uji pengaruh sublethal insektisida organofosfat …repository.ub.ac.id/7639/1/hervin indah catur...
TRANSCRIPT
i
UJI PENGARUH SUBLETHAL INSEKTISIDA ORGANOFOSFAT DENGAN BAHAN AKTIF DIMETOAT TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS
(Cyprinus carpio)
SKRIPSI
Oleh:
HERVIN INDAH CATUR WULAN NIM. 135080100111042
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
i
UJI PENGARUH SUBLETHAL INSEKTISIDA ORGANOFOSFAT DENGAN
BAHAN AKTIF DIMETOAT TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS
(Cyprinus carpio)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya
Oleh:
HERVIN INDAH CATUR WULAN NIM. 135080100111042
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG November, 2017
iii
HALAMAN IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul :UJI PENGARUH SUBLETHAL INSEKTISIDA
ORGANOFOSFAT DENGAN BAHAN AKTIF DIMETOAT
TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS
(Cyprinus carpio)
Nama Mahasiswa : HERVIN INDAH CATUR WULAN
NIM : 135080100111042
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING:
Pembimbing 1 : DR. IR. MOHAMMAD MAHMUDI, MS
Pembimbing 2 : NANIK RETNO BUWONO, S.Pi, MP
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:
Dosen Penguji 1 : DR. UUN YANUHAR, S.Pi, MSi
Dosen Penguji 2 : DR. ASUS MAIZAR S. H, S.Pi, MSi
Tanggal Ujian : 28 November 2017
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillaahi Robbil’alamiin, dengan ungkapan rasa syukur pada Allah
Yang Maha Kuasa, Skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar
sarjana ini telah selesai disusun. Sholawat serta salam yang senantiasa
dicurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Pada kesempatan ini,
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
• Allah SWT, yang telah memberikan nikmat sehat dan kelancaran serta
kemudahan dalam kehidupan saya dan dalam penyelesaian skripsi ini.
• Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS selaku dosen pembimbing pertama dan
Nanik Retno Buwono, S.Pi, MP selaku dosen pembimbing kedua atas
kesediaan waktu, tenaga, pemikirannya untuk senantiasa membimbing,
mengarahkan, memberikan motivasi dan memberikan nasihat kepada
saya sehingga dapat menyelesaikan laporan skripsi ini.
• Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, MSi selaku dosen penguji pertama dan Dr. Asus
Maizar S. H, S.Pi, MP selaku dosen penguji kedua atas kesediaan waktu
untuk senantiasa mengarahkan dan memberikan motivasi serta
memberikan nasihat kepada saya sehingga dapat menyelesaikan laporan
skripsi ini.
• Orangtua tercinta, Bapak “Agus Bambang Sudarmoko”, Ibu “Sutiyem”,
kakak tersayang “Eka Diyan Agustina”, “R. Nanang Dwi Agus Setyo
Nugroho” dan “Anita Tri Andriani” yang selalu mendoakan untuk
kelancaran skripsi ini dan semangat serta motivasi yang selalu diberikan
untuk menyelesaikan laporan skripsi ini.
• Eyang tri ku tercinta dan tersayang “Suparti” terimakasih karena sudah
membesarkan cucu seperti saya sekarang, terimakasih karena sudah
menjadi nenek untuk saya. Maafkan cucumu ini yang belum bisa
v
membahagiakan eyang, semoga tenang di surga eyang, saya akan selalu
mendoakan eyang di sana.
• Sahabat – sahabat tercinta yang selalu memberi semangat, dorongan
untuk menyelesaikan laporan, selalu ada di saat suka duka, maaf sudah
banyak merepotkan Nurhayati, Denia Intan Permatasari, Shofikha
Azlinda, Mimin Wirawati, Hanif Isrochatin, Anggi Novalina, Dewi
Mangshuroh.
• Sahabat – sahabat Kos 79 tersayang yang senantiasa memberikan
semangat, selalu menghibur di saat susah maupun senang, meskipun
kita berbeda – beda asal tetapi kita sudah menjadi keluarga Sistiani Nur
Annisa, Gresylia Nindria Ikasari (adikku tersayang), Tyara Dea Pramita,
Sekar Garini Herdianti, Alfin Nurindah, Eggi Pur Pinandita, Rosabela
Sayu, Jhesline.
• Teman – teman MSP angkatan 2013 yang selalu bekerja sama dan saling
memberikan dukungan serta motivasi dalam kebersamaan.
Malang,
Hervin Indah Catur W.
vi
RINGKASAN
Hervin Indah Catur Wulan. Skripsi. Uji Pengaruh Sublethal Insektisida Organofosfat dengan Bahan Aktif Dimetoat Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan Mas (Cyprinus carpio) (di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS dan Ibu Nanik Retno Buwono, S.Pi, MP).
Pestisida dalam bidang pertanian digunakan untuk membasmi hama
tanaman. Insektisida adalah salah satu jenis pestisida yang sering digunakan untuk membasmi dan membunuh hama yang bertujuan meningkatkan produksi pertanian. Namun, penggunaan insektisida secara terus menerus tanpa terkontrol akan menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga dapat menurunkan kualitas perairan dan kematian organisme non target, salah satunya ikan yang dipelihara di sawah, kolam atau sungai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sublethal insektisida berbahan aktif dimetoat terhadap kelangsungan hidup dan histologi organ insang ikan mas (Cyprinus carpio). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Agustus 2017 di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen. Rancangan percobaan yang digunakna dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian ini memiliki tahapan yaitu uji pendahuluan, uji toksisitas akut (LC50), uji sesungguhnya (uji sublethal), dan histologi organ insang ikan mas (Cyprinus carpio). Konsentrasi perlakuan yang digunakan pada uji pengaruh sublethal insektisida dimetoat terdiri dari A yaitu 0 ppm (kontrol tanpa pemberian insektisida), B yaitu 0,26 ppm (10% dari LC50), C yaitu 0,78 ppm (30% dari LC50), D yaitu 1,3 ppm (50% dari LC50), E yaitu 1,82 ppm (70% dari LC50) dan F yaitu 2,34 ppm (90% dari LC50). Analisis data yang digunakan pada uji toksisitas (LC50) adalah analisa probit, pada laju pertumbuhan spesifik (SGR) dan kelangsungan hidup ikan (SR) menggunakan ANOVA.
Hasil dari uji pendahuluan adalah didapatkan nilai ambang lethal bawah sebesar 1 ppm dan nilai ambang lethal atas sebesar 10 ppm, sehingga konsentrasi yang digunakan pada uji toksisitas akut berkisar antara 1 ppm sampai 10 ppm. Hasil dari uji toksisitas akut (LC50) adalah 2,60 ppm dan merupakan insektisida yang memiliki daya racun tinggi. Hasil dari laju pertumbuhan spesifik (SGR) yang tertinggi pada perlakuan A yaitu 0 ppm (kontrol) sebesar 2,458% per hari dan hasil SGR terendah pada perlakuan F yaitu 2,34 ppm (90% dari LC50) sebesar 0,675% per hari. Hasil dari SR tertinggi pada perlakuan A yaitu 0 ppm (kontrol) sebesar 100% dan SR terendah pada perlakuan F yaitu 2,34 ppm (90% dari LC50) sebesar 72,5%. Persentase kerusakan insang ikan mas tertinggi pada perlakuan F yaitu 2,34 ppm (90% dari LC50) sebesar 18,37 % dan persentase kerusakan insang ikan mas terendah pada perlakuan B yaitu 0,26 ppm (10% dari LC50) sebesar 6,38%, sedangkan pada insang ikan mas perlakuan A yaitu 0 ppm (kontrol) tidak terjadi kerusakan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi perlakuan insektisida yang diberikan pada ikan mas maka laju pertumbuhan (SGR) dan SR mengalami penurunan. Namun semakin tinggi konsentrasi perlakuan insektisida yang diberikan pada ikan mas maka persentase kerusakan insang ikan mas
vii
semakin tinggi pula. Hasil pengukuran kualitas air yaitu pH berkisar antara 7,33 – 7,64; suhu berkisar antara 27 derajat celcius sampai 27,5 derajat celcius, dan DO berkisar antara 6,39 mg/l – 7 mg/l.
Berdasarkan hasil penelitian tentang uji pengaruh sublethal insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap kelangsungan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) bahwa insektisida dimetoat memiliki daya racun yang tinggi, hal ini sesuai dengan hasil LC50 sebesar 2,60 ppm. Dari hasil uji sublethal insektisida dimetoat menunjukkan bahwa semakin meningkatnya konsentrasi perlakuan insektisida yang diberikan pada ikan mas didapatkan Survival Rate (SR) masih dalam kisaran yang baik atau ikan masih dapat bertahan hidup. Hasil laju pertumbuhan spesifik harian (SGR) mengalami penurunan dan menyebabkan kerusakan organ insang pada ikan mas (Cyprinus carpio).
viii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Skripsi yang berjudul “Uji Pengaruh Sublethal Insektisida Organofosfat
Dengan Bahan Aktif Dimetoat Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan Mas
(Cyprinus carpio)”. Laporan Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Perikanan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya, Malang.
Dalam penyusunan Skripsi ini penulis menyadari adanya kekurangan, oleh
sebab itu segala kritik dan saran yang membangun penulis terima dengan
senang hati. Semoga Laporan Skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan
bermanfaat bagi pembaca.
Malang, Oktober 2017
Mahasiswa
Hervin Indah Catur Wulan
ix
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ...................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii
1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 4 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 4 1.4 Kegunaan Penelitian ......................................................................................... 4 1.5 Waktu dan Tempat ............................................................................................ 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 6 2.1 Pestisida .............................................................................................................. 6 2.2 Insektisida Organofosfat ................................................................................... 8 2.3 Dimetoat .............................................................................................................. 9 2.4 Toksikologi ........................................................................................................ 11
2.4.1 Definisi Toksikologi...................................................................... 11 2.4.2 Uji Toksisitas ............................................................................... 12 2.4.3 Uji Sublethal ................................................................................ 14
2.5 Histologi ............................................................................................................. 14 2.6 Mekanisme Insektisida Masuk Ke Dalam Tubuh Organisme ................... 15 2.7 Ikan Mas (Cyprinus carpio) ............................................................................ 16
2.7.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Mas .............................................. 16 2.7.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Mas ....................................... 18 2.7.3 Laju Pertumbuhan ....................................................................... 18 2.7.4 Insang Ikan Mas .......................................................................... 19
2.8 Parameter Kualitas Air .................................................................................... 21 2.8.1 pH ............................................................................................... 21 2.8.2 Suhu ........................................................................................... 21 2.8.3 DO .............................................................................................. 22
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN ....................................................... 23 3.1 Materi Penelitian .............................................................................................. 23 3.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................. 23 3.3 Metode Penelitian ............................................................................................ 23 3.4 Rancangan Penelitian ..................................................................................... 24 3.5 Tahap Penelitian .............................................................................................. 27
x
3.5.1 Aklimatisasi Hewan Uji ................................................................ 27 3.5.2 Uji Pendahuluan .......................................................................... 28 3.5.3 Uji Toksisitas Akut (LC50) ............................................................. 30 3.5.4 Uji Sesungguhnya (Uji Sublethal) ................................................ 31
3.6 Analisis Parameter Kualitas Air ..................................................................... 32 3.6.1 pH ............................................................................................... 32 3.6.2 Suhu ........................................................................................... 32 3.6.3 DO .............................................................................................. 33
3.7 Prosedur Penelitian Insang Ikan Mas ........................................................... 33 3.7.1 Pengambilan Sampel Insang ....................................................... 33 3.7.2 Pembuatan Preparat ................................................................... 33 3.7.3 Pengamatan Kerusakan Insang Ikan Mas ................................... 35 3.7.4 Persentase Kerusakan Insang Ikan Mas ..................................... 36
3.8 Perhitungan SGR ............................................................................................. 36 3.9 Perhitungan SR ................................................................................................ 37 3.10 Analisis Data ................................................................................................... 37
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 39 4.1 Hasil Uji Toksisitas Insektisida Dimetoat ..................................................... 39
4.1.1 Hasil Penelitian Uji Pendahuluan ................................................. 39 4.1.2 Hasil Uji Toksisitas Akut (Penentuan LC50) .................................. 40
4.2 Laju Pertumbuhan Spesifik/Spesific Growth Rate (SGR) Berat Ikan Mas yang Terpapar Insektisida Berbahan Aktif Dimetoat ................................. 43
4.3 Kelangsungan Hidup/ Survival Rate (SR) Ikan Mas yang Terpapar Insektisida Berbahan Aktif Dimetoat ............................................................ 47
4.4 Histologi Insang Ikan Mas ............................................................................. 50 4.4.1 Gambaran Hitologi Insang Ikan Mas Kontrol (0 ppm) .................. 50 4.4.2 Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Perlakuan B (0,26 ppm) ... 51 4.4.3 Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Perlakuan C (0,78 ppm) ... 53 4.4.4 Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Perlakuan D (1,3 ppm) ..... 55 4.4.5 Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Perlakuan E (1,82 ppm) ... 56 4.4.6 Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Perlakuan F (2,34 ppm) .... 58 4.4.7 Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Mas ....................... 60
4.5 Analisis Parameter Kualitas Air ..................................................................... 62 4.5.1 pH ............................................................................................... 62 4.5.2 Suhu ........................................................................................... 63 4.5.3 DO (Dissolved Oxygen) ............................................................... 64
5. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 66 5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 66 5.2 Saran ................................................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
LAMPIRAN ....................................................................................................... 74
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Nilai Pengamatan .......................................................................................... 26
2. Sidik Ragam untuk RAL ................................................................................. 27
3. Data Mortalitas Ikan Mas (Cyprinus carpio) pada Uji Pendahuluan ................ 39
4. Data Mortalitas Ikan Mas (Cyprinus carpio) pada Uji Toksisitas Akut ............. 40
5. Hasil Rata – Rata Pengaruh Perlakuan Insektisida Dimetoat terhadap SGR Berat Ikan Mas (Cyprinus carpio) .................................................................. 44
6. Uji ANOVA Pengaruh Perlakuan Insektisida Dimetoat terhadap SGR Berat Ikan Mas (Cyprinus carpio) ........................................................................... 45
7. Hasil Pengaruh Perlakuan Insektisida Dimetoat terhadap SR Ikan Mas (Cyprinus carpio) ........................................................................................... 47
8. Uji ANOVA Pengaruh Perlakuan Insektisida Dimetoat terhadap SR Ikan Mas ... (Cyprinus carpio) .......................................................................................... 48
9. Hasil Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Mas (Cyprinus carpio) ..... 60
10. Hasil Pengukuran Kualitas Air ...................................................................... 62
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Rumus Bangun Dimetoat ................................................................................. 9
2. Hidrolisis Dimetoat ......................................................................................... 10
3. Ikan Mas (Cyprinus carpio) ............................................................................ 16
4. Denah Penelitian ........................................................................................... 26
5. Gambar Ikan Mas Sebelum Uji Sublethal Insektisida dan Gambar Ikan Mas Setelah Uji Sublethal Insektisida ................................................................... 44
6. Hubungan Konsentrasi Insektisida Berbahan Aktif Dimetoat terhadap SGR Berat Ikan Mas .............................................................................................. 46
7. Hubungan Konsentrasi Insektisida Berbahan Aktif Dimetoat terhadap SR Ikan Mas ............................................................................................................... 49
8. Gambar Mikroanatomi Insang Ikan Mas pada Uji Sublethal Insektisida dengan Konsentrasi Pemaparan 0 Ppm (Kontrol) ...................................................... 50
9. Insang Ikan Mas B (0,26 ppm) ....................................................................... 52
10. Insang Ikan Mas C (0,78 ppm) ..................................................................... 54
11. Insang Ikan Mas D (1,3 ppm) ....................................................................... 55
12. Insang Ikan Mas E (1,82 ppm) ..................................................................... 57
13. Insang Ikan Mas F (2,34 ppm) ..................................................................... 59
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................. 74
2. Perhitungan Pengenceran Insektisida pada Uji Pendahuluan ........................ 77
3. Mortalitas Ikan Mas Pada Uji Pendahuluan .................................................... 79
4. Perhitungan Pengenceran Insektisida pada Uji LC50 ...................................... 81
5. Tabel Skala Rand .......................................................................................... 83
6. Tabel Transformasi Probit .............................................................................. 84
7. Hasil Perhitungan LC50 .................................................................................. 85
8. Perhitungan Pengenceran Insektisida pada Uji Inti (Sublethal) ...................... 87
9. Data Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR) Berat Ikan Mas ....................... 89
10. Data Hasil Perhitungan SR .......................................................................... 91
11. Gambar Pengamatan Identifikasi Kerusakan Jaringan Insang Ikan Mas ...... 93
12. Perhitungan Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Mas ................... 95
13. Data Parameter Kualitas Air ......................................................................... 97
14. Dokumentasi Penelitian ............................................................................... 98
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pestisida dalam bidang pertanian digunakan untuk membasmi hama
tanaman pengganggu. Jenis pestisida seperti senyawa antigulma, nematosida,
rodentisida dan insektisida telah banyak diproduksi dan digunakan oleh petani.
Namun, pestisida juga dapat menimbulkan efek keracunan akut di tempat –
tempat pertanian, misalnya penggunaan pestisida tanpa kontrol yang cukup akan
menyebabkan pestisida secara terus menerus dalam jumlah kecil akan masuk
bersama makanan. Walaupun jumlah yang termakan umumnya sedikit tetapi
toksisitas kronisnya tidak dapat diabaikan. Sifat penting yang dimiliki pestisida
adalah daya racun atau toksisitas. Meski bahan kimia tersebut hanya
dimaksudkan untuk mematikan suatu jenis hama tertentu tetapi pada dasarnya
bersifat racun untuk semua makhluk hidup (Mutschler, 1991).
Perkembangan teknologi telah menghasilkan berbagai macam pestisida
yang digunakan untuk mengendalikan hama tanaman dan ditujukan dapat
meningkatkan hasil produksi pertanian. Pestisida yang masuk dalam jumlah yang
besar dapat bersifat racun bagi biota-biota yang hidup di perairan, termasuk ikan.
