uin syarif hidayatullah jakarta official...
TRANSCRIPT
iii
ABSTRAK
Muhamad Ridwan NIM 11150450000060, TINJAUAN MAQASHID AL-
SYARIAH TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM
UUD NRI TAHUN 1945. Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
1441 H/2019 M. ix+ 66 halaman.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dimana
pada jenis penelitian ini menggunakan metode Library Research (penelitian
kepustakaan) yang menitikberatkan pada perbandingan konsep yang dianalisis
secara konperhensif terkait dengan bahan hukum primer yang berasal dari
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-undang No 39 Tahun 1999
tentang hak asasi manusia, Ratifikasi Undang-undang hak sipil dan politik dalam
Internasional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), serta Undang-
undang No 12 Tahun 2005 pengesahan kovenan internasional tentang hak
ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu data-data sekunder yang berasal dari buku-
buku, jurnal, serta literatur-literatur yang berkaitan dengan tema pembahasan.
Yang kemudian nanti dianalisis menjadi satu kesimpulan pada penelitian ini.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, antara maqashid al-syariah dan
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 memiliki satu kesamaan terkait hak asasi
manusia, yakni diantara keduanya sama-sama memiliki konsep melindungi hak
individu seseorang. Selain itu, hak-hak yang telah diatur dalam Undang-undang
Dasar 1945, antara lain seperti hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan
hak budaya diantaranya telah mencakup materi muatan pembagian bidang pada
konsep maqashid al-syari’ah seperti memelihara agama (hifdz al-Din),
memelihara jiwa (hifdz al-Nafs), memelihara akal (hifdz al-Aql), memelihara
keturunan (hifdz al-Nasl) dan memelihara harta (hifdz al-Mal).
Kata Kunci : HAM, Maqashid al-Syari’ah, Undang-undang Dasar 1945
Pembimbing : Dr. Khamami Zada, SH, MA, MDC
Daftar Pustaka : 1982-2018
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kekhadirat
Allah Swt atas rahmat, karunia serta nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan lancar yang merupakan salah satu syarat
menyelesaikan studi pada tingkat Universitas. Sholawat beriring salam semoga
selalu senantiasa tercurahkan kepada pahlawan revolusioner Islam Nabi
Muhammad Saw, yang telah membawa umat Islam dari zaman jahiliyyah menuju
zaman keilmuan seperti sekarang ini, tak lupa pula kepada keluarga, para sahabat,
dan kita sebagai umatnya hingga akhir zaman.
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Maqashid Al-Syariah Terhadap Konsep
Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945”
merupakan karya tulis ilmiah di tingkat akhir pada strata 1 (S1) yang juga
merupakan bentuk implementasi akademis dari penulis selama menjalani studi di
tingkat Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
berharap dengan selesainya penulisan skripsi ini dapat menambah khazanah
keilmuan bagi orang lain khususnya bagi diri penulis peribadi.
Selama penulisan skripsi ini dan menjalankan masa studi S1 penulis
sangat menyadari pentingnya keberadaan orang-orang di sekitar penulis, baik itu
yang memberikan dukungan secara ilmiah, pemikiran maupun wawasan serta
dukungan lain baik itu secara moril maupun spiritual, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dan menjalani masa studi S1 dengan lancar. dukungan
mereka sangat berarti, karena berkat dukungan dari mereka segala hambatan dan
rintangan yang ada dapat teatasi dengan mudah dan terarah. Untuk itu penulis
dengan besar hati mengucapkan berjuta terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan,
semangat serta do’a kepada penulis. terkhusus untuk (Alm) Ayahanda
penulis yang telah menjadi motivator bagi penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi pada Strata 1 (S1).
v
2. Ibu Dr. Hj. Maskufa, MA. Wakil Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menjadi orang tua kedua di kampus
bagi penulis, yang selalu memberikan arahan serta bimbingan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan dengan lancar.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag dan Ibu Masyrofah, S.Ag.,M.Si., Ketua Program
Studi dan Sekertaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah. Selaku Dosen pembimbing Akademik
penulis.
5. Bapak Dr. Khamami Zada, MA.MDC. Selaku dosen pembimbing dalam
penulisan skipsi ini yang telah sabar memberikan bimbingan, masukan serta
arahan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen-dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum.
Khusunya Dosen-dosen Hukum Tata Negara yang telah mendidik
memberikan ilmu kepada penulis selama menjalankan masa perkuliahan di
S1.
7. Keluarga Besar Jurusan Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
8. Rekan-rekan seperjuangan Keluarga besar Hukum Tata Negara UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Angkatan Tahun 2015.
9. Rekan-rekan HMPS Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Rekan-rekan DEMA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2019.
11. Rekan-rekan Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Komisariat Fakultas Syari’ah dan Hukum.
12. Rekan-rekan Keluarga Besar HMI Hukum Tata Negara.
13. Rekan-rekan seperKKNnan MARTABAK 185 Desa Babakan Tahun 2018.
14. Rekan-rekan Keluarga Besar FOSKAL Konsulat Jakarta.
15. Teman-teman, Abang-abang, adinda-adinda seperjuangan yang telah
memberikan banyak cerita, pelajaran hidup serta pengalaman selama masa
hidup di Ciputat. Bang Togar, Bang Azmi, Gen Kadal, Wildan, Fira,
Fikriya, Olif, Husniyah, Dilla, Ani, Diana dan rekan-rekan yang lain.
vi
16. Kawan-kawan seperjuangan selama masa perkuliahan, Badru Tamam, Arlen
Tyas, Nubli, Wahyu RT, Risky Ayam, Azka, Nazid, Tarmidzi
17. Teman-teman seperjuangan FOSKAL UIN Jakarta, Tijan Kamil, Eka
Sutisna, Aris Munandar, Hilman Fauzi, Rahmatun Nufus, Ilmiyati Nufus,
Syaroh, Dina Novayana, Fitria Suryani, Reza Bachtiar, Surya Egistian.
18. Pihak-pihak yang tidak bosan-bosan memberikan semangat, motivasi agar
menyelesaikan skripsi dan perkuliahan. Khususnya Mila Istiqomah S.H,
Indar Dewi S.H, Trini Diyani S.H. Fatma Agustina S.H, Lesnida S.H,
Badriatul Munawaroh S.H.
19. Pihak-pihak yang telah menjadi sponsor dalam penyelesaian skripsi ini.
Dan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak-pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, semoga do’a, bantuan, dukungan, serta semangat
yang telah diberikan kepada penulis di balas pahala oleh Allah Swt. Dan semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang, khususnya diri penulis
pribadi.
Ciputat, 04 Oktober 2019
05 Shafar’ 1441 H
Muhamad Ridwan
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN.…………………………………………………………i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………….....ii
LEMBAR PERNYATAAN…….………...……………………………………….. iii
ABSTRAK……...……….……….…………………………………………………..iv
KATA PENGANTAR…....………………………………………………………….v
DAFTAR ISI…………....………………………………………….………………viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………..………………………..1
B. Batasan dan Rumusan Masalah …………………………………………..6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………6
D. Tinjauan Pustaka…….…………………………………………………….7
E. Metodologi Penelitian……………………………………………………..9
F. Sistematika Penulisan…………………...……………………………….10
BAB II : ISLAM DAN KONSTITUSIONALISME HAM
A. Konstitusionalisme HAM ………………………………..……………...12
1. Pengertian Konstitusionalisme……………………………………....13
2. Sejarah Konstitusionalisme…………………………………………14
3. Teori Konstitusi…………………...…………………………………18
B. Maqashid Al-Syari’ah…………………...………………………………19
1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah………………...…………………19
2. Tujuan Maqashid Al-Syari’ah……………………………………….21
3. Tingkatan Kemaslahatan Maqashid Al-Syari’ah…………………….23
vii
BAB III : HAM DALAM KONSTITUSI INDONESIA
A. Konsep HAM dalam Sejarah…………………….….......….….....…. 26
B. Konsep Perumusan HAM dalam Konstitusi………………….……....29
C. Materi Muatan HAM dalam Konstitusi Indonesia…….…….……..…35
1. Materi Muatan HAM dalam UUD 1945……………….…………35
2. Materi Muatan HAM dalam Konstitusi RIS 1949…......................37
3. Materi Muatan HAM dalam UUDS………………………………38
4. Materi Muatan HAM Pasca Kembali ke UUD 1945…………….39
5. Materi Muatan HAM dalam Perubahan kedua UUD 1945….……39
BAB IV : MAQASHID AL-SYARIAH DAN PERLINDUNGAN DALAM UUD
TAHUN 1945
A. Perlindungan HAM dalam Undang-undang Dasar 1945……….……43
1. Hak Sipil dan Politik dalam Undang-undang Dasar 1945………..45
2. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Undang-undang Dasar
1945………………….……………………………………………48
B. HAM dalam Undang-undang Dasar 1945 Perspektif Maqashid Al-
Syariah…………………….…………………………………………..52
1. Hak Sipil…………………………………………………………..52
2. Hak Politik……………...…………………………………………59
3. Hak Ekonomi………...……………………………………………60
4. Hak Sosial……...………………………………………………….62
5. Hak Budaya……………………………………………………….63
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................65
B. Saran……………….…………………………………………………66
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembahasan mengenai hak asasi manusia masih menarik untuk dikaji dalam
dunia akademis. Konsep perlindungan hak asasi manusia sudah menjadi wacana
global, dan menjadi tuntutan bersama untuk mendapat perlindungan. HAM, ada
bukan karna diberikan oleh masyarakat ataupun kebaikan dari negara, melainkan
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia
menandakan bahwa manusia sebagai mahkluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha
kuasa, namun penting bagi kita, yang hidup pada masa konsepsi HAM, konsep hak
asasi manusia telah berkembang sedemikian rupa dan pada dewasa ini kajian
mengenai hak asasi manusia menjadi kajian yang menarik. HAM terus berkembang
seiring dengan perkembangan wajah dan tuntutan dari manusia itu sendiri yang
cenderung dipengaruhi oleh lokalitas lingkungan diri dan masyarakatnya. Selain itu
sejarah HAM pun berjalan terputus-putus karna dipengaruhi aliran pemikiran,
kepercayaan, adat istiadat, kondisi dan situasi.1 Karna itu juga, pengaruh yang berada
di sekitar wacana HAM layak dipertimbangkan sebagai sebuah kesatuan kajian agar
pemahaman yang utuh tentang hak asasi manusia itu diperoleh.
Di Indonesia, konsep mengenai penegakan hak asasi manusia juga telah serius
untuk diperhatikan. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula
pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM) didirikan setelah diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia
pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi
pembicaran yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada
usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem
1 Abdurrahman Kasdi, Maqosid Al-Syariah dan Hak asasi manusia, Jurnal Penelitian STAIN Kudus
Jawa Tengah Indonesia.Vol 6 No 2. Agustus 2014. h 254.
2
politik nasioanal sampai pada tingkat implementasi untuk membentuk jaringan kerja
sama, guna menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di Indonesia.
Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh internasional yang menjadikan hak
asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di
Indonesia lebih merupakan hasil dinamika intrenal yang merespon gejala
internasional secara positif.
Sejak tahun 1999 lah, Indonesia memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas
dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia.
Diberlakukannya UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia kendati agak
terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon
isu internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan
diteliti lebih jauh isinya.2 Pada dasarnya konsep mengenai perlindungan HAM di
Indonesia telah diatur dalam konsitusi negara, dimana secara redaksional memberikan
jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, sebagaimana yang telah ditulis
dalam pasal 28 I ayat (4) UUD Tahun 1945 yang menegaskan “Perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah” namun perubahan demi perubahan telah terjadi dalam
konsitusi negara Indonesia, amandemen demi amandemen telah dilakukan perintah
terhadap konstitusi negara, dengan harapan segala yang terkandung dalam konstitusi
dapat terrealisasi dengan baik disetiap lapisan masyarakat Indonesia, khususnya
mengenai peraturan HAM.
Pemerintah Indonesia dalam melindungi hak asasi manusia bagi rakyatnya selain
telah terkonsep dalam Undang-undang Dasar tahun 1945, juga telah diatur secara
terperinci mengenai konsep perlindungan HAM dalam Undang-undang No 39 tahun
1999 tentang hak asasi manusia, serta membentuknya sebuah lembaga dan intansi
yang bergerak dalam bidang perlindungan HAM yakni kementrian hukum dan HAM
2Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konsitusi Indonesia, ( Jakarta:Kencana, 2005 ), h
30.
3
serta Komnas HAM. Berdasarkan ketentuan dari seluruh konstitusi yang berlaku di
Indonesia dapat dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia telah mengalami
proses dialektika yang serius dan panjang. Pentingnya pengaturan mengenai hak asasi
manusia dalam konstitusi menggambarkan komitmen atas upaya penegakan hukum
dan HAM, baik dalam konteks pribadi, keluarga, masyarakat, dan sebagai warga
negara Indonesia.
Dalam kajian filsafat hukum Islam dikenal istilah maqoshid al-syariah, dimana
maqoshid syariah merupakan konsep untuk mengetahui hikmah serta nilai-nilai dan
sasaran syara yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur‟an dan Hadits. Yang ditetapkan
oleh Allah Swt terhadap manusia. Adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu,
yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia
(dengan mu‟amalah) maupun di akhirat (dengan „aqidah dan ibadah).3 Sedangkan
cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan
dharuriat (primer), dan menyempurnakan kebutuhan hajiyat (sekunder), dan tahsiniat
atau kamaliat (tersier). Secara umum tujuan syariat Islam dalam menetapkan hukum-
hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di
dunia maupun kemashlahatan di akhirat.
Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik
rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk
kehidupan dunia ini saja, akan tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat
kelak. Abu Ishaq as-Syatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni:
1. Hifdzh ad-din (memelihara agama);
2. Hifdzh an-nafs (memelihara jiwa);
3. Hifdzh al‟aql (memelihara akal);
4. Hifdzh an-nasb (memelihara keturunan);
5. Hifdzh al-maal (memelihara harta);
3Ghofar Sidiq, Maqosid Al-Syariah dalam hukum Islam,Jurnal Unissula, Vol XLIV. No.118 Juni-Agustus
2009. h 117.
4
Tujuan hukum Islam tersebut dapat dilihat dari dua segi yakni prtama, dari segi
Pembuat Hukum Islam yaitu Allah dan Rasul-Nya. Dan kedua segi manusia yang
menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Jika dilihat dari pembuat hukum
Islam tujuan hukum Islam itu adalah untuk memelihara keperluan hidup manusia
yang bersifat primer, sekunder, dan tersier, yang dalam kepustakaan hukum Islam
masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat, hajjiyat dan tahsniyyat. 4Kebutuhan
primer adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya
oleh hukum Islam, agar kemaslahatan hidup manusia bener-benar terwujud.
Kebutuahan sekunder adalah kebutuhan yang diperluakn untuk mencapai kehidupan
primer, seperti kemerdekaan, persamaan, dan sebagaianya, yang bersifat menunjang
eksistensi kebutuahan primer. Kebutuahn tersier adalah kebutuhan hidup manusia
selain yang bersifat primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk
kebaikan hidup manusia dalam masyarakat, misalnya sandang, pangan, perumahan
dan lain-lain.
Konsep maqoshid al-syari‟ah sebenarnya merupakan konsep Islam dalam
menjunjung tinggi hak asasi manusia, bahkan para ulama menjadikan konsep
perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai tujuan utama syariah (maqosid al-
syariah). Hanya saja karna filosofi syariah ini berbeda dengan HAM dalam deklarasi
universal, maka terdapat perbedaan mengenai konsep HAM dalam Islam dan konsep
HAM secara universal, namun diantara keduanya terdapat kesamaan yakni sama
sama menjaga hak individu setiap manusia.
Persoalaan mengenai universalitas HAM dan hubungannya dengan berbagai
sistem nilai atau tradisi agama terus menjadi pusat perhatian dalam perbincangan
wacana HAM kontemporer, seperti kebabasan hidup kaum minoritas disuatu negara
yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik, harus diakui bahwa agama berperan
memberikan landasan etik kehidupan manusia. Para ulama dan intelektual muslim
pada masa kontemporer, terutama sejak dikeluarkannya deklarasi HAM oleh PBB
4 Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h 24.
