uin syarif hidayatullah jakarta official...

100
 

Upload: others

Post on 30-Dec-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

 

 

 

 

i

ABSTRAK

Nadiyah Ulfah

REPRESENTASI GENDER DALAM FILM SITI

Film sebagai salah satu bentuk media komunikasi massa dipandang

mampu memenuhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan dan juga

berperan aktif dalam mempengaruhi aspek afektif, kognitif, dan behavioral

seseorang. Film juga dianggap sebagai alat untuk mengkosntruksi suatu paham

ideologi kelompok tertentu diantaranya kelompok patriarki. Film menjadi suatu

alat medium untuk menyampaikan opini, salah satunya opini akan perempuan.

Dalam media sering kita melihat bahwa perempuan dikonstruksi sesuai akan

peran gendernya yang identik dengan feminin. Film Siti hadir dengan tema

perempuan dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya serta peran gender

yang melekat padanya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan ini untuk

menjawab pernyataan penelitian yakni bagaimana representasi gender

diproduksi dalam film Siti?

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori gender yaitu konteks

yang menjadi permasalahan pada penelitian dan merupakan salah satu bentuk.

Peneliti juga menggunakan teori film dan feminisme dikarenakan pada saat ini

masih banyak terlihat bahwa film dijadikan alat oleh kelompok paham patriarki

untuk menyampaikan atau membangun pola pikir kepada masyarakat tentang

penggambaran yang timpang terhadap perempuan.

Dalam penelitian ini, penulis mengunakan pendekatan kualitatif dan

paradigma konstruktivis dengan metode analisis naratif struktural aktansial A.J

Greimas dan Semiotika Roland Barthes. Untuk menentukan tokoh serta peran

dan fungsinya melalui analisis naratif struktural aktansial, dan sebagai data

pendukung untuk menemukan makna dilakukan dengan membongkar tanda dan

teks dengan semiotika. Dua hal ini dilakukan karena untuk menemukan relasi

makna diantara keduanya.

Pada film Siti memiliki enam aktan dimana memiliki peran dan

fungsinya masing-masing yang membangun jalannya cerita. Selain itu, film Siti

menkontruksi perempuan bahwa perempuan mengalami bias gender atau

ketidakadilan akibat budaya patriarki yang mencerminkan realitas sosial yang

terjadi pada lingkungan Siti tinggal. Perempuan juga digambarkan dengan sosok

yang tidak bisa mengutarakan isi hatinya, sosok penghibur, dan seksualitas

karena menjadi alat laki-laki untuk mencari kesenangan.

Keywords. Gender, Feminisme, Film, Perempuan, Naratif Struktural

Aktansial, dan Semiotika.

 

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil’alaamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada

Allah Swt., Tuhan yang Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat,

hidayah, serta bimbingan-Nya kepada penulis sehingga dengan ridha-Nya penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis senantiasa

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, serta seluruh keluarga, para sahabat,

dan para pengikutnya yang beriman hingga hari akhirat. Atas rahmatnya, akhirnya

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ketidakadilan Gender dalam

Film Siti”, yang disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan

dan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari, selama masa penelitian, penyusunan, penulisan, hingga

masa penyelesaian skripsi ini tidaklah dapat berjalan baik tanpa bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih kepada semua pihak yang turut mendukung dan membantu

penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih kepada:

1. Dr. Arief Subhan M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.

2. Drs. Masran, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam,

beserta Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fita

Fathurokhmah, M.Si, atas segala bantuan dan bimbingannya selama ini.

3. Bintan Humeira, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang bersedia memberi

arahan, masukan, dan ilmu kepada penulis dengan segala kebaikan hati,

keramahanan, dan kesabarannya dalam membimbing penulis.

 

iii

4. Dr. Roudhonah, M.Ag, selaku Dosen Penasehat Akaemik yang bersedia

memberi arahan pada proses penulisan skripsi.

5. Staf PH Fourcolours Film, selaku rumah produksi dari film Siti dan Ibu Narina

yang telah memberikan skrip film Siti.

6. Suherman dan Siti Maryam, kedua orang tua penulis yang sangat disayangi,

yang tidak pernah berhenti menasihati, menyayangi, dan mendo’akan penulis

untuk menyelesaikan skripsi.

7. Fazri Ramadhan dan Syabillah Azzahra, adik-adik penulis yang selalu

memberikan dukungan dan doa’a dalam penyelesaian skripsi.

8. Teman-teman satu jurusan Komunikasi Penyiaran Islam 2013.

9. Sahabat-sahabat, Faizah, Nita, Tasya, Mayani, Puri, Imah, Afifah dan Icha

yang mendukung, memberikan arahan, dan mendo’akan penulis dalam

penyelesaian skripsi.

Penulis berharap semoga dukungan, bimbingan, dan amal kebaikan dari berbagai

pihak tersebut, selalu mendapatkan rahmat dari Allah Swt,. Dan semoga skripsi ini

dapat memberikan manfaat dalam khazanah keilmuan komunikasi bagi para

pembacanya. Aamiin.

Jakarta, 22 Mei 2018

Penulis

Nadiyah Ulfah

 

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi

DAFTAR TABEL................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 6

1. Batasan Masalah.............................................................................6

2. Rumusan Masalah..........................................................................6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6

1. Tujuan Penelitian.........................................................................6

2. Manfaat Penelitian.......................................................................6

D. Metodologi Penelitian.........................................................................7

1. Paradigma Penelitian...................................................................7

2. Pendekatan Penelitian..................................................................8

3. Metode Penelitian........................................................................8

4. Teknik Pengumpulan Data...........................................................9

5. Teknik Analisis Data.................................................................10

E. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 12

F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 14

BAB II LANDASAN TEORI

A. Konsep Gender ................................................................................ 16

1. Marginalisasi .............................................................................. 18

2. Subordinasi.................................................................................19

3. Streotipe......................................................................................20

4. Kekerasan....................................................................................20

5. Beban ganda atau Beban Kerja...................................................20

B. Teori Feminisme .............................................................................. 21

1. Pengertian Feminisme ............................................................ 21

2. Jenis-jenis Feminisme ............................................................ 25

 

v

C. Analisis Naratif ................................................................................ 33

1. Pengertian Narasi ................................................................... 33

2. Analisis Naratif Aktansial Struktural A.J Greimas ................ 35

D. Film Sebagai Media Komunikasi Massa dan Representasi ............. 37

BAB III GAMBARAN UMUM FILM SITI

A. Gambaran Umum Film Siti............................................................41

B. Sinopsis Film Siti...........................................................................43

C. Profil Sutradara/naskah Film Siti...................................................46

D. Profil Produser Film Siti................................................................46

BAB IV PEMBAHASAN

A. Menentukan Tokoh melalui Analisis Struktur Aktansial .............. 48

B. Bentuk Percakapan yang Representatif Beban Ganda...................53

C. Materealisasi Objek ....................................................................... 71

D. Interprestasi ................................................................................... 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 85

B. Saran .............................................................................................. 86

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 87

 

vi

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 2.1 Kerangka Naratif Aktansial Struktural A.J Greimas ................. 36

2. Gambar 4.1 Kerangka Analisis Struktural Aktansial Film Siti ..................... 48

3. Gambar 4.2 Siti dan Darmi yang Berbincang ................................................ 54

4. Gambar 4.3 Karyo yang Menagih Hutang Kepada Siti ................................. 58

5. Gambar 4.4 Sri yang Mengajarkan Siti untuk Melepas Beban...................... 60

6. Gambar 4.5 Bagas yang Mengajak Siti untuk Bermain................................. 62

7. Gambar 4.6 Siti Membantu Bagas Belajar .................................................... 65

8. Gambar 4.7 Siti dan Temannya Menari dengan Gemulai.......................... ....66

9. Gambar 4.8 Sarko Menawari Siti Minuman...................................................67

10. Gambar 4.9 Gatot Memohon Kepada Siti Meninggalkan Suaminya

.........................................................................................................................69

11. Gambar 4.10 Tampak Dapur dan Halaman Rumah Siti.................................72

12. Gambar 4.11 Siti Menginjak Cucian Pakaian degan Keras............................73

13. Gambar 4.12 Siti Merokok untuk Melepas Beban..........................................74

14. Gambar 4.13 Siti yang meluapkan Emosi dengan berteriak...........................74

15. Gambar 4.14 Siti yang Mabuk........................................................................74

16. Gambar 4.15 Siti yang Berselingkuh dengan Gatot........................................75

 

vii

DAFTAR TABEL

1. Tabel 4.1 Siti dan Darmi yang sedang Bercengkrama ................................... 54

2. Tabel 4.2 Karyo yang Menagih Hutang kepada Siti ...................................... 58

3. Tabel 4.3 Sri yang Mengajarkan Siti cara Melepas Beban yang Dialami ..... 60

4. Tabel 4.4 Siti yang Bercengkrama dengan Bagas di Tepi Pantai .................. 62

5. Tabel 4.5 Siti yang Menemani Anaknya Belajar ........................................... 65

6. Tabel 4.6 Siti dan Temannya sebagai Pemandu Karaoke...............................66

7. Tabel 4.7 Perbincangan Siti dengan Sarko tentang Pinjaman Uang...............67

8. Tabel 4.8 Gatot dan Siti yang Berbicara Mengenai Masa Depan Mereka......69

 

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Media massa adalah sarana penunjang bagi manusia untuk memenuhi

kebutuhan akan informasi maupun hiburan. Saat ini begitu banyak media

massa yang kita kenal baik itu media cetak seperti surat kabar, majalah,

tabloid, maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan internet. Media

massa setidaknya memiliki empat fungsi utama, yaitu menginformasikan (to

inform), mendidik (to educate), membentuk opini atau pendapat (to

persuade), dan menghibur (to entertain).1 Pada era ini media massa sangat

penting untuk menunjang kehidupan manusia. Manusia tidak bisa lepas dari

media massa karena berbagai fungsi yang diberikannya.

Film sebagai salah satu bentuk media komunikasi massa dipandang

mampu memenuhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan dan juga

berperan aktif dalam mempengaruhi aspek afektif, kognitif, dan behavioral

seseorang. Melalui film, pesan sosial, budaya, politik, atau lainnya dapat

dengan mudah dipahami oleh masyarakat. Film meningkatkan daya imajinasi

dan emosional penontonnya lebih tinggi. Film juga seringkali menjadi

cerminan suatu bangsa karena mempresentasikan budaya yang ada dan

mempengaruhi kebudayaan negara tersebut.

Melalui film masyarakat dapat melihat bagaimana kejadian nyata yang

terjadi di tengah-tengah masyarakat pada era tertentu. Oleh karenanya, film

berperan dalam membentuk pandangan masyarakat mengenai suatu ide

1 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2004), h. 54.

 

2

gagasan atau ideologi tertentu. Turner berpendapat makna film merupakan

representasi dari realitas masyarakat yang berbeda dengan film sebagai

refleksi dari realitas. Representasi dari realitas memiliki artian bahwa film

membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode,

konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaan.2

Film dapat mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan

pesan yang disampaikan oleh film tersebut. Dengan kata lain, film tidak bisa

dipisahkan dari konteks masyarakat yang memproduksi dan

mengkonsumsinya. Film yang memiliki makna sebagai representasi dari

realitas juga mengandung muatan ideologi pembuatnya sehingga sering

digunakan sebagai alat propaganda.

Sering kita melihat bahwa perempuan dilihat secara timpang oleh media

massa, salah satunya melalui film. Media massa sering menganggap

perempuan sebagai subjek manusia yang ditindas oleh laki-laki, dan sering

pula dihadirkan sebagai mesin operasional, objek pemberitaan, objek fatish,

objek peneguhan pola kerja patriarki, objek seksis, bahkan bisa jadi sebagai

objek pelecehan dan kekerasan. Media seolah tidak memberikan ruang secara

adil terhadap perempuan karena kuasa patriarki di dalamnya. Otoritas kuasa,

dan kontrol laki-laki atas media juga dirasakan lebih dominan karena laki-laki

lebih dahulu memasuki wilayah tersebut.3

Konstruksi sosial dan kebudayaan yang mengkristal mengakibatkan

adanya ideologi yang bias gender. Hal ini mengakibatkan persoalan posisi

2 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006),

h. 127-128. 3 Mustain, Sisi Lain Perempuan dalam Sorotan Media; Tinjauan Teori Kelompok

Bungkam (Muted Group Theory), JSGI Vol. 04, no. 01 (Agustus 2013): h. 66.

 

3

perempuan yang selalu berada di bawah laki-laki. Bias gender dan budaya

patriarki seakan tidak bisa lepas dari pesan-pesan yang disampaikan oleh

media. hal ini semakin memperteguh bahwa media massa yang dikuasai

kelompok dan ideologi tertentu bahwa memang benar ada kontruksi

perempuan yang timpang atau ketidakadilan gender dalam media massa.

Film di Indonesia sering mengangkat permasalahan gender, atau

diskriminasi gender. Seperti yang selama ini kita kenal bahwa kehidupan

perempuan pada umumnya selalu dikonstruksi dalam film sebagai

pendamping laki-laki yang selalu menjadi pemanis atau pemeran tambahan

atau adakalanya digambarkan secara timpang. Perempuan juga sering

ditampilkan sedemikian rupa untuk menarik perhatian penonton entah dari

segi seksualitas maupun kelemahannya.

Pernyataan akan banyaknya film atau media di Indonesia yang

mengkontruksi perempuan secara timpang dapat dilihat dari berbagai

penelitian ilmiah. Diantaranya adalah dikutip dari (Nurul Islam, 2008)

perempuan dalam media seakan-akan harus bernilai dagang, perempuan

divisualisasikan dengan pakaian yang minim untuk melanggengkan pesan

dalam mempengaruhi khalayak. Hal tersebut dikarenakan media yang

menganut paham kapitalis yang mengkontruksi isi media massa ke dalam

budaya pragmatisme profit.

Perempuan dalam film Sang Penari dikutip dari (Tiara Pudyadhita, 2012)

menemukan bahwa perempuan Jawa dalam film tersebut ditampilkan dengan

streoripe yang negatif memiliki pekerjaan sebagai penari ronggeng. Dalam

film tersebut juga menggambarkan bahwa perempuan yang bekerja sebagai

 

4

penari ronggeng menganggap adanya pelecehan seksual kepada mereka

bukanlah sebuah musibah karena penari ronggeng sendirilah yang di cap

sebagai korban dan pelakunya.

Lain halnya dengan hasil penelitian perempuan dalam film Mihrab Cinta

(Nining Umi Salmah, 2014) yang digambarkan sebagai perempuan yang

moderat, dikatakan moderat karena perempuan diperbolehkan untuk bekerja

tetapi masih dalam batasan sebagai pendidik. Dan masih adanya streotipe

bahwa perempuan digambarkan sebagai makhluk yang cengeng dan lemah

sedangkan laki-laki digambarkan sebagai penolong dan pelindung. Dari

berbagai penelitian yang membahas adanya ketimpangan pada perempuan

dalam media atau film, hal ini yang menjadi acuan peneliti untuk mengangkat

tema ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam film Siti.

Film Siti merupakan salah satu dari sekian banyaknya film di Indonesia

yang mengangkat tema perempuan. Mengangkat tema perempuan terutama

perempuan pesisir Jawa yang mewakilkan sebagai sosok perempuan dari

golongan bawah, film ini memperoleh banyak penghargaan. Film Siti sendiri

memperoleh banyak penghargaan di Internasional maupun lokal. Di ajang

internasional, Festival Film Internasional Shanghai 2015, Siti menerima

penghargaan untuk sinematografi terbaik dan naskah film terbaik untuk

kategori New Asia Talent Competition. Dan di Indonesia, Siti memperoleh

tiga piala citra yaitu kategori Film Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik,

dan Penata Musik Terbaik.4

4 Eri, 4 Fakta Film Siti Pemenang Film Terbaik FFI 2015, artikel diakses

pada 30 Januari 2017 dari https://www.hitsss.com/4-fakta-film-siti-pemenang-

film-terbaik-ffi-2015/

 

5

Berangkat dari permasalahan adanya anggapan bahwa kaum perempuan

memiliki sifat memelihara dan rajin yang mengakibatkan semua pekerjaan

domestik menjadi tanggung jawab perempuan. Sehingga konsekuensinya

perempuan harus bekerja keras untuk menjaga kebersihan dan kerapian

rumah tangganya; mulai dari mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari

air untuk mandi hingga memelihara anak.5 Sedangkan pada posisi harus

mempertahankan asap dapur rumah tangga agar tetap mengepul, perempuan

ini harus bertanggungjawab terhadap pekerjaan domestiknya dan harus

bekerja publik untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan rumah

tangganya. Dengan kata lain perempuan sering dikaitkan dengan peran

gender yang melekat padanya.

Pernyataan tersebut terwakilkan pada film Siti. Representasi gender akan

sosok Siti sangat menarik untuk penulis teliti karena lagi-lagi terdapat film

yang membahas tentang gender pada perempuan. Selain itu, yang membuat

penulis tertarik untuk mengkanji permasalahan ini karena pada era modern ini

masih banyak paham bahwa perempuan memang identik akan peran gender

perempuan atau biasa disebut dengan feminin. Maka berdasarkan latar

belakang masalah di atas, penulis memberikan judul penelitian ini

“REPRESENTASI GENDER DALAM FILM SITI”.

5 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta:

INSISTPress, 2008), h. 21.