Jenis pestisida yang dapat larut dalam air apabila terbuang ke dalam perairan
secara sengaja ataupun tidak, dapat menurunkan kualitas air dan
mempengaruhi proses metabolisme, organ tubuh, tingkah laku, siklus hidup,
perkembangan embrio, menghambat pertumbuhan sel atau jaringan dari
organisme di perairan tersebut. Pengaruh secara langsung disebabkan oleh
adanya akumulasi pestisida di dalam organ-organ tubuh akibat tertelan bersama
- sama makanan yang terkontaminasi, atau akibat rusaknya organ-organ
pernafasan sehingga dapat mematikan ikan budidaya dalam jangka waktu
tertentu (Damayanty dan Abdulgani, 2013). Insektisida menimbulkan efek secara
2
umum yaitu penurunan tingkat kelahiran/produksi, menghambat pertumbuhan
ikan, dan juga menyebabkan kematian. Kelangsungan hidup ikan dipertahankan
dengan penggantian jaringan fibrosis pada area nekrosis dan pemulihan
jaringan. Pada insang ikan menyebabkan edema dikuti dengan deskuamasi
epitel lamela sekunder dan nekrosa sel epitel mengakibatkan gangguan respirasi
dan osmoregulasi serta mengakibatkan kematian (Rennika et al., 2013).
Pestisida merupakan substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan hama (Sudarmo, 1988). Pestisida dapat digolongkan bermacam
– macam sesuai dengan kegunaannya. Menurut Ekha (1988), golongan pestisida
berdasarkan fungsinya antara lain insektisida, acarisida, nematosida, fungisida,
herbisida, ovisida, larvasida, rodentisida, algasida, molluscisida. Namun,
kebanyakan petani lebih sering menggunakan pestisida dengan jenis insektisida
karena dapat membunuh serangga. Pestisida dari golongan organofosfat apabila
masuk ke dalam tubuh, baik melalui kulit, mulut dan saluran pencernaan maupun
saluran pernafasan akan berikatan dengan enzim di dalam darah yang berfungsi
mengatur bekerjanya syaraf, yaitu kholinesterase. Pestisida yang termasuk
golongan organofosfat antara lain diazinon, diklorvos, dimetoat, fention,
klorpirifos, monokrotovos (Komisi Pestisida Departemen Pertanian, 1997).
Dimetoat adalah insektisida organofosfat digunakan untuk membunuh tungau
dan serangga sistemik dan kontak (Bantu dan Vakita, 2013).
Insektisida banyak menimbulkan berbagai permasalahan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, dari masalah tersebut maka
perlu dilakukan uji pengaruh sublethal. Maksud dilakukannya uji pengaruh
sublethal adalah untuk mengetahui efek fisiologis organisme dengan pemberian
bahan kimia atau polutan dalam jangka waktu yang relatif lebih lama. Sebelum
melakukan uji pengaruh sublethal maka dilakukan uji toksisitas akut terlebih
dahulu. Uji toksisitas akut berfungsi untuk mengetahui apakah dimetoat memiliki
3
senyawa toksik dalam konsentrasi tertentu yang mampu menyebabkan kematian
hewan uji dan dinyatakan dalam nilai LC(50-96 jam) (Lethal Concentration). Hasil dari
nilai LC(50-96 jam) akan digunakan untuk menentukan konsentrasi atau dosis dari
perlakuan untuk uji pengaruh sublethal.
Uji toksisitas suatu bahan pencemar dapat dilakukan melalui pengujian
terhadap ikan. Spesies ikan yang digunakan harus memenuhi kriteria tertentu,
yaitu: 1) sensitif terhadap bahan pencemar; 2) tersedia dalam jumlah yang
banyak dengan berbagai ukuran sepanjang tahun; 3) dapat dipelihara di
laboratorium; 4) merupakan sumberdaya yang bernilai ekonomis (APHA, AWWA
dan WPCF, 2005 dalam Yosmaniar et al. 2009). Ikan mas merupakan salah satu
biota yang dapat digunakan dalam sistem budidaya minapadi, sehingga bisa
terpengaruh langsung oleh insektisida. Salah satu jenis ikan yang memenuhi
persyaratan untuk dijadikan hewan uji adalah ikan mas (Cyprinus carpio Linn),
karena ikan ini sangat peka terhadap perubahan lingkungan, mudah dipelihara,
penyebarannya merata, dan mudah ditemukan (Pratiwi et al. 2012).
Penggunaan insektisida dalam kegiatan pertanian untuk penanggulangan
hama dan jasad pengganggu pada usaha pertanian secara tidak langsung dapat
meningkatkan produksi, namun tidak sedikit pula ditemukan dampak negatif yang
dapat mengganggu kualitas air, kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan.
Residu insektisida nantinya masuk ke dalam tubuh organisme melalui rantai
makanan, selanjutnya akan terakumulasi di dalam organ – organ tubuh
organisme tersebut dan menimbulkan kerusakan yang dapat mengganggu
pertumbuhan ikan mas. Dari penjelasan tersebut maka diperlukan kecermatan
dalam penggunaan dosis insektisida agar tidak membahayakan lingkungan serta
organisme non target. Ikan mas merupakan salah satu ikan air tawar yang
memiliki nilai ekonomis penting sehingga banyak dibudidayakan di kolam
maupun sawah dan sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena
4
itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh sublethal
penggunaan insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap
kelangsungan hidup ikan mas (Cyprinus carpio).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan tersebut dapat
dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Berapakah nilai toksisitas akut LC50 dari insektisida organofosfat dengan
bahan aktif dimetoat yang dapat mematikan 50% hewan uji?
2. Apakah pengaruh sublethal dari insektisida organofosfat dengan bahan aktif
dimetoat terhadap kelangsungan hidup ikan mas ?
3. Bagaimana pengaruh sublethal insektisida organofosfat berbahan aktif
dimetoat terhadap insang ikan mas ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian tentang Uji Pengaruh Sublethal Insektisida
Organofosfat Dengan Bahan Aktif Dimetoat Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan
Mas (Cyprinus carpio) yaitu :
1. Mengetahui kadar toksisitas akut LC50 insektisida organofosfat dengan
bahan aktif dimetoat yang dapat mematikan ikan mas.
2. Mengetahui pengaruh sublethal insektisida organofosfat dengan bahan aktif
dimetoat terhadap kelangsungan hidup ikan mas.
3. Mengetahui pengaruh sublethal insektisida organofosfat berbahan aktif
dimetoat terhadap insang ikan mas.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
bahaya insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat sebagai pencemar
5
terhadap lingkungan perairan dan seberapa toksik bahan aktif dimetoat bagi
ikan. Berikut merupakan manfaat secara khusus :
a. Bagi Mahasiswa, dapat memberikan informasi, menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai seberapa toksik bahan pencemar insektisida
organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap ikan mas pada uji
toksisitas dan kelangsungan hidup ikan mas.
b. Bagi Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, dapat memberikan
informasi keilmuan tentang pengaruh konsentrasi insektisida dimetoat
terhadap kelangsungan hidup ikan mas untuk penelitian lebih lanjut.
c. Bagi Pemerintah, dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan
perumusan kebijakan dalam rangka pelestarian sumberdaya perairan.
1.5 Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2017 – Agustus 2017 di
Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang dan Laboratorium Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pestisida
Pestisida adalah setiap formulasi kimia, organik atau biologis yang bertujuan
untuk mengendalikan, mencegah atau menghilangkan tanaman atau hewan
(hama pengganggu) berbahaya bagi kesehatan manusia. Hama pengganggu
tanaman termasuk serangga, nematoda, gulma, jamur dan mikroorganisme
bakteri, tungau, moluska, ganggang, hewan pengerat, vektor hama dan bentuk
kehidupan lain dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan dan
kesejahteraan hewan lain non target dan manusia. Pestisida dapat
diklasifikasikan atas dasar: (i) hama yang ditargetkan; (ii) struktur kimia senyawa
yang digunakan; dan (iii) tingkat dan jenis bahaya kesehatan yang ditimbulkan.
Oleh karena itu, ada banyak subkelompok spesifik pestisida seperti herbisida,
insektisida, mitisida, molluskisida, nematisida dan rodentisida (Paranjape et al.,
2014).
Menurut Suryanto (2011), pestisida secara umum diartikan sebagai bahan
kimia beracun yang digunakan untuk mengendalikan jasad pengganggu yang
merugikan kepentingan manusia. Pestisida telah cukup lama digunakan terutama
dalam bidang kesehatan dan bidang pertanian. Di bidang kesehatan, pestisida
merupakan sarana yang penting, terutama digunakan dalam melindungi manusia
dari gangguan secara langsung oleh jasad tertentu maupun tidak langsung oleh
berbagai vektor penyakit menular. Berbagai serangga vektor yang menularkan
penyakit berbahaya bagi manusia, telah berhasil dikendalikan dengan bantuan
pestisida. Dan berkat pestisida, manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman
berbagai penyakit berbahaya seperti penyakit malaria, demam berdarah,
penyakit kaki gajah, tiphus dan lain – lain.
7
Berdasarkan sasaran penggunaanya pestisida terbagi menjadi beberapa
golongan. Menurut Raini (2007), jenis pestisida dapat digolongkan sebagai
berikut :
a. Insektisida
1. Organoklorin, merupakan insektisida chlorinated hydrocarbon secara
kimiawi tergolong insektisida yang relatif stabil dan kurang reaktif, ditandai
dengan dampak residunya yang lama terurai di lingkungan. Keracunan
dapat bersifat akut atau kronis. Keracunan kronis bersifat karsinogenik.
2. Organofosfat, merupakan ester asam fosfat atau asam tiofosfat. Pestisida
ini umumnya merupakan racun pembasmi serangga yang paling toksik
secara akut terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan, burung,
cicak dan mamalia. Keracunan kronis pestisida golongan organofosfat
bersifat karsinogenik.
3. Karbamat, merupakan ester asam N-metilkarbamat. Bekerja menghambat
asetilkolinterase. Tetapi pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak
terlalu lama, karena prosesnya cepat reversible.
4. Piretroid, yang berasal dari tanaman lainnya. Piretroid berasal dari
piretrium bunga Chrysanthemium cinerarioefolium. Piretrium mempunyai
toksisitas yang rendah pada manusia tetapi dapat menimbulkan alergi
pada orang yang peka.
b. Herbisida
1. Senyawa klorofenoksi, misalnya 2,4-D (2,4 asam diklorofenoksiasetat).
Toksisitas pada hewan relatif rendah.
2. Herbisisda biperidil, misalnya parakuat dan dikuat telah dipergunakan
secara luas. Keracunan kronis pestisida parakuat dan dikuat bersifat
karsinogenik.
3. Herbisida lain seperti dinitro-o-kresol (DNOC), amitrol (aminotriazol).
8
c. Fungisida
1. Senyawa merkuri, misalkan metal dan etil merkuri merupakan fungisida
yang sangat efektif dan telah dipergunakan secara luas untuk
mengawetkan butir padi-padian.
2. Derivate ftalimida, misalnya kaptan dan folpet, mempunyai toksisitas akut
dan kronis yang sangat rendah namun berpotensi karsinogenik dan
teratogenik.
3. Senyawa aromatik, misalnya pentaklorofenol (PCP), sebagai bahan
pengawet kayu. Pentakloronitrobenzen (PCNB), dipergunakan sebagai
fungisida dalam mengolah tanah.
d. Rodentisida
1. Walfarin, suatu antikoagulan yang bekerja sebagai anti metabolit vitamin
K. Bahan ini dipergunakan secara luas karena toksisitasnya rendah.
2. Tiourea, misalnya ANTU (a-naftiltiourea), sangat toksik pada tikus tetapi
tidak begitu toksik terhadap manusia.
3. Natrium fluoroasetat dan fluoroasetamida, bersifat sangat toksik karena
itu kedua zat ini hanya boleh dipergunakan oleh orang tertentu yang
mendapat izin.
e. Fumigan, sesuai namanya kelompok pestisida ini mencakup beberapa gas,
cairan yang mudah menguap dan zat padat yang melepaskan berbagai gas
lewat reaksi kimia. Beberapa fumigan bersifat karsinogenik seperti etilen
bromida, 1,3-dikloropropen.
2.2 Insektisida Organofosfat
Menurut Baehaki (1993), insektisida organofosfat atau lebih dikenal senyawa
OP pada saat ini hampir mencapai lebih dari 50% dari insektisida yang terdaftar.
OP adalah insektisida penghambat cholinesterase dan bekerja melalui perut,
9
racun kontak, sistemik atau fumigasi. Spektrum dari insektisida ini bermacam-
macam seperti Parathion dan TEPP berspektrum luas, sedangkan Malathion dan
Ronel merupakan insektisida selektif. Senyawa OP berupa aril atau alifatik (rantai
lurus). Arilfosfat adalah ester dari fenol dengan gugus asam fosfat atau thiofosfat.
Insektisida organofosfat merupakan ester dari asam tiofosfat dan ester asam
fosfat yang memiliki sifat tidak stabil di lingkungan, dan persistensi yang tidak
terlalu lama di lingkungan namun memiliki sifat yang sangat toksik terhadap
vertebrata. Menurut Permentan No. 24 Tahun 2011, bahan aktif adalah bahan
kimia sintetik atau bahan alami yang terkandung dalam bahan teknis atau
formulasi pestisida yang memiliki daya racun atau pengaruh biologis lain
terhadap organisme sasaran. Dalam Pedoman Penggunaan Insektisida
(Pestisida) tahun 2012, menjelaskan bahan aktif adalah bahan utama yang
secara biologis bersifat sebagai insektisida. Kadar bahan aktif untuk formulasi
cair dinyatakan dalam g/L, sedangkan formulasi padat, setengah padat, kental
atau campuran cair dan padat dinyatakan dalam persen bobot (g/kg).
2.3 Dimetoat
Menurut Baehaki (1993), bahan aktif dimetoat diperdagangkan sebagai
Dimacid, Roxion, Perfekthion, Daphene, Demos L-40, Fosthin MM, Rogor,
Cygon, De-Fend, Rebelate, Trimethion, Fosfamid. Rumus bangun dimetoat
adalah dapat dilihat pada Gambar 1 :
Gambar 1. Rumus Bangun Dimetoat (Baehaki, 1993)
10
Dimetoat merupakan insektisida dan akarisida OP sebagai racun kontak dan
sistematik. LD50 untuk tikus adalah 225mg/kg. Insektisida ini dikembangkan oleh
American Cynamid Co., 1956, untuk mengendalikan Lamprosema indicata, Etiela
zinckenella, Pseudococcus citri (Baehaki, 1993).
Dimetoat populer dengan nama umum “ROGOR”, adalah organofosfat
insektisida sistemik yang digunakan secara luas untuk mengendalikan hama
serangga dari buah-buahan, sayuran dan tanaman. Seperti organofosfat lainnya
dimetoat ireversibel menghambat enzim asetil kholinesterase dan bekerja
terutama sebagai racun saraf. Dimetoat termasuk insektisida yang memiliki sifat
racun akut dan diklasifikasikan karsinogen terhadap manusia oleh USEPA
berdasarkan terjadinya tumor pada tikus. Dalam WHO peringkat bahaya akut
dimetoat dinilai sebagai cukup berbahaya (Singh, 2014).
Menurut Zaranyika and Mlilo (2014), dimetoat relatif stabil pada kondisi
perairan yang asam dan akan mengalami hidrolisis pada kondisi basa pada
larutan methylamine, asam thioglycolic dan thiophosphate. Hidrolisis dimetoat
dengan air hasil sulingan akan berhenti setelah 9 hari. Hal ini karena kondisi air
yang berubah menjadi asam akibat hasil dari hidrolisis. Hidrolisis dimetoat dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hidrolisis Dimetoat
Menurut Qayoom et al. (2016), target utama organofosfat (OPs) adalah
menghambat enzim acetylcholinesterase (AChE) neuro yang menyebabkan
kelumpuhan pada toksisitas akut. Namun, toksisitas OP pada perairan alami
dimana ikan terpapar secara kronis menginduksi dalam jangka panjang
11
ireversibel yang menyebabkan disfungsi fisiologis di dalamnya. Seperti
organofosfat lainnya, dimetoat menghambat asetilkolinesterase (AChE) yang
terdapat pada mamalia, ikan, burung, dan biji-bijian. Penghambatan tersebut
menciptakan penumpukan asetilkolin pada sinapsis saraf yang melumpuhkan
enzim cholinesterase yang sangat penting untuk sistem saraf pusat yang
berfungsi. Akumulasi asetilkolin terus menerus menyebabkan hilangnya
keseimbangan, kejang, gejala paralitik, dan akhirnya kematian. Kelebihan sekresi
lendir pada tubuh ikan dapat menjadi reaksi mekanisme pertahanan lini pertama
terhadap kondisi stres. Pada ikan yang terpapar pestisida dimetoat mengalami
peningkatan pergerakan pernafasan (peningkatan gerakan operkulum), kelainan
berenang, kehilangan daya apung, dan warna tubuh yang memudar.
Peningkatan gerakan operkulum terjadi akibat adanya kerusakan insang ikan
oleh pestisida dimetoat yang menghambat pengambilan oksigen.
2.4 Toksikologi
2.4.1 Definisi Toksikologi
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian
tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (toksik) berbagai bahan kimia
terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya, selain itu juga dapat
membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut
terhadap makhluk hidup (Wirasuta dan Niruri, 2006). Menurut Koeman (1983),
keracunan berarti bahwa suatu zat kimia telah mengganggu proses fisiologis,
sehingga keadaan badan organisme itu tidak lagi dalam keadaan sehat. Ilmu ang
memepelajari hal ikhwal beracun dan daya kerjanya, disebut toksikologi atau
pengetahuan tentang racun (bahasa Yunani : toxixon : racun).
Toksikologi yang didefinisikan sebagai ilmu tentang aksi berbahaya zat kimia
atas mekanisme biologi, berkembang menjadi tiga bagian pokok yaitu toksikologi
12
lingkungan, toksikologi ekonomi dan toksikologi kehakiman (Loomis, 1978).
Menurut Mutschler (1991), ada beberapa kemungkinan untuk menggolongkan
toksikologi, antara lain dapat dibedakan atas :
• efek toksik akut, yang langsung berhubungan dengan pengambilan zat toksik
• efek toksik kronis, yang pada umumnya zat dalam jumlah sedikit diterima
tubuh dalam jangka waktu yang lama sehingga akan terakumulasi mencapai
konsentrasi toksik dan demikian menyebabkan terjadinya gejala keracunan.
Toksisitas jangka panjang (kronis) adalah efek toksik yang baru dapat dipastikan
setelah periode laten yang cukup panjang, misalnya kerja mutagenik dan kerja
karsinogen. Pembagian lain toksikologi dapat dilakukan berdasarkan jenis zat
dan keadaan pada saat kerja toksik terjadi. Berdasarkan ini toksikologi dibagi
atas toksikologi obat, toksikologi bahan makanan, toksikologi pestisida,
toksikologi industri, toksikologi lingkungan, toksikologi kesehatan, toksikologi
perang, dan toksikologi penyinaran.
