universitas indonesia penerapan perilaku...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN IN VIVO DESENSITIZATION UNTUK MENINGKATKAN
PERILAKU BERSEKOLAH PADA ANAK DENGAN SCHOOL REFUSAL
BEHAVIOR (SRB)
In Vivo Desensitization for Increasing School Behavior of a Child with School
Refusal Behavior (SRB)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi
Psikologi
Hegar Ayu Utami
1006796254
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM MAGISTER PROFESI KLINIS ANAK
DEPOK, NOVEMBER 2012
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “Penerapan In Vivo
Desensitization, Untuk Meningkatkan Perilaku Bersekolah pada Anak dengan
School Refusal Behavior (SRB)” adalah hasil karya saya sendiri dan bukan
merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, maka
saya bersedia menerima sanksi apapun dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
sesuai dengan aturan yang berlaku.
Depok, 22 November 2012
Yang menyatakan
Hegar Ayu Utami
(1006796254)
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Hegar Ayu Utami
NPM : 1006796254
Program Studi : Psikologi Klinis Anak
Judul Tesis : Penerapan In Vivo Desensitization Untuk
Meningkatkan Perilaku Bersekolah pada Anak
dengan School Refusal Behavior (SRB)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister
Psikologi pada Program Studi Psikologi Klinis Anak, Fakultas Psikologi,
Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis ( )
Pembimbing : Luh Surini Yulia Savitri, S. Psi., M.Psi. ( )
Penguji : Dra. Surastuti H. Nurdadi., M.Si. ( )
Penguji : Dra. Mayke S. Tedjasaputra., M. Si. ( )
Depok, 22 November 2012
Ketua Pogram Studi S2 Psikologi Profesi Dekan Fakultas Psikologi
Fakultas Psikologi UI Universitas Indonesia
Dra. Dharmayati Utoyo Lubis MA., Ph.D Dr. Wilman Dahlan Mansoer, M.Org.Psy.
NIP. 19951327 197603 2 001 NIP. 19490403 197603 1 002
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Proses pembuatan tesis ini merupakan suatu
pembelajaran berharga dalam kehidupan saya karena kesabaran, kekuatan, serta kemampuan
diri saya benar-benar dilatih. Ada kalanya saya merasa sangat lelah namun beruntung saya
selalu dikuatkan oleh orang-orang di sekitar. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
Ibu Prof. Dr. Fauzia Aswin Hadis dan Ibu Luh Surini Y. Savitri, S. Psi., M. Psi. atas ilmu
dan waktu yang telah diberikan untuk membimbing pembuatan tesis ini.
Seluruh staf pengajar dan karyawan bagian Magister Profesi Klinis Anak, terutama
kepada Ibu Mita Aswanti, M. Si., Ibu Dra. Tri Iswardani, M. Si, serta Ibu Dra. Dini P.
Daengsari, M. Si. yang telah berbagi ilmu dan pengalaman dalam membantu saya
menyelesaikan kasus-kasus di profesi.
A dan keluarga, pihak SDN 07 Pejaten Barat, serta teman-teman A atas kesediaannya
berpartisipasi dan membantu kelancaran proses intervensi.
Mama Papa tersayang serta Mba Anggi dan Mas Trisno, terimakasih telah menjadi
keluarga terbaik dan selalu memberi dukungan sosial maupun material. I love u all...
Suami tercinta, Aditia Kurniawan Iswoyo, S.T., terimakasih atas pengertian dan
perhatiannya, juga karena tidak pernah lelah mengingatkan saya untuk percaya bahwa
saya mampu menyelesaikannya. You’re my strength when i was weak...
Mama Neti, Papa Mar, Nedia, Ais, dan Bekti. Terimakasih karena telah menjadi keluarga
yang penuh canda tawa.
Teman-teman KLA 11; Belinda, Yayang, Devi, Sishi, dan Mba Indah, terimakasih telah
menjadi sahabat terbaik dan penyemangat di masa-masa perjuangan. Susan, Monik, Mila,
Andria, Uthe, Mba Yomi, Mba Nia, Ola, dan Mba Nuri, terimakasih telah menjadi rekan
kuliah yang menyenangkan. I’m really happy to be your “angel”.
Sahabat tersayang; Rumi, Fitri, Helin, Eka, Nana, Erna, Elissa, dan Elga. Cerita-cerita
kalian menjadi penyemangat untuk segera terjun ke “dunia sebenarnya”
Depok, 22 November 2012
Penulis
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : Hegar Ayu Utami
NPM : 1006796254
Program Studi : Magister Profesi
Departemen : Program Kekhususan Psikologi Klinis Anak
Fakultas : Psikologi
Jenis karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
“Penerapan In Vivo Desensitization Untuk Meningkatkan Perilaku Bersekolah
Pada Anak Dengan School Refusal Behavior (SRB)”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 22 November 2012
Yang menyatakan
(Hegar Ayu Utami)
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
vi
ABSTRAK
Nama : Hegar Ayu Utami
Program Studi : Magister Profesi Program Kekhususan Psikologi Klinis Anak
Judul : Penerapan In Vivo Desensitization Untuk Meningkatkan
Perilaku Bersekolah pada Anak dengan School Refusal
Behavior (SRB)
School refusal behavior (SRB) merupakan penolakan anak untuk datang ke sekolah
atau mengikuti pelajaran di kelas sampai dengan jam sekolah usai (Kearney, 2007).
Pada penelitan ini, peneliti memberikan intervensi modifikasi perilaku dengan
metode in vivo desensitization pada anak laki-laki berusia 10 tahun yang
menunjukkan perilaku school refusal karena dilatari motif menghindari pelajaran
yang sulit. Intervensi terdiri dari dua kali sesi latihan relaksasi dan 15 kali sesi
exposure ke sekolah. Hasil penelitian menunjukkan di akhir sesi anak berhasil
kembali masuk ke sekolah dan mengikuti seluruh pelajaran termasuk yang ditakuti.
Terlihat juga penurunan masalah perilaku di pagi hari sebelum berangkat sekolah.
Kata Kunci:
School refusal behavior,modifikasi perilaku, in vivo desensitization
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
vii
ABSTRACT
Name : Hegar Ayu Utami
Majoring : Master Program (Child Clinical Psychology)
Title : In Vivo Desensitization for Increasing School Behavior of a Child
with School Refusal Behavior (SRB)
School refusal behavior (SRB) refers to a child's difficulty attending school or
remaining in classes for an entire day (Kearney, 2007). This present research
utilized behavior modification for a 10 years old boy who refused school in order to
avoid difficult subjects with in vivo desensitization technique. Treatment consisted of
2 relaxation training sessions and 15 school exposure sessions. In the end of the
session, the boy achieved the target behavior, by attending school and staying in all
classes included the subjects he feared of. This study also showed the decrease of
morning behavior problem.
Keyword:
School refusal behavior, behavior modification, in vivo desensitization
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ............................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii
1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Ilustrasi Kasus ................................................................................... 2
1.3 Alasan Pemilihan dan Penggunaan Intervensi .................................. 5
1.4 Perumusan Masalah ........................................................................... 9
1.5 Tujuan dan Manfaat Penulisan .......................................................... 9
1.6 Sistematika Penulisan ........................................................................ 9
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 11
2.1 School Refusal Behavior .................................................................. 11
2.1.1 Definisi School Refusal Behavior ....................................... 11
2.1.2 Tingkat School Refusal Behavior ....................................... 13
2.1.3 Penyebab School Refusal Behavior .................................... 14
2.1.4 Karakteristik yang Menyertai School Refusal Behavior ..... 20
2.2 Terapi Perilaku Sebagai Intervensi untuk Mengatasi School
Refusal Behavior ............................................................................... 21
2.2.1 Definisi Terapi Perilaku ...................................................... 22
2.2.2 Dimensi Perilaku ................................................................. 22
2.2.3 Tahapan Terapi Perilaku ...................................................... 22
2.2.4 Systematic Desensitization dan In Vivo Desensitization ..... 23
2.2.4.1 Definisi Systematic Desensitization dan In Vivo
Desenstization ..................................................... 23
2.2.4.2 Tahapan In Vivo Desensitization ....................... 24
2.2.4.3 Penelitian Tentang Penerapan In Vivo
Desensitization untuk Mengatasi SRB ............... 25
2.2.5 Reinforcer ............................................................................ 26
3. RANCANGAN INTERVENSI .................................................................. 28
3.1 Tujuan Penelitian ................................................................................ 28
3.2 Desain Penelitian ................................................................................. 28
3.3 Rancangan Pelaksanaan Intervensi ..................................................... 28
3.3.1 Perilaku Target (Target Behavior) ........................................ 28
3.3.2 Definisi Operasional Perilaku ............................................... 28
3.3.3 Dimensi Perilaku dan Metode Pengumpulan Data............... 28
3.3.4 Alat Bantu Penelitian ............................................................. 29
3.3.5 Tahap Baseline ...................................................................... 30
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
ix
3.3.6 Tahap Persiapan Program ...................................................... 31
3.3.6.1 Persiapan Alat Bantu Intervensi ............................ 31
3.3.6.2 Pembicaraan Dengan Orangtua ............................. 32
3.3.6.3 Pembicaraan Dengan Anak ................................. 33
3.3.6.4 Pembicaraan Dengan Pihak Sekolah .................... 33
3.3.7 Tahap Pelaksanaan Program ................................................. 33
3.3.8 Reinforcement........................................................................ 38
3.3.9 Evaluasi dan Follow Up ........................................................ 39
3.3.10 Indikator Keberhasilan Program ........................................... 39
4. PELAKSANAAN DAN HASIL INTERVENSI ...................................... 40
4.1 Persiapan Intervensi ............................................................................ 40
4.1.1 Pembicaraan dengan Orangtua ............................................. 40
4.1.2 Pembicaraan dengan Anak ................................................... 40
4.1.3 Pembicaraan dengan Sekolah ............................................... 41
4.2 Pelaksanaan Intervensi ....................................................................... 41
4.2.1 Jumlah Sesi Intervensi .......................................................... 41
4.2.2 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ........................................... 41
4.3 Evaluasi dan Follow Up ...................................................................... 63
5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ............................................... 66
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 66
5.2 Diskusi ................................................................................................ 66
5.3 Saran ................................................................................................... 71
5.3.1 Saran Praktis ......................................................................... 71
5.3.2 Saran Teknis ......................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 73
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
x
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1.1 Data Anak ..................................................................................... 2
Tabel 1.2 Data Orangtua ............................................................................... 2
Gambar 1.3 Alur Antecedent – Behavior – Consequences ........................... 8
Tabel 2.1 Perbedaan School Refusal dan Truancy .................................... 12
Gambar 3.1 Hasil Baseline ............................................................................... 29
Tabel 3.2 Hasil Child Behavior Checklist (CBCL) sebelum intervensi .... 30
Tabel 3.3 Hasil Draw A Man (DAM) sebelum intervensi .......................... 31
Tabel 3.4 Rancangan Kegiatan Sesi ........................................................... 36
Gambar 4.1 Intensitas Perilaku Bersekolah .................................................... 63
Gambar 4.2 Kemunculan Masalah Perilaku ................................................... 64
Tabel 4.3 Perbandingan Hasil Child Behavioral Checklist (CBCL)
Sebelum dan Sesudah Program Intervensi Dijalankan ........... 65
Tabel 4.4 Perbandingan Draw A Man (DAM) Sebelum dan Sesudah
Program Intervensi Dijalankan .................................................... 65
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Jadwal Pelajaran ......................................................................... xiii
Lampiran 2 Denah Sekolah ........................................................................... xiv
Lampiran 3 Hasil Baseline ............................................................................ xv
Lampiran 4 Informed Consent ....................................................................... xvi
Lampiran 5 Kontrak Kegiatan ....................................................................... xviii
Lampiran 6 Self-Report Tingkat Ketakutan ................................................. xix
Lampiran 7 Papan Token ............................................................................... xx
Lampiran 8 Papan Target ............................................................................... xxi
Lampiran 9 Hasil Draw A Man (DAM) Sebelum intervensi ........................ xxii
Lampiran 10 Hasil Draw A Man (DAM) Setelah Intervensi ......................... xxiii
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa kini, sekolah telah menjadi lingkungan esensial yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan anak karena sebagian besar waktu anak
dihabiskan untuk beraktivitas di tempat tersebut. Akan tetapi terdapat beberapa
anak yang tidak dapat menikmati aktivitas bersekolah karena memendam rasa
takut yang berlebihan (Beidel & Turner, 2005). Rasa takut tersebut mungkin
disebabkan oleh peristiwa kurang menyenangkan yang terkait dengan guru,
teman, pelajaran, atau bahkan masalah dengan keluarga, yang membuat anak
merasa tidak nyaman untuk bersekolah. Sayangnya tidak semua anak mampu
mengungkapkan masalahnya kepada orang lain dan cenderung memendam
ketakutannya sendiri (Wenar & Kerig, 2005). Hal itu membuat mereka tidak
memperoleh bantuan untuk menyelesaikan masalahnya walaupun di sisi lain
mereka juga sulit menemukan cara untuk mengatasi ketakutannya. Tak jarang
anak akhirnya menolak pergi ke sekolah untuk menghindari hal yang ia takuti.
Ada anak yang menampilkan penolakan bersekolah hanya di pagi hari,
yaitu dengan menangis, tantrum, mengeluh sakit, atau mengatakan tidak mau
bersekolah, namun setelah sampai di sekolah ia mampu mengikuti aktivitas
dengan baik. Ada pula anak-anak yang menolak bersekolah hanya di waktu-waktu
tertentu seperti saat baru masuk setelah liburan atau di hari-hari terdapat pelajaran
yang tidak ia sukai. Namun demikian, terdapat juga sebagian anak yang benar-
benar tidak masuk sekolah dalam kurun waktu yang lama (Kearney, 2007).
Sikap anak yang menolak pergi ke sekolah sering menimbulkan
kekhawatiran pada orangtua karena sekolah merupakan sarana untuk
mentransformasi pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan anak agar dapat
berfungsi dengan efektif di masyarakat (Berk, 2006). Dengan demikian,
penolakan bersekolah yang tidak tertangani dapat memberikan dampak negatif
yang besar, bukan hanya terhadap perkembangan kognitif, namun juga terhadap
perkembangan fisik dan psikososial anak (Berk, 2006). Semakin lama anak tidak
sekolah, maka semakin menetap perilaku tersebut dan semakin besar usaha yang
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
2
Universitas Indonesia
dibutuhkan untuk membuatnya kembali bersekolah (Brill, 2009; Kearney &
Pursell, & Alvarez, 2001, Haarman, 2009). Oleh karena itu penolakan bersekolah
perlu ditangani dengan cepat dan tepat.
1.2 Ilustrasi Kasus
Tabel 1.1 Data Anak
Nama Anak A
Jenis Kelamin Laki-laki
Usia Saat Intervensi 10 tahun 6 bulan
Pendidikan 4 SD
Suku Bangsa Betawi - Jawa
Kedudukan dalam keluarga Anak ke-4 dari 4 bersaudara
Tabel 1.2 Data Orangtua
AYAH IBU
Usia 49 tahun 44 tahun
Pendidikan SLTA SLTP
Pekerjaan Dagang Dagang
Suku Bangsa Betawi Jawa
Agama Islam Islam
Anak ke- 1 dari 13 bersaudara 5 dari 5 bersaudara
A dibawa ke klinik psikologi oleh orangtua dengan keluhan ia sudah tiga
bulan tidak mau bersekolah. A selalu menolak bercerita saat orangtua
menanyakan alasannya. Sebelum benar-benar tidak mau bersekolah, A seringkali
mengeluh sakit perut ketika mendapat tugas hafalan pada pelajaran apa pun, baik
Bahasa Inggris, Agama, maupun Seni Budaya dan Keterampilan (SBK). Pada
pagi hari sebelum berangkat sekolah A beberapa kali ke kamar mandi namun
tidak dapat buang air besar. Akan tetapi keluhan sakit perut tersebut tidak lagi
muncul saat sekolah selesai. Terkadang A juga menolak masuk ke dalam kelas
walaupun ia sudah sampai di gerbang sekolah. A hanya duduk di motor dan
menolak turun. Ibu membujuk A untuk masuk dengan ditemani, akan tetapi ia
tetap tidak mau.
Pada hari terakhir bersekolah, A mendapat hukuman cubitan dari guru
SBK karena tidak hafal tugas yang diberikan. Keesokan harinya ia benar-benar
menolak pergi ke sekolah. Ketika orangtua membawa paksa A ke dalam sekolah,
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
3
Universitas Indonesia
A pun menangis. Usaha guru untuk membujuknya juga tidak berhasil. Pada saat
kepala sekolah dan guru membujuk A di dalam kantor, A tampak gemetar dan
berkeringat dingin. Ia bahkan berlari keluar kantor dan hampir tertabrak motor
karena tidak memperhatikan sekitar. Setelah ditangkap dan ditenangkan oleh ibu,
A mau kembali ke sekolah dan duduk di kantin. Dua jam kemudian ia bersedia
mengikuti pelajaran di dalam kelas sampai dengan jam pulang sekolah. Akan
tetapi keesokan harinya A kembali menolak bersekolah.
Orangtua berusaha membujuk A bersekolah dengan cara memenuhi
keinginannya. Ketika ayah dan ibu membelikan sepatu dan tas yang dimintanya,
A mau masuk sekolah. Akan tetapi perilaku tersebut hanya bertahan dua hari.
Demikian juga ketika A mendapatkan handphone yang ia inginkan, ia mau masuk
sekolah selama seminggu namun setelahnya ia kembali menolak.
Sampai saat ini orangtua masih membujuk A untuk pergi sekolah. Setiap
pagi ibu membangunkannya dan bertanya apakah ia sudah mau sekolah. Akan
tetapi saat A menolak, orangtua juga tidak melakukan tindakan apapun. A
kembali tidur sampai siang sementara orangtua tidak lagi membangunkannya.
Selama tidak bersekolah A juga bebas melakukan apapun di rumah. Tidak ada
konsekuensi dari orangtua atas perilaku penolakan sekolah A. Ia masih boleh
bermain, menonton televisi, dan jajan seperti biasa.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, A memiliki kecerdasan di bawah rata-rata
(IQ 86, Weschler). Daya tangkapnya tergolong kurang, terutama dalam
memahami materi yang bersifat abstrak. Kecerdasan A berpengaruh terhadap
kemampuan akademiknya. Sejak kelas 1 SD, nilai raport A sangat sering berada
di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Guru menilai bahwa A termasuk
lambat dibandingkan teman-temannya. Sampai saat ini ia bahkan belum lancar
membaca. Sementara itu pada tugas hafalan, A memerlukan waktu lebih lama
dibanding teman-temannya untuk menghafalkan satu baris doa atau percakapan
Bahasa Inggris. Ia pun selalu memperoleh nilai buruk pada tugas tersebut.
Selain kemampuan kognitif yang tergolong kurang, A memiliki self esteem
yang rendah. Ia menganggap dirinya tidak mampu mengerjakan tugas-tugas
hafalan. Selain itu, ia selalu menolak membaca atau mengerjakan tugas di depan
kelas. A pun cenderung pasif dan tidak mau bertanya mengenai materi yang
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
4
Universitas Indonesia
belum ia kuasai. Jika mengalami kesulitan, A mudah putus asa dan harus
dimotivasi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Pengalaman tidak menyenangkan terhadap tugas-tugas akademik, terutama
hafalan, serta hukuman dari guru menimbulkan ketakutan pada diri A. Ia pun
cenderung menghindari sumber ketakutannya yang akhirnya termanifestasi dalam
bentuk school refusal behavior.
School refusal behavior (SRB) merupakan penolakan anak untuk datang
ke sekolah atau mengikuti pelajaran di kelas sampai dengan jam sekolah usai
(Kearney, 2007). Masalah ini paling banyak ditemui pada anak usia sekolah dan
remaja walaupun sering juga muncul pada anak prasekolah (Witts & Houlihan,
2007). Secara umum, terdapat empat motif SRB pada anak, yaitu (1) menghindari
stimulus di sekolah yang menimbulkan rasa takut seperti pelajaran yang sulit,
guru yang galak, bahkan gedung sekolah yang menyeramkan, (2) menghindari
situasi sosial di sekolah seperti berbicara di depan kelas atau berinteraksi dengan
teman, (3) memperoleh perhatian orangtua, serta (4) memperoleh kesenangan di
luar sekolah seperti bermain di rumah atau berjalan-jalan ke mall (Kearney &
Silverman, 1999; Kearney, 2007; Brill, 2009; Dube & Orpinas, 2009). SRB yang
disebabkan oleh lebih dari satu motif cenderung memperparah masalah dan
membutuhkan treatment yang lebih kompleks (Kearney, 2007).
Terdapat dua motif perilaku school refusal A, yaitu menghindari stimulus
di sekolah yang menimbulkan rasa takut serta memperoleh kesenangan di luar
sekolah. Seperti yang telah dijelaskan di atas, faktor utama yang menyebabkan A
tidak mau masuk sekolah adalah menghindari tugas-tugas akademik yang
menimbulkan rasa takut. A merasa kesulitan mengikuti pelajaran, terutama
hafalan, sehingga ia pun menghindari sekolah. Dengan respon menghindari
sekolah, ketakutan A pun berkurang dan hal tersebut menjadi negative
reinforcement untuknya. Perilaku school refusal A juga diperkuat dengan sikap
orangtua yang membebaskan A melakukan apapun saat tidak bersekolah.
Walaupun awalnya orangtua melarangnya bermain di luar rumah saat pagi hari,
namun saat A melakukannya mereka tidak menerapkan konsekuensi khusus. Hal
tersebut membuat A mempersepsi bahwa tinggal di rumah lebih nyaman
dibanding masuk ke sekolah. Terlebih lagi dengan sikap orangtua yang
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
5
Universitas Indonesia
memberikan barang-barang untuk membujuknya sekolah sangat berpengaruh
terhadap perilaku school refusal A. Kesenangan yang didapat A di rumah serta
keinginannya yang dipenuhi oleh orangtua menjadi positive reinforcement bagi
perilaku school refusal A.
Pada kasus A, ketidakhadirannya di sekolah selama 3 bulan membuatnya
mengalami masalah akademik karena tertinggal pelajaran. Guru-guru di sekolah
mengaku sudah menyerah membujuk A dan cenderung membiarkannya. Selain
itu, penolakan sekolah A juga menimbulkan distress pada keluarga. Ibu sempat
menutup usaha warungnya selama beberapa minggu karena fokus membujuk A ke
sekolah sehingga keluarga mengalami masalah finansial. Apabila tidak tertangani,
besar kemungkinan A akan drop-out dari sekolah. Mengingat besarnya dampak
sekolah, masalah A harus segera diatasi karena semakin lama ia tidak bersekolah,
maka pola perilakunya sudah lebih menetap sehingga usaha yang diperlukan
untuk membuatnya kembali ke sekolah semakin besar (Brill, 2009).