5
pada tahun 1948 pun banyak yang membahas HAM dalam perspektif Islam, diantara
mereka yang cukup terkenal adalah Abu A‟la Mawdudi. Dalam bukunya human
rights in Islam, ia menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam HAM ini merupakan
pemberian Allah, maka dari itu tak ada seorang pun dan tak ada satu lembaga pun
yang dapat menarik hak-hak ini. Hak-hak ini merupakan bagian integral dari
keimanan. Semua orang yang mengklaim diri mereka sebagai muslim harus
menerima, mengakui, serta melaksanakan hak-hak ini. Penghormatan hak-hak asasi
ini di dasarkan pada dalil, bahwa Allah memberkati manusia dengan kemulian-
kemulian tertentu.5 Sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qur‟an Surat Al- Isra ayat
70:
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka di daratan dan di lautan kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah kami ciptakan.” (QS Al-Isra:70)
Para ulama dan intelektual muslim juga mendukung konsep HAM tersebut
terlebih tujuan dari pembentukan dari syariah (hukum Islam) yaitu menjaga hak-hak
setiap individu manusia. Maka dari itu dalam penulisan penelitian skripsi ini penulis
bermaksud untuk mengetahui secara detail mengenai konsep perindungan hak asasi
manusia dalam tataran undang-undang yang dalam hal ini lebih spesifik terhadap
UUD 1945 ditinjau dari konsep maqashid al-syariah. Dengan penelitian skripsi yang
berjudul “Tinjauan Maqashid Al-Syari‟ah Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia
Dalam UUD NRI Tahun 1945 “ dengan harapan pada penelitian ini dapat menambah
5Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, ( Jakarta:Kompas
Gramedia,2011) , h 18.
6
khazanah dan wawasan keilmuan tentang tinjauan maqosid Al-syariah terhadap
perlindunagn HAM dalam Undang-Undang Dasar Tahun1945.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar tidak terlalu luas pembahasannya, maka penulis membatasi ruang lingkup
mengenai HAM dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang di tinjau dari
maqashid al-syariah.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, agar terfokus pada pokok
permasalahan, maka penulis membagi kedalam poin penting rumusan masalah,
diantaranya adalah:
a. Bagaimana perlidungan HAM dalam Konsitusi UUD Tahun 1945?
b. Bagaimana HAM dalam UUD Tahun 1945 menurut persfektif maqashid al-
syariah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis memiliki tujuan diantaranya:
a. Menggambarkan secara umum mengenai perlindungan HAM yang diatur
dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945.
b. Agar mengetahui bagaimana HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 menurut
persfektif Maqashid Al-Syariah.
Dalam setiap penelitian, di samping memiliki tujuan tentunya penulis juga
mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca penelitian ini khusnya
diri penulis pribadi. Adapun manfaat yang diberikan pada penulisan skripsi ini antara
lain.
7
a. Manfaat teoritis
1. Memberikan manfaat terhadap perkembangan aspek disiplin ilmu mengenai
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 dan maqoshid al-syari‟ah.
2. Dapat menambah referensi pustaka yang berkaitan dengan pembahasan
mengenai perlindungan Hak asasi manusia dari berbagai aspek.
3. Membeerikan wawasan terbaru mengenai konsep perlindungan Hak asasi
manusia dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 yang ditinjau dari
konsep maqoshid al-syariah
b. Manfaat praktis
1. Pada penelitian ini, penulis berkesempatan dapat mengembangkan pola fikir
ilmiah serta menambah wawasan dalam aspek disiplin ilmu mengnai konsep
perlindungan HAM yang diatur dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun
1945 ditinjau dari konsep maqoshid al-syariah.
2. Serta dalam penelitian ini juga dapat memberikan jawaban terkait bagaimana
konsep perlindungan HAM dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945,
serta apakah sudah mencakup materi muatan konsep maqoshid al-syariah.
D. Tinjauan Pustaka (Review Studi Terdahulu)
Dalam melakukan penelitian ini, penulis melihat kajian atau review terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini. Sejumlah
penelitian dengan pembahasan tentang HAM dan maqoshid al-syariah telah
dilakukan, baik mengkaji secara spesifik topik tersebut maupun mengkaji secara
umum yang sejalan dengan pembahasan penelitian ini. Berikut ini adalah tinjauan
pustaka atau review studi terdahulu baik berupa buku maupun skripsi.
1. Gunung Sumanto, dalam skripsi yang berjudul HAM Dalam Pandangan Islam Dan
UUD 1945 Pasca Amandemen menyimpulkan didalam Islam hak asasi manusia itu
semata bersumber dari Allah (Ilahiyah). Selain manusia diberi hak asasi, disisi lain
ada kewajiban asasi yang harus ditunaikan pula. Begitupun dalam UUD 1945
8
pasca amandemen. Sebagai konstitusi negara HAM adalah salah satu muatan
materi utama didalamnya, pengakuan hak asasi manusia tetap menjadi poin utama
didalamnya akan tetapi tetap menekankan perlunya penghargaan terhadap hak
asasi manusia yang lain demi menjamin ketertiban umum didalamnya.6 Dalam
Skripsi ini hanya membahas HAM dalam UUD pasca amandem yang dilihat dari
perspektif Islam. Sedangkan dalam skripsi ini membahas HAM dalam konstitusi
Indonesia dilihat dari kacamata teori maqashid al-syariah.
2. Abdurahman Kasdi, dalam Jurnal Penelitian yang berjudul Maqoshid Syari‟ah
dan Hak Asasi Manusia dalam jurnal ini menyimpulkan manusia adalah titik
sentral yang mendapatkan perhatian dalam HAM, semua konsep dan teori
diarahkan bagaimana menjaga kemaslahatan umat manusia, dalam tahan
klasifikasi hak-hak tersebut bisa dikelompokan menjadi paling penting, penting,
dan kurang penting. Solusi yang paling efektif dalam jurnal tersebut dengan
konsep Maqoshid yang diimplementasikan dengan fiqh aulawiyat (prioritas)7
3. Saifullah Abdushshamad, dalam Jurnal Hukum Ekonomi Syari‟ah Universitas
Islam Kalimantan MAB Banjarmasin dengan judul “Perkembangan Hukum Islam
dibidang Hak Asasi Manusia” menyimpulkan bahwa HAM menurut prinsip Islam
tidak terlepas dari Al-Qur‟an dan As Sunnah karna dari kaidah-kaidah petunjuk
dan bimbingan bagi umat manusia. HAM ketika dikomparasikan dengan
Maqoshid As-Syari‟ah ternyata sangat berkaitan satu sama lainnya. Karena
Maqoshid As-Syari‟ah sendiri berusaha untuk menjaga kemaslahatan seseorang.
Disinilah letak relevansi antara HAM dengan Maqoshid Syariah. Ketika manusia
berhadapan dengan keadaan yang mendesak, dalam keadaan terpaksa dan
dalamkeadaan sulit, maka maqoshid al-syari‟ah memberikan alternatif untuk
6 Gunung Sumanto “HAM Dalam Pandangan Islam Dan UUD 1945 Pasca Amandemen” (S1
Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Alauddin Makassar 2016) h 68.
7 Abdurahman Kasdi, Maqoshid Syari‟ah dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Penelitian STAIN Kudus
Jawa Tengah Indonesia,vol 8, No 2, Agustus 2014. h 254.
9
keluar dari kesulitan-kesulitan tersebut sehingga hak-haknya terjaga dari
kerusakan.8
Dari kajian review studi terdahulu di atas, baik yang menjelaskan secara
umum maupun khusus mengenai HAM dan maqoshid al-syariah, terdapat
perbedaan yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini. Dalam penelitian
terdahulu hanya membahas mengenai HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 yang
dilihat dari pandangfgan Islam secara umum, serrta penjelasan antara HAM dan
Maqasid al-syari‟ah yang terpisah. Sementara dalam penulisan skripsi ini penulis
akan melakukan penelitian mengenai perlindungan hak asasi manusia dalam UUD
Tahun 1945 yang ditinjau dari persfektif maqoshid al-syariah.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dimana pada
jenis penelitian ini menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan)
yang menitikberatkan pada perbandingan konsep kemudian akan dianalisis secara
komperhensif terkait dengan bahan hukum primer yang berasal dari dokumentasi
buku, dokumen, majalah, jurnal, arsip dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
penelitian ini, yang terdiri dari :
a. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini meliputi
literatur-literatur yang berkaitan dengan judul, dimana sumber data yang
digunakan sumber data primer seperti Undang-undang Dasar 1945, Undang-
undang No 39 Tahun 1999 (tentang HAM ), Ratifikasi Undang-undang hak sipil
dan politik, serta Undang-Undang No 12 Tahun 2005 pengesahan kovenan
internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya serta buku-buku lain yang
8 Saifullah Abdushshamad, Perkembangan Hukum Islam Di Bidang Hak Asasi Manusia
Jurnal Hukum Ekonomi Syariah UIK Banjarmasin, Volume IV, No 1, Juni 2018. h 168.
10
berkaitan dengan tema terkait. Serta bahan hukum sekunder seperti buku-buku,
jurnal serta literatur-literatur yang berkaitan dengan pembahasan tema skripsi ini.
b. Metode Teknik Analisis Isi
Metode teknik analisis isi dalam penelitian ini adalah metode kualitatif normatif.
Data-data yang sudah diklasifikasikan dari sumber data primer dan sekunder
kemudian akan dilakukan analisis dengan cara menguraikan isi dalam bentuk
kesimpulan dari apa yang sudah di analisis dan uraian dari perspektif dari sudut
pandang lain.
Selain itu penulis juga menggunakan metode analisis deduktif, yaitu dengan cara
menganalisis data yang bertitik tolak pada pembahasan umum, kemudian ditarik pada
kesimpulan khusus, dari bahan-bahan hukum yang sudah dikumpulkan menjadi
pokok pembahasan kemudian dilakukan analisis menjadi satu kesimpulan.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi dan agar memudahkan pembaca dalam mempelajari tata urutan
penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Pada bab ini dibahas latar belakang masalah, batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Islam dan konstitusionalisme HAM. Pada bab ini dibahas
konstitusionalisme HAM, yang meliputi pengertian konstitusionalisme, sejarah
konstitusionalisme, dan teori konstitusi. serta masqosid al-syariah yang meliputi
pengertian maqashid al-syariah, tujuan maqashid al-syariah dan tingkatan
kemaslahatan pada maqashid al-syariah.
BAB III HAM dalam konstitusi Indonesia. Pada bab ini dijelaskan konsep HAM
dalam sejarah, Konsep perumusan HAM dalam konstitusi.
11
BAB IV Maqashid as-syari‟ah dan konsep perlindungan HAM dalam Undang-
undang Dasar NRI Tahun 1945. Pada bab ini membahas perlindungan HAM dalam
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 yang meliputi hak sipil dan politik dalam
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945, dan Hak ekonomi, sosial dan budaya dalam
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Serta membahas perlindungan HAM dalam
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 yang ditinjau dari persfektif maqashid al-
Syariah.
BAB V Penutup. Pada bab ini dijelaskan mengenai kesimpulan dan saran.
12
BAB II
ISLAM DAN KONSTITUSIONALISME HAM
A. Konstitusionalisme HAM
Sebagai negara hukum, dalam penyelengaraan negara, Indonesia dituntut
mengedepankan kebijakan yang menjamin terselenggaranya pemerintahan yang
bersih dan berkeadilan bagi masyarakat. Selain itu pula dalam penyelengaraannya
setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, harus sesuai dengan jalan koridor
hukum dan konstitusi negara, karena hukum dan konstitusi merupakan wujud
kebijaksanaan kolektif warga negara, dan warga negara merupakan objek dalam
penyelenggaraannya. Maka dari itu rakyat harus terlibat penuh dalam pemerintahan
bernegara, agar segala hak dan kewajiban warga negara dapat terpenuhi serta
kesejahteraan dapat terjamin oleh negara.
Hak dan kewajiban warga negara merupakan salah satu materi pokok yang diatur
di dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945. Tidak hanya materi mengenai hak dan
kewajiban warga negara, di dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945 konsep jaminan
HAM sudah tertulis di dalam konstitusi. Segala hal-hal yang mendasar yang
diperlukan untuk melindungi HAM dalam negara hukum dituangkan dalam
konstitusi. Hal tersebut guna untuk menjamin, serta melindungi hak-hak setiap warga
negara. Oleh karna itu di dalam negara kesatuan, konstitusi merupakan hal yang
fundamental yang menjadi landasan negara dalam menjalankan pemerintahan, tidak
hanya jaminan kesejahteraan masyarakat yang terkonsep di dalam konstitusi, jaminan
perlindungan HAM setiap warga negara pun perlu menjadi perhatian khusus negara,
agar hak asasi manusia setiap warga negara terlindungi serta terciptanya
pemerintahan sesuai amanat konstitusi Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945.
13
1. Pengertian Konstitusionalisme
Istilah konstitusinalisme itu sendiri sebenarnya tercipta pada peralihan abad ke
18-19 M. Pada saat itu dunia barat menegaskan doktrin Amerika serikat tentang
supremasi Undang-undang Dasar (konstitusi tertulis) di atas Undang-undang yang
diundangkan sebagai produk legislatif pada saat itu. Barulah kemudian istilah
konstitusionalisme menyebar ke berbagai negara Eropa dan negara dibawah jajahan
Eropa. Sebagai istilah adanya suatu produk hukum yang tertulis diatas undang-
undang, konstitusi merupakan suatu asas dalam bernegara.9
Penjelasan mengenai konstitusinalisme secara bahasa ialah konstitusinalisme
berasal dari satu suku kata inti yaitu “konstitusi” dalam bahasa Perancis “constituer”
yaitu sebagai suatu ungkapan yang berati membentuk.10
Oleh karna itu, pemakaian
kata konstitusi lebih dikenal untuk maksud sebagai pembentukan, penyusunan atau
menyatakan suatu negara. Dengan kata lain secara sederhana, konstitusi dapat
diartikan sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang
diperispkan sebelum maupun sesudah berdirinya suatu negara yang bersangkutan,
dan bisa dikatakan konstitusi merupakan cikal-bakal terbentuknya suatu negara.
Sedangkan penjelasan menurut istilah arti dari konstitusinalisme adalah sebagai
paham tentang pemerintah yang berdasarkan konstitusi atau bisa dikatakan negara
konstitusinal. Di dalam buku hukum konstitusi terdapat perbedaan penerapan kata
menegnai konstitusi, konstitusinalisme, dan konstitusinal, namun memiliki makna
yang sama, konstitusionalisme bisa diartikan sebagai paham yang membatasi
kekuasaan pemerintah serta menjamin setiap hak-hak warga negara, di dalam konsep
konstitusinalisme kekuasaan pemerintah perlu dibatasi agar pemangku kekuasaan,
9Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalime Indonesia”, ( Jakarta: Konstitusi
Press, 2016 ), h 18.
10
Prajudia Atmosudirdjo,. “Konstitusi Indonesia”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008 ), h 39.
14
raja, atau kepala negara tidak sewenang-wenang dalam membuat kebijakan serta hak-
hak setiap warga negara dapat dilindungi dan dijamin oleh negara.11
Pembatasan-pembatsan kekuasaan serta jaminan hak warga negara harus
tercermin di dalam konstitusi atau Undang-undang Dasar 1945, bisa diartikan bahwa
konstitusi memiliki frasa yang khusus dan merupakan perwujudan dari hukum
tertinggi (supremation of law) yang harus ditaati bukan hanya oleh rakyat namun
oleh pemerintah serta penguasa sekalipun. Karena di dalam suatu negara hukum,
konstitusi atau Undang-undang Dasar merupakan peraturan perundang-undangan
yang memiliki kedudukan tertinggi didalam hirarki peraturan perundang-undangan
negara.12
2. Sejarah Konstitusionalisme
Munculnya negara konstitusinal pada dasarnya merupakan suatu proses sejarah.
Konsep negara hukum yang konstitusional dianggap sebagai konsep yang universal.