2.4.2 Uji Toksisitas
Uji toksisitas yaitu uji hayati yang digunakan untuk menentukan tingkat
toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar dan digunakan juga untuk
pemantauan limbah secara rutin. Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan
uji merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan. Parameter yang
diukur biasanya berupa kematian hewan uji, di mana hasilnya dinyatakan
sebagai konsentrasi yang menyebabkan 50% kematian hewan uji (LC50) dalam
waktu yang relatif pendek selama empat hari (Husni, 2011). Menurut Halang
(2004), toksisitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi dan
jenis toksikan, konsentrasi toksikan, durasi pemaparan, sifat lingkungan dan
spesies biota.
13
Toksikan dapat menimbulkan efek negatif bagi biota dalam bentuk
perubahan struktur maupun fungsional, baik secara akut maupun kronik atau sub
kronis. Efek tersebut dapat bersifat reversible sehingga dapat pulih kembali dan
dapat pula bersifat irreversible yang tidak dapat pulih (Halang, 2004). Polutan
toksik dapat mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan kematian
(sublethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku, dan karakteristik
morfologi berbagai organisme akuatik (Bosman et. al., 2013).
Menurut Guthrie dan Perry (1980), dampak negatif dari toksikan
menimbulkan efek yang berbeda terhadap biota pada setiap tingkatan
kerusakan. Beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan dampak
yang diakibatkan dari toksikan yaitu :
1. Akut, merupakan respon terhadap stimulus yang menimbulkan efek parah
dan terjadi secara cepat dan singkat. Pada ikan dan organisme air biasanya
pengujian dilakukan dalam waktu empat hari (96 jam).
2. Sub akut, merupakan respon terhadap stimulus ang kurang parah jika
dibandingkan dengan respon akut. Perlu waktu yang lebih lama sehingga
menjadi kronis.
3. Kronis, merupakan respon terhadap stimulus yang terjadi secara terus
menerus dalam waktu yang lama, yaitu sekitar 1% - 10% dari total waktu
hidup organisme.
4. Letal, merupakan respon suatu stimulus dari konsentrasi yang dapat
menyebabkan kematian secara langsung.
5. Sub Letal, merupakan respon suatu stimulus dari konsentrasi di bawah level
letal.
14
2.4.3 Uji Sublethal
Menurut Guthrie dan Perry (1980), uji sublethal merupakan konsentrasi
stimulus di bawah tingkat konsentrasi yang secara langsung dapat menyebabkan
kematian bagi ikan. Uji sublethal kadang dinyatakan dalam EC50 yang
merupakan konsentrasi efektif zat beracun yang menghasilkan perubahan
perilaku atau respon fisiologi sublethal pada 50% organisme uji. Pengaruh
sublethal insektisida secara tidak langsung dapat menyebabkan penurunan
kesempatan hidup atau perkembangbiakan.
Pengaruh sublethal yang spesifik banyak dan beragam, serta berhubungan
dengan kondisi fisiologis dan perilaku, seperti perubahan dalam produksi enzim,
laju pertumbuhan, perkembangbiakan, perilaku dan kegiatan, produksi tumor,
dan pengaruh teratogenik (Connel dan Miller, 2006). Pengaruh bahan pencemar
dapat diamati melalui pengukuran fisiologis maupun biokimia. Pengamatan yang
dapat dilakukan antara lain hematologi (kadar hematokrit, kadar hemoglobin,
jumlah eritrosit dan jumlah leukosit), serta histopatologi (Heat, 1987).
2.5 Histologi
Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sel, organ, dan jaringan
tubuh dalam kondisi mikroskopis. Sedangkan ilmu yang mempelajari tentang
morbiditas atau patologi dari sebuah jaringan disebut sebagai histopatologi. Di
antara struktur jaringan normal dan struktur jaringan abnormal dapat dipelajari
secara mikroskopis dengan preparasi jaringan. Preparasi tersebut dibuat melalui
pengolahan jaringan sampai pewarnaan jaringan. Untuk selanjutnya, struktur
histologi dapat dilihat dengan jelas dan memudahkan dalam membacanya
(Pratiwi dan Manan, 2015).
Analisa histopatologi dapat digunakan sebagai biomarker untuk
mengetahui kondisi kesehatan ikan melalui perubahan struktur yang terjadi pada
15
organ-organ yang menjadi sasaran utama dari penyakit infeksius dan
pengobatan dengan antibiotik seperti insang, hati, ginjal dan sebagainya. Selain
itu, penggunaan biomarker histopatologi dapat digunakan dalam memonitoring
perubahan pada jaringan organ dengan mengamati organ-organ tersebut yang
memiliki fungsi penting dalam metabolisme tubuh sehingga dapat digunakan
sebagai diagnosis awal terjadinya gangguan kesehatan pada suatu organisme
(Sukarni et al., 2012).
2.6 Mekanisme Insektisida Masuk Ke Dalam Tubuh Organisme
Ikan yang hidup dalam lingkungan perairan yang tercemar pestisida akan
menyerap bahan aktif pestisida tersebut dan tersimpan dalam tubuh, terutama
pestisida yang bersifat lipofilik (Taufik, 2011). Pestisida golongan organofosfat
masuk ke dalam tubuh melalui kulit, mulut, saluran pencernaan, pernafasan.
(Sudarmo,1988). Pada saluran pernafasan, pestisida dapat menyebabkan
kerusakan pada bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan
insang. Masuknya pestisida dalam insang melalui kontak langsung karena
terletak di luar (Rudiyanti dan Ekasari, 2009).
Pencemaran pestisida yang berada di sawah irigasi sebagian besar akan
menyebar di dalam air pengairan, selanjutnya akan menuju ke sungai dan
akhirnya menuju ke laut. Meskipun di dalam air terjadi pengenceran, sebagian
ada yang terurai dan sebagian lagi tetap persisten. Sebagian besar insektisida
yang jatuh ke tanah akan terbawa oleh aliran air irigasi. Di dalam air, partikel
insektisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton. Mikroplakton tersebut
selanjutnya akan dimakan oleh zooplankton. Dengan demikian insektisida yang
ada di dalam tubuh mikroplankton tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi
yang dimiliki oleh insektisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh
zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin bisa ratusan kali dibanding
16
dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton – zooplankton tersebut dimakan
oleh ikan – ikan kecil, konsentrasi insektisida di dalam tubuh ikan – ikan tersebut
akan lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi insektisida di dalam tubuh
ikan besar yang memakan ikan – ikan kecil. Rantai konsumen yang terakhir yaitu
di mana manusia yang akan mengkonsumsi ikan besar dan menerima
konsentrasi tertinggi dari insektisida yang ada di dalam tubuh ikan tersebut
(Yuantari, 2013).
2.7 Ikan Mas (Cyprinus carpio)
2.7.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Mas
Klasifikasi ikan mas (Cyprinus carpio) menurut Saanin (1984), adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Pisces
Subclass : Teleostei
Ordo : Cypriniformes
Subordo : Cyprinoidei
Family : Cyprinidae
Subfamily : Cyprininae
Genus : Cyprinus
Species : Cyprinus carpio L.
Gambar 3. Ikan Mas (Cyprinus carpio) (Google image, 2017)
17
Ikan mas termasuk ke dalam genus cyprinus yang berasal dari famili
cyprinidae. Ikan mas mempunyai ciri-ciri badan yang memanjang, sedikit pipih ke
samping. Letak dari mulutnya berada di tengah (terminal), mempunyai sungut
dua pasang, sirip punggung dengan jari-jari keras berjumlah 17-22 serta sirip
dada dengan jumlah 15 jari-jari keras. Letak permulaan sirip punggung ini
berseberangan dengan permulaan sirip perut yang hanya ada satu dengan
jumlah jari-jari keras antara 7-9. Ikan mas mempunyai sisik yang relatif besar
dengan tipe cycloid, mempunai garis rusuk yang lengkap pada pertengahan sirip
ekor dengan jumlah antara 35-39 (Saanin, 1984).
Ciri – ciri morfologi adalah ciri – ciri yang menunjukkan bentuk dan struktur
tubuh suatu organisme. Secara umum, karakteristik ikan mas memiliki bentuk
tubuh yang agak memanjang dan sedikit memipih ke samping (compressed).
Sebagian besar tubuh ikan mas ditutupi oleh sisik kecuali pada beberapa strain
yang memiliki sedikit sisik. Moncongnya terletak di ujung tengah (terminal) dan
dapat disembulkan (protaktil). Pada bibirnya yang lunak terdapat dua pasang
sungut (berbel) dan tidak bergerigi. Pada bagian dalam mulut terdapar gigi
kerongkongan (pharynreal teeth) sebanyak tiga baris berbentuk geraham. Sirip
punggung ikan mas memanjang dan bagian permukaannya terletak
beseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral). Sirip punggungnya
(dorsal) berjari – jari keras sedangkan di bagian akhir bergerigi. Seperti halnya
sirip punggung, bagian belakang sirip dubur (anal) ikan mas ini pun berjari – jari
keras dan bergerigi pada ujungnya. Sirip ekornya menyerupai cagak memanjang
simetris hingga ke belakang tutup insang. Sisik ikan mas relatif besar dengan tipe
sisik lingkaran (cycloid) yang terletak beraturan. Garis rusuk atau gurat sisi (linea
literalis) yang lengkap terletak di tengah tubuh dengan posisi melintang dari tutup
insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor (Tim Lentera, 2002).
18
2.7.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Mas
Menurut Tarigan (2013), habitat asli ikan mas yang berada di alam meliputi
sungai berarus tenang, sampai sedang dan di area dangkal danau. Perairan
yang disukai tentunya yang banyak menyediakan pakan alaminya. Ceruk atau
area kecil yang terdalam pada suatu dasar perairan adalah tempat yang sangat
ideal untuk ikan mas. Bagian – bagian sungai yang terlindungi rindangnya
pepohonan dan tepi sungai di mana terdapat runtuhan pohon yang tumbang
dapat menjadi tempat favoritnya.
Ikan mas seringkali disebut ikan karper. Ikan mas termasuk jenis ikan
thermophil yang mampu beradaptasi atau toleran terhadap perubahan
temperatur air (lingkungan) antara 4°C – 30°C. Ikan ini telah berkembang di
daerah subtropis di belahan bumi utara (Eropa) sampai daratan tropis di belahan
selatan (Asia). Habitat yang disukai ikan mas adalah perairan yang
kedalamannya mencapai satu meter, mengalir pelan dan subur yang ditandai
melimpahnya makanan alami, misalnya rotifera, rotatoria, udang – udangan
renik, dan lain – lain. Sebaliknya, larva ikan mas menyukai perairan dangkal,
tenang dan terbuka (tidak ternaungi pepohonan yang rindang). Sedangkan benih
ikan mas yang berukuran cukup besar lebih mnyukai perairan yang agak dalam,
mengalir dan terbuka (Djarijah, 2001).
2.7.3 Laju Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran panjang atau berat pada suatu
periode tertentu. Pertumbuhan dapat dianggap sebagai hasil dari dua proses
yaitu proses yang cenderung untuk menurunkan energi tubuh yang menjadi
nyata jika seekor ikan dipelihara pada waktu tertentu tanpa diberi makan dan
suatu proses yang diawali dari pengambilan makanan dan diakhiri dengan
penyusunan unsur – unsur tubuh (Zonneveld et al., 1990 dalam Viana, 2010).
19
Menurut Fujaya (2008), pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor genetik,
hormon dan lingkungan. Meskipun secara umum, faktor lingkungan yang
memegang peranan sangat penting adalah zat unsur hara dan suhu lingkungan,
namun di daerah tropis zat hara lebih penting dibanding suhu lingkungan. Zat
hara meliputi makanan, air dan oksigen menyediakan bahan mentah bagi
pertumbuhan, gen mengatur pengolahan bahan tersebut dan hormon
mempercepat pengolahan serta merangsang gen. Sehingga kualitas air dari
lingkungan hidup ikan sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan.
2.7.4 Insang Ikan Mas
Insang ikan merupakan organ respirasi utama yang bekerja dengan
mekanisme difusi permukaan dari gas – gas respirasi (oksigen dan
karbondioksida) antara darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam air akan
diabsorbsi ke dalam kapiler – kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin untuk
selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh, sedangkan karbondioksida
dikeluarkan dari sel dan jaringan untuk dilepaskan ke air di sekitar insang. Oleh
sebab itu, apapun perubahan – perubahan yang terjadi di lingkungan perairan
akan secara langsung dan tidak langsung berdampak kepada struktur dan fungsi
insang serta hemoglobinnya (Saputra et al., 2013).
Menurut Tandjung (1982) dalam Susanah (2011), kerusakan insang dapat
dikategorikan berdasarkan tingkatan perubahan – perubahan anatomi lamella
sekunder dan filamen insang. Kerusakan insang dari tingat ringan hingga berat
adalah sebagai berikut :
1. Edema pada lamella menunjukkan telah terjadi kontaminasi tetapi belum ada
pencemaran. Edema merupakan pembengkakan sel atau penimbunan
cairan secara berlebihan di dalam jaringan tubuh. Edema dapat
menyebabkan terjadinya fusi lamella yaitu pada lamella sekunder.
20
2. Hyperplasia pada pangkal lamella. Hyperplasia adalah pembentukan
jaringan secara berlebihan karena bertambahnya jumlah sel. Hal ini
merupakan gejala dari adanya pencemaran. Hyperplasia sendiri dapat
disebabkan karena edema yang berlebihan sehingga menyebabkan sel
darah merah keluar dari kapilernya dan sel akan lepas dari penyokongnya.
3. Fusi dua lamella (pencemaran tingkat awal). Fusi lamella diakibatkan oleh
pembengkakan sel – sel insang. Akibat dari adanya fusi lamella sekunder
adalah terganggunya fungsi lamella sekunder dalam proses pengambilan
oksigen.
4. Hyperplasia hampir pada seluruh lamella sekunder, menandakan telah
terjadi pencemaran.
5. Rusaknya atau hilangnya struktur filamen insang (pencemaran berat).
Menurut Varney et al. (2004), hemoragi merupakan suatu keadaan
kehilangan darah yang abnormal. Permeabilitas dari sel dipengaruhi oleh adanya
zat toksik seperti pestisida ke dalam perairan. Bahan pencemar yang masuk ke
dalam tubuh mengakibatkan keterbatasan transportasi ion dan menyebabkan
hancurnya sel darah akibat kerusakan kapiler darah. Menurut Suparjo (2010),
kerusakan insang yang disebabkan oleh substansi tercemar dibagi dalam
beberapa tingkatan yaitu diawali dengan edema, hiperplasia pada sel – sel basal,
fusi lamella, fusi pada seluruh lamela sekunder dan hilangnya struktur lamela
sekunder serta filamentum mereduksi. Hiperplasia dapat mengurangi luas
permukaan lamela sekunder untuk pertukaran gas yang dilakukan oleh eritrosit.
Fusi lamela terjadi oleh adanya hiperplasia yang meluas pada sel – sel basal dan
ephitelium sehingga lamela sekunder akan menyatu. Peristiwa ini mengakibatkan
terhambatnya proses respirasi maupun ekspirasi gas pernapasan yang masuk
dan keluar tubuh ikan.
21
2.8 Parameter Kualitas Air
2.8.1 pH
Derajat keasaman sering dinyatakan sebagai pH merupakan kondisi asam
dan basa suatu perairan yang dapat digunakan sebagai indeks kualitas
lingkungan. Air dengan kondisi asam akan menyebabkan ikan lemah, lebih
mudah tekena infeksi dan tingkat kematian (mortalitas) tinggi. Berubahnya nilai
pH menimbulkan perubahan terhadap keseimbangan kandungan
karbondioksida, bikarbonat dan karbonat di dalam perairan. Ikan dan biota
akuatik lainnya masih dapat mentoleransi lingkungan yang mempunyai pH antara
4,0 (Riyadi, 2006).
Menurut Suryanto (2011), pH merupakan ukuran derajat keasaman. Perairan
dikatakan memiliki pH normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan
biota yang hidup di perairan jika mempunyai pH sekitar 6,5 – 7,5. Air akan
bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila pH di bawah normal,
maka air tersebut bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH di atas pH
normal bersifat basa.
2.8.2 Suhu
Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin suatu benda
dan alat yang digunakan untuk mengkur suhu adalah thermometer. Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat untuk mengukur suhu cenderung
menggunakan indera peraba. Tetapi dengan adanya perkembangan teknologi
maka diciptakan termometer untuk emngukur suhu dengan valid. Banyak
dampak dari suatu perubahan suhu dalam perairan. Perubahan suhu
mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat organisme akuatik,
karena itu setiap organisme akuatik mempunai batas kisaran maksimum dan
minimum (Effendi, 2003).
22
Menurut Dani dan Sutjiati (1985), suhu sangat penting bagi kehidupan ikan.
Seperti hewan poikilotermal lainnya, suhu tubuh ikan dengan suhu air
lingkungannya relatif sama dibandingkan dengan suhu tubuh hewan
homoiotermal dengan suhu lingkungannya. Perbedaan ini karena proses
produksi panas pada hewan berdarah dingin jauh lebih lambat daripada hewan
berdarah panas yang mempunyai suhu tubuh tetap. Pada umumnya suhu tubuh
ikan dengan suhu air sekelilingnya berbeda antara 0,5 – 1 derajat celcius. Dalam
hal ini suhu berfungsi sebagai faktor isyarat rangsangan alam yang menetukan
beberapa proses seperti bertelur, migrasi, metabolisme dan pertumbuhan ikan.
2.8.3 DO
Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga jika
ketersediaannya dalam air tidak mencukupi kebutuhan ikan, maka segala
aktifitas dan proses pertumbuhan ikan akan terganggu, bahkan akan mengalami
kematian (Sutimin, 2009). Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai dua
kepentingan yaitu : kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan
konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan (Ghufron dan Kordi, 2005).
Oksigen adalah salah satu unsur kimia yang sangat penting sebagai
penunjang utama kehidupan berbagai organisme. Oksigen dimanfaatkan oleh
organisme perairan untuk proses respirasi dan menguraikan zat organik menjadi
zat an-organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi
udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup dalam suatu
perairan dan dibutuhkan oleh organisme untuk mengoksidasi zat hara yang
masuk ke dalam tubuhnya (Nybakken, 1988 dalam Simanjutak, 2007).
23
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah insektisida organofosfat
berbahan aktif dimetoat yang memiliki merk dagang Kanon 400 EC dalam bentuk
cair dan hewan uji yang digunakan adalah benih ikan mas (Cyprinus carpio) yang
berukuran 3 – 5 cm melalui histologi insang dengan menggunakan metode
pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) pada uji sublethal insektisida dimetoat.
Dalam penelitian ini paramaeter kualitas air yang diukur meliputi pH, suhu, dan
oksigen terlarut (DO).
