konsekuensi filsafati manunggaling kawula gusti … · konsekuensi dialektika itu, arsitektur jawa...
TRANSCRIPT
i
SIDANG TERBUKA PROMOSI DOKTOR KONSEKUENSI FILSAFATI MANUNGGALING KAWULA GUSTI PADA ARSITEKTUR JAWA Johannes Adiyanto 3208 301 002 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch Dr. Ir. Galih Widjil Pangarsa, DEA PROGRAM DOKTOR BIDANG KEAHLIAN ARSITEKTUR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2011
1
Konsekuensi Filsafati Manunggaling Kawula Gusti Pada Arsitektur Jawa
Abstrak
Perkembangan arsitektur di Indonesia masa kini lebih mengarah pada eksperimen gubahan massa yang mengutamakan eksplorasi bentuk. Hal tersebut merupakan dampak dari arah pendidikan arsitektur yang mengacu pada cara berpikir arsitektur ‘manca’. Pengetahuan Indonesia, terutama pada pengetahuan arsitektur Jawa sangat dipengaruhi oleh kolonialisasi pengetahuan sejak awal abad 19. Akibatnya, pengetahuan arsitektur ‘manca’ sangat mempengaruhi persepsi masyarakat Jawa terhadap arsitekturnya sendiri. Latar belakang itulah yang mendorong penelitian ini melakukan kajian arsitektur Jawa dengan menggunakan sudut pandang filsafat. Tujuannya memahami hal yang paling hakiki dari arsitektur Jawa. Masalah penelitian yaitu pengungkapan cara pandang/pikir masyarakat Jawa terhadap arsitekturnya dari sudut pandang filsafati
Telaah filsafat Jawa sering kali dilakukan dari sudut pandang teologi-budaya, sehingga perlu merekonstruksi kedalam pemahaman filsafat arsitektur. Telaah kritis juga dilakukan terhadap pemahaman Jawa yang umumnya digunakan pemahaman geo-politik, yang menyatakan bahwa pusat kebudayaan Jawa berada di Surakarta dan Yogyakarta. Dengan tinjauan kritis ‘Jawa’ tidak lagi dipandang sempit dari kesukuan atau ‘jawa sentris’ tapi kepada kualitas kepribadian atau semangat ke-jawa-an. Definisi arsitektur Jawa menggunakan pemahaman total architecture yang mencakup tidak hanya hal fisik, tetapi juga hal metafisik yang bersifat spiritual.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode investigasi filsafati atau metode klarifikasi dari Wittegenstein yang mampu melakukan investigasi penggunaan kata dalam bahasa dan penggunaan kata dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan filsafat arsitektur yang akan disempurnakan adalah filsafat arsitektur dari Heidegger. Filsafat arsitektur Heidegger berada pada tataran ontologik, dan bukan hasil intrepretasi teoriawan arsitektur.
Rekonstruksi filsafat Jawa menghasilkan pemahaman bahwa Zoetmulder memahami filsafat Manunggaling Kawula Gusti sebagai suatu tempat atau keadaan. Hal ini berbeda dengan filsafat Pamoring Kawula Gusti yang dipahami sebagai sebuah proses, pemahaman inilah yang digunakan sebagai landas pikir disertasi. Dengan landasan itu maka filsafat arsitektur Jawa terbagi menjadi tiga tahapan yaitu 1) dialog dualistik-kontras; 2) dialog dualistik-mediatif; dan yang terakhir 3) monolog monistik-spiritual. Konsekuensi dialektika itu, arsitektur Jawa memiliki dua sumbu dialektika yaitu sumbu horisontal dan sumbu vertikal.
Dengan menggunakan metode dialogis dua arah, didapatkan bahwa Being dari Heidegger dapat dikatakan sebagai ‘benih’ pemikiran spiritual. Filsafat arsitektur Heidegger lebih kepada mengumpulkan dengan tujuan pemeliharaan, sedangkan filsafat arsitektur Jawa ‘meng-kawin-kan’ dengan tujuan keberlanjutan/proses kehidupan. Hal tersebut didasarkan pada cara paham Heidegger yang lebih kepada intuisi indrawi; sedangkan Jawa lebih kepada intuisi spiritual.
Konsekuensi terhadap filsafat arsitektur Jawa adalah arsitektur Jawa tidak hanya dipandang sebagai sebuah benda fisik belaka, tapi juga obyek yang mempunyai aspek spiritual. Konsekuensi pemahaman tersebut adalah dalam cara memahami arsitektur. Arsitektur dipahami tidak hanya berhenti pada intuisi-indrawi, yang bersifat ‘mengumpulkan’ dengan bertujuan pada pemeliharaan/konservasi; tetapi pada intuisi-spiritual yang bertujuan pada keberlanjutan suatu proses kehidupan.
Kata kunci : Filsafat Arsitektur, Metode Investigasi Filsafati, dan Spiritualitas
2
Philosophical Consequences of Manunggaling Kawula Gusti in Jawa Architecture
Abtract
Indonesian contemporary architectural development is merely built from the experimental mass composition which gives more priority to form exploration. This method has given an impact to architectural education’s direction which mostly refers to the way of thinking of western/foreign architecture. Indonesian knowledge and especially in Jawa architecture has been strongly influenced by colonization since the early of 19th century. As result, colonial architecture has been deeply involved with Jawa architecture which places the Javanese perception about their own architecture. Therefore, this circumstance has inspired the researcher doing a research study which uses the Javanese philosophical point of view, in order to understand the essence of Jawa architecture. The research problem is to find how the Javanese people see or think about their architecture from the philosophical perspective.
Javanese philosophical study is often done from theological-culture standpoint, which needs to be reconstructed into architectural philosophy. Critical study is used to find the Javanese’s definition which commonly used as geo-political perceptive, in which state that Javanese culture is only centered in Surakarta and Yogyakarta. The research is also introduced critical standpoint that ‘Jawa’ is no longer narrowly as Jawa centrist, but personality quality or the spirit of ‘Jawa’ is also important to be seen. ‘Jawa’ architecture has to be seen and understood as total architecture, which contains not only physical element but also metaphysical elements which have spirituality character.
This research use philosophical investigation or clarification by Wittengestein, which is capable of doing investigate the using of ‘word’ in the language and the using ‘word’ in daily life. Meanwhile, in the architectural philosophy, this research refines the Heidegger thought which is placed in ontology level. This philosophical thinking is original from Heidegger’s thought, not from the interpretation.
The reconstruction of Javanese philosophy shows that Manunggaling Kawula Gusti philosophy is being understood by Zoetmulder as a place or situation. This standpoint is difference Pamoring Kawula Gusti philosophy, which is understood as a process. This understanding is used as basic thought of this dissertation. Based on this understanding, Jawa philosophy is divided into three steps: 1) dialogue dualistic-contrast; 2) dualistic-mediation dialogue; and the last is ‘monolog monistic-spiritual’. From the consequence of that dialectics, the ‘Jawa’ architecture has two dialectic axes, which are horizontal axis and the vertical axis.
By using the two-way dialogue method, it is found that Heidegger’s ‘Being’ is the forerunner of spiritual thought. Heidegger’s architectural philosophy is built from ‘gathering’ in order as maintenance, while the Jawa architectural philosophy talks about ‘marrying’ ‘male and female element’ in order to get sustainability for continuing in life process goal. This understanding was based on difference philosophical approach which Heidegger’s understanding is from the sensory-intuition and in the other hand, Javanese uses spiritual-intuition.
This consequence is influence the ‘Jawa’ architectural philosophy which is the ‘Jawa’ architecture is not only seen as physical object but also as things which has a spiritual aspect. These understanding consequences build in how we understand the architecture. Architecture is not only stopped being understood by intuition-sensory; which is only ‘gathering’ in order to get maintaining or conservation’s goal. But also spiritual-intuition has to be involved to get sustainable of life process. Keywords: Architectural Philosophy, Philosophical Investigation method, and Spirituality
Peng
berhatersel• Pa
bipem
• PapabemYsamin
• PiPrseya
• RFTAdasadibe
• PeMke
• Km
• Sesem
• Tesain
ghargaan Puji dan syuk
asil menyelesalesaikan tanpa bara pembimbinidang yang belembimbing, ya
menyelesaikan para Penguji : Iasca sarjana juerpikir logis il
memberi masukYuswadi Saliyaaya berhati-hat
memberikan banni membuka waihak Universitarogram Doktorelaku Ketua Prang memberi dekan-rekan sepTSP- ITS – ya
Arsitektur ITS, ban Ibu dosen daya, sehingga si modern Asiaerdiskusi saya. egawai tata usa
Mariadi); dan juelancaran prose
Keluarga Besarmendukung kam
erta banyak pielama studi dok
membantu saya.erakhir, ucapaabar dan tabah ni. Saya yakin s
.
kur saya hunjukaikan satu tahbantuan dan du
ng: Prof. Ir. Joslum banyak diang tidak hanypenelitian diserr. Muhammad
urusan arsitektulmiah;. Dr.Ir.
kan dalam mem, M.Arch, selati dalam pemilnyak masukan awasan saya daas Sriwijaya: Pr. Prof. Dr. Ir. rogram Studi Tdorongan dan sperjuangan yanang menemanibidang keahliadi Jurusan Teksaya dapat padan Architectur
aha baik di Pasuga bagian kepes administrasir E. Prijotjahjomi – saya dan isihak yang tidakktoral ini. Uca.
an terima kasih‘menanti’ sele
saat ini Anasta
kkan ke hadirhapan besar dukungan pikaksef Prijotomo, itekuni dalam pya membimbinrtasi tetapi juga
d Faqih, MSA, ur FTSP-ITS. BSekartedjo M
mahami Jawa, aku penguji ekslihan kata dan agar saya men
alam memahamProf. Dr. Ir. HH.M. Taufik T
Teknik Arsitekemangat agar sng tergabung di perjuangan san Perancanganknik Arsitektura kondisi seperre Network (
scasarjana juruegawaian Fakui selama studi Sono dan keluastri – dalam pek mungkin sayapan terima ka
h yang amat besainya studi sasia Widiyanti (
at Tuhan Yandalam kehidupk lain. Untuk ituM.Arch selakupenelitian arsitng dalam penea ‘belajar tentaPhD, yang tid
Beliau tidak haMSc sebagai pe
terutama carasternal sebidanredaksional la
njelajah pemahmi filsafat Jawa. Hasan Basri Toha, DEA sebktur FT – UNSsaya segera medalam les3hanselama menemn dan Kritik Ar FT-UNMERrti sekarang inmAAN) Indon
usan arsitektur ultas Teknik US3 ini. arga besar Agerjuangan ini. ya sebutkan saasih yang tulus
besar saya samaya ini. Dengan(†),juga ikut te
3
g Maha Esa, span saya. Peku saya dengan u pembimbing tektur di Indonelitian disertasang kehidupan’dak hanya sebaanya menguji enguji di luar a berpikir masyng ilmu, yang aporan peneliti
haman filsafat la dan filsafat aryang mendorobagai Dekan F
SRI serta rekanenyelesaikan stn –forum komumpuh pendidikaArsitektur, yanR Malang, yangni. Bagi saya, Bnesia, yang s
FTSP-ITS (PaUNSRI, terutam
g. Suparman y
atu persatu, sebs ini semoga m
mpaikan kepadan doa dan perj
ersenyum bahag
p
sebab dengan kerjaan penelitulus mengucautama, yang te
nesia. Dr. Ir. Gsi ini tetapi jug’. agai penguji tedalam materi pbidang arsitek
yarakat Jawa ykarena kesabaian. Namun tidlain yang setararsitektur.
ong dan mengijFakultas Teknikn-rekan dosen tudi doktoral inunikasi dan disan ini. Rekan-
ng selalu mendg telah meleta
Bapak dan Ibu enantiasa mem
ak Sahal Junaidma Ibu Lisa Nur
yang tak henti
bab begitu banmenjadi ‘berkah
a Istri tercintauangannyalah gia di surga.
pmBuk
PAMB
rahmat, bimbiitian disertasi apkan terima kelah memberi kGalih Widjil Pga membuat s
etapi juga sebapenelitian dan ktur, yang tidyang lebih me
aran dan keteladak hanya sisia dengan pema
ijinkan saya unk UNSRI dandi Prodi Teknini. skusi mahasisw-rekan alumni orong saya unt
akkan dasar-datetap ‘guru’ ba
mberi semang
di, Mbak Ririsrmala Panjaita
i-hentinya men
nyak pihak yanh’ bagi semua
a, Veronica Dwsaya bisa pada
kpgel
BUKA PAGE
ingan serta ijinini tidak aka
asih kepada: kesempatan sayangarsa, DEA
saya tidak han
agai kepala promemberi masuak hanya menengandalkan raatenan beliau, mi redaksional, bahaman filsafat
ntuk melanjutkn Wienty Triyuik Arsitektur F
wa S3 jurusanS2 Pascasarjatuk berpikir kr
asar arsitektur agi saya. Sahab
gat dan menja
s dan Mas Indran, yang memb
ndoakan saya
ng mengiringi pihak yang te
wi Yantina, yaa kondisi seper
Malang, Dese
Johanne
l/rn\
ELARAN
nNya, saya an mampu
ya meneliti selaku co-
nya sekadar
ogram studi ukan untuk nguji tetapi asa. Dr. Ir. menjadikan beliau juga t Jawa. Hal
kan studi di uli, ST, MT FT-UNSRI,
n Arsitektur ana Jurusan ritis. Bapak di ‘kepala’ bat-sahabat
adi ‘lawan’
ra serta Pak antu dalam
dan selalu
perjalanan elah banyak
ang dengan rti sekarang
ember 2011
es Adiyanto
4
Pengantar Disertasi ini disusun sebagai pertangunggjawaban ilmiah dari penelitian yang telah dilakukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan memperoleh gelar doktor pada Program Doktor Bidang Keahlian Arsitektur Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya. Penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh keresahan terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia yang hanya mengejar
‘bentukan fisik’ atau ‘permainan geometri’ tanpa memahami hakekat arsitektur itu sendiri. Ditambah lagi pemahaman arsitektur Indonesia yang hanya sebatas pada kekaguman terhadap masa lalu, tanpa usaha untuk menggali pemahaman lebih lanjut. Di lain pihak, penelitian arsitektur Jawa yang melibatkan pengetahuan yang digali dari pemahaman pagelaran atau kisah wayang, belum banyak dilakukan.
Penelitian disertasi ini terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu ‘belajar’ tentang Jawa dan ‘belajar’ tentang filsafat ‘manca’ (terutama filsafat Heidegger). Kedua ‘sudut pandang’ tersebut berjalan ‘beriringan’ hingga pada Bab diskusi. Pada inilah kedua sudut pandang itu bertemu dan berdialog satu sama lain. Penelitian disertasi ini hanya mengisi ‘sudut kecil’ dari luasnya pengetahuan arsitektur Jawa. Cara memahami arsitektur dari sudut pandang filsafat dan dari materi penelitian yang diambil dari bidang pengetahuan sastra merupakan hal baru yang ditawarkan dan disajikan dalam penelitian disertasi ‘Konsekuensi filsafati’ ini.
Dalam buku ini disusun berdasarkan pada dua macam pedoman. Pedoman pertama adalah yang umum digunakan dalam penyusunan disertasi, yang terdiri dari beberapa bab, sesuai pembahasan. Pedoman kedua berdasarkan pembabakan dari pagelaran wayang. Pedoman pertama dan kedua disusun secara overlay, susun bertumpuk, dengan dasar pedoman penyusunan disertasi secara umum dan layer/lapisan berikutnya adalah pedoman kedua. Pedoman kedua tidak mempunyai perbedaan ‘isi’ materi hanya ‘mengikat’ secara pembabakan dari pedoman pertama. Adapun pembagian berdasar pedoman kedua adalah sebagai berikut: 1. Babak pambuka pagelaran : biasanya berisi permainan sejumlah gendhing pambuka pagelaran, yang bertujuan menyambut
kedatangan tamu dan menyemarakkan serta menghangatkan suasana sebelum pagelaran sesungguhnya dimulai. (Palgunadi, 2002, p. 134). Babak pambuka pagelaran melingkupi bagian awal disertasi sebelum bagian pendahuluan.
2. Babak Talu adalah babak permainan karawitan atau permainan gamelan yang mengawali suatu pagelaran yang sesungguhnya. Babak Talu ini melingkupi bagian pendahuluan, yaitu tahap persiapan dalam suatu penelitian.
3. Babak Pathet Nem merupakan bagian awal dari pagelaran. Gambar pada pathet nem adalah Bratasena, nama ini pada pewayangan Jawa Tengah dan Jawa Timur digunakan untuk Bima saat masih remaja (Sena Wangi-tim penulis, 1990, p. 302 buku I). Babak Pathet Nem ini melingkupi bagian kajian pustaka hingga bagian metodologi penelitian, karena mendeskripsikan secara rinci materi-materi yang akan dianalisis. Seperti halnya Bratasena yang dipersiapkan dengan pelbagai kemampuan pada masa remajanya.
4. Babak Pathet Sanga, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut pembabakan waktu tengah pagelaran yang menggunakan laras (tangga-nada) slendro pathet sanga atau laras pelog pathet nem. Babak ini umumnya dimainkan pada sekitar tengah malam. (Palgunadi, 2002, p. 157). Gambar pada pathet sanga adalah Abilawa, nama ini digunakan Bima saat menyamar di Kerajaan Wirata bersama para Pandawa lainnya (Sena Wangi-tim penulis, 1990, pp. 42-43 buku I). Bagian yang masuk dalam babak Pathet Sanga ini adalah bagian analisis, seperti halnya Abilawa yang ‘menguji’ kemampuan pengetahuan dirinya dalam menghadapi tantangan di Kerajaan Wirata; merupakan bagian pendewasaan diri.
5. Babak pathet Manyura merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut pembabakan waktu akhir pagelaran wayang yang menggunakan laras slendro pathet manyura dan laras pelog pathet barang (Palgunadi, 2002, p. 164). Gambar pada pathet manyura adalah Bima, nama ini digunakan secara umum dengan wanda lindu, wanda yang khusus dari Surakarta. (Sena Wangi-tim penulis, 1990, p. 303 buku I). Babak Pathet Manyura melingkupi bagian diskusi dan kesimpulan. Babak Pathet Manyura merupakan babak akhir dalam pagelaran wayang yang biasanya terjadi perang brubuh yaitu perang besar-besaran antara pihak yang membela kebenaran dan pihak yang membela kejahatan (Palgunadi, 2002, p. 166). Namun pada Lakon Dewaruci, tidak terjadi peperangan tetapi terjadi dialog antara Bima/Wrekudara dan Dewaruci yang bertempat di dalam tubuh Dewaruci. Seperti halnya lakon Dewaruci, bagian diskusi bukan ‘perang’ antara filsafat ‘manca’ dan filsafat ‘Jawa’ tapi dialog, yang tidak menghasilkan kekalahan dan kemenangan tapi mengungkap potensi masing-masing pemikiran yang kemudian saling menyempurnakan satu sama lain.
6. Babak panutup pagelaran, merupakan bagian akhir dari suatu pagelaran dan digunakan untuk menutup sebuah pagelaran. Waktu yang digunakan untuk melakukan babak ini sangat pendek. (Palgunadi, 2002, p. 168). Babak ini melingkupi bagian Catatan Khusus. Seperti halnya babak panutup pagelaran, bagian ini merupakan catatan peneliti dari ‘proses pembelajaran’ dari penelitian yang telah dilakukan. Pagelaran wayang tidak hanya berhenti pada selesainya sebuah pagelaran, tapi berlanjut pada ‘perbaikan’ kualitas hidup penikmat pagelaran. Hal itu terjadi sebab pagelaran wayang tidak hanya bersifat tontonan tapi juga tuntunan. Semangat inilah yang digunakan dalam menyusun bab catatan khusus.
5
Daftar Isi ABSTRAK ..................................................................................................................................................................... 1 ABTRACT ..................................................................................................................................................................... 2 PAMBUKA PAGELARAN .............................................................................................................................................. 3
PENGHARGAAN ............................................................................................................................................................................ 3 PENGANTAR ................................................................................................................................................................................. 4 DAFTAR ISI ................................................................................................................................................................................... 5
TALU.............................................................................................................................................................................. 6 1. PENDAHULUAN ................................................................................................................................................................... 6
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................................................................ 6 1.2. Permasalahan .................................................................................................................................................................. 6 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................................................................................... 7 1.4. Ruang Lingkup ................................................................................................................................................................. 7 1.5. Skema Penelitian ............................................................................................................................................................. 9
PATHET NEM ............................................................................................................................................................. 11 2. KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................................................................................. 11
2.1. Filsafat ........................................................................................................................................................................... 11 2.2. Filsafat Arsitektur .......................................................................................................................................................... 11 2.3. Pemahaman ‘Jawa’ ....................................................................................................................................................... 12 2.4. Filsafat Jawa .................................................................................................................................................................. 15 2.5. Arsitektur Jawa .............................................................................................................................................................. 15 2.6. Filsafat Arsitektur Jawa (tinjauan pustaka) ................................................................................................................. 16
3. KAJIAN TEORI ................................................................................................................................................................... 16 3.1. Pemilihan Filsafat Arsitektur ........................................................................................................................................ 16 3.2. Tinjauan Kritis Filsafat Arsitektur Heidegger .............................................................................................................. 19
4. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................................................................................... 22 4.1. Tahap Kajian Pustaka dan Kajian Teori ...................................................................................................................... 22 4.2. Tahap Re-konstruksi Filsafat Jawa ............................................................................................................................... 22 4.3. Tahap ‘Pembangunan’ Filsafat Arsitektur Jawa .......................................................................................................... 22 4.4. Tahap Diskusi ................................................................................................................................................................ 23
PATHET SANGA ......................................................................................................................................................... 25 5. RE-KONSTRUKSI FILSAFAT JAWA ............................................................................................................................... 25
5.1. Filsafat Manunggaling Kawula Gusti menurut Zoetmulder ........................................................................................ 25 5.2. Tinjauan Kritis Filsafat Manunggaling Kawula Gusti dari tradisi tanpatulisan ........................................................ 26 5.3. Kajian Etimologi ............................................................................................................................................................ 30 5.4. Kajian Monistik.............................................................................................................................................................. 31 5.5. Filsafat Jawa (kesimpulan re-konstruksi) ..................................................................................................................... 36
6. KONSTRUKSI FILSAFAT ARSITEKTUR JAWA ........................................................................................................... 37 6.1. Filsafat Jawa terhadap Pemikiran Filsafati dan Pengetahuan Arsitekur Jawa .......................................................... 37 6.2. Filsafat Jawa terhadap Kasus Arsitektural .................................................................................................................. 38 6.3. Filsafat Arsitektur Jawa (Hasil) .................................................................................................................................... 45
PATHET MANYURA ................................................................................................................................................... 47 7. DISKUSI ............................................................................................................................................................................... 47
7.1. Filsafat Heidegger (Being and Time) – Filsafat Jawa (Pamoring Kawula Gusti) ...................................................... 48 7.2. Filsafat Arsitektur Heidegger – Filsafat Arsitektur Jawa ............................................................................................ 50 7.3. Konsep Perancangan Arsitektur: Konsep Dwelling (Heidegger) - Konsep Manjing (Jawa) ..................................... 52 7.4. Aplikasi Arsitektural : Karya Peter Zumthor (The Thermal Baths in Vals) terhadap Karya Adi Purnomo (Studi O Cahaya) ................................................................................................................................................................................. 54
8. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................................................................ 56 8.1. Konsekuensi Pemahaman Jawa .................................................................................................................................... 56 8.2. Konsekuensi Filsafat Jawa ............................................................................................................................................ 56 8.3. Konsekuensi Filsafat Arsitektur .................................................................................................................................... 57 8.4. Konsekuensi Arsitektur .................................................................................................................................................. 57 8.5. Saran .............................................................................................................................................................................. 58
PANUTUP PAGELARAN ............................................................................................................................................. 60 9. CATATAN PENUTUP ........................................................................................................................................................ 60
9.1. Terhadap Pendidikan Arsitektur Indonesia ................................................................................................................. 60 9.2. Terhadap Arsitektur Nusantara Kontemporer .............................................................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................................... 62 BIODATA .................................................................................................................................................................... 67
1. PE
1.1. L
gubahmancadany2009)
19. Lsumbyang 337).
arsitemendpada
1.2. P
abad H.VlibahwKepakayu masalarsiteSasra
Lpenjajyang masy‘cara
kemupema
1 Arsitmengameman(http://2 SerinV, 1983 Yang4 Berbebalé poSerie N
ENDAHUL
Latar Belaka
Arsitektur di Ihan massa (Peca (erosentrismya arsitektur In); atau dalam isDalam latar be
Latar belakang ber utama diser
mulai dilupaka Dengan latar b
ekturnya. Dengdasari pemilihasaat bersamaan
PermasalahaFenomena pad19. Layang Pa
iegenthart, mewa ‘rumah batu
tihan 1882 yan(Prijotomo, 20lah adalah usah
ektur Jawa. Dala Sudirja menggLayang Balew
ajah (dalam halkurang/tidak
arakat Jawa daberpikir’ lamaPeneliti menco
udian melakukahaman menda
tektur Nusantara aarah pada kajian anng bukan tanpa m/cungss.wordpress
ng disebut sebagai 85, pp. iv-v) g berarti : “Naskaheda dengan sumbeomahané wong cilNo 192 Wedalan B
LUAN
ang
Indonesia maseresthu, 2000). m). Perkembanndonesia, suatstilah Josef Prijelakang ditulis
yang sama jurtasi Prijotomoan oleh masyar
belakang itulahgan fokus penan ruang lingkun arsitektur jug
an da bagian lataranuntun Cekak
enjabarkan bebu’ lebih kuat ng menyatakan006, pp. 303-3ha ‘melemahkalam Layang Bagunakan sudut
warna dan Layal ini Belanda) mampu dibacaalam memanda
a. oba mengungkkan pengujian asar bagi masy
adalah istilah yanntropologi, bukan
masalah. Setiadi S.com/2010/06/25/‘Ensiklopedi Kebu
Panduan Singkat er yang digunakanlik ing tanah jawa
Balé Pustaka Kaeca
sa kini berkemHal ini diseb
ngan ini membtu arsitektur yaijotomo disebusnya serat Cenuga menjadi d, dengan angkarakat Jawa itu
h penelitian ininelitian tersebup penelitian tga merupakan p
r belakang telakan Kanggo Cberapa pengertdaripada ‘rumn karena pertim
304). Permasalan’ atau bahkaalewarna4 yant pandang rasioang Panuntun untuk memaka dari sudut pang arsitektur
kap ke-arsitektdengan ‘berd
yarakat Jawa t
ng dipopulerkan o
pada studi arsitekopandi dalam blosoal-tradisi-lagi/). udayaan Jawa’. Se
yang ditujukan ken oleh Prijotomo (2a, lan wununtun amap ing Indonesisch
mbang dengan abkan ‘kiblat’ bawa arsitektuang berakar d
ut arsitektur nusnthini2 dapat ddasar penulisana tahun tertua tsendiri dan sem
i menyelidiki lut maka suduersebut karenaproduk dari car
ah tergelarkan Cekelane Tukantian praktis ya
mah kayu’. Hambangan keselahannya bukan
an ‘mengubah’ ng dikarang oleonal-universal d
Cekakan Kanksakan ‘pembacpandangnya. Hdengan sudut
tur-an Jawa dendialog’ denganterhadap arsite
leh Josef Prijotomktural (Prijotomo &ognya menyatakan
elesai ditulis pada
epada Tukang Batu2002) Serat Balewmurih raharjaning he Drukkerij Wètv
6
pesat. Namun pendidikan ar
ur di Indonesiadari keberadaansantara1.
diketahui bahwn Serat Tjarijotahun 1901 – ymakin terpikat
ebih lanjut tenut pandang pea arsitektur bukra berpikir (Le
bahwa pengarng Batu3, yangang harus dipaal ini menjadi lamatan saat ten pada penggupola berpikir a
eh seorang Madalam jabarannggo Cekelane caan’ dari rana
Hal ini dapat dpandang baru
ngan membangn filsafat arsitekturnya. Pene
mo dan Galih W. & Sulistyowati, 20n bahwa istilah ‘n
Sabtu paing, Tang
u sebagai Tuntunanwarna yang diguna
omah –omah; Anvreiden 1919; yang
perkembanganrsitektur di Inda menjadi jauhn budaya di In
wa pengaruh eros Bab Kawroyang menyatakt oleh keberada
ntang hakekat aenelitian pada kanlah sekedareach, Neil (ed),
ruh pengetahug diterbitkan olahami oleh tuk
‘berlawanan’ erjadi gempa munaan batu danarsitektural olentri Guru sekonya tentang omTukang Batu
ah pengetahuadipandang seb, tanpa mempe
gun pemahamatektur ‘mancaelitian ‘Konsek
Pangarsa sebagai009, pp. 4-8; Pangnusantara’ hanya p
ggal 26 Sura 1742
n” akan adalah LAYAnggitané Mas Sasrg dialih aksara oleh
n itu lebih medonesia lebih mh dengan citandonesia (Roe
rosentrism telaoeh Kalang – kan bahwa adanaan bangunan b
arsitektur dan plingkup filsa
r bangunan (Ba, 1997, p. xv).
an erosentrismleh Bale Pustakang batu dan
dengan pemamaka bagian atn kayu secara teh Layang terseolah ongko II j
mah Jawa. (Pritersebut sebag
annya tanpa adagai usaha ‘merhatikan atau
an arsitektur daa’. Dengan dekuensi Filsafat
i ‘kritik’ istilah argarsa, 2006, pp. 1-pengulangan ‘jarg
2 tahun Jawa atau t
ANG BALEWARNra Sudirja Mantri Gh Prijotjahjono
engarah pada emengarah pada-cita van Rom
esmanto, 2009;
ah terjadi sejakyang menjadi nya hal ihwal gbarat (Prijotom
pandangan Jawafat arsitektur. allantyne, 2007
m telah terjadi aka Tahun 1922
memberikan ahaman Kawrutap diganti denteknis, tapi yanebut terhadap kjaman Belandaijotomo, 2002)gai bukti nyata da usaha mengumenggubah’ ca
setidaknya me
ari sudut pandemikian akan ti Manunggalin
rsitektur tradision-4). Istilah nusanta
gon’ masa Kerajaa
tahun 1814 M. (Pa
NA : AmratélakakGuru ing pamulan
tlu
TALU
eksperimen a arsitektur
mondt akan ; Pangarsa,
k awal abad salah satu
griya Jawa mo, 2006, p.
wa terhadap Hal yang
7, p. i) dan
sejak awal 2 karangan pandangan
uh Griya – ngan bahan ng menjadi keberadaan a yaitu Mas ).
usaha dari uak hal-hal
ara berpikir enghormati
ang filsafat didapatkan ng Kawula
nal yang lebih ara itu sendiri an Majapahit.
aku Buwana
ké kahananing ngan ongka II;
7
Gusti pada Arsitektur Jawa’ mempunyai pertanyaan mendasar yaitu “Bagaimana orang jawa memahami arsitekturnya ditinjau dari sudut pandang filsafati?”
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian adalah mengungkapkan pemahaman filsafat arsitektur dari masyarakat Jawa. Hal ini dilakukan agar
pemahaman filsafat tidak hanya pada ranah pengetahuan budaya tapi mengarah pada ranah pengetahuan arsitektural. Tujuan tersebut terfokus pada peng-konstruksi-an filsafat arsitektural Jawa.
Manfaat penelitian ‘Konsekuensi Filsafati Manunggaling Kawula Gusti pada Arsitektur Jawa’ adalah: • Memperluas wawasan penelitian arsitektural Jawa, khususnya dan arsitektur nusantara pada umumnya, ke arah ranah
filsafat arsitektur, sehingga penelitian arsitektur yang berada pada ranah ontologi ini tidak lagi yang hanya mempertanyakan tentang apa itu ‘ada’ (arsitektural), tetapi melangkah lebih lanjut pada pertanyaan apa makna ber-ada (arsitektural). Dengan demikian tidak lagi mempertanyakan hal yang bersifat eksistensial tapi lebih kepada pertanyaan esensial. Hal ini akan bermanfaat bagi pengembangan teori arsitektur nusantara (epistemologi) dan juga aplikasi arsitekturalnya (aksiologi).
• Berguna untuk pengembangan penelitian arsitektur nusantara yang lintas disiplin, sehingga penelitian menjadi lebih variatif.
• Membuka cakrawala pemahaman baru terhadap ‘bahan’ penelitian yang tidak hanya berhenti pada bentuk fisik arsitektural tapi pada pemikiran arsitektural yang tersimpan dalam bentuk folklore atau dalam bentuk-bentuk lain dalam tradisi tanpatulisan.
1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu 1) ruang lingkup filsafat; 2) ruang lingkup Jawa dan 3) ruang lingkup
arsitektur. Ruang lingkup ini memberi petunjuk akan ruang kerja penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini.
1.4.1. Ruang Lingkup Filsafati Dasar pemahaman filsafatinya adalah bahwa filsafat dikatakan sebagai induk pengetahuan (Rapar, 1996, p. 11). Dengan
kedudukan sebagai induk pengetahuan maka cakupan permasalahan demikian luas, dan terutama perbedaan antara filsafat ‘timur’ dan ‘barat’. Namun pada penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini tidak mempertentangkan antara ‘timur’ dan ‘barat’ tersebut tapi mendialogkan keduanya pada tataran yang setara.
Dari sudut pandang filsafat ‘Jawa’; Abudullah Ciptoprawiro mendasarkan pemikiran filsafatinya pada enam tokoh filsuf Jawa (Mpu Kanwa, Mpu Tantular, Yasadipura I, Paku Buwana, dan Ranggawarsita); Serat Wirid Hidayat Jati dan kisah pewayangan (Ciptoprawiro, 2000, cetakan ke 2). Hariwijaya mengumpulkan pemahaman-pemahaman filsafati dan menjelaskan secara ringkas (Hariwijaya, 2004).
Penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini memfokuskan pada filsafat yang mengarah pada tujuan kehidupan masyarakat Jawa, ngudi kasampurnan, yang tertuang dalam lakon Dewaruci. Pemahaman filsafati lakon Dewaruci sering kali disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti5 (Endraswara, 2003, p. 240). Bahan penelitian dalam lingkup filsafati, digunakan disertasi Zoetmulder, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (Zoetmulder, 2000).
1.4.2. Ruang Lingkup Jawa Hal penting dalam penelitian “konsekuensi filsafati” ini adalah melakukan ‘pembatasan’ terhadap konsep ‘Jawa’ itu sendiri.
Galih W. Pangarsa melakukan ‘penyederhanaan’ tentang pembentukkan konsep ‘Jawa’ yang dikelompokkan menjadi 4 hal (Pangarsa, 2011), yaitu:
• Individu dan masyarakat (etnik). Pembatasan terhadap individu dan masyarakat, yaitu terfokus pada individu dan atau masyarakat Jawa. Namun fokus ini tidak hanya pada individu/masyarakat berbahasa ibu Jawa, tapi juga individu/masyarakat yang mempunyai the spirit of Jawa.
5 Dalam pemikiran Jawa, selain istilah Manunggaling Kawula Gusti juga dikenal istilah lain dengan maksud sama, yaitu Pamoring Kawula Gusti; Jumbuhing Kawula Gust;dan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga. (Musbikin, 2010, p. 138)
Bagan 1 Ruang Lingkup Penelitian (analisa peneliti)
Filsafat
Arsitektur Jawa
?
8
• Waktu (kesejarahan). penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini mengambil pemahaman awal pada sumber pengetahuan masa akhir kerajaan Mataram atau pada masa awal pembagian Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pijakan ini didasarkan pada kehidupan Yasadipura I (1729-1803). Yasadipura I ditempatkan sebagai pijakan awal dalam penelitian ini disebabkan beliaulah yang ‘menghidupkan/menuliskan’ kembali lakon Dewaruci yang telah dikenal sejak masa akhir Kerajaan Majapahit (1500-1619 M). Waktu dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini ditempatkan secara lentur dan lintas waktu.
• Ruang (teritori). Pembatasan terhadap ruang / kewilayahan (teritory). Penelitian “Konsekuensi Filsafati” mengambil pembatasan ruang dengan mengacu pada makalah Totok Roesmanto yang menyebutkan daerah Negarigung (Roesmanto, November 2002). Namun pembatasan ruang/teritory tersebut dilakukan sebagai pijakan teknis melakukan penelitian, sedangkan dalam jabarannya akan bersifat lentur, sebab yang digunakan sebagai patokan adalah the spirit of Jawa, yang diyakini peneliti lintas ruang dan waktu.
• Kebudayaan (dalam arti mentalitas); mengacu pada pembatasan individu dan atau masyarakat yang mempunyai pemahaman the spirit of Jawa. Catatan tegas disini adalah mentalitas atau kualitas hidup Jawa. Sehingga pembatasan budaya disini lebih kepada ‘pembebasan’ dalam konsep berpikir ilmiah karena yang menjadi patokan adalah mentalitas atau kualitas hidup. Namun yang menjadi benchmark atau acuan adalah pagelaran wayang, dalam hal ini adalah sosok Wrekudara/Bima sebagai acuan mentalitas Jawa.
1.4.3. Ruang Lingkup Arsitektur Penelitian arsitektural dengan pendekatan ‘tradisional’ memfokuskan pada ‘bahasa bentuk’ yang kemudian mengarah pada
kajian kritis langgam/style (Leach, Neil (ed), 1997, p. xiv; Jarzombek, 2000). Penelitian “Konsekuensi Filsafati” ini tidak lagi melakukan pendekatan ‘tradisional’ tetapi mengarah pada studi interdisipliner6. Studi serupa telah dilakukan oleh Leach dengan mengumpulkan sejumlah tulisan filsafati yang mampu ‘dibaca’ secara arsitektural. Penelitian jenis ini disebut sebagai analytic philosophy7 (Carroll, 1999, pp. 2-3).
Kajian mendalam terhadap filsafat arsitektural terfokus pada ‘olah pikir’. Fokus permasalahan adalah pada thinking yang bagaimana, yang dikaji dalam suatu kajian filsafati. Terdapat dua pandangan thinking oleh Deleuze (Deleuze, Gilles & Guattari, Felix, 1994, p. 198) dan Heidegger (Heidegger, 2004, pp. x-xii). Namun dapat ditarik suatu keterkaitan antar keduanya bahwa ‘thinking’ atau ‘olah pikir’ merupakan kegiatan ‘menyerap’ konsep/fungsi/sensasi (versi Delueze) atau ‘menyerap’ from the nature of things dan dengan ditegaskan kembali oleh Heidegger bahwa thinking is not so much an act as a way of living or dwelling. Dalam hal ini yang dimaknai sebagai ‘dwelling’ adalah filsafat arsitektural – terutama filsafat arsitektural Manunggaling Kawula Gusti (selanjutnya disingkat menjadi MKG). Makna dwelling juga dapat dipahami sebagai ‘pagar/batas/ruang lingkup’ bahasan; dengan demikian dwelling penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini adalah pada ranah filsafat arsitektural.
6 Often inter-disciplinary in their approach, they demonstrate the value of transgressing ‘professional’ boundaries in their approach to architecture no less than to other disciplines. (Leach, 1997 : xvii) 7 We might say that what analytic philosophy analyses are concepts. That is why it is sometimes also called conceptual analysis.(Carroll, Noël, 1999:2-3)
9
1.5. Skema Penelitian PENDAHULUAN FILSAFAT JAWA
(manunggaling Kawula Gusti)
KAJIAN PUSTAKA Tahap I
KAJIAN TEORI
RE-KONSTRUKSI FILSAFAT JAWA
Tradisi tulis Tradisi Tanpatulisan
FILSAFAT ARSITEKTUR HEIDEGGER
Pemikiran Filsafati dan Pengetahuan Arsitektur Jawa
Kasus-Kasus Arsitektural Jawa
Tahap II
FILSAFAT JAWA (rekonstruksi)
Pamoring Kawula Gusti
FILSAFAT ARSITEKTUR JAWA Tahap III
KONSEKUENSI FILSAFATI PADA ARSITEKTUR JAWA
DISKUSI Tahap IV
10
KETERANGAN Tahap I Awal
• Pendahuluan • Kajian Pustaka
Fokus perhatian adalah pada eksplorasi pemikiran yang telah dilakukan para peneliti terdahulu. Eksplorasi ini dilakukan untuk menempatkan ‘ruang’ kerja/gap knowledge dari penelitian “konsekuensi filsafati” ini. Tahap II Konstruksi Teoritik
• Kajian Teori Kajian Teori dilakukan terhadap tiga filsafat arsitektur yang dikemukanan oleh Deleuze-Guattari, Derrida dan Heidegger. Dari hasil kajian tersebut ditentukan bahwa yang digunakan sebagai ‘teori’ dasar yang akan dilengkapi adalah “Filsafat Arsitektur Heidegger”.
• Re-Konstruksi Filsafat Jawa Kajian re-konstruksi ini mengacu pada disertasi Zoetmulder tentang Manunggaling Kawula Gusti. Disertasi ini kemudian melakukan tinjauan kritis dengan menghadirkan lakon wayang dan serat Dewaruci. Hasilnya adalah pemahaman baru terhadap Filsafat Jawa yang terfokus pada Pamoring Kawula Gusti. Tahap III Konstruksi Filsafat Arsitektur Jawa Kajian ini mengkonstruksi Filsafat Arsitektur Jawa yang ‘terbangun’ dengan landasan pijak Filsafat Jawa hasil rekonstruksi (Pamoring Kawula Gusti). Filsafat Arsitektur Jawa tersebut tersusun dari Pemikiran Filsafat Arsitektur Jawa (salah satunya yang terungkap dalam serat Jatimurti), Pengetahuan Arsitektur Jawa (Kawruh Griya dan Kawruh Kalang) dan kasus-kasus arsitektural Jawa. Tahap IV Diskusi Tahapan ini merupakan tahapan akhir dengan melakukan diskusi kritis terhadap Filsafat Arsitektur Jawa dengan Filsafat Arsitektur Heidegger. Tahap diskusi ini terbagi menjadi beberapa tahap yaitu: 1) Tahap pertama adalah dialektika filsafat; yaitu dialektika antara filsafat Heidegger, (dalam Being and Time), dan filsafat
Pamoring Kawula Gusti; 2) Tahap kedua adalah tahap dialektika filsafat arsitektur yaitu antara filsafat arsitektur Heidegger dan filsafat arsitektur Jawa; 3) Tahap ketiga, tahap dialektika konsep perancangan arsitektur, antara konsep Dwelling (Heidegger) dengan konsep manjing
(Jawa) 4) Tahap keempat, tahap dialektika aplikasi arsitektural. Yang dihadirkan disini adalah karya arsitektur Zumthor sebagai
perwakilan pemikiran Heidegger dan karya Adi Purnomo dari pemikiran Jawa. Dengan hasil diskusi tersebut disusunlah konsekuensi-konsekuensi filsafati.
2. K
penelruangyang
2.1. F
atau kpenge
pada sifat filsafamencmembmencSemulogis,(3) pesifat d
2.2. F
menyframe(Ballauses acommfilsafa
8 Adeg2002, p
KAJIAN PUS
Kajian pustaklitian ‘Konsekug lingkup dari pdapat dijelajah
Filsafat Hendrik R
kekasih, dan setahuan (RaparSub bahasan fdefinisi filsafadasar filsafat.
fat mengajak ucari asas, yaituburu kebenaran
cari kejelasan, ua sifat ditas tid, sistematis danembimbing (Rdan peran filsa
Filsafat ArsitSebelum mem
yatakan: “Archework for pracantyne, 2002, architectural m
monplace. (Benfat ke arsitekturBagan berikut
F
• “Deleuze
• “Heidegg
gan yang mengawap. 151)
STAKA
a dilakukan duensi Filsafati’penelitian ‘Ko
hi dalam peneli
Rapar menyataksophia yang ber, 1996, p. 14).filsafat ini tidaat, namun pada
Hal pertama yuntuk berpikir u filsafat senann, yaitu kebenahal ini didasa
dak mungkin dn kritis. (Rapar
Rapar, 1996, ppafat dalam mem
tektur mahami filsafat hitects have ofctice. (Sharr, 20p. i). Dan leb
metaphors is cnjamin, 2000, pr atau dari arsitmenggambark
FIlSAFAT
and Guattari”
ger”
ali seluruh pagelar
(Sharr,
engan tujuan m ini. Di sampin
onsekuensi Filsitian ini.
kan bahwa filserarti pengetah
ak untuk menja mengapa diguyang diungkapsecara menda
ntiasa berupayaran hakiki tenarkan pada pendapat berhasil dr, 1996, pp. 21
p. 25-27). Perhmahami realita,
arsitektur, perften looked to 007, p. ix). Lebih nyata lagi d
clearly the casep. vii). Dengantektur ke filsafkan kajian-kajia
ran wayang. Adeg
(Ballantyne, 2
, 2007)
mendapat kejeng itu kajian pusafati’ ini. Pem
safat merupakahuan; sehingga
abarkan apa itunakan filsafat p adalah bahwalam untuk meya mencari asantang seluruh renyebab lahirnydengan baik tan1-23). Sedangkhatian penelitia yang dalam pe
rlu ditelusuri tethinkers in ph
bih lanjut Balladalam pernyatae. That architen keterkaitan t
fat. an dengan arah
ARSI
an ini ditampilkan
2007)
11
elasan celah pustaka juga dil
mbatasan pemb
an kata majemua filsafat/philo
tu filsafat secasebagai ‘jalur’
wa filsafat memencapai akar pas yang palingealitas dan setiya filsafat adanpa berpikir sekan peran filsaan bukan pencaenelitian ‘kons
erlebih dahulu hilosophy andantyne menyataan Andrew Becture deploys tersebut dapat
h hubungan darITEKTUR
• For
• For
n para petinggi atau
engetahuan / gakukan untuk m
bahasan dilakuk
uk yang terdirsphy berarti m
ara lebih mend’ penelitian? H
mpunyai sifat bpersoalan yangg hakiki dari kiap hal yang daalah keraguan. ecara rasional. afat Rapar menarian definisi asekuensi filsafa
keterkaitan and theory for detakan bahwa ar
Benjamin yanga language thditelusur lebih
ri filsafat ke ar
architects
architects
u sesepuh atau tetu
gap of knowlemembentuk frakan sebab beg
je
je
ri dari kata phimencintai kebij
dalam, sebab fHendrik Rapar mberpikir radikag dipermasalahkeseluruhan reapat dipersoalk
Sifat kelima Berpikir secar
nyatakan: (1) patau makna filati’ ini adalah r
ntara filsafat daesign ideas, orsitektur tidak
g menyatakan bhat is in part ph lanjut arah h
rsitektur.
ua kerajaan mengh
pqet
PATHE
edge yang mename work / binitu luasnya ‘ru
jeje/j=kepP
ejer jangkep p
ilos, yang berajaksanaan atau
fokus pembahamengungkapkaal yang bermahkan. Sifat kealita. Sifat ket
kan.; sifat keemadalah berpik
ra rasional berapendobrak; (2) lsafat tapi berlrealita arsitektu
an arsitektur. Ar in search ofhanya sekedarbahwa: “That pphilosophical ihubungannya, a
hadapi tokoh raja.
eteNm\
ET NEM
njadi fokus ngkai kerja/ uang gerak’
PqeteNm\
pathet nem8
arti sahabat u mencintai
asan bukan an ada lima
akna bahwa dua adalah tiga adalah
mpat adalah kir rasional. arti berpikir pembebas; andas pada ural.
Adam Sharr f a critical r bangunan. philosophy
is also now apakah dari
(Palgunadi,
12
• “Irigaray”
• “Filsuf”
• For architects
• “rethinking architecture”
Bagan 2. Pola Kajian Filsafat ke Arsitektur (analisa peneliti)
Bagan 3 menjabarkan kajian-kajian dengan arah keterkaitan dari arsitektur ke filsafat. FIlSAFAT ARSITEKTUR
• Maurice Merleau-Ponty
• Heidegger
• Filsafat Fenomenologis
• Steven Holl
• “Wastu Citra”
• Kasus arsitektural di Indonesia
Bagan 3. Pola Kajian Arsitektur ke Filsafat (analisa peneliti)
Perkembangan terbaru dalam filsafat dan arsitektur adalah ‘berkumpulnya’ sekelompok ahli di Newscastle University pada tahun 2009 yang kemudian membentuk perkumpulan yang di beri nama International Society for the Philosophy of Architecture atau disingkat ISPA. Kelompok ini dibentuk sebagai tanggapan terhadap 2 pemikiran dasar yaitu adanya jarak antara filsuf dengan arsitektur dan sukarnya dialog yang cermat secara filsafati dengan subyek arsitektur9. Dengan latar belakang tersebut maka ISPA menyusun misinya, yang menyatakan bahwa:
ISPA advocates a philosophizing of architecture in the same manner that philosophers philosophize, yet with the objective not of investigating formal subjects of philosophy as epistemology but of purging the architectural discourse of pulp theory. (sumber : http://isparchitecture.wordpress.com/m-i-s-s-i-o-n-s-t-a-t-e-m-e-n-t/)
Penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini memang tidak untuk menggenapi misi dari ISPA tersebut, namun dengan hadirnya ISPA tersebut semakin memperkuat bahwa perkembangan pemikiran arsitektural masa kini – kontemporer – mengarah pada filsafat arsitektur. Dengan demikian penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini tidak melakukan penelitian yang telah ketinggalan jaman, namun merupakan penelitian kontemporer, walau yang dihadirkan sebagai bahan adalah pemikiran masyarakat Jawa di masa lalu.
