vol. vii no.06 ii p3di maret 2015

24

Upload: infosingkat

Post on 23-Dec-2015

42 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Dugaan Kriminalisasi UU P3H (SR)IORA & Kepentingan Indonesia (RR)Pengabaian negara -masyarakat adat (SNQ)Optimalisasi Bebas Visa Kunjungan Singkat (YS)Kontroversi Dana Parpol (AA)

TRANSCRIPT

- 1 -

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Vol. VII, No. 06/II/P3DI/Maret 2015H U K U M

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

DUGAAN KRIMINALISASI DALAM UU PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

PERUSAKAN HUTAN Sulasi Rongiyati*)

Abstrak

Upaya negara untuk melindungi hutan dari perusakan yang berdampak besar melalui UU P3H dalam implementasinya menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan munculnya kriminalisasi atas perbuatan perusakan hutan yang dilakukan oleh perseorangan secara tidak terorganisasi. Larangan perusakan hutan berikut sanksi pidananya telah diatur sebelumnya dalam UU Kehutanan sehingga larangan itu bukan merupakan delik baru. Kekhawatiran masyarakat tidak perlu terjadi jika penegak hukum bersikap cermat dan arif dalam menangani kasus tindak pidana perusakan hutan khususnya dalam mengkaji tindak pidana yang memiliki kriteria kegiatan yang terorganisasi sebagaimana ditentukan dalam UU P3H berikut pengecualiannya.

PendahuluanImplementasi penegakan hukum

di Indonesia kembali menjadi sorotan masyarakat. Kasus penahanan nenek Asyani (63 tahun) yang dituduh melakukan pembalakan liar kayu jati dari kawasan hutan produksi milik Perhutani di Petak 43F Blok Curah Cotok, Situbondo, Jawa Timur. Kasus nenek Asyani yang ditahan sejak 15 Desember 2014 bermula dari laporan Perhutani ke pihak Kepolisian atas hilangnya 2 batang kayu jati Perhutani berdiameter 105 cm dan 115 cm. Operasi gabungan kepolisian dan polisi kehutanan kemudian menemukan barang bukti di rumah Sucipto dan menangkap Ruslan (menantu Asyani)

yang membawa kayu ke bengkel kayu milik Sucipto, Abdus Salam (pemilik mobil yang membawa kayu), Sucipto, dan Asyani, selaku pemilik kayu jati yang akan dipotong untuk membuat dipan. Asyani dijerat dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Pada 16 Maret 2015 hakim telah mengabulkan permohonan penangguhan penahanan atas jaminan Bupati Situbondo. Meskipun demikian, nenek Asyani masih harus melanjutkan proses persidangannya.

Kasus yang mirip juga dialami oleh

*) Peneliti Madya Hukum Ekonomi pada Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: [email protected].

- 2 -

Harso Taruno (63 tahun), petani warga Desa Kepek, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta yang didakwa menebang sebatang pohon jati dengan gergaji tangan di petak 136 Hutan Suaka Margasatwa Paliyan Gunung Kidul, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem margasatwa setempat. Harso dituduh memotong kayu tanpa izin untuk dijadikan kayu bakar dan dijerat dengan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta UU P3H. Hakim akhirnya memutus bebas Harso karena tuduhan menebang kayu dan merusak ekosistem hutan margasatwa tidak terbukti.

Kasus-kasus dugaan pencurian kayu seperti yang dialami oleh Asyani dan Harso bukan yang pertama terjadi dan dianggap telah mencederai rasa keadilan masyarakat bawah. Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Situbondo, Yusuf Hidayanto, mengatakan Kejaksaan tidak melakukan tebang pilih dalam penegakan hukum. Sementara pihak Perhutani menyatakan bahwa pihaknya hanya mengikuti perintah UU P3H yang mewajibkannya melapor kepada kepolisian jika terjadi kehilangan kayu dan sebaliknya justru dapat dikenai denda jika tidak melaporkan. Pada sisi lain, kekhawatiran adanya kriminalisasi dalam UU P3H telah menjadi salah satu alasan beberapa pihak mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Berpijak pada kasus-kasus pencurian dan/atau perusakan hutan dengan ketentuan UU P3H sebagai dasar penuntutan, tulisan ini akan menganalisis apakah UU P3H yang dibentuk dengan tujuan untuk mencegah tindakan perusakan hutan oleh kelompok yang terorganisasi, dalam implementasinya telah menciptakan kriminalisasi?

Politik Hukum Pembentukan UU P3H

Pembentukan UU P3H dilatarbelakangi oleh keprihatinan pembentuk UU terhadap maraknya tindakan perusakan hutan, khususnya tindakan pembalakan liar (illegal logging) dan pemanfaatan hutan tanpa atau tidak sesuai izin yang umumnya dilakukan oleh orang-orang bermodal atau korporasi secara terorganisasi. Kegiatan tersebut telah menciptakan kerugian baik ekonomi, lingkungan maupun sosial. Namun demikian, penegakan hukum atas tindakan yang sangat merugikan negara

tersebut belum mampu menyentuh akar permasalahan. Dalam perkembangannya, perusakan hutan semakin meluas dan kompleks dan perusakan tersebut telah berkembang menjadi suatu tindak pidana yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, jelas-jelas memiliki dampak kerusakan yang lebih besar dan luas jika dibandingkan dengan perusakan hutan yang dilakukan oleh individu-individu tanpa terorganisasi. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan harus dilakukan secara luar biasa (extra ordinary).

Pada hakekatnya tindakan perusakan hutan sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan sebelum UU P3H dibentuk tetapi pelaksanaannya belum efektif. Dalam prakteknya aktor utama pelaku perusakan hutan jarang tersentuh hukum. Sebaliknya, justru masyarakat kecil yang sering menjadi korbannya, seperti buruh penebangnya, atau sopir yang mengangkut hasil kayu curian. Hal itu antara lain disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada yang belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, sehingga implementasinya belum mampu menjangkau pelaku perusakan hutan secara terorganisasi, terutama korporasi. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hanya mengatur kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh orang perseorangan dengan ancaman pidana yang belum memadai (Pasal 50 dan Pasal 78). Oleh karena itu, payung hukum dalam bentuk undang-undang diperlukan agar perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif GDQ�H¿VLHQ�VHUWD�SHPEHULDQ�HIHN� MHUD�NHSDGD�pelakunya.

UU P3H ini selain memiliki aspek represif juga mempertimbangkan aspek restoratif, khususnya dalam rangka meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan terutama sebagai bentuk kontrol sosial pelaksanaan pemberantasan perusakan hutan dan menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya guna mewujudkan masyarakat sejahtera.

- 3 -

Dugaan Kriminalisasi dalam UU P3H

Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-penimbangan normatif yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan (Soetandyo,1993). Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang yang menormakan perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana (Sudarto,1986).

Pandangan adanya kriminalisasi dalam UU P3H umumnya dialamatkan pada ketentuan Pasal 12 yang antara lain memuat larangan bagi setiap orang yang penebangan kayu tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan; tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; atau secara tidak sah yang dilakukan oleh orang perorangan serta orang perseorangan yang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan dikawasan hutan tanpa izin sebagaimana diatur dalam Pasal 12. Perbuatan dalam Pasal 12 tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2).

Jika mengacu pada tujuan pembentukan UU P3H yang diperuntukan pada kegiatan terorganisasi dan korporasi, sebagaimana dinyatakan dalam konsideran menimbang huruf f, Pasal 11, dan Penjelasan Umum UU P3H maka penegak hukum dalam mengusut, menuntut, serta mengadili perkara perusakan hutan harus seksama menentukan apakah perbuatan tersebut termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang dilakukan secara terorganisasi atau tidak. Ketentuan Umum angka 6 UU P3H merumuskan “terorganisasi” sebagai kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan KXWDQ�� 'DODP� GH¿QLVL� LQL�� NHWHQWXDQ� LQL�mengecualikan tindakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tinggal

di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. Selanjutnya Pasal 11 UU P3H mengatur ketentuan perbuatan perusakan hutan yang dimaksudkan dalam UU P3H adalah pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu dilakukan oleh kelompok (dua orang atau lebih secara bersama-sama) secara terstruktur. Pasal ini juga memberi pengecualian untuk masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan peladangan tradisional dan/atau penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak dengan tujuan komersial.

Dengan demikian ketentuan Pasal 12 UU P3H bukan merupakan delik pidana baru, karena perbuatan tersebut sebelumnya sudah ditetapkan sebagai perbuatan pidana dan diatur dalam UU Kehutanan. Perbedaannya terletak pada pengkhususan UU P3H untuk kegiatan yang dilakukan secara terorganisasi. Namun begitu, sayangnya norma larangan dalam UU P3H tidak menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa perbuatan perorangan yang dilarang dalam konteks ini adalah perorangan yang terorganisasi.

Penerapan sanksi pidana dalam ketentuan Pasal 83 UU P3H, yang memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku perusakan hutan secara terorganisasi (dua orang atau lebih dan bertindak secara bersama-sama) merupakan perwujudan dari asas persamaan hukum (equilty before the law). Hal ini dijamin dalam konstitusi bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945). Dengan demikian, kekhawatiran terhadap penerapan UU P3H untuk masyarakat yang hidup di dalam hutan atau di sekitar hutan, termasuk di dalamnya masyarakat hukum adat juga tidak perlu terjadi karena masyarakat hukum adat yang memanfaatkan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat tradisional antara lain parang, mandau, golok atau alat sejenisnya sesuai dengan tradisi budaya karakteristik daerah setempat, dikecualikan untuk dikenakan sanksi pidana sebagaimana penjelasan Pasal 12 huruf f UU P3H.

