakan separatis di Filipina Selatan (MNLF/MILF), dan juga di Sabah (Kesultanan Sulu).

Kepemimpinan, daya rekat, dan integrasi ASEAN akan terus diuji sampai realisasi Komunitas ASEAN 2015, apalagi terkait respons terhadap keamanan lingkungan. Dengan posisinya di wilayah cincin api, penduduk di kawasan Asia Tenggara yang melebihi setengah milyar jiwa ini akan selalu rawan menjadi korban bencana alam yang hebat. Karenanya, dibutuhkan sikap cepat tanggap ASEAN atas kondisi darurat bencana yang kompleks, untuk dapat menanganinya kemudian secara efektif. Tanpa kemampuan ini, ASEAN tidak akan berarti di hadapan negara luar kawasan, terutama negara-negara besar mitra dialognya. ASEAN hanya akan menjadi wilayah perebutan pengaruh untuk mendapatkan pasar ekonomi yang menggiurkan, akibat kondisi luas wilayah dan kepadatan penduduknya.

Situasi yang lebih buruk diperlihatkan Majelis Antar-Parlemen Negara Anggota ASEAN (AIPA), yang tampaknya bersikap

Page 8: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 8 -

tanpa aksi. Ini logis, sebab AIPA lebih sedikit kegiatannya dan lemah posisinya dibandingkan dengan ASEAN. Sekalipun statuta AIPA telah diamandeman beberapa tahun lalu, dalam kenyataannya, tidak ada usulan untuk segera digelar pertemuan AIPA, minimal tingkat subkomisi organisasi atau lingkungan hidup, untuk merespons bantuan ke Filipina. Masing-masing Grup Nasional belum memikirkan, apalagi mengambil langkah tentang apa yang harus dilakukan untuk membantu Filipina untuk dapat memulihkan diri dari bencana alam topan Haiyan yang telah mengakibatkan kerusakan berat itu.

D. Penutup

Dalam kasus bencana alam yang disebabkan topan dashyat Haiyan, absennya inisiatif dan peran ASEAN dalam masalah yang dihadapi negara anggotanya, yang bahkan juga termasuk salah satu negara pendirinya, tentu saja menambah ironi yang dihadapi ASEAN dewasa ini menjelang dua tahun perwujudannya sebagai sebuah komunitas kawasan. Sebelum ini, lemahnya sentralitas kepemimpinan ASEAN sudah banyak disampaikan. Namun, tampaknya, seperti juga perilaku ASEAN selama ini, tidak ada upaya evaluasi dan juga koreksi dari dalam tubuh organisasi perhimpunan kawasan yang akan segara menjelma menjadi sebuah komunitas kawasan pada tahun 2015.

Pengamat boleh kembali ke argumen teoritikal semula, bahwa ASEAN adalah ASEAN, ia harus dipahami dengan perspektif neo-konstruktifismenya, dengan budaya politiknya sendiri. Dengan kata lain, apa yang sedang dan telah diperlihatkan ASEAN dalam menghadapi bencana alam topan Haiyan di Filipina masih terkait dengan sikap the ASEAN way-nya, yang mesti dipahami dengan tepat, dan bukan dengan perspektif dan nilai Barat yang logis dan standar. Namun, mereka yang kritis, termasuk rakyat di kawasan tetap

menilai bahwa (konsep) ketahanan kembali dipertanyakan eksistensinya untuk bisa terus mengatasi masalah internalnya sendiri, terutama dalam kondisi darurat kompleks, yang membutuhkan solusi segera. Hal ini dikarenakan kelaparan, penyebaran penyakit dan kekecewaan yang berkembang di lapangan akibat bencana alam topan Haiyan, akan menambah tergganggunya stabilitas domestik Filipina, di luar masalah separatisme yang belum secara total teratasi yang dapat berimbas lebih luas ke stabilitas kawasan.

Rujukan:1. “Anak-anak Terpaksa Mengemis,” Kompas,

23 Nopember 2013.2. “AS Turunkan Skala Operasi Bantuan di

Filipina,” Kompas, 25 Nopember 2013.3. Bernabe, Riza. “Haiyan Devastation:

A Wake Up Call to Address Climate Change.” The Jakarta Post, 23 November 2013.

4. Caballero-Anthony, Gianna Gayle Amul dan Julius Trajano, “Typhoon Haiyan’s Aftermath: Testing Resilience in Complex Emergencies,” The Jakarta Post, 25 November 2013.

5. “Laporan Wartawan “Kompas” dari Filipina: Berjibaku Demi Informasi,” Kompas, 24 Nopember 2013.

6. “Jumlah Korban Mendekati 7.000 Orang,” Kompas, 24 Nopember 2013.

7. O’Keefe, Kate, “Business Fortune Upended,” The Asian Wall Street Journal, 25 November 2013.

8. “One Town Is Spared, but Not Its Cemetery,” The Asian Wall Street Journal, 25 November 2013.

9. “Politikus Filipina Dituding Eksploitasi Korban Haiyan,” Suara Pembaruan, 23-24 November 2013.

10. Te-Ping Chen, James T. Areddy and James Hookway, “Why Haiyan Became a Cala-mity,” The Asian Wall Street Journal, 25 November 2013.

Page 9: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 9 -

Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

KONFLIK PERBURUHANDAN GAGASAN SHAROUSHI

DI INDONESIADinar Wahyuni*)

Abstrak

Konflik perburuhan akan menjadi kendala bagi kemajuan ekonomi Indonesia. Buruh menuntut kenaikan upah, sementara pengusaha tidak bisa begitu saja menaikkan upah karena produktivitas buruh dipandang masih rendah. Karena itu diperlukan suatu lembaga mediasi yang akan mempertemukan kepentingan semua pihak. Sharoushi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu mediator untuk mengatasi konflik perburuhan di Indonesia. Selain itu, rezim buruh murah harus diakhiri melalui peningkatan produktivitas dan keahlian buruh.

