unfix lapsus ca recti
DESCRIPTION
Ca rectumTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pada awalnya, insiden dari keganasan kolon dan rektal tidak
diperhitungkan sebelum tahun 1900. Akan tetapi, sejak kemajuan ekonomik dan
industri berkembang, angka kejadian keganasan ini meningkat. Pada saat ini,
kanker kolorektal merupakan penyebab ketiga kematian dari pria dan wanita
akibat kanker di Amerika Serikat.
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga
angka kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat
kedua pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker
kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum
ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan
jumlah kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden
yang ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan
penduduk, terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara
Negara Barat dan Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal
yang ditemukan. Di Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan
sebanding antara pria dan wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia
muda; dan sekitar 75% dari kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid,
sedangkan di Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan pada pria
lebih besar daripada wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia lanjut;
dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon
rektosigmoid.
Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid.
Keluhan pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari
tumor. Keluhan dari lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan
penuh di abdominal, symptomatic anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan
yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat berupa perubahan pada pola defekasi,
perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 60 tahun
Alamat : Jl. Kirangga Wirasantika Rt/Rw 12/04 Kecamatan
30 Ilir
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. Registrasi RS : 40-76-44
Tgl. Pemeriksaan : 12 Juli 2014
Ruang : Poli
Dokter Pemeriksa : dr. Jefri, Sp.B.KBD
Co. Assisten : Ricky Dwi Putra, S.Ked
MRS : 12 Juli 2014
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Pasien mengaku ambeien yang tidak bisa masuk sejak 3
bulan yang lalu. Amebeien terasa keras dan sakit saat duduk
ataupun berjalan
2.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 1 tahun yang lalu, pasien mengatakan ambeian sudah
timbul namun bisa masuk kembali dan tidak mengeluarkan darah.
2
BAB mencret lebih dari 3x sehari. Sebelum ambeien pasien
mengeluh sering BAB keras.
± 3 bulan yang lalu pasien mengatakan ambeien tidak bisa
masuk kembali, keras, berdarah (segar) secara tiba-tiba dan nyeri.
Mual (-) muntah (-) nafsu makan menurun. BAB selalu mencret
tidak pernah normal.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal oleh
penderita
2.2.4 Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Dari keluarga tidak ada yang menderita Diabetes melitus (-),
Hipertensi (-), Jantung (-), Asma (-), Alergi obat (-).
2.2.5 Riwayat Kebiasaan
Merokok (+). Minum alkohol (-).
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital : Tekanan Darah 130/80 mmHg
Nadi 82 x/m
Pernafasan 20 x/m
Temperatur 36.3oC
2.3.1 Status Generalis
Kepala
Normocephali
Tidak tampak adanya deformitas
3
Mata
Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera Ikterik (-/-)
Pupil isokor
Hidung
Bagian luar : tidak terdapat deformitas
NCH (-)
Leher
JVP (5-2) cm H2O
Kelenjar Tiroid : tidak teraba membesar
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : simetris (kanan = kiri)
Retraksi (-/-)
Sela iga tidak melebar
Palpasi : Stemfremitus (sinistra > dextra)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (sinistra >dextra), wh (-/-),
ronki (-/-)
Jantung
Inspeksi : ichtus cordis tidak tampak
Palpasi : ichtus cordis teraba di ICS 6
Trill tak teraba
Perkusi : Batas atas ICS 2 linea parasternalis sinistra
Batas kanan ICS 5 1 jari dari linea parasternalis
Batas kiri ICS 6 linea axilaris anterior
Auskultasi : S1-S2 reguler, mur-mur (-), gallop (-)
4
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-)
Hati, Limfa tidak teraba
Auskultasi : Bising usus (+) 5x/m
Perkusi : Timpani
CVA (-)
Shifting dullnes (-)
Ekstremitas Superior
Akral dingin (-/-),Akral pucat (+/+) Oedema (-/-)
Tidak teraba pembesaran KGB di axilla
Ekstremitas Inferior
Akral dingin (-/-),Akral pucat (+/+) Oedema (-/-)
Teraba pembesaran KGB pada lipat paha kiri sebanyak 1 nodul
dengan diameter 3 cm
2.3.2 Status Lokalis
Regio : Perianal
Inspeksi :Terdapat Tumor
Palpasi :Tumor dengan ukuran 4x4cm, permukaan
berdungkul, keras, batas tidak tegas, warna serta
suhu pada daerah benjolan tidak sama dengan area
sekitar.