 

6

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis membatasi ruang

lingkup pada permasalahan penilitian yaitu ketidakadilan gender dalam

film Siti. Peneliti hanya melakukan penelitian pada penentuan tokoh

cerita dan peran serta fungsinya pada film Siti, bentuk percakapan yang

representatif representasi gender pada film Siti, materealisasi objek, dan

interpretasi.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka perumusan masalahnya

adalah bagaimana representasi gender diproduksi dalam film Siti?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui representasi gender yang diproduksi dalam film

Siti.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi

positif bagi pengembangan keilmuan komunikasi terutama mengenai

penelitian komunikasi dengan metode analisis struktural Greimas

tentang gejala sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di

masyarakat. Selain itu juga, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan

bahan kajian tambahan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa

 

7

Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran islam mengenai Strategi Komunikasi.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi para

praktisi komunikasi, khususnya dalam memahami beban ganda pada

perempuan yang diproduksi oleh media. Penelitian ini juga

diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para akademisi,

praktisi, dan para pembaca serta dapat memberikan manfaat bagi

seluruh lapisan masyarakat.

D. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivis

menganggap kenyataan itu hanya bisa dipahami dalam bentuk jamak,

berupa konstruksi mental yang tidak dapat diraba, berbasis sosial dan

pengalaman yang bersifat lokal dan spesifik (ontologi). Peneliti dan

subyek yang diteliti terkait erat secara timbal balik, sehingga penemuan

dicipta seperti yang dikehendaki peneliti (epistimologi).6

Konstruktivisme memandang bahwa aktivitas manusia itu merupakan

aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran

yang tetap, tetapi selalu berkembang terus. Hal ini berarti, realitas itu

merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan

6 Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif (Malang: UIN-

Maliki Press, 2010), h. 151.

 

8

nilai, jadi tidak mungkin bebas nilai, dan pengetahuan hasil konstruksi

manusia itu tidak bersifat tetap, tetapi berkembang terus.7

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian

kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami

suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan

mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara

peneliti dengan fenomena yang diteliti.8 Pada penelitian kualitatif, data

dihasilkan secara deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran

secara objektif dengan menggambarkan pesan-pesan secara simbolis

dalam film Siti.

3. Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah metode analisis naratif model A.J.

Greimas dan Semiotika Roland Barthes. Naratif (narasi) adalah

representasi dari peristiwa-peristiwa atau rangkaian dari peristiwa-

peristiwa. Penggabungan berbagai peristiwa menjadi satu jalinan cerita

yang sebenarnya terdapat nilai-nilai dan ideologi yang ingin ditonjolkan.

Sebuah cerita, sebuah dongeng. Di dalam cerita ada plot, adegan, tokoh,

dan karakter.9 Analisis naratif membantu peneliti untuk memahami

bagaimana pengetahuan, makna, dan nilai diproduksi dan disebarkan

dalam masyarakat. Analisis naratif juga memungkinkan untuk menyelidiki

7 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik (Jakarta: Bumi

Aksara, 2013), h. 49. 8 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu

Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 9. 9 Eriyanto, Analisis Naratif : Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks

Berita Media, (Jakarta: Kencana. Prenada Media Group, 2013), h. 9.

 

9

hal-hal yang tersembunyi dan laten dari suatu teks media. Untuk

mendukung data yang ada, dikarenakan narasi Greimas hanya membahas ,

peneliti menggunakan semiotika sebagai data pendukung untuk mencari

relasi dan makna teks pada keduanya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam tahap-tahap pengumpulan data, penulis menggunakan metode

berikut:

a. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang

berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang.10

Studi dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan

peneliti kualitatif untuk mendapatkan gambaran dari sudut panjang

subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis

atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan.11

Pada penelitian ini, penulis melakukan dokumentasi untuk

menggali informasi terkait permasalahan perempuan, diantaranya

beban ganda. Serta mengenai analisis semiotik narasi struktural

aktansial A.J. Greimas yang diperoleh melalui buku-buku dan jurnal.

10

Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2013), h. 176. 11

Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial,

(Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 143.

 

10

5. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan analisis naratif struktural

aktansial A.J Greimas dan Semiotika Roland Barthes. Greimas

mengembangkan teori struktural Vladimir Propp dengan mengembangkan

teori struktural tersebut menjadi 6 aktan Penelitian ini menggunakan

teknik analisis naratif menurut A.J Greimas, yaitu dengan menganalisis

peran dan aktan dalam teks. Model narasi Greimas menganalogikan narasi

sebagai suatu struktur makna (semantic structure). Sebuah kalimat yang

terdiri atas rangkaian kata-kata, setiap kata dalam kalimat menempati

posisi dan fungsinya masing-masing. Kata yang satu juga mempunyai

relasi dengan kata yang lain sehingga membentuk kesatuan yang koheran

dan mempunyai makna.12

Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Gerimas dari gagasan

Propp. Greimas hanya menawarkan sebuah penghalusan atas Teori Propp.

Sementara Propp memusatkan pada sebuah jenis tunggal, Greimas

berusaha sampai pada tata bahasa naratif yang universal dengan

menerapkan adanya analisis semantik atas struktur kalimat. Teori

strukturalisme Greimas digunakan untuk menganalisis struktur sehingga

terfokus pada ekplorasi tokoh dan keterlibatannya dalam berbagai

peristiwa. Jadi, hubungan antartokoh dalam cerita dapat dianalisis

menggunakan skema aktan, sehingga dapat menemukan struktur utama

cerita. Berikut bagan dari analisis semiotik naratif struktural dan aktansial

Greimas:

12

Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks

Berita Media, h. 95.

 

11

Untuk menganalisis dalam menentukan tokoh-tokoh serta peran dan

fungsinya, peneliti menggunakan analisis struktural aktansial A.J Greimas.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Greimas membentuk struktur

narasi yang menentukan peran dan fungsi tokoh dari film tersebut. Untuk

mendukung data dari analisis struktural aktansial A.J. Greimas, peneliti

menggunakan analisis semiotika pada analisis teks dan gambar.

Menggunakan semiotika untuk mengkaji tanda, dimana tanda tersebut

menyampaikan informasi secara verbal dan non-verbal.

Greimas membentuk pada struktur narasi tentang peran dan fungsi

tokoh. Hal demikian penting dilakukan karena membahas bagaimana cara

membangun makna relasi antar keduanya. Menggunakan semiotika juga

dapat membantu peneliti untuk membedah teks dan tanda karena teks dan

tanda tidak bisa diabaikan untuk menemukan makna pada wacana yang

ada. Oleh karenanya, peneliti perlu membedah makna dengan semiotika.

Selanjutnya, adanya materealisasi objek untuk mengidentifikasi

tanda-tanda, simbol-simbol yang membentuk suatu materi dalam film.

Perlunya dianalisis untuk mengidentifikasi hal-hal yang non-teks. Hal-hal

tersebut dimaterealisasikan dalam alur cerita dengan gambar, objek, dan

hal lainnya yang dilihat penulis mempunyai makna yang mendukung

kontruksi dari pemaknaan gambar atau objek tersebut.

 

12

D. Tinjauan Pustaka

Untuk tinjauan pustaka pada penyusunan skripsi ini, peneliti merujuk

pada beberapa skripsi mengenai perempuan dan analisis naratif A.J. Greimas

sebagai tinjauan penyusunan skripsi, diantaranya sebagai berikut:

1. Ika Istiani (109501000001) Jurusan Komunikasi Penyiatan Islam, Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

“Analisis Narasi Pertentangan Feminisme dalam Novel Ratu yang

Bersujud”.

Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh Ika Istiani, yakni dengan menggunakan teori yang sama

yaitu feminisme dan membahas isu tentang perempuan. Perbedaan

penelitian Ika Istiani dengan penelitian penulis adalah teknik analisis

yang digunakan berbeda walau sama-sama narasi, dan penelitiannya

fokus pada pertentangan feminisme yang dikontruksi dalam novel

tersebut..

2. Ahmad Zainuddin Syah (1112051000089) Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. “Analisis Semiotika Naratif Pesan Politik

Doa H.R. Muhammad Syafi’i dalam Rapat Paripurna Pembukaan

Masa Persidangan I DPR RI 2016-2017”.

Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh Ahmad Zainuddin Syah, yakni meneliti dengan

menggunakan metode analisis naratif A.J Greimas. Perbedaan penelitian

Ahmad Zainuddin Syah dengan penelitian penulis yaitu fokus penelitian

 

13

yang dilakukannya adalah peran dan aktan dalam doa H.R. Muhammad

Syafi’i, narasi pesan politik yang disampaikan lewat doa, dan ideologi

yang ada dalam doa tersebut.

3. La Ode Chusnul Huluk (10951000058) Jurusan Komunikasi Penyiaran

Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. “Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan

Pesan Dakwah dalam Baris 332-383”

Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh La Ode Chusnul Huluk, yakni meneliti dengan

menggunakan metode analisis naratif A.J. Greimas. Perbedaan penelitian

La Ode Chusnul Huluk dengan penelitian penulis yaitu fokus penelitian

yang dilakukannya adalah narasi aktan pada kitab Bula Malino dan

pesan-pesan dakwah yang disampaikan pada kitab tersebut.

4. Virgina Putri Mahardika (D1214078) Jurusan ilmu Komunikasi, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. “Representasi

Sikap Nrimo Perempuan Jawa dalam Film Siti”

Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh Virgina Putri Mahardika, yakni sama-sama meneliti film

Siti. Perbedaannya adalah fokus penelitian Virginia Mahardika pada

analis sikap Nrimo perempuan Jawa dalam Film Siti berdasarkan realitas

sosial dengan menggunakan semiotika Pierce.

5. Kurniawan Andre Prasetyo (20120530153) Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah

 

14

Yogyakarta. “Representasi Perempuan Jawa Pesisir dalam Film Siti

(Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Film Siti)”

Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh Kurniawan Andre Prasetyo, yakni sama-sama meneliti

film Siti dan menggunakan metode semiotika Roland Barthes.

Perbedaannya adalah fokus penelitian Kurniawan Andre Prasetyo

membahas bahwa perempuan pesisir Jawa identik dengan masyarakat

kalangan bawah dan memiliki peran ganda.

E. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis mengelompokkan

pembahasan ke dalam bab-bab, diantaranya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini diawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya

penelitian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan

masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi

penelitian (paradigma penelitian, pendekatan penelitian, teknik pengumpulan

data, teknik analisis data), tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Pada bab ini berisi pemahaman umum tentang representasi, konsep

gender, feminisme, analisis narasi struktural aktansial A.J Greimas dan film

sebagai media komunikasi massa.

BAB III GAMBARAN UMUM FILM SITI

Pada bab ini membahas sekilas tentang film Siti, sinopsis film Siti, profil

sutradara serta penulis dan produser film Siti.

 

15

BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis menggambarkan hasil temuan dan analisis teks dan

gambar dalam fim Siti. Untuk mengetahuinya, diperlukan empat tahapan

yaitu menetukan tokoh menentukan bentuk percakapan dan menentukan yang

representatif beban ganda, menentukan materealisasi objek, dan melakukan

interpretasi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan akhir atau penutup bagian skripsi ini, yang berisi

kesimpulan atas rumusan masalah penelitian serta diikuti dengan saran-saran

dari penulis.

 

16

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Gender

Gender merupakan kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara

kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Teori feminis kontemporer

sangat berhati-hati dalam membedakan antara jenis kelamin

(sex) dan gender.13

Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan

gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami

persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang terjadi pada perempuan.14

Seks

membedakan manusia laki-laki dengan perempuan secara biologis, sebagai

kodrat ilahi, sedangkan gender membedakan laki-laki (maskulin) dan

perempuan (feminin) secara sosial, mengacu pada unsur emosional, kejiwaan,

bukan kodrat, tetapi sebagai proses belajar.15

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan

kata sex atau jenis kelamin. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan

atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis

yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa jenis laki-laki

adalah jeni manusia yang memiliki atau bersifat seperti laki-laki adalah

manusia yang memiliki penis, memiliki jakun dan memproduksi sperma.

Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim, dan saluran

untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat

untuk menyusui. Artinya secara biologis dan secara permanen alat-alat

13

Maggie Humm, Ensilokpedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,

2007), h. 177. 14

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta:

INSISTPress, 2008), h. 8 15

Maggie Humm, Ensilokpedia Feminisme, h. 177-178.

 

17

tersebut tidak bisa berubah dan dipertukarkan karena itu merupakan ketentuan

Tuhan atau kodrat.16

Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender, yang menjadi

masalah adalah kerancuan dan pemutarbalikkan makna tentang apa yang

disebut dengan seks dan gender. Pemahaman masyarakat tentang gender saat

ini telah dianggap sebagai sebuah kodrat Tuhan yang berarti tidak bisa diubah

lagi. Hal in karena proses sosialisasi dan konstruksi mengenai persoalan

gender telah berlangsung mapa, lama, dan terpola. Misalnya seperti mendidik

anak, merawat, dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga atau

urusan domestik sering dianggap sebagai kodrat wanita. Padahal, laki-laki

juga bisa melakukan pekerjaan tersebut. Oleh karenanya, selama jenis

pekerjaan tersebut masih bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal,

seperti dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga,

itu disebut sebagai gender.17

Konsep gender sendiri adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-

laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial, maupun kultural.

Misalnya, bahwa perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik,

emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap dengan kuat, rasional,

jantan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang

dipertukarkan atau dalam hal lain ada laki-laki yang lemah lembut,

emosional, dan keibuan, semetara juga ada perempuan yang rasional, kuat,

dan perkasa. Dari hal tersebut bisa dikatan bahwa konsep gender antara sifat

16

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Cet. V;

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 7-8. 17

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 10-11.

 

18

perempuan dan laki-laki bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari

tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lainnya.

Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh

banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan

dikonstruksi secara sosial atau nkultural melalui ajaran keagamaan atau

negara. Sehingga hal tersebut dianggap menjadi ketentuan tuhan yang seolah-

olah tidak dapat diubah lagi dan perbedaan-perbedaan gender tersebut

dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.18

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi suatu masalah

sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi

persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan,

baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Berikut

lima ketidakadilan gender:19

1. Marginalisasi

Marginalisasi seringkali dimaknai sebagai peminggiran perempuan

dari akses ekonomi dan pendidikan. Peminggiran akses pendidikan

terhadap perempuan pada gilirannya nanti akan berimplikasi pada

pemiskinan perempuan di masa depan. Perempuan yang tidak sekolah,

maka mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak dan akhirnya

sulit untuk memperoleh pendapatan yang memadai untuk memenuhi

kebutuhan dirinya dan keluarganya. Sementara itu di sektor ekonomi,

marginalisasi ekonomi terjadi pada proses peminggiran akibat perbedaan

18

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 7-8. 19

Ida Rosyidan dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-agama, (Banten:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 25-27.

 

19

jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan dan penyebabnya dapat

muncul oleh berbagai kejadian, salah satunya kebijakan pembangunan.

Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir

keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang

tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris

atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah laki-laki. Seorang

perempuan yang melakukan pekerjaan domestik, tidak dianggap bekerja

karena pekerjaan yang dilakukannya, seberapapun banyaknya, dianggap

tidak produktif secara ekonomis. Namun, perempuan yang bekerja di

sektor publik juga mengalami marginalisasi baik dari pendapatan,

maupun promosi jabatan. Dari sisi pendapatan, penghasilan perempuan

hanya dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja. Penghasilan

suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal perempuan lebih

sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada laki-laki. Dan dari

sisi karir, kehadiran perempuan kurang diperhintungkan untuk

menduduki posisi strategis.

2. Subordinasi

Subordinasi merupakan diskriminasi perempuan dalam kekuasaan

dan pengambilan keputusan. Diskriminasi ini menyebabkan perempuan

dipandang the second sex dan berada di bawah dominasi laki-laki.

Perempuan juga tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) baik

dalam keluarga, di tempat kerja, maupun di masyarakat. Persepsi keliru

tentang perempuan seperti perempuan lemah atau ada di bawah laki-laki

juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak

 

20

permulaaan lahirnya filsafat di dunia barat. Teori ini sudah menjadi

kodrat wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung

kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya.

3. Streotipe

Streotipe pada gender adalah pelabelan negatif terhadap jenis

kelamin tertentu umumnya pada perempuan. Streotipe umumnya

dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan

sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok

atas kelompok lainnya. Stereotipe juga menunjukan adanya relasi

kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk

menaklukan atau menguasai pihak lain.

4. Kekerasan

Kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya

erjadi pada perempuan yang disebabkan perbedaan gender. Kekerasan

mulai dari fisik (pemerkosaan, maupun pembunuhan) sampai kepada

kekerasan yang lebih halus (pelecehan seksual dan penciptaan

ketergantungan).

5. Beban Ganda atau Beban Kerja

Beban ganda (double burden) beban pekerjaan yang diterima salah

satu jenis kelamin lebih banyak dibandingakan jenis kelamin lainnya

dalam hal ini ialah perempuan. Peran perempuan yang mengelola rumah

tangga, maka perempuan banyak menanggung beban domestik lebih

banyak dan lama. Perempuan bertugas menjaga dan memelihara kerapian

dan pemeliharaan dalam rumah tangga. Sosialisasi peran gender tersebut

 

21

menyebabkan rasa bersalah pada perempuan jika tidak melaksanakannya.

Sedangkan bagi kaum laki-laki, tidak merasa itu tanggung jawabnya, atau

bahkan ada tradisi yang melarang laki-laki untuk terjun pada sektor

domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat terlebih bagi

kauum perempuan yang bekerja di luar rumah. Perempuan yang bekerja

di luar juga masih dituntut bertanggung jawab akan keseluruhan

pekerjaan domestik.

B. Teori Feminisme

1. Pengertian Feminisme

Feminisme mulai muncul di Eropa pada saat terjadi revolusi Perancis

di Abak ke-XVIII, kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan ke

negara-negara di seluruh dunia. Kaum Sejarawan umunya mengatakan

bahwa Gerakan Revolusi ini menandakan awalnya Era Reinasance yang

turut serta memberikan pengaruh dalam membidani gerakan feminis.