Hal yang harus ditetapkan berikutnya adalah apa yang dimaksud filsafat arsitektur tersebut? Kajian di atas memang telah menjelaskan keterkaitan yang nyata antara filsafat dan arsitektur baik ditinjau dari sudut pandang filsafat ke arsitektur maupun sebaliknya dari arsitektur ke filsafat, namun frame work / bingkai kerja dari filsafat arsitektur itu sendiri sejauh mana? Benjamin menyatakan bahwa: “It was too easy to plot the relationship between architecture and philosophy in terms of a shared language. ..”. (Benjamin, 2000, p. viii). Dengan mengadopsi pemikiran Isozaki dalam pengantar buku dari Karatani, (Karatani, 1995, p. viii) dapat disimpulkan sementara bahwa filsafat arsitektur adalah sistem konstruksi ‘berpikir’ yang membangun pemikiran dari yang bersifat metafisik menuju sesuatu yang nyata.
tmurwuh
tamu rawuh10
2.3. Pemahaman ‘Jawa’ Acuan budaya Jawa adalah bersumber pada kraton Surakarta atau Yogyakarta. (Bratawijaya, 1987, p. 75; Hardjowirogo,
1994, cetakan ke-4, p. 7). Dugaan yang dapat ditarik dari pembahasan keduanya bahwa mereka mendasarkan pada batasan politis, bukan pada pemahaman ‘Jawa’ dari sudut pandang budaya. St. S Tartono mencoba mengambil sudut pandang lain (mengacu pada bahasa yang digunakan; jumlah orang Jawa di Indonesia dibandingkan dengan suku bangsa lain; jelajah garis keturunan yang tidak tegas dalam masyarakat Jawa; kepercayaan yang dianut orang Jawa) (Tartono, 2009). Catatan dari Tartono tersebut ‘senada’ dengan catatan Suseno yang menyatakan bahwa definisi ‘Jawa’ yang digunakan adalah definisi ‘text book’ atau definis ‘Jawa’ yang ideal. (Suseno, 1990). Bahasan mendalam tentang Jawa telah dilakukan oleh Denys Lombard (2005) dalam serial bukunya Nusa Jawa. Namun perlu diperhatikan bahwa kesemua bahasan tersebut di atas berada pada ranah pengetahuan non-arsitektural. Pembahasan Suseno lebih kepada pembahasan filsafat, sedangkan bahasan Lombard lebih kepada antropologi. Bahasan yang mungkin dapat digunakan sebagai ‘model’ penarikan kesimpulan terhadap definisi ‘Jawa’ adalah bahasan dari Magnis Suseno, karena kedekatan bahasan yaitu bahasan filsafat.
9 (sumber http://isparchitecture.wordpress.com/about/) 10 Adegan yang menggambarkan datangnya tamu pada saat adegan jejer sedang berlangsung (Palgunadi, 2002, p. 153).
(Rawes, 2007)
(Leach, Neil (ed), 1997)
(Yorgancioğlu, 2004)
(Gautama, 2006)
(Siregar, 2008)
13
Bahasan ‘Jawa’ juga bisa dilakukan melalui kesejarahan ‘Jawa’ yang salah satunya tersimpan dalam mitos Aji Saka11. Ada juga yang kemudian mengkaitkan dengan keberadaan Raja Saka yang berkuasa di India Selatan tahun 78 M (Shastri, 1996), dan ada dugaan bahwa Raja Saka berlayar dari India dan mendarat di pantai barat Jawa dan bermukim disitu dan kemudian memperkenalkan kebudayaan dan seni dari India (Baru, 2001). Mitos ini juga terkait dengan aksara Jawa, dengan Aji Saka sebagai ‘pembuat aksara Jawa’. Riyadi mencatat bahwa aksara Jawa adalah aksara yang dikenal setelah orang-orang India datang ke Pulau Jawa, namun tulisan itu bukanlah yang pertama kali dikenal oleh etnis Jawa. (Riyadi, 1996, p. 15).
Catatan yang bisa menjadi acuan untuk menjelaskan secara kronologis dan ilmiah adalah catatan yang dibuat Thomas Stanford Raffles, yang menduga penghuni pertama Pulau Jawa adalah orang buangan dari Mesir. Raffles juga mencatat bahwa Aji Saka masuk ke Jawa pada tahun 75 Masehi, atau sebagai tahun awal era Jawa. (Raffles, 2008, pp. 430-475). Jabaran di atas hanya untuk melukiskan begitu luasnya dan begitu dalamnya pemahaman Jawa itu sendiri.
Tinjauan sub-bab dibawah berikut ini lebih kepada ‘teknis’ penelitian untuk mencari definisi ‘Jawa’. Hal ini berguna untuk melingkupi penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ terhadap pemahaman Jawa.
2.3.1. ‘Jawa’ sebagai Kualitas Kepribadian Terdapat pernyataan yang dapat menjelaskan dan mendeskripsikan “Jawa” dalam kehidupan masyarakat Jawa, yaitu: wong
jawa kelangan jawane (orang jawa kehilangan ke-jawa-annya) atau luwih jawa tinimbang wong jawa (lebih jawa dari pada orang jawa). Dua pernyataan diatas menunjuk pada individu / masyarakat (etnik) dan kebudayaan. (Pangarsa, 2011). Pemahaman dua pernyataan itu juga menjelaskan bahwa ‘Jawa’ tidak lagi ditempatkan sebagai pemahaman suku bangsa tertentu. Pemahaman kesukuan atau dalam hal ini jawa-sentris justru akan merusak kesatuan bangsa Indonesia (Pangarsa, March 6-7, 2011), sehingga perlu adanya suatu perubahan cara pandang yang bersifat mendasar dalam memandang identitas kesukuan.
Identitas bukanlah suatu pemberian tapi suatu pencapaian. Dengan demikian maka identitas ke-jawa-an bukan karena lahir di Surakarta dan berayah-ibu orang Jawa tetapi karena pencapaian ke-Jawa-annya, seperti yang diungkap Yuswadi Saliya bahwa identitas kebudayaan tidak sesimpel ID card tetapi pada ‘semiotically-dynamic form (Saliya, 1986).
Dengan pemahaman dari Pangarsa dan Saliya tersebut dan juga dua pernyataan yang menunjuk pada identitas ke-jawa-an seseorang maka dapat disimpulkan bahwa Jawa bukan lagi sebagai sebuah ‘daerah’ atau ‘budaya’ tertentu yang melekat secara geografis, tapi lebih kepada ‘kualitas kepribadian’.
2.3.2. ‘Jawa’ terhadap Ruang (teritori) Dengan menetapkan definisi ‘Jawa’ sebagai kualitas kepribadian, maka konsekuensinya ‘Jawa’ sebagai ruang menjadi sangat
luas. Namun pembatasan ‘ruang/teritori’ diperlukan dalam suatu teknis operasional pelaksanaan penelitian. Jika kemudian mengacu pada penelitian arsitektural yang pernah dilakukan maka pengertian “Jawa” terhadap ruang teritorial, akan muncul beberapa penelitian, yaitu: studi rumah tradisional di Demak dan Jepara (Roesmanto, November 2002); studi tentang rumah kuno dan kaitannya dengan tata ruang kota Kaliwungu Kaliwungu (Wahyudi, 2006) dan studi perubahan arsitektural di Kudus (Indriastjario, 2009). Ketiga studi di atas kesemuanya mengacu pada pembagian kebudayaan ‘Jawa’ menurut Koentjaraningrat yang membagi pulau ‘Jawa’ menjadi 10 zona:
11 Mitos Aji Saka sangat kuat ‘hidup’ di masyarakat Jawa. (Cerita lengkap bisa di baca pada: http://public.beuth-hochschule.de/~grude/IndMaerchen/30_AjiSakaDanAsalMulaHurufJawa.pdf).
NamuKoen
menjaadalahprilakSpiritsosial‘oran‘RuanDeng
keluaDewatinggaruang
2.3.3
mene
TahundialogSerat Dewa‘waktPenul2002)
dilaku
12 ‘Rua(Soja, dalam
G(diga
un batas ini pentjaraningrat diKajian kritis tadi beberapa ‘rh pada perila
ku religius, yantual’ Pada saatl kemasyarakatg Jawa’ menarng Personal’ da
gan batasan-bat• Untuk ‘rua
lokasi/temp• Ruang beri
tertentu. Dpada peristyang terben
• Terakhir akeluarga, yoleh masyabiasa di Sukemudian dan Dusunmemaparkayang diang
Hal yang perluarga kerajaan, aruci – yang dal di masyarak
g hunian, difok
3. ‘Jawa’ terhSeperti halnya
embus batasan wLakon Dewarun 1500-1619 Kg antara Wrekt Dewaruci. Searuci (antara tatu’ terakhir adalisan ulang yan). Nilai filsafati ukan untuk me
ang sosial’ pada b1996, p. 70). Naminteraksi sosial ter
Gambar 1 Daerambar ulang dari
erlu di tinjau i atas berdasarkerhadap kebudruang’. Dasar paku kesehariang bermanifestt bersamaan prtan pelaku relirik diri dari kealam pengamattasan diatas terang spiritual’ dpat yang oleh mikutnya terkait
Dalam hal ini ytiwa Grebeg Mntuk dalam suaadalah ‘ruang yang terwujudnarakat Jawa diurakarta dan Ydisandingkan d
n Ngibikan, Jetian kondisi rak
ggap sebagai ‘pu dicatat adalatapi membaha
ditulis oleh mpkat biasa bukankuskan pada sud
adap Waktu a pemahaman ‘waktu. Acuan uci telah ada Kitab Nawaruckudara/Bima deetelah itu Ranahun 1845-187alah pagelaranng dilakukan Y
yang dikaji aenjaga ‘konteks
bahasan ini berbedmun ‘Ruang Sosiarsebut adalah untu
ah Kebudayaan: (Koentjaranin
secara lebih kkan sudut panddayaan nagarigpembagian ‘ruannya. Kesehatasikan dalam rilaku religius igius tersebut peramaian kehidtan penelitian
rsebut maka ditditunjuk petilamasyarakat Jawt dengan ruangyang ditempatkMaulud. ‘Ruanatu kelompok mpersonal’ yait
nyatakan dalamsebut omah ata
Yogyakarta dendengan rumah is, Bantul. Ala
kyat biasa di ‘ppinggiran’. ah bahwa padaas golongan rapu Ciwamurti, n di istana. Dedut pandang ra
‘Jawa’ terhadapyang digunakasejak abad 15
ci ditulis oleh Mengan Dewa R
nggawarsita – c5). Titik ‘wak
n wayang dengYasadipura I d
adalah nilai-nils’ dan fokus pe
da pemahaman denal’ ini lebih kepad
uk tujuan spiritual,
n di Pulau Jawangrat, 1994, p. 2
kritis, dang gung
uang’ arian beberapa upactidak hanya be
pemahaman indupan sehari-h‘konsekuensi ftentukan bahwasan makam Suwa dipercaya seg sosial, yaitu skan sebagai ‘rug Sosial12’ ini masyarakat terjtu ruang yang
m sebuah huniaau griya. Ruan
ngan menggunadi luar kota Ssan penunjukkpusat politik k
a penelitian “koakyat biasa dedikenal sebaga
engan catatan takyat biasa.
p ruang/teritoran adalah perke dengan mempMpu Ciwamur
Ruci. Kitab ini cucu Yasadipu
ktu’ selanjutnyan lakon Dewa
dan Ranggawa
lai yang ‘tetapenelitian yang d
ngan Lefebvre yanda interaksi sosialbukan maksud ata
a 27))
Ketera1. Ke2. Ke3. Ke4. Ke
W5. Ke6. Ke7. Ke8. Ke
M9. Ke
Ta10. Ke
M
14
cara (Sumukti, erdampak padai yang menjadari (Santosa, 2filsafati’ ini. a: unan Bayat diebagai membasebuah ruang buang sosial’ ad
juga masih tejadi pada perisg melingkupi an. Ruang persng personal ataakan data pene
Surakarta dan Ykan hunian di Sebudayaan’, y
onsekuensi filsengan mengacuai mpu dusun.tersebut maka
ri, maka pemahembangan ceri
mperhatikan relrti atau juga dikemudian dis
ura I – juga ma adalah saat Zaruci dengan d
arsita merupaka
p’ yang juga dilakukan.
ng menyatakan ‘Sl pada suatu perisau tujuan lain..
angan: ebudayaan Bantebudayaan Sundebudayaan Pesisebudayaan Pesis
Wetan; ebudayaan Banyebudayaan Bageebudayaan Negaebudayaan
Mancanegari; ebudayaan anahsabrang Weebudayaan Surab
Madura
inKkekeseKdiarpesegeteyam
1997), inilah a pribadi pelak
di dasar kebera2000, p. 50), d
i Tembayat, Kawa berkah secberkumpulnya mdalah komplekserkait dengan pstiwa spiritual, satuan terkeci
sonal yang berau rumah tinggelitian yang telYogyakarta, yaSurakarta dan Yang disanding-
safati” ini tidaku serat Nawar (Adhikara, 19ketiga ruang d
haman ‘Jawa’ ta/lakon Dewaief pada Candisebut Mpu Duadur oleh Yas
menggubah SerZoetmulder medalang Ki Nartan hal yang la
menjadi ‘inti’
Social Space’. (Lestiwa spiritual, seh
en; da; sir Kilen; sir
yumas; elen; arigung;
etan; baya dan
Penelitian ni meng
Koentjaraningraebudayaan ebudayaan yanentris (Kesun
Kasultanan Yiperlukan dalarsitektural yaenelitian ‘Konebab pembagiaeo-politik. ersebut dilakukang terjadi p
masyarakat Jawyang menjadiku tapi juga bedaan ‘Ruang Sengan dasar te
Klaten. ‘Ruang ara spiritual. masyarakat Jaws Keraton dan peristiwa spiritbukan peristiwil dari masyarrwujud hunian gal ini mengamlah dilakukan oaitu di Desa BaYogyakarta ters-bandingkan d
k membahas gruci – sebagai984; Aryandindi atas, ruang s
terhadap waktuaruci. di Penanggungusun (Aryandinadipura I (172rat Bima Sucienulis disertasitosabdo yang dazim dalam kes
pemahaman
febvre, 1991) atauhingga kepentinga
‘Konsekuensigadopsi at dengan terf
negarigung ng mengacu pnanan Surak
Yogyakarta). am ‘melingkuang digunakansekuensi Filsan yang dilak
kan dengan mpada masyarawa tidak teri dasar penentuerdampak padaSosial’. Pada saersebut ditetapk
spiritual’ men
wa dalam suatkompleks Ma
tual, artinya bawa biasa sehari-rakat Jawa yaatau rumah tin
mbil sampel rumoleh peneliti seakalan, Delangsebut dimaksu
dengan keadaan
golongan bang asal muasal si, 2000), yaitu
spiritual, ruang
u juga bersifat
gan (Lombard, ni, 1996), kita
29-1803) dan di, yang berdasainya tahun 193direkam pada tsusastraan Jaw
filsafat terseb
u thirdspace dari an dari masing-ma
i Filsafati’ pembagian
fokus pada yaitu
pada istana karta dan Batas ini upi’ kasus an dalam safati’ ini. kukan oleh
membaginya akat Jawa rlepas dari uan ‘Ruang a hubungan aat tertentu kan adanya
ngacu pada
tu peristiwa sjid Agung ahwa ruang -hari.
aitu sebuah nggal, yang mah rakyat ebelumnya, ggu, Klaten dkan untuk n di daerah
sawan atau serat/lakon
u mpu yang g sosial dan
t lentur dan
2005 (2)). ab ini berisi diberi judul arkan serat 5; dan titik ahun 1979.
wa (Behren,
ut. Hal ini
gpurn\
Edward Soja asing individu
15
gapuran13
2.4. Filsafat Jawa Pertanyaan tentang filsafat Jawa, bisa dikatakan sebagai pertanyaan klasik yang telah menjadi perhatian sejak masa
penjajahan Belanda. Pada tanggal 18 Agustus 1940, Prof Brugmans – yang ditugaskan untuk meneliti dan memberi saran untuk pendirian Fakultas Sastra – membuat laporan dan saran-sarannya, dan dalam satu pernyataannya dikatakan bahwa: “van autochtone philosophie hier te lande is gee sprake” (= tidak mempunyai filsafat asli) (Ciptoprawiro, 2000, cetakan ke 2, p. 10). Konteks Prof. Brugmans adalah konteks filsafat Indonesia, yang juga termasuk di dalamnya adalah filsafat Jawa. Mengapa kesimpulan tersebut bisa terjadi? R. Pramono menyatakan ada tiga alasan, yaitu: 1) banyaknya variasi pendukung kebudayaan Jawa yang merupakan khasanah bahan filsafat Jawa dilihat dari sudut wilayah/daerah; 2) disiplin filsafat ‘barat’ telah tersusun secara sistematis (metafisika umum, antropologi, kosmologi, logika, etika, estetika dan sebagainya); sedangkan dalam ‘filsafat Jawa’ unsur-unsur tersebut berbaur satu sama lain; 3) khasanah bahan filsafat Jawa tersebar dalam banyak sumber baik yang sudah tertulis oleh para pujangga, maupun yang belum / tidak tertulis seperti yang terdapat di dalam adat istiadat, praktek hidup/kebiasaan hidup (Parmono, 1985, pp. 91-92). Selain itu tujuan filsafat Jawa bukan untuk filsafat itu sendiri tapi untuk mencapai suatu kesempurnaan hidup (ngudi kasampurnan) (Kusbandrijo, 2007; Ciptoprawiro, 2000, cetakan ke 2, p. 21; Zoetmulder, 2000, p. 136).
Filsafat masyarakat Jawa telah terungkap mempunyai banyak variasi (Hariwijaya, 2004, pp. x-xi); untuk itu perlu diadakan pemilihan dan pemilahan filsafat yang mendasar dalam kehidupan masyarakat Jawa. Salah satu kisah wayang yang terkenal di masyarakat Jawa yang bertutur tentang hal kesempurnaan hidup adalah kisah tokoh Wrekudara/Bima dalam mencari air hidup, yang dapat digunakan sebagai petunjuk betapa usaha ini memang berakar dalam kehidupan masyarakat Jawa (Ciptoprawiro, 2000, cetakan ke 2, p. 11), yaitu lakon Dewaruci, menyimpan filsafat Manunggaling Kawula Gusti. Filsafat Jawa tersebut telah menjadi ‘bahan penelitian’ doktoral pada tahun 1935 oleh Zoetmulder14 (Zoetmulder, 2000, p. vii). Filsafat MKG juga telah berulang kali dibahas dari sudut pandang teologis, terutama dari sudut pandang agama Islam (Muryanto, 2004, p. v; Mulkhan, 2001, p. 51; Mulkhan, 2002, p. xii; Djaya, 2003, p. 215), dan sebagian besar menggunakan pemikiran Zoetmulder sebagai landasan kajiannya. Pemikiran MKG tidak dapat dipilah secara pasti apakah dipengaruhi Hindu-Budha atau Islam, sebab pemikiran ini telah menyatu dalam pemikiran orang Jawa (Zoetmulder, 2000, pp. 215-216). Ke-orisinalitas MKG inilah yang menjadi dasar pemilihan filsafat Jawa tersebut dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini, sehingga fokus perhatian pada masyarakat Jawa, tidak lagi mempermasalahkan pengaruh ‘manca’.
Dengan adanya perbedaan tinjauan keilmuan yang telah dilakukan Zoetmulder terhadap filsafat MKG maka perlu dilakukan kajian kritis. Dalam kajian kritis inilah digunakan lakon wayang (berwujud pagelaran dan serat). Wayang Jawa merupakan khas ‘milik’ masyarakat Jawa, memperkuat landas pijak penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini untuk memahami filsafat MKG dari sudut pandang masyarakat Jawa sendiri. Wayang ditempatkan sebagai ‘sumber pengetahuan’ dari tradisi tanpatulisan yang berseberangan dengan pemahaman MKG dari Zoetmulder.
2.5. Arsitektur Jawa Hal yang perlu ditegaskan terlebih dahulu adalah apa yang dimaksud dengan arsitektur Jawa? Istilah ‘Arsitektur’ memang
hanya dikenal dalam dunia pendidikan modern. Manguwijaya15 mengajukan istilah yang lebih tepat untuk mencerminkan memahami arsitektur nusantara yaitu ‘wastuwidya’ (Mangunwijaya, 1995, pp. 328-330), lebih lanjut adalah penyataan Mangunwijaya yang menyatakan : “….norma yang sudah mengambil wujud dan bentuk, jadi konkretisasi dari Yang Mutlak”; kemudian juga arti kata widya yang juga berarti wewangian. Ada unsur spiritualitas dalam perwujudan suatu bangunan. (Mangunwijaya, 1995, p. 327). Penjabaran pemahaman ‘arsitektur Jawa’ dengan mengambil sudut pandang Mangunwijaya di atas sebagai penegasan bahwa yang digunakan dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini adalah pemahaman total architecture, bukan arsitektur yang hanya sebagai ilmu bangunan semata, tapi komprehensif. Namun untuk mempermudah pemahaman masyarakat umum, istilah yang digunakan tetaplah arsitektur – dengan catatan yang dimaksud adalah total architecture.
Penelitian tentang arsitektur Jawa telah sangat banyak dilakukan oleh para peneliti, baik dalam ranah pengetahuan arsitektur ataupun dengan pendekatan antropologis, sosial-budaya atau pendekatan urban planning. Penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini hanya akan mengkaji penelitian yang berhimpit dan terbaru/termuktahir. Penelitian doktoral Bambang Supriadi menggali pemaknaan ‘ruang’ Jawa dari tiga hal yang terjadi dalam dunia perwayangan yaitu: pembabakan pakeliran; gatra dari Gunungan dan Lakon Dewaruci (Supriadi, 2010). Metode penelitian yang digunakan adalah metode Hermeneutik-Semiotika. Kekuatan disertasi Supriadi ini adalah pemahaman mendalam tentang ‘pentas/event/kejadian’ saat berlangsungnya sebuah pertunjukkan/pagelaran wayang serta ‘pembacaan’ tanda secara semiotika dan interpretasi secara hermenutik sangat tajam dan kritis. Namun Supriadi mengulang kelemahan-kelemahan penelitian sebelumnya yaitu dengan melakukan ‘pemaknaan’ dengan menggunakan ‘kacamata baca’ pemikiran ‘manca’. Namun di titik lain disertasi Supriadi ini juga membuka wacana baru dengan penjabaran bahwa ruang tidak hanya dinyatakan dan dibatasi oleh gatra, raga yang bersifat fisikal saja melainkan di dalamnya
13 Adegan yang menggambarkan perjalanan seorang tokoh atau raja yang sedang berjalan di antara balai sidang agung dalam kedhaton atau kraton. Ditengah perjalanan diceritakan sang tokoh tersebut melewati suatu gapura / pintu gerbang yang indah. (Palgunadi, 2002, p. 153) 14 Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, S.J. (Utrecht, Belanda, 29 Januari 1906 - Yogyakarta, 8 Juli 1995) adalah seorang pakar Sastra Jawa dan budayawan Indonesia.(sumber : http://wapedia.mobi/id/Petrus_Josephus_Zoetmulder diakses tanggal 21 Juni 2009, 11:27:53) 15 Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. (lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6 Mei 1929 – meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun), dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik (bahasa Jawa untuk "rakyat kecil"). Dia juga dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca "Romo Mangun" dalam bahasa Jawa). Penghargaan arsitektur: tahun 1991 mendapatkan IAI award untuk karya peziarahan Sendang Sono; tahun 1992 mendapatkan Aga Khan Award untuk karya hunian di Kampung Kali Code, Yogyakarta. (sumber http://en.wikipedia.org/wiki/Y._B._Mangunwijaya dan http://id.wikipedia.org/wiki/Y._B._Mangunwijaya)
16
berisi pula kualitas-kualitas yang tak kasat mata tetapi eksistensinya dapat dipahami. ‘Lubang’ dan ‘wacana baru’ dari kerja Supriadi inilah yang menjadi ‘permasalahan’ yang harus diselesaikan dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini.
Penjelajahan penelitian/kajian arsitektur Jawa dengan pendekatan teks sebagai obyek kajian telah didalami oleh Prijotomo, sehingga tidak tepat kiranya jika mengabaikan penelitian disertasi dan kajian-kajian dari Prijotomo dalam penelitian “Konsekuensi Filsafati” ini. Dalam kerja disertasi Prijotomo yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang diterbitkan tahun 2006, dinyatakan bahwa kerja utama disertasi adalah menjawab pertanyaan: bagaimana arsitektur Jawa seperti yang dikatakan oleh Kawruh Kalang dan Kawruh Griya? (Prijotomo, 2006, p. viii). Hal ini perlu dilakukan sebab kawruh kalang dan kawruh griya ditempatkan sebagai rekaman dari pengetahuan masyarakat dari tradisi tanpatulisan. Disertasi Prijotomo telah ‘menyediakan’ bahan berupa ‘pengetahuan arsitektur Jawa’. Maksudnya adalah penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ dapat menggunakan Kawruh Kalang dan Kawruh Griya sebagai acuan pengetahuan arsitektur Jawa tanpa harus melakukan klarifikasi ilmiah – pelatinan, ubah konteks baik kebahasaan maupun ranah pengetahuan – sebab telah di (re)-kontruksi menjadi pengetahuan arsitektur Jawa.
Kajian pustaka terhadap arsitektur Jawa hanya membatasi diri terhadap studi/kajian dalam ranah pengetahuan arsitektur. Hal ini untuk memfokuskan diri dan juga konsisten terhadap jalur pengetahuan yang di gunakan dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’.
jeje/ked[ton\
jejer kedhaton16
2.6. Filsafat Arsitektur Jawa (tinjauan pustaka) Sebelum melakukan kajian filsafat arsitektur Jawa, perlu ditegaskan terlebih dahulu pemahaman filsafat arsitektur Jawa.
Filsafat arsitektur jawa yaitu suatu sistem konstruksi berpikir yang menyeluruh/holistik dan komprehensif tentang dari sesuatu yang metafisik menuju sesuatu yang nyata.
Kajian arsitektur jawa masih terfokus pada kajian ‘bentuk’ yang kemudian mempermasalahkan atau meng-kritis-i ‘gaya/style’nya. Belum banyak penelitian yang mengulas tentang ‘pemikiran arsitektural’. Kalaupun ada yang mengulasnya, keilmuan yang digunakan di luar arsitektur. Salah satu contoh yang dapat dihadirkan adalah kajian makna simbolik pada kraton Yogyakarta dengan analisis numerologis dan etimologis. (Daliman, 2001) yang menggunakan ranah kajian budaya dan sejarah.
Kajian / studi yang paling mendekati dengan penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ adalah yang dilakukan oleh Anas Hidayat dalam tesisnya (Hidayat, 2001) yang berlatar belakang keresahan dengan banyaknya pemahaman bahwa arsitektur nusantara sebatas karya dalam wujud fisik bangunan belaka, dan mengabaikan kekayaan arsitektur yang berupa teks (naskah). Adanya beberapa kesamaan antara tesis Anas Hidayat dengan penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Keberadaan Gadamer yang ditempatkan sebagai ‘teman dialog’ pemikiran Jawa juga mempunyai keterkaitan dengan Heidegger pada penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Adam Sharr menjelaskan bahwa reputasi dan pemikiran Heidegger mempengaruhi kerja hermeneutik dari Gadamer (Sharr, 2007, p. 18), dan juga penjelasan Norberg-Schluz yang mengkaitkan Gadamer dengan Holderlin, yang tidak langsung berkaitan dengan Heideger. (Norberg-Schulz, 2000, p. 109). Selain itu, tesis Anas Hidayat membuktikan bahwa ada keterkaitan antara filsafat ‘manca’ dengan pemikiran arsitektural. Namun tidak berhenti pada keterkaitan, Hidayat juga menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak mampu di selesaikan oleh Gadamer, terselesaikan dan terjawab di dalam Primbon Jawa Pandita Sabda Nata. Penelitian “Konsekuensi Filsafati” mencoba ‘melanjutkan’ dugaan-dugaan yang tersusun oleh Hidayat dengan mengambil kasus filsafat Jawa MKG dan filsafat arsitektural dari Heidegger.
3. KAJIAN TEORI Kajian teori ini dimunculkan sebagai tahapan pemilihan ‘teori’ filsafat arsitektur yang akan digunakan sebagai ‘rekan dialog’
dengan filsafat arsitektur Jawa.
jeje/p[sbnJwi
jejer paseban jawi17
3.1. Pemilihan Filsafat Arsitektur Kajian teoritik dilakukan terhadap tiga pendekatan dalam filsafat arsitektur, dengan mengacu terhadap apa yang dilakukan
(Leach, Neil (ed), 1997), yaitu pendekatan Delueze-Guattari dengan Fold-nya; Derrida dengan Khora/Chora-nya; dan Heidegger dengan Building,Dwelling and Thinking-nya. Pemilihan pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan dengan pertimbangan :
1. Pemikiran filsuf berupa tulisan yang telah dikategorikan sebagai pemikiran arsitektural (termasuk dalam filsafat arsitektur).
2. Pemikiran filsuf tersebut diwujudnyatakan oleh arsitek.
16 Adegan yang menggambarkan keadaan di dalam taman sari tempat permaisuri raja atau para puteri Kraton tinggal dan bercengkrama. (Palgunadi, 2002, p. 154) 17 Adegan yang menggambarkan berkumpulnya tokoh-tokoh di balai paseban jawi (tempat berkumpulnya atau tempat pertemuan yang berada di luar Kraton atau balai sidang agung). (Palgunadi, 2002, p. 154)
17
3. Arsitek yang mewujudkan pemikiran filsuf tersebut juga menyusun ‘teori arsitektur’. Dengan tiga pertimbangan di atas maka dapat disusun sebuah skema trianggulasi sebagai berikut:
Bagan 4. Skema Trianggulasi Pemikiran Filsafat Arsitektural
(analisis peneliti) Dengan dasar itulah maka didapat keterkaitan sebagai berikut :
• Filsuf : Delueze-Guattari; arsitek : Greg Lynn, karya Sears Towers dengan pemikiran filsafat arsitektur : The Fold • Filsuf : Derrida; arsitek : Eisenman; karya : Parc La Villette; dengan pemikiran filsafat arsitektur : Khora/Chora • Filsuf : Heidegger; arsitek: Peter Zumthor; karya : The Vals,hotel and Spa dengan pemikiran filsafat arsitektur : Building,
Dwelling and Thinking
jeje/ sb]=
jejer sabrang 3.1.1. The Fold dari Deleuze – Guattari
Gilles Deleuze, yang kemudian melakukan kolaborasi dengan Felix Guattari, merupakan filsuf pasca-strukturalis yang berpengaruh pada dekade 1990an. Teori Delueze mempengaruhi beberapa arsitek antara lain Greg Lynn, UN Studio, Stan Allen, dll. (Widyarta, 2006). Delueze dikenal sebagai pemikir yang berfokus pada multiplisitas.(Rajchman, 2000; Widyarta, 2006). Multiplisitas ini terkait dengan lipatan-lipatan (fold), dan kemudian Deleuze memahami fold melalui kata dasar pli yang muncul dalam kata-kata imply, implicit, multiply, duplicate, replicate, yang kesemuanya merupakan bermakna terlipat/the folding. (Rajchman, 2000, p. 60; Ballantyne, 2007, p. 92)
Namun yang perlu menjadi catatan di sini bahwa Delueze adalah seorang filsuf profesional dan Guattari adalah seorang psychiatrist dan aktivis politik. Pemahaman latar belakang inilah yang membuka ‘celah’ pemikiran filsafat Delueze-Guattari dengan arsitektur. Pemikiran Deleuze-Guattari tidak hanya ditujukan untuk pengetahuan arsitektur semata, tapi usaha ‘interpretasi’ yang dilakukan para arsitek dan ‘teoriawan’ arsitekturlah yang mencoba mengkaitkan pemikiran Deleuze-Guattari ke dalam ranah arsitektur (Ballantyne, 2007, p. 14; Rajchman, 2000, p. 4; Leach, Neil (ed), 1997, p. 308). Penggunaan karya-karya Deleuze-Guattari dalam ranah arsitektur berada pada ranah praxis, yaitu pada konsep perancangan, hal inilah yang menjadi catatan penting dalam jelajah pemahaman ‘The Fold’ dari Deleuze-Guattari.
3.1.2. Chora dari Derrida Filsafat Derrida bukanlah filsafat yang ‘mantap’ tapi penuh dengan ‘goncangan’ dan ‘kerapuhan’. Derrida selalu
mempertanyakan dan mengkritik apa yang ada dibalik ‘teks’. Hal ini dapat dipahami karena ‘jalur filsafat’ yang ditempuh Derrida adalah ranah epistemologi18. Untuk itu (Leach, Neil (ed), 1997, p. 300) memberi catatan penting bahwa : “…. In the sense in which it is used by Derrida, deconstruction is not a style, and has little—if anything—in common with what passes for ‘deconstruction’ in architecture. Nonetheless it has obvious applications within the world of architecture, and offers a powerful conceptual tool”.
Chora/Khora bagi Derrida merupakan proses pemaknaan yang terus menerus (Tarigan, 2008) dan melalui Chora/Khora juga Derrida mendemosntrasikan metode dekonstruksinya (Leach, Neil (ed), 1997, p. 317). Keterkaitan Chora/Khora Derrida dengan arsitektur tersaji dalam buku “Chora L Work” (Derrida, 1997) yang menunjukkan keterlibatan yang besar dari Derrida dalam proses rancang Park de La Villette. Buku tersebut didahului dengan transkripsi diskusi antara Derrida dengan beberapa arsitek. Namun ke tujuh transkipsi diskusi tersebut diikuti oleh Jaques Derrida dan Peter Eisenman.
Apa yang dilakukan Derrida terhadap pengetahuan arsitektur? Derrida menjelaskan secara khusus dengan salah satu babnya dalam buku “Chora L Work” dengan judul “WhyPeter Eisenmann Writes Such Good Books”. Judul ini juga dikutip dalam buku “Rethinking Architecture”19 (Leach, Neil (ed), 1997). Derrida memaparkan proses translated/transfered dan tranformed yang
18Epistemology (from Greekἐπιστήμη - episteme-, "knowledge, science" + λόγος, "logos") or theory of knowledge is the branch of philosophy concerned with the nature and scope (limitations) of knowledge.[1] (http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology tanggal akses August 04, 2009, 1:45:26 PM) 19 Dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini digunakan versi Leach, dikarenakan dalam Derrida (1997) terdapat lubang-lubang yang menyulitkan dalam melakukan pembacaan. Lubang-lubang ini memang disengaja untuk menunjukkan letak dari folies yang dirancang pada Parc de La Villette. Sudah dilakukan pemeriksaan yang menunjukkan tidak ada perbedaan antara versi Leach (1997) dengan versi Derrida (1997).
Pemikiran Filsafat Arsitekural
Filsuf
Arsitek Karya
18
dilakukan Eisenman terhadap ‘Khora’-nya (Leach, Neil (ed), 1997, p. 339). Dengan bahasa Eisenman itulah, struktur arsitektural terbentuk (Leach, Neil (ed), 1997, p. 343).
Dari jabaran tersebut di atas jelas bahwa yang ingin dijabarkannya adalah metode dekonstruksi Derrida. Eisenman dalam melakukan interpretasi ke dalam ranah arsitektural adalah merupakan tahapan pengujian kemampuan dari metode dekonstruksi yang dikembangkan oleh Derrida. Hal ini dicapai karena ranah epistemologi yang digunakan oleh Derrida dalam menyusun filsafatnya.
Catatan kritis terhadap kerja Derrida dalam ranah arsitektur dapat terangkum dalam 2 hal, yaitu: 1. Derrida berperan aktif dalam suatu kegiatan arsitekural; Derrida mengikuti proses perancangan arsitektur dan berdiskusi
secara mendalam dengan Eisenmann. Namun hal yang menjadi catatan adalah Derrida tidak secara khusus berbicara tentang arsitekur, Derrida memberi kesempatan Eisenmann melakukan interpretasi, dengan metode translates, transposes, transforms dan ‘mempersilahkan’ Eisenmann untuk mengembangkan ‘bahasa arsitekturnya’ berdasar pada teori ‘khora’ Derrida.
2. Derrida dan Eisenmann, keduanya mengembangkan metode pada ranah epistemologi. Jadi lebih pada pengembangan metode perancangan arsitektur.
3.1.3. Building Dwelling Thinking dari Heidegger Karya Heidegger ‘terbesar’ yaitu Sein und Zeit (yang diterjemahkan menjadi Being and Time). Sein und Zeit terbit pertama
kali pada tahun 1927 dalam Jahrbuch fűr Phänomenologie und phänomenologische Forschung, Vol. VIII (Stambaugh, 1996). Heidegger ‘berencana’ menulis Sein und Zeit dalam dua bagian besar, namun yang berhasil diselesaikan Heidegger dan kemudian diterbitkan dikenal dengan judul Sein und Zeit adalah bagian pertama/part one (Heidegger, 1996, p. 35).
Secara singkat ‘kerja Heidegger dapat disimpulkan sebagai berikut (Korab-Karpowicz, 2007): • Heidegger menyusun filsafatnya di ranah ontologi20, dan fenomenologi merupakan metode filsafatnya. • Heidegger dalam menyusun filsafatnya melakukan kajian mendalam secara etimologi dan mengacu pada fenomena
kehidupan manusia. Heidegger menulis paper Building, Dwelling, Thinking (dengan judul asli berbahasa Jerman ‘Bauen Wohnen Denken’)
sebagai sebuah paper seminar/konferensi. Konferensi tersebut bertema “Mensch und Raum” (dalam bahasa Inggris berarti “Man and Space’) dilaksanakan di Darmstadt pada tanggal 4-6 Agustus 1951. Peserta seminar/konferensi tersebut adalah arsitek, engineers dan filsuf. Setelah paparan paper Heidegger, dilakukan diskusi dengan moderator Otto Bartning, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Sekolah Arsitektur Weimar (setelah Bauhaus pindah ke Dessau). Peserta seminar/konferensi tersebut antara lain Paul Bonatz (perancang Stadion Stuttgart), Richard Riemerschmid (penggagas gerakan Jugendstil), dan Hans Scharoun (perancang Berlin Philharmonie dan Perpustakaan Nasional Jerman Barat); juga dihadiri oleh Alfred Weber (sociologist); Hans-Georg Gadamer (filsuf). (Sharr, 2007, p. 36).
Dalam tulisan Building Dwelling Thinking, Heidegger menyentuh masalah-masalah yang nyata; dan untuk menggambarkan kenyataan arsitekturalnya Heidegger menyampaikan contoh kehidupannya di Todtnauberg sebagai sesuatu pemahaman dwelling yang ideal (Sadler, 2006, p. ix). Tulisan ini juga menjelaskan secara ‘jernih’ keterkaitan antara dwelling dan arsitektur (Leach, 1998).
Paper Heidegger ini kemudian menginspirasi filsuf lainnya, antara lain Foucault yang menulis “Space, Knowledge, Power” atau artikel Lyotard yang berjudul ‘Domus and the Megalopolis’ yang dapat disertarakan dengan pemahaman ‘Dwelling’ (Leach, Neil (ed), 1997, p. 99). Paper Heidegger ini memfokuskan pada keterkaitan antara dwelling dan thinking, dengan menganalisanya melalui jelajah akar kata (etimologi) yang menghubungkan kedua kata tersebut (Leach, Neil (ed), 1997, p. 98).
Paper ‘Building, Dwelling Thinking’ menarik banyak arsitek untuk memahami lebih lanjut. Alvar Alto bahkan meletakkan buku yang memuat paper ini di atas meja kerjanya (Sharr, 2007, p. 91). Salah satu arsitek yang secara terang-terangan menganut ‘pola berpikir’ Heidegger adalah Peter Zumthor21. Dengan jelas Zumthor mendasarkan pemikiran arsitekturalnya pada paper Heidegger tersebut dengan pernyataan :
In an essay entiled “Building Dwelling Thinking”, Martin Heidegger wrote : “Living among things is the basic priciple of human existence,” which I understand to mean that we are never in an abstract world but always in a world of things, even when we think”. (Zumthor, 1998, p. 34) Uraian singkat tentang pemikiran Heidegger terhadap arsitektur di atas menunjukkan bahwa Heidegger menuangkan
pemikiran arsitekturalnya dalam karya “Building Dwelling Thinking”. Hal ini berbeda dengan Deleuze-Guattari atau Derrida, yang karyanya diinterpretasikan terhadap ranah arsitektur. Walaupun Heidegger tidak seperti Derrida yang menyediakan waktu dan tenaganya dalam proses perancangan suatu karya arsitektur, pemikiran Heidegger mempengaruhi ‘pemikiran’ arsitek dalam mewujudkan karyanya, seperti yang dinyatakan oleh Zumthor.
3.1.4. Simpulan Pemilihan Filsafat Arsitektur Penjabaran tentang filsafat arsitektur dari Deleuze-Guattari, Derrida dan Heidegger di atas menunjukkan bahwa ada
keterkaitan antara ranah filsafat dan arsitektur. Deleuze-Guattari dan Derrida, menyediakan pemikirannya untuk diinterpretasi lebih lanjut ke dalam ranah arsitektur. Ketiganya mengisi ceruk teori arsitektur, Deleuze-Guattari mengisi pada tataran aksiologi, pada perancangan arsitektural; Derrida pada sisi epistemologinya, sedangkan Heidegger pada sisi ontologinya. Namun yang benar-benar berpikir dalam ranah arsitektur adalah Heidegger. Dengan pendekatan fenomenologinya Heidegger melakukan 20Ontology (from the Greek ὄν, genitive ὄντος: of being<neuter participle of εἶναι: to be> and -λογία: science, study, theory) is the philosophical study of the nature of being, existence or reality in general, as well as of the basic categories of being and their relations. (http://en.wikipedia.org/wiki/Ontolog tanggal akses August 04, 2009, 1:39:52 PM) 21 Peter Zumthor, arsitek Swiss, lahir 26 April 1943; meraih penghargaan Prizker Prize tahun 2009 (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Peter_Zumthor tanggal akses July 23, 2009, 1:07:32 PM)
19
pemikiran kritis terhadap apa yang terjadi pada masa itu, tahun 1950an, terhadap dunia arsitektur. Heidegger menawarkan pemikiran baru, bahwa arsitektur tidak hanya sekadar ‘solekan’ semata, tapi lebih dari itu.
Atas pertimbangan pengembangan teori arsitektur, terutama pada aspek ‘berpikir tentang arsitektur’ dan juga tulisan Heidegger bukanlah interpretasi oleh teori-wan/sejarahwan/ kritikus arsitektur tapi oleh Heidegger sendiri; maka dengan alasan tersebut penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini memfokuskan pada pemikiran Heidegger dalam arsitektur.
budlHnSb}=
budhalan sabrang22
3.2. Tinjauan Kritis Filsafat Arsitektur Heidegger Berbicara tentang pemikiran Heidegger yang arsitekural mungkin kita harus memperhatikan tulisan-tulisan Heidegger yang
lainnya. Paper ‘Building, Dwelling, Thinking’ ternyata bukanlah satu-satunya tulisan Heidegger yang arsitekural. Terdapat 2 tulisan lain yang berbicara tentang ‘pemikiran’ arsitektural terkait dengan paper ‘Building, Dwelling, Thinking’, yaitu ‘The Thing’ (1950) dan ‘... poetically, Man dwells...’ (1951). (Sharr, 2007, p. 4). ‘Trilogi’ pemikiran arsitektural Heidegger tersebut ditulis pada masa tahun 1950-51. Heidegger juga pernah menulis "The Origin of the Work of Art"tahun 1935-36. Kesemua tulisan Heidegger tersebut telah diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1971 (Heidegger, 1971), dengan judul buku “Poetry, Language, Thought” (diterjemahkan oleh Albert Hofstadter). Buku “Poetry, Language, Thought”tidak hanya memuat ke empat tulisan Heidegger tadi tapi juga memuat ‘The Thinker as Poet”; ‘What are Poets for”, yang seakan menjelaskan dasar pemikiran dari tulisan ‘… poetically, Man dwells...’dan ‘The Origin of Work of Art’; kemudian juga memuat ‘Language’ yang menjadi dasar dari seluruh tulisan Heidegger, terutama pada ‘Building Dwelling Thinking’ yang menjelajah akar kata dari building dan dwelling dalam bahasa Jerman.
Penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini akan difokuskan pada ‘trilogi’ pemikiran Heidegger terhadap arsitektur, yaitu ‘The Thing’; ‘Building Dwelling Thinking’ dan ‘…poetically, Man dwells…’. Pemusatan perhatian ini bukan berarti menutup mata terhadap keterkaitan tulisan-tulisan tersebut dengan karya-karya Heidegger yang lain, terutama yang terangkum dalam buku ‘Poetry, Language, Thought’. Pemusatan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dari filsafat arsitektur Heidegger. Kajian yang cukup lengkap dan mendalam telah dilakukan Adam Sharr tahun 2007, dalam buku Heidegger for Architects (Sharr, 2007). Pada kajian teoritik ini, kajian didasarkan pada kerja Sharr dan ditambahkan beberapa sumber atau penelitian lain yang mendukung adanya sebuah kajian ilmiah.
3.2.1 The Things
‘The Thing’ (dengan judul asli ‘Das Ding’) merupakan paper yang dipaparkan Heidegger pada waktu kuliah tamu di Munich tepatnya di Bavarian Academy of Fine Art, tanggal 6 Juni 1950 (Sharr, 2007, p. 23). Heidegger memusatkan perhatian pada nearness, dan sebagai contoh dia mengambil jug (‘der Krug’). Heidegger mengambil contoh fisik untuk memaparkan things, dia mengeksplorasi pemahaman orang yang mendekati suatu benda (being near to a thing). (Sharr, 2007, p. 25). Heidegger menghadirkan jug untuk memperkuat pendapatnya tentang kehadiran /presence dan ketidakhadiran /absence. Hal lain yang ingin diungkapkan oleh Heidegger dengan menghadirkan jug adalah kesetaraan Jug dengan Thing. The jug's essential nature, its presencing, so experienced and thought of in these terms, is what we call thing (Heidegger, 1971, p. 172).
Heidegger memandang void pada jug merupakan ketidakhadiran yang berguna. Justru karena void atau absence tersebut maka jug menjadi sangat berguna. Heidegger menyatakan bahwa ‘Being’ tidak hanya dipandang sebagai obyek saja, tapi dipandang juga dibalik dari obyek tersebut (‘as a thing and never a mere object’ (Sharr, 2007, p. 29)). Heidegger memikirkan (thinking) hal yang tidak nampak dari sosok ‘Being’. Ini kemudian digolongkan sebagai pemikiran yang metafisik, berpikir tidak hanya dari yang ‘hadir’ tapi ‘ketidakhadiran’ dari yang ‘hadir’ tersebut.
3.2.2. Building Dwelling Thinking
Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa paper Building Dwelling Thinking merupakan suatu paper untuk seminar yang dilaksanakan pada tanggal 4-6 Agustus 1951di Darmstadt.
Heidegger memahami bahwa building sebagai sebuah thing juga berfungsi sebagai jembatan (the brige) yang menyatukan antara bumi / earth dan langit / sky; ketuhanan / divities dan kemanusiaan / mortals. Ke-empat faktor inilah yang kemudian disebut sebagai fourfold. (Sharr, 2007, p. 45). Heidegger menutup tulisan ini dengan menghadirkan sebuah contoh nyata arsitektural yaitu the Black Forest farm house. (Heidegger, 1971, pp. 157-158) Namun Heidegger memahami bahwa tidak mungkin ‘kembali’ ke masa the Black Forest Farm House, dan memaksakan contoh yang ‘sempurna’ tersebut dibangun kembali di masa kini, namun setidaknya Heidegger mengharapkan arsitek belajar dari ‘kesempurnaan’ tersebut. (Heidegger, 1971, p. 158). Hal yang ingin diungkapkan Heidegger dari contoh tersebut adalah Only if we are capable of dwelling, only then can we build, (Heidegger, 1971, p. 157; Sharr, 2007, p. 65). Kesimpulan ini terlihat nyata karena Heidegger menulisnya dengan huruf italic, sehingga nampak penekanan kalimat ini pada karyanya.
3.2.3. …Poetically, Man Dwells…. Makalah ini merupakan catatan kuliah yang dikirim pada tanggal 6 Oktober 1951 di Buhler Hohe spa. Resort ini memang
mempunyai acara rutin setiap Rabu dengan mengundang beberapa tokoh penting pada masa setelah perang. Makalah ini kemudian diterbitkan pertama kali pada tahun 1954 di jurnal : Akzente: Zeitschrift für Dichtung, dan kemudian juga diterbitkan
22 Adegan yang menggambarkan berangkatnya pasukan kerajaan atau negara asing untuk melakukan suatu tugas atau penyerbuan. (Palgunadi, 2002, p. 155)
20
dalam buku Vorträge und Aufsätze. Judul asli paper ini adalah ‘. . . dichterisch wohnet der Mensch . . .’ (Sharr, 2007, p. 75). Makalah ini merupakan interpretasi Heidegger terhadap karya puisi Hölderlin23.
