usulan refarat magister
DESCRIPTION
Usulan Refarat MagisterTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Di Indonesia, kanker kini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling
besar, yang perlu ditanggulangi secara menyeluruh, terpadu, efektif, efisien,
ekonomis dan manusiawi. Kanker dapat menyerang seluruh lapisan masyarakat,
walaupun yang terbanyak terjadi pada usia lanjut. 1
Penyakit keganasan atau kanker sampai sekarang terus diupayakan oleh para ahli
dalam penanggulangannya. Nampaknya usaha tersebut belum berhasil secara
memuaskan. Usaha-usaha pencegahan dengan cara deteksi dini agaknya
memberikan harapan yang cukup memuaskan. Akan tetapi kebanyakan penderita
datang pada stadium yang sangat lanjut, sehingga upaya penanggulangan terhadap
keadaan ini hasilnya kurang memuaskan. Banyak para ahli mengemukakan bahwa
penyakit kanker merupakan penyakit terminal, artinya penderita pada akhirnya akan
meninggal oleh karena penyakit tersebut, sehingga diagnosis penderita kanker
merupakan vonis kematian pada diri penderita.1
Parameter tingkat keberhasilan pengobatan kanker adalah angka ketahanan hidup 5
tahun ( five years survival rate) setelah pengobatan. Sampai saat ini permasalahan
kanker masih demikian kompleks. Salah satunya adalah masih rendahnya daya
tahan hidup penderita. Sebagai contoh, angka ketahanan hidup ( AKH ) 5 tahun
kanker ovarium akan menurun sejalan dengan meningkatnya stadium penyakit.
1
Angka ketahanan hidup pada stadium I sebesar 72,8%, stadium II yakni 46,3%,
stadium III sebesar 17,2% dan stadium IV hanya sebesar 4,8%. Oleh karena
rendahnya angka tersebut, penatalaksanaan pasien kanker hendaknya tidak hanya
dititikberatkan pada penyakitnya saja akan tetapi keadaan sosial, psikis dan kualitas
hidup penderita haruslah diperhatikan. 1
Penderita kanker / keganasan ginekologik umumnya datang ke dokter dengan
berbagai keluhan yang mengindikasikan bahwa keganasan yang diderita merupakan
keganasan stadium lanjut. Dan telah diketahui secara luas bahwa hasil pengobatan
pada keganasan stadium lanjut saat ini belum memberi hasil yang memuaskan. 2
Belakangan, pengobatan terhadap penderita kanker ginekologik berpusat pada
peningkatan kualitas hidup penderita. Dengan penilaian kualitas hidup penderita,
dokter dapat menilai bagaimana hubungan antara pengobatan yang telah diberikan
dengan kualitas hidup pasien penderita kanker ginekologik. 2
Kualitas hidup, bukanlah sebuah konsep baru dalam dunia kedokteran. Pada
kebanyakan negara berkembang, penilaian terhadap kualitas hidup menjadi salah
satu isu yang belakangan ini diteliti dan dikembangkan. Pengobatan kanker
sekarang, tidak hanya mencerminkan eradikasi penyakit, tetapi peningkatan
keadaan sosial, ekonomi juga sikap emosional dan perilaku individu dalam
penerimaan penyakit. Penilaian kualitas hidup menjadi semakin diakui sebagai
penilai keberhasilan terapi dan prediktor pada pasien kanker. 3
Walaupun telah banyak penelitian tentang bagaimana kualitas hidup pasien kanker
ginekologik secara keseluruhan, akan tetapi masih sedikit yang menilai tentang
2
bagaimana status fungsional seorang penderita kanker ginekologik dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari. Penilaian status fungsional dari pasien sering digunakan
untuk melengkapi informasi medis untuk mengkarakterisasikan dampak penyakit
terhadap pasien. Hilangnya fungsi umumnya terkait dengan akumulasi fisik,
fisiologis, dan efek psikologis dari proses penyakit. 3,4
Evaluasi pelayanan kesehatan pada penderita kanker ginekologik tidak bisa hanya
terhadap kelangsungan hidup ( survival ) saja, tetapi yang terpenting adalah
bagaimana kualitas hidup penderita selanjutnya. Kualitas hidup perlu diukur untuk
evaluasi keberhasilan pelayanan kesehatan dan pengobatan. Beberapa instrumen
telah digunakan untuk menilai kualitas hidup penderita. Salah satu instrumen
kualitas hidup yang dikembangkan untuk penderita kanker adalah Functional
Assessment of Cancer Therapy-General (FACT-G) Questionnaire.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit keganasan atau kanker dapat berkembang pada berbagai organ atau
jaringan tubuh, dan sampai sekarang terus diupayakan oleh para ahli dalam
penanggulangannya. Nampaknya usaha tersebut belum berhasil secara
memuaskan. Usaha-usaha pencegahan dengan cara deteksi dini agaknya
memberikan harapan yang cukup memuaskan. Akan tetapi kebanyakan
penderita keganasan datang pada stadium yang sudah lanjut, sehingga upaya
penanggulangan terhadap keadaan ini hasilnya kurang memuaskan. World
Health Organization (WHO) memperkirakan insiden keganasan di Indonesia
adalah 180 per 100.000 penduduk. 1
Angka kejadian keganasan ginekologik ( keganasan vulva dan vagina,
keganasan serviks, keganasan endometrium dan keganasan ovarium )
