tugas resume buku sej.indo baru

Upload: bambang-setyawan

Post on 12-Jul-2015

214 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

RESUME BUKU :

AKIRA NAGAZUMI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia Baru Dosen Pengampu Dr. Hermanu Joebagio, M. Pd. Oleh : 1. Arif Setiawan 2. Dimas Fajar P. 3. Ismy Saridiyanti 4. Marchela Siwi F. 5. Tri Murcahyo 6. Ukye Dian S. K4409006 / A K4409019 / A K4409029 / A K4409033 / A K4409057 / B K4409058 / B

PENDIDIKAN SEJARAHFAKULTAS KEGURURAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

BUKU I :

PEMBERONTAKAN INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

Penyunting Pengantar Penerjemah Penerbit Cetakan Tebal Buku

: Akira Nagazumi : Taufik Abdullah : Mochtar Pabottinggi, Ismail Marahimin dan Tini Hadad : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : Pertama, Agustus 1988 : 148 hlm; 21 cm

A. JENDERAL IMAMURA DAN PERIODE AWAL PENDUDUKAN JEPANG ( Mitsuo Nakamura )Sebagian besar studi setelah perang mengenai kebijaksanaan jepang di Asia Tenggara selama perang dunia II, diwarnai dengan prasangka moralistis dari para penulisnya, termasuk para kritikus. Interaksi antara pemerintah militer Jepang dengan penduduk Indonesia mendapat perhatian sepenuhnya, namun sebagian besar telaah - telaah sebelumnya telah mengabaikan interaksi di dalam pasukan pasukan pendudukan jepangitu sendiri. Para pegawai administrative yang berhubungan langsung dengan penduduk setempat, mempunyai kesempatan untuk menentukan bagaimanadan bagian bagian mana dari kebijaksanaan yang diberikan itu yang akan dilaksanakan. Pengalaman orang orang Jepang yang terlibat dalam pemerintahan militer di Indonesia luar biasa dan mengairahkan, serta mempunyai pengruh yang dalam. Politik Perang Secara Umum Ideologi Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya berkembang menjadi alat utama untuk merangsang rakyat Jepang agar berjuang dan memikul kesulitan kesulitan masa perang , dan sebagian besar rakyat Jepang menerima ideology itu. Pelaksanaan pelaksanaan rencana perang menuntut agar Asia Tenggara memainkan peranan tertentu. Kontradiksi dan perlunya melakukan gerakan politik paling terasa di Indonesia, terutama di jawa. Jepang tidak membuat janji resmi dengan gerakan nasionalis sebelum perang di Indonesia. Karena ketidakpastian ini, orang orang Jepang yang melaksanakan pemerintahan militer di Indonesia menghadapi tugas berat dalam mempelajari, menganalisis, serta menafsirkan informasi mengenai Indonesia pada waktu itu, sebelum menggunakannya dalam kebijaksanaan perencanaan dan penerapan siasat. Organisasi Pemerintahan di Jawa Pemberontaka kecil- kecilan terjadi di daerah Tasikmalaya, Cirebon, dan Blitar. Tetapi Jepang tidak membalas tanpa pandang bulu terhadap penduduk Indonesia secara keseluruhan. Kesibukan utama pemerintahan militer ada pada bidang eksploitasi dan persuasi. Pengalaman Jenderal Imamura di Jawa Jenderal Imamura bertugas sebagai panglima tentara ke 16, yang bertanggung jawab memebentuk struktur pemerintahan militer dan pengambil keputusan terhadap penduduk sipil. Ia bertemu dengan orang Indonesia secara singkat pada perang dan berhasil menyerahkan pasukan Sekutu tanpa syarat. Tujuan untuk menduduki Jawa adalah tujuan utama bahwasanya Jawa tempat nenek moyang orang Jepang yang harus dikuasai Kecaman Terhadap Politik Lunak Imamura

Kebijakan Imamura dikecam keras oleh sebagian militer dari luar Jawa. Kebijakannya berinti pada pusat yang mengatur segala prinsip- prinsip pemerintahan.tetapi rakyat diberikan prioritas pembangunan ekonomi yang maju. Hubungan dengan Pemimpin Pemimpin Indonesia Hubungan Imamura dengan Soekarno sangatlah baik karena ia berjanji memperbaiki kehidupan rakyat serta mengangkat pegawai pegawai sipil di Indonesia. Ia melihat Soekarno sebagai tokoh penting yang sangat tenang diluar tetapi memiliki kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan. Pandangan Tentang Perang Pada Umumnya Daerah Jawa merupakan daerah yang sangat kaya akan hasil pertanian dan perkebunan serta perhutanan. Inilah salah satu alasan Jepang ingin menguasai jawa. Budaya orang orang barat yang menjajah Jawa dengan sangat kejam tidak diikuti oleh Imamura. Imamura sangat disegani, sampai-sampai setelah jabatannya diganti, ia tidak dituntut atas kesalahan-kesalahannya.

B. PEMERINTAHAN MILITER JEPANG DI ACEH, 1942 1945 ( Saya Shiraishi )Sejak karya besar C. Snouck Hurgronjc mengenai Aceh tahun 1893, tema uleebalang ulama menjadi pokok pembicaraan penting sehubungan dengan masyarakat dan politik Aceh. Snouck menggambarkan uleebalang sebagai penguasa sejati masyarakat Aceh, dan kekuasaan sultan atas para uleebalang ini hanyalah nama saja dan tidak mempunyai arti. Ajaran Islam merupakan sarana untuk meluaskan kekuasaan sultan, tapi hal ini tidak menjadi kenyataan. A.J. Piekaar, bekas sekretaris Residen Aceh, menulis sebuah buku mengenai Aceh di bawah pendudukan jepang, dan ia menamakan politik Jepang sebaai politik perimbangan kekuatan antara kedua kelompok yang berpengaruh itu, uleebalang dan ulama, yang didalangi dengan baik oleh Jepang untuk memperoleh kerja sama sebanyak mungkin. Walaupun politik itu sangat berasil, kaum ulama tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk meluaskan pengaruh mereka di kalangan kelompok penduduk desa, dan kelompok uleebalang kalah dalam menhadapi kelompok ulama. Dalam proses ini, permusuhan antara kedua kelompok itu menjadi tajam. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika pierkaar berkesimpulan bahwa penyelesaian sengit atau pertentangan uleebalang dengan ulama yang terjadi setelah Jepang menyerah, terutama sekali disebabkan oleh politik pecah belah Jepang dan bahwa politik perimbangan Jepang menyebabkan ketegangan antara kedua kelompokitu, yangselama penjajahan Belanda sifatnya tersembunyi menjadi sangat meningkat, dank arena tidak ada lagi rezim yang netral, maka bentrokan tidak dapat dihindarkan.

