dialektika agama dan sains

31
DIALEKTIKA AGAMA DAN SAINS: Upaya Menemukan Pemahaman Integratif dalam Bingkai Filsafat M. Lutfi Mustofa A. Pendahuluan Sedikitnya ada dua fenomena menarik dalam realitas kehidupan kontemporer. Pertama, ilmu pengetahuan dengan corak empiris dan metode kuantitatifnya cenderung menduduki “peran utama”. Kedua, pada beberapa kalangan mengalami semacam “kegairahan beragama”. Fenomena pertama, yang sedikit atau banyak dipengaruhi oleh perkembangan positivisme August Comte dengan hukum tiga tahapnya, 1 telah merombak tatanan kehidupan manusia. Dengan 1 Dalam karyanya, Cours de philosophie positive dan Discours sur l’esprit Positive, August Comte menjelaskan bahwa sejarah umat manusia, juga jiwa manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak dan tahap positif atau riil. Lihat Koento Wibisono Siswomihardjo, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme August Comte, (Yogyakarta: UGM Press, 1983), 11.

Upload: m-lutfi-mustofa

Post on 12-Jun-2015

1.517 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dialektika Agama dan Sains

DIALEKTIKA AGAMA DAN SAINS:Upaya Menemukan Pemahaman Integratif dalam Bingkai Filsafat

M. Lutfi Mustofa

A. Pendahuluan

Sedikitnya ada dua fenomena menarik dalam

realitas kehidupan kontemporer. Pertama, ilmu

pengetahuan dengan corak empiris dan metode

kuantitatifnya cenderung menduduki “peran utama”.

Kedua, pada beberapa kalangan mengalami semacam

“kegairahan beragama”.

Fenomena pertama, yang sedikit atau banyak

dipengaruhi oleh perkembangan positivisme August

Comte dengan hukum tiga tahapnya,1 telah merombak

tatanan kehidupan manusia. Dengan metode ilmiah

yang ada di dalamnya, pengetahuan manusia telah

dibatasi pada obyek yang dihasilkan oleh observasi

inderawi semata. Akibatnya, kebenaran suatu

1Dalam karyanya, Cours de philosophie positive dan Discours sur l’esprit Positive, August Comte menjelaskan bahwa sejarah umat manusia, juga jiwa manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak dan tahap positif atau riil. Lihat Koento Wibisono Siswomihardjo, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme August Comte, (Yogyakarta: UGM Press, 1983), 11.

Page 2: Dialektika Agama dan Sains

pengetahuan hanya dapat dipahami dalam batas

perhitungan kuantitatif dan dalam dunia fisik.2

Dengan ciri semacam itu, ilmu pengetahuan

memang telah membuat banyak kemajuan di berbagai

bidang. Misalnya, dengan teknologi sebagai produk

utamanya, manusia telah menciptakan “alam kedua”,

sehingga hidupnya tidak lagi sepenuhnya berjalan

menurut siklus alamiah yang diatur oleh ritme alam.

Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi pula, manusia

mampu menentukan masa depan dengan caranya

sendiri. Menurut Charris Zubair, pendek kata manusia

sekarang tidak mungkin melepaskan diri dan hidup

tanpa teknologi.3 Bahkan, dalam banyak hal teknologi

seolah sudah “mencampuri” urusan yang di masa silam

dianggap sebagai wilayah Tuhan dalam penciptaan.

Namun, perkembangan ilmu pengetahuan positif

itu masih menyisakan suatu ironi, bahwa kemiskinan,

kelaparan dan kebodohan belum juga segera teratasi.

2Pandangan dunia ini yang mendasari pergeseran makna science sebagai berasal dari Bahasa Latin scire yang berarti mengetahui, menjadi “pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisik”. Lihat Webster’s New World Dictionary of the American Language, (Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1962), 1305.3Achmad Charris Zubair, “Landasan Aksiologi Ilmu Pengetahuan,” makalah seminar di Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, Oktober 1997, 7.