1.3 Alasan Pemilihan dan Penggunaan Intervensi
Untuk mengatasi masalah school refusal A, hal yang penting dilakukan
adalah mengatasi sumber ketakutannya yang terkait dengan kesulitan dalam
mengikuti pelajaran di sekolah. Anak dengan tingkat inteligensi low-average tidak
termasuk ke dalam kelompok yang membutuhkan layanan pendidikan khusus
karena skor IQ mereka berada di atas anak dengan keterbelakangan mental namun
mereka juga mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan normal dan kurang
mampu berprestasi (Brauchie, 2010). Oleh karena itu sebaiknya anak low-average
mendapatkan intervensi khusus yaitu pembelajaran remedial dengan metode yang
lebih konkret (Shaw, Grimes, & Bulman, 2005). Pada kasus A, saran remedial
teaching diberikan dan pelaksanaannya akan dilakukan oleh terapis remedial.
Oleh karena perilaku school refusal A sudah berlangsung cukup lama,
maka intervensi khusus perlu dilakukan untuk membuatnya kembali bersekolah.
Terdapat beberapa intervensi yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalah SRB,
salah satunya adalah dengan terapi psikodinamis. Waldfogel et al (1957, dalam
Witts & Houlihan, 2007) menjelaskan bahwa treatment untuk anak dengan SRB
adalah dengan intervensi terapeutik yang berfokus pada konflik ketidaksadaran.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
6
Universitas Indonesia
Treatment berlangsung setidaknya 6 sampai 12 bulan dan berpusat pada hubungan
antara ibu dengan anak. Akan tetapi, rentang waktu yang lama akan berpengaruh
terhadap efektivitas treatment karena semakin lama tidak tertangani maka perilaku
school refusal akan semakin bertahan.
Intervensi lain yang sering digunakan untuk menangani kasus school
refusal adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT) (Heyne, King, Tonge, &
Cooper, 2001, dalam Brill, 2009). Teknik ini biasa digunakan untuk mengatasi
anak yang menolak bersekolah karena motif menghindari situasi sosial di sekolah
(Kearney & Silverman, 1990, dalam Witts & Houlihan, 2007; Kearney, Pursell, &
Alvarez, 2001; Kearney, 2007) dan bertujuan untuk mengubah pemikiran
irasional anak mengenai sekolah menjadi lebih adaptif (Brill, 2009). CBT
memerlukan usaha kognitif yang besar dari klien serta kemampuan untuk berpikir
abstrak dan mengungkapkan pikirannya secara verbal (Suveg et al, 2006). Pada
kasus ini CBT tidak dapat diterapkan mengingat kecerdasan A tergolong kurang.
Salah satu intervensi yang paling sering diterapkan dalam menangani
masalah school refusal adalah terapi perilaku. Fokus utama dari terapi ini adalah
membuat anak kembali bersekolah secara langsung sehingga cukup efektif untuk
mengembalikan anak ke sekolah dalam jangka waktu yang relatif lebih cepat
(Brill, 2009; Kearnet & Alvarez, 2001). Terdapat berbagai macam teknik terapi
perilaku yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalah school refusal anak,
seperti teknik exposure (systematic desensitization, in vivo desensitization),
differential reinforcement, modeling, atau extinction (Witts & Houlihan, 2007).
Differential reinforcement merupakan teknik pemberian reinforcement
untuk meningkatkan kemunculan perilaku yang diinginkan atau menurunkan
kemunculan perilaku yang tidak diinginkan sedangkan modeling merupakan
teknik meningkatkan perilaku tertentu dengan cara menunjukkan perilaku yang
diharapkan dengan benar (Miltenberger, 2008). Keterbatasan untuk menerapkan
teknik differential reinforcement dan modeling dalam kasus ini adalah karena
kontrol terhadap perilaku anak bersifat eksternal (dikontrol oleh reinforcement
dan role model). Dalam pelaksanaannya anak tidak diberi strategi tertentu yang
dapat berfungsi sebagai kontrol internal. Padahal A memerlukan suatu strategi
tertentu agar ia dapat mengatasi ketakutannya sendiri. Sementara itu, teknik
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
7
Universitas Indonesia
extinction (mengabaikan perilaku yang tidak diinginkan) kurang tepat diterapkan
untuk A karena motif perilaku school refusal-nya bukan bertujuan untuk
mendapatkan perhatian orangtua. A tidak menganggap kehilangan perhatian
orangtua sebagai suatu punishment sehingga diperkirakan perilaku school refusal-
nya akan tetap bertahan (Miltenberger, 2008).
Teknik exposure sering digunakan pada anak yang menolak sekolah
karena menghindari stimulus yang ditakuti (Lee & Miltenberger, 1996; Kearney
& Silverman, 1999). Melalui teknik ini anak dihadapkan pada stimulus yang
menimbulkan rasa takut secara bertahap. Hal tersebut dapat tercapai melalui
intervensi systematic desensitization (SD) ataupun in vivo desensitization (IVD).
Kedua jenis intervensi ini menggunakan prinsip reciprocal inhibition, yaitu
stimulus yang menimbulkan rasa takut dipasangkan dengan respon yang dapat
menghalangi munculnya perasaan takut. Anak secara bertahap akan dihadapkan
pada hirarki stimulus yang menimbulkan rasa takut sambil menerapkan relaksasi
untuk membuat dirinya nyaman. Setelah anak merasa nyaman dan tingkat
ketakutannya berkurang, ia akan dihadapkan pada stimulus yang lebih sulit.
Perbedaan antara IVD dan SD terletak pada tahap exposure, dimana exposure
pada SD dilakukan melalui imagery atau membayangkan sedangkan pada IVD
exposure benar-benar dilakukan secara langsung (Walker, Clement, dan Wright,
1981, dalam Miltenberger, 2008).
Pada kasus ini, penerapan IVD akan lebih efektif dibandingkan SD karena
A lebih mampu memahami stimulus konkret dibandingkan abstrak sehingga
exposure secara langsung akan lebih memudahkan intervensi. Martin dan Pear
(2007) menyatakan bahwa IVD lebih tepat diterapkan pada individu yang
mengalami kesulitan dalam membayangkan stimulus yang ditakuti. Oleh karena
anak mengalami kontak langsung dengan stimulus yang menimbulkan rasa takut,
maka efektivitas IVD lebih jelas terlihat karena anak lebih mudah
menggeneralisasi hasil belajarnya. IVD juga tidak sulit diterapkan di setting
sekolah dan terbukti efektif untuk mengatasi perilaku school refusal anak (Lee &
Miltenberger, 1996; Kearney & Silverman, 1990, dalam Witts & Houlihan, 2007;
King & Gullone, 1990, dalam MacPhee & Andrews, 2003).
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
8
Universitas Indonesia
Berbagai penelitian telah mendokumentasikan efektivitas IVD untuk
mengatasi masalah SRB. Kearney, Pursell, dan Alvarez (2001) dalam jurnalnya
memaparkan penanganan school refusal pada anak yang mengalami learning
difficulties. Dari penelitian tersebut, treatment IVD terbukti efektif untuk
menurunkan ketakutan anak sehingga ia pun mau kembali masuk sekolah dan
pada follow-up yang dilakukan 1 tahun kemudian, kehadirannya di sekolah tetap
bertahan. Hasil serupa juga terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Kearney
dan Silverman (1999) dimana pemberian teknik relaksasi dan gradual exposure
terhadap situasi sekolah berhasil mengatasi masalah SRB.
Oleh karena perilaku school refusal A juga diperkuat dengan sikap
orangtua yang tetap memberikan kebebasan pada A saat tidak bersekolah, maka
perlu dilakukan intervensi terhadap orangtua melalui kegiatan konseling agar
orangtua menerapkan contingency contracts dan jadwal kegiatan sehari-hari untuk
A (Kearney & Silverman, dalam Brill, 2009; Kearney, 2007)
Gambar 1.3 Alur Antecedent-Behavior-Consequences
Inteligensi low average,
sulit mengikuti pelajaran di sekolah
Remedial Teaching untuk
membantu A dalam
akademik
In Vivo Desensitization untuk meningkatkan
perilaku bersekolah A
Konseling orangtua untuk
menerapkan Parental
Contingency Management
Intervensi
Antecedent
ketakutan terhadap tugas akademik,
hukuman dari guru karena tidak bisa
menghafal, self esteem rendah
Behavior
Tidak mau bersekolah /
School Refusal Behavior
Consequences
(+) Ketakutan berkurang karena tidak perlu belajar
(-) Tertinggal pelajaran
(+) Bersenang-senang di rumah karena orangtua
membebaskan kegiatan A
(+) Mendapatkan barang-barang yang diinginkan
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
9
Universitas Indonesia
Dalam penulisan tesis ini, penulis akan fokus pada pemaparan pelaksanaan
in vivo desensitization mengingat intervensi ini yang akan langsung dilakukan
oleh peneliti terhadap A.
1.4 Perumusan Masalah
Apakah program in vivo desensitization efektif untuk meningkatkan perilaku
bersekolah pada anak dengan school refusal?
1.5 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Secara khusus, intervensi ini bertujuan untuk mengatasi masalah school
refusal pada A. Adapun manfaat dari penulisan intervensi ini adalah untuk
menambah referensi mengenai efektivitas penerapan in vivo desensitization dalam
menangani masalah school refusal pada anak usia sekolah, khususnya yang
disebabkan oleh faktor menghindari stimulus yang menimbulkan rasa takut di
sekolah.
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini terdiri dari lima bab, yang meliputi:
- Bab I Pendahuluan
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan tentang latar belakang
diadakannya penelitian, ilustrasi kasus yang akan dijadikan sebagai subjek
penelitian, tujuan serta manfaat yang bisa didapat dari penelitian, serta
sistematika penulisan yang akan digunakan.
- Bab II Tinjauan Pustaka
Bagian ini berisi tinjauan pustaka mengenai school refusal behavior,
terapi perilaku secara umum, serta in vivo desensitization. Tinjauan pustaka
ini merupakan landasan untuk membuat analisis masalah partisipan,
rancangan intervensi, serta analisis hasil intervensi.
- Bab III Rancangan Penelitian
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan mengenai tujuan
penelitian, desain penelitian yang akan digunakan, serta rancangan
pelaksanaan intervensi.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
10
Universitas Indonesia
- Bab IV Pelaksanaan dan Hasil
Bab ini berisi pelaksanaan seluruh sesi intervensi serta hasil evaluasi
dan follow up.
- Bab V Kesimpulan, Diskusi, Saran
Bagian ini memuat kesimpulan dari pelaksanaan intervensi, diskusi
mengenai hal-hal yang terjadi dalam rangkaian pelaksanaan intervensi, serta
saran yang dapat diberikan untuk penanganan lebih lanjut terhadap masalah
partisipan maupun pengaplikasian modifikasi perilaku untuk kasus-kasus
serupa.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 School Refusal Behavior
2.1.1 Definisi School Refusal Behavior
Masalah ketidakhadiran anak di sekolah telah ada sejak dulu.
Transformasi istilah pun terjadi untuk menjelaskan masalah tersebut. Pada
awalnya muncul istilah truancy yang berasal dari bahasa Prancis, “truand”
yang berarti pemalas, nakal, atau parasit (Haarman, 2009). Truancy atau
membolos ditujukan kepada anak yang tidak masuk sekolah karena
kurangnya motivasi atau tidak patuh terhadap otoritas (Broadwin, 1932,
dalam Witts & Houlihan, 2007; Beidel & Turner, 2005). Akan tetapi terdapat
banyak kasus dimana anak menolak bersekolah karena masalah emosi.
Mereka sebenarnya ingin masuk sekolah namun tidak dapat pergi karena
mengalami distress emosi seperti takut, cemas, ataupun depresi (Beidel &
Turner, 2005). Berbagai sebutan seperti school phobia, social phobia, atau
separation anxiety pun digunakan untuk menyebut kondisi demikian.
School phobia merujuk pada ketakutan yang tidak rasional terhadap
aspek di sekolah disertai dengan gejala-gejala fisiologis ketika kehadirannya
akan muncul yang akhirnya menyebabkan ketidakmampuan anak untuk pergi
ke sekolah (Wenar & Kerig, 2005). Adapun social phobia adalah ketakutan
anak yang menetap terhadap situasi sosial dan perasaan bahwa orang lain
akan melakukan hal yang tidak menyenangkan terhadap dirinya (Wenar &
Kerig, 2005). Ketakutan tersebut menyebabkan anak menghindari situasi
sosial, termasuk sekolah. Sementara itu separation anxiety merupakan
kecemasan anak ketika berpisah dengan figur caregiver-nya. Kecemasan
tersebut bisa termanifestasi dalam bentuk menolak pergi sekolah karena tidak
ingin berpisah dengan caregiver (Wenar & Kerig, 2005).
Para ahli menggunakan istilah school refusal untuk membedakan
penolakan bersekolah karena masalah emosi dengan kenakalan (truancy).
Berikut ini adalah perbedaan antara dua kondisi tersebut (Hendron, 2006;
Haarman, 2009).
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
12
Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Perbedaan School Refusal dengan Truancy
No School Refusal Truancy
1. Pergi ke sekolah dengan tekanan
emosi yang tinggi, seperti
menangis, temper tantrum, atau
keluhan-keluhan fisik seperti
sakit perut, pusing, mual, dll
Tidak ada tekanan emosi yang
tinggi saat pergi ke sekolah (tidak
cemas atau takut)
2. Orangtua mengetahui
ketidakhadiran anak di sekolah,
anak secara langsung meminta
orangtua untuk mengizinkannya
tidak masuk sekolah
Anak berusaha agar orangtua
tidak mengetahui
ketidakhadirannya di sekolah
3. Anak jarang menunjukkan
perilaku antisosial seperti
kenakalan
Anak sering menampilkan
perilaku kenakalan lain seperti
membohong dan mencuri
4. Ketika tidak masuk sekolah, anak
lebih memilih tinggal di rumah
Ketika tidak masuk sekolah, anak
sering tidak berada di rumah
5. Anak memperlihatkan keinginan
untuk mengerjakan tugas sekolah
atau PR, namun tetap merasa
takut saat pergi ke sekolah
Anak tidak menunjukkan minat
untuk mengerjakan tugas sekolah
atau PR
Penggunaan istilah truancy, social phobia, school phobia, atau
separation anxiety menimbulkan masalah karena hanya menggambarkan
karakteristik tertentu dan tidak merefleksikan heterogenitas masalah
penolakan sekolah yang ditemui sehari-hari (King, Ollendick, & Tonge,
1995, dalam Witts & Houlihan, 2007). Akhirnya pada tahun 1990, Kearney
dan Silverman (dalam Beidel & Turner, 2005) mengajukan istilah school
refusal behavior (SRB) untuk memayungi keberagaman penolakan
bersekolah pada anak, baik yang disebabkan oleh masalah emosi maupun
kenakalan (Hendron, 2006; Beidel & Turner, 2005).
School refusal behavior (SRB) didefinisikan sebagai penolakan anak
untuk datang ke sekolah atau mengikuti pelajaran di kelas sampai dengan jam
sekolah usai (Kearney & Silverman, dalam Kearney, 2007). SRB merupakan
suatu kontinum masalah ketidakhadiran anak di sekolah yang mencakup
berbagai perilaku sebagai berikut:
(1) tidak masuk sekolah dalam periode yang lama,
(2) menunjukkan periode absen sekolah yang bersifat sporadik,
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
13
Universitas Indonesia
(3) tidak mengikuti kelas-kelas tertentu,
(4) menunjukkan perilaku bermasalah di pagi hari (morning behavior
problems) sebelum berangkat sekolah seperti tantrum, menangis,
dan pernyataan tidak ingin masuk sekolah,
(5) atau pergi ke sekolah dengan rasa takut dan keluhan-keluhan
somatis yang menyebabkan keinginan untuk tidak datang ke
sekolah esok harinya.
Saat ini, definisi yang diajukan oleh Kearney dan Silverman merupakan yang
paling luas diterima dan digunakan untuk mendefinisikan perilaku school
refusal (Brill, 2009; Witts & Houlihan, 2007).
School refusal behavior bukan merupakan sindrom klinis melainkan
istilah yang memayungi keberagaman masalah emosi pada anak-anak yang
menolak bersekolah. Pada beberapa kasus, anak dengan SRB tidak
memperoleh suatu diagnosis tertentu (Beidel & Turner, 2005).
2.1.2 Tingkat School Refusal Behavior
SRB merupakan suatu kontinum tingkat keparahan penolakan
bersekolah anak. Beberapa anak mengalami kesulitan hadir di sekolah dalam
jangka waktu singkat dan tidak memerlukan intervensi khusus hingga mau
kembali ke sekolah. Biasanya hal tersebut terkait dengan penyesuaian diri
anak ketika baru memasuki lingkungan sekolah. Akan tetapi beberapa anak
lainnya menunjukkan penolakan yang lebih kuat, sehingga ketidakhadiran di
sekolah menjadi self-reinforcing dan akan bertahan lama apabila tidak
diintervensi. Kearney dan Silverman (dalam Haarman, 2009)
mengidentifikasi tiga tingkat keparahan SRB dari segi durasi munculnya
perilaku. Tingkat keparahan tersebut selanjutnya diperluas oleh Setzer dan
Salhauer (dalam Haarman, 2009) menjadi empat tingkat sebagai berikut:
(1) Initial school refusal behavior, yaitu penolakan bersekolah yang
berlangsung dalam waktu sangat singkat dan bersifat tiba-tiba
(spontan), yang berakhir dengan sendirinya tanpa intervensi
(2) Substantial school refusal behavior, yaitu penolakan bersekolah yang
berlangsung dalam jangka waktu dua minggu
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
14
Universitas Indonesia
(3) Acute school refusal behavior, yaitu penolakan bersekolah yang
berlangsung selama dua minggu sampai satu tahun.
(4) Chronic school refusal behavior, yaitu penolakan bersekolah yang
berlangsung lebih dari satu tahun.
Semakin lama anak tidak bersekolah, semakin besar usaha yang
dibutuhkan untuk membuatnya kembali bersekolah (Kennedy, 1965, dalam
Brill, 2009).
2.1.3 Penyebab School Refusal Behavior
Penyebab SRB sangat beragam dan berbeda antar anak. Stimulus
spesifik yang bisa memicu SRB antara lain adalah (Piliang, 2004, Brill,
2007):
(1) Masalah dalam keluarga
Penolakan bersekolah pada anak dapat terjadi akibat masalah yang
sedang dialami keluarga. Misalnya peristiwa jatuh sakitnya anggota
keluarga membuat anak tidak ingin meninggalkan rumah karena khawatir
akan terjadi sesuatu yang buruk pada anggota keluarga tersebut. Selain itu
pertengkaran orangtua juga menjadi pemicu school refusal anak, anak
enggan meninggalkan orangtua karena merasa bertanggung jawab
mendampingi orangtua yang sedang bermasalah.
(2) Kesulitan akademik
Anak-anak dengan inteligensi rendah, learning disabilities, ataupun
ADHD memiliki kemungkinan masalah school refusal yang lebih besar
(Beidel & Turner, 2005; Wenar & Kerig, 2005). Kesulitan dalam
mengikuti materi pelajaran, menulis, membaca, ataupun berkonsentrasi
membuat mereka seringkali memperoleh prestasi akademik yang buruk.
Mereka pun cenderung merasa cemas saat menghadapi tugas-tugas di
sekolah, terlebih lagi apabila guru atau teman-teman memberikan
penilaian yang buruk terhadap mereka. Hal tersebut membuat anak merasa
tidak nyaman berada di sekolah sehingga memicu terjadinya school refusal
yang bertujuan untuk menghindari tugas-tugas akademik di sekolah.
(3) Trauma terkait sekolah
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
15
Universitas Indonesia
Berbagai peristiwa di sekolah dapat memunculkan trauma pada
anak yang mengakibatkan terjadinya penolakan bersekolah. Sebagai
contoh, hukuman yang diberikan guru bisa menjadi pengalaman traumatis
pada anak. Demikian juga dengan pengalaman menjadi korban bullying,
dimana anak mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-teman
di sekolah. Tidak semua anak mampu menceritakan ketakutannya, mereka
memilih menyimpan pengalaman traumatis tersebut. Hal tersebut membuat
anak kurang mendapat dukungan sosial untuk mengatasi masalahnya. Di
sisi lain, mereka juga sulit menemukan strategi untuk mengatasi
ketakutannya sendiri. Akhirnya mereka justru menolak bersekolah untuk
menghindari stimulus yang membuatnya merasa tidak aman.
(4) Memasuki lingkungan baru
Penolakan bersekolah bisa muncul ketika anak memasuki
lingkungan baru, misalnya saja pindah rumah, pindah sekolah, naik kelas,
ataupun pindah kelas (Wenar & Kerig, 2005). Situasi baru menuntut anak
untuk beradaptasi. Beberapa anak merasa cemas karena tidak tahu situasi
yang akan diatasi. Beberapa khawatir tidak dapat diterima oleh teman,
diajar oleh guru yang galak, ataupun tidak mampu mengikuti pelajaran di
tempat baru.
Merujuk pada pendekatan psikoanalisis, mutual dependency antara
ibu dan anak menjadi faktor penyebab SRB. Kecemasan untuk berpisah
dengan ibu yang direpresi oleh anak akhirnya termanifestasi dalam bentuk
penolakan sekolah (Paige, dalam Witts & Houlihan, 2007; Beidel & Turner,
2005). Sementara itu aliran behavioristik memandang school refusal sebagai
reaksi yang dipelajari terhadap stimulus spesifik yang terkait dengan
lingkungan sekolah. Apabila anak mendapatkan reinforcement terkait dengan
school refusal, maka perilaku tersebut akan semakin kuat/bertahan.
