vol. vii no.19 i oktober 2015

24

Upload: info-singkat

Post on 10-Feb-2016

28 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Catatan Perjalanan Setahun DPR Periode 2014-2019 (AB)Paket Kebijakan Ekonomi Dan Stabilisasi Nilai Tukar Tahap II (HM)Musibah Mina Dan Peningkatan Mutu Pembinaan Jemaah Haji (AMF)Tragedi Mina Dan Kerja Sama Internasional (SH)Implikasi Hukum Putusan MK Terkait Izin Presiden Dalam Penyidikan Anggota DPR

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. VII No.19 I Oktober 2015
Page 2: Vol. VII No.19 I Oktober 2015
Page 3: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 1 -

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Vol. VII, No. 19/I/P3DI/Oktober/2015H U K U M

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

IMPLIKASI HUKUM PUTUSAN MK TERKAIT IZIN PRESIDEN DALAM

PENYIDIKAN ANGGOTA DPRNovianti*)

Abstrak

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan penyidikan anggota DPR dengan mengganti izin MKD dengan izin Presiden menimbulkan berbagai pendapat di kalangan para ahli hukum. MK dinilai telah merumuskan sebuah putusan yang tidak diminta oleh pemohonnya, karena yang dimohonkan adalah agar persetujuan tertulis MKD terkait dengan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. MK menyatakan pasal tersebut bertentangan namun dengan tambahan sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”. Putusan MK yang bersifat ultra petita menimbulkan kesan bahwa MK sudah bukan lagi merupakan negative legislator melainkan positive legislator. Di sisi lain, karena putusan MK bersifat final dan mengikat, bagaimana pun keputusan itu harus ditaati oleh semua pihak.

PendahuluanPutusan Mahkamah Konstitusi

(MK) terkait pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana, menimbulkan perdebatan. Dalam perkara pengujian Pasal 245 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terhadap UUD 1945, MK memutuskan bahwa penegak hukum harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, jika ingin memanggil dan meminta keterangan terhadap anggota DPR dalam proses penyidikan. Permohonan

pengujian Pasal 245 ayat (1) diajukan Supriyadi sebagai pemohon perseorangan dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sebagai pemohon Badan Hukum Privat. Menurut para pemohon, Pasal 245 UU tersebut terkait dengan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD) harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

*) Peneliti Madya Hukum Internasional pada Bidang Hukum, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: [email protected]

Page 4: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 2 -

mengikat karena bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum dan prinsip nondiskriminasi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.

Terhadap permohonan pengujian Pasal 245 UU MD3 tersebut, MK memutuskan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Presiden, bukan persetujuan tertulis dari MKD sebagaimana diatur dalam UU MD3. Pemberian persetujuan tertulis dari Presiden kepada pejabat negara yang sedang mengalami proses hukum bukan hal baru, karena hal ini telah diatur dalam beberapa undang-undang sebelumnya, seperti Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Putusan MK Dalam permohonannya, Pemohon

berpendapat Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pasal 245 UU MD3 juga bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka (Independent judiciary), prinsip persamaan dalam hukum dan prinsip nondiskriminasi. Oleh karenanya, menurut pemohon tidak perlu ada persetujuan tertulis dari MKD dan meminta Mahkamah menyatakan Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dalam pertimbangan, Majelis Hakim berpendapat anggota legislatif dipilih melalui pemilihan umum dan memiliki sejumlah hak seperti hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usulan dan pendapat, serta hak imunitas. Terhadap fungsi dan hak yang dimiliki anggota legislatif ini, tentunya juga harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang proporsional. Tujuannya, anggota DPR tidak mudah dikriminalisasi pada saat menjalankan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya sepanjang dilakukan dengan ithikad baik dan bertanggung jawab. Selanjutnya, adanya

syarat persetujuan tertulis dari MKD untuk penyidikan terhadap anggota DPR dianggap bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan.

Dalam konteks anggota DPR sebagai pejabat negara, MK menilai anggota DPR seharusnya diperlakukan b e r b e d a dengan dari warga negara yang bukan pejabat negara. Pejabat negara bertugas menjalankan fungsi dan tugasnya yang memiliki risiko berbeda dengan warga negara lainnya. Meskipun begitu, pembedaan perlakuan terhadap pejabat negara memang harus berdasarkan prinsip logika hukum yang wajar dan proporsional sehingga tidak menimbulkan penilaian sebagai sebuah suatu keistimewaan.

Selanjutnya MK juga menegaskan bahwa pengaturan persetujuan tertulis dari MKD pada anggota DPR yang sedang dilakukan penyidikan dianggap tidak tepat. Sebab MKD hanya alat kelengkapan DPR dan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung dengan sistem peradilan pidana. Anggota MKD juga terdiri dari anggota DPR sehingga kalau penyidikan harus mendapatkan persetujuan dari MKD, tentunya akan menimbulkan konflik kepentingan. Atas dasar argumen itu, persetujuan tertulis seharusnya dikeluarkan Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara.

Amar Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 terkait pengujian UU MD3 menyatakan bahwa, frasa “persetujuan tertulis dari MKD dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”. Selanjutnya Pasal 245 ayat (1) UU MD3 selengkapnya menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden”

Selain putusan tersebut MK juga memutuskan bahwa frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 224 ayat (5) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”. Putusan terhadap Pasal 224 ayat (5) UU MD3 ini merupakan putusan yang tidak dimohonkan untuk dilakukan judicial review.

Page 5: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 3 -

Implikasi Hukum Putusan MKUU No. 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK, Pasal 57 ayat (2a) menyebutkan bahwa Putusan MK tidak memuat: (a) amar selain yang menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; (b) perintah kepada pembuat undang-undang; dan (c) rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan tersebut memunculkan pendapat bahwa Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/ 2014 merupakan ultra petita.

Menanggapi putusan MK tersebut, Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menilai putusan MK yang mensyaratkan persetujuan tertulis dari Presiden untuk memeriksa anggota dewan yang diduga terlibat tindak pidana bertujuan untuk menciptakan keseragaman prosedur pemanggilan pejabat lembaga negara. Namun demikian, kiranya juga harus diakui bahwa dengan putusan tersebut ada beberapa persoalan hukum yang dapat ditimbulkan. Pertama, MK telah merumuskan sebuah putusan yang tidak diminta oleh pemohonnya. Yang sebenarnya diminta adalah persetujuan tertulis dari MKD dihapuskan, bukan diganti menjadi persetujuan tertulis dari Presiden. Kedua, dengan menetapkan persetujuan tertulis dari Presiden, maka MK melebihi mandatnya sebagai negative legislature (penghapus/pembatal norma) dan menjelmakan dirinya sebagai positive legislature (pembuat norma). Padahal seharusnya kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang melekat pada DPR bersama Presiden. Ketiga, menggeser izin pemeriksaan dari MKD menjadi persetujuan tertulis Presiden tidak menjawab persoalan konstitusionalitas norma UU MDG3 terkait dengan pemanggilan anggota DPR dalam proses penyidikan melalui persetujuan tertulis MKD.

Persetujuan tertulis dari Presiden terkait dengan pemeriksaan anggota DPR sebenarnya sudah pernah diatur dalam Pasal 220 Undang-Undang No. 27 Tahun 1999 tentang Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 sebelum penggantian). Saat itu, sempat muncul kekhawatiran proses penyidikan terhadap anggota dewan akan membutuhkan waktu yang lama karena harus menunggu persetujuan tertulis dari Presiden. Dalam UU MD3 yang baru ketentuan tersebut dilakukan perubahan, yakni pemeriksaan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD. Terkait dengan putusan MK tersebut, Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Publik, Ronald Rofiandri yang menyatakan, bahwa sebenrnya jika MK berpatokan atau mengkhawatirkan posisi MKD yang rentan konflik kepentingan, seharusnya bukan memaknai dan menghadirkan posisi Presiden sebagai pihak yang memberikan persetujuan tertulis dalam hal pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR. Dengan demikian, MK sebenarnya cukup membatalkan ketentuan Pasal 245. Dengan demikian, MKD tidak mempunyai kewenangan memberikan persetujuan tertulis.

Implikasi hukum putusan MK juga diungkapkan oleh Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, yang menilai bahwa putusan MK terkait perubahan prosedur persetujuan tertulis yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPR tidak akan melemahkan kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Persetujuan tertulis tersebut tidak berlaku untuk tiga hal. Pertama, tindak pidana yang tertangkap tangan; kedua, tindak pidana dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup; dan ketiga, tindak pidana kejahatan kemanusiaan. KPK memiliki undang-undang khusus yang membuat langkah KPK tidak akan terhambat dalam melakukan penindakan hukum terhadap para pejabat publik, khususnya anggota dewan yang terlibat dalam kasus korupsi. UU tersebut menjelaskan semua persetujuan tertulis tidak diperlukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap pejabat publik yang melakukan tindak pidana korupsi.

Page 6: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 4 -

Refly juga menegaskan bahwa putusan MK tidak berlaku untuk tindak pidana khusus seperti korupsi, terorisme, kejahatan narkotika, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perbankan yang memerlukan penindakan hukum secara cepat. Hal tersebut juga ditegaskan pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, yang menyatakan putusan MK tersebut hanya mengikat pada tindak pidana umum (tipidum). Sementara, kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana khusus (tipidsus) seperti korupsi tidak masuk di dalamnya. Artinya, KPK bisa memintai keterangan anggota DPR, MPR, dan DPD, baik saat penyelidikan maupun penyidikan tanpa harus meminta persetujuan tertulis dari Presiden.

