tutorial ii
DESCRIPTION
ikakom 2TRANSCRIPT
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Usia : 45 tahun
Alamat : Gg Foba No 58 RT 01 RW 07 Kel Karet
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Tanggal Berobat : 16 Juni 2014
ANAMNESA
Autoanamnesa dilakukan tanggal 16 Juni 2014
Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan lemas sejak 3 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan merasa lemas di seluruh tubuh sehingga aktivitas sehari-hari menjadi
terganggu. Lemas dirasakan hampir setiap hari terutama sejak 3 minggu terakhir ini. Pasien juga
mengeluh setiap malam terbangun karena selalu ingin BAK lebih dari 5 kali, sehingga pasien
menjadi sulit tidur. Pasien selalu ingin makan dan minum, setiap tukang jualan yang lewat depan
rumah selalu dipanggil pasien, tetapi pasien merasa berat badan pasien tidak pernah
bertambah, justru malah menurun. Pasien tidak tahu BB sebelumya tetapi celana yang sering
dipakai pasien banyak yang menjadi longgar. Pasien mengatakan terkadang sering terasa seperti
baal pada kedua tungkai kaki.
Pasien menyangkal adanya demam, pasien mengeluh sering merasa pusing seperti berdenyut
jika lama bekerja seperti menyuci baju dan memasak, dan terkadang diikuti dengan pundak
terasa kaku. Pasien menyangkal adanya gangguan penglihatan, gangguan pendengaran (-),
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 1
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
batuk (-), pilek (-), sakit tenggorokan (-), sesak napas (-), nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-),
BAB dan BAK lancar tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengatakan pernah mengalami hal yang sama seperti ini, dan rutin control ke puskesmas
Riwayat Hipertensi (-), DM (+) pasien didiagnosa DM sejak 6 bulan yang lalu, Asma (-).
Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien mengatakan Ibu pasien memiliki DM.
Riwayat Hipertensi (-), Asma (-).
Riwayat Pengobatan:
Pasien rutin berobat ke puskesmas setiabudi setiap bulan dan control gula darah. Pasien
meminum Metformin 2 x 500 mg.
Riwayat Kebiasaan:
Pasien makan tidak teratur, terkadang bisa 3 –4 kali, dan kadang 4 – 5 kali, pasien sering
mengkonsumsi gorengan, mie dan ikan asin, pasien tidak merokok ataupun mengkonsumsi
minuman beralkohol.
Riwayat Alergi:
Os menyangkal adanya alergi terhadap obat-obatan maupun makanan dan cuaca.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : TD : 150/90 mmHg RR : 16 x/menit
Nadi : 82 x/menit Suhu : 36.30C
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 2
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
BB : 50 kg TB : 150 cm
Status Gizi
IMT= BB(TB)2
= 50
(1.50)2=502.25
= 22,2
BB Normal 18,5-22,9
BBI = (TB - 100) - (TB - 100) x 10%
= (150 - 100) - (150 - 100) x 10%
= 50 – 5
= 45 kg
Status Generalis
Rambut : Hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-).
Hidung : Normonasi, secret (-/-), deviasi septum (-/-).
Telinga : Normotia, serumen (-/-), darah (-/-).
Mulut : Bibir lembab, lidah kotor (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat.
Thoraks :
Paru : Simetris, tidak ada otot bantu pernapasan
Vokal fremitus sama dikedua lapang paru
Sonor dikedua lapang paru
Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Cor : Ictus cordis tidak terlihat
Ictus cordis teraba di ICS IV Linea Midclavikula Sinistra
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 3
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
BJ I, II murni, regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen : Cembung, supel, BU (+) normal
Timpani di 4 kuadran abdomen, shifting dullness (-)
Hepatomegali (-), splenomegali (-).
Ekstremitas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-).
PEMERIKSAAN KLINIK
DAFTAR MASALAH
DM tipe II
Hipertensi gr I
MASALAH I : DM tipe II
S : Pasien mengeluh sering BAK > 5 kali, sering makan dan sering haus, BB dirasa menurun
O : TD : 150/90 mmHg RR : 16 x/menit
Nadi : 82 x/menit Suhu : 36.30C
Hasil Laboratorium
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 4
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Diabetes mellitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua duanya.
Planning DM Tipe II
• Edukasi
• Terapi gizi medis
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 5
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Perhitungan
Perhitungan kebutuhan gizi penderita DM (Perkeni, 2006)
1) Kebutuhan energi
Energi Basal = BBI X 25 kkal
= 45 kg X 25 kkal
= 1125 kkal
F. aktivitas = 20% x EB
= 0.2 x 1125 kkal
= 225
F. strees = 20% x EB
= 0.1 x 1125 kkal
= 112,5
K.Umur = 5% x EB
= 0.05 x 1125 kkal
= 56,25 kkal
TEE = EB + F. Akt + F. Stress - K. umur
= 1125+225+112,5-56,25
= 1406,25 kkal
2) Kebutuhan protein
P = 15% x TEE
= 0.15 x 1406,25 kkal
= 210,93/4
= 52,73 gr
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 6
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
3) Kebutuhan Lemak
L = 25% x TEE
= 0.25 x 1406,25 kkal
= 351,56/9
= 39,06 gr
4) Kebutuhan Karbohidrat
KH = TEE – (P x 4) + (L x 9)/4
= 1406,25 – [(52,73 x 4) + (39,06 x 9)]/4
= 1406,25 - (210,93+351,56) /4
= 1406,25 – 140,62
= 1265,63 gr
5) Kebutuhan Vitamin dan mineral ( DKGA Tahun 2005 )
Vitamin A = 500 RE
Vitamin C = 60 mg
Ca = 600 mg
Fe = 14 mg
Na = 1000-1200 mg ( Diet rendah Garam III)
• Latihan jasmani ( bersifat aerobik/berjalan kaki,sepeda sebanyak 3 – 4x/hari )
• Metformin 2 x 500 mg/hari.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 7
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
MASALAH II : HIPERTENSI
S : Pasien mengeluh sering pusing seperti berdenyut dan pundak terkadang terasa kaku dan
dikedua tungkai kaki terasa baal.
O : TD : 150/90 mmHg RR : 16 x/menit
Nadi : 82 x/menit Suhu : 36.30C
HIPERTENSI
Menurut JNC (Joint National Committe)8 2014 Peningkatan tekanan darah secara persisten
lebih atau sama dengan 140/90 mmHg.
