refarat se

28
BAB I PENDAHULUAN Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data WHO menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, nilai yang sama dengan kanker payudara pada perempuan dan kanker prostat pada pria. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan social ekonomi. Angka kejadian epilepsy masih tinggi terutama di negara berkembang yang mencapai 114 (70-190) per 100.000 penduduk pertahun. Angka yang tinggi dibandingkan dengan Negara yang sudah berkembang di mana angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk pertahun. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penyandang epilepsi baru 250.000 pertahun. (1) Angka prevalensi penyandang epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000 penyandang epilepsi. Dari banyak studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada 1

Upload: andy-ashari

Post on 13-Dec-2015

42 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Refarat SE

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data

WHO menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, nilai yang sama

dengan kanker payudara pada perempuan dan kanker prostat pada pria. Epilepsi

dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan social

ekonomi. Angka kejadian epilepsy masih tinggi terutama di negara berkembang

yang mencapai 114 (70-190) per 100.000 penduduk pertahun. Angka yang tinggi

dibandingkan dengan Negara yang sudah berkembang di mana angka kejadian

epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk pertahun. Bila jumlah

penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penyandang

epilepsi baru 250.000 pertahun. (1)

Angka prevalensi penyandang epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000

penyandang epilepsi. Dari banyak studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar

antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Berkaitan

dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi

epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan

pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut. (1)

Umumnya penyakit ini dapat diobati; data penelitian menemukan 55-68 %

kasus berhasil menunjukkan remisi dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Dikalangan masyarakat awam, terutama di negara berkembang masih terdapat

pandangan yang keliru (stigma) terhadap epilepsi, antara lain dianggap sebagai

penyakit akibat kutukan, guna-guna, kerasukan, gangguan jiwa /mental, dan

dianggap penyakit yang dapat ditularkan melalui air liur. Hal ini berpengaruh

negatif terhadap upaya pelayanan penyandang epilepsi. Selain hal tersebut di atas,

pelayanan penyandang epilepsi masih menghadapi banyak kendala. Beberapa

kendala yang telah teridentifikasi antara lain keterbatasan dalam hal tenaga medik,

sarana pelayanan, dana dan kemampuan masyarakat. Berbagai keterbatasan tadi

dapat menurunkan optimalisasi penanggulangan epilepsi. (1)

1

Page 2: Refarat SE

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30

menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana di antara bangkitan-bangkitan

tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan

konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-

10 menit. SE merupakan keadaan kegawat daruratan yang memerlukan

penanganan dan terapi segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30

menit). SE dikatakan pasti (established) bila pemberian benzodiazepin awal tidak

efektif dalam menghentikan bangkitan.(1)

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA), status epileptikus

didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang

tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang

berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika

seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali

selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.(2)

2.2. ETIOLOGI

Tabel 1. Etiologi of Status Epileptikus.(2)

Penyebab Presentase

Demam 36 %

Perubahan obat 20 %

Lain-lain (Trauma, vascular, infeksi, tumor, obat) 15 %

Tidak diketahui 9 %

Metabolik 8 %

Congenital 7 %

Anoxic Injury 5 %

2

Page 3: Refarat SE

Beberapa obat yang lebih umum diketahui menyebabkan kejang meliputi: (2)

Penisilin

Isoniazid

Metronidazol

Antihistamin

Narkotic

Ketamine

Halotan

Enfluran

Antidepresan trisiklik

Antipsikotik

Phencyclidine

Kokain

2.3. EPIDEMIOLOGI

Insiden status epileptikus (SE) adalah 10 sampai 60 per 100.000 orang-

tahun. SE terjadi sama pada pria dan wanita. Meskipun SE dapat terjadi pada

semua usia, distribusi temporal adalah bimodal, mempengaruhi ekstrem usia,

dengan risiko yang lebih tinggi pada tahun pertama kehidupan dan setelah usia 60

tahun. Insiden ini lebih tinggi pada populasi miskin.(3)

SE adalah presentasi pertama epilepsi pada sepertiga pasien, terutama pada

anak-anak. Sepertiga lagi dari pasien memiliki diagnosis didirikan epilepsi, dan

yang ketiga tersisa tidak memiliki riwayat epilepsi. Pada pasien dengan epilepsi,

SE adalah lebih mungkin terjadi pada mereka dengan kejang refrakter parsial dan

pada mereka dengan epilepsi simtomatik terpencil.(3)