- 4 -

PenutupKekhawatiran sebagian masyarakat

terhadap UU P3H yang menganggap telah menerapakan kriminalisasi terhadap masyarakat miskin, khususnya yang tinggal di dalam atau sekitar hutan perlu diluruskan, mengingat UU P3H secara tegas mengatur pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi. Dalam kaitan ini peran penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sangat besar dalam untuk menentukan suatu perbuatan yang disangkakan atau didakwaan kepada pelaku masuk dalam kriteria kegiatan perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana ketentuan dalam UU P3H atau merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang lainnya. Oleh karena itu, penegak hukum harus bersikap bijaksana dan cermat dalam menindak kasus tindak pidana perusakan hutan, utamanya untuk perusakan hutan yang dikategorikan sebagai kegiatan terorganisir dengan mengacu pada ketentuan Pasal 11 UU P3H.

Penegakan hukum harus menghindari kesan bahwa hukum hanya “tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas”. Jika hanya pelaku dengan latar belakang sosial ekonomi rendah yang dijerat melalui penerapan UU P3H maka UU P3H menjadi kontraproduktif, mengingat tujuan awal pembentukan UU ini adalah menjerat para pelaku perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi yang dalam beberapa kasus lebih banyak dilakukan oleh korporasi.

Alternatif penyelesaian kasus perusakan hutan seperti pencurian kayu dengan nilai kerugian relatif kecil melalui restorative justice juga dapat menjadi solusi bagi penegak hukum dalam menangani kasus perusakan hutan secara perseorangan, yakni penyelesaian yang tidak berfokus pada hukuman penjara, melainkan perbaikan atau pemulihan kondisi para pihak. Diharapkan pengadilan bijaksana dalam mengambil putusan, yang bukan hanya menghukum orang, tetapi juga mengedepankan hati nurani, karena keadilan bukan sekadar menghukum orang, tetapi juga memperbaiki perilaku. Dalam kaitan ini perlu juga diperhatikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, yang membatasi perkara tindak pidana di bawah Rp2.5000.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) sebagai tindak

pidana ringan yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat. Mempertimbangkan bahwa penyelesaian kasus pidana melalui restorative justice dan penyesuaian nilai denda belum diatur dalam KUHP maka DPR RI perlu mendorong pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP sebagaimana telah masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Selanjutnya untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari penafsiran yang berbeda atas norma-norma dalam UU P3H, beberapa ketentuan larangan dalam UU P3H yang memuat tindak pidana perorang perlu disempurnakan dengan rumusan norma yang jelas dan tegas, sesuai dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa hukum pidana harus tegas dan jelas.

Referensi “Nasib Mirip Asyani, Harso Diputus Bebas”,

Kompas ,18 Maret 2015“Asyani, Gambaran Proses Hukum yang

Timpang”, Kompas, 17 Maret 2015“Kasus Nenek Asyani Potret Buram Hukum”,

Koran Sindo, 11 Maret 2014“Kasus Nenek Asyani Seharusnya Masuk

Tipiring”, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/03/17/nlcvfy-kasus-nenek-asyani-harusnya-masuk-tipiring, diakses 18 Maret 2015

“Kontras: Kasus Nenek Asyani Kriminalisasi Masyarakat Miskin”, http://nasional.r e p u b l i k a . c o . i d / b e r i t a / n a s i o n a l /hukum/15/03/17/nlctt2-kontras-kasus-nenek-asyani-kriminalisasi-masyarakat-miskin, 17 Maret 2015

“Perhutani Tak Mau Disalahkan Kasus Nenek Asyani”, http://www.tempo.co/read/news/2015/03/17/058650753/Perhutani-Tak-Mau-Disalahkan-Kasus-Nenek-Asyani, diakses 19 Maret 2015.

Soetandyo Wignjosoebroto, “Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi: Apa Yang Dibicarakan Sosiologi Hukum Tentang Hal Ini”, disampaikan dalam Seminar Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi Dalam Pebaruan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 15 Juli 1993.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1986

Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

- 5 -

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Vol. VII, No. 06/II/P3DI/Maret 2015HUBUNGAN INTERNASIONAL

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

INDIAN OCEAN RIM ASSOCIATION (IORA)DAN KEPENTINGAN INDONESIA DI SAMUDERA HINDIA

Rizki Roza*)

Abstrak

Dengan Doktrin Poros Maritimnya, Pemerintahan Jokowi ingin memperluas NHWHUOLEDWDQ� ,QGRQHVLD� GL� NDZDVDQ� ,QGR�3DVL¿N� GHQJDQ� FDUD� PHQJLQWHJUDVLNDQ� GXD�samudera sebagai lingkungan strategis pelaksanaan politik luar negeri. Salah satu agenda aksinya adalah mendorong kerja sama komprehensif maritim di kawasan terutama melalui IORA. Untuk dapat mewujudkannya, Indonesia harus mampu mempengaruhi pelaksanaan agenda prioritas IORA agar lebih sesuai dengan agenda Poros Maritim Indonesia, terutama pada masa keketuaan Indonesia di IORA.

PendahuluanSentralitas ASEAN telah sejak lama

menjadi tema pokok Indonesia dalam menjalankan kebijakan luar negeri. Dengan segala keterbatasan ASEAN, misalnya belum adanya mekanisme penyelesaian sengketa, para pembuat kebijakan luar negeri Indonesia secara konsisten menempatkan sentralitas ASEAN dalam setiap kebijakan luar negeri yang diambil. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan kebijakan “dynamic equilibrium”-nya, Indonesia mendorong sentralitas ASEAN sebagai penggerak utama dalam membangun DUVLWHNWXU�NHDPDQDQ�NDZDVDQ�$VLD�3DVL¿N�

Arah kebijakan luar negeri Indonesia kemudian mengalami perubahan yang cukup VLJQL¿NDQ� VHWHODK� 3UHVLGHQ� -RNR� :LGRGR�(Jokowi) menjabat. Indonesia berupaya memperkuat hubungan bilateral dengan negara-negara besar di kawasan Samudera

3DVL¿N� GDQ� +LQGLD�� ,QGRQHVLD� EHUXVDKD�untuk dapat memainkan peran yang lebih besar di kawasan ini. Presiden Jokowi dalam visi dan misinya menyebutkan bahwa pemerintahannya akan berupaya memperluas keterlibatan Indonesia di kawasan Indo-3DVL¿N� GHQJDQ� FDUD� PHQJLQWHJUDVLNDQ� GXD�samudera sebagai lingkungan strategis pelaksanaan politik luar negeri di kawasan. Secara eksplisit, Jokowi menyebutkan bahwa salah satu agenda aksi untuk memperluas keterlibatan regional Indonesia adalah dengan mendorong kerja sama maritim komprehensif di kawasan, khususnya melalui Indian Ocean Rim Association (IORA). 7XOLVDQ� LQL� EHUXSD\D� PHQJLGHQWL¿NDVL�peluang yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan nasional Indonesia, serta tantangan apa yang harus dihadapi Indonesia dalam organisasi regional IORA ini.

*) Peneliti Muda Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Bidang Hubungan Internasional, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Email: [email protected].

- 6 -

Indian Ocean Rim Association Kedekatan hubungan antara negara-

negara di pesisir Samudera Hindia telah terbangun karena dipengaruhi sejumlah faktor, seperti ekonomi dan pengalaman sejarah. Hubungan ekonomi dan masyarakat negara-negara kawasan Samudera Hindia sudah terbentuk sejak beberapa abad yang lalu. Para pedagang, pelaut, nelayan, dan peziarah dari berbagai wilayah berlayar melintasi Samudera Hindia dan singgah di pelabuhan-pelabuhannya, sehingga memungkinkan tumbuhnya jaringan perdagangan di antara mereka. Kesamaan pengalaman sejarah berada di bawah imperialisme bangsa Eropa juga turut membentuk perasaan identitas bersama di antara para pemimpin negara-negara di kawasan Samudera Hindia. Kegiatan-kegiatan perekonomian pesisir, hubungan sosial dan budaya, kerja sama kawasan yang berpusat di samudera telah menjadi jembatan yang menghubungkan Afrika, Asia, dan Australasia.

Kedekatan hubungan itulah yang kemudian mendorong sejumlah negara di kawasan Samudera Hindia untuk meningkatkan kerja sama sosial-ekonomi demi kemajuan kawasan. Serangkaian pertemuan dilaksanakan sejak tahun 1995 yang juga melibatkan perwakilan pemerintah, akademisi, dan swasta. IORA berupaya menyatukan ketiga pihak tersebut untuk mendorong kerja sama dan interaksi yang lebih erat di antara negara-negara anggota. Puncak rangkaian pertemuan tersebut adalah pertemuan menteri luar negeri (Council of Foreign Ministers – COM) pertama selaku pemegang otoritas tertinggi organisasi, di Mauritius pada 6-7 Maret 1997 yang secara resmi mendeklarasikan terbentuknya Indian Ocean Rim Association (IORA). Rangkaian pertemuan tersebut juga menyepakati bahwa tujuan IORA adalah untuk liberalisasi perdagangan dan mendorong kerja sama perdagangan, serta menetapkan fasilitasi perdagangan, promosi investasi, dan kerja sama ekonomi sebagai fokus aktivitas IORA.

Dengan prinsip keanggotaan yang terbuka, IORA menjadi satu-satunya organisasi regional yang merangkul negara-negara di sepanjang pesisir Samudera Hindia sebagai anggota, yaitu Australia, Bangladesh, Comoros, India, Indonesia, Iran, Kenya, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Mozambik, Oman, Seychelles, Singapura, Afrika Selatan, Sri Lanka, Tanzania, Thailand, Uni Emira Arab, dan Yaman. IORA juga telah melibatkan enam

negara mitra dialog, yaitu Tiongkok, Perancis, Inggris, Jepang, Mesir, dan Amerika Serikat, serta dua peninjau (observer), yaitu Indian Ocean Research Group (IORG) dan Indian Ocean Tourism Organization (IOTO).