Adam Sharr mencatat bahwa makalah “….poetically, Man Dwells…” terkait erat dengan paper sebelumnya yaitu ‘Building Dwelling Thinking’. (Sharr, 2007, p. 76). Dalam paper ini Heidegger menempatkan puisi dari Hölderlin sebagai argumentasi pemikirannya. “Poetry is what first brings man onto the earth, making him belong to it, and thus brings him into dwelling”. (Heidegger, 1971, p. 216). Disinilah Heidegger menjelaskan pemahaman dwelling lebih lanjut dengan menyitir puisi Hölderlin.
Full of merit, yet poetically, man Dwells on this earth. (Heidegger, 1971, p. 216)
3.2.4. Filsafat Arsitektur Heidegger Sebelum melakukan kajian terhadap filsafat arsitektur Heidegger, perlu ada beberapa penegasan dan penjelasan terhadap
karya-karya Heidegger; terutama masalah penerjemahan. Penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini mengambil sumber tulisan Heidegger yang telah ber-bahasa Inggris. Ada beberapa catatan penting dalam penerjemahan dari Bahasa Jerman ke Bahasa Inggris; terkait dengan pengertian space dan place. Terjemahan dari bahasa Jerman ke Bahasa Inggris terhadap pengertian space dan place telah di-kritis-i oleh Sharr (Sharr, 2007, pp. 50-52).
In what follows, then, I will amend the standard translation. I will talk about place in the wider sense encompassing both ‘Ort’ and ‘Platz’, and also use the verb ‘to place’. This convention corresponds with discussions of place in the English language texts of architectural Heideggerians, such as Christian Norberg-Schulz (1971, 1980, 1988) and David Seamon (1989, 1993). (Sharr, 2007, p. 52)
Bahasan mendetail tentang hal space dan place dari pemikiran Heidegger juga telah dilakukan oleh Frampton. Nowhere are the turns of this labyrinth more evident, as Heidegger tries to make clear, than in our language, than in our persistent use of, say the Latin term “space” or “spatium” instead of “place” or the Germanic word “Raum” – the latter carrying with it, as it does, the explicit connotations of “space” as opposed to the socially experienced nature of “place”; to confront construction in extensio with the act of significant containment. (Frampton, 1996, p. 443)
Dengan berdasar pada pemikiran Heidegger –terutama pada tulisan Building Dwelling Thinking, Schluz juga menyatakan: Building never shapes pure ‘space’ as a single entity….(but) because it produces things as locations, building is closer to the nature of space and to the origin of the nature ‘space’ thatn any geometry and mathematics. A location or ‘lived space’ is generally called a place, and architecture may be defined as the making of places. (Norberg-Schulz, 1996, p. 435)
Dengan tinjauan kritis terhadap Sharr, Frampton dan Norberg-Schulz tersebut, penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini tidak lagi mempersoalkan hal tersebut, tapi mengikuti pemahaman bahwa yang dimaksud Heidegger adalah place bukan space.
Pengkajian kemudian dilanjutkan dengan merumuskan lebih ringkas dan mendalam tentang filsafat arsitektur Heidegger. Kajian ini mengkaitkan ketiga tulisan Heidegger tersebut, sehingga didapat pemahaman yang lebih menyeluruh, dengan fokus utama pada makalah Heidegger yang berjudul Building Dwelling Thinking. Mengapa dibuat rangkuman? Karena ke-3 tulisan Heidegger tersebut saling kait-mengkait. Ketika mendalami makalah ‘Building Dwelling Thinking’ maka tidak terlepas dari 2 tulisan yang lain. Untuk itulah dibuat rangkuman agar mampu menjelaskan pemahaman filsafat arsitektur Heidegger yang menjadi teori dasar/grand theory dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini.
A. Bangunan Idea (The things’ building)
Bangunan Idea merupakan kompilasi dari pemahaman Building dari ‘Building Dwelling Thinking’ dan The Thing. Pemahaman building dan the thing menurut Heidegger sebenarnya mengacu pada dasein atau pemahaman Being. (Dybel, 2005, pp. 249-250). Dasar pemahaman itulah yang menyebabkan penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia menggunakan kata ‘idea’ bukan ‘benda’ atau ‘barang’ untuk kata ‘The thing’.
Heidegger secara indah memberi contoh nyata pemahaman the thing dengan sebuah jug atau kendi. Contoh ini demikian jelas dijabarkan Heidegger bahwa kendi tersebut tidak hanya dipandang secara bentuk yang mampu terlihat namun juga bentuk yang tidak terlihat (potensi menampung benda cair dalam ke-kosong-annya). Jika kemudian kendi ini disetarakan dengan bangunan/ building maka sebuah bangunan/building mempunyai potensi untuk ‘didiami/dihuni’. Dengan contoh kendi dan bangunan, Heidegger mengarahkan untuk tidak terfokus pada ‘wadah’ tapi pada suatu ‘perkumpulan dan kesatuan’ (das Verweilen) yang disediakan oleh ‘void’ dari benda tersebut. Hal ini yang mendasari peneliti untuk memberi judul bagian ini sebagai ‘bangunan idea’ (the thing’s building), karena ‘bangunan’ tidak lagi sebuah benda yang nyata tapi justru ‘bangunan abstrak’ yang memuat gagasan-gagasan. Bangunan idea memuat gagasan-gagasan apa? Inilah yang kemudian dijelaskan dalam berikut ini.
B. Hunian Empat Dimensi (The fourfold dwelling)
Dalam ‘Building Dwelling Thinking’ bahasan tentang ‘dwelling’ merupakan bagian inti dari tulisan tersebut. Pembahasan ‘dwelling’ juga merupakan jawaban atas pertanyaan ‘gagasan’ yang dimuat dalam bangunan idea di atas. ‘Dwelling’ merupakan penghuni bangunan idea. Namun pertanyaan selanjutnya : ‘berhuni’ seperti yang bagaimana?
Jika kemudian sedikit kembali ke dalam tulisan Heidegger, muncul kritik yang cukup tajam yang dilakukan Neil Leach terhadap konsep ‘berhuni’ ini. Leach mengaitkan konsep ‘berhuni’ ini dengan sejarah hidup Heidegger yang pernah tergabung dalam partai Nazi. Neil Leach mengkaitkan konsep dwelling dengan konsep heimat24 dalam Nazi. Sekilas terdapat keterkaitan
23Johann Christian Friedrich Hölderlin (1770-1843)--poet, novelist, and dramatist-- is one of the masters of German literature. (sumber : http://mythosandlogos.com/Horderlin.html tanggal akses Friday, November 05, 2010, 4:11:23 PM) 24 Heimat is a term used in German to mean “home”, butit refers to more than just the place where you live. It can mean the place where you originally come from, and has an old-world type of feel to it. This is especially the case for families that had to leave their land in the wake of the Second World War. (sumber:
yang dimakdwellmembSharrmembtentu
dimenketuh….Popuitik
C. Be
IHofsta‘berpilebih ldimak
g
‘Heid‘berp
H
Pola
dijelameny
H
arsitedalam‘berhu
http://w"home,
Ga
perlu menjadiksud Heideggeling terikat padbuat Heidegger, 2007, p. 65).bangun tidak hsuatu gagasan Dalam penelitnsi’. ‘Hunian
hanan – kemanoetically, Man k, seperti halny
erpikir Puitik (
Is there in the adter tersebut mikir’ Heidegger lanjut pemaham
ksud Heidegger dThinking is not sgathering and foto discover in th
Cara ‘berpikirdeggerian Thinikir’ Timur (RHeidegger introand intuitive, mvon Eckartsberg
‘berpikir’ ratioDalam ‘Buildi
ajahi secara rasyajikan kehidupHeidegger suggshould become a(Sharr, 2006, p. Dengan demik
ekturalnya; ‘bam sebuah tulisauni’ yang haki
www.allthingsgerm," "homeland," "na
ambar 2 Hunia(analisa p
i catatan pentiner bukanlah ‘r
da ‘bumi’ dan ‘r menyimpulka Keberanian uhanya yang be arsitektural. tian ‘konsekueempat dimensnusiaan merupDwells… – se
ya seorang peny
Poetically Thi
end any fundammembuka kajiandari 2 tulisan y
man ‘berpikir’ dadengan thinking.so much an act a
focusing of our whem their essenti
r’ tersebut kemnking and Eastolf von Eckart
oduces into philoeditative thinkin
g and Roland S. V
onal sekaligus ing Dwelling Tsionalistik denpan di ‘pondokgested that these again—fundame66)
kian jelaslah baangunan idea’ an berjudul ‘Buiki. Sebuah kar
man.net/blog/hesseative soil," "mothe
an Empat Dimepeneliti)
antara kopemikirapemikira‘tanah le
Pemdiinterprmendasadwellingmenggamdengan digamb
Kong bahwa ‘hunruang/space’ t‘langit’ serta ban bahwa Onlyuntuk terikat dersifat nyata ta
ensi filsafati’ si’ ini mencakpakan penjabaebab, sekali layair dalam mem
inking )
mental differencen tentang ‘thinkaitu ‘Building D
alam konteks ars. Glenn Gray meas a way of livin
whole selves on wial nature and tr
mudian mendortern Mind’ mensberg and Rola
osophical discoung. Our world anValle, 1981, p. 2
intuitif inilah yThinking’; ‘berpngan mengungkk’ nya. Sharr m
words (buildingentally inseparab
ahwa ‘berpikir sebagai obyek
uilding Dwellinrya filsafat arsi
entag/what-is-heimerland," and "plac
esi
onsep dwellingan fascism daan ‘tradisional’eluhurnya’ (Ludmikiran dwellretasi dan mamar sebelum melg dari Heidegmbarkan terda
fourfold (Shaarkan, maka akonsep dwellingnian’ tersebut tetapi ‘tempat/
berbatas ‘ke-tuhy if we are capan menetap ya
api bersifat ab
ini kemudian kup pemahamaran dari diale
agi, Heidegger mbuat sebua pu
e between the thing’dalam pema
Dwelling Thinkinitektural jika ke
enjabarkan thinkg or dwelling. It
what lies before ruth. (Gray, 2004
ong orang untungungkap banyand S. Valle, 1urse a radical disnd reality as a w290)
yang mendoronpikir’ menjadi kap kosakata d
mencatat bahwag and dwelling.rble, conjoined in
puitik’ merupk dan ‘hunian ng Thinking’ yatektural yang t
mat/) . Heimat is ce of origin and be
21
g Heidegger dari partai Naz’ Jerman. Kondewig, 2007; Hling Heidegg
mpu menyesuailakukan interprgger tersebutapat empat elarr, 2006, p. kan tergambar g tersusun dari bersifat tetap. /place’ yang bhan-an’ dan ‘kpable of dwellinang menimbulkstrak, termasuk
menyebut konan dari tulisanktika kehadira
r fokus terhadauisi.
hinking poet anahaman arsitektng’ dan ‘….Poe
emudian menarikking dari catatan t is a rememberius and a taking
4, p. xi)
uk mengkaitkayak sisi-sisi ca981). stinction. He spewhole reveals its
ng kajian tentantitik penting ‘pdalam bahasa a : red), in proper rn a “thinking” su
akan sarana/alempat dimensang rasionalistitiada banding.
an untranslatable
longing," (sumber
dan konsep heizi. Namun konsep ini terkaitHeynen, 1999, er merupakanikan dengan ‘jaretasi adalah e. Sharr yangemen menyus67). Jika kemsebagai beriku‘langit – bumDengan demi
bersifat ‘meneke-manusia-an’ng, only then ckan kemampuak pemahaman
nsep dwelling n The Things an/presence daap dwelling de
nd the poetic thitural dari Heideetically Man Dwk diri keluar semmateri kuliah H
ing who we are ato heart and min
annya dengan cara ‘berpikir’ H
eaks of two modself in a totally
ng ‘berpikir pupenyatu’ antaraJerman, dan k
relation, named ausceptible to imm
at/metode bagii’ sebagai subyik dan intuitif;
e word with a mur : http://www.heim
imat yang serinonsep heimat t dengan keterp. 119). n pemikiran aman’. Hal yan
elemen-elemen g mengunjungsun dwelling mudian pemahut:
mi’; ‘ke-Tuhan-ikian maka maetap’ bukan be. Keterikatan dcan we build, (an ‘membangu
‘membangun
Heidegger in– sebab diale
an ketidakhadiengan terfokus
inker? (Hofstadtegger. Kajian inwells…’. Akan mmentara waktu daHeidegger, yang sas human being nd these particu
cara ‘berpikir’Heidegger yang
des of thinking: rdifferent way to
uitik’ dari Heida building dan kemudian ditut
activities that hamediacies and e
i Heidegger dayeknya. Kesemyang bertujuan
ultitude of meaninmat123.net/discuss
ng kali dikaitksebenarnya
rikatan seseora
yang ‘terbung perlu dipahapa saja yang
gi ‘pondok’ yang kemudi
haman dwellin
an – ke-manusakin jelaslah berpindah-pindadan sifat tetap i(Heidegger, 19
un’. Sekali lagi gagasan’. Dal
ni dengan ‘hunektika bumi –iran/absence; d pada cara ber
ter, 2001, p. x).ni mengkaitkan menarik sebeluman memperhatiksalah satunya beand where we blar things before
dari filsafat tig ‘berhimpit’ d
rational, calculao each of these m
degger. dwelling. ‘Pen
tup secara intu
ad once been—aenormities of dai
alam mengungkmuanya terangn mengungkap
ngs including, amsion.html)
kan dengan merupakan
ang dengan
uka’ untuk hami secara g menyusun
Heidegger an dikenal ng tersebut
sia-an’. Hal bahwa yang ah. Konsep itulah yang
971, p. 157; pengertian
lam hal ini
nian empat langit dan
dan tulisan rpikir yang
. Pertanyaan pemahaman
m membahas kan apa yang rbunyi: elong. It is a e us in order
imur. Buku dengan cara
tive thinking modes. (Rolf
nyatuan’ ini uitif dengan
and, for him, ily existence.
kap filsafat gkum indah pkan makna
mongst others,
22
4. METODOLOGI PENELITIAN
per=ggl\
perang gagal25
Pendekatan penelitian “Konsekuensi Filafati MKG pada Arsitektur Jawa” adalah penelitian kualitatif (Groat, 2002, p. 176). Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menggunakan strategi penelitian interpretivism (Groat, 2002, p. 186). Taktik penelitian menggunakan taktik archival documents (Groat, 2002, p. 192).
Metode yang digunakan adalah metode investigasi filsafati dari Wittgenstein atau juga disebut sebagai metode klarifikasi (Rapar, 1996, p. 122). Pemahaman Philosophical Investigation dari Wittegenstein merupakan kebalikan/berlawanan dengan sistematikan penyusunan teori filsafati (Stern, 2004, p. 14). Investigasi filsafati Wittgenstein mengutamakan 2 topik mendasar yaitu filsafat bahasa dan filsafat psikologi (McGinn, 1997, p. 9). Investigasi bagi Wittgenstein bukan untuk mengkonstruksi teori baru yang ‘mengejutkan’, tapi menguji bahasa, sebab menurutnya permasalahan filsafati berakar pada ‘a misunderstanding of the logic of our language’ (McGinn, 1997, p. 12).
4.1. Tahap Kajian Pustaka dan Kajian Teori Pada penelitian “Konsekuensi Filsafati” ini diperlukan pemisahan antara kajian pustaka dan kajian teori. Tahap kajian
pustaka merupakan tahapan awal yang dilakukan pada penelitian “Konsekuensi Filsafati” ini. Tahapan ini mencari pemahaman awal tentang Filsafat – Arsitektur - Jawa. Dengan kata lain, tahapan ini mencari gap of knowledge dari keterkaitan ketiganya. Celah pengetahuan yang didapat dari tahapan inilah yang menjadi landasan untuk melakukan kajian teoritik.
Pada kajian teori dilakukan terhadap 2 ‘sisi’ yang berbeda, yaitu kajian terhadap teori ‘manca’ dan teori ‘Jawa’. Kajian teori pada sisi ‘manca’ dihadirkan teori-teori ‘filsafat arsitektur’. ‘Filsafat arsitektur manca’ tersebut akan ditempatkan sebagai grand theory yang akan di-dialog-kan dengan ‘filsafat arsitektur jawa’. Kajian teoritik tersebut dilakukan untuk memilah dan memilih ‘filsafat arsitektur manca’ yang ada. Hasil kajian teoritik tersebut digunakan dalam tahapan diskusi/dialektika arsitekural sehingga mampu berdialog dengan filsafat arsitektur jawa dengan setara.
4.2. Tahap Re-konstruksi Filsafat Jawa Dalam tahapan re-konstruksi Filsafat Jawa dihadirkan 2 sumber pengetahuan yaitu pemahaman filsafat MKG versi
Zoetmulder dan pemahaman filsafat MKG dari tradisi tanpatulisan. Tahapan kerja yang dilakukan adalah melakukan ‘penyetaraan’ terhadap sumber pengetahuan dari tradisi tanpatulisan (dalam hal ini adalah sumber dari serat yang berbentuk tembang dan lakon wayang).
Tahapan ‘penyetaraan’ ini mengacu pada keterangan Gunawan Tjahjono yang menjelaskan perbedaan nyata antara naskah, teks dan wacana (Tjahjono, 2004). Naskah, dengan melakukan kajian etimologi, merupakan catatan pengalaman, yang merupakan tulisan tangan. Teks, umumnya tampil dalam bidang sastra dan budaya tulis, mengandung makna sekumpulan kalimat. Jika teks direalisasikan dalam konteks yang jelas dan tampil bagi pembaca atau pengucap dalam suatu keterpautan yang utuh maka dia menjadi wacana (discourse). (Tjahjono, 2004, p. 9). Dalam menghadapi sumber pengetahuan dari tradisi tanpatulisan, sumber itu pertama-tama ditempatkan dalam suatu pemahaman folklore (Sims & Stephens, 2005, p. 8)
Dengan menempatkan sumber pengetahuan bertradisi tanpatulisan sebagai sebuah folklore maka diperlukan metode interpretasi folklore, untuk melakukan ‘transkripsi’. Pendekatan yang dilakukan dalam metode interpretasi folklore adalah pendekatan functionalisme (Sims & Stephens, 2005, p. 177)
Hasil ‘transkripsi’ ini disebut sebagai ‘naskah’ yang kemudian diolah kembali menjadi sebuah ‘Teks’. Pengolahan dilakukan dengan metode analisis konten. Analisis konten mempunyai kemampuan untuk mengungkap, memahami dan menangkap pesan dari obyek penelitian yang berupa karya sastra; dengan catatan bahwa peneliti harus membangun konsep yang akan diungkap terlebih dahulu sebelum memasuki obyek penelitian. (Endraswara, 2008, pp. 160-161). Krippendorff menyatakan : "content analysis as the use of replicable and valid method for making specific inferences from text to other states or properties of its source". (Marying, 2000).
Setelah dihasilkan teks perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut sehingga menjadi wacana filsafati Jawa. Pengolahan ini menggunakan metode Critical Discourse Analysis (Van Dijk, Teun A, 1998). CDA juga mempunyai kemampuan tidak hanya menginterpretasi text tapi juga menjelaskannya (Sheyholislami, 2001).
4.3. Tahap ‘Pembangunan’ Filsafat Arsitektur Jawa Tahap ‘pembangunan’ Filsafat Arsitektur Jawa adalah tahapan membangun bangunan ‘pemikiran’ filsafati arsitektur Jawa.
Filsafat Jawa yang telah dihasilkan dari tahap re-konstruksi filsafat Jawa pada tahapan sebelumnya akan ditempatkan sebagai ‘gagasan/cita-cita/keinginan’ yang melingkupi ‘bangun arsitektur Jawa’.
Tahapan ini dapat dianalogikan sebagai sebuah proses ‘membangun/konstruksi’ omah/rumah Jawa. • Tahap awal (tahap A) yang dilakukan dalam proses ‘membangun’ omah adalah pemilihan lokasi atau pemilihan
bahan/kayu. Tahapan ini adalah tahapan ‘gagasan/cita-cita’. • Tahap kedua (tahap B) adalah tahapan konstruksi fisik. Tahap ini adalah merakit ‘struktur konstruksi’ dari omah
tersebut. Tahapan ini bertujuan mendirikan ‘kerangka bangunan’ atau balungan dari omah. ‘Kerangka bangunan/balungan omah tersebut setara dengan ‘terwujudnya’ pemikiran filsafati dalam serat Jatimurti dan
25 Adegan yang menggambarkan pertempuran yang terjadi di antara dua pasukan yaitu dari suatu kerajaan tertentu dengan kerajaan sabrang / asing. (Palgunadi, 2002, p. 155)
Ketigyang
4.4. T
tahaptidak dual) Witte
terhaddilaku
4.4.1
menyDan mpemikmemadilakutersebLangu
masinSchludenga
4.4.2
(HidaHidaydengadari ptahapmemb
4.4.3
rupa.
26 LahiRoma Depart(sumbesesuai 27 Lahi
A
pengetahuberupa ke
• Tahap ketmaterial s‘konsekue
ga tahapan tersedilandasi oleh
Tahap DiskuTahap diskusi
pan ini adalah mempunyai po(Magnis-Suse
egenstein (OstrDengan dasar dap ‘sikap’ diukan oleh Schu
. Dialektika NChristian Norb
yetujui/ sependmelalui kajiankiran Heideggahaminya perluukan dari bukubut belum menuage, Place”. Schluz membang bagian jugauz adalah menean mempertega
2. Dialektika APada bagian b
ayat, 2001; Hidyat menempatkan ‘saling melpemikiran Jaw
pan tersebut, nbaca ‘pemikira
3. Dialektika FDengan mengDialektika H
ir di Oslo tahun 19(tidak hanya sejaratement of Architecer pada bagian covdengan yang terte
ir di Kediri pada ta
A. Gagasan
uan arsitektur rangka konstrutiga (tahap C) sebagai penutuensi filsafati’ inebut itulah yanfilsafat Jawa, y
Ga
usi merupakan tahmetode dialekola dasar tesis-eno, 2005, p. 8row, 2002, p. 1dialektika Heg
ialektika terhaulz dan Hidaya
Norberg-Schuberg Schulz26 adapat dengan an Adam Sharr ger. Kajian tersu dilakukan reu Schulz terbinjadi bahan ka
agi buku terbia terbagi menjegaskan apa yaas pemikiran H
Anas Hidayatberikut ini akandayat, 2009; Hkan diri setara empar pemikir
wa), dan hasilnynamun ‘dialog’an manca’. Has
Filsafat Arsitehadirkan dua v
Hegelian yang
926. Mendapatkanah arsitektur tapi jcture di Oslo. Menver belakang buku ra di bagian forew
anggal 7 Oktober 1
B. Struk
Jawa. Pemikiuksi.
adalah tahap up balungan oni. ng dipahami sebyang terwujud
ambar 3 Grafi
hapan yang palktika Hegel ter-antitesis-sinte83). Model di4). gel, perlu ditegdap filsafat arat. Untuk itu be
ulz adalah salah saapa yang dikatdapat ditemuksebut menjadi e-check / pemitan tahun 200ajian Adam Sh
itan tahun 200jadi 3 sub babang telah dicap
Heidegger terha
t n dibahas kary
Hidayat, 2010), dengan pemik
ran’. Pemikiraya adalah pem’ dilanjutkan dsil ‘dialog’ ked
ektural versi dialog ditesis- anti tes
n gelar sarjana arsituga teknologi kon
ndapatkan the GoldSchulz (2000)). B
word, yaitu : Oslo, 1973. Menyelesaik
ktur Konstruksi Omah
ran filsafati d
penyelesaian/fomah. Tahap i
bagai filsafat adnyatakan dalam
is Tahap Pemb(anali
ling utama dalarmodifikasi. Adsa (pola triad);alektika Hege
gaskan sikap brsitektur. Sikaperikut ini akan
atu dari sekian takan Heideggekan bahwa ‘pem
‘pintu masukeriksaan ulang
00. Pemilihan bharr. Buku ter
00 ini ke dalamb. Dengan menpai oleh Heideadap teori arsite
ya pemikiran dsikap dialogny
kir-pemikir maan manca dipermikiran Jawa ddengan memb
dua ini adalah k
i atas ternyatasis dengan sin
tekturnya di Zurichntruksi dengan Pierd Medal of the FreBuku terbitan tahunJuly 1994.
kan pendidikan tin
C
23
dan pengetahua
finishing. Padaini menggamb
arsitektur Jawam ‘pengetahua
bangunan Filsisa peneliti)
am penelitian da catatan pen; tetapi pola dil tersebut juga
berdialog padap ‘kritis’ ini mdihadirkan ‘ca
banyak nama –er dalam papemikiran’ Schu
k’ untuk lebih g ‘teori’ dari Sbuku tersebut rsebut (Norber
m 3 bagian benggunakan bu
egger. Jika dianektur. Penajam
ari Anas Hidayya berbeda den
anca dan dengarsilahkan untu
dari sudut pandalik keadaan,
kajian kritis dar
akan bahwa montesis tidak di
h Polytechnic tahur Luigi Nervi). Me
ench Academy of An 2000 dapat dipas
ngkat sarjana dan m
. Omah siap H
an arsitektural
a tahap ini omarkan kasus a
a, yaitu pemikiran arsitektur jaw
safat Arsitekt
‘Konsekuensi Fnting menyangialog yang salina merupakan b
a tahap diskusi mengacu padaara kerja’ dialek
– yang disebuter “Building Dulz yang secara
memahami ‘sSchulz terhadakarena pemik
rg-Schulz, 200
esar, yaitu Preuku tersebut danggap sebagai
man ini yang m
yat27. Dengan ngan apa yangan ke-setara-ank ‘membaca’ dang ‘pemikirayaitu dengan ri pemikiran m
odel dialektikailakukan oleh
un 1949. Belajar Senjadi professor tahArchitecture tahun stikan dibuat sebel
masternya di jurusa
Huni
l tersebut ‘bel
mah sudah siaparsitekural yang
ran/gagasan mewa’ dan ‘aplika
ur Jawa
Filsafati’. Metgkut dialektika ng membenarkbagian dari me
ini. Untuk itua 2 cara ber-dktika Schuluz d
t oleh Adam ShDwelling Thinka jelas ‘menyesikap’ dialog dap ‘pemikiran’ kiran Schulz ya00) berjudul :
esence, Languapat terungkap‘kritik’, Schluenjadi ‘cara be
mengacu padag telah dilakukan tersebut ‘caraissue yang disan manca’. Namenempatkan
manca.
a Hegel dapat Schulz dan H
Sejarah Arsitektur dhun 1964. Tahun 1978. Meninggal
lum Schulz menin
an Arsitektur ITS
lum’ bisa dihu
p huni, karena g hadir dalam
endasar tentangasinya’.
ode yang digunHegel. Dialek
kan dan memajetode investiga
u perlu ada tinjdialog, seperti dan Hidayat.
harr – yang meking” (Sharr, 2etujui/sependapdari Schulz. UHeidegger. Pe
ang tertuang d“Architecture
age, Place; dap bahwa ‘cara uz menyampaikerdialog’ Schlu
a beberapa karan Norberg-Sca berdialog’ –sampaikan (dalamun tidak bern ‘pemikiran J
dimodifikasi sHidayat, kedu
di Havard Univers1966 menjadi Profpada bulan April 2ggal tepatnya tahu
Surabaya.
uni, karena
sudah ada m penelitian
g arsitektur
nakan pada ktika Hegel jukan (pola asi filsafati
jauan kritis yang telah
eng-amin-i/ 2007, p. 1). pat’ dengan Untuk lebih emeriksaan
dalam buku : Presece,
an masing-berdialog’
kan ‘kritik’ uz.
rya Hidayat chulz. Anas nya adalah lam hal ini rhenti pada Jawa’ yang
sedemikian uanya lebih
sity dan di fessor di 2000.
un 1994,
24
mementingkan dual daripada triad, yaitu lebih mementingkan dua sisi yang berdialog daripada memikirkan ‘sintesis’ sebagai unsur ketiga.
Namun ada perbedaan yang mendasar dari Schulz dan Hidayat. Sikap Schulz dalam ‘berdialog’ dengan filsafat arsitektur Heidegger adalah ‘mempertegas/ menyetujui / sependapat’; sedangkan Hidayat ‘menentang /tidak menyetujui/berseberangan’ dengan filsafat ‘manca’. Schulz dapat dipandang sebagai ‘penterjemah’ pemikiran Heidegger terhadap ‘teori’ arsitektur, sehingga dialognya bukan tesis dan antitesis, tapi dialog yang berkelanjutan. Hidayat dapat ditempatkan sebagai dialog yang tesis dan antitesis, namun hasil yang didapat dari dialektika tersebut bukanlah sintesis, tapi tesis dan antitesis berikutnya.
Pada penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini yang digunakan adalah model dialektika Anas Hidayat. Hal ini didasarkan pada: • Adanya ‘beda’ konteks dan perspektif dari Filsafat Arsitektur Heidegger dan Filsafat Arsitektur Jawa. Dengan model
dialektika Hidayat maka akan dihasilkan suatu hasil dialog yang tidak hanya berhenti pada ‘pembacaan’ filsafat ‘manca’ tapi juga perspektif Jawa terhadap ‘manca’. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan potensi pemikiran dari masing-masing perspektif.
• Model dialektika Anas Hidayat, mengisyaratkan ‘kesetaraan’ dalam berpikir, sehingga hasilnya tidak lagi ‘sekadar’ memaparkan perbedaan dan kelemahan, tapi juga memaparkan persamaan dan keunggulan ‘pemikiran’ masing-masing.
25
5. R
5.1. F
‘mempengapenelarsite
keadajudul menjeemandapatharus
antaramanumanuZoetmberleb
buku SoeloRicklJavan– diteMonidan Bfrasa
ZoetmIndonbukan
een; ddalamkhusu2004,
28 Adegatau ad29 Kam
RE-KONSTR
Filsafat Man
Karya Zoetmumberi sumbangantar, (Zoetmulitian itu pulalaekturnya, dan sSecara ringkaaan/saat/ tempa
“Tuhan Berselaskan suatu
nasi – naik kemt didefinisikan s kembali, kareMKG bagi Zoa manusia dan
usia menuju Tuusia – seperti mulder karena burnya manusiSelain pendefiZoetmulder v
oek- Litteratuurlefs (Zoetmuldnese Suluk Liteerjemahkan oleisme dalam SaBahasa Indoneyang cukup mWalau ada dug
mulder tapi penesia. Fokus pn pada kajian kJika dalam verdan dalam bah
m bahasa Jawaus; satu dng y, cetakan ke 4)
gan mengawali seldegan para punakamus ini berjudul
RUKSI FIL
unggaling Ka
ulder ini merugan kecil guna ulder, 2000, p.ah yang mendoerupa dengan Zas dapat dinyat bersemanyamsemayam di hubungan ant
mbali ke TuhanZoetmulder
na oleh emanaoetmulder adaln Tuhan. Penuhan untuk berjudul Bab VIyang dipentingia dan Tuhan.inisian tersebutersi bahasa Indr”. Disertasi in
der, 2000, p. verature: Islamieh Dick Hartok
astra Suluk Jawesia menunjukk
menonjol karenagaan penamba
enambahan juderhatian adalah
konteks dan perrsi bahasa Indo
hasa Inggris dig. Menurut kamang lain, bersa29.
luruh pagelaran w
awan menghadap toasli Old Javanese
LSAFAT JA
Kawula Gusti
upakan penelimemahami ba
. ix). Jadi penorong penelitianZoetmulder. yatakan bahwmnya Tuhan daDalam Manu
tara adanya Tun serta mencapdengan pernya
asi ia seolah-olalah suatu ‘tem
njelasan di atasrsemayam – seIII Tuhan bersgkan bagi Zoet
t ada hal lain ydonesia. Judulni juga diterjem
viii). Dalam pec and Indian Mko - judul ini
wa, Suatu Studkan adanya kea ditempatkan dahan judul tersedul tersebut cuh pada Bab Vrspektif disertaonesia digunakgunakan kata o
mus tunggal batu, satu jenis
wayang kulit purwa
okoh kesatria yange English Dicti
AWA
menurut Zoe
itian disertasi angsa yang m
nelitian filsafatn ‘Konsekuens
wa Zoetmulderan manusia. Hsia”. Pendefinuhan dan adanpai kemanungataan: “….manah berada di lu
mpat’ – terlihats juga menimb
eperti ungkapansemayam di dtmulder adalah
yang perlu dicel asli dari disermahkan dan dienterjemahan vMysticsm in an mengalami pe
di Filsafat”. Teetidak-sesuaiandi depan judul ebut agar pemb
ukup ‘menggodVIII yang diberasi, tapi pada pkan kata ‘manuone. Kata ‘manerarti: satu, su(bentuk,dsb),
a pada pathet sangg sedang dalam suionary dan diterb
etmulder
pada tahun 1enghasilkan sati ini mengarahsi Filsafati’ dila
r mendefinsikal ini terungkanisian “manusnya manusia pgalan antara knusia di dalam
uar Tuhan”. (Zot pada penggubulkan pertanyn kata mulih –dalam Manusiah titik peleburan
rmati lebih dalrtasi Zoetmulditerbitkan dalaversi bahasa InIndonesian Se
enambahan melaah dari juduln ketika diterjeaslinya yaitu f
baca di Indoneda’ untuk dikari judul Tuhan penggunaan katunggal’ sedangnunggal’ tersebuatu, sesorang h
sama, serupa,
a. Adegan ini menuatu perjalanan. (Pbitkan pertama ka
1935. Tujuan astra ini’ – seph pada ‘penguakukan, yaitu m
kan Manunggaap pada bab VIsia di dalam pada khususnykawula dan Gum Tuhan. Disaoetmulder, 200unakan kata myaan kritis, yaataukah justru
a? Hal arah pn tersebut; jad
lam. Kata Mander adalah “Paam bahasa Inggnggris judulnyetting”. Sedangnjadi “Manungl disertasi Zoetemahkan dalamfrasa “Manungesia lebih memaji kembali isi
Bersemayam ta Manunggaligkan versi Belbut digunakan Zhanya satu, sat, serupa benar,
nampilkan tokoh kalgunadi, 2002, ppali tahun 1982 ol
jej
jeje
penelitian Disperti diungkapungkapan’ isi memahami ‘isi
aling KawulaIII buku Zoetm
Tuhan” diberya serta usaha usti. Dengan danalah tempat 00, p. 213).
mulih – dan disaitu proses mau Tuhan yang bpergerakan mei yang utama a
nunggaling Kawantheisme en Mgris di Austral
ya menjadi “Pagkan untuk terbggaling Kawultmulder dalamm bahasa Indo
ggaling Kawulampunyai gamba
dari disertasi di dalam Man
ing. anda – versi aZoetmulder metu-satunya, sen, mirip sekali.
kesatria dan para pp. 158-159) leh Koninklijk In
pqet
PATHET
je/j=kepP
er jangkep path
sertasi Zoetmup oleh Hartokohati orang Jaw
i hati’ orang Ja
a Gusti sebagmulder (2000) y
rikan Zoetmumanusia – lewemikian kemuyang sejati, ke
sanalah terjadianunggal tersebbersemayam danjadi tidak pe
adalah ‘tempat
wula Gusti muMonisme in de ia dengan supeantheism and bitan berbahasala Gusti: Panth
m bahasa Belanonesia. Ada pea Gusti”. aran terhadap i
Zoetmulder dnusia. Kajian k
aslinya – mengengacu pada kndiri, tunggal,
(Zoetmulder
punakawan mengh
nstituut voor Taal
tSz
T SANGA
PqetSz
het sanga28
ulder yaitu o pada kata wa. Tujuan awa melalui
gai sebuah yang diberi
ulder untuk wat tataran
udian MKG esanalah ia
i peleburan but apakah alam tubuh enting bagi ’ dan ‘saat’
uncul dalam Javaanshe
ervisi Prof, Monism in a Indonesia heisme dan nda, Inggris enambahan
isi disertasi dalam versi kembali ini
ggukan kata ata tunggal unik, khas, & Robson,
adap pandhita
Land en
Jika kemudian dilakukan penterjemahan ke dalam Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris, kata tunggal berarti een (bahasa Belanda); dan one (bahasa Inggris). Kata een berarti sesuatu; seseorang; salah satu; salah seorang (Wojowasito, 2000); pemahaman ini juga setara dengan pen-terjemah-an bahasa Inggris yang menggunakan kata one untuk menterjemahkan kata ‘tunggal’.
Kata ‘tunggal’, dalam bahasa Jawa, oleh Robson dan Wibisono diterjemahkan ke dalam bahasa Inggis dengan kata ‘of the same’ (Robson & Wibisono, 2002). Ada perbedaan mendasar antara kata ‘one’ dengan ‘of the same’ untuk mengartikan kata ‘tunggal’. Kata ‘one’ bermakna satu entitias, satu barang, satu-satunya; sedangkan kata ‘of the same’ mempunyai makna ada 2 atau lebih entitas/barang, yang mempunyai kemiripan.
Kata manunggaling tidak muncul dalam kamus Zoetmulder&Robson, yang muncul adalah (m)atunggal atau patunggal yang berarti: menjadi satu, bersatu, mempunyai satu….masing-masing. (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4). Kamus Zoetmulder&Robson memang mengkhususkan pada kata-kata Jawa Kuno, sehingga kamusnya disebut kamus Jawa Kuno Indonesia. Jika kemudian dibandingkan dengan kamus Kawi-Jawa karangan Winter dan Ranggawarsita maka yang ditemukan adalah:
Tunggal : satunggil, awor, tunggil, golong. Tunggalan : woworan, kapisanan, katangkis (C.F. Winter & R.Ng. Ranggawarsita, 1990) Dari dua kamus yang memfokuskan pada kata-kata kuno (Jawa kuno dan Kawi) ada dugaan bahwa kata manunggaling
merupakan istilah yang ‘baru’ muncul, yang tidak dikenal pada masa Jawa kuno atau masa Jawa Kawi. Telaah di atas menunjukkan bahwa yang dilakukan Dick Hartoko dalam menerjemahkan pemahaman kerja Zoetmulder
dengan memunculkan istilah manunggal, sangatlah tepat, sebab tunggal dalam pemahaman Jawa tidak sama dengan een atau one. Kata manunggal lebih tepat untuk menjelaskan pemahaman tunggal. Namun yang menjadi masalah mengapa Dick Hartoko memunculkan istilah Manunggaling Kawula Gusti sebelum judul disertasi Zoetmulder? Telah dijelaskan di atas bahwa istilah itu tidak ditemukan dalam kata-kata Jawa Kuno dan kata bahasa Kawi.
Jika mencoba memahami MKG dari sumber internet, dengan bantuan search engine, maka akan didapat 43.000 artikel yang terkait dengan MKG. Untuk itu pembahasan akan difokuskan pada tulisan-tulisan ilmiah. Aris Arif Mudayat dalam disertasinya menyatakan bahwa Gusti adalah raja/the ruler dan kawula adalah rakyat/the subject (Mundayat, 2005). Pernyataan Mudayat di atas menunjukkan bahwa ada pergeseran makna dari yang sifatnya spiritual-religius menjadi politik. Hal yang perlu diperhatikan dari studi Mudayat adalah ranah yang digunakan adalah ranah pengetahuan sosial politik. Lalu bagaimana dengan pengetahuan arsitektural?
Salah satu studi yang berhimpit dengan pengetahuan arsitektural adalah studi Daliman yang menggunakan pendekatan sejarah-budaya terhadap pengetahuan arsitektur (Daliman, 2001). Sudut pandang Daliman terhadap filsafat MKG sama seperti yang dilakukan Mundayat diatas, yaitu hubungan antara Raja dan rakyat. Namun Dalimat mengkajinya filsafat ini terhadap makna simbolik bangunan Kraton.Fenomena pergeseran makna MKG makin jelas dalam pemahaman upacara wilujengan jumenengan di Kasunanan Surakarta pada hari Senin tanggal 27 Juni 2011 lalu (Hanggo, 2011)
Dengan kajian kritis terhadap kerja Zoetmulder (berbahasa Belanda, Inggris dan Indonesia) didapat sebuah istilah yang ditambahkan oleh Dick Hartoko yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Kajian singkat dari 2 tulisan di luar ranah arsitektur ternyata ada pergeseran makna dari MKG tersebut, dari ranah spiritual-religius ke ranah sosial-politik. Kajian di atas tersebut yang kemudian mendorong untuk dilakukan cross check (periksa silang) terhadap sumber-sumber pengetahuan lain. Sumber tersebut digali dari tradisi tanpatulisan, yaitu dengan menghadirkan pagelaran lakon wayang dan serat-serat terkait.
[go[ro[go[ro
goro-goro 30
5.2. Tinjauan Kritis Filsafat Manunggaling Kawula Gusti dari tradisi tanpatulisan Pada kajian kritis kerja/studi Zoetmulder terkuak bahwa MKG telah mengalami pergeseran makna. Bagian ini mencoba
memahami lebih jauh filsafat MKG ditinjau dari tradisi tanpatulisan. Telah dijelaskan pada bagian kajian pustaka bahwa wayang merupakan ‘model ideal’ atau tipos idea dari kehidupan masyarakat Jawa. Dengan mengambil ‘pengetahuan’ dari wayang maka diharapkan ‘pengetahuan’ itu yang ideal bagi masyarakat Jawa. Pada penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini akan dihadirkan 2 jenis lakon wayang yaitu:
• pagelaran lakon wayang berbentuk audio, untuk mengkritik pemahaman MKG Zoetmulder yang menyatakan bahwa MKG adalah sebuah situasi/tempat ‘bersatunya’ manusia dengan Tuhan-nya.
• Lakon wayang yang berbentuk Serat, yaitu Serat Dewaruci, untuk mengkritik istilah manunggaling pada pemahaman MKG.
5.2.1. Tinjauan Lakon Wayang (Lakon Dewaruci) Lakon Dewaruci sering digunakan untuk menjelaskan tentang filsafat MKG. Soesilo menyatakan bahwa lakon Dewaruci
adalah simbolisasi dari ajaran Manunggaling Kawula Gusti (Soesilo, 2000, pp. 138-149). Pagelaran wayang yang digunakan yang berbentuk pagelaran wayang audio, bukan audio-visual. Dengan menegaskan pilihan sumber pengetahuan pada pertunjukkan wayang audio, maka perlu dipilih dalang yang mementaskan pagelaran wayang lakon Dewaruci tersebut. Untuk itu dipilih dalang Ki Nartosabdo. Beliau sanggup ‘menjembatani’ pakeliran gaya Surakarta dan Yogyakarta (Respati, 2010). Alasan lain yang memperkuat adalah Ki Nartosabdo mendapat penghargaan di bidang kesenian dari Pemerintah RI tahun 1982.
30 Adegan yang menggambarkan terjadinya pergantian suasana. Dalam hal ini, terdapat dua pengertian yang berbeda. Pertama, adegan gara-gara digunakan sebagai adegan yang berfungsi sebagai adegan transisi untuk melakukan pergantian suasana dan babak dari babak pathet nem ke babak pathet sanga. Kedua, adegan gara-gara sebagai adegan pertemuan antara tokoh kesatria dengan sejumlah tokoh denawa/ raksasa dari negeri sebrang. Istilah gara-gara dapat diartikan berulah, membuat ulah, onar, membuat keonaran, huru-hara, membuat huru-hara, ribut atau membuat keributan. Kenyataannya, adegan gara-gara sering mewakili suasana saat terjadinya suatu kegoncangan, kegemparan, huru-hara, keributan, pergolakan, atau terjadinya ketidakstabilan dunia. (Palgunadi, 2002, p. 160).
Lakon Dewa Ruci dengan dalang Ki Nartosabdo direkam oleh Kusuma Record tahun 1979 dalam bentuk pita kaset, sebanyak 8 kaset yang masing-masing kaset berdurasi 60 menit. Lakon tersebut di rekam dalam studio, jadi bukan suatu pagelaran wayang ‘tanggapan’. Obyek kaset telah ditransfer menjadi bentuk digital dalam format mp3; tanpa melakukan manipulasi digital. Program yang digunakan untuk mendengarkan dan melakukan ‘transkripsi’ adalah Adobe Audition ver 1.5 © 1992-2004 Adobe Systems Incorporated.
Dalam mendengarkan dan melakukan ‘transkripsi’ yang digunakan sebagai ‘variabel’ adalah wirama dan wirasa31, sebab obyeknya adalah pagelaran wayang audio. Fokus perhatian pada adegan yang dilakukan oleh Wrekudara/Bima dalam Lakon Dewaruci; konsekuensinya adegan-adegan yang tidak terlibat dialog dengan Wrekudara/Bima tidak diperhatikan.
‘Variabel wirasa’ merupakan varibel yang berdasarkan pada ‘rasa’ masyarakat Jawa. Rasa dapat dipandang sebagai ‘cara berpikir’ orang Jawa. Dalam penelitian Laksono yang dilakukan pada jenjang master dihasilkan sebuah model yang mampu menggambarkan tradisi yang ‘hidup’ di masyarakat Jawa, dengan menyebutnya sebagai ‘model berpikir Jawa’, yang kemudian digambarkan sebagai berikut :
Bagan 5 Model Pola Pikir Jawa (Laksono, 2009, p. 30)
Penjelasan model di atas Laksono menyatakan: “….hidup manusia dibayangkan bergerak atau mentradisi dari aspek transenden essensial menuju ke aspek imanen eksistensial ke aspek imanen eksistensial lewat aspek essensial imanen. Kemudian hidup dibayangkan akan kembali menuju aspek transenden essensial lewat transenden ekstensial. Tapi gerakan ini mengikuti model yang belum lengkap seperti yang ada dalam alam pikiran Jawa. Karena masih ada prinsip lain yang mempengaruhi jalan hidupnya, yaitu orientasi pada titik pusat paradoksal Disitu juga terletak pusat orientasi kepercayaan Jawa, yaitu suwung awang uwung atau sesuatu yang ‘tidak bisa diterangkan dan dideskripsikan” atau perpaduan sekalian aspek secara sempurna”. (Laksono, 2009, pp. 30-31)
Bagan Laksono tersebut dapat disandingkan dengan bagan Lombard yang menjabarkan tentang macapat (atau juga penjabaran dari sedulur papat lima pancer) (Lombard, 2005 (3), p. 101). Sistem macapat tetap mencerminkan keunggulan pusat akan tetapi dengan tambahan bahwa daerah pinggirannya terbagi atas ‘empat’ bagian (pat ‘empat), yang masing-masing berkaitan dengan salah satu mata angin32. (Lombard, 2005 (3), p. 99). Jika kemudian bagan Laksono dan bahasan Lombard tentang ‘pola pikir Jawa’ digabungkan akan terbentuk suatu bagan sebagai berikut:
31 3 Wi, yaitu wiraga, wirama dan wirasa. ‘3 Wi’ ini umumnya digunakan sebagai ‘ukuran’ orang Jawa untuk menjadi manungsa utama atau ‘manusia sejati’. (Susetya, 2007, pp. 110-118) 32 Pembahasan macapat oleh Lombard didasarkan pada 2 artikel F.D.E van Ossenbruggen; yang kemudian telah di diterbitkan oleh P.F.de Josselin de Jong dengan judul buku “Structural Anthropology in The Netherlands tahun 1977; yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul :” Asal-usul konsep Jawa tentang mancapat dalam hubungannya dengan sistim-sistim klasifikasi primitif” tahun 1975.
Teori / Esensial
Praktik / Eksistensial
ImaneTransenden
I II
III
Bagan 6 Sintesa Pola Pikir Laksono dan Macapat Lombard (analisa Peneliti)
Bagan 6 inilah yang digunakan sebagai tolok ukur ‘wirasa’, yang berguna sebagai alat bantu untuk memahami pagelaran wayang lakon Dewaruci.