Rectal touche : -Tonus Sfingter ani (+), berdungkul
-Massa (+)
-Lokasi massa dari sfingter ani sampai mukosa
rectum
-Feses (-) darah (+) lendir (-)
5
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pada tanggal 4 Juli 2014
Hemoglobin 10,0 g/dl
Leukosit 56000 /ul
Trombosit 329.000 /ul
Hematokrit 33 %
Hitung Jenis:
Basofil 0% (0-1)
Eosinoofil 4% (1-3)
N. Batang 3% (2-6)
N. Segmen 59% (50-70)
Limfosit 28% (20-40)
Monosit 8% (2-8)
Prothrombin time 11,0
APTT 37 (22-35)
Pada tanggal 14 Juli 2014
Hemoglobin 9,2 g/dl
Golongan darah : O Rhesus (+)
Rontgen Thorax
Pada tanggal 3 Juli 2014
Kesan : Cardiomegali, Gambaran Bronchiektosis, Tulang-tulang baik
2.5 Diagnosis Kerja
Carsinoma Anorektal T4N2M0
6
2.6 Diagnosis Banding
Hemorroid
2.7 Penatalaksanaan
1. IVFD NaCl 100ml + Ceftriaxone drip
2. Pro Operasi
3. Fleet enema
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia
Quo ad functionam : Malam
2.9 Follow Up
Tanggal 15 Juni 2014
S T a k
O
Keadaan Umum :
Sensorium
Tekanan darah
Nadi (x/mnt)
RR (x/mnt)
Suhu ( 0C)
Luka Operasi
Baik
Compos mentis
90/60
86x/menit berisi tegang
20x/menit
36,2
Abdomen : tenang
Perianal : Tenang
Pemeriksaan Penunjang -
Terapi IVFD RL 1000 cc
Drip ceftriaxone 2x1gr dalam NaCl 100cc
Drip Metronidazole 3x500mg
7
Inj. Ketorolac 3x1
Inj. Ranitidin 2x1
Immobilisasi
Tanggal 16 Juni 2014
S Nyeri Luka operasi
Mual (-) Muntah (-)
O
Keadaan Umum :
Sensorium
Tekanan darah
Nadi (x/mnt)
RR (x/mnt)
Suhu ( 0C)
Baik
Compos mentis
110/70
86x/menit berisi tegang
22
36,5
Abdomen : tenang
Perianal : Basah
Pemeriksaan Penunjang
Terapi IVFD RL 1000 cc/24 jam
Drip ceftriaxone 2x1gr dalam NaCl 100cc
Drip Metronidazole 3x500mg
Inj. Ketorolac 3x1
Inj. Ranitidin 2x1
Mobilisasi
Diet Bebas
Perawatan Luka
8
Tanggal 17 Juli 2014
S Tidak Nafsi Makan
Mual (-) Muntah (-)
O
Keadaan Umum :
Sensorium
Tekanan darah
Nadi (x/mnt)
RR (x/mnt)
Suhu ( 0C)
Abdomen
Baik
Compos mentis
110/70
84
22
36,2
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bu (+) Normal
Palpasi : Lemas
Nyeri Tekan (-)
Perkusi : Timpani
Pemeriksaan Penunjang
Terapi IVFD RL 1000 cc/24 jam
Drip ceftriaxone 2x1gr dalam NaCl 100cc
Drip Metronidazole 3x500mg
Inj. Ketorolac 3x1
Inj. Ranitidin 2x1
Mobilisasi
Diet Bebas
Perawatan Luka
Aff Draine
9
Bladder Traning
Tanggal 18 Juli 2014
S Muntah warna Hijau (+) Mual (+) dan tidak nafsu makan
O
Keadaan Umum :
Sensorium
Tekanan darah
Nadi (x/mnt)
RR (x/mnt)
Suhu ( 0C)
Abdomen
Sakit sedang
Compos mentis
120/80
80
22
36,3
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bu (+) Normal
Palpasi : Lemas
Nyeri Epigastrium (+)
Nyeri Tekan (-)
Perkusi : Timpani
Pemeriksaan Penunjang
Terapi IVFD RL 1000 cc/24 jam
Drip ceftriaxone 2x1gr dalam NaCl 100cc
Drip Metronidazole 3x500mg
Inj. Ketorolac 3x1
Inj. Ranitidin 2x1
Mobilisasi
Diet Bebas
10
Bladder Traning
Perawatan Stoma
Tanggal 19 Juli 2014
S Tidak Nafsu Makan
O
Keadaan Umum :
Sensorium
Tekanan darah
Nadi (x/mnt)
RR (x/mnt)
Suhu ( 0C)
Abdomen
Baik
Compos mentis
140/80
82
22
36,5
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bu (+) Normal
Palpasi : Lemas
Nyeri Epigastrium (+)
Nyeri Tekan (-)
Perkusi : Timpani
Pemeriksaan Penunjang
Terapi Aff DC
Aff Infus
Stop Obat0obatan
Mobilisasi
Tanggal 20 Juli 2014
S T a k
11
O
Keadaan Umum :
Sensorium
Tekanan darah
Nadi (x/mnt)
RR (x/mnt)
Suhu ( 0C)
Abdomen
Baik
Compos mentis
140/90
84
22
36,3
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) meningkat
Palpasi : lemas Nyeri tekan (-)
Perkusi : Hipertimpani
Pemeriksaan Penunjang
Terapi Mobilisasi
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi rektum
Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ke-3 sampai
ke garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi
bagian ampula dan spinchter. Bagian spinchter disebut juga annulus
hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia
supra ani. Bagian ampula terbentang dari vertebra sakrum ke-3 sampai
diafragma pelvis pada insersio muskulus levator ani. Panjang rektum berkisar
antara 10-15 cm dengan keliling 15 cm pada bagian rectosigmoid junction,
dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu ampula. Pada manusia, dinding
rektum terdiri dari 4 lapisan, yaitu mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler
dan longitudinal), serta lapisan serosa.8,9
13
Gambar 1. Anatomi rektum
Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis
superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektalis
superior) merupakan kelanjutan dari arteri mesentrika inferior, arteri ini
memiliki 2 cabang yaitu dekstra dan sinistra. Arteri hemoroidalis media (arteri
rektalis media) merupakan cabang dari arteri iliaka interna, dan arteri
hemoroidalis inferior (arteri rektalis inferior) merupakan cabang dari arteri
pudenda interna.3,8
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna
dan berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk
selanjutnya melalui vena lienalis dan menuju vena porta. Vena ini tidak
memiliki katup, sehingga tekanan dalam rongga perut atau intraabdominal
sangat menentukan tekanan di dalam vena tersebut. Hal inilah yang dapat
menjelaskan terjadinya hemoroid interna pada pasien-pasien dengan kebiasaan
sulit buang air besar dan sering mengejan. Vena hemoroidalis inferior
mengalirkan darah ke vena pudenda interna, untuk kemudian melalui vena
iliaka interna dan menuju sistem vena kava.3
14
Gambar 2. Vaskularisasi arteri
rektum
Gambar 3. Vaskularisasi Vena pada
RektumPersarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut
simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2,
3, dan 4 yang berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan
untuk serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi
mengatur fungsi ereksi penis dan klitoris serta mengatur aliran darah ke dalam
jaringan. Hal ini menjelaskan terjadinya efek samping dari pembedahan pada
pasien-pasien dengan karsinoma rekti, yaitu berupa disfungsi ereksi dan tidak
bisa mengontrol buang air kecil atau miksi.9
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah
sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid)
dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat
yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh
dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air
besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material
di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan
15
untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material
akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali
dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini,
tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam
pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.
