uas good governancepp

9
Jawaban: 1. Berikut adalah jawabannya a. Tesis yang dikemukakan penulis adalah pelembagaan patronase dalam penerapan good governance terutama dalam penerapan desentralisasi dapat meyebabkan menyebabkan transisi demokrasi menyimpang dari arah/bentuk demokrasi yang representative, demokrasi illiberal menjadi terkonsolidasi dan berurat akar. Seperti dalam kutipan berikut Peter Blunt, Mark Turner, dan Henrik Lindroth (2012: 65): “We shall show that such development coexists with institutionalised patronage and with other symptoms of governance stagnation and regress. If this depiction is valid, it needs to be asked whether these are simply growing pains associated with transition towards a genuinely representative form of democracy, whether they signal that a more sinister and ‘illiberal form of democracy (is) already consolidated and entrenched’ (Hadiz and Robison, 2005, p. 231;)” b. Patronase bertahan disebabkan oleh partai politik berusaha untuk bisa memenangkan kembali pemilu dengan mencari manfaat anggaran melalui dengan mendukung atau mengalihkan dengan bupati/walikota (patron) yang terpilih/berkuasa, yang mendistribusikan manfaat dari loyalitas patronase. Pola patronase ini yang menjebak good governance menjadi tidak berfungsi. Sistem patronase mereduksi stakeholder good governance menjadi hanya dua stakeholder yakni patron dan klien. Sistem patronase bersimbiosis mutualisme (kerjasama yang saling menguntungkan) dengan menggunakan kontrak informal antara patron dan klien. Pekerjaan jasa dan barang public kemudian didistribusikan oleh patron kepada klien sebagai imbalan menurut variasi loyalitas dan sumbangannya ke patron. Untuk itu, energy dari kepala-kepala dinas-dinas atau instansi terkait yang telah ditunjuk oleh patron digunakan untuk tujuan netwok patron. Dan Pendapat penulis artikel terhadap patronase dan penerapan resep-resep good governance adalah munculnya patronase dalam hubungan birokrasi-politik menyebabkan prinsip-prinsip birokrasi Weber 1 mengalami hambatan untuk 1 Karakter ideal menurut Weber seperti, adanya pembagian kerja yang jelas – Hirarki, legal-rasional, adanya pengaturan sistem yang

Upload: ahmad-zainul-ihsan-arif

Post on 23-Dec-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ghfgh fjfn fghjfn fjgyj

TRANSCRIPT

Page 1: Uas Good Governancepp

Jawaban: 1. Berikut adalah jawabannya

a. Tesis yang dikemukakan penulis adalah pelembagaan patronase dalam penerapan good governance terutama dalam penerapan desentralisasi dapat meyebabkan menyebabkan transisi demokrasi menyimpang dari arah/bentuk demokrasi yang representative, demokrasi illiberal menjadi terkonsolidasi dan berurat akar. Seperti dalam kutipan berikut Peter Blunt, Mark Turner, dan Henrik Lindroth (2012: 65):

“We shall show that such development coexists with institutionalised patronage and with other symptoms of governance stagnation and regress. If this depiction is valid, it needs to be asked whether these are simply growing pains associated with transition towards a genuinely representative form of democracy, whether they signal that a more sinister and ‘illiberal form of democracy (is) already consolidated and entrenched’ (Hadiz and Robison, 2005, p. 231;)”