2

Page 3: Dialektika Agama dan Sains

Bahkan, jarak antara si kaya dan si miskin semakin

tajam, keadilan dan kejujuran semakin menjadi barang

langka, serta kebenaran semakin mudah direkayasa.

Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-

cita (das sollen) ilmu pengetahuan, karena semula ilmu

pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan justru demi

upaya pembebasan manusia dan memudahkan mereka

dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup.

Kesenjangan tersebut terjadi, menurut Charris,

dikarenakan gagasan-gagasan positivistik cenderung

untuk menyisihkan seluruh pemahaman yang diperoleh

secara refleksif, terlebih yang diperoleh dari

penghayatan iman. Selain itu, juga adanya

kecenderungan memisahkan--untuk tidak mengatakannya

menolak--keterkaitan antara dunia materi dengan non-

materi, dunia fisik dengan non-fisik, dan dunia dengan

akhirat.4 Dengan kecenderungan semacam ini, maka

secara filsafati sebenarnya sains dan teknologi telah

membawa manusia ke arah pemahaman kebenaran semu

dan bukan kebenaran hakiki. Lebih jauh dari itu,

perkembangan sains dan teknologi juga membawa bentuk

4Ibid.

3

Page 4: Dialektika Agama dan Sains

keterasingan dan kehilangan kepekaan atas matra

ruhani manusia. Manusia menjadi kehilangan kontak

ruhaniahnya dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam

lingkungan, dan dengan sesuatu yang bersifat

transenden.

Oleh karena itu, demi mengurangi kecenderungan

negatif tersebut diperlukan usaha dan pemikiran yang

sungguh-sungguh untuk menegaskan kembali kedudukan

filsafat ilmu (philosophy of science) dalam

perkembangan sains dan teknologi. Reposisi filsafat

ilmu ini diperlukan sebagai sarana untuk mengutuhkan

pemahaman tentang kebenaran yang hendak dicapai

manusia. Dengan begitu, pada gilirannya kedudukan

dan fungsi agama dikukuhkan bukan sebagai bersifat

ritual-ceremonial belaka, tetapi merupakan puncak dari

penemuan manusia atas kebenaran yang sesungguhnya.

Filsafat ilmu bertugas mengantarkan manusia

menemukan kebenaran yang utuh. Dengan kata lain,

filsafat ilmu tidak hendak membangun mazhab ilmu

pengetahuan yang tidak dapat mengapresiasi atau

mengakui tingkat kebenaran di luar matra duniawi. Wal

4

Page 5: Dialektika Agama dan Sains

hasil, manusia tidak perlu lagi dihadapkan pada

kebimbangan antara memilih rasionalisme ataukah

agama dan pemahaman ilmiah ataukah religius. Sebab,

dalam perspektif filsafat ilmu sesungguhnya persoalan

“dilematis” semacam itu memang tidak seharusnya

terjadi.