Terlepas dari kontroversi putusan MK tersebut, implikasi konkret dari Putusan MK tersebut yang memerintahkan penggantian persetujuan tertulis MKD menjadi persetujuan tertulis Presiden akan menimbulkan kesan bahwa MK sudah bukan lagi merupakan negative legislator melainkan positive legislator. Disisi lain hal ini dapat dinyatakan sebagai bagian dari penjagaan konstitusi atau bahkan wewenang diskresioner MK. Namun demikian, di pihak lain, hal ini dikhawatirkan akan memunculkan semacam “absolutisme konstitusional” serta merugikan kepentingan hukum pihak pemohon.

UU MK menegaskan jika materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU inkonstitusional, MK hanya dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding). MK tidak dapat membatalkan berlakunya UU (vernietigingsrecht) dan begitu juga tidak dapat merubah rumusan redaksi ayat, pasal atau bagian UU, apalagi memproduksi UU. Artinya, putusan MK masih dalam batas hukum acara MK, karena tidak memasuki ranah legislatif. Kekuasaan MK terbatas sesuai kedudukan dan fungsinya. Hubungannya dengan kekuasaan lain diikat prinsip checks and balances. Terlepas dari persoalan tersebut implikasi hukum putusan MK bersifat final dan mengikat. Dalam putusan MK-lah dapat diketahui apakah suatu ketentuan undang-undang yang dimohonkan bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Hal ini dengan sendirinya berimplikasi bahwa putusan MK memuat bagaimana suatu ketentuan

dalam UUD 1945 ditafsirkan terkait dengan ketentuan undang-undang yang dimohonkan tersebut. Di sisi lain, karena putusan MK bersifat final dan mengikat, maka putusan MK yang mengabulkan suatu permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD, baik mengabulkan sebagian maupun seluruhnya, dengan sendirinya telah mengubah ketentuan suatu undang-undang dengan menyatakannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Di samping itu, kekuatan suatu putusan yang dikeluarkan suatu institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan suatu perkara yang diajukan judicial review haruslah merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapa pun.

PenutupMunculnya putusan yang bersifat ultra

petita dalam putusan MK terkait dengan mekanisme pemerikasan anggota DPR telah mengundang reaksi dari banyak pihak. Hal ini diakibatkan bahwa putusan yang bersifat ultra petita MK tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan lebih tegas mengenai larangan terhadap putusan yang bersifat ultra petita, sebab MK fungsinya hanya sebagai penyeimbang dari kewenangan legislasi aktif yang dimiliki oleh Pemerintah dan DPR. Dengan cara ini, peran MK sebagai negative legislator akan tetap dapat terjaga.

Referensi“Putusan MK Soal Pemeriksaan Anggota DPR

Dinilai Timbulkan Masalah Baru”, Suara Pembaruan, 30 September 2015.

“Istana Sederhanakan Izin Pemeriksaan DPR”, Republika, 1 Oktober 2015.

“Semua Pihak Diminta Hormati Putusan MK Terkait Pemeriksaan Anggota DPR”, dalam http://www.tribunnews.com/, diakses 29 September 2015.

“Soal Pemeriksaan DPR Keputusan MK Timbulkan Kerancuan Hukum”, Republika, 25 September 2015.

“Presiden Patuhi Putusan MK Terkait Pemeriksaan DPR”, http://sp.beritasatu.com/nasional/, diakses 25 September 2015.

“Putusan MK soal Pemeriksaan Anggota DPR Dinilai Tak Lemahkan KPK”, Kompas, 23 September 2015.

“Putusan MK soal Pemeriksaan Anggota Dewan Dinilai Diskriminatif”, Kompas, 22 September 2015.

Fista Prilia Sambuar, “Eksistensi Putusan Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi” dalam Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013.

Page 7: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 5 -

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Vol. VII, No. 19/I/P3DI/Oktober/2015HUBUNGAN INTERNASIONAL

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

TRAGEDI MINA DANKERJA SAMA INTERNASIONAL

Sita Hidriyah*)

Abstrak

Tragedi Mina yang menelan korban jiwa lebih dari 1000 jemaah haji telah menjadi keprihatinan dunia. Di pihak jemaah haji Indonesia tercatat lebih dari 100 orang menjadi korban meninggal dunia dalam musibah tersebut. Muncul keinginan untuk penyelidikan independen dengan melibatkan negara-negara yang jemaahnya menjadi korban untuk mencari kebenaran tentang penyebab kejadian sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali. Sementara itu, pemerintah Arab Saudi menempuh kebijakan investigasi tertutup. Arab Saudi menolak intervensi investigasi tragedi Mina dan meminta semua pihak bersabar menunggu hasil investigasi.

PendahuluanTragedi Mina yang menelan

korban jiwa lebih dari 1000 jemaah dari berbagai belahan dunia itu disebut sebagai tragedi terburuk dalam 25 tahun terakhir penyelenggaraan haji oleh Pemerintah Arab Saudi. Selama ini Pemerintah Arab Saudi terus berusaha untuk meningkatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan jemaah. Perbaikan-perbaikan telah dilakukan untuk memaksimalkan pelayanan bagi anggota jemaah haji, seperti perluasan Masjidil Haram, pembangunan tujuh lantai jalur untuk melempar jumrah, hingga penyiapan kereta cepat Mekkah-Jeddah-Madinah. Namun demikian, peristiwa

kecelakaan di Mina lagi-lagi memunculkan pertanyaan tentang standar keamanan dan kebijakan Pemerintah Arab Saudi dalam pelayanan ibadah haji. Akibatnya, Pemerintah Arab Saudi mendapat tekanan dari banyak pihak untuk melakukan investigasi terbuka dan perbaikan manajemen pengelolaan jemaah haji.

Pemerintah Arab Saudi dinilai bertindak tertutup soal investigasi. Musibah yang terjadi menimpa banyak korban dari banyak negara tersebut menimbulkan keinginan negara korban untuk dapat dilibatkan dalam proses investigasi. Terkait proses investigasi, Arab Saudi menegaskan

*) Peneliti Muda Masalah-masalah Hubungan Internasional, pada Bidang Hubungan Internasional, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: [email protected]

Page 8: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 6 -

bahwa mereka tidak ingin diintervensi oleh pihak manapun. Negara tersebut tidak mengikutsertakan negara lain di dalam proses investigasi dan membatasi keterlibatan negara lain hanya sebatas pemberian saran. Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan peringatan bahwa mereka tidak akan mengizinkan pihak mana pun mengeksploitasi haji untuk kepentingan politik. Hal ini tentu saja merupakan tantangan besar bagi Arab Saudi karena jemaah haji berasal dari 200 negara di seluruh dunia.

Reaksi Negara-Negara Korban Menyikapi Tragedi Mina

Muncul usulan untuk melakukan i n v e s t i g a s i i n d e p e n d e n t d e n g a n mengatasnamakan Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Keterlibatan OKI dinilai wajar sebagai perwujudan kepedulian, profesionalitas dan keterlibatan dunia Islam dalam pengelolaan rangkaian ibadah haji di Arab Saudi. Selain agar kinerja Pemerintah Arab Saudi menjadi lebih ringan, kerja sama ini adalah bentuk dari tanggung jawab bersama sebagai persatuan umat Islam. Apabila OKI dapat melaksanakan invetigasinya, diharapkan tidak akan ada pihak yang mengambil keuntungan dari pelaksanaan haji. Namun demikian, tidak semua kalangan setuju dengan keterlibatan OKI pada investigasi tragedi Mina. Tindakan tersebut dinilai banyak kalangan tidaklah perlu karena penanganan tragedi tersebut bukan bersifat politik. Penanganan musibah harus lebih kepada rasa kemanusiaan dengan mengatasnamakan negara Islam yang peduli dengan musibah yang terjadi dan terhadap perbaikan penyelenggaraan haji ke depan. Apabila melibatkan OKI secara organisasi, dikhawatirkan akan muncul banyak persoalan. Selain politis, juga adanya perbedaan paham dan pandangan yang dapat menimbulkan pertengkaran dalam proses investigasi. Dengan demikian, hal itu akan mengganggu proses yang berlangsung serta pada kesempurnaan haji.

Iran merupakan negara yang bereaksi paling keras terhadap tragedi Mina dan menganggap Negara Arab Saudi luput menangani keselamatan anggota jemaah

haji. Korban terbanyak berasal dari Iran, diperkirakan lebih dari 150 jemaah Iran meninggal dalam tragedi itu. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menuntut Pemerintah Arab Saudi meminta maaf kepada seluruh keluarga korban dan bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Iran menyerukan negara-negara Islam membentuk komite investigasi bersama untuk menyelidiki tragedi tersebut. Merespons tudingan itu, Negara Arab Saudi menilai reaksi Iran bermuatan politik akibat dari perselisihan kedua negara pada krisis regional Suriah dan Yaman.

Maroko dengan jumlah korban 87 orang meninggal menjadi negara dengan korban terbanyak kedua setelah Iran, menggelar aksi demo secara damai dengan mengecam kesalahan manajemen dan kecerobohan penyelenggaran manasik haji Arab Saudi. Sejumlah aktivis politik dan HAM Maroko menegaskan Arab Saudi untuk bertanggung-jawab penuh atas tragedi Mina, menyerukan pembentukan investigasi internasional yang independen dan mempublikasikan secara transparan penyebab insiden itu. Maroko juga menuntut kerajaan Arab Saudi sebagai penyelenggaran haji untuk meminta maaf kepada keluarga korban dan membayar uang diat (denda).