Keketuaan IORA saat ini dipegang oleh Australia dan Indonesia sebagai wakil. Keketuaan IORA berlaku untuk periode dua tahun, dan berdasarkan kesukarelaan VHUWD� PHPSHUWLPEDQJNDQ� IDNWRU� JHRJUD¿V��Berdasarkan ketentuan organisasi, ketua IORA untuk periode selanjutnya adalah negara yang sebelumnya menjabat sebagai wakil ketua. Dengan demikian, Indonesia akan memegang keketuaan IORA untuk periode 2015-2017 dan akan diserahkan oleh Australia pada Oktober mendatang kepada Kementerian Luar Negeri selaku pemegang tanggung jawab Indonesia di IORA.

Dalam perkembangannya, pertemuan-pertemuan yang dilakukan dalam beberapa tahun awal setelah terbentuknya IORA, masih terkait proses membangun struktur dan merancang agenda jangka panjang organisasi. Ketiga pihak, pemerintah, akademisi, dan swasta, bersama-sama menyusun peraturan-peraturan, prosedur, merevisi charter, VHNUHWDULDW��VHUWD�SHQJDWXUDQ�¿QDQVLDO��'HQJDQ�demikian, kita dapat mengatakan belum ada KDVLO� VLJQL¿NDQ� GDUL� NHUMD� VDPD� ,25$� \DQJ�dapat dirasakan langsung oleh negara-negara anggotanya sebagaimana yang menjadi tujuan organisasi.

IORA baru memutuskan enam prioritas utama pada tahun 2011 ketika keketuaan dipegang oleh India. Enam prioritas tersebut antara lain keamanan dan keselamatan maritim, manajemen risiko bencana, perdagangan dan investasi, pengelolaan perikanan, kerja sama akademik dan iptek, serta pariwisata dan kebudayaan. Enam prioritas ini kemudian menjadi panduan penggerak IORA ke masa depan.

Kepentingan Indonesia di Samudera Hindia

Dengan Doktrin Poros Maritimnya, Pemerintahan Jokowi berupaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berpengaruh di antara dua samudera, 6DPXGHUD� +LQGLD� GDQ� 3DVL¿N� GHQJDQ� FDUD�mengintegrasikan dua samudera sebagai lingkungan strategis pelaksanaan politik luar negeri di kawasan. Ini dapat menjadi SHUXEDKDQ� \DQJ� VLJQL¿NDQ� EDJL� NHELMDNDQ�

- 7 -

luar negeri Indonesia yang sebelumnya sangat menekankan sentralitas ASEAN. Indonesia dapat memperoleh manfaat dan mempengaruhi arah perkembangan kawasan Samudera Hindia jika mampu menyesuaikan agenda kegiatan IORA yang berdasarkan enam prioritas utamanya, dengan pilar-pilar Poros Maritim yang disusun pemerintahan Jokowi. Keketuaan IORA yang akan dipegang Indonesia harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi tujuan ini.

Pilar-pilar Poros Maritim Jokowi sebagaimana yang telah disampaikannya untuk pertama kali melalui forum KTT Asia Timur pada November 2014 lalu, tampaknya beririsan dengan prioritas utama IORA. Pilar-pilar poros maritim Jokowi antara lain menyebutkan bahwa Indonesia akan menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan; Indonesia akan melakukan pengembangan infrasruktur dan konektivias maritim, termasuk pengembangan industri perkapalan dan pariwisata maritim; Indonesia akan mendorong kerjasama untuk PHQJKLODQJNDQ� VXPEHU�VXPEHU� NRQÀLN� GL�laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan dan pencemaran laut; dan Indonesia juga akan membangun kekuatan pertahanan maritim untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim serta untuk menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Titik temu antara pilar Poros Maritim Jokowi dengan agenda prioritas IORA terutama ada pada agenda IORA untuk mewujudkan keselamatan dan keamanan maritim, dan pengelolaan perikanan. Keamanan dan keselamat maritim di kawasan Samudera Hindia menghadapi sejumlah tantangan, yaitu berupa ancaman keamanan tradisional maupun non-tradisional, antara lain perompakan, pencurian ikan, perdagangan manusia, penyelundupan narkoba, perdagangan senjata, polusi maritim, dan perubahan iklim. IORA memiliki suatu tujuan untuk menjamin perpindahan orang, barang, energi, dan sumber daya melalui Samudera Hindia dengan aman dan tanpa gangguan.

Untuk mewujudkan keamanan dan keselamatan maritim di Samudera Hindia, IORA mempertimbangkan suatu visi atau strategi maritim regional, yang juga mencakup

program pengembangan kapasitas agar negara-negara anggota mampu menghadapi persoalan-persoalan keamanan dan keselamatan maritim dengan efektif. Hal ini sejalan dengan agenda Poros Maritim yang juga mengupayakan kemampuan Indonesia dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim. Strategi maritim regional yang diinginkan IORA juga mencakup upaya mendorong industri maritim yang inovatif, kompetitif, dan ramah lingkungan sebagaimana juga dicita-citakan pemerintahan Jokowi. Pertukaran informasi, pengembangan kapasitas, dan bantuan teknis yang akan dikembangkan IORA akan menjadi elemen penting yang dapat dimanfaatkan Indonesia.

Pada prioritas pengelolaan perikanan IORA, Indonesia juga semestinya dapat memperoleh manfaat bagi terwujudnya agenda Poros Maritim. Negara-negara pesisir Samudera Hindia memiliki kepentingan yang sama dalam mengelola dan konservasi sumber daya perikanan yang terkandung di kawasan tersebut. Dampak dari penangkapan ikan secara berlebihan dan perubahan iklim telah menyebabkan merosotnya cadangan ikan di kawasan ini. Untuk menghadapi persoalan ini dan mengelola perikanan di kawasan, IORA telah membentuk Fisheries Support Unit (FSU). FSU menjadi ujung WRPEDN� XSD\D� ,25$� XQWXN� PHQJLGHQWL¿NDVL�dan mendiskusikan isu-isu perikanan, dan untuk mempelajarai usulan-usulan dan memfasilitasi riset-riset di bidang yang dapat dimanfaatkan langsung oleh negara-negara anggota. Keberadaan FSU merupakan salah satu contoh agenda prioritas IORA yang dapat mendatangkan manfaat terhadap upaya Indonesia dalam mengelola perikanan dan mendorong kedaulatan pangan laut.

Memperoleh manfaat dan memengaruhi arah perkembangan kawasan Samudera Hindia melalui IORA tentunya tidak akan berjalan tanpa hambatan-hambatan. Hambatan mendasar yang harus dihadapi Indonesia terutama terkait dengan prinsip-prinsip yang dipegang IORA dan keanggotaan yang ada di dalamnya.

Kawasan Samudera Hindia merupakan suatu kawasan yang unik dalam politik internasional karena terdiri dari negara-negara pesisir yang berbatasan dengan Samudera Hindia, dengan keragaman yang sangat tinggi. Negara-negara di kawasan ini memiliki keragaman budaya, ras,

- 8 -

agama, pembangunan ekonomi, serta kepentingan strategis. Jumlah populasi, tingkat perekonomian, perdagangan dan penguasaan teknologi, serta GDP negara-negara di kawasan juga sangat beragam. Kawasan ini terdiri dari negara-negara kecil hingga negara yang merupakan anggota G-20. Kawasan Samudera Hindia juga terdiri dari beberapa sub-kawasan, seperti Afrika Selatan dan Timur, Teluk Aden, Laut Oman, Asia Tenggara, dan juga Australasia. Sejumlah organisasi regional juga menjadi bagian dari kawasan ini, misalnya ASEAN, Gulf Cooperatoin Council (GCC), South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC), Southern African Development Community (SADC).

Keragaman yang dimiliki kawasan ini yang kemudian tampaknya mendorong IORA untuk memegang prinsip ‘open regionalism’. Berdasarkan prinsip ini, IORA berupaya membangun dan meningkatkan saling pemahaman dan kerja sama saling menguntungkan melalui pendekatan berbasis konsensus, dan tidak mengganggu kepentingan nasional. Pencapaian sasaran dan tujuan asosiasi akan lebih menekankan pada pendekatan yang berbasis kepentingan masing-masing anggota dan belum memungkinkan adanya peraturan-peraturan yang bersifat mengikat. Kepatuhan terhadap keputusan-keputusan yang berbasis konsensus juga tanpa struktur institusional yang mengatur dan mengawasinya. Dengan keragaman kekuatan ekonomi dan kepentingan strategis, di dalam organisasi yang sangat longgar ini tampaknya akan sulit bagi Indonesia untuk mempengaruhi kawasan secara keseluruhan. Di sinilah, tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam memanfaatkan peluang kerja sama IORA bagi kepentingan nasional Indonesia.

PenutupKawasan Samudera Hindia memiliki

potensi yang begitu besar untuk dapat dimanfaatkan Indonesia dalam mewujudkan Poros Maritim Dunia, terutama melalui forum regional IORA. Terdapat titik temu antara prioritas utama IORA dengan pilar Poros Maritim Pemerintahan Jokowi. Hal inilah yang harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional Indonesia. Momentum keketuaan Indonesia

di IORA nanti harus dapat dimanfaatkan dengan baik. Indonesia akan memiliki peluang lebih besar untuk mempengaruhi agenda-agenda IORA agar lebih sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia.

Kenyataan bahwa IORA merupakan sebuah organisasi regional yang masih relatif muda, yang terdiri dari anggota yang sangat beragam kepentingan strategisnya, serta sifat organisasi yang sangat longgar, akan menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mempengaruhi kawasan secara keseluruhan. Untuk itu, pemerintah perlu menyusun strategi yang tepat agar agenda yang akan ditawarkan Indonesia selama memimpin IORA dapat menguntungkan Indonesia sekaligus menguntungkan lebih banyak pihak di kawasan.