meningkat setelah perimenopause, dan tidak diketahui secara jelas apakah ada
hubungan antara menopause dan peningkatan angka kejadian keganasan
ginekologik. 1
Di Amerika Serikat angka keganasan ginekologi mendekati 1 diantara 20 wanita,
dimana sampai saat ini pengelolaan klinik umumnya terfokus untuk
memperpanjang ketahanan hidup pasien. Penderita keganasan ginekologi
umumnya datang ke dokter dengan berbagai keluhan yang mengindikasikan
bahwa keganasan ginekologi umumnya datang ke dokter dengan berbagai
4
keluhan yang mengindikasikan bahwa keganasan yang diderita merupakan
keganasan stadium lanjut, dan telah diketahui secara luas bahwa hasil
pengobatan pada keganasan stadium lanjut sampai saat ini belum memberi
hasil yang memuaskan. 1
Diagnosis dan terapi keganasan ginekologi dapat menimbulkan beragam
masalah, seperti ketidakmampuan pasien untuk melahirkan anak, atau sebagian
diantara mereka tidak dapat menikmati kehidupan seksual. 2
2.1Keganasan Vulva
Keganasan vulva adalah keganasan yang tumor ganas primernya tumbuh dari
vulva. Keganasan yang tumbuh di vagina yang merupakan perluasan
keganasan vulva disebut dan harus dibuktikan dengan pemeriksaan histologi. 4
Di Amerika, + 3900 wanita didiagnosa kanker vulva setiap tahunnya. Kanker ini
termasuk jarang, oleh karena hanya 3-5% keganasan ginekologik yang berasal
dari vulva.5
Perjalanan penyakit keganasan vulva secara garis besar tidak berbeda dengan
keganasan serviks, dan virus Human Papiloma Virus (HPV) merupakan salah
satu yang dianggap sebagai penyebab terjadinya keganasan vulva. Beberapa
faktor yang mungkin menyebabkan timbulnya keganasan vulva adalah penyakit
kronis, penyakit hubungan seksual, dan gaya hidup. 4
5
Keganasan vulva seringkali memberi keluhan berupa rasa gatal ataupun rasa
panas didaerah vulva. Kadangkala keganasan vulva bersifat pertumbuhan
eksofitik tetapi dapat pula berbentuk ulkus, tetapi untuk menegakkan diagnosis
keganasan vulva adalah berdasarkan pemeriksaan histologi biopsi jaringan yang
berasal dari lesi. 4
Keganasan vulva menyebar dengan cara meluas ke jaringan sekitarnya dan
juga secara limfogenik melalui kelenjar getah bening femoralis dan inguinalis.
Penetapan stadium keganasan vulva merupakan kombinasi stadium klinik dan
stadium pembedahan. 6,7
Gambar 1. Staging FIGO untuk kanker vulva 6
Pengobatan keganasan vulva adalah pembedahan dan/atau terapi radiasi.
Pembedahan dan radioterapi adalah pengobatan standar, dan walaupun efektif
pembedahan tersebut tetap meninggalkan kecacatan dan mutilasi dari organ
genitalia eksterna, sehingga berujung pada gangguan kualitas hidup pasien.5
6
Pada penelitian yang dilakukan oleh Oonk, dkk di Belanda pada Tahun 2008, 35
pasien yang menjalani prosedur Sentinel Lymph Node Procedure (SLN) dan 27
pasien yang menjalani limfadenektomi dilakukan penilaian kualitas hidup dengan
3 skala, yakni European Organization for Research and Treatment of Cancer
Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ – C 30), kuesioner spesifik untuk
karsinoma vulva, dan kuesioner tentang opini pasien terhadap pilihan
pengobatan. Dari penelitian tersebut tidak dijumpai perbedaan yang bermakna
antara 2 kelompok tersebut, akan tetapi morbiditas kelompok yang menjalani
prosedur SLN lebih rendah dibandingkan dengan kelompok limfadenektomi,
walaupun tidak mengganggu kualitas hidup secara keseluruhan. 7
2.2 Keganasan Vagina
Keganasan vagina adalah tumor ganas primer yang berasal dari vagina tanpa
disertai kelainan keganasan serviks uteri ataupun keganasan vulva. Perjalanan
keganasan vagina secara garis besar tidak berbeda dengan keganasan serviks
karena virus Human Papilloma Virus (HPV) merupakan salah satu yang
dianggap penyebab terjadinya keganasan vagina. 6,7
Keganasan vagina primer angka kejadiannya sangat kecil yaitu berkisar 0,23 per
100.000 wanita, laporan lain menyebutkan 0,3-2% dari keseluruhan kasus
keganasan ginekologik dan umumnya ditemukan pada usia 45-65 tahun.
Beberapa faktor resiko terjadinya keganasan vagina antara lain sosial ekonomi
yang rendah, infeksi virus HPV, iritasi vagina kronis. 7
7
Diagnosis keganasan vagina umumnya dilakukan dengan biopsi. Keganasan
vagina didiagnosis bila tidak dijumpai proses keganasan di serviks ataupun di
vulva. Bila lesi keganasan di vulva disertai dengan keganasan serviks ataupun
keganasan vulva maka lesi tumor di vagina dianggap merupakan lesi
metastasis. 7
Keganasan vagina dapat menyebar secara infiltrat atau invasif ke organ
sekitarnya, dapat pula limfogenik ataupun hematogenik. Bila tumor primer
berada di proksimal maka penyebaran limfogenik seperti pola penyebaran
keganasan serviks uterus, demikian juga bila tumor primer berada di distal
vagina maka pola penyebaran seperti pola penyebaran keganasan vulva. 7
Sebagian besar keganasan vagina adalah jenis karsinoma sel skuamosa.