A. Pendahuluan Konflik perburuhan merupakan isu

yang terus berulang. Setiap tahun, suhu politik perburuhan Indonesia memanas akibat perdebatan seputar upah. Seperti pada akhir Oktober 2013 lalu, puluhan ribu buruh menggelar aksi mogok serentak di seluruh kota/kabupaten di Indonesia. Selain menolak Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum, para buruh juga mengajukan perubahan kriteria Kebutuhan Hidup Layak (KLH) dari 60 menjadi 84 komponen. Dengan kriteria itu, buruh menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP). Di DKI Jakarta, misalnya, mereka meminta agar dinaikkan menjadi Rp3,7 per bulan tahun 2014. Sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur buruh

menuntut UMP Rp3 juta per bulan tahun 2014.

Tuntutan buruh didasari alasan bahwa upahnya belum dapat mengimbangi kenaikan harga kebutuhan pokok. Upah buruh di Indonesia memang tergolong rendah. Di antara negara Asia, upah buruh Indonesia hanya di atas Vietnam dan Kamboja yakni sebesar Rp2.200.000 untuk upah minimum tertinggi 2013 yang berlaku di Provinsi DKI Jakarta sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 189 Tahun 2012 tentang UMP 2013 dan upah minimum terendah 2013 sebesar Rp830.000 di daerah Wonogiri, Jawa Tengah. Sedangkan upah buruh tertinggi ada di negara Jepang dengan upah minimum tertinggi mencapai Rp21.263.618 dan terendah sebesar Rp16.386.009.

*) Peneliti bidang Sosiologi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR-RI, e-mail: [email protected]

Page 10: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 10 -

B. KonflikPerburuhandiIndonesia

Selama ini upah minimum regional (UMR) telah ditetapkan dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan upah minimum harus sesuai biaya KHL yang ditetapkan oleh berbagai unsur termasuk di dalamnya adalah pemerintah, pengusaha dan buruh. Sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan, maka jaminan dan penegakan hak-hak buruh dilakukan oleh negara. Negara yang menjalankan peran pengawasan dan menjadi ujung tombak pencegahan terjadinya pelanggaran hak-hak buruh.

Dalam kenyataan, buruh dan pengusaha selalu diposisikan saling berhadapan. Tidak adanya kesepakatan antara kedua pihak menimbulkan konflik yang terus berulang. Sebenarnya pengusaha tidak keberatan dengan kenaikan upah buruh apabila produktivitas buruh tinggi. Namun persoalannya, produktivitas buruh di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Banyak lulusan SMA maupun Perguruan Tinggi yang tidak mempunyai keahlian ketika memasuki dunia kerja. Keberadaan balai latihan kerja (BLK) baik yang dikelola pemerintah pusat maupun daerah juga belum sepenuhnya mampu mencetak tenaga kerja yang bisa diserap pasar. Selain itu, pengusaha dihadapkan pada ongkos produksi perusahaan yang tinggi.

Persoalan penetapan UMP serta upah minimum kabupaten/kota (UMK) juga tergerus oleh berbagai kebijakan pemerintah. Contoh, kenaikan UMP dan UMK yang diberlakukan untuk tahun ini, pada akhirnya tidak banyak membantu, karena pada bulan Juni 2013 lalu, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kondisi ini diperparah oleh laju inflasi tahunan yang juga memengaruhi harga barang.

Kondisi yang tertekan membuat buruh sadar atas hak-haknya dan melakukan unjuk rasa. Di Jawa Timur, buruh menginginkan kenaikan UMK 2014 minimal Rp3 juta sebagai harga mati. Sementara Asosiasi Pengusaha Indonesia dengan tegas menyatakan, Rp1,9 juta adalah harga mati upah buruh karena upah

minimum Jawa Timur tidak boleh melebihi upah minimum Jakarta.

Di Tangerang, pada tanggal 20 dan 25 November 2013, ratusan buruh melakukan aksi terkait UMK. Dalam SK Gubernur Banten, ditetapkan besaran UMK 2014 tujuh kabupaten/kota yakni Kabupaten Lebak Rp1.490.000, Kota Serang Rp2.166.000, Kabupaten Pandeglang Rp1.418.000, Kota Tangerang Selatan Rp2.442.000, Kabupaten Tangerang Rp2.442.000, Kota Cilegon Rp2.443.000, dan Kota Tangerang Rp2.444.301. Namun para buruh menolak angka tersebut

Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan tidak adanya kesepakatan antara buruh dan pengusaha dalam hal upah. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan belum mempunyai solusi tepat yang menguntungkan semua pihak. Ynag perlu didasari adalah bahwa konflik perburuhan pada akhirnya akan menjadi bahaya laten yang mengancam perekonomian nasional.

C. Konsep Sharoushi Konflik buruh dan pengusaha dalam

hubungan industrial tidak hanya terjadi di Indonesia. Jepang pernah mengalami unjuk rasa buruh secara besar-besaran pada tahun 1960–1970. Untuk mengatasinya, pemerintah, pengusaha, dan perwakilan pekerja di Jepang duduk satu meja untuk mendirikan sebuah lembaga konsultan yang berdiri di tengah-tengah antara pengusaha, pekerja dan pemerintah. Lembaga konsultasi ini kemudian dikenal dengan Japan Federation Labor and Security Attorney atau Shakai Hoken Roumushi (Sharoushi). Dalam perkembangannya keberadaan Sharoushi sangat membantu dalam penyelesaian masalah perburuhan.

Sharoushi mempunyai misi melakukan pembinaan industri yang didukung kondisi kerja yang baik dengan pengawasan oleh Sharoushi, serta memelihara kesejahteraan pekerja dan kondisi kerja yang layak bagi seluruh pekerja. Ada dua tipe Sharoushi, pertama, Sharoushi mandiri yang bertugas menjalankan kantor secara mandiri. Kedua, Sharoushi internal yang bekerja untuk entitas luar sebagai spesialis bagi perusahaan, kantor pemerintah dan entitas lain.

Page 11: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 11 -

Sharoushi bertugas dalam administrasi hukum, yaitu menjalankan prosedur jaminan sosial. Selain itu, Sharoushi membuat laporan hukum atau dokumen hukum yang dibutuhkan kepada Kementerian Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan. Tugas lainnya adalah melakukan konsultasi industri atau perusahaan untuk menjaga kondisi kerja yang layak bagi klien perusahaan yang kurang memahami bagaimana memenuhi standar perburuhan dengan seksama. Sharoushi juga menyiapkan kebijakan peraturan kerja perusahaan seperti menghasilkan aturan tertulis perusahaan serta menghadiri inspeksi pemerintah ke klien perusahaan dan melakukan advokasi atas nama mereka.