Dalam kaitan ini, DPR RI perlu kiranya mengawal strategi-strategi pemerintah untuk memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia di IORA dan pada saat yang sama mengawasi pemerintah demi memastikan bahwa keterlibatan Indonesia di Samudera Hindia tidak akan melemahkan kepemimpinan Indonesia di kawasan Asia Tenggara selama ini.

ReferensiEmira Adi Syailendar, Consensual Leadership

in ASEAN: Will It Endure Under Jokowi?, RSIS Commentary, No. 005-7 Januari 2015 http://www.rsis.edu.sg/rsis-publication/rsis/co15005-consensual-leadership-in-asean-will-it-endure-under-jokowi/#.VRJGbI4asrg, diakses tanggal 19 Maret 2015

“Indian Ocean Rim Association (IORA) dan Indonesia”, http://www.kemlu.go.id/Pages/NewsKemlu.aspx?IDP=684&l=id, diakses tanggal 19 Maret 2015.

Indian Ocean Rim Association, http://www.iora.net/default.aspx, diakses tanggal 19 Maret 2015.

“Optimalisasi Pemanfaatan Kerjasama IORA bagi Kepentingan Indonesia”, http://kemlu.go.id/Pages/NewsKemlu.aspx?IDP=382&l=id, diakses tanggal 19 Maret 2015.

Sam Bateman, Jane Chan (Ed.), ASEAN and The Indian Ocean, The Key Maritime Links, http://www.rsis.edu.sg/rsis-publication/idss/231-asean-and-the-indian-ocean-reg/#.VRJGG44asrg, diakses tanggal 19 Maret 2015.

- 9 -

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Vol. VII, No. 06/II/P3DI/Maret 2015KESEJAHTERAAN SOSIAL

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

PENGABAIAN NEGARA ATAS HAK HIDUP MASYARAKAT ADAT

Sri Nurhayati Qodriyatun*)

Abstrak

Keberadaan masyarakat adat masih belum mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Beberapa kementerian yang mengatur tentang masyarakat adat tetapi masing-masing PHPLOLNL� GH¿QLVL� GDQ� NHELMDNDQ� \DQJ� EHUEHGD�EHGD� GDQ� WLGDN� VHODOX� GDSDW�PHQ\HQWXK�seluruh masyarakat adat. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesamaan persepsi tentang masyarakat adat dan tidak adanya acuan yang jelas bagaimana mengakui keberadaan masyarakat adat. Oleh karena itu, RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat yang masuk dalam prolegnas 2014-2019 menjadi penting untuk segera dibahas untuk mengelola hal ini.

PendahuluanKematian 11 orang Suku Anak Dalam

yang ada di Jambi cukup memprihatinkan. Penyebabnya bervariasi, mulai dari kelaparan, kekurangan air bersih, penyakit campak, keteguran (akibat yang harus ditanggung karena melewati batas yang dilarang oleh adat), dan perubahan cuaca. Memburuknya kehidupan masyarakat adat ini bukan yang kali pertama terjadi. Kasus serupa pernah dialami oleh masyarakat adat di 7 distrik di Kabupaten Yahukimo pada tahun 2013, yang menyebabkan 61 warga meninggal. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat adat di Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrau, Papua Barat pada tahun 2012 dengan 95 warganya meninggal.

Kondisi masyarakat adat yang memprihatinkan itu mengingatkan kita akan rendahnya perhatian pemerintah.

Sebagian besar dari mereka masih hidup terpencil di dalam kawasan hutan dan sering tidak terjangkau berbagai fasilitas publik yang disediakan oleh Pemerintah. Bahkan keberadaan mereka secara administrasi pun sering sekali tidak diakui setelah terbukti dari sebagian besar masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan hutan tersebut tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) sebagai bukti mereka merupakan warga dari suatu tempat di wilayah Indonesia.

Kenyataan ini sangat bertentangan dengan apa yang tertuang dalam Pasal 28B ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang

*) Peneliti Madya Kebijakan Lingkungan pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: [email protected].

- 10 -

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Indonesia adalah negara multi-etnis yang kaya akan masyarakat adatnya. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperkirakan jumlah masyarakat adat di Indonesia berkisar 70 juta atau sekitar 20% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah itu merupakan jumlah yang dominan bila dibandingkan dengan perkiraan jumlah indigenous peoples secara regional di Asia dan dunia. Konstitusi mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya, namun dalam kenyataannya kebanyakan mereka masih terpinggirkan, terutama yang tinggal di daerah terpencil dan di hutan. Dari kasus ini, kita perlu mempertanyakan bagaimana sebenarnya negara mengakui dan menghormati masyarakat adat selama ini dan bagaimana seharusnya pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat itu dilakukan?

Siapakah Masyarakat Adat? Istilah masyarakat adat merupakan

padanan dari indigeneous people. Istilah tersebut sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional. Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Menurut Taqwaddin (2010), konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (ke luar dan ke dalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan. Menurut Keraf (2010), masyarakat adat atau sering juga disebut sebagai masyarakat tradisional, terikat oleh hukum adat, keturunan dan tempat tinggalnya.

Menurut Martinez Cobo (yang kemudian PHQMDGL� UXMXNDQ� 3%%� GDODP� PHQGH¿QLVLNDQ�indigineous people��PHQGH¿QLVLNDQ�PDV\DUDNDW�adat ke dalam empat kriteria, yaitu: (1) memiliki kelanjutan sejarah dari masa masyarakat pra-invasi yang hadir di wilayah mereka; (2) memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan kelompok lain di masyarakat; (3) bukan merupakan kelompok dominan di dalam masyarakat; dan (4) memiliki kecenderungan

untuk menjaga, mengembangkan dan melanjutkan wilayah adatnya kepada generasi berikut sebagai identitas mereka yang memiliki pola kebudayaan sendiri, institusi sosial dan sistem hukum. Kemudian United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) menambahkan tiga kriteria pelengkap, yaitu (1) memiliki hubungan yang kuat dengan wilayah dan sumber daya alam di sekitarnya; (2) memiliki perbedaan sistem sosial, ekonomi, dan politik; dan (3) memiliki perbedaan bahasa, budaya, dan kepercayaan.

Kebijakan pemerintah bagi Masyarakat Adat

Dalam tatanan kebijakan nasional, lembaga-lembaga pemerintahan mengambil istilah yang berbeda untuk program perlindungan masyarakat adat. Ada beberapa kementerian yang memiliki kebijakan tentang masyarakat adat, dengan istilah dan kebijakan yang berbeda-beda.

Kementerian Sosial (Kemensos) menggunakan beberapa istilah seperti suku terasing, masyarakat terbelakang, komunitas masyarakat terpencil, masyarakat adat terpencil, dan yang terakhir dikenal istilah komunitas adat terpencil. Kebijakan ini tertuang dalam Keppres No. 111 tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil dan Kepmensos No. 6/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. .RPXQLWDV� $GDW� 7HUSHQFLO� �.$7�� GLGH¿QLVLNDQ�sebagai kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Kemensos mengembangkan kemandirian KAT untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupannya agar mampu menanggapi perubahan sosial dan lingkungan hidupnya. Namun demikian, kebijakan ini tidak selalu tepat untuk setiap kelompok masyarakat karena ia berusaha merelokasi masyarakat adat terpencil dalam suatu wilayah agar mereka menetap. Hal ini sulit diimplementasikan pada Suku Anak Dalam yang memiliki tradisi melangun (berpindah-pindah) dan memiliki ketergantungan mereka terhadap hutan tempat mereka tinggal sangat tinggi. Oleh karenanya, kebijakan Kemensos mendaftarkan masyarakat Suku Anak Dalam ke dalam program KAT kurang tepat. Sebaliknya, kebijakan Kemensos yang mendesak Pemerintah Daerah untuk mengadministrasikan masyarakat Suku Anak Dalam justru akan lebih bermanfaat, karena tidak seluruh masyarakat adat terpencil memiliki KTP. Sementara program-program

- 11 -

dari Kemensos sering sekali diberikan pada masyarakat yang sudah memiliki KTP, sehingga tidak semua masyarakat adat terpencil tersentuh program tersebut.

Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) mengunakan istilah masyarakat hukum adat. Kebijakan tentang masyarakat hukum adat tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), dengan sedikit perubahan setelah adanya putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013. 'DODP� 88� .HKXWDQDQ� WLGDN� GLGH¿QLVLNDQ�siapakah masyarakat hukum adat namun disebutkan kriteria masyarakat hukum adatnya, yaitu: (1) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban; (2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; (3) ada wilayah hukum adat yang jelas; (4) ada pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan (5) masih mengadakan pemungutan hasil hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, UU Kehutanan pasca-keputusan MK mengakui keberadaan hutan adat, sepanjang masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat setelah ada penetapan melalui Peraturan Daerah (Perda). Sayangnya, Peraturan Pemerintah (PP) yang diamanatkan UU Kehutanan hingga saat ini belum terbentuk. Namun begitu, hingga saat ini beberapa daerah telah mengeluarkan Perda mengenai masyarakat adatnya. Adanya Perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah ini memberikan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat adat sehingga mereka dapat melangsungkan kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi mereka sesuai kearifan lokal yang dimiliki.