Untuk menentukan angka kejadian dari status epilepsi non konvulsi

(NCSE) dibutuhkan tersedianya EEG. Beberapa studi hanya dilaporkan dari

pasien yang di rawat di rumah sakit. Lebih mudah untuk menentukan angka

kejadian dari status epilepsi konvulsi umum (GCSE), karena gejala klinik mudah

dikenal. De Lorenzo dkk melaporkan angka kejadian 41 per 100.000, angka

kematian pada GCSE hampir 22%, dan meningkat 30% pada usia tua.(4)

Menurut epilepsy foundation research, angka kejadian NCSE diperkirakan

6-18 kasus/100.000/tahun. Towne dkk, pada studi prospektif dari 236 pasien

dengan koma dimana secara klinis tidak ditemukan kejang, melaporkan 8% dari

pasien memenuhi kriteria NCSE pada EEG. De Lorenzo dkk mendapatkan 14%

dari pasien yang kontrol sesudah mendapat GCSE. Privitera dan Strawburg

melaporkan pada studi prospektif menemukan pada 198 pasien dengan perubahan

3

Page 4: Refarat SE

tingkat kesadaran pada EEG ditemukan NCSE. NSCE dilaporkan dapat

ditemukan pada semua usia dan usia sangat muda sampai sangat tua, pada kedua

jenis kelamin tanpa perbedaan. NCSE tidak membutuhkan riwayat kejang

sebelumnya, dari perpustakaan dilaporkan 10-100% pasien dengan NCSE telah

ditemukan riwayat kejang sebelumnya.(4)

Diperkirakan 10% dari dewasa dengan status absent didapat sekurangnya

satu kali serangan absent. Pada dewasa, NCSE diperkirakan seperempat dari

seluruh kasus status epilepsi. Data mengenai NCSE pada anak-anak jarang

dilaporkan disebabkan oleh kurangnya konsensus untuk diagnosa dan diatas

segalanya akibat tidak diketahuinya gejala sebagai kelainan patologi atau

misinterprestasi sebagai problem tingkah laku. Status absent dilaporkan terbanyak

pada anak-anak yang akan menjadi NSCE pada waktu dewasa. Berbagai faktor

pencetus dapat terlibat pada NCSE termasuk gangguan metabolik, infeksi,

intoksikasi alkohol, kehamilan, intoksikasi obat (amitriptilin, theophylin,

cephalosporin, obat khemoterapi (metotroksat, ifosfemid, ciklo fostamid,

ciklosporin, vinblastin, eisplastin), withdrawal anti epilepsy (AEO) dan

carbamazepin, sangat jarang lamotrigin, phenobarbital, phenitoin.(4)

2.4. PATOFISIOLOGI

Hubungan antara keluaran neurologis dan lama status epileptikus belum

diketahui pada anak dan dewasa. Ada beberapa bukti bahwa masa status

epileptikus yang menimbulkan cedera saraf pada anak kurang daripada masa

tersebut pada orang dewasa. Pada primata, perubahan patologis dapat terjadi pada

otak binatang yang diventilasi sesudah aktivitas kejang konstan 60 menit ketika

homeostasis metabolic dipertahankan. Dengan demikian, kematian sel dapat

akibat dari peningkatan kebutuhan metabolic karena discharge (rabas) neuron

secara terus-menerus. Daerah otak yang paling rentan adalah hipokampus,

amigdala, serebellum, daerah korteks tengah, dan thalamus. Perubahan patologis

akut khas terdiri dari kongesti vena, perdarahan ptekie kecil dan edema.(5)

Perubahan iskemik selular adalah temuan histologis paling awal yang

disertai dengan neuronofogia, proliferasi mikroglia, kehilangan sel dan

4

Page 5: Refarat SE

peningkatan jumlah astrosit reaktif. Kejang lama yang disertai dengan asidosis

laktat, perubahan pada sawar darah otak, dan peningkatan tekanan intrakarnial.