Sharoushi menangani konflik antara pengusaha dan pekerja. Sharoushi akan memberikan konsultasi bagi perusahaan dan serikat buruh untuk bernegosiasi serta ikut menghadiri perundingan bersama sebagai penasihat. Sementara dari sisi pekerja, Sharoushi memberikan konseling hukum tentang isu ketenagakerjaan kepada pekerja seperti menyampaikan aplikasi asuransi komponen kompensasi kecelakaan kerja buruh dan mewakili pihak pekerja dalam Resolusi Perselisihan Alternatif.

Keberadaan Sharoushi menguntungkan berbagai pihak terkait. Di kalangan pemerintah, sistem jaminan sosial meluas sesuai dengan kebijakan pemerintah melalui praktik Sharoushi. Selain itu, terbina kesadaran untuk menjaga kondisi kerja yang layak dan penegakan hukum di antara perusahaan, mendorong perusahaan menyesuaikan diri dengan UU Pengumpulan Premi Asuransi dan menurunkan konflik perburuhan.

Bagi perusahaan, Sharoushi melengkapi kurangnya pengetahuan dan praktik tentang hukum dan administrasi ketenagakerjaan yang kompleks. Dengan pengetahuan hukum dan administrasi ketenagakerjaan yang dimiliki pengusaha dan pekerja, akan mengurangi potensi konflik perburuhan. Di kalangan pekerja, Sharoushi memberikan nasihat praktis dan memperoses asuransi umum berkaitan dengan proses administrasi seperti klaim pensiun atas nama pekerja. Keberadaan Sharoushi akan menciptakan kondisi kerja yang layak bagi pekerja. Dengan demikian Sharoushi

berkontribusi kepada tiga pihak, yakni pekerja, perusahaan, dan pemerintah.

D. Prospek Sharoushi di IndonesiaSharoushi sebagai sistem legal profesional

Jepang cocok diterapkan di Indonesia karena orang Indonesia menghargai ide musyawarah dan keharmonisan dalam kelompok. Lembaga sejenis Sharoushi sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak tahun 2006, menyusul dibentuknya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang ini mengamanatkan pihak yang bersengketa, yakni buruh dan pengusaha bisa menyelesaikan permasalahan perburuhan tanpa melalui Peradilan Hubungan Industrial, tetapi melalui lembaga arbitrase atau lembaga konsiliasi. Lembaga ini diduduki oleh pakar dalam bidang perburuhan dan hubungan industrial. UU Ketenagakerjaan juga telah mencantumkan pasal mengenai pembentukan lembaga kerjasama (LKS) baik bipartit maupun tripartit. Suatu perusahaan dengan lebih 50 karyawan diwajibkan membentuk komite kerjasama bipartit yang berfungsi sebagai forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah untuk memecahkan masalah-masalah ketenagakerjaan di perusahaan. Masalah hubungan industrial di tingkat bipartit, yakni antara pengusaha dan pekerja yang tidak menemukan titik temu akan dibantu penyelesaiannya oleh lembaga kerja sama tripartit nasional. Tripartit terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu pekerja, pengusaha dan pemerintah. Lembaga tripartit tidak hanya bekerja untuk menyelesaikan permasalahan perburuhan. Tripartit juga membangun hubungan industrial yang kondusif, secara makro mendorong dunia usaha, mendorong terciptanya kesejahteraan pekerja, dan mendorong usahawan serta investasi baru.

Namun persoalannya, keberadaan lembaga bipartit dan tripartit masih belum efektif. Sebagian besar perusahaan tidak memenuhi kewajibannya untuk membentuk lembaga bipartit. Undang-undang yang berlaku belum menerapkan sanksi tegas bagi perusahaan yang melanggar ketentuan di dalamnya. Akibatnya, komunikasi antara pekerja dan pengusaha dalam masalah industrial terhambat. Lembaga tripartit juga masih belum dimanfaatkan secara efektif.

Page 12: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 12 -

Oleh karena itu, pemerintah harus mulai mengefektifkan kembali lembaga bipartit dan tripartit sesuai dengan perannya. Diperlukan komitmen yang kuat dari masing-masing pihak untuk memanfaatkan lembaga bipartit dan tripartit terutama dalam menyelesaikan masalah perburuhan.

Terkait upah buruh, lembaga tripartit yang diwakili Dewan Pengupahan sudah berupaya mencari solusi yang tepat. Namun, sampai saat ini belum ada titik temu antara pekerja dan pengusaha. Besaran nilai UMP/UMK masih menjadi perdebatan yang terus memunculkan aksi-aksi buruh. Pemerintah tidak bisa terus-menerus menjadikan upah murah sebagai keunggulan komparatif. Sudah saatnya kita masuk pada keunggulan kompetitif, yakni produktivitas kerja dan daya inovatif.

Mengakhiri rezim upah buruh murah tidak dengan serta-merta menuruti keinginan kaum buruh karena hal ini mengabaikan bottom line dari penetapan upah, yakni kondisi perusahaan. Buruh harus menyadari bahwa perusahaan bisa memberi upah maksimal, jika output yang dihasilkan juga maksimal. Kondisi ini bisa terjadi apabila produktivitas seluruh faktor produksi terutama faktor buruh cukup tinggi. Sementara ongkos produksi dapat ditekan apabila pemerintah mengupayakan biaya listrik murah, suku bunga bank rendah, tidak ada pungutan serta infrastruktur yang terbangun.

Produktivitas yang tinggi menuntut syarat adanya keterampilan dan keahlian yang memadai, di samping juga etos kerja profesional di dalam diri buruh. BLK baik yang dikelola pemerintah pusat maupun daerah harus dimaksimalkan sehingga mencetak tenaga kerja yang bisa diserap pasar kerja. Pemerintah juga dapat memfasilitasi pelatihan atau kursus bagi buruh untuk meningkatkan produktivitasnya.