b. Patronase bertahan disebabkan oleh partai politik berusaha untuk bisa memenangkan kembali pemilu dengan mencari manfaat anggaran melalui dengan mendukung atau mengalihkan dengan bupati/walikota (patron) yang terpilih/berkuasa, yang mendistribusikan manfaat dari loyalitas patronase. Pola patronase ini yang menjebak good governance menjadi tidak berfungsi. Sistem patronase mereduksi stakeholder good governance menjadi hanya dua stakeholder yakni patron dan klien. Sistem patronase bersimbiosis mutualisme (kerjasama yang saling menguntungkan) dengan menggunakan kontrak informal antara patron dan klien. Pekerjaan jasa dan barang public kemudian didistribusikan oleh patron kepada klien sebagai imbalan menurut variasi loyalitas dan sumbangannya ke patron. Untuk itu, energy dari kepala-kepala dinas-dinas atau instansi terkait yang telah ditunjuk oleh patron digunakan untuk tujuan netwok patron.Dan Pendapat penulis artikel terhadap patronase dan penerapan resep-resep good governance adalah munculnya patronase dalam hubungan birokrasi-politik menyebabkan prinsip-prinsip birokrasi Weber1 mengalami hambatan untuk diterapkan. Menguatnya Sistem birokrasi-patriominal2 dalam penerapan Good Governance di Indonesia. Jubah Modern Governance dan ideology

1 Karakter ideal menurut Weber seperti, adanya pembagian kerja yang jelas – Hirarki, legal-rasional, adanya pengaturan sistem yang konsisten – prinsip formalistic impersonality, penempatan berdasarkan karir, diangkat berdasarkan keahlian – Apolitik dan professional diabaikan.2 Dijelaskan oleh Weber harus ada pemisahaan tegas antara dengan bentuk demokrasi patrimonial agar prinsip-prinsip good governance dapat berjalan dengan baik. Birokrasi patrimonial menurut Weber (dalam Yahyam Muhaimin, 1990: 9), dominasi individu dan golongan yang berkuasa dalam mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi politik mereka.

Page 2: Uas Good Governancepp

populis digunakan elit berkuasa untuk menyembunyikan kepentingan ‘predatornya’ (kepentingan melindungi, stabilitas politiknya, negara kesatuan, dan pertumbuhan ekonomi politinya). Untuk menjelaskan fenomena ini penulis artikel mengutip (Diamond, 1999, p. 244) sebagai berikut

‘Where hierarchical chains of particularistic, patron–client relationships are already the dominant mode of politics, shifting discretionary financial authority from the central to the local level may simply shift the locus of clientelism and corruption from the central to the local arena, making these problems even tougher to control...’

Desentralisasi telah gagal menemukan jati dirinya dalam penerapan good governance. Desentralisasi telah digunakan oleh pemerintah pusat dengan memfungsikan sistem patronase dalam arti peredaan konflik, menjamin kestabilan politik dan mencegah fragmentasi/disintergrasi negara. Pemberian bantuan dana dan asistensi dari World Bank untuk peningkatan kapasitas sumber daya Birokrasi sesuai prinsip weberian telah diberikan. Namun asistensi teknikal dapat mudah direduksi, diasosiasikan kembali, dan dinetralisir. Keberadaan HRM (Human Resource Management) Birokrasi dan governance intergral dengan patronase bukan berarti pemerintah tidak paham tentang birokrasi weberian. Penulis artikel mencontohkan teknikal asistannya dalam pengelolaan tender ketika secara procedure procurement (tender/lelang) telah terpenuhi, di sisi lain pemerintah mengatur ulang aturan main/perjanjian baru antara pemenang tender dengan pemerintahan.

c. Apa pandangan penulis tentang pengaruh patronase terhadap masa depan pemerintahan Indonesia? Pengaruh patronase di Indonesia akan menyebabkan Indonesia bergeser atau jatuh pada zona ekonomi yang berbahaya dan stagnasi governance, sistem politik stabil namun derajat demokrasi rendah. Penempatan Indonesia pada zona ekonomi berbahaya akan berdampak pada iklim investasi dan daya saing manusia Indonesia pada tingkat ekonomi global. Resiko ini seperti yang dialami di Afrika Utara dan Timur Tengah.

2. Jawaban pertanyaan Buatlah analisis ringkas tentang satu isu dan/atau praktik pembaharuan pelayanan publik yang terjadi di Indonesia pasca pemerintahan Soeharto, khususnya sejak dipraktikkannya kebijakan desentralisasi pemerintahan.

Page 3: Uas Good Governancepp

a. Isu atau permasalahan apa saja yang mengemuka di bidang yang Anda kaji?