Pada kasus masyarakat Suku Anak Dalam, Kemen LHK menggunakan ketentuan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan. Peraturan tersebut mewajibkan pada para pemegang izin pemanfaatan hutan untuk bermitra dengan masyarakat setempat, baik yang tinggal di dalam hutan konsesinya ataupun di sekitar hutan konsesinya. Namun demikian, dalam kemitraan ini masyarakat setempat yang dapat bermitra adalah yang memiliki identitas (KTP atau surat keterangan tempat tinggal dari kepala desa setempat). Tidak semua masyarakat adat memiliki identitas, karena tidak semua pemerintah daerah mengakui keberadaan masyarakat adatnya. Atau dengan kata lain, solusi Kemen LHK hanyalah solusi jangka pendek karena pengakuan terhadap

keberadaan masyarakat adat lebih utama untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat adat. Dengan adanya pengakuan atas keberadaan masyarakat adat memungkinkan mereka mendapatkan hak-hak publiknya sebagaimana masyarakat pada umumnya.

Kementerian Pertanian (Kementan) juga menggunakan istilah masyarakat hukum adat. Kebijakan mengenai masyarakat adat ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan). Disebutkan bahwa masyarakat hukum adat merupakan sekelompok orang yang secara WXUXQ� WHPXUXQ� EHUPXNLP� GL� ZLOD\DK� JHRJUD¿V�tertentu di NKRI karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, dan memiliki pranata pemerintahan adat dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya. Kementan mengatur bahwa izin usaha perkebunan tidak boleh diterbitkan di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, kecuali telah ada persetujuan antara masyarakat hukum adat dengan pelaku usaha perkebunan, dengan memberikan imbalan sesuai persetujuan. Namun demikian, kebijakan ini ke depan akan terkendala dalam pelaksanaannya karena sampai saat ini, pengaturan khusus tentang masyarakat adat belum ada.

Berbeda dengan beberapa kementerian di atas, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menggunakan istilah desa adat. Kebijakannya tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang secara keseluruhan tentang bagaimana suatu desa dapat ditetapkan sebagai desa adat. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh masyarakat adat sehingga keberadaan mereka dapat diakui dengan ditetapkan sebagai desa adat melalui Perda, seperti: (1) kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional. Maksudnya paling tidak masyarakatnya masih memiliki perasaan bersama dalam kelompok, pranata pemerintahan adat, harta kekayaan atau benda adat, atau perangkat norma hukum adat; (2) kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kendati pun demikian, berbagai persyaratan tersebut tentunya tidak akan sesuai untuk masyarakat adat yang masih memiliki karakter seperti masyarakat Suku Anak Dalam, yang tidak selalu tinggal menetap dalam satu wilayah dan yang

- 12 -

teritorialnya tidak ada pengakuan secara resmi dari pemerintah daerahnya.

Dari gambaran diatas, maka terlihat banyak program-program pemerintah yang tidak menyentuh masyarakat adat. Beberapa kelemahan dari kebijakan berbagai kementerian terkait masyarakat adat adalah: (1) belum ada kesamaan persepsi tentang masyarakat adat, mengingat masyarakat adat yang ada di Indonesia sangat beragam karakteristiknya; (2) kebijakan yang beragam terkendala pada belum adanya acuan untuk memberikan pengakuan keberadaan masyarakat adat. Untuk itu, langkah ke depan yang perlu dilakukan adalah membuat acuan yang jelas bagaimana pengakuan atas keberadaan masyarakat adat itu seharusnya dilakukan, agar langkah-langkah perlindungan terhadap keberadaan masyarakat adat dapat dilakukan. Langkah perlindungan dapat dilakukan antara lain dengan: (1) mengakui keberadaan masyarakat adat beserta wilayah adatnya melalui penerbitan Perda; (2) mengadministrasikan masyarakat adat melalui pembuatan KTP atau pemberian surat keterangan; (3) memasukkan masyarakat adat dalam daftar peserta program-program penerima bantuan sosial seperti bantuan pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Program-program yang diberikan untuk masyarakat adat juga harus disesuaikan dengan karakter masyarakatnya.

Penutup

Kasus kematian masyarakat adat di beberapa wilayah Indonesia memperlihatkan bahwa belum secara keseluruhan mereka diakui dan dilindungi oleh Negara. Kebijakan beberapa kementerian pun tidak berjalan optimal, karena tidak adanya kesamaan persepsi tentang masyarakat adat dan belum adanya acuan untuk memberikan pengakuan keberadaan masyarakat adat.

Untuk itu, DPR selaku lembaga legislatif perlu menyusun UU yang dapat memberikan acuan dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Pada DPR periode 2009-2014, DPR dan Pemerintah telah bersepakat untuk menyusun dan membahas RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Namun pembahasannya tidak selesai. Oleh karena itu, pada periode DPR 2014-2019 RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat kembali masuk dalam prolegnas 2014-2019. Dalam RUU tersebut, pengertian masyarakat adat perlu GLGH¿QLVLNDQ�� 8QWXN� PHQ\DPDNDQ� SHUVHSVL�antar-kementerian, pengertian masyarakat adat

mengacu ketentuan tentang indigeneous people yang dikeluarkan PBB. Substansi ini diharapkan dapat menjembatani perbedaan persepsi antar kementerian dalam menerjemahkan tentang masyarakat adat di Indonesia. Selain itu, beberapa upaya perlindungan terhadap masyarakat adat juga harus dimasukkan.

Referensi Keraf, A.S. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas. 2010. Utomo, Laksanto, St., Eksistensi Hak Ulayat

Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: 3�',�6HWMHQ�'35�5,�GDQ�$]]D�*UD¿ND��������

Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010.

“Orang Rimba Jambi Dilanda Paceklik, Jumlah yang Sakit Bertambah”, Suara Pembaruan, 18 Maret 2015.

“Suku Anak Dalam Segera Dapat Lahan”, Media Indonesia, Kamis 19 Maret 2015,

“Pelaku Usaha Harus Ikuti Aturan”, Media Indonesia, 17 Maret 2015.

“Orang Rimba Dapat Lahan”, Media Indonesia, 20 Maret 2015.

“Negara Alpa, Nasib Masyarakat Adat Semakin Lemah”, Selasa 17 Maret 2015, http://www.tempo.co/read/news/2015/03/17/173650581/Negara-Alpa-Nasib-Masyarakat-Adat-Semakin-Lemah diakses 18 Maret 2015.

“Kasus Kelaparan di Papua Memprihatinkan”, http://sp.beritasatu.com/home/kasus-kelaparan-di-papua-memprihatinkan/55121 diakses 20 Maret 2015. “Bencana Kematian dan Kelaparan di District Kwoor, Kab. Tambrauw, Papua”, http://www.aman.or.id/2013/03/30/bencana-kematian-dan-kelaparan-di-district-kwoor-kab-tambrauw-papua/, diakses 20 Maret 2015.

“Suku Anak Dalam Bantah Kelaparan”, http//nasional.news.viva.co.id/news/read/603988-suku-anak-dalam-bantah-kelaparan, diakses 25 Maret 2015.

- 13 -

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Vol. VII, No. 06/II/P3DI/Maret 2015EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

OPTIMALISASI KEBIJAKAN BEBAS VISA KUNJUNGAN SINGKAT

Yuni Sudarwati*)

Abstrak

Kebijakan bebas visa kunjungan singkat diharapkan akan meningkatkan pendapatan di sektor pariwisata dan memperbaiki kinerja neraca jasa untuk penguatan nilai rupiah. Untuk mencapai hal tersebut, pelaksanaan kebijakan ini harus diiringi dengan perbaikan kondisi dalam negeri antara lain infrastruktur, fasilitas pendukung, stabilitas politik, keamanan, dan promosi. Oleh karena itu, kebijakan yang akan diberlakukan per 1 April 2015 memerlukan koordinasi yang kuat antara Kementerian Pariwisata, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Luar Negeri. Koordinasi yang kuat tersebut diperlukan untuk mengantisipasi potensi kerugian bebas visa sehingga optimalisasi manfaat dari kebijakan ini dapat tercapai.

PendahuluanSenin, 16 Maret 2015, Pemerintah

telah mengumumkan sejumlah paket kebijakan dalam rangka menguatkan nilai tukar rupiah terhadap nilai dolar AS (USD). Salah satu kebijakan yang akan diterapkan adalah menambah bebas visa kunjungan singkat (bebas visa) untuk wisatawan dari 30 negara, sehingga total negara yang mendapat bebas visa adalah 45 yang terdiri dari 43 negara dan 2 daerah otonomi. Tujuannya diarahkan untuk memperbaiki kinerja neraca perdagangan dan neraca jasa yang selama ini PHQMDGL� SHQ\XPEDQJ� GH¿VLW� QHUDFD� WUDQVDNVL�berjalan secara dominan. Kebijakan bebas visa merupakan salah satu cara termudah untuk meningkatkan wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia, sehingga dapat menggenjot devisa yang diperoleh dari sektor

pariwisata dan diharapkan dapat memperbaiki kinerja neraca jasa. Menurut Menteri Pariwisata, Arief Yahya, target dari kebijakan ini adalah adanya penambahan sekitar 1 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia yang senilai dengan kurang lebih 1,2 miliar USD.

Saat ini, kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia masih belum terlalu banyak dibandingkan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2013, wisatawan mancanegara mencapai 8,80 juta sementara pada tahun 2014 jumlahnya mencapai 9,43 juta wisatawan. Hal ini berbeda dengan Malaysia misalnya, yang telah membebaskan visa bagi 164 negara dan telah terbukti mampu meningkatkan kedatangan wisatawan asing hingga 27 juta orang setahun pada tahun 2014. Sementara itu, Thailand yang telah membebaskan visa bagi 56 negara telah mampu mendatangkan wisatawan

*) Peneliti Muda Bisnis dan Manajemen pada Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: [email protected].

- 14 -

mancanegara sebanyak 24,77 juta orang setahun pada tahun 2014 (lihat Tabel ).