Klasifikasi menurut JNC VII
Planning Hipertensi
Edukasi
Diet rendah garam
Captopril 3 x 12,5 mg
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 8
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
DEFINISI
Menurut Ammerican Diabetes Assosiation (ADA) 2010, diabetes mellitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik yang terjadi Karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa
diabetes mellitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas
dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomic dan
kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolute atau
relatif dan gangguan fungsi insulin. Tampaknya terapat pada keluarga tertentu, berhubungan
dnegan aterosklerosis yang dipercepat, dan merupakan predisposisi untuk terjadinya kelainan
mikrovaskular spesifik seperti retinopati, nefropati dan neuropati.
Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi yang pernah tercetus pada tahun 1965 oleh WHO telah
terjadi pada tahun 1980 dan kemudian diperbaharui pada 1985 dan 1994. Sedang pada tahun 1997,
ADA memperbaharuinya lagi.
Para pakar di Indonesia pun bersepakan melalui PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia)
pada tahun 1993 untuk membicarakan standar pengelolaan diabetes mellitus, yang kemudian
melakukan revisi konsensus tersebut pada tahun 1998, 2002 dan 2006 dengan menyesuaikannya
dengan perkembangan baru.
EPIDEMIOLOGI
Secara epidemiologik, diabetes sering tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau terjadinya diabetes
adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada
kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi,
populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-
tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologik diperkirakan adalah
bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya
aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor
genetik yang berhubungan dengan DM tipe 2.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 9
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
A. Klasifikasi
Tabel klasifikasi etiologis DM
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut:
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
Tipe lain
Diabetes
melitus
gestasional
Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pancreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat
ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM,
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan
di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantau kendali mutu secara
teratur). Walaupun demikian, sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh
(whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnosis yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa
darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 10
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sebagai berikut:
Usia > 45 tahun
Usia lebih muda, terutama dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >23 kg/m2,
Kebiasaan tidak aktif
Turunan pertama dari orang tua dengan DM
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM gestasional
Hipertensi (> 140/90)
Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
Menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan resistensi insulin
Adanya riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT) sebelumnya
Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau
kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan GDPT, sehingga dapat
ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan
sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berubah menjadi DM,
1/3 lainnya tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan
resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan
kelompok normal. TGT sering bertkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan
dislipidemia.
Tabel. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM
(mg/dl)
Bukan DM Belum Pasti DM DM
Kadar Glukosa
Darah Sewaktu
Plasma vena <100 100-199 > 200
Darah kapiler <90 90-199 > 200
Kadar Glukosa
Darah Puasa
Plasma vena <100 100-199 > 126
Darah kapiler <90 90-199 >100
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 11
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia, PERKENI, 2006)
Diagnosis DM ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka
pemeriksaan glukosa plasama puasa >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Kedua dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh
pasien dan murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga, dengan TTGO.
Meskipun TTGO dengan beban glukosa 75 gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri, karena sulit untuk
dilakukan berulang-ulang.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung hasil yang diperoleh.
TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeiksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma puasa 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl.
GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glikosa plasma puasa
didapatkan antara 100-125 mg/dl.
Kriteria Diagnosis DM:
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl
atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dl
atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl
Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa
Diagnosis klinis DM akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuri, polidipsi, polifagi
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikeluhkan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta
pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas ada, pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. hasil pemeriksaan glukosa darah puasa >126 mg/dl
juga dijadikan patokan untuk diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru sekali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis DM. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal,
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 12
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
baik kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl pada hari
yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca
pembebanan >200 mg/dl.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994):
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti kebiasaan sehari-hari dengan karbohidrat
yang cukup dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/KgBB (anak-anak) dilarutkan
dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu5 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
B. Penatalaksanaan
Tujuan :
1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman
dan sehat.
2. Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun
neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM.
3. Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.
Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik,
tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara
untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada
langkah pengelolaan.
4. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan
melakukan promosi perubahan perilaku.
Langkah-langkah penatalaksanaan peenyandang diabetes:
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 13
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, meliputi:
Riwayat penyakit
-gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratoris terdahulu termasuk A1c, hasil
pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM
-pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan
-riwayat tumbuh kembang pada pasien anak atau dewasa muda
-pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap
-pengobatan yang sedang dijalani
-riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemi, hipoglikemi)
-riwayat infeksi sebelumnya, terutama riwata infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis
-gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik
-faktor resiko seperti merokok, hipertensi, PJK, obesitas dan riwayat penyakit keluarga
Pemeriksaan fisik
-pengukutan TB dan BB
-pengukuran tekanan darah
-pemeriksaan funduskopi
-pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
-pemerksaan jantung
-evaluasi nadi secara palpasi maupun engan stetoskop
-pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah termasuk jari
-pemeriksaan kulit dan pemeriksaan neurologis
-tanda-tanda penyakit lain yang apat menimbulkan DM tipe lain.
Evaluasi laboratoris/penunjang lain
-glukosa darah puasa 2 jam post prandial (GD2PP)
-A1c
-profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)
-kreatinin serum
-albuminuri
-keton, sedimen dan protein dalam urin
-eletrokardiogram
-foto sinar-x dada
Tindakan rujukan
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 14
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
-ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut
-konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif
-konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi
-konsultasi dengan edukator diabetes
-konsultasi dengan spesialis kaki, spesialis perilaku atau spesialis lain sesuai indikasi
2. Evaluasi medis secara berkala
Dilakukan peeriksaan kadar glukosa darah puasa an 2 jam sesudah makan sesuai dengan
kebutuhan
Pemeriksaan A1C dilakukan setiap 3-6 bulan
Setiap satu tahun dilakukan pemeriksaan:
-jasmani lengkap
-mikroalbuminuri
-kreatinin
-albumin/globulin dan ALT
-kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida
-EKG
-foto sinar-x dada
-funduskopi
Pilar utama pengelolaan DM :
1. Edukasi
2. Perencanaan makan
3. Latihan jasmani
4. Obat-obatan
Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan
jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih
belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi
farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat
anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 15
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah
mendapat pelatihan khusus untuk itu.
Edukasi
Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk kokoh
pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi
aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien
dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai
perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang
berkenaan dengan:
Makan makanan sehat
Kegiatan jasmani secara teratur
Menggunakan obat-obat diabetes secara aman, teatur dan pada waktu-waktu yang
spesifik
Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi
yang ada
Melakukan perawatan kaki secara berkala
Mengelola diabetes dengan tepat
Dapat menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah
merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses
edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi.
Perencanaan makan
Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga tidak ada satu
cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan makan harus
disesuaikan menurut masing-masing individu. Pada saat ini yang dimaksud dengan karbohidrat
adalah gula, tepung dan serat, sedang istilah gula sederhana/simpel, karbohidrat kompleks dan
karbohidrat kerja cepat tidak digunakan lagi.
Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes mendukung akan perlunya
dimasukannya makanan yang mengandung karbohidrat terutama yang berasal dari padi-padian,
buah-buahan, dan susu rendah lemak dalam menu makanan orang dengan diabetes. Banyak faktor
yang berpengaruh pada respons glikemik makanan, termasuk didalamnya adalah macam gula:
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 16
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
(glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa), bentuk tepung (amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara
memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk makanan serta komponen makanan lainnya
(lemak, protein).
Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal dari berbagai bentuk tepung
atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggu kemudian ternyata tidak mengalami perbedaan
repons glikemik, bila jumlah karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah total
kalori dari makanan lebih penting daripada sumber atau macam makanannya.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
Karbohidrat: 60-70%
Protein: 10-15%
Lemak: 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani
untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.
Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT).
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT (Asia Pasifik)
Klasifikasi IMT (Asia Pasific)
Lingkar Perut
<90cm (Pria)
<80cm (Wanita)
>90cm (Pria)
>80cm (Wanita)
Risk of co-morbidities
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih >23,0 :
- Dengan risiko : 23,0-24,9
- Obes I : 25,0-29,9
- Obes II : ≥ 30
Rendah
Rata-rata
Meningkat
Sedang
Berat
Rata-rata
Meningkat
Sedang
Berat
Sangat berat
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 17
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi
memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) - 10%
Status gizi:
BB kurang bila BB < 90% BBI
BB normal bila BB 90-110% BBI
BB lebih bila BB 110-120% BBI
Gemuk bila BB >120% BBI
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan kebutuhan kalori basal
(30 kcal/kgBB untuk laki-laki; 25 kcal/kgBB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan
kalori untuk aktivitas (10-3%); untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak lagi sesuai dengan
kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status gizi (bila gemuk, dikurangi; bila kurus,
ditambah) dan kalori yang dibutuhkan menghadapi stres akut (misalnya infeksi, dsb.) sesuai dengan
kebutuhan. Untuk masa pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu hamil diperlukan
perhitungan tersendiri.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar
untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di
antaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk
kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap pula penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan
makan pasien DM tidak berbeda dengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang
terjadwal.
Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75%
juga memberikan hasil yang baik.Jumlah kandungan kolesterol <300 mg/hari. Diusahakan lemak dari
sumber asam lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat + 25
g/hari. Diutamakan serat larut (soluble fibre).
Pasien DM dengan tekanan darah yang normal masih diperbolehkan mengkonsumsi garam
seperti orang sehat, kecuali bila mengalami hipertensi, harus mengurangi konsumsi garam. Pemanis
buatan dapat dipakai secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizin-kan. Pada keadaan
kadar glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi sukrosa (gula pasir)
sampai 5% kalori. Untuk mendapatkan kepatuhan ter- hadap pengaturan makan yang baik, adanya
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 18
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
pengetahuan mengenai bahan penukar akan sangat membantu pasien.
Latihan jasmani
Latihan jasmani mempunyai peran yang sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes tipe 2.
Latihan jasmani dapat memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
dan selain itu dapat pula menurunkan berat badan. Di samping kegiatan jasmani sehari-hari,
dianjurkan juga melakukan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah jalan atau bersepeda santai, bermain golf atau
berkebun. Bila hendak mencapai tingkat yang lebih baik dapat dilakukan kegiatan seperti, dansa,
jogging, berenang, bersepeda menanjak atau mencangkul tanah di kebun, atau dengan cara
melakukan kegiatan sebelumnya dengan waktu yang lebih panjang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur, kondisi sosial ekonomi, budaya dan status kesegaran jasmaninya.
Obat-obatan
Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan latihan jasmani yang teratur namun
sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dipertimbangkan penggunaan obat-obat anti diabetes
oral sesuai indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi
kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik. Diabetes mellitus terkendali baik tidak berarti hanya
kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus secara menyeluruh kadar glukosa darah, status
gizi, tekanan darah, kadar lipid/ lemak dan A1c.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 19
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Kriteria Pengendalian DM (Asia Pasifik)
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl)
Glukosa darah 2 jam (mg/dl)
80-109
110-144
110-125
145-179
>126
>180
A1c (%) <6.5 6.5 – 8 >8
Kolesterol Total (mg/dl)
Kolesterol LDL (mg/dl)
Kolesterol HDL (mg/dl)
Trigeliserida (mg/dl)
<200
<100
>45
<150
200-239
100-129
150-199
>240
>130
>200
IMT (kg/m2)18,5-22,9 23-25 >25
Tekanan darah (mmHg) <130/80 130-140/80-90 >140/90
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi dari biasa
(puasa < 150 mg/dl, dan sesudah makan < 200 mg/dl), demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan
lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat
khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan
interaksi obat.
C. Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemi DM Tipe 2
Kegagalan pengendalian glikemi pada DM setelah melakukan perubahan gaya hidup
memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes atau
paling sedikit menghambatnya.
Kasus DM yang paling banyak dijumpai adalah DM tipe 2 yang umumnya mempuyai latar
belakang kelainan yang diawali dengan resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum
menyebabkan kelainan DM secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pancreas masih dapat
mengkompensasi keadaan ini dan terjadi hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau
baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pancreas, baru akan
terjadi DM secara klinis, ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria
DM.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 20
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Dengan dasar pengetahuan ini, dapat diperkirakan bahwa dalam mengelola DM tipe 2,
pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat tergantung pada fase mana diagnosis DM
ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan yang terjadi pada saat tersebut seperti:
Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
Kenaikan produksi glukosa oleh hati
Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas
Macam-macam obat anti hiperglikemik oral
1. Golongan insulin sensitizing
Biguanid
Yang banyak dipakai saat ini adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi
yang tinggi di usus dan hati, tidak dometabolisme, tapi secara cepat dikeluarkan melalui
ginjal. Karena cepatnya proses tersebut, maka metformin diberikan 2-3x/hari kecuali dalam
bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis maksimal dapat menurunkan A1c 1-2%.
Efek samping yang terjadi adalah asidosis laktat, dan sebaiknya tidak digunkaan apada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (creatinin >1,3 mg/dl pada perempuan dan >1,5 mg/dl
pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung, serta harus diberikan
dengan hati-hati pada lansia.
Mekanisme kerja. Metformin menurunkan kadar glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi
glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga
menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorbsi glukosa di usus seusai
makan. Setelah diberikan peroral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah
setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh.
Metformin akan menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak menyebabkan hipoglikemi,
sehingga tidak dinyatakan sebagai obat hipoglikemik, tapi sebagai obat anti hiperglikemik.
Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemik bisa terjadi akibat pengaruh
sulfonilurea. Pada keadaan tunggal metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah
sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak
menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada penggunaan sulfonilurea.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal
pengelolaan diabetes dan hanya 50% pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan
dengan pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis maksimal.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 21
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Kombinasi insulin dengan metformin dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan
kadar glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik
daripada kombinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan
kombinasi insulin dengan metformin lebih baik daripada hanya insulin saja.
Efek samping gastrointestinal sering ditemukan pada pemakaian awal metformin dan
bisa dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan
bersamaan dengan makanan.
Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga ber[pengaruh pada
komponen lain resistensi insulin yaitu lipid, tekanan darah dan plasminogen activator
inhibitor (PAI-I).
Penggunaan dalam klinik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai
kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase dan glitazone.
Efektivitas insulin menurunkan kadar glukosa pada orang gemuk sebanding dengan SU.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan
dan memperbaiki profil lipid, maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan
DM pada orang gemuk dengan dislipidemi dan resistensi insulin berat merupakan pilihan
pertama. Bila monoterapi tidak berhasil, dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat
anti diabetik lain.
Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga memiliki
efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini dapat diberikan secara
oral, kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi
dengan glitazon dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl
dan A1c 1,4-2,6% dibanding dengan plasebo.
Mekanisme kerja. Glitazon merupakan agonist peroxisome proliferator-activated
receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di
dalam jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang
reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit
dan kerja insulin.
Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki
sensitivitas insulin dan memprebaiki glikemia (GLUT-1, GLUT-4, dll) selain itu dapat
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 22
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa, leptin,
dll.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam dan
makanan tidak tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini.
Penggunaan dalam klinik.. Rosiglitazone dan pioglitazon dapat digunakan sebagai
monoterapi maupun kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.
2. Golongan sekretagok insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemi dengan cara stimulasi sekresi insulin
oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi sulfonilurea dan glinid.
Sulfonilurea
Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini
digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan DM dimulai. Terutama bila
konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan sekresi insulin.
Mekanisme kerja. Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K
yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor
channel tersebut, maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya
penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan
membuka channel Ca tergantung voltase, dan penyebabkan peningkatan Ca intrasel, ion Ca
akan terikat pada Calmodulin dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung
insulin.
Golongna ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin
yang tersmpan. Karena itu hanay bermanfaat pada pasien yang masih dapat mengeluarkan
insulin.
Untuk mengurangi hipoglikemi terutama pada pasien tua, dipilih obat yang masa
kerjanya paling singkat. Obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai
pada usia lanjut. Selain pada orang tua, hipoglikemi juga sering terjadi pada pasien gagal
ginjal, gangguan fungsi hati berat dan pasien dengan asupan makanan yang kurang dan jika
digunakan bersama obat sulfa.
Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar (36%) daripada glukosa
setelah makan (21%).
Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemi. Bila kadar glukosa darah sangat
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 23
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
tinggi dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus
bahwa beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam satu minggu
sudah terjadi penurunan kadar glukosa yang cukup bermakna
Dosis permulaan tergantung pada beratnya hiperglikemi. Bila konsentrasi glukosa puasa
<200 mg/dl sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan dititrasi bertahap setelah 1-2 minggu
sehingga tercapai kadar GDP 90-130 mg/dl. Bila GDP >200 mg/dl bisa diberikan dosis awal
yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan ½ jam sebelum makan karena diserap dengan
baik. Pada obat yang diberikan satu kali setiap hari sebaiknya diberikan saat makan pagi atau
saat makan porsi besar.
Kombinasi sulfonilurea dengan insulin lebih baik daripada insulin sendiri dan dosis
insulin yang dibutuhkan pun lebih rendah.
Glinid
Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonilurea. Kerjanya juga melalui
reseptor sulfonilurea, memiliki kemiripan struktur dengan sulfonilurea namun berbeda
efeknya. Repaglinid dan nateglinid keduanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati hingga diberikan 2-3
x/hari. Repaglinid bisa menurunkan kadar glukosa darah puasa mesk masa paruhnya singkat
karena menempel pada reseptor sulfonilurea. Nateglinid mempunyai masa tinggal yang lebih
singkat dan tidak menurunkan kadar glukosa darah puasa. Keduanya merupakan sekretagok
yang khusus menurunkan kadar glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang
minimal. Kekuatan untuk menurunkan kadar A1c tidak begitu kuat.
3. Penghambat alfa glukosida
Obat ini menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat
meurunkan penyerapan glukosa dan menurukan hiperglikemi postprandial. Obat ini bekerja
di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Acarbose merupakan penghambat kuat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada
dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi
hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan memperpajang
peningkatan glukosa darah postprandial dan mempengaruhi respon insulin plasma. Ebagai
monoterapi tidak dapat merangsang sekresi insuli dan tidak menyebabkan hipoglikemi. Efek
samping pada GI tract seperti meteorismus, flatulence dan diare.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 24
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Penggunaan dalam klinik bisa digunakan sebagai monoterapi atau kombinasidengan
insulin, metformin, glitazone, atau sulfonilurea. Untuk efek maksimal, obat harus diberikan
segera saat makan utama. Monoterapi dengan acarbose menurunkan rata-rata glukosa
postprandial 40-60 mg/dl dan GDP10-20 mg/dl, A1c sebesar 0,5-1%. Dengan terapi
kombinasi dengan sulfonilurea, metformin atau insulin, acarbose bisa menurunkan lebih
banyak A1c sebesar 0,3-0,5% dan rata-rata glukosa post prandial 20-30 mg/dl dari keadaan
sebelumnya.
D. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus
Pengaruh fisiologis insulin dan indikasi penggunaannya
a. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta dari pulau langerhans pankreas. Isulin
dibentuk dari proinsulin yang kemudian distimulasi terutama oleh peningkatan kadar glukosa
darah.
b. Insulin memiliki beberapa pengaruh terhadap jaringan tubuh yaitu menstimulasi pemasukan
asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan
penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin juga
menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel ntuk digunakan sebagai sumber energi dan
membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati.
c. Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas sedangkan insulin eksogen
adalah insulin yang disuntikka dan merupakan suatu produk farmasi.