Mrazek dalam penelitian disertasinya juga menggunakan ‘gamelan’ sebagai suatu ‘variabel’ yang memperkuat ‘suasana’ yang diinginkan oleh Dalang (Mrazek, 2005). Dasar pemahaman bahwa gending yang memperkuat suasana yang mendasari ‘variabel’ wirama. Acuan teknis variabel ‘wirama’ berdasarkan pada kerja Susetya (2007) dan Palgunadi (2002). ‘Variabel’ wirama ini berguna untuk memaknai gendhing (berdasar pada alat musik yang membuka gendhing, yang sering disebut dengan bukaan) yang digunakan dalang dalam Lakon Dewaruci, sehingga tiap ‘adegan’ mempunyai maksud dan maknanya tersendiri. Table 1 Variabel Wirama
Wirama Makna Gendhing Gedhe, buka rebab Kesempurnaan di dunia Gendhing ayak-ayak, buka kendhang atau gedhog
Memilih dan memilah
Gendhing ladrang, buka bonang Bersifat duniawi, materi, lahiriah. Gendhing sampak, buka keprak atau gedhog
Memahami terhadap kehidupan abadi
(Sumber : analisa peneliti dengan dasar (Palgunadi, 2002; Susetya, 2007). Lakon Dewaruci – fokus pada adegan yang dilakukan Wrekudara/Bima – jika di-‘dengar’-kan menggunakan variabel di atas
maka didapatkan tabel sebagai berikut :
Table 2 Transkripsi Lakon Dewaruci berdasarkan Wirama dan Wirasa
No Kaset ke Menit Adegan Wirama Wirasa
1
2 sisi A 18.42 – 21.0033 Di Istana Hastina Gendhing Gedhe, buka rebab
Bidang I
3 sisi B 08.04 – 11.08 Di Gunung Candradimuka di hutan Tikbrasara
Gendhing Gedhe, buka rebab
Bidang I
2 3 sisi B 26.46 – 28.20 Bertarung dengan
Rukmuka dan Rukmakala (sepasang raksasa)
Gendhing ladrang, buka bonang
Bidang III
3
4 sisi A 11.31 -12.14 Sepasang raksasa berubah menjadi Betara Indera dan Betara Bayu; Gendhing Gedhe, buka
rebab
Bidang I 4 sisi B 00.00 – 02.00 Wrekudara/Bima
menerima pusaka sesupe sesutya durindya mustika maning ing chandrama
4
4 sisi B 09.51 – 11.33 Di Istana Hastina Gendhing Gedhe, buka rebab Bidang I 7 sisi A 10.08 – 11.03 Bertemu Ibu dan Saudara-
saudaranya di Istana Amarta
5 7 sisi A 26.50-27.23 Bertemu Anoman Gendhing ayak-ayak,
buka kendhang atau gedhog
Bidang II
6 7 sisi B 11.10 – 11.45 Bertemu dan bertarung dengan Naga
Gendhing ladrang, buka bonang
Bidang III
7 7 sisi B 21.07 – 21.48 Bertemu Dewa Ruci Gendhing sampak,
buka keprak atau gedhog
Bidang IV
8 8 sisi B 09.02 – 10.07 Menyelamatkan Durna Gendhing ladrang, buka bonang
Bidang III
9 8 sisi B 19.01 – 19.54 Kembali ke Istana Amarta Gendhing sampak, Bidang
33 Dibaca menit ke 18 detik ke 42 sampai dengan menit ke 21.
Sakral
Profan
Nyata Maya
I
I I
III
IV
buka keprak atau gedhog
IV
(Sumber : analisa peneliti) Ada satu adegan yang tidak terditeksi secara tepat dengan variabel wirama dan wirasa, yaitu pada kaset ke 8 sisi A menit ke
4 detik ke 31 hingga menit ke 22 detik ke 4. Adegan ini menggunakan tembang ageng/ gendhing gedhe, namun ditambah dengan sinden yang sedang melagukan suatu tembang dengan lirih. Pada kaset ke 8 sisi A menit ke 6 detik 34; Nartosabdo mengucapkan sebait doa sebanyak 3 kali yang berbunyi : “om…..Awighnam astu mugi rahayu ya sagung dumadi”. Bait doa ini serupa dituliskan Empu Siwamurti untuk membuka Serat Nawaruci yang berbunyi : “Awighnam astu namas siddham” yang berarti “semoga tiada rintangan segala puji telah disempurnakan dipanjatkan” (Adhikara, 1984). Jadi bisa diperkirakan bahwa yang diucapkan Ki Nartosabdo berarti “semoga selamat segala isi alam raya ini”. Doa ini mengiring masuknya Wrekudara/Bima ke dalam tubuh Dewaruci. Ki Nartosabdo mengucapkan doa ini dengan perlahan seakan meminta ijin kepada alam raya untuk memainkan suatu adegan puncak dalam lakon Dewaruci. Ini yang dikatakan oleh Laksono sebagai Bidang O.
Pemahamannya tiap pola pikir/tingkah laku ini yang dilakukan Wrekudara/Bima merupakan usaha mencapai suatu titik – yang disebut Laksono sebagai bidang O atau oleh Lombard dikatakan sebagai pusat– yaitu manunggal-nya kawula Gusti. Tiap tingkah laku menaikkan manusia Jawa setingkat lebih tinggi untuk mencapai kasampurnan. Saat Wrekudara/Bima bersatu dengan Dewa Ruci, Wrekudara/Bima hanya diijinkan ‘singgah’ sementara, bukan untuk selamanya dan kemudian dikembalikan keluar bidang O setelah dirasa cukup oleh Dewaruci. Ini yang dipahami sebagai pola tiga dimensional, langkah Wrekudara/Bima tidak pada bidang datar dan berbentuk lingkaran sempurna, tapi bidang tiga dimensional dan polanya berbentuk spiral, terus naik menuju tujuan hidupnya.
Dengan pembuktian ini maka disertasi Zoetmulder yang memahami filsafat MKG sebagai suatu tempat/keadaan yang pasti dan selamanya (kata ‘mulih’) adalah tidak tepat pada bahasan ini. Filsafat MKG adalah suatu ‘proses’ menuju sesuatu yang lebih baik, keadaan ‘manunggal’ manusia dengan Tuhannya bersifat sementara di dunia ini.
Pada Lakon Dewaruci, Ki Nartosabdo sama sekali tidak menyebutkan istilah ‘manunggaling’ atau istilah yang setara. Untuk itu perlu diperiksa lakon-lakon lain yang terkait dengan Wrekudara/Bima dengan dalang Ki Nartosabdo, untuk mengetahui istilah yang digunakan untuk mengambarkan ‘kesatuan antara manusia dan Tuhan-nya’.
5.2.2. Tinjauan Istilah pada Pagelaran Wayang Lakon yang dihadirkan untuk menelusuri lebih lanjut adalah Lakon “Bima Suci”. Lakon ini merupakan kelanjutan dari
Lakon Dewaruci, yang bercerita tentang kedudukan Wrekudara/Bima sebagai seorang Begawan yang berjuluk ‘Begawan Bima Suci’ (Nartosabdo, Bima Suci, 1985). Pada kaset 4 sisi B menit ke 2 detik 18 hingga ke detik ke 30 dikatakan: ‘panunggaling Kawula lan Gusti, loro loro ing atunggil, awas loro ing atunggil’, yang dimaknai bahwa ‘senajan loro pisah papane, ning rasane nyawiji’ (=meskipun 2 terpisah, namun serasa menyatu). Kalimat ‘loro loro ing atunggil, awas loro ing atunggil’ adalah kalimat yang dikutip dari Wedhatama ayat yang ke 12 yang berbunyi Yen mangkono keno sinebut wong sepuh, Liring sepuh sepi hawa, Awas roroning atunggil. Dari lakon Bima Suci ditemukan satu kata lagi yaitu panunggaling, jadi bukan manunggaling. Namun yang perlu dicatat di sini yang berbicara tentang panunggaling adalah Begawan Bima Suci.
Lakon lain yang bercerita dengan Wrekudara/Bima sebagai pemerannya adalah Banjaran Durna34. Lakon ini bercerita kisah hidup Durna (=biografi). Pada file ke 9 bercerita tentang dialog antara Bima Sena dengan Betara Narada. Saat Betara Narada mengakui tingkat keilmuan dari Bima Sena maka muncullah Dewaruci dari dalam tubuh Bima Sena. Nartosabdo (dari menit ke 8 detik ke 45 hingga menit ke 9 detik ke 5 (Nartosabdo, Banjaran Durna, tt)) menggambarkan bahwa Dewaruci sebagai Ruci Batara yang mempunyai makna Ruci adalah bajang (=bertubuh kecil), Batara = Dewa; seorang Dewa bajang yang mendiami tubuh Bima Sena. Keadaan inilah yang dikatakan sebagai keadaan panunggaling Kawula lan Gusti. Setelah mengetahui kehadiran Ruci Batara, Betara Narada langsung berlutut dan menyembah serta menghaturkan sembah bakti.
Jabaran dari dua lakon wayang di atas menunjukkan bahwa Ki Nartosabdo lebih menggunakan kata panunggaling dibandingkan kata manunggaling. Namun perlu diingat adalah konteks dialog yang memuat kata panunggaling pada saat Wrekudara/Bima ‘berkedudukan’ sebagai sosok yang di-muat-i/ di-huni oleh Dewaruci. Untuk perlu dilakukan ‘pemeriksaan’ dengan mengacukan bukti lain, selain pagelaran wayang.
5.2.3. Tinjauan Serat Dewaruci Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa Serat Dewaruci merupakan serat yang terinspirasi oleh Serat Nawaruci
pada masa Majapahit akhir. Serat Dewaruci juga memiliki berbagai macam versi disebabkan pada sejarah pujangga Jawa sering terjadi ‘penulisan ulang’ (Behren, 2002). Soebardi mengelompokkan cerita Dewa Ruci menjadi 4 versi, yaitu :
a) The first group belongs Porbatjaraka’s versi, which is written in Middle Javanese using Old Javanese prosody. This version has to be disticnguished from the group of Dewa Ruci text in Tembang Gede metre (great verse = old Javanese prosody), but written in modern Javanese, one of which has been published by Prijohoetomo under the title of Bimasuci.
b) The second group belongs the version in prose form, written in Middle Javanese, which is known by the name Nawaruci; c) The third group belongs the version of Yasadipura I35, which written in modern javanese in macapat probably based on an unknown
Kawi version. This work was retold by Kramaprawira of Madiun (East Java), printed in Javanese script by van Dorp in 1870, 1873, and 1880. This Dewaruci was republished in Javanese script by Tah Khoen Swie of Kediri in 1922 and 1929.
d) The fourth group includes a number of version in prose. One is the work of R.Tanojo, which has been published in modern Javanese using Roman script. Another prose version based on Yasadipura’s text is in Bahasa Indonesia and has been published together with an introduction by the Langguage Branch of the Cultural Bureau in Jogyakarta. (Soebardi, 1975, pp. 22-23)
Dengan dasar pengelompokan Soebardi di atas maka penelusuran Serat Dewaruci terbagi menjadi 4 kelompok.
34 Lakon ini tidak berbentuk kaset tapi didapatkan dari download lewat situs www.wayangprabu.com/mp3-wayang/ki-nartosabdho/. Konsekuensinya penjelasan bukan dalam terminologi kaset ( sisi A atau sisi B); tapi berganti menjadi file sesuai dari bahan yang di unduh/download dari situs tersebut diatas. 35 Yasadipura I adalah anak dari Raden Tumenggung Padmanagara, Bupati Jaksa di Pengging, pada masa pemerintahan Sultan Paku Buwana I (1704-1719M). Yasadipura I lahir dengan nama Bagus Banjar pada bulan Sapar 1654 Jawa (1729 M). Yasadipura meninggal di Surakarta, pada hari ke 20 bulan Julhijah, tahun 1729 Jawa (14 Maret 1803), dan dimakamkan di Penging, tempat dia dilahirkan. (Soebardi, 1975, pp. 18-20).
Kelompok pertama adalah cerita Dewaruci yang termuat di dalam disertasi Prijohoetomo yang diberi judul Bimasoetji. (Prijothoetomo, 1934, pp. 149-190). Pada halaman 172 terdapat satu pupuh yang berbunyi: 5. Jekti sida ing kono pamore tanpa toedoehan ikoe; moenggoeh pamoring kawoela goesti waoe sang Wrekoedara….(Nyatalah di sini pamore tanpa petunjuk itu;Pada tempatnya pamoring kawula gusti tadi sang Wrekudara…). Memang disengaja untuk tidak menterjemahkan kata pamore dan pamoring, karena akan dibanding-tanding dengan kata manunggal dan manunggaling.
Kelompok kedua dari klasifikasi Soebardi adalah yang dikenal dengan Nawaruci. Sumber utama tetap pada disertasi Prijohoetomo, yang memang menyajikan 2 Serat – yaitu Serat Nawaruci dan Bimasoetji – untuk dibanding-tandingkan dalam ranah pengetahuan sastra. Naskah Nawaruci telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Adhikara, dan juga dilengkapi dengan analisis (Adhikara, 1984). Hal yang menarik dalam serat Nawaruci ini tidak ditemui kata manunggaling ataupun pamoring. Inti dari cerita Nawaruci tidak hanya dialog antara Bima dan Nawaruci tapi juga adegan setelah Bima berdialog dengan Nawaruci, yaitu Bima melakukan tapa dan kemudian me-ruwat para dewa, bahkan kepada Batara Guru (dewa tertinggi).
Kelompok ketiga adalah kelompok cerita Dewaruci yang diterbitkan oleh van Dorp in 1870, 1873, and 1880 dan oleh Tan Khoen Swie Kadhiri tahun 1922 dan 1929. Yang digunakan dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini adalah terbitan tahun 1922 dan tahun 1929 terbitan Tan Khoen Swie Kadhiri. Pada dasarnya baik terbitan tahun 1922 maupun terbitan tahun 1929 tidaklah berbeda, sebab tahun 1922 adalah cetakan pertama dan tahun 1929 adalah cetakan ke lima. Pada versi terbitan Tan Khoen Swie Kadhiri ini cerita Dewaruci diberi tambahan analisa oleh Mas Ngabehi Mangunwidjaja setelah cerita Dewaruci selesai. Serat ini masih dengan aksara Jawa, namun telah berbentuk cetak36.
Pada terbitan tahun 1922 halaman 27-28, sedangkan pada terbitan tahun 1929 halaman 30 dinyatakan: 123. Lamun bisa iya nembadani, marang mungsuh kang telung prakara, sida ing kono pamoré, tan patuduhan iku, ing pamoring kawula gusti, Wrekodara miyarsa…..(123. Jika dapat memenuhi, dalam persoalan tiga perkara, jadi di sanalah pamore yang dituju itu, pada pamoring kawula gusti, Wrekudara memperhatikan, ….). Pada terbitan tahun 1922 halaman 31, sedangkan terbitan tahun 1929 pada halaman 35 dinyatakan: 140. Yen pamoring kawula lawan gusti, lawan suksma kang sinedya ana, …(140. Jika pamoring kawula lawan gusti, dengan suksma yang disengaja ada, )
Dari kelompok tiga ini ada satu serat yang tidak disebutkan oleh Soebardi namun seharusnya masuk dalam kelompok ini, yaitu serat Cebolek. Serat inilah yang digunakan Soebardi untuk menyusun disertasinya di bidang Sastra. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa serat Cebolek terdiri dari 3 bagian yang pada bagian kedua memaparkan cerita Dewaruci. Telah juga dijelaskan bahwa serat Cebolek adalah karya Yasadipura I. Pengambilan sumber serat Cebolek hanya untuk memastikan dan melengkapi telaah etimologi kata manunggaling dan pamoring. Pada hal 119 dari Desertasi Soebardi terpapar kutipan berikut : ….Sida ing kono pamore; Tanpa tuduhan ikut; Ing pamoring Kawula Gusti, Wrekudara miyarsa… Soebardi menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai berikut: “…. your union is perfect yonder; you need no guidance then/ in the union of Lord and Servant / when Wrekudara heard [this] …”. Kutipan dari Serat Cebolek yang dipaparkan Soebardi tersebut sama dengan yang ditulis dalam Serat Dewaruci terbitan Tan Khoen Swie, Kediri. Pada disertasi Soebardi terungkap penerjemahan pamoring ke dalam bahasa Inggris dengan kata Union.
Kelompok keempat adalah kelompok terakhir. Sumber pengetahuan yang digunakan adalah Bima Suci karya R.Tanaya terbitan Balai Pustaka tahun 1979 dan Kitab Dewarutji terbitan Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan di Jogjakarta tahun 1958. Pada karangan R. Tanaya terkutip sebagai berikut : “…sida kono pamoripun, puniku tanpa tuduhan, pamoring Kula-Gustiku, Wrekodhara duk miyarsa (R.Tanaya, 1979, p. 40). Sedangkan terbitan tahun 1958, pada adegan yang sama terkutip sebagai berikut: “… akan djadilah perpaduan dengan Sang Gaib. Tidak dengan petundjuk sudah mengetahui djalan kearah persatuan manusia dan Sang Suksma-kawekas. Wrekodara semakin sungguh-sungguh tjaranja mendengarkan ..” (Prawiraatmadja (ed), 1958, p. 45)
Jelajah di atas difokuskan pada adegan yang sama yaitu saat Wrekudara/Bima berada di dalam tubuh Dewaruci. Setelah Wrekudara/Bima melihat pancawarna (aneka warna) dan diterangkan oleh Dewaruci masing-masing makna warna-warna tersebut, pernyataan itulah yang muncul dari Dewaruci untuk melanjutkan ajarannya. Di sini terlihat bahwa kata yang digunakan adalah pamoring Kawula/Kula- Gusti, bukan manunggaling. Kata itu digunakan oleh ketiga kelompok – tanpa kelompok kedua yaitu serat Nawaruci karena tidak ada adegan tersebut dan kata-kata pamoring atau manunggaling – menurut pembagian Soebardi. Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia pada teks terbitan tahun 1958, pamoring diartikan dengan kata perpaduan. Namun perlu dikaji lebih lanjut secara etimologi baik kata pamoring maupun kata manunggaling untuk mengkaji secara kritis makna kedua kata tersebut.
5.3. Kajian Etimologi Kajian etimologi dilakukan untuk menelusur lebih ‘kritis’ terhadap kata manunggaling/panunggaling dan banding-tanding-
nya dengan pamoring. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat dan memahami konteks dan perspektif masing-masing kata tersebut.
5.3.1. Kata Manunggaling dan Panunggaling Kata manunggaling dan panunggaling mempunyai akar kata yang sama yaitu tunggal. Kata tunggal berarti satu, suatu,
seorang, hanya satu, satu-satunya, sendiri, tunggal; unik, khas, khusus; satu dengan yang lain, bersatu, satu jenis (bentuk, dsb), sama, serupa, serupa benar, mirip sekali. (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4). Kata turunan dari kata tunggal adalah: (m)atunggal, patunggal (subst): menjadi satu, bersatu, mempunyai satu…masing-masing; Anunggal: menjadi (hanya) satu, sendirian, menyatu; Patunggalan: persatuan; Panunggalan: tempat untuk satu; tempat untuk beberapa orang bersama-sama. (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4)
Jelajah kamus ini menarik jika kemudian terfokus pada kata anunggal sebagai penggalan kata dari manunggaling atau panunggaling.Jika kemudian kata manunggaling terbentuk dari penggalan kata ma-anunggal- ing maka dapat ditelusuri secara etimologi sebagai berikut:
• Ma- = maha.
36 Alih aksara dilakukan oleh Prijotjahjono.
• -anunggal- : menjadi (hanya) satu, sendirian, menyatu • -ing : Untuk penggal kata –ing mengacu pada : i: partikel dengan fungsi preposisinal di depan kata benda, sering-sering
dikombinasikan dengan partikel penentuan ruang. Untuk –ing dipakai sebagai preposisi dengan arti ‘dalam’, ‘di’, ‘pada’, ‘melalui’. (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4)
Jika pada kata panunggaling, yang terjadi perbedaan ada pada awal kata yaitu pa-. Kamus Zoetmulder tidak mengungkap arti kata pa-, tetapi menurut Kamus Bausastra Jawa-Indonesia (Prawiroatmodjo, 1981, cetakan ke 2) kata pa- berarti siapa, apa, bapa, ayah.
Telaah kamus di atas terhadap kata manunggaling dan panunggaling terlihat konteks kata pada suatu ‘tempat/keadaan’ yang menyatu terutama pada arti kata panunggalan. Kata tunggal dan turunan katanya anunggal mempunyai arti menyatu dan menjadi (hanya) satu. Kata ‘menjadi’ menunjuk pada hasil akhir suatu proses, di sini memang ditemukan konteks ‘proses’ namun yang menjadi titik beratnya adalah bukan pada proses tersebut, tapi pada hasil akhirnya yaitu ‘satu’.
5.3.2. Kata Pamoring Jika diperhatikan penulisan kata pamoring dipenggal sebagai berikut : pa-mor-ing. Dengan demikian kata pamoring
mempunyai kata dasar pamor. Jika mengacu kamus Zoetmulder & Robson (2004), tidak ditemukan kata pamoring atau pamor dalam kumpulan kata-katanya. Namun pengertian pamor dapat ditemukan dengan kata dasar ‘Wor’. Dengan turunan katanya antara lain:
• ‘awor’: campur, disatukan, dicampur (dng), dicampur menjadi satu, kacau, disatukan scr intim (akrab). • ‘amor;umor (intr)’: bercampur, bersatu (dng), diserap, diambil (ke dll), menyembunyikan diri, hilang (diantara), mempunyai
pergaulan yang akrab (intim). • ‘kaworan’: dicampuri, disatukan, menjadi hamil; atau kata ‘amoraken, winoraken’ yang berarti menambahkan sst (kpd),
menyatukan, mencampur dng. • ‘pamoran’: sst yg disatukan dng sst.
Hal yang menarik adalah kata dasar wor berarti: kacau (tt peperangan), berperang, bertarung berhadap-hadapan (bertarung satu lawan satu).
Arti kata dasar wor yang kemudian dikaitkan dengan pamoran dan kemudian dikaitkan juga dengan kutipan serat Dewaruci yang memuat kata pamoring, mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Dalam kutipan Serat Dewaruci munculnya kata pamoring kawula gusti didahului kalimat Lamun bisa iya nembadani, marang mungsuh kang telung prakara, harus mengalahkan musuh 3 macam. Kata wor berarti peperangan. Dan kesemuanya itu bertujuan untuk disatukan satu dengan yang lain (arti kata pamoran). Telaah kamus yang singkat ini menunjukkan bahwa ada konteks ‘proses’ dalam kata pamoring.
Kata pamor juga dikaitkan dengan keris (Pattern on a kris blade archieved by forging different metal). (Robson & Wibisono, 2002). Hal yang serupa juga terjadi pada Kamus Prawiroatmodjo (1981) yang mencatat bahwa kata pamor, dengan catatan bahwa kata tersebut berasal dari masa Jawa Kawi, berarti campuran, pencampuran; pamur (keris).
Telaah kamus dari pamoring yang baik dengan kata dasar wor maupun yang berkaitan dengan keris, keduanya mempunyai makna ‘suatu proses’ menuju kekeadaan yang dituju yaitu perpaduan antara kawula dan gusti. Hal ini terlihat dari arti kata awor yaitu ‘dicampurkan menjadi satu’; yang menjadi fokus perhatian adalah ‘dicampurkan’ dengan tujuan ‘menjadi satu’. Konteks proses makin nyata ketika mengacu pada wor atau kata-kata lain yang terkait dengan pamoring, seperti yang dijelaskan di atas.
5.3.3. Simpulan Kajian etimologi di atas telah menjabarkan bahwa baik kata manunggaling / panunggaling atau pamoring mempunyai
kesamaan yang besar. Kedua kelompok kata tersebut sama-sama berbicara tentang ‘ke-satu-an’. Namun perlu dicermati lebih mendalam bahwa kelompok manunggaling/panunggaling lebih mengutamakan hasil atau lebih tepatnya suatu keadaan atau ‘tempat ke-tunggal-an’ itu terjadi, sedangkan kelompok kata pamoring lebih mengacu pada ‘proses’ yang bertujuan pada ‘ke-satu-an’. Dengan dasar itulah kemudian yang digunakan dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini adalah kata ‘pamoring’ yang lebih mengacu pada suatu ‘proses’.
5.4. Kajian Monistik Kajian monistik ini dilakukan untuk memahami ke-tunggal-an/ ke-esa-an dalam filsafat Jawa hasil rekonstruksi. Kajian ini
menjadi penting karena esensi dari Manunggaling atau Pamoring Kawula Gusti justru pada ke-tunggal-an/ ke-esa-an itu. Kajian monistik ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu 1). kajian monistik dalam filsafat Jawa; 2) kajian monistik dalam
Kayon/Gunungan dan 3) kajian dialektika monisitik. Kehadiran kayon/gunungan diperlukan untuk memahami lebih lanjut arsitektur Jawa. Dengan kata lain kayon/gunungan ditempatkan sebagai ‘alat bantu baca/dengar’ dari filsafat ke dalam arsitektur, dengan logika berpikir metafora.
5.4.1. Monistik dalam Filsafat Jawa Untuk mengkaji monistik ini kembali berdasar pada pagelaran lakon wayang. Fokus pada kata-kata : ‘loro loro ing atunggil,
awas loro ing atunggil’ (kedua-duanya dalam ke-tunggal-an, dua dalam ke-tunggal-an). Di sini terjadi perulangan kata loro / dua, yaitu kedua-duanya. Mengapa bukan dua dalam satu, tapi kedua-duanya dalam satu. Dialog yang terjadi adalah dialog antara Wrekudara/Bima dengan Anoman. Ada 2 pribadi yang berdialog. Namun siapakah Wrekudara/Bima dan Anoman tersebut? Pada saat dialog terjadi Wrekudara/Bima telah menjadi Begawan Bima Suci, yaitu peran saat Wrekudara/Bima telah memahami ‘Dewaruci’. Wrekudara/Bima berdialog dengan Anoman, ‘saudara tunggal Bayu’, sehingga yang dihadapi adalah ‘dirinya sendiri’, jika mengacu pada pemahaman papat sedulur, lima pancer. Jadi dalam loro loro ning atunggil (kedua-duanya dalam ke-tunggal-an) terjelaskan dalam dialog Wrekudara/Bima dengan Anoman, bahwa keduanya adalah tunggal.
Untuk kata-kata awas loro ning atunggil terjelaskan dalam diri Wrekudara/Bima saat dia berperan sebagai Begawan Bima Suci, yaitu saat dalam diri Wrekudara/Bima terdapat ‘Dewaruci’. Hal ini yang kemudian dipahami sebagai dialektika
makrokosmos dan mikrokosmos, namun tidak semudah dialektik dualisme makro dan mikro saja. Saat Dewaruci berkata: “Besar mana tubuhmu (Wrekudara/Bima.red) dengan jagad ini? Seluruh isi jagad ada dalam tubuhku” ( pada kaset ke 8 sisi A menit ke 3) saat itulah‘terbantahkan’ bahwa makro ‘mewadahi’ mikro Di sinilah dimensi spritual lebih berperan, bahwa didalam ‘tubuh’ individu terdapat ‘kemanusiaan’ dan juga ‘ke-Tuhan-an’.
Jadi loro loro ning atunggil, awas loro ning atunggil, menjelaskan tidak hanya aspek spiritual individu (pada kata-kata awas loro ning atunggil ) tapi juga aspek sosial, yang tergambarkan dalam dialog Wrekudara/Bima dengan Anoman (pada kata-kata loro loro ning atunggil), terdapat 2 sumbu yaitu sumbu horisontal (aspek sosial) dan sumbu vertikal (aspek spritual).
Lalu apa kaitannya dengan filsafat Manunggaling Kawula Gusti dan filsafat Pamoring Kawula Gusti yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini? Baik filsafat Manunggaling atau Pamoring Kawula Gusti semua mengacu pada monistik-spiritial. Namun perbedaannya terletak pada fokus yang dari filsafat tersebut. Filsafat MKG lebih mengacu pada suatu keadaan yang stabil/statis yaitu ‘bersatunya Kawula dengan Gusti-nya’; sedangkan pada filsafat Pamoring lebih kepada ‘proses’ terjadinya ke-manunggal-an/kesatuan tersebut. Jadi baik filsafat Manunggaling maupun Pamoring Kawula Gusti, keduanya monistik-spiritual, hanya perbedaannya pada fokus perhatiannya.
Pada penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ ini yang menjadi perhatian adalah filsafat Pamoring Kawula Gusti, sehingga perhatian terpusat pada pertanyaan ‘bagaimana’ yang mengacu pada suatu ‘proses’. Jika kemudian dikembalikan kepada monistik-spiritual di atas, maka pertanyaan selanjutnya ‘bagaimana monistik-spiritual bisa terjadi atau terlaksana? Wedhatama telah memaparkan ‘cara/metoda’ agar terlaksana hal ‘ke-manunggal-an’ sumbu horisontal dan sumbu vertikal, yaitu dengan kata-kata liring sepuh sepi hawa (jika sudah ‘tua’ (secara mental kejiwaan. Red) maka ‘tanpa’ hawa nafsu). Kata-kata tersebut menjelaskan atau mempertegas bahwa aspek yang di pahami dari kalimat awas roroning atunggil, yang mengikutinya, berada pada aspek spiritual bukan material (Zoetmulder, 2000, p. 3). Jika terdapat obyek arsitektural, yang pasti berupa material, yang dipandang bukan pada ‘material’ yang nampak, tapi dibalik ‘material’ yang nampak tersebut yaitu pada proses ber-arsitektur.
Bagaimana ‘membaca’ arsitektur Jawa yang monistik-spiritual yang non-material? Di sini kita ‘belajar’ lagi dari lakon Dewaruci, dalam memahami ‘alam sejati’ itu Wrekudara/Bima tidak bisa menggunakan indera penglihatan / mata, tetapi dengan mengandalkan pemahaman cipta. Apa itu cipta? Cipta berarti memusatkan pikiran pada atau berpendapat bahwa atau menyebabkan sesuatu muncul dengan memusatkan pikiran pada sesuatu tersebut (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4, p. 175). Dengan cara bagaimana Wrekudara/Bima harus memusatkan pikirannya? Untuk bisa masuk dalam tubuh Dewaruci, Wrekudara/Bima harus masuk melalui telinga kiri. Hal masuk melalui telinga inilah yang menjadi dugaan awal bahwa pemahaman arsitektur Jawa didasarkan pada pemahaman mendengar, bukan pada pemahaman melihat. Pemahaman melihat akan menghasilkan pemahaman yang logika rasionalistik, seperti yang terjadi pada pengetahuan ‘manca’; sedangkan pemahaman mendengar mengungkap rasa (Benamou, 2010), lebih mengutamakan kemampuan intuisi dan perasaan. Dari sisi lain, rongga telinga merupakan suatu ‘ruang gelap’ yang tidak mampu dipahami secara penglihatan tapi melalui pendengaran, sehingga lebih tepat bahwa pemahaman arsitektur Jawa tidak mengandalkan ‘mata’ tapi ‘telinga’, bukan ‘pembacaan’ tapi ‘pendengaran’. Hal ini juga selaras dengan pemahaman bahwa arsitektur Jawa adalah arsitektur non-material yang spritual, sehingga perlu ‘alat khusus’ untuk memahaminya, yaitu dengan ‘mendengarkan’ bukan dengan ‘melihat’. Tetapi apakah pemahaman ‘mendengar’ yang dimaksud adalah ‘mendengar’ secara inderawi? Ataukah lebih pada pemahaman yang lebih non-inderawi? Hal itu perlu dicermati lebih lanjut.
Lalu bagaimanakah memahami ‘mendengarkan’ arsitektur, dalam hal ini arsitektur Jawa? Pangarsa menawarkan metoda ‘Membaca’ Fenomena Arsitekur dengan mengacu pada aksara Jawa, yaitu Hanacaraka. Ha-na-ca-ra-ka dapat dibaca bahwa ha-na sebagai ana / ada; ca adalah cipta (kemampuan akal/nalar); ra adalah rasa (kemampuan rasa/spirtual); yang kesemuanya berpadu harmonis pada ka yang merupakan perwujudan dari karsa/kehendak (Pangarsa, 2010). Jadi ‘metode pembacaan’ (atau lebih tepatnya metode ‘mendengarkan’) hanacaraka adalah adanya sebuah pengetahuan yang merupakan perpaduan antara kemampuan akal/nalar dan kemampuan rasa/spiritual yang terungkap dalam kehendak manusia Jawa, dalam hal ini kehendak ber-arsitektur. Dengan jabaran Pangarsa tersebut memperjelas pertanyaan sebelumnya tentang ‘mendengar’, bahwa ‘mendengar’ yang dimaksud lebih kepada perpaduan inderawi dan spiritual. Pertanyaan berikutnya apakah yang disebut ‘perpaduan’ antara akal/nalar dengan rasa/spiritual tersebut?
Dalam Benamou telah menyatakan bahwa rasa mempunyai kaitan dengan budhisme dan sufisme, tapi tidak mendalaminya lebih lanjut (Benamou, 2010, p. xvi). Jika kemudian mengacu pada pemahaman tantrisme ‘perpaduan’ antara makrokosmos dan mikrokosmos tersebut sebagai ‘pembangkit’ kekuatan dan juga usaha untuk ‘menguasai/mengendalikan’ kekuatan tersebut di dalam suatu proses kehidupan. ‘Pembangkitan – penguasaan/pengendalian’ kekuatan tersebut merupakan ‘kerja’ yang terjabarkan dalam gerak yoga dan beberapa kegiatan ritual. (Padoux, 2002, p. 19). Pandangan yang setara juga terjadi dalam pemahaman sufisme, yang juga berbicara tentang ‘perpaduan/penyatuan yang suci’ (= Divine Unity). (Burckhardt, 2009, pp. 223-224).
Penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini memang tidak berbicara dalam ranah teologis atau filsafat teologis; tapi dengan catatan dari Benamou dan deskripsi singkat tentang tantrisme dan sufisme jelaslah bahwa ‘perpaduan’ yang terjadi dalam rasa berada pada ranah pemahaman spiritual. Hal inilah yang perlu menjadi catatan mendasar bahwa kajian/bahasan selanjutanya dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini berada pada pola pikir spiritual – tapi bukan teologis.
5.4.2. Monistik dalam Kayon/Gunungan Pemahaman Benamou maupun Pangarsa tentang Rasa di atas masih berupa ‘metode mendengarkan’ yang abstrak,
sedangkan jika berhadapan dengan kasus arsitektur Jawa maka yang dihadapi adalah arsitektur berbentuk fisik. Di sinilah peran metafora dalam arsitektur Jawa. Prijotomo menjabarkan bahwa dari dua belas (12) naskah Kawruh Kalang dan Kawruh Griya yang dihimpunnya termuat petikan berikut ini:
Dados tiyang sumusup ing griya punika upamekaken angaub sangandhaping kajeng ageng ingkang paedahipun kados ing nginggil wau. Dene tumpraping dhumateng tiyang gagriya ingkang boten jangkep wicalanipun gangsal prakawis sanepanipun dhateng kajeng nginggil wau gothang salah satunggal paedhanipun ( “Jadi, bagi orang yang masuk dalam bangunan/rumah itu diumpamakan sebagai berteduh di bawah pohon besar yang perlunya seperti diuraikan di atas. Adapun untuk bangunan / rumah yang tidak lengkap, ada lima bab hitungan, dikiaskan maksud seperti di atas, berkurang sesuatu manfaatnya) (Prijotomo, 2000, p. 13)
Fokuskehensebagbisa jIndonGunukemu
pring(Zoet
ReviaSuprikeseim(Supromahdipert
gamb
Ron
s kajian pada ndak yang besgai kayon (Robjuga bermaknanesia dijelaskanungan wayangudian dikembanBagaimana Ka
ggitan. Pringgittmulder & Rob
anto B. Santosaiadi menambahmbangan realiriadi, 2010, p. h, yang juga mtanyakan hubuDengan mengg
baran pola pem
ng-rongan Pendha
Rong-rongan D
bagian ini buar (Robson &
bson & Wibisoa Gunungan dn bahwa Gunun
g telah digunangkan dalam Sayon atau Gunutan mempunya
bson, 2004, ceta
a menyatakan bhkan bahwa Pritas dua ruang105). Penjelasa
menjelaskan ketungan keduanyagunakan Gunu
mikiran masyara
apa
Dalem Omah
ukan kata ngauWibisono, 20
ono, 2002, p. 3dalam pagelarangan pada awa
akan oleh Paneminar Nasionungan bisa terkai kata dasar riakan ke 4, p. 9
G(dig
bahwa Pringgringgitan menjg yang bertolaan dari Santosaterkaitan antara tersebut seca
ungan / Kayon takat Jawa.
ub / berteduh, 002, p. 328). P42; Zoetmulde
an wayang ( (alnya disebut kngarsa dalam nal di Malang tkait dengan mnggit. Arti kata
950).
Gambar 4 Pringambar ulang dgitan berarti temjadi pusat tataak belakang. a dan Supriyadra omah dan gara arsitektural.tersebut, Panga
Zona Pendhapa
Zona P
tapi pada kajPada saat bersaer & Robson, 2(Robson & Wkayon. (Sena Wbuku ‘Merah-
tahun 2011 (Paetafora arsiteka ringgit adala
nggitan dalamdari Anas Hidaympat untuk meanan ruang, seb.. Pringgitan
di mempertegasgunungan/kayo. arsa melakukan
Pringgitan
Zona Dalem
Senthong
jeng ageng yaamaan kayu/po2004, cetakan ibisono, 2002,
Wangi-tim penu-Putih Arsitek
angarsa, 2011).ktur? Di omah /ah bentuk, toko
m Omah yat, 2010) emainkan ringgbagai batas danmenjadi titik s hubungan pagn. Dengan dem
n interpretasi.
m/ Omah mBuri
Tengah
ang bisa berartohon dalam bake 4, p. 479). , p. 342). Dalulis, 1990, p. 6ktur Nusantara / hunian masya
oh, tokoh waya
git atau wayangn transisi dua temu ruang pgelaran wayanmikian tidak p
Gunungan/kay
ti kayu/pohon ahasa Jawa jugSedangkan kayam Ensikloped11). Metafora Ka’ (Pangarsa,
arkat Jawa/omaang, pertunjukk
g (Santosa, 200sifat ruang, m
profan dan ruang dengan tataraperlu dipertenta
yon, bagi Pang
besar atau ga diartikan yon sendiri di Wayang Kayon atau 2006) dan
ah dikenal kan wayang
00, p. 167). menjadi titik
ang sakral. an ruang di angkan dan
arsa adalah
interpinterpGapupenulbukandengatersebsebag
37 Drs.Yakshadepan Dvarap38 Kalamerupa
GDwP
(Kole
Gam
Dengan dasar pretasi ulang tepretasi ulang duran. Raksasa lis, 1990, p. 1nlah raksasa dan sepasang arbut jelas bahwgai ‘wilayah’ ySelanjutnya ba
Supratikno Rahaa. Tugas Yaksha pintu atau gerban
pala murka, watak a berbentuk mulut akan dua kekuatan
Terapan Ke(praksis so
Konsep ke(paradigmametode, te
Pandangan (keilmu
Gambar 5
ambar 7 Sepasawarapala di CaPenataran, Kedeksi Peneliti, 201
mbar 9 Harimadan Kepala K
interpretasi Perhadap Gunundilakukan dari b
selalu mendah1064). Namundalam pengertirca Dwarapala3
wa ‘wilayah’ inang mengutamagian setelah g
batyanadaberseb‘ruadiadiakeh
ini
Candimakarlangitgamba
burupuncPenc
d
ardjo, M.Hum., dosebagai pelindungng menuju bangun
k aslinya sebagai peraksasa terbuka tan yang ada di alam
eilmuan osietal)
eilmuan a, teori, eknik)
(filsafat) uan
5 Interpretasi G
ang andi iri
10)
au, Banteng Kala
Pangarsa di atangan/Kayon Gabagian bawah hulukan perbuan perlu diperhian Ensikloped37 bertugas seb
ni merupakan wmakan fisik. gapuran. Bagiaas antara ‘dala
ng baik dan yaalah sebuah krlangsung. Pembuah proses peang mediasi’. log yang terjadlog antara du
hidupan. Hal yang me
juga biasa di
i yaitu kala mra adalah bert-ibu bumi. Jikar kala tersebu
ung dan monyecak berupa ticipta.
Jika demikian
ialog dari dialo
osen arkeologi UI g itulah yang kemnan suci candi. Iaenghancur akan m
anpa rahang bawahm: kala sebagai kek
Gunungan/Kayosumber (Panga
as, perlu dilakapuran tersebuyaitu yang beratan-perbuatan
hatikan bahwa di tersebut. Sebagai penjaga pwilayah yang m
an ini juga dapam’ dan ‘luar’ang buruk (Sekenyataan kehmahaman bahwenciptaan. Del(Delueze, 1995di di bagian ten
ua unsur yang
enarik dari bagtemui pada ba
makara. Di bagrupa lingga-yoka kemudian ut adalah gambet), setara dengitik yang mel
n dapat dirang
og dualistik ke
yang merupakan mudian berkembana memiliki kekuas
muncul. (sumber: hh, berada di bagiankuatan di atas (kek
Emn gagrak Surak
arsa, 2011)
kukan pengeceut. Tinjauan krirgambar 2 oran
n jahat dan buryang dilukisk
epasang raksaspintu. Denganmengandalkan
pat dikatakan se’. Harimau danena Wangi-timhidupan di dwa konfrontasleuze memand5, p. 125). Dengah gunungaberbeda deng
gian ini adalah agian atas pin
gian dalam daoni, sebuah pkembali ke g
bar beberapa hegan pasangan lambangkan k
gkum bahwa
monolog mon
pakar Dvarapala,ng sehingga menjasaan untuk melindttp://archive.kasku
n atas, sedang makkuatan matahari) d
Meta-empirik/Spiritua
mpirik/Intelektukarta oleh Pang
ekan ulang itis dengan ng raksasa ruk. (Sena kan dalam sa tersebut n hadirnya kekuatan. Den
ebagai bagian n Banteng seb
m penulis, 1990dunia, yang jsi dualistik te
dang bahwa daengan meminjan dapat juga dgan mengutam
adanya gambantu masuk pad
ari Candi dengperlambang mgunungan/kayoewan yang berplingga dan yo
ke-tunggal-an/k
gunungan me
nistik .
, menyatakan, arcadi Dvarapala. Dvdungi dari berbagus.us/thread/12146kara menyerupai kedan makara sebag
al
ualgarsa
ngan kata lain
‘dalam’ jika dbagai lambang 0, p. 612). Intjustru membuersebut dapat alam sebuah ‘am pemahamandipandang sebamakan kesamaa
ar kepala Kalada bagian utam
gan hiasan kamanunggal bap
n maka setelapasangan (tupa
oni. Pada bagiake-esa-an San
erupakan tahap
a pemegang gadavarapala merupakagai serangan keku685/) epala naga, beradaai kekuatan di baw
Gambar 6 SeRaksasa dan G
ced
dapat juga dii
dianggap gapurkonfrontasi ab
terpretasi baik uat kehidupan
juga dipandanproses penciptn Deleuze ters
agai suatu dialoan dalam sebu
38 atau banaspma
la pa ah ai, an ng
pan
a itu dikenal juga an mahluk yang datan jahat. Tetapi
a di bagian bawah.wah (kekuatan bum
epasang Gapuran
GambaKala da
hewaberp
dan ek dan i depan Wangi-tim
Gapuran setara
Dwarapala interpretasi
ran sebagai badi antara dan buruk
n itu terus ng sebagai taan’ perlu ebut, maka og mediasi, uah proses
ati. Bentuk
dengan nama itempatkan di i jangan bikin
. Kala-makara mi) (sumber :
ar 8 Kepala n beberapa an yang asangan
Keter• D
ad• D
adla
• Mtate
PamoKawulakonGustigapurWadotim ppusakdiperi
lakonarsite‘temp
5.4.3
(c) Ddan Cjuga Arupa
Canddisetaarupabendamerupsemusetara pada kema 39 Pem1. Sp2. Sp3. Pr4 Pr
rangan: Dialog dualistikdalah kebendaa
Dialog dualistikdalah tan-ragawangit-ibu bumi,
Monolog monisapi nyawiji/maetapi hanya terjNamun denga
oring Kawula ula Gusti dengn Dewaruci. Li. Dari alur cerran, perlu hadion (perempuanpenulis, 1990, ka Sesupe Sesintahkan DurnDengan melalu
n Dewaruci deektural. Denganpat’.
3. Dialektika MPembagian tigialog monistik
Candi Cetho. Pdikatakan bahadhatu adalah Kesetaraan ani Borobudur/Carakan, dan baadhatu) juga tea-an, tidak mpakan ‘ruang ma dualisme yana pemahamann
pemahaman mampuan spiritua
mahaman SPIRITUpiritualitas adalah ppiritualitas meruparoyek hidup itu meroyek integrasi hid
Gamba
k-kontras : adalan/fisikal.
k-mediatif: adalwi. Dualistik-m, laki-perempuatik-spritual39 anunggal/amor adi monolog, p
an munculnyaGusti yang su
gan Gunungan/akon Dewaruc
rita pada lakonirnya gunungan
n); sedangkan Gp. 612). Penemsutya Durindya untuk masukui lakon dan diengan Gunungn penjabaran
Monistik ga dalam tahapk-spiritual; dapaPada Candi Bohwa – secara tahap kesempu
ntara dialektikaCetho perlu ditiahkan tahapan erjadi hal yang
mampu disetarmediasi’ antarng mengarah p
nya dengan kam
monolog monisal. UALITAS: pengalamaman hid
akan usaha rasionaengupayakan integdup ini dijalankan
ar 10 Interpre(
lah dialog anta
lah dialog antamediatif juga an, surga-dunia
adalah tahapan dengan ‘Yang
proses akhir daa Gunungan/Kudah dijelaskan/Kayon tersebuci ditempatkan
n Dewaruci ditn/kayon blumbGunungan/Kaympatan Gununya Mustika Mk ke dalam samiidentifikasikangan/Kayon (btersebut di ata
pan dialektika at juga disejajaorobudur dan Clebih sederhan
urnaan dan kesa filsafat Jawainjau secara krpencapaian m
g setara. Namurakan secara ra yang sakral pada proses kemadhatu, yang
stik-spiritual d
dup. al yang menyeluruhgrasi, yakni integradengan transenden
etasi Dialog paanalisa penelit
ara dua unsur y
ara dua unsur ybisa dipandana, gunung-lautakhir suatu prog Empunya Kari sebuah pem
Kayon tersebutn pada bagian ut? Untuk menjn sebagai titiktemukan bahwabangan. Gunuyon Gapuran jungan/Kayon B
Manik Ing Chmudra.
n terhadap gunaik gapuran mas juga semak
filsafat Jawa yarkan/sandingkCandi Cetho tena – Kamadh
sucian. (Hidayaa (dengan menritis. Pembagia
menuju arah keun pada pemahlangsung dendengan yang
ehidupan, bukamengutamakan
dengan arupad
h dan berkesinambasi tubuh dan roh, insi diri hidup diar
M
ada Gununganti)
yang berlawana
yang berlawanang sebagai ‘ruat, dan lain-lain)oses ‘dialektika
Kehidupan’. Tamahaman, yaitut sebagai ‘mesebelumnya. A
njelaskan keterkk temu antara a lakon tersebungan/Kayon Buga dikenal den
Blumbangan diandrama yang
nungan/kayon tmaupun blum
kin menyakink
yaitu: (a) Dialokan dengan pemerbagi atas: (a
hatu adalah tahatun & Wonosengambil metafoan tiga bagian depada Yang Mhaman rupadhgan ‘ruang’ dprofan, antara
an pada fisikal n pada ‘nafsu f
dhatu, yang me
bungan, yakni suatintegrasi emosi darahkan kepada sua
Monolog MonistSpritual
Dialog Dualistik-Media
Dialog Dualistik-Kontr
n/Kayon
an dengan men
an dengan menang mediasi/be) yang bertujuaa’. Pada proses
ahapan ini tidau meletakkan seetode mendengApa keterkaitakaitan dan ke-gGunungan/kayut tidak selesa
Blumbangan iningan Gunungadasarkan padag berkhasiat
terlihat hubungmbangan) yangkan bahwa pem
og dualistik-komahaman tahap
a) Kamadhatu, hap duniawi; eputro, June 20ora gunungan)dan pemahamaaha Sempurna
hatu yang lebihdialog dualistyang suci dankebendaan. S
fisikal’. Hal ya
eninggalkan se
tu proyek hidup yaan pikiran, hidup soatu nilai akhir yang
tik-
atif
ras
ngutamakan ke
ngutamakan keergaul/bertemuan pada proses s/tahapan ini tiak terjadi ‘tawemuanya pada gar’ membuatan yang nyata gayut-an keduyon dengan fi
ai teridentifikasi dikenal juga dan/Kayon Lanaa Wrekudara/Buntuk tetap h
gan/keterkaitang berkedudukamahaman ‘pros
ontras;(b) Dialopan yang terja(b) RupadhatuRupadhatu ad
005). ) dengan prosean masing-masa (pada monoloh menekankantik-mediatif. Dn yang dosa, aedangkan pada
ang setara juga
emua batasan
ang kita kejar dengosial dan individuag ingin kita raih (
e-beda-an. Tolo
e-sama-an. Tolou’ dua unsur ‘kehidupan. dak lagi terjad
war-menawar’ akehendakNya.
t ‘jarak’ dengantara filsafat
uanya perlu diklsafat Pamorin
si dalam gunundengan Gununang (lelaki) (SeBima yang mehidup di dalam
n antara monistan sebagai ‘alses’ lebih tepa
og dualistik-mdi pada Candi u, (c) Arupadhdalah tahap tr
es/tahapan kessing bagian muog monistik-sp
n pada ‘wadah/Dialog dualistantara bapa daa dialog dualis
a terjadi
fisik dan men
gan sadar. al, dan seterusnya.(Harjanto no 14 2
ok ukurnya
ok ukurnya ‘roh’ (bapa
di dua unsur atau dialog . gan filsafat t Pamoring kaji melalui ng Kawula ngan/kayon ngan/Kayon ena Wangi-endapatkan m air dan
tik-spiritual lat dengar’ at daripada
mediatif dan Borobudur
hatu. Dapat ransisi, dan
ucian pada ungkin bisa piritual dan /ruang’ ke-tik-mediatif an ibu, atau stik-kontras
ngutamakan
. 2001 pp 110
Pemahaman ‘pusat dunia’ (Eliade, 1957, p. 38) dan pemahaman Candi Borobudur/Cetho memandang bahwa ‘gunung’ merupakan titik tersuci dalam kehidupan. Pemberian nama gunungan pada salah satu perangkat wayang diduga juga mempunyai pemahaman yang sama. Tapi jika dikaji lebih lanjut bahwa dulu gunungan disebut kayon (= pohon), maka kesetaraan ini perlu dipertanyakan lebih lanjut. Pemahaman Eliade terhadap pembagian tiga tahapan kosmologi: earth, heaven,and underworld (Eliade, 1957, p. 36) – seperti yang terjadi pada Candi Borobudur/Cetho dan konsep Tri Angga –tidak sama dengan pembagian tiga pada dialektika filsafat Jawa (dengan metafora gunungan). Perbedaan tersebut terjadi pada bagian rupadhatu/earth/body/settlement zone dengan ‘ruang’ dialog dualistik-mediatif. ‘Ruang’ dialog dualistik-mediatif bukanlah ‘ruang/tempat’ kehidupan manusia, tapi suatu tahapan mediasi antara dualisme spiritual yang mempengaruhi suatu proses kehidupan. Jika tinjau lebih jauh kamadhatu/underworld/foot/disposal zone juga tidak sama dengan ‘ruang’ dualistik-kontras, namun mempunyai kesamaan ‘roh/semangat’ yaitu ‘ruang’ yang lebih mengutamakan nafsu fisik. Hanya pada ‘ruang’ monolog monistik-spiritual mempunyai kesetaraan dengan arupadhatu/heaven – tapi tidak dengan head /religious zone pada tri angga – yang mengutamakan kemampuan spiritual untuk memahami hal yang tanpa bentuk fisikal.