Dengan demikian, untuk dapat mengerti mengenai sejarah Aceh, penting sekali dijelaskan hubungan antara uleebalang dengan kaum ulama di Aceh Besar dan Pidic. Makalah ini bermaksut menggambarkan dam menganalisis pengaruh pendudukan Jepang pada masyarakat Aceh, mengingat hal ini merupakan tahap pendahuluan dari revolusi social. Pemberontakan di Aceh, yang telah diatur waktunya dengan teliti, dimulai oleh Organisasi-F yang didirikan oleh pasukan ke-5 Jepang, Fujiwarakikan. Walaupun kekuatan utama gerakan ini adalah para pemnuda Aceh yang penuh semangat, namun tokoh-tokohnya adalah para uleebalang dan kaun ulama, sesuai dengan cara-cara tradisional Aceh. Di dalam bagian ini, akan kita selidiki latar belakang gerakan ini dalam hubungannya dengan gerakangerakan anti Belanda di Aceh sebelum perang. Pada tanggal 5 Mei 1939, Persatuan Ulama Seluruh Aceh PUSA terbentuk di peusangan, Bireuen, pantai utara Aceh, tgk. Mohamad Daoet Beureueh dari sligi, pusat pengajaran islam tradisional di Aceh, terpilih menjadi ketua Komite terpusat. Kongres PUSA yang pertama , yang diadakan di kota Asan, Sligi, bulan April 1940, merupakan sukses besar. Dikabarkan dihadiri oleh kira-kira 10.000 orang. Bukan saja kaum ulama tapi juga para uleebalang turut berpatisipasi. Pada konggres ini terbentukla Pemuda PUSA. Salah satu semboyan PUSA yaitu prbentukan satuan rakyat Aceh yang diikat dengan tali Allah, haruslah dilihat dalam hubungan dengan latar belakang. Gerakan Anti Belanda di Aceh Aceh besar pada mulanya dibagi tiga federasi uleebalang. Masing-masing federasi dinamakan sogi, dan mempunyai pimpinan turun temurun, yang dikenal sebagai Panglima Sagi (Komandan Militer Sagi) . t. njak Arif adalah Panglima Sagi XXVI Mukim.T. Njak Arif, yang berusia 40 tahun, adalah seorang nasionalis unggul OSVIA )Sekolah Latihan untuk Pimpinan Pribumi), dan merupakan oran Aceh pertama yang duduk dalam Volkraad. Kedua uleebalang ini, bersama dengan T. Tjut Hasan dan beberapa orang lainnya, mengadakan sumpah rahasia sekitar tahun 1941, untuk memberontak melawan Belanda pada kesempatan pertama. Orang-orang terpandang ini melihat perluasan Jepang ke selatan sebagai peristiwa yang akan memberikan dorongan untuk mengadakan perubahan. Pembentukan Fujiwara-kikan Anggota inti dari Fujiwara kikan ini terdiri dari 5 orang perwira muda lulusan Sekolah Nakano, suatu sekolah latihan untuk kegiatan intelejen. Sebagai tambahan, beberapa orang ahli Selatan telah pula diambil secara perseorangan untuk membantu Fujiwara-kikan. Pemerintahan persiapan Aceh diresmikan pada tanggal 21 April, sehari setelah peleburn Fujiwara-kikan di Singapura dan Organisasi-F di Aceh. Kegiatan sebenarnya dari pegawai di Aceh ini terbatas pada masalah-masalah di Kutaraja, atau hingga Aceh Besar.

Selama pendudukan Jepang, pantai barat Aceh tetap di bawah kekuasaan militer dan beberapa wiraswastawan Jepang yang bersemangat. Kelihatannya, pemerintahan Jepang di Kutaraja sedikit sekaliperhatiannya pada daerah yang berpenduduk jarang ini, kecuali mengorganisasikan pemuda bersenjata dalam tokobetsu-keisatsu-tai (Kesatuan Polisi Khusus) dan tujuan kontra intelejen (Counter-intelegence). Dengan meniru contoh rezim Belanda diangkatlah orang-orang Jepang sebagai bunshu-cho di setiap bagian, menggantikan asisten residen Benlanda.Namun sebagai pengganti cohtroleur (pengawas) di subbagian, diangkat orang-orang Aceh sebagai gun-cho, terutama karena kekurangan tenaga Jepang. Sebagaian besar uleebalang, kecuali yang dianggap sangat pro-Belanda dan tidak dapat dipercaya, dikembalikan keposisi mereka sebagai kepala daerah swapraja, dan dianamakan son-cho. Dengan demikian, perbedaan antara pemerintahan langsung dan tidak langsung dihapuskan. Politik Pemerintahan di Sumatera Bersamaan dengan berdirinya organisasi pemerintahan, kebijaksanaan pemerintahan itu sendiri disusun secara lebih terinci. Masalah yang paling rumit dalam memerintah Sumatera adalah rakyat Aceh yang telah memperbesar kepercayaan diri sendiri dalam keperwiraan dan keberanian tradisional dan kurang mengakui kekuatan militer Kerajaan Jepang, sebagai akibat terusirnya belanda. Masalah keduan adalah rakyat Minang di pantai barat Sumatera, yang bangga akan kebudayaan mereka sebagai kebudayaan yang tertinggi di seluruh Indonesia, dan yang telah merupakan tenaga penggerak dalam gerakan kemerdekaan. Pada hari-hari pertama pemerintahan Jepang, tidak banyak perhatian diberikan kepada Islam sebagai satgu agama, dan hal ini bertentangan dengan tekanan yang berulang-ulang menjelang akhir pendudukan Jepang, ketika keadaan ekonomi sudah sangat merosot. Politik agama yang terutama dalam masa awal ini adalah menghormati dan tidak ikut campur tangan. Meenghormati agama berati penguasa Jepang akan membantu penyelenggaraan upacara-upacara agama selama tidak merusak ketentraman politik, dan tidak campur tangan berati bukan penguasa Jepang tidak campur tangan dalam bidang agama, tetapi juga kaum ulama tidak campur tangan dalam bidang politik. Pengunduran politik penjajahan belanda Pengunduran pemerintahan penjajahan Belanda dengan jelas dapat terlihat dalam bulan-bulan terahir tahun 1943. Sejalan dengan perubahan situasi perang, Tentara ke-25 yang ditempatkan di Sumatera mulai mengadakan persiapan penu menghadapi serangan balasan Sekutu terhadap Sumatera. Untuk ini diperlukan beberapa perubahan yang sejalan dengan kebijakan pemerintahan Sesudah Sumatera berada dalam kedaan tenang, persaingan menghadapi serangan Sekutu mulai dilakukan pada pertengahan tahun 1943, perubahan tugas pokok Balatentara

Selatan dari menjamin kekuasaan Jepang di daerah-daerah yang diduduki sampai mempersiapkan perubahan, diputuskan sejalan dengan situasi militer di Pasifik dan Eropa. Dengan demikian, pembentukan pusat-pusat kekuatan sepanjang garis pantai utara Aceh, pembuatan dan pembentukan jalan dari Sumatra bagian tengah dan barat ke pantai bagian Aceh, dan pembuatan lapangan udara , meupakan tugas mendesak bagi militer. Akibatnya, kebutuhan akan tenaga kerja meningkat dengan sepat dan kebutuhan yang terbesar diharapkan dapat diisi oleh penduduk pantai utara Aceh. Langkah pertama adalah mengerahkan para uleebalang yang telah ditunjuk menjadi gun-cho dan son-cho dengan cara mengorganisasi mereka dalam berbagai system kelompok dan bagian. Untuk tujuan ini dirasa perlu member meeka kekuasaan yang telah besar dengan pengawasan yang lebih kuat, dengan kata lain, mengajak mereka berpartisipasi dalam pemerintahan. Oprasi dijalankan dengan kerja sama kempei-Tai dan angkatan kepolisian yang baru disntralisasikan dan dngan dmikiantokubatsu-keisatsu-tai yang diperkuat untuk pengawalan pantai dan kontraintelejain sluruh terdiri dari para pemuda Aceh yang dipimpin oleh beberapa orang Jepang yang pernah penglaman di Cina. Pada tahun 17 November 1943, diresmikan langsung Aceh-shu-sangi-kai. Siding pertama majelis ini dilakukan tanggal 8 Desember 1943. Pda tanggal 4 dan 5 April diadakan siding majelis yang kedua. Pada waktu yang bersamaan diadakan pula koperasi para gun-cho. Chokan lino mengusulkan cara yang terdiri dari tiga pokok: memperoleh persediaan pangan yang cukup, meningkatkan produksi dan mengerahkan tenaga kerja. Mengenai pokok pertama dan kedua, majelis menyatakan mendukung jumalah persedian pangan yang dilakukan oleh chokan untuk setiap Guncholan kemudian mengajukan dua proyek untuk mengatur mobilitasi tenaga kerja. Sebelum siding kedua ini dimulai, pada tanggal 1 April 1944 didirikan pula shuhai( BKD, Bagi dan Kumpul, Organisasi yang mengumpulkan dan membagi bagian besar) dengan cabang-cabangnyadisetiap so. Sedangkan pada bula Maret telah didirikan PeTa (Badan Perlindungan Tanah Air dibelakang garis peperangan dalam Aceh-shu) dengan tujuan memberikan bantuan kepada para anggota giya-gun dan takubetsu kaisetsu-tai dengan chokan lino sebagai ketua umum dan T. Njak Arif sebagai ketua. Rencana pembaharuan ini pada dasarnya untuk mengandalkan dua system hoin (Pengadilan), agama dan sekuler. Sebelum datangnya Belanda, di Aceh terdapat Pengadilan Kadi untuk kasus-kasus keagamaan (terutama perwakilan dan warisan) dan Pengadilan Uleebalang ( Pengadilan Adat) untuk kasus-kasus sekuler. Rencana pengadilan sekuler, atau adat, dengan hak-hak hokum atas kasus sipil maupun criminal itu adalah sebagai berikut: son-ku-hoin(di setiap son, di daerah uleebalang); gun-ku-hoin (di setiap gun); chiho-hoin (di setiap bunshu atau afdeling).