Feminisme mulai menyebar ke berbagai negara di dunia menjelang abad

ke 19. Feminisme lahir sebagai gerakan atas respon akan pemasungan

hak-hak kebebasan perempuan yang bersumber dari paham

fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap

kaum perempuan.20

Fenomena bias gender yang terjadi ditengah masyarakat menjadi

motivasi dan stimulus utama untuk berkembangnya paham feminisme

didunia masyarakat modern. Feminisme tumbuh sebagai suatu gerakan

sekaligus pendekatan yang berusaha merombak struktur yang ada karena

20

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 41-42.

 

22

dianggap telah mengakibatkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan.

Pendekatan feminisme berusaha merombak cara pandang kita terhadap

terhadap dunia dan berbagai aspek kehidupannya.21

Isu-isu yang diperjuangkan dikalangan feminisme adalah

ketimpangan gender, peran gender, identitas gender, dan seksualitas.

Selain itu, hak-hak perempuan seperti hak dalam bidang pendidikan,

politik, ekonomi, kesehatan, terutama kesehatan reproduksi,

perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan, traficking, dan lain-

lain juga menjadi isu yang secara masif disuarakan oleh feminis. Gerakan

feminisme identik dengan gerakan pembebasan perempuan yang

bersinggungan dengan beragam isu, seperti rasisme, streotipe, seksisme,

dan penidasan perempuan.22

Secara etimologis, feminisme berasal dari bahasa latin yaitu femina

yang artinya seseorang yang memiliki sifat kewanitaan23

. Dalam bahasa

inggris diterjemahkan menjadi femenine, yang artinya memiliki sifat

seperti perempuan. Kemudian kata tersebutkan ditambahkan “ism”

menjadi Feminism yang berarti hal ikhwal tentang perempuan atau

paham mengenai perempuan.

Secara istilah, Lisa Tuttle mendefinisikan feminisme sebagai

advokasi mengenai hak-hak perempuan yang didasarkan sebuah

kepercayaan mengenai persamaan seksis dan itu merujuk kepada

21

Rian Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 61-62 22

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 42. 23

Euis Amalia. Dkk, Pengantar Kajian Gender (Jakarta: Pusat Studi Wanita

Syarif Hidayatullah, 2003), h. 86.

 

23

siapapun yang sadar untuk mengakhiri adanya subordinasi terhadap

perempuan dengan cara apa pun dan alasan apa pun.24

Di lain sisi, Magie

dan Humm memaknai feminisme sebagai sebuah ideologi yang

membebaskan perempuan karena semua pendekatannya terkait dengan

ketidakadilan yang dialami perempuan berdasarkan jenis kelaminnya

sebagai perempuan. Kamla Basin berpendapat feminisme ialah suatu

kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam

masyarakat baik di tempat kerja maupun di dalam keluarga, serta

tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah

keadaan tersebut.25

Tiga konsep utama yang dapat ditarik dari feminisme yang

dijelaskan di atas yaitu (1) kesadaran adanya penindasan, eksploitasi,

marginalisasi, subordinasi, dan lain-lain baik yang berbentuk manifes dan

laten; (2) ranah penindasan bisa berlokasi di dalam keluarga, di tempat

kerja, di masyarakat termasuk di lingkungan tempat peribadatan, dan

lain-lain; (3) adanya keinginan dan tindakan secara sadar yang dilakukan

aktor untuk melakukan perubahan terhadap situasi yang tidak

menguntungkan.26

Mansour Faqih mendefinisikan feminisme adalah suatu gerakan dan

kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan

mengalami diskriminasi dan usaha untuk menghentikan diskriminasi

24

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 43. 25

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 43-44. 26

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 44.

 

24

tersebut.27

Ratna Megawangi berpendapat bahwa feminisme merupakan

penolakan ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak

sejarah, dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki.28

Dari

berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme merupakan

suatu pemikiran dan gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan

kaumnya dari belenggu gender yang bersumber pada budaya patriarki

untuk medapat persamaan hak dalam segala bidang.

Selain dilihat sebagai gerakan atau doktrin, feminis juga dapat dilihat

dari sisi teoritis yaitu sebagai sebuah generalisasi dari berbagai sistem

dan gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang

dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada perempuan. Bahkan

lebih jauh feminisme dinilai sebagai ideologi, berbeda dari konsepsi

gender yang lebih bersifat wacana. Gagasan ini mengilustrasikan

feminisme sebagai konsep perlawanan, anti dan bebas penindasan,

dominasi, hegemoni, ketidakadilan, praktik kekerasan.

Ketidakadilan gender akibat dominasi dan hegemoni patriarki yang

berimplikasi pada pemasungan hak-hak kaum perempuan yang tertindas

menjadi sorotan utama gerakan kaum feminis melalui model pendekatan

mata, hati dan tindakan. Ketidakadilan itu ditemukan melalui cara

menyadari, melihat dan mengalami adanya penindasan, hegemoni,

diskriminasi, dan penindasan yang terjadi pada perempuan sekaligus

27

Mansour Faqih, dkk, Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; Tinjauan dari

Analisis Gender, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam,

(Surabaya:Risalah Gusti, 2003), h. 67. 28

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 45.

 

25

mempertanyakan, menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah

keadaan tersebut.29

Patriarki sendiri adalah struktur yang menempatkan peran laki-laki

sebagai penguasa tunggal

Tujuan utama feminisme adalah membongkar relasi kuasa yang

tidak seimbang (unequal). Secara umum gerakan feminis berakar pada

prinsip pengalaman kaum perempuan dalam dunia patriarki, suatu

kondisi sosial dan budaya yang tidak berpihak pada perempuan sebagai

subjek utuh. Oleh karena itu, gerakan feminis berupaya mengubah

tatanan sosial baru dan relasi kuasa yang lebih seimbang sehingga

perempuan menjadi otonom dalam membuat keputusan. Hal yang

menarik dengan feminisme adalah bahwa ia ternyata dapat membebaskan

peran laki-laki di sektor publik yang selama ini dijalaninya. Dalam arti

dengan hadirnya feminisme, laki-laki pun akan berperan di sektor

domestik.

2. Jenis-jenis Feminisme

Dengan berjalannya waktu, banyak gerakan yang muncul dengan

mengatasnamakan akan kepedulian terhadap perempuan dari dominasi

laki-laki. Hal tersebut dikenal dengan aliran-aliran feminisme. Teori

feminis juga beranjak dari asumsi bahwa gender adalah “a persuasive

category for un derstanding human experience”. Gender merupakan

konstruksi yang meskipun bermanfaat, didominasi oleh bias pria dan

29

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 44-45.

 

26

cenderung opresif terhadap wanita. Dalam feminisme terdapat beberapa

jenis teori feminis (Rosemary Putnam Tong: 2010):

1) Teori Feminisme Liberal

Teori ini mengenai kebebasan individu perempuan. Teori ini

merupakan salah satu dari arus utama teori sosial dan politik feminis

dan mempunyai sejarah dalam jangka waktu yang paling lama. Para

pemikir feminis liberal, termasuk diantaranya Mary Wollstonecraft,

John Stuart Mill, Harriet Taylor, dan Betty Friedan.

Dasar pemikiran kelompok ini adalah sesama manusia, laki-laki

dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak

terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Secara ontologis

keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi

hak perempuan. Walau dikatakan feminisme liberal, namun

kelompok ini tetap menolak persamaan secara penyeluruh terutama

pada sistem reproduksi karena organ reproduksi bukanlah

penghambat peran-peran yang ada dalam struktur masyarakat.

Isu yang diperjuangkan femisme liberal adalah kesempatan dan

perlakuan yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam berbagai

aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi (upah), hukum, politik

(hak suara), dan lain-lain. Perjuangan feminisme liberal acapkali

dilakukan melalui kerjasama dengan laki-laki untuk mencapai

kesetaraan dalam sistem yang sudah ada.30

30

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 27

 

27

Secara garis besar tujuan keseluruhan dari feminisme liberal

adalah untuk menciptakan sebuah masyarakat yang saling mengasihi

dimana terdapat kebebasan yang dirasakan oleh semua orang, karena

hanya dalam masyarakat yang seperti itu laki-laki dan perempuan

dapat hidup makmur dan sejahtera.

2) Teori Feminisme Radikal

Feminisme radikal muncul karena ketidakpuasan terhadap ide-

ide dan agenda-agenda perjuangan feminisme liberal. Feminisme

radikal beranggapan bahwa seluruh perempuan di dunia ini ditindas

oleh sistem patriarki. Penindasan perempuan berasal dari

penempatan terhadap perempuan ke dalam kelas inferior

dibandingkan dengan kelas “laki-laki” dengan menggunakan basis

gender. Feminisme ini beraliran radikal karena ia memfokuskan pada

akar dominasi laki-laki dan klaim bahwa semua bentuk penidasan

adalah perpanjangan dan supremasi laki-laki.

Feminisme radikal ini merupakan reaksi karena muncul

anggapan bahwa keadaan biologis perempuan yang berbeda dari

laki-laki adalah kehendak alam dan tidak dapat diubah, merupakan

takdir atau kodrat. Feminisme radikal berpendapat bahwa

keteratuaran alamiah tidak perlu dipertahankan karena hal itu hanya

akan menghambat kemajuan perempuan. Dikatakan bahwa

feminisme radikal adalah feminisme lesbian karena menolak institusi

keluarga yang berbalik dengan feminisme liberal yang mendukung

adanya institusi keluarga. Permasalahan ini pada akhirnya

 

28

memunculkan dualitas antagonis yakni maskulinitas dan feminitas.31

Feminisme radikal menyatakan bahwa patriarki adalah karateristik

yang ada dalam masyarakat kita, dimana sentral dan aliran ini adalah

keyakinan bahwa keterpusatan pada perempuan bisa menjadi basis

masyarakat di masa depan.

3) Teori Feminisme Marxis

Feminisme marxis meletakan kerangka pikirnya dalam relasi

ekonomi yang menekankan pada latar historis sebagai akar

penindasan perempuan. Gagasan Marx tentang dialektika

materealistik yang mengategorikan masyarakat ke dalam kelas

borjuis dan ploretariat menggambarkan faktor dominasi dan alienasi

terhadap relasi keduanya. Pertentangan kelas tersebut kemudian

diadopsi dalam struktur relasi laki-laki dan perempuan dimana

perempuan sebagai objek dominatif dan eksploitatif.

Argumuen dasar dari feminiseme marxis adalah bahwa kaum

laki-laki diyakini sebagai aktor borjuasi yang menguasi sektor

ekonomi yang mengakibatkan perempuan mengalami

ketergantungan secara total dan membentuk relasi yang tidak

setara.32

Feminisme Marxis berpendapat ketertinggalan yang dialami

oleh perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu yang

disengaja, tetapi akibat struktur sosial, politik, dan ekonomi yang

erat kaitannya dengan sistem kapitalisme. Hal ini berbanding terbalik

31

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 62. 32

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 67.

 

29

dengan feminis sosialis yang lebih menekankan pada penindasan

gender disamping penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari

penindasan terhadap perempuan.

Dalam sistem kapitalisme bagi kaum Marxis adalah sebuah

sistem hubungan kekuasaan yang bersifat eksploitatif, pekerjaan

laki-laki memproduksi barang dikategorikan sebagai pekerjaan

produktif dan perempuan hanya memproduksi barang yang bernilai

guna sederhana (simple use value). Feminis Marxis menuntut agar

perempuan diberi kesempatan untuk berperan dalam kegiatan

ekonomi. Bagaimana mengeluarkan perempuan dari

ketertindasannya ialah dengan memberika upah atas pekerjaan

rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan dengan alasan bahwa

pekerjaan rumah tangga itu produktif.

4) Teori Feminisme Sosialis

Femisme Sosialis muncul sebagai respon terhadap feminisme

marxis yang dianggap sex blind (buta seks), karena terlalu

menekankan kepada sistem kapitalisme sebagai penyebab utama

ketimpangan gender dan mengabaikan sistem patriaki sebagai faktor

penyebab utamanya. Feminisme sosialis tidak hanya melihat sistem

hubungan produksi atau kapialisme tetapi juga sistem patriarki yang

mengakar di masyarakat yang turut menjembatani praktik opresi

tersebut. Feminisme ini berkeyakinan tindakan opresi bukan sebagai

faktor kesengajaan yang dilakukan oleh masing-masing individu

 

30

melainkan dipengaruhi atau dipaksa oleh realitas eksternal seperti

struktur politik, sosial, dan ekonomi.33

Isu utama dalam feminisme sosialis adalah merujuk pada relasi

hubungan kerja domestik dan kerja publik yang pada umumnya

mendapat upah, atau antara keluarga dan dunia kerja. Kerja domestik

perempuan telah membatasi perempuan untuk meningkatkan skill

dan pendidikannya bahkan tugas perempuan di sektorr domestik

lebih banyak menyita waktu yang seharusnya mereka bisa

manfaatkan untuk melakukan aktifitas ekonomi. Dan melalui budaya

patriarki peran perempuan di ranah domestik terus dilanggengkan

dengan menekan isu feminitas. Dan peran perempuan di ranah

publik dianggap rendah dikarenakan adanya pandangan seksis dan

streotipe “kerja perempuan” yang dinilai lebih rendah dari kerja laki-

laki.34

Isu yang diperjuangkan feminisme sosialis diantaranya yaitu (1)

penolakan pada kapitalisme dunia yang tidak hanya menyebabkan

ketimpangan negara maju dan terbelakang, tetapi juga menyebabkan

feminisasi of poverty pada banyak kalangan perempuan, terutama

perempuan di negara-negara berkembang; (2) Feminisme ini

menuntut penerapan sistem ekonomi yang lebih setara dan adil

melalui kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pemerataan

sistem ekonomi/modal/kreasi; (3) Isu-isu terkait prostitusi,

33

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 71. 34

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 74.

 

31

perdagangan dan komersialisasi tubuh perempuan seharusnya

menjadi isu-isu prioritas yang harus diperjuangkan oleh negara dan

masyarakat pada umumnya.35

Dari berbagai penjelasan jenis-jenis feminisme di atas, Islam

memiliki perspektif sendiri mengenai feminisme. Feminisme dalam

Islam tentu saja tidak menyetujui setiap konsep atau pandangan feminis

yang berasal dari Barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki

sebagai lawan perempuan. Disisi lain, feminisme Islam tetap berupaya

untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan dengan laki-laki

yang terabaikan di kalangan tradisional konservatif, yang menganggap

perempuan sebagai subordinat laki-laki.36

Feminisme Islam berupaya untuk memperjuangkan apa yang disebut

Riffat Hassan sebagai “Islam pasca-patriarki”, yang tidak lain adalah

dalam bahasa Riffat sendiri “Islam Qur’ani” yang sangat memperhatikan

pembebasan manusia, baik perempuan maupun laki-laki dari perbudakan

tradisionalisme, otoritarianisme (agama, politik, ekonomi atau yang

lainnya), tribalisme, rasisme, seksisme, perbudakan atau yang lain-lain

yang menghalangi manusia mengaktualisasikan visi Qur’ani, tentang

tujuan hidup manusia yang mewujud dalam pernyataan klasik kepada

Allah lah mereka kembali.37

35

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi gender dalam Agama-agama, (Ciputat:

UIN Jakarta Press, 2013), h. 74. 36

Ariana Suryorini, Menelaah Feminisme dalam Islam, Volume 7, no. 2, 2012, h.

24. 37

Ariana Suryorini, Menelaah Feminisme dalam Islam, Volume 7, no. 2, 2012, h.

24-25.

 

32

Jalaluddin Rakhmat berpendapat mengenai kesimpulan berbagai

gerakan dan visi feminisme yaitu “Walhasil, Islam sangat memuliakan

perempuan. Orang Islam harus berjuang memuliakan mereka. Bila

keadaan perempuan sekarang ini belum mulia, maka kaum muslim wajib

mengubah masyarakat sehingga posisi mereka menjadi mulia. Jadi

sampai disini orang Islam boleh dikatakan feminis.”38

Yvonne Yazbeck Haddad yang menegaskan bahwa Al-Qur’an

merupakan sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan

gender dalam sejarah panjang umat manusia. Diantara kebudayaan dan

peradaban dunia yang hidup pada masa turunannya Al-Qur’an, seperti

Yahudi, Romawi, Cina, India, Persia, Kristen, dan Arab pra Islam, tidak

satu pun yang menempatkan perempuan lebih bermartabat dan lebih

terhormat daripada nila-nilai yang diperkenalkan oleh Al-Qur’an.39

38

Ariana Suryorini, Menelaah Feminisme dalam Islam, Volume 7, no. 2, 2012, h.

26-27. 39

Ariana Suryorini, Menelaah Feminisme dalam Islam, Volume 7, no. 2, 2012,

h. 27.

 

33

C. Analisis Naratif

1. Pengertian Narasi

Menurut Gerald Ganette, narasi adalah representasi dari sebuah

peristiwa atau rangkaian peristiwa-peristiwa. Sedangkan menurut Gerald

Prince narasi adalah representasi dari satu atau lebih peristiwa nyata atau

fiktif yang dikomunikasikan oleh satu, dua atau beberapa narator untuk

satu, dua atau beberapa naratee.

Dari defenisi narasi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut,

terdapat kesimpulan bahwa narasi adalah representasi dari peristiwa-

peristiwa atau rangkaian dari peristiwa-peristiwa. Narasi yang berasal

dari kata Latin narre, yang artinya “membuat tahu.” Dengan demikian,

narasi berkaitan dengan upaya memberitahu sesuatu atau peristiwa.