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian tentang uji pengaruh sublethal
insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap kelangsungan
hidup ikan mas (Cyprinus carpio) antara lain kolam, seser, toples kapasitas 16
liter, seperangkat alat aerasi, DO meter, pH meter, thermometer Hg, sectio set,
botol film, object glass, cover glass dan mikroskop. Bahan yang digunakan dalam
penelitian adalah ikan mas, insektisida dimetoat, preparat irisan jaringan insang
ikan mas (Cyprinus carpio) air tawar, pakan ikan, aquades, tissue, formalin 10%
dan lain sebagainya. Adapun fungsi alat dan bahan dapat dilihat pada Lampiran
1.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.
Penelitian dengan metode eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan
mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol ( Nazir,
2005). Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif
24
yaitu dengan mengadakan kegiatan pengumpulan, analisis dan interpretasi data
yang bertujuan untuk membuat deskripsi mengenai keadaan yang terjadi pada
saat penelitian (Suryabrata, 1987). Data yang diambil meliputi data primer serta
pengambilan data sekunder yang didapatkan dari jurnal, jurnal, artikel, laporan
PKM/Skripsi, situs internet dan kepustakaan yang menunjang penelitian ini.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di
lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang
memerlukan. Data ini diperoleh secara langsung dengan melakukan pengamatan
dan pencatatan dari hasil observasi (Hasan, 2002). Menurut Marzuki (1982),
observasi berarti melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis
terhadap gejala atau fenomena yang diselidiki, tanpa mengajukan pertanyaan-
pertanyaan.
b. Data Sekunder
Menurut Mulyanto (2008), data sekunder adalah data primer yang diperoleh
dari pihak lain yang telah diolah dan disajikan baik oleh pengumpul maupun
pihak lain. Menurut Sugiyono (2010), sumber sekunder merupakan sumber yang
tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang
lain atau lewat dokumen. Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan dari
jurnal, artikel ilmiah, laporan penelitian terdahulu, situs internet serta
kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.4 Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan perbedaan konsentrasi (a) sebanyak 6,
yaitu kontrol (tanpa pestisida), pestisida 10%, 30%, 50%, 70%, 90% dan ulangan
perlakuan (n) sebanyak 4. Eksperimen yang dilakukan pada penelitian ini antara
25
lain: 1) mengetahui laju pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio) yang terpapar
sublethal insektisida dimetoat; (2) mengetahui SR (Survival Rate) pada ikan mas
(Cyprinus carpio) yang terpapar sublethal insektisida dimetoat; (3) mengetahui
persentase kerusakan jaringan organ insang ikan mas yang terpapar sublethal
insektisida dimetoat.
Rumus dari Rancangan Acak Lengkap (RAL) menurut Kusriningrum (2008)
adalah sebagai berikut:
Keterangan : = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= Nilai tengah umum
= Pengaruh perlakuan ke-i
= Kesalahan (galat) pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Ulangan perlakuan pada penelitian mengenai uji pengaruh sublethal
insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap ikan mas adalah
sebagai berikut:
t(r-1) ≥ 15
6(r-1) ≥ 15 6r ≥ 15 r ≥ 4
Keterangan : t = Jumlah perlakuan pada penelitian r = Jumlah ulangan perlakuan pada penelitian
Untuk mengetahui perbedaan dari perlakuan pestisida terhadap
kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio) maka
dianalisa keragamannya menggunakan ANOVA. Selanjutnya perbedaan
perlakuan dengan kontrol diuji lanjut menggunakan uji BNT. Ikan mas yang
digunakan adalah ikan mas berukuran 3 – 5 cm. Pengaturan tata letak
percobaan dilakukan secara acak (random). Pengacakan dilakukan agar analisis
data yang dilakukan menjadi sahih. Adapun beberapa metode yang digunakan
26
antara lain (a) diundi (lotere), (b) daftar angka acak atau dengan (c)
menggunakan software. Denah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Denah Penelitian
Keterangan : A, B, C, D, E, F adalah perlakuan A = kontrol B= 10% dari nilai LC50 C= 30 % dari nilai LC50 D= 50% dari nilai LC50 E= 70% dari nilai LC50 F= 90% dari nilai LC50 1, 2, 3, 4 adalah ulangan
Tabel 1. Nilai Pengamatan
Ulangan Perlakuan
Total 1 2 3 4 5 6
1 y11 y21 y31 y41 y51 y61
2 y12 y22 y32 y42 y52 y62
3 y13 y23 y33 y43 y53 y63
4 y14 y24 y34 y44 y54 y64
Total y1 y2 y3 y4 y5 y6 y
Rata – rata
y1 y2 y3 y4 y5 y6 Y
Faktor Koreksi (FK) =
Jumlah Kuadrat Total (JKT) =
Jumlah Kuadrat Perlakuan (JKP)= - FK
Jumlah Kuadrat Galat = JKT – JKP
Kuadrat Tengah Perlakuan (KTP) =
Kuadrat Tengah Galat (KTG) =
F hitung= KTP/KTG
F3 E3 A4 C4 F4 D1 A1 D4
B4 B1 E1 C3 A2 B3 D3 F1
E2 C1 A3 C2 F2 E4 D2 B2
27
Tabel 2. Sidik Ragam untuk RAL
Sumber
Keragaman
(SK)
Derajat
Bebas
(db)
Jumlah
Kuadrat
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
F hitung
F tabel
0,05 0,01
Perlakuan t-1 JKP KTP
Galat t(n-1) JKG KTG
Total tn-1 JKT
3.5 Tahap Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan prosedur yaitu tahap preparasi
penelitian, uji pendahuluan (uji toksisitas akut LC50), uji sesungguhnya (uji
pengaruh sublethal insektisida dimetoat terhadap ikan mas, pengamatan
pertumbuhan, dan kelangsungan hidup ikan), histologi organ insang ikan mas.
3.5.1 Aklimatisasi Hewan Uji
Aklimatisasi hewan uji dilakukan dengan menyiapkan bak-bak percobaan
yang memiliki kapasitas 16 liter kemudian diisi air sebanyak 10 liter dan dibiarkan
sehari agar kotoran mengendap lalu disipon. Kemudian dimasukkan ikan
sebanyak 10 ekor yang memiliki stadia, ukuran, berat badan, umur, serta kondisi
fisiologis yang relatif sama. Ikan mas (Cyprinus carpio) yang digunakan adalah
ikan juvenile. Tahap pemeliharaan hewan uji, di mana ikan mas yang akan
digunakan sebagai hewan uji dipelihara selama kurang lebih 7 hari dan diberi
pakan berupa pelet dua kali sehari yaitu pagi pada pukul 08.00 WIB dan sore
pada pukul 16.00 WIB. Paka diberikan sebanyak 3 % dari berat tubuh ikan.
Selama aklimatisasi, mortalitas hewan uji tidak boleh lebih dari 3 % selama 48
jam, apabila melebihi 3% maka kelompok hewan uji tidak dapat digunakan untuk
penelitian. Dan sebaliknya apabila mortalitas tidak lebih dari 3% maka kelompok
hewan uji dapat digunakan untuk penelitian. Sehari sebelum dilakukan pengujian
ikan dipuasakan terlebih dahulu (Kusriani et al., 2012).
28
➢ Pembuatan Konsentrasi Perlakuan
Persiapan berbagai konsentrasi insektisida dengan cara melakukan
pengenceran menggunakan rumus :
Keterangan :
V1= Volume atau jumlah insektisida yang dibutuhkan
N1= Konsentrasi insektisida
V2= Volume air yang digunakan
N2= Dosis insektisida yang diinginkan
Pestisida organofosfat berbahan aktif dimetoat dengan merk Kanon 400
EC. Kandungan bahan aktif dimetoat pada pestisida ini sebanyak 400 gr/L. Jika
dijadikan dalam bentuk ppm maka menjadi 400.000 mg/L. Pembuatan konsetrasi
larutan untuk uji pendahuluan dan uij sublethal, terlebih dahulu dilakukan
pembuatan larutan stok sebanyak 1000 mg/L. Adapun pembuatan larutan stok
1000 mg/L sebagai berikut:
V1 =
Jadi untuk membuat larutan stok sebanyak 1000 ppm (mg/l), maka
diperlukan pestisida sebanyak 2, 5 ml dan dilarutkan dalam 1 liter aquades.
3.5.2 Uji Pendahuluan
➢ Penentuan Nilai Ambang Lethal Atas dan Nilai Ambang Lethal Bawah
Sebelum dilakukan uji toksisitas akut dan uji pengaruh sublethal maka
dilkukan uji pendahuluan untuk menentukan nilai ambang lethal bawah dan nilai
ambang lethal atas. Nilai ambang lethal bawah merupakan konsentrasi tertinggi
dari bahan uji di mana hewan uji masih mampu hidup setelah waktu pemaparan
48 jam, sedangkan nilai ambang lethal atas merupakan konsentrasi terendah
29
dari bahan uji yang mampu menyebabkan hewan uji mati 100% pada waktu
pemaparan 24 jam. Penentuan nulai ambang lethal bawah (LC0-48 jam) dan nilai
ambang lethal atas (LC0-24jam) bertujuan untuk menentukan konsentrasi
insektisida yang digunakan untuk uji toksisitas akut agar mendapatkan nilai
median lethal concentration (LC50-96 jam). Prosedur dalam uji untuk penentuan
nilai ambang lethal bawah dan nilai ambang lethal atas adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan 6 bak dan diisi air sebanyak 10 liter untuk 6 konsentrasi yaitu 0
mg/l, 0,01 mg/l, 0,1 mg/l, 1 mg/l, 10 mg/l, 100 mg/l. Perhitungan konsentrasi
untuk uji pendahuluan dapat dilihat pada Lampiran 2.
2. Memasukkan insektisida dengan konsentrasi yang sudah didapatkan dari
pengenceran ke dalam masing-masing bak.
3. Memasukkan hewan uji yaitu ikan mas yang berukuran 3 – 5 cm.
4. Memberikan aerasi sampai dasar untuk memberikan suplai oksigen selama
penelitian
5. Mengamati ikan mas setiap 8 jam sekali selama 96 jam untuk mengetahui
mortalitasnya
6. Mengamati jumlah ikan mas yang mati setiap 8 jam sekali dihitung
kumulatifnya pada 96 jam.
Pengamatan mortalitas pada hewan uji dilakukan pada periode 24 jam, 48
jam, 72 jam dan 96 jam. Hewan uji yang mati pada waktu pengamatan
dikeluarkan dan dicatat. Setelah konsentrasi ambang batas atas dan ambang
bawah telah diketahui, selanjutnya menentukan konsentrasi untuk uji toksisitas
menggunakan tabel rand. Tabel Rand dapat dilihat pada Lampiran 5.
Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan batas kisaran kritis (critical
range test) yang menjadi dasar penentuan konsentrasi yang digunakan dalam uji
lanjutan atau uji toksisitas sesungguhnya, yaitu konsentrasi yang dapat
30
menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian terkecil
mendekati 50% (Esmiralda dan Husni, 2012).
3.5.3 Uji Toksisitas Akut (LC50)
Uji toksisitas akut dilakukan untuk mendapatkan nilai ambang tengah LC50-96
jam untuk digunakan dalam uji pengaruh sublethal. Adapun prosedur uji
toksisitas akut adalah sebagai berikut :
1. Menentukan variasi konsentrasi insektisida dengan bahan aktif dimetoat
menggunakan tabel skala rand sesuai dengan hasil uji pendahuluan
penentuan nilai ambang lethal bawah dan ambang lethal atas
2. Mempersiapkan media dengan konsentrasi sesuai dengan perhitungan dari
rentang nilai pada uji pendahuluan sebanyak 8 konsentrasi termasuk kontrol.
3. Memberikan aerasi pada media terlebih dahulu selama 5-10 menit sebelum
memasukkan ikan mas ke dalam media percobaan
4. Memasukkan ikan mas ke dalam media sebanyak 10 ekor setiap bak dan
memberikan aerasi selama perlakuan 96 jam tanpa diberi makan
5. Mengamati ikan mas 8 jam sekali selama 96 jam dan pengukuran parameter
kualitas air pH, suhu, DO pada masing-masing bak media perlakuan selama
pengamatan 24, 48, 72, dan 96 jam. Kemudian menentukan nilai LC50
dengan menggunakan analisis probit. Adapun tabel probit dapat dilihat pada
Lampiran 5, analisa probit dapat dihitung dengan menentukan nilai regresi
dengan rumus:
Regresi:
Keterangan :
Y = Variabel terikat b = Koefisien regresi
X = Variabel bebas x = Log dosis
a = Konstanta y = Probit mortalitas
b = a = −
Y = a + bX
31
Langkah – langkah melakukan analisa probit nilai LC50 adalah sebagai
berikut:
1. Membuat tabel probit
2. Memasukkan niali konsentrasi perlakuan (mg/L)
3. Memasukkan nilai log 10 konsentasi perlakuan
4. Memasukkan jumlah organisme yang digunakan
5. Memasukkan jumlah kematian hewan uji pada setiap konsentrasi perlakuan
6. Menghitung nilai kematian
7. Mentranformasikan nilai koreksi kematian ke dalam tabel transformasi probit
8. Membuat regresi untuk nilai LC50 dengan rumus regresi di atas dan nilai anti
log x merupakan nilai LC50.
3.5.4 Uji Sesungguhnya (Uji Sublethal)
Uji pengaruh sublethal dilakukan selama 4 minggu untuk mengetahui
pengaruh insektisida dengan bahan aktif dimetoat terhadap kelangsungan hidup
ikan mas. Perlakuan menggunakan konsentrasi yang didapatkan dari uji
toksisitas akut. Perlakuan dari uji pengaruh sublethal yaitu dengan tanpa
pemberian insektisida sebagai kontrol dan perlakuan dengan pemberian
insektisida. Prosedur dari uji sesungguhnya adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan 24 media untuk 6 perlakuan yaitu 1 kontrol dan 5 konsentrasi
insektisida yang didapatkan dari 10%, 30%,50%, 70%, 90% dari nilai LC50
dan dilakukan 4 kali ulangan.
2. Memasukkan ikan mas yang telah diaklimatisasi ke dalam media masing-
masing sebanyak 10 ekor
3. Memberikan aerasi pada bak percobaan dan memberi makan ikan dua kali
sehari dengan pelet pada pukul 07.00 WIB dan 14.00 WIB
4. Melakukan pergantian media uji maksimal 4 hari sekali
32
5. Melakukan pengukuran bobot tubuh tubuh ikan mas setiap seminggu sekali
selama 4 minggu
6. Cara pengukuran bobot tubuh yaitu menyiapkan wadah yang diberi air dan
meletakkannya di atas timbangan analitik lalu menekan tombol “ZERO” dan
mengambil ikan dengan cara sampling untuk mengukur bobot tubuhnya
7. Mengukur kualitas air sehari dua kali selama penelitian
8. Menghitung Survival Rate (SR)
3.6 Analisis Parameter Kualitas Air
3.6.1 pH
Berikut ini merupakan langkah-langkah untuk mengukur pH menurut Untung
dan Perkasa (2002), yaitu :
• Menyiapkan pH meter terlebih dahulu
• Melakukan kalibrasi pH meter menggunakan aquades sebelum digunakan,
apabila layar alat menunjukkan angka kurang atau lebih dari 7 maka sekrup
di bagian alat diputar dengan obeng kecil hingga layar memperlihatkan tepat
angka 7.
• Memasukkan pH meter ke dalam perairan yang akan diukur
• Menekan tombol di bagian atas pH meter atau digeser (disesuaikan dengan
alatnya)
• Mencatat hasil pada layar akan ditampilkan angka dan menunjukkan kondisi
pH perairan yang diukur.
3.6.2 Suhu
Berikut ini merupakan langkah-langkah untuk mengukur suhu menurut
Bloom (1988), adalah sebagai berikut :
33
• Memasukkan Thermometer Hg ke dalam perairan sekitar 10 cm dan
ditunggu sekitar 2 menit sampai air raksa dalam skala termometer menunjuk
dan berhenti pada skala tertentu.
• Mencatat dalam skala derajat Celcius
• Membaca skala pada saat termometer masih di dalam perairan dan jangan
sampai tersentuh oleh tangan, mencatat hasilnya
3.6.3 DO
Berikut ini merupakan langkah-langkah untuk mengukur DO menurut Rovita
et al. (2012) yaitu :
• Memasukkan DO meter ke dalam perairan yang akan diukur
• Menunggu hingga skala menunjukkan angka yang stabil
• Membaca dan mencatat hasil oksigen terlarutnya pada skala DO meter
3.7 Prosedur Penelitian Insang Ikan Mas
3.7.1 Pengambilan Sampel Insang
Sampel insang ikan mas diambil dari tiap – tiap bak uji percobaan pada
konsentrasi yang telah ditentukan. Pengambilan sampel insang dilakukan
menggunakan alat sectio set. Setelah organ insang diambil selanjutnya
diawetkan ke dalam larutan formalin 10%.
3.7.2 Pembuatan Preparat
Menurut Pratiwi dan Manan (2015), dalam proses pembuatan preparat
histologi insang ikan mas dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan –
tahapan tersebut yaitu :
1. Persiapan Alat dan Bahan
Tujuan persiapan alat dan bahan untuk memudahkan langkah – langkah
selanjutnya dalam pembuatan preparat histologi.
34
2. Fiksasi Jaringan
Fiksatif yang digunakan untuk pengawetan jaringan pada ikan adalah larutan
fiksatif bouin’s. Digunakan fiksatif bouin’s untuk ikan mas karena memiliki daya
penetrasi yang cepat dan merata tetapi dapat terjadinya sedikit pengerutan.
Proses fiksasi dengan larutan bouin’s dilakukan selama 24 jam. Apabila jaringan
direndam terlalu lama dapat menyebabkan kerapuhan pada jaringan sehingga
tidak mungkin untuk dipotong dengan mikrotom secara baik.
3. Pemilihan Jaringan (Trimming)
Jaringan terfiksasi dipotong menggunakan pisau bedah yang tajam dan steril
agar jaringan tidak mengalami kerusakan dalam proses pengerjaan. Setelah
dilakukan proses trimming kemudian jaringan yang telah dipotong dimasukkan ke
dalam casette. Cassete yang berisi jaringan kemudian direndam dalam aquades
selama satu menit dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pengkerutan
pada jaringan akibat terlalu lama terkena udara.
4. Dehidrasi Jaringan
Dehidrasi jaringan dilakukan dengan tujuan untuk mengeluarkan seluruh
cairan yang terdapat dalam jaringan yang telah difiksasi sehingga nantinya dapat
diisi dengan parafin atau zat lainnya yang dipakai untuk membuat blok preparat.