Dengan mengacu pada pendekatan behavioristik, Kearney dan
Silverman (Kearney, Pursell, & Alvarez, 2001; Kearney, 2007; Dube &
Orpinas, 2009) mengembangkan Functional Model of School Refusal
Behavior. Model tersebut membagi keberagaman motif perilaku school
refusal anak ke dalam empat profil umum. Salah satu kelebihan model ini
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
16
Universitas Indonesia
adalah memudahkan orangtua atau terapis dalam menggunakan pendekatan
prescriptive treatment, dimana penanganan didasarkan pada faktor penyebab
penolakan bersekolah (Beidel & Turner, 2005). Berikut adalah penjelasan
motif school refusal pada FMSRB:
a) Menghindari stimulus di sekolah yang menimbulkan afek negatif
Salah satu alasan yang umum ditemui pada anak dengan SRB
adalah ketakutan atau kecemasan terhadap stimulus di sekolah (Kearney,
2007) yang biasanya terkait dengan guru, pelajaran, gangguan dari peer,
atau hal-hal lain yang ditemui di sekolah. Anak dengan SRB cenderung
menunjukkan perilaku menghindar terhadap stimulus yang tidak
menyenangkan di sekolah, yang akhirnya termanifestasi dalam bentuk
penolakan bersekolah.
Anak yang menolak bersekolah karena menghindari stimulus
tertentu sering menampilkan masalah perilaku di pagi hari seperti
menangis, gelisah, keluhan somatis (sakit perut, pusing, mual), gemetar,
tegang, tantrum, sulit berkonsentrasi atau tidak dapat tidur (Kearney, 2007;
Haarman, 2009). Masalah perilaku tersebut sering berujung pada
permintaan anak untuk tidak masuk sekolah. Pada beberapa anak, mereka
bersedia pergi ke sekolah namun tetap menampilkan masalah perilaku
tersebut selama bersekolah.
Pada anak dengan motif ini, systematic desensitization atau in vivo
desensitization merupakan teknik yang efektif untuk diterapkan (Lee &
Miltenberger, 1996; Kearney & Silverman, 1999). Dengan menggunakan
teknik tersebut, secara bertahap anak dilatih untuk mengurangi tingkat
ketakutan atau kecemasan terhadap stimulus yang menimbulkan afek
negatif dengan menggunakan teknik relaksasi.
b) Menghindari situasi sosial di sekolah
Sekolah merupakan tempat yang melibatkan interaksi dan evaluasi
sosial. Bagi anak-anak yang memiliki kecemasan saat berinteraksi dan
merasa orang lain akan memberi evaluasi negatif bagi dirinya, sekolah
dipandang sebagai sesuatu yang mengancam. Salah satu strategi coping
yang diterapkan untuk mengatasi ancaman tersebut adalah dengan
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
17
Universitas Indonesia
menolak bersekolah untuk menghindari situasi sosial (Kearney, 2007).
Motif penolakan sekolah untuk menghindari situasi sosial biasanya
ditemui pada remaja karena pada tahap perkembangan ini seseorang
menjadi lebih sensitif terhadap penilaian sosial (Papalia, Olds, & Feldman,
2006). Anak dengan motif SRB ini biasanya menunjukkan kesulitan dalam
memulai atau merespon pembicaraan dengan orang lain terutama yang
belum dikenal baik, bertanya kepada guru atau figur otoritas lain, bermain
dengan teman, bekerja sama dalam satu kelompok, mengerjakan tugas di
depan umum, serta memiliki ketakutan yang berlebihan untuk membuat
kesalahan atau dipermalukan.
Teknik yang digunakan untuk mengatasi SRB pada anak yang
menghindari situasi sosial di sekolah adalah CBT atau modelling (Kearney
& Silverman, 1990, dalam Witts & Houlihan, 2007). Dengan CBT, pikiran
yang irasional dan tidak realistis terkait sekolah diubah menjadi lebih
rasional (Ellis & Harper, 1975, dalam Witts & Houlihan, 2007). Sementara
itu, dengan teknik modelling anak belajar bahwa orang lain bisa
melakukan hal yang ia takuti, yaitu pergi bersekolah. Modeling dapat
berbentuk 3 hal, yaitu modeling lewat video, secara langsung, atau
participant modelling dimana perilaku model diikuti oleh anak secara
langsung.
c) Memperoleh perhatian dari significant other
Pada anak yang lebih muda, kecemasan berpisah dari orangtua
lazim ditemui. Beberapa anak merasa khawatir bahwa orangtua akan
mengalami hal buruk ketika berpisah darinya. Hal inilah yang mendorong
anak untuk tidak bersekolah untuk mendapat perhatian atau bersama
dengan orangtua (Kearney, 2007). Anak dengan motif demikian tidak
merasa stress dengan sekolah. Anak SRB dengan tipe ini biasanya
menunjukkan perilaku tantrum di pagi hari serta menolak pergi ke sekolah,
menginginkan orangtua untuk datang ke sekolah bersama anak, sering
menelepon orangtua selama jam sekolah, serta sering bertanya kapan
orangtua akan menjemput ke sekolah. Anak-anak ini bahkan merasa
senang saat orangtua mendampingi mereka di sekolah. Penolakan
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
18
Universitas Indonesia
bersekolah untuk memperoleh perhatian significant other dapat muncul
setelah anak menjalani liburan panjang ataupun sakit serius sehingga tidak
dapat masuk sekolah dalam jangka waktu panjang (Piliang, 2004). Pada
saat liburan sekolah, orangtua biasanya lebih meluangkan waktu untuk
melakukan aktivitas bersama anak sehingga kuantitas kedekatan anak dan
orangtua meningkat dibandingkan saat sekolah. Demikian juga ketika anak
mengalami sakit, orangtua cenderung memberikan perhatian lebih besar.
Hal tersebut tentu membuat anak merasa nyaman sehingga mereka pun
enggan masuk sekolah karena tidak ingin berpisah dengan orangtua.
Untuk mengatasi SRB dengan motif memperoleh perhatian dari
significant other, terdapat beberapa teknik yang dapat diterapkan, yaitu
extinction, atau differential reinforcement (Kearney & Silverman, 1990,
dalam Witts & Houlihan, 2007; Lee & Miltenberger, 1996). Dengan teknik
extinction, orangtua tidak memberikan perhatian kepada anak ketika ia
tidak bersekolah agar tidak semakin memperkuat perilaku school refusal-
nya. Sementara itu dengan menggunakan differential reinforcement, anak
memperoleh reinforcement apabila melakukan perilaku yang diharapkan,
misalnya melakukan rutinitas di pagi hari (bangun pagi, mandi, dan pergi
ke sekolah) atau tidak melakukan perilaku yang tidak diharapkan,
misalnya tidak tantrum di pagi hari.
d) Memperoleh tangible reinforcement di luar sekolah
Anak yang lebih besar atau remaja terkadang menunjukkan school
refusal karena lebih menyukai aktivitas lain di luar sekolah. Mereka tidak
merasa stress dengan sekolah, namun merasa bosan dan tidak termotivasi.
Mereka juga tidak menginginkan perhatian dari orangtua karena sebagian
besar justru tidak masuk sekolah secara diam-diam. Beberapa tangible
reinforcement yang menarik anak untuk menolak bersekolah adalah
bersantai di rumah, menonton televisi, bermain games atau internet,
bermain dengan teman yang juga bolos sekolah, berjalan-jalan ke mall
atau rumah teman. Anak-anak dengan SRB tipe ini cenderung bergaul
dengan anak lain yang juga bolos sekolah dan biasanya berasal dari
keluarga yang berkonflik (Kearney & Silverman, dalam Brill, 2009).
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
19
Universitas Indonesia
Kearney dan Silverman menyarankan penggunaan contingency
contracts untuk anak dengan motif memperoleh tangible reinforcement di
luar sekolah (Witts & Houlihan, 2007). Contingency contract dibuat oleh
kedua orangtua bersama anak, mereka bersama-sama menentukan perilaku
yang akan diberi reward atau punishment. Kedua pihak juga membuat
kesepakatan mengenai jenis rewards dan punishment yang akan diterima
anak. Selain itu, peer refusal skill training juga dapat diterapkan untuk
memperkuat anak dalam menolak ajakan peer untuk tidak masuk sekolah
(Kearney & Albano, 2007).
Pada motif menghindari stimulus atau situasi sosial di sekolah, anak
memperoleh negative reinforcement atas perilaku school refusal sedangkan
pada motif memperoleh perhatian significant others atau tangible
reinforcement di luar sekolah, anak memperoleh positive reinforcement.
Apabila tidak tertangani, reinforcement tersebut akan memperkuat penolakan
bersekolah anak.
Pola asuh orangtua juga dapat menyumbang terjadinya perilaku
school refusal pada anak. Pola asuh yang tidak adekuat seperti penanaman
disiplin yang kurang, overinvolvement, atau pun pengabaian orangtua dapat
memunculkan atau memperkuat penolakan bersekolah anak.
(1) Orang tua yang pencemas, terutama ibu, cenderung memenuhi dan
melayani kebutuhan anak, serta berusaha selalu dekat dengan anak.
Anak terlalu dependen dan selalu ingin berdekatan dengan orangtua
(overindulgence) (Kearney & Silverman, dalam Brill, 2009). Anak
pun merasa cemas apabila berada jauh dari orangtua.
(2) Orangtua yang lebih mengutamakan ketenangan dibanding
menegakkan disiplin cenderung mengalah terhadap keinginan anak
saat anak menangis atau tantrum. Mereka kurang menanamkan
disiplin dalam keseharian dan tidak memberikan konsekuensi terhadap
perilaku negatif anak yang akhirnya membuat anak memegang kendali
terhadap orangtua serta bersikap semaunya (Kearney & Silverman,
dalam Brill, 2009).
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
20
Universitas Indonesia
(3) Orangtua yang kurang terlibat dalam pengasuhan (neglect) cenderung
kurang memberikan perhatian terhadap aktivitas atau masalah yang
dihadapi anak. Mereka menuntut kemandirian yang lebih besar dari
anak. Terkadang hal tersebut menyebabkan anak menolak bersekolah
dan memilih di rumah karena khawatir ditinggalkan oleh orangtua
(Kearney & Silverman, dalam Brill, 2009).
Berdasarkan berbagai pandangan di atas, terlihat bahwa etiologi
school refusal terdiri dari multifaktor dan dapat berbeda untuk setiap anak.
Merujuk pada model FMSRB, pada kasus A motif utama perilaku school
refusal adalah menghindari stimulus yang menimbulkan afek negatif, yaitu
tugas hafalan dan guru. Kesulitannya dalam mengikuti pelajaran hafalan serta
pengalaman mendapat hukuman dari guru membuat A merasa takut untuk
pergi ke sekolah. Di sisi lain, ibu yang pencemas dan cenderung permisif
tidak memberikan konsekuensi negatif dan justru memenuhi keinginan A
untuk membujuknya bersekolah. Ia juga masih memperoleh kesempatan
bermain, jajan, dan menonton televisi selama jam sekolah yang membuatnya
lebih nyaman berada di rumah. Oleh karena itu, perilaku school refusal A
juga didorong oleh motif memperoleh tangible reinforcement di luar sekolah.
2.1.4 Karakteristik yang menyertai School Refusal Behavior
Penolakan bersekolah dapat terjadi kapan pun, namun masalah
tersebut paling banyak ditemukan pada usia dan situasi transisi. Ollendick
dan Mayer (dalam Wenar & Kerig, 2005) menyimpulkan bahwa masalah
school refusal lebih rentan terjadi pada usia 5-6 tahun dan 10-11 tahun karena
pada usia tersebut, anak baru masuk sekolah ataupun mengalami transisi dari
kelas rendah ke kelas tinggi.
Penolakan bersekolah memiliki relasi yang kuat dengan prestasi
akademik anak. Pada studi yang dilakukan oleh Chazan (dalam Beidel &
Turner, 2005), ditemukan bahwa sekitar 50% anak dengan SRB menampilkan
performa akademik yang rendah atau tingkat inteligensi yang rendah (Wenar
& Kerig, 2005). Selain itu, learning disabilities serta masalah bahasa juga
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
21
Universitas Indonesia
banyak ditemukan pada anak-anak SRB (Naylor, Staskowski, Kenney, &
King, dalam Beidel & Turner, 2005).
Secara lebih spesifik, SRB bisa menjadi penyebab, akibat, atau
memiliki korelasi dengan prestasi akademik yang rendah (Beidel & Turner,
2005). Kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah bisa memicu perilaku
school refusal anak, dimana perilaku tersebut dilakukan untuk menghindari
tugas-tugas akademik di sekolah. Di sisi lain, salah satu pengaruh perilaku
school refusal adalah tertinggal materi pelajaran dan bisa berujung pada
pencapaian akademik yang rendah.
Selain prestasi akademik, perilaku school refusal juga berkorelasi
dengan perkembangan sosial anak. Beberapa karakteristik yang ditemui pada
anak dengan school refusal adalah shyness, menarik diri (withdrawal), dan
agresif (Egger et al, 2003, dalam Beidel & Turner, 2005). Sama seperti
performa akademik, masalah dalam interaksi sosial bisa berperan sebagai
penyebab atau akibat dari penolakan bersekolah. Pengalaman di-bully atau
kesulitan dalam menjalin pertemanan membuat anak merasa tidak nyaman di
sekolah dan menyebabkan terjadinya penolakan bersekolah. Di sisi lain,
perilaku absen dari sekolah membuat anak terisolasi dan kehilangan
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosial. Pada akhirnya hal
tersebut membuat perkembangan sosial anak menjadi tidak optimal (Wenar &
Kerig, 2005).
2.2 Terapi Perilaku Sebagai Intervensi Untuk Mengatasi SRB
Salah satu intervensi yang paling sering diterapkan dalam menangani
masalah school refusal adalah terapi perilaku. Fokus utama dari terapi ini adalah
membuat anak kembali bersekolah secara langsung sehingga cukup efektif untuk
mengembalikan anak ke sekolah dalam jangka waktu yang relatif lebih cepat
(Brill, 2009; Kearnet & Alvarez, 2001).
2.2.1 Definisi Terapi Perilaku
Terapi perilaku merupakan intervensi yang menerapkan prinsip dan
teknik belajar secara sistematis untuk mengubah perilaku individu dalam
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
22
Universitas Indonesia
upaya meningkatkan fungsi dalam kehidupan sehari-hari (Martin & Pear,
2007). Dalam terapi ini, diperlukan suatu definisi operasional dari perilaku
yang menjadi fokus intervensi agar perubahannya dapat dibandingkan.
2.2.2 Dimensi Perilaku
Perilaku memiliki satu atau lebih dimensi yang dapat diukur (Martin
& Pear, 2007). Dimensi-dimensi tersebut meliputi:
a) Frekuensi, yang merujuk pada seberapa sering suatu perilaku muncul
b) Durasi, yang merujuk pada seberapa lama suatu perilaku berlangsung
c) Intensi, yang merujuk pada seberapa kuat suatu perilaku muncul
d) Latensi, yang merujuk pada seberapa lama rentang waktu antara
terjadinya stimulus dan respon perilaku yang muncul
2.2.3 Tahapan Terapi Perilaku
Ada beberapa tahap yang dilaksanakan dalam penerapan program
behavior modification (Martin & Pear, 2007), yaitu:
a. Screening or intake phase
Dalam fase ini dilakukan pengklarifikasian masalah dan penentuan
siapa yang harus diberikan penanganan.
b. Baseline or preprogram assessment phase
Dalam fase ini dilakukan assessment terhadap target behavior
sebelum program dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk
mengevaluasi apakah perilaku pada seseorang berubah atau tidak
setelah mendapatkan treatment.
c. Treatment phase
Dalam fase ini treatment modifikasi perilaku diberikan kepada subjek
berdasarkan teknik yang dipilih.
d. Follow up phase
Fase ini dilaksanakan setelah treatment selesai. Tujuan dari fase follow
up adalah mengevaluasi apakah perilaku berubah setelah treatment
tidak lagi diberikan.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
23
Universitas Indonesia
2.2.4 Systematic Desensitization dan In Vivo Desensitization
2.2.4.1 Definisi Systematic Desensitization(SD) dan In Vivo
Desensitization (IVD)
Systematic desensitization merupakan bentuk terapi perilaku
yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe untuk mengatasi masalah fobia
spesifik (Martin & Pear, 2007). Terapi ini dilandasi oleh prinsip
reciprocal inhibition, yaitu stimulus yang menimbulkan rasa takut
dipasangkan dengan respon tertentu yang dapat menghalangi
munculnya perasaan takut. Dalam pelaksanaannya anak mempraktikan
relaksasi sambil membayangkan stimulus yang ditakuti secara bertahap.
Terapi ini telah digunakan secara luas dan terbukti efektif untuk
mengatasi masalah takut yang berlebihan (Kazdin, 1980).
In vivo desensitization (IVD) merupakan bentuk systematic
desensitization, namun pada prosedur ini secara bertahap anak benar-
benar dihadapkan pada stimulus yang menimbulkan rasa takut (Walker,
Clement, dan Wright, 1981, dalam Miltenberger, 2008). IVD lebih tepat
diterapkan pada individu yang mengalami kesulitan dalam
membayangkan stimulus yang ditakuti (Martin & Pear, 2007). Oleh
karena anak mengalami kontak langsung dengan stimulus yang
menimbulkan rasa takut, maka efektivitas IVD lebih jelas terlihat
karena anak lebih mudah menggeneralisasi hasil belajarnya. IVD juga
tidak sulit diterapkan di setting sekolah dan terbukti efektif untuk
mengatasi perilaku school refusal anak (Lee & Miltenberger, 1996;
Kearney & Silverman, dalam Witts & Houlihan, 2007; King & Gullone,
dalam MacPhee & Andrews, 2003).
Pada kasus ini, penerapan IVD akan lebih efektif dibandingkan
SD karena A lebih mampu memahami stimulus konkret dibandingkan
abstrak sehingga exposure secara langsung akan lebih memudahkan
intervensi.
2.2.4.2 Tahapan In Vivo Desensitization
Terdapat tiga tahap pada IVD, yaitu:
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
24
Universitas Indonesia
a. Relaksasi
Pelatihan relaksasi merupakan strategi yang digunakan
untuk menurunkan autonomic arousal yang merupakan komponen
dari rasa takut dan cemas.
Ketika anak merasa takut atau cemas, respon fisiologis
yang muncul adalah ketegangan pada otot, detak jantung yang
cepat, berkeringat dingin, atau nafas yang tersengal-sengal.
Simtom-simtom tersebut merupakan bagian dari autonomic
arousal yang muncul ketika anak menghadapi stimulus yang
ditakuti. Dengan menggunakan prosedur relaksasi, anak melakukan
aktivitas yang berfungsi berlawanan dengan autonomic arousal
seperti menurunkan ketegangan otot, menghangatkan tangan,
bernafas dengan pelan, dll. Ketika anak melakukan prosedur
aktivitas yang berlawanan dengan respon otonomi tubuh, maka
ketakutan akan berkurang. Salah satu prosedur relaksasi yang
banyak digunakan adalah diaphragmatic breathing (Davis,
Eshelman, & McKay, dalam Miltenberger, 2008).
Diaphragmatic Breathing
Diaphragmatic breathing atau deep breathing atau relaxed
breathing merupakan teknik relaksasi dimana anak bernafas
panjang dalam ritme yang lambat dan teratur. Setiap kali bernafas
anak menggunakan otot diagfragma untuk menghirup oksigen ke
dalam paru-paru. Pola pernafasan tersebut dilakukan untuk
menggantikan pernafasan pendek dan tersengal yang muncul secara
automatic ketika seseorang merasa takut atau cemas.
Untuk mempelajari diaphragmatic breathing, anak duduk
dalam posisi yang nyaman sambil meletakkan tangan di perut yang
merupakan lokasi otot diafragma, menutup mata, kemudian
menarik nafas dengan lambat sekitar 3-5 detik. Pada saat menarik
nafas, anak merasakan pergerakan diagfragma dan memfokuskan
diri pada sensasi fisik yang ia rasakan. Hal tersebut juga berguna
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
25
Universitas Indonesia
agar perhatian anak teralih dari stimulus yang membuatnya tidak
nyaman.
b. Hirarki Stimulus yang Ditakuti
Setelah anak mempelajari dan menguasai prosedur
relaksasi, terapis dan anak menyusun hirarki stimulus yang
menimbulkan ketakutan pada anak. Pertama anak diminta untuk
menuliskan berbagai stimulus yang ia takuti di sekolah. Setelah itu
anak memberi rating kecemasan yang bernilai 0-100 pada masing-
masing stimulus. Dari daftar stimulus tersebut lalu, terapis
menyusun stimulus mulai dari yang menimbulkan rasa takut paling
rendah sampai dengan yang paling tinggi.
c. Exposure
Setelah hirarki stimulus yang ditakuti tersusun, secara
bertahap anak mulai dihadapkan langsung dengan stimulus-
stimulus tersebut sambil menerapkan teknik relaksasi yang telah
dipelajari. Pada sesi awal, stimulus yang dihadapkan pada anak
adalah menimbulkan ketakutan paling rendah. Setelah anak merasa
nyaman dan tingkat ketakutannya berkurang, ia akan dihadapkan
pada stimulus yang lebih sulit. Demikian seterusnya sampai
akhirnya anak dihadapkan pada stimulus yang paling ditakuti.
2.2.4.3 Penelitian Tentang Penerapan In Vivo Desensitization untuk
Mengatasi School Refusal Behavior
Berbagai penelitian telah mendokumentasikan efektivitas IVD
untuk mengatasi masalah SRB. Kearney, Pursell, dan Alvarez (2001)
dalam jurnalnya memaparkan penanganan school refusal pada anak
laki-laki berusia 10 tahun yang mengalami learning difficulties. Anak
tersebut menolak sekolah karena kesulitan dalam tugas-tugas menulis
dan membaca serta merasa malu karena sering diejek oleh teman-
temannya. Selain itu, sikap orangtua yang tidak memberikan
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
26
Universitas Indonesia
konsekuensi juga mempengaruhi bertahannya school refusal pada anak
tersebut. Kearney, Pursell, dan Alvarez merancang suatu treatment
untuk mengatasi kedua faktor penyebab school refusal yang merupakan
kombinasi dari IVD, parental contingency management, dan akomodasi
sekolah untuk memfasilitasi masalah akademik anak. Secara bertahap
anak diajak memasuki situasi sekolah, mulai dari menghabiskan jam
pelajaran di kantor, perpustakaan, sampai akhirnya di kelas seperti
biasa. Kerjasama dengan orangtua dan pihak sekolah juga diterapkan
melalui pemberian reinforcement atau punishment terkait dengan
kehadiran anak serta “keringanan” terhadap kesulitan akademik anak
sampai ia mengikuti remedial therapy. Treatment tersebut terbukti
efektif untuk menurunkan ketakutan anak dan ia pun mau kembali
masuk sekolah. Hasil tersebut bertahan dalam jangka waktu lama. Pada
follow-up yang dilakukan 1 tahun kemudian, kehadirannya di sekolah
tetap bertahan.