Sebuah teks baru bisa disebut sebagai narasi apabila terdapat beberapa

peristiwa atau rangkaian peristiwa-peristiwa.40

Narasi yang mengisahkan peristiwa maka perbuatan atau tindakan

menjadi unsur penting dalam sebuah narasi. Esensi dari narasi adalah

plot, karakter, dan setting. Plot pada dasarnya adalah apa yang

diceritakan oleh narasi itu sendiri, ini adalah “makro referen” dimana

narasi sebagai teks menarik perhatian. Karakter mengacu pada orang atau

makhluk lainnya yang diceritakan oleh kisah tersebut. Tiap-tiap karakter

merupakan sebuah tanda yang mewakili suatu jenis kepribadian,

pahlawan, pengecut, pecinta, teman dan lainnya. Setting adalah lokasi

dan waktu plot terjadi. Yang bercerita dalam kisah itu disebut narator.

40

Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis

Teks Berita Media, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 1-2.

 

34

Narator bisa saja karakter dalam narasi, penulis teks, orang atau entitas

lainnya.41

Sebuah teks dapat dikategorikan sebagai narasi apabila memiliki

ciri-ciri sebagai berikut, yaitu42

: a. Adanya rangkaian peristiwa, sebuah

narasi terdiri atas dua atau lebih peristiwa dimana peristiwa satu dan yang

lainnya dirangkai. b. Rangkaian (sekunsial), pristiwa tersebut tidaklah

rundown (acak) tetapi mengikuti logika tertentu sehingga peristiwa

berkaiatan secara logis.

Secara umum, analisis naratif mengharuskan kita mengungkap

struktur benda-benda kultural. Menaruh perhatian pada narasi

mensyaratkan kita tidak “terseret” oleh kisah tersebut, tetapi tetap tidak

menolak sikap untuk mempercayainya. Kita menginterupsi kisah guna

menganalisis dan menyelidikinya. Sebuah kisah yang baik selalu

menyembunyikan mekanismenya sehingga jangan sampai teks membuat

kita lupa bahwa yang kita hadapi adalah sebuah narasi. Dalam analisis,

kita perlu mengadopsi satu jarak kritis agar dapat memahami lebih baik

bagaimana sebuah kisah dibangun.43

Analisis naratif membantu memahami bagaimana pengetahuan,

makna dan nilai diproduksi dan disebarkan di masyarakat. Memahami

bagaimana dunia sosial dan politik diceritakan dalam pandangan tertentu

yang dapat membantu mengetahui kekuatan dan nilai sosial yang

41

Marcel Denasi, Pesan, Tanda, Makna: Buku Teks dasar Mengenai Semiotika

dan Teori Komunikasi(Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h. 164. 42

Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

1997), h. 2. 43

Jane Stokes, How to media and Cultural Studies: Panduan untuk

Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, (Yogyakarta: Bentang

Pustaka, 2007), h. 73.

 

35

dominan dalam masyarakat. Banyak cerita (seperti narasi sejarah) lebih

merepresntasikan kekuatan dominan, kelompok berkuasa yang ada dalam

masyarakat.Versi cerita dalam kelompok berkuasa lebih terlihat dalam

narasi dibandingkan kelompok yang tidak berkuasa. Karena itu, lewat

analisis naratif bisa mengetahui kekuatan-kekuatan sosial dan politik

yang berkuasa dan bagaimana kekuasaan tersebut bekerja.44

Secara sederhana analisis naratif adalah analisis mengenai narasi

yang terdapat pada sebuah cerita, baik cerita fiksi maupun nonfiksi.

Analisis naratif melihat teks dalam bentuk sebuah cerita yang dibangun

oleh beberapa unsur cerita yaitu, plot, setting, tokoh,sudut penggambaran

dan karakter. Analisis naratif menempatkan narasi sebagai kajian pokok,

dimana setiap unsur yang terkandung dalam narasi menjadi objek

kajiannya.

2. Analisis Naratif Aktansial Struktural

Struktur naratif A.J Greimas dibangun dengan asumsi dasar bahwa

teks naratif tersusun dari analogi-analogi diadik struktural dalam

linguistik yang bersumber dari Ferdinand de Saussure di satu sisi, serta

teori naratif dongeng Vladimir Propp di sisi lain. Naratif Greimas fokus

kepada relasi dan fungsi aktan.45

Aktan adalah sesuatu yang abstrak, tentang cinta, kebebasan atau

sekelompok tokoh. Aktan adalah satuan naratif terkecil yang dikaitkan

dengan satuan sintaksis naratif. Aktan berarti unsur sintaksis yang

44

Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis

Teks Berita Media, h. 10. 45

Kukuh Yudha Karnanta, Struktural (Dan) Semantik: Teropong Struktualisme

dan Aplikasi Teori Naratif A.J Greimas, (Surabaya: Universitas Airlangga, Vol 18, No 2

edisi Desember 2015), h. 175.

 

36

memiliki fungsi-fungsi tertentu. Sedangkan fungsi adalah satuan dasar

cerita yang menerangkan tindakan logis dan bermakna yang membentuk

narasi. Dengan kata lain, skema aktan tetap mementingkan alur cerita

energi terpenting yang menggerakkan cerita, sehingga menjadi

penceritaan, dengan episode terpenting yang terdiri atas permulaan,

komplikasi dan penyelesaian.46

Sebuah narasi dikarakterisasi oleh enam peran, yang disebut oleh

Greimas sebagai aktan dimana aktan tersebut berfungsi mengarahkan

jalannya cerita. Analisis Greimas kerap juga disebut sebagai model

aktan.47

Aktan yang dikembangkan Greimas merupakan pendekatan pada

alur cerita. Aktan adalah figur-figur yang berperan dalam satu peristiwa,

dan aktan dapat menduduki fungsi ganda bergantung pada siapa yang

menduduki fungsi subjek. Berikut struktur aktan pada analisis naratif

sktasial struktural Greimas:

Gambar 2.1 Kerangka Naratif Aktansial Struktural A.J Greimas

46

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 139. 47

Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-Dasar Penerapannya dalam Analisi Teks

Berita Media, h. 96.

 

37

Keenam aktan diatas menempati posisi dan fungsinya masing-

masing. Pertama, subjek. Subjek menduduki peran utama sebuah cerita,

tokoh utama yang mengarahkan jalannya cerita dan memiliki porsi

terbesar dalam cerita. Kedua Objek, objek merupakan tujuan dan

keinginan yang dicapai subjek. Ketiga, pengirim (Adjuvant) adalah

penentu arah atau penggerak cerita yang memberikan ide atau aturan-

aturan dalam narasi dan pada umumnya tidak bergerak secara langsung.

Keempat, penerima (Receiver) adalah aktan yang berfungsi sebagai

pembawa nilai dari pengirim yang mengacu pada objek tempat dimana

pengirim menempatkan nilai. Kelima, pendukung (Adjuvant) adalah

aktan yang berfungsi mendukung subjek dalam upayanya mencapai

objek. Keenam, penghalang (Traitor) aktan yangberfungsi menghambat

subjek dalam mencapai tujuan.48

D. Film Sebagai Media Komunikasi Massa dan Representasi

Kehadiran media massa tidak dapat dipandang dengan sebelah mata

dalam proses pemberian makna terhadap realitas sosial, salah satunya melalui

media film. Produk-produk media telah berhasil memberikan dan membentuk

realitas lain yang dihadirkan di masyarakat, yaitu realitas simbolik, yang

celakanya banyak diterima mentah-mentah oleh masyarakat sebagai bentuk

kebenaran. Film sebenarnya memiliki kekuatan bujukan atau persuasi yang

sangat besar. Perkembangan film di Indonesia sendiri mengalami pasang

48

Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-Dasar Penerapannya dalam Analisi Teks

Berita Media h, 96.

 

38

surut yang sangat berarti, namun media film di Indonesia tercatat mampu

memberikan efek signifikan dalam penyampain pesan.49

Film sebagai media komunikasi massa memiliki fungsi untuk dapat

menyampaikan pesan informasi, edukasi, dan hiburan melalui cerita dan

gambaran yang disajikan kepada khalayak (penonton). Film memiliki daya

tarik berbeda dari media komunikasi massa lain karena media massa tak

memiliki esensi hiburan semata, tetapi juga dapat mempengaruhi imajinasi

khalayak. Tidak jauh berbeda dengan berita, novel, dan jenis media

komunikasi massa lainnya, film juga memiliki kepentingan ekonomi-politik

yang mana memiliki kepentingan dan kekuasaan dalam menentukan arah

cerita film tersebut.

Film menjadi alat representasi dan distribusi dari tradisi hiburan yang

lebih tua, menawarkan cerita, drama, humor, panggung, musik, dan trik teknis

bagi konsumsi populer. Film juga hampir menjadi media massa yang

sesungguhnya dalam artian bahwa film mampu menjangkau populasi dalam

jumlah yang besar dan cepat. Fenomena perkembangan film yang begitu

cepat dan tidak terprediksikan, membuat film kini disadari sebagai fenomena

budaya yang progresif. Pencirian film sebagai bisnis pertunjukan dalam

bentuk baru bagi pasar yang meluas bukanlah keseluruhan ceritanya. Elemen

penting lain dalam sejarah film adalah penggunaan film untuk propaganda

sangatlah signifikan, terutama jika diterapkan untuk tujuan nasional atau

49

Rivers dan Peterson, Media Massa & Masyarakat Modern, (Jakarta: Kencana,

2008), h. 252.

 

39

kebangsaan, berdasarkan jangkauannya yang luas, sifatnya yang riil, dampak

emosional, dan popularitas.50

John Fiske berpendapat saat menampilkan suatu objek peristiwa,

gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang

dihadapi, yaitu sebagai berikut:51

1. Realitas

Pada level pertama adalah peristiwa yang ditandakan sebagai realitas.

Bagaimana peristiwa dikonstruksi sebagai realitas oleh media. Biasanya

berkaitan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan, dan

ekspresi. Pada hal ini, realitas diartikan sebagai realitas.

2. Representasi

Pada level kedua, saat kita memandang sesuatu sebagai realitas,

pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Di sini

menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahasa gambar, alat teknis

tersebut berupa kamera, pencahayaan, editing, atau musik. Pemakaian

kata-kata, kalimat, atau preposisi tertentu yang membawa makna tertentu

ketika diterima khalayak.

3. Ideologi

Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam

konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode

representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial

50

Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Salemba Humanika,

2011), h. 35. 51

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: Lkis,

2001), h. 114.

 

40

seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam

masyarakat.

Representasi sendiri memiliki makna penggambaran. Secara sederhana

dapat diartikan sebagai penggambaran mengenai suatu hal atau fenomena

yang terjadi di masyarakat yang digambarkan melalui media. Dalam film,

memiliki pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh pembuat film.

Film berupaya menggambarkan suatu hal atau realitas sosial yang terjadi di

masyarakat. Hal tersebutlah yang dinamakan representasi dimana media film

melalui adegan, percakapan, dan lainnya dapat menyampaikan suatu nilai

atau ideologi tertentu kepada masyarakat.

Sebagai media komunikasi massa yang menyajikan konstruksi dan

representasi sosial yang ada di dalam masyarakat, film memiliki beberapa

fungsi komunikasi diantaranya: Pertama, sebagai sarana hiburan yaitu

memberikan hiburan kepada khalayaknya dengan isi cerita film, geraknya,

keindahannya, suara, dan lain sebagainya agar penonton mendapat kepuasan

secara psikologis. Kedua, sebagai penerangan yaitu memberikan penjelasan

atau paham tentang apa yang disampaikan oleh film. Ketiga, sebagai

propaganda yaitu untuk mempengaruhi khalayak atau penontonnya agar

mereka mau menerima atau menolak pesan yang sesuai dengan keinginan

pembuat film.

 

41

BAB III

GAMBARAN UMUM FILM SITI

A. Gambaran Umum Film Siti

Siti adalah film independen Indonesia yang disutradarai oleh Eddie

cahyono, yang merupakan salah satu pendiri Four Colours Film, dan salah

satu rumah produksi perfilman indie di Indonesia. Film drama ini

mengisahkan tentang sosok Siti seorang perempuan penjual peyek jingkrik di

pantai parangtritis dan juga seorang pemandu karoeke di malah hari.

Pekerjaan Siti tersebut dilakukan setelah suaminya lumpuh akibat kecelakaan

kapal yang menegelamkan kapalnyayang dialaminya saat mencari nafkah.

Sebagai film independen, Siti tidak ditayangkan melalui bioskop berjaringan

di Indonesia. Film Siti justru pertama kali tayang di Jogja-Netpac Asian Film

Festival 2014.

Film Siti sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa. Film Siti juga

merupakan salah satu film low budget yang hanya menghabiskan sekitar 150

juta dalam proses produksinya. Film ini berdurasi 88 menit, dan Eddie

Cahyono, sang pembuat film menghabiskan waktu sekitar dua bulan untuk

membuat skrip film Siti. Eddie mendapat inspirasi membuat filmnya dari apa

yang ia lihat di kawasan pantai parangtritis.

Proses pengambilan gambar dilakukan dengan cepat, hanya

membutuhkan waktu enam hari. Lokasi syuting sendiri berada di kawasan

pantai Parangtritis, Yogyakarta. Penggunaan teknik sinematografi dengan

adegan panjang tanpa putus yang bergerak mengikuti pergerakan para

lakonnya sengaja dilakukan agar menonjolkan emosi berderak dari peran Siti.

 

42

Film ini mengangkat tema warna hitam dan putih serta rasio 4:3 agar lebih

mendekatkan kehidupan Siti dengan penontonnya, sekaligus menonjolkan

batasnya pilihan-pilihan hidup Siti. Berikut para pemain dari film Siti:

1) Sekar Sari sebagai Siti

2) Haydar Saliz sebagai Gatot

3) Ibnu Widodo sebagai Bagus

4) Bintang Timur Widodo sebagai Bagas

5) Titi Dibyo sebagai Darmi

6) Agus Lemu Radia sebagai Sarko

Berikut berbagai nominasi dan penghargaan yang di dapatkan oleh film Siti:

Penghargaan Tanggal Kategori Penerima Hasil

Singapore

International Film

Festival 2014

13

Desember

2014

Best Performance

for Silver Screen

Award

Sekar Sari Menang

"Asian New Talent

Award" Shanghai

International Film

Festival 2015

20 Juni

2015

Best Scriptwriter Eddie

Cahyono

Menang

Best

Cinematographer

Ujel

Bausad

Nominasi

17th Taiwan

International Film

Festival 2015

Juli 2015 International New

Talent Competition

Siti Nominasi

23rd Filmfest

Hamburg 2015

Oktober

2015

NDR Young Talent

Award

Siti Nominasi

Apresiasi Film 24 Oktober Film Fiksi Panjang Siti Menang

 

43

Indonesia 2015 2015 Terbaik

Poster Film Terbaik Siti Menang

19th Toronto Reel

Asian International

Film Festival 2015

8

November

2015

Honourable Feature

Mention

Siti Menang

9th Warsaw Five

Flavours Film

Festival 2015

20

November

2015

Special Mention Siti Menang

Festival Film

Indonesia 2015

23

November

2015

Film Terbaik Siti Menang

Penulis Skenario

Asli Terbaik

Eddie

Cahyono

Menang

Penata Musik

Terbaik

Krisna

Purna

Menang

Sutradara Terbaik Eddie

Cahyono

Nominasi

Sinematografi

Terbaik

Ujel

Bausad

Nominasi

B. Sinopsis Film Siti

Siti, perempuan berusia 24 tahun. Dia adalah ibu rumah tangga muda

yang hidup bersama suaminya Bagus, ibu mertuanya Darmi, dan anak semata

wayangnya Bagas. Keluarga Siti adalah keluarga miskin yang tinggal di

pinggir pantai Parangtritis. Bagus berprofesi sebagai seorang nelayan yang

membeli perahu baru dengan cara berutang dan berharap dengan adanya

 

44

perahu baru dapat meningkatkan perekonomian mereka. Namun, nasib sial

menimpa keluarga Siti. Bagas mengalami kecelakaan saat melaut,

melenyapkan perahu serta membuat Bagus lumpuh dan tidak bisa mencari

nafkah dan tidak mampu melunasi utangnya.

Akibat kecelakaan itu, Siti dan Darmi bekerja sebagai

penjual peyek jingking untuk wisatawan di pantai Parangtritis. Di malam hari,

Siti juga bekerja menjadi pemandu karoeke di salah satu tempat karaoke

ilegal.

Kehidupan Siti mulai berubah ketika ia menjadi pemandu karoeke.

Bermula dari tempat karoeke di mana ia mencari nafkah digrebek dan ditutup.

Kemudian suaminya, Bagus yang tidak mau berbicara dan marah karena

profesi Siti yang menjadi pemandu karoeke milik Sarko. Siti terpaksa bekerja

pada malam hari sebagai pemandu karaoke demi melunasi utang milik Bagus.

Siti yang kesal akhirnya ikut bersama dengan Sarko dan beberapa karyawan

karaoke lainnya melakukan unjuk rasa di depan kantor polisi setempat.

Di sanalah Siti bertemu dengan Gatot, salah satu polisi tampan yang

ikut menjaga unjuk rasa. Siti dan Gatot mulai terlihat saling jatuh cinta dan

terlibat dalam hubungan gelap. Walau saat itu Siti merasa apa yang

dilakukannya adalah salah. Teman-teman sesama pemandu karaokenya mulai

membujuk Siti untuk segera meninggalkan Bagus dan menikah dengan Gatot

yang lebih mapan.