Kesulitan besar bagi para pembuat rencana ini adalah penunjukan orang-orang untuk menjadi setaf system baru ini. Jika mereka mengikuti cara Belanda atau pejabat Jepang selama ini dalam memilih anggota organisasi pemerintah, yaitu uleebalang mengajukan calon untuk posisi yang ada, maka seluruh usaha itu akan sia-sia. Karena, dalam system baru pengadilan sipil ini, setiap kasus disusun dan diputuskan berdasarkan cara tradisonal Aceh, yaitu mengambil keputusan dengan mufakat sedangkan hamper 1.000 orang anggota staf yang baru harus disiplin di antara penduduk dalam gun dan son yang bersangkutan. Sejak akhir tahun , penyatuan semua sumber kepemimpian yang ada kedalam berbagai organisasi, seperti majelis Aceh dan system peradilan, telah dijalankan. Kelompok uleebalang yang berbeda-beda disatukan dalam majelis Aceh, sementara system hoin menyatakan para anggota PUSA bersama bekas Anggota-F di Aceh Besar dan pantai barat Aceh kedalam jaringan diseluruh Aceh. Pada waktu itu dilakukan usaha lain untuk mereorganisasikan seluruk kepemimpinan di Aceh, sejalan di organisasi yang telah terjadi dalam berbagai sector masyarakat Aceh. Usaha ini merupakan pemberitahuan diadakannya beberapa perubahan dalam suasana Majelis Aceh pada tanggal 1 Februari 1. Perubahan yang mendasar dalam sifat majelis dapat dilihat dalam perubahan daerah pemilihan. Peningkatan jumlah anggota yang diangkat ini agaknya dimaksudkan sebagai pengganti hilangnya kedudukan uleebalang terpilih, karena lima dari sepuluh anggota tambahan yang diangkat ini adalah para gun-cho dan sun-cho, dan lima lainnya merupakan perwakilan tunggal berbagai sector masyarakat, masing-masing satu dari profesi kesehatan dan pendidikan, masyarakat Cina, masyarakat pedagang, dan chiho-hoin. Aceh merupakan sumber utama pemuda untuk giyu-gun dan tokubetsu keisetsu-tai. Pada akhir peperangan pada bulan Agustus 1945, giyu-gun di Aceh telah berkembang menjadi 15 kompi dan 4 pelton, dan merupakan cabang angkatan bersenjata yang terbesar dan terkuat di Sumatra. Sebagian dari pimpinan giyu-gun pertama yang dipiih oleh Masubuchi dari para bekas Anggota-F, telah berpangkat letnan. Mereka ini kemudian membentuk inti pasukan-pasukan militer di Aceh selama Perang Kemerdekaan. Selain dngan pengurangan kekuatan militer Jepang, Sumatranisasi usaha perang merupakan kebijakan utama Tentara ke-25. Pada bulan Mei 1944, persiapan menujuSumatranisasi ini telah dimulai dengan petunjuk dari Devisi Konoe-Daini. Di pantai Sumatra Timur, para pemuda Sumatra diorganisasikan ke dalam berbagai organisasi militer Bagian terpenting dari usaha Sumatranisasi ini adalah mencari suatu kepemimpinan Sumatra yang dapat diserahi tanggung jawab, bukan saja atas pasukan Sumatra yang dilatih dan di persenjatai Jepang, tetapi juga atas jaringan kegiatan greliya yang terus berjalan, walaupun pasukan di Jepang sudah kalah.

Langkah kedua Sumatranisasi ini adalah mengorganisasikan unit-unit pada tingkat keresidenan. Pada tanggal 3 Juli 1945, Masubuci berhenti dari jabatan dalam sgyo-keizai-bu (bagian Industri), untuk itu memutuskan kegiatannya pada pembentukan Masubuchi-kikan, yang akan menciptakan jaringan kegiatan grelya di Aceh. Anggota utama dalam organisasi ini adalah teman lamanya, Said Aboe Bakaraadalah ketua Ceh-hoko-kai dan pernah menjadi pemimpin Organisasi-F di Aceh Besar, sedangkan Tgk. Mohamad Daoed Beureueh adalah ketua PUSA dan anggota terkemukasistem peradilan di Pede. Para uleebalang Pidie seluruhnya tidak diajak dalam jaringan ini. Dengan demikian, ini merupakan usaha memperbesar Organisasi-F yang lalu, mengingatkannya dengan PUSA di Pidie, atas kerugian para uleebalang di daerah itu.

C. PENDUDUKAN

JEPANG

DAN

PERUBAHAN

SOSIAL

:

PENYERAHAN PADI SECARA PAKSA DAN PEMBERONTAKAN PETANI DI INDRAMAYU ( Aiko Kurasawa - Shiraishi )1. Politik Beras dibawah Kekuasaan Jepang Ketika Jepang menduduki Jawa dalam perang Dunia II, salah satu tujuannya adalah memperoleh sumber-sumber pangan yang memungkinkan mereka meneruskan operasi militer selanjutnya, serta memelihara daerah-daerah yang telah dikuasainya di Asia Tenggara. Jawa yang masyarakatnya merupakan masyarakat penghasil beras, yang setiap tahunnya menghasilkan 8,5 juta ton beras, penting sekali sebagai pensuplai kebutuhan militer. Bagi orang Jawa, beras merupakan mkanan pokok, dan mereka sering mengatakan Kalau belum makan nasi, berarti belum makan. Mereka lebih menyukai beras dari pada padi-padian jenis lain, dan selama mereka masih mampu, mereka lebih suka mengisi perutnya dengan nasi saja. Tentara Jepang masuk ke Jawa pada bulan Maret 1942, ketika panen musim hujan hampir mulai. Pada mulanya, orang Jepang sedemikian sibuknya dalam usaha dalam memulihkan keamanan dan ketentraman sehingga tidak ada kesempatan untuk mulai dengan politik beras mereka. Mereka hanya meneruskan politik Belanda yang memperolehkan pemasaran bebas dengan memberlakukan pengawasan harga. Para petani masih dapat menyalurkan hasil mereka dan orang Jepang membeli beras yang dibutuhkan melaui Rijist Verkoop Central yang ada. Baru pada bulan Agustus 1942, lima bulan setelah melakukan penyerbuan, Gunseikanbu mulai mengmbil langkah pertama melakukan pungutan bahan pangan secara

sistematis. Antara bulan Agustus 1942 sampai April 1943, dasar-dasar politik beras Jepang tersebut sudah mantap, yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1). Padi berada dibawah pengawasan negara, dan hanya pemerintah yang diinjinkan melakukan seluruh proses pungutan dan penyaluran padi. Untuk tujuan itu didirikan sebuah badan pengelola pangan yang dinamakan shokuryo Kanri Zimusyo(SKZ, Kantor pengelolaan Pangan). 2). Para petani harus menjual hasil produksi mereka kepada pemerintah sebanyak kuota yang ditentukan dengan harga yang ditetapkan. Padi harus diserahkan kepenggilingan yang ditunjuk melalui pemerintahan desa. Jika petani ini mempunyai surplus yang dapat dijual, mereka harus menjualnya kepada penggilingan tersebut, serta tidak diijinkan menjual kepada tengkulak. 3). Harga gabah dan beras ditetapkan oleh pemerintah.