Kompleks serial, perubahan hormonal dan biokimia yang kurang dimengerti,

terjadi. Kadar prolactin yang bersirkulasi hormon adrenokortikotropin, kortisol,

glucagon, hormon pertumbuhan, insulin, epineprin, dan nukleotid siklik

meningkat selama status epileptikus pada binatang. Kadar kalsium, asam

arakidonat, dan prostaglandin neuron meningkat dan dapat meningkat kematian

sel. Pada mulanya, binatang mungkin hiperglekemik, tetapi akhirnya jadi

hipoglikemik. Tidak dapat dihindarkan terjadi disfungsi sistem saraf autonom,

yang dapat menyebabkan hipotensi dan syok. Aktivitas otot tonik klonik yang

konstan selama kejang dapat menghasilkan mioglobinuria dan nekrosis tubulus

akut.(5)

Beberapa pemeriksaan telah menunjukkan penambahan aliran darah otak

dan kecepatan metabolik yang bermakna selama status epileptikus. Pada binatang

sekitar 20 menit status epileptikus menghasilkan insufisiensi oksigen regional,

yang meningkat cedera dan nekrosis sel. Penelitian ini telah mengarah pada

konsep masa kritis selama status epileptikus ketika perubahan neuron ireversibel

dapat berkembang. masa transisi ini bervariasi antara 20 dan 60 menit pada

binatang selama aktivitas kejang konstan. Manajemen anak harus diarahkan pada

dukungan fungsi vital dan mengendalikan konvulsi secepat dan seefisien

mungkin, karena masa transmisi yang tepat pada manusia belum diketahui.(5)

2.5. KLASIFIKASI

2.5.1. Status Epileptikus Konvulsivus

Status epileptikus konvulsivus adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5

menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara

bangkitan.(1)

2.5.2. Status Epileptikus Non Konvulsivus

Status epilepticus non konvulsivus adalah serangan epilepsi yang

berlangsung lebih dari 30 menit ditandai dengan adanya aktifitas bangkitan yang

5

Page 6: Refarat SE

kontinyu atau berulang pada perubahan Elektro Encephalogram (EEG) yang

menyebabkan berbagai gejala klinik mencakup gangguan kesadaran, gangguan

persepsi dengan tingkah laku yang abnormal.(4)

Menurut The Epilepsy Research Foundation status epilepticus non

konvulsivus adalah suatu rangkaian kondisi dimana ditemukan aktifitas bangkitan

yang memanjang yang menyebabkan gejala klinis non konvulsi.(4)

Bila seseorang anak diduga menderita status epilepticus non konvulsivus

maka EEG harus segera dilakukan. Rekaman EEG akan memudahkan dokter

untuk mengkonfirmasi atau mengeklusi diagnosis status epilepticus non

konvulsivus. Idealnya EEG dilakukan sebelum anak mendapat obat anti epilepsi.

EEG juga berguna untuk memonitor respon pengobatan. Status epilepticus non

konvulsivus dibedakan dengan status epilepsi konvulsi karena tidak ditemukan

atau sedikit ditemukannya komponen motorik. Tanda dominan dari status

epilepticus non konvulsivus adalah perubahan status mental yang berhubungan

dengan perubahan pada EEG.(4)

Ada tiga jenis utama dari status epilepsi: (4)

1. Status absens yang merupakan epilepsi umum

2. Status parsial komplek yang berasal dari bangkitan fokal

3. Hipsaritmia terutama ditemukan pada spasme infantile atau syndrome

West.

Status absent dan status parsial komplek keduanya ditandai dengan

perubahan dari tingkat kesadaran dan tingkah laku, keduanya tidak ditemui atau

ditemui gejala motor yang minimal. Gejala awal dapat terjadi mendadak atau

perlahan-lahan, lamanya gejala bervariasi dari beberapa menit, hari atau bulan.

Tidak berespon, salah satu gejala yang harus difikirkan suatu gambaran dari status

absens.(4)

Absent status biasanya khas ditemukan pulihnya kesadaran, terlebih

dahulu terjadi normalisasi post iktal secara berangsur-angsur. Menurut sejarah

status absens lebih banyak ditemukan dari pada status parsial komplek, tetapi

6

Page 7: Refarat SE

dengan perbaikan dari teknik EEG membawa perubahan. Aktifitas cepat (Rapid

generalization) dari status parsial komplek pada EEG sering dianggap sebagai

status absens.(4)

2.6. MANIFESTASI KLINIS

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk

mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized

Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,

hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain

dapat juga terjadi.(6)

2.6.1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized Tonic-Klonic

Status Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi

dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-

klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.

Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-

klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan

frekuensi.(6)

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang

melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien

menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya

takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang.

Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan

penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang

sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani. (6)

2.6.2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status

Epileptikus)

Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum

mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua. (6)

7

Page 8: Refarat SE

2.6.3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan

kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan

merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome. (6)

2.6.4. Status Epileptikus Mioklonik

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan

mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya

tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati

anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan

toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif. (6)

2.6.5. Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia

pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status

presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat

seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu

periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens

pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus

(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus

Benzodiazepin intravena didapati.(6)

2.6.6. Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial

kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-

konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. (6)

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,

delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior),

retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG

8

Page 9: Refarat SE

menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave

discharges dari status absens. (6)

2.6.7. Status Epileptikus Parsial Sederhana

2.6.7.1. Status Somatomotorik

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan

jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan

berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin

menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi

tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada

hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses

destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai

dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik). (6)

2.6.7.2. Status Somatosensorik

Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala

sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march. (6)

2.6.8. Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi

yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi

otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.

Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi,

tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari

status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus

parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.(6)

2.7. DIAGNOSTIK

Aktivitas listrik korteks memiliki voltase yang sangat rendah; pada

elektroensefalografi aktivitas ini diperkuat dan di rekam. Rekaman yang

dihasilkan disebut elektroensefalogram (EEG).(7)

9

Page 10: Refarat SE

Gelombang otak bersifat individual dan bervariasi sesuai aktivitas

(misalnya, aktivitas mental yang intensif = amplitudo rendah, frekuensi tinggi;

tidur gelombang-lambat = frekuensi rendah, amplitudo meningkat). Spikes

(tonjolan) menandakan fokus iritatif. Gelombang otak melambat akibat hipoksia,

anestesia, sedativa, kadar karbon dioksida (CO2) yang rendah, tidur nyenyak, dan

relaksasi; gelombang ini mengalami percepatan apabila kadar CO2 meningkat,

terjadi stimulasi sensorik, anestesia ringan, dan obat seperti metilprednisolon

(Medrol) .(7)

Lapisan-lapisan superfisial korteks bertanggung jawab menghasilkan

aktivitas listrik yang terekam pada EEG. Massa dendrit yang membentuk suatu

jaringan padat diperkirakan merupakan sumbernya. Serebelum juga memiliki

jaringan serupa, dan pola serupa juga dapat direkam dari bagian ini.(7)

EEG harus digunakan bersama dengan evaluasi klinis yang cermat. EEG

adalah suatu rekaman fisiologik dan tidak membedakan satu entitas dari entitas

lain; sebagai contoh, EEG tidak dapat membedakan tumor dari trombosis. 10%

pasien dengan kejang memperlihatkan EEG yang normal. Selain itu, rekaman

yang abnormal tidak selalu bersifat didiagnotik. Pada kenyataannya, bahkan pada

pasien yang didiagnosis mengidap epilepsi, aktivitas kejang sering nonklinis.(7)

EEG hanyalah suatu pemeriksaan, bukan penentu diagnosis pasti.

Interpretasi gambaran EEG harus dilakukan dengan hati-hati. Sebagai contoh,

elektroda kulit kepala mungkin sering tidak dapat merekam aktivitas listrik dari

aspek inferior lobus frontalis dan temporalis serta oksipitalis.(7)

Pada sebagaian pasien, digunakan tehnik-tehnik pengaktivan tertentu,

seperti hiperventilasi atau stimulasi cahaya berkedip-kedip, untuk memicu

munculnya pola listrik abnormal. Bahkan setelah pemeriksaan EEG berulang,

hasil tetap negative pada hampir 20 %. EEG yang normal sering dijumpai pada

anak dengan kejang tonik-klonik.(7)

Baku emas untuk diagnosis epilepsi adalah pemantauan video-EEG secara

simultan, yang mengaitkan temuan EEG dengan serangan. Pasien dipantau 24 jam

dengan radiotelemetri. Elektroda ditanam dan dihubungkan ke suatu alat telemetri

yang dipasang di kepala pasien. Rekaman EEG digunakan untuk mengidentifikasi

10

Page 11: Refarat SE

daerah-daerah otak spesifik yang terlibat dalam lepas muatan abnormal, dan data

ini dikorelasikan dengan rekaman video. Pemeriksaan lain mencakup pencitraan

saraf dengan CT scan dan MRI untuk melihat ada tidaknya neuropati fokal. MRI

lebih disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil (misalnya tumor kecil,

malformasi pembuluh, atau jaringan parut) di lobus temporalis. Sklerosis temporal

mesial, suatu kelainan yang sering menjadi penyebab epilepsi temporalis, dapat

terlihat dengan MRI tetapi tidak dengan CT scan.(7)

2.8. PENATALAKSANAAN

2.8.1. Status Epileptikus KonvulsivusTabel 2. Penanganan SE Konvulsivus.(1)

Stadium Penatalaksanaan

Stadium I (0-10 menit) Memperbaiki fungsi kardio-

respirasi

Memperbaiki jalan nafas,

pemberian oksigen, resusitasi bila

perlu

Stadium II (1-60 menit) Pemeriksaan status neurologic

Pengukuran tekanan darah, nadi

dan suhu

Monitor status metabolic, AGD

dan status hematologi

Pemeriksaan EKG

Memasang infus pada pembuluh

darah besar dengan NaCL 0,9%.