Indonesia yang menjadi negara dengan jumlah jemaah haji terbesar bersikap menunggu hasil investigasi Arab Saudi. Berbeda dengan Iran yang cenderung menyalahkan Arab saudi, Indonesia menyikapi terjadinya bencana dengan lebih rasional dan bijaksana berikut pemberian saran bagi perbaikan ibadah haji ke depan. Pemerintah Indonesia juga meminta Pemerintah Arab Saudi untuk menerima masukan dari negara-negara yang warganya menjadi korban dalam membenahi manajemen haji. Pemerintah Arab Saudi menerima tawaran bantuan tim ahli identifikasi jenasah dari Pemerintah Indonesia.

Kerja Sama Internasional Arab Saudi telah melakukan

mitigasi hazard dalam bentuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur ibadah haji. Meskipun demikian, hal ini tetap

Page 9: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 7 -

memberikan tingkat kesulitan tersendiri dan harus mendapatkan perhatian yang lebih besar karena pengelolaan haji melibatkan jutaan jemaah dengan sikap, perilaku, bahasa, suku bangsa dan adat istiadat yang beraneka ragam. Koordinasi antar-negara harus ditingkatkan, dilakukan pembenahan manajemen dan disosialisasikan ke berbagai negara muslim. Pemerintah Arab Saudi harus melakukan investigasi tragedi Mina dengan membentuk tim multinasional melibatkan ahli dari berbagai negara, terutama negara yang warganya menjadi korban. Tujuan investigasi harus dititikberatkan pada perbaikan sistem.

P r e s i d e n J o k o w i m e l e t a k k a n perlindungan WNI sebagai prioritas utama dalam kebijakan luar negerinya. Upaya perlindungan WNI di luar negeri, termasuk WNI yang tengah melakukan ibadah haji. Karena itu, Pemerintah Indonesia hendaknya terlibat dalam upaya perbaikan sistem haji yang dilakukan Arab Saudi karena Indonesia adalah negara pengirim haji terbesar. Pemerintah Indonesia harus memiliki kebijakan antisipasi untuk melindungi keselamatan jemaah Indonesia. Hal tersebut akan mudah dilaksanakan bila mempunyai hubungan bilateral yang baik dengan Arab Saudi.

Dalam penanganan ibadah haji selama ini posisi tawar (bargaining position) pemerintah Indonesia terhadap Arab Saudi masih dinilai lemah dan masih kalah ketimbang negara-negara lain. Peningkatan posisi tawar terhadap Arab Saudi perlu dilakukan demi meningkatkan pelayanan terhadap jemaah haji Indonesia. Lemahnya posisi tawar terlihat dari masih ditempatkannya sebagian jemaah berada jauh di Mina Jadid saat mereka bermalam di Mina. Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia harus lebih aktif melakukan negosiasi secara sejajar dengan pemerintah Arab Saudi dalam hal permasalahan haji. Mengapa demikian? Jemaah haji Indonesia dinilai lebih disiplin dan relatif lebih mudah diatur dibandingkan dengan jemaah haji dari negara-negara lain. Hal ini seharusnya dapat menjadi keunggulan perbandingan perilaku jemaah Indonesia dengan jemaah negara lain dalam bernegosiasi dengan Arab Saudi.

Untuk mengoptimalkan upaya diplomasi seperti ini, Pemerintah Indonesia misalnya, dapat memanfaatkan tokoh-tokoh agama Indonesia yang memiliki hubungan sangat baik dengan pihak Arab Saudi melalui instrumen second track diplomacy (diplomasi jalur kedua). Diplomasi yang bersifat informal ini dapat melengkapi dan memperkuat negosiasi pemerintah. Dalam konteks kekiniaan, cara diplomasi seperti ini bukan hanya menjadi sangat penting dan strategis melainkan juga memiliki urgensi yang tinggi.

Penutup Berbagai kalangan, terutama para

pemangku kepentingan, mendesak agar tragedi Mina 2015 dijadikan momentum untuk membenahi penyelenggaraan ibadah haji. Perbaikan hendaknya dilakukan oleh semua pihak yang berperan dalam ibadah itu, yaitu Pemerintah Arab Saudi, pemerintah dari negara-negara asal jemaah, termasuk Indonesia, dan para anggota jemaah itu sendiri. Pemerintah Indonesia, khususnya Kemlu diminta untuk memperbaiki posisi tawar Indonesia terhadap Arab Saudi agar pelayanan kepada anggota jemaah Indonesia selama menjalani semua tahapan ibadah semakin baik.

Dalam kerangka ini, DPR RI perlu memberikan dukungan dan sekaligus mengawal upaya diplomasi Pemerintah Indonesia untuk berkontribusi penuh dalam mencari solusi atas tragedi tersebut. Arti pentingnya upaya ini karena penyelenggaraan ibadah haji tahunan ini merupakan ritual besar yang memiliki dampak ekonomi yang tidak sedikit bagi negara-negara berkembang. Oleh karena itu, kiranya sudah waktunya negara-negara yang berkepentingan dalam penyelenggaraan ibadah haji khususnya negara-negara dengan penduduk Islam besar agar permasalahan haji dapat dikelola secara baik. Dalam jangka pendek, negara-negara tersebut dapat turut mendesak Pemerintah Arab Saudi untuk menyelesaikan penyelidikan secara tuntas sehingga tingkat kepercayaan kepada Arab Saudi akan dapat terjaga.

Page 10: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 8 -

Referensi“’Safety Manager’ Pelaksanaan Ibadah Haji”,

Republika, 7 Oktober 2015“Arab Saudi Terima Bantuan RI”, Kompas, 2

Oktober 2015.“Umat Islam dan Second Track Diplomacy”,

Republika, 5 Oktober 2015.“DPR: Perkuat Posisi Tawar dengan Saudi”,

Republika, 5 Oktober 2015.“Masih 500 Jenazah Belum Dirilis

Identitasnya”, Republika, 1 Oktober 2015.

“RI Diminta Tingkatkan Posisi Tawar”, Republika, 1 Oktober 2015.

“Arab Ditekan untuk Tingkatkan Upaya Keselamatan Haji”, h t t p : / / w w w . t r i b u n n e w s . c o m /i n t e r n a s i o n a l / 2 0 1 5 / 0 9 / 2 5 / a r a b -ditekan-untuk-t ingkatkan-upaya-keselamatan-haji, diakses tanggal 2 Oktober 2015.

“DPR Usul Pemerintah Investigasi Tragedi Mina Secara Mandiri”, h t t p : / / n a s i o n a l . k o m p a s . c o m /read/2015/09/28/14460181/DPR.Usul.Pemerintah.Investigasi.Tragedi.Mina.secara.Mandiri, diakses tanggal 30 September 2015.

“Khamenei: Dunia Islam Harus Turut Investigasi Tragedi Mina, http://i n t e r n a t i o n a l . s i n d o n e w s . c o m /read/1049326/43/khamenei-dunia-islam-harus-turut-investigasi-tragedi-mina-1443613349, diakses tanggal 1 Oktober 2015.

“Iran Ancam Balas Saudi jika Jasad Tragedi Mina Tak Dipulangkan, http://international.sindonews.com/read/1049476/43/iran-ancam-balas-saudi-jika-jasad-tragedi-mina-tak-dipulangkan-1443670784, diakses tanggal 1 Oktober 2015.

“Korban Wafat Terbanyak Tragedi Mina Asal Iran dan Maroko”, http://international.sindonews.com/read/1048154/43/korban-wafat-terbanyak-tragedi-mina-asal-iran-dan-maroko-1443246298, diakses tanggal 6 Oktober 2015.

“Soal Mina, Arab Saudi Sambut Baik Bantuan Indonesia”, http://www.antaranews.com/berita/520783/soal-mina-arab-saudi-sambut-baik-bantuan-indonesia, diakses tanggal 30 September 2015.

“Tragedi Mina, Bisakah Dicegah?”, http://internasional.kompas.com/read/2015/09/26/15320501/Tragedi.Mina.Bisakah.Dicegah, diakses tanggal 1 Oktober 2015.

“Tragedi Mina Pelajaran Untuk Semua”, h t t p : / / n a s i o n a l . k o m p a s . c o m /read/2015/09/30/11382171/Tragedi.Mina.Pelajaran.untuk.Semua?page=3, diakses tanggal 30 September 2015.

Page 11: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 9 -

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Vol. VII, No. 19/I/P3DI/Oktober/2015KESEJAHTERAAN SOSIAL

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

MUSIBAH MINA DAN PENINGKATAN MUTU PEMBINAAN JEMAAH HAJI

Achmad Muchaddam Fahham*)Abstrak

Insiden Mina yang terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 1436 H/2015 M dapat disebabkan karena faktor penyelenggara ibadah haji dan jemaah haji itu sendiri. Penyelenggara ibadah haji dipandang kurang siap dan abai terhadap keselamatan jemaah haji, sementara jemaah haji terlihat kurang disiplin terhadap waktu dan jadwal pelaksanaan lontar jumrah. Belajar dari insiden itu, pemerintah dituntut untuk meningkatkan kompetensi petugas dan kompetensi jemaah haji, terutama kompetensi mereka tentang fikih haji. Dalam kaitan itu pemerintah seyogyanya menata ulang perekrutan petugas dan pembimbing haji, di samping upaya perbaikan prosedur pelaksanaan pembinaan jemaah haji secara umum.