Indikasi terapi insulin
a. Semua orang dengan DM tipe 1.
b. Orang dengan DM tipe 2 tertentu mungkin memerlukan insulin bila terapi jenis lain tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa darah atau bila mengalami stres fisiologis seperti pada
tindakan pembedahan.
c. Orang dengan DM gestasi membutuhkan insulin bila diet saja tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah.
d. Pada DM dengan ketoasidosis.
e. Pasien DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori,
untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap akan memerlukan
insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama
periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 25
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
f. Pada pasien DM dengan komplikasi akut berupa koma hiperosmolar non ketotik
Tipe-tipe insulin
4 tipe insulin yang diproduksi dikategorikan berdasarkan awal kerja, puncak kerja dan lama
kerjanya:
Sediaan insulin Awal kerja
(jam)
Puncak kerja
(jam)
Lama kerja
Insulin analog, kerja sangat cepat
(ultra-rapid-acting)
Insulin glulisin (Apidra)
Insulin aspart (Novo rapid)
Insulin lispro (Humalog)
0,2-0,5
0,2-0,5
0,2-0,5
0,5-2
0,5-2
0,5-2
Insulin kerja menengah
(intermediate-acting)
NPH Insulatard
Humulin N
1,5-4 4-10
Insulin kerja pendek
(short-acting)
Reguler (Human) Humulin
R/actrapid
0,5-1 2-3
Insulin kerja panjang
(long-acting)
Insulin glargine (lantus)
Insulin detemir (levemir)
1-3
1-3
Tanpa puncak
Insulin campuran
Kerja cepat dan menengah
70% NPH/30% reguler (Mixtard, Humulin
70/30)
70% NPH/30% analog rapid
(Novomix)
0,5-1
0,5-1
3-12
3-12
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 26
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Memulai alur pemberian insulin
Pada pasien DM tipe 1 terapi insulin dapat diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan.
Pada pasien ini terapi yang dianjurkan adalah injeksi harian multipel untuk mencapai kendali
kadar glukosayang baik. Selain itu pemberian bisa juga dilakukan dengan pompa insulin.
Menurut PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006, sebagai pegangan, jika kadar
glukosa darah tidak terkontrol dengan baik (A1c>6,5%) dalam jangka awaktu 3 bulan dengan 2
obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan
insulin.
Penyulit DM :
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
Penyulit akut:
1. Ketoasidosis diabetik
2. Hiperosmolar non ketotik
3. Hipoglikemia
Penyulit menahun:
1. Makroangiopati:
pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner)
pembuluh darah tepi
pembuluh darah otak (stroke)
2. Mikroangiopati:
retinopati diabetik
nefropati diabetik
Neuropati
3. Rentan infeksi, misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi saluran kemih
4. Kaki diabetik (gabungan sampai dengan 4)
5. Disfungsi Ereksi
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 27
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
HIPERTENSI
Definisi.
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan
atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer
bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi
sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer
(sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat .
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa
terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.
KLASIFIKASI TEKANAN DARAH menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD
Normal <120 dan <80
Prahipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Derajat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Derajat 2 >160 atau >100
TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik
Krisis Hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan
kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada umumnya krisis hipertensi
terjadi pada pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat anti hipertensi.
Krisis hipertensi meliputi dua kelompok yaitu :
a. Hipertensi darurat (emergency hypertension) : di mana selain tekanan darah yang sangat
tinggi terdapat kelainan atau kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga
tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) agar dapat
mencegah / membatasi kerusakan target organ
b. Hipertensi mendesak ( urgency hypertension) : di mana terdapat tekanan darah yang sangat
tinggi tetapi tidak disertai kelainan / kerusakan organ target yang progresif, sehingga
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 28
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan jam sampai
hari)
Epidemiologi
Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi usia lanjut,
maka jumlah usia pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah, di mana baik
hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolic sering timbul pada lebih dari
separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus
meningkat, dalam decade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola kurva mendatar),
pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi.
Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap, sebagian besar berasal dari negara-negara yang
sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan
bahwa dari tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31%, yang berarti
terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika , dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III
tahun 1988-1991.
Etiologi.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi esensial atau
hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal.
1) Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga
hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik,
lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na,
peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol,
merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 – 50 tahun .
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 29
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
2) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme
primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan, dan lain – lain .
Patofisiologi
Hipertensi adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi antara factor-
faktor resiko. Faktor-faktor resiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah :
1. Faktor resiko, seperti diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok, genetis.
2. Sistem saraf simpatis
- Tonus simpatis
- Variasi durnal
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi : endotel pembuluh darah
berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos dan interstitium juga memberikan
konstribusi akhir
4. Pengaruh system otokrin setempat yang berpengaruh pada system rennin, angiotensin, dan
aldosteron.
a. Renin
Renin adalah suatu hormone yang dikeluarkan oleh ginjal sebagai respons terhadap
penurunan tekanan darah atau penurunan konsentrasi natrium plasma. Sel-sel yang
membentuk dan mengeluarkan rennin, dan mengontrol pelepasannya, adalah sekelompok
sel nefron yang disebut apparatus jukstaglomerulus (JG). Kelompok sel ini mencakup sel-sel
otot polos mensintesis rennin dan berfungsi sebagai baroreseptor untuk memantau tekanan
darah. Sel-sel macula densa adalah bagian dari pars asendens nefron. Sel-sel ini memantau
konsentrasi natrium plasma. Sel-sel macula densa dan sel-sel arteri aferen terletak
berdekatan satu sama lain di titik di mana pars asenden tubulus distalis hampir menyentuh
glomerulus.
Apabila tekanan darah turun, maka sel-sel otot polos meningkatkan pelepasan reninnya.
Apabila tekanan darah naik, maka sel-sel otot polos mengurangi pelepasan reninnya.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 30
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Apabila kadar natrium plasma berkurang, maka sel-sel macula densa member sinyal kepada
sel-sel penghasil rennin untuk meningkatkan aktivitas mereka. Apabila kadar natrium
plasma meningkat, maka sel-sel macula densa member sinyal kepada sel-sel otot polos
untuk menurunkan pelepasan rennin.
Saraf simpatis juga merangsang apparatus JG untuk mengeluarkan rennin. Dengan
demikian, penurunan tekanan darah menyebabkan peningkatan rennin baik secara
langsung, melalui baroreseptor JG, dan tidak langsung melalui saraf simpatis.
Setelah dikeluarkan, rennin beredar dalam darah dan bekerja dengan mengkatalisis
penguraian suatu protein kecil yaitu angiotensinogen, menjadi angiotensin I suatu protein
yang terdiri dari 10 asam amino. Angiotensinogen dihasilkan oleh hati dan konsentrasinya di
dalam darah tinggi. Dengan demikian, pelepasan rennin adalah langkah penentu kecepatan
reaksi. Perubahan angiotensin menjadi angiotensin I berlangsung di seluruh plasma, tetapi
terutama di kapiler-kapiler paru. Angiotensin I secara cepat bereaksi dengan enzim lain yang
sudah ada di dalam darah, enzim pengubah angiotensin (angiotensin-converting enzyme,
ACE). ACE menguraikan angiotensin I menjadi angiotensin II sebuah peptide dan asam amino
b. Angiotensin II
Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang bekerja pada seluruh system vascular untuk
meningkatkan kontraksi otot polos sehingga terjadi penurunan garis tengah pembuluh dan
peningkatan resistensi perifer total (TPR). Peningkatan TPR secara langsung meningkatkan
tekanan darah sistemik. Angiotensin II juga merupakan suatu hormone kuat yang beredar
dalam darah ke kelenjar adrenal, menyebabkan sintesis hormone mineralkortikoid,
aldosteron.
c. Aldosteron
Aldosteron beredar dalam darah dan berikatan dengan sel-sel duktus pengumpul di
korteks ginjal. Pengikatan dengan aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium
dari filtrate urin dan menyebabkan natrium masuk kembali ke kapiler peritubulus.