Dengan kesadaran yang bersumber dari

penghayatan filosofis tersebut membawa kita pada

fenomena tumbuhnya kesadaran spiritual baru. Bahwa,

manusia mulai menyadari apa yang dipelajari dengan

teliti melalui sains dan teknologi hanya merupakan satu

aspek dari realitas hidup sesungguhnya yang jauh lebih

kaya. Masih banyak sisi dari kehidupan yang tidak dapat

dijelaskan oleh sains maupun teknologi. Indikasinya

terlihat dari polemik epistemologis yang terus

menggugat legitimasi, validitas, supremasi dan kualitas

kepastian ilmu. Dengan ilmu pengetahuan yang ada

sekarang, manusia ternyata masih bergumul dengan

masalah-masalah mendasar seperti “metron” (tolok

ukur), “problematika Heraklitos-Parmenides” (tunggal-

jamak, permanensi-perubahan), problema Kant

5

Page 6: Dialektika Agama dan Sains

mengenai “das Ding an sich” dan “Ratio Pura”.5

Kenyataan ini dikarenakan manusia dengan sains yang

dimilikinya merasakan adanya sesuatu yang hilang dari

eksistensi dirinya, yakni spiritualitasnya. Hossein Nasr

dalam Islam and the Pligh of Modern Man menegaskan

bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan

sains dan teknologi menjadikan mereka berada dalam

wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak

menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang

berdasarkan wahyu mereka tinggalkan dan hidup dalam

keadaan sekuler.6

Ketika modernisme dengan positivismenya

meletakkan ilmu-ilmu positif lebih dominan dari yang

lain, maka agama justru terletak pada jenjang terendah

dalam struktur ilmu pengetahuan. Ketika kebenaran

pengetahuan agama ditempatkan sedemikian rupa,

sehingga kedudukan dan fungsinya dianggap kurang

signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal

5A.M.W. Pranarka, Pendekatan Multi Interdisiplin Sebuah Refleksi Kefilsafatan, makalah seminar Fakultas filsafat UGM, Yogyakarta, Oktober 1997, 5.

6M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 112.

6

Page 7: Dialektika Agama dan Sains

tumbuhnya kesulitan-kesulitan dalam ilmu pengetahuan

untuk menjelaskan realitas dalam kehidupan manusia

dewasa ini. Oleh karena itu, dalam konteks dunia Islam,

upaya restrukturisasi ilmu pengetahuan manusia mutlak

diperlukan. Agama harus diletakkan kembali sebagai

paradigma sains, karena justru agama lah yang

mengantarkan manusia pada kebenaran Ilahiyah. Agama

dijadikan sebagai suatu kaidah yang membuka

pemecahan alternatif yang mengatasi semua konsep

rasional semata-mata. Alasannya sederhana saja, masih

banyak yang berada di luar batas kemampuan akal

rasional manusia, dan berada di luar batas pengalaman

keseharian manusia, dan itu adalah kebenaran.

B. Kedudukan Agama dalam Perkembangan Sains

Pengaruh perkembangan Ilmu pengetahuan (sains)

di akhir abad ke-16 telah menciptakan persepsi

masyarakat Barat berbeda dari pada saat-saat

ditanamkan dasar-dasar paradigmatiknya. Jika filsafat

dapat dipahami sebagai manifestasi kegiatan intelektual,

maka tradisi ilmiah dalam kehidupan masyarakat Barat

7

Page 8: Dialektika Agama dan Sains

modern tidak lain merupakan kelanjutan dari perjalanan

panjang kehidupan orang-orang Yunani Kuno.

Dengan demikian, seperti dikemukakan oleh

Koento Wibisono7, pada awal kelahirannya ilmu

pengetahuan yang sesungguhnya identik dengan filsafat

itu mempunyai corak mitologik. Pada perkembangan

berikutnya, melalui para filsuf pra-Socrates filsafat

mengalami demitologisasi dan pada puncaknya

berkembang menjadi “ilmu pengetahuan”. Sampai di

sini hingga pasca Arsitoteles, meskipun filsafat

berkembang menjadi ajaran praktis, namun pada masa

Agustinus dan Thomas Aquinas filsafat berjalan seiring

dengan agama.

Pertemuan antara filsafat dengan agama tersebut

menemukan batu pijakannya, sehingga mendorong

lahirnya berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti

astronomi, kedokteran, psikologi, biologi, aljabar,

geometri, arsitektur dan sebagainya, pada saat berada

dalam perawatan para fiolosof muslim di abad 9 – 13 M.

7Koento Wibisono Siswomihardjo, Gagasan Strategik tentang Kultur Keilmuan pada Pendidikan Tinggi, dalam Achmad Charis Zubari dkk. (Peny.), Aktualisasi Filsafat: Upaya Mengukir Masa Depan Peradaban, Jurnal Filsafat Edisi Khusus (Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 1997), xv.