Negara hukum menurut era kontinantal dinamakan rechsstaat. Secara historis
gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato di dalam karya tulisnya, dimana
ia mengemukakan bahwa penyelengaraan negara yang baik ialah yang didasarkan
pada pengaturan hukum yang baik. Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin
tegas ketika didukung oleh muridnya Aristoteles. Aristoteles juga mengemukan
bahwa suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan
berkedaulatan hukum.
Menurut Aristoteles ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, pertama
pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum, kedua pemerintahan
dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum
bukan pada hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengenyampingkan
12
Mariam, Budiardjo, 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
2008), h 25.
15
mufakat dan konstitusi, ketiga pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan
dilaksanakan atas kehendak rakyat bukan berupa paksaan-paksaan yang dilaksanakan
pemrintahan. Membahas sajarah konstitusionalisme tidak lepas dari sejarah
konstitusionalisme di berbagai belahan dunia, karna sudah tentu konstitusinalisme
tidak dapat dipahami secara utuh jika tidak mengacu pada sejarahnya. Setiap masa
yang dilalui telah menyumbangkan bagiannya pada sejarah perkembangan
konstitusinalisme secara keseluruhan.
Di belahan dunia Barat sejarah perkembangan konstitusinalisme bisa dilihat di
berbagai negara yang menadi pelopor negara konstitusinal, yang menjadikan
konstitusi sebagai landasar dasar bernegara. Seprti salah satunya negara Inggris,
menjelang parauh kedua abad pertengahan abad ke-18. Inggris adalah sebuah negara
konstitusional, walaupun bukan negara demokratis. Selama abad ke-18 Inggris
merupakan satu-satunya negara konstitusional di dunia. maka dari itu, Inggris
menjadi contoh bagi negara negara lain dalam sistem konstitusi pada abad modern
ini.
Lain halnya dengan sejarah konstitusinalisme di dunia Barat, di dalam sejarah
dunia Islam dikenal dengan piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan sebuah
konstitusi tertulis pertama secara resmi dalam sejarah dunia yang dibuat oleh Nabi
Muhammad Saw dan masyarakat Madinah setempat, sehingga piagam Madinah ini
merupakan inspirasi untuk memperjuangkan hak-hak dalam jalur politik, sebab
piagam ini meneguhkan posisi Islam yang menerima perbedaan dan kebhinekaan
sebagai kekuatan untuk membangun sebuah komunitas yang kuat, bermartabat, serta
menunung tinggi perbedaan.
Piagam Madinah merupakan political legal document yang menjadi cikal bakal
kelahiran dari negara Madinah pada abad ke-7 M. Hal ini sejalan dengan konsep
Hobbes seorang filsuf Inggris mengenai kontrak sosial antar rakyat guna mencapai
tujuan bersama, karna dalam piagam Madinah peraturannya bersifat terbuka dan
16
demokratis, semua golongan dan kelompok masyarakat memiliki aturan yang telah
disepakati semua pemimpin kelompok pada saat itu.13
Konstitusinalisme di dalam piagam Madinah jelas memiliki perbedaan dengan
konstitusi lain khususnya di dunia modern. Hal ini disebabkan piagam Madinah
sendiri merupakan terobosan dimasanya. Political legal documen antara kaum
Muhajirin, Anshor dan penduduk asli kota Madinah pada saat itu untuk mencapai
kesepakatan bersama. Prinsip konstitusinalisme dalam piagam Madinah melahirkan
konsep musyawarah sebagai instrumen legislatif, juga memiliki fungsi chack and
balance dalam memperkuat atau mengubah kebijakan ulil amri sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi. Ulil amri walaupun pemegang kekuasaan tertinggi juga tidak
terlepas dari instrumen musyawarah dan pengawasan dari rakyat, hal ini disebabkan
ulil amri mendapatkan kewenangan berkuasanya juga didasarkan dari kontrak sosial
dari rakyat salah satunya bai‟at.
Jika ditinjau dari perspektif konsep konstitusinalisme pada era modren ini,
pembatasan kekuasaan pada zaman Nabi mungkin berbeda dengan sekarang. Pada
zaman Nabi, pembatasan kekuasaan berupa hasil musyawarah bersama para sahabat.
Dengan demikian kekhawatiran kewenangan atas kepemiminannya Nabi
terminimalisir atas kesepakatan bersama. Lain halnya dengan konsep
konstitusinalisme pembatasan kekuasaan pada era modern ini dimana telah ditentukan
ruang-ruang kekuasaan sesuai bidangnya masing masing.
Dalam sejarah bangsa Indonesia sendiri mengenai konstitusionalisme dimulai
sejak saat Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada
saat itu Republik Indonesia belum mempunyai Undang-undang Dasar, baru sehari
kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh panitia persiapan kemerdekaan
Indonesia (PPKI) disahkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia.
13
Wahyudi, Alwi, “Ilmu Negara dan Tripologi Kepemimpinan Negara” (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2014), h 54.
17
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai
konstitusi negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah negara Republik Indonesia
diproklamasikan oleh Soekarno dan Mochammad Hatta. Namun demikian setelah
resmi disahkan, Undang-undang Dasar 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi
dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan. Undang-undang
Dasar pada saat itu hanya dijadikan pokok pembentukan negara merdeka bernama
Republik Indonesia. Pada awalnya Undang-undang Dasar 1945 memang
dimaksudkan sebagai Undang-undang Dasar sementara yang menurut istilah bung
Karno sendiri merupakan revolute-groundwet atau Undang-Undang Dasar kilat, yang
memang harus diganti dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan
keadaan sudah memungkinkan.14
Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, hingga sekarang di Indonesia telah berlaku
tiga macam undang-undang dasar dalam beberapa periode.
a. Periode 18 Agustus 1945- 27 Desember 1949;
b. Periode 27 Desember 1949- 17 Agustus 1950;
c. Periode 17 Agustus 1950- 5 Juli 1959;
d. Periode 5 Juli 1959- Sekarang.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana
terakhir telah diubah pada tahun 1999, 2000, 2001 sampai dengan 2002 merupakan
satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar yang berfungsi sebagai sarana
pengendali terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika
perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaharuan masyarakat seta sarana ke
arah cita-cita kolektif bangsa. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka,
telah tercatat beberapa upaya yang berkaitan dengan konstitusi. Dari mulai
pembentukan Undang-undang Dasar, penggantian Undang-undang Dasar dan,
perubahan dalam artian pembaharuan Undang-undang Dasar 1945, yang kesemua hal
14
Prajudia Atmosudirdjo,. “Konstitusi Indonesia”,( Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), h 8.
18
itu sangat dipengaruhi sangat dipengaruhi dengan kondisi global dan sejarah
peralanan konstitusionalisme di berbagai belahan dunia.
3. Teori Konstitusi
Kata teori pada dasarnya banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, teori
memiliki banyak definisi yang salah satunya lebih tepat sebagai disiplin akademik
suatu sekema atau system gagasan serta pernyataan penjelasan dari sekelompok fakta
atau fenomena. Suatu pernyataan yang dianggap sebagai pernyataan hukum, prinsip
umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.15
Sedangkan dalam kamus
besar bahasa Indonesia teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan
penemuan didukung oleh data dan argumentasi. Konstitusi dalam kamus besar bahasa
Indonesia adalah segala ketentuan dan aturan ketatanegaraan Undang-undang dasar
suatu negara.16
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaran
suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut
Undang-undang Dasar dan dapat pula tidak tertulis seperti keputusan pengadilan,
proklamasi pemerintah, dan tradisi yang telah diterima oleh pemerintah dan
masyarakat selama beberapa abad dan generasi. Konstitusi dapat didefinisikan
sebagai hukum yang paling tinggi bahkan yang paling fundamental sifatnya, karena
konstitusi itu sendiri merupakan sumber ligistimasi. Secara sederhana konstitusi dapat
dikatakan sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematik untuk
menata dan mengatur pada poko-poko struktur dan fungsi lembaga-lembaga
pemerintahan, termasuk hal ihkwal kewenangan lembaga-lembaga itu, dalam arti
lebih sempit konstitusi bukan hanya diartikan sebagai dokumen yang memuat
ketentuan-ketentuan hukum tersebut.
15
Kurniawan K Yuliarso, Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia Menuju Democratic
Govermences Jurnal Ilmu Sosial dan ;Politik FH UI:.Vol 8 No 3, Maret 2005. h 209.
16
KBBI Departemen Pendidikan Nasinal 2008.
19
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi serta paling fundamental sifatnya,
karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber ligitimasi atau landasan dari bentuk-
bentuk hukum serta peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya sesuai dengan
prinsip hukum yang berlaku universal. Maka agar peraturan-peraturan yang
tingkatnya dibawah Undang-undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan,
peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi
tersebut yaitu Undang-undang Dasar 1945.
Berdasarkan fakta dan fenomena dan didukung oleh Undang-undang Dasar 1945,
penggunaan teori konstitusi ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk membentuk
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang Dasar agar sesuai dengan
koridor Undang-undang Dasar. Karena konstitusi merupakan payung hukum yang
paling tinggi di negri ini, maka apapun yang tertuang atau tertulis di dalamnya dapat
dijadikan pedoman guna mencapai tujuan berbangsa yakni untuk membentuk
pemerintahan negara Indonesia yang konstitusional.
B. Maqashid Al-Syari’ah
1. Pengertian Maqashid Al-Syariah
Maqashid syariah (esensi syariah) selalu menadi topik pembicaraan yang
menarik untuk dibahas, khususnya mereka yang berkonsentrasi dalam bidang hukum
islam. Secara bahasa maqashid al-syariah terdiri dari dua kata maqashid dan syariah.
Maqashid merupakan bentuk jamak (plural) dari kata maqshid17
yang terbentuk dari
huruf qaf, shad dan dhal, yang berarti kesengajaan atau tujuan. Sedangkan kata Al-
Syariah secara etimologi berasal dari kata syara‟a Yasyra‟u Syar‟an yang berarti
membuat syariat atau undang-undang, menerangkan serta menyatakan atau bermakna
sanna yang berarti menunukan jalan atau peraturan.18
17
Muhammad Idris al-marbawy, Kamus Idris al-Marbawy : Arab-Melayu, al-Ma‟arif, Juz 1,
Bandung, h 136.
18
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h 36.
20
Penjelasan syariah secara terminologi adalah hukum-hukum dan tata aturan
yang dishariatkan oleh Allah Swt untuk hamba-hambaNya. Agar dipedomani oleh
manusia dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan sesama antar manusia,
alam dan seluruh kehidupan. Maka dapat disimpulkan penjelasan Maqashid Al-
Syariah adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hukum Islam yang telah ditentukan
oleh Allah Swt dan Rasul-Nya, dan agar kita mengetahui tujuan dari hukum tersebut
maka bisa kita telusuri lewat teks-teks Al-Qur‟an dan as-sunnah sebagai alasan logis
bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.
Pada masa awal pengembangan pemikiran hukum Islam, pembahasan maqashid
al-syariah menempati posisi yang tidak terlalu signifikan, bahkan terkesan
dikesampingkan. Para ulama (ushuliyyin) sebatas menempatkan pada tulisan-tulisan
tambahan saja pada hukum-hukum suatu mazhab. berbicara lebih dalam, pemikiran
hukum Islam telah diikat oleh perhatian para ulama, hukum Islam hanya dikaitkan
dengan kajian ushul al-fiqih dan qawaid al-fiqih yang berorientasi pada teks dan
bukan pada makna dibalik teks. Seharusnya ushul al-fiqh, qawaid al-fiqh dan
maqashid al-syariah merupakan tiga hal yang menadi unsur-unsur sebuah sistem
yang tidak terpisahkan dan berkembang pada garis linier yang sama. Ushul al-Fiqh
merupakan metodelogi yang harus diaplikasikan untuk menuju sebuah hukum Islam,
qawaid al-fiqh merupakan pondasi dasar bangunan hukum Islam yang ada,
sedangkan maqashid al-syariah merupakan nilai-nilai dan spirit atau ruh yang berada
pada hukum Islam itu sendiri.19
Pada abad ke-8 Hijriyah, seorang ulama dari Andalausia yaitu Al Imam As
Syathibi melalui kitabnya al-Muwafaqat telah meletakan pondasi untuk kajian
maqasid al-syariah. Menurutnya maqashid al-syariah berarti tujuan Allah Swt dan
Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam, tujuan itu dapat ditelusuri dalam
ayat-ayat Al-Qur‟an dan sunah. Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu
hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia. maqashid al-syariah
19
Moh Toriquddin, “Teori Maqashid Al-Syariah Perspektif Al-Syatibi” Jurnal Syariah dan
Hukum, Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Volume 6 Nomor 1, Juni 2014. h 39.
21
adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat, kemaslahatn itu dapat
diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima hal
pokok itu menurut Imam As Syathibi adalah; Agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta.20
Dalam usaha mewuudkan dan memelihara lima unsur pokok itu maka Imam
As Syathibi membaginya kedalam tiga tingkatan yaitu : maqashid al-dururiyat,
maqashid al-hajiyat dan maqashid al-tahsiniyat.
2. Tujuan Maqashid Al-Syariah
Pengetahuan tentang maqashid al-syari‟ah sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh Imam As Syathibi adalah hal yang sangat penting, mengerti dan memahami
tentang maqashid al-syariah dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami
redaksi Al-Qur‟an dan as-sunnah, membantu menyelesaikan dalil yang saling
bertentangan (ta‟arud al-adillah) dan yang angat penting lagi adalah untuk
menetapkan suatu hukum dalam sebuah kasus yang ketentuan hukumnya tidak
tercantum dalam Al-Qur‟an dan as-sunnah jika menggunakan kaian kebahasaan.
Allah Swt sebagai pembuat syari‟at tidak menciptakan suatu hukum dan aturan di
muka bumi ini tanpa tujuan dan maksud begitu saja, melainkan hukum dan aturan itu
diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Shari‟at diturunkan oleh Allah pada
dasarnya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba sekaligus untuk
menghindari kerusakan, baik di dunia maupun di akhirat.
Semua perintah dan larangan Allah Swt yang terdapat dalam Al-Qur‟an,
begitupula perintah dan larangan Nabi Muhammad Saw yang ada dalam Hadist, yang
diasumsikan ada keterkaitan dengan hukum memberikan kesimpulan bahwa
semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya
mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia.21
Pada
20
Ahmad Al-Mursi Husain, “Maqashid Syariah,” (Jakarta; Amzah, 2013), h 13.
21Ghafar Sidiq, Teori Maqashid Al-Syariah Dalam Hukum Islam, Jurnal Fakultas Agama Islam
Universitas Islam Sultan Agung , Vol XLIV No 118 Juni-Agustus 2018, h 120.
22
dasarnya inti dari tujuan syari‟at (hukum) atau maqashid al-syari‟ah adalah
kemaslahatan umat manusia. Berkaitan dengan ini as-Syathibi menyatakan bahwa :
هذه الشزيعةوضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا
“Sesungguhnya syari (pembuatan syari‟at) dalam mensyari‟atkan hukumnya
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hambanya baik di dunia maupun di
akhirat secara bersamaan‟‟
Jika diperhatikan dalam pernyataan Imam as Syathibi tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kandungan maqashid al-syari‟ah adalah kemaslahatan manusia.
Sejalan dengan pemikiran Imam as Syathibi tersebut Fathi al-Daryni menyatakan
bahwa hukum-hukum itu tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan untuk
tujuan lain yaitu kemaslahatan.22
Sedangkan Muhammad Abu Zahrah menegaskan
bahwa semua ajaran yang dibawa oleh Islam mengandung maslahat yang nyata. Allah
Swt menegaskan bahwa ajaran Islam baik yang terkandung dalam Al-Qur‟an maupun
Hadist Nabi merupakan rahmat, obat penyembuh dan petunjuk.23
Jadi, tujuan hakiki
hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Tidak satupun hukum yang
disyari‟atkan baik dalam Al-Qur‟an maupun Hadist melainkan di dalamnya terdapat
kemaslahatan.
Penekanan inti maqashid al-syari‟ah secara garis besar bertitik tolak dari
kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an yang menunjukan bahwa hukum-hukum Allah Swt
mengandung kemaslahatan. Banyak ayat-ayat Al-Qur‟an maupun Hadist yang
berhubungan dengan hukum, setelah disimpulkan menunjukan bahwa semua hukum
itu bermuara pada kemaslahatan, baik dalam rangka menarik atau mewujudkan
kemanfaatan maupun menolak atau menghindari kerusakan.