PendahuluanSeluruh rangkaian penyelenggaraan

ibadah haji tahun 1436 H/2015 M telah usai. Sebagian besar jemaah haji saat ini telah kembali ke tanah air. Berbeda dengan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1435 H/2014 M yang nyaris tanpa insiden, penyelenggaraan ibadah haji tahun 1436 H/2015 M diterpa musibah beruntun. Beberapa di antaranya adalah musibah jatuhnya mesin derek (crane) di sekitar Masjidil Haram yang menyebabkan wafatnya setidak-tidaknya empat jemaah haji asal Indonesia dan beberapa lainnya luka-luka. Kemudian, terbakarnya pemondokan jemaah haji Indonesia di Mekkah. Meskipun tidak ada korban jiwa, musibah itu membuat pelaksanaan ibadah haji kurang nyaman karena jemaah yang menempati

pemondokan tersebut harus dipindahkan ke pemondokan lain. Yang tidak kalah menyedihkan adalah musibah Mina. Tercatat hingga saat ini 1000 jemaah haji wafat dan 863 jemaah haji mengalami luka-luka karena berdesak-desakan di ruas Jalan 204. Dari keseluruhan jumlah jemaah yang wafat, 120 jemaah di antaranya berasal dari Indonesia.

Penyelenggaraan ibadah haji, terutama ibadah haji reguler merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama. Penyelenggaraan ibadah haji diposisikan sebagai tugas Kementerian Agama yang berskala nasional karena melibatkan jemaah haji dalam jumlah yang besar. Akan tetapi, meskipun sudah menjadi tugas rutin

*) Peneliti Muda Agama dan Masyarakat , pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: [email protected].

Page 12: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 10 -

tahunan, penyelenggaraan ibadah haji selalu saja dibumbui oleh berbagai masalah-masalah. Kendala yang dihadapi selalu terulang, misalnya masalah penyediaan layanan transportasi, akomodasi, dan katering bagi jemaah haji. Oleh karena itu tidak heran jika kemudian pemerintah mengerahkan seluruh perhatiannya kepada bagaimana penyediaan layanan itu memiliki mutu dan kualitas yang baik sehingga jemaah dapat melaksanakan ibadah haji dengan lancar, aman, dan nyaman.

Pada umumnya, respons pemerintah terhadap persoalan di lapangan telah meningkat dibandingkan yang sebelumnya. Misalnya, ketika penyedia transportasi darat bagi jemaah haji di Mekkah memberikan bus yang tidak layak, pemerintah langsung meng-upgrade-nya dengan bus-bus yang layak. Kemudian, ketika terjadi kebakaran kamar hotel akibat kelalaian jemaah haji asal Kediri, pemerintah dengan berkoordinasi dengan otoritas setempat langsung mengevakuasi dan memindahkan jemaah ke hotel lain. Pada kasus Mina, pemerintah dengan cepat meminta kepada otoritas Arab Saudi untuk ikut menerjunkan tim ahli untuk melakukan identifikasi korban. Penyediaan katering yang setiap tahun mengalami masalah soal cita rasa dan kualitas makanan juga telah berusaha memperbaiki layananannya. Tentu kerja baik pemerintah tersebut patut diapresiasi.

Namun demikian, penyelenggaraan ibadah haji bukan hanya semata-mata persoalan penyediaan layanan transportasi, akomodasi, dan katering yang baik dan berkualitas saja. Penyelenggaraan haji juga menyangkut bagaimana jemaah haji mampu melaksanakan rangkaian ibadah yang wajib dilaksanakan oleh jemaah haji sehingga ibadah haji yang ia laksanakan dapat mencapai predikat maqbul, yakni diterima Allah sebagai ibadah haji yang absah karena telah dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun yang wajib dilaksanakan. Oleh karena itu, pembinaan jemaah haji juga harus menjadi perhatian pemerintah. Dalam konteks itu, perhatian pemerintah harus diarahkan pada sistem dan prosedur bimbingan manasik haji di tanah air, bimbingan ibadah di Arab Saudi, pengetahuan petugas haji terutama pembimbing ibadah, petugas kelompok terbang (kloter), dan ketua rombongan

tentang manasik haji.Terjadinya berbagai insiden dalam

penyelenggaraan ibadah haji tahun 1436 H/2015 M ini sejatinya sangat terkait dengan pembinaan jemaah yang telah dilakukan selama ini. Namun demikian, insiden dalam penyelenggaraannya cenderung tetap terjadi. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan penyebab insiden Mina. Selain itu, tulisan ini diarahkan pula untuk menjelaskan urgensi peningkatan mutu pembinaan jemaah haji.

Menakar Faktor Penyebab Insiden Mina

Insiden Mina setidak-tidaknya disebabkan oleh dua faktor utama, yakni faktor penyelenggara dan faktor jemaah haji. Dalam konteks penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi, penyelenggara utama prosesi ibadah haji adalah Pemerintah Arab Saudi. Tentu saja sebagai penyelenggara utama Pemerintah Arab Saudi telah berupaya sekuat tenaga untuk memberikan pelayanan terbaik bagi jemaah haji. Akan tetapi, petugas-petugas yang diterjunkan dalam penyelenggaraan itu bisa saja lalai dan kurang sigap dalam memberikan pelayanan. Jika dikaji lebih jauh terhadap kronologi insiden Mina, terdapat indikasi kekurangsigapan petugas dalam mengambil sikap saat terjadi penumpukan jemaah haji di ruas jalan 204. Penutupan pintu akses keluar yang dilakukan petugas Arab Saudi adalah satu hal yang sangat disayangkan yang menyebabkan penumpukan jemaah, desak-desakan, dan saling dorong merupakan sesuatu yang akhirnya tidak bisa dihindari. Ditambah lagi dengan teriknya matahari saat kejadian berlangsung yang menimbulkan kepanikan jemaah saat ingin menyelamatkan diri. Akibatnya, banyak jemaah jatuh dan terinjak-injak.

Selain itu, kekurangsigapan petugas terlihat pula ketika mengarahkan dan menggiring para jemaah untuk melewati jalan 204. Padahal semestinya jemaah-jemaah tersebut hendak melewati Jalan King Fahd. Hal inilah yang membuat Jalan 204 semakin penuh sesak. Saat salah satu jemaah yang mengetahui buruknya kondisi di jalan 204 tersebut berupaya pindah jalur dengan cara melompati pagar pembatas, petugas keamanan malah memukul mereka dengan tongkat yang membuat perut salah satu

Page 13: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 11 -

jemaah memar dan bengkak.Dari sisi panitia penyelenggara haji

Indonesia—mulai dari petugas kloter, pembimbing ibadah, ketua rombongan dan unsur petugas lainnya—juga dapat dikatakan abai terhadap ketentuan dan prosedur yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Seperti diketahui bersama, pemerintah telah menganjurkan bahwa jadwal lontar jumrah bagi jemaah haji asal Indonesia adalah tidak pada pukul 8.00 sampai 12.00 waktu Arab Saudi. Aturan dan prosedur ini mestinya menjadi kesepakatan bersama. Ketika ada jemaah haji asal Indonesia yang hendak melontar jumrah di luar waktu dan jadwal yang telah ditetapkan, seluruh unsur panitia penyelenggara seharusnya meminta mereka untuk menaati kesepakatan tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya, ada ratusan jemaah haji asal Indonesia yang tidak menaati waktu dan jadwal yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Selain disebkan oleh faktor penyelenggara, insiden Mina juga disebabkan oleh faktor jemaah haji. Penyelenggaraan ibadah yang melibatkan ribuan jemaah, tidak saja menuntut kesiapan dan kesigapan penyelenggara tetapi juga menuntut kerja sama jemaah, terkait dalam hal kedisiplinan, mendahulukan keselamatan bersama, dan kekhusyukan beribadah di atas kepentingan sendiri. Adanya jemaah yang mengabaikan jadwal dapat disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang ritual lontar jumrah atau karena didengarnya pandangan jemaah lain bahwa melontar jumrah lebih utama jika dilakukan pagi hari. Jika asumsi itu benar, maka hal itu merupakan indikator bahwa pelayanan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini belum mampu memberikan pemahaman manasik haji yang cukup kepada jemaah.

Peningkatan Mutu Pembinaan Jemaah

Secara sosiologis jemaah haji Indonesia berasal dari beragam latar belakang sosial dan budaya. Pengetahuan jemaah terhadap manasik haji pun sangat bervariasi. Oleh karena itu, pembinaan jemaah harus dilakukan. Selama ini pemerintah sebenarnya telah berupaya

melaksanakan pembinaan jemaah dalam bentuk bimbingan manasik haji dan bimbingan teknis lainnya terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji. Hanya saja, hasil pembinaan itu terlihat belum maksimal. Akibatnya ada jemaah yang belum memahami apa saja ritual yang harus dilakukannya, misalnya bahkan ada jemaah yang tidak melakukan thawaf sebelum ber-sa’i atau ada juga jemaah yang mengelilingi Ka’bah sebanyak 16 kali dengan target 20 kali thawaf agar ibadah hajinya sempuna.