Proses defekasi terjadi baik secara disadari (volunter), maupun tidak
disadari (involunter) atau refleks. Gerakan yang mendorong feses ke arah anus
terhambat oleh adanya kontraksi tonik dari sfingter ani interna yang terdiri
dari otot polos dan sfingter ani eksterna yang terdiri dari otot rangka. Sfingter
ani eksterna diatur oleh N. Pudendus yang merupakan bagian dari saraf
somatik, sehingga ani eksterna berada di bawah pengaruh kesadaran kita
(volunter).
Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung – ujung
serabut saraf rectum terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa
feses. Sensasi rectum ini berperan penting pada mekanisme continence dan
juga sensasi pengisian rectum merupakan bagian integral penting pada
defekasi normal. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : pada saat
volume kolon sigmoid menjadi besar, serabut saraf akan memicu kontraksi
dengan mengosongkan isinya ke dalam rectum. Studi statistika tentang
fisiologi rectum ini mendeskripsikan tiga tipe dari kontraksi rectum yaitu : (1)
Simple contraction yang terjadi sebanyak 5 – 10 siklus/menit ; (2) Slower
contractions sebanyak 3 siklus/menit dengan amplitudo diatas 100 cmH2O ;
dan (3) Slow Propagated Contractions dengan frekuensi amplitudo tinggi.
Distensi dari rectum menstimulasi reseptor regang pada dinding rectum, lantai
pelvis dan kanalis analis. Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rectum
mengirim signal aferent yang menyebar melalui pleksus mienterikus yang
merangsang terjadinya gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon
sigmoid dan rectum sehingga feses terdorong ke anus. Setelah gelombang
peristaltik mencapai anus, sfingter ani interna mengalami relaksasi oleh
16
adanya sinyal yang menghambat dari pleksus mienterikus; dan sfingter ani
eksterna pada saat tersebut mengalami relaksasi secara volunter,terjadilah
defekasi.Pada permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan intraabdominal
oleh kontraksi otot–otot kuadratus lumborum, muskulus rectus abdominis,
muskulus obliqus interna dan eksterna, muskulus transversus abdominis dan
diafraghma.
Muskulus puborektalis yang mengelilingi anorectal junction kemudian
akan relaksasi sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus. Perlu diingat
bahwa area anorektal membuat sudut 900 antara ampulla rekti dan kanalis
analis sehingga akan tertutup. Jadi pada saat lurus, sudut ini akan meningkat
sekitar 1300 – 1400 sehingga kanalis analis akan menjadi lurus dan feses akan
dievakuasi. Muskulus sfingter ani eksterna kemudian akan berkonstriksi dan
memanjang ke kanalis analis. Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi sfingter
ani eksterna yang berada di bawah pengaruh kesadaran ( volunteer ). Bila
defekasi ditahan, sfingter ani interna akan tertutup, rectum akan mengadakan
relaksasi untuk mengakomodasi feses yang terdapat di dalamnya. Mekanisme
volunter dari proses defekasi ini nampaknya diatur oleh susunan saraf pusat.
Setelah proses evakuasi feses selesai, terjadi Closing Reflexes. Muskulus
sfingter ani interna dan muskulus puborektalis akan berkontraksi dan sudut
anorektal akan kembali ke posisi sebelumnya. Ini memungkinkan muskulus
sfingter ani interna untuk memulihkan tonus ototnya dan menutup kanalis
analis.