Kondisi ini menjadi ironis mengingat tujuan wisata Indonesia lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand. Kondisi ini berdampak pada kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang hanya mencapai 9 persen pada tahun 2013. Sementara itu, di Thailand kontribusinya mencapai 20 persen dan di Malaysia mencapai 16 persen.

Berkaca dari keberhasilan baik di Malaysia, Singapura, maupun Thailand, Indonesia mencoba untuk menerapkan kebijakan yang sama. Namun demikian, beberapa pertanyaan yang muncul kemudian, apakah peningkatan jumlah wisatawan mancanegara bisa disebabkan hanya oleh kebijakan bebas visa? Apakah manfaat yang akan diperoleh dan bagaimana mencapainya ketika kebijakan bebas visa diimplementasikan?

Manfaat dan Potensi KerugianSaat ini, program prioritas Kementerian

Pariwisata meliputi empat aspek, yaitu destinasi, pemasaran, industri pariwisata,

serta aspek kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM). Dari keempat aspek tersebut, pemasaran menjadi program prioritas karena mengarah pada peningkatan wisatawan. Kebijakan bebas visa merupakan salah satu upaya pemasaran pariwisata Indonesia untuk meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara.

Kebijakan bebas visa yang diterapkan oleh suatu negara memang ditujukan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara. Kebijakan ini bersifat resiprokal sehingga bisa dimaklumi bahwa negara-negara yang tingkat kesejahteraannya tinggi pada umumnya hanya memberlakukan kebijakan bebas visa kepada negara lain yang setara. Sementara itu, bagi negara-negara miskin tetap diberlakukan kebijakan pemberian visa.

Indonesia berharap bahwa dari terobosan kebijakan ini berdampak langsung terhadap peningkatan jumlah pendapatan di sektor pariwisata. Hal ini bisa terjadi karena kebijakan ini akan menarik lebih banyak wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia. Kebijakan ini juga didukung dengan terjadinya depresiasi rupiah terhadap USD. Kondisi ini secara tidak langsung membuka keran bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia. Tingginya nilai tukar USD membuat biaya perjalanan dan akomodasi bagi wisatawan mancanegara akan menjadi murah di Indonesia. Proyeksi peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara ini diharapkan akan mampu mengumpulkan devisa USD di Indonesia yang selanjutnya diharapkan akan dapat menekan lemahnya rupiah.

Pembebasan biaya visa untuk 43 negara dan 2 daerah otonomi diharapkan akan menambah jumlah wisatawan sebanyak 1 juta. Jika masing-masing wisatawan rata-rata menghabiskan 1.200 USD dalam satu kunjungan ke Indonesia, ini akan menambahkan 1,2 miliar USD untuk pendapatan devisa Indonesia.

Selain manfaat berupa penambahan devisa, perubahan kebijakan ini juga memiliki beberapa potensi dampak negatif bagi Indonesia. Potensi dampak negatif tersebut mencakup kemungkinan terjadinya cyber crime, penyalahgunaan perizinan, ancaman terorisme, penyelundupan narkoba, dan perdagangan manusia.

Oleh karena itu, wacana untuk menambah jumlah negara bebas visa harus berlandaskan hukum dengan tetap mengutamakan kedaulatan negara, memperhatikan asas selective policy (asas manfaat) di mana hanya warga negara asing

Negara Tahun Bebas Visa Jumlah

Indonesia 2011 15 7,64

2012 8,04

2013 8,80

2014 9,43

Malaysia 2011 164 24,71

2012 25,03

2013 26,54

2014 27,43

Thailand 2011 56 19,23

2012 22,35

2013 25,72

2014 24,77

Singapura 2011 Bebas visa untuk negara anggota Commonwealth of Independent States, di antaranya Georgia, Turkmenistan, Ukraina.

13,17

2012 14,49

2013 15,56

2014

Sumber: Kompas, 19 Maret 2015

Tabel. Jumlah Kedatangan Wisatawan Mancanegara di Beberapa Negara Bebas

Visa, 2011-2014 (dalam juta)

- 15 -

yang memberi manfaat kepada Indonesia yang diperbolehkan untuk masuk ke wilayah Indonesia, dan juga penerapan asas timbal-balik. Pertimbangan kedaulatan, asas manfaat, dan asas resiprokal menjadi sangat penting karena penambahan negara yang mendapat bebas visa ke Indonesia dapat meningkatkan jumlah pelanggaran. Salah satu pelanggaran yang sering terjadi adalah pendatang yang masuk menggunakan visa on arrival bekerja di Indonesia tanpa membayar pajak dan kewajiban lain yang diisyaratkan Kementerian Tenaga Kerja.

Pelanggaran terbanyak mencapai 3.000 pelanggaran per tahun dilakukan oleh pendatang dari Tiongkok. Bentuk pelanggaran yang paling sering adalah cyber crime, penyalahgunaan perizinan, ancaman terorisme, dan perdagangan manusia. Jumlah pelanggar terbesar berikutnya adalah Australia dan Amerika Serikat.

Potensi kerugian yang lain adalah dari sisi penerimaan negara. Kebijakan bebas visa ternyata akan memperkecil Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Teuku Sjahrizal, menyatakan bahwa potensi PNBP dari Kementerian Hukum dan HAM akan turun 50 persen. Kontribusi PNBP paling besar selama ini berasal dari wisatawan asal Tiongkok, Rusia, Korea Selatan, Australia, dan Amerika Serikat. PNBP dari lima negara tersebut mencapai Rp900 miliar per tahun.

Upaya PencapaianKebijakan bebas visa tidak akan cukup

ampuh untuk mendatangkan wisatawan mancanegara jika daya tarik pariwisata yang akan ditawarkan belum dipersiapkan. Ketidaksiapan pemerintah dalam menawarkan daya tarik pariwisata yang terlihat antara lain minimnya infrastruktur menuju daerah wisata dan fasilitas pendukung, serta tidak stabilnya politik dalam negeri, akan membuat wisatawan enggan ke Indonesia. Kondisi yang lebih menyedihkan adalah tingkat kebersihan dan keamanan di daerah wisata. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang tepat agar manfaat kebijakan bebas visa tercapai dan meminimalisasi potensi kerugian yang mungkin terjadi.

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah penyiapan dasar hukum. Dasar hukum pelaksanaan kebijakan bebas visa harus segera ditetapkan. Hal ini untuk

menghindari kesalahpahaman bagi wisatawan mancanegara yang akan datang ke Indonesia. Kesalahpahaman ini pernah terjadi ketika warga negara asing dari negara yang diduga termasuk dari 5 (lima) negara yang dibebaskan dari ketentuan untuk memiliki visa, tidak dapat menerima perlakuan petugas di bandara. Mereka tetap diberlakukan ketentuan untuk memiliki visa agar dapat masuk ke wilayah Indonesia. Mereka merasa bahwa dirinya adalah warga negara dari negara yang dibebaskan dari ketentuan untuk memiliki visa kunjungan singkat yang mulai berlaku pada bulan Januari 2015. Padahal hingga 1 April 2015, ketentuan hukum yang berlaku sebagai dasar pemberian bebas visa kepada warga negara asing adalah Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2011 yang membebaskan warga negara dari 15 (lima belas) negara dari ketentuan untuk memiliki visa guna memasuki wilayah Indonesia. Di luar warga negara dari negara-negara yang ditetapkan dalam ketentuan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2011 tersebut, tetap diwajibkan untuk memiliki visa guna masuk ke wilayah Indonesia.

Kedua, isu koordinasi. Koordinasi diperlukan untuk memastikan bahwa negara yang masuk dalam daftar bebas visa memenuhi asas manfaat dan asas resiprokal. Kedua asas ini menitikberatkan bahwa pemberian bebas visa akan diberikan kepada negara yang juga memberikan bebas visa kepada Indonesia. Negara-negara yang dipilih juga sebaiknya adalah negara yang merupakan asal wisatawan mancanegara yang dominan datang ke Indonesia. Saat ini, rencana penambahan 30 negara belum diikuti dengan perjanjian resiprokal.

Koordinasi berikutnya diperlukan dalam program daya tarik wisata. Koordinasi ini diperlukan untuk menyiapkan tempat tujuan wisata dan ragam produk pariwisata, sehingga yang berkunjung akan tinggal lebih lama dan menghasilkan lebih banyak devisa. Kesiapan tujuan wisata termasuk di dalamnya kesiapan dari segi pelayanan dan SDM sampai infrastruktur. Termasuk didalamnya adalah bandara atau pelabuhan, konektivitas transportasi, termasuk penerbangan langsung, prasarana, dan sarana pariwisata. Sementara dari sisi pelayanan antara lain pelayanan di EDQGDUD�GDQ�LPLJUDVL�\DQJ�H¿VLHQ�GDQ�UDPDK��

Koordinasi ini juga termasuk penyiapan kondisi politik dalam negeri agar menjadi stabil dan kondusif bagi pariwisata Indonesia.

- 16 -

Dampak dari tidak stabilnya kondisi politik dalam negeri salah satunya adalah turunnya jumlah wisatawan mancanegara. Sebagai contoh, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada November 2014 mencapai 764,5 ribu kunjungan atau turun 5,32 persen dibandingkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara November 2013, yang sebanyak 807,4 ribu kunjungan. Demikian pula, jika dibandingkan dengan Oktober 2014, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara November 2014 turun sebesar 5,48 persen. Penurunan ini sebagai imbas dari dinamika politik Indonesia pada saat itu, salah satunya pergantian pemerintahan.

Ketiga, kesiapan dari sisi keamanan juga perlu diperhatikan. Pihak imigrasi harus memperketat pengawasan di pintu-pintu masuk utama ke Indonesia. Pemberian bebas visa harus diikuti peningkatan pengamanan dan pemantauan. Pemberian fasilitas bebas visa hanya diberlakukan di lima Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI), yaitu Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Jakarta), Bandara Internasional Kualanamu (Medan), Bandara Internasional Hang Nadim (Batam), Bandara Internasional Ngurah Rai (Bali), dan Bandara Internasional Juanda (Surabaya).