Kurang dari 10% adalah adenokarsinoma, dan sebagian kecil melanoma.
Pengobatan keganasan vagina adalah pembedahan dan/atau terapi radiasi
maupun variasi kemoradiasi. 7
2.3 Keganasan Serviks
Keganasan serviks adalah keganasan primer dari serviks. Faktor etiologi pada
keganasan ini adalah infeksi virus HPV terutama tipe 16,18, 33, 35, 39, 45, 51,
42,56, dan 58. 8
Di Indonesia, diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahim
setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium
patologi, kanker serviks merupakan kanker dengan jumlah penderita terbanyak
8
di Indonesia, yakni lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah sakit di Jakarta 1977,
kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus diantara 918 kanker
pada perempuan. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker
serviks sebesar 76,2% diantara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang
pada stadium lanjut, yaitu stadium II B-IVB sebanyak 66,4%. Relaitive survival
pada wanita dengan lesi pre-invasif hampir 100%. Angka ketahanan hidup 1 dan
5 tahun relatif masing-masing sebesar 88% dan 73%. 8
Faktor resiko yang sangat berperan untuk terjadinya keganasan serviks adalah
adanya penyimpangan pola seksual, dan beberapa faktor resiko lainnya adalah
adalah melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia muda, kebiasaan
merokok dan pemakaian kontrasepsi hormonal. Karsinoma serviks didiagnosis
dengan biopsi. 8
Karsinoma serviks menyebar secara invasi lokal, invasi ke organ sekitarnya
ataupun secara limfogen dan hematogen. Penetapan stadium dilakukan dengan
pemeriksaan klinik. Pemeriksaan pembantu seperti pemeriksaan radiologi dan
endoskopi dilakukan untuk membantu menetapkan stadium klinik. 8
Stadium klinik adalah stadium yang ditetapkan berdasarkan pemeriksaan klinik
pada tumor primer sebelum pengobatan, sedangkan penemuan saat
pembedahan, seperti didapatkannya metastasis kelenjar getah bening, hanya
merupakan catatan khusus untuk memperkirakan prognosis dan tidak merubah
stadium klinik. 8
9
Faktor prognosis lainnya yang diperhitungkan adalah jenis histologi dan derajat
differensiasi karsinoma, seperti differensiasi yang buruk dan jenis
adenokarsinoma dianggap memberi prognosis yang lebih buruk dibandingkan
dengan karsinoma berdifferensiasi baik dan jenis sel skuamosa. Terapi pada
karsinoma serviks adalah pembedahan dan/atau radioterapi ataupun variasi
kemoradiasi. Prognosis keganasan serviks dipengaruhi oleh stadium, jenis
histologi, derajat differensiasi serta faktor pengobatan. 8
Kanker serviks cenderung terjadi pada usia pertengahan. Di Indonesia, serviks
merupakan jenis kanker yang paling banyak menyerang wanita usia produktif.
Pada usia 30-50 tahun perempuan yang sudah melakukan kontak seksual akan
beresiko tinggi terkena kanker serviks. Usia tersebut merupakan puncak usia
produktif perempuan sehingga akan menyebabkan gangguan kualitas hidup
secara fisik, kejiwaan dan kesehatan seksual. 8
Pengobatan yang dilakukan penderita kanker serviks pun juga memberikan
dampak fisik secara langsung bagi penderitanya yakni mudah lelah, perubahan
warna kulit, maupun penurunan berat badan secara drastis. Pada penderita
kanker serviks yang menjalani pengobatan dengan radioterapi akan
menunjukkan efek samping yang cukup besar seperti semakin memburuknya
kemampuan fungsi seksual, lebih mudah mengalami gangguan somatisasi,
serta timbulnya gangguan psikososial. Kondisi psikologis yang terjadi pada
penderita kanker serviks yang menjalani pengobatan radioterapi misalnya,
sering mengeluhkan munculnya perasaan takut, tidak berdaya, rendah diri,
10
sedih, dan lebih mudah mengalami kecemasan maupun depresi. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Einstein, dkk pada tahun 2011 menunjukkan
bahwa 20% penderita melaporkan adanya komplikasi terhadap hubungan
dengan keluarga akibat kekambuhan kanker. 1,8
Perubahan-perubahan sistem dan fungsi tubuh yang terjadi pada penderita
kanker serviks dapat menimbulkan gangguan konsep diri penderita, dimana
penderita mengalami kebergantungan pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya dan penurunan keberfungsian tubuh. Keadaan ini
selanjutnya dapat menyebabkan penurunan gambaran diri sehingga
menyebabkan penurunan pada harga diri. Perubahan gambaran diri terjadi pada
hampir semua penderita kanker, jika perubahan tidak terintegrasi dengan
konsep diri maka kualitas hidup penderita akan menurun secara drastis. 1,8
2.4 Keganasan Korpus Uteri
Keganasan korpus uteri adalah keganasan yang primer tumbuh dan berasal dari
korpus uteri, dan umumnya yang dibicarakan adalah mengenai karsinoma
endometrium, meskipun beberapa bagian korpus uteri dapat juga mengalami
degenerasi keganasan seperti miometrium serta jaringan lainnya yang menjadi
komponen korpus uteri. 9,10
Proses prakanker endometrium umumnya didahului hiperplasia endometrium
yang atipik, sedangkan hiperplasia yang non atipik belum dianggap lesi pra
kanker endometrium. Sampai saat ini etiologi keganasan endometrium belum
11
jelas, tetapi paparan terhadap hormon estrogen dianggap faktor predisposisi
terjadinya keganasan endometrium. Salah satu yang diduga sebagai penyebab
keganasan endometrium adalah terjadinya mutasi gen yang mengatur perbaikan
sel, keadaan ini disebut sebagai sindroma Lynch II, yang meliputi terjadinya
keganasan kolon, keganasan ovarium, dan keganasan endometrium. Beberapa
keadaan yang dianggap sebagai faktor resiko terjadinya keganasan
endometrium adalah :
- Infertilitas karena siklus anovulasi, sehingga terjadi rangsangan estrogen
yang lama terhadap endometrium
- Obesitas, yang dikaitkan dengan peningkatan aromatisasi estrogen di
jaringan lemak.