Ketidakpahaman terhadap manasik haji tidak saja dialami oleh jemaah tetapi juga dialami oleh pembimbing haji. Tidak semua pembimbing haji yang diterjunkan untuk membimbing ibadah jemaah haji paham fikih haji sehingga ketika pembimbing tersebut melihat ada jemaah haji yang melanggar larangan ihram dengan memakai baju berjahit tidak dianjurkan untuk membayar dam (denda), sang pembimbing hanya hanya mengingatkan agar jemaah haji melepas pakain berjahit dan melanjutkan manasiknya.

Kondisi pelaksanaan ibadah haji jemaah di atas menunjukkan bahwa sebagian besar jemaah haji Indonesia bergantung pada orang lain lantaran pemahaman mereka terhadap fikih haji kurang sempurna. Bahkan ada jemaah haji yang sama sekali tidak paham fikih haji. Pemerintah sejatinya sangat memahami kondisi pengetahuan jemaah haji. Mengantisipasi hal tersebut, jauh sebelum penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan pemerintah telah melaksanakan bimbingan manasik haji. Bimbingan manasik haji dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota dan di tingkat Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan.

Pada tingkat kabupaten/kota bimbingan manasik haji dilaksanakan sebanyak tiga kali pertemuan dengan alokasi waktu 12 jam pelajaran. Materi dan kurikulum manasik haji pada tingkat kabupaten/kota antara lain: pertama, kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan ibadah haji dan ta’limul hajj (peraturan pemerintah Arab Saudi tentang haji); kedua, manasik perjalanan meliputi proses perjalanan haji, keselamatan penerbangan, pembentukan kloter, Ketua Regu, dan Ketua Rombongan; ketiga, manasik ibadah meliputi teori dan praktik/

Page 14: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 12 -

latihan operasional haji; keempat, kebijakan pemerintah tentang pelayanan kesehatan haji; kelima, konsolidasi kloter, ketua regu, dan ketua rombongan; keenam, kelengkapan barang bawaan dan rencana pemberangkatan jemaah haji.

Pada tingkat kecamatan manasik haji dilaksanakan sebanyak 7 kali pertemuan dengan alokasi waktu 20 jam pelajaran. Materi dan kurikulum manasik haji pada tingkat KUA kecamatan antara lain: pertama, manasik haji meliputi miqat, ihram, talbiyah, thawaf, sa'i, wukuf di Arafah, dan pembayaran dam. Kedua, manasik ibadah haji meliputi: mabit di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah (10 Zulhijjah dan hari Tasyrik 11, 12, dan 13 Zulhijjah) Nafar awal/Tsani. Ketiga, manasik haji meliputi thawaf umrah, thawaf ifadah, thawaf sunat, thawaf wada’. Keempat, salat Arbain, ziarah di kota Madinah dan Mekkah. Kelima, manasik Kesehatan haji, akhlak/pelestarian haji mabrur dan praktik manasik haji/latihan operasional.

Keseluruhan program manasik yang dijadwalkan pemerintah tampaknya sudah bersifat komprehensif. Namun demikian, program tersebut belum efektif. Secara praktis, penyebabnya tidak semua penyelenggaraan pembinaan jemaah haji diikuti oleh semua calon jemaah. Ketidakdisiplinan jemaah haji sudah terlihat dari keikutsertaannya dalam program pembinaan. Oleh karena itu, sebaiknya kegiatan ini menjadi salah satu syarat yang diperhatikan sebelum seorang calon jemaah dapat diberangkatkan.

PenutupBelajar dari berbagai insiden yang

menyelimuti penyelenggaraan ibadah haji tahun 1436 H/2015 M, pemerintah dituntut untuk meningkatkan mutu pembinaan jemaah haji. Pembinaan jemaah haji yang selama ini telah dilaksanakan perlu ditata ulang terutama dari sisi kehadiran jemaah untuk mengikuti pembinaan itu. Materi yang disampaikan perlu dibuat sedemikian rupa sehingga menarik dan memudahkan jemaah untuk memahami fikih haji. Pelaksanaan pembinaan yang dilakukan pada tingkat KUA kecamatan harus mampu dijangkau

oleh seluruh jemaah yang akan berangkat untuk melaksanakan ibadah haji.

Petugas pembimbing haji yang diterjunkan oleh pemerintah untuk melaksanakan pembimbingan ibadah haji di Arab Saudi mesti diseleksi seketat mungkin melalui proses sertifikasi pembimbing haji. Oleh karena itu, proses perekrutan pembimbing haji tidak bisa dilakukan secara mendadak tetapi melalui prosedur dan tahapan yang ketat sehingga menghasilkan pembimbing haji yang kompeten untuk membimbing dan mendampingi jemaah haji.

ReferensiAzyumardi Azra, “Haji dan Politik, Indonesia

dan Arab Saudi”, Kompas, Selasa, 29 September 2015.

“Amirul Hajj, Penyelenggaraan Haji Tahun ini Secara Keseluruhan Sesuai Harapan”, http://kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=294181 diakses 5 Oktober 2015.

“Tragedi Mina: Ratusan Jemaah Hilang Tidak Tahu Rimbanya” http://www.publicapos.com/nasional/14152-tragedi-mina-ratusan-jemaah-hilang-tidak-tahu-rimbanya, diakses 5 Oktober 2015.

“Kami Berharap Saudi Lebih membuka Akses”, Republika, Senin, 28 September 2015.

“Menilik Faktor Penyebab Tragedi Mina” http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150926131546-120-81061/menilik-faktor-penyebab-tragedi-mina/ diakses 4 Oktober 2015.

Laporan Pengawasan KPHI terhadap Penyelenggraan Ibadah Haji Tahun 2013.

Kementerian Agama RI, Kurikulum dan Silabus Bimbingan Manasik Haji Tahun 2013.

Kantor Urusan Haji Republik Indonesia- Kantor Daerah Kerja Makkah. Press Release Perkembangan Data Jemaah Haji Korban Peristiwa Mina, 7 Oktober 2015.

Page 15: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 13 -

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Vol. VII, No. 19/I/P3DI/Oktober/2015EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

PAKET KEBIJAKAN EKONOMI DANSTABILISASI NILAI TUKAR TAHAP II

Hilma Meilani*)

Abstrak

Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) terus melakukan upaya-upaya stabilisasi fiskal maupun moneter. Untuk mengerek pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah juga telah meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Tahap II pada tanggal 29 September 2015. Paket tersebut ditekankan pada upaya meningkatkan investasi, berupa deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk mempermudah investasi, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Dari sisi moneter, sejalan dengan paket kebijakan tersebut, BI juga mengeluarkan paket kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah. Kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan dapat menjaga stabilitas perekonomian dan nilai tukar.

PendahuluanDalam rangka menciptakan kondisi ekonomi

makro yang kondusif, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI), melakukan upaya-upaya stabilisasi, baik di sisi fiskal maupun moneter. Untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintah pada tanggal 9 September 2015 telah mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I, dilanjutkan dengan Paket Kebijakan Ekonomi Tahap II.

Sejalan dengan paket kebijakan yang diumumkan pemerintah dan untuk menjaga stabilitas perekonomian termasuk stabilitas nilai tukar, BI mengeluarkan paket kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah pada tanggal 30 September 2015 sebagai kelanjutan paket kebijakan stabilisasi nilai tukar pada tanggal 9 September 2015. Bauran paket kebijakan pemerintah dan BI tersebut diharapkan dapat menopang pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nilai tukar.

Paket Kebijakan Ekonomi Tahap IIPemerintah meluncurkan Paket Kebijakan

Ekonomi Tahap II pada tanggal 29 September 2015. Melalui paket ini, pemerintah menekankan upaya peningkatan investasi, berupa kebijakan deregulasi dan debirokratisasi untuk mempermudah investasi, baik PMDN maupun PMA. Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan bahwa untuk menarik investor, terobosan kebijakan yang dilakukan adalah memberikan layanan cepat dalam bentuk pemberian izin investasi dalam waktu 3 jam di Kawasan Industri. Regulasi yang dibutuhkan adalah Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penamanan Modal. Selain itu pemerintah juga akan mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Kawasan Industri dan peraturan Menteri Keuangan yang diharapkan selesai dalam minggu

*) Peneliti Muda Ekonomi Terapan, pada Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. Email: [email protected].

Page 16: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 14 -

kedua Oktober 2015. Selama ini masalah waktu dan banyaknya izin untuk melakukan investasi menjadi kendala besar bagi terlaksananya kegiatan usaha. Hal ini menjadi pertimbangan investor ketika hendak menanamkan modalnya di Indonesia. Sebagai perbandingan, selama ini, investor di luar Kawasan Industri membutuhkan waktu selama 8 hari untuk mengurus perizinan badan usaha. Ini masih ditambah pengurusan 11 izin untuk melakukan konstruksi yang membutuhkan waktu lebih lama.