Siti menjadi semakin frustrasi ketika sang penagih utang kembali

datang pada suatu pagi dan memberikan tenggat waktu 3 hari bagi Siti untuk

melunasi utang suaminya sebesar lima juta rupiah. Dan apabila tidak dilunasi

 

45

dalam waktu tiga hari, perkara tersebut akan dilaporkan kepada kepolisian.

Sementara itu, Bagas menjadi malas belajar dan beberapa kali melawan

perintah Siti. Secara bersamaan, Sarko mengundang Siti untuk datang lagi ke

tempat karaoke, karena Sarko sedang berusaha menyogok polisi dengan

memberikan layanan karaoke gratis malam itu agar tempat karaokenya dapat

kembali dibuka. Siti dan teman-temannya bertugas menjadi pramuria,

menggoda para polisi, tidak terkecuali Gatot yang hadir malam itu. Di ruang

karaoke, Siti yang frustrasi berat merokok dan minum bir hingga mabuk. Siti

yang mulai tidak terkendali akhirnya mulai mendekati Gatot.

Siti yang terpojok dalam situasi menjadi galau dan melepaskan

frustrasinya dengan mendekam di dalam kamar mandi, ketika tiba-tiba Gatot

masuk ke dalam kamar mandi. Pada saat itu Gatot merasa, Siti bukanlah Siti

yang biasanya. Namun, setelah Gatot kembali menanyakan apakah Siti akan

menerima lamarannya, Siti diam seakan diamnya adalah jawaban

memutuskan untuk tetap bersama dengan Bagus sekalipun ia terbelit utang.

Gatot pun memberikan uang untuk membantu melunasi utangnya.

Siti yang mabuk berat hingga tidak mampu berdiri terpaksa pulang

sambil dipandu kedua temannya pada dini hari. Siti kemudian berjalan

tertatih-tatih menuju kamar suaminya untuk menunjukkan bahwa ia telah

membawa uang untuk melunasi utang, sekaligus menceritakan ada seseorang

yang mengajaknya menikah. Mendengar hal itu, Bagus hanya mengucapkan

"Pergi" dengan nada yang berat. Mendengar hal itu, Siti marah karena siti

berharap suaminya melarangnya dan tetap terus bersamanya seperti yang

diinginkan oleh Siti. Dan film diakhiri dengan adegan Siti pergi keluar rumah

 

46

dan berjalan menuju pantai saat subuh, terus berjalan menuju ombak lautan

dengan keadaan yang frustasi.

C. Profil Sutradara dan Penulis Naskah Film Siti

Eddie Cahyono lahir di Jogjakarta. Dia lulus dari Fakultas Seni Rekaman

Media, Universitas Seni Indonesia. Dia adalah salah satu anggota tim yang

mendirikan Fourcolours Film pada tahun 2001. Dia memulai karirnya dengan

membuat sebuah film pendek berjudul DI ANTARA MASA LALU DAN

MASA SEKARANG (Between Past dan Present) yang mendapatkan banyak

penghargaan, sebagai The Best Short Fiction Film di Festival Film

Independen. Pada tahun 2003, film pendek lainnya BEDJO VAN DERLAAK

meraih Film Pendek Terbaik di Festival Film Internasional Bali. Diikuti

JALAN SEPANJANG KENANGAN (Road Along Memories) yang meraih

penghargaan sebagai Film Terbaik di Festival Film Konfiden 2007.

Pada tahun 2010, ia membuat film panjang pertamanya yang berjudul

LET'S DANCE! Diikuti tahun 2014, dengan film keduanya, SITI. Film ini

memenangkan penghargaan Best Performance di Singapore International

Film Festival dan Best Scriptwriter Asian New Talents award di Shanghai

International Film Festival. SITI juga bermain di Festival Film Internasional

Rotterdam, Festival Film Udine Far East dan Festival Film Internasional

Taipei 2015. IMAH adalah proyek film panjangnya yang ketiga.

D. Profil Produser Film Siti

Ifa Isfansyah, lahir di Yogyakarta, 16 Desember 1979, umur 38 tahun..

Ifa adalah salah satu sineas di Indonesia. Ifa menyelesaikan studinya di

Jurusan Televisi Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tahun 2007. Ifa

 

47

memulai karir di bioskop sebagai produser dan director dari beberapa film

pendek, diantaranya Be Quiet, Exam in Progress! (yang mengikuti ajang

kompetensi Tokyo ShortShort tahun 2006), dan Half Teaspoon (yang

mengikuti Grand Prize Hong Kong Independent Film Video Award &

Competion, IFFR tahun 2008)

Pada tahun 2001, ia memulai perusahaan Fourcolours Films dengan

pembuat film lokal lainnya. Mereka membangun perusahaan tersebut untuk

memproduksi dan mendukung pembuat film Indonesia. Dia juga dipilih oleh

Akademi Film Asia Busan pada tahun 2006 dan mendapat beasiswa di sana

yaitu di Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts, Korea. Ia kembali

ke Indonesia untuk mengarahkan film pertamanya, yaitu Garuda di Dadaku

tahun 2009, film tersebut mengalami kesuksesan komersial yang besar. Film

keduanya, The Dancer tahun 2011 dianugerahi Best Director and Best

Picture di Festival Film Indonesia. Sejak itu, beliau telah menghasilkan

karya-karya lainnya, seperti One Day When Rain Falls (IFFR 2013), SITI

(IFFR 2015), dan Co-Produced MASKED MONKEY (Ismail Fahmi LUBISH,

IFFR 2014). Ifa Isfansyah juga merupakan pendiri Festival Film Asia

JOGJA-NETPAC yang dimulai pada tahun 2006 dan pendiri JOGJA FILM

ACADEMY, yang didirikan pada tahun 2014.

 

48

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Menentukan Tokoh melalui Analisis Struktural Aktansial

Dalam film Siti, diperlukan analisis struktural aktansial untuk mengetahui

kisah sebagaimana diceritakan. Pelaku-pelaku berkembang, bertemu,

berjuang, dan bertarung. Dimana analisis struktur merupakan

pengorganisasian para pelaku dan peran-peran mereka. Berikut analisis

struktur aktansial film Siti berdasarkan model A. J. Greimas:

Gambar 4.1. Skema Analisis Struktural Aktansial Siti

PENGIRIM

1. Suami yang

lumpuh

2. Hutang

kapal yang

belum lunas

OBJEK

1. Bekerja untuk

mencukupi

kebutuhan dan

melunasi hutang

2. Mencari kesenangan

sesaat untuk

melepas beban

PENERIMA

1. Keluarga

Siti

KONTRAK

SUBJEK

Siti

PENOLONG

1. Ajakan untuk

berunjuk rasa

membuka

kembali tempat

karoeke

2. Uang dari ibu

mertua dan Sri

3. Rokok dan

minuman

beralkohol

4. Mas Gatot

PENGHALANG

1. Ajakan Bagas

(anak Siti) untuk

bermain dan

mengajarinya

matematika

2. Kenangan Siti

akan keluarganya

dulu yang bahagia

sebelum suaminya

lumpuh

 

49

Pada skema aktansial diatas menunjukan bahwa ada relasi peran dan fungsi

antara subjek dan objek. Relasi subjek dan objek tersebut dapat dilihat dari

bagaimana peran tokoh dan situasi yang dinarasikan dalam film. Subjek adalah

seseorang atau sesuatu yang diposisikan mempunyai peran penting dan

menggangap bahwa telah menjadi tugasnya untuk mendapatkan objek. Objek

adalah tujuan yang ingin didapatkan subjek karena adanya latar belakang untuk

mendapatkan tujuan tesebut. Pengirim adalah Peran subjek didorong oleh suatu

kondisi atau seseorang untuk mencapai tujuan (objek).

Dalam film ini, subjek diperankan oleh sosok Siti, seorang istri yang

memutuskan untuk bekerja untuk melunasi hutang dan mencukupi kebutuhan

sehari-hari namun tetap menjadi sosok ibu rumah tangga yang telaten. Peran Siti

dalam bekerja ia gunakan juga sebagai media melepaskan beban yang selama ini

ia pikul yaitu beban melunasi hutang, beban menjadi istri dan ibu. Oleh karena itu,

Siti yang bekerja untuk melunasi hutang dan untuk mencukupi kebutuhan sehari-

hari, serta menceri kesenangan saat ia bekerja untuk melepaskan beban

dikategorikan sebagai objek dalam cerita.

Dalam cerita, dorongan untuk subjek (Siti) untuk bekerja melunasi hutang

dan mencukupi kebutuhan, serta mencari kesenangan untuk melepaskan beban

yang dipikul dimunculkan dari dua situasi, yaitu 1) adegan suami Siti yang selalu

terbaring dikasur karena lumpuh akibat kecelakaan saat melaut, dan 2) adegan

Karyo yang menagih hutang kepada Siti agar segera dilunaskan hutangnya dalam

jangka waktu tiga hari. Dua kondisi tersebut kategorikan sebagai pengirim karena

keadaan Siti untuk mendapatkan objek dilatar belakangi dengan keadaan suami

yang lumpuh, sehingga menyebabkan tidak adanya lagi sosok pencari nafkah

 

50

dalam keluarganya. Keadaan suami Siti yang lumpuh akibat kecelakaan saat

melaut, juga menyebabkan tidak bisa melunasi hutang kapal yang telah dijanjikan

suaminya sebelumnya. Dengan demikian, hal tersebutlah yang menyebabkan

pengirim mengerakkan subjek (Siti) untuk menggapai objek.

Adapun Penerima adalah seseorang atau sesuatu yang menerima dampak

dari objek yang didapatkan oleh subjek. Dalam film ini, penerima adalah keluaga

Siti, diidentifikasikan sebagai penerima karena setelah subjek (Siti) mendapatkan

objek yang ia inginkan, keluarga Siti seakan terlepas dari beban hutang yang

dialami karena beban tersebut telah ditanggung oleh sosok Siti. Pernyataan

tersebut dimunculkan pada situasi Darmi (Ibu mertua Siti) yang berterima kasih

karena Siti telah sabar dalam menjalankan rumah tangganya dan telah mengurus

anaknya dengan telaten walau sudah lumpuh.

Penolong adalah seseorang atau sesuatu yang menolong subjek untuk

menggapai objek yang diinginkannya. Pada skema di atas menunjukan adanya

seseorang atau situasi yang membantu atau menolong subjek (Siti) dalam

mencapai objek. Dalam film ini, yang diidentifikasikan sebagai penolong adalah

berupa kondisi dan tokoh, yaitu 1) ajakan berunjuk rasa untuk membuka kembali

tempata karaoke, 2) Uang yang diberikan oleh ibu mertua dan Sri untuk

membantu melunasi hutang, 3) minuman berakohol dan rokok, dan 4) dan

kehadiran sosok Gatot. Hal-hal tersebut dikatakan sebagai penolong karena

keberhasilan subjek untuk bekerja mencari nafkah dan melunasi hutang tidak

lepas dari penolong pertama, kedua, ketiga dan keempat. Ajakan berunjuk rasa

untuk membuka kembali tempat karoeke sebagai wadah dimana Siti dapat bekerja

kembali menjadi pemandu karoeke sehingga dapat membantu melunasi hutang.

 

51

Uang yang diberikan oleh ibu mertua dan Sri juga menjadi salah satu tambahan

bantuan yang Siti dapatkan untuk melunasi hutangnya. Rokok dan minuman keras

menjadi alat perantara Siti dalam melepas tanggungan beban ganda yang

dialaminya yang menghantarkan Siti kepada kesenangan sesaat. Kehadiran sosok

Gatot menjadi tempa bagi Siti untuk berbagi kisah dan mecari kesenangan akan

perhatian dan kasih sayang yang suaminya sudah tidak berikan lagi.

Penghalang adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi subjek untuk

menggapai objek yang diinginkannya. Pada skema di atas adanya penghalang

subjek (Siti) untuk menggapai objek yang diinginkannya. Keinginan subjek (Siti)

atas objek yang dinginkannya mendapat halangan dari berbagai ajakan Bagas

untuk menemaninya ataupun mengajarinya dan juga kenangan kebahagiaan

keluarga Siti saat dahulu. Bagas, anak Siti menjadi penghalang akan keputusan

Siti dikarenakan Bagas yang selalu merasa kurang dengan kehadiran Siti yang

selalu sibuk bekerja. Dimanapun ada kesempatannya, Bagas akan selalu mengajak

Siti untuk menemaninya bermain dan meminta Siti untuk mengajarinya pelajaran

sekolah. Ingatan Siti akan masa lalu rumah tangganya juga menjadi penghalang

dikarenakan Siti yang selalu mengingkan keadaan itu kembali. Dengan terpaksa

atau tidak Siti merawat suaminya yaitu Bagus, berharap agar ia mau berbicara

kembali dan setidaknya hubungan dalam keluarganya menjadi sejuk kembali.

Dalam setiap pencarian yang dilakukan subjek untuk mendapatkan objek,

selalu dimulai dengan adanya kontrak awal antara pengirim-subjek dan berakhir

dengan sanksi atau tes pujian terhadap kinerja subjek atau tokoh utama. Kontrak

menjelaskan bahwa pengirim mau memicu hasrat kepada subjek untuk bertindak

 

52

atau mempercayakan misi kepada subjek. Kontrak dengan tiga tes yang

merupakan cermin logika dasar tindakan manusia.

Pertama, tes kualifikasi subjek yang dilakukan untuk mengidentifikasi subjek

karena dianggap mempunyai kompetensi yang dibutuhkan untuk memenuhi

sesuatu yang diusulkan oleh pengirim. Adapun tes kualifikasi subjeknya adalah

Siti. Dalam film ini, Siti dikualifikasi sebagai subjek karena memiliki kompetensi

untuk meraih objek yang di dorong dari adanya 1) Lumpuh dan diamnya

suaminya Siti saat Siti menanyakan bagaimana solusi atau hal yang harus Siti

lakukan demi keutuhan keluarganya dan untuk melunasi hutang, dan 2) Karyo

yang menagih hutang kapal kepada Siti untuk segera dilunaskan. Dua kondisi ini

dikatakan sebagai tes kualifikasi subjek karena memiliki kompetensi sebuah

dorongan untuk meraih objek.

Kedua, tes pokok menyangkut bagaimana membawa ke penerimaan objek.

Tes ini sering dalam bentuk konfrotansi, konflik, atau perjuangan subjek. Adapun

tes pokoknya tampak pada perjuangan subjek dalam film ini 1) perjuangan Siti

menjadi sosok ibu rumah tangga sekaligus sosok tulang punggung keluarga, dan

2) perjuangan Siti yang ingin lepas dari beban yang ia pikulnya dengan

berselingkuh bersama Gatot saat ia bekerja serta dengan mengkonsumsi minum-

minuman keras. Dua kondisi ini dikatakan sebagai tes pokok karena dilihat oleh

peneliti, subjek (Siti) merupakan tokoh yang diidentifikasi melakukan tes

perjuangan dalam meraih objek yaitu bekerja untuk mencukupi kebutuhan dan

melunasi hutang.

Ketiga, tes pujian atau sanksi mengambil bentuk suatu pengakuan sosial

terhadap subjek atas keberhasilan atau kegagalan sehingga subjek akan dipuji atau

 

53

dihukum, kinerja subjek dievaluasi atau ditafsirkan maknanya. Pada film ini

menunjukan tes sanksi yang terkait dengan reward atau kinerja subjek yang di

evaluasi pada akhir kisah film, yaitu 1) Siti yang diam saat ditanyakan Gatot

untuk mau menikahinya dan meninggalkan suaminya, 2) Bagas yang merelakan

kepergian Siti namun Siti menunjukan rasa kesal dan kekecewannya dengan

memukul dada Bagus yang akhirnya berbicara dan memberikannya jawaban, dan

3) Siti yang kecewa akan semua hal yang dialaminya memilih untuk pergi ke laut

dengan keadaan yang terlihat sangat frustasi. Dengan demikian, keputusan Siti

untuk bersenang-senang dengan berselingkuh bersama Gatot saat bekerja

membuatnya mendapatkan sanksi berupa kerelaan suaminya untuk ia pergi serta

rasa sakit yang ia terima akibat jawaban suaminya akan perilaku Siti. Jadi akhir

kisah film ini menunjukan bahwa Siti akan terus menanggung rasa frustasi dan

bersalah akan tindakan yang ia pilih seperti yang ditunjukan dengann adegan Siti

yang berjalan ke arah pantai dengan rasa sakit dan kekecewaan.Dari ketiga tes itu

tampak bahwa pemilihan Siti sebagai subjek cukup beralasan karena lolos dari

ketiga tesnya.

B. Bentuk Percakapan yang Representatif “Ketidakadilan Gender”

Setelah menganalisis menentukan tokoh utama yang dilakukan melalui

analisis struktur aktansial, tahap selanjutnya adalah menganalisis bentuk

percakapan yang bersifat representatif dan juga praktik non-diskursif yang ada

pada film Siti. Analisis ini bertujuan untuk menemukan percakapan dan

gambar yang representatif. Berikut potongan adegan pada film Siti yang

menyangkut ketidakadilan gender pada perempuan:

 

54

Tabel 4.1 Siti dan Darmi yang sedang Bercengkrama

Scene Visual Percakapan

Scene 1

Gambar 4.2 Siti dan Darmi

yang berbincang

Darmi : Mbok duit ki ra

diobong Ti. (Uang kok kamu

bakar Ti...)

Darmi : Kowe ra nggolek

gawean liyo Ti? Mumpung

saiki Bagas wes iso ditinggal.

(Kamu tidak cari pekerjaan

lain? Mumpung Bagas sudah

bisa ditinggal.)

Siti : Gawean opo mbok?

(Kerja apa bu?)