22
Moh Toriquddin, “Teori Maqashid Al-Syariah Perspektif Al-Syatibi” Jurnal Syariah dan
Hukum, Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Volume 6 Nomor 1, Juni 2014. h 43.
23
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2000), h 28.
23
3. Tingkatan Kemaslahatan Maqashid Al-Syariah
Metode maqashid al syari‟ah dikembangkan untuk mencapai tujuan akhir dari
dilaksanakannya syari‟ah Islamiyah yaitu kemaslahatan umat manusia. Menurut
konsep Imam as Syathibi kemaslahatan yang hendak diwujudkan itu terbagi kepada
tiga tingkatan, Al-Dhururiyat (primer) ,Al-Hajjiyat (sekunder) dan Al-Tahsiniyat
(tersier). Yang dimaksud dengan al-dharuriyat maqashid adalah tingkatan kebutuhan
yang harus ada atau biasa disebut sebagai kebutuhan primer. Bila dalam tingkatan
kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terancam kemaslahatan seluruh umat
manusia baik di dunia maupun di akhirat, ada lima hal yang termasuk dalam
golongan al-dhururiyat maqashid yaitu: memelihara agama (hifd al-din), memelihara
jiwa (hifd al-nafs), memelihara akal (hifd al-aql), memelihara keturunan (hifd al-
nash), dan yang terakhir adalah memelihara harta (hifd al-mal).24
Untuk menyelamatkan agama, Islam mewajibkan ibadah sekaligus melarang
hal-hal yang merusaknya, untuk menyelamatkan jiwa Islam mewajibkan misalnya
makan, tetapi Islam melarang makan makanan yang haram (dilarang oleh ketentuan
agama karena adanya hal-hal yang tidak baik bagi diri manusia). Bahkan Islam
melarang umatnya untuk makan dengan berlebihan, untuk menyelamatkan akal Islam
melarang hal-hal yang dapat merusak fungsi akal, misalnya minum-minuman yang
memabukan (khamer) sehingga manusia lupa akan dirinya dan lingkungan sekitarnya,
untuk menyelamatkan keturunan Islam mewajibkan menikah dan untuk
menyelamatkan harta Islam mensyari‟atkan hukum mu‟amalah yang baik dan benar
dan upaya-upaya yang merusaknya dilarang seperti mencuri dan lain sebgainya.
Jadi secara garis besar pengertian dari al-dhururiyat maqashid ialah suatu
kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang
berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika salah satu luput dari tatanan hidup
manusia maka akan mengakibatkan kerusakan pada tatanan kehidupan manusia
tersebut. Zakaria al-Biri menyebutkan bahwa maslahat dharuriyyat ini merupakan
24
Ayang Utriza Yakin, “Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer”, (Jakarta : Kencana, 2016), h
170.
24
dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak, maka akan
rusak pula kelangsungan hidup manusia, sebagai contoh jika pembunuhan tidak
dilarang oleh agama dan tidak ada perlindungan maka jiwa setiap manusia akan
terancam keberadaannya bahkan bisa membawa kepada kepunahan.
Dalam tingkatan hajjiyat (skunder) ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara‟
tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan
untuk menghilangkan kesulitan, kesusahan, kesempitan dan ihtiyath (berhati-hati)
terhadap lima hal pokok tersebut. Dalam lapangan ibadah Islam, mensyariatkan
beberapa hukum rukhshah (keringganan) bilamana kenyataan mendapatkan kesulitan
dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam memperbolehkan tidak
berpuasa dalam perjalankan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari lain
begitu pula untuk orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah juga
dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini. Di dalam lapangan muamalat, ialah
diperbolehkannya banyak bentuk transaksi yang dibutuhkan manusia, seperti akad
muzara‟ah, salam, murabahab, dan mudharabah.
Dilapangan ‟uqubah (sanksi hukum),Islam mensyariatkan hukuman diyat
(denda) bagi pembunuhan tidak disengaja. Perlu ditegaskan bahwa termasuk dalam
katagori hajjiyat dalam hal harta, seperti diharamkan ghasab dan merampas,
Sedangkan hajjiyat yang berkaitan dengan akal seperti diharamkannya meminum
khamar walau hanya sedikit.
Dalam tingkatan tahsiniyat (tersier) Ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak
terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari kelima pokok diatas serta tidak
pula menimbulkan kesulitan.Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya
untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja.
Sekiranya kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah
menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia.
Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mengacu pada keindahan saja. Akan tetapi
kemaslahatan seperti ini dibutuhkan oleh manusia.
25
Dalam lapangan ibadah disyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan
kebutuhan tahsiniyat seperti islam menganjurkan berhias memakai wewangian ketika
hendak ke mesjid, dan menganjurkan banyak ibadah sunnah, dalam lapangan
muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli dan lain-lain,
dalam lapangan ‟uqubah Islam memgharamkan membunuh anak-anak dan wanita
dalam peperangan, serta melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam
peperangan). Diantara contoh tahsinat yang berkaitan dengan memelihara harta
adalah diharamkan menipu atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak menyentuh
secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut
kesempurnaannya.
Tahsinat dalam kaitan dengan memelihara agama diantaranya adalah larangan
terhadap dakwah yang menyimpang, yang tidak menyentuh pokok keimanan (ashlul
itiqad), dimana semakin genjarnya gerakan dakwah semacam ini malah menimbulkan
keraguan terhadap ajaran islam. Demikian pula larangan mempelajari kitab-kitab
yang sumber-sumber ajaran agama lain bagi orang yang tidak mampu melakukan
studi perbandingan secara rasional dan mendalam diantara kebenaran-kebenaran
agama.
26
BAB III
HAM DALAM KONSTITUSI INDONESIA
A. Konsep HAM dalam Sejarah
Pada dasarnya hak asasi itu dimiliki oleh setiap manusia, tidak mengenal waktu,
siapa dan dimana. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak demikian yang telah diuraikan
dalam sebuah teori. Kurangnya pengetahuan dan sikap apatis adalah faktor utama
penghambat tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Akibatnya pelanggaran terhadap hak
asasi manusia muncul ibarat jamur yang tumbuh di musim hujan. Jika kita ingin
melacak secara historis kapan hak asasi manusia muncul dan menjadi pusat
pembicaraan, memang sulit. Namun informasi awal yang ada bahwa sejak beberapa
abad sebelum masehi, manusia sudah membicarakan masalah HAM. Seperti
persoalan keadilan, persamaan hak, kemerdekaan dan kedamaian. Hal ini terjadi pada
masyarakat Yunani kuno, khususnya para ahli filsafat seperti Cicero, Plato dan
Aristoteles (2-3 abad SM).
Sebagian orang menganggap bahwa lahirnya HAM dimulai dengan munculnya
perjanjian agung (magna carta) pada tanggal 15 juni 1215 di kerajaan Inggris yang
dianggap sebagai cikal bakal HAM. Adapun kandungan pokok dalam perjanjian
tersebut adalah raja yang memiliki kekuasaan absolut dapat dibatasi kekuasaannya
dan dimintai pertanggung jawaban di depan hukum. Maka lahirlah doktrin “raja tidak
kebal hukum” walaupun otoritas legislasi undang-undang ditangannya.25
Pada
dasarnya, magna carta memaksa raja untuk tidak mengambil hasil bumi begitu saja
tanpa persetujuan terlebih dahulu, agar raja tidak menuduh dan menagkap seseorang
tanpa pengadilan yang dapat dipercaya. Bila seseorang telah diperlakukan sedemikian
oleh raja, maka harus ada ganti rugi dan rehabilitasi. Hak raja bukanlah dipahami.
25
Baharudin Lopa, “Al-qur‟an dan Hak Asasi Manusia” (Yogyakarta:Dana Bhakti Prima Yasa),
h 20.
27
sebagai suatu yang tak terbatas (absolut), melainkan juga dibatasi oleh hak rakyat.
Tradisi bahwa hukum lebih tinggi dari raja selanjutnya terbentuk.26
Tahun 1968 melalui petition of right, suatu petisi dari dewan perwakilan rakyat
yang mengajukan berbagai pertanyaan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya
kepada raja yang menjawabnya dihadapan sidang badan perwakilan. Selanjutnya
pada tahun 1670, ditetapkan hobeas copus act (peraturan pemeriksaan di muka
hakim), yang memuat perintah raja agar setiap tahanan agar diinformasikan di muka
hakim atas tuduhan apa ia ditahan. Dari sinilah berasal prinsip hukum bahwa setiap
orang yang ditahan harus atas perintah hakim.27
Pada tahun 1689 parlemen
meyakinkan raja akan hak-hak parlemen yang dimuat dalam bill of right. Rumusan
ini mengandung ketentuan bahwa raja harus memerintah sesuai ketentuan yang
ditetapkan oleh parlemen, hak individu diakui seperti hak mengajukan petisi, hak
untuk berdebat bebas dalam parlemen dan larangan terhadap hukuman yang
berlebihan.
Hal inilah yang menginpirasi bangsa Amerika untuk merumuskan virginia of
rightdan declaration of independence pada tanggal 6 juli 1776. Deklarasi ini
menyatakan, “we hold these truths to be self evident, that all men are created equal,
that they are endowed by their creator with certain unalienable rights, that among
these are life, liberty and the parsuit of happiness.”28
Muatan deklarasi ini
diantaranya yakni setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan, memiliki
hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan, serta suatu keharusan mengganti
pemerintah yang acuh terhadap ketentuan-ketentuan dasar tersebut.
26
Bahder Johan Nasution, “Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia”, (Bandung: Mandar Maju,
2012) , h 134.
27
Mujaid Kumkelo,Dkk, “Fiqih HAM : Ortodoksi dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam
Islam”, (Malang:Setara Press, 2015), h 26.
28
Edward C. Smith, “The Constitution of the United States” (New York: Barnes & Noble, hal 17,
dalam Majda El-Muhtaj, “Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945, sampai
dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002 “(Jakarta: Kencana, 2007), h 52.
28
Sama halnya dengan Amerika, di Paris Prancis tepatnya 4 Agustus 1789 lahir
deklarasi hak-hak manusia dan warga negara (declaration des droits de I‟homme et
du citoyen) atau dikenal dengan French declaration, yang menyatakan hak-hak yang
lebih rinci lagi sebagai dasar dari rule of law. Deklarasi ini berisi tidak boleh ada
penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan
yang sah dan ditangkap tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah.
Deklarasi Perancis sebagai salah satu produk revolusi Perancis berhasil meruntuhkan
tatanan masyarakat feudal, termasuk golongan pendeta agama dan susunan
pemerintah negara yang bersistem monarki absolute. Dengan semangat memperoleh
jaminan hak-hak manusia dalam perlindungan undang-undang negara, maka
dirumuskan tiga prinsip yang disebut trisloganda yang melahirkan konstitusi Perancis
1791, yaitu 1. Kemerdekaan (liberte); 2. Kesamarataan (equalite); 3. Kerukunan dan
persaudaraan (fraternite).29
Pada permulaan abad ke 20, presiden Amerika Serikat, Franklin Delano
Roosevelt merumuskan empat macam hak asasi manusia dikenal dengan “the four
freedoms,” yaitu kemerdakaan berbicara dan berekspresi, kemerdekaan dalam
memilih agama, kemerdekaan dari rasa takut dan kemerdekaan dari kekurangan.
Pemikiran Roosevelt inilah yang kemudian menjadi inspirasi munculnya universal
declaration of human right atau deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM)
pada tahun 1948. Selanjutnya, pada tahun 1965-1979 muncul beberapa kovenan
(perjanjian) internasional yang dirumuskan oleh PBB, yakni: perjanjian internasional
tentang diskriminasi ras, perjanjian internasional tentang hak ekonomi, social dan
budaya, perjanjian internasional tentang hak sipil dan politik dan konvensi tentang
diskriminasi terhadap wanita. Hal ini yang kemudian menjadikan dunia barat
mengklaim bahwa yang terlebih dahulu memproklamasikan perlindungan dan
penegakan HAM adalah mereka.
29
Kuntojoro Purbopranoto, “Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila “(Jakarta: Pradya
Paramita,1982), h 18-19.
29
Akan tetapi tidak demikian, jauh sebelum dunia Barat berbicara mengenai HAM
ini, Islam terlebih dahulu berbicara terkait dengan persoalan tersebut sejak awal
kemunculannya. Hal ini dapat dilihat dari sikap Nabi Muhammad Saw yang
menentang penindasan manusia atas manusia yang lain meliputi; diskriminasi,
penyiksaan, pembunuhan dan lain-lain. Puncaknya pada pidato perpisahan Nabi
Muhammad Saw, yang menekankan pentingnya perlindungan serta penegakan nilai-
nilai hak asasi manusia di setiap sendi kehidupan. Pidato ini disebut pidato
perpisahan karena tidak lama setelah itu Nabi wafat.
Jika kita menganalisis bagaimana sejarah perjalanan ide-ide hak asasi manusia di
atas. Dapat kita pahami bahwa dalam pandangan Barat hak asasi manusia lebih
terfokus pada aspek manusia (Insaniyah). Karna berangkat dari cara pandang mereka
yang sekuler dan bahkan tidak beragama. Mereka mempunyai kecenderungan
mengutamakan pemenuhan hak pribadi tanpa berfikir bahwa di sisi lain ada
kewajiban yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Dalam Islam hak asasi dipandang
bertujuan untuk dan bersumber dari tuhan (Ilahiyah). Di samping mempunyai hak di
sisi lain ada kewajiban yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Oleh karna itu,
perbincangan mengenai hak asasi manusia memang memang sesuatu yang harus
hidup, bahkan semakin mendapatkan perhatian lebih oleh berbagai lapisan
masyarakat hingga saat ini. Berbagai Negara telah masukan muatan materi tentang
HAM dalam konstitusi mereka, perjanjian internasional telah dibuat namun menjadi
suatu ironi pelanggaran HAM masih saja tetap terjadi.
B. Konsep Perumusan HAM dalam Konstitusi
Sejak negara Indonesia diproklamamasikan menjadi negara merdeka, para
pendiri Republik Indonesia sepakat bahwa negara berlandaskan pada hukum yang
diartikan sebagai konstitusi dan hukum tertulis yang mencerminkan penghormatan
kepada HAM. Undang-undang Dasar ialah piagam tertulis yang sengaja diadakan dan
memuat segala apa yang dianggap oleh pembuatnya menjadi asas fundamental dari
negara tersebut. Undang-undang Dasar Tahun NRI Tahun 1945 adalah konstitusi
30
Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
ditegaskan bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (maachstaat).30
Gagasan negara yang berlandaskan konstitusi dan hukum juga secara jelas
terekam dalam perdebatan di sidang pleno konstituante pada saat membahas falsafah
negara atau dasar negara, HAM, dan pemberlakuan kembali UUD 1945 antara kurun
waktu tahun 1956- 1959. Dalam rentangan berdirinya bangsa dan negara Indonesia
telah lebih dulu dirumuskan dari deklarasi Universal hak-hak asasi manusia
(DUHAM) PBB, karena pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya diundangkan
pada tanggal 18 Agustus 1945, adapun Deklarasi PBB pada tahun 1948. Hal tersebut
merupakan fakta pada dunia bahwa bangsa Indonesia sebelum tercapainya pernyataan
HAM sedunia oleh PBB, telah mengangkat dan melindunginya dalam kehidupan
bernegara yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945.
Deklarasi bangsa Indonesia pada prinsipnya termuat dalam naskah pembukaan
Undang-undang Dasar 1945, dan pembukaan Undang-undang Dasar 1945 merupakan
sumber normatif bagi hukum positif Indonesia terutama penjabaran dalam pasal-pasal
Undang-undang 1945. Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea pertama
dinyatakan bahwa “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa.31
‟‟ Dalam pernyataan
tersebut terkandung pengakuan secara yuridis hak asasi manusia tentang
kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 PBB DUHAM. Dasar filosofi
HAM tersebut bukanlah kebebasan individualis, melainkan menempatkan manusia
dalam hubungannya dengan bangsa (makhluk sosial) sehingga HAM tidak dapat
dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia.