- Faktor keturunan/keluarga, dikaitkan dengan HNPCC / hereditary non-
poliposus colorectal cancer ( sindroma Lynch II )
- Hipertensi
- Diabetes Melitus. 9,10
Angka kejadian keganasan endometrium di Indonesia berkisar 1,2-8,4 %,
berbeda dengan negara-negara maju dimana angka kejadiannya lebih tinggi, hal
ini dianggap sebagai akibat pengaruh lingkungan terutama diet.8
Kecurigaan adanya kelainan pada endometrium berupa hiperplasia ataupun
keganasan dapat dilakukan dengan pemeriksaan untrasonografi, tetapi
12
diagnosis pasti ditetapkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi jaringan
endometrium yang diambil dengan cara biopsi ataupun dengan kuretase
endometrium. Penetapan stadium keganasan endometrium adalah berdasarkan
pembedahan, karena hanya dengan stadium klinik kita tidak dapat mengetahui
seberapa jauh keganasan menginvasi endomterium, metastasis kelenjar getah
bening ataupun metastasis ke organ intra abdominal ataupun ke cairan
peritoneum. Keganasan endometrium dapat menyebar secara invasif lokal,
limfogenik maupun hematogenik. Pendekatan terapi keganasan endometrium
adalah pembedahan dan/atau radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi/ terapi
hormon ( progesteron ). 9,10
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kornblith AB, dkk pada tahun 2009 di
Amerika tentang perbedaan kualitas hidup pasien kanker endometrium yang
menjalani laparaskopi dan laparatomi. Didapati kelompok pasien yang menjalani
laparaskopi memiliki skor FACT-G yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang menjalani laparatomi setelah 6 bulan paska terapi.9
2.5 Keganasan Ovarium
Keganasan ovarium adalah keganasan primer dari ovarium. Penyebab terjadinya
keganasan ovarium belum jelas, diduga tumor ovarium berawal dari
terbentuknya kista inklusi akibat ovulasi, yang berkembang menjadi tumor
ovarium jinak, borderline, ataupun ganas. Peran lainnya diduga sebagai akibat
hilangnya peranan tumor suppressor gene ( TSG ), atau terjadinya mutasi gen. 11
13
Kanker ovarium merupakan salah satu keganasan yang paling sering ditemukan
pada alat genitalia perempuan dan menempati urutan kedua setelah kanker
serviks. Dari tahun 1989-1992 terdapat 1726 kasus kanker ginekologik di
Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM, Jakarta dan 13,6% adalah kanker
ovarium. Pada umumnya penderita datang sudah dalam stadium II-IV ( 42,5%).
Diketahui juga angka kematian akibat kanker ovarium sebanyak 22,6% dari 327
kematian akibat kanker ginekologi. Dari seluruh kanker ginekologi, kanker
ovarium ternyata menyimpan permasalahan yang paling besar dan angka
kematiannya hampir separuh dari angka kematian seluruh keganasan
ginekologik. Hal ini disebabkan kanker ovarium tidak mempunyai gejala klinis
yang khas sehingga penderita kanker ovarium datang berobat sudah dalam
stadium lanjut. Diperkirakan 70-80% kanker ovarium baru ditemukan setelah
menyebar luas atau telah bermetastasis jauh sehingga hasil pengobatan tidak
seperti yang diharapkan. Parameter tingkat keberhasilan pengobatan kanker
termasuk kanker ovarium adalah angka ketahanan hidup 5 tahun ( five year
survival rate ) setelah pengobatan. 11
Sampai saat ini permasalahan kanker ovarium di Indonesia masih demikian
komplek. Salah satunya adalah masih rendahnya daya tahan hidup penderita.