Darmi : Yo golek-golek. Kae si

Ratih dadi pegawai negeri.

Trus si imah kerjo neng

Taiwan dadi TKW. Gajine

limang yuto. (Ya carilah! Itu

seperti ratih sekarang jadi

pegawai negeri. Terus sih

Imah, dia kerja di Taiwan

menjadi TKW. Katanya

gajinya lima juta.)

Siti : Lha aku ki SMA ora

tamat kok arep dadi pegawai

negeri. Dadi TKI ki yo ra

gampang. Nganggo pelatihan,

trus mesti ngenei duit panjer.

Duit administrasi nganti

puluhan yuto. Kuwi kudu

dibayar seko gaji bulanan.

(Aku ini SMA saja tidak lulus

 

55

kok disuruh jadi pegawai

negeri. Jadi TKI juga sulit.

Ada pelatihannya, ada uang

mukanya juga. Uang

administrasinya juga sampai

puluhan juta. Itu semua harus

dibayar dari gaji bulanan.)

Darmi : Trus kowe arep ngono

kuwi terus metu pendak

mbengi. (Terus apa kamu mau

bekerja seperti ini terus

selamanya? Setiap malam

keluar.)

Siti : Mau bengi tempat

karoekena digrebek polisi.

(Tadi malem, karoekenya

digrebek polisi.)

Darmi : Ya Allah. Lha kok iso?

(Ya Allah, kok bisa?)

Siti : Penertiban. Kabeh

peralatan karoeke disita

polisi. Trus omben-ombenane

yo digowo. Saiki wes ora oleh

ono karoekenan. Karoekene

ditutup. (Ya penertiban.

Semua peralatan karoeke

disita polisi, minumnya juga

dibawa semua. Sekarang tidak

boleh ada karoekean.

Karoekenya ditutup.)

Darmi : Alhamdulillah…

Siti : Ibu ini loh..

 

56

Tabel 4.1 di atas menjelaskan sikap Siti yang berani untuk merokok di

hadapan Darmi tanpa ada rasa senggan di hadapain ibu mertua. Latar yang

berlangsung adalah di ruang keluarga dengan Siti dan Darmi yang sedang

membungkus peyek untuk berjualan. Menanggapi sikap Siti, Darmi

memberikan saran kepada Siti untuk mencari pekerjaan lain agar bisa

mendapatkan uang yang lebih banyak.

“Yo golek-golek. Kae si Ratih dadi pegawai negeri. Trus si imah kerjo

neng Taiwan dadi TKW. Gajine limang yuto. (Ya carilah! Itu seperti ratih

sekarang jadi pegawai negeri. Terus sih Imah, dia kerja di Taiwan

menjadi TKW. Katanya gajinya lima juta).”

Dari kutipan pernyataan Darmi yang menuntut Siti untuk mencari

pekerjaan lain, terlihat bahwa Siti semakin tertekan dengan ditunjukan selain

Siti yang merokok sebagai bentuk penolakan juga dengan menjawab

pernyataan Darmi bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk bisa bekerja

seperti apa yang disarankan oleh Darmi.

Lha aku ki SMA ora tamat kok arep dadi pegawai negeri. Dadi TKI ki yo

ra gampang. Nganggo pelatihan, trus mesti ngenei duit panjer. Duit

administrasi nganti puluhan yuto. Kuwi kudu dibayar seko gaji bulanan.

(Aku ini SMA saja tidak lulus kok disuruh jadi pegawai negeri. Jadi TKI

juga sulit. Ada pelatihannya, ada uang mukanya juga. Uang

administrasinya juga sampai puluhan juta. Itu semua harus dibayar dari

gaji bulanan.)

Pernyataan Siti akan kondisinya yang tidak bisa mencari pekerjaan lain

karena faktor pendidikan dikatakan bahwa Siti mengalami marginalisasi.

Marginalisasi adalah adanya proses peminggiran akibat perbedaan jenis

kelamin. Marginalisasi adalah peminggiran perempuan dari akses ekonomi dan

 

57

pendidikan. Siti yang tidak sekolah, maka akan sulit mendapatkan pekerjaan

yang layak dan akhirnya sulit untuk memperoleh pendapatan yang memadai

untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.

Marginalisasi pada Siti karena adanya asumsi peran gender yang hanya

menganggap pekerjaan perempuan hanya tambahan walau telah bekerja dari

pagi hingga malam. Oleh karenanya, penghasilan yang di dapatkan tidak bisa

dinikmati sendiri namun dibagi bersama keluarga atau untuk kepentingan

keluarga. Selain itu karena dianggap sebagai pekerja tambahan upah yang

didapat juga tidak akan pernah mencukupi sebagai nafkah utama. Marginalisasi

pada Siti memilik empat bentuk yaitu:52

pertama, proses pengucilan

perempuan, perempuan dikucilkan dalam hal pekerjaan atau upah dalam hal

ini Siti tidak bisa memilih pekerjaan yang lebih layak dikarenakan faktor

pendidikan. Kedua, proses pergeseran perempuan ke pinggiran dari pasar

tenaga kerja, ke pekerjaan yang tidak stabil, upahnya rendah dan dinilai kurang

terampil. Hal ini ditunjukan dengan pekerjaan Siti sebagai pemandu karaoke

yang tidak stabil dimana suatu saat tempat karaoke tersebut dapat ditutup

kembali. Ketiga, proses feminitas atau segresi, pemusatan perempuan pada

jenis pekerjaan tertentu dimana tugas pemandu karaoke identik dengan

perempuan, oleh karenanya Siti bekerja sebagai pemandu karaoke. Keempat,

proses ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang merujuk perbedaan

upah dimana upah Siti saat bekerja sebagai pemandu karaoke tidak cukup

untuk melunasi hutang.

52

Khusnul Khotimah, Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan dalam Sektor

Pekerjaan, Jurnal Studi Gender Anak, Vol. 4 No. 1 Jan-Jun 2009, h. 4.

 

58

Tabel 4.2 Karyo yang Menagih Hutang Kepada Siti

Scene Visual Percakapan

Scene 2

Gambar 4.3 Karyo yang menagih

hutang kepada Siti

Karyo : Ndi duitku?! (Mana

uangku?!)

Siti : Kulo gareng gadah pak.

(Saya belum punya pak)

Karyo : Piye to?! (Bagaimana

ini?)

Siti : Saestu pak kulo dareng

gadah. (Sungguh pak, saya

belum punya)

Karyo : Lah trus aku kudu

piye? Mbiyen bojomu sing

mekso-mekso ngutang tuku

kapal! (Terus aku harus

bagaimana? Dulu suamimu

yang memaksa pinjam uang

untuk membeli kapal)

Siti : Kulo nggih ngertos pak.

(Saya juga tahu pak)

Karyo : Iki wes meh setahun!!

Aku wes ngenehi dalam penak.

Nyicil endak wulan. Sak yuto.

Kurang apa aku coba?! (Ini

sudah mau setahun. Kamu

sudah kuberi jalan keluar yang

mudah. Kamu bisa

mengangsur tiap bulan satu

juta. Kurang baik bagaimana

aku ?!)

Siti : Nggih pak... (Ya, pak)

Karyo : Kowe bulan wingi

 

59

njanjeni arep nglunasi.

Limong yuto! (Kamu kemarin

sudah janji akan melunasi

bulan ini. Lima juta!)

Karyo : Yo wes. Tak nei wektu

telung ndino yo ti. Pokoke

kudu dibayar! Nek ora

urusane karo polisi ki! (Ya

sudah! pokoknya harus

dibayar, kalau tidak urusannya

dengan polisi. Ku beri waktu

tiga hari)

Tabel 4.2 di atas menjelaskan potongan adegan yang menggambarkan

keadaan Siti yang tertekan dan tidak bisa berkutik karena Karyo sedang

menagih hutang kepadanya. Siti terlihat menatap Karyo dengan kebingungan

saat Karyo mulai menjelaskan masalah hutang suaminya. Siti juga terlihat

memakai pakaian yang lusuh berbanding terbalik dengan keadaan Karyo yang

menggunakan kemeja dan terlihat lebih rapi dibandingkan Siti.

“Yo wes. Tak nei wektu telung ndino yo ti. Pokoke kudu dibayar! Nek ora

urusane karo polisi ki! (Ya sudah! pokoknya harus dibayar, kalau tidak

urusannya dengan polisi. Ku beri waktu tiga hari)”

Kutipan akan ucapan Karyo kepada Siti agar segera melunasi hutangnya,

menandakan bahwa Siti memiliki beban hutang yang harus segera ia lunasi.

Pada adegan tersebut juga terlihat seakan tidak adanya koordinasi antara suami

istri dalam menjalankan perannya atau dalam pengambilan keputusan untuk

mencari cara melunasi hutang tersebut. Dalam hal ini, sosok Siti mengalami

 

60

subordinasi dimana Siti tidak bisa melakukan posisi tawar dengan Karyo untuk

melunasi hutang tersebut.

Subordinasi yang dialami pada Siti juga terlihat dengan asumsi bahwa

perempuan lemah sehingga laki-laki kuat, dalam hal ini Karyo dengan

ucapannya yang keras mendoktrin Siti yang lemah untuk melunasi hutangnya

dalam jangka waktu tiga hari.

Tabel 4.3 Sri yang Mengajarkan Siti Cara Melepas Beban yang Dialami

Scene Visual Percakapan

Scene 3

Gambar 4.4 Sri yang

mengajarkan Siti untuk

berteriak

Sri : Lalu, suamimu? Sampai

sekarang masih belum mau

bicara Sit?

Siti : Belum, sejak aku kerja di

karoeke. Lama-lama tidak mau

bicara. Marah. Entahlah Sri,

pusing aku!

Siti : Harusnya yang marah itu

aku.

Sri : Ya marah saja! Cuma

marah kok bingung.

Siti : Aku tidak bisa marah.

Sri : Sekarang aku berperan

menjadi suamimu, kamu

sekarang marah ya? Ayo cepat

marah! Ayo marah!

Siti : Mas, kamu kok tidak mau

bicara? Aku lelah melihatmu

seperti itu! Aku kamu anggapp

apa? Harusnya aku yang malas

bicara denganmu! Asu!

Bagaimana marahku?

 

61

Sri : Kayak gitu kok marah?

Sini lihat aku. Asuuuuuuuuu!

Begitu, ayo dicoba!

Siti : Asuuu.

Sri : Yang keras!

Siti : Asssuu! Assuuu! Assuu!

Pada tabel 4.3 di atas, terlihat Siti dan Sri yang berada dipinggir pantai

dengan raut muka Siti yang terlihat tertekan setelah Siti bercerita kepada Sri

bahwa Siti merasa pusing akan sikap suaminya kepadanya.

“Belum, sejak aku kerja di karoeke. Lama-lama tidak mau bicara. Marah.

Entahlah Sri, pusing aku!”

Ucapan Siti tersebut menandakan bahwa Siti akhirnya bisa bercerita

kepada Sri bahwa selama ini suaminya masih tidak mau berbicara kepadanya.

Sri kesal dengan apa yang disampaikan oleh Siti sehingga ia memerintahkan

Siti untuk meluapkan rasa ketertekanannya.

“Mas, kamu kok tidak mau bicara? Aku lelah melihatmu seperti itu! Aku

kamu anggapp apa? Harusnya aku yang malas bicara denganmu! Asu!”

Tindakan Siti untuk berteriak dilakukan oleh Siti setelah ia mencurahkan

isi hatinya kepada Sri bahwa Siti selama ini merasa tertekan akan tindakan

suaminya. Sri menyarankan Siti dengan berteriak agar Siti bisa merasa bisa

terlepas dari beban. Siti yang terlihat stress dan terlihat memiliki tekanan yang

berat disarankan untuk berteriak karena Siti perlu mengeluarkan apa yang

menjadi keluh kesahnya selama ini. Dari adegan tersebut bahwa sosok Siti

ialah sosok yang tidak bisa dengan mudah mengekspresikan perasaannya atau

 

62

kemarahan akan rasa tertekannya. Dalam mengekspresikan perasaan yang

dialami oleh Siti diperlukan Stimulus atau tindakan pendorong yang dilakukan

Sri. Hal ini menunjukan bahwa Siti seakan mengalami muted group theory.

Sosok Siti yang tidak bisa marah ini berkaitan dengan muted group

theory. Muted group theory adalah wanita, dan anggota dari kelompok

subordinat lain, tidaklah bebas atau bisa mengatakan apa yang ingin mereka

katakan, kapan, dan dimana, karena kata-kata dan norma-norma yang mereka

gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan, yaitu pria. (Ratna 2014,

119) dalam lingkungan Siti, perempuan didoktrin sebagai wantita yang penurut

dengan suaminya. Oleh karenanya tidak berhak untuk membantah laki-laki.

Dalam hal ini, sosok laki-laki (Bagus) seakan mengkontrol Siti untuk tetap

diam. Dan karenanya di hadapan Bagus, Siti tidak bisa mencurahkan isi

hatinya, Siti lebih memilih menutupi rasa kekecewannya tersebut.

Tabel 4.4 Siti yang Bercengkrama dengan Bagas di Tepi Pantai

Scene Visual Percakapan

Scene 4

Gambar 4.5 Bagas yang

mengajak Siti untuk bermain

Bagas : Ayo sido ra bu? (Jadi

tidak bu?)

Siti : Sido opa? (Jadi apa?)

Bagas : Jare arep dolanan

layangan karo aku. (Katanya

mau main layang-layang

denganku)

Siti : Mbok dolan dewe karo

kancamu kono. (Main sana

dengan temanmu)

Bagas : Moh... (Tidak mau!)

Siti : Lah ibu kudu ngolek duit.

 

63

(Ibu kan harus cari uang)

Bagas : Golek duit terus! Rasah

nggolek duit! Pokoke kancani

aku dolanan. (Mencari uang

terus! Tidak usah cari uang

terus! Pokoknya temani aku

bermain).

Siti : Trus.. Munder meneh. (

Mundur Gas!)

Siti : Nyoh dicekel. (Ini

dipegang!)

Siti : Ipiye sekolahmu mau Gas?

(Sekolahmu tadi bagaimana

Gas?)

Bagas : Bijiku apik loh bu...

entuk limo! (Aku tadi dapat nilai

bagus. Dapat nilai 5.)

Siti : Biji limo kok apik!

Pelajaran opo? (Nilai 5 kok

bagus, pelajaran apa?)

Bagas : Matematika

Siti : Dadi pilot ki matematika

kudu apik. (Kalau mau jadi pilot

nilai matematikanya harus

bagus!)

Bagas : Aku mengko diajari yo

bu..? (Nanti aku diajari ya bu)

Siti : Ya...

Bagas : Bu... Setanne mau

wegah metu. (Bu, tadi hantunya

tidak mau keluar loh)

Siti : Kok iso? (Kok bisa?)

 

64

Bagas : Setanne wedi aku

nganggo seragam anyar.

Arrrggh! (Hantunya takut

karena aku pakai seragam baru)

Tabel 4.4 di atas menjelaskan scene Bagas yang merengek meminta Siti

untuk menemaninya bermain saat Siti sedanga berjualan peyek Jingking di

pinggir pantai. Bagas merasa waktu Siti selalu habis dengan bekerja dan tidak

ada waktu bermain lagi dengannya.

“Golek duit terus! Rasah nggolek duit! Pokoke kancani aku dolanan.

(Mencari uang terus! Tidak usah cari uang terus! Pokoknya temani aku

bermain).”

Sikap Bagas dengan ditunjukan oleh rengekannya tersebut menandakan

bahwa Bagas bersikeras menetang Siti untuk bekerja. Hal ini menandakan

bahwa perempuan yang bekerja di sektor publik tidak bisa mninggalkan begitu

saja peran domestiknya atau dalam hal ini peran Siti menemani Bagas bermain.

Adegan tersebut seakan mempersentasikan bahwa perempuan memiliki

beban kerja ganda dimana perempuan yang mengalami hal tersebut dapat

dengan baik memanagenya namun tidak bisa meninggalkan peran domestiknya

karena sudah menjadi realitas sosial bahwa perempuan identik dengan peran

gender yang apik dalam mengurus rumah tangga.

 

65

Tabel 4.5 Siti yang Menemani Anaknya Belajar

Scene Visual Percakapan

Scene 6

Gambar 4.6 Siti yang sedang

mengajari belajar Bagas yang

kemudian diganggu dengan

kedatangan Sri

Sri : Ayo..

Siti : Sik tak ngajari anakku

dilit. (Sebentar, aku mengajari

anakku dulu sebentar)

Sri : Welaah.. wes dienteni iki.

(Ayo sudah ditunggu teman-

teman yang lain. Ayo cepat!)

Siti : Gas... aku tak metu sik

ya... (Gas, ibu keluar dulu

sebentar ya)

Bagas : (Terlihat kesal dengan

membanting pensilnya

kemudian berjalan mendekati

sepeda)

Siti : Areng neng ndi Gas?

(Kamu mau kemana?)

Bagas : Arep nonton sorot

neng lapangan! (Mau nonton

layar tancap di lapangan)

Siti : Mbok sinau! Jare arep

dadi pilot! (Katanya mau jadi

pilot)

Bagas : Moh dadi pilot iso

tibo... (Jadi pilot bisa jatuh)

Tabel 4.5 diatas menjelaskan adegan dan wacana percakapan di atas

menjelaskan Siti yang sedang mengajari anaknya, kemudian teman Siti yaitu

Sri menganggu dengan mengajak Siti untuk segera pergi bekerja. Siti

memberitahu temannya untuk menunggu. Namun, Sri tetap memaksa dan pada

 

66

akhirnya Siti menyetujui ajakan temannya. Siti terlihat merasa bersalah karena

meninggalkan Bagas. Terlihat juga Siti yang hanya diam saja ketika Bagas

lebih memilih bermain dibandingkan belajar.