Tinjauan kritis membuktikan bahwa dialektika filsafat arsitektur (dengan metafora gunungan/kayon) mempunyai pemahaman yang orisinal yang bisa disanding dengan pemahaman tiga tingkat pada percandian (kamadhatu, rupadhatu arupadhatu) atau konsep tri angga dan juga pemahaman Eliade .
5.5. Filsafat Jawa (kesimpulan re-konstruksi) Filsafat Jawa yang kemudian digunakan bukan lagi Manunggaling Kawula Gusti dalam pengertian ‘tempat/keadaan’ yang
statis, tapi pada pemahaman ‘proses/perjalanan’. Frasa yang dapat menggambarkan pemahaman ‘proses/perjalanan’ adalah Pamoring Kawula Gusti. Kedua frasa yaitu Manunggaling Kawula Gusti atau Pamoring Kawula Gusti pada hakekatnya adalah sama yaitu pada pemahaman monistik, namun konteks dan perspektif dari masing-masing frasa yang berbeda.
Hal yang penting perlu diperhatikan bahwa semua dialog (baik dialog dualistik-kontras maupun dialog dualistik-mediatif) mempunyai tujuan pada suatu ‘pusat’ yaitu ‘monolog monistik-spiritual’. Dialog dualistik-kontras adalah usaha untuk melepaskan ‘ikatan-ikatan’ material atau dialog yang lebih menekankan perbedaan materialistik; dialog dualistik-mediatif adalah dialog yang menekankan pada pemahaman kesamaan yang mengarahkan pada tujuan akhir yaitu ‘monolog monistik-spiritual’, bukan lagi dialog dua entitas tapi entitas tunggal yang menekankan aspek spiritual.
6. KONSTRUKSI FILSAFAT ARSITEKTUR JAWA
per=kemB=
perang kembang40
Istilah ‘pembangunan’ ditempatkan sebagai gambaran bahwa tahapan ini bukanlah tahapan pembacaan/pendengaran, tapi suatu tahapan pembangunan/konstruktif. Filsafat Jawa yang telah dihasilkan dari hasil re-konstruksi di atas menjadi ‘gagasan/cita-cita’ yang melingkupi seluruh kegiatan ‘pembangunan’ filsafat arsitektur Jawa. Tahap ‘pembangunan’ Filsafat Arsitektur Jawa terdiri dari dua langkah yang berurutan, yaitu:
a) Langkah pertama adalah ‘mendengarkan’ bahan/materi penyusun filsafat arsitektur Jawa dan menyelaraskannya dengan filsafat Jawa hasil rekontruksi. Selaras di sini adalah pemahaman secara musikal atau dalam pengertian tembang Jawa.
b) Langkah kedua adalah menembang-kannya kembali. Pemahamannya adalah tahapan tidak berhenti pada ‘mendengarkan’ tapi meng-gubah tembang baru dengan ‘bahan’ dasar hasil dari ‘pendengaran. Atau secara umum dikatakan sebagai re-interpretasi.
6.1. Filsafat Jawa terhadap Pemikiran Filsafati dan Pengetahuan Arsitekur Jawa Ada salah satu serat yang menurut beberapa pemerhati arsitektur Jawa digunakan sebagai sumber pengetahuan filsafati yang
terkait erat dengan arsitektur, yaitu serat Jatimurti. Isi dan materi Serat Jatimurti41disampaikan kembali oleh Ki Ageng Suryomentaram dengan wejangannya dan diberi judul Ukuran keempat. (Prijotomo, 2006, p. 84). Serat Jatimurti digunakan Prijotomo sebagai tolok ukur penalaran masyarakat Jawa (Prijotomo, 2006, p. 129&279).
Serat Jatimurti (nn, 1980) dicoba dibaca dari pemahaman filsafat ‘manca’ (Prijotomo, Josef dan Widyarta, M. Nanda, 2009). Anas Hidayat dengan bahan dan seminar yang sama meletakkan pemahaman ‘perjalanan’ sebagai konteks tulisannya (Hidayat, 2009). Sudut pandang ini sangat berbeda dengan apa yang digunakan dalam disertasi Prijotomo yang digunakan adalah konteks penalaran terhadap ukuran arsitektural, sedangkan dalam paper seminar Prijotomo dan Nanda lebih kepada epistemologi dari serat Jatimurti yang khas, yang tidak dipahami oleh epistemologi filsafat ‘manca’. Keluasan interpretasi dengan bersumber pada Serat inilah yang mendorong peneliti menempatkan Serat Jatimurti ini sebagai salah satu sumber pengetahuan filsafati.
Hal yang kemudian menjadikan serat Jatimurti ini mampu/mempunyai potensi untuk diinterpretasi ke dalam ranah arsitektur karena pada serat Jatimurti ini dibahas hal-hal tentang garis, raen dan jirim. (mungguh tetlane prakara iku manawa katerangake dhisik ing bab beda-bedaning : garis, raen serta jirim42) (nn, Serat Jatimurti, 1980, p. 12). Pemahaman garis, raen dan jirim berada pada ranah filsafat, namun akan serat Jatimurti ini membawa dampak pemikiran arsitektural pada ranah teoritik, apalagi jika dibanding-tanding dengan teori arsitektur manca yang terungkap dalam buku ‘Space, Form and Order’ dari F.D.K Ching. Hal yang mempertegas perbedaan antara filsafat Jawa dengan filsafat manca pada tataran teori arsitektur.
Dalam Serat Jatimurti juga dipahami tentang ke-ada-an dan ketidak-ada-an sebagai sesuatu yang sifatnya sementara. Tinjauan tersebut memang berada pada ranah teologi filsafati. Namun jika dibaca secara filsafat arsitektural maka ‘ada’ dan ‘tidak ada’ dapat terkait erat dengan pembacaan cerita Dewaruci secara arsitektural, sebab sama-sama melakukan ‘penghancuran/pelenyapan’ wengku (wadah/bingkai).
Hal apa yang bisa diambil sebagai material ‘pembangun’ filsafat arsitektur Jawa dari Serat Jatimurti? Yang perlu dicermati bahwa yang disusun oleh Serat Jatimurti adalah ruang spiritual, bukan ruang nyata. Perbedaan mendasar tersebut semakin memperkuat bahwa yang dihadapi pada filsafat arsitektur Jawa bukanlah pada ‘benda’ tapi justru pada ‘non-benda’. Nilai filsafati arsitektur Jawa tidak pada ‘materialitas’ tapi pada ‘spiritualitas’. Dengan demikian maka filsafat arsitektur tidak berbicara secara materialistik tapi lebih kepada nilai spiritualitas pada arsitektur Jawa. Wujudnyata karya arsitektur Jawa hanyalah manifestasi dari nilai-nilai spiritualitas tersebut.
Bahasan selanjutnya adalah pengetahuan arsitektur Jawa. Bahasan ini disatukan dengan bahasan pemikiran filsafati arsitektur Jawa karena baik pemikiran filsafati maupun pengetahuan adalah ‘konsep berpikir’ untuk mewujudnyatakan karya arsitekur Jawa. Ke-abstrak-an dan posisinya pada tahapan pembangunan yang menjadi alasan dua materi ini disatukan dalam satu bahasan.
(Re)-konstruksi (konstruksi ulang) pengetahuan arsitektur Jawa telah dilakukan Prijotomo dalam disertasinya. Pada penelitian ‘Konsekuensi Filsafati’ mengambil kutipan dari Kawruh Kalang Sastra Wiryatma yang ditulis ulang oleh Th. Pigeaud, yang berbunyi Tiyang sumusup ing griya punika saged kaupamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng. (Prijotomo, 2006, pp. 63-72). Analogi yang digunakan untuk menggambarkan hubungan manusia Jawa dengan rumahnya (griya) adalah seperti berlindung/berteduh di bahwa pohon besar.
Kata kajeng dapat berarti wood, tree atau intention, wish (Robson & Wibisono, 2002). Kajeng yang berarti pohon (Prawiroatmodjo, 1981, cetakan ke 2) juga dapat dipahami sebagai suatu kiasan. Pohon bukan dipandang sebagai sesuatu ‘benda’ yang nyata. Perlindungan di bawah pohon merupakan gambaran akan ‘keteduhan’ dan ‘kenyamanan’ hati dari penghuninya. Dengan demikian pemikiran Robson, Stuart dan Wibisana yang menyetarakan antara ‘pohon’ dan ‘maksud/tujuan/harapan’ adalah logis. Sebab ‘pohon’ di sini bukan diletakkan sebagai sebuah ‘benda nyata’ tapi sebuah gambaran ‘abstrak’. Di sini juga nampak bahwa ‘elemen’ arsitektural menjadi bukan unsur penting dalam perwujudan ‘tujuan’ tadi. Setara dengan pemahaman bahwa filsafat Jawa tidak mengarah pada material tapi pada aspek non-material.
40 Adegan ini menggambarkan pertempuran yang terjadi antara tokoh satria dengan tokoh raksesa/raksasa yang berasal dari negeri sabrang. Puncak permainan wayang seorang dalang dipertunjukkan pada adegan ini. (Palgunadi, 2002, pp. 161-163). 41 Tidak ada sumber ilmiah yang menyatakan siapa pengarang dari Serat Jatimurti, yang diketahui bahwa Serat ini diterbitkan oleh penerbit Tan Khoen Swie-Kediri tahun 1930 dalam bentuk aksara Jawa (Prijotomo, 2006, p. 84) dan dialihaksara dan diterbitkan kembali oleh Yayasan UP Djojobojo Surabaya tahun 1980. Ada beberapa blog yang menyatakan bahwa Serat Jatimurti dikarang oleh Ki Sujonorejo ini adalah anak murid dari Ki Kusumowicitro, pendiri Hardapusara, sebuah gerakan kebatinan jawa. Blog itu antara lain http://fied-the-one.blog.friendster.com/2007/02/live atau http://baratayudha.multiply.com atau http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/04/intuisi-dalam-alam-pikiran-barat-dan-alam-pikiran-jawa-sebuah-filsafat-perbandingan/ 42 Terjemahan bebas : Sebelum menjabarkan lebih lanjut tentang perkara itu, perlu diterangkan terlebih dahulu tentang perbedaan : Garis, Bidang dan Ruang.
dalammenc(intr)merupsuasa‘gelap‘mena
‘manj(Prijo
apa? bahwkemudidaplepas
kerja.bagaibalunanjingbersateknikmewadipah
ibu-busecaraatau anjingpertemperkaMengibu/ismemp
6.2. F
panda‘Konssepenoleh d
6.2.1
Kabu
Sebel
Di samping itum rumah – macapai ‘keteduha’: menyembunpakan ‘proses
ana Kerajaan kp’, dari keramarik diri’ yang Melalui disertjing’. Di sini m
otomo, 2006, pAda hal yang Atau bagaima
wa manjing adaudian menjawapat pengertian . Jabaran tentan. Telah dijabaimana? Menurngan (Prijotomgan. Dengan temaan dan salik cathokan, taakili ‘ibu-bumihami sebagai jePrijotomo lebiumi. Jika kema intim’ atau kberpasangan sgan yang jugmuan bapa-lanawinan’ dapat gapa monistik,stri tidak lagi dpertegas kontek
Filsafat JawaKasus arsitektang kasus arsitsekuensi Filsaf
nuhnya bersifatdata sekunder y
. Makam SunKasus arsitekt
upaten Klaten, J1. Kematian
orang Jawamakam ora
2. Cerita tenthanya menCenthini di
3. Sebelum mdia meningKlaten. Locmengapa d
Makam Sunanlum pe-ziarah t
u kutipan dari kna sumusup –an’ sebagai tujnyikan diri, hs’ menuju kepke dalam ‘tubumaian ke keada
akan menghastasi Prijotomo manjing lebih t. 256). sangat menari
ana masuknya?alah ‘masuk’ ab bagaimana bahwa ‘manjin
ng manjing di aarkan juga bahrut Prijotomo
mo, 2006, pp. 2eknik cathokaning bekerjasam
api pada pemahi’. Kedua kons
ejak masa arkaiih menyatakan
mudian dikaitkakata kaworan ysebagai suami-ga dikenal denngit dan ibu-budipandang seb, padahal terdidipandang dua ks proses dalam
a terhadap Ktural yang digutekturalnya tidafati’ menitikbet fenomenologyaitu berupa pe
nan Bayat di Dtural pertama aJawa Tengah. Aadalah kejadiaa adalah suatu ang ‘suci’ akantang petilasan nunjukkan bahitulis (masa Su
menjadi Sunan dggalkan segalacus Klaten dan
dipilih Petilasann Bayat atau Sutiba di makam
Harder gerbangberbunySaka, te337).
Pe
Kawruh Kalan– yang digambjuannya. Kata
hilang (diantarpada kasampuruh Ruci Bataraaan yang ‘sunsilkan suatu ha
juga ditemukerkait dengan m
ik dari kata ma? Jika kemudiyang tidak biscara ‘masuknyng’ adalah ma
atas sampai pahwa ‘proses’ te
terdapat dua 242-243); konn, kedua konst
ma menjalankahaman Prijotomstruksi ini kemik dari perjalan
n bahwa konstran dengan akaryang salah satu-istri tapi kepngan teknik l
umi merupakanbagai ‘pe-manuiri dari bapa dentitas tapi sa
m monistik-spi
Kasus Arsitekunakan adalahak hanya bentueratkan pada ‘aik yang melakenelitian yang
Desa Pasebanadalah Makan Alasan pemilihan / keadaan yperjumpaan/pe
n membawa ‘beSunan Bayat i
hwa Tembayat unan Pakubuwadi Tembayat, ba kekuasaan dn tujuan dakwan Sunan Bayat unan PandanarSunan, mereka& de Jong, 2
g/gapura bergayi wiyasa hanaerkait dengan S
erubahan ‘gayaki k
ng tersebut berbarkan sebagasusup yang be
ra). Kesetaraanrnan. Wrekuda/Dewa Ruci’,nyi’. Sebuah tal. an salah satu masalah strukt
anjing. Pengeran dikaitkan psa dilepas danya’? Maka kat
asuk secara sem
ada kesimpulanersebut dilakukonstruksi rak
nstruksi empyatruksi tersebut an peran masinmo bahwa kon
mudian ‘berhennan dan sejarahruksi empyak dr kata pamorinu artinya adalahada ‘perkawinlanang-wedhok
n ‘proses perkaunggal-an’ antdan ibu atau satu entitas yaniritual, yaitu pr
ktural h kasus-kasus uk fisik tapi jugarsitektur seba
kukan ‘penggalpernah dilakuk
n Kabupaten KSunan Bayat
han lokasi terseyang menggamertemuan kemberkah’. ini telah dapatdengan petila
ana V berkuasabeliau adalah sdan harta bendah yang disampdi Tembayat in
ran berada di pa harus menaik2001, p. 337).aya Islam. Padata wisiking raSultan Agung
a’ gapura terjad7 d ‘G
rmakna suatu ‘pai ‘kerja aktif’ erarti ‘bersembn ini menarik dara/Bima ‘ber, dari keadaan ahapan dari p
kata yang metur konstruksi (
rtian dasar mapengertian satun tidak hanya ta manjing dapmbunyi-sembun
n bahwa ‘proseukan dalam kokitan dalam g
ak dan balungatidak saling mng-masing (Prnstruksi empyanti’ pada balanh orang Jawa (Pdan kontruksi bng maka disitu h ‘menjadi hamnan’. Dan secak, yang saling
awinan’ maka jtara bapa-langisuami dan istrg manunggal. roses itu adalah
nyata dalam kga hal-hal yangagai hasil / proian’ pengetahukan terhadap k
Klaten atau dikenal j
ebut adalah: mbarkan dari ko
bali dengan Sa
t ditemukan daasan Sunan Baa). (Ngabehi Rseorang Adipatdanya dan menpaikan oleh Suni yang di pilihpuncak Gununki tangga seban Ada hierarki
da gapura ke-4atu, yang medalam menentu
di pada gapuraG Si
perjalanan/prountuk bertedu
bunyi / menyesebab ‘berse
rsembunyi/menyang serba g
proses menuju
enarik, yang p(Prijotomo, 20
njing adalah ‘mu kamus denga‘masuk’ dan pat dikaitkan nyi/tidak terlih
es masuk’ terseondisi ‘tersembgriya Jawa yaan dirangkai
mengunci dan mrijotomo, 2006ak mewakili ‘bdar-pengeret. Prijotomo, 200balungan lebih
ternyatakan bmil’; sehingga ara arsitekturag ‘masuk-memika dikaitkan dit dan ibu-bumri? Sebab dalaDengan demik
h proses perkaw
kehidupan sehag terkait secaraduk berpikir’.
uan seperti kenkasus yang dian
uga dengan K
onsepsi Manunang Pencipta/ m
alam Serat Ceayat menjadi danggasutrasna,ti Semarang. Knjadi salah sa
unan Bayat yaih untuk kasus ag Jabalkat (Jabnyak 250 anak i dari gerbang4 diberi nama
erupakan pada ukan tahun Jaw
a ke-6 dan ke-7’ b f
oses/tahapan’ duh di bawah ‘pendiri’ setara dembunyi’ atau nyembunyikanemerlap ke dakasampurnan
engetahuan ar06, p. 284) dan
masuk’. Pertanan yang lain, diam, tetapi adengan kata s
hat untuk ‘bek
ebut tidak hanbunyi’. Proses aitu konstruksidengan teknik
menguasai, me6, p. 243). Titbapa-angkasa’ (Prijotomo, 20
06, pp. 247-248h kepada ‘perteahwa arti katapertemuan itu
al kemudian temasuki’. Dengdengan monistmi yang bertemam proses perkkian maka penwinan.
ari-hari masyaa abstrak. Hal iPendekatan ya
nyataan lapangangkat.
Ki Ageng Pand
nggaling Kawumulih. Oleh se
enthini. Penunjdaerah yang pe, dkk, 2008)
Kemudian atas patu pendakwahtu rakyat ‘biasarsitektural. bal berarti Guntangga dan ter
g/gapura bernaa Gapura Pane
tahun pembuawa. (Doorn-Ha
7 yang lebih bf i b i
dari luar rumahpohon’. Ada udengan kata ‘‘a
‘menyembunn diri’ dari gealam suatu kean yang ‘melepa
rsitektur Jawa, n juga konsep a
nyaannya ‘masmaka didapat
ada unsur ‘beksumusup. Sehinkerja’ dan tidak
nya diam tapi akerja tersemb
empyak dan k cathokan, buelainkan saling tik perhatian bdan konstruks
006, p. 244), h8). emuan’ bapa-ana awor adalah
u tidak sekadarernyatakan dagan beranggapik-spiritual, ma
mu di balandarkawinan bapa/
ngetahuan arsit
arakat Jawa. Nini dikarenakanang digunakanan, namun jug
danaran di Des
ula Gusti. Kemebagian masyar
ukkan Serat Centing sejak ja
petunjuk Sunah agama Islamsa’ merupakan
nung; Kat berardapat 7 Gapurafaskan Hindu emut tertera tuatannya pada tarder & de Jon
bernuansa Islami
menuju ke usaha untuk amor;umor yikan diri’ emerlapnya adaan yang askan’ dan
yaitu kata arsitektural
suk’ seperti pengertian
kerja’. Jika ngga dapat k akan bisa
ada konteks bunyi yang konstruksi
ukan teknik ada secara
bukan pada si balungan hal ini yang
ngkasa dan ‘disatukan pertemuan
lam teknik pan bahwa aka ‘proses r-pangeret. /suami dan tektur Jawa
Namun cara n penelitian n juga tidak a didukung
sa Paseban,
matian bagi rakat Jawa,
Centhini ini aman Serat
an Kalijaga, m di daerah
alasan lain
ari Tinggi). ra.. (Doorn-
hingga ke ulisan yang tahun 1555 ng, 2001, p.
m. Sebelum i i
wudhPandamakadifoku
hinggkeseja330).
Gambar 12Prabayeksa (g
(foto peneli
Gambar 1Jajawi
(koleksi pen
hu, yang kononanaran ditutup
am – tebal dindkuskan pada per
Jelajah ‘ornamga Islamik (yaarahan di tanah
byy‘b‘b
CN‘pTCC
Gapura apura ke-7) iti, 2011)
13 Candi i/Jawi neliti, 2011)
n digunakan Sp dinding batu ding kurang lebrbaikan atap ‘m
men’ dari gerbang tanpa ornh Jawa dari m
Perilaku pbersembunyi’ dyang ‘terpencilyang menunjukbekerja’. Makberkah’ yaitu s
Lokasi maCandiwates, KNegarakertagampendharmaan’
Terdapat parit yCandi menghadCandi ini berdir
Makam duntuk sumbubergaya ‘Hindmemang bukaini. (Eliade, 1
Sunan dan sahabata dengan y
bih 1 m) dan tamakam’. Bentuang/gapura tenamen, hanya
masa Hindu dan
pe-ziarah ini di kompleks m’ atau ‘tersemb
kkan antara luakna ‘bekerja’ dsebuah ‘ketentrakam Sunan dKecamatan Prma dengan nam Raja Kertaneyang mengelilidap ke arah timri di 285 m di a
dipuncak bukitu horisontal teduistik’ berubaan hanya dipah957, p. 38).
abat-sahabatnyyang cukup teanpa ada ‘ornauk atap berbenterlihat terjadi ga permainan bn kemudian pa
terkait erat dmakam Sunan B
bunyi. Secara ar dan dalam. Mdi sini adalah braman batin’.
dipuncak gununrigen Kabupama candi Jawa-egara. Candi iningi badan canmur yang berlatas permukaant menunjukkanernyatakan dalaah menjadi gaphami oleh man
ya bila sholat tebal (menurut amen’ sama sektuk ‘tajug’ sepegradasi dari gabentuk geomeada puncaknya
dengan pengerBayat. Makna ‘
lahiriah/fisik hMakna ‘manjinberdoa dan be
ng/bukit ini seaten Pasuruan-Jawa atau canni mempunyai ndi dengan ukuawan dengan n laut43. n sumbu vertiam ‘gradasi’ gpura bergaya
nusia Jawa, hal
tiba. Pada cunAsmanto – sa
kali. Waktu tererti halnya yanapura bergaya etrik). Hal ini
di masa Islam
rtian ‘susup’ dsumusup/susuphal ‘masuk’ ding’ juga bisa juer-ziarah; dan h
etara dengan Cn Jawa Timundi Jajawi. Can
tinggi 24.50 muran panjang 40candi lain di J
kal pada pemgapura di Mak‘Islamik’. Peml yang sama ju
ngkup makam alah seorang prjadi gempa bung digunakan p
Hinduistik (di seakan menu
m. (Doorn-Ha
dan ‘manjing’p’ adalah masutandai dengan uga bermakna hasil dari sebu
Candi Jajawi/Jaur. Candi inndi Jajawi ini dm, panjang 140 m, lebar 3.50Jawa Timur ya
mahaman monikan Sunan Bay
mahaman gunuuga terjadi di b
Sunan Bayat apegawai yang bumi tahun 2006pada masjid. dengan candi bunjukkan perk
arder & de Jon
’. Pe-ziarah ‘muk ke dalam suadanya ‘gerba‘masuk’ tapi m
uah ‘kerja’ di
awi yang berani juga tercadigunakan seba4.20 m dan leb0 m dan dalamang menghada
istik-spiritual. yat tersebut, d
ung sebagai tembeberapa temp
atau Sunan bertugas di 6 perbaikan
bentar-nya) kembangan
ng, 2001, p.
masuk dan uatu tempat ang/gapura’ masuk yang sini adalah
ada di Desa atat dalam agai tempat bar 9.50 m.
m 2 m. Pintu ap ke barat.
Sedangkan dari gapura mpat sakral pat di dunia
monis
GamT
M(t
(k
GaRaySes
dep
www
GaSakatTaman
(Kole
Dengan destik.
G
mbar 15 TampaTajug dari Cung
Makam Sunan Bampak dari Gap
Pamuncar) koleksi Peneliti, 2
mbar 17 Suasayahan/ Perebutsaji Gunungan
pan Masjid AguSurakarta
(Sumber foto : w.seputarsolo.in
mbar 16 Masjidtunggal, Kompln Sari, Yogyakeksi Peneliti, 201
emikian maka
monomeny‘jug-lhanyabungadikhukarendigundigun
tajug,bahwbentugambgunungununmoni
gunungterwuju
Laibadah/m
6.2.2. GPa
Sosial’ spirituasocial ssosial Lsintesa merupadialog 1996, ptrialectsosial’ dan tuju
Kamasih Sultan/SPenempsebagaimaka ti
Acdiselenggrebeg yang ut
ambar 14 Diale
ak Atap gkup Bayat apura
2011)
na an di
ung
nfo)
d leks arta 10)
pada petilasa
Hal yang perolog monistik-yatakan bahwaloro’. (Prijotoma sekadar beraa emas’ (Prijususkan hanyana ditemukan anakan pada manakan. Dalam kajian
g, adalah atap wa bentuk atap uk saka tunggbaran sebuah pngan/kayon mngan/kayon sestik-spiritual’;
gan/kayon tersudnyatakan dalaalu kembali kmakam? Untuk
Grebeg Mauluada bagian ini
adalah ruangal-religius. Halspace, yang keLefebvre. ‘Rua
– berdasar paakan ruang dendualistik yang
p. 70). Jika Edwics of Being), pada penelitianuan spiritualitaasus yang beritermasuk ritu
Sunan. Peristpatan Grebeg M ‘ibu’ dari segdak akan ada pcara/upacara ggarakan untuberasal dari katama - gunung
ektika pada Pet(analisa penel
an Sunan Baya
rlu dicermati spiritual adalah
a arti kata tajumo, 2004, pp. arti ‘mahkota’jotomo, 2004,a untuk ‘masjarti kata tajugasa Majapahit m
Prijotomo jugyang berbentutajug pada ma
gal sebagai ‘topayung (Prijot
maka yang munendiri dengan
dan ‘tonggaebut. Denganam bentuk arsike pertanyaank itu perlu dila
ud di Surakari akan dijelajag interaksi mal ini berbeda emudian dikenang sosial’ Lefada pemikiran
ngan pemikirang menghasilkanward W. Soja yaitu spatialit
n ‘konsekuensas dari acara grikutnya masihual keagamaatiwa yang diMaulud sebag
gala ritual yangperingatan-periGrebeg Maul
uk memperingaata gumrebeg ygan jaler (pria)
Mo
Di
D
tilasan Makam liti, 2011)
at, terbagi men
penempatan h tipe atap taj
ug adalah ‘mah189-190). Den tapi mempun, p. 194). Peid’ menurut j
g di kamus Jawmaka seharusn
a terungkap bauk piramida (Pasjid terkait deonggak’ yang tomo, 2004, pncul bukan lag
‘mahkota beak’ pada strun demikian mitektural. n : apakah fakukan pemerik
rta dan Yogyaahi pemahamananusia Jawa dedengan pemah
nal dengan thefebvre lebih men Hegel dan Mn trialektik/trian sintesa (trialmendialogkan ty, historicalitysi filsafati’ ini rebeg. h berlokasi di kan. Namun ptempatkan se
gai kasus kareng ada; tanpa adingatan lain. lud adalah aati Maulid Nayang berarti riu) dan gununga
onolog monistik-
ialog dualistik-m
ialog dualistik-k
Sunat Bayat
njadi 3 zona s
cungkup Makjug yang digunhkota’ dan jugngan penulusurnyai makna khenelusuran lebabaran Kawru
wa Kuno. Dennya telah munc
ahwa arti kata Prijotomo, 200engan struktur
dilengkapi dep. 198). Namugi sebuah ‘payrhias dari bun
uktur saka tumaka metafora
filsafat arsitekksaan di kasus
akarta n filsafat arsitengan sesamahaman Edwarde thirdspace, yengutamakan dMarx – sedanlectic thinkingektik) tapi bertiga unsur dal
y and socialitylebih melihat
kompleks periperistiwa ini ebagai kasus na ‘hari kelahida kelahiran, ya
cara puncak abi Muhammaduh, ribut dan raan estri (perem
-spiritual
mediatif
kontras
sesuai dengan
kam Sunan Bnakan pada Maga bahwa kata ran etimologi dhusus karena jbih lanjut ternuh Kalang tidngan asumsi bacul ‘masjid’ di
tajur, yang di04, p. 194). Psaka tunggal.
engan penutupun bila kemudyung’ tapi mernga emas’ meunggal adalaha ‘berteduh di
ktur Jawa hyang berbeda.
tektur terhadapanya yang terad W. Soja yayang merupakdialektika dual
ngkan ‘ruang k, pendekatan drpikir dalam tilam being (yany (Soja, 1996, psebagai dialek
ibadatan yaitu melibatkan rberikutnya a
iran’ Nabi Muang diperingati
dari rangkaiad SAW (Sum
amai. Pada upampuan) dan dil
tahapan pada
Bayat pada zoakam tersebut.‘joglo’ berasa
didapat bahwa juga berarti ‘hnyata ‘atap ta
daklah sepenuhahwa bahasa Ji masa bahasa
iduga terkait dPrijotomo juga Prijotomo mp atap sehingdian dikaji merupakan perwuerupakan titikh ‘batang pohi bawah poho
hanya terjadi
p ‘ruang sosiaangkum dalamang menjabarkkan kritik terhalisme yang meketiga’ Edwar
dialog tiga-sisi,iga sudut pandng disebutnya sp. 71); maka p
ktika manusia,
di pelataran Mrakyat ‘kecil/badalah Grebeguhammad SAWi dalam Maulu
an acara sekmukti, 1997, p.acara ini akan dakukan sejak a
a dialektika
ona/wilayah . Prijotomo al dari kata tajug tidak
hiasan dari ajug’ yang hnya tepat, Jawa Kuno Jawa kuno
dengan kata a menduga
mengkaitkan ga muncul
enggunakan ujudan dari
k ‘monolog hon’ pada n rindang’
di tempat
al’. ‘Ruang m peristiwa kan tentang adap ruang enghasilkan rd W. Soja jadi bukan dang (Soja, sebagai the
pada ‘ruang sesamanya
Masjid dan biasa’ dan g Maulud.
W dianggap ud Nabi ini,
katen yang 90). Kata
dibagikan – abad ke 16
(Sumhttp://
jaler/pelataMasji
dan temelamterseb
‘tempseleksdengaspiritu
terjad
Dengwilayperistsini klebih
mukti, 1997, pp/seputarsolo.inPada intinya, g/lanang/pria daran Masjid daid dan mengucSimbol lain yaelor abang / mmbangkan kehbut. Jika pada bah
pat’ monolog msi ketat berupaan sumbu horiual.
Akan tetapi sadi, pelataran me• Gunungan
lingga-yon• Sebelum di• Adanya pe• Bentuk gun• Pemahama
gan dasar interpyah Masjid), natiwa tersebut tekembali lagi mpada sebuah p
p. 145-146). Info/2011/02/15grebeg Maulud
dan estri/wadoan didoakan secapkan janji perang terdapat d
merah (Yogyakidupan baru, y
hasan tentang monistik-spiritua gapura/ gerbsontal maka le
Gambar 19 D
aat terjadinya enjadi ‘tempatyang diperebu
ni di Candi; iperebutkan senjual ‘telor’ senungan yang man umum bahwpretasi tersebuamun pada saaerjadi juga kar
membuktikan baproses perkawin
Dialo
Dialog d
Ini melambang5/4971/). d di Surakarta on/perempuan.ebelum diperebrnikahan / ijab
di pelataran Mkarta). ‘Telor’ iyang dapat dipa
petilasan Makual, karena ada
bang yang semetak masjid ad
Dialektika di K
(event) peristiw’ terjadinya ‘mutkan adalah s
epasang gunungebagai simbol smeruncing ke lawa gunungan mut maka monolat tertentu bisarena adanya resahwa tempat tenan.
g dualistik-kontr
Dia
dualistik-kontras
Dia
gkan sedekah
dan Yogyakar Dengan dib
butkan, hal inib. asjid adalah adini merupakan andang merupa
kam Sunan Baanya bukti fisi
mpit. Posisi Madalah ‘puncak’
Kompleks Masjid(analisa
wa Grebeg Mamonolog monistsepasang gunun
gan tersebut disebuah kehidupangit, setara de
merupakan bentlog monistik-sa terjadi pada wstu dari wilayaerjadinya ‘mon
ras
alog dualistik-m
Mo
s
alog dualistik-me
M
pihak Keraton
rta mirip. Gunbawanya pasansetara mempel
danya penjual ‘buah/hasil’ d
akan kehidupan
ayat dinyatakaik arsitektural ajid Agung Sur
dari gunungan
d Agung (Yogypeneliti, 2011)
aulud terjadi ‘tik-spiritual’. Dngan, yaitu gu
idoakan dulu, hpan baru, hasil engan bentuk atuk kepedulian spiritual tidak hwilayah ‘dialoah monistik-spnolog monistik
mediatif
onolog monistik
ediatif
Monolog monist
n kepada rakya
ungan itu dibungan gunungalai masuk ke d
telor – telor adari pernikahann hasil dari pro
an bahwa Maberupa atap tarakarta dan / an atau area mo
yakarta) dalam
kekhususan’. PDasar interpretaunungan lanan
hal ini setara dedari proses pe
atap tajug. Sunan/Sultan hanya terjadi d
og dualistik-meiritual dalam b
k-spiritual’ buk
Gambar 20 D(Yogyakart
(ana
k-spiritual
tik-spiritual
atnya (sumber
uat berpasangaan tersebut kdalam komplek
asin (Surakartan tersebut sebaosesi pernikaha
sjid merupakaajug dan adanyatau Yogyakartonolog monisti
Sumbu Horison
Pada saat periasi tersebut ada
ng dan gunung
engan prosesi perkawinan terse
terhadap rakyadi titik tertinggediatif’(pada pbentuk doa sebkanlah sekadar
Dialektika di Mta) dalam Sumbalisa peneliti, 20
r:
an ke ks
a) ab an
an ya ta ik
ntal
stiwa rayahanalah:
gan wadon, set
pernikahan / ijebut.
atnya. gi dan terjauh elataran Masji
belum rayahanr tempat ‘perte
asjid Agung bu Vertikal 11)
Gambar Telur Asin
MasjidSura
(koleksi pe
n gunungan
tara dengan
ab.
saja (pada id). Namun
n terjadi. Di emuan’ tapi
18 Penjual di Pelataran d Agung akarta eneliti, 2011)
Dengmonis(makn
mono
6.2.3
luar pmasa penel– Surbahwmengteritokasus
dalammenghuniaFilsafSura Kratobagia
berad
senthberadtenga
44 PemKompa
GamDe
GamtenBa
gan kasus Grebstik-spiritual’, na filsafati darDengan jabara
olog monistik-s
3. Omah RakyLokasi kas
pusat kebudaykini (red.2009
liti terdahulu. Hrakarta danYo
wa masih terdagambil kasus dri/tempat. Pem
s rumah/omah yKajian mendal
m sebuah buku gambil 4 keloman kerabat kerfati’ ini ‘memiterletak di kam
on Yogyakartaan senthong me
da pada wilayahTidak hanya dong tengah. T
da pada pringgiah. Di sinilah d
mahaman bahwa Jaw
as Sabtu 24 Sept
mbar 21 Rumahsa Bakalan, De
(Koleksi Pene
mbar 22 Suasanngah pada Omaakalan, Delangg(Koleksi Penelit
beg Maulud ini sebuah tempa
ri Sangkan Paran kasus petilaspiritual sebaga
yat us rumah/oma
yaan tersebut. K9- 2010). UntuHal ini dilakukgyakarta – de
apat ‘kualitas kdi luar pusat mahaman terseyang telah ‘tualam tentang omyang terbit tah
mpok hunian yaraton/bangsawainjam’ kajian Smpung Dhaeng dari Korps D
erupakan ‘wilay
h monolog mondi atas dasar p
Telah dijelaskaitan direbahkan
dialektika omah
wa sudah luntur seember 2011 halam
h Rakyat Jawa dlanggu, Klaten eliti, 2009)
na Senthong ah di Desa gu, Klaten ti, 2009)
membuktikan at yang mengiraning Dumadiasan Makam Sai penjabaran d
h, bertitik-mulKasus rumah/ouk kasus Surakan untuk mend
engan lokasi/tekepribadian’ ykebudayaan Ja
ebut juga untuka’ secara waktumah telah dilakhun 2000. Penaitu rakyat biasan yang juga Santosa pada kgan, rumah in
Dhaeng (Santoyah cikal-baka
Perlu itulah digu(Muqoffa, menjelaska(disurvey dmenyelurukemudian memiliki bpergeseran
Simbol-koditinggalkberbudayatengah ma
ApakYogyakarta dbiasa/kecil dirumah seoranYogyakarta ndalem,senthseperti Santosbahwa ruang merupakan setengah dan tedepan senthon
Dengan membuktikanjuga menyebasenthong yantergelap dan pmengandalkantelusur kasusTembayat, K
nistik-spitual –prilaku dan or
an bahwa pagen dan mengarah terhadap dial
ecara budaya – meman 12 dengan ju
di
Ro
bahwa tiap temingatkan kita ai, tempat manuSunan Bayat ddari filsafat Jaw
la pada Surakaromah pada lokkarta danYogyadapatkan pemberitori di ‘luaryang ‘Jawa’ pawa lebih mek membongkaru, sebab ‘kualitkukan Reviant
nelitian Santosasa dengan masssering disebut
kelompok perti merupakan wsa, 2000, p. 4
al’ (the place ofdibahas juga h
unakan Disert2010). Dari 1
an fenomena sdan diteliti tah
uh, dengan menlantai ditutup bagian ndalem
n yang cukup
osmologi yangkan. Hal ini da agraris, tapi asih terlihat pakah fenomena dan Surakarta?i luar Yogyakng ‘juru kunci’dan Surakartaong dan gandsa atau Muqoffin mempunya
esuatu yang tidertutup gordenng tengah ini d
hadirnya omn bahwa fenomar di luar pusat
ng diperhatikanpaling pribadi n mata-kepala di atas maka
Klaten atau ke– terutama padrnamentasi khuelaran wayang ah ke dalem / oektika gununga
engacu pada perilaudul “Desakralisasi
ong-rongan
mpat mempunyakan keberada
usia berasal dandan peristiwa Gwa, lalu apa ha
rta dan Yogyakkasi/teritori dilakarta digunak
bading yang ny’ pusat kebud
pada masa sekengacu pada ‘kr penelitian pemtas kepribadianto Budi Santosa tersebut mensa bangunan tut ndalem dan tama yaitu hunwarisan dari ay43). Dari pemf origin) (Santohunian yang adtasi M. Muq12 kasus yangsenthong di rhun 2007). Rungganti dindingdengan keram
m, senthong, gbesar yang te
g dekat dengandapat dipaham
pengrajin ataada prosesi pern
senthong terse? Untuk itu p
karta dan Surak makam. Susua, yang terdir
dhok. Peneliti tffa, namun dariai makna yangdak dilakukan n. Senthong tendigelar kasur yamah kampun
mena senthong t tersebut. Namn? Pangarsa (2
dari omah Jawa, tetapi mefuna letak senthondudukan Masja senthong tenusus yang medilaksanakan
omah mburi, man/kayon dalam
aku orang Jawa dii Rumah Jawa” ol
yai potensi untaan Sang Pencn tempat manusGrebeg Mauludal itu juga terjad
karta, dengan mluar Surakarta kan ‘bahan’ dayata antara peneayaan, serta s
karang di lokaskualitas kepribmahaman bahwn Jawa’ melintasa dalam penelndasarkan kajiaunggal, rakyat d
Keraton Yogynian rakyat biayah Mbok Sura
mbahasan rumaosa, 2000, p. 5da di Surakartaoffa yang meg disampaikanrumah rakyat
umah ini pada g gedhek (anya
mik. Rumah inigandhok dan eerjadi pada ka
n budaya agrami sebab kampau pedagang. Nnikahan. ebut hanya terjperlu dilakukakarta. Di Des
unan rumahnyari dari satu tidak melakukai tanda-tanda yg khusus. Pada
pada ruang-rungah tidak difuang ditandai seg di desa Btidak hanya te
mun bukan mas011) menyatakwa, yang ‘memngsikan mata-hng setara dengjid Agung di
ngah. ndasari kategodi pringgitan.
maka puncak gum sumbu horis
i rumah/omah – teleh Ridha Al Qadr
tuk menjadi temcipta dan ‘tempsia kembali ). d terjawab ‘tedi di omah raky
mengajukan pedan Yogyaka
ari penelitian yelitian terdahulecara bersamasi di luar pusbadian Jawa’ wa rumah/omaas ruang dan wlitian tingkat man pada kajian dengan massa yakarta. Pada
asa dengan maa yang berkedah terebut, San5).
a, sebagai pembeneliti kampu
n Muqoffa terdbiasa/kecil yaawal tahun 90
aman bambu) d terdiri dari sa
emper. Muqoffsus bapak Ng
aris yaitu reprpung LaweyanNamun ‘jejak’
adi di ‘pusat’ kan pengecekansa Bakalan, Da tidak berbedamassa bangunan wawancara
yang terdapat da senthong tenguang lain, terdaungsikan sebagebagai tempat tBakalan, Delerjadi di ‘pusasalah penyebarkan bahwa senmaksa’ manusihatinya. Dengan kedudukanSurakarta ata
orisasi monolo. Jika kemudiaunungan/kayonontal.
ernyatakan jelas dri; yang menyorot
mpat terjadinyapat’ kita kemb
empat/wilayah’yat Jawa?
embanding yaiarta diamati payang telah dilaklu pada pusat kaan juga mengat kebudayaanbukan pada p
ah Jawa harus mwaktu44. masternya dan prilaku penghubangunan lebipenelitian ‘K
ssa tunggal. Rdudukan sebagntosa menyata
banding. Untukung Laweyan, dapat 1 kasus itu rumah mil0-an mengalamdengan dindingatu gugus bangfa mencatat b
g di Laweyan
resentasi Dewin bukan lagi ’ keistimewaan
kebudayaan Jawn terhadap hunDelanggu, Klatea dengan rumanan terdiri d
a mendalam dii senthong tenggah terdapat uapat foto di atagai kamar tidutidur sehari-haranggu, Klaten
at’ kebudayaanran tersebut tapnthong merupaa penggunanyaan jabaran Pan
n makam Sunaau Yogyakarta
og monistik-span gunungan/kn akan berada d
alam sebuah artikei ‘lunturnya’ peril
a ‘monolog bali pulang
’ terjadinya
tu lokasi di ada kondisi kukan oleh
kebudayaan guji asumsi n. Dengan pemahaman mengambil
diterbitkan uni. Kajian h dari satu,
Konsekuensi Rumah Pak gai prajurit kan bahwa
k keperluan Surakarta yang bisa
lik Pak Ng mi renovasi g batu bata, gunan yang ahwa ada masa kini.
i Sri sudah kampung
n senthong
wa yaitu di nian rakyat en terdapat
ah rakyat di ari emper, i rumah ini gah terlihat
ukiran yang as senthong ur, justru di ri. n tersebut
n Jawa, tapi pi mengapa akan bagian a tidak lagi ngarsa dan
an Bayat di . Senthong
piritual dari kayon yang di senthong
el pada harian laku religius
tempaplacediling‘temppusakpencumenePelakhomosecaramasumenjaberadruangmampmelalWrekbaka,
pengedi ata
LokasKabuharus
Yogy1
2
3
45 AwaG
Ada hal yang at menjadi spa
e of belonginggkupinya dapapat’ untuk menka keluarga. Purian. Lalu kaempatkan senthku menjabarkanogen dan nir-baa nyata dalam k omah, pengeadi penting –
da di senthong g absolut menupu masuk dalamlui telinga, mekudara/Bima ju atau juga diseBagaimana keetahuan arsitekas hanya berdasUntuk menjawsinya juga bu
upaten Bantul, s berada di ‘pusUntuk kasus
yakarta dengan 1. Dusun Ng
Award tahu2. Dusun Ngi
tepa selira3. Pasca gem
ang awang berartiGambar 24 Sesa
khusus lagi yaace/ ruang. Men’ atau juga da
at melakukan gnyimpan berbaPosisinya yangapankah ‘temphong tengah sen pemahaman atas yaitu ruanomah. Saat di
elihatan menjanamun masih tengah maka s
urut Newton. Hm tubuh Dewa
enunjukkan bahuga tidak mampebut awang-uweterkaitan antarktur Jawa pada sarkan prilaku
wab pertanyaankan pada ‘pusYogyakarta. Hsat’ kebudayaaproses pendiralasan:
gibikan masuk un 2010. ibikan adalah (Pangarsa, 20
mpa 2006, Dusu
i angkasa uwung
aji dibagian
Gambar 23 D
ang terjadi di sngapa hal itu bapat dinyatakagerak setempatagai macam ‘bg berada ditenpat’ ini menjaebagai tempat,
Isaac Newtong absolut (Veni luar omah kadi tidak berfumengandalkan
semua panca inHal ini juga tearuci melalui tehwa ketika ‘kpu memahami
wung45. ra filsafat Jawbagian balandatau psikologi
n ‘teknis prakssat kebudayaa
Hal ini sekaliguan. ian rumah dig
dalam 19 be
salah satu ‘mo08, p. 4) dan iyun Ngibikan m
kemampuan4. W
memperhat5. Ka
pembangunLa
dashsyat bbangunan/rbanyak orauntuk bangkembali hu
Kajianbukunya ymenjadi ‘lo
g uwung berarti sa
Dialektika pada(anali
senthong tengabisa terjadi? Plan bahwa ‘temt’. (Ven, 1991
benda’, baik yangah-tengah ruadi ‘ruang’? Stapi pusat ruan
n yang menyatn, 1991, p. 36).kita berhadapanungsi karena tin panca inderandera akan ‘paerjadi dalam laelinga adalah megelapan’ melnya karena yan
wa yang terwujdar pangeret? Bs masyarakat J
sis’ tersebut man’ atau di kotus untuk memp
gunakan kasus
sar karya arsi
odel’ kehidupayub-guyub (Panmampu bangkin yang mereka
Walaupun merutikan kaidah-kaasus Dusun Nnan omah masiatar belakang berkekuatan 5rumah pendudang setelah terjgkit dan juga kunian mereka. n tentang dus
yang membahaokalitas’ dalam
amudra tanpa tepi
a Omah dalam isa peneliti)
ah. Pada sentholace/topos/ tem
mpat adalah ba1, pp. 18-20). ang terkait denumah mempun
Saat ada kegiang. Ruang apatakan bahwa a. Sebenarnya pn dengan ruangdak adanya ca
a, sehingga teradam’ dan sepeakon Dewarucimengandalkan ilingkupi maka ng dihadapi ad
judnyatakan dBagaimana logJawa, lalu wujuaka diajukan sta Yogyakartaperkuat terjadin
s Dusun Ngib
itektur yang d
an masyarakat ngarsa, 2008, pit dan melakuka miliki sendiriupakan hunianaidah pembangNgibikan jugaih dipertahanka
pembangunan.9 Skala Rich
duk hancur akjadinya gempakemampuan ‘te
sun Ngibikan as karya-karya
m kasus Ngibika
i Awang uwung d
Sumbu Horison
ong tengah-lahmpat dapat dipaatas dari wadaPada kehidupangan pertaniannyai tingkat katan semedi da yang dihadapada ruang yangpembedaan ruag yang mampuahaya masuk, drmasuk dalam enuhnya berhadi, keraguan Windera pengelihindera penden
dalah ruang tan
alam pemahamgika berpikirnyud arsitekturalnsebuah proses a atau Surakarnya monolog m
bikan, Desa C
dinominasikan
desa di Jawa, p. 48). kan rekonstruki. n kontemporergunan omah raka membuktikanan oleh masyarn hunian di Dhter, pada tankibat gempa ta di Dusun Ngeknis’ konstruk
telah dilakuka Eko Prawotoan yaitu:
dapat diartikan se
ntal
h terjadi per-ubahami sebagai aq pelingkupnyan sehari-hari,n (pacul, arit, keamanan tertdi senthong tepi si pelaku semg tidak dapat
ang absolut danu dipahami secdi sinilah indepemahaman ru
dapan sesuatu Wrekudara/Bim
hatan. Namun ngaran yang bnpa batas, tanp
man monolog ya? Karena padnya terwujud ppembangunan
rta, tapi berlokmonistik-spirit
Canden, Kecam
mendapatkan
yang masih m
ksi huniannya
r, namun proskyat Jawa n bahwa nilarakat walau dilDusun Ngibiknggal 27 Meitersebut. Hal gibikan adalahksi yang digun
kan oleh Pango. Pangarsa m
ebagai alam seme
bah-an dari pla‘suatu di manaya sehingga w senthong tengdan sebagainytinggi dari kemengah. Pelaku medi di senthodideteksi mela
n ruang relatif tcara ‘mata’ namera pendengar uang relatif –yang tanpa bat
ma tentang apaktahap selanjutn
berperan. Tapi pa arah yang d
monistik-spirtuda kajian senthpada apa?
omah rakyat bkasi di Kecamtual di omah ra
matan Jetis, B
penghargaan
melaksanakan s
dengan tenaga
ses pengerjaan
ai filsafati dallakukan pada m
kan bermula di 2006. Hampyang menjadi
h kemampuan mnakan untuk m
garsa tahun 20mencatat ada 2
esta yang dibatasi
ace / topos/ a atau suatu
wadaq yang gah adalah
ya) maupun mungkinan tidak lagi
ng tengah? alui indera; terjabarkan mun ketika dan peraba saat sudah
tas - inilah kah dirinya nya dengan setelah itu
disebut loka
ual dengan ong tengah
biasa/kecil. matan Jetis, akyat tanpa
Bantul, D.I.