2. Pungutan padi di Indramayu Penulis mengambil Indramayu sebagai studi kasus (case study) untuk menganalisis pungutan padi dan akibat-akibatnya pada masyarakat pedesaan, dengan alasan sebagai berikut. 1). Indramayu merupakan salah satu daerah penanaman padi yang paling penting, dan disebut gudang beras Jawa. 2). Indramayu merupakan satu-satunya ken di Jawa yang dimasa pendudukan Jepang telah terjadi pemberontakan petani besar-besaran menentang penyerahan padi. Pungutan padi dari petani dilakukan oleh badan-badan pemerintahan atau semipemerintahan, dan dengan demikian mekanisme tradisional melalui tengkulak, seluruhnya dipatahkan. Proses sesungguhnya dari pungutan padi ini adalah sebagai berikut sebelum panen, para petani harus melaporkan kepada balai desa, sehingga kucho dapat mengirim orang untuk mengawasi pelaksanaan panen disawah. Penyerahan padi diluar biasa besarnya ini telah menekan kehidupan ekonomi petani secara serius. Mudah di duga bahwa rakyat yang selama zaman Belanda hanya makan 60% saja dari apa yang dibutuhkan, terpaksa harus lebih banyak lagi mengurangi konsumsi mereka,dan akan menderita kelaparan.

Sedikit sekali yang diketahui mengenai pemberontakan petani di Indramayu yang terjadi pada tahun 1944 dibawah kekuasaan Jepang. Pemberontakan itu di mulai di Desa Kaplongan, Karangampel Son, di ujung timur Indramayu, dan kemudian menjadi reaksi berantai, meluas ke petani-petani di daerah perbatasan Sindang dan Lohbener Son. Sesudah ledakan hebat didaerah ini, pemberontakan meluas di Losarang, Silyeg, dan Kertasemaya Son, dan akhirnya mencapai ujung barat Indramayu, yaitu Desa bugis di Anjatan Son. Semua ini terjadi antara bulan April sampai Agustus 1944, selama musim panen besar. Ini merupakan pemberontakan petani yang terbesar di Indramayu, sejak serangkaian pemberontakan antipamong praja dan anti Cina pada tahun 1913 dibawah kepemimpinan Serikat Islam. 1). Pemberontakan di Kaplongan Desa Kaplongan yang terletak kira-kira 30km sebelah utara Cirebon dan 25km sebelah selatan Indramayu. Pada suatu hari ditahun 1944, ketika panen baru saja di mulai, para petani Desa Kaplongan diberitahu oleh para pejabat desa bahwa telah dikeluarkan peraturan baru yang menyerukan petani harus menyerahkan semua padi mereka, kecuali dua gedeng per rumah tanggga. Satu gedeng kira-kira 5 kg. Dengan adanya peraturan baru ini, para petani tidak diperbolehkan menyimpan lebih dari 10kg padi. 2). Pemberontakan di Sindang dan Lohbener Kira-kira sebulan sesudah peristiwa Kaplongan, pemberontakan petani gelombang kedua mulai bangkit di daerah perbatasan antara Sindang dan Lohbener Son. Oleh penduduk setempat, peristiwa ini sering disebut sebagai pemberontakan Cidempet, karena diprakarsai oleh paraa petani Desa Cidempet, Lohbener Son. Sebenarnya pemberontakan ini melibatkan 2 perkampungan diperbatasan kedua Son itu. Daerah ini terletak kira-kira 15 km sebelah barar daya kota Indramayu, dan merupakan daerah pertanian miskin, karena kekurangan air tawar. Air tanah mengandung garam karena dekat dengan laut, dan kekurangan air ini mengakibatkan penduduk bahkan tidak mempunyai cukup air untuk minum pada musim kering. 3). Pemberontakan di Desa Bugis Desa bugis, Anjatan Son, Kandanghaur Gun, terletak diperbatasan sebelah barat Indramayu, dibatasi oleh Sungai Cipunegara dari suatu tanah Partikelir, yang waktu itu bernama Pen T Land (tanah pamunakan dan ciasem.

Pemberontakan ini di mulai dengan serangan terhadap rumah-rumah pamong desa. Rumah kunco perwata mengalami rusak ringan, sedangkan rumah sekretaris desa Tohir dan Daspin rusak berat. Dua orang ini bekerja sebagai staf Nogyo Kumiai, dan dianggap tidak berlaku adil dalam penyaluran minyak tanah. Namun, hamper semua informan mengatakan bahwa sebab dari pemberontakan para petani mencoba memboikot penyerahan padi karena bahan tekstil yang harus diberikan kepada petani oleh pemerintah sebagai hadiah perjualan padi, tidak sampai ke tangan mereka. Sebagian besar mereka yang turut dalam pemberontakan ini bukanlah penduduk bugis, tapi orang luar. Sebagian disebut sebagai sisa-sisa pemberontakan Kaplongan dan Cidempet. Bagian dari Pen T Land yang berbatasan dengan indramayu ken, merupakan hutan pada zaman Belanda, tapi orang Jepang mulai membukanya untuk penanaman padi secara besar-besaran, dan banyak pendatang baru yang tinggal disitu sebagai petani. Setelah mendengar pemberontakan itu dari kucho, dan kantor son segera mengambil tindakan, dan polisi militer dikirim ke tempat itu. Para petani menghadapi polisi yang berada diseberang kanal. Para prtani berada pada tepi selatan dan polisi pada tepi utara. 4). Analisis Pemberontakan Pemberontakan petani di Indramayu pada tahun 1944, meluas dari tepi timur ke tepi barat ken itu, dan melibatkan banyak petani. Dengan memperhatikan pemberontakan ini, kita dapat mencacat beberapa sifat penting. a. Sifat dasar adalah murni dan spontan. Tidak ada dukungan yang terorganisasikan. b. Sebab pemberontakan adalah kemarahan petani terhadap pungutan padi, terutama terhadap peraturan baru yang mengharuskan mereka menyerahkan semua pribadi, kecuali sejumlah kecil untuk konsumsi keluarga. c. Prakarsa pemberontakan pada umumnya berasal dari para petani kaya, yang berada diluar kepemimpinan desa. d. Perhatian harus ditujukan pula pada para pemimpin agama sebagai penengah dan utusan anatara pemerintah dan rakyat dalam pemberontakan itu.

D.

KEHIDUPAN DAN KEMATIAN ABDUL RACHMAN ( 19061949 ) : Satu Aspek Dari Hubungan Jepang-Indonesia ( Kenichi Goto )Pada tanggal 9 Januari 1949,di desa Dampit yang terletak dekat Malang di Jawa