8

Page 9: Dialektika Agama dan Sains

Perkembangan pesat ini bukan semata-mata

dikarenakan potensi dinamis yang terkandung dalam

tradisi intelektual Helenisme tersebut, tetapi lebih

disebabkan keadaan umat Islam pada saat itu telah

memiliki sikap dan semangat berpikir ilmiah yang

diwarisi dari ajaran agama.8 Misalnya, semangat

menghormati penalaran, mencari kebenaran dan

objektivitas serta penghormatan terhadap bukti-bukti

empiris seperti diwarisi dari tradisi Nabi Ibrahim dan

Muhammad Saw.9 Filsafat Yunani di sini hanya berperan

mengembangkan isi dan membangun kerangka

metodologi ke dalam semangat berfikir intelektual

muslim pada saat itu.

Semangat ilmiah para ilmuwan muslim itu,

menurut penuturan Osman Bakar, sesungguhnya

mengalir dari kesadaran mereka akan tawhid.10 Bagi

8Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 12.9Dalam berbagai ayat al-Quran dan Hadits banyak dijumpai perintah agar umat Islam selalu berfikir kritis dan apresiatif terhadap ilmu, dari manapun datangnya. Diantaranya riwayat yang menganjurkan umat Islam untuk mencari ilmu sekalipun ke negeri Cina. Sikap inklusif inilah yang mendorong tumbuhnya intelektuaslisme Islam yang sangat subur di abad tengah, tepatnya ketika bertemu dengan rasionalitas Yunani. Lebih lanjut, lihat Komaruddin Hidayat, Ketika Agama Menyejarah, dalam PERTA: Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Agama Islam, Vol. V/No.1/2002, (Jakarta: Ditperta Depag RI dan LP2AF, 2002), 26.10Osman Bakar, op. cit., hal. 11-12. Bandingkan dengan Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996), 43-44.

9

Page 10: Dialektika Agama dan Sains

umat Islam, kesadaran akan Keesaan Tuhan merupakan

kesadaran beragama yang paling fundamental.

Sehingga, aktivitas apapun (keagamaan maupun

kebudayaan) dalam kehidupan mereka senantiasa

dinafasi oleh prinsip dan semangat monotheisme

tersebut.

Atas dasar semangat tawhid itu, maka di dalam

Islam berlaku pandangan bahwa realitas objektif alam

semesta ini merupakan satu kesatuan. Kosmos yang

terdiri dari bukan saja berbagai realitas fisik tetapi juga

non fisik dipahami saling berkaitan dan membentuk

jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos

sebagai manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-

usul metafisiknya, yakni Allah Swt. Dalam Islam,

kesatuan kosmos ini merupakan bukti yang jelas akan

keesaan-Nya.11 Oleh karena itu, semangat ilmiah dalam

ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran bukanlah

sesuatu yang bertentangan dengan agama karena

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari semangat

tawhid. Dengan semangat ilmiah tersebut, ilmu

pengetahuan menjadi salah satu instrumen yang dapat

11Lihat al-Quran surat al-Anbiya’ (21) ayat 22.

10

Page 11: Dialektika Agama dan Sains

mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas

Transenden itu sendiri.12 Sebaliknya, kesadaran tentang

Keesaan Allah (tawhid) merupakan sumber dari

semangat ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu

pengetahuan umat Islam.

Dengan demikian, relasi agama dan ilmu

pengetahuan (sains) di dalam Islam bisa diibaratkan dua

sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling

dipisahkan. Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan

tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah

Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan,

nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diberitakan

kepada manusia melalui wahyu Ilahi dalam

pengertiannya yang paling universal. Kecuali itu, ilmu

pengetahuan di dalam Islam juga dikembangkan dengan

mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah

dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya,

atau yang haq dari bathil-nya. Dengan lain ungkapan,

sains di dalam Islam sangat memperhatikan agama

demikian juga sebaliknya, karena ilmu pengetahuan

12Lebih lanjut mengenai hubungan antara logika ilmiah dengan yang Transenden itu lihat Fritjof Schuon, Logic and Transcendence, (London: Perenial Books Ltd., 1975)

11

Page 12: Dialektika Agama dan Sains

merupakan jalan untuk memahami kesatuan realitas

kosmos yang telah diberitakan agama.