3.2 Epidemiologi kanker rektum
Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat
insiden dan mortalitas.1,11 Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden
kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5 persen pria
penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya
mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.1
17
Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan
Selandia baru; sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India,
Amerika Selatan dan Arab Israel.2,12
Sekitar 135.000 kasus baru kanker kolorektal terjadi di Amerika Serikat
setiap tahunnya, dan menyebabkan angka kematian sekitar 55.000. Sepertiga
kasus ini terjadi di kolon dan 2/3 di rektum. Adenokarsinoma merupakan jenis
terbanyak (98%), jenis lainnya yaitu karsinoid (0,1%), limfoma (1,3%), dan
sarkoma (0,3%) .10
Insidensi kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga
angka kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih
banyak pada orang muda. Sekitar 75 % ditemukan di rektosigmoid. Di Negara
barat, perbandingan insiden pria : wanita = 3 : 1 dan kurang dari 50 %
ditemukan di rektosigmoid dan merupakan penyakit orang usia lanjut. 13 Pada
tahun 2002 kanker kolorektal berada pada peringkat kedua pada kasus kanker
yang dialami oleh pasien pria setelah kanker paru pada urutan pertama,
sedangkan pada pasien wanita kanker kolorektal berada pada urutan ketiga
setelah kanker payudara dan kanker leher rahim. 12. Histopatologis dari
kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma lainnya
(termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa
sarcoma, sedangkan untuk lokasinya, sebagian besar terdapat di rektum
(51,6%), diikuti oleh kolon sigmoid (18,8%), kolon descendens (8,6%), kolon
transversum (8,06%), kolon ascendens (7,8%), dan multifokal (0,28%)
Berdasarkan penelitian pada tahun 2006-2010, angka kejadian kanker
kolo rectal di RS. AWS Samarinda berjumlah 160 orang, hasil penelitian
mengenai jenis kelamin sampel, jumlah pria lebih banyak yaitu 81 orang dan
wanita 65 orang, dan untuk jenis terbanyak didapatkan hasil Adeno Ca (130
orang), Mucinous Ca (4 orang), Signet ring cell Ca (4 orang), Lymphoma (4
orang), Carcinoid cell Ca (2 orang), Sarcoma (2 orang) serta berdasarkan usia
sampel, didapatkan terbanyak pada usia 31-40 tahun.14
18
Gambar 4. Insidensi kanker di Indonesia pada tahun
20023.3Etiologi
Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma
rectum sama seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui penyebabnya.
Faktor predisposisi munculnya karsinoma rektum adalah polyposis familial,
defisiensi Imunologi, kolitis ulseratifa, granulomartosis dan Kolitis. Faktor
predisposisi penting lainnya yang mungkin berkaitan adalah kebiasaan makan.
Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi protein hewani dan lemak,
memiliki insiden yang cukup tinggi.15
Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan bahwa
diet rendah serat, tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan perubahan pada flora
feces dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan
protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet
rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik
dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa transisi feses meningkat.
Akibatnya kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus
bertambah lama.15
3.3 Patofisiologi Kanker Rektum
19
Gambar 5. Patofisiologi kanker
rektum
Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami
regenerasi setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma terjadi
perubahan genetik yang mengganggu proses differensiasi dan maturasi dari
sel-sel tersebut yang dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis
coli (APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi tak terkontrol. Peningkatan
jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan menyebabkan
terjadinya mutasi yang akan mengaktivasi K- ras onkogen dan mutasi gen p53,
hal ini akan mencegah terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel.
Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul
dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas
dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur
sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke
dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).
3.4 Faktor resiko 2, 16, 17,18,19
Etiologi dari kanker rektum sendiri belum diketahui, namun beberapa
faktor resiko telah ditemukan dapat menyebabkan terjadinya kanker rektum.
Beberapa faktor resiko yang berperan antara lain:
1. Faktor genetik seperti familial adenomatous polyposis (FAP) dan
hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC).
20
Gambar 6. Familial Adenomatous
Polyposis
Gambar 7. Kolitis Ulseratif
2. Inflamatory bowel disease seperti penyakit crohn dan kolitis ulseratif.
21
Gambar 8. Crohn’s
Disease
3. Riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal.
4. Riwayat menderita polip, kanker ovarium, endometriosis, dan kanker
payudara.
5. Umur di atas 40 tahun.
Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama
pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, 1 dan hanya 3% dari
kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun.2 55%
kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun 13
6. Diet tinggi lemak rendah serat
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah
serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada
kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak
menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. 20
7. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga
kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang
besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko
dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar. 21
3.5 Deteksi dini
22
Karsinoma rekti seringkali asimptomatis dan ditemukan dalam
keadaan sudah stadium lanjut. Komite kesehatan dan penelitian Amerika
merekomendasikan skrining pada populasi-populasi dengan kriteria tertentu,
sebagai berikut:
23
3.6 Diagnosis Klinis
1. Anamnesa
Anamnesa keluhan utama dan riwayat penyakit memegang peranan yang
sangat penting dalam penegakkan diagnosis. Berikut ini merupakan gejala
yang seringkali dikeluhkan oleh pasien dengan karsinoma rekti:
1. Diare palsu atau “spurious diarrhoea”
Diare palsu merupakan keluhan BAB yang frekuensi tetapi hanya
sedikit yang keluar disertai dengan lendir dan darah serta adanya
rasa tidak puas setelah BAB. Terjadinya diare palsu oleh karena
adanya proses keganasan pada epitel kelenjar mukosa rektum,
berupa suatu massa tumor, dimana tumor akan merangsang
keinginan untuk defekasi, tetapi yang keluar hanya sedikit disertai
hasil sekresi kelenjar berupa mukus dan darah oleh karena
rapuhnya massa tumor.