Undang-undang Dasar 1945 sebelum diubah dengan perubahan kedua pada tahun
2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian HAM.
Pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian HAM yaitu Pasal 27 ayat (1) dan ayat
30
Jimly Asshidiqqie, “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi,” (Jakarta: Mahkamah Konstitusi,
2006). h 27.
31
(2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 34. Dari
semua pasal tersebut, istilah HAM tidak dijumpai namun yang ditemukan adalah hak
dan kewajiban warga negara.
Meskipun Undang-undang Dasar 1945 adalah hukum dasar tertulis yang di
dalamnya memuat hak-hak dasar manusia serta kewajibannya yang bersifat dasar
pula, akan tetatapi penjelasan mengenai HAM tidak dijelaskan secara tegas
penjabaran dan penjelasannya. Namun jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh
hanya satu ketentuan saja yang memang memberikan jaminan konstitusional atas
HAM yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Ketentuan yang lain sama sekali bukan rumusan tentang HAM, melainkan hanya
kententuan mengenai hak warga negara atau the citizen rights atau biasa juga disebut
the citizen constituonal rights. Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi
orang yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak
dijamin. Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan
status kewarganegaraannya adalah Pasal 29 ayat (2) tersebut. Selain itu, ketentuan
Pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM. Akan tetapi, Pasal 28
Undang-undang Dasar 1945 belum memberikan jaminan konstitusional secara
langsung dan tegas mengenai adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan bagi setiap orang, Pasal
28 hanya menentukan hal ihwal mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut
dan jaminan mengenai hal itu masih akan ditetapkan dengan undang-undang.
Di dalam Undang-undang Dasar 1945 perubahan kedua, pengaturan mengenai
HAM tercantum dalam satu bab tersendiri yaitu dalam Bab XA dengan 10 pasal serta
24 ayat yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J terkait jaminan HAM dan
penegakan hukum untuk menjamin tegaknya HAM sebagai sebuah pilar negara
hukum. Tidak hanya dalam satu bab tersendiri dalam Undang-undang Dasar 1945
32
atas jaminan perlindungan HAM, jaminan atas perlindungan HAM warga negara
dalam Undang-undang Dasar 1945 pun terumuskan ke dalam beberapa bab dan pasal
dalam Undamg-undang dasar itu sendiri. Rumusan mengenai HAM ini sangat
lengkap yang mencakup seluruh aspek HAM yang diakui secara universal. Seluruh
HAM yang tercantum dalam Bab XA Undang-undang Dasar 1945 keberlakuannya
dapat dibatasi. HAM dapat dibatasi juga diperkuat dengan Pasal 28J sebagai pasal
penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang HAM.
Sistematika pengaturan mengenai HAM dalam Undang-undang Dasar 1945 ini
sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam universal declaration of human
rights yang juga menempatkan pasal pembatasan HAM sebagai pasal penutup. HAM
harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab
yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran,
memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan
pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan
kewajiban tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap
orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang
bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak
asasi orang lain sebagaimana mestinya.
HAM yang diatur dalam perubahan kedua Undang-undang Dasar 1945 tidak ada
yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945. Pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan
kejelasan bahwasannya tidak ada satu pun HAM di Indonesia yang bersifat mutlak
dan tanpa batas. HAM dalam Undang-undang Dasar 1945 dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelompok, yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan
budaya, hak atas pembangunan dan hak khusus lain, serta tanggung jawab negara dan
kewajiban asasi manusia. Selain itu, terdapat hak yang dikategorikan sebagai hak
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights) yang
meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
33
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut.32
Pada dasarnya konsep jaminan perlindungan HAM dalam konstitusi Indonesia
yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 mengacu pada materi muatan
konsep perlindungan HAM dalam deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM)
dimana dalam deklarasi internasional ini menunjukan nilai normatifnya hak asasi
manusia sebagai nilai yang fundamental. Tidak hanya memalui DUHAM konverensi
internasional dalam International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR)
merupakan konverensi internasional yang juga memberikan pengaturan terkait hak
asasi manusia yang menjadikan hak asasi manusia sebagai hak yang bersifat
fundamental namun lebih kepada aspek hak sipil dan politik. Namun dari kedua
konverensi internasional tersebut menjadi acuan serta landasan dalam membentuk
konsep perlindungan HAM dalam konstitusi negara Indonesia.
Sebelum perubahan Undang-undang Dasar 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu
pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI
Nomor XVII/1998 mengenai HAM yang di dalamnya tercantum piagam HAM
Bangsa Indonesia dalam sidang istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan
Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Kedua peraturan perundang-
undangan tersebut telah mengakomodir DUHAM. Apa yang termuat dalam
perubahan Undang-undang 1945 (Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J) adalah
merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan
kembali secara sistematis. Kecurigaan bahwa konsep HAM yang di adaptasi oleh
bangsa Indonesia selama ini dari Barat diantisipasi oleh amandemen pada pasal 28J
Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur adanya pembatasan HAM. Karena itu,
pemahaman terhadap pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan
HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai
kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi.
32
A. Masyhur Effendi, “Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses
Dinamika Penyusunan Hak Asasi Manusia,” (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2006), h 47.
34
Ketentuan HAM dalam Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi basic law
adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam
konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin
pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) Undang-undang Dasar
1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan
HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Pengaturan mengenai HAM dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu bahwa
antara hak dan kewajban warga negara adalah seimbang, kebebasan HAM terhadap
manusia lainnya dibatasi oleh undang-undang. Pembatasan atas pelaksanaan HAM
hanya dapat ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
HAM di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila. Yang artinya
HAM mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada
Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan HAM tersebut harus memperhatikan garis
yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia,
melaksanakan HAM bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya
melainkan harus memperhatikan ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup
bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak
ada hak yang dapat dilaksanakan secara mutlak tanpa memperhatikan hak orang lain,
pengaturan HAM dalam Undang-undamg Dasar 1945 mengatur hak-hak dasar setiap
warga negara di dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, sipil, serta hak atas
pembangunan. Setiap warga negara seimbang antara hak dan kewajibannya.
35
C. Materi Muatan HAM dalam Konstitusi Indonesia
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 merupakan suatu konstitusi negara
tertinggi yang mana mengatur segala aspek bernegara termasuk hak asasi manusia.
Maka dari itu keberadaan konstitusi memegang peran strategis di dalam suatu negara
guna menjalankan segala fungsi dan kewenangan kenegaraan. Konstitusi dipahami
sebagai falsafah kenegaraan atau staatside yang berfungsi sebagai filosofische
gronsdslag diantara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan benegara
artinya perubahan konstitusi atau amandemen Undang-undang Dasar dapat diartikan
berubahnya pula sistem ketatanegaraan suatu negara.
Di dalam sejarah Bangsa Indonesia, konstitusi negara telah mengalami beberapa
kali fase perubahan sejak saat negara Indonesia merdeka. Konstitusi negara yang
menjadi pedoman bangsa terus memperbaiki system kenegaraan guna menjadi
landasan negara yang mencakup segala aspek di Indonesia terutama dalam hal
jaminan hak asasi manusia. Konsep materi muatan jaminan hak asasi manusia di
Indonesia pun terus mengalami perubahan seiring dengan berubah serta
berkembangnya konstitusi negara dari sejak negara diproklamasikan. Dari mulai
konstitusi Bangsa Indonesia dalam Undang-undang Dasar 1945, konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS) 1949, konstitusi Undang-undang Dasar 1950 dan kembali
pada konstitusi Undang-undang Dasar 1945 serta peralihan kedua pada konstitusi
Undang-undang Dasar 1945. Manteri mengenai hak asasi manusia pun ikut
berkembang dan berubah di dalamnya.
1. Materi muatan HAM dalam Undang-undang Dasar 1945
Menyikapi jaminan materi muatan HAM yang terdapat dalam konstitusi Undang-
undang Dasar 1945 pertama terdapat pandangan yang beragam. Ada yang
berpandangan bahwa materi muatan HAM dalam konstitusi pertama Undang-undang
Dasar 1945 tidak memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif. Hal ini
didasarkan bahwa istilah HAM tidak ditemukan secara eksplisit dalam pembukaan,
batang tubuh maupun penjelasannya. Bahkan menurut Sutiyoso di dalam konstitusi
36
pertama Undang-undang Dasar 1945 hanya ditemukan pencantuman dengan tegas
perkataan hak dan kewajiban warga negara dan hak-hak DPR. Menurut Prof Mahfud
MD tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa di dalam konstitusi pertama
Undang-undang Dasar 1945 itu sebenarnya tidak banyak member perhatian pada
HAM , bahkan Undang-undang Dasar 1945 tidak berbicara apapun tentang HAM
universal kecuali dalam dua hal, yaitu sila keempat Pancasila dan pasal 29 yang
menderivasikan jaminan “kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan
beribadah.” Selebihnya hanya berbicara mengenai HAW (Hak Asasi Warga negara).
Dimana HAM dan HAW mempunyai makna yang berbeda yaitu HAM mendasarkan
diri pada paham bahwa secara kodrati manusia itu dan di manapun mempunyai hak-
hak bawaan yang tidak bisa dipindah, diambil atau dialihkan. Sedangkan HAW hanya
mungkin diperoleh karena seseorang memiliki status sebagai warga negara. Hal inilah
yang membuat adanya kesan bahwa pembukaan dan batang tubuh Undang-undang
Dasar 1945 tidak memiliki semangat yang kuat dalam memberikan perlindungan
HAM atau lebih menganut keinginan untuk membatasi HAM.33
Sementara yang berpandangan bahwa dalam konstitusi pertama Undang-undang
Dasar NRI Tahun 1945 hanya memberikan pokok-pokok serta jaminan atas HAM.
Pandangan ini didukung oleh Kuntjoro Purbopranoto, G.J. Wolhoff dan Solly Lubis.
Menurut Kuntjoro, jaminan konstitusi Undang-undang Dasar 1945 terhadap HAM
bukan tidak ada ataupun tidak tercantum dalam konstitusi pertama Indonesia,
melainkan dalam ketentuan Undang-undang Dasar 1945 mencantumkannya secara
tidak sistematis. Solly Lubis, menegaskan bahwa ketika demokrasi diakui sebagai
pilihan terbaik bagi system dan arah kehidupan sebuah bangsa, pada umumnya orang
tiba pada suatu prinsip umum bahwa pada hakikatnya hak-hak asasi itu harusnya
mendapat jaminan sesuai dengan asas demokrasi yang berlaku dan mendasari sistem
politik dan kekuasaan yang sedang berjalan, selain itu menurut Solly Lubis konstitusi
33
Majda El-Muhtaj, “Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia” (Jakarta: Kencana, 2005),
h. 94.
37
pertama Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 tetap mengandung pengakuan dan
jaminan yang luas mengenai hak-hak asasi walaupun harus diakui secara redaksional
formulasi mengenai hak-hak itu sangat sederhana dan singkat, namun tidak bisa
dikatakan bahwa dalam konstitusi pertama tidak terdapat materi muatan jaminan hak
asasi manusia.
2. Materi muatan HAM dalam Konstitusi RIS 1949
Konstitusi RIS memberikan penekanan yang signifikan tentang HAM. Hal
tersebut diatur dalam bab 1 bagian 5 hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar
manusia yang terbentang dalam 27 pasal. Selain itu, konstitusi RIS juga mengatur
kewajiban asasi negara dalam hubungannya dengan upaya penegakan HAM yang
terdapat dalam bab 1, Bagian 6 asas-asas dasar yang terbentang dalam 8 pasal.
Penekanan dan jaminan konstitusi RIS atas HAM secara historis sangat dipengaruhi
oleh keberadaan DUHAM (deklarasi universal hak asasi manusia) yang dirumsukan
oleh PBB pada 10 desember 1948. Dalam konteks negara bangsa maka HAM versi
PBB pada waktu itu sangat dirasakan mempengaruhi konstitusi negara-negara di
dunia, termasuk konstitusi RIS 1949.
Meskipun tidak ditemukan kata hak asasi manusia dalam konstitusi RIS namun
ada tiga kalimat yang digunakan yakni, setiap/segala/sekalian orang/siapa pun/tiada
seorang pun, setiap warga negara dan berbagai kata yang menunjukkan adanya
kewajiban hak asasi manusia dan negara. Keseluruhan kata ini dapat ditafsirkan
kepada makna dan pengertian HAM yang sesungguhnya. Dengan kata lain, manusia
secara pribadi, kelompok, keluarga, dan sebagai warga negara benar-benar ditegaskan
sebagai mereka yang mendapatkan jaminan dalam Konstitusi RIS. Dapat dikatakan
bahwa HAM di dalam konstitusi RIS menempati posisi penting yang menunjukkan
terdapatnya sebuah jaminan perlindungan yang ideal. Meskipun, konstitusi RIS
terbilang sementara namun kenyataannya muatan hak-hak asasi tersebut semakain
dikuatkan dengan terdapatnya kewajiban asasi yang harus dilaksanakan oleh
penguasa/pemerintah.
38
3. Materi muatan HAM dalam UUDS 1950
Secara anatomik UUDS 1950 terdiri atas 6 bab dan 146 pasal yang membahas
tentang HAM. Karena materi muatan UUDS 1950 adalah perubahan atas konstitusi
RIS 1949 maka perihal HAM juga di samping memiliki kesamaan secara umum
terdapata juga perbedaan-perbedaan yang prinsipil. Menurut Soepomo setidaknya
terdapat tiga perbedaan mendasar konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal
penegasannya tentang HAM, yaitu:
a. Hak dasar mengenai kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran meliputi
kebebasan bertukar agama atau keyakinan sebagaimana yang tertuang dalam
pasal 18 UUDS 1950.
b. Dalam pasal 21 UUDS 1950 diatur perihal hak berdemonstrasi dan hak
mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada konstitusi RIS
c. Dasar perekonomian sebagaimana dimuat pada pasal 33 UUD 1945 diadopsi
kedalam pasal 38 UUDS 1950, selain itu, Pasal 37 ayat (3) melarang
organisai-organisasi yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan
ekonomi nasional.
Hal lain yang menarik dalam UUDS 1950 adalah penegasan secara eksplisit
bahwa hak milik berfungsi sosial, sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat (3).
Dengan ketentuan ini semakin jelas bahwa UUDS 1950 tidaklah mengandalkan hak-
hak asasi secara individual, melainkan juga penekanan kepada fungsi dan manfaat
sosial. Pencantuman HAM sebagai pribadi, keluarga, warga negara dan kewajiban
asasi baik oleh pribadi, warga negara maupun negara dalam UUDS 1950 dinilai
sangat sistematis. Bahkan dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas konstitusi
RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru dalam
jaminan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB Tahun 1948
dan Konstitusi RIS 1949.
39
4. Materi muatan HAM pasca kembali ke Undang-undang Dasar 1945
Materi muatan HAM dalam Undang-undang Dasar 1945 tidak mengalami
perubahan apapun. Meskipun diakui materi muatan HAM dalam Undang-undang
Dasar 1945 sangat singkat namun kehendak Dekrit mengakibatkan bahwa secara
serta merta apa yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pada saat pertama
kali berlaku sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi sepenuhnya berlaku
kembali sejak 5 Juli 1959. Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa kembali
berlakunya Undang-undang Dasar 1945 berarti bahwa jaminan konstitusi atas HAM
menjadi tidak sempurna dan tidak tegas.
Sisi fleksibilitas Undang-undang Dasar 1945 mengakibatkan fleksibel pula arah
dan penegakan HAM di Indonesia. Akibatnya muatan HAM di dalam Undang-
undang Dasar 1945 menurut Prof Mahfud MD sangat tergantung dari konfigurasi
politik tertentu. Jika konfigurasi politik demokratis, maka HAM memperoleh tempat
dan implementasi yang relatif proporsional tetapi jika konfigurasi politik sedang
bekerja di bawah otoritarian maka HAM pun akan mendapat perlakuan yang buruk.34
5. Materi muatan HAM dalam perubahan kedua Undang-undang Dasar 1945
Salah satu poin penting dari perubahan kedua Undang-undang Dasar 1945 adalah
mengenai hak asasi manusia (HAM). Berbeda dengan Undang-undang Dasar 1945
sebelumnya, perubahan kedua Undang-undang Dasar 1945 memasukkan perihal
HAM menjadi satu bab tersendiri yakni bab XA mengenai HAM dengan 10 Pasal.