Diketahui bahwa Angka Ketahanan Hidup ( AKH ) 5 tahun kanker ovarium
menurun sejalan dengan meningkatnya stadium penyakit. Angka ketahanan
hidup pada stadium I sebesar 72,8%, stadium II 46,3%, stadium III 17,2% dan
stadium IV hanya 4,8%. 11
14
Keganasan pada ovarium prevalensinya cukup tinggi, bahkan menempati urutan
kedua setelah keganasan serviks dan urutan ketiga sebagai keganasan pada
wanita, setelah keganasan serviks dan keganasan payudara. Kejadian
keganasan ovarium meningkat pada usia 45 tahun keatas. Keganasan ovarium
yang terbanyak adalah jenis epitel, sedangkan pada usia anak atau remaja yang
terbanyak adalah jenis germinal. 11
Diagnosis pasti keganasan ovarium adalah secara histologis melalui
pembedahan yang bertujuan untuk menetapkan diagnosis, menentukan stadium
dan penatalaksanaan selanjutnya. Keganasan ovarium dapat menyebar secara
perkontinuitatum, limfogenik maupun hematogenik. Penyebaran secara
langsung ke rongga periotneum dapat terjadi pada tumor ganas yang kapsulnya
ututh, tetapi penyebaran tersebut lebih dimungkinkan pada keadaan-keadaan
seperti saat dilakukan pungsi tumor, atau tumor pecah baik secara spontan
sebelum pembedahan ataupun saat pembedahan. Metastasis pada rongga
peritoneum sering dijumpai, beberapa organ yang sering terlibat adalah organ
viscera dan omentum, difragma dan permukaan hati, sedangkan metastasis
secara limfogenik terjadi mengikuti alur limfe ligamentum ovarii proprium,
ligamentum rotundum menuju Kelenjar Getah Bening (KGB) sepanjang arteri
iliaka eksterna, iliaka komunis, hipogastrika, pudenda interna, dan sakralis
lateralis ataupun langsung ke KGB paraaorta atau KGB inguinal. Metastasis
jauh yang sering terkena adalah metastasis ke paru-paru atau hati. 11
15
Beberapa faktor klinis yang memperngaruhi prognosis adalah : stadium, residu
tumor, jenis histologi dan derajat differensiasi tumor. Pengelolaan yang utama
dari keganasan ovarium adalah pembedahan – yang bertujuan diagnosis, terapi
( dengan mengangkat massa tumor penyebab ), dan penetapan stadium –
dilanjutkan radioterapi dengan / tanpa kemoterapi. 11
Pembedahan teraupetik dianggap optimal bila seluruh prosedur pembedahan
dilakukan dengan residu tumor kurang dari 1-2 cm. Bila prosedur pembedahan
tidak dilakukan seluruhnya maka pembedahan tersebut tidak lengkap (
uncompleted staging ), tetapi bila prosedur dilakukan lengkap tetapi
meninggalkan residu tumor lebih dari 1-2 cm, maka pembedahan disebut tidak
adekuat. 11
2.6 Penyakit Trofoblas Ganas
Penyakit Trofoblas ganas (PTG) adalah suatu spektrum kumpulan gejala klinik
dan histologis mulai dari keadaan mola hidatidosa jinak sampai bentuk yang
invasif secara lokal dan koriokarsinoma yang sangat ganas yang menyebar luas
pada fase awal penyakit. Diagnosa banding secara morfologis tidak lagi memiliki
kepentingan klinik yang penting begitu lesi sudah diindentifikasi sebagai penyakit
trofoblas ganas oleh karena berbagai pendekatan modern dan lebih memuaskan
seperti Ultrasonografi (USG) dan pemeriksaan Beta – Human Chorionic
Gonadotropin (ß-HcG). Sebagai tambahan, suatu sistem pengelompokan
( staging ) klinik telah diterima secara luas di berbagai belahan dunia yang mana
dapat membandingkan antara keadaan metastatik dan non-metastatik, penyakit
16
ini secara individual dapat diklasifikasikan atas yang beresiko tinggi dengan yang
beresiko rendah. 12
Pembagian stadium dari International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO) 1982 sifatnya sederhana dan menggunakan kriteria yang sama dengan
keganasan ginekologi yang lain. Pembagian ini mengacu pada pemeriksaan
klinis dan hasil pemeriksaan radiologi dan tidak menggunakan langkah-langkah
rumit yang mungkin tidak dapat dilakukan dinegara-negara yang sedang
berkembang. 12,13
Pada tahun 1991, FIGO menambahkan faktor prognostik kedalam sistem staging
anatomik yang klasik dengan faktor prognostik , yaitu nilai ß-hCG urin > 100.000
mIU/ml dan β-hCG serum > 40.000 mIU/ml dan lamanya waktu dari terminasi
kehamilannya hingga terdiagnosis > 6 bulan. Staging harus berdasarkan riwayat
kehamilan, pemeriksaan klinis, pendekatan laboratorium dan radiologis. 12,13
Gambar 2. Klasifikasi FIGO dan sistem skor WHO yang dimodifikasi.12
Klasifikasinya adalah sebagai berikut :
17
1. Risiko rendah, skor total ≤ 4
2. Risiko sedang, skor total 5-7
3. Risiko tinggi, skor total ≥ 8
Pasien dengan stage I dan Stage II atau III resiko rendah ( skor
prognostik FIGO < 6) secara umum berespon terhadap kemoterapi.
Dilatasi dan kuretase berulang tidak dianjurkan oleh karena
memungkinkan terjadinya resiko perdarahan dan infeksi tanpa
mengurangi kebutuhan akan kemoterapi. Pasien dengan Penyakit
Trofoblas Ganas stage II atau III termasuk dalam kelompok beresiko
tinggi dan dianjurkan untuk tidak hanya mendapat kemoterapi agen
tunggal, melainkan dengan kombinasi kemoterapi. Sebelum tahun
1975, angka ketahanan hidup pasien dengan PTG stage IV hanya sekitar
30%. Sejak itu, angka ketahanan hidup mulai menunjukkan perbaikan
sampai 80% oleh karena mulai diperkenalkannya secara luas
kemoterapi multi agen. Sekarang semua pasien dengan PTG stage IV
dikelola dengan kombinasi kemoterapi yang intensif dan primer.
Kombinasi kemoterapi yang paling banyak digunakan pada stage ini
adalah EMACO (Etoposide – MTX- Actinomycin-Vincristin-
Cyclophosphamide).