Hasil serupa juga terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh
Kearney dan Silverman (1999) dimana 8 orang anak dengan profil
school refusal yang berbeda-beda memperoleh treatment yang
disesuaikan dengan motif masing-masing. Pada salah satu subjek yang
memiliki motif menghindari stimulus di sekolah yang menimbulkan
ketakutan, pemberian teknik relaksasi dan gradual exposure terhadap
situasi sekolah terbukti efektif untuk mengatasi masalah SRB.
2.2.5 Reinforcer
Reinforcer diberikan untuk memperkuat suatu perilaku yang
dipelajari. Kazdin (1980) menjelaskan beberapa tipe reinforcer yang
dapat diterapkan dalam behavior modification, yaitu:
a. Food and other consumables
Makanan menjadi primary reinforcers karena nilai
penguatannya tidak dipelajari namun bersifat subjektif bagi
masing-masing orang dan tergantung pada preferensi makanan
tertentu. Kombinasi makanan dengan tipe reinforcer lain, misalnya
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
27
Universitas Indonesia
pujian atau kejadian sosial lainnya dapat dilakukan sehingga di
kemudian hari pujian atau kejadian sosial lain dapat mengontrol
perilaku secara efektif.
b. Social reinforcers
Social reinforcers meliputi pujian verbal, perhatian, kontak
fisik (sentuhan dan berpegangan tangan) dan ekspresi wajah
(senyuman, kontak mata, anggukan dan kedipan) yang dapat
diberikan dengan mudah dan cepat dan tidak menginterupsi
perilaku yang sedang muncul.
c. High-probability behaviors
Tipe reinforcer ini memberikan kesempatan kepada anak
untuk melakukan aktivitas yang disukainya atau untuk
mendapatkan hak istimewa, misalnya bermain sepeda atau
berenang. Pada beberapa kasus dimana akses terhadap suatu
aktivitas terlalu sering frekuensinya, maka akan mengganggu
rutinitas sehari-hari (Osborne dalam Kazdin, 1980).
d. Informative feedback
Memberikan informasi tentang performa anak dapat
menjadi reinforcement yang sangat berguna. Feedback secara
implisit menyatakan respons mana yang diharapkan untuk muncul
dan mengindikasikan penerimaan atau penolakan sosial terhadap
perilaku anak.
e. Tokens
Tokens memiliki fungsi yang sama seperti uang dalam
sistem perekonomian nasional. Tokens, dikumpulkan oleh anak
untuk kemudian ditukarkan dengan back-up reinforcers, misalnya
makanan, kegiatan, atau hak istimewa. Jumlah penukaran tokens
untuk back-up reinforcers harus spesifik sehingga menjadi jelas
berapa banyak tokens yang dibutuhkan untuk “membeli” reinforcer
tertentu. Desirable behavior juga perlu dinyatakan secara eksplisit
bersamaan dengan berapa banyak tokens yang diperoleh jika anak
menunjukkan perilaku demikian. Tokens merupakan tipe reinforcer
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
28
Universitas Indonesia
yang dapat menghubungkan penundaan antara desirable behavior
dan back-up reinforcement. Hal ini merupakan kelebihan dari
sistem tokens. Jika suatu reinforcer (misalnya aktivitas) tidak dapat
diberikan dengan segera, maka tokens dapat diberikan dengan
segera dan kemudian digunakan untuk ”membeli” back-up
reinforcer. Akan tetapi, sistem ini juga memiliki kelemahan. Jika
pemberian tokens dihentikan, maka desirable behavior akan
menghilang (Kazdin, 1980).
Jadwal pemberian reinforcement merujuk pada seberapa banyak
respons atau respons spesifik mana yang akan diberikan reinforcer.
Pada jadwal yang sederhana, reinforcement akan diberikan setiap kali
respons muncul, yang dinamakan continuous reinforcement. Misalnya
untuk melatih anak dengan intellectual disability agar dapat mengikuti
instruksi, maka reinforcement diberikan segera setelah anak berespon
secara tepat. Pada kondisi lain, reinforcement diberikan setelah
beberapa kali respons yang sama muncul. Jadwal seperti ini dinamakan
intermittent reinforcement. Jika pemberian reinforcement dihentikan,
maka perilaku yang mendapat reinforcement secara kontinu akan
cenderung menghilang lebih cepat dibandingkan dengan perilaku yang
mendapat intermittent reinforcement (Kazdin, 1980).
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
BAB 3
RANCANGAN INTERVENSI
3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efektivitas modifikasi perilaku
dengan metode in vivo desensitization untuk mengatasi masalah school refusal.
3.2 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah single-case design, yaitu
penelitian dengan menggunakan 1 orang partisipan, yang diterapkan untuk
mengevaluasi perubahan yang terjadi dalam perilaku spesifik individu setelah
mendapatkan intervensi tertentu (Barker, Pistrang, & Elliot, 2002).
3.3 Rancangan Pelaksanaan Intervensi
3.3.1 Perilaku Target (Behavior Target)
Perilaku target dalam intervensi ini adalah perilaku bersekolah.
3.3.2 Definisi Operasional Perilaku
Dalam intervensi ini, perilaku bersekolah didefinisikan sebagai
kehadiran dan bertahannya partisipan mengikuti semua pelajaran di kelas
mulai dari bel masuk sekolah sampai dengan bel pulang.
3.3.3 Dimensi Perilaku dan Metode Pengumpulan Data
Dimensi perilaku yang akan ditingkatkan dalam intervensi ini adalah
intensitas perilaku bersekolah, yang merujuk pada tingkat usaha untuk
menampilkan perilaku tersebut (Miltenberger, 2008). Dengan meningkatkan
intensitas perilaku bersekolah, secara bertahap partisipan akan dihadapkan
pada hirarki stimulus mulai dari yang paling mudah (hadir di sekolah tanpa
masuk kelas) sampai dengan yang paling sulit (mengikuti pelajaran yang
paling menimbulkan ketakutan). Adapun pengumpulan data dilakukan
menggunakan metode continuous recording dalam mencatat perilaku
bersekolah partisipan setiap hari.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
29
Universitas Indonesia
3.3.4 Alat Bantu Penelitian
Dalam penelitian ini, pelaksana intervensi (PI) menggunakan beberapa
alat bantu sebagai berikut:
- Lembar pencatatan untuk mencatat perilaku bersekolah partisipan
- Lembar gambar emosi untuk mengukur tingkat ketakutan partisipan
- Papan token untuk menempelkan token yang berhasil dikumpulkan
partisipan
- Mainan bola kecil untuk latihan muscle relaxation
3.3.5 Tahap Baseline
Tujuan dari penegakan baseline adalah untuk memperoleh data
mengenai intensitas perilaku bersekolah partisipan sebelum intervensi
dilakukan. Kazdin (1984) menyebutkan tiga manfaat penegakan baseline,
yaitu: (1) mengidentifikasi perilaku yang menjadi target intervensi, (2)
memberikan gambaran apabila perilaku tidak diintervensi, serta (3)
mengevaluasi efektivitas intervensi terhadap perilaku anak.
Dalam penelitian ini, observasi terhadap perilaku bersekolah A
dilakukan sebanyak empat kali (sampai perilaku dinilai stabil). Berdasarkan
observasi, A menolak pergi ke sekolah sebanyak tiga kali dan bersedia datang
ke sekolah namun tidak masuk kelas sebanyak satu kali. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa A belum menunjukkan perilaku bersekolah karena
tidak memenuhi kriteria “hadir dan mengikuti pelajaran di dalam kelas
sampai dengan selesai”. Hasil observasi ketika baseline dapat dilihat pada
Lampiran 3. Berikut adalah grafik perilaku bersekolah A selama baseline.
Gambar 3.1 Hasil Baseline
0
1
2
3
Baseline 1 Baseline 2 Baseline 3 Baseline 4
Perilaku Bersekolah
Keterangan:
0 : Tidak pergi ke sekolah
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
30
Universitas Indonesia
1 : Pergi ke sekolah tapi tidak mengikuti pelajaran di dalam kelas
2 : Pergi ke sekolah dan mengikuti pelajaran di dalam kelas tapi tidak
sampai selesai
3 : Pergi ke sekolah dan mengikuti pelajaran di dalam kelas sampai dengan
selesai (Perilaku Bersekolah)
Baseline juga diperoleh dari pengisian kuesioner Child Behavior
Check List (CBCL) oleh orangtua untuk mengukur aspek perilaku somatic-
complaints serta anxious-depressed yang menggambarkan ketakutan pada diri
A. Dari hasil CBCL sebelum intervensi (pretest CBCL), secara umum A
dinilai oleh orangtua menampilkan perilaku internalizing yang sudah masuk
ke dalam rentang klinis (T=71), dimana pada skala menarik diri (withdrawn)
serta kecemasan-depresi (anxious/depressed) ia sudah termasuk ke dalam
rentang batas klinis (borderline). Contoh perilaku internalizing yang
ditunjukkan A adalah sering menangis, cemas/tegang, menolak berbicara,
takut pergi ke sekolah, serta mengeluh sakit perut. Sementara itu perilaku
externalizing A sudah termasuk ke dalam rentang batas klinis (T=60), dengan
perilakunya antara lain mudah marah/tempertantrum serta mudah
tersinggung.
Tabel 3.2 Hasil Child Behavior Checklist (CBCL) sebelum intervensi
Subskala Skor
Withdrawn 6*
Somatic complaints 2
Anxious/depressed 10*
Social problems 5
Thought problems 1
Attention problems 8
Delinquent behavior 4
Aggressive behavior 13
Internalizing behavior 18 (T=71)**
Externalizing behavior 17 (T=60)*
Skor Total 35 (T=57)
* dalam rentang batas klinis (borderline); ** dalam rentang klinis (clinical)
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
31
Universitas Indonesia
Untuk meningkatkan objektivitas, pengukuran baseline juga
dilakukan dengan menggunakan informasi dari anak. Akan tetapi karena A
cenderung tertutup dan memiliki kesulitan mengungkapkan pendapat secara
lisan maupun tulisan, informasi dari A diperoleh melalui tes Draw A Man
(DAM) (Lampiran 9). Pemilihan tes DAM didasarkan pertimbangan bahwa
menggambar tidak bersifat mengancam dan justru memberikan kenyamanan
serta keamanan kepada anak untuk mengekspresikan perasaannya (Oster &
Crone, 2004). Berikut adalah tabel hasil DAM A sebelum intervensi
dilakukan:
Tabel 3.3 Hasil Draw A Man (DAM) Sebelum Intervensi
Posisi Kertas Horizontal
Letak Gambar Kanan
Ukuran Gambar Sedang
Tekanan Garis Kuat, banyak garis bertumpuk
Hal yang Menonjol Tidak ada mulut, leher kaku, posisi tangan
terbuka ke samping dengan jari-jari runcing
Dari hasil DAM, terlihat bahwa A memiliki kontrol diri yang kuat
(leher kaku) dan ketegangan dalam dirinya (tekanan kuat). Sebenarnya A
memiliki keinginan untuk menjalin interaksi sosial (tangan menggapai keluar)
namun terdapat ketakutan dan kesulitan berkomunikasi (banyak hapusan,
tidak ada mulut). Ia juga menunjukkan agresivitas dalam dirinya (jari
runcing).
3.3.6 Tahap Persiapan Program
Sebelum melaksanakan intervensi, PI akan melakukan pembicaraan
dengan orangtua, anak, dan sekolah. Berikut adalah hal-hal yang akan
dibicarakan dengan masing-masing pihak.
3.3.6.1 Persiapan Alat Bantu Intervensi
Sebelum intervensi dimulai, PI menyiapkan alat-alat bantu yang
akan digunakan dalam intervensi ini. Untuk meningkatkan motivasi A, PI
membuat papan token dengan tema pertandingan bola dan stiker token
berbentuk bola (Lampiran 7). Pada papan tersebut terdapat gambar
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
32
Universitas Indonesia
gawang yang masih kosong sebagai tempat untuk menempelkan stiker
bola yang berhasil diperoleh A. PI juga menempelkan gambar beberapa
pemain bola favorit A yang menyerukan kata-kata penyemangat.
Sementara itu, lembar gambar emosi (Lampiran 6) untuk
mengukur tingkat ketakutan A terdiri lima ekspresi wajah yang
menandakan kontinum perasaan, mulai dari sangat tidak takut sampai
dengan sangat takut. Adapun papan target (Lampiran 8) dibuat untuk
menempelkan target perilaku bersekolah A untuk sesi selanjutnya.
3.3.6.2 Pembicaraan Dengan Orangtua
Pembicaraan dengan orangtua dilakukan untuk menjelaskan
penyebab school refusal pada A serta gambaran intervensi yang akan
dilakukan, meliputi tujuan dan bentuk kegiatannya. Orangtua akan
diberikan informed consent (Lampiran 4) sebagai bentuk persetujuan
untuk mengikuti program intervensi ini. Selain itu, saran-saran untuk
meningkatkan efektivitas intervensi juga akan disampaikan. Berikut
adalah saran-sarannya:
- Memberikan remedial therapy untuk membantu kesulitan akademik
A. Kapasitas inteligensi A yang kurang membuat nya kesulitan
dalam tugas-tugas akademik, terutama hafalan. Hal tersebut
menyebabkan A merasa takut dan akhirnya menolak bersekolah.
Apabila remedial therapy tidak dilakukan, besar kemungkinan A
akan kembali mengalami school refusal setelah intervensi dilakukan.
- Salah satu faktor yang memperkuat perilaku penolakan bersekolah A
adalah sikap orangtua yang memenuhi keinginan A (memberikan
reward) untuk membujuknya bersekolah serta memberikan
kebebasan pada A saat tidak bersekolah. Oleh karena itu, PI
memberikan psikoedukasi mengenai cara memberikan reward yang
tepat, yaitu setelah A menampilkan perilaku yang diharapkan.
Orangua juga diminta membuat contingency contract dengan A
terkait dengan perilaku school refusal-nya.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
33
Universitas Indonesia
Dalam pembicaraan ini PI juga meminta izin kepada orangtua
untuk menemui pihak sekolah guna menjelaskan masalah school refusal
A secara umum, urgensi intervensi, serta pentingnya keterlibatan pihak
sekolah dalam proses intervensi.
3.3.6.3 Pembicaraan dengan Anak
Pembicaraan dengan anak akan dilakukan untuk memberikan
gambaran pelaksanaan intervensi. PI akan membuat kesepakatan dengan
A mengenai perilaku yang diharapkan dari A serta hadiah yang akan
didapatkannya apabila ia berhasil mencapai target yang ditetapkan. Anak
juga akan diberikan kontrak kegiatan (Lampiran 5) yang berisi tujuan
intervensi, jumlah sesi dan target yang diharapkan pada setiap sesi,
aturan pemberian token, serta back-up reinforcer yang dapat ditukarkan
oleh A. Kontrak kegiatan ini bermanfaat untuk memberikan pemahaman
mengenai aturan dan konsekuensi serta menjaga komitmen A dalam
mengikuti intervensi ini.
3.3.6.4 Pembicaraan dengan Pihak Sekolah
Pembicaraan dengan pihak sekolah harus dilakukan karena setting
dalam intervensi ini adalah sekolah. Tujuan pembicaraan ini adalah
memberi gambaran singkat mengenai masalah school refusal A secara
umum, urgensi intervensi, serta pentingnya keterlibatan pihak sekolah
dalam proses intervensi. PI menjelaskan prosedur intervensi yang akan
dilakukan serta peran serta guru dalam intervensi tersebut.
3.3.7 Tahap Pelaksanaan Program
Berdasarkan hasil pemeriksaan, perilaku school refusal A disebabkan
oleh ketakutannya terhadap pelajaran-pelajaran yang sering memberikan tugas
hafalan, yaitu :
(1) Bahasa Inggris
(2) Agama
(3) Seni Budaya Keterampilan (SBK)
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
34
Universitas Indonesia
Akan tetapi A bukan hanya menolak ketiga pelajaran tersebut, namun juga
seluruh pelajaran di sekolah karena ia telah absen dari sekolah selama 3
bulan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dicapai oleh A untuk
menampilkan perilaku bersekolah adalah kesediaan untuk masuk sekolah.
Pada awal intervensi, exposure akan difokuskan pada membawa A ke
lingkungan sekolah secara bertahap (berjalan-jalan di pekarangan, menyusuri
koridor sekolah, masuk ke ruangan kelas 4).
Setelah A tidak merasa takut berada di lingkungan sekolah, exposure
akan difokuskan pada guru. Secara bertahap A akan dihadapkan pada wali
kelas dan guru-guru mata pelajaran yang ia takuti di luar setting belajar.
Exposure akan dilakukan dalam bentuk guru mengajak A mengobrol ringan
tanpa membahas masalah school refusal A. Hal ini penting dilakukan agar A
lebih nyaman menghadapi guru-guru tersebut dalam setting belajar. Selama
exposure terhadap guru, PI akan mendampingi A.
Target akhir dari intervensi ini adalah A mau mengikuti semua
pelajaran, termasuk pelajaran yang ditakuti (Bahasa Inggris, Agama, SBK).
Secara bertahap A akan dihadapkan pada pelajaran yang paling ia sukai
sampai yang paling ia hindari. Exposure dilakukan dengan cara A mengikuti
pelajaran yang ia pilih berdasarkan jadwal pelajaran hari itu dan jumlah
pelajaran yang harus diikuti akan meningkat pada setiap sesi. Oleh karena
jumlah mata pelajaran berbeda tiap harinya, maka peningkatan jumlah
pelajaran yang harus diikuti A dihitung dalam bentuk prosentase.
Berikut adalah hirarki stimulus yang akan dihadapkan pada A secara
bertahap, dengan no 9 adalah stimulus yang paling mudah dilakukan
sedangkan no 1 adalah yang paling sulit.
(1) Mengikuti pelajaran Bahasa Inggris di kelas
(2) Mengikuti pelajaran Agama di kelas
(3) Mengikuti pelajaran SBK di kelas
(4) Berinteraksi dengan guru Bahasa Inggris/SBK
(5) Berinteraksi dengan guru agama
(6) Mengikuti pelajaran selain Bahasa Inggris, agama, dan SBK di kelas
(7) Berinteraksi dengan wali kelas
Pelajaran yang paling
ditakuti oleh A
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
35
Universitas Indonesia
(8) Menyusuri koridor kelas 4-6 dan kantin
(9) Berjalan-jalan di pekarangan sekolah dan koridor kelas 1-3
Sebelum exposure terhadap hirarki stimulus dilakukan, PI akan
mengajarkan teknik relaksasi dan menjelaskan manfaatnya kepada A. Teknik
relaksasi yang akan dilatihkan pada A adalah:
- Diaphragmatic Breathing
Pertama-tama, A diminta duduk dalam posisi yang nyaman sambil
meletakkan tangan di perut dan menutup mata. Kemudian PI mengajarkan A
menarik nafas melalui hidung dengan lambat sambil merasakan pergerakan
perut yang telah terisi udara. A lalu menahan nafas sekitar 3-5 detik
kemudian menghembuskannya dengan perlahan melalui hidung.
- Muscle Relaxation
PI meminta A membayangkan sedang menggenggam jeruk di kedua
tangannya. Kemudian jeruk tersebut akan diperas sampai semua airnya
keluar dengan cara mengepalkan jari erat-erat. Setelah itu secara perlahan
kepalan tangan dibuka dan dilemaskan. Untuk mempermudah latihan, alat
bantu berupa mainan bola kecil akan digunakan sebagai representasi jeruk.
Pada sesi relaksasi (sesi R1-R2), sistem token belum diberlakukan, apabila
A berhasil mencapai target pada sesi relaksasi, hadiah berupa stiker tokoh kartun
akan langsung diberikan. Setelah A mampu melakukan teknik relaksasi dengan
benar (sesi R1 - R2), tahap exposure akan dimulai. Tahap ini terdiri dari 10 sesi
(sesi E1 - E10). Sebelum berangkat sekolah PI akan mengajak A mengukur
tingkat ketakutannya dengan menggunakan gambar emosi yang mewakili
perasaan sangat tidak takut, tidak takut, biasa, takut, dan sangat takut (Lampiran
6). Setelah itu PI mengajak A melakukan relaksasi seperti yang sudah diajarkan
sebelumnya.
Pada setiap sesi, terdapat target yang harus dicapai oleh A. Apabila target
tidak tercapai, maka target tersebut akan diulang pada sesi berikutnya sampai
tercapai. Sementara itu, apabila A berhasil melampaui target yang ditetapkan,
maka target selanjutnya akan ditingkatkan. Berikut adalah tabel rancangan
kegiatan sesi:
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
36
Universitas Indonesia
Tabel 3.4 Rancangan Kegiatan Sesi
Sesi Perkiraan
Pelaksanaan
Kegiatan Target Reinforcement
R1 Kamis, 19
Juli 2012
- Bermain dengan PI
- Latihan relaksasi
(Diaphragmatic
Breathing)
Mampu
mempraktekan
teknik relaksasi
tanpa prompt
dengan benar
Stiker tokoh
kartun
R2 Jumat, 20
Juli 2012
- Bermain dengan PI
- Latihan relaksasi
(Muscle Relaxation)
Mampu
mempraktekan
teknik relaksasi
tanpa prompt
dengan benar
Stiker tokoh
kartun
E1 Senin, 23
Juli 2012
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Relaksasi
- Exposure terhadap
sekolah
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Bermain dengan PI
(bermain kartu)
- Berjalan-jalan
di pekarangan
sekolah
- Menyusuri
koridor kelas
1-3 dan 4-6
- Berespon
terhadap wali
kelas
Uang jajan
3 token
(stiker bola)
E2 Selasa, 24
Juli 2012
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Relaksasi
- Exposure terhadap
sekolah
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Bermain dengan PI
(ular tangga)
- Mengikuti 1
dari 5
pelajaran
- Berespon
terhadap Wali
Kelas
Uang jajan
3 token
(stiker bola)
E3 Rabu, 25
Juli 2012
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Relaksasi
- Exposure terhadap
sekolah
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Bermain dengan PI
(monopoli)
- Mengikuti 2
dari 6
pelajaran
- Berespon
terhadap guru
agama
Uang jajan
3 token
(stiker bola)
Penukaran token
E4 Kamis, 26
Juli 2012
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Relaksasi
- Exposure terhadap
sekolah
- Mengisi self-report
- Mengikuti 3
dari 4
pelajaran
- Berespon
terhadap guru
agama
Uang jajan
3 token
(stiker bola)
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
37
Universitas Indonesia
tingkat ketakutan
- Bermain dengan PI
(membuat kliping
pemain bola)
E5 Jumat, 27
Juli 2012
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Relaksasi
- Exposure terhadap
sekolah
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Bermain dengan PI
(halma)
- Mengikuti 4
dari 4
pelajaran
- Berespon
terhadap guru
Bahasa
Inggris/SBK
Uang jajan
3 token
(stiker bola)
E6 Senin, 30
Juli 2012
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Relaksasi
- Exposure terhadap
sekolah
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Bermain dengan PI
(kartu)
- Mengikuti 4
dari 4
pelajaran
- Berespon
terhadap guru
inggris/SBK
Uang jajan
3 token
(stiker bola)
Penukaran token
E7 Selasa, 31
Juli 2012
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Relaksasi
- Exposure terhadap
sekolah
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Bermain dengan PI
(monopoli)
- Mengikuti 5
dari 5
pelajaran
Uang jajan
3 token
(stiker bola)
E8 Rabu, 1
Agustus
2012
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Relaksasi
- Exposure terhadap
sekolah
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Bermain dengan PI
(ular tangga)
- Mengikuti 6
dari 6
pelajaran
Uang jajan
3 token
(stiker bola)
E9 Kamis, 2
Agustus
2012
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Relaksasi
- Exposure terhadap
sekolah
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Mengikuti 4
dari 4
pelajaran
Uang jajan
3 token
(stiker bola)
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
38
Universitas Indonesia
- Bermain dengan PI
(halma)
Penukaran token
E10 Jumat, 3
Agustus
2012
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Relaksasi
- Exposure terhadap
sekolah
- Mengisi self-report
tingkat ketakutan
- Bermain dengan PI
(balap mobil)
- Mengikuti 4
dari 4
pelajaran
Uang jajan
Sesi R1 – R2 dan E1 - E5 akan dijalankan oleh PI dimana PI akan
mendampingi A selama di sekolah. Sementara itu mulai sesi E6 – E10, PI akan
mendampingi A di pagi hari sebelum masuk sekolah dan kembali menemuinya
setelah sekolah usai untuk membahas pencapaian target pada hari tersebut.