Timur , yang merupakan salah satu medan paling berat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia melawan Belanda, seorang pemuda, pejuang Kemerdekaan Indonesia, gugur dalam pertempuran tersebut . Beberapa butir peluru telah menembus dahinya . Namanya Abdul Rachman, berusia 42 tahun. Rekan rekan seperjuangan yang menyaksikan kematiannya, mengatakan kemudian bahwa Abdul Rochman maju kedepan menantang hujan peluru Belanda, seolah-olah ingin membangkitkan semangat pasukan Indonesia , yang tampaknya agak ragu berhadapan dengan serangan Belanda yang semakin gencar. Abdul Rachman sebetulnya seorang Jepang bernama Ichika Tatsuo . ia benar-benar kelahiran dan kebangsaan Jepang, tapi telah melepaskan kewarganegaraannya sebagai protes terhadap tanah air dan bangsanya yang tidak memenuhi janji untuk membantu kemerdekaan Indonesia . Kekecewaan terhadap tanah airnya demikian besarnya., sehingga dengan sukarela ia mempersembahkan jiwa raganya kepada angkatan perang Indonesia yang baru lahir, dan memutuskan mau sebagai pahlawan dan sebagai seorang pemuda Indonesia. Mencari Dunia Baru Ichiki Tatsuo lahir pada tahun 1906 di kota kecil Taraki, daerah Kumamoto di bagian selatan Kyushu. Ia lahir sebagai anak keenam dari satu keluarga yang sudah lama bermukim disitu, keturunan samurai yang mengabdi pada puak (clan) Sagara. Warga puak ini berpengaruh sebagai tuan-tuan tanah feodal dari abad ke -12 hingga ke-19. Meskipun demikian , keluarga Ichiko miskin dan mempunyai anak banyak . tambahan pula, ketika Tatsuo masih kecil , orang tuanya bercerai dan ibunya terpaksa mengambil ali tanggung jawab keluarganya guna membesarkannya. Semenjak itu, ibunya berusaha mencari ketenangan dengan menganut agama khatolik , dan Tatsuo juga dibabtis tatkala ia berumur lima tahun . Nama nasraninya adalah Sebastian. Menjadi Juru Potret Ketika itu Ichiki berusia 21 tahun. Ia telah meninggalkan sekolah menengah sebelum selesai dan sedang magang pada sebuah studio foto tidak jauh dari kota kecil. Pada atnggal 22 januari 1928, Ichiki bertolak ke Laut Selatan, menginggalkan Jepang yang sedang berada dalam musim dingin. Impiannya adalah mengusahakan studio terbesar di Laut Selatan. Kota Palembang tempat Ichiki mencari burung birunya adalah sebuah kota besar di Sumatera, yang segara sama besar dengan Medan, di sebelah utara, makmur sebagai tambang minyak. Banyak orang kulit putih tinggal disana, sebagian besar orang Belanda dan membentuk komunitas berkulit putih yang makmur. Semenjak awal periode Taisho, sejumlah orang Jepang telah bermukim di kota ini. Umumnya usaha mereka mula-mula sebagai pengecer

obat-obatan., mainan anak-anak, dan aneka barang lainnya dan beberapa diantara mereka cukup berhasil membuat took kecil di kemudian hari. Berangsur-angsur para pedagang serta pemukim Jepang lainnya akhirnya membentuk suatu komunitas Jepang. Penyusunan Kamus Indonesia-Jepang Minat Ichiki pada situasi politik Jepang yang sedang mengalami perubahan, demikian besarnya sehingga ia berkunjung ke Bandung beberapa kali dalam sebulan, pergi ke klub Jepang pada pagi hari ketika hampir belum ada orang disana dan membaca setiap Koran dan majalah yang dikirim dari Jepang maupun majalah berbahasa Jepang terbitan 14egar, seperti Jawa Nippo ( Harian Jawa ) dan Nichiran Shogyo Shinbun ( Harian Niaga Jepang-Belanda ). Ada kala nya ia menerjemahkan pokok-pokok masalah, seperti semangat Bushido ( Kekesatriaan ) Jepang yang ditawarkan pada Koran-koran 14egar, dan demikian memperoleh sedikit tambahan penghasilan. Menjadi Wartawan Surat Kabar Nichiran Shogyo Shinbun yang dipimpin oleh Kubo, seorang penganjur Asianisme yang gigih, memiliki beberapa anggota staf muda yang berbakat serta berani, seperti Yoshizumi Tomegoro dan Koneko Keizo demikian pula Ichiki. Ini segera menjadi semacam tempat para Asianis muda di Jawa. Pada bulan Juli 1937, surat kabar itu membeli sebuah Koran Jepang lainnya, Jawa Nippo dan mengubah namanya menjadi Toindo Nippo ( Harian Hindia Timur ) tapi nada pemberitaannya tidak banyak berubah. Ia tetap menyatakan perasaan anti Belanda yang keras secara langsung. Dan memang setelah pecahnya CinaJepang di bulan Juli 1937, ia meningkatkan serangan kea rah 14egara-negara penjajahan barat yang dipandang Jepang sebagai penghambat usahanya untuk membina suatu tata kehidupan baru di Asia. Meninggalkan Kewarganegaraan Jepang Selama pemerintahan militer Jepang yang berlangsung tida setengah tahun Ichiki Tatsuo melihat dengan wawasan yang luas dan jernih bahwa Jepang telah menghianati Bangsa Indonesia dua kali, pertama diawal pemerintahan, dan kedua diakhir pemerintahan tersebut. Begitulah, maka pada tanggal 15 Agustus 1945, hari menyerahnya Jepang, Ichiki mengucapkan salam perpisahan kepada tanah leluhurnya. Ia juga menentang tentara sekutu yang dikatakan mewakili ketertiban di masa-masa itu, ia menolak pendaratan pasukan Belanda dan bertekad untuk bersama rakyat Indonesia menanggung nasib tanah air yang baru, Republik Indonesia, bukan sebagai Ichiki Tatsuo melainkan sebagai pemuda Abdul Rachman.

BUKU II :

INDONESIA DALAM KAJIAN SARJANA JEPANG(Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia)

Penyunting Kata Pengantar Penerbit Cetakan Tebal Buku

: Akira Nagazumi : Taufik Abdullah : Yayasan Obor Indonesia : Pertama, Januari 1986 : xvii + 225 hlm

BAGIAN II : BERBAGAI ASPEK NASIONALISME INDONESIA

BAB V : MASA

AWAL

PEMBENTUKAN

PERHIMPUNAN

INDONESIA : KEGIATAN MAHASISWA INDONESIA DI NEGERI BELANDA 1916 1917 ( Akira Nagazumi )Pada tahun 1925 mahasiswa Indonesia di negeri Belanda mengubah nama organisasi mereka menjadi Perhimpunan Indonesia. Nama baru ini merupakan terjemahan dari namanya dalam bahasa Belanda, de Indonesische Vereniging yang telah digunakan sejak tahun 1922. Dari tekanan pada kata Indonesia serta pemakaian bahasa Indonesia jelaslah bahwa organisasi ini pada tahun 1920-an telah mendambakan pembebasan tanah airnya dari cengkraman kolonialisme Belanda. Dalam suatu karangan mengenai Perhimpunan Indonesia, Soenario (pimpinan organisasi ini di pertengahan tahun 1920-an) membagi sejarah organisasi tersebut dalam lima kurun waktu : 1. 1908 1913 2. 1913 1919 : Masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya, walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat. : Orientasi politik kea rah Indonesia merdeka lantaran pengaruh 3 orang pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya.

3. 1919 1923 4. 1923 1930

: Meningkatnya semangat nasionalisme yang mengarah ke perubahan nama. : Perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik. : Kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik antikolonial ke anti-fasis.