Banyak kalangan memandang bahwa pencantuman bab khusus mengenai HAM
dalam Undang-undang Dasar merupakan “lompatan besar” dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia. Pasal-pasal HAM sebagaimana terdapat pada Undang-
undang Dasar 1945 dinilai sangat singkat dan sederhana. Maka kehadiran perubahan
34
Abdy Yuhana, “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945”
(Bandung:Fokusmedia) h 68.
40
kedua Undang-undang Dasar 1945 merupakan suatu kemajuan yang signifikan,
sebagai buah dari perjuangan panjang dari para pendiri bangsa.
Muatan HAM dalam perubahan kedua Undang-undang Dasar 1945 jauh melebihi
ketentuan yang pernah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 sebelumnya di awal,
selain karena terdapatnya satu bab tersendiri hal lain adalah berisikan pasal-pasal
yang berkaitan langsung dengan HAM baik secara pribadi maupun sebagai warga
negara Indonesia. Muatan HAM dalam perubahan kedua Undang-undang Dasar 1945
dapat dikatakan sebagai bentuk komitmen jaminan konstitusi atas penegakan hukum
dan HAM di Indonesia.
Mengenai perkembangan generasi HAM bisa dilihat dengan terang bahwa
muatan HAM yang diatur dalam perubahan kedua Undang-undang Dasar 1945 tidak
memiliki kejelasan. Ketidakjelasan ini kemudian semakin terlihat ketika pasal-pasal
HAM tersebut tidak memberikan penegasan tentang penegakan HAM itu sendiri.
Dengan kata lain, menurut Saldi Isra‟ tidak ditemukan pasal-pasal enforcement dalam
penegakan HAM secara konkret, yang ditemukan hanyalah bahwa pengaturan lebih
lanjut tentang HAM diatur dalam peraturan perundang-undangan. HAM yang diatur
dalam Perubahan Undang-undang Dasar 1945 masih terbilang konvensional karena
apa yang ditegaskan adalah hal klasik yang setiap manusiapun mengerti dan
memahaminya sebagai hak universal seperti hak hidup, hak tumbuh dan berkembang
dan hak atas perlakuan adil dan lain-lainnya. Bisa dikatakan materi muatan HAM
dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945 ini sudah jauh dari sempurna, secara
redaksional Satya Arinanto mengatakan bahwa materi muatan HAM dalam
perubahan Undang-undang Dasar 1945 sebagian besar merupakan pasal-pasal yang
berasal atau setidak-tidaknya memiliki kesamaan dengan pasal-pasal HAM
sebagaimana diatur dalam Tap MPR No XVII/MPR/1998/Tentang HAM dan UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM. 35
35
Inu Kencana Syafiie, “Pengantar Hukum Tata Negara” (Jakarta:Pustaka Jaya) h 63.
41
Sehingga harus diakui bahwa pengaturan materi muatan HAM dalam Undang-
undang Dasar 1945, khususnya setelah berlakunya perubahan Undang-undang Dasar
1945 adalah sebuah keberhasilan sekaligus sebagai The Starting Point dalam upaya
penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Perubahan kedua Undang-undang Dasar
1945 khususnya pada Bab XA tentang HAM memberikan landasan gerak yang
signifikan bagi jaminan Konstitusi atas HAM Indonesia.
Dalam kontek ketatanegaraan terjadi perubahan besar-besaran melalui
amandemen Undang-undang Dasar 1945. Berangkat dari amandemen ini, terjadilah
banyak perubahan yang sangat mendasar seperti pada saat perubahan tahunan MPR
tahun 1999 yang terpusat pada pembatasan kekuasaan Presiden dan memperkuat
kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislative. Perubahan
kedua pada siding tahunan MPR tahun 2000 lebih terpusat pada masalah wilayah
negara dan pembagian wilayah daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam
hal memperkuat kedudukan DPR dan memasukan ketentuan yang terperinci tentang
HAM. Perubahan ketiga pada sidang tahunan MPR tahun 2001 lebih terpusat pada
asas-asas landasan bernegara, dan ketentuan-ketentuan tentang pemilihan umum.
Perubahan keempat, dilakukan dalam sidang tahunan MPR di tahun 2002 hal yang
menjadi fokus perubahan adalah ketentuan tentang lembaga negara dan hubungan
antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan
tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan
kesejahteraan sosial dan aturan peralihan dan tambahan.36
Melihat beberapa fase perubahan yang telah dijelaskan di atas, penulis bisa
menarik kesimpulan bahwa puncak pengakuan HAM di Indonesia itu pada saat
amademen UUD 1945 kedua, dengan dimasukannya materi HAM dalam Undang-
undang Dasar 1945 maka sudah menjadi keharusan bagi negara untuk menjamin dan
menjaga hak asasi warga negara nya. Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, bahwa materi
36
Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”, Edisi Revisi (Jakarta;
Konstitusi Press,2005), h 170-171.
42
hak asasi manusia yang telah diadopsi kedalam konstitusi Undang-undang Dasar
1945 mencakup 77 materi.37
Yang jika dipadatkan mengatur mengenai beberapa hal
pokok yaitu:
a. Hak beragama dan berkeyakinan sesuai dengan prinsip ke Tuhanan yang
Maha Esa. ( Pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945)
b. Hak atas hidup dan pemeliharaan kehidupan. (Pasal 28A Undang-undang
Dasar 1945)
c. Hak atas pendidikan, informasi dan kebebasan menyatakan pendapat. (Pasal
31 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945)
d. Hak melanjutkan keturunan (Berkelurarga). (Pasal 28B ayat 1 Undang-
undang Dasar 1945)
e. Hak mendapatkan pekerjaan dan jaminan sosial. (Pasal 27 ayat 2 Undang-
undang Dasar 1945)
f. Hak atas perlindungan aset budaya. (Pasal 28I ayat 3 Undang-undang Dasar
1945)
g. Hak atas keadilan dan perdamaian. (Pasal 28D ayat 1 Undang-undang Dasar
1945)
Ketujuh materi pokok mengenai jaminan perlindungan hak asasi manusia
dalam Undang-undang Dasar 1945, terangkum dalam konstitusi negara pada bab XA
tentang hak asasi manusia dari mulai pasal 28A sampai pasal 28J Undang-undang
Dasar 1945. Perlindungan hak asasi manusia oleh konstitusi negara telah begitu
detail, rapi serta terstruktural dengan harapan HAM tidak hanya menjadi wacana
negara dalam konstitusi akan tetapi menjadi suatu hal yang harus dijunjung tinggi dan
dilindungi.
37
Nurul Qomar, ”Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi: Human Rights in
Democratiche Rechtsstaat”, (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h 101-104.
43
BAB IV
MAQASHID AL-SYARI’AH DAN PERLINDUNGAN HAM
DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NRI TAHUN 1945
A. Perlindungan HAM dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
Konsep negara hukum Indonesia diwujudkan dalam bentuk pelindungan
terhadap warga negara dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Negara hukum merupakan usaha pembatasan absolutisme negara melalui seperangkat
aturan dalam konstitusi.38
Pada umumnya materi konstitusi atau Undang-undang
Dasar mencakup hal-hal yang fundamental seperti, adanya jaminan terhadap HAM
terhadap warga negaranya, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang
bersifat fundamental, serta adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan
yang juga bersifat fundamental.39
Salah satu poin penting dari perubahan amandemen Undang-undang Dasar NRI
Tahun 1945 adalah mengenai HAM. Berbeda dengan Undang-undang Dasar sebelum
di amademen, perubahan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 memasukkan
perihal HAM menjadi satu bab tersendiri yakni bab XA mengenai HAM dengan 10
pasal. Muatan HAM dalam konstitusi jauh melebihi ketentuan yang pernah diatur
dalam Undang-undang Dasar 1945 sebelum diamandemen, selain karena terdapatnya
satu bab tersendiri, hal lain adalah berisikan pasal-pasal yang berkaitan langsung
dengan HAM baik secara pribadi maupun sebagai warga negara Indonesia. Muatan
HAM dalam perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945 dapat dikatakan sebagai bentuk
komitmen jaminan konstitusi atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia.
HAM yang diatur dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 masih
terbilang konvensional, karena apa yang ditegaskan adalah hal klasik yang setiap
38
Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalime Indonesia”, Mahkamah Konstitusi RI dan
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI, Jakarta, 2004, h 11.
39
C.Anwar, “Teori dan Hukum Konstitusi”, (Malang:Trans Publising, 2011), h 61.
44
manusiapun mengerti dan memahaminya sebagai hak universal seperti hak hidup, hak
tumbuh dan berkembang dan hak atas perlakuan adil dan lain-lainnya. Bisa dikatakan
materi muatan HAM dalam Undang-undang NRI Tahun 1945 ini sudah dapat dikatan
detail dan menyeluruh dari aspek pembahasan, secara redaksional Satya Arinanto
mengatakan bahwa materi muatan HAM dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun
1945 setelah amandemen sebagian besar merupakan pasal-pasal dan materi pokok
pembahasan yang berasal atau setidak-tidaknya memiliki kesamaan dengan pasal-
pasal HAM sebagaimana diatur dalam Tap MPR No XVII/MPR/1998/Tentang HAM
dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Maka dari itu harus diakui bahwa pengaturan materi muatan HAM dalam
Undang-undang DasarNRI Tahun 1945, khususnya setelah amandemen Undang-
undang Dasar adalah sebuah keberhasilan sekaligus sebagai the starting point dalam
upaya penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Khususnya pada bab XA tentang
HAM memberikan landasan gerak yang signifikan bagi jaminan konstitusi atas HAM
Indonesia.
HAM dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelompok, yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan
budaya, hak atas pembangunan dan hak khusus lain, serta tanggung jawab negara dan
kewajiban asasi manusia. Selain itu, terdapat hak yang dikategorikan sebagai hak
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights) yang
meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut.
Sebelum perubahan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945, pada tahun 1988-1990
yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan ketetapan MPR
RI Nomor XVII/1998 mengenai HAM yang di dalamnya tercantum piagam HAM
bangsa Indonesia dalam sidang istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dari kedua peraturan
perundang-undangan tersebut yang membahas terkait HAM, keduanya pun telah
45
mengakomodir ketentuan dalam deklarasi konverensi HAM internasional baik
DUHAM maupun ICCPR.
Pengaturan mengenai HAM dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
yaitu bahwa antara hak dan kewajban warga negara adalah seimbang. Kebebasan
HAM terhadap manusia lainnya dibatasi oleh undang-undang. Pembatasan atas
pelaksanaan HAM hanya dapat ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat
demokratis. HAM di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila. Yang
artinya HAM mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila.
Pelaksanaan HAM yang bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa
pelaksanaan HAM tersebut harus memperhatikan garis yang telah ditentukan dalam
ketentuan falsafah bangsa. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan HAM bukan berarti
melaksanakan dengan sebebas-bebasnya melainkan harus memperhatikan ketentuan
yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Hal ini
disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara
mutlak tanpa memperhatikan hak orang lain. Pengaturan HAM dalam Undang-
undang Dasar 1945 mengatur hak-hak dasar setiap warga negara di dalam bidang
sipil. politik, ekonomi, sosial, budaya serta hak atas pembangunan, serta dalam
Undang-undang Dasar 1945 diatur setiap warga negara seimbang antara hak dan
kewajibannya.
1. Hak Sipil dan Hak Politik dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
Perubahan konstitusi Undang-undang Dasar 1945 yang terjadi sebanyak 4
(empat) kali semasa reformasi bergulir, bertujuan agar segala aspek kenegaraan dapat
terkonsep dengan rapi dalam konstitusi negara, termasuk isu yang sangat krusial
seperti hak asasi manusia (HAM), ditampung ke dalam satu bab khusus mengenai
HAM. Hak-hak dasar yang diakui secara universal kini mendapatkan pengakuan yang
46
kuat oleh negara, hak inipun menjadi hak konstitusional (constitutional right) yang
dijamin oleh hukum tertinggi, termasuk jaminan hak-hak di dalamnya untuk warga
negara seperti jaminan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya,
serta hak-hak lainnya yang melindungi warga negara.
Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat
pada setiap manusia yang dijamin serta dihormati keberadaannya oleh negara agar
manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik
yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Hak sipil adalah hak
kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari keberadaan seorang
manusia. Arti kata sipil adalah kelas yang melindungi hak-hak kebebasan individu
dari pelanggaran yang tidak beralasan oleh pemerintah dan organisasi swasta, dan
memastikan kemampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam kehidupan sipil dan
politik negara tanpa diskriminasi atau penindasan.
Hak-hak sipil yang ada di setiap negara dijamin secara konstitusional. Hak-hak
sipil bervariasi di setiap negara karena perbedaan dalam demokrasi, tetapi mungkin
untuk menunjukkan beberapa hak-hak sipil yang sebagian besar tetap umum.
Beberapa hak-hak sipil universal dikenal seseorang adalah kebebasan berbicara, berpikir
dan berekspresi, agama serta pengadilan yang adil dan tidak memihak.
Dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 perlindungan hak sipil dijelaskan
dalam beberapa pasal, di antaranya :
1. Pasal 27 Ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
2. Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
3. Pasal 28A Ayat (1) “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.”
4. Pasal 28D Ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
5. Pasal 28D Ayat (4) “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”
47
6. Pasal 28E Ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.”
7. Pasal 28E Ayat (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
8. Pasal 28H Ayat (2) “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.”
9. Pasal 28H Ayat (4) “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
10. Pasal 28I Ayat (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.”
11. Pasal 28I Ayat (2) “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
12. Pasal 28I Ayat (4) “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
13. Pasal 29 Ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
14. Pasal 31 Ayat (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
15. Pasal 31 Ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiyayainya.”
16. Pasal 34 Ayat (3) “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”
Hak politik warga negara merupakan bagian dari hak-hak yang dimiliki oleh
warga negara, dimana asas kenegaraannya menganut asas demokrasi. Lebih luas lagi
hak politik itu merupakan bagian dari hak turut serta dalam pemerintahan dan
merupakan bagian dari demokrasi. Bahkan bisa dikatakan hak tersebut merupakan
pengejawantahan dari demokrasi itu sendiri, sehingga jika hak ini tidak ada di dalam
suatu negara, maka negara tersebut tidak seharusnya mengakui sebagai negara
48
demokratis. Negara-negara yang menganut demokrasi pada umumnya mengakomodir
hak politik warga negaranya dalam suatu penyelengaraan negara seperti pemilu, baik
itu secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945, hak politik dijelaskan dalam
beberapa pasal diantaranya :
1. Pasal 27 Ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
2. Pasal 27 Ayat (3) “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara.”
3. Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
4. Pasal 28D ayat (3)“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan.”
5. Pasal 28E Ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat.”
6. Pasal 28G Ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh
suaka politik dari negara lain.”
7. Pasal 30 Ayat (1) “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara”
2. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
Di Indonesia pasca amandemen Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
mengenai konsep HAM dijadikan menjadi satu bab tersendiri dalam bab XA. Namun
dalam kaitannya dengan hak- hak ekonomi, sosial dan budaya, identifikasinya belum
rinci dan jelas. Oleh karna hak-hak yang berkaitan dengan hak di bidang ekonomi,
sosial dan budaya masih tersebar dalam pasal-pasal yang ada.
Melalui pendekatan sejarah hak-hak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya,
lazimnya dikatagorikan sebagai hak positif (positife right) yang dirumuskan dalam
bahasa “rights to” (hak atas), sedangkan hak-hak sipil dan politik dikatagorikan
sebagai hak-hak negatife (negative rights) yang dirumuskan dalam bahasa “freedom
49
from” (kebebasan dari). Sebagai hak-hak positif, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
dipahami sebagai hak-hak yang tidak dapat dituntut di muka pengadilan (non-
justicible)40
. Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak negatif, dapat
dituntut di muka pengadilan.