Walaupun kemoterapi dianggap sebagai manajemen terbaik untuk PTG, tetapi
masih ada beberapa permasalahan yang menyertai kondisi penyakit tersebut,
diantaranya bagaimana cara mereduksi tumor, mengkontrol perdarahan,
mengelola keadaan rekurensi atau resistensi penyakit pada uterus atau lokasi
18
metastasis. Seiring perkembangan tekknologi, indikasi umum yang timbul
tampaknya adalah reseksi ataupun isolasi fokus refrakter dari penyakit terutama
pada kegagalan metode non pembedahan. Oleh karena kesuksesan kemoterapi
untuk tatalaksana PTG, radiasi memiliki peranan yang terbatas dalam manajemen
penyakit ini. Radiasi biasanya dilakukan pada metastasis hepar dan otak, dengan
usaha untuk meminimalkan komplikasi pembedahan pada lokasi tersebut.
Radiasi terkadang diberikan pada lokasi metastasis di tempat lainnya
untuk mengelola fokus penyakit yang resisten terhadap obat. Tetapi,
effikasi keseluruhan radiasi terhadap metastasis lokasi lain selain otak
masih belum jelas. Kebanyakan tatalaksana keadaan menunjukkan
kesuksesan akibat gabungan dari berbagai modalitas pengobatan pada
pasien dengan PTG metastatik resiko tinggi.12,13
Cagayan, dalam penelitiannya di Filipina, tahun 2008 pada 46 pasien
PTG dalam masa remisi tentang penilaian kualitas hidup dengan
menggunakan Short Form 12-question ( SF 12 ) menjumpai bahwa
fungsi fisik pada kelompok penderita dengan usia yang lebih muda
didapati lebih baik. Didapati korelasi yang positif antara tingkat
pendidikan dan fungsi fisik. Usia, tingkat pendidikan, dan jenis
pengobatan memiliki dampak langsung terhadap kualitas hidup
penderita, tetapi tidak berhubungan dengan status demografik dan
mental. 12
2.7 Kualitas Hidup
19
Kualitas hidup menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)
Group dalam Rapley, 2003, didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai
posisi individu dalam hidup dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu
hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar yang ditetepakan dan
perhatian seseorang. Menurut Bottomley, 2002, kualitas hidup adalah keadaan
sehat yang merupakan gabungan dari 2 komponen, yaitu kemampuan untuk
melaksanakan aktifitas sehari-hari yang menggambarkan kesehatan fisik,
psikologik dan sosial, serta kepuasan pasien pada tingkat fungsional dan
pengendalian penyakit.3,13
Menurut WHOQOL, dalam Rapley, 2003, terdapat empat dimensi mengenai
kualitas hidup yang meliputi :
1. Dimensi kesehatan fisik
Mencakup aktifitas sehari-hari, ketergantungan pada obat-obatan, energi dan
kelelahan, mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas
kerja.
2. Dimensi kesejahteraan psikologik
Mencakup bodily image dan appearance, perasaan negatif, perasaan positif,
self esteem, spiritual, agama, keyakinan pribadi, berfikir, belajar, memori dan
konsentrasi
3. Dimensi hubungan sosial
20
Mencakup relasi personal, dukungan sosial, dan aktifitas seksual.
4. Dimensi hubungan dengan lingkungan, mencakup sumber finansial,
kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan sosial
termasuk aksesbilitas dan kualitas, lingkungan rumah, kesempatan untuk
mendapatkan berbagai informasi baru maupun keterampilan, partisipasi dan
mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan kegiatan yang
menyenangkan di waktu luang, lingkungan fisik termasuk polusi/kebisingan/lalu
lintas/ iklim, serta transportasi. 13,14,15,16,18
Sebagian besar wanita yang menderita kanker merasa berada pada periode
krisis sehingga membutuhkan penyesuaian yang berbeda-beda bergantung
pada persepsi, sikap, serta pengalaman pribadinya terkait penerimaan diri
terhadap perubahan yang terjadi. Maka kondisi inilah yang akan berpengaruh
terhadap kualitas hidup penderita kanker. 13,14,15,16
2.8 Pengukuran Kualitas Hidup
Kualitas hidup dapat diukur dengan menggunakan instrumen pengukuran
kualitas hidup yang telah diuji dengan baik. Dalam mengukur kualitas hidup
yang berhubungan dengan kesehatan, semua ruang lingkup akan diukur
dalam dua dimensi yaitu penikaian obyektif fungsional atau status kesehatan
(aksis X) dan persepsi sehat yang lebih subyektif (aksis Y). Walaupun dimensi
obyektif penting dalam penentuan derajat kesehatan, tetapi persepsi subyektif
dan harapan menjadikan penilaian obyektif menjadi definisi kualitas hidup
21
yang sesungguhnya. Suatu instrumen pengukuran kualitas hidup yang baik
perlu memiliki konsep, cakupan, reliabilitas, validitas dan sensitivitas yang baik
pula.2,17
Secara garis besar instrumen untuk mengukur kualitas hidup dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu instrumen umum (generic scale) dan instrumen
khusus (specific scale). Instrumen umum ialah instrumen yang dipakai untuk
mengukur kualitas hidup secara umum pada penderita dengan penyakit
kronik. Instrumen ini digunakan untuk menilai kemampuan fungsional,
ketidakmampuan dan kekuatiran yang timbul akibat penyakit yang diderita
secara umum.2,17
Salah satu contoh instrumen umum adalah the Sickness Impact Profile (SIP),
the Medical Outcome Study (MOS), 36-item short-form Health Survey (SF-36).