Hal ini perlu dilakukan karena air tidak dapat bercampur dengan cairan parafin
atau zat lainnya yang dipakai untuk membuat blok preparat. Penarikan air keluar
dari sel/jaringan dilakukan dengan cara merendam jaringan dalam bahan kimia
yang berfungsi sebagai dehidrator (penarik air) yang secara progresif
konsentrasinya meningkat, yakni alkohol.
5. Pembuatan Blok Jaringan
Pembuatan blok jaringan dilakukan untuk menjaga masing-masing bagian
dari jaringan agar tidak berubah seperti pada kondisi tahap awal pemotongan
dengan menggunakan alat yang disebut tissue embeding. Dalam proses ini
35
digunakan cetakan anti karat atau basemold untuk pembuatan blok paraffin.
Pada proses ini digunakan zat pembenam yaitu paraffin cair panas dengan suhu
70ºC.
6. Pengirisan Jaringan
Pengirisan jaringan adalah proses pemotongan blok jaringan dengan
menggunakan mikrotom. Mikrotom merupakan alat yang digunakan untuk
memotong tipis atau irisan suatu jaringan. Sampel jaringan berparaffin bergerak
maju secara manual menuju pisau sesuai dengan ketebalan irisan yang
diinginkan. Hasil dari pengirisan jaringan ini berupa pita tipis yang sangat penting
karena irisan-irisan tipis ini akan membantu ketepatan diagnosa.
7. Pewarnaan Jaringan
Pewarnaan adalah proses pemberian warna pada jaringan yang telah
dipotong sehingga jaringan dapat dikenali dan memudahkan dalam pengamatan
jaringan dengan mikroskop. Pada pulasan HE digunakan 2 macam zat warna
yaitu hematoksilin yang berfungsi untuk memulas inti sel dan memberikan warna
biru (basofilik) serta eosin yang merupakan counterstaining hematoksilin,
digunakan untuk memulas sitoplasma sel dan jaringan penyambung dan
memberikan warna merah muda dengan nuansa yang berbeda.
8. Preparat Hasil
Preparat yang telah diwarnai kemudian diamati dan dilakukan scanning
menggunakan mikroskop dotslide. Selanjutnya hasil scanning jaringan ikan mas
dijadikan file dotslide dan diamati dengan program Olyvia.
3.7.3 Pengamatan Kerusakan Insang Ikan Mas
Pengamatan jaringan insang ikan mas yang telah diwarnai menggunakan
haematocylin dan eosin dilakukan di bawah mikroskop binokuler. Selanjutnya
insang ikan mas (Cyprinus carpio) dianalisis dan diidentifikasi jenis dan tingkat
36
kerusakan jaringan insang ikan mas yang telah terpapar insektisida organofosfat
berbahan aktif dimetoat pada perlakuan sublethal dengan dosis yang berbeda
menggunakan aplikasi Master Olyvia dan aplikasi CorelDRAW.
3.7.4 Persentase Kerusakan Insang Ikan Mas
Setelah dilakukan pengamatan kerusakan insang ikan mas, tahapan
berikutnya adalah menghitung persentase kerusakan jaringan insang ikan mas
untuk mengetahui kategori tingkat kerusakan jaringan insang ikan mas akibat
dari adanya perlakuan. Persentase kerusakan jaringan insang ikan mas dapat
dihitunga dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Cara menghitungnya adalah dalam satu bidang pandang dibagi menjadi
beberapa kotak dan dihitung jumlah kerusakan jaringan insang ikan mas yang
rusak, selanjutnya jumlah kotak yang mewakili jaringan dihitung sebagai jumlah
jaringan yang dianalisis.
3.8 Perhitungan SGR
Menurut Anggraeni dan Abdulgani (2013), laju pertumbuhan spesifik adalah
laju pertumbuhan harian atau presentase penambahan bobot ikan setiap harinya.
Meningkatnya pertumbuhan dapat diketahui dengan peningkatan laju
pertumbuhan spesifik. Selanjutnya data dianalisis statistik menggunakan ANOVA
yang akan menunjukkan adanya pengaruh pemberian perlakuan pada hewan uji.
Ada beberapa faktor – faktor yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan
spesifik pada ikan, yaitu faktor internal (faktor – faktor yang berasal dari dalam
tubuh ikan) dan eksternal (faktor – faktor yang berasal dari luar tubuh ikan).
Faktor internal meliputi jenis ikan, ukuran ikan, umur ikan, jenis kelamin ikan, dan
37
lain sebagainya. Faktor eksternal meliputi lingkungan/habitat hidup ikan baik
fisika kimia dan ketersediaan pakan dari segi kualitas maupun kuantitas.
Perhitungan besarnya laju pertumbuhan ikan mas didapatkan rumus sebagai
berikut:
Keterangan :
SGR = Laju pertumbuhan Spesifik
Ln Wo = Berat awal hewan uji (g)
Ln Wt = Berat akhir hewan uji (g)
t = Waktu penelitian (hari)
3.9 Perhitungan SR
Kelangsungan hidup ikan merupakan perbandingan antara jumlah individu
yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu pada awal percobaan
atau peluang hidup dalam suatu saat tertentu. Survival rate biasanya dinyatakan
dalam satuan presentase (%). Pengukuran kelangsungan hidup (Survival Rate)
ikan uji diperoleh dengan mengikuti rumus Effendie (1979) dalam Rudiyanti dan
Ekasari (2009) adalah sebagai berikut:
Keterangan :
SR = Kelangsungan hidup hewan uji (%)
Nt = Jumlah ikan uji pada akhir penelitian (ekor)
N0 = Jumlah ikan uji pada awal penelitian (ekor)
3.10 Analisis Data
Analisa data untuk uji toksisitas akut (LC50) menggunakan analisa probit.
Selanjutnya untuk uji pengaruh sublethal insektisida organofosfat dengan bahan
aktis dimetoat terhadap kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan mas
38
menggunakan analisys of variance (ANOVA). Hal ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap respon parameter yang diukur atau uji F. Jika nilai
dari uji F berbeda nyata atau berbeda sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji
beda nyata terkecil (BNT) untuk menentukan perbedaan antar perlakuan pada uji
pengaruh sublethal insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat.
39
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Uji Toksisitas Insektisida Dimetoat
4.1.1 Hasil Penelitian Uji Pendahuluan
Hasil dari penelitian uji pendahuluan pada toksisitas insektisida organofosfat
dengan bahan aktif dimetoat terhadap mortalitas ikan mas (Cyprinus carpio)
disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Data Mortalitas Ikan Mas (Cyprinus carpio) pada Uji Pendahuluan
Keterangan : * = Ambang batas bawah ** = Ambang batas atas
Pada Tabel 3 dapat dilihat apabila pada konsentrasi pestisida 0 ppm tidak
terjadi mortalitas ikan selama 96 jam. Konsentrasi pestisida 0,01 ppm juga tidak
terjadi mortalitas ikan selama 96 jam. Begitu pula dengan konsentrasi pestisida
0,1 ppm tidak ditemukannya mortalitas ikan selama pemaparan 96 jam. Akan
tetapi, pada konsentrasi pestisida 1 ppm telah terjadi mortalitas ikan pada waktu
pemaparan 48 jam sebanyak 2 ekor dan pada waktu pemaparan 96 jam
sebanyak 2 ekor sehingga pada konsentrasi tersebut terjadi mortalitas ikan
sebesar 40%. Pada konsentrasi pestisida 10 ppm terjadi mortalitas ikan pada
waktu pemaparan 24 jam sebanyak 6 ekor, pada waktu pemaparan 48 jam
sebanyak 2 ekor, pada waktu pemaparan 72 jam sebanyak 1 ekor dan pada
waktu pemaparan 96 jam sebanyak 1 ekor sehingga pada konsentrasi tersebut
Konsentrasi (ppm)
Jumlah Ikan
Waktu Pengamatan Total
Kematian %Mortalitas
24 jam
48 jam
72 jam
96 jam
(4x24 jam)
0 10 0 0 0 0 0 0%
0,01 10 0 0 0 0 0 0%
0,1 10 0 0 0 0 0 0%
1* 10 0 2 0 2 4 40%
10** 10 6 2 1 1 10 100%
100 10 10 - - - 10 100%
40
terjadi mortalitas ikan sebesar 100%. Sedangkan konsentrasi pestisida 100 ppm
terjadi mortalitas ikan sebesar 100% pada waktu pemaparan 24 jam.
Berdasarkan hasil uji pendahuluan dapat digunakan untuk menentukan nilai
ambang lethal atas dan ambang lethal bawah.
Cara penentuan nilai ambang lethal bawah yaitu dengan melihat konsentrasi
tertinggi dari insektisida di mana hewan uji masih mampu hidup setelah waktu
pemaparan 48 jam, selanjutnya cara penentuan nilai ambang lethal atas yaitu
dengan melihat konsentrasi terendah dari insektisida di mana hewan uji mati
100% dalam waktu pemaparan 24 jam. Dari data mortalitas tersebut dapat dilihat
bahwa konsentrasi 1 ppm merupakan nilai ambang lethal bawah dan konsentrasi
10 ppm merupakan nilai ambang lethal atas sehingga kisaran konsentrasi yang
digunakan untuk uji toksisitas akut yaitu antara 1 ppm sampai 10 ppm.
4.1.2 Hasil Uji Toksisitas Akut (Penentuan LC50)
Hasil dari penelitian uji toksisitas akut insektisida organofosfat dengan bahan
aktif dimetoat terhadap mortalitas ikan mas (Cyprinus carpio) disajikan dalam
Tabel 4.
Tabel 4. Data Mortalitas Ikan Mas (Cyprinus carpio) pada Uji Toksisitas Akut
Konsentrasi (ppm)
Jumlah Ikan
Waktu Pengamatan Jumlah
Ikan Mati %
Mortalitas 24 jam
48 jam
72 jam
96 jam
Kontrol (0 ppm)
10 0 0 0 0 0 0%
1,35 10 0 1 0 0 1 10%
1,8 10 0 1 0 0 1 10%
2,4 10 1 0 1 1 3 30%
3,2 10 2 2 1 1 6 60%
4,2 10 5 2 1 1 9 90%
6,5 10 8 2 - - 10 100%
8,7 10 10 - - - 10 100%
Berdasarkan hasil uji toksisitas didapatkan hasil mortalitas yang beragam
pada setiap konsentrasi. Pada konsentrasi 0 ppm tidak terjadi mortalitas ikan
41
sedangkan pada konsentrasi 1,35 ppm dan 1,8 ppm telah terjadi kematian ikan
yang sama sebanyak 1 ekor sehingga mortalitas ikan sebesar 10%. Pada
konsentrasi 2,4 ppm terjadi kematian ikan sebanyak 3 ekor sehingga didapatkan
mortalitas ikan sebesar 30%. Pada konsentrasi 3,2 ppm terjadi kematian ikan
sebanyak 6 ekor dan didapatkan mortalitas ikan sebesar 60%. Selanjutnya, pada
konsentrasi 4,2 ppm juga terjadi kematian ikan sebanyak 9 ekor sehingga
didapatkan mortalitas ikan sebesar 90%. Namun pada konsentrasi 6,5 ppm dan
8,7 ppm terjadi kematian ikan sebanyak 10 ekor sehingga didapatkan mortalitas
ikan sebesar 100%.
Pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak melalui mulut, kulit
dan pernapasan. Pestisida dalam bentuk gas merupakan pestisida yang paling
berbahaya bagi pernapasan, sedangkan pestisida dalam bentuk cair sangat
berbahaya bagi kulit. Keracunan pestisida dapat dibedakan berdasarkan jumlah
pestisida yang masuk ke dalam tubuh. Apabila pestisida masuk ke dalam tubuh
sekaligus dengan dosis tertentu maka disebut keracunan akut yang akan
menyebabkan kematian. Dan jika pestisida masuk ke dalam tubuh sekaligus ke
dalam tubuh secara berangsur – angsur dalam jumlah yang sangat kecil disebut
keracunan kronis dan akan mengalami perubahan histologis dan genetis.
Menurut Rudiyanti dan Ekasari (2009), pada saluran pernafasan pestisida dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian insang dan organ-organ yang
berhubungan dengan insang. Masuknya pestisida dalam insang melalui kontak
langsung karena terletak di luar. Menurut Srivasta et al. (2010), insektisida
dimetoat merupakan insektisida organofosfat yang banyak digunakan untuk
membunuh tungau, kutu daun dan diaplikasikan pada jeruk, kapas, buah, buah
zaitun, kentang, teh, tembakau dan sayuran. Dimetoat sangat larut dalam air dan
dapat larut ke sumber air terdekat dan mempengaruhi organisme air. Dimetoat
42
adalah pestisida dengan persisten rendah yang memiliki waktu paruh 4-16 hari
namun dapat bertahan lebih lama tergantung pada kondisi.
Menurut Voogt (2016), laju hidrolisis dimetoat bergantung pada pH, tipe
tanah, suhu dan kondisi cuaca lainnya. Lartiges dan Garrigues (1995) dalam
Voogt (2016), hidrolisis di air laut meningkat karena pH dan suhu meningkat
sehingga didapatkan waktu paruh 36 hari diukur pada suhu 22° C dan pH 8,1.
Hasil ini menunjukkan hidrolisis terjadi lebih cepat dalam kondisi basa. Druzina
dan Stegu (2007) dalam Voogt (2016), melaporkan temuan serupa.
Menghilangnya dimetoat di sungai dan air tanah pada pH dan suhu bervariasi
menghasilkan waktu paruh yang berbeda. Dalam air tanah, pada pH 6, waktu
paruh adalah 94,9 hari, sedangkan pada pH 8,5 waktu paruh adalah 66 hari. Bila
dibandingkan dengan perairan sungai (pH 8), hidrolisis lebih cepat karena suhu
meningkat dari 4 sampai 25° C (yaitu 169 hari sampai 74,5 hari).
Pada uji toksisitas akut telah didapatkan total mortalitas ikan yang
selanjutnya dihitung menggunakan analisa probit yang berfungsi untuk
mengetahui nilai LC50. Setelah dihitung menggunakan analisa probit dapat
diketahui bahwa insektisida organofosfat berbahan aktif dimetoat memiliki nilai
LC50 sebesar 2,60 ppm dan termasuk dalam daya racun yang tinggi. Dari hasil
perhitungan LC50 dapat disimpulkan bahwa pada konsentrasi 2,60 ppm
insektisida dapat membunuh sebanyak 50% ikan uji. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi insektisida maka akan semakin tinggi angka
mortalitasnya, sedangkan semakin rendah konsentrasi insektisida yang diberikan
maka semakin rendah pula angka mortalitas. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Nofyan et. al. (2011), bahwa organisme akan mengalami kematian atau
mortalitas dalam periode waktu yang pendek bila terpapar senyawa toksikan
dengan konsentrasi tinggi dan sebaliknya organisme akan bertahan lebih lama
apabila terpapar senyawa toksikan dengan konsentrasi yang rendah.
43
Menurut Connel dan Miller (2006), pengaruh letal dari bahan pencemar
terhadap makhluk hidup merupakan suatu tanggapan yang terjadi pada saat zat
– zat fisika atau kimia yang masuk ke dalam tubuh makhluk hidup dan
menimbulkan gangguan proses sel atau subsel sampai dengan batas yang
menyebabkan kematian secara langsung. Adapun gangguan yang terjadi antara
lain tidak dapat bernafas atau mengganggu proses respirasi, gangguan dalam
pergerakan untuk mendapatkan makanan, dan rusaknya habitat. Menurut Komisi
Pestisida Departemen Pertanian (1997), adapun kriteria daya racun lethal
pestisida adalah (1) LC50-96 jam < 1 mg/L, daya racun sangat tinggi, (2) LC50-96
jam 1 – 10 mg/L, daya racun tinggi, (3) LC50-96 jam 10 – 100 mg/L, daya racun
sedang, dan (4) LC50-96 jam 100 mg/L, daya racun rendah.
4.2 Laju Pertumbuhan Spesifik/Spesific Growth Rate (SGR) Berat Ikan Mas
yang Terpapar Insektisida Berbahan Aktif Dimetoat
Pada uji pengaruh pemberian dosis sublethal insektisida organofosfat
berbahan aktif dimetoat terhadap laju pertumbuhan berat ikan mas pada
penelitian ini berdasarkan pada pemberian dosis sebesar 0%, 10%, 30%,
50%,70% dan 90% dari LC50 96 jam. Dosis perlakuan yang digunakan yaitu A =
0 ppm (kontrol tanpa pemberian insektisida), B = 0,26 ppm (10% dari LC50
insektisida), C = 0,78 ppm (30% dari LC50 insektisida), D = 1,3 ppm (50% dari
LC50 insektisida), E = 1,82 ppm (70% dari LC50 insektisida), F = 2,34 ppm (90%
dari LC50 insektisida). Ikan mas sebelum dilakukan uji pengaruh sublethal
insektisida memiliki kondisi fisik yang baik di mana dapat dilihat bahwa warna
tubuh ikan mas terlihat cerah dan berwarna orange atau kuning terang,
sedangkan ikan mas yang terpapar insektisida organofosfat dimetoat selama uji
sublethal tubuhnya mengalami perubahan, seperti warna tubuh ikan mas yang
berwarna pucat cenderung putih dan bertubuh kecil – kecil. Perbedaan tubuh
ikan mas dapat dilihat pada Gambar 5.
44
(i)
(ii)
Gambar 5. Gambar (i) adalah gambaran ikan mas sebelum uji sublethal
insektisida dan gambar (ii) adalah gambaran ikan mas setelah uji
sublethal insektisida.