5. 1930 & sesudahnya

Baru pada bagian kedua abad XIX, pemerintah Kolonial Belanda mulai berusaha meningkatkan pendidikan di Hindia Belanda. Dan pada tahun 1908 inilah Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia) dibentuk. Walaupun mulai dengan sederhana, perkumpulan ini memiliki arti dalam dua hal. Pertama, ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia Belanda. Kedua, Indische Vereniging bukan hanya sekedar organisasi persahabatan seperti disebut oleh beberapa penulis mengenai sejarah Indonesia modern. Ikatan pelajar-pelajar tersebut pecah pada bulan Juni 1922 dan lagi-lagi Hindia Poetra menjadi alat Indische Vereneging yang entah bagaimana kemudian diubah menjadi Indonesische Vereniging. Majalah Hindia Poetra pun diberi nama baru yaitu Indonesia Merdeka, pada bulan Maret 1924, tetapi kemudian kata Merdeka ditinggalkan pada bulan November yang sedang menghadapi ancaman kaum fasis. Soerwardi Soerjaningnrat memanfaatkan Hindia Poetra untuk menarik perhatian umum kepada berbagai permasalahan yang terjadi di Hindia Belanda melalui artikel-artikel bersambung. Sebagaimana jelas kelihatan dari subjudul karangan kedua dalam rangkaian tulisannya Geen Plicten Zonder Rechten atau Tiada Kewajiban Tanpa Hak, ia telah berhasil menghubungkan pembicaraan mengenai milisi pribumi sebagai tugas tambahan dengan keinginan pendirian sebuah parlemen di Hindia Belanda sebagai imbalannya. Budi Utomo di Hindia Belanda dan Indische Vereniging di Belanda mempunyai peranan yang besar dalam mengubah sifat argumentasi atau pemikiran tersebut. Sementara itu organisasi nasionalis seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan lain-lain di Hindia Belanda telah menaruh minat yang semakin besar terhadap masalah pertahanan. Sedangkan mahasiswa Belanda yang bernama H. J. van Mook, menekankan perlunya pembinaan kerja sama antara berbagai kelompok penduduk Hindia Belanda. Ia juga mengharapkan adanya kerja sama yang serupa di Belanda, misalnya antara Indische Vereniging dan kelompok Chung Hui (perhimpunan orang Cina), serta juga dengan Perhimpunan para Indolog (kelompok van Mook). Di lain pihak van Mook mengharapkan suatu impian mengenai asosiasi. Ia merencanakan suatu persatuan dari organisasi-organisasi di Belanda yang ada hubungannya dengan Indonesia. Dalam tahun 1917, ia mendirikan Indonesisch Verbond van Studeerenden (Ikatan Para Pelajar Indonesia) dalam rangka tujuan ini.

BAB VI : SATRIA VS PANDITA : SEBUAH DEBAT DALAM MENCARI IDENTITAS ( Takashi Shiraishi )Pada tahun 1918 terjadi debat antara Tjipto Mangoenkoesoemo (seorang pimpinan terkemuka nasionalisme Hindia) dan Soetatmo Soerjokoesoemo (seorang pemimpin dari Komite Nasionalisme Jawa) mengenai masalah nasionalisme di Hindia atau Jawa dan masalah perkembangan kebudayaan Jawa. Dalam suasana timbulnya suatu zaman baru berkat pembentukan Volksraad, relevansiiiiiii tradisi politik dan budaya Jawa dengan kemajuan zaman merupakan persoalan yang paling dirasakan di linkungan Budi Utomo. Masalah bagaimana menempatkan makna pergerakan dalam sejarah dan kebudayaan Jawa dan bagaimana hidup di alam pergerakan, justru di masa pergerakan sedang bergejolak kembali. Memang pada tahun 1918 pergerakan berada pada suatu titik yang menentukan. Tema yang menonjol pada waktu itu beralih dari kemajuan ke demokrasi dan sama rata sama rasa. Namun demikian, kebanyakan pemimpin pergerakan, terutama mereka dari Sarekat Islam, tidak mau berusaha merenungkan apa arti pergerakan; mereka juga tidak berusaha menempatkan diri dalam konteks tradisi budaya Jawa. Untuk mereka, arti pergerakan itu sudah terlalu jelas. SI sebagai pendorong utama pergerakan benar-benar merupakan perwujudan semangat zaman. Di samping itu, para pemimpin SI memiliki pandangan internasional dan mereka tak melihat gunanya mencari arti pergerakan dalam konteks sejarah dan kebudayaan Jawa. Tijpto Mangoenkoesoemo yang lahir tahun 1886 di Ambarawa dan tamat dari STOVIA adalah seorang pemimpin pergerakan yang utama. Ia giat pada masa berdirinya Budi Utomo, kemudian bersama Douwes Dekker mendirikan Indische Partij tahun 1912. Pada tahun 1914 ia diperbolehkan pulang ke Indoneisa karena sakit dan kembali bergabung dengan Insulinde (pengganti Indische Partij). Boleh dikatakan ia seorang satria yang berjuang seorang diri, mengecam keras pemerintah Kolonial Belanda dan golongan priyayi yang feudal, menganjurkan nasionalisme di Hindia dan memperjuangkan perbaikan nasib orang kecil yang tak mempunyai gelar, pangkat, ataupun kekayaan, dan senantiasa berani serta setia kepada cita-citanya. Soetatmo Soerjokoesoemo, lahir tahun 1888 berasal dari keluarga Paku Alam di Yogyakarta. Tahun 1914 ia mendirikan Komite Nasionalisme Jawa dan menerbitkan majalah bulanan Wederopbouw (pembangunan kembali). Tak begitu banyak yang diketahui tentang karier Soetatmo dalam dunia pergerakan . Ia masuk Indische Partij ketika didirikan tahun 1912 dan juga menjadi anggota Komite Bumi Putera pada tahun 1913. Menurutnya suatu bangsa seharusnya dibangun atas landasan kebudayaan. Nasionalisme Jawa mempunyai landasan kebudayaan, sedangkan nasionalisme Hindia sebenarnya tak mempunyai landasan

kebudayaan,

atau

paling-paling

merupakan

produk

pemerintah

colonial

Belanda.

Nasionalisme Jawa merupakan alat ekspresi diri bagi orang Jawa, sedangkan nasionalisme Hindia pada Indische Partij atau Islamisme pada Sarekat Islam, hanya merupakan reaksi terhadap penjajahan Belanda ata Hindia. Oleh karena itu ia mengemukakan tempat orang Jawa dapat membangun masyarakat politiknya di masa depan. Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa dilangsungkan di Solo pada 5 7 Juli 1918. Pokok-pokok pembicaraan dalam kongres ini sangat mencerminkan minat politik dan intelektual para penganut nasionalisme Jawa. Dalam makalahnya Soetatmo menyatakan bahwa arah yang akan ditempuh perkembangan kebudayaan Jawa telah ditentukan oleh sifat inheren dari kebudayaan Jawa dan tugas yang harus dilaksanakan sekarang adalah membuat agar intisari kebudayaan Jawa itu berkembang melalui pendidikan. Yang dimaksud dengan intisari kebudayaan Jawa adalah keindahan dan yang dimaksud dengan pendidikan adalah pendidikan moral atau budi pekerti. Namun Tjipto melihat sisa-sisa Hinduisme dalam tradisi Jawa, yaitu faham hidup berdampingan antara manusia dan para dewa, system kasta dan wayang. Zaman telah berubah dan orang Jawa pun sebenarnya telah ikut berubah. Oleh karena itu Tjipto melihat peningkatan kesejahteraan penduduk sebagai tugas paling penting dan mengemukakan bahwa orang Jawa harus belajar ilmu pengetahuan dan teknologi Barat guna melaksanakan tugas tersebut. Dari sini jelas bahwa debat antara Soetatmo dan Tjipto mengenai arah dan strategi perkembangan kebudayaan Jawa pada hakikatnya berkisar sekitar konsep pendidikan. Ini penting karena gagasan atau cita-cita etis pihak Belanda pun didasarkan pada konsep pendidikan dan dalam konteks ini pertentangan mereka dapat dilihat sebagai pertentangan mengenai bagaimana merumuskan konsep pendidikan itu dari segi nasionalisme, apakah itu nasionalisme Jawa atau Hindia. Pada hakikatnya masalah yang dihadapi oleh keduanya ialah mencari arti zaman dan dunia pergerakan dalam kebudayaan dan sejarah Jawa dan selanjutnya bagaimana mereka harus hidup di zaman pergerakan sebagai cendekiawan Jawa yang ikut serta dalam pergerakan itu. Ciri paling menonjol dari kaum nasionalis Jawa dalam menginterpretasikan sejarah Jawa ialah bahwa mereka memandang zaman kerajaan Majapahit sebagai zaman emas sejarah Jawa. Sesuai dengan cara Jawa tradisional dalam menginterpretasikan sejarah, mereka melihat sejarah bukan sebagai proses unilinear dari masa lampau ke masa depan yang tak tentu, melainkan sebagai pergantian terus-menerus antara zaman emas dan zaman edan. Apa yang dilakukan Soetatmo ialah merumuskan kembali sebagai demokrasi dan kearifan yang dapat menjamin sama rata sama rasa. Menurut pengamatan Soetatmo zaman pergerakan adalah masa kacau lantaran tokoh pandito ratu telah lenyap. Demokrasi hanya dapat diwujudkan dengan kebijaksanaan sang pandito ratu. Oleh karena itu, nasionalisme Jawa pada