Sedangkan instrumen khusus adalah instrumen yang dipakai untuk mengukur
sesuatu yang khusus dari penyakit, populasi tertentu (misalnya pada orang
tua) atau fungsi yang khusus (misalnya fungsi emosional), contohnya adalah
The Washington Psychosocial Seizure Inventory (WPSI), The Liverpool
Group, The Epilepsy Surgery Inventory (ESI-55). Pada pasien kanker
Instrumen yang biasa digunakan adalah The European Organization for
Research and Treatment of Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC
QLQ-C30 dan EORTC QLQ-BR 23) serta The Functional Assesment of
Cancer- General version (FACT-G).17,18
2.9 Kuesioner FACT-G
22
FACT-G, kuesioner yang didesain oleh Cella, dkk pada Tahun 1993, telah
melalui uji validasi yang sangat panjang dengan berbagai latar negara dan
bahasa. FACT-G merupakan produk dari sistem pengukuran kualitas hidup
Functional Asessment of Chronic Illness Therapy (FACIT).13,14,15,16
23
24
Gambar 3. Kuesioner FACT-G Versi Bahasa Indonesia11
Pada uji validasi yang dilakukan oleh Dapueto di Tahun 2001 pada 140 pasien
penderita kanker dengan rentang usia antara 18-70 tahun, setelah melalui
25
terapi yang beragam sesuai derajat keparahannya, didapatkan koefisien alfa
sangat tinggi pada setiap subskala sebagimana skor total kualitas hidup, yang
berarti bahwa FACT-G ini mengevaluasi segala aspek terkait. Dalam
pengujian ini dilihat juga apakah semua subskala yang diukur dapat
dijustifikasi di semua kultur budaya dan didapatkan hasil yang baik, kecuali
untuk skala pengukuran kesejahteraan emosi. Kemungkinan perbedaan
tersebut didasarkan pada bentuk budaya, tingkat pendidikan, dan lain
sebagainya.17,19
Pada penelitian yang dilakukan oleh Trirahmanto, dkk di Yogyakarta pada
Tahun 2011 mengenai gambaran kualitas hidup 100 pasien dengan kanker
ginekologik dengan memakai kuesioner EORTC QLQ-c30, mulai Januari-
Maret 2009, didapati kanker serviks merupakan tipe kanker terbanyak, yakni
sebanyak 67% dan sebagian besar datang dengan stadium lanjut. Domain
fungsi kognitif (100%) dan fungsi emosional (83%) menempati urutan tertinggi,
sementara permasalahan fungsi ditunjukkan dengan nilai rendah pada fungsi
kesehatan keseluruhan dan fungsi peran pasien. Keluhan yang paling banyak
disampaikan pasien adalah gangguan tidur dan kehilangan nafsu makan.
Hampir seluruh pasien mengeluhkan masalah finansial (83,34%).14
Wilailak, dkk pada penelitiannya di Thailand pada tahun 2011 terhadap 870
wanita termasuk diantaranya penderita kanker ginekologik dan wanita normal
yang menjalani papsmear di poli ginekologi, didapati total skor FACT-G lebih
tinggi pada kelompok pasien dibandingkan dengan wanita normal. Masing
26
masing skor pada tiap-tiap subskala dalam FACT-G mencakup dimensi fisik,
fungsional, sosial dan emosional juga lebih tinggi nilainya pada kelompok
pasien dibandingkan dengan wanita yang sehat. 15
2.10 Penggunaan kuesioner FACT-G
Kuesioner FACT-G didesain untuk diisi langsung oleh pasien, namun bisa juga
dilaksanakan secara wawancara. Untuk pengisian sendiri, pasien sebelumnya
harus diberitahu untuk membaca arahan yang dicantumkan pada bagian atas
kertas. Setelah pasien benar-benar mengerti, selanjutnya pasien diminta untuk
mengisi seluruh poin pada kuesioner sesuai urutan, terkadang pasien
menganggap pertanyaan yang diberikan tidak sesuai dengan keadaannya dan
melewati pertanyaan tersebut. Dokter harus berperan aktif dalam membantu
pasien mengisi kuesionernya. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi seluruh
kuesioner FACT-G rata-rata adalah 5-10 menit.20
Untuk penentuan skor, pedoman skoring FACT-G menandai poin-poin yang
memiliki nilai terbalik. Nilai pada poin ini harus dibalik (skor 4 dikurangi skor
pada poin tersebut) sebelum ditambahkan pada skor total. Semakin tinggi
skornya menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik.20
Kelebihan dari penggunaan FACT-G adalah:
- Mencakup Sekitar 50 tanda dan gejala
- Cakupan penyakit, tatalaksana atau kondisi khusus yang lebih luas
- Mudah untuk dikerjakan (kebanyakan 5-10 menit)
27
- Validitas, reliabilitas dan sensitivitas yang telah teruji dengan perubahan
- Telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa
- Pertimbangan khusus untuk kesehatan spiritual, rawatan paliatif, dan
kepuasan perawatan
- Ditulis setara tingkat pendidikan kelas 4 SD (usia 9-10 tahun)
- Dapat dilaksanakan secara individu atau wawancara
- Telah divalidasi untuk penggunaan dengan berbagai kondisi kesehatan
kronis dan populasi umum
- Telah divalidasi untuk penggunaan pada orang tua dan penduduk pedesaan
Adapun kelemahan dari kuesioner FACT-G adalah beberapa pertanyaan yang
menyangkut kehidupan seksual dan rasa takut akan kematian, yang dianggap
kurang pantas oleh beberapa responden.20
28
BAB III
KESIMPULAN
Penderita kanker / keganasan ginekologik umumnya datang ke dokter dengan berbagai
keluhan yang mengindikasikan bahwa keganasan yang diderita merupakan keganasan
stadium lanjut. Belakangan, pengobatan terhadap penderita kanker ginekologik
berpusat pada peningkatan kualitas hidup penderita. Dengan penilaian kualitas hidup
penderita, dokter dapat menilai bagaimana hubungan antara pengobatan yang telah
diberikan dengan kualitas hidup pasien penderita kanker ginekologik.