Hasil rata – rata uji pengaruh sublethal insektisida organofosfat berbahan
aktif dimetoat terhadap laju pertumbuhan spesifik/specific growth rate (SGR)
berat ikan mas dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Rata – Rata Pengaruh Perlakuan Insektisida Dimetoat terhadap
SGR Berat Ikan Mas
Perlakuan Rata – rata SGR Berat Ikan Mas (% per hari)
A (0 ppm) 2,458
B (0,26 ppm) 2,082
C (0,78 ppm) 2,010
D (1,3 ppm) 1,639
E (1,82 ppm) 0,715
F (2,34 ppm) 0,675
Hasil penelitian berdasarkan pada Tabel 5 tersebut menunjukkan bahwa
pengamatan laju pertumbuhan spesifik berat ikan mas semakin menurun seiring
dengan bertambahnya konsentrasi pestisida. Pada perlakuan kontrol terjadi
pertumbuhan yang sangat tinggi yaitu sebesar 2,458% per hari, sedangkan pada
perlakuan B (0,26 ppm) terjadi pertumbuhan yang lambat, dan diikuti secara
berturut – turut melambat pada perlakuan C (0,78 ppm), perlakuan D (1,3 ppm),
perlakuan E (1,82 ppm) dan perlakuan F (2,34 ppm). Laju pertumbuhan spesifik
harian pada ikan mas tertinggi di capai pada perlakuan A (2,458% per hari) diikuti
45
dengan perlakuan B (2,082% per hari), C (2,010% per hari), dan D (1,639% per
hari), E (0,715% per hari), dan F (0,675% per hari). Ikan mas dengan perlakuan
kontrol yaitu tanpa pestisida mengalami laju pertumbuhan yang baik. Menurut
Flajshans & Hulata (2007), ikan mas biasa tinggal di bagian tengah dan hilir
sungai dan perairan yang dangkal. Laju pertumbuhan terbaik diperoleh pada
suhu air 23°C - 30°C. pH optimal adalah 6,5 - 9,0. Ikan mas umum dapat
bertahan dalam konsentrasi oksigen rendah (0,3-0,5 mg.l-1). Ikan mas adalah
omnivora, dengan kecenderungan tinggi terhadap konsumsi organisme bentik,
seperti serangga air, larva serangga, cacing, moluska, dan zooplankton.
Pertumbuhan spesifik harian bisa 2% sampai 4% pada kondisi yang normal. Ikan
mas bisa mencapai 0,6 sampai 1,0 kg bb dalam satu musim di polikultur
subtropis / tropis, sedangkan pertumbuhan di iklim sedang lebih lambat.
Dari Tabel 5 tersebut dilakukan analisis varian (ANOVA) yang digunakan
untuk mengetahui pengaruh insektisida dimetoat terhadap laju pertumbuhan
spesifik (SGR) berat ikan mas dan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Uji ANOVA Pengaruh Perlakuan Insektisida Dimetoat terhadap SGR
Berat Ikan Mas
SK
dB JK KT Fhitung
F Tabel
5% 1%
Perlakuan 5 11,10983121 2,221966242 207,8893337 2,77 4,25
Galat 18 0,1923879 0,010688217
Total 23 11,30221911
Dari hasil perhitungan uji ANOVA pada Tabel 6 dapat dilihat apabila
insektisida dimetoat berpengaruh sangat nyata terhadap laju pertumbuhan
spesifik (SGR) berat ikan mas. Di mana hasil dari Fhitung (207,889) > Ftabel 1%
(4,25) > Ftabel 5% (2,77). Selanjutnya dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
Untuk mengetahui pengaruh hubungan konsentrasi insektisida berbahan aktif
dimetoat terhadap laju pertumbuhan spesifik (SGR) berat ikan mas didapatkan
46
persamaan linier y = -0,7919x + 2,4544 dengan R2 sebesar 0,9287 dan dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan Konsentrasi Insektisida Berbahan Aktif Dimetoat terhadap
SGR Berat Ikan Mas
Berdasarkan pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa nilai dari a (intercept)
sebesar 2,4544 dan nilai b (X variabel 1) sebesar -0,7919. Nilai dari b yang
didapatkan dari hasil regresi yaitu negatif sehingga garis liniernya mengalami
penurunan. Model regresi tersebut memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar
0,9287 (92,87%). Hal ini berarti bahwa model regresi yang didapatkan mampu
menjelaskan variabel Y sebesar 92,87% dan sisanya sebesar 7,13 %
disebabkan oleh faktor lain yang tidak teramati. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Rudiyanti dan Ekasari (2009), bahwa benih ikan mas yang ditebarkan pada
media yang mengandung bahan aktif pestisida, terjadi pertumbuhan yang
terhambat. Adanya pertumbuhan yang terhambat ini menunjukkan adanya
gangguan pada fungsi tubuh dan alat gerak organisme, sehingga energi yang
digunakan untuk pertumbuhan digunakan untuk melakukan adaptasi terhadap
lingkungan perairan yang mengandung bahan aktif pestisida.
Menurut Kusriani et al. (2012), bahwa laju pertumbuhan pada perlakuan
dengan pemberian pestisida lebih kecil daripada perlakuan yang tanpa
pemberian pestisida. Hal ini dikarenakan rusaknya salah satu organ tubuh ikan
mas yaitu insang akibat dari zat toksik pestisida organofosfat. Gejala yang terlihat
47
adalah perubahan pola renang ikan yang melonjak-lonjak, dan ikan mengalami
kejang – kejang.
4.3 Kelangsungan Hidup/ Survival Rate (SR) Ikan Mas yang Terpapar
Insektisida Berbahan Aktif Dimetoat
Pada uji pengaruh pemberian dosis sublethal insektisida organofosfat
berbahan aktif dimetoat terhadap kelangsungan hidup ikan mas pada penelitian
ini berdasarkan pada pemberian dosis sebesar 0%, 10%, 30%, 50%,70% dan
90% dari LC50 96 jam. Dosis perlakuan yang digunakan yaitu A = 0 ppm (kontrol
tanpa pemberian insektisida), B = 0,26 ppm (10% dari LC50 insektisida), C = 0,78
ppm (30% dari LC50 insektisida), D = 1,3 ppm (50% dari LC50 insektisida), E =
1,82 ppm (70% dari LC50 insektisida), F = 2,34 ppm (90% dari LC50 insektisida).
Hasil rata – rata uji pengaruh sublethal insektisida organofosfat berbahan
aktif dimetoat terhadap ikan mas yang diamati adalah kelangsungan
hidup/survival rate (SR) ikan mas dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Pengaruh Perlakuan Insektisida Dimetoat terhadap SR Ikan Mas
Perlakuan Rata – rata SR Ikan Mas (%)
A (0 ppm) 100
B (0,26 ppm) 90
C (0,78 ppm) 87,5
D (1,3 ppm) 82,5
E (1,82 ppm) 75
F (2,34 ppm) 72,5
Berdasarkan pada Tabel 7 tersebut dapat dilihat bahwa kelangsungan hidup
pada ikan mas dengan konsentrasi A tanpa pestisida (0 ppm) memiliki
kelangsungan hidup ikan yang paling tinggi yaitu 100%, daripada perlakuan
dengan konsentrasi B (0,26 ppm), C (0,78 ppm), D (1,3 ppm), E (1,82 ppm), dan
F (2,34 ppm). Kelangsungan hidup ikan mas yang paling rendah didapatkan dari
perlakuan D (1,3 ppm) sebesar 72,5%. Hal ini disebabkan karena mortalitas
48
semakin meningkat sebanding dengan meningkatnya jumlah konsentrasi
pestisida yang diberikan pada ikan mas sehingga menyebabkan penurunan nilai
kelangsungan hidup ikan mas. Menurut Mulyani et al., (2014) dalam Pangestika
et al. (2017), bahwa tingkat kelangsungan ≥ 50% tergolong baik, kelangsungan
hidup 30 – 50% sedang dan kurang dari 30% tidak baik.
Kelangsungan hidup ikan sangat bergantung pada daya adaptasi ikan
terhadap makanan dan lingkungan, status kesehatan ikan, padat tebar, dan
kualitas air yang cukup mendukung pertumbuhan (Murjani, 2011). Menurut
Rudiyanti dan Ekasari (2009), kelangsungan hidup ikan sangat tergantung dari
kondisi perairan tempat hidupnya. Mengingat besarnya potensi pencemaran dari
limbah pestisida dalam perairan, dan adanya perbedaan kepentingan tersebut,
maka pemakaian pestisida perlu dilakukan secara cermat.
Dari Tabel 7 tersebut dilakukan analisis varian (ANOVA) yang digunakan
untuk mengetahui pengaruh insektisida dimetoat terhadap laju pertumbuhan
spesifik (SGR) panjang ikan mas dan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Uji ANOVA Pengaruh Perlakuan Insektisida Dimetoat terhadap SR Ikan Mas
SK dB JK KT Fhitung F Tabel
5% 1%
Perlakuan 5 2070,833 414,167 4,888 2,77 4,25
Galat 18 1525 84,722 Total 23 3595,833 - -
Dari hasil perhitungan uji ANOVA pada Tabel 8 dapat dilihat apabila
insektisida dimetoat sangat berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup
(SR) ikan mas. Hasil dari Ftabel 5% (2,77)<Fhitung (4,888)> Ftabel 1% (4,25).
Selanjutnya dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (uji BNT). Untuk mengetahui
pengaruh hubungan konsentrasi insektisida berbahan aktif dimetoat terhadap
kelangsungan hidup (SR) ikan mas didapatkan persamaan linier y = -10,88x +
96,37 dengan R2 sebesar 0,9403 dan dapat dilihat pada Gambar 7.
49
Gambar 7. Hubungan Konsentrasi Insektisida Berbahan Aktif Dimetoat terhadap
SR Ikan Mas
Berdasarkan pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai dari a (intercept)
sebesar 96,37 dan nilai b (X variabel 1) sebesar -10,88x. Nilai dari b yang
didapatkan dari hasil regresi yaitu negatif sehingga garis liniernya mengalami
penurunan. Model regresi tersebut memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar
0,9403 (94,03%). Hal ini berarti bahwa model regresi yang didapatkan mampu
menjelaskan variabel Y sebesar 94,03% dan sisanya sebesar 5,97 %
disebabkan oleh faktor lain yang tidak teramati. Menurut Silaban et. al. (2012),
bahwa kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal meliputi resistensi terhadap penyakit, pakan dan umur.
Faktor eksternal antara lain yaitu padat tebar, penyakit serta kualitas air (sifat
fisika dan sifat kimia) dari suatu lingkungan perairan.
Laju pertumbuhan ikan dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam
dan faktor luar. Faktor dalam meliputi sifat keturunan, umur, ketahanan terhadap
penyakit dan kemampuan memanfaatkan makanan, sementara faktor luar
meliputi suhu, kimia perairan dan makanan yang tersedia (Radona et. al., 2012).
Menurut Nisa et. al., (2013), faktor lingkungan yang menyebabkan ikan
kehilangan nafsu makan menyebabkan keterlambatan untuk tumbuh dan jika
kondisi lingkungannya tidak sesuai maka ikan lebih memanfaatkan energi dari
makanan untuk mempertahankan hidup daripada pertumbuhan.
50
4.4 Histologi Insang Ikan Mas
4.4.1 Gambaran Hitologi Insang Ikan Mas Kontrol (0 ppm)
Berdasarkan hasil penelitian mengenai histologi insang pada uji pengaruh
sublethal insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap
kelangsungan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) tanpa insektisida yaitu kontrol (0
ppm) dapat dilihat pada Gambar 8 perbesaran 400x dengan pewarnaan HE.
Kondisi insang ikan mas kontrol menunjukkan penampakan filamen dan lamella
insang yang jelas dan sehat tanpa adanya kerusakan pada bagian – bagian
insang ikan mas tersebut.
(i)
(ii)
Gambar 8. Gambar (i) merupakan mikroanatomi insang ikan mas pada uji
sublethal insektisida dengan konsentrasi pemaparan 0 ppm (kontrol) dan gambar (ii) merupakan potongan struktur mikroanatomi insang ikan mas pada kondisi normal (Indrayani et al., 2014). Keterangan: Struktur Insang Ikan Mas Kontrol 0 ppm. (LS) Lamela Sekunder; (LP) Lamela Primer
Pada Gambar 8, struktur jaringan insang ikan kontrol (0 ppm)
memperlihatkan jaringan yang masih utuh. Struktur insang ikan mas kontrol yaitu
lengkung insang, sisir insang dan filamen insang. Pada lengkung insang dan
lamella di sokong oleh kartilago (tulang rawan), sistem vaskuler dan lapisan
epithelium. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fujaya (2008), bahwa insang
terbentuk dari lengkung tulang rawan yang mengeras dengan beberapa filamen
insang di dalamnya. Di setiap filamennya terdiri atas beberapa lamella. Lamella
51
berfungsi sebagai tempat pertukaran gas. Struktur lamella tersusun oleh sel – sel
epitel yang tipis pada bagian luar, membran dasar dan sel – sel tiang sebagai
penyangga pada bagian dalam. Jumlah dan ukuran lamella bervariasi tergantung
dengan tingkah laku ikan.
Menurut Susanah (2011), pada filamen insang terdapat sejumlah lamella.
Tepi – tepi bebas lamella ditutupi epithelium yang berisi jaringan kapiler yang
disokong oleh sel pilaster. Berdasarkan pengamatan mikroanatomi jaringan
insang ikan mas didapatkan kerusakan pada bagian lamella primer maupun
lamella sekunder. Perubahan struktur mikroanatomi insang dapat digunakan
sebagai indikator tingkat pencemaran di lingkungan mulai terjadinya kontaminasi,
pencemaran tingkat ringan sampai tingkat berat. Menurut Saputra et al., (2013),
insang ikan merupakan organ respirasi utama yang bekerja dengan mekanisme
difusi permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida) antara
darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam air akan diabsorbsi ke dalam kapiler –
kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin untuk selanjutnya didistribusikan ke
seluruh tubuh. Sedangkan karbondioksida dikeluarkan dari sel dan jaringan
untuk dilepaskan ke air di sekitar insang. Oleh sebab itu, perubahan yang terjadi
di lingkungan perairan secara langsung dan tidak langsung berdampak kepada
struktur dan fungsi insang.
4.4.2 Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Perlakuan B (0,26 ppm)
Berdasarkan hasil penelitian mengenai histologi insang pada uji pengaruh
sublethal insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap
kelangsungan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) pada perlakuan B (0,26 ppm)
dapat dilihat pada Gambar 9 perbesaran 400x dengan pewarnaan HE. Di mana
kondisi insang ikan mas yang terpapar insektisida sebesar 0,26 ppm
52
menunjukkan penampakan filamen dan lamella yang tidak sehat dengan adanya
kerusakan pada bagian – bagian insang ikan mas tersebut.
(1)
(2)
Gambar 9. Insang Ikan Mas B (0,26 ppm)
Keterangan : Struktur Insang Ikan Mas yang Terpapar Insektisida 0,26 ppm dengan Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. (1) Edema; (2) Hemoragi
Dari pengamatan histotologi pada organ insang ikan mas yang terpapar
insektisida dengan perlakuan 0,26 ppm didapatkan hasil bahwa insang
mengalami kerusakan antara lain edema dan hemoragi. Edema merupakan
pembengkakan sel akibat pemaparan insektisida organofosfat berbahan aktif
dimetoat.
Menurut Saputra et. al, (2013), bahwa kerusakan sekecil apapun dapat
menyebabkan terganggunya fungsi insang sebagai pengatur osmose dan
kesulitan bernafas. Pembendungan aliran darah (disebabkan trauma fisik, zat
pencemar ataupun gangguan sistem sirkulasi) pada lamela akan menyebabkan
edema (pembengkakan sel) di sekitar pembuluh darah yang terlihat dari
53
perluasan jaringan antara pembuluh darah dengan lapisan epitel lamela primer.
Edema sering terjadi akibat pemaparan polutan yang berasal dari bahan kimia,
seperti logam-logam berat, metaloid, pestisida, dan penggunaan bahan
terapeutik (formalin dan H2O2) yang berlebihan.
Menurut Pazra (2008), hemoragi (pendarahan) adalah kondisi yang ditandai
dengan keluarnya darah dari dalam vaskula akibat dari kerusakan dinding
vaskula. Kebocoran dinding ada dua macam melalui kerobekan dan melalui
perenggangan jarak antara sel-sel endotel dinding vaskula. Hemoragi dapat
disebabkan oleh: (1) trauma yaitu kerusakan dalam bentuk fisik yang merusak
sistem vaskula jaringan di daerah benturan/ kontak, (2) infeksi agen infeksius
terutama mengakibatkan septisemia, (3) bahan toksik yang merusak endotel
kapiler, (4) faktor lain yang menyebabkan dinding vaskula lemah sehingga
pembuluh darah rentan untuk bocor.
Menurut Parameswari et al. (2013), menyatakan bahwa keluarnya darah dari
pembuluh darah, baik ke luar tubuh maupun ke dalam tubuh yang dapat terlihat
dengan adanya bintik hemoragi di lapisan mukosa pada organ tubuh. Ikan yang
terinfeksi memperlihatkan bahwa ikan tersebut mengalami stress.
4.4.3 Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Perlakuan C (0,78 ppm)
Berdasarkan hasil penelitian mengenai histologi insang pada uji pengaruh
sublethal insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap
kelangsungan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) pada perlakuan C (0,78 ppm)
dapat dilihat pada Gambar 10 perbesaran 400x dengan pewarnaan HE. Di mana
kondisi insang ikan mas yang terpapar insektisida sebesar 0,78 ppm
menunjukkan penampakan filamen dan lamella yang tidak sehat dengan adanya
kerusakan pada bagian – bagian insang ikan mas tersebut.
54
(1)
(2)
Gambar 10. Insang Ikan Mas C (0,78 ppm)
Keterangan : Struktur Insang Ikan Mas yang Terpapar Insektisida 0,78 ppm Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. (1) Edema; (2) Hemoragi
Dari hasil pengamatan histotologi pada organ insang ikan mas yang terpapar
insektisida dengan perlakuan 0,78 ppm didapatkan hasil bahwa insang
mengalami beberapa kerusakan antara lain adalah edema dan hemoragi. Di
mana edema merupakan pembengkakan sel akibat pemaparan insektisida
organofosfat berbahan aktif dimetoat. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Priosoeryanto et. al, (2010), bahwa edema merupakan suatu akumulasi cairan
yang abnormal di dalam rongga tubuh atau di dalam ruang interstitial dari
jaringan dan organ yang dapat mengakibatkan pembengkakan. Edema pada
ikan dapat dihubungkan dengan bahan – bahan kimia, virus, bakteri, dan
penyakit parasitik. Menurut Suparjo (2010), hemoragi dan kongesti pada lamella
insang terjadi akibat kontak langsung dengan bahan toksik sehingga terjadi iritasi
yang menyebabkan tingginya daya osmotik pembuluh darah, dan cairan kapiler
55
darah keluar. Hemoragi ditandai dengan eritrosit yang sudah keluar dari
pembuluh darah dan berada di jaringan insang ikan.
4.4.4 Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Perlakuan D (1,3 ppm)
Berdasarkan hasil penelitian mengenai histologi insang pada uji pengaruh
sublethal insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap
kelangsungan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) pada perlakuan D (1,3 ppm)
dapat dilihat pada Gambar 11 perbesaran 400x dengan pewarnaan HE. Di mana
kondisi insang ikan mas yang terpapar insektisida sebesar 1,3 ppm menunjukkan
penampakan filamen dan lamella yang tidak sehat dengan adanya kerusakan
pada bagian – bagian insang ikan mas tersebut.