Kekecawaan Bagas sering sekali disampaikan dengan tegas, pada adegan

ini disampaikan dengan Bagas yang membanting pensilnya dan berjalan

menuju sepeda. Kekecewaan Bagas akan Siti juga disampaikan dengan

pernyataan berikut:

“Moh dadi pilot iso tibo... (Jadi pilot bisa jatuh)”

Siti tahu bahwa tugasnya mendidik dan mengurus anaknya tidak bisa ia

lepas begitu saja. Dikala ia bekerja, ia dihadapkan dengan anaknya yang

mengajaknya untuk ditemani. Dan dikala ia menemani anaknya dan melakukan

kerjaan rumah, ia dihadapkan dengan tanggung jawabnya mencari nafkah yang

menantinya. Siti merasa tanggung jawabnya tersebut tidak bisa digantikan

orang lain. Dengan berbagai peran ganda ia jalani, tanpa disadari beban ganda

telah dialami Siti. Ia tidak bisa memilih satu peran saja yang ia ingin jalani di

waktu tertentu.

Tabel 4.6 Siti dan Temannya sebagai Pemandu Karaoke

Scene Visual Percakapan

Scene 7

Gambar 4.7 Siti dan temannya

yang terlihat gemulai menari

sebagai pemandu karaoke

Siti : Ikut ituloh, apa mau

dinyanyikan?

Sarko : Sri ayuk temenin

bapak di dapur.

Pelanggan : jangan lupa

cemilannya pak.

Sarko: Mas Wahyo ini cerdas,

iya cemilan.

 

67

Teman Siti : Nah sekarang

mau nyanyi lagu apa...

Siti : Yaudah sama Wati

duluan yah nyanyinya...

Tabel 4.6 diatas menggambarkan Siti dan temannya Wati yang sedang

menghibur para pelanggan dengan menyanyi sambil menari. Terlihat dari

ekspresi Siti dan Wati yang terlihat menikmatinya. Dalam film ini seperti

digambarkan bahwa sosok perempuan di sektor publik ialah sebagai penghibur.

Hal ini didukung dengan Siti yang menikmati musik dan menari dengan

gerakan gemulai. Dan juga digambarkan bahwa perempuan sebagai objek

seksualitas yaitu sebagai pendamping laki-laki dalam mencari hiburan.

Tabel 4.7 Perbincangan Siti dengan Sarko tentang Pinjaman Uang

Scene Visual Percakapan

Scene 8

Gambar 4.8 Sarko yang meracik

minuman di hadapin Siti dan

menawari Siti minuman serta

Siti yang merokok memohon

untuk dipinjami uang

Sarko : Kowe ki kenopo je..?

(Kamu ini sebenarnya kenapa,

Ti?)

Siti : Aku nyilih duit ono ra

pak? (Aku boleh minjem

uang, pak?)

Sarko : Walah.. kowe kan

ngerti industri karokene

awakke dewe macet.. ngene,

ndelok mengko ya Ti.. coba

kae diseneng-senengke ben

duite metu okeh .... yoh? (Siti,

kamu tahu sendiri bisnis

karaoke kita ini sedang macet)

 

68

Sarko : Tak ndono sik.. ora

suwi-suwi neng kene... (Tapi

kamu tidak usah khawatir,

yang penting tamu kita tadi

kamu buat senang. Nanti bisa

keluar uang banyak, iya kan?)

Tabel 4.7 di atas menjelaskan menjelaskan keadaan Siti yang amat frustasi

dengan terlihat lagi ia sedang merokok dan raut wajahnya yang terlihat gelisah,

serta bicaranya yang mulai gagap. Ia berbicara kepada Sarko untuk

meminjaminya uang. Namun, Sarko menjawabnya dengan pernyataan berikut:

“Tak ndono sik.. ora suwi-suwi neng kene... (Tapi kamu tidak usah

khawatir, yang penting tamu kita tadi kamu buat senang. Nanti bisa keluar

uang banyak, iya kan?)”

Mendengar ucapan Sarko akan membuat pelanggan senang dan keluar

uang banyak, Siti menaikan alisnya dan memasang muka yang terlihat

mengerut. Ekspresi tersebut seakan memperlihatkan bahwa Siti tidak menyukai

apa yang diperintahkan oleh Sarko, walau Sarko merupakan pemilik tempat

karoeke dimana Siti bekerja.

Pada adegan tersebut juga menjelaskan adanya marginalisasi terhadap

perempuan dimana adanya perlakuan tidak adil oleh pemilik karaoke kepada

pekerjanya yaitu Siti. Selain mengalami beban kerja ganda, perempuan

menjadi pekerja kelas dua karena anggapan-anggapan yang diberikan pada

pekerja perempuan membuat posisi perempuan menjadi terbelakang dan akan

terus menjadi pihak yang bergantungan dengan laki-laki.

 

69

Perempuan yang termarginalisasi dalam hal ini terpinggirkan, dimana hak-

hak perempuan yang harusnya didapatkan tetapi tidak didapatkan demi

mengambil keuntungan. Dalam hal ini, perlakuan Karyo kepada Siti yang

semena-mena karena menganggap Siti hanyalah pekerja kelas dua dimana ia

bebas diperintahkan apa saja dan juga Karyo merasa bahwa ia pemilik tempat

karaoke dimana Siti bekerja sehingga ia bebas memperintahkan Siti untuk

melakukan yang ia inginkan demi memperoleh keuntungan yang lebih banyak.

Tabel 4.8 Gatot dan Siti yang Berbicara Mengenai Masa Depan Mereka

Scene Visual Percakapan

Scene 9

Gambar 4.9 Gatot yang memohon

dan menekankan Siti

meninggalkan suaminya dan

menikahinya

Gatot : Aku... aku pengen

nikah karo kowe Ti. (Aku

ingin menikah denganmu)

Gatot : Wes pirang wulan

awakke dewe koyo ngene? Aku

wes ora betah. Kowe kudu

ninggalkan bojomu. (Sudah

berapa bulan kita begini Ti.

Aku tidak betah. Kamu harus

meninggalkan suamimu)

Gatot : Kowe dewe sing

omong wes ora betah karo

bojomu dudu aku! (Kamu

sendiri yang bilang kalau

sudah tidak betah dengan

suamimu, bukan aku!)

Gatot : Siti....!

Gatot : Ti.. mbok ora meneng

wae. (Jangan diam saja)

 

70

Tabel 4.8 di atas menjelaskan sosok Siti yang hanya bisa diam saja saat

ditanya Gatot untuk meninggalkan suaminya dan menikahinya. Gatot merasa

lelah dengan hubungan mereka yang begini saja tidak menentu. Gatot ingin

segera menikahi Siti, namun apalah daya Siti masih mengharapkan

kebahagiaan rumah tangganya yang dahulu kembali.

“Wes pirang wulan awakke dewe koyo ngene? Aku wes ora betah. Kowe

kudu ninggalkan bojomu. (Sudah berapa bulan kita begini Ti. Aku tidak

betah. Kamu harus meninggalkan suamimu)”

Siti yang terpengaruh alkohol hanya bisa diam ketika diberikan pertanyaan

bertubi-tubi oleh Gatot. Ia tidak bisa memberikan jawaban yang Gatot

inginkan. Siti juga merasa masih berat untuk meninggalkan suaminya.

Walaupun suaminya memperlakukannya dengan tidak wajar. Pertanyaan yang

bertubi-tubi dari Gatot semakin membuat Siti diam tidak berkutik dan

mengkerutkan keningnya seperti banyak hal yang dipikirkan walau ia tidak

mau memikirkannya.

Dalam adegan ini kembali dijelaskan keadaan Siti yang hanya bisa diam

bila di depan laki-laki. Selain diamnya Siti karena pengaruh alkohol, namun

diamnya Siti juga menandakan bahwa Siti tidak memiliki jawaban pasti. Hal

ini menggambarkan adanya stigma membungkan yang ditampilkan oleh sosok

Siti apabila berhadapan dengan laki-laki. Stigma membungkam itu sendiri

seperti sudah dijelaskan yaitu muted group theory. Sosok Siti seakan

dibungkam dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Gatot.

 

71

C. Materealisasi Objek

Pada materealisasi objek, penulis tidak bisa langsung membongkar atau

memberi makna pada suasana, tempat, benda, perasaan, yang ditampilkan

dalam film. Terdapat cara yang tidak langsung untuk membangun kembali

pengetahuan menjadi bentuk materialisasi.53

Untuk menganalisis materealisasi

objek, peneliti menjelaskan temuan berdasarkan hasil yang diperoleh melalui

analisis teks dan gambar pada potongan film.

Pada film Siti, latar belakang yang ditampilkan adalah rumah-rumah di

pinggir pantai Parangtritis, dan lingkungan, serta kehidupan yang ada di

sekitar pantai Parangtritis. Materalisasi dalam film ini berkaitan dengan

bagaimana suasana masyarakat golongan bawah Pantai Parangtritis tinggal,

terutama sosok Siti yang miskin mengalami beban ganda. Siti menjadi sosok

tulang punggung keluarga, sosok pelunas hutang, namun tetap menjadi sosok

istri serta ibu. Oleh sebab itu, ditampilkan suasana rumah yang kumuh, pantai

parangtritis dimana tempat Siti berjualan, tempat karoeke dimana Siti bekerja

di malam hari yang identik dengan hiburan golongan masyarakat menengah ke

bawah, serta pakaian-pakaian yang kumal.

Materealisasi pada film ini menjelaskan kehidupan nelayan pantai

Parangtritis terutama para perempuan yang diwakilkan oleh sosok Siti.

Kehidupan nelayan di Indonesia identik dengan kemiskinan. Oleh disebabnya

ditampilkan rumah-rumah kumuh khas pinggir pantai serta kebutuhan, gaya

hidup masyarakat pesisir. Dan materealisasi tersebut dapat dilihat sebagai

berikut:

53

Haryatmoko, Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis Landasan

Teori, Metodologi, dan Penerapan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2016), h. 135

 

72

Gambar 4.10 Tampak dapur dan halaman depan rumah Siti

Tampak ruangan dapur rumah Siti dengan banyak tungku serta panci

hitam dan juga lantai yang beralaskan tanah. Kemudian, tampak depan rumah

Siti yang terlihat hanya terbuat beberapa bilah bambu dan anyaman bambu.

Penggambaran tersebut menandakan bahwa Siti berasal dari golongan bawah

dan betapa susahnya kehidupan Siti. Walaupun terlihat banyak kekurangan

dari rumah tersebut, bagi Siti dan keluarganya, rumahnya tetap rumah dengan

kenyamanan yang diberikan seperti rumah lainnya.

Tanda-tanda kultural yang ditampilkan menjadikan identifikasi bahwa

masyarakat pesisir Jawa merupakan masyarakat golongan bawah

dibandingkan dengan masyarakat agraris. Hal ini dikarenakan pendapatan

masyarakat pesisir yang tidak menentu, karena pekerjaan mereka berdasarkan

cuaca. Adapun masyarakat agraris yang pendapatannya berasal dari cocok

tanam yang sudah memiliki siklusnya sendiri.

Sebagian besar masyarakat nelayan yang bertempat tinggal di desa-desa

pantai umumnya memiliki taraf kesejahteraan hidup sangat rendah dan tidak

menentu. Kesulitan mengatasi kebutuhan hidup sehari-hari dan kemiskinan di

desa-desa pantai telah menjadikan penduduk di wilayah ini harus

menanggung beban kehidupan yag berat, berkutat dengan perangkap hutang

 

73

yang sepertinya tak ada habis-habisnya, dan tidak dapat pula dipastikan kapan

berakhirnya (Suyanto, 2013:48)

Tanda Siti yang sedang dilanda tertekan akan beban kerja atau beban

ganda yang ia jalani, terlihat dari sosok Siti yang sering meluapkan

kekesalannya pada aktifitas yang dilakukannya. Manisfestasinya bisa dilihat

dari Siti yang menginjak-injak pakaian dengan cepat saat mencuci, Siti yang

merokok, Siti yang berteriak dengan kasar untuk suaminya di pantai, mabuk-

mabukan, dan juga selingkuh. ketika Siti menginjak-injak dengan keras

cucian baju dan juga saat ia merokok ataupun mabuk-mabukan. Siti selalu

menyalurkan rasa ketertekan akan beban ganda yang ia alaminya melalui hal

tersebut. Maka, berikut potongan-potongan foto yang sangat representatif

menunjukan manisfestasi yang dilukiskan sebagai tanda Siti sedang

mengalami beban ganda:

Gambar 4.11 Siti yang menginjak-injak dengan kencang cucian yang

sedang ia kerjakan untuk meluapkan rasa kekecewaannya akan suaminya yang

tidak membalas pembicaraannya

 

74

Gambar 4.12 Siti yang selalu merokok dikala ia memiliki banyak pikiran,

atau merasa tertekan dengan beban ganda yang ia alami serta perilaku

suaminya yang mengacuhkan dirinya

Gambar 4.13 Siti yang meluapkan segala emosinya selama ini dengan

berkata kasar, yang selama ini emosinya ia pendam di depan suaminya

Gambar 4.14 Siti yang mencoba minuman alkohol untuk mabuk agar bisa

melupakan sesaat utang yang mesti ia lunasi

 

75

Gambar 4.15 Siti yang ingin mencari kesenangan agar lupa akan

masalahnya dengan berselingkuh dengan Gatot

Tanda lain dari Siti yang mengalami beban kerja ganda, terlihat saat Siti

harus tetap menemani Bagas untuk bermain walau sedang perjualan peyek

Jingking. Dan saat Siti yang menemani Bagas belajar harus segera bersiap

untuk pergi bekerja menjadi pemandu karoeke. Beban tambahan yang tiba-tiba

dialami Siti sehingga menambah beban ganda yang dipikulnya, terlihat saat

Karyo menagih hutang kepada Siti.

Situasi Siti saat teringat masa lalunya yang bahagia, Siti yang berdemo

bersama pegawai karoeke lainnya untuk menuntut kembali di bukanya tempat

karoeke, suasana meriah saat karoeke adalah bentuk materalisasi situasi

dimana Siti mengalami beban ganda.

D. Interpretasi

Konstruksi akan kaum perempuan ini sudah cukup banyak

diperbincangkan di media massa Indonesia, salah satunya melalui dunia

perfilman. Film Siti adalah salah satu dari banyaknya film yang mengangkat

tema perempuan. Film ini seakan menjadi konstruksi kepada yang melihatnya

bahwa perempuan digambarkan dengan perannya yang selalu berada di sektor

domestik yang berhubungan dengan adanya peran gender namun perempuan

tetap berperan aktif dalam wilayah publik. Media film dalam hal ini Film Siti

 

76

memiliki peran sebagai alat untuk kelompok tertentu dimana diduga dalam

kelompok bersifat patriarkis untuk menkonstruksi adanya peran gender serta

ketidakadilan yang dialami

Dalam budaya masyarakat patriarki perempuan dianggap makhluk kedua,

dimana perempuan tetap didominasi dan disubordinasi oleh produk budaya

masyarakat. Kuasa laki-laki memperingatkan akan ketidakbermaknaan

perempuan. Perempuan menjadi bagian dari realitas penindasan dan

dehumanisasi pada masyarakat patriarkhal. Namun seiiring dengan

perkembangan zaman realitas akan perempuan yang bekerja adalah menjadi

keputusannya. Perempuan yang bekerja juga harus bisa membagi waktunya

dengan baik untuk mengurus rumah tangganya dalam hal ini pekerjaannya di

sektor domestik. Realitas itulah yang saat ini biasa kita jumpai.

Berdasarkan analisis naratif dan analisis semiotika yang meneguhkan

data naratif, menunjukan bahwa film ini membentuk suatu alur cerita bahwa

perempuan digambarkan secara timpang, yaitu mengalami beban kerja,

subordinasi, marginalisasi. Selain itu perempuan digambarkan sebagai sosok

penghibur dan sesksualitas karena selalu menemani laki-laki dalam mencari

kebahagiaan mereka. Namun, terlepas dari semua itu perempuan dalam film

ini juga digambarkan sangat luwes dalam memikul beban kerjanya, Siti dapat

menempatkan posisi dirinya dengan baik apabia berada di sektor domestik

atau publik, walau terkadang ia harus memilih memprioritaskan salah

satunya.

Subordinasi, marginalisasi, beban kerja ganda sendiri merupakan hasil

dari ketimpangan gender. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan

 

77

(diskriminasi) perlakuan dalam akses, partisipasi, kontrol dan tidak adanya

kesetaraan dan keadilan di dalam pembagian peran, tanggung jawab, hak dan

kewajiban serta fungsi sebagai anggota keluarga maupun masyarakat yang

akhirnya tidak menguntungkan kedua belah pihak.

Bias gender dalam film Siti dipengaruhi dengan adanya ideologi patriarki

akan kontruksi sosial bahwa laki-laki sebagai pusat dan perempuan hanya

bayang-bayang. Laki-laki menempati dominasi seluruh ruang-ruang publik.

Dari mulai pengambil keputusan dan kebijakan aktor utama, tempat di depan,

kesempatan yang luas, dan ketersedian waktu bagi laki-laki. Jika seluruh

masalah menempatkan laki-laki sebagai aktor dan pemilik akses yang paling

dominan, maka perempuan secara tidak sadar telah mengalami

pembungkaman. Oleh sebabnya, sosok Siti seakan diam dengan segala beban

ganda yang telah ia alami. Siti tidak bisa marah kepada suaminya atas beban

ganda yang dia jalankan.