Apabila A berhasil mencapai target yang telah ditentukan, ia akan memperoleh
token dari PI. Adapun pada sesi ke-12, A sudah tidak mendapatkan token namun
ia tetap berhak memperoleh uang jajan.
3.3.8 Reinforcement
Pada setiap sesi, reinforcement yang diberikan berupa social reinforcer
(pujian) dan possessional reinforcer (uang jajan serta backup reinforcer
berdasarkan jumlah token). Pertimbangan memilih uang jajan sebagai
reinforcement adalah karena dalam 1 bulan terakhir orangtua telah mengurangi
uang jajan A apabila ia tidak bersekolah. Selain itu, PI akan memberikan 3 buah
token apabila A mencapai target dalam satu sesi (Gambar papan token terlampir
pada Lampiran 7). Penukaran token dengan back-up reinforcer dilakukan
sebanyak tiga kali, yaitu setelah sesi E3, E6, dan E9. Berikut adalah ketentuan
back-up reinforcer untuk A:
o 3 token : mainan kartu / mobil-mobilan kecil / 1 buah cd play station
o 6 token : Mobil-mobilan sedang / bola / buku koleksi kartu
o 9 token : baju bola / mobil-mobilan besar (remote control car) / jalan-jalan
dengan keluarga
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
39
Universitas Indonesia
3.3.9 Evaluasi dan Follow Up
Evaluasi dilakukan untuk mengukur efektivitas intervensi yang telah
dilakukan dengan mengacu pada seberapa besar perubahan perilaku bersekolah
yang ditampilkan oleh partisipan. Pada penelitian ini evaluasi diukur dengan cara
sebagai berikut:
- Membandingkan perilaku bersekolah A pada saat baseline dan setelah
intervensi berakhir
- Membandingkan hasil kuesioner CBCL sebelum dan setelah intervensi
diberikan
- Membandingkan hasil Draw A Man (DAM) sebelum dan setelah
intervensi diberikan
Sementara itu follow up akan dilakukan seminggu setelah intervensi
dihentikan untuk melihat apakah perilaku bersekolah A tetap bertahan.
3.3.10 Indikator Keberhasilan Program
Indikator keberhasilan dari program intervensi ini adalah:
- Program intervensi dapat dilaksanakan sesuai dengan perencanaan
- A mampu mencapai target perilaku bersekolah di sesi akhir
- A mampu mempertahankan perilaku bersekolah saat follow-up dilakukan
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
BAB 4
PELAKSANAAN DAN HASIL INTERVENSI
4.1 Persiapan Intervensi
4.1.1 Pembicaraan dengan Orangtua
Pembicaraan dengan orangtua dilakukan sebanyak dua kali di klinik
psikologi, yaitu pada tanggal 29 Juni 2012 dan 9 Juli 2012. Berikut adalah hal-
hal yang telah disepakati pada pembicaraan tersebut:
- Orangtua memberikan izin kepada A untuk mengikuti intervensi in vivo
desensitization dengan PI
- Orang setuju untuk memberikan remedial therapy bagi A dan akan
dimulai setelah intervensi IVD selesai dilaksanakan
- Orangtua setuju untuk membangunkan A pukul 5.30 setiap pagi untuk
membentuk rutinitas bersekolah
- Orangtua sepakat untuk memberikan konsekuensi kepada A apabila ia
menolak bersekolah, yaitu dengan:
Tidak mendapat uang jajan
Tidak boleh menonton televisi dan bermain selama jam sekolah
berlangsung
4.1.2 Pembicaraan dengan Anak
Pembicaraan dengan anak dilakukan pada tanggal 18 Juli 2012 dan 19
Juli 2012. Awalnya A tidak mau mendengarkan PI, ia justru menutup telinga
dan menyalakan musik di handphone. PI berusaha mempertinggi volume dan
tetap menjelaskan tentang intervensi. Hal itu dilakukan karena berdasarkan
observasi sebelumnya A ternyata tetap menyimak perkataan orang lain
walaupun ia terlihat tidak peduli. Sampai akhir pembicaraan, A tidak
memberikan respon apapun. Akan tetapi pada malam harinya ibu mengabari
bahwa A mengatakan ingin bersekolah lagi dengan ditemani PI. Oleh karena
itu pada keesokan harinya PI melakukan pembicaraan kedua dengan A
mengenai prosedur intervensi. A terlihat lebih bersemangat setelah PI
menunjukkan papan skor (papan token) dan stiker bola yang akan ia dapatkan
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
41
Universitas Indonesia
ketika kegiatan intervensi. Ia juga menandatangani kontrak kegiatan sebagai
bentuk kesepakatan.
4.1.3 Pembicaraan dengan Sekolah
Pembicaraan dengan pihak sekolah dilakukan pada tanggal 16 Juli
2012. PI melakukan pembicaraan dengan kepala sekolah, wali kelas, serta guru
Bahasa Inggris dan Agama. Berikut adalah hal-hal yang telah disepakati pada
pembicaraan tersebut:
- A mengulang kelas empat
- Sekolah memaklumi apabila A mengikuti pelajaran secara bertahap
- Wali kelas akan memasangkan tempat duduk A dengan teman dekatnya
- Guru sepakat untuk memberi keringanan pada tugas-tugas hafalan A, yaitu
dengan tidak meminta A melakukannya di depan teman, namun hanya
berdua dengan guru
- Guru memaklumi kesulitan akademik A sampai nanti ia mengikuti
remedial therapy
4.2 Pelaksanaan Intervensi
4.2.1 Jumlah Sesi Intervensi
Jumlah sesi terapi yang dilaksanakan adalah 17 sesi, yang terdiri dari
dua sesi latihan relaksasi dan 15 sesi exposure terhadap sekolah (3 minggu
sekolah).
4.2.2 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Intervensi berlangsung sejak tanggal 20 Juli 2012 hingga 10 Agustus
2012. Sesi pelatihan relaksasi dilakukan di rumah A sedangkan sesi exposure
dilakukan di sekolah.
Sesi R1
Hari/Tanggal : Jumat, 20 Juli 2012
Waktu : 09.35 – 10.05
Setting : Rumah klien
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
42
Universitas Indonesia
Kegiatan : Latihan relaksasi
Target : A mampu mempraktekan teknik relaksasidiaphragmatic
breathing denganbenar tanpa prompt
Hasil & Reward : A mampu mempraktekan teknik relaksasi diaphragmatic
breathing dengan benar tanpa prompt, memperoleh 1
lembar stiker
Sebelum kegiatan, PI memberitahu kegiatan sesi hari ini pada A, yaitu
bermain selama 15 menit kemudian latihan relaksasi selama 20 menit. Selama
bermain A terlihat bersemangat membuat bangunan dari lego namun ketika PI
memberitahu bahwa waktu bermain sudah selesai, A cenderung mengulur-ulur
waktu dan tidak langsung membereskan mainan. Pada awal latihan relaksasi, A
bersikap kurang kooperatif dan tidak mau mendengarkan penjelasan PI. Ia
menutup kuping sambil tertawa. PI mengatakan bahwa PI tidak suka karena A
tidak mau mendengarkan PI. Kegiatan lalu dihentikan selama 5 menit.
PI meminta ibu memanggil beberapa teman A untuk datang ke rumah
A. Setelah dua orang teman A datang (K dan V), PI mengajak mereka bermain
lego di dekat A. A hanya diam dan mengamati PI, K, dan V bermain. PI lalu
bertanya apa yang ditakuti oleh K dan V kemudian mengajak mereka latihan
relaksasi untuk mengurangi rasa takut. A tidak berespon ketika PI memintanya
ikut latihan, namun ia sesekali melirik ke arah PI dan teman-teman. Pada saat
K dan V tertawa karena perut mereka membesar saat menarik nafas, A tiba-tiba
berkata, “Ah, gue juga bisa. Liat deh perut gue juga gede.” Setelah itu, A
bersikap lebih kooperatif dengan mau mengikuti petunjuk PI dalam berlatih
relaksasi. Setelah berlatih kurang lebih 10 menit, A mampu melakukan
relaksasi tanpa prompt apapun dari PI. Di akhir sesi A, K, dan V memperoleh
masing-masing 1 buah stiker.
Sesi R2
Hari/Tanggal : Sabtu, 21 Juli 2012
Waktu : 10.00 – 10.30
Setting : Rumah klien
Kegiatan : Latihan muscle relaxation
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
43
Universitas Indonesia
Target : A mampu mempraktekan teknik muscle relaxation dengan
benar tanpa bantuan/prompt
Hasil & Reward : A mampu mempraktekan teknik muscle relaxation dengan
benar tanpa bantuan/prompt, memperoleh 1 lembar stiker
Pada sesi kedua, PI kembali melibatkan K dan V. Sebelum sesi dimulai,
PI memberitahu kegiatan hari ini, yaitu bermain ular tangga 1 kali kemudian
latihan relaksasi selama 20 menit. PI juga menjelaskan harapan PI yaitu A, K,
dan V mau mendengarkan dan mengikuti instruksi PI. Latihan relaksasi
dimulai dengan PI meminta mereka memejamkan mata dan membayangkan
sedang mengenggam jeruk di kedua tangannya.A berespon dengan
mengatakan, “ah gak ada jeruknya, boong-boongan” sambil tertawa sementara
K dan V bersikap kooperatif. Setelah PI memuji K dan V karena mengikuti
instruksi, A akhirnya ikut memejamkan mata walaupun sambil tertawa.
Pada latihan relaksasi kedua, PI menggunakan alat bantu bola kecil
sebagai representasi jeruk. Akan tetapi A justru memainkan bola tersebut
dengan melemparkannya ke atas berkali-kali. Bola itu akhirnya disimpan dan
latihan relaksasi dilakukan tanpa menggunakan alat bantu. Setelah berlatih 15
menit, A mampu melakukan teknik muscle relaxation tanpa bantuan. Ia
mengatakan lebih mudah melakukan teknik diagphramatic breathing
dibandingkan muscle relaxation. Waktu 5 menit kemudian akhirnya digunakan
untuk mengulang latihan diagphramatic breathing.
Sesi E1
Hari/Tanggal : Senin, 23 Juli 2012
Waktu : 06.30 – 11.45
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Berjalan-jalan di pekarangan sekolah, menyusuri koridor
kelas 1-3 dan 4-6, berespon terhadap wali kelas
Hasil & Reward : Berjalan-jalan di pekarangan sekolah, menyusuri koridor
kelas 1-3 dan 4-6, berespon terhadap wali kelas (senyum,
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
44
Universitas Indonesia
mengangguk, membelikan minuman), mengikuti 2 dari 4
mata pelajaran (PKN dan SBK)
Di pagi hari A tidak menunjukkan masalah perilaku. Ia mau
dibangunkan dan dibawa ke kamar mandi oleh ibu. Selama perjalanan ke
sekolah A diam dan menunduk. Ketika sampai di sekolah pada pukul 06.20, ia
tidak langsung masuk melainkan tetap duduk di motor. PI mengajak A duduk
di mushola yang terletak di halaman depan sekolah dan menanyakan perasaan
A lewat gambar self-report tingkat ketakutan. A menunjuk gambar “sangat
tidak takut” dan menolak melakukan relaksasi. Walaupun demikian, A terlihat
menarik nafas panjang mengikuti PI yang sedang mempraktekan relaksasi.
Tiga puluh menit kemudian, A bersedia diajak ke kantin SD 07 dengan
menyusuri koridor kelas 1-3. Ketika A sedang di kantin, wali kelas datang dan
menyapanya.A tampak malu bertemu dengan wali kelas, terlihat dari
perilakunya yang memalingkan wajah dan tidak menjawab sapaan guru namun
tetap tersenyum.
Pada pukul 08.10, PI mengajak A melihat tulisan-tulisan yang tertera di
dinding koridor kelas 4-6. Selama berjalan, A tidak menoleh ke dalam kelas
dan hanya menatap ke arah depan. PI dan A kemudian duduk di halaman
samping sekolah sambil melakukan relaksasi sebelum kembali ke kantin
(menyusuri koridor kelas 4-6 dan kelas 1-3). A mengatakan ingin membelikan
minuman untuk wali kelasnya yang memang tidak berpuasa namun tidak
berani menyerahkan minuman tersebut. Ia mendampingi PI menyerahkan
minuman dan mengobrol dengan wali kelas. Ketika wali kelas bertanya apakah
A mau diajar olehnya, A mengangguk sambil memalingkan wajah dan
tersenyum.
Pada pukul 08.30, PI mengobrol dengan salah satu teman A (murid
kelas 5) di depan ruang kelas 4 (pintu kelas terbuka). A mau bergabung dan
ikut mengobrol, sesekali ia tampak tertawa. Ketika waktu istirahat, PI menyapa
teman-teman kelas 4 yang merupakan tetangga A dan mempersilakan A untuk
bermain dengan mereka. Awalnya A diam saja, namun perlahan-lahan ia
mengikuti teman-teman menuju lapangan untuk bermain bola.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
45
Universitas Indonesia
Sebenarnya setelah jam istirahat A mau masuk ke kelas bersama
temannya. Akan tetapi ternyata pelajaran selanjutnya adalah agama. Raut
wajah A tampak tegang ketika bertemu dengan guru agama. PI mengatakan
bahwa hari ini A tidak harus masuk kelas agama jika belum siap. A dan PI lalu
menunggu pelajaran tersebut selesai sambil melakukan relaksasi di kantin.
Setelah pelajaran agama selesai, A mau diajak masuk ke dalam kelas dan
mengikuti pelajaran PKN. A bahkan mau mengikuti pelajaran SBK karena
pelajaran tersebut diajar oleh wali kelas. Di akhir sesi, ketika diberikan self-
report tingkat ketakutan A menunjuk bagian “sangat tidak takut”.
PI memberitahu bahwa A telah melampaui target sesi 1 dan memujinya
dengan mengatakan PI bangga dan senang karena A sudah berani ke sekolah
dan ikut 2 mata pelajaran. PI kemudian menjelaskan bahwa target untuk sesi
selanjutnya ditingkatkan menjadi mengikuti 3 mata pelajaran. Awalnya A
mengatakan besok ia ingin izin saja karena ada pelajaran Bahasa Inggris.
Setelah ditegaskan oleh PI bahwa ia tidak harus memilih pelajaran Bahasa
Inggris, A bersedia masuk esok hari dan memilih pelajaran bahasa indonesia,
IPA, dan PLBJ untuk diikuti.
Sesi E2
Hari/Tanggal : Selasa, 24 Juli 2012
Waktu : 06.30 – 11.45
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 3 dari 5 mata pelajaran, berespon terhadap wali
kelas
Hasil & Reward : Mengikuti 3 dari 5 mata pelajaran (Olahraga, IPA, PLBJ),
berespon terhadap wali kelas (menyalami)
A menunjukkan masalah perilaku di pagi hari. Ia sulit dibangunkan dan
mengatakan tidak mau sekolah. Setelah PI mengingatkan bahwa hari ini ia
tidak harus ikut pelajaran Bahasa Inggris, A akhirnya mau berangkat ke
sekolah. Sesampainya di sekolah, PI mengajak A ke mushola dan menunjukkan
gambar emosi, A memilih bagian “sangat tidak takut”. Di mushola PI dan A
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
46
Universitas Indonesia
melakukan relaksasi akan tetapi ia tetap tidak mau masuk ke kelas. Ia baru mau
masuk ke kelas ketika pelajaran pertama (bahasa indonesia) hampir selesai
dengan ditemani sampai ke depan kelas. A menyalami wali kelas kemudian
pergi ke tempat duduknya. Ia ternyata bertahan mengikuti pelajaran
selanjutnya, yaitu olahraga, yang dilaksanakan di dalam kelas. Ketika bel
istirahat, A terlihat bergabung dengan beberapa teman dan bermain bola di
halaman.
Setelah jam istirahat selesai, A hanya berdiri di depan kelas. Ketika
berpapasan dengan guru Bahasa Inggris yang akan masuk ke kelas, A diam
saja dan tidak merespon sapaan guru tersebut. PI lalu mengajak A menunggu
pelajaran Bahasa Inggris selesai di kantin. A terlihat gelisah, ia mencoret-coret
buku dan memainkan tali sepatunya berkali-kali. A menolak melakukan
relaksasi namun ia terlihat menarik nafas panjang beberapa kali. Setelah
pelajaran Bahasa Inggris selesai, A mau kembali ke kelas dan mengikuti 2
pelajaran selanjutnya, yaitu IPA dan PLBJ sampai sekolah selesai. Di akhir sesi
A menunjuk bagian “sangat tidak takut” pada gambar self-report tingkat
ketakutan.
PI memberitahu bahwa A berhasil mencapai target pada hari ini dan
menjelaskan target yang harus dicapai esok hari, yaitu mengikuti 4 dari 6 mata
pelajaran. A memilih pelajaran IPS, matematika, PLBJ, dan Pramuka.
Sesi E3
Hari/Tanggal : Rabu, 25 Juli 2012
Waktu : 06.30 – 11.45
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 4 dari 6 mata pelajaran, berespon terhadap guru
agama
Hasil & Reward : Mengikuti 6 dari 6 mata pelajaran (IPS, seni tari,
matematika, PLBJ, pramuka, bahasa indonesia), berespon
terhadap guru agama (menyalami, mengangguk, tersenyum)
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
47
Universitas Indonesia
A sampai di sekolah pada pukul 06.15 tanpa menunjukkan masalah
perilaku di pagi hari. Ia langsung bangun, mandi, dan sarapan. Sesampainya di
sekolah, A diam beberapa detik di atas motor. A memilih bagian “sangat tidak
takut” ketika ditunjukkan gambar self-report tingkat ketakutan. Di mushola PI
dan A melakukan relaksasi selama tiga menit. Kemudian A meminta ditemani
sampai ke depan kelas. Selama berjalan di koridor sekolah, A memilih jalan
menyusuri tembok dengan langkah perlahan. Akan tetapi ketika melihat teman-
temannya, A langsung masuk ke kelas, meletakkan tas, dan mendekati mereka
walaupun tidak ikut mengobrol.
Setelah pelajaran IPS selesai, A menemui PI dan ibu dan mengatakan
ingin ikut pelajaran selanjutnya (seni tari) walaupun tidak termasuk dalam
pelajaran yang ingin diikuti. Ia bertahan di kelas sampai jam istirahat pertama
dan telah mencapai target mengikuti 3 mata pelajaran (IPS, seni tari,
matematika). Ketika istirahat, A langsung menemui ibu dan meminta jajan.
Guru agama datang menghampiri A dan menyapanya. A diam saja dan tidak
membalas sapaan tersebut. Ketika guru mengulurkan tangan kepada A, A balas
menyalaminya. Guru lalu memujinya dengan mengatakan, “wah, ibu senang
bisa salaman lagi sama A.” Ia tetap diam dan memalingkan wajah. A lalu
bermain sebentar di kelas kemudian keluar dengan salah satu temannya untuk
melihat stand Bank yang sedang diadakan di halaman sekolah.
A bertanya jadwal pelajaran setelah istirahat. Ketika PI mengatakan
PLBJ, ia tersenyum dan mengatakan, “ah gampil”. A masuk kelas dan mampu
bertahan mengikuti pelajaran sampai sekolah usai.
Ketika pulang, PI dan A menemui guru agama untuk berbincang-
bincang. A berdiri di samping PI dan guru yang sedang mengobrol tentang
puasa. Ketika guru bertanya apakah A kuat puasa sampai maghrib, A
mengangguk sambil menatap ke samping. A tersenyum saat guru agama
memujinya dengan mengatakan A hebat, kalau anak sholeh memang harus
tahan godaan makan waktu puasa.
Di akhir sesi PI memberitahu bahwa A melampaui target hari ini karena
telah berhasil mengikuti 6 pelajaran di kelas dan memberi pujian untuknya. Ia
menunjuk “sangat tidak takut” pada gambar self-report tingkat ketakutan. A
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
48
Universitas Indonesia
tertawa ketika menerima 3 buah token dan langsung menempelkannya di papan
skor. Oleh karena selama tiga hari A berhasil mengumpulkan 9 buah stiker, ia
berhak memilih salah satu dari hadiah yang telah ditentukan. A pun memilih
mainan mobil remote-control.
Ketika PI memberitahu jadwal pelajaran untuk esok hari, yaitu senam
bersama, agama, IPA, dan SBK, A merespon dengan ucapan “ah, ada agama.”