(1)
(2)
Gambar 11. Insang Ikan Mas D (1,3 ppm)
Keterangan : Struktur Insang Ikan Mas yang Terpapar Insektisida 1,3 ppm Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. (1) Edema; (2) Hemoragi
Dari hasil pengamatan histotologi pada organ insang ikan mas yang terpapar
insektisida dengan perlakuan 1,3 ppm didapatkan hasil bahwa insang mengalami
beberapa kerusakan antara lain adalah edema dan hemoragi. Di mana edema
56
merupakan pembengkakan sel akibat pemaparan insektisida organofosfat
berbahan aktif dimetoat. Kerusakan edema merupakan pembengkakan sel yang
terjadi akibat adanya perubahan sistem permeabilitas membran ditingkat sel atau
jaringan. Menurut Indrayani et. al, (2014), pada kasus edema, lamela berisi
dengan cairan, sehingga membengkak dan lapisan epitelium pada lamela
terangkat, hal ini merupakan suatu upaya melindungi diri pada ikan sama halnya
seperti pada hiperplasia. Menurut Mutiara et al. (2013), mengatakan bahwa
kerusakan sel pada organ insang diakibatkan karena bahan pencemar masuk ke
dalam jaringan tubuh melalui saluran pernapasan. Dengan adanya edema,
hiperplasia dan degenerasi pada pengamatan histopatologi insang ikan
digolongkan ke dalam tingkat kerusakan ringan.
Hemoragi merupakan keluarnya darah dari dalam vaskula. Hemoragi kecil
dimana berbentuk titik darah tidak lebih besar dari ujung peniti disebut ptechiae
(tunggal, petechia). Hemoragi dengan spot yang agak besar di permukaan tubuh
atau di jaringan disebut ekimosis (tunggal, ekimosis) (Putra, 2014). Menurut
Sudaryatma dan Eriawati (2012), fusi lamela mengakibatkan tugas lamela tidak
berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena lakuna yang berisi sel darah merah
tertutup oleh sel – sel epitalia lamela sekunder yang patologis.
4.4.5 Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Perlakuan E (1,82 ppm)
Berdasarkan hasil penelitian mengenai histologi insang pada uji pengaruh
sublethal insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap
kelangsungan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) pada perlakuan E (1,82 ppm)
dapat dilihat pada Gambar 12 perbesaran 400x dengan pewarnaan HE. Di mana
kondisi insang ikan mas yang terpapar insektisida sebesar 1,82 ppm
menunjukkan penampakan filamen dan lamella yang tidak sehat dengan adanya
kerusakan pada bagian – bagian insang ikan mas tersebut.
57
(1)
(2)
(3)
(4)
Gambar 12. Insang Ikan Mas E (1,82 ppm)
Keterangan : Struktur Insang Ikan Mas yang Terpapar Insektisida 1,82 ppm Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. (1) Edema; (2) Hemoragi; (3) Hiperplasia; (4) Fusi Lamela
Dari hasil pengamatan histologi pada organ insang ikan mas yang terpapar
insektisida dengan perlakuan 1,82 ppm didapatkan hasil bahwa insang
mengalami beberapa kerusakan antara lain adalah edema, hemoragi,
hiperplasia, dan fusi lamela. Di mana edema merupakan pembengkakan sel
akibat pemaparan insektisida organofosfat berbahan aktif dimetoat. Menurut
Guyton dan Hall, (1996) dalam Pazra, (2008), bahwa penyebab dari edema
adalah meningkatnya tekanan hidrostatik intra vaskula sehingga menimbulkan
perembesan cairan plasma darah keluar dan masuk ke dalam ruang interstisium.
Kondisi peningkatan tekanan hidrostatik sering ditemukan pada pembuluh vena
58
dan edema sebagai resiko paska kongesti. Fusi lamela terjadi karena insang
mengalami hiperplasia yang berlebihan sehingga lamella pada insang saling
menyatu satu sama lainnya dan menyebabkan gangguan respirasi ikan mas di
mana hiperplasia terjadi.
Menurut Singh (2014), hiperplasia merupakan perubahan seluler yang paling
sering terjadi pada epitel lamella sekunder dari Cyprinus carpio yang terpapar
herbisida berbahan aktif simazine. (Oropesa-Jimenez et al., 2005 dalam Singh,
2014), hiperplasia yang ditunjukkan oleh insang ikan yang terpapar melindungi
tubuh dari penyebaran toksisitas dengan mengurangi permukaan cabang dan
dengan meningkatkan jarak antara darah dan air dimana polutan larut. Menurut
Aliza et al. (2001), menyatakan bahwa fusi lamela terjadi karena adanya
peningkatan patologi hiperplasia yang secara terus menerus dan menyebabkan
terisinya ruang antar lamela sekunder oleh sel – sel baru yang kemudian memicu
terjadinya pelekatan pada kedua sisi lamela. Fusi lamela merupakan salah satu
kerusakan pada insang ikan yang termasuk ke dalam kategori pencemaran yang
berat.
4.4.6 Gambaran Histologi Insang Ikan Mas Perlakuan F (2,34 ppm)
Berdasarkan hasil penelitian mengenai histologi insang pada uji pengaruh
sublethal insektisida organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap
kelangsungan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) pada perlakuan F (2,34 ppm)
dapat dilihat pada Gambar 13 perbesaran 400x dengan pewarnaaan HE. Di
mana kondisi insang ikan mas yang terpapar insektisida sebesar 2,34 ppm
menunjukkan penampakan filamen dan lamella yang tidak sehat dengan adanya
kerusakan pada bagian – bagian insang ikan mas tersebut.
59
(1)
(2)
(3)
(4)
Gambar 13. Insang Ikan Mas F (2,34 ppm)
Keterangan : Struktur Insang Ikan Mas yang Terpapar Insektisida 2,34 ppm Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. (1) Edema; (2) Hemoragi; (3) Hiperplasia; (4) Fusi Lamela
Dari hasil pengamatan histotologi pada organ insang ikan mas yang terpapar
insektisida dengan perlakuan 2,34 ppm didapatkan hasil bahwa insang
mengalami banyak kerusakan antara lain adalah edema, hemoragi, hiperplasia,
dan fusi lamela. Fusi lamela terjadi karena insang mengalami hiperplasia yang
berlebihan sehingga lamella pada insang saling menyatu satu sama lainnya dan
menyebabkan gangguan respirasi ikan mas di mana hiperplasia terjadi. Menurut
Suparjo (2010), fusi lamela terjadi oleh adanya hiperplasia yang meluas pada
sel-sel basal dan epithelium sehingga lamela sekunder akan menyatu. Peristiwa
60
ini mengakibatkan terhambatnya proses respirasi maupun ekspirasi gas
pernafasan yang masuk dan keluar tubuh ikan.
Hemoragi terjadi karena adanya pendarahan pada insang di daerah vaskula
yang disebabkan oleh toksin dari insektisida yang masuk ke dalam insang ikan
mas. Menurut Asniatih et. al, (2013), menyatakan bahwa hemoragi yang terjadi
pada arcus insang adalah kondisi keluarnya darah dari dan dalam vaskula akibat
kerusakan dinding vaskula. Sesuai dengan pernyataan Plumb (1994) dalam
Asniatih et. al, (2013), bahwa hemoragi dapat disebabkan oleh trauma, atau
meningkatnya porositas yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus atau toksin.
4.4.7 Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Persentase kerusakan jaringan insang ikan mas (Cyprinus carpio) pada uji
pengaruh sublethal insektisida organofosfat berbahan aktif dimetoat terhadap
ikan mas (Cyprinus carpio) didapatkan hasil persentase kerusakan jaringan
insang ikan mas (Cyprinus carpio) yang berbeda pada setiap perlakuan. Adapun
total kerusakan jaringan insang ikan mas dapat dilihat pada Tabel 9. Perhitungan
kerusakan jaringan insang ikan mas dapat dilihat pada Lampiran 12.
Tabel 9. Hasil Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Keterangan : Ed = Edema, He = Hemoragi, Hi = Hiperplasia, Fu = Fusi Lamela
Konsentrasi
(ppm)
Jenis Kerusakan Insang (%) Total
Kerusakan
(%)
Tingkat
Kerusakan
Insang Ed He Hi Fu
0 (Kontrol) 0 0 0 0 0 -
0,26 3,43 2,95 0 0 6,38 Ringan
0,78 1,14 5,24 0 0 6,38 Ringan
1,3 6,00 5,43 0 0 11,43 Ringan
1,82 5,90 5,62 2,85 3,71 18,08 Ringan
2,34 4,09 5,33 2,95 6,00 18,37 Ringan
Berdasarkan pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa jaringan insang ikan mas
kontrol (0 ppm) yang tidak terpapar insektisida organofosfat berbahan aktif
61
dimetoat tidak ditemukan adanya kerusakan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan
ikan mas dalam keadaan yang normal sehingga jaringan insang ikan mas tidak
mengalami kerusakan. Sedangkan pada jaringan insang ikan mas yang terpapar
insektisida organofosfat berbahan aktif dimetoat mengalami kerusakan insang
yang beragam. Edema pada jaringan insang tertinggi didapatkan pada
pemaparan insektisida organofosfat berbahan aktif dimetoat 1,3 ppm yaitu
sebesar 6%. Kerusakan hemoragi jaringan insang tertinggi didapatkan pada
pemaparan insektisida organofosfat berbahan aktif dimetoat 1,82 ppm yaitu
sebesar 5,62%. Hiperplasia jaringan insang tertinggi didapatkan pada
pemaparan insektisida organofosfat berbahan aktif dimetoat 2,34 ppm yaitu
sebesar 2,95%. Dan fusi lamela jaringan insang tertinggi didapatkan pada
pemaparan insektisida 2,34 ppm yaitu sebesar 6%. Sedangkan total kerusakan
jaringan insang ikan mas tertinggi didapatkan pada pemaparan insektisida
organofosfat berbahan aktif dimetoat 2,34 ppm yaitu sebesar 18,37%. Tingkat
kerusakan jaringan insang ikan mas termasuk dalam kategori ringan.
Kerusakan insang terjadi dikarenakan adanya pestisida yang masuk ke
dalam insang melalui kontak langsung. Hal ini dapat terjadi karena letak insang
ikan yang berada di luar. Zat – zat toksik akan mempengaruhi ikan yang mampu
menyebabkan perubahan struktur morfologi insang ikan. Zat toksik juga dapat
merusak fungsi respirasi dari insang ikan sehingga mengganggu proses
metabolisme (Kinasih et al., 2013). Struktur mikroanatomi insang yang
mengalami kerusakan akan menyebabkan ikan sulit bernafas dan menyebabkan
kandungan oksigen dalam darah menjadi berkurang sehingga Hb kesulitan
dalam mengikat oksigen dan mengalami hipoksi sebagai akibat dari kerusakan
lamella sekunder dari insang. Efek dari kesulitan dalam bernafas, maka akan
merangsang organisme untuk mengikat sel darah merah, hematokrit dan
62
hemoglobin untuk meningkatkan mekanisme transfer oksigen di dalam tubuh
(Ishikawa et al., 2007).
Menurut Pantung (2008), menyatakan bahwa kerusakan mikroanatomi
jaringan insang ikan apabila kurang dari 30% dari luasan pandang maka telah
terjadi pencemaran ringan. Kerusakan mikroanomi jaringan insang ikan 30% -
70% dari luasan pandang menunjukkan telah terjadi pencemaran sedang. Dan
apabila terjadi kerusakan mikroanatomi jaringan insang ikan lebih dari 70% dari
luasan pandang menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran berat.
4.5 Analisis Parameter Kualitas Air
Pada uji sublethal insektisisda dimetoat terhadap ikan mas dilakukan
pengukuran kualitas air sebagai media pemeliharaan ikan mas. Hal ini bertujuan
agar media hidup ikan mas memenuhi syarat kelangsungan hidup. Pengukuran
parameter kualitas air antara lain parameter pH, suhu dan oksigen terlarut (DO).
Hasil pengukuran kualitas air selama 4 minggu dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Pengukuran Kualitas Air
Parameter Kualitas Air Hasil Pengukuran Standar SNI (1999)
pH 7,33 – 7,64 6,5 – 8,5
Suhu (⁰C) 26,2⁰C – 27,8⁰C 25⁰C – 30⁰C
Oksigen terlarut (mg/l) 5,40 mg/l – 7,25 mg/l >5mg/l
4.5.1 pH
Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air selama empat minggu
didapatkan hasil pengukuran pH berkisar antara 7,33 sampai 7,64. Pada kisaran
pH tersebut termasuk pada kisaran yang baik untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan mas. Hal ini sesuai dengan SNI (1999), bahwa kisaran
pH yang optimal untuk budidaya ikan mas adalah berkisar antara 6,5 sampai 8,5.
Menurut Tim Lentera (2002), kadar keasaman air yang cocok untuk memelihara
ikan berkisar antara 7,5 sampai 8,5. Akan tetapi pH 6,5 sampai 9 masih
63
tergolong baik untuk memelihara ikan. Air yang terlalu basa dengan kadar pH 11
akan bersifat racun bagi ikan.
Derajat keasaman sering dinyatakan sebagai pH, merupakan kondisi asam
dan basa suatu perairan yang dapat digunakan sebagai indeks kualitas
lingkungan. Air dengan kondisi asam akan menyebabkan ikan lemah, lebih
mudah terkena infeksi, dan tingkat kematian (mortalitas) tinggi. Ikan dan biota
akuatik lainnya masih dapat mentoleransi lingkungan yang mempunyai pH antara
4,0 (Riyadi, 2006). Menurut Amri dan Khairuman (2002), faktor yang
mempengaruhi pH adalah konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang
bersifat asam. Pada umumnya di siang hari pH perairan akan meningkat. Hal ini
disebabkan oleh proses fotosintesis di mana tanaman air maupun fitoplankton
mengonsumsi karbondioksida. Sedangkan, pada malam hari kandungan pH
perairan akan menurun disebabkan tanaman air dan fitoplankton mengonsumsi
oksigen dan menghasilkan karbondioksida.
4.5.2 Suhu
Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air selama empat minggu
didapatkan hasil pengukuran suhu berkisar antara 26,2⁰C sampai 27,8⁰C. Di
mana dalam kisaran tersebut termasuk pada kisaran yang baik untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan mas. Hal ini sesuai dengan SNI
(1999), bahwa kisaran suhu yang optimal untuk budidaya ikan mas adalah
berkisar antara 25⁰C sampai 30⁰C. Menurut Djarijah (2001), kisaran suhu ini
masih berada dalam batas optimum untuk hidup ikan mas yaitu berkisar antara
22⁰C hingga 28⁰C. Menurut Cahyono (2001), pertumbuhan ikan yang baik
memerlukan temperatur optimum 25⁰C sampai 29⁰C dan perbedaan suhu pada
siang hari dan malam hari tidak lebih dari 5⁰C.
64
Menurut Kelabora (2010), faktor penting yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan selain pakan adalah kualitas air
terutama suhu. Suhu dapat mempengaruhi aktivitas penting ikan seperti
pernapasan, pertumbuhan, nafsu makan dan reproduksi. Perbedaan suhu air
media dengan tubuh ikan akan menimbulkan gangguan metabolisme. Kondisi ini
dapat mengakibatkan sebagian besar energi yang tersimpan dalam tubuh ikan
digunakan untuk penyesuian diri terhadap lingkungan yang kurang mendukung
tersebut, sehingga dapat merusak sistem metabolisme atau pertukaran zat. Hal
ini dapat mengganggu pertumbuhan ikan. Menurut Effendi (2003), suhu suatu
badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian permukaan laut, waktu,
sirkulasi udara, tutupan awan, aliran, dan kedalaman air. Perubahan suhu
berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Peningkatan
suhu dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2,
N2, CH4 dan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme dan respirasi
organisme air.
4.5.3 DO (Dissolved Oxygen)
Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air selama empat minggu
didapatkan hasil pengukuran oksigen terlarut berkisar antara 5,40 mg/l sampai
7,25 mg/l. Kisaran tersebut termasuk pada kisaran yang baik untuk pertumbuhan
dan kelangsungan hidup ikan mas. Hal ini sesuai dengan SNI (1999), bahwa
kisaran oksigen terlarut yang optimal untuk budidaya ikan mas adalah minimal 5
mg/l. Menurut Huet (1970) dalam Praseno et. al. (2010), kandungan oksigen
terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 mg/l selama waktu 8 jam dengan sedikitnya
pada tingkat kejenuhan sebesar 70%. Oksigen memegang peranan penting yaitu
sebagai indikator kualitas perairan, hal ini dikarenakan oksigen terlarut berperan
dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik serta bahan organik. Oksigen
65
terlarut juga menentukan kondisi biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik
atau anaerobik (Praseno et. al., 2010).
Oksigen merupakan komponen utama dalam proses metabolisme dan
pertumbuhan ikan. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh suhu,
yang mana semakin tinggi suhu dalam air maka tingkat konsumsi ikan akan
semakin tinggi, tergantung pada ukuran ikan di mana semakin besar ukuran
tubuh ikan maka semakin kecil oksigen yang dikonsumsi, semakin rendah pula
laju metabolisme dalam tubuh ikan (Soetini dan Subarijanti, 1992). Menurut Kordi
(2008), biota air membutuhkan oksigen yang digunakan untuk pembakaran
bahan bakarnya (makanan) untuk melakukan aktivitasnya, seperti aktivitas
berenang, pertumbuhan, reproduksi, dan lainnya. Oleh karena itu, ketersediaan
oksigen bagi biota air menentukan aktivitasnya.
66
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang uji pengaruh sublethal insektisida
organofosfat dengan bahan aktif dimetoat terhadap kelangsungan hidup ikan
mas (Cyprinus carpio) didapatkan hasil sebagai berikut :
• Insektisida dimetoat memiliki daya racun yang tinggi, hal ini sesuai dengan
hasil LC50 sebesar 2,60 ppm.
• Sublethal insektisida dimetoat dapat menurunkan Survival Rate, namun ikan
masih mampu bertahan hidup, dan sublethal insektisida dimetoat juga dapat
menurunkan laju pertumbuhan spesifik ikan mas. Hal ini terjadi karena ikan
mas memanfaatkan energi dari makanan untuk mempertahankan diri dari
tekanan lingkungan dan mengganti sel yang rusak akibat kontaminasi
insektisida daripada memanfaatkan energi untuk pertumbuhannya.
• Sublethal insektisida dimetoat menyebabkan kerusakan pada organ insang
ikan mas. Adapun kerusakan yang terjadi yaitu edema, hemoragi,
hiperplasia, dan fusi lamela. Semakin meningkatnya konsentrasi insektisida
maka persentase kerusakan insang ikan mas semakin tinggi.