Isu yang sedang menarik untuk dikaji adalah isu tentang kebijakan publik di daerah perbatasan. Mengingat kehadiran negara dirasakan sangat minim. Konsepsi kebijakan publik di wilayah perbatasan pada jaman orde baru bersifat geospasial dan militeristik yang menyebabkan layanan publik menjadi minim. Kehadiran negara yang minim dirasakan masyarakat perbatasan membuat masyarakat perbatasan memilih layanan dari negara tetangga. Masih dalam ingatan, pengalaman pahit bagaimana Indonesia kehilangan wilayah geografi, seperti lepasnya dua pulau sipadan dan ligitan, lepasnya timor-timor. Terkait dengan Malaysia masyarakat memilih untuk mendapatkan layanan publik dari pemerintah Malaysia dengan memilih mendapatkan Kartu Indentitas Penduduk Malaysia, sedangkan masyarakat timor-timor memilih pilihan merdeka daripada bergabung kembali kepada Indonesia.

Mohammad Amir Rana (2010, 1)3 menyatakan konflik-konflik tersebut lahir atas reaksi sosial politik atas tekanan ekonomi dan pemerintah gagal dalam mendeteksi potensi konflik tersebut. Hal ini disebabkan pemerintah Indonesia masih menggunakan paradigma penyelesaian perbatasan secara konvensional. Penanganan perbatasan lebih ditekankan pada perspektif pertahanan kemananan bilateral negara dibanding perspektif kesejahteraan. Pandangan romatisme masalah lalu tentang penyerahaan kedaulatan wilayah etnis (kerajaan-kerajaan) ke Negara Indonesia melalui Soekarno masih menjadi pijakan. Pandangan ini masih mendominasi hingga tahun 20074.

Di sisi lain daerah perbatasan perbatasan kini telah menjadi kontestasi global dalam perebutan sumber daya alam yang langka. Konsep negara-bangsa kini sedang mengalami daya pegasnya. Bangsa menurut Sylvia Walby (2003)5 adalah kelompok sosial dan politik yang dipersepsikan mempunyai kesamaan sejarah (seperti kepercayaan, struktur sosial politik) dan takdir dan memiliki lembaga yang memerintah. Sylvia Walby mencontohkan bangsa Iris yang tergabung dalam negara Irlandia dan Bangsa Irish yang lain tergabung dalam negara Scotlandia. Seperti halnya identitas batas negara di Selatan Thailand dengan Malaysia yang semakin kabur. Pada daerah perbatasan tersebut identitas budaya semakin tidak jelas, keintiman nasional sedang bernegosiasi dengan kekuatan local. Keintiman nasional dapat menyebabkan perpecahan akibat

3 Mohammad Amir Rana (2010), Radicals’ Influx into Border Areas: Impact on Inter-state Relations in South Asia, Institute for Peace Studi. Hal 14 UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Kawasan Perbatasan saat ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut pandang pertahanan dan keamanan.5 Sylvia Walby (2003), The Myth of the Nation-State: Theorizing Society and Polities in a Global Era, BSA Publications Ltd Volume 37(3): 529–546 [0038-0385(200308)37:3;529–546;034428] SAGE Publications London,Thousand Oaks, New Delhi. Hal 529-546

Page 4: Uas Good Governancepp

dampak pertukaran budaya di kehidupan sehari-hari diantara dua atau lebih negara.

Teori demokrasi secara khusus menyatakan rakyat mengembangkan ikatan kewarganegaraannya, menggunakan hak politiknya, dan memenuhi kewajiban kewarganegaraannya dalam territorial ikatan politiknya6. Jadi kecenderungan untuk mengidentifikasi sosial dan politik dalam lingkup territorial sudah tidak tepat lagi. Pemerintahan dalam kontek global telah bergeser pada ketiadaan ruang fisik. Asosiasi pemerintahan dalam ruang identitas nasional adalah pemenuhan dari pilihan sosial public. Batasan kewarganegaraan menjadi kian tipis bergantung pada pemenuhan negara dari harapan (hak) warganegara.