PI mengatakan bahwa karena hari ini A mampu mengikuti semua pelajaran,
maka diharapkan besok A juga mampu melakukan hal yang sama. Awalnya A
menolak namun PI menegaskan bahwa untuk memperoleh tiga buah stiker ia
harus mencapai target tersebut.
Sesi E4
Hari/Tanggal : Kamis, 26 Juli 2012
Waktu : 06.30 – 11.45
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 4 dari 4 mata pelajaran, berespon terhadap guru
agama
Hasil & Reward : Mengikuti 4 dari 4 mata pelajaran (senam bersama, agama,
IPA, SBK)
Di pagi hari, A berkali-kali mengatakan tidak mau mengikuti pelajaran
agama. Akan tetapi ia tidak memberontak ketika dimandikan oleh ibu.
Sepanjang perjalanan ke sekolah A diam dan menunduk.
Ketika turun dari motor, A mengatakan ia akan izin pada pelajaran
kedua (agama). PI lalu mengajak A melakukan relaksasi di mushola selama
dua menit dan menegaskan target yang harus dicapai oleh A untuk memperoleh
stiker. A menjawab “bodo amat” dan hal tersebut diabaikan oleh PI. Ia juga
menolak memilih satu gambar pada self-report tingkat ketakutan. Setelah
keluar dari mushola A tidak langung masuk ke dalam kelas tetapi duduk di
teras mushola. Ia mengatakan akan masuk kelas pada saat bel. Beberapa menit
kemudian, seorang teman A tiba di sekolah dan mengajaknya masuk bersama.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
49
Universitas Indonesia
A tidak langsung mengikuti, namun setelah PI berjalan beberapa langkah
mengikuti teman tersebut A mengikuti dari belakang.
Pada sesi ini, senam bersama tidak dilakukan karena bertepatan dengan
bulan Ramadhan. Wali kelas mengisi dua jam pelajaran pertama dengan
memberikan kegiatan berkelompok untuk siswa. Ketika pembagian kelompok,
A diam dan tidak berinisiatif mencari teman kelompok. A baru mengikuti
kegiatan tersebut setelah teman sebangku mengajaknya. Sesekali ia tampak
mengobrol dengan siswa lain.
A tetap berada di kelas ketika pergantian pelajaran ke agama. Ia
berhasil bertahan mengikuti pelajaran tersebut sampai selesai. Menurut guru
agama, A lebih banyak diam ketika guru menjelaskan dan tidak ikut menjawab
ketika guru memberi pertanyaan pada teman-teman sekelas. Akan tetapi ia ikut
tertawa dengan teman-teman ketika guru agama bercerita. Setelah pelajaran
agama usai, guru agama mendekati A dan memberikan gambar bintang di
bukunya sebagai reward karena ia telah mengikuti pelajaran agama. Pada saat
jam istirahat, A menceritakan bintang tersebut kepada PI dan ibu dengan raut
wajah tersenyum. PI memberikan pujian dengan mengatakan bahwa A berhasil
menunjukkan keberaniannya mengikuti pelajaran agama. Setelah waktu
istirahat selesai, A masuk kelas bersama temannya. Ia berhasil mengikuti dua
pelajaran selanjutnya (IPA dan SBK) sampai bel pulang sekolah.
Ketika di rumah, PI memuji karena A mampu mencapai target hari ini
dan memberikan 3 buah stiker. A memilih gambar “sangat tidak takut” pada
self-report tingkat ketakutan. PI lalu memberitahu target untuk esok hari, yaitu
mengikuti semua pelajaran (4 dari 4 pelajaran). A melihat jadwal pelajaran
untuk esok dan mengatakan, “ah, gancil..”
Sesi E5
Hari/Tanggal : Jumat, 27 Juli 2012
Waktu : 06.30 – 10.30
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
50
Universitas Indonesia
Target : Mengikuti 4 dari 4 pelajaran, berespon terhadap guru
Bahasa Inggris
Hasil & Reward : Mengikuti 4 dari 4 pelajaran (matematika, IPS, olahraga,
PKN)
Sejak pagi hari, A terlihat ceria dan tidak menunjukkan masalah
perilaku. Ia langsung bangun dan mandi sendiri. Di perjalanan A mengatakan
ia senang karena besok akan pergi dan menginap di rumah kakak pertamanya.
Pada sesi ini relaksasi bersama PI tidak dilakukan karena A mau
langsung masuk kelas dengan ditemani oleh ibu sampai depan kelas. Kemudian
ia masuk kelas dan meletakkan tasnya sendiri. A lalu bergabung dengan
beberapa temannya yang sedang mengobrol.
A mengikuti dua pelajaran pertama (matematika dan IPA) tanpa
mengeluh. Pada saat pelajaran IPA ia tampak menyimak dan menghafalkan
nama-nama tulang dengan mengikuti gerakan guru. Ketika istirahat A jajan
bersama dengan dua orang temannya. Pada saat melewati PI dan ibu, A hanya
menoleh namun tidak menghampiri. Beberapa menit kemudian A datang dan
menitipkan jajanannya kepada ibu. Ia bercerita bahwa dua minggu lagi akan
diadakan buka bersama di sekolah dan ia ingin mengikuti kegiatan tersebut.
Pada saat bel masuk berbunyi, A masuk kelas bersama temannya. Ia
mengikuti pelajaran sampai akhir. Ketika melintas di depan kantor, guru
Bahasa Inggris menyapa A dan PI. Guru menanyakan kabar A sambil
mengulurkan tangan. Awalnya A hanya diam dan tidak menyalami guru.
Setelah PI mengatakan “salam dulu A”, ia baru melakukannya. Guru bertanya
apakaha A berpuasa hari ini, A hanya mengangguk kecil sambil memalingkan
muka dan tidak tersenyum. Ia lalu berjalan menuju gerbang sekolah dan
meninggalkan PI serta guru Bahasa Inggris.
Sesampainya di rumah PI menyampaikan bahwa A mencapai target hari
ini dan memujinya. A memberitahu bahwa hari ini ia mendapat PR
matematika. Ia lalu mengerjakan PR tersebut dengan didampingi oleh PI. A
tampak bersemangat mengerjakannya, ia berkali-kali mengatakan bahwa
soalnya mudah. Di akhir sesi, A menunjuk gambar “sangat tidak takut” sambil
berkata “yang inilah” sambil tersenyum.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
51
Universitas Indonesia
Sesi E6
Hari/Tanggal : Senin, 30 Juli 2012
Waktu : 06.30 – 11.45
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 4 dari 4 mata pelajaran, berespon terhadap guru
Bahasa Inggris
Hasil & Reward : Mengikuti 4 dari 4 mata pelajaran (matematika, agama,
PKN, SBK)
A agak sulit dibangunkan dan mengatakan tidak mau bersekolah. Ia
juga menolak untuk mandi. Akan tetapi ketika ibu mengatakan “yaudah, ke
sekolahnya nggak usah mandi,” A meresponnya dengan ucapan “enggak ah,
masa nggak mandi.” Ia tidak memberontak ketika ibu memandikannya.
Selama perjalanan A mengatakan hanya mau ikut pelajaran matematika
dan PKN. Ketika sampai di sekolah ia menolak masuk ke kelas dan memilih
duduk di mushola. PI mengajak A melakukan relaksasi namun ia bersikap
acuh. Ia juga tidak mau menunjuk gambar self-report tingkat ketakutan dan
lebih memilih untuk mengerjakan PR yang akan dikumpulkan esok hari.
Sekitar 15 menit kemudian A perlahan mau masuk ke koridor sambil melihat-
lihat papan komunikasi. A dan PI berpapasan dengan guru kelas 1 yang
menyapa A, ia mau berespon dengan menyalami guru tersebut. Ketika
melewati kantor, PI mengajak A masuk dan menyalami guru-guru, namun A
menolak. Ia terus berjalan menuju ruang kelas 4. Sesampainya di depan kelas
A tidak langsung masuk namun bersandar di dinding dekat pintu kelas yang
terbuka. Akhirnya A mau masuk ke dalam kelas ketika PI mengingatkan target
yang harus dicapai hari ini untuk memperoleh tiga buah stiker. Ia mengikuti
pelajaran pertama, yaitu matematika, sampai bel istirahat berbunyi.
Pada jam istirahat, A bermain petasan dengan beberapa orang
temannya. Ketika bertemu ibu dan PI, A mengatakan bahwa pelajaran
matematikanya sangat mudah. Saat bel berbunyi, A masuk ke kelas dengan
kemauan sendiri dan mengikuti pelajaran agama tanpa menunjukkan
kegelisahan. Selama pelajaran agama A satu kali pergi ke kamar mandi
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
52
Universitas Indonesia
bersama dengan seorang temannya. A tampak tertawa-tawa dengan teman
tersebut. Pada jam istirahat kedua, A menemui ibu dan meminta agar PI dan
ibu pulang lebih dulu karena ia ingin pulang bersama dengan temannya. Oleh
karena itu, rencana exposure berinteraksi dengan guru Bahasa Inggris tidak
dilakukan pada sesi ini.
Ketika sampai rumah, A mengatakan bahwa ia ikut semua pelajaran,
termasuk SBK. A memperlihatkan nilai 10 yang diperolehnya pada pelajaran
SBK dan matematika. Ia menunjuk gambar “sangat tidak takut” pada self-repot
tingkat ketakutan. A tampak senang ketika PI memujinya karena berhasil
mencapai target hari ini. Walau demikian, A mengatakan bahwa esok hari ia
ingin tidak masuk sekolah karena ada pelajaran Bahasa Inggris. PI mengatakan
bahwa A dapat melakukan relaksasi sendiri di dalam kelas selama pelajaran
Bahasa Inggris untuk mengurangi ketakutannya, namun A tetap mengatakan
besok ia tidak mau sekolah. PI mencoba menguatkan A dengan mengatakan
bahwa A sudah berhasil mengatasi ketakutannya dalam pelajaran agama dan
SBK, sehingga ia pasti bisa melakukan hal yang sama pada pelajaran Bahasa
Inggris.
Sesi E7
Hari/Tanggal : Selasa, 31 Juli 2012
Waktu : 06.30 – 11.45
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 5 dari 5 pelajaran
Hasil & Reward : 2 dari 5 (bahasa indonesia, olahraga)
A menunjukkan masalah di pagi hari seperti sulit dibangunkan dan
mengatakan tidak mau sekolah. Ia berkali-kali mengatakan tidak mau ikut
pelajaran Bahasa Inggris. Akan tetapi setelah dimandikan, A bersedia pergi ke
sekolah.
Ketika sampai di sekolah, A menolak masuk ke kelas dan mengikuti
pelajaran pertama (bahasa indonesia). Ia juga tidak mau melakukan relaksasi
bersama PI dan melakukan self-report tingkat ketakutan. Saat itu teman-teman
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
53
Universitas Indonesia
sekelas A sedang mengerjakan tugas berkelompok di halaman. A tidak mau
bergabung dan hanya duduk di teras mushola sambil memperhatikan teman-
temannya. Sekitar 10 menit kemudian, A mau beranjak dan mengikuti teman-
teman yang masuk ke dalam kelas. Ia mengikuti sisa waktu pelajaran bahasa
indonesia sampai selesai. A juga bertahan mengikuti pelajaran olahraga di
dalam kelas. Ia terlihat memperhatikan guru dan meniru gerakan cara
melempar bola kasti yang diperagakan oleh guru.
Pada waktu istirahat, A bermain lari-larian dengan beberapa temannya.
Kemudian ia menghampiri PI dan ibu dan mengatakan tidak mau mengikuti
pelajaran Bahasa Inggris. Ketika bel masuk berbunyi, A tidak bergabung
dengan teman-temannya yang masuk ke kelas melainkan duduk di samping PI
dan ibu. PI mengajaknya melakukan relaksasi untuk menenangkan diri, namun
ia tidak mau mengikuti dan terus mengatakan tidak mau belajar Bahasa Inggris.
PI masuk ke koridor sekolah dan diikuti oleh A. Ketika PI berdiri di dekat
pintu kelas 4, A duduk di lantai sebelah PI.
Guru Bahasa Inggris lewat dan mengajak A masuk namun ia tidak
mengacuhkannya dan menunduk sambil memainkan tali sepatu. Lima menit
kemudian, A mengikuti PI yang beranjak ke dekat jendela kelas. Sesekali ia
melirik ke dalam kelas ketika PI mengomentari materi yang diajarkan oleh
guru. Guru dua kali menghampiri A dan membujuknya ikut belajar di dalam
kelas akan tetapi A selalu menolak.
PI meminta A mengambil buku tulisnya di dalam kelas kemudian ia
boleh keluar lagi. Hal itu dilakukan agar A dapat mengikuti pelajaran Bahasa
Inggris di luar kelas. A justru menyuruh ibu mengambilkan bukunya. Setelah
mendapatkan bukunya, A mau mencatat tulisan guru di papan tulis dari luar
jendela namun ia tidak mau menulis terjemahan kalimat tersebut. A juga tidak
mau mengumpulkannya ke guru untuk dinilai sehingga guru menemui A di
luar kelas dan memberinya bintang. Guru mengatakan A akan memperoleh
bintang lebih banyak jika ia mau melengkapi terjemahan catatan tersebut.
Ketika guru mengatakan bahwa ia senang A mau ikut belajar Bahasa Inggris, A
tetap menunduk dan tidak merespon.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
54
Universitas Indonesia
Walaupun pelajaran Bahasa Inggris sudah selesai, A menolak masuk ke
kelas dan mengikuti pelajaran selanjutnya. Ia hanya berdiri di luar kelas. PI lalu
mengajaknya ke kantin untuk melakukan relaksasi, A pun tampak lebih rileks
ketika berada di kantin. PI beranjak dari kantin dan menuju ke kelas A. Ia
mengikuti dari belakang namun tetap menolak masuk ke dalam kelas. Padahal
saat itu pelajaran yang berlangsung adalah IPA oleh wali kelas. Kemudian PI
dan A menuju kelas namun A tetap tidak mau masuk.
Pada jam istirahat kedua, A tidak bergabung dengan teman-teman
melainkan tetap di kantin bersama PI dan ibu. Setelah istirahat berakhir, A
mengikuti PI ke depan kelas namun ia tetap menolak ikut pelajaran PLBJ di
dalam kelas. Akhirnya PI tetap berada di depan kelas sementara A sesekali
menyimak penjelasan guru dari jendela. Pada saat itu materi yang diajarkan
adalah tentang pabrik kendaraan di Indonesia. A terlihat lebih nyaman
dibandingkan pelajaran sebelumnya, terlihat dari perilakunya yang ikut tertawa
ketika wali kelas mengatakan sesuatu yang lucu. Ia juga menjawab perlahan
dari luar kelas ketika guru mengajukan pertanyaan mengenai pabrik motor dan
mobil pada murid-murid. Pada saat guru menuliskan jawaban-jawabannya di
papan tulis, A bertanya jawaban lainnya pada PI. Ia terlihat mengerutkan
kening ketika berpikir pabrik kendaraan lainnya. Di akhir jam pelajaran guru
memberi PR untuk menuliskan 10 nama pabrik motor dan mobil di indonesia.
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, anak-anak berlomba menjawab pertanyaan
agar dapat pulang. A pun mau masuk kelas dan mengambil tas.
Sesampainya di rumah, A langsung mengerjakan PR PLBJ. Ia lupa
beberapa jawaban yang ditulis guru dan mengatakan ingin ke sekolah lagi
untuk mencatat jawaban PR. Pada self-report tingkat ketakutan, A memilih
gambar “sangat tidak takut”. PI lalu memberitahu bahwa A tidak mencapai
target hari ini karena hanya mengikuti 2 pelajaran. Ia hanya terdiam ketika PI
tidak memberikan stiker untuknya. Akan tetapi PI tetap memberi pujian karena
A mau mengikuti pelajaran Bahasa Inggris di luar kelas dan berharap di
minggu depan A berani untuk belajar Bahasa Inggris di dalam kelas. PI
mengingatkan bahwa A masih berkesempatan mengumpulkan stiker pada hari
Rabu dan Kamis dengan syarat ia harus mencapai target pada dua sesi tersebut.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
55
Universitas Indonesia
Sesi E8
Hari/Tanggal : Rabu, 1 Agustus 2012
Waktu : 06.30 – 11.45
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 6 dari 6 mata pelajaran
Hasil & Reward : Mengikuti 6 dari 6 mata pelajaran (IPS, seni tari,
matematika, PLBJ, pramuka, bahasa indonesia)
Pada pagi hari A sulit dibangunkan dan mengatakan tidak mau
bersekolah. Akan tetapi setelah dimandikan dan dipakaikan seragam, A mau
berangkat ke sekolah. Sesampainya di sekolah A tidak langsung masuk ke
kelas, ia berdiri beberapa menit di depan mushola. Ia menunjuk gambar
“sangat tidak takut” pada self-report tingkat ketakutan. A menolak melakukan
relaksasi dan menuju ke kamar mandi. Setelah keluar dari kamar mandi, A
mengatakan ia kedinginan sambil menelungkupkan tangannya di bahu. Saat itu
cuaca memang sedang mendung. PI mengajak A menggosok-gosokkan kedua
tangan agar lebih hangat. Sekitar 5 menit setelah bel masuk berbunyi, A
mengatakan ia ingin masuk ke kelas. Ia tidak diantar sampai ke depan pintu
kelas seperti biasanya melainkan hanya sampai depan pintu kantor guru. A
mengikuti tiga pelajaran pertama tanpa masalah. Ketika istirahat, A
menghampiri PI dan mengatakan ia sudah bisa ditinggal. Oleh karena itu PI
meninggalkan sekolah dan menemui A di rumah pada siang hari.
Menurut laporan ibu, A mengikuti semua pelajaran pada hari ini. A
menunjukkan raut wajah gembira ketika PI memberikan 3 buah stiker dan
langsung menempelkannya di papan token.Ia mengatakan bahwa besok ia pasti
memperoleh tiga buah stiker sehingga ia bisa memperoleh hadiah yang
diinginkannya. PI lalu memberitahu target esok hari, yaitu mengikuti semua
mata pelajaran. Ketika A mengetahui bahwa besok ada pelajaran agama, ia
mengatakan bahwa ia tidak akan ikut pelajaran tersebut. PI menegaskan bahwa
jika ia mau memperoleh tiga stiker lagi untuk ditukarkan dengan hadiah yang
ia inginkan, maka A harus memenuhi target sesi esok hari.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
56
Universitas Indonesia
Sesi E9
Hari/Tanggal : Kamis, 2 Agustus 2012
Waktu : 06.30 – 11.45
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 4 dari 4 pelajaran pelajaran
Hasil & Reward : Mengikuti 4 dari 4 pelajaran pelajaran (senam bersama,
agama, IPA, SBK)
Pada pagi hari, A mengatakan pada ibu bahwa ia tidak ingin mengikuti
pelajaran agama, namun ibu berusaha mengabaikannya. Walaupun demikian,
A tetap mau berangkat ke sekolah. Sesampainya di sekolah, PI dan A duduk di
dalam mushola selama kurang lebih 3 menit dan melakukan relaksasi. A
memilih “sangat tidak takut” pada gambar self-report tingkat ketakutan.
Kemudian PI mengingatkan target hari ini, namun A kembali mengatakan tidak
mau masuk kelas agama. PI lalu memberitahu bahwa A sudah berani mengikuti
kelas agama sebanyak 2 kali dan di sesi ini A pasti berhasil. A tidak
mengacuhkan perkataan PI namun saat PI mengajaknya ke kelas A mengikuti
dari belakang.
Jam pelajaran pertama (senam bersama) diisi dengan kegiatan
pembagian tempat duduk oleh wali kelas, dimana siswa perempuan
dipasangkan dengan siswa laki-laki. Akan tetapi pasangan duduk A tidak
diubah karena sebelumnya PI dan wali kelas sudah sepakat untuk
menempatkan A dengan teman dekatnya.
Ketika peralihan ke pelajaran agama, A tetap tinggal di kelas dan
berhasil mengikuti pelajaran agama sampai selesai. Menurut guru agama, A
belum tampak aktif di kelas namun ia ikut mencatat penjelasan guru di papan
tulis. Guru juga memberi pujian dan tanda bintang di buku catatan A.
A menghampiri PI dan ibu ketika waktu istirahat. Ia tersenyum ketika
PI memujinya karena berhasil mengikuti pelajaran agama. Akan tetapi A lalu
mengatakan bahwa ia ingin izin di pelajaran terakhir (SBK), PI pun
mengabaikannya. Di akhir waktu istirahat, A mengatakan akan pulang naik
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
57
Universitas Indonesia
motor bersama temannya sehingga PI tidak perlu menunggunya sampai
sekolah selesai.
Sesampainya di rumah, ibu mengatakan bahwa A mengikuti semua
pelajaran sampai selesai. A juga menunjukkan materi SBK yang dipelajarinya
hari ini. Pada self-report tingkat ketakutan, A memilih gambar “sangat tidak
takut”. PI lalu memberikan tiga buah stiker karena A berhasil mencapai target,
kemudian A menentukan hadiah yang ingin ia dapatkan. Ia lalu memilih hadiah
mobil-mobilan untuk ditukarkan dengan stiker yang berhasil ia kumpulkan.
Sesi E10
Hari/Tanggal : Jumat, 3 Agustus 2012
Waktu : -
Setting : -
Kegiatan : Exposure dan Persiapan Tambahan Sesi
Target : Mengikuti 4 dari 4 mata pelajaran
Hasil & Reward : A izin tidak masuk sekolah karena kelelahan
Pada sesi ini A tidak masuk sekolah karena di malam sebelumnya ia
ikut mengantarkan tante yang melahirkan di puskesmas. Sebenarnya ibu
melarang A ikut ke Puskesmas karena khawatir proses bersalinnya lama
sehingga A kelelahan dan tidak masuk sekolah. Akan tetapi ayah tetap
memberi izin kepada A. Ternyata A baru sampai di rumah pada waktu sahur
dan setelahnya ia tertidur kelelahan.
PI menemui guru Bahasa Inggris untuk membicarakan sesi exposure
tambahan pelajaran Bahasa Inggris. Penambahan sesi exposure ini didasari
pertimbangan A belum mencapai target akhir, yaitu mengikuti pelajaran
Bahasa Inggris di dalam kelas. Jumlah kesempatan exposure Bahasa Inggris
memang lebih sedikit dibandingkan SBK dan agama, yaitu hanya dua kali
dalam dua minggu intervensi. Oleh karena itu, PI memutuskan untuk
menambah sesi exposure Bahasa Inggris sebanyak tiga kali yang akan
dilakukan sepulang sekolah.