Paket Kebijakan Ekonomi Tahap II juga menawarkan insentif bagi eksportir yang menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di perbankan Indonesia berupa pengurangan pajak bunga deposito yang besarnya tergantung jangka waktu deposito. Pemerintah akan menggunakan sistem Indonesia National Single Window (INSW) yang menyediakan fitur pemberian akses data ekspor terkait pelaporan DHE secara elektronik. Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I dan Tahap II selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Paket Kebijakan Stabilisasi Nilai TukarBI mengeluarkan paket kebijakan stabilisasi

nilai tukar rupiah pada tanggal 30 September 2015 sebagai kelanjutan paket kebijakan sebelumnya yang dilansir pada tanggal 9 September 2015. Paket kebijakan lanjutan tersebut difokuskan pada 3 pilar kebijakan dalam rangka:

1. Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah Kehadiran BI di pasar valuta asing (valas)

domestik dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah diperkuat dengan intervensi pada kontrak pembelian atau penjualan valas dengan valuta lainnya pada tanggal valas di masa datang menggunakan nilai kurs yang ditentukan saat tanggal kontrak dibuat (pasar forward), disamping intervensi pada transaksi valas tunai atau maksimal diselesaikan dalam dua hari kerja (pasar spot). Intervensi di pasar forward untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan, sehingga mengurangi tekanan di pasar spot.

2. Memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah Pengendalian likuiditas rupiah diperkuat

dengan menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) 3 bulan dan Reverse Repo Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor 2 minggu. Transaksi Reverse Repo SBN adalah transaksi pembelian bersyarat SBN oleh bank kepada BI dengan kewajiban penjualan kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Penerbitan instrumen operasi pasar terbuka (OPT) dimaksudkan untuk mendorong penyerapan likuiditas sehingga bergeser ke instrumen yang bertenor lebih panjang. Pergeseran likuiditas ke tenor yang lebih panjang diharapkan dapat mengurangi risiko penggunaan likuiditas rupiah yang berlebihan

Tabel 1. Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I dan IINo. Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I Paket Kebijakan Ekonomi Tahap II

1 Mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha.

Kemudahan Layanan Investasi 3 JamUntuk menarik penanaman modal, terobosan kebijakan yang akan dilakukan adalah memberikan layanan cepat dalam bentuk pemberian izin investasi dalam waktu tiga jam di Kawasan Industri. Dengan mengantongi izin tersebut, investor sudah bisa langsung melakukan kegiatan investasi.

2 Mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan, sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis nasional tersebut.

Pengurusan Tax Allowance dan Tax Holiday Lebih CepatSetelah dalam 25 hari syarat dan aplikasi dipenuhi, pemerintah mengantongi keputusan bahwa investasi tersebut dapat menerima tax allowance atau tidak. Untuk tax holiday, pengesahannya maksimum 45 hari setelah semua persyaratan dipenuhi.

3 Meningkatkan investasi di sektor properti. Untuk mendukung langkah ini, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan untuk mendorong pembangunan perumahan, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah, serta membuka peluang investasi lebih besar di sektor properti.

Pemerintah Tak Pungut PPN Untuk Alat TransportasiPemerintah akan memberikan insentif berupa tidak memungut PPN untuk beberapa alat transportasi, terutama galangan kapal, kereta api, pesawat, dan termasuk suku cadangnya.

4 Insentif fasilitas di Kawasan Pusat Logistik BerikatDengan adanya pusat logistik, maka perusahaan manufaktur tidak perlu impor dan tidak perlu mengambil barang dari luar negeri karena cukup mengambil dari gudang berikat

5 Insentif pengurangan pajak bunga depositoInsentif ini berlaku terutama eksportir yang berkewajiban melaporkan DHE ke BI akan diturunkan 10 persen, 3 bulan menjadi 7,5 persen, 6 bulan menjadi 2,5 persen dan di atas 6 bulan 0 persen. Jika dikonversi ke rupiah, maka tarifnya1 bulan 7,5 persen, 3 bulan 5 persen, dan 6 bulan 0 persen.

6 Perampingan Izin Sektor KehutananIzin untuk keperluan investasi dan produktif sektor kehutanan akan berlangsung lebih cepat. Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan sebanyak 14 izin. Dalam paket kebijakan tahap II, proses izin dirampingkan menjadi 6 izin. Perampingan ini melibatkan revisi 9 peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sumber: Kementerian Keuangan(2015)

Page 17: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 15 -

pada kegiatan yang dapat meningkatkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

3. Memperkuat pengelolaan penawaran dan permintaan valas

Tujuannya adalah meningkatkan penawaran dan mengendalikan permintaan terhadap valas dengan lima kebijakan. Lima kebijakan tersebut dan paket kebijakan stabilisasi nilai tukar selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Paket paket kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah BI tahap II sebagian besar menyentuh aspek supply valas, mengiringi paket kebijakan I yang membidik sisi permintaan. Salah satu tujuan utama paket kebijakan tahap II adalah mempengaruhi ekspektasi pasar terhadap depresiasi rupiah.

ResponsTerhadap Paket KebijakanEkonomi Pemerintah

Paket Kebijakan Ekonomi Tahap II yang diumumkan pemerintah secara tidak langsung sudah mulai terlihat membawa efek positif, baik ke Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) maupun

nilai tukar rupiah. Berdasarkan Bloomberg Dollar Index, rupiah ditutup di level Rp14.646 per dolar AS pada 2 Oktober 2015, menguat 45 poin atau 31 persen dibandingkan penutupan 1 Oktober 2015 di level Rp14.691 per dolar AS. Pelemahan rupiah terburuk sejak 1998 tercatat pada tanggal 29 September 2015 dimana kurs tengah BI menunjukkan nilai tukar rupiah mencapai Rp14.728 per dolar AS.

Agus Martowardojo, Gubernur BI, menyebutkan paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah pada 9 dan 30 September 2015 serta paket kebijakan yang dikeluarkan BI dinilai masih memerlukan waktu untuk diimplementasikan. Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan BI diharapkan akan menghasilkan kondisi yang lebih baik dalam jangka pendek untuk pengendalian nilai tukar dan kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perry Warjiyo,Deputi Gubernur BI, menjelaskan tujuan utama dari paket kebijakan tahap II adalah memengaruhi ekspektasi pasar terhadap depresiasi rupiah dan menggiring likuiditas jangka pendek menjadi jangka

Tabel 2. Paket Kebijakan Stabilisasi Nilai Tukar tanggal 9 dan 30 September 2015No. Kebijakan Paket 9 September 2015 Paket 30 September 2015

1 Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah

a. Menjaga kepercayaan pelaku pasar di pasar valas melalui pengendalian volatitas nilai tukar rupiah.

b. Memelihara kepercayaan pasar terhadap pasar SBN melalui pembelian di pasar sekunder, dengan tetap memerhatikan dampaknya terhadap ketersediaan SBN bagi inflow dan likuiditas pasar uang.

Melakukan implementasi intervensi forward untuk menyeimbangkan supply dan demand valas di pasar forward.

2 Memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah.

a. Mengubah mekanisme lelang Reverse Repo(RR) SBN dari variable rate tender menjadi fixed rate tender, menyesuaikan pricing RR SBN, dan memperpanjang tenor dengan menerbitkan RR SBN 3 bulan.

b. Mengubah mekanisme lelang SDBI dari variable rate tender (vrt) menjadi fixed rate tender (frt) dan menyesuaikan pricing SDBI, serta menerbitkan SDBI tenor 6 bulan.

c. Menerbitkan kembali SBI bertenor 9 bulan dan 12 bulan dengan mekanisme lelang frt dan menyesuaikan pricing.

a. Menerbitkan SDBI tenor 3 bulan untuk maturity lenghtening instrumen OPT.

b. Menerbitkan RR-SBN tenor 2 minggu untuk melengkapi instrumen OPT yang ada.

3 Memperkuat pengelolaan supplydan demand valas.

a. Menyesuaikan frekuensi lelang Foreign Exchange (FX) swap dari 2 kali seminggu menjadi 1 kali seminggu.

b. Mengubah mekanisme lelang Term Deposit (TD) Valas dari variable rate tender menjadi fixed rate tender, menyesuaikan pricing, dan memperpanjang tenor sampai dengan 3 bulan.

c. Menurunkan batas pembelian valas dengan pembuktian dokumen underlying dari yang berlaku saat ini sebesar 100 ribu dolar AS menjadi 25 ribu dolar AS per nasabah per bulan dan mewajibkan penggunaan NPWP.

d. Mempercepat proses persetujuan Utang Luar Negeri (ULN) Bank dengan tetap memperhatikan asas kehati-hatian.

a. Penguatan kebijakan untuk mengelola supply dan demand valas di pasar forward. Kebijakan ini bertujuan mendorong transaksi forward jual valas/rupiah dan memperjelas underlying forward beli valas/rupiah.

b. Penerbitan SBBI Valas.c. Penurunan holding period SBI dari 1 bulan

menjadi 1 minggu untuk menarik aliran masuk modal asing.

d. Pemberian insentif pengurangan pajak bunga deposito kepada eksportir yang menyimpan DHE diperbankan Indonesia atau mengkonversinya ke dalam rupiah.

e. Mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi atas penggunaan devisa dengan memperkuat laporan lalu lintas devisa (LLD). Pelaku LLD wajib melaporkan penggunaan devisanya dengan melengkapi dokumen pendukung untuk transaksi dengan nilai tertentu. Ketentuan ini sejalan dengan UU No.24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar dimana BI berwenang meminta keterangan dan data terkait lalu lintas devisa kepada penduduk.

Sumber: Bank Indonesia(2015)

Page 18: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 16 -

panjang. Intervensi ini akan memberi sinyal bagi ekspektasi pergerakan nilai tukar, selain juga untuk mengurangi gap antara penawaran dan permintaan valas.