E. Penutup Persoalan perburuhan tidak bisa

dibiarkan terus berlanjut tanpa sebuah solusi. Keberadaan lembaga sejenis Sharoushi, yakni LKS Bipartit dan Tripartit harus dimanfaatkan secara maksimal dalam menyelesaikan masalah perburuhan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah dalam membentuk lembaga

tripartit yang benar-benar representatif untuk meningkatkan dialog dan kerjasama sosial dalam hubungan industrial. Di tingkat internal perusahaan, pemerintah harus mendorong penguatan kelembagaan bipartit sehingga antara pekerja dan pengusaha terdapat keterbukaan komunikasi dan informasi. Sedangkan buruh harus mulai meningkatkan produktivitasnya melalui pelatihan dan kursus. Angkatan kerja juga dapat memanfaatkan BLK untuk meningkatkan keahlian dan ketrampilannya sehingga tercipta tenaga kerja yang terampil dan siap bersaing di dunia kerja.

DPR-RI dapat berperan sebagai pengawas kebijakan pemerintah dalam hal ketenagakerjaan sesuai dengan fungsinya. Selain itu, DPR-RI perlu menginisiasi perubahan terhadap UU Ketenagakerjaan yang akan mengakomodir semua pihak sehingga dapat memajukan iklim dunia usaha.

Rujukan: 1. “Bahaya Laten Upah Buruh Murah,” Suara

Pembaruan, 11 November 2013.2. “Kebebasan Berserikat dan Perundingan

Bersama,” http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/asia/ro-bangkok/ilo-jakarta/documents/publication/wcms_141897.pdf, diakses 26 November 2013.

3. “Lembaga Tripartit, Mediasi Masalah Buntu,” http://log.viva.co.id/news/read/ 51061-lembaga_tripartit_mediasi_masalah_buntu, diakses 25 November 2013.

4. “Masalah Upah dan PHK, Konflik Buruh vs Pengusaha yang Tak Kunjung Usai,” http://www.tribunnews.com/regional/2013/11/06, diakses 24 November 2013.

5. “Sistem Pengupahan Direvisi, Hindari Konflik Buruh dan Pengusaha,” http://news.liputan6.com/read/734761, diakses 24 November 2013.

6. “Sharoushi Atasi Masalah Buruh,” Suara Pembaruan, 11 November 2013.

7. “Tinggalkan Rezim Upah Buruh Murah, Pemerintah Harus Genjot Produktivitas Buruh,” Suara Pembaruan, 11 November 2013.

Page 13: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 13 -

Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

E KO N O M I DA N K E B I J A K A N P U B L I K

KEBIJAKAN DANA OPTIMALISASI DALAM APBN TAHUN

ANGGARAN 2014Juli Panglima Saragih*)

Abstrak

Dana Optimalisasi merupakan instrumen kebijakan fiskal dalam anggaran negara guna mendorong pembangunan di daerah. Dana Optimalisasi Tahun Anggaran 2014 merupakan tambahan dana untuk beberapa kementerian/lembaga yang membutuhkan dana untuk menunjang operasional pembangunan sesuai tupoksi, program, dan proyek yang diusulkan oleh kementerian/lembaga masing-masing. Oleh karena itu, Dana Optimalisasi bukan merupakan pos anggaran tersendiri seperti halnya Dana Otonomi dan Dana Penyesuaian yang setiap tahun dianggarkan dalam APBN. Sama dengan prinsip anggaran negara, penggunaan dana ini harus transparan dan akuntabel serta harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, BPK dan KPK perlu mengawasi penggunaan Dana Optimalisasi Tahun Anggaran 2014.

A. Pendahuluan

Pemerintah dan DPR-RI telah menyepakati alokasi anggaran Dana Optimalisasi dalam APBN Tahun Anggaran 2014 sebesar Rp27 triliun. Dana Optimalisasi Tahun Anggaran 2014 terdistribusi dalam anggaran belanja kementerian dan lembaga pemerintah. Dana ini berbeda dengan (Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID)) tahun sebelumnya yang dialokasikan untuk daerah dan dimasukkan ke dalam APBD.

Dana Optimalisasi Tahun Anggaran 2014 untuk tambahan belanja bagi beberapa

kementerian/lembaga (K/L) pemerintah dianggarkan sebesar Rp27 triliun. Angka ini tergolong besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar Rp11–13 triliun. Dana Optimalisasi Tahun Anggaran 2014 diperoleh dari penghematan subsidi listrik Rp11,18 triliun, tambahan belanja hasil panja asumsi Rp12,74 triliun, dan tambahan panja hasil panja belanja pemerintah Rp3,04 triliun.Dengan adanya Dana Optimalisasi ini, maka anggaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2014 menjadi sebesar Rp1.249,9 triliun, meningkat dari RAPBN Tahun 2014 sebesar Rp1.230,3 triliun.

*) Peneliti bidang Ekonomi Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR-RI, e-mail: [email protected]

Page 14: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 14 -

B. Urgensi Kebijakan Dana Optimalisasi Tahun Anggaran 2014

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan agar Dana Optimalisasi yang merupakan bagian dari APBN 2014 dijaga, terutama penggunaan dan akuntabilitasnya. Presiden tidak menginginkan ada masalah yang muncul di kemudian hari yang disebabkan oleh Dana Optimalisasi tersebut. Presiden menegaskan K/L yang merasa mendapatkan anggaran baru yang berasal dari Dana Optimalisasi agar dijaga governance dan akuntabilitasnya agar tidak muncul masalah baru. Melihat pengalaman lalu, Dana Optimalisasi memunculkan masalah baru, yaitu penggunaannya tidak semestinya sehingga menyeret para pejabat di jajaran pemerintahan dan anggota legislatif. Presiden meminta agar Dana Optimalisasi itu diamankan dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Presiden meminta Menteri Keuangan memaparkan penggunaan Dana Optimalisasi dalam APBN 2014. Program K/L yang dilakukan dengan menggunakan Dana Optimalisasi harus sesuai dengan prioritas dan agenda pemerintah yang tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah hingga APBN Tahun Anggaran 2014.