Bila akan digunakan 2 macam

OAE pakai 2 jalur infus

Mengambil 50-100 cc darah untuk

pemeriksaan laboraturium (AGD,

Glukosa, fungsi ginjal dan hati,

kalsium, magnesium, pemeriksaan

11

Page 12: Refarat SE

lengkap hematologi, waktu

pembekuan dan kadar AED),

pemeriksaan lain sesuai dengan

klinik

Pemberian OAE emergensi :

Diazepam 0,2mg/kg dengan

kecepatan pemberin 5mg/menit IV

dapat diulang bila kejang masih

berlangsung setelah 5 menit

Memasukan 50cc glukosa 50%

pada keadaan hipoglikemia

Pemberian thiamin 250mg

intravena pada penyandang

alkoholoisme

Menangani asidosis dengan

bikarbonat

Stadium III (0-60/90 menit) Menetukan etiologi

Bila kejang berlangsung terus

setelah pemberian

lorazepam/diazepam, beri

phenytoin iv 15-20mg/kg dengan

kecepatan ≤50mg/menit (monitor

tekanan darah dan EKG pada saat

pemberian). Bila kejang masih

berlangsung dapat di beri

phenytoin tambahan

5-10mg/kgbb. Bila kejang

berlanjut berikan phenobarbital*

20mg/kgbb dengan kecepatan 50-

75mg/menit (monitor respirasi

12

Page 13: Refarat SE

pada saat pemberian). Dapat di

ulang 5-10mg/kgbb.

Memulai terapi dengan

vasopressor (dopamine) bila

diperlukan

Mengoreksi komplikasi

Stadium IV (30-90 menit) Bila kejang tetap tidak teratasi

selama 30-60 menit, pindahkan

penyandang epilepsy ke ICU, beri

propofol (2mg/kgbb bolus iv, di

ulang bila perlu) atau midazolam

(0,1mg/kgbb dengan kecepatan

pemberian 4mg/menit) atau

tiopentone (100-250mg bolus iv

pemberian dalam 20 menit,

dilanjutkan dengan bolus 50mg

setiap 2-3 menit), dilanjutkan

sampai 12-24 jam setelah

bangkitan klinik atau bangkitan

EEG terakhir, lalu dilakukan

tapering off

Memonitor bangkitan dan EEG,

tekanan intracranial,memulai

pemberian OAE dosis rumatan

*harus selalu tersedia fasilitas intubasi

13

Page 14: Refarat SE

2.8.2. Status Epileptikus Refrakter

Pada umumnya sekitar 80% penyandang dengan status SE konvulsivus

dapat terkontrol dengan pemberian benzodiazepine atau fenitoin. Bila bangkitan

kejang masih berlangsung, yang kita sebut sebagai SE refrakter, maka diperlukan

penanganan di ICU untuk tindakan anesthesia.(1)

Dikatakan SE refrakter jika pemberian 2-3 jenis obat gagal mengatasi

bangkitan. Obat yang biasa digunakan midazolam, profol, dan pentobarbital,

Topiramat dan levetiracetam juga digunakan dalam SE dan juga penggunaan

ketamine sebagai obat anestetik cukup menjanjikan.(1)

Tabel 3. Tindakan Anestesi Untuk SE Refrakter.(1)

OBAT DOSIS DEWASA

MIDAZOLAM 0,1 mg/kgBB dengan kecepatan

pemberian 4 mg/menit dilanjutkan

dengan pemberian per infus 0,05-0,4

mg/kgBB/jam.

THIOPENTHONE 100-250 mg bolus, diberikan dalam 20

detik, kemudian dilanjutkan dengan

bolus 50 mg setiap 2-3 menit sampai

bangkitan teratasi. Kemudian

dilanjutkan dengan pemberian per

infus 3-5 mg/kg BB/jam.

PENTOBARBITAL 10-20 mg/kgBB dengan kecepatan 25

mg/menit, kemudian 0,5-1

mg/kgBB/jam ditingkatkan sampai 1-3

mg/kgBB/jam.