Aga Khan
sikap hidup
a kerja dan
nnya masih
lam proses masa kini. dari gempa pir seluruh i perhatian masyarakat
membangun
008 dalam 2 hal yang
angkasa dan
huniapentinSebuameneinterptersebpuncaprosedengaproseprose
konstsebagdengaJawa
kemujuga d
ke mo
GamCandMar
(K
• Tepa Selirpartisipator
• Iyub-Guyukehidupan
Kajian akan tean warga dusunng, yang bermaah Perbincang
empatkan sejumpretasi sebagaibut, penghuni/ak atap, maka esi dilanjutkan an gunungan pesi grebeg Mauesi rayahan di dKesetaraan intruksi atap yangai pengujian an atap tajug. sesuai dengan
Belajar daudian ditarik mdisebut makela
onistik monolo
Ander
Dhada paesi/pe
mbar 26 Linggadi Sambisari, Krtani, Kec. Kala
Sleman Koleksi Peneliti
ra, sikap tenggrik. (Pangarsa,b, teduh-kebermereka terbanerfokus pada pn Ngibikan? Wanfaat bagi ketgan Pemikiranmlah hasil bumi salah satu catukang kayu phal itu juga sdengan makanpada peristiwaulud terutama dalam tradisi G
ni kemudian bng telah berdirkonstruksi danMemang kasu kawruh kalangri kasus Dusu
mundur pada tipaar (Prijotomo,
Prkodapa
sajepe(tr
bateketitjum
og-spiritual.
eksi
a-Yoni di Kel. Purwo asan, Kab.
, 2010)
gang rasa antar 2008, p. 8). rsamaan adala
ngun kembali. (point ke dua dWarga Ngibikatentraman dan n Berarsitekturmi di bagian para untuk mengperlu berkali-kebagai ‘undann-makan dari ta Grebeg Maupada saat raya
Grebeg Mauludberlanjut pada i. Pada bagiann undangan bus dusun Ngibg tapi ide dasa
un Ngibikan, tepe atap omah Ja, 2006, p. 71)).
Gambar 25 Ke
rijotomo juga omponen empyan ibu-bumi teada sebuah titik
Jika kemudatuan terkecil alas ketika mertemuannya bransformasi) d
Dengan daahasan sebelummpat monologembali dengan tik tersebut? T
uga letak sakatumaka terlihat ba
r warga ini ‘m
ah suasana yan(Pangarsa, 200dari Pangarsa yan melakukan p
keselamatan pr Bersama Ekpuncak dari stguji kekuatan kali naik ke atngan’ ke tetangtumpeng yang ulud. (Sumuktiahan/ perebutad.
posisi tumpen puncak strukisa juga diinteikan tidak men
arnya konstrukserutama pada awa yaitu ada y
edudukan Ande(Prijotom
menyatakan byak griya (Prijorjadi disebuahk? Pertanyaan dian dikaitkan adalah garis. ‘
mengacu padaberupa garis alam struktur e
asar itulah makmnya – dialek
g monistik-spirimengambil po
Telah dijelaskanunggal pada mahwa struktur a
Mol
Monolog
Dialog D
Dialog D
melancarkan’ d
ng terbangun a08, p. 48) yaitu Iyub-Guyprosesi slamet
penghuni rumako Prawoto, truktur atap rustruktur atap y
tas struktur tergga sekitar rumdipersiapkan d, 1997, p. 91)an gunungan.
eng slametan ktur konstruksi erpretasikan bnggunakan sepsi atap kampunperletakkan seyang bagian st
er dalam Struktmo, 2006, p. 218)
ahwa ander dotomo, 2006, p
h bidang, bukanini muncul jikadengan serat
‘Tempat’ pertea struktur sak
vertikal. Struempat sakagurka dapat ditentuktika omah teitual terhadap oros pada yangn bahwa lingg
masjid juga beraander merupak
lo
Dudur
Monistik-Spirit
Dualisme-Media
Dualisme-Kontr
desain Eko Pra
akibat dari gem
yub. Bagaimantan rumah, karah tersebut (nn,2009). Proses
umah. Perletakyang telah dibrsebut. Selain mah untuk haddalam prosesi s). Di sinilah leProsesi ‘maka
itu berada. Tuatap tersebut
ahwa itu merupenuhnya men
ng. esaji di puncaktruktur konstru
ur Konstruksi O
dikelompokkanp. 154). Bagaimnkah namanya a kemudian terJatimurti mak
emuan ‘bapa-akatunggal. Pa
uktur sakatungru. ukan sumbu veerhadap sumbusumbu vertika
g berpusat di roga-yoni berada ada di tengah-tkan penerus /
tual
atif
as
awoto yang be
mpa di Ngibik
na iyub-guyub rena dianggap , Arsitektur Sebsi slametan rukan hasil bumibuat, karena un
itu dengan medir dalam slamslametan terseetak ke-setara-an-makan’ pada
umpeng diletadiberi sesaji bupakan ‘hiasan
nggunakan kon
k struktur konuksi atap yang d
Omah
n ke dalam balmana mungkin
pertemuan seprkait dengan arka pertemuan tangksa’ dan ‘ibada struktur ggal tersebut
ertikal dialektiku horisontal m
al, gunungan /kong-rongan om
pada tengah-ttengah rong-rojejak dari sak
ersifat Emansip
kan. Dengan d
tersebut terwusebagai salah
buah Pencarianumah dilakuki sebagai sesajntuk menempaenempatkan ‘b
metan tersebut. ebut hal ini bis-an prosesi slaa tradisi slame
akkan di bawaberupa hasil bun atap’, sehinnstruksi atap ‘t
nstruksi atap, mdisebut ander,
lungan griya bpertemuan bap
pasang suami rca lingga-yoniterjadi pada gabu-bumi’ makitu ternyatakmengalami u
ka pada omah.maka untuk mkayon tersebut mah mburi. Mentengah bangun ongan. Dengankatunggal yang
patorik dan
dasar itulah
ujud dalam satu ritual
n Bersama: kan dengan
i dapat di-atkan sesaji bendera’ di
Kemudian a dikaitkan
ametan dan etan adalah
ah struktur umi. Selain gga terkait tradisional’
maka dapat atau sering
bukan pada pa-angkasa istri terjadi i. aris, karena kin nampak kan bahwa ubah-ingsut
Jika pada menentukan
ditegakkan ngapa pada candi atau
n demikian g mengarah
Kalankemukapunpertembumi
atap jmanudi senakan
6.3. F
bersifpanda
demiktahap
suatu monisini judengapertanduniakehid
dalamdigam
Apa kaitanng telah menjaudian menjadi ng atau katepumuan bapa-ang.
Bentuk piramijoglo, limasan
unggal-nya Kawnthong tengah asal usul manu
Filsafat ArsitBagian ini adafat teoritik namang ‘pembanguFilsafat arsitekkian maka ben
pan ‘berpikir’ d• Tahapan di
menunjukkberupa gap
• Tahapan dterjadi di bpada pelatdualistik-mdan/atau pmanusia-al
• Tahap mon/manunggake-manungmonistik-sppada titik ttajug). Denatau horiso
Dengan tahap tahapan ‘perkstik-spiritual, t
uga membuktikan telor – danggungjawabana. Jadi orang Jdupan di dunia Filsafat arsitek
m rumah sepertmbarkan sebaga
Gambar 28 Ele
(Prij
nnya struktur awabnya bahwa
limasan (limaung yang berargkasa dan ibu-
ida pada atap n atau kampunwula Gusti. Fuadalah berhada
usia Jawa dan t
tektur Jawa alah bagian termun juga praktunan’ bangun pktur Jawa tidakntukkan fisik adalam filsafat aialog dualistik
kan yang ‘dalampura/pintu. dialog dualistikbagian ‘dalamtaran komplek
mediatif ini segpenguasa-rakyalam (kasus dusnolog monisitial. Secara arsitggal-an terwujpiritual terjadi terjauh) pada ngan demikianontal. an tersebut makawinan’ antartidak berhenti kan pemahamaapat diinterprn itu bisa terkJawa, setelah sebagai konsek
ktur Jawa jugati berteduh di bai sebuah ‘payu
emen Struktur A
otomo, 2006, p.
atap joglo dena pada awalnyan-sap) dan terti dihubungka-bumi ternyata
tajug mengungng ‘diingatkan
ungsi pengingatapan dengan sutempat ‘rumah
(Hasil) rwujudnya omatikal dengan bepikir filsafat ark berpijak padaarsitektural diparsitektur Jawa k-kontras, merum’ dan yang ‘l
k-mediatif: diam’ atau sesudahks makam/masjgala unsur ‘dipat (pada peristsun Ngibikan). ik-spiritual. Patektural terwujujud dalam elepada titik tert
sumbu vertikan maka ‘tempa
aka puncak dar dualistik-medpada titik ters
an bahwa arsiteretasikan sebakait dengan fils
‘bersembunyikuensi ritual te
a mempertegasbawah pohon bung yang besar
Ander terhadapBalunga
218; Hadiwidjo
(analisa ngan struktur
ya adalah strukterakhir karenaan) (Prijotomoakan dalam and
gkapkan bahwn’ dengan adat ini juga terkaumbu vertikal terakhirnya’.
ah yang siap herdasar pada firsitektur Jawa da ‘material/fisipahami sebagayaitu:
upakan dialog yluar’. Pemaham
alog ini menguh gapura/blumjid, dan juga
pertemukan’: Htiwa Grebeg M
ada ‘wilayah’ ud dalam atapemen struktur tinggi, terjauh al terjadi pada at/wilayah’ mo
ari Pamoring Kdiatif. Pemahamebut, tapi kemektur Jawa ada
agai bentuk psafat Memayu ’ dan melaksaersebut. s metafora penbesar. ‘Gambarr’, sehingga m
p Konstruksi En
ojo & Prijotomo,
peneliti, 2011) atap kampungtur kontruksi a
a alasan kemudo, 2004, pp. 19der, sedangkan
wa di puncak teanya ander unait dengan ‘pril(yang terungka
huni, atau sebufilsafat Jawa (hdari filsafat mek’ sebagai land
ai sebuah mani
yang lebih meman ‘yang luar
utamakan kesambangan pada
terjadi di bagHindu-Islam (pMaulud di pe
ini tidak lagi p tajug baik di
yang disebutdan tersulit (dtitik tertinggi
nolog monistik
Kawula Gusti man Pamoring
mbali kepada taalah sebuah dapertanggungjaw
Hayuning Bawanakan ‘proses
ngetahuan arsitran pohon’ san
metafora bertedu
Empyak dan Kon
, 1993, p. 43)
g, sehingga kajatap Tajuk, laludahan/keprakti90-191). Dengn balandar-pan
ersebut terjadi ntuk adanya suaku’ yang terjaap dengan vert
uah bangun fihasil rekonstrukenuju arsitekturdasan pikirnyaifestasi nilai-ni
engutamakan pr’ adalah yang b
amaan baik pgunungan/kay
gian rong-rongpada kompleks elataran Masjid
dipahami duacungkup maka
t ander. Padadi omah pada s (di omah padk-spiritual dap
adalah pada tg adalah suatuahapan dialektialan/jalan (Hidwaban dari suwana, suatu us perkawinan’
ektur Jawa yanngat nyata dalamuh sangat nyata
nstruksi
ajian di atas bu berkembang isan menjadi agan demikian ngeret adalah
monolog monuatu ‘tempat’ adi di senthongtikalitas dari an
lsafat arsitektuksi). Perlu diter.
a tapi pada aspilai spiritualita
perbedaan matebersifat dualist
emikiran mauyon. Pada wujugan di omah. makam Sunan
d Agung); ata
a entitas tapi sam maupun di a sumbu horissenthong tengada ander, di mpat ditinjau sec
tahap monologu proses, sehinika, baik medidayat, 2010). Huatu proses psaha untuk me, ikut serta se
ng menyatakanm bangunan saa.
isa disetarakanmenjadi joglo atap kampung yang dinyatakbatas antara an
nistik-spirtual, dimana terjad
g tengah. Prilaknder) yang me
ur Jawa yang tegaskan lagi ba
ek ‘spiritualitaas filsafat Jawa
erialistik/fisikatik-kontras. Ba
upun material. ud arsitektural
Pada ‘wilayn Bayat); Tuhaau antar warg
satu entitas yaMasjid. Pada
sontal, wilayahah, di masjid d
masjid pada mucara sumbu ver
g monistik-spirgga saat terjadatif maupun k
Hasil – yang dperkawinan, demperindah keecara aktif me
n bahwa orangakatunggal ata
n? Kawruh (taju-loro)
g (asal kata kan sebagai ngkasa dan
sedangkan di kejadian ku meditasi ngingatkan
tidak hanya ahwa sudut
as’. Dengan a. Terdapat
al. Batas ini atas itu bisa
Dialog ini lnya terjadi yah’ dialog an-manusia
ga dan/atau
ang nyawiji omah jejak h monolog dan makam ustaka atap rtikal dan /
rtual, yaitu di monolog
kontras. Hal disimbolkan dan bentuk ehidupan di emperindah
g masuk ke au juga bisa
‘kembposisinya tmasy
Pada saat yangbali pulang’, yi ‘monolog moerwujud dalamarakat Jawa.
Gambar
g bersamaan eyang merupakaonistik-spirituam garis vertika
r 29 Bangunan S
elemen strukturan penjabaran
al pada omah tial dari elemen
Sakatunggal, O
(analr ander juga sdari filsafat S
idak berada di ander. Hal ini
Omah terhadap Klisa peneliti) ebagai penging
Sangkan Paranelemen pemb
i membuktikan
Kayon/Gunung
gat / reminderning Dumadi. entuk omah tapn juga bahwa
gan dan Pohon
r akan asal usu Pemahamanpi berada di atomah adalah w
ul orang Jawa n ini diinterpretas omah. Namwujudnyata sp
dan tempat etasi karena mun ‘jejak’-piritualitas46
pqetMvur
PATHET MANYURA
7. DISKUSI
[j[j/j=[kpP[qtMvur
jejer jangkep pathet manyura47
Bagian diskusi adalah tahapan akhir dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Pada bagian ini dilakukan dialog dua arah, sehingga masing-masing peserta dialog (‘manca’ dan ‘Jawa’) akan saling ‘membaca/mendengar’ dan ‘dibaca/didengar’. Diskusi terbagi menjadi empat tahapan yang tetap mempunyai kaitan. Bagian pertama adalah diskusi antara filsafat Heidegger yang tertuang dalam ‘Sein und Zeit’ – yang kemudian terjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan ‘Being and Time’ (selanjutnya di tulis dengan B-T) – dengan filsafat Jawa yaitu Pamoring Kawula Gusti (selanjutnya di tulis dengan PKG). Diskusi bagian kedua merupakan diskusi antar filsafat arsitektur, yaitu filsafat arsitektur Heidegger dengan filsafat arsitektur Jawa. Bagian ketiga adalah diskusi dalam tataran konsep perancangan arsitektur. Konsep dwelling dari filsafat arsitektur Heidegger, sedangkan pada sisi filsafat arsitektur Jawa digunakan konsep manjing. Bagian keempat adalah diskusi pada tataran aplikasi arsitektural dengan menghadirkan karya Peter Zumthor – pada sisi filsafat arsitektur Heidegger – dan karya Adi Purnomo – pada sisi filsafat arsitektur Jawa.
Secara singkat dapat digambarkan pada bagan berikut ini:
Bagan 7 Skema Dialektika (sumber : analisa peneliti)
per=b(buh
47 Adegan jejer yang mengawali seluruh pagelaran wayang kulit purwa pada babak pathet manyura. Adegan jejer ini selalu ada pada setiap pagelaran wayang kulit purwa dan menampilkan sejumlah punggawa atau satria/kesatria menghadap tokoh raja. (Palgunadi, 2002, p. 165)
Filsafat Jawa (Pamoring Kawula Gusti /PKG)
FILSAFAT
Filsafat Heidegger (Being and Time/B-T)
Filsafat Arsitektur Jawa
FILSAFAT ARSITEKTUR
Filsafat Arsitektur Heidegger
Konsep ‘Manjing’
KONSEP PERANCANGAN ARSITEKTUR
Konsep ‘Dwelling’
Studi ‘O’ Cahaya (Adi Purnomo)
APLIKASI ARSITEKTURAL
The Thermal Baths in Vals (Peter Zumthor)
perang brubuh48
7.1. Filsafat Heidegger (Being and Time) – Filsafat Jawa (Pamoring Kawula Gusti) ‘Sein und Zeit’ merupakan karya Heidegger yang terbit tahun 1927 yang bukan karya yang ‘utuh’ karena hanya terdiri dari
satu bagian – itupun hanya terdiri dari dua divisi dari tiga divisi – dari tiga bagian yang direncanakan (Heidegger, 1996, p. 35). Namun dari tulisan yang ada tersebut kita bisa mempelajari pemahaman Heidegger, terutama tentang da-sein, dan sedikit tentang konsepsi waktu/time. Di sisi lain, filsafat Jawa yang digunakan untuk berdialog adalah Pamoring Kawula Gusti. Bagaimana Heidegger memahami Jawa – dan/atau sebaliknya – melalui filsafatnya? Hal itu yang diungkap dalam dialektika berikut ini.
7.1.1. B-T ‘membaca’ PKG Pemikiran Heidegger dalam ‘Sein und Zeit’ terbagi menjadi dua hal penting yaitu da-sein dan time/waktu. Hal yang banyak
menjadi perdebatan adalah da-sein yang terkait dengan Being (dengan huruf B kapital). Thomas Hidya Tjaya dalam makalahnya menelusuri pemahaman Heidegger tentang da-sein49 melalui pemikiran Levinas, yang ternyatakan sebagai berikut: “Nama pengada itu adalah Dasein (Ada-di-sana), sebuah sebutan bagi manusia, karena hanya manusialah yang mempertanyakan makna keberadaannya”. (Tjaya, 2010).
Dalam catatan kuliah, yang dikirimkan Heidegger ke The Marburg Theological Society bulan Juli 1924, yang kemudian diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman tahun 1989 oleh Max Niemeyer Verlag, Tubingen (Heidegger, 1992), dijabarkan secara jelas definisi da-sein menurut Heidegger yang terdiri dari delapan definisi salah satunya menyatakan bahwa : Dasein is that entity which is characterized as being-in-the-world. Human life is not some subject that has to perform some trick in order to enter the world. (Heidegger, 1992, pp. 7E-9E)
Pemahaman yang lebih mudah dinyatakan oleh Timothy Clark dengan pernyataan: Dasein is simply ‘Being in the world’: ‘self and world are the basic determination of the Dasein itself in the unity of the structure of being-in-the-world’ (Clark, 2002, p. 18). Robert Sinnerbrink menyatakan bahwa pemahaman Heidegger tentang dasein ini didasari pada pemikiran Kant. (Sinnerbrink, 2007, vol 3, nos 2-3)
Dengan jabaran tersebut, Heidegger telah melakukan ‘kajian kritis’ terhadap pemahaman ontologi sebelumnya. Donny Gahral Adian yang menyatakan bahwa: “Pertanyaan ontologi fundamental bukan lagi apa itu ada, melainkan apa makna ber-ada”. (Adian, 2002, pp. 158-159). Jika kemudian pemahaman da-sein dari Heidegger ‘membaca’ filsafat PKG (Pamoring Kawula Gusti) maka pertanyaan mendasarnya adalah apa makna dari keber-ada-an filsafat PKG tersebut?
Namun sebelumnya perlu juga dijelajahi pemahaman time/waktu menurut Heidegger, sebagai salah satu fokus pemikiran Heidegger dan tentu keterkaitannya dengan da-sein. Heidegger memulai pemahaman tentang time/waktu dengan menjabarkan konsep waktu itu sendiri (the concept of time), dengan pemahaman berikut:
If the attempt is made to derive from the time of nature what time is, then the νύν[now] is the μέτρου [measure] of past and future. Then time is already interpreted as present, past is interpreted as no-longerpresent, future as indeterminate not-yet-present: past is irretrievable, future indeterminate. (Heidegger, 1992, p. 17E)
Robert Sinnerbrink menyatakan bahwa pemahaman tersebut berlandas pada konsep waktu dari Hegel. (Sinnerbrink, 2007, vol 3, nos 2-3).
Dengan pemahaman bahwa waktu itu interpretasi dan bahkan sebagai peniada dari ketiadaan ketepatan waktu pada ruang (as the negation of the negation of the punctuality of space), Heidegger kemudian melangkah dengan menyatukan pemahan tersebut dengan da-sein.
…..time is Dasein. Dasein is my specificity, and this can be specificity in what is futural by running ahead to the certain yet indeterminate past. Dasein always is in a manner of its possible temporal being. Dasein is time, time is temporal. Da-sein is not time, but temporality. (Heidegger, 1992, pp. 20E-21E).
Pemahaman Heidegger tentang dasein dapat dikatakan sebagai pemahaman terhadap keberadaan manusia otentik (Being, dengan B kapital), yang tidak hanya memandang keberadaan fisikal – being – tapi juga memahaminya secara utuh (dengan memahami makna keber-ada-an manusia di dunia – Being-in-the-world). Dengan memahami da-sein sebagai ‘manusia otentik/Being maka lingkup waktu/time menjadi temporal. Waktu tidak lagi hanya menunjuk pada saat-sekarang-di-sini, namun lebih kepada ‘waktu otentik’ (authentic time) yang mengiringi keber-ada-an ‘manusia otentik’. Dari titik inilah Heidegger melalui B-T ‘membaca’ PKG.
Filsafat B-T lebih terpusat pada keber-ada-an manusia sehingga filsafat PKG dapat dikondisikan sebagai manusia ‘Jawa’ pelaku filsafat PKG. Filsafat B-T mampu memahami/membaca manusia ‘Jawa’ pada tataran ‘dialog dualistik-mediatif’ sebab Heidegger menyatakan bahwa :
Dasein as being-in-the-world means: being in the world in such a way that this Being means: dealing with the world; tarrying alongside it in the manner of performing, effecting and completing, but also contemplating, interrogating, and determining by way of contemplation and comparison. being-in-the-world is characterized as concern. (Heidegger, 1992, p. 7E).
Pada ‘ruang dialog dualistik-mediatif’ manusia ‘Jawa’ berada pada ‘ruang’ yang mewadahi keberadaan ‘dunia atas/sakral/suci’ bersama dengan ‘dunia bawah/profan/dosa’, dan di tempat seperti itulah manusia Jawa hidup. Pembacaan ini dilakukan berdasar pada pemahaman tri angga yang berkembang di Bali atau terhadap pemahaman arupadhatu dalam pemitakatan Candi Borobudur/Cetho. Peminjaman pemahaman – dengan mengacu pada tri angga dan arupadhatu – dilakukan sebab pada hakekatnya dialektika filsafat Jawa bukanlah menunjuk pada suatu ‘titik tertentu’. Dialektika filsafat Jawa bukan ‘tempat’ tapi
48 Adegan perang terakhir (perang besar-besaran) antara pihak yang membela kebenaran dengan pihak yang membela kejahatan. Pada adegan perang brubuh pihak yang membela kebenaran akanmenang, dan sebaliknya pihak yang membela kejahatan akan dikalahkan. (Palgunadi, 2002, p. 166). 49 The concept of Dasein : For Heidegger, the human subject had to be reconceived in an altogether new way, as “being-in-the-world.” Because this notion represented the very opposite of the Cartesian “thing that thinks,” the idea of consciousness as representing the mind’s internal awareness of its own states had to be dropped. With it went the assumption that specific mental states were needed to...(sumber: Dasein. (2011). In Encyclopædia Britannica. Retrieved from http://www.britannica.com/EBchecked/topic/152062/Dasein)
‘ruang’. Filsafat Arsitektur Heidegger lebih menunjuk pada pemahaman tempat/place bukan ruang/space (lebih kepada permasalahan translasi bahasa dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris). Dengan demikian pembacaan Heidegger – melalui filsafat B-T – menunjukkan bahwa dapat memahami dan menyetujui keberadaan dialog dualistik-mediatif pada tataran yang seperti terjadi di tri angga dan arupadhatu.
Jika kemudian B-T membaca PKG dari sudut pandang time/waktu yang bisa dipahami sebagai sebuah proses bukan suatu yang statis. Proses mengindikasikan sementara/luwes/bebas, dan PKG mengacu pada pemahaman yang sama. Jika kemudian pemahaman da-sein terkait dengan time/waktu dalam ‘membaca’ PKG maka ‘proses’ dialektika pada PKG berlangsung secara terus-menerus dan bersifat temporal/sementara pada masing-masing ‘tahapan/ruang’. Hanya saja ketika da-sein harus ‘membaca’ monolog monistik-spiritual, hal tersebut tidak mampu ‘terbaca’, sebab pada dasarnya Heidegger masih memahami segala sesuatu dengan pandangan dualisme, ada tarik-menarik antara dua hal atau lebih (Heidegger, 1992, p. 8E). Dengan demikian ‘pembacaan’ B-T terhadap PKG hanya berdasar pada dialektika dualistik, tidak mencapai tahapan monistik.
Lalu bagiamana jika keadaan sebaliknya, PKG memahami B-T?
7.1.2. PKG ‘mendengar’ B-T Hal yang mendasar sebelum melakukan proses pemahaman pada bagian ini adalah PKG bukan melakukan ‘pembacaan’ –
alat pahamnya adalah ‘mata’ – tapi melakukan ‘pendengaran’ – alat pahamnya adalah ‘telinga’. Jadi tidak hanya sekedar memahami ‘makna’ dibalik sebuah ada tapi mengapa ‘makna’ itu bisa terwujud dan apa latar belakang yang mampu menggerakan pemahaman ‘makna’ itu? ‘Mendengar’ tidak hanya memahami ‘alat hasil suara/bunyi’ tapi pengaruh yang dimunculkan dari ‘suara/bunyi’ yang dihasilkan.
‘Mendengarkan’ B-T menggunakan PKG adalah mendengarkan da-sein dan time melalui ‘telinga’ dialektika monistik. Apa yang bisa didengar dari ‘da-sein’? Dengan pemahaman bahwa: Dasein is an entity; Dasein as being-in-the-world mean; maka da-sein ‘terdengar’ sebagai sebuah pertanyaan dibanding sebuah pernyataan. Saat da-sein sebagai entitas dan da-sein adalah manusia otentik yang berada di dunia ini, apa makna dirimu di dunia ini? Bagi manusia Jawa, pemahaman manusia otentik/Being seperti itu setara dengan pemahaman memayu hayuning bawana, bahwa manusia ‘bertugas’ ‘memperindah keberadaan dunianya’.
Jika kemudian ‘pendengaran’ PKG dipertajam dalam memahami da-sein dengan menghadirkan Heidegger sebagai ‘aktor utama’ maka akan muncul suatu pengalaman ‘spiritual’ dari Heidegger. Pengalaman spiritual ini di alami Heidegger terkait dengan sikap hidup para Jesuit yang pernah mempengaruhi kehidupan Heidegger di masa mudanya (Sheehan, 1988). Pengalaman tersebut memang tidak lama dan mendalam tapi sedikit banyak mempengaruhi cara pandang Heidegger, yang mewarnai tulisan-tulisannya, termasuk mengenai pemahaman da-sein. Mengapa pengalaman Heidegger tersebut dimunculkan dalam proses ‘mendengar’? Karena seperti halnya yang terjadi pada pagelaran wayang dengan Lakon Dewaruci, Wrekudara/Bima juga mengalami pengalaman ‘spritual’ dengan masuk dalam tubuh Dewaruci. Pencarian ‘jati diri’ Heidegger dan Wrekudara/Bima mempunyai kesamaan yaitu manusia otentik atau sejatining manungsa/ manusia sejati. Heidegger terpusat pada ‘manusia/Being’ sebagai ‘tokoh’ yang ditonjolkan; sedangkan filsafat PKG – melalui lakon Dewaruci – justru pada ‘proses’ menjadi manusia otentik/sejati.
Dasar ‘kesetaraan’ tersebut ada pada pemahaman time/waktu. Bagi da-sein atau Being/ manusia otentik, waktu adalah ‘temporal/sementara’ sehingga da-sein yang berarti manusia otentik-di-dunia juga sementara. Ke-sementara-an yang melekat pada time/waktu dan juga melekat pada manusia-otentik/Being inilah yang juga dipahami oleh filsafat PKG. Wrekudara/Bima diharuskan keluar dari ‘badan’ Dewaruci, karena hanya ‘mencicipi’ keadaan nyawiji/manunggal/berpadu dengan Dewaruci. Kata ‘mencicipi’ merupakan pernyataan yang menunjuk pada ke-sementara-an. Disinilah terjadi kesepakatan antara filsafat PKG dengan cara berpikir Heidegger dalam B-T.
Lalu mengapa da-sein hanya ‘berhenti’ pada tataran ‘dialog dualistik-mediatif’? Filsafat B-T lebih menekankan ‘tugas/fungsi’ ke-manusia-an di dunia, (dijabarkan lebih mendalam oleh Deleuze dalam “Negotiations: 1972-1990” (Delueze, 1995)) yaitu kemampuan ‘mengakomodasi’ seluruh yang ada disekelilingnya. Jika kemudian ‘meminjam’ pemahaman Eliade tentang dialektika heaven/surga dan earth/bumi (Eliade, 1957), maka da-sein mengakomodasi kepentingan heaven/surga dan earth/bumi tersebut dalam manusia-otentik. Heidegger tidak ‘menyentuh’ pertanyaan ‘siapa yang menciptakan manusia-otentik’?
Manusia otentik Heidegger – Being dengan huruf B kapital – hanya memandang manusia dari sudut pandang horisontal atau manusia dengan sekelilingnya, yang dalam manusia Jawa terungkap dalam filsafat Memayu Hayuning Bawana. Sudut pandang vertikal – sudut pandang spiritual – tidak didalami lebih lanjut namun hanya dipahami sebagai sebuah dialektika surga-bumi seperti pemahaman Eliade. Dalam masyarakat Jawa fokus terhadap sumbu vertikal yang bersifat spiritual terungkap dalam filsafat Sangkan Paraning Dumadi, filsafat yang ‘mengajarkan’ akan asal usul manusia dan ‘arah pulang’ manusia. Seandainya,yang sangat spekulatif sifatnya, Heidegger lebih mendalami ‘pengalaman/pelatihan spiritual’ model Jesuit yang waktu itu ‘terhenti’ karena kendala sakitnya mungkin juga sumbu vertikal / sudut pandang spiritual ini juga terungkap pada tulisan-tulisan selanjutnya.
7.1.3. PKG terhadap Filsafat ‘yang lain’ Pada bagian diskusi berikut filsafat PKG mencoba ‘mendengar’ filsafat ‘lain’ yang ada kemiripan pemahaman. Bagian ini
hanya untuk memperluas wawasan terhadap pemahaman filsafat PKG. Salah satu kisah/mitos dari tradisi Hindu yang bisa dipandang mempunyai kaitan dengan filsafat PKG adalah
Samudramantana50 atau ada juga yang menulis Samudra manthan51. Inti ceritanya adalah kerjasama ‘dewa/gods’ dengan 50 Samudra mantana adalah sebuah prosesi pengambilan air suci yang berada di bumi dengan cara mengaduk dasar samudra yang dilakukan para dewa dan denawa (jahat). (sumber http://badailautselatan.multiply.com/journal/item/70). 51 During Samudra Manthan by the gods and demons, a highly toxic poison came out of the ocean. As per the advice of Lord Vishnu, gods approached Lord Shiva and prayed him to protect life by consuming this poison.Pleased with their prayers, out of compassion for living beings, Lord Shiva drank this poison and held it in his throat by binding it with a snake. The throat became blue due to the poison (Thus Lord Shiva is also know as Neelakantha) and Shiva remained unharmed. The wise men advised gods to keep Lord Shiva awake during the night. To keep him awake, the gods took turn performing various dances and playing music. A vigil was thus kept by the gods in contemplation of Shiva. As the day broke out, Shiva, pleased with their devotion blessed them all, and also said that whosoever
denawkehid
konseberjud
Dengyang
7.2.
filsafadan p
7.2.1
‘batasmaka‘pengsebagfokuskasusakan maknuntukLalu kutubuntuk
dalammemahuni/tdilakudirinydari kmanusebag
pada peristSuraksetelaomahmembperistterjad
worshipvigil, s52 ManThe po
G
(Suco
wa/demon daladupan.
ep ‘tantra’ yandul “Soul Sex:Tantra is a Sansenergy, is an illand know that a
gan tinjauan sinsama yaitu mo
Filsafat ArsiPada bagian d
fat arsitektur Japendengaran.
. Filsafat ArsBagian pertams fisik/solid’ da
a yang didapatkghubung’ tersebgai model ‘pens Heidegger ads arsitektur Jawmengisi kehid
na sumbu horisk mendapat berdimanakah ‘ba
b yang berbedak kasus omah, dTidak seperti y
m omah ndaleahaminya. ‘Geto dwell. Poteukan manusia ya dan juga mkehidupan man
usia-otentik megai sebuah lowoBagian kedua kasus peristiw
tiwa Grebeg Mkarta atau Yogah selesai mendh juga ditandaibuat omah. Ktiwa diatas. Nadi pada kasus a
ipped & contemplaing glories of Lord
nthra Mountain waoison that came o
Gambar 30 Gammant
umber : http://gaontent/uploads/2
mantha
am mengaduk
ng terkait deng tantra for twoskrit word that clusion. By conscall is one. (Copelngkat ini terbuonolog monisti
itektur Heidediskusi filsafatawa. Hal yang s
sitektur Heidema dari pembaan ‘lowong/vokan adalah pembut, Heidegger
nghubung’ (Hedalah Being danwa, terutama Mdupan sehari-hasontal – terjadi rkah dari gunuatas fisik /solida – suci-profandualistik batasyang dijabarka
em dan terutamelap’ adalah loensi tersebut –
Jawa di ruangmenghubungkan
nusia Jawa. Renurut Heideggong/void, yangadalah ‘pemba
wa grebeg MauMaulud tersebugyakarta. Pada dirikan struktui dengan hadir
Konsep berkumamun kembali larsitektural Mak
ated on him on thd and meditate. (nas used as the chuout during the ch
mbaran Samudrthan
aatha.com/blog/w2010/06/samudraan.jpg)
samudra men
Kedengan perwujupara dew– tempapemahamsebagai WrekudGunungsebagai lingga-y144-145
Takonsep
gan hubungano”. Copeland dcan be translateiously uniting peland & Link, 200ukti bahwa filsk, bukan dialo
egger – Filsat arsitektur inisama seperti ya
egger ‘membaacaan filsafat aid’ dari ‘bangu
mahaman seperr tidak memahaeidegger, 1971n lingkunganny
Makam Sunan Bari – makna bepada peristiwangan – hadiah
d ’ dan ‘lowongn pada kasus Ms fisik /solid daan oleh Mas Sama pada bagiowong/void dal
terutama di seg tersebut. Sebn manusia Jaw
Ritual meditasiger. Dengan d
g berpotensi unacaan’ dari sudulud, yang menut ‘berkumpulkasus omah, p
ur atap, yang drnya tumpeng ympul/gatheringlagi, ‘hunian emkam Sunan Ba
his day shall be blenn, The Significancrn and Snake Vas
hurning was consu
ra
wp-a-
nggunakan gun
eterkaitan deng‘jahat/denawa
udan monolog wa dan denawaat kotor – untukman Eliade te
alat penjerniara/Bima yangg. Interpretasi l simbol ‘peremyoni. Jika dem5). antra tidak hapamoring. Ke suami-istri, s
dan Link mendad to mean “weaerceived opposit03, p. 12) afat PKG, kong dualistik.
afat Arsitektui dihadirkan dang dilakukan
aca’ Filsafat Aarsitektur Heidunan idea’ tersrti yang diungkaminya sebaga, p. 152). The ya maka bukanBayat, maka perkah dari tinda grebeg Maul
h raja untuk rakg/void’ itu terj
Makam Sunan an lowong-lah yasra Sudrija daian senthong (lam pemahamenthong tengabab dengan m
wa dengan ‘sawi/semedi merupdemikian ‘bangntuk di-isi/di-sedut pandang ‘hungumpulkan sel/gathering’ elpemahaman ‘huditandai denganyang dimakan
g dan konsep mpat dimensi’
ayat.
essed with the fulfce of Mahashivratrsuki was used as thumed by Lord Sh
nung, yang dil
gan filsafat PKa/demon’, disin
monistik. Guna dapat diinterpk tujuan muliaentang gunungihan/ pemurnig mencari air lain, Gunung jmpuan’, makamikian maka ju
anya terkait desetaraan konsseperti yang diasarkan pemah
aving… The appates (male and fe
nsep samudra
ur Jawa dua pandangan
pada tahap seb
Arsitektur Jawdegger dimulaisebut membacakap oleh Eliadeai sumbu vertik brige ditempan the brige yan
pemahaman filsdakan nyekar –lud, filsafat arskyatnya – yangadi pada arsiteBayat dan rakyyang mampu ‘alam Layang B(Sudrija, 1919
man ‘bangunan h - tergenapi/t
meditasi/semediwahnya’ yang mpakan ritual ugunan idea’ Hempurna-kan. unian empat dieluruh ‘elemenlemen fourfoldunian empat dn adanya sesaj
bersama-samawaktu/time yadari Heidegge
fillment of his or hri, 2007, p. 1) he rope. To hold thiva (sumber: http
lilit ular raksas
KG adalah pani bukan laginung yang digpretasikan turuna, yaitu ‘penjerg dan laut (Eian/penyucian. suci/kehidupanika di anggap kisah samudra
uga terkait den
engan konsepsepsi itu makini kaji oleh Pa
haman konsep Tarent division be
emale, light and
manthan dan k
n yaitu pemahabelumnya yaitu
wa dari pemaham
a kasus arsitekte tentang axis mkal tapi sumbu atkan Heideggng arah vertikasafat arsitektur– dari masyarasitektur Heidegg akan bermanfektur Jawa? Jikyat-raja pada kmembacanya’.
Balewarna-nya9), justru filsa
idea’ Heideggtersempurnakani manusia Jawmembuktikan buntuk menjadikHeidegger mem imensi’. Pada bn manusia Jawad dari Heideggdimensi’ terjadi di puncak stra oleh calon pang temporal
er tidak mampu
her wishes. Since
the churn, Lord Vip://www hindu blo
sa52, tujuannya
ada kerjasama dialektika du
gunakan sebagnnya ‘golonganrnihan/pemurn
Eliade, 1957)).Hal yang d
n di laut, setesebagai simbo
a manthan ini ngan konsep ta
samudra man nyata jika kla Copeland dTantra sebagaietween body anddark) human be
konsep Tantra
aman filsafat au dialog dilaku
man ‘bangunantural Jawa yanmundi (Eliade, horisotal deng
ger sebagai penal /the stairs. Jir Heidegger adakat Jawa. Hal gger memandanfaat bagi kebahka the brige diakasus peristiwa.
a yang tidak mafat arsitektur ger yang memn dalam perila
wa ‘mengisi’ obahwa senthonkan manusia Jmahami ‘kegel
bagian ini yanga’ dalam suatuger di tempat i pada peristiwruktur atap terspenghuni dan p
‘terbaca’ danu ‘membaca’ as
then, on this day
Vishnu took the incg com/2010/03/sy
a adalah memp
antara ‘suci/dualistik tapi bgai ‘alat mengn suci’ ke dala
nian’ (bandingk. Disini ‘air’ di sama dilakelah tidak menol ‘laki-laki’ dasetara dengan antra (Jackson
anthan tapi jukemudian kita dan Al Link di berikut: d spirit, betweeneings can transc
mempunyai p
arsitektur Heidukan dua arah, p
n idea’. Jika png dihadirkan s
1957, p. 36). gan mengajukanghubung, namika kemudian
dalah suatu ‘temyang sama jug
ng sebagai ‘ushagiaan hidup atas menghubua grebeg Maul
mampu memahaHeidegger sa
mpunyai potensaku meditasi/seomah-nya dengng tengah menjJawa menjadi lapan’ dalam o
g ‘mampu terbau peristiwa raypelataran Mas
wa slametan omsebut. Peristiwpara tukang yan ‘terungkap’ spek sumbu ve
and night – devot
carnation of Kurmymbolism in churn
peroleh air
dewa/gods’ benar-benar gaduk’ oleh am samudra kan dengan digunakan
kukan oleh nemukan di an samudra bersatunya , 2004, pp.
uga dengan memahami
dalam buku
n matter and cend dualism
pemahaman
degger dan pembacaan
pemahaman sebelumnya Namun hal
an the brige mun karena ‘membaca’ mpat’ yang ga – dalam aha’ rakyat sehari-hari. ungkan dua lud – maka
ami ‘gelap’ angat dapat i untuk di-emedi yang gan potensi jadi ‘pusat’ Being atau omah Jawa
aca’ adalah yahan. Para sjid Agung mah, sesaat
wa slametan ang bekerja dalam dua
ertikal yang
tees fast, keep
a or Tortoise. ning of ocean
Bagian ketiga dari filsafat arsitektur Heidegger adalah ‘berpikir puitik’. Cara berpikir ini sesuai dengan pola berpikir manusia Jawa, seperti yang terbukti dalam kajian diatas. Cara berpikir model tersebut adalah cara berpikir dualistik. Dan disitulah juga letak ‘ketidakmampuan’ pembacaan filsafat arsitektur Heidegger terhadap filsafat arsitektur Jawa. Ada sudut pandang yang tidak terbaca yaitu sudut pandang terhadap sumbu vertikal yang mengacu pada monistik. ‘Berpikir puitik’ memahami ‘keselarasan’ – yang terungkap dalam Being/ manusia-otentik – dari sumbu horisontal, hubungan manusia-otentik dengan lingkungannya. Namun Heidegger ‘meninggalkan’ hubungan sumbu vertikal-spiritual.
Lalu bagaimana filsafat arsitektur Jawa ‘mendengar’ filsafat arsitektur Heidegger? Hal apa yang bisa disempurnakan dari filsafat arsitektur Heidegger dengan mengacu pada filsafat arsitektur Jawa? Sub-subbab berikutlah yang akan menjabarkannya secara lebih mendetail.
7.2.2. Filsafat Arsitektur Jawa ‘mendengar’ Filsafat Arsitektur Heidegger Filsafat arsitektur Jawa bersifat monolog monistik, dan terjadi secara horisontal dan vertikal, sehingga juga disebut monolog
monistik-spiritual untuk tahapan paling ‘tinggi’. Jika kemudian filsafat arsitektur ini ‘mendengarkan’ filsafat arsitektur Heidegger apa yang akan terjadi dan apa yang ‘terdengar’?
Hal yang perlu diperhatikan bahwa filsafat arsitektur Heidegger, yang tentunya mengacu pada filsafat Heidegger, bersifat dialektika dualistik. Pertanyaannya mengapa ada hadir dan tidakhadir? Dan kemudian bagaimana hadir dan tidakhadir itu ada? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab dengan filsafat arsitektur Jawa. Dengan kata lain, filsafat arsitektur Jawa ‘mendengar’ ada ‘nada/irama’ yang belum digenapi/dipenuhi oleh Heidegger untuk mencapai yang disebut laras53. Ada sesuatu yang ‘melebihi’ dualistik, yaitu monistik. Harmoni selaras dapat terwujud bisa memahami perbedaan dan kesamaan sebagai sebuah kenyataan kehidupan. Itulah ‘pendengaran’ awal atas dasar berpikir filsafat arsitektur Heidegger. Lalu bagaimana dengan bagian-bagian dari filsafat arsitektur Heidegger tersebut?
Dalam ‘bangunan idea’ dari ‘pendengaran’ filsafat arsitektur Jawa terungkap bahwa ‘bangunan idea’ berada pada tataran ‘dialog dualistik-kontras’. Hal ini terjadi karena yang dipermasalahkan dalam ‘bangunan idea’ hanya mengungkap ke-benda-an. Walau pemikiran Heidegger juga mengungkap adanya ‘ke-lowong-an’ tapi tinjauan tersebut hanyalah konsekuensi dari sebuah ‘batas fisik/solid’. ‘Bangunan idea’ tidak dapat disandingkan dengan pepatah ‘kosong adalah isi, isi adalah kosong’ karena pepatah tersebut telah pada tataran monistik. Pepatah ‘kosong adalah isi, isi adalah kosong’ telah memandang kegunaan dari ‘kosong/lowong’ dan memandang ‘isi/kepenuhan’ sebagai kesia-siaan. Pandangan ‘bangunan idea’ bukan seperti itu, sebab pada ‘bangunan idea’ Heidegger membicarakan kontras antara ‘batas fisik/solid’ dan ‘lowong/void’. Ke-lowong-an/void dalam ‘bangunan idea’ kemudian ‘di-isi’ oleh Heidegger dalam penjelasan ‘berhuni/dwelling’.
Dalam ‘hunian empat dimensi’, Heidegger mengisi ‘ke-lowong-an’ dengan konsep fourfold (bumi – langit; kemanusiaan – ketuhanan). Disinilah Heidegger tidak lagi berada pada tataran ‘dialog dualistik-kontras’ tapi mengarah kepada ‘dialog dualistik-mediatif’. Mengapa dualistik? Sebab walaupun terdiri dari empat elemen, tapi sebenarnya hanya terdiri dari dua hal yang saling bertentangan, yaitu ‘atas-bawah’ (bandingkan dengan konsep axis mundi dari Eliade (1957, pp. 36-37)). Namun tidak seperti ‘bangunan idea’ yang masih mempersoalkan fisik yang nampak dari sesuatu ‘benda’ dalam ‘hunian empat dimensi’, seluruh elemen – fourfold – dikumpulkan/gathering oleh Heidegger, yang kemudian disebutnya sebagai berhuni/dwelling. Inilah yang kemudian ‘terdengar sumbang’ oleh filsafat arsitektur Jawa, mengapa hanya ‘berkumpul’? Apa makna ‘berkumpul’ yang terkait dengan tujuan hidup? Hal ini sebenarnya bisa dikembangkan lebih lanjut dengan mengacu pada kisah samudra manthan yang berkumpul untuk suatu tujuan hidup, atau dalam filsafat Jawa disebut pamoring. Namun perlu ditelusur lebih lanjut, mengapa Heidegger berhenti pada tataran dualistik, belum masuk dalam monistik?
Untuk menjawab hal itu perlu dikaji secara lebih mendalam ‘berpikir puitik’ dalam filsafat arsitektur Heidegger. Ketidakhadiran dan kehadiran bagi Heidegger merupakan kesepasangan yang tidak mungkin dipisahkan. Lalu mengapa Heidegger tidak mampu mengungkap monistik dengan cara berpikir multitafsir atau ‘berpikir puitik’ tersebut? Ada ritual yang dilaksanakan manusia Jawa yaitu meditasi/semedi yang adalah ‘berhenti berpikir’ kemudian ‘merasakan’. Samadi/semedi berasal dari kata Sam artinya besar dan Adi artinya bagus atau indah. Seseorang yang melakukan samadi adalah seseorang yang mengambil posisi-patrap untuk meraih budi yang besar, indah dan suci. Budi suci adalah budi yang diam tanpa nafsu, tanpa keinginan dan pamrih apapun. Inilah kondisi suwung ( kosong ) tetapi sebenarnya ada aktifitas dari getaran hidup murni, murni sebagai sifat-sifat hidup dari Tuhan54.
Meditasi/meditation berasal dari kata bahasa latin meditatio yang mempunyai arti merenungkan. Akar katanya berasal dari kata mederi yang bermakna kesehatan55. ‘Semedi/Samadhi’ dalam kamus Jawa Kuno – Indonesia berarti penggunaan pikiran atau perhatian yang sangat; konsentrasi mental khususnya tahap akhir dalam praktek yoga (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4, p. 994). Sedangkan ‘meditasi’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu (Tim Penyusun KBBI, 1990, p. 569). Semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan56. Salah model tahapan semedi adalah dengan empat langkah yang disebut neng, ning, nung dan nang (Suwangsa, 2006, pp. 87-98). Tahapan meditasi tersebut – salah satu contohnya – mempunyai maksud untuk mengontrol secara penuh panca indera dan wadaq manusia. Kontrol penuh ini berasal dari konsentrasi/pemusatan pikiran dan perasaan, hingga pada titik bahwa semua yang kesadaran terhadap tubuh / wadaq badan manusiawi ‘hilang’ (Maulana, Juni 2002) dan sepenuhnya mengandalkan rasa/pure feeling (Suwardi, April 2002).