Menteri keuangan mengungkapkan, alokasi Dana Optimalisasi diperuntukkan pada program-program yang diajukan oleh setiap K/L. Besarannya sesuai dengan usulan program yang diajukan Kemudian program tersebut dibahas oleh K/L dengan masing-masing komisi terkait di DPR-RI. Kemudian hasil keputusan dalam komisi tersebut dibahas kembali oleh K/L dengan Kementerian Keuangan dan Bappenas. Namun Kementerian Keuangan hanya mengecek kelengkapan dokumen program tersebut. M. Chatib Basri menyebutkan kelengkapan utama yakni dokumen resmi pihak yang bertanggung jawab atas realisasi dana itu. Menteri Keuangan tidak menyebutkan dapat merevisi anggaran dari program tersebut.

Dari aspek mekanisme dan prosedur, tidak ada masalah dalam proses penganggaran terhadap Dana Optimalisasi Tahun Anggaran 2104, karena semua proses penganggaran APBN harus melalui persetujuan DPR-RI

dalam hal ini Badan Anggaran DPR-RI sebagai alat kelengkapan yang membahas secara detail mengenai anggaran negara. Dalam APBN Tahun Anggaran 2013 yang sedang berjalan, terdapat 28 kementerian dan 58 lembaga negara/lembaga pemerintah non-kementerian. Dari jumlah tersebut, 10 K/L mendapatkan anggaran belanja terbesar yakni: Kementerian Pertahanan Rp83,528 triliun; Kementerian PU Rp83,328 triliun; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp79,707 triliun; Kementerian Perhubungan Rp35,269 triliun; Kementerian Agama Rp45,419 triliun; Kementerian Kesehatan Rp36,592 triliun; Kepolisian RI Rp47,109 triliun; Kementerian Sosial Rp16 triliun; Kementerian Keuangan Rp18,831 triliun; Kementerian ESDM Rp17,371 triliun dan Kementerian Pertanian Rp16,380 triliun.

Kemenhan memperoleh Dana Optimalisasi sekitar Rp670 miliar. Sesuai permintaan Mabes TNI dan Panglima TNI, Dana Optimalisasi sebesar itu antara lain dimanfaatkan bagi pengadaan alat komunikasi (alkom) untuk tiga matra TNI dan peralatan selam. Komisi I DPR-RI juga akan mendukung penggunaan dana optimalisasi itu untuk pengadaan dan peremajaan kendaraan operasional bagi prajurit TNI dalam melaksanakan tugas hariannya.

Laoly, Anggota DPR-RI menekankan pentingnya Dana Optimalisasi ini untuk memajukan daerah, terutama daerah-daerah tertinggal dan daerah miskin. Penambahan jumlah anggaran optimalisasi ini terutama difokuskan untuk pembenahan infrastruktur yang selama ini menjadi masalah di daerah-daerah.

C. Respons atas Kebijakan Dana Optimalisasi

Kebijakan Dana Optimalisasi ini mendapat respons beragam dari beberapa pemangku kepentingan, seperti KPK dan BPK. Zulkarnaen dari KPK mencurigai pengucuran Dana Optimalisasi sebesar Rp27 triliun itu terkait kebutuhan dana untuk Pemilu 2014. Mengapa di akhir tahun ada dana optimalisasi? Untuk lembaga mana? Siapa yang mengusulkan? Untuk keperluan apa?

Page 15: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 15 -

Jangan-jangan karena menjelang Pemilu 2014. Zulkarnaen mengaku telah menelusuri asal-usul proyek itu ke Kementerian Keuangan dan Bappenas, tetapi jawabannya dinilai normatif. Terus terang, Dana Optimalisasi bertentangan dengan upaya pencegahan korupsi. KPK akan terus mengawasi penggunaan dana yang luar biasa besarnya itu.

Sementara, Ketua BPK Hadi Poernomo pun khawatir Dana Optimalisasi yang membengkak akan dimanfaatkan untuk Pemilu 2014. Pihaknya akan mencermati penggunaan dana tersebut. Saat ini BPK sedang menyiapkan sistem, agar uang-uang itu tidak diselewengkan. Selain Dana Optimalisasi, BPK juga mencermati anggaran di K/L negara, pemerintah daerah, sampai badan usaha milik negara (BUMN). Langkah yang sudah dilakukan ialah meminta Menteri BUMN Dahlan Iskan agar proyek-proyek BUMN tidak menggunakan uang tunai. Para pengelola keuangan negara, juga harus memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Menurut Anggota Banggar DPR-RI dari Fraksi PDIP, Dolfie OF Palit, distribusi Dana Optimalisasi dilakukan terbuka dan dihadiri para Anggota Banggar DPR-RI. Penentuan proyeknya juga berdasarkan kriteria pemerintah. Kementerian Pekerjaan Umum mendapatkan anggaran paling besar, Rp9 triliun.

Sorotan publik atas Dana Optimalisasi Tahun Anggaran 2014 membuat Kemenkeu dan Bappenas menelaah kembali Rencana Kerja dan Anggaran K/L (RKA-KL) Tahun 2014 yang mendapatkan dana tersebut. Bappenas akan menelaah dengan melakukan pengecekan output dan kesesuaian dengan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2014 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 39 Tahun 2013.

Meskipun Banggar DPR-RI yang mengatur distribusi anggaran, program dan proyek yang mendapatkan Dana Optimalisasi Tahun Anggaran 2014 harus sesuai dengan program prioritas. Pemerintah menyatakan, Dana Optimalisasi idealnya dipergunakan untuk proyek atau program Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang belum tercapai.

600.000

500.000

400.000

300.000

200.000

100.000

0

Rp3

66,1

34 T

Rp4

61,5

08 T

Rp5

08,3

59 T

Rp6

22,0

08 T

Rp6

12,6

52 T

2010 2011 2012 2013 2014

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Armida Salsiah Alisjahbana, dana tersebut seharusnya bisa meminimalisasi tidak tercapainya target pemerintah.

Ekonom PT. Samuel Sekuritas, Lana Sulistyaningsih mengatakan, usaha Dana Optimalisasi untuk pembiayaan infrastruktur dinilai cukup tepat. Kendati demikian, dia menilai kinerja penyerapan belanja infrastruktur pemerintah masih rendah. Dana Optimalisasi adalah dana lebih dari anggaran program pemerintah karena berhasil melakukan penghematan. Jika ditemukan instansi atau seseorang yang mencoba menyelewengkannya maka akan ditindak tegas. Menurut mantan Menteri Keuangan, Agus D. W. Martowardoyo, pemilihan proyek yang diajukan untuk mendapat kucuran Dana Optimalisasi akan dipilih secara selektif. Pemilihannya pun harus melalui diskusi antara Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, dan kementerian terkait.