Tito Sulistio, Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi Tahap II. Langkah tersebut dinilai telah memberikan sentimen positif bagi laju IHSG. Namun, tren kenaikan IHSG dalam jangka menengah dan panjang masih menunggu realisasi belanja infrastruktur. Paket Kebijakan EkonomiTahap II yang fokus pada percepatan perizinan dapat membantu meningkatkan jumlah investor sehingga bagus untuk iklim investasi.

Heri Gunawan, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, menilai Paket Kebijakan Ekonomi Tahap II belum menyentuh dua masalah pokok, yaitu penyerapan tenaga kerja dan lemahnya pengawasan BKPM. Pemberian kemudahan layanan, pemberian tax allowance, dan tax holiday kepada investor harus diberikan pada investasi yang menjamin penyerapan tenaga kerja. Persolan kedua, lemahnya pengawasan BKPM dalam menyambut paket kebijakan yang mempermudah investasi, sehingga diperlukan penegakan hukum yang konsisten, tegas, dan kuat.

Dalam perspektif pengusaha, Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan (API), menyatakan bahwa diperlukan peran pemerintah dalam bentuk pemberian insentif antara lain penurunan tarif listrik industri dan harga BBM untuk membantu kalangan usaha agar tetap bisa menggerakkan usaha dan meningkatkan daya beli masyarakat, karena tarif listrik yang turun akan memengaruhi biaya produksi sehingga lebih efisien. Pelaku usaha berharap pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang langsung bermanfaat atau berdampak dalam jangka pendek, terutama untuk mencegah PHK.

Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I dan II yang telah dikeluarkan pemerintah memiliki kesamaan yaitu mendorong sisi penawaran seperti produksi dan investasi jangka panjang. Sayangnya, belum fokus pada penguatan sisi permintaan yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan itu juga belum dapat secara cepat mengatasi masalah PHK yang sudah banyak terjadi. Diharapkan paket kebijakan tahap III yang sedang disusun pemerintah akan dapat mendorong dan memperkuat daya beli masyarakat minimal dengan merealisasikan proyek padat karya serta memperkuat industri nasional yang dapat membantu mengurangi persoalan ketenagakerjaan.

Pembangunan infrastruktur yang dapat menjadi daya tarik investor untuk masuk di Indonesia harus segera direalisasikan, seperti ketersediaan energi dan infrastruktur yang dapat menurunkan biaya logistik. Untuk

mendorong keberhasilan paket kebijakan ekonomi ini, pemerintah harus memastikan kesiapan implementasi dan koordinasi antar kementerian serta memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah.

PenutupSinergi kebijakan pemerintah dan BI melalui

Paket Kebijakan Ekonomi Tahap II sedikt banyak telah memberikan harapan positif terhadap stabilitas makroekonomi khususnya sektor keuangan. Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I dan II yang telah dikeluarkan pemerintah lebih ke arah sisi penawaran, dan belum fokus pada penguatan sisi permintaan guna memperkuat daya beli masyarakat.

Pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus terus berkoordinasi secara aktif dalam rangka memperkuat stabilitas nilai tukar dan keuangan. Pemerintah juga perlu melakukan koordinasi dengan kementerian dan pemerintah daerah agar paket kebijakan ekonomi pemerintah dapat segera dilaksanakan. DPR harus melakukan pengawasan terhadap implementasi paket kebijakan ekonomi dan paket stabilisasi rupiah agar dapat secara efektif mengatasi masalah perekonomian Indonesia.

Referensi“BI Keluarkan Lima Paket Kebijakan Ekonomi”,

Suara Pembaruan, 1 Oktober 2015.“Dua Paket Kebijakan Baru Efektif untuk Sektor Riil

di 2016”, Neraca, 2 Oktober 2015.“Dunia Usaha Perlu Diberi Kemudahan”, Suara

Pembaruan, 30 September 2015.“Gelombang PHK Meningkat”, Republika, 30

September 2015.“Paket Kebijakan Tahap III Disiapkan”, Kompas, 2

Oktober 2015.“Paket Stabilisasi Segera Efektif”, Bisnis Indonesia, 1

Oktober 2015.“Pasar Tanggapi Positif”, Media Indonesia, 1

Oktober 2015.“Sinkronisasi Kebijakan Dinanti”, Kompas, 1

Oktober 2015.“BKPM Mulai Layani Izin Investasi 3 Jam Saja,

http://nasional.kontan.co.id/news/bkpm-mulai-layani-izin-investasi-3-jam-saja, diakses tanggal 5 Oktober 2015.

“Dukung Paket Kebijakan Ekonomi Tahap II BI Luncurkan Kebijakan lanjutan Stabilisasi Rupiah”, http://www.kemenkeu.go.id/Berita/dukung-paket-kebijakan-ekonomi-tahap-ii-bi-luncurkan-kebijakan-lanjutan-stabilisasi-rupiah, diakses tanggal2 Oktober 2015.

“Pemerintah Luncurkan Paket Tahap II”,http://www.kemenkeu.go.id/Berita/pemerintah-luncurkan-paket-tahap-ii, diakses tanggal 2 Oktober 2015.

Page 19: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 17 -

Info Singkat© 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

Vol. VII, No. 19/I/P3DI/Oktober/2015PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

CATATAN PERJALANAN SETAHUN DPR

PERIODE 2014-2019 Ahmad Budiman*)

Abstrak

Keanggotaan DPR periode 2014-2019 telah menyelesaikan setahun masa baktinya. Masih banyak catatan penting yang perlu diperhatikan terkait dengan kinerja DPR periode 2014-2019 di satu tahun masa baktinya. DPR perlu melakukan instropeksi diri dengan melakukan reformasi terkait dengan penguatan kelembagaan dewan, sistem pendukung dan kemandirian lembaga legislatif. Catatan perjalanan setahun DPR RI periode 2014-2019, sangat menentukan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perwakilan rakyat di tahun-tahun berikutnya.

Latar BelakangSetahun anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia (DPR) periode 2014-2019 sejak dilantik pada tanggal 1 Oktober 2014, banyak pihak memberikan catatan penting terkait kinerja DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ketua DPR, Setya Novanto, menganggap selama ini para wakil rakyat sudah bekerja keras. Fungsi anggaran dan pengawasan DPR sudah dilakukan dengan baik. Sedangkan terkait fungsi legislasi, DPR berjanji akan meningkatkan kinerjanya. Wakil Ketua DPR, Fadli Zon mengatakan, masih banyak yang harus diintrospeksi terkait kinerja anggota DPR periode 2014-2015. Introspeksi perlu dilakukan utamanya terhadap

pelaksanaan fungsi legislasi. Sedangkan untuk fungsi pengawasan dan budgeting sudah berjalan cukup kuat.

Khusus dalam hal pembuatan undang-undang, arah kinerja DPR perlu diberikan penegasan. Dalam satu tahun ini, DPR sedang membahas sebanyak 37 Rancangan Undang-Undang (RUU) Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dari ke-37 RUU tersebut, sebanyak 26 RUU diajukan oleh DPR. Wakil Ketua DPR menekankan bahwa pembuatan UU adalah tugas DPR. Namun demikian, dalam pembahasannya, DPR tidak bisa berdiri sendiri. Untuk itu, pembahasan RUU harus dipercepat, yaitu berkoordinasi dengan Badan Legislatif

*) Peneliti Madya Komunikasi Politik, pada Bidang Politik Dalam Negeri, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. Email: [email protected].

Page 20: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 18 -

(Baleg), Selain itu, Prolegnas yang sudah ditetapkan juga bisa disampaikan kepada publik, sejauh mana naskah akademik dan pembahasan, harmonisasinya berjalan. Patut juga menjadi catatan kita bahwa RUU yang berasal dari Pemerintah belum satu pun yang siap untuk dibahas bersama. Dengan demikian, menimpakan rendahnya kinerja legislasi DPR RI selama ini perlu mendapatkan pemahaman yang utuh.

Setahun DPR periode 2014-2019 juga tidak luput dari kritikan. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), menilai bahwa pelaksanaan fungsi anggaran dan pengawasannya DPR belum berpihak secara penuh kepada kepentingan rakyat. Dinamika politik anggaran sangat cepat dan banyak menimbulkan kontroversi dalam setahun awal masa tugas DPR 2014-2019. Fitra menyoroti pula pengelolaan anggaran di internal DPR yang tidak transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, Fitra dapat memahami jika DPR tidak berani menggunakan e-budgeting.

Catatan PerjalananBercermin dari setahun masa baktinya,

DPR periode 2014-2019 perlu mereformasi diri dalam upaya meningkatkan kinerjanya secara optimal. Reformasi DPR bukan semata-mata hanya ingin menghasilkan DPR modern yang ditandai dengan: (1) terbukanya akses seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin mengetahui apa yang sedang dilakukannya (transparan); (2) penggunaan sistem teknologi informasi terkini dalam setiap kegiatannya sehingga minimal dapat lebih menghemat penggunaan kertas dan masyarakat dapat mudah mengakses DPR secara online; dan (3) upaya secara sungguh-sungguh menjalankan fungsi representasinya dalam setiap melaksanakan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dengan demikian, dampak dari DPR modern ini, masyarakat dapat merasakan kehadiran DPR sebagai lembaga yang mewakilinya untuk menyampaikan aspirasi/atau kepentingannya. Upaya ini semua tentunya bahwa kebijakan yang dihasilkan bersama dengan pemerintah dapat menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

Keberadaan DPR sebagai lembaga perwakilan dipengaruhi oleh dua unsur utama. Pertama, DPR RI sebagai lembaga yang terdiri atas anggota DPR, Alat Kelengkapan DPR (AKD), dan fraksi. Kedua, unsur pendukung yang memberikan dukungan teknis, administratif, dan keahlian. Sebagai lembaga perwakilan dalam menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya, DPR perlu didukung dengan tata kelola parlemen yang baik berdasarkan praktik terbaik dalam penyelenggaraan parlemen.