Dalam arena global mobilitas perbatasan yang terdiri dari variasi-avariasi jaringan sosial dapat menghasilkan pertemuan dan afiliasi baru. Hal ini menyebabkan negara-bangsa menjadi terancam. Masyarakat perbatasan memainkan peran yang berarti dalam tranformasi indentitas budaya dengan bernegeosiasi dengan ruang perbatasan. Ruang perbatasan yang marginal dapat menyebabkan negara-bangsa berakhir dan sejarah baru akan dimulai di daerah perbatasan.

a. Apa kebijakan atau respons pemerintah terkait dengan isu tersebut?

Pemerintahan B.J. Habibie mengeluarkan Keppres Nomor 63 Tahun 1999 untuk mencabut Keppres Nomor 44 Tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan di Kalimantan. Hal itu dimaksudkan untuk mendorong pembangunan kawasan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, khususnya di Kalimantan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Keppres tersebut tidak menghasilkan sesuatu apa pun bagi pembangunan kawasan perbatasan, bahkan tidak dalam bentuk konsep. Eksistensi tim atau badan itu tidak memiliki pengaruh signifikan bagi pembangunan kawasan perbatasan. Keppres Nomor 63 Tahun 1999 berfungsi mengembalikan pengelolaan kawasan perbatasan negara dikembalikan kepada instansi terkait. Keppress tersebut akhirnya banyak melahirkan kementerian/lembaga dan instansi yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan perbatasan ditunjukkan dengan jumlah kementerian/lembaga yang mencapai 26 kementerian/lembaga dengan 72 program di tingkat satuan kerja (satker) Eselon 1.67

Beberapa daerah perbatasan dimekarkan menjadi kabupaten baru dengan maksud agar daerah perbatasan tesebut merasa memiliki dan tokoh-tokoh elit local dapat memberikan kontribusinya dalam pengembangan daerah perbatasan tersebut dalam kontek desentralisasi dan otonomi daerah. Pemerintah pusat menyadari seriusnya permasalahan ini, dan sejak 28 januari 2010 telah

6 Julie Mostov (2008), Soft Borders Rethinking Sovereignty and Democracy, Newyork: PALGRAVE MACMILLAN. Hal. 757 Laporan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri (2009) yang dikutip dari Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership). Rumusan Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Perbatasan di Kalimantan Barat, 2011.

Page 5: Uas Good Governancepp

membentuk badan nasional pengelola perbatasan (bnpp) sebagai institusi koordinasi dan implementasi program-program pemerintah untuk membangun kawasan perbatasan.

b. Gambarkan secara garis besar konfigurasi aktor atau pihak-pihak (dengan kekuatan dan kepentingan masing-masing) yang terlibat dalam permasalahan tersebut?

Aktor-aktor di daerah perbatasan tidak terlepas dari 4 katagori kelompok kepentingan sebagai berikut:

Market : berkepentingan untuk pengembangan wilayah eksplorasi sumber daya alamCivil Society Organisation lokal dan internasional : berkepentingan untuk memperluas jaringan sosialnyaWarga negara : berkepentingan untuk mencari pelayanan publik yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas hidup merekaNegara : Berkepentingan menjaga kedaulatan negara, penjagaan rasa aman dan kesejahteraan bagi warga negara.

c. Dalam hal apa saja sudah terjadi kemajuan? Berikan contoh sebagai ilustrasi!Terbentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 tahun 2010, dan kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 31 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja BNPP. Sementara sebelum terbitnya Perpres Nomor 12 tahun 2010 dan Permendagri Nomor 31 tahun 2010, beberapa provinsi dan kabupaten telah membentuk badan-badan pengelola perbatasan. Dana-dana untuk pembangunan perbatasan mulai dikucurkan.Strategi pengembangan kawasan perbatasan sudah mulai berubah menurut Dr. Suprayoga Hadi, Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, BAPPENAS 8, secara umum meliputi:

1) Menjadikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang ke negara tetangga

2) Membangun kawasan perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity), keamanan (security), dan lingkungan (environment) secara serasi.

3) Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kecamatan-kecamatan yang langsung berbatasan secara selektif dan bertahap sesuai prioritas dan kebutuhan.

4) Meningkatkan perlindungan sumberdaya alam hutan tropis (tropical forest) dan kawasan konservasi, serta mengembangkan kawasan budidaya secara produktif bagi kesejahteraan masyarakat lokal.

8 Dalam makalahnya yang berjudul “Program Pembangunan Daerah Perbatasan”, tanpa tahun.

Page 6: Uas Good Governancepp

5) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) melalui pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, perhubungan dan informasi.

6) Meningkatkan kerjasama pembangunan di bidang sosial, budaya, keamanan dan ekonomi dengan negara tetangga.

d. Apa kendala utama yang dihadapi? Dan, menurut Anda, bagaimana prospek pelayanan public di bidang yang Anda kaji itu?

Prospek pelayanan publik di daerah perbatasan masih suram, mengingat kompleknya struktur birokrasi yang menanganinya dalam era otonomi daerah. Pelayanan public tersebut akan mengalami banyak kendala birokrasi, mengingat pengelolaan perbatasan berhubungan dengan kerjasama antar kabupaten/kota, provinsi dan kabupaten/kota, provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah pusat, pemerintah pusat dan Negara tetangga yang berbatasan langsung dengan propinsi dan kabupaten/kota, kordinasi antar menteri/departemen. Hal ini tercermin dalam kompleknya struktur Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab utama mengelola perbatasan dengan sektor terdepan (leading sector)Kementerian Dalam Negeri. Dalam hal itu Kementerian Dalam Negeri bersama-sama dengan sejumlah instansi pemerintah lain, seperti Kementerian Luar Negeri, Pertahanan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Keuangan, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, serta Pembangunan Daerah Tertinggal, bertanggung jawab. Bahkan, BNPP juga beranggotakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Perekonomian, serta Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, masing-masing sebagai Ketua Pengarah dan Wakil Ketua Pengarah BNPP.

BNPP selaku badan koordinatif seperti yang tertuang dalam Pasal 10 Undang-Undang tentang Wilayah Negara, sehingga belum mampu menggerakan alur koordinasi dan implementasi kebijakan pengelolaan perbatasan secara komprehensif, baik dalam tataran konsepsional maupun operasional. Menurut Letjen TNI Moeldoko9 secara konsepsional, tanggung jawab pengelolaan perbatasan yang dibebankan kepada BNPP yang merupakan lembaga koordinatif yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri karena jabatannya (exofficio) diprediksikan sulit untuk dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010

9 Letjen TNI Moeldoko, “Kompleksitas Pengelolaan Perbatasan Tinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan Perbatasan Indonesia”, tanpa tahun, tulisan diakses dari http://idu.ac.id/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=57&tmpl=component&format=raw&Itemid=309 pada tanggal 10 Januari 2013

Page 7: Uas Good Governancepp
Page 8: Uas Good Governancepp

Daftar Pustaka

Muhaimin, Yahya (1990), Bisnis dan Politik, Kebijakan Ekonomi Indonesia, 1950-1980, Yogjakarta: Kanisius

Walby , Sylvia (2003), The Myth of the Nation-State: Theorizing Society and Polities in a Global Era, BSA Publications Ltd Volume 37(3): 529–546 [0038-0385(200308)37:3;529–546;034428] SAGE Publications London,Thousand Oaks, New Delhi. Hal 529-546

Mostov, Julie (2008), Soft Borders Rethinking Sovereignty and Democracy, Newyork: PALGRAVE MACMILLAN. Hal. 75

___ (2011). Rumusan Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Perbatasan di Kalimantan Barat, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Mohammad Amir Rana (2010), Radicals’ Influx into Border Areas: Impact on Inter-state Relations in South Asia, Institute for Peace Studi.

UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Kawasan Perbatasan saat ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut pandang pertahanan dan keamanan.