hakikatnya adalah ideology mengenai pembangunan kembali kebudayaan Jawa serta hubungan kawula-gusti dalam zaman pergerakan. Sedangkan menurut pandangan Tjipto, pembangunan kembali kebudayaan Jawa adalah resep yang keliru untuk zaman pergerakan. Baginya pergerakan menandakan bahwa moral rakyat sudah bangkit dan hidup kembali. Ini menghasilkan satria, tokoh zaman yang moralnya baik dan merdeka dari segi politik. Gagasannya tentang nasionalisme Hindia dan keputusannya sendiri untuk hidup sebagai seorang satria saling berkaitan secara logis di dalam pandangannya. Tjipto sendiri hidup menurut tekad dan semangat Pangeran Diponegoro, karena ia adalah seorang satria sejati yang telah berusaha memerangi keruntuhan moral pada orang Jawa, sementara Soetatmo yang setia pada kewajibannya sebagai pandita. Debat antara tjipto dan Soetatmo berlangsung pada masa pergerakan berada pada titik yang menentukan. Dan pergerakan semakin lama semakin menjadi radikal seiring dengan cakar besi sang penjajah pun semakin terasa goresannya.

BAB VII : PERJUANGAN TAMAN SISWA DALAM PENDIDIKAN NASIONAL ( Kenji Tsuchiya )1. Institusi Kolonial Yang dimaksud dengan istilah institusi ialah situasi masyarakat kolonial secara keseluruhannya, artinya suatu keadaan dan kenyataan masyarakat yang sudah sedemikian jauh-sampai ke seluruh lapisannya-diresapi oleh pengaruh kolonial sehingga dirasakan sebagai suatu kenyataan dan kebiasaan. Institusi Kolonial terdiri dari tiga unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu : a. sistem kolonialb. ideologi guna melegitimasikan penjajahan c. gaya (style) kolonial yang dipakai untuk mempertahankan rejim kolonial.

2. Dualisme Tiga unsur pokok institusi penjajah Belanda berkaitan satu sama lainnya dan berfungsi untuk mempertahankan susunan masyarakat yang dualistis. Dualisme inilah yang melandasi masyarakat kolonial secara keseluruhannya, seperti misalnya saja dualisme anatara ras dengan ras (orang putih versus pribumi dan contoh yang tepat dapat kita baca dalam roman Salah Asuhan karangan Abdul Muis), antara Bahasa Belanda(berfungsi sebagai bahasa kromo) dengan bahasa Melayu (berfungsi sebagai bahasa ngoko), dan lainlain. Dalam konteks inilah dapat dipahami gunanya mempertahankan dualisme: dualisme menjamin tercapainya tujuan pokok kegiatan perniagaan, yaitu membeli dengan harga murah dan menjual dengan harga mahal di pasaran dunia, dan tambahan lagi, keuntungannya tidak akan dikembalikan ke negeri asal dari semua barang dagangan itu. Barangkali juga,

seorang nasionalis seperti Ki Hajar Dewantara dan Soekarno menyatakan hal yang sama ketika mereka mengatakan bahwa Apabila Indonesia merdeka, Belanda tentu akan bangkru. (Soekarno, 1993, dan Ki Hajar Dewantara dan Kalangan Taman Siswa).3. Perkara Comite Boemi Poetra

Di antara Tiga Serangkai (Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat) yang memainkan peranan penting dalam Comite Boemi Poetra (Komite Bumi Putera) pada bulan Juli dan Agustus tahun 1913, yang menjadi tokoh utama ialah Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara sejak tahun 1928); alasannya, terutama karena ia menulis sebuah karangan monumental dalam sejarah pemikiran politik Indonesia, Als ik een Nederlander was . . .(Seandainya aku seorang Belanda . . .). Bagaimana reaksi pemerintah kolonial terhadap pernyataan dan pertanyaan Soewardi itu? Jika membaca notulen dari Raad van Indie yang berlangsung pada tanggal 31 juli 1913 dan juga pada tanggal 18 Agustus 1913. Dalam Raad van Indie mereka selalu berbincang tentang bagaimana pengaruh Als ik een Nederlander was . . . pada masyarakat luas karena karangan itu telah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu (oleh Abdoel Moeis). Ayat berapa dari hukum pidana yang paling tepat untuk menyingkirkan ketiga tokoh itu dari masyarakat secara cepat dan lancar? Dan akhirnya ketiga orang tokoh itu diasingkan atas tuduhan membahayakan Orde en Rust dan untuk itu dipergunakan Exorbitante Rechten (Ayat 47 dari Indischestaatsregeling). Taman Siswa dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dalam perjuangan untuk menentang Wilde Scholen Ordonnantie yang berlaku mulai dari akhir tahun 1932 sampai awal tahun 1933. Kemenangan yang diperoleh Taman Siswa dalam perjuangan tersebut merupakan salah satu puncak keberhasilan dari seluruh sejarah perkembangan Taman Siswa di zaman Kolonial. Dengan demikian, Taman Siswa dan Ki Hajar Dewantara kelihatannya berdiri di pusat pergerakan nasionalisme Indonesia. Menurut hemat saya, pertemuan antara Kiewiet de Jonge dengan Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 19 dan 21 Oktober 1932 di Pondok Dewantara merupakan suatuperistiwa yang sangat penting dalam masalah Wilde Scholen Ordonnantie. Contoh pertemuan tersebut memperlihatkan sifat utama orang Belanda pada waktu itu, yaitu zakelijkheid. Dan sifat inilah yang oleh bangsa Indonesia disebut Materialisme.

BAB VIII : PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN PENGARUHNYA ATAS JEMAAH HAJI: 1926-1927 ( Akira Nagazumi )Perubahan Kekuasaan Arab dan Negara Negara Barat