Dengan semangat gerakan tawhid dan eksplorasi

ilmiah pada awal perkembangannya itu menjadikan

Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang

secara gemilang mampu menjembatani dan

menghubungkan wilayah-wilayah peradaban lokal

menjadi peradaban mondial. Hal ini sebagaimana

dinyatakan Nurcholish Madjid, bahwa masyarakat Islam

adalah kelompok manusia pertama yang merubah ilmu

pengetahuan dari sebelumnya bersifat parokialistik,

bercirikan kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah

atau bangsa tertentu menjadi pandangan dunia yang

kosmopolit dan universal.13 Ini terbukti betapa banyak

para ilmuwan kelas dunia pada saat itu yang lahir dari

dunia Islam yang karya-karyanya menjadi “bidan” bagi

kelahiran ilmu pengetahuan dan perdaban modern

Barat. Oleh sebab itu, dapat dimengerti pernyataan

Komaruddin Hidayat,14 bahwa filsafat Yunani dan kajian

rasional-empiris yang berkembang di Barat tidak lain

13Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), 13.14Komaruddin Hidayat, Ketika Agama, 26.

12

Page 13: Dialektika Agama dan Sains

merupakan kontribusi penting intelektual muslim yang

diakui dalam dunia kesarjanaan.15

Namun, karena berbagai sebab yang cukup

kompleks (yang tidak mungkin dibahas di sini)

peradaban Islam tersebut tidak dapat dipertahankan oleh

masyarakat muslim abad pertengahan. Semangat dan

etos ilmiah umat Islam generasi ini perlahan-lahan mulai

mengalami pergeseran paradigma. Bahkan, pada saat

yang bersamaan pergeseran itu semakin menggejala

lalu berubah menjadi perpindahan tradisi ilmiah dari

Timur ke Barat.

Filsafat sebagai kegiatan yang bisa

dipertanggungjawabkan secara akliah, yang oleh

Aristoteles dibagi menjadi ilmu pengetahuan poietis

(terapan), ilmu pengetahuan praktis (dalam arti

normatif seperti etika dan politik) serta ilmu

pengetahuan teoritik, mulai tereduksi dan dikaji bagian

yang tersebut belakangan.

Memang, ilmu pengetahuan teoritik dipandang

sebagai paling signifikan, yang oleh founding father

15Seputar tema ini antara lain bisa dibaca dalam Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Inetelektual Barat-Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996)

13

Page 14: Dialektika Agama dan Sains

faham empirisme itu dibagi menjadi ilmu alam, ilmu

pasti dan filsafat pertama yang kemudian dikenal

sebagai metafisika. Namun, para intelektual muslim kala

itu tidak lagi memperhatikan yang lainnya kecuali bagian

metafisikanya saja. Bahkan pada bagian yang terakhir

ini pun hampir-hampir umat Islam dihadapkan pada

polemik berkepanjangan yang akhirnya merasa jenuh

lalu menjauhinya sama sekali.

Sebaliknya di Barat, dipelopori oleh gerakan

Renaissance pada abad ke 15 kemudian disempurnakan

oleh gerakan Aufklarung pada abad ke 18, filsafat

Yunani yang dipelajari para sarjana Barat melalui karya-

karya para filosof muslim memasuki tahap yang baru

dan lebih maju atau modern. Dalam sentuhan tangan

dingin “anak-anak” Renaissance dan Aufklarung seperti

Copernicus, Galilei Galileo, Kepler, Descartes,

Immanuel Kant dan lain-lain filsafat telah memberikan

pengaruh yang amat luas dan mendalam terhadap

perkembangan pemikiran dan peradaban Barat.

Sebagaimana terjadi di dunia Islam, pemikiran

filosofis warisan Yunani itu telah membantu Barat

14

Page 15: Dialektika Agama dan Sains

menemukan makna kebebasan dalam kemanusiaannya.