2. BAB berlendir
BAB berlendir seperti halnya diare palsu merupakan manifestasi
adanya proses keganasan pada epitel kelenjar mukosa rektum dan
hal ini jarang didapatkan pada penderita hemorrhoid.
3. Feses pipih seperti kotoran kambing
Bentuk feses yang pipih seperti kotoran kambing sangat tergantung
dari bentuk makroskopis massa tumor pada rektum. Pada stadium
dini dimana tumor masih kecil dan tidak berbentuk anuler, jarang
ditemukan perubahan bentuk feses.
4. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan pada dasarnya akan terjadi pada semua
penderita dengan keganasan, terutama pada stadium lanjut.
Penderita dengan keganasan akan mengalami perubahan
metabolisme oleh karena adanya reaksi inflamasi tumor dengan
host. Adanya peningkatan metabolisme protein, karbohidrat, dan
lemak akan menyebabkan keseimbangan energi-protein menjadi
negatif sehingga diikuti dengan penurunan berat badan. Pada
24
Tabel 1. Perbedaan gejala dan karsinoma kolorektal berdasarkan letaknya.3
karsinoma rekti dapat terjadi obstruksi parsial sehingga penderita
akan mengeluhkan perut terasa kembung dan nafsu makan
menurun. Penurunan berat badan yang terjadi biasanya ringan.
5. Perdarahan bercampur tinja
Perdarahan pada keganasan kolorektal terjadi karena adanya proses
inflamasi pada massa tumor. Sifat perdarahan yang keluar akan
bercampur dengan tinja dan berwarna kehitaman jika massa tumor
terdapat pada kolon proksimal, sedangkan darah yang keluar akan
berwarna merah segar jika lokasi massa tumor pada kolon
distal.2,22,15
Berikut ini adalah perbandingan antara karsinoma rektum dengan karsinoma
kolon kiri dan kanan:
Kolon kanan Kolon kiri Rektum
Aspek klinis Kolitis Obstruksi Proktitis
NyeriKarena
penyusupanKarena obstruksi Tenesmus
Defekasi Diare Konstipasi progresifTenesmi terus-
menerus
Obstruksi Jarang Hampir selalu Tidak jarang
Darah pada
fesesSamar
Samar atau
makroskopisMakroskopis
Feses Normal Normal Perubahan bentuk
Dispepsia Sering Jarang Jarang
25
Memburuknya
KUHampir selalu Lambat Lambat
Anemia Hampir selalu Lambat Lambat
Tabel 2. Ringkasan diagnosis karsinoma kolorektal.3
Kolon
kanan
Anemia dan kelemahan
Darah samar di feses
Dispepsia
Perasaan tidak enak di perut kanan bawah
Massa di perut kanan bawah
Kolon
kiri
Perubahan pola defekasi
Darah di feses
Gejala dan tanda obstruksi
Rektum Perdarahan rektum
Darah di feses
Perubahan pola defekasi
Pasca defekasi masih ada perasaan tidak puas atau
penuh
Penemuan tumor pada colok dubur
Penemuan tumor pada rektosigmoidoskopi
26
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastase seperti
pembesaran KGB atau hepatomegali. Dari pemeriksaan colok dubur dapat
diketahui : 1,7
Adanya tumor rektum
Lokasi dan jarak dari anus
Posisi tumor, melingkar / menyumbat lumen
Perlengketan dengan jaringan sekitar
3. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum,
antara lain:
1. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.
Jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus
dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis
yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar.
Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors,
adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors.2
2. Pemeriksaan Tumor marker : CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA
242, CA 19-9 2
3. uji FOBT (Faecal Occult Blood Test) untuk melihat perdarahan di
jaringan.18,22,23
4. Digital rectal examination atau biasa disebut rectal touche (colok dubur).
Sekitar 75% karsinoma rekti dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal.
Pemeriksaan dengan rektal touche akan mengenali tumor yang terletak
sekitar 10 cm dari rektum, massa akan teraba keras dan menggaung.17
27
Gambar 9. Colok dubur pada karsinoma
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian
terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar
prostat atau ujung os coccygis.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek
terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat
digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah
mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan
fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti
kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding
anterior uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan
karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau
fiksasi lesi.
5. Foto rontgen dengan barium enema yaitu cairan yang mengandung
barium, dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foro
rontgen.
28
Gambar 10. Foto rontgen dengan barium enema
6. Endoskopi
a. Sigmoidoskopi
yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat
sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid,
polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.
Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50
tahun merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening
seseorang yang asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko
menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip adenomatous
yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi
untuk dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm),
adenoma yang berada di distal kolon biasanya berhubungan dengan
neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien. 18
29
Gambar 11.
sigmoidoskopi
Gambar12. Kolonoskopi
b. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran
seluruh mukosa kolon dan rectum Sebuah standar kolonoskopi panjangnya
dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat
untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan
keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik
daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah
kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol
perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur
yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi
anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien.
Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis
dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis,
sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur
kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi
utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik. 18
30
7. Virtual colonoscopy (CT colonography)Kolonoskopi virtual merupakan diagnostik non-invasif yang baru,
menggunakan X-ray dan software komputer,untuk melihat dua dan tiga-
dimensi dari seluruh usus besar dan rektum untuk mendeteksi polip dan
kanker kolorektal.14
8. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik
imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien
dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.18
a. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker
kolon pre operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar
adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan
sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA
yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan
mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan
kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum
tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke
dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran
kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT dengan
kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada
hepar dan daerah intraperitoneal.
31
\
b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan
sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan
menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada
CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke
hepar.
c. Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari
kedalaman invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari
EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital rektal
examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat
adanya tumor dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas
tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi
pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan
dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa
perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.
Cara pemeriksaan Persentase
Colok dubur
Rektosigmoidoskopi
Foto kolon dengan barium
kontras
Kolonoskopi
40%
75%
90%
100%
(hampir)
32
Tabel 3. Diagnosis pasti untuk karsinoma rectum.3
4. Klasifikasi karsinoma rektum
1. Berdasarkan klasifikasi Dukes
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam
rektum.yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai
lapisan muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum
tapi tidak menyebar kebagian terluar dinding rektum ataupun
keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan
terdekat namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes
B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat,
tapi tidak menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C
rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada
stadium IV,
kanker
33
telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau
ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer
Gambar 13. Stadium Ca Recti I-IV
2. Berdasarkan sistem TNM
Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System*
TNM
Stadium
Modifie
d Dukes
Stadium
Deskripsi
T1 N0
M0
A Tumor terbatas pada submucosa
T2 N0
M0
B1 Tumor terbatas pada muscularis
propria
T3 N0
M0
B2 Penyebaran transmural
T2 N1
M0
C1 T2, pembesaran kelenjar mesenteric
T3 N1
M0
C2 T3, pembesaran kelenjar mesenteric
T4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan
34
Any T,
M1
D Metastasis jauh
*Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)
3.7 Penatalaksanaan
Berbagai jenis terapi dapat digunakan pada pasien dengan kanker rektum.
Tiga terapi standar yang digunakan antara lain adalah:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium 1 dan 2 kanker rektum, bahkan pada suspek stadium 3 juga
masih dapat dilakukan pembedahan. Seiring perkembangan ilmu
pengetahuan, sekarang sebelum dioperasi pasien diberi presurgical
treatment berupa radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi
sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan
terapi ini biasanya digunakan pada pasien dengan kanker rektum stadium
2 dan 3. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan,
meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi,
beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi pasca
pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal. Adapun jenis
pembedahan yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Eksisi lokal
Eksisi lokal jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor
dapat dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika
tumor ditemukan dalam bentuk polip, maka operasinya disebut
polypectomy. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada
karsinoma terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara
lain dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan
tingkat penyebaran di dalam dinding rektum clan adanya kelenjar ganas
pararektal.
b. Low anterior resection (LAR)
35
Metode ini digunakan untuk lesi yang terletak di tengah atau 1/3
atas rektum. Untuk masa tumor lebih 5 cm dari anokutan dipertimbangkan
reseksi rectum rendah (LowAnteriorResection/LAR), sehingga tidak perlu
kolostomi.
Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah.
Kanker yang berada di lokasi 1/3 atas dan tengah (5 s/d 15 cm dari garis
dentate) dapat dilakukan ” restorative anterior resection” kanker 1/3 distal
rectum merupakan masalah pelik. Jarak antara pinggir bawah tumor dan
garis dentate merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan
jenis operasi.
Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa
kegagalan operasi ”Low anterior resection ” akan terjadi pada kanker
rectum dengan jarak bawah rectum normal 2 cm. Angka 5 cm telah
diterima sebagai jarak keberhasilan terapi. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh venara dkk pada 243 kasus menyimpulkan bahwa jarak lebih dari 3
cm dari garis dentate aman untuk dilakukan operasi ” Restorative
resection”. ”Colonal anastomosis” diilhami oleh hasil operasi Ravitch dan
Sabiston yang dilakukan pada kasus kolitis ulseratif. Operasi ini dapat
36
Gambar 14. A, Low anterior resection; B,C, coloanal anastomosis;
D, j pouch construction creating a reservoir.
diterapkan pada kanker rectum letak bawah, dimana teknik stapler tidak
dapat dipergunakan. Local excision dapat diterapkan untuk mengobati
kanker rectum dini yang terbukti belum memperlihatkan tanda-tanda
metastasis ke kelenjar getah bening. Operasi ini dapat dilakukan melalui
beberapa pendekatan yaitu transanal, transpinchteric atau transsacral.
Pendekatan transpinshter dan transacral memungkinkan untuk dapat
mengamati kelenjar mesorectal untuk mendeteksi kemungkinan telah
terjadi metastasis. Sedang pendekatan transanal memiliki kekurangan
untuk mengamati keterlibatan kelenjar pararektal.
Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi
dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal
atau koloanal rendah.
c. Abdominal perineal resection (Miles procedure)
Untuk masa tumor < 5 cm dari anokutan. Pengangkatan kanker
rektum biasanya dilakukan dengan reseksi abdominoperianal,
termasuk pengangkatan seluruh rectum, mesorektum dan bagian dari
otot levator ani dan dubur. Prosedur ini merupakan pengobatan yang
efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi permanen.
Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan
mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal
dilakukan amputasi rektum melalui reseksi abdominoperineal Quenu-
Miles. Pada operasi ini anus turut dikeluarkan.
Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles,
rektum dan sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk
kelenjar limf pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar limf
retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal anus dieksisi dan
dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui abdomen.
37
Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum
1. Indikasi
Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate
T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated
secara histologi
Ukuran kurang dari 3-4 cm
2. Kontraindikasi
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound
Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi
38
Gambar 15. Abdominoperineal resection with colostomy
Gambar 14. Pembedahan pada CA Recti
2. Radiasi
Pada kasus stadium 2 dan 3, radiasi dapat mengecilkan ukuran
tumor sebelum dilakukan pembedahan, dalam hal ini radiasi berperan
sebagai preoperative treatment. Peran lainnya radioterapi adalah sebagai
terapi tambahan untuk kasus tumor lokal yang telah diangkat melalui
pembedahan dan untuk penanganan kasus metastase jauh. Jika radioterapi
pasca pembedahan dikombinasikan dengan kemoterapi, maka akan
menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan
menurunkan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastase
jauh, radiasi telah terbukti dapat mengurangi efek dari metastase tersebut
terutama pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi
paliatif pada pasien dengan tumor lokal yang unresectable.
Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal
radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung
pada tipe dan stadium dari kanker. Eksternal radiasi (external beam
therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat
diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel
kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan
yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian
radiasi hanya berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy,
implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh
sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi
39
disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau
implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi
yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan
dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara
sementara menetap didalam tubuh.24, 25
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy digunakan untuk menangani pasien yang
tidak terbukti memiliki penyakit residual tetapi beresiko tinggi mengalami
kekambuhan. Terapi ini digunakan pada tumor yang menembus sangat
dalam atau tumor lokal yang bergerombol (stadium 2 dan 3). Terapi
standar kemoterapi tersebut adalah fluorouracil (5-FU) yang
dikombinasikan dengan leucovorin dalam waktu 6-12 bulan. Obat lain
yaitu levamisole dapat menjadi pengganti leucovorin jika tidak tersedia.
Protokol kemoterapi ini telah terbukti menurunkan angka kekambuhan
sebesar 15% dan menurunkan angka kematian sebesar 10%. 2, 18
4. Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan
follow up untuk rekurensi tumor pada pasien yang telah ditangani dengan
kanker kolon. Beberapa tenaga kesehatan telah menggunakan pendekatan
nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi adanya rekurensi
dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka
waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah
ditangani dari kanker kolon mempunyai insiden yang tinggi dari
metachronous kanker kolon. Deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat
pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi follow up
termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati,
CEA, foto polos thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan.17
Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya akan kembali normal antara 6
minggu setelah pembedahan.2
1. Evaluasi klinik
40
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up
adalah untuk mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker
kolorektal membentuk satu atau beberapa tempat metastasis di hepar,
paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor primer telah
diangkat.2
2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan
dalam mendeteksi rekurensi.2
3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan
kolonoskopi 3 sampai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan
tidak adanya neoplasma yang tertinggal di kolon. Tujuan dilakukannya
endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor,
suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada
maka kolonoskopi dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah
pembedahan, jika negatif maka endoskopi dilakukan lagi dengan
interval 2-3 tahun.2
4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan
lebih jauh untuk mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya
sangat membantu dalam mengidentifikasi metastasis ke hepar. Jika
dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu
diagnosa daripada CT scan.2
3.8 Prognosa
Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting,.Grade
histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping stadium.
Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-
year survival yang lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated
karsinoma (grade 3 dan 4). Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik
41
yang independen. Pada stage yang sama pasien dengan tumor yang berada di
rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan dengan
tumor yang berada di kolon.2
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah
sebagai berikut :
a. Stadium I - 72%
b. Stadium II - 54%
c. Stadium III - 39%
d. Stadium IV - 7%
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi
pada. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama
setelah operasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi
termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk
memperoleh batas - batas negatif tumor. 7
42
BAB IV
ANALISA KASUS
Seorang perempuan, berusia 60 tahun, bertempat tinggal Jl. Kirangga
Wirasantika Rt/Rw 12/04 Kecamatan 30 Ilir. berkebangsaan Indonesia,
agama Islam, menjalani rawat inap di Ruang perawatan kelas 2 BARI dari
tanggal 12 Juli 2014.
Pasien mengaku ambeien yang tidak bisa masuk sejak 3 bulan yang
lalu. Amebeien terasa keras dan sakit saat duduk ataupun berjalan.
Sejak 1 tahun yang lalu, pasien mengatakan ambeian sudah timbul
namun bisa masuk kembali dan tidak mengeluarkan darah. BAB mencret lebih
dari 3x sehari. Sebelum ambeien pasien mengeluh sering BAB keras.
± 3 bulan yang lalu pasien mengatakan ambeien tidak bisa masuk
kembali, keras, berdarah (segar) secara tiba-tiba dan nyeri. Mual (-) muntah (-)
nafsu makan menurun. BAB selalu mencret tidak pernah normal.