Keempat, sosialisasi bebas visa. Sosialisasi harus dilakukan untuk memastikan bahwa semua pihak, baik itu di tingkat aparat, imigrasi, kedutaan di luar negeri, dan travel agent paham. Sosialisasi dilakukan hingga ke tingkat daerah agar daerah siap dalam penyusunan program promosi atraksi wisata. Selain itu, sosialisasi juga dilakukan di luar negeri melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), sehingga bisa dihindari kesalahpahaman wisatawan mancanegara yang akan berkunjung ke Indonesia. Materi sosialisasi juga harus memuat informasi terakhir negara-negara yang telah melakukan perjanjian resiprokal.

PenutupKebijakan bebas visa harus dipersiapkan

dengan matang sehingga target dari kebijakan bebas visa kunjungan singkat untuk peningkatan wisatawan yang dapat berdampak penguatan nilai tukar rupiah dapat dicapai. Upaya yang perlu dilakukan meliputi penyediaan dan perbaikan infrastruktur dan fasilitas pendukung, memperkuat dasar hukum terkait proses pelaksanaannya, segera melakukan diplomasi terhadap 30 negara bebas visa, dan menyusun program

promosi wisata yang menarik. Selain itu, diperlukan sosialisasi yang gencar terkait bebas visa kunjungan hingga tingkat daerah dan diperlukan koordinasi yang kuat antara kementerian/lembaga terkait, khususnya Kementerian Pariwisata, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Luar Negeri.

DPR perlu mengawal dan melakukan evaluasi atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini. Hal ini menjadi penting agar HIHNWL¿WDV� GDUL� NHELMDNDQ� LQL� GDSDW� GLSDQWDX�dan sesuai dengan tujuan.

ReferensiAntariksa, Basuki. “Pembebasan

Permohonan Visa Schengen dan Kepentingan Pembangunan Kepariwisataan di Indonesia”. Makalah diskusi. Jakarta. 2011.

Badan Pusat Statistik. “Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara November 2014 Mencapai 764,5 Ribu Kunjungan, Turun 5,32 Persen Dibanding November 2013”. http://www.bps.go.id/Brs/view/id/1096, diakses 25 Maret 2015

“Bebas Visa Berdampak Besar, Asas Timbal Baliknya Harus Diuji”, Kompas, 18 Maret 2015.

“Bebas Visa 30 Negara, Imigrasi Kehilangan 50 Persen PNBP”, http://www.tempo.co/read/news/2015/03/20/078651567/B e b a s - V i s a - 3 0 - N e g a r a - I m i g r a s i -Kehilangan-50-Persen-PNBP, diakses 19 Maret 2015.

“Bebas Visa 30 Negara, Wisatawan Asal Cina Paling Diwaspadai”, http://www.tempo.co/read/news/2015/03/20/078651555/Bebas-Visa-30-Negara-Wisatawan-Asal-Cina-Paling-Diwaspadai, diakses 19 Maret 2015.

“Indonesia Merevisi Kebijakan Visa Kunjungan Singkat”, http://www.indonesia-investments.com/id/berita/kolom-berita/indonesia-merevis i-kebijakan-visa-kunjungan-singkat/item5396, diakses 18 Maret 2015.

Pangestu, Mari. “Bebas Visa dan Potensi Pariwisata Indonesia”, Kompas, 23 Maret 2015.

“Pariwisata Jadi Sektor Unggulan”, Kompas, 20 Maret 2015.

“Promosi Pariwisata Diperkuat, Pelaku Usaha Sambut Penambahan Bebas Visa”, Kompas, 19 Maret 2015.

- 17 -

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Vol. VII, No. 06/II/P3DI/Maret 2015PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

KONTROVERSI WACANA DANA PARPOLAryojati Ardipandanto*)

Abstrak

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyampaikan wacana pemberian dana kepada parpol sebesar Rp1 triliun per tahun. Hal yang menarik adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa wacana itu belum pernah dibicarakan dalam Rapat Kabinet. Presiden Jokowi tidak mempermasalahkan wacana itu meskipun karena masih kuatnya isu kemiskinan di Indonesia, wacana itu belum akan dapat diterapkan. Secara normatif, bagaimana pun wacana ini harus dipertimbangkan kembali, khususnya jika kita melihat “spirit” parpol yang tercantum GL� GDODP�88�1RPRU� �� 7DKXQ� ����� GDQ� ODQGDVDQ� WHRULWLN� WHUNDLW� GH¿QLVL� SDUSRO� LWX�sendiri. Pertanyaan besarnya adalah, apakah dana besar bagi parpol memang dapat diterapkan saat ini atau sebaiknya lebih baik dialihkan sasarannya kepada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Alternatif memberikan ruang usaha bagi parpol yang lebih luas juga dapat dijadikan pertimbangan.

PendahuluanPresiden Jokowi menyetujui

wacana Mendagri Tjahjo Kumolo untuk mengalokasikan dana Rp1 triliun per tahun bagi parpol pemenang pemilu. Presiden Jokowi menyatakan bahwa hal itu tidak menjadi terutama apabila kondisi perekonomian Indonesia sudah sangat baik dengan indikasi tingkat kemiskinan sudah bisa ditekan serendah-rendahnya. Namun demikian, Presiden menegaskan bahwa situasi ekonomi di Indonesia saat ini belum bisa dikatakan baik dan masih banyak yang masih perlu dibenahi. Dengan demikian, saat ini wacana pemberian dana parpol tersebut belum bisa dilaksanakan.

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku terkejut mendengar adanya usulan wacana ini dan menegaskan bahkan wacana tersebut belum pernah dibahas dalam rapat kerja Kabinet.

Mendagri sendiri mengatakan bahwa wacana tersebut masih sebatas rencana. Hal ini berawal dari masalah pembiayaan atau pendanaan kampanye yang anggarannya “jor-jor-an”. Mendagri mengatakan bahwa dirinya yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal PDIP, sebagai Partai pemenang Pemilu, menerima pembiayaan parpol hanya Rp2 miliar. Padahal, untuk menghidupi partai di seluruh Indonesia yang dicirikan

*) Peneliti Pertama Politik pada Bidang Politik Dalam Negeri, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: [email protected].

- 18 -

dengan luasnya wilayah, dana parpol perlu ditingkatkan.

Selain itu, Mendagri juga mengemukakan bahwa kurang memadainya dana parpol menjadi penyebab pejabat negara melakukan korupsi. Hal itu dikarenakan selama ini kader partai harus menggunakan dana pribadi untuk berkampanye dan pencalonan diri dalam Pemilu.

Bagaimana pun, Mendagri mengakui bahwa wacana itu belum tentu akan membantu menurunkan angka korupsi bahkan sekalipun pembiayaan parpol dinaikkan ratusan kali lipat. Maka dari itu, fokusnya tidak akan hanya disitu saja. Perlu difokuskan juga bagaimana seharusnya dana itu dipertanggungjawabkan dengan betul. Mendagri juga menyebutkan bahwa pendanaan parpol dari anggaran negara sudah dijalankan oleh sejumlah negara di Eropa dan Amerika Latin. Dengan dana itu, diharapkan parpol akan bekerja maksimal untuk menghindari stigma korupsi.

Subsidi Dana Parpol dan Dampaknya

Sebelum melihat bagaimana ide wacana pendanaan parpol oleh negara dapat diterapkan atau tidak di Indonesia, kita perlu melihat beberapa contoh pendanaan parpol yang diterapkan di beberapa negara. Di Jerman, 75% dana Parpol dibiayai oleh negara. Alasannya adalah agar keuangan parpol lebih terkontrol. Jika sebagian dana parpol dikontrol oleh pemerintah, pencegahan masuknya dana-dana gelap, praktek money laundering dan korupsi politik akan jauh lebih mudah dilaksanakan.

Di Denmark, sejak 1986 pemerintahnya memberikan subsidi tahunan kepada parpol. Untuk setiap satu suara yang didapatkan, parpol akan menerima 30 danish krone atau sekitar Rp60.000,- per tahun. Namun demikian, tidak semua parpol berhak mendapatkan kucuran dana itu. Ada kriteria batas perolehan suara secara nasional. Partai Sosial Demokrat, yang mendapat 20% suara dalam Pemilu terakhir, bila dirupiahkan mendapat sekitar Rp52,4 miliar per tahun. Dana ini digunakan untuk seluruh kegiatan politik partai. Konsekuensinya, parpol harus mempertanggungjawabkan penggunaannya sesuai undang-undang dan keuangan

partai akan diaudit setiap tahun oleh akuntan publik. Jika ada parpol dinilai tidak akuntabel, negara tidak akan memberi bantuan lagi.

Negara yang mensubsidi 100% parpolnya adalah Uzbekistan. Austria dan Meksiko disubsidi negara lebih dari 50%. Sementara di Inggris, Italia dan Australia, negara memberikan subsidi kurang dari 50% kepada parpolnya. Di Asia, Jepang memiliki undang-undang dana subsidi partai, yang selain menetapkan persyaratan partai yang dibutuhkan bagi penyelenggaraan bantuan subsidi partai, QRWL¿NDVL� SDUWDL�� SURVHGXU� ODLQQ\D� WHUNDLW�subsidi partai, juga menetapkan laporan penggunaan dana subsidi partai dan lain-lain. Persyaratan tertentu diterapkan terkait dengan transparansi dan akuntabilitas penggunaannya.