Budaya patriarki adalah budaya dominasi atas laki-laki terhadap

perempuan. Dalam konteks masyarakat patriarki, perempuan adalah warga

kelas dua yang berada di wilayah domestik (reproduktif) dan laki-laki ada di

wilayah publik (produktif). Kondisi tersebut seakan menjadi kodrat dalam

realitas pola relasi antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, ketika

seorang perempuan bekerja atau melakukan kegiatan di ranah publik untuk

mencari uang, maka dia masih wajib melakukan pekerjaan rumah tangga

(tanggungjawab rumah tangga masih menjadi beban perempuan).

Perempuan memiliki peran sebagai ibu rumah tangga yang merupakan

peran mutlak yang tidak bisa dihilangkan begitu saja dalam kultur masyarakat

 

78

kita yang patriarkis. Bahkan secara tidak langsung setiap perempuan pasti

akan menjadi ibu rumah tangga dan memiliki jiwa keibuan. Oleh karena itu,

ketika perempuan bekerja, maka yang terjadi adalah mereka tetap melakukan

perannya sebagai ibu rumah tangga.

Banyak penelitian yang meneguhkan bahwa budaya patriarki menjadi

salah satu latar belakang adanya ketidakadilan gender yang dialami

perempuan, diantaranya penelitian yang berjudul Representasi Patriarki

dalam film Cinta Suci Zahrana (Agus Taufik, 2017) bahwa pada film

tersebut laki-laki mempunyai kuasa untuk menentukan masa depan anaknya,

otoritas laki-laki mempunyai kekuatan untuk menyudutkan posisi anak, ibu

sebagai pendukung patriarki juga melakukan hal yang sama, adanya

kekerasan psikis yang dilakukan oleh ayah kepada anaknya, dan karena

sistem ekonomi yang kapitalis dan merasa bercukupun menjadi seorang

laki-laki berhak dan berkuasa untuk merendahkan derajat perempuan,

akrena sistem kapitalis juga laki-laki berhak melakukan penyalahgunaan

wewenang dalam dunia kerja.

Lain halnya dengan penelitian yang berjudul Representasi Patriarki

dalam Film Batas (Fanny Gabriella Adipoetra, 2016) dalam hasil

penelitiannya menemukan bahwa perempuan yang berada pada budaya

patriarki tidak bisa keluar dari ranah yang sudah dibangun dalam

masyarakat yaitu ranah domestik. Bahkan ketika perempuan beraktivitas,

perempuan tetap harus bertanggung jawab dengan urusan rumah tangganya

seperti mengurus anak. Perempuan juga tidak memiliki hak yang sama

dengan laki-laki dalam mendapatkan pendidikan. Perempuan juga

 

79

digambarkan dengan sosok lemah dan identik dengan pelecehan seksual.

Perempuan juga digambarkan dengan selalu bergantung kepada laki-laki

pada setiap aspek kehidupan kecuali dalam ranah domestik.

Sosok Siti yang mengalami bias gender, seakan tidak bisa mencurahkan

segala emosinya. Siti seakan dibungkam oleh suaminya dan Gatot sehingga

ia tidak bisa meluapkan emosinya. Perempuan yang seakan diam dalam

tindakan laki-laki dijelaskan pada muted group theory. Asumsi pertama dari

muted theory group sendiri adalah perempuan rnempersepsikan dunia secara

berbeda dengan laki-laki karena pengalaman perempuan dan laki-laki yang

berbeda serta adanya kegiatan yang berakar pada pembagian pekerjaan.

Asumsi ini berdasarkan pada perbedaan persepsi gender. Asumsi ini dimulai

dari premis adalah bahwa dunia adalah tempat yang berbeda antara laki-laki

dan perempuan. Selain itu asumsi ini juga memberikan penjelasan bagi

pembagian pekerjaan yang rnengalokasikan pekerjaan berdasarkan jenis

kelamin, misalnya perempuan bertanggung jawab terhadap pekerjaan di

dalam rumah dan laki-laki bertanggung jawab pada pekerjaan di luar rumah.

Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan juga menyebabkan lensa

polarisasi gender yang menjadikan orang melihat perempuan dan laki-laki

sebagai dua orang yang berbeda satu sama lain. Asumsi kedua, karena

dominasi politik laki-laki, sistem persepsi laki-laki dominan, menghambat

ekspresi bebas dari model alternatif perempuan mengenai dunia. Asumsi ini

lebih tegas lagi kelompok dominan adalah laki-laki.

Pada film Siti perempuan dikonstruksi sebagai perempuan akan

mengalami peran gender berdasarkan situasi budaya yang ada di sekitarnya.

 

80

Selain itu, nampak pada film Siti bahwa perempuan bekerja juga mengalami

marginalisasi dalam artian terpinggirkan akibat adanya anggapan bahwa

perempuan hanyalah pekerja kelas dua karena adanya perbedaan gender,

sehingga yang harusnya hak-hak pekerja perempuan dapat diperoleh diambil

keuntungannya oleh mereka yang memperkerjakan perempuan. Dengan

adanya marginalisasi bahwa perempuan lebaih baik bekerja di domestik,

maka apabila perempuan bekerja di wilayah publik, selanjutnya ia akan

mengalami ketidakadilan gender lainnya yaitu beban ganda. Selain itu, dalam

film ini memperlihatkan bahwa perempuan mengalami subordinasi dimana

adanya asumsi bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki dan laki-laki

adalah sosok kuat, sehingga laki-laki seakan mengontrol dalam pengambilan

keputusan yang dilakukan perempuan.

Adanya bias gender pada perempuan memunculkan kehadiran gerakan

feminisme. Feminisme mengusung adanya keadilan gender. Menurut Ratna

(2007:201), kata feminis yang berasal dari kata femme yang berarti

perempuan. Gerakan yang memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki

dan perempuan disebut feminis. Masalah-masalah yang diusung oleh gerakan

ini sangat beragam, mulai dari patriarki hingga wilayah politik.

Berdasarkan penjelasan di atas, feminisme liberal berpendapat bahwa

ketimpangan gender yang terjadi di keluarga, dilihat dari pembagian kerja

yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki. Pada umumnya,

perempuan memiliki peran dan tanggungjawab yang lebih besar di ranah

domestik. Pekerjaan pengasuhan anak dan kerja rumah tangga menghabiskan

 

81

waktu yang jauh lebih lama dibandingkan kerja publik.54

Berdasarkan

feminisme liberal pula, untuk mengatasi ketimpangan gender ini dibutuhkan

pendekatan yang bersifat interpersonal, perempuan atau seorang istri ada

baiknya bernegoisasi dengan suami, agar suami juga mau terlibat dalam peran

domestik.55

Feminisme sosialis sendiri berpendapat mengenai bias gender yang

dialami perempuan dikarenakan pekerjaan domestik perempuan yang dengan

sendirinya membatasi pekerjaan publik perempuan. Pekerjaan domestik

perempuan juga membatasi skill dan pendidikannya bahkan tugas perempuan

di sektor domestik lebih banyak menyita waktu yang seharusnya mereka bisa

manfaatkan untuk melakukan aktifitas ekonomi. Dan melalui budaya

patriarki, peran perempuan di ranah domestik seakan terus dilanggengkan

dengan menekankan pada isu feminitas bahwa perempuan lebih penyayang,

lebih sensitif, lebih baik dalam mengasuh anak dan sebagainya, sehingga

aturan-aturan simbolis ini dengan sendirinya menempatkan perempuan pada

sektor non-publik. Keterlibatan perempuan dalam sektor non-publik juga

tidak terlepas dari permasalahan. Pandangan seksis dan stereotype terhadap

perempuan menyebakan “kerja perempuan” dinilai lebih rendan dibandingkan

kerja laki-laki.56

Oleh sebabnya dalam ranah publik, laki-laki seakan bebas

menekan perempuan.

54

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agam-agama,

(Banten: UIN Jakarta Press, 2013), h. 59. 55

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agam-agama, h. 59. 56

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agam-agama, h. 74.

 

82

Menurut persepektif feminis secara umum, seharusnya ada kerjasama atau

komunikasi antar laki-laki dan perempuan dalam menentukan atau

mengambil keputusan antara peran domestik atau publik sehingga tidak ada

salah satu pihak yang diberatkan atau lebih mereasa tertekan. Hal ini sesuai

dengan gerakan feminisme yang akan pembebasan perempuan atas segala isu

ketimpangan yang mereka alami.

Dalam islam perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama,

tidak ada perbedaan berdasarkan jenis kelamin mereka dan tidak ada bias

gender. Islam mendudukan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama

dan kemuliaan yang sama. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan Surah Al-

Hujarat ayat 13 yang berbunyi sebagai berikut:

ها ٱلناس إىا خلقنلم ن يأ كرنلم ي

إن أ ىث وجعلنلم شعوبا وقبائل لعارفوا

و ذكر وأ

عليم خبير لم إن ٱلل تقى أ عيد ٱلل

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang

paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara

kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dan selanjutnya perbuatan yang dilakukan oleh perempuan setara dengan apa

yang dilakukan oleh laki-laki, amal-amal masing dihargai allah berdasarkan Surah

Al-Imran ayat 195:

 

83

هل نيلم نو ذكر ضيع عهل عن ل أ

بعضلم نو بعض فٱستجاب لهم ربهم أ ىث

و أ

أ

كفرن عيهم ل وقتلوا تلوا ف سبيل وق وذوا

نو ديرهم وأ خرجوا

وأ يو هاجروا اتهم س فٱل

ىهر ثوابا ن ت تري نو تتها ٱل دخليهم جن

عيدهۥ حسو ٱلثواب ول وٱلل و عيد ٱلل

Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan

berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang

beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu

adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang

diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan

yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan

pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di

bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang

baik".

Dua ayat di ayat di atas menjelaskan bahwa islam sendiri tidak

membedakan laki-laki dan wanita, yang membedakan antara mereka adalah

ketaqwaannya. Islam mendudukan wanita dan laki-laki pada tempatnya.

Tidak dibenarkan dengan budaya patriarki yang menganggap bahwa

perempuan berada di kelas dua dan memiliki derajat yang lebih rendah. Dari

dua ayat tersebut dan banyak ayat lainnya bahwa banyak ayat yang

memuliakan dan mengangkat derajat perempuan baik sebagai ibu, anak, istri,

atau sebagai anggota masyarakat. Tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan

perempuan dalam islam.

 

84

Kenyataanya saat modernisasi ini, perempuan dapat memilih apakah ia

akan memilih mengalami ketimpangan gender atau tidak karena perempuan

pada era sat ini, merasa bahwa mereka bisa mandiri, dengan mengerjakan

segala kebutuhan rumah tangga dan juga mencari nafkah sebagai pembantu

ekonomi keluarga atau untuk kebutuhannya sendiri. Tapi perempuan tetap

saja akan berada pada sektor domestik dan karena sudah menjadi kewajiban

dan sudah menjadi konstrksi bahwa hal tersebut identik dengan peran gender

perempuan.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa film bisa menjadi suatu

medium dalam menyampaikan suatu ideologi kelompok tertentu, dalam hal

ini adalah paham patriarkis dilihat dari pembuat film tentang perempuan yang

digarap oleh laki-laki. Perempuan dalam Film Siti seakan dikontruksi bahwa

mereka yang berada dalam budaya patriarki terlihat seakan tidak bisa lepas

dari kontrol laki-laki. Mereka tidak bisa memilih untuk menikmati

kehidupannya sebagai perempuan. Gerak-gerik mereka seakan selalu

diperhatikan dan keputusan yang mereka ambil juga seakan atas peran laki-

laki. Hal-hal tersebut sangat terlihat dari pesan yang disampaikan oleh film

Siti.

 

85

BAB 5

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai

representasi gender dalam film Siti, maka dapat ditarik kesimpulan berikut:

1. Berdasarkan penelitian menggunakan model narasi aktansial A.J Greimas

terhadap film Siti terdapat enam aktan dalam satu struktural. Aktan

pengirim diisi oleh dua situasi yaitu Suami yang lumpuh dan hutang

kapal yang belum lunas. Sebagaimana diketahui, aktan pengirim

memiliki kuasa dalam struktur cerita karena pengirim menggerakkan

subjek kepada tujuannya, yaitu objek dan penerima. Dari dua aktan

pengirim tersebut menunjukan keberhasilan subjek untuk mendapatkan

objek yaitu Siti yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan dan melunasi

hutang serta mencari kesenangan sesaat untuk melepas beban dan

memberikan dampak kepada penerima yaitu keluarga Siti karena hutang

keluarga mereka telah lunas. Walau dalam pencapaiaan subjek kepada

objek adanya penolong dan penghalang. Hal ini menandakan bahwa

keenam aktan tersebut menjelaskan peran dan fungsinya masing-masing

sehingga membentuk suatu alur cerita.

2. Berdasakan hasil penelitian dari penelitian semiotika alur dalam film Siti

menceritakan sosok Siti yang mengalami bias gender, diantaranya

subordinasi, marginalisasi, beban kerja ganda, selain itu perempuan juga

dikonstruksi sebagai makhluk yang hanya bisa diam dihadapan laki-laki

yang berkaitan dengan muted group theory. Dan secara keseluruhan

 

86

pesan yang seakan digambarkan dalam film ini adalah bahwa perempuan

memiliki beban kerja ganda. Selain itu, perempun dalam film ini

dikontruksi sebagai sosok yang lemah tidak bisa mengutarakan isis

hatinya, gemulai, dan pada sektor publik dikontruksi sebagai sosok

penghibur serta sensualitas karena menjadi objek laki-laki untuk

bersenang-senang.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap ketidakadilan Gender

dalam film Siti kepada para pembaca dan masyarakat, di antaranya:

1. Apa yang disampaikan atau digambarkan oleh film janganlah dikonsumsi

secara mentah-mentah, namun harus kita pahami makna yang

tersembunyi dibaliknya sehingga menjadi pembelajaran bagi kita. Film

hendaknya memperhatikan norma-norma yang berlaku pada masyarakat.

Dan film hendaknya tidak hanya sebagai media hiburan namun juga

sebagai media pembelajaran dan teladan bagi masyarakat.

2. Penonton harus lebih selektif dan mampu memfilter adegan-adegan yang

ditampilkan dalam film sehingga penonton mampu menangkap pesan

yang disampaikan secara matang.

3. Akademisi yang hendak meneliti film, sebaiknya memahami metodologi

analisis dan teori yang digunakan sehingga tidak ada kerancuan dan juga

dapat mengkritisi pesan-pesan yang disampaikan melalui film.

 

87

DAFTAR PUSTAKA

A. Muniarti, Nunuk. Getar Gender Buku Kedua: Perempuan Indonesia dalam

Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Magelang: Indonesia Tera, 2004.

Amalia, Euis. dkk. Pengantar Kajian Gender. Jakarta: Pusat Studi Wanita Syarif

Hidayatullah, 2003.

Arivia, Gadis. Filsafat Berspektif Feminis. Jakarta: Buku Kompas, 2003.

Denesi, Marcel. Pesan, Tanda, Makna: Buku Teks dasar Mengenai Semiotika dan

Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.

Denzin, Norman K dan Guba, Egon. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial.

Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.

Eriyanto. Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks

Berita Media. Jakarta: Kencana. Prenada Media Group, 2013.

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: Lkis,

2001

Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:

INSISTPress, 2008.

Fakih, Mansour. dkk. Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; Tinjauan dari

Analisis Gender, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender

Perspektif Islam. Surabaya:Risalah Gusti, 2003.

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi

Aksara, 2013.

Haryatmoko. Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis) Landasan

Teori, Metodologi dan Penerapan. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2016.

Herdiansyah, Haris. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:

Salemba Humanika, 2012.

Humm, Magie. Ensilokpedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007.

 

88

Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT. Gramedia, 1986.

McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika, 2011

Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi

Gender. Indonesia Heritage Foundation, 2014.

Mosse Cleves, Julia. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2003.

Narko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Nugroho, Rian. Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia. Jakarta:

Pustaka Pelajar, 2008.

Peterson, dan River. Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana,

2008.

Ratna, Kutha Nyoman. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2004.

Rosyidah, Ida dan Hermawati. Relasi gender dalam Agama-agama. Ciputat: UIN

Jakarta Press, 2013.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2001.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi, cet. ke-5. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

Stokes, Jane. How to media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan

Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang Pustaka,

2007.

Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif

kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

 

89

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semitotika Komunikasi – aplikasi praktis bagi

penelitian dan skripsi komunikasi. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media,

2013.

JURNAL

Hidayati, Nurul. Beban Ganda Perempuan Bekerja (Antara Domestik dan

Publik). Volume 7, no. 2 (Desember 2015): h. 109-110.

Suryorini, Ariana. Menelaah Feminisme dalam Islam, Volume 7, no. 2 (April

2012): h. 24.

Dwi Edi. Peran Ganda Perempuan dan kesetaraan gender, Volume 3, no. 1, (Juli

2011): h. 357.

Yudha Karnanta, Yudha Kukuh. Struktural (Dan) Semantik: Teropong

Struktualisme dan Aplikasi Teori Naratif A.J Greimas. Surabaya:

Universitas Airlangga, Vol 18, No 2 edisi Desember 2015: h. 175.

WEBSITE

Eri. 4 Fakta Film Siti Pemenang Film Terbaik FFI 2015. Artikel diakses pada 30

Januari 2017 dari https://www.hitsss.com/4-fakta-film-siti-pemenang-film-

terbaik-ffi-2015/

Bariyah, Khairul. Peran Ganda dalam Menunjang Perekonomian Keluarga.

Diakses pada 20 Maret 2018 dari

https://www.kompasiana.com/kerol/59a029a251e03909e51dc942/pera-

ganda-wanita-dalam-menunjang-perekonomian-keluarga