Dengan kebebasan itu, terutama dalam pemikiran,

perlahan Barat yang pada abad ke-10 jauh dari

peradaban intelektual mulai menapak dan merasakan

pentingnya proses civilization. Hanya, dikarenakan

pengalaman traumatik terhadap gereja yang tidak

menyediakan ruang gerak bagi pemikiran di luar Bibel,

maka mereka mengarahkan kebebasan itu ke arah hidup

“sekuler”. Meminjam pengertian Koento,16 yaitu suatu

kehidupan pembebasan dari kedudukan manusia yang

semula merupakan koloni dan sub koloni agama dan

gereja.17

Dengan arah filsafat yang cenderung pada

kehidupan sekuler itu bukan saja mengakibatkan

ditinggalkannya agama, tetapi pada konsekuensi

radikalnya, bahkan sampai meragukan eksistensi Tuhan.

Dalam hal ini indikasi yang paling nyata tercermin dalam

pernyataan Friedrich Nietzsche, bahwa setidaknya di

16Koento, Gagasan Strategik, xvii.17Tentang pengertian “sekuler” lebih lanjut dan perbedaannya dengan sekularisme dan sekularisasi dapat dibaca pada berbagai tulisan, antara lain Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984); Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987); Paul M. Van Buren, The Secular Meaning of the Gospel Based on an Analysis of Its Language, (London: Billing and Sons Ltd., 1965) atau Harvey Cox, The Secular City, (London: Billing Sons Ltd., 1985) dll.

15

Page 16: Dialektika Agama dan Sains

dunia Barat “Tuhan telah mati”.18 Fenomena seperti ini

apabila tidak segera disadari maka pada saatnya akan

melahirkan dunia tanpa Tuhan dan tanpa agama. Atau,

paling tidak agama hanya ditempatkan sebagai urusan

pribadi.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika filsafat

dan agama di Barat masing-masing berdiri mandiri dan

berkembang menurut dasar dan arah pemikirannya

sendiri-sendiri. Proses diferensiasi ini, kemudian,

dilanjutkan dengan ditinggalkannya filsafat oleh ilmu-

ilmu cabang yang dengan metodologinya masing-masing

mengembangkan spesialisasinya sendiri-sendiri secara

intens.

Diawali oleh lepasnya ilmu-ilmu alam atau fisika dan

matematika yang dimotori oleh Copernicus (1473-1543),

Versalinus (1514-1564) dan Issac Newton (1642-1727)

ilmu pengetahuan mulai tercerabut dari akar filosofisnya.

Khususnya perkembangan ini semakin mencapai

bentuknya secara definitif saat Auguste Comte (1798-

18Tuhan telah mati dalam arti bahwa manusia telah membunuh potensialitas dirinya sendiri, “menjadi membunuh Tuhan”, sehingga ia teralienasi dari Tuhan yang sesungguhnya. Di dunia Barat Tuhan telah mati, pengertian ini dimaksudkan bahwa agama Kristen telah kehilangan nilai spiritualnya.

16

Page 17: Dialektika Agama dan Sains

1857) dengan grand theory-nya menetapkan bahwa

perkembangan berfikir manusia dan masyarakat akan

mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah

melampaui tahap teologik dan metafisik. Istilah positif di

sini mengandung arti bahwa yang benar dan nyata

haruslah konkrit, eksak, akurat dan memberi manfaat.

Dengan perkembangan seperti itu, maka ilmu

pengetahuan di Barat cenderung menjauh dari berbagai

pengetahuan yang menurut dunianya dianggap tidak

konkret, tidak terukur dan spekulatif. Atas dasar itu,

bukan saja filsafat lantas menjadi tidak menarik di mata

ilmu pengetahuan karena wataknya yang spekulatif,

tetapi juga pengetahuan agama yang dipandang out of

date bahkan ahistoris cenderung diabaikan. Di sinilah

perkembangan ilmu pengetahuan itu kemudian

menciptakan persepsi masyarakat Barat berbeda dari

saat-saat ditanamkan dasar-dasar paradigmatiknya.