GrafikPerkembanganBelanjaKementerian/Lembaga Tahun

Anggaran 2010–2014

Ket: RAPBN Tahun 2014.Sumber: RAPBN Tahun 2014 dan APBN Tahun

Anggaran 2014

Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan Dana Optimalisasi yang diusulkan oleh DPR-RI, perlu dilakukan pengawasan baik oleh DPR-RI maupun KPK. BPK juga telah menegaskan akan mengikuti perkembangan penggunaan Dana Optimalisasi ini dalam pelaksanaannya. Sorotan masyarakat atas Dana Optimalisasi adalah adanya transparansi

Page 16: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 16 -

dan akuntabilitas pemanfaatannya, sebab Dana Optimalisasi jumlahnya tidak sedikit. Hal yang dikhawatirkan adalah timbulnya permasalahan terkait anggaran DPID tahun-tahun sebelumnya.

D. Penutup

Pengawasan terhadap Dana Optimalisasi sebagai bagian dari APBN dapat dilakukan oleh pengawasan internal K/L dan DPR-RI. Tetapi hal yang sangat penting adalah audit BPK dan pengawasan serta penyelidikan yang dilakukan oleh KPK. BPK dan KPK merupakan institusi yang diamanatkan oleh UUD Negara RI dan undang-undang dalam mengawasi dan memeriksa pertanggungjawaban keuangan negara. BPK berwenang mengaudit pelaksanaan APBN pada K/L dan menyerahkan hasil audit tersebut kepada DPR-RI untuk ditindaklanjuti. Diharapkan, Dana Optimalisasi Tahun Anggaran 2014 bermanfaat untuk masyarakat banyak dan dapat dipertanggungjawabkan ke publik.

Rujukan:1. APBN Perubahan Tahun Anggaran 2013.2. “Alokasi Dana APBN 2014 Ekstra Hati-

Hati,” http://dutaonline.com/16/11/2013/, diakses 25 November 2013.

3. “APBN Tahun Anggaran 2014,” http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-, diakses 25 November 2013.

4. “Audit Dana Optimalisasi,” http://www.bpk.go.id/web/?p=15517, diakses 25 November 2013.

5. “Dana Optimalisasi Perlu Pengawasan,” Media Indonesia, 21 November 2014.

6. “Dana Optimalisasi Untuk Proyek RPJMN,” http://www.indonesiafinancetoday.com/read/54399, diakses 25 November 2013.

7. “Dana Optimalisasi, Politik Keamanan,” http://www.jurnas.com/news, diakses 25 November 2013.

8. “Dana Optimalisasi Tahun 2104,” http://www.republika.co.id, diakses 25 November 2013.

9. “Kelola Dana Optimalisasi Kedepankan Transparansi dan Akuntabilitas,” http//:www.kemenkeu.go.id/berita, diakses 25 November 2013.

10. “KPK Diminta Perketat Pengawasan Penggunaan Dana Optimalisasi,” http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/15/2/194926/, diakses 25 November 2013.

11. “Presiden Ingatkan Penggunaan Dana APBN Tidak Munculkan Masalah Baru,” http://jaringnews.com/politik-peristiwa/kabar-istana/51668, diakses 25 November 2013.

12. Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2014.13. RAPBN Tahun Anggaran 2014.14. “SBY Ingatkan Dana Optimalisasi,” http://

www.indonesiaheadlines.com, diakses 25 November 2013.

15. “SBY Teken RAPBN 2014 Jadi APBN 2014,” http://www.waspada.c o . i d / i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _content&view=ar t ic le&id=306934. &catid=18:bisnis&Itemid=95, diakses 25 November 2013.

Page 17: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 17 -

Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

P E M E R I N TA H A N D A L A M N E G E R I

DPT DAN PARTISIPASI POLITIK

PEMILU 2014Prayudi*)

Abstrak

Proses penetapan DPT menjadi tahapan yang krusial dalam penyelenggaraan pemilu. Tahapan ini sering kali tidak saja mengundang keraguan atas akurasi basis datanya, tetapi juga dianggap mudah dimanipulasi secara politis dalam rangka memenangkan pihak tertentu. Rangkaian ketat waktu tahapan pemilu yang diselenggarakan, baik dalam lingkup pemilu anggota legislatif, pemilu presiden, maupun pilkada, membuat KPU harus bekerja ekstra keras dan berpacu dengan waktu menyelesaikan tugasnya dalam proses penetapan DPT. Pada titik kerja simultan yang demikian, justru kelemahan secara kelembagaan muncul sehingga menyebabkan DPT menjadi tidak sinkron dengan gambaran sesungguhnya dari partisipasi politik masyarakat yang menggunakan hak pilihnya saat pemilu.

A. Pendahuluan

Persoalan daftar pemilih tetap (DPT) menjadi rawan bagi kualitas penyelenggaraan Pemilu 2014. Padahal, menurut Andre Siegfried (1913), selain faktor politis terkait indikator-indikator kelembagaan pemilu, penting juga diperhatikan mengenai faktor geografis dan demografi terhadap pemilu, seperti jumlah dan distribusi penduduk. Dari sudut partisipasi politik, DPT merupakan instrumen yang membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam pemilu yaitu ketika memperlakukan hak pilihnya. Hal ini terlepas apakah nantinya ia sengaja menggunakan atau sebaliknya, bersikap

apatis, dan tidak menggunakan terhadap perlakuan hak pilihnya itu.