PROPOFOL 2 mg/kgBB kemudian ditingkatkan

menjadi 5-10 mg/kgBB/jam

14

Page 15: Refarat SE

2.8.3. Status Epileptikus Non Konvulsivus.(1)

Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE

Dapat dibagi menjadi SE lena, SE parsial kompleks, SE nonkonvulsivus

pada penyandang dengan koma, dan SE pada penyandang dengan

gangguan belajar

Pemilihan terapi untuk status epileptikus non konvulsivus tercantum pada

tabel berikut.

Tabel 4. Terapi SE Non Konvulsivus.(1)

TIPE TERAPI PILIHAN TERAPI LAIN

SE lena Benzodiazepin IV/oral Valproate IV

SE parsial complex Clobazam oral Lorazepam/Phenytoin/

Phenobarbital IV

SE lena atipikal Valproate oral Benzodiazepine lamotrigine,

topiramate, methylphenidate,

steroid oral

SE tonik Lamotrigine oral Methylphenidate, steroid

SE nonkonvulsivus

pada penyandang

koma

Phenytoin IV atau

phenobarbital

Anesthesia dengan thiopentone,

pentobarbital, propofol atau

midazolam

2.9. PRONOGSIS

Hasil neurologis pasca status epileptikus telah membaik secara bermakna

sejak penemuan unit perawatan intensif modern dan manajemen agresif kejang

yang lama. Angka mortalitas status epileptikus adalah sekitar 5% pada

kebanyakan seri. Kebanyakan kematian terjadi pada kelompok bergejala,

kebanyakan darinya mempunyai kelainan SSS serius dan mengancam jiwa

sebelum mulainya status epileptikus. Bila tidak ada serangan neurologis progresif

atau gangguan metabolic, morbiditas status epileptikus adalah rendah.

Kenyataannya bahwa sekuele jangka panjang seperti hemiplegia, sindrom

extrapiramidalis, retardasi mental, dan epilepsi adalah lebih lazim pada anak

15

Page 16: Refarat SE

sebelum umur 1 tahun pasca status epileptikus dihubungkan dengan keyataan

bahwa kelompok ini lebih mungkin menderita kelainan SSS yang mendasari

sebelum sakit daripada anak yang lebih tua.(5)

16

Page 17: Refarat SE

BAB III

KESIMPULAN

Epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinis ,

ditandai dengan bangkitan kejang berulang akibat gangguan

fungsi oak secara intermiten . Dikatakan Epilepsi jika kejang

berlangsung 2x atau lebih dalam waktu lebih dari 24 jam dan

tidak ada yang memprovokasi . Bangkitan Epilepsi adalah

manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal .

Status Epilepsi adalah bangkitan yang berlangsung terus

menerus atau berulang lebih dari 30 menit atau adanya dua

bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan tersebut tidak ada

pemulihan kesadaran . Angka prevalensi epilepsi dari berbagai

penelitian berkisar 1,5–31/1000 penduduk. Konvulsi tonik-klonik ini

selalunya menyerang secara tiba-tiba, walaupun ada sebagian pasien yang

mengaku mengalami simptom pre-konvulsi beberapa waktu sebelum mengalami

konvulsi .Status epileptikus tipe grandmal ini merupakan gawat darurat neurologi.

Harus diatasi secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf

permanen.

17

Page 18: Refarat SE

DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Terapi Status Epileptikus.

2012. p. 28-32.

2. Franzon D. Status Epileptikus [internet]. Update 2013 Jun 14 [cited 2014

Oct 23]. Available from :

http://peds.stanford.edu/Rotations/picu/pdfs/8_status_epilepticus.pdf

3. bestpractice.bmj.com. Status Epilepticus [internet]. Update 2014 Jun 6

[cited 2014 Nov 1]. Available from:

http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/464/basics/

epidemiology.html

4. Meiti F. Status Epileptikus Non Konvulsi [internet]. Update 2012 Aug 16

[cited 2014 Oct 30]. Available from:

http://neuro.fk.unand.ac.id/images/stories/STATUS%20EPILEPTIKUS

%20NON%20KONVULSIF.pdf

5. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak.

Vol 3. Edisi 15. Jakarta: EGC; 2002. p. 2067-9.

6. Julie L Roth: Status Epilepticus [internet]. Update 2014 Apr 28 [cited 23

Okt 2014]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1164462-overview#a0101

7. Hartwig, Mary S. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi

Generalisata Editor Price SA, Wilson LM. dalam Patofisiologi Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2006. Vol 2. p.

1161-3.

18

Page 19: Refarat SE

19