Gertrude Reif Hughes menyatakan bahwa: “…. pure thinking— will-filled or body-free thinking (Steiner, 1995, p. xx). Kata intuitive yang oleh Steiner dinyatakan sebagai: “The essence of thinking can be grasped only through intuition.” (Steiner, 1995, p. xix). Rolf von Eckartsberg dan Ronald S. Valle (1981, p. 300) memahami cara berpikir Heidegger dalam ada dua macam yaitu :
53 laras: tuning (high or low); tuning system (sléndro or pélog) (Benamou, 2010, p. xxiii) 54 Sumber: http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/semedi/ 55 Sumber: http://images.amuksi.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SHpIIQoKCngAADlxd8M1/inti%20sari%20meditasi.pdf?key=amuksi:journal:156&nmid=105522978 56 Sumber: http://staff.ui.ac.id/internal/131882247/material/AGAMIJAWI.pdf
rationintuitsekitapema‘melegameaboutinilaharsitespiritupada hanya
medit
7.3. K
peranperlu
kata acknomenukemu(HeidDengmerup
‘Pondseperdemikperhaatau Tuhanalam.
tangg(baha 57 raosråså [Nrasa [I58 The namely
Gam
nal, calculativetive versi Heidarnya. Pengalaahaman Juhani epaskan’ pemahelan menurut Bt performance,h yang menjelaektur Jawa. Daual inilah yangranah pengeta
alah monolog (Jadi untuk mtasi/semedi dan
Konsep PeraBagian ini m
ncangan arsitekdipertegas konKonsep dwellibauen58 Heide
owledgement ounjukkan kondudian ‘berkumpdegger, 1971, gan demikian pakan cermina
dok’ Heideggerti hunian empkian maka ‘keatian Heidegge‘solid’ tersebun-an/ divinities. Dan empat
ga); semah (paasa Bali, Roti, R
s [K]: kråmå for råNg]: rasa, but oftenI]: taste, feeling, afOld English and H
y, to dwell, has bee
bar 32 Pondok Musim D
(Sharr, 2006
e thinking dan degger. Intuitivaman ini tidakPallasmaa (Pa
haman-pemahaBenamou dijaba, about listenin
askan mengapaasar pemahamg tidak dipunyahuan ilmiah, (hanya kuasaNmencapai pemn juga berhenti
ancangan Arsmelakukan dialkturnya adalahnsep dwelling ding dimunculkaegger menyataof human existdisi ideal dari pul’ dalam ke-p. xvi) dan tekonsep dwelli
an dari ‘hunian
Gamba
r ‘berhadapan’pat musim laie-lowong-an’ aer terhadap potut adalah ‘cahas – ke-manusiaelemen terseb
asangan – satuRindi dan Tetu
åså n with strong mystffect, mood, inner High German woren lost to us. (Heid
Heidegger Saaingin
6, p. 48)
intuitive, medve versi Heidegk hanya dipaallasmaa, 2005aman dari pancarkan sebagai bng, was rasa57
a Heidegger tidan Heidegger yai dan dipahayang menghar
Nya yang berpermahaman berpilah berdialog t
sitektur: Konlog pada tata
h konsep dwelldan konsep maan Heidegger dakan bahwa “tence in langupemahaman d
-lowong-an baerkait dengan ing adalah ko’ Heidegger di
ar 31 Pondok H
’ dengan alam,innya, ‘pondokatau void dalamensi ‘lowong’ aya’. Pemahama-an/mortal. Tebut ‘berkumpu
fenomenol
Bagaikonsep ma(Prijotomodikaji arti ktempat terkehidupan
Dalamdalam bahauntuk tempberasal darrakyat bias(menikahk
u rumah). Omaum), kata amu
tical or specifi callmeaning, faculty
rd for building, budegger, 1971, p. 14
t
ditative thinkinggger lebih kep
ahami dengan 5). Sedangkan caindera dan sberikut: “It bec
7: “affect,” “mdak mampu me
masih pada ‘pami dalam filsruskan adanyaran dan manus
pikir ‘monistiktapi lakukanlah
nsep Dwellinaran konsep pling, sedangkaanjing tersebut.dalam tulisan B“…..building auage (Sharr, 20dwelling. (Sha
angunan (Sharr‘menghuni’ at
onsep ‘menetap Todtnauber.
Heidegger di To(Sharr, 2
, dan dari ruank’ ini juga mm pemahamandidasarkan pa
man ‘cahaya’ erang cahaya t
ul’ dalam ‘ruanogis Heidegge
imana dengan anjing terwuju
o, 2006, p. 258)kata manjing. Arsembunyi/tertyang bersifat m
m arsitektur Jawasa Indonesia dpat tinggal mari bahasa Jawasa – yang bisa tan); omah-omaah juga berhu(bahasa Sawu)
ly Javanese connoof taste, intuition,
uan, means to dwe44)
g. Ada perbedapada experienc
‘mata’ tapi jintuitive versi epenuhnya macame clear tha
mood,” “feelingemahamai tahapengalaman inafat arsitektur
a dialog, belumsia hanya tinggk’ adalah denh monolog den
ng (Heideggeperancangan aan di filsafat Ja. Building Dwelland dwelling, 007, p. 40). Harr, 2007, p. 4r, 2007, p. 45)tau lebih tepatp’dan mengu
dtnauberg (kiri006, p. 16&39)g kerjanya bel
merupakan ‘benn Heidegger adada batas tersebini yang menjtersebut yang mng kerja Heideer terhadap ling
konsep manjinudnyata dalam). Lalu apa seArti kata manjtutup untuk mmonistik. wa dikenal katdalam kata ‘rumaupun untuk kea ngoko – bahterkait dengan ah (berumahta
ubungan denga); kata um (bah
otations deep understandin
ell. This signifies:
aan yang mendcing / pengalamjuga menggunJawa lebih ke
anunggal dengaat at the heart g,” “intuition.
apan monolog mnderawi’, buka
Heidegger. Tm sampai padagal menjalankanngan cara ‘b
ngan Yang Kua
r) - Konsep Marsitektur. Di awa digunakan
ling Thinking. as constructio
Heidegger men41). Konsep d). Hal yang metnya ‘menetap’umpulkan emp
i) dan Ruang K
iau bisa memanteng’ pertahadalah ‘ke-terbabut. Salah satujelaskan dua amengisi ‘ke-lowegger’, dan kegkung hidupnya
ng? Telah dijem konsep dan ebenarnya manjjing dapat diintmelakukan ke
ta Griya dan omah’. Griya dieperluan lainnyhasa Jawa pada
kata ngomahaangga); pomahaan bahasa-bahahasa Aton); dan
ng to remain, to stay
dasar antara inman terhadap fnakan seluruh epada pemahaman kehendak Yof their talk ab.” (Benamou, monistik-spiritan pada ‘pengataran ‘kerja’ a titik tidak an). berhenti berpiasa.
Manjing (Jawsudut pemikir
n konsep manj
Dengan mendaon and cultivanunjukkan bahdwelling dengenarik adalah p’ (to stay). (Hpat elemen. K
Kerja (kanan)
andang hamparanan di waktuatas-an’ terhadu unsur yang maspek berikut dwong-an’ / voiemudian ‘menea.
elaskan pada bsekaligus tin
jing itu? Pada terpretasikan s
erja. Konsep
mah, yang kedipahami sebagaya (Prijotomo, a level terendaake (membuat ban (pekarangaasa lain sepertn sebagainya. K
y in a place. The r
tuitive versi Jafenomena yang
pancainderanman spiritual, yYang Maha Kubout aesthetic 2010, p. xiv).
tual pada dialetgalaman spiritu
Heidegger mada lagi dialog
kir’ dan mul
wa) rang Heideggjing. Namun s
asarkan pemahation, were vihwa dengan bagan fourfold-nypemahaman ‘b
Heidegger, 197Konsep dwellin
ran alam tersebu musim dingidap ‘alam’, sehmampu menemdari Heideggeid yang diakibetap’. Inilah p
agian sebelumndakan pada g
kajian sebelumsebagai memas
manjing adal
duanya juga ditai bangunan beJuli 1999, p.
ah, biasa digunbetah); ngoma
an rumah); somti kata rumah,Kata-kata terse
real meaning of th
awa dengan g terjadi di
nya, seperti yang justru
uasa. Dalam evaluation, Perbedaan
tika filsafat ual’. Aspek asih berada
g, yang ada
lailah ber-
er, konsep sebelumnya
haman pada ital to any ahasa telah ya tersebut berkumpul’ 1, p. 178). ng tersebut
but. Namun in. Dengan hingga titik
mbus ‘batas’ r yaitu ke-
batkan solid pengamatan
mnya bahwa griya Jawa mnya telah suki sebuah lah proses
translasi ke eratap, baik 33). Omah nakan oleh h-omahake
mah (rumah , kata uma ebut berarti
he verb bauen,
suatu kelompok sosial yang bersatu yang mengklaim beberapa jenis asal-usul yang sama atau kesatuan ritual (Santosa, 2000, pp. 3-4). Apa kaitannya omah dan konsep manjing? Kutipan berikut yang menjelaskannya: “Tiyang sumusup ing griya punika saged kaupamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng”59 (Prijotomo, 2006, pp. 63-68). Arti kata sumusup adalah: “Susup = anusup: masuk, pergi ke dalam, menembus ke dalam, mencari tempat dimana tidak dapat dilihat (tersembunyi, sendiri)” (Zoetmulder & Robson, 2004, cetakan ke 4). Konsep manjing dan kemudian jabaran tentang omah menjelaskan bahwa ada keterkaitan dari segi arti kata, makna, struktur dan bahkan penyusunan griya Jawa. Lalu bagaimana kedua konsep ini berdialog? Bahasan selanjutnya akan menjabarkan lebih lanjut.
7.3.1. Konsep Dwelling ‘membaca’ Konsep Manjing Konsep dwelling ternyatakan sebagai konsep yang mengumpulkan empat unsur dan bersifat menetap. Apakah konsepsi
mengumpulkan terdapat dalam konsep manjing? Apakah terdiri dari empat unsur/fourfold? Apakah bersifat menetap? Penjelasan Prijotomo bahwa konsep manjing mengumpulkan bapa-angkasa dan ibu-bumi (Prijotomo, 2006, pp. 247-248) merupakan penjelasan dalam bentuk lain dari pemahaman fourfold dari Heidegger; dan juga bersifat ‘menetap’. Dengan kata lain, ‘pembacaan’ konsep dwelling terhadap konsep manjing telah dilakukan oleh Prijotomo dalam disertasinya (berdasarkan jabaran kutipan tersebut).
Memang kemudian timbul pertanyaan apa tujuan terhentinya ‘pengembaraan’ bapa-angkasa pada satu titik tersebut? Dan justru pada pertanyaan itulah yang tidak terbaca oleh konsep dwelling. Bapa-angkasa dan ibu-bumi tidak hanya sekedar ‘berkumpul’ tapi ‘menyatu’ untuk suatu proses kehidupan. Konsep dwelling yang menetap menyebabkan ‘terhentinya’ suatu proses, sebab pemahaman ‘menetap’-nya adalah pemahaman yang statis/diam, tapi justru bagi konsep manjing hal itu merupakan awal dari suatu ‘gerakan’ menuju suatu proses baru yaitu proses kehidupan. Pada pemahaman ‘proses baru’ inilah ‘pembacaan’ konsep dwelling berhenti.
7.3.2. Konsep Manjing ‘mendengar’ Konsep Dwelling Jika konsep dwelling tidak mampu ‘membaca’ konsep manjing pada tataran proses baru; apakah konsep manjing juga tidak
mampu ‘mendengar’? Lalu apa yang ‘terdengar’ dari konsep dwelling oleh konsep manjing? Hal yang pertama ‘terdengar’ adalah empat elemen/fourfold dalam konsep dwelling. Konsep fourfold adalah ‘kritikan’
Heidegger terhadap kondisi arsitektur masa itu (1950an) yang telah melupakan hakekat eksistensi arsitektur (Sharr, 2007, p. 24). Pemahaman Heidegger ini terkait dengan lingkungan sekitarnya, lingkungan yang paling dekat, yang melingkupinya. Kedekatan dengan alam/lingkungan dan bahkan ‘mengumpulkankannya’ merupakan hal yang mistis bagi filsafat ‘manca’. (Sharr, 2007, p. 33). Hal itu merupakan suatu pengamatan yang tajam dan kritis dari Heidegger terhadap lingkung hidupnya di pegunungan Black Forest. Juga telah dijabarkan diatas bahwa fourfold Heidegger merupakan jabaran lebih rinci dari dualistik Eliade.
Jabaran mendetail Heidegger dalam fourfold tersebut maksud yang lain yaitu : preservasi/ pemeliharaan. Dwelling, as preserving, keeps the fourfold in that with which mortals stay: in things. (Heidegger, 1971, p. 148). Penjelasan ‘tujuan’ dari pemahaman fourfold ini membuktikan bahwa ‘sebenarnya’ pengumpulan/gathering dari pemikiran Heidegger tidak sekedar ‘berkumpul’ saja. Jika kemudian berlanjut pada pendengaran terhadap ‘menetap’; ada hal yang bisa dipahami bahwa manusia-otentik yang mortal ini menetap disuatu ‘tempat’ maka seharusnya dia memelihara lingkungan sekitarnya. Hal ini telah juga dibahas pada bagian sebelumnya, bahwa ada kesetaraan dengan filsafat memayu hayuning bawana.
Lalu apa yang ‘terdengar’ sumbang dari konsep dwelling Heidegger dari sudut ‘dengar’ konsep Manjing? Hal yang dirasa kurang adalah ‘berkumpulnya’ fourfold dalam ruang-hidup manusia-otentik tidak disertai dengan ‘perkawinan’ unsur-unsur tersebut. Hubungan elemen-elemen dalam fourfold hanya sekedar saling menjaga dan memelihara hubungan, tidak sampai pada hubungan perkawinan seperti halnya bapa-angkasa dan ibu-bumi. Dalam hubungan monistik perkawinan ada unsur ‘kebaharuan’, ada proses ‘kehidupan baru’; dan hal itu bukan hanya hubungan yang saling menjaga dan memelihara tapi juga hubungan yang berkelanjutan/sustainable process. Hal ini juga membuktikan bahwa konsep manjing merupakan konsep yang berlanjut, tidak statis; sedangkan konsep dwelling adalah tetap dan statis asal keharmonisan antar unsurnya terjaga maka konsep dwelling telah berhasil menyelesaikan tugasnya.
7.4. Aplikasi Arsitektural : Karya Peter Zumthor (The Thermal Baths in Vals) terhadap Karya Adi Purnomo (Studi O Cahaya)
Pada bagian ini akan didialogkan dua aplikasi arsitektural dari masing-masing filsafat arsitektur. Dari filsafat arsitektur Heidegger ditempatkan karya Peter Zumthor yang berada di Swiss yaitu ‘The Thermal Baths’ dan dari filsafat arsitektur Jawa ditempatkan karya Adi Purnomo yaitu ‘Studi O Cahaya’.
Peter Zumthor dikatakan sebagai salah satu arsitek – selain Steven Holl dan beberapa teoriwan, seperti Norberg-Schluz, Juhani Pallasmaa - yang secara nyata menjabarkan pemikiran Heidegger, seperti yang dinyatakan oleh Adam Sharr:
When Peter Zumthor waxes lyrical about the atmospheric potential of spaces and materials; …….. all these establishment figures are responding in some way to Heidegger and his notions of dwelling and place. (Sharr, 2007, p. 1)
Peter Zumthor sejak tahun 1996, dia telah menjadi dosen di the Academy of Architecture, Universitá della Svizzera Italiana, Mendrisio; dan juga menjadi visiting professor di beberapa universitas60. Tahun 2009 Zumthor meraih The Pritzer Architecture
59 Yang arti bebasnya : Orang masuk ke dalam rumah dapat diumpamakan ‘berteduh’ di bawah pohon/kehendak yang besar. 60 Peter Zumthor was born on April 26, 1943, the son of a cabinet maker, Oscar Zumthor, in Basel, Switzerland. He trained as a cabinet maker from 1958 to 1962. From 1963-67, he studied at the Kunstgewerbeschule, Vorkurs and Fachklasse with further studies in design at Pratt Institute in New York. Since 1996, he has been a professor at the Academy of Architecture, Universitá della Svizzera Italiana, Mendrisio. He has also been a visiting professor at the University of Southern California Institute of Architecture and SCI-ARC in Los Angeles in 1988; at the Technische Universität, Munich in 1989; and at the Graduate School of Design, Harvard University in 1999. (sumber: http://www.pritzkerprize.com/laureates/2009/bio.html)
Pricebahwexper
pengekurandari Vkemuterseb
Lalu
Temp
yang adalahmenjabanguini Aberbicmulaikarya
7.4.1
61 (sum62 Dite63 Sum64 Sum
Ght
Gam
(http:
e sebuah penghwa bagi Zumthorience of movinSalah satu karyembangan daring lebih 4000mVals itu sendirudian dilubangbut62.
apa kaitan The The Vals spcorresponde
po (Purnomo, 2Kasus yang dimempunyai fuh seorang fotoadi elemen peunan 600 m2, d
Adi Purnomo mcara untuk diri mengolah rasa ‘Studi O Caha
. The Therma
mber: http://www.perjemahkan dan di
mber: (http://www.amber: (http://ruang1
Gambar 34 Studttp://www.archd
mbar 35 TampaBath, V
//www.archdailytherme-v
hargaan dunia dor “… the role ng through andya Zumthor yai kompleks hotm2, di ketinggiri. Zumthor megi, konsep per
e Thermal Bathpa – famed amonences between H
2005, p. 289). iambil dari ran
fungsi hunian, ografer dan koenting dalam ‘kdikerjakan darimenyatakan : “rinya sendiri”sa dalam karyaaya’ sebagai pe
al Baths in Va
pritzkerprize.com/sarikan secara bebarchdaily.com/62017 wordpress com/
di-O Cahaya’ (Adaily.com/62078/
mamostudio/
ak The ThermalVals y.com/13358/thevals/)
di bidang arsiteof the architec
d around a builang banyak metel dan spa,yanan 1200 m diaemperlakukan ancangannya
Gambar 33 S
h, Vals karya Zng architects for
Heidegger’s writi
ncangan Adi Pstudi kerja, dalektor barang kerja seninya’i tahun 2007 hi“…..dan ketika64. Dengan pe
anya. Inilah yanerwakilan filsa
als (Zumthor)The T
benar mem‘bentuk’ ta“..building mountain65
dan pengam
/laureates/2009/jurbas dari (Mostafav078/studi-o-cahaya/2010/10/17/sebua
Adi Purnomo) /studi-o-cahaya-
l
e-
ektur, yang serct is not just tolding”61. enjadi sorotan ang telah berdiri atas permukaankompleks ‘renadalah tentang
Sketsa The Th(Zumthor & B
Zumthor denganr its evocative seings and Zumtho
Peter Zsisi pemikirNusantara tdunia lain. arsitektur Jarsitektur kolonialisasarsitektur Ja
Ada slalu Jawa, yPurnomo/Mpendidikan Jakarta daarsitek senIndonesia Arsitek Ind
Purnomo/Maman galeri seni seni, dan terka. Lokasi ‘Studingga 2009, ataa cahaya menu
ernyataan ini, dng kemudian mafat arsitektur J
terhadap FilThermal Bath mahami karaktapi justru di with the stone
5”. Kepekaan mbilan keputus
ry.html) i, 1996)
a-mamostudio/) ah karya rasionalit
-
ring dikatakan o construct a fix
adalah The Thesejak 1960an.
n laut. Konsepndamnya’ sebag cahaya, teks
hermal Bath, VBinet, 1998, p. n pemikiran Heequence of spaceor’s architecture
Zumthor beradran Jawa. Hartidak sekaya daDemikian jug
Jawa dari sudtradisional su
si Belanda. Tapawa masa kini/atu nama yangyaitu Adi Pur
Mamo ini. Diaformal arsitek
an DP architendiri. Sejak 19(AMI), dan tadonesia dan te
o adalah Studiyang kemudia
adang dia jugadi-o Cahaya’ bau setelah bukukir ruang, kadapat diinterpr
menjadi salah sJawa.
lsafat Arsitekini mempunyateristik site. B‘tanam’ dalam
e, into the mouini yang diny
san seperti yan
tas/)
sebagai piala ixed object but
ermal Bath di Proyek ini sel
p utama dari pagai sebuah bastur dan strukt
Vals oleh Zum155)
eidegger? Adames and its exquisie….. (Sharr, 200
da pada sisi pemrus diakui bahan selengkap diga yang terjadi dut pandang audah cukup pi bagaimana k/kiwari/kontemg telah diseburnomo. Dalam a lahir di Yoktur tahun 1986cts di Singap996 aktif berpahun 2002 meerpilih sebagai
i O Cahaya. Aan diberi judua melukis dan berada di Jakaku ‘Relativitas’ata-kata mulairetasikan bahwsatu dasar untu
ktur Jawa ai kekuatan paBangunan therm lokasi banuntain, buildingyatakan oleh Ag diharapkan o
oscar bagi arsialso to anticip
Alps, Vals, Swlesai tahun 199erancangannya
atu gunung dentur yang men
mthor
m Sharr menjeite construction 7, p. 92)
mikiran Heideghwa kajian/penibandingkan appada arsitektu
arkeologi, kajbanyak dan
kaitan arsitektumporer? ut-sebut terkait
bukunya, tertgyakarta tahu6. Pernah bekeura; dan seka
pameran bersamendapat pengha
tokoh arsitek
Adi Purnomo mul ‘Studi-o Cah
mematung. Dearta, dengan lu Mamo diterbikehilangan m
wa Mamo telahuk menetapkan
ada kemampuarmal bath ini
ngunan. Zumthg out of the m
Adam Sharr seboleh Heidegger
itek. Dan hal ypate and chore
wiss. Karya ini 96, dengan luasa adalah keadangan volume ygikuti konsep
elaskan bahwa:details – presen
gger, lalu baganelitian tentangpa yang terjadiur Jawa. Mungjian budaya a
telah dilakuur Jawa masa l
dengan pemiktulis sedikit bi
un 1968 dan erja di biro arsiarang mempunma forum Arsargaan utama tahun 2004 ol
merancang sebhaya’. Pemilikengan demikia
uas area 375 mitkan63. Tentan
makna, dan biarh ‘berhenti bearsitek Adi Pu
an Zumthor uni tidak menonhor mengataka
mountain, beingbagai kemampr. Hasilnya ada
yang dicatat eograph the
merupakan s bangunan aan geologi yang besar,
pemikiran
: ts intriguing
aimana dari g arsitektur i di belahan gkin kajian atau kajian ukan sejak lalu dengan
kiran masa iografi Adi menempuh itek PAI di nyai studio sitek Muda dari Ikatan
leh majalah
buah rumah k rumah ini an ‘cahaya’ m2 dan luas ng karyanya rkan ruang
erpikir’ dan urnomo dan
ntuk benar-njol secara an sebagai g inside the puan intuisi alah sensasi
penga‘diden
ditanabukanZumt‘terdeadalahterhad
7.4.2
tidak berpikberbic
yang Sumvpondomater
66 The mdesignexperietactile,67 Sum
Gam
(http:/
Gam
(http:
alaman berarsngarkan’ oleh Kemampuan am ke dalam tan tataran monthor berhasil ‘engar melagukh lebih kepaddap arsitektur s
All design architectureare the them
2. Studi O Cah
melakukan dkir’. Mamo mecara untuk diri
bisa langsung vitg, Graubündok Heidegger rial pembentuk
measuring of bodying for Zumthor, hence his architectu colourful, even se
mber (http://ruang17
mbar 36 Kolam(Zumthor
//www.archdaily/the-therme-va
mbar 38 DiagramStudi Ad
//ruang17.wordpebuah-karya
sitektur yang filsafat arsitektZumthor memanah sehingga olo monistik-s‘menyatukan’ kan’ monistik-sda pengalamanseperti berikutwork starts for
e in a concrete wmes of our teachi
DaAptbtm
smIb
haya (Adi PurDal
kajian tiarsitektu
Jikaomah. PCahaya’ dapat di
dialog dualistikengungkapkaninya sendiri”67.
disetarakan deden, Switzerlan
dan Chapel kaknya adalah bet
y and mind – the nhelping him imaginure. Vals was concexy to inhabit. (Sh7 wordpress com/2
Gambar 3(Adi Pu
(http://wwwecture/st
m
m Outdoor r) y.com/13358als/)
m ‘lintasan’ Madi Purnomo press.com/2010/a-rasionalitas/)
berbeda bagi tur Jawa?
mahami ‘potenmenyatu deng
spiritual? Bukaalam dan ban
spiritual. Hal tn sensorik pan:
rm the premise way means to toing. (Zumthor, 1
Dengan titik toadalah ‘kenikmArchitecture opernyataannya the relation bebahwa Zumthotataran monistimelalui bahan
sebagai alat tanmasih berada pInilah alasan mbelum masuk p
rnomo) terhalam karya Adidak seperti yan
ur Jawa. Kajiana diperhatikan
Pada omah tidaini justru berm
itarik dari sin
k, dengan men: “…..dan ket.
ruangmenycerlanKajiamonotidak hadirHeidetertan
mampengan pemikirad, 1995-1988)arya Zumthor,ton) yang kemu
navigation by intuine future places onceived to appeal toharr, 2007, pp. 95-92010/10/17/sebuah
37 Studi-O-Cahurnomo/Mamo)w.auhana.com/artudi-o-cahaya-by
mamostud/)
atahari
/10/17/s
pengunjung
nsi site/lokasi’ gan alam meruankah Zumthongunan, tapi btersebut dikarencaindera. (Zu
of this pysical,ouch, see, hear, a
998, p. 58).
olak pemikiranmatan panca-indof the Federa
bahwa: ‘Archetween a persoor memang benik-spiritual. Zubangunan, seh
ngkapnya. Penpada tataran d
mengapa karyapada monolog m
dap Filsafat A Purnomo (selng kajian kary
n awal ini dilaksekilas meman
ak terdapat ‘simain dengan car/cahaya den
manusiaberfungmata tidbisa sam
Mamerupak
empertentangkatika cahaya me
Disaat Mamo g, saat itulah Myatakan bahwang dan bayangan diatas memolog monisitik-
memandang br sebagai fisik yegger juga mngkap oleh panBagaimana pepu terlihat denan Heidegger, a. Ketiga karya ‘Studi-O-Cahudian di-isi ole
tion and judgemenn the basis of remeo sensual instincts f96) h karya rasionalita
aya ) rchity-
‘kolam terma
yang kemudiaupakan pemahaor telah meranbukan berarti enakan apa yaumthor & Bin
objective sensand smell it. To
n Zumthor tersedera’. Bahkan al Institute ofhitecture has a on and matter’nar-benar menjumthor hanya hingga dapat m
ngalaman dan dialektika duala Zumthor ini monistik-spiritu
Arsitektur Heanjutnya akan
ya Peter Zumthkukan agar ‘ketng ada perbedainar/cahaya’ ycahaya/sinar. Lngan gelap adaa yaitu mata.si, hal yang sa
dak akan berfuma-sama membamo melakukkan proses beran atau mempenukir ruang, k
‘berhenti berpMamo melakuk: “pada kasus . Cerlang dan b
mbuktikan bahw-spiritual. Kajibentuk dan wuyang bersifat semahami ketid
nca-indera. embacaan filsangan jelas adaatau karya Zum arsitektural te
haya’ dapat dipeh cahaya seba
nt which for Heideembered feelings. Ifirst, and to interp
as/)
al’ ini66. Lalu
an diterjemahkaman pada tatancang karya ya
bisa langsungang dilakukan net, 1998, p. 1
suousness of arcdiscover and co
ebut jelaslah bdalam kuliah bf Technology,specific bodil
’ (Voet & Schoabarkan pemik‘memediasikan
membangkitka
penikmatan rulistik, karena mmasih berada ual.
eidegger ditulis Mamo,
hor. Perlu dilakterwakilan’ filsaan yang sanga
yang cukup baLalu hal apa yaalah efek yan. Gelap yangama juga terjadungsi sama sekbutakan. Itu lankan penelitiarpikir ilmiah dpertemukan gekata-kata mula
pikir’ dan ‘menkan ‘monolog ‘Studi-O Cahabayang menjadwa memang ‘ian ini juga mujud fisikal daspiritual/atau sedakhadiran da
afat Heideggeralah keberadaamthor ( salah sersebut ‘bermaipandang sebagagai representas
egger makes sense It also becomes thpretation and analy
u bagaimana j
kan dalam maaran dialog duaang ‘menyatu’g dinyatakan bZumthor pada
158). Zumthor
chitecture, of itonsciously work
bahwa yang mebulan Novemb Zurich, Zumly relation withoonjans, 2009)kiran Heideggen’ antara arsit
an sensasi panc
uang dengan amasih berupa pada tataran d
, sesuai panggikukan kajian ksafat arsitektur at menyolok d
anyak, sedangkang dapat dise
ng ditimbulkang amat sangadi bila ‘sinar/cakali. Baik gelandasan awalnyaan terhadap dari Mamo. Nelap dan teran
ai kehilangan m
nyerahkan’ padmonistik-spir
aya’ yang mendi satu-kesatuaStudi O Caha
membuktikan bari bangunan, emangat. Hal iari kehadiran
r terhadap ‘Stuan ‘sinar’ dalaatu contohnya in-main’ denga
gai sebuah ‘voisi divinities da
in sparks of insighhe context within wlysis second. For Z
jika kasus Zu
aterial batu danalistik-mediatif dengan alambahwa the thea karya the ther mempunyai
ts materials. Tok with these qual
enjadi perhatiaer 1998 di Dep
mthor memperh life, express). Ini makin mer dan belum mtektur dan lingca indera yang
alat tangkap padialog, belum
dialog dualisti
ilan akrab Adikarya ini terhad
Jawa menjadi dengan apa yankan pada kasutarakan? Kesa
n pada alat peat membuat mahaya’ yang am
ap maupun ‘sina. lintasan mat
Namun setelah ng, tapi justru
makna, dan bia
da cahaya unturitual’. Galih Wnonjol adalah pan dalam pencaaya’ mewakili bahwa proses tapi lebih ‘dibni perlu ditegatapi bersifat ‘
udi-O-Cahaya’?am karya Mam
Saint Benedican cahaya. Sepid’ dalam ‘sol
an sky.
ht – becomes a wawhich he believes pZumthor, the spa sh
umthor ini
n air, serta f. Mengapa
m? Memang ermal bath ermal bath pandangan
o experience lities – these
an Zumthor partment of rtegas lagi ed through
menjelaskan masuk pada gkungannya g berfungsi
anca indera m monolog. ik-mediatif,
Purnomo), dap filsafat tepat.
ng terjadi di us ‘Studi O amaan yang engelihatan mata tidak mat sangat, nar/cahaya’
tahari. Ini itu Mamo
u ‘berhenti arkan ruang
uk menukir W.Pangarsa pengolahan ahayaan”68.
pemikiran mendengar balik’ yang askan sebab ‘fisik’ atau
? Hal yang mo tersebut ct Chapel di perti halnya lid’ (karena
ay of people will hould be
“Pembacaan” dari sudut pandang filsafat arsitektur Heidegger memang mengandalkan panca-indera, dalam hal ini adalah indera penglihatan. ‘Pembacaan’ dari sudut pandang Heidegger memang mengutamakan dialektika dualistik, dalam hal ini langit dan bumi, terang dan gelap. Namun tidak memahami terang dan gelap sebagai cerlang dan bayang sebagai sebuah kesatuan. Keharmonisan dari sudut pandang filsafat arsitektur Heidegger adalah kemampuan untuk mengakomodasi potensi alam dan mampu memeliharanya. Dasar pemahamannya masih pada dialektika dualistik, belum pada monistik. Dengan kasus ‘Studi-O-Cahaya’ terjadi pembelajaran dari dua sudut pandang yaitu sudut pandang filsafat arsitektur Heidegger dan sudut pandang filsafat arsitektur Jawa.
8. KESIMPULAN DAN SARAN
tneCpK[yon\
tancep kayon69
Dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati Manunggaling Kawula Gusti pada arsitektur Jawa’ dihasilkan beberapa konsekuensi yang tidak hanya berlaku pada ranah filsafat arsitektur tapi juga pada konsep perancangan arsitektural dan pemahaman ‘Jawa’. Konsekuensinya kesimpulan terbagi menjadi beberapa bagian baik arsitektur maupun non-arsitektur.
8.1. Konsekuensi Pemahaman Jawa Penetapan bahwa Surakarta dan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa atau yang lebih dikenal dengan Negarigung
(Koentjaraningrat, 1994), perlu dicermati, sebab penetapan itu hanya berlaku pada pemahaman politik-kebudayaan. Dalam kasus arsitektural pada penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini terbukti Klaten dan Bantul mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi ‘pusat’ dalam pemikiran filsafat arsitektur Jawa. Bahkan jika ditarik kepada kesimpulan yang ekstrim, tiap arsitektur Jawa adalah ‘pusat’ bagi sekelilingnya, karena di tiap karya arsitektur Jawa terdapat ‘perkawinan’ bapa-angkasa dan ibu-bumi. Tiap karya arsitektur Jawa adalah samudra manthan dan/atau axis mundi/the center of the world.
Jadi perlu kehati-hatian dan kecermatan memahami Negarigung dalam penelitian arsitektur Jawa, apakah hal itu sesuai dengan bahasan dan alur pikir yang ingin dibangun.
8.2. Konsekuensi Filsafat Jawa Tinjauan kritis juga berlaku pada tataran filsafat Jawa. Disertasi Zoetmulder dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris sama
sekali tidak menyebut tentang Manunggaling Kawula Gusti. Namun saat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat Manunggaling Kawula Gusti itu muncul sebagai judul utama. Tidak hanya dari penambahan kalimat saja pada bagian judul buku, disertasi Zoetmulder memahami ‘perpaduan/penyatuan’ antara Tuhan dan manusia sebagai sebuah keadaan/tempat yang statis, atau dengan kata lain kondisi itu tercapai saat manusia telah meninggal (terekspresi dalam kata mulih).
Dua hal ini yang kemudian menjadi catatan tersendiri dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Hal tentang penambahan kalimat Manunggaling Kawula Gusti ternyata pada Serat Dewaruci, sebab tidak ditemukan kata manunggaling dalam serat tersebut, yang ada adalah Pamoring. Penelitian Zoetmulder berada pada ranah filsafat teologis, konsekuensinya, perlu dilakukan ‘penterjemahan’ dari filsafat teologis ke filsafat arsitektural. Dengan demikian dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini digunakan kata pamoring yang mempunyai kaitan dengan pemahaman amor/awor dan makna dari omah.
Hal lain yang menjadi konsekuensi pada filsafat Jawa adalah kisah Dewaruci mempunyai kesetaraan makna dengan kisah samudra manthan dan tantrisme, ketiganya berbicara tentang dialektika monisitik.
8.3. Konsekuensi Filsafat Arsitektur Pada bagian ini akan disimpulkan konsekuensi yang terjadi pada filsafat arsitektur, baik filsafat arsitektur Heidegger maupun
filsafat arsitektur Jawa.
8.3.1. Filsafat Arsitektur Heidegger Filsafat Arsitektur Heidegger merupakan karya dari Heidegger itu sendiri, bukan hasil dari interpretasi pemikiran filsafat ke
dalam ranah arsitektur. Filsafat arsitektur Heidegger bukan hanya Building Dwelling Thinking, tapi terdapat juga di The Things dan ….Poetically, Man Dwells…. Konsekuensinya perlu dirumuskan ulang filsafat arsitektur Heidegger yang menampung pemikiran dari ketiga kertas kerja tersebut. Filsafat arsitekur Heidegger dapat dirumuskan sebagai berikut:
a) Bangunan Idea (The Things’ Building): pemahaman mendasar bahwa ‘bangunan’ bukan saja dipandang secara ‘fisik’ tapi juga ‘meta-fisik’. ‘Bangunan’ bisa berupa konstruksi berpikir yang menampung idea/gagasan yang berpotensi sebagai penampungan yang mengumpulkan dan menyatukan.
b) Hunian Empat Dimensi (The Fourfold Dwelling). ‘Bangunan Idea’ tersebut antara lain menampung ‘idea/gagasan’ tentang ‘berhuni’. Dalam ‘hunian empat dimensi’ inilah Heidegger mengumpulkan dan menyatukan 4 unsur yaitu earth-sky; mortal-divinities.
c) Berpikir Puitik (Poetically Thinking). Dengan gagasan ‘mengumpulkan dan menyatukan’ empat unsur dalam ‘bangunan idea’-nya Heidegger tidak hanya berpikir rasional, tapi juga berpikir secara intuitif. Rasional-intuitif merupakan cara berpikir Heidegger secara puitik untuk menunjukkan kebenaran hakiki suatu hunian/dwelling.
69 Adegan jejer yang dilakukan pada bagian akhir dari babak pathet manyura pada pagelaran wayang kulit purwa. Adegan ini dapat dikatakan sebagai adegan penutup dari seluruh rangkaian cerita yang dibawakan dalang pada suatu pagelaran wayang kulit purwa. Pada adegan ini, ditampilkan adegan hadirnya sejumlah besar tokoh-tokoh wayang yang menjadi pemenang perang brubuh secara lengkap. Setelah itu, dalang akan melakukan antawacana / dialog pendek sebagai penutup cerita. Dan selanjutnya, wayang gunungan atau kayon akan diambil oleh dhalang dan ditancapkan di tengah-tengah geber/ kelir wayang (layar wayang) menandakan bahwa seluruh pagelaran telah selesai. Dari peristiwa penancapan wayang berbentuk gunungan atau kayon oleh dalang inilah kemudian timbul istilah tancep kayon. (Palgunadi, 2002, p. 166)
Heidegger menulis karya filsafat yang kemudian dikenal dengan Being and Time (‘Sein und Zeit’), karya inilah yang kemudian dikenal sebagai karya masterpiece dari Heidegger. Akan tetapi perlu menjadi catatan bahwa ternyata filsafat Being and Time bukanlah kerja Heidegger yang utuh dan sempurna, sebab karya tersebut adalah karya yang ‘belum selesai’. Namun Heidegger cukup rajin menulis dan banyak tulisan-tulisannya dalam bentuk makalah kuliah atau seminar. Karena bentuknya yang cukup pendek dan ringkas, penelitian tentang filsafat Heidegger – terutama untuk filsafat arsitektur – perlu memperhatikan karya-karya lain untuk mendapatkan gambaran utuh terhadap pemikiran Heidegger akan suatu hal.
8.3.2. Filsafat Arsitektur Jawa Filsafat Arsitektur Jawa tidak berbicara pada tataran material/fisik, tapi pada tataran non-material/meta-fisik atau juga sering
juga disebut tan-ragawi, namun lebih khusus lagi pada aspek spiritual. Namun cara berpikir filsafat arsitektur Jawa terjadi secara gradual/ bertahap. Hal ini yang dipahami sebagai dialektika filsafat arsitektur Jawa. Tahapan itu adalah :
a) Dialog Dualistik-Kontras, yaitu dialog yang lebih berada pada ranah praksis keilmuan. Dialog ini lebih mengutamakan perbedaan. Dengan acuan pada pemikiran Heidegger, dialog dualistik-kontras lebih mengutamakan rasional dengan cara pemahaman ‘mata’ atau ‘pembacaan’ fisikal/material.
b) Dialog Dualistik-Mediatif, yaitu dialog yang berada pada ranah teoritikal keilmuan. Tataran ini lebih mementingkan ‘kesamaan’. Di sini bukan lagi memahami ‘yang hadir’ tapi sesuatu yang ‘tidak hadir’ di balik ‘kehadiran’, atau sering disebut dengan pemahaman meta-fisik.
c) Monolog Monistik-Spiritual, adalah tingkat tertinggi yang berada pada ranah filsafati keilmuan. Pada tataran inilah Heidegger tidak mampu ‘mengapainya’. Monolog monistik-spiritual adalah suatu pemahaman akan adanya ke-tunggal-an/keperpaduan dari segala yang berpasangan. Alat pahamnya bukan lagi rasional dan intuitif (cara ‘baca’dengan alat paham mata) tapi rasa/pure feeling (cara ‘dengar’dengan alat paham ‘telinga’). Arsitektur Jawa mengenal tipe atap tajug yang melingkupi suatu tempat ‘khusus’ (biasanya cungkup makam atau atap tempat ibadah – Masjid), namun ‘jejak/trace’ tersebut terlacak juga pada hunian orang Jawa yaitu dengan elemen struktur ander. Sedangkan dalam pemahaman sumbu horisontal, monolog monistik-spiritual terjadi di bagian terjauh, yaitu di senthong tengah pada hunian arsitektur Jawa omah; atau pada Masjid Agung.
Tahapan berpikir di atas, terutama pada monolog monistik-spiritual merupakan pembeda sekaligus sebagai aspek yang belum/tidak dibahas dalam filsafat arsitektur Heidegger. Filsafat arsitektur Jawa tidak hanya ‘mengumpulkan dan menyatukan’ tapi lebih pada proses ‘perkawinan’. ‘Pengumpulan dan penyatuan’ tidak membawa dampak generatif bagi ‘penghuni’ arsitektural. Namun dalam arsitektur Jawa, ‘perkawinan’ dua sumbu tersebut membawa dampak bagi ‘penghuninya’ yaitu ‘anak’ yang berwatak vertikal, mengacu pada filsafati Sangkan Paraning Dumadi (kesadaran akan dari mana asal dirinya dan kemana dia akan kembali) dan watak ‘horisontal’, yang mengacu pada nilai filsafati Memayu Hayuning Bawana (kesadaran akan tugas untuk memperindah kehidupan di dunia). Pada saat bersamaan arsitektur Jawa menjadi sarana ‘pengingat/reminder bagi orang Jawa terhadap nilai-nilai filosofi yang ada dalam kehidupan mereka. Dengan demikian arsitektur Jawa juga mengandung dan menyimpan nilai-nilai spritualitas dalam elemen-elemen arsitekturnya.
8.4. Konsekuensi Arsitektur Bagian ini berbicara tentang konsekuensi pada tataran praksis arsitektural, yaitu konsekuensi pada konsep perancangan dan
konsekuensi pada aplikasi.
8.4.1. Konsekuensi Konsep Perancangan Konsep dwelling dari Heidegger mempunyai konsekuensi bahwa tidak hanya mengumpulkan fourfold dalam karya arsitektur
tapi mempunyai dimensi preservation/ pemeliharaan. Dengan demikian penerapan konsep dwelling dalam arsitektur mempunyai kewajiban untuk melestarikan alam sekelilingnya.
Konsep manjing dari filsafat arsitektur Jawa mempunyai konsekuensi juga yang tidak hanya sekedar mengumpulkan dan memelihara tapi mempunyai konsekuensi pada aspek generatif / berkembang biak dalam proses perkawinan yang bertujuan pada ‘keberlanjutan/sustainable’, keberlangsungan proses kehidupan. Konsep manjing adalah konsep yang memahami sebuah proses kebaharuan dalam kehidupan, sebuah proses yang terus-menerus terjadi. Dimensi konsep ini adalah sumbu horisontal – tercermin dalam filsafat memayu hayuning bawana – dan sumbu vertikal – yang tercakup dalam filsafat sangkan paraning dumadi. Dengan kata lain, penerapan konsep manjing merupakan pertanggungjawaban manusia Jawa terhadap alam sekelilingnya dan kepada Sang Maha Peng-ada.
8.4.2. Konsekuensi Aplikasi Arsitektural Konsekuensi aplikasi arsitektural dalam sudut pandang filsafat arsitektur Heidegger tidak banyak hal baru yang bisa
disimpulkan, karena hal itu telah disajikan dengan sangat tepat dalam karya Peter Zumthor. Kepekaan memahami site dan potensinya, serta keputusan arsitektural yang demikian detail menunjukkan pemahaman yang luar biasa terhadap pemikiran Heidegger. Zumthor juga memilih bekerja di kota Haldenstein, sebuah kota kecil di Pegunungan Alpen di Swiss, bersama sebuah tim kecil terdiri dari 15 orang70. Pemilihan hunian Zumthor tersebut setara dengan pondok Heidegger di Todtnauberg.
Di sisi lain, karya Adi Purnomo yang ‘terbaca’ secara pemahaman filsafat arsitektur Heidegger dan ‘terdengar’ dalam pemahaman filsafat arsitektur Jawa, membuktikan bahwa karya kontemporer arsitek Indonesia mempunyai kemampuan untuk ‘terbaca’ sekaligus ‘terdengar’. Karya arsitektur memang mempunyai kemampuan yang multitafsir, namun saat karya arsitektur mampu dipahami dari dua sudut pandang yang berbeda (‘manca’ dan ‘jawa’), pada saat itulah karya tersebut mempunyai nilai lebih. Kehadiran karya Adi Purnomo juga sebagai konsekuensi definisi ‘Jawa’ yang mengacu pada kualitas kepribadian.
70 Sumber: http://www.pritzkerprize.com/laureates/2009/bio.html
Arsitektur ‘Jawa’ tidak lagi terpaku pada ‘joglo’ atau ‘limasan’ tapi menembus ruang dan waktu, sebab yang dipahami bukan lagi fisik tapi ‘semangat’ ke-Jawa-annya71.
8.5. Saran
[golek\
golek72
Sikap sombong yang amat tidak terpuji jika beranggapan bahwa semua aspek arsitektural Jawa telah terjawab dalam disertasi ini. Ada begitu banyak ‘catatan kritis’ yang harus dilanjutkan penelitiannya. Dari sekian banyak ‘catatan’ yang tertinggal dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini adalah sudut tinjau yang digunakan. Sudut pandang penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini berada pada ranah filsafat ke ranah arsitektur, sehingga banyak pemahaman yang bersifat ideal dan teks book. Unsur fenomena yang terjadi di masyarakat ‘kurang’ mendapat perhatiaan. Inilah yang dapat diisi dalam penelitian lanjutan dengan dasar penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini.
Sudut tinjau ‘wayang’ mungkin akan semakin menarik dan jauh lebih lengkap jika kemudian yang dihadirkan adalah sosok ‘Semar’ sebagai salah satu tokoh ‘asli’ hasil pemikiran orang Jawa (tidak terdapat dalam cerita Mahabharata atau Ramayana versi India atau versi ‘manca’ lain). Sosok ‘Semar’ sangatlah tepat dijadikan ‘titik berangkat’ pemahaman monistik-spiritual sebab dalam diri Semar-lah terkandung ‘ke-dewa-an’ dan ‘ke-manusia-an’ (dalam pengertian tamsil). Secara arsitektural juga dikenal dengan tipe Joglo Semar Tinandhu, Limasan Semar Tinandhu, Limasan Semar Pinondhong dan Rumah Kampung Semar Pinondhong, juga terdapat tipe atap untuk Masjid yaitu: Tajug Semar Sinongsong, Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung dan Tajug Semar Tinandhu (Hadiwidjojo & Prijotomo, 1993). Pertanyaan mendasar mengapa elemen atap tersebut memakai sebutan ‘Semar’ dalam tipe atap yang digunakan? Apakah ada kaitannya dengan monistik-spiritual? Hal-hal itulah yang belum bisa terjawab tuntas dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini.
Hasil penelitian ‘konsekuensi filsafati’ juga bisa di-seret ke ranah urban planning. Pemahaman Santoso terhadap kota-kota di Jawa (Santoso, 2008) dapat menjadi ‘teori pembanding’ terhadap monolog monistik-spiritual, dengan pertanyaan mendasar apakah dalam pemahaman kota Jawa terdapat aspek spirtual? Asumsinya jika monistik menjadi nilai filsafati yang ada dalam kehidupan orang Jawa, maka segala aspek ‘bentukan fisik’ akan mengacu pada nilai tersebut, termasuk dalam perencanaan kotanya.
Aspek lain yang bisa diangkat dengan dasar penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini adalah pada kesetaraannya terhadap kebudayaan di Indonesia/nusantara yang berbasis pada kebudayaan agraris. Apakah monistik-spiritual juga terjadi pada bentukan arsitektural pada kebudayaan berbasis agraris? Atau bisa juga diperluas hingga suku bangsa berbasis maritim, seperti Bugis yang mengenal posi’bola, sebagai tiang induk dalam hunian suku Bugis (Arifuddin & Darjosanjoto, Vol.3. No.2. March, 2011, Part IV). Dan masih banyak aspek yang bisa dikembangkan lagi.
Saran-saran diatas merupakan jabaran dari peluang-peluang penelitian lanjutan. Saran tersebut disampaikan sebagai sebuah konsekuensi manfaat penelitian yang membuka wawasan baru di bidang penelitian arsitektur. Kumpulan saran yang berupa kumpulan topik penelitian tersebut seakan memberi kesan bahwa penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini belum selesai dan hanya memunculkan topik penelitian baru. Pada kenyataannya saran itu dimunculkan karena memang ‘ruang lingkup’ penelitian arsitektural di bidang filsafat arsitektur belum banyak dilakukan sehingga menimbulkan kesan tersebut. Inilah lahan garapan yang begitu luas dan belum tergarap dengan baik.