Sampai memasuki abad 20, “revolusi” ilmu

pengetahuan di Barat masih terus berlangsung,

berbagai penemuan telah merombak teori-teori yang

sudah mapan sebelumnya, tetapi perkembangan itu

17

Page 18: Dialektika Agama dan Sains

belum sampai menggeser paradigma diferensiasi atau

“deagamaisasi” ilmu pengetahuan yang menjadi ciri era

modern tersebut. Memang, pada satu pihak etos dan

cara pandang Barat modern seperti itu telah

menumbuhkan optimisme terhadap ilmu pengetahuan

dalam meningkatkan fasilitas hidup, namun di pihak lain

pesimisme terhadap dampak negatif yang

ditimbulkannya juga semakin nyata. Pesimisme itu bukan

saja telah menghantui para konsumennya, tetapi

terutama kepada masyarakat Barat sendiri sebagai

produsen utamanya.

Namun pada paroh terakhir aba ke 20, etos

keilmuan dengan cara pandang seperti itu mulai

dihadapkan pada kecenderungan baru yang lebih

memperhatikan dunia spiritual. John Naisbitt dan

Patricia Aburdence, dalam Megatrend 2000

menyebutnya dengan istilah New Age. Suatu era yang

berusaha meyakinkan banyak orang bahwa cara yang

paling tepat dalam memecahkan berbagai persoalan

personal dan sosial--yang telah menjadi bagian dari

krisis kebudayaan Barat yang mendorong kemunculan

18

Page 19: Dialektika Agama dan Sains

New Age--hanya akan terselesaikan, apabila ada cukup

orang mencapai apa yang disebut The Higher

Consciousness.19 Dengan demikian, seperti penuturan

Amin Abdullah, modernisme dengan ciri diferensiasinya

yang sangat ketat dalam berbagai bidang kehidupan

boleh dibilang sudah tidak lagi sesuai dengan semangat

zaman.20

C. Integrasi Agama dan Sains sebagai Suatu

Keniscayaan

Pengamatan Naisbitt dan Patricia di atas ada

relevansinya dengan pandangan Capra, bahwa untuk

keluar dari belenggu dikotomi dalam kehidupannya,

manusia modern dituntut dapat mengintegrasikan nilai-

nilai dan makna-makna yang dikombinasikan dengan

pengetahuan (sains).21 Untuk keperluan ini, menurut

Azizan,22 hanya ada satu subyek yang dapat mengajarkan

dan menawarkan nilai-nilai tersebut, yaitu agama. Hal ini

tidak berlebihan, karena agama memang merupakan

19Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), 99.20Amin Abdullah, Reintegrasi Epistemologi, 51. 21Fritjof Capra, The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture, (London: Fontana Paperbacks, 1985), 118-119. 22Azizan Baharuddin, Thinking Science in the Muslim World: Integrating Science and Religion for Development, makalah International Conference on Religion and Science in the Post-Colonial World, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2-5 Januari, 2003), 1.

19

Page 20: Dialektika Agama dan Sains

sumber makna dan nilai-nilai yang kita pandang penting

dan dapat diterjemahkan melalui pembangunan.