Peningkatan reabsorbsi air sehingga volume plasma meningkat. Peningkatan volume plasma
akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung sehingga volume sekuncup dan curah
jantung meningkat. Peningkatan curah jantung, seperti peningkatan TPR, secara langsung
meningkatkan tekanan darah sistemik.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 31
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Rangsangan lain untuk pelepasan aldosteron, selain angiotensin II, adalah kadar kalium
plasma yang tinggi dan suatu hormone hipofisis anterior, hormone adrenokortikotropik
(ACTH). Selain mempengaruhi reabsorpsi natrium, aldosteron juga merangsang sekresi (dan
dengan demikian ekskresi) kalium dari duktus pengumpul di korteks ginjal ke dalam filtrate
urin.
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah
yang mempengaruhi rumus dasar:
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer.
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi esensial antara lain :
1) Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap kenormalan
tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah jantung biasanya normal tetapi
tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat
pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan
mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang
menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversibl.
2) Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler dan sekresi
renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan
darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion
atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik .
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I
oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur
tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang
terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif).
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 32
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor
melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di
hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume
urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan,
volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid
yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron
akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah .
3) Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi arteriol. Sistem
saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi
dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama – sama
dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon.
4) Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan pembuluh
darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida
endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan
dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit.
5) Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam mempertahankan tekanan
darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin.
Endothelin dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-
angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung
dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari
ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi .
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 33
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
6) Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh darah
(disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet,
dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin
lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan
pemberian obat anti-hipertensi .
7) Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi tekanan
diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga
terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel.
Gejala Klinis
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi
esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang timbul dapat berbeda-beda.
Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi
komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung.
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak
menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit
sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik,
misalnya sakit kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah,
telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. Apabila hipertensi
tidak diketahui dan tidak dirawat dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark
miokardium, stroke atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat menurunkan
jumlah morbiditas dan mortalitas.
Pada hipertensi krisis umumnya adalah gejala organ target yang terganggu, diantaranya nyeri dada dan
sesak nafas pada gangguan jantung dan diseksi aorta; mata kabur pada edema papilla mata; sakit kepala
hebat; gangguan kesadarandan lateralisasi pada gangguan otak; gagal ginjal akut pada gangguan ginjal;
di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikan tekanan darah pada umumnya. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan tingginya tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan organ target. Berikut
gambaran klinik Hipertensi Darurat.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 34
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Tekanan
darah
Funduskopi Status
Neurologi
Jantung Ginjal Gastrointestinal
>220/140 Perdarahan
eksudat
edema papilla
Sakit kepala,
kacau
gangguan
kesadaran,
kejang,
lateralisasi
Denyut jelas,
membesar
dekompensasi
oligouira
Uremia
Proteinuria
Mual, muntah
Faktor Resiko Hipertensi
Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui dengan jelas. Secara
umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi antara lain :
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Keturunan
Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua atau salah
satunya menderita hipertensi maka orang tersebut mempunyai risiko lebih besar untuk terkena
hipertensi daripada orang yang kedua orang tuanya normal (tidak menderita hipertensi). Adanya riwayat
keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung secara signifikan akan meningkatkan risiko terjadinya
hipertensi pada perempuan dibawah 65 tahun dan laki – laki dibawah 55 tahun .
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah. Sejumlah fakta
menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin. Secara umum tekanan darah pada
laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah
masa menopause yang mununjukkan adanya pengaruh hormone.
c. Umur
Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin tinggi umur seseorang
maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah semakin
menurun dengan bertambahnya umur. Sebagian besar hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun.
Sebelum umur 55 tahun tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Setelah umur
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 35
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
65 tekanan darah pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dengan demikian, risiko hipertensi
bertambah dengan semakin bertambahnya umur .
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan darah. Menurut
penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan tekanan darah. Nikotin yang terdapat
dalam rokok sangat membahayakan kesehatan, karena nikotin dapat meningkatkan penggumpalan
darah dalam pembuluh darah dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah.
Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah baik
sistolik maupun diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian
O2 bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi pada pembuluh darah perifer .
b. Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya dengan hipertensi.
Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya penambahan berat badan. Peningkatan
risiko semakin bertambah parahnya hipertensi terjadi pada penambahan berat badan tingkat sedang.
Tetapi tidak semua obesitas dapat terkena hipertensi. Tergantung pada masing – masing individu.
Peningkatan tekanan darah di atas nilai optimal yaitu > 120 / 80 mmHg akan meningkatkan risiko
terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat badan efektif untuk menurunkan hipertensi,
Penurunan berat badan sekitar 5 kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan .
c. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang dapat
meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung lama dapat mengakibatkan
peninggian tekanan darah yang menetap. Pada binatang percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap
stres menyebabkan binatang tersebut menjadi hipertensi .
d. Aktifitas Fisik
Orang dengan tekanan darah yang tinggi dan kurang aktifitas, besar kemungkinan aktifitas fisik
efektif menurunkan tekanan darah. Aktifitas fisik membantu dengan mengontrol berat badan. Aerobik
yang cukup seperti 30 – 45 menit berjalan cepat setiap hari membantu menurunkan tekanan darah
secara langsung. Olahraga secara teratur dapat menurunkan tekanan darah pada semua kelompok, baik
hipertensi maupun normotensi .
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 36
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
e. Asupan
1) Asupan Natrium
Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum normal adalah 136
sampai 145 mEg / L, Natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut dan
keseimbangan asam basa tubuh serta berperan dalam transfusi saraf dan kontraksi otot.
Perpindahan air diantara cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh kekuatan osmotik.
Osmosis adalah perpindahan air menembus membran semipermiabel ke arah yang mempunyai
konsentrasi partikel tak berdifusinya lebih tinggi. Natrium klorida pada cairan ekstraseluler dan kalium
dengan zat – zat organik pada cairan intraseluler, adalah zat – zat terlarut yang tidak dapat menembus
dan sangat berperan dalam menentukan konsentrasi air pada kedua sisi membran.
Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi terutama di usus halus.