71 Seperti yang didengungkan oleh Prijotomo dan Galih W. Pangarsa bahwa ‘arsitektur tradisional’ sudah mati. Arsitektur Nusantara selayaknya mengikuti jaman dan perkembangan masa (arsitektur nusantara mengkini). 72 Suatu adegan yang pada dasarnya sudah berada diluar babak pathet manyura dan sudah pula di luar babak pagelaran wayang kulit purwa, tetapi sering dimainkan oleh dalang setelah ia menyelesaikan seluruh pagelaran wayang kulit purwa. Adegan golek dilaksanan oleh seorang dalang wayang kulit purwa menggunakan wayang golek, yang kemudian disingkat penyebutannya menjadi golek. Istilah golek berarti boneka. Dalam hal ini wayang yang dimainkan oleh dalang berbentuk wayang golek dan menggambarkan seorang penari wanita, lengkap dengan riasan dan pakaian tarinya. Tujuan dari adegan ini adalah untuk menyuruh penonton ‘mencari makna dan hakikat inti cerita pada pagelaran wayang kulit purwa’ yang telah dibawakan sang dalang. Istilah golek dalam bahasa Jawa mempunyai dua pengertian yang berbeda. Pertama, istilah golek dapat diartikan sebagai boneka. Kedua, istilah golek dapat juga diartikan sebagai mencari. Kalimat golekana atau galeka berati carilah. (Palgunadi, 2002, p. 167)
9. C
arsitesewaj
9.1.
‘pemitinjauberdirIndonBelanbahwRomo1983)yang
dengaJawa tersebsematmenjasebag
9.2. T
pada Soeryserta Hip Htemba“Mata(karen
seperatau dPemikdirinyempucaranrumah
Prawokesad
CATATAN PPertanyaan m
ektur Indonesiajarnya juga ber
Terhadap PeHal apa yang ikiran arsitektu
uan kritis terharinya pengajarnesia? Tujuan nda dalam men
wa memang darondt menghara). Tapi apakamakin lama sePendidikan arsan keberadaan
mempunyai dbut. Sehingga ta, tapi juga peadi perhatian dgai ‘properti mu
Terhadap ArApakah belajafenomena yan
yadjaya dengankisah cinta Ka
Hop Foundatioang Sinom yanah Ati”, Java Hna bahasa yangRe-evaluasi in
rti fashion yangdigumuli dan ikiran Berarsiteya hanyalah sunya rumah. Bnya kembali meh” (Pangarsa, 2Dengan kontekoto tidak lagi
daran Eko Praw
PENUTUP mendasar dalama masa kini danrdampak bagi p
endidikan Abisa disumbanur Jawa’ terse
adap pengajararan/pendidikan
awal adanya ngerjakan pekeri awal ‘arsitekapkan di suatuah cita-cita tersemakin mirip, dsitektur Indonearsitektur Indo
dimensi spiritupada pendidikerlu mengasah dari dunia penduseum’ tapi me
rsitektur Nusar ‘tradisi arsiteng terjadi padn penata artistikanjeng Gusti Pon –dengan kong syairnya diHip Hop Foung digunakan adni juga diutarakg datang dan pitu tidak datanektur Bersama eorang ‘bidan
Bahkan pada kembangun keh2008, p. 47) ks ‘rumah ting
menggunakanwoto, sebagai
m bab IX inn masa mendaperkembangan
rsitektur Indngkan dari penebut bisa terwan/pendidikan an arsitektur di
pengajaran/peerjaannya di Ink Indonesia/pr
u saat nanti aksebut telah tercdan tanpa identesia yang masionesia/nusantaualitas dan dip
kan arsitektur p kemampuan o
didikan arsitektenjadi landas p
santara Konektur’ di Indonda ranah seni k Jay SubiyaktPangeran Adipoordinatornya Mikutip dari Ser
ndation berkesedalah bahasa Jakan Eko Prawopergi. Tapi adng dari luar tapEko Prawoto,
n’ yang membkasus Ngibikanhidupan yang s
gal’, Eko Prawn dialog dualiseorang arsite
ni adalah: Apaatang? Disertas arsitektur itu s
donesia nelitian ‘Konse
wujud dalam ararsitektur IndoIndonesia. Apendidikan arsitndonesia. (Sukribumi’ dididikkan ‘ditemukancapai? Mungktitas. ih mengedepanara itu sendiri. perlukan kemaperlu pendidikolah rasa/pure tur di Indonesipijak perkemba
temporer nesia berarti se
kontemporer to bisa digunakpati Arya MangMarzuki – yanrat Centhini )enian sangat ‘bawa sehari-harioto bahwa: “Ba persoalan-pepi dari dalam”2009). Dalam
bantu persalinan, berulang kalempat hancur
woto mengembstik, baik yan
ek, untuk meni
a manfaat pensi bukan hanyasendiri. Dengan
ekuensi Filsafarsitektur masa
onesia masa kinpa tujuan awal tektur di Indo
kada, 2011, ppk hanya untuk n’ yang disebukin kita bisa m
nkan ke-teknikPenelitian ‘konampuan olah an yang tidak feeling yang l
ia, sehingga ‘wangan arsitektu
ebuah pemuasadi Indonesia.
kan sebagai rujgkoenagoro I. ng meng-hiph; atau ber-hiph
barat’ (karena i). Bagaimana
Ber-arsitektur tiersoalan kebud” (nn, Arsitektu
konteks rumahan dari sang eli Eko Prawotokarena gempa,
angkan sikap bng kontras mauinggalkan ego
pn
nelitian ‘Konsa berdampak ten dasar itulah m
ati’ ini ke dalama kini? Hal yani. Tinjauan temula berdirin
onesia adalah p. 24-25). Dala
menjadi ‘tukaut arsitektur In
menjawabnya de
k-an dan kemamnsekuensi filsarasa/pure feelhanya sekadar
lebih mengarahwarisan’ arsitekur Indonesia..
an ‘romantismePentas tari ‘
jukan. Pentas t(Wisanggeni,
hop-kan beberhop dengan b‘bernyanyi’ dedengan arsitekidak sekadar sdayaan yang mur Sebuah Penh tinggal Eko Pempunya rumao menyampaik, itu yang lebih
ber-arsitektur yupun yang mearsitek tapi m
nutup
PANUTU
ekuensi Filsaferhadap selesamaka bab ini d
m arsitektur mang perlu dilakersebut harus dnya pengajaran
untuk mencetam penjelasan ang/ahli gambandonesia (Roesengan melihat
mpuan ‘juru gaafati’ ini membling dalam mer memahami ph pada aspek s
ktur tradisional
e’ belaka? AdaMatah Ati’ yari ini diangka2011). Atau f
rapa tembang ahasa Jawa. S
engan gaya ‘hipktur kontemportyle, tidak sek
menurut saya lencarian BersamPrawoto mengah. Rumah sekan kalimat beh penting darip
yang ‘monologediatif. Denga
menempatkan ‘
pPgel
UP PAGEL
fati’ bagi perkinya ‘tugas’ pe
disusun.
masa kini? Bagkukan adalah dilakukan dari n/pendidikan artak ‘asisten’ dBudi Sukada
ar’. Namun Prsmanto, 2009;
‘kota-kota’ di
ambar’ justru bbuktikan bahwaemahami arsitepengetahuan kespiritualitas. Hl tidak hanya d
a baiknya sedikang digarap o
at dari epos kepfenomena keloJawa ( lingsir
Setara dengan phop’) tapi sanrer di Indonesiaadar mencari yebih autentik dma: Sebuah Peggunakan metaepenuhnya ‘anerikut ini: “….Bpada sekadar m
g monistik-spiran kasus ‘rumakliennya’ seba
l/rn\
LARAN
kembangan eneliti, tapi
gaimana hal melakukan awal mula
rsitektur di dari arsitek dipaparkan
rofesor von Pragantha,
i Indonesia
berlawanan a arsitektur ektur Jawa e-teknik-an
Hal ini perlu ditempatkan
kit menoleh oleh Atilah pahlawanan ompok Java
weng atau pentas tari
ngat ‘jawa’ a? yang trend, dirumuskan rbincangan fora bahwa ak’ dari si Bagaimana
membangun
ritual’. Eko ah tinggal’ agai ‘orang
tua’ yarsite
Santaorang251).
berdirtersebarsiteNgibikarenMarydalamawal Marymerekyang (dalamrekonKompmungSulit/
pembkonte
Ary Irektor‘menjpiramyang karya
telah
73 http:74 Yanghttp://w75 Yanghttp://w
Gamb
Sayem
yang menanti kek, atau menyetDengan kontek
a Perawan marg lain. Namun
Mamo juga m“…..bukan semmembangkitkansemilir angin….Jabaran di atri/terbentuk dabut diperlukanektur yang monikan bukanlah
na dia sebelumyono – yang pam ber-arsitektu
mulanya salinyono, akhirnya ka dengan sukamemberi dan
m proses rekonnstruksi tersebpas kepada wagkin sesuatu ha/susah ditemui Telaah karya
banding yang emporer yang m
Indra melalui ral UI, dan mjatuhkannya –
mida – bentuk plabil dan goya
a-karyanya, ia tKehadiran arsada beberapa
//issuu.com/galihwg kemudian di ungwww.facebook.comg kemudian di ungwww facebook com
bar 40 Slider of Indra
Gambar 39 Skmbara Desain P
UI (Ary Ind
kelahiran ‘anaktarakan diri denks lain, dapat ria Ratu di Bloyang menjadi
makin menyadarmata gereja yangn suatu ‘rasa lain.” (Purnomo, 20tas adalah jaan posisi arsitn ‘organisasi’ nolog monistik proses top-do
mnya warga luada saat rekon
ur ‘monolog mng ‘berebut’ b
warga memaharela memberikmemaksakan
nstruksi) dengaut bisa terwuj
arga dusun. Orgal yang agak tidak berarti tiEko Prawotobelum masuk
mempunyai ku
karya sayembamengambil be
– sehingga mempiramida merupah. Ary Indra titelah melakukaitektur kontemarsitek yang m
wpangarsa/docs/loggah di catatan facm/note.php?note_iggah di catatan facm/note php?note i
f Joy, Rumah Ara
ketsa Ide Perpustakaan dra)
knya’. Tujuan ngan klien, tapdihadirkan Adok Q, Kebayo landas ‘kerjanri bahwa arsite
g memenuhi kebn’. Bukankah DI05, p. 250).
abaran ‘sikap’ tek dalam ‘m yang memp
k-spiritual terjaown atau ‘ins
uar dusun Ngibnstruksi hunianmonistik-spiritubahan bangunahami ‘kebutuhkan bahan terskehendaknya,
an warga dusunjud. Eko Prawganisasi/tata ksusah ditemui idak ada, hanyao dan Adi Puk sebagai kasalitas kepribad
Ary membahasGravitasi sejauh apaJawa yang
Padayang berjupada abtr‘bijak, kebtulisan lain
Universitas PBeyonce dan Dengan hadirseorang penciIndra menceribagi neneknyadia tidak sangwanita lain, sekemudian Arydan baginya:mengandung perempuan...”
Lalu apaara desain perentuk dasar pmpunyai posispakan stuktur yidak hanya menan monolog mo
mporer yang dimampu melaku
orong_gravitasi_nucebook Ary Indra pid=101503035969
cebook Ary Indra tid=101502134855
ry
kehidupan ditpi hanya seorandi Purnomo / Moran Baru, Jakanya’ adalah keektur hanyalah butuhan kekiniaIA datang denga
arsitek dalamembidani’ jab
perlancar ‘prosadi pada kasus struksi’ sepertbikan kemudia
n bertindak sebal’ bukan kekuan hasil bantuhannya’; sehinebut kepada w namun dia nyn. Dengan tujuwoto, hanyalahkerja yang nyaw
di masa kini, a kendala ‘pen
urnomo telah sus penelitian dian Jawa. Indra, salah ss karya Ary INusantara Koakah DNA arsg justru berperaa kuliah tamu pudul: “Syahrinrak makalah inbijakan’ yang dn Ary Indra un
Pancasila, JakaMemahami Z
rnya Syahrini dinta wanita. Haitakan keingina. Dalam kom
gat dekat secaraemuanya biasay Indra mencat: “….selayakn
unsur femin”76. a bukti fisik karpustakaan Uniiramida di pu
si terbalik. Deyang paling konempatkan kononistik-spirituaiwakili oleh Ekukan the spirit
usantara_kontempopada tanggal 26 Se917479 tanggal 24 Juni 20532479
tempatkan sebng ‘bidan/pembMamo. Dalam arta, Mamo mesadaran akan sekadar ‘wada
an saja, melainkan segala wujud…
m ‘berkarya’.bang bayi arsitses’ tersebut. dusun Ngibikai militer. Maryan pindah ke dbagai ketua RTuasaan yang b
uan, namun dengga pada saatwarga lain yang
yawiji/manunguan dan kepentih sebagai ‘pewiji (tidak hany saat ber-arsitegetahuan’ penemenjadi bagiadiatas. Hal
atu pendiri AbIndra dalam tuontemporer”73
sitektur nusantan dalam karyapada tanggal 24ni, Intuisi dan Ani Ary Indra dikontekskan dntuk Seminar
arta, 1 Juni 2Zumthor ; sedan Beyonce al ini makin k
nannya untuk mmunikasi melalu
a emosional dea saja. Demikiatat bahwa waninya kalau banin. Kalau di
arya arsitektur iversitas Indonuncak gedungengan bentuk pokok dan stabilnsep feminim sal dalam karya ko Prawotol, Aof Jawa denga
orer eptember 2011, da
11, dan dapat diba
agai landasan bantu’. sebuah karya
mengakui bahwnilai universal
ah’ yang sebaikkan memberi pe…kicau burung,
. Sikap ini ktektur tersebut‘Pembelajaran
an, Bantul. Rekryono menjalindusun tersebut
T – sangatlah pberperan tapi jengan ‘pengertt mereka merag lebih membutggal (dalam keingan yang samndamping’ daya menyatu tapektur lebih kepeliti yang meman dari peneliini untuk me
boday, adalah ulisan berjuduluntuk Slider Jtara dalam kara-karyanya? 4 September 20Arsitektur yanmenyampaika
dalam kalimat:Green In The 01175 diberi j
ebuah transisi dalam dua tul
kuat terasa saatmembangun sui media facebengan sosok wan juga denganita memang soangunan yangi bahasa per
Ary Indra angnesia berani ‘ tersebut danpiramida terbal – berubah mesebagai penyeiarsitekturnya.
Adi Purnomo dan benar. Eko
an dapat dibaca di
aca di
‘kerjanya’, bu
bangunan ibawa ia ‘bermainl akan ke-imanknya juga ‘terbeluang pada rua embun, dan me
kembali kepadt. Dalam prosn’ tentang ‘takonstruksi hunn hubungan det – dengan capenting. Akan ustru guyub-rutian’ dan ‘pemasa ‘berlebih’ dtuhkan. Maryoepentingan danma dan demi kan ‘penyambunpi juga ‘menjiwpada kepentin
mbatasi pemahaitian ‘konsekuelengkapi inter
arsitek profesl “DNA ArsitJoy, rumah Arya Ary Indra
011, Ary Indrang 'Berarti'”74. Han kata pener Sing bener duCity, Solusi Audul “MelihatMenuju Hidu
isan tersebut tt beliau menyaebuah kamar book, Ary Indr
wanita tertentu bn figus lelaki, sok yang mem
g bagus dan ancis, bangun
g mengadopsi kmelawan’ ke-m
n ‘meletakkannalik tersebut menjadi feminim mbang namun
dan Ary IndraPrawoto mem
ukan lagi ‘nafsu
adah, yaitu seb’ di halaman kn-an. (Purnombebaskan’. ang dan arsitektuentari pagi, bau t
da tujuan arsses ‘kelahiran’ata kerja/organnian yang terjadengan warga Nara ‘kekeluarga
tetapi yang peukun. Warga dmbinaan’ yangdengan bahan
ono tidak sepertn tujuan) dan ebersamaan, mng’ bantuan dwai) dalam began ‘transaksi
aman tersebut. uensi filsafati’ rpretasi karya
sional. Galih Wtektur Nias pa
Ary Indra. Perta? Apakah buk
a menyampaikaHal yang menyang dimakn
urung mesti penArsitektur untut Borobudur, up yang Berkterlihat Ary Inampaikan kuliamandi yang lra menyampaibaik ibu atau semua normal
megang dunia sp'balance' itu
nan itu kan
konsep feminimmaskulin-an dnya’ – atau l
maka ke-masku– karena menjjustru melebur
a merupakan bumiliki kualitas k
u egoisme’
uah Gereja ke-iman-an
mo, 2005, p.
urnya untuk tanah basah,
sitektur itu ’ arsitektur nisasi’ ber-di di dusun Ngibikan – aan’. Peran erlu dicatat dusun yang g dilakukan
bangunan, ti penguasa amor/awor
maka proses dari Harian er-arsitektur ekonomi’. ini. Perlu
a arsitektur
W.Pangarsa ada Lorong tanyaannya kan ‘DNA’
an makalah arik adalah ai sebagai: ner. Dalam
uk Bumiku, Menikmati
kelanjutan”. ndra adalah ahnya. Ary ebih bagus ikan bahwa nenek atau l saja. Tapi piritualitas,
u harusnya gendernya
m tersebut? dari gedung lebih tepat ulin-an dari jadi stuktur rnya dalam
ukti bahwa kepribadian
Jawa pada sikap berarsitektur dan pada pemahaman detail bangunan; Adi Purnomo pada kemampuan memahami karakter bahan bangunan dan Ary Indra menempatkan ‘wanita’ wujud spiritualitas kehidupan manusia.
Catatan pentutup ini telah membuktikan bahwa ada beberapa arsitek profesional telah melangkah dan berbuat untuk mencapai identitas arsitektur Indonesia/nusantara, dengan caranya masing-masing. Namun pencapaian tersebut merupakan proses panjang dan belajar terus-menerus. Alangkah indahnya jika dalam dunia pendidikan arsitektur juga mulai diajarkan untuk memahami seperti yang dialami oleh para arsitek tersebut. Berhentilah berpikir dan mulailah ‘merasakan’.
Saat gelap menjadi teman dan sahabat kehidupan
Mengapa harus mencari terang yang menyilaukan mata
Saat kerendahan hati menjadi nafas sehari-hari Mengapa harus rendah diri saat harus bertemu dengan teman dari manca
Saat kebersamaan menjadi jalinan keindahan negeri ini
Mengapa harus egois demi sebuah alasan akan materi
Saat dilahirkan menjadi manusia spiritual Mengapa memaksa diri untuk menjadi manusia rasional
Saat termenung dan tafakur…….
Kala berhenti berpikir dan membebaskan segalanya……. Pasrah ...
Daftar Pustaka
Adhikara, S. (1984). Nawaruci. Bandung : Penerbit ITB. Adian, D. G. (2002). Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer . Yogyakarta : Jalasutra. Arifuddin, & Darjosanjoto, E. T. (Vol.3. No.2. March, 2011, Part IV). Implications of Social-Cultural Values in The City Form
with Special Reference to Bugis Society, Indonesia. Intenational Journal of Academic Research , 1118-1125. Aryandini, W. (2000). Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa . Jakarta: Universitas Indonesia Press. Aryandini, W. (1996, Nopember). Pengaruh Islam Sufi dalam Serat Dewa Ruci. Majalah Cempala Edisi Bima . Ballantyne, A. (2007). Delueze and Guattari for Architects. London and New York: Routledge. Ballantyne, A. (2002). What is Architecture. London and New York: Routledge. Baru, S. (2001). India and ASEAN : The Emerging Economic Relationship toward a Bay of Bengal Community. New Delhi:
Indian Council For Reserch on International Economic Relationship. Behren, T. (2002, January). Konsep Korpus dan Pengkajian Teks Jawa. Retrieved 2009, from University of Auckland:
http://www.arts.auckland.ac.nz/asia/tbehrend/korpus.htm Benamou, M. (2010). Rasa: Affect and Intuition in Javanese Musical Aesthetics. New York: Oxford University Press. Benjamin, A. (2000). Architectural Philosophy. New Jersey: The Athlone Press. Bratawijaya, T. W. (1987). Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: PT. Pradya Paramita. Burckhardt, T. (2009). Art of Islam : language and meaning. Indiana: World Wisdom, Inc. C.F. Winter & R.Ng. Ranggawarsita. (1990). Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Carroll, N. (1999). Philosophy of Art: a contemporary introduction . London & New York: Routledge. Ciptoprawiro, A. (2000, cetakan ke 2). Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka . Clark, T. (2002). Martin Heidegger . London and New York: Routledge. Copeland, P., & Link, A. (2003). Soul Sex: tantra for two. New Jersey: New Page Books. Daliman. (2001). Makna Simbolik Nilai-Nilai Kultural Edukatif Bangunan Kraton Yogyakarta: Suatu Analisis Numerologis dan
Etimologis. Humaniora, Vol XIII no 1 , 10-21. Deleuze, Gilles & Guattari, Felix. (1994). What is Philosophy. New York: Columbia University Press. Delueze, G. (1995). Negotiations: 1972-1990. New York: Columbia University Press. Derrida, J. a. (1997). Chrora L Works. New York: The Monacelli Press. Djaya, A. K. (2003). Pewaris Ajaran Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Doorn-Harder, N. v., & de Jong, K. (2001). The Pilgrimage to Tembayat: Tradition and Revival in Indonesian Islam . The Muslim
World, vol 93 , 325-354. Dybel, P. (2005). The Idea of Phenomenology as a Description of "Die Sachen Selbst" in Husserl and Heidegger. In A.
Wiercinski, Between Description and Interpretation: The Hermeneutic Turn in Phenomenology (pp. 247-258). Hermeneutic Press.
Eliade, M. (1957). The Sacred and The Profane: The Nature of Religion. New York: A Harvest Book, Harcourt, Brace&World, Inc.
Empu Widayaka. (1929, cetakan ke V). Serat Dewa Ruci. Kadhiri: Tan Khoen Swie. Endraswara, S. (2003). Falsafat Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala. Endraswara, S. (2008). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo. Frampton, K. (1996). On Reading Heidegger. In K. (. Nesbitt, Theorizing A New Agenda for Architecture: an anthology of
architectural theory 1965-1995 (pp. 442-446). New York : Princeton Architectural Press.
Gautama, A. G. (2006). Kajian tentang Fenomenologi Heidegger dengan Obyek Uji Teks Arsitektur Wastu Citra Mangunwijaya. Surabaya: Tesis Program Pascasarjana Arsitektur, Bidang Keahlian Perancangan dan Kritik Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Novembe.
Gray, G. (2004). Introduction. In M. Heidegger, What is Called Thinking? (G. Gray, Trans., pp. vi-xvi). New York: Perennial. Groat, L. (2002). Quatitative Research. In L. G. Wang, Architectural Research Methods (pp. 173-202). New York: John
Wiley&Sons, Inc. Hadiwidjojo, R., & Prijotomo, J. (1993). Identifikasi Konstruksi Bangunan Tradisional Jawa. Surabaya: Jurusan Teknik
Arsitektur, FTSP, Pusat Penelitian ITS (tidak dipublikasikan). Hanggo, H. (2011, Minggu II Juli). Tingalandalem Jumenengan ke VII SISKS PB XIII: Sarana Manunggaling Kawula-Gusti.
Jayabaya no 45 , pp. 6-7. Hardjowirogo, M. (1994, cetakan ke-4). Manusia Jawa. Jakarta: CV Hadi Masagung. Hariwijaya, M. (2004). Filsafat Jawa: Ajaran Luhur Warisan Leluhur. Yogyakarta: Gelombang Pasang. Harjanto, V. W. (no.14, 2001). Spiritualitas dan/atau Teologi. Jurnal Filsafat dan Teologi , 107-123. Heidegger, M. (1996). Being and Time (a translation of Sein und Zeit). (J. Stambaugh, Trans.) New York: State University of
New York. Heidegger, M. (1971). Poetry Language Thought. (A. Hofstadter, Trans.) New York: Harper & Row. Heidegger, M. (1992). The Concept of Time. Oxford: Blackwell. Heidegger, M. (2004). What is Called Thinking. New York: Perennial. Heynen, H. (1999). Architecture and Modernity : a critique. Massachusetts : MIT Press. Hidayat, A. (2001). "Kritik atas Hermeneutik Gadamerian dengan Kasus Primbon Jawa Pandita Sabda Nata dalam Konteks
Wacana Arsitektur". Surabaya: tidak dipublikasikan, Tesis Magister Program Studi Arsitektur Bidang Keahlian Perancangan dan Kritik Arsitektur, Pasca Sarjana, ITS.
Hidayat, A. (2010). AntengKitiran: Melacak Surasa Kajaten dalam Omah Jawa. Seminar Jelajah Arsitektur Nusantara 101010. Surabaya: Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur.
Hidayat, A. (2008). Morfologi Lintas-Nusa Arsitektur Nusantara : 9 Bibit Pembabadan Sejarah (Bentuk) Arsitektur. Seminar Nasional Ke-Bhinneka-an Bentuk Arsitektur Nusantara (pp. 376-389). Surabaya: Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur.
Hidayat, A. (2009). Ruang Jawa, Ruang Sangkan-Paran, Ruang Watak 9. Seminar Nasional Ke-Bhineka-an Ruang di Arsitektur Nusantara. Surabaya: Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur.
Hidayatun, M. I., & Wonoseputro, C. (June 2005). Telaah Elemen-elemen Arsitektur Gereja Puhsarang Kediri, sebuah pengayaan kosakata arsitektur melayu (nusantara). International Seminar on Malay Architecture as Lingua Franca (pp. 308-317). Jakarta: Trisakti University.
Hofstadter, A. (2001). Introduction . In M. Heidegger, Poetry, Language, Thought (pp. ix - xxii). New York: Perennial Classics. Indriastjario. (2009). Change and Heritage in The Architecture of Omah Pencu Kudus, Kudus, Central Java Provience, Indonesia .
4th International Symposium of Nusantara Urban Research Intitute (NURI). Semarang: Architecture Department of Engineering Faculty, Diponegoro University.
Jackson, R. R. (2004). Tantrik Treasure: Three Collections of Mystical Verse from Buddhist India . New York: Oxford University Press.
Jarzombek, M. (2000). Post-1950s Architecture, Disiplinary Problematics. Journal of Architectural Education, ACSA Inc , 67. Karatani, K. (1995). Architecture as Metaphor: Language, Number, Money. Massachusetts: Massachusetts Institute of
Technology. KGPAA Mangkunagoro IV. (1975). Wedhatama. Surakarta: Yayasan Mangadeg. Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka. Korab-Karpowicz, W. J. (2007). “Martin Heidegger (1889-1976)”. Retrieved May 22, 2008, from
http://www.iep.utm.edu/h/heidegge.htm#H2 Kusbandrijo, B. (2007). Pokok-Pokok Filsafat Jawa. In P. P. Javanalogi, Menggali Filsafat dan Budaya Jawa (pp. 11-37).
Surabaya: Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudyaan Panunggalan, Lembaga Javanologi Surabaya. Laksono. (2009). Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta: Kepel Press. Leach, N. (1998, September 16). The Dark Side of The Domus. Journal of Architecture, Vol. 3, Spring , 1-12. Leach, Neil (ed). (1997). Rethinking Architecture. London and New York: Routledge. Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. Massachusetts: Basil Backwell, Inc. Lombard, D. (2005 (2)). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2 Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lombard, D. (2005 (3)). Nusa Jawa: Silang Budaya, bagian 3 : warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris . Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. Ludewig, A. (2007, August issue 4). Home Meets Heimat. Retrieved October 3, 2011, from M/C Journal : http://journal.media-
culture.org.au/0708/12-ludewig.php Magnis-Suseno, F. (2005). Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Magnis-Suseno, F. (1995). Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mangunwijaya, Y. (1995). Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya beserta Contoh-
contoh Praktis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Marying, P. (2000, June). Qualitative Content Analysis. Retrieved April 30, 2009, from Forum Qualitative Sozialforschung/
Forum: Qualitative Social Research [on-line journal]: http://qualitative-research.net/fqs/fqs-e/2-00inhalt-e.htm Maulana, R. (Juni 2002). Siva Mahadewa: Suatu Analisis Ikonografi di Jawa masa Hindu-Buddha. Makara, Sosial Humaniora,
Vol 6 no 1 . May, R. (1996). Heidegger's Hidden Sources: East Asian influences on his work. London and New York: Routledge. McGinn, M. (1997). Wittegenstein and The Philosophical Investigations. New York: Routledge.
Mostafavi, M. (1996). Peter Zumthor: Thermal Bath at Vals. Architectural Association Publication, London . Mrazek, J. (2005). Phenomenology of Puppet Theater: Comtemplations on The Arts of Javanese Wayang Kulit. Leiden: KITLV
Press. Mulkhan, A. M. (2001). Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Mulkhan, A. M. (2002). Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Mulyono, S. (1987, Cetakan ke II). Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: PT. Gunung Agung. Mundayat, A. A. (2005). Ritual and Politics in New Order Indonesia: A Study of Discourse and Counter-Discourse in Indonesia.
Swinburne: unpublished, Thesis for Degree of Doctoral of Philosophy in School of Social an Life Sciences Swinburne University of Technology.
Muqoffa, M. (2010). Rumah Jawa Dalam Dinamika Peruangan dan Hubungan Gender; Kasus : Komunitas Kampung Batik Laweyan Surakarta. Surabaya: Disertasi Program Doktor Bidang Keahlian Arsitektur Jurusan Arsitektur FTSP ITS Surabaya (tidak dipublikasikan).
Muryanto, S. (2004). Ajaran Manunggaling Kawula Gusti . Yogyakarta: Kreasi Wacana. Musbikin, I. (2010). Serat Dewa Ruci: Misteri Air Kehidupan . Yogyakarta: Diva Press. Nartosabdo (Composer). (tt). Banjaran Durna. www.wayangprabu.com/mp3-wayang/ki-nartosabdho/. Nartosabdo (Composer). (1985). Bima Suci. Dahlia Record. Nartosabdo (Composer). (1979). Lakon Dewaruci. Kusuma Recording. Nesbitt, K. (. (1996). Theorizing ANew Agenda For Architecture : An Anthology of Architectural Theory 1965-1995. New York:
Princenton Architectural Press. Ngabehi Ranggasutrasna, dkk. (2008). Serat Centhini: Tambangraras-Amongraga (jilid III). Jakarta: Balai Pustaka. Nik/M-1. (2011, Februari 10). Tahun ini Kepatihan Kebagian Gunungan. Koran Harian Kedaultan Rakyat , p. 15. nn (Director). (2009). Arsitektur Sebuah Pencarian Bersama: Sebuah Perbincangan Pemikiran Berarsitektur Bersama Eko
Prawoto [Motion Picture]. nn. (1980). Serat Jatimurti. Surabaya: Yayasan UP Djojobojo. nn. (2007, February). The Significance of Mahashivratri. Aradhana . Norberg-Schulz, C. (2000). Architecture : Presence, Language, Place. Milan: Skira Editore. Norberg-Schulz, C. (1996). Heidegger's Thinking on Architecture. In K. (. Nesbitt, Theorizing a New Agenda for Architecture: an
anthology of architectural theory 1965-1995 (pp. 430-439). New York: Princeton Architectural Press. Ostrow, M. B. (2002). Wittgenstein's Tractatus : A Dialectical Interpretation. Cambridge, United Kingdom: Cambridge
University Press. Padoux, A. (2002). What Do We Mean by Tantrism? In K. A. Harper, R. L. Brown, & (eds), The Roots of Tantra (pp. 17-24).
New York: State University of New York. Paku Buwana V. (1985). Serat Centhini. Yogyakarta: Yayasan Centhini. Palgunadi, B. (2002). Serat Kanda Karawitan Jawi. Bandung : ITB. Pallasmaa, J. (2005). The Eyes of The Skin: Architecture and the Senses. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. . Pangarsa, G. W. (2009). "Arsitektur Berbudaya : Kemasan Nilai Hakiki Berlanggam Bahasa Negeri". In D. (eds), Percikan Para
"Begawan" Arsitek Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi. Bandung: PT. Alumni. Pangarsa, G. W. (2008). Arsitektur untuk Kemanusiaan: Teropong Visual Culture atas karya-karya Eko Prawoto. Surabaya: PT.
Wastu Lanas Grafika. Pangarsa, G. W. (12-13 September 2008). Bahtera Kemanusiaan Nusantara di Laut Karawitan Arsitektur. Seminar Nasional Ke-
Bhinneka-an Bentuk Arsitektur Nusantara (pp. 1-8). Surabaya: Jurusan Arsitektur FTSP ITS. Pangarsa, G. W. (March 6-7, 2011). Java: The Balance Point of Phenomenon's Pairs Wong Jowo Kelangan Jawane. Internatioal
Seminar: Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen The Nation Identity (pp. 18-27). Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Pangarsa, G. W. (2011). Kearifan Lokal: Titik Perimbangan Kesepasangan Fenomena. Seminar Nasional: The Local Tripod (p. keynote speech). Malang: Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang.
Pangarsa, G. W. (2006). Merah Putih Arsitektur Nusantara. Yogyakarta: Andi . Pangarsa, G. W. (2010). Politik Makna, Politik Kebudayaan: Sebuah Catatan Pinggir atas Perkembangan Arsitektur di Indonesia.
Seminar Nasional Jelajah Arsitektur Nusantara: Ke-Bhineka-an Makna Arsitektur Nusantara . Surabaya: Lab. Perkembangan Arsitektur, Jurusan Arsitektur, FTSP, ITS.
Parmono, R. (1985). Menggali Unsur-unsur Filsafat Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset. Peresthu, A. (2000). “Harga Sebuah Retorika!”. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 28, No. 2, Desember 2000, Universitas Kristen
Petra, Surabaya , 63 – 70. Pragantha, W. (1983). Dua Tokoh Pembentuk Arsitektur Indonesia. In E. Budihardjo, Menuju Arsitektur Indonesia (pp. 159-167).
Bandung: Alumni. Prawiraatmadja (ed). (1958). Kitab Dewarutji. Jogjakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementrian Pendidikan,
Pengadjaran dan Kebudajaan. Prawiroatmodjo. (1981, cetakan ke 2). Bausastra Jawa-Indonesia . Jakarta: Gunung Agung. Prijothoetomo. (1934). Nawaruci: Inleiding, Middel-Javaansche Prozatekst, Vertaling. Den Haag: Bij J.B. Wolters Uitgevers-
Maatschappij N.V. Prijotomo, J. (2002). "Serat Balewarna, Jawa menolak Jawa ataukah Rasionalisasi Pengetahuan Arsitektur Jawa". Jurnal Dimensi
Teknik Arsitektur vol 30 no 1 Juli 2002, Universitas Kristen Petra, Surabaya . Prijotomo, J. (2006). (Re)-Konstruksi Arsitektur Jawa : Griya Jawa dalam Tradisi Tanpatulisan. Surabaya: PT. Wastu Lanas
Grafika. Prijotomo, J. (Juli 1999). Griya dan Omah: Penelusuran Makna dan Signifikasi di Arsitektur Jawa. DIMENSI TEKNIK SIPIL Vol.
27, No. 1 , 30-36.
Prijotomo, J. (2000). Konkuensi Arsitektur Metafora Rumah Jawa: Kajian Atas Kawruh Griya dengan Ancangan Hermeneutika. Surabaya: Llaporan penelitian Jurusan Arsitektur, FTSP, Lembaga Penelitian ITS (tidak dipublikasikan).
Prijotomo, J. (2004). Tajug dan Tajuk di Arsitektur Jawa. In J. Adiyanto, Kembara Kawruh Arsitektur Jawa (pp. 189-202). Surabaya: Wastu Lanas Grafika.
Prijotomo, J., & Sulistyowati, M. (2009). Nusantara Architecture as Tropical Architecture. Surabaya: ITS Press. Prijotomo, J., Widyarta, M. N., Hidayat, A., & Adiyanto, J. (2009). Ruang di Arsitektur Jawa: sebuah wacana. Surabaya: Wastu
Lanas Grafika. Prijotomo, Josef dan Widyarta, M. Nanda. (2009). Jirim, Rong, Ruang - catatan-catatan awal keruangan arsitektur nusantara
dengan kasus arsitektur jawa. Seminar Nasional Kebhinekaan Ruang di Arsitektur Nusatantara (pp. XVII-1 - XVII-14). Surabaya: Jurusan Arsitektur, FTSP, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).
Purnomo, A. (2005). Relativitas : arsitek di ruang angan dan kenyataan. Jakarta: Borneo Publications. R.Tanaya. (1979). Bima Suci. Jakarta: PN Balai Pustaka. Raffles, T. S. (2008). History of Java. (H. Simanjuntak, R. B. Santosa, Eds., E. Prasetyaningrum, N. Agustin, & I. W. Mahbubah,
Trans.) Yogyakarta: Narasi. Rajchman, J. (2000). The Delueze Connection. Cambridge, Massachusetts, London: The MIT Press . Rapar, J. H. (1996). Pengantar Filsafat . Yogyakarta: Kanisius. Rawes, P. (2007). Irigaray for Architects. London and New York: Routledge. Respati, P. D. (2010). Dari Pakeliran Adiluhung ke Pakeliran Glamor-Spektakuler: Pertunjukkan Wayang Kulit Purwa Gaya
Surakarta dalam Perubahan Budaya. In S. Margana, Kota-Kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial . Yogyakarta: Ombak.
Riyadi, S. (1996). Ha-Na-Ca-Ra-Ka : Kelahiran, Penyusunan, Fungsi dan Makna. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Robson, S., & Wibisono, S. (2002). Javanese-English Dictionary. Hongkong: Periplus Edition. Roesmanto, T. (2009). "Arsitektur dan Pendidikan Arsitektur di Indonesia dari Era Kewastuan hingga Kesejagatan". In D. (eds),
Percikan Pemikiran Para "Begawan" Arsitek Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi. Bandung: PT. Alumni. Roesmanto, T. (November 2002). A Study of Traditonal House of Northern Central Java, case study of Demak and Jepara.
Journal of Asian Architecture and Building Engineering , 219-226. Rolf von Eckartsberg and Roland S. Valle. (1981). Heideggerian Thinking and Eastern Mind. In R. S. Valle, & R. v. Eckartsberg
(Eds.), Metaphors of Consciousness (pp. 287-311). New York and London: Pleneum Press. Sadler, S. (2006). Foreword. In A. Sharr, Heidegger’s hut (pp. ix - xiv). Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Saliya, Y. (1986). Notes on The Architectural Identity in The Cultural Context. MIMAR 19: Architecture in Development , 32-33. Santosa, R. B. (2000). Omah. Yogyakarta: Bentang. Santoso, S. (2008). Arsitektur-kota Jawa: Kosmos, Kultur dan Kuasa . Jakarta: Centrapolis- Magister Teknik Perencanaan
Universitas Tarumanegara. Sena Wangi-tim penulis. (1990). Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta: Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia. Sharr, A. (2007). Heidegger for Architects. London and New York: Routledge. Sharr, A. (2006). Heidegger's Hut. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Shastri, A. M. (1996). Saka Era. Indian Journal of History of Science , 67-88. Sheyholislami, J. (2001). Critical Discouse Analysis. Retrieved January 26, 2009, from , http://http-
server.carleton.ca/~jsheyhol/articles/what%20is%20CDA.pdf Sims, M., & Stephens, M. (2005). Living Folkore: An Introduction to The Study of People and Their Traditions. Utah: Utah State
University Press. Sinnerbrink, R. (2007, vol 3, nos 2-3). Sein und Geist: Heidegger’s Confrontation with Hegel’s Phenomenology. Cosmos and
History: The Journal of Natural and Social Philosophy , 132-152. Siregar, L. (2008). Makna Arsitektur : Suatu Refleksi Filosofis. Jakarta: UI-Press. Soebardi. (1975). The Book of Cabolek . Leiden: Koninklijk Instituut voortaal-, Land-en Volkenkunde. Soekmono. (1976). Chandi Borobudur: A Monument of Mankind. Paris: The UNESCO Press. Soesilo. (2000). Ajaran Kejawen: Philosofi dan Perilaku. Yogyakarta: Yusula. Soja, E. W. (1996). Thirdspace: Journey to Los Angeles and Other Real-and-Imagined Places. Massachusettes: Blackwell
Publishers Ltd. Stambaugh, J. (1996). Author's Preface to the Seventh German Edition . In M. Heidegger, Being and Time (p. xvii). New York:
State University of New York. Steiner, R. (1995). Intuitive Thinking as A Spiritual Path. New York: Anthroposophic Press. Stern, D. G. (2004). Wittgenstein's Philosophical Investigation: An Introduction . Cambrige: Cambridge University Press. Sudrija, M. S. (1919). Layang Balewarna: Amratelakake kahananing bale pomahane wong cilik ing tanah jawa, lan wununtun
amurih raharjaning omah-oman. Bale Pustaka . Sukada, B. (2011). Membuka Selubung Cakrawala "Arsitek Soejoedi". Jakarta: Gubah Laras, Arsitek dan Perencana. Sumukti, S. (1997). Gunungan: The Javanese Cosmic Mountain. Ann Arbor: unpublished, Dissertation of The University of
Hawai, Doctor of Philosophy in Anthropology. Supriadi, B. (2010). Ruang Jawa: belajar dari dunia perwayangan. Semarang: Naskah Sidang Terbuka Program Doktor
Arsitektur dan Perkotaan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro; tidak dipublikasikan. Suseno, F. M. (1990). Etika Jawa: sebuah analisa fasafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Susetya, W. (2007). Dhalang, Wayang dan Gamelan . Yogyakarta: Narasi. Suwangsa, J. (2006). Aja Dumeh: Spritualitas Titah, bacaan tentang olah batin wong Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusatama. Suwardi. (April 2002). Mistik Kejawen di Hotel Natour Garuda. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol 7 no.1 , 71-94. Tarigan, A. (2008, November – Desember). Posmodern Platon. Majalah Basis No 11-12, tahun 57 .
Tartono, S. (2009). Pitutur Adi Luhur : Ajaran Moral dan Filosofi Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Tim Penyusun KBBI. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tjahjono, G. (2004). Naskah (dan Teks) dalam Kajian Arsitektur. In Adiyanto(ed), Naskah Jawa Arsitektur Jawa (pp. 3-27).
Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Tjaya, T. H. (2010, November). Tanggung Jawab terhadap 'Yang Lain' dalam Pluralitas: menggali etika politik Emmanuel
Levinas. Makalah Seri Kuliah Umum Komunitas Salihara . Van Dijk, Teun A. (1998). Critical Discourse Analysis. Retrieved January 24, 2009, from
http://www.discourses.org/OldArticles/Critical%20discourse%20analysis.pdf Ven, C. v. (1991). Ruang dalam Arsitektur . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Voet, C., & Schoonjans, Y. (2009). DOM HANS VAN DER LAAN’S ARCHITECTONIC SPACE: as a contemporary
interpretation of connaissance poetique within sacred architecture. 2nd International Conference on Contemporary Religious Architecture. Ourense, Spanyol: Colexio Oficial de Arquitectos de Galicia (Ourense Branch) Sáez Díez 7, Bajo, Ourense (Spain).
Wahyudi, M. A. (2006). Korelasi Tata Ruang Rumah Kuno di Krajan Kulon terhadap Tata Ruang Kota Kaliwungu. Semarang : Tidak dipublikasikan, Tesis Magister Teknik Arsitektur, Program Pasca Sarjana UNDIP Semarang.
Widyarta, M. N. (2006, Juli vol 34 no 1). “Virtualitas dan Realitas Refleksi Singkat atas Arsitektur Diagramatik pada Dekade 1990-an”. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Juli vol 34 no 1, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra , 1-6.
Wiryomartono, B. P. (2001). Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wisanggeni, A. (2011, Mei 15). "Matah Ati" Menyambar Hati. Harian 'Kompas' , p. 15. Wojowasito, S. (2000). Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Yorgancioğlu, D. (2004). Steven Holl: A Translation Of Phenomenological Philosophy Into The Realm Of Architecture. Thesis
Master of Architecture: Middle East Technical University . Zoetmulder. (2000). Manunggaling Kawula Gusti : Pantheisme dan Monotheisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta: Gramedia. Zoetmulder, P. J. (1935). Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur. Utrecht: Uitgeverij J.J. Berkhout
Nijmegen. Zoetmulder, P. (1994). Pantheism and Monism in Javanese Suluk Literature. Leiden: KILV Uitgeverij. Zoetmulder, P., & Robson, S. (2004, cetakan ke 4). Kamus Jawa Kuno - Indonesia. (Danasuprata&Suprayitna, Trans.) Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Zumthor, P. (1998). Thinking Architecture. Basel-Switzerland: Birkauser-Publisher for Architecture. Zumthor, P., & Binet, H. (1998). Peter Zumthor Works: Building and Projects 1979-1997. Basel: Baden Lars Muller.
BIODATA Nama : Johannes Adiyanto NIP : 19740926 200604 1 002 Pangkat/Golongan : Penata Muda Tk 1/ IIIb Jabatan Fungsional : Asisten Ahli Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 26 September 1974 Nama Istri : Veronica Dwi Yantina Nama Anak : Anastasia Widiyanti (†) Alamat Kantor : Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Jl. Raya Prabumulih KM. 32 Indralaya 30662 Telp 0711-580062 Alamat Rumah : Jl. Makrayu Lrg. Kiara Kuning 18 RT 18 RW 09 Kelurahan 32 Ilir Kecamatan Ilir Barat II Palembang Sumatera Selatan Telp 0711 - 365892 Email : [email protected] Riwayat Pendidikan Tinggi 1. 1999 – Sarjana Teknik dari Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang 2. 2003 – Magister Teknik dari Jurusan Arsitektur Bidang Keahlian Perancangan dan Kritik Arsitektur, Intitut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya Riwayat Pekerjaan 1. 1999- 2001: CV. Sumber Jaya , Tegaljaya-Dalung, Kuta, Bali 2. 2004-2006 : Staf Pengajar Jurusan Teknik Arsitektur Sekolah Tinggi Teknik Musi, Palembang 3. 2006- sekarang: Staf Pengajar Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Keanggotaan dalam Organisasi
modern Asian Architecture Network- mAAN (Indonesia) – core member Karya Ilmiah (sejak 2008) 1. 2008 - Transformasi Bentuk Arsitektural Hunian Masyarakat Keturunan China di Palembang (pembacaan arsitektural dengan
metode hermeneutika fenomenologi; Seminar Nasional Ke-Bhinneka-an Bentuk Arsitektur Nusantara, Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Surabaya 12-13 September 2008; ISBN 978-979-3334-07-3.
2. 2009 - Studi Ruang Arsitektural pada Lakon Wayang (Aplikasi Metode Sastra pada Penelitian Arsitektur); Seminar Nasional Penelitian Arsitektur Metode dan Penerapannya, Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro, Semarang 16 Mei 2009; ISBN 978-979-704-747-4.
3. 2009 - “Ruang Jawa” (Dialog Ruang Arsitektural Suryomentaram dan Lakon Dewa Ruci); Seminar Nasional Ke-Bhineka-an Ruang di Arsitektur Nusantara, Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Surabaya 9 Oktober 2009; ISBN 978-979-3334-09-7.
4. 2010 - Hastabrata : Eco-philosophical Architecture bagi Masyarakat Jawa (re-reading dan re-writing Pemahaman Lakon Wahyu Sri Makutarama); Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta 16 Januari 2010; ISBN 978-602-96240-1-4.
5. 2010 - Mendengar Arsitektur (Memaknai Arsitektur Jawa Melalui ‘Bunyi’); Seminar Jelajah Arsitektur Nusantara 101010,Jurusan Arsitektur FTSP ITS, Laboratorium Perkembangan Arsitektur , Surabaya 11 Oktober 2010; ISBN 978-979-3334-14-1.
6. 2010 - Memahami Arsitektur dan Kota dengan ‘Menghuninya’ (sebagai pelengkap pendidikan formal arsitektur); Seminar Nasional 60 Tahun Pendidikan Arsitektur dengan tema “Pendidikan Arsitektur dan Tantangan Lingkungan Masa Depan”, Program Studi Arsitektur Intitut Teknologi Bandung (ITB), 16 Oktober 2010; ISBN 978-602-97836-1-2.
7. 2011 - Understanding of Harmony in Lakon Wayang (Exploration Local Knowledge for Global Issues); CIB International Conference – Architecture Department – DWCU, Yogyakarta,January 21-22, 2011; ISBN 979-813-996-8.
8. 2011 - Local Wisdom vs Genius Loci vs Cerlang Tara (kajian penggunaan istilah arsitektural dan konsekuensinya); Seminar Nasional, The Local Tripod, Akrab Lingkungan, Kearifan Lokal dan Kemandirian; Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, 26 Maret 2011; ISBN 978-979-15557-1-5.
9. 2011 - Ngibikan Village: Spirituality Design in Javanase Architecture; Nakhara, The Chulalongkorn University Faculty of Architecture Journal of Environmental Design and Planning; Vol 7, October 2011 Theme “History in Design: Writing Asian Modernity”.
Kegiatan Ilmiah (sejak 2005) 1. 2005 - “mAAN Melaka Comprehensive Inventory Workshop – Melaka, Malaysia”; Maret 2005; Kerjasama antara : mAAN,
The University of Malaya (Malaysia) dan The University of Tokyo (Jepang) 2. 2005 - Pansumnet 2nd training of Capacity Building for Heritage Conservation in Sumatra. (Juli 2005) 3. 2005 - “mAAN Comprehensive Inventory Workshop Jakarta”; November 2005; Kerjasama antara : mAAN, Universitas
Tokyo dan Universitas Trisakti Jakarta. 4. 2007 - Inventarisasi “Silaban Archieve Inventory 1 : 12-25 Juli 2007 di rumah Silaban Bogor; diselenggarakan oleh
Universitas Tarumanegara, Center for Sustainable Urban Regeneration (cSUR) Universitas Tokyo dan mAAN (modern Asian Architecture Network).
5. 2010 - Workshop Inventarisasi “Silaban Archieve Inventory 2 : 7-17 Januari 2010 di rumah Silaban Bogor; diselenggarakan oleh mAAN (modern Asian Architecture Network) Indonesia.