Di samping sebagai persoalan teknis, kerawanan DPT yang diakui ada, juga tidak terlepas dari karakteristik politik Indonesia yang sangat tinggi kecurigaannya atau cermin dari kepercayaan publik yang rendah. Kecurigaan tersebut salah satu di antaranya adalah sinyelemen yang terungkap dari nota protes Partai Gerindra, mengenai isu 3,7 juta kasus pemilih ganda di 17 kabupaten/kota. Saat ditetapkan pada 4 November 2013, KPU menetapkan DPT sebanyak 186.612.255 orang pemilih. Dari jumlah tersebut, untuk daftar pemilih dalam negeri di 33 provinsi, 477

*) Peneliti bidang Politik Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR-RI, e-mail: [email protected]

Page 18: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 18 -

kabupaten/kota, terdapat 93.439.610 pemilih laki-laki dan 93.172.645 pemilih perempuan.

B. Pokok Persoalan

Pada kasus DPT pula, PDI Perjuangan pernah menduga terkait jumlah kecamatan, desa, dan TPS dalam berita acara DPT yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang tercantum dalam SK No. 630/Kpts/KPU tahun 2013. Dalam SK No. 630/Kpts/KPU tahun 2013 yang menjadi pedoman alokasi anggaran dan logistik disebutkan adanya 81.458 desa/kelurahan. Padahal, dalam Berita Acara (BA) DPT, tercatat hanya 81.034 desa/kelurahan. Jumlah kecamatan juga dianggap berkurang dari 6.994 kecamatan di SK KPU tersebut, menjadi 6.980 kecamatan sebagaimana tercantum dalam BA-DPT.

Pokok persoalan DPT muncul dalam Pemilu 2014, menurut mantan Wakil Ketua KPU 2001-2007, Ramlan Surbakti, setidaknya karena adanya tiga faktor.

Pertama, adalah faktor kelemahan KPU menggerakkan Pantarlih (Panitia Pendaftaran Pemilih) untuk mencocokan antara draf DPS dan data penduduk dengan mendatangi setiap rumah di RT/RW atau nama lain. Kedua, adalah faktor yang berkaitan dengan ketidaksiapan sejumlah KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Dan ketiga, masa jabatan anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang akan berakhir (kurang dari setahun sebelum Pemilu 2014).

Untuk faktor yang berkaitan dengan ketidaksiapan KPU, ada dua hal yang menjadi perhatian. Pertama, tidak semua KPU Kabupaten/Kota memiliki sarana teknologi untuk mampu mengolah data pemilih (misalnya perangkat lunak komputer yang dimiliki sejumlah daerah hanya mampu menampung data identitas sebanyak 15 digit, sedangkan data pemilih yang harus dientri dan diolah mencapai 16 digit). Kedua, sejumlah KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak memiliki tenaga terlatih untuk menggunakan teknologi informasi guna mengolah data pemilih.

C. Kecurigaan atas DPT di Tengah Harapan Program E-KTP

Mantan anggota KPU 2001–2007, Chusnul Mariyah mengingatkan, data penduduk yang menjadi basis penentuan daftar pemilih Pemilu 2014 sangat rawan dan potensial dimanfaatkan secara politis oleh partai tertentu. Disebutkannya, ada 20 kabupaten/kota yang pertumbuhan penduduknya sangat tidak lazim, yaitu di atas enam persen. Dalam melihat data tersebut, jangan dilihat agregat per provinsi, tetapi harus dilihat di tingkat per kabupaten/kota, karena di sinilah akan dijumpai berbagai keganjilan. Bahkan, ada kabupaten tertentu yang jumlah penduduknya dikurangi karena dianggap sebagai basis pendukung lawan politik. Sebaliknya, ada pula kabupaten yang ditambah jumlahnya, karena diduga sebagai basis pendukung partai politik penguasa. Pertanyaannya, apakah benar terdapat korelasi antara dinamika dalam data kependudukan dimaksud dengan basis konstituen dari partai tertentu?

Mendagri Gamawan Fauzi mengaku telah mengirim surat kepada seluruh kepala daerah di tanah air untuk membantu mengatasi masalah DPT. Surat itu, terutama, ditujukan kepada dinas Dukcapil di daerah-daerah agar membantu KPUD. Perubahan data kependudukan mulai dari tahap Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2), Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), sampai tahap DPS, dan DPSHP, hingga DPT, dilakukan oleh masing-masing institusi yang berbeda, yaitu pemerintah pusat (terutama Kemdagri) dan daerah, hingga jajaran KPU.

Potensi terdokumentasinya data yang tidak akurat dan tidak sinkron cenderung tetap tinggi, karena rentang tanggung jawab kelembagaan yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Belum lagi menghitung dinamika kependudukan yang tinggi dalam rentang waktu sejak tahun 2009, hingga 2012. Ini sesuai rentang waktu yang digariskan dalam Pasal 32 ayat (2) di UU No. 8 Tahun 2012, yaitu kewajiban bagi pemerintah menyerahkan DAK2, DP4, kepada KPU dan jajarannya

Page 19: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 19 -

paling lambat 16 bulan sebelum pemilu. Adapun data kependudukan dan DP4 telah diserahkan Kemdagri kepada KPU, pada bulan Desember 2012. Meskipun KPU sudah mengembangkan Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), tetapi koneksinya yang lepas dari Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK) Kemdagri, menyebabkan persoalan akurasi dan ketidaksinkronan data tetap terjadi.

Di masa sebelumnya, pernah dikembangkan program P4B (Pendataan Penduduk Pendaftaran Pemilih Berkelanjutan) pada tahun 2003, yang menjadi basis data kependudukan dari BPS. Data ini digunakan sebagai sarana proses pemutakhirannya menjadi data pemilih Pemilu 2004 oleh KPU saat itu. Sedangkan, menghadapi Pemilu 2009 dan 2014 ini, basis data kependudukan bertumpu pada Kemdagri. Bahkan, Kemendagri pada tahun 2011 meluncurkan program e-KTP, dengan niat membenahi sistem pendataan dari KTP konvensial ke electronic KTP. Fungsi e-KTP ini sebagai bentuk efesiensi dan menghindarkan dari adanya orang memiliki lebih dari satu KTP. Dengan basis data e-KTP, pemerintah seolah-olah yakin akan memperoleh data yang valid tentang jumlah penduduk yang terdata memegang KTP.