Pada pemeriksaan fisik status generalis di dapatkan conjungtiva
anemis, kelenjar getah tidak membesar, pada thoraks untuk pulmo didapatkan
vesikuler sinistra > dextra, stemfremitus (Sinistra>dextra) karena berdasarkan
rontgen thorak didapatkan gambaran bronchiectasis. Untuk Cor didapatkan
ichtus cordis di ICS 6 saat palpasi serta batas-batas jantung yang melebar saat
diperkusi. Pada abdomen ditemukan BU (+) meningkat dan pada ekstremitas
inferior didapatkan 1 nodul dengan diameter 3 cm pada lipat paha kiri, Nyeri
tekan (-).
Pada status lokalis di regio perianal, terdapat tumor yang berukuran
4x4cm. Pada palpasi permukaan tumor berdungkul, keras, batas tidak tegas,
warna serta suhu pada daerah benjolan tidak sama dengan area sekitar. Saat
dilakukan Rectal touche, Tonus Sfingter ani (+), Massa berdungkul sampai
dengan 5cm kedalam, Lokasi maasa dari anus sampai 5 cm ke lumen rectum,
Feses(-) darah (+) lender (-).
43
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien ini didiagnosa dengan Karsinoma Anorektal T4N2M0.
Penatalaksanaan pada penderita yaitu dengan Abdominal perineal resection
(Miles procedure). Prognosis pasien ini quo ad vitam adalah dubia dan quo
ad functionam adalah malam.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes. 2006. Gaya hidup penyebab kolorektol, (Online), (http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2058&Itemid=2, diakses 24 Agustus 2011).
2. Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams & Wilkins: USA.p 201
3. Syamsuhidajat R, Jong Wim D,(eds). 2004. buku ajar Ilmu Bedah 2nd ed. EGC: jakarta.
4. WHO. 2006. The Impact of Cancer, (Online), (http://www.who.int /ncd_ surveillance/infobase/web/InfoBasePolicyMaker/reports/ReporterFullView.aspx?id=5, diakses 24 Agustus 2011).
5. Depkes. 2006. Deteksi Dini Kanker Usus Besar, (Online), (http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/KankerUsus011106.htm, diakses 24 Agustus 2011).
6. Samiadji, S. 1995. Akurasi Keluhan Berak Darah dan Penurunan Berat Badan dalam Diagnosis Karsinoma Rekti. Tesis. Semarang: FK UNDIP
7. Elizabeth., Cirincione, 2005. Rectal Cancer. Available from www.emedicine.com. (Download : 24 Agustus 2011).
8. Tim pengajar anatomi. 2001. Situs Abdominis. laboratorium anatomi histologi fakultas kedokteran universitas airlangga: surabaya.
9. Snell RS. 2004. Clinical Anatomy 7th ed. Lippincott Williams & Wilkins.USA.
10. Stewart SL, Wike JM, Kato I, Lewis DR, Michaud F. a population based study of colorectal cancer histology in United States 1998-2001. cancer, (online)2006; 107(5 suppl): American Cancer Society, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
11. Kastomo DR, Soemardi A. Tindakan Bedah pada Keganasan Kolorektal Stadium Lanjut. Maj Kedokt Indon, 2005 Juli; Vol 55 No 7, p 499-500.
12. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4, (http://www.apocp.org/ cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf, diakses 24 Agustus 2011).
45
13. Boyle P, Ferlay J. Cancer Incidence and Mortality in Europe 2004. Ann Oncol, (online), 2005 Mar; 16(3):481-8, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
14. Mukhtar, S. 2010. Colo-rectal Cancer in A. Wahab Sjahranie General Hospital Samarinda, East Borneo. Samarinda
15. Price, S. dan Wilson, L. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC
16. Suyono S.In : Boedi Darmojo R, Pranarka K. (eds.). 2001. buku ajar Ilmu Penyakit Dalam II 3th Ed. balai penerbit FKUI: jakarta. p 24
17. Silalahi J. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis. Cermin Dunia Kedokteran, (Online), 2006; 153: 40, (diakses 24 Agustus 2011).
18. Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies.
19. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England Journal of Medicine, (online), 2003 march 6; 348:919-932, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
20. Michels KB, Giovannucci E, Joshipura KJ, Rosner BA, Stampfer MJ, Fuchs CS, Colditz GA, Speizer FE, Willett WC. Prospective study of fruit and vegetable consumption and incidence of colon and rectal cancers. J Natl Cancer Inst. (online). 2001 Jun 6; 93(11):879, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
21. Giovannucci E. An updated review of the epidemiological evidence that cigarette smoking increases risk of colorectal cancer. Cancer Epidemiol BiomarkersPrev. (online). 2001Jul; 10(7):725-31, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
22. Hassan, Isaac., 2006. Rectal carcinoma. Available from www.emedicine.com. (Download : 24 Agustus 2011
23. Moayyedi P, Achkar E. Does fecal occult blood testing really reduce mortality? A reanalysis of systematic review data. Am J Gastroenterol. (online). 2006 Feb; 101(2): 380-4, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
24. Beaumont hospitals. 2006. Colorectal Cancer, (Online), (http://www.beaumont hospi tals.com/pls/ portal30/site. Web pkg. page?xpageid=P07164, diakses 24 Agustus 2011).
46
25. Henry ford. 2006. What is Radiation Therapy?, (Online), (http://www.Henry ford.com/body. cfm?id=39201, diakses 24 Agustus 2011).
47
48
49
50
51
52
53