Awalnya guru keberatan namun setelah diberi penjelasan mengenai
urgensi sesi tambahan ini, guru pun setuju. Guru Bahasa Inggris hanya dapat
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
58
Universitas Indonesia
memberikan sesi tambahan exposure Bahasa Inggris sebanyak dua kali, yaitu
pada hari Senin dan Kamis karena pada hari lainnya ia memberikan les. Durasi
masing-masing sesi adalah 30 menit.
PI meminta bantuan ibu untuk mencari satu orang teman sekelas A
yang bersedia menemani A mengikuti sesi Bahasa Inggris. Hal tersebut
didasarkan pertimbangan bahwa A lebih berani dan kooperatif apabila ada
teman yang mendampingi. Izin orangtua teman A juga telah diperoleh untuk
mengikuti kegiatan ini.
Pembicaraan mengenai rencana penambahan sesi Bahasa Inggris juga
dilakukan dengan A. A bersedia mengikuti sesi exposure Bahasa Inggris
setelah dijelaskan bahwa ia akan ditemani oleh seorang temannya serta sistem
token akan tetap diberlakukan.
Sesi E11
Hari/Tanggal : Senin, 6 Agustus 2012
Waktu : 06.30 – 12.15
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 4 dari 4 mata pelajaran dan 1 sesi exposure
Bahasa Inggris sepulang sekolah
Hasil & Reward : Mengikuti 4 dari 4 mata pelajaran (matematika, agama,
PKN, SBK) dan 1 sesi exposure Bahasa Inggris sepulang
sekolah
Pada pagi hari A sulit dibangunkan dan mengatakan tidak ingin
mengikuti sesi tambahan Bahasa Inggris. Ia juga menolak mandi dan tidak
beranjak dari tempat tidur. Sekitar 10 menit kemudian ibu kembali mengajak A
mandi dan kali ini ia tidak menolak. A sampai di sekolah pada pukul 06.20,
lalu PI dan A melakukan kegiatan relaksasi bersama-sama di mushola. Setelah
melakukan relaksasi A tetap tidak beranjak ke kelas walaupun beberapa teman
mencoba mengajaknya. Sekitar 10 menit setelah bel masuk berbunyi A
bersedia ke kelas setelah PI mengatakan akan menemaninya di sesi exposure
Bahasa Inggris nanti.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
59
Universitas Indonesia
A mengikuti pelajaran matematika tanpa menunjukkan masalah
perilaku, demikian juga dengan pelajaran agama dan PKN setelah istirahat
pertama. Akan tetapi ketika istirahat kedua A menemui PI serta ibu dan
mengatakan ingin izin pulang. PI mengingatkan bahwa A harus mencapai
target yang telah ditetapkan untuk memperoleh stiker serta A juga akan
ditemani oleh PI pada saat sesi exposure Bahasa Inggris. Ketika bel masuk
berbunyi A tidak langsung masuk kelas. Ia mengikuti PI dan ibu ke kantin.
Setelah ditemani sampai depan kelas, A baru mau masuk dan bergabung
dengan teman-temannya.
Pada saat bel pulang sekolah berbunyi, PI menemui A dan K
(temannya) di kelas dan mengingatkan bahwa sesi tambahan Bahasa Inggris
akan diadakan. PI, A, dan K melakukan relaksasi bersama-sama sekitar 3
menit. PI juga mengingatkan bahwa apabila A dan K mengikuti sesi Bahasa
Inggris sampai selesai (30 menit), mereka akan memperoleh stiker sebagai
reward.
PI dan guru Bahasa Inggris telah sepakat bahwa kegiatan sesi kali ini
adalah bermain ular tangga. Pelajaran Bahasa Inggris yang disisipkan adalah
menghitung titik di dadu menggunakan Bahasa Inggris. Materi tersebut dipilih
dengan pertimbangan bahwa A sudah mampu menyebut 1-10 dalam Bahasa
Inggris sehingga ia tidak kesulitan dalam mengikutinya. Pada awal kegiatan A
tampak belum nyaman, ia duduk dengan tegak dan tidak terlalu antusias dalam
bermain. Berbeda dengan A, K tampak lebih nyaman dan antusias.
Dalam permainan ini ada setumpuk pertanyaan dan tantangan yang
harus dilakukan. Saat guru mendapat tantangan untuk bernyanyi “balonku”
dengan mengganti semua huruf vokal menjadi i, A tersenyum untuk pertama
kalinya. Setelah itu ia pun tampak lebih nyaman. Sesekali ia berseru senang
saat mendapat angka besar. Ketika bidak K turun jauh, A bersorak gembira
karena bidaknya berada paling atas. Walaupun dalam sesi ini A tidak pernah
menginisiasi interaksi dengan guru, namun ia memberikan respon verbal
(menjawab
“saya” saat guru bertanya “sekarang giliran siapa”) dan nonverbal (tertawa saat
bidak guru jatuh) terhadap guru. Di akhir sesi, guru memberi pujian kepada A
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
60
Universitas Indonesia
dan K karena telah lancar menghitung angka dadu dalam Bahasa Inggris. PI
juga memuji A karena berhasil mencapai target hari ini dan memberikan stiker
untuk A dan K.
Sesi E12
Hari/Tanggal : Selasa, 7 Agustus 2012
Waktu : 06.30 – 11.45
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 5dari 5 pelajaran
Hasil & Reward : Mengikuti 5dari 5 pelajaran (bahasa indonesia, olahraga,
Bahasa Inggris, IPA, PLBJ)
A tidak menunjukkan masalah perilaku di pagi hari.Ia mudah
dibangunkan dan langsung bersiap-siap pergi sekolah. Sebelum berangkat, A
mengatakan ada PR Bahasa Inggris yang belum ia kerjakan, yaitu terjemahan
catatan minggu lalu. A lalu meminta bantuan kakak untuk menerjemahkan
catatan tersebut.
Sesampainya di sekolah A langsung masuk ke dalam kelas tanpa
didampingi PI maupun ibu. Oleh karena itu kegiatan relaksasi tidak dilakukan
pada pagi hari. A mengikuti dua pelajaran pertama dengan kooperatif (bahasa
indonesia, olahraga). Pada jam istirahat ia bermain petasan dengan tiga orang
temannya di halaman dan tidak menghampiri ibu dan PI. Ternyata setelah bel
masuk berbunyi, A mengikuti teman-temannya ke arah kelas kelas. Awalnya di
depan kelas A terlihat ragu, ia berdiri namun tidak langsung masuk. PI sengaja
tidak mendekati A agar ia belajar mengatasi rasa takutnya sendiri. Ketika guru
Bahasa Inggris lewat dan mengajaknya masuk, A pun dengan perlahan masuk
ke dalam kelas. A bertahan mengikuti pelajaran Bahasa Inggris sampai selesai.
Menurut guru, A masih terlihat pasif di kelas namun ia ikut mencatat tulisan
guru di papan tulis. Di akhir jam pelajaran Bahasa Inggris, guru memberi tanda
bintang tadi buku catatan A sebagai reward untuknya. Guru juga memuji A
karena ia telah melengkapi catatan sebelumnya.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
61
Universitas Indonesia
Pada saat istirahat kedua, A menghampiri PI dan ibu dan mengatakan
bahwa ia ingin ditinggal saja. Sebelum pulang PI memberi pujian karena A
telah berhasil mengatasi ketakutannya pada Bahasa Inggris. PI juga menitipkan
stiker pada ibu untuk diberikan kepada A setelah ia pulang sekolah. Selain itu,
PI menjelaskan pada A bahwa besok PI tidak mendampinginya ke sekolah
namun ia tetap berhak memperoleh stiker dari ibu apabila ia mengikuti seluruh
pelajaran esok hari.
Sesi E13
Hari/Tanggal : Rabu, 8 Agustus 2012
Waktu : 06.30 – 11.45
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 6 dari 6 mata pelajaran
Hasil & Reward : Mengikuti 6 dari 6 mata pelajaran (IPS, seni tari,
matematika, PLBJ, pramuka, bahasa indonesia)
PI tidak mendampingi A di sesi ini, ia berangkat sekolah hanya dengan
ibu. Menurut laporan ibu, A terlihat lebih ceria pada hari ini. Ia tidak sulit
dibangunkan dan mau mandi sendiri. Di sekolah A juga tidak menunjukkan
masalah. Ia berhasil mengikuti semua pelajaran sampai dengan selesai.
Sesi E14
Hari/Tanggal : Kamis, 9 Agustus 2012
Waktu : 06.30 – 12.15
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 4 dari 4 pelajaran pelajaran dan 1 sesi exposure
Bahasa Inggris
Hasil & Reward : Mengikuti 4 dari 4 pelajaran pelajaran (senam bersama,
agama, IPA, SBK) dan 1 sesi exposure Bahasa Inggris
A tidak menunjukkan masalah perilaku di pagi hari. Sesampainya di
sekolah ia langsung menuju kelas tanpa didampingi PI maupun teman. Pada
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
62
Universitas Indonesia
sesi ini, PI tidak mendampingi A melakukan relaksasi karena ia tidak terlihat
takut. A mengikuti dua pelajaran pertama dengan lancar. Ia juga tidak
mengeluh tentang pelajaran agama pada hari ini. Menurut guru agama, A
masih pasif di kelas. Ia juga lupa mengerjakan PR yang diberikan Senin lalu.
Akan tetapi, mayoritas teman A juga tidak mengerjakan PR tersebut sehingga
guru memberikan hukuman menulis arab sebanyak 10 baris. A mengerjakan
hukuman tersebut bersama teman-temannya. Ketika mengerjakan sesekali A
tampak mengobrol dengan teman sebangkunya.
Ketika bel istirahat berbunyi, A melihat PI dan ibu namun tidak
menghampiri. Bersama dengan temannya A melihat-lihat penjual mainan. A
baru menghampiri ibu karena meminta dibelikan mainan, ibu pun menurutinya.
Ketika bel selesai istirahat berbunyi, A langsung masuk kelas bersama
temannya dan mengikuti dua pelajaran selanjutnya sampai dengan selesai.
Sepulang sekolah, PI mengingatkan A dan K bahwa sesi tambahan
Bahasa Inggris akan diadakan. PI juga mengingatkan apabila A dan K berhasil
mengikuti sesi Bahasa Inggris sampai selesai (30 menit), mereka akan
memperoleh stiker sebagai reward. Kali ini PI tidak mendampingi A dan K di
dalam kelas melainkan menunggu di luar kelas.
Materi pada sesi ini adalah mengulang materi yang telah diajarkan di
kelas minggu lalu, yaitu perbedaan antara “how are you” dan “how do you do”.
Guru menerangkan perbedaan penggunaan kedua kalimat tersebut dengan
meminta A dan K melakukan role play. Akan tetapi A menolak sehingga guru
dan K yang melakukannya. Guru lalu memberikan selembar kertas berisi
percakapan Bahasa Inggris dan terjemahannya, dan meminta A serta K
melengkapi bagian yang kosong pada percapakan tersebut dengan “how are
you” atau “how do you do”. Mereka diperbolehkan mengerjakan tugas tersebut
bersama-sama. Di akhir sesi guru memuji A dan K karena hanya membuat 1
kesalahan dari lima soal. Guru juga memberikan hadiah berupa penghapus
bergambar kepada A dan K. Oleh karena A dan K berhasil mengikuti sesi
Bahasa Inggris sampai selesai, mereka juga memperoleh stiker dari PI.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
63
Universitas Indonesia
Sesi E15
Hari/Tanggal : Jumat, 10 Agustus 2012
Waktu : 06.30 – 10.30
Setting : Sekolah
Kegiatan : Exposure
Target : Mengikuti 4 dari 4 pelajaran
Hasil & Reward : Mengikuti 4 dari 4 pelajaran (matematika, IPS, olahraga,
PKN)
PI tidak mendampingi A pada sesi ini dengan pertimbangan tidak ada
jadwal pelajaran yang ditakuti A. Menurut laporan ibu, A tidak menunjukkan
masalah perilaku. Ia mau langsung bangun dan bersiap-siap ke sekolah tanpa
mengeluh. Sesampainya di sekolah A juga langsung masuk kelas. Pada hari ini
ibu juga langsung pulang setelah mengantarkan A dan kembali menjemputnya
sepulang sekolah. A mampu mengikuti 4 pelajaran di hari ini tanpa masalah
perilaku.
4.3 Evaluasi dan Follow Up
Evaluasi dilakukan ketika sesi terakhir selesai, yaitu pada hari Jumat 10
Agustus 2012. Berikut adalah evaluasi perubahan intensitas perilaku
bersekolah A:
Gambar 4.1 Intensitas Perilaku Bersekolah
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
64
Universitas Indonesia
Gambar 4.2 Kemunculan Masalah Perilaku
Keterangan: (0) tidak muncul; (1) muncul
Follow up dilakukan mulai hari pertama masuk setelah libur Lebaran,
yaitu hari Selasa, 28 Agustus 2012 sampai Sabtu, 8 September 2012. Setelah libur
lebaran, siswa belajar dari hari Senin – Sabtu.
Pada hari pertama follow up (Selasa, 28 Agustus 2012), A datang ke
sekolah namun tidak mau mengikuti acara halal-bihalal. Pada hari itu kegiatan
belajar mengajar belum dilakukan, siswa dipulangkan setengah hari.
Pada hari kedua follow up (Rabu, 29 Agustus 2012), A mengatakan tidak
mau berangkat sekolah, namun ia tetap berangkat. Di sekolah ia tidak mau masuk
ke dalam kelas namun setelah istirahat kedua selesai, ia mau belajar bersama
teman-temannya.
Pada hari ketiga follow up (Kamis, 30 Agustus 2012), A mengatakan tidak
mau belajar agama. Akan tetapi sesampainya di sekolah ia mau mengikuti
pelajaran sampai sekolah usai.
Mulai hari keempat follow up (Jumat, 31 Agustus 2012), A tidak lagi
menunjukkan masalah perilaku dan mau bersekolah sampai selesai. A bahkan
meminta agar tidak lagi ditunggui ibu sejak hari ketujuh follow up (Selasa, 4
September 2012).
Berdasarkan keterangan orangtua, A menunjukkan beberapa perubahan
perilaku seperti mau mengerjakan PR, belajar kelompok dengan teman-teman,
serta tidak lagi diantar dan ditunggui oleh ibu. Pada hari Senin pun A tidak lagi
menunjukkan masalah perilaku seperti sulit dibangunkan, tidak mau mandi, dan
mengatakan tidak mau bersekolah.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
65
Universitas Indonesia
Tabel 4.3 Perbandingan Hasil Child Behavioral Checklist (CBCL) Sebelum
dan Sesudah Program Intervensi Dijalankan
Subskala Skor
Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi
Withdrawn 6* 5
Somatic complaints 2 0
Anxious/depressed 10* 6
Social problems 5 3
Thought problems 1 1
Attention problems 8 6
Delinquent behavior 4 2
Aggressive behavior 13 10
Internalizing behavior 18 (T=71)** 11 (T=61)*
Externalizing behavior 17 (T=60)* 12 (T=54)
Skor Total 35 (T=57) 23 (T=51)
Ket: **dalam rentang klinis, * pada batas klinis (borderline)
Tabel 4.4 Perbandingan Draw A Man (DAM) Sebelum dan Sesudah Program
Intervensi Dijalankan (Lampiran 10)
Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi
Posisi Kertas Horizontal Horizontal
Letak Gambar Kanan Tengah
Ukuran Gambar Sedang Sedang
Tekanan Garis Kuat, banyak garis
bertumpuk
Tidak sekuat sebelum
intervensi, garis
bertumpuk berkurang
Ekspresi Wajah Tidak ada mulut Tersenyum
Posisi Badan Tegak Agak miring
Posisi Tangan Terbuka ke samping, jari
runcing
Terbuka ke samping, jari
tidak runcing
Dari perbandingan hasil DAM sebelum dan sesudah intervensi, terlihat
bahwa sekarang A merasa lebih nyaman dengan lingkungannya (letak gambar
tengah). Tingkat ketakutan dan ketegangan dalam dirinya juga telah berkurang
(gambar mulut tersenyum, tarikan garis tidak sekuat sebelum intervensi, jari-jari
tidak runcing). Akan tetapi tampak bahwa A masih beradaptasi dengan rutinitas
dan lingkungan sekolahnya (pijakan kurang stabil).
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Program modifikasi perilaku in vivo desensitization efektif untuk
meningkatkan perilaku bersekolah pada A. Terdapat perubahan perilaku pada A
sebelum dan sesudah mengikuti program intervensi, dimana sebelumnya A telah
tidak bersekolah selama tiga bulan namun setelah mendapat intervensi ia mau
pergi ke sekolah dan mengikuti pelajaran dari awal sampai akhir. Perilaku
bersekolah tersebut ditampilkan A pada saat didampingi maupun tidak didampingi
oleh PI. Secara lebih spesifik, in vivo desensitization efektif untuk mengurangi
ketakutan A terhadap stimulus-stimulus di sekolah yang menimbulkan afek
negatif, yaitu pelajaran Bahasa Inggris, Agama, dan SBK. Setelah seluruh sesi
intervensi dilaksanakan, A mau mengikuti ketiga pelajaran itu di dalam kelas.
Perubahan perilaku lain pada A adalah penurunan masalah perilaku di pagi
hari. Sebelum intervensi dilakukan, A selalu menunjukkan penolakan bersekolah
secara verbal dan tindakan (tidak berangkat ke sekolah). Pada saat pelaksanaan
intervensi, A selalu berangkat ke sekolah walaupun terkadang ia mengatakan
tidak mau. Masalah perilaku tersebut muncul setiap kali masuk sekolah setelah
libur dan pada saat ada jadwal pelajaran yang ditakuti oleh A.
Perubahan perilaku lain pada A adalah saat ini ia sudah berani untuk
bersekolah tanpa ditunggui oleh ibu. Selain itu, menurut orangtua A lebih
berinisiatif dalam mengerjakan PR di rumah dan sesekali ikut belajar kelompok
bersama teman-teman.
5.2 Diskusi
Keberhasilan in vivo desensitization (IVD) dalam menangani masalah
school refusal A sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang membuktikan
bahwa IVD efektif untuk menangani penolakan sekolah pada anak dengan
learning difficulties yang dilatari oleh motif menghindari tugas membaca dan
menulis (Kearney, Pursell, & Alvarez, 2001). Sementara itu dari penelitian ini
ditemukan bahwa IVD dapat diterapkan untuk menangani school refusal pada
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
67
Universitas Indonesia
anak dengan karakteristik slow learner. Ketakutan A terhadap beberapa pelajaran
dan guru di sekolah berhasil diatasi sehingga A tidak lagi menghindari sekolah.
Terdapat beberapa faktor yang menunjang keberhasilan intervensi, salah
satunya adalah motivasi partisipan. Dari anamnesa dan observasi, terlihat bahwa
A sebenarnya ingin pergi bersekolah namun terhalang oleh rasa takut yang besar.
Hal tersebut terindikasi dari perilaku A yang bersiap-siap di pagi hari dan tetap
berangkat ke sekolah, namun menolak untuk masuk ke dalam kelas. Perilaku A
tersebut sejalan dengan pernyataan Beidel dan Turner (2005) yang menyatakan
bahwa anak-anak dengan school refusal sebenanya memiliki keinginan untuk
pergi ke sekolah namun tidak mampu melakukannya karena hambatan emosi
seperti takut, cemas, ataupun depresi. Di sisi lain, keinginan A untuk bersekolah
juga terlihat dari kesediaannya untuk mengikuti program intervensi ini. Walaupun
pada awalnya ia menolak dan terlihat tidak peduli dengan penjelasan PI mengenai
prosedur intervensi, namun ternyata keesokan harinya ia mengatakan ingin
bersekolah
Motivasi A untuk bersekolah diperkuat dengan pemberian reinforcer yang
bermakna yang mengacu pada pada hal-hal yang disukai oleh A (Kazdin, 1980).
Selain itu, sistem token yang diterapkan juga mempengaruhi efektivitas intervensi
(Miltenberger, 2008) karena berfungsi sebagai penunda antara desirable behavior
(perilaku bersekolah) dengan back-up reinforcer (Kazdin, 1980). Dalam hal ini, A
dituntut untuk menampilkan perilaku bersekolah selama tiga hari berturut-turut
sebelum memperoleh hadiah. Sementara itu, pemilihan tema token dengan
mempertimbangkan preferensi A (bermain bola) juga meningkatkan motivasinya.
Dengan mengasosiasikan bahwa intervensi ini merupakan suatu pertandingan
sepak bola, dimana tugas A adalah “mencetak gol” dengan cara mencapai target di
setiap sesi, A termotivasi untuk meraih “kemenangan” dalam intervensi ini.
Walaupun Kazdin (1980) menyatakan bahwa desirable behavior akan
menghilang apabila pemberian token dihentikan, akan tetapi hal tersebut tidak
terjadi pada A. Pada saat follow up, perilaku bersekolah A tetap bertahan
walaupun ia tidak lagi memperoleh hadiah dari PI. Hal tersebut menunjukkan
bahwa walaupun pada awalnya motivasi bersekolah A masih bersifat ekstrinsik
(ingin memperoleh hadiah dari PI), namun pada akhirnya A tetap bersekolah
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
68
Universitas Indonesia
karena keinginan sendiri. Dalam hal ini, A mendapatkan reinforcer lain dari
kehadirannya di sekolah, yaitu kesempatan untuk bersosialisasi.
Lingkungan kelas memiliki pengaruh yang besar terhadap motivasi anak
(Fredrick et al, 2004, dalam Lens & Ulrich, 2003). Di kelas empat saat ini terdapat
beberapa hal yang memperkuat motivasi A yaitu wali kelas yang merupakan guru
favorit serta banyaknya teman sekelas yang merupakan teman bermain A di
rumah. Lingkungan kelas yang familiar membantu menurunkan tingkat ketakutan
A terhadap sekolah.
Faktor lain yang mempengaruhi efektivitas IVD adalah dukungan dan
partisipasi orangtua. Ayah dan ibu bersikap kooperatif dengan menerapkan saran-
saran yang diberikan oleh PI. Beberapa perubahan perilaku orangtua dalam
menyikapi penolakan sekolah A adalah tidak membujuk A dengan cara
memberikan hadiah terlebih dahulu serta membatasi hak-hak A di rumah ketika ia
menolak pergi sekolah, misalnya dengan mengurangi uang jajan dan melarangnya
bermain atau menonton televisi. Konsekuensi tersebut membuat kondisi rumah
menjadi tidak lebih menyenangkan daripada sekolah dan menjadi negative
punishment bagi perilaku school refusal A (Kearney, 2007). Orangtua juga
konsisten memberi semangat kepada A, misalnya dengan meyakinkan bahwa A
mampu mengikuti pelajaran yang ia takuti. Selain itu, ayah dan ibu juga secara
terbuka menyampaikan perasaan bahagia mereka ketika A mau kembali
bersekolah dan memberikan pujian terhadap pencapaian A, seperti saat ia berani
masuk sekolah ataupun memperoleh nilai bagus. Hal tersebut menjadi social
reinforcer atas perilaku sekolah A (Kazdin, 1980).