5.2 Saran
Berdasarkan pada penelitian ini diharapkan lebih berhati-hati dalam
penggunaan insektisida dimetoat karena dapat mencemari lingkungan dan
mengganggu kelangsungan hidup ikan. Diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai dosis sublethal dimetoat dengan konsentrasi kurang dari 10% dari
LC50 untuk mengetahui konsentrasi insektisida yang aman untuk kelangsungan
hidup ikan mas (Cyprinus carpio) dan diperlukan penelitian lebih lanjut terkait
dengan histologi organ – organ lain seperti hepar, lambung, dan lain sebagainya.
67
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K. Dan Khairuman. 2002. Budidaya Ikan Nila secara Intensitas. Kiat
Mengatasi Permasalahan Praktis. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Anggraeni, N. M. dan N. Abdulgani. 2013. Pengaruh Pemberian Pakan Alami
dan Pakan Buatan terhadap Pertumbuhan Ikan Betutu (Oxyeleotris
marmorata) pada Skala Laboratorium. Jurnal Sains dan Seni Pomits.
(2)1 : 197 – 201.
Asniatih., M. Idris, dan K. Sabilu. 2013. Studi Histopatologi pada Ikan Lele
Dumbo (Clarias gariepinus) yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas
hydrophila. Pathological Change of African Catfish (Clarias gariepinus)
Infected by Aeromonas hydrophila. Jurnal Mina Laut Indonesia. 3 : 13 –
21.
Baehaki, Y. 1993. Insektisida Pengendalian Hama Tanaman. Angkasa. Bandung.
Bantu, N. dan R. Vakita. 2013. Effect of Dimethoate on Mortality and Biochemical
Changes of Freshwater Fish Labeo rohita (Hamilton). Research Paper. 2
: 108 – 117.
Bloom, J. H. 1988. Analisa Mutu Air Secara Kimiawi dan Fisis. Sebuah Laporan
tentang Pelatihan dan Praktek pada Fakultas Perikanan. NUFFIC-
UNIBRAW. Malang.
Bosman, O., F. H. Taqwa, dan Marsi. 2013. ToksisITAS Limbah Cair Lateks
terhadap Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, dan Tingkat Konsumsi
Oksigen Ikan Patin (Pangasius sp.). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia.
1 (2) : 148 – 160.
Cahyono, Bambang. 2001. Budi Daya Ikan di Perairan Umum. Kanisius.
Yogyakarta.
Connel, D. W. Dan Miller, G. J. 2006. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Universitas Indonesia. UI Press. Jakarta.
Damayanty, M. M dan N. Abdulgani. 2013. Pengaruh Paparan Sub Lethal
Insektisida Diazinon 600 EC terhadap Laju Konsumsi Oksigen dan Laju
Pertumbuhan Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus). Jurnal Sains
dan Seni Pomits. 2 (2) : 2337 – 3520.
Dani, A. R. dan M. Sutjiati. 1985. Ekologi Ikan. Universitas Brawijaya Malang.
Malang.
Djarijah, A. S. 2001. Pembenihan Ikan Mas. Kanisius. Yogyakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
Ekha, I. 1998. Dilema Pestisida Tragedi Revolusi Hijau. Kanisius. Yogyakarta.
68
Esmiralda, M. T dan H. Husni. 2012. Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri
Tahu Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn). Studi Kasus : Limbah
Cair Industri Tahu “Super”, Padang.
Flajšhans M, and G. Hulata. 2007. Common carp - Cyprinus carpio. In:
Genimpact- Evaluation of genetic impact of aquaculture activities on
native populations. (eds Svaasand T, Crossetti D, García-Vásquez E,
Verspoor E), pp. 32-39.
Fujaya, Y. 2008. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Ghufron, M. dan H. Kordi. 2005. Budidaya Ikan Laut di Karamba Jaring Apung.
Rineka Cipta. Jakarta.
Google image. 2017. http://www.googleimage.com. Diakses pada tanggal 10 Maret 2017 pukul 19.05 WIB.
Guthrie, F. E dan J. J. Perry. 1980. Introduction to Environmental Toxicology.
Elsevier North Holland, Inc.
Halang, B. 2004. Toksisitas Air Limbah Deterjen terhadap Ikan Mas (Cyprinus
carpio). FKIP Universitas Lampung Mangkurat.
Hanief, M. A. R., Subandiyono dan Pinandoyo. 2014. Pengaruh Frekuensi
Pemberian Pakan Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Benih
Tawes (Puntius Javanicus). Journal of Aquaculture Management and
Technology. 3 (4) : 67-74.
Hasan, I. M. 2002. Pokok–pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Ghalia Indonesia. Jakarta. 260 hlm.
Heath AG. 1987. Water pollution and fish physiology. Florida. CRC Ress Inc.
Boca Raton,. 245 hal.
Husni, H, dan M. T. Esmiralda. 2011. Uji Toksisitas Akut Limbah
Cair Industri Tahu terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn). Jurusan
Teknik Lingkungan. Universitas Andalas.
Indrayani, D., Yusfiati, dan R. Elvyr. 2014. Struktur Insang Ikan Ompok
hypophthalmus (Bleeker 1846) dari Perairan Sungai Siak Kota
Pekanbaru. JOM FMIPA. 1 (2) : 402 – 408.
Ishikawa NM, Maria JT, Julio VL, & Claudia MF. 2007. Hematological Parameters
in Nile Tilapia, Oreochromis niloticus Exposed to Sub-letal Concentration
of Mercury.
Kelabora, D. M. 2010. Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup dan
Pertumbuhan Larva Ikan Mas (Cyprinus carpio). Berkala Perikanan
Terubuk. 38 (1) : 71 – 81.
Kinasih, I., A. Supriyatna, dan R. N. Rusputa. 2013. Uji Toksisitas Ekstrak Daun
Babadotan (Ageratum conyzoides Linn) terhadap Ikan Mas ( Cyprinus
carpio Linn.) sebagai Organisme Non-Target. Jurnal Kajian Islam, Sains
dan Teknologi. 7 (2) : 121 – 132.
69
Koeman, J. H. 1983. Pengantar Umum Toksikologi. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Komisi Pestisida Departemen Pertanian. 1997. Pestisida Untuk Pertanian Dan
Kehutanan. Koperasi “Daya Guna”. Jakarta.
Kordi, M. G. H. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Kanisius.
Yogyakarta. 115 hlm.
Kordi, K. 2008. Budidaya Perairan. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.
Kusriani., P. Widjanarko, dan N. Rohmawati. 2012. Uji Pengaruh Sulethal
Pestisida Diazinon 60 EC terhadap Rasio Konversi Pakan (FCR) dan
Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn). Jurnal Penelitian
Perikanan. 1 (1) : 36 – 42.
Kusriningrum, R. S. 2008. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press:
Surabaya.
Loomis, T. A. 1978. Toksikologi Dasar. Lea & Febiger. Amerika Serikat.
Marzuki. 1982. Metodologi Riset. Fakultas Ekonomi. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.
Modu, B. M., M. Saiful., M. Kartini.,M. Hassan,. F. M. Sharharom, and Harrison. 2012. Effects of Water Quality and Monogenean Parasitein The Gills of Freshwater Cat Fish, Hemibagrus nemurus Valenciennes 1840. Journal of Biological Sciences. 4 (3) : 242 – 246.
Mulyanto. 2008. Metode Sampling. Diktat Kuliah. Universitas Brawijaya : Malang.
Murjani, A. 2011. Budidaya Beberapa Varietas Ikan Sepat Rawa (Trichogaster Trichopterus Pall) dengan Pemberian Pakan Komersial. Jurnal Fish Scientiae.1 (2): 214–233.
Mutiara, A. A., I. Rustikawati, dan T. Herawati. 2013. Akumulasi Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) serta Kerusakan Pada Insang, Hati dan Daging Ikan Patin (Pangasius sp.) di Waduk Saguling. Jurnal Perikanan dan Kelautan . 4 (4) : 1 – 10.
Mutschler, E.1991. Dinamika Obat. ITB Bandung. Bandung.
Nazir. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor.
Nisa, K., Marsi dan M. Fitrani. 2013. Pengaruh pH pada Media Air Rawa
terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Gabus
(Channa striata). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1 (1) : 57 – 65.
Nofyan, E., E. P. Sagala, dan V. Saryani. 2011. Pengaruh Minyak Mentah
Terhadap Mortalitas Dan Morfologi Insang Ikan Bandeng (Chanos
chanos Forsskäl). Maspari Jurnal. 2 : 19 – 25.
Pangestika, W., S. Hastuti, dan Subandiyono. 2017. Pengaruh Pemuasaan
Yyang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Ikan Nila
(Oreochromis niloticus). Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil
Penelitian Perikanan dan Kelautan ke-VI Fakultas Perikanan dan Ilmu
70
Kelautan – Pusat Kajian Mitigasi Bencana dan Rehabilitasi Pesisir,
Undip. 728 – 741.
Pantung, Nuntiya, Kerstin, G. Helander, Herbert F. H. dan Voravit C. 2008.
Histopathological Alterations of Hybrid Walking Catfish (Clarias
macrocephalus x Clarias gariepinus) in Acute and Subacute Cadmium
Exposure. Environment Asia. 1 : 22-27.
Parameswari, W., A. D. Sasanti, dan Muslim. 2013. Populasi Bakteri, Histologi,
Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Gabus (Chana
striata) yang Dipelihara dalam Media dengan Penambahan Probiotik.
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1 (1) : 76 – 89.
Paranjape, K., V. Gowariker., V. N. Krishnamurthy. 2014. The Pesticide
Encyclopedia. CABI. London.
Pazra, D. B. 2008. Gambaran Histopatologi Insang, Otot dan Usus pada Ikan
Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 64 hal.
Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) Tahun 2012.
Permentan No. 24 Tahun 2011.
Pratiwi, Y., S. Sri, dan W. Winda. 2012. Uji Toksisitas Limbah Cair Laundry
Sebelum dan Sesudah Diolah dengan Tawas dan Karbon Aktif terhadap
Bioindikator (Cyprinus carpio L). Prosiding Seminar Nasional Aplikasi
Sains dan Teknologi (SNAST) Periode III. Yogyakarta.
Pratiwi, H. C. Dan A. Manan. 2015. Teknik Dasar Histologi Pada Ikan Gurami
(Osphronemus gouramy). The Basic Histology Technique Of Gouramy
Fish (Osphronemus gourami). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 7 (
2): 153 – 158.
Praseno, O., H. Krettiawan., S. Asih, dan A. Sudradjat. 2010. Uji Ketahanan
Salinitas Beberapa Strain Ikan Mas yang Dipelihara di Akuarium.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. 93 – 100.
Priosoeryanto, B.P., I. M. Ersal., R. Tiuria, dan S. U. Handayani. 2010.
Gambaran Histopatologi lnsang, Usus dan Otot Ikan Mujair
(Oreochromis mossambicus) yang Berasal dari Daerah Ciampea, Bogor.
Histopathological Lesions of Gill, Intestines and Muscle Tissue of Mujair
Fish (Oreochromis mossambicus) from Ciampea, Bogor. Hemera Zoa I
Majalah Ilmu Kehewanan Indonesia I Indonesian Journal of Veterinary
Science & Medicine. 2 (1) : 1 – 8.
Putra, D. A. 2014. Ram Jet Ventilation, Perubahan Struktur Morfologi dan
Gambaran Mikroanatomi Insang Ikan Lele (Clarias batrachus) Akibat
Paparan Limbah Cair Pewarna Batik. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.
Qayoom, I., F. A. Shah., M. Mukhtar., M. H. Balkhi., F. A. Bhat, and B. A. Bhat.
2016. Dimethoate Induced Behavioural Changes in Juveniles of
71
Cyprinus carpio var. communis under Temperate Conditions of Kashmir,
India. The Scientific World Journal. 1 – 6.
Radona, D., S. Asih, dan G. H. Huwoyon. 2012. Optimalisasi Kepadatan Benih
Ikan Mas (Cyprinus carpio) Strain Rajadanu Pada Pendederan Di
Kolam Air Tenang. Density Optimization of Carp Seed (Cyprinus carpio)
Strain Rajadanu in the Nursery in Calm Pool Water. 11 (2) : 161 – 166.
Raini, M. 2007. Kajian : Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan
Pestisida. Media Litbang Kesehatan. 17 (3) : 10 – 18.
Rennika., Aunurohim, dan N. Abdulgani. 2013. Konsentrasi dan Lama
Pemaparan Senyawa Organik dan Inorganik pada Jaringan Insang Ikan
Mujaer (Oerochromis mossambicus) pada Kondisi Sub Lethal. Jurnal
Sains dan Seni Pomits. 2 (2) : 132 – 137.
Riyadi, A. 2006. Kajian Kualitas Air Waduk Tirta Shintadi Kotabumi Lampung. 1
(2) : 75-82.
Rovita, G. D., W. P. Pujiono dan S. Prijadi. 2012. Strativikasi Vertikal NO3- N dan
PO4- pada Perairan di Sekitar Eceng Gondok (Eichornia crassipes
Solm) dengan Latar Belakang Penggunaan Lahan Berbeda di Rawa
Pening. Journal of Management Aquatic Resources. 1 (1) : 1-7.
Rudiyanti, S dan A. D. Ekasari. 2009. Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan Mas
(Cyprinus carpio Linn) Pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3
G. Jurnal Saintek Perikanan. 5 (1) : 49 – 54.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Jakarta.
Saputra., H. Marta., N. Marusin, dan P. Santoso. 2013. Struktur Histologis Insang
dan Kadar Hemoglobin Ikan Asang (Osteochillus hasseltii C. V.) di
Danau Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi
Universitas Andalas. 2 (2) : 138 – 144.
Silaban, T. F., L. Santoso dan Suparmono. 2012. Dalam Peningkatan Kinerja
Filter Air untuk Menurunkan Konsentrasi Amonia pada Pemeliharaan
Ikan Mas (Cyprinus carpio). e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya
Perairan. 1 (1): 47-56.
Simanjutak, M. 2007. Oksigen Terlarut dan Apparent Oxygen Utilization di
Perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Ilmu Kelautan. 12 (2) : 59 – 66.
Singh, R. N. 2014. Effects of Dimethoate (EC 30%) on Gill Morphology, Oxygen
Consumption and Serum Electrolyte Levels of Common Carp, Cyprinus
carpio (Linn). International Journal of Scientific Research in
Environmental Sciences. 2 (6) : 192 – 198.
SNI. 1999. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) Strain Majalaya
Kelas Benih Sebar.
Soetini, L dan H. U. Subarijanti. 1992. Pengaruh Pemberian Pakan Buatan
Terhadap Kualitas Air dan Pertumbuhan Clarias gariepinus. Fakultas
Perikanan. Universitas Brawijaya.
72
Srivasta, A. K., D. Mishra†., S. Shrivastava., S. K. Srivastav, and A. K. Srivastav.
2010. Acute Toxicity and Behavioural Responses of Heteropneustes
fossilis to an Organophosphate Insecticide, Dimethoate. International
Journal of Pharma and Bio Sciences. 1 (4) : 359 – 363.
Sudarmo, S.1988. Pestisida Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.
Sudaryatma, P. E dan Eriawati, N. N. 2012. Histopatologis Insang Ikan Hias Air
Laut yang Terinfestasi Dactylogyrus sp. Jurnal Sains Veteriner. 30 (1) :
68 – 75.
Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta : Bandung.
Sukarni., Maftuch, dan H. Nursyam. 2012. Kajian Penggunaan Ciprofloxacin
terhadap Histologi Insang dan Hati Ikan Botia (Botia macracanthus,
Bleeker) yang Diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila. J.Exp. Life Sci. 2
(1): 6 – 12.
Suparjo, M. N. 2010. Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus
L) Akibat Deterjen. Jurnal Saintek Perikanan. 5 (2) : 1 – 7.
Suryabrata. 1987. Metodologi Penelitian. Rajawali Jakarta. Jakarta.
Suryanto, A. M. 2011. Pencemaran Lingkungan (Sumber, Dampak Dan Upaya
Penanggulangannya). Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang.
Malang.
Susanah, U. A. 2011. Struktur Mikroanatomi Insang Ikan Bandeng di Tambak
Wilayah Tapak Kelurahan Tugurejo Kecamatan Tugu Semarang.
Skripsi. Jurusan Biologi. FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Semarang.
Sutimin. 2009. Model Matematika Konsentrasi Oksigen Terlarut Pada Ekosistem
Perairan Danau. Universitas Diponegoro. Semarang.
Tarigan. 2013. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid)
di Perairan Raha, Sulawesi Tenggara. Jurnal Makara, Sains. 7 (3).
Taufik, I. 2011. Pencemaran Pestisida Pada Perairan Perikanan di Sukabumi-
Jawa Barat. Media Akuakultur. 6 (1) : 69 – 75.
Tim Lentera. 2002. Pembesaran Ikan Mas di Kolam Air Deras. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Untung, O dan B. E. Perkasa. 2002. Mencetak Cupang Adu Jagoan. Penebar
Swadaya : Jakarta.
Varney, H., J. M. Kriebs, dan C. L. Gegor. 2004. Varney’s Midwifery. Jones and
Bartlett Publisher. USA.
Viana, O. S. 2010. Pengaruh Perbedaan Dosis Pestisida “Diazinon 60 EC”
terhadap Mortalitas dan Laju Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio
L). Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang. Malang.
73
Voogt, de Pim. 2016. Reviews of Environmental Contamination and Toxicology.
Springer. London.
Wirasuta, M. A. dan R. Niruri. 2006. Toksikologi Umum. Dana POM Jurusan
Farmasi. FMIPA. Universitas Udayana.
Wudianto, R. 1993. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Yitnosumarto. 1993. Percobaan : Perancangan, Analisis, dan Interpretasinya.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yosmaniar., E. Supriyono., K. Nirmala, dan Sukenda. 2009. Toksisitas Subletal
Moluskisida Niklosamida Terhadap Pertumbuhan dan Kondisi
Hematologi Yuwana Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Riset
Akuakultur. 4 (3) : 385 – 393.
Yuantari, M. G. C., B. Widiarnako, dan H. R. Sunoko. 2013. Tingkat Pengetahuan
Petani dalam Menggunakan Pestisida (Studi Kasus di Desa Curut
Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan). Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Universitas
Diponegoro. Semarang. 142 – 148.
Zaranyika, M. F and J. Mlilo. 2014. Speciation and Persistence of Dimethoate in
the Aquatic Environment: Characterization in Terms of a Rate Model that
Takes Into Account Hydrolysis, Photolysis, Microbial Degradation and
Adsorption of the Pesticide by Colloidal and Sediment Particles. S. Afr.
J. Chem. 67 : 233–240.