Mekanisme pengaturan keseimbangan volume pertama – tama tergantung pada perubahan volume
sirkulasi efektif. Volume sirkulasi efektif adalah bagian dari volume cairan ekstraseluler pada ruang
vaskular yang melakukan perfusi aktif pada jaringan. Pada orang sehat volume cairan ekstraseluler
umumnya berubah – ubah sesuai dengan sirkulasi efektifnya dan berbanding secara proporsional
dengan natrium tubuh total. Natrium diabsorpsi secara aktif setelah itu dibawa oleh aliran darah ke
ginjal, disini natrium disaring dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk
mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang jumlahnya mencapai 90-99 % dari
yang dikonsumsi, dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran urin ini diatur oleh hormon aldosteron yng
dikeluarkan kelenjar adrenal bila kadar Na darah menurun. Aldosteron merangsang ginjal untuk
mengasorpsi Na kembali. Jumlah Na dalam urin tinggi bila konsumsi tinggi dan rendah bila konsumsi
rendah.
Garam dapat memperburuk hipertensi pada orang secara genetik sensitif terhadap natrium,
misalnya seperti: orang Afrika-Amerika, lansia, dan orang hipertensi atau diabetes. Asosiasi jantung
Amerika menganjurkan setiap orang untuk membatasi asupan garam tidak lebih dari 6 gram per hari.
Pada populasi dengan asupan natrium lebih dari 6 gram per hari, tekanan darahnya meningkat lebih
cepat dengan meningkatnya umur, serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan.
Hubungan antara retriksi garam dan pencegahan hipertensi masih belum jelas. Namun
berdasarkan studi epidemiologi diketahui terjadi kenaikan tekanan darah ketika asupan garam
ditambah.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 37
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
2) Asupan Kalium
Kalium merupakan ion utama dalam cairan intraseluler, cara kerja kalium adalah kebalikan dari
Na. konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan intraseluler,
sehingga cenderung menarik cairan dari bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah .
Sekresi kalium pada nefron ginjal dikendalikan oleh aldosteron. Peningkatan sekresi aldosteron
menyebabkan reabsorbsi natrium dan air juga ekskresi kalium. Sebaliknya penurunan sekresi aldosteron
menyebabkan ekskresi natrium dan air juga penyimpanan kalium. Rangsangan utama bagi sekresi
aldosteron adalah penurunan volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum. Ekskresi kalium
juga dipengaruhi oleh keadaan asam basa dan kecepatan aliran di tubulus distal.
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asupan rendah kalium akan mengakibatkan
peningkatan tekanan darah dan renal vascular remodeling yang mengindikasikan terjadinya resistansi
pembuluh darah pada ginjal. Pada populasi dengan asupan tinggi kalium tekanan darah dan prevalensi
hipertensi lebih rendah dibanding dengan populasi yang mengkonsumsi rendah kalium.
3) Asupan Magnesium
Magnesium merupakan inhibitor yang kuat terhadap kontraksi vaskuler otot halus dan diduga
berperan sebagai vasodilator dalam regulasi tekanan darah. The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Presure (JNC) melaporkan bahwa
terdapat hubungan timbal balik antara magnesium dan tekanan darah.
Sebagian besar penelitian klinis menyebutkan, suplementasi magnesium tidak efektif untuk mengubah
tekanan darah. Hal ini dimungkinkan karena adanya efek pengganggu dari obat anti hipertensi.
Meskipun demikian, suplementasi magnesium direkomendasikan untuk mencegah kejadian hipertensi .
Kerusakan Organ Target
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, naik secara langsung maupun secara
tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah:
1. Penyakit ginjal kronis
2. Jantung
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Angina atau infark miokardium
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 38
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
c. Gagal jantung
3. Otak
a. Strok
b. Transient Ischemic Attack (TIA)
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati.
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat
melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung,
antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor ATI angiotensin II, stress oksidatif, down regulation
dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi
garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target,
misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-
β).
Evaluasi Hipertensi
Evaluasi hipertensi pada pasien hipertensi bertujuan untuk:
1). Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya
penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan.
2). Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
3). Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular.
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat
penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis meliputi:
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
Anamnesis pada pasien hipertensi bertujuan untuk:
1). Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya
penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan.
2). Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
3). Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 39
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat
penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis meliputi:
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obat analgesik dan
obat/bahan lain.
c. Episoda berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
d. Episoda lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor risiko
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
b. Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olahraga
g. kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
a. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic attack, defisit
sensoris atau motoris
b. Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuria
c. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
d. Arteri perifer : ekstremitas dingin
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya.
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
a. Tes darah rutin
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 40
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
b. Glukosa darah (sebaiknya puasa)
c. Kolesterol total serum
d. Kolesterol LDL dan HDL serum
e. Trigliserida serum (puasa)
f. Asam urat serum
g. Kreatinin serum
h. Kalium serum
i. Hemoglobin dan hematokrit
j. Urinalisis
k. Elektrokardiogram.
Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan organ
target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya hanya dilakukan bila ada kecurigaan
yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan
organ target meliputi:
1. Fungsi ginjal
a. Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria/mikro-makroalbuminuria serta rasio
albumin kreatinin urin
b. Perkiraan LFG, yang untuk pasien dalam kondisi stabil dapat diperkirakan dengan menggunakan
modifikasi rumus dari Cockroft-Gault sesuai dengan anjuran National Kidney Foundation (NKF) yaitu:
Klirens Kreatinin* = (140-umur) x Berat Badan x (0,85 untuk perempuan)
72 x Kreatinin Serum
*Glomerulus Filtration Rate (GFR)/LFG dalam ml/menit/1,73m2.
Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan pengobatan hipertensi adalah :
Target tekanan darah <140 /90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi (diabetes, gagal ginjal
proteinuria) < 130/80 mmHg
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 41
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap factor resiko atau kondisi penyerta lainnya
seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga mencapai target terapi
masing-masing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis. Terapi non
farmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan
darahnya dan mengendalikan factor-faktor resiko serta penyakit penyerta lainnya.
Terapi nonfarmakologis terdiri dari :
Menghentikan merokok
Menurunkan berat badan berlebih
Menurunkan konsumsi alcohol berlebih
Latihan fisik
Menurunkan asupan garam
Meningkatkan konsumsi sayur dan buah serta menurunkan asupan lemak
Jenis-jenis obat hipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 :
Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau aldosterone antagonist (Aldo Ant)
Beta Blocker (BB)
Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker (ARB)
Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan hipertensi,
tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa factor yaitu :
Factor sosio ekonomi
Profil factor resiko kardiovaskular
Ada tidaknya kerusakan organ target
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 42
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Ada tidaknya penyakit penyerta
Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk penyakit lain
Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam menurunkan resiko
kardiovaskular
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target tekanan darah
dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi
dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari.
Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung
pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dalam
dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah
meningkatkan dosis obat tersebut.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :
Diuretika dan ACEI atau ARB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
AB dan BB
Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat
Indikasi Kelas Utama Obat Antihipertensi Menurut ESH
KELAS OBAT Indikasi
Diuretika (Thiazide) Gagal jantung kongestif, usia lanjut, isolated
systolic hypertension, ras Afrika
Diuretia (Loop) Insufisiensi ginjal, gagal jantung kongestif
Diuretika (anti aldosteron) Gagal jantung kongestif, pasca infark
miokardium
Penyekat ß Angina pectoris, pasca infark myocardium,
gagal jantung kongestif, kehamilan, takiaritmia
Calcium antagonist (dihydropiridine) Usia lanjut, isolated systolic hypertension,
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 43
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
angina pectoris, penyekit pembuluh darah
perifer, aterosklerosis karotis, kehamilan
Calcium antagonist (verapamil,
diltiazem)
Angina pectoris, aterosklerosis karotis,
takikardia supraventikuler.
Penghambat ACE Gagal jantung kongestif, disfungsi ventrikel
kiri, pasca infark miokardium, non-diabetik
nefropati, nefropati DM tipe 1, proteinuria
Angiotensin II receptor antagonist (AT1-
blocker)
Nefropati DM tipe 2, mikroalbuminuria
diabetic, proteinuria, hipertrofi ventrikel kiri,
batuk karena ACEI
ɑ-Blocker Hyperplasia prostat (BPH), hiperlipidemia
Pengobatan hipertensi mendesak cukup dengan obat oral yang bekerja cepat sehingga
menurunkan tekanan darah dalam beberapa jam. Pengobatan hipertensi darurat memerlukan obat yang
segera menurunkan tekanan darah dalam menit-jam sehingga umumnya bersifat parenteral.
Obat hipertensi oral yang dipakai di Indonesia
Obat Dosis Efek Lama Kerja Perhatian Khusus
Nifepidin
5-10mg
Diulang 15 menit 5-15 menit 4-6 jam Gangguam
koroner
Captopril 12,5-25
mg
Diulang / ½ jam 15-30 menit 6-8 jam Stenosis a.renalis
Klonidin 75-150
ug
Diulang / jam 30-60 menit 8-16 jam Mulut kering,
ngantuk
Propanolol 10-40
mg
Diulang / ½ jam 15-30 menit 3-6 jam Bronkokonstriksi,
Blok jantung
Tabel obat Hipertensi Parenteral yang dipakai di Indonesia
Obat Dosis Efek Lama Kerja Perhatian Khusus
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 44
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Klonidin IV 150 ug 6 amp per 250 cc
glukosa 5 %
mikrodrip
30-60 menit 24 jam Ensefalopati
dengan gangguan
koroner
Nitrogliserin IV 10-50 ug
100 ug/cc per
500cc
2-5 menit 5-10 menit
Nikarpidin IV 0,5 – 6
ug/kg/menit
1-5 menit 15-30 menit
Dilitiazem IV 5-15 ug/kg/menit
lalu sama 1-5
ug/kg/menit
Sama 2-3 menit
Nitropusid IV 0,25 ug/kg/menit Langsung Selang infuse
lapis perak
Kelompok Biasa Mendesak Darurat
Tekanan Darah >180/110 >180/110 >220/140
Gejala Tidak ada, kadang-kadang
sakit kepala, gelisah
Sakit kepala hebat,
sesak nafas
Sesak nafas, nyeri
dada, kacau, gangguan
kesadaran
Pem Fisik Organ target tak ada
gangguan
Gangguan organ target Ensefalopati, edema
paru, gangguan fungsi
ginjal, CVA, iskemia
jantung
Pengobatan Awasi 1-3 jam
mulai/teruskan obat oral,
naikkan dosis
Awasi 3-6 jam, obat
oral berjangka pendek
Pasang jalur intravena,
periksa laboratorium
standar, terapi obat
intravena
Rencana Periksa ulang dalam 3 hari Periksa ulang dalam 24
jam
Rawat ruangan ICU
Pemantauan
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 45
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Pasien yang telah mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi lanjutan dan
pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah tekanan darah tercapai dan stabil,
kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6 bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh
ada tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, penyakit yang berhubungan seperti diabetes, dan
kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.
Penyebab hipertensi resisten :
1. Pengukuran tekanan darah yang tidak benar
2. Dosis belum memadai
3. Ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat antihipertensi
4. Ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup
Asupan alcohol berlebih
Terapi diuretika tidak cukup
Penurunan fungsi ginjal
5. Kelebihan volume cairan tubuh
Asupan garam berlebih
Terapi diuretika tidak cukup
Penurunan fungsi ginjal berjalan progesif
6. Adanya terapi lain
Masih menggunakan bahan/obat lain yang meningkatkan tekanan darah
Adanya obat lain yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan kerja obat
antihipertensi
7. Adanya penyebab hipertensi lain / sekunder
Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target tekanan darah) tidak tercapai, harus
dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis. Bila selain hipertensi ada kondisi lain
seperti diabetes mellitus atau penyakit ginjal, baik American diabetes association (ADA) maupun
International society of nephrology (ISN) dan NKF menganjurkan rujukan kepada seorang dokter
yang ahli jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 60 ml/men/1,73m², atau jika ada kesulitan dalam
mengatasi hipertensi atau hiperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi
glomerulus mencapai <30 ml/men/1,73m², atau lebih awal jika pasien beresiko mengalami
penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 46
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup. Penghentian pengobatan cepat atau
lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti sebelum dimulai pengobatan
hipertensi. Walaupun demikian, ada kemungkinan untuk menurunkan dosis dan jumlah obat
antihipertensi secara bertahap bagi pasien yang diagnosis hipertensinya sudah pasti serta tetap
patuh terhadap pengobatan non farmakologis. Tindakan ini harus disertai dengan pengawasan
tekanan darah yang ketat.
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 47
I K A K O M I I _ P U S K E S M A S S E T I A B U D I
DAFTAR PUSTAKA
Harrison’s Manual of Medicine 18TH Edition, Section 2, Medical Emergencies
Lange CMDT 2013, Current Medical Diagnosis & Treatment, MC Graw Hill
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PERKENI 2006
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. 2007. Jakarta: FKUI
Gray, Huon, H. Lecture Notes Kardiologi. Edisi Keempat. Erlangga. Jakarta: 2002.
Sudoyo, Aru, W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi Keempat. FKUI. Jakarta: 2007.
Sherwood, Lauralee Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. EGC. Jakarta : 2001
T U T O R I A L I I _ D M & H I P E R T E N S I | 48