Pandangan integratif seperti ini disebabkan sains

modern yang positivistik cenderung melakukan reduksi

terhadap realitas alam, termasuk manusia sebagai

makhluk hidup. Misalnya, ketika berbicara tentang

kosmologi, sains senantiasa melepaskannya dari unsur-

unsur spiritualnya seperti Tuhan, malaikat ruh dan

sebagainya. Alam semesta diapahami sebagai yang

terjadi dengan sendirinya dan diatur oleh sebuah hukum

alam yang mandiri, tetap dan tidak bisa diubah oleh

kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Begitu juga tentang

manusia, yang sering dipandang agama dan filsafat

memiliki dimensi luhur seperti jiwa, hati, ruh dan

sebagainya, dipersepsi sains hanya sebagai makhluk

fisik atau bilogis dengan sistem syaraf yang sangat

rumit, tetapi tidak menghasilkan jiwa sebagai substansi

immaterialnya. Di sini, manusia menjadi tidak memiliki

keistimewaan, seperti yang diberikan oleh filsafat,

20

Page 21: Dialektika Agama dan Sains

sebagai mikrokosmos; atau oleh agama, sebagai wakil

Tuhan di bumi.23

Dalam penilaian Golshani, pengabaian terhadap

keterbatasan sains dan pengingkaran peranan filsafat

dan agama dalam sains itu merupakan pemahaman

yang naif. Baginya, sains tidak dapat dipisahkan dari

nilai-nilai sepenuhnya, kerja ilmiah banyak diisi dengan

perkiraan filosofis dan religius, dan metafisika

memainkan peranan sangat penting hampir pada semua

level aktivitas ilmiah. Tegasnya, menurut Golshani,

terlalu sederhana untuk berfikir bahwa komitmen

filosofis dan ideologis tidak akan pernah masuk ke

dalam struktur ilmu pengetahuan.24

Lebih dari itu, lanjut Golshani, pandangan bahwa

aktvitas ilmiah adalah bebas nilai hanyalah mitos

belaka. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan

sebagai berikut:

1. Aktivitas ilmiah adalah sebuah tujuan – yang

mengarahkan suatu usaha. Ini berarti bahwa

23Mulyadi Kartanegara, Ketika Sains Bertemu Filsafat dan Agama, dalam Jurnal Relief, Vol. 1, No. 1, Januari 2003 (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2003), 66.

24Mehdi Golshani, Science and the Sacred: Sacred Science vs. Secular Science, makalah International Conference on Religion and Science in the Post-Colonial World, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2-5 Januari, 2003), 8.

21

Page 22: Dialektika Agama dan Sains

beberapa nilai mengambil peran sebagai

pembimbing di dalamnya. Misalnya, pencarian

kebenaran merupakan nilai yang menjadi prinsip

dalam mengarahkan banyak ilmuwan.

2. Semua aktivitas ilmiah melibatkan beberapa

pertimbangan nilai (value judgments):

Beberapa kode etik seperti kejujuran, keadilan

dan fungsi integritas sebagai mekanisme

pengawasan kualitas dalam usaha ilmiah.

Pertimbangan nilai dapat membentuk garis

penelitian seorang ilmuwan atau pilihan teori-

teorinya. Misalnya, Einstein dan Heisenberg

memiliki tekanan khsusu pada kesederhanaan

teori fisikanya. Sedangkan Dirac menekankan

pada keindahan teori fisikanya. Pertimbangan-

pertimbangan pragmatisnya adalah beberapa

kriteria orang lain untuk pilihan teori-teori.25

D. Penutup

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa

melalui argumen-argumen filosofis dan penemuan

mutakhir tentang sains, berfikir dikotomis tentang

agama dan sains memang sudah saatnya dikoreksi

kembali. Sebab, penemuan mutkahir di bidang fisika

kuantum, misalnya, setidaknya telah meruntuhkan

asumsi kaum materialis bahwa dunia ini hanyalah

25Ibid., 8-9.

22

Page 23: Dialektika Agama dan Sains

bersifat materi belaka. Padahal, fisika kuantum

membuktikan bahwa unsur fisik yang terdapat dalam

sebuah atom sangat tidak signifikan bila dibanding

dengan unsur non-materinya, yang merupakan bagian

paling ekstensif dari atom-atom yang menyusun alam

semesta ini.26 Ini artinya, anggapan sains bahwa alam

dengan segala isinya bersifat fisik dan hanya dapat

dipahami melalui observasi inderawi semata menjadi

tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, dengan adanya

penemuan-penemuan mutakhir dalam bidang sains

serta perkembangan teori-teori kefilsafatan, agama

perlahan-lahan juga mulai menemukan batu pijakan

untuk kebenaran yang diberitakannya. Oleh karena itu,

antara agama dan sains memang sudah semestinya

terjalin hubungan fungsional dan dialektis dalam

kerangka yang bisa dipahami oleh akal rasional manusia.

Hal ini dikarenakan antara sains yang berpijak pada

observasi inderawi, dan filsafat yang mengutamakan

rasional, agama yang bersandar pada wahyu memiliki

kecenderungan untuk saling melengkapi.

26Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), 162-163.

23