Pemahaman hak-hak asasi manusia atas hak-hak positif dan hak-hak negatif
tersebut mulai ditinggalkan. Pada saat ini mulai diterima pendapat, bahwa
pelanggaran atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya juga bisa dimajukan dan diadili
dalam pengadilan. Indikasinya dapat dicermati dalam pendapat pakar hukum yang
dituangkan dalam sejumlah yurisprudensi dari bahan peradilan hak-hak asai manusia
tingkat internasional maupun regional.
Pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terjadi ketika negara
gagal memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam hukum internasional
hak asasi meletakan kewajiban pemenuhan atas hak ekonomi, sosial dan budaya.
Sementara di pihak individu atau kelompok individu memiliki hak untuk menuntut
pemenuhan atas hak-hak tersebut yang salah satunya melalui advokasi yakni
menanggapi pemenuhan atas hak masyarakat untuk mentransformasikan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya yang formal menjadi hak-hak ekonomi, sosial dan
kebudayaan yang sesungguhnya dan efektif. Tuntutan tersebut beranjak dari prinsip
bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak hukum seperti halnya hak
sipil dan hak politik.41
Dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 telah dijelaskan mengenai konsep
perlindungan hak-hak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya belum dijelaskan
secara rinci dan jelas oleh karena pembahasan mengenai hak-hak tersebut masih
tersebar dalam pasal-pasal yang ada. Dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
konsep perlindungan hak ekonomi dijelaskan dalam beberapa pasal diantanya:
40
Kasim, Ifdhal dan Johanes“Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Esai-esai pilihan, Buku 2”
(Jakarta: Lembaga studi dan Advokasi Masyarakat, 2001) h 56.
41
Mahendra wija atmaja, “ Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Kewajiban Negara,
Penyelenggaraan dan Advokasi”, (Denpasar: Sekertaris Daerah Provinsi Bali, 2004 ), h 12.-13
50
1. Pasal 28D Ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat Imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
2. Pasal 33 Ayat (2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
3. Pasal 33 Ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
4. Pasal 33 Ayat (4) “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersaman, efesiensi keadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Dalam penelusuran konsep hak pada aspek bidang ekonomi di dalam Undang-
undang Dasar NRI Tahun 1945 meliputi hak yang berkaitan dengan aktivitas
perekonomian, perburuhan, hak memperoleh pekerjaan, perolehan upah dan hak ikut
serta dalam serikat buruh. Sementara hak pada aspek bidang sosial dalam Undang-
undang-undang Dasar 1945 adalah suatu perlindungan hak asasi manusia yang
berkaitan dengan hak atas jaminan sosial, hak atas perumahan dan hak atas
pendidikan. Dalam perlindungan hak pada Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
jaminan atas hak sosial dijelaskan sebagai berikut:
1. Pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya.”
2. Pasal 28B Ayat (2) “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
3. Pasal 28C Ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya.”
4. Pasal 28D Ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
5. Pasal 28F “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
6. Pasal 28G Ayat (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
51
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
7. Pasal 28G Ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh
suaka politik dari negara lain.”
8. Pasal 28H Ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak meperoleh pelayanan kesehatan.”
9. Pasal 28H Ayat (3) “Setiap orang berhak atas jaminan social yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.”
10. Pasal 34 Ayat (1) “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
11. Pasal 34 Ayat (2) “Negara mengembangkan system jaminan social bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.”
Dalam konstitusi Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 perlindungan hak pada
aspek budaya dijelaskan dalam beberapa pasal, di antaranya:
1. Pasal 28C Ayat (1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dak teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
2. Pasal 28I ayat (3) “Identitas hak budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
3. Pasal 32 Ayat (1) “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
4. Pasal 32 Ayat (2) “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional.”
Dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 ditegaskan bahwa setiap orang
wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
52
pertimbangan moral, nilai-nilai agama dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Berangkat dari ketentuan tersebut, maka perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia adalah merupakan tanggung jawab negara,
terutama pemerintah. Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
B. HAM dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 Persfektif Maqashid Al-
Syari’ah
Hak asasi manusia menurut prinsip Islam tidak terlepas dari Al-Qur‟an dan As
Sunnah karena dari kedua sumber tersebut menjadi suatu kaidah-kaidah petunjuk dan
bimbingan bagi seluruh umat manusia. HAM ketika dikomparasikan dengan
maqashid al-syariah, ternyata sangat berkaitan. Karna maqashid al-syariah berusaha
untuk menjaga kemaslahatan seseorang. Disinalah letak relevansi antara HAM dan
maqashid al-syariah. Ketika manusia dihadapkan dengan suatu permasalahan yang
mendesak, dalam keadaan terpaksa dan dalam keadaan sulit, maka maqashid al-
syariah memberikan alternatif untuk keluar dari kesulitan tersebut, sehingga hak-hak
nya terjaga dari kerusakan.
Maqashid al-syariah sering disebut juga dengan tujuan hukum Islam, yang pada
prinsipnya mengambil manfaat dan menolak kemudharatan. Dalam tahap
realisasinya, al-Shatibi menunjukan maqashid al-syariah itu ke dalam lima bidang; 1)
untuk memelihara agama (hifdz al-Din), 2) memelihara jiwa (hifdz al-Nafs), 3)
memelihara akal (hifdz al-„aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-Nasl), dan 5)
memelihara harta (hifdz al-Mal).42
HAM terbagi atas beberapa bagian, seperti pada generasi pertama HAM hanya
seputar masalah hak sipil dan politik, kedua, mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan
42
Jaenal Arifin, “Filsafat Hukum Islam, Tasyri dan Syar‟i”, (Jakarta:UIN Jakarta Press,2006), h
82.
53
budaya, dan ketiga mewakili hak persamaan. Hak-hak tersebut muncul dan telah
terkonsep rapih dalam konstitusi agar negara memberikan perlindungan serta
pemenuhan hak asasi manusia bagi warga negaranya.43
Jika dikomparasikan dengan
maqashid al-syariah, maka antara konsep perlindungan HAM dalam Undang-undang
Dasar 1945 dengan pembagian bidang dalam konsep maqashid al-syariah akan
memiliki titik temu sera benang merah diantara keduanya, karena inti dari kedua
konsep tersebut sama-sama melindungi serta menjamin hak invidu manusia. Dalam
hal ini akan dijelaskan bagaimana beberapa jaminan hak warga negara dalam
Undang-undang Dasar 1945 yang ditinjau dalam konsep maqashid as-syariah.
1. Hak Sipil
Dalam international covenant on civil and political rights atau biasa disingkat
dengan ICCPR telah membuat konvensi yang bertujuan untuk mengukuhkan pokok-
pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM, sehingga
menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya
mencakup pokok-pokok lain yang terkait.44
Secara singkat, dalam konvensi tersebut
dijelaskan hak sipil adalah hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai
hakikat dari keberadaan seorang manusia Arti kata sipil adalah kelas yang
melindungi hak-hak kebebasan individu dari pelanggaran yang tidak beralasan oleh
pemerintah dan organisasi swasta, dan memastikan kemampuan seseorang untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sipil dan politik negara tanpa diskriminasi atau
penindasan.
Substansi pelindungan hak sipil dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
tersebut mencakup atas beberapa jaminan hak seperti hak atas bebas beribadat dan
memeluk agama kepercayaan, hak atas perlindungan diri pribadi dan keluarga, hak
43
LG Saraswati, “Hak Asasi Manusia, Teori Hukum Kasus”, ( Jakarta: Departemen Filsafat,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006), h 9.
44
M. Ghufran H. Kordi K, “HAM Tentang Hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan
Umum. Kompilasi Instrumen HAM Nasional dan Internasional”. ( Yogyakarta:Graha Ilmu,2013), h
125.
54
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak atas pendidikan yang dijamin oleh negara, hak atas jaminan dan
perlindungan di depan hukum.
Subtansi-substansi tersebut jika ditinjau dalam konsep maqasid al-syariah
mencakup beberapa bidang pembagian dalam konsep maqashid al-syariah itu sendiri
seperti halnya memelihara agama (hifdz al-Din), memelihara jiwa (hifdz al-Nafs),
memelihara keturunan (hifdz al-Nasl), memelihara akal (hifdz al-Aql).
No Hak Sipil Maqashid Al-Syari’ah
1 Hak atas bebas beribadat dan memeluk agama
kepercayaan
Hifdz al-Din‟
2 Hak atas perlindungan diri pribadi dan keluarga Hifdz al-Nafs‟
3 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan hak
untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani
Hifdz al-Nafs‟
4 Hak atas pendidikan yang dijamin oleh negara Hifdz al-Aql‟
5 Hak atas jaminan dan perlindungan di depan
hukum
-
6 Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan
keturunan
Hifdz al-Nasl‟
a. Hak atas bebas beribadat dan memeluk agama kepercayaan
Dalam maqashid al-syariah memelihara agama (hifdz al-Din), berarti seorang
mukallaf harus dapat menjaga eksistensi agamanya. Maka dari itu dalam tingkatan
daruriyyat (primer) seorang mukallaf harus dapat memelihara dan melaksanakan
kewajiban keagamaan yang masuk dalam tingkatan primer, seperti melaksanakan
shalat lima waktu dan lain sebagainya yang itu merupakan perintah kewajiban suatu
agama. Jika tidak melaksanakan kewajiban keagaamaannya maka terancamlah
55
eksistensi agama nya itu sendiri. Dalam Al-Qu‟an perintah melaksanakan Shalat
dijelaskan dalam Q,S Al-Baqarah ;110.
Artinya : “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja
yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi
Allah. Sesungguhnya Allah maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. (Q,S Al-
Baqarah ;110).
Untuk dapat memelihara eksistensi suatu agama, seorang mukallaf harus dapat
menjaga serta menjalankan syariat dan kewajiban agamanya. Selain itu jaminan serta
perlindungan kebebasan memeluk suatu agama dan kepercayaan oleh negarapun
diperlukan. Karena aspek ketuhanan yang telah disebutkan dalam Pancasila, dan
perlunya legalitas negara terkait jaminan memeluk agama dan kepercayaan, selagi
agama dan kepercayaan tersebut diakui oleh negara dan hukum. Agar eksistensi
agama dalam suatu negara tetap ada. Dalam agama Islam memeluk agama Islam tidak
ada unsur paksaan di dalamnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat
Al-Baqarah:256.
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah maha
mendengar lagi maha mengetahui.” (Q,S Al-Baqarah:256).
56
Sedangkan dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 perlindungan hak atas
bebas beribadat dan memeluk agama kepercayaan dijelaskan dalam beberapa pasal
diantaranya pada pasal 28 E Ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.” Pada pasal 28 E Ayat (2) “ Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya” serta dalam pasal 29 Ayat (2) “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” dalam Undang-undang
Dasar NRI Tahun 1945 telah dijelaskan pasal-pasal yang berkaitan dengan
perlindungan hak atas bebas beribadat dan memeluk agama dan kepercayaan hal ini
menunjukan bahwa perlindungan hak atas bebas beribadat dan memeluk agama serta
kepercayaan dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 sejalan dengan teori
maqashid al-syariah dalam bagian hifdz al-Dinn‟ (memelihara agama).
b. Hak atas perlindungan diri pribadi dan keluarga
Pada dasarnya perlindungan hak sipil yang menjelaskan terkait hak atas
perlindungan diri pribadi dan keluarga. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan
hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati. Semuanya merujuk pada satu perlindungan
individu seseorang yaitu menjaga serta memelihara jiwa dan hidup manusia.
Sedangkan dalam teori maqashid al-syariah memelihara jiwa (hifdz al-Nafs) seorang
harus dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk dapat
mempertahankan hidup, jika kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan terancam
kelangsungan hidup dan tidak terpelihara atas jiwa nya. Maka dari itu jaminan hak
sipil yang mengatur mengenai hak atas perlindungan diri pribadi dan keluarga. Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati
semuanya memiliki relevansi dengan konsep memelihara jiwa (hifdz al-Nafs).
57
Sementara itu dijelaskan pula dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945
mengenai perlindungan atas hak perlindungan diri pribadi dan keluarga dalam
beberapa pasal, seperti pada pasal 28I Ayat (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” serta dalam pasal 28I Ayat (2) “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.” dalam hal ini dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 dalam hal
mengenai perlindungan atas hak pribadi dan keluarga sejalan dengan teori maqashid
al-syariah dalam hal hifdz al-Nafs‟ (memelihara jiwa).
c. Hak atas pendidikan yang dijamin oleh negara
Di dalam hak sipil warga negara yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945
tidak hanya mengatur mengenai hak-hak atas beribadat dan memeluk kepercayaan,
serta hak atas perlindungan diri pribadi dan keluarga. Akan tetapi dalam hak sipil
juga mengatur mengenai hak atas pendidikan yang dijamin oleh negara. Jika ditinjau
dalam persfektif maqashid al-syariah, hak atas pendidikan yang dijamin oleh negara
tersebut selaras dengan konsep memelihara akal (hifdz Al-Aql) dalam maqashid al-
syariah. Dalam konsep memelihara akal (hifdz Al-Aql) seseorang harus mendapatkan
ilmu pengetahuan untuk mencerdaskan akal dan fikirannya, serta mengembangkan
dirinya.
Dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 mengenai hak atas pendidikan
yang dijamin oleh negara dijelaskan dalam beberapa pasal, seperti dalam pasal 31
Ayat (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan dalam pasal 31
Ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiyayainya.” dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 mengenai
hak atas pendidikan yang dijamin oleh negara telah dijelaskan dan telah dijamin
58
dalam konstitusi hal ini menjelaskan bahwa dalam Undang-undang Dasar 1945
mengenai hal tersebut sejalan dengan teori maqashid al-syariah Hifdz Aql‟
(memelihara akal).
d. Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan
Konsep hifdz al-Nasl (memelihara keturunan) dalam maqashid al-syariah
merupakan bentuk penjagaan agar manusia dapat melanjutkan keturunan sesuai
dengan yang disyari‟atkan oleh agama serta menjauhkan manusia dari perbuatan zina.
Karena perbuatan zina selain perbuatan dosa yang dilarang oleh agama perbuatan
zinapun dapat merusak nasab keturunan manusia. Maka dari itu agama
mensyari‟atkan menikah, berpoligami sebagai bentuk dalam melanjutkan keturunan
melalui proses yang disyari‟atkan oleh agama. Dalam Al-Qur‟an dijelaskan
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Q,S Al-Isra:32).
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.” (Q,S An-nissa:3)
Sejalan dengan konsep maqashid al-syariah dalam hal memelihara keturunan,
jaminan dan perlindungan hak sipil untuk dapat melanjutkan keturunan pun telah
dijamin dalam Undang-undang dasar. Jaminan tersebut telah dijelaskan dalam hal
melanjutkan keturunan dan berkeluarga bagi warga negara merupakan hak sipil yang
hal tersebut dilakukan melalui perkawinan yang sah menurut agama dan hukum.
59
Dalam Undang-undang Dasar 1945 mengenai hak untuk berkeluarga dan
melanjutkan keturunan dijelaskan juga dalam beberapa pasal, seperti dalam pasal 28A
Ayat (1) “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.” bisa disimpulkan mengenai hak untuk berkeluarga dan
melanjutkan keturunan dalam Undang-undang Dasar 1945 sejalan dengan teori
maqashid al-syariah dalam hal Hifdz al-Nasb (memelihara keturunan)
2. Hak Politik
Hak politik pada dasarnya mempunyai sifat melindungi dari pengyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak penguasa. Hak-hak politik biasanya ditetapkan dan diakui
sepenuhnya oleh konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai warga negara. Artinya,
hak-hak ini berlaku bagi warga negara setempat, dan bukan warga negara asing.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 konsep perlindungan Hak politik telah diatur
dalam beberapa pasal. Dalam pembahasan maqasid al-syariah hak politik hanya pada
bagian hak mendapat suaka politik dari negara lain yang bersinggungan dengan teori
maqashid al-syariah dalam hal Hifdz Al-Nafs (memelihara jiwa) sebagai mana yang
dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 pada pasal 28G Ayat (2)
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
drajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
Karena dalam hal mendapat hak suaka politik dari negara lain itu memebrikan
kesempatan bagi setiap warga negara untuk melindungi jiwa dan raganya apabila
didalam negaranya sendiri sedang terjadi konflik, kekacauan dan kondisi yang tidak
stabil yang dapat mengancam jiwa serta raganya apabila seseorang tersebut tetap
memaksakan untuk tinggal di negara tersebut. Maka hak untuk mendapat suaka
politik di negara lain sangat diperlukan guna mendapatkan perlindungan diri
seseorang dari hal yang dapat mengancam jiwanya.