Ternyata efek diterapkannya subsidi dana parpol ini berbeda-beda pada beberapa negara. Ada yang menyebabkan ketergantungan pada dana negara atau bahkan membuat parpol kehilangan hasrat merekrut anggota sehingga kehilangan tugas dan fungsi representasi, partisipasi, dan komunikasi. Tetapi, hal ini ternyata tidak terjadi di negara yang lain. Di Spanyol, di mana subsidi negara terhadap parpol mencapai 80%, ternyata memicu lahirnya kartelisasi parpol dalam sistem kepartaian. Namun, situasi yang sama tidak terjadi di Jerman dan sejumlah negara Skandinavia seperti Norwegia dan Swedia. Di negara-negara ini, subsidi Negara tidak menimbulkan ketergantungan dan kartelisasi. Ternyata, Negara-negara ini menerapkan sistem pendanaan parpol yang kompleks dan dinamis.

Inti yang didapat adalah bahwa untuk keberhasilan program subsidi dana parpol oleh negara, diperlukan beberapa hal penting. Pertama, perlu ada persyaratan yang jelas terkait kriteria dan besaran subsidi dana parpol yang harus diatur di dalam undang-undang. Kedua, program subsidi dana parpol ini harus diimbangi dengan dilahirkannya peraturan yang ketat terkait pertanggungjawaban dan transparansi penggunaan dana parpol itu sendiri oleh setiap parpol.

Kini, di Indonesia, dapat kita lihat bahwa meskipun alasan pemunculan rencana pendanaan parpol sebesar Rp1

- 19 -

Trilyun per tahun dilandasi dengan alasan yang masuk akal, namun setidak-tidaknya ada beberapa hal yang tetap harus dijadikan perhatian. Saat ini banyak parpol yang sedang bermasalah. Belum lagi kinerja Anggota DPR RI yang belum dinilai optimal oleh sebagian masyarakat. Bisa jadi karena itu, usulan kenaikan anggaran untuk parpol dinilai tidak adil oleh sebagian masyarakat yang masih kecewa dengan kinerja parpol.

Saat ini, subsidi Negara kepada parpol memang tergolong kecil, yaitu Rp108 per suara nasional yang didapat. Namun, kenaikan seharusnya tidak sedrastis seperti yang diusulkan oleh Mendagri. Idealnya, nilai subsidi parpol tiap suara tidak lebih dari Rp2 ribu. Ini pun seharusnya dibarengi dengan persyaratan yang ketat. Ada beberapa syarat yang setidak-tidaknya harus dipenuhi. Pertama, harus ada kejelasan anggaran apa saja yang akan disubsidi. Kedua, tata kelola pengelolaan keuangan parpol harus dibuat terbuka. Seharusnya, keuangan parpol harus dipublikasikan. Alasannya, berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch (ICW), saat ini banyak parpol yang tidak mencatat secara detail pengeluaran dan pemasukan mereka. Jika ada persyaratan yang tidak dipenuhi, Pemerintah harus mendorong adanya sanksi pidana. Momen kenaikan subsidi ini seharusnya bisa menjadi ajang memperbaiki parpol. Jangan sampai sebaliknya, angka subsidi justru sejalan dengan praktek korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum anggota parpol. Adanya pendapat bahwa subsidi penyelenggaraan parpol sebesar Rp 1 Trilun yang diambil dari APBN dinilai tidak akan meminimalkan potensi korupsi lewat kader partai, dimana malah akan melegalisasi pencurian uang rakyat, perlu diperhatikan oleh Mendagri. Artinya, hal ini tentunya jangan sampai terjadi, dan pencegahannya adalah dengan menerapkan sistem kontrol dan aturan yang ketat berdasarkan hukum.

Perlu dicermati bahwa setidak-tidaknya ada tiga kelemahan jika Pemerintah mensubsidi parpol. Pertama, parpol akan malas bekerja karena sudah disubsidi negara. Kedua, akan membuka ruang bagi lahirnya parpol baru yang bertujuan mengejar uang negara belaka. Ketiga, uang rakyat itu tidak dipergunakan untuk biaya sosial ekonomi masyarakat, tetapi dialihkan

ke partai secara pribadi. Dengan subsidi itu, parpol akan menjadikan anggaran negara sebagai sumber penghasilan. Ini akan berefek terhadap ketergantungan parpol pada kas negara. Bila tidak hati-hati, APBN akan menjadi “bancakan” parpol setiap tahunnya di legislatif. Ketika uang rakyat digunakan untuk menguntungkan organisasi partai, maka pelaku pengubah anggaran bisa diduga menggunakan kekuatan jabatan politiknya untuk memperkaya kelompok tertentu atau partai. Ini adalah skenario atau antisipasi terburuknya.

Di sisi lain, bila kita mengkaji wacana dana parpol ini dari sisi normatifnya, sebetulnya pemberian dana bantuan oleh Pemerintah terhadap parpol itu telah menyimpang dari hakikat parpol itu sendiri. Pemberian dana tersebut akan meruntuhkan esensi kehadiran parpol dalam kehidupan berdemokrasi kita. Sebab menurut Prof. Miriam Budiarjo, parpol merupakan suatu kelompok yang terorganisasikan di mana para anggotanya mempunyai orientasi, cita-cita dan nilai-nilai yang sama. Tujuan kelompok ini yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakannya.

Pendapat ini kemudian diperkuat oleh pendapat Carl J. Friedrich yang mengemukakan bahwa parpol adalah sekelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap Pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan itu, memberikan kepada anggota-anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materil.

Dari defenisi yang diberikan para pakar tersebut, diaturlah kemudian dalam sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang parpol. UU RI No.2 Tahun 2008 yang disempurnakan melalui UU No.2 Tahun 2011 Tentang Parpol, menyebutkan bahwa parpol merupakan organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita, untuk dapat memperjuangkan kepentingan anggota, kepentingan masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.

Dari pendapat para pakar dan

- 20 -

GH¿QLVL� \DQJ� GLEHULNDQ� 88� WHUVHEXW�� MHODV�bahwa parpol lahir atas inisiatif warga masyarakat, bukan dibentuk oleh negara, apalagi dibiayai negara. Dengan demikian, secara ideal sebuah parpol dibentuk karena tujuan ideologis para anggotanya. Maka, karena parpol lahir dari inisiatif warga masyarakat yang memiliki pandangan yang sama tentang bagaimana penyelenggaraan negara, mereka akan sungguh-sungguh memperjuangkannya, termasuk siap berkorban secara moril maupun materil dalam perjuangan tersebut. Dalam hal pendanaan, mereka pun akan berupaya mendapatkan pendanaan yang sah dan halal, bahkan akan bersedia secara sukarela memberikan harta kekayaannya untuk mendanai perjuangan partai.

Selanjutnya, dari sisi masyarakat, dengan keberadaan dana tersebut, secara otomatis maka layanan Pemerintah yang akan diterima masyarakat akan berkurang. Dana sebesar Rp.1 Triliun yang diberikan kepada partai, misalnya, seharusnya sudah mampu membangun beberapa rumah susun, dapat membantu modal usaha masyarakat, dapat membantu subsidi biaya pendidikan dan kesehatan, dapat membantu pembangunan infrastruktur yang lebih layak di daerah tertinggal, dan lain sebagainya.

PenutupHendaknya perlu dianalisa atau dikaji

ulang, apakah wacana pemberian dana parpol sebesar Rp 1 Trilyun per tahun ini memang sudah tepat diterapkan saat ini di Indonesia. Perlu dipertimbangkan kembali, apakah tidak sebaiknya alokasi dana untuk hal itu dialihkan kepada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Bila memang ide ini tetap akan direalisasikan, sebaiknya pengalokasian dana ini tidak langsung Rp 1 Trilyun, tetapi dirancang secara bertahap kenaikannya per tahun, seiring dengan upaya Pemerintah untuk memajukan taraf hidup masyarakat Indonesia. Selain itu, perlu dirancang sistem kontrol berdasarkan hukum yang mengatur pemanfaatan dana parpol tersebut, sehingga sedapat mungkin penyalahgunaan terhadapnya terhindarkan.

Namun demikian, alternatif lain yang dapat dilakukan adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada parpol untuk melakukan usaha sendiri, yang

diatur dalam UU, dengan berprinsip tidak dimanfaatkan untuk memenangkan proyek Negara. Sebetulnya alternatif ini lebih sesuai dengan spirit berdirinya parpol itu sendiri, dimana parpol merupakan suatu kelompok yang terorganisir dimana para anggotanya mempunyai orientasi, cita-cita dan nilai-nilai yang sama. Tujuan kelompok ini yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakannya.

Subsidi negara terhadap parpol juga tidak harus serta merta diartikan melalui pemberian uang secara tunai. Subsidi negara terhadap parpol dapat juga dilakukan melalui pemberian fasilitas nontunai, seperti menyediakan saksi untuk masing-masing parpol. Dengan demikian parpol tidak perlu merekrut saksi sendiri. Selama ini cukup banyak dana yang dikeluarkan parpol untuk membayar saksi saat proses pemilihan berlangsung. Hal itu dirasakan sangat membebani keuangan parpol bersangkutan.

ReferensiMiriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar

Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Gatra, 19-25 Maret 2015 Nomor 20 Volume XXI, Jakarta, Era Media Informasi

"Jokowi Setuju Dana Parpol 1 Trilyun Asalkan", http://news.liputan6.com/read/2190783/, diakses tanggal 21 Maret 2015

"Menteri Tjahjo Kumolo : Dana Parpol Minim Penyebab Korupsi", h t t p : / / w w w . t e m p o . c o / r e a d /news/2015/03/10/078648688/, diakses tanggal 21 Maret 2015

Dana Kampanye Diusulkan Dibebankan kepada Negara, http://www.k o m i s i h u k u m . g o . i d / i n d e x .php?option=com, diakses tanggal 23 Maret 2015