Kerjasama yang baik dengan pihak sekolah juga berkontribusi terhadap
keberhasilan intervensi. Wali kelas, guru Agama, dan guru Bahasa Inggris
berpartisipasi secara kooperatif selama intervensi dengan tidak memaksa A
mengikuti seluruh pelajaran. Guru Bahasa Inggris juga bersedia meluangkan
waktu untuk memberi sesi tambahan exposure dan merancang pembelajaran
dengan tingkat kesulitan yang mudah.
Hal lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan intervensi adalah
fleksibilitas dan kreativitas PI. Ketika menemui hambatan dalam pelaksanaan
intervensi, PI berusaha menggunakan sumber daya yang ada di sekitar A, yaitu
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
69
Universitas Indonesia
teman-teman A. Dalam pelaksanaan intervensi PI banyak dibantu oleh teman-
teman A, baik ketika latihan relaksasi maupun exposure. Pada awal latihan
relaksasi A bersikap tidak kooperatif namun setelah temannya dilibatkan ia pun
secara perlahan-lahan mengikuti instruksi PI. A mengatakan bahwa dirinya juga
mampu melakukan relaksasi ketika PI memberi pujian pada temannya. Hal
tersebut menunjukkan karakteristik anak usia sekolah yang melakukan
perbandingan sosial (social comparison) terhadap orang lain dalam menilai
kemampuan diri (Berk, 2006). Dalam hal ini, terlihat bahwa A memiliki self-
esteem yang rendah sehingga ia harus mendapatkan keyakinan bahwa orang lain
juga mampu melakukan hal yang diminta.
Dari grafik intensitas perilaku bersekolah (gambar 4.1) terlihat penurunan
perilaku bersekolah A, yaitu pada sesi 7 dan sesi 10. Penurunan perilaku
bersekolah pada sesi 7 disebabkan karena pada hari itu A diharuskan mengikuti
pelajaran Bahasa Inggris di dalam kelas untuk pertama kalinya, padahal Bahasa
Inggris merupakan pelajaran yang paling ia takuti. A terlihat belum mampu
mengendalikan ketakutannya dan ia pun menolak untuk masuk ke dalam kelas
bahkan saat pelajaran Bahasa Inggris telah selesai. Sebagai akibatnya, A gagal
mencapai target pada sesi tersebut. Sementara itu penurunan perilaku bersekolah
pada sesi 10 bukan disebabkan ketakutan A untuk pergi ke sekolah namun karena
ia kelelahan setelah pada hari sebelumnya ia pergi sampai malam.
Dalam dua minggu pelaksanaan intervensi A belum mampu mengikuti
pelajaran Bahasa Inggris di dalam kelas sedangkan untuk pelajaran SBK dan
Agama ia telah berhasil mengikutinya di dalam kelas. Perbedaan pencapaian
tersebut disebabkan A memiliki ketakutan yang lebih besar terhadap pelajaran
Bahasa Inggris dibandingkan pelajaran Agama dan SBK. Di sisi lain, jumlah
kesempatan exposure Bahasa Inggris yang lebih sedikit dibandingkan SBK dan
Agama juga mempengaruhi pencapaian A. Dalam satu minggu terdapat dua kali
jadwal pelajaran SBK dan Agama sementara untuk Bahasa Inggris hanya satu
kali. Hal tersebut menyebabkan A lebih sering terpapar dengan pelajaran SBK dan
Agama sehingga ia lebih cepat terbiasa dengan kedua pelajaran tersebut.
Walaupun demikian, dalam dua kali kesempatan exposure Bahasa Inggris
terlihat penurunan tingkat ketakutan A, yaitu pada minggu pertama ia benar-benar
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
70
Universitas Indonesia
menolak mengikuti pelajaran Bahasa Inggris sedangkan pada minggu kedua ia
mau belajar Bahasa Inggris di luar kelas. Setelah sesi tambahan exposure Bahasa
Inggris dilakukan, A berhasil mencapai target mengikuti pelajaran Bahasa Inggris
di dalam kelas.
Penurunan rasa takut A terhadap guru Bahasa Inggris terlihat sejak sesi
tambahan pertama exposure Bahasa Inggris. Pemilihan materi pembelajaran
Bahasa Inggris melalui kegiatan bermain mampu mencairkan kekakuan A
terhadap guru. Walaupun ia belum terlihat menginisiasi interaksi dengan guru,
namun A menunjukkan respon verbal dan nonverbal terhadap perilaku guru. Di
sisi lain, pelibatan seorang teman juga mempengaruhi keberhasilan sesi ini. Dalam
hal ini teman A berperan sebagai model untuk berinteraksi dengan guru Bahasa
Inggris. Kemiripan karakteristik antara A dengan model meningkatkan
kemungkinan A mempelajari bahwa orang lain juga bisa berinteraksi dengan baik
dengan guru yang ia takuti (Miltenberger, 2008).
Dari grafik Kemunculan Masalah Perilaku (Gambar 4.2) terlihat dinamika
kemunculan masalah perilaku A. Masalah perilaku di pagi hari seperti sulit
dibangunkan, menolak mandi, dan mengatakan tidak mau bersekolah masih
ditunjukkan oleh A pada hari Senin serta hari-hari lain dimana terdapat jadwal
pelajaran yang ditakuti. Anak dengan SRB memang sering menunjukkan kesulitan
kembali ke rutinitas sekolah setelah liburan atau istirahat karena sakit (Kearney,
2007; Piliang, 2004; Brill, 2009). Hal tersebut wajar terjadi karena selama berada
di rumah biasanya anak memiliki waktu luang lebih banyak untuk bermain,
menonton televisi, atau tidur larut malam. Ketika harus kembali masuk sekolah,
anak mengalami kesulitan untuk readjustment dengan rutinitas sekolah atau
merasa cemas memikirkan apa yang akan terjadi di sekolah (Kearney, 2007). Hal
tersebut juga menyebabkan terjadinya penurunan perilaku bersekolah A pada hari-
hari awal setelah libur lebaran. Oleh karena intervensi tidak lagi dilakukan setelah
libur Lebaran, maka rencana follow up seminggu setelah intervensi dihentikan pun
diubah menjadi dua minggu untuk melihat kestabilan perilaku bersekolah A.
Terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan intervensi ini, salah satunya
adalah temperamen A yang cenderung sulit. PI membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk membangun rapport dengan A. Pada awal-awal pertemuan, A tidak
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
71
Universitas Indonesia
bisa langsung bersikap kooperatif dan sering membantah. Walaupun demikian PI
mengamati bahwa A mengikuti instruksi secara diam-diam. Ketika bertemu muka,
A juga jarang memulai interaksi dan cenderung mengacuhkan PI. Akan tetapi ia
berani bertanya atau bercerita kepada PI secara tidak langsung, yaitu melalui
SMS. Hal tersebut menunjukkan bahwa A sebenarnya ingin berinteraksi dengan
PI namun tidak berani melakukannya secara langsung.
Kendala lain yang dihadapi oleh PI adalah sikap ayah yang membolehkan
A pergi sampai larut malam. Akibatnya pada esok hari A tidak bersekolah karena
terlalu lelah. Selain itu, upaya PI untuk melatih kedisiplinan A terkendala dengan
sikap ibu yang masih melayani A seperti memandikannya di pagi hari.
Selain kendala yang dihadapi, intervensi ini juga memiliki kelemahan.
Seperti yang telah dijelaskan, ketakutan A terkait dengan tugas-tugas hafalan
karena ia memang memiliki kesulitan dalam menghafal informasi. Akan tetapi
stimulus tugas hafalan tersebut belum muncul dalam proses intervensi ini karena
di awal tahun ajaran guru memang belum memberikan tugas demikian. Oleh
karena itu efektivitas intervensi ini belum teruji apabila A berhadapan dengan
tugas-tugas hafalan dari guru. Untuk mengatasinya, saran remedial therapy telah
diberikan untuk membantu A dalam mempelajari materi pelajaran, termasuk
strategi untuk menghafal.
5.3 Saran
5.3.1 Saran Praktis
Berikut adalah saran-saran yang dapat diberikan untuk penanganan
lebih lanjut terhadap masalah A:
1. Walaupun A telah menunjukkan perilaku bersekolah, remedial therapy
tetap diperlukan untuk membantu A mempelajari materi-materi sekolah.
2. Dengan pertimbangan bahwa sekolah saat ini memiliki tuntutan
akademis yang cukup tinggi, sebaiknya orangtua memindahkan A ke
sekolah lain dengan standar penilaian yang lebih rendah. Hal ini dapat
meningkatkan self-esteem A karena ia tidak selalu merasa gagal dalam
hal akademis.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
72
Universitas Indonesia
3. Untuk meningkatkan motivasi bersekolah A dapat dilakukan dengan
cara mengingatkannya tentang hal-hal menyenangkan yang dapat ia
lakukan setelah pulang sekolah, misalnya bermain bola atau menonton
televisi.
4. Orangtua dan A sebaiknya membuat jadwal kegiatan A yang meliputi
jam belajar, bermain, dan istirahat, serta reward dan punishment terkait
dengan kepatuhan A dalam menjalankan jadwal tersebut.
5. Orangtua disarankan untuk melatih kemandirian pada A agar
dependesinya berkurang, yaitu dengan tidak melayani A dalam
melakukan kegiatan sehari-hari seperti memandikan, menyuapi, atau
mengambilkan barang-barang A.
5.3.2 Saran Teknis
Berikut adalah saran-saran yang dapat diberikan untuk kasus-kasus
serupa lainnya yang akan menggunakan intervensi modifikasi perilaku:
1. Membina rapport yang baik dengan anak serta kerjasama yang baik
dengan keluarga anak maupun pihak-pihak lain yang terlibat (dalam
intervensi ini adalah pihak sekolah)
2. Mempertimbangkan preferensi anak dalam menentukan reinforcer agar
dapat meningkatkan motivasinya
3. Dalam menerapkan prosedur token economy, perlu dipertimbangkan
jumlah sesi yang harus dilalui anak untuk dapat menukarkan token
dengan back-up reinforcer. Jeda waktu yang terlalu lama bagi sebagian
anak dapat berpengaruh terhadap efektivitas reinforcer.
4. Memperhatikan kesiapan anak sebelum melakukan exposure terhadap
stimulus yang ditakuti. Apabila anak terlihat belum siap, PI sebaiknya
memberikan toleransi, baik dengan cara menunda atau menurunkan
target di sesi tersebut.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Chorpita, B. F., Albano, A. M., Heimberg, R. G., & Barlow, D. H. (1996). “A
systematic replication of the prescriptive treatment of school refusal behavior
in a single subject”. Journal of Behavior Therapy & Experimental Psychiatry,
27, 3, 281-290.
Barker, C., Pistrang, N., & Elliot, R. (2002). Research methods in clinical
psychology: An introducing for students and practitioners, 2nd edition. New
York: John Wiley & Sons, Ltd.
Beidel, D. C. & Turner, S. M. (2005). Childhood anxiety disorders: A guide to
research and treatment. New York: Routledge Taylor & Francis Group.
Berk, L. E. (2006). Child development (7th ed.). USA: Pearson Education, Inc.
Brauchie, M.A. (2010). I’m Tired of Being a Failure : A Study of Ignored
Deficient Learners. Disertasi. Capella University.
Brill, L. D. (2009). “School refusal: Characteristics, assessment, and effective
treatment: A child and parent perspective”. Disertasi Doktoral Psikologi,
Philadelphia College of Osteopathic Medicine.
Dube, S. R. & Orpinas, P. (2009). “Understanding excessive school absenteeism
as school refusal behavior”. Children & Schools, 31, 2, 87-95.
Haarman, G. B. (2009). “School refusal behavior: Effective techniques to help
children who can’t or won’t go to school”.
www.heiselandassoc.com/Mydocs/Haarman%20School%20Refusal.pdf
Hendron, M. C. (2006). “School refusal behavior: the relationship between
functions and symptom sets”. Tesis pada University of Nevada, Las Vegas.
Kazdin, A. E. (1980). Behavior modification in applied settings. Illinois: The
Dorsey Press.
Kearney, C. A. (2007). Getting your child to say yes to school: A guide for
parents of youth with school refusal behavior. New York: Oxford University
Press.
Kearney, C. A. & Albano, A. M. (2007). When children refuse school: A
cognitive behavioral therapy approach, 2nd
edition.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
74
Universitas Indonesia
Kearney, C. A., Pursell, C., & Alvarez, K. (2001). “Treatment of school refusal
behavior in children with mixed functional profiles”. Cognitive and
Behavioral Practice, 8, 3-11.
Kearney, C. A. & Silverman, W. K. (1999). “Functionally based prescriptive
and nonprescriptive treatment for children and adolescents with school
refusal behavior”. Journal of Behavior Therapy, 30, 673-695.
King, N., Tonge, B. J., Heyne, D., & Ollendick, T. (2000). “Research on the
cognitive-behavioral treatment of school refusal: A review and
recommendations.” Clinical Psychology Review, 20, 4, 495-507.
Lee, M. I. & Miltenberger, R. J. (1996). “School refusal behavior: Classification,
assessment, and treatment issue”. Education and Treatment of Children, 19,4.
Lens, E., & Ulrich, E. (2003). The Teacher's Role in Motivating Students.
Wayne State University.
www.drchrustowski.com/Final_Paper_Motivation.pdf
MacPhee, A. R. & Andrews, J. J. W. (2003). “Twelve-year review of in vivo
exposure treating specific phobias in children”. Canadian Journal of Scholl
Psychology, 18, 2, 183.
Martin, G. & Pear, J. (2007). Behavior modification: What it is and how to do it
(8th Ed.). USA: Pearson Prentice Hall.
Miltenberger, R. G. (2008). Behavior modification: Principles and procedures,
4th edition. New York: Thomson Wadsworth.
Oster, G. D. & Crone, P. G. (2004). Using Drawings in Assessment and Therapy:
A Guide for Mental Health Professionals, 2nd edition. New York: Brunner-
Routledge.
Shaw, S., Grimes, D., & Bulman, J. (2005). “Educating slow-learner: Are charter
schools the last, best hope for their educational success?” The Charter
Schools Resource Journal, 1, 10-19.
Suveg, C., Comer, J. S., Furr, J. M. & Kendall, P. C. (2006). “Adapting
manualized CBT for cognitively delayed child with multiple anxiety
disorders”. Journal of Clinical Case studies, 5.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
75
Universitas Indonesia
Tolin, D. F. et al. (2009). “Intensive (daily) behavior therapy for school refusal: a
multiple baseline case series”. Cognitive and Behavioral Practice, 16, 332–
344
Wenar, C. & Kerig, P. (2005). Developmental Psychopathology: from Infancy
through Adolescence 5th
ed. New York: McGraw-Hill
Witts, B. & Houlihan, D. (2007). “Recent perspectives concerning school refusal
behavior”. Journal of Research in Educational Psychology, 5, 12, 381-398.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xii
LAMPIRAN
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xiii
LAMPIRAN 1
JADWAL PELAJARAN ANAK
WAKTU SENIN SELASA RABU
06.30 – 07.05 Upacara B. Indonesia IPS
07.05 – 07.40 Matematika B. Indonesia Seni Tari
07.40 – 08.15 Matematika Olahraga Matematika
08.15 – 08.50 Matematika Olahraga Matematika
08.50 – 09.05 ISTIRAHAT
09.05 – 09.40 Agama B. Inggris PLBJ
09.40 – 10.15 PKN B. Inggris PLBJ
10.15 – 10.50 PKN IPA PRAMUKA
10.50 – 11.05 ISTIRAHAT
11.05 – 11.40 SBK IPA B. Indonesia
11.40 – 12.15 Sholat Dzuhur Berjamaah
12.15 – 12.50 SBK PLBJ B. Indonesia
WAKTU KAMIS JUMAT
06.30 – 07.05 Senam bersama Matematika
07.05 – 07.40 Senam bersama Matematika
07.40 – 08.15 Agama IPS
08.15 – 08.50 Agama IPS
08.50 – 09.05 ISTIRAHAT
09.05 – 09.40 IPA Olah raga
09.40 – 10.15 IPA Olah raga
10.15 – 10.50 SBK PKN
10.50 – 11.05 ISTIRAHAT
11.05 – 11.40 SBK
11.40 – 12.15 Sholat
12.15 – 12.50
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xiv
LAMPIRAN 2
DENAH SEKOLAH
Mushola mushola
r. guru Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6 Kelas 3
Kelas 2
Kelas 1 R. kepala sekolah
gudang WC
kantin
Ko
rid
or
kela
s 1
-3
Koridor kelas 4-6
SDN 06
Kantin SDN 06 panggung
Parkir dan halaman depan
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xv
LAMPIRAN 3
HASIL BASELINE
Hari &
Tanggal
Hasil Observasi Perilaku
Bersekolah
Selasa,
1 Mei 2012
PI mengunjungi rumah A pada pukul 07.00
pagi hari. Saat itu A masih tidur dan sulit
dibangunkan. Ibu dan PI mencoba
membangunkan A dan membujuknya ke
sekolah, akan tetapi A menolak.
Menolak pergi ke
sekolah
Jumat,
11 Mei 2012
PI akan melakukan kunjungan sekolah namun
sebelumnya PI datang ke rumah A pada
pukul 09.00. Ketika PI tiba di rumah, A telah
bangun namun masih berbaring di tempat
tidur. Awalnya A mengatakan tidak mau ikut
ke sekolah namun kemudian ia mau ikut
dengan PI ke sekolah. Sesampainya di
sekolah A menolak untuk masuk ke kelas
sehingga ia menunggu PI di kantin.
Bersedia pergi ke
sekolah, berjalan
di koridor sekolah
namun tidak mau
masuk ke dalam
kelas
Sabtu,
12 Mei 2012
PI datang ke rumah A pada pukul 7 pagi hari
namun ia masih tidur. Ketika dibangunkan
oleh ibu A justru marah dan mengatakan
tidak mau ke sekolah.
Menolak pergi ke
sekolah
Jumat,
18 Mei 2012
PI datang ke rumah A pada pukul 06.30. Saat
itu A sudah dimandikan namun ia kembali
tidur. A sulit untuk dibangunkan oleh ibu, ia
baru benar-benar bangun pada pukul 07.30.
Setelah A bangun dan terlihat lebih segar, PI
mengatakan ingin berkunjung ke sekolah A
dan meminta A untuk menemani. Namun
demikian A menolak untuk ikut ke sekolah.
PI menunggu kesediaan A sampai pukul
08.00, namun A tetap tidak mau.
Menolak pergi ke
sekolah
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xvi
LAMPIRAN 4
INFORMED CONSENT
Lembar pernyataan ini berisi informasi mengenai tujuan, prosedur, serta risiko
intervensi. Setelah membaca dan menyetujui poin-poin pada lembar ini, orangtua
menandatangani lembar persetujuan sebagai bentuk kesediaan mengizinkan anak
untuk mengikuti program intervensi.
Tujuan
Intervensi ini bertujuan untuk membantu partisipan (Anak) kembali bersekolah
dan mampu mengikuti seluruh pelajaran di dalam kelas
Prosedur
Intervensi ini terdiri dari sesi latihan relaksasi (penenangan diri) dan
exposure. Pada sesi relaksasi, anak akan mempelajari cara-cara menenangkan diri
yang diharapkan dapat ia terapkan ketika merasa tidak nyaman di sekolah.
Sementara itu pada sesi exposure anak akan dihadapkan pada situasi sekolah
secara bertahap.
Pada setiap hari terdapat target jumlah pelajaran yang harus diikuti oleh
anak. Target tersebut akan ditingkatkan sampai anak berhasil mengikuti seluruh
pelajaran di dalam kelas. Apabila berhasil mencapai target, anak berhak
memperoleh tiga buah stiker. Setiap tiga hari anak berhak menukarkan stiker yang
ia miliki dengan hadiah yang telah disepakati. Hadiah tersebut akan disediakan
oleh orangtua.
Perkiraan waktu pelaksanaan intervensi ini adalah dua minggu. Waktu
intervensi dapat diperpanjang apabila anak belum mencapai target akhir.
Risiko
Pada sesi exposure, anak mungkin mengalami ketidaknyamanan seperti
rasa takut atau marah. Apabila terjadi hal demikian, orangtua diharapkan memberi
respon terhadap anak sesuai dengan instruksi PI.
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xvii
Kerahasiaan
Data partisipan (orangtua dan anak) akan dilindungi oleh PI. Informasi
yang bisa menunjukan identitas partisipan, seperti nama, alamat, dan nomor
telepon, tidak akan dicantumkan dalam laporan intervensi. Akan tetapi beberapa
informasi lain seperti jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan tetap akan
dicantumkan. PI berhak mempresentasikan ataupun menggunakan hasil intervensi
untuk keperluan :
tesis
pengajaran
pertemuan profesional/ilmiah
Dengan ini saya menyatakan telah membaca dan menyetujui informed
consent serta mengizinkan anak saya mengikuti rangkaian program intervensi
membantuny kembali bersekolah.
Depok, 9 Juli 2012
.............................................. ..............................
(Nama & tanda tangan orangtua) (Nama anak)
.............................................................
(Nama & tanda tangan Pelaksana Intervensi)
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xviii
LAMPIRAN 5
KONTRAK KEGIATAN
LAMPIRAN 5
PAPAN TOKEN
LAMPIRAN 6
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xix
LAMPIRAN 6
SELF REPORT TINGKAT KETAKUTAN
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xx
LAMPIRAN 7
PAPAN TOKEN
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xxi
LAMPIRAN 8
PAPAN TARGET
30Juli 2012
Ikut 4 pelajaran
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xxii
LAMPIRAN 9
HASIL TES DRAW A MAN (DAM) SEBELUM INTERVENSI
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012
xxiii
LAMPIRAN 10
HASIL TES DRAW A MAN (DAM) SETELAH INTERVENSI
Penerapan in vivo..., Hegar Ayu Utami, Program Magister Profesi Klinis Anak, 2012