Penguatan sistem kedewanan pada dasarnya adalah penataan dan pengembangan tata kelola kedewanan yang efisien dan efektif, yang ditujukan pada:1. Penataan kelembagaan, yaitu bagaimana

desain terhadap keberadaan fraksi yang dilihat dari aspek jumlah fraksi dan keberadaan AKD yang dilihat pada aspek jumlah AKD, jumlah anggota per AKD, jumlah pasangan kerja per AKD, nama AKD, termasuk tata kelolanya (fungsi, wewenang, dan tugas AKD dan pengelolaan sistem pendukungnya);

2. Penataan mekanisme pengambilan keputusan yang terkait kuorum, kehadiran, kuorum pengambilan keputusan, mekanisme pengambilan keputusan (agregasi aspirasi masyarakat, lobi, voting termasuk kemungkinan diperkenalkannya forum debat) dan efektivitas rapat paripurna;

3. Penataan manajemen masa persidangan, yaitu penyesuaian antara tahun sidang dengan tahun anggaran, termasuk tata kelola dan desain masa sidang dan masa reses;

4. Penataan manajemen sidang dan rapat, yaitu bagaimana tata kelola terhadap agenda rapat, waktu rapat, hasil rapat, risalah rapat, dan akses masyarakat terhadap hasil dan/atau sidang-sidang DPR;

5. Penatakelolaan pembentukan undang-undang yang meliputi aspek penyusunan perencanaan legislasi, penyusunan ruu, dan pembahasan ruu. Ketiga aspek ini perlu memperhatikan alokasi waktu yang tersedia serta mekanisme pelaksanaannya sebagaimana tertuang dalam Peraturan Tata Tertib DPR.

Page 21: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 19 -

6. Penatakelolaan Penetapan APBN yang meliputi pembicaraan pendahuluan, proses pembahasan UU APBN, proses pembahasan UU APBN-P, serta proses pembahasan realisasi harus dilakukan yang meliputi aspek waktu, proses dan mekanisme serta tata kelola sistem pendukungnya.

7. Penatakelolaan Fungsi Pengawasan yang meliputi proses pembentukan panja/tim pengawasan; tindak lanjut laporan hasil audit BPK; penggunaan hak angket, hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, hak bertanya dan hak imunitas; tindak lanjut atas hasil pengawasan sebagai bahan pelaksanaan fungsi anggaran dan legislasi; mekanisme pemilihan pejabat publik; penjaringan aspirasi dan rumah aspirasi; pengelolaan pengaduan masyarakat; diplomasi parlemen; pengawasan pelaksanaan undang-undang (pembuatan peraturan pelaksanaan dan implementasi undang-undang); kunjungan kerja anggota dan kunjungan komisi, dan inspeksi mendadak, kesemuanya harus dilakukan yang meliputi aspek waktu, proses dan mekanisme serta tata kelola sistem pendukungnya.

Agenda kedua adalah penguatan sistem pendukung. Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya, DPR perlu didukung sistem pendukung yang memberikan dukungan administratif, teknis, dan keahlian yang berkualitas. Tidak kalah pentingnya, sistem dukungan tersebut juga perlu disertai dengan integritas, kinerja tinggi, dan penerapan tata kelola organisasi terbaik.

Proses reformasi birokrasi yang telah dan harus dilaksanakan sistem pendukung DPR mengacu sepenuhnya kepada berbagai agenda reformasi birokasi nasional. Namun demikian, sebagai lembaga yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga eksekutif, penguatan sistem pendukungnya juga harus menyesuaikan dengan karakteristik DPR itu sendiri. Karena itu, penguatan sistem pendukung harus dilakukan dengan berorientasi pada paradigma birokrasi parlemen yang didasari tiga prinsip dasar, yaitu:

1. Profesional, kompeten, berintegritas, akuntabel dan mobilitas tinggi;

2. Berorientasi kepada pencapaian kinerja DPR yang tinggi dengan memperhatikan aspek efisiensi dan efektifitas pada dukungan administratif, aspek kecepatan pelayanan pada dukungan teknis, dan aspek ketepatan (akurasi) pada dukungan keahlian; dan

3. Memiliki standar kesejahteraan yang secure (aman), balanced (seimbang), incentive-providing (adanya insentif), cost-effective (efektivitas biaya) dan accepted (dapat diterima oleh semua pegawai karena kepantasan dan berkeadilan).

Agenda ketiga adalah kemandirian legislatif. Secara konstitusional kedudukan antara DPR dan pemerintah telah mencerminkan keseimbangan/kesetaraan. Pengaruh pemisahan kekuasaan bagi DPR juga membawa konsekuensi tuntutan terhadap kinerja DPR yang seimbang, dalam arti mampu mengimbangi kapasitas pemerintah melalui mekanisme perimbangan kekuasaan (checks and balances).

Keberadaan wakil rakyat mengisyaratkan bahwa tugas konstitusional anggota dewan adalah untuk lebih menyerap aspirasi rakyat, sebagai wujud nyata wakil rakyat yang dipilih langsung. Dalam kerangka kedewanan, hubungan antara anggota dengan konstituen ditegaskan menjadi salah satu tugas dan wewenang DPR untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat yang dilakukan pada saat pelaksanaan fungsi legilasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi anggaran.

Secara khusus perlu dilakukan upaya peningkatan terhadap pelaksanaan fungsi legislasi. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif dapat dilakukan oleh pembentuk UU dengan melakukan berbagai cara. Salah satu cara untuk membuat UU yang responsif yaitu setiap pembentukan UU harus disertai dengan partisipasi masyarakat.

Pada tataran konseptual, hukum yang responsif mengamanatkan sebuah produk hukum atau kebijakan dari penyelenggara

Page 22: Vol. VII No.19 I Oktober 2015

- 20 -

negara untuk menyesuaikan produk peraturan perundang-undangan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, UU yang dihasilkan harus berkualitas. Untuk menghasilkan UU yang berkualitas misalnya, menyaratkan proses pembahasannya yang lebih partisipatoris. Selain itu, dalam pembentukan sebuah UU juga harus didukung dengan kajian akademis yang dituangkan dalam sebuah naskah akademis yang terkait dengan substansi yang akan diatur dalam UU tersebut.

Hal lain yang juga penting diperhatikan dalam pelaksanaan fungsi legislasi ini adalah ketersediaan waktu kerja yang dipergunakan dalam setiap pembahasan RUU. Upaya untuk memperpendek masa reses, sesungguhnya berangkat dari keinginan positif DPR untuk memaksimalkan pencapaian kualitas dan kuantitas produk legislasi yang dihasilkannya. Dengan demikian, terobosan kebijakan DPR ini perlu terus.

Kesimpulan dan Saran

Perjalanan setahun DPR periode 2014-2019 masih menyisakan banyak ketimpangan atau ketidaksesuaian antara harapan masyarakat dengan kinerja yang dihasilkan DPR. Upaya reformasi DPR yang sedang digulirkan saat ini kiranya perlu diarahkan bukan semata-mata untuk menghasilkan DPR modern. Beberapa penguatan perlu dilakukan yang meliputi penguatan sistem kedewanan, penguatan sistem pendukung, dan kemandirian lembaga legislatif.

Reformasi DPR dan beberapa penguatannya perlu mendapatkan dukungan dari seluruh anggota DPR. Dengan demikian, catatan setahun perjalanan DPR akan memiliki arti yang mendalam bagi masyarakat jika DPR dapat menunjukkan peningkatan kinerjanya baik secara kualitas maupun kuantitas.

ReferensiKerangka Kerja Tim Implementasi

Reformasi DPR RI 2014–2019. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2015.

"Satu Tahun DPR 2014-2019, Novanto: Kami Sudah Kerja Keras", http://news.detik.com/berita/3032719/1-tahun-DPR-2014-2019-novanto-kami-sudah-kerja-keras, diakses tanggal 4 Oktober 2015.

"Catatan Hitam Setahun DPR dari Sisi Anggaran Versi FITRA", http://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/01/catatan-hitam-setahun-DPR-dari-sisi-anggaran-versi-fitra, diakses tanggal 4 Oktober 2015.

"Setahun DPR, Belum Memperjuangkan Rakyat", http://www.pikiran-rakyat.com/pol i t ik/2015/10/02/344542/setahun-DPR%E2%80%8E-belum-memperjuangkan-rakyat, diakses tanggal 4 Oktober 2015.

Setahun DPR RI Periode 2014-2019, Masih Banyak yang Harus Diinstropeksi, http://nasional .harianterbit .com/nasional/2015/10/03/43232/25/25/S e t a h u n - D P R - R I - P e r i o d e - 2 0 1 4 -2 0 1 9 - M a s i h - B a n y a k - y a n g - H a r u s -Diinstropeksi, diakses tanggal 4 Oktober 2015.

Page 23: Vol. VII No.19 I Oktober 2015
Page 24: Vol. VII No.19 I Oktober 2015