Dari fungsinya, e-KTP praktis akan melakukan pendataan ulang terhadap penduduk Indonesia guna memperoleh validasi akurat tentang data penduduk pemegang KTP, yang kepada KPU lengkap dengan NIK sebagai identitas sah data pemegang e-KTP. Kemendagri mengklaim telah menyerahkan data kependudukan yang berjumlah 190 juta jiwa yang tersebar di Kecamatan/Kota kepada KPU sebagai bahan dalam pendataan dan penetapan DPT untuk Pemilu 2014. Program yang bertujuan untuk memvalidasi data yang berhak mendapatkan KTP, seharusnya menjadikan awal perbaikan data DPT. Tapi kenyataannya, program Kemendagri senilai Rp6 triliun ini tidak sesuai dengan harapan sebagai solusi masalah bagi pendataan kependudukan.

D. DPT dan Partisipasi Politik dalam Pemilu

Selama ini, partisipasi politik dalam pemilu di era reformasi, yaitu dalam konteks penggunaan hak suara masyarakat di saat pemungutan suara, mengalami penurunan persentasenya yang konsisten. Tingkat partisipasi pada pemilu anggota legislatif tahun 1999 misalnya, sebesar 92,6 persen, kemudian pada Pemilu 2004, tingkat partisipasi itu turun menjadi 84,1 persen, dan bahkan selanjutnya, anjlok pada saat pemilu 2009 menjadi 70,9 persen.

Menjelang Pemilu 2014, KPU melalui langkah-langkah sosialisasi pemilu yang sudah dilakukan, menargetkan partisipasi pemilih sebesar 75 persen. Sehubungan target ini, yang penting dicatat bahwa indikator klasik dalam demokrasi yang berkualitas, adalah voters turn out, dan hal ini dianggap menjadi ukuran popular legitimacy. Tetapi di sisi lain, salah satu penyebab utama penurunan ini, di samping tingkat kepercayaan yang rendah dari masyarakat kepada partai politik, juga tidak terlepas dari pengaruh kondisi dokumentasi DPT yang tidak baik.

Voters turn out diukur dari seberapa riil penduduk yang berhak memilih terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu tersebut. KPU dituntut untuk berusaha seoptimal mungkin untuk mendapatkan data warga negara yang memiliki hak pilih dan terdaftar. Regulasi pemilu hanya menyatakan pemilih mendaftar, yang artinya merupakan hak atau tidak bersifat wajib. Artinya menghadapi Pemilu 2014 ini, berdasarkan basis data kependudukan untuk diolah menjadi data pemilih,KPU harus mampu mengolahnya secara akurat agar gambaran partisipasi politik dalam pemilu bersifat lebih menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan masih tingginya budaya politik subjek (berupa kepatuhan pada sistem politik) hingga saat ini, masyarakat akan enggan dalam menggunakan hak pilihnya, ketika namanya tidak tercantum dalam DPT.

Page 20: Vol. V, No. 22/II/P3DI/November/2013

- 20 -

Dinamika tinggi politik lebih bergerak di kawasan perkotaan dekat pusat pemerintahan, dibandingkan dengan masyarakat luas di pelosok yang mayoritas masih mengandalkan kepatuhan bagi patron kepemimpinan secara personal. Sehingga, meskipun UU Pemilu dan aturan KPU membuka peluang bagi mereka yang tidak terdaftar dalam DPT untuk tetap dapat menggunakan hak pilihnya saat tahapan pemungutan suara, masyarakat tetap akan enggan menggunakan hak pilihnya tersebut. Hal ini artinya partisipasi politik secara otonom terkendala sebagai konsekuensi pendataan DPT yang tidak akurat justru terjadi dalam sistem politik yang demokratis. Bandingkan saat pendataan pemilih pada masa rezim Orde Baru yang dijalankan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) di bawah Depdagri saat itu, yang justru menghasilkan mobilisasi pemilih hingga mencapai angka partisipasi politik pemilu di atas 90 persen.

E. Penutup

Kontroversi politik terkait DPT tidak terlepas dari basis data kependudukan yang masih berantakan. Di samping tidak valid secara teknis, basis data kependudukan yang ada sangat mudah mengundang kecurigaan atas manipulasi bagi kepentingan politik tertentu yang dapat merusak legitimasi atas hasil dari pemilu. Di samping diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara pemerintah baik pusat, maupun daerah, Bawaslu, dengan jajaran KPU di setiap tingkatan, juga penting hadirnya partisipasi masyarakat dan bahkan dari partai-partai politik peserta pemilu dalam mengawasi dan memberikan masukan secara kritis bagi proses perbaikan data pemilih. Keterlibatan partai politik dapat melalui DPR-RI melalui Panja terkait DPT yang mengawasi secara intensif validasi data pemilih di lapangan.

Secara teknis, harus diperkuat koneksi antara pendataan dalam Sidalih dan SIAK yang ada. Saling sinergi antarproses pengembangan basis data pemilih yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik ini, menjadi awal yang baik bagi dorongan partisipasi politik rakyat saat menggunakan hak suaranya dalam pemilu secara lebih substantif. Tanpa kemampuan membangun sinergi dalam proses penyusunan DPT, maka partisipasi politik dalam pemilu hanya sekadar deretan angka-angka yang tidak mencerminkan makna politik bagi kedaulatan rakyat dalam sistem politik demokrasi.

Rujukan:1. “Jutaan Pemilih Ganda, Gerindra Protes

KPU,” Kompas, 19 November 2013.2. “Mendagri Instruksikan Kepala Daerah

Bantu Atasi Masalah DPT,” http://www.beritasatu.com, diakses 21 November 2013.

4. “KPU Klarifikasi Temuan Gerindra,” Media Indonesia, 22 November 2013.

5. “Enam Triliun Biaya e-KTP menghasilkan DPT Bermasalah,” http://www.politik.kompasiana.com, diakses 22 November 2013.

6. Ramlan Surbakti, “DPT Pemilu 2014 Antara Persepsi dan Kenyataan,” Media Indonesia, 28 Oktober 2013.

7. “Chusnul Ingatkan Data Penduduk Rawan,” Kompas, 23 November 2013.

8. Massardi, Adhie, et al. (2013). Pilpres Abal-Abal Republik Amburadul. Jakarta: Republika.

9. Roth, Dieter (2008). Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-Teori, Instrumen, dan Metode. Jakarta: Friedrich-Naumann-Stiftung.

10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.