Tahun Hijriah 1345 (12 Juli 1927) mencatat jumlah jamaah haji terbesar di Indonesia yang di waktu itu masih disebut Hindia Belanda. Jemaah haji dari Indonesia yang berjumlah 52.412 ini adalah 42,6% dari keseluruhan Jerman tahun itu. Ada beberapa penyebab timbulnya gejala ini: Kaum muslimin di Indonesia sedang menikmati ledakan (boom) ekonomi untuk pertama kalinya dan hari raya Idul Fitri kebetulan jatuh pada hari yang sangat mujur menurut al manak Islam. Tambahan pula, lebih penting lagi, peperangan di Jazirah Arab sudah berakhir beberapa tahun sebelumnya dengan kemenangan Bani Saud, penguasa wilayah Nejd di daerah pedalaman, atas Bani Hasyim dari wilayah Hejaz di Laut Merah. Begitu Ibnu Saud memasuki Mekah. Husein dari Bani Hasyim yang kalah melarikan diri. Setelah menakhlukkan Madinah dan Jeddah, pada tanggal 4 Januari 1927 ia pun resmi dinyatakan sebagai raja Hejaz. Semua wilayahnya kemudian diberi nama baru, Arab Saudi, pada bulan September 1923. Sebagai seorang pengikut Wahabi yang gigih, raja Ibnu Saud mencoba menarik para Jemaah dengan mengembalikan perdamaian dan ketertiban di kota suci dan sekitarnya. Perkampungan orang Indonesia dan Malaya yang kesemuanya disebut Jawah oleh orang Arab boleh dikata lenyap selama perang saudara. Meskipun demikian, perkampungan Jawah ini segera muncul kembali dan menurut laporan tahunan konsul Belanda untuk tahun 1926/27, jumlah penghuninya mencapai 5.183 orang. Perubahan kekuasaan di Arab sangat mempengaruhi negara-negara besar di Barat yang mempunyai kepentingan di Timur Tengah. Segera sesudah mempersatukan kembali negrinya, Inbu Saud mengirimkan kedua putranya dalam rangka kunjungan resmi ke negara-negara yang telah mengakui kekuasaanya: putra tertua, Saud, ke Mesir sementara Faisal yang lebih muda ke Inggris, Prancis dan Belanda. Namun, pangeran yang resah itu disambut hangat di Negeri Belanda, suatu negeri yang senantiasa mendukung Bani Saud berkat nasehat berpandangan jauh dari Christian Snouck Hurgronje, mahaguru Universitas Leiden yang merupakan salah seorang ahli studi Islam yang paling terkemuka di masa itu. Itulah sebabnya maka Pemerintah Belanda menyiapkan suatu cara istimewa demi menghormati Faisal selama kunjungannya. Sejak tahun 1912 Belanda telah diberi ijin menempatkan di Mekah seorang Jawa beragama Islam, Raden Abu Bakar, yang sudah pensiun dari jabatannya. Negara Barat lainnya yang menaruh perhatian pada jemaah Islam dari wilayah sendiri ialah Rusia. Rezim sosialis yang didirikan tahun 1917 tampaknya mempunyai kepentingan yang sama atas jemaah haji, dan konsulat Rusia tetap ada di Arab Saudi. Seorang bernama Hakimof menjadi konsul sekitar tahun 1925 kedutaan Inggris dan Belanda di Kairo sudah mencium adanya kegiatan propaganda Rusia yang ditujukan kepada para jemaah, dan mulai mengkhawatirkan pengaruhnya atas gerakan gerakan kaum nasionalis dinegeri jajahan mereka masing-masing. Sejak bulan Mei 1926, kedua kedutaan itu sering berbicara kepada satu sama lain mengenai kemungkinan menyingkirkan Hakomof dari Jeddah.

Pengaruh Pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang Gagal Pemberontakan Partai Komunis Indonesia bermula di Jakarta dan Banten tanggal 12 November 1926. Namun pemberontakan tersebut dengan mudah dipadamkan oleh pemerintah pada pertengahan Desember. Segera setelah berita mengenai pemberontakan itu tersebar ke seluruh dunia, surat kabar Kairo Al Ahram tanggal 28 November mengutip harian Prancis Les Debats sehubungan dengan kegiatan kegiatan konsulat Soviet di Jeddah. Penangkapan Delapan Anggota PII PII menuduh Raja Ibnu Saud menarik pajak angkutan dari para jemaah dan mencoba mengawasi ajaran-ajaran sesat atau bidah. Mereka terang-terangan menunjukkan kecondongan pada rezim yang disebut pertama tak begitu sanggup mempertahankan perdamaian dan ketertiban namun lebih toleran dalam mengawasi berbagai dakwah dan pendapat. Sedangkan yang disebut kedua justru sama sekali berlawanan. Demikianlah maka PII mencoba mendorong bukan hanya penduduk berkebangsaan Indonesia tetapi juga mereka yang berkebangsaan Iran dan India untuk melawan rezim saudi. PII juga mendekati saqa atau para pengangkut air di sekeliling kota suci yang sangat menderita karena beban pajak bulanan yang berat di samping kerja keras yang mereka lakukan setiap hari. PII berusaha mengorganisasi pemogokan. Entah ini efektif atau tidak tapi rezim raja Saud pastilah tak senang dengan kegiatan kegiatan ini. Pemerintah Saudi akhirnya juga mengambil keputusan untuk anggota PII. Van Der Meulen mengirim telegram pada tanggal 4 Juni kepada Gubernur Jendral yang menyatakan bahwa penangkapan tak lama lagi akan dilakukan. Telegram ini disusul dengan laporan berikutnya pada tanggal 17 Juni. Ketua PII Mahdar berhasil lolos, tapi laporan van der Meulen tanggal 17 Juni 1927 mencatat nama keenam tokoh PII yang ditangkap: 1. Soetan Moentjak dari Padang Panjang. Ia adalah seorang pemimpin di Sumatra Barat yang ikut serta dalam pemberontakan di Padang Panjang dan Solok. 2. Pakih Ripat dari Solok. Ia seorang pemimpin pemberontakan di Solok 3. Marhoem dari Padang. Bendahara PII, yang bertugasmenjual kartu anggota 4. Abdoellah Kamil dari Panaman, padang, sekretaris PII 5. Soemadisastra, sekretaris SBI. Ia juga pernah ditangkap di Jawa, tapi kemudian dilepaskan dan digunakan sebagai agen rahasia (oleh Pemerintah Kolonial Belanda)6. Ganda dari Ujung Berung di Bandung. Ia telah ditahan selama dua hari di Bandung,

tapi kemudian dilepaskan untuk dijadikan agen rahasia. Ia adalah bendahara SBI. Rentetan penangkapan ini kemudian disusul dengan rentetan penangkapan kedua, yang menambahkan dua orang lagi pada jumlah tahanan keselurahannya. Keduanya ialah Hadji Tangsi gelar Bagindo alias Abdoerrahman dan Besjro. Sesudah Penangkapan

Didalam Negeri Arab Saudi, pengawasan yang ketat atas pers berhasil mencegah munculnya kecaman kecaman terhadap penangkapan tersebut. Namun, para wartawan di luar negeri menuduh keras bahwa Raja serta pemerintah Saudi telah membantu kolonial Belanda, dan dengan demikian menekan gerakan pembebasan dari kaum muslim. Banyak telegram protes yang dikirim ke alamat Raja Saud. Yang paling menyolok datang dari mahasiswamahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Al Azhar di Kairo. Pemerintahan Saudi terkejut sedemikian rupa sehingga mengeluarkan pernyataan bela diri,yang menjelaskan bahwa penangkapan kedelapan orang tersebut dilakukan semata mata atas prakarsa mereka sendiri tanpa diminta oleh Pemerintah Belanda, dan bahwa penangkapan mereka tidak disebabkan oleh apa yang telah mereka lakukan di Mekkah. Van der Meulen, bekas konsul Belanda di Jeddah, mengenang tindakan-tindakan yang telah diambil terhadap orang-orang radikal di Mekkah,dan menyimpulkan bahwa mereka telah melakukan kesalahan tiga kesalahan pokok: 1. Mekkah dibawah Raja Saud ternyata tak cocok bagi segenap agitasi politik 2. Orang Rusia yang dijumpai di Mekkah oleh para aktivis radikal ini memang bersedia namun tak mampu menolong mereka. 3. Wilayah kekuasaan pengadilan Hindia Belanda merentang luas sampai ke kota suci. Hal ini dimungkinkan oleh pegawai-pegawai Indonesia yang setia dalam pengabdiannya kepada konsulat. Oleh karena mereka muslim, mereka di bolehkan memasuki Mekkah dengan bebas, dan mereka sangat menyadari bagaimana penguasa Mekkah yang puritan akan bertindak terhadap kegiatan-kegiatan politik anti Barat. Ya, mereka jauh lebih tahu dibanding dengan kalangan nasional kita dan orang-orang rusia. Insiden Mekkah diatas mencerminkan suatu titik balik yang bermakna tiga dalam sejarah pergerakan Kebangsaan Indonesia. Pertama, nasionalisme yang didasarkan pada Islam gagal menjadi arus utama dalam gerakan tersebut. Kedua, gerakan komunis internasional, dibawah pimpinan Komintern, kehilangan basis terakhir dan digantikan oleh sekian kelompok nasionalis sekuler lainnya. Ketiga, Pemerintahan Hindia Belanda jelas menang dalam jangka pendek dengan menekan serta menangkapi para tokoh komunis dan simpatisannya; namun dalam jangka panjang ia kalah, karena melawan seluruh dunia Islam.