60
No Hak Politik Maqashid Al-Syariah
1 Hak persamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan
-
2 Hak ikut serta dalam upaya bela negara dan
menjaga keamanan negara
-
3 Hak kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat
-
4 Hak kesempatan yang sama dalam pemerintahan -
5 Hak mendapatkan suaka politik dari negara lain Hifdz Al-Nafs‟
3. Hak Ekonomi
Hak asasi manusia dalam bidang ekonomi adalah hak yang berkaitan dengan
aktivitas perekonomian, perburuhan, hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh
upah dan hak ikut serta dalam serikat buruh. Dalam Undang-undang Dasar NRI
Tahun 1945, hak ekonomi telah tertulis dalam beberapa pasal diantaranya dalam
pasal 28D Ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” serta dalam pasal 33 Ayat (2)
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.” Dalam hal ini beberapa pasal dalam Undang-
Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang mengatur mengnai hak politik semuanya
sejalan dengan teori maqasid al-syariah dalam hal hifdz Al-mal‟ (memelihara harta)
Dalam Islam falsafah dasar yang melandasi ide hak-hak asasi manusia,
termasuk dalam sistem ekonominya, adalah tauhid yang mengajarkan keesaan sang
pencipta bagi seluruh alam.Bahkan kemahaesaan dan kemahakuasaan Tuhan,
merupakan ciri dasar dari segala sesuatu dalam Islam. Baik itu yang meyangkut
61
persoalan spriritual, ekonomis maupun politis. Allah merupakan pemilik dan pencipta
segala sesuatu yang ada di bumi.45
Implikasi prinsip ini ialah oleh karna tingkah laku ekonomi merupakan bagian
dari tingkah laku manusia pada umumnya, namun bisa bernilai ibadah kepada Allah
Swt jika dalam proses muamalah tersebut sesuai aturan hukum yang disyari‟atkan.
Contoh kekayaan ekonomi haruslah digunakan untuk memenuhi segala hajat
kebutuhan hidup yang ditujukan guna meningkatkan kemampuannya untuk mengabdi
secara lebih baik kepada Allah Swt.
No Hak Ekonomi Maqasid Al-Syari’ah
1 Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan Hifdz Al-Mal‟
2 Hak negara dalam penguasaan cabang-cabang
produksi yang menyangkut hajat hidup orang
banyak
Hifdz Al-Mal‟
3
3
Hak kemakmuran rakyat dari pemanfaattan
sumber daya alam
Hifdz Al-Mal‟
Dalam konsep maqashid al-syariah, hak ekonomi bagi warga negara berkaitan
dengan konsep memelihara harta (hifdz al-Mal).” Dalam konsep memelihara harta
(hifdz al-Mal) disyariatkan tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil
harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan maqoshid al-syariah itu
dilanggar, maka yang terancam adalah harta kepemilikan yang dimiliki setiap orang.
Sedangkan dalam konsep hak ekonomi dalam Undang-undang Dasar lebih kepada
konsep pengelolaaan aspek di bidang ekonomi yang dikelola oleh negara dan
dimanfaatkan sepenuhnya untuk masyarakat, selain itu hak mendapat imbalan, hak
buruh dalam berserikat dan hak relasi pekerjaan yang baik juga menjadi bagian yang
menjadi focus dalam perlindungan hak ekomoni dalam undang-undang dasar NRI
Tahun 1945 yang semua itu berkaitan dengan hal memelihara harta (hifdz al-Mal).
45
Rusji Ali Muhammad, “Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syariat Islam” (Banda
Aceh:Ar-Raniry Press,2004), h 153.
62
4. Hak Sosial
Jaminan hak sosial yang dimiliki orang warga negara adalah jaminan yang
diberikan oleh negara terhadap masyarkat, guna menjamin kesejahteraan masyarakat
itu sendiri. Substansi hak sosial yang di atur dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun
1945 meliputi. Hak atas hidup dan kehidupan yang layak, serta hak atas tempat
tinggal yang nyaman dan aman,. Di dalam filsafat hukum Islam, hak sosial sangat
berkaitan dengan beberapa konsep pembidangan dalam maqashid al-syariah.
No Hak Sosial Maqashid Al-Syari’ah
1 Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup
dan kehidupannya
Hifdz al-Nafs‟
2 Hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan
dan perlakuan diskriminatif
Hifdz al-Nafs‟
3 Hak untuk tumbuh dan berkembang Hifdz al-Nafs‟
4 Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi
-
5 Hak untuk mendapat jaminan, pengakuan dan
perlindungan di depan hukum
-
6 Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin Hifdz al-Nafs‟
Dalam pembahasan hak sosial pada Undang-undang dasar NRI Tahun 1945
yang membahsan dalam beberapa aspek seperti hak atas hidup dan kehidupan yang
layak, hak atas tempat tinggal yang aman dan nyaman, hak mendapatkan
perlindungan dari kekerasan dan perlakuan diskriminatif, hak untuk tumbuh dan
berkembang serta hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin. sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam beberapa pasal pada Undang-undang Dasar 1945 seperti pada pasal
28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya.” pasal 28H Ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
63
bermartabat.” serta pada pasal 34 Ayat (1) “Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara.”
Sejalan dengan konsep maqashid al-syariah dalam hal memelihara jiwa (hifdz al-
Nafs) adalah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar
terhindar dari tindakan penganiayaan, baik berupa pembuhuhan maupun hal-hal yang
mengancam jiwa seseorang. Menjaga jiwa terletak pada tingkatan kedua setelah
agama, yang merupakan tujuan ditetapkannya permasalahan adat dan hukum jinayah.
Pada konsep maqashid al-syariah memelihara jiwa (hifdz al-Nafs) pada tingkatan
dururiyyat (primer) seseorang diharuskan memenuhi kebutuhan pokok seperti makan
untuk mempertahankan kehidupannnya, jika kebutuhan pokok ini tidak terpenuhi
makan tidak terpeliharanya jiwa seseorang tersebut. Maka dari itu negara menjamin
penuh konsep pemeliharaan jiwa seseorang pada aspek jaminan hak sosial dalam
konstitusi.
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan Barangsiapa
dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Q,S Al-Israa:33)
5. Hak Budaya
Dalam konsep maqashid al-syariah, hak budaya bagi warga negara jika ditinjau
dari pembagian bidang maqashid al-syariah tidak menjadi pembahasan di dalamnya.
64
Akan tetapi dalam konstitusi hak budaya menjadi suatu hal yang di bahas sebagai
bentuk perlindungan serta pengakuan terhadap masyarakat adat itu sendiri46
No Hak Budaya Maqashid Al-Syari’ah
1 Hak identitas budaya masyarakat tradisional -
2 Hak memelihara serta mengembangkan
nilai-nilai budaya
-
46
Majda El-Muhtaj, “Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”.
(Jakarta:Rajawali pers, 2009), h 253.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis pada skripsi ini mengenai tinjauan maqashid al-syariah
terhadap perlindungan hak asasi manusia dalam Undang-undang Dasar NRI
Tahun 1945, bisa disimpulkan bahwa antara maqashid al-syariah dan Undang-
undang dasar dalam hal aspek hak asasi manusia kedua nya sama-sama memiliki
konsep melindungi hak individu manusia. Selain itu penulis dapat menyimpulkan
kesimpulan dalam beberapa poin, diantaranya;
1. Dalam Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 materi HAM menjadi
substansi pokok yang dijelaskan dalam satu bab tersendiri pada konstitusi
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945. Selain itu pula konsep pembahasan
mengenai HAM juga tersebar dalam beberapa pasal pada konstitusi yang
mencakup jaminan-jaminan perlindungan hak asasi manusia, seperti hak sipil,
hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya. Akan tetapi yang
menjadi perhatian negara terkait konsep perlindungan HAM dalam Undang-
undang Dasar NRI Tahun 1945 adalah penghargaan serta implementasi dari
hak asasi manusia itu sendiri demi terwujudnya cita-cita negara dalam
konstitusi menjamin kesejahteraan warga negara dengan melindungi hak asasi
setiap individu manusia.
2. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasannya antara
maqashid al-syariah dan Undang-undang Dasar 1945 memiliki persamaan,
yaitu sama-sama melindungi hak individu seseorang. Begitupula dalam
konsep perlindungan hak asasi manusia dalam Undang-undang Dasar NRI
Tahun 1945 ada beberapa aspek yang telah sesuai dengan konsep
pembidangan dalam maqashid al-syari‟ah. Seperti dalam hak sipil yang
mengatur kedalam beberapa hak seperti hak kebebasan dalam beribadat dan
memeluk agama kepercayaan, hak melindungi diri sendiri dan keluarga serta
hak pendidikan yang dijamin oleh negara. Begitupula hak sosial yang
66
membahas mengenai hak untuk hidup dan kehidupan serta hak atas
kehidupan yang layak, di antaranya tidak bertentangan dan memiliki tujuan
yang sama dengan pembidangan dalam maqashid al-syariah seperti
memelihara agama (hifdz al-Din), memelihara jiwa (hifdz al-Nafs),
memelihara keturunan (hifdz al-Nasl) serta memelihara akal (hifdz al-Aql‟).
serta dalam hak politik yang mengatur mengenai hak mendapatkan suaka
politik dari negara lain hal tersebut sejalan dengan teori maqosid al-syariah
yaitu hifdz al-nafs (memelihara jiwa)
Pokok-pokok lain mengenai hak asasi manusia di dalam Undang-undang Dasar
NRI Tahun 1945 tidak semua bersinggungan atau sesuai dengan konsep
pembidangan dalam maqashid al-syariah. Contohnya seperti pada hak budaya
tidak bersinggungan dan tidak menjadi subtansi materi dalam pembidangan
maqashid al-syariah itu sendiri. Akan tetapi dalam Islam hak-hak tersebut masih
menjadi pembahasan tersendiri agar pemaknaan serta implementasi dari hak-hak
tersebut sesuai dengan ajaran agama dan tidak melanggar hak orang lain.
B. Saran
1. Setiap manusia diciptakan oleh Allah Swt dengan memiliki hak asasi manusia
atas fitrah kemanusiaannya tanpa membedakan warna kulit, etis, jenis kelamin,
bangsa, negara maupun agamanya. Maka dari itu hendaknya umat manusia
menyatupadukan pandangan, saling melindungi serta menghargai setiap hak
yang dimiliki agar tidak terciptanya pelanggaran hak asasi manusia
diantaranya.
2. Sebagai negara hukum yang berasaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar
NRI Tahun 1945 sebagai norma hukum tertinggi. Negara Indonesia harus
mencerminkan sikap yang lebih progresif, akomodatif dalam bentuk konsensus
bersama dalam hal perlindungan serta jaminan atas hak asasi manusia, demi
terciptanya negara Indonesia yang sejahtera. Serta konsep perlindungan hak
asasi manusia tidak hanya menjadi wacana narasi dalam konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA.
Al-Qur‟an Karim
Abdillah, Masykuri. 2011. Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia..
Jakarta: Kompas.
Abdushshamad, Saifullah, “Perkembangan Hukum Islam Di Bidang Hak Asasi
Manusia” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah UIK Banjarmasin, Volume IV,
No 1, Juni 2018.
Abu Zahrah, Muhammad. 2000. Ushul Al-Fiqh, Jakarta:Pustaka Firdaus.
Ali Muhammad, Rusji. 2004. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syariat
Islam, Banda Aceh:Ar-Raniry Press.
Al-Mursi Husain, Muhammad. 2013. Maqashid Syariah. Jakarta; Amzah.
Alwi, Wahyudi. 2014. Ilmu Negara dan Tripologi Kepemimpinan Negara
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Anwar, Chairul. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi, Malang:Trans Publising.
Arifin, Jaenal. 2006. Filsafat Hukum Islam, Tasyri dan Syar‟I, Jakarta:UIN
Jakarta Press.
Asshiddiqie, Jimly, 2016. Konstitusi dan Konstitusionalime Indonesia, Jakarta:
Konstitusi Press.
. 2004. Konstitusi dan Konstitusionalime Indonesia”, Jakarta:
Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum
UI.
. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,Jakarta;
Konstitusi Press.
. 2006. Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi, Jakarta:
Mahkamah Konstitusi.
Atmosudirdjo, Pramudia, 2008. Konstitusi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Budiardjo, Mariam 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
C. Smith, Edward. 2007. The Constitution of the United States, New York: Barnes
& Noble.
Djamil, Fathurahman.1997.Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos.
El Muhtaj, Majda. 2008. Dimensi-Dimensi HAM mengurai hak ekonomi, sosial,
dan budaya. Jakarta: Rajawali pers.
.. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia,
Jakarta: Kencana.
. 2007. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari
UUD 1945, sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta:
Kencana, 2007.
. 2009. Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya, Jakarta:Rajawali pers.
Ghafar Sidiq, Ghafar. 2018. Teori Maqashid Al-Syariah Dalam Hukum Islam”,
Jurnal Sultan Agung, Vol XLIV No 118.
Ghufran Muhammad. Kordi K. 2013. HAM Tentang Hak Sipil, Politik, Ekonomi,
Sosial, Budaya dan Umum. Kompilasi Instrumen HAM Nasional dan
Internasional, Yogyakarta:Graha Ilmu.
Idris al-marbawy, Miuhammad. 2010. Kamus Idris al-Marbawy : Arab-Melayu,
al-Ma‟arif,Juz1,Bandung.
Ifdhal, Kasim dan Johanes. 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Esai-esai
pilihan, Buku 2, Jakarta: Lembaga studi dan Advokasi Masyarakat.
Johan Nasution, Bahder. 2012. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung:
Mandar Maju.
K Yuliarso, Kurniawan. “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia Menuju
Democratic Govermences” Jurnal Ilmu Sosial dan ;Politik:.Vol 8 No 3,
Maret 2005.
Kasdi, Abdurrahman. Maqashid Al-Syariah dan Hak Asasi Manusia,Jurnal
Penelitian,Vol. 6 No. 2, Agustus 2014.
KBBI Departemen Pendidikan Nasinal 2008.
Kumkelo, Mujaid, Dkk. 2015. Fiqih HAM : Ortodoksi dan Liberalisme Hak Asasi
Manusia dalam Islam, Malang:Setara Press.
Lopa, Baharudin. 1999. Al-qur‟an dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:Dana
Bhakti Prima Yasa.
Masyhur Effendi, Ahmad. 2006. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia
(HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hak Asasi Manusia,
Jakarta:Ghalia Indonesia.
Mutakin, Ali.Teori Maqoshid Al-Syariah dan hubungannya dengan metode
Istinbat hukum. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 19 No. 3, Agustus 2007.
Purbopranoto, Kuntojoro. 1982. Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila, Jakarta:
Pradya Paramita.
Qomar, Nurul. 2014. Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi:
Human Rights in Democratiche Rechtsstaat, Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika.
Saraswati, LG. 2006. Hak Asasi Manusia, Teori Hukum Kasus, Jakarta:
Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
Shidiq, Ghofar. Maqashid Al-Syariah dalam hukum Islam, Jurnal Unisulla, Vol.
XLIV No.118 Juni-Agustus 2009.
Toriquddin, Moh “Teori Maqashid Al-Syariah Perspektif Al-Syatibi” Jurnal
Syariah dan Hukum, Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang. Volume 6 Nomor 1, Juni 2014
Umar, Hasby. 2007. Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press.
Utriza Yakin, Ayang. 2016. Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer, Jakarta :
Kencana.
Wija atmaja, Mahendra. 2004. Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Kewajiban
Negara, Penyelenggaraan dan Advokasi, Denpasar: Sekertaris Daerah
Provinsi Bali.
Yuhana Abdi, “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945”
(Bandung:Fokusmedia)
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2006 Tentang pengadilan terhadap pelanggaran
HAM.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 (Tentang HAM ).
Skripsi
Sumanto, Gunung. Ham Dalam Pandangan Islam Dan UUD 1945 Pasca
Amandemen, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Alauddin Makasar, 2016.