Kualitas hidup adalah keadaan sehat yang merupakan gabungan dari 2 komponen,
yaitu kemampuan untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari yang menggambarkan
kesehatan fisik, psikologik dan sosial, serta kepuasan pasien pada tingkat fungsional
dan pengendalian penyakit. Kualitas hidup dapat diukur dengan menggunakan
instrumen pengukuran kualitas hidup yang telah diuji dengan baik.
FACT-G, kuesioner yang didesain oleh Cella, dkk pada Tahun 1993, telah melalui uji
validasi yang sangat panjang dengan berbagai latar negara dan bahasa. Kuesioner
FACT-G didesain untuk diisi langsung oleh pasien, namun bisa juga dilaksanakan
secara wawancara. FACT-G memiliki berbagai kelebihan, diantaranya adalah daya
cakupnya yang luas dan kemudahan penggunaannya.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Fitriana NA, Ambarini TK. Kualitas Hidup Penderita Kanker Serviks Yang
Menjalani Pengobatan Radioterapi. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan
Mental 2012,1(02);123-129
2. Antara DS. Depresi Pada Penderita Keganasan Ginekologi. Tesis. FK Undip;
2005.
3. Bottomley A. The Cancer Patient and Quality of Life. The Oncologist,
2002,7;120-125.
4. Mor V, Laliberte L, Morris JN, Wiem M. The Karnofsky Performance Status
Scale. Cancer 53, 1984; 2002-2007
5. Tahmasebi M, Yarandi F, Eftekhor Z, Montazeri A, Namazi H. Quality of Life in
Gynecologic Cancer Patients. Asian Pacifix J Cancer Prev, 8; 591-592.
6. Faught W, et al. Management of Squamous Cell Cancer of the Vulva. JOGC
Jullet 2006,180;640-645
7. Janda M, et al. The Functional Assessment of Cancer Vulva : Reliability and
Validity. Gynecologic Oncology,97(2);568-575
8. Rasjidi I. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesian Journal of cancer, 2009,
111(3);103-108
30
9. Kornblith AB, Huang HQ, Walker JL, Spirtos NM, Rotmerrsch J, Cella D.
Quality of Life of Patients with Endometrial Cancer Undergoing Laparascopic
International Federation of Gynecology and Obstetrics Staging Compared with
Laparatomy: A Gynecologic Oncology Group Study. J Clin Oncol
2009,27;5337-5342
10.Emons G, Fleckenstein G, Hinney B, Huschmand A, Heyl W. Hormonal
Interactions in Endometrial Cancer. Endocrine related cancer, 2000, 7;227-
242.
11.Sihombing M, Sirait AM. Angka Ketahanan Hidup Penderita Kanker Ovarium
di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Maj Kedokt Indon 2007,57(10);346-352
12.Cagayan MS, Llarena RT. Quality of life of Gestational trophoblastic neoplasia
survivors : a study of patients at the Philipine General Hospital Trophoblastic
Disease Section. J Reprod Med 2010, 55(7);321-326.
13.Wenzel L. Quality of Life after Gestational Trophoblastic Disease. The Journal
of Reproductive Medicine 2002, 47(5);387-394
14.Trirahmanto A, Kusumanto A, Titisari I, Putri HMAR. Kualitas Hidup Pasien-
pasien Kanker Ginekologi yang dinilai dengan Indeks QoL-EORTC di Rumah
Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta. Indones J Obstet Gynecol 2011, 35(3);135-139.
15.Wilalak S, et al. Quality of Life Gynecologic Cancer Survivors Compared to
Healthy Check Up Women. J Gynecol Oncol 22(2); 103-109, 2011.
31
16.Yates JW, Chalaver B, McKegney P. Evaluation of Patients with Advanced
Cancer Using The Karnofsky Performance Status. Cancer 45, 1980 ; 2220-
2224.
17.Dapueto JJ. Evaluation of The Functional Assessment of Cancer Therapy-
General Questionnaire ( FACT-G) in a South American Spanish Population.
Psycho-Oncology 2001,10;88-92.
18.Djuminten. Uji Reliabilitas Instrumen Kualitas Hidup pada Penderita Kanker
Payudara di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Tesis, Program Pasca Sarjana,
FK UGM, 2010.
19.Lee E, Chun M, Kang S, Lee H. Validation of the Functional Assessment of
Cancer Therapy-General ( FACT-G) Scale for Measuring the Health-related
Quality of Life in Korean Women with Breast Cancer. Jpn J Clin Oncol
2004,34(7);393-399.
20.Webster K, Cella D, Yost K. The Functional Assessment of Chronic Illness
Therapy (FACIT) Measurement System: properties, applications, and
interpretation. Health and Quality of Life Outcomes 2003, 1:79
32